KEBIJAKAN PUBLIK Oleh Gede Sandiasa (Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Publik) FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja BAB I PENDAHULUAN Pentingnya peranan pemerintah dalam pembangunan kiranya tidak perlu diragukan lagi. Tanpa ikut campur tangannya pemerintah, pembangunan tidak akan berhasil atau sekurang-kurangnya tidak dapat berjalan dengan lancar. Tetapi bagaimanapun baiknya dan efesiensinya suatu aparat pemerintah, setiap birokrasi selalu mengandung keterbatasan. Langkah-langkah tindakannya selalu mengikuti pola kebijaksanaan umum atau menunggu petunjuk-petunjuk dari atasan, dan dilakukan melalui jalur-jalur formal dan jenjang hirarki yang telah ditetapkan. Jalur dan jenjang-jenjang hirarki ini kerap kali terlalu panjang dan cukup rumit, sehingga berakibat tindakan-tindakannya tidak cepat dan tidak luwes. Akibatnya pemerintah kurang peka terhadap masalah-masalah khusus yang timbul di daerah dengan cepat dan silih berganti. Karena kurang peka dan kurang cepat tanggap terhadap masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendesak, maka dalam memenuhi kebutuhan daerah, pemerintah cendrung mementingkan hasil-hasil kuantitatip saja. Karena terdorong oleh usaha mengejar jumlah output dan sasaran waktu yang ahrus dicapai, maka para petugas pemerintah dalam menjalankan tugasnya tidak sempat memikirkan bagaimaa output yang seharusnya dihasilkan. Padahal masyarakat justru sangat berkepentingan terhadap sasaran output yang harus dicapai. Seharusnya masyarakat mengambil bagian dan memegang peranan penting dalam pembangunan serta berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan di daerah. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan pemerintah, sering juga terjadi persepsi yang berbeda ini, menurut Subanda (1994) diakibatkan oleh faktor-faktor : struktur birokrasi, sumber daya dan sistem komunikasi yang ada masing-masing daerah. Dengan analisis diharapkan bagaimana agar suatu produk kebijakan dengan judgement moral yang tinggi, sebab tidak diinginkan adanya formulasi
86
Embed
KEBIJAKAN PUBLIK - Gede · PDF filekebijakan dari formulasi, implementasi, ... Mempertimbangkan kriteria aksestabilitas dari segi : ... 6. Pembuatan keputusan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh Gede Sandiasa
(Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Publik)
FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja
BAB I PENDAHULUAN
Pentingnya peranan pemerintah dalam pembangunan kiranya tidak perlu
diragukan lagi. Tanpa ikut campur tangannya pemerintah, pembangunan tidak
akan berhasil atau sekurang-kurangnya tidak dapat berjalan dengan lancar. Tetapi
bagaimanapun baiknya dan efesiensinya suatu aparat pemerintah, setiap birokrasi
selalu mengandung keterbatasan. Langkah-langkah tindakannya selalu mengikuti
pola kebijaksanaan umum atau menunggu petunjuk-petunjuk dari atasan, dan
dilakukan melalui jalur-jalur formal dan jenjang hirarki yang telah ditetapkan.
Jalur dan jenjang-jenjang hirarki ini kerap kali terlalu panjang dan cukup rumit,
sehingga berakibat tindakan-tindakannya tidak cepat dan tidak luwes. Akibatnya
pemerintah kurang peka terhadap masalah-masalah khusus yang timbul di daerah
dengan cepat dan silih berganti.
Karena kurang peka dan kurang cepat tanggap terhadap masalah-masalah
dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendesak, maka dalam memenuhi
kebutuhan daerah, pemerintah cendrung mementingkan hasil-hasil kuantitatip
saja. Karena terdorong oleh usaha mengejar jumlah output dan sasaran waktu
yang ahrus dicapai, maka para petugas pemerintah dalam menjalankan tugasnya
tidak sempat memikirkan bagaimaa output yang seharusnya dihasilkan. Padahal
masyarakat justru sangat berkepentingan terhadap sasaran output yang harus
dicapai. Seharusnya masyarakat mengambil bagian dan memegang peranan
penting dalam pembangunan serta berpengaruh terhadap keberhasilan
pembangunan di daerah.
Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan pemerintah, sering juga
terjadi persepsi yang berbeda ini, menurut Subanda (1994) diakibatkan oleh
faktor-faktor : struktur birokrasi, sumber daya dan sistem komunikasi yang ada
masing-masing daerah.
Dengan analisis diharapkan bagaimana agar suatu produk kebijakan
dengan judgement moral yang tinggi, sebab tidak diinginkan adanya formulasi
kebijakan publik in a moral vacuum (Horrington, 1996) dan berdimensi
kemanusiaan (Hoksbergen, 1986) atau ―the collective life‖, Terry Cooper (dalam
Harington diakuinya kebenaran yang hakiki dari setiap orang. Jane Mansbridge
(dalam Lynn, 1995) social arrangement sebagai ungkapan lain dari kebijakan
publik harus mencirikan diri pada ―public spirits‖ artinya keberpihakannya benar-
benar pada rakyat utamanya masyarakat yang lemah. Chambers (1988)
menyebutkan bahwa pembangunan diarahkan untuk rakyat, dari rakyat dan oleh
rakyat. Dengan demikian nafas demokrasi diakui oleh para pembuat kebijakan,
diperlukan adanya partisipasi politik semua pihak ―Partisipatory Public Policy‖
melalui Public Fora (Peter De Leon, 1994) Perumusan dan implementasi
kebijakan hendaknya terhindar dari paham profesionalisme yang sempit.
Tampaknya jalan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat bagi golongan
profesionalisme, tidak begitu mudah. Tidak mudah secara mental dan kultural
demikian juga secara teknis. Sekarang ini hal yang penting disadari adalah
diperlukan sikap mental tertentu bagi golongan profesional yang dalam kenyataan
berasal dari kelas menengah, bahkan lingkungan elit, untuk berorientasi kepada
rakyat kecil, dalam konteks dan struktur birokrasi dan sistem nilai yang berlaku
dalam proses pembangunan ini. Para profesionalisme bisa menimba bahan bahkan
ilmu serta teknologi dari rakyat, sebab menurut pengalaman gagasan yang lahir
dari proses itu mudah dimengerti oleh masyarakat karena disusun berdasarkan
logika rakyat, bukan berdasarkan kemampuan kaum profesional yang biasanya
bekerja diatas meja, sehingga sulit untuk dipahami apa yang mereka programkan
(Chamber, 1988). Public Fora merupakan media untuk mewujudkan ―public
conversation‖ (Harington, 1996), untuk mengetahui apa yang diinginkan dan
diketahui rakyat, untuk kemudian dikompensasikan dengan kaum profesional
dengan berbagai dalil ilmiah yang dimilikinya, sehingga ada sinkronisasi antara
keinginan rakyat dengan Policy makers, juga dalam upaya untuk mengangkat
Human dinity, Lasswell & Kaplan, 1950 (dalam Peter de Leon, 1994) dari rakyat
itu sendiri, bagaimana berupaya mendudukkan manusia dalam posisi yang setara
antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini antara Policy makers dengan
target group yang dikehendaki. Dengan melalui apa yang disebut oleh Habermas
(__________, 1994) dengan ―Communicative competence‖. Semua hal ini
diupayakan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat.
Sehubungan dengan peranan masyarakat dalam proses pembangunan, Gant
(dalam Syamsi, 1986 : 112) menyatakan bahwa peranan masyarakat antara lain :
1. Masyarakat merupakan target dari proses pembangunan.
2. Masyarakat merupakan instrumen pembangunan.
3. Masyarakat mempunyai hak untuk menikmati hasil pembangunan.
Menurut R. Mayer dan Ernest Green Wood (1984). Penelitian kebijakan
menaruh perhatian pada proses mencapai pemecahan suatu masalah tertentu
disamping juga sebagai pemecahan masalahnya sendiri. Tidaklah salah untuk
mengatakan bahwa penelitian kebijakan merupakan suatu jenis penelitian ilmu
sosial terapan baru.
Melalui penelitian dan analisis kebijakan diharapkan memperkaya studi
kebijakan. Untuk dapat memberikan sumbangan yang positif bagi para pengambil
keputusan kebijakan dan para pelaksana kebijakan (implementor). Menurut
Solichin (1998) bahwa studi kebijakan diharapkan berperan sentral dalam
memberikan nuansa baru dalam kerangka dasar pemikiran yang lebih baik bagi
keputusan-keputusan kebijakan itu dibuat.
Permasalahan yang menyangkut implementasi (pelaksanaan)
kebijaksanaan negara sekalipun telah sering diperbincangkan orang, namun
sesungguhnya masih amat jarang dipelajari dan diteliti, Pressman dan Wildausky
(Solichin, 1990 : 172). Implementasi dapat dikatakan sebagai memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus penelitian impelementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-
kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-
pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat / dampak nyata pada
masyarakat atau kejadian-kejadian, Daniel A. Masmanian dan Paul A. Sabatier
lihat gambar 5 (Solichin, 1991 : 51).
Dengan demikian pelaksanaan kebijaksanaan dapat dicermati melalui hasil
atau dampak langsung yang diterima dan dirasakan oleh pengguna (kelompok
sasaran) yang dituju oleh produk suatu kebijaksanaan. Keberhasilan atau gagalnya
implementasi suatu kebijaksanaan dapat dilihat dan dicermati dari sudut
kemampuan yang nyata dalam meneruskan pelaksanaan program-program yang
telah direncanakan. Dan bersentuhan langsung pada sasaran dari kebijaksanaan
yang dibuat, artinya memperhatikan dan melibatkan kepentingan kelompok atau
individu sasaran, sehingga manfaatnya dapat dirasakan serta pembuat
kebijaksanaan mencapai harapan dan tujuan dari dibuatnya kebijaksanaan
tersebut.
Fenomena kegagalan sering nampak pada hasil pelaksanaan-pelaksanaan,
ini dimungkinkan besar disebabkan kurang adanya analisa secara mendalam
terhadap produk kebijaksanaan yang akan dilaksanakan, dan dipengaruhi faktor-
faktor yang dimiliki oleh kelompok dan individu-individu sebagai sasaran
kebijaksanaan tersebut. Telah ada beberapa kebijaksanaan yang dihasilkan untuk
mengatasi beberapa permasalahan yang menyangkut masyarakat atau penduduk di
Indonesia, khususnya yang banyak menjadi pembicaraan para pakar dan peneliti,
yakni kebijaksanaan-kebijaksanaan arti kemiskinan, seperti : program IDT,
pemberdayaan sumber daya manusia, penetapan upah minimum regional,
GN’OTA dan lain-lain, serta kebijaksanaan tentang perkembangan kependudukan
dan pembangunan keluarga sejahtera. Dalam tulisan ini akan diungkapkan proses
kebijakan dari formulasi, implementasi, evaluasi, analisis dan skenario kebijakan,
serta berbagai pendekatan dalam ilmu sosial.
BAB II FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pemahaman Terhadap Kebijakan Publik
Serangkaian tindakan yang bertujuan, dirumuskan, dilakukan, diikuti dan
ditetapkan pemerintah dalam menyelesaikan pokok atau permasalahan-
permasalahan publik, itulah yang dipahami sebagai kebijakan publik oleh
Anderson, ―public policy is a purposive course of action followed by government
in dealing with some topic or matter of public concern‖. Menurut Thomas R Dye
(Islmay, 1995), bahwa kebijakan publik ―whatever government choose to do or
not to do‖ (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan). Ini berkenaan dengan kewenangan administrasi ―administration
descretion‖, untuk membuat pilihan diantara berbagai macam alternatif baik untuk
berbuat atau tidak berbuat misalnya pembatalan pembelian pesawat terbang dari
Amerika, atau memutuskan hubungan dengan IGGI dan sebagainya.
Dalam buku yang sama Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan
sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh
karena itu suatu kebijakan memuat tiga elemen yaitu :
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan nyata dari taktik
atau strategi.
B. Proses Perumusan Kebijakan Publik
Proses perumusan kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.
Pertama, pemetaan tujuan dengan syarat-syarat sebagai berikut : (a). Tidak terlalu
tinggi atau rendah. (b). Tercapainya tujuan individu dan organisasi. (c). Bersifat
luwes, tujuan disertai sarana pencapaian tujuan. (d). Ada tidaknya ukuran
keberhasilan. (e). Mendefinisikan masalah dengan benar dan mencari alternatif
yang sebaik mungkin. (f). Memahami karakteristik masalah: interdependen;
subyektif; artifisial yaitu membaca dan menterjemahkan masalah; serta dinamis
bahwa masalah harus disadari selalu berubah-ubah, dari struktur, agak terstruktur
dan tidak terstruktur. (g). Memusatkan diri pada masalah dan bukan pada gejala-
gejala masalah. Dan (h). Mengantisipasi dampak positif maupun negatif.
Kedua, mencari alternatif dengan cara : (a). Menggali informasi dari
dalam/luar. (b). Menemukan alternatif yang relevan. (c). Alternatif
Menetapkan
Tujuan
Tindak lanjut
dan kontrol
Merevisi
Tujuan
Merevisi tujuan
Mencari
alternatif
Menilai
Alternatif
Menetapkan
pilihan Implementasi Keputusan
Memperbaiki pencarian alternatif
berkorespondensi dengan tujuan. (d). Pendekatan yang dipakai rasional dan non
rasional. Ketiga, Menilai alternatif, mengukur bobot serta kualitas masing-masing
alternatif. (a). Tergantung pada kualitas SDM. (b). Faktor eksternal. (c).
Membandingkan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan alternatif. (d).
Berpedoman pada hasil dan tujuan. (e). Menemukan alternatif yang baik.
Keempat, menempatkan pilihan dengan cara : (a). Memilih alternatif yang
baik bukan yang terbaik. (b). Mempertimbangkan kriteria aksestabilitas dari segi :
aktor perumus kebijakan, aplibility, ekspektansi hasil dilihat dari intended risk
atau intended consequency. (c). Rasional kuantitatif atau non rasional semisal :
subyektif dan kualitatif. (d). Mempertimbangkan dampak sosial politik dan
ekonomis. Dan (e). Pembuatan keputusan lebih menjadi satisficer daripada
optimizer.
Kelima, melaksanakan keputusan dengan : (a). Pemberian kekuatan hukum
dengan legitimasi atau penerapan sangsi. (b). Pelaksanaan yang efektif semisal
tiadanya komplik kepentingan, rasio imbalan dengan resiko yang ditimbulkan dan
dapat dipahami oleh kelompok sasaran. Dan (c). Memperhatikan aspek teknis dan
kemanusiaan. Terakhir, tindakan lanjutan dan pengendalian melalui : (a). Menilai
hasil nyata, dengan hasil yang diharapkan. (b). Sistem pengendalian dilakukan
dengan menetapkan standar, menilai kinerja dengan standar dan koreksi atas
penyimpanan. Dan (c). Melihat dampak positif atau negatif menjadikannya
sebagai input baru.
David Easton, mengemukakan perumusan kebijakan sebagai suatu sistem,
yang dilihat bagaimana kebijakan itu dibuat dan bagaimana dampak dari
kebijakan tersebut. Easton hanya melihat dari sistem fisik, tidak melihat aspek
kesemestaan, dengan melihat proses itu sendiri dan dukungan dari sistem-sistem
lain. Teori sistem ini lahir sebagai upaya menolak pendekatan keseimbangan dari
Harol Laswell, menurutnya sistem mempunyai hubungan yang saling
mempengaruhi dan juga bisa terjadi komplik serta juga integrasi diantaranya. Ini
dapat digambarkan sebagai berikut (seperti gambar 2)
Gambar 2.
Sumber: David Easton, 1965
Selanjutnya untuk dapat memahami lingkungan sosial politik suatu
kebijakan menurut Ann Majchrzak (1984 : 33) dapat mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Select social problem ; menyeleksi problem-problem sosial
2. Indentify key policy issues ; menentukan permasalahan utama yang akan
ditangani dengan merumuskan kebijakan-kebijakan tersebut pada agenda
pemerintah. Untuk bisa permasalahan masuk kedalam agenda pemerintah,
maka masalah itu sendiri harus dipersepsikan oleh masyarakat, atau
stakeholder yang lain semisal permasalahan tersebut potensial meresahkan
masyarakat dan perlu penanganan segera serta adanya kemauan, keinginan
dan perhatian Policy maker untuk mengangkat permasalahan tersebut.
3. Analyze legislative history of policy issues : menelusuri proses perumusan
dari orang-orang yang menyusun atau mentrasir secara squency (berurutan).
4. Trace progress of previous research and change efforts : adanya kajian-
kajian penelitian sebelum masalah tersebut diangkat dan kemudian diadakan
upaya-upaya penanganan.
5. Obtain organizational chart of decision making bodies : memperoleh atau
membuat bagan perumusan keputusan (kerangka pikir).
6. Interviews stakeholders : wawancara langsung dengan berbagai stakeholder
yang terlibat atau bisa melihat lansung rapat-rapat perumusan kebijakan.
7. Synthesize information : memadukan berbagai informai lalu kemudian
menganalisisnya untuk membuat suatu kajian yang mendalam.
C. Teori Inkremental Sebagai Pendekatan Perumusan Kebijakan
Menurut Anderson (1979), teori inkremental pada pembuatan kebijakan,
lebih sederhana. Inkrementalism (menambahkan) muncul sebagai teori keputusan
yang menghindari beberapa permasalahan pada teori rasional komprehensif dan
saat bersamaan lebih deskriptif sebagai langkah nyata yang diambil oleh para
pelayan publik dalam membuat keputusan. Mengenai teori tersebut dapat
disarikan sebagai berikut :
1. Menyeleksi tujuan-tujuan atau sasaran dan langkah analisis empiris
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, yang saling terkait antara
yang satu dengan yang lainnya, dan tidak dibedakan antara yang satu dengan
yang lain.
2. Pembuat keputusan mempertimbangkan hanya pada beberapa alternatif
pemecahan masalah dan hanya pilihan-pilihan yang sifatnya marginal dari
kebijakan yang sudah ada.
3. Pada setiap alternatif dibatasi hanya para sejumlah konskwensi penting yang
merupakan evaluasi.
4. Permasalahan yang hadapi pembuat kebijakan adalah perubahan secara
kontinu, inkrementalis memungkinkan perubahan cara dan tujuan terus
menerus (bahkan tak terhitung) yang berpengaruh agar permasalahan lebih
dapat diatur.
5. Bukan merupakan satu-satunya keputusan atau solusi yang benar dari satu
permasalahan. Menghasilkan keputusan yang baik dengan berbagai analisis
untuk menemukannya dan langsung menyepakati tanpa pertimbangan apakah
keputusan itu merupakan cara yang tepat untuk mencapai sasaran.
6. Pembuatan keputusan Inkremental merupakan perbaikan yang esensial dan
lebih menyempurnakan dari ketidak-sempurnaan sosial yang nyata dari
peningkatan tujuan-tujuan sosial di masa mendatang.
Menurut Limblom, (1979), model ini sangat baik untuk diterapkan karena
mudah mencapai kesepakatan dengan memodifikasi program-program yang sudah
ada dari isu-isu kebijakan yang luas. Mengingat para pembuat kebijakan
diharapkan dengan kondisi yang tidak tentu sebagai konskwensi tindakannya di
masa mendatang. Pendekata ini lebih realistis mengingat keterbatasan waktu,
kemampuan intelektual dan sumber-sumber yang tersedia yan dibutuhkan untuk
memperoleh analisis komprehensif pada seluruh pilihan dari solusi terhadap
permasalahan-permasalahan yang ada. Lebih dari itu orang tidak selalu mencari
jalan (pemecahan) yang terbaik dari permasalahan, tetapi lebih mendekati pada
sesuatu yang akan dikerjakan secara inkremental. Keputusan singkat, hasil-hasil
dibatasi, praktis, aseptable. Mengenai pendekatan inkremental ini ada beberapa
hal yang perlu menjadi perhatian kita.
Pertama, mengingat waktu dan dana yang dijatahkan untuk masalah
kebijakan hanya terbatas. Administrator pemerintah dapat melaksanakan fungsi-
fungsinya, membatasi perhatiannya sampai pada nilai-nilai yang relatif sedikit dan
kebijakan-kebijakan alternatif yang relatif sedikit diantara alternatif-alternatif
yang tak terhitung jumlahnya. Dalam teori-teori formal pendekatan inkremental
jarang dibahas, organisasi dalam membahas masalah keputusa mestinya dimulai
secara berurutan, seperti yang dilakukan oleh pendekatan rasional. Namun
prakteknya banyak yang melakukan pendekatan inkremental. Terus menerus
merumuskan permasalahan berdasarkan situasi yang ada, setapak demi setapak
dan sedikit demi sedikit ―disebut juga succesive limited comparisons‖.
Kedua, gagasan bahwa nilai-nilai harus diperjelas, ini dilakukan sebelum
penelitian dilaksanakan terhadap kebijakan-kebijakan alternatif, tapi pada
masalah-masalah sosial hal ini tidak dapat terlaksana dengan baik sebab :
a. Mengenal banyak nilai dan tujuan yang sangat penting, para warga negara
yang tidak sepaham, para anggota konggres yang tidak sepaham, dan para
administtrator yang demikian juga. Bahkan apabila telah disepakati,
mengenal tujuan spesifik masih memungkinkan terjadinya komplik pada
penentuan sub-sub tujuan.
b. Administrator sulit menghindari komplik dalam mencari kepastian mengenai
apa yang lebih disukai mayoritas, karena preferensi-preferensi mengenal
kebanyakan masalah belum pernah tercatat.
c. Sulit menentukan nilai-nilai yang akan dipilih, bahkan nilai-nilainya sendiri
(dalam dirinya), nilai mana yang akan diambil atau dikorbankan.
d. Tujuan-tujuan sosial tidak selalu mempunyai nilai-nilai yang relatif sama.
Satu keputusan mungkin dinilai sangat penting pada suatu situasi tertentu,
tetapi kurang penting dalam situasi yang lain. Usaha-usaha untuk membuat
urutan-urutan atau mengatur nilai-nilai dalam pengertian-pengertian umum
dan abstrak sehingga nilai-nilai itu tidak bergeser dari satu keputusan ke
keputusan lainnya. Akan berakhir dengan diabaikannya preferensi-preferensi
yang relevan.
e. Evalausi dan analisis jalin menjalin dengan memilih diantara nilai-nilai dan
diantara kebijakan-kebijakan, pada saat yang sama dan memilihterkait dengan
perhatian terpusat pada nilai-nilai yang merginal atau nilai-nilai tambahan.
f. Meraih pengertian, memahami dan menghubungkan nilai-nilai satu dengan
yang lainnya tidak diperluas sampai melampaui kemampuannya.
Ketiga, pengambilan keputusan biasanya dirumuskan sebagai hubungan
means-end (cara-cara dan tujuan, menurut anggapan mean dinilai serta dipilih dari
dan sebelum tujuan ditetapkan. Sedangkan inkremental mean-end dipilih secara
bersama-sama. Keempat, bagaimana menentukan kebijakan yang baik. Pada
pendekatan rasional bahwa keputusan yang diambil dapat mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, dimana dalam menetapkan tujuan tidak hanya menggambarkan
keputusa itu sendiri, tetapi termasuk langkah-langkah implementasi, tujuan etc.
inkrementalism bahwa pemufakatan mengenai kebijakan itu sendiri, mungkin atau
tidak mungkin tercapai kesepakatan mengenai nilai-nilai. Kedua pendekatan
tersebut menekankan kesepakatan menjadi ciri dari kebijakan yang baik. Tetapi
metode rasional kesepakatan diletakkan pada unsur-unsur apakah dalam
keputusan itu yang memerlukan tujuan, dan tujuan manakah yang harus
didahulukan. Sedangkan metode inkremental mengandalkan kesepakatan,
dimanapun kesepakatan itu diperoleh, baik dalam menentukan nilai, alternatif
maupun tujuan dari kebijakan itu sendiri.
Kelima, analisis bersifat non-komprehensif bahwa keterbatasan-
keterbatasan pada kemampuan intelektual manusia dan pada informasi yang
tersedia menetapkan batas-batas yang pasti bagi kemampuan manusia untuk dapat
komprehensif. Setiap administrator dihadapkan pada masalah-masalah yang
sungguh-sungguh komplek harus mencari cara-cara drastis untuk
menyederhanakannya ―Succecive limited comparison‖ dapat dicapai dalam dua
cara.
a. Penyederhanaan itu dicapai melalui pembatasan perbandingan-perbandingan
kebijakan hanya sampai pada kebijakan-kebijakan yang berbeda secara relatif
sedikit dari kebijakan-kebijakan yang sedang berlaku.
b. Tidak perlu untuk mengadakan penelitian fundamental terhadap suatu
alternatif serta akibat-akibatnya, yang perlu hanyalah mempelajari segi-segi
dimana alternatif yang diusulkan beserta konskwensi-konskwensinya berbeda
dari situasi yang ada. Penyesuaian akan terus berlangsung melalui pengaruh
mempengaruhi antara kelompok-kelompok, bahkan apabila antara mereka
sedang tidak ada komunikasi, apa yang diabaikan oleh kelompok yang satu
akan tidak diabaikan oleh kelompok lain.
Keenam, perbandingan-perbandingan dilakukan bersamaan dengan
pemilihan kebijakan, berlangsung dalam urutan-urutan kronologis. Kebijakan
diciptakan tidak untuk dipakai selamanya. Tapi kebijakan akan dibuat dan
diciptakan kembali terus menerus tanpa akhir. Pembuatan kebijakan merupakan
suatu proses mendekati tujuan-tujuan yang dikehendaki secara berturut-turut,
dimana yang diinginkan itu sendiri dan terus berubah (ditinjau kembali). Baik
para politisi atau administrator belum memiliki pengetahuan yang cukup
mengenal dunia sosial yang begitu luas, untuk mencegah kekeliruan yang
berulang-ulang. Dalam meramalkan akibat-akibat tindaka kebijakan, diharapkan
dapat mencapai sebagian dari keinginan dan pada waktu yang sama akan
menghasilkan akibat-akibat yang tak terduga yang semestinya lebih suka untuk
dihindari. Ada beberapa hal kelebihan pendekatan inkremental.
1. Penggunaan kebijakan-kebijakan masa lampau dapat meramalkan
kemungkinan-kemungkinan akibat yan dihasilkan.
2. Tidak perlu berusaha melakukan lompatan-lompatan besar kearah sasaran-
sasaran yang akan menuntut daripada prediksi-prediksi yang ada diluar
jangkauan pengetahuan (tidak pernah merupakan pemecahan masalah secara
tuntas).
3. Sesungguhnya bisa menguji prediksi-prediksi yang dibuat sebelumnya,
sementara itu maju terus dengan langkah selanjutnya. Kita dapat membuat
keputusan sambil melaksanakan keputusan sebelumnya.
Ketujuh, pada administrator sering merasa mempunyai kepercayaan diri
yang lebih besar, apabila bekerja atas pikirannya sendiri daripada mengikuti
nasehat para teoritis, mempraktekkan metode sistematik. Tidak berbelit-belit atau
tidak perlu mengikuti aturan-aturan, teori-teori dan dalil-dalil yang panjang.
BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Memahami Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi sebagai suatu dualisme pandangan : ekskursi dimana
kebijakan itu dilaksanakan atau prosesnya, dan yang kedua mencoba melihat
hasil/efek atau prestasi yang dicapai oleh suatu kebijakan atau produk yang pada
awalnyadilihat secara dikotomis, pada akhirnya mereka melihat secara kontinum.
Pendekotomian antara administrasi-politik oleh Frank Goodnow, ini berarti secara
politik peranan diambil oleh Policy maker. Sedangkan dalam proses implementasi
politik tidak terlibat. Menurut Anderson (1979), implementasi adalah hal-hal yang
berkaitan dengan :
1. Mempertanyakan siapa yang melaksanakan. Pandangan ―top down‖
mengandalkan pelaksanaan kebijakan kepada unit-unit administrasi dengan
POAC. Terjadi pada semua departemen, memandang implementasi sebagai
suatu pelaksanaan sempurna daripada pelaksanaan program SOP ―standard
operation prosedur‖, semua tertata dengan baik.
2. Bagaimana sebenarnya hakekat makna proses kebijakan. Hakekat dari pada
proses administrasi akibat dengan telah ditetapkannya ―bottom up‖, ada
semacam ramifikasi untuk mencoba melihat pada tataran implementasi di
tingkat bawah. ―implementation process doesn’t work in a vacuum‖.
Pelaksanaan yang sempurna pada point 1, tidak melihat faktor-faktor lain
berfungsi menunjang pelaksanaan implementasi. Maka dari itu point 2
memperbaiki, yang menyatakan ternyata kandungan politik sangat besar
pengaruhnya pada kesuksesan implementasi kebijakan.
3. Aspek kepatuhan stakeholder (s), target group. Bagaimana upaya dilakukan
oleh unit administrasi yang bersifat indusif ―pendekatan endorcement‖, bukan
koersif, untuk mencapai kepatuhan pada target group, namun pada tataran
tertentu tindakan koersif perlu juga. Peran penyebaran informasi sangat besar
pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan, sebagai upaya memotivasi target
group. Tingkat kepatuhan ini perlu untuk melihat apakah suatu kebijakan
perlu dilanjutkan (continuiting), terminating (ditunda), atau dihentikan sama
sekali.
4. Pelaksanaan kebijakan dengan melihat konten dari suatu kebijakan tersebut,
apakah betul-betul maksud yang diharapkan telah tercapai, termasuk
pertimbangan-pertimbangan political and social coast. Sebab menurut
pandangan G. Edward II & I Sharkanshy, bahwa tidak ada kebijakan yang
―self excecutive‖ sehingga perlu diupayakan untuk dilaksanakan.
Selanjutnya hal-hal yang penting dalam implementasi menurut G. Edward
II & I Sharkanshy adalah sebagai berikut. Pertama, komitmen; pada siapa aspek
masalah implementasi pertama kali disampaikan. Yang mana menurut Anderson
bahwa komunikasi pertama adalah pada para pelaksana. Komunikasi
dimaksudkan agar pemahaman secara jelas, konsistensi, dan adaptasi kebijakan
serta mewujudkan implementasi sebagai proses belajar.
Kedua, resources; para pelaksana harus didukung oleh kecukupan sumber-
sumber dalam arti luas seperti : human resources; finansial; tehnologi baik
bersifat soft wear (pengetahuan) maupun hard wear (teknis); natural; social
fsikological yang sangat berpengaruh besar antara lain :
a. Educated staff, kualitas dan kuantitas pegawai yang memadai dan
proporsional.
b. Hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh pegawai menyangkut otoritas
dan responsibilitas.
c. Akses terhadap informasi; selain menerima informasi dapat pula memberi
informasi atau berhak bertanya tentang sesuatu yang mereka ingin ketahui.
Ketiga, diskresi atau disposisi bagi para pelaksana kebijakan; kewenangan
untuk memilih berbagai alternatif (administration descretion), keluwesan,
kebebasan mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan sedemikian rupa,
sehingga berjalan sebagaimana diharapkan, maka perlu diperhatikan hal-hal
semisal ; organizational interest; personal interest; policy interest dan public
interest (general interest sebagai hal terpenting dan terkait dengan public interest).
Diskresi diarahkan untuk melihat dua sisi, baik segi kepentingan birokrasi dan
public interest. Dengan konsep ―putting in the last first‖ (melakukan yang akhir
menjadi yang utama, artinya target group sebagai sasaran akhir kebijakan,
kepentingannya menjadi prioritas. Semisal kebijakan tentang masyarakat desa,
maka yang utama dilakukan merebut hati atau simpati masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingannya, sehingga pada akhirnya mereka
dengan antusias akan mendukung kebijakan yang dibuat. Dalam hal ini
implementasi dipengaruhi oleh :
1. Birokrat politik
2. Insentif atau daya dorong/daya tarik
3. By pressing final; memilih orang-orang yang tepat untuk melaksanakan
kebijakan.
Keempat, SOP ―standard operation prosedur‖ adalah alat untuk
mengendalikan dan mengontrol implementasi kebijakan sebagai bahan evaluasi
kebijakan. Kelima, Follow up, dengan melihat dari indikasi suatu kebijakan,
kapan diteruskan atau kapan ditunda dan dihentikan, apa yang menjadi alasannya
serta kebijakan penggantinya. Fleksibilitas harus ada dalam implementasi
kebijakan, sebagai upaya selektif/memilah-milah dalam pengembangan tindakan
untuk mengimplementasikan suatu kebijakan.
B. Model Implementasi Kebijakan
Model implementasi diperlukan setiap perumus kebijakan yang
menginginkan setiap kebijakannya berhasil. Implementasi akan berhasil bila
mengikuti suatu model tertentu dan akan lebih berhasil lagi apabila menggunakan
model lebih dari satu. Terkait dengan model implementasi ada dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu : a). Analisis implementasi; bagaimana sesuatu yang kita buat
atau desain implementasi bisa menghasilkan tujuan maksimal. Maka pertanyaan
yang perlu dijawab adalah siapa yang terlibat didalam implementasi (menyangkut
aktor atau lembaga), bagaimanakah kegiatan-kegiatan implementasi itu akan
dilaksanakan dan faktor kritis apa yang bisa menyebabkan tujuan kebijaksanaan
berhasil atau tidak. b). Dengan analisis, implementasi tidak dengan sendirinya
akan berhasil mencapai tujuan, maka yang perlu dilihat adalah proses
implementasi.
Ada beberapa kisi yang perlu diperhatikan tentang model yaitu : tidak
dengan sendirinya ketika kebijaksanaan diputuskan secara otomatis implementasi
dapat dilakukan; model lebih menekankan pada apa yang terjadi sesudah
kebijaksanaan dibuat; dan model lebih banyak menawarkan kepada usaha
memperbaiki implementasi kebijaksanaan di masa mendatang. Mengenai model
implementasi dapat digambarkan seperti model Parkins dibawah ini (gambar 3)
Gambar 3
Implementasi
Formulasi Statemen Tujuan Sistem Layanan Efek Program
Beberapa model Jan Erik Lane, 1995
Model dari Hood (1976) yaitu implementasi sebagai administrasi yang
sempurna. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa untuk mencapai hasil
kebijakan secara optimal dapat dilakukan dengan sistem administrasi yang terpadu
misalnya : ada otoritas yang tunggal; adanya tujuan yang jelas; adanya pijakan
peraturan yang tegas; implementasi memiliki kekuatan otoritatif guna
mengendalikan: koordinasi, informasi, sumber-sumber dan mendapatkan
Problem Sosial Tujuan yang
dilegistasikan
Tujuan
Program
Struktur
Administr
asi
outcome
Intervensi sosial
Politik Sosial Ekonomi
Evaluasi
dukungan secara politik penuh. Hood menyebutkan bahwa implementasi yang
sempurna ini sebagai tipe yang ideal dari implementasi, karenma dia melihat
kegagalan-kegagalan implementasi sebelumnya disebabkan oleh tidak adanya
unitary administrasi. Dipertegas lagi bahwa karakteristik dan tipe ideal Hood
adalah guna mencapai kesuksesan dari pada implementasi harus diatur secara
mekanis.
Karakteristik model implementasi sebagai administrasi yang sempurna
adalah sebagai berikut :
1. Merupakan suatu sistem administrasi tunggal dengan menggambarkan garis
otoritas yang tunggal, maka orang-orang yang akan melaksanakan harus
persis seperti apa yang digariskan.
2. Pemaksaan ―enforcement‖ yang seragam tentang aturan-aturan atau prinsip-
prinsip yang tunggal, pelaksanaan sesuai dengan SOP.
3. Tujuan yang ditetapkan harus jelas. Agar si pelaksana tidak lagi memberikan
suatu tafsiran yang lain dari suatu kebijakan, maka sistem administrasi harus
memiliki sistem pengendalian (kontrol administrasi). Juga diperlukan
koordinasi dan mendapatkan informasi yang cukup.
4. Para pelaksana harus terbebas daria danya ―time pressure‖; tidak bisa
dipaksakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, sehingga mereka tidak
merasa seperti dikejar-kejar waktu, ini akan mengurangi keberhasilan
implementasi kebijakan.
5. Tersedianya sumber-sumber yang tidak terbatas; untuk itu harus
dipertimbangkan mengenai premis-premis apa yang perlu disediakan. Para
pelaksana dituntut mampu untuk melihat bahan-bahan yang tersedia atau
disediakan serta yang akan tersedia.
6. Political feasibility; push and full mechanism (mekanisme tarik ulur) diantara
para perumus, stakeholder (s). sebab tidak akan pernah suatu kebijakan
vakum oleh suatu pengaruh.
Kritikan terhadap tulisan ini; bahwa mekanisme akan lebih simetri jika
dilakukan oleh implementor melalui proses bargaining baik itu melalui negosiasi
atau hubungan pertukaran; mekanisme bargaining lebih penting ketimbang unsur
otoritaitf; dan model ini adalah top down akan terjadi kesulitan jika implementasi
melibatkan pelaksana yang cukup banyak, hal ini disebabkan karena nilai
pelaksanaan dan intensitasnya berbeda-beda. Untuk itu diperlukan riset kebijakan.
Riset ini akan lebih berguna ketika implementor mengalami hambatan di dalam
pelaksanaan; hasil penelitian akan lebh bermanfaat jika konsumen peneliti masuk
sebagai implementor dan analisis kebijakan; riset tidak akan merubah
kepentingan-kepentingan birokrasi kecuali hanya sekedar memperbaiki efisiensi
layanan dan riset dengan pilihan usulan yang bervariasi akan lebih bermanfaat
ketimbang pemecahan yang bersifat tunggal.
Model kedua, implementasi sebagai manajemen kebijaksanaan
(Mazmanian dan Sabatier). Model ini tercakup dengan garis-garis besar kebijakan
implementasi. Didalam mana bahwa target group merupakan tujuan utama
kebijakan, kemampuan strategi manajemen diperlukan bagi dukungan proses
perubahan perilaku target group. Kemampuan managerial yang harus terikat
dengan keputusan kebijakan. Guna mencapai kemampuan manajerial yang
maksimal ada berbagai macam faktor yang seyogianya dipenuhi. Seperti
tehnologi, kejelasan tujuan, keahlian, dukungan dan konsensus. Persyaratan model
ini bahwa para pelaksana harus mampu melaksanakan prinsip-prinsip manajemen.
Karakteristik model ini antara lain:
1. Setiap kebijakan harus didasarkan kepada teori yang sehat, tujuan yang
menguntungkan kelompok sasaran. Pendekatan bersifat ―people centre
development approacht‖ (pendekatan pengembangan yang berpusat pada
manusia). Yang kita kenal sebagai ―tricle down effect theory‖ yaitu growth,
basic needs dan equity (pemerataan), bukan lawannya yaitu ―empire
building‖ (membangun kekaisaran/memperkuat status quo). Para pelaksana
menginginkan adanya perubahan perilaku pada kelompok sasaran
sehubungan dengan tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana dari tujuan
dibuatnya suatu kebijakan.
2. Kebijakan tersebut didukung secara nyata dan aktif oleh kelompok sasaran,
tokoh-tokoh politik (ekskutif dan legislatif). Sehingga implementasi tersebut
berjalan dengan baik, aseptable. Bahkan sebelum kebijakan dilaksanakan
kebijakan tersebut tidak ada yang menolaknya dalam hal ini komunikasi
politik sangat diperlukan.
3. Pelaksana kebijakan harus memperhatikan faktor-faktor krusial yang
mempengaruhi suatu kebijakan. Sebab tidak ada suatu pendekatan yang
berakhir secara linier; keterkaitan antar berbagai aspek masih sangat
berpengaruh dan tidak ada kepakuman dari proses perumusan sampai pada
implementasi. Hal-hal yang berpengaruh diantaranya : adanya ambiguitas
tujuan, meskipun dalam perumusan kebijakan telah ditetapkan suatu tujuan,
tetapi bisa jadi para pelaksana mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai
tujuan tersebut; keahlian implementor baik yang berada di dalam birokrasi
maupun diluar birokrasi; dukungan dan konsensus; dan tehnologi.
Ketiga, model implementasi sebagai evolusi. Ide pokoknya adalah terletak
pada kemampuan untuk mendefinisikan tujuan-tujuan dan reinterpretasi atas
implementasi. Model ini tidak memisahkan antara implementasi dan formulasi.
Model ini memiliki kelemahan yang mempertanyakan tentang kapan sebuah
implementasi itu dikatakan berhasil atau gagal. Kapan dicapai tujuan, kapan mulai
sulit terpisahkan antara implementasi dan formulasi, sebab begitu hasil dicapai
diformulasikan lagi dan begitu seterusnya. Model keempat, implementasi sebagai
proses belajar. Pada model ini dikatakan bahwa implementasi sebagai proses
belajar yang tidak ada akhirnya, dalam mana implementor terlibat secara kontinu
terhadap proses penyelidikan, untuk memperbaiki fungsi dan tehnologi
implementasi yang reliable. Titik sentralnya adalah perbaikan cara-cara didalam
setiap pelaksanaan implementasi. Model ini merupakan penjelasan atas hipotesis
implementasi sebagai evolusi, adminsitasi sempurna maupun manajemen
kebijakan. Dan model ini digunakan untuk melihat/mengkaji suatu kebijakan yang
dikeluarkan. Implementasi bukanlah sebagai suatu sekali tembak ―one shot‖,
melainkan sebagai suatu proses.
Model kelima, model simbolik yang penekanannya pada jargon-jargon
politik, tehnik-tehnik implementasi termanipulasi didalam tujuan dan hasil dari
kebijakan. Implementasi dipandang sebagai simbul-simbul dari kepentingan
politik. Model keenam, implementasi sebagai struktur, aktor-aktor perumus dan
pelaksana kebijakan (H. Jeren Porter). Diantaranya para pelaksana haruslah
tercakup didalam kebijakan yang dimaksud, sehingga antara formulator dan
implementor tetap konsisten di dalam tujuan dan hasil kebijakan. Meskipun
penekanan pada top down, tetapi juga tetap memperhatikan beberapa hal
diantaranya kompleksitas organisasi, pemilihan kepada kelompok partisipan,
perbedaan lokasi dan motif serta kepentingan. Sebagai titik penekanan yang lain
yakni pada kualisi antara formulator dan implementor. Model ini memerlukan
waktu yang cukup lama dan melibatkan banyak orang.
Dari model-model tersebut ada dua hal yang bisa dikemukakan oleh Erik
Lane antara lain: model-model yang bottom up ; skor yang tinggi di dalam
pelaksanaan dan dalam realisasi di lapang. Dan model-model yang top down
mempunyai skor yang tinggi dalam hal kesederhanaan dan koherensinya. Dua hal
ini dibedakan atas asumsi-asumsinya, untuk model top down berangkat dari
asumsi-asumsi sumber daya, keterkaitan dan kausalitas.
Ada beberapa model lain yang bisa dikemukan yaitu: a). Implementasi
dampak. Yang melihat dampak itu penting, namun seringkali orang lupa bahwa
mencapai hal itu memerlukan banyak hal. Apakah yang ingin dicapai sudah
benar-benar telah dipersiapkan, tujuan-tujuan dengan struktur yang mendukung,
faktor-faktor extraneus dan komponen-komponen cukup tersedia. b).
Implementasi sebagai backward mapping, sebagai pemetaan kembali yaitu
melihat kembali pada fase formulasi. Dalam artian jika implementasi mengalami
kegagalan atau keberhasilan maka kita harus melihat kembali pada formulasi
kebijakan tersebut. Sebab keberhasilan implementasi sangat tergantung pada
proses awal, proses komunikasi, ada tidaknya public debate, baru kemudian pada
tataran pelaksanaan (mencakup kualitas implementor). c). Implementasi sebagai
kualisi (sabatier). Tidak ada satupun kebijakan yang tidak tersentuh provider
policy, melibatkan semua pihak. Bila Implementasi ingin dimengerti ada suatu
proses jangka panjang, perlu adanya proses belajar diantara orang-orang yang
terlibat pada kebijakan. Dan model terakhir adalah model Implementasi biografi
dari Adam Smith (gambar 4)
Gambar 4.
Bio Grafikal Model
Process Policy Making (dengan asumsi bahwa kebijakan harus
dilaksanakan)
4. environmental factor
Menurut Smith, tidak benar begitu suatu kebijakan itu dirumuskan seolah-
olah langsung bisa diterapkan, karena terlampau banyak faktor internal/eksternal
yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, tidak seperti pandangan
model rasional komprehensif, bahwa formulasi baik maka implementasi akan
baik. Tingkat implementasi paling bawah seolah-olah sudah siap, padahal
kebijakan yang mereka laksanakan terlalu banyak bahkan menumpuk.kelompok
kepentingan, partai oposisi, kelompok sasaran, kelompok pengaruh ―affected
population‖ organisasi yang berpengaruh, seringkali ketika pada tataran
implementasi melakukan modifikasi. Karena stakeholder ini begitu beragam maka
modifikasinyapun bervariasi. Modifikasi sengaja dilakukan padahal mereka secara
birokrasi bertanggungjawab sebagai implementasi. Mengenai hal ini perlu
diperhatikan adalah : faktor kemampuan dan keterampilan yang rendah sulit
3. Implementing Organization
1. idealized policy
Policy Making
Policy process
Tensions
Transactions
Institutions Feed Back
Teori Rodgers
Aksestabilitas
Aplikabilitas
Ekspektansi hasil
2. Target Group
Adoption Process 1. Awareness 2. Information 3. Aplication/evaluation 4. Trial 5. Adoption