Top Banner
IV-96 KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KE DEPAN 1 oleh : Achmad Suryana 2 I. PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional Sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1996, pangan dalam arti luas mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/hari (Suryana, 2002). Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya 1 Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Bidang IPTEK yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (DPP-IMM), Hotel Sopyan Cikini Jakarta, 12 Maret 2005 2 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
35

KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

Mar 15, 2019

Download

Documents

ledan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-96

KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMANTAPAN KETAHANAN

PANGAN NASIONAL KE DEPAN 1

oleh :

Achmad Suryana 2

I. PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat

mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang

setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan

tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap

saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan

suatu negara.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar

menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan

pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan

menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam

pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan

peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk

guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan

merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan.

Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya

adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional

Sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1996, pangan dalam arti luas

mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik

produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat

ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan

protein pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr

protein/kapita/hari (Suryana, 2002). Angka tersebut telah melebihi standar

kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya

1 Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Bidang IPTEK yang diselenggarakan oleh Dewan

Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (DPP-IMM), Hotel Sopyan Cikini Jakarta, 12 Maret 2005

2 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Page 2: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-97

Nasional Pangan dan Gizi VII Tahun 2000 masing-masing sebesar 2500

Kkal/kapita/hari dan 55 gr protein/kapita/hari ( LIPI, 2000).

Walaupun secara makro ketersediaan pangan telah melebihi standar

kecukupan energi dan protein, namun kecukupan di tingkat nasional tersebut tidak

menjamin kecukupan konsumsi di tingkat rumahtangga atau individu. Tingkat

konsumsi per kapita per hari rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 1999

sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan (BPS, Susenas

1999). Ketidakcukupan pangan ini tercermin pula adanya fakta (a) masih tingginya

prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masing-masing 24.9

persen dan dan 7.7 persen pada tahun 1999 (Suryana, 2002) dan (b) proporsi

rumahtangga rawan pangan di Indonesia tahun1999 yang diukur dengan indikator

silang antara tingkat konsumsi energi ≤ 80 persen dari standar kecukupan dan

pangsa pengeluaran pangan > 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar

30 persen (Saliem, H.P et al, 2001), serta (c) jumlah penduduk miskin di Indonesia

(yang juga dapat diidentikkan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan)

pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen (Irawan dan Romdiati, 1999).

Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia

saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan

yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya (Suryana, 2002). Permintaan

yang meningkat cepat tersebut merupakan resultante dari peningkatan jumlah

penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan

perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan nasional

pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya kompetisi

dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta stagnannya pertumbuhan

produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan

permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan

adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal

dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor ini terkait dengan upaya

mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.

Makalah ini membahas kebijakan, kendala dan tantangan dalam upaya

mewujudkan ketahanan pangan nasional. Setelah mengungkap secara umum

latar belakang pentingnya kebijakan pemantapan ketahanan pangan dan

permasalahan utama yang dihadapi, selanjutnya disajikan keragaan

perkembangan penyediaan pangan nasional, kebijakan yang ada serta kendala

Page 3: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-98

dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan stabilitas penyediaan pangan

nasional. Pada bagian penutup akan disampaikan perspektif ke depan upaya

mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional. Namun sebelum

menguraikan lebih lanjut pokok bahasan makalah ini, terlebih dahulu akan

diuraikan mengenai program Departemen Pertanian, 2005-2009 secara singkat

untuk memberikan gambaran masalah ketahanan pangan dalam program

departemen Pertanian.

II. PROGRAM DEPARTEMEN PERTANIAN 2005-2009

A. Ruh, Visi dan Misi

Sebelum merumuskan kebijakan dan program, perlu digariskan apa yang

selayaknya menjadi ruh yang merupakan nilai (value) dan jiwa (spirit), yang

melandasi pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian.

Pembangunan pertanian tanpa dilandasi ruh yang menjadi dasar pijakan akan

kehilangan arah dan semangat yang akhirnya dapat menyimpang dari tujuan dan

sasaran pembangunan. Apalagi untuk sektor pertanian yang obyek

pembangunannya adalah benda hidup, yakni manusia, hewan, tanaman dan

lingkungannya (human activity system), maka ruh pembangunan sangat

diperlukan, agar pembangunan tidak bersifat eksploitatif dan merusak kelestarian

dari obyek pembangunan.

Seiring dengan semangat reformasi dan penyelenggaraan pemerintahan

yang baik (good governance) oleh pemerintah yang bersih (clean government),

maka selayaknya semangat reformasi ini dijadikan sebagai ruh di dalam

pembangunan pertanian oleh Departemen Pertanian. Selain itu, semangat

penyelenggaraan pemerintah yang baik oleh suatu pemerintahan yang bersih

diharapkan dapat memperoleh hasil-hasil pembangunan untuk sebesar-besarnya

kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, ruh kepedulian harus

menjadi nilai dan orientasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.

Tidak berlebihan jika Departemen Pertanian dalam penyelenggaraan

pembangunan pertanian Indonesia melandaskan pada nilai dan ruh yang Bersih

dan Peduli.

Bersih berarti bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), amanah,

transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitasi, pelayanan,

Page 4: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-99

perlindungan, pembelaan, pemberdayaan, dan keberpihakan terhadap

kepentingan umum (masyarakat pertanian) di atas kepentingan pribadi dan

golongan (demokratis) dan aspiratif.

Untuk mencapai visi Pembangunan Pertanian tersebut, Departemen

Pertanian mengemban misi yang harus dilaksanakan periode 2005-2009 adalah:

(1) Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas

moral yang tinggi;

(2) Mendorong pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan;

(3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan

penganekaragaman konsumsi;

(4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian terhadap perekonomian

nasional;

(5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan

pelayanan;

(6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan

pertanian Indonesia dalam sistem perdagangan domestik dan global.

B. Masalah dan Tantangan

Paling sedikit ada tujuh tantangan (challenges) yang akan dihadapi dalam

pembangunan pertanian periode 2005 – 2009 mendatang. Tiga tantangan di

antaranya telah menjadi perhatian masyarakat dunia yang dituangkan dalam

Millenium Development Goals yaitu: (1) penurunan proporsi jumlah penduduk

miskin dengan pendapatan kurang dari 1 dolar AS per kapita per hari sebesar 50

persen selama periode 1990-2015; dan (2) penurunan proporsi jumlah penduduk

yang kelaparan sebesar 50 persen selama periode 1990-2015 dan (3)

pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik.

1. Membangun Pemerintahan yang Baik dan Memposisikan Pertanian sebagai Sektor Andalan Perekonomian Nasional

Cara penyelengaraan pemerintahan yang baik (good governance) sangat

diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, yaitu : bersih (clean),

berkemampuan (competent), memberikan hasil positif (credible) dan secara publik

dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Pembangunan pertanian akan

berhasil jika diawali dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik,

dimana pemerintah merupakan agen pembangunan yang sangat menentukan

Page 5: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-100

keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang dihadapi

adalah bagaimana membangunan pemerintahan yang bersih, berkemampuan,

berhasil dan dapat dipertanggungjawabkan.

Disamping itu, politik pertanian kita masih lemah. Walaupun semua

komponen bangsa menyadari akan pentingnnya sektor pertanian dalam

memperkuat struktur perekonomian nasional, perhatian pemerintah dan elit politik

belum sebesar peran sektor pertanian itu sendiri.

2. Mewujudkan Kemandirian Pangan dalam Tatanan Perdagangan Dunia yang Bebas dan Tidak Adil

Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa,

sehingga kemandirian pangan merupakan prioritas tujuan pembangunan

pertanian. Tantangan ke depan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan

kemandirian pangan adalah meningkatnya derajat globalisasi pergangan dunia

yang tidak adil. Sebagai anggota WTO, Indonesia merupakan salah satu negara

yang paling patuh menjalankan komitmen untuk mewujudkan perdagangan bebas.

Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998 telah mengurangi seluruh tarif bea

masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali

kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras. Namun banyak

negara, khususnya negara maju, ternyata belum/tidak melaksanakan komitmen

tersebut dengan baik, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan tidak

adil dengan petani dari negara-negara lain yang dengan mudah mendapat

perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung dari

pemerintahnya. Serbuan impor beberapa komoditas pangan utama meningkat,

seperti beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi. Akibatnya komoditas pangan

Indonesia kalah bersaing dengan komoditas pangan negara lain. Kalau ini dibiarkan

terus, maka keberlanjutan pertanian pangan akan tidak terjamin yang berarti jutaan

petani pangan akan kehilangan mata pencaharian.

Indonesia juga menghadapi permasalahan dalam negeri yang berkaitan

dengan produksi pangan yaitu: (1) upaya meningkatkan kesejahteraan dan

mengurangi jumlah petani gurem, sementara pada saat bersamaan muncul gejala

pelambatan produktivitas dan penurunan nilai tukar petani; (2) upaya

mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi pangan dan

membalikkan kecenderungan deselerasi pertumbuhan produksi menjadi

Page 6: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-101

akselerasi; (3) upaya mengatasi fenomena ketidakstabilan produksi; dan (4) upaya

meningkatkan daya saing produk pangan.

3. Mengurangi Jumlah Petani Miskin, Membangun Basis bagi Partisipasi Petani, dan Pemerataan Hasil Pembangunan

Krisis multi dimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah

menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi sekitar

32 juta orang (26%) di pedesaan dan sekitar 18 juta orang (22%) di perkotaan.

Namun pada tahun 2002, jumlah tersebut telah menurun drastis menjadi sekitar

25 juta orang (21,1%) di pedesaan dan sekitar 13 juta orang (14,5%) di perkotaan.

Dengan mengacu pada target tujuan pembangunan era milenium, maka pada

tahun 2015 proporsi penduduk miskin akan menjadi 8,54 juta orang (7,15%) di

pedesaan dan 4,52 juta orang (8,40%) di perkotaan. Oleh karena itu, selama

periode 2002 – 2015, Indonesia harus mampu mengurangi jumlah penduduk

miskin sebesar 16,46 juta orang (13,94%) di pedesaan dan 8,48 juta orang

(6,10%) di perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian

besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada sektor

pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait

dengan sektor pertanian.

Dalam kaitan itu, sektor pertanian berperan sangat strategis dalam

pengentasan penduduk miskin di wilayah pedesaan karena sebagian besar

penduduk miskin di wilayah pedesaan bergantung pada sektor tersebut. Dengan

kata lain, sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis untuk dijadikan

sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan sektor

pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk

miskin di wilayah pedesaan. Demikian pula, basis bagi partisipasi petani untuk

melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan pertanian harus

dibangun sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usahataninya

secara optimal untuk menunjang pertumbuhan pendapatannya. Hasil-hasil

pembangunan harus terdistribusi makin merata antar sektor, antar subsektor

dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan

masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan

meningkat.

Page 7: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-102

4. Meningkatkan Pertumbuhan Sektor Pertanian

Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi

perekonomian pedesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih

sangat tergantung pada hasil primer, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih

rendah dan kurang kompetitif di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Ke

depan, pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produk pertanian

olahan primer, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan dan

memperluas pangsa pasar di dalam dan luar negeri. Negara berkembang

penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang melakukan pengembangan

produk pertanian untuk mensiasati perdagangan dunia yang tidak adil. Apabila hal

dapat dilakukan maka sektor pertanian akan tumbuh lebih cepat dan tinggi lagi

dibandingkan dengan yang telah dicapai selama ini. Pertumbuhan sektor

pertanian yang makin cepat akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lain secara

lebih cepat melalui kaitan ke belakang dan ke depan dalam kegiatan produksi dan

konsumsi. Dengan demikian, sektor pertanian akan lebih dikenal sebagai

pengganda tenaga kerja, dan bukan sekedar pencipta kesempatan kerja.

5. Membangunan Sistem Agribisnis Terkoordinatif

Struktur agribisnis kita saat ini dapat digolongkan sebagai tipe dispersal.

Struktur agribisnis dispersal dicirikan oleh tiadanya hubungan organisasi

fungsional diantara setiap tingkatan usaha. Jaringan agribisnis praktis hanya diikat

dan dikoordinir oleh mekanisme pasar (harga). Hubungan diantara sesama pelaku

agribisnis praktis bersifat tidak langsung dan impersonal. Dengan demikian setiap

pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak menyadari

bahwa mereka saling membutuhkan. Bahkan hubungan di antara pelaku agribisnis

cenderung berkembang menjadi bersifat eksploitatif yang pada akhirnya menjurus

ke kematian bersama.

Lebih ironisnya lagi, pola agribisnis dispersal tersebut diperburuk pula oleh

berkembangnya asosiasi pengusaha horizontal (usaha sejenis) yang bersifat

asimetri dan cenderung berfungsi sebagai kartel. Sifat asimetri terlihat dari

tiadanya asosiasi para pelaku agribisnis yang efektif di tingkat hulu (petani),

seangkan asosiasi pelaku agribisnis di tingkat hilir (industri pengolahan,

pedagang/eksportir) sangatlah kuat. Hal inilah yang membuat organisasi usaha

dalam sektor agribisnis cenderung berperan sebagai sebuah kartel yang memiliki

Page 8: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-103

kekuatan monopsonistis maupun kekuatan monopolistik. Kekuatan monopsonistis

akan menekan harga yang diterima oleh petani, sedangkan kekuatan monopolistis

akan meningkatkan harga yang dibayar konsumen. Dengan demikian, asosiasi

pengusaha agribisnis horizontal di tingkat hilir yang mengarah pada kartel

cenderung merugikan petani produsen maupun konsumen, tidak efisien, serta

menurunkan produksi agregat (anti pertumbuhan).

Tiadanya ikatan institusional, asosiasi pengusaha yang bersifat asimetri,

kemampuan bisnis yang tidak berimbang (kutub hulu, yaitu petani, bersifat serba

gurem; sedangkan kutub hilir, yaitu agroindustri dan eksportir, bersifat serba kuat)

ditambah pula sifat intrinsik permintaan dan penawaran komoditi pertanian yang

sangat tidak elastis membuat rantai vertikal agribisnis bersifat dualistik (Bell and

Tai, 1969). Struktur agribisnis yang bersifat dualistik inilah yang menyebabkan

munculnya masalah transmisi (pass through problems) dalam agribisnis

(Simatupang, 1995). Pass through problems ini terdiri dari empat aspek strategis:

1. Terjadinya transmisi harga yang tidak simetris: Penurunan harga

ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani, sedangkan kenaikan

harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna (Simatupang, 1989;

Simatupang dan Situmorang, 1988).

2. Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen, ditahan dan bahkan

dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik atau monopolistik oleh

agribisnis hilir (Bell and Tai, 1969; Wharton, 1962).

3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki atau yang dapat diperoleh

agribisnis hilir tidak ditransmisikan ke agribisnis hulu (petani).

4. Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh agribisnis hilir tidak

disalurkan dengan baik dan bahkan cenderung digunakan untuk

mengeksploitasi agribisnis hulu (Stiffel, 1975; Wharton, 1962).

Pass through problems tersebut di atas jelas sangat menghambat

pembangunan pertanian. Secara lebih tegas lagi, menurut pendapat saya, inilah

masalah utama yang dihadapi bila pembangunan pertanian dilaksanakan dengan

pendekatan agribisnis seperti yang kita jalankan saat ini. Dengan perkataan lain,

struktur agribisnis dispersal tidak kondusif bagi pembangunan pertanian dengan

pendekatan agribisnis.

Hubungan impersonal-eksploitatif dan tiadanya asosiasi agribisnis vertikal

tentu akan menyebabkan kualitas produk (komoditi) pertanian tidak dapat

Page 9: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-104

disesuaikan dan dijamin seperti yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini kiranya

sangat jelas karena: (1) Informasi tentang karakteristik produk yang diinginkan

konsumen tidak sampai dengan cepat dan tepat ke seluruh tingkatan agribisnis

muai dari hilir hingga ke hulu (petani); (2) Kegiatan setiap tahapan agribisnis tidak

terpadu secara vertikal sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan pun tidak

dapat dijamin; (3) Pasar cenderung terdistorsi sehingga tidak ada insentif untuk

meningkatkan mutu produk. Jelaslah bahwa struktur agribisnis dispersal tidak

sesuai dengan tuntutan perubahan fundamental dalam pasar global saat ini, lebih-

lebih di masa mendatang. Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa

inilah salah satu yang menyebabkan daya saing agribisnis Indonesia pada

umumnya masih lemah.

Dari segi transfer teknologi (modernisasi), struktur agribisnis dispersal juga

tidak baik. Sesuai dengan relungnya (niche) pada rantai agribisnis, yang paling

mengetahui dan akses terhadap perkembangan teknologi modern adalah

kelompok agribisnis yang berada pada kutub hilir (eksportir/agroindustri). Kutub

hulu (petani) berada di pedesaan sehingga kurang akses terhadap informasi

maupun pasokan teknologi modern. Oleh karena itu, apabila struktur agribisnis

vertikal tidak terkoordinir dengan baik maka modernisasi teknologi pertanian pun

akan semakin lambat. Di samping itu, akan muncul pula dualisme kemajuan

teknologi pada sektor agribisnis yang ditunjukkan oleh perbedaan tingkat

kemajuan teknologi yang sangat kontras pada kedua kutub alur agribisnis vertikal:

kutub hulu (petani) tetap menggunakan teknologi tradisional, sedangkan kutub hilir

(agroindustri) telah menggunakan teknologi mutakhir. Secara singkat dapatlah

disimpulkan bahwa struktur agribisnis dispersal tidak sesuai dengan kebutuhan

modernisasi teknologi agribisnis, apalagi pada era bioteknologi mendatang, yang

sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing.

Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa struktur agribisnis dispersal tidak

kondusif, baik untuk kehidupan dan perkembangan agribisnis (mikro) maupun

untuk pembangunan pertanian secara umum (makro). Oleh karena itu, kita harus

sudah mulai merubah struktur agribisnis tersebut menjadi struktur pertanian

industrial.

Page 10: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-105

6. Melestarikan Sumberdaya Alam dan Fungsi Lingkungan Hidup

Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi banyak berkaitan dengan

penurunan kualitas lingkungan di wilayah hulu yang berakibat langsung pada

kualitas lingkungan di wilayah hilir. Meningkatnya permintaan lahan akibat

pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan

pertanian juga meningkatnya intensisitas usahatani di daerah aliran sungai (DAS)

hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah

berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung makin besar

seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa.

Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah

mengalami penurunan.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga

meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan

ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi

antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia menurun dari 65%

dari total daratan pada tahun 1985 menjadi hanya 47% pada tahun 2000. Di Pulau

Jawa, konversi lahan sawah irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri terus

berlangsung dengan akselerasi yang meningkat. Dampak dari penggundulan

hutan dan konversi lahan tersebut antara lain adalah berubahnya iklim secara

global serta meningkatnya erosi, banjir dan kekeringan. Penurunan luas baku

sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani tetap bahkan bertambah telah

mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah hulu yang berakibat pada

penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS menyebabkan efisiensi saluran

irigasi menurun dan penurunan efsiensi ini makin cepat karena kurangnya

pemeliharaan dan rehabilitasi sebagai akibat terbatasnya dana pemerintah.

7. Membangun Sistem IPTEK yang Efisien

Permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan

pemanfaatan IPTEK Pertanian adalah belum terbangunnya secara efisien sistem

IPTEK Pertanian mulai dari hulu (penelitian tinggi dan strategis) sampai hilir

(pengkajian teknologi spesifik lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani).

Efisiensi sistem IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi

program litbang pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program

litbang pertanian dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem

Page 11: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-106

IPTEK pertanian ini perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang

mampu menghasilkan peneliti yang berkemampuan (competent) dan produktif

(credible). Juga perlu dibangun kembali sistem penyuluhan petani yang lebih

efektif dan efisien.

C. Strategi Umum

Agenda dan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, telah

menetapkan “Revitalisasi Pertanian” sebagai salah satu prioritas pembangunan

bidang ekonomi. Revitalisasi Pertanian diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi

pembangunan ekonomi. Konsep tersebut merupakan komitmen politik yang harus

didukung dan dijabarkan lebih lanjut operasionalnya oleh semua instansi yang

terkait dengan pertanian.

Strategi Umum dalam upaya mewujudkan visi pembangunan pertanian

adalah sebagai berikut:

(1) Melaksanakan manajemen pembangunan yang bersih, transparan dan

bebas KKN. Manajemen pembangunan seperti itu diharapkan akan

berdampak pada pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal dan

memberikan insentif bagi investasi.

(2) Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen

pembangunan pertanian. Koordinasi adalah salah satu kunci keberhasilan

karena kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian tidak

sepenuhnya menjadi kewenangan Departemen Pertanian. Sebagian besar

kewenangan tersebut berada di institusi lain.

(3) Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan.

Kekayaan Indonesia yang beragam baik ekosistem maupun budayanya perlu

dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menciptakan saling ketergantungan

yang menguntungkan antar wilayah, memacu kegiatan perdagangan

domestik maupun global, mengembangkan investasi untuk menciptakan

sumber pertumbuhan dan pendapatan baru dengan menempatkan petani

sebagai pelaku utamanya.

(4) Meningkatkan kapasitas dan memberdayakan sumberdaya manusia

pertanian. Pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan dengan

meningkatkan kemampuan mereka untuk bergerak sendiri secara proaktif di

Page 12: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-107

dalam kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian dalam wadah organisasi

petani yang kuat dan mandiri. Fasilitasi pemerintah harus diselenggarakan

untuk mendorong kreativitas masyarakat, dan memberdayakan usaha

masyarakat.

(5) Meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana pertanian. Kondisi sarana

dan aturan sampai saat ini belum berpihak kepada petani sehingga petani

memiliki posisi tawar yang lemah. Kajian kebutuhan prasarana dan sarana

serta sistem pemasaran yang mendalam diikuti dengan pembangunan

sarana yang diperlukan merupakan kunci untuk memperbaiki pembagian

keuntungan yang lebih adil kepada petani di antara para pelaku dalam rantai

tataniaga produk pertanian.

(6) Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna. Rendahnya

produktivitas dan kualitas produk pertanian Indonesia merupakan akibat

langsung dari rendahnya tingkat inovasi teknologi yang diterapkan petani.

Hal itu terkait erat dengan relevansi program, efektivitas teknologi yang

tersedia, dan efisiensi proses alih teknologi yang dihasilkan. Sistem

penelitian dan pengembangan serta keterkaitannya dengan sistem

pengantaran dan penerapan teknologi perlu ditata dan dikelola dengan baik.

(7) Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian. Karantina menjadi

sangat penting dalam menangkal masuknya organisme pengganggu

tanaman dan hewan, sementara market intelligent, informasi pasar,

kebijakan perdagangan, subsidi yang tepat, dan kebijakan fiskal lainnya akan

diterapkan secara tepat, agar komoditas pertanian dan olahannya meningkat

dayasaingnya di pasar internasional maupun domestik.

D. Program Utama

Sesuai dengan Visi, Misi, Tujuan dan Strategi pembangunan pertanian,

maka Program Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009, dirumuskan dalam

tiga program, yaitu; (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program

Peningkatan Nilai Tambah dan Dayasaing Produk Pertanian; dan (3) Program

Peningkatan Kesejahteraan Petani.

Page 13: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-108

1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan

ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh

rumah tangga, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan

mencakup komponen: (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi

pangan, (3) penerimaan oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5)

keamanan pangan. Program peningkatan ketahanan pangan merupakan fasilitasi

bagi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup setiap saat,

sehat dan halal. Ketahanan pangan rumahtangga berkaitan dengan kemampuan

rumahtangga untuk dapat akses terhadap pangan di pasar, dengan demikian

ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi oleh kemampuan daya

beli/pendapatan rumahtangga. Sejalan dengan itu maka peningkatan pendapatan

rumahtangga merupakan faktor kunci dari peningkatan ketahanan pangan

rumahtangga. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari

tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein,

lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan

kesehatan. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) dicapainya ketersediaan

pangan tingkat nasional, regional dan rumah tangga yang cukup, aman dan halal,

(2) meningkatnya keragaman produksi dan konsumsi pangan masyarakat, dan (3)

meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kerawanan

pangan. Kegiatan utama Program Peningkatan Ketahanan Pangan meliputi: (1)

Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, (2) Pengembangan diversifikasi

produksi dan konsumsi pangan yang bertumpu pada sumberdaya lokal, (3)

Penyusunan kebijakan dan pengendalian harga pangan, (4) Penyusunan dan

penerapan standar kualitas dan keamanan pangan, dan (5) Penanggulangan

kasus/kejadian kerawanan pangan.

Rencana tindak program meliputi: (1) Peningkatan produksi pangan pokok,

(2) Koordinasi kebijakan ketersediaan dan distribusi pangan, (3) Pengembangan

sumber pangan alternatif berbasis sumberdaya lokal, (3) Koordinasi penyusunan

kebijakan harga pangan, (4) Koordinasi pengendalian harga pangan, (5)

Koordinasi penetapan standar kualitas dan keamanan pangan, (6) Pengawasan

lalu lintas pertanian dan hewan serta penerapan GAP dan HACCP produk

pangan, dan (7) Koordinasi penanggulangan kasus/kejadian kerawanan pangan.

Page 14: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-109

2. Program Peningkatan Nilai Tambah dan Dayasaing Produk Pertanian

Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, maka arah yang perlu

ditempuh adalah memperluas cakupan kegiatan ekonomi produktif petani.

Perluasan kegiatan ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan adalah

peningkatan nilai tambah melalui pengolahan.

Dengan demikian, program ini dimaksudkan untuk memfasilitasi: (1)

berkembangnya usaha pertanian agar produktif dan efisien menghasilkan

berbagai produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan daya saing tinggi baik di

pasar domestik maupun pasar internasional, dan (2) meningkatnya kontribusi

sektor pertanian dalam perekonomian nasional, terutama melalui peningkatan

devisa dan pertumbuhan PDB.Sasaran dari program ini adalah: (1)

berkembangnya usaha di sektor hulu, usahatani (on-farm), hilir (agroindustri) dan

usaha jasa penunjang; (2) Meningkatnya ekspor produk pertanian segar dan

olahan; dan (3) Meningkatnya pertumbuhan PDB sektor pertanian.

Kegiatan utama mencakup: (1) Peningkatan produksi dan mutu produk

pertanian, (2) Pengembangan agro-industri pedesaan, (3) Pengembangan produk

sesuai dengan standar internasional, (4) Penerapan kebijakan insentif, (5)

Pengembangan informasi pasar, (6) Pengembangan prasarana dan sarana usaha,

(7) Pengembangan pasar, (8) Perlindungan produk domestik, dan (9) Harmonisasi

regulasi/deregulasi.

Rencana tindak program meliputi: (1) Pengembangan produksi komoditas

unggulan, (2) Perbaikan pasca panen, (3) Pengembangan kelembagaan

pengolahan hasil pertanian, (4) Penerapan standar produk sesuai standar

internasional, (5) Pengendalian harga produk pertanian, (6) Pengembangan

jaringan informasi distribusi, (7) Pengembangan sarana pengolahan dan

pemasaran, (8) Peningkatan market intelligent, (9) Perlindungan produk domestik,

dan (10) Peningkatan kerjasama antar negara di bidang karantina.

3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani

Definisi kesejahteraan yang dimaksud disini adalah dibatasi pada

kesejahteraan ekonomi atau lebih spesifik lagi pendapatan rumah tangga.

Pelaksanaan kedua program terdahulu tidak secara otomatis meningkatkan

pendapatan petani.

Page 15: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-110

Program Peningkatan Kesejahteraan Petani bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan petani melalui pemberdayaan dan peningkatan akses petani terhadap

sumberdaya usaha pertanian. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1)

meningkatnya kapasitas, posisi tawar, dan pendapatan petani/pelaku usaha

pertanian; dan (2) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif.

Kegiatan utama yang akan dilakukan adalah: (1) Peningkatan kapasitas

dan kualitas SDM pelaku usaha pertanian terutama petani; (2) Pengembangan

kelembagaan pertanian; (3) Peningkatkan akses petani terhadap sumberdaya

pertanian (lahan, modal, pasar, teknologi dan informasi); dan (4) Perlindungan dan

jaminan usaha petani terhadap resiko alam dan persaingan yang tidak adil.

Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa ketahanan

pangan merupakan salah satu program utama Departemen Pertanian. Dengan

demikian perhatian Departemen Pertanian terhadap masalah pangan dapat

dikatakan cukup besar dan telah diiplementasikan dalam bentuk program utama.

III. PERKEMBANGAN KETAHANAN PANGAN

A. Kondisi Dunia

Ketahahan pangan banyak berkaitan dengan kemiskinan. Seperti telah

kita ketahui bersama bahwa upaya pengentasan kemiskinan di dunia berjalan

sangat lamban. Data UNDP menunjukkan pada tahun 1990 jumlah penduduk

sangat miskin di dunia (pengeluaran di bawah 1 dolar US/hari) mencapai 1,3

milyar jiwa atau sekitar 29,6 persen dari total penduduk dunia. Sepuluh tahun

kemudian (1999) jumlah penduduk sangat miskin turun menjadi sekitar 1,2 milyar

jiwa atau sekitar 23,2 persen dari total penduduk dunia. Kondisi jumlah penduduk

sangat miskin semakin memprihatikan apabila dilihat dari sebaran geografisnya.

Di Amerika Latin, selama kurun waktu yang sama jumlah penduduk sangat miskin

justru semakin meningkat dari 48 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi 57 juta jiwa

pada tahun 1999. Kondisi yang lebih buruk terjadi di Sub Sahara Afrika, dimana

jumlah penduduk sangat miskin pada tahun tahun 1990 mencapai 241 juta jiwa

dan meningkat menjadi 315 juta jiwa pada tahun 1999. Kondisi yang sangat

kontras terjadi Asia Selatan dan pasifik, yang berhasil menurunkan jumlah

penduduk sangat miskin dari sekitar 486 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi sekitar

279 juta jiwa pada tahun 1999.

Page 16: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-111

Tabel 1. Jumlah Penduduk Dunia Dengan Pengeluaran Di Bawah $ 1 dan $2 per hari, 1990-1999 dan Proyeksi 2015

Juta jiwa % Wilayah

1990 1999 2015 1990 1999 2015 Kurang dari $ 1 per Hari East Asia and Pacific 486 279 80 30,5 35,6 3,9 Excluding China 110 57 7 24,2 10,6 1,1 Europe and Central Asia 6 24 7 1,4 5,1 1,4 Latin America and Caribbean

48 57 47 11,0 11,1 7,5

Middle East and North Africa

5 6 8 2,1 2,2 2,1

South Asia 506 488 264 45,0 36,6 16,7 Sub-Saharan Africa 241 315 404 47,4 49,0 46,0 Total 1.292 1.169 809 29,6 23,2 13,3 Excluding China 917 945 735 28,5 25,0 15,7 Kurang dari 2 $ per Hari East Asia and Pacific 1.114 897 339 69,7 50,1 16,6 Excluding China 295 269 120 64,9 50,2 18,4 Europe and Central Asia 31 97 45 6,8 20,3 9,3 Latin America and Caribbean

121 132 117 27,6 26,0 18,9

Middle East and North Africa

50 68 62 21,8 23,3 16,0

South Asia 1.010 1.126 1.139 89,8 84,8 68,0 Sub-Saharan Africa 386 480 618 76,0 74,7 70,4 Total 2.712 2.902 2.320 62,1 55,6 38,1 Excluding China 1.692 2,173 2,101 58,7 57,5 44,7

Sumber : UNDP

Melihat perkembangan penurunan jumlah penduduk sangat miskin yang

sangat lamban tersebut tersebut, target Bank Dunia yang memproyeksikan

penurunan jumlah penduduk sangat miskin hingga mencapai 809 juta jiwa pada

tahun 2015 nampaknya akan sulit dicapai. Kenyataan ini didukung oleh adanya

situasi perdagangan internasional yang tidak adil, dinamika iklim global yang

semakin sulit diprediksi dan dikendalikan, serta situasi politik dan keamanan dunia

yang belum sepenuhnya kondusif.

Kemiskinan dengan kelaparan berkaitan sangat erat. Oleh karena itu, tidak

mengherankan apabila kondisi penduduk kurang makan di dunia juga masih

cukup tinggi. Data FAO menunjukkan bahwa jumlah penduduk kurang makan

(malnourishment) di negara berkembang selama kurun waktu 1990-2000 praktis

tidak berubah, yaitu sekitar 800 juta jiwa. Sama seperti halnya dengan kondisi

Page 17: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-112

kemiskinan, jumlah penduduk kurang makan di Sub Sahara Afrika juga

menunjukkan peningkatan, yaitu dari sekitar 168 juta jiwa pada tahun 1990

menjadi 196 juta jiwa pada tahun 2000. Khusus untuk Indonesia, FAO melaporkan

jumlah penduduk yang kurang makan menunjukkan penurunan dari sekitar 17 juta

jiwa pada tahun 1990 menjadi sekitar 12 juta jiwa, atau hanya sekitar 6 persen dari

total jumlah penduduk Indonesia. Dengan gambaran seperti di atas, maka upaya

pengurangan jumlah penduduk yang kurang makan hingga mencapai separonya

pada tahun 2015 di negara berkembang nampaknya akan sulit dicapai.

Tabel 2. Prevalensi Penduduk Kurang Makan di Negara Berkembang, 1990-2000

dan Proyeksi 2015

Jumlah Penduduk (juta jiwa) Persentase thd Populasi Wilayah 1990-

1992 1995-1997

1998-2000 2015 1990-

1992 1995-1997

1998-2000 2015

Developing world 815 791 799 610 20 18 17 11 Indonesia 17 11 12 n.d 9 6 6 n.d Asia and the Pacific 564 525 508 330 20 17 16 8 Near East and North African

25 33 40 37 8 9 10 7

Sub-Saharan African 168 180 196 205 35 33 33 23 Latin American and Caribbean

59 53 55 40 13 11 11 6

Sumber : FAO

Kondisi di atas semakin dipersulit dengan semakin menurunnya alokasi

dana ODA dari negara-negara maju, yaitu dari sekitar US$ 103 juta pada tahun

1990 menjadi sekitar US$ 84 juta pada tahun 1999. Dan yang lebih

memprihatinkan lagi adalah pangsa alokasi dana ODA untuk pembangunan

pertanian dan pedesaan juga semakin menurun, dari sekitar 12,6 persen pada

tahun 1990 menjadi sekitar 10,7 persen pada tahun 1999 (Tabel 3).

Page 18: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-113

Tabel 3. Total Official Development Assistance (ODA) dari Negara-Negara Industri

Year Total Komitmen

ODA ( juta US $)

Total Komitmen untuk Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan (juta US $)

Pangsa Dana Pembangunan Pertanian dan

Pedesaan terhadap Total ODA (%)

1990 103 13 12.6 1991 94 10 10.6 1992 82 11 13.4 1993 85 8 9.4 1994 85 9 10.6 1995 79 9 11.3 1996 80 9 11.3 1997 76 11 14.5 1998 83 10 12.0 1999 84 9 10.7

Sumber : FAO

B. Kondisi Indonesia

Dari berbagai indikator ketahanan pangan tahun 2004, dapat diketahui

kondisi ketahanan pangan nasional saat ini, baik secara makro (agregat) dan

mikro (individu). Secara makro, kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan

pangan seluruh penduduk Indonesia ditunjukkan oleh besarnya produksi beberapa

komoditas pangan penting pada tahun 2004 sebagai berikut: produksi padi 54,34

juta ton GKG, jagung 11,35 juta ton, ubi kayu 19,2 juta ton, kedelai 0,73 juta ton

biji kering, daging ternak termasuk unggas 1,9 juta ton, telur 0,9 juta ton, minyak

sawit 5,0 juta ton dan ikan laut dan tawar 6,0 juta ton.

Sebagian dari hasil produksi tersebut dipasarkan melalui ekspor, antara

lain dalam bentuk udang, ikan laut dan minyak sawit, dengan nilai ekspor pangan

secara keseluruhan pada tahun 2002 mencapai US $ 6,5 milyar. Sebaliknya,

Indonesia juga mengimpor bahan pangan baik primer maupun olahan antara lain

gandum, beras, gula dan kedelai, dengan nilai impor secara keseluruhan

mencapai US $ 3,1 milyar. Besarnya impor bahan pangan ini merupakan salah

satu indikator adanya potensi kerawanan pangan. Impor bahan pangan bagi

Indonesia yang berpenduduk besar mempunyai potensi untuk menciptakan

ketergantungan pada pihak asing yang besar dan dapat memberikan dampak

yang membahayakan kedaulatan negara.

Page 19: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-114

Dari data produksi, cadangan, impor dan ekspor pangan tersebut diperoleh

tingkat ketersediaan energi yang siap untuk dikonsumsi. Data Neraca Bahan

Makanan FAO menunjukkan tingkat ketersediaan energi Indonesia pada tahun

2002 mencapai 2.903 Kkal per kapita per hari, namun sekitar 50 persen lebih

masih berasal dari pangan beras. Untuk protein, tingkat ketersediaannya

mencapai 64 gram per kapita per hari dan sekitar 42 persen berasal dari pangan

beras, 12 persen dari pangan kedele dan 11 persen dari pangan ikan.

Ketersediaan energi dan protein ini telah melebihi rekomendasi tingkat kecukupan

konsumsi per kapita, yang masing-masing besarnya 2.500 kilo kalori per hari dan

55 gram per hari. Namun demikian, komposisi ketersediaannya masih belum

berimbang, karena masih didominasi oleh pangan nabati.

Walaupun secara makro ketersediaan pangan telah memenuhi standar

kecukupan, namun kecukupan tingkat nasional tersebut tidak tercermin dalam

tingkat konsumsi pangan per kapita atau secara mikro. Kondisi ketahanan pangan

di tingkat mikro (rumahtangga) dapat dilihat dari kondisi konsumsi energi dan

protein per kapita per hari, serta kondisi rumah tangga yang defisit energi dan

protein. Data Susenas 2002 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi baru

mencapai sekitar 1.987 Kkal/kapita/hari atau sekitar 90,3 persen dari angka

kecukupan gizi (AKG) yang sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari. Sementara itu, untuk

tingkat konsumsi protein sudah mencapai 54,4 gram/kapita/hari, sudah melampaui

AKG yang sebesar 48 gram/kapita/hari (Tabel 4).

Tabel 4. Perkembangan Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein

1993 1996 1999 2002 Wilayah

Nilai % Nilai % Nilai % Nilai %

Energi (Kkal)

Kota

Desa

Kota+Desa

1804

1982

1923

82,0

90,1

87,4

2031

2088

2068

92,3

94,9

94,0

1802

1881

1848

81,9

85,5

84,0

1954

2013

1987

88,8

91,5

90,3

Protein (Gram)

Kota

Desa

Desa+Kota

47,2

47,7

47,3

98,3

98,7

98,5

58,1

55,8

56,6

121,0

116,2

118,0

49,3

48,2

48,7

102,7

100,4

101,5

116,7

110,8

113,3

116,7

100,8

113,3

Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 Keterangan : Nilai persen energi terhadap AKG 2.200 Kkal; protein 48 gram

Page 20: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-115

Selanjutnya jika dilihat dari indikator defisit konsumsi energi (< 70 persen

AKG), data Susenas 2002 menunjukkan adanya defisit energi pada kelompok

berpendapatan rendah sekitar 6,5 – 28,2 persen, kelompok berpendapatan

sedang sekitar 8,1-25,7 persen, dan pada kelompok berpendapatan tinggi sekitar

7,1-19,3 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa defisit energi ternyata terjadi

pada semua kelompok pendapatan. Dan kesimpulan yang lebih penting lagi

adalah tingkat konsumsi energi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan

saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti tingkat pengetahuan pangan

dan gizi.

Belum tercapainya kecukupan pangan tingkat individu juga ditunjukkan

oleh masih tingginya kasus gizi kurang pada bayi bawah umur lima tahun (balita).

Data Susenas 2002 menunjukkan masalah gizi kurang pada balita sebesar 27,3

persen atau sekitar 5,01 juta balita, dan 1,47 juta balita diantaranya menderita gizi

buruk. Keadaan ini lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1998,

dimana gizi kurang pada balita mencapai 6 juta balita (29,5 %), dan 2,2 juta balita

diantaranya menderita gizi buruk. Tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk

berhubungan erat dengan tingginya kematian balita. Menurut WHO, 54 persen

kematian balita didasari oleh gizi kurang pada balita atau 70 persen kasus

kematian balita disebabkan oleh gizi kurang, pneumonia, diare, campak dan

malaria. Angka kematian balita (AKBA) di Indonesia pada tahun 2000 mencapai

46 orang per 1000 balita.

Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan

kemiskinan. Krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya telah

menyebabkan jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat lagi (dari sekitar

17,7 % pada tahun 1996 menjadi 24,2 % pada tahun 1998). Namun pembangunan

nasional pasca krisis, secara pelan tapi pasti mampu menurunkan jumlah

penduduk miskin menjadi sekitar 17,42 persen, bahkan pada tahun 2004 BPS

memperkirakan angka kemiskinan mencapai 16,6 persen (Tabel 5).

Dari total jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia, sekitar 68 persen

berada di pedesaan, sementara sisanya di perkotaan. Dengan melihat kenyataan

bahwa sebagian besar penduduk pedesaan bermata pencaharian utama sebagai

petani, maka dapat dikatakan mayoritas orang miskin menggantungkan nasibnya

pada sektor pertanian. Kondisi ini memberikan implikasi yang sangat luas.

Pertama, walaupun tingkat kemiskinan di daerah pedesaan (dan sektor pertanian)

Page 21: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-116

telah mengalami penurunan yang sangat signifikan, tetapi kemiskinan di daerah

pedesaan dan sektor pertanian masih memerlukan perhatian dan prioritas utama.

Kedua, alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan tetap harus mendapat

prioritas mengingat besarnya kedalaman tingkat kemiskinan di daerah pedesaan

dan pertanian. Ketiga, tingginya intensitas kemiskinan akan membuat program anti

kemiskinan di sektor pertanian mesti didesain lebih hati-hati mengingat

heterogenitas dalam faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut.

Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin 1993 – 2004.

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) Persentase Penduduk Miskin

Tahun Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+De

sa 1993 8,7 17,2 25,9 13,4 13,8 13,7 1996 7,2 15,3 22,5 9,7 12,3 11,3

19961),3) 9,6 24,9 34,5 13,6 19,9 17,7 19981),2) 17,6 31,9 49,5 21,9 25,7 24,2 19991),3) 15,7 32,7 48,4 19,5 26,1 23,5 20001),4) 12,3 26,4 38,7 14,6 22,3 19,1 20011) 8,6 29,3 37,9 9,7 24,8 18,4 20021) 13,3 25,1 38,4 14,4 21,1 18,2 2003 12.3 25.1 37.3 13.5 20.2 17.4 2004 11.5 24.6 36.1 12.6 19.5 16.6

Rataan 1993-1997 8.5 19.1 27.6 12.2 15.3 14.2 1998-1999 16.7 32.3 49.0 20.7 25.9 23.9 2000-2004 11.6 26.1 37.7 13.0 21.6 18.0

Sumber : BPS (2002) 1) Berdasarkan standar Kemiskinan tahun 1998 2) SUSENAS, Desember 1998 3) SUSENAS reguler Februari, tanpa Timor-Timur 4) SUSENAS 2000, tanpa NAD dan Maluku

Menurut Mason (1996) dan Iksan (1998) ada beberapa determinan

kemiskinan di pedesaan. Pertama, human capital endowment yang belum

memadai, sehingga menyulitkan proses transformasi tenaga kerja antar sektor.

Terdapat perbedaan yang menyolok antara net atau gross enrollment ratio antara

desa dan kota, khususnya pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas.

Kedua, kuantitas dan kualitas infrastruktur yang belum memadai. Kedua hal

tersebut mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah kemiskinan di

daerah pertanian, yaitu (a) kuantitas dan kualitas infrastruktur yang memadai akan

Page 22: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-117

mengurangi marjin transportasi; apalagi dikaitkan dengan berbagai studi yang

menunjukkan bahwa peranan biaya transportasi makin meningkat dalam total

harga harga pada tingkat konsumen. Pengurangan marjin transportasi akan

memberikan tambahan keuntungan bagi para petani; dan (b) perbaikan jumlah

stok dan kualitas infrastruktur juga akan memberikan bargaining position yang

lebih kuat bagi petani dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar, baik dalam

sektor keuangan maupun pemasaran. Ketiga, distribusi kepemilikan lahan yang

semakin kecil, khususnya di Jawa. Hasil kajian Iksan (2001) menunjukkan bahwa

ada korelasi yang sangat kuat antara pemilikan lahan dengan tingkat kemiskinan,

dimana semakin luas kepemilikan lahan maka semakin rendah tingkat

kemiskinannya dan sebaliknya. Keempat, kebijakan pemerintah yang terlalu bias

kepada beras selama ini telah mendistorsi harga relatif komoditi pertanian lain

yang sebenarnya mempunyai keunggulan komparatif dan nilai tambah yang lebih

baik.

Keadaan di atas menggambarkan bahwa walaupun secara makro tingkat

ketahanan pangan nasional memadai, namun secara mikro ketahanan pangan

sebagian penduduk Indonesia masih rentan. Hal ini apabila tidak ditangani secara

cepat dan tepat, akan berdampak pada pembentukan generasi yang lemah fisik

maupun intelegensia pada waktu yang akan datang.

IV. KEBIJAKAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN

Secara umum kebijakan pemantapan ketahanan pangan nasional yang

dirumuskan adalah terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan

sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pangan tahun 1996 yang

ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2001. Kebijakan yang

dirumuskan diselaraskan dengan isu global yang disepakati dalam Pertemuan

Puncak Pangan Dunia tahun 2002 (World Food Summit-WFP:fyl) yaitu mencapai

ketahanan pangan bagi setiap orang dan mengikis kelaparan di seluruh dunia.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) RI

Nomor 132 Tahun 2001 tanggal 31 Desember tentang Dewan Ketahanan Pangan

(DKP). Tugas DKP sesuai Keppres adalah (1) merumuskan kebijakan di bidang

ketahanan pangan nasional yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan

Page 23: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-118

konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan pangan; dan (2) melaksanakan evaluasi

dan pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.

Langkah penting yang telah dilakukan dalam rangka merumuskan

kebijakan ketahanan pangan nasional adalah melalui DKP telah terbangun

kesepahaman dan kesepakatan melalui Rapat-rapat Pokja, Seminar/Lokakarya,

Sidang para Bupati/Walikota, Sidang para Gubernur, dan Konferensi. Adapu

kesepahaman dan kesepakatan tersebut adalah (1) arah pembangunan perlu

direformasi, dengan memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian dan

pedesaan, (2) Indonesia harus mempunyai target/sasaran. Strategi yang ditempuh

dan tindakan bersama dalam paya penurunan jumlah penduduk miskin; WFS:fyl

telah menetapkan sasaran penurunan kemiskinan 20 persen selama 5 tahun

sebanyak 20 juta jiwa atau 10 persen (6 juta jiwa) per tahun, (3) kemiskinan identik

dengan pemilikan lahan sempit, sehingga diperlukan Peraturan Pemerintah yang

mengatur penataan struktur penguasaan dan pemilikan tanah/lahan serta

pembangunan irigasi, dan (4) hasil kesepakatan tersebut perlu dievaluasi dan

dibahas secara berkala/reguler, komitmen pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota

sangat diperlukan di dalam operasional pelaksanaannya (Sekretariat DKP, 2003).

Beberapa kebijakan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan

upaya mewujudkan stabilitas (ketersediaan) pangan nasional adalah (1) kebijakan

dan strategi diversifikasi pangan di Indonesia serta program aksi diversifikasi

pangan, (2) di bidang perberasan: kebijakan harga dasar pembelian pemerintah

(HDPP) dan tarif impor, (3) kemandirian pangan, dan (4) kebijakan (pangan)

transgenik.

Kebijakan dan strategi serta rencana program aksi diversifikasi pangan

dilaksanakan dengan tujuan (1) menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela

dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan

meningkatkan pengetahuannya, dan (2) mengurangi ketergantungan terhadap

beras dan pangan impor dengan meningkatkan konsumsi pangan, baik nabati

maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal dan produk

olahannya. Beberapa upaya percepatan diversifikasi pangan dalam jangka

pendek adalah (a) internalisasi, sosialisasi, promosi dan publikasi rencana aksi

diversifikasi pangan; (b) peningkatan ketersediaan pangan berbasis pada potensi

sumberdaya wilayah yang berwawasan lingkungan; (c) peningkatan kemampuan

dan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan diversifikasi

Page 24: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-119

produktivitas; (d) pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan diversifikasi

pangan: (e) peningkatan akses pangan dalam pemantapan ketahanan pangan

keluarga; (f) pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi; dan (g)

pemantauan kegiatan diversifikasi pangan dalam pemantapan ketahanan pangan.

Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2001 dinilai cukup efektif dalam

meningkatkan ekonomi beras nasional tahun 2002, karena diikuti dengan

penetapan tariff dalam melindungi harga beras dalam negeri, pembelian gabah

dalam negeri oleh pemerintah, dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin.

Penetapan Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan

sebagai pengganti Inpres No 9 Tahun 2001 menunjukkan arah kebijakan

perberasan nasional yang komprehensif yaitu tentang upaya-upaya (a)

peningkatan produktivitas dan produksi padi/beras; (b) pengembangan

diversifikasi usaha pertanian; (c) penetapan kebijakan harga gabah/beras; (d)

penetapan kebijakan impor beras yang melindungi produsen dan konsumen; serta

(e) pemberian jaminan penyediaan beras/pangan lain bagi kelompok masyarakat

miskin dan rawan pangan.

Untuk lebih memantapkan ketahanan pangan nasional terutama beras,

pemerintah telah mengeluarkan Impres No 2 Tahun 2005 sebagai pengganti

Impres No 9 Tahun 2002. Impres No 2 Tahun 2005 lebih banyak memperhatikan

kepentingan petani teritama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas

produksi melalui insentif dimana harga pembelian pemerintah dalam bentuk GKP

(Gabah Kering Panen). Dengan cara demikian diharapkan petani harga yang

diterima petani sesuai dengan yang dibeli pemerintah.

Beberapa kebijakan yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan

kemandirian pangan antara lain adalah; (a) kebijakan yang mempunyai dampak

sangat positif dalam jangka pendek, yakni subsidi input dan peningkatan harga

output dan perdagangan pangan termasuk intervensi distribusi; (b) kebijakan yang

sangat positif untuk jangka panjang, yakni perubahan teknologi,ekstensifikasi,

jaring pengaman ketahanan pangan, investasi infrastruktur, serta kebijaksanaan

makro, pendidikan, dan kesehatan; (c) kebijakan yang mendorong pertumbuhan

penyediaan produksi di dalam negeri yakni (1) perbaikan mutu intensifikasi,

perluasan areal, perbaikan jaringan irigasi, penyediaan sarana produksi yang

terjangkau oleh petani, pemberian insentif produksi melalui penerapan kebijakan

harga input dan harga output, (2) pengembangan teknologi panen dan pasca

Page 25: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-120

panen untuk menekan kehilangan hasil, dan (3) pengembangan varietas tipe baru

dengan produktivitas tinggi untuk komoditas yang memiliki prospek pasar baik.

Perkembangan pemanfaatan teknologi modern rekayasa genetika melalui

rekombinasi DNA telah menghasilkan Produk Biologi Hasil Rekayasa Genetika

(PBHRG), baik tanaman transgenik untuk meningkatkan produksi pertanian

maupun produk pangan dan produk pakan dari tanaman transgenik yang lebih

berkualitas. Dalam hal ini posisi pemerintah terhadap PBHRG adalah Pemerintah

bersikap pro (menerima) pengembangan dan pemanfaatan produk transgenik

disertai penerapan prinsip sikap kehati-hatian.

V. KENDALA DAN TANTANGAN DALAM MEWUJUDKAN STABILITAS PANGAN

Permasalahan utama yang dihadapi saat ini dalam mewujudkan ketahanan

pangan di Indonesia adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih

cepat dari pertumbuhan penyediaan. Permintaan yang meningkat merupakan

resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi,

peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu,

pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional cukup lambat dan stagnan,

karena: (a) adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, serta

(b) stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian.

Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas

produksi nasional mengakibatkan kecenderungan pangan nasional dari impor

meningkat, dan kondisi ini diterjemahkan sebagai ketidak mandirian penyediaan

pangan nasional. Dengan kata lain hal ini dapat diartikan pula penyediaan pangan

nasional (dari produksi domestik) yang tidak stabil.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan terus

berkembang, sektor pertanian (sebagai sumber penghasil dan penyedia utama

pangan) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup besar dan

terus berkembang dalam jumlah, keragaman dan mutunya. Telah menjadi

kebijakan nasional untuk memenuhi sejauh mungkin kebutuhan konsumsi

bangsanya dari produksi dalam negeri, karena secara politis Indonesia tidak ingin

tergantung kepada negara lain. Untuk itu, sektor pertanian menghadapi tantangan

yang cukup kompleks. Tantangan ini juga terus berkembang secara dinamis

seiring dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Perkembangan

Page 26: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-121

sektor pertanian juga tidak terisolasi dari suasana reformasi dan segala dinamika

aspirasi masyarakatnya dan perubahan tatanan pemerintahan ke arah

desentralisasi, yang secara keseluruhan sedang mencari bentuknya.

Dalam sektor ini terkait masalah sumber daya lahan (dan perairan) sebagai

basis kegiatan sektor pertanian semakin terdesak oleh kegiatan perekonomian

lainnya termasuk prasarana pemukiman dan transportasi, teknologi, SDM,

kegiatan hulu dan hilir, kesejahteraan masyarakat produsen maupun konsumen,

sistem pasar domestik hingga global, dan penyelenggaraan pelayanan publik,

yang masing-masing dapat saling mempengaruhi. Mengingat demikian besarnya

peranan dan demikian kompleksnya aspek yang terkait dalam upaya mewujudkan

stabilitas penyediaan pangan nasional dari waktu ke waktu, pembangunan sektor

pertanian memerlukan perhatian dan pemikiran yang dalam serta upaya yang

bersifat menyeluruh.

Pertama, berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan non

pertanian, khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa menyebabkan

semakin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di

luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan

sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini

sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan

optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari dan

mengantisipasi persaingan dengan aktifitas perekonomian dan pemukiman yang

terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Kedua, teknologi produksi menggunakan benih unggul dan pupuk kimia

yang secara intensif diterapkan sejak awal 70-an pada ekologi sawah berhasil

memacu produksi cukup tinggi, namun juga menyebabkan merosotnya kualitas

dan kesuburan lahan (soil fatigue), serta terdesaknya varietas unggul lokal dan

kearifan teknologi lokal yang menjadi ciri dan kebanggaan masyarakat setempat.

Sementara itu, terkonsentrasinya pengembangan teknologi pangan pada lahan

sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada ekosistem lainnya.

Pada saat teknologi lahan sawah relatif stagnan, sementara itu teknologi lahan

kering, lahan rawa/lebak, lahan pasang surut relatif belum mampu meningkatkan

produktivitas tanaman secara signifikan.

Ketiga, kebijakan pengembangan komoditas pangan, termasuk

teknologinya yang terfokus pada beras telah mengabaikan potensi sumber-

Page 27: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-122

sumber pangan karbohidrat lainnya, dan lambatnya pengembangan produksi

komoditas pangan sumber protein seperti serealia, daging, telur, susu serta

sumber zat gizi mikro yaitu sayuran dan buah-buahan. Kondisi demikian

berpengaruh pada rendahnya keanekaragaman bahan pangan yang tersedia bagi

konsumen. Selanjutnya apabila teknologi pengembangan aneka pangan lokal

tidak cepat dilakukan, maka bahan pangan lokal akan tertekan oleh membanjirnya

anekaragam pangan olahan impor.

Keempat, teknologi pasca panen belum diterapkan dengan baik sehingga

tingkat kehilangan hasil dan degradasi mutu hasil panen masih cukup tinggi.

Demikian pula agroindustri sebagai wahana untuk meningkatkan nilai tambah dan

penghasilan bagi keluarga petani belum bekembang seperti yang diharapkan.

Peningkatan pelayanan teknologi tepat guna serta penyediaan prasarana usaha

harus diupayakan untuk menunjang pengembangan usaha pasca panen dan

agroindustri di pedesaan.

Kelima, belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, baik darat

dan terlebih lagi antar pulau, yang menghubungkan lokasi produsen dengan

konsumen menyebabkan kurang terjaminnya kelancaran arus distribusi bahan

pangan ke seluruh wilayah. Hal ini tidak saja menghambat akses konsumen

secara fisik, tetapi ketidaklancaran distribusi juga berpotensi memicu kenaikan

harga sehingga menurunkan daya beli konsumen. Ketidak lancaran proses

distribusi juga merugikan produsen, karena disamping biaya distribusi yang mahal

potensi kerugian akibat karena rusak atau susut selama proses pengangkutan

cukup tinggi.

Keenam, ketidakstabilan harga dan rendahnya efisiensi sistem pemasaran

hasil-hasil pangan pada saat ini merupakan kondisi yang kurang kondusif bagi

produsen maupun konsumen. Hal ini antara lain disebabkan karena lemahnya

disiplin dan penegakan peraturan untuk menjamin sistem pemasaran yang adil

dan bertanggung jawab, terbatasnya fasilitas perangkat keras maupun lunak untuk

membangun transparansi informasi pasar, serta terbatasnya kemampuan teknis

institusi dan pelaku pemasaran. Penurunan harga pada saat panen raya

cenderung merugikan petani, sebaliknya pada saat tertentu pada musim paceklik

dan hari-hari besar, harga pangan meningkat tinggi menekan konsumen, tetapi

kenaikan harga tersebut sering tidak dinikmati oleh petani produsen.

Page 28: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-123

Ketujuh, khusus untuk beras, yang pada saat ini peranannya cukup

sentral karena aktivitas produksi hingga konsumsinya melibatkan hampir seluruh

masyarakat, pemerintah sangat memperhatikan kestabilan produksi maupun

harganya. Harga yang relatif stabil dan dijaga kewajarannya bagi produsen dan

konsumen, akan lebih memberikan kepastian penghasilan dan insentif berproduksi

kepada petani dan sekaligus menjaga kelangsungan daya beli konsumen. Dalam

era perdagangan bebas dan reformasi pemerintahan saat ini, fungsi dan

kewenangan lembaga-lembaga negara seperti Departemen Keuangan, Bank

Indonesia, BRI, Bulog, termasuk kebijakan subsidi yang dahulu sangat berperan

dalam menunjang stabilisasi sisetm perberasan, telah mengalami deregulasi

mengikuti asas mekanisme pasar bebas. Kebijakan harga dasar menjadi sulit

dipertahankan karena pemerintah tidak dapat lagi membiayai pembelian gabah

dan operasi pasar dalam jumlah besar, dan Bulog tidak lagi memegang hak

monopoli. Dalam kondisi demikian pemerintah harus mengupayakan cara-cara

lain untuk menjaga kestabilan harga dan memberikan insentif berproduksi kepada

petani.

Kedelapan, terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi petani karena

terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana produksi, serta

kemampuan pemasarannya. Adalah tantangan bagi institusi pelayanan yang

bertugas memberikan kemudahan bagi petani dalam menerapkan iptek,

memperoleh sarana produksi secara enam tepat, dan membina kemampuan

manajemen agribisnis serta pemasaran, untuk meningkatkan kinerjanya

memfasilitasi pengembangan usaha dan pendapatan petani secara lebih berhasil

guna.

Kesembilan, terbatasnya kelembagaan yang menyediakan permodalan

bagi usahatani di pedesaan, dan prosedur penyaluran yang kurang

mengapresiasikan sifat usahatani dan resiko yang dihadapi, merupakan kendala

bagi berkembangnya usahatani. Demikian pula, kurang memadainya prasarana

fisik menjadi kendala berkembangnya industri hulu dan hilir sebagai wahana bagi

peningkatan pendapatan petani di pedesaan.

Page 29: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-124

VI. PESPEKTIF MEWUJUDKAN STABILITAS PANGAN NASIONAL

A. Kebijakan Umum

Upaya mewujudkan stabilitas (penyediaan) pangan nasional tidak terlepas

dengan kebijakan umum pembangunan pertanian dalam mendukung penyediaan

pangan terutama dari produksi domestik. Dalam kerangka demikian upaya

mewujudkan stabilitas pangan (penyediaan dari produksi domestik) identik pula

dengan upaya meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional dalam

pembangunan pertanian beserta kebijakan pendukung lain yang terkait.

Strategi umum pembangunan pertanian adalah memajukan agribisnis,

yaitu membangun secara sinergis dan harmonis aspek-aspek: (1) industri hulu

pertanian yang meliputi perbenihan, input produksi lainnya dan alat mesin

pertanian; (2) pertanian primer (on-farm); (3) industri hilir pertanian (pengolahan

hasil); dan (4) jasa-jasa penunjang yang terkait. Mengingat bahwa pelaku utama

agribisnis adalah petani dan pengusaha, dan tanpa adanya insentif pendapatan

mereka akan enggan menekuni agribisnis, maka kata kunci dalam meningkatkan

kinerja sektor ini adalah menciptakan insentif ekonomi yang menunjang daya tarik

agribisnis.

B. Ketahanan Pangan

Seiring dengan proses otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2000 Tentang Otonomi Daerah yang ditindak lanjuti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000, peranan daerah dalam

meningkatkan ketahanan pangan di wilayahnya menjadi semakin meningkat.

Searah dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan

ketahanan pangan di wilayah kerjanya. Partisipasi tersebut diharapkan

memperhatikan beberapa azas berikut ini:

1. Mengembangkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing

daeah sesuai dengan potensi sumberdaya spesifik yang dimilikinya, serta

disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya setempat.

2. Menerapkan kebijakan yang terbuka dalam arti menselaraskan kebijakan

ketahanan pangan daerah dengan kebijakan ketahanan pangan nasional.

3. Mendorong terjadinya perdagangan antar daerah.

4. Mendorong terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan.

Page 30: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-125

Dengan memperhatikan beberapa azas kebijakan ketahanan pangan di

daerah tersebut, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah

tersebut diantaranya meliputi:

1. Pemerintah daerah perlu menyadari akan pentingnya memperhatikan masalah

ketahanan pangan di wilayahnya.

2. Perlunya apresiasi tentang biaya, manfaat, dan dampak terhadap

pembangunan wilayah dan nasional program peningkatan ketahanan pangan

di daerah kepada para penentu kebijakan di daerah.

3. Pemerintah daerah perlu menyusun perencanaan dan strategi untuk

menangani masalah ketahanan pangan di daerah.

4. Perlu dikembangkan suatu wahana untuk saling tukar menukar informasi dan

pengalaman dalam menangani masalah ketahanan pangan antar pemerintah

daerah.

C. Pengembangan teknologi

Produktivitas tanaman pangan, khususnya padi pada sekitar dasawarsa ini

tidak mengalami pertumbuhan yang berarti yaitu sekitar 1,65 persen per tahun.

Dengan luas pemilikan lahannya yang semakin sempit, harga input yang

meningkat, dan harga riil hasil produksi yang cenderung tetap atau menurun, serta

tingkat produktivitas yang tetap, sudah barang tentu akan berakibat bahwa

pendapatan riil petani tanaman pangan secara umum akan tetap atau menurun.

Memang keadaan demikian merupakan gambaran umum dari tingkat

perkembangan kehidupan petani tanaman pangan.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka hendaknya pengembangan

teknologi pra panen diarahkan untuk meningkatkan efisiensi produksi pangan.

Yang dimaksudkan dengan peningkatan efisiensi produksi pada dasarnya adalah:

(1) dengan menggunakan jumlah input yang sama dapat diperoleh hasil produksi

yang meningkat, atau (2) tingkat hasil produksi yang sama diperoleh dengan

menggunakan jumlah input yang lebih sedikit. Dengan mengacu pada pengertian

efisiensi tersebut, berarti pengembangan teknologi di sini bukan hanya terbatas

pada teknologi biofisik (hardware), tetapi juga meliputi pengembangan

kelembagaan produksi (software).

Secara umum pengembangan teknologi pra panen diarahkan untuk

mendukung program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi. Dengan

Page 31: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-126

demikian tujuan untujk meningkatkan produktivitas, produksi, efisiensi, dan

diversifikasi bahan pangan dapat dicapai. Pengembangan teknologi pra produksi

juga hendaknya memperhatikan aspek pelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan hidup.

Pengembangan teknologi guna meningkatkan efisiensi akan mencakup

spektrum teknologi yang sangat luas dari teknologi yang terkait dengan teknologi

pengembangan sarana produksi (benih, pupuk dan insektisida), teknologi

pengolahan lahan (traktor), teknologi pengelolaan air (irigasi gravitasi, irigasi

pompa, efisiensi dan konservasi air), teknologi budidaya (cara tanam, jarak tanam,

pemupukan berimbang, pola tanam, pergiliran varietas), teknologi pengendalian

hama terpadu (PHT).

Teknologi pertanian sangat berperan dalam mendukung pengembangan

pertanian pangan di areal pengembangan baru (ekstensifikasi). Pengembangan

lahan pertanian baru, menurut kondisi agro ekosistemnya dapat dibedakan

menjadi: (1) lahan sawah cetakan baru, (2) lahan kering (ladang atau di bawah

naungan), dan (3) lahan rawa (pasang surut dan lebak). Sudah barang tentu

teknologi yang dibutuhkan untuk pengembangan di areal ekstensifikasi ini akan

bersifat lokal spesifik.

Diversifikasi produksi pangan merupakan aspek yang sangat penting

dalam ketahanan pangan. Diversifikasi produksi pangan bermanfaat bagi upaya

peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko berusaha. Diversifikasi

produksi secara langsung ataupun tidak juga akan mendukung upaya

penganekaragaman pangan yang merupakan salah satu aspek penting dalam

ketahanan pangan.

Ada dua bentuk diversifikasi yang dapat dikembangkan untuk mendukung

ketahanan pangan, yaitu:

1. Diversifikasi horizontal; yaitu mengembangkan usahatani komoditas unggulan

sebagai “core of business” serta mengembangkan usahatani komoditas

lainnya sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan

sumberdaya alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta memperkecil

terjadinya resiko kegagalan usaha.

2. Diversifikasi regional; yaitu mengembangkan komoditas pertanian unggulan

spesifik lokasi dalam kawasan yang luas menurut kesesuaian kondisi agro

ekosistemnya, dengan demikian akan mendorong pengembangan sentra-

Page 32: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-127

sentra produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendorong

pengembangan perdagangan antar wilayah.

Produk pangan pada umumnya mengikuti pola produksi musiman,

sedangkan kebutuhan pangan harus dipenuhi sepanjang tahun. Selain itu, produk

pertanian pada umumnya cepat rusak (perishable). Dalam kondisi demikian maka

aspek pengolahan dan penyimpanan menjadi hal penting dalam upaya

penyediaan pangan secara kontinyu.

Di Indonesia, produksi pangan tersebar menurut kondisi agro-ekosistem

dan geografinya, sedangkan lokasi konsumen tersebar di seluruh pelosok tanah

air, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dengan demikian,

aspek transportasi dan distribusi pangan menjadi sangat vital dalam rangka

penyediaan pangan yang merata bagi seluruh penduduk Indonesia.

Dalam mengatasi permasalahan penyediaan pangan antar waktu dan

antar tempat tersebut, teknologi pasca panen dapat berperan dalam meningkatkan

efisiensi baik pada saat panen (mengurangi kehilangan hasil), pengolahan hasil,

pengemasan, transportasi, dan penyimpanan. Efisiensi yang dimaksud dalam hal

ini mencakup aspek efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis

mencakup upaya mengurangi kehilangan hasil, mempertahankan kualitas, dan

memperlancar arus perpindahan barang. Sedangkan efisiensi ekonomis berupa

penghematan biaya untuk pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan

pendistribusian. Dengan demikian selisih harga (disparitas harga) antar wilayah

dan antar waktu diharapkan menjadi lebih kecil.

Pengembangan teknologi pasca panen juga mempunyai peran untuk

pengembangan produk pangan (product development) dan penciptaan nilai

tambah (value added) bagi bahan pangan. Dengan pengembangan produk, bahan

pangan yang mempunyai nilai tambah rendah dapat diolah menjadi berbagai

produk olahan yang bernilai tambah tinggi. Pada saat yang sama kegiatan

pengolahan tersebut dapat menciptakan pendapatan dan kesempatan kerja di

pedesaan. Sebagai contoh ubikayu dapat diolah menjadi berbagai macam produk

seperti tapioka, tepung, chips, gaplek, seriping, mie dan alkohol. Melalui

pengolahan sekunder, tapioka atau tepung singkong dapat diolah antara lain

menjadi roti, kue, mie, lem, bahan kosmetika, dan bahan farmasi.

Page 33: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-128

D. Peranan Badan Litbang Pertanian

Mengingat bahwa pelayanan teknologi tepat guna sangat vital bagi

peningkatan produktivitas, peningkatan efisiensi, perbaikan mutu dan peningkatan

nilai tambah di sektor pertanian, maka peranan lembaga penelitian nasional dan

daerah seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) beserta lembaga

mitra kerjanya yang lain sangat vital dalam meningkatkan kinerja sektor ini. Kinerja

pelayanan teknologi dituntut untuk mampu merespon dengan baik kebutuhan para

petani dan pengusaha, dalam mengembangkan agribisnis yang modern dalam arti

mengandalkan iptek untuk membangun efisiensi usaha, nilai tambah dan daya

saing produknya, dengan tujuan utama meningkatkan pendapatan keluarga tani di

pedesaan.

Teknololgi pertanian berperan sangat strategis di dalam upaya

peningkatan ketahanan pangan nasional. Teknologi pertanian dapat berperan

dalam meningkatkan produktivitas pangan, meningkatkan diversifikasi dalam jenis

kualitas pangan, meningkatkan nilai tambah, kesempatan kerja, dan menjaga

kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dengan teknologi tepat guna

efisiensi produksi dapat ditingkatkan sehingga meningkatkan daya saing produk

pangan di dalam negeri dan di pasar internasional. Pengembangan teknologi juga

mencakup aspek rekayasa kelembagaan, yang mendorong berkembangnya

kelembagaan agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan di pedesaan.

Pelayanan kepada petani, dalam era reformasi ini, harus dilaksanakan

dalam koridor pemerintahan yang baik dan bersih, mengikuti prinsip-prinsip: (i)

bersifat memberdaakan dalam arti meningkatkan kemampuan menganalisis,

mengambil keputusan, membangun akses terhadap sumberdaya dan sarana

produksi, serta mengatasi masalah yang dihadapi; (ii) bersifat partisipatif dalam

menghasilkan teknologi tepat guna, yaitu mengikut-sertakan petani sejak

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan evaluasi dan perbaikan; (iii) memberikan

kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan; dan (iv)

membangun komunikasi dan kerja sama yang baik antar pemerintah dengan

berbagai komponen masyarakat, untuk dapt saling mengisi dalam mewujudkan

tujuan bersama.

Untuk itu sistem yang selama ini didisain untuk pola yang sentralistis dan

instruktif perlu disesuikan kepada pola yang partisipatif. Penyesuaian ini

memerlukan kemauan, kemampuan intelektual dan komitmen untuk berubah dan

Page 34: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-129

harus dimulai dari lingkungan kita masing-masing, untuk selanjutnya ditularkan

kepada mitra kerja dalam kalangan yang lebih luas, dan seterusnya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun). BPS. Jakarta

Braun, J.H., H. Bauis, S. Kumar, and R.P. Lorch, 1992. Food Security of The Poor: Concept, Policy, and Programs. IFPRI. Washington D.C., USA.

Hardinsyah, D. Briawan, S. Madanijah, C.M. Dwiriani, S.M. Atmodjo dan Y. Heryanto, 1998. Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Kerja sama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF, dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian.

Iksan, M., 1998. The Disaggregation of Indonesia Poverty: Policy and Analysis. An unpublished PhD Thesis, University of Illinois at Urbana-Champaign, IL, USA.

------------, 2001. Kemiskinan dan Harga Beras. dalam A. Suryana dan S. Mardianto (eds). Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-FEUI. Jakarta.

Irawan, P dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya Untuk Strategi Pembangunan dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI Jakarta

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2000. Prosiding Widyakarya Nasional

Pangan dan Gizi VII. LIPI Jakarta

Maxwell, S., dan T. Frankenberger, 1997. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. UNICEF and IFAD, New York.

Mason, Andrew, 1996. Targeting the Poor in Rural Java. IDS Bulletin vol. 27 (1): 67-82.

Saliem, H.P. M. Ariani, Y. Marisa, T.B. Purwantini dan E.M. Lokollo. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumahtangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian

Saliem, H.P., S. Mardiyanto dan P. Simatupang. 2003. Perkembangan dan

Prospek Kemandirian Pangan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian I (2) :123 – 142. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian

Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. 2003. Laporan Tahunan Dewan

Ketahanan Pangan Tahun 2002. Departemen Pertanian. Jakarta

Sen, A., 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford University Press. Oxford.

Page 35: KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_07.pdf · mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.Namun

IV-130

Simatupang, P., 1999. Toward Sustainable Food Security: The Need for a New Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During Turbulence of Economic Crisis: Lesson and Future Direction. 17-18 February 1999. Center for Agro-Socio Economic Research, AARD, Bogor.

Soehardjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah disajikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Kerja sama Departemen Pertanian dengan UNICEF di Yogyakarta, 26-30 Mei 1996.

Soekirman, 1996. Ketahanan Pangan: Konsep Kebijakan dan Pelaksanaannya. dalam Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Kerja sama Departemen Pertanian dengan UNICEF di Yogyakarta, 26-30 Mei 1996.

Soetrisno, N., 1996. Ketersediaan dan Distribusi Pangan Dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga. dalam Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Kerja sama Departemen Pertanian dengan UNICEF di Yogyakarta, 26-30 Mei 1996.

Suryana, A. 2002. Perspektif dan Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Makalah pada Lokakarya Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. 1 Mei 2002. IPB. Bogor

D:\data\data\Anjak-2005\Kebijakan, Kendala