Top Banner
LAPAROTOMI ILEUS OBSTRUKTIF Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Anestesi dan Reaminasi RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga Disusun oleh : Robin Perdana Saputra 08711054 Pembimbing : dr. Awal Tunis Yantoro, SKM, Sp.An SMF ILMU ANESTESI DAN REAMINASI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA 1
33

Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Oct 26, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

LAPAROTOMI ILEUS OBSTRUKTIF

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti

Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Anestesi dan Reaminasi

RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Disusun oleh :

Robin Perdana Saputra

08711054

Pembimbing :

dr. Awal Tunis Yantoro, SKM, Sp.An

SMF ILMU ANESTESI DAN REAMINASI

RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

PURBALINGGA

1

Page 2: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

2013

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN :

Nama               : Ny N

Umur               : 35 tahun

Alamat             : Candiwulan 8/4

Kelamin           : Perempuan

No. RM : 556245

Ruang : Dahlia 7.1

Masuk RS : 23 Oktober 2013

Operasi : 25 Oktober 2013

II. PRIMARY SURVEY

1. Airway

Clear, mallampati I, tidak terdapat gigi ompong. Jarak antara gigi atas

dan bawah kira-kira 2 jari, deviasi septum (-), discharge (-), polip (-),

leher pendek (-), trakhea teraba di tengah/deviasi (-), tidak ada

perbesaran kelenjar tiroid.

2. Breathing

Nafas spontan, normochest, tidak tampak ketertinggalan gerak pada

dada (gerak dada simetris). RR 18 kali per menit, reguler, tidak

terdapat retraksi, trakea terletak di median, suara nafas vesikuler +/+,

tidak terdapat wheezing maupun ronki.

3. Circulation

Kulit hangat, TD 114/71, nadi 116 kali per menit, reguler, S1>S2

reguler, gallop (-), murmur (-).

4. Disability

Keadaan umum baik, gizi cukup, kesadaran Compos mentis, pupil

bulat, isokor, 3 mm / 3 mm, reflek cahaya +/+.

2

Page 3: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

III. SECONDARY SURVEY

1. Anmanesa

a. Keluhan utama

Nyeri ulu hati

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli Bedah RSGT dengan keluhan nyeri ulu hati sejak

1 HSMRS, disertai mual dan muntah serta nafsu makan menurun.

Pasien mengaku tidak terdapat gangguan BAB dan BAK. Pasien

mengaku tidak demam.

c. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa (-), Riwayat Asma (-), Riwayat Alergi

(-).riwayat DM dan HT tidak diketahui

d. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat pada keluarga Asma (-), Alergi (-).DM (-), HT (-)

2. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum: Cukup

b. Kesadaran : Compos mentis

c. GCS : E4V5M6

d. Vital sign :

- Tekanan Darah : 100/70 mmHg

- Nadi : 76 x/mnt

- Suhu : 36,7˚C

- Respirasi : 18 x/mnt

e. Status Generalis :

- Kulit : Warna kulit cokelat sawo matang, tidak ikterik, tidak

sianosis, turgor kulit cukup, capilari refill kurang dari 2 detik.

- Kepala :

o Rambut hitam dan distribusi merata serta tidak mudah dicabut.

o Muka : tidak terdapat jejas.

3

Page 4: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

o Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, pupil bulat

isokor Ø 3 mm / 3 mm, reflek cahaya +/+

o Hidung : deviasi septum (-), discharge (-), nafas cuping hidung

(-).

o Tenggorokan : Mallampati I, Cormack and Lehane grade I

- Leher : Tidak terdapat jejas, deviasi trakea(-), nyeri tekan leher

bagian kiri (+), bengkak (+), hiperemis (+), tidak terdapat

pembesaran kelenjar tiroid maupun limfe.

- Thorax

Paru                 : Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi (-)

Palpasi : Simetris, vokal fremitus simetris.

Perkusi : Sonor

Auskultasi :Vesikuler +/+, wheezing (-), ronkhi

(-)

Jantung            : Inspeksi : Tampak ictus cordis

Palpasi : IC teraba

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop

(-)

Abdomen        : Inspeksi : Flat(-),

Distensi (-), Jejas (-), Masa (-)

Auskultasi : Bising usus (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan

lien tidak teraba

Perkusi : Tympani

Ekstremitas : Akral Hangat, Edema (-)

4

Page 5: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan 27 Agustus 2013 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 15,7 11,7 – 15,3 g/dL

Leukosit 14,8 2,6 – 11 103/uL

Hematokrit 47 35-47 %

Eritrosit 5,1 3.8 – 5,2 106/uL

Trombosit 245 150 – 440 103/uL

Hitung Jenis

Basofil 0 0 – 1 %

Eosinofil 0 1 – 3 %

Neutrofil Segmen 91 50 – 70 %

Limfosit 6 25 – 40 %

Monosit 4 2 – 8 %

Golongan Darah A

CT 4,30’’ 3 – 5 Menit

BT 3,45’’ 2 – 5 Menit

GDS 151 100-150 mg/dl

4. Pemeriksaan Elektrokardiograf

Sinus rhythm, Heart rate 100 x/menit, gelombang P normal, axis normal,

PR interval 0,16 detik,

5. Pemeriksaan Foto Thorax

Pada foto rongxen 3 posisi tak tampak pneumoperitonium, tak tampak

perforasi usus. Peritoneal fat line baik, tak tampak peritonitis. Udara usus

prominent, cenderung meteorismus. Tampak perselubungan di luar usus

DD: Asites. Struktur tulang tampak baik. Kesan : Cpr dalam batas

normal, Gambaran pulmo dalam batas normal, Tak tampak gambaran

metastasis pada tulang yang terlihat

5

Page 6: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

6. Pemeriksaan Ultrasongrafi

Asites (+), Efusi pleura dextra minimal, Hepatomegali, Hipoechoik,

penyebab belum diketahui. Tampak cholecystitis. Lien ren kanan kiri

VU dan Uterus tampak dalam batas normal

IV. DIAGNOSIS

Ileus Ostruktif

V. KESIMPULAN

Acc ASA I

VI. LAPORAN ANESTESI

Keadaan pre-operarif : Pasien sudah terpasang NGT sejak tanggal 23

oktober 2013. Keadaan pasien tampak kesakitan, kooperatif, tensi 120/ 75

mmHg, nadi 85 x/ menit. Pasien sudah mulai puasa sejak masuk RSGT

1. Diagnosis Pra Bedah

Ileus Obstrutik

2. Diagnosis Pasca Bedah

6

Page 7: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Ileus obstruktif ec adhesi omentum

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a. Informed consent

b. Puasa 6 jam pre operasi

c. Pasang IVFD RL 20 tpm

4. Penatalaksanaan Operasi

a. Jenis pembedahan : Laparotomi

b. Jenis anestesi : Regional

c. Teknik anestesi : General

d. Mulai anestesi : 09.30

e. Mulai operasi : 09.35

f. Selesai anastesi : 09.45

g. Premedikasi : Ondansetron 4 mg, Fentanyl 100mg,

Noveron 30mg

h. Medikasi induksi : Recofol 100 mg

i. Maintenance : O2 3 liter/menit dengan Sevoflurance 2%

j. Medikasi tambahan : ketorolac 60 mg, Dexa II ampul

k. Respirasi : Spontan

l. Posisi : Supine

m. Cairan durante operasi : RL 1500 ml

Monitoring Anestesi

Waktu Hasil Pantauan Tindakan

09.00 N 90 x/m ; TD 121/78 mmHg

SaO2 93%

Pasein masuk ruang OK

kemudian diberikan injeksi

Ondancetron.

09:20 N 90 x/m ; TD 121/78 mmHg

SaO2 93%

Pasien diberikan injeksi

Fentanyl 100mg

09:25 N 90 x/m ; TD 121/78 mmHg

SaO2 93%

Pasien diberikan injeksi

Noveron 30mg

09.30 N 88 x/m ; TD 118/75 mmHg

SaO2 93%

Dimulai anastesi dengan

pemberian recofol 100mg dan

7

Page 8: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

pemasangan kanul O2.

09:33 N 90 x/m ; TD 111/78 mmHg

SaO2 94%

Mulai dialirkan inhalasi sevo

2%

09.35 N 87 x/m ; TD 118/75 mmHg

SaO2 96%

Dimulai pembedahan incise

09.38 N 123x/m ; TD 157/89 mmHg

SaO2 99%

Injeksi Fentanyl 30mg

09.40 N 122x/m ; TD 119/78 mmHg

SaO2 96%

monitoring

09.45 N 121x/m ; TD 167/98 mmHg

SaO2 93%

Injeksi Fentanyil 20mg

09.50 N 101x/m ; TD 139/88 mmHg

SaO2 93%

Monitoring, inhalasi sevo di

stop, injeksi ketorolac

09.55 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg

SaO2 93%

Pembedahan selesai

10.05 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg

SaO2 90%

Pasien belum sadar nafas

terengah engah

10.10 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg

SaO2 87%

Suara paru ronkhi basah,

injeksi dexa 2 amp

10.15 N 80 x/m ; TD 121/81 mmHg

SaO2 93%

Pasien mulai sadar , nafas

teratur masuk RR lnajut foto

rongxen dan masuk ICU

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

8

Page 9: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda

adanya obstruksi usus yang segera memerlukan pertolongan dokter.

Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia

inkarserata, sedangkan ileus paralitik sering disebabkan oleh

peritonitis. Keduanya membutuhkan tindakan operatif.

Merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering

dijumpai 60-70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan

apendisitis akut. Ileus memiliki mortalitas tinggi jika tidak segera

didiagnosis dan ditangani dalam 24 jam.

Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh

pembedahan darurat,dan mortalitas dan morbiditas sangat bergantung

pada pengenalan awal dan diagnosis yang tepat. Perlekatan usus

sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan pertama.

Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah

perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada tahun

2001 mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan usus,

kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%

9

Page 10: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Ileus adalah hambatan pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi

lumen usus atau gangguan peristalsis usus. Secara garis besar dibagi menjadi dua

yaitu Ileus Obstruktif dan Ileus Paralitik. Ileus yang disebabkan oleh obstruksi

disebut juga ileus mekanik, dan memiliki angka kejadian tersering.

Klasifikasi

Lokasi Obstruksi

Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum

Letak Tengah : Ileum Terminal

Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Stadium

Parsial : menyumbat lumen sebagian

Simple/Komplit: menyumbat lumen total

Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa

Etiologi

i. Penyempitan lumen usus

Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis.

Dinding Usus : stenosis (radang kronik), keganasan.

Ekstra lumen : Tumor intraabdomen.

ii. Adhesi

iii. Invaginasi

iv. Volvulus

v. Malformasi Usus

Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan

vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan

udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian

usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi

membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi udema dan kongesti.

Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan

progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan

meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan

kematian. (Purnawan, 2009)

10

Page 11: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

2.4.2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis.

Nyeri (Kolik)

Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar umbilikus

Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik.

Muntah

Stenosis Pilorus : Encer dan asam

Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan

Obstruksi kolon : onset muntah lama.

Perut Kembung (distensi)

Konstipasi

Tidak ada defekasi

Tidak ada flatus

Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali

menandakan adanya hernia inkarserata. Selain itu, invaginasi dapat didahului oleh

riwayat buang air besar berupa lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya

dapat menjurus pada adanya adhesi usus serta onset keluhan yang berlangsung

cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat dapat

menjurus kepada ileus letak rendah.

1. Pada pemeriksaan fisik dapat pula ditemukan :

Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti : 

Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness, nyeri lokal, hilangnya

suara usus local. Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi. 

Adanya obstruksi ditandai dengan :

Inspeksi

Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal,

femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi

dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila

ada bekas luka operasi sebelumnya.

Auskultasi

11

Page 12: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising

usus dan peristaltik melemah sampai hilang.

Perkusi

Hipertimpani

Palpasi

Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

Rectal Toucher

- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease

- Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma

- Feses yang mengeras : skibala

- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi

- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi

- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

2. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis,

tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu

dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal.

Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit

yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan.10 Leukositosis

menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% -

50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non

strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu

dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin

terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis

bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis.

Radiologik

12

Page 13: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid

level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi.

Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus

halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.

Foto Polos Abdomen

Dapat ditemukan gambaran ”step ladder dan air fluid level” terutama pada

obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi

stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mucosa

yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus. Pelebaran udara usus halus atau

usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level. Penggunaan kontras

dikontraindikasikan jika adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan

untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.

Gambar 2.4 Radiolagi dari Ileus obstruktif (American Gastroenterological

Association, 2003)

2.4.2.6 Diagnosis banding

Ileus obstruksi harus dibedakan dengan:

1. Carcinoid gastrointestinal.

2. Penyakit Crohn.

3. Intussuscepsi pada anak.

4. Divertikulum Meckel.

5. Ileus meconium.

6. Volvulus.

13

Page 14: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

7. Infark Myocardial Akut.

8. Malignansi, Tumor Ovarium.

9. TBC Usus.

2.4.2.7 Penatalaksanaan

Obstruksi mekanis di usus dan jepitan atau lilitan harus dihilangkan segera

setelah keadaan umum diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu

pembedahan meliputi tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit

dan dekompresi pipa lambung. Tindakan bedah dilakukan apabila terdapat

strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata dan tidak ada perbaikan pada

pengobatan konservatif. (Purnawan,2009)

1. Persiapan penderita

Persiapan penderita berjalan bersama dengan usaha menegakkan diagnosa

obstruksi ileus secara lengkap dan tepat. Sering dengan persiapan penderita yang

baik, obstruksinya berkurang atau hilang sama sekali. Persiapan penderita

meliputi :

Balance Penderita dirawat di rumah sakit.

Penderita dipuasakan

Kontrol status airway, breathing and circulation.

Dekompresi dengan nasogastric tube.

Intravenous fluids and electrolyte

Dipasang kateter urin untuk menghitung cairan.

2. Operatif

Bila telah diputuskan untuk tindakan operasi, ada 3 hal yang perlu :

Berapa lama obstruksinya sudah berlangsung.

Bagaimana keadaan/fungsi organ vital lainnya, baik sebagai akibat

obstruksinya maupun kondisi sebelum sakit.

Apakah ada risiko strangulasi.

Kewaspadaan akan resiko strangulasi sangat penting. Pada obstruksi ileus

yang ditolong dengan cara operatif pada saat yang tepat, angka kematiannya

adalah 1% pada 24 jam pertama, sedangkan pada strangulasi angka kematian

tersebut 31%.

14

Page 15: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada

obstruksi ileus :

a) Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah

sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia

incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus

ringan.

b) Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"

bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease,

dan sebagainya.

c) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,

misalnya pada Ca stadium lanjut.

d) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-

ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada

carcinomacolon, invaginasi strangulate dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif

bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan

penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan

kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.

3. Pasca Operasi

Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi

usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan

yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh

karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat

diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal,

walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah

berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali

belum baik.

Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare

pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta

menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan

pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi

strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7

15

Page 16: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan

sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah.

Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur

kuman sangatlah penting. (Purnawan, 2009)

GENERAL ANESTESI

General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang

mengakibatkan depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan

obat-obatan secara intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya. Trias

anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi.

Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahaan

akan berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang

memiliki kecemasaan yang cukup besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar

pasien tersebut tetap tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahaan.

Tahapan General Anestesi

- Induksi (awal pembiusan)

- Konduksi (maintenance pembiusan)

- Recovery (sadar kembali setelah anestesi)

Prosedur Anestesi Umum

Persiapan pra anestesi umum

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun

darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan

pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra

anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan

pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.

Tujuan kunjungan pra anestesi:

- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.

16

Page 17: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan

fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi

dapat ditekan seminimal mungkin.

- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal

ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai

gambaran prognosis pasien secara umum.

Persiapan pasien

A. Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau

melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan

pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.

Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

- Identifikasi pasien, Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita,Riwayat

obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi

dengan obat-obat anestetik, Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami

diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya,Kebiasaan buruk sehari-hari

yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi.

B. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,

tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah

akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga

akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik

tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,

perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan

penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan

uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,

misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa

pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran

pemeriksaan EKG dan foto toraks.

17

Page 18: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang

akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan

ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia.

D. Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama

pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia

harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum

induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6

jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum

induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk

keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum

induksi anesthesia.

PREMEDIKASI

Premedikasi adalah pemberian obat-obat tertentu sebelum tindakan

anestesia, untuk membantu induksi anestesia, pemeliharaan, dan pemulihan yang

baik. Adapun tujuan premedikasi adalah dapat mengurangi kegelisahan /

kecemasan, mengurangi sekresi saliva, mencegah refleks-refleks yang tidak

diinginkan, memudahkan induksi anestesia, mengurangi dosis obat yang

diperlukan untuk anesthesia, menghasilkan amnesia, menghasilkan analgesia, ,

mencegah muntah post-operatif

1. Cendantron 4 mg i.v. : anti emetik

Cendantron (Ondancetron) adalah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat

selektif dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan

radiasi. Mekanisme kerjanya diduga langsung mengantagonisasi reseptor 5-HT

yang terdapat pada chemoreseptor trigger zone didaerah postrema otak dan

mungkin juga pada affern vagal saluran cerna. Ondansetron mempercepat

pengosongan lambung, bila kecepatan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran

18

Page 19: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

cerna memanjang sehingga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.

Ondansetron dimetabolisme di hati.

Digunakan untuk mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan

operasi dan pengobatan kanker dengan radiografi dan sitotastika. Dosis yang

digunakan 0,1 – 0,2 mg/kg i.v.

Efek samping biasanya ditoleransi dengan baik. Keluhan yang sering

ditemukan adalah konstipasi. Gejala lain berupa sakit kepala, mengantuk,

gangguan saluran cerna. Kontraindikasi pada hipersensitifitas, sebaiknya tidak

digunakan pada ibu hamil dan menyusui karena kemungkinan disekresikan ke

dalam ASI. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi.

2.Fentanyl :

Mempunyai potensi analgesi 75-125 kali morfin, Mempunyai mula kerja

yang cepat dan mempunyai waktu eliminasi yang cepat juga dalam tubuh. Efek

terhadap jantung sangat minimal tetapi dapat terjadi bradi yang dapat di

tanggulangi dengan pemberian sufas atropine. Mempunyai efek samping

ketergantungan, euforia, perlambatan EKG, mual dan muntah

Penggunaan secara klinis diberikan untuk analgesik nakotik , sebagai

tambahan pada general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan

neuroleptik (droperidol) sebagai premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan

pemeliharaan general anestesi maupun regional anestesi.

Digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 – 2 mg / kg IV

memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mg/kg IV, biasanya digunakan untuk

tambahan pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi,

digunakan dengan, a) Laryngoskopi untuk intubasi trakea ,atau b) Stimulasi

operasi yang tiba – tiba.

Waktu pemberian fentanil injeksi IV untuk menghambat atau

menatalaksana beberapa respon operasi harus dipertimbangkan waktu

equilibrationnya. Injeksi opioid seperti fentanil sebelum stimulasi operasi yang

menyakitkan, mungkin dapat mengurangi dari jumlah opioid yang dibutuhkan

untuk periode postoperasi untuk menyediakan analgesia.

19

Page 20: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

INDUKSI ANASTESI

Adapun obat-obat indikasi yang diberikan adalah : Recofol 90 mg

1. Recofol 100 mg (propofol) i.v.

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan

karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol

merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik

dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol

menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah

obat anestesi umum yangbekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30

detik. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse.

Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55

tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis

yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa

secara suntikan bolus IV atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan

pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di

bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IVdosisnya lebih rendah dan

kecepatan tetesan juga lebih lambat.

OBAT LAINNYA (DURANTEE OPERASI)

1. Ketorolac 60 mg sebagai analgesik

Farmakodinamik:

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini

merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik

yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis

prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena

tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.

Farmakokinetik:

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah

pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma

20

Page 21: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh

terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia

rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang

beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara

intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma

dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang

tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena,

volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat

dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya

(rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral

tidak mengubah hemodinamik pasien.

Diberian secara oral, intramuskular, intravena. Efek analgesia dicapai

dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja 4-6 jam. Dosis awal 10-

30mg/hari dosis maks. 90mg/hari, pada manula, gangguan faal ginjal, dan BB

<50kg dibatasi maks. 60mg/hari. 30mg ketorolak=12mg morfin=100mg petidin,

dapat digunakan bersama opioid. Cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di

perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Tidak untuk

wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita menyusui, usia lanjut, anak

usia <4th, gangguan perdarahan, tonsilektomi.

Dosis Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular

atau bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal

15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai

timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30

menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median

analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan

keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis harian

multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih

dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka

panjang.

21

Page 22: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

BAB III

KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, Pasien Ny N dengan diagnosis ileus obtruktif, dilakukan

tindakan laparotomi. Persiapan darah dan cek laboatorium penting pada

laparotomi karena termasuk operasi dengan resiko besar.

2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik general anestesi menggunakan semi

closed face mask. Sebagai medikasi induksi diberikan noveron 30mg,

fentanyl 100mg, propofol 100 mg dan o2. Maintenecenya dengan

sevoflurance, medikasi tambahan diberikan Ketorolac 60 mg sebagai

analgesic dan Ondansetron 4 mg sebagai anti muntah.

22

Page 23: Kasus Laparotomi Anestesi Dr Awal

3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak

1500ml.

4. Lama operasi pada pasien ini adalah 30 menit.

5. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di

ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan

adekwat serta kesadaran masih belum sadar betul. Kemudian digunakan

penilaian pemulihan anestesi dengan menggunakan skala aldrette. Pada

pasien ini, total penilaian dengan menggunakan skala aldrette adalah 9

sehingga pasien dapat di bawa ke ruang perawatan akan tetapi SaO2 pasien

tidak maksimal sehingga masuk ICU guna perawatan lebih lanjut.

23