Top Banner

of 70

Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

Jul 06, 2018

Download

Documents

ikbal
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    1/70

    MODUL 11 :KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN

    MASYARAKAT PESISIR

    11.1. Latar Belakang

    Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia.

    Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

    Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia

    mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al.  2001). Garis pantai yang

    panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi

    itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya:

    perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati

    misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga

    berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera.

    Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based

    Management (CBM)  menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu

    pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan

    dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.

    Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan

    biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983),

    memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu

    strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan

    keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu

    daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah

    tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini,

    masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan

    pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri

    yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu

    pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    2/70

      335

    Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat

    adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara

    masyarakat setempat dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana

    masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada

    pelaksanaan dan pengawasannya. Pemikiran ini didukung oleh tujuan jangka

    panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain adalah:

    1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja

    dan kesempatan berusaha.

    2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada

    peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di

    wilayah pesisir dan lautan.

    3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pesisir dalam

    pelestarian lingkungan.

    4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah

    pesisir dan lautan.

    Dari beberapa tujuan tersebut diatas maka pemanfaatan secara optimal

    dan berkelanjutan adalah salah satu dasar yang menjadi pertimbangan utama di

    dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemanfaatan secara

    berkelanjutan hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara bertanggung

     jawab (FAO, 1995). Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia,

    alam, buatan dan sosial. Sementara itu, pengembangan dan pengelolaan daerah

    pesisir di Indonesia bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi

    kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan

    dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan pada

    daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 1/3

    nya untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999).Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor

    strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang

    masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat

    dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi

    kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan)

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    3/70

      336

    tersebut tidak terlepas dari serangkaian kebijakan pembangunan yang selama ini

    masih : (a) lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai obyek

    ketimbang sebagai subyek pembangunan, (b) lebih memprioritaskan

    pertumbuhan industri ketimbang sektor pertanian dan kelautan, (c) serta

    kebijakan pembangunan yang kurang mengacu pada karakteristik masing-

    masing kondisi lokal di daerah, dan (d) profesi nelayan masih dipandang

    sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan tingkat keterampilan (skill) yang

    tinggi dan (e) dari sudut pandang ekonomis, sering kali komunitas nelayan/

    masyarakat pesisir diposisikan sebagai kelompok marginal yang

    dipersepsikan sedikit sekali memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini

    berakibat pada lambatnya proses intervensi teknologi, penguatan kapasitas

    masyarakat dan inovasi di kalangan nelayan. Sebagai contoh kasus

    pembangunan pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan Bali yang menggusur

    perkampungan nelayan tanpa adanya good   will untuk mensinergikan kedua

    komunitas yang ada yakni nelayan dan pariwisata.

    Dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang berkaitan

    dengan otonomi daerah, menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk

    meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat melalui penciptaan

    lapangan kerja sekaligus meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu faktor

    penting dan esensial dari UU tersebut adalah semakin didorongnya

    peranan masyarakat di daerah untuk secara bersama-sama merencanakan

    dan melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan. Pengentasan

    kemiskinan diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat,

    yakni kegiatan yang diarahkan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya

    sendiri dalam memperbaiki kondisi materiil dan non materiil dari kehidupannya

    sendiri.

    Keperluan atas adanya program pemberdayaan masyarakat nelayan/

    pesisir ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di

    Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus

     juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan

    berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    4/70

      337

    upaya yang komprehensif terhadap program pemberdayaan masyarakat,

    khususnya nelayan mjskin di Lumajang.

    Dari beberapa hasil penelitian, kondisi wilayah pesisir Indonesia

    tergolong padat penduduknya dengan tingkat kesejahteraan, baik secara

    ekonomi, sosial dan budaya tergolong masih rendah. Namun jika dilihat dari

    segi potensi sumberdaya pesisirnya, khusunya di desa Worgalih, Kecamatan

    Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, sebenarnya menyimpan potensi yang

    cukup tinggi, khususnya pasir besi, sebagai pendukung industri baja dan

    semen. Hanya saja “keikutsertaan” pemerintah maupun korporasi dalam

    bentuk penyediaan fasititas serta sarana dan prasarana dirasakan relatif

    masih kurang. Disamping itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan

    kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi modern dan ramah

    lingkungan serta upaya kreatif untuk peningkatan pendapatan khususnya

    dalam musim paceklik, dimana hasil melaut sangat terbatas.

    Pada musim paceklik, berdasarkan fenomena yang berkembang, seba-

    gian istri nelayan/ masyarakat pesisir dengan terpaksa menjual segala barang

    rumahtangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembaga-

    lembaga pegadaian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat

    demikian, mereka berharap keberpihakan atau perhatian pemerintah maupun

    korporasi untuk ikut serta meringankan beban kehidupan yang menekan ini.

    Sementara itu, para penguasa di daerah sering menyalahkan nelayan/

    masyarakat pesisir tersebut karena dianggap boros membelanjakan uang ketika

    musim ikan dan tidak ekonomis sehingga kualitas kesejahteraan hidup mereka

    sulit meningkat. Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab mengatasi

    kehidupan yang sulit tersebut sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Penyikapan

    demikian tidak akan pernah bisa megurangi persoalan kesulitan hidup nelayan

    yang masih diterpa kemiskinan tersebut (Kusnadi, 2003).

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    5/70

      338

    13.1.1 Masalah Kemiskinan

    Dari uraian diatas, masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama

    dalam pembangunan wilayah pesisir dan nelayan kecil. Masalah tersebut

    bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan

    pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan

    pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling

    rendah kemampuannya. Pada saat ini mereka terpusat di kantong

    kerniskinan, seperti di desa pesisir dan kepulauan atau daerah pasang surut.

    Dari sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan

    termiskin di pedesaan masih cukup besar. World Bank (2002) melaporkan

    bahwa, akibat kerentanan ekonomi rumahtangga penduduk miskin terhadap

    setiap perubahan lingkungan sosial-ekonomi-politik, jumlah penduduk miskin

    secara dinamis dapat berubah dari 27,0% penduduk dapat menjadi 50,0 %.

    Sekalipun program pengentasan kemiskinan telah menunjukkan perbaikan

    kondisi kesejahteraan masyarakat miskin, namun kemiskinan masih menjadi

    bagian dari komunitas, struktur dan kultur pedesaan pesisir. Dengan adanya

    kemajuan program pembangunan, diperkirakan masih separuh dari jumlah itu

    benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisimereka sungguh memprihatinkan, antara lain ditandai oleh tingkat pendidikan

    yang rendah, bahkan sebagian besar buta huruf dan rentan terhadap penyakit.

    Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Oleh karena

    itu tidak mengherankan apabila perkembangan pengetahuan mereka

    berjalan sangat lambat. Kelambanan itu terasa ketika dalam kehidupan

    mereka diintroduksi teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada.

    Mereka cenderung memberi respon dengan tingkat penerimaan sangat lambat.

    Pemerintah maupun korporasi, khususnya PT. ANTAM

    RESOURCINDO telah berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan

    suatu strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui dukungan program

    Corporate Social Responsibility   (CSR)  Dengan adanya kesepakatan politik

    untuk pelaksanaan otonomi daerah, maka kita semakin memerlukan

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    6/70

      339

    peningkatan sikap keprihatinan bersama antara pemerintah Daerah dan

    Korporasi dalam mengurangi kemiskinan tersebut Pemerintah

    Daerah dalam menghadapi tantangan pengurangan kemiskinan saat ini

    masih berdasarkan kerangka kebijakan yang berorientasi pada pendekatan

    top-down. Pada waktu yang akan datang diperlukan kebijakan yang dibangun

    atas dasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan Korporasi

    yang berbasis kearifan masyarakat lokal di wilayah otonomi daerah secara

    luas (Muhammad, dkk, 2009).

    Berdasarkan hal diatas, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat

    miskin perlu diarahkan untuk merubah strategi penanggulangan penduduk

    miskin agar semakin menjadi lebih baik berdasarkan kebutuhan  dan

    harapan  penduduk miskin itu sendiri pada tingkat lokal. Perencanaan dan

    implementasi pemberdayaan sudah seharusnya berisi usaha untuk

    penguatan usaha ekonomi produktif mereka berdasarkan “pandangan dan

    kebutuhan mereka”, sehingga penduduk miskin mempunyai akses pada

    sumber-sumber sosial-ekonomi dan politik secara mandiri. Untuk

    meningkatkan kemampuan penduduk miskin, sekurang-kurangnya harus ada

    perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi dan budaya terhadap empat hal,

    yaitu : (1) akses terhadap sumberdaya alam, (2) akses terhadap teknologi

    yang lebih efisien, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap sumber

    pembiayaan (Sumodiningrat, 1998).

     Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini,

    khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word

    Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa

    pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan dipedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan

    pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir

    miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai

    prioritas pembangunan, mencakup implementasi program peningkatan

    pemberdayaan masyarakat (community development) dan tidak hanya

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    7/70

      340

    melalui distribusi berupa bantuan sosial langsung tunai (BLT) uang dan jasa

    untuk menenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka.

    Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pesisir miskin di desa

    pantai adalah merupakan rangkaian upaya dengan jangkauan kegiatan yang

    menyentuh pemenuhan berbagai macam akses dan kebutuhan pokok

    pangan, pendidikan, perumahan dan kesehatan, termasuk pemenuhan

    kebutuhan untuk berpartisipasi dalam pengurangan kemiskinan mereka,

    sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat

    mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur

    sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin (Wahyono, at al.,

    2001).

    Hendaknya kita sadari, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bersifat

    multi demensi dan multi level faktor sosial, ekonomi, kebijakan dan budaya.

    Mereka memiliki potensi  pentagon aset , yaitu aset sosial, SDM, finansial,

    sumberdaya alam dan aset fisik, walaupun aset tersebut masih terbatas (DFID,

    2000). Mereka menjadi miskin karena pemilikan aset yang rendah, sehingga

    tingkat pendapatannya rendah yang diakibatkan oleh rendahnya akses mereka

    terhagap potensi ekonomi lokal. Tingkat pendapatan rendah karena

    keterampilannya (aset SDM) yang rendah dan skala usaha mereka kecil.

    Mengingat keterampilan yang rendah, maka akses terhadap pekerjaan yang ada

    di sekitarnya juga rendah. Sekalipun mereka memiliki usaha secara mandiri, tapi

    dengan skala usaha kecil. Dengan peralatan sederhana (aset fisik) yang mereka

    miliki mereka bekerja bersama anak atau keluarga mereka. Sumber penghasilan

    rumahtangga mereka bukan saja dari kerja keras suaminya, tapi juga kerja keras

    isteri dan anak-anak mereka. Begitu selanjutnya, nelayan miskin berada dalam

    lingkaran syetan kemiskinan.

    Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal

    rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran kemiskinan ini.

    Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang

    dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu : (a) menyesuaikan diri dengan

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    8/70

      341

    perkembangan lingkungan, dan (b) melakukan perlawanan dengan kekerasan.

    Pilihan pertama mungkin dilakukan dengan merespon secara terbatas terhadap

    perubahan sosial ekonomi yang terjadi disekitarnya. Menurut Betke (1987) dari

    hasil penelitiannya di desa Lekok, Jawa Timur ditemukan bahwa nelayan kecil /

    masyarakat pesisir pada dasarnya memberikan respon secara positif untuk

    mengakses pengenalan teknologi perikanan sekalipun sangat lambat.

     Adapun penyesuaian diri masyarakat pesisir miskin terhadap perubahan

    kondisi sosial ekonomi sekitarnya dalam bentuk “perlawanan” , yaitu dengan

    melakukan kegiatan melaut menggunakan bahan kimia atau peledak yang

    akibatnya sangat buruk dan merusak. Penangkapan ikan dengan menggunakan

    bahan kimia (potasium) dan peledak jelas merupakan jalan pintas dari reaksi

    ketidakberdayaan nelayan miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

    hidupnya (Wahyono, at al., 2001).

    Dengan demikian program pengurangan kemiskinan bersifat multi dimensi,

    multi tingkat dari berbagai aspek. Hasil penelitian selama tiga tahun 2006 – 2008

    disimpulkan pendekatan pemberdayaan memerlukan tujuh aspek aksesabilitas

    (heptagon access)  untuk mengurangi penduduk miskin di pedesaan pantai, yaitu

    : akses dalam (a) peningkatan mutu SDM melalui pendidik, (b) perbaikan

    pelayanan fisik lingkungan, (c) penguatan jaringan sosial-budaya, (d)

    keberpihakan politik kebijakan PEMDA, (e) perluasan pasar, (f) perbaikan kondisi

    sumberdaya alam yang ada di lingkungannya dan (g) akses pelayanan

    permodalan. Oleh karenanya program untuk mengurangi jumlah dan

    pemberdayaan penduduk miskin di pesisir harus didekati secara multi-dimensi

    dan multi tingkat (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    9/70

      342

    13.1.2 Implimentasi Perencanaan dan PelaksanaanPemberdayaan

    Rendahnya akses masyarakat pesisir miskin terhadap sumber-sumber

    potensi pembangunan lebih diperparah, karena selama ini para perencana

    pembangunan sering bias dalam memandang masyarakat nelayan/ pesisir

    Nelayan / masyarakat pesisir cenderung diperlakukan sama dengan petani.

    Dalam arti luas, perikanan memang dapat dipandang sebagai bagian dari

    kegiatan pertanian. Namun jika kita lihat dari sifat sumberdayanya maupun sistem

    mata pencaharian dan pemilikan lahan, ada perbedaan sangat mendasar antara

    nelayan dan petani. Dalam hal pemanfaatan lahan, para petani mengenal batas-

    batas pemilikan lahan secara jelas, sedangkan pada usaha perikanan, paranelayan menghadapi kenyataan dimana laut adalah milik umum (common

     property), sehingga siapa saja yang menguasai dan memiliki modal dan teknologi

    yang paling efisien adalah mereka yang mampu meningkatkan hasil tangkapan.

    Para nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya secara bebas-masuk (open

    access)  tanpa ada batas-batas wilayah yang jelas seperti halnya dalam

    pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam kegiatan

    perikanan, pemanfaatan sumberdaya lebih ditentukan oleh pemilikan modal dan

    penguasaan teknologi.

    Kesalahan yang juga sering terjadi dalam pemberdayaan masyarakat,

    para perencana pembardayaan sering kurang memperhitungkan kondisi lokal

    sasaran program. Program pemberdayaan masyarakat yang tidak

    memperhatikan keunikan pola hubungan kerja dan sosial budaya yang terjadi

    pada masyarakat kelompok sasaran akan selalu menemui kegagalan. Oleh

    karena itu asumsi dasar yang melandasi kebijakan pemberdayaan masyarakat

    nelayan / pesisir selama ini perlu ditinjau kembali. Satu hal yang perlu dilakukan

    adalah perlunya identifikasi respon nelayan terhadap perubahan lingkungan dan

    kelembagaan permodalan di tingkat lokal. Dengan demikian, sasaran penelitian

    ini adalah merupakan pendalaman hasil penelitian tahun 2006  –  2008 dan

    penelitian Strategis Nasional tahun 2009 yang menyimpulkan Model Kemitraan

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    10/70

      343

    Sosial sebagai pendekatan pemberdayaan yang direkomendasikan. Dengan

    demikian Rencana pemberdayaan masyarakat (RPM) ini akan difokuskan untuk

    memahami dan merumuskan pola dan arah pemberdayaan rumahtangga

    masyarakat pesisir/ nelayan miskin serta peran kelembagaan lokal dalam

    mendampingi rumahtangga nelayan melalui pendekatan Kemitraan Sosial dalam

    penguatan usaha, ketahanan pangan rumahtangga, permodalan dan

    pemasaran berwawasan gender di tingkat lokal agar pendekatan peningkatan

    kesejahteraan ekonomi rumahtangga nelayan dapat dilakukan lebih cocok

    dengan kebutuhan hidup dan budaya masyarakat nelayan tersebut.

    Untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sebenarnya

    memerlukan kepedulian dan komitmen korporasi/ perusahaan terhadap

    pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga akan terwujud keseimbangan yang

    harmonis saling menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karenanya

    perusahaan PT. ANTAM RESOURCINDO menyatakan kesanggupannya

    tertuang dalam Dokumen Rencana Pemberdayaan Masyarakat atau

    melaksanakan program corporate social responsibility (CSR)

    Berdasarkan UUD 1945 wadah yang tepat untuk melaksanakan

    pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah dengan membangun sistem

    ekonomi kerakyatan melalui wadah Koperasi. Dengan berkehidupan ekonomi

    koperasi berarti pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diwujudkan secara

    tepat guna dan berdaya guna sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota.

    Untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada,

    Indonesia sangat membutuhkan investor yang memiliki teknologi tinggi, modal

    yang kuat, untuk kepentingannya membuat infra struktur sendiri. Oleh karena itu

    diperlukan program pemberdayaan dalam rangka penyaluran kepedulian

    korporasi terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya. Melalui programpemberdayaan tersebut diharapkan tumbuh hubungan harmonis antara

    korporasi dan masyarakat, disamping sebagai wujud kepedulian korporasi

    terhadap pembangunan ekonomi masyarakat miskin di sekitarnya.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    11/70

      344

    13.2 Tahap-Tahap Pemberdayaan

    13.2.1. Konsep Pemberdayaan

    Konsep "empowerment" (pemberdayaan), yang dibidani oleh Friedmann

    (1992), muncul karena adanya dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan.

    Kegagalan yang dimaksud, adalah gagalnya model-model pembangunan

    ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang

    berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif-alternatif

    pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender,

    persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.

    Kegagalan dan harapan, menurut Friedmann (1992) bukanlah merupakan alat

    ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari

    nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan, akan terasa sangat nyata

    pada tingkat individu dan masyarakat. Dengan demikian, "pemberdayaan

    masyarakat", pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan

    individual.

    Konsep "empowerment" , sebagai suatu konsep alternatif pembangunan,

    pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari

    suatu kelompok masyarakat, yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,

    langsung, partisipatif, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman

    langsung (Friedmann, 1992). Sebagai titik fokusnya adalah lokalitas, sebab "civil

    society" menurut Friedmann (1992) akan merasa siap diberdayakan lewat issue--

    issue lokal. Namun Friedmann mengingatkan, bahwa adalah sangat tidak

    realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar "civil society"  

    diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak

    hanya sebatas sosial-ekonomi saja namun juga secar a “politis”, sehingga padaakhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baik secara regional maupun

    nasional.

    Konsep "empowerment" , menurut Friedmann (1992) merupakan hasil

    kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    12/70

      345

    ideologis, konsep "empowerment"  merupakan hasil interaksi antara konsep "top-

    down dan bottom-up" , antara "growth strategy   dan  people-centered strategy" .

    Sedangkan di tingkat praksis, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar

    rumahtangga-masyarakat yang otonom. Beberapa pertanyaan kunci berikut dari

    Friedman (1982:167-171) akan lebih memperjelas konsep "empowerment"/ atau

    pemberdayaan yang dikenalkannya, sebagai berikut :

    (1) Apa pinsip yang digunakan oleh pemerintah dalam pemberdayaan

    kelembagaan masyarakat ?.

    (2) Apakah pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap

    individu agar mampu bersaing atau pendekatan rumahtangga agar dapat

    mengakses potensi sosial di lingkungannya ?.

    (3) Apakah ada insentif yang dapat diperoleh masyarakat untuk

    mengorganisasikan lingkungannya untuk melakukan prakarsa perbaikan

    diri dan rumahtangganya oleh mereka sendiri ?

    (4) Apa saja yang mendorong peran masyarakat, pemerintah dan LSM

    dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk berkembang secara

    mandiri ?

    (5) Bagaimana penguatan masyarakat berbasis kondisi masyarakat lokal

    dapat dilakukan ?

    (6) Bagaimana upaya untuk mendukung penghidupan rumahtangga yang

    tidak berdaya dapat diorganisasikan?

    (7) Bagaimana model perencanaan yang cocok dengan kondisi

    rumahtangga dan masyarakat agar mampu memberdayakan dirinya

    sendiri ?

    (8) Apa kendala dalam struktur dan kebijakan yang harus diatasi untuk

    menjadikan pengembangan masyarakat berlangsung sebagai jalan yangdapat dipilih secara berkelanjutan ?.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    13/70

      346

    13.2.2 Tahapan Pemberdayaan

    Pemberdayaan masyarakat pesisir/ nelayan kecil (miskin) pada dasarnya

    identik dengan tahap-tahap pemberdayaan secara umum yang terdiri dari 3 (tiga)

    tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan

    antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan

    dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan

    dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan

    pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap

    pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap

    yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai

    berikut.

    (a) Pemberdayaan Individu (Housho ld Model)  

    Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan

    keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun

    adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka

    unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan

    yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa

    yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam

    konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer.

    Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya

    menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri,

    memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga

    mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumber-

    sumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan

    kehidupannya. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk

    membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut

    1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi

    pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    14/70

      347

    kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, perumahan, air bersih,

    kesehatan dan transport). Penyediaan fasilitas air bersih dan transportasi

    yang baik, akan sangat membantu individu-individu untuk memanfaatkan

    waktunya bagi kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Juga informasi dan

    pelayanan kesehatan harus tertuju langsung pada jarak yang relatif dekat

    terhadap setiap individu;

    2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri

    bahwa para individu berkemampuan untuk menularkan atau menarik

    individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung ke dalam

    kegiatan usahanya;

    3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah

    pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga,

    antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi

    pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah

    pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (inter-

    generational continuity). 

    (b) Pemberdayaan Ikatan Antar Individu/Kelompok (Spiral Model)   :

    Penguatan Permodalan dan Pemasaran 

    Pada hakekatnya individu dengan individu lainnya diikat oleh suatu ikatan

    yang disebut keluarga. Demikian pula antar keluarga (rumahtangga) satu

    dengan keluarga (rumahtangga) yang lain diikat oleh suatu ikatan

    kebertetanggaan. Begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi.

    Pada tingkatan yang pertama, hubungan yang terjadi dapat disebabkan oleh

    adanya saling percaya satu terhadap lainnya, keyakinan keagamaan,

    kesamaan keturunan, kesamaan nasib, dan atau kedekatan bertetangga.

    Pada tingkatan yang lebih tinggi, hubungan ini dapat terwujud di dalam suatu

    gerakan masyarakat, organisasi politik, dan sebagainya.

    Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana

    memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) ketrampilan dan (3) modal yang

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    15/70

      348

    dimiliki oleh keluarga-keluarga nelayan di daerah pesisir ke dalam domain-

    domain (a) ekonomi, (b) politik, dan (c) sosio-kultural. Penguatan hubungan

    ikatan ini berlangsung secara bertahap mengikuti suatu lintasan spiral mulai dari

    penguatan individu, antar kelompok, terus naik ke atas menuju pada domain

    sosial-politik yang lebih luas lagi, sampai pada domain ekonomi meso dan

    makro. Dalam kaitan ini, konsep keterkaitan (linkage)  menjadi sangat penting,

    sehingga diperlukan adanya aktor (organizer)  yang dapat dan mampu

    memainkan atau menggerakkan spiral ini dari bawah (tingkat individu) sampai

    pada tingkat ekonomi meso dan makro secara institusional.

    Sangat disadari, bahwa di dalam perjalanannya dalam praktek

    pemberdayaan, lintasan spiral institusional ini akan banyak menghadapi

    paradoks dan dialektika antara : (1) syarat-syarat ekonomi rasional melawan

    nilai-nilai sosio-kultural (moral), (2) ekonomi formal melawan ekonomi informal,

    (3) akumulasi kapital melawan ekonomi subsistensi, (4) ruang kehidupan biologi-

    sosial melawan ruang kegiatan ekonomi. Adapun beberapa langkah untuk

    membangun keberdayaan institusi adalah sebagai berikut :

    1. Memperkuat ikatan antar individu, antar keluarga yang bertetangga dekat,

    dan antar kelompok keluarga, melalui penciptaan ketergantungan yang

    rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural yang

    hidup di dalam masyarakat.

    2. Penguatan ikatan melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara

    kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat

    dimaksudkan agar kegiatan usaha ekonomi yang dikembangkan dapat

    berlanjut antar keturunan atau antar generasi (inter-generational

    continuity); 

    3. Pengembangan (pengguliran) aset dan kegiatan usaha ekonomi

    memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio kultural yang

    telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran institusional

    (kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    16/70

      349

    dasar-dasar keterkaitan sosio-kultural dalam komunitas masyarakat

    pesisir;

    4. Pada pengembangan selanjutnya, keterkaitan antara kegiatan usaha

    ekonomi individu, keluarga dan atau kelompok ini dengan domain sosial-

    ekonomi pada tingkatan meso dan makro perlu dikembangkan, dalam

    rangka membawa lintasan spiral tersebut ke atas. Dalam tingkatan ini,

    selain diperlukan adanya aktor (organizer)  pemimpin yang mampu

    membawa lintasan spiral ini ke atas, juga diperlukan adanya

    pemberdayaan politik yang menyertainya.

    (c) Pemberdayaan Kelembagaan (Ins t i tut ion Model)  

    Pada hakekatnya pemberdayaan politik di sini dimaksudkan sebagai

    lawan dari pengabaian politik (political exclusion). Pada praktek ekonomi yang

    terjadi saat ini telah ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi

    (economic and political exclusion) oleh "urban-metropolitan economy"   dan

    "multinational economy" terhadap si-miskin, termasuk nelayan miskin di wilayah

    pesisir. Pengabaian ekonomi dan politik nampak pada tidak dimasukkannya para

    pemduduk miskin di pesisir ke dalam proses dan struktur akumulasi kapital dari

    "multinational" maupun "national/regional corporation". Dengan demikian, konsep

    pemberdayaan politik yang ditawarkan disini merupakan konsep penataan

    terhadap fenomena-fenomena yang dilukiskan diatas. Beberapa konsep dasar

    untuk membangun keberdayaan politik dari para nelayan miskin di pesisir ini

    adalah sebagai berikut:

    1. Bahwa pemberdayaan politik yang dituju di sini adalah terbentuknya

    kepedulian dan partisipasi serta "kesalingterkaitan" antara kekuatan

    negara (state power), kekuatan ekonomi (economic power) dan kekuatan

    sosial (social power); 

    2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat

    ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    17/70

      350

    negara (state), inti kekuatan terletak pada lembaga-lembaga formal

    kepemerintahan dan perangkat-perangkat hukum yang dimiliki yang

    menjangkau masyarakat sampai tingkat pedesaan. Pada kekuatan sosial

    (civil society), inti kekuatan terletak pada institusi keluarga melebar ke

    institusi sosial (keagamaan, kesenian, dan sebagainya). Pada kekuatan

    ekonomi, inti kekuatan terletak pada institusi-institusi yang berujud dalam

    korporasi dan atau kegiatan / jaringan ekonomi sampai pada tingkat lokal

    .

    3. Jadi, pada tingkat praksis, pemberdayaan politik di sini akan mengarah

    pada terbangunnya "kesalingterkaitan" (linkage) antara keluarga-keluarga

    miskin di pesisir dengan lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan

     jaringan ekonomi baik regional maupun nasional.

    Secara praksis, langkah-langkah pemberdayaan politik adalah sebagai

    berikut :

    1. Mendorong agar kelompok-kelompok individu berkembang menjadi "civil

    society" yang memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining position);

    2. Mendudukkan lembaga-lembaga pemerintah sebagai tulang punggung

    (backbone)  bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan-kekuatan

    sosial masyarakat pesisir dengan jaringan ekonomi regional dan nasional

    dan nasional;

    3. Melalui kekuatan lembaga-lembaga pemerintah, korporasi jaringan

    ekonomi regional dan nasional diminta untuk membuka pasarnya bagi

    produk-produk yang dihasilkan oleh komunitas pesisir, atau memberikan

    sebagian dari kegiatan produksinya kepada para keluarga miskin di

    daerah pesisir melalui mekanisme sub-kontrak dan bentuk kemitraan yang

    sesuai sosial budaya masyarakat pesisir.Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat pesisir dalam kaitannya

    dengan konsep pemberdayaan lebih diartikan sebagai penguatan territory based

    identities  dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat

    pesisir, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan yang

    berbasis teritori lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    18/70

      351

    atas nama pembangunan. Dengan demikian proses pengembangan masyarakat

    pesisir, seyogyanya tidak didasari oleh rencana standar yang sama dan/atau

    seragam untuk seluruh wilayah, namun di dasarkan pada kondisi dan potensi

    sumber daya alam, SDM / pemimpin dan kegiatan usaha yang ada dan akan

    berkembang di tingkat lokal maupun regional.

    13.3. Pendekatan Penguatan Kelembagaan Ekonomi MasyarakatPesisir

    Secara umum pemberdayaan nelayan miskin/ masyarakat pesisir dapat

    dilakukan dengan cara meningkatkan aksesibilitas mereka pada sumber-sumber

    kekayaan sosial, ekonomi dan budaya. Secara sosial, beban kemiskinan yang

    mereka hadapi akan dapat diatasi dengan cara menyediakan untuk mereka

    bantuan sosial. Secara ekonomi, beban meraka akan juga dapat diatasi melalui

    dukungan modal. Secara budaya, beban mereka akan dapat mereka atasi sendiri

    dengan cara membangkitkan etos kerja dan kemampuan bekerja melalui

    peningkatan keterampilan kerja mereka. Pendekatan sosial, ekonomi atau budaya

    semata untuk memberdayakan nelayan atau petani ikan hanya akan berdampak

    sekejap atau jangka pendek. Pemberdayaan nelayan atau petani ikanmengandung makna penyelesaian masalah pemberdayaan dan penaggulangan

    kemiskinan multi dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu pendekatan

    pemecahan masalah adalah bersifat multi dimensi dan komprehensif.

    (a) Penguatan Organisasi Ekonomi

    "Desa" adalah unit dasar dari kehidupan pedesaan. Disini "desa"

    mengandung arti sebagai "desa alamiah" atau dukuh tempat orang hidup dalarn

    ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan

    yang besar di bidang sosial dan ekonomi, tidak ada keharusan untuk sama

    dengan unit administratif setempat. Komunitas desa dalam ekonomi yang sedang

    berkembang untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dan berorientasi

    pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan sektor perkotaan

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    19/70

      352

    dapat juga berlangsung. Berlainan dengan ekonomi pasar di daerah perkotaan

    dengan pembagian fungsinya yang menyolok antara perusahaan dan

    rumahtangga, antara bidang produksi dan konsumsi. Produksi seorang nelayan

    dan petani ikan tidak dapat dipisahkan dengan konsumsi keluarganya. Komunitas

    desa mengatur kegiatan ekonomi nelayan dengan mengadakan koordinasi dalarn

    pemakaian sumberdaya yang langka melalui adat kebiasaan dan kelembagaan.

    Seorang nelayan merupakan satu unit produksi yang terlalu kecil untuk dapat

    berbuat banyak demi menanggulangi kepentingan bersama.

    Bagi komunitas desa adalah merupakan suatu keharusan untuk

    menyusun tindakan secara kolektif dan mendorong kerja sama dalarn satu

    komunitas. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antara para

    nelayan adalah permintaan akan pekerja yang sifatnya sangat bergantung

    pada musim dan produksi perikanan. Pada masa-masa puncak musim,

     jumlah pekerja yang melebihi kapasitas kerja keluarga selalu diperlukan untuk

    memenuhi jadwal kerja. Disamping itu, merupakan hal yang lazim, bahwa

    penduduk desa pantai terbagi dalam berbagai sub-klas nelayan. Hanya saja

    dalam komunitas pedesaan pantai, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki

    alat produksi merasa berhak atas pemakaian alat produksi (kapal) bukan

    miliknya dengan cara khas penetapan seperti sistem bagi basil.

    Seperti lazimnya di dalam perjanjian bagi hasil, di dalam komunitas

    desa ada kecenderungan yang amat kuat untuk mengaitkan berbagai

    transaksi ekonomi menjadi hubungan yang sangat pribadi sifatnya. Seorang

    pemilik perahu tidak hanya menerima bagian perahu atas hasil

    tangkapannya, dia ada kewajiban menanggung biaya-biaya produksi,

    bahkan memberikan kredit untuk para pekerja yang selanjutnya disebut

     pendega memenuhi keperluan konsumsinya. Sering pula, para pemilik kapal,

    yang selanjutnya disebut  juragan, bertindak sebagai pelindung (patron)

    terhadap si pendega.

    Hubungan semacam ini biasanya disebutkan sebagai hubungan antara

    bapak dan anak buah (patron-client relationship), dalarn hal ini hubungan

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    20/70

      353

     juragan dan anak buah kapal (ABK). Dalam hubungan ini, seseorang dengan

    status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan

    sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau

    keuntungan bagi individu yang statusnya lebih rendah (client), dan sebaliknya

    para client tadi membalas dengan memberikan dukungan kepada bapak

    (patron) tadi. Kelembagaan yang menguasai ekonomi nelayan tersebut yang

    bercirikan cara-cara produksi seperti digambarkan di atas, lebih merupakan

    adat kebiasaan dan prinsip-pinsip moral dari pada perjanjian resmi. Prinsip

    moral yang tertanam adalah "saling menolong dan berbagi pendapatan di

    kalangan nelayan".

    (b) Pendekatan Ekonomi Dari Sudut Moral

     Adat kebiasaan dan prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial

    dalam komunitas desa. Oleh karena tradisi, kekerabatan, pertalian karena

    tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk kerja sama demi

    keamanan dan daya tahan hidup pada tingkat minimal, maka suatu

    interaksi sosial yang akrab merupakan ciri masyarakat nelayan.

    Para ahli ekonomi moral mempunyai pandangan bahwa hubungan

    sosial pada komunitas nelayan prakapitalis disesuaikan untuk menjamin

    kebutuhan pokok yang minimum bagi seluruh anggota komunitas. Biasanya

    para nelayan dan petani ikan gurem memenuhi nafkahnya pada tingkat yang

    hampir mendekaii kebutuhan pokok minimum untuk hidupnya. Para nelayan

    gurem (pendega) selalu dihadapkan pada bahaya pendapatan mereka

    mungkin menurun di bawah tingkat kebutuhan pokok yang terendah yang

    disebabkan oleh berbagai hal yang terjadi di luar mereka, seperti cuaca atau

    terjadinya keadaan yang tidak diinginkan dalam keluarganya, misalnya sakit.

    Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), bahwa pandangan para ahli

    ekonomi moral tentang kecenderungan masyarakat desa pra-kapitalis

    mengarah menjadi dua aliran, yaitu

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    21/70

      354

    1. Aliran pertama : menduga orientasi masyarakat desa pra-kapitalis untuk

    membangun kontrol sosial terhadap warga yang berkecukupan supaya

    ikut serta menggunakan kekayaannya dalam upaya memenuhi

    kebutuhan minimum bagi orang miskin. Kontrol sosial dernikian

    berlangsung melalui interaksi.

    2. Aliran kedua : menduga bahwa komunitas pedesaan (petani atau

    nelayan) prakapitalis tidak berorientasi untuk melindungi yang miskin.

     Aliran ini berpendapat bahwa kelembagaan tradisional desa dan

    hubungan bapak-anak buah tidak mempunyai motivasi maupun daya

    guna untuk menjamin kebutuhan pokok para anggota komunitas

    miskin. Mereka berpendapat, bahwa di dalam komunitas petani

    tradisional, motivasi orang-orang dalam komunitas itu lebih banyak

    terarah untuk mencapai keuntungan pribadi daripada untuk mencapai

    kepentingan kelompok, seperti melindungi masyarakat miskin. Oleh

    karena itu, ketika ekonomi pasar berhasil menembus ekonomi

    pedesaan pra-kapitalis, maka prinsip-prinsip moral yang dibangun

    oleh masyarakat pedesaan cenderung "mengalah" atau "dikalahkan".

    Dengan membaurnya ekonomi pasar ini, prinsip moral untuk menjamin

    keperluan pokok melaui "jaringan sosial" bagi angota komunitas telah

    digantikan oleh pertimbangan ekonomi yang keras untuk mencari

    untung sebanyak-banyaknya. Hubungan tolong-menolong antara Bapak-

     Anak Buah menjadi lemah.

    Dengan meletakkan tekanan pada prinsip moral tradisional dan interaksi

    (aksesibilitas) sosial dalam komunitas desa, maka pendekatan pemberdayaan

    ini lebih menekankan "pendekatan ekonomi dari sudut moral dalam arti luas".

    Pengertian moral sosial dalam arti luas, bahwa untuk mengatasi kemiskinan

    dan pemberdayaan masyarakat nelayan di pedesaan pantai tidak cukup

    hanya atas dasar "redistribusi pendapatan" melalui kebijakan anggaran

    publik, tapi juga penyiapan prasarana dan aksesibilitas sosial-ekonomi

    nelayan kecil untuk mendukung kegiatan produktif rumahtangga nelayan.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    22/70

      355

    13.3.1. Pendekatan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Komunitas(PSBK)

    Proses pembangunan yang berlangsung di banyak negara berkembang

    selama ini diwarnai oleh mata rantai pemithosan paradigma pembangunan

    yang mendasarinya. Pertanyaan who gets, of what, how much mulai

    menggugat  production oriented development   yang berorientasi pada

    paradigma pertumbuhan (Tjokrowinoto, 1996). Kemudian, pada tahun 1970-an

    pemithosan paradigma kearah pendekatan kesejahteraan yang menjanjikan

    kesejahteraan rakyat dan keadilan. Menurut Tjokrowinoto (1996) pendekatan

    tersebut masih mengandung kelemahan mendasar karena dua hal, yaitu : (a)

    sentralistik, dan (b) birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan sesuai

    kebutuhan rakyat (baca : rakyat miskin).

    Pada tahun 1980-an, pendekatan welfare-oriented development atau

    equity  –  oriented development   digugat. Kemudian lahir paradigma  people  – 

    centred development  yang kemudian melandasi wawasan Community  – Based

    Resource Mangement   (CBRM). Tjokrowinoto (1996) menterjemahkan CBRM

    menjadi Pengelolaan Sumber Daya Lokal (PSDL). Tim Fakultas Perikanan

    Universitas Brawijaya (1999) menterjemahkan CBRM dengan istilah

    Pmanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas (PSBK).

    Ciri managemen PSBK tersebut mengacu pada pendapat Konten

    (Tjokrowinoto, 1996) adalah sebagai berikut :

    (1) Pembangunan oleh masyarakat;

    (2) Managemen oleh komunitas;

    (3) Merupakan proses belajar sosial; dan

    (4) Menerapkan managemen strategis .

     Alasan penerapan PSDL (PSBK) adalah :

    (1) Sumberdaya pembangunan dari Pusat tidak akan mencukupi untuk menjangkau seluruh masyarakat dalam

    lapisan bawah (miskin); 

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    23/70

      356

    (2) Program dari Pusat sukar menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

    lokal;

    (3) PSDL (PSBK) lebih tanggap terhadap heterogenitas lokal;

    (4) PSDL memungkinkian partisipasi masyarakat secara optimal;

    (5) PSDL menempatkan tanggung jawab pembangunan pada masyarakat

    (miskin) setempat.

    Tindakan rasional secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya

    perikanan “milik bersama (common property)” bisa berdampak irrasional. Kata

    Hardin (1968) dapat menimbulkan tragedy of the common.  Pada tingkat

    komunitas, masyarakat dengan kearifan lokal memungkinkan untuk membangun

    tindakan rasional secara sosial melalui kelembagaan kerjasama yang berbasis

    masyarakat. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat

    terjadi suatu proses pemberian wewenang, hak dan tanggung jawab masyarakat

    untuk mengelola sumberdaya perikanan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri.

    Dalam hal ini, kerjasama merupakan solusi untuk menghindarkan diri

    masyarakat dari tragedi yang tidak diinginkan.

    Dengan adanya kerjasama, masyarakat dalam konsep PSBK adalah

    komunitas atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Dari sudut

    pandang wilayah, masyarakat disini adalah mereka yang tinggal di suatu

    kawasan tertentu. Kawasan yang dimaksud dapat mencakup beberapa

    pemukiman, desa, kecamatan, kota, kabupaten, propinsi atau negara. Misalnya,

    masyarakat Teluk Jakarta adalah masyarakat yang berasal dari beberapa dusun,

    desa, pulau, kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi bergantung pada cakupan

    wilayah yang kita maksudkan. Selat Bali didiami oleh warga nelayan mencakuppenduduk Propinsi Jawa Timur dan Bali. Kawasan Selat Madura mencakup

    kawasan nelayan dari penduduk Kabupaten/Kota yang membatasi Selat Madura,

    seperti Sumenep, Pamekasan, Probolinggo, Situbondo dan Banyuwanngi

    dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    24/70

      357

    Dari sudut pandang status sosial dan pekerjaan, masyarakat yang tinggal

    di kawasan tertentu, orang yang berkepentingan dengan pengelolaan

    sumberdaya perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan,

    pembudidaya ikan/ rumput laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun

    pimpinan formal. Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka

    PSBK dapat dibedakan atas dasar :

    (1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBK dusun pada tingkat desa,

    kecamatan, kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu;

    (2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBK gill-net, petani rumput laut dan lain-

    lainnya.

    13.3.2 Pendekatan Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir(LKMP)

    Untuk mengembangkan entrepreneurship   rumahtangga nelayan miskin

    memerlukan kemampuan enterpreneural skill   disamping pengaturan atas

    dasar hak, izin atau bebas masuk. Sebagaimana kita ketahui, bahwa

    sumberdaya laut merupakan pabrik perairan produsen primer. Ikan mengambilmakanan dari perairan pesisir. Pada budidaya perairan yang berazaskan

    IPTEK, petani harus menggunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan

    penguasaan terhadap semua faktor lingkungan yang mempengaruhi . 

    pertumbuhan biota ikan/ non-ikan atau tanaman laut.

    Nelayan yang melakukan usaha menangkap ikan di laut harus memiliki

    keterampilan yang lebih luas daripada pekerja pabrik, karena petani atau

    nelayan disamping sebagai juru tani juga sebagai pengelola bisnis. Sebagaipengelola bisnis, seorang nelayan harus "menguasai" keterampilan bisnis.

    Untuk mengembangkan bisnis perikanan secara berhasil, maka para nelayan

    memerlukan kernampuan untuk "menguasai" jalur bisnis perikanan secara

    utuh, yaitu :

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    25/70

      358

    (1) Penyediaan input   kegiatan melakukan penangkapan ikan di laut, seperti

    perahu dan alat tangkap ikan.

    (2) Kegiatan menangkap ikan di laut.

    (3) Pengolahan pasca panen.

    (4) Pemasaran dan distribusi output  ikan atau produk lainnya.

    Dalam aktivitas pernberdayaan nelayan skala kecil/ miskin perlu dikaji

    secara mendalam mutu SDM dan kemungkinan untuk dikembangkan

    keterampilannya, khususnya dalam kegiatan pemberdayaan sosial dan

    ekonomi nelayan kecil dalam menguasai bisnis perikanan sebatas

    kemampuan enterpreunur nelayan. Untuk kelengkapan pemahaman

    masyarakat lokal (nelayan miskin) terhadap keterampilan bisnis yang

    diperlukan, maka dilakukan identifikasi keperluan usaha ekonomi untuk

    mengurangi kemiskinan nelayan kecil.

    Pembangunan usaha penangkapan ikan di laut memiliki kesamaan

    dengan proses pembangunan pertanian dalam arti luas. Pakar pembangunan

    pertanian AT. Mosher (1973) menyatakan bahwa untuk meningkatkan

    produktifitas pertanian dan aksesibilitas petani, ketika usaha petani semakin

    berkembang maka semakin bergantung kepada sumber-sumber dari luar

    lingkungannya. Khususnya bisnis ikan yang cepat busuk, dimana kebutuhan

    pasar merupakan bagian tak terpisahkan bagi nelayan, karena sebagian

    besar ikan yang diproduksi dijual di pasar, dan hanya sebagian kecil saja yang

    dikonsumsi rumahtangga nelayan atau petani ikan.

     Ada lima fasilitas dan jasa (akses) yang harus tersedia bagi para petani,

    termasuk pembudidaya ikan maupun nelayan, jika nelayan atau petani ikan

    gurern hendak dimajukan. Masing-masing merupakan syarat pokok. Tanpa

    salah satu dari padanya, tidak akan ada pembangunan nelayan kecil. Syarat

    pokok yang dimaksud adalah :

    (1) Pasar untuk hasil tangkapan ikan;

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    26/70

      359

    (2) Teknologi ramah yang terus berubah agar penangkapan ikan bisa bekerja

    lebih efisien;

    (3) Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal;

    (4) Perangsang produksi dengan harga ikan yang layak;

    (5) Prasarana dan pengangkutan;

     Apabila semuanya lengkap, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan

    dan petani ikan akan tumbuh berkembang karena dukungan faktor pelancar.  

    Sebagai faktor pelancar yang dapat mempercepat proses pertumbuhan

    ekonomi nelayan kecil / gurem, yaitu :

    (1) Pendidikan dan pelatihan pembangunan (pendampingan);

    (2) Kredit produksi atau akses permodalan produktif;

    (3) Kegiatan kelompok bersama oleh nelayan;

    (4) Perbaikan/konservasi/ perluasan lahan usaha penangkapan ikan;

    (5) Pelibatan komunitas nelayan dalam perencanaan pembangunan khususnya dalam skala lokal. 

     Adapun kajian Model Kemitraan Sosial pemberdayaan nelayan skala

    kecil yang akan dilakukan mengacu pada teori pemberdayaan oleh Friedman

    (1992) dengan pendekatan pusat pertumbuhan perekonomian dengan strategi

    penciptaan Struktur Pedesaan Progresif (SPP). Sebagaimana dinyatakan oleh

     AT. Mosher bahwa SPP mempunyai berbagai unsur, yaitu :

    (1) Pasar input maupun output usaha penangkapan ikan;

    (2) Prasarana jalan menuju dan keluar lokasi.

    (3) Penguatan adopsi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan secara

    lokal.

    (4) Aparat penyuluhan perikanan dan pendamping pemberdayaan yang

    terampil.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    27/70

      360

    (5) Fasilitas kredit dan dukungan modal produktif untuk kegiatan produksi

    perikanan.

    Dalam pandangan ekonomi moral untuk memberdayakan nelayan skala

    kecil di pedesaan memerlukan dukungan kelembagaan permodalan atau

    pembiayaan yang sesuai kondisi sosial-ekonomi nelayan, dimana hasil

    tangkapan tidak menentu dan rentan terhadap pengaruh musim ikan. Untuk

    menyiapkan kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan daya dukung

    SDM dan budaya lokal untuk melaksanakan kegiatan. Menurut hasil kajian

    IBRD/   World Bank (2000) kelemahan yang berkaitan dengan penyediaan

    pembiayaan untuk pemberdayaan masyarakat miskin adalah karena program

    pemberdayaan dibatasi waktu kegiatan (proyek) yang pada umumnya bersifat

    sangat jangka pendek (satu tahun). Menurt IBRD/ World Bank (2000) perlu

    dicari terobosan pembinaan permodalan non-bank (jaminan permodalan)

    untuk pembiayaan usaha masyarakat miskin yang dapat dilakukan sekurang-

    kurangnya dalam jangka waktu 20 tahun (jangka panjang), misalnya dikaitkan

    dengan penyediaan modal bersumber dari dukungan masyarakat (kaya)

    dengan mengefektifkan basis religi melalui pendaya-gunaan zakat, infak dan

    shadaqah (ZIS) produktif.

    Dengan demikian dalam kajian ini akan dirumuskan penguatan Lembaga

    Permodalan Progresif (LP2) yang secara berkelanjutan melakukan pembinaan

    untuk melayani perekonomian masyarakat (nelayan kecil/ miskin). Oleh karena

    itu, ada empat kegiatan utama dalam kajian pengembangan enerepreneuralship 

    nelayan kecil dalam kerangka pengembangan Model Kemitraan Sosial, yaitu :

    (1) Pengembangan lembaga keuangan mikro;

    (2) Pengembangan usaha ekonomi produktif;

    (3) Pelatihan dan penguatan kapasitas entrepreneurial skill   masyarakat lokal;

    dan

    (4) Pemberdayaan entrepreneurialship nelayan kecil.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    28/70

      361

    Selanjutnya, dengan mempertimbangkan upaya pemberdayaan yang

    dilakukan nelayan, secara hipotetis desain pemberdayaan kelembagaan

    keuangan mikro masyarakat pesisir akan difokuskan pada pemberdayaan

    aksesibilitas (sosial-ekonomi) nelayan kecil  yang bertujuan untuk

    meningkatkan pemberdayaan sosial ekonomi (entrepreneurial skill)  melalui

    pengembangan infrastruktur sosial- ekonomi (socio-economical infrastructure) 

    dan penguatan kapasitas kelembagaan dan keterkaitan (lingkages) baik pada

    aspek bio-fisik, spasial dan kelembagaan (spatial and institution)  yang

    didasarkan atas dasae territory based identities sumberdaya lokal.

    13.4 Pendekatan Pemberdayaan Rumahtangga Masyarakat Pesisir

    Pendekatan yang dipakai dalam program Pemberdayaan Ekonomi

    Masyarakat Pesisir Wotgalih adalah sebagai berikut :

    1. Partisipatif

    Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya

    merupakan pencerminan dari konsep bottom up planning   serta salah satu

    perwujudan dari upaya pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatif

    dilaksanakan untuk dapat lebih menjamin keberhasilan pelaksanaan program

    pembangunan maupun pemanfaatan hasil yang telah tercapai dari program-

    program pembangunan tersebut.

    Pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada

    hakekatnya adalah upaya untuk mengikutsertakan semua pihak terkait,

    khususnya dari pihak masyarakat dalam keseluruhan tahapan kegiatan

    pelaksanaan program Pemberdayaani Masyarakat Pesisir yang secara garis

    besar akan mencakup tahapan perencanaan, implementasi, pemanfaatan, dan

    pengendalian (monitoring dan evaluasi). Namun dalam hal ini, perlu dihindari

    kecenderungan implementasi yang tidak mengikutsertakam masyarakat dalam

    pembangunan (cenderung bersifat parsial). Hal ini misalnya terjadi pada tahap

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    29/70

      362

    perencanaan, dimana masyarakat hanya dilibatkan pada studi awal dalam

    proses identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan, sedangkan

    pengambilan keputusan terhadap program pembangunan yang akan dijalankan

    tetap dilakukan oeh pihak lain (top-down planning ).

    Pentingnya pendekatan partisipatif dalam program Pemberdayaan

    Masyarakat Pesisir disebabkan karena tindakan yang akan diambil serta hasil

    pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada hakekatnya

    adalah ditujukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

    Berangkat dari hal tersebut, maka kegiatan dalam program

    Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Wotgalih harus dirancang sedemikian rupa

    sehingga masyarakatlah yang akan lebih banyak menentukan arah dan langkah

    pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat . Dalam hal ini,

    Tenaga Pendamping Desa (TPD) beserta tokoh kelembagaan lokal terkait akan

    bertindak sebagai fasilitator yang akan mendampingi, membimbing, dan

    membantu masyarakat dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan,

    merumuskan alternatif rencana pemecahan berikut konsekuensinya. Dengan

    metode seperti ini diharapkan dapat menimbulkan rasa kepemilikan dan

    tanggungjawab dari masyarakat dalam pelaksanaan dan pemeliharaan kegiatan-

    kegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.

    2. Kemandirian

    Dalam program Pemberdayaani Masyarakat salah satu strategi

    pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kemandirian atau keswadayaan,

    dimana dengan dilaksanakannya strategi ini dalam program Pemberdayaan

    Ekonomi Masyarakat diharapkan akan timbul kemandirian dari masyarakat

    dalam pembangunan masyarakat dan wilayahnya sendiri dengan potensi-potensi

    sumberdaya yang dimiliki oleh daerahnya.

    Strategi kemandirian atau keswadayaan pada dasarnya adalah

    melaksanakan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan, kemampuan, dan

    modal atau biaya sendiri. Pada pelaksanaan program Pemberdayaan

    Masyarakat, maka masyarakat didorong untuk mampu secara mandiri

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    30/70

      363

    mengatasi permasalahan dalam rangka pembangunan diri dan lingkungannya.

    Selama mengikuti program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, dimana

    masyarakat tidak hanya terpaku pada proses peningkatan produksi, distribusi,

    dan pemasaran tetapi juga belajar untuk mengatasi permasalahan. Dengan

    demikian pada akhir program masyarakat telah memiliki modal untuk memelihara

    dan mengembangkan hasil-hasil program serta menghadapi tantangan ke depan

    secara mandiri dan berkelanjutan.

    3. Kemitraan

    Pendekatan kemitraan dalam program Pemberdayaan Ekonomi

    Masyarakat Wotgalih digunakan untuk membentuk jaringan kemitraan antara

    masyarakat, tokoh lokal, aparat pemerintah dan swasta dalam mengembangkan

    kegiatan-kegiatan yang ada dalam program Pemberdayaan Ekonomi

    Masyarakat.

    Upaya untuk menciptakan jaringan kemitraan tersebut difasilitasi dengan

    mempertemukan antara semua sektor dan stakeholders yang terkait dalam

    pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan pesisir. Sektor-sektor yang

    terkait dihimpun dalam jaringan kemitraan sedemikian rupa sehingga diantara

    masing-masing sektor terbentuk suatu kesepakatan dalam pembangunan dan

    pengembangan ekonomi kawasan pesisir sesuai dengan fungsi, peran dan

    kapasitas kewenangannya masing-masing.

    13.4.1 Prinsip Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

    Prinsip pengelolaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir oleh PT.

     ANTAM Tbk. yang dilaksanakan di Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten

    Pasuruan meliputi :

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    31/70

      364

    1. Acceptability 

    Metode ini diimplementasikan dalam wujud pelaksanaan pengambilan

    keputusan yang didasarkan pada proses musyawarah sehingga memperoleh

    legitimasi dan dukungan dari seluruh anggota masyarakat. Hal ini perlu dilakukan

    karena pada dasarnya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih

    dipilih, dirumuskan dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dalam forum-forum

    pertemuan pada masing-masing jenjang daerah pemerintahan (dukuh, Desa,

    Kecamatan, Kabupaten). Agar proses musyawarah ini benar-benar dapat

    mencerminkan kata mufakat dari semua pihak, maka dengan sendirinya dalam

    kegiatan musyawarah ini semua pihak terkait harus dapat terwakili.

    2. Transparency  

    Pengelolaan kegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi

    Masyarakat Wotgalih dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan diketahui

    oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya, dengan adanya

    keterbukaan ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui dengan jelas maksud,

    tujuan dan alokasi dana untuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

    Wotgalih. Upaya penyebaran informasi ini dilakukan melalui kegiatan sosialisasi.

    3. Accountabi l i ty  

    Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi

    Masyarakat Pesisir (PEMP) harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

    masyarakat. Perlunya pertanggungjawaban kepada masyarakat ini karena pada

    dasarnya masyarakatlah yang merasakan dampak dan manfaat dari program

    Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.

    4. Responsiveness  

    Kegiatan yang dilakukan dalam program Pemberdayaan Ekonomi

    Masyarakat Wotgalih ditujukan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk

    pesisir yang kurang berdaya atau miskin.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    32/70

      365

    5. Quick Disbursement  

    Penyampaian bantuan modal kepada masyarakat sasaran dalam program

    Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih diharapkan dapat dilakukan

    secara cepat dan tepat.

    6. Democracy

    Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih proses

    pemilihan peserta yang nantinya akan mendapatkan bantuan dana ekonomi

    produktif dilakukan secara musyawarah.

    7. Sustainabi l i ty

    Pengelolaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih

    diharapkan dapat memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan.

    8. Equal i ty

    Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih memberikan

    kesempatan yang sama kepada orang atau kelompok lain yang belum

    memperoleh kesempatan mendapatkan dana ekonomi produktif, dengan ini

    diharapkan agar semua masyarakat dapat merasakan manfaat secara langsung

    dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.

    .

    9. Competi t iveness

    Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih setiap

    ketentuan dalam pemanfaatan dana ekonomi produktif masyarakat diharapkan

    dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan

    usulan kegiatan yang layak.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    33/70

      366

    13.4.2 Model Kemitraan Sosial Pemberdayaan MasyarakatPesisir

     Atas dasar konsep pemberdayaan, pentahapan dan kelembagaan

    masyarakat untuk mendukung rencana pemberdayaan pemberdayaan

    berkelanjutan, maka model pemberdayaan selanjutnya kita kembangkan Model

    Kemitraan Sosial, dengan pertimbangan :

    (a) Ada pelapisan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan.

    (b) Aset dan akses sosial masyarakat masih mendominasi kegiatan untuk

    mendukung keberlanjutan penghidupan masyarakat di pedesaan pesisir.

    Pemberdayaan dengan Model Kemitraan Sosial dilakukan sebagaimana

    ditunjukkan pada Gambar 2.2. Prinsip penerapannya adalah sebagai berikut :

    (1) Multi tingkat, dimulai dengan pemberdayaan sikap produktif rumahtangga,

    modal usaha produktif untuk kelompok dan kemandirian kelembagaan

    kelompok.

    (2) Multi dimensi, mencakup dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan

    kebijakan.penganggaran PEMDA.

    (3) Multi tahun, dalam hal ini minimal 8 tahun.

    (4) Pendampingan  secara berkelanjutan  dan professional oleh Pendamping

    Desa.

    (5) Kesetaraan peran  (equal roles)  sebagai prinsip kemitraan sosial  dalam

    bentuk “bantuan sosial” oleh Penyandang Dana (donor) kepada kelembagaan

    lokal : Lembaga Ekonomi Pemberdayaan Desa, Mitra Desa dan Kelompok

    Produktif (KUB).

    (6) Multi sumberdana  (donor, mencakup sumber CSR , dukungan PEMDA dan

    dana Zakat, Infak Shodaqih (ZIS) dari masyarakat.

    (7) Human Centered development (Pemberdayaan berpusat pada peran sertamanusia)

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    34/70

      367

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    35/70

      368

    Gambar 13.1 Model Kemitraan Sosial Untuk Pemberdayaan

    DONOR

    PROG. APBD

    CSR

    KORPORASI

    SHADAQAH

    (2)

    KELOMPOK USAHABERSAMA 

    KOMUNITAS

    (3)

    (4)

    DULATAN/

     /REVOLVING/ 

    SHADAQAH

    PEMBERDAYAANRUMAHTANGGA

    (a) Budaya Produktif

    PELAYANAN AMANAH

    PEMBERDAYAAN KELOMPOK

    PEMBERDAYAAN KELOMPOK

    (b) MOTIVASI BISNIS

    PEMBERDAYAANKELEMBAGAAN

    (c) MANDIRI

    TAHAP

    PERTAMA

    TAHAP

    KEDUA

    TAHAP

    KETIGA

    LEPD

    MDKP

    PENGUATAN MODAL

    PENGUATAN USAHA PRODUKTIF

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    36/70

      369

    13.5 Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB)

    Pertanyaan yang muncul dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat

    miskin adalah urgensi kerjasama kelompok dan apa media praktis yang dapat

    kita gunakan untuk membuat mereka berfikir inovatif. Ada 6 instrumen dalam

    upaya pengembangan swadaya masyarakat, (Verhagen, 1996), yaitu :

    (1) Identifikasi penduduk dan kelompok sasaran;

    (2) Konsultasi managemen;

    (3) Pengembangan jaringan dengan pihak ketiga;

    (4) Perluasan proses dan pengembangan gerakan;

    (5) Pemanfaatan dan evaluasi diri terus menerus;

    (6) Penguatan kelompok berbasis komunitas.

    Dalam penguatan kelompok ada 7 komponen kapasitas di tingkat

    komunitas (UNICEF, 1999) yang harus dikembangkan untuk dapat mendorong

    aktifitas ekonomi anggota kelompok melalui usaha ekonomi produktif, yaitu :

    (1) Comunity leader   : siapa saja orang-orang berpengaruh untuk mendorong

    penguatan kelompok ekonomi produktif;

    (2) Comunity technology   : teknologi apa yang digunakan masyarakat untuk

    memproduksi sesuatu;

    (3) Comunity fund   : apakah ada mekanisme penghimpunan dana dari

    masyarakat;

    (4) Comunity material  : sarana apa saja yang dapat digunakan masyarakat yang

    berguna untuk pengembangan kelompok, apakah ada modal usaha keluarga

    / kelompok;

    (5) Comunity knowledge  : apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha

    meraka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, selanjutnya

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    37/70

      370

    sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap pelaku pelayanan usaha

    peroduktif;

    (6) Comunity decision marking   : apakah masyarakat terlibat dalam program

    secara keseluruhan;

    (7) Comunity organization  : usaha ekonomi mana yang dapat dikembangkan

    menjadi organisasi usaha ekonomi produktif.

    13.5.1 Penguatan KUB

    Penguatan kelompok merapkan alternatif pemberdayaan kelompok

    masyarakat. Sistematika penguatan kelompok usaha didasarkan pada

    pertimbangan sebagai berikut :

    1. Nilai Strategis KUB

    Keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi fakir miskin di

    tengah-tengah masyarakat wahana untuk (1) meningkatkan usaha

    ekonomi produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), (2)

    menyediakan sebagian kebutuhan yang diperlukan bagi keluarga fakir

    miskin, (3) menciptakan keharmonisan hubungan sosial antar warga, (4)

    menyelesaikan masalah sosial yang dirasakan keluarga fakir miskin, (5)

    pengembangan diri dan sebagai wadah berbagi pengalaman antar

    anggota.

    Kehadiran KUB Fakir Miskin merupakan media untuk (1)

    meningkatkan motivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi

    dan sosial, (2) meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, (3)

    mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, (4)

    memperkuat budaya kewirausahaan, (5) mengembangkan akses pasar

    dan (6) menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang

    terkait.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    38/70

      371

    Melalui kelompok, setiap keluarga miskin dapat (1) saling berbagi

    pengalaman, (2) saling berkomunikasi, (3) saling mengenal, (4) dapat

    menyelesaikan berbagai masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Dengan

    sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara sendiri-sendiri

    kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga setiap anggota dapat

    meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan usaha

    ekonomi produktif, usaha kesejahteraan social serta kemampuan

    berorganisasi.

    Kegiatan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial dapat

    berupa : (1) pengeIoaan santunan hidup, (2) Iuran Kesetiakawanan Sosial

    (IKS), (3) arisan, (4) pengajian, (5) perkumpulan kematian, (6) usaha

    simpan pinjam, (7) pelayanan koperasi, usaha tolong menolong atau

    gotong royong, (8) usaha pelayanan sosial untuk membantu orang tidak

    mampu, (9) usaha-usaha untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial

    di lingkungannya, dan (10) usaha-usaha UKS lainnya. Kegiatan yang

    berkaitan dengan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dapat berupa (1) usaha

    dagang, (2) jasa, (3) pertanian, dan lain-lain, sedangkan kegiatan yang

    bersifat penataan kelembagaan, seperti: (1) pengelolaan keuangan, (2)

    pencatatan dan pelaporan kegiatan bersama.

    Melalui KUB diharapkan dapat (1) meningkatkan pengetahuan dan

    wawasan berfikir para anggota karena mereka dituntut suatu kemampuan

    manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan (2)

    berupaya menggali dan memanfaatkan sumber-sumber rizki yang tersedia

    di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya. Selain itu, diharapkan

    dapat (3) menumbuh kembangkan sikap-sikap berorganisasi dan (4)

    pengendalian emosi yang semakin baik serta dapat menumbuhkan rasa

    kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan

    kesetiakawanan sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun

    kepada masyarakat secara luas.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    39/70

      372

    KUB dibentuk dilandasi oleh nilai filosofis “dari”, “oleh” dan “untuk”

    masyarakat. Artinya bahwa keberadaan suatu kelompok KUB di manapun

    (desa atau kota) adalah berasal dari dan berada di tengah-tengah

    masyarakat. Pembentukannya oleh masyarakat setempat dan

    peruntukannya juga adalah untuk anggota dan masyarakat setempat.

    Karena konsep yang demikian, maka pembentukan dan pengembangan

    KUB harus bercirikan nilai dan norma budaya setempat, harus sesuai

    dengan keberadaan sumber-sumber dan potensi yang tersedia di

    lingkungan setempat, juga harus sesuai dengan kemampuan SDM

    (anggota KUB) yang ada.

    KUB harus diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang berlangsung

    secara terus menerus, bukan hanya untuk jangka pendek tetapi jangka

    panjang. Kerjasama yang tulus biasanya hanya dapat diwujudkan bila

    dilandasi oleh dengan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan, dan

    kesetiakawanan sosial. Dalam kelompok terjadi interaksi atau hubungan

    yang saling ketergantungan, dan saling membutuhkan antara satu dengan

    yang lainnya yang pada akhirnya menimbulkan semangat kekeluargaan,

    kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial di antara mereka, bahkan

    dengan lingkungan eksternal kelompok.

    KUB dimaksudkan untuk mewujudkan keberfungsian sosial para

    anggota KUB dan keluarganya, yang meliputi meningkatnya kemampuan

    dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari dan berubahnya

    sikap dan tingkah laku dalam mengatasi permasalahan-permasalahan

    yang dihadapi serta meningkatnya kemampuan dalam menjalankan

    peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat. Keberadaan usaha-usaha

    ekonomis produktif yang bersifat ekonomis dalam kelompok KUB hanya

    sebagai sarana bukan sebagai tujuan. Banyak orang beranggapan bahwa

    aspek usaha ekonomi produktif atau UEP dalam KUB sebagai tujuan dan

    sering dijadikan sebagai ukuran keberhasilan KUB. ini adalah suatu hal

    yang keliru. Berkelompok dalam KUB adalah berarti berkeinginan untuk

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    40/70

      373

    merubah keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, yaitu perubahan

    secara ekonomi, sosial, dan spiritual atau lebih dikenal dengan Dzkir,

    pikir, dan ikhtiar.

    2. Tiga Tujuan Kegiatan KUB

    Kegiatan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama bertujuan untuk:

    1. Meningkatkan kemampuan anggota kelompok KUB di dalam memenuhi

    kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari, ditandai dengan: (1)

    meningkatnya pendapatan keluarga; (2) meningkatnya kualitas

    pangan, sandang, papan, kesehatan, tingkat pendidikan; (3) dapat

    melaksanakan kegiatan keagamaan; dan (4) meningkatnya

    pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya.

    2. Meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUB dalam mengatasi

    masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam keluarganya maupun

    dengan lingkungan sosialnya, ditandai dengan adanya kebersamaan

    dan kesepakatan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga,

    dalam lingkungan sosial; adanya penerimaan terhadap perbedaan

    pendapat yang mungkin timbul di antara keluarga dan lingkungan;

    semakin minimnya perselisihan yang mungkin timbul antara suami dan

    istri atau antara orang tua dan anak, dan lain-lain.

    3. Meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUB dalam

    menampilkan peranan-peranan sosialnya, baik dalam keluarga

    maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan semakin meningkatnya

    keperdulian dan rasa tanggung jawab dan keikutsertaan anggota

    dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial di lingkungannya; semakinterbukanya pilihan bagi para anggota kelompok dalam pengembangan

    usaha yang lebih menguntungkan; terbukanya kesempatan dalam

    memanfaatkan sumber dan potensi kesejahteraan sosial yang tersedia

    dalam lingkungannya.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    41/70

      374

    3. Lima Alasan Mengapa Harus Bergabung Dalam KUB

     Ada beberapa alasan mengapa perlu dikembangkan organisasi

    Fakir Miskin yang disebut dengan KUB yaitu :

    1. Yang menjadi sasaran kelompok KUB adalah mereka yang memiliki

    keterbatasan dalam berbagai hal, seperti: keterbataan dalam

    pendapatan, perumahan, kesehatan, pendidikan, kemampuan,

    keterampilan, kepemilikan, modal, komunikasi, teknologi, dan lain-lain.

    2. Dengan sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara

    sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga akan

    memudahkan dalam pembinaan dan monitoring dan pembinaannya

    akan lebih efektif dan efisien baik dan segi pembiayaan, tenaga dan

    waktu yang digunakan. Di samping itu, para anggota kelompok ini dapat

    saling kerja sama secara lebih mudah dibandingkan bila mereka saling

    berpencar.

    3. Dengan pembinaan melalui kelompok KUB, maka diharapkan kelompok

    ini akan saling membantu satu sama lain antara yang lemah dengan

    yang lebih mampu, baik dalam kemampun, keterampilan, modal dan

    lain-lain yang terkait dengan kegiatan-kegiatan KUB.

    4. Melalui KUB diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

    wawasan berfikir para anggota karena mereka dituntut suatu

    kemampuan manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan,

    dan berupaya menggali dan memanfaatkan sumbr-sumber yang

    tersedia di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya.

    5. Diharapkan dengan KUB, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan,

    kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan

    sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat

    secara luas karena mereka hidup dalam kelompok.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    42/70

      375

    4. Tujuh Prinsip Pengembangan KUB

    Pengembangan Kelompok Usaha Bersama dilakukan dengan prinsip-prinsip

    sebagai berikut:

    (1). Penentuan nasib sendiri

     Anggota KUB sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat,

    mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri. Dalam nilai seperti ini

    para supervisor atau pendamping sosial yang terlibat dalam kegiatan KUB

    berperan sebagai fasilitator dalam pengembangan KUB tersebut.

    (2). Kekeluargaan

    Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan KUB perlu dibangun atas

    semangat kekeluargaan di antara sesama anggota KUB dan

    lingkungannya. Nilai seperti ini akan menumbuhkan semangat dan sikap

    dalam mewujudkan keberhasilan KUB.

    (3). Kegotong-royongan

    Kegotongroyongan berarti menuntut perlu adanya kebersamaan dan

    semangat kebersamaan di antara sesama para anggota KUB. Dalam

    prinsip tidak menonjolkan adanya perbedaan antara pengurus dan anggota,

    tetapi lebih mengedepankan kebersamaan di antara sesama KBS.

    (4). Menumbuhkan Potensi anggota

    Bahwa pengelolaan dan pengembangan KUB harus didasarkan pada

    kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh para anggota KUB. Sebagai

    contoh apabila para anggota KUB memiliki keterampilan dalam bidang

    ternak ikan maka hendaknya jenis usaha yang dikembangkan adalah

    bidang ternak ikan, bukan usaha lain.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    43/70

      376

    (5). Sumber-sumber Rizki Setempat

    Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan usaha yang dilakukan harus

    didasarkan pada ketersediaan sumber-sumber yang ada di daerah tersebut.

     Adalah menjadi suatu kendala bilamana suatu jenis usaha yang

    dikembangkan namun sumber-sumber yang menjadi bahan baku di daerah

    tersebut tidak tersedia.

    (6). Keberlanjutan

    Prinsip ini menekankan bahwa pengelolaan KUB, kegiatan-kegiatannya,

    bidang usaha yang dikembangkan harus diwujudkan dalam program-

    program yang berkelanjutan, bukan hanya untuk sementara waktu.

    (7). Usaha yang berorientasi pasar

    Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan KUB melalui jenis usaha

    yang dilakukan harus diarahkan pada jenis usaha yang memiliki prospek

    yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pasar.

    5. Lima Tahapan Pembentukan dan Penguatan KUB

    Pembentukan dan pengembangan suatu KUB dilaksanakan dalam 5 tahap,

    yaitu:

    (1). Tahap Persiapan:

    Kegiatan pada tahap persiapan terdiri dari orientasi dan observasi,

    regristasi dan identifikasi, perencanaan program pelaksanaan,

    penyuluhan sosial umum, bimbingan pengenalan masalah, bimbingan

    motivasi, dan evaluasi persiapan (oleh: aparat desa, petugas

    pendamping, pembina fungsional).

    (2). Tahap Pelaksanaan:

    Kegiatan pada tahap pelaksanaan meliputi: seleksi calon Keluarga Binaan

    Sosial (KBS), pembentukan pra-kelompok dan kelompok, pemilihan atau

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    44/70

      377

    penentuan jenis usaha, pelatihan pendamping, pelatihan keterampilan

    anggota KUB, pemberian bantuan berupa makanan, santunan atau

     jaminan hidup, bantuan pembiayaan stimulan permodalan, pendampingan

    dan evaluasi (oleh: aparat desa, petugas pendamping, pembina, dan

    instansi terkait).

    (3). Tahap Pengembangan Usaha:

    Kegiatan pada tahap pengembangan usaha meliputi: bimbingan

    pengembangan usaha, pemberian bantuan pengembangan usaha,

    pendampingan dan evaluasi (oleh: petugas pendamping, petugas

    pembina fungsional).

    (4). Tahap Kemitraan Usaha:

    Kegiatan pada tahap ini meliputi: inventarisasi sumber-sumber yang ada

    (sumber daya alam, sumber daya ekonomi, sumber daya sosial, dan

    sumber daya manusia), membuat kesepakatan-kesepakatan,

    pelaksanaan kemitraan usaha, bimbingan kemitraan usaha, perluasan

     jaringan kemitraan usaha, dan evaluasi (oleh: pendamping dan pembina

    fungsional).

    (5). Tahap Monitoring dan Evaluasi

    Kegiatan pada tahap ini meliputi: pengendalian dan monitoring proses

    pelaksanaan yang sedang berjalan serta evaluasi terhadap keberhasilan

    yang sudah dicapai (oleh petugas pendamping, dan pembina fungsional).

    6. Komponen Kelembagaan KUB

    Kelembagaan KUB terdiri atas komponen :

    (1). Jumlah Anggota KUB

    Jumlah keanggotaan KUB dapat bervariasi, tergantung kebutuhan nyata

    di lapangan/situasi dan kondisi lokal dan kesepakatan kelompok itu

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    45/70

      378

    sendiri. Suatu kelompok KUB permanen diawali oleh pembentukan

    kelompok-kelompok yang terdiri dan 5-10 KK. Karena sifat dan suatu

    kegiatan dan kepentingan tertentu, KUB dapat terdiri dan Kelompok Besar

    terdiri gabungan beberapa KUB atau yang disebut dengar RUMPUN

    rembug Himpunan (gabungan dan 2-3 KUB). Satu kelompok KUB yang

    anggota dikategorikan fakir miskin dapat memilih anggotanya yang bukan

    termasuk kategori fakir miskin (poorest), namun masih termasuk kategori

    miskin (poor) atau hampir miskin (near poor) dan mempunyai kemampuan

    dan potensi serta semangat kewirausahaan atau kemampuan untuk

    pembukuan, namun jumlahnya maksimal hanya 1/5 dan jumlah anggota

    yang ada.

    (2). Ikatan Pemersatu

    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok atau ikatan

    pemersatu antara lain: (1) kedekatan tempat tinggal atau letak geografis;

    (2) jenis usaha atau keterampilan anggota; (3) ketersediaan sumber rizki;

    (4) latar belakang kehidupan budaya; (5) memiliki motivasi yang sama; (6)

    keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah tumbuh

    berkembang lama.

    (3). Struktur dan Kepengurusan KUB

    Struktur organisasi merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang harus

    dijalankan. Dengan struktur dapat diketahui “siapa mengerjakan apa”,

    “siapa berkewajiban dan bertanggung jawab apa”. 

    Struktur KUB sangat tergantung pada kegiatan atau jenis Usaha

    yang dijalankan oleh KUB tersebut. Tidak ada suatu struktur yang bakutentang struktur KUB, strukturnya diserahkan sepenuhnya pada kelompok

    KUB. Namun demikian, di bawah ini ditawarkan struktur organisasi KUB

    yang relatif sederhana yang dapat dijadikan acuan dalam perumusan

    struktur organisasi KUB, yang terdiri dari: Ketua, Sekretaris, Bendahara.

    Jika diperlukan dapat dibentuk urusan/seksi.

  • 8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

    46/70

      379

    Kepengurusan dipilih berdasarkan hasil musyawarah atau

    kesepakatan anggota kelompok. Sebagai suatu organisasi, KUB juga

    memiliki anggota dengan kewajiban antara lain : mengikuti dan mentaati

    semua ketentuan-ketentuan yang ada yang sudah disepakati;

    mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama; membangun kerjasama

    dengan berbagai pihak; memanfaatkan dana stimulan ataupun bantuan

    modal usaha dengan penuh tanggung jawab; membayar iuran dana

    kesetiakawanan sosial (IKS) setiap bulan sesuai kesepakatan bersama

    yang sudah ditentukan; menghimpun dana untuk memperkuat modal

    usaha melalui Lembaga Keuangan Mikro; memanfaatkan penghasilan

    untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarganya.

    Disamping kewajiban, anggota juga mempunyai hak-hak sebagai

    berikut : mengajukan usul atau saran-saran yang dapat memperbaiki

    kinerja KUB; memperoleh pinjaman bantuan modal usaha yang diterima

    KUB dan pihak lain dan mendapatkan keuntungan yang diperoleh dan

    pembagian hasil KUB.

    13.5.2 . Pengelolaan, Strategi Pengembangan dan Langkah PenguatanKUB

    (1). Pengelolaan Kelompok

    a. Untuk efektivitas dan ef