1.HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan berikut merupakan uji sensori yang meliputi
warna, aroma, rasa, dan kekentalan kecap manis yang dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Uji Sensoris Kecap ManisKelBahan dan
PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan
B1Kedelai hitam + 0,5% inokulum++++++++
B2Kedelai putih + 0,75% inokulum----
B3Kedelai hitam + 0,75% inokulum+++++++
B4Kedelai putih + 1% inokulum----
B5Kedelai hitam + 1% inokulum+++++++++
Keterangan :Warna :Aroma :Rasa :Kekentalan :+: kurang hitam:
kurang kuat: kurang manis: kurang kental ++: hitam : kuat: manis:
kental+++: sangat hitam: sangat kuat: sangat manis: sangat
kental
15
Berdasarkan tabel pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa
setiap kelompok memperoleh bahan dan perlakuan yang berbeda-beda
sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda. Namun, kelompok B2 dan
B4 yang menggunakan bahan kedelai putih mengalami kegagalan dalam
proses fermentasi sehingga tidak dapat dihasilkan produk kecap.
Dari segi aroma, kelompok yang menghasilkan kecap dengan aroma
terkuat adalah kelompok B3 yang ditambahkan inokulum 0,75%;
sedangkan aroma kurang kuat dihasilkan oleh kecap kelompok B1 yang
hanya ditambahkan 0,5% inokulum. Dari segi warna, kelompok yang
menghasilkan kecap dengan warna sangat hitam adalah kelompok B5
dengan penambahan 1% inokulum, sebaliknya kelompok dengan warna
kurang hitam adalah kelompok B1 dengan penambahan 0,5% inokulum.
Dari segi rasa, kelompok yang menghasilkan kecap dengan rasa sangat
manis adalah B1, sedangkan kelompok dengan kecap rasa kurang manis
adalah kelompok B3. Dari segi kekentalan, kelompok yang
menghasilkan kecap yang sangat kental adalah kelompok B1, sedangkan
kelompok yang menghasilkan kecap yang kurang kental adalah kelompok
B3.14
2.PEMBAHASAN
Makanan tradisional yang terbuat dari fermentasi kedelai hitam
atau kacang-kacangan lain oleh mikroorganisme tertentu sehingga
menghasilkan cairan yang berwarna gelap (coklat sampai hitam)
merupakan definisi dari kecap (Rahman, 1992). Proses pembuatan
kecap terdiri dari beberapa langkah. Tetapi, prinsip utamanya
adalah memfermentasikan kacang kedelai menggunakan jamur strain
Rhizopus oligosporus dan Aspergillus oryzae (Santoso, 1994). Pada
praktikum kali ini, dilakukan proses pembuatan kecap dengan cara
tradisional, di mana tujuannya adalah untuk mengetahui tahapan
proses serta perubahan kimiawi yang terjadi selama fermentasi.
Langkah pertama yang dilakukan pada pembuatan kecap adalah
persiapan bahan baku kacang kedelai. Kedelai yang digunakan dalam
praktikum ini terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kedelai hitam yang
digunakan oleh kelompok B1, B3, dan B5 serta kedelai putih yang
digunakan oleh kelompok B2 dan B4. Terdapat 4 proses utama harus
dilakukan terhadap kacang kedelai yang hendak digunakan sebelum
dilakukan proses fermentasi. Proses tersebut terdiri dari
penyortiran, perendaman, pencucian, dan perebusan. Tahap
penyortiran bertujuan untuk memisahkan kedelai berdasarkan
kualitasnya sehingga akan diperoleh produk kecap yang berkualitas.
Mula-mula, sebanyak 250 gram kacang kedelai yang masih mengandung
kulit ari direndam dalam air bersih minimal 12 jam (1 malam).
Seluruh bagian kedelai harus terendam semuanya. Tujuan perlakuan
perendaman adalah untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih
tertinggal bersama biji kedelai serta mempermudah pengupasan kulit
luar (Peppler & Perlman, 1979). Hal serupa dikemukakan Santoso
(1994), yang menyatakan bahwa proses perendaman kedelai berguna
dalam menyingkirkan kotoran-kotoran yang masih melekat pada biji
kedelai sehingga dapat hilang. Sedangkan menurut Kasmidjo (1990),
perendaman memberikan waktu pada kedelai untuk mengabsorpsi air
(hidrasi) sehingga mempermudah penghilangan kulit ari.
Kedelai yang sudah terlepas dari kulit ari selanjutnya dicuci
dengan air bersih kembali untuk memantapkan tidak adanya kotoran
dan kulit yang tertinggal pada biji kedelai. Persiapan kedelai ini
diakhiri dengan merebus kacang kedelai sampai matang atau
teksturnya empuk. Tujuan dari perebusan ini, menurut Peppler &
Perlman (1979), adalah untuk melunakkan biji kedelai, menghilangkan
bau langu (beany flavor), merusak protein inhibitor, membunuh
bakteri yang tidak diinginkan, serta menginaktivasi zat-zat
antinutrisi. Di samping itu, kapang akan lebih mudah tumbuh pada
kedelai yang strukturnya lunak dan lebih mudah menggunakan protein
untuk pertumbuhannya. Biji kedelai yang sudah direbus kemudian
ditiriskan hingga kering di bawah sinar matahari. Proses penirisan
ini dilakukan hingga biji kedelai cukup kering, karena menurut
Atlas (1984), apabila kedelai berada dalam keadaan lembab, maka
dapat ditumbuhi jamur dan enzim proteinase dan amilase dapat
terakumulasi. Kegunaan enzim proteinase pada proses fermentasi
kedelai adalah untuk menguraikan protein kedelai menjadi bentuk
yang lebih sederhana yaitu asam-asam amino. Sementara itu, enzim
amilase berfungsi untuk memecah karbohidrat menjadi gula sederhana
atau gula pereduksi.
Gambar 1. Proses Penirisan Kedelai Di Bawah Sinar Matahari
Langkah selanjutnya pasca persiapan bahan baku adalah fermentasi
koji, fermentasi moromi, ekstraksi, filtrasi, dan penambahan bumbu
selama pemasakan berlangsung (Kasmidjo, 1990). Kedelai yang
teksturnya sudah lunak kemudian diletakkan pada tampah bambu
(besek) yang seluruh permukaannya sudah dilapisi daun pisang. Pada
saat ditambahkan ragi atau yeast (inokulum komersial), kedelai
tidak boleh dalam keadaan panas sehingga harus didinginkan terlebih
dahulu. Tujuan dari proses pendinginan ini, menurut Santoso (1994),
adalah untuk menurunkan suhu karena apabila kedelai berada dalam
keadaan panas, maka bibit jamur yang akan dibiakkan pada substrat
dapat terbunuh. Pendinginan juga bertujuan untuk mendapatkan suhu
yang optimal supaya jamur dapat bertumbuh dengan baik. Kedelai yang
sudah dingin selanjutnya diinokulasikan dengan inokulum komersial
tempe setelah mendekati suhu 35 hingga 40C.
Inokulum komersial tempe siap ditambahkan pada kedelai yang
sudah direbus dan didinginkan. Pada kelompok B1, inokulum komersial
untuk pembuatan tempe yang ditambahkan adalah sebesar 0,5%;
kelompok B2 dan B3 sebanyak 0,75%; sedangkan kelompok B4 dan B5
sebanyak 1%. Usai diinokulasikan, kedelai diselubungi dengan daun
pisang, besek kayu ditutup, dan disimpan pada suhu 25o sampai 35oC
dalam periode waktu 3 hari. Digunakannya periode waktu inkubasi
selama 3 hari ini bertujuan supaya proses fermentasi kapang dapat
berlangsung sempurna. Karena apabila proses fermentasi kapang
terlalu cepat, maka enzim yang dihasilkan oleh kapang jumlahnya
terlalu sedikit sehingga tidak dapat menghasilkan komponen-komponen
yang berperan dalam reaksi-reaksi penting. Waktu fermentasi yang
semakin lama membuat enzim yang dihasilkan semakin banyak, di mana
cita rasa yang dihasilkan menjadi kurang baik (Astawan &
Astawan, 1991). Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa proses
penginkubasian harus memungkinkan terjadinya kontak antara kedelai
dengan udara luar karena proses fermentasi jamur harus dilakukan
secara aerob, di mana dalam pertumbuhannya, jamur membutuhkan gas
oksigen. Selama proses fermentasi, kedelai rentan terhadap
kontaminasi mikroorganisme kontaminan seperti Mucor sp dan bakteri
proteolitik. Oleh sebab itu, pengaturan kondisi fermentasi tahap
pertama ini harus diperhatikan karena aerasi, temperatur, serta
kadar air yang tepat dapat mencegah terjadinya kontaminasi
tersebut.
Gambar 2. Proses Penutupan Besek untuk Diinkubasi Selama 3
Hari
Miselia berwarna putih akan terbentuk setelah kedelai diinkubasi
selama 3 hari. Fenomena ini disebabkan karena aktivitas jamur yang
menghasilkan struktur serabut yang memiliki warna putih-kehijauan,
disebut dengan miselium. Kedelai yang diselubungi dengan miselia
jamur yang berwarna putih kehijauan inilah yang dinamakan koji
(Santosa, 1994). Pada kelompok B2 dan B4 yang sama-sama menggunakan
jenis kedelai putih, miselia tidak mampu terbentuk sehingga tidak
dapat menghasilkan produk kecap. Penyebab kegagalan ini, menurut
Ginting et al., (2009) disebabkan karena kedelai putih mengandung
protein yang lebih rendah (37-43% berat kering) dibandingkan
kedelai hitam (43-44,60% berat kering), di mana menurut Atlas
(1984), hal ini mempengaruhi jumlah protein yang dipecah oleh enzim
proteinase menjadi asam-asam amino yang dapat mempermudah proses
fermentasi selanjutnya.
Gambar 3. Kedelai yang Ditumbuhi Miselium (Tahap Koji)
Kedelai yang sudah ditumbuhi miselia selanjutnya dipotong dan
dikeringkan menggunakan alat dehumidifier selama 3 jam. Kedelai
kering ini kemudian memasuki tahap brine fermentation dan moromi,
di mana dilakukan perendaman kedelai dalam larutan garam sebesar
20%. Proses perendaman ini dilakukan di dalam wadah plastik
berkapasitas 1 liter, di mana jumlah garam yang ditambahkan adalah
sebesar 200 gram. Proses perendaman ini memiliki tujuan untuk
memberikan rasa asin, mengekstraksi senyawa sederhana hasil
hidrolisis pada tahap fermentasi koji sebelumnya, serta berfungsi
sebagai medium selektif di mana dapat mencegah pertumbuhan mikroba
berbahaya (Tortora et al., 1995). Selama proses perendaman kedelai
dalam garam, seluruh permukaan kedelai harus terutupi oleh larutan
garam. Tujuannya adalah untuk menghambat dan membunuh sisa-sisa
jamur yang masih ada. Mekanisme penghambatannya adalah kedelai akan
menyerap air garam dan dapat mengeluarkan faktor yang menyebabkan
pertumbuhan jamur dalam biji kedelai terhambat sehingga akan larut
dalam air rendaman garam (Kasmidjo, 1990). Sementara itu,
digunakannya konsentrasi garam sebesar 20% dalam percobaan ini,
menurut Astawan & Astawan (1988), adalah untuk mencegah
kontaminasi kedelai karena garam dalam konsentrasi yang tinggi
mengandung tekanan osmotik yang tinggi, sehingga hal ini dapat
menarik air keluar dari bahan pangan.
Selama tahap brine fermentation dan moromi, dilakukan penjemuran
dan pengadukan kedelai di bawah sinar matahari. Proses ini dapat
dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Proses Penjemuran dan Pengadukan Kedelai di Bawah
Sinar Matahari (Tahap Moromi)
Tujuan dilakukannya proses penjemuran dan pengadukan selama 1
minggu ini adalah supaya larutan garam menjadi homogen sehingga
mampu menyentuh permukaan substrat dan memberikan udara yang
berguna dalam pertumbuhan khamir dan bakteri yang diperlukan
(Tortora et al., 1995).
Setelah 1 minggu, ukuran kedelai semakin bertambah kecil akibat
penyusutan berat dengan penghilangan kandungan air. Di samping itu,
miselia yang menutupi permukaan kedelai hanya tertinggal pada
bagian-bagian tertentu saja. Mikroba yang berperan dalamfermentasi
moromi merupakan mikroba yang tahan garam, di antaranya Hansenula
sp., Zygosaccharomeces sp., dan Lactobacillus sp. (Rahayu, 1985).
Wu et al., (2010) menambahkan bahwa selama fermentasi moromi,
etanol diproses oleh Z. rouxii secara aerobik dan anaerobik.
Konsentrasi etanol berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah sel
ragi selama fermentasi moromi. Di sisi lain, spesies Candida
berperan penting dalam pengembangan aroma kecap melalui produksi
senyawa fenolik seperti 4-etilguaiakol.
Moromi yang terbentuk berikutnya dipres, disaring, dan siap
digunakan untuk proses pemasakan bersama rempah-rempah lain.
Filtrat yang diperoleh dari proses penyaringan sebanyak 250 ml
selanjutnya dicampur dengan air mineral sebanyak 750 ml. Proses
penyaringan moromi dilakukan menggunakan kain saring seperti yang
dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Proses Penyaringan Moromi
Rempah-rempah yang akan ditambahkan dalam proses pemasakan di
antaranya gula jawa sebanyak 1 kg, kayu manis sebanyak 20 gram,
bunga pekak sebanyak 1 biji, ketumbar sebanyak 3 gram, laos
sebanyak 1 jentik, serta air. Di samping itu, ditambahkan pula
rempah-rempah yang berbeda pada setiap kelompok, yaitu 1 gram
cengkeh untuk kelompok B1 dan B2, 1 buah daun serai yang digeprek
untuk kelompok B3 dan B4, serta 1 buah pala yang diparut untuk
kelompok B5. Masing-masing bahan ditumbuk terlebih dahulu sebelum
ditambahkan dalam proses pemasakan kecap untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan aroma dan flavor yang khas.
Proses pemasakan ini dimulai dengan melakukan perebusan terhadap
250 ml filtrat moromi dan ditambahkan dengan 750 ml air mineral.
Selanjutnya, gula jawa yang sudah ditumbuk ditambahkan dan diaduk
hingga larut. Penambahan gula jawa dalam jumlah banyak ini, menurut
Kasmidjo (1990), berperan dalam memberikan rasa manis, viskositas
yang tinggi, serta warna coklat kehitaman yang diharapkan konsumen.
Rempah-rempah lain yang sudah dipersiapkan lalu ikut dimasak sampai
mendidih sambil sesekali diaduk. Usai proses pemasakan, larutan
kecap disaring untuk memisahkan larutan kecap dengan rempah-rempah
yang tersisa. Dari sini, didapatkan kecap yang siap digunakan untuk
uji organoleptik.
Gambar 6. Proses Pemasakan Kecap Bersama Rempah-Rempah
Dari segi warna, kelompok B1 yang menambahkan 0,5% inokulum
menghasilkan kecap dengan warna kurang hitam, kelompok B3 yang
menambahkan 0,75% inokulum menghasilkan warna hitam, sedangkan
kelompok B5 yang menambahkan 1% inokulum menghasilkan warna yang
sangat hitam. Terbentuknya warna hitam ini, menurut Kasmidjo
(1990), disebabkan karena penambahan gula jawa dan adanya reaksi
antar asam-asam amino dengan gula reduksi sehingga terjadi reaksi
pencoklatan (Maillard reaction). Pendapat di atas didukung oleh
Astawan & Astawan (1988) bahwa perubahan warna larutan kecap
menjadi keruh juga disebabkan karena browning atau pencoklatan
hasil reaksi antara gula pereduksi dengan gugus asam amino dari
protein. Sementara itu, perbedaan intensitas warna kecap ini sesuai
dengan teori Wu et al., (2010), yang menyebutkan bahwa inokulum
tempe yang mengandung R. oryzae akan mengekskresikan protease,
amilase dan enzim lainnya. Enzim proteolitik ini akan mengkonversi
protein kacang kedelai menjadi peptida dan asam amino, di mana
asam-asam amino inilah yang akan bereaksi dengan gula pereduksi
membentuk warna coklat kehitaman pada kecap. Sehingga, apabila
inokulum tempe komersial yang ditambahkan semakin banyak, maka
intensitas warna hitam yang dihasilkan semakin pekat. Oleh sebab
itu, hasil uji organoleptik dalam percobaan ini sesuai dengan teori
yang ada.
Dari segi aroma, kelompok yang menghasilkan aroma kecap sangat
kuat adalah kelompok B3, disusul dengan kelompok B5 yang
menghasilkan aroma kuat, dan terakhir adalah kelompok B1 dengan
aroma kurang kuat. Berdasarkan teori Tortora (1995), senyawa yang
berperan dalam memberikan flavor khas pada kecap adalah arginin,
histidin, lisin, serta putresin dengan asam suksinat. Armstrong
(1995) menambahkan, senyawa yang paling berpengaruh dalam
menghasilkan flavor khas kecap yang lezat adalah asam glutamat yang
merupakan hasil degradasi protein. Perbedaan kekuatan aroma yang
dihasilkan ini, menurut Kasmidjo (1990), berkaitan dengan jenis
rempah-rempah (cengkeh, daun serai, dan pala) yang ditambahkan pada
kecap selama proses pemasakan. Selain itu, mengacu pada teori Wu et
al., (2010), yang menyebutkan bahwa inokulum tempe yang mengandung
R. oryzae akan menghasilkan protease, amilase dan enzim lainnya
untuk mengdegradasi protein kacang kedelai. Dari sini, dapat
diketahui bahwa semakin banyak inokulum komersial yang ditambahkan,
maka semakin kuat aroma kecap yang dihasilkan.
Dari segi rasa, masing-masing kelompok menghasilkan kekuatan
yang berbeda-beda, di mana kelompok B1 menghasilkan kecap dengan
rasa sangat kuat, B3 menghasilkan rasa kurang kuat, dan B5
menghasilkan rasa kuat. Menurut Amalia (2008), pembentukan rasa
kecap dipengaruhi oleh penambahan rempah-rempah terutama gula jawa,
di mana gula jawa merupakan komponen penyusun rasa yang dominan
dibandingkan bumbu-bumbu lainnya. Di samping itu, Astawan &
Astawan (1991) dan Rahayu et al., (2005) menambahkan bahwa rasa
kecap juga dipengaruhi oleh aktivitas bakteri asam laktat seperti
Lactobacillus delbrueckii yang tumbuh selama proses fermentasi
moromi, di mana bakteri ini menghasilkan asam-asam organik seperti
asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat.
Keberadaan asam-asam organik inilah yang dapat menurunkan pH kecap
sehingga pertumbuhan kapang yang menciptakan kekuatan rasa kecap
dapat berlangsung. Masashi (2006) mengemukakan bahwa apabila
konsentrasi inokulum yang ditambahkan semakin banyak, maka proses
fermentasi dapat berjalan semakin cepat sehingga produksi etanol
dan asam laktat juga meningkat. Namun, ketika jumlah inokulum yang
ditambahkan terlalu banyak jumlahnya, maka kualitas sensori dari
kecap yang dihasilkan akan kurang baik akibat konsentrasi asam
laktat dan etanol yang tinggi. Mengacu pada teori ini, seharusnya
apabila semakin banyak inokulum yang ditambahkan, maka kekuatan
rasa kecap juga semakin meningkat. Ketidak-sesuaian hasil dengan
teori yang ada dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya
kontaminasi dari mikroba selama proses fermentasi berlangsung.
Kontaminasi ini dapat diatasi dengan melakukan kontrol suhu,
aerasi, dan kadar air selama proses fermentasi dilakukan (Kasmidjo,
1990).
Dari segi kekentalan, masing-masing kelompok memberikan tingkat
kekentalan kecap yang berbeda-beda. Pada kelompok B1, kecap yang
dihasilkan sangat kental, kelompok B3 kurang kental, dan kelompok
B5 cukup kental. Komponen yang berkontribusi terhadap kekentalan
kecap adalah gula jawa yang ditambahkan selama proses pemasakan
kecap, di mana apabila jumlah gula jawa yang ditambahkan semakin
banyak, maka semakin kental viskositas kecap yang dihasilkan
(Peppler & Perlman, 1979). Pada percobaan ini, jumlah gula jawa
yang ditambahkan pada setiap kelompok sama, sehingga perbedaan
viskositas ini disebabkan karena penambahan rempah-rempah yang
berbeda antar kelompok.
Berdasarkan jurnal pertama yang berjudul Kandungan Protein Kecap
Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan
R. oligosporus, dilakukan penelitian mengenai perbandingan
kandungan protein (terlarut dan total) pada kecap manis hasil
fermentasi kedelai dengan R. oryzae dan R. oligosporus yang
melewati tahap moromi dan yang tidak mengalami tahap moromi. Metode
yang digunakan adalah membuat tempe, mengeringkan dan
menghaluskannya menjadi bentuk bubuk, kemudian menginokulasikannya
dengan strain R. oryzae dan R. oligosporus. Sampel ini kemudian
dibagi menjadi 2, di mana sampel yang tidak mengalami tahap moromi
hanya direndam dalam air hangat 50oC selama 24 jam, sedangkan
sampel yang mengalami tahap moromi direndam dalam air garam selama
2 minggu. Hasilnya, protein larut yang terkandung dalam kecap
berbahan dasar kedelai yang diinokulasikan R. oligosporus
menghasilkan kualitas tertinggi dibandingkan perlakuan dan jenis
strain lain, di mana hal ini menunjukkan bahwa tahap moromi secara
efektif mampu mendegradasi protein terlarut menjadi bentuk yang
lebih sederhana (Purwoko & Handajani, 2007).
Melalui jurnal kedua yang berjudul Effect of Temperature on
Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration, atau
yang dalam Bahasa Indonesia berarti Efek Suhu pada Fermentasi
Moromi Kecap dengan Aerasi Berselang-Seling, dilakukan penelitian
mengenai pengaruh suhu yang berbeda-beda selama tahap fermentasi
moromi terhadap kualitas kecap yang dihasilkan (pH, konsentrasi
etanol, dan konsentrasi nitrogen). Penelitian ini dilakukan dengan
melakukan tahap koji pada kedelai, yang dilanjutkan dengan tahap
moromi di mana kedelai dibagi menjadi 3 dan dimasukkan ke dalam
bioreaktor dengan suhu yang berbeda-beda. Bioreaktor pertama
bersuhu 25o, bioreaktor kedua bersuhu 35o, dan bioreaktor terakhir
bersuhu 45oC. Masing-masing kedelai dalam bioreaktor ini diberikan
aerasi selama 10 menit setiap 3 hari sekali. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa seiring berjalannya proses moromi, pH kedelai
semakin menurun dan suhu yang semakin meningkat menyebabkan
konsentrasi etanol menurun. Namun, total nitrogen yang ada di dalam
kedelai tidak terpengaruh secara signifikan (Wu et al., 2010).
Berdasarkan jurnal ketiga yang berjudul Karakteristik Moromi dan
Kecap Manis serta Kajian Aktivitas Antioksidannya, dilakukan
penelitian mengenai aktivitas antioksidan pada moromi dan kecap
yang sudah jadi. Parameter yang dianalisis di antaranya adalah
penetapan kadar -amino nitrogen, kadar protein total dan terlarut,
kadar fenol, kadar gula, serta sifat antioksidan. Metode penelitian
yang dilakukan adalah dari pemrosesan moromi dan kecap manis,
diambil masing-masing sampel dan dilakukan pengujian. Hasilnya,
moromi dengan berat molekul yang lebih besar memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan yang memiliki berat
molekul lebih rendah, di mana moromi dengan berat molekul besar ini
kemampuannya dalam menghambat oksidasi lebih tinggi dibandingkan
vitamin C 100 ppm (Rosida et al., 2013).
Melalui jurnal keempat yang berjudul The Development of Soy
Sauce from Organic Soy Bean atau yang berarti Pengembangan Kecap
dari Kedelai Organik, dilakukan penelitian mengenai pembuatan kecap
menggunakan bahan dasar kedelai organik dan dilakukan investigasi
teknik yang terbaik. Metode yang diaplikasikan adalah melakukan
pemilihan bahan baku yaitu kedelai organik (sudah teruji klinis
memiliki kadar protein, lemak, pati, kelembaban, asam lemak, dan
kadar abu yang berbeda dengan kedelai non-organik), melakukan tahap
koji (strain Aspergillus oryzae diinokulasikan), tahap fermentasi
moromi, dan pemurnian (refining). Hasilnya, kecap yang terbuat dari
kedelai organik memiliki kandungan isoflavon yang lebih tinggi
dibandingkan kedelai non-organik, di mana isoflavon ini bermanfaat
sebagai komponen fungsional kedelai dan memiliki banyak manfaat
bagi kesehatan (Wan et al., 2013).
Berdasarkan jurnal terakhir yang berjudul Flavor and Taste
Compounds Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce atau yang
dalam Bahasa Indonesia berarti Analisa Senyawa Rasa dan Flavor pada
Kecap Terfermentasi Padat dari Cina, dilakukan penelitian mengenai
komponen yang berperan dalam pembentukan flavor pada kecap
terfermentasi padat yang terbuat dari kedelai yang dihilangkan
lemaknya dan dedak gandum. Metodenya adalah dengan membuat kecap
terfermentasi padat, menganalisis dan mengelompokkan asam amino,
menganalisis dengan Headspace Solid-Phase Micro-Extraction
(HS-SPME) dan Gas ChromatographyMass Spectrum (GC-MS), serta
identifikasi senyawa volatil. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 82
jenis senyawa volatil teridentifikasi, termasuk alkohol, asam,
ester, aldehida, keton, fenol, senyawa heterosiklik, alkuna dan
benzena. Selain itu, aroma khas yang terdapat pada kecap tidak
hanya bergantung pada senyawa kunci, melainkan juga keseimbangan
rasio antara senyawa-senyawa volatilnya (Zhang & Tao,
2009).
3.KESIMPULAN
Tahap-tahap pembuatan kecap terbagi atas persiapan kedelai,
fermentasi koji, fermentasi moromi, dan pemasakan. Pada tahap
persiapan pembuatan kecap, kedelai harus melewati tahap
penyortiran, perendaman dan pencucian untuk membersihkan kulit ari
serta kotoran yang masih menempel. Tahap perebusan kedelai
bertujuan merusak protein inhibitor, menghilangkan beany flavor,
membunuh bakteri yang tidak diinginkan, serta menginaktivasi
zat-zat antinutrisi. Pada tahap koji terjadi pertumbuhan miselia
berwarna putih-kehijauan pada permukaan kedelai. Pada tahap moromi
terjadi fermentasi kedelai dalam larutan garam oleh bakteri dan
khamir. Tahap moromi bertujuan menimbulkan rasa asin serta mencegah
pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan. Pada tahap proses
pemasakan kecap ditambahkan gula jawa untuk membentuk flavor, warna
coklat kehitaman, dan meningkatkan kekentalan. Reaksi antara asam
amino dengan gula pereduksi menyebabkan warna kecap yang dihasilkan
menjadi coklat hingga hitam. Rempah-rempah yang ditambahkan serta
reaksi-reaksi kemikalia yang terjadi selama proses pemasakan
menyebabkan flavor khas kecap dihasilkan. Penyebab ketidak-sesuaian
hasil percobaan dengan teori yang ada disebabkan oleh kontaminasi
dari mikroba selama proses fermentasi berlangsung.
Semarang, 21 Juni 2015Praktikan,Asisten Dosen- Abigail
SharonStefany Gandasubrata- Frisca MeliaNIM 12.70.0125
4.DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, S.B. 1995. Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo.
Bogor.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application.
Collier Mcmillan Inc. New York.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi Dan Biokimia
Pengolahan Serta Pemanfaatannya. P. A. U. UGM. Yogyakarta.
Masashi, K. 2006. Method of Brewing Soy Sauce. Diakses di
http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html.
Diakses tanggal 20 Juni 2015.
Peppler, H. J. & D. Perlman. (1979). Microbial Technology,
Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, T & Handajani N.S. (2007). Kandungan Protein Kecap
Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan
R. oligosporus. Biodiversitas Volume 8, Nomor 2. Halaman:
223-227.
Rahayu, E. ; R. Indrati; T. Utami; E. Harmayani & M. N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food &
Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan.
Jakarta.
Rosida, D.F; Wijaya C.H.; Apriyantono A; dan Zakaria FR. (2013).
Karakteristik Moromi dan Kecap Manis Serta Kajian Aktivitas
Antioksidannya. Departemen Ilmu and Teknologi Pangan, IPB-Bogor.
Indonesia.
Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology.
The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Wan, Shoupeng; Y.X. Wu; Wang Cong, C.L. Wang; Hou Lihua. (2013).
The development of soy sauce from organic soy bean. Agricultural
Sciences 4 (2013) 116-121. Peoples Republic of China.
Wu, Ta Yeong; M. S. Kan; L.F Siow; dan Lithnes Kalaivani P.
(2010). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce
with Intermittent Aeration. African Journal of Biotechnology Vol.
9(5), pp. 702-706, 1 February, 2010. Peoples Republic of China.
Zhang Y.F & Tao W.Y. (2009). Flavor and taste compounds
analysis in Chinese solid fermented soy sauce. African Journal of
Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681, 18 February, 2009.
5.LAMPIRAN
5.1.Jurnal5.2.Laporan Sementara