Top Banner
1. MATERI METODE 1.1. Materi Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih. Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah blender, pisau, botol, toples (ukuran 300 ml), panci, kain saring (ukuran 30x30) 2 helai, dan pengaduk kayu. 1.2. Metode 1 Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air Tulang dan kepala ikan dihancurkan
36

Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Dec 09, 2015

Download

Documents

laporan resmi kecap ikan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Materi

Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih. Alat yang digunakan dalam

praktikum kali ini adalah blender, pisau, botol, toples (ukuran 300 ml), panci, kain

saring (ukuran 30x30) 2 helai, dan pengaduk kayu.

1.2. Metode

1

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%

(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)

Tulang dan kepala ikan dihancurkan

Page 2: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi disaring

Page 3: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit

Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 1 butir gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Page 4: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Page 5: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dari tulang dan ekor ikan bawal dengan

penambahan enzim papain pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pembuatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain.

Kel Perlakuan Warna Rasa AromaSalinitas

(%)Penampakan

A1 Enzim papain 0,2% ++++ ++++ +++ - ++++A2 Enzim papain 0,4% ++++ +++++ +++ - ++++A3 Enzim papain 0,6% ++++ +++++ +++ - ++++A4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ - ++++A5 Enzim papain 1% ++++ ++++ +++++ - +++Keterangan:Warna: Rasa:+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin++++ : coklat gelap ++++ : asin+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin

Aroma: Penampakan+ : sangat tidak tajam + : sangat cair++ : kurang tajam ++ : cair+++ : agak tajam +++ : agak kental++++ : tajam ++++ : kental+++++ : sangat tajam +++++ : sangat kental

Pada tabel hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa penampakan dari semua kecap ikan

adalah kental, kecuali kecap ikan pada kelompok A5 yang memiliki penampakan agak

kental. Untuk semua kecap-kecap ikan tersebut memiliki unsur warna coklat yang sama

tiap-tiap kelompok yaitu coklat gelap. Dapat diketahui pula bahwa semua kecap ikan

yang dihasilkan memiliki aroma yang cenderung agak tajam, kecuali kelompok A4

dengan aroma agak tajam untuk kelompok A3 dan kelompok A4 aromanya kurang

tajam. Untuk rasa dari semua kecap ikan tersebut juga cenderung sangat asin dan untuk

kelompok A1 dan A4 dengan rasa asin.

5

Page 6: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Pada umumnya kecap ikan terbuat dari ikan-ikan kecil yang memiliki nilai jual rendah

seperti teri, selar, tembang, dan ikan-ikan air tawar, misalnya adalah sriwet dan nilam

(Astawan & Astawan, 1988). Namun pada praktikum pembuatan kecap ikan ini, yang

digunakan bukannya ikan seutuhnya, namun hanya bagian tulang dan ekornya saja.

Tulang ikan yang digunakan merupakan tulang ikan bawal. Menurut Eigenmann &

Kennedy (1903), ikan bawal merupakan ikan air tawar. Ikan ini dapat dikelompokan

sebagai ikan pemakan daging karena gigi-giginya yang tajam. Beliau menambahkan

bahwa pada 100 gr ikan bawal mengandung 0.4 mg zat besi, 0.7 gram lemak, 18.2 gram

protein, 44 mg kolesterol dan 84 gr kalori. Astawan & Astawan (1988) menyatakan

bahwa tulang ikan bawal mengandung protein sebesar 0.78%, sehingga tulang ikan dan

ekor ikan ini masih memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan

kecap ikan. Selain itu penggunaan tulang dan ekor ikan juga dapat mengurangi limbah

dan justru dapat meningkatkan nilai ekonomi dari limbah tersebut.

Kilinc et al (2006) berpendapat bahwa pada dasarnya, kecap ikan dihasilkan dari

campuran garam dan ikan, yang kemudian difermentasi, beliau menyatakan bahwa

proteolisis merupakan proses biokimia yang paling sering terjadi selama fermentasi

berlangsung. Ritthiruangdej & Suwonsichon (2006), menambahkan bahwa selama

fermentasi ikan, protein yang terkandung dalam ikan mengalami hidrolisis, dan

hidrolisis tersebut disebabkan oleh enzim protease melalui proses autolisis maupun oleh

aktivitas mikroorganisme. Menurut Fukami et al (2004) dalam Ritthiruangdej &

Suwonsichon (2006), dari proses hidrolisis tersebut menghasilkan aroma dan rasa yang

khas, dan karakteristik ini menjadi faktor yang dapat menentukan penerimaan kecap

ikan oleh konsumen, dan menurut Kanlayakrit & Boonpan (2007), karakteristik tersebut

biasanya dijadikan indikator untuk mengukur kualitas dari kecap ikan tersebut.

Sebagian aroma khas pada kecap ikan tersebut diakibatkan karena adanya asam lemak

volatil dengan berat molekul yang rendah pada format, asetat, propionat, isobutirat, n-

butirat, isovalerat, dan asam n-valerat tertentu (Dougan & Howard, 1975 yang diacu

dalam Kanlayakrit & Boonpan, 2007).Kilinc et al (2006) juga menambahkan bahwa

karakteristik sensori yang meliputi aroma dan rasa tersebut disebabkan karena adanya

6

Page 7: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

asam amino dan peptida yang dihasilkan dari degradasi protein selama proses

fermentasi. Kasma (1998) yang diacu dalam Olubunmi et al (2010) menyampaikan

bahwa biasanya kecap ikan terbuat dari ikan-ikan yang kecil yang memiliki nilai jual

rendah dan jarang dikonsumsi.Menurut Eyo (2011) yang diacu dalam Olubunmi et

al(2010), kandungan garam yang tinggi pada kecap ikan dapat mencegah pertumbuhan

dari bakteri patogen dan bakteri putrefactive (bakteri pemecah protein), sehingga dapat

memperpanjang umur simpan dari kecap ikan. Amano (1962) yang diacu dalam

Ritthiruangdej & Suwonsichon (2006), juga berpendapat bahwa kandungan nutrisi dari

kecap ikan terbatas, dikarenakan tingginya kandungan garam pada kecap ikan, namun

konsumsi yang rutin dari kecap ikan dapat menjadikannya sebagai sumber protein pada

beberapa negara dimana karbohidrat menjadi sember energi utama.

Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum kali ini adalah pertama-tama, sebanyak 50

gr tulang dan ekor ikan diblender. Penghancuran di sini bertujuan untuk memperluas

permukaan tulang dan ekor ikan, sehingga reaksi antara bahan baku tersebut dan bahan-

bahan lain yang akan di tambahkan akan menjadi lebih efisien dan lebih cepat pula

(Arpah, 1993). Saleh et al (1996) juga menambahkan bahwa dengan dilakukannya

penghancuran pada bahan baku ini, maka permukaan bahan baku akan menjadi semakin

luas, sehingga bahan baku tersebut dapat melepas komponen flavornya secara

maksimal.

Kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang digunakan menjadi wadah fermentasi

(toples) yang ditambahkan air sebanyak 250 ml. Lalu ditambahken dengan enzim

papain (kelompok A1: 0,2 %; kelompok A2: 0,4%; kelompok A3: 0,6%; kelompok A3:

0,8%; dan kelompok A4: 1%). Fungsi penambahan enzim ini yaitu untuk membantu

proses hidrolisis protein dan mempercepat proses fermentasi kecap ikan.Enzim papain

dapat diperoleh dari buah pepaya, getah pepaya, daun dan batang pepaya (Lisdiana &

Soemadi, 1997). Enzim papain merupakan enzim protease, dimana enzim ini berperan

untuk memecah molekul protein menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana

seperti peptida, asam amino, dan pepton (Winarno, 1995). Setelah itu, sampel

diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Menurut teori Yongsawatdigul et al (2007),

inkubasi yang paling baik dilakukan pada suhu 55oC, karena pada suhu tersebut dapat

Page 8: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

meningkatkan aktivitas proteolitik, sehingga asam amino, pepton dan peptida yang

dihasilkan akan semakin banyak, dan aroma akan menjadi semakin kuat.

Setelah diinkubasi, sampel disaring, dan filtrat yang didapatkan direbus sampai

mendidih. Kemudian pada saat perebusan, filtrat tersebut ditambahkan dengan 50 gr

bawang putih yang sudah dihaluskan, 50 gr garam, dan 1 butir gula kelapa yang sudah

dihancurkan. Proses perbusan berfungsi untuk menginaktivasi enzim papain yang

ditambahkan, karena menurut Sangjindayvong et al (2009) enzim papain akan

terdenaturasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar 61-81oC. Selain itu, perebusan yang disertai

dengan penambahan bumbu-bumbu ini bertujuan untuk melarutkan bumbu tersebut

secara sempurna, dan mempercepat reaksi bumbu-bumbu tersebut dalam memberikan

rasa, warna, dan aroma.

Penambahan bumbu-bumbu ini dilakukan untuk menambah cita rasa dan memberi

warna pada kecap ikan (Winarno et al, 1980). Penambahan garam dapat menjadi

penguat rasa dan memberikan rasa asin pada kecap ikan. Penambahan gula jawa juga

dapat menetralkan rasa asin yang berlebih serta memberikan warna dan aroma pada

kecap ikan (Kasmidjo, 1990). Dan menurut Desrosier & Desrosier (1977), bawang putih

berfungsi untuk memberikan aroma dan cita rasa pada kecap ikan (Desrosier &

Desrosier, 1977). Selain itu, penambahan garam, gula jawa dan bawang putih tersebut

juga dapat memberikan efek pengawetan terhadap kecap ikan, karena menurut

Desrosier& Desrosier (1977), garam dan gula dapat menurunkan kadar Aw dengan

mengikat molekul air bebas pada bahan kecap ikan yang ditambahkan, sehingga air

bebas yang tersedia pada kecap ikan tersebut akan berkurang. Kadar garam yang tinggi

dapat menyebabkan plasmolisis pada sel mikroorganisme, yaitu keluarnya cairan sel

dari sel mikroorganisme, sehingga mikroorganisme tersebut akan mati. Sedangkan pada

bawang putih sendiri mengandung senyawa antimikroba yang disebut dengan allicin

(Santoso, 1994).

Setelah mendidih dan sudah didinginkan, kecap ikan tersebut disaring dengan

menggunakan kain saring. Pendinginan dimaksudkan agar praktikan dapat dengan

mudah menyaring kecap ikan tersebut, jika penyaringan pada kondisi panas, maka akan

Page 9: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

menyebabkan penyaringan menjadi tidak efektif. Tujuan dilakukannya penyaringan ini

adalah untuk memisahkan residu bawang putih dan padatan-padatan lainnya dari kecap

ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyitno (1989) bahwa proses

penyaringan digunakan untuk memisahkan suatu campuran yang terdiri dari partikel

padat yang tidak dapat larut dan partikel cair. Proses penyaringan ini dapat dilakukan

dengan menggunakan membran, kain saring, kertas saring dan masih banyak lagi, alat

yang digunakan tersebut tergantung dari bahan yang akan disaring. Kemudian diamati

secara sensoris yang meliputi warna, rasa dan aroma, dan nilai salinitasnya diukur

dengan menggunakan refraktometer.Menurut Reynold & Richards (1996),

refraktometer adalah suatu alat yang dapat dugunakan untuk mengukur konsentrasi

padatan terlarut atau TDS (Total Dissolved Solid) berdasarkan indeks biasnya.

Hasil pengamatan dapat dilihat bahwa kecap ikan yang memiliki warna coklat gelap

pada semua perlakuan enzim papain dalam semua kelompok. Untuk rasa yang sangat

asin pada perlakuan enzim papain 0,4% dan 0,6% serta yang asin pada perlakuan enzim

papain 0,2%, 0,8% dan 1%, untuk aroma dihasilkan aroma kecap ikan agak tajam pada

perlakuan enzim papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6%. Sedangkan untuk aroma kurang tajam

terdapat pada perlakuan enzim papain 0,8%, kecuali pada perlakuan enzim papain 1%

dengan aroma sangat tajam, untuk penampakan kental pada semua perlakuan enzim

papain, kecuali pada perlakuan enzim papain 1% agak kental. Untuk salinitas tidak

diperoleh hasil.

Untuk pengamatan warna didapat hasil warna yang berbeda-beda tidak menunjukkan

peningkatan atau penurunan setelah diberi penambahan enzim papain. Hal ini tidak

sesuai dengan teori menurut Astawan & Astawan (1988) bahwa aktivitas enzim

proteolitik yang diberikan pada ikan akan membentuk warna coklat yang semakin gelap

dengan dengan menambahkan dalam jumlah yang banyak. Dapat dilihat juga bahwa

semua hasil kecap ikan menunjukkan hasil warna coklat gelap. Hal ini dapat

dikarenakan penambahan gula jawa yang akan membuat cairan kecap ikan menjadi

tambah coklat dan akibat pemanasan yang digunakan. Menurut Kasmidjo (1990) gula

jawa dapat juga memberikan warna coklat kepada kecap ikan. menurut Lees & Jackson

(1973) pemanasan akan menyebabkan adanya reaksi mailard, yaitu reaksi antara asam

Page 10: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

amino dari ikan dan gula pereduksi dari gula jawa dengan penggunaan suhu tinggi maka

akan menyebabkan warna coklat. Hasil yang berbeda dapat dikarenakan adanya

pemanasan yang kurang sesuai dengan yang dianjurkan, penambahan gula jawa yang

kurang, enzim proteolitik yang diatambahkan kurang sesuai, dan dapat diakibatkan

kesalahan dalam pengamatan.

Untuk pengamatan rasa didapat hasil yang menunjukkan peningkatan rasa asin sampai

penambahan enzim papain 0,6% dan setelah itu mengalami penurunan kembali. Untuk

rasa asin yang semakin meningkat dengan penambahan enzim papain tersebut sesuai

dengan pernyataan menurut Handayani, W., dkk (2007) bahwa enzim protease akan

menghidrolisis komponen protein menjadi lebih sederhana. Sehingga akan cepat

meningkatan pemecahan jika ditambahkan lebih banyak, dimana pemecahan protein

tersebut akan meningkatkan flavor yang terbentuk. Penambahan gula jawa menurut

Kasmidjo (1990) dapat menetralkan rasa asin yang berlebih dari garam.

Untuk hasil aroma didapat kebanyakan menghasilkan aroma yang agak tajam, namun

pada penambahan enzim papain 0,8% mengalami penurunan menjadi kurang tajam, dan

mengalami peningkatan menjadi sangat tajam pada penambahan enzim papain sebesar

1%. Hal ini dikarenakan menurut Winarno, et al. (1980) penambahan bumbu-bumbu

diatas dilakukan akan meningkatkan flavor dan cita rasa kecap ikan yang akan dibuat.

Salah satunya adalah bawang putih sendiri menurut Desrosier & Desrosier (1977)

berfungsi untuk memberikan aroma dan flavor pada kecap ikan. Sehingga seharusnya

semakin banyak enzim papain maka aroma yang terbentuk semakin tajam.

Untuk penampakan dapat dilihat bahwa nilainya secara garis besar menunjukkan kental

lalu mengalami penurunan menjadi agak kental pada penambahan enzim papain 1%..

Hal ini sesuai dengan teori Illanes(2008) bahwa penambahan enzim papain akan

menurunkan nilai susut masak daging, dengan menghidrolisis jaringan ikat protein

daging diantaranya kolagen daging, sehingga menurut Nowak(2011) dapat membuka

struktur mikro daging dengan terputusnya myofibril. Menurut Lawrie (1985) daya

mengikat air yang tinggi akan mengurangi terjadinya penyusutan selama daging

Page 11: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

dimasak. Hal ini akan membuat daging semakin basah. Sehingga semakin banyak enzim

papain seharusnya didapat kecap ikan yang lebih cair.

Untuk salinitas digunakan pengukuran dengan bantuan refraktometer, akan dihasilkan

jumlah konsentrasi. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa salinitas tidak

menunjukkan hasil sama sekali. Hal tersebut dapat terjadi karena pemapakan yang

menunjukkan agak kental hingga kental. Di mana telah dijelaskan sebelumnya semakin

banyak enzim papain maka tingkat keasinan akan semakin meningkat. Oleh karena itu

hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa salinitas yang akan diperoleh semakin tinggi

dengan semakin banyaknya pemberian enzim papain. Tetapi pada hasil dihasilkan

berbeda dengan teori hal itu dikarenakan adanya pemanasan yang kurang sesuai dengan

yang dianjurkan, penambahan garam yang kurang, enzim proteolitik yang diatambahkan

kurang sesuai, dapat diakibatkan kesalahan dalam pengamatan, dan pembacaan

refraktometer yang kurang tepat.

Pada jurnal yang berjudul “Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce

Products from “Bibisan” Fish Hydrolizate” membahas tentang kecap ikan yang

berkualitas dapat diproduksi dari hidrolisat ikan bibisan. Pembuatan kecap ikan dari

bahan hidrolisat ikan bibisan dapat dilakuka dalam waktu yang singkat. Hal tersebut

dikarenakan proses fermentasi yang digunakan tidak melalui proses fermentasi pada

umumnya. Produksi kecap ikan berbahan dasar ikan bibisan dapat berjalan dalam

waktu yang singkat karena kombinasi dari biduri dan enzim papain. Secara

keseluruhan, penilaian karakteristik dan sesnsori kecap ikan dapat diterima untuk

dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan praktikum yang juga menggunakan fermentasi

sebagai salah satu langkah proses pembuatan kecap ikan (Witono, et. al., 2014).

Dalam jurnal yang berjudul “Chemical and microbial properties of mahyaveh, a

traditional Iranian fish sauce” membahas mengenai seperti yang diketahui bersama,

penelitian ini merupakan laporan kimia dan mikrobiologi dari Iran. pH sampel

mahyaveh dari berbagai lokasi berada di kisaran 4,89 sampai 7,55 dan konsentras NaCl

pada kisaran 7,48 hingga 17,41%. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa TVB dalam

Page 12: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

sampel yang diuji adalah 3.098 mg/kg. Histamin, dengan rata-rata keseluruhan 2.662

mg/kg, tidak menjadi bagian dari amina biogenik kecap ikan. Tingginya kandungan

histamin dapat meningkat ke tingkatan jumlah bakteri kecuali enterobactericeae dan

asam lemak dalam bakteri terutama enterobactericeae. Hal tersebut berkaitan dengan

praktikum, di mana kecap ikan yang dibuat berasal dari ikan dan menggunakan proses

kimia (Zarei, Mehdi, et. al., 2012).

Jurnal berjudul “Occurence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish

Sauce” membahas tentang kandungan histamin pada sampel kecap ikan pada level 50

ppm. Produk tergolong aman semenjak dikonsumsi. Amina pada tingkat yang tinggi

menujukkan produk dalam kondisi yang higienis pada saat fermentasi. Dalam

penelitian, ditemukan bahwa dengan bakteri dalam kecap ikan, bakteri tersebut dapat

dijadikan amina biogenik, histamin sederhana, dan dapat mendegradasi tiga amina.

Oksidasi amina dapat digunakan untuk menyeleksi bakteria terutama untuk mengurangi

akumulasi amina pada kecap ikan (Zaman, Muhammad Zukhrufuz, et. al., 2010).

Pada jurnal yang berjudul “Preliminary Production of Sauce From Clupeids” membahas

mengenai kecap ikan diproduksi dengan cara melumuri tubuh ikan dengan garam dan

difermentasi selama 12 minggu. Karaktristik kimiawi menjadi mirip dengan kecap ikan

yang diproduksi Malaysia dan Korea. pH meningkat tetapi semua kecap ikan yang

dihasilkan berada pada kisaran pH 6,8 sampai 7,6. Penggunaan garam dalam proses

pembuatan kecap ikan juga dilakukan dalam praktikum kali ini (Olubunmi, Fakunle, et.

al., 2010).

Jurnal yang berjudul “Proteolytic action in Valamugil sehelli and Ilisha melastoma for

fish sauce production” membahas tentang berbagai pengaruh jenis ikan yang digunakan

sebagai bahan dasar pembuatan kecap ikan. Berdasarkan pada kandungan biokimianya,

kecap ikan yang terbuat dari I. Melastoma memiliki kandungan protein terlarut dan

menajdi bahan yang baik untuk memproduksi kecap ikan. Di samping itu, V. Seheli

dapat memberikan alternatif bahan mentah untuk produksi kecap ikan dalam skala besar

(Afiza, T. S., et. al., 2011).

Page 13: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kecap ikan terbuat dari proses fermentasi ikan.

Kecap ikan dapat dibuat dari tulang dan ekor ikan.

Kecap ikan merupakan cairan berwarna coklat.

Fermentasi kecap ikan secara enzimatis dilakukan dengan menambahkan enzim

protease.

Enzim protease dapat diperoleh dari nanas dan getah atau daun pepaya.

Penambahan gula jawa dimaksudkan untuk menetralkan rasa asin dan memberi

warna serta memerikan aroma.

Penambahan bawang putih dimaksudkan untuk memberikan rasa dan aroma.

Gula dan garam dapat mengikat molekul air bebas pada kecap ikan.

Bawang putih mengawetkan kecap ikan karena adanya senyawa allicin yang bersifat

antimikroba.

Penghancuran bahan dapat memperluas kontak permukaan bahan, sehingga reaksi

antara bahan dan bahan yang ditambahkan akan menjadi lebih efisien.

Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan, maka aroma yang

dihasilkan akan semakin tajam.

Aroma dan rasa kecap ikan dijadikan sebagai indikator untuk menentukan kualitas

dari kecap ikan tersebut.

Kecap ikan dengan fermentasi secara enzimatis memiliki kandungan protein yang

lebih besar.

Suhu inkubasi yang paling baik dilakukan pada suhu 55oC karena pada suhu

tersebut, enzim protease dapat melakukan aktivitas proteolitik dengan optimal.

Semarang, 24 September 2015

Praktikan, Asisten dosen,

- Michelle D.

Theo Rony Yuliarto

13.70.0195

13

Page 14: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

5. DAFTAR PUSTAKA

Amano, K. 1962. The influence of fermentation on the nutritive value of fish with special reference to fermented fish products of South- East Asia, pp. 180- 197. In E. Heen and R. Kreuzer (eds.). Fish in Nutrition. London: Fishing News (Books).

Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Astawan, M.W. & M.Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dougan, J. and G.E. Howard. 1975. Some flavoring constituents of fermented fish sauces. J. Sci. Food Agric. 26: 887-894.

Eyo, A. A. (2001). Fish Processing Technology in the tropics. University ofIlorin, Press. Pp 403.

F., Ng Y., Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish sauce production. 2011. Malaysia. Diakses pada tanggal 24 September 2015.

Fukami K, Satomi M, Funatsu Y, Kawasaki K,Watabe S (2004)Characterization and distribution of Staphylococcus sp. Implicated for improvement of fish sauce odor. Fish Sci 70:916–923

Handayani, W., dkk. 2007. Pengaruh Variasi Konsentrasi Sodium Klorida terhadap Hidrolisis Protein Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) oleh Protease Ekstrak Nanas (Ananas comosus [L.] Merr. var. Dulcis). Jr. Teknologi Proses, 6 (1): 1-9.

Illanes, A., 2008. Enzyme Production. In: Enzyme Biocatalysis: Principles and Applications: Enzyme Production. A. Illanes, Ed. Springer Pub., Chile. Page: 57-106.

Kanlayakrit, Werasit & Boonpan, Anan. (2007). Screening of Halophilic Lipase-Producing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality Improvement. (Nat. Sci.) 41: 576 – 585. Thailand.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Page 15: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Kasma Loha-unchit copyright (c) 1998 Kasma Loha Unchit.

Kilinc, Berna; Sukran Cakli; Sebnem Tolasa; Tolga Dincer. (2006). Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing. Eur Food Res Technol (2006) 222: 604–613. Turkey.

Lawrie, R.A. 1985. Meat Science.4th Ed. Pergamon Press, Oxford, New York.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W.Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.

Nowak, D., 2011. Enzymes in Tenderization of Meat: The System of Calpains and Other Systems: A Review. Pol. J. Food Nutr.Sci.61(4): 231-237.

Olubunmi, Fakunle; Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal. Nigeria. http://sciencepub.com. Diakses pada tanggal 24 September 2015.

Pitiporn Ritthiruangdej and Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Department of Product Development, Faculty of Agro-Industry, Kasetsart Unviversity, Bangkok 10900, Thailand.

Reynold, T.D and Richards, P.A. 1996. Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd edition. PWS Publishing Company. Boston.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).

Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Suyitno.(1989). PetunjukLaboratoriumRekayasaPangan. PusatAntarUniversitas.

Page 16: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

Winarno, F. G ; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Witono, Yuli, et. al. Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from “Bibisan” Fish Hydrolizate. 2014. Indonesia. Diakses pada tanggal 24 September 2015.

Yongsawatdigul, J; S. Rotdong; and N. Raksakulthai. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauce Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science – Vol. 72, Nr. 9. Thailand.

Zahrei, Mehdi, et. al. Chemical and microbial properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. 2012. Iran. Diakses pada tanggal 24 September 2015.

Zaman, Muhammad Zukhrufuz, et. al. Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. 2010. Malaysia. Diakses pada tanggal 24 September 2015.

Page 17: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan Salinitas

Rumus:

Kelompok E1

Kelompok E2

Kelompok E3

Kelompok E4

Kelompok E5

Kelompok E6

17

Page 18: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

6.2. Diagram Alir

6.3. Laporan Sementara

Page 19: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

Page 20: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Page 21: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21

Page 22: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

22

Page 23: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23

Page 24: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

24

Page 25: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

25

Page 26: Kecap Ikan_Theo Rony_13.70.0195_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

26