1 PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA SKRIPSI BERNARD DAVID SIDAURUK PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK ( Sauropus androgynus (L.) Merr)
DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA
SKRIPSI BERNARD DAVID SIDAURUK
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
RINGKASAN
BERNARD DAVID SIDAURUK. D14104001. 2008. Produksi Air Susu Induk Babi dengan Penambahan Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam Ransum pada Taraf dan Waktu Pemberian yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Pembimbing Anggota : Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc.
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) telah lama dipercaya oleh masyarakat mampu melancarkan air susu ibu yang mengkonsumsinya. Penelitian tentang khasiat daun katuk telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Temuan teknologi yang semakin maju membuat inovasi bentuk pemanfaatan daun katuk semakin ditingkatkan. Salah satu contoh, daun katuk dibuat dalam bentuk ekstrak. Senyawa aktif daun katuk dalam bentuk ekstrak tepung dapat mempengaruhi hormon-hormon pembentuk air susu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh beberapa taraf penambahan ekstrak daun katuk (EDK) (0; 0,05 dan 0,10%) dalam ransum dengan waktu pemberiannya yang berbeda terhadap produksi air susu induk babi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 3 x 2 masing-masing dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah taraf EDK dalam ransum yaitu 0; 0,05 dan 0,10%. Faktor kedua adalah waktu pemberian ransum penelitian yaitu saat bunting 104 hari dan saat setelah induk selesai beranak. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah konsumsi ransum dan produksi air susu induk (PASI).
Penelitian ini dilakukan di peternakan babi Ripayanly Farm, Dusun Pealinta, Desa Siabal-abal, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Data yang diperoleh dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA), dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s apabila perlakuan berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap peubah yang diukur.
Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa taraf EDK dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi air susu induk (PASI). Waktu pemberian dan interaksi antara taraf EDK dengan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum dan PASI. Taraf penambahan EDK yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air susu induk babi pada waktu pemberian ransum yang berbeda adalah 0,05%. Waktu pemberian EDK yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air susu induk babi pada taraf EDK yang berbeda adalah pada kebuntingan 104 hari daripada saat setelah induk selesai beranak. Hal ini mungkin disebabkan senyawa-senyawa aktif EDK bekerja dengan baik memacu hormon-hormon pembentuk air susu dan mempunyai waktu yang lebih lama dalam persiapan pertumbuhan sel-sel sekretori kelenjar air susu untuk mensekresi air susu.
Kata- kata kunci: Sauropus androgynus (L.) Merr, ekstrak daun katuk, senyawa aktif dan produksi air susu.
3
ABSTRACT
Sows Milk Production which Added by Katuk´s Leaves Extract (Sauropus androgynus (L.) Merr) in of Feed at Different
Levels and Times Giving Period
Bernard D.S., P. H. Siagian, and A. Suprayogi
Katuk leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr) one of vegetable type which consumed by society. It has an active compound that stimulate milk production. Sow is kind of mammal which has many litter size, so that pig mains expected to produce plenty of milk to be consumed by piglet at lactation period. The purpose of this research is to know the milk production which added by katuk´s leaves extract inside of feed at different level and giving period. The design of the research was completely random design factorial (3x2) with three replication and two factors; (1) percentage of addition of katuk leaves extract in feed (0; 0,05 and 0,10%) and (2) given time of feed (on day 104th gestating and on day of giving birth). Katuk’s leaves extract in feed had significant effects (P<0.01) on sows milk production.The addition of katuk’s leaves extract did not significant affect on feed consumption. The given-time katuk’s leaves extract in feed did not significant effect on feed consumption and sows milk production. The interaction between the addition levels of katuk’s leaves extract and the given-time of feed, did not effect too. The addition of 0,05% katuks leaves extract on feed and the given time on day 104th gestation period had shown the greatest effects increasing on sows milk production. The possible reason be due to an active compound of katuk’s leaves extract that stimulate milk production and have preparation is longer than on day of giving birth to produce milk.
Keywords : Katuk´s leaves extract, active compound and milk production
4
PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK ( Sauropus androgynus (L.) Merr)
DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA
BERNARD DAVID SIDAURUK
D14104001
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
5
PRODUKSI AIR SUSU INDUK BABI DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN KATUK ( Sauropus androgynus (L.) Merr)
DALAM RANSUM PADA TARAF DAN WAKTU PEMBERIAN YANG BERBEDA
Oleh
BERNARD DAVID SIDAURUK
D14104001
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Juli 2008
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc. NIP. 130 674 521 NIP. 131 902 366
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah M.Sc. Agr. NIP. 131 955 531
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 September 1985 di Lumban Bona-Bona,
Samosir. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Almarhum
Mangapul Sidauruk dan Basaria Sinaga.
Pendidikan dasar Penulis selesaikan pada tahun 1997 di SD Inpres 175839
Raut Bosi. Selanjutnya, Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Swasta Budi Mulia
Pangururan pada tahun 1997 dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Kemudian
Penulis meneruskan jenjang pendidikannya di SMU Budi Murni 1 Medan, namun
masih satu bulan duduk dibangku SMU Penulis terkena musibah penyakit sehingga
Penulis menganggur selama satu tahun. Kemudian pada tahun 2001 Penulis
melanjutkan pendidikan di SMU Katolik Cinta Kasih Tebingtinggi sampai tahun
2004. Pada tahun 2004 Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi
Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti pendidikan diperguruan tinggi, Penulis menjadi anggota
organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang
Bogor. Penulis pernah menjadi pengurus Persekutuan Oikumene Protestan dan
Katolik (POPK) Fakultas Peternakan sebagai ketua untuk periode 2006-2007.
Penulis juga menjadi Asisten Agama Katolik atau sebagai pendamping di Keluarga
Mahasiswa Katolik Institut Pertanian Bogor (KEMAKI).
7
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, atas
berkat anugrah dan perlindunganNya Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Produksi Air Susu Induk Babi dengan Penambahan Ekstrak Daun
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam Ransum pada Taraf dan Waktu
Pemberian yang Berbeda”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Pebruari sampai dengan bulan April
2008 di peternakan babi Ripayanly Farm, Dusun Pealinta, Desa Siabal-abal,
Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara.
Senyawa aktif daun katuk dalam bentuk ekstrak tepung dapat mempengaruhi
hormon-hormon pembentuk air susu. Induk babi merupakan ternak menyusui yang
memiliki banyak anak dalam sekali beranak. Meningkatnya produksi air susu induk
akan meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan anak babi sehingga mortalitas
dapat dikurangi serta litter size sapih dapat ditingkatkan. Penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh taraf penambahan ekstrak
daun katuk dalam ransum yang diberikan pada waktu yang berbeda (bunting 104 hari
dan saat setelah induk selesai beranak) terhadap produksi air susu induk babi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
mengharapkan adanya kritik dan masukan yang membangun dari para pembaca.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna baik bagi kalangan akademis
maupun kalangan umum.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xi
Latar Belakang ................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................... 2 Tujuan ............................................................................................. 2 Manfaat ........................................................................................... 2
Tanaman Katuk................................................................................ 3 Karakteristik ........................................................................... 3 Penyebaran ............................................................................. 4 Manfaat dan Kelemahan ......................................................... 4 Kandungan Nutrisi Daun Katuk .............................................. 6 Ekstraksi Daun Katuk dan Kandungan Senyawa Aktif ............ 6 Mekanisme Daun Katuk dalam Meningkatkan Air Susu .................. 8 Ternak Babi ..................................................................................... 11 Sifat Reproduksi ..................................................................... 11 Kebuntingan ........................................................................... 12 Kelahiran ................................................................................ 13 Air Susu dan Kolostrum ......................................................... 13 Laktasi ................................................................................... 14 Pengukuran Produksi Air Susu ............................................... 15 Konsumsi Ransum dan Air Minum Induk ........................................ 15 Konversi Ransum............................................................................. 16
METODE PENELITIAN.......... ................................................................... 18
Lokasi dan Waktu ............................................................................ 18 Materi .............................................................................................. 18 Ternak .................................................................................... 18 Kandang dan Peralatan ........................................................... 19 Ransum Penelitian .................................................................. 19 Rancangan ....................................................................................... 20 Analisis Data .......................................................................... 21
9
Peubah yang Diamati .............................................................. 21 Prosedur .......................................................................................... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 23
Keadaan Umum Peternakan ............................................................. 23 Ternak Penelitian ............................................................................. 27 Ransum Penelitian ........................................................................... 28 Konsumsi Ransum Induk ................................................................. 30 Produksi Air Susu Induk .................................................................. 31 Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ....................................... 35 Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian .............................................................................................. 37
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 41
1. Komposisi Nutrien Daun Katuk ( per 100 g Daun Katuk Segar) ... 7
2. Tujuh Senyawa Aktif Daun Katuk dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Fisiologis dalam Jaringan ................................................. 9
3. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina ........................................... 12
4. Panjang dan Berat Fetus Babi pada Berbagai Fase ....................... 13
5. Komposisi Kolostrum dan Air Susu Babi ..................................... 14
6. Kebutuhan Zat Makanan (per Kg Ransum) untuk Babi Dara Bunting, Induk Bunting dan Induk Laktasi .......................... 17
7. Komposisi Ransum di Peternakan Ripayanly Farm ...................... 24
8. Data Populasi Ternak Babi di Peternakan Ripayanly Farm pada Akhir Penelitian ................................................................... 25
9. Komposisi Zat Makanan dari Bahan Makanan yang Digunakan untuk Ransum Penelitian ............................................ 28
10. Susunan Ransum Penelitian ......................................................... 29
11. Perhitungan Kandungan Zat Makanan dari Ransum Penelitian ..... 29
12. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Babi Bunting dan Menyusui ............................................................................. 29
13. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian ............. 30
14. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Selama Penelitian .............. 32
15. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Waktu Pengukuran yang Berbeda ............................................................................... 34
16. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ....................... 36
17. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ................................................................................ 38
11
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tanaman Katuk............................................................................. 3
2. Mekanisme Pertama Daun Katuk Melalui Jalur Aksi Hormonal .... 9
3. Mekanisme Kedua Daun Katuk Melalui Jalur Aksi Hormonal ...... 10
4. Mekanisme Daun Katuk Melalui Jalur Metabolik ......................... 11
5. Induk Babi Bunting 104 Hari ........................................................ 18
6. Induk Babi Menyusui Setelah Selesai Beranak .............................. 18
7. Kandang Induk Beranak dengan Peralatannya ............................... 19
11. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Setiap Pengukuran .................................................................................. 34
12. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran ........................................... 39
12
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman
1. Jumlah Laktasi Induk Penelitian ................................................... 48
2. Lama Kebuntingan Induk Penelitian ............................................. 48
3. Data Litter Size Lahir Selama Penelitian ....................................... 48
4. Data Produksi Air Susu Induk Babi dengan Tiga Kali Pengukuran Berdasarkan Perlakuan dan Ulangan ............................................. 49
5. Data Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian ................. 49
7. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi pada Setiap Pengukuran .... 50
8. Data Produksi Air Susu Induk Babi ............................................... 50
9. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Produksi Air Susu Induk Babi .... 50
10. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap PASI ... 50
11. Data Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ............................ 51
12. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Perkiraan PASI Harian ............... 51
13. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap Perkiraan PASI Harian .................................................................. 51
14. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran ................................................................................... 51
15. Data Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ........................................................................ 52
16. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian .................................... 52
17. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian ..................... 52
18. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran .................................. 52
19. Gambar Anak Babi yang Sedang Dipuasakan dan yang Sedang Ditimbang .................................................................................... 53
13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan akan daging sebagai salah satu sumber protein hewani terus
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (2005) adalah 218,8 juta jiwa,
dengan laju kenaikan per tahunnya 1,49% yang semuanya itu memerlukan protein
hewani. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani tersebut sebagian dapat
dipenuhi dari daging babi. Dengan demikian, dari segi tata laksana perlu dilakukan
perbaikan reproduksi dan produksi ternak. Ternak babi merupakan salah satu dari
sekian banyak jenis ternak yang mempunyai potensi cukup baik sebagai penghasil
daging yang memiliki gizi tinggi dan sebagai sumber protein hewani. Ternak babi
mempunyai karakteristik reproduksi dan produksi yang berbeda dengan sapi, domba
dan kuda. Hal-hal yang membedakan dengan ternak lain adalah ternak babi
merupakan ternak prolifik, cepat tumbuh dan efisien dalam mengubah makanan
menjadi daging.
Pengetahuan tentang reproduksi babi dan pengelolaan yang baik dalam
perkembangbiakan akan membantu keberhasilan usaha peningkatan jumlah anak
babi. Periode kelahiran sampai disapih merupakan periode kritis yang harus
diperhatikan karena pada periode ini banyak terjadi kematian anak babi. Salah satu
faktor penyebab kematian anak babi adalah tingkat kemampuan induk babi yang
rendah menghasilkan air susu. Air susu merupakan salah satu bahan makanan bergizi
tinggi karena kaya akan protein, mineral, dan mudah dicerna. Anak babi baru lahir
dan periode menyusu sangat membutuhkan air susu, untuk mempercepat
pertumbuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Mengingat
pentingnya air susu maka diperlukan usaha untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas air susu tersebut.
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) telah lama dipercaya oleh masyarakat
mampu melancarkan air susu ibu dan mempercepat pemulihan tenaga bagi orang
sakit (Soeseno, 1984). Penelitian mengenai daun katuk serta pengaruhnya terhadap
peningkatan produksi susu pada manusia dan berbagai jenis ternak dan hewan telah
banyak dilakukan oleh para peneliti, seperti pada mencit, tikus, kelinci, sapi, kambing
dan domba. Namun pada ternak babi belum ada yang meneliti, pada hal dengan
14
jumlah anak yang banyak per kelahiran (prolifik) maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut sejauh mana katuk dapat mengsekresi air susu induk babi. Alasan lain
adalah ternak babi termasuk hewan mamalia dan kematian anak yang tinggi pada
periode menyusu.
Perumusan Masalah
Daun katuk banyak dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu
(ASI) serta mengobati berbagai penyakit manusia. Dibidang peternakan daun katuk
dicampur dengan ransum atau hijauan sebagai pakan tambahan untuk ternak sapi
perah dan kambing perah untuk meningkatkan produksi susu. Pemberian ekstrak
daun katuk dengan taraf berbeda dalam ransum yang diberikan pada akhir
kebuntingan dan saat setelah selesai beranak akan meningkatkan produksi air susu
induk babi. Senyawa aktif daun katuk dalam bentuk ekstrak tepung dapat bekerja
mempengaruhi hormon-hormon pembentuk air susu. Meningkatnya produksi air susu
induk akan meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan anak babi sehingga
mortalitas dapat dikurangi dan litter size sapih dapat ditingkatkan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf dan waktu
pemberian ekstrak daun katuk yang berbeda dalam ransum pengaruhnya terhadap
produksi air susu induk babi.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai
pengaruh pemberian ekstrak daun katuk dalam ransum terhadap produksi air susu
induk babi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk
pemberian ekstrak daun katuk bagi ternak babi dan ternak lainnya.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Katuk
Karakteristik
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) merupakan salah satu jenis tanaman
semak dengan ketinggian dapat mencapai 2-3 meter (Backer dan Brink, 1963).
Sukendar (1997), menyatakan bahwa tumbuhan katuk mempunyai perawakan berupa
perdu dengan tinggi 2-3 meter, batang memiliki alur-alur dengan kulit yang agak
licin berwarna hijau dan jumlah daun percabang berkisar antara 11-21 helai. Katuk
berdaun hijau pekat atau hijau tua pada bagian atas dan hijau muda pada bagian
bawah. Daun katuk bersirip ganda dengan anak daun yang banyak. Daun memanjang
dengan panjang daun kurang lebih dua kali lebar, panjang daun berkisar antara 2,25-
7,5 cm dengan lebar 1,25-3,0 cm. Tepi daun rata, pangkal daun tumpul dan ujung
daun lancip. Tangkai daun pendek sekitar 0,2 cm dan tiap daun memiliki sepasang
daun penumpu kecil dengan panjang.
Bunga katuk merupakan bunga tunggal atau berkelompok tiga, keluar dari
ketiak daun atau diantara daun satu dengan daun lainnya. Bunga katuk termasuk
bunga sempurna, mempunyai helaian kelopak berbentuk bulat telur sungsang atau
bulat, terdapat warna merah gelap atau merah dengan bintik-bintik kuning
ditengahnya, lebar 3-3,5 mm, tinggi putik lebih kurang 0,75 mm dan lebar lebih
kurang 1,75 mm. Cabang dari tangkai bunga berwarna merah dan tepi kelopak bunga
berombak atau berkuncup enam. Tanaman katuk dapat berbunga sepanjang tahun
(Sastroamidjojo, 1988). Morfologi tanaman katuk dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Katuk
16
Tanaman katuk diperbanyak dengan stek dari tanaman tua. Waktu
penanaman biasanya dilakukan pada musim hujan, sedangkan pemanenan dilakukan
setelah tanaman berumur 30-45 hari karena pada umur tersebut tanaman sudah
memiliki ranting yang cukup banyak (Yuliani dan Marwati, 1997).
Menurut Backer dan Brink (1963), sistem taksonomi tanaman katuk adalah
sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledoneae
Sub kelas : Monochlamydeae (Apetalae)
Bangsa : Euphorbiales
Suku : Euphorbiaceae
Marga : Sauropus
Jenis : Sauropus androgynus (L.) Merr.
Penyebaran
Penyebaran tanaman katuk sampai saat ini diketahui terdapat di Filipina
(Luzon, Mindoro) dan Malay Peninsula (Pahang, Kelantan), sedangkan di Indonesia
sendiri terdapat didaerah Sumatera, Kalimantan, Kepulauan Sunda (Sumbawa,
Timur) dan di Jawa (Setyowati, 1997). Tanaman katuk ini dapat tumbuh dengan baik
didaerah dengan ketinggian 5-1300 meter diatas permukaan laut dan banyak tersebar
di Malaysia, Indonesia, Cina dan Vietnam. Heyne (1987), menjelaskan bahwa
tumbuhan ini dapat dijumpai hampir disemua tempat di Indonesia. Terdapat
bermacam-macam nama lokal untuk katuk sesuai daerah tersebut menamakannya.
Sebagai contoh, di Jawa disebut Katu, Babing dan Katukan; di Jawa Barat (Sunda)
disebut Katuk, sementara di Madura disebut Kerakur, di Bali disebut Kayu Manis, di
Sumatera Barat (Minangkabau) disebut Simani dan masyarakat Dayak Kenyah
menyebut tanaman ini Jowaluk (Setyowati, 1997).
Manfaat dan Kelemahan
Tanaman katuk banyak dimanfaatkan sebagai sayuran atau lalapan dan
dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu (ASI) dan mempercepat
pemulihan tenaga bagi orang sakit (Soeseno, 1984). Sumantera (1994), menyatakan
bahwa tanaman katuk selain sebagai pelancar ASI juga bermanfaat sebagai tanaman
17
obat keluarga (TOGA), bahan makanan dan sebagai tanaman hias. Nurendah et al.
(1997), banyak melaporkan tentang manfaat tanaman katuk diantaranya rebusan
daun katuk memberikan rasa yang agak asam dan manis, air perasan daun katuk
digunakan juga untuk memberi warna pada makanan, disamping itu air rebusan daun
dan akarnya digunakan sebagai obat demam, diuretika dan meningkatkan ASI.
Hasil penelitian Farida (1989), menunjukkan bahwa dosis daun katuk yang
efektif untuk meningkatkan produksi dan kualitas ASI selama menyusui adalah 400
gram daun segar ( kadar air 70%) per hari. Suprayogi (1995), melaporkan pengaruh
pemberian daun katuk kering pada kelinci menunjukkan adanya peningkatan
kecernaan pakan, absorpsi glukosa disaluran gastrointestinal dan metabolisme
glukosa di hati. Sari (2004), melaporkan pemberian ekstrak daun katuk kering
dengan dosis 1,68 gram/kg BB/ hari dalam bentuk minuman meningkatkan produksi
susu mencit. Penambahan katuk dengan taraf 10% dalam ransum mencit yang
diberikan mulai hari ke-14 kebuntingan memberikan penampilan reproduksi dan
produksi air susu yang lebih baik daripada saat setelah beranak pada mencit
(Arindhini, 2007).
Selain memiliki manfaat yang banyak, daun katuk juga memiliki kelemahan.
Pujiyati (1992) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dengan
dosis 1,89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk dengan dosis 7,44 g/ekor/hari pada
domba laktasi yang diberikan selama lima minggu menyebabkan terjadinya
degenerasi lemak pada hati yang kemungkinan diakibatkan oleh senyawa aktif yang
terkandung dalam daun katuk. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian
Hendarsari (2004) yang melaporkan bahwa pemberian EDK kering dan katuk hijau
dengan dosis 1,68 g/kg/BB pada mencit selama kebuntingan menimbulkan
degenerasi lemak pada organ hati dan ginjal yang bersifat sementara dan tergolong
dalam tingkat ringan. Selain itu Andriyanto (2004), juga menemukan terjadinya
penurunan kecernaan lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun
katuk pada pakan ayam broiler.
Menurut Santoso (2008), katuk dapat menyebabkan gangguan pencernaan
dan penyerapan mineral. Hal ini dapat berakibat lebih lanjut pada keroposnya tulang.
Selain itu daun katuk juga dapat mengakibatkan kelainan pada paru-paru dan
menyebabkan keguguran pada kelinci. Daun katuk juga banyak mengandung kristal
18
kalsium oksalat bentuk roset, sehingga bagi penderita penyakit batu ginjal
dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi daun katuk.
Kandungan Nutrisi Daun Katuk
Menurut Malik (1997), dalam daun katuk banyak terdapat minyak atsiri,
Tabel 6. Kebutuhan Zat Makanan (per Kg Ransum) untuk Babi Dara Bunting, Induk Bunting dan Induk Laktasi
Zat Makanan Satuan Dara dan Induk Bunting Induk Laktasi
Energi dapat dicerna Energi Metabolisme Protein kasar Asam amino esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin + sistin Fenilalanin + tirosin Treonin Triptofan Valin Unsur mineral Kalsium Fospor Natrium Khlorin Kalium Magnesium Besi Seng Mangan Tembaga Iodin Selenium Vitamin-vitamin Vitamin A Vitamin D Vitamin E Vitamin K Ribovlavin Niasin Asam pantotenat Vitamin B12
Keterangan : Koefisien Keragaman (KK) = 1,45%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum
biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum harian induk
selama penelitian adalah 2,94±0,042 kg/ekor/hari dengan koefisien keragaman
1,45%. Kebutuhan ransum ini masih sedikit lebih rendah dengan pendapat
Sihombing (2006), bahwa konsumsi ransum babi laktasi adalah 3,00-4,50 kg per
hari per ekor. Pada penelitian ini induk bunting 104 hari diberikan jumlah ransum
yang sama dengan induk yang menyusui yaitu 3,00 kg per hari per ekor. Konsumsi
ransum untuk induk menyusui digunakan untuk menghasilkan air susu dan sebagian
lagi untuk energi induk. Anak babi yang baru dilahirkan sangat membutuhkan air
susu induk yang cukup agar anak memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan
bertumbuh dengan baik (Sihombing, 2006).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK, waktu pemberian yang
berbeda dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum induk.
Keadaan ini disebabkan kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan sehari-hari dan temperatur lingkungan yang mendukung. Alasan lain
adalah ransum yang dikonsumsi induk babi baik yang ditambahkan EDK maupun
43
tanpa EDK tidak menunjukkan perbedaan dari segi warna dan bau yang dapat
mengurangi palatabilitas ransum pada ternak. Meskipun secara statistik tidak
berpengaruh nyata tetapi nilai rataan konsumsi ransum paling tinggi ditunjukkan pada
perlakuan R3H1 (2,97±0,050 kg/ekor/hari), sedangkan nilai rataan paling rendah
ditunjukkan pada perlakuan R2H1(2,91±0,0,075 kg/ekor/hari). Hal ini mungkin
disebabkan penambahan EDK yang semakin tinggi dalam ransum membuat
kecernaan pakan induk babi semakin tinggi sehingga konsumsi ransum meningkat.
Menurut Church (1979), faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum
yaitu bobot badan, keadaan ternak, temperatur lingkungan dan kesehatan ternak.
Penelitian menggunakan ternak lain seperti yang dilakukan Arindini (2007) pada
mencit percobaan melaporkan bahwa penambahan tepung katuk dalam ransum
berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi ransum mencit. Semakin tinggi taraf
tepung katuk ditambahkan dalam ransum, semakin rendah konsumsi ransum sehingga
produksi air susu induk yang dihasilkan semakin rendah.
Produksi Air Susu Induk
Produksi air susu diukur berdasarkan bobot badan anak babi per kelahiran
sebanyak tiga kali pengukuran yaitu hari kelima, ke- 15 dan ke- 25 setelah beranak.
Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak dipuasakan
selama empat jam (jam 10.00 – 14.00 WIB) kemudian penimbangan kedua sesudah
anak menyusu (±30 menit). Produksi air susu induk (PASI) diperoleh dari hasil
pengurangan penimbangan kedua dengan penimbangan pertama. Hasil pengukuran
rataan produksi air susu induk babi ditampilkan pada Tabel 14.
Berdasarkan hasil pengamatan, rataan PASI yang dihasilkan ternak penelitian
adalah 714,3±219,0 g/ekor/menyusui dengan koefisien keragaman (KK) 30,65%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap PASI, sedangkan waktu pemberian dan interaksi antara taraf EDK
dan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap PASI.
Meskipun secara statistik waktu pemberian EDK tidak berpengaruh nyata,
namun rataan PASI pada kebuntingan 104 hari (H1 = 735,1±225,0 g/ekor/menyusui)
lebih tinggi dibandingkan dengan rataan PASI pada saat setelah induk selesai
beranak (H2 = 693,4±224,3 g/ekor/menyusui). Hal ini mungkin disebabkan senyawa
aktif dalam EDK pada pemberian ransum kebuntingan 104 hari memiliki persiapan
44
yang lebih lama untuk membentuk sel-sel sekretori dalam kelenjar ambing
dibandingkan dengan pemberian ransum pada saat setelah induk selesai beranak.
Hasil yang lebih baik pada pemberian ransum saat kebuntingan juga terjadi pada
ternak lain, seperti yang dilaporkan Arindhini (2007), bahwa penambahan katuk
dengan taraf 10% dalam ransum mencit yang diberikan mulai hari ke-14 kebuntingan
memberikan penampilan reproduksi dan produksi air susu yang lebih baik daripada
saat setelah beranak pada mencit.
Tabel 14. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Selama Penelitian
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Koefisien Keragaman (KK)= 30,65%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum
biasa ditambahkan 0,10% EDK
Tabel 14 menunjukkan pemberian ransum pada kebuntingan 104 hari dengan
taraf penambahan EDK 0,05% (H1R2) memiliki nilai rataan PASI paling tinggi
(919,4±96,5 g/ekor/menyusui) daripada rataan PASI dengan taraf penambahan EDK
0,10% (833,3±25,0 g/ekor/menyusui) dan 0% (452,7±86,7 g/ekor/menyusui) pada
waktu pemberian yang sama. Sementara pemberian ransum saat induk selesai
beranak dengan taraf penambahan EDK 0,05% (H2R2) juga memiliki nilai rataan
PASI paling tinggi (822,1±289,2 g/ekor/menyusui) daripada rataan PASI dengan
taraf penambahan EDK 0,10% (786,1±42,74 g/ekor/menyusui) dan 0% (472,2±67,3
g/ekor/menyusui) pada waktu pemberian yang sama. Dengan demikian taraf
penambahan ekstrak daun katuk sebesar 0,05% mampu meningkatkan rataan
produksi air susu induk babi secara optimal pada waktu pemberian yang berbeda
dengan nilai 870,7± 200,0 g/ekor/menyusui.
45
Peningkatan produksi air susu induk babi yang ditambahkan ekstrak daun
katuk dalam ransum mungkin terjadi karena senyawa aktif yang ada dalam ekstrak
daun katuk secara bersamaan memainkan peranan penting didalam sintesis air susu
pada kelenjar sekretoris melalui aksi hormonal yang dibagi dalam dua mekanisme
yaitu: (1) Beberapa senyawa aktif dalam daun katuk merupakan prekursor yang
terlibat dalam biosintesis senyawa Eicosanoids, salah satu diantaranya adalah
prostaglandin yang akan menggertak kelenjar mammae untuk meningkatkan
produksi susu. (2) Senyawa aktif yang lainnya adalah Androstan-17-one,3-ethyl-3-
hydroxy-5 alpha (senyawa aktif yang ke-6) dapat memacu ovarium untuk
menghasilkan progesteron dan estradiol. Progesteron merangsang pembentukan
sistem sekretori dikelenjar ambing sedangkan estradiol diteruskan ke hipotalamus
yang akan merangsang hipofise posterior untuk melepaskan oksitosin yang berperan
dalam pengeluaran air susu dari alveolus masuk kedalam saluran ambing, selain itu
estradiol juga merangsang hipofise anterior untuk menghasilkan prolaktin dan
growth hormone yang berperan untuk merangsang pertumbuhan kelenjar ambing
serta produksi susu (Suprayogi et al. 2001). Hal lain yang mungkin mempengaruhi
peningkatan PASI adalah faktor nutrisi yang dikandung oleh ekstrak daun katuk yang
ditambahkan dalam ransum induk.
Peningkatan produksi air susu dengan pemberian ekstrak daun katuk dengan
taraf yang hampir sama dengan perlakuan diatas juga terjadi pada ternak lain. Seperti
yang dilakukan Sari (2004), melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk kering
dengan dosis 1,68 gram/kg BB/ hari dalam bentuk minuman meningkatkan produksi
susu mencit.
Rataan PASI pada waktu pengukuran yang berbeda selama masa laktasi
menurut perlakuan diperlihatkan pada Tabel 15. Data pada Tabel 15 digunakan untuk
menampilkan grafik rataan produksi air susu induk babi pada waktu pengukuran
yang berbeda yaitu hari kelima, ke- 15 dan ke- 25 seperti yang ditampilkan pada
Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan rataan PASI pada pengukuran hari ke-15 lebih
tinggi daripada pengukuran hari kelima dan ke-25. Hal ini mungkin disebabkan pada
hari ke- 15 masa laktasi hasil kerja senyawa aktif yang terkandung dalam EDK pada
tingkat yang optimal, kebutuhan anak babi akan air susu tinggi karena belum
mencukupi dari konsumsi pellet dan ransangan anak pada saat menyusu tinggi.
46
Tabel 15. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Waktu Pengukuran yang Berbeda
Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak
Keterangan : R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari
ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-
104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak
Gambar 11. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Babi pada Setiap Pengukuran
Peningkatan PASI pada hari ke-15 merupakan hal yang alami terjadi pada
induk babi laktasi, namun bila dibandingkan dengan kontrol atau tanpa penambahan
EDK dalam ransum induk peningkatan dengan penambahan EDK dalam ransum
lebih tinggi. Selanjutnya terjadi penurunan pada hari ke-25, dibandingkan dengan
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
5 15 25
PA
SI (
g/e
kor/
men
yusu
i)
Hari Pengukuran Setelah Beranak
R1H1
R1H2
R2H1
R2H2
R3H1
R3H2
47
kontrol, dengan penambahan EDK dalam ransum masih lebih tinggi pada hari ke-25.
Hal ini mungkin disebabkan kandungan senyawa aktif dalam ekstrak daun katuk dan
kandungan nutrisi EDK bekerja dengan baik. Faktor lain yang mungkin adalah
seiring dewasanya anak babi menjelang lepas sapih dan sudah mulai mengkonsumsi
makanan lain seperti pellet untuk pertumbuhan anak membuat respon refleksi
menyusu anak babi mulai berkurang.
Faktor yang mungkin mempengaruhi peningkatan PASI pada babi selama
penelitian antara lain kualitas makanan yaitu penambahan ekstrak daun katuk
kedalam ransum induk dan jumlah anak menyusui yaitu semakin banyak anak
menyusu cenderung menaikkan produksi air susu induk (Parakkasi, 1983). Menurut
Mepham (1987), produksi susu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: jumlah dan
komposisi makanan yang dikonsumsi, jumlah dan komposisi darah yang diserap oleh
kelenjar ambing dan laju sintesis air susu.
Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
Perkiraan produksi air susu induk (PPASI) babi ini dimaksudkan untuk
mengetahui jumlah air susu yang dihasilkan seekor induk babi dalam sehari.
Meskipun pada saat penelitian tidak menghitung berapa kali induk babi percobaan
menyusui anak dalam 24 jam, namun PASI dapat diperkiraan dalam sehari dengan
menggunakan jumlah frekuensi menyusu dari literatur. Menurut Siagian (1999a),
selama periode laktasi seekor anak babi membutuhkan 30-37 kg air susu dengan
frekuensi menyusu 18 – 28 kali per hari. Dengan metode pengukuran PASI yang
hampir sama dengan penelitian ini Hartmann dan Holmes (1989), memperkirakan
rata-rata induk babi menghasilkan air susu 0,5 – 1,0 kg untuk seekor anak babi per
hari.
Menggunakan asumsi frekuensi menyusu 18 kali per hari berarti hasil
perkiraan ini bukan menunjukkan nilai yang sebenarnya tetapi untuk perkiraan
minimum, karena frekuensi menyusu bisa lebih daripada 18 kali per hari bahkan
dapat mencapai 28 kali per hari (Siagian, 1999a). Perkiraan produksi air susu induk
(PPASI) babi dalam sehari dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut.
48
PPASI (hari) = F x Z
Keterangan : PPASI = Perkiraan produksi air susu induk (kg/ekor/hari)
F = Frekuensi menyusu per hari, diasumsikan18 kali
Z = Rataan produksi air susu induk (g/ekor/menyusui)
Dengan menggunakan rumus tersebut maka perkiraan produksi air susu induk babi
dalam sehari selengkapnya ditampilkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Koefisien Keragaman (KK)= 30,46%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK
Berdasarkan hasil perhitungan maka rataan PPASI dalam sehari adalah
12,8±3,9 kg/ekor/hari. Rataan perkiraan produksi air susu induk babi berada pada
kisaran 8,1±1,6 - 16,5±1,7 kg/ekor/hari. Bila menggunakan rataan perkiraan air susu
tertinggi yang dihasilkan induk babi menurut Hartmann dan Holmes (1989) yakni
sebesar 1,0 kg ekor per hari dikalikan dengan jumlah anak babi sebanyak 12 ekor
maka rataan PPASI dalam sehari adalah sebesar 12 kg/ekor/hari. Hal ini
membuktikan jumlah anak sangat menentukan besarnya nilai PPASI harian. Hasil
rataan perkiraan produksi air susu harian pada penelitian masih lebih tinggi
dibandingkan pendapat Sihombing (2006), yang menyatakan bahwa seekor induk
babi saat laktasi menghasilkan sekitar 7,0 kg air susu sehari dan menurut Cunha
(1980) rata-rata produksi air susu induk babi dalam sehari adalah 6,8 kg dengan
kisaran 3,4 -11,6 kg/hari.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap PPASI dalam sehari, sedangkan waktu pemberian dan
49
interaksi antara taraf EDK dan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap
PPASI dalam sehari. Rataan PPASI dalam sehari menurut taraf EDK dalam ransum
induk mulai dari rataan paling tinggi sampai paling rendah adalah R2 (15,6±3,6
kg/ekor/hari), R3 (14,5±0,7 kg/ekor/hari) dan R1 (8,3±1,2 kg/ekor/hari). Meskipun
secara statistik waktu pemberian tidak berpengaruh nyata, namun rataan PPASI
dengan pemberian EDK dalam ransum pada hari ke-104 kebuntingan (H1 = 13,2±4,0
kg/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan pemberian pada saat setelah induk selesai
beranak (H2 = 12,4±4,0 kg/ekor/hari).
Berdasarkan rumus yang digunakan, rataan perkiraan produksi air susu
berbanding lurus dengan jumlah produksi air susu induk dan frekuensi menyusu per
hari. Semakin tinggi jumlah air susu yang diukur setiap menyusui, semakin tinggi
jumlah PPASI dalam sehari. Demikian juga asumsi frekuensi menyusu per hari,
semakin besar nilai asumsi frekuensi menyusu per hari yang digunakan dalam
perhitungan maka nilai PPASI dalam sehari juga akan semakin besar.
Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
Konversi ransum terhadap perkiraan produksi air susu induk (PPASI) harian
dalam penelitian ini adalah perbandingan antara jumlah konsumsi ransum harian
induk dengan PPASI harian. Hasil pengamatan menunjukkan rataan konversi ransum
terhadap PPASI harian pada taraf EDK dan waktu pemberian yang berbeda adalah
0,25±0,089. Nilai ini berarti setiap induk mengkonsumsi 0,25 kg ransum akan
menghasilkan satu kg air susu. Data rataan konversi ransum terhadap PPASI harian
selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 17.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDK dalam ransum sangat
nyata (P<0,01) mempengaruhi konversi ransum terhadap PPASI harian, sedangkan
waktu pemberian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, begitu juga dengan
interaksi keduanya. Rataan konversi ransum terhadap PPASI harian dengan waktu
pemberian EDK pada kebuntingan 104 hari (H1 = 0,25±0,098) dan saat setelah induk
selesai beranak (H2) adalah 0,25±0,084. Hal ini menunjukkan waktu pemberian
EDK pada H1 dan H2 sama-sama efesien dalam mengubah ransum menjadi air susu.
50
Tabel 17. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
Ransum Penelitian
Waktu Pemberian Rataan
H1 H2
R1 0,37±0,064 0,35±0,045 0,36±0,051A
R2 0,17 ±0,020 0,22±0,087 0,19±0,062B
R3 0,20±0,005 0,20±0,005 0,20±0,004B
Rataan 0,25±0,098 0,25±0,084 0,25±0,089
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Koefisien Keragaman (KK) = 35,6%. H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK dan R3= Ransum
biasa ditambahkan 0,10% EDK
Tabel 17 memperlihatkan waktu pemberian EDK pada kebuntingan 104 hari
dengan taraf EDK 0,05% (R2H1 = 0,17 ±0,020) memiliki nilai konversi ransum
terhadap PPASI paling rendah atau paling efisien, sedangkan nilai konversi ransum
terhadap PPASI harian paling tinggi atau paling tidak efisien ditunjukkan pada waktu
pemberian EDK kebuntingan 104 hari dengan taraf EDK 0% (R1H1 = 0,37±0,064).
Hal ini menunjukkan jika nilai konversi ransum semakin rendah maka induk babi
semakin efisien dalam mengubah ransum menjadi air susu. Terbukti nilai rataan
PPASI harian waktu pemberian EDK pada kebuntingan 104 hari dengan taraf EDK
0,05% (R2H1 = 16,5±1,7 kg/ekor/hari) memiliki nilai rataan paling tinggi, sedangkan
pada waktu pemberian EDK kebuntingan 104 hari dengan taraf EDK 0% (R1H1 =
8,1±1,6 kg/ekor/hari) memiliki nilai rataan paling rendah.
Secara umum penambahan EDK 0,05% dalam ransum (R2) menunjukkan
nilai rataan konversi ransum terhadap PPASI paling rendah yaitu 0,19±0,062,
sedangkan tanpa penambahan EDK (0%) menunjukkan nilai konversi ransum
terhadap PPASI paling tinggi yaitu sebesar 0,36±0,051. Hal ini mungkin disebabkan
kualitas ransum perlakuan yang ditambahkan EDK lebih baik daripada tanpa
penambahan sehingga terjadi peningkatan kecernaan makanan dalam sistem
pencernaan induk babi yang dapat meningkatkan nilai efisiensi nutrisi dalam ransum.
Ekstrak daun katuk yang ditambahkan kedalam ransum dapat memperbaiki
nilai konversi ransum. Daun katuk mengandung sejumlah nutrien yang baik. Menurut
Suprayogi (1995), pemberian suspensi daun katuk kering giling 0,95 ml/hari pada
51
kelinci jantan dapat meningkatkan kecernaan terhadap pakan diantaranya bahan
kering, protein dan lemak, serta meningkatkan absorbsi glukosa di hati, dibandingkan
dengan pemberian ransum tanpa katuk. Peningkatan kecernaan makanan dalam
sistem pencernaan akan meningkatkan nilai efisiensi nutrisi dalam ransum sehingga
ketersediaan nutrisi dalam tubuh meningkat. Rataan konversi ransum terhadap PPASI
pada taraf EDK dan waktu pemberian yang berbeda pada tiga kali pengukuran dapat
dilihat pada Gambar 12 dan Lampiran 18.
Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari
ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-
104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak
Gambar 12. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran
Gambar 12 menunjukkan rataan konversi ransum terhadap PPASI harian
dengan perlakuan tanpa penambahan EDK (R1H1 dan R1H2) pada setiap pengukuran
paling tinggi atau paling tidak efisien dalam mengubah konsumsi ransum menjadi air
susu dibandingakan dengan rataaan konversi ransum terhadap PPASI dengan
penambahan EDK (R2H1, R3H1, R2H2 dan R3H2) yang lebih efisien. Rataan
konversi ransum terhadap PPASI harian dari semua perlakuan menunjukkan
penurunan atau semakin efisien pada penimbangan hari ke-15. Perbaikan efisiensi ini
dikarenakan semakin tinggi produksi air susu yang dihasilkan dari sejumlah ransum
yang dikonsumsi oleh induk babi.
Faktor yang mempengaruhi konversi ransum terhadap PPASI harian selama
penelitian adalah kualitas ransum, tingkat konsumsi ransum induk dan produksi air
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
5 15 25
Nila
i Ko
nve
rsi R
ansu
m
terh
adap
PA
SI
Waktu Pengukuran
R1H1 R1H2
R2H1 R2H2
R3H1 R3H2
52
susu induk. Anggorodi (1979), menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi
konversi ransum adalah temperatur, kualitas ransum, kualitas air, pengafkiran,
penyakit, manajemen pemeliharaan dan juga faktor pemberian ransum. Konversi
ransum mulai meningkat kembali dengan penurunan PPASI harian yang terjadi pada
saat anak babi hampir mencapai masa lepas sapih. Hal ini mungkin disebabkan
kebutuhan anak babi untuk pertumbuhan bobot badan tidak hanya dari air susu induk
saja, tapi dari ransum berupa pellet yang sudah mulai diberikan untuk anak babi pada
hari ke-15 menyusu.
53
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Taraf pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dalam ransum (0 ; 0,05; dan
0,10%) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap PASI, namun tidak berpengaruh
nyata terhadap konsumsi ransum. Waktu pemberian (bunting 104 hari dan saat
setelah induk selesai beranak) dan interaksi antara taraf EDK dengan waktu
pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum dan PASI. Taraf
penambahan EDK dalam ransum yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air
susu induk babi pada waktu pemberian ransum yang berbeda adalah 0,05%. Waktu
pemberian ransum dengan EDK yang lebih baik untuk meningkatkan produksi air
susu induk babi pada taraf EDK yang berbeda adalah pada kebuntingan 104 hari
daripada saat setelah induk selesai beranak.
Saran
Disarankan untuk menghitung berapa kali frekuensi induk babi menyusui
selama 24 jam, agar dapat diketahui perkiraan produksi air susu induk harian dan
selama laktasi yang lebih akurat. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
pengaruh EDK terhadap kualitas air susu induk babi pada bangsa dan laktasi induk
babi yang sama.
54
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dan terima kasih Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha
kuasa karena dengan berkat, kasih dan pertolonganNya yang tiada terbatas skripsi ini
dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua,
abang (Bapak Cristabel), kakak-kakak dan adik saya yang tiada hentinya
memberikan banyak bantuan, baik materi, motivasi, nasehat serta kasih sayang.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian MS. dan Bapak Dr. Drh. Agik Suprayogi MSc.
masing – masing sebagai Pembimbing Utama dan Anggota yang telah banyak
membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan usulan proposal hingga
tahap akhir penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.
Ir. Idat G. Permana MSc. Agr. sebagai dosen penguji sidang dan Bapak Ir. Afton
Atabany MSi sebagai penguji sidang sekaligus pembahas seminar yang memberikan
kritik dan saran yang sangat berguna untuk perbaikan skiripsi ini. Ucapan terima
kasih juga Penulis sampaikan kepada Ir. Suhut Simamora MS sebagai Pembimbing
Akademik yang telah banyak memberikan nasehat dan bimbingan selama kuliah.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada pemilik, manajer dan pekerja
PT. Ripayanly Farm yang memberikan bantuan dan kesempatan untuk melakukan
penelitian dipeternakan tersebut. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
sahabat dan rekan satu penelitian Chrisman Simorangkir, dan teman- teman satu
kosan di Perwira 10 yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada
Penulis.
Terakhir Penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Civitas Akademika
Fakultas Peternakan IPB khususnya rekan-rekan TPT’41. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi orang yang membacanya.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
55
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, A. M., Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk ( Sauropus androgynus (L) Merr) dengan CGMS. Journal on Indonesian Medical Plants Vol. (3) : 31. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi,
Jakarta.
Andryanto. 2004. Pengaruh penambahan tepung daun katuk dalam pakan ayam broiler terhadap kecernaan pakan dan produksi cairan empedu. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan ternak Umum. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Arindhini. 2007. Penambahan daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu mencit putih (Mus musculus albinus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ASIMAS (Agaricus Sido Makmur Sentosa). 2007. Jasa ekstraksi dan destilasi. http://www.services_ekstraksidestilasi.com [2 Juni 2008].
Backer, C.A. dan R.C B. van den Brink JR. 1963. Flora of Java Vol. 1. N.V. P. Noordhoof, Groningen. The Netherlands.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Statistik Penduduk Indonesia. http://www.data statistik Indonesia.com/component//option.com.tabel/kat i/i ditabel iii/itemid.164. [2 Juni 2008].
Blakely, J. dan D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan Umum. Edisi Keempat. Terjemahan oleh Bambang, S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Brent, D. H., R. F. Ridgeon dan W. J. Smith. 1975. Early Weaning of Pig. Farming Press Limited. Fenton House, Wharfedalp Road, Ipswich, Suffolk.
Church, D. C. 1979. Factor Affecting Feed Consumption. In: D. C. Church. Livestock Feeds Feeding. Durhan and Downey, Inc. pp: 136-139.
Crampton, E. W. dan L. E. Harris. 1969. The Uses of Feedstuffs in The Formulation of Livestocks Ration. Aplied Animal Nutrition. W. H. Freman and Co ; San Fransisco.
Cunha, T. J. 1980. Swine Feeding and Nutrition. Departement of Animal Science Schoolof Agriculture California State Polytechnic University. Domona, California.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Gizi. 1972. Komposisi dari Bahan Makanan. Bharata, Jakarta. Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Gizi. 1992. Komposisi dari Bahan Makanan. Bharata. Jakarta.
Devandra, C. dan M. F. Fuller. 1979. Pig Production in the Tropics. Oxford University Press.
56
Farida, I. T. 1989. The influence of katuk and papaya (Carica papaya l.) leaves consumption volume vitamin A and protein content of breast milk. Thesis Magister, Faculty of Medicine, Indonesia University, Jakarta.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Ed. Keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Goodwin, D. H. 1974. Pig Management and Production. National Book Store, Inc.
Hartmann, P. E. dan M. A. Holmes.1989. Saw Lactation. Australasian Pig Science Association Publication. Melbourne, pp.72-79.
Hasanah, M., S. Yuliani, Risfaheri dan Anggraeni. 1999. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. http://www.fao.org/agris/search/display.do. [2 Juni 2008].
Hendarsari. B. 2004. Histopatologi hati, ginjal dan paru-paru mencit bunting akibat pemberian ekstrak daun katuk. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heyne, K.1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Jaya, Jakarta.
Holden, J. P. dan M. E. Ensminger. 2005. Swine Science, Seventh Edt. United States Press. New York.
Malik, A. 1997. Tinjauan fitokimia, indikasi penggunaan dan bioaktivitas daun katuk dan buah trengguli. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol 3. no 3. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.
Malole, M. B. dan C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton Keynes, Philadelphia.
National Research Council (NRC). 1998. Nutrien Requirements of Swine, 10th Rev. Edt. National Academy Press. Washington, D. C.
Nurendah, P., S. Praswanto dan B. Dzulkarnain. 1997. Penggunaan daun katuk dalam jamu berbungkus. Journal on Indonesian Medicinal Palants Vol. 3 (3) : 45. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi, Jakarta.
Oei, K. N. 1987. Daftar Analisis Bahan Makanan. Unit Diponegoro Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Padmavati, P. dan M. P. Rao. 1990. Nutritive Value of Sauropus androgynus Leaves Plant. Food for Human Nutrition. Noordhoof, Groningen. The Netherlands.
Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit: Angkasa, Bandung.
Pond, W. G. dan J. H. Maner. 1974. Swine Production in Temperature and Tropical Environments. W. H. Freeman and Company, San Fransisco.
57
Pujiyati, S. 1999. Pengaruh pemberian daun katuk pada domba laktasi terhadap gambaran histopatologi hati dan alveoli paru-paru. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Santoso, U. 2008. Langsing dengan daun katuk. http://uripsantoso.wordpress.com// [2 Juni 2008].
Sari, D. A. P. 2004. Pengaruh pemberian minuman ekstrak daun katuk kering dan katuk hijau (Sauropus androgynus (L) Merr) terhadap produksi susu mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastroamidjojo. A.S., 1988. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta.
Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. USA.
Setyowati, F. M. 1997. Arti katuk bagi masyarakat dayak kenyah, Kalimantan Timur. Journal on Indonesian Medicinal Plants Vol. 3 (3) : 11. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi, Jakarta.
Siagian, P.H. 1999a. Manajemen Ternak Babi. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Siagian, P.H. 1999b. Praktikum Manajemen Ternak Babi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sihombing, D.T.H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Silitonga, M. 1993. Efek laktogogum daun jinten (Coleus amboinicus lour) pada tikus laktasi. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SNI (Standar Nasional Indonesia). 1995. Agribisnis Info (Standar Pakan SNI). http://agritekno.Tripod.com/Standar pakan. [22 Mei 2008].
Soeseno, A. 1984. Kebun Sayur di Pekarangan Anda. Kinta, Jakarta.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Sudono, A. 1981. Pengaruh interaksi antara genotip dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sukendar. 1997. Pengenalan morfologi katuk ( Sauropus androgynus (L.) Merr). Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 : 53.
Sumantera, I. W. 1994. Etnobotani katuk di Bali. Journal on Indonesian Medical Plants Vol. 3 (3) : 57. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi, Jakarta.
Suprayogi, A. 1995. The effect of Sauropus androgynus (L.) Merr. Leaves on the feed digestibility, glucose metabolism in the liver (a study on a tropical medical plant). Master-Thesis of Gottingen University, Germany, August, 1995.
58
Suprayogi, A. 2000. Studies of the biological effect of Sauropus androgynus (L.) Merr: Effect of milk production and the possibilities of induced pulmonary disorder in lactating sheep. Cuviller Verlag Gottingen University, Germany.
Suprayogi, A., U.T. Meulen, T. Ungerer dan W. Manalu. 2001. Population of secretory cells and syntetic activities in mammary gland of lactating sheep after consuming Sauropus androgynus (L.) Merr leaves. Indon. J. Trop. Agric. 10 (1) : 1-3.
Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Wikipedia Indonesia. 2008. Ekstraksi. http://id.wikipedia.org/wiki/ekstraksi.com. [ 2 Juni 2008].
Winarno, F. G. 1973. Extraksi, Khromatografi, Elektrophoresis. Departemen Teknik Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yuliani, S., Anggraeni dan Risfaheri. 1995. Studi pembuatan simplisia ekstrak kering daun katuk. Journal on Indonesia Medical Plants. Vol 3 (3) : 30. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi. Jakarta.
Yuliani, S. dan T. Marwati. 1997. Tinjauan daun katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. Journal on Indonesian Medical Plants. Vol 3 (3) : 55. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmakologi. Jakarta.
59
LAMPIRAN
60
Lampiran 1. Jumlah Laktasi Induk Penelitian
Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)
Keterangan : H1 = bunting hari ke-104 ; H2 = saat setelah selesai beranak ; R1= Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK ; R2= Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK
dan R3= Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK
Lampiran 5. Data Konsumsi Ransum Induk Babi Selama Penelitian
Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)
SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 408 204 0,11 0,895 tn Waktu pemberian (B) 1 1 1 0,00 0,978 tn Interaksi (AB) 2 8836 4418 2,42 0,131 tn Error 12 21867 1822 Total 17 31113
62
Lampiran 7. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi pada Setiap Pengukuran
Perlakuan
Waktu Pengukuran Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25 ---------------------kg/ekor/hari--------------------------
R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2
2,83 2,94 2,85 2,98 2,98 2,97
2,96 2,90 2,98 2,97 2,98 2,98
2,90 2,91 2,97 2,97 2,96 2,97
Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak
Lampiran 8. Data Produksi Air Susu Induk Babi
Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)
Lampiran 9. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Produksi Air Susu Induk Babi
SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 581999 290999 16,25 0,000 ** Waktu pemberian (B) 1 7813 7813 0,44 0,521 tn Interaksi (AB) 2 10277 5139 0,29 0,756 tn Error 12 214950 17912 Total 17 815038
Lampiran 10. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap PASI
0,05 (R2) 0,10 (R3) 0 (R1) ** **
0,05 (R2) tn
63
Lampiran 11. Data Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)
Lampiran 12. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Perkiraan PASI Harian
SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 188,02 94,01 16,14 0,000 ** Waktu pemberian (B) 1 2,5 2,5 0,43 0,525 tn Interaksi (AB) 2 3,22 1,61 0,28 0,763 tn Error 12 69,9 5,82 Total 17 263,65
Lampiran 13. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) terhadap Perkiraan PASI Harian
0,05 (R2) 0,10 (R3)
0 (R1) ** ** 0,05 (R2) tn
Lampiran 14. Rataan Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran
Perlakuan
Waktu Pengukuran Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25 ---------------------kg/ekor/hari--------------------------
R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2
6,3 6,3 10,9 11,1 11,9 11,2
10,6 10,8 22,8 18,6 17,1 18,4
6,8 8,4 15,9 14,7 15,8 12,7
Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak
64
Lampiran 15. Data Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
Waktu Pemberian Ulangan Taraf Ekstrak Daun Katuk (%)
Lampiran 16. Analisa Sidik Ragam (ANOVA) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
SK db JK KT F P Taraf EDK (A) 2 0,1034 0,0517 20,66 0,000 ** Waktu pemberian (B) 1 0,0003 0,0003 0,15 0,706 tn Interaksi (AB) 2 0,0037 0,0018 0,78 0,479 tn Error 12 0,0286 0,0023 Total 17 0,1362
Lampiran 17. Uji Tukey Faktor A (Taraf EDK dalam Ransum) Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian
0,05 (R2) 0,10 (R3)
0 (R1) ** ** 0,05 (R2) tn
Lampiran 18. Rataan Konversi Ransum terhadap Perkiraan Produksi Air Susu Induk Harian pada Setiap Pengukuran
Perlakuan
Waktu Pengukuran
Hari ke-5 Hari ke-15 Hari ke-25 R1H1 R1H2 R2H1 R2H2 R3H1 R3H2
0,45 0,47 0,26 0,27 0,25 0,26
0,28 0,27 0,13 0,16 0,17 0,16
0,43 0,35 0,18 0,20 0,18 0,23
Keterangan: R1H1 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada induk bunting hari ke-104 ; R1H2 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan EDK pada hari saat selesai beranak ; R2H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada induk bunting hari ke-104; R2H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,05% EDK pada hari saat selesai beranak ; R3H1 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada induk bunting hari ke-104 dan R3H2 = Ransum biasa ditambahkan 0,10% EDK pada hari saat selesai beranak
65
Lampiran 19. Gambar Anak Babi yang Sedang Dipuasakan dan yang Sedang Ditimbang