(Studi Kasus : Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa
Barat)
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Muhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 Kearifan Lokal Sebagai
Ketahanan Pangan (Studi kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat).
Skripsi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda
sesuai kebiasaan yang dianut. Kebiasaan menyebabkan semakin beragam
konsumsi jenis makanan pokok. Community-based food system (Sistem
makanan pokok berbasis komunias/masyarakat ) menawarkan kepada
rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan pendapatan,
penghidupan mereka, dan kapasitas untuk memproduksi, dan secara
mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat menjamin ketahanan
pangan mereka pada masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsian kearifan lokal sebagai upaya mempertahankan
ketahanan pangan. Penelitian ini dilakukan di kampung adat
Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimai Selatan, Kota
Cimahi. Pengambilan sampel menggunakan teknik Pursposive Sampling.
Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan pendekatan
emik. Instruemen pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
mendalam, observasi partisipan dan dokumentasi. Data hasil
penelitian dianalisis melalui tiga tahapan yaitu open coding, axial
coding, dan selective coding. Hasil penelitian ini menunjukan nilai
Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi singkong
sebagai makanan pokok bermanfaat sebagai bentuk upaya dalam
meningkatkan kesejahteraan pangan dan ketahanan pangan di
masyarakat Masyarakat dan kebudayaan Cireundeu memiliki ciri khas
yaitu rasi sebagai makanan pokok dan upacara satu sura.
Kata Kunci : Kampung Adat Cireundeu, Kearifan Lokal, Ketahanan
Pangan
ii
Abstract Muhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 The Local Wisdom As An
Effort To Keep The Food Security (Case Study : Cireundeu Village,
Leuwigajah, South Cimahi, Cimahi City, West Java). Thesis : Social
Science Department, Faculty of Tarbiyah and Education, , Islamic
State University Syarif Hidayatullah Jakarta.
Everyone or ethnic group had a differnt way to consume based food
depend on their habit. This habit caused variety of based food.
Community-based food system offer the people opportunity to
increase daily income, life quality, product capacity and a
opportunity to keep the food security. This study aims to find out
the local wisdom as effort to keep the food security in Cireundeu
Village, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Cimahi City. The sampling was
done by purposive sampling technic. The method used was qualitative
research with Emik approach. The instrument used were deep
interiew, participan observation and docmentation. The data were
analyzed by three stage that was open coding, axial coding, and
selective coding. The result shows that the local wisdom value in
cireundeu village that consume cassava as based food had benefit to
increase prosperity and food security.Cireundeunese have
characteristic that are Rasi as based food and Satu Sura
Ceremony.
Key word: Cireundeu Village, Local Wisdom, The Food Security
iii
Allah SWT. Karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Kearifan Lokal Sebagai
Ketahanan
Pangan (Studi Kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan
Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Shalawat dan
salam
senantiasa menyelimuti Rasulullah SAW tercinta beserta keluarga,
sahabat dan
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan
studi
strata satu (S1) untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd)
yang diajukan
kepada Fakultas Ilmut Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarya, dan untuk menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang
penulis
peroleh selama kuliah
Selanjutnya dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak
mendapat
perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penulis
dapat
menyelesaikan laporan pelaksanaan ini. Untuk itu pada kesempatan
yang baik ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas
Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS
FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengetahuan Sosial.
4. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A. selaku Dosen Penasehat Akademik
yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama mengikuti
perkuliahan.
5. Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I
Jurusan IPS
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
bimbingan dan
pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.
iv
6. Dr. H. Nurochim, MM selaku Dosen Pembimbing II Jurusan IPS FITK
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan
dan
pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.
7. Seluruh Dosen yang berada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan
khususnya Dosen Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial yang memiliki peran
sangat
besar bagi saya dalam proses perkuliahan.
8. Seluruh staf Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang
telah
bekerja dengan baik melayani mahasiswa.
9. Abah Emen sebagai ketua adat serta seluruh masyarakat kampung
adat
Cireundeu yang telah memberikan izin penelitian dan membantu
peneliti
selama menjalankan penelitian ini.
10. Orang tua, Subandi dan Karyati yang penulis sangat cintai karna
telah
membesarkan dan mendidik sampai saat ini.
11. Keluarga, Kholilah, Maisapri, Tina Hasanah, dan seluruh
keluarga besar
penulis yang banyak membantu baik secara moril ataupun materil
semasa
menjalani kuliah.
12. Dhuhana Putri Ramadhani, yang senantiasa memberikan motivasi,
semangat,
do’a, serta selalu bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga
untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga urusan
kita
diperlancar.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan, Ikhsan Tila Mahendra, Mega
Dhaniswara A.,
Fikry Kautsar A., Sheila Muria P., Aida Sri Rahayu, Hanni
Khairunisa,
Ardhana Erviani, Nita Chairunnisa, dan Nurits Nadia K. yang
selalu
menemani serta saling mendukung penulis selama masa
perkuliahan.
14. Afif NDS dan Zakiah Noor Nasution sahabat sejak masa MAN
yang
mendukung penuh penulisan karya ilmiah ini.
15. Febriani Ramadhana teman yang selalu membantu dan memberi
masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
16. Rizky Maulana, Amry Al Mursalaat, Maulana Yusuf, Abdurrohman,
dan Nia
teman berbagi suka dan duka selama masa perkuliahan.
v
angkatan 2012 semoga kita dapat meraih kesuksesan kedepannya.
18. Rekan-rekan Guru SD Islam Al-Amjad, khususnya Dra. Hj.
Nurlaelah
sebagai kepala SD Islam Al-Amjad yang selalu mendukung penulis
dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
19. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh
penulis.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk
kesempurnaan skripsi ini. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat
dan
memberikan informasi relevan yang dibutuhkan juga sebagai bahan
perbandingan
untuk pembuatan laporan kedepannya.
Penulis,
E. Tujuan
Penelitian.............................................................................
5
2. Potensi Kearifan
Lokal................................................................
9
4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan
........................................... 12
5. Nilai-Nilai Budaya
....................................................................
13
B. Ketahanan Pangan
..........................................................................
19
vii
D. Kerangka Berpikir
..........................................................................
38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1. Tempat Penelitian
.....................................................................
39
F. Analisis Data
..................................................................................
46
A. Hasil Penelitian
.............................................................................
50
Kelurahan di Kecamatan Cimahi Selatan Tahun
2014.................... 39
Tabel 3.2 Indikator Pedoman
Wawancara......................................................
48
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Sex Ratio dan
Kepadatan
Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Cimahi Selatan
Tahun
2014....................................................................................
51
Tabel 4.2 Jumlah RW, RT, Ketua RT, Karang Taruna dan Anggota
Karang Taruna Menurut Kelurahan di Kecamatan Cimahi
Selatan Tahun 2014
.......................................................................
52
di Kecamatan Cimahi Selatan Tahun
2014..................................... 55
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Meurut Agama dan Kelurahan di
Kecamatan
Cimahi Selatan Tahun 2014………………………………………59
ix
Gambar 4.1 Warga sedang membersihkan ladang singkong
............................. 54
Gambar 4.2 Bale Sara Sehan tampak dari
luar.................................................. 55
Gambar 4.3 Bale Sara Sehan tampak dari dalam
.............................................. 56
Gambar 4.4 Ais Pangampih ialah Bapak
Widi.................................................. 57
Gambar 4.5 Ketua RT Bapak Jajat
..................................................................
58
Gambar 4.6 Singkong yang telah digiling kemudian dijemur
........................... 62
Gambar 4.7 Makanan olahan dari
singkong......................................................
64
Gambar 4.8 Rasi yang sudah dimasak
..............................................................
66
Gambar 4.9 Rasi yang siap dikonsumsi sebagai makan
pokok.......................... 67
x
Lampiran 9 Surat Permohonan Izin Penelitian………………………….. 96
Lampiran 10 Surat Keterangan Penelitian………………………………... 97
Lampiran 11 Surat Keterangan Penelitian ……………………………….. 98
Lampiran 12 Lembar Uji Referensi………………………………………. 99
1
1
Pemenuhannya pun telah dijamin oleh negara dalam Undang-Undang
Dasar 1945
pasal 28H ayat 1. Kebutuhan pangan dikatakan kebutuhan fundamental
karena
jika tidak terpenuhi, maka kehidupan seseorang dapat dikatakan
tidak layak.
Pemenuhan akan pangan sangat penting karena menentukan kualitas
dari sumber
daya manusia.
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,
untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.”
Fokus dari ketahanan pangan ini tidak hanya penyediaan pangan
tingkat
wilayah akan tetapi termasuk tingkat rumah tangga dan individu.
Permasalahan
ketahanan pangan merupakan permasalahan yang multidimensi, meskipun
tidak
ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas
ketahanan
pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada 3 dimensi
yang
berbeda, namun saling berkaitan, yaitu: 1) Kesedian pangan; 2)
akses pangan
oleh rumah tangga; dan 3) pemanfaatan pangan oleh individu
Hasil penelitian Somaratme di Srilanka menyatakan bahwa kerentanan
dan
ketahanan pangan di masyarakat banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai
sosial,
budaya, dan lingkungan sosial. Hubungan sosial di antara masyarakat
sering
2
memainkan peran kunci dalam menjaga ketahanan pangan. Berbagi
makanan dan
tidak membiarkan orang lain kelaparan merupakan nilai budaya yang
kuat dan
tumbuh dibanyak masyarakat. Aspek sosial tersebut harus
dipertimbangkan
dalam pengukuran ketahanan pangan.
perbedaan pola makan. Setiap masyarakat atau suku mempunyai
kebiasaan
makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Kebutuhan makan
bukanlah satu-
satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, disamping itu ada
kebutuhan
fisiologis, seperti pemenuhan gizi ikut mempengaruhi. Setiap strata
atau
kelompok sosial masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam
memperoleh,
menggunakan, dan menilai makanan yang merupakan ciri dari strata
atau
kelompok sosial masing-masing.1 Hal ini menyebabkan semakin
beragam
konsumsi jenis makanan pokok. Komunitas-komunitas di Indonesia
telah
mengembangkan berbagai makanan pokok seperti sagu, jagung, ketela
pohon,
dan ubi jalar. Berbagai jenis tanaman itu tumbuh dan tersedia
sepanjang tahun di
berbagai keadaan lahan dan musim. Sejak dulu secara turun-temurun
masyarakat
desa terbiasa memanfaatkan sumber-sumber pangan yang beragam itu
sebagai
basis pemenuhan kebutuhan pangan pokok sehari-hari maupun sebagai
camilan.
Keragaman pangan juga mengandung keragaman nutrisi, bahkan
diantara
tanaman pangan itu berkhasiat obat. Sistem pangan lokal inilah yang
menjadi
andalan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan mengatasi
ancaman
dari bahaya kelaparan atau krisis pangan.2
Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah
yang
sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat
komunitas.
Sistem komunitas pangan (community based food systems) memiliki
peran
1 Suhardjo, Sosio Budaya Gizi, (Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB, 1989).
2 Witoro, “Menemukan kembali dan Memperkuat Sistem Pangan Lokal”,
Makalah Lokakarya disampaikan Pad Forum Pendamping Petani Regio
Gedepahala, Kampung Pending, Sukabumi, 2-24 September 2003.
3
system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka
dapat
meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas
untuk
memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka
dapat
menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Salah
satu
komunitas yang tetap melestarikan tradisi pangan berbasis pangan
lokal adalah
kampung adat Cirendeu, kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi
Selatan, kota
Cimahi, Jawa Barat. Komunitas ini memiliki tradisi mengkonsumsi
singkong
sebagai makanan pokok. Tindakan sosial yang melandasi masyarakat
Cireundeu
memilih singkong sebagai makanan pokok, pola tindakan sosialnya
mengarah
kepada dua pola, yaitu tindakan sosial rasionalitas instrumental
dan tindakan
sosial tradisional. Pola tindakan rasionalitas instrumental, yaitu
tindakan
individu-individu di masyarakat yang diarahkan kepada suatu tujuan
berdasarkan
kriteria tertentu dalam menentukan suatu pilihan.3 Dalam konteks
ini tindakan
masyarakat kampung adat Cireundeu pada awalnya sebagai bentuk
adaptasi
terhadap lingkungan geografis yang berbukit-bukit serta lahan
kering, selain itu
untuk memenuhi sumber pangan singkong yang bisa dipanen dan mudah
diolah.
Tipologi tindakan sosial kedua adalah tindakan tradisional, yaitu
tindakan yang
dilakukan berulang-ulang dan telah berlangsung secara turun
temurun.
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian
dengan
makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang
berlaku dalam
kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan
norma budaya
bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak
baik.4
3 Amir Fadhilah & Badri Yatim, “Kearifan Lokal Sebagai Modal
Sosial Ketahanan Pangan Masyarakat : Studi Kasus pada Masyarakat
Kp. Cireundeu Kelurahan Leuwi Gajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota
Cimahi Provinsi Jawa Barat, Desa Molamahu Kecamatan Pulubala
Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo , Komunitas Baduy Desa
Kenekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten”,
Laporan Penelitian Kompetitif, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta,2009).
4 Sediaoetama AD., Imu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II,
(Jakarta : Dian Rakyat,1999).
4
biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya.
Gejala budaya
terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup
masyarakatnya.
Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang
beredar
di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang
boleh
disantap dan makanan yang tidak boleh disantap.5 “Ijin” tersebut
menjadi
semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai
peraturan
yang sifatnya normatif. Masyarakat akan patuh terhadap hal itu.
Munculnya
pandangan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh disantap
menimbulkan
kategori “bukan makanan” bagi makanan yang tidak boleh
disantap.
Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara
nutrimen
(nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah konsep biokimia
yaitu zat
yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme
yang
memakannya. Sedang makanan (food) adalah konsep budaya, suatu
pernyataan
yang berada pada masyarakat tentang makanan yang dianggap boleh
dimakan
dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan sebagai
makanan.6
Kategori terhadap makanan yang muncul adalah makanan yang boleh
dimakan
dan makanan yang tidak boleh dimakan. Kategori tersebut berasal
dari latar
belakang budaya masyarakat yang mengijinkan orang untuk memakan
makanan
tertentu. Latar belakang budaya dapat berasal dari pandangan
tradisional atau
adat istiadat, pandangan hidup (way of life) ataupun agama. Memakan
makanan
yang diijinkan berarti patuh dan taat pada norma budaya yang ada,
tetapi
sekaligus membawa “keselamatan” bagi dirinya agar tidak berada pada
jalan
sesat atau melakukan pelanggaran. Makanan yang tidak boleh dimakan
berarti
makanan tersebut dianggap sebagai makanan yang tidak sepatutnya
dimakan
5 Irmayanti Meliono Budianto, “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan
dan Dampaknya pada Masyarakat”, Jurnal Makara sosial Humaniora,
Vol. 8 No. 2, Agustus 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
UI.
6 Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi
Kesehatan, Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swasono, (Jakarta: UI Press,1986).
5
(haram) karena tidak dijinkan oleh norma budaya yang ada dan agama.
Orang
akan tidak bahagia atau keselamatan terancam karena memakan makanan
yang
seharusnya tidak boleh dimakan.
Mengacu pada pemikiran di atas, maka peneliti tertarik untuk
melihat lebih
jauh mengenai kearifan lokal yang mempengaruhi ketahanan pangan
masyarakat
di Kampung Adat Cirendeu, dengan judul: ”Kearifan Lokal
sebagai
Ketahanan Pangan”. Adapun kajian ini adalah : (1). untuk memahami
konsep
kearifan lokal dan relevensinya dalam membentuk budaya pangan
lokal
masyarakat pedesaan di Indonesia (kasus Desa Cirendeu). (2). Untuk
membahas
peran dan fungsi kearifan lokal dalam membentuk budaya pangan
lokal.
B. Fokus Masalah
3. Nasi singkong sebagai makanan pokok
C. Pembatasan Masalah
Nasi singkong sebagai salah satu kearifan lokal dalam ketahanan
pangan
D. Rumusan Masalah
kebutuhan pangan?
kearifan lokal
2. Mengapa singkong yang dijadikan makanan pokok sebagai pengganti
nasi
F. Manfaat Penelitian
a. Bagi para akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan
referensi atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan
tentang
kearifan lokal yang ada di Indonesia.
b. Bagi peneliti lebih lanjut, dapat dijadikan referensi dalam
mengembang-
kan budaya masyarakat suatu daerah untuk masyarakat lain.
2. Manfaat Praktis
pengganti nasi sebagai makanan pokok.
b. Bagi pemerintah diharapkan dapat menjadikan masukan dalam
menjaga
ketahanan pangan di Indonesia.
berbagai sumber dan para ahli serta memiliki prespektif yang
berbeda.
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan lokal,
kearifan
sepadan dengan kebijaksanaan, seperti halnya seorang filsuf
yang
mencintai kebijaksanaan, sedangkan istilah lokal berarti setempat,
istilah
menunjuk kepada kekhususan tempat atau kewilayahan karena itu
kearifan
lokal dapat dipahami sebagai kebijakan setempat dalam
masyarakat
multikultural, masing-masing kelompok mempunyai kebenaran
masing-
masing karena itu, kita lihat bahwa kearifan lokal itu akan
bersifat relatif
terhadap kearifan lokal lainnya.1
nilai-nilai yang dimiliki komunitas masyarakat tertentu. Sejalan
dengan itu,
Haidlor mengatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai
suatu
budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses
yang
berulang ulang, melalui internalisasi dan interpretasi melalui
ajaran agama
dan budaya yang sosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan
dijadikan
pedoman dalam kehidupan masyarakat. 2 Sedangkan menurut
Caroline
Nyamai-Kisia, “kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang
1 Mikka Wildha Nurochsyam, Tradisi Pasola antara Kekerasan dan
Kearifan Lokal”. Dalam Ade Makmur, (ed), Kearifan Lokal Di Tengah
Modernisasi, (Jakarta:Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Republik
Indonesia, 2011), h.86.
2 Haidlor, “Kearifan Lokal Sebagai Landasan Pembangunan Bangsa”,
Jurnal Multicultural dan Multireligius, Vol 9 2010, h.5.
8
tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam
dan
budaya sekitarnya”.3
Dalam hal ini, Suhartini mengatakan bahwa kearifan lokal
merupakan warisan-warisan nenek moyang dalam tata nilai
kehidupan
yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat.
Kearifan lokal
juga adalah proses adaptif keanekaragaman pola-pola adaptasi
terhadap
lingkungan yang ada di masyarakat yang diwariskan secara turun
menurun
dan menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam dan
lingkunganya, yang diketahui sebagai kearifan lokal, suatu
masyarakat.
Dan melalui, “keraifan lokal ini masyarakat bisa mampu bertahan
mampu
menghadapi berbagai krisis yang menimpanya.”4 Selain itu, Suhartini
pun
mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan
setempat
(lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang
tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.5
Menurut Permana Kearifan lokal adalah jawaban kreatif
terhadap
situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat
lokal.
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup
dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.6
3 Pasopati Media Group Bondowoso, “Kearifan Lokal dan Pembangunan
Indonesia”, ,(www.passopatifm.com), 2013.
4 Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Penggelolan
Sumber Alam dan Lingkungan,” Makalah disampaikan pada Seminar,
Pendidikan dan Penerapan MIPA, FMIPA Universitas Negeri
(Yogyakarta, Yogyakarta, 16 Mei 2009).
5 Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian
Filsafat”. Jurnal Filsafat, 2004. h, 111.
6 Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam
Mengatasi Bencana, (Jakarta: Wedatama Widia Sastra, 2010).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti
kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan
dalam
berinteraksi. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu
tempat atau
pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin
berbeda
dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai
yang
mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku
universal.7
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa kearifan
lokal juga disebut juga proses adaptif, terhadap lingkungan
dan
sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal
juga
adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi
berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat .
2. Potensi keungulan Kearifan Lokal
Potensi keungulan kearifan lokal diinspirasi dari berbagai
sumber
yang dimiliki setiap kelompok-kelompok masyarakat tertentu,
hal-hal
tersebutlah yang menjadi adanya sebuah keungulan yang
dimiliki
kelompok tertentu sesuai dengan daerah masing-masing.
Menurut,
“Akhmad Sudrajat, konsep pengembangan keunggulan lokal
diinspirasi
dari berbagai potensi, “yaitu potensi sumber daya alam (SDA),
sumber
daya manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis.”8 Berikut
adalah
penjelasan beberapa jenis potensi:
a. Potensi Sumber daya alam, adalah potensi yang terkandung
dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan hidup, contohnya bidang pertanian ialah padi,
jagung,
buah-buahan, sayuran-sayuran, dan lain sebagainya; bidang
7 MuinFahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press,
2006).
8 Jamal Ma’ mur Asmani, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal,
(Jakarta: DIVA Press, 2012), h. 32-39.
10
bidang perternakan misalnya unggas, kambing, sapi, dan lain
sebagainya. bidang perikanan, seperti ikan laut dan tawar, rumput
laut,
tambak, dan lain-lain.
serta mampu mendayagunakan potensi alam sekitarnya secara
seimbangan dan berkesinambungan, pengertian adaptif artinya
mampu
menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK,
dan
perubahan sosial budaya. Bangsa Jepang, karena biasa
diguncang
gempa, sehigga cara hidup dan sistem arsitektur yang dipilih
diadaptasikan dari resiko menghadapi gempa, keraifan lokal
semacam
ini juga dipunyai di berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan
tranformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan, serta
dari
kontak sosialnya dan dengan fenomena alam, bagi kemasalahatan
dirinya dimasa depan, sehingga yang berkembang
berkesinambungan.
c. Potensi Geografis. Tidak semua objek geografi menjadi dan
fenomena
geografis berkaitan dengan konsep keunggulan kearifan lokal,
sebab,
keunggulan lokal dicirikan nilai guna fenomena geografis bagi
penghidupan dan kehidupan yang memiliki, dampak ekonomis, dan
pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Misalnya
angin yang merupakan cuaca dan iklim sebagai fenomena geografis
di
atmosfer.
d. Potensi budaya. Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap
adalah
kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik,
masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme,
yang
pada hakikatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya.
Ciri
11
lain merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga
menjadi keunggulan lokal.
potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda
purbakala
maupun tradisi adat istiadat yang masih dilestarikan hingga saat
ini.9
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kelima potensi di
atas
menjadi sumber utama dalam menentukan keunggulan lokal yang
di
miliki setiap komunitas-komunitas tertentu sesuai dengan
daerahnya
masing-masing.
Sebelum adanya hukum negara dengan segala perangkatnya.
Masyarakat melewati beberapa fase yang merupakan juga sebuah
fase
berlakunya hukum-hukum sebelumnya, baik sebagai sumber hukum
dalam
bermasyarakat ataupun untuk pribadi. Menulusuri sejarah
peradaban
manusia membawa kita kepada empat era, “yang pertama
merupakan
zaman kebangkitan logos yang meninggalkan takhayul dan
mistisme,
Kedua zaman medieval yang di dominasi oleh gereja, dimana
akal
dijadikan budak perempuan keimanan, Ketiga era kebangkitan
kembali
rasionalisme dan empirisme dan kombinasinya. Keempat, adalah
era
kesadaran dimana kita merasa perlu untuk menggali kembali
pemikiran-
pemikiran filosofis yang diharapkan akan memanusiakan
manusia.”10
Sedangkan menurut Auguste Comte, “Membagi perkembangan
masyarakat
dalam arti lembaga kemasyarakatan disesuaikan dengan tahap
9 Ibid. h. 32-39. 10A Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal
konsepsi pembangunan, organisasi, dan pendidikan
dalam prespektif Sains Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
2005), h. 2-3.
12
manusia yaitu tahap teologis, tahap metafisis, tahap positifistis.”
11
Jadi sebelum adanya hukum formal masyarakat desa atau adat
memakai hukum adat atau kebudayaan sebagai sumber hukum.
Keberadaan sumber daya alam dimaksud diyakini telah lahir
mendahului
negara, demikian pula masyarakat telah ada sebelum negara
berdiri.
Dengan demikian “potensi penggelolan sumber daya alam
berdasarkan
budaya lokal telah dilakukan oleh masyarakat sebelum negara
berdiri.”12
4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan
Pada penjelasan sebelumnya, salah satu potensi kearifan lokal
adalah
sebagai budaya itu dikarnakan kearifan lokal terjadi karna
adanya
kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam suatu kelompok
masyarakat.
Menurut Rusmin Tumanggor, kebudayaan adalah idea berupa
model-
model pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh
seseorang
sebagai anggota masyarakat melakukan aktifitas sosial, menciptakan
materi
kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu
pengetahuan,
teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,
serta
kesenian.13 Kebudayaan itu muncul atas adanya kesepakatan bersama
antar
individu dalam masyarakat tersebut. Kebudayaan menyangkut
keseluruhan
aspek kehidupan manusia baik material maupun non material.14
Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan
tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui
unsur
11Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja
Grafindo persas 2005), h. 349- 350.
12 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan lokal Revatalisasi Hukum Adat
Nusantara ,(Jakarta: Grasindo 2005), h. 2.
13 Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2015), h.25.
14 Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, h. 81.
13
dipisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia
itu
sendiri. Sekalipun manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang
dimilikinya
tidak akan mati dan akan diwariskan pada keturunannya,
demikian
seterusnya. Pewarisan kebudayaan manusia, tidak selalu terjadi
kepada
anak-cucu mereka, melainkan kepada manusia yang satu dapat
belajar
kebudayaan dari manusia lainnya atau dengan kata lain
kebudayaan
tersebut dapat dipelajari oleh manusia lain yang tidak memiliki
hubungan
kekerarabatan yang dekat dengan mereka atau tidak memiliki
hubungan
darah.
bersama antar individu dalam masyarakat sebagai proses adaptasi
terhadap
alam dan lingkungannya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka
untuk
dapat bertahan hidup.
5. Nilai-nilai Budaya
Karna itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan
berharga
(nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau
etis),
religious (nilai agama).16
tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi,
lingkungan
masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan
(believe),
simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan
satu dan
15 T.O Ihromi, pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1996), h.18. 16 Elly M. Setiadi, Op. Cit., h.
31.
14
lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan
terjadi
atau sedang terjadi.17
yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga
masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.18
Sekurang-kurangnya ada enam nilai budaya yang amat menentukan
wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun
sebagai
masyarakat, yaitu:
benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya
hingga
menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang
menjadi
konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
2) Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan
benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi
atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar
kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi
yang
senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan.
3) Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang
menakjubkan
dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
dedudukan dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia
mengenal nilai agama.
4) Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep
estetika
dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal
nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang
sama-sama
17 “Nilai-Nilai Budaya”, Diakses pada 14 Oktober 2015 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Nilai- nilai_budaya.
18 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI
Press, 1987), h.87.
15
kebudayaan.
5) Nilai kuasa. Manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai kuasa.
6) Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi
cinta,
persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain,
dan
merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilai solidaritas. 19
dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.20 Zulkarnain dan
Febriamansyah
menyatakan kearifan lokal berupa prinsip-prinsip dan cara-cara
tertentu
yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal
dalam
berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan
ditransformasikan
dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.21
Adat istiadat termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang
bersifat
abstrak, karena adat istiadat berisi gagasan, ide-ide atau
peraturan yang
dituangkan melalui tulisan, adat berfungsi untuk mengatur
mengendalikan
dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Berikut beberapa pengertian tentang adat-istiadat
dari
beberapa sumber:
19 Rusmin Tumanggor, Op.Cit, h. 142. 20 Departemen Sosial RI,
Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil, 2006.
21 Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. Kearifan Lokal dan
Pemanfaatan dan Pelestarian
Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan 1, 2008, h.
72.
16
Adat istiadat secara umum dapat dikatakan bahwa kata adat itu
berarti keseluruhan bentuk kelakuan (behavior) yang diwarisi
turun-menurun (tradition) oleh satu kumpulan. Kata istiadat dapat
diartikan sebagai kegunaan dan cara sesuatu adat itu dipakai. Jadi
secara singkat dapatlah kita simpulkan pengertian adat istiadat itu
sebagai bentuk keseluruhan bentuk kelakuan turun–menurun cara dan
kegunaannya pada satu kumpulan masyarakat.22
Dalam kamu besar bahasa Indonesia, adat istiadat diartikan sebagai
aturan tentang perbuatan atau kelakuan yang lazim diikuti atau
dilakukan sejak dahulu kala, yang sudah menjadi kebiasaan turun
menurun antar generasi sebagai warisan sehingga integrasinya dengan
pola perilaku masyarakat. Ada termasuk wujud gagasa kebudayaan yang
terdiri atas nilai nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu
dan yang lainya berkaitan menjadi satu sistem.23
Berdasarkan uraian di atas yang terkait dengan adat istiadat
adalah
nilai-nilai yang abstrak yang didalamnya mengandung nilai-nilai
yang
merupakan sumber hukum atau tata kelakuan yang dijalani
seseorang
dalam sebuah kesatuan hidup dalam kelompok masyarakat sama
seperti
kearifan lokal yang merupakan tata-cara perilaku dalam sebuah
kesatuan
kelompok masyarkat.
diketahui sebagai perilaku sosial masyarakat lokal dalam
berinteraksi dan
berinterelasi dengan kehidupannya. Perilaku sosial dalam kaitannya
dengan
lingkungan paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu: pertama,
bagaimana
karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku
social
22 Ikhtisar budaya ( Bandar Sri Begawan: Dewan bahasa dan kebudayan
kementian kebudayaan, 1976), h. 7.
23 Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka)
17
karakteristik dan kualitas lingkungan.24
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak
dan
bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang
tertentu.25
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tradisi merupakan
kebiasaan
kolektif dan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Tradisi
merupakan
mekanisme yang dapat membantu memperlancar perkembangan
pribadi
anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju
kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan
bersama
di dalam masyarakat. Jika tradisi bersifat absolut, nilainya
sebagai
pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi
sebagai
pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karna
itu,
tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita
sesuaikan
dengan zaman.26
pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan
telah
dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan
dan
tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal
berfungsi dan
bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam
dan
manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk
kehidupan.
25 Ridwan N,“Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, 2007,
http://ibda.files.wordpress.com /2008/04/2-
landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf. diakses 12 Januari 2016. 26
Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius,
1994), h.12-13.
yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta
dilestarikan sebagai
antitesis atau perubahan sosial budaya dan modernisasi. Kearifan
lokal
produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-menerus
dijadikan
pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang
terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk
sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis
dalam
arti luas.
tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut
dikembangkan
karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan
melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan
tata
nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan
kata
lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara
hidup
mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup
yang
mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat
melangsungkan
kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar
adalah
sebagai berikut :
2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
19
B. Ketahanan Pangan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu ketahanan pangan,
akan
diuraikan pengertian tentang pangan dan jenis-jenisnya serta akan
diuraikan
mengenai konsumsi pangan. Pangan merupakan kebutuhan utama
bagi
manusia. Di antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan
kebutuhan yang
harus dipenuhi agar kelangsungan hidup seseorang dapat terjamin.
Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang dulu hingga sekarang
masih
terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagia petani atau
bercocok
tanam. Luas lahan pertanianpun tidak diragukan lagi. Namun, dewasa
ini
Indonesia justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan di
mana yang
menjadi kebutuhan pokok semua orang. Menurut Peraturan
Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004, Pangan adalah segala
sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang
tidak diolah,
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan
makanan
atau minuman. Pangan dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu pangan
segar, pangan
olahan, dan pangan siap saji.
1) Pangan Segar
Misalnya beras, gandum, singkong, segala macam buah, ikan, air
segar.
27 Rohaedi Ayat, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius),
(Jakarta: Pustaka Jaya,1986).
20
diperuntukkan bagi kelomjpok tertentu dalam upaya memelihara
dan
meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.
3) Pangan Siap Saji
Pangan siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah diolah dan
bisa
langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas
dasar
pesanan.
Adapun tanaman pangan ialah semua jenis tanaman yang dapat
menghasilkan karbohidrat dan protein. Beberapa jenis tanaman yang
tergolong
sebagai tanaman pangan adalah: 1) Tanaman Umbi-Umbian (singkong,
talas,
ubi jalar, dll); 2) Tanaman Serealia (padi, gandum, jagung, dll);
3) Tanaman
Kacang-Kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dll).
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan
oleh
seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi
pangan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologik,
psikologik,
maupun sosial. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang
mencakup
jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per-orang per-hari yang
umum
dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu.
Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati
dan air baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai
makanan dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan
tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses
penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.28
28 Ditjen Bina kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat.,
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), (Jakarta : Depkes RI, 2004).
21
yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok
orang pada
waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang
penting
dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi.29
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan
adalah
faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif
mudah
diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada
golongan
miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi
konsumsi
pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang
tinggi
menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil
berkurang.
Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor
sosio-
budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan
dalam
masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan,
agama, adat,
kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu
masyarakat
mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan
makanan
yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi
seseorang
dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan
pangan,
pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya.30
Pangan atau makanan yang dikonsumsi pada dasarnya berfungsi
untuk
mempertahankan kehidupan manusia yaitu sebagai sumber energi
dan
pertumbuhan serta mengganti jaringan atau sel tubuh yang rusak.
Karna pangan
menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi.
Zat gizi
tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh
dan
membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.
Konsumsi
pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun
banyaknya
29 Hardinsyah,. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. (Bogor:
Pusat Antar Universitas. IPB, 1994)
30 Baliwati, Y. F, Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I, (Jakarta:
Penerbit Swadaya, 2004).
22
pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat
dan dari
negara ke negara.
maka penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui:
a. Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam
(SDA),
manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta
aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.
b. Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang
memadai
disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar
negeri.
Hal ini dilakukan agar ketersediaan pangan selalu tercukupi
untuk
kebutuhan masyarakat.
Ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan suatu keadaan
dimana pangan tersedia bagia setiap individu setiap saat dimana
saja baik
secara fisik, maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang menjadi
indikator
ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan,
stabilitas
ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi
setiap
individu untuk mendapatkan pangan.
merata, dan terjangkau.31
31 Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang : Pangan,
ews.kemendag.go.id diakses pada 14 Januari 2016
23
kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.32
Sumarwan mengatakan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya juga
membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi
kebutuhan
pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara lain tersedianya
pangan,
lapangan kerja dan pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan
apakah
suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat
memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya.33
Soekirman mengungkapkan bahwa cukup tidaknya persediaan
pangan
di pasar berpengaruh pada harga pangan. Kenaikan harga pangan
bagi
keluarga yang tidak bekerja atau yang bekerja tetapi penghasilannya
tidak
cukup, dapat mengancam kebutuhan gizinya yang berarti ketahanan
pangan
keluarganya terancam. Sebaliknya, persediaan cukup, harga stabil
tetapi
banyak penduduk tanpa kerja dan tanpa pendapatan, berarti tanpa
daya beli,
juga menyebabkan persediaan pangan itu tidak efektif. Karena
itu
pembangunan Sumber daya Manusia (SDM) akan mengatur
keseimbangan
dan keserasian antara kebijaksanaan sistem pangan (produksi,
distribusi,
pemasaran, dan konsumsi) dan kebijaksanaan di bidang sosial
seperti
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, gizi dan
lain-lain.34
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan
situasi
pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional,
regional
(daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu.35
32 “Ketahanan pangan”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan diakses pada 17
Desember 2016
33 Sumarwan, U. dan D. Sukandar, Identifikasi Indikator dan
Variabel serta Kelompok Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan Nasional,
(Bogor: Jurusan GMSK-Faperta IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan,
Departemen Pertanian R.I Widuri Press, 1998).
34 Soekirman, “Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan
Pelaksanaannya”, Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan
pangan Rumah Tangga, Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.
35 Suhardjo, “Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah
Tangga”. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah
tangga. Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.
24
terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk memenuhi
kebutuhan
gizi harian yang diperlukan agar dapat hidup dengan aktif dan
sehat.36
Sejalan dengan itu dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga)
komponen
penting pembentuk ketahanan pangan, yaitu produksi dan
ketersediaan
pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan
pangan.
Internasional Confrence in Nutrition (FAO/WHO) mendefenisikan
ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu
untuk
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup
sehat.
Sedangkan World Food Summit memeperluas defenisi FAO/WHO
dengan
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya
setempat.
World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses oleh
semua
orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan
yang
sehat dan aktif. Oxfam, ketahanan pangan adalah kondisi ketika:
“setiap
orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah
pangan
yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat.
FIVIMS
(Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping
Systems),
mendefinisikan ketahanan pangan merupakan kondisi ketika semua
orang
pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses
pada
pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences)
demi
kehidupan yang aktif dan sehat. Sejalan dengan itu, Hasil
Lokakarya
Ketahanan Pangan Nasional mendefenisikan ketahanan pangan
sebagai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah
tangga
36 Suryana A, Kapita Selecta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan
Pangan, (Yogyakarta :BPEE, 2003).
25
dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari
waktu
kewaktu agar dapat hidup sehat.
Sementara itu ketahanan pangan tingkat global, nasional,
regional,
komunitas lokal, rumah tangga dan individu merupakan suatu
rangkaian
sistem hierarkis. Lebih jauh mengungkapkan bahwa ketahanan
pangan
tingkat komunitas lokal merupakan syarat keharusan tetapi tidak
cukup
menjamin ketahanan pangan untuk seluruh rumah tangga.
Selanjutnya
ketahanan pangan tingkat regional merupakan syarat keharusan
bagi
ketahanan pangan tingkat komunitas lokal tetapi tidak cukup
menjamin
ketahanan pangan komunitas lokal. Pada akhirnya ketahanan pangan
tingkat
nasional tidak cukup menjamin terwujudnya ketahanan pangan bagi
semua
orang, setiap saat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan agar
dapat
hidup sehat dan produktif.37 Dalam hal ini ketahanan pangan rumah
tangga
tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu. Kaitan antara
ketahanan
pangan individu dan rumah tangga ditentukan oleh alokasi dan
pengolahan
pangan dalam rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga,
kondisi
kesehatan dan kebersihan lingkungan setempat. Selain itu faktor
tingkat
pendidikan suami-istri, budaya dan infrastruktur setempat juga
sangat
menentukan ketahanan pangan individu/rumah tangga.
Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan
pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat.
Penyediaan
pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dengan
memanfaatkan
pengalokasian sumber daya alam. Basis dari konsep ketahanan
pangan
nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama
di
perdesaan. Demikian pula sebaliknya, ketahanan pangan di tingkat
rumah
37 Simatupang, P, Toward Sustainable Food Security: The Need for A
New Paradigm in Simatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Economic
Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses, (Adelaide :
Centre for International Economic Studies, University of Adelaide
5005 Australia, 1999).
26
pangan regional dan di tingkat nasional.
Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa konsep dan
pengertian atau definisi ketahanan pangan sangat luas dan beragam.
Namun
demikian dari luas dan beragamnya konsep ketahanan pangan
tersebut
intinya adalah terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat manusia
secara
cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh
pangan dari
waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan
beraktivitas.
Terkait dengan konsep terjamin dan terpenuhinya kebutuhan pangan
bagi
setiap individu tersebut perlu pula diperhatikan aspek jumlah,
mutu,
keamanan pangan, budaya lokal serta kelestarian lingkungan dalam
proses
memproduksi dan mengakses pangan. Dalam perumusan kebijakan
maupun
kajian empiris ketahanan pangan, penerapan konsep ketahanan
pangan
tersebut perlu dikaitkan dengan rangkaian sistem hirarki sesuai
dimensi
sasaran mulai dari tingkat individu, rumah tangga,
masyarakat/komunitas,
regional, nasional maupun global.
ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan
dalam arti
luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan
dan
memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta
turunan,
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari
pencemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu,
merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama.
(3)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan
bahwa
distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap
saat dan
merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan
kondisi
27
harga yang terjangkau.
ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
a. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
b. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
c. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik
fisik,
ekonomi dan sosial
e. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Tujuan program ketahanan pangan adalah:
a. Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.
b. Mengembangkan kelembagaan pangan. .
c. Mengembangkan diversifikasi pangan
d. Meningkatnya ketersediaan pangan.
2. Sistem Ketahanan Pangan
Kecukupan (sufficiency), akses (access), keterjaminan (security),
dan
waktu (time).38 Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan
pangan
dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari
tiga
komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food
availability
dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility)
dan
pemanfaatan pangan.
28
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling
berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan
menyangkut
masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola
sedemikian
rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat
musiman,
terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi
keluarga
harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu
kewaktu.
Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya
memperlancar
proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta
stabilitas
harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses
masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat
wilayah,
belum menjamin kecukupan pangan bagi individu atau
masyarakatnya.
Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat
agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga
dapat
mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan
tingkat
kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat
gizi
yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia
yang
sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif. 39
Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka
ketahanan
pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan
kerawanan
pangan.40
diatasi dengan beberapa cara sebagai berikut :
39 Thaha R. Abd,dkk, Pangan Dan Gizi. (Bogor : Penerbit DPP Pergizi
Pangan Indonesia, 2002). 40 Suryana, A, Loc.Cit.
29
wilayah, dengan potensi yang dimanfaatkan secara optimal maka
dapat
membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan dan akhirnya dengan ekonomi yang baik
masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan pangannya.
2) Membuat lumbung hidup melalui gerakan 1 rumah 5 tanaman
berupa
tanaman sayur, singkong, jagung, dll, sehingga masing-masing
rumah
tangga dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya serta
memiliki
alternative pangan lainnya.
3) Mengurangi konsumsi beras, dalam satu keluarga kami himbau
untuk
mengurangi konsumsi beras 1 ons per hari dan diganti makanan
lain
pengganti beras yang apabila diasumsikan 1 kelurahan 3500 KK
maka
dalam satu hari kita mampu mengurangi 3500 ons beras dan apabila
ini
bisa diterapkan di seluruh wilayah, ketahanan pangan akan
terwujud
4) Mengenalkan makanan non beras sejak dini melalui keluarga,
dimana
setiap keluarga dihimbau untuk memasak masakan non beras
minimal
1 kali dalam seminggu. Tujuannya selain dalam rangka
ketahanan
pangan, juga mengenalkan makanan non beras kepada anak-anak
yang
sekarang mulai tidak mengenal makanan tradisional.
5) Pengembangan UKM dan ekonomi kreatif sebagai lapangan
pekerjaan
bagi masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada.
6) Melalui Celengan sedekah, celengan sedekah adalah gerakan
kemanusiaan yang dilakukan dengan cara membagi celengan
kepada
keluarga yang mampu, setelah 1 atau 2 bulan maka celengan
yang
30
keluarga-keluarga yang kurang mampu.41
dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan berbasis
pada
potensi, sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
3. Rawan pangan
memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan
berakvitas dengan baik. Rawan pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu
: (a)
rawan pangan kronis, yaitu ketidak cukupan pangan secara menetap
akibat
ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi
sendiri.
Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan
transien/
transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan
rumah
tangga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana
alam,
kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang
bersifat
mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan,
produksi,
atau pendapatan.42
Menurut Food An Agriculture Organization Of The United
Nations
(FAO) dan Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan,
maka
kondisi rawan pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah
tangga
masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi (penghasilannya
tidak
memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak memiliki akses
secara
41“Sistem Ketahanan Pangan”,
https://www.kompasiana.com/retnaningtyas/sistem-ketahanan-
pangan_58e59ef8729773d4094d19c5. Diakses pada 26 Desember
2017.
fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang normal,
sehat
dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.
Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan
gangguan kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan
dalam
keadaan yang paling fatal dan menyebabkan kematian.
Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila
gejala
gejala kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara
dini
diidentifikasi dan kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan
cepat
sesuai dengan kondisi yang ada.43
Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha
individu/rumah tangga untuk mengatasi kerawanan pangan.
1) Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan
gejala
kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu:
a. Terjadinya eksplosi hama dan penyakit pada tanaman;
b. Terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa
bumi,
gunung meletus, dan sebagainya;
d. Terjadinya penurunan persediaan bahan pangan setempat;
2) Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait akibat
rawan
pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ;
a. Bentuk tubuh individu kurus;
b. Ada penderita kurang kalori protein (KKP) atau kurang
makanan
(KM);
43 Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara, Analisis
Konsumsi Kebutuhan Pangan, http:/bpk.pertanian.go.id., 2005.
32
c. Terjadinya peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di
Balai
Kesehatan Puskesmas;
e. Peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan
dibawah
standar
mengatasi masalah rawan pangan yang meliputi;
a. Bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung
yang
sudah mulai makan sebagian masyarakat;
b. Peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset;
c. Peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak
dan
sebagainya);
Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli
dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu
individu
dan rumah tangga. Penyebab kelaparan seringkali bukan disebabkan
oleh
kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan
pangan karena kemiskinan. Kemiskinan membatasi akses terhadap
bahan
pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau
rumah
tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan. Kemampuan
akses
bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk
membeli
bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan
makanan
untuk dirinya sendiri. Rumah tangga dengan sumber daya yang
cukup
33
serta mampu mempertahankan akses kepada bahan pangan.
Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. 1)
Akses langsung, yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan
sendiri,
2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga membeli bahan pangan
yang
diproduksi di tempat lain. Lokasi dapat mempengaruhi akses kepada
bahan
pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah tangga tersebut
meski
demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan pangan tidak
selalu
menyebabkan seseorang membeli bahan pangan tersebut karena ada
faktor
selera dan budaya. Demografi dan tingkat edukasi suatu anggota
rumah
tangga juga gender menentukan keinginan memilih bahan pangan
yang
diinginkannya sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang
akan
dibeli.44
Untuk mendukung penelahaan yang lebih mendetail, penulis
berusaha
melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun hasil penelitian
yang
relevan dengan topik penulisan ini. Jurnal dan karya ilmiah yang
sebelumnya
pernah ditulis ditelusuri sebagai bahan perbandingan maupun rujukan
dalam
penulisan karya ilmiah ini, yakni :
1. Dalam jurnal berjudul Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya
Pangan
Lokal Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo, Penelitian ini
penulis
mengungkapkan perspektif budaya memandang makanan bukanlah
sesuatu yang dipandang semata-mata berhubungan dengan aspek
fisiologis dan biologis manusia melainkan secara menyeluruh
terserap
44 Nur Sagran, “Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia”,
http://www.academia.edu/20194304/Kondisi_Ketahanan_Pangan_Indonesia_saat_Ini,
diakses 22 Desember 2017.
dalamnya tersirat pemenuhan kebutuhan manusia, sosial, dan
budaya
dalam rangka melangsungkan kehidupan dan meningkatkan
kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Tradisi kuliner
berbasis
pangan lokal merupakan bentuk kearifan lokal sebagai gambaran
pola-
pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas
kolektifitas
dan representasi sosial budaya dalam mengkonsepkan makanan,
fungsi
sosial makanan.45
Mempertahankan Ketahanan Pangan (Studi Etnografi pada
Masyarakat
Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan,
Kota
Cimahi). Penelitian ini membahas tentang masyarakat kampung
Cireundeu yang mampu mempertahankan ketahanan pangannya
dengan
cara mengganti makanan pokok layaknya masyarakat Indonesia,
yaitu
beras menjadi singkong. Masyarakat kampung Cireundeu juga
mampu
melestarikan kearifan lokal daerah mereka dengan
mempertahankan
kebudayaan yang berasal dari nenek moyang mereka. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai
nilai-nilai
kearifan lokal dalam mempertahankan ketahanan pangan
masyarakat
kampung adat Cireundeu. Teori yang digunakan dalam penelitian
ini
adalah teori dari Ayatrohaendi mengenai kearifan lokal sedangkan
teori
mengenai ketahanan pangan diambil dari Peraturan Pemerintah No.
68
tahun 2002. Metode yang digunakan adalah metode Etnografi
kualitatif.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa bentuk kearifan lokal yang
ada
45 Amir Fadhilah. “ Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan
Lokal Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo”, Jurnal Al-Tur Vol.
XIX No. 1, Januari 2013, Fakultas Adab dan Humaniora & Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
35
aturan-aturan khusus, ketahanan pangan yang diperlihatkan
warga
Cireundeu kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan
maupun
diversifikasi pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan
Indonesia,
interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat
Cireundeu
berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang
sangat
nyaman, aman, dan damai, masyarakat dan kebudayaan Cireundeu
memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok dan upacara
satu
sura. Kesimpulan cara mempertankan pangan kampung adat
Cireundeu
ini menjadi ciri khas budaya, nilai-nilai budaya yang
terkandung
didalamnya menjadikan ini sebagai kearifan lokal Kampung Adat
Cireundeu.46
3. Dalam jurnal yang berjudul Kajian Kearifan Lokal Masyarakat
Adat
dalam Pengelolaan Hutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat
Adat
dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat
Kaitannya dengan Ketahanan Nasional, Penelitian ini berupaya
mendalami pola-pola adaptasi yang dikembangkan penduduk Pesisir
Krui
menanggapi tantangan/dilema dalam mempertahankan keserasian
dengan
lingkungan hidupnya dari perspektif ketahanan nasional. Penelitian
ini
adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa pola-pola adaptasi yang dikembangkan
masyarakat
dalam merespon keterbatasan lahan dan sumberdaya alam,
intervensi
ekonomi pasar, dan intervensi politik telah melemahkan kohesi
sosial dan
memicu munculnya gejala-gejala sosial yang mengarah pada konflik
dan
tindak kekerasan yang membahayakan stabilitas keamanan
sehingga
mengganggu ketahanan nasional. Penelitian menyarankan agar
kebijakan-
46 Rizka Nurdiani, “Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam
Mempertahankan Ketahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat
Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota
Cimahi)”. Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan),
Vol. I, No.2 (Agustus 2014).
36
ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat serta
tidak
bersifat represif dan diskriminatif. Selain itu, perlu upaya
penguatan
kelembagaan adat dan penciptaan diversifikasi lapangan pekerjaan
untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya
hutan.47
4. Dalam jurnal yang berjudul Kearifan lokal tentang mitigasi
bencana pada
masyarakat Baduy. Penelitian ini mengenai kearifan lokal
masyarakat
Baduy dalam pencegahan bencana. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui metode observasi
dan
wawancara mendalam, dan data diolah secara
deskriptif-analitik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan
pandangan
tradisional masyarakat Baduy yang diturunkan dari generasi ke
generasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang
selalu
melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma),
tidak
terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor di wilayah
Baduy; (2)
di wilayah Baduy banyak permukiman penduduk berdekatan dengan
sungai, tidak terjadi bencana banjir; (3) walaupun rumah dan
bangunan
masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu,
bambu,
rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan
(4)
wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa
bagian
Barat, tidak terjadi
5. kerusakan bangun an akibat bencana gempa. Kearifan lokal
dalam
mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Baduy sejatinya didasari
oleh
pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan
dalam
berpikir dan bertindak. Pikukuh merupakan dasar dari
pengetahuan
47 Friska Liberti, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Hutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat
Kaitannya dengan Ketahanan Nasional”,
:http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20329639&lokasi=lokal.
Di akses Oktober 2017.
37
bencana.48
bertujuan untuk menemukan “Model Pengembangan Ketahanan
Pangan
Berbasis Pisang dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Model
ini
dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan publik
dan
upaya edukasi dan advokasi publik dalam bidang pangan untuk
mendorong terwujudnya ketahanan pangan nasional. Berdasarkan
hasil
penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat keragaman profil
produksi
pisang, distribusi, konsumsi, dan peran kearifan lokal di
Kabupaten
Lumajang, Malang, dan Blitar, 2) Optimalisasi peran kearifan lokal
dapat
dijadikan fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan
pangan
berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan strategis
dalam
model pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui
revitalisasi nilai kearifan lokal dan penguatan kelembagaan
kelompok tani
adalah: a) kearifan lokal (penguatan penggunaan bahan pangan
berbasis
lokal, peran perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong
royong,
guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian ramah lingkungan,
pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis masyarakat)
dalam
pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui
revitalisasi
nilai kearifan lokal tersebut yang menjadi lokomotif
pengembangan
adalah kearifan lokal dan kelembagaan kelompok tani.49
48 Raden Cecep Eka Permana, dkk, “Kearifan Local Tentang Mitigasi
Bencana Pada Masyarakat Baduy”,
http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20322209&lokasi=lokal.
Di akses Oktober 2017.
49 Moch. Agus Krisno Budiyanto, “Model Pengembangan Ketahanan
Pangan Berbasis Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Loka".
Jurnal Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas
Muhammadiyah Malang, 2012.
sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal
juga
adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi
berbagai
tantangan yang dihadapi masyarakat. Kearifan lokal muncul juga
karna adanya
tradisi masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Kearifan lokal
berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian
sumber daya
alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat
untuk
kehidupan.
manusia secara cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk
memperoleh
pangan dari waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat
dan
beraktivitas. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja
dari suatu
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling
berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan
penyediaan pangan.
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
1. Tempat Penelitian
di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota
Cimahi,
Jawa Barat.
Tabel 3.1
Cimahi Selatan memiliki 1 tempat hiburan/rekreasi budaya.
Tempat
hiburan/rekreasi yang dimaksud di atas yaitu adalah kampung
adat
Cireundeu.
40
yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan
oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya.1
Populasi di kampung adat Cireundeu secara terstruktur dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu tokoh masyarakat contohnya ketua
adat,
ketua lingkungan misalnya ketua RT atau ketua PKK, dan
masyarakat
umum.
oleh populasi tersebut.2 Dalam penelitian ini populasi terdiri dari
tokoh
masyarakat dan masyarakat kampung adat Cireundeu.
Sample yang diambil oleh peneliti antara lain adalah ketua
adat,
ketua RT, ketua PKK, dan beberapa masyarakat kampung adat
Cireundeu.
metode metode penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam
penelitian.3
Berkaitan dengan hal itu, pada hakikatnya, penelitian merupakan
suatu
upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan
kebenaran.4 Selain itu, Mahsun juga mendefinisikan penelitian
sebagai
1 Sugiyono, Metode Penelitian pendidikan : Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan RnD, (Bandung : Alfabeta, 2012), h.15. 2 ibid 3
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 1996),h.4. 4 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 49.
suatu ikhtiar yang dilakukan manusia dalam upaya pemecahan
masalah
yang dihadapi.5 Namun dalam praktiknya, upaya untuk mencari
kebenaran
atau pemecahan masalah seperti yang disebutkan di atas dalam dunia
ilmiah
tidak begitu saja bisa dikatakan sebagai penelitian. Hal ini
sangat
bergantung pada jenis masalah yang ingin dicari jawabannya serta
prosedur
atau cara apa yang digunakan dalam pemecahan masalah
tersebut.6
Dalam sebuah penelitian yang ditempuh tentu terdapat tujuan
yang
ingin dicapai, untuk itulah dibutuhkan suatu pendekatan guna
mempermudah penelitian. Pendekatan yang digunakan oleh
seorang
peneliti akan menuntunnya pada metode apa yang harus digunakan,
tetapi
dalam pemilihannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti
jenis
data yang diteliti, serta paradigma yang menyertainya. Sehingga apa
yang
menjadi tujuan penelitian dapat tercapai.
Dalam hal penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode
kualitatif yaitu penelitian yang diarahkan untuk mengambil
fakta
berdasarkan fakta subjek penelitian mengetengahkan hasil penelitian
secara
rinci. Pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan lapangan
penelitian,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Emik dan
alasaan
digunakan pendekatan ini objek dan subjek yang berhubungan
dengan
fenomena kebudayaan tentang keberadaan kearifan lokal dari
kampung
Adat Cirendeu dan mengambarkan kearifan lokal berdasarkan pada
sudut
pandang partisipan (informan setempat).7 Kerangka teori yang
telah
dibangun menjadi pengarah agar hasil berdasarkan tujuan dalam
memperoleh data, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Jenis
penelitian deskriptif adalah jenis yang tujuanya memberikan
gambaran
yang jelas tentang karakteristik dari fenomena yang sedang
diteliti.
Fenomena yang diteliti adalah kearifan lokal di kampung adat
Cirendeu.
5 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 1. 6 Ibid. 7 Suwardi Endraswara, Metode Teori,
Teknik Penelitian Kebudayaan, Idiologi, Epistemologi,
dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widayatama, 2006). h. 56.
42
Sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang kearifan lokal
dan
adat istiadat dikaitkan dalam hubunganya dengan ketahanan
pangan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengambilan sample
dengan teknik purpose sampling, menurut Sugiyono purpose
sampling
adalah teknik untuk menentukan sample penelitian dengan
beberapa
pertimbangan tertentu yang bertujuan data yang diperoleh nantinya
bisa
lebih representatif.8 Teknik pengambilan sample ini memiliki
tujuan
tertentu. Artinya setiap sample yang diambil dari populasi dipilih
langsung
oleh peneliti karna tujuan dan pertimbangan tertentu. Misalnya
informan
yang dipilih oleh peneliti adalah orang-orang yang berhubungan
langsung
terhadap perjalanan tradisi pada masyarakat kampung adat
Cireundeu.
Dengan demikian maka peneliti dapat mendapatkan informasi yang
akurat
dan terpercaya dari informan yang dituju.
C. Langkah – Langkah Penelitian
ketua adat mengenai data yang diperlukan untuk penelitian,
menentukan
aspek kearifan lokal dan aspek ketahanan pangan yang digunakan,
dan
membuat instrumen penelitian berdasarkan aspek kearifan lokal
dan
aspek ketahanan pangan.
2. Tahap Pelaksanaan
1) Menemui ketua RT untuk diarahkan menemui ketua adat
2) Melakukan wawancara dengan ketua adat dan ketua RT
3) Ketua RT mengarahkan untuk mewawancarai ketua PKK kampung
adat Cireundeu
5) Pengamatan langsung kondisi geografis kampung adat
Cireundeu
3. Tahap penarikan Kesimpulan
sehingga dihasilkan kesimpulan berupa deskripsi kemampua
masyarakat
kampung adat Cireundeu dalam mempertahankan kebutuhan pangan
berdasarkan kearifan lokal yang ada.
D. Teknin Pengumpulan Data
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Teknik Observasi Partisipan
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat
terjadi
atau berlangsung-nya peristiwa. Selanjutnya penelitian ini juga
termasuk
ke dalam jenis teknik observasi langsung yaitu observasi yang
dilakukan dimana observer berada bersama objek yang diselidiki.9
Dalam
penelitian kebudayaan observasi yang digunakan adalah
observasi
partisipan. Observasi partisipan adalah bagian dari kerja
lapangan
budaya, sepenuhnya kegiatan ini dilakukan di lapangan budaya,
disertai
perangkat yang telah dipersiapkan. Cara ini merupakan langkah
penting
dalam kajian budaya. Observasi partisipan melibatkan
keikutsertaan
peneliti dengan individu yang diobservasi atau komunitas.
Peneliti
budaya akan membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran
peneliti
sehingga observasi dan proses pencatatan informasi mengenai
kehidupan
9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan,
(Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006), h.47.
44
Obervasi partisipan dilakukan dengan cara mengunjungi Kampung
Adat Cirendeu, Jawa Barat diantaranya pengamatan terhadap
keadaan
Lingkungan, Petani, Masyarakat, dan insitusi-insitusi bersangkutan
dan
mengikuti beberapa acara adat yang dilaksanakan. Observasi
digunakan
antara lain:
pengamatan secara langsung.
menganalisis data-data tersebut
Wawancara adalah, bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang
lainnya
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu.11 Sedangkan menurut pendapat lain wawancara, “adalah
suatu
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya
jawab sambil tatap muka antara si penanya dengan si penjawab
(informan) dengan menggunakan alat yang dinamakan interview
guide
(panduan wawancara).12
observasi (pengamatan). Melalui wawancara mendalam (indept
interview) menurut Bogdan dan Taylor peneliti akan membentuk
dua
macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substantif dan pertayanyaan
teoritik.
10 Suwandi, Op, Cit. 11 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), h.
180. 12 M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985), h. 234.
45
Selanjutnya peneliti melakukan pertemuan berulang-ulang
setelah
aktivitas budaya untuk melaksanakan wawancara guna memperoleh
data
aktivitas kultural, sosial, religious, dan lain-lain.13 Dan yang
dijadikan
sumber wawancara adalah segenap warga Kampung Adat Cirendeu
dan
sekitarnya.
data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat
kabar,
majalah, jurnal dan sebagainya.14 Teknik dokumentasi diperlukan
untuk
mengetahui arsip-arsip atau data-data monografi desa yang
berhubungan
erat dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini peneliti
menggunakan data-data mengenai kependudukan, luas wilayah dan
juga
struktur pemerintahan dan juga sosial ekonomi masyarakat
Kampung
Adat Cirendeu.
kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
Sedangkan
tehnik pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan delapan
cara
yaitu perpanjangan, keikutsertaan, ketekunan, keajegan
pengamatan,
triangulasi, pemeriksaan sejawat melakukan diskusi, analisis kasus
negatif,
pengecekan anggota, uraian rinci dan auditing. Berdasarkan teori
diatas,
penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai alat pengecekan
keabsahan
13 Suwandi, Op. Cit. h, 152. 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Untuk Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bumi Aksara,
2002), h. 236.
memanfaatkan sesuatu diluar data itu untuk keperluan pengecekan
atau
sebagai pembanding terhadap data. Secara singkat, macam-macam
tehnik
triangualsi adalah;
1. Triangulasi sumber data, yaitu menggunakan multi sumber data
untuk
membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu
informasi
yang diperoleh.
pengumpulan data untuk menggali data sejenis.
Maka sesuai dengan pengertian macam-macam triangulasi diatas,
peneliti menggunakan triangulasi metode, yaitu menggunakan
berbagai
macam metode pengumpulan data seperti: wawancara, observasi
dan
dokumentasi untuk menggali data yang sejenis. Untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini, data yang terkumpul akan
dianalisis
dengan analisis deskriptif, melalui proses pengumpulan data
secara
keseluruhan yang diperoleh setelah penelitian, yang kemudian data
tersebut
diklasifikasikan sesuai dengan hasil pengumpulan data sesudah
proses
penelitian, selanjutnya data tersebut diverifikasi yaitu penyahihan
atau
pembuktian kebenaran dari data yang diperoleh tersebut.
F. Analisis Data
Reduksi data dilakukan dengan membuat pengelompokan dan
abstraksi.
Analisis bersifat terbuka, open-ended, dan induktif. Jumlahnya
tersebut dan
yang kurang relevan patut direduksi. Maksudnya, analisis bersifat
longgar,
15 Lexy, Op. Cit h, 324
47
tidak kaku, dan tidak statis. Analis boleh berubah, kemudian
mengalami
perbaikan, dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk.
Analisis
juga tidak direncanakan terlebih dahulu.
Tahap-tahap analisis data dalam penelitian budaya meliputi:
open
coding, axial coding, dan selective coding. Pada tahap open coding
peneliti
berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya variasi data yang terkait
dengan
topik penelitian. Open coding meliputi proses memerinci (breaking
down),
memeriksa (examining), memper-bandingkan (comparing), dan
meng-
konseptualisasikan (concept-tualizing), dan mengkatagorikan
(categorizing)
data pada tahap axial coding hasil data yang diperoleh dari open
coding
diorganisir kembali berdasarkan katagori untuk dikembangkan
kearah
proposisi. Pada tahap ini dilakukan hubungan antar kategori.
Hubungan
tersebut dianalisis seperti model paradigma grounded theory menurut
Straus
dan Corbin yang meliputi kondisi penyebab fenomena konteks
kondisi
intervening strategi interaksi dan konsekuensi.
Tahap selanjutnya ialah selective coding tahapan ini peneliti
mengklasifikasikan proses pemeriksaan kategori inti kaitannya
dengan
kategori lainnya. Katagori inti ditemukan melalui perbandingan
hubungan
kategori dengan mengunakan model paradigma. Selanjutnya
memeriksa
hubungan kategori dan akhirnya menghasilkan simpulan yang
diangkat
menjadi general design. Tahapan ini akan memudahkan peneliti
untuk
memberi makna pada setiap kategori. Tiap kategori dapat ditafsirkan
dan
disimpulkan, agar diperoleh kejelasan pemahaman.16
16 Suwardi, Op.Cit, h, 174-175.
48
Cireundeu?
3. Dibagi menjadi berapa wilayah
kampung adat Cireundeu?
ini muncul?
Cireundeu?
Budaya
2. Siapa yang memulai tradisi-tradisi
disini?
4. Bagaimana peran tokoh
masyarakat/ketua adat untuk menjaga
yang khas disini?
untuk menyimpan hasil panen?
pangan habis?
dimanfaatkan untuk apa saja?
singkong?
Keterjaminan
pokok?
dapat dimanfaatkan selain singkong?
untuk panen?
50
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data observasi,
transkrip
wawancara dan data hasil dokumentasi. Analisis dilakukan data
observasi
dan dokumentasi dilakukan secara deskriptif berdasarkan data
temuan
peneliti yang didukung menggunakan hasil wawancara terkait
keadaan
umum kampung adat Cirendeu, Sejarah kampung adat Cirendeu dan
peranan warga adat dalam mempertahankan kearifan lokal budaya
nenek
moyang dalam menjaga ketahanan pangan.
1. Keadaan Umum Kampung Adat Cireundeu
Sejarah nama Cireundeu itu sendiri berasal dari nama “pohon
reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali
populasi
pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan
obat
herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu.
1
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah
Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun
secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi
Selatan,
Kota Cimahi. Hal istimewa dari kampung ini yaitu di mulut jalan
Desa
Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka “Wilujeng Sumping Di
Kampung Cireundeu” dengan arti selamat datang untuk para tamu
di
daerah Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu sendiri tidak
memposisikan desanya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW),
tetapi lebih fokus pada desa yang masih memelihara tradisi lama
yang
telah mengakar yang diwariskan oleh tetua adat dulu.
1 Jajat, Wawancara, Cireundeu Desember 2017
51
apapun filosopi kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka
wajib untuk dipertahankan.
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di
lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung
Gajahlangu, namun secara administratif Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Table 4.1
Leuwigajah memiliki jumlah penduduk 44.729 orang serta luas
lahan 393,47 ha dengan kepadatan 11.468,97. Di kampung adat
Cireundeu yang masih termasuk wilayah kelurahan Leuwigajah
memiliki jumlah penduduk yang terdiri dari 50 kepala keluarga
atau 800 jiwa, serta kampung adat Cireundeu memiliki luas 65
ha
terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 5 ha untuk pemukiman.2
2 ibid
Kelurahan Leuwigajah terdiri dari 20 RW dan 148 RT yang
terlihat pada tabel di atas. Salah satu kampung yang berada
di
wilayah kelurahan Leuwigajah tersebut adalah kampung
Cireundeu.
Kang Jajat mengatakan, “kampung adat Cireundeu terdiri dari 2
kampung yaitu kampung pojok dan kampung adat, yang terdiri dari 1
RW dan 5 RT, dengan rincian kampung adat Cireundeu itu terdapat 2
RT, sedangkan untuk kampung pojok terdapat 3 RT dan dari dua
kampung tersebut dipimpin oleh satu orang ketua rukun warga
(RW).”3
b. Peraturan Adat
moyang seperti dalam hal bercocok tanam pun mereka tidak
sembarangan.
Seperti yang diungkapkan oleh kang Jajat “kalo untuk mendapatkan
singkong itu kita tanem sendiri, jadi disini tuh ada tiga jenis
wilayah adat, yang pertama itu hutan larangan dan hutan tutupan,
keduanya ga boleh di pake berladang, tapi untuk hutan
3 Ibid
53
tutupan ini adalah sebagai salah satu lahan cadangan, tujuannya
kalo hutan baledahan ga bisa dipakai lagi buat tanem sesuatu, jadi