Top Banner
KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika NIM : 13.70.0095 Kelompok A3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG Acara II
34

Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Feb 11, 2016

Download

Documents

Praktikum bab Kecap Ikan bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan kecap ikan secara enzimatis menggunakan enzim papain yang bersifat proteolitik.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika

NIM : 13.70.0095

Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara II

Page 2: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepada ikan patin,

air, enzim papain, bawang putih, garam, dan gula kelapa. Sedangkan alat-alat yang

digunakan adalah pisau, telenan, blender, kain saring, timbangan analitik, sendok,

toples, kompor, panci, pengaduk kayu, isolasi, wadah, dan refraktometer.

1.2. Metode

1

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air.

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1),

konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%

(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5).

Tulang dan kepala ikan dihancurkan menggunakan blender.

Page 3: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Toples ditutup rapat dan diisolaasi, kemudian diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang.

Hasil fermentasi disaring

Filtrat direbus hingga mendidih selama 30 menit.

Page 4: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula kelapa ke dalam filtrat di panci. Sampel tetap diaduk di atas kompor selama 30 menit.

Sampel didinginkan sebentar lalu hasil perebusan disaring menggunakan kain saring.

Dilakukan pengamatan tingkat salinitas sampel dan pengujian sensori meliputi warna, rasa, dan aroma kecap.

Page 5: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap karakteristik kecap ikan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Kecap Ikan

Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -

Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam

Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui hasil persentase salinitas serta karakteristik kecap

ikan yang dilakukan secara sensoris, meliputi warna, rasa, aroma, dan penampakan

dengan pengaruh berbagai perlakuan. Masing-masing kelompok menggunakan

penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 0,2%

(kelompok A1), 0,4% (kelompok A2), 0,6% (kelompok A3), 0,8% (kelompok A4), dan

1% (kelompok A5). Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat salinintas

kecap ikan yang dihasilkan oleh semua kelompok tidak terdeteksi. Selain itu, pada

parameter warna menunjukkan bahwa semua kecap ikan dengan konsentrasi enzim

papain yang berbeda menghasilkan warna yang sama, yaitu coklat gelap. Pada

parameter rasa, kecap ikan dengan konsentrasi enzim papain 0,2%, 0,8%, dan 1%

memiliki rasa yang sama, yaitu asin, sedangkan kecap ikan dengan konsentrasi enzim

papain 0,4% dan 0,6% menghasilkan rasa sangat asin. Pada parameter aroma, diperoleh

data bahwa kecap ikan dengan konsentrasi enzim papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6%

memiliki aroma agak tajam, kecap ikan dengan penambahan enzim papain 0,8%

4

Page 6: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

beraroma kurang tajam, dan kecap ikan dengan penambahan enzim papain 1% memiliki

aroma sangat tajam. Pada parameter penampakan menunjukkan bahwa kecap ikan

dengan penambahan enzim papain 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8% tampak kental,

sedangkan kecap ikan yang dengan penambahan enzim papain 1% memiliki

penampakan agak kental.

Page 7: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Kecap ikan merupakan suatu produk pangan berprotein tinggi yang diperoleh dari reaksi

hidrolisis alami oleh mikroorganisme dan enzim endogen. Kecap ikan dapat dijadikan

sumber protein karena selama fermentasi berlangsung kandungan protein dalam ikan

akan mengalami proteolisis sehingga akan meningkatkan protein terlarut di dalamnya

(Ng et al., 2011). Afrianto dan Liviawaty (1989) menyatakan bahwa kecap ikan

memiliki beberapa karakteristik, yaitu berupa cairan jernih agak kental, berwarna

kekuningan hingga coklat, memiliki rasa asin dan gurih dengan aroma sedikit amis.

Olubunmi et al. (2010) menambahkan bahwa kecap ikan merupakan suatu cairan dalam

daging ikan yang diekstrak selama proses fermentasi atau proses pengasinan yang

panjang. Kecap ikan memiliki beberapa istilah di berbagai negara, seperti budu di

Malaysia, patis di Filipina, pissala di Perancis, nampla di Thailand, yeesui di Hongkong,

dang nuoc-nam di Asia Selatan.

Menurut Witono et al. (2014), kecap ikan merupakan produk hasil fermentasi berupa

cairan berwarna coklat yang biasa dikonsumsi di negara Asia. Produk ini dapat

digunakan untuk campuran masakan serta untuk berbagai pengolahan makanan cepat

saji karena dapat meningkatkan nilai gizi dan flavor. Selain itu kecap ikan juga

dijadikan sebagai makanan sumber protein untuk orang yang sedang melakukan diet,

terutama di beberapa negara Asia Selatan (Zarei et al., 2011). Sanceda dalam Zaman et

al. (2010) menambahkan bahwa kecap ikan sangat kaya akan kandungan protein dan

asam amino. Kecap ikan mengandung sebanyak 80% asam amino dari 20 g/l nitrogen

di dalamnya.

Menurut Ng et al. (2011), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu gizi dan

karakteristik kecap ikan adalah rasio penambahan garam pada ikan, suhu fermentasi,

jenis ikan, dan bahan tambahan yang digunakan. Pada umumnya, kecap ikan dibuat dari

ikan berukuran kecil yang memiliki nilai konsumsi rendah (Kasma Lohaunchit dalam

Olubunmi et al. (2010). Isnawan et al. (2001) menambahkan bahwa kecap ikan dapat

diolah dari ikan berukuran kecil dan bernilai ekonomis rendah, ikan yang tidak laku

dijual, atau juga dari limbah ikan yang tidak digunakan lagi. Dalam praktikum kali ini,

6

Page 8: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

digunakan bahan baku kepala dan tulang ikan patin yang telah dihilangkan bagian

dagingnya. Berdasarkan teori yang ada, penggunaan bahan baku telah sesuai bahwa

pembuatan kecap ikan tidak selalu berasal dari bagian daging melainkan limbah ikan

pun dapat diolah menjadi kecap ikan. Hal ini didukung oleh Astawan & Astawan (1988)

yang menyatakan bahwa bagian kepala ikan dan isi perut ikan termasuk produk limbah

yang dapat diolah menjadi kecap ikan.

Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), tingkat kesegaran ikan yang digunakan sebagai

bahan baku dapat menentukan kualitas kecap ikan yang dihasilkan. Kesegaran ikan

dapat ditentukan berdasarkan karakteristik daging kenyal, aroma segar, jika daging

ditekan tidak muncul bekas lekukan, daging melekat kuat pada tulang, daging bagian

perut kenyal dan utuh. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung

berbagai macam zat gizi. Selain itu absorpsi protein pada ikan juga lebih tinggi

dibandingkan dengan produk hewani lain, seperti daging sapi dan daging ayam. Hal ini

disebabkan karena daging ikan memiliki serat-serat protein yang lebih pendek daripada

serat-serat protein daging sapi atau daging ayam (Silalahi, 2006). Ikan patin merupakan

ikan yang dapat digunakan sebagai ikan hias dan ikan untuk dikonsumsi. Daging ikan

patin mengandung garam sodium yang rendah, mudah dicerna dalam sistem

pencernaan, dan mengandung zat besi, kalsium, dan mineral yang baik bagi kesehatan

(Hernowo dalam Komariyah dan Aries, 2009). Khairuman dalam Komariyah dan Aries

(2009) menambahkan bahwa ikan patin mengandung 68,6% protein, 5,87% lemak,

3,5% abu, dan 51,3% air. Komponen protein utama dalam ikan adalah protein fibrilar

yang terdiri dari aktin dan myosin. Protein ini berperan dalam proses kontraksi dan

relaksasi otot pada ikan (Shahidi & Botta, 1994).

Pada praktikum ini dilakukan proses fermentasi secara enzimatis untuk menghasilkan

kecap ikan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat Afrianto & Liviawaty (1989) yang

menyatakan bahwa pengolahan kecap ikan dapat dilakukan dengan beberapa metode,

yaitu fermentasi dengan penambahan garam, secara enzimatis menggunakan enzim

protease (papain dan bromelin), dan secara kimiawi. Mula-mula tulang dan daging ikan

ddihancurkan dengan blender lalu ditimbang sebanyak 50 gram. Kemudian bahan

dimasukkan ke dalam toples bening berisi air sebanyak 250 ml. Proses penghancuran

Page 9: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

bahan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga luas permukaan bahan

meningkat dan proses ekstraksi dapat berjalan lebih cepat (Winarno, 1995).

Penambahan air bertujuan untuk melarutkan protein terlarut hasil proteolisis protein

ikan selama proses fermentasi berlangsung (Ng et al., 2011).

Setelah itu sampel ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda

pada masing-masing kelompok, yaitu berturut-turut dari A1 hingga A6 adalah 0,2%,

0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1%. Perbedaan konsentrasi enzim papain bertujuan untuk

mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat salinitas serta karakteristik warna, rasa,

aroma, dan penampakan kecap ikan yang dihasilkan. Penggunaan enzim papain

bertujuan untuk menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti

pepton, peptida, dan asam amino yang akan saling berinteraksi menghasilkan warna dan

rasa yang khas, serta aroma yang sedap pada kecap ikan (Astawan & Astawan, 1988).

Menurut Lisdiana & Soemadi (1997), enzim papain berasal dari ekstrak pepaya yang

memiliki gugus sulfihidril dan bersifat proteolitik, sehingga mampu menguraikan

senyawa protein yang terkandung menjadi komponen-komponen penyusunnya. Afrianto

& Liviawaty (1989) menambahkan bahwa penggunaan enzim papain sebagai enzim

proteolitik ini akan mempercepat terjadinya hidrolisis ikan pada pembuatan kecap ikan

dibandingkan dengan penggunaan metode konvensioal yang membutuhkan waktu lebih

lama. Namun penggunaan enzim ini memiliki kekurangan, dimana senyawa yang

dihasilkan dari reaksi penguraian protein akan menimbulkan rasa pahit dan aroma yang

kurang sedap pada kecap ikan. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan

memiliki cita rasa yang khas akibat adanya asam glutamat, sedangkan aroma yang khas

berasal dari asam dengan rantai pendek, seperti asam butirat, asam asetat, dan asam

valerat. Dalam jurnalnya, Olubunmi et al. (2010) menyatakan bahwa asam amino pada

kecap ikan dipengaruhi oleh enzim yang memproduksinya selama proses fermentasi

berlangsung. Enzim yang berbeda akan menghasilkan asam amino yang berbeda pula.

Setelah sampel diberi penambahan enzim papain, toples ditutup hingga rapat dan

dilekatkan dengan menggunakan isolasi. Penutupan toples bertujuan untuk menghambat

supplay oksigen dalam toples, sehingga kondisi anaerob akan tercapai dan proses

fermentasi dapat berlangsung semakim cepat. Selain itu, toples ditutup untuk mencegah

Page 10: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

terjadinya kontaminasi mikroorganisme lain maupun kotoran dari udara luar yang dapat

menghambat aktivitas enzim proteolitik selama fermentasi berlangsung (Lisdiana &

Soemardi, 1997). Setelah itu sampel diinkubasi selama empat hari pada suhu ruang.

Proses inkubasi ini telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih

dan Nurjanah (1995) bahwa selama inkubasi empat hari dengan penambahan garam

20% dan enzim papain 3% akan diperoleh kecap ikan dengan hasil terbaik dari bahan

jeroan ikan tuna. Selain itu, proses inkubasi ini juga bertujuan untuk memberi waktu

enzim papain melakukan proses penguraian protein menjadi komponen penyusunnya

yang lebih sederhana. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), selama waktu inkubasi

terjadi fermentasi, dimana protein sebagai senyawa kompleks dalam tubuh ikan akan

dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim dalam kondisi lingkungan

yang terkontrol. Selama proses fermentasi juga memungkinkan terjadinya pemecahan

protein oleh enzim yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri maupun dari

mikroorganisme lain. Proses fermentasi ini dapat berlangsung dengan atau tanpa adanya

aktivitas mikroorganisme, terutama dari kelompok ragi dan jamur, melainkan tetap

dengan adanya aktivitas dari enzim proteolitik. Misgiyarta dan Widowati (2003)

menambahkan bahwa aktivitas enzim maupun mikroorganisme dalam proses fermentasi

akan menghasilkan rasa dan flavor bahan yang spesifik, meningkatkan daya cerna

produk pangan, menurunkan senyawa anti gizi dalam bahan pangan, serta menghasilkan

produk atau senyawa turunan lain yang baik untuk dikonsumsi.

Hasil inkubasi kemudian disaring menggunakan kain saring, lalu filtrat yang dihasilkan

direbus hingga mendidih selama 30 menit. Menurut Winarno (1993), proses

penyaringan sampel bertujuan untuk memisahkan zat cair dengan partikel padat, dimana

partikel padat tersebut tersbut akan tertinggal pada kain saring sedangkan zat cair akan

melewati filter dan dapat terpisahkan dengan baik. Sedangkan proses pemanasan

bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pada sampel yang tumbuh selama proses

fermentasi, sehingga produk kecap ikan menjadi lebih aman untuk dikonsumsi

(Fachruddin, 1997). Selain itu, proses pemanasan juga akan meningkatkan aktivitas

enzim papain yang bersifat proteolitik, dimana suhu aktivitas optimalnya berada pada

suhu 50-70oC (Soeparno, 1994).

Page 11: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Selama perebusan dilakukan penambahan bumbu-bumbu, yaitu garam sebanyak 50

gram, bawang putih halus sebanyak 50 gram, dan gula kelapa sebanyak 3 butir.

Penambahan garam bertujuan untuk meningkatkan cita rasa, terutama memberikan rasa

asin pada kecap ikan yang dihasilkan. Dalam penggunaannya, apabila garam yang

ditambahkan terlalu banyak maka dapat memberikan rasa asin yang berlebihan dan juga

menyebabkan terjadinya denaturasi protein akibat tingkat salinitas yang tinggi

(Wibowo, 2004). Penggunaan garam juga dapat mengawetkan kecap ikan karena

penambahan garam dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya osmosis,

sehingga sel mikroba dalam bahan akan mengalami sineresis. Selain itu, molekul NaCl

dalam garam akan terurai menjadi ion Na+ dan Cl- dan akan saling berikatan dengan air,

sehingga air bebas dalam kecap ikan menjadi berkurang dan kadar Aw semakin

menurun (Desrosier & Desrosier, 1997). Penggunaan bawang putih dapat berperan

sebagai bawah pengawet bagi kecap asin karena bawang putih memiliki aktivitas

antimikrobia. Hal ini sesuai dengan pendapat Hirasa & Takemara (1998) yang

menyatakan bahwa bawang putih (Allium sativum Linn) mengandung senyawa allisin,

alliin, dan akrolein yang bersifat bakteriostatik sehingga dapat menghambat aktivitas

bakteri, seperti Escherichia coli dan Bacillus spp. Dalam jurnalnya, Zarei et al. (2011)

melakukan penelitian analisis mikroba dalam kecap ikan, dimana dalam penelitiannya

diketahui bahwa kecap ikan tradisional Iran memiliki kandungan histamin yang cukup

tinggi. Histamin ini berhubungan dengan jumlah bakteri, khususnya enterobacteriaceae

dan bakteri asam laktat yang berpotensi menghasilkan senyawa berbahaya dalam waktu

singkat pada suhu tertentu. Dengan demikian penambahan bawang putih ini dapat

mempengaruhi umur simpan kecap ikan yang dihasilkan. Astawan & Astawan (1991)

menambahkan bahwa penambahan bawang putih juga dapat memberikan cita rasa dan

aroma yang sedap pada kecap ikan. Penggunaan gula kelapa bertujuan untuk

memberikan rasa manis pada kecap ikan, sehingga rasa asin dari penambahan garam

tidak terlalu mendominasi. Selain itu penambahan gula kelapa juga dapat meningkatkan

viskositas kecap ikan dan memberikan warna coklat pada kecap ikan akibat terjadinya

reaksi pencoklatan selama pemasakan. Kandungan gula dalam gula kelapa akan

bereaksi dengan protein dalam ikan sehingga memicu reaksi Maillard yang

menimbulkan adanya warna coklat pada produk (McGee, 2004).

Page 12: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Setelah mendidih dan agak dingin, sampel disaring kembali menggunakan kain saring

hingga diperoleh kecap ikan sebagai produk akhir. Proses penyaringan bertujuan untuk

memisahkan filtrat kecap ikan dengan partikel padat yang berasal dari bahan tambahan

atau bumbu-bumbu (Winarno, 1993). Setelah itu dilakukan uji sensori kecap ikan,

meliputi warna, rasa, aroma, dan penampakan, serta pengujian tingkat salinitas kecap

ikan menggunakan hand refractometer. Menurut Pavia (2005), hand refractometer

berfungsi untuk mengukur jatuhnya sinar yang dibiaskan dan menentukan besarnya

indeks bias ketika cahaya bergerak dari udara memasuki zat cair. Indeks bias yang telah

terbaca dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis sampel, mengetahui kemurnian

sampel, dan untuk menentukan konsentrasi zat terlarut dalam larutan. Sebelum dan

sesudah digunakan, prisma refraktometer harus dibersihkan dengan cara ditetesi alkohol

kemudian dilap menggunakan tissu agar pembacaan indeks bias dapat lebih akurat.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui hasil persentase salinitas serta

karakteristik kecap ikan yang dilakukan secara sensoris, meliputi warna, rasa, aroma,

dan penampakan dengan pengaruh berbagai perlakuan. Masing-masing kelompok

menggunakan penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu

0,2% (kelompok A1), 0,4% (kelompok A2), 0,6% (kelompok A3), 0,8% (kelompok

A4), dan 1% (kelompok A5). Perbedaan penggunaan konsentrasi enzim papain ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat salinitas serta karakteristik

warna, rasa, aroma, dan penampakan kecap ikan yang dihasilkan. Dari data yang

diperoleh menunjukkan bahwa tingkat salinintas kecap ikan yang ditentukan

menggunakan hand refractometer oleh semua kelompok tidak terdeteksi. Menurut

Wibisono (2004), salinitas merupakan ukuran kadar garam yang terlarut dalam air yang

dinyatakan sebagai per mil (%). Seharusnya tingkat salinitas pada kecap ikan akan

terukur karena pada proses pembutan kecap ikan dalam praktikum ini dilakukan

penambahan garam sebanyak 50 gram. Penambahan garam ini berfungsi untuk

meningkatkan cita rasa, terutama memberikan rasa asin pada kecap ikan yang dihasilkan

(Wibowo, 2004). Selain itu ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku juga

memiliki kandungan garam sodium meskipun tergolong rendah (Hernowo dalam

Komariyah dan Aries, 2009). Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa kecap

ikan yang diolah dengan cara fermentasi akan memiliki rasa asin sebagai hasil dari

Page 13: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

proses penguraian protein menjadi komponen penyusunnya, seperti pepton, peptida, dan

asam amino. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan tidak sesuai dengan teori

yang ada. Tidak terdeteksinya tingkat salinitas ini dapat disebabkan karena viskositas

kecap ikan yang terlalu tinggi sehingga padatan terlarut di dalamnya menjadi sangat

banyak. Menurut Pavia (2005), sebelum dilakukan uji menggunakan refractometer

sebaiknya sampel diencerkan terlebih dulu sehingga konsentrasi sampel akan menurun.

Apabila konsentrasi menurun maka viskositas sampel juga akan mengalami penurunan.

Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan indeks bias cahaya semakin tinggi,

sehingga refractometer tidak dapat mengukur jatuhnya sinar yang dibiaskan tersebut.

Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Zaman et al. (2010) bahwa sebelum

melakukan penentuan kadar garam (salinitas) menggunakan alat salt meter, sampel

kecap ikan diencerkan terlebih dulu hingga mencapai sepuluh kali. Tingginya viskositas

pada sampel kecap ikan ini dapat disebabkan karena kurangnya volume yang air yang

digunakan atau juga karena proses pemasakan yang terlalu lama, sehingga sangat

banyak kandungan air yang teruapkan dan sampel menjadi sangat kental (Sudarmadji et

al., 1989). Selain itu juga dapat disebabkan karena penggunaan gula kelapa yang terlalu

banyak sehingga menyebabkan terjadi karamelisasi selama pemanasan dan

menghasilkan kecap ikan yang berwarna cokelat dan bertekstur kental (Khamidah&

Eliartati, 2012)

Pada parameter warna menunjukkan bahwa semua kecap ikan dengan konsentrasi enzim

papain yang berbeda menghasilkan warna yang sama, yaitu coklat gelap. Menurut

Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan merupakan produk pangan berupa cairan

jernih agak kental, berwarna kekuningan hingga coklat, serta memiliki rasa asin dan

gurih dengan aroma sedikit amis. Warna coklat pada kecap ikan dihasilkan dari reaksi

Maillard antara asam amino hasil hidrolisis protein dengan gula reduksi dari

penambahan gula kelapa. Semakin banyak enzim papain yang digunakan dalam proses

fermentasi, maka semakin banyak senyawa yang dihasilkan dari hidrolisis protein,

seperti asam amino, pepton, dan peptida. Dengan semakin banyaknya asam amino yang

bereaksi dengan gula pereduksi dalam gula jawa kelapa, maka akan semakin memicu

terjadinya reaksi Maillard yang menimbulkan warna coklat pada kecap ikan (Lees &

Jackson, 1973). Berdasarkan teori tersebut maka seharusnya semakin tinggi konsentrasi

Page 14: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

papain maka kecap ikan semakin berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil

pengamatan kurang sesuai dengan teori. Ketidaksesuaian yang terjadi dapat disebabkan

karena waktu fermentasi yang dilakukan kurang lama sehingga produk yang dihasilkan

menjadi kurang optimal. Menurut Lopetcharat & Park (2002), apabila waktu fermentasi

terlalu cepat maka proses hidrolisis protein berlangsung tidak sempurna, sehingga

karakteristik warna, rasa, dan aroma kecap ikan menjadi kurang optimal. Dalam

jurnalnya, Zaman et al. (2010) melakukan pembuatan kecap ikan dengan cara

fermentasi, dimana ikan diberi garam kemudian difermentasikan selama 6-12 bulan

pada suhu ruang. Selain itu, warna coklat pada kecap juga disebabkan karena adanya

proses pemasakan dalam pembuatan kecap ikan. Besar kecilnya api saat pemasakan

akan mempengaruhi kecap ikan yang dihasilkan, dimana proses pemanasan ini akan

mempercepat terjadinya pencoklatan akibat reaksi Maillard karena penambahan gula

kelapa (McGee, 2004). Semakin tinggi suhu yang digunakan juga dapat menyebabkan

kecap ikan menjadi gosong sehingga warnanya menjadi semakin coklat. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Witono et al. (2014) dalam jurnalnya bahwa

warna coklat dalam kecap ikan disebabkan karena adanya reaksi Maillard, dimana

glukosa dan fruktosa sebagai gula reduksi dari gula pasir bereaksi dengan asam amino

bebas lysin, asam glutamat, triptofan, asam aspartat, glycine, dan alanin. Asam amino

lysin memiliki kemampuan bereraksi paling cepat karena mengandung ε – amino yang

sangat reaktif. Semakin banyak penambahan gula pasir pada kecap ikan maka tingkat

reaksi Maillard semakin meningkat dan warna coklat pada kecap ikan semakin tua.

Pada parameter rasa, kecap ikan dengan konsentrasi enzim papain 0,2%, 0,8%, dan 1%

memiliki rasa yang sama, yaitu asin, sedangkan kecap ikan dengan konsentrasi enzim

papain 0,4% dan 0,6% menghasilkan rasa sangat asin. Menurut Astawan & Astawan

(1988), penggunaan enzim papain bertujuan untuk menguraikan protein menjadi

senyawa yang lebih sederhana, seperti pepton, peptida, dan asam amino yang akan

saling berinteraksi menghasilkan warna dan rasa yang khas, serta aroma yang sedap

pada kecap ikan. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan memiliki cita rasa

yang khas akibat adanya asam glutamat, dimana senyawa ini akan menghilangkan rasa

asli ikan dan memperkiat cita rasa yang kuat pada kecap ikan, salah satunya adlah rasa

asin akibat penambahan garam selama pemasakan. Dengan demikian semakin tinggi

Page 15: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

konsentrasi enzim papain yang digunakan maka semakin banyak asam glutamat yang

dihasilkan sehingga rasa asin dalam kecap ikan semakin kuat. Hal ini menunjukkan

bahwa hasil pengamatan oleh kelompok A4 dan A5 tidak sesuai dengan teori karena

rasa asin pada kecap ikan justru semakin menurun dibandingkan dengan kecap ikan

kelompok lain dengan konsentrasi enzim papain yang lebih rendah. Ketidaksesuaian ini

dapat disebabkan karena waktu fermentasi enzimatis masih kurang lama, sehingga rasa

khas kecap ikan hasil hidrolisis protein menjadi kurang optimal. Menurut Lopetcharat &

Park (2002) lama fermentasi akan mempengaruhi karakteristik kecap ikan yang

dihasilkan, salah satunya adalah rasa. Ketidaksesuaian ini juga dapat disebabkan karena

proses pemanasan yang terlalu lama sehingga banyak kandungan air pada bahan yang

menguap, sehingga kecap ikan terasa lebih asin akibat adanya penambahan garam

sebanyak 50 gram selama pemasakan (Sudarmadji et al., 1989). Selain itu, pengujian

yang dilakukan untuk menentukan rasa kecap ikan adalah secara sensori, sehingga hasil

yang diperoleh bersifat subyektif berdasarkan perspektif praktikan yang berperan

sebagai panelis.

Pada parameter aroma, diperoleh data bahwa kecap ikan dengan konsentrasi enzim

papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6% memiliki aroma agak tajam, kecap ikan dengan

penambahan enzim papain 0,8% beraroma kurang tajam, dan kecap ikan dengan

penambahan enzim papain 1% memiliki aroma sangat tajam. Menurut Astawan &

Astawan (1988), penggunaan enzim papain bertujuan untuk menguraikan protein

menjadi komponen penyusunnya, seperti peptida, pepton, dan asam amino yang akan

berinteraksi menghasilkan aroma yang khas pada kecap ikan. Selain menghasilkan

produk utama sebagai hidrolisis protein, selama fermentasi dihasilkan pula senyawa

turunan lain yang dapat memperkuat aroma khas pada kecap ikan, seperti senyawa asam

dengan rantai pendek, yaitu asam butirat, asam asetat, dan asam valerat (Afrianto dan

Liviawaty, 1989). Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa proses penguraian

protein juga menghasilkan senyawa turunan lain, seperti histidin, arginin, dan amonia.

Apabila senyawa turunan tersebut berikatan dengan garam, maka dapat memberikan

aroma yang sedap pada kecap ikan. Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi enzim

papain yang digunakan maka aroma kecap ikan akan semakin tajam akibat adanya

senyawa turunan hasil hidrolisis protein. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan

Page 16: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

yang diperoleh kelompok A4 tidak sesuai dengan teori karena ketajaman aroma kecap

ikan mengalami penurunan dibandingkan kelompok A1, A2, dan A3 yang

menggunakan enzim papain dengan konsentrasi yang lebih rendah. Ketidaksesuaian ini

dapat disebabkan karena proses fermentasi yang dilakukan kurang tepat dan terlalu

singkat sehingga belum dihasilkan senyawa-senyawa turunan hasil hidrolisis yang dapat

memberikan aroma khas pada kecap ikan. Selain itu penentuan aroma kecap ikan ini

dilakukan dengan metode sensoris, sehingga hasilnya tidak bersifat obyektif karena

dinilai berdasarkan persepsi praktikan yang berperan sebagai panelis.

Pada parameter penampakan menunjukkan bahwa kecap ikan dengan penambahan

enzim papain 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8% tampak kental, sedangkan kecap ikan yang

dengan penambahan enzim papain 1% memiliki penampakan agak kental. Menurut

Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan merupakan produk berupa cairan jernih yang

agak kental. Terbentuknya produk kecap ikan yang kental ini disebabkan karena

dilakukan penambahan gula kelapa selama pemasakan sehingga terjadi proses

karamelisasi yang dapat meningkatkan viskositas kecap ikan (Khamidah& Eliartati,

2012). Selain itu dalam pembuatan kecap ikan ini dilakukan proses pemasakan yang

dapat menguapkan kandungan air dalam sampel sehingga sampel menjadi lebih kental

dibandingkan sebelumnya (Sudarmadji et al., 1989). Dari data pengamatan diketahui

kelompok A5 memiliki tingkat kekentalan kecap ikan yang berbeda dengan kelompok

lain, meskipun perlakuan yang dilakuan sama. Setiap kelompok menggunakan gula

kelapa berjumlah 3 butir, namun tidak ditentukan berat pastinya. Hal inilah yang

menyebabkan banyak gula dalam kecap ikan menjadi tidak sama, sehingga kekentalan

yang dihasilkan pun juga berbeda. Selain itu juga dapat disebabkan karena proses

pemasakan yang tidak seragam pada semua kelompok. Besar kecilnya api akan

menentukan mutu produk, dimana semakin besar api yang digunakan selama

pemasakan akan semakin banyak menguapkan kandungan air dalam sampel sehingga

lama-kelamaan sampel berubah menjadi konsentrat yang sangat kental (Sudarmadji et

al., 1989). Selain itu, pengujian untuk menentukan penampakan (tingkat kekentalan)

kecap ikan ini dilakukan secara sensori, sehingga hasil yang diperoleh bersifat subyektif

berdasarkan persepsi praktikan yang berperan sebagai panelis.

Page 17: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Menurut Ng et al. (2011), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu gizi dan

karakteristik kecap ikan adalah rasio penambahan garam pada ikan, suhu fermentasi,

jenis dan tingkat kesegaran ikan, dan bahan tambahan yang digunakan. Penggunaan

garam dengan konsentrasi tinggi dapat berfungsi untuk mengawetkan produk serta

mencegah terjadinya kontaminasi selama fermentasi sehingga dihasilkan kecap ikan

dengan mutu yang lebih baik. Selain itu, semakin tinggi suhu fermentasi yang diberikan,

maka proses fermentasi yang berlangsung akan semakin tidak optimal. Tingkat

kesegaran ikan perlu diperhatikan, karena penggunaan ikan yang masih segar akan

dapat menghasilkan kecap ikan dengan rasa dan aroma yang lebih optimal. Sedangkan

bahan tambahan yang digunakan dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen, seperti

bawang putih, kunyit, ketumbar, jinten, biji adas, lada hitam, serta bahan tambahan atau

rempah-rempah lain.

Menurut Lopetcharat & Park (2002), beberapa hal yang dapat mempengaruhi produk

kecap ikan yang dihasilkan, antara lain konsentrasi garam, konsentrasi enzim, serta suhu

dan lama fermentasi. Semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan maka kualitas

produk kecap ikan yang dihasilkan, seperti rasa, aroma, dan warna, akan semakin

optimal. Selain itu, lama waktu fermentasi juga akan menentukan kualitas kecap ikan

yang diproduksi, dimana semakin lama fermentasi maka enzim proteolitik semakin

banyak menguraikan protein sehingga akan dihasilkan rasa pahit dan aroma tidak sedap

pada produk. Sedangkan apabila waktu fermentasi terlalu cepat maka proses hidrolisis

berlangsung tidak sempurna, sehingga karakteristik warna, rasa, dan aroma kecap ikan

menjadi kurang optimal. Zaman et al. (2010) menambahkan bahwa kebersihan

(higienitas) selama proses fermentasi juga akan mempengaruhi kualitas kecap ikan yang

dihasilkan. Apabila kondisi fermentasi kurang bersih, maka akan dihasilkan senyawa

yang berbahaya dalam kecap ikan, terutama senyawa kelompok amina. Selain itu juga

dapat memungkinkan adanya mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi yang

dapat menghasilkan amina biogenik, seperti histamin, kadaverin, dan putresin.

Page 18: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Bahan yang digunakan untuk membuat kecap ikan adalah limbah ikan yang tidak

digunakan lagi, seperti kepala dan tulang ikan.

Kecap ikan dapat diolah melalui proses fermentasi secara enzimatis menggunakan

enzim papain yang bersifat proteolitik.

Penggunaan enzim papain bertujuan untuk mempercepat proses penguraian protein

menjadi senyawa yang lebih sederhana yang akan saling berinteraksi menghasilkan

warna dan rasa yang khas, serta aroma yang sedap pada kecap ikan.

Penambahan garam bertujuan untuk meningkatkan cita rasa kecap ikan, menurunkan

Aw pada bahan, dan menyebabkan mikroba mengalami sineresis.

Bawang putih dapat memberikan cita rasa dan aroma yang sedap pada kecap ikan,

serta mengandung allisin, alliin, dan akrolein yang bersifat bakteriostatik.

Penggunaan gula kelapa bertujuan untuk memberikan rasa manis, memberikan warna

coklat, meningkatkan viskositas pada kecap ikan.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain, maka semakin banyak asam amino yang

dihasilkan yang kemudian bereaksi dengan gula pereduksi membentuk warna coklat.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan maka semakin banyak

asam glutamat yang dihasilkan sehingga rasa asin dalam kecap ikan semakin kuat.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain, maka aroma kecap ikan akan semakin

tajam akibat adanya senyawa turunan hasil hidrolisis protein.

Penampakan kecap ikan dipengaruhi oleh besar kecilnya api serta lamanya waktu

pemasakan.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka semakin tinggi pula tingkat salinitas

kecap ikan.

Faktor yang mempengaruhi kualitas kecap ikan, yaitu konsentrasi garam, konsentrasi

enzim, serta suhu dan lama fermentasi.

Semarang, 25 September 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Yusefta Clarencia R.A. Michelle Darmawan

13.70.0095

17

Page 19: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Astawan, M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Hirasa, K. & M. Takemara. (1998). Spice Science & Technology. Lion Corporation. Tokyo.

Isnawan, H.I., Setyahadi, dan Hadiwiyoto. (2001). Teknologi Pembuatan Kecap Asin secara Enzimatis Terkendali untuk Industri Skala Menengah dan Rumah Tangga. Pustaka Iptek, Jurnal Sains dan Teknologi BPPT, Indonesia, Vol. 3, No. 9 : 81-85.

Khamidah, Aniswatul dan Eliartati. (2012). Pengaruh Penambahan Gula Pasir Dan Gula Merah Terhadap Tingkat Kesukaan Dodol Nanas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Diakses pada tanggal 28 Maret 2015.

Komariyah dan Aries Indra Setiawan. (2009). Pengaruh Penambahain Berbagai Dosis Minyak Ikan yang Berbeda pada Pakan Buatan terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Patin (Pangasius Pangasius). Pena Akuatika Volume I No I April 2009. Fakultas Perikanan, Universitas Pekalongan. Pekalongan.

Lees, R. & E.B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W. Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.

Lopetcharat, K. & J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol 67, Nr. 2.

18

Page 20: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

McGee, H. (2004). On Food and Cooking : The Sains and Lore of The Kitchen. Scribner. New York.

Misgiyarta, S. dan Widowati. (2003). Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Indigenus. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian. Bogor.

Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic Action In Valamugil Seheli And Ilisha Melastoma For Fish Sauce Production. School of Industrial Technology, Universiti Sains Malaysia, Malaysia. As. J. Food Ag-Ind. 2011, 4(04), 247-254.

Olubunmi, Fakunle; Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. School of Agriculture Technology of the Federal University of Technology, Minna, Nigeria. New York Science Journal 2010;3(3).

Pavia, Donald L. (2005). Introduction to Organic Laboratory Techniques : A Small Scale Approach. Thomson Learning. United States.

Purwaningsih, S. dan Nurjanah. (1995). Pembuatan kecap Ikan secara Kombinasi Enzimatis dan Fermentasi dari Jeroan Ikan Tuna (Thunnus sp.). Buletin teknologi Hasil Pertanian, Vol. 1, No. 1.

Shahidi, F. & J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.

Silalahi, J. (2006). Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta.

Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University. Yogyakarta.

Sudarmadji, S; Bambang H; & Suhardi. (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Wibisono, M.S. (2004). Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB LEMIGAS.

Wibowo, Singgih. (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno, F. G. (1995). Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G., (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 21: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Witono, Yuli; Wiwik Siti Windrati, Iwan Taruna, Asmak Afriliana, Ahib Assadam. (2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate. Faculty of Agriculture Technology, University of Jember. Jember. American Journal of Food Science and Technology, 2014, Vol. 2, No. 6, 203-208. DOI:10.12691/ajfst-2-6-6.

Zaman, Muhammad Zukhrufuz; Fatimah Abu Bakar, Jinap Selamat, and Jamilah Bakar. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Faculty of Food Science and Technology, Universiti Putra Malaysia, Malaysia. Vol. 28, 2010, No. 5: 440–449 Czech J. Food Sci.

Zarei, Mehdi; Hossein Najafzadeh, Mohammad Hadi Eskandari, Marzieh Pashmforoush, Ala Enayati, Dariush Gharibi, Ali Fazlara. (2011). Chemical and Microbial Properties of Mahyaveh, A Traditional Iranian Fish Sauce. Faculty of Veterinary Medicine, Shahid Chamran University of Ahvaz, Iran.

Page 22: Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Laporan Sementara

6.2. Diagram Alir

6.3. Abstrak Jurnal

21