Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pertanyaan tentang kebijakan adalah pertanyaan sepanjang masa karena kebijakan tetap ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama. Beberapa ciri dari negara yaitu merdeka atau mempunyai kedaulatan, mempunyai wilayah, rakyat dan pemerintahan. Serta satu hal lagi yaitu pengakuan dari dunia internasional yang diwakili oleh PBB. Kehidupan bersama yang kita batasi sebagai negara secara absolut mengatur apa dan siapa yang ada didalamnya dan secara relatif mereka yang menjadi bagian dari negara tetapi tidak berada di dalam negara dan mereka yang berhubungan dengan negara tersebut. Sebuah kehidupan bersama harus diatur. Tujuannya adalah supaya satu dengan yang lainnya tidak saling merugikan. Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan. B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami konsep kebijakan secara menyeluruh serta peranannya dalam kegiatan kesehatan masyarakat. 2. Tujuan Khusus Dengan penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami : a. Pengertian Kebijakan b. Tingkatan dalam Kebijakan c. Peran dan Fungsi Kebijakan Publik
57

KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

Dec 26, 2015

Download

Documents

disusun untuk memenuhi tugas administrasi dan kebijakan kesehatan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pertanyaan tentang kebijakan adalah pertanyaan sepanjang masa karena kebijakan tetap

ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama.

Beberapa ciri dari negara yaitu merdeka atau mempunyai kedaulatan, mempunyai

wilayah, rakyat dan pemerintahan. Serta satu hal lagi yaitu pengakuan dari dunia

internasional yang diwakili oleh PBB.

Kehidupan bersama yang kita batasi sebagai negara secara absolut mengatur apa dan

siapa yang ada didalamnya dan secara relatif mereka yang menjadi bagian dari negara

tetapi tidak berada di dalam negara dan mereka yang berhubungan dengan negara

tersebut.

Sebuah kehidupan bersama harus diatur. Tujuannya adalah supaya satu dengan yang

lainnya tidak saling merugikan. Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami

sebagai kebijakan.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami konsep

kebijakan secara menyeluruh serta peranannya dalam kegiatan kesehatan masyarakat.

2. Tujuan Khusus

Dengan penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami :

a. Pengertian Kebijakan

b. Tingkatan dalam Kebijakan

c. Peran dan Fungsi Kebijakan Publik

Page 2: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

2

d. Masalah Utama dalam Bidang Kesehatan

e. Isu Kebijakan

f. Siklus Kebijakan

g. Pendekatan dalam Analisis Kebijakan

C. MANFAAT

Penulisan makalah ini menghasilkan manfaat bagi mahasiswa yaitu sebagai berikut.

1. Menambah pemahaman mengenai konsep kebijakan sebagai dasar pemahaman mata

kuliah Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

2. Meningkatkan minat baca serta mencari referensi sebagai dasar pembuatan makalah.

3. Melatih kerjasama tim dalam menyusun dan melatih keterampilan menulis serta

pembuatan makalah.

Page 3: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN (POLICY)

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata ―policy‖ berasal dari bahasa inggris yang

artinya ―a course or principle of action adopted or proposed by a government, party,

business, or individual” yaitu suatu prinsip tindakan yang diajukan oleh pemerintah,

organisasi, partai atau individu.

PBB mendefinisikan kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman tersebut

dapat sederhana atau kompleks, umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas,

longgar atau terperinci, publik atau privat, kualitatif atau kuantitatif.

Sementara Menurut James E. Anderson (1978) kebijakan adalah perilaku dari aktor

(pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang

kegiatan tertentu.

Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang

pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai

tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau

sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu.

Kebijakan dan politik tidak dapat dipisahkan. Pengambilan keputusan mengenai tujuan

dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan

skala prioritas. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan publik

(public Policy) yang menyangkut pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan

publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat

pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1) bahwa kebijakan selalu

Page 4: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

4

mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2)

bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat

pemerintah, (3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, (4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa

bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam

arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5) bahwa

kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan

bersifat memaksa (otoritatif). Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan

bahwa kebijakan publik selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan

oleh pemerintah.

Pernyataan bahwa kebijakan publik terkait dengan pemerintah tidak hanya disampaikan

oleh James E. Anderson. Thomas R. Dye menyatakan ―Public policy is whatever

governments choose to do or not to do‖ (kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan

dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah). Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau

tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas

diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato

pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan

pemerintah.

Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan penggunaan

istilah kebijakan seperti dalam kalimat ―Kebijakan Ekonomi Amerika‖, ―Kebijakan

Minyak Arab Saudi‖, atau ―Kebijakan Pertanian Eropa Barat‖. Menurutnya,

istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang lebih spesifik dalam arti tidak

hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam lingkup makro (baca: negara). Contoh yang

dikemukakan James E. Anderson seperti pada penggunaan dalam kalimat ―Kebijakan

Kota Chicago dalam Polusi di Danau Michigan dari Milwaukee, Wisconsin‖.

Page 5: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

5

Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia memberikan

pengertian kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau

berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

Kebijakan publik yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-tindakan

yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi

dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut

juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir, pengertian Irfan

Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi

oleh suatu kebijakan dari pemerintah.

James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa yang

ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan di lapangan.

Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah keputusan sederhana

untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu, namun kebijakan harus dilihat

sebagai sebuah proses. Untuk itulah pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan

dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori.

Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands),

keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan

(policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak

kebijakan (policy outcomes).

Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor

swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem

politik. Keputusan kebijakan dipengertiankan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat

oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi

kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Sedangkan pernyataan-pernyataan kebijakan

Page 6: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

6

adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Hasil-

hasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu hal-hal yang

sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan

kebijakan. Adapun dampak-dampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi

masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau

tidak adanya tindakan pemerintah.

Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada

tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas

publik.Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat

olehotoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang

banyak,umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat

banyak.Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang

di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara

modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan

oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.

Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan

publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain

menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan

serta mencapai amanat konstitusi.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan

serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan

masyarakat.

Page 7: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

7

B. UNSUR-UNSUR DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan publik merupakan suatu sistem ilmu yang terdiri dari subsistem, dan dalam

kebijakan publik terdapat dua (2) perspektif, yaitu perspektif proses kebijakan dan

struktur kebijakan. Dari perspektif proses kebijakan terdapat tahapan identifikasi

masalah, tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan.

sedangkan pada perspektif struktur, terdapat lima (5) unsure kebijakan, sebagai berikut :

1. Tujuan kebijakan

Kebijakan yang baik harus mempunyai tujuan yang baik. Tujuan yang baik tersebut

sekurang-kurangnya harus memenuhi 4 kriteria sebagai berikut :

a. Apa yang diinginkan untuk dicapai

b. Bersifat rasional atau realistis (rational or realistic)

c. Jelas (clear)

d. Berorientasi kedepan (future oriented)

2. Masalah

Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam

menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh

proses kebijakan. Jadi kalau suatu masalah telah dapat diidentifikasi secara tepat,

maka ini berarti sebagian pekerjaan dapat dianggap dikuasai. Sebab, apabila keliru

mengidentifikasi masalah, maka orang terperosok pada anggapan bahwa sebuah

gejala sebagai masalah. Sebagai contoh, kekeliruan mendiagnosa sakit panas pada

tubuh pasien antara orang awam dengan dokter. Demikian juga kekeliruan dalam

merumuskan masalah antara urbanisasi dengan tingkat kriminalitas.

3. Tuntutan (demand)

Secara umum sudah diketahui, bahwa partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat

maju. Partisipasi itu dapat berbentuk dukungan, tunttan dan tantangan atau kritik.

Page 8: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

8

Seperti halnya prtisipasi pada umumnya, tuntutan dapat bersifat moderat atau radikal.

Kedua sifat ini tergantungtingkat urgensinya, gerahnya masyarakat dan sikap

pemerintah dalam menggapai tuntutan itu. Tuntutan terjadi karena salah satu dari 2

sebab sebagai berikut :

a. Karena terabaikannya kepentigan suatu golongan dalam proses kebijakan ,

sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah dirasakan tidak memenuhi atau

merugikan kepentingan mereka.

b. Karena munculnya kebutuhan baru setelah tujuan tercapai atau suatu masalah

terpecahkan.

4. Dampak (Impact)

Dalam ekonomi, dampak ganda disebut multiplier effect. Misalnya kebijakan dalam

investasi, perpajakan, atau pengeluaran pemerintah untuk membiayai program rutin

atau pembangunan dan sebagainya. Tindakan kebijakan itu membawa pengaruh pada

pertambahan atau pengurangan yang berlipat ganda atas pertambahan pendapatan

masyarakat secara menyeluruh.

Multiplier effect juga dapat terjadi pada bidang social dan politik baik positif maupun

negative. Setiap kebijakan yang bersifat positif ataupun negative dapat berdampak

positif atau negative pula.

5. Sarana (Policy Instrument)

Suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan sarana dimaksud. Sarana

tersebut antara lain berupa kekuasaan, insentif,pengembangan kemampuan, simbolis

dan perubahan kebijakan itu sendiri. Misalnya menghapus becak dan rumah gubuk di

DKI Jakarta menggunakan sarana kekuasaan.

William N. Dunn, menambahkan unsur-unsur didalam kebjakan publik, yaitu:

Page 9: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

9

1. Nilai Kebijakan (Policy Value)

Setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk

menciptakan tatanilai baru atau norma baru dalam organisasi. Seringkali nilai yang

ada di masyarakat atau anggota organisasi berbeda dengan nilai yang ada di

pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi dan komunikasi yang intens pada saat

merumuskan kebijakan.

2. Siklus kebijakan (Policy cycle)

Proses penetapan kebijakan sebenarnya adalah sebuah proses yang siklis dan bersifat

kontinum, yang terdiri atas tiga tahap:

1) Perumusan kebijakan (Policy Formulation)

2) Penerapan kebijakan (Policy Implementation)

3) Evaluasi kebijakan (Policy Review)

Ketiga tahap atau proses dalam siklus tersebut saling berhubungan dan saling

tergantung, kompleks serta tidak linear, yang ketiganya disebut sebagai Policy

Analysis.

3. Pendekatan dalam Kebijakan

Pada setiap tahap siklus kebijakan perlu disertai dengan penerapan pendekatan

(approaches) yang sesuai. Pada tahap formulasi, pendekatan yang banyak

dipergunakan adalah pendekatan normatif, valuatif, prediktif ataupun empirik. Pada

tahap implementasi banyak menggunakan pendekatan struktural (organisasional)

ataupun pendekatan manajerial. Sedangkan tahap evaluasi menggunakan pendekatan

yang sama dengan tahap formulasi. Pemilihan pendekatan yang digunakan sangat

menentukan tingkat efektivitas dan keberhasilan sebuah kebijakan.

Page 10: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

10

C. KRITERIA KEBIJAKAN PUBLIK

Dalam mengambil suatu kebijakan, ada beberapa pilihan yang harus dipertimbangkan

agar kebijakan itu ada manfaatnya atau mendapat respons positif dari masyarakat luas.

Dalam mengambil kebijakan publik ada 6 (enam) kriteria yang harus diperhatikan,

sebagai berikut :

1. Effectiveness (evektifitas), yang mengukur apakah suatu alternatif sasaran yang

dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang

diinginkan. Misalnya, apakah deregulasi investasi dapat meningkatka pertumbuhan

ekonomi dan memperluas kesempatan kerja.

2. Efficiency (efisiensi), yang selalu menjadi tolok ukur adalah bidang keuangan.

Misalnya dalam mengukur biaya per unit seperti besarnya biaya per meter bujur

sangkar sebuah bangunan, besarnya biaya per kubik air dalam suatu irigasi dan lain-

lain. Dibandingkan dengan efektifitas yang berorientasi kepada kualitas maka

efisiensi lebih berorientasi pada kuantitatif.

3. Adequacy (cukup), yaitu kriteria yang berkaitan dengan variasi antarsumberdaya dan

tujuan yang ingin dicapai :

a Pencapaian sasaran tertentu dengan biaya tertentu

b Pencapaian salah satu diantara banyak sasaran dengan biaya tetap

c Pencapaian tujuan tertentu dengan biaya yang dapat berubah

d Pencapaian salah satu diantara banyak sasaran dengan biaya yang dapat berubah

4. Equity (adil), yaituuntuk mengukur suatu strategi kebijakan yang berhubungan

dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara

berbagai pihak dalam masyarakat. Misalnya keadilan dalam pemerataan

pembangunan diseluruh indonesia.

Page 11: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

11

5. Responsiveness (terjawab), strategi kebijakan dapat memenuhi kebutuhan suatu

golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat. Misalnya, kebijakan

pembangunan Indonesia Daerah Tertinggal (IDT) untuk menjawab agar

pembangunan diwilayah IDT menyejahterakan masyarakat dimana masyarakat kota

lebih dahulu menikmati, baik proses maupun hasil pembangunan.

6. Approriatness (tepat), yaitu kombinasidari kriteria diatas yang saling mendukung

atau ada kriteria yang cocok tapi tidak untuk kriteria lain tetapi akhirnya harus

dilakukan dalam rangka terwujudnya suatu kebijakan pilihan terakhir. Misalnya,

kebijakan menaikkan BBM secara adil tidak terakomodasi tetapi dari sudut efficiency

sangat bermanfaat.

D. BERBAGAI TINGKAT DAN CONTOH KEBIJAKAN

Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan : kebijakan umum,

kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.

1. Kebijakan umum

Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk

pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun bersifat negatif yang meliputi

keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Suatu hal yang perlu diingat

adalah pengertian umum di sini bersifat relatif. Maksudnya, untuk wilayah negara,

kebijakan umum mengambil bentuk undang-undang atau keputusan presiden dan

sebagainya. Sementara untuk suatu provinsi, selain dari peraturan dan kebijakan

yang di ambil pada tingkat pusat juga ada keputusan gubernur atau peraturan daerah

yang diputuskan oleh DPRD.

Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi pedoman bagi tingkatan kebijakan di

bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi.

Page 12: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

12

a. Cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan wawasannya. Artinya, kebijakan itu

tidak hanya meliputi dan ditujukan pada aspek tertentu atau sektor tertentu.

b. Tidak berjangka pendek. Masa berlakunya atau tujuan yang ingin dicapai dengan

kebijakan tersebut berada dalam jangka panjang ataupun tidak mempunyai batas

waktu tertentu. Karena itu tujuan yang digambarkan sebagai kebijakan sering kali

dianggap orang tidak jelas. Istilah ―tidak jelas‖ ini tidak tepat. Tujuan jangka

panjang lebih dapat disebut ―samar-samar‖ karena gambarannya yang bersifat

umum. Keadaan ini hampir dapat disamakan dengan penglihatan kita bila melihat

seorang wanita cantik dari jarak dua kilometer. Sosoknya tidak akan terlihat

dengan jelas. Kecantikannya hanya tergambar secara umum dalam bentuk

keseluruhan. Gambarannya jelas berada dari penglihatan dalam jarak lima puluh

meter. Bahkan dapat dikatakan aneh kalau dalam jarak dua kilometer dia terlihat

dengan jelas. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk

menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusanya secara teknis.

Rumusan yang demikian akan menghadapi kekakuan dalam perubahan waktu

jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan dalam

wilayah-wilayah kecil yang berbeda.

c. Strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Seperti halnya pada

pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga bersifat relatif. Sesuatu

yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten mungkin dianggap teknis atau

operasional untuk tingkat provinsi dan sangat operasional dalam pandangan

tingkat nasional. Namun, sekalipun suatu kebijakan bersifat umum, tidak berarti

kebijakan tersebut bersifat sederhana. Makin umum suatu kebijakan, makin

kompleks dan dinamis kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena pada tingkat

kebijakan umum banyak aspek yang terlibat, banyak dimensi ilmu yang

Page 13: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

13

diperlukan untuk menganalisisnya dan banyak pihak yang terkait. Sebaliknya

semakin teknis suatu kebijakan, semakin tidak kompleks kebijakan itu.

2. Kebijakan pelaksanaan

Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk

tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang, atau

keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan keputusan presiden adalah

contoh dari kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat provinsi, keputusan bupati atau

keputusan seorang kepala dinas yang menjabarkan keputusan gubernur atau

peraturan daerah bisa jadi suatu kebijakan pelaksanaan.

3. Kebijakan teknis

kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan

pelaksanaan itu. Secara umum dapat disebutkan bahwa kebijakan umum adalah

kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan tingkat ke dua,

dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ke tiga atau yang terbawah.

Lembaga Administrasi Negara (1997), mengemukakan tingkatan dalam kebijakan publik

sebagai berikut:

1. Lingkup nasional

a. Kebijakan nasional

Kebijakan Nasional adalah adalah kebijakan negara yang bersifat fundamental

dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional/negara sebagaimana tertera dalam

Pembukaan UUD 1945.

Yang berwenang menetapkan kebijakan nasional adalah MPR, Presiden, dan

DPR.

Kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat

Page 14: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

14

berbentuk: UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (PERPU).

b. Kebijakan umum

Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden sebagai pelaksanaan UUD, TAP

MPR, UU,-untuk mencapai tujuan nasional. Yang berwenang menetapkan

kebijakan umum adalah Presiden.

Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk: Peraturan Pemerintah (PP),

Keputusan Presiden (KEPPRES), Instruksi Presiden (INPRES).

c. Kebijakan pelaksanaan

Kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan penjabaran dari kebijakan

umumsebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Yang berwenang

menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah menteri/pejabat setingkat menteri dan

pimpinan LPND.Kebijakan pelaksanaan yang tertulis dapat berbentuk Peraturan,

Keputusan, Instruksi pejabat tersebut di atas.

2. Lingkup wilayah daerah

a. Kebijakan umum

Kebijakan umum pada lingkup Daerah adalah kebijakan pemerintah daerah

sebagai pelaksanaan azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah

Tangga Daerah.

Yang berwenang menetapkan kebijakan umum di Daerah Provinsi adalah

Gubernur dan DPRD Provinsi. Pada Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh

Bupati, Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan umum pada tingkat

Daerah dapat berbentuk Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi dan PERDA

Kabupaten/Kota.

Page 15: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

15

b. Kebijakan pelaksanaan

Kebijakan pelaksanaan pada lingkup Wilayah/Daerah ada 3 macam:

1) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi

pelaksanaan PERDA;

2) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan

kebijakan nasional di Daerah;

3) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind)

merupakan pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di Daerah yang

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah:

1) Dalam rangka desentralisasi adaiah Gubernur/ Bupati/Walikota

2) Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur/ Bupati/Walikota

3) Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/ Bupati/Walikota

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan berupa

Keputusan-keputusan dan Instruksi Gubernur/Bupati/Walikota.

Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk Keputusan

Gubernur/Bupati/Walikota.

Sementara tingkatan kebijakan berdasarakan sifat, antara lain :

1. Tingkat Makro

Kebijakan Makro melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan para pemimpin

pemerintah umumnya dalam pembentukan kebijakan publik. Kebijakan Makro

merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh negeri (nasional). Misalnya

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Kesehatan, dan

lainnya. Kebijakan Makro melibatkan komunitas secara keseluruhan dan para

pemimpin pemerintah daerah pada umumnya dalam lingkup untuk kebijakan publik.

Page 16: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

16

Partisipan di area kebijakan makro termasuk presiden, eksekutif, legislatif, media

komunikasi, juru bicara kelompok, dan lainnya.

Contoh Kebijakan Makro dalam bidang kesehatan adalah Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MenKes/Per/X/2010 tentang Ijin dan

Penyelenggaraan Praktik Bidan. Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia

adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945: merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik

Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: merupakan

putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan

rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.

3) Undang-Undang: dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden

untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

5) Peraturan Pemerintah: dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah

undang-undang.

Keputusan Presiden: bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi

dan tugasnya berupa pengaturan.

2. Tingkat messo

Kebijakan Meso biasanya berfokus pada kebijakan tertentu atau area fungsional,

seperti angkutan udara niaga, kegiatan perluasan pertanian, pembangunan dermaga

dan sungai, atau pemberian hak paten. Biasanya mencakup sarana oleh swasta

maupun pemerintah pada tingkat setempat. Target pelaksanaan dari kebijakan meso

dapat digunakan oleh umum atau perseorangan, misalnya : untuk memperkuat

Page 17: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

17

dukungan dalam lingkungan bisnis dan untuk mengubah bentuk struktural suatu

otonomi daerah. Terbentuknya kebijakan Meso ini disebabkan tidak semua orang

peduli terhadap kebijakan publik yang telah ada, banyak masyarakat yang hanya

tertarik pada satu bidang saja misalnya pejabat atau warga negara yang benar-benar

tertarik dalam kebijakan pelayaran maritim mungkin memiliki minat yang kecil atau

bahkan tidak ada dalam kebijakan kesehatan.

Contoh dari Kebijakan Meso dalam bidang kesehatan adalah Peraturan Daerah Kota

Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan

Terbatas Merokok. Contoh di atas membuktikan bahwa Kebijakan Meso pada suatu

daerah memiliki kebijakan yang berbeda.

3. Tingkat mikro

Kebijakan mikro lebih melibatkan upaya yang dilakukan oleh individu tertentu, suatu

perusahaan, atau komunitas tertentu yang hanya bertujuan untuk medapatkan

keuntungan bagi pihak mereka sendiri. Kebijakan mikro yang menjadi kompetensi

pada umumnya pelaku bisnis swasta, biasanya mencakup strategi untuk peningkatan

produktivitas manajerial, pengembangan mutu Sumber Daya Manusia (SDM), dan

jejaringan kerja (networking).Dalam suatu kebijakan mikro, pihak-pihak yang

bersangkutan dalam suatu instansi tertentu cenderung memiliki peraturan-peraturan

atau undang-undang pribadi tanpa campur tangan dari pemerintah. Suatu perusahaan

ingin keputusan yang menguntungkan bagi perusahaanya sendiri, bagi beberapa pihak

dalam kebijakn mikro ini, tindakan dan keputusan pemerintah tidak begitu

diperhatikan selama campur tangan dari pemerintah tersebut mendatangkan kerugian

bagi penganut kebijakan mikro.

Contoh kebijakan mikro adalah penerapan kebijakan dalam Fakutas Kesehatan

Mayarakat tentang Tatacara berpakaian yang sopan tidak etat dan bersepatu dalam

Page 18: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

18

lingkup fakultas. Hal ini dikategorikan sebagai Kebijakan Mikro karena peraturan

tersebut hanya berlaku dalam lingkup organisasi (FKM UNAIR).

E. PERAN DAN FUNGSI KEBIJAKAN PUBLIK

Menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn, terdapat sepuluh macam peran

kebijakan, yaitu:

1. Policy as a Label for a Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label atau

Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah)

Penggunaan istilah kebijakan paling sering kita jumpai adalah dalam konteks

pernyataan-pernyataan umum mengenai kebijakan ekonomi (economic policy)

pemerintah., kebijakan social (social policy) pemerintan atau kebijakan luar negri

(foreign policy) pemerintah. Dalam lingkup label yang masih umumini kita masih

dapat menemukan hal-hal lebih spesifik yang mengacu kepada kabijakan pemerintah

tersebut. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Misalnya, dalam lingkup

kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia, ada kebijakan imbal dagang dengan

Negara-negara di timor tengah, kebijakan memberikan tax holiday kepada investor

asing, kebijakan penghematan energy, kebijakan penangulangan kemiskinan

perkotaan, kebijakan penigkatan ekspor non migas dan kebijakan privatisasi badan

usaha milik Negara (BUMN)

Dalam lingkup kebijakan social, misalnya ada kebijakan memberikan vaksin polio

secara gratis bagi ribuan anak dari kelangan keluarga miskin, pemberian beras untuk

keluarga miskin (raskin) atau kebijakan pemberian kredit murah untuk perumahan

rakyat dan lain sebagainya.

Konsep lain yang meski lebih abstrak sifatnya, namun bermanfaat adalah yang

disebut ruang kebijakan (policy space). Konsep ini dapat kita pergunakan untuk

menggambarkan bagaiamana suatu ruang kebijakan tertentu cenderung semakin

Page 19: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

19

padat sepanjang tahun, yang ditandai dengan semakin gencarnya campur tangan

pemerintah dan semakin kompleksnya interaksi antar instansi pemerintah yang

terlibat didalamnya. Sebaliknya, konsep itu juga dapat kita pakai untuk

menggambarkan betapa pada ruang kebijakan tertentu masih relative kosong dari

campur tangan pemerintah.

2. Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of Affairs

(Kebijakan sebagai Suatu Pernyataan Mengenai Tujuan Umum atau Keadaan

Tertentu yang Dikehendaki)

Istilah kebijakan kerapkali juga dipakai untuk menunjukkan adanya pernyataan-

pernyataan kehendak ( keinginan ) pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari

kegiatan-kegiatan yang dilakukannya dalam suatu bidang tertentu, atau mengenai

keadaan umum yang diharapkan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu.

Beberapa contoh mengenai pernyataan kehendak dari pemerintah tersebut misalnya,

keinginan pemerintah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan pancasila, keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas

pendidikan, keinginan pemerintah untuk meningkatkan swasembada pangan,

menciptakan disiplin nasional, dan keinginan pemerintah untuk memberantas KKN.

Memang sebagai sebuah pernyataan kehendak, kosep kebijakan dalam pengertian

seperti itu jelas belum ―membumi‖ atau belum operasional dan dalam banyak hal ia

masih sebatas wacana, lebih merupakan retorika politik ketimbang kenyataan.

3. Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai Usulan-Usulan Khusus)

Kebijakan kadang kala juga dimaksudkan untuk menunjukkan adanya usulan-usulan

tertentu (spesifik), baik yang dilontarkan oleh mereka yang berada diluar struktur

pemerintah (kelompok-kelompok kepentingan atau pertain politik) maupun yang

disampaikan oleh mereka yang berada di struktur pemerintahan semisal anggota

Page 20: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

20

kebinet agar dilaksanakan oleh pemerintah. Usulan-usulan tersebut biasanya

dimaksudkan untuk mempengaruhi proses pengesahan kebijakan mungkin bersifat

sementara, atau terkait dengan usulan-usulan lainnya, atau mungkin pula

menunjukkan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar (makro).

4. Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai Keputusan-Keputusan

Pemerintah)

Suatu keputusan pemerintah harus mendapat pengesahan agar dapat menjadi suatu

kebijakan publik. Peluang bagi setiap keputusan pemerintah apakah pada akhirnya

akan mendapat pengesahan dari parlemen (DPR), atau sebaliknya ditolak, sedikit

banyak akan ditentukan oleh mekanisme dan corak struktur politik yang berlaku di

masing-masing sistem politik.

5. Policy as Formal Authorization (Kebijakan sebagai Bentuk Otorasi atau

Pengesahan Formal)

Apabila pada suatu saat seorang menteri menyatakan bahwa pemerintah telah ―punya

kebijakan‖ mengenai suatu bidang permasalahan tertentu, maka yang biasanya diacu

olehnya adalah adanya undang-undang yang telah disahkan oleh DPR atau adanya

seperangkat peraturan pemerintah (PP) yang memungkinkan agar suatu tindakan

tertentu dapat dilaksanakan. Sering pula dikatakan oleh para pejabat pemerintah

setingkat direktur jendral (Dirjen) atau sekretaris jendral (Sekjen) jika suatu

rancangan Undang-Undang, maka dianggap bahwa kebijakan itu telah

diimplementasikan.

6. Policy as Programme (Kebijakan sebagai Program)

Program pada umumnya adalah suatu lingkup kegiatan pemerintah yang relatif

khusus dan cukup jelas batas-batasnya. Dalam konteks program itu sendiri biasanya

akan mencakup serangkaian kegiatan yang manyangkut pengesahan/legislasi

Page 21: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

21

pengorganisasian danpengerahan atau penyediaan sumber-sumber daya yang

diperlukan.

7. Policy as Output (Kebijakan sebagai Keluaran)

Sebagai keluaran, maka kebijakan itu dilihat dari apa yang senyatanya dihasilkan

atau diberikan oleh pemerintah, sebagai kebalikan dari apa yang secara verbal telah

dijanjikan atau telah disahkan lewat undang-undang. Keluaran itu bentuknya macam-

macam, misalnya pemberian manfaat secara langsung (berupa uang), pemberian

pelayanan kepada publik berupa barang (air bersih atau beras untuk orang miskin)

atau jasa tertentu (pemberian vaksin polio), pemberlakuan peraturan-peraturan,

himbauan-himbauan simbolik atau pengumpulan pajak. Dengan demikian, bentu

keluaran-keluaran itu dapat saja berbeda antara kebijakan yang satu dnegan yang

lainnya.

8. Policy as Outcome (Kebijakan sebagai Hasil Akhir)

Cara akhir untuk memahami makna kebijakan adalah dengan melihatnya dari sudut

hasil akhirnya, yaitu dari apa yang senyatanya telah dicapai. Meski penting, dalam

praktik upaya untuk menarik garis pembeda antara keluaran-keluaran kebijakan dan

hasil akhir kebijakan (dampak dari kegiatan-kegiatan tersebut) tidaklah begitu

mudah. Patut dicatat, bahwa cara memahami kebijakan dari sudut hasil akhir itu akan

memungkinkan kita untuk memberikan penilaian mengenai apakah tujuan

formal/normatif dari suatu kebijakan benar-benar telah terbukti terwujud dalam

praktik kebijakan yang sebenarnya.

9. Policy as a Theory or Model (Kebijakan sebagai Teori atau Model)

Semua kebijakan, pada dasarnya mengandung asumsi-asumsi mengenai apa yang

dapat dilakukan oleh pemerintah dan akibat yang ditimbulkan. Asumsi-asumsi ini

memang jarang dikemukakan secara terus terang atau eksplisit. Namun, kebijakan

Page 22: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

22

publik itu pada umumnya memuat suatu teori atau model tertentu yang manyiratkan

adanya hubungan sebab akibat.

10. Policy as Process (Kebijakan sebagai Proses)

Jika konsep kebijakan publik kita pandang sebagai proses, yakni sebagai proses

politik, maka oleh sebagian pakar adakalanya hal tersebut dipersepsikan sebagai

sebuah siklus.disini pusat perhatian akan diberikan kepada tahap-tahap yang ada pada

siklus tersebut. Dilihat sebagai sebuah siklus, maka pembuatan kebijakan (public

policy making) akan bermula dari adanya isu-isu tertentu yang dianggap oleh

pemerintah sebagai suatu masalah, kemudian pemerintah mulai mencari alternatif-

alternatif tindakan kearah pemecahannya, dilanjutkan dengan adopsi kebijakan serta

diimplementasikan oleh institusi atau personel terkait, dievaluasi, diubah dan pada

kahirnya akan diakhiri atas dasar keberhasilannya.

Sementara fungsi dari kebijakan publik antara lain :

1. Mencapai beberapa tujuan luas yang mempengaruhi segmen besar warga suatu

negara atau publik.

Kebijakan publik akan mengatur segala kepentingan yang berpengaruh pada aktivitas

manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau

aturan sosial. Segmen besar yang dimaksud adalah berbagai bidang, seperti sosial,

politik, ekonomi, kesehatan, pertahanan, keamanan, pendidikan, dan lainnya. Misal

pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

2. Menekan dan mendorong aktivitas masyarakat pada suatu negara.

Misal Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan

Tanpa Rokok dan Kawasan berbatasan Rokok.

3. Mewujudkan campur tangan dan pengaturan pemerintah terhadap kehidupan

masyarakatnya di berbagai bidang.

Page 23: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

23

Kebijakan ini berfungsi selain untuk mengatasi masalah ekonomi karena

melonjakkan harga minyak dunia, juga berfungsi untuk menstabilkan dan menjaga

sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara Indonesia yang sekarang ini telah

menipis.

4. Melindungi dan menjaga kepentingan dan keinginan seluruh masyarakat

Misal ketersediaan udara bersih, air bersih, kesehatan yang baik, ekonomi yang

inovatif, perdagangan yang aktif, pencapaian pendidikan yang tinggi, rumah yang

layak, kemiskinan yang rendah, tingkat kriminal yang rendah, dan lainnya.

5. Membangun lingkungan yang memungkinkan setiap pelaku, baik bisnis

maupun non bisnis untuk mampu mengembangkan diri menjadi pelaku-pelaku

yang kompetitif.

6. Melakukan serangan frontal terhadap isu publik.\

Misal Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan kebijakan pemerintah yang

bertujuan untuk menjawab isu publik mengenai tingginya tingkat kematian ibu akibat

pelayanan proses persalinan yang buruk. Diharapkan pelaksanaan kebijakan ini dapat

berkontribusi menurunkan Angka Kematian Ibu di Indonesia yang terbilang cukup

tinggi.

7. Membantu untuk pengaturan analisis isu perdebatan yang sedang terjadi

maupun akan terjadi di masa mendatang.

F. MASALAH UTAMA DALAM BIDANG KESEHATAN

Ada bermacam-macam kebijakan kesehatan yang berlaku di Indonesia, baik kebijakan

lama maupun kebijakan baru serta kebijakan-kebijakan pembaharuan dari kebijakan-

kebijakan yang sudah ada. Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan tersebut tidak

jarang mengalami hambatan, penolakan dan masalah-masalah dikarenakan berbagai

faktor yang kondisional. Dalam hal ini penulis mengambil contoh program Jampersal

Page 24: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

24

sebagai salah satu kebijakan kesehatan dan menganalisis masalah dalam

implementasinya.

Latar Belakang Jampersal

Jampersal diluncurkan pada bulan Januari 2011 oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya

terobosan untuk mengurangi tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian

Balita dan Anak (AKBA) di Indonesia yang masih jauh dari target pencapaian MDGs

pada tahun 2015, dan dari target pencapaian RPJMN.

Kemenkes menggambarkan tingginya AKI dan AKB adalah akibat dari faktor resiko

keterlambatan yang dikenal sebagai Tiga Terlambat, yaitu:

1. Terlambat dalam mengambil pemeriksaan kehamilan (terlambat mengambil

keputusan)

2. Terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan

3. Terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergency.

Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga

kesehatan pada kelompok sasaran miskin (Kuintil 1) baru mencapai 63,9%, jauh dari

persentase nasional yaitu 82,2%.

Sedangkan persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan masih mencakup 55,4%,

sisanya di rumah dan tempat lain. Di antara yang melahirkan di rumah, masih terdapat

40,2% yang ditolong oleh non nakes. Hal ini disebabkan oleh kesulitan akses ke fasilitas

kesehatan dan tenaga kesehatan bagi ibu dan melahirkan baik karena hambatan geografis

maupun keuangan, dan perawatan saat melahirkan dan sesaat setelah melahirkan, dimana

90% komplikasi terjadi pada masa-masa ini.

Turunnya angka prevalensi penggunaan alat kontrasepsi pada masa setelah Orde Baru

juga berpengaruh dalam menyumbang pada kenaikan jumlah kehamilan beresiko.

Dengan kebijakan yang inkremental saja, Indonesia akan kesulitan mencapai target-

Page 25: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

25

target tersebut, sehingga dibutuhkan kebijakan yang sifatnya lebih merupakan suatu

gebrakan (breakthrough) yang dapat mengakselerasi pencapaian target penurunan AKI di

Indonesia. Oleh karena itulah Kementerian Kesehatan RI pada bulan Januari 2011

meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal).

Pengertian dan Tujuan Jampersal

Definisi Jampersal ialah ―Jaminan pembiayaan yang digunakan untuk pemeriksaan

kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca

persalinan dan pelayanan bayi baru lahir‖.

Secara umum, Jampersal bertujuan untuk menjamin akses pelayanan persalinan yang

dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Sedangkan

tujuan khususnya adalah:

1. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan

pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

2. Meningkatnya cakupan pelayanan:

a. bayi baru lahir

b. KB pasca persalinan.

c. penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca

persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

3. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan

akuntabel.

Jampersal adalah perluasan kepesertaan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat),

namun bersifat universal, pada semua kelompok pendapatan dan tidak hanya mencakup

masyarakat miskin saja. Jampersal juga bersifat portable, yaitu tidak hanya berlaku di

wilayah tertentu saja, dan berjenjang (pusat, provinsi, kabupaten/kota), yang merupakan

bagian integral dari Jamkesmas dan dikelola mengikuti tata kelola Jamkesmas.

Page 26: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

26

SEKILAS IMPLEMENTASI JAMPERSAL DI INDONESIA

Walaupun banyak pihak mengakui bahwa program Jampersal ini adalah program yang

bertujuan sangat baik, namun karena baru diluncurkan pada awal tahun 2011, masih

belum banyak yang memahami aturan mainnya. Dari beberapa banyak pemantauan

melalui pemberitaan dimedia massa dan riset-riset awal mengenai implementasinya,

nyata bahwa beberapa permasalahan klasik seperti minimnya sosialisasi, kerumitan

prosedur pengklaiman pembayaran dan kurangnya kompensasi terutama bagi rumah

sakit swasta dan bidan praktek swasta. Beberapa hal sudah diperbaiki dalam Juknis baru

yang terbit pada Desember 2011 menggantikan Juknis sebelumnya pada Maret 2011,

dimana ada kenaikan dana pusat dari Rp 1,2 triliun menjadi 1,6 trilyun sehingga

membantu menaikkan biaya persalinan normal dari Rp 350.000 menjadi Rp 500.000 dan

pemeriksaan kandungan dari Rp 10.000 menjadi Rp 20.000 per pemeriksaan. Berikut

adalah beberapa isu yang diidentifikasi terjadi di beberapa wilayah di Indonesia

semenjak Jampersal diluncurkan.

Juknis dan dana yang terlambat turun ke daerah, adalah hambatan yang terjadi

diawal peluncuran sehingga terjadi penundaan implementasi Jampersal. Jampersal

seyogyanya dimulai pada bulan April 2011, namun di banyak daerah baru dimulai

beberapa bulan sesudahnya. Di Jombang, Jawa Timur misalnya, program baru dimulai

bulan Juni 2011 dan dana baru diturunkan Rp 1 miliar dari Rp 3,5 miliar yang

dianggarkan. DI Bantul, baru dimulai pada bulan Juli 2011, sedangkan di Bengkulu baru

dimulai bulan Agustus 2011.

Karena besaran tanggungan yang kurang, masih memerlukan dana talangan dari

Pemda, atau bahkan di bawah jumlah yang ditanggung Pemda. Pada periode

pertama peluncuran Jampersal misalnya, Pemda Jatim membuat statement bahwa mereka

akan menalangi kekurangan biaya dari dana Jampersal, sedangkan para bidan di wilayah

Page 27: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

27

Bantul mengatakan bahwa besaran dana yang ditanggung Pemda lebih besar dari yang

ditanggung Jampersal, terutama tahun 2011 yang masih sebesar Rp 350.000 dibanding

yang ditanggung Pemda Bantul sebesar Rp. 568.000.

Proses pelaksanaan dan pengajuan klaim yang rumit. Ini dikhawatirkan terutama

oleh para bidan dan rumah sakit swasta yang menilai kerumitan ini serupa dengan

kerumitan yang mereka alami ketika akan mengklaim biaya pelayanan Jamkesmas,

padahal mereka harus menggaji karyawan dan membeli obat-obatan penunjang dengan

segera.

Tingkat kunjungan ibu hamil dan melahirkan meningkat. Di Puskesmas Benayang,

Kota Pontianak misalnya, sebagai Puskesmas PONED Poned (Pelayanan Obstetri dan

Neonatal Emergensi Dasar), jumlah kunjungan meningkat tiga kali lipat dari rata-rata 20-

25 persalinan per bulan menjadi 58 orang, per hari mencapai 2-3 orang. Namun

demikian, di beberapa tempat lain, kunjungan ke Puskesmas malah menurun karena

adanya aturan bahwa persalinan dengan kesulitan, jika ditanggung oleh Jampersal, harus

dilakukan pada fasilitas pelayanan lanjutan, yaitu di rumah sakit (RS). Akibatnya,

Puskesmas yang walaupun mempunyai fasilitas obgyn, menjadi kekurangan pengunjung

karena pengunjung jadinya berjejalan di RS rujukan, seperti yang terjadi di Puskesmas

Mergangsang, Bantul.

Sosialisasi yang masih kurang, sehingga kebanyakan masyarakat belum memahami

bahwa mereka memiliki hak untuk mengakses pelayanan-pelayanan yang disediakan

melalui skema Jampersal. Akibatnya misalnya, masyarakat belum memahami tentang

portabilitas, dan merasa terlalu rumit untuk mengakses Jampersal. Masyarakat paling

miskin yang tidak memiliki identitas tetap sulit mengakses karena tidak mempunyai KTP

atau sulit mendapatkan Surat Keterangan, hambatan yang sama yang mereka hadapi

untuk mengakses Jamkesmas.

Page 28: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

28

Penyerapan anggaran Jampersal masih sangat rendah, yang juga adalah akibat

sosialisasi yang kurang. Contohnya di Medan, pada tahun pertama pelaksanaan, hanya

Rp 106 juta dari Rp 9,3 milyar alokasi anggaran yang terserap, di Tangerang Selatan, 21

persen, dan di Bintan 14 persen. Di Banyuwangi, bahkan hanya sekitar 3 persen dari

anggaran yang dialokasikan untuk Jampersal yang terserap, begitu juga di Batam dan di

banyak daerah lain.

Alternatif Kebijakan

Alternatif kebijakan yang bisa digunakan untuk menurunkan AKI da AKB yakni dengan

pelatihan kepada dukun-dukun beranak di daerah pedesaan, akan tetapi hal ini kurang

begitu berpengaruh karena keselamatan ibu dan bayi masih belum terjamin walaupun

ditangan dukun yang terlatih. Alternatif lainnya guna menurunkan AKI dan AKB adalah

dengan membatasi jumlah anak yang dimiliki dalam satu keluarga, dengan jumlah anak

yang sedikit maka jumlah kelahiran pun akan berkurang sehingga berdampak pada

penurunan AKI dan AKB, sebenarnya pembatasan anak ini masuk dalam domain

keluarga berencana (KB), tetapi kenyataannya program KB ini masih dalam proses perlu

ditingkatkan fungsi dan peranannya. Kombinasi antara program KB dan Jampersal

adalah kombinasi yang bagus dan saling menunjang untuk menurunkan AKI dan AKB.

Implementasi Jampersal dan Program KB

Berkaitan dengan adanya kebijakan Jampersal yang diikuti dengan program Keluarga

Berencana (KB), maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) berupaya untuk mengintegrasikan program KB Nasional dalam Jampersal

sebagai salah satu komponen yang rnenjadi perhatian untuk mempercepat pencapaian

target MDG's. Dalam hal ini BKKBN akan menjamin terpenuhinya alat, obat,

kontrasepsi dan sarana pendukung program keluarga berencana yang diperlukan untuk

Page 29: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

29

kelancaran penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi pasca persalinan dan pasca

keguguran.

Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, DR.Dr.

Sugiri Syarief,MPA, metode kontrasepsi yang menjadi prioritas program KB Nasional

daiam Jampersal adalah Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang terdiri dari

pelayanan Medis Operatif Wanita (MOW), Medis Operatif Pria (MOP), alat kontrasepsi

kondom, ir"nplan,suntikan, pil dan pemasangan IUD. Salah satu program KB yang

disarankan untuk Jampersal adalah metode kontrasepsi jangka panjang yaitu pemasangan

IUD.

Namun sayangnya, tidak semua peserta yang menjalankan program Jampersal mengikuti

program KB tersebut.Saat ini penggunaan KB pada program Jarnpersal baru mencapai

45 persen dari peserta yang mengikuti Jampersal. Hal itu dikarenakan kurangnya

informasi dan rnotivasi yang diberikan oleh provider untuk menyarankan peserta

Jampersal untuk mengikuti program KB. Bahkan ada bidan yang hanya melayani

Jampersalnya saja tanpa melayani program KB.

Menurutnya, ada beberapa pertimbangan rnengapa para provider tidak melanjutkan

dengan program KB kepada peserta Jampersal setelah proses persalinan yaitu karena

adanya persoalan individual, keterampilan yang belum memadai dan kurang percaya diri

dalam pemasangan alat KB. Untuk itu dilakukanlah motiasi kepada provider agar mereka

bersedia melaksanakan anjuran KB kepada rnasyarakat.

Selain itu juga adanya pemikiran para ibu yang menganggap bahwa dengan rnenjalankan

program KB setelah persalinan dengan Jampersal menghalangi mereka untuk memiliki

anak kembali. Padahal tujuannya adalah untuk merencanakan keluarga bukan untuk

membatasi keluarga. Dimana perencanaan ini bertujuan agar ibu tidak melahirkan secara

terus menurus,karena dikhawatirkandengan seringnya melakukan persalinan maka ibu

Page 30: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

30

rnenjadi tidak sehat, mengalami ane-mia,perdarahan dan pada akhirnya bisa

menyebabkan kematian bagi ibu.

Untuk tahun depan, Dr. Sugiri menargetkan peserta yang rnengikuti program Jampersal

bisa menjalankan program penggunaan KB sebanyak 70 persen. Artinya tinggal 25

persen lagi untuk mencapai target tersebut.

Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan

Konteks mengacu ke faktor sistematis – politk, ekonomi dan social, national dan

internasional – yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan kesehatan. Ada banyak

cara untuk mengelompokkan fakto‐faktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan

cara yang cukup bermanfaat:

1. Faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang dapat

berdampak pada kebijakan (contoh: perang, kekeringan). Hal‐hal tersebut sering

dikenal sebagai ‗focusing event‘ (lihat Bab 4). Event ini bersifat satu kejadian saja,

seperti: terjadinyagempa yang menyebabkan perubahan dalam aturan bangunan

rumah sakit, atau terlalu lama perhatian publik akan suatu masalah baru. Contoh:

terjadinya wabah HIV/AIDS (yang menyita waktu lama untuk diakui sebagai wabah

internasional) memicu ditemukannya pengobatan baru dan kebijakan pengawasan

pada TBC karena adanya kaitan diantara kedua penyakit tersebut – orang‐orang

pengidap HIV positif lebih rentan terhadap berbagai penyakit, dan TBC dapat dipicu

oleh HIV.

2. Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah.

Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan

kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan

keputusan kebijakan; faktorstruktural meliputi pula jenis ekonomi dan dasar untuk

tenaga kerja. Contoh, pada saat gaji perawat rendah, atau terlalu sedikit pekerjaan

Page 31: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

31

yang tersedia untuk tenaga yang sudah terlatih, negara tersebut dapat mengalami

perpindahan tenaga professional ini ke sektor di masyarakat yang masih kekurangan.

Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu

masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh, negara

dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan

obat‐obatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat seiring

bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan

dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan‐alasan tersebut terdapat peningkatan

ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan para

dokter dan bidan untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan

tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis

layanan kesehatan yang dapat diupayakan.

3. Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat

dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya atau

menantang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas atau

perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang

tidak memadai tentang hak‐hak mereka, atau menerima layanan yang tidak sesuai

dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana para wanita tidak

dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas kesehatan (karena harus ditemani oleh

suami) atau dimana terdapat stigma tentang suatu penyakit (missal: TBC atau HIV),

pihak yang berwenang harus mengembangkan sistem kunjungan rumah atau

kunjungan pintu ke pintu. Faktor agama dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan,

seperti yang ditunjukkan oleh ketidak‐konsistennya President George W. Bush pada

awal tahun 2000‐an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian

kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi

Page 32: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

32

kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi

sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka gagal

melaksanakan keyakinan tradisi budaya President Bush.

4. Faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya

ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama

internasional dalam kesehatan (lihat Bab 8). Meskipun banyak masalah kesehatan

berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan

kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral. Contoh,

pemberantasan polio telah dilaksanakan hampir di seluruh dunia melalui gerakan

nasional atau regional, kadang dengan bantuan badan internasional seperti WHO.

Namun, meskipun satu daerah telah berhasil mengimunisasi polio seluruh balitanya

dan tetap mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke daerah

tersebut dibawa oleh orang‐orang yang tidak diimunisasi yang masuk lewat

perbatasan.

Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung pada waktu dan

tempat. Contoh, pada abad 19, Inggris mengeluarkan kebijakan kesehatan mengenai

penyakit menular seksual diseluruh Kerajaan Inggris Raya. Berdasar asumsi kolonial

yang dominan, meskipun melihat bagaimana suku dan jenis kelamin diterapkan dalam

masyarakat Inggris, tetap mempertimbangkan kebijakan yang mencerminkan prasangka

dan asumsi kekuasaan penjajah, daripada kebijakan yang sesuai dengan budaya setempat.

Levine (2003) menggambarkan keadaan di India, pekerja seks wanita harus

mendaftarkan diri kepada pihak kepolisian sebagai pekerja prostitusi, suatu kebijakan

yang didasarkan pada kepercayaan Inggris bahwa prostitusi tidak membawa tabu atau

stigma tertentu di India. Kepolisian kolonial yang mengurusi prostitusi mengharuskan

rumah‐rumah pelacuran untuk mendaftar kepada pihak berwenang setempat. Asumsi

Page 33: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

33

bahwa pemilik rumah pelacuran kejam dan tidak mengakui kebebasan para pekerjanya

menyebabkan pihak colonial yang berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang

mewajibkan pemilik rumah pelacuran bertanggung jawab untuk memeriksakan pekerja

mereka. Di Inggris sendiri, rumah pelacuran illegal dan kebijakan mengenai pekerja seks

wanita yang ada adalah yang khusus mengurusi mereka ―yang berkeliaran di jalan‖.

Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri menjadi

sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah

kesehatan utama yang terjadi saat ini : meningkatnya obesitas, wabah HIV/AIDS,

meningkatnya resistensi obat sekaligus memahani bagaimana perekonomian dan

kebijakan lain berdampak pada kesehatan.

Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan

dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis

obat yang dapat dibeli bebas.

G. ISU PUBLIK

Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami

awam dalam perbincangan sehari-hari yang sering diartika sebagai ‖kabar burung‖. Isu

dalam sebuah kebijakan sarat memiliki lingkup yang luas yang meliputi berbagai

persoalan yang ada di tengah masyarakat. Oleh karenanya memahami konsep isu sangat

akan sangat membantu para analis dalam menganalisis kebijakan publik.

Makna Isu Kebijakan dan Dinamikanya

Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan

dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam konteks kebijakan

publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang kerap disebut sebagai

"masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis kebijakan publik, konsep ini

menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan fakta, bahwa proses

Page 34: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

34

pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a

problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan

tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap

memuaskan. Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik

juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama

dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh atau ditanggulangi lewat kebijakan

pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian tertentu.

(Wahab:2001:35)

Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi

silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan

ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.

Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya

perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu

masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna

adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu

dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial

yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996). Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi

merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu proses yang

dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok

mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford dan

Friedland, 1990: 104). Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah

terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi

problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.

Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan

mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas

Page 35: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

35

pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya.

Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada diri

individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah (Allison,

1971). Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja

perumusan atas suatu isu, sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari sudut ini,

maka besar kemungkinan masing-masing orang kelompok, atau pihak-pihak tertentu

dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara

memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga akan

mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu

isu.

Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat dibagi

menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu fungsional, dan isu

minor (Dunn, 1990).

1. Isu Utama (major issues)

Secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara

jurisdiksi atau wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu utama secara khusus

meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan

tujuan organisasi-organisasi pemerintah.

2. Isu sekunder (secondary issues)

Merupakan isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program di

pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Isu yang kedua ini dapat berisi isu

prioritas program dan definisi kelompok sasaran dan penerima dampak.

3. Isu fungsional (functional issues)

Terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-

pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya.

Page 36: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

36

4. Isu minor (minor issues)

Merupakan isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang

spesifik. Isu minor meliputi personal, petugas kesehatan, keuntungan bekerja, jam

kerja, dan perunjuk pelaksanaan serta peraturan.

Bila hirarki isu naik, masalah menjadi saling tergantung, subyektif, artifisial, dan

dinamis. Meskipun tingkat ini saling tergantung, beberapa isu memerlukan kebijakan

yang strategis, sementara yang lain meminta kebijakan operasional. Suatu kebijakan

yang strategis (strategic policy) adalah salah satu kebijakan di mana konsekuensi dan

keputusannya secara relatif tidak bisa dibalikkan. Suatu isu seperti pemerintah dalam

menanggapi wabah demam berdarah yang sudah meluas, memerlukan kebijakan strategis

karena konsekuensi dari keputusan tidak dapat dibalik ulang untuk beberapa tahun.

Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policy) –yaitu, kebijakan di mana

konsekuensi dari keputusan secara relatif dapat dibalik ulang— tidak menimbulkan

risiko dan ketidakpastian masa kini pada tingkat yang lebih tinggi. Sementara semua tipe

kebijakan adalah saling tergantung – sebagai contoh, realisasi dari misi-misi suatu

instansi kesehatan tergantung sebagian pada kemampuan praktik-praktik personalnya—

Page 37: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

37

adalah penting untuk mengetahui bahwa kompleksitas dan tak dapat diulangnya suatu

kebijakan akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya hirarki isu kebijakan.

Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan

ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang

diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya secara politis.

Sebagai kasus yang agak ekstrem, dan perspektif politik bandingkan misalnya antara

status peringkat masalah kemiskinan vs masalah pergantian pengurus organisasi politik

di tingkat kecamatan. Namun. perlu kiranya dicatat bahwa kategorisasi isu di atas

hendaknya tidak dipahami secara kaku. Sebab, dalam praktek, masing-masing peringkat

isu tadi bisa jadi tumpang tindih, atau suatu isu yang tadinya hanya merupakan isu

sekunder, kemudian berubah menjadi isu utama.

Mengapa Isu Kebijakan Penting Untuk Dicermati

Sedikitnya ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini. Pertama, sebagai

telah disinggung di muka, proses pembuatan kebijakan publik di sistem politik mana pun

lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah atau isu

tertentu. Kedua, derajat keterbukaan, yakni tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu

sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya

isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi kebijakan

publik.(Wahab:2001:38)

Pada tulisan ini yang dimaksud dengan kebijakan publik ialah tindakan (politik) apa pun

yang diambil oleh pemerintah (pada semua level) dalam menyikapi sesuatu

permasalahan yang terjadi dalam konteks atau lingkungan sistem politiknya. Dipahami

seperti ini, maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup pula kegagalan

bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja untuk tidak berbuat

sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan (baik secara sadar

Page 38: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

38

atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan (constraints) tertentu agar publik

atau masyarakat tidak dapat menyikapi secara kritis terhadap kebijakan pemerintah

(Bachrach dan Baratz, 1962; Heclo, 1972). Agar suatu kebijakan dapat disebut sebagai

kebijakan publik, maka pada derajat tertentu ia haruslah diciptakan, dipikirkan atau

setidaknya, diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh atau

kontrol pemerintah (Hogwood dan Gunn,1986). Dalam kondisi yang normal, memang

secara implisit disyaratkan bahwa agar sebuah isu dapat menjadi kebijakan publik praktis

harus mampu "menembus" pelbagai pintu akses kekuasaan berupa saluransaluran

tertentu (birokrasi dan politik) baik yang formal maupun yang informal, yang sekiranya

relatif tersedia pada sistem politik. Adanya persyaratan seperti itulah yang menyebabkan

isu kebijakan tidak jarang menjadi semacam "arena" atau ajang pertarungan kepentingan

politik, baik terselubung atau terang-terangan.

Kriteria Isu Dapat Menjadi agenda kebijakan

Dalam sejumlah literatur (Lihat: Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980;

Hogwood dan Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu isu akan

cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda

kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu. Diantara sejumlah kriteria

itu yang penting ialah:

1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa

diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang

jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih

hebat di masa datang.

2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan

dampak (impact) yang bersifat dramatik.

Page 39: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

39

3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak

bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media

massa yang luas.

4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam

masyarakat.

6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit

untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.

Meskipun kriteria di atas memiliki derajat kredibilitas dan makna ilmiah yang cukup

tinggi, namun hendaknya jangan dijadikan sebagai resep siap pakai, melainkan hanya

sekadar dijadikan sebagai semacam kerangka acuan. Sebab, banyak bukti yang

menunjukkan, bahwa meskipun beberapa persyaratan di atas relatif terpenuhi, dalam

praktek kebijakan di Indonesia ternyata tidak jalan.

H. SIKLUS KEBIJAKAN (POLICY CYCLE)

Siklus Kebijakan – Sebuah Model Sederhana dari Proses Kebijakan

Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses kebijakan yang

terdiri dari kabar, dorongan, rekomendasi, permohonan, penerapan, keputusan, penilaian

kebijakan. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar bagi bidang studi

kebijakan dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan. Versi- versi

yang dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan Wildavsky (1978),

Anderson (1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang paling banyak diadopsi. Saat

ini, differensiasi antara agenda-setting, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan,

pelaksanaan, dan evaluasi (yang akhirnya mengarah ke terminasi) telah menjadi cara yang

konvensional untuk dapat menggambarkan kronologi proses kebijakan.

Page 40: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

40

Pemahaman Lasswell tentang model proses kebijakan lebih bersifat preskriptif

(memberikan arahan) dan normatif daripada deskriptif dan analitis. Tahapan- tahapan

linear yang dikemukakan oleh Lasswell didesain seperti model pemecahan masalah dan

mirip dengan model dari perencanaan dan pengambilan keputusan di teori organisasi dan

administrasi publik. Sementara studi empiris tentang pengambilan keputusan dan

perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori pengambilan keputusan dan

perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori perilaku pengambilan

keputusan yang dikemukakan oleh Simon (1947), telah berulang kali menunjukkan

bahwa pembuatan keputusan pada kenyataannya di dunia nyata biasanya tidak selalu

mengikuti urutan tahapan ini. Menurut model rasional, pembuatan keputusan apapun

harus didasarkan pada analisis yang komperehensif terhadap masalah dan tujuan, diikuti

oleh koleksi inklusif dan analisis informasi dan mencari alternatif terbaik untuk mencapai

tujuan tersebut. Ini meliputi analisis biaya dan manfaat dari opsi berbeda dan seleksi akhir

arah tindakan.

Perspektif tahapan Lasswell kemudian berubah menjadi model siklus setelah

dikombinasikan dengan model input-output Easton. Perspektif siklus menekankan proses

umpan balik antara outpu dan input dari pembuatan kebijakan, yang menyebabkan proses

kebijakan berlangsung terus-menerus. Tahap model siklus ini diantaranya pertama,

masalah didefinisikan dan dimasukkan dalam agenda, kebijakan selanjutnya

dikembangkan, diadopsi dan diimplementasikan, dan, akhirnya kebijakan ini akan dinilai

terhadap efektivitas dan efisiensi dan baik dihentikan atau dimulai ulang.

Tahap-tahap Siklus Kebijakan

Dalam menyusun suatu kebijakan, urutan-urutan perlu dilalui, dari mulai perumusan

masalah, dan diakhiri dengan penghentian kebijakan. Tahap-tahap siklus kebijakan

diantaranya adalah sebagai berikut.

Page 41: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

41

1. Agenda Setting

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas

kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang

disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika

sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan

prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber

daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting

untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.

Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy

problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara

para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan

pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990),

isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang

rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun

tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu

yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976;

Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)diantaranya:

a. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan,

b. Akan menjadi ancaman yang serius;

c. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;

d. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia)

dan mendapat dukungan media massa;

e. Menjangkau dampak yang amat luas ;

f. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;

Page 42: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

42

g. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah

dirasakan kehadirannya)

2. Formulasi Kebijakan dan Pengambilan Keputusan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu

masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil

untuk memecahkan masalah.

3. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.

Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau

tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas

merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta

sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna

meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

4. Evaluasi dan Penghentian Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut

estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan

dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.

Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan

dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa

meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang

Page 43: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

43

diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap

dampak kebijakan.

Kritik

Terkait dengan deskripsi, model tahapan dikatakan mengalami ketidaktepatan deskriptif

karena realitas empiris tidak sesuai dengan klasifikasi proses kebijakan dalam tahap

diskrit dan berurutan. Implementasi, misalnya, mempengaruhi agenda-setting; atau

kebijakan akan dirumuskan sementara beberapa lembaga uji coba lapangan untuk

menegakkan program ambigu, atau penghentian kebijakan harus dilaksanakan. Dalam

sejumlah kasus itu lebih atau kurang mungkin, atau setidaknya tidak berguna, untuk

membedakan antara tahap. Dalam kasus lain, urutan terbalik, beberapa tahapan

kehilangan sepenuhnya atau ada bersamaan.

Dalam hal nilai konseptual, siklus kebijakan kekurangan mendefinisikan elemen

kerangka teoritis. Secara khusus, model tahapan tidak menawarkan penjelasan kausal

untuk transisi antara tahapan yang berbeda. Oleh karena itu, studi tahap tertentu menarik

pada sejumlah konsep teoritis yang berbeda yang belum diturunkan dari kerangka siklus

itu sendiri. Model khusus yang dikembangkan untuk menjelaskan proses dalam tahap

tunggal tidak terhubung dengan pendekatan lain mengacu pada tahap lain dari siklus

kebijakan.

I. PENDEKATAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN

1. Pendekatan Kelompok

Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada

dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam

masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang diikat

oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Mereka mempertahankan dan

membela tujuan-tujuan dalam persaingannya vis-a-vis kelompok-kelompok lain. Bila

Page 44: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

44

suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-

tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan

pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya.

Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial, adalah sekumpulan

individu-individu dengan perilaku yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu

kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan

mereka. Pada akhirnya,―social equilibrium‖ dicapai pada waktu pola-pola interaksi

kelompok dikarakteristikkan oleh suatu tingkat stabilitas yang tinggi.

Pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi dan perjuangan

antara kelompok-kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam

pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting hanya bila ia

merupakan partisan dalam atau wakil kelompok-kelompok tertentu. Dengan melalui

kelompok-kelompoklah individu berusaha untuk mendapatkan pilihan-pilihan politik

yang mereka inginkan.

2. Pendekatan Proses Fungsional

Suatu cara lain untuk mendekati studi pembentukan kebijakan adalah dengan jalan

memusatkan perhatian kepada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam

proses kebijakan. Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional

yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:

a. Inteligensi: Bagaimana informasitentang masalah-masalah kebijakan mendapat

perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan

diproses.

b. Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif

untuk mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.

Page 45: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

45

c. Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau diterapkan

dan oleh siapa?

d. Permohonan (invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu

bertentangan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang dan menuntut

penggunaan peraturan-peraturan atau undang-undang?

e. Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya

diterapkan atau diberlakukan

f. Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu

dinilai?

g. Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-undang semula

dihentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?

Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan

mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan

semula. Walaupun Laswell mengatakan bahwa desain ini sebagai ―proses keputusan

(decision process)‖, desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat

dari pilihan-pilihan khusus dan sebenernya mencakup ―arah tindakan tentang suatu

masalah‖, suatu batasan kebijakan yang telah kita sebutkan pada bagian awal tulisan

ini.

Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat

pada lembaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain

analisisi ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan.

Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang

berbeda ini dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalamsistem politik atau unit-

unit pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga

mempunyai kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin

Page 46: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

46

akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan

pengaruh variable-variable lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik.

3. Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme)

Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai

hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik

sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah.

Lembaga-lembaga pemerintah member tiga karakteristik yang berbeda terhadap

kebijakan public. Pertama, pemerintah member legitimasi kepada kebijakan-

kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipendang sebagai

kewajiban-kewajiban yang sah yang menuntut loyalitas warganegara. Rakyat

mungkin memandang keebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kelompok-

kelompok dan asosiasi-asosiasi lain dalam masyarakat, seperti misalnya-korporasi,

organisasi professional asosiasi sipil dan sebagainya sangat penting dan bahkan

mengikat. Tetapi hanya kebijakan-kebijakan pemerintah sajalah yang membutuhkan

kewajiban-kewajiban yang sah. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah

membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang

menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar

kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan oleh kelompok-kelompok

dan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat bersifat lebih terbatas dibandingkan

dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adlaah bahwa kebujakan tersebut dapat

menuntut loyalitas dari semua warganegaranya dan mempunyai kemampuan

membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan

kakuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk

pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.

Page 47: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

47

Sekalipun demikian, pendekatan ininjuga mempunyai kelemahan sebagaimana

pendekatan-pendekatan yang lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang paling

mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahan

perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah

dan substansi kebijakan public. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih

berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, sepertinya

misalnya struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa secara otomatis

menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut pada

hasil-hasil kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara

terperinci sebagaimana kantor-kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak

sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan

public seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dna hubungan antara struktur dan

kebijakan public secara luas tidak diselidiki.

4. Pendekatan Peran Serta Kewarganegaraan

Teori peran serta warganegara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi tentang

kualitas warganegara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan public.

Menurut teori ini, dibutuhkan warganegara yang memiliki struktur-struktur

kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap

warganegara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam masalah-

masalah politik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan

yang lebih penting adalah perasaan mampu. Di atas segala-galanya, para

warganegara harus tertarik dalam politik dan menjadi terlibat secara bermakna.

Sayangnya apa yang diketahui tentang kebiasaan-kebiasaan politik dari warganegara

pada umunya merupakan suatu gambaran suram yang bertentangan dengan cita-cita

demokrasi. Studi-studi empiric mengungkapkan tekanan-tekanan otoritarianismeyang

Page 48: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

48

kuat pada rakyat biasa, toleransi yang rendah dan ketidaktahuan yang meluas. Studi-

studi tentang pendapat umum mengungkapkan bahwa orang cenderung menyaring

informasi yang tidak diinginkan dan memandang stimuli politik secara selektif

berdasarkan pikiran-pikiran yang dipahami sebelumnya.

5. Pendekatan Psikologis

Pokok perhatian pendekatan inin diberikan pada hubungan antar pribadi dan factor-

faktor kejiwaan yang mempengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat dalam

proses pelaksanaan kebijakan. Individu-individu selama dalam proses pelaksanaan

kebijakan tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta

yang sangat penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan.

Selain itu, menurut Amir Santoso, pendekatan ini juga menjelaskan hubungan

antarpribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut menjadi

variable yang menetukan keberhasilan atau kegagalan suatu program. Dengan

merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis

hubungan yang berbeda antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, yakni

adaptasi bersama, kooptasi dan non-implementasi.

6. Pendekatan Proses

Dalam pendekatan ini, masalah-masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai

suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan kemudian kebijakan ditetapkan

diimplementasikan oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya diterminasi

atau diubah atas dasar keberhasilan atau kekurangannya. Tentu saja proses ini jauh

lebih kompleks, ketimbang gambaran yang sederhana ini. Namun demikian, pada

saat kita bicara tentang siklus kebijakan, kita bicara suatu proses kebijakan melalui

mana kebanyakan kebijakan public melintas. Sekalipun realitas dari proses kebijakan

adalah sangat kompleks, proses ini bisa dipahamisecara lebih baik dengan

Page 49: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

49

membayangkan seolah-olah kebijakan itumelewati sejumlah tahap yang berbeda-

beda. Selama lebih dari tiga decade, para naalis kebijakan public telah membuat

kemajuan secara substansial dalam memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang

siklus kebijakan.

7. Pendekatan Substantif

Banyak ilmuwan kebijakan public menjadi spesialis substansif dalam suatu bidang

tertentu. Misalnya, mereka mungkin menganalisis determinan-determinan dari

perumusan kebijakan lingkungan, implementasi atau perubahan. Para ilmuwan

lainnya menjadi spesialis kebijakan pendidikan, spesialis kebijakan pemeliharaan

kesehatan, spesialis kebijakan energy, spesialis kebijakan penanggulangan kejahatan,

atau spesialis kebijakan kesejahteraan. Para spesialis ini mungkin tetap berada dalam

konteks suatu bidang substantive bagi sebagian besar karir professional mereka, atau

secara alternatif, mereka mungkin meneliti kebijakan dalam suatu bidang tertentu

untuk jangka pendek, dan kemudian berpindah ke bidang kebijakan lainnya. Suatu

penelitian tentang artikel-artikel yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal terkemuka di

Amrika Serikat, sebagian besar bidang yang dipelajari dari perspektif substantive

adalah kebijakan ekonomi (14,5%), ilmu/kebijakan teknologi (14,1%), dan kebijakan

luar negeri (13,7%). Suatu penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa studi-studi

kebijakan kesehatan dan sumber alam/energy/lingkungan adalah bidang-bidang yang

paling banyak dipelajari selama kurun waktu 1875-1984. Namun demikian, bidang-

bidang substansif yang menarik perhatian yang paling besar mungkin akan berubah

dalam kurun waktu tertentu.

8. Pendekatan Logical-Positivist

Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku

(behavioural approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach),

Page 50: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

50

menganjurkan penggunaan teori-teori yang berasal dari epenlitian deduktif

(deductively derived theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras (hard

data), metode komparasi, dan analisis ststistik yang ketat. ―Keilmuan‖ (scientific)

dalam konteks ini mempunyai makna beberapa hal. Pertama, mempunyai makna

mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam nalaisis kebijakan.

Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus didefinisikan lebih

hati-hati, ketimbang pada masa lalu. Sebelumnya, implementasi didefinisikan sebagai

dikotomi ya/tidak, ketimbang sebagai suatu proses merangcang garis-garis pedoman,

menyediakan dan, memonitor kinejra, dan memperbaiki undnag-undnag. Kedua,

mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan

menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna

menggunakan data keras, mengembangkan lagkah-langkah yang baik terhadap

berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam penjelasan

melewati waktu.

Namun demikian, pendekatan keilmuan ini bukan tanpa kritik, yang berpendapat

bahwa pendekatan itu keliru dalam memahami proses kebijakan

denganmemperlakukannya sebagai sebuah ―proyek rasional‖ yaitu, proses kebijakan

adalah jauh lebih kompleks, ketimbang perspektif seperti ban berjalan. Dengan

demikian, pendekatan ini tidak memberi kemungkinan untuknya sebagi suatu teknik

analasis yang canggih. Kritik ini mengambil bentuk dekonstruksi postpositivist

terhadap metode-metode perilaku tradisional, dan berpendapat sebagai penggantinya

pendekatan yang lebih intuitif atau pendekatan partisipatori terhadap analisisi

kebijakan public.

Page 51: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

51

9. Pendekatan Ekonometrik

Pendekatan ekonometrik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the

public choise approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada

teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia

diasumsikan ―rasional‖, atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni.

Pendekatan inij beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi mereka

yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif. Secara esensial, pendekatana ini

mengintergerasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-

metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa preferensi-preferensi

individu adalah sempit dan beragam, yang membutuhkan individu mengagregasikan

preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta tindakan

pemerintah.

10. Pendekatan Fenomologik (Postpositivist)

Pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi ―suatu respek bagi

penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari pengalaman

yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data keras,‖ Secara

metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena social

sebagai suatu peristiwa yangunik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif

menjadi yang paling penting. Pendangan alternative ini dideskripsikan oleh

kepeduliannya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis

kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal

balik antara peneliti dan objek studi, ketimbang observasi yang terpisah di pihak

analis. Untuk mengumpulkan ―bukti‖ , pendekatan ini lebih memanfaatkan

penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-

teknik analisis yang canggih. Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan

Page 52: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

52

kepeduliannya pada keketatatn keilmuan dengan intuisi dan pembenaman secara

menyeluruh dalam informasi.

Kritik-kritik terhadap pendekatan postpositivist/naturalistic lebih dikaitkan pada

kekurangan keketatannya dan bergerak menjauhi pendekatan keilmuan yang

dianjurkan oleh kelompok behavioralis dan kelompok ekonomi.

11. Pendekatan Partisipatori

Pendekatan partisipatori ini dikaitkan dengan pandangan Peter DeLeon, yang

mempunyai kaitan erat dengan tantangan pospositivist, dan mencakup perhatian yang

besar dan nilai-nilai dari berbagai stakeholder dalam proses pembuatan keputusan

kebijakan. Pendekatkan ini agaknya lebih dekat dengan apa yang disebut Harold

Lasswell, policy sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas dari para

warganegara yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan

publik melalui serangkaian dialog yang tidak berkesinambungan. Pendekatan ini

mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar

warganegara yang mempunyai kepedulian, di mana dengar pendapat ini disusun

dalam suatu cara untuk mempercepat para individu, kelompok-kelompok

kepentingan, dan para pejabat agensi memberikan kontribusi mereka kepada

pembuatan desain dan redesain kebijakan. Tujuan yang dinyatakan dari analisis

kebijakan partisipatori adalah mengumpulkan informasi sehingga para pembentuk

kebijakan bisa membuat rekomendasi dan keputusan yang lebih baik (misalnya,

informasi yang lebih lengkap). Sebagai suatu pendekatan terhadap analisis,

pendekatan ini menyarankan pertimbangan tentang sejumlah besar pemain (players),

dan nilai-nilai dalam proses pembuatan kebijakan, dan dengan demikian, mempunyai

yang lebih baik dari berbagai perspektif yang dihadirkan pada saat kebijakan sedang

dipertimbangkan.

Page 53: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

53

Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat sebagai arahan kepada pembentukan

agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi kebijakan, ketimbang tahap-tahap

lain dalam proses kebijakan publik. Dalam beberapa hal, pendekatan ini lebih

merupakan preskripsi untuk desain dan redesain kebijakan atau, ketimbang sebagai

suatu pendekatan empiric untuk memahami pembentukan kebijakan atau

implementasi.

12. Pendekatan normatif atau preskriptif

Dalam pendekatan normative atau preskriptif, analis perlu mandefinisikan tugasnya

sebagai analis kebijakan sama seperti orange yang mendefinisikan ―end state‖, dalam

arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung

pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan

retorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang

manfaat dari posisi mereka. Beberapa cntoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa

dilihat dari hasil-hasil studi yang dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane Kirkpatrick,

atau para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan

argument-argumen yang lihai dan (kadangkala) secara selektif menggunakan data

untuk mengajukan suatu politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi

mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis ini

mengarahkan kepada tuduhan bahwa para analisis kebijakan seringkali

menyembunyikan ideology mereka sebagai ilmu.

13. Pendekatan Ideologik

Sekalipun tidak semua analis secara eksplisit mengadopsi pandangan konservatif atau

pandangan liberal, mereka nyaris selalu mempunyai suatu pandangan yang tertanam

dalam analisis kebijakan mereka. Thomas Sowell menamakan pendekatan ideology

ini ―visi‖ (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing.

Page 54: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

54

Pertama, ―visi yang dibatasi‖ (the constrained vision) merupakan suatu gambaran

manusia egosentrik dengan keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan

social yang fundamental adaah untuk membuat yang terbaik dari kemungkinan-

kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan

energy dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan energy dalam

suatu upaya yang sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Kedua, ―visi yang tidak

dibatasi‖ (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang sifat

manusia di mana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk

memperoleh keuntungan-keuntungan social.

14. Pendekatan Historis/Sejarah

Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada

evolusi kebiajakn publik melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang

kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puluh tahun atau lebih. Dengan

demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik

yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu

yang pendek (misalnya, analisis lintas sectional atau analisis terbatas pada kurun

waktu satu decade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik

dari titik pandang kurun waktu yang panjang analis bisa memperoleh perspektif yang

jauh lebih baik tentang pola-pola yang ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik

misalnya di Negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, maupun di Negara-

negara berkembang, seperti di Indonesia.

Page 55: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

55

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan (Conclusion)

Policy is a course or principle of action adopted or proposed by a government, party,

business, or individual. Public policy is the policy that is developed by government agencies

and government officials. Public policy has the nature of coercion that is potentially valid.

Private organizations doesn’t have the nature of coercion, this means that public policy is

coercing people to obey it.

The Scientists developed many theory of approaches to help them in behavioural

studied from all of politic system. They showed a preference for one theory compared to

using other approaches. Each approaches has their own weakness and strength that can help

policy analyzing in difference condition.

Page 56: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

56

DAFTAR PUSTAKA

Aderson J .1975. Public Policy Making. London: Nelson

Allen D. Putt dan J. Fred Springer.1989. Policy Research; Concepts, Methods, and

Application, New Jersey: Prentice Hall

AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford

University Press, 1995, cet. ke-5, h. 893.

Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press

Dwijowito R. 2003. Kebijakan Publik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Dye T .2001. Top Down Policymaking. London: Chatham House Publisher

Dye T. 2005. Understanding Public Policy. New Jersey: Pearson Education Inc.

George C. Edwards III dan Ira Sharkansky.1978. The Policy Predicament: Making and

Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company

Islamy M. Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina

Aksara

Kosen, Soewarto. 1997. Bunga Rampai Pemngembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Masyarakat Di Indonesia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan

Kesehatan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehataan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia

Naihasy, H. Syharin. 2006. Kebijakan Publik. Yogyakarta : MIDA Pustaka

Ogden J, Walt G dan Lush .2003. The Politics of ‘branding’ in policy transfer: The case of

DOTS for tuberculosis control. Social Science and Medicine

Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt. 2009. Public Administration: An Action

Orientation. Boston: Wadsworth

Wahab, Solihin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta : Bumi Aksara

Walt G dan Gilson L .1994. Reforming the health sector in developing countries: The central

role of policy analysis. Health Policy and Planning 9: 353‐70

Watl G .1994. Health Policy: An Introduction to Process and Power. London: Zed Books

Winarno B. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Presindo

Page 57: KEBIJAKAN PUBLIK (MAKALAH)

57