Top Banner
227

Kawruh Kalang Serat Centhini 0 - WordPress.com · belajar ilmu warisan leluhur yang masih banyak bermanfaat hingga kini. Mangga! Kawruh Kalang Serat Centhini | 2 ... Adipati Santan

Oct 19, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 0

    Kajian Sastra Klasik

    KAWRUH KALANG

    (ILMU TEKNIK MEMBUAT BANGUNAN DI ZAMAN DAHULU)

    Kutipan Serat Centhini

    (Pupuh 223 bait 1 sampai Pupuh 230 bait 40)

    Terjemah dan Kajian oleh:

    Bambang Khusen Al Marie

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 1

    Kajian Sastra Klasik

    Prolog

    Alkisah perjalanan Raden Cebolang sampai di sebuah hutan di wilayah

    yang sekarang masuk kabupaten Klaten. Di hutan itu dia bertemu dengan

    Ki Wreksadikara, seorang kalang, yakni ahli dalam pembuatan bangunan.

    Ki Wreksa menguraikan tentang jenis-jenis kayu jati dan pemilihannya

    sebagai bahan pembuat rumah.

    Kawruh Kalang atau ilmu tentang membuat rumah sudah berkembang

    sejak zaman Prabu Jayabaya di Mamenang, Kediri. Ilmu itu terus

    berkembang sampai masa puncak kejayaan Mataram Islam. Sampai kini

    teknik perkayuan kuno masih digemari oleh masyarakat. Model rumah

    Joglo, Limasan, Kampung dan Masjid, juga masih banyak kita temui di

    negeri kita.

    Serat Centhini memuat informasi yang cukup banyak tentang Kawruh

    Kalang ini. Maka kita perlu mengkaji dalam bab tersendiri. Mari kita

    belajar ilmu warisan leluhur yang masih banyak bermanfaat hingga kini.

    Mangga!

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 2

    Kajian Sastra Klasik

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 3

    Kajian Sastra Klasik

    Pupuh 223

    Dhandhanggula

    (Bait 1 sampai bait 34)

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 4

    Kajian Sastra Klasik

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 5

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:1-5): Asal Muasal Rumah Kayu di Jawa

    Pupuh 223, bait ke 1 sampai bait ke 5, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u,

    9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), pethikan Serat Centhini tentang Kawruh Kalang.

    Kacarita kalanipun nguni, griyanipun tyang Jawi sadaya, sami sela kang dèn angge, ing pasang rakitipun, wawangunan amirit candhi. Sarêng jumênêngira, Jayabaya Prabu, kang ngadhaton ing Mamênang, akagungan punggawa kalangkung awig, nama Dipati Santan. Pinarcayèng ambudi sakalir, kawruh ingkang paedah mupangat, marang jalma sadayane. Kala salêbêtipun, tahun Surya angkaning warsi, asthatus sèkêt warsa, ing taun Sitèngsu, sami asthatus kalawan, asthadasa titiga Ki Adipati, andarbèni pamanggya, griya sela ing nginggilirèki, aprayogi bilih sinantunan, kajêng jati sasamine. De kang taksih lêstantun, saking sela mung pagêrnèki. Pramilane mangkana, amrih ènthèngipun, nir mutawatosing driya, saha langkung gampil panggarapirèki, tinimbang lawan sela. Lamun sela lêstantun nèng nginggil, (n)jing-anjingan tinurut we jawah, lami-lami rênggang rèmpèl, (n)jalari risakipun. Yèn wus risak gingsir ngoncati, rêntahnya ambêbêkta, ing sacêlakipun, ambrol damêl kasangsaran. Pamanggihe Ki Dipati kang kadyèki, kunjuk (n)jêng sri narendra, sakalangkung kaparênging galih. Adipati nulya dhinawuhan, iyasa badhe santunne, dalêm kadhatonnipun, wit kapasang yogya marêngi, kadhaton samya rêngka, (n)jing-anjinganipun. Namung sanggyaning wangunan, lumastari kadya duk ing nguni-uni, mandragini paningrat.

    Kajian per kata:

    Kacarita (alkisah) kalanipun (di kala) nguni (dahulu), griyanipun

    (rumah) tyang (orang) Jawi (Jawa) sadaya (semua), sami (semua) sela

    (batu) kang (yang) dèn angge (dipakai), ing (pada) pasang rakitipun

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 6

    Kajian Sastra Klasik

    (gaya arsitekturnya), wawangunan (bangunan) amirit (mirip) candhi

    (candi). Alkisah di kala dahulu rumah orang Jawa semuanya, dari batu

    yang dipakai, dengan gaya arsitektur mirip candi.

    Rumah orang Jawa zaman dahulu berbahan batu, dengan gaya arsitektur

    mirip candi. Terdiri dari bebatuan yang dipahat dengan sistem interlocking

    satu sama lain. Bangunan seperti ini membuatnya berat dan waktu

    pembuatannya sangat lama. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah

    bangunan mewah yang sering dipakai sebagai istana raja-raja atau rumah

    orang kaya.

    Sarêng (bersamaan, ketika) jumênêngira (yang bertahta), Jayabaya

    (Jayabaya) Prabu (Prabu), kang (yang) ngadhaton (berkeraton) ing (di)

    Mamênang (Mamenang), akagungan (mempunyai) punggawa

    (punggawa) kalangkung (sangat) awig (pintar, ahli), nama (bernama)

    Dipati (Adipati) Santan (Santan). Ketika yang bertahta (di Jawa) Prabu

    Jayabaya yang berkeraton di Mamenang, mempunyai punggawa yang

    sangat pintar, bernama Adipati Santan.

    Pada zaman yang bertahta di Jawa adalah Prabu Jayabaya di Mamenang,

    Kediri, beliau mempunyai punggawa yang sangat ahli dalam ilmu

    bangunan, bernama Adipati Santan. Ada pula yang menyebutnya Adipati

    Arya Santang.

    Pinarcayèng (dipercaya) ambudi (memikirkan) sakalir (semua), kawruh

    (pengetahuan) ingkang (yang) paedah (berfaidah) mupangat (memberi

    manfaat), marang (kepada) jalma (manusia) sadayane (semuanya).

    Dipercaya memikirkan semua pengetahuan yang berfaidah memberi

    manfaat kepada manusia semuanya.

    Adipati Santan ditugaskan untuk memikirkan cara alternatif atau

    melakukan rekayasa teknik, menemukan pengetahuan baru yang

    bermanfaat bagi semua orang. Agar pembuatan rumah dapat dilaksanakan

    dengan biaya yang sedikit, waktu yang cepat dan lebih mudah

    pengerjaannya.

    Kala (waktu) salêbêtipun (di dalam), tahun (tahun, penanggalan) Surya

    (Matahari) angkaning (angka pada) warsi (tahun), asthatus (delapan

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 7

    Kajian Sastra Klasik

    ratus) sèkêt (limapuluh) warsa (tahun), ing (di) taun (tahun, penanggalan)

    Sitèngsu (bulan), sami (sama) asthatus (delapan ratus) kalawan (dan),

    asthadasa (delapan puluh) titiga (tiga) Ki Adipati (Ki Adipati), andarbèni

    (mempunyai) pamanggya (pendapat), griya (rumah) sela (batu) ing (di)

    nginggilirèki (di atasnya), aprayogi (lebih baik) bilih (kalau) sinantunan

    (diganti), kajêng (kayu) jati (jati) sasamine (sejenisnya). Waktu di dalam

    penanggalam Matahari pada angka tahun 850, bersamaan penanggalam

    Bulan pada angka tahun 883, Ki Adipati mempunyai pendapat rumah batu

    di bagian atasnya lebih baik kalau diganti dengan kayu jati atau

    sejenisnya.

    Pada tahun Matahari 850 atau tahun Bulan 883, Ki Adipati Santan

    menemukan cara baru, yakni rumah batu di bagian atasnya seyogyanya

    diganti dengan bahan dari kayu jati atau sejenisnya. Tahun Matahari 850

    tersebut adalah tahun Saka, penanggalan yang dipakai orang Jawa sebelum

    masa Islam. Kalau di hitung dengan sistem penanggalan Bulan berangka

    tahun 883.

    De (adapun) kang (yang) taksih (masih) lêstantun (lestari), saking (dari)

    sela (batu) mung (hanya) pagêrnèki (pagarnya). Adapun yang masih

    lestari dari batu hanyalah pagarnya.

    Pagar yang dimaksud di sini adalah dinding bangunan, bukan pagar

    halaman. Jadi rumah tersebut hanya berganti kayu pada bagian atapnya

    saja. Sedangkan dinding rumah masih terbuat dari batu.

    Pramilane (makanya) mangkana (demikian), amrih (agar) ènthèngipun

    (ringan), nir (tanpa) mutawatosing (mengkhawatirkan) driya (hati), saha

    (dan) langkung (lebih) gampil (mudah) panggarapirèki (pengerjaannya),

    tinimbang (dibanding) lawan (dengan) sela (batu). Makanya dibuat

    demikian agar ringan tanpa mengkhawatirkan hati, dan lebih mudah

    pengerjaannya dibanding dengan batu.

    Meski hanya atap yang memakai kayu ini sudah merupakan perubahan

    yang besar dalam tata membuat rumah. Ada banyak keuntungan yang

    didapat dari penemuan teknik baru ini. Atap menjadi lebih ringan sehingga

    tidak mengkhawatirkan hati penghuni rumah kalau sewaktu-waktu ambrol.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 8

    Kajian Sastra Klasik

    Pengerjaan atap juga lebih mudah dibanding apabila memakai atap dari

    batu.

    Lamun (kalau) sela (batu) lêstantun (lestari, masih) nèng (di) nginggil

    (atas), (n)jing-anjingan (sambung-sambungan) tinurut (diturut) we (air)

    jawah (hujan), lami-lami (lama-lama) rênggang (renggang) rèmpèl

    (lepas), (n)jalari (membuat) risakipun (rusak padanya). Kalau batu masih

    di atas sambungan-sambungan diturut air hujan, lama-lama renggang

    lepas membuat rusak padanya.

    Kalau atap dari batu akan terkena air hujan. Air hujan terus menyusuri

    sambungan-sambungan antar batu sehingga sambungan tersebut aus

    terkikis air. Akibatnya sambungan menjadi renggang dan lepas

    interlocking-nya. Keadaan ini membuat kerusakan pada bangunan.

    Yèn (kalau) wus (sudah) risak (rusak) gingsir (bergeser) ngoncati

    (melarikan diri, terlepas), rêntahnya (runtuhnya) ambêbêkta (membawa),

    ing (yang di) sacêlakipun (dekatnya), ambrol (ambrol) damêl (membuat)

    kasangsaran (sengsara, celaka). Kalau sudah rusak bergeser terlepas,

    runtuhnya membawa yang di dekatnya, ambrol membuat celaka.

    Kalau antar sambungan lepas bisa runtuh per bagian demi bagian.

    Runtuhnya akan menyeret bagian di dekatnya sehingga bangunan akan

    ambrol dan membuat celaka penghuninya.

    Pamanggihe (pendapatnya) Ki Dipati (Ki Adipati) kang (yang) kadyèki

    (seperti itu), kunjuk (dilaporkan) (n)jêng (Kangjeng) sri (sri) narendra

    (Raja), sakalangkung (sangat-sangat) kaparênging (berkenan di) galih

    (hati). Pendapat Ki Adipati yang seperti itu dilaporkan Kangjeng Sri Raja,

    (beliau) sangat-sangat berkenan di hati.

    Teknik batu yang digagas Ki Adipati Santan dipaparkan di hadapan Raja.

    Sang Raja sangat-sangat berkenan hatinya. Raja setuju teknik baru ini

    diterapkan.

    Adipati (Adipati) nulya (segera) dhinawuhan (diperintah), iyasa

    (membuat) badhe (bakal) santunne (pengganti), dalêm (rumah)

    kadhatonnipun (keratonnya), wit (karena) kapasang yogya (sangat

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 9

    Kajian Sastra Klasik

    kebetulan) marêngi (bersamaan), kadhaton (keraton) samya (semua

    sedang) rêngka (retak), (n)jing-anjinganipun (sambungan-

    sambungannya). Adipati segera diperintah membuat bakal pengganti

    rumah keraton, karena sangat kebetulan bersamaan dengan bangunan

    keraton semua telah retak sambungan-sambungannya.

    Adipati segera diperintah untuk membuat bangunan seperti yang telah

    dipaparkan. Kebetulan bangunan keraton juga telah mengalami retak-retak

    pada sambungan-sambungannya. Adipati diperintah untuk membuat

    bangunan pengganti dengan teknik yang baru tersebut.

    Namung (hanya) sanggyaning (semua) wangunan (bangunan), lumastari

    (dilestarikan) kadya (seperti) duk (ketika) ing (waktu) nguni-uni

    (kemarin), mandragini (kamar tidur) paningrat (serambi). Hanya semua

    bangunan dilestarikan seperti kemarin, kamar tidur dan serambi.

    Bangunan keraton dibuat dengan teknik baru tersebut, namun dilestarikan

    bentuk dan fungsinya seperti sedia kala, bangunan induk seperti ruang

    tidur dan serambinya.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 10

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:6-8): Teknik Pembuatan Rumah Baru

    Pupuh 223, bait ke 6 sampai bait ke 8, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u,

    9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), pethikan Serat Centhini tentang Kawruh Kalang.

    Paripurnaning kanang pakarti, wus tetela gampil myang paedah, anulya ingundhangake, santunning griya wau. Lami-lami griyaning alit, pagêr sela binucal, santun pagêr kayu, sinigar-sigar blabagan, ing panggarap ugi sakalangkung gampil, tinimbang pagêr sela. Sarêng jumênêngnya sri bupati, Widayaka ing Mêndhangkamulan, karsa angadani rêke, iyasa kadhaton gung, saha yasa kalang bupati, anama Kalangkaba. Panêkarnya catur, golongan de namanira, Kalangblandhong ugi Kalangkamplong nami, dwi Kalangkobong nama. Katri Kalang-adêk namanèki, catur Kalangbrèt ing namanira, wêktu puniku wontênne, purwane punang dhapur, griya-griya mawarni-warni. Sarêng ing sapunika, Kalang kasbut ngayun, ingkang dèrèng nungkul kathah, kang wis nungkul lajêng kaparingan nami, winastan Kalang-mêndhak.

    Kajian per kata:

    Paripurnaning (selesainya) kanang (wujud) pakarti (pekerjaan), wus

    (sudah) tetela (terbukti) gampil (mudah) myang (dan) paedah (banyak

    keuntungan), anulya (lalu segera) ingundhangake (diundangkan),

    santunning (pergantian) griya (rumah) wau (tadi). Selesainya pekerjaan

    sudah terbukti mudah dan banyak keuntungan, lalu segera diundangkan

    pergantian rumah tadi.

    Pembuatan rumah dengan teknik baru telah selesai, dan terbukti mudah

    dalam pengerjaan. Banyak keuntungan diperolah dengan cara baru tersebut

    sehingga oleh Sang Raja diundangkan ke seluruh negeri. Dikenalkan

    kepada penduduk Mamenang tentang cara pembuatan rumah baru tersebut.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 11

    Kajian Sastra Klasik

    Lami-lami (lama-lama) griyaning (rumah-rumah yang) alit (kecil), pagêr

    (dinding) sela (batu) binucal (dibuang), santun (diganti) pagêr (dinding)

    kayu (kayu), sinigar-sigar (dibelah-belah) blabagan (menjadi papan), ing

    (dalam) panggarap (pengerjaan) ugi (juga) sakalangkung (sangat) gampil

    (mudah), tinimbang (dibanding) pagêr (dinding) sela (batu). Lama-lama

    rumah-rumah yang kecil dinding batu dibuang diganti dinding kayu yang

    dibelah-belah menjadi papan, dalam pengerjaan juga sangat mudah

    dibanding dinding batu.

    Teknik baru ini terus berkembang dan mengalami penyesuaian. Pada

    rumah-rumah kecil dinding batu sudah dihilangkan sama sekali, diganti

    dengan dinding dari kayu yang dibelah membentuk papan-papan. Dinding

    batu yang kuat masih dipakai pada rumah-rumah besar atau istana raja.

    Sarêng (ketika) jumênêngnya (yang bertahta) sri bupati (sebagai raja),

    Widayaka (Widayaka) ing (di) Mêndhangkamulan (Medang Kamulan),

    karsa (berkehendak) angadani (mengadakan) rêke (sekarang), iyasa

    (membuat) kadhaton (keraton) gung (besar), saha (serta) yasa

    (mengadakan) kalang (Kalang) bupati (Bupati), anama (bernama)

    Kalangkaba (Kalang Kaba). Ketika yang bertahta sebagai raja Widayaka

    di Medang Kamulan, berkehendak mengadakan sekarang, membuat

    keraton besar serta mengadakan jabatan Bupati Kalang, bernama Kalang

    Kaba.

    Ketika kerajaan pindah ke Medang Kamulan, dan yang bertahta Mpu

    Widayaka, beliau berkehendak mengadakan keraton besar. Untuk

    melancarkan rencana itu dibentuklah jabatan Bupati Kalang, yang diberi

    nama Kalang Kaba. Mpu Widayaka adalah ilmuwan legendaris yang

    mumpuni yang juga dikenal dengan nama Ajisaka1..

    1 Dalam serat Panitisastra dikatakan kalau ilmu Mpu Widayaka mampu mengalahkan seribu pendeta. Guru Mpu Widayaka adalah Maulana Ngusman Ngajid dari Bani Israil, serta para

    Jawata di tanah Jawa. Wajar kalau beliau sangat mumpuni. Sebelum menjadi raja dia adalah

    petualang dari tanah Hindustan. Ayahnya bernama Batara Anggajali, sedang ibunya berasal

    dari Najran. Dia juga dikenal dengan nama Ajisaka, Jaka Sangkala, Mpu Wisaka, Sri

    Maharaja Wisaka, dan beberapa nama lain. Dia datang di masa Raja Dewata Cengkar di

    Medang Kamulan dan mengalahkannya, kemudian menjadi raja di sana. Namum itu bukan

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 12

    Kajian Sastra Klasik

    Panêkarnya (penekarnya) catur (empat), golongan (golongan) de

    (adapun) namanira (namanya), Kalangblandhong (Kalang Blandong) ugi

    (juga disebut) Kalangkamplong (Kalang Kamplong) nami (namanya), dwi

    (yang kedua) Kalangkobong (Kalang Kobong) nama (namanya), katri

    (ketiga) Kalang-adêk (Kalang Adek) namanèki (namanya), catur

    (keempat) Kalangbrèt (Kalang Bret) ing (pada) namanira

    (namanya), wêktu (waktu) puniku (itu) wontênne (adanya), purwane

    (mulanya) punang (wujud) dhapur (corak, tipe), griya-griya (rumah-

    rumah) mawarni-warni (bermacam-macam). Panekarnya ada empat

    golongan, adapun namanya Kalang Blandong juga disebut Kalang

    Kamplong, yang kedua Kalang Kobong namanya, yang ketiga Kalang

    Apek namanya, keempat Kalang Bret namanya, waktu itu awal mulaya

    ada corak rumah bermacam-macam.

    Bupati Kalang Kaba tadi diberi empat panekar atau pegawai rendah di

    bawah bupati. Pertama Kalang Blandong atau Kalang Kamplong, tugasnya

    menebang kayu di hutan. Kedua Kalang Kobong atau Kalang Obong,

    tugasnya membersihkan hutan dengan dibakar. Ketiga Kalang Adek,

    tugasnya mendirikan rumah, dan keempat Kalang Bret (breg, artinya

    ambruk), tugasnya membongkar bangunan lama. Sejak saaat itulah teknik

    membuat bangunan berkembang pesat dan mulai ada corak rumah yang

    bermacam-macam. Yang dimaksud dhapur atau tipe rumah adalah corak

    bangunan berdasar atapnya, meliputi: joglo, limasan, kampung dan tajug.

    Sarêng (ketika) ing (pada) sapunika (saat ini), Kalang (Kalang) kasbut

    (yang disebut) ngayun (di depan), ingkang (yang) dèrèng (belum)

    nungkul (bergabung, menyerah) kathah (banyak), kang (yang) wis

    (sudah) nungkul (menyerah bergabung) lajêng (lalu) kaparingan (diberi)

    nami (nama), winastan (disebut) Kalang-mêndhak (Kalang Mendak).

    kedatangan Ajisaka yang pertama ke tanah Jawa. Sebelumnya dia pernah datang ke tanah Jawa. Kedatangan pertama terjadi ketika Pulau Jawa belum berpenghuni. Kalau dilihat

    rentang waktu kedatangan pertama sampai di masa dia menjadi raja di Medang Kamulan

    terdapat selisih waktu yang panjang. Memang beliau dikenal sangat panjang usianya. Konon

    setelah lengser sebagai raja di Medang Kamulan pun beliau masih mengembara ke tanah

    Sunda dan Lampung, menjadi guru di sana.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 13

    Kajian Sastra Klasik

    Ketika pada saat ini para kalang yang disebut di depan tadi, yang belum

    menyerah banyak, yang sudah menyerah dan bergabung diberi nama

    Kalang Mendak.

    Kemudian para bupati kalang atau ahli bangunan yang ada seperti telah

    disebut di muka, banyak yang belum menyerah kepada kerajaan sekarang

    (Mataram Islam). Yang telah menyerah kemudian diberi nama Kalang

    Mendak. Sekarang teknik pembuatan rumah telah sedemikian maju, juga

    pemilihan kayu jati yang dipakai sebagai bahan bangunan. Ada beberapa

    jenis kayu jati yang perlu diketahui agar hasil pembuatan rumah dapat

    diperoleh secara maksimal. Jenis kayu jati tersebut serta pertimbangannya

    sebagai elemen rumah akan diuraikan dalam kajian berikutnya.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 14

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:9-11): Macam Kayu Jati Berdasar Tanah Tempat Tumbuhnya

    Pupuh 223, bait ke 9 sampai bait ke 11, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u,

    9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), pethikan Serat Centhini tentang Kawruh Kalang.

    Mangkya ulun mêdhar pamilihing, kajêng jati êmpuk atos kathah, sagêt gêng-agêng uwite, puniku ingkang thukul, nèng parêdèn tuwin wanadri, nèng siti abrit krêsna. Dene ingkang thukul, nèng siti abrit prayoga, dhasar atos sêrat rêntêt alus klimis, warninipun anglisah. Ingkang thukul anèng siti langking, dhasar êmpuk sêrat gopok miwah, mrupuk ngêndhal lir pulute. Ananging nadyan jumbuh, sami thukul ing siti abrit, mawi tundha tri pangkat, sapangkat winuwus, jati abang dhasar kilang, alus rêntêt anglisah iku prayogi, awèt kangge dandosan. Kalih jati-kêmbang ugi nami, jati-sungu dhasaripun krêsna, srat lêr-lêran lir sêkare, utawi mirit sungu, awèt kangge dandosan nanging, kasor lan jati-abang. Katri jati-kapur, dhasar êmpuk gopok kang srat, miwah mrupuk wujudipun pêthak kusi, yèku asor pribadya.

    Kajian per kata:

    Ki Wreksadikara melanjutkan penjelasan tentang kayu Jati kepada Mas

    Cebolang:

    Mangkya (sekarang) ulun (saya) mêdhar (menguraikan) pamilihing

    (pemilihan dari), kajêng (kayu) jati (jati) êmpuk (lunak) atos (keras)

    kathah (banyak), sagêt (bisa) gêng-agêng (besar-besar) uwite (pohonnya),

    puniku (itu) ingkang (yang) thukul (tumbuh), nèng (di) parêdèn

    (pegunungan) tuwin (serta) wanadri (hutan), nèng (ada di) siti (tanah)

    abrit (merah) krêsna (hitam). Sekarang saya menguraikan pemilihan dari

    kayu jati, lunak keras banyak (macamnya) bisa besar-besar pohonnya, itu

    yang tumbuh di pegunungan serta hutan, ada di tanah merah dan hitam.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 15

    Kajian Sastra Klasik

    Pemilihan jenis kayu jati yang lunak atau keras banyak macamnya,

    tergantung kepada besar kecilnya pohon, juga di tempat tumbuhnya kayu,

    serta bergantung pada jenis tanah tempat pohon itu tumbuh. Yang

    pohonnya kecil pasti lebih lunak daripada yang pohonnya besar untuk

    lokasi dan kondisi yang sama. Yang tumbuh di hutan dan pegunungan

    pasti berbeda karakteristik kayunya. Yang tumbuh di tanah merah dan

    hitam juga berbeda pula.

    Dene (adapun) ingkang (yang) thukul (tumbuh), nèng (di) siti (tanah)

    abrit (merah) prayoga (lebih baik), dhasar (sifat dasarnya) atos (keras)

    sêrat (serat) rêntêt (rapat) alus (halus) klimis (basah), warninipun

    (coraknya) anglisah (berminyak). Adapun yang tumbuh di tanah merah

    lebih baik, sifat dasarnya keras serat rapat halus basah, corak warna

    berminyak.

    Yang tumbuh di tanah merah lebih baik. Yang dimaksud tanah merah

    adalah tanah kapur yang sudah tua. Kalau kapur masih muda warnanya

    putih dan lengket. Karakter kayu jati yang tumbuh di tanah seperti ini sifat

    dasarnya keras (BJ tinggi) dan seratnya rapat sehingga kuat. Corak

    warnanya seolah basah seperti berminyak. Kelihatan mengkilat (klimis)

    seperti kayu basah.

    Ingkang (yang) thukul (tumbuh) anèng (ada di) siti (tanah) langking

    (hitam), dhasar (sifat dasar) êmpuk (lunak) sêrat (serat) gopok (rapuh)

    miwah (serta), mrupuk (lunak, gampang patah) ngêndhal (berlemak,

    bergabus) lir (seperti) pulute (getahnya). Yang tumbuh di tanah hitam,

    sifat dasarnya lunak serat rapuh serta gampang patah bergabus seperti

    getahnya.

    Yang dimaksud tanah hitam adalah tanah humus, tanah hasil pelapukan

    dari pohon-pohon. Kayu jati yang tumbuh di tanah seperti ini sifat

    dasarnya lunak, seratnya rapuh serta gampang patah. Biasanya tumbuhnya

    subur sehingga banyak kandungan karbohidrat dalam kayu. Terkesan kayu

    banyak gabusnya, seratnya tidak rapat akibat banyak getahnya.

    Itulah gambaran umum jenis kayu berdasar jenis tanah tempat pohonnya

    tumbuh. Selain itu masih ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 16

    Kajian Sastra Klasik

    kayu berdasar kandungan mineral dalam tanah tersebut. Oleh karena itu

    meski sama-sama tumbuh di tanah sejenis juga terdapat bermacam-macam

    lagi variasinya.

    Ananging (tetapi) nadyan (walau) jumbuh (sesuai, sama), sami (sama)

    thukul (tumbuh) ing (di) siti (tanah) abrit (merah), mawi (ada) tundha

    (susun) tri (tiga) pangkat (tingkat), sapangkat (satu tingkat) winuwus

    (disebut), jati-abang (jati abang) dhasar (sifat dasar) kilang (kelang,

    keras), alus (halus) rêntêt (rapat) anglisah (berminyak) iku (itu) prayogi

    (bagus), awèt (awet) kangge (dipakai) dandosan (bahan perabot). Tetapi

    walau sama, sama tempat tumbuhnya di tanah merah, ada susun tiga

    tingkat (jenisnya), tingkat pertama disebut jati abang, sifat dasarnya

    keras, halus rapat berminyak, itu bagus sebagai bahan perabot.

    Yang tumbuh di tanah merah, masih dibagi lagi menjadi tiga tingkat

    kualitas kayunya. Yang pertama disebut jati abang, sifat dasarnya keras,

    tekstur kayu halus, rapat seratnya, berminyak. Bagus sebagai bahan

    perabot rumah, untuk struktur dan juga bagus untuk perabot rumah tangga

    karena kayunya awet. Disebut jati abang karena warna kayunya memang

    merah, kayu bagian tepi yang berwarna putih atau disebut gubal sangat

    tipis.

    Kalih (yang kedua) jati-kêmbang (jati kembang) ugi (juga) nami

    (dinamakan), jati-sungu (jati sungu) dhasaripun (sifat dasarnya) krêsna

    (warna hitam), srat (serat) lêr-lêran (bergalur-galur) lir (seperti) sêkare

    (bunga), utawi (atau) mirit (mirip) sungu (tanduk), awèt (awet) kangge

    (untuk) dandosan (perabot) nanging (tetapi), kasor (kalah) lan (dengan)

    jati-abang (jati abang). Yang kedua jati kembang juga dinamakan jati

    sungu, sifat dasarnya warna hitam, serat bergalur-galur seperti bunga,

    atau mirip tanduk, awet dipakai sebagai perabot tetapi masih kalah

    dengan jati abang.

    Yang kedua disebut jati kembang atau jati sungu. Disebut jati kembang

    karena seratnya bergalur-galur seperti bunga-bungaan. Disebut jati sungu

    karena coraknya mirip tanduk hewan. Kayu jenis ini warnanya gelap

    cenderung hitam dengan galur-galur coklat tua. Biasanya sifatnya keras

    dan tidak gampang memuai. Kelemahannya pada warnanya yang kurang

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 17

    Kajian Sastra Klasik

    bersih dan jika difinishing dapat luntur oleh bahan finishingnya sehingga

    kurang indah. Pada umumnya kayu jati sungu ini kurang disukai, dan

    dianggap kualitasnya lebih rendah daripada jati abang. Meski demikian

    ada juga penggemarnya, yakni kalangan petani dan orang desa. Mereka

    hanya butuh kayu yang awet dan harganya relatif murah.

    Katri (ketiga) jati-kapur (jati kapur), dhasar (difat dasar) êmpuk (lunak)

    gopok (rapuh) kang srat (seratnya), miwah (serta) mrupuk (gampang

    patah) wujudipun (wujudnya) pêthak (putih) kusi (kusam), yèku (itulah)

    asor (rendah) pribadya (sendiri). Yang ketiga jati kapur, sifat dasarnya

    lunak rapuh seratnya, serta gampang patah, wujudnya putih kusan, itulah

    uang paling rendah (kualitasnya).

    Kualitas ketiga adalah jati kapur, sifatnya hampir mirip dengan kayu jati

    yang tumbuh di tanah hitam. Sifat dasarnya lunak, seratnya rapuh dan

    gampang patah. Warnanya putih kusam. Itulah kualitas kayu jati yang

    paling rendah.

    Secara umum itulah gambaran jenis kualitas kayu berdasar tanah tempat

    tumbuhnya. Yang tumbuh di lahan tanah hitam sudah pasti buruk

    kualitasnya. Sedang yang tumbuh di lahan tanah merah masih perlu

    diidentifikasi kualitasnya karena ada juga yang berkualitas buruk.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 18

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:12-16): Angsar Kayu Jati Baik (I)

    Pupuh 223, bait ke 12 sampai bait ke 16, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e,

    7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat Centhini Tentang Kawruh Kalang.

    Pikajênge tiyang bangsa Jawi, kajêng jati punika agadhah, angsar awon miwah sae. Ingkang dènanggêp luhung, anggadhahi angsar prayogi, karêjêkèn raharja, ing sasamènipun. Kang angsar botên prayoga, anjalari kamlaratan gung prihatin, punika wus dilalah. Wujud saha warni sawlas warni, kang sawarni kajêng kang witira, satunggal kalih pakahe, punika namanipun, ugêr-ugêr watakirèki, kang ngênggènni raharja, sarayatnya guyub, prayogane manggènnira, pan kinarya gêr-ugêr korining panti, myang kori cêpurinya. togog ingkang nglêbêt pancaksuji, atanapi grogol sasaminya. Kapindho tiga pakahe, Trajumas namanipun, watêg ngathahakên rijêki, prayogi manggènnira, kangge wisma pungkur, bêbalungan lêluhuran, kang gung-agung pangêrêt balandar tuwin, molo sasaminira. Katri kajêng kang dipunsusuhi, paksi agêng tuwin kapondhokan, sadhengah buron wanane, kanamakakên Tunjung. Watêkipun botên prayogi, angêndhakakên drajad, sartane puniku, angrusakakên ing sêdya, manggènnipun kangge gêdhogan utawi, kandhanging rajakaya. Catur uwit utawi pangnèki, kathukulan simbar nama Simbar, pan asrêp adhêm sawabe, prayogi manggènnipun, kangge balungane kang masjid, langgar surambi lawan, balunganing cungkup, tanapi sanggar planggatan, sasaminya wisma panêpèn pan suci, dhingin pasêmonira.

    Kajian per kata:

    Pikajênge (kehendak) tiyang (orang) bangsa (bangsa) Jawi (Jawa),

    kajêng (kayu) jati (jati) punika (itu) agadhah (mempunyai), angsar (tuah)

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 19

    Kajian Sastra Klasik

    awon (buruk) miwah (serta) sae (baik). Kehendak orang bangsa Jawa,

    kayu jati mempunyai angsar buruk serta baik.

    Angsar adalah kekuatan yang memberi pengaruh baik atau buruk.

    Kekuatan ini diperoleh dari karakteristik kayu jati sesuai keadaan waktu

    tumbuh sebagai batang pohon. Orang Jawa mempercayai hal-hal seperti

    itu. Pada prinsipnya orang Jawa berusaha melestarikan kondisi yang

    dialami kayu ketika masih berupa pohon dengan ketika digunakan sebagai

    bahan bangunan. Dengan cara itu orang Jawa berharap mendapat manfaat

    lebih karena pemakaian kayunya cocok dengan keadaan ketika hidup

    sebagai pohon.

    Ingkang (yang) dènanggêp (dianggap) luhung (luhur, tinggi, baik),

    anggadhahi (mempunyai) angsar (angsar) prayogi (baik), karêjêkèn

    (mendatangkan rejeki) raharja (keselamatan), ing (pada) sasamènipun

    (sesamanya). Yang dianggap luhur mempunyai angsar baik,

    mendatangkan rejeki dan keselamatan pada sesamanya.

    Kayu yang dianggap baik akan mempunyai angsar yang baik, dan akan

    membawa pengaruh positif kepada penghuni rumah yang memakai kayu

    tersebut. Pengaruh itu terutama kepada kemudahan dalam mencari rejeki

    serta dalam keselamatan penghuninya, serta kepada sesama orang di

    sekitar rumah.

    Kang (yang) angsar (berangsar) botên (tidak) prayoga (baik), anjalari

    (menyebabkan) kamlaratan (kemelataran) gung (besar) prihatin

    (prihatin), punika (itu) wus (sudah) dilalah (kebetulan). Yang berangsar

    tidak baik menyebabkan kemelaratan prihatin yang besar, yang demikian

    itu sudah kebetulan terjadi.

    Yang dianggap tidak mempunyai angsar baik akan membawa kemelaratan

    serta keprihatinan yang besar kepada penghuni rumah, dan sebaiknya

    dihindari.

    Wujud (wujud) saha (dan) warni (jenis) sawlas (sebelas) warni (macam),

    kang (yang) sawarni (macam pertama) kajêng (kayu) kang (yang) witira

    (pohonnya), satunggal (satu) kalih (dua) pakahe (cabangnya), punika

    (itu) namanipun (namanya), ugêr-ugêr (uger-uger) watakirèki

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 20

    Kajian Sastra Klasik

    (wataknya), kang (yang) ngênggènni (menempati) raharja (sejahtera),

    sarayatnya (sekeluarga) guyub (rukun). Wujud dan jenisnya ada sebelas

    macam, yang pertama pohonnya satu tapi dua cabangnya, itu namanya

    uger-uger wataknya yang menempati sejahtera sekeluarga rukun.

    Ada sebelas macam kayu yang mempunyai angsar baik, masing-masing

    sesuai keadaan ketika masih berupa pohon. Berikut ini akan diterangkan

    watak, sifat kayu dan peruntukan yang tepat dari masing-masing jenis

    tersebut. Juga pengaruhnya kepada watak penghuni rumah kelak. Yang

    pertama adalah kayu yang ketika masih berupa pohon mempunyai cabang

    pokok (pakah) dua buah, namanya Uger-uger. Watak kayu seperti ini jika

    dipakai sebagai bahan rumah yang menempati rumah akan sejahtera, hidup

    rukun sekeluarga.

    Prayogane (baiknya) manggènnira (penempatannya), pan (sungguh)

    kinarya (sebagai) gêr-ugêr (penguat) korining (pintu dari) panti (rumah),

    myang (dan) kori (pintu) cêpurinya (pagar keliling), togog (tiang)

    ingkang (yang) nglêbêt (di dalam) pancaksuji (railing pagar), atanapi

    (dan juga) grogol (pagar) sasaminya (semacamnya). Sebaiknya

    penempatannya sebagai penguat pintu dari rumah atau pintu pagar

    keliling, tiang yang di dalam atau railing pagar dan juga pagar dan

    semacamnya.

    Sebaiknya penempatan kayu Uger-uger ini dipakai sebagai penguat pintu

    atau kalau zaman sekarang disebut kusen. Bisa dipakai sebagai kusen

    pintu rumah atau kusen pintu regol atau pintu gerbang. Juga bisa dipakai

    sebagai tiang (kolom) di bagian dalam. Juga baik dipakai sebagai railing

    pagar atau tiang pagar dan sejenisnya. Prinsipnya, sesuai sifatnya ketika

    masih menjadi pohon, sebaiknya dipakai sebagai struktur penguat dalam

    bangunan.

    Kapindho (kedua) tiga (tiga) pakahe (cabangnya), Trajumas (Trajumas)

    namanipun (namanya), watêg (watak) ngathahakên (memperbanyak)

    rijêki (rezeki), prayogi (baik) manggènnira (penempatannya), kangge

    (untuk) wisma (rumah) pungkur (belakang), bêbalungan (struktur)

    lêluhuran (bagian atas), kang (yang) gung-agung (besar-besar) pangêrêt

    (pengeret) balandar (blandar) tuwin (serta), molo (molo) sasaminira

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 21

    Kajian Sastra Klasik

    (semacamnya). Yang kedua (pohon) yang tiga cabangnya, Trajumas

    namanya, wataknya memperbanyak rezeki, baik penempatannya untuk

    rumah bagian belakang, untuk struktur bagian atas yang besar-besar

    pengeret, blandar serta molo dan semacamnya.

    Yang kedua, kayu dari pohon yang bercabang tiga, disebut Trajumas.

    Wataknya memperbanyak rezeki. Penempatan sebaiknya dipakai sebagai

    struktur rumah bagian belakang (gandhok). Baik dipakai sebagai struktur

    blandar (balok), pengeret (balok lintang) serta molo (nok).

    Katri (ketiga) kajêng (kayu) kang (yang) dipunsusuhi (dipakai

    bersarang), paksi (burung) agêng (besar) tuwin (serta) kapondhokan

    (dipakai tempat tinggal), sadhengah (sembarang) buron (hewan buruan)

    wanane (hutan), kanamakakên (dinamakan) Tunjung (Tunjung). Yang

    ketiga kayu yang dipakai bersarang burung besar serta dipakai tinggal

    sembarang hewan buruan hutan.

    Ketiga, kayu dari pohon yang dipakai bersarang burung besar seperti

    burung hantu, elang dan burung pemakan ikan. Serta dipakai sebagai

    tempat tinggal sembarang hewan buruan hutan. Kayu jenis ini dinamakan

    Tunjung.

    Watêkipun (wataknya) botên (tidak) prayogi (baik), angêndhakakên

    (menurunkan) drajad (derajat), sartane (serta) puniku (yang seperti itu),

    angrusakakên (merusak) ing (dalam) sêdya (keinginan), manggènnipun

    (penempatannya) kangge (dipakai) gêdhogan (kandang kuda) utawi

    (atau), kandhanging (kandang dari) rajakaya (hewan ternak). Wataknya

    tidak baik, merendahkan derajat serta yang seperti itu merusak dalam

    keinginan, penempatannya dipakai sebagai kandang kuda atau kandang

    dari hewan ternak.

    Watak kayu Tunjung tidak baik dipakai sebagai elemen bangunan rumah

    karena bisa menurunkan derajat penghuninya, karena kayu itu sudah

    sering dirambah hewan-hewan liar. Juga bisa membawa pengaruh merusak

    keinginan penghuni rumah. Namun ada baiknya jika dipakai sebagai

    kandang kuda atau kandang hewan ternak. Ini sesuai sifatnya ketika masih

    berupa pohon, yakni telah akrab dengan hewan-hewan.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 22

    Kajian Sastra Klasik

    Catur (keempat) uwit (pohon) utawi (atau) pangnèki (cabangnya),

    kathukulan (tumbuh) simbar (gulma) nama (namanya) Simbar (Simbar),

    pan (sungguh) asrêp (sejuk) adhêm (dingin) sawabe (pengaruhnya).

    Keempat pohon atau cabangnya tumbuh gulma namanya Simbar, sungguh

    sejuk dingin pengaruhnya.

    Yang keempat adalah kayu yang dipohon atau cabangnya ditumbuhi

    simbar atau gulma. Kayu dari pohon ini dinamakan kayu Simbar. Simbar

    yang tumbuh bisa bermacam gulma, bisa pohon anggrek atau sejenis

    pohon yang hidupnya menempel pohon lain. Watak dari kayu Simbar

    sungguh dingin dan sejuk karena sekujur pohon ditumbuhi gulma yang

    rimbun menghijau.

    Prayogi (baik) manggènnipun (penempatannya), kangge (dipakai)

    balungane (strukur) kang (yang) masjid (masjid), langgar (langgar)

    surambi (serambi) lawan (dan), balunganing (struktur) cungkup

    (cungkup makam), tanapi (juga) sanggar (sanggar) planggatan

    (pemujaan), sasaminya (semacamnya) wisma (rumah) panêpèn (menyepi)

    pan (yang) suci (suci), dhingin (dingin) pasêmonira (kesannya). Baik

    penempatannya dipakai untuk struktur masjid langgar serambi dan

    struktur cungkup makam, juga sanggar pemujaan semacamnya, rumah

    menyepi yang suci, karena dingin kesannya.

    Sebaiknya penempatan kayu Simbar dipakai sebagai struktur masjid,

    langgar serambi dan struktur bangunan makam, juga bangunan sanggar

    pemujaan atau semacam wisma untuk menyepi. Efek dingin dari kayu ini

    diharapkan membawa pengaruh ketenangan bagi penghuni bangunan suci

    tersebut.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 23

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:17-21): Angsar Kayu Jati Baik (II)

    Pupuh 223, bait ke 17 sampai bait ke 21, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e,

    7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat Centhini tentang Kawruh Kalang.

    Kaping gangsal ing satunggal uwit, pakahipun wontên cacah gangsal, punika Pandhawa ranne. Watêkipun linuhung, langkung rosa ingkang ngênggènni, prayoga manggènnira, kinarya puniku, babalunganing pandhapa, utaminya kangge sakagurunèki, samubarang santosa. Kanêm kajêng ingkang thukul munggwing, ing pêpunthuk winastanan Monggang, nginggahkên drajat watêke, rajêkinya sêmpulur. Prayogine myang manggènnèki, kinarya babalungan, regol tuwin panggung, bangsal miwah pasanggrahan, sasaminya ingkang botên dèn-ênggonni, myang katilêman janma. Kaping pitu wit kinubêng warih, dèn-namakkên Molo watêkira, angasrêpakên sartane, anyantosakkên kalbu. Prayogine manggènnirèki, kinarya babalungan, pandhapa puniku, mèh sami kajêng Pandhawa, nanging taksih kaanggêp dèrèng nyamèni, lawan kajêng Pandhawa. Wolu ingkang sinusuhan paksi, alit-alit utawine bangsa, gumrêmêt manggèn uwite, nama Gêndam saèstu, kang ngênggènni rijêki mintir, sartane sugih rencang. Dene manggènnipun, kaangge gêdhogan lawan, kandhang rajakaya lir tunjung ing ngarsi, ananging èstunira, kanggêp sae kajêng Tunjung ngarsi. Kajêng Gêndam malih prayoginya, kangge pirantos kalane, bubujêngan myang manuk, glodhog tawon bêkungkung tuwin, tangkêban pasangannya, kêthèk tukang lutung, pikat ing sasaminira. Asêrêpan saha botên nguciwani, tur sumbon kêrêp angsal.

    Kajian per kata:

    Kaping (yang ke) gangsal (lima) ing (pada) satunggal (satu) uwit

    (pohon), pakahipun (cabangnya) wontên (ada) cacah (jumlah) gangsal

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 24

    Kajian Sastra Klasik

    (lima), punika (itu) Pandhawa (Pandawa) ranne (namanya). Yang kelima

    pada satu pohon cabangnya ada lima jumlahnya, itu Pandawa namanya.

    Pohon jati yang jumlah cabangnya lima disebut Pandawa. Ini merupakan

    pohon jati langka. Di masjid agung Purworejo ada kayu jati yang berasal

    dari pohon jati jenis ini. Kayu jati itu dibuat sebagai bedhug dan sekarang

    diletakkan di serambi masjid agung Purworejo dan dinamakan Bedhug

    Kyai Pendawa.

    Watêkipun (wataknya) linuhung (sangat luhur), langkung (sangat) rosa

    (kuat) ingkang (yang) ngênggènni (menempati), prayoga (baik)

    manggènnira (penempatannya), kinarya (sebagai) puniku (itu),

    babalunganing (struktur dari) pandhapa (pendapa), utaminya (utamanya)

    kangge (untuk) sakagurunèki (saka gurunya), samubarang (semuanya)

    santosa (sentausa). Wataknya sangat luhur sangat kuat yang menempati,

    lebih baik penempatannya sebagai struktur dari pendapa, utamanya untuk

    saka guru, semuanya sentausa.

    Watak dari kayu ini sangat luhur, sangat kuat yang menempatinya.

    Sebaiknya penempatannya sebagai struktur dari pendapa atau aula. Lebih

    utama kalau dipakai sebagai saka guru atau tiang utama. Semua elemen

    bangunan akan berkesan sentausa.

    Kanêm (keenam) kajêng (kayu) ingkang (yang) thukul (tumbuh)

    munggwing (terletak), ing (di) pêpunthuk (gundukan) winastanan

    (disebut) Monggang (Monggang), nginggahkên (menaikkan) drajat

    (derajat) watêke (wataknya), rajêkinya (rejekinya) sêmpulur (terus

    menerus). Keenam kayu yang tumbuh terletak di gundukan disebut

    Monggang, menaikkan derajat wataknya, rejekinya terus menerus.

    Keenam adalah kayu yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas tanah

    gundukan. Kayu jenis ini disebut Monggang. Wataknya baik, menaikkan

    derajat dan membuat rejeki sempulur, terus mengalir secara kontinyu.

    Prayogine (sebaiknya) myang (dan) manggènnèki (penempatannya),

    kinarya (sebagai) babalungan (struktur), regol (pintu depan) tuwin (serta)

    panggung (panggung), bangsal (bangsal) miwah (serta) pasanggrahan

    (pesanggrahan), sasaminya (sejenisnya) ingkang (yang) botên (tidak)

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 25

    Kajian Sastra Klasik

    dèn-ênggonni (ditempati), myang (dan) katilêman (dipakai tidur) janma

    (orang). Lebih baik penempatannya sebagai struktur pintu depan serta

    panggung, bangsal serta pesanggrahan dan sejenisnya yang tidak

    ditempati dan tidak dipakai tidur manusia.

    Penempatan kayu ini sebagai elemen rumah sebaiknya dipakai sebagai

    struktur regol, atau pintu depan serta panggung. Juga sebagai struktur

    pesanggrahan dan sejenisnya, yakni bangunan yang peruntukannya bukan

    sebagai tempat tinggal. Kesan kuat dan mandiri cocok dipakai untuk

    elemen bangunan di atas. Sebaliknya tidak cocok untuk bangunan rumah

    karena memberi kesan kesepian.

    Kaping (yang ke) pitu (tujuh) wit (pohon) kinubêng (dikelilingi) warih

    (air), dèn-namakkên (dinamakan) Molo (Molo) watêkira (wataknya),

    angasrêpakên (menyejukkan) sartane (serta), anyantosakkên (membuat

    sentausa) kalbu (hati). Yang ketujuh pohon yang dikelilingi air, dinamakan

    Molo wataknya menyejukkan serta membuat sentausa hati.

    Yang ketujuh adalah kayu yang berasal dari pohon yang tumbuhnya

    dikelilingi air. Kayu ini dinamakan Molo. Wataknya menyejukkan serta

    membuat hati kuat.

    Prayogine (baiknya) manggènnirèki (penempatannya), kinarya (sebagai)

    babalungan (elemen struktur), pandhapa (pendapa) puniku (itu), mèh

    (hampir) sami (sama) kajêng (kayu) Pandhawa (Pandawa), nanging

    (tetapi) taksih (masih) kaanggêp (dianggap) dèrèng (belum) nyamèni

    (menyamai), lawan (dengan) kajêng (kayu) Pandhawa (Pandawa).

    Sebaiknya penempatannya sebagai elemen struktur pendapa, itu hampir

    sama dengan kayu Pandawa, tetapi masih dianggap belum menyamai

    dengan kayu Pandawa.

    Kayu Molo cocok dipakai sebagai struktur bangunan pendapa atau

    bangunan depan rumah. Peruntukannya hampir sama seperti kayu

    Pandawa, tetapi masih dianggap belum menyamai kayu Pandawa. Jadi

    angsarnya masih sedikit di bawah kayu Pandawa.

    Wolu (delapan) ingkang (yang) sinusuhan (dipakai sarang) paksi

    (burung), alit-alit (kecil-kecil) utawine (atau) bangsa (sebangsa),

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 26

    Kajian Sastra Klasik

    gumrêmêt (yang merayap) manggèn (menempati) uwite (pohonnya),

    nama (namanya) Gêndam (Gendam) saèstu (sungguh), kang (yang)

    ngênggènni (menempati) rijêki (rezeki) mintir (lancar), sartane (serta)

    sugih (banyak) rencang (teman). Kedelapan yang dipakai sarang burung

    kecil-kecil atau sebangsa hewan yang merayap menempati pohonnya,

    namanya Gendam, sungguh yang menempati rezeki lancar serta banyak

    teman.

    Yang kedelapan adalah kayu yang semasa masih berupa pohon banyak

    dipakai sebagai sarang oleh burung kecil-kecil dan hewan merayap. Kayu

    jenis ini disebut Gendam. Biasanya burung kecil adalah burung ocehan,

    yang bersuara bagus dan seringkali dipelihara. Jadi watak kayu Gendam

    ini sesuai watak pohonnya akan membuat rezeki mengalir lancar. Karena

    sudah biasa dipakai sarang dan tempat tinggal banyak hewan maka juga

    membawa pengaruh banyak teman kepada penghuninya.

    Dene (adapun) manggènnipun (penempatannya), kaangge (dipakai)

    gêdhogan (kandang kuda) lawan (dan), kandhang (kandang) rajakaya

    (hewan ternak) lir (seperti) tunjung (Tunjung) ing (di) ngarsi (depan),

    ananging (tetapi) èstunira (sesungguhnya), kanggêp (dianggap) sae (lebih

    baik) kajêng (kayu) Tunjung (tunjung) ngarsi (di depan). Adapun

    penempatannya dipakai sebagai kandang kuda, kandang hewan ternak

    seperti kayu Tunjung di depan, tetapi sesungguhnya dianggap lebih baik

    kayu Tunjung di depan.

    Adapun penempatannya sebagai struktur bangunan adalah sebagai

    kandang kuda atau kandang hewan ternak seperti halnya kayu Tunjung.

    Namun kayu Gendam ini dianggap masih kalah baik dibanding kayu

    Tunjung yang telah diuraikan di depan.

    Kajêng (kayu) Gêndam (Gendam) malih (lagi) prayoginya (baiknya),

    kangge (dipakai) pirantos (piranti) kalane (ketika), bubujêngan (berburu)

    myang (dan) manuk (burung), glodhog (glodog) tawon (tawon)

    bêkungkung (perangkap macan) tuwin (serta), tangkêban (perangkap)

    pasangannya (jebakan dari), kêthèk (monyet) tukang (kukang) lutung

    (lutung), pikat (jerat ikan) ing sasaminira (dan sejenisnya). Kayu Gendam

    baiknya lagi dipakai untuk piranti ketika berburu dan menangkap burung,

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 27

    Kajian Sastra Klasik

    untuk glodog tawon, perangkap macan serta perangkap jebakan dari

    monyet kukang lutung dan untuk jerat ikan dan sejenisnya.

    Kayu Gendam juga sebaiknya dipakai sebagai bahan piranti berburu

    burung. Juga baik dipakai sebagai glodog atau rumah tawon madu. Baik

    pula dipakai sebagai perangkap harimau, perangkap monyet, kukang dan

    lutung. Juga baik dipakai sebagai bahan pembuat jerat ikan, sebangsa

    wuwu atau sejenisnya.

    Asêrêpan (serepan) saha (serta) botên (tidak) nguciwani

    (mengecewakan), tur (dan juga) sumbon (sumbon) kêrêp (sering) angsal

    (mendapat). Serepan dan tidak mengecewakan, dan juga sumbon sering

    mendapat.

    Serepan artinya pandai mencari ikan. Kalau memakai alat dari kayu jati

    Gendam maka akan mudah menangkap ikan. Arti sumbon adalah selalu

    beruntung dalam mencari ikan, selalu mendapat hasil tangkapan. Maka

    kayu jati jenis Gendam ini juga cocok untuk dipakai sebagai alat pancing,

    piranti jala atau alat lain yang fungsinya menangkap ikan.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 28

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:22-25): Angsar Kayu Jati Baik (III)

    Pupuh 223, bait ke 22 sampai bait ke 25, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e,

    7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), pethikan Serat Centhini Tentang Kawruh

    Kalang.

    Sanga kajêng kang trubus saking wit, winastanan Gendhong karêpira, nyugihakên kaskayane, saking ing ngandhapipun. Prayoginya myang manggènnèki, kangge gêdhong simpênan, tuwin wadhahipun, arta bandha raja-brana, warni bênèt garobog pêthèn myang pêthi, têntrêma tambah-tambah. Kasadasa kajêng ingkang mawi, gimbol mungging dêlêg winastanan, kajêng Gêdhêg de watêke, anguwawèkkên sagung, pasimpênan arta brana di, prayogi manggènnira, lawan Gendhong jumbuh. Kangge gêdhong pasimpênan, rajabrana tuwin bênèt pêthèn pêthi, jênêk awêwah-wêwah. Kasawêlas ingkang amungkasi, kajêng ingkang wontên gandhikira, winastanan Gêdhug sae, nyugihakên saèstu, rajakaya sarta (n)jalari, wilujêng sumarambah, ing sakaliripun. Prayogi myang manggènnira, kangge sawarnining wadhah barana di, tuwin kang rajakaya. Sadayèku ingkang saupami, akalintu patrap panganggènya, anjalari ing awonne, ananging jumbuhipun, botên kadi ingkang nglênggahi, manggèn ing kanang wrêksa, winastanan dhaup, mupangati kasaenan. Mangkya ulun mêdhar kajêng kang tinampik, kang awon angsarira.

    Kajian per kata:

    Sanga (sembilan) kajêng (kayu) kang (yang) trubus (tumbuh) saking

    (dari) wit (pohon), winastanan (disebut) Gendhong (Gendong) karêpira

    (wataknya), nyugihakên (menambah) kaskayane (kekayaan), saking

    (dari) ing (pada) ngandhapipun (bawahnya). Kesembilan kayu yang

    tumbuh dari pohon, disebut Gendong, wataknya menambah kekayaan dari

    bawahnya.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 29

    Kajian Sastra Klasik

    Kayu yang tumbuh dari pohon maksudnya trubus dari batang yang sudah

    mati. Disebut kayu Gendong. Wataknya menambah kekayaan dari bawah.

    Karena pada kayu trubus pohon lama tidak mati, melainkan tumbuh pohon

    baru, jadi pohon baru sudah terbiasa disupport nutrisi dari pohon di

    bawahnya yang telah mengakar kuat.

    Prayoginya (baik) myang (dan) manggènnèki (tempatnya), kangge

    (untuk) gêdhong (gedung) simpênan (simpanan), tuwin (serta)

    wadhahipun (wadahnya), arta (harta) bandha (benda) raja-brana (barang

    berharga), warni (seperti) bênèt (lemari kecil) garobog (kotak besar)

    pêthèn (kotak kecik) myang (dan) pêthi (peti), têntrêma (teteramnya)

    tambah-tambah (bertambah-tambah). Kayu baik dan penempatannya

    untuk gedung simpanan, serta untuk wadah harta benda dan barang

    berharga, seperti; lemari kecil, kotak besar kotak kecil dan peti,

    tenteramnya bertambah-tambah.

    Kayu seperti ini bagus dan penempatan untuk gedung simpanan. Juga

    untuk wadah-wadah harta benda dan barang berharga, seperti untuk lemari

    kecil, gerobog atau kotak besar, kotak-kotak kecil mirip peti dan juga

    untuk peti. Pengaruhnya pada penghuninya akan menambah tenteram

    hidupnya.

    Kasadasa (kesepuluh) kajêng (kayu) ingkang (yang) mawi (ada), gimbol

    (gimbal, tonjolan) mungging (pada) dêlêg (batang) winastanan (disebut),

    kajêng (kayu) Gêdhêg (Gedheg) de (adapun) watêke (wataknya),

    anguwawèkkên (menyembunyikan) sagung (semua), pasimpênan

    (simpanan) arta (harta) brana (benda) di (bagus), prayogi (baik)

    manggènnira (penempatannya), lawan (dengan) Gendhong (Gendong)

    jumbuh (cocok), kangge (untuk) gêdhong (gedung) pasimpênan

    (penyimpanan), rajabrana (barang berharga) tuwin (serta) bênèt (lemari

    keci) pêthèn (kotak kecil) pêthi (peti), jênêk (nyaman) awêwah-wêwah

    (bertambah-tambah). Kesepuluh kayu yang ada tonjolannya pada batang,

    disebut kayu Gedheg, adapun wataknya menyembunyikan semua

    simpanan harta benda bagus, baiknya penempatannya dengan kayu

    Gendong, sangat cocok untuk gedung penyimpanan barang berharga serta

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 30

    Kajian Sastra Klasik

    lemari kecil kotak kecil peti, rasa nyaman penghuninya bertambah-

    tambah.

    Kesepuluh adalah kayu yang pohonnya ada tonjolan, disebut kayu Gedheg.

    Adapun wataknya menyembunyikan semua barang simpanan. Bagus jika

    dipakai sebagai kombinasi dari kayu Gendong. Karena kayu jenis ini

    biasanya tidak bagus seratnya sebaiknya dipakai bukan untuk struktur

    bangunan. Bisa dipakai untuk lemari penyimpanan, kotak-kotak atau peti-

    peti. Pengaruhnya terhadap penghuninya membuat rasa nyaman terhadap

    simpanannya.

    Kasawêlas (kesebelas) ingkang (yang) amungkasi (mengakhiri), kajêng

    (kayu) ingkang (yang) wontên (ada) gandhikira (gandhiknya, mengalami

    penebalan), winastanan (disebut) Gêdhug (Gedug) sae (bagus),

    nyugihakên (memperkaya) saèstu (sungguh), rajakaya (hewan ternak)

    sarta (serta) (n)jalari (membuat), wilujêng (selamat) sumarambah

    (merata), ing (pada) sakaliripun (semuanya). Kesebelas yang terakhir,

    kayu yang ada bagian mengalami penebalan, disebut Gedug, bagus

    memperkaya sungguh hewan ternak serta membuat selamat merata pada

    semuanya.

    Kesebelas kayu yang mengalami penebalan pada batangnya, disebut

    Gedug. Wataknya memperkaya dan menambah hewan ternak serta

    membuat selamat merata pada semuanya.

    Prayogi (baik) myang (dan) manggènnira (penempatannya), kangge

    (untuk) sawarnining (sejenisnya) wadhah (wadah) barana di (barang

    bagus), tuwin (serta) kang rajakaya (hewan ternak). Kayu baik dan

    penempatannya untuk sejenis wadah barang bagus serta untuk kandang

    hewan ternak.

    Karena kayu jenis ini umumnya seratnya juga tidak bagus sebaiknya juga

    tidak dipakai untuk struktur. Sebaiknya untuk membuat peti, lemari dan

    perabot lain, juga untuk bagian kandang ternak.

    Sadayèku (semua itu) ingkang (yang) saupami (seumpama), akalintu

    (keliru) patrap (penerapan) panganggènya (pemakaiannya), anjalari

    (membuat) ing (pada) awonne (buruknya), ananging (tetapi) jumbuhipun

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 31

    Kajian Sastra Klasik

    (cocoknya), botên (tidak) kadi (seperti) ingkang (yang) nglênggahi

    (menempati), manggèn (bertempat) ing (di) kanang wrêksa (kayuna itu),

    winastanan (disebut) dhaup (jodoh), mupangati (bermanfaat) kasaenan

    (kebaikan). Semua itu yang seumpama keliru penerapan dalam

    pemakaiannya membuat buruk, tetapi cocoknya tidak seperti dengan yang

    menempati kayu itu, disebut jodoh, bermanfaat untuk kebaikan.

    Semua yang telah diuraikan tadi kalau penerapannya tidak sesuai akan

    berakibat buruk, manfaat tidak tercapai sesuai watak masing-masing kayu.

    Namun soal kecocokan itu lebih ditentukan dengan si penghuni bangunan

    yang memakai kayu tersebut. Jika cocok maka disebut jodoh, akan

    membawa banyak manfaat untuk kebaikan.

    Mangkya (sekarang) ulun (saya) mêdhar (menguraikan) kajêng (kayu)

    kang (yang) tinampik (tertolak), kang (yang) awon (buruk) angsarira

    (angsarnya). Sekarang saya uraikan kayu yang tertolak, yang buruk

    angsarnya.

    Sekarang Ki Wreksadikara akan menguraikan kayu yang tertolak karena

    buruk angsarnya. Kayu yang seperti apakah itu? Nantikan dalam kajian

    berikutnya.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 32

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:26-30): Angsar Kayu Jati Buruk (I)

    Pupuh 223, bait ke 26 sampai bait ke 30, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e,

    7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat Centhini Tentang Kawruh Kalang.

    Èngêt-ulun wontên nêmblas warni, juga kajêng nglêbêtipun mawa, kulit punika namane, Klabang-pipitan èstu, anggadhahi watêg pênyakit, apan winastan panas. Dwi kajêng kang rubuh, angrubuhi sami wrêksa, winastanan Tundhung watêkira asih, karya won myang pitênah. Katri kajêng ingkang rêbahnèki, malang lèpèn margi myang jujurang, nama Sandha de watêke, angêrêpkên kasandhung, ing prakawis rinakêt sakit. Catur kajêng kang rêbah, numpang tunggakipun, yèku winastanan Sundhang, watêkipun dhumatêng ingkang ngênggènni, binancana ing ngandhap. Panca kajêng ingkang rêbahnèki, sumendhe nèng kajêng maksih gêsang, watêkipun ingkang ngangge, kalorot drajatipun, kabêncana saking tanggèki. Sad kajêng Kèli nama, sarah watêkipun, kang ngênggènni kacuwan tyas, sarta suda-suda rijêkinirèki, dumadya kamlaratan. Sapta kajêng Kala gêsangnèki, bolong-butul sru awon watêknya, sintên tiyange kang ngangge, asring kataman èstu, ing dadamêl tan dènniyati. Astha kajêng brodhol kang, mêdal manahipun, winastanan Wutah-mamah, watêkipun tangèh sagêt simpên wadi, nglacutkên pikajêngan. Nawa kajêng sol rêbah pribadi, winastanan Prabatang wataknya, gagarkên barang sêdyane, nyuda darajatipun. Kasadasa kakum ing warih, myang kapêndhêm ing kisma, Gombang namanipun, watêg miwah angsarira, kang ngênggènni kêrêp dipitênah maring, satru angkara murka.

    Kajian per kata:

    Ki Wreksadikara melanjutkan penuturannya tentang jenis kayu yang

    mempunyai angsar buruk:

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 33

    Kajian Sastra Klasik

    Èngêt (ingat) ulun (saya) wontên (ada) nêmblas (enam belas) warni

    (macam), juga (kesatu) kajêng (kayu) nglêbêtipun (didalamnya) mawa

    (ada), kulit (kulit) punika (itu) namane (namanya), Klabang-pipitan

    (Klabang Pipitan) èstu (sungguh). Seingat saya ada enambelas macam,

    yang pertama kayu yang di dalamnya ada kulit, namanya Klabang

    Pipitan.

    Ada enam belas macam kayu yang angsarnya buruk dan harus dihindari

    sebagai bahan pembuat rumah. Yang pertama adalah kayu yang di

    dalamnya terselip kulit kayu. Kayu jenis ini disebut Klabang Pipitan.

    Anggadhahi (mempunyai) watêg (watak) pênyakit (penyakit), apan (dan

    juga) winastan (disebut) panas (panas). Mempunyai watak membawa

    penyakit, dan juga disebut panas.

    Kayu ini mempunyai watak membawa penyakit, maka disebut juga kayu

    yang panas. Secara ilmu kayu, sebenarnya kayu jenis ini memang tidak

    bagus untuk bahan bangunan karena serat kayu terpotong oleh kulit yang

    terselip sehingga mengurangi kekuatan kayu.

    Dwi (kedua) kajêng (kayu) kang (yang) rubuh (roboh), angrubuhi

    (menimpa) sami (sesama) wrêksa (kayu), winastanan (disebut)

    Tundhung (Tundung) watêkira (wataknya) asih (memberi), karya

    (membuat, memberi) won (keburukan) myang (dan) pitênah (fitnah).

    Kedua kayu yang roboh dan menimpa sesama kayu, disebut Tundung,

    wataknya memberi keburukan dan fitnah.

    Kayu yang waktu ditebang ketika roboh menimpa pohon lain. Kayu seperti

    ini disebut Tundung. Wataknya seperti halnya perilaku batang pohonnya

    yang menyebabkan kerusakan pohon lain, jika dipakai bahan bangunan

    pun akan menyebabkan keburukan kepada penghuninya, dan membuat

    penghuninya suka memfitnah.

    Katri (ketiga) kajêng (kayu) ingkang (yang) rêbahnèki (robohnya),

    malang (melintang) lèpèn (sungai) margi (jalan) myang (dan) jujurang

    (jurang), nama (namanya) Sandha (Sanda) de (adapun) watêke

    (wataknya), angêrêpkên (membuat sering) kasandhung (tersandung), ing

    (pada) prakawis (perkara) rinakêt (di dekati) sakit (penyakit). Ketiga kayu

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 34

    Kajian Sastra Klasik

    yang robohnya melintang sungai jalan dan jurang, namanya Sanda

    adapun wataknya membuat sering tersandung dalam perkara didekati

    penyakit.

    Kayu yang ketika robohnya melintang jalan, sungai atau jurang disebut

    Sanda. Wataknya mendekatkan kepada penyakit yang sering menjadi batu

    sandungan dalam hidup. Hidup menjadi kurang kualitasnya karena

    disibukkan menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita. Hal ini karena

    riwayat penebangan kayu yang menyebabkan orang lain terhambat,

    tersandung atau terhambat perjalanannya.

    Catur (keempat) kajêng (kayu) kang (yang) rêbah (roboh), numpang

    (menumpang) tunggakipun (tonggaknya), yèku (itu) winastanan (disebut)

    Sundhang (Sundang), watêkipun (wataknya) dhumatêng (kepada)

    ingkang (yang) ngênggènni (menempati), binancana (terkena bencana)

    ing (dari) ngandhap (bawah). Keempat kayu yang roboh menumpang

    pada tonggaknya, itu disebut Sundang, wataknya kepada penghuninya

    terkena bencana dari bawah.

    Maksud bencana dari bawah adalah dari dalam rumah sendiri. Jadi kayu

    Sundang ini semestinya dihindari untuk pembuatan bahan bangunan

    rumah.

    Panca (kelima) kajêng (kayu) ingkang (yang) rêbahnèki (robohnya),

    sumendhe (bersandar) nèng (di) kajêng (pohon) maksih (masih) gêsang

    (hidup), watêkipun (wataknya) ingkang (yang) ngangge (memakai),

    kalorot (turun) drajatipun (derajatnya), kabêncana (kena bencana) saking

    (dari) tanggèki (tetangganya). Kelima kayu yang robohnya bersandar di

    pohon yang masih hidup, wataknya yang memakai turun derajatnya,

    terkena musibah dari tetangganya.

    Kelima kayu yang waktu ditebang robohnya bersandar pada pohon lain

    yang masih hidup, jadi tidak langsung jatuh ke tanah. Bangunan yang

    memakai kayu seperti ini wataknya akan menurunkan derajat

    penghuninya. Tidak disukai tetangga atau akan datang bencana dari

    tetangganya.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 35

    Kajian Sastra Klasik

    Sad (keenam) kajêng (kayu) kèli (hanyut) nama (nama), Sarah (Sarah)

    watêkipun (wataknya), kang (yang) ngênggènni (menempati) kacuwan

    (kecewa) tyas (hati), sarta (serta) suda-suda (terkurang terus) rijêkinirèki

    (rezekinya), dumadya (menjadi) kamlaratan (sebab melaratnya). Keenam

    kayu yang waktu ditebang hanyut, disebut Sarah, wataknya yang

    menempati akan kecewa hatinya, serta terus-menerus berkurang rezekinya

    sehingga menjadi melarat.

    Kayu yang waktu ditebang hanyut di air disebut Sarah. Arti sarah adalah

    sampah. Bila dipakai sebagai bahan bangunan penghuninya akan

    mengalam kecewa dalam hati. Serta akan terus-menerus berkurang

    rezekinya sehingga melarat.

    Sapta (ketujuh) kajêng (kayu) kala (waktu) gêsangnèki (hidupnya),

    bolong-butul (berlubang tembus) sru (sangat) awon (buruk) watêknya

    (wataknya), sintên (siapa) tiyange (orangnya) kang (yang) ngangge

    (memakai), asring (sering) kataman (terkena) èstu (sungguh), ing (oleh)

    dadamêl (senjata) tan (tak) dènniyati (disengaja). Ketujuh kayu yang

    waktu hidup pohonnya berlubang tembus sangat buruk wataknya, siapa

    orangnya yang memakai sering terkena sungguh, oleh senjata walau tak

    disengaja.

    Yang ketujuh adalah kayu yang ketika hidup sebagai pohon menderita

    lubang sampai tembus. Watak kayu ini jika dipakai sebagai bahan rumah

    akan membuat penghuninya sering terkena senjata, bahkan ketika dalam

    keadaan tidak sengaja atau bukan di medan perang. Secara ilmu bahan

    kayu jenis ini juga berbahaya bila dipakai sebagai elemen struktur. Kayu

    yang berlubang di tengah sukar ditentukan secara pasti kekuatannya

    sehingga bisa saja menderita kelebihan beban dan ambruk sewaktu-waktu.

    Astha (delapan) kajêng (kayu) brodhol (koyak) kang (yang), mêdal

    (keluar) manahipun (hatinya), winastanan (disebut) Wutah-mamah

    (Wutah Mamah), watêkipun (wataknya) tangèh (mustahil) sagêt (bisa)

    simpên (menyimpang) wadi (rahasia), nglacutkên (membuat lepas)

    pikajêngan (keinginan). Kedelapan adalah kayu koyak yang keluar

    hatinya, disebut Wutah Mamah, wataknya mustahil menyimpan rahasia,

    membuat lepas kehendak.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 36

    Kajian Sastra Klasik

    Kedelapan adalah kayu yang koyak, yang keluar hatinya atau pusat

    kayunya terekspos. Disebut kayu Wutah Mamah. Bila dipakai bahan

    bangunan wataknya akan membuat si penghuni mustahil menyimpan

    rahasia. Serta membuat lepas keinginan, artinya gampang sekali penghuni

    rumah itu membicarakan keinginan hatinya kepada semua orang.

    Nawa (sembilan) kajêng (kayu) sol (sol) rêbah (roboh) pribadi (sendiri),

    winastanan (disebut) Prabatang (Prabatang) wataknya (wataknya),

    gagarkên (mengagalkan) barang (semua) sêdyane (kehendaknya), nyuda

    (menurunkan) darajatipun (derajatnya). Sembilan kayu sol roboh sendiri,

    disebut Prabatang wataknya menggagalkan semua kehendaknya,

    menurunkan derajatnya.

    Kesembilan adalah kayu dari pohon yang sol, yakni roboh dengan

    sendirinya. Disebut kayu Prabatang. Wataknya bila dipakai sebagai bahan

    bangunan akan menggagalkan semua kehendak penghuninya serta

    menurunkan derajatnya.

    Kasadasa (kesepuluh) kakum (terendam) ing (di) warih (air), myang

    (dan) kapêndhêm (terkubur) ing (di) kisma (tanah), Gombang (gombang)

    namanipun (namanya), watêg (watak) miwah (serta) angsarira

    (angsarnya), kang (yang) ngênggènni (menempati) kêrêp (sering)

    dipitênah (difitnah) maring (oleh), satru (musuh) angkara (angkara)

    murka (murka). Kesepuluh terendam air dan terkubur tanah, Gombang

    namanya, watak serta angsarnya yang menempati sering difitnah oleh

    musuh angkara murka.

    Kesepuluh adalah kayu yang terendam air dan kayu yang terkubur tanah.

    Ini adalah kayu temuan dari masa lalu. Disebut kayu Gombang. Wataknya

    bila dipakai bahan bangunan akan memberi angsar buruk. Penghuninya

    sering difitnah oleh musuh yang angkara murka.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 37

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (223:31-34): Angsar Kayu Jati Buruk (II)

    Pupuh 223, bait ke 26 sampai bait ke 34, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e,

    7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), pethikan Serat Centhini Tentang Kawruh

    Kalang.

    Sawlas kajêng kang pêjah pribadi, winastanan kajêng Angga-linggang, watêkipun ingkang ngangge, tan kadugèn sakayun, apês sarta nandhang gagêring. Kalihwlas kajêng ingkang, kalane panambut, angrêbahkên rêbahira, damêl kagèt sakèhing kewan wanadri, kang galak ngantos nywara. Nama Gronang watêg kang ngênggènni, angsal ginêm kang datan prayoga, saking wong agung panggêdhe. Triwlas kajêng tarubus, tumèmpèle êpangirèki, winastanan Gandhongan. Dene watêkipun, kang ngênggènni kathukulan, pikajêngan ingkang awon nir prayogi, nyimpang mring karaharjan. Kawanwêlas kajêng labêtnèki, akabêsmèn winastanan Gosang, watêknya asring kabêsmèn. Gangsalwêlas kang kayu, kasangsang ing êpang anami, Brogang de watêkira, kang ngênggènni namung, tansah kapambêng kewala, sabarang rèh kang dadya karsanerèki, tan ana kang kalakyan. Kanêmbêlas ingkang amungkasi, kajêng gapuk nglêbêting dagingnya, yèku Buntêl-mayit ranne. Dene ta watêkipun, kang ngênggènni supenan maring, samubarang pakaryan, ingkang parlu-parlu, sarta asring-asring gadhah, sakit lêbêt titi ingkang tan prayogi, yèn sagêt siningkiran.

    Kajian per kata:

    Sawlas (sebelas) kajêng (kayu) kang (yang) pêjah (mati) pribadi (sendiri),

    winastanan (disebut) kajêng (kayu) Angga-linggang (Angga Linggang),

    watêkipun (wataknya) ingkang (yang) ngangge (memakai), tan (tak)

    kadugèn (tercapai) sakayun (segala kehendak), apês (sial) sarta (serta)

    nandhang (menderita) gagêring (sering sakit). Kesebelas kayu yang mati

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 38

    Kajian Sastra Klasik

    sendiri disebut kayu Angga Linggang wataknya yang memakai tak

    tercapai segala kehendak, sial serta menderita sering sakit.

    Linggang artinya ragas atau rontok dan mati. Angga linggang artinya mati

    sendiri. Jadi kayu jenis ini pohonnya tidak sehat. Sebaiknya dihindari

    sebagai bahan bangunan karena mungkin saja mengandung kecacatan

    yang tak terlihat. Atau bisa jadi matinya masih muda sehingga kualitas

    kayu kurang bagus.

    Kalihwlas (kedua belas) kajêng (kayu) ingkang (yang), kalane (ketika)

    panambut (menyambut, persiapan), angrêbahkên (merobohkan) rêbahira

    (robohnya), damêl (membuat) kagèt (kaget) sakèhing (segala) kewan

    (kewan) wanadri (hutan), kang (yang) galak (buas) ngantos (sampai)

    nywara (bersuara). Kedua belas kayu yang ketika mempersiapkan

    merobohkan robohnya membuat kaget segala hewan hutan, sampai yang

    buas bersuara.

    Merobohkan pohon memakai terknik tertentu agar kayu roboh dengan

    sempurna, tidak menyangkut atau menimpa pohon lain serta tidak roboh

    dalam keadaan menyulitkan evakuasinya. Namun ada kalanya persiapan

    merobohkan pohon kurang matang sehingga pohon roboh dengan

    menimbulkan kegaduhan. Banyak hewan-hewan hutan menjadi kaget dan

    berlarian. Hewan-hewan yang besar dan buas yang menguasai hutan

    sampai bersuara mereaksi tumbangnya pohon itu.

    Nama (disebut dengan nama) Gronang (Gronang) watêg (watak) kang

    (yang) ngênggènni (menempati), angsal (mendapat) ginêm (perkataan)

    kang (yang) datan (tidak) prayoga (baik), saking (dari) wong (orang)

    agung (besar) panggêdhe (pembesar, penguasa). Disebut dengan nama

    Gronang, watak yang menempati akan mendapat perkataan yang tidak

    baik dari orang besar penguasa.

    Kayu yang roboh dengan cara seperti ini disebut Gronang. Watak dari

    penghuni rumah yang memakai kayu Gronang akan mendapat perkataan

    yang tidak baik dari orang besar atau pejabat. Hal ini karena selama proses

    menebang juga telah mengusik kehidupan penguasa hutan.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 39

    Kajian Sastra Klasik

    Triwlas (tiga belas) kajêng (kayu) tarubus (tumbuh), tumèmpèle

    (menempel) êpangirèki (di dahan), winastanan (disebut) Gandhongan

    (Gandongan). Tiga belas kayu tumbuh menempel di dahan, disebut

    Gandongan.

    Trubus maksudnya tumbuh dari pohon yang sudah tumbang. Kayu yang

    disebut Gandongan ini tumbuhnya dari dahan, bukan dari tonggak kayu

    lama. Misalnya dari pohon tumbang kemudian tumbuh di dahan pohon itu

    tunas baru yang akhirnya mengakar menjadi pohon baru. Karena kayu jati

    yang sudah tumbang biasa tumbuh tunasnya selama kulit kayu belum

    kering. Inilah yang disebut Gandongan.

    Dene (adapun) watêkipun (wataknya), kang (yang) ngênggènni

    (memakai) kathukulan (tumbuh), pikajêngan (kehenak) ingkang (yang)

    awon (buruk) nir (tak) prayogi (baik), nyimpang (menyimpang) mring

    (dari) karaharjan (keselamatan). Adapun wataknya, yang menempati

    tumbuh kehendak yang buruk tak baik, menyimpang dari keselamatan.

    Kayu jenis ini berwatak buruk. Orang yang menghuni rumah dari kayu

    Gandongan ini akan ditumbuhi kehendak buruk yang menyimpang dari

    jalan keselamatan. Oleh karena itu penanaman pohon dengan cara ini

    sebaiknya dihindari. Pohon yang tumbuh dengan cara ini juga kurang kuat

    akarnya, sehingga mudah tumbang.

    Kawanwêlas (keempat belas) kajêng (kayu) labêtnèki (dari), akabêsmèn

    (terbakar) winastanan (disebut) Gosang (Gosong), watêknya (wataknya)

    asring (sering) kabêsmèn (kena kebakaran). Keempat kayu yang dari

    (pohon) terbakar disebut Gosang, wataknya sering mendapat kebakaran.

    Kata Gosang hendaknya dibaca Gosong, yakni kayu yang berasal dari sisa

    pohon yang terbakar. Disebut Gosong karena karena kayunya menghitam

    karena jelaga.

    Gangsalwêlas (lima belas) kang (yang) kayu (kayu), kasangsang

    (tersangkut) ing (di) êpang (dahan) anami (namanya), Brogang (Brogang)

    de (adapun) watêkira (wataknya), kang (yang) ngênggènni (menempati)

    namung (hanya), tansah (selalu) kapambêng (tertahan) kewala (saja),

    sabarang (setiap) rèh (hal) kang (yang) dadya (menjadi) karsanerèki

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 40

    Kajian Sastra Klasik

    (keinginannya), tan (tak) ana (ada) kang (yang) kalakyan (terlaksana).

    Kelima belas kayu yang tersangkut di dahan, namanya Brogang adapun

    wataknya yang menempati hanya selalu tertahan saja setiap hal yang

    menjadi keinginannya, tak ada yang telaksana.

    Yang kelima belas adalah kayu yang ketika roboh pohonnya tersangkut

    dahan pohon lain. Disebut kayu Brogang. Wataknya kelak bila dipakai

    bahan pembuat rumah penghuninya akan selalu tertahan segala

    keinginannya, tak ada yang terlaksana.

    Kanêmbêlas (keenam belas) ingkang (yang) amungkasi (terakhir), kajêng

    (kayu) gapuk (lapuk) nglêbêting (di dalam) dagingnya (daging kayunya),

    yèku (yaitu) Buntêl-mayit (Buntel Mayit) ranne (namanya). Keenambelas

    yang terakhir kayu yang lapuk di dalam daging kayunya, yaitu yang

    disebut Buntel Mayit.

    Kayu yang lapuk bagian dalamnya menunjukkan adanya cacat pada

    pohonnya. Lapuk ini biasanya tidak kelihatan dari luar. Kayu ini disebut

    Buntel Mayit. Termasuk kayu yang secara struktur tidak layak dipakai

    sebagai bahan bangunan.

    Dene ta (adapun) watêkipun (wataknya), kang (yang) ngênggènni

    (menempati) supenan (mudah lupa) maring (pada), samubarang (setiap)

    pakaryan (pekerjaan), ingkang (yang) parlu-parlu (penting-penting),

    sarta (serta) asring-asring (sangat sering) gadhah (menderita), sakit

    (sakit) lêbêt (karena) titi (periksa) ingkang (yang) tan (tak) prayogi (baik),

    yèn (kalau) sagêt (bisa) siningkiran (dihindari). Adapun wataknya yang

    menempati mudah lupa pada setiap pekerjaan yang penting-penting, serta

    sangat sering menderita sakit akibat kurang periksa, kalau bisa dihindari.

    Kayu Buntel Mayit ini sangat tidak baik untuk membuat rumah. Wataknya

    akan membuat penghuni rumah muda lupa pada pekerjaan yang penting-

    penting. Serta akan sering menderita sakit akibat kurang periksa atau

    kurang hati-hati dalam tindakan. Kalau bisa kayu seperti ini dihindari saja.

    Demikian enam belas jenis kayu yang berangsar buruk dan membawa

    pengaruh yang kurang baik apabila dipakai sebagai bahan bangunan.

    Kalau kita cermati keenambelas jenis kayu tersebut memang bermasalah

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 41

    Kajian Sastra Klasik

    mulai dari cara penebangan sampai jenis kayunya sendiri. Para ahli ilmu

    kalang membuat larangan tersebut tentu berdasar pengetahuan yang

    mereka miliki tentang kayu jati. Mereka membuat kriteria dan penamaan,

    serta konsekuensi pemakaian kayu tersebut agar menjadi pedoman bagi

    masyarakat luas. Beberapa seperti gugon tuhon karena terkesan tidak logis.

    Namun sebenarnya hal-hal seperti itu diperlukan agar dipatuhi orang

    banyak. Karena jika dijelaskan dengan cara yang ilmiah tingkat

    pendidikan sebagian besar orang di masa itu tidak akan mampu

    memahami. Jadi ada baiknya kita orang di zaman sekarang mencermati

    dan mengambil manfaatnya saja. Adapun beberapa bagian yang sudah

    tidak relevan sebaiknya kita tinggalkan, karena ilmu pengetahuan tentang

    bangunan terus berkembang.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 42

    Kajian Sastra Klasik

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 43

    Kajian Sastra Klasik

    Pupuh 224

    Pangkur

    (Bait 5 sampai bait 47)

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 44

    Kajian Sastra Klasik

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 45

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (224:5-11): Cara Menebang Kayu Jati (I)

    Pupuh 224, bait ke 5 sampai bait ke 11, Pangkur (8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a,

    8i), pethikan Serat Centhini Tentang Kawruh Kalang.

    Nêgor kajêng jati ingkang, badhe sae awèt anggènnirèki, kêdah katêrês rumuhu. Panêrês prênahira, nèng pok kang wit kintên-kintên longkangipun, tiga utawi sakawan, kaki saking sitinèki. Binacoka têmu-gêlang, wiwit kulit dumugi warni abrit, gya (ng)gègrègi êronnipun, saha lajêng galinggang. Yèn wus wontên sataun panêrêsipun, kenging tinêgor jalaran, wus garing tan nguciwani. Rêbahing panêgorira, kaangkaha rêbah mangalèr tuwin, mangilèn sartane sampun, dhawah ing kajêng ingkang, taksih gêsang kasangsang sasaminipun, kantêp sapanunggilannya, kang dadya tampikan ngarsi. Tingkah amrih sumêrêpa, dhawahipun pucuking kajêng nênggih, kang yun dènrêbahkên wau, nangguh ing wanci enjang, utawine wanci sontên ingkang jumbuh, wayangan sami wujud lan, panjangipun ingkang uwit. Upami kalêbêt ingkang, panjangipun gangsal kaki mandhiri, mangka wawayangannipun, ingukur ugi gangsal, pan wayanganing kajêng ingkang kinayun, rinêbahkên kaukura, sapintên panjangirèki. Yèku badhe ukurannya, saking bongkot dhawah ing pucuknèki. Pratikêl makatên wau, ugi tumrap kinarya, nêpsir panjang cêlaking kajêng kang ayun, kangge dandosanning wisma. Kadi ta upaminèki, badhe dipun angge saka, ingkang panjangipun dwidasa kaki, manawi wayangan wau, wontên utawi langkah, saking kalihdasa kaki èstunipun, badhe cêkap kangge saka, panjang kalihdasa kaki.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 46

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian per kata:

    Nêgor (menebang) kajêng (pohon) jati (jati) ingkang (yang), badhe

    (bakal) sae (bagus) awèt (awet) anggènnirèki (pemakaiannya), kêdah

    (harus) katêrês (diteres) rumuhun (dahulu). Menebang pohon jati yang

    bakal bagus dan awet pemakaiannya harus diteres dahulu.

    Teres adalah metode mengeringkan kayu sebelum ditebang. Selain

    mengeringkan teres juga untuk mengurangi kadar karbohidrat dalam kayu

    sehingga kayu kelak lebih awet dari serangan hama perusak. Dengan teres

    kepadatan kayu juga bertambah, susut menjadi berkurang serta potensi

    untuk melengkung juga minimal.

    Panêrês (peneresan) prênahira (tempatnya), nèng (di) pok (pangkal) kang

    (yang) wit (pohon) kintên-kintên (kira-kira) longkangipun (selanya), tiga

    (tiga) utawi (atau) sakawan (empat), kaki (kaki) saking (dari) sitinèki

    (tanahnya). Peneresan tempatnya di pangkal pohon kira-kira selanya tiga

    atau empat kaki dari tanah.

    Tempat peneresan letaknya di pangkal pohon jati, kira-kira tiga atau empat

    kaki dari tanah. Ukuran kaki menurut hitungan jawa adalah dua tangan

    membentuk tanda jempol yang menyatu. Kalau dipakai ukuran dalam

    satuan metrik kira-kira 30 cm. Jadi letak teresan adalah 90-120 cm dari

    tanah.

    Binacoka (ditakik) têmu-gêlang (seperti gelang melingkari pohon), wiwit

    (mulai) kulit (kulit) dumugi (sampai) warni (warna) abrit (merah), gya

    (segera) (ng)gègrègi (rontok) êronnipun (daunnya), saha (serta) lajêng

    (lalu) galinggang (meranggas). Ditakik seperti gelang melingkari pohon,

    mulai kulit sampai ke bagian warna merah, segera rontok daunnya serta

    meranggas.

    Cara melakukan teres adalah di bagian yang telah dintentukan tadi ditakik

    melingkar seperti gelang melingkari pohon. Takikan dimulai dari kulit

    sampai ke bagian kayu yang warnanya merah. Takikan ini untuk menyetop

    pasokan nutrisi ke daun sehingga pohon terpaksa memakai cadangan

    karbohidrat yang ada di dalam batang. Akibatnya kandungan karbohidrat

    akan turun sampai batas minimal. Kualitas kayu akan meningkat

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 47

    Kajian Sastra Klasik

    karenanya. Setelah kandungan karbohidrat habis kayu akan mati secara

    perlahan-lahan. Daun-daun mulai rontok dan pohonnya meranggas.

    Setelah daun rontok semua kulit kayu perlahan-lahan mengering permanen

    karena pasokan nutrisi dari akar telah diputus.

    Yèn (kalau) wus (sudah) wontên (ada) sataun (setahun) panêrêsipun

    (peneresannya), kenging (bisa) tinêgor (ditebang) jalaran (karena), wus

    (sudah) garing (kering) tan (tak) nguciwani (mengecewakan). Kalau

    sudah ada setahun peneresannya bisa ditebang karena sudah kering tak

    mengecewakan.

    Kalau sudah setahun peneresannya kayu sudah bisa ditebang karena kayu

    sudah kering. Hasil penebangan dengan cara ini membuat kualitas kayu

    bagus takkan mengecewakan. Kayu menjadi padat sehingga kuat. Sudah

    kering sehingga tak banyak susut. Kayu juga stabil tidak banyak

    melengkung bisa dipakai sebagai bahan perabotan atau struktur bangunan.

    Selain itu kayu menjadi lebih awet karena kandungan selulosa dalam kayu

    sudah habis sehingga hawa tak suka lagi memakannya.

    Rêbahing (robohnya) panêgorira (dalam menebang), kaangkaha

    (direncanakan) rêbah (roboh) mangalèr (arah utara) tuwin (juga),

    mangilèn (ke barat) sartane (serta) sampun (jangan), dhawah (jatuh) ing

    (pada) kajêng (pohon) ingkang (yang), taksih (masih) gêsang (hidup)

    kasangsang (tersangkut) sasaminipun (atau semacamnya), kantêp

    (menghempa) sapanunggilannya (semacamnya), kang (yang) dadya

    (menjadi) tampikan (tertolak) ngarsi (seperti di depan). Robohnya dalam

    menebang direncanakan roboh ke arah utara juga ke barat serta jangan

    jatuh pada pohon serta jangan jatuh pada pohon yang masih hidup,

    tersangkut atau semacamnya, jatuh menghempas atau semacamnya yang

    membuat kayu menjadi tertolak seperti diuraikan di depan.

    Robohnya kayu di dalam penebangan direncanakan agar jatuh ke arah

    utara atau ke arah barat. Kami belum mengetahu alasan yang

    mendasarinya. Juga jangan sampai robohnya jatuh menimpa pohon lain

    ang masih hidup, tersangkut dan sebagainya. Juga jangan jatuh

    menghempas tanah dan menimbulkan kegaduhan, atau mungkin bisa

    membuat kayu menjadi rusak. Hindarilah keadaan menebang yang

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 48

    Kajian Sastra Klasik

    menyebabkan kayu menjadi tertolak sebagaimana telah diuraikan dalam

    kajian yang lalu.

    Tingkah (perlakuan, cara) amrih (agar) sumêrêpa (mengetahui),

    dhawahipun (jatuhnya) pucuking (pucuk dari) kajêng (pohon) nênggih

    (yakni), kang (yang) yun (akan) dènrêbahkên (dirobohkan) wau (tadi),

    nangguh (disesaikan dengan) ing (pada) wanci (waktu) enjang (pagi),

    utawine (atau) wanci (waktu) sontên (sore) ingkang (yang) jumbuh

    (sesuai), wayangan (bayangan) sami (sama) wujud (wujud) lan (dan),

    panjangipun (panjangan) ingkang uwit (pohonnya). Cara agar

    mengetahui jatuhnya ujung dari pohon yakni, (pohon) yang akan

    dirobohkan tadi disesuaikan dengan waktu pagi atau waktu sore yang

    sesuai antara bayang an dan pohon sama wujud dan panjangnya pohon.

    Untuk terhindar dari keadaan di atas, yakni kasus pohon yang jatuh

    menimpa pohon lain, maka dilakukan perkiraan tinggi pohon yang akan

    ditebang. Caranya dilakukan pengukuran pada waktu pagi antara jam 9

    atau sore hari antara jam 3. Pada waktu tesebut bayangan pohon baik

    wujud atau panjangnya akan sama dengan pohonnya sehingga dapat

    diukur dengan tepat tinggi pohon tersebut, kemudian diperkirakan lokasi

    jatuhnya pohon.

    Upami (seumpama) kalêbêt (termasuk) ingkang (yang), panjangipun

    (panjangnya) gangsal (lima) kaki (kaki) mandhiri (pohon), mangka

    (padahal) wawayangannipun (bayangannya), ingukur (diukur) ugi (juga)

    gangsal (lima), pan (dan juga) wayanganing (bayangannya) kajêng

    (pohon) ingkang (yang) kinayun (diharapkan), rinêbahkên (dirobohkan)

    kaukura (diukur), sapintên (seberapa) panjangirèki (panjangnya).

    Seumpama panjang pohon itu lima kaki, padahal bayangannya diukur

    juga lima (kaki), dan juga bayangan pohon yang diharapkan dirobohkan

    tadi diukur seberapa panjangnya.

    Karena pada jam tersebut di atas bayangan dan pohonnya sama panjang

    maka mudah untuk memperkirakan lokasi jatuhnya pohon. Pertama diukur

    panjang bayangan pohon, kemudian di arah roboh yang direncanakan

    diukur pula jarak sesuai panjang bayangan tadi. Maka akan ketemu lokasi

    jatuhnya pohon. Kemudian diperkirakan apakah sudah aman atau tidak,

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 49

    Kajian Sastra Klasik

    menimpa pohon lain atau tidak, mengenai sesuatu benda yang tidak

    diharapkan atau tidak. Semua akan jelas.

    Yèku (itulah) badhe (bakal) ukurannya (ukurannya), saking (dari)

    bongkot (pangkal) dhawah (jatuh) ing (sampai) pucuknèki (ujungnya).

    Itulah bakal ukuran (jatuhnya) dari pangkal jatuh sampai ke ujungnya.

    Lokasi yang telah diukur tadi merupakan bakal lokasi jatuhnya pohon

    yang akan ditebang.

    Pratikêl (teknik) makatên (demikian) wau (tadi), ugi (juga) tumrap

    (diterapkan) kinarya (sebagai), nêpsir (taksir) panjang (panjang) cêlaking

    (pendeknya) kajêng (pohon) kang (yang) ayun (hendak), kangge (untuk)

    dandosanning (perabotan dari) wisma (rumah). Teknik demikian tadi juga

    diterapkan sebagai taksir panjang pendek pohon yang dikehendaki, untuk

    perabotan rumah.

    Teknik pengukuran tadi juga dapat dipakai untuk menaksir panjang dari

    kayu yang diharapkan dipakai sebagai struktur bangunan rumah. Sebelum

    ditebang dapat ditaksir dahulu panjang kayu yang cocok dengan

    kebutuhan.

    Kadi ta (seperti) upaminèki (umpamanya), badhe (akan) dipun angge

    (dipakai) saka (tiang), ingkang (yang) panjangipun (panjangnya) dwidasa

    (dua puluh) kaki (kaki), manawi (kalau) wayangan (bayangan) wau (tadi),

    wontên (ada) utawi (atau) langkah (melampau), saking (dari) kalihdasa

    (dua puluh) kaki (kaki) èstunipun (sungguh), badhe (akan) cêkap (cukup)

    kangge (dipakai) saka (tiang), panjang (sepanjang) kalihdasa (dua puluh)

    kaki (kaki). Seperti seumpama akan dipakai sebagai tiang yang

    panjangnya dua puluh kaki, kalau bayangan tadi ada atau melampau dari

    dua puluh kaki sungguh akan cukup dipakai sebagai tiang sepanjang dua

    puluh kaki.

    Dengan teknik ini kesalahan pemilihan pohon dapat dihindari. Pohon yang

    ditebang sudah pasti ukuran dan peruntukannya sesuai panjang elemen

    struktur yang hendak dibuat. Seumpama butuh tiang sepanjang dua puluh

    kaki atau tujuh meter maka dicarilah pohon yang panjangnya mencukupi

    untuk keperluan tersebut dengan cara mengukur bayangannya.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 50

    Kajian Sastra Klasik

    Kajian Centhini (224:12-19): Cara Menebang Kayu Jati (II)

    Pupuh 224, bait ke 12 sampai bait ke 18, Pangkur (8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a,

    8i), pethikan Serat Centhini Tentang Kawruh Kalang.

    Wondene panêpsirira, gênging pucuk ugi kenging kapirid, saking gênging bongkotipun. Upami kajêng ingkang, nênêm kaki ubêngipun bongkot wau, mangka wiyaring wayangan, namung wontên kalih kaki. Pucuk ingkang kang wawayangan, pan ingukur wiyar wontên sakaki, wus tamtu agênging pucuk, tigang kaki ubêngnya. Panêpsir kang makatên ing adatipun, inggih asring tuna-dungkap, nanging amung sawatawis. Pangangkah dhawahing wrêksa, mrih sagêda prayogi dhawahnèki, kêdah pinarnahkên dunung, sêlaning kajêng gêsang. Sinrapatna pang alit-alit pikantuk, supados ywa nêmah rêmak, gêtêm kantêp tibèng siti. Saupami ing pangangkah, rinêbahkên mangalèr dhawahnèki, ingkang êlèr miwah kidul, ginêthak myang kapacal. Ingkang êlèr ing ngandhap panggêthakipun, låbêtnya kalih bageyan, kidul sabageyan naming. Bêngganging gêthakan ngandhap, lawan nginggil sarta ing nginggilnèki, pamacal tamtu miturut, agêng aliting wrêksa. Saupami ing samangsa agêngipun, bêngganging nginggil lan ngandhap, tinartamtu mung sakaki. ing nginggil pamacalira, tinartamtu amung sakawan kaki. Manawi gêngnya saprangkul, bêngganging nginggil ngandhap, apan namung saprapat kaki wus cukup, de ing nginggil pamacalnya, satunggal satêngah kaki. Sanadyan wrêksa kang arsa, rinêbahkên mangidul dhoyongnèki, yèn patrap lir ngajêng wau, tamtu ngalèr rêbahnya. Mas Cêbolang tatanya wiwijangipun, kang winastan gêthak pacal, Ki Dikara lingira ris.

  • Kawruh Kalang Serat Centhini | 51

    Kajian Sastra Klasik

    Anggêthaki ngêthok ingkang, botên ngantos tugêl rêbah kang uwit. Dene kapacal puniku, sanginggiling gêthakan, dipun pêrang amancas kakruwêg gathuk, têpang kalayan gêthakan, kadi warah kasbut ngarsi.

    Kajian per kata:

    Wondene (adapun) panêpsirira (penaksirannya), gênging (besar dari)

    pucuk (ujung) ugi (juga) kenging (bisa) kapirid (diturunkan, dicontoh),

    saking (dari) gênging (besar dari) bongkotipun (pangkalnya). Adapun

    penaksiran besar dari ujung juga bisa diturunkan dari besar pangkalnya.

    Pengukuran diameter kayu bagian ujung juga bisa diturunkan dari bagian

    pangkalnya.