Top Banner
1 PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA SKRIPSI BERNARD DAVID SIDAURUK PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
66

Katuk Pada Babi

Oct 27, 2015

Download

Documents

Nur Rokhmad
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Katuk Pada Babi

1

PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK ( Sauropus androgynus (L.) Merr)

DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA

SKRIPSI BERNARD DAVID SIDAURUK

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 2: Katuk Pada Babi

2

RINGKASAN

BERNARD DAVID SIDAURUK. D14104001. 2008. Produksi Air Susu Induk Babi dengan Penambahan Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam Ransum pada Taraf dan Waktu Pemberian yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Pembimbing Anggota : Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc.

Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) telah lama dipercaya oleh masyarakat mampu melancarkan air susu ibu yang mengkonsumsinya. Penelitian tentang khasiat daun katuk telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Temuan teknologi yang semakin maju membuat inovasi bentuk pemanfaatan daun katuk semakin ditingkatkan. Salah satu contoh, daun katuk dibuat dalam bentuk ekstrak. Senyawa aktif daun katuk dalam bentuk ekstrak tepung dapat mempengaruhi hormon-hormon pembentuk air susu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh beberapa taraf penambahan ekstrak daun katuk (EDK) (0; 0,05 dan 0,10%) dalam ransum dengan waktu pemberiannya yang berbeda terhadap produksi air susu induk babi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 3 x 2 masing-masing dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah taraf EDK dalam ransum yaitu 0; 0,05 dan 0,10%. Faktor kedua adalah waktu pemberian ransum penelitian yaitu saat bunting 104 hari dan saat setelah induk selesai beranak. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah konsumsi ransum dan produksi air susu induk (PASI).

Penelitian ini dilakukan di peternakan babi Ripayanly Farm, Dusun Pealinta, Desa Siabal-abal, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Data yang diperoleh dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA), dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s apabila perlakuan berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap peubah yang diukur.

Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa taraf EDK dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi air susu induk (PASI). Waktu pemberian dan interaksi antara taraf EDK dengan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum dan PASI. Taraf penambahan EDK yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air susu induk babi pada waktu pemberian ransum yang berbeda adalah 0,05%. Waktu pemberian EDK yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air susu induk babi pada taraf EDK yang berbeda adalah pada kebuntingan 104 hari daripada saat setelah induk selesai beranak. Hal ini mungkin disebabkan senyawa-senyawa aktif EDK bekerja dengan baik memacu hormon-hormon pembentuk air susu dan mempunyai waktu yang lebih lama dalam persiapan pertumbuhan sel-sel sekretori kelenjar air susu untuk mensekresi air susu.

Kata- kata kunci: Sauropus androgynus (L.) Merr, ekstrak daun katuk, senyawa aktif dan produksi air susu.

Page 3: Katuk Pada Babi

3

ABSTRACT

Sows Milk Production which Added by Katuk´s Leaves Extract (Sauropus androgynus (L.) Merr) in of Feed at Different

Levels and Times Giving Period

Bernard D.S., P. H. Siagian, and A. Suprayogi

Katuk leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr) one of vegetable type which consumed by society. It has an active compound that stimulate milk production. Sow is kind of mammal which has many litter size, so that pig mains expected to produce plenty of milk to be consumed by piglet at lactation period. The purpose of this research is to know the milk production which added by katuk´s leaves extract inside of feed at different level and giving period. The design of the research was completely random design factorial (3x2) with three replication and two factors; (1) percentage of addition of katuk leaves extract in feed (0; 0,05 and 0,10%) and (2) given time of feed (on day 104th gestating and on day of giving birth). Katuk’s leaves extract in feed had significant effects (P<0.01) on sows milk production.The addition of katuk’s leaves extract did not significant affect on feed consumption. The given-time katuk’s leaves extract in feed did not significant effect on feed consumption and sows milk production. The interaction between the addition levels of katuk’s leaves extract and the given-time of feed, did not effect too. The addition of 0,05% katuks leaves extract on feed and the given time on day 104th gestation period had shown the greatest effects increasing on sows milk production. The possible reason be due to an active compound of katuk’s leaves extract that stimulate milk production and have preparation is longer than on day of giving birth to produce milk.

Keywords : Katuk´s leaves extract, active compound and milk production

Page 4: Katuk Pada Babi

4

PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK ( Sauropus androgynus (L.) Merr)

DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA

BERNARD DAVID SIDAURUK

D14104001

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 5: Katuk Pada Babi

5

PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK ( Sauropus androgynus (L.) Merr)

DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA

Oleh

BERNARD DAVID SIDAURUK

D14104001

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Juli 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc. NIP. 130 674 521 NIP. 131 902 366

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah M.Sc. Agr. NIP. 131 955 531

Page 6: Katuk Pada Babi

6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 September 1985 di Lumban Bona-Bona,

Samosir. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Almarhum

Mangapul Sidauruk dan Basaria Sinaga.

Pendidikan dasar Penulis selesaikan pada tahun 1997 di SD Inpres 175839

Raut Bosi. Selanjutnya, Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Swasta Budi Mulia

Pangururan pada tahun 1997 dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Kemudian

Penulis meneruskan jenjang pendidikannya di SMU Budi Murni 1 Medan, namun

masih satu bulan duduk dibangku SMU Penulis terkena musibah penyakit sehingga

Penulis menganggur selama satu tahun. Kemudian pada tahun 2001 Penulis

melanjutkan pendidikan di SMU Katolik Cinta Kasih Tebingtinggi sampai tahun

2004. Pada tahun 2004 Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi

Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan diperguruan tinggi, Penulis menjadi anggota

organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang

Bogor. Penulis pernah menjadi pengurus Persekutuan Oikumene Protestan dan

Katolik (POPK) Fakultas Peternakan sebagai ketua untuk periode 2006-2007.

Penulis juga menjadi Asisten Agama Katolik atau sebagai pendamping di Keluarga

Mahasiswa Katolik Institut Pertanian Bogor (KEMAKI).

Page 7: Katuk Pada Babi

7

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, atas

berkat anugrah dan perlindunganNya Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Produksi Air Susu Induk Babi dengan Penambahan Ekstrak Daun

Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam Ransum pada Taraf dan Waktu

Pemberian yang Berbeda”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Pebruari sampai dengan bulan April

2008 di peternakan babi Ripayanly Farm, Dusun Pealinta, Desa Siabal-abal,

Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara.

Senyawa aktif daun katuk dalam bentuk ekstrak tepung dapat mempengaruhi

hormon-hormon pembentuk air susu. Induk babi merupakan ternak menyusui yang

memiliki banyak anak dalam sekali beranak. Meningkatnya produksi air susu induk

akan meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan anak babi sehingga mortalitas

dapat dikurangi serta litter size sapih dapat ditingkatkan. Penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh taraf penambahan ekstrak

daun katuk dalam ransum yang diberikan pada waktu yang berbeda (bunting 104 hari

dan saat setelah induk selesai beranak) terhadap produksi air susu induk babi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis

mengharapkan adanya kritik dan masukan yang membangun dari para pembaca.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna baik bagi kalangan akademis

maupun kalangan umum.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

Page 8: Katuk Pada Babi

8

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ............................................................................................. i

ABSTRACT ............................................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xi

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

Latar Belakang ................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................... 2 Tujuan ............................................................................................. 2 Manfaat ........................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3

Tanaman Katuk................................................................................ 3 Karakteristik ........................................................................... 3 Penyebaran ............................................................................. 4 Manfaat dan Kelemahan ......................................................... 4 Kandungan Nutrisi Daun Katuk .............................................. 6 Ekstraksi Daun Katuk dan Kandungan Senyawa Aktif ............ 6 Mekanisme Daun Katuk dalam Meningkatkan Air Susu .................. 8 Ternak Babi ..................................................................................... 11 Sifat Reproduksi ..................................................................... 11 Kebuntingan ........................................................................... 12 Kelahiran ................................................................................ 13 Air Susu dan Kolostrum ......................................................... 13 Laktasi ................................................................................... 14 Pengukuran Produksi Air Susu ............................................... 15 Konsumsi Ransum dan Air Minum Induk ........................................ 15 Konversi Ransum............................................................................. 16

METODE PENELITIAN.......... ................................................................... 18

Lokasi dan Waktu ............................................................................ 18 Materi .............................................................................................. 18 Ternak .................................................................................... 18 Kandang dan Peralatan ........................................................... 19 Ransum Penelitian .................................................................. 19 Rancangan ....................................................................................... 20 Analisis Data .......................................................................... 21

Page 9: Katuk Pada Babi

9

Peubah yang Diamati .............................................................. 21 Prosedur .......................................................................................... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 23

Keadaan Umum Peternakan ............................................................. 23 Ternak Penelitian ............................................................................. 27 Ransum Penelitian ........................................................................... 28 Konsumsi Ransum Induk ................................................................. 30 Produksi Air Susu Induk .................................................................. 31 Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ....................................... 35 Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian .............................................................................................. 37

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 41

Kesimpulan ...................................................................................... 41 Saran ............................................................................................... 41

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 43

LAMPIRAN ............................................................................................... 47

Page 10: Katuk Pada Babi

10

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrien Daun Katuk ( per 100 g Daun Katuk Segar) ... 7

2. Tujuh Senyawa Aktif Daun Katuk dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Fisiologis dalam Jaringan ................................................. 9

3. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina ........................................... 12

4. Panjang dan Berat Fetus Babi pada Berbagai Fase ....................... 13

5. Komposisi Kolostrum dan Air Susu Babi ..................................... 14

6. Kebutuhan Zat Makanan (per Kg Ransum) untuk Babi Dara Bunting, Induk Bunting dan Induk Laktasi .......................... 17

7. Komposisi Ransum di Peternakan Ripayanly Farm ...................... 24

8. Data Populasi Ternak Babi di Peternakan Ripayanly Farm pada Akhir Penelitian ................................................................... 25

9. Komposisi Zat Makanan dari Bahan Makanan yang Digunakan untuk Ransum Penelitian ............................................ 28

10. Susunan Ransum Penelitian ......................................................... 29

11. Perhitungan Kandungan Zat Makanan dari Ransum Penelitian ..... 29

12. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Babi Bunting dan Menyusui ............................................................................. 29

13. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian ............. 30

14. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Selama Penelitian .............. 32

15. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Waktu Pengukuran yang Berbeda ............................................................................... 34

16. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ....................... 36

17. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ................................................................................ 38

Page 11: Katuk Pada Babi

11

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tanaman Katuk............................................................................. 3

2. Mekanisme Pertama Daun Katuk Melalui Jalur Aksi Hormonal .... 9

3. Mekanisme Kedua Daun Katuk Melalui Jalur Aksi Hormonal ...... 10

4. Mekanisme Daun Katuk Melalui Jalur Metabolik ......................... 11

5. Induk Babi Bunting 104 Hari ........................................................ 18

6. Induk Babi Menyusui Setelah Selesai Beranak .............................. 18

7. Kandang Induk Beranak dengan Peralatannya ............................... 19

8. Ransum Penelitian ........................................................................ 20

9. Diagram Pengukuran Produksi Air Susu Induk dengan Cara Penimbangan Anak ....................................................................... 22

10. Thermohygrometer ....................................................................... 27

11. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Setiap Pengukuran .................................................................................. 34

12. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran ........................................... 39

Page 12: Katuk Pada Babi

12

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman

1. Jumlah Laktasi Induk Penelitian ................................................... 48

2. Lama Kebuntingan Induk Penelitian ............................................. 48

3. Data Litter Size Lahir Selama Penelitian ....................................... 48

4. Data Produksi Air Susu Induk Babi dengan Tiga Kali Pengukuran Berdasarkan Perlakuan dan Ulangan ............................................. 49

5. Data Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian ................. 49

6. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Konsumsi Ransum Induk Babi ... 49

7. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi pada Setiap Pengukuran .... 50

8. Data Produksi Air Susu Induk Babi ............................................... 50

9. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Produksi Air Susu Induk Babi .... 50

10. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap PASI ... 50

11. Data Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ............................ 51

12. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Perkiraan PASI Harian ............... 51

13. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap Perkiraan PASI Harian .................................................................. 51

14. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran ................................................................................... 51

15. Data Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ........................................................................ 52

16. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian .................................... 52

17. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ..................... 52

18. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran .................................. 52

19. Gambar Anak Babi yang Sedang Dipuasakan dan yang Sedang Ditimbang .................................................................................... 53

Page 13: Katuk Pada Babi

13

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan akan daging sebagai salah satu sumber protein hewani terus

meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah

penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (2005) adalah 218,8 juta jiwa,

dengan laju kenaikan per tahunnya 1,49% yang semuanya itu memerlukan protein

hewani. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani tersebut sebagian dapat

dipenuhi dari daging babi. Dengan demikian, dari segi tata laksana perlu dilakukan

perbaikan reproduksi dan produksi ternak. Ternak babi merupakan salah satu dari

sekian banyak jenis ternak yang mempunyai potensi cukup baik sebagai penghasil

daging yang memiliki gizi tinggi dan sebagai sumber protein hewani. Ternak babi

mempunyai karakteristik reproduksi dan produksi yang berbeda dengan sapi, domba

dan kuda. Hal-hal yang membedakan dengan ternak lain adalah ternak babi

merupakan ternak prolifik, cepat tumbuh dan efisien dalam mengubah makanan

menjadi daging.

Pengetahuan tentang reproduksi babi dan pengelolaan yang baik dalam

perkembangbiakan akan membantu keberhasilan usaha peningkatan jumlah anak

babi. Periode kelahiran sampai disapih merupakan periode kritis yang harus

diperhatikan karena pada periode ini banyak terjadi kematian anak babi. Salah satu

faktor penyebab kematian anak babi adalah tingkat kemampuan induk babi yang

rendah menghasilkan air susu. Air susu merupakan salah satu bahan makanan bergizi

tinggi karena kaya akan protein, mineral, dan mudah dicerna. Anak babi baru lahir

dan periode menyusu sangat membutuhkan air susu, untuk mempercepat

pertumbuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Mengingat

pentingnya air susu maka diperlukan usaha untuk meningkatkan kuantitas dan

kualitas air susu tersebut.

Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) telah lama dipercaya oleh masyarakat

mampu melancarkan air susu ibu dan mempercepat pemulihan tenaga bagi orang

sakit (Soeseno, 1984). Penelitian mengenai daun katuk serta pengaruhnya terhadap

peningkatan produksi susu pada manusia dan berbagai jenis ternak dan hewan telah

banyak dilakukan oleh para peneliti, seperti pada mencit, tikus, kelinci, sapi, kambing

dan domba. Namun pada ternak babi belum ada yang meneliti, pada hal dengan

Page 14: Katuk Pada Babi

14

jumlah anak yang banyak per kelahiran (prolifik) maka perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut sejauh mana katuk dapat mengsekresi air susu induk babi. Alasan lain

adalah ternak babi termasuk hewan mamalia dan kematian anak yang tinggi pada

periode menyusu.

Perumusan Masalah

Daun katuk banyak dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu

(ASI) serta mengobati berbagai penyakit manusia. Dibidang peternakan daun katuk

dicampur dengan ransum atau hijauan sebagai pakan tambahan untuk ternak sapi

perah dan kambing perah untuk meningkatkan produksi susu. Pemberian ekstrak

daun katuk dengan taraf berbeda dalam ransum yang diberikan pada akhir

kebuntingan dan saat setelah selesai beranak akan meningkatkan produksi air susu

induk babi. Senyawa aktif daun katuk dalam bentuk ekstrak tepung dapat bekerja

mempengaruhi hormon-hormon pembentuk air susu. Meningkatnya produksi air susu

induk akan meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan anak babi sehingga

mortalitas dapat dikurangi dan litter size sapih dapat ditingkatkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf dan waktu

pemberian ekstrak daun katuk yang berbeda dalam ransum pengaruhnya terhadap

produksi air susu induk babi.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai

pengaruh pemberian ekstrak daun katuk dalam ransum terhadap produksi air susu

induk babi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk

pemberian ekstrak daun katuk bagi ternak babi dan ternak lainnya.

Page 15: Katuk Pada Babi

15

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Katuk

Karakteristik

Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) merupakan salah satu jenis tanaman

semak dengan ketinggian dapat mencapai 2-3 meter (Backer dan Brink, 1963).

Sukendar (1997), menyatakan bahwa tumbuhan katuk mempunyai perawakan berupa

perdu dengan tinggi 2-3 meter, batang memiliki alur-alur dengan kulit yang agak

licin berwarna hijau dan jumlah daun percabang berkisar antara 11-21 helai. Katuk

berdaun hijau pekat atau hijau tua pada bagian atas dan hijau muda pada bagian

bawah. Daun katuk bersirip ganda dengan anak daun yang banyak. Daun memanjang

dengan panjang daun kurang lebih dua kali lebar, panjang daun berkisar antara 2,25-

7,5 cm dengan lebar 1,25-3,0 cm. Tepi daun rata, pangkal daun tumpul dan ujung

daun lancip. Tangkai daun pendek sekitar 0,2 cm dan tiap daun memiliki sepasang

daun penumpu kecil dengan panjang.

Bunga katuk merupakan bunga tunggal atau berkelompok tiga, keluar dari

ketiak daun atau diantara daun satu dengan daun lainnya. Bunga katuk termasuk

bunga sempurna, mempunyai helaian kelopak berbentuk bulat telur sungsang atau

bulat, terdapat warna merah gelap atau merah dengan bintik-bintik kuning

ditengahnya, lebar 3-3,5 mm, tinggi putik lebih kurang 0,75 mm dan lebar lebih

kurang 1,75 mm. Cabang dari tangkai bunga berwarna merah dan tepi kelopak bunga

berombak atau berkuncup enam. Tanaman katuk dapat berbunga sepanjang tahun

(Sastroamidjojo, 1988). Morfologi tanaman katuk dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Katuk

Page 16: Katuk Pada Babi

16

Tanaman katuk diperbanyak dengan stek dari tanaman tua. Waktu

penanaman biasanya dilakukan pada musim hujan, sedangkan pemanenan dilakukan

setelah tanaman berumur 30-45 hari karena pada umur tersebut tanaman sudah

memiliki ranting yang cukup banyak (Yuliani dan Marwati, 1997).

Menurut Backer dan Brink (1963), sistem taksonomi tanaman katuk adalah

sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotiledoneae

Sub kelas : Monochlamydeae (Apetalae)

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Sauropus

Jenis : Sauropus androgynus (L.) Merr.

Penyebaran

Penyebaran tanaman katuk sampai saat ini diketahui terdapat di Filipina

(Luzon, Mindoro) dan Malay Peninsula (Pahang, Kelantan), sedangkan di Indonesia

sendiri terdapat didaerah Sumatera, Kalimantan, Kepulauan Sunda (Sumbawa,

Timur) dan di Jawa (Setyowati, 1997). Tanaman katuk ini dapat tumbuh dengan baik

didaerah dengan ketinggian 5-1300 meter diatas permukaan laut dan banyak tersebar

di Malaysia, Indonesia, Cina dan Vietnam. Heyne (1987), menjelaskan bahwa

tumbuhan ini dapat dijumpai hampir disemua tempat di Indonesia. Terdapat

bermacam-macam nama lokal untuk katuk sesuai daerah tersebut menamakannya.

Sebagai contoh, di Jawa disebut Katu, Babing dan Katukan; di Jawa Barat (Sunda)

disebut Katuk, sementara di Madura disebut Kerakur, di Bali disebut Kayu Manis, di

Sumatera Barat (Minangkabau) disebut Simani dan masyarakat Dayak Kenyah

menyebut tanaman ini Jowaluk (Setyowati, 1997).

Manfaat dan Kelemahan

Tanaman katuk banyak dimanfaatkan sebagai sayuran atau lalapan dan

dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu (ASI) dan mempercepat

pemulihan tenaga bagi orang sakit (Soeseno, 1984). Sumantera (1994), menyatakan

bahwa tanaman katuk selain sebagai pelancar ASI juga bermanfaat sebagai tanaman

Page 17: Katuk Pada Babi

17

obat keluarga (TOGA), bahan makanan dan sebagai tanaman hias. Nurendah et al.

(1997), banyak melaporkan tentang manfaat tanaman katuk diantaranya rebusan

daun katuk memberikan rasa yang agak asam dan manis, air perasan daun katuk

digunakan juga untuk memberi warna pada makanan, disamping itu air rebusan daun

dan akarnya digunakan sebagai obat demam, diuretika dan meningkatkan ASI.

Hasil penelitian Farida (1989), menunjukkan bahwa dosis daun katuk yang

efektif untuk meningkatkan produksi dan kualitas ASI selama menyusui adalah 400

gram daun segar ( kadar air 70%) per hari. Suprayogi (1995), melaporkan pengaruh

pemberian daun katuk kering pada kelinci menunjukkan adanya peningkatan

kecernaan pakan, absorpsi glukosa disaluran gastrointestinal dan metabolisme

glukosa di hati. Sari (2004), melaporkan pemberian ekstrak daun katuk kering

dengan dosis 1,68 gram/kg BB/ hari dalam bentuk minuman meningkatkan produksi

susu mencit. Penambahan katuk dengan taraf 10% dalam ransum mencit yang

diberikan mulai hari ke-14 kebuntingan memberikan penampilan reproduksi dan

produksi air susu yang lebih baik daripada saat setelah beranak pada mencit

(Arindhini, 2007).

Selain memiliki manfaat yang banyak, daun katuk juga memiliki kelemahan.

Pujiyati (1992) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dengan

dosis 1,89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk dengan dosis 7,44 g/ekor/hari pada

domba laktasi yang diberikan selama lima minggu menyebabkan terjadinya

degenerasi lemak pada hati yang kemungkinan diakibatkan oleh senyawa aktif yang

terkandung dalam daun katuk. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian

Hendarsari (2004) yang melaporkan bahwa pemberian EDK kering dan katuk hijau

dengan dosis 1,68 g/kg/BB pada mencit selama kebuntingan menimbulkan

degenerasi lemak pada organ hati dan ginjal yang bersifat sementara dan tergolong

dalam tingkat ringan. Selain itu Andriyanto (2004), juga menemukan terjadinya

penurunan kecernaan lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun

katuk pada pakan ayam broiler.

Menurut Santoso (2008), katuk dapat menyebabkan gangguan pencernaan

dan penyerapan mineral. Hal ini dapat berakibat lebih lanjut pada keroposnya tulang.

Selain itu daun katuk juga dapat mengakibatkan kelainan pada paru-paru dan

menyebabkan keguguran pada kelinci. Daun katuk juga banyak mengandung kristal

Page 18: Katuk Pada Babi

18

kalsium oksalat bentuk roset, sehingga bagi penderita penyakit batu ginjal

dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi daun katuk.

Kandungan Nutrisi Daun Katuk

Menurut Malik (1997), dalam daun katuk banyak terdapat minyak atsiri,

sterol, saponin, flavonoid, triterpin, asam-asam organik, asam-asam amino, alkaloid

dan tanin. Selain itu daun katuk juga mengandung protein, kalsium, fosfor, besi,

vitamin A, B, C dan senyawa steroid serta polifenol. Senyawa steroid diduga dapat

mempengaruhi peningkatan hormon estrogenik sehingga jumlah produksi air susu

meningkat. Komposisi nutrien yang terkandung dalam 100 gram daun katuk segar

dapat dilihat pada Tabel 1.

Ekstraksi Daun Katuk dan Kandungan Senyawa Aktif

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat

menjadi komponen-komponen yang terpisah. Metode ekstraksi yang efsien adalah

extraktor soxhlet karena dapat membatasi volume pelarut yang dibutuhkan (Winarno,

1973). Menurut Wikipedia (2008), ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat

berdasarkan kelarutannya terhadap dua cairan berbeda yang tidak saling larut,

biasanya air dan yang lainnya pelarut organik. Menurut ASIMAS (2007), beberapa

tujuan ekstraksi pada umumnya adalah untuk mengambil sebagian atau seluruh zat

tertentu yang ada dalam bahan tanaman untuk memudahkan dalam pengaturan

bentuk sediaan, dosis atau takaran yang tepat, mudah dalam penyimpanan, praktis

dalam penyajian dan menjaga keawetan bahan tersebut untuk jangka waktu yang

lebih lama dibandingkan dengan disimpan dalam bentuk bahan mentah.

Pengolahan katuk dapat dilakukan dengan berbagai cara, dengan cara ekstrak

kering atau serbuk daun. Menurut Yuliani et al. (1995), proses ekstraksi daun katuk

dilakukan dengan cara ; masing-masing ekstrak menggunakan 100 gr remasan daun

katuk dan pelarut ethanol 70% dengan perbandingan 1 : 4. Larutan ini dipanaskan

dan diaduk selama enam jam pada suhu 600C, kemudian disaring dengan kertas

saring sebanyak dua kali. Filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan menggunakan hot

plate selama sembilan jam pada suhu 500C. Ekstrak yang diperoleh berupa pasta

sebesar 31% ekstrak daun katuk kering dan 30% ekstrak daun katuk hijau.

Page 19: Katuk Pada Babi

19

Tabel 1. Komposisi Nutrien Daun Katuk ( per 100 g Daun Katuk Segar)

Nutrien a b c d

Kadar air Protein Lemak Karbohidrat Vitamin A Serat kasar Karoten Thiamin Ribovlafin Vitamin C Kalsium Fosfor Besi Vitamin B1 Abu Energi

81,0 gr 4.8 gr 1.0 gr 11,0 gr

10370 SI -

10020,0 µg 0,1 mg

- 204,0 mg 204,0 mg 83,0 mg 3,0 mg 0,1 mg

59 kalori

70 gr 4,8 gr 2,0 gr 11 gr

- - - - -

200 mg 24 mg 83 mg 2,7 mg

- -

72 kalori

69,9 gr 7,4 gr 1,1 gr

- -

1,8 gr 5600,0 µg

0,5 mg 0,21 mg 244,0 mg 771,0 mg 543,0 mg 8,8 mg

- - -

81,0 gr 4.8 gr 1.0 gr 11,0 gr

10370 SI 1,5 gr

- 0,1 mg

- 239,0 mg 204,0 mg 83,0 mg 2,7 mg 0,1 mg 1,7 gr

59 kalori

Sumber : a) Depkes (1972)

b) Oei (1987)

c) Padmavati dan Rao (1990)

d) Depkes (1992)

Menurut Hasanah et al.(1999), metode terbaik untuk menghasilkan sediaan

obat adalah (1) daun dikeringkan dengan suhu 450C , (2) menggunakan pengekstrak

70% etanol dan ekstraksi dilakukan dengan kombinasi pengaduan dan maserasi

selama 24 jam, (3) ekstrak dikeringkan setelah diuapkan, dicampur dengan aerosil,

avicel, dan pati singkong dan (4) tablet dicetak, dengan formulasi campuran 45%

ekstrak kental katuk, 45% batang pengering, 6% bahan penghancur (eksplotab), 3%

bahan pengikat (kolidon) dan 1% bahan pelincir, kemudian tablet dibalut dengan

film.

Suprayogi (2000), melaporkan bahwa dengan analisa kromatografi gas dan

spektrometri massa (KGSM), daun katuk mempunyai tujuh senyawa aktif utama.

Ketujuh senyawa tersebut bila bekerja bersama-sama maka akan berkhasiat sebagai

pemacu produksi air susu ibu (ASI), meningkatkan fungsi pencernaan, meningkatkan

pertumbuhan badan, pemicu jumlah darah, mengatasi kelelahan, mengatasi penyakit

pembuluh darah dan jantung, serta mengatasi gangguan reproduksi pria dan wanita.

Page 20: Katuk Pada Babi

20

Agusta et al. (1997), melaporkan bahwa kandungan komponen senyawa

kimia dalam daun katuk dengan menggunakan analisa kromatografi gas dan

spektrometri massa (KGMS) terhadap ekstrak daun katuk, menunjukkan adanya

enam senyawa utama yaitu: monomethyl succinate dan cis-2-methyl cyclopentanol

asetat (ester), asam benzoat dan asam fenil malonat (asam karbosilat), 2 pyrolidinon

dan methyl pyroglutamat (alkaloid) yang berpotensi untuk industri kimia dan

farmasi. Senyawa yang terkandung dalam daun katuk tersebut dapat mempengaruhi

fungsi fisiologis tubuh, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Mekanisme Daun Katuk dalam Meningkatkan Air Susu

Manfaat daun katuk untuk menghasilkan air susu telah banyak diuraikan

namun mekanisme daun katuk dalam menghasilkan air susu belum banyak yang

melaporkan. Suprayogi et al. (2001) melaporkan bahwa senyawa aktif yang ada

dalam daun katuk secara bersamaan memainkan peranan penting didalam sintesis air

susu pada kelenjar sekretoris melalui dua mekanisme aksi yaitu aksi hormonal dan

aksi metabolik.

1. Aksi Hormonal

Aksi hormonal dibagi dalam dua mekanisme yaitu:

a) Mekanisme pertama

Beberapa senyawa aktif dalam daun katuk merupakan prekursor yang terlibat

dalam biosintesis senyawa Eicosanoids, salah satu diantaranya adalah prostaglandin

yang akan menggertak kelenjar mammae untuk meningkatkan produksi susu. Lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.

b) Mekanisme kedua

Senyawa aktif yang lainnya adalah Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5

alpha (senyawa aktif yang ke-6) dapat memacu ovarium untuk menghasilkan

progesteron dan estradiol. Progesteron merangsang pembentukan sistem sekretori

dikelenjar ambing sedangkan estradiol diteruskan ke hipotalamus yang akan

merangsang hipofise posterior untuk melepaskan oksitosin yang berperan dalam

pengeluaran air susu dari alveolus masuk kedalam saluran ambing, selain itu

estradiol juga merangsang hipofise anterior untuk menghasilkan prolaktin dan

growth hormone yang berperan untuk merangsang pertumbuhan kelenjar ambing

serta produksi susu. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 21: Katuk Pada Babi

21

Tabel 2. Tujuh Senyawa Aktif Daun Katuk dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Fisiologis dalam Jaringan

No. Senyawa Aktif Pengaruhnya pada Fungsi Fisiologi

1. 2.

3.

4.

5.

Octadenoic acid 9-Eicosine

5, 8, 11-Heptadecatrienoic acid methyl ester

9, 12, 15- Octadecatrienoic acid ethyl ester

11, 14, 17 Eicosatrienoic acid methyl ester

Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senyawa Eicosanoids (prostaglandin, lipoxins, thromboxane, prostacycline. leucotrienes).

6. Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha

Sebagai prekursor atau intermediate-step dalam sintesis senyawa hormon (progesterone, estradiol, testosterone, dan glucocorticoid).

Senyawa 1-6 secara bersamaan

Memodulasi hormon-hormon laktasi dan laktogenesis serta aktivitas fisiologi yang lain.

7. 3, 4-Dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetatic acid

Sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme selular melalui siklus Krebs.

Sumber : Suprayogi (2000)

Octadenoic acid; 9-Eicosine; 5, 8, 11-Heptadecatrienoic acid; 9, 12, 15- Octadecatrienoic acid; lima senyawa aktif 11, 14, 17 Eicosatrienoic acid;

Prekursor

Eicosanoids (Prostaglandin)

Menggertak kelenjar ambing

Produksi susu meningkat

Gambar 2. Mekanisme Pertama Daun Katuk Melalui Jalur Aksi Hormonal

Page 22: Katuk Pada Babi

22

Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (senyawa aktif yang ke-6)

Intermediate-step steroid hormone

Progesteron Kelenjar ambing

Ovarium

Estradiol

Diteruskan

Hipofise posterior Oxytosin Let down susu

Hipotalamus (Neurosecretory cells)

Hipofise anterior

Prolaktin dan growth hormone

Meningkatkan sintesis air susu

Gambar 3. Mekanisme Kedua Daun Katuk Melalui Jalur Aksi Hormonal

2. Aksi Metabolik

Senyawa aktif 3,4 dimethyl-2-oxocyclopent-3-enulacetic acid, Monomethyl

suksinat, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methyl-acetate dan

methylpyroglutamat mengalami proses hidrolisis didalam saluran pencernaan, yang

akan menghasilkan beberapa produk metabolik seperti suksinat, asam malonik, asetat

dan glutamat yang masuk dalam siklus Krebs sehingga dihasilkan energi.

Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 23: Katuk Pada Babi

23

3,4 dimethyl-2-oxocyclopent-3-enulacetic acid,

Monomethyl suksinat, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methyl-acetate dan methylpyroglutamat

hidrolisis dalam saluran cerna Suksinat, asam malonik, asetat dan glutamat

Siklus Krebs Menghasilkan ATP energi

Gambar 4. Mekanisme Daun Katuk Melalui Jalur Metabolik

Ternak Babi

Ternak babi merupakan salah satu dari sekian jenis ternak yang mempunyai

potensi sebagai suatu sumber protein hewani dengan sifat-sifat yang dimiliki adalah

prolifik, efesien dalam mengkonversi bahan makanan menjadi daging dan

mempunyai daging dengan persentase karkas yang tinggi (Siagian, 1999a). Menurut

Holden dan Ensminger (2005), secara zoologis ternak babi diklasifikasikan sebagai

berikut;

Kelas ; Mammalia

Ordo ; Artiodactyla

Sub Ordo ; Suina

Family ; Suidae

Genus ; Sus

Spesies ; Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus, Sus domesticus, Sus barbatus

dan Sus verrucocus.

Sifat Reproduksi

Ternak babi adalah ternak yang cepat berkembangbiak karena menghasilkan

banyak anak yang lahir dari satu kelahiran dan dalam satu tahun dapat terjadi dua

kali beranak bahkan dapat lima kali dalam dua tahun ( prolifik), cepat tumbuh dan

cepat dewasa. Data mengenai sifat reproduksi ditunjukkan pada Tabel 3.

Page 24: Katuk Pada Babi

24

Tabel 3. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina

Sifat a b

Umur saat pubertas (bulan)

Bobot badan saat estrus (kg)

Lama estrus (hari)

Panjang siklus estrus (hari)

Waktu ovulasi setelah permulaan estrus (jam)

Saat yang tepat dikawinkan

Lama kebuntingan (hari)

5-8

-

1- 3

19-21

-

Hari ke-2 estrus

110-115

4-7

70-110

1- 5

18-24

12-48

Hari ke-2 estrus

111-115

Sumber : a) Anggorodi (1979) b) Blakely dan Bade (1991)

Kebuntingan

Kebuntingan terjadi apabila adanya fertilisasi yaitu bila satu sperma bersatu

dengan sel telur untuk membentuk zigot dan didalam uterus terdapat pembentukan

embrio dan fetus. Menurut Toelihere (1993), lama kebuntingan ternak babi berkisar

antara 111-117 hari atau rata-rata 114 hari. Meskipun perkembangan sejak

pembuahan hingga kelahiran merupakan suatu proses bersinambung, kebuntingan

dianggap terdiri dari tiga fase, yaitu fase preimplantasi, embrio dan fetus

(Sihombing, 2006).

1. Preimplantasi

Selama dua minggu pertama kebuntingan, telur yang tertunas bergerak dari

Tuba Fallopii ke masing-masing tanduk uterus sampai hari ke-12 tempatnya masih

bebas, namun dari hari ke-12 sampai hari ke-18 sudah menempatkan diri dan

menetapkan posisi akhirnya di uterus (implantasi).

2. Embrio

Periode embrio berlangsung selama minggu-minggu ke-3, ke-4 dan ke-5

kebuntingan dan ditandai oleh awal pembentukan organ-organ dan bagian-bagian

tubuh. Dalam periode ini selaput pembungkus embrio (ari-ari, tembuni, plasenta)

terbentuk dan berfungsi melindungi dan memberi makan embrio.

Page 25: Katuk Pada Babi

25

3. Fetus

Periode fetus berlangsung dari hari ke-36 hingga anak lahir sekitar hari ke-

114. Sekitar hari ke-60 fetus mengembangkan sistem imunitasnya sendiri terhadap

infeksi yang ringan. Pertumbuhan fetus pada berbagai fase dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Panjang dan Berat Fetus Babi pada Berbagai Fase

Setelah konsepsi (hari) Panjang (cm) Berat (g)

30

51

72

93

114

2,5

9,8

16,3

22,9

29,4

1,5

49,8

220,5

616,9

1.040,9

Sumber : Sihombing (2006)

Kelahiran

Menurut Sihombing (2006), menjelang beranak induk memperlihatkan tanda-

tanda gelisah dan aktivitas membuat sarang. Laju pernapasan meningkat selama 12

jam terakhir dan temperatur rektum meningkat lima jam sebelum beranak. Induk

beranak paling sering terjadi pada malam hari.

Hormon yang memprakarsai induk beranak (proses beranak) adalah

prostaglandin F2-alfa yang dihasilkan oleh fetus. Hormon ini menyebabkan regresi

corpus luteum dan mengakibatkan keluarnya hormon-hormon relaxin dan oxytosin

dari kelenjar pituitary. Hormon relaxin dan oxytocin menimbulkan relaksasi servix

sehingga terbuka corong jalan anak lahir dan oxytocin menyebabkan kelenjar susu

mengeluarkan air susu.

Air Susu dan Kolostrum

Susu adalah cairan biologis yang dihasilkan oleh kelenjar ambing, yang

mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral yang sangat esensial

bagi pertumbuhan anak selama periode menyusu (Schmidt, 1971). Daya tahan hidup

anak babi sejak lahir sampai lepas sapih dipengaruhi oleh produksi air susu induk.

Menurut Mepham (1987), produksi susu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:

jumlah dan komposisi makanan yang dikonsumsi, jumlah dan komposisi darah yang

diserap oleh kelenjar ambing dan laju sintesis air susu. Semakin banyak anak

Page 26: Katuk Pada Babi

26

menyusu cenderung menaikkan produksi air susu induk (Parakkasi, 1983). Produksi

susu akan meningkat dan mencapai puncaknya tiga minggu setelah beranak,

kemudian berangsur-angsur menurun dan pada minggu ke-9 dan 10 produksi susu

sangat sedikit (Pond dan Maner, 1974). Lebih lanjut Sihombing (2006), menyatakan

bahwa pada awalnya induk menghasilkan sekitar 4 kg air susu per hari dan

meningkat terus hingga minggu keempat dari masa laktasi menjadi sekitar 7 kg dan

selanjutnya menurun.

Kolostrum adalah susu pertama yang dihasilkan setelah kelahiran yang sangat

penting untuk anak yang dilahirkan itu (Frandson, 1992). Menurut Brent et al.

(1975), kolostrum babi kaya akan immunoglobulin (molekul antibodi) dan alat

pencernaan anak babi yang baru lahir dalam waktu singkat dapat mengabsorbsi

molekul kolostrum dalam jumlah yang sangat besar. Air susu babi memiliki

perbedaan dengan kolostrum dalam hal komposisi, hal ini dapat dilihat dari Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Kolostrum dan Air Susu Babi

Nutrisi Kolostrum Air susu (setelah 2 hari)

Total bahan padat (%)

Protein (%)

Lemak (%)

Laktosa (%)

Mineral (%)

Antibodi (IgG,mg/ml)

30

17,0

7

3

1

61,8

20

6,5

7

5

1

8,2

Sumber : Sihombing (2006).

Laktasi

Proses laktasi adalah proses fisiologis didalam tubuh yang banyak melibatkan

fungsi hormonal. Menurut Sihombing (2006), hormon oxytocin yang dikeluarkan

sewaktu beranak bekerja juga untuk merangsang keluarnya air susu dan dengan

demikian suplai air susu bagi anak yang lahir cukup tersedia. Induk babi melepas air

susu diukur dari frekuensi anak babi menyusu, paling sering terjadi selama enam jam

pertama setelah beranak dan kemudian menurun lambat laun hingga suatu taraf

sekitar sekali per jam sekitar hari ketiga laktasi. Pada awal menyusu induk babi

memprakarsai dengan sederetan suara merengeh yang halus untuk memancing anak

datang ke ambing. Sebaliknya sekitar akhir hari ketiga anak babi yang memancing

Page 27: Katuk Pada Babi

27

induk dengan mengelus-elus ambing induk. Lama laktasi induk babi tergantung dari

lama anak babi disapih. Periode laktasi berpengaruh pada interval pengawinan, lama

berahi, laju konsepsi dan banyak anak per kelahiran.

Pengukuran Produksi Air Susu

Produksi air susu babi dapat diukur secara tidak langsung yaitu berdasarkan

bobot badan pada anak-anaknya. Anak babi ditimbang sebelum dan segera setelah

selesai menyusu dan selisih berat penimbangan adalah produksi air susu saat itu

(Parakkasi, 1983). Silitonga (1993), telah melakukan pengukuran produksi air susu

tikus dan mencit berdasarkan pertambahan bobot badan kelompok anak selama

menyusu. Sudono (1981), menyarankan sebelum mengukur produksi air susu, anak

mencit dipuasakan 6 sampai 11,5 jam, kemudian ditimbang (bobot awal). Setelah itu

dibiarkan menyusu pada induknya selama 45 sampai 60 menit baru ditimbang lagi

(bobot akhir). Produksi air susu mencit diperoleh dengan mengurangkan bobot akhir

dengan bobot awal. Menurut Sari (2004), yaitu sebelum dilakukan pengukuran, anak

mencit dipuasakan terlebih dahulu selama empat jam, kemudian ditimbang (bobot

awal). Setelah itu, anak mencit dibiarkan disusui oleh induknya selama satu jam baru

ditimbang kembali (bobot akhir). Produksi air susu mencit diperoleh dengan

melakukan pengurangan bobot akhir dengan bobot awal pada saat itu.

Konsumsi Ransum dan Air Minum Induk

Ransum adalah makanan yang diberikan pada ternak tertentu selama 24 jam,

pemberiannya dapat dilakukan sekali atau beberapa kali selama 24 jam tersebut.

Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan makanan yang bila dikonsumsi

secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam perbandingan

jumlah, bentuk, sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh

berjalan dengan normal (Parakkasi, 1983). Ransum yang dikonsumsi ternak babi

akan diubah menjadi jaringan tubuh, juga digunakan sebagai sumber energi dan

sebagian lagi akan dikeluarkan menjadi kotoran (Siagian, 1999a). Menurut

Sihombing (2006), konsumsi ransum babi bunting dan babi laktasi masing-masing

adalah 2,00-2,50 dan 3,00-4,50 kg per hari per ekor. Konsumsi air minum untuk

induk babi bunting dan laktasi sekitar 10-20 liter/hari. Konsumsi ransum untuk induk

babi laktasi harus disesuaikan dengan jumlah anaknya, sebab semakin banyak anak

semakin besar perangsang produksi air susu induk. Semakin banyak ransum yang

Page 28: Katuk Pada Babi

28

diperoleh pada waktu laktasi maka produksi air susu akan meningkat. Untuk lebih

jelas kebutuhan zat-zat makanan yang dibutuhkan babi dara bunting, induk bunting

dan induk laktasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Konversi Ransum

Menurut Crampton dan Harris (1969), bahwa konversi ransum adalah

penambahan bobot badan setiap satuan ransum yang dikonsumsi. Ternak babi

merupakan salah satu ternak yang efesien dalam mengkonversi berbagai sisa bahan

makanan menjadi daging (Holden dan Ensminger, 2005). Anggorodi (1979),

menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah

temperatur, kualitas ransum, kualitas air, pengafkiran, penyakit, manajemen

pemeliharaan dan juga faktor pemberian ransum.

Page 29: Katuk Pada Babi

29

Tabel 6. Kebutuhan Zat Makanan (per Kg Ransum) untuk Babi Dara Bunting, Induk Bunting dan Induk Laktasi

Zat Makanan Satuan Dara dan Induk Bunting Induk Laktasi

Energi dapat dicerna Energi Metabolisme Protein kasar Asam amino esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin + sistin Fenilalanin + tirosin Treonin Triptofan Valin Unsur mineral Kalsium Fospor Natrium Khlorin Kalium Magnesium Besi Seng Mangan Tembaga Iodin Selenium Vitamin-vitamin Vitamin A Vitamin D Vitamin E Vitamin K Ribovlavin Niasin Asam pantotenat Vitamin B12

kkal kkal % % % % % % % % % % % % % % % % % mg mg mg mg mg mg IU IU IU mg mg mg mg µg

3400 3265 12,8

0,00 0,15 0,27 0,44 0,46 0,32 0,46 0,37 0,09 0,31

0,75 0,60 0,15 0,12 0,20 0,04 80 50 20 5

0,14 0,15

4000 200 44

0,50 3,75 10 12 15

3400 3265 18,4

0,49 0,34 0,47 0,96 0,85 0,41 0,95 0,52 0,15 0,72

0,75 0,60 0,20 0,16 0,20 0,04 80 50 20 5

0,14 0,15

2000 200 44

0,50 3,75 10 12 15

Sumber : NRC (1998)

Page 30: Katuk Pada Babi

30

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Peternakan Babi Ripayanly Farm, Dusun Pealinta,

Desa Siabal-Abal, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi

Sumatera Utara mulai bulan Pebruari sampai dengan bulan April 2008.

Materi

Ternak

Penelitian ini menggunakan 18 ekor ternak babi yang terdiri atas induk babi

bunting 104 hari (H1) sebanyak sembilan ekor dan saat selesai beranak (H2)

sebanyak sembilan ekor milik Ripayanly Farm. Ternak babi yang digunakan adalah

bangsa persilangan Duroc, Yorkshire dan Landrace. Induk yang digunakan memiliki

laktasi yang berbeda-beda, mulai dari laktasi kedua sampai laktasi kesembilan.

Rataan bobot badan induk berkisar antara 200 kg sampai 250 kg. Berikut adalah babi

penelitian dengan kebuntingan 104 hari (Gambar 5) dan saat setelah selesai beranak

(Gambar 6).

Gambar 5. Induk Babi Bunting 104 Hari

Gambar 6. Induk Babi Menyusui Setelah Selesai Beranak

Page 31: Katuk Pada Babi

31

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah 18 buah yang dilengkapi dengan tempat

induk beranak khusus ( Farrowing crate ) berukuran 220 x 70 x100 cm, kotak (box)

berukuran 42 x 23 x 50 cm untuk tempat anak yang baru lahir pada saat tidak

menyusu dengan lampu pemanas berkekuatan 60-75 watt, tempat makan induk dan

anak, lampu penerang untuk semua bangunan induk beranak, papan pencatatan, dan

nipple atau alat minum otomatis. Peralatan yang digunakan adalah timbangan 10 kg,

alat tulis, buku tulis, karung, mixer, sapu, kain lap, ember dan pipa selang untuk

memandikan babi dan membersihkan kandang. Kandang dengan peralatannya

diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kandang Induk Beranak dengan Peralatannya

Ransum Penelitian

Ransum yang digunakan adalah ransum induk bunting dan menyusui yang

biasa diberikan di Ripayanly Farm dengan komposisi ransum yang dicampur dengan

mixer per + 200 kg yaitu jagung kuning giling sebanyak 50 kg, dedak padi sebanyak

115 kg, konsentrat sebanyak 35 kg dan zeolit sebanyak 4 kg. Ekstrak daun katuk

(EDK) dibeli dari suatu industri pakan dengan alkohol sebagai bahan

pengekstraknya. Ransum diberikan dalam bentuk kering.

Pencampuran ransum penelitian dilakukan dengan manual. Hal ini

disebabkan bahan makanan penyusun ransum seperti jagung giling halus belum

benar-benar kering sebelum digiling menjadi halus. Dengan demikian ransum yang

Page 32: Katuk Pada Babi

32

dicampur dengan mixer tidak bertahan lama disimpan, ransum akan basi dan rusak.

Cara manual dilakukan dengan mencampur ekstrak daun katuk (EDK) dengan

ransum induk bunting dan menyusui. Komposisi yang digunakan untuk R2 sebanyak

15 g EDK dicampur kedalam 29,985 kg ransum induk bunting dan menyusui, untuk

R3 sebanyak 30 g EDK dicampur kedalam 29,970 kg ransum induk bunting dan

menyusui. Ekstrak daun katuk dicampur terlebih dahulu kedalam 1 kg ransum

setelah itu dicampur lagi kedalam 5 kg dan terakhir dicampur kedalam 24 kg.

Berikut komposisi ransum penelitian yang digunakan;

R1 : Ransum 100% + Ekstrak Daun Katuk (EDK) 0%

R2 : Ransum 99,95% + Ekstrak Daun Katuk (EDK) 0,05%

R3 : Ransum 99,90% + Ekstrak Daun Katuk (EDK) 0,10%

Hasil pencampuran ransum biasa dengan EDK pada taraf yang berbeda yang

merupakan ransum penelitian yang secara fisik diperlihatkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Ransum Penelitian

Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola

faktorial 3 x 2 masing-masing dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah taraf EDK

dalam ransum yaitu 0; 0,05 dan 0,1% dan faktor kedua adalah waktu pemberian

ransum penelitian yaitu saat bunting 104 hari dan segera setelah induk selesai beranak

hingga induk babi tersebut akan menyapih anaknya. Model matematika yang

digunakan menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai berikut :

Page 33: Katuk Pada Babi

33

Y ijk = µµµµ + ααααi + ββββj + (ααααββββ)ij + εεεεijk

Keterangan:

Y ijk : Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan

ulangan ke-k

µµµµ : Nilai rataan umum

ααααi : Pengaruh penambahan ekstrak daun katuk atau faktor A taraf ke-i ; i =

0; 0,05 dan 0,10%

ββββj : Pengaruh waktu pemberian atau faktor B waktu ke-j ; j = bunting 104

hari dan saat setelah selesai beranak

(ααααββββ)ij : Interaksi dari penambahan ekstrak daun katuk dan waktu pemberian

εεεεijk : Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ke-j serta ulangan ke-k ; k = 1,

2,3

Analsisi Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa sidik ragam atau analysis of

variance (ANOVA) menggunakan program Minitab 14, jika perlakuan berpengaruh

nyata atau sangat nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji

Tukey (Steel dan Torrie, 1993).

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Konsumsi Ransum Induk (kg/ekor/hari), adalah jumlah ransum yang

dikonsumsi oleh seekor induk babi setiap hari. Konsumsi ransum diperoleh dari

selisih antara jumlah ransum awal dengan jumlah sisa.

2. Produksi Air Susu Induk (PASI) (g/ekor/menyusui), Pengukuran produksi air

susu induk didasarkan pada bobot anak babi per kelahiran. Seperti pendapat

Parakkasi (1983), anak babi ditimbang sebelum dan segera setelah selesai menyusu

dan selisih berat penimbangan adalah produksi air susu saat itu. Penimbangan

dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak dipuasakan selama empat jam

(jam 10.00 – 14.00 WIB) kemudian penimbangan kedua sesudah anak menyusu (±

30 menit). Produksi air susu induk diperoleh dari hasil pengurangan penimbangan

kedua dengan penimbangan pertama. Pengukuran air susu induk mulai dilakukan

Page 34: Katuk Pada Babi

34

pada hari kelima setelah beranak untuk mengurangi stress pada anak babi, kemudian

dilanjutkan pada hari ke-15 dan hari ke-25.

Gambar 9. Diagram Pengukuran Produksi Air Susu Induk dengan Cara Penimbangan Anak

Prosedur

1. Identifikasi ternak yang bunting 104 hari dan yang segera akan beranak

dengan melihat informasi kebuntingan pada papan pencatatan yang digantung

didinding kandang.

2. Kandang beranak (Farrowing Crate) disiram dibersihkan dengan air hingga

bersih lalu dibiarkan hingga kering, kemudian ternak penelitian dimasukkan

ke kandang beranak (Farrowing Crate).

3. Pencampuran ekstrak daun katuk (EDK) dengan ransum yang biasa diberikan

pada ternak penelitian.

4. Pemberian makan ternak penelitian dilakukan dua kali dalam sehari yaitu

pagi dan sore hari.

5. Konsumsi ransum induk dihitung setiap hari dengan mengurangi jumlah

ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa.

6. Pengukuran produksi air susu induk pada hari kelima, ke-15 dan ke-25 saat

laktasi.

7. Analisis data penelitian.

Menyusu P u a s a + 30 menit Jam ke : 0 1 2 3 4 5 P1 P2 Keterangan: P1 = Penimbangan pertama P2 = Penimbangan kedua

Page 35: Katuk Pada Babi

35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Peternakan

Penelitian dilaksanakan di Peternakan Babi Ripayanli Farm berlokasi di

dusun Pealinta, Desa Siabal-Abal, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara,

Propinsi Sumatera Utara. Letak geografis peternakan ini barada pada 020 01' - 020 14'

Lintang Utara dan 980 57'- 990 16' Bujur Timur. Wilayah ini terletak pada ketinggian

1000 – 1500 m diatas permukaan laut.

Peternakan ini berdiri diatas lahan seluas dua hektare, bangunan terdiri dari

lima buah jenis kandang yaitu kandang starter satu buah , kandang grower satu buah,

kandang kering satu buah, kandang induk bunting satu buah dan kandang beranak

satu buah. Selain itu terdapat bangunan lain seperti gudang pakan, gudang giling

jagung, gudang peralatan dan tempat pengolahan limbah. Disekitar kandang,

peternak menanam jagung dan jenis komoditi pertanian lainnya seperti cabai, ubi

jalar dan beberapa jenis sayuran. Lokasi peternakan jauh dari pemukiman penduduk

sehingga tidak menggangu lingkungan sekitar dengan polusi bau dan kebisingan dari

peternakan tersebut. Polusi bau dapat dikurangi dengan penambahan zeolit dalam

ransum. Peternakan ini memiliki kantor dan mess untuk tempat pekerja yang berjarak

200 meter dari kandang.

Sistem pemeliharaan di peternakan ini berjalan dengan baik sesuai dengan

prosedur yang sebenarnya. Tatalaksana dilakukan dengan baik mulai dari manajemen

pemeliharaan pejantan, induk kering, induk bunting, induk beranak, anak sapihan,

grower dan finisher. Pejantan dan induk kering dikandangkan dalam kandang

individu beralaskan lantai semen berukuran 2,5 x 3 m2. Proses pengawinan induk

yang sedang berahi dilakukan pada pagi dan sore hari. Induk kering yang berahi

dikawinkan dengan pejantan secara alami. Pejantan didatangkan kedalam kandang

betina. Setelah selesai pengawinan pejantan dikembalikan ketempat semula, dan

untuk mengetahui bunting atau tidak, diperiksa pada hari ke-21 kemudian, dan jika

induk tidak berahi lagi maka induk tersebut telah bunting.

Induk bunting dipindahkan dengan hati-hati ke kandang bunting khusus yang

terbuat dari besi. Sekitar 10 hari menjelang beranak induk dipindahkan ke kandang

beranak (Farrowing crate). Setelah induk beranak, anak dibiarkan tinggal bersama

induk kemudian pada umur 30 hari anak disapih. Induk dipindahkan ke kandang

Page 36: Katuk Pada Babi

36

induk kering sementara anak tinggal beberapa hari di farrowing crate sebelum

dipindahkan ke kandang starter. Lantai kandang starter terbuat dari besi berbentuk

kisi. Tersedia tempat makan dan minum yang otomatis sehingga babi starter makan

dan minum dengan ad libitum. Setelah satu bulan di kandang starter atau saat akan

disapih anak babi dipindahkan ke kandang grower. Lantai kandang grower terbuat

dari lantai semen dengan ukuran 3 x 3 m2. Kapasitas kandang grower ditempati 20

ekor babi, namun pada saat bobot badan babi mencapai 40 kg dilakukan pemindahan

sebagian babi ke kandang lain sehingga dalam satu kandang ditempati 10 ekor babi.

Bobot badan babi diatas 60 kg siap untuk dijual.

Kebersihan kandang tetap terjaga karena penyiraman dilakukan setiap pagi

hari sebelum diberikan makan. Air tersedia sesuai dengan kebutuhan, pembersihan

kandang dilakukan menggunakan pipa selang, dimana mesin sebagai alat penggerak

air, sehingga dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Penyiraman kandang beranak

dilakukan tiga kali seminggu yakni pada siang hari, untuk mencegah anak agar tidak

kedinginan. Lantai kandang beranak terbuat dari bahan besi berbentuk kisi sehingga

kotoran dapat langsung jatuh kebawah.

Ternak babi diberikan makan dua kali sehari yakni pada pagi dan sore hari.

Ransum yang diberikan berupa pakan kering, yang terdiri dari konsentrat, dedak

halus, jagung giling halus dan zeolit. Komposisi campuran berbeda-beda untuk setiap

kelas ternak. Pencampuran ransum menggunakan mesin mixer dengan kapasitas 200

kg, biasanya pencampuran dilakukan pada sore hari. Komposisi ransum adalah

campuran bahan makanan seperti diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi Ransum di Peternakan Ripayanly Farm

Bahan Makanan

Kelas Ternak

Starter (kg)

Grower (kg)

Pejantan, Induk Kering, Induk Bunting dan Induk Beranak (kg)

Dedak Padi

Jagung Kuning Giling

Konsentrat 805M

Zeolit

50

100

50

-

100

60

40

-

115

50

35

4

Page 37: Katuk Pada Babi

37

Pekerja dipeternakan ini berjumlah empat orang, dimana tiap orang

mempunyai tugas dan tanggungjawab masing-masing. Populasi ternak babi yang

dipelihara pada saat penelitian berlangsung adalah 618 ekor. Data populasi

berdasarkan kelas ternak diperlihatkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Data Populasi Ternak Babi di Peternakan Ripayanly Farm pada Akhir Penelitian

Kelas Jumlah (ekor)

Pejantan produktif

Calon pejantan ± 60 kg

Induk menyapih

Induk bunting

Induk menyusui

Anak menyusu dari 18 induk menyusui

Sapihan (< 20 kg)

Grower I (20-40 kg)

Grower II (40-60 kg)

Finisher (> 60 kg)

4

3

14

28

18

179

143

181

48

-

Total 618

Papan rekording atau pencatatan yang digantung pada tiap petak kandang

memberikan informasi sehingga akan mempermudah pelaksanaan pemeliharaan oleh

pekerja agar berjalan dengan mudah dan lancar. Pada papan rekording tercantum

informasi tentang hal-hal seperti pengawinan induk, pemindahan babi, pemberian

vaksin, penyapihan anak, pengafkiran dan penjualan babi. Hal-hal lain yang

dicantumkan di papan rekording antara lain nomor pejantan, nomor induk, tanggal

kawin, perkiraan tanggal beranak, tanggal beranak sebenarnya, laktasi ke-, tanggal

sapih, tanggal kastrasi, tanggal vaksin, data kematian anak, jumlah anak dan jenis

pengobatan yang dilakukan.

Pengolahan limbah dilakukan secara baik, dengan menyediakan bak

penampungan limbah berukuran 15 x 5 x 3 m3. Tersedia juga empat bak

penampungan masing-masing berukuran 1 x 1 x 2 m3. Seluruh limbah peternakan

dialirkan melalui selokan, dengan mengalirkan terlebih dahulu dari empat bak

penampungan kemudian dialirkan menuju bak penampungan besar. Limbah yang

Page 38: Katuk Pada Babi

38

mengendap di empat bak penampungan dipindahkan dengan menggunakan cangkul

ke bak yang disediakan berukuran 3 x 2,5 x 0,5 m3 sebanyak empat bak, selanjutnya

diproses untuk dibuat jadi pupuk kompos. Limbah yang berada di bak penampungan

yang besar (limbah cair) dialirkan melalui pipa menuju tanaman yang berada

disekitar kandang dengan menggunakan mesin.

Suhu dan kelembaban dalam suatu peternakan harus diperhatikan karena

berpengaruh pada kondisi fisioligis dan produktivitas induk dan anak babi yang

dilahirkan. Apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka produktivitas yang dicapai

tidak akan optimal (Malole dan Pramono, 1989). Kondisi lingkungan selama

penelitian tidak menunjukkan perubahan yang ekstrim baik suhu maupun

kelembaban. Kondisi suhu dan kelembaban selama penelitian tidak berdampak

negatif bagi induk babi penelitian, meskipun sedikit berpengaruh pada tingkat

konsumsi ransum. Kondisi suhu yang panas membuat babi mengalami cekaman

(stress) sehingga konsumsi ransum dapat menurun.

Suhu ruangan harian selama penelitian berkisar antara 22 - 29oC dengan

kelembaban sekitar 70 - 90%. Rataan suhu dan kelembaban kandang pada pagi hari

masing-masing 22oC dan 86%, siang hari 29oC dan 77% dan malam hari 22oC dan

83%. Keadaan suhu masih lebih tinggi daripada suhu ideal untuk induk babi

menyusui sedangkan kelembaban berada pada batas ideal. Kisaran suhu selama

penelitian masih jauh diatas kisaran suhu optimum bagi ternak babi periode

menyusui anak yaitu 5 – 18 oC dan periode bunting sekitar 14 - 20 oC (Devandra dan

Fuller, 1979). Kisaran kelembaban udara selama penelitian tidak berbeda jauh

dengan kelembaban optimum yang dibutuhkan oleh induk beranak yaitu 70 – 90%

(Goodwin, 1974). Sementara suhu yang ideal untuk anak babi yang baru dilahirkan

berkisar antara 30 - 32 oC. Suhu ideal ini masih diatas rataan suhu ruangan harian

sehingga dipasang lampu pemanas dalam kotak anak agar sesuai dengan suhu yang

dibutuhkan anak babi. Alat pengukur suhu dan kelembaban yang digunakan adalah

thermohygrometer seperti terlihat pada Gambar 10, yang diletakkan di kandang

beranak dan dilakukan pencatatan pada pagi (08.00), siang (13.00) dan sore hari

(18.00 WIB ).

Page 39: Katuk Pada Babi

39

Gambar 10. Thermohygrometer

Ternak Penelitian

Penelitian ini menggunakan induk babi sebanyak 18 ekor terdiri dari

sembilan ekor induk bunting 104 hari dan sembilan ekor induk yang baru selesai

beranak. Bangsa babi yang dipelihara adalah hasil persilangan dari Duroc, Yorkshire

dan Landrace dengan proporsi bangsa yang tidak diketahui dengan jelas. Induk yang

digunakan memiliki laktasi yang berbeda-beda, mulai dari laktasi kedua sampai

laktasi kesembilan. Identitas laktasi tiap satuan unit percobaan dapat dilihat pada

Lampiran 1. Rataan bobot badan induk berkisar antara 200 sampai dengan 250 kg.

Umumnya induk beranak pada masa kebuntingan umur 114 hari, namun ada

beberapa ekor induk yang beranak kurang atau lebih daripada 114 hari, sehingga

berpengaruh pada perlakuan induk bunting 104 hari. Masa kebuntingan tiap unit

percobaan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Sistem pengawinan induk adalah secara alami dan manejemen induk yang

benar membuat keberhasilan melahirkan anak dengan jumlah yang banyak yakni ±10

ekor tiap induk. Data litter size lahir dari induk ternak penelitian dapat dilihat pada

Lampiran 3. Namun setelah anak lahir, kematian tetap terjadi akibat tertindih oleh

induk dan hal lain seperti kedinginan dan terserang penyakit scour (kotoran putih).

Penanganan anak babi yang baru lahir dilakukan dengan baik, seperti membantu

membersihkan anak babi, memotong gigi, ekor, tali pusar dan penyuntikan zat besi.

Anak babi dikastrasi pada umur dua minggu dan disapih pada umur 30 hari.

Sementara untuk induk dilakukan penyuntikan peniciline, vitamin B kompleks dan

oxcytocin untuk mencegah penyakit Sindrom Mastitis-Metritis-Agalactia (Sindrom

MMA). Beberapa ternak penelitian menunjukkan gejala lemas dan hilang nafsu

makan, diperkirakan terkena sindrom MMA. Namun tidak berlangsung lama hanya

Page 40: Katuk Pada Babi

40

sekitar satu sampai tiga hari saja induk sudah sembuh, karena langsung diberikan

pengobatan yang sesuai.

Ransum Penelitian

Ransum yang diberikan pada ternak babi yang digunakan dalam penelitian

adalah ransum kering. Ransum yang dibuat terdiri dari konsentrat 805 M, dedak padi,

jagung kuning giling , zeolit dan ekstrak daun katuk. Komposisi zat makanan yang

diberikan dari bahan makanan yang digunakan untuk ransum penelitian ditampilkan

pada Tabel 9, sedangkan susunan ransum penelitian, perhitungan kandungan zat

makanan dari ransum penelitian dan kebutuhan zat makanan untuk induk babi

bunting dan menyusui ditampilkan secara berurut pada Tabel 10, 11 dan 12.

Bila dibandingkan hasil perhitungan kandungan zat makanan pada Tabel 11

dengan kebutuhan zat makanan induk babi bunting dan menyusui pada Tabel 12

maka energi dan protein hampir sama, lemak dan kalsium lebih rendah sedangkan

serat kasar dan fosfor lebih tinggi. Berdasarkan perhitungan kandungan zat makanan,

komposisi zat makanan dan metabolisme energi ransum biasa dan ransum biasa yang

ditambahkan ekstrak daun katuk tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini disebabkan

persentase jumlah ekstrak daun katuk yang ditambahkan adalah sangat kecil

dicampur pada ransum biasa. Persentase yang kecil ini tidak akan mengubah

komposisi kandungan zat makanan penelitian.

Tabel 9. Komposisi Zat Makanan dari Bahan Makanan yang Digunakan untuk Ransum Penelitian

Bahan Makanan

ME

(kkal/kg)

PK LK SK Ca P

------------------ % ------------------- Dedak Padia

Jagung Kuning Gilinga

Konsentrat 805 Mb

Zeolit

Ekstrak Daun Katukc

2865

3420

4500

-

3552,65

12,5

8,8

29

-

2,41

0,6

3,8

3

-

1,72

15

2,5

8

-

2,55

0,1

0,01

2

-

0,014

1,35

0,25

1

-

-

Keterangan: ME= metabolisme energi; LK= lemak kasar; PK= protein kasar; SK= serat kasar; Ca = kalsium; dan P= fosfor

Sumber : a. Siagian (1999b) b. PT. Gold Coin c. Laboratorium Pusat Studi Ilmu Hayati dan Bioteknologi, IPB (2008)

Page 41: Katuk Pada Babi

41

Tabel 10. Susunan Ransum Penelitian

Bahan Makanan

Perlakuan

R1 R2 R3

--------------------- % -------------------------

Dedak Padi

Jagung Kuning Giling

Konsentrat 805 M

Zeolit

Ekstrak Daun Katuk (EDK)

56,37

24,50

17,15

0,01

0

56,34

24,49

17,14

0,01

0,05

56,31

24,48

17,13

0,01

0,10

Keterangan: R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK

Tabel 11. Perhitungan Kandungan Zat Makanan dari Ransum Penelitian

Ransum Penelitian

ME (kkal/kg)

Zat Makanan

PK LK SK Ca P

------------------ % -------------------

R1

R2

R3

3224,6

3224,7

3224,9

14,16

14,16

14,14

1,77

1,77

1,77

10,43

10,43

10,42

0,39

0,39

0,40

0,99

0,99

0,99

Keterangan: ME= metabolisme energi; LK= lemak kasar; PK= protein kasar; SK= serat kasar; Ca = Kalsium; P= Fosfor ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK ; R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK

Tabel 12. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Babi Bunting dan Menyusui

Zat Makanan

Kelas Ternak

Induk Bunting Induk Menyusui

--------------------- % -------------------------

Protein Kasar

Lemak Kasar

Serat Kasar

Kalsium

Fosfor

Metabolisme Energi (kkal/kg)

13,0

3,0

7,0

0,75-1,0

0,7

3100

14,0

3,0

7,0

0,75-1,0

0,7

3200

Sumber: SNI (1995)

Page 42: Katuk Pada Babi

42

Konsumsi Ransum Induk

Ransum adalah makanan yang diberikan pada ternak tertentu selama 24 jam,

pemberiannya dapat dilakukan sekali atau beberapa kali selama 24 jam. Ransum

yang diberikan pada ternak penelitian memiliki komposisi kandungan zat makanan

yang hampir sama antar perlakuan, seperti yang ditampilkan pada Tabel 11. Rataan

konsumsi ransum selama penelitian selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 13.

Tabel 13. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian

Ransum Penelitian

Waktu Pemberian Rataan

H1 H2

----------------------------------kg/ekor/hari------------------------------

R1 2,94±0,034 2,93±0,045 2,93±0,036

R2 2,91±0,075 2,96±0,012 2,94±0,057

R3 2,97±0,005 2,92±0,041 2,94±0,038

Rataan 2,94±0,050 2,94±0,037 2,94±0,042

Keterangan : Koefisien Keragaman (KK) = 1,45%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum

biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum harian induk

selama penelitian adalah 2,94±0,042 kg/ekor/hari dengan koefisien keragaman

1,45%. Kebutuhan ransum ini masih sedikit lebih rendah dengan pendapat

Sihombing (2006), bahwa konsumsi ransum babi laktasi adalah 3,00-4,50 kg per

hari per ekor. Pada penelitian ini induk bunting 104 hari diberikan jumlah ransum

yang sama dengan induk yang menyusui yaitu 3,00 kg per hari per ekor. Konsumsi

ransum untuk induk menyusui digunakan untuk menghasilkan air susu dan sebagian

lagi untuk energi induk. Anak babi yang baru dilahirkan sangat membutuhkan air

susu induk yang cukup agar anak memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan

bertumbuh dengan baik (Sihombing, 2006).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK, waktu pemberian yang

berbeda dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum induk.

Keadaan ini disebabkan kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan sesuai dengan

kebutuhan sehari-hari dan temperatur lingkungan yang mendukung. Alasan lain

adalah ransum yang dikonsumsi induk babi baik yang ditambahkan EDK maupun

Page 43: Katuk Pada Babi

43

tanpa EDK tidak menunjukkan perbedaan dari segi warna dan bau yang dapat

mengurangi palatabilitas ransum pada ternak. Meskipun secara statistik tidak

berpengaruh nyata tetapi nilai rataan konsumsi ransum paling tinggi ditunjukkan pada

perlakuan R3H1 (2,97±0,050 kg/ekor/hari), sedangkan nilai rataan paling rendah

ditunjukkan pada perlakuan R2H1(2,91±0,0,075 kg/ekor/hari). Hal ini mungkin

disebabkan penambahan EDK yang semakin tinggi dalam ransum membuat

kecernaan pakan induk babi semakin tinggi sehingga konsumsi ransum meningkat.

Menurut Church (1979), faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum

yaitu bobot badan, keadaan ternak, temperatur lingkungan dan kesehatan ternak.

Penelitian menggunakan ternak lain seperti yang dilakukan Arindini (2007) pada

mencit percobaan melaporkan bahwa penambahan tepung katuk dalam ransum

berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi ransum mencit. Semakin tinggi taraf

tepung katuk ditambahkan dalam ransum, semakin rendah konsumsi ransum sehingga

produksi air susu induk yang dihasilkan semakin rendah.

Produksi Air Susu Induk

Produksi air susu diukur berdasarkan bobot badan anak babi per kelahiran

sebanyak tiga kali pengukuran yaitu hari kelima, ke- 15 dan ke- 25 setelah beranak.

Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak dipuasakan

selama empat jam (jam 10.00 – 14.00 WIB) kemudian penimbangan kedua sesudah

anak menyusu (±30 menit). Produksi air susu induk (PASI) diperoleh dari hasil

pengurangan penimbangan kedua dengan penimbangan pertama. Hasil pengukuran

rataan produksi air susu induk babi ditampilkan pada Tabel 14.

Berdasarkan hasil pengamatan, rataan PASI yang dihasilkan ternak penelitian

adalah 714,3±219,0 g/ekor/menyusui dengan koefisien keragaman (KK) 30,65%.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK berpengaruh sangat nyata

(P<0,01) terhadap PASI, sedangkan waktu pemberian dan interaksi antara taraf EDK

dan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap PASI.

Meskipun secara statistik waktu pemberian EDK tidak berpengaruh nyata,

namun rataan PASI pada kebuntingan 104 hari (H1 = 735,1±225,0 g/ekor/menyusui)

lebih tinggi dibandingkan dengan rataan PASI pada saat setelah induk selesai

beranak (H2 = 693,4±224,3 g/ekor/menyusui). Hal ini mungkin disebabkan senyawa

aktif dalam EDK pada pemberian ransum kebuntingan 104 hari memiliki persiapan

Page 44: Katuk Pada Babi

44

yang lebih lama untuk membentuk sel-sel sekretori dalam kelenjar ambing

dibandingkan dengan pemberian ransum pada saat setelah induk selesai beranak.

Hasil yang lebih baik pada pemberian ransum saat kebuntingan juga terjadi pada

ternak lain, seperti yang dilaporkan Arindhini (2007), bahwa penambahan katuk

dengan taraf 10% dalam ransum mencit yang diberikan mulai hari ke-14 kebuntingan

memberikan penampilan reproduksi dan produksi air susu yang lebih baik daripada

saat setelah beranak pada mencit.

Tabel 14. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Selama Penelitian

Ransum

Penelitian

Waktu Pemberian Rataan

H1 H2

----------------------------------g/ekor/menyusui-------------------------

R1 452,7±86,7 472,2±67,3 462,4± 70,2A

R2 919,4±96,5 822,1±289,2 870,7± 200,0B

R3 833,3±25,0 786,1±42,74 809,7±40,61B

Rataan 735,1±225,0 693,4±224,3 714,3±219,0

Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Koefisien Keragaman (KK)= 30,65%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum

biasa ditambahkan 0,10% EDK

Tabel 14 menunjukkan pemberian ransum pada kebuntingan 104 hari dengan

taraf penambahan EDK 0,05% (H1R2) memiliki nilai rataan PASI paling tinggi

(919,4±96,5 g/ekor/menyusui) daripada rataan PASI dengan taraf penambahan EDK

0,10% (833,3±25,0 g/ekor/menyusui) dan 0% (452,7±86,7 g/ekor/menyusui) pada

waktu pemberian yang sama. Sementara pemberian ransum saat induk selesai

beranak dengan taraf penambahan EDK 0,05% (H2R2) juga memiliki nilai rataan

PASI paling tinggi (822,1±289,2 g/ekor/menyusui) daripada rataan PASI dengan

taraf penambahan EDK 0,10% (786,1±42,74 g/ekor/menyusui) dan 0% (472,2±67,3

g/ekor/menyusui) pada waktu pemberian yang sama. Dengan demikian taraf

penambahan ekstrak daun katuk sebesar 0,05% mampu meningkatkan rataan

produksi air susu induk babi secara optimal pada waktu pemberian yang berbeda

dengan nilai 870,7± 200,0 g/ekor/menyusui.

Page 45: Katuk Pada Babi

45

Peningkatan produksi air susu induk babi yang ditambahkan ekstrak daun

katuk dalam ransum mungkin terjadi karena senyawa aktif yang ada dalam ekstrak

daun katuk secara bersamaan memainkan peranan penting didalam sintesis air susu

pada kelenjar sekretoris melalui aksi hormonal yang dibagi dalam dua mekanisme

yaitu: (1) Beberapa senyawa aktif dalam daun katuk merupakan prekursor yang

terlibat dalam biosintesis senyawa Eicosanoids, salah satu diantaranya adalah

prostaglandin yang akan menggertak kelenjar mammae untuk meningkatkan

produksi susu. (2) Senyawa aktif yang lainnya adalah Androstan-17-one,3-ethyl-3-

hydroxy-5 alpha (senyawa aktif yang ke-6) dapat memacu ovarium untuk

menghasilkan progesteron dan estradiol. Progesteron merangsang pembentukan

sistem sekretori dikelenjar ambing sedangkan estradiol diteruskan ke hipotalamus

yang akan merangsang hipofise posterior untuk melepaskan oksitosin yang berperan

dalam pengeluaran air susu dari alveolus masuk kedalam saluran ambing, selain itu

estradiol juga merangsang hipofise anterior untuk menghasilkan prolaktin dan

growth hormone yang berperan untuk merangsang pertumbuhan kelenjar ambing

serta produksi susu (Suprayogi et al. 2001). Hal lain yang mungkin mempengaruhi

peningkatan PASI adalah faktor nutrisi yang dikandung oleh ekstrak daun katuk yang

ditambahkan dalam ransum induk.

Peningkatan produksi air susu dengan pemberian ekstrak daun katuk dengan

taraf yang hampir sama dengan perlakuan diatas juga terjadi pada ternak lain. Seperti

yang dilakukan Sari (2004), melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk kering

dengan dosis 1,68 gram/kg BB/ hari dalam bentuk minuman meningkatkan produksi

susu mencit.

Rataan PASI pada waktu pengukuran yang berbeda selama masa laktasi

menurut perlakuan diperlihatkan pada Tabel 15. Data pada Tabel 15 digunakan untuk

menampilkan grafik rataan produksi air susu induk babi pada waktu pengukuran

yang berbeda yaitu hari kelima, ke- 15 dan ke- 25 seperti yang ditampilkan pada

Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan rataan PASI pada pengukuran hari ke-15 lebih

tinggi daripada pengukuran hari kelima dan ke-25. Hal ini mungkin disebabkan pada

hari ke- 15 masa laktasi hasil kerja senyawa aktif yang terkandung dalam EDK pada

tingkat yang optimal, kebutuhan anak babi akan air susu tinggi karena belum

mencukupi dari konsumsi pellet dan ransangan anak pada saat menyusu tinggi.

Page 46: Katuk Pada Babi

46

Tabel 15. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Waktu Pengukuran yang Berbeda

Perlakuan

Waktu Pengukuran Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25

--------------------------------gram/ekor/menyusui----------------- R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2

350±86,6 350±50

608,3±72,17 616,6±293

666,6±123,3 625±109

591,7±150,7 600±150

1266,6±246,8 1033,3±364,3

950±50 1025±109

383,3±76,3 466,6±28,8 883,3±189,3 816,6±275,3 883,3±57,7 708,3±52

Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak

Keterangan : R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari

ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-

104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak

Gambar 11. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Setiap Pengukuran

Peningkatan PASI pada hari ke-15 merupakan hal yang alami terjadi pada

induk babi laktasi, namun bila dibandingkan dengan kontrol atau tanpa penambahan

EDK dalam ransum induk peningkatan dengan penambahan EDK dalam ransum

lebih tinggi. Selanjutnya terjadi penurunan pada hari ke-25, dibandingkan dengan

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

5 15 25

PA

SI (

g/e

kor/

men

yusu

i)

Hari Pengukuran Setelah Beranak

R1H1

R1H2

R2H1

R2H2

R3H1

R3H2

Page 47: Katuk Pada Babi

47

kontrol, dengan penambahan EDK dalam ransum masih lebih tinggi pada hari ke-25.

Hal ini mungkin disebabkan kandungan senyawa aktif dalam ekstrak daun katuk dan

kandungan nutrisi EDK bekerja dengan baik. Faktor lain yang mungkin adalah

seiring dewasanya anak babi menjelang lepas sapih dan sudah mulai mengkonsumsi

makanan lain seperti pellet untuk pertumbuhan anak membuat respon refleksi

menyusu anak babi mulai berkurang.

Faktor yang mungkin mempengaruhi peningkatan PASI pada babi selama

penelitian antara lain kualitas makanan yaitu penambahan ekstrak daun katuk

kedalam ransum induk dan jumlah anak menyusui yaitu semakin banyak anak

menyusu cenderung menaikkan produksi air susu induk (Parakkasi, 1983). Menurut

Mepham (1987), produksi susu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: jumlah dan

komposisi makanan yang dikonsumsi, jumlah dan komposisi darah yang diserap oleh

kelenjar ambing dan laju sintesis air susu.

Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

Perkiraan produksi air susu induk (PPASI) babi ini dimaksudkan untuk

mengetahui jumlah air susu yang dihasilkan seekor induk babi dalam sehari.

Meskipun pada saat penelitian tidak menghitung berapa kali induk babi percobaan

menyusui anak dalam 24 jam, namun PASI dapat diperkiraan dalam sehari dengan

menggunakan jumlah frekuensi menyusu dari literatur. Menurut Siagian (1999a),

selama periode laktasi seekor anak babi membutuhkan 30-37 kg air susu dengan

frekuensi menyusu 18 – 28 kali per hari. Dengan metode pengukuran PASI yang

hampir sama dengan penelitian ini Hartmann dan Holmes (1989), memperkirakan

rata-rata induk babi menghasilkan air susu 0,5 – 1,0 kg untuk seekor anak babi per

hari.

Menggunakan asumsi frekuensi menyusu 18 kali per hari berarti hasil

perkiraan ini bukan menunjukkan nilai yang sebenarnya tetapi untuk perkiraan

minimum, karena frekuensi menyusu bisa lebih daripada 18 kali per hari bahkan

dapat mencapai 28 kali per hari (Siagian, 1999a). Perkiraan produksi air susu induk

(PPASI) babi dalam sehari dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut.

Page 48: Katuk Pada Babi

48

PPASI (hari) = F x Z

Keterangan : PPASI = Perkiraan produksi air susu induk (kg/ekor/hari)

F = Frekuensi menyusu per hari, diasumsikan18 kali

Z = Rataan produksi air susu induk (g/ekor/menyusui)

Dengan menggunakan rumus tersebut maka perkiraan produksi air susu induk babi

dalam sehari selengkapnya ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 16. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

Ransum Penelitian

Waktu Pemberian Rataan

H1 H2

----------------------------------kg/ekor/hari------------------------------

R1 8,1±1,6 8,4±1,1 8,3±1,2 A

R2 16,5±1,7 14,7±5,2 15,6±3,6 B

R3 14,9±0,4 14,1±0,7 14,5±0,7B

Rataan 13,2±4,0 12,4±4,0 12,8±3,9

Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Koefisien Keragaman (KK)= 30,46%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK

Berdasarkan hasil perhitungan maka rataan PPASI dalam sehari adalah

12,8±3,9 kg/ekor/hari. Rataan perkiraan produksi air susu induk babi berada pada

kisaran 8,1±1,6 - 16,5±1,7 kg/ekor/hari. Bila menggunakan rataan perkiraan air susu

tertinggi yang dihasilkan induk babi menurut Hartmann dan Holmes (1989) yakni

sebesar 1,0 kg ekor per hari dikalikan dengan jumlah anak babi sebanyak 12 ekor

maka rataan PPASI dalam sehari adalah sebesar 12 kg/ekor/hari. Hal ini

membuktikan jumlah anak sangat menentukan besarnya nilai PPASI harian. Hasil

rataan perkiraan produksi air susu harian pada penelitian masih lebih tinggi

dibandingkan pendapat Sihombing (2006), yang menyatakan bahwa seekor induk

babi saat laktasi menghasilkan sekitar 7,0 kg air susu sehari dan menurut Cunha

(1980) rata-rata produksi air susu induk babi dalam sehari adalah 6,8 kg dengan

kisaran 3,4 -11,6 kg/hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK berpengaruh sangat

nyata (P<0,01) terhadap PPASI dalam sehari, sedangkan waktu pemberian dan

Page 49: Katuk Pada Babi

49

interaksi antara taraf EDK dan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap

PPASI dalam sehari. Rataan PPASI dalam sehari menurut taraf EDK dalam ransum

induk mulai dari rataan paling tinggi sampai paling rendah adalah R2 (15,6±3,6

kg/ekor/hari), R3 (14,5±0,7 kg/ekor/hari) dan R1 (8,3±1,2 kg/ekor/hari). Meskipun

secara statistik waktu pemberian tidak berpengaruh nyata, namun rataan PPASI

dengan pemberian EDK dalam ransum pada hari ke-104 kebuntingan (H1 = 13,2±4,0

kg/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan pemberian pada saat setelah induk selesai

beranak (H2 = 12,4±4,0 kg/ekor/hari).

Berdasarkan rumus yang digunakan, rataan perkiraan produksi air susu

berbanding lurus dengan jumlah produksi air susu induk dan frekuensi menyusu per

hari. Semakin tinggi jumlah air susu yang diukur setiap menyusui, semakin tinggi

jumlah PPASI dalam sehari. Demikian juga asumsi frekuensi menyusu per hari,

semakin besar nilai asumsi frekuensi menyusu per hari yang digunakan dalam

perhitungan maka nilai PPASI dalam sehari juga akan semakin besar.

Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

Konversi ransum terhadap perkiraan produksi air susu induk (PPASI) harian

dalam penelitian ini adalah perbandingan antara jumlah konsumsi ransum harian

induk dengan PPASI harian. Hasil pengamatan menunjukkan rataan konversi ransum

terhadap PPASI harian pada taraf EDK dan waktu pemberian yang berbeda adalah

0,25±0,089. Nilai ini berarti setiap induk mengkonsumsi 0,25 kg ransum akan

menghasilkan satu kg air susu. Data rataan konversi ransum terhadap PPASI harian

selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 17.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK dalam ransum sangat

nyata (P<0,01) mempengaruhi konversi ransum terhadap PPASI harian, sedangkan

waktu pemberian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, begitu juga dengan

interaksi keduanya. Rataan konversi ransum terhadap PPASI harian dengan waktu

pemberian EDK pada kebuntingan 104 hari (H1 = 0,25±0,098) dan saat setelah induk

selesai beranak (H2) adalah 0,25±0,084. Hal ini menunjukkan waktu pemberian

EDK pada H1 dan H2 sama-sama efesien dalam mengubah ransum menjadi air susu.

Page 50: Katuk Pada Babi

50

Tabel 17. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

Ransum Penelitian

Waktu Pemberian Rataan

H1 H2

R1 0,37±0,064 0,35±0,045 0,36±0,051A

R2 0,17 ±0,020 0,22±0,087 0,19±0,062B

R3 0,20±0,005 0,20±0,005 0,20±0,004B

Rataan 0,25±0,098 0,25±0,084 0,25±0,089

Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Koefisien Keragaman (KK) = 35,6%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum

biasa ditambahkan 0,10% EDK

Tabel 17 memperlihatkan waktu pemberian EDK pada kebuntingan 104 hari

dengan taraf EDK 0,05% (R2H1 = 0,17 ±0,020) memiliki nilai konversi ransum

terhadap PPASI paling rendah atau paling efisien, sedangkan nilai konversi ransum

terhadap PPASI harian paling tinggi atau paling tidak efisien ditunjukkan pada waktu

pemberian EDK kebuntingan 104 hari dengan taraf EDK 0% (R1H1 = 0,37±0,064).

Hal ini menunjukkan jika nilai konversi ransum semakin rendah maka induk babi

semakin efisien dalam mengubah ransum menjadi air susu. Terbukti nilai rataan

PPASI harian waktu pemberian EDK pada kebuntingan 104 hari dengan taraf EDK

0,05% (R2H1 = 16,5±1,7 kg/ekor/hari) memiliki nilai rataan paling tinggi, sedangkan

pada waktu pemberian EDK kebuntingan 104 hari dengan taraf EDK 0% (R1H1 =

8,1±1,6 kg/ekor/hari) memiliki nilai rataan paling rendah.

Secara umum penambahan EDK 0,05% dalam ransum (R2) menunjukkan

nilai rataan konversi ransum terhadap PPASI paling rendah yaitu 0,19±0,062,

sedangkan tanpa penambahan EDK (0%) menunjukkan nilai konversi ransum

terhadap PPASI paling tinggi yaitu sebesar 0,36±0,051. Hal ini mungkin disebabkan

kualitas ransum perlakuan yang ditambahkan EDK lebih baik daripada tanpa

penambahan sehingga terjadi peningkatan kecernaan makanan dalam sistem

pencernaan induk babi yang dapat meningkatkan nilai efisiensi nutrisi dalam ransum.

Ekstrak daun katuk yang ditambahkan kedalam ransum dapat memperbaiki

nilai konversi ransum. Daun katuk mengandung sejumlah nutrien yang baik. Menurut

Suprayogi (1995), pemberian suspensi daun katuk kering giling 0,95 ml/hari pada

Page 51: Katuk Pada Babi

51

kelinci jantan dapat meningkatkan kecernaan terhadap pakan diantaranya bahan

kering, protein dan lemak, serta meningkatkan absorbsi glukosa di hati, dibandingkan

dengan pemberian ransum tanpa katuk. Peningkatan kecernaan makanan dalam

sistem pencernaan akan meningkatkan nilai efisiensi nutrisi dalam ransum sehingga

ketersediaan nutrisi dalam tubuh meningkat. Rataan konversi ransum terhadap PPASI

pada taraf EDK dan waktu pemberian yang berbeda pada tiga kali pengukuran dapat

dilihat pada Gambar 12 dan Lampiran 18.

Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari

ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-

104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak

Gambar 12. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran

Gambar 12 menunjukkan rataan konversi ransum terhadap PPASI harian

dengan perlakuan tanpa penambahan EDK (R1H1 dan R1H2) pada setiap pengukuran

paling tinggi atau paling tidak efisien dalam mengubah konsumsi ransum menjadi air

susu dibandingakan dengan rataaan konversi ransum terhadap PPASI dengan

penambahan EDK (R2H1, R3H1, R2H2 dan R3H2) yang lebih efisien. Rataan

konversi ransum terhadap PPASI harian dari semua perlakuan menunjukkan

penurunan atau semakin efisien pada penimbangan hari ke-15. Perbaikan efisiensi ini

dikarenakan semakin tinggi produksi air susu yang dihasilkan dari sejumlah ransum

yang dikonsumsi oleh induk babi.

Faktor yang mempengaruhi konversi ransum terhadap PPASI harian selama

penelitian adalah kualitas ransum, tingkat konsumsi ransum induk dan produksi air

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

5 15 25

Nila

i Ko

nve

rsi R

ansu

m

terh

adap

PA

SI

Waktu Pengukuran

R1H1 R1H2

R2H1 R2H2

R3H1 R3H2

Page 52: Katuk Pada Babi

52

susu induk. Anggorodi (1979), menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi

konversi ransum adalah temperatur, kualitas ransum, kualitas air, pengafkiran,

penyakit, manajemen pemeliharaan dan juga faktor pemberian ransum. Konversi

ransum mulai meningkat kembali dengan penurunan PPASI harian yang terjadi pada

saat anak babi hampir mencapai masa lepas sapih. Hal ini mungkin disebabkan

kebutuhan anak babi untuk pertumbuhan bobot badan tidak hanya dari air susu induk

saja, tapi dari ransum berupa pellet yang sudah mulai diberikan untuk anak babi pada

hari ke-15 menyusu.

Page 53: Katuk Pada Babi

53

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Taraf pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dalam ransum (0 ; 0,05; dan

0,10%) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap PASI, namun tidak berpengaruh

nyata terhadap konsumsi ransum. Waktu pemberian (bunting 104 hari dan saat

setelah induk selesai beranak) dan interaksi antara taraf EDK dengan waktu

pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum dan PASI. Taraf

penambahan EDK dalam ransum yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air

susu induk babi pada waktu pemberian ransum yang berbeda adalah 0,05%. Waktu

pemberian ransum dengan EDK yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air

susu induk babi pada taraf EDK yang berbeda adalah pada kebuntingan 104 hari

daripada saat setelah induk selesai beranak.

Saran

Disarankan untuk menghitung berapa kali frekuensi induk babi menyusui

selama 24 jam, agar dapat diketahui perkiraan produksi air susu induk harian dan

selama laktasi yang lebih akurat. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

pengaruh EDK terhadap kualitas air susu induk babi pada bangsa dan laktasi induk

babi yang sama.

Page 54: Katuk Pada Babi

54

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dan terima kasih Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha

kuasa karena dengan berkat, kasih dan pertolonganNya yang tiada terbatas skripsi ini

dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua,

abang (Bapak Cristabel), kakak-kakak dan adik saya yang tiada hentinya

memberikan banyak bantuan, baik materi, motivasi, nasehat serta kasih sayang.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Bapak

Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian MS. dan Bapak Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc.

masing – masing sebagai Pembimbing Utama dan Anggota yang telah banyak

membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan usulan proposal hingga

tahap akhir penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.

Ir. Idat G. Permana MSc. Agr. sebagai dosen penguji sidang dan Bapak Ir. Afton

Atabany MSi sebagai penguji sidang sekaligus pembahas seminar yang memberikan

kritik dan saran yang sangat berguna untuk perbaikan skiripsi ini. Ucapan terima

kasih juga Penulis sampaikan kepada Ir. Suhut Simamora MS sebagai Pembimbing

Akademik yang telah banyak memberikan nasehat dan bimbingan selama kuliah.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada pemilik, manajer dan pekerja

PT. Ripayanly Farm yang memberikan bantuan dan kesempatan untuk melakukan

penelitian dipeternakan tersebut. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

sahabat dan rekan satu penelitian Chrisman Simorangkir, dan teman- teman satu

kosan di Perwira 10 yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada

Penulis.

Terakhir Penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Civitas Akademika

Fakultas Peternakan IPB khususnya rekan-rekan TPT’41. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi orang yang membacanya.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

Page 55: Katuk Pada Babi

55

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, A. M., Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk ( Sauropus androgynus (L) Merr) dengan CGMS. Journal on Indonesian Medical Plants Vol. (3) : 31. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi,

Jakarta.

Andryanto. 2004. Pengaruh penambahan tepung daun katuk dalam pakan ayam broiler terhadap kecernaan pakan dan produksi cairan empedu. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan ternak Umum. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Arindhini. 2007. Penambahan daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu mencit putih (Mus musculus albinus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

ASIMAS (Agaricus Sido Makmur Sentosa). 2007. Jasa ekstraksi dan destilasi. http://www.services_ekstraksidestilasi.com [2 Juni 2008].

Backer, C.A. dan R.C B. van den Brink JR. 1963. Flora of Java Vol. 1. N.V. P. Noordhoof, Groningen. The Netherlands.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Statistik Penduduk Indonesia. http://www.data statistik Indonesia.com/component//option.com.tabel/kat i/i ditabel iii/itemid.164. [2 Juni 2008].

Blakely, J. dan D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan Umum. Edisi Keempat. Terjemahan oleh Bambang, S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Brent, D. H., R. F. Ridgeon dan W. J. Smith. 1975. Early Weaning of Pig. Farming Press Limited. Fenton House, Wharfedalp Road, Ipswich, Suffolk.

Church, D. C. 1979. Factor Affecting Feed Consumption. In: D. C. Church. Livestock Feeds Feeding. Durhan and Downey, Inc. pp: 136-139.

Crampton, E. W. dan L. E. Harris. 1969. The Uses of Feedstuffs in The Formulation of Livestocks Ration. Aplied Animal Nutrition. W. H. Freman and Co ; San Fransisco.

Cunha, T. J. 1980. Swine Feeding and Nutrition. Departement of Animal Science Schoolof Agriculture California State Polytechnic University. Domona, California.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Gizi. 1972. Komposisi dari Bahan Makanan. Bharata, Jakarta. Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Gizi. 1992. Komposisi dari Bahan Makanan. Bharata. Jakarta.

Devandra, C. dan M. F. Fuller. 1979. Pig Production in the Tropics. Oxford University Press.

Page 56: Katuk Pada Babi

56

Farida, I. T. 1989. The influence of katuk and papaya (Carica papaya l.) leaves consumption volume vitamin A and protein content of breast milk. Thesis Magister, Faculty of Medicine, Indonesia University, Jakarta.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Ed. Keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Goodwin, D. H. 1974. Pig Management and Production. National Book Store, Inc.

Hartmann, P. E. dan M. A. Holmes.1989. Saw Lactation. Australasian Pig Science Association Publication. Melbourne, pp.72-79.

Hasanah, M., S. Yuliani, Risfaheri dan Anggraeni. 1999. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. http://www.fao.org/agris/search/display.do. [2 Juni 2008].

Hendarsari. B. 2004. Histopatologi hati, ginjal dan paru-paru mencit bunting akibat pemberian ekstrak daun katuk. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Heyne, K.1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Jaya, Jakarta.

Holden, J. P. dan M. E. Ensminger. 2005. Swine Science, Seventh Edt. United States Press. New York.

Malik, A. 1997. Tinjauan fitokimia, indikasi penggunaan dan bioaktivitas daun katuk dan buah trengguli. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol 3. no 3. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.

Malole, M. B. dan C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton Keynes, Philadelphia.

National Research Council (NRC). 1998. Nutrien Requirements of Swine, 10th Rev. Edt. National Academy Press. Washington, D. C.

Nurendah, P., S. Praswanto dan B. Dzulkarnain. 1997. Penggunaan daun katuk dalam jamu berbungkus. Journal on Indonesian Medicinal Palants Vol. 3 (3) : 45. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi, Jakarta.

Oei, K. N. 1987. Daftar Analisis Bahan Makanan. Unit Diponegoro Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Padmavati, P. dan M. P. Rao. 1990. Nutritive Value of Sauropus androgynus Leaves Plant. Food for Human Nutrition. Noordhoof, Groningen. The Netherlands.

Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit: Angkasa, Bandung.

Pond, W. G. dan J. H. Maner. 1974. Swine Production in Temperature and Tropical Environments. W. H. Freeman and Company, San Fransisco.

Page 57: Katuk Pada Babi

57

Pujiyati, S. 1999. Pengaruh pemberian daun katuk pada domba laktasi terhadap gambaran histopatologi hati dan alveoli paru-paru. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Santoso, U. 2008. Langsing dengan daun katuk. http://uripsantoso.wordpress.com// [2 Juni 2008].

Sari, D. A. P. 2004. Pengaruh pemberian minuman ekstrak daun katuk kering dan katuk hijau (Sauropus androgynus (L) Merr) terhadap produksi susu mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sastroamidjojo. A.S., 1988. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta.

Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. USA.

Setyowati, F. M. 1997. Arti katuk bagi masyarakat dayak kenyah, Kalimantan Timur. Journal on Indonesian Medicinal Plants Vol. 3 (3) : 11. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi, Jakarta.

Siagian, P.H. 1999a. Manajemen Ternak Babi. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Siagian, P.H. 1999b. Praktikum Manajemen Ternak Babi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sihombing, D.T.H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Silitonga, M. 1993. Efek laktogogum daun jinten (Coleus amboinicus lour) pada tikus laktasi. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SNI (Standar Nasional Indonesia). 1995. Agribisnis Info (Standar Pakan SNI). http://agritekno.Tripod.com/Standar pakan. [22 Mei 2008].

Soeseno, A. 1984. Kebun Sayur di Pekarangan Anda. Kinta, Jakarta.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Sudono, A. 1981. Pengaruh interaksi antara genotip dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukendar. 1997. Pengenalan morfologi katuk ( Sauropus androgynus (L.) Merr). Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 : 53.

Sumantera, I. W. 1994. Etnobotani katuk di Bali. Journal on Indonesian Medical Plants Vol. 3 (3) : 57. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi, Jakarta.

Suprayogi, A. 1995. The effect of Sauropus androgynus (L.) Merr. Leaves on the feed digestibility, glucose metabolism in the liver (a study on a tropical medical plant). Master-Thesis of Gottingen University, Germany, August, 1995.

Page 58: Katuk Pada Babi

58

Suprayogi, A. 2000. Studies of the biological effect of Sauropus androgynus (L.) Merr: Effect of milk production and the possibilities of induced pulmonary disorder in lactating sheep. Cuviller Verlag Gottingen University, Germany.

Suprayogi, A., U.T. Meulen, T. Ungerer dan W. Manalu. 2001. Population of secretory cells and syntetic activities in mammary gland of lactating sheep after consuming Sauropus androgynus (L.) Merr leaves. Indon. J. Trop. Agric. 10 (1) : 1-3.

Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Wikipedia Indonesia. 2008. Ekstraksi. http://id.wikipedia.org/wiki/ekstraksi.com. [ 2 Juni 2008].

Winarno, F. G. 1973. Extraksi, Khromatografi, Elektrophoresis. Departemen Teknik Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yuliani, S., Anggraeni dan Risfaheri. 1995. Studi pembuatan simplisia ekstrak kering daun katuk. Journal on Indonesia Medical Plants. Vol 3 (3) : 30. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi. Jakarta.

Yuliani, S. dan T. Marwati. 1997. Tinjauan daun katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. Journal on Indonesian Medical Plants. Vol 3 (3) : 55. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi. Jakarta.

Page 59: Katuk Pada Babi

59

LAMPIRAN

Page 60: Katuk Pada Babi

60

Lampiran 1. Jumlah Laktasi Induk Penelitian

Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,10(R3) ------------------------kali/ekor-------------------

Bunting Hari ke104 (H1)

1 3 8 6 5,6 2 3 5 6 4,6 3 7 3 5 5

Rataan 4,3 5,3 5,6 5,06

Saat Beranak (H2)

1 5 5 2 4 2 3 9 8 6,6 3 2 6 6 4,6

Rataan 3,3 6,6 5,3 5,06 Rataan Total 3,8 6 5,4 5,06

Lampiran 2. Lama Kebuntingan Induk Penelitian

Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,10(R3) ------------------------hari-------------------

Bunting Hari ke104 (H1)

1 115 117 111 114,3 2 114 115 112 113,6 3 114 114 115 114,3

Rataan 114,3 115,3 112,6 114,06

Saat Beranak (H2)

1 110 114 114 112,6 2 114 114 114 114 3 111 114 113 112,6

Rataan 111,6 114 113,6 113,06 Rataan Total 113 114,6 113,1 113,56 Lampiran 3. Data Litter Size Lahir Selama Penelitian

Waktu Pemberian

Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,1(R3) ------------------------ekor-------------------

Bunting Hari ke104 (H1)

1 13 8 10 10,33 2 10 15 11 12,00 3 13 11 11 11,67 Rataan 12,00 11,33 10,67 11,33

Saat Beranak

(H2)

1 13 15 9 12,33 2 14 10 9 11,00 3 9 12 12 11,00 Rataan 12,00 12,33 10,00 11,44

Rataan Total 12,00 11,83 10,33 11,38

Page 61: Katuk Pada Babi

61

Lampiran 4. Data Produksi Air Susu Induk Babi dengan Tiga Kali Pengukuran Berdasarkan Perlakuan dan Ulangan

Waktu Pemberian

Ulangan

Ransum Penelitian R1 R2 R3

Hari Pengukuran Hari Pengukuran Hari Pengukuran 5 15 25 5 15 25 5 15 25

g/ekor/menyusui g/ekor/menyusui g/ekor/menyusui H1 1

2 3

450 300 300

750 450 575

450 400 300

525 650 650

1100 1550 1150

800 750 1100

725 750 525

1000 900 950

850 850 950

H2 1 2 3

400 300 350

600 450 750

450 450 500

500 400 950

1075 650 1375

1000 500 950

700 675 500

1075 900 1100

725 750 650

Keterangan : H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK

dan R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK

Lampiran 5. Data Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian

Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,10 (R3) ------------------------kg/ekor/hari-------------------

Bunting Hari ke104 (H1)

1 2,92 2,92 2,97 2,93 2 2,92 2,98 2,98 2,96 3 2,98 2,83 2,97 2,92

Rataan 2,94 2,91 2,97 2,94

Saat Selesai Beranak

(H2)

1 2,97 2,98 2,97 2,97 2 2,88 2,95 2,89 2,91 3 2,95 2,97 2,91 2,94

Rataan 2,93 2,96 2,92 2,94 Rataan Total 2,93 2,93 2,94 2,94

Lampiran 6. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Konsumsi Ransum Induk Babi

SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 408 204 0,11 0,895 tn Waktu pemberian (B) 1 1 1 0,00 0,978 tn Interaksi (AB) 2 8836 4418 2,42 0,131 tn Error 12 21867 1822 Total 17 31113

Page 62: Katuk Pada Babi

62

Lampiran 7. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi pada Setiap Pengukuran

Perlakuan

Waktu Pengukuran Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25 ---------------------kg/ekor/hari--------------------------

R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2

2,83 2,94 2,85 2,98 2,98 2,97

2,96 2,90 2,98 2,97 2,98 2,98

2,90 2,91 2,97 2,97 2,96 2,97

Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak

Lampiran 8. Data Produksi Air Susu Induk Babi

Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,10 (R3) ------------------------g/ekor/menyusui----------------

Bunting Hari ke104 (H1)

1 550 808,3 858,3 738,8 2 383,3 983,3 833,3 733,3 3 425 966,6 808,3 733,3

Rataan 452,7 919,4 833,3 735,1

Saat Selesai Beranak

(H2)

1 483,3 858,3 833,3 724,9 2 400,0 516,6 775 563,8 3 533,3 1091,6 750 791,6

Rataan 472,2 822,1 786,1 693,4 Rataan Total 462,4 870,7 809,7 714,3

Lampiran 9. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Produksi Air Susu Induk Babi

SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 581999 290999 16,25 0,000 ** Waktu pemberian (B) 1 7813 7813 0,44 0,521 tn Interaksi (AB) 2 10277 5139 0,29 0,756 tn Error 12 214950 17912 Total 17 815038

Lampiran 10. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap PASI

0,05 (R2) 0,10 (R3) 0 (R1) ** **

0,05 (R2) tn

Page 63: Katuk Pada Babi

63

Lampiran 11. Data Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,10 (R3) ------------------------kg/ekor/hari -------------------

Bunting Hari ke104 (H1)

1 9,9 14,5 15,4 13,2 2 6,8 17,6 14,9 13,1 3 7,6 17,3 14,5 13,1

Rataan 8,1 16,5 14,9 13,2

Saat Selesai Beranak

(H2)

1 8,6 15,4 14,9 13,0 2 7,2 9,2 13,9 10,1 3 9,5 19,6 13,5 14,2

Rataan 8,4 14,7 14,1 12,4 Rataan Total 8,3 15,6 14,5 12,8

Lampiran 12. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Perkiraan PASI Harian

SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 188,02 94,01 16,14 0,000 ** Waktu pemberian (B) 1 2,5 2,5 0,43 0,525 tn Interaksi (AB) 2 3,22 1,61 0,28 0,763 tn Error 12 69,9 5,82 Total 17 263,65

Lampiran 13. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap Perkiraan PASI Harian

0,05 (R2) 0,10 (R3)

0 (R1) ** ** 0,05 (R2) tn

Lampiran 14. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran

Perlakuan

Waktu Pengukuran Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25 ---------------------kg/ekor/hari--------------------------

R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2

6,3 6,3 10,9 11,1 11,9 11,2

10,6 10,8 22,8 18,6 17,1 18,4

6,8 8,4 15,9 14,7 15,8 12,7

Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak

Page 64: Katuk Pada Babi

64

Lampiran 15. Data Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)

Rataan 0 (R1) 0,05 (R2) 0,10(R3)

Bunting Hari ke104 (H1)

1 0,30 0,20 0,20 0,23 2 0,42 0,17 0,20 0,26 3 0,40 0,16 0,20 0,25

Rataan 0,37 0,17 0,20 0.25

Saat Selesai Beranak

(H2)

1 0,34 0,20 0,20 0,25 2 0,40 0,32 0,20 0,30 3 0,31 0,15 0,21 0,22

Rataan 0,35 0,22 0,20 0,25 Rataan Total 0,36 0,19 0,20 0,25

Lampiran 16. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 0,1034 0,0517 20,66 0,000 ** Waktu pemberian (B) 1 0,0003 0,0003 0,15 0,706 tn Interaksi (AB) 2 0,0037 0,0018 0,78 0,479 tn Error 12 0,0286 0,0023 Total 17 0,1362

Lampiran 17. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian

0,05 (R2) 0,10 (R3)

0 (R1) ** ** 0,05 (R2) tn

Lampiran 18. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran

Perlakuan

Waktu Pengukuran

Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25 R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2

0,45 0,47 0,26 0,27 0,25 0,26

0,28 0,27 0,13 0,16 0,17 0,16

0,43 0,35 0,18 0,20 0,18 0,23

Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak

Page 65: Katuk Pada Babi

65

Lampiran 19. Gambar Anak Babi yang Sedang Dipuasakan dan yang Sedang Ditimbang

Page 66: Katuk Pada Babi

66