Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka. Indonesia adalah Negara agraris, dimana tumbuh dan berkembang dari sektor pertanian. Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan, karena tugas utama pertanian adalah untuk menyediakan pangan bagi penduduk suatu Negara. Salah satu indikator penting untuk melihat 1
148

Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Aug 04, 2015

Download

Documents

Hendry Bakri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok

masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka. Indonesia adalah Negara agraris, dimana
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan

ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan.

Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok

masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian,

ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis,

sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan

kedaerahan mereka.

Indonesia adalah Negara agraris, dimana tumbuh dan berkembang

dari sektor pertanian. Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah

pangan, karena tugas utama pertanian adalah untuk menyediakan pangan

bagi penduduk suatu Negara. Salah satu indikator penting untuk melihat

kondisi ketahanan pangan suatu negara secara agregat adalah melalui

angka rata-rata ketersediaan pangan.

Dalam UU/No 7/Tahun 1996 dan disempurnakan menjadi UU/No

68/Tahun 2002 tentang ketahanan pangan dijelaskan bahwa: “ Ketahanan

Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun

1

Page 2: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan pangan adalah segala

sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi

konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan,

dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,

dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Revolusi hijau (green

revolution) adalah pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan

produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan

pokok seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Jadi tujuan pokoknya

adalah untuk mencukupi tanaman pangan penduduk. Konsep Revolusi Hijau

yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat)

adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya

swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras

adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.

namun oleh karena penyeragaman pangan ke beras maka menimbulkan

dampak negatif berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman

tertentu yang disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang

dikembangkan dan ada sebagian daerah yang tidak berpotensi ditumbuhi

tanaman padi ( beras ) seperti di Maluku.

2

Page 3: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Mengingat keragaman pangan adalah merupakan bagian penting dari

mutu pangan serta keragaman budaya dan status sosial ekonomi rumah

tanggga atau masyarakat, maka terjadi keanekaan pula dalam konsumsi

bahan makanan. Reformasi politik pangan bertujuan menciptakan rancang-

bangun politik pangan yang lebih baik, sehingga melahirkan: “Peraturan

Presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.”

Provinsi Maluku memiliki lahan pertanian padi seluas 21.252 Ha3,

dengan perincian 18.545 Ha3 lahan padi sawah dan 2.207 Ha3 lahan padi

ladang. Dari lahan pertanian padi tersebut dihasilkan padi sebanyak 89.875

ton beras per tahun1. Terdiri dari 83.764 ton padi sawah dan 6.111 ton padi

ladang. Sedangkan kebutuhan beras untuk Provinsi Maluku dengan jumlah

penduduk 1.610.803 jiwa2, dibutuhkan lebih kurang 133 ton setiap tahunnya.

Kekurangan beras untuk kebutuhan pangan masyarakat di provinsi Maluku

cukup besar tersebut juga tidak mampu dipenuhi oleh Divre Maluku sebagai

kaki tangan pemerintah sehingga seringkali mengimpor dari luar daerah

untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan beras. Oleh sebab itu,

pemerintah daerah berupaya sendiri untuk menutupi kebutuhan pangan

masayarakat, salah satunya dengan pemberdayaan pangan berbasis lokal.

1? BPS Provinsi Maluku tahun 2010 dalam http;//Maluku.bps.go.id. diakses pada tanggal 31 mei 2011 pukul 15.11 Wita2 BPS Provinsi Maluku tahun 2010 dalam http;//Maluku.bps.go.id. diakses pada tanggal 31 mei 2011 pukul 15.11 Wita

3

Page 4: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Tanaman Sagu banyak tumbuh di Maluku, Sagu diolah menjadi

makanan bagi Masyarakat Maluku. Namun oleh karena manifestasi

pemerintah dan modernisasi maka orang Maluku cenderung melupakan sagu

dan beralih ke beras. Padahal Maluku memiliki potensi yang besar sebagai

lumbung pangan “sagu” sebagai basis ketahanan pangan lokal dalam

menghadapi krisis pangan. Sehingga dibutuhkan peran dan kinerja

pemerintah daerah untuk dapat mempertahankan sagu sebagai makanan

pokok yang memiliki kualitas pangan yang baik. Swasembada pangan harus

tetap dijaga karena produksi pangan selain merupakan masalah ekonomi

juga masalah politik.

Dalam mewujudkan kemandirian pangan di Maluku maka dikeluarkan

Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Lembaga ini diharapkan

menciptakan ketahanan pangan serta diversifikasi pangan di Maluku salah

satunya dengan melindungi, melestarikan, serta mengolah sagu sebagai

basis ketahanan pangan lokal di Maluku. Namun dalam pelaksanaan

mewujudkan ketahanan pangan berbasis pangan lokal Badan Ketahanan

Pangan Maluku masing mendapat kendala oleh karena paradigma

masyarakat Maluku yang lebih memprioritaskan makan beras ketimbang

pangan lokal “Sagu”. Pergeseran pola konsumsi yang secara tidak sadar

4

Page 5: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

menciptakan ketergantungan terhadap beras, membuat masyarakat kurang

termotivasi untuk menggali dan memanfaatkan pangan lokal. Kondisi ini

secara tidak langsung mempengaruhi lambannya pengembangan

penyediaan bahan pangan sampai ke tingkat rumah tangga. Perwujudan

ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah

(Badan Ketahanan Pangan) bersama masyarakat, dengan pangan lokal

diharapkan Provinsi Maluku dapat menuju kemandirian pangan.

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti mengenai

Politik Pangan di Maluku, maka penulis membatasinya pada persoalan

sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi

Maluku dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di

Maluku?

2. Apa faktor-faktor penunjang dan penghambat Badan Ketahanan

Pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di

Maluku?

5

Page 6: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

C. Tujuan Penelitian:

a. Mendeskripsikan ketahanan pangan lokal di Maluku.

b. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi Peraturan

Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku serta faktor-

faktor pendukung dan penghambat terhadap ketahanan pangan

lokal di Provinsi Maluku.

D. Manfaat Penelitian :

1. Manfaat Teoritis

a. Menunjukan fenomena sosial-politik tentang Politik Pangan

Lokal di Maluku.

b. Menunjukan secara ilmiah implementasi kebijakan politik

pangan di Provinsi Maluku demi terciptanya ketahanan pangan

lokal.

c. Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu

politik untuk pengembangan keilmuan, khususnya politik

kontemporer.

6

Page 7: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat

dalam memahami realitas Politik Pangan di Maluku.

b. Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana ilmu

politik.

7

Page 8: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini yang akan dibahas keempat aspek, yaitu: Kebijakan

Publik, Implementasi Kebijakan, Politik Pangan, dan Pangan lokal. Keempat

hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.

A. Kebijakan Publik

Menurut Johan K. Bluntschi, politik adalah suatu hal yang

memperhatikan masalah kenegaraan, yaitu berusaha keras untuk mengerti

dan memahami kondisi suatu Negara yang bersifat penting dalam berbagai

bentuk manifestasi pembangunan.3 Namun salah satu konsep politik yang

dikemukan Miriam Budiarjo adalah kebijakan (Policy).4 Kebijakan diartikan

sebagai aturan yang lahir dari proses politik. Kebijakan merupakan hal yang

mengikat sebagai suatu upaya pencapaian tujuan yang diinginkan dengan

bersifat strategis dan jangka panjang. Kebijakan harus bisa

diimplementasikan ke ruang publik.

3 Inu Kencana,Syafie, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Pustaka RekaCipta,2009),hal.584 Miriam. Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008),hal.17

8

Page 9: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Menurut Carl Friedrich yang dikutip dalam Wahab bahwa:

“kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.”5

Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana

kebijakan publik digambarkan sebagai suatu keputusan berdasarkan

hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan

dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Pangan

merupakan suatu yang vital bagi kelangsungan Negara terutama sebagai

bahan makanan kelangsungan hidup rakyat. Oleh karena pentingnya

pangan, dan agar terciptanya keterediaan pangan maka harus dibuat

kebijakan yang mengatur tentang pangan.

Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin dapat dibedakan

dalam tiga tingkatan:

1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau

petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat

negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang

bersangkutan.

5 Solichin, Wahab. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara,2001) Hal 3

9

Page 10: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

2. Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan

umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang

pelaksanaan suatu undang-undang.

3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah

kebijakan pelaksanaan.

Anderson memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakan-

kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan penjabat-penjabat

pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar di lakukan oleh

pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan

untuk dilakukan.

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti

merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah

tersebut atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan

pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

10

Page 11: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Analisis Kebijakan diartikan William Dunn 6 sebagai serangkaian

aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat

politis. Aktifitas politik itu Nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup

penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan

penilaian kebijakan. Maka dapat dikatakan bahwa dalam pembuatan

kebijakan terdapat terdapat empat rangkaian kesatuan penting didalam

analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu penyusunan agenda

(agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi

kebijakan (policy implementation).

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Proses kebijakan publik diawali dengan penyusunan agenda

(agenda setting ) yaitu sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam

realitas kebijakan publik. Dalam proses ini memiliki ruang untuk memaknai

suatu masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika

sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan

mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak

mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam

agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang

akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues)

6 William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1998), Hal.24

11

Page 12: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Isu

kebijakan lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat antara para

aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau

pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.

2. Formulasi Kebijakan (policy formulation)

Langkah kedua dalam proses kebijakan setelah agenda setting adalah

formulasi kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan

kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang

masuk diidentifikasi untuk kemudian di cari pemecahan masalah yang

terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau

pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah

untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang

diambil untuk memecahkan masalah. Formulasi kebijakan memiliki aktivitas

yang sangat penting dalam kerangka peramalan. Formulasi kebijakan akan

memberi gambaran mengenai konsekuansi di masa mendatang dari

diterapkannya kebijakan tersebut.

12

Page 13: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

3. Implementasi Kebijakan (policy implementation) dan Evaluasi

Kebijakan

Berhasil tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada

tataran implementasinya. Sering dijumpai bahwa proses perencanaan

kebijakan yang baik sekalipun tidak dapat menjamin keberhasilan dalam

implementasinya. Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini

berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola

operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil

sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada

hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah

sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya

melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan

tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan

sosial. Tahap paling akhir dalam proses kebijakan adalah penilaian

kebijakan. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai

kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup

substansi implementasi dan dampak.

13

Page 14: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Tabel. 01. Proses Kebijakan Publik

Tahap Karakteristik

Perumusan Masalah

Formulasi Kebijakan

Rekomendasi Kebijakan

Monitoring Kebijakan

Implementasi Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan

Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah.

Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternative kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.

Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif.

Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu, termasuk kendalanya, pengawasan.

Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil kebijakan.

B. Implementasi Kebijakan

Telah disebutkan diatas ada tahapan tahapan kebijakan, namun pada

dalam permasalahan ini, penulis lebih menfokuskan pada tahapan

implementasi. Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi

kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta

baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk

mencapai tujuan.7 Sedangkan menurut Mazmadian:

7 Samudra, Wibawa. Kebijakan Publik (Jakarta: Intermedia,1994) hal 6814

Page 15: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

“implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang atau bentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif. ” 8

Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam

dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome).

Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari

maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua,

implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy,

Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini

adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan

dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting

dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan

keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan

dapat dihasilkan. T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat,

kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin

sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan.9

Dari definisi diatas implementasi dapat diketahui bahwa implementasi

kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktifitas atau kegiatan

pencapaian tujuan, dan hasil kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan 8 ibid9 http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/03/teori-implementasi-kebijakan-publik.html

15

Page 16: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

melakukan suatu kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapat suatu

hasil yang sesuai dengan sasaran kebijakan.

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan

realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi adalah

membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik

direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai

pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Tachjan menjelaskan

tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada

yaitu:

1. Unsur pelaksana, Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan

yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan sebagai berikut:

”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan

kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran

organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi

organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan

program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan

operasional, pengawasan serta penilaian”.10

2. Adanya program yang dilaksanakan, program merupakan rencana

yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya

10 http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-publik/

16

Page 17: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program

tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode,

standar dan budjet.

3. Target group atau kelompok sasaran, target group yaitu sekelompok

orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang

atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan

kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa

karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran

kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta

kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas

implementasi .

17Fase Agenda

Fase Keputusan

Fase Pelaksanaan

Page 18: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Gambar 01. Implementasi Kebijakan

Dalam mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus

memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu

perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka

masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan

kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam

organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung

pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan

kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan

berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan

positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan

implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif

18

IsuKebijakan

DalamAgend

a

Tidak

Keputusan

kebijakan

Tidak ada kebijakan

Sukses dilaksanakan

Gagal Kendala

Page 19: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam

akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran

kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang

menentukan efeknya terhadap masyarakat. Kriteria pengukuran keberhasilan

implementasi didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan

birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana

diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak

adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang

dikehendaki dari semua program yang ada terarah.

Menurut Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Horn, terdapat

variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:

1. Standar dan sasaran kebijakan, dimana standar dan sasaran

kebijakan harus jelas dan terukur agar dapat direalisir, komunikasi

sangatlah diperlukan agar implementator mengetahui apa yang

harus dilakukannya.

2. Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan

sumber daya, baik sumber daya manusia dan sumber daya non

manusia (finansial). Meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan

secara jelas dan konsisten, tapi kekurangan sumber daya maka

implementasi tidak dapat berjalan efektif.

19

Page 20: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

3. Hubungan antar organisasi, dalam banyak program, implementasi

sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain

agar tecapai keberhasilan suatu program.

4. Disposisi Implementator, yakni karakteristik yang dimiliki

implementator, mencakup respon implementator terhadap kebijakan

yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan

kebijakan. Kognisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan.

5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi, ini menyangkut sumber daya

lingkungan mendukung implementasi kebijakan, misalnya kelompok

kepentingan, elit politik, serta opini publik.

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari

proses dan pencapaian tujuan akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya

tujuan-tujuan yang akan diraih.

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan

20

Page 21: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Menurut Budi Winarno implementasi kebijakan bila dipandang dalam

pengertian yang luas, merupakan: “ Alat administrasi hukum dimana berbagai

aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk

menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”

Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan Negara

secara sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis

A.Gun yang dikutif oleh Wahab11, yaitu:

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana

tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan

hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya.

b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang

cukup memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar

tersedia;Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh

suatu hubungan kausalitas yang handal.

d. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnnya.

e. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

f. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

g. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

11 Solichin, Wahab. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara,2001) Hal 7

21

Page 22: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

h. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan

dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus

dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya.

Menurut James Anderson, 12 masyarakat mengetahui dan melaksanakan

suatu kebijakan publik dikarenakan :

a. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-

keputusan badan-badan pemerintah;

b. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;

c. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara

sah,konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;

d. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan

itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi; Adanya sanksi-sanksi

tertentu yaang akan dikenakan apabila tidakmelaksanakan suatu

kebijakan.

Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukung implementasi

kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota

masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah

12? Ibid. 1022

Page 23: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan

tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak

berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan

publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat,

yaitu:

a. Isi kebijakan.

Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi

kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,

sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram kebijakan

terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya

ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.

Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan

adanya kekurangankekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain

dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi

karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber

daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga

manusia.

b. Informasi.

Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang

peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat

23

Page 24: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru

tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.

c. Dukungan.

Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada

pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan

tersebut.

d. Pembagian potensi.

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu

kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para

pelaku yang terlibat dalam implementasi.Dalam hal ini berkaitan dengan

diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi

pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian

wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian

tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang

jelas13. Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan

mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata

lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus

sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga

13 http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-publik/

24

Page 25: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan

pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif.

D. Politik Pangan

Politik berasal dari bahasa Latin “Polis” yang berarti kota. Politik

memiliki arti suatu kegiatan berkaitan dengan Negara, kekuasaan, kebijakan,

serta pembagian kekuasaan.14 Masalah pangan merupakan hal yang sangat

fundamental dalam Negara karena berkaitan dengan kelangsungan hidup

rakyat. Sehingga dibutuhkan suatu kebijakan untuk mengatur tentang

pangan. Dalam Peraturan Pemerintah tentang ketahanan pangan pada pasal

1 ayat 2 dijelaskan bahwa, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari

sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang

diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,

termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain

yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan

makanan atau minuman.

Politik pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna

terciptanya pemenuhan pangan bagi masyarakat dalam konteks Negara.

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah

14 Miriam.Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008),hal 16

25

Page 26: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

dan masyarakat secara bersama-sama seperti yang diamanatkan oleh

Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tetang ketahanan pangan. Dalam

Undang-Undang tersebut pemerintah menyelenggarakan pengaturan,

pembinaan, pengendalian, dan pengawasan. Sementara masyarakat

menyelenggarakan proses produksi atau penyediaan, perdagangan,

distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh

pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam,

terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Pangan merupakan hal pokok bagi kelangsungan hidup masyarakat.

Pemenuhan ketersediaan pangan harus terus digalakan agar tidak terjadi

kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi

ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk

hidup sehat dan aktif. Pada dasarnya terjadinya kerawanan pangan dan

kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan akibat antara lain:

1. Rendahnya ketersediaan pangan dari produksi setempat maupun

pasokan dari luar.

2. Gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta

keamanan distribusi.

3. Terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah/daerah

terisolasi.

26

Page 27: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

4. kegagalan produksi pangan

5. Gangguan kondisi sosial.

Keterbatasan pemenuhan sumber pangan akan mengakibatkan situasi

rawan pangan, untuk itu harus dibuat suatu mekanisme ketahanan pangan.

Menurut Kurniawan ketahanan pangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi

ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang dan setiap individu

mampu memperolehnya.15 Dalam konsep ketahanan pangan terdapat tiga

topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana aksi

pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu:

1. Kecukupan pangan

Kecukupan pangan adalah suatu kondisi pada suatu negara yang

cukup akan jumlah pangan, mutu baik, mudah diperoleh, aman

dikonsumsi, dan harga terjangkau.

2. Kemandirian pangan

Kemandirian pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat

memenuhi kebutuhan pangan dengan produk sendiri (negara

tersebut).

15 Susan. George. Pangan “ dari penindasan sampai ketahanan pangan”.

(Yogyakarta:INSIST.2007)

27

Page 28: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

3. Kedaulatan pangan

Kedaulatan pangan adalah suatu penentuan yang dilakukan oleh

suatu negara atas pangan untuk negaranya sendiri.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan

sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke

waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem

produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan

budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,

mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan

prasarana produksi pangan dan mempertahankan serta mengembangkan

lahan produktif.

Subeno menjelaskan bahwa, basis konsep ketahanan pangan

nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di

pedesaan.16 Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan

merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.

Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa ketahanan pangan (food security) merupakan kondisi tersedianya

pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk kebutuhan masyarakat

yang dapat diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya beli

16 Insist. Politik Pangan: perlu perubahan paradigma. (Yogyakarta:INSIST.2008)28

٤

Page 29: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

masyarakat serta terdistribusi merata di semua wilayah dan strata

masyarakat.

Oxfam 2001 mengartikan Ketahanan pangan adalah kondisi

ketika: “setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control

atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang

katif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni:

ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas

pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).

Ketahanan pangan adalah sebuah bangunan sistem yang terdiri dari

tiga subsistem yang saling interpenden dan tidak bisa dibahas secara parsial.

Hal ini sangat penting karena memahami konsep ketahanan pangan adalah

memahami sebuah proses yang saling memiliki keterkaitan dari awal sampai

akhir dimulai dari produksi, distribusi sampai kepada aktivitas konsumsi.

Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting

untuk meningkatkan stok pangan lokal. Sistem ketahanan pangan sudah

didesentralisasikan ke seluruh daerah otonom yang meliputi perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-

kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis di

lapangan diserahkan ke pemerintah daerah otonom. Nainggolan

menyatakan bahwa, otonomi daerah memberikan keleluasaan dalam

29

٥

Page 30: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah, diantaranya

melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

1. Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders pemerintahan daerah.

2. Melaksanakan program pembangunan yang secara langsung

memberikan manfaat kepada masyarakat.

3. Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan

pusat.

4. Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.

Waluyo menyatakan17 bahwa, permasalahan fundamental yang

dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: Kebijakan

ketahanan pangan, penataan dan pemanfaatan lahan pertanian, lumbung

pangan, sebagaimana uraian berikut:

(1) Kebijakan Ketahanan Pangan

Terkait dengan aspek pengelolaan dan pemeliharaan cadangan

pangan pemerintah, Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 2002

menyebutkan secara tegas tentang pentingnya peran pemerintah provinsi,

pemerintah kabupaten, dan pemerintah desa dalam menangani masalah

17 Susan,George. Pangan “dari penindasan sampai ketahanan pangan”. (Yogyakarta:INSIST.2008)30

٦

Page 31: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

pangan. Semangat otonomi daerah menurut PP 68/2002 tersebut pada

dasarnya dapat dilihat dari dua hal pokok. Pertama, pengakuan terhadap

pentingnya peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten, pemerintah desa dalam pengelolaan ketahanan pangan; Kedua,

pernyataan secara tegas tentang keberagaman pola pangan masyarakat,

yaitu dengan memberikan keleluasaan pengertian atas pangan tertentu

bersifat pokok, sesuai dengan pola pangan masyarakat setempat. Oleh

sebab itu ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu

kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran

tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan

terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun

sosial dan budaya masyarakat tersebut. Intinya sistem dan seluruh

kelembagaan dalam masyarakat harus memiliki visi untuk mencapai

ketahanan pangan. Untuk mencapai visi ketahanan pangan tersebut

diperlukan tiga dimensi ketahanan pangan, yaitu: dimensi ketersediaan

(availability), dimensi akses (access), dan dimensi pemanfaatan (utilization).

(2) Penatalaksanaan Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain telah menjadi salah satu

ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.

(3) Lumbung Pangan

31

٧

Page 32: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Secara formal pengaturan cadangan pangan menjadi tanggung jawab

pemerintah dan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah dan masyarakat

harus sama-sama eksis dan satu sama lain harus saling melengkapi. Oleh

sebab itu memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada,

baik secara individu maupun secara kolektif, untuk cadangan pangan demi

keberlanjutan kehidupan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk

meningkatkan ketahanan pangan.

E. Pangan Lokal

Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan

sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain

sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan

antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya.

Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah

sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-

hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang

sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai

tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan

tingkah-laku mereka.

32

٨

Page 33: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Pangan Lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan

sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah dan budaya setempat.18

Pangan lokal juga diartikan pangan yang asal usulnya secara biologis

ditemukan di suatu daerah. 19 Pangan adalah hak asasi setiap individu untuk

memperolehnya dengan jumlah yang cukup dan aman serta terjangkau. Oleh

karena itu, upaya pemantapan ketahanan pangan harus terus dikembangkan

dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.

Dalam menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk

Indonesia harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing,

sebagai contoh; orang Maluku dengan makanan pokok sagu, maka

penduduk Maluku wajib mengkonsumsi sagu, tetapi pada saat ini mana ada

orang yang suka makan sagu terus-menerus, tentunya akan merasa bosan

dan merasa gengsi, maka sagu harus diolah dengan baik dan lebih

bervariasi, begitu pula makanan pokok lainnya. Sesuai dengan peraturan

presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.

Kebijakan pengembangan konsumsi pangan dapat diarahkan pada :

18 http://agoesman120.wordpress.com/2009/06/27/pangan-lokal/ diakses pada tanggal 8 september 2011 pukul 17.35 wita19 Susan,George. Pangan “dari penindasan sampai ketahanan pangan”. (Yogyakarta:INSIST.2008)

33

Page 34: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

1. Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan yang

diarahkan untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk baik jumlah

maupun mutu, termasuk keragaman dan keseimbangan gizinya;

2. Pengembangan konsumsi pangan lokal baik nabati dan hewani yang

diarahkan untuk meningkatkan mutu pangan lokal dan makanan

tradisional dengan memperhatikan standar mutu dan keamanan

pangan sehingga dapat diterima di seluruh lapisan masyarakat.

Strategi pengembangan konsumsi pangan diarahkan pada tiga hal

yaitu produk/ketersediaan, pengolahan dan pemasaranan. Strategi

pengembangannya adalah :

1. Pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini adalah berupa

peningkatan peran masyarakat dalam pengembangan konsumsi

pangan yang meliputi peningkatan pengetahuan/kesadaran dan

peningkatan pendapatan untuk mendukung kemampuan akses

pangan oleh setiap rumah tangga.

2. Peningkatan kemitraan. Merupakan implementasi, sinkronisasi dan

kerjasama antara semua stakeholders dalam pengembangan

konsumsi pangan termasuk pengembangan

produksi/pengembangan teknologi pengolahan pangan.

34

Page 35: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

3. Sosialisasi. Memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi

masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan melalui

promosi, kampanye, penyebaran informasi melalui media massa

(cetak dan elektronik) dan pemberian penghargaan.

Pemanfaatan pangan lokal dapat membantu masyarakat lokal dalam

memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan

pangan rumah tangga. Sumber-sumber pangan lokal ( jagung, ubi kayu, ubi

jalar, kentang, sagu, dan sumber karbohidrat lainnya ) sangat potensial untuk

dikembangkan sebagai bahan pangan pokok pendamping beras. Program

pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan melalui Badan

Ketahanan Pangan bertujuan:

1. Memantapkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan

sumberdaya yang dimiliki secara berkelanjutan.

2. Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin stabilitas

pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses

pangan masyarakat. Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi

pangan dan mencegah kerawanan pangan.

F. Kerangka Pemikiran

35

٩

Page 36: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Pada masa orde baru terjadi penyeragaman pangan ke satu

komoditas pangan yakni beras. Namun ketergantungan pola konsumsi

pangan masyarakat Maluku terhadap beras, tidak sebanding dengan tingkat

produksi beras di Provinsi Maluku. Secara letak geografis Maluku adalah

Provinsi kepulauan yang hampir keseluruhan daerah lahan pertanian tidak

cocok ditanami padi dan seringkali harus mengimpor dari luar daerah. Dari

permasalahan inilah pemerintah Provinsi berupaya mengupayakan

diversifikasi pangan berbasis pangan lokal “sagu” agar tercipta ketahanan

pangan yang mandiri. Pemerintah daerah membentuk Badan Ketahanan

Pangan sebagai badan pembantu Gubernur dalam membuat dan

melaksanakan kebijakan teknis tentang ketahanan pangan dan kemudian di

buatkan peraturan daerah No. 04 tahun 2010 tentang organisasi tata kerja

badan ketahanan pangan Maluku. Peraturan daerah ini diharapkan menjadi

legitimasi hukum Badan Ketahanan pangan dalam menciptakan ketahanan

pangan berbasis lokal di Maluku.

Daerah Maluku memiliki potensi pangan lokal yang bisa

dikembangkan untuk menciptakan ketahanan pangan. Daerah ini merupakan

habitat yang cocok untuk tanaman sagu, bahkan sebelum penyeragaman

pangan ke beras, makanan pokok orang Maluku adalah sagu.

Dalam pelaksanaan implementasi Badan Ketahanan pangan Maluku

mengalami hambatan untuk melakukan diversifikasi pangan. Pola pikir

36

Faktor Penunjang Potensi Sagu sebagai Pangan Lokal Kelembagaan BKP

Page 37: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

masyarakat yang cenderung bergantung pada beras, menjadikan pangan

lokal “sagu” hanya menjadi makanan pendamping. Hutan sagu mulai dialih

fungsikan menjadi daerah perumahan membuat semakin berkurangnya

sumber daya dan habitat asli tanaman sagu. Selain itu kendala yang dihadapi

adalah masih kurang daya inovatif terhadap pangan lokal dimana pangan

lokal lebih cepat rusak bila dibandingkan dengan beras yang dapat disimpan

dalam waktu yang lama saat dijadikan sebagai cadangan makanan. Letak

geografis Maluku yang merupakan daerah kepulauan, minimnya aparatur dan

penyediaan dana Badan Ketahanan pangan menjadi penghambat dalam

proses sosialisasi diversifikasi pangan di masyarakat.

BAB III

37

Diversifikasi Pangan(penganekaragaman pangan)

Implementasi Perda No 04 tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja

Badan Ketahanan Pangan Maluku

Ketahanan Pangan Berbasis Pangan Lokal

(Sagu)

Faktor Penghambat Ketergantungan pada beras Alih fungsi lahan sagu

Page 38: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas ada lima aspek, sebagai berikut : Lokasi

Penelitian, Tipe dan Dasar Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan

Data, dan Teknik Analisis Data. Kelima hal tersebut akan di uraikan lebih

lanjut.

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Provinsi Maluku. Lokasi penelitian di Badan

Ketahanan Pangan Provinsi Maluku yang bertempat di Kota Ambon dan

merupakan merupakan lembaga yang membantu Gubernur dalam

penggagas perumusan kebijakan teknis pangan di Maluku. Alasan dipilihnya

Maluku sebagai daerah penelitian karena daerah Maluku merupakan habitat

asli tanaman sagu dan merupakan potensi pangan yang dapat

dikembangkan guna terciptanya diversifikasi pangan berbasis lokal.

B. Tipe dan Dasar Penelitian

Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metodologi kualitatif untuk menghasilkan temuan atau kebenaran yang

didalam penelitian kualitatif disebut kebenaran “intersubjektif”, yakni

kebenaran yang dibangun dari jalinan berbagai faktor yang bekerja

bersama-sama, seperti budaya dan sifat unik manusia, maka realitas

kebenaran adalah sesuatu yang “dipresepsikan” oleh yang melihat bukan

38

Page 39: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

sekedar fakta yang bebas konteks dan interpretasi apapun. Kebenaran

merupakan bangunan (konstruksi) yang disusun oleh peneliti dengan

mencatat dan memahami apa yang terjadi dalam interaksi sosial

kemasyarakatan.20

Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan

untuk menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian

dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala

yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian

dilakukan. ujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan

secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Namun

demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau

kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga dirancang

untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan atas satu

variabel kepada variabel lain.

C. Sumber Data

Pada penelitian ini penulis menggunakan data yang menurut penulis

sesuai dengan objek penelitian yang mampu memberikan gambaran tentang 20 Prasetya Irawan, Penelitian kwalitatif dan kwantitatif untuk ilmu-ilmu sosial (Jakarta: DIA FISIP UI,2006),hal.5

39

Page 40: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

objek penelitian. Adapun sumber data yang digunakan yaitu Data Primer dan

Data Sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah

penelitian dari hasil wawancara mendalam dengan informan dan observasi

langsung. Peneliti turun langsung ke daerah penelitian untuk mengumpulkan

data dalam berbagai bentuk, seperti rekaman hasil wawancara dan foto

kegiatan di lapangan. Dari proses wawancara peneliti berharap akan

mendapatkan data-data seperti, ketahanan pangan di Maluku, kinerja Badan

Ketahanan Pangan, serta penganekaragaman pangan berbasis lokal di

Maluku.

b. Data Sekunder

Penulis selain turun ke lapangan, juga melakukan telaah pustaka

yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran, dan sumber informasi

lainnya yang erat kaitannya dengan masalah penelitian yakni politik pangan

di Maluku.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini

yaitu : Wawancara Mendalam dan Arsip / Dokumen.

40

Page 41: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

a. Wawancara Mendalam

Penulis dalam melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara

mendalam, pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap

berada pada fokus penelitian, meski tidak menutup kemungkinan terdapat

pertanyaan-pertanyaan berlanjut. Pedoman wawancara digunakan untuk

mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas,

juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan

tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman tersebut interviwer

harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara

kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan

konteks aktual saat wawancara berlangsung. Proses pengumpulan data

dengan wawancara mendalam penulis membaginya menjadi dua tahap,

yakni :

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun

berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan

yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan

mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman

wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal

ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi

pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari

41

Page 42: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan

mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan

selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun

berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan

observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya

terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat

peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka

peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti

selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek

penelitian. Sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada

subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia

untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut

mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan

tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat.

Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman

berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan

analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang

dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu,

peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan,

42

Page 43: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Informan yang

penulis wawancarai adalah:

Tabel. 02 Narasumber PenelitianNarasumber Jabatan

Dr. Syuryadi Sabirin Kepala Badan Ketahanan Pangan MalukuDrs. H. Ramli Hasan Kepala Divisi Regional Bulog MalukuAbdullah Tuanaya Sekertaris Dinas Pertanian MalukuIr. S. M Talla Kepala Bidang Ketersediaan dan kerawanan

Pangan MalukuDrs. M. Siahalatua Kepala Bidang Organisasi Kantor Gubernur

MalukuIr. Melkias L. Frans Ketua Komisi B DPRD MalukuDrs. Andreas. J. W. Taborat Wakil Ketua Komisi B MalukuAbraham M. M Malioy, SH Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku

b. Arsip/Dokumen

Arsip atau Dokumen mengenai berbagai informasi dan hal yang

berkaitan dengan fokus penelitian merupakan sumber data yang penting

dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud dapat berupa dokumen tertulis

gambar atau foto, film audio-visual, data statistik, tulisan ilmiah yang dapat

memperkaya data yang dikumpulkan. Data-data ini didapat di Dinas

Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, DPRD Maluku, dan Perpustakaan

Daerah.

E. Teknik Analisis Data

43

Page 44: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Strauss dan Corbin21 mengungkapkan penelitian kualitatif dimaksud

sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui

prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya

penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman

penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih

kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung

mengg unakan analisis dengan pendekatan induktif. Penelitian kualitatif juga

membutuhkan triangulasi yakni pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Pengamatan yang terus

menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang

sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta

memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Analisis data dilakukan

bersamaan atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Langkah

yang digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut : Reduksi Data,

Sajian Data, dan Penyimpulan Data.

1. Reduksi Data

21 Ibid44

Page 45: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan data mentah, dengan

menggunakan alat-alat yang perlu seperti rekaman MP3, field note, serta

observasi yang dilakukan penulis selama berada dilokasi penelitian. Pada

tahap ini sekaligus dilakukan proses penyeleksian, penyederhanaan,

pemfokuskan, dan pengabstraksian data dari field note dan transkrip hasil

wawancara. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan dengan

membuat singkatan, kategorisasi, memusatkan tema, menentukan batas-

batas permasalahan. Reduksi data sperti ini diperlukan sebagai analisis yang

akan menyeleksi, mempertegas, membuat fokus dan membuang hal yang

tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah

kesimpulan.

Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data hasil wawancara

yang berupa rekaman MP3, catatan lapangan, dan pengamatan lainnya,

peneliti melakukan transkrip data untuk mengubah data hasil wawancara,

catatan lapangan dalam bentuk tulisan yang lebih teratur dan sistematis.

Setelah seluruh data sudah dirubah dalam bentuk tertulis, peneliti membaca

seluruh data tersebut dan mencari hal-hal yang perlu dicatat untuk proses

selanjutnya yakni pengkategorisasian data agar data dapat diperoleh lebih

sederhana sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sampai disini diperoleh

kesimpulan sementara berdasarkan data-data yang telah ada. Pada tahap

selanjutnya, penulis melakukan triangulasi yakni check and recheck antara

45

Page 46: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

satu sumber data dengan sumber data yang lainnya. Apakah sumber data

yang satu sesuai dengan data yang lainnya, hal ini dilakukan untuk

meningkatkan validitas data.

2. Sajian Data

Sajian data adalah suatu informasi yang memungkinkan kesimpulan

penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data penulis dapat lebih

memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan

sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman

tersebut. Sajian data diperoleh dari hasil interpretasi, usaha memahami, dan

analisis data secara mendalam terhadap data yang telah direduksi,

dikategorisasi, dan check and recheck antara saru sumber data dengan

sumber yang lainnya. Sajian data dapat meliputi deskriftif, matriks dan table.

Sajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan mudah memahami dan

mengerti.

3. Penyimpulan Data

Dari hasil pengumpulan data yang telah diperoleh peneliti menemukan

berbagai hal-hal penting yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pada

saat mengolah data peneliti sudah mendapat kesimpulan sementara,

kesimpulan sementara yang masih berdasarkan data akan dipahami dan

46

Page 47: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

dikomentari oleh peneliti yang pada akhirnya akann mendeskripsikan atau

menarik suatu kesimpulan akhir dari hasil penelitian yang telah diperoleh.

Penelitian berakhir ketika peneliti sudah merasa bahwa data sudah jenuh dan

setiap penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan.

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Lintasan Sejarah Maluku

47

Page 48: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Maluku merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia

Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai provinsi bersama tujuh daerah

lainnya, yaitu Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah,

Sumatera, dan Sulawesi, hanya dua hari setelah Indonesia

memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. Seperti

daerah lainnya di Indonesia, Maluku sebagai wilayah kepulauan juga memiliki

sejarah yang panjang yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia

secara keseluruhan. Meskipun di daerah Maluku tidak ditemukan fosil/

kerangka manusia purba, namun ada asumsi yang mengatakan bahwa di

Maluku sudah pernah hidup manusia purba yang mempunyai kemuripan

dengan manusia Homosapiens yang hidup sekitar 40.000 tahun SM di

daratan Jawa dan di pulau – pulau lain di Nusantara. Sebenarnya juga ada

manusia Australoid, yaitu suatu ras manusia yang mempunyai kemiripan

dengan penghuni pertama Pulau Seram. Sebagai daerah yang cukup subur,

Maluku tentu saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai

kawasan yang menimbulkan gelombang perpindahan dan menghasilkan

percampuran perpindahan dan menghasilkan percampuran kebudayaan

antara penghuni lama / asli dengan suku-suku pendatang sehingga

melahirkan suku-suku baru.

Awal abad ke 7 pelaut-pelaut dari daratan Cina pada masa Dinasti

Tang yang telah menyinggahi daerah-daerah di Kepulauan Maluku untuk

48

Page 49: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

mencari rempah-rempah. Namun mereka merahasiakan agar tidak diketahui

oleh bangsa-bangsa lain dalam mencari rempah-rempah. Pada zaman

keemasan Kerajaan Sriwijaya di abad ke 12, kepulauan Maluku termasuk

dalam wilayah kekuasaan kerajaan itu. Pada abad ke 14 Kerajaan Majapahit

mengambil alih kekuasaan maritim hampir keseluruhan Asia Tenggara

termasuk Kepulauan Maluku. Para pendatang Eropa, seperti Portugis,

rvf65tb gyn hun jh nj nkj k nj nh huim jui,kikio,lo/.Spanyol, dan Belanda baru

menemukan jalan ke Kepulauan Maluku pada abad ke 16. Masuknya agama

Islam melalui pedagang – pedagang dari Aceh, Malaka, dan Gresik pada

abad ke 14 dan abad ke 15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan

yang lebih rapi dan teratur seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, serta

Jailolo.

Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang telah menemukan jalan ke

Maluku dan menjalin persahabatan dengan Kesultanan Ternate, diberi izin

untuk mendirikan benteng di Pikapoli dan Hitu Lama serta Mamala. Sembilan

tahun kemudian Spanyol mulai menapakan kaki di Kepulauan Maluku dan

mendirikan benteng Tidore. Pada tahun 1570, karena kalah perang dengan

Kesultanan Ternate yang diperintah Sultan Baabullah, Portugis diusir dari

Ternate dan pindah ke Ambon. Bangsa Belanda pun mulai mengincar Maluku

dan membantu Hitu dalam perang melawan Portugis di Ambon dan pada

akhirnya Portugis harus terpaksa menyerahkan benteng pertahanannya yang

49

Page 50: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

ada di Ambon kepada Belanda demikian juga dengan benteng Inggris di

Kambelo, Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda menguasai sebagian besar

Kepulauan Maluku. Posisi Belanda makin kuat dengan berdirinya VOC pada

tahun 1602, sehingga Belanda praktis menjadi pemegang monopoli

perdagangan rempah-rempah di Maluku. Guna memperkuat kedudukannya

di Maluku, Belanda membentuk badan administrative yang disebut

Governement van Amboina. Demikian pula dengan di Banda, Kei, Aru,

Tanimbar, serta Teon-Nila-Serua yang berada di bawah pengawasan

Governement van Banda. Sistem monopoli yang ditetapkan Belanda dalam

perdagangan rempah-rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat

Kepulauan Maluku terhadap Belanda. Pada tahun 1817 pecah perang

terhadap Belanda yang lebih dikenal dengan perang Pattimura di mana

rakyat Maluku bangkit melawan Belanda di bawah pimpinan Thomas

Matulessy yang mendapat gelar Kapitan Pattimura. Pattimura di tangkap dan

dihukum gantung di benteng Fort Niew Victoria Ambon. Memasuki abad ke

20 perlawanan terhadap penjajah bergeser ke perlawanan politik. Pengaruh

Boedi Oetomo 1908 serta keterlibatan pemuda Maluku dalam sumpah

pemuda 1928 membuktikan pemuda–pemuda Maluku yang tergabung dalam

Jong Ambon juga berperan aktif dalam perjuangan untuk merdeka. Sebelum

itu di tahun 1920 Alexander Jacob Patty mendirikan Organisasi Politik

masyarakat Ambon di semarang yahng terang–terangan menentang

50

Page 51: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Belanda. 1925 Jacob Patty di tangkap dan dibuang ke bengkulu dan

kedudukannya di ganti oleh Mr. J. Latuharhary. Setelah proklamasi Provinsi

Maluku masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

pada tanggal 19 agustus 1945.

B. Letak Geografis Maluku

Dengan ditetapkannya Undang –Undang RI No 46 Tahun 1999

tentang pembentukan pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten buru

dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, secara geografis Provinsi Maluku

terletak antara 30- 80 3 Lintang Selatan dan 125045 - 1350 Bujur Timur dengan

luas wilayah 712.479,69 Km2 terdiri dari 658.294,69 Km2 lautan dan 54.185

Km2 daratan.22

Melalui Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2003 tentang

pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian

Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru, maka secara administrasi Provinsi

Maluku terbagi atas tujuh Kabupaten dan satu Kota, yaitu Kabupaten Buru,

Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten

Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten kepulauan

Aru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Kota Ambon. Secara geografis

Provinsi Maluku berbatasan dengan :

22 Maluku dalam Angka 201051

Page 52: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Sebelah Utara : Provinsi Maluku Utara

Sebelah Selatan : Negara Timor Leste dan Australia

Sebelah Timur : Provinsi Papua

Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah

Gambar. 02 Peta Provinsi MalukuSumber Google.com

Kepulauan Maluku beriklim tropis dan iklim mozon dimana iklim inin

sangat dipengaruhi oleh lautan yang luas dan berlangsung seirama dengan

musim yang ada. Suhu rata – rata pada tahun 2010 sesuai data klimatologi

hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Meteorologi

Pattimura Ambon, Tual dan Saumlaki masing – masing sebesar 27,4 C, 27,7

C dan 27,7 C. Suhu Minimum masing – masing sebesar 24,5 C, 24,5 C dan

24,9 C, sedangkan maksimum masing – masing sebesar 30,5 C, 31,4 C dan

31,2 C.

Kelembaban nisbi udara sesuai pencatatan Stasiun Meteorologi

Ambon rata – rata sebulan dalam tahun 2010 adalah 83% dimana terendah

52

Page 53: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

pada bulan Januari sebesar 72% dan tertinggi pada bulan Juli dan Agustus

sebesar 87%. Sesuai pencatatan peralatan meteorologi Tual pada tahun

yang sama rata – rata sebulan adalah 87% dimana terendah pada bulan

Januari sebesar 85% dan tertinggi pada bulan April sebesar 90%. Sedangkan

sesuai pencatatan peralatan Meteorologi Saumlaki pada tahun yang sama

rata – rata sebulan 82% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 77%

dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 87%.

Tabel. 03 Jumlah Penduduk MalukuNama Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

Kota Ambon 302. 526Maluku Tengah 393.439

Buru 106.774Buru Selatan 54.679

Seram Bagian Barat 166.154Seram Bagian Timur 128.050

Kepulauan Aru 89.633Kota Tual 68.523

Maluku Tenggara 127.106Maluku Tenggara Barat 103.088

Maluku Barat Daya 70.831 BPS 2010, Maluku dalam Angka

Jumlah Penduduk Maluku pada tahun 2010 berjumlah 1.610.803 jiwa.

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini

dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda

yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan

Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di

53

Page 54: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi

Maluku pada tahun 2010 adalah Mesjid 1.188 buah, Gereja 1.022 buah, Pura

10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan Pemeluk agama Islam sebesar

50,03 persen, Kristen Protestan sebesar 39,04 persen, Kristen Katholik 10,06

persen, Hindu 0,20 persen dan Budha 0,03 persen dan lainnya 0,65.

C. Pemerintahan Provinsi Maluku

Maluku merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia

Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai Provinsi bersama tujuh daerah lain,

yaitu: Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,

Sumatera, dan Sulawesi, pada tanggal 19 Agustus 1945. Ibu Kota Provinsi

Maluku adalah Kota Ambon dengan 10 Kabupaten.

Tabel. 04 Kabupaten/Kota di MalukuNama Kabupaten/Kota Ibu Kota

Kota Ambon -Maluku Tengah Masohi

Buru NamleaBuru Selatan Namrole

Seram Bagian Barat PiruSeram Bagian Timur Bula

Kepulauan Aru DoboKota Tual -

Maluku Tenggara LanggurMaluku Tenggara Barat Saumlaki

Maluku Barat Daya Wonreli Sumber: Biro Pemerintahan Sekretaris Daerah Maluku

54

Page 55: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Daerah Maluku yang ditetapkan sebagai wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia bersama tujuh provinsi lain pada tanggal 19 agustus 1945

dipimpin oleh seorang Gubernur, yaitu Mr. J.J. Latuharhary.

Tabel. 05 Gubernur MalukuNama Gubernur Periode

Mr. J.J. Latuharhary 1950 – 1955M. Djosan 1955 – 1960Muhammad Padang 1960 – 1965G.J. Latumahina 1965 – 1968Soemitro 1968 – 1973Soemeru 1973 – 1975Hasan Slamet 1975 – 1985Sebastian Soekoso 1985 – 1993M. Akib Latuconsina 1993 – 1998Dr. M. Saleh Latuconsina 1998 – 2003Brigjen TNI (Purn) Karel Albert Ralahalu 2003 – 2013Sumber: Maluku dalam Angka 2010

Gambar. 03 Logo Pemerintahan Provinsi MalukuSumber. Google.com

Arti logo pemerintah Provinsi Maluku :

a. Sagu, Padi, Cengkeh dan Kelapa, adalah lambang kehidupan.

b. Mutiara, adalah lambang Kekayaan alam.

55

Page 56: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

c. Tombak, adalah lambang Ksatria.

d. Gunung, adalah lambang Keperkasaan dan kekayaan alam yang

melimpah.

e. Motto Siwa Lima (Milik bersama), adalah Atas Dasar Siwa Lima,

memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan

bersama.

D. Pertanian Pangan di Maluku

Daya dukung lahan untuk pembangunan terutama yang sesuai bagi

pembangunan pertanian adalah luas lahan yang sesuai bagi pembangunan

pertanian dan perkebunan berdasarkan persyaratan yang dikehendaki

komoditas yang akan diusahakan. Ketersediaan sumberdaya lahan di

Provinsi Maluku relatif terbatas, karena kondisi geografis wilayah yang

mencirikan Provinsi Maluku sebagai daerah kepulauan, dengan luas laut

yang lebih luas dari daratan.

Tabel. 06 Luas areal, produksi Padi di Maluku 2010Komoditi/Kabupaten/Kota Luas Areal

Tanam(Ha)

Luas Panen(Ha)

Provitas(Kw/Ha)

Produksi(Ton)

PADI SAWAH

Maluku Tenggara Barat Maluku Barat Daya Maluku Tenggara

18,668

---

17,779

---

43.61

---

77,532

---

56

Page 57: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Maluku Tengah Buru Buru Selatan Kepulauan Aru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Kota Tual

5,01710,377

--

2,491784

--

4,7789,883

--

2,372746

--

44.0144.82

--

43.0242.58

--

21,02844,269

--

10,2043,178

--

PADI LADANG

Maluku Tenggara Barat Maluku Barat Daya Maluku Tenggara Maluku Tengah Buru Buru Selatan Kepulauan Aru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Kota Tual

2,577

1,22052322625710678743245-

17

2,454

1,16249821524510174147257-

16

22.73

22.7323.3521.6823.3923.3722.5622.0522.5922.78

-22.33

5,577

2,7111,0805035732341671546898-

36Sumber. Dinas Pertanian Maluku

Tabel. 07 Luas Areal dan Produksi Sagu 2011Nama Kabupaten/Kota Luas Areal (ha) Persiapan Pohon

ditebang (phn/thn)Pohon masak ditebang(phn/thn)

Maluku Tengah 5,004 315,094 185,306Seram Bagian Barat 6,338 356,883 267,917Seram Bagian Timur 36,075 2,065,125 1,542,375Buru 1,312 78,336 52,864Buru Selatan 1,287 76,260 52,440

57

Page 58: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Kepulauan Aru 1,130 72,540 40,460Maluku Tenggara Belum ada data Belum ada data Belum ada dataMaluku Tenggara Barat Belum ada data Belum ada data Belum ada dataKota Ambon Belum ada data Belum ada data Belum ada dataKota Tual Belum ada data Belum ada data Belum ada dataMaluku Barat Daya Belum ada data Belum ada data Belum ada dataSumber: Dinas Pertanian Maluku dan BKP

Pada masa Revolusi Hijau dimana terjadi penyeragaman pangan ke

beras, dimana beras menjadi komoditas pangan yang diutamakan Provinsi

Maluku juga terkena imbasnya. Daerah Maluku yang merupakan daerah

kepulauan “terkesan dipaksakan” untuk ditanami padi sehingga potensi lokal

seperti sagu mulai terpinggirkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Pulau

Buru yang tadinya dijadikan sebagai tempat pengasingan tawanan X-

Pengikut PKI berhasil dijadikan program pemerintah sebagai lumbung padi

Provinsi Maluku. Namun jika dicermati produksi padi di Maluku kadang tidak

mencukupi tingkat konsumsi beras masyarakat Maluku, sehingga harus

mengimport beras dari daerah lain, padahal potensi lahan sagu di Maluku

sangatlah besar. Pengabaian potensi lokal dan pemfokusan pangan ke beras

sehingga data tentang lahan sagu serta produksi sagu kurang digali oleh

pemerintah setempat padahal hampir setiap daerah di Maluku terdapat

kawasan sagu yang tumbuh secara alamiah.

E. Sejarah Politik Pangan di Indonesia

a. Politik Pangan Kerajaan Mataram

58

Page 59: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik. Catatan

yang lengkap soal itu setidaknya diketahui sesama Kerajaan Mataram, abad

ke-16 sampai 18. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan

simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan produksi

beras, pasti adapula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan

raja akan di agung – agungkan bila masalah beras bisa di kendalikan.

Secara parsial dan terpisah – pisah kita bisa meneliti berbagai aspek

seperti politik beras dan politik pangan. Buku babad tanah jawi 23yang

digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram yang diterbitkan

berbahasa Indonesia oleh Yayasan Lontar. Sejak awal berdiri kerajaan

Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras

merupakan salah satu sendi penyokong kekuasaan Ki Ajeng Pemanahan,

pendiri kerajaan Mataram. Pada mulanya, Pemanahan mengalah

mendapatkan tanah mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika

mendirikan mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat

kepemimpinan mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram

menjadi negeri yang makmur, banyak orang datang, sandang pangan murah,

dan sawah berlimpah. Penguasa zaman dulu menggunakan beras sebagai

indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran.

23 Andreas Mariyoto. Jejak Pangan, sejarah silam budaya dan masa depan ( jakarta : kompas ). Hal. 95

59

Page 60: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan

morat-maritnya pasokan pangan.

Serbuan pasukan Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram

porak-poranda. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi

ini ditandai dengan banyak Punggawa kekurangan pangan. Ketika itu hujan

belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi

Negeri yang amat menyedihkan.

Persoalan beras juga menjadi persoalan kewibawaan karena tidak

mampu menyediakan beras murah. Dalam Babad Tanah Jawi itu

disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang

sakit demam. Raja memandang harga pangan yang mahal akan

mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih

kerajaan akan dipandang rendah.

Beras juga digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh

sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh

Mataram, seperti sejumlah kabupaten di wilayah timur, selalu

memperhitungkan pasokan pangan oleh pasokan yang hendak menyerbu,.

Disamping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia

selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum

mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan

60

Page 61: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan

tempat untuk penyangga pangan. Meski demikian, Mataram gagal melihat

beras sebagai komoditas diplomasi. VOC bisa memanfaatkan beras untuk

diplomasi. Ketika Pakubuana I hendak menguasai Kartasura, ia bersekutu

dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuana I telah terjadi sejak awal

ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya.dalam penyerbuan ke

Kartasura. Politik beras dilakukan kerajaan Mataram semakin menyakinkan

kita komoditas beras adalah strategis. Setiap penguasa tidak bisa

mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.

Pelajaran dari Mataram adalah: pemerintahan yag kuat terlihat dari

kedisiplinannya dalam mengelola komoditas pangan.

b. Politik Pangan Era Soekarno

Keputusan- keputusan dan pandangan hidup Presiden RI pertama

Soekarno telah banyak digali. Salah satu yang belum banyak digali adalah

pandangan dan keputusan Soekarno ketika menghadapi krisis pangan. Hal

ini telah menjadi aktual ketika dunia dan juga Indonesia tengah menghadapi

krisis pangan. Buku berjudul “Di bawah Bendera Revolusi” yang ditulis oleh

Soekarno mengisyaratkan kegelisahannya terhadap rakyat yang kesulitan

pangan pada tahun 1932-1933. Soekarno juga memunculkan topik

permasalahan pangan, salah satu topik yang sempat diperdebatkan adalah

“mana jang lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?´

61

Page 62: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Soekarno menghadapi krisis pangan dengan bekerja sama dengan

menghadapi masalah ekonomi. Pasukan Jepang menghadapi persoalan

beras yang rumit sehingga meminta bantuan Soekarno untuk menyediakan

beras. Soekarno berpikir lebih baik menyediakan beras kepada Jepang

dengan begitu rakyat tidak mendapat siksa dari Jepang. Namujn kesulitan

pangan muncul di mana – mana dan Jepang berusaha merampas beras dari

rakyat sehingga hanya segelintir orang yang bisa memiliki beras. Kerwanan

pangan yang terjadi membuat Soekarno menghimbau rakyat agar

memproduksi pangan selain beras.

“Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu saudara-saudara jang teluang, kerdjakanlah seperti jang dikerdjakan Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya djukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” 24

Pada masa berikutnya Soekarno mulai memikirkan masalah pangan

secara politis. Sebuah dokumen rapat dari Dewan Penasehat Pemerintah

untuk Pemerintah Militer Jepang di Hindia Belanda tertanggal 8 Januari 1945

“Sidang Kabinet Pertama” membahas kebijakan beras. Soekarno mulai

mempelajari angka-angka produksi beras. Krisis pangan yang melanda tidak

mendorong Soekarno membuat program bantuan. Keadaan tidak mengimpor

beras dan memanfaatkan pangan pengganti memang memperlihatkan

sebuah upaya untuk kemandirian pangan.

24 ibid62

Page 63: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

c. Penyeragaman Pangan Ke Beras di era Orde Baru

Orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto kebijakan pertanian

merupakan kebijakan pokok setelah upaya pemulihan ekonomi. Kebijakan

harga terutama komoditas pertanian menjadi konsentrasinya tertutama untuk

mengendalikan harga setelah perekonomian morat-marit pasca tragedi 30

september 1965. Soeharto berkeyakinan stabilitas pangan merupakan

fondasi bagi stabilitas politik. Langkah pertama ketika Soeharto berkuasa

adalah meningkatkan produksi padi. Pada saat yang bersamaan di kalangan

dunia pertanian tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk

menggenjot produksi pangan. Soeharto membuka investasi asing untuk

meningkatkan produksi padi, memperkuat kebijakan pertanian dengan

membuat kebijakan harga gabah. Pertanian menjadi program prioritas yang

dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).25

Kebijakan pertanian pada masa awal kekuasaan Soeharto mengundang

investasi asing untuk meningkatkan produksi padi melalui gerakan Revolusi

Hijau cenderung membiarkan kekuatan asing mencengkram Indonesia

dengan hutang luar negeri. Kebijakan pertanian yang berorientasi pada

kebijakan pertanian padi pola jawa dinilai sangat merugikan karena dinilai

mematikan diversifikasi pangan yang sangat dirasakan akibatnya. Tanah

diluar Jawa yang sebenarnya tidak cocok untuk tanaman padi dipaksa

25 Sumber : http://beritadaerah.com/berita/maluku/3502663

Page 64: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

ditanami padi hingga potensi pangan lokal mati. Ketergantungan penduduk di

daerah yang bukan penghasil beras terhadap beras menjadi permasalahan

yang berujung pada kerawanan pangan. Ketergantungan terhadap pangan

beras dan kebutuhan beras yang tidak mencukupi memaksa pemerintah

harus mengimpor beras.

BAB V

HASIL PENELITIAN

64

Page 65: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

A. Implementasi Perda No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku

Ketergantungan pangan masyarakat Maluku terhadap beras sering

kali membuat Provinsi Maluku harus bergantung pada daerah lain guna

pemenuhan kebutuhan beras. Tingginya ketergantungan pada beras di

daerah Maluku terjadi oleh karena politisasi beras pada masa Soeharto.

Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap di jadikan basis ketahanan

pangan di level propinsi maupun kabupaten. Hal ini mengindikasikan

pengutamaan beras sebagai indikator ekonomi nasional. Beras telah menjadi

sumber pangan dominan di Indonesia.

Menurut Syuryadi Sabirin:

“Daerah ini masih kekurangan beras sebanyak 60 ribu ton per tahun, sementara produksi beras di Maluku baru mencapai 58.000 ton/tahun dan tidak mencukupi 1,6 juta penduduk di daerah ini, karena jumlah konsumsi beras mencapai 133.000 ton/tahun,”26

Hanya ada dua pulau saja yang bisa dikembangkan tanaman padi,

yakni pulau buru dan Seram. Pulau lain tidak bisa dikembangkan menjadi

lahan persawahan karena resistensinya sangat tinggi. Sehingga membuat

26 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT

65

Page 66: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Maluku harus menutupi kekurangan beras dengan mengimpor beras dari luar

daerah, hal ini juga diungkapkan Ramli Hasan:

“Jika maluku kekurangan beras maka biasanya kami ambil dari surabaya, sulsel, dan import.”27

Pertumbuhan produksi relatif kecil khususnya beras dan belum

mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan yang semakin meningkat.

Adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Maluku walaupun

masih relatif kecil merupakan ancaman dalam rangka pengembangan

penyediaan pangan. Pergeseran pola konsumsi dari non beras ke beras

karena akan dibutuhkan penyediaan yang semakin besar, sedangkan

kapasitas produksi relaltif kecil. Seiring dengan otonomi daerah, maka setiap

level daerah dapat menyusun strategi dan kebijakan ketahanan pangan yang

paling sesuai dengan karakter wilayah dan ekologinya. Menurut Anggota

Komite II DPD RI Etha Aisha Hentihu seperti yang dikutip Koran Harian

Siwalima:

“Maluku harus melihat fenomena ini sebagai peringatan keras sehingga langkah-langkah strategis segera di ambil guna mengurangi ketergantungan Maluku terhadap beras.”28

Kebijakan dan program pada dasarnya terdiri dari rencana kongkrit,

guna mempercepat laju pengembangan daerah ini. Terkhususnya pada

27 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT28 Siwalima edisi Jumat 18 November 2011

66

Page 67: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

bidang ketahanan pangan yang mewujudkan ketahanan rumah tangga yang

mandiri, berbasis pada kepulauan dan sumber daya lokal secara efektif dan

berkelanjutan.

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, salah satu upaya yang

dapat dilakukan adalah melaksanakan kembali diversifikasi pangan menuju

produksi dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman,

serta yang terpenting adalah berbasiskan sumberdaya lokal. Diversifikasi

pangan akan mempunyai nilai manfaat yang besar apabila mampu menggali,

mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber pangan

lokal yang ada dengan tetap menjunjung tinggi hak atas pangan sebagai hak

dasar manusia dan kearifan lokal. Sehingga harus segera dirumuskan

langkah-langkah nyata tentang bagaimana memaksimalkan sumber pangan

lokal ketimbang harus membeli beras diluar daerah, selain menghabiskan

devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak ada

kemandirian pangan. Langkah-langkah srategis pembangunan ketahanan

pangan kemudian ditindaklanjuti oleh langkah-langkah operasinal yaitu

dengan melaksanakan program pulau mandiri pangan, dalam konsep ini

pengembangan dilakukan pada setiap pulau-pulau kecil sehingga diharapkan

masyarakat di setiap pulau kecil mempunyai kemampuan untuk mewujudkan

ketahanan pangan. Seperti yang diungkapkan Gubernur Maluku, Karel Albert

Ralahalu:

67

Page 68: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

“untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada, maka Pemprov Maluku memiliki strategi pengembangan yaitu, percepatan diverifikasi pangan lokal.”29

Dari pemikiran inilah Pemerintah Provinsi Maluku untuk membentuk

Badan Ketahanan Pangan Maluku dan kemudian dijadikan Perda No 04

tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi

Maluku (BKP) dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi ketahanan

pangan. “Badan Ketahanan Pangan adalah merupakan unsur pendukung

tugas Gubernur di bidang ketahanan pangan,30 Badan Ketahanan Pangan

mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di

bidang ketahanan pangan.”31

BKP awalnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Pertanian

Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan. Namun oleh

karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan

pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan

pangan di Provinsi Maluku. Menurut Ramli Hasan:

“bulog dan BKP saling bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural berbeda, bulog lebih kepada

29 Ralahalu : Pemda Segera Meningkatkan Kesejahtraan Rakyat, http/diverivikasipangan/malukualbert/2010, diakses pada tanggal 17 November 201130 Perda Provinsi Maluku No 04 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Provinsi Maluku. (BAB III Bagian pertama kedudukan pasal 3 a)31 Perda Provinsi Maluku No 04 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Provinsi Maluku. (BAB III Bagian Kedua Tugas Pokok pasal 4)

68

Page 69: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

penyediaan logistik beras, dan menentukan harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan berbasis lokal” 32

BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan

tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi

kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian

dan dinas kesehatan.

Gambar. 04 Struktur Badan Ketahanan Pangan Provinsi MalukuSumber Badan Ketahanan Pangan

Badan Ketahanan Pangan Maluku mengemban misi dalam tahun 2010

- 2014, yaitu:

1. Peningkatan kualitas pengkajian dan perumusan kebijakan

pembangunan ketahanan pangan;

32 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT

69

Page 70: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

2. Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan masyarakat,

daerah, dan nasional;

3. Peningkatan koordinasi dalam perumusan kebijakan, dan

pengembangan ketahanan pangan, serta pemantauan dan evaluasi

pelaksanaannya.

Adapun tujuan BKP Maluku adalah Memberdayakan masyarakat agar

mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dikuasainya untuk

mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan, dengan cara:

1. Meningkatkan ketersediaan dan cadangan pangan dengan

mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya/dikuasainya secara

berkelanjutan;

2. Membangun kesiapan dalam mengantisipasi dan menanggulangi

kerawanan pangan di Maluku;

3. Mengembangkan sistem distribusi, harga dan akses pangan untuk

turut serta memelihara stabilitas pasokan dan harga pangan bagi

masyarakat Maluku;

4. Mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi guna

meningkatkan kualitas SDM dan penurunan konsumsi beras perkapita;

5. Mengembangkan sistem penanganan keamanan pangan segar.

70

Page 71: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan merupakan

amanah dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya

Lokal dan dijabarkan secara lebih rinci dalam Peraturan Menteri Pertanian

(Permentan) Nomor 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Sama

halnya yang diungkapkan S.M. Talla:

“karena adanya kebijakan Mentri pertanian untuk penurunan konsumsi beras 1,5 per tahun dan kemudian peraturan presiden No 22 tahun 2009 tentang penganekaraman pangan, maka BKP pun mengemban tugas itu.”33

Sehingga sasaran makro BKP Maluku yang hendak dicapai dalam

pemantapan ketahanan pangan Tahun 2010-2014, meliputi: 

1. Makin berkurangnya jumlah penduduk rawan pangan minimal 1%

setiap tahun;

2. Menurunnya konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 1,5 % dan

mengutamakan pangan lokal.

3. Tercapainya peningkatan distribusi pangan yang mampu menjaga

harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat.

33 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT

71

Page 72: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Gambar. 05 Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Prov. MalukuSumber Badan Ketahanan Pangan Maluku

Dari peta tersebut (dapat dilihat di lampiran) menggambarkan daerah-

daerah yang memiliki tingkat masalah kerawanan pangan serius. Salah satu

program pemerintah daerah adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan,

kelaparan lebih kepada ketersediaan pangan bagi masyarakat. Selain karena

lahan pertanian di Maluku secara keseluruhan tidak cocok ditanami padi,

distribusi pangan beras seringkali terkendala dengan medan letak geografis

daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan. Hal senada juga di

ungkapkan Ramli Hasan:

“Kalau tercapai penganekaragaman pangan, kita tidak perlu lagi mengambil beras dari daerah lain, karena ini juga sering memakan

72

Page 73: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

ongkos transportasi, apalagi Maluku daerah kepulauan dan jika cuaca tidak mendukung distribusi terhambat”34

BKP perlu meminimalkan berbagai ancaman yang selalu dan akan

muncul dalam pelaksanaan kegiatan kewaspadaan pangan adalah sebagai

berikut :

a) Kerawanan pangan dan gizi biasanya terjadi pada masyarakat

miskin yang tinggal di lingkungan yang kurang memadai.

Kerawanan pangan di Maluku terdiri dari rawan pangan kronis dan

rawan pangan transien. Rawan pangan kronis adalah keadaan

kekurangan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang

waktu yang dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam

dan sumberdaya manusia. Sedangkan rawan pangan transien

adalah disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga seperti

terjadinya bencana alam.

b) Kondisi iklim yang tidak menentu mempengaruhi proses produksi,

ketersediaan dan akses masyarakat terhadap pangan. Kondisi

dimaksud adalah terbatasnya curah hujan, hari hujan, kekeringan

dan juga bencana alam.

Raskin ( akronim dari beras miskin ) adalah sebuah program bantuan

pangan bersyarat diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia berupa

34 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT

73

Page 74: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

penjualan beras di bawah harga pasar kepada penerima tertentu. Penyaluran

Raskin sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan

awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan

pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut

program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin

mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program

darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program

perlindungan sosial masyarakat.

Beberapa kendala dalam pelaksanaan Raskin selama ini terutama

dalam pencapaian ketepatan indikator maupun ketersediaan anggaran.

Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang akan disalurkan baru ditetapkan

setelah anggarannya tersedia. Selain itu ketetapan atas jumlah beras raskin

yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal tahun, dan sering

dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai faktor. Hal ini

akan menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya, perencanaan

pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya. Pelaksanaan penyaluran

Raskin seringkali dipolitisasi dan menjadi tempat korupsi, untuk kasus

Maluku, korupsi Raskin yang terdeteksi terjadi di Seram Bagian Barat dan

Tual. “Kerugian negara mencapai Rp 300 juta rupiah lebih, dimana masing-

masing camat itu meraup sekitar 80 juta lebih,” tandas Kacabjari Piru, Marvie

74

Page 75: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

de Queljoe kepada Siwalima”35 Kasus penyalahgunaan Raskin di SBB

terdapat di empat kecamatan yang merupakan wilayah sasaran penyaluran

yakni Kecamatan Inamoso, Kecamatan Elpaputih, Kecamatan Kairatu dan

Kecamatan Amalatu. Empat kecamatan ini merupakan wilayah sasaran

bantuan penerima subsidi Raskin tahun 2010 dari pemerintah. Sedangkan di

Kota Tual korupsi penyimpangan beras raskin 3,4 milliar yang melibatkan

tersangka mantan Kepala Gudang Dolog Tual.36

Daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan menjadi hambatan

penyaluran Raskin ke pulau-pulau terpencil politisasi penyaluran raskin

terjadi oleh karena adanya kepentingan politik untuk lebih fokus daerah

pemilihan atau basis massa politik. Seperti yang diungkapkan Abraham

Malioy:

“Politik pangan akan selalu terkait dengan legislatif. Biasanya ada penolakan, karena bukan daerah politiknya, seakan-akan dipaksakan, biasanya dipakai sebagai ajang politik, kau menangkan saya, maka saya akan mendistribusi raskin”37

Penyaluran Raskin di Maluku juga terkendala dengan tunggakan

hutang. Hingga 21 Nopember 2011, tercatat tunggakan raskin beberapa

kabupaten dan kota di Maluku mencapai Rp 8 miliar. Tunggakan tersebut

meliputi tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011. Kepala Bidang Penyaluran Perum

35 Siwalima edisi 03 November 201136 http://tenggararaya.blogspot.com/2010/02/kasus-dugaan-korupsi-raskin-34-milliar.html37 Wawancara dengan Abraham. M.M. Malioy. SH, Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku

75

Page 76: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Bulog Divre Maluku, Tugio menjelaskan, dari 11 kabupaten dan kota yang

ada di Maluku pada umumnya membayar tunggakan secara cicilan, bahkan

ada kabupaten yang belum membayar sama sekali, karena itu kami belum

salurkan ke daerah tersebut. Ini juga diungkapkan Ramli Hasan:

"Kami tidak berani untuk salurkan kepada kabupaten yang belum melunasi tunggakan, karena sistem yang digunakan Bulog saat ini yakni 'cash and carry' (uang dulu baru beras diberikan)”38

Jika hutang belum terbayarkan maka distribusi beras tidak akan

dikirim, ketahanan pangan masyarakat terkena dampaknya, apalagi pola

konsumsi pangan masih bergantung pada beras. “Banyak orang merasa

rendah diri jika mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian,

padahal pangan non beras ini juga memiliki nilai gizi yang tinggi jika diolah

secara baik,” 39

Dampak penguatan ketahanan pangan berbasis lokal, sangat baik,

karena dapat meningkatkan potensi lokal sebagai bahan konsumsi pangan,

Bulog akan terbantu oleh karena tidak terlalu banyak menyediakan beras,

dan konsumsi pangan masyarakat bisa beralih ke pangan lokal selain

menghabiskan devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak

38 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT39 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT

76

Page 77: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

ada kemandirian. Pemerintah daerah dalam hal ini BKP harus

memaksimalkan sumber pangan lokal ketimbang harus membeli beras diluar

daerah. Menurut Melkias L. Frans :

“Kita harus mandiri pangan dengan pangan lokal kita, pada waktu-waktu tertentu akses beras ke pulau-pulau susah, dan jika masih bergantung pada beras, dan apa kita harus menunggu sampai beras itu datang, itu konyol.” 40

Hal senada juga diungkapkan Abdulah Tuanaya:

“ketersediaan lahan untuk pangan lokal seharusnya dapat diberdayakan, dan itu merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah. Jika masyarakat belum melihat kearah itu, namun pemerintah seharusnya dapat lebih jeli melihat persoalan tersebut. Sebab, sebetulnya, hal itu merupakan sebuah persoalan yang besar.”41

Sebenarnya jika dicermati yang sering terjadi di Maluku bukanlah

rawan pangan jika melihat ketersedian pangan lokal yang ada, melainkan

krisis beras, karena rata-rata pangan masih selalu diidentikan dengan

ketersediaan beras dan pola konsumsi beras tinggi dan ketika beras tidak

tersedia rawan pangan “semu” itu terjadi. Krisis beras terjadi diakibatkan

cuaca buruk sehingga mengakibatkan sulitnya akses transportasi untuk

menyalurkan beras ke beberapa kabupaten yang hanya bisa didatangi

dengan kapal laut. Seperti yang diungkapkan S.M Talla:42

40 Wawancara denga Ir. Melkias L. Frans, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Maluku41 Wawancara dengan Abdullah Tuanaya, Sekertaris Dinas Pertanian Maluku

42 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT

77

Page 78: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

"Biasanya krisis beras di beberapa daerah di Maluku terjadi sekitar Desember-Februari karena cuaca buruk yang mengakibatkan gelombang tinggi dan angin kencang, sehingga kapal yang biasanya menyalurkan beras tidak melewati jalur biasanya”

Kondisi inilah yang membuat BKP mulai memetakan daerah pangan

sesuai potensi pangan lokal di tiap-tiap daerah. Maluku Tengah, Seram

Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Buru Selatan, Maluku

Barat Daya diupayakan memaksimalkan sagu sebagai pangan lokal,

sedangkan Maluku Tenggara dan Kota Tual memaksimalkan konsumsi

singkong. Mengantisipasi adanya krisis beras, BKP Maluku telah

menyediakan Rp 6 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional

(APBN) yang dialokasikan untuk menggalakkan program pengembangan

pulau mandiri pangan berbasis makanan pokok lokal orang Maluku. Seperti

yang dikatakan Syuryadi Sabirin:

“anggaran tersebut untuk menggalakkan sagu, serta pangan lokal lainnya jagung dan umbi-umbian sesuai potensi, karakteristik dan luas lahan di masing - masing kabupaten/kota,"43

BKP pun memanfaatkan 10 persen dari total Dana Alokasi Khusus

(DAK) Departemen Pertanian (Deptan) sebesar Rp33,2 miliar untuk

membangun lumbung pangan di sembilan kabupaten di Maluku. Diversifikasi

pangan ini sengaja dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat

terhadap konsumsi beras minimal 1,5 persen per tahun. Dalam konteks

43 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT

78

Page 79: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

penyediaan pasokan, diversifikasi adalah salah satu cara adaptasi yang

efektif untuk mengurangi risiko produksi akibat perubahan iklim dan kondusif

untuk mendukung perkembangan industri pengolahan berbasis sumberdaya

lokal. Pada sisi konsumsi, diversifikasi pangan memperluas spektrum pilihan

pangan dan kondusif untuk mendukung terwujudanya pola pangan harapan.

Pendek kata, diversifikasi pangan dapat mendukung stabilitas ketahanan

pangan sehingga dapat dipandang sebagai salah satu pilar pemantapan

ketahanan pangan. Oleh karena itu akselerasi diversifikasi pangan

sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2009 harus dapat

diwujudkan.

Badan Ketahanan Pangan Maluku diminta melakukan sosialisasi untuk

mengubah pola konsumsi masyarakat dari ketergantungan pada beras aneka

pangan lokal. Badan Ketahanan Pangan Maluku pun mengusulkan untuk

mengubah Raskin Menjadi Pangkin (Pangan Miskin). pangkin sudah

mencakup semua, baik beras maupun umbi-umbian. BKP mencoba melihat

kembali kearifan lokal dalam bidang pangan, sehingga tidak ada lagi desa

rawan pangan jika konsumsi lokal bisa dimanfaatkan. Seperti yang

diungkapkan Syuryadi Sabirin:

“Kalau raskin kita mengikuti pola konsumsi jawa, orang kontinental,sedangkan kita kepulauan yg sering diisolasi. Maka maluku

79

Page 80: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

yang mengusulkan pangkin, struktur maluku secara keseluruhan tidak cocok untuk persawahan.”44

Kebijakan pangan miskin, karena BKP ingin menciptakan ketahananan

pangan lokal dan disversifikasi pangan. Secara karakterisktik wilayah

kebanyakan maluku lebih cocok ditanami sagu ketimbang beras. Divesifikasi

pangan salah satunya pangan lokal, bagaimana mengamankan pangan agar

tidak terjadi kerawanan pangan, baik ketersediaan maupun distribusinya.

Pangkin diprogramkan menggantikan Raskin dengan memanfaatkan

bahan pangan lokal. Program Pangkin itu merupakan hasil dari seminar yang

diselenggarakan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan thema

"Membangun Sinergi Sistem Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis

Pangan di Daerah Kepulauan Indonesia Timur" di Ambon pada 19 Juli 2011.

Dengan keputusan Kementerian Pertanian yang menetapkan Maluku menjadi

proyek percontohan pangan untuk orang miskin (Pangkin) pada 2012.

Pihak Kementan masih terus melakukan kajian terkait kemungkinan

pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi program pangan untuk

rakyat miskin (pangkin). kajian akan dilakukan dibeberapa derah yang

selama ini memiliki budaya mengkonsumsi non beras. Dan pada daerah

tersebut, nantinya warga miskin yang selama ini mendapat jatah raskin akan

44 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT

80

Page 81: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

diberikan pangan sesuai dengan jenis pangan lokal pada masing-masing

daerah. Andreas Taborat mengatakan:

“hasil pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung dan sagu juga memiliki nilai gizi yang tidak kalah dengan beras, sehingga berbagai program diversifikasi pangan lokal yang dikembangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) harus gencar disosialisasikan,"45

Sementara permasalahan di daerah ini menyangkut ketahanan

pangan adalah pemikiran masyarakat yang selalu tergantung pada beras,

dan mengkonsumsi umbi-umbian, jagung dan sagu, statusnya lebih rendah

dari makan nasi. Tahap awal pangkin tidak seluruhnya diberikan dalam

bentuk pangan lokal, seperti, sagu, jagung dan lainnya, namun sebagian

masih diberikan dalam bentuk beras. BKP akan bekerja sama dengan Bulog

dalam mendesain program pangkin, Perum Bulog yang nantinya mendesain

kantongnya agar Pangkin terawat sebagaimana Raskin. Taborat

mengatakan, “Sehingga komisi B dalam penentuan anggaran belanja daerah

tahun lebih fokus untuk mendorong BKP melakukan perubahan pola pikir

masyarakat agar tidak terlalu bergantung kepada beras.”

Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat

menyebabkan konsumsi pangan semakin tinggi hal ini tidak dapat diharapkan

bila suatu daerah atau negara hanya memiliki satu sumber pangan utama

seperti beras dikarenakan banyaknya areal persawahan yang dialihfungsikan

menjadi areal pemukiman dan industri yang berdampak pada menurunnya

45 Wawancara dengan Andreas Taborat, Wakil Ketua Komisi B DPRD Maluku81

Page 82: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

produksi beras sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat

akan semakin sulit dan harga beras semakin tinggi.

Program Pangkin yang dirumuskan sebagai suatu kebijakan pangan

berbasis lokal dengan tujuan mengurangi ketergantungan Maluku terhadap

beras, akan efektif jika pemerintah daerah juga memperhatikan dan

melestarikan potensi lokal tersebut dalam hal ini sagu. Kecocokan lahan di

Maluku dengan siklus tumbuh tanaman sagu belum dimaksimalkan

potensinya.

BKP juga mengadakan program Desa Mandiri Pangan, Lumbung

Pangan Desa dan Pengembanan Pulau Mandiri Pangan. Dengan program ini

ketahanan pangan masyarakat diharapkan terjaga.

Seperti yang diungkapkan S. M Talla :

“program tersebut sudah berjalan cukup baik. Program Pulau Mandiri Pangan didanai APBD sedang dua program lainnya didanai APBN. Untuk Kota Ambon yang dinilai paling berhasil untuk program Desa Mandiri Pangan yaitu Desa Latuhalat”46

Desa Mandiri Pangan diprogramkan untuk desa yang tingkat

kemiskinannya minimal 30 persen, sebagaimana survei tim Badan

Ketahanan Pangan. Desa yang tergolong miskin, diberikan bantuan dana

46 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT

82

Page 83: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

stimulus Rp 100 juta. Dana tersebut dikelola secara ekonomis untuk

menambah income masyarakat. Sedang program Lumbung Pangan Desa,

untuk mempersiapkan stok pangan dari bahan lokal. S. M Talla juga

mengungkapkan:

“Contohnya beras, pasokannya terbatas, padahal ada sumber pangan lokal seperti sagu, singkong, dan jagung. Maka kita intervensi dengan peralatan pengolah untuk memperpanjang usia simpan bahan tersebut”47

Baik Desa Mandiri Pangan maupun Lumbung Pangan Desa

diprogramkan selain menjamin ketersediaan pangan di masyarakat juga

untuk perputaran ekonomi. Sementara Pulau Mandiri Pangan, sasarannya

pulau-pulau kecil di Maluku. Ini khusus untuk mengantisipasi kerawawan

pangan jika cuaca dan musim yang berakibat terhambatnya pasokan bahan

makanan melalui transportasi laut.

B. Faktor Faktor Penunjang dan Penghambat BKP dalam

Mewujudkan Ketahanan Pangan berbasis Lokal di Maluku

Dalam mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus

memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu

perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka

masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan

47 ibid83

Page 84: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam

organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung

pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan

kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan

berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan

positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan

implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif

maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam

akan gagal.

Berdasarkan teori implementasi faktor pendukung implementasi

kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota

masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah

implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan

tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak

berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

a. Faktor Pendukung

Faktor pendukung adalah faktor penentu keberhasilan suatu

kebijakan. Dalam konteks ketahanan pangan lokal di Maluku yang menjadi

kekuatan BKP dalam menjalankan program kerja sebagai berikut:

1. Potensi Sagu sebagai Sumber daya Pangan Lokal

84

Page 85: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Jika dicermati daerah Maluku memiliki Potensi pangan lokal yang

mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Maluku. Ketahanan

pangan dapat terjadi jika kondisi kondusif dalam mengembangkan

penanganan permasalahan pangan, baik di tingkat nasional (makro) maupun

daerah (mikro). Ketahanan pangan harus bertumpu pada sumber daya lokal

sehingga mampu menghindarkan ketergantungan pada impor.

Sagu berpotensi menjadi cadangan pangan di Maluku karena memiliki

nilai karbohidrat yang cukup tinggi dibanding beras. Sagu sebagai pangan

lokal sumber karbohidrat ini perlu dikembangkan karena Maluku mempunyai

potensi sagu cukup besar Maluku sejak dahulu dikenal sebagai daerah

penghasil sagu harus diperkuat kembali, karena ke depan persoalan pangan

menjadi masalah yang sangat riskan. Seperti yang diungkapkan Ramli

Hasan:

"Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah perubahan iklim, karena itu kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya beras menjadi pangan pokok untuk dikonsumsi,"48

Apabila kita lihat dari jumlahnya pangan lokal sagu maka stok yang

ada cukup untuk mengimbangi beras. Tetapi masyarakat hanya melihat

beras sebagai satu-satunya bahan pangan. Maluku saat ini memiliki sekitar

3,1 juta pohon sagu yang tersebar di tujuh Kabupaten dan Kota dengan

48 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT

85

Page 86: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

tingkat produktivitas rata-rata 25 ton per hektar per tahun, Ini yang perlu

disosialisasi untuk tidak bergantung pada beras. Seperti yang diungkapkan

Syuryadi Sabirin:

“Secara makro jika kita mengacu pada potensi sumber daya alam yang ada, sebenarnya kita surplus, tetapi secara mikro justru defisit karena potensi yang ada tidak digarap secara maksimal,” 49

Tanaman sagu yang tumbuh di Maluku tumbuh secara alami tanpa

ada penanganan serius dalam hal budidaya. Kerumitan ini bertambah pada

saat data yang dibutuhkan juga tidak mudah untuk didapat atau dihitung.

Kebanyakan petani atau pelaku usaha industri sagu tidak mengeluarkan

output yang berarti untuk bisa memanen sagu. Sagu masih dipandang

sebagai tanaman hutan dan tumbuh secara alamiah. Seperti yang

diungkapkan Andreas Taborat:

“Padahal, ketersediaan lahan di Maluku untuk itu cukup besar, akan tetapi ketergantungan terlihat jelas, karena proses pemaksimalan pemanfaatan lahan belum dapat dilakukan secara baik.” 50

Sebagai sumber pangan, sagu sangat potensial untuk dikembangkan

sebagai bahan pangan alternative pengganti beras..  Sagu mampu

menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektar, jauh melebihi produksi

pati beras atau jagung yang masing-masing hanya 6 ton dan 5.5 ton per

hektar. Sagu tidak hanya menghasilkan pati terbesar, tetapi juga 49 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT50 Wawancara dengan Andreas Taborat, Wakil Ketua Komisi B DPRD Maluku

86

Page 87: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

menghasilkan pati sepanjang tahun.  Setiap batang menghasilkan sekitar 200

kg tepung sagu basah per tahun. Aneka produk pangan lokal daerah

sebenarnya memiliki kadar gizi yang lebih tinggi dari beras sehingga pola

pikir seperti ini sudah harus diubah, dan BKP sebagai institusi yang

menangani persoalan ini memiliki tugas dan tanggung jawab untuk

melakukan sosialisasi.

2. Kelembagaan BKP

Otonomi daerah memberikan otoritas kepada pemerintah setempat

untuk menggali kembali bahan pangan selain beras seperti sagu

kelembagaan local yang berbeperan besar dalam ketahanan pangan desa

dan tumah tangga perlu digali kembali seperti lumbung desa, lumbung rumah

tangga , lumbung hidup dan sebagainya. Kebijakan tentang pangan tidak

lagi tergantung pada pemerintah pusat, namun lebih kepada inisiatif daerah

untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks kebutuhan

daerahnya. Sehingga upaya kreatif dari masing-masing daerah untuk

menggali kembali potensi sumberdaya lokal harus dilakukan. Harapan ini

tentulah tidak salah, karena politik pangan yang sentralistik  melalui tangan

Bulog tidak mampu menjamin ketersediaan bahan pangan. Selanjutnya

alternative diversifikasi pangan oleh daerah sangat mungkin dilakukan oleh

masing – masing daerah tanpa harus melakukan penyeragaman dengan

87

Page 88: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

daerah lain. Namun apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan daerah

dengan menggali potensi sumberdaya lokal menjadi kebijakan daerah

tersebut. Demi menjaminkan kontrol terhadap ketersediaan pangan

dibutuhkan lembaga yang berkompoten. Sejatinya, untuk melakukan

pengontrolan maka diperlukan Badan Ketahanan Pangan (BKP). Pemerintah

tidak bisa berharap fungsi normalisasi stok pangan  hanya kepada bulog dan

dinas pertanian semata.

Hadirnya BKP memungkinkan untuk bisa menakar keberhasilan

swasembada pangan berbasis pangan lokal. BKP mengemban fungsi

pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan

dan pemantapan ketersediaan pangan serta mencegah dan menanggulangi

kerawanan pangan, melakukan pengkajian hingga penyiapan perumusan

kebijakan, pengembangan, pemantauan dan pemantapan distribusi pangan,

hingga pemantapan konsumsi dan keamanan pangan. Seperti yang

diungkapkan Syuryadi Sabirin:

“Jangan dilihat bahwa stok pangan masih terkontrol, lantas urgenitas pembentukan BKP disepelekan. Pembentukan BKP adalah penting dalam rangka mengantisipasi timbulnya kerawanan pangan pada waktu-waktu kedepan ”51

BKP awalnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Pertanian

Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan. Namun oleh 51 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT

88

Page 89: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan

pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan

pangan di Provinsi Maluku. Menurut Ramli Hasan:

“bulog dan BKP saling bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural berbeda, bulog lebih kepada penyediaan logistik beras, dan menentukan harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan berbasis lokal” 52

Semua satuan organisasi dilingkungan BKP dalam melaksanakan

tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, simplikasi dan

sinkronisasi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan

organisasi dilingkungan Provinsi Maluku sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya. Penyusunan BKP dalam suatu organisasi adalah dalam rangka

efisiensi, efektifitas kelancaran dan peningkatan pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Seperti

yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:

“kami adalah lembaga yang membantu gubernur dalam pelaksanaan teknis ketahanan pangan, kami bekerja secara fungsi mandiri guna menciptakan ketahanan pangan tapi kordinasi dengan lembaga lain itu perlu dilakukan, dan yang paling sering adalah dinas pertanian”53

BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan

tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi

52 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT53 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT

89

Page 90: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian

dan dinas kesehatan. Menurut S.M Talla:

“memang tidak dapat dipungkiri kinerja BKP belum maksimal, karena aparat yang terbatas, letak geografis, keterbatasan dana operasional, namun kendala yang paling sulit adalah merubah pola konsumsi masyarakat yang sudah terpatok dengan beras.”54

Dalam hal ini perlu dilakukan penyuluhan secara terpadu dan

koordinasi pemecahan masalah ketersediaan pangan yang melibatkan

semua stakeholders. Pemantapan sistem ketahanan pangan terus

digalakkan pada berbagai level mulai tingkat nasional, regional sampai

dengan tingkat rumah tangga yang dilakukan secara terpadu dan

terkoordinasi sehingga dapat meminimalkan kekurangan pangan dan

mengakseskan pangan masyarakat ke pangan lokal.

Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki serta jumlah dana

yang harus dikeluarkan, sehingga program yang disusun berjalan belum

maksimal, kondisi geografis Maluku sering menjadi penghambat gerak BKP

dalam melakukan sosialisasi.

b. Faktor penghambat

Faktor penghambat adalah faktor yang menjadi kendala dalam

pelaksanaan implementasi, sehingga seringkali membuat suatu implementasi

54 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT

90

Page 91: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

tidak dapat mencapai tujuannya. Dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan

pangan lokal BKP mengalami hambatan yang akan diuraikan lebih lanjut

1. Pola konsumsi yang tergantung pada beras

Pada masa orde baru pemerintah menganut paradigma kebijakan

pangan yakni ketahanan pangan. Dalam praktiknya, pemerintah

menerjemahkan ketahanan pangan sebatas ketersediaan beras dalam

jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Di

masa Orde baru, pemerintah mewujudkan paradigma ini lewat kebijakan

penyeragaman sistem pertanian dan pangan secara nasional.  Kebijakan

penyeragaman pangan menimbulkan berbagai bias.  Pangan diarahkan pada

satu jenis pangan saja, yaitu beras. Padahal sistem pangan berbagai

komunitas masyarakat lokal di Indonesia  mempunyai keanekaragaman yang

sangat tinggi.  Penyeragaman pangan ini telah menyingkirkan sistem pangan

lokal yang biasa dipraktikkan oleh masyarakat setempat sejak dulu. 

Dukungan politik untuk pengembangan berbagai jenis pangan lokal lainnya

tidak dilakukan.  Paradigma ini pun terbangun sampai sekarang dan sulit

untuk dihilangkan, masyarakat Maluku masih mengandalkan beras sebagai

komunitas pangan utama, sedangkan pangan lokal sebagai konsumsi

pelengkap. Seperti yang diungkapkan Talla :

91

Page 92: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

“karena penyeragaman pangan ke beras, pola konsumsi pangan orang Maluku yang dulunya sagu sebagai makanan pokok sekarang berubah ke beras, orang Maluku dikatakan makan jika mengkonsumsi nasi”55

Kekeliruan kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pangan

pada satu komoditas pangan membuahkan ketidak-berdaulatan rakyat atas

pangan sehingga makin lemahnya akses masyarakat lokal terhadap pangan

atau sumber-sumber produktif untuk menghasilkan pangan.  Hal ini tercermin

dari hilangnya kemampuan masyarakat dalam kemandirian untuk

memproduksi pangan serta mengkomsums pangan lokal yang dimilikinya.

Akibatnya, sistem pangan lokal yang khas digantikan oleh sistem pangan dari

luar yang berorientasi pasar dengan beras sebagai komoditi utama.

Akibatnya, masyarakat semakin tergantung pada pasokan pangan dari luar.

Karena tidak ada kontrol komunitas atas pangannya sendiri, berbagai potensi

sumber daya alam serta potensi sosial-ekonomi-budaya lokal tidak bisa

dimanfaatkan secara optimal.  

Walaupun potensi sagu yang dimiliki Maluku sangat besar dan dapat

dijumpai di setiap daerah, namun untuk merubah pola konsumsi pangan

masyarakat mendapat kendala oleh karena masyarakat Maluku sudah

terbangun sejak orde baru bahwa makanan pokok secara universal di

Indonesia adalah sagu. Sagu hanya dijadikan sebagai makanan

55 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT

92

Page 93: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

pendamping. Kurangnya inovasi terhadap pangan sagu membuat

masyarakat mulai meninggalkan sagu terlebih khusus di daerah perkotaan

Kebijakan raskin dirubah menjadi pangkin, dari sisi sumber daya, BKP

seharusnya mampu memaksimalkan potensi sagu sebagai pangan lokal,

namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan sagu, sehingga

banyak lahan sagu yang dialih fungsikan. Luas lahan, dan produksi sagu di

beberapa daerah belum terdata secara sistematis (lihat tabel 07). Secara

kuantitatif sampai sekarang masih dirasakan sulit mengingat terbatasnya

data dan tidak kontinyunya pengambilan data mengenai sagu dan sekitarnya.

Bahkan BPS pun belum begitu tertarik untuk memasukkan data sagu sebagai

data yang mesti diambil secara periodik setiap tahun. Potensi pangan lokal

yang dimiliki belum dikembangkan secara maksimal, karena harga belum

memberikan keuntungan yang layak bagi produsen dan pengolahan serta

konsumsi pangan lokal belum berkembang.

Program pangan miskin yang akan diterapkan di Maluku sebenarnya

baik untuk mengurangi ketergantungan pada beras, namun jika dilihat ini

pangan lokal dalam hal tempat penyimpanan akan cepat rusak bila

dibandingkan beras. Permasalahan menonjol dalam penanganan sagu

antara lain, dijumpai data  luas areal dan potensi produksi yang sangat

beragam, sehingga menyulitkan dalam perencanaan industrialisasi sagu dan

prediksi pengembangan untuk masa mendatang. Pemanfaatan dan nilai 93

Page 94: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

tambah sagu pada tingkat petani masih sangat terbatas, produk yang

dihasilkan bermutu rendah dan penanganannya kurang efisien. Potensi sagu

di tingkat petani saat ini belum optimal pemanfaatannya, hal ini ditandai

dengan : 1) banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan

akhirnya rusak. 2) pemanfaatan potensi sagu masih rendah, pemanfaatan

potensi sagu hanya terbatas pada skala petani/industri kecil dengan cara

pengolahan manual karena tidak tersedia alat pengolahan sagu yang

memadai secara lokal dan 4) masalah pemasaran. Sebaliknya eksploitasi

sagu yang dilakukan industri skala menengah-besar, kurang  memperhatikan

keseimbangan produksi, akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan sagu, yang

pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama sekitar 5 – 7 tahun. Jika

kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka secara langsung akan

mengganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat

sekitar areal sagu yang dieksploitasi.

Keanekaragaman hayati sebagai penopang keseimbangan ekosistem

yang menjadi sumber penopang keragaman pangan telah hilang oleh sistem

penyeragaman pangan ke beras. Hilangnya keanekaragaman hayati di lahan

pertanian lantaran hanya mengandalkan beras sebagai tumpuan ketahanan

pangan sangatlah beresiko bagi kehidupan masyarakat. Dengan

keberagaman tanaman, persediaan pangan dapat terjaga sehingga bila

sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen masyarakat  tidak kesulitan untuk

94

Page 95: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

memperoleh sumber pangan pengganti dan tidak perlu mengimpor dari

daerah lain.

2. Alih Fungsi Lahan Sagu

BKP dalam mewujudkan ketahanan pangan melihat adanya peluang

sagu sebagai pangan lokal memiliki potensi, namun alih fungsi lahan oleh

karena modernisasi pembangunan mekipun karakteristik sagu cocok dengan

geografis Maluku, lambat laun akan hilang oleh karena ketidaktersedianya

lahan pertanian. Di Maluku, sagu merupakan tumbuhan hutan yang tidak

dibudidayakan. Sebagai makanan pokok masyarakat Maluku, pohon sagu

dari tahun ke tahun semakin berkurang, baik karena hasil panen secara

eksploitatif maupun karena alih fungsi lahan untuk usaha lainnya bahkan

untuk keperluan pembangunan lainnya. Melkias L. Frans mengatakan:

"Karena Maluku memiliki lahan yang luas, maka harus menjadi catatan Pemerintah Daerah, bahwa selama ini pemanfaatan lahan dan kepedulian pemerintah sepertinya terlewatkan dan tidak terngiang, dan ada indikasi pura-pura tidak tahu, padahal itu ada di depan mata bahwa ini menandakan bahwa kita tidak mandiri.56

Disamping itu hutan sagu yang merupakan salah satu sumbedaya

alam yang menghasilkan berbagai unsur untuk memenuhi kebutuhan pangan

masyarakat sudah mulai langkah disebabkan telah terjadi perubahan pola

konsumsi masyarakat dan ketergantungan masyarakat pada sumber pangan

56 Wawancara dengan Ir. Melkias L. Frans, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Maluku95

Page 96: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

berupa beras serta alihfungsi lahan hutan menjadi perkebunan masyarakat

dan pemukiman menyebabkan hutan sagu mengalami penurunan

ketersediaan di alam misalnya banyaknya program transmigrasi yang

dilaksanakan oleh pemerintah dengan mengalihkan hutan sagu di Maluku

menjadi pemukiman masyarakat.

BKP sebagai pembuat dan pelaksanaan kebijakan teknis pangan pun

mengusulkan agar dibuat Peraturan Daerah pelestarian kawasan sagu, ini

pun didukung oleh anggota legislative Maluku. Salah satunya Abraham

Malioy: “banyak hutan sagu yang dikomersialkan menjadi daerah perumahan.

Kalau ada perda sagu, maka lahan sagu tidak bisa diganggu gugat.”57 Komisi

B DPRD Maluku juga mendorong berbagai proses itu, sehingga kemandirian

masyarakat dalam hal pangan dapat segera terpenuhi dan tak bergantung

lagi dari daerah lain seperti saat ini.

"Pemprov harus mengambil kebijakan melestarikan makanan pokok dan khas orang Maluku ini sebagai salah satu stok pangan pengganti beras, agar pohon sagu terlindungi dan tidak punah tergilas roda pembangunan yang semakin pesat di daerah ini,"58

Pengelolaan hutan sagu merupakan suatu upaya sistematis dan

terpadu baik dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum, terhadap kelestarian

57 Wawancara dengan Abraham. M.M. Malioy. SH, Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku58 Wawancara dengan Ir. Melkias L. Frans, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Maluku

96

Page 97: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

hutan sagu sebagai sumber daya alam dengan tidak merubah fungsi hutan

sagu secara ekologinya. Syuryadi Sabirin mengatakan:

“namun kita tidak bisa jalan tanpa ada petunjuk, paling tidak ada kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam perda dan kami mengangap ini sangat penting, sehingga kita harus membuat perda tersebut,”

Pelestarian terhadap tanaman sagu sangatlah penting karena sangat

bermanfaat terhadap masyarakat, oleh karena itu dibuat konsep, dan

diajukan kepada pihak dewan untuk dibicarakan. Ranperda ini bukan saja

berjalan mulus, tapi ada pertentangan dalam pembahasan dan sempat

tertahan karena Provinsi Maluku pasca rekonsiliasi konflik lebih fokus pada

sisi pembangunan infrastruktur baik itu perumahan dan hotel, karena ingin

mengembalikan citra Pariwisata Maluku. Sehingga harus terjadi alih fungsi

lahan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin: “Memang ada sedikit

perbedaan, tapi akhirnya disepakati, agar tercipta balance, baik pangan

maupun pariwisata”. Usulan kebijakan dari BKP tentang pelestrian sagu pun

akhirnya disahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 10 Tahun

2011 tentang pengelolaan dan pelestarian sagu. Dengan adanya perda

tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan hukum bagi Pemerintah

Maluku (BKP) dalam mengambil setiap kebijakan dalam kaitannya dengan

pengembangan pelestarian pangan lokal.

97

Page 98: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Peraturan Daerah No 10 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan

pelestarian sagu sebenarnya terlambat, jika dilihat Maluku sebagai potensi

sagu, perda perlindungan sagu justru sudah dikeluarkan pemerintah daerah

Papua satu tahun sebelumnya. Jaminan atas hak setiap komunitas

masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan sendiri kebijakan produksi,

distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi, sosial,

ekonomi dan budaya masing-masing komunitas.  Sebenarnya masyarakat

lokal yang lebih tahu dan lebih mampu memecahkan persoalan pangan

mereka. Dalam membuat kebijakan pangan, pemerintah harus

mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat lokal secara representatif.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang

Badan Ketahanan Pangan Maluku terhadap ketahanan pangan lokal

Penyeragaman konsumsi pangan ke beras pada masa orde baru telah

membuat ketergantungan masyarakat terhadap beras. Kondisi ini sangat

mengawatirkan bagi ketahanan pangan suatu Negara yang hanya

bergantung pada satu macam bahan pangan saja. Apalagi bagi daerah-

daerah yang secara geografis tidak dapat di tumbuhi tanaman padi. pangan

98

Page 99: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang

diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan

baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Politik pangan

adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan

bagi masyarakat dalam konteks Negara. Pangan merupakan kebutuhan

dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-

sama seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun

2002 tentang ketahanan pangan. Salah satu upaya agar mengurangi

ketergantungan tehadap beras dan kerawanan pangan, maka pemerintah

melakukan diversifikasi pangan dengan mengembangkan dan

mengkonsumsi pangan lokal yang merupakan potensi daerah masing-

masing.

Dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mengurangi

ketergantungan terhadap beras. Pemerintah Daerah Maluku membentuk

Badan Ketahanan Pangan yang berguna untuk membuat serta menjalankan

kebijakan pangan di Maluku, BKP bekerja sama dengan Bulog dalam

menyediakan bahan pangan masyarakat. Jika Bulog lebih kepada

penyediaan dan pengaturan harga beras, BKP berupaya menciptakan

99

Page 100: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

ketahanan pangan, dengan memanfaatkan potensi pangan lokal. BKP

sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam masalah pangan.

Berdasarkan data yang dipaparkan maka teori kebijakan sangat

relevan untuk menganalisis implementasi peraturan daerah No 04 tahun

2010 tentang tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan

Provinsi Maluku terhadap ketahanan pangan lokal. Menurut Carl Friedrich

kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan

oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu

sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari

peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Politik pangan adalah

kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan bagi

masyarakat. Peraturan daerah tentang Badan Ketahanan Pangan adalah

sebuah kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah dengan tujuan

mewujudkan ketahanan pangan di Maluku. Perda ini dibuat sebagai landasan

hukum BKP dalam membuat serta melaksanakan kebijakan teknis membantu

Gubernur dalam hal pemenuhan pangan. Tujuan pembentukan BKP juga

untuk merealisasikan peraturan presiden dalam percepatan diversivikasi

pangan lokal. Keberhasilan suatu kebijakan dapat diukur dari proses dan

pencapaian hasil akhir, jika hasilnya baik maka tujuan yang diinginkan

terlaksana, namun jika hasilnya negatif maka tidak sesuai dengan

diharapkan, ini diakibatkan oleh faktor kendala yang dialami pada saat proses

100

Page 101: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

kebijakan berjalan. Menurut Teori implementasi kebijakan Van Meter dan

Horn, terdapat variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:

Standar dan sasaran kebijakan, Sumberdaya, Hubungan antar organisasi,

Disposisi Implementator, serta kondisi sosial, politik dan ekonomi.

Jika dianalisis sesuai variabel implementasi kebijakan, sasaran dari

pembentukan BKP adalah mempercepat diversifikasi berbasis lokal hingga

tercipta kemandirian pangan. Program yang dibuat oleh BKP sebenarnya

dapat diukur dan dapat diwujudkan karena apa yang diinginkan dalam

program benar-benar ada dalam lingkungan masyarakat.

2. Faktor pendukung dan penghambat Badan Ketahanan Pangan

a. Faktor pendukung

Dalam pelaksanaannya BKP memiliki faktor pendukung dalam

menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku. Potensi pangan

lokal sagu yang banyak tumbuh di daerah Maluku dapat dijadikan sebagai

pengganti pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Secara

kelembagaan BKP yang dulunya hanya menjadi divisi pada Dinas Pertanian

sekarang terpisah dan diberikan kemandirian menjadi lembaga yang

membantu Gubernur membuat dan melaksanakan kebijakan teknis

ketahanan pangan.

101

Page 102: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

b. Faktor Penghambat

Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaanya juga BKP

mengalami hambatan dalam mengubah pola ketergantungan Masyarakat

terhadap beras. Masyarakat Maluku masih bergantung pada beras oleh

karena politik penyeragaman pangan zaman orde baru, dan

mengesampingkan sagu yang dulu adalah pangan pokok orang Maluku. Alih

fungsi hutan sagu menjadi pemukiman, dan terlambatnya disahkan Peraturan

daerah tentang pelestarian hutan sagu dinilai sebagai penghambat. Secara

kelembagaan kurangnya sumber daya Manusia (aparatur BKP) dan

minimnya dana ditambah lagi dengan letak geografis Maluku yang

merupakan daerah kepulauan menjadi penghambat kinerja BKP dalam

melakukan sosialisasi ke masyarakat. Terlepas dari kekurangan yang terjadi

pada saat pelaksanaan, BKP telah melakukan sedikit perbaikan dalam

mewujudkan diversifikasi pangan di Maluku, walaupun belum maksimal tapi

secara bertahap akan ada perbaikan menuju hasil yang diharapkan. BKP

Provinsi Maluku baru dua tahun terbentuk, dan untuk mengembalikan pola

konsumsi masyarakat yang selama 32 tahun mengandalkan konsumsi

pangan beras ke pangan lokal harus membutuhkan partisipasi dari setiap

masyarakat Maluku untuk mendukung kebijakan dalam hal kemandirian

pangan.

102

Page 103: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

B. Saran

Adapun saran penulis agar tercipta diversifikasi pangan lokal di

Maluku :

1. BKP sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam membuat

dan melaksanakan kebijakan pangan di Maluku harus lebih

mensosialisasikan konsumsi pangan lokal bukan saja bagi

masyarakat miskin, tapi semua elemen masyarakat tanpa

terkecuali. Penguatan internal birokrasi BKP (sumber daya

manusia) harus bisa menjalankan program ketahanan pangan

yang efektif dan efisien. Kordinasi BKP, Bulog dan Dinas Pertanian

harus saling mendukung dalam mengatasi kerawanan pangan.

2. Pangan lokal harus dikemas secara inovatif dan modern agar

memiliki daya tarik sehingga masyarakat lebih tertarik

mengkonsumsi pangan lokal.

3. Data kuantitatif lahan dan produksi pangan lokal terutama sagu

hendaknya di update 1 tahun sekali sebagai bahan perbandingan

informasi terhadap ancaman alif fungsi lahan.

4. Peraturan Daerah No 10 tahun 2011 tentang pelestarian dan

pengelolaan sagu harus dijadikan alat hukum yang tegas guna

melindungi sagu sebagai pangan lokal masyarakat Maluku

103

Page 104: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

Amang, B., M.H. Sawit. 1999. Kebijkan Beras dan Pangan Nasional. Bogor: IPB Press.

Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.

Bustaful, Arifin. 2005. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan. Jakarta: Rajawali Press

104

Page 105: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Dunn, William. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

George, Susan. 2007. Pangan “ dari penindasan sampai ketahanan pangan”.

Yogyakarta: INSIST

Gunawan, Faisal. 2003. Strategi Diversifikasi Pangan. Jakarta: Prisma

Haryanto. 1988. Sagu dan Pemanfaatanya. BPPT

INSIST. 2008. Politik Pangan: perlu perubahan paradigma. Yogyakarta:

INSIST

Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian kwalitatif dan kwantitatif untuk ilmu-ilmu

sosial. Jakarta: DIA FISIP UI

Jhamtani, Hira. 2008. Lumbung Pangan ”Menata Ulang Kebijakan

Pangan.Yogyakarta: INSIST

Raharjo, Dawam. 2003. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia.

Jakarta: Prisma

Soekarto. 1999. Prospek Pengembangan Sagu sebagai Pangan di Indonesia.

LIPI

Syafie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka

RekaCipta

Wahab, Solichin Abdul. 1997, Analisa Kebijakan dari Formulasi ke

Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta.

Wijayanti,dkk. 2003. Pengembangangara Pengelolaan Sagu di Sulawesi

Tenggara dan Maluku. Bogor: IPB105

Page 106: Kebijakan Ketahanan Pangan Lokal

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo

Yogyakarta.

Undang-Undang:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 2002 tentang

Ketahanan Pangan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan

Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber

Daya Lokal.

Internet:

BPS Provinsi Maluku tahun 2010 dalam http;//Maluku.bps.go.id

http://agoesman120.wordpress.com/2009/06/27/pangan-lokal/

http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-publik/

http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-kebijakan.html

106