KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN (Studi Kasus : Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat ) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh MUHAMAD FADILAH NIM. 1112015000039 JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN
(Studi Kasus : Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
MUHAMAD FADILAH
NIM. 1112015000039
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Muhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 Kearifan Lokal Sebagai KetahananPangan (Studi kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Skripsi JurusanPendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuaikebiasaan yang dianut. Kebiasaan menyebabkan semakin beragam konsumsi jenismakanan pokok. Community-based food system (Sistem makanan pokok berbasiskomunias/masyarakat ) menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana merekadapat meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untukmemproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapatmenjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Penelitian inibertujuan untuk mendeskripsian kearifan lokal sebagai upaya mempertahankanketahanan pangan. Penelitian ini dilakukan di kampung adat Cireundeu,Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimai Selatan, Kota Cimahi. Pengambilansampel menggunakan teknik Pursposive Sampling. Metode yang digunakanadalah penelitian kualitatif dan pendekatan emik. Instruemen pengumpulan datayang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi partisipan dandokumentasi. Data hasil penelitian dianalisis melalui tiga tahapan yaitu opencoding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian ini menunjukan nilaiKearifan lokal di kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi singkong sebagaimakanan pokok bermanfaat sebagai bentuk upaya dalam meningkatkankesejahteraan pangan dan ketahanan pangan di masyarakat Masyarakat dankebudayaan Cireundeu memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok danupacara satu sura.
Kata Kunci : Kampung Adat Cireundeu, Kearifan Lokal, Ketahanan Pangan
ii
AbstractMuhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 The Local Wisdom As An Effort ToKeep The Food Security (Case Study : Cireundeu Village, Leuwigajah, SouthCimahi, Cimahi City, West Java). Thesis : Social Science Department, Facultyof Tarbiyah and Education, , Islamic State University Syarif HidayatullahJakarta.
Everyone or ethnic group had a differnt way to consume based food depend on theirhabit. This habit caused variety of based food. Community-based food system offer thepeople opportunity to increase daily income, life quality, product capacity and aopportunity to keep the food security. This study aims to find out the local wisdom aseffort to keep the food security in Cireundeu Village, Leuwigajah, Cimahi Selatan,Cimahi City. The sampling was done by purposive sampling technic. The methodused was qualitative research with Emik approach. The instrument used weredeep interiew, participan observation and docmentation. The data were analyzedby three stage that was open coding, axial coding, and selective coding. The resultshows that the local wisdom value in cireundeu village that consume cassava asbased food had benefit to increase prosperity and food security.Cireundeunesehave characteristic that are Rasi as based food and Satu Sura Ceremony.
Key word: Cireundeu Village, Local Wisdom, The Food Security
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil 'alamin segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada
Allah SWT. Karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Kearifan Lokal Sebagai Ketahanan
Pangan (Studi Kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Shalawat dan salam
senantiasa menyelimuti Rasulullah SAW tercinta beserta keluarga, sahabat dan
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi
strata satu (S1) untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) yang diajukan
kepada Fakultas Ilmut Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarya, dan untuk menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang penulis
peroleh selama kuliah
Selanjutnya dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat
perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan pelaksanaan ini. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Syaripulloh, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial.
4. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A. selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama mengikuti perkuliahan.
5. Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I Jurusan IPS
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.
iv
6. Dr. H. Nurochim, MM selaku Dosen Pembimbing II Jurusan IPS FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.
7. Seluruh Dosen yang berada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
khususnya Dosen Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial yang memiliki peran sangat
besar bagi saya dalam proses perkuliahan.
8. Seluruh staf Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
bekerja dengan baik melayani mahasiswa.
9. Abah Emen sebagai ketua adat serta seluruh masyarakat kampung adat
Cireundeu yang telah memberikan izin penelitian dan membantu peneliti
selama menjalankan penelitian ini.
10. Orang tua, Subandi dan Karyati yang penulis sangat cintai karna telah
membesarkan dan mendidik sampai saat ini.
11. Keluarga, Kholilah, Maisapri, Tina Hasanah, dan seluruh keluarga besar
penulis yang banyak membantu baik secara moril ataupun materil semasa
menjalani kuliah.
12. Dhuhana Putri Ramadhani, yang senantiasa memberikan motivasi, semangat,
do’a, serta selalu bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga urusan kita
diperlancar.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan, Ikhsan Tila Mahendra, Mega Dhaniswara A.,
Fikry Kautsar A., Sheila Muria P., Aida Sri Rahayu, Hanni Khairunisa,
Ardhana Erviani, Nita Chairunnisa, dan Nurits Nadia K. yang selalu
menemani serta saling mendukung penulis selama masa perkuliahan.
14. Afif NDS dan Zakiah Noor Nasution sahabat sejak masa MAN yang
mendukung penuh penulisan karya ilmiah ini.
15. Febriani Ramadhana teman yang selalu membantu dan memberi masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
16. Rizky Maulana, Amry Al Mursalaat, Maulana Yusuf, Abdurrohman, dan Nia
teman berbagi suka dan duka selama masa perkuliahan.
v
17. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
angkatan 2012 semoga kita dapat meraih kesuksesan kedepannya.
18. Rekan-rekan Guru SD Islam Al-Amjad, khususnya Dra. Hj. Nurlaelah
sebagai kepala SD Islam Al-Amjad yang selalu mendukung penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
19. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat dan
memberikan informasi relevan yang dibutuhkan juga sebagai bahan perbandingan
untuk pembuatan laporan kedepannya.
Tangerang Selatan, 22 Maret 2018
Penulis,
Muhamad Fadilah
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEM PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ……………………………………………………………………. i
ABSTRACT ………………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. … vi
DAFTAR TABEL .........................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Fokus Masalah ................................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah......................................................................... 5
D. Perumusan Masalah Penelitian ........................................................ 5
E. Tujuan Penelitian............................................................................. 5
F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Kearifan Lokal ................................................................................. 7
Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.
Pemenuhannya pun telah dijamin oleh negara dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28H ayat 1. Kebutuhan pangan dikatakan kebutuhan fundamental karena
jika tidak terpenuhi, maka kehidupan seseorang dapat dikatakan tidak layak.
Pemenuhan akan pangan sangat penting karena menentukan kualitas dari sumber
daya manusia.
Berdasarkan Undang-Undang No 18 tahun 2012, yang dimaksud dengan
ketahanan pangan adalah ”kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
Fokus dari ketahanan pangan ini tidak hanya penyediaan pangan tingkat
wilayah akan tetapi termasuk tingkat rumah tangga dan individu. Permasalahan
ketahanan pangan merupakan permasalahan yang multidimensi, meskipun tidak
ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan
pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada 3 dimensi yang
berbeda, namun saling berkaitan, yaitu: 1) Kesedian pangan; 2) akses pangan
oleh rumah tangga; dan 3) pemanfaatan pangan oleh individu
Hasil penelitian Somaratme di Srilanka menyatakan bahwa kerentanan dan
ketahanan pangan di masyarakat banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial,
budaya, dan lingkungan sosial. Hubungan sosial di antara masyarakat sering
2
memainkan peran kunci dalam menjaga ketahanan pangan. Berbagi makanan dan
tidak membiarkan orang lain kelaparan merupakan nilai budaya yang kuat dan
tumbuh dibanyak masyarakat. Aspek sosial tersebut harus dipertimbangkan
dalam pengukuran ketahanan pangan.
Selanjutnya, lingkungan sosial memberikan gambaran jelas tentang
perbedaan pola makan. Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan
makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Kebutuhan makan bukanlah satu-
satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, disamping itu ada kebutuhan
fisiologis, seperti pemenuhan gizi ikut mempengaruhi. Setiap strata atau
kelompok sosial masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam memperoleh,
menggunakan, dan menilai makanan yang merupakan ciri dari strata atau
kelompok sosial masing-masing.1 Hal ini menyebabkan semakin beragam
konsumsi jenis makanan pokok. Komunitas-komunitas di Indonesia telah
mengembangkan berbagai makanan pokok seperti sagu, jagung, ketela pohon,
dan ubi jalar. Berbagai jenis tanaman itu tumbuh dan tersedia sepanjang tahun di
berbagai keadaan lahan dan musim. Sejak dulu secara turun-temurun masyarakat
desa terbiasa memanfaatkan sumber-sumber pangan yang beragam itu sebagai
basis pemenuhan kebutuhan pangan pokok sehari-hari maupun sebagai camilan.
Keragaman pangan juga mengandung keragaman nutrisi, bahkan diantara
tanaman pangan itu berkhasiat obat. Sistem pangan lokal inilah yang menjadi
andalan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan mengatasi ancaman
dari bahaya kelaparan atau krisis pangan.2
Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang
sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas.
Sistem komunitas pangan (community based food systems) memiliki peran
1 Suhardjo, Sosio Budaya Gizi, (Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DirektoratJenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, 1989).
2 Witoro, “Menemukan kembali dan Memperkuat Sistem Pangan Lokal”, Makalah Lokakaryadisampaikan Pad Forum Pendamping Petani Regio Gedepahala, Kampung Pending, Sukabumi, 2-24September 2003.
3
penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan. Community based food
system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat
meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untuk
memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat
menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Salah satu
komunitas yang tetap melestarikan tradisi pangan berbasis pangan lokal adalah
kampung adat Cirendeu, kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan, kota
Cimahi, Jawa Barat. Komunitas ini memiliki tradisi mengkonsumsi singkong
sebagai makanan pokok. Tindakan sosial yang melandasi masyarakat Cireundeu
memilih singkong sebagai makanan pokok, pola tindakan sosialnya mengarah
kepada dua pola, yaitu tindakan sosial rasionalitas instrumental dan tindakan
sosial tradisional. Pola tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan
individu-individu di masyarakat yang diarahkan kepada suatu tujuan berdasarkan
kriteria tertentu dalam menentukan suatu pilihan.3 Dalam konteks ini tindakan
masyarakat kampung adat Cireundeu pada awalnya sebagai bentuk adaptasi
terhadap lingkungan geografis yang berbukit-bukit serta lahan kering, selain itu
untuk memenuhi sumber pangan singkong yang bisa dipanen dan mudah diolah.
Tipologi tindakan sosial kedua adalah tindakan tradisional, yaitu tindakan yang
dilakukan berulang-ulang dan telah berlangsung secara turun temurun.
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan
makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam
kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya
bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik.4
3 Amir Fadhilah & Badri Yatim, “Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Ketahanan PanganMasyarakat : Studi Kasus pada Masyarakat Kp. Cireundeu Kelurahan Leuwi Gajah Kecamatan CimahiSelatan Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat, Desa Molamahu Kecamatan Pulubala Kabupaten GorontaloProvinsi Gorontalo , Komunitas Baduy Desa Kenekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten LebakProvinsi Banten”, Laporan Penelitian Kompetitif, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SyarifHidayatullah Jakarta,2009).
4 Sediaoetama AD., Imu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II, (Jakarta : DianRakyat,1999).
4
Makanan tidaklah semata-mata sebagai produk organik hidup dengan kualitas
biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya
terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya.
Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar
di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh
disantap dan makanan yang tidak boleh disantap.5 “Ijin” tersebut menjadi
semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan
yang sifatnya normatif. Masyarakat akan patuh terhadap hal itu. Munculnya
pandangan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh disantap menimbulkan
kategori “bukan makanan” bagi makanan yang tidak boleh disantap.
Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara nutrimen
(nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah konsep biokimia yaitu zat
yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang
memakannya. Sedang makanan (food) adalah konsep budaya, suatu pernyataan
yang berada pada masyarakat tentang makanan yang dianggap boleh dimakan
dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan sebagai makanan.6
Kategori terhadap makanan yang muncul adalah makanan yang boleh dimakan
dan makanan yang tidak boleh dimakan. Kategori tersebut berasal dari latar
belakang budaya masyarakat yang mengijinkan orang untuk memakan makanan
tertentu. Latar belakang budaya dapat berasal dari pandangan tradisional atau
adat istiadat, pandangan hidup (way of life) ataupun agama. Memakan makanan
yang diijinkan berarti patuh dan taat pada norma budaya yang ada, tetapi
sekaligus membawa “keselamatan” bagi dirinya agar tidak berada pada jalan
sesat atau melakukan pelanggaran. Makanan yang tidak boleh dimakan berarti
makanan tersebut dianggap sebagai makanan yang tidak sepatutnya dimakan
5 Irmayanti Meliono Budianto, “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan dan Dampaknya padaMasyarakat”, Jurnal Makara sosial Humaniora, Vol. 8 No. 2, Agustus 2004, Fakultas IlmuPengetahuan Budaya UI.
6 Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan, Penerjemah PriyantiPakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, (Jakarta: UI Press,1986).
5
(haram) karena tidak dijinkan oleh norma budaya yang ada dan agama. Orang
akan tidak bahagia atau keselamatan terancam karena memakan makanan yang
seharusnya tidak boleh dimakan.
Mengacu pada pemikiran di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat lebih
jauh mengenai kearifan lokal yang mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat
di Kampung Adat Cirendeu, dengan judul: ”Kearifan Lokal sebagai
Ketahanan Pangan”. Adapun kajian ini adalah : (1). untuk memahami konsep
kearifan lokal dan relevensinya dalam membentuk budaya pangan lokal
masyarakat pedesaan di Indonesia (kasus Desa Cirendeu). (2). Untuk membahas
peran dan fungsi kearifan lokal dalam membentuk budaya pangan lokal.
B. Fokus Masalah
1. Kearifan lokal sebagai salah satu faktor ketahanan pangan
2. Upaya tokoh masyarakat dan warga mempertahankan kearifan lokal
3. Nasi singkong sebagai makanan pokok
C. Pembatasan Masalah
Nasi singkong sebagai salah satu kearifan lokal dalam ketahanan pangan
D. Rumusan Masalah
Bagaimana masyarakat memanfaatkan kearifan lokal untuk mempertahankan
kebutuhan pangan?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peran warga dan tokoh masyarakat dalam mempertahankan
kearifan lokal
6
2. Mengapa singkong yang dijadikan makanan pokok sebagai pengganti nasi
F. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
a. Bagi para akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
referensi atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan tentang
kearifan lokal yang ada di Indonesia.
b. Bagi peneliti lebih lanjut, dapat dijadikan referensi dalam mengembang-
kan budaya masyarakat suatu daerah untuk masyarakat lain.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan alternatif lain sebagai
pengganti nasi sebagai makanan pokok.
b. Bagi pemerintah diharapkan dapat menjadikan masukan dalam menjaga
ketahanan pangan di Indonesia.
7
7
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Kearifan Lokal
1. Pengertian kearifan lokal
Berbicara mengenai kearifan lokal, banyak sekali definisi dari
berbagai sumber dan para ahli serta memiliki prespektif yang berbeda.
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan lokal, kearifan
sepadan dengan kebijaksanaan, seperti halnya seorang filsuf yang
mencintai kebijaksanaan, sedangkan istilah lokal berarti setempat, istilah
menunjuk kepada kekhususan tempat atau kewilayahan karena itu kearifan
lokal dapat dipahami sebagai kebijakan setempat dalam masyarakat
multikultural, masing-masing kelompok mempunyai kebenaran masing-
masing karena itu, kita lihat bahwa kearifan lokal itu akan bersifat relatif
terhadap kearifan lokal lainnya.1
Kearifan lokal merupakan gagasan konseptual yang mengandung
nilai-nilai yang dimiliki komunitas masyarakat tertentu. Sejalan dengan itu,
Haidlor mengatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai suatu
budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang
berulang ulang, melalui internalisasi dan interpretasi melalui ajaran agama
dan budaya yang sosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan
pedoman dalam kehidupan masyarakat. 2 Sedangkan menurut Caroline
Nyamai-Kisia, “kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang
1 Mikka Wildha Nurochsyam, Tradisi Pasola antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”. DalamAde Makmur, (ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, (Jakarta:Kementrian Kebudayaan DanPariwisata Republik Indonesia, 2011), h.86.
2 Haidlor, “Kearifan Lokal Sebagai Landasan Pembangunan Bangsa”, Jurnal Multicultural danMultireligius, Vol 9 2010, h.5.
8
diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi
tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan
budaya sekitarnya”.3
Dalam hal ini, Suhartini mengatakan bahwa kearifan lokal
merupakan warisan-warisan nenek moyang dalam tata nilai kehidupan
yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Kearifan lokal
juga adalah proses adaptif keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap
lingkungan yang ada di masyarakat yang diwariskan secara turun menurun
dan menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam dan
lingkunganya, yang diketahui sebagai kearifan lokal, suatu masyarakat.
Dan melalui, “keraifan lokal ini masyarakat bisa mampu bertahan mampu
menghadapi berbagai krisis yang menimpanya.”4 Selain itu, Suhartini pun
mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat
(lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.5
Menurut Permana Kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap
situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.6
3 Pasopati Media Group Bondowoso, “Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia”,,(www.passopatifm.com), 2013.
4 Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Penggelolan Sumber Alam danLingkungan,” Makalah disampaikan pada Seminar, Pendidikan dan Penerapan MIPA, FMIPAUniversitas Negeri (Yogyakarta, Yogyakarta, 16 Mei 2009).
5 Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat”. Jurnal Filsafat, 2004. h,111.
6 Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengatasi Bencana, (Jakarta:Wedatama Widia Sastra, 2010).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti
kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam
berinteraksi. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau
pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda
dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang
mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal.7
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa kearifan
lokal juga disebut juga proses adaptif, terhadap lingkungan dan
sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal juga
adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi
berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat .
2. Potensi keungulan Kearifan Lokal
Potensi keungulan kearifan lokal diinspirasi dari berbagai sumber
yang dimiliki setiap kelompok-kelompok masyarakat tertentu, hal-hal
tersebutlah yang menjadi adanya sebuah keungulan yang dimiliki
kelompok tertentu sesuai dengan daerah masing-masing. Menurut,
“Akhmad Sudrajat, konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasi
dari berbagai potensi, “yaitu potensi sumber daya alam (SDA), sumber
daya manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis.”8 Berikut adalah
penjelasan beberapa jenis potensi:
a. Potensi Sumber daya alam, adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan hidup, contohnya bidang pertanian ialah padi, jagung,
buah-buahan, sayuran-sayuran, dan lain sebagainya; bidang
7 MuinFahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam MewujudkanPemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006).
8 Jamal Ma’ mur Asmani, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, (Jakarta: DIVA Press, 2012), h.32-39.
10
perkebunan, seperti karet, tebu, tembakau, sawit, cokelat dan lain-lain;
bidang perternakan misalnya unggas, kambing, sapi, dan lain
sebagainya. bidang perikanan, seperti ikan laut dan tawar, rumput laut,
tambak, dan lain-lain.
b. Potensi Sumber daya manusia. Sumber daya manusia, didefinsikan
sebagai manusia dengan segenap potensi yang dapat dimanfaatkan dan
di kembangkan menjadi mahluk sosial yang adaptif dan transformatif,
serta mampu mendayagunakan potensi alam sekitarnya secara
seimbangan dan berkesinambungan, pengertian adaptif artinya mampu
menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK, dan
perubahan sosial budaya. Bangsa Jepang, karena biasa diguncang
gempa, sehigga cara hidup dan sistem arsitektur yang dipilih
diadaptasikan dari resiko menghadapi gempa, keraifan lokal semacam
ini juga dipunyai di berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan
tranformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan, serta dari
kontak sosialnya dan dengan fenomena alam, bagi kemasalahatan
dirinya dimasa depan, sehingga yang berkembang berkesinambungan.
c. Potensi Geografis. Tidak semua objek geografi menjadi dan fenomena
geografis berkaitan dengan konsep keunggulan kearifan lokal, sebab,
keunggulan lokal dicirikan nilai guna fenomena geografis bagi
penghidupan dan kehidupan yang memiliki, dampak ekonomis, dan
pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya
angin yang merupakan cuaca dan iklim sebagai fenomena geografis di
atmosfer.
d. Potensi budaya. Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah
kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik,
masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme, yang
pada hakikatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri
11
khas budaya masing-masing daerah tertentu berbeda dengan daerah
lain merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga
menjadi keunggulan lokal.
e. Potensi Historis. Keunggulan lokal dalam konsep historis merupakan
potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala
maupun tradisi adat istiadat yang masih dilestarikan hingga saat ini.9
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kelima potensi di atas
menjadi sumber utama dalam menentukan keunggulan lokal yang di
miliki setiap komunitas-komunitas tertentu sesuai dengan daerahnya
masing-masing.
3. Kearifan Lokal Sebagai Sumber Hukum
Sebelum adanya hukum negara dengan segala perangkatnya.
Masyarakat melewati beberapa fase yang merupakan juga sebuah fase
berlakunya hukum-hukum sebelumnya, baik sebagai sumber hukum dalam
bermasyarakat ataupun untuk pribadi. Menulusuri sejarah peradaban
manusia membawa kita kepada empat era, “yang pertama merupakan
zaman kebangkitan logos yang meninggalkan takhayul dan mistisme,
Kedua zaman medieval yang di dominasi oleh gereja, dimana akal
dijadikan budak perempuan keimanan, Ketiga era kebangkitan kembali
rasionalisme dan empirisme dan kombinasinya. Keempat, adalah era
kesadaran dimana kita merasa perlu untuk menggali kembali pemikiran-
pemikiran filosofis yang diharapkan akan memanusiakan manusia.”10
Sedangkan menurut Auguste Comte, “Membagi perkembangan masyarakat
dalam arti lembaga kemasyarakatan disesuaikan dengan tahap
9 Ibid. h. 32-39.10A Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal konsepsi pembangunan, organisasi, dan pendidikan
dalam prespektif Sains Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2005), h. 2-3.
12
perkembangan manusia sesuai dengan tahap-tahap perkembangan pikiran
manusia yaitu tahap teologis, tahap metafisis, tahap positifistis.” 11
Jadi sebelum adanya hukum formal masyarakat desa atau adat
memakai hukum adat atau kebudayaan sebagai sumber hukum.
Keberadaan sumber daya alam dimaksud diyakini telah lahir mendahului
negara, demikian pula masyarakat telah ada sebelum negara berdiri.
Dengan demikian “potensi penggelolan sumber daya alam berdasarkan
budaya lokal telah dilakukan oleh masyarakat sebelum negara berdiri.”12
4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan
Pada penjelasan sebelumnya, salah satu potensi kearifan lokal adalah
sebagai budaya itu dikarnakan kearifan lokal terjadi karna adanya
kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat.
Menurut Rusmin Tumanggor, kebudayaan adalah idea berupa model-
model pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat melakukan aktifitas sosial, menciptakan materi
kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta
kesenian.13 Kebudayaan itu muncul atas adanya kesepakatan bersama antar
individu dalam masyarakat tersebut. Kebudayaan menyangkut keseluruhan
aspek kehidupan manusia baik material maupun non material.14
Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan
tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur
11Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo persas 2005), h. 349-350.
12 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan lokal Revatalisasi Hukum Adat Nusantara ,(Jakarta:Grasindo 2005), h. 2.
13 Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Prenada Media Grup, 2015),h.25.
14 Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, h. 81.
13
genetis.15 Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu
sendiri. Sekalipun manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya
tidak akan mati dan akan diwariskan pada keturunannya, demikian
seterusnya. Pewarisan kebudayaan manusia, tidak selalu terjadi kepada
anak-cucu mereka, melainkan kepada manusia yang satu dapat belajar
kebudayaan dari manusia lainnya atau dengan kata lain kebudayaan
tersebut dapat dipelajari oleh manusia lain yang tidak memiliki hubungan
kekerarabatan yang dekat dengan mereka atau tidak memiliki hubungan
darah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari kesepakatan
bersama antar individu dalam masyarakat sebagai proses adaptasi terhadap
alam dan lingkungannya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka untuk
dapat bertahan hidup.
5. Nilai-nilai Budaya
Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan
dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat.
Karna itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga
(nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis),
religious (nilai agama).16
Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan
tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan
masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe),
simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan
15 T.O Ihromi, pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), h.18.16 Elly M. Setiadi, Op. Cit., h. 31.
14
lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi
atau sedang terjadi.17
Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.18
Sekurang-kurangnya ada enam nilai budaya yang amat menentukan
wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai
masyarakat, yaitu:
1) Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas
benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
2) Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar
kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang
senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan.
3) Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
dedudukan dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia
mengenal nilai agama.
4) Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika
dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal
nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama
17 “Nilai-Nilai Budaya”, Diakses pada 14 Oktober 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-nilai_budaya.
18 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), h.87.
15
menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari
kebudayaan.
5) Nilai kuasa. Manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai kuasa.
6) Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,
persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan
merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilai solidaritas. 19
Selanjutnya kearifan lokal pun diartikan sebagai pandangan hidup
dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.20 Zulkarnain dan Febriamansyah
menyatakan kearifan lokal berupa prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu
yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam
berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan
dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.21
Adat istiadat termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang bersifat
abstrak, karena adat istiadat berisi gagasan, ide-ide atau peraturan yang
dituangkan melalui tulisan, adat berfungsi untuk mengatur mengendalikan
dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Berikut beberapa pengertian tentang adat-istiadat dari
beberapa sumber:
19 Rusmin Tumanggor, Op.Cit, h. 142.20 Departemen Sosial RI, Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil, 2006.21 Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian
Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan 1, 2008, h. 72.
16
Adat istiadat secara umum dapat dikatakan bahwa kata adat itu berartikeseluruhan bentuk kelakuan (behavior) yang diwarisi turun-menurun(tradition) oleh satu kumpulan. Kata istiadat dapat diartikan sebagaikegunaan dan cara sesuatu adat itu dipakai. Jadi secara singkat dapatlahkita simpulkan pengertian adat istiadat itu sebagai bentuk keseluruhanbentuk kelakuan turun–menurun cara dan kegunaannya pada satukumpulan masyarakat.22
Dalam kamu besar bahasa Indonesia, adat istiadat diartikan sebagai aturantentang perbuatan atau kelakuan yang lazim diikuti atau dilakukan sejakdahulu kala, yang sudah menjadi kebiasaan turun menurun antar generasisebagai warisan sehingga integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Adatermasuk wujud gagasa kebudayaan yang terdiri atas nilai nilai budaya,norma, hukum, dan aturan yang satu dan yang lainya berkaitan menjadi satusistem.23
Berdasarkan uraian di atas yang terkait dengan adat istiadat adalah
nilai-nilai yang abstrak yang didalamnya mengandung nilai-nilai yang
merupakan sumber hukum atau tata kelakuan yang dijalani seseorang
dalam sebuah kesatuan hidup dalam kelompok masyarakat sama seperti
kearifan lokal yang merupakan tata-cara perilaku dalam sebuah kesatuan
kelompok masyarkat.
Kearifan lokal atau Local Wisdom, merupakan sesuatu yang
diketahui sebagai perilaku sosial masyarakat lokal dalam berinteraksi dan
berinterelasi dengan kehidupannya. Perilaku sosial dalam kaitannya dengan
lingkungan paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu: pertama, bagaimana
karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku social
22 Ikhtisar budaya ( Bandar Sri Begawan: Dewan bahasa dan kebudayan kementian kebudayaan,1976), h. 7.
23 Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka)
17
tertentu, dan kedua, bagaimana perilaku sosial tertentu mempengaruhi
karakteristik dan kualitas lingkungan.24
Ridwan mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu.25
Kearifan lokal muncul juga karna adanya tradisi masyarakat yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tradisi merupakan kebiasaan
kolektif dan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Tradisi merupakan
mekanisme yang dapat membantu memperlancar perkembangan pribadi
anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju
kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama
di dalam masyarakat. Jika tradisi bersifat absolut, nilainya sebagai
pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai
pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karna itu,
tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan
dengan zaman.26
Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan
pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah
dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan
tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan
bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan
manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk
kehidupan.
24 Usman, S, “Sosiologi Lingkungan. Pembahasan Tentang Lingkungan dan PerilakuSosial”,1995,” Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan).http://iep.pasca.unand.ac.id/id/images/download/Jurnal/JAK/artikel diakses pada 12 Januari 2016
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh
seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologik, psikologik,
maupun sosial. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup
jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per-orang per-hari yang umum
dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu.
Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.28
28 Ditjen Bina kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat., Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi),(Jakarta : Depkes RI, 2004).
21
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada
waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting
dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi.29
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah
diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan
miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi
pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi
menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang.
Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosio-
budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan dalam
masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan, agama, adat,
kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu masyarakat
mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan
yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang
dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan,
pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya.30
Pangan atau makanan yang dikonsumsi pada dasarnya berfungsi untuk
mempertahankan kehidupan manusia yaitu sebagai sumber energi dan
pertumbuhan serta mengganti jaringan atau sel tubuh yang rusak. Karna pangan
menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi. Zat gizi
tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan
membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh. Konsumsi
pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya
29 Hardinsyah,. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. (Bogor: Pusat Antar Universitas.IPB, 1994)
30 Baliwati, Y. F, Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I, (Jakarta: Penerbit Swadaya, 2004).
22
pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari
negara ke negara.
Untuk memenuhi konsumsi pangan yang sesuai dengan keadaan masyarakat,
maka penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui:
a. Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA),
manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta
aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.
b. Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai
disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.
Hal ini dilakukan agar ketersediaan pangan selalu tercukupi untuk
kebutuhan masyarakat.
1. Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan suatu keadaan
dimana pangan tersedia bagia setiap individu setiap saat dimana saja baik
secara fisik, maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang menjadi indikator
ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan, stabilitas
ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi setiap
individu untuk mendapatkan pangan.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996, ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlahnya maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau.31
Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan
seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan
31 Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang : Pangan, ews.kemendag.go.id diakses pada 14Januari 2016
23
memiliki ketahanan panganjika penghuninya tidak berada dalam kondisi
kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.32
Sumarwan mengatakan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya juga
membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi kebutuhan
pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara lain tersedianya pangan,
lapangan kerja dan pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan apakah
suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya.33
Soekirman mengungkapkan bahwa cukup tidaknya persediaan pangan
di pasar berpengaruh pada harga pangan. Kenaikan harga pangan bagi
keluarga yang tidak bekerja atau yang bekerja tetapi penghasilannya tidak
cukup, dapat mengancam kebutuhan gizinya yang berarti ketahanan pangan
keluarganya terancam. Sebaliknya, persediaan cukup, harga stabil tetapi
banyak penduduk tanpa kerja dan tanpa pendapatan, berarti tanpa daya beli,
juga menyebabkan persediaan pangan itu tidak efektif. Karena itu
pembangunan Sumber daya Manusia (SDM) akan mengatur keseimbangan
dan keserasian antara kebijaksanaan sistem pangan (produksi, distribusi,
pemasaran, dan konsumsi) dan kebijaksanaan di bidang sosial seperti
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, gizi dan lain-lain.34
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi
pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional
(daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu.35
32 “Ketahanan pangan”, https://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan diakses pada 17 Desember2016
33 Sumarwan, U. dan D. Sukandar, Identifikasi Indikator dan Variabel serta Kelompok Sasaran danWilayah Rawan Pangan Nasional, (Bogor: Jurusan GMSK-Faperta IPB, UNICEF dan BiroPerencanaan, Departemen Pertanian R.I Widuri Press, 1998).
34 Soekirman, “Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya”, Makalahdisampaikan pada Lokakarya Ketahanan pangan Rumah Tangga, Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.
35 Suhardjo, “Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga”. Makalahdisampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.
24
Ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi di mana setiap orang
sepanjang waktu memiliki akses, baik secara fisik maupun ekonomis,
terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk memenuhi kebutuhan
gizi harian yang diperlukan agar dapat hidup dengan aktif dan sehat.36
Sejalan dengan itu dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga) komponen
penting pembentuk ketahanan pangan, yaitu produksi dan ketersediaan
pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan.
Internasional Confrence in Nutrition (FAO/WHO) mendefenisikan
ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.
Sedangkan World Food Summit memeperluas defenisi FAO/WHO dengan
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.
World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses oleh semua
orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang
sehat dan aktif. Oxfam, ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap
orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan
yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. FIVIMS
(Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems),
mendefinisikan ketahanan pangan merupakan kondisi ketika semua orang
pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada
pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi
kehidupan yang aktif dan sehat. Sejalan dengan itu, Hasil Lokakarya
Ketahanan Pangan Nasional mendefenisikan ketahanan pangan sebagai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga
Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan
pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan
pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dengan memanfaatkan
pengalokasian sumber daya alam. Basis dari konsep ketahanan pangan
nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di
perdesaan. Demikian pula sebaliknya, ketahanan pangan di tingkat rumah
37 Simatupang, P, Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm inSimatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses,(Adelaide : Centre for International Economic Studies, University of Adelaide 5005 Australia, 1999).
26
tangga merupakan prakondisi sangat penting untuk memupuk ketahanan
pangan regional dan di tingkat nasional.
Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa konsep dan
pengertian atau definisi ketahanan pangan sangat luas dan beragam. Namun
demikian dari luas dan beragamnya konsep ketahanan pangan tersebut
intinya adalah terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat manusia secara
cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh pangan dari
waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan beraktivitas.
Terkait dengan konsep terjamin dan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
setiap individu tersebut perlu pula diperhatikan aspek jumlah, mutu,
keamanan pangan, budaya lokal serta kelestarian lingkungan dalam proses
memproduksi dan mengakses pangan. Dalam perumusan kebijakan maupun
kajian empiris ketahanan pangan, penerapan konsep ketahanan pangan
tersebut perlu dikaitkan dengan rangkaian sistem hirarki sesuai dimensi
sasaran mulai dari tingkat individu, rumah tangga, masyarakat/komunitas,
regional, nasional maupun global.
Mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai
pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi
ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti
luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan
memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan,
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa
distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan
merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi
27
terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan
harga yang terjangkau.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
a. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
b. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
c. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,
ekonomi dan sosial
d. Berorientasi pada pemenuhan gizi
e. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Tujuan program ketahanan pangan adalah:
a. Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.
b. Mengembangkan kelembagaan pangan. .
c. Mengembangkan diversifikasi pangan
d. Meningkatnya ketersediaan pangan.
2. Sistem Ketahanan Pangan
Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu
Kecukupan (sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan
waktu (time).38 Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan
dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga
komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability
dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan
pemanfaatan pangan.
38 Baliwati, Y. F. Loc. Cit.
28
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
dalam suatu sistem budaya pangan. Sistem budaya pangan (makanan)
mencakup kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi makanan yang di
dalamnya tersirat pemenuhan kebutuhan manusia, sosial, dan budaya
dalam rangka melangsungkan kehidupan dan meningkatkan
kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Tradisi kuliner berbasis
pangan lokal merupakan bentuk kearifan lokal sebagai gambaran pola-
pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas kolektifitas
dan representasi sosial budaya dalam mengkonsepkan makanan, fungsi
sosial makanan.45
2. Dalam jurnal berjudul Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam
Mempertahankan Ketahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat
Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota
Cimahi). Penelitian ini membahas tentang masyarakat kampung
Cireundeu yang mampu mempertahankan ketahanan pangannya dengan
cara mengganti makanan pokok layaknya masyarakat Indonesia, yaitu
beras menjadi singkong. Masyarakat kampung Cireundeu juga mampu
melestarikan kearifan lokal daerah mereka dengan mempertahankan
kebudayaan yang berasal dari nenek moyang mereka. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai nilai-nilai
kearifan lokal dalam mempertahankan ketahanan pangan masyarakat
kampung adat Cireundeu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori dari Ayatrohaendi mengenai kearifan lokal sedangkan teori
mengenai ketahanan pangan diambil dari Peraturan Pemerintah No. 68
tahun 2002. Metode yang digunakan adalah metode Etnografi kualitatif.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa bentuk kearifan lokal yang ada
45 Amir Fadhilah. “ Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan Lokal Komunitas MolamahuPulubala Gorontalo”, Jurnal Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, Januari 2013, Fakultas Adab dan Humaniora& Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
35
dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, sanksi, dan
aturan-aturan khusus, ketahanan pangan yang diperlihatkan warga
Cireundeu kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan maupun
diversifikasi pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia,
interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat Cireundeu
berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang sangat
nyaman, aman, dan damai, masyarakat dan kebudayaan Cireundeu
memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok dan upacara satu
sura. Kesimpulan cara mempertankan pangan kampung adat Cireundeu
ini menjadi ciri khas budaya, nilai-nilai budaya yang terkandung
didalamnya menjadikan ini sebagai kearifan lokal Kampung Adat
Cireundeu.46
3. Dalam jurnal yang berjudul Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Hutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat
Kaitannya dengan Ketahanan Nasional, Penelitian ini berupaya
mendalami pola-pola adaptasi yang dikembangkan penduduk Pesisir Krui
menanggapi tantangan/dilema dalam mempertahankan keserasian dengan
lingkungan hidupnya dari perspektif ketahanan nasional. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola-pola adaptasi yang dikembangkan masyarakat
dalam merespon keterbatasan lahan dan sumberdaya alam, intervensi
ekonomi pasar, dan intervensi politik telah melemahkan kohesi sosial dan
memicu munculnya gejala-gejala sosial yang mengarah pada konflik dan
tindak kekerasan yang membahayakan stabilitas keamanan sehingga
mengganggu ketahanan nasional. Penelitian menyarankan agar kebijakan-
46 Rizka Nurdiani, “Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam Mempertahankan KetahananPangan (Studi Etnografi pada Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. CimahiSelatan, Kota Cimahi)”. Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2(Agustus 2014).
36
kebijakan pemerintah terkait kehutanan harus memperhatikan aspek
ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat serta tidak
bersifat represif dan diskriminatif. Selain itu, perlu upaya penguatan
kelembagaan adat dan penciptaan diversifikasi lapangan pekerjaan untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan.47
4. Dalam jurnal yang berjudul Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada
masyarakat Baduy. Penelitian ini mengenai kearifan lokal masyarakat
Baduy dalam pencegahan bencana. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui metode observasi dan
wawancara mendalam, dan data diolah secara deskriptif-analitik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan pandangan
tradisional masyarakat Baduy yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu
melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak
terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor di wilayah Baduy; (2)
di wilayah Baduy banyak permukiman penduduk berdekatan dengan
sungai, tidak terjadi bencana banjir; (3) walaupun rumah dan bangunan
masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu,
rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan (4)
wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian
Barat, tidak terjadi
5. kerusakan bangun an akibat bencana gempa. Kearifan lokal dalam
mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Baduy sejatinya didasari oleh
pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan dalam
berpikir dan bertindak. Pikukuh merupakan dasar dari pengetahuan
47 Friska Liberti, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan : Studi KasusKearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung BaratKaitannya dengan Ketahanan Nasional”,:http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20329639&lokasi=lokal. Di akses Oktober 2017.
37
tradisional yang arif dan bijaksana, termasuk juga dalam mencegah
bencana.48
6. Dalam jurnal yang berjudul Model Pengembangan Ketahanan Pangan
Berbasis Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal. Penelitian ini
bertujuan untuk menemukan “Model Pengembangan Ketahanan Pangan
Berbasis Pisang dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Model ini
dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan publik dan
upaya edukasi dan advokasi publik dalam bidang pangan untuk
mendorong terwujudnya ketahanan pangan nasional. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat keragaman profil produksi
pisang, distribusi, konsumsi, dan peran kearifan lokal di Kabupaten
Lumajang, Malang, dan Blitar, 2) Optimalisasi peran kearifan lokal dapat
dijadikan fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan pangan
berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan strategis dalam
model pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui
revitalisasi nilai kearifan lokal dan penguatan kelembagaan kelompok tani
adalah: a) kearifan lokal (penguatan penggunaan bahan pangan berbasis
lokal, peran perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong royong,
guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian ramah lingkungan,
pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis masyarakat) dalam
pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui revitalisasi
nilai kearifan lokal tersebut yang menjadi lokomotif pengembangan
adalah kearifan lokal dan kelembagaan kelompok tani.49
48 Raden Cecep Eka Permana, dkk, “Kearifan Local Tentang Mitigasi Bencana Pada MasyarakatBaduy”, http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20322209&lokasi=lokal. Di akses Oktober 2017.
49 Moch. Agus Krisno Budiyanto, “Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis PisangMelalui Revitalisasi Nilai Kearifan Loka". Jurnal Program Studi Pendidikan Biologi FKIPUniversitas Muhammadiyah Malang, 2012.
Kearifan lokal disebut juga proses adaftif, terhadap lingkungan dan
sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal juga
adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi berbagai
tantangan yang dihadapi masyarakat. Kearifan lokal muncul juga karna adanya
tradisi masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kearifan lokal
berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya
alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk
kehidupan.
Ketahanan pangan adalah terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat
manusia secara cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh
pangan dari waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan
beraktivitas. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan
penyediaan pangan.
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
MASYARAKAT
KEARIFAN LOKAL
BUDAYA
KETAHANAN PANGAN
39
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat, Populasi, dan Sample Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kampung adat Cireundeu, yang terletak
di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi,
Jawa Barat.
Tabel 3.1
Tabel di atas menjelaskan bahwa di wilayah kelurahan Leuwigajah,
Cimahi Selatan memiliki 1 tempat hiburan/rekreasi budaya. Tempat
hiburan/rekreasi yang dimaksud di atas yaitu adalah kampung adat
Cireundeu.
40
2. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang teridiri atas objek/subjek
yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.1
Populasi di kampung adat Cireundeu secara terstruktur dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu tokoh masyarakat contohnya ketua adat,
ketua lingkungan misalnya ketua RT atau ketua PKK, dan masyarakat
umum.
3. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut.2 Dalam penelitian ini populasi terdiri dari tokoh
masyarakat dan masyarakat kampung adat Cireundeu.
Sample yang diambil oleh peneliti antara lain adalah ketua adat,
ketua RT, ketua PKK, dan beberapa masyarakat kampung adat
Cireundeu.
B. Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang
metode metode penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian.3
Berkaitan dengan hal itu, pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu
upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan
kebenaran.4 Selain itu, Mahsun juga mendefinisikan penelitian sebagai
1 Sugiyono, Metode Penelitian pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RnD, (Bandung :Alfabeta, 2012), h.15.2 ibid3 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),h.4.4 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 49.
41
suatu ikhtiar yang dilakukan manusia dalam upaya pemecahan masalah
yang dihadapi.5 Namun dalam praktiknya, upaya untuk mencari kebenaran
atau pemecahan masalah seperti yang disebutkan di atas dalam dunia ilmiah
tidak begitu saja bisa dikatakan sebagai penelitian. Hal ini sangat
bergantung pada jenis masalah yang ingin dicari jawabannya serta prosedur
atau cara apa yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut.6
Dalam sebuah penelitian yang ditempuh tentu terdapat tujuan yang
ingin dicapai, untuk itulah dibutuhkan suatu pendekatan guna
mempermudah penelitian. Pendekatan yang digunakan oleh seorang
peneliti akan menuntunnya pada metode apa yang harus digunakan, tetapi
dalam pemilihannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti jenis
data yang diteliti, serta paradigma yang menyertainya. Sehingga apa yang
menjadi tujuan penelitian dapat tercapai.
Dalam hal penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode
kualitatif yaitu penelitian yang diarahkan untuk mengambil fakta
berdasarkan fakta subjek penelitian mengetengahkan hasil penelitian secara
rinci. Pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan lapangan penelitian,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Emik dan alasaan
digunakan pendekatan ini objek dan subjek yang berhubungan dengan
fenomena kebudayaan tentang keberadaan kearifan lokal dari kampung
Adat Cirendeu dan mengambarkan kearifan lokal berdasarkan pada sudut
pandang partisipan (informan setempat).7 Kerangka teori yang telah
dibangun menjadi pengarah agar hasil berdasarkan tujuan dalam
memperoleh data, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis
penelitian deskriptif adalah jenis yang tujuanya memberikan gambaran
yang jelas tentang karakteristik dari fenomena yang sedang diteliti.
Fenomena yang diteliti adalah kearifan lokal di kampung adat Cirendeu.
5 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1.6 Ibid.7 Suwardi Endraswara, Metode Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Idiologi, Epistemologi,
dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widayatama, 2006). h. 56.
42
Sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang kearifan lokal dan
adat istiadat dikaitkan dalam hubunganya dengan ketahanan pangan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengambilan sample
dengan teknik purpose sampling, menurut Sugiyono purpose sampling
adalah teknik untuk menentukan sample penelitian dengan beberapa
pertimbangan tertentu yang bertujuan data yang diperoleh nantinya bisa
lebih representatif.8 Teknik pengambilan sample ini memiliki tujuan
tertentu. Artinya setiap sample yang diambil dari populasi dipilih langsung
oleh peneliti karna tujuan dan pertimbangan tertentu. Misalnya informan
yang dipilih oleh peneliti adalah orang-orang yang berhubungan langsung
terhadap perjalanan tradisi pada masyarakat kampung adat Cireundeu.
Dengan demikian maka peneliti dapat mendapatkan informasi yang akurat
dan terpercaya dari informan yang dituju.
C. Langkah – Langkah Penelitian
1. Tahap Persiapan
Melakukan observasi ke kampung adat Cireundeu dan wawancara
ketua adat mengenai data yang diperlukan untuk penelitian, menentukan
aspek kearifan lokal dan aspek ketahanan pangan yang digunakan, dan
membuat instrumen penelitian berdasarkan aspek kearifan lokal dan
aspek ketahanan pangan.
2. Tahap Pelaksanaan
Prosedur tahap pelakasanaan meliputi langkah-langkah berikut:
1) Menemui ketua RT untuk diarahkan menemui ketua adat
2) Melakukan wawancara dengan ketua adat dan ketua RT
3) Ketua RT mengarahkan untuk mewawancarai ketua PKK kampung
adat Cireundeu
8 Sugiyono, Op. Cit.
43
4) Ketua RT mengarahkan untuk mewawancarai warga.
5) Pengamatan langsung kondisi geografis kampung adat Cireundeu
3. Tahap penarikan Kesimpulan
Tahap terakhir pembahasan dari temuan data yang diperoleh
sehingga dihasilkan kesimpulan berupa deskripsi kemampua masyarakat
kampung adat Cireundeu dalam mempertahankan kebutuhan pangan
berdasarkan kearifan lokal yang ada.
D. Teknin Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Teknik Observasi Partisipan
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat terjadi
atau berlangsung-nya peristiwa. Selanjutnya penelitian ini juga termasuk
ke dalam jenis teknik observasi langsung yaitu observasi yang
dilakukan dimana observer berada bersama objek yang diselidiki.9 Dalam
penelitian kebudayaan observasi yang digunakan adalah observasi
partisipan. Observasi partisipan adalah bagian dari kerja lapangan
budaya, sepenuhnya kegiatan ini dilakukan di lapangan budaya, disertai
perangkat yang telah dipersiapkan. Cara ini merupakan langkah penting
dalam kajian budaya. Observasi partisipan melibatkan keikutsertaan
peneliti dengan individu yang diobservasi atau komunitas. Peneliti
budaya akan membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran peneliti
sehingga observasi dan proses pencatatan informasi mengenai kehidupan
9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara,2006), h.47.
44
mereka bisa dilakukan lebih baik.10
Obervasi partisipan dilakukan dengan cara mengunjungi Kampung
Adat Cirendeu, Jawa Barat diantaranya pengamatan terhadap keadaan
Lingkungan, Petani, Masyarakat, dan insitusi-insitusi bersangkutan dan
mengikuti beberapa acara adat yang dilaksanakan. Observasi digunakan
antara lain:
a. Untuk mendapatkan data yang lebih obyektif, jika dilakukan
pengamatan secara langsung.
b. Mengamati data secara langsung akan memudahkan dalam
menganalisis data-data tersebut
2. Teknik Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data selanjutnya yaitu wawancara.
Wawancara adalah, bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu.11 Sedangkan menurut pendapat lain wawancara, “adalah suatu
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil tatap muka antara si penanya dengan si penjawab
(informan) dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara).12
Kegiatan wawancara dalam penelitian budaya bertujuan untuk
mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu
masyaratkat. Wawancara merupakan suatu pembantu utama dari
observasi (pengamatan). Melalui wawancara mendalam (indept
interview) menurut Bogdan dan Taylor peneliti akan membentuk dua
macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substantif dan pertayanyaan teoritik.
180.12 M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), h. 234.
45
Pertanyaan substantif berupa persoalan khas yang terkait dengan aktivitas
budaya dan pertanyaan teoritik berkaitan dengan makna dan fungsi.
Selanjutnya peneliti melakukan pertemuan berulang-ulang setelah
aktivitas budaya untuk melaksanakan wawancara guna memperoleh data
aktivitas kultural, sosial, religious, dan lain-lain.13 Dan yang dijadikan
sumber wawancara adalah segenap warga Kampung Adat Cirendeu dan
sekitarnya.
3. Teknik Dokumentasi
Arikunto juga menjelaskan bahwa dokumentasi adalah mencari
data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar,
majalah, jurnal dan sebagainya.14 Teknik dokumentasi diperlukan untuk
mengetahui arsip-arsip atau data-data monografi desa yang berhubungan
erat dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini peneliti
menggunakan data-data mengenai kependudukan, luas wilayah dan juga
struktur pemerintahan dan juga sosial ekonomi masyarakat Kampung
Adat Cirendeu.
E. Pemeriksaan Keabsahan data
Pemeriksaan keabsahan data digunakan untuk menentukan beberapa
kriteria yaitu derajad kepercayaan (credibility), keterahlian (transferability)
kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Sedangkan
tehnik pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan delapan cara
yaitu perpanjangan, keikutsertaan, ketekunan, keajegan pengamatan,
triangulasi, pemeriksaan sejawat melakukan diskusi, analisis kasus negatif,
pengecekan anggota, uraian rinci dan auditing. Berdasarkan teori diatas,
penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai alat pengecekan keabsahan
13 Suwandi, Op. Cit. h, 152.14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Untuk Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bumi Aksara,
2002), h. 236.
46
data.15
Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data. Secara singkat, macam-macam tehnik
triangualsi adalah;
1. Triangulasi sumber data, yaitu menggunakan multi sumber data untuk
membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh.
2. Triangulasi metode, yaitu menggunakan berbagai macam metode
pengumpulan data untuk menggali data sejenis.
Maka sesuai dengan pengertian macam-macam triangulasi diatas,
peneliti menggunakan triangulasi metode, yaitu menggunakan berbagai
macam metode pengumpulan data seperti: wawancara, observasi dan
dokumentasi untuk menggali data yang sejenis. Untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini, data yang terkumpul akan dianalisis
dengan analisis deskriptif, melalui proses pengumpulan data secara
keseluruhan yang diperoleh setelah penelitian, yang kemudian data tersebut
diklasifikasikan sesuai dengan hasil pengumpulan data sesudah proses
penelitian, selanjutnya data tersebut diverifikasi yaitu penyahihan atau
pembuktian kebenaran dari data yang diperoleh tersebut.
F. Analisis Data
Analsis data penelitian budaya ialah berupa hasil pengkajian, hasil
wawancara, observasi dan dokumen yang telah terkumpul. Data yang
banyak jumlahnya tersebut dan yang kurang relevan patut direduksi.
Reduksi data dilakukan dengan membuat pengelompokan dan abstraksi.
Analisis bersifat terbuka, open-ended, dan induktif. Jumlahnya tersebut dan
yang kurang relevan patut direduksi. Maksudnya, analisis bersifat longgar,
15 Lexy, Op. Cit h, 324
47
tidak kaku, dan tidak statis. Analis boleh berubah, kemudian mengalami
perbaikan, dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk. Analisis
juga tidak direncanakan terlebih dahulu.
Tahap-tahap analisis data dalam penelitian budaya meliputi: open
coding, axial coding, dan selective coding. Pada tahap open coding peneliti
berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya variasi data yang terkait dengan
topik penelitian. Open coding meliputi proses memerinci (breaking down),
memeriksa (examining), memper-bandingkan (comparing), dan meng-
konseptualisasikan (concept-tualizing), dan mengkatagorikan (categorizing)
data pada tahap axial coding hasil data yang diperoleh dari open coding
diorganisir kembali berdasarkan katagori untuk dikembangkan kearah
proposisi. Pada tahap ini dilakukan hubungan antar kategori. Hubungan
tersebut dianalisis seperti model paradigma grounded theory menurut Straus
dan Corbin yang meliputi kondisi penyebab fenomena konteks kondisi
intervening strategi interaksi dan konsekuensi.
Tahap selanjutnya ialah selective coding tahapan ini peneliti
mengklasifikasikan proses pemeriksaan kategori inti kaitannya dengan
kategori lainnya. Katagori inti ditemukan melalui perbandingan hubungan
kategori dengan mengunakan model paradigma. Selanjutnya memeriksa
hubungan kategori dan akhirnya menghasilkan simpulan yang diangkat
menjadi general design. Tahapan ini akan memudahkan peneliti untuk
memberi makna pada setiap kategori. Tiap kategori dapat ditafsirkan dan
disimpulkan, agar diperoleh kejelasan pemahaman.16
16 Suwardi, Op.Cit, h, 174-175.
48
Tabel 3.2
Indikator Pedoman wawancara
No Variabel Indikator Pertanyaan
1Kearifan
Lokal
Geografis
1. Berapa luas lahan di kampung adat
Cireundeu?
2. Untuk apa saja lahan yang digunakan?
3. Dibagi menjadi berapa wilayah
kampung adat Cireundeu?
Historis
1. Bagaimana sejarah awal mula kampung
ini muncul?
2. Kenapa kampung ini dinamakan
Cireundeu?
3. Sejak kapan kampung ini ada?
Budaya
1. Apa saja tradisi yang ada?
2. Siapa yang memulai tradisi-tradisi
disini?
3. Sejak kapan tradisi itu muncul?
4. Bagaimana peran tokoh
masyarakat/ketua adat untuk menjaga
tradisi itu?
5. Kenapa nasi singkong menjadi tradisi
yang khas disini?
2Ketahanan
PanganKecukupan
1. Apa ada tempat penyimpanan khusus
untuk menyimpan hasil panen?
2. Bagaimana kalau singkong atau bahan
pangan habis?
49
3. Singkong yang dipanen biasanya
dimanfaatkan untuk apa saja?
Akses
1. Dari mana warga dapat mendapatkan
singkong?
2. Lembaga apa saja yang ada disini?
Keterjaminan
1. Kenapa singkong yang dijadikan bahan
pokok?
2. Bagaimana cara mendapatkan
singkong?
3. Apa saja bahan makanan lain yang
dapat dimanfaatkan selain singkong?
Waktu
1. Berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk panen?
2. Berapa lama singkong dapat bertahan?
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data observasi, transkrip
wawancara dan data hasil dokumentasi. Analisis dilakukan data observasi
dan dokumentasi dilakukan secara deskriptif berdasarkan data temuan
peneliti yang didukung menggunakan hasil wawancara terkait keadaan
umum kampung adat Cirendeu, Sejarah kampung adat Cirendeu dan
peranan warga adat dalam mempertahankan kearifan lokal budaya nenek
moyang dalam menjaga ketahanan pangan.
1. Keadaan Umum Kampung Adat Cireundeu
Sejarah nama Cireundeu itu sendiri berasal dari nama “pohon
reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi
pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat
herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. 1
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah
Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun
secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan,
Kota Cimahi. Hal istimewa dari kampung ini yaitu di mulut jalan Desa
Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka “Wilujeng Sumping Di
Kampung Cireundeu” dengan arti selamat datang untuk para tamu di
daerah Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu sendiri tidak
memposisikan desanya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW),
tetapi lebih fokus pada desa yang masih memelihara tradisi lama yang
telah mengakar yang diwariskan oleh tetua adat dulu.
1 Jajat, Wawancara, Cireundeu Desember 2017
51
Masyarakat Kampung Cireundeu beranggapan bahwa sekecil
apapun filosopi kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka
wajib untuk dipertahankan.
a. Letak Geografis Kampung Adat Cireundeu
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di
lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung
Gajahlangu, namun secara administratif Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Table 4.1
Dari tabel di atas, menjelaskan bahwa untuk wilayah kelurahan
Leuwigajah memiliki jumlah penduduk 44.729 orang serta luas
lahan 393,47 ha dengan kepadatan 11.468,97. Di kampung adat
Cireundeu yang masih termasuk wilayah kelurahan Leuwigajah
memiliki jumlah penduduk yang terdiri dari 50 kepala keluarga
atau 800 jiwa, serta kampung adat Cireundeu memiliki luas 65 ha
terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 5 ha untuk pemukiman.2
2 ibid
52
Table. 4.2
Kelurahan Leuwigajah terdiri dari 20 RW dan 148 RT yang
terlihat pada tabel di atas. Salah satu kampung yang berada di
wilayah kelurahan Leuwigajah tersebut adalah kampung
Cireundeu.
Kang Jajat mengatakan, “kampung adat Cireundeu terdiri dari 2kampung yaitu kampung pojok dan kampung adat, yang terdiri dari1 RW dan 5 RT, dengan rincian kampung adat Cireundeu ituterdapat 2 RT, sedangkan untuk kampung pojok terdapat 3 RT dandari dua kampung tersebut dipimpin oleh satu orang ketua rukunwarga (RW).”3
b. Peraturan Adat
Mereka tetap menjaga serta mengikuti aturan-aturan nenek
moyang seperti dalam hal bercocok tanam pun mereka tidak
sembarangan.
Seperti yang diungkapkan oleh kang Jajat “kalo untukmendapatkan singkong itu kita tanem sendiri, jadi disini tuh adatiga jenis wilayah adat, yang pertama itu hutan larangan dan hutantutupan, keduanya ga boleh di pake berladang, tapi untuk hutan
3 Ibid
53
tutupan ini adalah sebagai salah satu lahan cadangan, tujuannyakalo hutan baledahan ga bisa dipakai lagi buat tanem sesuatu, jadibuat sementara dialihkan ke hutan tutupan, sambil menunggu ataudigarapnya kesuburan tanah hutan baledahan. hutan baledahanyang di pake buat berladang.4
Tujuannya melestarikan tradisi yang mereka percaya itu agar
dalam menjalani kehidupan sehari-hari dalam hal makanan mereka
selalu tercukupi.
Disamping itu sesuai dengan rencana strategis (Renstra) Kota
Cimahi tahun 2007-2012 mengenai pengembangan potensi
pariwisata menjadi industri kepariwisataan yang berbasis
ekonomi. Sebagai salah satu strategis pembangunan masyarakat
kota berkelanjutan dan percepatan peningkatan ekonomi kota
cimahi serta berdasarkan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) kota ciamhi tahun 2010-2030 mengenai kriteria kawasan
strategis wisata alam dan wisata buatan, serta surat keputusan
Walikota Cimahi No 501/kep 208/BPMPPKB/2010 tentang Desa
Mandiri Pangan. Kampung Cireundeu yang merupakan salah satu
wilayah pedesaan di kota cimahi memiliki potensi wisata yang
perlu dikaji dan digali sebagai daerah tujuan wisata ketahanan
pangan di kota cimahi. Meski dalam peraturan gubernur provinsi
jawa barat no 48/2006 kegiatan wisata pedesaan belum disebutkan
secara eksplisit, namun desa wisata yang berbasis budaya dan agro
wisata dapat menjadi daya tarikbaru tersendiri yang perlu digali
dan diangkat seperti halnya kampung Cireundeu.
c. Mata Pencarian Penduduk
Sebanyak 60% mata pencarian penduduk Kampung Adat
Cireundeu adalah bertani singkong, sayur dan umbi-umbian.
Menurut abah Widi “masyarakat menggunakan pola tanamsesuai dengan usia panen tanaman agar setiap bulan dapatmemanen singkong. Setiap masyarakat memiliki 3 hingga 5 petak
4 Ibid.
54
kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petakkebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknyaakan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladangmereka selalu menghasilkan singkong. 5
Gambar 4.1 Warga sedang membersihkan ladang singkong
(Arsip Pribadi )
Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan singkong
mulai dari akar hingga daunnya.
Seperti yang diungkapkan kang Jajat “masyarakat Cireundeubiasa memanfaatkan singkong dari mulai akarnya dapat diolahmenjadi rasi (beras singkong), makanan olahan singkong dan anekakue berbahan dasar singkong. Batangnya dapat dimanfaatkanmenjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur jugadapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuatmenjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh ataudendeng kulit singkong.”6
5 Widi, Wawancara, Cireundeu Desember 2017.6 Jajat, Op.cit.
55
Table 4.3
Dapat dilihat juga dari tabel di atas, mata pencaharian sebagai
petani termasuk besar, dan ini didominasi dari masyarakat
kampung adat Cireundeu.
d. Kondisi Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana ibadah di kampung Cireundeu terdapat
satu Mesjid dan tiga Mushola serta satu Bale Sara Sehan. Bale Sara
Sehan digunakan sebagai tempat berkumpulnya sesepuh, tempat
pelaksanaan kesenian adat, serta tempat berkumpul pada saat
upacara adat. Untuk sarana pendidikan mempunyai satu Sekolah
Dasar yaitu SD Negeri Cireundeu Mandiri dan Pendidikan anak
Usia Dini (PAUD). 7
Gambar 4.2 Bale Sara Sehan tampak dari luar
(Arsip Pribadi)
7 Jajat, Op. Cit.
56
Gambar 4.3 Bale Sara Sehan tampak dari dalam
(Arsip Pribadi )
2. Sejarah dan Biografi tokoh di Kampung Cireundeu
a. Sejarah kampung Cireundeu
Dari penuturan kang Jajat “sejarah Cireundeu tidak ada buktinyata dan tertulis hanya cerita turun temurun ya. Karena budayasunda lebih kuat budaya tutur dari pada budaya tulis. Cireundeudiperkirakan ada sejak tahun 1700 sebelum kota Cimahi dibangun.kota Cimahi dibangun oleh Belanda, yang ditandai denganpembangunan jalan, kantor, rumah sakit. Kampung adat Cireundeuawalnya adalah sebuah dusun kecil yang dibangun oleh seorangpangeran yaitu Pangeran Madrais yang berasal dari CigugurKuningan. Pangeran Madrais singgah di Cireundeu tahun 1918untuk mengungsikan diri, karena pada waktu itu terjadi peperanganantara Pemerintah Hindia Belanda yang menyerang Kesultanan diKuningan. Setelah menetap beberapa tahun di Cireundeu, PangeranMadrais bertemu dengan H. Ali dan membangun sebuah kampungyang disebut kampung Cireundeu”. 8
Sedangkan menurut Abah Widi, “pada awalnya kampungadat Cireundeu merupakan daerah perbukitan yang banyakditanami pohon Reundeu dan pohon tersebut dekat dengan sumberair atau orang Sunda menyebutnya Cai sehingga kampung inidiberinama Kampung Cireundeu. Selain itu pemberian nama adatpada kampung Cireundeu karena Cireundeu menganut alirankepercayaan yang dibawa oleh Pangeran Madrais yang masihdianut sampai sekarang oleh masyarakat adat Cireundeu. Cireundeudiperkirakan ada sejak tahun 1700-an, Aki Erwan lah yangdianggap sebagai leluhur awal mula desa cireundeu ini.” 9
8 Ibid.9 Widi, Op.Cit
57
b. Biografi Tokoh di Kampung Cireundeu
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang dipimpin oleh
ketua adat yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Sesepuh atau Ketua Adat
Sesepuh atau ketua adat ialah Abah Emen. Sesepuh bertugas
membimbing serta membina adat yang sudah diwariskan,
memimpin upacara adat, dan sebagai pemegang hukum tertinggi
dalam menentukan sebuah keputusan adat. 10
2) Ais Pangampih
Ais Pangampih ialah Bapak Widya. Ais Pangampih bertugas
membantu sesepuh atau ketua adat dalam melaksanakan tugasnya.
Tokoh tersebut mengatur sistem peradaban / sosial budaya dari
dahulu sampai sekarang masih tetap eksis dan tidak terpengaruhi
oleh dunia luar.11
Gambar 4.4 Ais Pangampih ialah Bapak Widi
3) Panitren atau bagian humas
Panitren atau bagian humas ialah Abah Asep Abas.
mempunyai tugas sebagai pengamat, peneliti serta mengawasi
kehidupan warga masyarakat di Kampung Cireundeu.
10Ibid.11 Widi, Wawancara, Cireundeu Desember 2017
58
4) Ketua RT
Ketua RT ialah bapak Jajat. Ketua RT bertugas memimpin
desa secara admistrasi dan sebagai penerima tamu yang
datang.
Gambar 4.5 Ketua RT, Bapak Jajat
3. Kearifan Lokal Kampung Cireundeu
Nilai-nilai kearifan lokal kampung Cireundeu dijaga dan
dilestarikan dengan baik oleh masyarakatnya. Kearifan lokal kampung
Cireundeu meliputi kepercayaan masyarakat, upacara adat , makanan
pokok, Tali paranti, dan sumber hukum adat yang berlaku.
a. Kepercayaan Masyarakat
Sebagian besar masyarakat kampung Cireundeu menganut dan
memegang teguh kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan. Ajaran
Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari
Cigugur, Kuningan pada tahun 1918.
Kepercayaan masyarakat kampung Cireundeu berawal dari
jaran Madrais ini di bawa oleh Pangeran Madrais pada tahun 1918
ke Kampung Cireundeu yang mengajarkan falsafah dan ajaran
moral tentang bagaimana membawa diri dalam kehidupan. Hinggga
saat ini masyarakat adat Cireudeu masih teguh memeluk ajaran
tersebut meskipun telah berpuluh-puluh tahun, mereka salalu taat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.12
12 Jajat, Op. Cit.
59
Tabel 4.4
b. Upacara Adat
1) Upacara 1 Sura
Salah satu upacara terbesar oleh masyarakat Kampung
Adat Cierundeu yaitu 1 Sura. Upacara atau ritual ini
merupakan Hari Besar atau lebaran umat pemeluk Aliran
Kepercayaan yang dirayakan setiap tanggal 1 Sura menurut
penanggalan tahun sunda.13 Biasanya dilakukan mulai dari pagi
hari hingga malam hari yang bertempat di Bale (tempat
berkumpul masyarakat adat), bale sendiri memiliki arsitektur
yang mempunyai arti khusus, yaitu:
a) Bentuk atap yang lurus ke atas yang berarti masyarakat
Cireundeu memiliki satu tujuan kepada Tuhan. Di
Kampung Adat Cireundeu sendiri masyarakatnya bersifat
terbuka terhadap agama atau kepercayaan selain yang
mereka anut, mereka memandang perbedaan terutama
dalam hal kepercayaan adalah sesuatu keindahan.
b) Terdapat empat helai kain dengan warna yang berbeda
yang mengandung arti unsur-unsur bumi, terdiri dari
13 Ibid.
60
warna hitam mempunyai makna “bumi”, warna kuning
bermakna “angin”, warna putih “air”, dan yang terakhir
merah bermakna api.
Makna upacara 1 Sura ini menurut abah Widi “untuk
mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang Pencipta selama
ini kepada masyarakat Cireundeu.”
Sedangkan menurut Neneng “perayaan 1 Sura layaknyalebaran bagi kaum muslim. Saat perayaan mereka selalumenggunakan pakaian baru. Namun setelah adat merekadilembagakan sehingga pada saat kaum laki-laki menggunakanpakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala dari kain batik.Sedangkan untuk kaum perempuan menggunakan pakaiankebaya berwarna putih. Gunungan buah-buahan yang dibentukmenyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi sepertirempah-rempah dan ketela yang menjadi pelengkap wajibdalam ritual ini. Selain itu kesenian kecapi suling, ngamumulebudaya sunda serta wuwuhan atau nasihat dari Sesepuh atauketua Adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura.14
2) Perkawinan secara Adat
Sebagian warga Kampung Adat di sana memeluk sistem
kepercayaan yang biasa kita kenal dengan nama Sunda
Wiwitan. Dalam prosesi pernikahan adat agama kepercayaan
ini, mereka menggunakan istilah Ikral, yaitu pernyataan janji
oleh kedua pihak mempelai sebagai Ijab Kabul dan syarat sah
pernikahan bagi penganut agama kepercayaan. Kedua
mempelai belum dapat dikatakan menikah sebelum melakukan
ikral. Setelah itu, dilanjutkan dengan ngeyeug seureuh,
siraman, dan ngaras, yang merupakan adat pernikahan
Kampung Adat.
14 Neneng, wawancara, Desember 2017
61
c. Makanan pokok
Makanan pokok masyarakat kampung Cireundeu adalah nasi
singkong. Awal kebiasaan mengkonsumsi ketela sebagai bahan
pokok telah menjadi turun temurun. Para leluhur masyarakat
Cireundeu pernah berpesan agar mereka menanam ketela
menggantikan padi.
Dari penuturan kang Jajat “Beralihnya makanan pokok
masyarakat adat Kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi
singkong di mulai tahun 1918, yaitu di pelopori oleh Ibu Omah
Asnamah, Putra Bapak Haji Ali yang kemudian di ikuti oleh
saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Pada tahun tersebut
sawah-sawah yang ditanami padi mengering dan menyebabkan
fuso (gagal panen). Untuk mengantisipasinya para leluhur
Kampung Adat Cireundeu menyarankan untuk menanam singkong
sebagai penggati padi. Karena ketela dapat ditanam pada saat
musim kering maupun musim penghujan. Ibu Omah Asnamah
mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat
kepeloporannya tersebut Pemerintahan melalui Wedana Cimahi
memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepat
nya pada tahun 1964.”15
Menurut Ibu Neneng salah satu warga Cireundeu menyatakanbahwa “Rasi atau beras singkong adalah makanan pokok wargaadat Cireundeu, tidak satu butirpun masyarakat adat Cireundeumemakan beras dari padi, karena menurut ajarannya beras ituadalah sesuatu yang suci dan tidak boleh dihabiskan dengan caradimakan. Tetapi dipergunakan untuk tolak bala yang disimpandidepan pintu.”16
Masyarakat mulai mengkonsumsi singkong dari tahun 1924
hingga saat ini. Selain itu manfaat lainnya warga Kampung Adat
Cireundeu tidak terpengaruh oleh harga bahan pokok yang
melambung tinggi. Ketahanan pangan masyarakat Cireundeu telah
15Jajat, Op.cit.16 Neneng, Op.cit.
62
membuktikan karena pada masa pemerintahaan Orde Baru yang
menjadikan beras sebagai bahan pokok yang sangat terkenal
sehingga masyarakat yang asalnya mengkonsumsi umbi-umbian
beralih menjadi mengkonsumsi beras.
Gambar 4.6 Singkong yang telah digiling kemudian dijemur
Kebiasaan masyarakat kampung adat Cireundeu adalah
kebiasaan yang sudah dijalankan secara turun temurun. Untuk
melestarikan tradisi yang ada, masyarakat cireundeu memiliki
aturan adat itu sendiri.
Menurut abah Widi “ciri khas ajaran Madrais yaitu ajaranSunda Wiwitan yang mengajarkan untuk selalu menghargaihasil bumi dan tidak terpaku untuk mengkonsumsi makananpada satu jenis makanan saja.Petuah atau ciri wanci masyarakatadat Cireundeu yang dijunjung sampai sekarang adalah “Keunbae teu boga sawah asal boga pare, keun bae teu boga pareasal boga beas, keun bae teu boga beas asal bisa tuang, keunbae teu tuang asal masih kuat. Maksudnya adalah walaupuntidak mempunyai sawah karena lahan kita adalah pegununganasalkan kita punya padi, walaupun tidak punya padi asal kitapunya beras, tetapi jika kita tidak punya beras asalkan kita bisamakan, walaupun kita tidak bisa makan asalkan kita kuat.”17
Masyarakat adat Cireundeu sampai sekarang tidak berani
untuk makan beras dari padi dan hanya mengkonsumsi beras
singkong saja sebagai makanan pokoknya. Petuah atau ciri wanci
17 Widi, Wawancara, Desember 2017
63
yang diajarkan para leluhur kampung adat Cireundeu dijadikan
sebagai sebuah aturan adat yang harus ditaati, yang dijadikan
sebagai salah satu kebiasaan dan sebuah aturan di kampung adat
Cireundeu.
Ajaran Madrais yang dianut oleh masyarakat adat Cireundeu
selalu mengajarkan untuk “Ngantik diri ngarawat ngabdi ka sang
hyang cipta” artinya masyarakat adat harus selalu merawat semua
yang ada dialam semesta ini sebagai wujud dari mengabdi kita
kepada Sang Maha Pencipta.
Kang Jajat juga mengatakan hal yang serupa, “bahwa asal
kebiasaan adat Cireundeu khususnya memakan singkong
merupakan petuah dari Pangeran Madrais. Pangeran Madrais
memperkirakan bahwa suatu saat “Bandung bakal heurin ku
tangtung” atau suatu saat lahan di Bandung akan hilang karena
pembangunan dan akibatnya beras akan susah untuk dicari.”18
Pada waktu dulu Pangeran Madrais dan pengikutnya mulai
menerapkan makanan pokok lain yaitu singkong. Sosialisasi
dilakukan sampai emam tahun samapai akhirnya semua masyarakat
adat Cireundeu beralih dari beras padi menjadi beras singkong.
Sehingga Cireundeu pun mempunyai ciri wanci yaitu: Teu boga
sawah asal boga pare, Teu boga pare asal boga beas, Teu boga
beas asal tuang, Teu bisa tuang asal kuat.
Masyarakat adat Cireundeu percaya tidak hanya nasi dari
padi saja yang bisa dimakan tetapi beras singkong juga dapat
dimakan dan ada manfaatnya. Hal itu terbukti sampai sekarang
warga tidak susah-susah memikirkan beras yang harganya sangat
mahal itu.
Masyarakat kampung adat Cireundeu sangat menjunjung
tinggi petuah yang diajarkan oleh ajaran Pangeran Madrais,
Pangeran Madrais mengajarkan untuk mengalihkan makanan
18Ibid
64
pokok beras ke singkong dan melaksanakan upacara satu sura
sebagai upacara besar keagamaan. Makanan singkong sebagai
makanan pokok yang awalnya dijadikan sebagai peralihan karena
sulit untuk mendapatkan beras sekarang menjadi salah satu ciri
khas masyarakat adat Cireundeu sedangkan Upacara satu sura
adalah bentuk dari kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat
Cireundeu yaitu kepercayan Madrais atau kepercayaan sunda
wiwitan.
“Masyarakat Cireundeu biasa memaksimalkan tanamansingkong. Mereka dapat mengolahnya menjadi aci atau sagudengan cara digiling kemudian diendapkan setelah itu disaring.Produk kedua setelah sagu yaitu ampasnya yang kemudian dijemur dan setelah kering menjadi beras nasi, merekamenyebutnya dengan sebutan rasi atau angeun dalam bahasaSunda. Itulah yang mereka makan untuk sehari-hari. KampungCireundeu memanfaatkan singkong mulai dari akarnya hinggadaunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (berassingkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dananeka kue berbahan dasar singkong seperti egg roll, kue lidahkucing, dan brownis singkong.”19
Setiap masyarakat memiliki caranya sendiri dalam mengolah
singkong sesuai dengan kebutuhan.
Gambar 4.7 Makanan olahan dari singkong
19 Neneng, Wawancara, Cireundeu Desember 2017
65
d. Tali Paranti
Tali Paranti adalah Pembangunan berbasis kearifan lokal dan
adat istiadat nenek moyang . Tali paranti karuhun tidak mesti
dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik atau takhayul, tetapi
yang dimaksud Tali Paranti Karuhun disini adalah adat istiadat
yang berurusan dengan cara kita memandang dunia, memandang
diri, dan masa depan.
Tali Paranti Karuhun Pilemburan mempunyai ciri
"guyub"(Konsep Kegotongroyongan), yaitu tradisi nulung kanu
butuh (memberi pertolongan kepada yang membutuhkan), nalang
kanu susah(membantu kepada yang susah), nyaangan kanu pokeun
(memberi pencerahan/penerangan kepada yang tidak tahu), Silih
asah, silih asih, silih asuh yang akhirnya silih anteuran jeung silih
anteurkeun Artinya saling tukar pengetahuan, saling menyayangi
dan saling menjaga yang akhirnya saling memberi dan saling
mengantar dalam hal kebaikan dan tolong menolong.
Menurut, Kang Jajat, “Tali paranti merupakan kebiasaanmasyarakat kampung adat Cireundeu dalam menjaga nilai-nilaikearifan lokal dan melestarikan tradisi nenek moyang yangsudah ada sejak dulu. Hal tersebut dilakukan sebagai sebuahpenghormatan nenek moyang sebagai salah satu bagian darikepercaya yang mereka anut yaitu sunda wiwitan. Beberapatradisi adat yang masih terus dilaksanan yaitu, upacara 1 sura ,upacara perkawinan adat, upacara kematian, dan upacarakelahiran.”20
B. Pembahasan
1. Bentuk Kearifan Lokal sebagai Upaya Mempertahankan Ketahanan Pangan
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Wawancara mendalam yang telah dilakukan dimaksudkan untuk
memperlihatkan secara lebih rinci bahwa semua informan dalam penelitian
20 Jajat, Op. Cit.
66
ini secara umum telah sesuai dengan rencana semula penelitian. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa warga, terungkap bahwa
kearifan lokal berupaya mempertahankan ketahanan pangan masyarakat
Kampung Adat Cireundeu.
Kearifan lokal di Kampung Cireundeu dalam meningkatkan
kesejahteraan pangan melalui konsumsi singkong sebagai makanan pokok
bermanfaat sebagai contoh dan disosialisasikan kepada masyarakat
Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat
terwujud. Kampung Adat Cireundeu ini mengajarkan pada kita orang
Indonesia tentang nilai-nilai kearifan lokal melalui filosofis kehidupannya.
Mereka mengajarkan kita tentang sifat tidak mau bergantung dan selalu
mencari alternatif melalui makanan pokoknya. Hal ini dapat dijadikan
sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti
nyata Program Ketahanan Pangan.
Gambar 4.8 Rasi yang sudah dimasak
Masyarakat adat Cireundeu sangat mempertahankan ketahanan
pangannya dan melestarikan kearifan lokalnya. Bagi masyarakat luar yang
berpindah wilayah ke Kampung Adat Cireundeu atau bisa disebut pidah
rumah masih memakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari namun
warga Kampung Adat Cireundeu tidak melarang warga tersebut memakan
padi dan merubah kepercayaanya dengan mudah. Inilah keunikan dari
67
Kampung Adat Cireundeu bisa hidup sehat, ekonomi terjamin dengan
memakan singkong sebagai makanan pokok sehari-hari.
Hampir setiap bulannya masyarakat Cireundeu menghasilkan singkong.
Singkong-singkong tersebut sebagian dipergunakan untuk makanan sehari-
hari dan sebagian lagi dipergunakan untuk dijual, baik berupa mentahnya
maupun dalam bentuk olahan seperti kue-kue dan makanan lainnya. Jika
dilihat dari segi kesehatan, kandungan karbohidrat di dalam singkong tidak
kalah dengan beras. Singkong dapat dijadian sumber energi tubuh yang kuat
dapat menahan lapar lebih lama dibandingkan dengan beras. Nasi memiliki
kalori sebesar 178 kal dengan kadar karbohridrat 40,6 g. Tidak berbeda jauh
dengan nasi, singkong memiliki kalori 146 kal dengan kadar karbohidrat 34,
7 g dan singkong juga mengandung vitamin C sebesar 30mg.21 Selain itu,
kadar serat singkong lebih tinggi dibandingkan dengan nasi.
Kadar serat pada singkong yang lebih tinggi dibandingkan nasi sehigga
dapat membuat perut terasa kenyang dalam waktu yang lama, itu sebabnya
masyarkat adat Cireundeu dapat tahan sampai satu kali dalam sehari makan.
Kadar karbohidrat singkong yang lebih rendah menunjukkan singkong
memiliki kadar glukosa yang lebih rendah dibandingkan dengan nasi. Kadar
glukosa yang tidak terlalu tinggi baik untuk mencegah penyakit diabetes.
Maka tidak heran jika masyarakat kampung adat Cireundeu terhindar dari
penyakit diabetes. Kampung Adat Cireundeu ini mengajarkan pada kita orang
Indonesia tentang nilai-nilai kearifan lokal melalui filosofis kehidupannya.
Gambar 4.9 Rasi yang siap dikonsumsi sebagai makanan pokok
21 BKPP Provinsi DIY, Data Kandungan Gizi Bahan Pangan dan Hasil Olahannya, 2016
68
Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam meningkatkan kesejahteraan
pangan melalui konsumsi singkong sebagai makanan pokok bermanfaat
sebagai contoh dan disosialisasikan di khalayak umum di seluruh wilayah
Indonesia, sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud.
Nilai-nilai kearifan lokal kiranya dapat dimanfaatkan sebagai nilai kehidupan
masa sekarang dan masa yang akan datang. Ayat-ayat kearifan hidup menjadi
nilai untuk direvitalisasi. Kearifan lokal di Kampung Adat Cireundeu sangat
kental dengan kearifan lokalnya dan cara mempertahankan ketahanan
pangannya terbukti hingga saat ini Kampung Adat Cireundeu membuktikan
akan sebuah jati diri kampung adatnya, ini terbukti dengan masih dilakukan
adat leluhurnya dan melestarikan tanpa merubah kehidupan di Kampung Adat
Cireundeu dari zaman nenek moyang hingga saat ini.
2. Kehidupan Sosial yang Terjadi pada Masyarakat Adat Kampung
Cireundeu
Masyarakat kampung Cireundeu dari kebiasaan adat yang dimiliki
hingga masalah pangan yang secara turun temurun dijalankan oleh
masyarakatnya salah satunya masyarakat Cireundeu yang masih
mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokoknya. Tradisi
mengkonsumsi singkong ini terbukti menjadikan masyarakat Cireundeu
mandiri dan tidak tergantung pada beras yang menjadi makanan pokok
masyarakat Indonesia. Disinilah sisi dari modal sosial masyarakat
Cireundeu sangatlah terlihat. Keterbataan dan kelangkaan pasokan beras di
Indonesia menjadi permasalahan besar bagi mayorias masyarakat
Indonesia yang mengkonsumsi nasi. Akan tetapi, Rasi sebagai makanan
pokok sehari-hari masyarakat Cireundeu tidak akan berpengaruh pada
keidupan masyarakat Cireundeu.
Berdasarkan wawancara dengan kang Yadi, dapat ditarik kesimpulan
bahwa masyarakat interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat
Cireundeu berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang
69
sangat nyaman, aman, dan damai. Mereka saling memperhatikan satu sama
lain khususnya dalam masalah kesejahteraan, sehingga masyarakat Cireundeu
tidak pernah ada yang mengalami kelaparan. Disamping mereka memiliki
solidaritas yang tinggi, saling tolong menolong terhadap sesama, mereka juga
memiliki lahan garapan masing-masing yang ditanami singkong sebagai
makanan pokok mereka. 22 Sistem gotong royong masih dibina dengan
berlandaskan toleransi antar umat beragama sehingga tidak terjadi konflik
antara masyarakat.
Berdasarkan analisis penelitian mengenai kehidupan sosial masyarakat
Cireundeu, pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap
individu lainya. Mereka tetap percaya terhadap nilai-nilai yang sudah ada
sejak dulu oleh para nenek moyangnya atau mungkin dilakukan oleh individu
terhadap suatu kelompok sosial (misalnya para pendahulu kampung
Cireundeu yang memilah-milah makanan yang cocok untuk di konsumsi
anak cucunya sampai sekarang di tentukanlah makanan tersebut yaitu
singkong sebagai pengganti nasi). Itu semuanya merupakan proses
pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau
sering kali manusia tidak menyadari.
Adapun Interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat Cireundeu
berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang sangat nyaman,
aman dan damai. Mereka saling memperhatikan satu sama lain
khususnya dalam masalah kesejahteraan. Sehingga masyarakat Cireundeu
tidak pernah ada yang mengalami kelaparan. Perubahan sosial yang terjadi di
kampung Cireundeu dari tahun 1918 hingga saat ini, dulu penduduk di
kampung Cireundeu masih relatif sedikit dan lahan pun masih luas, penduduk
Cireundeu dulu pernah mencoba menanam padi, namun lahan disana tidak
cocok untuk ditanami padi, lebih cocok untuk ditanami singkong.
Seiring waktu, produk singkong diolah menjadi berbagai makanan
olahan. Makanan olahan tersebut sudah diolah menggunakan peralatan yang
lebih modern dan canggih untuk menunjang produksi. Mayoritas masyarakat
22 Yadi, Wawancara, Cireundeu Desember 2017
70
kampung Cireundeu mengenyam pendidikan minimal jenjang SD dan tidak
ada warga yang buta huruf.23Dapat disimpulkan bahwa meskipun kampung
Cireundeu dinobatkan sebagai salah satu kampung adat yang ada di Jawa
Barat, tetapi mereka tidak pernah menutup diri dari perkembangan teknologi.
Bisa dibilang kampung Cireundeu adalah kampung adat yang fleksibel dan
terbuka
3. Implementasi Kearifan Lokal dalam Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat
Adat Kampung Cireundeu
Melalui proses wawancara, terungkap beberapa Mengenai bentuk
kearifan lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam menjaga
kesejahteraan pangan dan cara masyarakat kampung Cireundeu
memperthanakan pangan. Hasil wawancara menyimpulkan hasil kearifan
lokal dalam menjaga ketahanan pangan di kampung Cireundeu cukup baik
dikarenakan kampung ini selalau menjaga ketahanan pangan dan
melestarikan kearifan lokalnya sekalipun masyarakat Cireundeu ini berada di
luar wilayahnya akan tetap memakan Rasi sebagai makanan pokok sehari-
hari.
Dari hasil analisis yang telah dikemukakan, peneliti menyadari bahwa
pentingnya keberadaan kebudayaan dalam suatu daerah karena kebudayaan
merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu
juga memiliki ciri yang bersifat universal dan menyangkut semua aspek
kehidupan manusia yang disampaikan melalui suatu media ataupun interaksi,
tetapi dewasa ini terdapat kecenderungan memudarnya nilai-nilai budaya
pada segi kehidupan masyarakat khususnya budaya sunda dalam masyarakat
Kampung Adat Cireundeu.
Perubahan tersebut wajar terjadi mengingat kebudayaan tidaklah bersifat
statis, bahkan selalu berubah tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh
masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan akan berubah
23 Widi, Op. Cit.
71
dengan berlalunya waktu. Salah satu upaya untuk mengurangi atau mengatasi
dampak negatif dari perubahan sosial-budaya adalah dengan cara menggali,
mengkaji, membina, dan mengembangkan kembali nilai-nilai luhur
kebudayaan. Masyarakatadat Cireundeu sangat menjunjung tinggi rasa
hormat kepada leluhurnya, ini terbukti kebiasaan di Kampung Adat
Cireundeu tidak berubah, warga Cireundeu masih mengkomsumsi rasi
sebagai makanan pokok sehari-hari dan masih menjalankan ritual satu sura.
Keyakinan menurut masyarakat Kampung Adat Cireundeu adalah sesuatu
yang sakral tidak boleh dirubah.
Kepercayaan yang mereka anut harus sesuai dengan ajaran para
leluhurnya, harus ada keseimbangan antara manusia dan yang menciptakan,
dan seandainya diputar maka keseimbangan tersebut akan berbentuk bulat
yang disimbolkan dengan bumi sehingga menandakan bahwa manusia harus
melestarikan bumi. Berdasarkan pembahasan yang diatas telah dipaparkan
kebiasaan masyarakat adat Cireundeu dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Kampung Adat Cireundeu sangant menjunjung tinggi petuah yang diajarkan
oleh ajaran Pangeran Madrais yang mengajarkan untuk mengalihkan
makanan pokok beras ke singkong dan menjaga kelestarian kearifan lokal di
Kampung Adat Cireundeu.
4. Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat
Adat Kampung Cireundeu
Ketahanan pangan yang diperlihatkan warga Cireundeu menarik
perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kampung adat Cireundeu
kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan pangan yang berhasil di
Jawa Barat, bahkan Indonesia. Respon pemerintah terhadap tradisi
masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk apresiasi
pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu dalam menjaga ketahanan
pangannya dengan berlandaskan kearifan lokal. Namun disisi lain, sikap
pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi di republik ini kontradiktif
bila meninjau kebijakan diskriminatif yang memasung kebebasan masyarakat
72
Cireundeu untuk beragama dan berkeyakinan masih terus dipertahankan
hingga era reformasi kini. Terlihat ironis pula bila kita melihat kebijakan
pangan pemerintahan saat ini yang masih bergantung pada produk impor,
tanpa keseriusan membenahi sektor pertanian dalam negeri ini demi
terwujudnya kedaulatan pangan. Sudah selayaknya kita belajar dari mereka
yang telah teruji melewati dinamika sejarah tanpa mengabaikan hak-hak
mereka guna menyonsong masa depan yang lebih baik, masa depan yang
berdaulat.
Cara mempertahankan pangan di kampung Cireundeu sangat baik.
Masyarakat kampung cireundeu mematuhi peraturan yang ada di kampung
Cireundeu, tidak berani untuk memakan beras dari padi hanya mengkonsumsi
beras singkong saja sebagai makanan pokoknya nasi Rasi. Hal itu karena
pernah terjadi gagal panen dan warga kampung cireundeu tidak perlu bantuan
beras raskin dari pemerintah yang sekarang sedang maraknya warga
Indonesia berebutan mencari beras raskin. Jika ada salah satu warga
Cireundeu yang melangar aturan misalnya memakan nasi atau memakan
ketan-ketan maka akan ditanggung sendiri akibatnya. Karena beras dianggap
suci dalam agama Sunda Wiwitan.
Dilihat dari hasil analisis yang dilakukan mengenai stratifikasi sosial,
ternyata di kampung Cireundeu tersebut tidak ditemukannya stratifikasi
sosial. Sumber tersebut menyatakan bahwa tidak ada sistem stratifikasi sosial.
Dia menyatakan bahwa disana semua masyarakat dianggap sama, terbukti
bahwa di tempat bale-balenya pun atau semacam aula yang ada di kampung
tersebut, tempat para warga berkumpul, tidak memakai kursi, tetapi hanya
memakai alas saja, semacam karpet atau tikar, itu dikarenakan semua orang
disana dianggap sama, tidak ada perbedaan.
Jadi disana tidak terjadi persaingan yan menunjukan kekayaan, pofesi,
dan kedudukan. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan
tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan
hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dan hal lainnya. Berdasarkan
73
yang sudah dijelaskan diatas kampung Cireundeu kental dengan kearifan
lokalnya dan kearifan lokal tersebut harus dijaga dan dilestarikan dan ajaran
agama sunda wiwitan yang diyakini oleh Kampung Adat Cireundeu yang
harus dipertahankan oleh kampung Cireundeu.
5. Kearifan Lokal Sebagai Upaya Ketahanan pangan
Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan
penganekaragaman konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan adalah dengan mengembalikan pola penganekaragaman konsumsi
pangan yang telah mengakar di masyarakat sebagai kearifan lokal.
Kearifan lokal sebagai sumber karbohidrat masyarakat di desa Cirendeu
yang biasa dikonsumsi adalah singkong. Sedangkan sebagai sumber protein,
masyarakat juga telah terbiasa mengonsumsi aneka jenis ikan dan daging
yang berasal dari hasil budidaya sendiri. Adapun untuk sumber mineral dan
vitamin, didapat dari buah-buahan dan sayuran yang tersedia di kebun yang
mereka garap sendiri.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan,
kearifan lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi
modern. Karena kearifan lokal merupakan internalisasi dari pengalaman
hidup yang panjang dan menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat lokal
dengan norma-norma sosialnya. Kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi
penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial
dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.
Mewujudkan ketahanaan pangan nasional melalui peningkatan produksi
komoditas pangan bukan berarti harus mengabaikan norma-norma sosial
budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta
memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Ketahanan pangan nasional
akan menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan
sosial budaya masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.
Kearifan lokal ini menjadi benteng yang sangat penting dalam
meningkatkan peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan.
74
Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan memang sulit untuk
dihindari, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong. Sementara peran
pemerintah lebih terfokus pada regulasi dan penyediaan infrastruktur
pertanian. Meski demikian, peranan dunia usaha tetap harus sejalan dengan
kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan
masyarakat pedesaan selama ini. Dengan begitu, ketahanan pangan nasional
akan terwujud dengan adanya diversifikasi konsumsi pangan berbasis
kearifan lokal.
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kehidupan sosial yang terjadi di Kampung Cirendeu terutama
bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-
perubahan dalam masyarakatnya. Suatu sistem pengendalian sosial dalam
bentuk sebuah kearifan lokal bertujuan untuk mencapai keadaan damai
melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan dalam bermasyarakat.
Masyarakat dan kebudayaan Cireundeu memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai
makanan pokok dan upacara satu sura. Nilai-nilai pendidikan
kewarganegaraan masuk kedalam penerapan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
adat Cireundeu. Dengan adanya kebiasaan dan kebudayaan serta kearifan
lokal, maka sifat gotong royong, sopan satun, dan kerjasama itu terlihat
dengan jelas di kampung adat Cireundeu. Pengaruh tradisi atau kebiasaan
tersebut berpengaruh yang sangat besar sehingga dapat menjadi warga Negara
yang cerdas dalam berfikir dan berprilaku.
Nilai Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi
singkong sebagai makanan pokok bermanfaat sebagai bentuk upaya dalam
meningkatkan kesejahteraan pangan di masyarakat. Sehingga harapan dari
program ketahanan pangan dapat terwujud. Kebiasaan makan rasi pada
masyarakat Cireundeu di latar belakangi oleh adat budaya leluhur yang
berdasarkan keyakinan akan sebuah ajaran yang diajarkan oleh pangeran
Madrais yang mengajarkan untuk beralih dari beras ke singkong. Bentuk
Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam meningkatkan kesejahteraan
pangan melalui konsumsi singkong sebagai makanan pokok bermanfaat
sebagai contoh dan disosialisasikan di khalayak umum di seluruh wilayah
76
Indonesia. Bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa:
nilai, norma, kepercayaan, sanksi, dan aturan-aturan khusus. Bentuk kearifan
lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam menjaga
kesejahteraan pangan.
B. Saran
1. Aparat pemerintah dapat memperhatikan warga masyarakat adat
khususnya dalam mengembangkan budaya adat sehingga masyarakat luas
dapat mengetahui adanya suatu kebudayaan ditengah-tengah masyarakat
dan memberikan ruang gerak untuk masyarakat dalam melakukan sebuah
tradisi kebudayaan.
2. Para Tokoh Cireundeu lebih mempertahankan pangan dan menjaga
kearifan lokal yang sudah diturunkan oleh nenek moyang dan bisa
dirasakan oleh anak, cucu, buyut secara turun temurun.
3. Kepada masyarakat adat kampung Cireundeu dapat terus menjaga
kelestarian adat sampai kepada keturunan-keturunanya jangan sampai
kebudayaan adat hanya sebatas cerita sepupuh, perlu adanya kemauan
dari masyarakat untuk mengembangkan budaya dan pertahankan ketahan
pangan supaya menjadi ciri khas.
4. Kepada para pengunjung supaya tidak hanya melihat tetapi mempelajari
kebudayaan adat Cireundeu. Dengan mempelajari kebudayaan tersebut
maka ikut serta dalam pelestaraian kearifan lokal.
77
DAFTAR PUSTAKA
------. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara. Analisis KonsumsiKebutuhan Pangan. Medan. 2005.
-----. Ikhtisar budaya. Bandar Sri Begawan: Dewan bahasa dan kebudayankementian kebudayaan. 1976.
Amien, A Mappadjantji. Kemandirian Lokal konsepsi pembangunan, organisasi,dan pendidikan dalam prespektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia PustakaUtama. 2005.
Asmani , Jamal Ma’ mur. pendidikan Berbasis Keunggulan lokal. Jakarta: DIVAPress. 2012.
Ayat, Rohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: PustakaJaya. 1986.
Baliwati, Y. F. Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I. Jakarta: PenerbitSwadaya. 2004.
Budianto, Irmayanti Meliono. “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan danDampaknya pada Masyarakat”. Jurnal Makara sosial Humaniora, Vol. 8 No.2, Agustus 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Budiyanto, Moch. Agus Krisno. “Model Pengembangan Ketahanan PanganBerbasis Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Program StudiPendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang. 2012.
Departemen Sosial RI. Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas AdatTerpencil. 2006.
Depkes RI. Ditjen Bina kesehatan Masyarakat, Direktorat GiziMasyarakat.,Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Jakarta. 2004.
Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Fadhilah , Amir. “Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan LokalKomunitas Molamahu Pulubala Gorontalo”. (Fakultas Adab dan Humaniora& Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta) Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, Januari 2013.
78
Fadhilah, Amir & Yatim, Badri. “Kearifan Lokal Sebagai Modal SosialKetahanan Pangan Masyarakat : Studi Kasus pada Masyarakat Kp. CireundeuKelurahan Leuwi Gajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi ProvinsiJawa Barat, Desa Molamahu Kecamatan Pulubala Kabupaten GorontaloProvinsi Gorontalo , Komunitas Baduy Desa Kenekes KecamatanLeuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten (Laporan PenelitianKompetitif 2009)”. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Jakarta. 2009
Fahmal, Muin. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak DalamMewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press. 2006.
George M,Foster dan Anderson, Barbara Gallatin. Antropologi Kesehatan :Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono,Jakarta: UI Press.1986.
Haidlor.” sebagai landasan pembangunan bangsa, jurnal multicultural danmultireligius”. Jurnal Vol 9 2010.
Hardinsyah. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Pusat AntarUniversitas. IPB, Bogor. 1994.
Ihromi,T.O. pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1996.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.1987.
Liberti, Friska. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam PengelolaanHutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam PengelolaanRepong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat Kaitannya dengan KetahananNasional”,:http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20329639&lokasi=lokal. Di aksesOktober 2017.
Mardimin, Johanes. Jangan Tangisi Tradisi . Yogyakarta: Kanisius. 1994.
Nurdiani,Rizka. “Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam MempertahankanKetahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat Kampung AdatCireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota Cimahi)”. JurnalPendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus2014)
Nurochsyam, Mikka Wildha.“ Tradisi Pasola antara Kekerasan dan KearifanLokal”. Dalam Ade Makmur, (ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi.Jakarta:Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Republik Indonesia. 2011.
Pasopati Media Group Bondowoso. “Kearifan Lokal dan PembangunanIndonesia”. (www.passopatifm.com). 2013.
Permana ,Raden Cecep Eka, dkk. Kearifan local tentang mitigasi bencana padamasyarakat Baduy,http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20322209&lokasi=lokal. Di aksesOktober 2017.
Permana, Cecep Eka. Kearifan lokal masyarakat baduy dalam mengatasibencana, Jakarta: Wedatama Widia Sastra. 2010.
Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan lokal Revatalisasi Hukum Adat Nusantara .Jakarta: Grasindo. 2005.
Sartini “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat”. JurnalFilsafat. (2004.
Sediaoetama AD. Imu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta : DianRakyat. 1999
Simatupang, P.” Toward Sustainable Food Security: The Need for A NewParadigm in Simatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Economic Crisis: Effectson Agriculture and Policy Responses” . Centre for International EconomicStudies: University of Adelaide 5005 Australia. 1999
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindopersas.2005.
Soekirman. “Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya”.Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan pangan Rumah Tangga,Yogyakarta, 26-30 Mei. 1996.
Suhardjo. “Sosio Budaya Gizi”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangandan Gizi IPB. Bogor 1989
Suhardjo. “Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga” .Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga.Yogyakarta, 26-30 Mei. 1996.
Suhartini. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Penggelolan Sumber Alamdan Lingkungan,” Makalah disampaikan pada Seminar, Pendidikan danPenerapan MIPA, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta, 16Mei 2009
Sumarwan, U. dan Sukandar ,D Identifikasi Indikator dan Variabel sertaKelompok Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan Nasional. Jurusan GMSK-Faperta IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian R.IWiduri Press, Bogor. 1998.
Thaha R. Abd,dkk. “Pangan Dan Gizi”. Penerbit DPP Pergizi Pangan Indonesia,Bogor. 2002.
Tim penyu'sun Kamus Pusat Bahasa, ed., kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka 2007.
Tumanggor, Rusmin dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Prenada MediaGrup. 2015.
Usman, S. “Sosiologi Lingkungan. Pembahasan Tentang Lingkungan danPerilaku Sosial”. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidakdipublikasikan.http://iep.pasca.unand.ac.id/id/images/download/Jurnal/JAK/artikel .1996.diakses pada 12 Januari 2016.
Witoro.” Menemukan kembali dan Memperkuat Sistem Pangan Lokal”. MakalahLokakarya Forum Pendamping Petani Regio Gedepahala, Kampung Pending,Sukabumi, 2-24 September 2003. 2003.
Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R). “Kearifan Lokal dan Pemanfaatan danPelestarian Sumberdaya Pesisir”. Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1. 2008.
3. Dibagi menjadi berapa wilayah kampung adat Cireundeu?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
4. Bagaimana sejarah awal mula kampung ini muncul?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
5. Kenapa kampung ini dinamakan Cireundeu?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
82
6. Sejak kapan kampung ini ada?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
7. Apa saja tradisi yang ada?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
8. Siapa yang memulai tradisi-tradisi disini?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
9. Sejak kapan tradisi itu muncul?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
10. Bagaimana peran tokoh masyarakat/ketua adat untuk menjaga tradisi itu?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
11. Kenapa nasi singkong menjadi tradisi yang khas disini?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
83
12. Apa ada tempat penyimpanan khusus untuk menyimpan hasil panen?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
13. Bagaimana kalau singkong atau bahan pangan habis?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
14. Singkong yang dipanen biasanya dimanfaatkan untuk apa saja?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
15. Dari mana warga dapat mendapatkan singkong?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
16. Lembaga apa saja yang ada disini?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
17. Kenapa singkong yang dijadikan bahan pokok?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
84
18. Bagaimana cara mendapatkan singkong?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
19. Apa saja bahan makanan lain yang dapat dimanfaatkan selain singkong?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
20. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk panen?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
21. Berapa lama singkong dapat bertahan?
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
85
Lampiran 2
Transkip Wawancara
P : Peneliti
J : Kang jajat
P : Pertama saya mau tanya tentang sejarah kampung adat Cireundeu ini, hmmmmbagaimana si sejarah terbentuknya kampung cireundeu?
J : sejarah cireundeu tidak ada bukti nyata dan tertulis hanya cerita turun temurunya. Hmm karena budaya sunda lebih kuat budaya tutur dari pada budaya tulis.Eeee, cireunde diperkirakan ada sejak tahun 1700 sebelum kota cimahi dibangun.kota cimahi di bangun oleh belanda, yang di tandai dengan pembangunan jalan ,kantor, rumah sakit. Kampung adat Cireundeu awalnya adalah sebuah dusun kecilyang dibangun oleh seorang pangeran yaitu Pangeran Madrais yang berasal dariCigugur Kuningan. Pangeran Madrais singgah di Cireundeu tahun 1918 untukmengungsikan diri, karena pada waktu itu terjadi peperangan antara PemerintahHindia Belanda yang menyerang Kesultanan di Kuningan. Setelah menetapbeberapa tahun di Cireundeu, Pangeran Madrais bertemu dengan H. Ali danmembangun sebuah kampung yang disebut kampung Cireundeu. Hmmmmmkampung Cirendeu ini tidak diketaui siapa yang pertama tinggal disini, dan tidakdiketahui siapa yang memberi nama cirende. tapi, secara filosofis, cirendeuberasal dari 2 kata, “ci” yang artinya air dan “reudeu” yang artinya pohon rendeu,karena dulu di sungai (mata air) banyak pohon reunde, jadi namanya cireundeu.sarwendeu , saigel, sabobot, sapihanean, yang artinya cireunde di bangun dengangotong royong. tidak diketahui siapa yang mendirikan, hmmmm tapi leluhur yangdiketahui aki erwan namanya.
P : hmmmm terus kalo disini kearifan lokalnya apa aja ya?
J : kalo disini ciri khasnya ya nasi singkong , tapi ada juga tradisi lain seperti taliparanti yaitu kebiasaan menjaga dan memegang teguh tradisi leluhur berupasunda wiwitan, upacara kematian , kelahiran, perkawinan, upacara 1 sura.
P : nah untuk tradisi atau kearifan lokal itu sendiri sejak kapan munculnya?
J : hmmmm ya sejak masyarakat sunda itu ada, karna tadi kan saya jelaskan kalobukti tertulisnya itu tidak ada, jadi ya diperkirakan sejak masyarakat sunda ituada.
86
P : nah kalo peran dari ketua adat disini tuh bagaimana si?
J : tugas sesepuh atau ketua adat lah ya hanya membimbing dan membinamasyarakat adat saja.
P : tadi kan salah satu kearifan lokal disini tuh konsumsi nasi singkong ya, itukenapa ya yang dipilih singkong sebagai pengganti beras?
J : nah itu sebelom singkong yang dipilih sebagai bahan pokok, sebenernya udahdicoba bahan lain seperti jagung, ganyong dan lainnya, tapi kurang cocok karenakalo taneman lain taneman musiman, hanya bisa di panen sekali dalam semusim,kalo singkong bisa dipanen terus. pola tanam bergantian sehingga setiap bulanbisa panen.
P : terus sejak kapan masyarakat cirendeu itu makan singkong sebagai makananpokok?
J : hmmmm itu ditemukan singkong yang cocok sama kita tahun 1924 sm ibuomah.
P : hmmmm buat dapetin singkongnya itu dari mana ya? Beli atau tanem sendiri?
J : ya tanem sendiri, jadi disini tuh ada tiga jenis wilayah adat, yang pertama ituhutan larangan dan hutan tutupan , keduanya gaboleh di pake berladang, tapiuntuk hutan tutupan ini adalah sebagai salah satu lahan cadangan, tujuannya kalohutan baledahan ga bisa dipakai lagi buat tanem sesuatu, jadi buat sementaradialihkan ke hutan tutupan, sambil menunggu atau digarapnya kesuburan tanahhutan baledahan. hutan baledahan yang di pake buat berladang.
P : hmmmm terus kalo singkong itu sendiri selain dibikin jadi nasi, jadi apa lagi?
J : selain dibikin rasi singkong juga diolah jadi tepung kemudian jadi berbagaibahan untuk buat kue eggroll, bronis, dlll, terus juga kulit singkong itu tidakdibuang, itu juga bisa dijadikan dendeng kulit singkong.
P : Berapa Luas wilayah kampung adat Cireundeu? Lalu dibagi menjadi berapawilayah ya?
J : Disini luas wilayahnya kurang lebih 65 hektar ya. Dibagi jadi 2 wilayah, adayang namanya kampung pojok dan kampung adat, yang terdiri dari 1 RW dan 5RT. Kalau di kampung adat sendiri ada 2 RT. Untuk wilayah pemukimanwarganya sendiri si kurang lebih 5 hektar saja, sisanya ya jadi lahan pertanianwarga.
87
Lampiran 3
Transkip Wawancara
P : Peneliti
W : Abah Widi
P : Bagaimana si sejarah terbentuknya kampung cireundeu?
W : pada awalnya kampung adat Cireundeu merupakan daerah perbukitan yangbanyak ditanami pohon Reundeu dan pohon tersebut dekat dengan sumber air atauorang Sunda menyebutnya Cai sehingga kampung ini diberinama KampungCireundeu. Selain itu pemberian nama adat pada kampung Cireundeu karenaCireundeu menganut aliran kepercayaan yang dibawa oleh Pangeran Madraisyang masih dianut sampai sekarang oleh masyarakat adat Cireundeu. Cireundeudiperkirakan ada sejak tahun 1700-an, Aki Erwan lah yang dianggap sebagaileluhur awal mula desa cireundeu ini.
P : kearifan lokalnya yang ada di desa cirendeu ini apa aja ya?
W : kalo disini ciri khasnya ya nasi singkong , upacara 1 sura.
P : peran dari ketua adat disini tuh bagaimana dalam melestarikan kearifan lokal?
W : tugas sesepuh atau ketua adat lah ya hanya membimbing dan membinamasyarakat adat agar terus melestarikan adat dengan cara mearangkul anak-anakdalam berkreatifitas kesenian.
P : tadi kan salah satu kearifan lokal disini tuh konsumsi nasi singkong ya, itukenapa ya yang dipilih singkong sebagai pengganti beras?
W : karna hanya singkong yang bisa dipanen terus tanpa harus menunggu musimpanen. pola tanam bergantian sehingga setiap bulan bisa panen.
P : terus sejak kapan masyarakat cirendeu itu makan singkong sebagai makananpokok?
W : Sekitar tahun 1924
P : hmmmm buat dapetin singkongnya itu dari mana ya? Beli atau tanem sendiri?
W : ya tanem sendiri di ladang masing-masing. Biasanya masyarakat adatnyebutnya hutan baledahan itu yang di pake buat berladang. Setiap masyarakat
88
memiliki 3 hingga 5 petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya.Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknyaakan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalumenghasilkan singkong.
P : untuk pola pertaniannya itu gimana ya? Maksudnya udah sistem modern ataumasih tradisional?
W : sistem pertanian tradisioal karena daerah pegunugan dan bebatuan , sehinggatidak bisa pakai alat modern.
P : Selain dibuat menjadi nasi, singkong itu dibuat untuk apalagi? Dijual lagi atauada olahan lain?
W : biasanya dijual ke ibu-ibu (PKK lah istilahnya ya) buat bikin kue eggroll, dll
P : ini kan kampung adat ya, jika ada adat yang dilanggar ada sanksinya atau ga?
W : Tidak ada hukuman bagi yang melanggar, karena ada istilah asal ulah salahdisami semua aturan sudah disampaikan , kalau melanggar terima sendirikonsekuensi nya, karena adat di cireundeu tidak ada manusia yang bolehmenghukum manusia lain.
P : disini ada lembaga pendidikan? Apa saja?
W : ada satu sekolah dasar negeri (SDN)
P : kalo masyarakat disini ada yang buta huruf atau ga?
W : masyarakat cireunde terbuka tentang pendidian, sekolah sd, smp, sma kuliah.ga ada yang putus sekolah. tidak ada yang buta huruf kecuali orang tua dulu yangmasih buta huruf.
89
Lampiran 4
Transkip Wawancara
P : Peneliti
R : Rita
P : Apa makanan pokoknya teteh dan keluarga?
R : nasi singkong
P : berapa kali makan dalam sehari ?
R : 2 sampai 3 kali sehari
P : Singkongnya dapet darimana ?
R : kalo singkong kita tanem sendiri.
P : Selain singkong apalagi yang ditanam ?
R : kita biasanya menanam tanaman sayuran, seperti cabe, bayam, kangkung danlain-lain.
P : kemudian, kalau sistem pertaniannya sendiri bagaimana ? sudah moderen ataumasih tradisional ?
R : Sistem pertanian disini masih tradisional, seperti memakai cangkul, arit danlain sebagainya
P : Apa ada tempat penyimpanan khusus untuk menyimpan hasil panen ?
R : Kita ga punya lumbung khusus untuk menyimpan hasil panen.
P : Bagaimana kalau bahan pangan di rumah habis? Beli atau darimana ?
R : kalau untuk bahan pokok seperti singkong itu, kita ga pernah keabisan. Karenakalau hasil panen habis, biasanya ada tetangga yang membagi atau kita beli daritetangga yang sudah panen.
P : Siapa tokoh adat atau ketua adat disini ?
R : ketua adat disini abah emen.
P : Apa peran ketua adat ?
90
R : tempat berkonsultasi dan sebagai orang yang dituakan
P : Apa teteh tau aturan adat disini ada apa aja ?
R : yang pasti, disini kita gaboleh makan nasi karena disini nasi pamali untukdimakan dan ga boleh bercocok tanam di hutan larangan
91
Lampiran 5
Transkip Wawancara
P : peneliti
Y : Yadi
P : Apa makanan pokoknya akang dan keluarga?
Y : kalau makanan pokok ya nasi singkong,
P : Singkongnya beli atau menanam sendiri ?
Y : kalo singkong kita tanem sendiri di ladang, kalau seandainya di rumah habisbisa beli atau minta sama tetangga
P : singkongnya itu selain buat makan sendiri apa dijual keluar juga ?
Y : biasanya, kalau hasil panen banyak kita jual ke ibu-ibu (PKK) buat di olah lagijadi aneka kue dan makanan
P : kemudian, kalau sistem pertaniannya sendiri bagaimana ? sudah moderen ataumasih tradisional ?
Y : karena disini wilayah perbukitan berbatu jadi sistem pertanian disini masihtradisional, seperti memakai cangkul, arit dan lain sebagainya
P : Biasanya kalo panen menunggu berapa lama ?
Y : Biasanya sekitar 6 bulan
P : Kalau melanggar aturan adat apa ada sanksinya ?
Y : biasanya sih ga ada, kalau melanggar ya kita tanggung sendiri akibatnya
92
Lampiran 6
Transkip Wawancara
P : Peneliti
N : Neneng
P : apa saja tradisi yang ada disini?
N : disini ada tradisi perayaan 1 Sura, makanan pokoknya nasi singkong. Nahkalo 1 suro itu tradisinya mirip seperti lebaran bagi kaum muslim. Saat perayaanmereka selalu menggunakan pakaian baru. Namun setelah adat merekadilembagakan sehingga pada saat kaum laki-laki menggunakan pakaian pangsiwarna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk kaum perempuanmenggunakan pakaian kebaya berwarna putih. Gunungan buah-buahan yangdibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempahdan ketela yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual ini. Selain itu keseniankecapi suling, ngamumule budaya sunda serta wuwuhan atau nasihat dari Sesepuhatau ketua Adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura
P : Apa makanan pokoknya teteh dan keluarga?
N : kalau makanan pokok ya nasi singkong, nasi singkong itu makanan pokokwarga kampung adat Cireundeu, tidak satu butirpun masyarakat adat Cireundeumemakan beras dari padi, karena menurut ajarannya beras itu adalah sesuatu yangsuci dan tidak boleh dihabiskan dengan cara dimakan. Tetapi dipergunakan untuktolak bala yang disimpan didepan pintu.
P : Singkongnya beli atau menanam sendiri ?
N : kalo singkong kita tanem sendiri di ladang
P : singkongnya itu selain buat makan sendiri apa dijual keluar juga ?
N : Biasanya dijual ke ibu-ibu PKK yang saya pimpin buat diolah jadi kue danmakanan lain
P : Hasil produksi kue-kuenya dipasarkan kemana ?
N : Biasanya kita jual ke tamu yang datang atau sesuai dengan pesenan
P : Jenis kue apa saja yang diproduksi ?
93
N : ada brownis, eggroll, apem, biskuit, dadongkol dan kripik-kripik
P : Apa cuma bagian umbi singkong saja yang dimanfaatkan untuk membuatmakanan ?
N : engga juga, kita memanfaatkan kulitnya singkong buat jadi dendeng singkong,jadi dari singkong itu ga ada yang kebuang.
P : Kan kalau dari singkong harus digiling dulu, gilingannya punya sendiri ataubagaimana?
N : untuk penggiligan hanya ada beberapa unit di kampung ini dan itu juga milikkelompok, jadi gilingnya bareng-bareng
P : berapa kisaran harga produk kuenya ?
N : kalo dari kita sekitar 15.000 sampai 80.000
P : Kalau hasil penjualan bagaimana pembagiannya ?
N : biasanya dipotong produksi, dan keuntungannya dibagi rata ke ibu-ibu yanglain
P : Apa peran tokoh adat dalam kegiatan ini seperti apa ?
N : sangat mendukung yah, yang penting kita ga melanggar aturan-aturan adat
BIODATA PENULIS
NAMA : MUHAMAD FADILAH
TEMPAT, TANGGAL LAHIR : JAKARTA, 4 APRIL 1994
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
AGAMA : ISLAM
ALAMAT : JL. CABE RAYA GG. KELOR 1 NO.4 RT003/003 PONDOK CABE ILIR,PAMULANG, TANGERANG SELATAN
NAMA ORANG TUA : 1. SUBANDI2. KARYATI
PENDIDIKAN FORMAL :
TAHUN LEMBAGA PENDIDIKAN
1999-2000 TK DAHLIA CIRENDEU
2000-2006 SDN 1 CIREUNDEU
2006-2009 MTsN II PAMULANG
2009-2012 MAN 4 JAKARTA
2012-Sekarang UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGALAMAN ORGANISASI :
TAHUN ORGANISASI
2009-2012 PRAMUKA MAN 4 JAKARTA
2015DEWAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUANUIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA