KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS HIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar di Buleleng - Bali ) DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor KETUT GEDE MUDIARTA 0706222782 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SOSIOLOGI Depok, 2010 Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAPITAL DALAM MASYARAKATDAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS HIDUP
(Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar di Buleleng - Bali )
DISERTASIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
KETUT GEDE MUDIARTA0706222782
UNIVERSITAS INDONESIAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGIDepok, 2010
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah dinyatakan dengan benar
Nama : Ketut Gede Mudiarta
NPM : 0706222782
Tanda Tangan :
Tanggal : 22 Nopember 2010
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
iii
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI
Disertasi ini diajukan oleh :
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Departemen : SosiologiJudul Disertasi : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITASHIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar diBuleleng –Bali)
Promotor
Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D
Ko Promotor
Dr. Der Soz. Rochman Achwan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
iv
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI
Disertasi ini diajukan oleh :
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Departemen : SosiologiJudul Disertasi : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITASHIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar diBuleleng –Bali)
Promotor
Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D
Ko Promotor
Dr. Der Soz. Rochman Achwan
MENGETAHUI,KETUA PROGRAM PASCASARJANA
DEPARTEMEN SOSIOLOGIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Lugina Setyawati, Ph.D.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
v
HALAMAN PENGESAHAN
Disertasi ini diajukan oleh :
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Departemen : SosiologiJudul Disertasi : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITASHIDUP (Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar diBuleleng –Bali)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagaibagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor dalambidang Sosiologi pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Indonesia
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Ketut Gede MudiartaNPM : 0706222782Program Studi : SosiologiFakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikJenis Karya : Disertasi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
KAPITAL DALAM MASYARAKATDAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS HIDUP
(Suatu Analisis Persepsi Masyarakat Banjar di Buleleng –Bali)
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari sayaselama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagaipemilik Hak Cipta.
Demikianlah pernyataan saya ini, saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: DepokPada Tanggal: 22 Nopember 2010
Yang menyatakan,
(Ketut Gede Mudiarta)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
x
ABSTRAK
Nama : Ketut Gede Mudiarta (0706222782)Program Studi : SosiologiJudul : KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KUALITAS HIDUP (Suatu Analisis PersepsiMasyarakat Banjar di Buleleng –Bali)
Disertasi ini bertujuan untuk menjelaskan peran kapital dalam masyarakatdan pengaruhnya terhadap kualitas hidup masyarakat (QoL), ditinjau dari persepsimasyarakat. Upaya memperdalam analisis juga dilakukan dengan membahas perantripartit pemerintah-swasta-masyarakat dalam peningkatan penguasaan kapital dankualitas hidup masyarakat agribisnis berbasis komunitas banjar. Studi inimenggunakan model desain penelitian dominan-kurang dominan, yaknimenggunakan metoda kuantitatif sebagai pendekatan utama yang didukungpendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan pada lokasi implementasi PRIMATANI yakni program percepatan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologipertanian di Bali, tepatnya di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak-Buleleng.
Temuan utama penelitian ini adalah: Pertama, hasil regresi dilanjutkananalisis jalur yang dilakukan menunjukkan bahwa ternyata kapital sosial merupakanfaktor yang paling dominan pengaruhnya bagi peningkatan kualitas hidup,dibandingkan jenis kapital lainya, yakni kapital budaya, politik, dan ekonomi. Kedua,lingkungan institusional berupa peraturan dan kebijakan-kebijakan formal, ataupununsur-unsur baru secara dinamis berjalan menjadi kerangka dalam mengaturtindakan ekonomi aktor atau kelompok pelaku agribisnis, berbasis banjar. Tindakanekonomi aktor, berbasis pada relasi informal yang dilandasi kepercayaan bersama,norma, dan aturan-aturan in-formal banjar yang ternyata memiliki kelenturan(fleksibilitas) yang kuat dalam mewadahi aktivitas anggotanya. Pertalian danpertautan antara lingkungan institusional dengan relasi informal yang mengikattindakan aktor dalam mengejar kepentingan-kepentingannya merupakan sebuahkerangka, yakni kerangka institusional. Pada kerangka itu, peran pemerintah-swasta-komunitas lokal, memainkan fungsi penting bagi peningkatan penguasaan kapitalsosial, budaya, politik, dan kapital ekonomi yang bermuara pada peningkatan kualitashidup komunitas agribisnis berbasis banjar. Tingginya peran kapital sosial dalampeningkatan kualitas hidup mesti didukung intervensi kebijakan dalam halpenganggaran program pembangunan yang dapat merangsang semakin tumbuh danberkembangnya jaringan sosial. Kebijakan agribisnis terutama implementasi inovasiteknologi mesti bersifat tranformatif bagi perubahan budaya dan struktur sosialmasyarakat. Pada sisi lain, investasi pembangunan ruang sosial perlu ditingkatkan,karena investasi bidang ini relatif tertinggal dibandingkan investasi dalam bidangekonomi.
Kata Kunci: kapital, masyarakat, tripartit, kualitas hidup (QoL)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xi
ABSTRACT
Name : Ketut Gede Mudiarta ( 0706222782)Program Studi : SosiologiJudul : CAPITAL IN COMMUNITY AND ITS INFLUENCE TO THE
QUALITY OF LIFE (An Analysis of Banjar CommunitiesPerception in Buleleng, Bali)
The purpose of the research in general is to analyze the capital in communityand its influence to the quality of life (QoL), analized by the public perception. Inmore spesific way, it explains the role of government, private sector, and localcommunity in influencing capital namely social capital, cultural capital, politicalcapital, and economic capital and their influence to improve the quality of life. Thisstudy applies the dominant –less dominant design model. Main approach appliedquantitative study supported by qualitative approach. This research conducted inlocation of implementation PRIMA TANI namely program disseminationacceleration of agriculture technology innovation in Bali, precisely in Sanggalangit,District of Gerokgak-Buleleng.
The main finding in this dissertation are: First, result of regression and pathanalysis indicates that social capital is the most dominance influence for improvementof QoL, compared to other capital form. Second, in the agribussiness developmentshow that institutional environment as formal regulation and policies, integrated withinformal relationship at the messo and micro levels of individuals and theirinterpersonal ties as institutionalism mechanism. At the mechanism, the role oftripartit, plays necessary function for improvement of capital and improve the qualityof life. Domination of the role of social capital in improvement the QoL must besupported by policy intervention in the case of budgeting and development programswhich can stimulate social networks grows. Implementation of agriculturalinnovation must transformativelly for social changes, both for cultural and structural.Investation for social space need to be improved, because the invesment of this caserelatively lag than in the field of economics.
Keyword: capital, community, the role of tripartit, quality of life.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xii
DAFTAR ISIHalaman
PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAH PEMBIMBIMG DISERTASI ................ iii
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI ............................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................. x
ABSTRACT ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xviii
I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.11.1.11.1.2
Latar Belakang .................................................................................Kualitas Hidup (QualityofLife/QoL)Masyarakat ..................................................Peran Tripartit (Pemerintah –Swasta –Masyarakat) dan DinamikaPembangunanPertanian Nasional ..............................................................................
113
1.2 Pokok Permasalahan ........................................................................ 91.3 Pernyataan Tujuan Penelitian ..................................................................................... 101.4 Signifikansi Penelitian ..................................................................... 14
1.5 Pertanyaan Penelitian dan Hipotesa .............................................. 16
II. KERANGKA TEORITIS ........................................................ 18
2.12.2
2.2.12.2.22.2.32.2.4
Kerangka Pemikiran .......................................................................Tinjauan Pustaka dan Hasil Studi-studi Terdahulu ......................Teori dan Konsep Kapital dalam Kegiatan Ekonomi .................Kapital Sosial dan Pengembangan Ekonomi Wilayah...................Kapital Budaya dalam Kehidupan Masyarakat.............................Kapital Politik dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat .......
182020253032
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xiii
2.2.5
2.2.6
Sinerji Kapital Ekonomi, Kapital Sosial, dan PotensiSumberdaya Alamiah dalam Pengembangan Agribisnis BerbasisKomunitas .......................................................................................Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Komunitas Lokal dalamPerspektif Teori New Institutionalism ............................................
35
382.2.7 Kualitas Hidup (Quality of Life/QoL) dalam Pengembangan Agribisnis
BerbasisKomunitasBanjar........................................................................................... 542.3 Landasan Teori Studi Representasi Kapital dalam Peningkatan
Kualitas Hidup Komunitas Agribisnis Berbasis Banjar di Bali.. 67
III. METODOLOGI ............................................................................ 69
3.1 Subyek Penelitian (Populasi Penelitian) ........................................................... 703.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 733.3 Metoda Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Penelitian... 74
3.3.1 Metoda Kuantitatif ......................................................... 743.3.2 Pengumpulan data Kualitatif ........................................... 77
3.4 Analisis Data ............................................................................... 803.5 Variabel Penelitian dan Operasionalisasi Konsep ...................... 853.6 ProsesPenelitian .............................................................................................................. 91
IV. KONSTRUKSI SOSIAL KOMUNITAS AGRIBISNISBERBASIS BANJAR DI BULELENG-BALI ........................... 101
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................. 1014.2. Profil Demografi Masyarakat Sanggalangit ................................... 1044.3 Struktur Sosial Masyarakat ............................................................ 1064.3.1 Sistem Perekonomian Masyarakat Sanggalangit ........................... 1064.3.2 Sistem Integrasi dan Religi Masyarakat Sanggalangit ................... 1074.3.3 Sistem Stratifikasi Masyarakat ........................................................ 108
4.4 Dimensi Sejarah dan Konflik dalam Masyarakat ............................ 1104.5 Banjar dan Posisinya dalam Pemerintahan di Propinsi Bali ............ 1124.6 Fleksibilitas Banjar dalam Mewadahi Kebijakan Pembangunan
Pertanian Terpadu di Bali ................................................................ 1204.7.4.8.
Pengembangan Agribisnis Pedesaan Berbasis Banjar ....................Beberapa Isu Pokok dalam Pengembangan Agribisnis ...................
131132
V. KAPITAL DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYATERHADAP KUALITAS HIDUP
137
5.1. Peranan Kapital dalam Peningkatan Kualitas Hidup .................... 138
5.1.1. Kapital Sosial Memiliki Peran Penting Terhadap PeningkatanKualitas Hidup Masyarak................................................................. 144
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xiv
5.1.2. Kapital Budaya Sebagai Faktor Penunjang Kualitas HidupMasyarakat....................................................................................... 150
5.1.3. Kapital Politik dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat....... 153
5.1.4. Dominasi Peran Kapital Ekonomi dalam Peningkatan KualitasHidup .............................................................................................. 155
5.2. Diskusi Temuan Data Lapangan: Persepsi Masyarakat TentangPenguasaan Kapital dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup .. 160
VI. KAPASITAS TRIPARTIT PEMERINTAH-SWASTA-MASYARAKAT DALAM PENINGKATAN PENGUASAANKAPITAL DAN KUALITAS HIDUP (QoL) MASYARAKAT
163
6.1. Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Masyarakan MemainkanFungsi Penting Bagi Peningkatan Penguasaan Kapital...................
163
6.1.1 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Sosial Masyarakat .......... 168
6.1.2 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Budaya ........................... 170
6.1.3 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Politik ............................. 171
6.1.4 Kapasitas Tripartit dan Koproduksi Pemeritah, Swasta, danMasyarakat dalam Penguasaan Kapital Ekonomi ........................ 173
6.2. Integrasi Lingkungan Kebijakan Formal dan In-formal Rulesdalam Peningkatan Kualitas Hidup ................................................. 174
6.3. Keberlakuan Hipotesis (5) dan (6) : Pengaruh Peran Tripartit danKoproduksi Pemerintah-Swasta- Masyarakat Terhadap PenguasaanKapital dan Kualitas Hidup.......................................... 181
6.4 Analisis Jalur Hubungan Antar Variabel Yang MempengaurhiQoL ................................................................................................ 198
VII. DISKUSI TEMUAN PENELITIAN: IMPLIKASI TEORITISDAN IMPLIKASI METODOLOGIS .......................................... 210
7.1. Implikasi Teoritis ............................................................................. 2107.1.1. Persepsi Masyarakat Tentang Penguasaan Kapital dalam Komunitas
Agribisnis Berbasis Banjar, serta Pengaruhnya Terhadap Kualitas HidupMasyarakat. ....................................................................................................................... 210
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xv
7.1.2. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat dalam PeningkatanRepresentasi Kapital ........................................................................ 214
7.1.3. Integrasi Lingkungan Institusional Level Makro dan InformalRules di Level Mikro: Tinjauan Terhadap DimensiCoupling (Keserasian) dan Decoupling (Ketidakserasian) dalamImplementasi Prima Tani ................................................................. 215
7.1.4. Model Peningkatan Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat .................. 2177.2. Implikasi Metodologis ..................................................................... 218
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ........... 221
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xvi
Daftar Tabelhalaman
2.1. MatrikPrinsip-prinsipTeoriNewInstitusional.............................................................. 463.1. Matriks Teknik Pengumpulan dan Sumber Data ............................. 783.2. Matrik Catatan Hasil Wawancara dan Observasi ............................... 803.3. Definisi Operasional Variabel dan Indikator yang Diukur ............. 853.4. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian Berdaasarkan
Data Pretest di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak-Buleleng .......... 943.5. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian Berdasarkan
Data Hasil Survai, di Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak-Buleleng .......................................................................................... 99
4.1. Keadaan Penduduk Desa Sanggalangit Menurut TingkatPendidikan ....................................................................................... 105
4.2. Angkatan Kerja Penduduk Sanggalangit Menurut Jenis MataPencaharian ...................................................................................... 105
4.3. Perkembangan Jumlah Petani dan Kelompok Tani yangBerparisipatif dalam Prima Tani di Desa Sanggalangit 2005-2008................................................................................................... 129
4.4. Posisi Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi 2008 (Rp.Milyar), BPS, Bali. 2008 .............................................................. 135
5.1. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPenguasaan Kapital ......................................................................... 139
5.2. Pengaruh Penguasaan Kapital yang Dipersepsikan Masyarakat,Terhadap Kualitas Hidup............................................................... 141
5.3. Tingkat Kualitas Hidup Responden........................... 142
5.4. Kepercayaan Responden terhadap OrganisasiTerkait.........................................
146
5.5. Kategori Penguasaan Kapital Sosial dalam Masyarakat .................148
5.6. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Sosial dengan KualitasHidup................................................................................................ 149
5.8. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Budaya dengan KualitasHidup ................................................................................................ 152
5.10. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Politik dengan KualitasHidup ..............................................................................................
154
5.11. Kategori Skor Penguasaan Kapital Ekonomi ...............................156
5.12. Crosstab Kategori Penguasaan Kapital Ekonomi dengan KualitasHidup................................................................................................. 157
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xvii
5.13. Kategori Penguasaan Kapital dan Kualitas Hidup Responden ........ 159
6.1. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPenguasaan Kapital .........................................................................
165
6.2. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Sosial ........................... 170
6.3. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Budaya ........................ 171
6.4. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Politik .......................... 172
6.5. Pengaruh Peran Tripartit dan Koproduksi Pemerintah, Swasta danMasyarakat Terhadap Penguasaan Kapital Ekonomi ...................... 174
6.6. Peran Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat MendukungPeningkatan QoL. ..........................................................................
177
6.7. Model Regresi Pengaruh Peran Pemerintah, Swasta, Masyarakat,dan Koproduksi Ketiga Unsur Itu, Terhadap Kualitas Hidup..........
179
6.8. Pengaruh Peran Tripartit dan Ko-Produksi Pemerintah, Swasta,Masyarakat, Representasi Kapital, Terhadap Kualitas HidupMasyarakat........................................................................................ 180
6.9. Peringkat Tingkat Kepentingan Indikator Kualitas Hidup .............. 2066.10 HasilRegresi Variabel Eksogen Terhadap QoLObyektif ................................. 2086.11 HasilRegresi Variabel Eksogen Terhadap QoLSubyektif .................................. 2097.1. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori: Penguasaan Kapital dalam
Masyarakat dan sertaPengaruhnya Terhadap QoL ..............................................213
7.2. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori Peran Tripartit danRepresentasi Kapital ....................................................................... 214
7.3. Tahapan Analisis dan Implikasi Teori ............................................ 2168.1. Matriks Rekomendasi Kebijakan ..................................................... 226
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xviii
Daftar Gambarhalaman
2.1. Kerangka Pemikiran Analisis Kapital dalam Masyarakat danPengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Komunitas AgribisnisBerbasis Banjar, Ditinjau dari PersepsiMasyarakat......................................................................................... 19
2.2. Tahapan Perkembangan Pembangunan Agribisnis(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Sitorus, et.all.2001, h. 3-5)..................................................................................... 37
2.3. Model Interaksi Regulasi Formal (Level Makro) denganOrganisasi (Level Messo)), dan Individu (Level Mikro). (Nee,2005, h.56)....................................................................................... 45
2.4. Model Analisis Sajogyo (1984) mengenai KesejahteraanMasyarakat (Divisualisasikan dengan menyarikan pandanganSitorus,1999 (h. 6) dan Sajogyo, 1985, h. 229) ............................ 57
2.5. Model Analisis Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Castelli, et.all.(2009) h. 111.................................................................................. 58
2.6. Model Hubungan antara Kapital Sosial, Fungsi Negara, danKesejhateraan (Dimodifikasi dari Sumber: Woolcock M, danNarayan D. 2000. Social Capital: Implication for DevelopmentTheory, Research, and Policy. The World Bank ResearchObserver. Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249................................................................................................... 63
2.7. Keterkaitan Kapital Sosial dengan Fungsi Negara (KinerjaPemerintah) dalam Menciptakan Kesejahteraan. Sumber:Woolcock M, dan Narayan D. 2000. Social Capital: Implicationfor Development Theory, Research, and Policy. The World BankResearch Observer. Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249 64
2.8. Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone W dan HughesJ. 2002. Social Capital: Empirical Meaning and MeasurementValidity. Research Papper 27, Australian Institute of FamilyStudies. Melbourne.) ....................................................................... 65
2.9.. Rincian Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone W danHughes J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning andMeasurement Validity. Research Papper 27, Australian Instituteof Family Studies. Melbourne.) ...................................................... 66
3.1. Kerangka Sampling dan Ukuran Penarikan Sampel ........................ 753.2. Hubungan Represenasi Kapital dengan QoL ................................... 813.3. Diagram Hubungan Peran Tripartit dengan Penguasaan Kapital ... 823.4. Peran Tripartit dalam Peningkatan QoL ......................................... 83
3.5. Model Hipotetik Hubungan antara Peran Tripartit dan Koproduksidengan Representasi Kapital dan Kualitas Hidup (QoL).................. 84
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xix
4.1. Peta Kabupaten Buleleng, Bali dan Lokasi Penelitian ................... 1024.2. Peta Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng ............ 1034.3 Struktur Pemerintahan Desa dan Kedudukan Banjar di Bali
(Disarikan dari berbagai sumber, terutama Perda Bali No.06/1986) 1174.4. Multi Fungsi salah satu Balai Banjar di Lokasi Penelitian .............. 1214.5. Pertumbuhan Kelembagaan Pertanian di Sanggalangit................... 1305.1. Kategori Tingkat Kualitas Hidup Masyarakat................................. 1435.2. Penguasaan Kapital Sosial................................................................ 1485.3. Proporsi Penguasaan Kapital Budaya ............................................................ 151
5.4. Penguasaan Kapital Politik dalam Masyarakat................................. 1545.5. Tingkat Penguasaan Kapital Ekonomi dalam Masyarakat .............. 1576.1 Mekanisme Perencanaan Pembangunan Pertanian ......................... 1886.2 Model Hipotetik Kerangka Berpikir Analisis Jalur.......................... 1996.3 Hasil Akhir Analisi Jalur Hubugan Antar Variabel ........................ 203
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
xx
OM A NO BHADRAHKRATAWO YANTU WICWATAH
BRAHMANYA BRAHMAWANDINI SARASWATI
KRIYATE KARAMANA PACCAT (Reg Wedha. I. 89.1)
Semoga semua pikiran yang baik, datangdari segala penjuruSebab pikiran dan pengertian sumber karya yangbaik....
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
1
Universitas Indonesia
BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
1.1.1. Kualitas Hidup (Quality of Life/QoL) Masyarakat.
Fenomena sosial mengenai kondisi kualitas hidup (Quality of Life) merupakan
aspek penting dalam menganalisis kesejahteraan sosial masyarakat. Analisis mengenai
quality of life (QoL) dalam kajian sosiologis bertujuan utuk mengetahui tingkat
kesejahteraan masyarakat, yang dalam studi ini difokuskan pada komunitas banjar1 di Bali.
Menganalisis aspek kualitas hidup masyarakat (QoL) tidak dapat dipisahkan
dari pembahasan mengenai konsep kesejahteraan yang pada intinya
merupakan aspek penting dalam mengukur pertumbuhan suatu negara.
Selama beberapa waktu, Bank Dunia menggunakan tolok ukur pendapatan
perkapita (GNP) sebagai suatu ukuran pokok dari pertumbuhan suatu negara,
sehingga sedemikian fokusnya negara-negara berkembang seperti Indonesia
akhirnya terperangkap dalam orientasi kebijakan pembangunan nasional yang
sangat menekankan aspek pertumbuhan ekonomi melalui target peningkatan
pendapatan perkapita. Pada akhir dekade 1980 an mulai diterapkan tolak ukur
lain dalam memandang tingkat pertumbuhan, yakni dengan menggunakan
tolak ukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh United
Nations Development Program (UNDP) dan disebut sebagai Human
Development Index (HDI). HDI tidak hanya menekankan pertumbuhan suatu
negara dengan menitikberatkan pada capaian pendapatan perkapita (GNP)
melainkan menambahkannya dengan indikator lain berupa usia harapan hidup
(Expextancy of life), dan juga indikator lain berupa angka kematian bayi
1) Banjar secara sosilogis merupakan organisasi sosial tradisi sebagai wadah persekutuan hidup sosialdi Bali, yang beranggotakan sekelompok masyarakat pada suatu kesatuan wilayah tertentu, danmemiliki ikaan tradisi yang sangat kuat terutama untuk mengatur aktivitas pemeritahan, keagamaan,tugas adat, dan aktivitas lainnya termasuk kegiatan ekonomi secara umum berdasarkan kekeluargaandan kebersamaan yang dipimpijn oleh seorang atau lebih pemimpin banjar (prajuru banjar) sesuaidengan peraturan yang berlaku di banjar yang disebut awig-awig banjar. Dalam konteks administrasipemerintahan, banjar ada di bawah desa yang merupakan organisasi pemerintah terendah di bawahcamat (diadaptasi dari Pasal i PERDA Tingkat I Bali No.06/1996; Yasa 1997:20).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
2
Universitas Indonesia
(Infant Mortality Rate/IMR), angka melek huruf atau tingkat literacy dan daya
beli masyarakat. HDI pada dasarnya sejalan dengan ukuran lain dari
pertumbuhan suatu negara dalam mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakatnya dengan menggunakan indeks mutu hidup (IMH) yang
terutama terdiri dari indikator usia harapan hidup dan angka melek huruf.
IMH dikenalkan pertama kali oleh Morris (1979) dan sampai saat ini masih
digunakan Biro Pusat Statstik (BPS) sebagai salah satu aspek pengukuran
tingkat pertumbuhan pembangunan nasional. Studi-studi mengenai QoL
umumnya banyak disponsori oleh World Bank, yang lebih difokuskan untuk mengukur
keberhasilan operasionalisasi kebijakan-kebijakan publik. Pada pekerkembangannya,
tingkat kesejahteran tidak hanya diukur berdasarkan indikator fisik, melainkan
telah mulai digagas mengenai indikator non fisik seperti peran kebijakan
negara maupun ketersediaan potensi kapital, terutama kapital sosial (Castelli,
et.all, 2009; Dasgupta, 1999).
Realitas sosial yang ada saat ini menunjukkan adanya gejala semakin
sulitnya masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya, terutama
masyarakat marjinal yang sebagian besar tinggal di pedesaan, dan
kehidupannya masih sangat tergantung dari sektor pertanian. Di Indonesia,
saat ini ditengarai bahwa dinamika pembangunan dan pengembangan sektor
pertanian, termasuk didalamnya sub sektor agribisnis belum menampakkan
hasil yang memadai, serta pada beberapa wilayah bahkan cenderung
mengalami stagnasi, sehingga peningkatan kualitas hidup masyarakat petani
relatif masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Melemahnya
eksistensi pembangunan agribisnis dalam mendukung perekonomian
wilayah yang tentunya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, sesungguhnya menunjuk pada suatu masalah sosiologis yang
sangat mendasar, yaitu semakin terpinggirkannya komunitas agribisnis dalam
mendukung pembangunan sektor pertanian yang pernah sedemikian eksis. Di
Bali misalnya, sektor pertanian pernah sedemikian mendominasi kontribusi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
3
Universitas Indonesia
sektoral terhadap pendapatan daerah dan kesempatan kerja, yang diantaranya
didukung organisasi tradisi subak dan banjar yang dikenal bergerak dalam
kegiatan sektor pertanian. Akan tetapi sejak beberapa dekade terakhir hingga
saat ini, pertanian ditenggerai tak berdaya didesak arus perubahan budaya
agraris ke manufaktur dan jasa, terutama dengan pesatnya pertumbuhan sektor
pariwisata. Oleh karena itu, dinamika pembangunan saat ini lebih berorientasi
pada sinergi peran pemerintah yang didukung segenap elemen pembangunan
termasuk peran swasta dan tentunya dukungan partisipasi masyarakat.
1.1.2. Peran Tripartit (Pemerintah –Swasta –Masyarakat) dan DinamikaPembangunan Pertanian Nasional.
Pemerintah dalam hal ini Badan Litbang Pertanian khususnya dan
Departemen Pertanian pada umumnya telah berupaya untuk memfasilitasi
pembangunan pertanian nasional, termasuk didalamnya pengembangan sistem
dan usaha agribisnis yang juga merupakan program utama pembangunan
pertanian disamping program peningkatan ketahanan pangan dan program
peningkatan kesejahteraan petani (RPJM Deptan 2005-2009:45-46). Secara
implisit, senyatanya program itu dimaksudkan untuk mengembangkan sistem
dan usaha agribisnis, termasuk didalamnya aspek pemberdayaan potensi lokal
(local resource based), tentunya termasuk potensi lokal komunitas banjar di
Bali yang sebagian besar masih tergantung pada sektor pertanian. Dalam
kerangka operasional, sejak tahun 2005 telah diimplementasikan kegiatan
Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Pertanian yang
selanjutnya disebut Prima Tani. Prima Tani merupakan salah satu upaya
untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan hasil inovasi pertanian kepada
masyarakat pengguna dalam rangka memacu adopsi inovasi di tingkat petani.
Pada dasarnya keberhasilan pembangunan melalui introduksi program
pemerintah (supra sistem) dan keberlanjutannya (sustainability) pada
komunitas agribisnis (sistem sosial) dipengaruhi oleh realitas sosial pada aras
lokal, termasuk representasi kapital dalam komunitas bersangkutan. Saat ini
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
4
Universitas Indonesia
ada kecendrungan bahwa fasilitasi pemerintah sebagai representasi “state”
belum sepenuhnya berhasil, yang antara lain disebabkan karena kurang
terintegrasinya arah kebijakan dengan kondisi wilayah. Pemanfaatan
organisasi sosial tradisi seperti subak ataupun banjar misalnya yang eksis di
Bali, belum diberdayakan secara optimal. Demikian juga halnya dengan
peran swasta dalam pembangunan pertanian, masih relatif kurang memadai
dalam hal investasinya pada sektor swasta maupun upaya pengembangan
perannya dengan pihak masyarakat, terutama perannya dalam mendukung
pelaksanaan Prima Tani.
Prima Tani pada dasarnya merupakan strategi baru dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi Badan Litbang Pertanian. PRIMA
TANI dirancang melalui proses yang cukup panjang dan konsisten (konsep
dirancang sejak tahun 2004), serta secara kontinu dilakukan berbagai
penyempurnaan yang disesuaikan dengan perkembangan di lapangan dan
dinamika kebijakan di Departemen Pertanian. Implementasi di lapangannya
sendiri dimulai pada tahun 2005, pada 22 lokasi/desa yang meliputi 14
provinsi. Pada tahun 2006, program ini diperluas di 11 lokasi/desa pada 11
provinsi, dan pada tahun 2007 program ini dilaksanakan di 33 propinsi
tersebar di 201 lokasi/desa pada 200 kabupaten/kota, termasuk di Bali2.
Dengan demikian diharapkan beberapa target pembangunan pertanian seperti
peningkatan PDB sebesar 4,2% dan pencapaian nilai tukar petani menjadi 110
pada taun 2008, bisa diwujudkan3.
Studi ini akan menjadi menarik apa bila berhasil menjelaskan dan
memberikan implikasi kebijakan dalam mengembangkan pembangunan
2) PRIMA TANI direncanakan dan diimplementasikan secara partisipatif dengan sistem BOT (build –operate –transfer) dalam satu desa/kecamatan atau Laboratorium Agribisnis Lapangan, denganmenggunakan lima pendekatan, yaitu (i) agro-ekosistem, (ii) agribisnis, (iii) wilayah, (iv)kelembagaan, dan (v) pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Resultan dari kelima pendekatandi atas, selama 3 sampai 5 tahun, salah satunya adalah terciptanya suatu Sistem UsahataniIntensifikasi dan Diversifikasi (SUID) yang juga sesuai dengan agroekosistem (Badan LitbangPertanian, 2005)
3) Target pembangunan pertanian 2008, seperti yang dikemukakan Menteri Pertanian dalam wawancaradengan AGRO OBSERVER No.9 Tahun I. Agustus 2007.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
5
Universitas Indonesia
pertanian berbasis komunitas, melalui pemberdayaan sumber-sumber sosial
terutama kapital yang bertalian erat dengan performa kualitas hidup masyarakat.
Selama ini, sebagian besar kajian atau penelitian terdahulu mengenai kapital
yang dilakukan di Indonesia didominasi oleh analisis mengenai kapital sosial.
Itu pun masih belum ada yang memfokuskan pertalian antara peran kebijakan
negara, dukungan swasta dan masyarakat, representasi kapital, dan aspek
kualitas hidup sebagai salah satu indikator penting kesejahteraan masyarakat.
Peran negara dalam pengembangan komunitas agribisnis berbasis
banjar di Bali, dapat didekati dengan mencermati pandangan dari hasil studi
Papanek (2006) mengenai adanya peran kebijakan negara dalam mendorong
perkembangan usaha di Bali, khususnya perkembangan industri pakaian jadi
yang didukung kebijakan yang kondusif. Keberhasilan kebijakan negara itu
ditandai dengan meningkatkan jumlah pengusaha, nilai ekspor, dan jumlah
alokasi kredit bank dalam sektor itu, yang bahkan dilakukan dengan tidak
menerapkan kebijakan subsidi bagi pengusaha lokal pakaian jadi di Bali. Hal
ini dipandang sebagai refleksi peran yang semakin baik antara pemerintah
dengan swasta, selain dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap
proses pembangunan. Oleh karena itu, studi mengenai bagaimana peran
kebijakan negara, swasta dan masyarakat dalam mendukung perkembangan
usaha agribisnis di Bali juga perlu dilakukan, terutama dengan mengkaji
pertaliannya dengan representasi kapital sebagai upaya meningkatkan
peluang terjadinya peningkatan kesejahteraan komunitas agribisnis, sesuai
dengan salah satu program Departemen Pertanian yang tercantum dalam
Renstra Deptan 2004-2009.
Studi yang memfokuskan kapital dalam masyarakat dan pengaruhnya
terhadap kualitas hidup, tentunya akan lebih lengkap jika ditambahkan
analisis peran tripartit (pemerintah – swasta – masyarakat) dalam
pembangunan. Menurut Bourdieu dalam Richardson 1986, terdapat empat
jenis kapital yang menentukan posisi setiap agen (individu) yakni kapital
ekonomi, berupa tingkat kepemilikan atas kekayaan dan pendapatan,
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
6
Universitas Indonesia
kemudian kapital sosial berupa jaringan sosial, lantas kapital budaya berupa
kepemilikan atas benda-benda materiil yang menentukan juga prestise agen
atau individu, dan terakhir kapital simbolik yang lebih memberikan legitimasi
atas posisi individu. Bisa saja terjadi keragaman tingkat ketersediaan kapital
diantara individu, kelompok, atau dalam komunitas tertentu, yang didominasi
oleh kontribusi salah satu kapital yakni kapital sosial, kapital ekonomi, kapital
budaya, ataupun kapital simbolik. Aspek ini tentunya menjadi pertimbangan
tersendiri, bagi pelaksanaan studi ini yang berbeda dari hasil studi
sebelumnya, yakni dengan menekankan bagaimana peran masing-masing
kapital dalam memberi peluang bagi komunitas agribisnis untuk memperoleh
kesempatan melakukan peningkatan kesejahteraan, dengan dukungan peran
pemerintah, swasta, dan potensi komununitas lokal.
Oleh karena itu, penelitian ini akan lebih menyoroti pentingnya peran
kapital-kapital dalam implementasi suatu program pembangunan introduksi
supra system yang didukung peran kebijakan pemerintah, swasta, maupun
pemberdayaan masyarakat petani dan potensi lokalnya. Hal ini diyakini ada
pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan yang diindikasikan dengan
meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Realitas ini relevan untuk dikaji,
apa lagi jika kita menyelami adanya kecendrungan semakin terdesaknya
sektor pertanian dalam pembangunan wilayah Bali. Bali sebagai wilayah
yang memiliki berbagai kekhasan dibanding wilayah lain di Indonesia,
memerlukan terobosan-terobosan baru dalam mengatasi kemandegan
pembangunan pertanian. Setidaknya, mengembangkan agribisnis dengan
memperhatikan keseimbangan (equality) pembangunan antar sektor dan
pemanfaatan sumberdaya lokal sebagai katalisator pencapaian tujuan
pembangunan ekonomi, pada akhirnya akan dapat membuka peluang
sumberdaya lokal salah satunya sering dicermati dengan mempertimbangkan
sistem sosial masyarakat yang menyangkut aspek struktur dan kultur
masyarakat. Pada kontkes ini, aspek struktural masyarakat di Bali umumnya
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
7
Universitas Indonesia
dikenal memiliki kekhasan dalam sistem pelapisan masyarakatnya, yakni
secara tradisional didasari sistem kasta yang hingga kini masih menjadi dasar
sistem stratifikasi sosial yang spesifik dan relatif tertutup. Sementara aspek
kultur masyarakat Bali pun memiliki kekhasan karena sedemikian kuatnya
kelekatan nilai-nilai budaya masyarakat dengan agama Hindu yang dianutnya,
dan juga sistem sosial tradisional banjar yang sangat lekat dengan kehidupan
masyarakat Bali.
Saat ini mesti disadari bahwa perhatian terhadap masalah peningkatan
kualitas hidup masyarakat masih belum menemukan pijakan yang sesuai
dengan dinamika pembangunan dan dinamika lingkungan strategis
pembangunan nasional. Hal ini tercermin dari rendahnya ranking Indonesia
dalam hal kondisi kualitas hidup masyarakatnya. Diantara beberapa lembaga
internasional yang berkompeten dalam merelease ranking kualitas hidup
negara-negara di dunia, UNDP (United Nations Development Program)4
bahkan menempatkan ranking Indonesia pada urutan ke 111 yakni di bawah
angka seratusan dari 195 negara. Diantara negara-negara ASEAN Indonesia
berada dibawah ranking Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina, dan
bahkan di bawah ranking Vietnam. Oleh karena itu studi-studi empiris
mengenai kesejahteraan yang lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup
masyarakat relatif perlu dilakukan secara lebih intensif guna mendukung
pengambilan keputusan dalam menetapkan dan implementasi kebijakan
peningkatan kesejahteraan. Secara regional, untuk wilayah Bali ternyata
kesejahteraan masyarakatnya yang diindikasikan melalui angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) menempatkan Bali pada kelompok wilayah
propinsi yang memiliki angka IPM pada urutan sedang. Akan tetapi secara
nasional peringkat Bali pada tahun 2002, 2004, dan 2005 mengalami
penurunan dari perigkat 9 ke peringkat 15. Hal ini mencerminkan menurunya
perhatian dan kemauan politik dalam menerapkan kebijakan pembangunan di
4) Ranking Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2009, yang direlease UNDP perAgustus 2009 (http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_Human_Develop_Index)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
8
Universitas Indonesia
wilayah propinsi Bali (BPS, 2009). Aspek ini sudah selayaknya dan perlu
mendapat perhatian serius mengingat adanya kecendrungan semakin
menurunnya PDRB di Bali.
Berdasar data BPS yang dituangkan pada “Statistik Indonesia Tahun
2007”, kontribusi pertanian Bali dalam PDRB selama hampir empat
dasawarsa merosot tajam dari 59,3 persen (1971), menjadi 21,5 persen (2006).
Sebaliknya penduduk yang menggantungkan hidup di sektor ini justru naik
dari 466.226 orang pada tahun 1971, menjadi 643.396 pada tahun 2006 yang
merupakan prosentase tertinggi (60,21%) dibandingkan dengan angkatan
kerja di sektor lain yakni perdagangan (14,68%), jasa (10,99%), industri
(10,89%), dan jasa kemasyarakatan (3,23%). Fakta ini bisa disejajar-
maknakan bahwa pengangguran dan kemiskinan, potensial terjadi di Bali. Jika
pertanian dipandang dari aspek fungsi dan kontribusinya terhadap PDRB
Bali, terlihat memang berkecendrungan menurun.
Pada sisi lain seringkali pembangunan sumberdaya sosial dan
dukungan lingkungan kebijakan (policy environment) yang berupa dukungan
regulasi (formal rules) dan dukungan politik pertanian masih kurang
memadai, yang mengakibatkan lemahnya persediaan sumber-sumber sosial
sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas. Pembangunan pertanian
ataupun pengembangan agribisnis seperti abai pada kenyataan bahwa banyak
orang yang menggantungkan diri pada sektor pertanian yang tidak diimbangi
ketersediaan lahan. Dengan demikian studi ini sekali lagi ingin mendalami
pentingnya peran kapital yang diikuti peningkatan peran pemerintah-swasta-
masyarakat dalam pembangunan pertanian, sehingga penelitian ini diharapkan
dapat menjadi rintisan dalam pengembangan pertanian di Bali, sebagai salah
satu upaya dalam menigkatkan inklusi sosial dan peluang terbukanya kualitas
hidup komunitas agribisnis. Celah ini tersedia dan diamanatkan dalam UU.
No.32 tentang pemerintahan daerah yang mengamanatkan bahwa efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan
lebih memperhatikan peningkatan peluang bagi pemerintah daerah untuk
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
9
Universitas Indonesia
mengembangkan peran dengan pihak swasta maupun masyarakat setempat,
guna tercapinya tujuan pembangunan yang bermuara pada pencapaian kualitas
hidup masyarakat yang semakin meningkat.
1.2 Pokok Permasalahan.
Perkembangan terakhir mengenai pembangunan wilayah di Bali
menunjukkan gejala memudarnya sistem dan usaha agribisnis. Gejala itu
diyakini sebagai akibat dari adanya kecendrungan in-equality pengembangan
sektor-sektor pembangunan. Ketidakmerataan pengembangan antar sektor
ditunjukkan dengan timpangnya pertumbuhan sektor pertanian dan non
pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian adalah yang terendah (2,49%)
dibandingkan sektor lainnya yang tumbuh di atas 6%5). Rendahnya
pertumbuhan sektor pertanian menegaskan adanya gejala semakin tedesaknya
komunitas agribisnis pedesaan. Memudarnya pengembangan pertanian antara
lain juga ditengarai sebagai akibat dari adanya gejala negasi gerakan sosial
dalam pengembangan agribisnis. Negasi gerakan sosial tampak dalam hal
kurang memadainya dukungan pihak swasta maupun belum optimalnya
pemberdayaan potensi lokal, dalam implementasi kebijakan pembangunan
pertanian.
Saat ini, model-model pemberdayaan masyarakat yang pernah
diimplementasikan belum sepenuhnya berhasil menggerakan sistem dan usaha
agribisnis. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya kecenderungan
untuk mempertahankan orientasi kebijakan pembangunan yang terlalu fokus
pada aspek pertumbuhan ekonomi tanpa mencermati peran yang semestinya
difasilitasi oleh negara dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Target-target
yang terukur merupakan hal yang niscaya mesti dicapai, sehingga kebijakan
pembangunan daerah di Bali cenderung mengabaikan keseimbangan antar
sektor sebagai akibat dari kurang tegasnya arah politik pertanian, bahkan
5). BPS Propinsi Bali, 2007. Tinjauan Perekonomian Bali 2007.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
10
Universitas Indonesia
terlalu fokus pada sektor tertentu khususnya pariwisata. Pada sisi lain
terdapat kecendrungan lemahnya sistem pendukung usaha agribisnis dalam
hal penciptaan akses dan kesempatan untuk penguasaan jenis kapital,
terutama kapital sosial, kapital budaya, dan kapital politik, selain kapital
ekonomi. Lemahnya dukungan lingkungan kebijakan pemerintah (policy
environment) dan belum optimalnya dukungan sektor swasta dalam
pemberdayaan potensi kelembagaan dan organisasi sosial tradisi dalam
pengembangan agribisnis, akhirnya bermuara pada rendahnya akses bagi
komunitas agribisnis dalam menguasai kapital. Selain itu ketersediaan ruang
bagi inklusi sosial dalam penguasaan kapital belum mendapat perhatian yang
memadai. Rendahnya penguasaan kapital dalam masyarakat, akan berdampak
kepada semakin stagnannya produktivitas masyarakat. Gejala ini
menyebabkan timbulnya masalah dalam hal pencapaian peningkatan kualitas
hidup masyarakat. Untuk menjawab bagaimana realita yang sesungguhnya
terkait dengan fenomena itu, maka studi ini difokuskan untuk dapat
memberikan gambaran sosial tentang penguasaan kapital dalam masyarakat
dan kualitas hidup komunitas agribisnis di pedesaan, dikaitkan dengan
integrasi lingkungan kebijakan (policy environment) dengan informal rules di
level messo maupun aktor pelaku agribisnis.
1.3 Pernyataan Tujuan Penelitian.
Mengacu pada latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah
dikemukakan maka the purpose statement penelitian ini dimaksudkan
sebagai studi yang memusatkan analisis terhadap keterkaitan peran kapital
dalam masyarakat yang erat pertalianya dengan kebijakan negara (policy
environment), peran swasta, dan potensi lokal dan pengaruhnya terhadap
pencapaian peningkatan kualitas hidup (QoL) komunitas agribisnis berbasis
banjar di Bali. Hal ini ditengarai kuat pertalianya dengan aspek kultural
masyarakat Bali. Studi ini dilandasi teori kelembagaan baru (New
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
11
Universitas Indonesia
Institutionalism) dari Victor Nee (2005), yang mengemukakan pentingnya
integrasi kebijakan negara sebagai formal rules di level makro dengan
informal rules, yakni kelembagaan dan organisasi sosial di level messo, serta
pertaliannya dengan preferensi indigenous kelompok masyarakat ataupun
aktor di level mikro. Kebijakan dan peraturan formal dalam pengembangan
agribisnis merupakan suatu kondisi yang disebut lingkungan institusional
(institutional environment). Lingkungan institusional itu mendorong kegiatan
ekonomi dalam sistem agribisnis yang dilandasi relasi sosial, dan membentuk
perilaku ekonomi aktor atau kelompok pelaku agribisnis. Pada kondisi ideal,
perilaku ekonomi aktor didasari oleh adanya kepercayaan bersama, norma,
nilai dan pertauran-peraturan informal yang mengarahkan pelaku ekonomi
mengejar kepentingan melalui sistem dominan yang berbasis elemen formal.
Intinya, Nee (2005) mengemukakan pertautan antara lingkungan institusioanal
dengan relasi informal yang mengikat tindakan aktor dalam mengejar
keuntungannya disebut dengan kerangka institusional. Dalam kerangka
analisis keterkaitan peran tripartit pemerintah-swasta-masyarakat dengan
representasi kapital dalam masyarakat, maka studi ini juga menerapkan teori
yang dikemukakan oleh Svendsen & Svendsen (2003) tentang
“Bourdieuconomics”, yakni teori Bourdieu yang mengembangkan konsep
kapital secara lebih luas. Kapital tidak hanya mencakup kapital berbentuk
material, tetapi juga non material dalam kegiatan ekonomi.
Bourdiecomonomics terkait dengan konsep tentang ranah (field), dan habitus
dalam menganalisis praktik sosial. Hubungan antara peran negara,
representasi kapital, sistem stratifikasi sosial dan kualitas hidup masyarakat
pelaku agribisnis juga relevan dengan salah satu pandangan yang
dikemukakan oleh Castelli, et.all (2009) yang mengemukakan bahwa kualitas
hidup juga ditentukan oleh adanya hubungan antara kapital sosial, kebijakan,
dan pelayanan publik.
Studi ini merupakan penelitian yang bersifat multi level yang terfokus
pada dua tataran perhatian, yakni tataran kebijakan dan tataran operasional-
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
12
Universitas Indonesia
empiris. Pertama, dalam kerangka operasional penelitian yang dimaksudkan
untuk menjawab pertanyaan studi, maka tataran kebijakan dianalisis melalui
pengumpulan data kualitatif, dengan menggali gambaran mengenai proses
ataupun gejala mengenai integrasi lingkungan kebijakan (formal rules) yang
meliputi peraturan perundang-undangan dalam konteks pembangunan
agribisnis, informal rules dan preferensi kelompok individu anggota
komunitas agribisnis berbasis banjar serta mengkaitkanya dengan peran
swasta.
Kedua, pada tataran empiris yang lebih jauh dimaksudkan untuk
menganalisis hubungan antara kapital dalam masyarakat didukung peran
tripartit pemerintah-swasta-masyakat sebagai variabel eksogen dengan tingkat
kualitas hidup masyarakat komunitas agribisnis berbasis banjar. Peran
tripartit pemerintah-swasta-masyarakat ditentukan oleh indikator yang
meliputi peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis yang meliputi
persepsi masyarakat terhadap: inovasi teknologi pertanian, kebijakan subsidi,
anggaran, dan dukungan politik; peran swasta mencakup investasi, dukungan
kredit usahatani, dukungan penyediaan sarana produksi, dan pemasaran yang
dikembangkan; serta peran masyarakat yang ditentukan dengan
mempertimbangkan persepsi masyarakat anggota banjar terhadap aspek
potensi banjar yang terdiri dari potensi fisik, potensi nilai-nilai, dan potensi
kepemimpinan dalam banjar, serta partisipasi masyarakat. Sedangkan
representasi kapital ditentukan berdasarkan persepsi penguasaan anggota
komunitas agribisnis terhadap: (i) kapital sosial berupa networks (jaringan
sosial) yang direpresentasikan dengan menggunakan indikator relasi
kepentingan, relasi sentimen, relasi power, dan juga adanya peran indikator
structural holes serta potensi organisasi (terutama organisasi sosial tradisi)
dalam komunitas agribisnis; (ii) Kapital budaya yang ditentukan indikator-
indikator dari dimensi manusia (embodied state) yang melekat pada aktor,
seperti halnya kasta pada masyarakat Bali; dimensi obyek, yakni berupa
karya yang dihasilkannya sebagai kekhasan aktor berdasarkan keahliannya
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
13
Universitas Indonesia
(sangging, pande, undagi, dan sebagainya yang dikenal turun temurun oleh
masyarakat Bali) dan dimensi institusional ; (iii) Kapital Politik yang terdiri
dari dominasi relasi produksi, meritokrasi, legitimasi, dan komitmen politik;
serta (iv) Kapital ekonomi yang ditentukan berdasarkan indikator penguasaan
modal finansial, daya enterpreneurship (kewirausahaan, profesionalisme, dan
keterampilan). Adapun variabel indogen atau variabel dependent yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain adalah kualitas hidup (QoL) yang
ditentukan berdasarkan indikator-indikator obyektif berdasarkan pendekaan
model “Scandinivian Level of Living” yang menekankan kondisi obyektif
kualitas hidup berdasarkan pendapatan, tingkat pendidikan, status okupasi
yang dicermati melalui indikator peluang kerja dan berusaha, relasi sosial,
kemanan sosial (Noll, 2002) serta dengan mempertimbangkan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia (basic needs approach) secara obyektif yang
meliputi: kebutuhan primer (pangan, sandang, dan papan), akses pada
pelayanan publik (ketersediaan air minum, sanitasi, dan fasilitas kesehatan
atau yang sering dinyatakan sebagai morbiditas), serta aspek partisipasi di
level komunias lokal maupun pada level politik secara nasional. Selain itu,
kualitas hidup (QoL) juga didekati dengan menganalisis indikator-indikator
persepsi aktor yang melingkupi persepsi kebahagiaan, makna hidup, kualitas
lingkungan, kualitas religius, dan persepsi mengenai mobilitas vertikal.
Selain itu QoL juga ditentukan berdasarkan indikator makro berupa angka
kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR) dan angka harapan hidup bayi satu
tahun. Mengacu pada perumusan masalah penelitian maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis persepsi masyarakat dalam hal penguasaan
kapital dan pengaruhnya terhadap pencapaian peningkatan
kualitas hidup komunitas agribisnis berbasis banjar.
2. Mendiskripsikan persepsi masyarakat mengenai kualitas hidup
komunitas agribisnis berbasis banjar.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
14
Universitas Indonesia
3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang peran tripartit dan
koproduksi pemerintah-swasta-masyarakat serta pengaruhnya
terhadap peningkatan penguasaan kapital.
4. Menganalisis persepsi masyarakat tentang peran tripartit dan
kopoduksi pemerintah-swasta-masyarakat dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat.
1.4 Signifikansi Penelitian.
1.4.1. Manfaat PenelitianSecara Akademis
Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan teori sosiologi khususnya pengembangan teori-
teori “sosiologi ekonomi pertanian”yang terkait dengan representasi kapital
dalam masyarakat dan performa kualitas hidup masyarakat. Studi ini juga
diharapkan mampu menggali dan menghasilkan status terkini (state of the art)
perkembangan sosial masyarakat pedesaan terutama aspek penguasaan kapital
dan kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan dengan kualitas hidupnya
sebagai dampak atas dinamika hubungan sosial yang melekat (embedded)
dengan struktur ekstra lokal, termasuk dalam hal ini peran negara
(pemerintah), swasta (korporasi dan pasar), serta peran masyarakat yang
ditekankan pada peran potensi komunitas lokal.
Pemikiran tentang perlunya analisis tentang peran pemerintah, swasta,
dan masyarakat dalam pembangunan, memberikan landasan pemikiran bagi
studi ini dalam menggambarkan bagaimana peran ketiga elemen
pembangunan itu berkontribusi dalam meningkatkan representasi kapital
sosial, kapital budaya, kapital politik, dan kapital ekonomi, yang bermuara
pada terjadinya peningkatan kualitas hidup (QoL) masyarakat. Selain itu,
pemikiran mengenai pentingnya integrasi lingkungan kebijakan (policy
environment) pada tataran makro dengan informal rules berupa kelembagaan
informal pada tataran messo, serta integrasinya dengan preferensi indegenus
ataupun kebutuhan individu anggota masyarakat, seperti yang dikemukakan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
15
Universitas Indonesia
oleh Nee (2005). Dengan demikian signifikansi studi ini dibidang sosiologi
ekonomi diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam hal memperkaya
konsep tentang hubungan dan integrasi peran-peran ketiga elemen
pembangunan, yakni pemerintah-swasta- masyarakat, dengan memfokuskan
analisis pada peran banjar sebagai kelembagaan lokal dapat bersinergi dengan
peran yang dimainkan pemerintah maupun swasta dalam pengembangan
agribisnis. Umumnya studi-studi terdahulu menekankan peran pemerintah
dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Akan tetapi disertasi ini ingin
mengemukakan pentingnya integrasi peran secara proporsional dan bersifat
spesifik lokasi bagi tumbuh-kembangnya keberadaan kapital-kapital dan
pertalianya dengan kualitas hidup masyarakat agribisnis di pedesaan. Lebih
lanjut, disertasi ini juga ingin mempertajam pandangan bahwa kapital fisik
dalam perspektif ekonomi tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena
kualitas hidup masyarakat, tanpa membahas secara lebih detail peran kapital
sosial, kapital budaya, dan kapital simbolik (dalam studi ini disebut sebagai
kapital politik), seperti yang digagas oleh Svendsen & Svendsen (2003)
mengenai “Bourdieunomics”, yakni gagasan Bourdieu (1986) tentang
reformulasi kapital.
Selanjutnya, terdapat pemikiran lain yang melandasi studi ini berupa
temuan dari studi Castelli (2009) mengenai pentingnya peranan kebijakan
(policy context), kapital sosial, dan organisasi pelayanan publik dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pada konteks itu, studi ini ingin
menjelaskan bahwa selain kapital sosial, jenis kapital lainnya juga memainkan
peranan yang penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.
1.4.2. Aspek Kebijakan
Berlandaskan pengetahuan tersebut di atas diharapkan proses
perumusan kebijakan pembangunan pertanian yang lebih akurat dan
transformatif, menjadi semakin mungkin diwujudkan. Disertasi ini diharapkan
mampu memberikan signifikansinya, terutama dalam membantu pemerintah
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
16
Universitas Indonesia
pusat maupun daerah memformulasikan bentuk-bentuk intervensi kebijakan
peningkatan kapital dalam masyarakat yang bermuara pada tercapainya
peningkatan kualitas hidup masyarakat, dengan mempertimbangkan dan
mencermati sistem sosial yang spesifik lokal. Hal tersebut akan mendukung
berlangsungnya proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan program
pembangunan pertanian yang lebih efektif dan lebih tepat sasaran. Secara
khusus, ketersediaan data dan informsi tentang model pemberdayaan
masyarakat dengan penguatan sinerji dari representasi kapital, diharapkan
dapat menjadi landasan bertolak bagi pihak-pihak yang akan menjalankan
peranan sebagai fasilitator dalam perumusan atau pelaksanaan program-
program pembangunan komunitas agribisnis dengan tetap mempertimbangkan
integrasi peran tripartit pemerintah-swasta-masyarakat.
1.5 PertanyaanPenelitiandan Hipotesis.
Mencermati sedemikian kompleksnya permasalahan pembangunan
pertanian dikaitkan dengan aspek perubahan sosial yang didasari perspektif
sosiologis yang ada, maka unit analisis pada penelitian ini dibatasi pada
komunitas petani berbasis banjar. Komunitas agribisnis di lokasi penelitian
yakni di Desa Sanggalangit-Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng saat
ini mendapat perhatian sebagai lokasi program rintisan percepatan
pemasyarakatan inovasi pertanian (PRIMA TANI) dari Badan Litbang
Pertanian, DEPTAN. Oleh karena itu, studi ini dilandasi oleh pertanyaan
penelitian (grand research question): “Apakah penguasaan kapital dalam
masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup komunitas, dikaji dari peran
tripartit pemerintah, swasta, dan potensi komunitas lokal dalam
pengembangan agribisnis berbasis banjar, ditinjau dari persepsi
masyarakat?”. Lebih lanjut, menunjuk pada kerangka pemikiran penelitian
yang dibangun, serta berdasarkan pertanyaan pokok penelitian (grand
research question) tersebut di atas, maka pertanyaan yang lebih spesifik
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
17
Universitas Indonesia
berupa hipotesa yang disusun dalam pelaksanaan penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Kuatnya penguasaan kapital sosial yang dipersepsikan masyarakat,
memainkan peranan yang penting bagi peningkatan kualitas hidup
(QoL) komunitas agribisnis.
2. Semakin tinggi penguasaan kapital budaya yang dipersepsikan
masyarakat, maka semakin baik juga kualitas hidup masyarakat.
3. Kuatnya kapital politik yang dipersepsikan masyarakat, akan
meningkatkan kualitas hidupnya.
4. Persepsi masyarakat tentang penguasaan kapital ekonomi sangat
menentukan tingkat kualitas hidup masyarakat.
5. Peran tripartit pemerintah-swasta-komunitas lokal yang dipersepsikan
masyarakat, memainkan fungsi penting bagi peningkatan representasi
kapital dalam komunitas agribisnis berbasis banjar.
6. Persepsi masyarakat mengenai kuatnya peran tripartit pemerintah-
swasta-komunitas lokal, akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
18
Universitas Indonesia
BAB 2
KERANGKA TEORITIS
2.1. Kerangka Pemikiran
Pada tataran empiris, kapital yang diperlukan dalam proses produksi
pertanian tidak hanya mencakup kapital yang bersifat fisik seperti
sumberdaya alam (natural capital), human capital, serta kapital finansial,
tetapi juga kapital yang bukan berwujud material. Sumberdaya material
belum cukup memadai dalam menjelaskan fenomena pembangunan, termasuk
pembangunan pertanian. Terdapat keterbatasan individu dalam penguasaan
sumber-sumber produksi berupa kapital ekonomi yang bersifat material,
terutama penguasaan sumberdaya lahan, modal finansial dan teknologi,
sehingga diperlukan upaya untuk memberdayakan potensi kapital yang lain
seperti kapital sosial, kapital budaya, dan kapital politik yang tumbuh dan
berkembang dalam setiap individu, kelompok ataupun masyarakat. Dengan
demikian, secara relatif terdapat kecendrungan penguasaan kapital-kapital
yang tersedia akan menciptakan peluang pencapaian peningkatan
kesejahteraan yang dapat diindikasikan melalui peningkatan kualitas hidup
(QoL) komunitas agribisnis berbasis banjar di Bali.
Gejala semakin meningkatnya motivasi masyarakat petani dalam
mengembangkan agribisnis, senyatanya sangat terkait dengan dukungan
ataupun peran pemerintah, swasta, dan potensi lokal yang ada. Peran tripartit
pemerintah-swasta-masyarakat dalam pembangunan, khususnya
pengembangan agribisnis diyakini memainkan peranan penting dalam
meningkatkan atau memperkuat representasi kapital dalam masyarakat.
Sementara, peningkatan penguasaan kapital dalam masyarakat akan bermuara
pada tumbuhnya peluang untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas
agribisnis. Pada konteks kemitraan peran tripartit itu, maka aspek koproduksi
antar tiga elemen pembangunan tersebut juga memiliki kecendrungan
mendukung penguasaan kapital dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Disamping itu, integrasi kebijakan pada tataran makro berupa lingkungan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
19
Universitas Indonesia
kebijakan (policy environment) dengan informal rule di level messo, serta
pertaliannya dengan preferensi indigenous kelompok masyarakat ataupun
aktor di level mikro merupakan aspek yang cukup berperan dalam
operasionalisasi pengembangan agribisnis berbasis komunitas banjar.
KAPITALSOSIAL(SOCIAL NETWORKS ):
KAPITALBUDAYA(CULTURAL CAPITAL ):
KAPITALPOLITIK(POLTICAL CAPITAL ):
KAPITALEKONOMI(ECONOMIC CAPITAL ):
KUALITASHIDUP/QualityofLife (QoL)
- Obyektif
POTENSILOKALSWASTAPEMERINTAH
- Subyektif
KAPITAL:
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Analisis Kapital dalam Masyarakat danPengaruhnya Terhadap Kualitas Hidup Komunitas AgribisnisBerbasis Banjar, Ditinjau dari Persepsi Masyarakat.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
20
Universitas Indonesia
2.2. Tinjauan Pustaka dan Hasil Studi-studi Terdahulu.
2.2.1. Teori dan Konsep Kapital dalam Kegiatan Ekonomi.
Pada umumnya konsep kapital sangat dekat kaitannya dengan sistem
produksi dalam kegiatan ekonomi. Konsep kapital mulai meluas setelah
merebaknya studi-studi mengenai kapital sosial yang banyak dilakukan dan
dikaitkan dengan bidang sosial dan politik, ataupun pembangunan secara
umum, seperti yang dilakukan oleh Bourdieu, Putnam, dan Coleman, yang
dikenal sebagai penggagas utama teori kapital sosial yang dikaikan dengan
teori pilihan rasionalnya, serta pada beberapa dekade terakhir juga giat
didukung oleh studi-studi yang dilakukan World Bank. Sementara itu, dalam
studi-studi mengenai strategi nafkah rumahtangga petani di pedesaan juga
dibahas mengenai pemanfaatan sumberdaya kapital dalam strategi nafkah
komunitas petani. Salah satu hasil studi itu adalah mengenai pentingnya
pemilihan strategi nafkah yang didasari oleh rasionalisme dalam
memanfaatkan sumberdya yang tersedia. Sumberdaya itu berupa beragam
jenis kapital yakni kapital finansial, kapital fisik, kapital almiah (sumbedaya
alam), kapital manusia, dan kapital sosial. Menurut Haan (2000), kombinasi
pemanfaatan kelima jenis kapital itu akan menentukan keberhasilan strategi
nafkah rumahtangga petani, disamping adanya faktor penentu lainya seperti
peran kebijakan negara dan dinamika interkasi sistem sosial dan sistem
ekologi.
Saat ini konsep kapital semakin meluas semenjak Bourdieu (1986)
mengemukakan beberapa jenis kapital selain kapital ekonomi yang
dikemukakan dalam karyanya “The Forms of Capital”. Sering dipersepsikan
bahwa konsep kapital merujuk pada referensi ekonomi yang terbatas, yakni
belum adanya upaya untuk mempertimbangkan konsep kapital dari referensi
yang non ekonomi, seperti halnya refererensi sosiologis atau referensi ilmu
sosial pada umumnya. Demikian juga sebaliknya, konsep-konsep kapital
yang bersumber pada referensi ilmu sosial masih relatif kurang merujuk
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
21
Universitas Indonesia
kepada referensi ekonomi sehingga menimbulkan kemandegan dan
problematika konsep kapital, karena diskusi-diskusi mengenai kapital ini
cenderung mengedepankan ego disiplin yang sedemikian kukuh dalam
mempertahankan referensi masing-masing.
Diskusi mengenai status ontologis kapital dalam referensi ilmu sosial
dan sosiologi khususnya dikemukakan oleh sejumlah ahli, baik yang berlatar
belakang ekonomi maupun sosiologi. Diskusi status ontologis kapital sosial
mesti mengedepankan aspek “apanya” dari kapital sosial itu. Kemudian,
beberapa ahli juga memfokuskan untuk menentukan sumber-sumber kapital
sosial itu, atau menentukan dimana kapital sosial dapat ditemukan (Robinson
et.al, 2002 dalam Lawang 2005:9). Selain kapital sosial, saat ini berkembang
diskusi mengenai representasi bentuk-bentuk kapital lainnya seperti yang
dikemukakan oleh Bourdieu (1986). Menurutnya selain kapital ekonomi,
dalam perjuangan untuk memperoleh posisi-posisi obyektif dalam sistem
sosial maka penguasaan dan penggunaan berbagai bentuk kapital sangat
menentukan individu dalam melakukan srategi dan perjuangan meningkatkan
posisi obyektif.
Kapital dalam referensi ekonomi mempunyai fungsi penting pada
proses produksi. Hal ini senada dengan pandangan Putnam (1993) yang
mengemukakan bahwa faktor-faktor non ekonomi turut menentukan jalannya
proses produksi dan hasil akhirnya. Dalam menjelaskan konsep kapital,
Lawang (2005: 9) memaparkan mengenai bentuk-bentuk kapital dalam sistem
produksi. Untuk memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk kapital secara
sosiologis, maka studi ini akan menekankan perhatian pada konsep kapital
yang ditinjau dari fungsi produktif bentuk-bentuk kapital yang ada yaitu: (i)
kapital finansial yang dikenal dengan sebagai bentuk kapital berupa uang.
Akan tetapi dalam konsep ekonomi dan sosiologis, bentuk kapital ini
dipandang tidak dalam arti sempit itu, melainkan menganggap kapital
finansial tidak identik dengan uang, tetapi lebih dilihat sebagai simbol dan hak
yang justru menekankan aspek kapital finansial sebagai kapital dalam bentuk
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
22
Universitas Indonesia
hubungan sosial yang berfungsi mengelola kesempatan memperoleh uang atau
dana untuk menjalankan kegiatan ekonomi.; (ii) kapital fisik yang bersifat
nyata (tangible) dan dapat diukur. Kapital fisik dalam pengertian ini
merupakan bentuk kapital yang sengaja dibuat manusia untuk keperluan
tertentu dalam proses produksi; dan (iii) kapital manusia yang menunjuk pada
kemampuan yang dimiliki manusia dalam bentuk pengetahuan dan
keterampilan untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Diskusi mengenai konsep kapital terus berkembang, hingga
menghasilkan konsep mengenai bentuk-bentuk kapital lainnya yang ikut
dipertimbangkan dalam kegiatan ekonomi. Kapital itu antara lain meliupti
kapital personal, kapital budaya, dan kapital politik. Jika merujuk kepada
pemikiran Bourdieu mengenai teori praktik sosial yang melahirkan dua
konsep utama yakni ranah (field) dan habitus, maka studi ini akan
memfokuskan bagaimana agen atau individu menguasai dan menggunakan
berbagai bentuk kapital dalam memperebutkan posisi-posisi obyektif. Pada
kerangka itu, dapat dikemukakan bahwa penguasaan dan penggunaan kapital
memiliki kecendrungan sebagai alat untuk memperoleh peningkatan kualitas
hidup. Oleh karena itu, representasi kapital dalam pengembangan komunitas
agribisnis berbasis banjar di Bali, akan didekati dengan menerapkan teori
Bourdieu tentang kapital yang meliputi kapital material dan non-material.
Pengembangan konsep kapital yang lebih luas dari pandangan sebelumnya,
seperti yang dikemukakan oleh Marx yang menekankan kapital fisik dalam
bentuk penguasaan alat produksi. Reformulasi konsep kapital oleh Bourdieu
meliputi dua aspek penting, yakni konsep kapital yang meliputi kapital non-
material seperti kapital budaya, simbolik, dan kapital sosial, disamping kapital
material berupa kapital fisik seperti alat produksi, kapital finansial, dan kapital
sumberdaya manusia. Aspek berikutnya adalah mengenai konversi atau
transformasi bentuk-bentuk kapital dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Pada
konteks ini, Bourdieu menekankan pentingnya kapital non-material dalam
kegiatan ekonomic. Keseluruhan pandangan Bourdieu mengenai reformulasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
23
Universitas Indonesia
kapital dikenal sebagai “Bourdieuconomics” (Svendsen & Svendsen, 2003).
Menurut Bourdieu, dalam kegiatan ekonomi khususnya, kapital dipandang
sebagai strategi investasi pada level individu maupun kelompok (meso), yang
bermuara kepada munculnya fenomena the game of society, yakni permainan
atau arena perjuangan masyarakat. Pada kerangka ini, dapat dikemukakan
adanya keterkaitan “Bourdieuconomics” dengan teori ranah (field), habitus,
dan paraktik yang juga dikemukakan oleh Bourdieu. . Menurut Ritzer dan
Goodman (2003:517), pemikiran Bourdieu diawali dan diinspirasi pandangan
yang ia anggap keliru mengenai oposisi antara obyektivisme dan
subyekktivisme. Kemudian Bourdieu memusatkan perhatiannya pada
hubungan dialektika antara struktur obyektif dan fenomena subyektif. Untuk
Menurut Woolcock dan Narayan (2000), pada dasarnya terdapat empat
perspektif kapital sosial dalam pembangunan sosial ekonomi, yakni: (i)
Network View; (ii) Commutarian View; (iii) Institutional View; dan (iv)
Synergy View. Secara ringkas, perspektif itu dikemukakan sebagai berikut:
(i) Network View: Perspektif ini memfokuskan perhatian kepada
pentingnya asosiasi baik vertikal maupun horizontal dari setiap
individu, serta hubungan didalam maupun antar organisasi.
Dihubungkan dengan sifat kapital sosial, maka perspektif ini
lebih mencermati ikatan sosial dalam organisasi, atau lebih
menaruh perhatian pada sifat bonding dan bridging dari kapital
sosial.
(ii) Commutarian View: Perspektif ini mengarahkan perhatian pada
masalah densitas atau kepadatan suatu organisasi dalam
komunitas tertentu. Menurut perspektif ini, kapital sosial dapat
dipandang sebagai organisasi sosial lokal, yang sering dijumpai
dalam bentuk asosiasi ataupun kelompok-kelompok
masyarakat.
(iii) Institutional View: Umumnya perspektif ini digunakan dalam
mencermati kapital sosial yang bersifat makro. Lebih lanjut,
perspektif institusional memandang bahwa jaringan kerja
komunitas merupakan hasil dari keadaan kelembagaan yang
ada.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
30
Universitas Indonesia
(iv) Synergy View: Perspektif ini merupakan perpaduan dari
pandangan network dan institusional. Intinya, perspektif yang
berpandangan sinergis melihat bahwa inklusi dalam
pembangunan akan tercapai jika terdapat koordinasi dan sifat
kooperatif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Penjelasan mengenai kapital sosial yang telah diuraikan di muka pada
dasarnya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bourdieu (1986) bahwa
intinya kapital sosial merupakan kapital dalam bentuk jaringan sosial.
Jaringan sosial (network) menurutnya akan mempermudah agen dalam
mengakumulasi bentuk-bentuk kapital lainnya, seperti yang dipertegas oleh
Lin (2001) dalam Akdere (2005) mengenai teori kapital sosial yang
mengemukakan bahwa kapital sosial pada intinya merupakan bentuk investasi
dalam meningkatkan relasi sosial.
2.2.3. Kapital Budaya dalam Kehidupan Masyarakat.
Kebudayaan pada hakekatnya merupakan konsep yang sedemikian
abstrak dalam mempelajari Sosiologi. Salah satu definisi yang terkait dengan
representasi kapital budaya pada kegiatan produksi mengenai kebudayaan,
dikemukakan oleh Griswold (2004: 12) yang menyatakan secara umum bahwa
kebudayaan merupakan produk manusia baik material maupun non material
seperti yang terekspresikan dalam kebiasaan maupun gagasan-gagasan dalam
kehidupan sosialnya. Kebudayaan dalam hal itu juga meruapakan obyek
yang melekat pada aktor dan itu dapat didengar, dilihat, dan diartikulasikan.
Dengan demikian, kebudayaan merujuk kepada sisi kehidupan manusia yang
ekspresif dan sangat erat pertaliannya dengan kehidupan sosial. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa antara kebudayaan dan struktur sosial tidak dapat
dipisahkan, sehingga dalam mengkaji keterkaitan antara kebudayaan dengan
kehidupan sosial masyarakat diperlukan suatu obyek kebudayaan (cultural
object) sebagai alat analisis yang akan menjelaskan pertalian antara
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
31
Universitas Indonesia
kebudayaan dan masyarakat. Secara lebih detail, Griswold (2004; 16-17)
menjelaskan keterkaitan aspek kebudayaan dengan masyarakat dalam analisis
sosiologi kebudayaan melalui yang ia sebut sebagai Cultural Diamond, yakni
bentuk hubungan antar empat komponen utama analisis hubungan antara
kebudayaan dengan masyarakat yang terdiri dari kreator, receiver, obyek
kebudayaan, dan social world. Pada bentuk cultural diamond intinya ia
ingin mejelaskan hubungan yang terjadi antara obyek kebudayaan dengan
kehidupan sosial (social world) seperti kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Sejalan dengan pandangan itu, Raymond Williamns dalam Syahyuti
(2006:74) juga menyatakan bahwa kebudayaan sebagai alat atau instrumen
dalam kehidupan masyarakat. Pengertian kebudayaan sebagai alat dalam
kehidupan masyarakat dapat disejajarkan maknanya menjadi sebagai suatu
bentuk kapital, seperti halnya dikemukakan oleh Bourdieu (1986).
Lebih lanjut Bourdieu (1986) mengemukakan secara rinci tiga jenis
dimensi kapital budaya yang merujuk pada keadaan (state), yakni embodied
state yakni kapital yang keadaannya mewujud pada badan agen. Secara
harfiah hal ini mengandung pengertian bahwa agen sebagai manusia
mengandung potensi kapital tersendiri, berupa kekuatan ataupun kemampuan
yang melekat pada aktor, seperti halnya kasta pada masyarakat Bali;
Berikutnya kapital budaya yang sifatnya objectified state, yakni merujuk pada
dimensi obyek, yakni berupa karya yang dihasilkannya sebagai kekhasan
aktor berdasarkan keahliannya (sangging, pande, undagi, dan sebagainya yang
dikenal turun temurun oleh masyarakat Bali). Dalam hal ini kapital budaya
bentuknya sebagai hasil karya yang has dapat dijadikan obyek oleh agen.
Beberapa bentuk kapital budaya berdimensi obyek, oleh Bourdieu
dicontohkan seperti alat-alat, atau mesin, bahkan hasil karya seperti gambar
atupun ukiran dan bangunan digolongkan dalam kategori ini. Intinya contoh-
contoh itu jelas memiliki status obyek. Benda-benda dimaksud, diciptakan
oleh manusia dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan dan membuat
hidup menjadi lebih senang karena memiliki benda-benda itu. Bentuk yang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
32
Universitas Indonesia
ketiga adalah kapital budaya berdimensi institusional yang menunjuk kepada
keadaan dimana benda-benda itu sudah memperlihatkan entitasnya yang
sudah berbeda. Bourdie mencontohkan bentuk kapital budaya ini seperti
sistem pendidikan. Pada dasarnya ketiga bentuk kapital budaya itu tidak dapat
dianggap sebagai sesuatu yang berwujud kapital secara aktual, tetapi masih
bersifat potensial yang dapat ditransformasikan agen menjadi kapital-kapial
lainnya.
Sistem dan usaha agribisnis pun pada dasarnya tidak terlepas dari
kotribusi kapital budaya. Beberapa pandangan ahli Sosiologi Pedesaan
menyatakan kebudayaan lokal sangat mempengaruhi keberhasilan sistem dan
usaha agribisnis. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa faktor
kepemilikan alat-alat dan mesin dalam mekanisasi pertanian, sedemikian besar
kontribusinya dalam proses produksi. Selain itu kepemilikan terhadap mesin-
mesin yang modern juga meningkatkan gengsi bagi agen yang memilikinya.
Senada dengan itu, Castelli, et.all (2009) yang meneliti mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat di Inggris mengemukakan
bahwa kapital turut menentukan pencapaian kualitas hidup oleh individu.
Selain kapital sosial, dalm studi ini juga dicermati peran kapital politik dan
peran kapital budaya sebagai bentuk kapital yang intangible. Pendidikan pada
dasarnya merupakan salah satu faktor yang sangat penting pengaruhnya
terhadap penguasaan kapital budaya, dan ini dimungkinkan karena keterkaitan
faktor pendidikan dengan kapital budaya seperti yang diungkapkan Bourdieu
(1986).
2.2.4. Kapital Politik dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat.
Konsep politik dalam Sosiologi erat pertaliannya dan lebih operasional
dengan konsep kekuasaan, dibandingkan dengan konsep politik yang
dikaitkan dengan atau tentang negara (Duverger, 2002 dalam Dhakidae, 2002
h.17-27). Duverger (2002) mengemukakan politik erat kaitannya dengan
institusi-institusi yang berhubungan dengan kekuasaan. Pertalian antara
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
33
Universitas Indonesia
politik dan kekuasaan terutama dicermati dari aspek kekuasaan sebagai
hubungan yang mengandung otoritas yang mempengaruhi kehidupan sosial
baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil.
Terdapat dua dimensi pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama
bilamana politik dipandang sebagai arena pertarungan dalam rangka
memperoleh dan mempertahakan kekuasaan serta mengontrolnya untuk
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, sementara masih dalam konteks ini
pihak lain akan selalu menentang dan berupaya mengambil alih kekuasaan.
Duverger (2002) dalam Dhakidae (2002) memandang bahwa kekuasaan
memungkinkan kelompok-kelompok dan individu-individu yang
menguasainya untuk mempertahankan dominasinya terhadap pihak lain yang
didalamnya terdapat kepentingan untuk mengeksploitasinya. Sedangkan
kedua, politik dipandang sebagai instrumen atau alat untuk menjaga dan
menegakkan ketertiban dan keadilan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini
politik merupakan pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum. Konteks
yang terakhir dijelaskan, memainkan peranan integratif dari politik itu sendiri,
disamping berperan untuk memihak dan melindungi kepentingan bersama
dalam kehidupan sosial. Sifat integratif itu sendiri dijelaskan sebagai aspek
interdependensi-saling ketergantungan antara komponen-komponen,
kelompok, atau individu anggota masyarakat. Penjelasan di muka merupakan
pemikiran Duverger yang kemudian dituangkan sebagai tesis utamanya dalam
konteks sosiologi politik dengan mengemukakan bahwa politik meliputi
konflik antara individu-individu dan kelompok untuk memperoleh kekuasaan
yang dipergunakan untuk kepentingannya, serta sekaligus sebagai usaha untuk
mencapai dan menjaga kesejahteraan sosial dalam setiap kegiatan
pembangunan.
Dinamika pembangunan itu sendiri, tidak dapat dilepaskan dari pendekatan
ekonomi politik, termasuk dalam pembangunan pertanian dan khususnya
pengembangan agribisnis. Menurut Rachbini (1996) dalam Sudjana (2004),
ekonomi politik lazimnya diartikan sebagai analisis terhadap proses-proses
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
34
Universitas Indonesia
politik yang berkaitan dengan bidang ekonomi politik. Pendekatan ekonomi
politik dalam hal ini merupakan keniscayaan mengingat dalam masalah-
masalah pembangunan akan selalu menyangkut peranan pemerintah, yaitu
seberapa jauh dan dengan cara bagaimana pemerintah menjalankan model
pembangunannya. Politik secara umum dimaknai sebagai bagian terpenting
dalam hubungan antara negara dan masyarakat, yakni bagaimana hubungan
antara negara dan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya diselenggarakan
untuk memenuhi tujuan-tujuan dari hubungan itu sendiri. Dengan demikian,
politik semestinya mengarahkan negara untuk membuka peluang dan
memberikan fasilitasi bagi seluruh anggota masyarakat dalam pemenuhan
kepentingan-kepentingan secara individual auatupun sebagai bagian dari
kehidupan sosial bernegara (Legowo, 2004)
Disisi lain politik senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk
menetapkan dan melindungi hak-hak warga negara, sehingga warga negara
tersebut dapat menerima dan mempertahankan hak-haknya. Sedangkan untuk
mendiagnosis ekonomi politik tentang kinerja atau fenomena pembangunan
dapat dilakukan dengan menggunakan tiga indikator yaitu upaya bersama
(collective actions), kelembagaan (institutions), dan ketidaksempurnaan pasar
politik (political market imperfections). Indikator pertama merujuk kepada
proses pembangunan yang melibatkan interaksi seluruh aktor; indikator
kedua menyangkut sistem nilai atau norma dalam menjaga komitmen; dan
indikator terakhir mengenai pasar politik menunjuk kepada unsur rekam jejak
(track record) aktor politik (Arifin, 2007:1). Dengan demikian, jika dikaitkan
dengan pembangunan pertanian maka keberhasilan pengembangan agribisnis
akan turut ditentukan oleh unsur politik atau kemauan politik (political will)
dari negara. Selain itu, kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam
bentuk formal rules sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian.
Intinya, pada studi ini akan dikaji apakah lingkungan kebijakan yang terdiri
dari regulasi (formal rules) dan politik pertanian dapat mendukung serta
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
35
Universitas Indonesia
berperan dalam meningkatkan adopsi inovasi, atau bahkan secara tidak
langsung mempengaruhi pendapatan pelaku agribisnis.
Memandang bahwa kapital politik merupakan bagian dari suatu sistem
produksi, maka Lawang(2005: 26) mengemukakan bahwa kenyataan dan
pernyataan yang sedemikian meyakinkan dari begitu banyak ahli menyatakan
pembangunan ekonomi sangat memerlukan dukungan politik. Dalam hal ini,
pertumbuhan pembangunan ekonomi tidak terlepas dari peran kapital politik.
Pada tataran yang lebih konkrit, kapital politik antara lain meliputi institusi
formal dan kebijakan ekonomi di level makro, informal rules pada level
messo, dan pada level individu (mikro) disebutkan antara lain berupa karisma,
ikatan moral, sistem meritokratis, dan dominasi (Svendsen&Svedsen, 2003).
Pandangan ini dipertegas juga oleh Bourdieu yang menekankan pentingnya
aspek dominasi dalam relasi-relasi sosial produksi. Pemikiran itu ditekankan
juga oleh Harker (1990), yang mengemukakan bahwa dalam hal konversi
atau pertukaran bentuk kapital, maka kapital simbolik menunjukkan proses
pertukaran kapital yang paling nyata karena mengandung aspek legitimasi
dan aspek kekuasaan yang terwujud dalam bentuk basis dominasi.
2.2.5. Sinerji Kapital Ekonomi, Kapital Sosial, dan Potensi SumberdayaAlamiah dalam Pengembangan Agribisnis Berbasis Komunitas.
Dalam kerangka operasional modernisasi sistem dan usaha pertanian,
perlu mencermati potensi ekonomi wilayah, sumberdaya lokal setempat (local
resources based), yaitu berupa sumberdaya petani (kapital manusia) dan
karakteristik individu lainnya dari petani, potensi ketersediaan lahan (kapital
fisik), potensi kapital sosial, yang semuanya merupakan input penting dalam
proses produksi. Sinerji dari aspek tersebut sangat penting dalam peningkatan
efektifitas dan efisiensi proses produksi. Gejala perubahan sosial khususnya
menyangkut struktur sosial yang diakibatkan oleh proses difusi inovasi pada
hakekatnya tergantung juga kepada potensi masyarakat ataupun komunitas,
disamping kekuatan eksternal seperti misalnya yang dilakukan pemerintah
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
36
Universitas Indonesia
sebagai suprasistem suatu komunitas. Dalam hal ini intervensi dan peran
pemerintah sebagai represetasi state mesti lebih menekankan aspek
pertumbuhan pembanguan berlandaskan prinsip inklusi sosial, terutama dalam
arti tidak terjadi penumpukan akumulasi kapital dalam sebagian kecil
masyarakat, sehinga mampu meredam gejala timbulnya elitisme dalam hal
penguasaan kapital.
Menurut Sitorus (1999), bahaya elitisme agribisnis terkait dengan sifat
elitisme yang melekat pada agribisnis sebagai artikulasi cara produksi
kapitalis atau sekurang-kurangnya komersialis. Sifat elitisme juga
dimaksudkan sebagai pemihakan agribisnis pada kepentingan elit ekonomi,
yaitu para pemilik modal uang. Sehubungan dengan itu pemanfaatan
sumberdaya dan potensi lokal termasuk kapital sosial, budaya, maupun politik
diyakini dapat mereduksi peluang elitisme agribisnis. Dalam rangka
mengantisipasi bahaya elitisme agribisnis itu, maka kritik Sosiologi yang
dikemukakan oleh Sitorus, et.all (2001) sangat baik untuk dicermati. Kritik
yang disampaikan dalam laporan hasil penelitiannya mengenai Agribisnis
Berbasis Komunitas:”Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial”, diawali
dengan mengemukakan tahapan perkembangan agribisnis yang dilandasi
pemikiran dari sudut ekonomi yang terdiri dari tiga tahap. Pertama, agribisnis
berbasis sumberdaya, yaitu pembangunan agribisnis yang digerakkan leh
kelimpahan faktor poduksi (factor driven) yakni sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia berupa tenaga kerja yang unskilled labor. Tahap kedua
adalah pembangunan agribisnis yang berbasis invesatasi (investment driven)
yang padat modal dengan didukung tenaga kerja terdidik (capital intensive
and skilled-labor). Kemudian tahap yang terakhir adalah pembangunan
agribisnis yang berbasis inovasi (innovation driven) yang lebih digerakkan
oleh kemajuan teknologi serta peningkatan sumberdaya manusia terdidik
(science and skilled labor-based). Secara ringkas, visualisasi dari ketiga
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
37
Universitas Indonesia
tahapan dan alternatif pemikiran sosiologis perkembangan pembangunan
agribisis dapat dilihat pada Gambar 2.3. Visualisasi tersebut menjelaskan
bahwa tahap perkembangan agribisnis relatif didominasi oleh representasi
kapital ekonomi. Kapital ekonomi secara umum dikelompokkan kedalam
kapital finansial (modal uang), modal fisik yang bersifat tangible, seperti alat-
alat produksi pertanian, dan juga berupa kemampuan (skill) sumberdaya
manusianya.
AGRIBISNISBERBASIS
Sumberdaya
DigerakkanKelimpahan
Faktor Produksi
(Factor Driven)
TAHAP PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS
TAHAP I
AGRIBISNISBERBASISInvestasi
DigerakkanKekuatan
Investasi danSDM terdidik
(InvestmentDriven)
TAHAP II
AGRIBISNISBERBASIS
Inovasi
Digerakkantemuan baruatau inovasi
(InnovationDriven)
TAHAP III
AGRIBISNISBERBASIS
KOMUNITAS
Digerakkan olehproses interaksi
sosial danproses kerja:
aktualisasi tigajenis modal:
modal alamiah;modal ekonomi;dan modal sosial
TAHAP IV
Tahapan dari sudut pandang EkonomiTahapan dari
Pemikiran Sosiologis
Gambar2.2.Tahapan Perkembangan Pembangunan Agribisnis(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Sitorus, et.all.2001, h. 3-5).
Menurut Sitorus, et.all (2001), pada titik ini konsep ekonomi neo
klasik tentang kelembagaan sistem agribisnis tersebut dihadapkan pada suatu
kritik Sosiologi, yang berkenaan dengan adanya bahaya penyingkiran
mayoritas kaum tani. Dari sudut pandang Sosiologi, proses pembangunan
sistem agribisnis bertahapan tiga sebagaimana dirumuskan para ahli ekonomi
tersebut di atas cenderung bersifat elitis, yakni sangat tampak dalam hal
akses dan penguasaan modal fisik dan uang yang distribusinya didominasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
38
Universitas Indonesia
oleh sebagian elit. Oleh karena itu ada tantangan bagi Sosiologi untuk
merumuskan suatu pengembangan sistem agribisnis yang bersifat melibatkan
mayoritas kaum tani sebagai subyek. Tantangan itulah yang melandasi
munculnya pemikiran tentang agribisnis berbasis komunitas. Konsep
agribisnis berbasis komunitas merujuk kepada pemikiran Juergen Habermas,
yakni agribisnis dipahami sebagai proses interaksi sosial dan proses kerja
sekaligus, dan di dalam proses tersebut teraktualisasikan representasi bentuk-
bentuk kapital, yaitu modal alamiah, modal ekonomi, dan kapital sosial, yang
jika dicermati lebih lanjut akan didapat kecendrungan perbedaan penguasaan
masing-masing kapital itu oleh aktor. Pada konteks itu, pembahasan
mengenai dukungan peran tripartit pemerintah, swasta, dan potensi lokal perlu
dicermati. Peran ketiga elemen pembangunan itu ditengarai memiliki
pertalian yang erat dengan penguasaan kapital dalam masyarakat, yang tentu
akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat.
2.2.6. Peran Tripartit Pemerintah, Swasta, dan Komunitas Lokal dalamPerspektif Teori New Institutionalism.
Hubungan dan peran antara negara (pemerintah), korporasi (swasta),
dan masyarakat sering menjadi topik menarik dalam menganalisis teori-teori
pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini antara lain disoroti oleh
Campana (2000), yang melakukan studi tentang peran elemen-elemen
pembangunan dalam mengentaskan kemiskinan. Menurutnya, kemitraan
(partnership) antara pemerintah, swasta, dan institusi multilateral yang
berkembang dalam komunitas lokal ternyata mampu menekan angka
kemiskinan masyarakat di pedesaan Chili, melalui program-program
pembangunan pertanian yang diinisiasi pemerintah Chili. Dalam konteks
operasionalisasi program pembangunan pertanian, keterlibatan dan dukungan
lembaga swadaya masyarakat (NGO’s) sangat kental terutama melalui
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
39
Universitas Indonesia
inisiatifnya dalam mengembangkan demokratisasi proses pembangunan yang
diawali dari perencanaan dan desain program hingga kontrol terhadap
pelaksanaan pembangunan pertanian di Chili. Pemberdayaan kelompok dan
organisasi sosial di tingkat desa berhasil menguatkan hubungan antara
komunitas desa dengan pemerintah. Hubungan erat dan partisipasi
masyarakat mendukung program pemerintah sedemikian kuat terutama dalam
proses transfer teknologi, sehingga mampu meningkatkan kinerja
pembangunan pertanian di pedesaan Chili. Peran lembaga edukasi yakni
Instituto de Education Rural (IER) dalam membentuk lembaga-lembaga
pendidikan non formal di pedesaan memainkan peranan yang sangat penting
bagi peningkatan kapasitas masyarakat desa di Chili.
Hasil studi lainnya juga dikemukakan oleh Jiwa (2005) yang
mengemukakan mengenai model hubungan tripartit dalam mendukung usaha
produksi madu di Kenya. Pada intinya, Jiwa (2005) menggambarkan”Honey
Care’s Tripartite Model” sebagai sebuah strategi sinegri “win-win-win
partnership” antara pemerintah - sektor swasta - komunitas desa yang mampu
mempromosikan usaha kecil ke arah pengembangan komunitas berkelanjutan.
Pemerintah dan sektor swasta berperan dalam mobilisasi komunitas melalui
pengembangan serta pembinaan kelompok petani madu dan memfasilitasi
kredit bagi petani lebah madu. Selain itu, pemerintah menginisiasi kebijakan
alih teknologi melalui training, penyediaan informasi pasar, serta melakukan
pengembangan kelembagaan pasar lokal.
Studi tentang hubungan negara ataupun pemerintah dengan masyarakat
dalam bentuk ko-produksi juga telah dilakukan di Bali oleh Zaenuddin,
Syahra, dan Suprihadi (2007). Studi ini mengetengahkan keberhasilan Desa
Sanur, sebuah desa pariwisata di Bali mewujudkan pembangunan yang
bercirikan ko produksi. Ko produksi masyarakat Sanur ditunjukan dengan
berperannya kelembagaan sosial budaya, terutama dalam wadah organisasi
sosial desa adat. Sedangkan pemerintah juga mampu melakukan
pengakomodasian kultur dan tatanan keswadayaan masyarakat dalam
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
40
Universitas Indonesia
pembangunan (Zaenuddin, Syahra, dan Suprihadi; 2007:67). Sementara itu,
dalam pembangunan pertanian di Indonesia yang merupakan bagian dari
pembangunan sosial ekonomi nasional, peran pemerintah, swasta dan
masyarakat juga dikemukakan oleh Arifin (2005:147-148) terutama untuk
menyoroti paradigma kebijakan dan strategi revitalisasi pertanian nasional.
Menurutnya, pengembangan industrialisasi pertanian dengan menerapkan
strategi kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat adalah suatu strategi yang
baru berkembang pada beberapa waktu belakangan ini.
Lebih lanjut Arifin (2005:147-148) mengemukakan elemen pertama
dalam kemitraan tripartit adalah negara ataupun pemerintah yang merupakan
lembaga publik dengan fungsi menyelenggarakan dan menciptakan
kesejahteraan umum, yang antara lain dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
pembangunan. Pada kerangka ini, peran pemerintah (negara) dalam falsafah
kemitraan tripartit bergeser dari yang semula sebagai penggerak utama
pembangunan, ke arah peran sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan
sosial ekonomi. Peran tersebut meliputi perumusan kebijakan, fasilitasi
infrastruktur, penyediaan dan pengembangan inovasi teknologi, dukungan
subsidi, anggaran pembangunan yang berprinsip berkeadilan dan dukungan
politik bagi pengembangan usaha pertanian. Lembaga ini memiliki kekuasaan
yang bersifat regulatif yang berperan dalam mengatur kehidupan bersama.
Dalam aspek ini, dapat dijelaskan fungsi negara sebagai pengatur elemen-
elemen pembangunan. Kedua, adalah elemen swasta atau korporasi yang
memiliki ruang gerak pada area publik melalui produksi hingga transaksi jual-
beli barang dan jasa yang berorientasi pada keuntungan. Dunia usaha ini baik
langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang sedemikian penting
bagi pembangunan sosial ekonomi nasional. Pada perkembangan terkini,
sorotan yang relatif tajam sering tertuju pada peran dunia usaha yang dianggap
mementingkan orientasi maksimalisasi keuntungan dan melupakan falsafah
moral maupun tanggung jawab sosial. Aspek yang terakhir ini berkembang
dan sering dikaji sebagai suatu pembahasan yang memunculkan paradigma
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
41
Universitas Indonesia
baru “Corparate Social Responsibility/CSR” yang mengutamakan
keberlanjutan dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan sosial ekonomi
nasional. Elemen Ketiga, adalah masyarakat yang berinteraksi pada ruang
publik atas dasar tata nilai dan perilaku sosial tertentu, yang saat ini tidak lagi
hanya menjadi obyek pembangunan, melaikan bergeser peranya sebagai
subyek yang menentukan pembangunan sosial ekonomi bangsa. Peran dan
hubungan simetris dari ketiga elemen pembangunan itu, merupakan prasarat
utama dalam strategi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, seperti yang
banyak diungkapkan dalam beberapa hasil studi belakangan ini, dan disebut
sebagai koproduksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Ko produksi
itu sendiri pada hakekatnya merupakan suatu kondisi yang mencerminkan
adanya partispasi masyarakat termasuk dalam penyediaan barang dan
pelayanan untuk kepentingan mereka. Partisipasi masyarakat menunjukkan
bahwa masyarakat tidak hanya bersikap pasif untuk dilayani tetapi ikut
berpartisipasi dalam segala kegiatan pembangunan ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan kepetningan lain untk kesejahteraannya (Ostrom, 1997).
Pada hakekatnya, peran pemerintah sangat penting dalam perumusan
kebijakan pengembangan usaha, hingga pada kebijakan subsidi dan
mengembangkan dukungan politik bagi berkembangnya usaha. Selain itu,
introduksi inovasi teknologi juga diperlukan dengan melakukan pendekatan
pemberdayaan potensi organisasi yang berkembang di level komunitas lokal.
Di Indonesia, peran negara dalam pelembagaan ide baru antara lain
diimplementasikan melalui program percepatan pemasyarakatan inovasi
teknologi pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
No.798/Kpts/T.210/12/94 telah dibentuk dan ditetapkan organisasi dan tata
kerja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), sebagai lembaga
penelitian pusat yang berada di setiap propinsi, dan ditujukan untuk
mendukung pembangunan pertanian daerah dan mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya pertanian wilayah melalui percepatan alih teknologi. Hal ini
tentunya sangat erat pertaliannya dengan semangat desentralisasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
42
Universitas Indonesia
pembangunan, bahwa desentralisasi perlu dilakukan dalam bidang penelitian
dan pengembangan teknologi pertanian dan lebih mendekatkan pelayanan
penelitian kepada masyarakat, termasuk dalam hal ini komunitas agribisnis di
Bali. Sejak terbentuknya BPTP di setiap propinsi pada tahun 1994, maka
percepatan pemasyarakatan teknologi pertanian spesifik lokasi terus
dikembangkan antara lain melalui program pengembangan sistem usaha
pertanian (SUP) berbasis potensi lokasi spesifik. Di Bali, program ini antara
lain telah relatif berhasil melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis
salak Bali yang juga memiliki dampak di daerah produsen salak di Bali, yakni
di beberapa kecamatan wilayah kabupaten Karangasem. Keberhasilan
program SUP salak Bali telah menjadikan salak Bali sebagai salah satu
komoditas unggulan propinsi Bali yang tentunya erat pertaliannya dengan
upaya peningakatan kesejahteraan petani ataupun aktor agribisnis salak di Bali
(Badan Litbang Pertanian, 2004).
Sejalan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis, upaya
penigkatan pelayanan penelitian terhadap masyarakat terus berkembang
hingga pada beberapa tahun terakhir, terutama sejak diimplementasikannya
program rintisan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian
(PRIMA TANI) yang dimulai sejak 2005. Prima Tani terus berkembang
secara dinamis, baik tujuan maupun harapan yang ingin dicapai, serta jumlah
lokasi yang sesuai dengan harapan masyarakat agribisnis. Perkembangan ini
menunjukkan bahwa Prima Tani diyakini oleh berbagai komponen
(stakeholders) sebagai model pembangunan agribisnis yang berawal dari desa.
Bahkan, pelaksanaan Prima Tani ke depan dapat bersinergi dengan berbagai
program sejenis yang ada di pedesaan, baik yang diinisiasi oleh Departemen
Pertanian maupun lembaga lain, seperti halnya dengan implementasi program
nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) yang didalamnya terintegrasi
program pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang berlokasi di
10. 000 desa, termasuk didalamnya seluruh desa lokasi pengembangan Prima
Tani (Badan Litbang Pertanian, 2008).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
43
Universitas Indonesia
Pada tataran operasional, Prima Tani dilaksanakan dengan empat
strategi yakni, (i) menerapkan teknologi inovatif tepat guna secara partisipatif;
(ii) membangun model usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif yang
mengintegrasikan sistem inovasi dan kelembagaan dengan sistem agribisnis;
(iii) mendorong proses difusi dan replikasi model pengembangan agribisnis;
serta (iv) mengembangkan agroindustri pedesaan berdasarkan karakteristik
agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat. Sedangkan pendekatan
yang dilakukan dalam implementasi Prima Tani adalah dengan pendekatan
Agro-ekosistem. Pendekatan ini mempertimbangkan aspek kesesuaian
kondisi bio-fisik lokasi yang meliputi sumberdaya pertanian, sebagai modal
alamiah. Berikutnya adalah melakukan pendekatan agribisnis dengan
mencermati struktur dan keterkaitan subsistem input, usahatai, pasca panen,
pengolahan, dan lembaga penunjang dalam satu sistem agribisnis. Pedekatan
lainya adalah pendekatan kelembagaan, yakni Prima Tani tidak hanya
memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu
yang berkaitan dengan input dan output, melainkan juga mencakup aspek
kultural diantaranya kebiasaan dan adat istiadat ataupun norma yang berlaku
di lokasi Prima Tani. Terakhir adalah pendekatan pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat yang menekankan pertumbuhan kemandirian aktor
agribisnis dalam memanfaatkan potensi sumberdaya pertanian, termasuk
dalam hal memberdayakan potensi kapital yang tersedia alam sistem sosialnya
(Badan Litbang Pertanian, 2008)
Sementara peran swasta lebih kurang tidak berbeda dengan yang
diperankan oleh pemerintah, yakni mendukung dan memfasilitasi kredit usaha
dan mendukung pemasaran produksi petani lebah madu (Jiwa, 2005); dan
untuk di Indonesia peran swasta sangat diperlukan dalam mendukung kredit
usahatani, seperti yang diutarakan oleh Ashari (2009). Adapun peran
masyarakat adalah melalui partisipasinya dalam pengembangan usaha dan
pengembangan organisasi lokalnya.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
44
Universitas Indonesia
Pada dasarnya, keseluruhan gambaran peran tripartit antara kebijakan
negara, swasta dan masyarakat lokal dalam pengembangan komunitas
agribisnis dapat didekati dengan penelaahan teori yang dikemukakan Nee
(2005) mengenai “New Institusionalism” atau teori mengenai kelembagaan
baru dalam kegiatan ekonomi. Secara ringkas pemikiran Nee (2005)
mengenai new institutionalism diawali dengan gagasannya untuk menjelaskan
bagaimana institusi formal berinteraksi dengan jaringan sosial (social
network) dan norma-norma sosial yang sifatnya informal dalam mengarahkan
tindakan-tindakan ekonomi. Nee (2005) mengemukakan pandangannya
mengenai pentingnya lingkungan institusi dan budaya dalam membentuk
tingkah laku ekonomi masyarakat. Ia menegaskan perlunya integrasi hub
sosial dan institusi dalam studi tingkah laku ekonomi dengan fokus pada
mekanisme yang mengatur bagaimana kombinasi formal dan (in) formal rules
memfasilitasi dan mengatur tingkah laku ekonomi serta hubungan antar
elemen pada tingkatan kausal. Konkritnya, lingkungan institusional adalah
berupa peraturan dan kebijakan-kebijakan formal, bahkan dapat berupa
gagasan ataupun unsur-unsur baru yang secara dinamis berjalan menjadi
kerangka dalam mengatur tindakan ekonomi aktor atau kelompok. Tindakan
ekonomi aktor, pada kondisi yang ideal berbasis pada relasi informal yang
dilandasi kepercayaan bersama, norma, dan aturan-aturan in-formal yang
mengarahkan tindakan ekonomi aktor dalam mengejar kepentingannya.
Pertalian dan pertautan antara lingkungan institusional dengan relasi informal
yang mengikat tindakan aktor dalam mengejar kepentingan-kepentingannya
merupakan sebuah kerangka, yakni kerangka institusional. Sebenarnya
pandangan Nee (2005) mengenai new institutionalism merupakan pemikiran
gabungan antara ekonomi institusional, teori pilihan rasional (rational choice
theory) dari Coleman, dan teori keterlekatan (embeddedness theory) yang
dikemukakan Granovetter. Oleh karena itu new institutionalism atau konsep
pelembagaan baru menelaah tentang bagaimana institusi (lembaga)
memainkan peran yang sedemikian pentingnya dalam menstrukturisasi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
45
Universitas Indonesia
transaksi-transaksi sosial maupun ekonomi dan memahami dasar norma-
norma sosial, jaringan sosial, dan kepercayaan pada lembaga atau institusi
dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang terjadi pada ekonomi modern.
Penjelasan Nee (2005) mengenai new intitutionalism pada dasarnya tidak
hanya membahas mengenai sosiologi ekonomi melainkan juga ekonomi
institusional yang baru. Pandangannya sangat kontributif dalam memahami
secara lebih baik hubungan antara individu dengan kelompok (mikro-messo)
yang menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi secara bersama-sama dalam
berinterkasi dengan aturan-aturan formal (formal rules) di tataran makro.
Pada konteks itu, Nee senyatanya ingin menegaskan mekanisme sosial dimana
aspek formal dan informal saling berhubungan atau berintegrasi dan menjadi
dasar bagi setiap individu dalam mencapai kepentingan ekonominya. Lebih
lanjut Nee mengemukakan pendekatan yang dikemukakan oleh Granovetter
dalam memandang jaringan sosial, yang menyatakan bahwa aktor ekonomi
bukan atom yang lepas dari konteks masyarakat, bukan pula sepenuhnya
patuh pada aturan sosial. Tingkah laku aktor melekat pada realitas relasi
sosial (concrete, on-going social relation). Dalam hal ini pandangan New
Institutionalism mengemukakan bahwa Granovetter hanya menjelaskan
proximate causes tanpa menjelaskan large/macro causes. Juga menurut Nee,
Granovetter tidak menjelaskan mengapa aktor decouple (terpisah/terlepas)
dari hubungan sosial untuk mengejar kepentingan ekonomi?. Berlandaskan
kepada kritik terhadap pendekatan New Institutional Economic dan
mencermati pandangan Garnovetter di atas, Nee mengemukakan model
institusional baru yang digambarkan seperti berikut:
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
46
Universitas Indonesia
Gambar 2.3. Model Interaksi Regulasi Formal (Level Makro) denganOrganisasi (Level Messo)), dan Individu (Level Mikro).(Nee, 2005, h.56).
Model multi level di atas menerangkan mengenai fungsi lingkungan
institusional, regulasi formal yang diterapkan oleh government (policy
environment) dalam menata hak-hak kepemilikan, menata pasar, dan
perusahaan. Model ini memandang mekanisme institusional memiliki
penyebab yang lebih dalam karena sangat menentukan insentif. Dalam
pandangan New Institusional Sosiologi Ekonomi, norma-norma yang ada
akan berinteraksi dengan formal rules dalam merealisasikan kepentingan
individu. Adapun prinsip-prinsip dasar dari New Institusional Sosiologi
Ekonomi senyatanya berada pada posisi yang menengahi pandangan neo
institusionalisme dalam analisis organsasional dan pandangan lainnya yaitu
ekonomi neo institusional, seperti yang terutuang dalam matrik berikut ini:
LingkunganInstitusional
Proses Produksi-Pasar/Organisasi
Organisasi Usaha/Non Profit
Kelompok Sosial
Individual
Mekanisme Pasar ;State Regulation
KerangkaInstitusi
TindakanKolektif
ComplianceDecouple
Monitoring;Enforcement
Incentives;Preferensi indigenous
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
47
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Matrik Prinsip-prinsip Teori New Institusional
KOMPONEN DESKRIPSI
Asumsi perilaku Rationality terikat dalam konteks masyarakat;Aktor didorong oleh interest, biasanya dibentukoleh beliefs (kepercayan bersama), norms dannetwork ties (ikatan dalam jaringan sosial)
Aktor Organisasi adalah aktor; individumengartikulasikan interests di dalam organisasidan network
Definisi Institusi Sistem saling terhubung antara institusi formaldan informal. Sistem ini memfasilitasi,mendorong dan mengatur tindakan ekonomi
Mekanisme Level Makro Regulasi negara (UU, Peraturan pemerintah,dll); mekanisme pasar; tindakan kolektif
Mekanisme Level Mikro Tindakan individu dalam network/ organisasi;Tindakan itu didorong oleh interest individu
Sumber: Nee dalam Smelser dan Swedberg (2005: 63)
Pandangan new institutisionalisme sesungguhnya berposisi
menengahi pemikiran teori institusional dalam analisis organisasional yang
lebih menekankan tindakan non rasional sebagai akibat dari kepercayaan
berorientasi kultural yang menunjukkan ciri lingkungan institusionalnya, serta
pada level makro diatur regulasi negara dan juga adanya isomorfis yang
koersif dan normatif. Demikian juga teori new institusioanlisme berbeda
dengan pemikiran aliran neo institusionalisme yang mengasumsikan
rasionalitas terbatas, yakni individu yang bertujuan memaksimalkan utilitas
dibatasi ketidakpastian, asimetris atau ketidakseimbangan informasi, dan
adanya kemampuan kognitif yang tidak sempurna. Oleh karena itu, teori Nee
(2005) mengenai new institutionalisme berada ditengah yang intinya
mengemukakan adanya mekanisme integrasi hubungan formal dan informal
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
48
Universitas Indonesia
pada setiap level kausal, yakni pada tataran mikro (individu), meso (kelompok
ataupun organisasi), dan tataran makro berupa lingkungan kebijakan (policy
environment), termasuk tetentunya dalam pengembangan system dan usaha
agribisnis. Gambar 2.2 merupakan visualisasi konsep Nee yang menekankan
hubungan integrasi institusi formal dan informal pada tataran makro, meso,
dan mikro. Rusaknya salah satu mekanisme integrasi akan menyebabkan
terjadinya kegagalan integrasi (decoupling), dan sebaliknya jika terjadi
harmonisasi hubungan dari level makro (lingkungan kebijakan) kepada
institusi informal, organisasi di level meso, sampai kepada tataran individu
ataupun kelompok (level mikro), maka akan terjadi insentif kesberhasilan
kegiatan ekonomi.
Mencermati hal itu, maka pemahaman terhadap teori new
institusionalism dapat dilengkapi dengan memahami secara umum teori
pilihan rasional yang digagas oleh James S Coleman (1988; 1990). Pada
dasarnya teori pilihan rasional berada dalam tataran middle range theory yang
berlandaskan kepada teori umum (grand theory), yakni tindakan rasional yang
digagas oleh Max Weber. Menurut Weber tipologi ideal tindakan sosial,
dibedakan atas (i) Tindakan Tradisional, yang merupakan tindakan sebagai
perilaku sosial karena suatu kebiasaan, (ii) Tindakan afeksional adalah
tindakan yang didasari perasaan dan emosi seperti misalnya ketertarikan
seksual; serta (iii) Tindakan yang dipandang penting oleh Weber yaitu
Tindakan Rasional yang dibedakan atas tindakan berorientasi Tujuan dan
Tindakan Rasional Berorientasi Nilai, seperti misalnya nilai religius (Roth dan
Wittich, 1978: 24-26; Johnson, 1988: 219).
Berlandaskan grand theory dari Weber mengenai rasionalitas atau lebih
spesifiknya adalah tindakan rasional, serta perspektif pilihan rasional pada
tataran middle range theory seperti yang dikemukakan oleh Coleman, maka
periode waktu terakhir ini berkembang studi-studi yang mengkaji kapital
sosial secara khusus, dan representasi kapital secara umum dari sudut pandang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
49
Universitas Indonesia
Sosiologi Ekonomi, dikaitkan dengan pengambilan keputusan transaksi sosial
ekonomi.
Jika mengacu atau mulai dari teori tindakan rasional, maka “Setiap
actor memiliki control atas sumber-sumber tertentu dan mempunyai
kepentingan dalam sumber-sumber tertentu dan kejadian”. Pernyataan
Coleman (1988) itu mengandung beberapa komponen yakni:
Bahwa inti tindakan rasional itu adalah actor. Mengacu pada
istilah Weberian, actor atau agent yang dimaksudkan adalah
seorang subyek atau individu yang memiliki pikiran (rasio),
perasaan, dan tradisi.
Dalam masyarakat terdapat berbagai sumber-sumber tertentu,
tetapi hanya sumber tertentu saja yang dapat dikuasai oleh seorang
individu. Penguasaan ini dalam konteks kepemilikan dan
pemanfaatannya, atau bisa saja hanya sebatas pemanfaatannya
saja.
Setiap actor memiliki kepentingan yang ada pada sumber-sumber
tersebut.
Salah satu dari sumber-sumber yang tersedia atau disediakan oleh
struktur sosial, dijadikan sebagai capital oleh actor. Sejalan
dengan prinsip ekonomi, sumber yang dibuat tersedia oleh actor
itu, adalah yang dapat memenuhi kepentingannya dan dapat
dikuasainya.
Oleh karenanya, berdasarkan penjelasan di atas maka dalam tindakan
rasional ada beberapa kata kunci yang harus dikaitkan satu dengan yang
lainnya, yakni actor (yang diasumsikan rasional); pilihan dari beragam
sumber yang tersedia; penguasaan atas sumber-sumber itu oleh si actor; dan
kepentingan pribadi. Dengan demikian timbul pertanyaan mengapa Coleman
tidak mengacu kepada pemikiran Fungsionalisme Struktural dalam
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
50
Universitas Indonesia
menjelaskan teori pilihan rasional. Hal ini tidak terlepas dari kritiknya
terhadap aliran sosiologi dan aliran ekonomi, yakni dua aliran yang berupaya
menjelaskan kapital sosial hingga dekade 1980-an.
Kritik yang dikemukakan adalah mengenai cacat yang sangat fatal
bagi perkembangan teori yang tidak mempertimbangkan atau mengabaikan
actor yang memiliki dalam tanda petik “mesin tindakan”. Kritik itu
ditujukan kepada aliran sosiologi yang menganggap actor itu dibentuk oleh
lingkungan (system atau struktur), bersifat pasif, serta tidak memiliki
kekuatan dari dalam untuk menentukan tindakannya. Faktanya dalam dunia
sosial tidaklah demikian. Menurut Coleman, individu manusia bukan hanya
sekedar tempat ataupun media bagi bekerjanya suatu struktur sosial.
Sementara, terhadap aliran ekonomi Coleman mengkritik bahwa
dalam mencapai tujuannya aktor tidaklah secara bebas, bertindak secara
bebas, dan terpusat pada kepentingan diri saja. Semua itu merupakan prinsip-
yang paling hakiki mengenai institusi kapitalisme yang sarat dengan
peraturan, norma, ataupun kewajiban.
Pendapat Coleman, sebenarnya dapat dikaitkan dengan pemikiran
aliran Chicago, yakni pandangan interaksionalisme simbolik yang kurang
sejalan dengan aliran fungsionalisme structural. Menurut aliran Chicago -
pandangan interaksionalisme simbolik mengemukakan bahwa struktur sosial
merupakan hasil dari interaksi sosial, dan dipertahankan oleh actor yang
terlibat dalam proses pembentukannya melalui tindakan atau interaksi sosial.
Tindakan dan interaksi sosial terjadi dalam suatu proses dinamis dan melebur
dalam hubungan interaksional itu sendiri. Oleh karenanya dapat dikemukakan
bahwa struktur sosial yang menjadi andalan (kapital) bagi individu dalam
bertindak produktif atau tidak produktif tergantung dari hubungan dinamis
antara individu dengan struktur sosial itu sendiri
Pada dasarnya rasionalitas dalam konteks ekonomi adalah sepenuhnya
rasional (wholly rational) demi kepentingan atau keuntungan individu.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
51
Universitas Indonesia
Sementara Nee (2005:57) lebih memandang konsep rasional berdasarkan
konteks masyarakat tertentu dan tertanam dalam hubungan interpersonal. Nee
mengemukakan rasionalitas yang cenderung bersifat “context-bound
rationality”. Rasionalitas yang sesuai konteks, yakni berlandaskan budaya,
agama, dan kebiasaan lokal setempat.
Pada sisi lain, Granovetter (2005) mengetengahkan gagasan mengenai
pengaruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan sosial
(network), terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas
informasi. Ia lebih lanjut menjelaskan empat prinsip utama yang melandasi
pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial
(network) dengan manfaat ekonomi, yakni: (i) norma dan densitas network;
(ii) The Strength of Weak Ties yakni manfaat ekonomi, yang ternyata
cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Untuk hal ini ia
menjelasakan bahwa pada tataran empiris, informasi baru misalnya, akan
cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang
umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan kenalan
baru relatif membuka cakrawala dunia luar individu.; (iii) The Importance of
“Structural Holes”. Yakni adanya peran lubang structural diluar ikatan lemah
aupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi
individu dengan pihak luar (outsider) dan (iv) The Interpenetration of
Economic and Non-Economic Action yaitu adanya kegiatan-kegiatan non
ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata
mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini Granovetter
menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi.
Pada konteks ini, Nee (2005) mengemukakan bahwa pola-pola ketertambatan
sosial (social embeddedness) bervariasi antar satu budaya dengan budaya
lainnya, dengan kata lain ketertambatan sosial yang berlaku dalam satu
budaya tertentu tidak serta merta dapat diterapkan pada budaya lain.
Pada hakekatnya, sumbangan pemikiran Granoveter dalam sosiologi
ekonomi sedemikian kuat pengaruhnya bagi perkembangan studi-studi
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
52
Universitas Indonesia
empiris. Salah satu pemikirannya yang sering dirujuk adalah mengenai
jaringan sosial. Dalam membahas masalah interpenetrasi kegiatan non
ekononomi dengan kegiatan ekonomi dikemukakan mengenai bagaimana
jaringan sosial mempengaruhi produktivitas kegiatan ekonomi. Diantaranya,
ia menjelaskan mengenai bagaimana jaringan sosial berperan sebagai sumber
inovasi terkait dengan adopsinya dalam masyarakat.
Penyebaran atau diseminasi inovasi teknologi pada dasarnya
merupakan transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian kepada user . Proses
penyebaran inovasi tentunya sangat tergantung dari beberapa hal, termasuk
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Salah satu prakondisi yang
diperlukan dalam percepatan diseminasi inovasi teknologi adalah dengan
pemanfaatan potensi sumberdaya lokal (Lionberger dan Gwin, 1991).
Disamping itu, diketahui bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi
tingkat adopsii inovasi meliputi: kondisi sosial ekonomi, karakteristik
personal yang mencakup aspek rasionalitas dan sikap terhadap perubahan
(Roling, 1988; Van den Ban, A.W dan Hawkins H.S, 1988). Menurut
Lawsons (2000:214), pengaruh inovasi teknologi dan ekonomi menyebabkan
perubahan struktur kearah tidak meratanya penguasaan sumberdaya produksi,
termasuk sumber-sumber sosial yang oleh Lin (2000) dikemukakan sebagai
Inequality sumber-sumber sosial.
Secara umum Lin (2000) membahas mengenai ketidakmerataan
(inequality) kapital sosial dengan menganalisis hambatan struktural dan
dinamika norma-norma sosial dalam interaksi masyarakat. Ia menjelaskan
masalah inequality kapital sosial berdasarkan perspektif “neo capital
theories” yakni suatu pendekatan yang memandang bahwa aktor/individu
ataupun komunitas dapat menguasai dan mengakumulasikan sumberdaya
(actor-based perspective) yang meliputi kapital fisik seperti lahan, uang, dan
alat produksi lainnya, serta kapital no fisik yang meliputi kapital sosial
maupun informasi. Proposisi yang cukup menarik ia kemukakan bahwa
ketidakmerataan sumberdaya kapital (termasuk capital sosial) akan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
53
Universitas Indonesia
menyebabkan ketidakseimbangan sosial (social inequality). Disini ia
mengemukakan definisi capital sosial sebagai investasi yang dapat
dimanfaatkan dalam mencapai hasil yang diharapkan, dan investasi itu
tertambat (embedded) dalam relasi sosial. Kapital sosial dikonsepsikan
sebagai kuantitas dan atau kualitas sumberdaya yang oleh actor (individu,
kelompok, atau komunitas) dapat diakses dan dimanfaatkan melalui posisi
atau lokasinya dalam jaringan sosial. Konsep di atas, menjelaskan bahwa
yang pertama mengandung pengertian mengenai sumber sosial capital yang
dapat diakses pada relasi sosial, sedangkan konsep yang kedua memberi
penekanan mengenai lokasi atau sumber capital sosial berada pada jaringan
sosial atau karakteristik jaringan sosial.
Pada tataran empirik, beberapa studi secara meyakinkan menemukan
bahwa sumberdaya sosial berpengaruh terhadap pencapaian hasil kegiatan
seperti pada kegiatan mencari pekerjaan, promosi, dan kegiatan memenuhi
nafkah, dan bahkan beberapa studi secara empiris juga menyatakan
sumberdaya sosial sangat berpengaruh terhadap pencapaian peningkatan
status sosial ekonomi. Lebih lanjut, Lin mengetengahkan proposisi bawa
semakin baik posisi dalam kelompok, organisasi, atau komunitas, maka
semakin baik juga peluang dalam mengakses dan memanfaatkan sumberdaya
sosial. Demikian halnya mengenai proposisi bahwa semakin kuat jaringan
sosial (semakin lemah ikatan sosial) akan berasosiasi positif dengan
sumberdaya sosial. Terakhir dikemukakan bahwa karakteristik jaringan
sosial juga berpengaruh terhadap penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya
sosial. Lin juga meyakini bahwa terdapat hambatan struktural antara lain
berupa ketidakseimbangan posisi sosial ekonomi diantara individu, yang
cenderung akan menggunakan kekuatan ikatan sosial mengikat dan faktor
kekerabatan dalam mengakses sumber-sumber sosial dalam upaya
pengembangan usaha dan peningkatan kesejahteraannya.
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
54
Universitas Indonesia
2.2.7. Kualitas Hidup (Quality of Life/QoL) dalam Pengembangan Agribisnisdan Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat.
Di Indonesia, perkembangan studi mengenai kesejahteraan pada
beberapa waktu terakhir ini masih relatif tertinggal jika dibandingkan pada
dekade 1980-an yang relatif marak melalui studi kemiskinan, ataupun studi
kemakmuran dan pemerataan pembangunan. Hal itu terungkap pada tulisan
Sitorus (1999) dalam mengkaji Sosiologi Kemakmuran sebagaimana yang
banyak digagas oleh Sajogyo, dalam mencurahkan perhatiannya pada analisis
masalah-masalah kemakmuran masyarakat pedesaan yang saat itu bahkan
sampai saat ini banyak tergantung pada sektor pertanian. Menurutnya,
kondisi kemakmuran (atau sebaliknya: kemiskinan) adalah hasil dari
konstruksi sosial yang bersifat struktural. Kemakmuran dalam hal ini
dipahami sebagai mutu sosial hidup yang sesungguhnya merupakan hakekat
kemakmuran. Sementara itu, studi yang relatif terkini dilakukan oleh
Castelli, et.all (2009) adalah mengenai pengaruh pelayanan publik terhadap
indikator kualitas hidup masyarakat di Inggris. Menurutnya terdapat pertalian
yang erat antara sosial kapital, kebijakan negara, dan kualitas hidup
masyarakat. Merujuk kepada temuan-temuan hasil penelitian itu, maka studi
ini akan menjadi menarik jika dapat mengungkapkan bagaimana peran
kemitaraan tripartit antara pemerintah, swasta dan masyarakat dapat
meningkatkan representasi kapital yang akan berkontribusi dalam mendorong
usaha agribisis komunitas berbasis banjar di Bali, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan pelaku agribisnis. Studi lainnya
yang erat dengan masalah kualitas hidup telah dilakukan oleh Dollar dan
Kraay (2002), yang menganalisis mengenai keberpihakan pertumbuhan
ekonomi terhadap masyarakat miskin (pro-poor growth). Menurut hasil studi
mereka, ternyata pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk memperbaiki
kondisi kehidupan masyarakat miskin tanpa distribusi pertumbuhan ekonomi
yang secara riil berupa pemerataan pendapatan. Hasil studi mereka yang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
55
Universitas Indonesia
cukup mengejutkan adalah analisisnya mengenai pengaruh berbagai kebijakan
yang mengalokasikan belanja kesehatan dan pendidikan dalam porsi yang
besar, ternyata tidak berdampak kepada peningkatan dan pemerataan
distribusi pendapatan kepada masyarakat.
Menganalisis aspek kualitas hidup masyarakat (QoL) tidak dapat
dipisahkan dari pembahasan mengenai konsep kesejahteraan yang pada
intinya merupakan aspek penting dalam mengukur pertumbuhan suatu negara.
Selama beberapa waktu, Bank Dunia menggunakan tolok ukur pendapatan
perkapita sebagai suatu ukuran pokok dari pertumbuhan suatu negara,
sehingga sedemikian fokusnya negara-negara berkembang seperti Indonesia
akhirnya terperangkap dalam orientasi kebijakan pembangunan nasional yang
sangat menekankan aspek pertumbuhan melalui target peningkatan
pendapatan perkapita. Akhir-akhir ini mulai diterapkan tolak ukur lain dalam
memandang tingkat pertumbuhan, yakni dengan menggunakan tolak ukur
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh United Development
Program (UNDP) dan disebut sebagai Human Development Index (HDI).
HDI tidak hanya menekaknkan pertumbuhan suatu negara dengan
menitikberatkan ada capaian pendapatan perjapita (GNP) melainkan
menambahkannya dengan indikator lain berupa usia harapan hidup
(Expextancy of life) usia satu tahun, dan juga indikator lain berupa angka
kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR), angka melek hurf atau tngkat
litercy dan daya beli masyarakat. HDI pada dasarnya sejalan dengan ukuran
lain dari pertumbuhan suatu negara dalam mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakatnya dengan menggunakan indeks mutu hidup (IMH) yang
terutama terdiri dari indikator usia harapan hidup dan angka melek huruf.
IMH dikenalkan pertama kali oleh Morris dan sampai saat ini masih
digunakan Biro Pusat Statstik (BPS) sebagai salah satu aspek pengukuran
tingkat pertumbuhan pembangunan nasional (Sajogyo, 1985).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
56
Universitas Indonesia
Unsur-unsur demografis seperti angka kematian bayi (IMR) dan juga
angka harapan hidup saat usia satu tahun dipandang beberapa kalangan cukup
memadai dalam usaha membandingkan tingkat kesejahteraan. Kedua ukuran
demografis itu, yakni IMR dan tingkat harapan hidup merupakan aspek
penting untuk menentukan ukuran kesejahteraan mengingat kedua ukuran itu
sangat sensitif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Rusli,
1996). Pada pekerkembangannya, tingkat kesejahteran tidak hanya diukur
berdarsarkan indikator fisik, melainkan telah mulai digagas mengenai
indikator non fisik seperti peran kebijakan negara maupun ketersediaan
potensi kapital, terutama kapital sosial (Castelli, et.all, 2009). Pada konteks
ini, representasi kapital dalam masyarakat tidak hanya terfokus pada kapital
ekonomi, melainkan jenis kapital lainnya yang bersifat intangible seperti
halanya kapital budaya, kapital politik, dan kapital sosial.
Di Indonesia, pandangan dan pemikiran mengenai kualitas hidup yang
umumnya disejajarkan dengan konsep kesejahteraan masyarakat sedemikian
marak dibahas saat pemerintahaan Indonesia mengimplemenasikan program
pembangunan lima tahun (Pelita), sebagai upaya untuk mengevaluasi
kebijakan ataupun program pembangunan nasional. Salah satu sosiolog yang
banyak menganalisis mengenai kesejahteraan masyarakat pedesaan adalah
Sajogyo, yang dikenal dengan pemikirannya mengenai Sosiologi
Kemakmuran atau sering disebut Sosiologi Kemiskinan (Sitorus, 1999).
Kondisi kemakmuran disepadankan dengan mutu sosial hidup yang tinggi,
dan itulah hakekat kemakmuran. Untuk mengukurnya secara kuantitatif
(obyektif) Sajogyo (1984) menganjurkan penggunaan indikator komposit
IMH-Plus (Indeks Mutu Hidup, Physical Qualiy of Life) yang terdiri dari: (i)
tingkat melek huruf yang dapat diukur dengan tingkat pendidikan sebagai
unsur penentu peluang bekerja atau berusaha yang nantinya juga ada
pertaliannya dengan status okupasi masyarakat pedesaan; (ii) tingkat kematian
bayi; (iii) tingkat harapan hidup; dan plus (iv) tingkat fertilitas.
Kesejahteraan juga harus diukur secara kualitatif yaitu ukuran makmur atau
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
57
Universitas Indonesia
miskin menurut penilaian (bias sosial budaya) masyarakat itu sendiri
(Sajogyo, 1995 dalam Sitorus, 1999). Dalam kerangka analisis sosiologisnya,
Sajogyo senantiasa merujuk pada arah kebijakan pembangunan nasional, yang
pada eranya tertuang secara formal (formal rules) dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) sebagai acuan operasionalisasi pembangunan
nasional jangka menengah. Menurutnya, pembangunan nasional termasuk
pembangunan pertanian di dalamnya harus dianalisis dengan asumsi bahwa
kondisi pemerataan masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, sehingga
delapan jalur pemerataan yang sangat politis sifatnya menjadi fokus perhatian
Sajogyo dalam membahas kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan. Dua
jalur utama dari delapan jalur pemerataan yang sangat penting sebagai
pembuka jalur pemerataan pembangunan yang lainnya adalah pemerataan
peluang berusaha dan peluang bekerja yang akan menentukan jalur kecukupan
tingkat pendapatan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai aspek okupasi
seperti yang dilakukan Sujatmiko (1996) dalam menganalisis stratifikasi sosial
masyarakat Jakarta, masih relevan dalam hal mendukung pembahasan kualitas
hidup masyarakat secara lebih komprehensif. Lebih jauh, Pendapatan
tentunya akan membuka peluang untuk meningkatkan kecukupan atau
ketersediaan pangan, sandang, dan perumahan, serta peluang memanfaatkan
faslitasi pelayanan kesehatan dan mendapatkan pendidikan yang memadai
bagi masyarakat. Dengan konteks itu, dapat dikemukakan bahwa peluang
mencapai peningkatan kesejahteraan dapat dianalisis dengan visualisasi model
analisis berikut ini (Gambar 2.4).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
58
Universitas Indonesia
Gambar 2.4. Model Analisis Sajogyo (1984) mengenai KesejahteraanMasyarakat (Divisualisasikan dengan menyarikan pandanganSitorus,1999 (h. 6) dan Sajogyo, 1985, h. 229).
Pada beberapa tahun terkahir ini, kajian-kajian mengenai kualitas
hidup masyarakat (QoL) telah menunjukkan perkembangan yang sedemikian
pesat. Salah satu pemikiran mengenai aspek kualitas hidup dikemukakan oleh
Noll (2002) yang mengutarakan bahwa kualitas hidup individu atau tingkat
rumahtangga berkorelasi dan saling terkait dengan agregasi tingkat kualitas
hidup masyarakatnya, serta merupakan implikasi dari lingkungan kebijakan
yang ada. Noll (2002) membedakan indikator-indiktor kualitas hidup yang
bersifat obyektif dan subyektif. Indikator obyektif ditekankan pada
representasi fakta sosial berupa data statistik yang terbebas dari penilaian
individu, sementara indikator subyektif merupakan perpepsi individu
mengenai realitas sosial kesejahteraannya, bahkan termasuk didalamnya
mengukur secara kualitatif unsur partisipasi individu sebagai warga negara
dan dalam proses politik demokrasi. Kedua indikator itu ada pertaliannya
dengan dua pendekatan dalam pelaksanaan sudi-studi kesejahteraan umunya
atau kualitas hidup khsususnya, yakni (i) pendekatan model “Scandinavian
Level of Living” dan pendekatan “American QoL”. Pendekatan yang pertama
lebih fokus pada kondisi obyektif kualitas hidup yang terutama dikaitkan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
59
Universitas Indonesia
dengan potensi suberdayanya meliputi aspek keuangan, kepemilikan,
pegetahuan, relasi sosial, keamanan sosial, serta aspek pembangunan
manusianya (IPM); serta pendekatan yang kedua lebih menekankan pada
kesejahteraan individu sebagai hasil dari kondisi sosial maupun proses yang
berkembang, dan umumnya menekankan pengukuran indikator kepuasan dan
kebahagiaan individu masyarakat. Sedangkan pada perkembangan terkahir
ini, Noll (2002 mengemukakan pendekatan lain dalam menganalisis kualitas
hidup, yakni dengan fokus pada kualitas hidup individu dan keseluruhan
proses keidupannya beserta hal yang melingkupinya berupa dimensi sosial
seperti equaility, equity, kebebasan, dan solidaritas yang didalamnya juga
terkandung aspek relasi dan kohesi sosial. Lebih lanjut Noll (2002) juga
mengemukakan bahwa tingkat kualitas hidup juga dapat dijadikan indikator
dalam memandang sustainabilitas pembangunan. Menurut Bank Dunia
sustainabilitas pembangunan mengacu kepada tingkat kesejahteraan
masyarakatnya yang terpelihara dan berlanjut hingga generasi berikutnya yang
dapat dientukan dengan keberlanjutaan penguasaan dan pemanfaatan
komponen kesejahteraan yang terdiri dari potensi kapital berupa sumberdaya
alam (natural capital), produce/man- made capital, human capital, dan sosial
kapital. Hal ini selaras dengan hasil studi yang dilakukan oleh Castelli et.all
(2009) yang menyatakan bahwa terdapat pertalian yang erat antara kapital
sosial, koteks kebijakan, dan peran pelayanan publik terhadap kualitas hidup
(QoL) satu masyarakat (Gambar 2.5).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
60
Universitas Indonesia
Gambar 2.5. Model Analisis Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat(Divisualisasikan dengan menyarikan pandangan Castelli,et.all. (2009) h. 111.
Studi Castelli et.all (2009) yang dilakukan di Inggris pada hakekatnya
bertujuan untuk menganalisis peran kapital sosial berupa jaringan sosial (net
work) dan peran kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi tigkat QoL
masyarakat melalui peran organisasi pelayanan publik. Studi yang dilakukan
menganalisis indikator makro QoL berupa IMR, tingkat harapan hidup, dan
tingkat pendidikan yang datanya bersumber dari lembaga terkait yang
memiliki otoritas di tingkat nasional maupun local goverment. Sedangkan
indikator mikro QoL diukur berdasarkan indiktor yang ditetapkan oleh tim
peneliti yang antara lain meliputi indikator kesehatan (morbiditas), akses
transprotasi, tingkat pendidikan (life-long learning), kondisi perumahan, dan
kohesi sosial komunitas lokal. Tingkat QoL tersebut dianalisis dengan
mencermati pengaruh kapital sosial terutama jaringan sosial yang oleh Lin
(2001) dalam Akdere (2005) ditekanan pada aspek relasi sosialnya, peran
kebijakan pemerintah, dan variasi organisasi pelayanan publik. Studi itu
menyimpulkan bahwa konteks lingkungan kebijakan dan aspek lingkungan
sosial merupaan faktor yang signifikan pengaruhnya terhadap QoL. Selain
Policy Context
Social Capital
Public ServicesOrganisations
(PSOs)
Kualitas Hidup(QoL)
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
61
Universitas Indonesia
itu, tingginya ketersediaan dan pemanfaatan kapital sosial dan kuatnya
bentuk-bentuk ikatan sosial dalam komunitas akan meningkatkankan QoL
masyarakat. Pada sisi lainnya juga dikemukakan oleh Castelli et.all (2009)
bahwa kesesuaian dan integrasi kebijakan dengan berbagai jenis kegiatan
organisasi pelayanan publik akan turut meningkatkan QoL, atau juga dapat
diutarakan bahwa partnership antar organisasi dan integrasinya dengan
konteks kebijakan akan meningkakan keragaan QoL komunitas.
Diskusi mengenai konteks kebijakan pembangunan di Indonesia
semestinya dapat mencermati pandangan beberapa ahli yang mendalami teori-
teori pembangunan, antara lain dengan memperhatikan pendapat Rahardjo
(2009: 1) mengenai teori pembangunan Dunia Ketiga, karena hal ini penting
untuk menggambarkan bagaimana dinamika kebijakan pembangunan sosial
ekonomi di Indonesia yang senyatanya ditujukan untuk kesejahteraan
masyarakatnya. Menurutnya di Dunia Ketiga berkembang dua perspektif dan
pendekatan. Pertama perspektif kapitalisme pasar bebas dengan pendekatan
kapital, dan yang kedua adalah perspektif sosialis dengan pendekatan
sumberdaya manusia. Kegagalan dua perspektif itu menghasilkan perspektif
yang bersifat alternatif, yaitu aliran sosial demokrasi di dunia maju dan aliran
strukturalis di Dunia Ketiga. Di Indonesia sendiri pendekatan strukturalis
melahirkan alternatif aksiologi menuju perekonomian mandiri yang terjadi
setelah terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat dan terbangunnya
prasarana dan ketersediaan tekonologi tepat guna, tentu dengan catatan dapat
dimanfaatkan dan diberdayakan secara merata dan adil bagi masyarakat.
Sementara pendapat Damanhuri (2009: 62-68) mengemukakan bahwa
selaras dengan sumber normatif pembangunan perekonomian nasional seperti
yang tercantum dalam beberapa pasal UUD 1945, maka secara ideologis jelas
posisi kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil sangat dekat dengan
aliran atau mazhab sosial demokrat dengan melaksanakan model negara
kesejahteraan /MNK (Welfare State Model). Pasal-pasal UUD 1945 yang
telah diamendemen memuat dengan jelas landasan pengembangan sistem
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
62
Universitas Indonesia
ekonomi nasional, terutama pada pasal 23 ayat (2), Pasal 28 butir H ayt (1),
dan Pasal 33 yang mengamanatkan sistem ekonomi nasional dilaksanakan
bercirikan: APBN dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,
penciptaan kesempatan kerja penuh, sistem perekonomian yang berdasarkan
kekeluargaan dengan menolak free fight liberalism dalam era globalisasi
ekonomi dunia, dan melaksanakan prinsip negara kesejahteraan (wellfare
state). Model negara kesejahteraan ini sangat berhasil dalam membangun
sistem perekonomian masyarakatnya melalui beberapa ciri-ciri dari MNK
seperti berikut: (i) Adanya peranan negara yang sedemikian luas, bersih dan
kredibel ang mampu melaksanakan politik redistribusi kekayaan antara lain
melalui kebijakan pajak progresif. Ciri ini tentu erat kaitannya dengan
bagaimana suatu negara melalui pemerintahanya mampu menciptaan ruang
inklusifitas dalam pembangunannya; (ii) Terdapat kebebsan pers dan politik
yang luas dengan mekanisme pasar yang sehat, dengan melibatkan peran
swasta yang juga luas mengacu pada peraturan dan perundang-undangan yang
dijalankan secara konsekuen dan konsisten; (iii) Berkembangnya peran
masyarakat yang diindikasikan dari pentingnya peran serikat pekerja, peran
berbagai organisasi dan profesi dalam bingkai masyakat madani (civil
society); (iv) Terdapat peran penting koperasi dalam mewujudkan keadilan
ekonomi dan sosial masyarakat seperti yang ditunjukkan dalam perekonoian
di negara-negara Skandinivia yang berhasil mencapai tingkat kesejahteraan
masyarakat pada level tertinggi karena keberhasilan pengembangan
koperasinya.
Dengan gambaran dari ciri-ciri MNK tersebut di atas maka
keberhasilan negara-negara penganut MNK ternyata sangat nyata ditinjau dari
indikator pembangunan ekonomi berupa “pemerataan” pembangunan sebagai
obsesi utama dari negara-negara penganut MNK ataupun sosial demokrat
dalam mengatasi ketimpangan sosial. Masalah ketimpangan sosial senyatanya
telah menjadi fokus perhatian dalam operasionalisasi kebijakan pembangunan
disegala sektor. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya beberapa peraturan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
63
Universitas Indonesia
perundang-undangan tentang sistem jaminan sosial seperti diundangkannya
UU No.3/1992 mengenai sistem jaminan sosial tenaga kerja, yang lebih lanjut
diikuti dengan tertbitnya PP No. 14/1993, Keppres No. 22/1993 dan PP No.
83/200. Selain itu terdapat juga sistem asuransi kesehatan yang
pelaksanaanya mengikuti Keppres No.l230/1968 dan PP No. 22/1984. Pada
sisi lainnya, juga terdapat UUPA (Undang-undang Pokok Agraria, yakni
UUPA No.5/1960, yang saat ini telah diperbaharui dengan Tap MPR No IX
tahun 2001 tenang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam)
yang dimaksudkan terutama untuk mengatur dan mereduksi ketimpangan
penguasaan lahan pertanian, mengingat sedemikian banyaknya masyarakat
yang mengantungkan nafkah dari sektor pertanian.
Dalam kerangka pelaksanaan model negara kesejahteraan, terdapat
satu hal yang perlu mendapat perhatian lebih serius dari para peminat dan
pemikir sosiologi ekonomi di Indonesia, yakni sejauh mana studi-studi
mengenai koperasi sebagai bentuk suku guru perekonomian masyarakat yang
berlandaskan kekeluargaan dapat dijadikan wadah untuk berusaha mencapai
kesejahteraan dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosiologis dan
sumberdaya lokal. Pada sisi lain, sistem kapitalisme mesti diantisipasi dengan
tetap bersandar pada kerangka ideologis perekonomian Indonesia seperti yang
diamanatkan UUD 1945. Senyatanya terdapat satu pelajaran penting untuk
dicermati mengenai kegagalan kapitalisme atau oleh Achwan (2009) disebut
sebagai superkapitalisme yang berkembang saat ini, yakni dengan munculnya
fenomena krisis keuangan global akhir-akhir ini. Superkapitalisme itu
dicirikan oleh dominasi sistem keuangan dalam menggerakkan sistem
keuangan dan sistem ekonomi dunia. Lebih lanjut diutarakan bahwa sistem
superkapitalisme juga ditandai oleh hilangnya hubungan sosial antara
pemerintah, swasta dalam hal ini pemilik saham, dan masyarakat. Pada
hakekatnya, pembangunan sosial dan pengembangan ekonomi masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan ksejahteraan. Oleh karena itu, studi ini
dilandasi beberpa pemikiran mengenai model-model analisis yang
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
64
Universitas Indonesia
mengkaitkan kualitas hidup dengan pemberdayaan kapital sosial dan aspek
kebijakan (policy contectx), yang akan dikontekstualisasikan dengan
fenomena sosiologis di lokasi studi.
Salah satu model yang didalami sebagai landasan bagi
pengembangan model penelitian ini antara lain adalah dari pemikiran
Woolcock dan Narayan (2000). Pada dasarnya mereka sangat fokus pada
masalah bagaimana kapital sosial dapat mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat. Pada konteks itu, mereka mencoba menganalisis juga mengenai
peran pemerintah (negara) dan kapital sosial untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat seperti Gambar berikut.
Gambar.2.6. Model Hubungan antara Kapital Sosial, Fungsi Negara, danKesejahteraan (Dimodifikasi dari Sumber: Woolcock M, danNarayan D. 2000. Social Capital: Implication forDevelopment Theory, Research, and Policy. The World BankResearch Observer. Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249
Pada dasarnya Woolcock dan Narayan (2000) mengemukakan hasil
studinya yang diinisiasi oleh World Bank seperti berikut. Menurut mereka,
kinerja pemerintah yang baik disertai dengan kapital sosial yang kuat, akan
diyakini mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang
baik pula. Demikian sebaliknya, kinerja pemerintah atau peran negara yang
sudah memadai tetapi tidak disertai dengan ketersediaan kapital sosial yang
KINERJA PEMERINTAH BAIK(Fungsi State )
Kapital Sosial(Jaringan Sosial)
Kesejahteraan(Social & EconomicWell -being )
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
65
Universitas Indonesia
kuat akan memimbulkan konflik-konflik sosial ekonomi ataupun ekslusi sosial
dalam mayrakat, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.7 (Kuadran II).
Sementara pada kuadran III tampak bahwa lemahnya kapital sosial yang tidak
diikuti oleh kuatnya peran negara (kinerja pemerintah) juga akan berdampak
pada terjadinya konflik-konlik dalam masyarakat yang akan muncul ke
permukaan. Terakhir, pada kuadran IV tampak bahwa kuatnya kapital sosial
yang tidak disertai dengan peran negara yang kuat akan menimbulkan coping.
Pemikiran itu tertuang pada Gambar berikut ini.
KINERJA PEMERINTAH BAIK(Well Fuctional State)
LEMAHNYA KINERJA PEMERINTAH(Disfuctional State)
KapitalSosialTinggi
KapitalSosialRendah
EksklusiSosial
KonflikSosial
Kesejahteraan(Social & EconomicWell-being)
Coping
Gambar. 2.7. Keterkaitan Kapital Sosial dengan Fungsi Negara (KinerjaPemerintah) dalam Menciptakan Kesejahteraan. Sumber:Woolcock M, dan Narayan D. 2000. Social Capital:Implication for Development Theory, Research, and Policy.The World Bank Research Observer. Vol.15.No.2 (Agustus2000) p:225-249
Selain model-model tersebut, terdapat satu research papper dari
Australian Institute of Family Studies yang dikemukakan oleh Stone dan
Hughes (2002) yang pada intinya mengusulkan pengukuran kapital sosial
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
66
Universitas Indonesia
dengan mengkaitkannya pada determinan kapital sosial dan outcome kapital
sosial berupa kesejahteraan (Gambar 2.8)
Gambar. 2.8. Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone W danHughes J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning andMeasurement Validity. Research Papper 27, AustralianInstitute of Family Studies. Melbourne.)
Secara rinci Stone dan Hughes (2002) mengusulkan pengukuran
kapital sosial itu dengan memfokuskan pada jaringan sosial khususnya
jaringan kerja dan karakteristik jaringan kerja itu sendiri. Determinan kapital
sosial dipandang sebagai sumber-sumber dari kapital sosial, sementara
outcome kapital sosial berupa kesejahteraan diukur dengan menentukan
•Ukuran jaringankerja (jumlahikatan informal,jumlah tetangga,jumlah rekan kerja
•Kerapatanjaringan
Gambar 2.9. Rincian Model Pengukuran Kapital Sosial (Sumber: Stone Wdan Hughes J. 2002. Research Papper 27, AustralianInstitute of Family Studies. Melbourne.)
2.3. Landasan Teori Studi Representasi Kapital dalam Peningkatan KualitasHidup (QoL) Komunitas Agribisnis Berbasis Banjar di Bali.
Berlandaskan literature review yang dilakukan terhadap studi-studi
terdahulu, serta merujuk kepada pernyataan maksud atau tujuan (the purpose
statment) dari studi ini maka landasan utama yang mendasari studi ini adalah
tesis yang dikemukakan oleh Castelli et.all (2009) tentang keterkaitan kapital
sosial, konteks kebijakan dengan kualitas hidup masyarakat. Peningkatan
kualitas hidup ataupun kesejahteraan masyarakat secara umum, adalah salah
satu tujuan pembangunan nasional. Tujuan itu ditengarai tidak akan tercapai
jika kurang didukung pemanfataan potensi lokal dan tentunya representasi
kapital dalam masyarakat. Oleh karena itu, analisis studi ini juga sangat
relevan untuk berpegang pada teori kapital yang terutama dikemukakan oleh
Bourdieu (1986), yang dipertegas oleh Svendsen & Svendsen (2003)
mengenai “Bourdieuconomic”, yakni teori yang mengembangkan konsep
kapital secara lebih luas, tidak hanya mencakup kapital berbentuk material,
tetapi juga non-material dalam kegiatan ekonomi. Bourdiecomonomic terkait
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
68
Universitas Indonesia
dengan teori lain yang dikemukakan juga oleh Bordieu mengenai ranah
(field), dan habitus dalam menganalisis praktik sosial. Dalam hal ini, studi
lebih difokuskan untuk menganalisis strategi perjuangan agen dalam mencapai
posisi obyektif yang diinginkan, tentunya dalam ranah (field) dan habitus
yang terkait
Lebih lanjut, upaya membahas peran pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam peningkatan penguasaan kapital dalam masyarakat yang
bermuara pada penigkatan kualitas hidup, maka studi ini juga dilandasi teori
kelembagaan baru (new institusionalism) yang dikemukakan oleh Victor Nee
(2005). Penetapan teori ini didasari pemikiran tentang perlunya analisis
keberhasilan ataupun kegagalan supra sistem dalam mengimplementasikan
ide-ide pembangunan. Mengingat fokus analisis studi yang diarahkan pada
konteks implementasi program Prima Tani yang bermuatan akselerasi
pemasyarakatn inovasi pengembangan pertanian pedesaan, maka studi ini juga
dilandasi oleh pemikiran mengenai model pembangunan bercirikan ko-
produksi (Ostrom, 1977; Zaenuddin, Syahra, dan Suprihadi, 2007).
Teori-teori itu merupakan hasil studi yang akan diterapkan dalam
penelitian ini, dengan mempertimbangkan aspek ruang (tempat) yang
memiliki kesesuain dengan lokasi studi dan aspek waktu yang
mempertimbangkan aspek kekinian pelaksanaan studi. Oleh karena itu,
kembali ditegaskan bahwa studi ini terutama dilandasi oleh tiga pemikiran
utama yakni, pemikiran bourdieuconomic tentang kapital, pemikiran tentang
“new institutionalism” yang dikaitkan dengan ciri koproduksi implementasi
pengembangan agribisnis berbasis komunitas, dan tesis tentang keterkaitan
konteks kebijakan, kapital sosial, dan kualitas hidup masyarakat. Secara
substansial, teori yang akan diterapkan sedapatnya merefleksikan keiinginan
penulis dalam mengisi “gap” yang ada pada studi-studi sebelumnya, yakni
pengkajian terhadap beberapa aspek yang belum menjadi fokus perhatian studi
sebelumnya (Descombe, 2003: 50-51; Neuman, 2003:90-104).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
69
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI
Studi ini menggunakan metode kuantitatif sebagai pendekatan
penelitian yang utama. Akan tetapi, dalam rangka menelusuri data secara
lebih mendalam mengenai gejala dan even yang mencakup aspek integrasi
kebijakan akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian dengan
berbagai informal rules di level messo maupun dengan level mikro, maka
studi ini juga didukung metode pengumpulan data kualitatif. Hal ini
dilakukan terutama untuk menggali pemaknaan aktor atas peran tripartit
pemerintah-swasta-masyarakat dalam pengembangan agribisnis berbasis
komunitas banjar. Disamping itu, dalam kerangka menelusuri makna aspek
kultural penguasaan dan penggunaan berbagai bentuk kapital dikaitkan
dengan sistem sosial maupun aspek kualitas hidup (QoL) komunitas
agribisnis berbasis banjar di Bali, maka pengumpulan data dan informasi yang
bersifat kualitatif dilakukan melalui penerapan in-depth interview dengan
beberapa informan kunci, serta observasi berperan serta di lokasi penelitian.
Dengan demikian, studi ini dimaksudkan sebagai studi yang mengintegrasikan
metode kuantitatif dan kualitatif (mix methods) dengan pertimbangan bahwa
penelitian ini mencakup dua tataran sebagai fokus studi, yakni tataran
kebijakan dan tataran operasional-empiris.
Integrasi metode kuantitatif dan kualitatif dalam suatu studi
belakangan ini sering menjadi pilihan yang baik dalam menjawab tujuan
penelitian, terutama semenjak Rudestam dan Newton (2000: 45)
mengemukakan empat desain penelitian dengan mengkombinasikan dua
metode kuantitatif dan kualitatif (mix methodes). Menurut mereka empat
desain tersebut memiliki fleksibilitas terutama terkait aspek waktu studi,
paradigma penelitian, dan keterbatasan penelitian. Empat desain studi yang
mengintegrasikan metode kuantitatif dan kualitatif dikemukan sebagai
berikut: (i) studi sekunsial, yakni studi yang dimulai dengan pengumpulan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
70
Universitas Indonesia
data kuantitatif yang kemudian diikuti pengumpulan data kualitatif (dan atau
bisa sebaliknya), pada waktu yang berbeda; (ii) Penelitian simultan (pararel)
yang melakukan proses pengumpulan data kualitatif maupun kuantitatif pada
saat dan waktu yang bersamaan; (iii) Studi yang berstatus equivalen, yakni
pemanfaatan metode kuantitatif dan kualitatif degan porsi penekanan yang
sama dalam memahami realitas sosial yang diteliti; dan (iv) Penelitian
dominan–kurang dominan, yakni salah satu metode yang digunakan bersifat
lebih dominan dalam menjawab tujuan penelitian berdasarkan paradigma
yang ditetapkan sebelumnya, sementara metode yang lain merupakan
pendukung atau komponen kecil dari studi yang dilakukan.
Penelitian ini merupakan “multi level study” yang menetapkan desain
studi “dominan –kurang dominan” serta menekankan metode kuantitatif
sebagai metode utama dalam upaya menjawab tujuan penelitian, dengan
berpegang terutama kepada paradigma tatanan sosial (order paradigm). Pada
konteks ini, fokus studi adalah mencermati gambaran sosial (sosiografi) selain
mempertimbangkan pentingnya dukungan pengumpulan data kualitatif.
Desain studi dominan –kurang dominan, secara sosiologis dapat lebih luas
menjelaskan sejauh mana representasi kapital dapat meningkatkan kualitas
hidup komunitas agribisnis di lokasi penelitian dengan mengkaji makna
subyektif aspek kebijakan maupun kultur yang ada dalam proses integrasi
formal rules dan informal rules, serta preferensi indigenous dalam proses
pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis komunitas banjar.
3.1 SubyekPenelitian (Populasi Penelitian).
Subyek penelitian berada pada dua tataran fokus perhatian, pertama
subyek yang merupakan aspek makro level berupa lembaga pemerintah
seperti Departemen Pertanian-Badan Litbang, Pemerintah Daerah, DPRD,
Organisasi sosial, hingga pada organisasi sosial tradisional seperti banjar
maupun organisasi tradisi lainnya yang eksis di Bali. Subyek penelitian
dalam tataran kebijakan juga mencakup komunitas lokal setempat. Penelitian
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
71
Universitas Indonesia
ini dilakukan pada komunitas agribisnis berbasis banjar di kabupaten
Buleleng. Pada studi ini komunitas dipandang sebagai suatu sistem sosial
yang relatif kecil, dan anggotanya memiliki hubungan dan keterikatan yang
relatif kuat, memiliki kepentingan bersama, serta didukung kesadaran sosial
anggota komunitas. Komunitas agribisnis berbasis banjar yang menjadi
subyek penelitian merupakan jenis komunitas yang bersifat primordial,
spasial, dan okupasional. Sifat primordial ditunjukkan dengan realitas
anggota komunias agribisnis berbasis banjar di Bali yang masih diikat oleh
persamaan agama, suku, dan hubungan kekerabatan yang relatif kuat.
Sedangkan sifat spasial komunitas ini ditunjukkan dengan adanya ikatan
kesamaan tempat tinggal berupa banjar yang merupakan wilayah tempat
tinggal di bawah desa. Selanjutnya mengenai sifat komunitas subyek
penelitian diindikasikan oleh adanya kesamaan pekerjaan, yakni sebagian
besar bekerja di bidang pertanian ataupun agribisnis.
Kedua, subyek penelitian pada tataran operasional meliputi petani dan
aktor lainnya dalam komunitas banjar. Petani pelaku agribisnis dalam
komunitas ini tergolong “peasant”dalam rumusan Shanin (1990) atau
“smallholder”dalam rumusan Netting (1993) yang memiliki ciri utama
penguasaan lahan sempit. Akan tetapi, merujuk pada pandangan Davis dan
Golberg (1957) dalam Syahyuti (2006) komunitas yang diteliti adalah
komunitas agribisnis mengingat anggotanya berkecimpung dalam kegiatan
agribisnis, yakni melakukan atau terlibat dalam kegiatan mulai dari distribusi
alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produksi (on farm), pengolahan,
penyimpanan, serta distribusi komoditas pertanian dan barang-barang yang
dihasilkannya.
Gambaran lokasi penelitian, difokuskan untuk menganalisis dan
mendiskripsikan pemahaman tineliti terhadap topik studi yang dikaitkan
dengan kehidupan sosial dalam wahana banjar di Bali. Banjar merupakan
salah satu jenis pengelompokkan sosial masyarakat Bali selain
pengelompokkan sosial masyarakat atas dasar: (i) persekutuan kekerabatan
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
72
Universitas Indonesia
dan kebaktian di pura yang disebut dadia, (ii) pengelompokan atas dasar
tujuan tertentu dalam kelompok sekehe, (iii) dan (iv) pengelompokan atas
dasar sistem pertanian yang enggunakan jaringan irigasi yang sama, yakni
dikenal dengan nama subak. Banjar adalah pengelompokan sosial yang
sangat umum dan telah lekat dengan kehidupa sosial maupun kehidupan
bernegara, karena banjar sangat terkait dengan wilayah adninisrasi tempat
tinggal di bawah Desa, seperti yang diatur dalam Perda No.1 Pemerintaha
Propinsi Bali, tahun 1986, dan sesuai dengan undang-undang yang mengatur
pemerintahan daerah (UU.No.5/1979; UU.No.22 dan 25 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah). Lebih lanjut banjar dinyatakan sebagai
kesatuan hidup setempat, persekutuan hidup sosial, dan sebagai organisasi
sosial tradisional yang berfungsi mengatur kerjasama antar anggota dalam
kegiatan pemerintahan, keagamaaan, tugas adat, dan aktivitas lainnya
termasuk kegiatan ekonomi secara umum yang bercirikan kekeluargaan dan
kebersamaan. Terminologi banjar berarti deret, jajar, dan baris, yang
tercermin dari arsitektur perumahan warga banjar yang berderet secara teratur
dengan batas-batas yang jelas. Selain itu, dalam sistem pemerintahan daerah,
banjar berada dalam lingkup desa sebagai struktur pemerintahan yang terkecil
(Mitchel 1994: 193).
Adapun realitas sosial yang akan menjadi fokus studi (subject –
matter) ini terutama berpusat pada : 1) aspek penguasaan dan penggunaan
berbagai bentuk kapital, yakni kapital sosial, budaya, politik, dan kapital
ekonomi, 2) integrasi lingkungan kebijakan (formal rules) dan informal rules
di level messo serta dengan preferensi kelompok atau individu dalam
pengembangan agribisnis dan 3) keterkaitan dua aspek tersebut dengan QoL
anggota masyarakat dalam sistem banjar. Untuk memperoleh data dan
informasi di level mikro yang akan digunakan sebagai bahan analisis studi,
maka penelitian ini akan didukung dengan metode survai rumahtangga petani
pada komunitas agribisnis yang berbasis banjar. Sedangkan pada level messo,
studi ini akan didukung data dan informasi yang digali dari unit analisis
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
73
Universitas Indonesia
organisasi seperti kelurahan, organisasi petani (lembaga agribisnis), oganisasi
tradisi seperti banjar dan subak ataupun sekeha, dan lembaga terkait di tingkat
kecamatan maupun kabupaten Buleleng. Selanjutnya data yang digali dari
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian), Badan Litbang Pertanian-
Deptan, Dinas Pertanian Bali, serta stakeholders lainnya yang terkait dengan
pembangunan pertanian wilayah Bali akan digunakan untuk analisis pada
level makro. Hal ini dimaksudkan untuk dapat lebih holistik dalam
membangun pemahaman yang akan mendukung uji statistik inferensia
terhadap performa pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang dikaitkan
dengan pemberdayaan sumber-sumber sosial dalam masyarakat.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.
Studi ini dilakukan selama tiga bulan, yang diawali dengan penelitian
pendahuluan pada September –Oktober 2009. Kegiatan pada satu bulan
pertama difokuskan untuk melakukan pretest instrumen penelitian, yang
ditujukan untuk mengetahui reliabilitas dan validitas instrumen penelitian.
Selanjutnya, kegiatan pada lebih kurang satu bulan berikutnya pada Maret
hingga awal April 2010 difokuskan untuk pengumpulan data survai dan juga
melengkapi pengumpulan data dengan in-depth interview serta melakukan
observasi lapangan. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, yaitu di propinsi
Bali dan difokuskan pada satu desa adat di wilayah kabupaten Buleleng,
yang merepresentasikan wilayah lokasi kegiatan yang diintroduksi
pemerintah, dalam hal ini kegiatan akselerasi pemasyarakatan inovasi
teknolohgi pertanian yang dikoordinasikan Departemen Pertanian. Lokasi
penelitian adalah di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak - Kabupaten
Buleleng yang merupakan lokasi kegiatan percepatan diseminasi inovasi
teknologi pertanian (Prima Tani) yang sudah terbina sejak lebih dari tiga
tahun dan wilayah yang sudah relatif mandiri. Adapun penetapan lokasi
penelitian dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan seperti berikut:
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
74
Universitas Indonesia
a. Desa ini merupakan lokasi program pengembangan agribisnis berbasis
inovasi teknologi pertanian di Bali, yakni program Departemen Pertanian
yang ditujukan untuk akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian.
b. Kondisi pembangunan pertanian di lokasi ini, relatif kondusif untuk
mendukung penulis dalam menjawab tujuan penelitian, yakni tingginya gairah
masyarakat dalam menekuni sistem dan usaha agribisnis ditengah
perkembangan sektor lainnya yang semakin pesat.
c. Berdasarkan observasi dan wawancara pendahuluan dengan berbagai pihak,
maka lokasi penelitian cukup representatif untuk diteliti, mengingat masih ada
potensi kapital dan keterkaitannya dengan modernisasi usahatani, yang
didukung eksisnya beberapa lembaga dan organisasi sosial yang bersifat
tradisi maupun yang sudah modern, dalam menganalisis kualitas hidup
masyarakat di lokasi penelitian.
3.3. Metoda Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel Penelitian.
3.3.1 Metode Kuantitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan metode survai yang
ditujukan untuk memperoleh data-data primer maupun sekunder yang
diperlukan sebagai bahan analisis. Data yang dikumpulkan meliputi data
potensi kapital pada level mikro (rumahtanga petani), di tingkat meso antara
lain data dari organisasi dan kelembagaan terkait dengan pengembangan
pertanian di Desa Sanggalangit, Kecamatan - Kabupaten Buleleng. Data yang
diperoleh di tingkat makro terutama dari lembaga supra sistem seperti Badan
Litbang Pertanian, Dinas Pertanian Kehutanan, dan stake holders
pembangunan pertanian di Bali. Pada level mikro, pelaksanaan survai
dilakukan terhadap petani yang dipilih melalu penarikan sampel dengan
metode multi stage sampling, yakni penarikan sampel secara bertahap seperti
berikut ini: (i) Tahap pertama, menentukan wilayah penelitian yakni lokasi
program Prima Tani yang hingga saat ini telah dilakukan pada delapan desa
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
75
Universitas Indonesia
meliputi tujuh kabupaten di wilayah Propinsi Bali; (ii) Tahap kedua,
menentukan satu wilayah desa lokasi program Prima Tani sebagai lokasi
penelitian dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang terkait dengan
topik penelitian ini, sehingga didapat lokasi Desa Sangga Langit dengan
mencermati beberapa aspek seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
mengenai lokasi dan waktu penelitian; (iii) Tahap ketiga, menentukan
kerangka sampling dari desa lokasi terpilih. Adapun kerangka sampel
ditentukan berdasarkan populasi petani yang terdapat dalam lokasi desa
terpilih, seperti berikut ini (Gambar 3.1); (iv) Tahap keempat, melakukan
penentuan kuota sampel di desa terpilih, yakni dengan menetapkan jumlah
sampel sesuai kaidah penelitian survai.
Buleleng
Kec. Gerokgak
Desa Sanggalangit
Dalamsudi ini besaran sampel ditetapkan dengan rumus “Taro Yamane”, yakni ukuran populasi diketahui:
Nn = ------------
Nd2 + 1
N = jumlah populasid2 = presisi yang ditetapkan (sampling error)
n = Jumlah sampel
Gambar 3.1. Kerangka Sampling dan Ukuran Penarikan Sampel
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
76
Universitas Indonesia
Jumlah populasi petani pada lokasi studi adalah sebesar N, yang
diketahui dari statistik desa. Mengingat ukuran populasi diketahui, maka
ukuran contoh dapat ditentukan melalui formulasi ukuran penarikan sampel
yang dikemukakan oleh Taro Yamane seperti dikemukakan di atas.
Berdasarkan formulasi itu akan didapat ukuran sampel sebesar “n”. Merujuk
data dari monografi atau statistik desa didapat populasi komunitas agribisnis
berbasis banjar yang kemudian ditentukan sampel secara acak sederhana
secara proporsional (Agresty dan Finaly, 1986:16–21).
Populasi petani di lokasi penelitian berjumlah 658 KK (kepala keluarga
rumahtangga), didapat dari data monografi desa bersangkutan. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan survai rumahtangga petani komunitas agribisnis
berbasis banjar, maka sampel penelitian adalah petani yang sekaligus sebagai
anggota banjar di desa tersebut. Dengan demikian maka jumlah sampel
direncanakan sebanyak:
Penentuan jumlah sampel tersebut, sesuai dengan rumus Taro Yamane
mengenai ukuran sampel, dan juga sejalan dengan cara penentuan jumlah
sampel yang dikemukakan oleh Isaac dan Michael (Sugiyono, 2009: 69).
Mengenai penarikan jumlah sampel dalam penelitian survei, Tabachnick dan
Fidell (2001: 117) lebih detail mengemukakan bahwa jumlah sampel yang
S= N__Nd2+1
= 658/658.(0,05)2 + 1
= 658/2,645
= 248 sampel
Dimana “s” adalah ukuran besarnya sampel; “N” adalah populasi; dan “d” adalah tingkat kesalahan (5%).
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
77
Universitas Indonesia
minimal dalam analisis regresi adalah 104 + m, dimana m adalah jumlah
indikator variabel independent penelitian. Mengingat jumlah sampel telah
diketahui, maka lebih lanjut ditentukan sampel secara acak sederhana dan
proporsional pada empat komunitas banjar di Desa Sanggalangit, dengan
mencermati juga pertimbangan alokasi optimum menyangkut efisiensi dan
efektifitas survai dengan memperhitungkan aspe biaya, waktu, dan akses
kepada responden (Agresty dan Finaly, 1986:16 –21). Berdasarkan kaidah
itu ditetapkanlah sampel dari Banjar Kayu Putih sebanyak 70 responden,
Banjar Tamansari 54 responden, Banjar Tukad Pule 54 responden, dan dari
banjar Wanasari sebanyak 70 responden. Selanjutnya, instrumen survai
disiapkan dengan menyusun kuesioner terstruktur. Adapun proses
pengumpulan data dibantu oleh dua orang enumerator yang juga peneliti dari
BPTP Denpasar, Bali. Sebelum pengumpulan data, peneliti berkoordinasi dan
menjelaskan instrumen dan tujuan penelitian kepada enumerator, yang
tentunya terkait dengan reliabilitas dan validitas data yang dikumpulkan
dengan menggunakan instrumen yang telah disiapkan.
3.3.2 Pengumpulan Data Kualitatif.
Selain melakukan pendekatan kuantitatif, studi ini mengunakan
pendekatan kualitatif untuk kepentingan penelusuran data secara mendalam
mengenai aspek-aspek struktural yang meliputi sistem stratifikasi sosial serta
aspek kultural yang diteliti meliputi: makna subyektif mengenai kapital dan
realitas sosial tentang kualitas hidup (QoL) dalam komunitas agribisnis
berbasis bajar di Bali. Adapun teknik pengumpulan data kualitatif akan
dilakukan dengan menerapkan strategi studi kasus melalui wawancara
mendalam kepada sumber-sumber data, yaitu informan kunci yang berasal
dari komunitas agribisnis, termasuk tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat
yaitu Lurah/Kepala Desa/Bendesa Adat, Ketua/Kelian Banjar dan Prajuru
Banjar, beserta tokoh pelaku agribisnis dalam komunitas bersangkutan.
Tidak kurang dari 5 (lima) tokoh masyarakat setempat dijadikan sebagai
Kapital dalam..., Ketut Gede Mudiarta, FISIP UI, 2010.
78
Universitas Indonesia
informan kunci studi ini, serta beberapa petani pelaku agribisnis dijadikan
sebagai sumber informasi penelitian ini. Sumber data juga diupayakan berasal
dari pihak eksternal yang meliputi tokoh kunci dari Dinas Pertanian Bali (1
Informan), dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali (2
Informan), dan juga dari Departemen Pertanian (1 informan). Data kualitatif
juga dikumpulkan dari pelaksanaan analisis dokumen yang terkait.
Sedangkan pengumpulan data dan informasi mengenai dukungan politik dan
dinamika pembangunan pertanian, dilakukan wawancara mendalam dengan
key informan dari anggota legislatif di DPRD Bali (1 Informan) dan DPRD
Kabupaten Buleleng (5 Informan). Secara rinci teknik pengumpulan data
kualitatif dituangkan seperti pada Tabel berikut.
Tabel 3.1. Matriks Teknik Pengumpulan dan Sumber Data.Teknik
PengumpulanData
SumberData
KriteriaSumber Data
Cakupan/Isi Data
WawancaraMendalam
PetaniKomunitasAgribisnis
Informan yang dipilihadalah petani dan tokohmasyarakat, angotabanjar (telah tinggalmenetap sejak lahir)
Minimal telahberpengalaman sebagaipetani sejak tahun 1970
Petani yang dipilihsebagai sumber data,merupakan informankunci, dan jugabeberapa petani sebagaiinforman penunjang
Mengetahui seluk belukdan perkembanganusahatani lokal
Memahami gambarankondisi kualitas hidup(QoL) masyarakat
*) Data mengenai IMR dan Angka Harapan Hidup tidak ditanyakan dalamKuesioner. Data tersebut merupakan data indikator yang bersifat komposit,maka data itu juga tidak dianalisis dalam uji statistik melainkan hanyadijelaskan sebagai data penunjang analisis QoL. Data IMR dan AngkaHarapan Hidup diperoleh dari instansi terkait.
88
Universitas Indonesia
Variabel eksogen ataupun variabel independent dalam studi ini
adalah adalah representasi kapital dalam masyarakat, yakni keberadaan
dan keragaman penguasaan kapital anggota masyarakat. Representasi
kapital ditentukan berdasarkan penguasaan anggota komunitas
agribisnis terhadap kapital yang meliputi:
1. Persepsi masyarakat atas penguasaan kapital sosial berupa
networks (jaringan sosial) yang direpresentasikan dengan
menggunakan indikator persepsi tentang relasi kepentingan,
relasi sentimen, relasi power, dan potensi organisasi (terutama
organisasi sosial tradisi) dalam komunitas agribisnis;
2. Persepsi masyarakat mengenai penguasaan kapital budaya yang
ditentukan indikator-indikator dari persepsinya atas penguasaan
kapital budaya berdimensi manusia (embodied state) yang
melekat pada aktor; berdimensi obyek, yakni berupa alat-alat
yang khas kegunaannya, termasuk kekhasan aktor yang
menciptakan alat berdasarkan keahliannya (sangging, pande,
undagi, dan sebagainya yang dikenal turun temurun oleh
masyarakat Bali) dan berdimensi institusional ;
3. Persepsi penguasaan kapital politik yang terdiri dari dominasi
relasi produksi, meritokrasi, legitimasi, dan komitmen politik;
serta
4. Kapital ekonomi yang ditentukan berdasarkan indikator
penguasaan modal finansial, daya enterpreneurship
(kewirausahaan, profesionalisme, dan keterampilan).
Variabel eksogen berikutya adalah peran tripartit pemerintah-swasta-
masyarakat serta koproduksinya dalam menentukan representasi kapital dan
pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas hidup
masyarakat. Pada studi ini tripartit dipandang sebagai suatu sistem kerja
89
Universitas Indonesia
ditinjau dari peran-peran masing-masing elemen tersebut, dan ditentukan
berdasarkan indikator yang meliputi:
1. Persepsi masyarakat tentang peran pemerintah dalam
pengembangan agribisnis yang meliputi: pemasyarakatan
inovasi teknologi pertanian, kebijakan subsidi, anggaran, dan
dukungan kebijakan.
2. Persepsi masyarakat mengenai peran swasta yang mencakup
ukungan investasi, dukungan kredit usahatani, dukungan
penyediaan sarana produksi, dan pemasaran yang
dikembangkan.
3. Peran masyarakat yang ditentukan dengan mempertimbangkan
persepsinya tentang pemanfaatan aspek potensi banjar yang
terdiri dari potensi fisik, potensi nilai-nilai, potensi
kepemimpinan dalam banjar, serta partisipasi warga banjar
dalam setiap kegiatan banjar.
4. Ko-produksi yang merupakan kesejajaran peran ketiga elemen
tersebut dalam pembangunan, terutama diukur berdasarkan
persepsi masyarakat tentang aspek partisipasi dan kesejajaran
peran pemerintah, swasta, dan potensi banjar.
Adapun variabel indogen atau variabel dependent yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain adalah kualitas hidup (QoL)
yang ditentukan berdasarkan indikator-indikator obyektif berdasarkan
pendekatan model “Scandinivian Level of Living” yang menekankan
kondisi obyektif kualitas hidup berdasarkan indikator-indikator:
1. Pendapatan, yang diukur dengan menentukan pendapatan
rumahtangga responden, dalam rupiah pertahun.
2. Tingkat pendidikan, yang diketahui dari lama waktu tempuh
(dalam tahun) pendidikan formal responden.
90
Universitas Indonesia
3. Pemenuhan kebutuhan primer, berupa tingkat kemampuan
respondnen dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa pangan,
sandang, dan papan; dan
4. Morbiditas, yakni aspek kesehatan masyarakat yang ditentukan
berdasarkan persepsi responden mengenai kondisi
kesehatannya.
Sedangkan kualitas hidup (QoL) subyektif ditentukan
berdasarkan persepsi responden terhadap:
5. Akses pelayanan publik, yang ditentukan berdasarkan persepsi
responden atas kesempatannya memperoleh pelayanan umum
yang tersedia.
6. Peluang kerja dan berusaha, yang ditentukan dari persepsi
responden terhadap tinggi rendahnya kesempatan yang ada
dalam berusaha dan bekerja
7. Partisipasi politik, yakni perspesi masyarakat dalam
memanfaatkan hak dan kewajibannya dalam dinamika politik
baik di tingkat nasional maupun lokal.
8. Relasi sosial, diukur berdasarkan variasi bentuk dan jumlah
hubungan sosial yang berhasil dibangun oleh responden
9. Keamanan sosial yang dioperasinaliasikan dengan mengukur
persepsi responden terhadap tinggi rendahnya tingkat
keamanan sosial yang ada dalam lingkungannya.
10. Persepsi kebahagiaan, yang dioperasionalkan dengan persepsi
responden terhadap tingkat kebahagiaan yang dicapai
11. Makna hidup, yang diukur berdasarkan tinggi rendahnya
persepsi tentang makna hidup aktor dalam kehidupan sosialnya
12. Kualitas lingkungan, yang dioperasionalkan dengan persepsi
responden terhadap kualitas lingkungannya
91
Universitas Indonesia
13. Kualitas religius, diukur berdasarkan perspesi aktor mengenai
tingkat kualitas religiusnya dalam beribadah sesuai dengan
agama yang dianutnya.
14. Perspesi mobilitas vertikal, yang dioperasionalkan dengan
mengukur persepsi aktor terhadap pencapaian mobilitas
vertikalnya, baik mobilitas vertikal antar generasi (inter-
generational) dan intra-genrasional.
Selain itu QoL juga ditentukan berdasarkan indikator makro
berupa angka kematian bayi (Infant Mortality Rate/IMR) dan angka
harapan hidup bayi satu tahun yang merupakan indikator komposit
dari kualitas hidup masyarakat. Dua indikator ini tidak ditanyakan
dalam kuesioner dan tidak dianalisis dalam uji statistik, melainkan
lebih banyak dimanfaatkan untuk mendukung analisis yang akan
dialkukan dalam penelitian ini.
Sedangkan operasionalisasi variabel yang diukur untuk aras messo
ditekankan kepada pengukuran data kapital sosial yang yang ditinjau dari
aspek rasa saling percaya antara organisasi tertentu dengan organisasi lain
yang eksis, dan kepercayaan organisasi terhadap lembaga supra sistemnya.
Variabel jaringan kerja di aras messo diukur berdasarkan hubungan
organisaasi yang tertentu dengan organisasi sejenis yang ada di kelurahan itu,
hubungannya dengan organisasi sejenis di wilayah lain, hubungan organisasi
tersebut dengan organisasi tidak sejenis di wilayah penelitian, serta dengan
organisasi tidak sejenis di wilayah lain. .
3.6. Proses Penelitian.
Studi ini dilakukan melalui tiga tahapan proses penelitian yakni tahap
persiapan, penelitian lapangan, dan penulisan laporan berupa disertasi. Sejak
pertengahan bulan September hingga Oktober 2009 dilakukan tahap persiapan
92
Universitas Indonesia
antara lain berupa pengurusan surat ijin penelitian dengan fasilitasi Program
Doktor Sosiologi Universitas Indonesia untuk kelancaran pelaksanaan studi di
lokasi penelitian, yakni di Kabupaten Bulelelng, Bali. Lebih lanjut dilakukan
observasi pendahuluan mengenai kondisi lokasi penelitian yang meliputi
keadaan realitas sosial dan geografi fisik lokasi penelitian, serta melakukan
pengenalan lapang atau orientasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat,
yang ditujukan untuk memperoleh gambaran awal atas informasi dan data
yang bersifat kualitatif. Dalam kerangka efisiensi dan efektifitas penelitian,
pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data kualitatif yang didasari
pedoman wawancara mendalam dan melakukan observasi atas fenomena
ataupun gejala-gejala sosial di lokasi penelitian. Sementara, untuk keperluan
pengumpulan data kuantitatif maka pada tahap persiapan ini dilakukan
orientasi lapangan yang ditujukan dalam rangka penyusunan kerangka
penarikan sampel penelitian (sampling frame), serta melakukan uji coba
terhadap instrumen penelitian yang berupa kuesioner terstruktur.
Adapun uji coba instrumen yang akan digunakan dalam pengumpulan
data kuantitatif, dilakukan di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak-Buleleleng.
Pemilihan lokasi itu sebagai tempat uji coba didasari atas pertimbangan
kedekatan desa itu dengan lokasi penelitian, disamping yang utama adalah
pertimbangan kemiripan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya dengan lokasi
penelitian. Selain itu, peneliti juga memperoleh beberapa input dari kolega
yang berprofesi peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Denpasar –
Bali. Menurut informasi, desa Musi direncanakan oleh pemerintah propinsi
Bali, sebagai lokasi pengembangan sistem pertanian terintegrasi seperti yang
diterapkan dalam kegiatan Prima Tani di Desa Sanggalangit dan Desa Sepang,
Buleleng. Uji coba itu dimaksudkan untuk melakukan uji reliabilitas dan
validitas instumen penelitian. Reliabilitas instrumen merupakan uji statistik
yang ditujukan untuk mengetahui keterhandalan instrumen yang berarti
intrumen yang bila digunakan berapa kali untuk mengukur obyek yang sama
akan menghasilkan data yang sama. Pada uji coba ini reliabilitas instrumen
93
Universitas Indonesia
diuji dengan menggunakan Alpha Cronbach.6 Pada dasarnya terdapat
beberapa teknik dalam menguji reliabilitas instrumen, seperti teknik “test –
retest” dan teknik “split –half”. Teknik yang pertama merupakan teknik
yang mengedepankan pengulangan. Instrumen yang sama diterapkan pada
responden yang sama dan dalam periode waktu tertentu. Teknik ini memliki
beberapa kelemahan, antara lain dimungkinkannya adanya perubahan dalam
diri responden yang berakibat pada adanya perbedaan respon terhadap
intrumen yang sama, serta adanya kemungkinan responden telah lebih siap
dalam menjawab pertanyaan dan akan memungkinkan nilai yang berbeda
juga. Sementara pada teknik belah dua (split-half) sangat tergantung dari cara
mengelompokkan item-item pertanyaan dalam intrumen penelitian
(Singarimbun dan Efendi, 1986: 91; Bryman, 2004: 71-72).
Uji reliabilitas dengan melihat alpha Cronbach juga dimaksudkan untuk
melihat konsistensi internal alat ukur, yang didalamnya terdapat proses
mengeluarkan atau memperbaiki item (pertanyaan) dari alat ukur, sehingga
proses itu sekaligus merupakan proses validitas konstruks. Validitas konstruk
(construct validity) merupakan teknik untuk melihat validitas instrumen yang
bersifat nontes yang digunakan untuk mengukur sikap ataupun opini, serta
untuk melihat kesaihan instrumen untuk mengukur gejala sesuai dengan yang
didefinisikan. Dengan demikian validitas konstruk terkait dengan kesaihan
suatu instrumen yang disusun dan dikembangkan berdasarkan teori tertentu
(Sugiyono, 2009: 350).
Uji realibilitas dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS dengan
melihat Nilai Total Alpha Cronbach, yakni minimal 0,6. Selanjutnya setiap
variable ataupun indicator diuji item-item yang menjadi komponen kuesioner.
Jika nilai Cronbach's Alpha if Item Deleted bernilai lebih kecil dari nilai alpha
6) Alpha Cronbach merupakan salah satu uji reliabilitas yang paling sering digunakan jikadibandingkan dengan uji lainnya (Uyanto, SS. 2006: h.240). Sementara Bryman, 2004: h.72menyatakan bahwa “........Nowdays, most researchers use test of internal reliability known asCronbach’s Alpha.... Cronbach Alpha is a commonly used test of reliablity. It essentiallycalculates the average of all possible split-half reliablity coeficients. “
94
Universitas Indonesia
Cronbach total hasil uji, maka item-item atau pertanyaan dalam kuesioner
tersebut tetap dipertahankan untuk pelaksanaan penelitian. Selain itu, item-
item tersebut juga memiliki korelasi yang positif terhadap Corrected Item-
Total Correlation. Lebih lanjut, jika kedua hal itu tidak dipenuhi maka item-
item tersebut harus diperbaiki atau jika tidak diperlukan dapat dikeluarkan
dari daftar pertanyaan instrumen. Secara rinci, hasil analisis data untuk
menguji reliabilitas instrumen berdasarkan data hasil pretest disajikan pada
Lampiran 2. Sedangkan nilai Alpha Cronbach untuk masing-masing variabel
penelitian, disajikan pada Tabel 3.4. berikut ini.
Tabel 3.4. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian BerdaasarkanData Pretest di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak-Buleleng
No. Variabel Nilai
Alpha Cronbach
1. Peran Pemerintah 0,778
2. Peran Swasta 0,760
3. Peran Masyarakat 0,817
4. Koproduksi 0,742
5. Kapital Sosial 0,785
6. Kapital Budaya 0,811
7. Kapital Politik 0,870
8. Kapital Ekonomi 0,816
9. Kualitas Hidup (QoL) 0,930
Berdasarkan nilai Alpha Cronbach yang didapat dari masing-masing
uji reliabilitas, maka untuk variabel peran pemerintah ternyata nilai total
Alpha Cronbachnya mencapai 0,778 yang berarti bahwa reliabilitasnya adalah
memadai (Tabel 3.4). Jika dilihat nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya
95
Universitas Indonesia
(Tabel Lampiran 2), semua item berkorelasi positif dan terdapat beberapa item
yang memiliki nilai lebih besar dari nilai Alpha Cronbach, yakni item A1.1_1
(perbandingan inovasi saat ini dengan inovasi sebelumnya), item A1.1_6
(dapat tidaknya inovasi dicobakan pada skala kecil), A1.3_1 (perencanaan
anggaran pemerintah), dan item A1.3_5 (anggaran kerjasama –kemitraan).
Oleh karena itu kedua item –item tersebut harus diperbaiki atau dihilangkan
dari daftar pertanyaan instrumen, sehingga reliabilitas dan validitas instrumen
dipandang memadai. Pada studi ini, peneliti berupaya memperbaiki redaksi
dari pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner penelitian.
Selanjutnya, nilai Alpha Cronbach dari variabel Peran Swasta adalah
sebesar 0,760 yang berarti bahwa interumen yang digunakan untuk mengkur
variabel peran swasta adalah memadai. Akan tetapi masih terdapat beberapa
item pertanyaan ataupun pernyataan dalam intrumen yang memerlukan
perbaikan atau ditiadakan, karena memiliki nilai Alpha Cronbach yang lebih
besar dari 0,760.
Seperti yang ditunjukkan dari Tabel Lampiran 2, maka item A213
yakni mengenai penanaman investasi swasta dalam pengembangan usaha
masyarakat, item A221 (kehadiran lembaga perkreditan swasta), A224 (jenis
kredit yang ditawarkan cukup beragam), A233 (dukungan pihak swasta dalam
penyediaan sarana produksi) dan item A234 (ketersediaan sarana produksi
menentukan keberhasilan usaha masyarakat), mesti diperbaiki jika
dipertahankan dalam pelaksanaan survai.
Sementara, hasil uji reliablitas terhadap instrumen penelitian yang
digunakan untuk mengukur mengenai peran masyarakat menunjukkan hasil
yang memadai dengan Alpha Cronbach sebesar 0,817 seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.4. Akan tetapi, dari 22 pertanyaan terdapat
beberapa item yang mesti disempurnakan, mengingat nilai Alpha Cronbach if
Item Deleted nya lebih besar dari 0,817 Item-item tersebut adalah A325,
A333, dan , A341. Item tersebut mengandung pertanyaan ataupun
pernyataan yang dimaksudkan untuk mengungkap persepsi responden
96
Universitas Indonesia
mengenai potensi nilai-nilai berbanjar, dan unsur kepemimpinan dalam setiap
kegiatan banjarnya. Item-item tersebut mest diperbaiki ataupun dapat
ditiadakan dari instrumen penelitian ini.
Nilai Alpha Cronbach yang juga diuji dalam pra penelitian survai
adalah instrumen yang ditujukan untuk mengukur persepsi masyarakat tentang
relasi koproduksi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, dalam
pengembangan usaha agribisnis masyarakat. Berdaasrkan test statistik didapat
nilai Alpha Cronbach sebesar 0,742 yang berarti telah memadai untuk
digunakan dalam penelitian survai. Mengingat ada dua item nilai alpha
cronbach if item deleted nya di atas 0,742, maka item nomor 6 dan 7
mengenai pembagian kerja antara elemen pembanguan dan juga pertanyaan
mengenai dominasi pengaruh antara pemerintah, swasta dan masyarakat,
mesti diperbaiki atau dihilangkan dari daftar pertanyaan.
Berikutnya adalah hasil uji reliabilitas variabel kapital sosial. Nilai
Alpha Cronbach yang didapat berdasarkan uji SPSS adalah sebesar 0,785
yang mencerminkan bahwa item-item yang digunakan dalam instrumen ini
juga telah memadai, yakni nilai alpa lebih besar dari 0,6. Sedangkan dilihat
dari nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya, semua item berkorelasi positif
dan terdapat beberapa item yang memiliki nilai lebih besar dari nilai Alpha
Cronbach, yakni item JO3, dan JO5 mengenai jumlah organisasi yang
diikuti, status keangotaanya, dan jenis kegiatan organisasi yang diikuti.
Selain itu masih terdapat item yang mesti diperbaiki yakni Bond4, Linking 5
dan LS5, dan peran KS (item mengenai jaringan orgaisasi, bonding, linking,
lubang struktur, dan peran kapital sosial. Oleh karena itu, sebelum melakukan
penelitian survai maka pertanyaan-pertanyaan tersebut disempurnakan terlebih
dahulu.
Adapun uji reliabilitas untuk variabel Kapital Budaya menunjukkan
hasil yang memuaskan. Nilai Alpha Cronbach yang didapat adalah sebesar
0,811 yang mencerminkan bahwa item-item yang digunakan dalam instrumen
97
Universitas Indonesia
ini juga telah memadai, yakni nilai alpa lebih besar dari 0,6 bahkan sedikit
lebih besar dari 0,8. Berdasarkan ouput pengolahan data uji coba instrumen
dapat dilihat nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya, semua itemnya
berkorelasi positif dan terdapat beberapa item yang memiliki nilai lebih besar
dari nilai Alpha Cronbach, yakni item KB5 mengenai penghargaan terhadap
kepemilian benda, dan item KB6 tentang perbandingan kepemilikan alat-alt
produksi dengan anggota lannya. Oleh karena itu terdapat dua item dari
sebelas item yang harus diperbaiki atau dihilangkan dari daftar pertanyaan
instrumen, sehingga reliabilitas dan validitas instrumen dipandang memadai.
Variabel selanjutnya adalah Kapital Politik, yang berdasarkan output
SPSS uji reliabilitas menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dengan nilai
Alpha Cronbach relatif besar yakni 0,870. Nilai ini menunjukkan bahwa dari
sebelas item yang ditanyakan kepada responden dalam instrumen ini sudah
sangat memadai. Akan tetapi hal itupun perlu dilihat berdasarkan nilai Alpha
Cronbach if Item Deleted untuk mengetahui apakah ada item yang harus
diperbaiki atau dihapus dari daftar pertanyaan. Berdasarkan output yang
didapat dari uji reliabilits ternyata nilai Cronbach Alpha if Item Deletednya,
semua itemnya berkorelasi positif dan terdapat tiga item yang memiliki nilai
lebih besar dari nilai Alpha Cronbach, yakni item KP3 (kebebasan
berkumpul dan berpendapat dalam setiap kegiatan banjar), item KP5
(ketergantungan anggota banjar terhadap perangkat banjar), dan item KP12
mengenai perspesi responden terhadap kapital politik menentukan kualitas
hidupnya. Oleh karena itu kedua item tersebut harus diperbaiki atau
dihilangkan dari daftar pertanyaan instrumen.
Kapital Ekonomi merupakan salah satu variabel yang mencerminkan
representasi kapital bagi anggota komunitas agribisnis berbasis banjar.
Variabel ini pun menunjukkan reliabilitas yang memadai, karena berdasarkan
hasil uji reliablitas dapat dilihat nilai Alpha Cronbachnya sebesar 0,816. yang
mencerminkan bahwa item-item yang digunakan dalam instrumen ini juga
98
Universitas Indonesia
telah memadai, yakni nilai alpa lebih besar dari 0,6 bahkan sedikit lebih besar
dari 0,8, yang merupakan ambang batas minimal secara umum reliabilitas
penelitian sosial. Adapun nilai Alpha Cronbach if Item Deleted nya semua
item berkorelasi positif dan terdapat beberapa item yang memiliki nilai lebih
besar dari nilai Alpha Cronbach, yakni item KE1 dan Ke4 pertanyaan
mengenai total jumlah aset dan profesionalisme responden. Oleh karena itu
terdapat dua item yang harus diperbaiki atau dihilangkan dari daftar
pertanyaan instrumen, sehingga reliabilitas dan validitas instrumen dipandang
memadai.
Sementara, variabel dependent pada studi ini adalah Kualitas Hidup
(Quality of Life/QoL) dari komunitas agribisnis berbasis banjar. Berdasarkan
uji reliabilitas yang dilakukan, ternyata nilai Alpha Cronbach untuk variabel
ini sudah sangat memadai dengan nilai 0,930 yang menunjukkan bahwa
item-item yang digunakan instrumen untuk mengukur kualitas hidup adalah
memadai. Untuk mengetahui apakah ada item yang harus diperbaiki atau
dikeluarkan dari daftar pertanyaan maka perlu dilihat nilai Cronbach Alpha if
Item Deletednya. Semua item berkorelasi positif dan terdapat beberapa item
yang memlili nilai lebih besar dari alpha cronbach yakni item pendapatan,
pemenuhan kebutuhan primer 6, layananan publik 1, keamanan sosial 1, dan
makna hidup pertanyaan nomor 5.
Lebih lanjut, proses penelitian dilanjutkan dengan memperbaiki dan
menyempurnakan redaksional dari item-item yang harus diperbaiki
berdasarkan hasil uji coba instrumen penelitian. Pada proses ini tidak
dilakukan pengeluaran item, mengingat pertimbangan pentingnya semua item-
item dimaksud. Proses selanjutnya adalah kembali melakukan uji reliabilitas
intrumen penelitian berdasarkan hasil penelitian survai. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga konsistensi internal alat ukur. Sementara uji validitas tidak
diperlukan mengingat proses pengeluaran ataupun penyempurnaan sebuah
item dalam instrumen penelitian sekaligus merupakan proses validitas
99
Universitas Indonesia
konstruk suatu instrumen penelitian (Neuman, 1977: 144). Oleh karena itu uji
reliablitas yang dilakukan untuk instrumen sekaligus merupakan proses untuk
melihat validitas instrumen penelitian.
Berdasarkan data hasil survai, maka hasil analisis uji reliabilitas
instrumen menunjukkan nilai yang berbeda dibandingkan hasil uji pada tahap
pretest (uji coba instrumen). Seluruh hasil uji reliabilitas instrumen penelitian
dengan data survai disajikan dalam Tabel Lampiran1. Uji terhadap peran
pemerintah meperlihatkan hasil yang memadai dengan nilai alpha Cronbach
sebesar 0,811. Beberapa item masih memiliki nilai alpha Croncabh if item
deleted di atas 0,811 yang berarti harus dikeluarkan dari instrumen. Dalam
penelitian ini hal itu tidak dilakukan karena pentingnya item-item itu untuk
tetap dimasukkan dalam analisis. Berikut ini akan dikemukakan hasil uji
SPSS tentang reliablitas masing-masing variabel penelitian, berdasarkan data
survai (Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Nilai Alpha Cronbach Variabel-variabel Penelitian BerdasarkanData Hasil Survai, di Sanggalangit.
No. Variabel Nilai
Alpha Cronbach
1. Peran Pemerintah 0,811
2. Peran Swasta 0,832
3. Peran Masyarakat 0,817
4. Koproduksi 0,614
5. Kapital Sosial 0,870
6. Kapital Budaya 0,741
7. Kapital Politik 0,788
8. Kapital Ekonomi 0,603
9. Kualitas Hidup (QoL) 0,930
Ada pun hasil uji reliabilitas untuk variabel peran swasta juga
menunjukkan hasil yang memadai (Alpha Cronbach = 0,832). Pada variabel
100
Universitas Indonesia
ini juga masih terdapat beberapa item yang semestinya dikeluarkan dari
instrumen tetapi tetap dipertahankan mengingat pentingnya item tersebut
untuk analisis yang akan dilakukan. Uji reliabilitas untuk variabel-variabel
yang lainnya juga relatif cukup memadai dengan menunjukkan nilai alpha
Cronbach di atas 0,6. Reliabilitas untuk variabel peran masyarakat nilai
alphanya adalah 0.817. Sementara untuk ko-produksi pemerintah, swasta, dan
masyarakat nilai alpha cronbachnya adalah 0,614.
Hasil uji reliabilitas data survai untuk masing-masing kapital juga
menunjukkan hasil yang memadai dengan nilai alpha Cronbach di atas 0,6,
masing-masing adalah: kapital sosial nilainya 0,870; kapital budaya 0.741;
kapital politik 0,788, serta variabel kapital ekonomi 0,603. Sedangkan
variabel dependent yakni kualitas hidup (QoL) menunjukkan hasil yang
sangat memadai dengan nilai alpha Cronbach sebesar 0,930.
Proses selanjutnya adalah memeriksa kenormalan data hasil survai.
Sesuai dengan kaidah utama analisis data menggunakan analisis regresi, maka
uji kenormalan data hasil survai hanya dilihat pada variabel utama penelitian
ini. Mengingat analisis statistik inferensia yang digunakan dalam studi adalah
regresi yang dilanjutkan dengan path analysys, maka menurut Weisberg
(1985: 156-160) maka uji kenormalan dilakukan terhadap variabel dependen
yang utama, dalam hal ini adalah variabel indogen, yakni variabel kualitas
hidup masyarakat (QoL). Setelah dilakukan pemeriksaan kenormalan ternyata
data hasil survai tidak normal, sehingga menurut Weisberg (1985) harus
dilakukan tranformasi data dengan metoda tranformasi nilai Lon (ln) dari data
survai. Uji kenormalan yang dilakukan terhadap data survai hasil
transformasi Ln variabel kualitas hidup adalah normal dengan p-value di atas
0,05 yakni 0,073 . Uji normalitas secara lengkap dituangkan dalam
Lampiran 3.
101
Universitas Indonesia
BAB 4
KONSTRUKSI SOSIAL KOMUNITAS AGRIBISNISBERBASIS BANJAR DI BULELENG-BALI
Bab ini merupakan uraian hasil analisis mengenai dinamika
kehidupan sosial ekonomi masyarakat tineliti (subyek penelitian), yang erat
pertaliannya dengan dinamika pengembangan agribisnis pedesaan. Bagian ini
diawali dengan mendiskripsikan gambaran umum lokasi penelitian, yakni
Sanggalangit sebagai sebuah desa adat sekaligus desa admisnitratif yang tidak
terlepas dari bagian pemerintah daerah yang erat kaitannya dengan dinamika
pembangunan pada umumnya. Bagian ini selanjutnya membahas mengenai
struktur sosial masyarakat, yang diikuti dengan fokus pembahasan tentang
posisi dan peran banjar dalam pemerintahan propinsi Bali. Selanjutnya, Bab ini
membahas masalah utama yang dihadapi masyarakat pelaku agribisnis dalam
pengembangan usahanya, sehingga berdampak pada penguasaan kapital, yang
bermuara pada pencapaian kualitas hidup masyarakat. Pada konteks itu
diketengahkan uraian tentang kelenturan atau fleksibilitas sistem sosial banjar
sebagai bagian dari desa adat Sanggalangit dalam mewadahi kegiatan
pembangunan, termasuk Prima Tani sebagai suatu unsur pembangunan yang
diinisiasi pemerintah.
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Sanggalangit adalah desa dengan karakteristik wilayah pertanian yang
secara geografis terletak di daerah pinggiran pantai Bali Utara-Bali Barat.
Wilayah desa ini dilalui jalan propinsi dari arah Singaraja ibu kota Kabupaten
Buleleng menuju Gilimanuk, yakni pelabuhan laut tempat penyeberangan dari
Bali menuju Jawa. Desa Sanggalangit memiliki luas wilayah 1.950 Ha
dengan jumlah penduduk sebanyak 4 216 jiwa, atau lebih kurang 965 kepala
keluarga (KK) dengan mata pencaharian sebagian besar pada sektor
pertanian. Sementara, jarak Sanggalangit dari pusat kecamatan Gerokgak
103
Universitas Indonesia
kesan itu perlahan memudar. Di sebelah timur di sepanjang sisi kiri jalan
tampak areal ladang perkebunan jagung dan beberapa tanaman palawija
lainnya. Kesan bahwa masyarakat Sanggalangit lebih cenderung sebagai
komunitas pertanian akan lebih terasa jika kita mulai memasuki pusat desa
dan banjar-banjar di Sanggalangit. Hampir seluruh jalan desa telah diaspal,
dan disepanjang kiri dan kanan jalan desa tampak ladang-ladang pertanian
diselingi beberapa kandang ternak, terutama sapi Bali (Gambar 4.2).
104
Universitas Indonesia
Secara historis, perkembangan pertanian di Sanggalangit pada
awalnya bercirikan pertanian konvensional dengan membudidayakan tanaman
dan ternak secara subsisten untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya. Tanaman
yang mereka usahakan adalah palawija (jagung dan kacang-kacangan),
tanaman hortikultura (mangga dan pisang) serta ternak (Sapi Bali, babi Bali
dan ayam buras). Ada pun jagung merupakan komoditas utama yang
diusahakan petani Sanggalangit sebagai sumber pangan dan sekaligus sumber
pakan bagi ternak mereka.
Gambar 4.2 juga menjelasakan bahwa desa adat Sanggalangit terdiri
dari empat (4) banjar yakni banjar Taman Sari, Banjar Wana Sari, Banjar
Kayu Putih, dan Bajar Tukad Pule. Masing-masing banjar dipimpin oleh
seorang “kelian adat” yang bertanggung jawab kepada “Bendesa Adat” selaku
pemimpin desa adat. Sanggalangit juga merupakan “Desa Dinas” yang
merupakan bagian dari struktur kepemerintahan formal dibawah kecamatan.
Dalam hal ini, Desa Sanggalangit terdiri dari 9 (sembilan) RT, yakni RT 01
dan 02 yang identik dengan banjar Kayuputih. Kemudian ada RT 3 dan RT 4
yang berada pada wilayah banjar Taman Sari. Lantas ada RT 5 dan RT 6
yang merupakan banjar Wana Sari. Sedangkan RT 7, RT 8 dan RT 9 adalah
banjar Tukad Pule. Di Banjar Tukad Pule, terdapat satu RT yakni RT 9 yang
penduduknya hampir 100% merupakan muslim (Pemeluk Agama Islam).
4.2. Profil Demografi Masyarakat Sanggalangit.
Merujuk pada realitas yang ada, sebagian besar dari 965 kepala
keluarga masyarakat Sanggalagit menggeluti bidang pertanian. Dominannya
mata pencaharian penduduk dalam sektor pertanian terkait dengan pendidikan
penduduk, khususnya kepala rumahtangga yang relatif rendah. Sebagian
besar adalah berpendidikan Sekolah Dasar (86,21%), dan hanya sekitar 18
orang yang berpendidikan diploma ataupun sarjana. Selebihnya adalah
berpendidikan SLTP dan SLA masing-masing sekitar 6,92% dan 6,18 %
(Tabel 4.1 )
105
Universitas Indonesia
106
Universitas Indonesia
4.3. Struktur Sosial Masyarakat.
Struktur sosial merupakan salah satu dimensi utama dalam mencermati
sistem sosial, disamping aspek kultural dari suatu masyarakat. Struktur
masyarakat secara umum diwarnai oleh beberapa aspek, yakni sistem
ekonomi masyarakat, sisem integrasi, sistem religi masyarakat, dan sistem
stratifikasi masyarakat. Studi ini berupaya menjelaskan aspek-aspek
tersebut untuk mendiskripsikan secara umum gambaran sosial masyarakat
Sanggalangit, sebelum masuk pada pembahasan pokok tentang penguasaan
kapital yang dipersepsikan masyarakat dan pengaruhnya terhadap kualitas
hidup masyarakat.
4.3.1. Sistem Perekonomian Masyarakat Sanggalangit.
Sejak berkembangnya desa Sanggalangit sebagai suatu sistem sosial,
sebagian besar warganya menggantungkan sistem perekonomiannya pada
sektor pertanian. Menurut data yang diperoleh dari Kantor Desa, sebagian
besar petani tergolong petani lahan sempit dengan penguasaan lahan di bawah
0,5 Ha. Rata-rata pemilikan lahan adalah 0,33 Ha, dan sebagian petani
bahkan tergolong sebagai petani tuna kisma, yakni petani penggarap. Sektor
pertanian yang menghandalkan jagung sebagai komoditas utama dan sapi
sebagai ternak utama, menampakan sistem perekonomian masyarakat yang
kurang berkembang. Tingkat produktivitas pertanian relatif rendah, sehingga
sebagian besar masyarakat tergolong miskin (Laporan BPTP Bali, 2008).
Secara struktural sistem ekonomi yang ada menyebabkan terjadinya satu
kesatuan golongan kelas ekonomi yang relatif sama. Bahkan ditinjau dari
pendapatan sebelum berkembangnya usaha agribisnis yang didukung Prima
Tani, dan tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat terkonsentrasi dalam
satu kategori, yakni kategori rendah. Lebih dari 80 % penduduknya
berpendidikan SD dan sebagian kecil sisanya berpendidikan menengah hingga
107
Universitas Indonesia
pendidikan tinggi yang hanya kurang dari 10%. Oleh karena itu, berdasarkan
sistem ekonomi yang berkembang, struktur masyarakat relatif homogen.
Gejala semakin bergeraknya perekonomian masyarakat Sanggalangit
baru terasa semenjak beberapa tahun belakangan ini. Salah satu faktor
penggerak perekonomian itu adalah dengan mulai maraknya perkembangan
lembaga-lembaga perekonomian desa. Koperasi misalnya, adalah salah satu
lembaga pendukung perekonomian masyarakat yang akhir-akir ini banyak
mendukung perekonomian masyarakat. Berbagai sumber mengemukakan
bahwa maraknya perkembangan usaha agribisnis di Sanggalangit, juga
ditengarai sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat. Perkembangan
yang relatif pesat, ditandai dengan berkembangnya usahatani jagung dan
ternak sapi sebagai dampak dari implementasi Prima Tani di Sanggalangit.
Selain Koperasi, tumbuhnya berbagai kelompok tani dan kelompok peternak
sangat mewarnai perkembangan ekonomi di Sanggalangit. Tidak dapat
diabaikan, bahwa peran lembaga perkreditan desa juga sangat menonjol dalam
mendukung usahatani yang dijalankan masyarakat. Usahatani yang semakin
hari menunjukkan kemajuan, merupakan andalan perekonomian masyarakat,
yang bukan saja sebagai sumber nafkah keluarga, melainkan sudah mulai
mengarah pada usaha yang lebih berorientasi ekonomi.
4.3.2. Sistem Integrasi dan Religi Masyarakat Sanggalangit.
Sementara itu, sistem integrasi yang menonjol di Sanggalangit adalah
adanya sistem sosial banjar yang mengikat masyarakat dalam satu kesatuan
tempat tinggal yang terikat nilai-nilai tradisi. Sistem kekerabatan merupakan
salah satu unsur yang sangat menentukan sistem integrasi masyarakat.
Kelompok kekerabatan ini terdiri dari keluarga-keluarga dalam satu klen
(clan) berdasarkan riwayat keturunannya, dan lebih lanjut membentuk satu
“dadia” yang umumnya terikat dalam satu “pura tempat pemujaan bersama”
sistem kekerabatan dimaksud. Ikatan kekerabatan memiliki suatu ikatan
sosial yang masih kuat (strong ties), solidaritas yang relatif kuat, dan dicirikan
108
Universitas Indonesia
juga oleh nama marga (farm). Hal ini masih dijaga oleh anggotanya dengan
mencantumkan “farm” nya sebagai nama depan dari seseorang anggota sistem
kekerabatan tertentu. Nama-nama farm yang menojonjo misalnya Pasek”,
“Pande”, “Sangging”, dan yang lainnya.
Struktur sosial yang menonjol dicirikan juga oleh sistem religi dalam
masyarakat. Desa Sanggalangit secara administrasi terbagi dalam empat
banjar dinas, yang terdiri dari sembilan kelompok. Sebutan “kelompok”
ternyata menurut hemat peneliti sepadan dengan istilah “tempekan” untuk
sebutan bagian wilayah banjar yang jika dipadankan dengan sistem
pemerintahan daerah adalah setingkat RT. Dari sembilan kelompok (RT),
ternyata pada satu kelompok (RT) di Sanggalangit ditemui satu kelompok
masyarakat yang memeluk agama Islam, selebihnya adalah pemeluk agama
Hindu. Secara umum struktur sosial ditinjau dari sistem religinya juga relatif
homogen. Struktur sosial masyarakat tersebut, terbaur dalam satu ikatan
sosial dalam wadah banjar, yakni organisasi tradisi yang sangat erat
pertaliannya dengan masyarakat Bali pada umumnya. Meskipun terdapat satu
kelompok pemeluk Islam, secara umum dalam kegiatan banjar mereka
berbaur dengan “kerama banjar” atau anggota banjar lainnya, yang sebagian
besar memeluk agama Hindu. Kegiatan banjar yang bersifat “pelemahan”
atau yang bersifat sosial kemasyarakatan, tetap melibatkan seluruh anggota
banjar. Tidak dibedakan anggota yang memeluk agama Islam ataupun Hindu.
Salah satu informan menuturkan bahwa setiap kegiatan gotong royong di
desa, maka seluruh “kerama banjar” akan berbaur dan bahu-membahu
Peran pemerintah dalam memfasilitasi pembangunan desa, khususnya
peningkatan kualitas hidup masyarakat ditunjukkan dengan berkembangnya
fasilitas umum dan infrastruktur pedesaan yang menurut pengamatan peneliti
sudah memadai. Dalam kesempatan melakukan observasi wilayah desa,
tampak bahwa jalan-jalan di desa Sanggalangit sudah beraspal. Setiap akses
kerumah warga maupun ke lahan usahatani relatif didukung jalan yang
memadai. Fasilitasi pemerintah berupa program pengembangan agribisnis,
kembali dapat dikaji perannya dalam mendukung peningkatan kualitas hidup.
Indikator berupa pemenuhan kebutuhan primer terutama pangan relatif
mengalami peningkatan. Sebelum implementasi Prima Tani, sebagian besar
warga Sanggalangit menggunakan jagung sebagai bahan pangan untuk
dicampur dengan beras. Mengenai hal ini, petikan hasil wawancara dengan
informan dapat dicermati seperti beriktu ini:
“Iyaah,..maklum Pak, dulunya makanan pokok kami memang jagung,
sekarang saja setelah hasilnya baik bisa kami jual selain untuk makan.
Masyarakat disini makan nasi bercampur jagung (peneliti pun minta
dijelaskan lebih lanjut mengenai hal itu). Mengenai campurannya
biasanya kebanyakan warga disini yang masih mampu (istilah
halusnya barangkali untuk menyebut warga yang masih berada dalam
178
Universitas Indonesia
kemiskinan) campurannya 1 beras: 3 Jagung. Sebagian masyarakat
yang sudah agak mampu campurannya 1 beras: 2 jagung. Yang sudah
mampu jarang sekarang yang makan nasi campur jagung (Saya tahu
dan mengamati kalau keluarga Pak WM termasuk mampu sehingga
ketika dulu saya kesini sempat disuguhi makan nasi tanpa nasi campur
jagung). Saat ini sih, keadaanya sudah membaik. Jarang yang makan
nasi bercamur jagung 1 beras: 3 jagung. Sebagian besar kita makan
beras sekarang. Hanya untuk kepentingan menabung, atau sekedar
iseng makan nasi campur jagung. Ini kami syukuri karena hasil
usahatani kami sudah baik, sehingga kami mampu beli beras” (WM,
Maret 2010)
Keberhasilan usaha tani yang juga dikemukakan informan, tentunya
berdampak pada pendapatan petani yang juga semakin meningkat. Gambaran
lain yang mencerminkan peran pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam
mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat di Sanggalagit adalah
adanya fasilitasi dalam membangun instalasi jaringan air minum yang
bersumber dari mata air dari Pura Taman Sari. Saat ini, seperti yang
diungkapkan Kades, jaringan air minum sudah tersedia bagi hampir seluruh
rumahtangga. Hal ini ada pertaliannya dengan kualitas lingkungan dan
tingkat kesehatan masyarakat, yang semakin membaik. Sementara itu, subsidi
pendidikan dan kesehatan juga berperan cukup nyata dalam mendukung
tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam
menjaga dan memelihara fasilitas umum maupun infra struktur desa lainnya
diperlukan partisipasi masyarakat. Nilai kebersamaan, kegotongroyongan
yang berpedoman pada prinsip “ngayah” atau berbakti pada banjar juga
diterapkan untuk membangun dan menjaga fasilitas yang telah ada, sehingga
segala fasilitas itu mampu secara berkesinambungan mendukung peningkatan
179
Universitas Indonesia
kualitas hidup bersama, masyarakat Sanggalangit. Peran swasta tidak dapat
diabaikan dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kontribusi sekecil apapun, baik langsung maupun tidak langsung sangat
mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Dukungan swasta dalam
penyediaan input usahatani, serta pemasaran produk usahatani masyarakat
petani merupakan salah satu andil swasta dalam meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Pada dasarnya sub bab ini ditujukan untuk membahas dan menguji
hipotesa (6) peneilitian ini, yakni: :”Kuatnya peran tripartit dan ko-produksi
pemerintah-swasta-masyarakat akan meningkatkan kualitas hidup
maysarakat”. Pengujian secara statisitik inferensia peran tripartit pemerintah
–swasta-masyarakat (variabel independen) terhadap kualitas hidup dilakukan
secara simultan, mengingat kualitas hidup (QoL) merupakan variabel
dependen (endogen) dan merupakan variabel utama penelitian ini.
Berdasakan hasil uji regresi didapatkan model regresi linier dengan R
square sebesar 0,694 yang berarti bahwa seluruh variabel independen dapat
menjelaskan variabel kualitas hidup sebesar 69,4%. Selebihnya (30,6%)
dijelaskan faktor-faktor lain (Tabel 6.7).
Tabel 6.7. Model Regresi Pengaruh Peran Pemerintah, Swasta, Masyarakat,dan Koproduksi Ketiga Unsur Itu, Terhadap Kualitas Hidup.
180
Universitas Indonesia
Sementara, berdasarkan hasil regresi (Tabel 6.8), ternyata variabel
perspesi masyarakat tentang peran pemerintah, swasta, dan masyarakat
berpengaruh secara langsung terhadap kualitas hidup masyarakat. Peran
pemerintah dan sawasta, bahkan memiliki pengaruh yang sangat nyata dengan
p-value 0,000 yang bernilai lebih kecil dari level of significant (0,01).
Sedangkan peran masyarakat berpengaruh nyata secara langsung terhadap
kualitas hidup dengan p-value 0,036. Hasil uji juga menunjukkan tidak
adanya pengaruh secara langsung variabel ko-produksi terhadap kualitas
hidup. Pengaruh yang paling besar diperlihatkan oleh peran pemerintah
(0,231), kemudian Swasta 0,151 dan terakhir adalah peran masyarakat yang
memiliki dominasi pengaruh senilai -0,113 sesuai dengan nilai koefisien
beta standardized.
Tabel. 6.8. Pengaruh Peran Tripartit dan Ko-Produksi Pemerintah, Swasta,Masyarakat, Representasi Kapital, Terhadap Kualitas HidupMasyarakat.
181
Universitas Indonesia
6.3. Keberlakuan Hipotesis (5) dan (6) : Pengaruh Peran Tripartit danKoproduksi Pemerintah-Swasta- Masyarakat Terhadap PenguasaanKapital dan Kualitas Hidup.
Hubungan dan peran antara negara (pemerintah), korporasi (swasta),
dan masyarakat sering menjadi topik menarik dalam menganalisis teori-teori
pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Pembahasan mengenai peran
pemerintah, swasta dan masyarakat yang pada sebagian besar studi-studi
belakangan ini disebut sebagai hubungan tripartit, senyatanya melihat
bagaimana peran masing-masing kekuatan tripartit tersebut dalam
pembangunan, hingga mengkaji juga pola hubungan dan dominasi peran
elemen-elemen pembangunan tersebut. Arifin (2005:147-148)
mengemukakan negara ataupun pemerintah merupakan lembaga publik
dengan fungsi menyelenggarakan dan menciptakan kesejahteraan umum,
yang antara lain dilakukan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan. Pada
kerangka ini, peran pemerintah (negara) dalam falsafah kemitraan tripartit
bergeser dari yang semula sebagai penggerak utama pembangunan, ke arah
peran sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan sosial ekonomi. Peran
tersebut meliputi perumusan kebijakan, fasilitasi infrastruktur, penyediaan dan
pengembangan inovasi teknologi, dukungan subsidi, anggaran pembangunan
yang berprinsip berkeadilan dan dukungan politik bagi pengembangan usaha
pertanian. Lembaga ini memiliki kekuasaan yang bersifat regulatif yang
berperan dalam mengatur kehidupan bersama. Dalam aspek ini, dapat
dijelaskan fungsi negara sebagai pengatur elemen-elemen pembangunan.
Sedangkan sektor swasta atau korporasi yang memiliki ruang gerak pada area
publik melalui produksi hingga transaksi jual-beli barang dan jasa yang
berorientasi pada keuntungan. Dunia usaha ini baik langsung maupun tidak
langsung memiliki peran yang sedemikian penting bagi pembangunan sosial
ekonomi nasional. Pada perkembangan terkini, sorotan yang relaif tajam
sering tertuju pada peran dunia usaha yang dianggap mementingkan orientasi
182
Universitas Indonesia
maksimalisasi keuntungan dan melupakan falsafah moral maupun tanggung
jawab sosial. Sementara, peran masyarakat yang berinteraksi pada ruang
publik atas dasar tata nilai dan perilaku sosial tertentu juga tidak dapat
diabaikan dan diakini memegang peranan pening dalam pembangunan, yang
saat ini tidak lagi hanya menjadi obyek pembangunan, melaikan bergeser
peranya sebagai subyek pembangunan sosial ekonomi bangsa. Peran dan
hubungan simteris dari ketiga elemen pembangunan itu, merupakan salah satu
prasarat utama dalam strategi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, seperti
yang banyak diungkapkan dalam beberapa hasil studi belakangan ini, dan
disebut sebagai koproduksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, ternyata peran tripartit dan ko-
produksi berpengaruh nyata terhadap penguasaan kapital. Integrasi kebijakan
formal dan in-formal rule dalam upaya peningkatan penguasaan kapital dan
kualitas hidup menunjukkan hasil yang cukup memadai. Pemikiran mengenai
adanya kecendrungan peran tripartit dan ko-produksi dalam peningkatan
kapital maupun kualitas hidup dilandasi oleh hasil temuan penelitian Castelli,
ett.all (2009) yang menyataan adanya peran penting aspek kebijakan (policy
contect) dan kapital sosial dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Peneliti melakukan penyesuaian dan pengembangan temuan itu dengan
membahas peran tripartit dan koproduksi ketiga elemen pembangunan itu, dan
pengaruhnya terhadap representasi kapital. Selain itu, dalam penelitian ini
tidak hanya memfokuskan perhatian pada kapital sosial saja, melainkan juga
dengan tiga jenis kapital lain yang dikemukan Bourdieu (1986) yakni kapital
budaya, kapital politik, dan kapital ekonomi. Hal ini didasari pemikiran
bahwa representasi kapital dalam masyarakat sangat relevan untuk dianalisis
sebagai faktor yang mempengaruhi kualitas hidup (QoL) masyarakat.
Uji hipotesis (5) mengenai kuatnya pengaruh peran tripartit dan ko-
produksi pemerintah-swasta-masyarakat lokal terhadap penguasaan kapital,
ternyata dapat dibuktikan pada studi ini. Hal itu mengandung arti bahwa studi
ini berhasil menambah komponen analisis, yakni tidak hanya konteks
183
Universitas Indonesia
kebijakan pemerintah yang mempengaruhi penguasaan kapital sosial,
melainkan diperlukan peran elemen lain dalam pembangunan, yaitu peran
swasta dan masyarakat serta ko-produksi antar ketiga elemen itu.
Peran pemerintah berupa dukungan inovasi dalam operasionalisasi
program pembangunan, dalam hal ini pegembangan agribisnis ternyata sangat
diperlukan untuk mendukung pengembangan usaha yang bermuara pada
terjadinya akumulasi peningkatan penguasaan kapital dalam masyarakat.
Indikator lainnya dari peran pemerintah adalah kebijakan subsidi yang juga
masih sedemikian penting untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat,
selain perlunya dukungan kebijakan anggaran yang sensitif terhadap
kebutuhan masyarakat. Dukungan politik ternyata masih diperlukan dalam
rangka menjaga stabilitas usaha ekonomi masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh
pendapat beberapa komponen pembangunan di daerah seperti yang terungkap
dari petikan wawancara mendalam dengan anggota DPR Kabupaten Buleleng
sebagai berikut:
“Kita selalu mendorong pemerintah daerah dan mendukung kebijakan
anggaran yang pro terhadap kebutuhan petani. Tahun berjalan bisa
dibayangkan, APBD hanya 780 M. 580 M adalah jenis belanja
pegawai. Kita harus menigkatkan lagi pemenuhan untuk pembangunan
daerah, terutama pertanian kita yang semakin mengenaskan. Saya bisa
tambahkan..... Pertanian semakin mengenaskan (Bahkan beliau
menyampaikan bahwa sudah menulis di salah satu media surat kabar
lokal dengan topik itu)..... maksud saya agar pemerintah lebih fokus
lagi pada pertanian. Dulu pengembangan anggur relatif baik, tapi
pemasaran kurang, perstisida naik harganya, begitu juga pupuk.
Akhirnya petani kembali ke pertanian yang konvensional hanya
mengusahakan padi dan jagung lagi, yang nota benenya kurang
berorientasi pada peningkaan pendapatannya. Pajak lahan pertaian
184
Universitas Indonesia
juga terus meningkat. Ini sudah kami usulkan kepemerintah agar
untuk lahan pertanian pajaknya bisa dibijaksanai... tetapi ini urusan
Kementerian Keuangan... Pusat lagilah urusannya. Bayangkan pajak
saja bisa 1 juta per tahuan per ha, kemudian ditambah iuran subak
3000 rp per are pertahun atau sekitar 300 ribu... Berat jugalah untuk
petani kita. Ini yang kami perjuangkan sekarang” (Bapak S, Anggota
DPR Buleleng, Maret 2010).
Petikan pendapat dari anggota legislatif di daerah penelitian dapat
menggambarkan makna bahwa dukungan politik pihak eksternal masyarakat
petani relatif baik, terutama dukungan politik dari anggota legislatif.
Kebijakan anggaran juga disinggung hingga masalah subsidi pajak untuk
lahan pertanian yang menurut masyarakat perlu disesuaikan dengan
reorientasi kebijakan perpajakan. Sementara, dari petikan wawancara di atas
tampak bahwa peran swasta masih relatif kurang, sehingga perlu
ditingkatkan, terutama dengan upaya pengembangan kemitraan usaha, baik
yang difasilitasi pemerintah maupun inisiatif masyarakat. Peran yang
dimainkan swasta bagi peningkatan kapital masyarakat antara lain adalah
adanya dukungan investasi dan permodalan. Selain itu dukungan penyediaan
sarana produksi dan pemasaran hasil usahatani juga masih belum seperti yang
diharapkan masyarakat. Kepentingan bisnis dan orientasi keuntungan masih
mendominasi kepentingan swasta, sehingga untuk mendukung pengembangan
usahatani yang diharapkan bermuara pada peningkatan penguasaan kapital
dan kualitas hidup masih memerlukan peningkatan. Ini pun terungkap dari
hasil pengamatan (observasi) peneliti, yang melihat rendahnya dukungan
swasta, terutama diindikasikan oleh kondisi di lapangan yang relatif jauh dari
jangkauan kegiatan bisnis ekonomi yang dilakukan swasta. Petikan
wawancara dengan salah satu informan juga menggambarkan keadaan itu
seperti berikut:
185
Universitas Indonesia
“Betul memang, swasta kita harapkan mau lebih meningkatkan
kerjasamanya. Tapi memang relatif belum berkembang mengingat
mungkin mereka memandang kecilnya peluang bisnis di desa kami.
Mereka kan melihat peluang, dimana kami di sini kan dominan
masyarakatnya petani. Hanya saja untuk mengelola sumberdaya alam
mereka ada yang berminat untuk pengembangan air minum” (Kepala
Desa, 24 Maret 2010).
Pada sisi lainnya, peranan masyarakat sangat dominan dalam
mendukung penguasaan kapital, terutama tampak sekali dari hasil observasi
lapang adalah adanya kecendrungan meningkanya penguasaan kapital sosial
dalam masyarakat yang terdistribusi secara merata. Penguasaan kapital,
dalam hal ini yang banyak ditentukan dari pola jaringan sosial masyarakat
sangat tampak dari kuatnya relasi kepentingan (interes), relasi sentimen
hubungan kekeluargaan, dan relasi power dalam komunitas banjar. Pola relasi
sedemikian tampak terpola dalam masyarakat, yakni berdasarkan hubungan
kekerabatan, hubugan kekeluargaan, dan yang banyak peneliti amati adalah
relasi antar petani pelaku agribinis yang relatif “seumuran”. Lebih lanjut,
prinsip atau nilai “apang pada payu” atau agar semua bisa berjalan sama-
sama yang ada dalam komunitas banjar di Bali, sangat kental nuansanya.
Peran masyarakat dan potensi lokal relatif kuat hubungannya dengan
penguasaan kapital. Lingkungan fisik komunitas banjar dan potensi fisik
banjar memiliki pertalian yang sangat erat dengan representasi kapital.
Berdasarkan pengamatan peneliti, unsur fisik banjar teryata dapat mewadahi
berbagai kegiatan sosial dan ekonomi menunjang penguasaan kapital warga
banjar. Balai banjar sebagai salah satu unusur fisik banjar dapat dimanfaatkan
oleh warga banjar sebagai wahana bertemu dan membina relasi sosial mereka,
disamping dapat juga berfungsi sebagai media untuk menerima informasi dari
dalam maupun luar banjar. Pura, merupakan salah satu unsur yang sangat
186
Universitas Indonesia
penting bagi warga banjar. Tempat suci bagi umat Hindhu tersebut salah
satunya berfungsi sebagai tempat “mesilakrama” saling berbagi dan bertemu
membina keakraban antar warga. Sementara nilai-nilai berbanjar secara
konsisten relatif masih dijaga dan dianut sebagai penuntun segi-segi
kehidupan sosial berbanjar, yang secara tertulis juga dituangkan dalam “awig-
awig” banjar. Nilai-nilai berbanjar secara fleksibel juga dapat menerima
berbagai nilai lain dari luar banjar, tentu dengan berbagai proses adaptasi
sosial. Hal itu sering peneliti temukan dalam kegiatan sosial ekonomi warga.
Sebagai contoh, dalam suatu kesempatan sosialisasi kegiatan sistem pertanian
terintegrasi yang dilaksanakan pemerintah propinsi di lokasi penelitian,
tampak sekali para petani yang sekaligus warga banjar tampak masih
mengedepankan nilai-nilai berbanjar yang diantaranya ditunjukkan dengan
cara mereka menerima “tamu” dari propinsi dan pemerintah kabupaten, cara
mereka berbicara dan menyampaikan pendapat dalam kegiatan dimaksud,
serta perilaku yang masih kental diwarnai nilai-nilai berbanjar. Sementara itu,
berdasarkan pegamatan peneliti dalam kegiatan yang sama juga menemukan
adanya peran kepemimpinan banjar yang erat kaitannya dengan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan itu. Pemimpin banjar maupun para tokoh banjar
yang tidak berada dalam struktur kepemimpinan banjar (prajuru banjar)
terlihat sangat berperan dalam menarik partisipasi warga banjar.
Adapun Uji hipotesis (6) mengenai kuatnya pengaruh peran tripartit
pemerintah-swasta-masyarakat lokal terhadap kualitas hidup masyarakat juga
terbukti dapat diterima. Peran masing-masing unsur pembangunan dalam
menunjang kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat akan memerlukan
dukungan berupa fasilitasi, dukungan inovasi, kebijakan anggaran dan
dukugan politik, disamping dengan memperhatikan unsur pelayanan publik
dan peningkatan akses masyarakat terhadap sarana prasarana umum. Pada sisi
lainnya peran swasta dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masih
sangat diperlukan terutama dalam melakukan investasi usaha yang tetap
memperhatikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Sedangkan peran
187
Universitas Indonesia
masyarakat tentunya masih terus harus ditingkatkan dengan memelihara
potensi fisik lingkungan komunitas banjar, dan tetap mejaga nilai-nilai tradisi
mendukung peningkatan kualitas hidup sesama warga banjar, ditunjang oleh
semakin berkembangnya kepemimpinan banjar dan partisipasi masyarakat
dalam setiap kegiatan banjar.
Keberlakuan hipotesa (5) dan (6) dari studi ini erat pertaliannya
dengan terintegrasinya lingkungan kebijakan yang diinisiasi pemerintah di
level makro dengan informal rules di level messo dan mikro, khususnya
dalam konteks pengembangan agribisnis di pedesaan. Mekanisme
perencanaan kebijakan dan program telah menunjukkan kesesuaian dengan
kondisi indegenous lokal setempat yang salah satunya tercermin dalam
operasionalisasi program Primatani di lokasi penelitian. Pada konteks ini
peneliti mencoba mencermati implementasi Primatani di lokasi penelitian
yang pada intinya berupa model pengembangan agribisnis pedesaan berbasis
komunitas lokal. Dalam kerangka teori institusional baru (new
institutionalism) yang digagas Nee (2005) ternyata implementasi program
Primatani merupakan sebuah terobosan pemerintah yang masih memerlukan
dukungan pihak swasta dan masyarakat lokal dalam hal pengembangan
agribisnis berbasis inovasi teknologi usahatani. Pada konteks itu terdapat
suatu rasionalitas yang terikat pada setting yang dibentuk oleh adat, jaringan
sosial, norma, dan kepercayaan masyarakat, dalam hal ini komunitas banjar
yang sedemikian lekat dengan kehidupan sosial masyarakat di Bali.
Mekanisme perencanaan pembangunan seperti tampak pada Gambar
6.1 cukup memadai untuk menjelaskan bagaimana pemerintah berupaya
mengintegrasikan aturan-aturan formal berupa kebijakan formal di level
makro (lingkungan kebijakan atau lingkungan instiusioal) dengan in formal
rule di level mikro, yakni pada aktor ataupun kelompok tani di lokasi
penelitian. Peraturan-peraturan dan kebijakan formal yang harus diacu dalam
pembangunan pertanian tetap menjadi pertimbangan utama dalam
mengintegrasikan kebijakan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat
188
Universitas Indonesia
(komponen masyarakat) agrbisnis pedesaan. Pada sisi yang lain, aktor pelaku
agribisnis di pedesaan berperilaku ekonomi berbasis pada kepercayaan
bersama, nilai-nilai yang dalam studi ini adalah nilai-nilai berbanjar, serta
norma yang berlaku pada tataran lokal mengarahkan aktor pelaku agribisnis
yang sekaligus sebagai anggota komunitas banjar dalam mengejar
kepentingan mereka melalui sistem dominan yang berbasis pada elemen
formal. Keterkaitan atau integrasi antara lingkungan kebijakan dengan relasi
informal yang mengikat aktor dalam mengejar keuntungannya disebutkan
sebagai kerangka institusional. Gambaran kondisi itu, analog dengan
penjelasan salah satu informan kunci di lingkungan Departemen Pertanian,
yang mengemukakan proses perencanaan dan operasionalissi suatu program
ataupun kegiatan pembangunan pertanian.
KebijakanDeptanProgramPemb.Pertanian
Kebijakan &ProgramSubSektor Pertanian
Institusi Pertanian
PEMDA
Musyawarah Perencanaan:-Nasional
- Propinsi; Kab/Kota
Kebijakan NasionalKebijakan Regional
Kebijakan Operasional
LEGISLATIF
KomponenMasyarakat
RENCANAKERJA
PENYUSUNAN ANGGARAN PEMBANGUNAN
OPERASIONALISASI
EVALUASIKEGIATAN
PEMBAHASANKEGIATAN
UMPANBALIK
Gambar 6.1. Mekanisme Perencanaan Pembangunan PertanianSumber: Hasil Wawancara Dengan Salah Satu Informan di Deptan (2009)
189
Universitas Indonesia
Pada kerangka kegiatan agribisnis pedesaan, lingkungan institusioal
dalam bentuk kebijakan formal pembangunan pertanian secara dinamis dan
kontekstual berlangsung menjadi kerangka dalam mengarahkan tindakan
ekonomi petani warga banjar. Dalam kerangka implementasi program
Primatani di Sanggalangit, lingkungan institusional itu mampu memfasilitasi
terbentuk dan terdistribusinya struktur insentif, dalam hal ini berupa
penguasaan kapital dan peningkatan kualitas hidup aktor pelaku agribisnis.
Dengan demikian lingkungan institusional tersebut mampu bertahan dan
berjalan sebagai basis yang mengarahkan tindakan ekonomi aktor ataupun
kelompok yang dalam hal ini ditemukan dalam bentuk kelompok tani–ternak
di lokasi penelitian. Akan tetapi, jika lingkungan institusioanl tidak dapat
menghasilkan dan menjaga struktur insentif akan terjadi apa yang disebut Nee
sebagai decoupling atau ketidakserasian lingkungan intitusional dengan
informal rule di level makro. Sementara, sesuai dengan hasil observasi dan
wawancara mendalam dengan informan kunci di lokasi penelitian, sejak
implementasi Primatani hingga saat ini tampak masih terus berlangsung
adanya gejala terintegrasinya lingkungan institusional dengan relasi informal
yang mengarahkan tindakan pelaku ekonomi, yakni para petani anggota
banjar. Proses keberlangsungan integrasi formal –informal rules tersebut,
ditunjukkan dari temuan penelitian seperti berikut ini.
Bahwa Proses inisiasi Prima Tani pada lokasi penelitian, seperti
halnya pada seluruh lokasi Prima Tani di Indonesia diawali dengan
identifikasi masalah dan potensi pengembangan agribisinis. Hal ini dilakukan
dengan melakukan pemahaman pedesaan (lokasi) secara partisipaif
(Partcipatory Rural Appraisal/PRA) yang mengandung makna adanya
keterlibatan masyarakat lokal terutama petani, dalam merencanakan rancang
bangun pengembangan agribisnis pedesaan. Tahapan berikutnya adalah
menentukan dan mengimplementasikan teknologi dan kelembagaan pertanian
yang sesuai dengan kebutuhan ataupun masalah yang ada, dengan melibatkan
190
Universitas Indonesia
partisipasi oleh semua stakeholders yakni petani, penyuluh, peneliti,
pemerintah daerah, dan swasta8. Dalam proses perencanan dan pelaksanaan
Prima Tani dilakukan empat pendekatan meliputi (i) pendekatan agro-
ekosistem yang memperhatikan kesesuaian pengembangan agribisnis dengan
kondisi bio-fisik; (ii) pendekatan agribisnis itu sendiri dengan memperhatikan
struktur dan keterkaitan sub-sistem penyediaan input, usahatani (on farm),
pascapanen dan pengolahan hasil produksi, pemasaran, dan kelembagaan
penunjang dalam satu sistem agribisnis, (iii) pendekatan kelembagaan yang
berarti bahwa pelaksanan Prima Tani tidak hanya memperhatikan keberadaan
dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan
input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma, dan auran yang
berlaku di lokasi pengembangan, (iv) pendekatan pemberdayaan masyarakat
secara partisipatif menekankan perlunya penumbuhan kemandirian aktor
petani dalam memanfaatkan potensi sumber daya pedesaan atau potensi
banjar, dalam konteks studi ini.
Pada kasus Primatani di Sanggalangit entry point kegiatan adalah
implementasi teknologi embung, mengingat masalah ketersedian sumberdaya
air dan jaringan irigasi yang tidak memadai. Hal ini selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh informan kunci studi ini seperti berikut:
“Prima Tani merupakan kegiatan semacam laboratorium lapangnya
peneliti dari BPTP Bali. Kegiatan ini awalnya diarahkan untuk
membangkitkan gairah bertani anggota masyarakat. Diawali
dengan pengembangan teknologi “embung” maka ketersediaan air
bagi budidaya pertanian dan ternak terutama di musim kemarau
menjadi semakin membaik. Pembuatan embung dilakukan bahu
membahu antara pemerintah kecamatan, desa, aparat dinas terkait,
8 Disarikan dari hasil wawancara mendalam dan Laporan Kegiatan Prima Tani , BPTP 2008.
191
Universitas Indonesia
dan tentu dari petugas BPTP. Selanjutnya dilakukan musyawarah
untuk menentukan jenis usaha agribisnis yang sesuai, yang akhirnya
ditetapkan usaha agribisnis terpadu yakni usaha pertanian
dipadukan dengan ternak sapi, dan lebih diarahkan kepada pertanian
organik. Prima Tani juga memperkenalkan pola kelompok dan
pembentukan lembaga petani yang ditujukan untuk wadah
koordinasi dan komunikasi dalam kegiatan agribisnis, dan juga
untuk mengembangkan jaringan usaha dengan pihak luar desa.
Perlahan sejak beberapa tahun terakhir anggota masyarakat mulai
merasakan dampak dari inovasi yang dikembangkan di desa ini.
Produktivitas usahataninya semakin meningkat, usaha ternak sapi
yang bermula dari bantuan kredit lunak menjadi salah satu sumber
pendapatan yang sebelumnya tidak ada. Usaha ternak ternyata juga
menghasilkan pupuk organik dengan mengunakan teknologi
sederhana mampu menghasilkan pupuk organik yang dikelola
secara kelompok. Bahkan produksi pupuk organik cukup
menjajikan dengan datangnya permintaan yang meningkat dari
waktu ke waktu oleh beberapa relasi dari luar desa, bahkan luar
kecamatan. Pembuatan pupuk organik ini dikelola secara kelompok
dengan memanfaatkan limbah pertanian dan limbah ternak melalui
teknologi fermentasi sederhana seperti yang diinisasi oleh BPTP,
dan hasilnya dibagi dalam setiap periode waktu tertentu untuk
menambah pendapaan dan modal petani. Sungguh-sungguh hal
yang luar biasa, yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh
masyarakat disini (KW, September 2009).
Menurut penjelasan penanggung jawab Prima Tani di Sanggalangit,
saat ini sudah terbangun 63 embung terdiri dari 41 embung besar dan 22
embung kecil yang mampu mengatasi permasalahan utama ketersedian air
192
Universitas Indonesia
untuk usahatani. Oleh karena itu, masalah kesulitan kegiatan budidaya di
musim kemarau dapat diatasi, sehingga kegiatan usahatani berlangsung
sepanjang tahun. Gairah petani semakin meningkat seiring dengan lancarnya
pasokan air bagi kegiatan usahataninya. Bermula dari sinilah kemudian ide-
ide untuk lebih meningkatkan skala usahatani masyarakat terus meluas.
Budidaya jagung tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pangan, pakan,
ataupun pendapatan mereka. Ide untuk melakukan diversifikasi usaha terus
diupayakan petani, sehingga tuntuan atas inovasi teknologi pertanian juga
meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh petani, dalam perjalanan kegiatan
Prima Tani sudah sedemikian banyak teknologi yang diadopsi, meliputi
teknologi budidaya, teknologi pasca panen, dan tidak ketinggalan inovasi
kelembagaan.
Inovasi yang sangat menonjol dan diyakini petani sangat berperan
membantu peningkatan pendapatan mereka adalah penerapan inovasi yang
diiisiasi BPTP berupa sistem pertanian terintegrasi, yakni inovasi “Cropp
Livestock System” yang mengintegrasikan usaha tani dengan ternak sapi.
Sistem ini juga dirasakan petani sangat menunjang kelestarian lingkungan
mengingat salah satu output dari sistem ini adalah pupuk organisk yang
diprodusi dengan sistem fermentasi. Produk berupa pupuk ini, menurut
pengamatan peneliti sangat membantu menambah pendapatan petani, di luar
komoditas utama yang diusahakan.
Inovasi kelembagan juga relatif berperan dalam mendukung kegiatan
agribisnis masyarakat. Salah satu yang menonjol disamping pesatnya
pertumbuhan kelompok tani, juga terjadi gejala semakin meningkatnya ragam
kelembagaan pendukung pengembangan agribisis di Sanggalangit. Koperasi
ternak “Dharma Satwa” sebagai contoh, telah menunjukkan peningkatan
performa usaha di bidang penyaluran input produksi ternak sapi, dan juga
penyaluran pupuk organik yang diproduksi kelompok-kelompok tani di
193
Universitas Indonesia
Sanggalangit. Menurut informasi dari salah satu anggotanya yang ditemui
dalam satu kesempatan mengutarakan bahwa sisa hasil usaha koperasi itu
cukup untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga, atau disimpan di
LPD (Lembaga Perkreditan Desa) yang berlokasi di sebelah kantor desa.
Tumbuh dan berkembangnya kelembagaan usahatani seperti kelompok
tani, lembaga simpan pinjam, dan juga koperasi, secara tidak langsung
meningkakan aktivitas masyarakat petani. Interaksi dengan pihak luar baik
dari anggota biasa ataupun pengurus kelompok-kelompok itu, menjadi
semakin terjalin. Demikian pula relasi sosial antar anggota kelompok juga
menjadi semakin kuat. Pengalaman peneliti saat mendampingi Tim Kerja dari
Komisi IV DPR RI pada bulan Juni 2007 juga dapat diungkapkan dalam
bagian ini, terutama menyangkut apresiasi anggota legislatif Komisi IV DPR
RI, yang sedemikian tinggi terhadap kemajuan perkembagan pembangunan
agribisnis di Sanggalangit. Pengembangan agribisnis seperti diuraikan
dimuka, berdampak pada terjadinya perubahan representasi kapital dan juga
kualitas hidup masyarakat. Sebelum Prima Tani dilaksanakan di
Sanggalangit, rata-rata pendapatan petani sangat rendah. Penguasaan kapital
ekonomi berupa aset sumberdaya ekonomi rata-rata juga rendah. Akan tetapi
saat ini sudah mulai menunjukkan peningkatan disamping adanya dukungan
penguasaan bentuk kapital lainnya, seperti kapital sosial, budaya, dan kapital
politik. Menurut pengamatan peneliti, kapital sosial merupakan bentuk
representasi kapital yang menonjol di Sanggalangit. Uangkapan salah satu
informan studi ini (KS, Maret 2010) yang mengatakan bahwa “makentanan”
adalah modal kita hidup saya maknai dengan pengertian bahwa pertemanan,
relasi, dan interkasi dengan aktor lain akan menambah network kita. Hal itu
tercermin dari sedemikian mengalirnya pola relasi sosial yang ada di dalam
masyarakat petani komunitas banjar, maupun dalam menerima pihak luar.
Dalam satu kesempatan acara ramah tamah dengan beberapa warga
masyarakat, peneliti dapat merasakan kentalnya pola relasi sosial antar warga
masyarakat banjar di Sanggalangit. Pentingnya network yang dibangun
194
Universitas Indonesia
berlandaskan hubungan pertemanan, kenalan jauh, dan interaksi dengan aktor
lain diyakini informan (KW) bermanfaat bagi dirinya dengan mengemukakan
seperti berikut.
“Baru terasa manfaat relasi dan hubungan baik antar tetangga, maupun
dengan kenalan jauh dari luar desa seperti kalangan aparat pemerintah,
tokoh-tokoh politik, dan relasi dari kalangan usaha. Semakin
berkembang relasi saya, maka saya merasakan semakin yakin
melakoni usaha agribisnis saya (Hal ini dirasakan setelah aktif
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tani-ternak). Bahkan dengan
kunjungan Bapak-bapak termasuk dari Pusat, saya rasakan sangat
membantu usaha saya (digambarkan pengalamannya mengenai
sulitnya mengendalikan penyakit yang menyerang usahatani
mangganya, dan dengan mengenal seorang Doktor bidang penyakit
tanaman, ternyata saya mendapatkan resep dan obat dari Bapak itu,
dan sampai sekarang usaha tani mangga saya tidak mendapat kendala
yang berarti, hubungan baik kami pun terus terjaga)”. Hasil
Wawancara dengan KW (4 Oktober 2009).
Berdasarkan pengamatan peneliti, secara riil peningkatan jumlah
maupun kualitas kelembagaan maupun organisasi dalam pengembangan
agribisnis telah menunjukkan eksistensinya, yakni tidak hanya didirikan
secara formal untuk vakum tanpa kegiatan. Terdapat beberapa kegiatan yang
masih peneliti temui, termasuk dalam hal bagaimana kelompok tani masih
secara konsisten dan berkelanjutan merumuskan rencana pengembangan
usaha tani kelompok, kemudian juga merumuskan perencanaan dan
koordinasi dengan lembaga lainya seperti dengan dinas-dinas terkait maupun
dengan koperasi yang menunjang aspek permodalan usaha maupun pemasaran
hasil produksi usahatani kelompok maupun aktor. Akan tetapi pengembangan
agribisnis melalui akselerasi pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian,
195
Universitas Indonesia
belum sepenuhnya berhasil meningkatkan representasi kapital budaya maupun
kapital politik dalam komunitas agribisnis berbasis banjar. Hal ini terungkap
dalam kesempatan wawancara mendalam kami dengan informan di
Sanggalangit, seperti yang dijelaskan berikut ini.
“Modal budaya masyarakat disini relatif merata, tidak ada yang
menonjol. Pemanfaatan modal ini kurang nyata kelihatannya dalam
kehidupan sosial kita. Memang tampak bagi beberapa kalangan seperti
pemangku (pemimpin agama dan penanggung jawab pura tertentu),
pendeta masih dipandang dan mendapat sedikit kesempatan yang lebih
baik dalam memperoleh fasilitas pendidikan, kesehatan, ataupun
peluang berusaha. Selain itu ada beberapa kalangan dari keluarga
bekas pejuang (maksudnya VETERAN) dan juga mantan Bendesa
adat masih dihormati dan dihargai dalam memperoleh kesempatan-
kesempatan itu”. Ungkapan KW dalam wawancara tanggal 4 Oktober
2009.
Penjelasan di atas selaras dengan pandangan Bourdieu (1986) yang
mengemukakan secara rinci dimensi kapital budaya yang merujuk pada
keadaan (state), yakni embodied state yaitu kapital yang keadaannya
mewujud pada badan agen. Secara harfiah hal ini mengandung pengertian
bahwa aktor sebagai manusia mengandung potensi kapital tersendiri, berupa
kekuatan ataupun kemampuan yang melekat pada aktor, seperti halnya kasta
pada masyarakat Bali ataupun pemafaatan kapital budaya sebagai
“Pemangku” yang melekat pada aktor. Demikian juga kapial budaya yang
dimanfaatkan aktor yang kebetulan sebagai Veteran misalnya, masih jelas
dihargai oleh masyarakat setempat. Oleh karenanya, aktor-aktor tersebut
secara relatif memiliki peluang yang lebih jika dibandingkan aktor lainnya
sesama anggota komunitas banjar, dalam memperoleh akses berkehidupan
sosial. Sementara kapital budaya dalam dimensi obyektif maupun
196
Universitas Indonesia
institusional, belum begitu tampak pada komunitas agribisnis di Sanggalangit.
Jika dilihat dari data pendidikan rata-rata masyarakat Sanggalangit yang
masih relatif rendah (lebih dari 60% berpendidikan SD) , maka tentunya
representasi kapital budayanya juga relatif tidak berkembang.
Representasi kapital politik juga relatif belum berkembang, yang
diindikaskan oleh penjelasan lebih lanjut dari informan (KW, Oktober 2009),
seperti berikut ini.
“Pemanfaatan modal politik umumnya masih dimanfaatkan oleh
segelintir orang saja. Dengan kekuasaan, kepintaranya bergaul dengan
politisi, ataupun melalui status sosial yang disandangnya maka
sebagian anggota masyarakat itu dapat memanfaatkan modal
politiknya bagi peningkatan kesempatannya memeperoleh kemudahan
di segala bidang termasuk bagi peningkatan kesejahteraannya
(maksudnya kualitas hidupnya)” Demikian secara lugas KW
mengemukakan bagaimana informan itu memaknai representasi kapital
politik pada komunitas agribisnis berbasis banjar di desanya.
Hal itu sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti
misalnya yang peneliti amati bahwa kadang-kadang petugas kesehatan di
Puskesmas misalnya masih membedakan pelayanananya menurut status sosial
dan siapa yang datang berobat. Jika dari kalangan atas (maksudnya elit desa)
tentu pelayanan kesehatan yang diberikan berbeda dengan masyarakat lainnya.
Gejala itu sesuai dengan pandangan Svendsen&Svendsen ( 2003), yang
mengemukakan mengenai kapial politik yang diperoleh aktor sebagai akibat
penghargaan masyarakat terhadap karisma, ikatan moral, sistem meritokratis,
dan dominasi yang melekat pada aktor.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai representasi kapital
ekonomi di daerah penelitian. Menurut pengamatan maupun hasil wawancara
dengan informan maupun sumber-sumber lain di lokasi penelitian, kapital
ekonomi merupakan jenis kapital yang sangat berarti dan paling besar
197
Universitas Indonesia
kontribusinya bagi pencapaian peningkatan kualitas hidup komunitas
agribisnis. Peningkatan pendapatan yang dirasakan sebagai dampak
penerapan inovasi teknologi unggul dalam pengembangan agribisnisnya,
dirasakan telah membawa aktor kepada peningkatan kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan sebelum adanya program pengembangan agribisnis melalui
kegiatan Prima Tani.
“Bagaimanapun juga modal ekonomi berupa “uang” dan keterampilan
berusaha sangat penting dalam memperoleh kesempatan pendidikan,
kesehatan, maupun menjaga lingkungannya, serta dalam hal
memperoleh kesempatan kerja. Saat ini kan “uang adalah segalanya”.
Di sini pun demikian. Walaupun di desa seperti ini, uang tetap
menjadi alat yang ampuh bagi penyelesaian segala urusan. Ungkapan
informan (KW) yang diwawancarai pada 4 Oktober 2009.
Kepemilikan modal “uang” merupakan indikasi utama penguasaan
kapital ekonomi, dan diyakini sebagai sesuatu yang dianggap segalanya.
Bahkan dengan uang segala urusan dapat diselesaikan. Demikian informan
memaknai kapital ekonomi berupa “kepemilikan uang” oleh aktor dalam
komunitas agribisnis di daerah penelitian. Meskipun hal ini juga disebutkan
dalam pemikiran Svendsen & Svendsen (2003) mengenai dimensi kapital
ekonomi menurut Bourdieu (1986), tetapi kapial ekonomi itu sendiri tidak
hanya berupa kepemilikan modal uang saja, melainkan juga dibangun atas
kepemilikan aset produksi seperti sumberdaya lahan, kemudian juga dibangun
atas semangat kewirausahaan aktor, maupun keterampilan dan
profesionalisme aktor dalam menjalani kehidupan sosialnya, dalam hal ini
pada komunitas agribisnis berbasis banjar di Bali.
Ikhtisar dari keseluruhan pembahasan pada Bab ini adalah adanya
keberlakuan konsep Nee (2005) mengenai New Institutionalism. Konstruksi
198
Universitas Indonesia
sosial komunitas petani berbasis banjar di Sanggalangit diwarnai oleh
dinamika pembangunan yang diinisiasi pihak eksternal melalui pendekatan
top down–policy. Implementasi Prima Tani dalam pengembangan agribisnis
tidak terlepas dari peran lingkungan kebijakan di level makro untuk
mensinkronisasikan dengan kebijakan pemerintah daerah di level messo, serta
dengan relasi informal di level mikro. Pada konteks ini, Prima Tani sebagai
proses introduksi inovasi teknologi dan kelembagaan usahatani yang
berlandaskan formal rules berupa peraturan perundang-undangan formal
kepada relasi informal di level mikro, berhasil diterima oleh kelompok atau
aktor dalam komunitas agribisnis di Sanggalangit, yang didukung juga oleh
kelenturan (fleksibilitas) sistem banjar sebagai organisasi sosial tradisi yang
sarat dengan in-formal rules. Keberhasilan itu ditentukan oleh adanya
struktur insentif terutama bagi relasi informal dalam kegiatan Prima Tani.
Struktur insentif itu berupa inovasi teknologi dan kelembagaan yang akhirnya
bermuara pada diperolehnya keuntungan oleh relasi informal berupa
peningkatan kapital sosial, budaya, politik, dan kapital ekonomi. Oleh karena
itu Prima Tani yang cenderung bersifat top-down policy dapat menunjukkan
keberhasilannya, dan terjaga secara berkelanjutan, karena mampu secara
terus-menerus memberikan insentif bagi relasi informal di Sanggalangit.
6.4. Analisis Jalur Hubungan Antar Variabel Yang Mempengaurhi QoL
Temuan penelitian tentang pengaruh masing-masing kapital terhadap
kualitas hidup dan peran tripartit: pemerintah-swasta-masyarakat terhadap
penguasaan kapital dalam masyarakat, serta pengaruhnya terhadap kualitas
hidup telah dijelaskan pada bagian terdahulu ari Disertasi ini. Pembahasan
temuan penelitian dalam satu model hipotetik hubungan antar variabel yang
mempengaruhi kualitas hidup, diyakini akan dapat memperkaya hasil studi
ini. Oleh akrena itu, pada sub bab ini akan dibahas hasil analisis jalur (path
analysis) hubungan antar variabel penelitian. Pemikiran peneliti atas model
199
Universitas Indonesia
hubungan antar variabel penelitian ini (Gambar 6.2) dilandasi oleh beberapa
gagasan yang antara lain dikemukakan oleh Castelli, et.all (2009) mengenai
model hubungan pengaruh lingkungan kebijakan terhadap kapital sosial dan
pelayanan publik yang bermuara pada kualitas hidup masyarakat; pemikiran
Nee (2005) mengenai perlunya pendekatan kelembagaan baru (new
institutionalism), serta gagasan Bourdieu (1986) mengenai refomulasi bentuk
kapital menjadi empat jenis kapital yang erat pertaliannya dengan bagaimana
agen memperoleh dan menguasai kapital dalam rangka meningkatkan kualitas
hidupnya.
Gambar 6.2 merupakan model hipotetik hubungan antar variabel yang
menjelaskan bahwa peningkatan kualitas hidup komunitas agribisnis
merupakan muara dari adanya pengaruh variabel-variabel lain berupa
representasi kapital (kapital sosial, budaya, politik, dan ekonomi), pengaruh
posisi aktor dalam sistem straifikasi sosialnya, serta pengaruh dari adanya
peran tripartit dan ko-produksi antara elemen-elemen pembangunan yakni
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan pemikiran tersebut dilakukan
analisis regresi berganda (multiple regression), untuk melihat pengaruh
masing-masing variabel eksogen tersebut.
e1
1
e2
200
Universitas Indonesia
Model Pertama, adalah analisis regresi untuk mengetahui
pengaruh semua variabel eksogen terhadap variabel endogen, yang
dalam hal ini adalah kualitas hidup (QoL). Hasil analisis regresi
dapat dicermati sesuai tabel 6.8 yang telah disajikan pada sub bab
terdahulu Disertasi ini. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dekemukakan bahwa keseluruhan variabel eksogen berupa peran
tripartit koproduksi pemerintah, swasta dan masyarakat,
representasi kapital dan stratifiasi sosial dapat mejelaskan variabel
endogen (kualitas hidup) sebesar 69,4% yang ditunjukkan dari nilai
R square ringkasan model regresi tersebut. Sedangkan hubungan
pengaruh setiap variabel eksogen terhadap variabel kualitas hidup
dijelaskan dari regresi yag tertuang dalam Tabel 6.8. (halaman 180)
Berdasarkan Tabel 6.8 tersebut dapat diterangkan bahwa
terdapat satu variabel eksogen yang tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap kualitas hidup, dilihat dari nilai p-value yang
lebih besar dari level of significan (0,05), yakni variabel ko-
produksi (nilai p-value nya 0,553). Sedangkan variabel lainnya
seperti persepsi masyarakat terhadap kapital sosial, kapital p;olitik,
peran pemerintah, dan peran swasta memeliki pengaruh langsung
yang sangat nyata terhadap kualitas hidup dengan nilai p-value
0,000, lebih kecil dari level of significan sebesar 0,01. Adapun
variabel persepsi masyarakat terhadap kapital budaya, kapital
ekonoi, dan peran masyarakat memiliki peran langsung yang nyata
dengan nilai p-value masing-masing sebesar 0,040, 0,18, dan
0,036. Hasil akhir dari regresi model pertama ini menunjukkan
koefisien jalur (path coeficient) variabel kapital sosial adalah
tertinggi dengan nilai koefisien jalur 0,428, disusul peran
pemerintah 0,231; kapital politik 0,216, kapital ekonomi 0,165;
peran swasta 0,151; dan peran masyarakat -0,133. Hasil regresi
201
Universitas Indonesia
ini mengharuskan bahwa variabel yang tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap QoL, yakni ko-produksi garis pengaruhnya
dalam model hipotetik (Gambar 6.3.) harus dihapus atau ditiadakan
dari model.
Model Regresi Kedua, mencermati pengaruh peran tripartit dan
koproduksi pemerintah-swasta-masyarakat terhadap kapital sosial.
Adapun hasil regresinya dapat dilihat pada Tabel 6.2 yang
disajikan pada sub bab terdahulu. Dari empat variabel yang
dianalisis, ternyata seluruh variabel berpengaruh langsung
terhadap kapital sosial. Keempat varibel itu dijelaskan dominasi
pengaruhnya berdasarkan nilai beta terstandarisasinya, sebagai
koefisien jalur. Besarnya nilai koefisien jalur masing-masing
variabel menjelaskan bahwa peran masyarakat memiliki dominasi
yang paling besar (0,589) disusul oleh koproduksi, peran
pemerintah, dan yang terkecil adalah dominasi pengaruh dari peran
swasta.
Model Ketiga, analisis mengenai peran tripartit dan koproduksi
pemerintah-swasta dan masyarakat terhadap kapital budaya.
Berdasarkan hasil regresi seperti tampak pada Tabel 6.3 yang telah
disajikan pada sub bab terdahulu ternyata hanya satu variabel
yang memiliki pengaruh langsung terhadap kapital budaya, yakni
peran swasta, dengan dominasi pengaruh sebesar 0,158. Tiga
variabel lainnya yang tidak berpengaruh langsung terhadap
kapitalbudaya tidak memiliki koefisien jalur dan garis
hubungannya ditiadakan dalam model hubungan antar variabel.
202
Universitas Indonesia
Model Keempat, menganalisis pengaruh peran tripartit dan ko-
produksi pemerintah, swasta, dan masyarakat terhadap kapital
politik. Hasil regresi menunjukkan bahwa seluruh variabel yakni
peran pemerintah, peran swasta, masyarakat, dan ko-produksi
memiliki pengaruh langsung terhadap kapital politik. Adapun nilai
koefisien jalur empat variabel itu masing-masing: peran
koproduksi (0,344), peran peran masyarakat (0,194) ; peran
pemerintah (0,180) dan yang terendah dominasi pengaruhnya
adalah peran swasta sebesar 0,152 (Tabel 6.4)
Model kelima, melakukan analisis pengaruh peran tripartit dan ko-
produksi pemeritah-swasta-masyarakat terhadap kapital ekonomi.
Sebagaimana analisis terhadap jenis kapital lainnya, maka hasil
regresi untuk kapital ekonomi dapat dilihat pada Tabel 6.5.
Berdasarkan Tabel 6.5 dapat dijelaskan bahwa hanya dua variabel
yakni ko-produksi dan peran swasta yang memiliki pengaruh
langsung terhadap kapital ekonomi. Oleh karena itu, dua variabel
yang tidak memiliki pengaruh langsung, garis hubungan
pengaruhnya harus dihapuskan dari model, yakni variabel peran
pemerintah dan peran masyarakat. Adapun koefisien jalur variabel
yang berpengaruh terhadap kapital ekonomi masig-masing adalah
koproduksi dengan nilai koefisien jalur 0,825 dan peran swasta
sebesar 0,085.
Hasil akhir dari analisis jalur yang dilakukan dengan uji regresi pada
model pertama hingga model kelima dituangkan sebagai model hasil analisis
jalur, seperti tampak pada Gambar (6.3).
203
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil masing-masing model regresi (model regresi 1 sampai 5)
dapat digambarkan hubungan antar variabel yang mempengaruhi kualitas
hidup seperti pada Gambar berikut:
204
Universitas Indonesia
dalam meningkatkan kualitas hidupnya, melalui pengembangan agribisnis
berbasis banjar.
Berdasarkan model hubungan antar varibel sebagai hasil dari analisis
jalur, dapat dikemukakan bahwa representasi masing-masing jenis kapital
dalam komunitas agribisnis berbasis banjar di Sanggalangit, memiliki
pengaruh yang berbeda terhadap kualitas hidup masyarakat. Pada sisi lain,
peran pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengembangan agribisnis di
Sanggalangit, menunjukkan pengaruh dengan dominasi yang berbeda,
terhadap kualitas hidup masyarakat. Hubungan antar variabel yang menentukan
kualitas hidup masyarakat, menunjukan bahwa pengaruh total masing-masing variabel
terhadap kualitas hidup adalah sebagai berikut:
Total pengaruh kapital sosial terhadap QoL adalah 0,428
Total pengaruh kapital budaya adalah 0,077
Total pengaruh kapital politik 0,216
Total pengaruh kapital ekonomi adalah 0,165
Sedangkan pengaruh total peran pemerintah adalah pengaruh langsung
sebesar 0,231 ditambahkan dengan pengaruhnya melalui kapital sosial (0,157
x 0,428), dan melalui kapital politik (0,180 x 0,216), sehingga total pengaruh
peran pemerintah sebesar 0,339
Pengaruh total peran swasta terhadap QoL didapatkan dari pengaruh langsung
sebesar 0,151 ditambah dengan pengaruh tidak langusng melalui kapital sosial
(0,099 x 0,428), melalui kapital budaya (0,158 x 0,077), melalui kapital
politik (0,152 x 0,216) dan melalui kapital ekonomi (0,085 x 0,165), sehingga
total pengaruhnya menjadi sebesar 0,252
Pengaruh total peran masyarakat adalah - 0,113 ditambah pengaruh tidak
langsung melalui kapital sosial (0,589 x 0,428) dan melalui kapital politik
(0,194 x 0,216), sehingga total pengaruh sebesar 0,181
205
Universitas Indonesia
Total pengaruh ko-produksi adalah pengaruh melalui kapital sosial (0,186 x
0,428), melalui kapital politik (0,344 x 0,216) dan melalui kapital ekonomi
(0,825 x 0,165), sehingga total pengaruhnya adalah 0,290
Kapital sosial menunjukkan dominasi pengaruh yang tertinggi (0,428) diantara
variabel-variabel eksogen yang mempengaruhi QoL. Variabel berikutnya yang
menunjukkan dominasi pengaruh yang besar adalah peran pemerintah (0,339), disusul
peran ko-produksi yang memiliki total pengaruh sebesar 0,290. Sementara dari keempat
jenis kapital yang mempengaruhi QoL, kapital budaya merupakan jenis kapital yang relatif
kurang dominan pengaruhnya terhadap kualitas hidup individu anggota komunitas
agribisnis di Sanggalangit. Pada sub bab ini juga dijelaskan bahwa hasil temuan
penelitian ini ternyata sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Castelli, et.all
(2009) yang menyatakan bahwa kapital sosial dan public service organization
(PSO) sangat berperan dalam meningkakan kualitas hidup masyarakat, selain
tentunya peran pemerintah. Akan tetapi, Castelli (2009) tidak membahas dan
mencermati jenis kapital lain selain kapial sosial, dan juga belum sepenuhnya
menyinggung aspek peran elemen pembangunan selain pemerintah, yakni
peran swasta atau korporasi dan peran masyarakat lokal dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Sementara penelitian ini relatif berhasil mencoba
melakukan penyesuaian (customize) variabel-variabel eksogen yang
mempengaruhi tingkat kualitas hidup, dengan mencermati peran swasta,
masyarakat, dan koproduksi dari tiga elemen itu, serta menambah analisis
bentuk kapital lainnya, yang dalam studi ini peneliti menyebutnya sebagai
representasi kapital.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang kualitas
hidup masyarakat, maka studi ini juga mencermati kualitas hidup obyektif dan
subyektif dalam pengertian pendekatan studi-studi kesejahteraan secara
umum, khususnya kualitas hidup masyarakat. Pendekatan yang dimaksud
adalah pendekatan model “Scandinivian of Living” yakni lebih fokus pada
kondisi obyektif kualitas hidup. Kualitas hidup obyektif yang dicermati dari
206
Universitas Indonesia
indikator obyektif seperti pendapatan, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan,
sandang, dan papan), tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Sedangkan
pendekatan yang kedua adalah model “American QoL”yang menekankan
indikator-indikator kualitas hidup berdasarkan kondisi sosial individu yang
antara lain meliputi persepsi kepuasan, dan kebahagiaan individu dalam
masyarakatnya (Noll, 2002). Noll (2002) akhirnya lebih fokus pada kualitas
hidup individu dan keseluruhan proses kehidupannya beserta hal yang
melingkupinya berupa dimensi sosial. Berdasarkan enam belas indikator
kualitas hidup yang dicermati dalam studi ini, QoL obyektif ditentukan oleh
empat indikator berupa pendapatan, pendidikan, pemenuhan kebutuhan
primer, dan tingkat morbiditas. Adapun persepsi responden terhadap tingkat
pentingnya suatu faktor dalam mempengaruhi kualitas hidup, disajikan pada
Tabel 6.9 berikut ini.
Tabel 6.9. Peringkat Tingkat Kepentingan Indikator Kualitas Hidup
Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, akan tetapi relatif
sudah dapat menunjukkan adanya peran swasta dalam peningkatan representasi kapital.
Peran pemerintah mulai bergeser oleh peran masyarakat maupun swasta. Persepsi
masyarakat terhadap penguasaan kapital ekonomi sangat dipengaruhi oleh persepsi
masyarakat terhadap peran swasta. Demikian juga untuk penguasaan kapital budaya,
politik, dankapital sosial.
7.1.3. Integrasi Lingkungan Institusional Level Makro dan Informal Rules diLevel Mikro: Tinjauan Terhadap Dimensi Coupling (Keserasian) danDecoupling (Ketidakserasian) dalam Implementasi Prima Tani
Keserasian (coupling) dan ketidakserasian (decoupling) merupakan sebuah
konsekuensi dari proses integrasi lingkungan institusional dengan relasi informal, dalam
implementasi Prima Tani (Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian). Pelaku agribisnis yang sekaligus sebagai anggota komunitas banjar
mengejar kepentingan mereka melalui sistem dominan yang berbasis pada
elemen formal. Ketika lingkungan institusional itu mampu memfasilitasi
terbentuk dan terdistribusinya struktur insentif, dalam hal ini berupa
keuntungan-keuntungan termasuk peningkatan penguasaan kapital dan
peningkatan kualitas hidup aktor pelaku agribisnis, maka lingkungan
institusional tersebut akan bertahan dan berjalan sebagai basis yang
mengarahkan tindakan ekonomi aktor ataupun kelompok yang dalam hal ini
ditemukan dalam bentuk kelompok tani–ternak di lokasi penelitian. Kondisi
ini merupaan konsekunsi yang diharapkan berupa terjadinya keserasian
(coupling)) lingkungan institusioal di level makro dengan informal rule di level
mikro yang berbasis pertaturan dan nilai-nilai kebersamaan sebagai anggota
216
Universitas Indonesia
(kerama) banjar. Akan tetapi, jika lingkungan institusioanl tidak dapat
menghasilkan dan menjaga struktur insentif akan terjadi apa yang disebut Nee
(2005) sebagai decoupling atau ketidakserasian lingkungan intitusional
dengan informal rule di level mikro. Kondisi itu memungkinkan terjadinya
pembentukan norma oposisi, yakni berupa kesepakatan, nilai, dan atuan yang
terbentuk pada aktor pelaku ekonomi dan lebih lanjut berkecendrungan
membentuk jaringan koordinasi untuk bertahan pasif, tidak taat, dan
menyimpang dari aturan formal. Umumnya norma oposisi akan terbentuk dan
muncul saat insentif yang diharapkan tidak sesuai dan tidak menguntungkan
aktor dan kelompok aktor pelaku ekonomi.
Pada konteks program Primatani yang ditujukan untuk mendukung
pengembangan agribisnis pedesaan berbasis komunitas lokal, teori Nee
mengenai kelembagaan baru tersebut masih dapat didiskusikan, tentunya
dikaitkan dengan studi yang dilakukan peneliti. Jika merunut pada pertanyaan
utama studi ini (Grand Tour Research Question) yakni bagaimana penguasaan
kapital dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat dikaji dari aspek peran
tripartit pemerintah dalam komunitas agribisnis, maka dapat dicermati hasil
analisis temuan penelitian ini seperti disajikan dalam Tabel 7.3 berikut.
pengaruh yangpaling dominandiantara jeniskapital lainnya
yang nyatadari jeniskapitalbudaya,politik, danekonomi
Dalam kerangka itu, peneliti memandang gagasan Nee mengenai
kelembagaan baru sesuai dengan hasil temuan di lapangan. Akan tetapi Nee
belum mempertimbangkan adanya hubungan timbal balik dari level makro-meso-mikro
atau sebaliknya mikro-meso-makro. Dengan terminologi lain, Nee dalam visualisasi teori
New Institusionalsm tampak menekankan adanya hubungan satu arah, yakni hanya
menekankan hubungan integrasi institusi formal dan lingkungan kebijakan (policy
environment) ke arah institusi informal dan in-formal rules untuk selanjutnya ke arah mikro
(individu dan kelompok). Nee terlalu menegaskan pemisahan pelaku ekonomi, kelompok,
dan relasi pelaku secara tegas pada level makro-messo-dan mikro. Pada realitas sosial, hal
tersebut tidak berlangsung terpisah. Relasi pelaku di level makro dan mikro berlangsung
natural, terkondisi mengalir apa adanya untuk bersama-sama mengarah pada terjadinya
struktur insentif dan keuntngan-keuntungan yang diinginkan pelaku, dalam hal ini terjadinya
peningkata penguasaankapital dan kualitashidup masyarakat.
7.1.4. Model Peningkatan Kualitas Hidup (QoL) Masyarakat.
Salah satu model yang dicermati peneliti sebagai landasan berpikir
dalam mengemukakan model hipotetik hubungan antar faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup, adalah temuan studi yang dilakukan Castelli,
et.all (2009), mengenai keterkaitan dan hubungan pengaruh policy context
terhadap kapital sosial dan public service organization (PSO) yang bermuara
pada kualitas hidup. Menurutya tataran kebijakan yang diinisiasi pemerintah
akan mendorong peran kapial sosial dan organisasi pelayanan publik dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hal itu didasari juga oleh hasil
penelitian Vipriyanti (2007) mengenai adanya strategi kerja sama antar
pemerintah dan masyarakat akam mampu merevitalisasi kapital sosial.
218
Universitas Indonesia
Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh
Castelli, et.all (2009). Peran konteks kebijakan yang dalam penelitian ini
lebih luas cakupannya dari analisis Castelli, meliputi peran tripartit dan ko-
produksi pemerintah-swasta-masyarakat lokal, sedemikian penting bagi
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Disamping itu, kapital sosial ternyata
berperan sangat dominan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat,
terutama masyarakat petani pelaku agribisnis di pedesaan yang berbasis
komunitas banjar. Selain itu, kapital politik dan kapital ekonomi juga
memainkan fungsi yang cukup penting bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Dengan demikian peneliti dapat menyimpulakn bahwa
berdasarkan temuan di lapangan, ternyata tidak hanya kapital sosial yang
berperan mempengaruhi kualitas hidup, melainkan adanya representasi kapital
dalam bentuk lain yang turut berpengaruh bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat.
7.2. Implikasi Metodologis.
Sebagaimana dijelaskan pada kerangka pikir disertasi ini, penelitian
yang dilakukan untuk penyusunan disertasi mencakup dua tataran, yaitu
tataran kebijakan dan tataran empiris. Pada tataran kebijakan studi ini
didukung pendekatan kualitatif dengan melakukan indept interview pada
lembaga terkait seperti lingkungan kebijakan pemeritah yang meliputi lingkup
Departemen Pertanian hingga pada level BPTP (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian) sebagai representasi lembaga penelitian dan pengembangan
pertanian di daerah, serta dinas-dinas pertanian maupun peternakan. Pada
tataran kebijakan juga dilakukan wawancara mendalam pada informan kunci
di level mikro, serta informan di lembaga legislatif (DPRD Propinsi Bali dan
DPRD Kabupaten Buleleng) dan lembaga lainnya sebagai stakeholders
pengembangan agribisnis pedesaan. Dengan demikian studi ini sangat
mempertimbangkan aspek etnografis yang mendukung analisis kuantitatif.
219
Universitas Indonesia
Pendekatan kuantitatif dilakukan dapa tataran empiris, dengan melakukan
metode survai pada pelaku agribisnis yakni petani yang sekaligus anggota
komunitas pertanian berbasis banjar. Tujuan dari penelitian yang dilakukan
pada dua tataran itu adalah untuk memperoleh data dan informasi yang lebih
lengkap mengenai gambaran sosial (sosiografi) tentang topik disertasi. Oleh
karena studi ini lebih dominan mencermati hubungan antar variabel-variabel
sosial yakni representasi kapital dan kualitas hidup yang dikaji dari peranan
tripartit dan ko-produksi pemerintah, swasta dan masyarakat lokal, ditinjau
dari persepsi masyarakat. Ke depan, studi yang sejenis diharapkan lebih
menekankan data empiris yang bersifat out there dan lebih oabyektif
menuangkan data-data kuantitatif dengan mengeksplorasi hard fact di
lapangan. Secara umum banyak penelitian sejenis yang hanya dilakukan pada
satu tataran saja, yakni sering pada tataran empiris saja. Dipandang dari
model desain penelitian studi ini menggunakan desain dominan-kurang
dominan. Pendekatan kuantitatif dominan dibandingkan dengan pendekatan
kualitatif sebagai pendukung sekaligus sebagai satu komponen kecil dari
keseluruhan proses penenlitian. Pada desain ini peneliti tetap menyajikan
penelitian dalam sebuah paradigma dominan tunggal didukung sebagian
paradigma alternatif. Keuntungan dari pendekatan desain ini adalah dalam hal
menyajikan satu gambaran paradigma secara konsisten dalam penelitian, dan
mengumpulkan data yang terbatas untuk aspek-aspek penelitian secara
mendalam.
Analisis jalur (path analysis) yang dilakukan dalam studi ini, ternyata
mendapatkan model regresi dengan nilai R Square sebesar 0,694 yang berari
bahwa variabel-variabel eksogen yang dianalisis penelitian ini mampu
menjelaskan variabel endogen, yakni variabel utama studi ini berupa kualitas
hidup masyarakat sebesar 69,4%. Selebihnya terdapat faktor-faktor lain
sebesar 30,6% yang bisa mejelaskan variabel kualitas hidup. Hal ini
mengandung implikasi metodologis berupa perlunya analisis yang berbeda
dan bersifat menyempurnakan studi ini, antar lain dengan menambahkan atau
220
Universitas Indonesia
melakukan penyesuaian terhadap variabel-variabel eksogen. Selain itu,
penerapan analisis jalur dalam penelitian ini memberikan alternatif model
peningkatan kualitas hidup dan hubungan dominasi antar fakor yang
mempengaruhi. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada
konteks yang berbeda, sehingga dapat melengkapi ataupun menyempurnakan
model hubungan antar variabel, dalam mempengaruhi kualitas hidup
masyarakat.
Dalam menganalisis variabel dependen yang merupakan variabel
utama dari studi ini, peneliti melakukan eksplorasi mengenai persepsi
responden dalam memandang tingkat kepentingan indikator-indikator kualitas
hidup. Implikasi dari hal itu adalah perlunya penelitian lebih lanjut yang
didasari tingkat kepentingan suatu indikator sesuai sifat dan kondisi spesifik
lokal. Aspek efektifitas dan efisiensi dalam penelitian yang
mempertimbangkan tingkat kepentingan indikator dengan mengeluarkan
indikator yang tidak penting dan fokus pada indikator-indikator yang penting
akan dapat tercapai. Selain itu, pada bagian ini perlu diungkapkan bahwa
subyek penelitian ini adalah petani pelaku agribisnis di pedesaan yang lekat
dengan tradisi kehidupan berbanjar seperti umumnya pada masyarakat Bali.
Pada penelitian-penelitian lebih lanjut, perlu digali dan dicermati subyek
penelitian masyarakat perkotaan yang relatif lebih heterogen dengan
karakteristik tindakan sosial dan ekonomi yang tentu berbeda dengan kondisi
di pedesaan.
221
Universitas Indonesia
BAB 8
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan.
Pada bagian akhir penulisan disertasi ini, akan dikemukakan beberapa
butir kesimpulan berdasarkan temuan yang diperoleh dari analisis data yang
telah dilakukan peneliti. Senyatanya kesimpulan yang diuraikan berikut ini,
sekaligus merupakan jawaban pertanyaan penelitian yang diajukan dalam
disertasi ini, yakni “Apakah penguasaan kapital dalam masyarakat dapat meningkatkan
kualitas hidup komunitas, dikaji dari peran tripartit pemerintah, swasta, dan potensi
komunitas lokal dalam pengembangan agribisnis berbasis banjar, ditinjau dari persepsi
masyarakat? Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian mengenai implikasi teori dari
disertasi ini, makasecara rincibeberapa kesimpulanstudi ini adalah:
1. Peran tripartit dan ko-produksi pemerintah-swasta-komunitas lokal,
memainkan fungsi penting bagi peningkatan representasi kapital
berupa penguasaan kapital sosial, budaya, politik, dan kapital
ekonomi komunitas agribisnis berbasis banjar. Peran pemerintah
berupa dukungan inovasi, kebijakan subsidi, dukungan kebijakan
anggaran yang sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, serta
dukungan politik ternyata masih memainkan peranan penting bagi
peningkatan penguasaan kapital. Pada sisi lainnya, peran swasta
dalam bentuk investasi, dukungan kredit, dukungan penyediaan
sarana prasarana produksi, dan pemasaran masih perlu ditingkatkan
mendukung penguasaan kapital. Sementara peranan masyarakat
sangat dominan dalam mendukung penguasaan kapital, terutama
dukungan potensi fisik banjar, nilai-nilai berbanjar, peran
kepemimpinan banjar, maupun partisipasi masyarakat. Peran
masyarakat lokal yang terwadahi alam sistem banjar, juga didukung
222
Universitas Indonesia
oleh kelenturan (fleksibilitas) sistem banjar dalam menerima unsur-
unsur baru yang diinisiasi pihak eksternal.
2. Kapital sosial memainkan peranan yang penting bagi peningkatan
kualitas hidup (QoL) komunitas agribisnis. Berdasarkan analisis
jalur yang dilakukan, ternyata kapital sosial merupakan faktor yang
paling dominan pengaruhnya bagi peningkatan kualitas hidup,
dibandingkan dengan variabel lainya.
3. Semakin tinggi penguasaan kapital budaya, maka semakin baik juga
kualitas hidup masyarakat. Akan tetapi, hasil akhir dari analisis
jalur mengungkapkan bahwa kapital budaya menunjukkan dominasi
pengaruh yang terendah dibandingkan jenis kapital lainnya.
4. Pengaruh kapital politik terhadap kualitas hidup masyarakat relatif
kuat, semakin kuat penguasaan aktor terhadap kapital politik maka
akan cenderung meningkatkan kualitas hidupnya.
5. Penguasaan kapital ekonomi sangat menentukan tingkat kualitas
hidup masyarakat. Terkait dengan peningkatan penguasaan kapital
ekonomi, terdapat nilai pengaruh yang sedemikian besar dari aspek
ko-produksi. Dengan demikian sinergi peran antar tiga unsur
pembangunan, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat tidak
dapat saling mendominasi, melainkan perlu terus menjaga dan
memelihara kesejajaran peran, kemitraan, dan integrasi peran dalam
setiap kegiatan ekonomi masyarakat agribinis.
8.2. Rekomendasi Kebijakan.
Sebagaimana pemaparan mengenai permasalah dalam pembangunan
nasional khususnya pengembangan agribisnis di Indonesia, yang erat
pertaliannya dengan kesejahteraan masyarakat petani dan pelaku agribisnis,
aspek kebijakan adalah salah satu unsur yang menentukan keberhasilan
pembangunan. Berdasarkan hasil studi ini, maka mempertimbangkan
pentingnya aspek integrasi lingkungan kebijakan pada level makro dengan
223
Universitas Indonesia
kebutuhan, kepentingan, dan potensi lokal yang mencakup informal rules
yang melandasi relasi informal di level messo dan mikro, maka penelitian
Disertasi ini merekomendasikan beberapa intervensi kebijakan sesuai dengan
permasalahan yang masih ditemukan dalam implementasi program
pengembangan agribisnis. Permasalahan tentang belum optimalnya
pemberdayaan potensi lokal dalam integrasi kebijakan pengembangan
agribisnis pedesaan memerlukan intervensi kebijakan seperti berikut:
1. Kebijakan yang koordinatif dan tidak parsial sangat dibutuhkan dalam
implementasi program pembangunan, dengan mengintegrasikan
lingkungan kebijakan pada level makro dengan pelaku ekonomi di
level meso dan mikro.
2. Kebijakan pembangunan, terutama dalam konteks pengembangan
agribisnis berbasis komunitas lokal seyogyanya bersifat transformatif,
yakni kebijakan yang dapat memberikan peluang transformasi dalam
sistem sosial meliputi budaya dan struktur sosial. Lembaga terkait,
terutama Kementerian Pertanian sebagai inisiator dan fasilitator
pengembangan agribisnis pedesaan perlu melakukan intervensi
kebijakan yang dapat mendorong tumbuh-kembangnya integrasi
kebijakan pemerintah dengan relasi informasl di level desa, antara lain
melalui pemberdayaan potensi banjar baik fisik maupun non fisik
seperti pemberdayaan awig-awig banjar dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan aktor petani di level mikro.
Temuan penelitian mengenai pentingnya peran tripartit dan koproduksi
pemerintah, swasta, dan masyarakat dikaitkan dengan penguasaan kapital
dalam komunitas agribisnis, maka untuk mengatasi permasalahan tentang
rendahnya inklusi sosial dan akses masyarakat dalam penguasaan kapital,
studi ini merekomendasikan beberapa hal seperti berikut:
1. Mengingat realitas sosial, bahwa masih ditemukan adanya
ketimpangan penguasaan kapital terutama kapital ekonomi maka peran
224
Universitas Indonesia
tripartit dapat merangsang dan memfasilitasi upaya peningkatan
kapital non ekonomi pada komunitas yang penguasaan kapital
ekonominya rendah.
2. Dukungan kebijakan anggaran baik APBN maupun APBD dalam
pemberdayaan pengembangan kapital sosial, budaya, dan kapital
politik yang bersifat non fisik mesti lebih ditingkatkan sebagai
investasi pembangunan, mengingat pengembangan kapital sosial saat
ini masih relatif belum mendapat perhatian yang memadai, padahal
banyak penelitian teramasuk studi Disertasi ini menemukan bahwa
kapital sosial sangat berperan dalam menentukan kualitas hidup
masyarakat. Sementara, jika dibandingkan dengan investasi
pemerintah dalam penguasaan kapial ekonomi relatif jauh lebih besar.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan peningkatan anggaran
pembangunan yang ditujukan untuk memfasilitasi peningkatan kapital
sosial berupa anggaran pertemuan atau temu koordinasi antar
komponen masyarakat dan pemerintah ataupun swasta, anggaran yang
bersifat seremonial yang ditujukan untuk membuka ruang atau akses
penguasaan kapital sosial, budaya, dan kapital politik yang lebih
memadai.
3. Lingkungan kebijakan di level makro, perlu melakukan reoreintasi
kebijakan yang terfokus pada upaya peningkatan kapital sosial,
budaya, politik, dan ekonomi. Intervensi kebijakan pemerintah
diperlukan antara lain untuk peningkatan kapital sosial dengan
menciptakan ruang bagi terciptanya banyak kesempatan membangun
jaringan sosial dalam masyarakat. Peningkatan kapital budaya
memerlukan intervensi kebijakan bagi berkembangnya kelompok
profesional pedesaan, pelatihan dan penumbuhan kreatifitas dan daya
cipta masyarakat petani mendukung pengembangan agribisis pedesaan,
serta dengan intervensi kebijakan untuk memberikan ruang dan
mendukung kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya lokal.
225
Universitas Indonesia
Peningkatan kapital politik dalam masyarakat memerlukan intervensi
kebijakan dari pemerintah yang dapat berupa upaya membuka ruang
yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengakses informasi publik.
Hal ini diperlukan untuk menciptakan peningkatan power dan posisi
tawar (bargaining position) bagi petani pelaku agribisnis. Dalam hal
peingkatan kapital ekonomi, maka diperlukan intervensi kebijakan
pemerintah dalam hal fasisilitasi permodalan usahatani dan membuka
informasi yang seluas-luasnya bagi pasar komoditas agribisnis
pedesaan.
Berikutnya, temuan penelitian mengenai fungsi penting tripartit dan
ko-produksi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam konteks permasalahan
akan rendahnya kualitas hidup masyarakat, maka penelitian Disertasi ini
merekomendasikan:
1. Kebijakan pemerintah dan sinergi perannya dengan sektor swasta
maupun masyarakat, mesti mencermati bahwa upaya peningkatan
kualitas hidup masyarakat tidak hanya terfokus pada indikator-
indkator kualitas hidup yang bersifat komposit, melainkan
mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal dan memfokuskan
perhatian pada pemenuhan indikator-indikator penting kualitas hidup,
antara lain memfasilitasi dan mendorong terciptanya ruang dan akses
untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, mencermati
bagaimana masyarakat memaknai tingkat kebahagiannya,
memfasilitasi dan mendorong terciptanya inklusi sosial dalam hal
mencapai peningkatan pendapatan, memfasilitasi dan menyediakan
fasilitas kesehatan masyarakat, dan mendorog terciptanya kesempatan
kerja yang terkait dengan okupasi.
2. Pada konteks pengembangan agribisnis pedesaan, peningkatan kualitas
hidup sangat ditentukan oleh pendapatan usahatani yang dilakukan
aktor, sehingga pada kerangka itu pemerintah dapat melakukan
226
Universitas Indonesia
reorientasi kebijakan anggaran dan kebijakan subsidi, tidak hanya
subsidi bidang pendidikan, kesehatan, melainkan yang cukup penting
adalah subsidi kebijakan dalam aspek perpajakan. Dalam hal ini pajak
lahan dan usaha agribisnis pedesaan dapat ditinjau kembali.
Secara rinci, rekomendasi kebijakan studi ini dirumuskan dalam matrik
seperti berikut ini (Tabel 8.1).
Tabel 8.1. Matrik Rekomendasi Kebijakan
No. Permasalahan Rekomendasi Kebijakan
1. Belum optimalnyapemberdayaan potensilokal dalam integrasikebijakan pada levelmakro (formal rules)dengan relasi informalpada level messo danmikro, dalampengembanganagribisnis
1. Perlu kebijakan yang koordinatif dan tidakparsial dalam implementasi programpembangunan, melalui integrasi lingkungankebijakan pada level makro dengan pelakuekonomi di level meso dan mikro.
2. Kebijakan pembangunan, terutama dalamkonteks pengembangan agribisnis berbasiskomunitas lokal seyogyanya bersifattransformatif, yakni kebijakan yang dapatmemberikan peluang transformasi sistem sosialmeliputi budaya dan struktur sosial. Lembagaterkait, terutama Kementerian Pertanian sebagaiinisiator dan fasilitator pengembangan agribisnispedesaan perlu melakukan intervensi kebijakanyang dapat mendorong tumbuh-kembangnyaintegrasi kebijakan pemerintah dengan relasiinformal di level desa, antara lain melaluipemberdayaan potensi banjar baik fisik maupunnon fisik seperti pemberdayaan awig-awigbanjar dengan tetap mempertimbangkankebutuhan aktor petani di level mikro.
2. Masih rendahnyainklusi sosial danakses masyarakatdalam penguasaankapital
1. Mengingat realitas sosial, bahwa masihditemukan adanya ketimpangan penguasaankapital terutama kapital ekonomi maka perantripartit diharapkan dapat merangsang danmemfasilitasi upaya peningkatan kapital nonekonomi pada komunitas yang penguasaankapital ekonominya rendah.
2. Dukungan kebijakan anggaran baik APBNmaupun APBD dalam pemberdayaan
227
Universitas Indonesia
No. Permasalahan Rekomendasi Kebijakan
pengembangan kapital sosial, budaya, dankapital politik yang bersifat non fisik mestilebih ditingkatkan sebagai investasipembangunan. Hal ini diperlukan mengigat jikadibandingkan dengan investasi pemerintahdalam penguasaan kapial ekonomi, makainvestasi dalam mendukung penguasaan kapitalnon ekonomi relatif jauh tertinggal. Olehkarena itu perlu dipertimbangkan peningkatananggaran pembangunan yang ditujukan untukmemfasilitasi peningkatan kapital sosial berupaanggaran pertemuan atau temu koordinasi antarkomponen masyarakat dan pemerintah ataupunswasta. Kebijakan alokasi anggaran yangbersifat seremonial yang ditujukan untukmembuka ruang atau akses penguasaan kapitalsosial, budaya, dan kapital politik yang lebihmemadai, perlu ditingkatkan.
3. Lingkungan kebijakan di level makro, perlumelakukan reoreintasi kebijakan yang terfokuspada upaya peningkatan kapital sosial, budaya,politik, dan ekonomi. Intervensi kebijakanpemerintah diperlukan antara lain untukpeningkatan penguasaan kapital-kapital:
i. Kapital sosial dengan menciptakan ruangbagi terciptanya banyak kesempatanmembangun jaringan sosial dalammasyarakat.
ii. Peningkatan kapital budaya memerlukanintervensi kebijakan bagi berkembangnyakelompok profesional pedesaan, pelatihandan penumbuhan kreatifitas dan dayacipta masyarakat petani mendukungpengembangan agribisis pedesaan, sertadengan intervensi kebijakan untukmemberikan ruang dan mendukungkegiatan-kegiatan yang terkait denganbudaya lokal.
iii. Peningkatan kapital politik dalammasyarakat memerlukan intervensikebijakan dari pemerintah yang dapatberupa upaya membuka ruang yang lebihluas bagi masyarakat untuk mengaksesinformasi publik. Hal ini diperlukanuntuk menciptakan peningkatan power
228
Universitas Indonesia
No. Permasalahan Rekomendasi Kebijakan
dan posisi tawar (bargaining position)bagi petani pelaku agribisnis.
iv. Dalam hal peingkatan kapital ekonomi,maka diperlukan intervensi kebijakanpemerintah dalam hal fasisilitasipermodalan usahatani dan membukainformasi yang seluas-luasnya bagi pasarkomoditas agribisnis pedesaan, selaindengan tetap mempertimbangkankebijakan subsidi bagi pelakuagribisnis pedesaan.
3. Stagnannya bahkanmasih rendahnyakondisi kualitashidup masyarakat
1. Intervensi kebijakan pemerintah untukpeningkatan kualitas hidup masyarakat tidakhanya terfokus pada indikator-indikator kualitashidup yang bersifat komposit, melainkanmempertimbangkan kepentingan masyarakatlokal dan memfokuskan perhatian padapemenuhan indikator-indikator penting kualitashidup, antara lain memfasilitasi dan mendorongterciptanya ruang dan akses untuk pemenuhankebutuhan dasar masyarakat, mencermatibagaimana masyarakat memaknai tingkatkebahagiannya, memfasilitasi dan mendorongterciptanya inklusi sosial dalam hal mencapaipeningkatan pendapatan, memfasilitasi danmenyediakan fasilitas kesehatan masyarakat,dan mendorog terciptanya kesempatan kerjayang terkait dengan okupasi.
2. Pada konteks pengembangan agribisnispedesaan, peningkatan kualitas hidup sangatditentukan oleh pendapatan usahatani yangdilakukan aktor, sehingga pada kerangka itupemerintah dapat melakukan reorientasikebijakan anggaran dan kebijakan subsidi, tidakhanya subsidi bidang pendidikan, kesehatan,melainkan yang cukup penting adalah subsidikebijakan dalam aspek perpajakan. Dalam halini pajak lahan dan usaha agribisnis pedesaandapat ditinjau kembali, menuju keberpihakankepada pelaku agribisnis pedesaan.
229
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Achwan, R. 2009. Sosiologi dan Krisis Keuangan Global. OPINI: HarianKOMPAS tanggal 2 April 2009.
Agresty, A and Finlay, B. 1986. Stastitical Methods for Sosial Sciences. DellenPublishing Company. San Fransisco.
Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan AdsopsiInovasi (Disertasi). Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Agusyanto, R. 2007. Jaringan Sosial dalam Organisasi. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Akdere, M. 2005. Sosial Capital Theory and Implications for Human RosourcesDevelepoment. Singapore Management Review. 2005: 2, 2.
Arifin, B. 2005. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan StrategiRevitalisasi. PT. Grasindo. Jakarta
_________ 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Ashari. 2009. Peran Perbankan Nasional dalam Pembiayaan Sektor Pertanian.Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), Vol. 27 No. 1 (p:13-27). PusatAnalisis Kebijakan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Rencana Strategis Badan Litbang Pertanian 2005-2009. Jakarta.
____________________. 2008. Pedoman Umum Prima Tani Terintegrasi. Jakarta.
Bendix, R dan Lipset, SM (ed). 1968. Max Weber: Class, Status, and Party.Routtledge & Kegan Paul Ltd. London
Beteille, A. 1977. Inequality Among Men. Basil Blacel & Mott Limited. Oxford.
BPS. Statistik Indonesia 2007. Jakarta.
BPS Propinsi Bali. 2008. Data Bali Membangun 2008. BPS Denpasar.
______________. 2007. Tinjauan Perekonomian Bali 2007. BPS Denpasar.
BPS Kabupaten Buleleng. 2008. Kabupaten Buleleng Dalam Angka 2008.
Bourdieu, P. 1986. The Forms of Capital dalam Richardson, JG (ed): Handbook ofTheory and Reserach for the Sociological of Educatioan. NewYork:Greenwood
__________. 1977. Outline of Theory of Practice. Translated by Richard Nice.Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
__________. 1990. dalam Harker, R (1990) ed. An Introduction to the Work ofPierre Bourdieu: The Practice Theory. Diterjemahkan oleh Maizier P.Jalasutra. Yogyakarta.
230
Universitas Indonesia
Bryman, A. 2004. Sosial Research Methods (Second Edition). Oxford UniversityPress, Inc. New York.
Campana, P. 2000. Tripartite Partnerships for Poverty Alleviation and Food Securitythrough Projects and Programmes. International Fund for AgriculturalDevelopment Latin America and The Caribbean Division. Rome.
Castelli, et. all. 2009. Exploring the Impac of Public Services on Quality of LifeIndicators. CHE Research Papaer 46. University of York. United Kingdom.
Chan, V.J.V et all. 2005. A Study on Tripartite Partnership: Benchmarking StudyFrom an International Perspective. Hongkong Policy Research Institute.Hongkong.
Charon, J.M, 1980. The Meaning of Sociology. Alfred Publishing Co. Inc.
Coleman, JS. 1988. Sosial Capital in The Creation of Human Capital. AmericanJournal of Sociology. Volume 94.
___________1990. Foundation of Sosial Theory. Cambridge MA. Belknap
Creswell. J. W. 2003. Research Design: Qualitatif, Quantitative, and MixedMethods Approaches. Sage Publication. London.
Damanhuri, D.S. 2009. Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam KemelutGlobalisisasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekoonomi, Univesitas Indonesia.Jakarta.
Dasgupta P dan Serageldin I. 2002. Sosial Capital: A Multi Faceted Perspective.Worl Bank, Washington.eijer International Institute of Ecological Economics.Stochholm.
Davis, J. Dan Goldberg, R. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard University,Boston, USA dalam Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalamPembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2005-2009.Jakarta.
__________________. 2006. Pedoman Umum Prima Tani- Program Rintisan danAkselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. Jakarta.
__________________. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai PenggerakEkonomi Nasional. Deptan. Jakarta
Denscombe. M. 2003. Ground Rules for Good Research: A 10 Point Guide forSosial Researchers. Open University Press. Maidenhead,Philadelphia.
Dollar, D & Kraay, A. 2002. Growth is Good for The Poor. Jornal of EconomicGrotwh, 7. 2002, pp 195-225.
Duverger Maurice. 2002. The Study of Politic (Sosiologi Politik, diterjemahkanDaniel Dhakidae, 2002). PT. Raja Grafindo Jakarta.
Fukuyama F. 1995. Trust: The Sosial Virtues and the Creation of Prosperity. TheFree Press, New York.
231
Universitas Indonesia
_________ . 1999. Sosial Capital and Civil Society. The Institutes of PublicPolicy. George Mason University. International Monetary Fund.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. BhrataKarya Aksara. Jakarta.
Giddens, A. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-karya Marx, Durkheim, dan Weber. IU-Press. Jakarta.
Golthorpe, J. 1980. Sosial Mobility and Class Structure Modern Britai. Oxford.Clarendon.
Granovetter M. 2005. The Impact of Sosial Structure on Economic Outcomes.Journal of Economis Perspectives. Vol. 19. Number 1.
Griswold, W. 2004. Cultures and Societies in A Changing World. Pine Forge Press,an Imprint of Sage Publication, Inc. London.
Grotaert C. 1999. Sosial Capital, Houshold Welfare and Poverty in Indonesia. WorldBank Working Paper, unpublished
_________. Et.al. 2001. Sosial Capital, Household Welfare and Poverty in urkina
Haan, de L. J. 2000. Globalization, Localization and Sustainable Livehood.Sociologia Ruralis, Vol. 40. European Society for Rural Sociology.
Harker, R et all. 1990. An Introduction to The Work of Pierre Bourdieu: ThePractice Theory. The Macmillan Press Ltd: London. (Dialihbahasakan PipitMaizer), 1990. Jalasutra. Yogyakarta.
Ibrahim, Linda Darmajanti (2005: Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal SosialKomunitas Bali). Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Jiwa, F. 2005. Honey Care Africa’s Tripartite Model: An Innovative Approach toSustainable Beekeping in Kenya. APIACTA. Kenya.
Johnson , DP. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Diindonesiakan olehRobert M.Z. Lawang). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Lawang, R.M.Z. 1989. Stratifikasi Sosial di Cancar-Manggarai, Flores Barat(Disertasi). Universitas Indonesia Jakarta.
_____________. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. (CetakanKedua). FISIP UI Press. Depok.
Lawson, T; Jones, M; dan Moores R. 2000. Advanced Sociology Through Diagrams.Oxford University Press. Oxford New York.
Legowo, A.T. 2004 dalam Binawan dan Prasetyantoko (2004). Keadilan Sosial: UpayaMencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Kompas Media Nusantara.Jakarta.
232
Universitas Indonesia
Lionberger, HF and Gwin, PH. 1991. Technology Transfer from Researchers toUser. University of Missouri. Missouri.
Lin, N. 2000. Inequality in Sosial Capital. Contemporary Sociology. Washington:Nov 2000. Vol. 29 p: 785, 11 pgs
_____. 2001. Sosial Capital: A Theory of Sosial Structure and Action. CambridgeUniversity Press. Cabridge.
Liu, A.Q dan Besser, T (2003). Sosial Capital and Participation in CommunityImprovement Activities by Elderly Residents in Small Town and RuralCommunities. Rural Sociology. College Station: Sep 2003. Vol 68; p: 343
Mitchell, B. 1994. Sustaianable Development at The Village Level in Bali,Indonesia. Human Ecology: An Interdisciplinary Journal. Vol. 22/3 (p. 189 –211). Plenum Press. New York.
Nee, V. 2005 dalam Smelser J. Neil and Richard Swedberg (2005). The NewInstitutionalisms in Economics and Sociology. Princeton University Press.New Jersey.
Netting, R M.C. 1993. Smallholders, Householders: Farm Families and the Ecologyof Intensive, Sustainable Agriculture. Standford University Press. California.
Neuman, W.L. 2003. Sosial Research Methods (Qualitative and QuantitativeApproachhes). Fifth Edition. Pearson Educatin, Inc. Boston New York.
Noll, H-H. 2002. Sosial Indicators and Quality of Life Research: Background,Achievemnets and Currents Trends. International Sosial Science Council.Paris.
Ostrom, E. 1997. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, andDevelopment dalam Zaenuddin, et.all. 2007. Co-Produksi dan SinergismeReformasi Hubungan Masyarakat dan Pemerintah. LIPI Press. Jakarta.
Pantoja E. 1999. Exploring the Concept of SC and Its Relevancy for Communitybased Development. Te case of Mining Areas in Orissa, India. South AsiaInfrastructure Unit, The Worl Bank.
Papanek Gustav, F. 2006. The Pribumi Enterpreneure of Bali and Central Java (orhow not to help indigenous enterprise). BIES. Vol.42. 2006
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) 2004-2009
Putnam, R. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.Princeton University Press.
Rachbini, DJ. 1996. Ekonomi Politik: Teori, dan Perspektif baru. CIDES. Balidalam Sudjana, E. 2004. Analisis Ekonomi Politik dan Hukum LingkunganWilayah Pesisir dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan. . (Disertasi)IPBBogor.
233
Universitas Indonesia
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Rahardjo, MD. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan KesempatanKerja. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
___________ . 2009. Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia. PRISMA(Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi). Vol. 28 No.2, Oktober 2009. LP3ES.Jakarta.
Ritzer, G dan Goodman D.J, 2003. Modern Sociological Teory. Mc.Graw-Hill.
Robinson, L J. Et.al. 2002. Is Sosial Capital Really Capital? Review of SosialEconomy. Vol. LX No.1. 2002 dalam Lawang (2005).
Roling, N. 1988. Extension Science. Cambridge University Press. Cambridge.
Roth, G dan Wittich. 1978. Max Weber: Ecomony and Society. University ofCalifornia Press. Berkeley (p.24-26).
Rudestam, K.E & Newton R.R. 2001. Surviving Your Dissertation: AComprehensive Guide to Content and Process (Second Edition). SagePublication, Inc. London.
Rusli, S. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. JakartaShanin, T. 1990. Defining Peasant. Essays Concerning Rural Societis, Explorary
Economic and Learning from Them in the Contemporary World. BasilBackwell. Cambridge.
Sajogyo, P. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta Bekerjasama dengan BKKBN. Jakarta.
Santeri, R dan Wiana, K. 1983. Kasta Dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad. Yayasan Dharma Naradha. Denpasar.
Silva, D.MJ; et all. 2007. “Understanding Sources and Types of Sosial Capital inPeru “dalam Community Development Journal. Oxford: Jan 2007. Vol 12,Iss 1;p 19 pages
Singarimbun, M dan Efendi S. 1986. Metode Penelitian Survai. LP3ES. JakartaSitorus, M.T.F (1999). Bahaya Elitisme Agribisnis. Suatu Artikel dalam TROPIS
No.10. Th. I. September 1999: h.29
________________. et.all (2001). Agribisnis Berbasis Komunitas: Sinergi ModalEkonomi dan Modal Sosial. Laporan Hasil Penelitian yang diterbitkan untukPT. Sang Hyang Seri (Persero) Bali dan Pusat Kajian Agraria, LembagaPenelitian IPB. Bogor. Pustaka Wira Usaha Muda. Bogor.
234
Universitas Indonesia
______________. MTF. 1999. Menuju Sosiologi Kemakmuran: Mencari Kerangkauntuk Pemikiran Sosiologi Sajogyo. Mimbar Sosek Jurnal Sosial EkonomiPertanian. Vol.12 No. 1. IPB. Bogor
Stone W dan Hughes J. 2002. Sosial Capital: Empirical Meaning and MeasurementValidity. Research Papper 27, Australian Institute of Family Studies.Melbourne.
Sudjana, E. Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir danLautan Kota Batam Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. DisertasiProgram Pascasarjana. IPB. Bogor.
Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung.Sujatmiko, Iwan G. 1996. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial: Suatu Studi Awal
Masyarakat Jakarta. Jurnal Sosiologi Indonesia (JSI). No. 1. 1996. Jakarta.Svendsen, GLH and Svendsen, GT. 2003. On The Wealth of Nation:
Bourdieuconomics and Sosial Capital. Theory and Society, Vol.32 No. 5/6,Special Issue on The Sociology Simbolic Power: In Memory of PierreBourdieu.
Tabachnick, Barbara G and Fidell, LS. 2001. Using Multivariate Statistics. (ForthEdition). Boston: Allyn and Bacon
Taylor, John G. 1989. From Modernization to Modes of Production. A Critique ofSociologist of Development and Underdevelopment. Macmillan. London.
Trigilia C. 2001. Sosial Capital & Local Development. Carlo Trigilia (University ofFlorence, Italy) European Journal of Sosial Theory 4 (4): 427-442;Copyright@2001 Sage Publications London, Thousand Oaks, CA and NewDelhi.
Torkelsson, A. 2007. Resorces, Not Capital: A Case Study of the GenderedDistribution and Productivity of Sosial Network Ties in Rural Ehtiopia. RuralSociology 72 (4). Pp 583-607)
Uyanto, SS. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Van den Ban A.W dan Hawkins, H.S. 1988. Agricultural Extension. LongmanScientific & Technical, New York.
Vipriyanti. N.U (2007). Studi Sosial Ekonomi Tentang Keterkaitan Antara ModalSosial dan Pembangunan Wilayah: Disertasi Pascasarjana IPB.Bogor.
Weisberg, S. 1985. Applied Linear Regression (Second Edition). John Willen &Sons. New York.
Wolz, A. U. Fiege and K. Reinsberg. The Role of Sosial Capital in PromotingInstitutional Changes in Transitional Agriculture. G. Van Huylenbroeck, W.Verbeke and L. Lauwers (Editors). 2004. Role of Institutions in Rural Policiesand Agricultural Markets. Elsevier B.V. Pp. 407-421.
Woolcock M, dan Narayan D. 2000. Sosial Capital: Implication for DevelopmentTheory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer.Vol.15.No.2 (Agustus 2000) p:225-249.
235
Universitas Indonesia
L A M P I R A N
236
Lampiran 1. Instrumen Penelitian: Kuesioner dan Pedoman Wawancara Mendalam
Kuesioner untuk Survai Rumahtangga
Selama ini peran kapital untuk pencapaian peningkatan kualitas hidup (Quality of Life/
QoL) dalam pembangunan pertanian masih belum memperoleh perhatian secara memadai.
Sebenarnya peran kapital dalam arti fisik (material) seperti sumberdaya manusia, sumberdaya
alam (pertanian), ataupun sumberdaya finansial maupun kapital non fisik seperti kapital
sosial, kapital budaya, dan kapital politik sangat potensial untuk diberdayakan dalam
pembangunan, yang salah satunya ditujukan untuk mencapai peningkatan kualitas hidup
masyarakat, sebagai salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan sosial kita. Oleh karena
itu, dalam rangka mempelajari kontribusi masing-masing bentuk kapital sebagai pengaruh
dari peran tripartit ataupun koproduksi: Pemerintah, swasta, masyarakat, serta hubungannya
dengan kualitas hidup komunitas agribisnis berbasis banjar, saya mohon bantuan
Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi dan melengkapi beberapa pernyataan dan pertanyaan
dalam kuisioner ini, tentunya sesuai dengan pandangan dan kehidupan sosial bermasyarakat
yang dialami selama ini.
Kami sangat menghargai bantuan dalam memberikan jawaban atau isian dengan
sebenar-benarnya. Atas perkenaan dan waktu yang telah diluangkan, serta perhatian dari
A. Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
A1.A1.1.
Peran Pemerintah:Dukungan Inovasi Teknologi Pertanian
1. Inovasi tekeknologiagribisnissaat inirelatif lebihbaikdariyangsayakenalsebelumnya2. Keuntungan agribisnis yang saya peroleh dari pemanfaatan inovasi teknologi saat ini
meningkatdrastis3. Inovasiyangdiperkenalkansaat iniselarasdenganniai-nilaisosialmasyarakatdisini4. Inovasiyangdiintroduksisaat inisangatsesuaidengankebutuhanusahatanisaya5. Sayamerasamudahmengadoapsi inovasiyangdikenalkansaat ini6. Inovasidapatsayacobadalamskala usaha kecil
A.1.2 Kebijakan Subsidi1. Saya merasa Subsidi Pemerintah Pusat saat ini sesuai dengan kebutuhan2. Subsidi pemerintah daerah dibutuhkan untuk menunjang fasilitas umum3. Saya merasa subsidi pendidikan saat ini sudah relatif memadai4. Bantuan pemerintah untuk fasilitas kesehatan relatif baik5. Bantuan pemerintah untuk pengembangan usaha pertanian cukup memadai6. Sebutkan bentuk subsidi lainnya: .............................................A.1.3 Kebijakan Anggaran Pembangunan1. Saya terlibat dalam perencanaan anggaran kegiatan pembangunan2. Kebijakan anggaran pembangunan harus mempertimbangan asas keadilan3. Menurut saya anggaran pembangunan pertanian cukup memadai4. Menurut saya anggaran pengembangan kelembagaan lokal cukup memadai5. Anggaran kerjasama dalam pembangunan perlu ditingkatkan6. Saya merasa anggaran insentif pengembangan kapital masyarakat sudah
memadai
A.1.4 Kebijakan Politik1. Bagi saya, kesempatan berpolitik masyarakat disini cukup terbuka2. Pemasyarakatan kebijakan dibidang politik cukup memadai3. Saya sebagai warga bebas menentukan pilihan politiknya4. Pemerintah mendukung kegiatan politik masyarakat disini5. Kegiatan usahatani saya mendapat dukungan politik yang cukup memadai
238
Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
A2. Peran Swasta dalam Pengembangan AgribisnisA2.1 Dukungan Investasi Swasta1. Saya merasa dukungan investasi pihak swasta mulai berkembang di desa ini2. Investasi pihak swasta penting pengaruhnya bagi pengembangan usaha saya3. Investasi pihak swasta menggairahkan pembangunan sosial ekonomi
masyarakat disini4. Menurut saya penanaman investasi pihak swasta sudah sesuai dengan
kebutuhan pembangunan sosial ekonomi desa5. Dukungan informasi permodalan dari swasta relatif memadaiA2.2. Dukungan Kredit Usahatani1. Saya merasakan pentingnya kehadiran lembaga perkreditan swasta2. Dukungan kredit usaha dari pihak swasta mulai saya rasakan3. Kredit usaha yang dikembangkan swasta cukup mudah saya akses4. Jenis kredit usahatani yang ditawarkan swasta kepada saya cukup beragam5. Kredit usahatani yang diperoleh dari pihak swasta tidak memberatkan saya
A2.3. Penyediaan Sarana Produksi Pertanian1. Saya mulai mudah mendapatkan sarana usaha dari usaha swasta dibidang
penyediaan sarana produksi pertanian2. Kehadiran usaha penyediaan sarana produksi sangat penting perannya bagi
kelancaran usahatani saya3. Saya merasa ketersediaan sarana produksi dari pihak swasta sudah memadai4. Harga sarana produksi yang dikelola swasta tidak memberatkan sayaA2.4 Pemasaran Produk1. Peran pihak swasta cukup membantu dalam pemasaran hasil produksi saya2. Saya merasakan kehadiran swasta dalam mengembangkan lembaga
pemasaran3. Dukungan pemasaran pihak swasta tidak merugikan pihak petani4. Dukungan swasta meningkatkan nilai jual hasil usahatani saya5. Pihak swasta berperan meingkatkan hubungan saya dengan pihak lain
A3. Peran Masyarakat (Komunitas Lokal)A3.1 Potensi Fisik Banjar1. Lingkungan fisik banjar, mendukung kehidupan sosial saya2. Pura Banjar adalah wadah yang baik bagi pengembangan rasa kebersamaan
saya dengan warga banjar3. Saya merasakan balai banjar adalah pusat seluruh kegiatan pembangunan
banjar4. Kulkul (kentongan) banjar adalah media informasi yang masih dihandalkan
dalam proses pembangunan5. Kekayaan fisik (aset) banjar difungsikan sebagai pendukung pencapaian
kesejahteraan warga banjarA3.2. Potensi Nilai Berbanjar1. Nilai-nilai banjar (Dresta) sebagai warisan leluhur, dapat saya manfaatkan
untuk mendukung pembangunan sosial ekonomi warga2. Nilai-nilai berbanjar merupakan modal saya dalam mencapai kesejahteraan
bersama3. Semangat kebersamaan warga banjar adalah salah satu modal saya dalam
mencapai keberhasilan
239
Peran Tripartit Pemerintah-Swasta-Komunitas Lokal
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
4. Keselarasan hubungan saya dengan Tuhan, Lingkungan, dan dengan sesamawarga merupakan landasan utama membangun bersama
5. Rasa saling percaya dan menghormati yang saya bina dengan sesama wargamerupakan nilai berbanjar untuk mencapai kesejahteraan bersama
A3.3 Kepemimpinan Banjar1. Saya merasakan tokoh-tokoh sesepuh banjar memainkan peran penting
dalam pembangunan2. Prajuru banjar (pemimpin setempat) adalah panutan warga dalam
membangun demi kesejahteraan bersama3. Bagi saya, Pempimpin setempat relatif berhasil mendukung warga banjar
dalam membangun demi pencapaian kesejahteraan bersama4. Menurut saya kepemimpinan banjar sangat menentukan keberhasilan
pembangunan5. Saya merasa Kepemimpinan banjar mampu mengambil keputusan banjar
dengkn cepat dan tepat sesuai kebutuhan bersama6. Menurut saya, pemimpin banjar cukup berhasil memajukan warga banjar
sesuai perannya masig-masingA3.4 Partisipasi Masyarakat1. Sebagai anggota banjar, saya berperan aktif dalam segala kegiatan
pembangunan2. Saya selalu merasa terpanggil untuk ikut mensukseskan segala kegiatan
pembangunan3. Keaaktifan warga banjar berperan penting dalam kesuksesan pembangunan4. Saya sebagai warga banajr warga ikut serta mengawasi kegiatan
pembangunan5. Saya sangat terbuka dengan ide-ide pembangunan6. Saya selalu taat membayar iuran berbanjarA4. Relasi Koproduksi: Pemerintah-Swasta-Masyarakat1. Partisipasi saya dihargai oleh pemerintah maupun swasta2. Saya tidak pasif sebagai penerima pelayanan pembangunan3. Dalam kegiatan pembangunan, saya sering melakukan kontrol terhadap
pemerintah dan swasta4. Saya relatif sering memberikan input-input untuk pembangunan5. Sebagai anggota masyarakat, saya menjalin hubungan baik dengan
pemerintah dan swasta6. Jika dibutuhkan saya sering menyumbang untuk kegiatan bersama7. Tidak ada dominasi pengaruh antara pemerintah, swasta, dan mayarakat
dalam kegiatan pembangunan
A.5. Mohon diisi sesuai dengan pendapat Bapak/Saudara:
Peran dari: Bagi Peningkatan PenguasaanKapital
Bagi Peningkatan KualitasHidup (QoL)
1. Peran Pemerintah2. Peran Pihak Swasta3. Peran Masyarakat
B. REPRESENTASI KAPITALB1. KAPITAL SOSIAL (Jaringan Sosial/Networks):
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
RELASI INTEREST (Kepentingan)1 Saya berusaha menjaga hubungan baik dengan pihak pemberi pinjaman modal
2 Saya membangun hubungan sosial dengan siapapun yang membantu usaha saya3 Saya menjalin hubungan baik dengan aparat pelayanan yang membantu saya4 Saya selalu menjaga hubungan baik dengan aparat desa
5 Hubungan sosial dengan pihak luar banjar jarang saya lakukan
RELASI SENTIMEN1 Saya selalu menjaga hubungan (relasi) sosial dengan kerabat saya2 Saya membangun hubungan social dengan kenalan saya3 Hubungan ketatanggaan saya di banjar ini sangat baik
4 Hubungan pertemanan saya di banjar ini relative baik5 Saling membantu antar kerabat, saya rasakan sangat baik
RELASI POWER1 Warga masyarakat sekitar menjalin hubungan sosial dengan saya, karena mereka
memandangsayasebagai elit2 Warga disini banyak menjalin hubungan sosial dengan saya, karena saya termasuk
keluarga yang punya kedudukan tertentu3 Saya cukup berhasil membangun hubungan dengan warga banjar, karena saya
berasal dari keluarga yang disegani4 Kebanyakan warga banjar disini berusaha berhubungan baik dengan saya, karena
keluarga saya cukup berpengaruh di banjar ini.5 Saya memiliki banyak relasi, karena dalam bidang tertentu saya cukup dominan.
JARINGAN BERORGANISASI1. Jumlah keikutsertaan Bapak dalam berorganisasi:
(1) Tidak ada(2) Satu Organisasi(3) Dua Organisasi(4) Tiga Organisasi(5) Lebih dari tiga organisasi
2. Frekuensi kehadiran dalam setiap kegiatan adalah:(1) Sangat rendah(2) Rendah(3) Sedang dan biasa saja(4) Tinggi(5) Sangat tinggi(6) Tidak tahu
Alokasi waktu yang disediakan untuk organisasi dalam satu bulan terakir: (....... )3. Kedudukan Bapak dalam organisasi?
(1) Tidak tahu(2) Anggota yang tidak aktif(3) Anggota biasa(4) Pengurus biasa(5) Pengurus utama
241
4. Kondisi organisasi sosial terutama kelompok tani yang ada disini sudah relatif baik(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6)
Penjelasan lebih lanjut: _____________________________________________________________________________________________________________________
5. Jenis atau jumlah kegiatan kelompok/organisasi yang diikuti tiga bulan terakhir:(1) Tidak ada(2) 1 s.d 2 kegiatan(3) 3 s.d 4 kegiatan(4) 5 s.d 6 kegiatan(5) Lebih dari 6 kegiatan
6. Bagi saya, organisasi yang ada disini sangat penting bagi pengembangan usaha saya:
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
7. Mohon diisi sesuai dengan pendapat Bapak.......ORGANISASI SOSIAL
Organisasi Sosial 1. Sangat Setuju2. Setuju3. Neral4. Tidak Setuju5. Sangat Tidak Setuju
I. Daya “Bonding”
1. Setiap anggota kelompok dalam banjar ini, umumnya memilikiikatan kekeluargaan
2. Kekuatan kelompok dalam banjar dipengaruhi oleh hubunganketetanggaan antar anggota
3. Interaksi saya dengan anggota kelompok dalam banjar terjadisecara intensif
4. Hubungan saya dengan anggota kelompok dalam banjar ini seringterjadi secara tatap muka langsung
5. Setiap anggota saling mendukung dalam kegiatannya
II. Daya “Bridging”
1. Interaksi saya dengan anggota kelompok yang berbeda tingkat pendidikanumumnya jarang dilakukan
2. Hubungan kerja dengan anggota kelompok lain di luar banjar jarangdilakukan
3. Saya umumnya jarang kontak dengan anggota kelompok tani dari banjarlain
4. Kelompok saya jarang berhubungan dengan kelompok tani yangmengusahakan komoditas lain
III. Daya “Linking”1. Hubungan kelompok tani saya dengan lembaga kredit sangat intensif2. Hubungan kelompok tani saya dengan lembaga perbankan relatif baik3. Hubungan kerja sama dengan instansi pemerintah relatif baik4. Terdapat hubungan yang positif antara kelompok tani di banjar ini dengan
lembaga-lembaga politik disekitar5. Kelompok saya sering berinteraksi dengan asosiasi pengusaha pengembang
agribisnis sekitar
242
Organisasi Sosial 1. Sangat Setuju2. Setuju3. Neral4. Tidak Setuju5. Sangat Tidak Setuju
IV. Peran Lubang Struktur (Structural Hole)1. Saya merasakan adanya tokoh yang bukan anggota banjar, sangat
membantu usaha kami2. Pada umumnya kelompok dalam banjar ini terbuka bagi tokoh pembaharu
dari luar banjar3. Peran penyuluh pertanian, mantri hewan, ataupun peneliti pertanian sangat
nyata dalam membantu kegiatan agribisnis saya4. Saya mengenal beberapa pedagang pengumpul hasil usaha pertanian dari
banjar ini5. Sebutkan beberapa tokoh masyarakat dan bidangnya masing-masing yang
mendukung kegiatan usahatani Saudara.... tokoh, dalam bidang..............................
Mohon diisi (beri tanda √) untuk pertanyaan berikut, mengenai kpercayaaan Bapak terhadap organisasi atau lembaga yangBapak ketahui:
TINGKAT KEPERCAYAANNo. LEMBAGA/ORGANISASI Tidak
Percaya(1)
KurangPercaya(2)
Sedang/Cukup(3)
Percaya
(4)
SangatPercaya(5)
TidakTahu
Keterangan
i. Kelompok Tani
ii. Kelompok Pengajian
iii. Lembaga Kredit
iv. Karang Taruna
v. Bank
vi. Dewan Mesjid,Gereja
vii. Lembaga Penyuluhan
viii. Klinik Pertanian
ix. Dinas Pertanian
x. Kelurahan
xi. Kecamatan
xii. Pemerintah (Kodya,Propinsi)
xiii. Departemen Pertanianxiv. Partai Politik
8. Kapital sosial memiliki peran yang nyata dalam peningkatan kualitas hidup:(1) Tidak setuju;(2) (2) Kurang Setuju;(3) ( 3) Netral;(4) ( 4) Setuju;(5) (5) Sangat Setuju(6) (6) Tidak Tahu
B2. KAPITAL BUDAYA (Dimensi Manusia, Dimensi Obyek, dan Dimensi Institusional)
243
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
1 Masyarakat sekitar menganggap gerak-gerik perilaku saya sangat khas , sehinggamendukung usahatani saya
2 Saya merasakan penghargaan masyarakat terhadap kemampuan potensial yangmelekat pada diri saya demikian tinggi
3 Kepemilikan saya terhadap alat-alat pertanian yang khas, sangat mendukungusahatani saya
4 Ijazah pendidikanformalsaya, sangatdihargaidalamkomunitasbanjar5 Keanggotaan saya dalam kelompok keahlian tertentu merupakan modal yang
sangat berarti6 Gelar nama famili yang saya sandang dihargai masyarakat sebagai modal yang
cukup berarti
7. Kapital Budaya memiliki peran nyata dalam penigkatan kualitas hidup(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
B3. KAPITAL POLITIK
Item Pernyataan/Pertanyaan
7. Sangat tidakSetuju
8. Tidak Setuju9. Netral10. Setuju11. Sangat Setuju12. Tidak tahu
1 Saya merasa memiliki pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat disini
2 Keanggotaan saya dalam organisasi poitik sangat dihargai dalamkehidupan sehari-hari
3 Dalam beberapa kegiatan, saya tergolong memiliki banyak pengikut4 Pendapat saya sering digunakan dalam kegiatan banjar5 Masyarakat menghargai jabatan atau kedudukan saya disini6 Pada beberapa kesempatan, masyarakat sekitar sering meminta nasihat
saya
7. Penguasaan Kapital politik menentukan peningkatan kualitas hidup saya:(1) Tidak setuju(2)Kurang setuju(3)Netral(4)Setuju(5)Sangat setuju(6)Tidak tahu
244
B4. KAPITAL EKONOMI:
1. Saya merasa bahwa menurut masyarakat, jumlah aset saya:
(1) Sangat rendah(2) Rendah(3) Cukup(4) Tinggi(5) Sangat tinggi
2. Masyarakat memandang saya sebagai petani maju
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
(1) Tidak semangat(2) Kurang semangat(3) Netral(4) Mengatasi tantangan dengan semangat(5) Sangat semangat dalam mengatasi tantantangan(6) Tidak tahu
4.Dalam menjalankan usahatani, saya:
(1) Tidak terampil menerapkan inovasi baru(2) Sedikit terampil(3) Cukup terampil menerapkan inovasi baru(4) Terampil(5) Sangat terampil menerapkan inovasi baru(6) Tidak tahu
5.Dalam berusaha tani, saya bersikap:
(1) Tidak senang dengan inovasi yang baru(2) Kurang berani mencoba inovasi baru(3) Netral(4) Sering mencoba inovasi yang baru(5) Sangat sering mencoba inovasi yang baru(6) Tidak tahu
6.Saya mampu menyediakan lapangan pekerjaan sendiri
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
7.Kapital ekonomi berperan nyata dalam peningkatan kualitas hidup:
245
(1) Tidak setuju(2) Kurang setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat setuju(6) Tidak tahu
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C1. Okupasi
1. Kesempatan kerja di wilayah tempat tinggal saya relatif luas2. Saya merasa tidak ada hambatan dalam memasuki lapangan pekerjaan3. Kesempatan kerja disekitar desa dan kecamatan banyak yang sesuai
dengan latar belakang kemampuan saya4. Kesempatan kerja masih didominasi kalangan tertentu5. Fasilitasi pemerintah dalam memasuki kesempatan kerja sudah memadai6. Akhir-akhir ini kesempatan berusaha relatif meningkat7. Peluang saya memasuki kesempatan kerja cukup besar
C2 Pendapatan:1. Pendapatan Bapak dalam satu tahun terakhir adalah:
(1) Kurang dari 2,5 juta(2) 2,5 s.d 4,9 juta(3) 5 s.d 7,5 juta(4) 7,5 s.d 10 juta(5) Lebih dari 10 jutadan berapa kira-kira pengeluaran toal selama satu bulan ...............?
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pencapaian tingkat pendapatan tersebut?Jelaskan: ____________________________________________________________
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C3 Tingkat Pendidikan: Sebutkan berapa tahun rata-rata angota keluarga Bapak mengenyampendidikan formal? ...................................Tahun(1) Tidak tamat SD (kurang dari 6 tahun)(2) SD-SMP (6–9 tahun)(3) SMA (12 tahun)(4) Diploma (13–15 tahun)(5) Sarjana (lebih dari 15 tahun)
C4. Pemenuhan Kebutuhan Primer1 Secara umum saya mudah memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi
keluarga2 Saya tidak kesulitas dalam memperoleh bahan makanan3 Saat ini saya merasa tidak kesulitan memenuhi kebutuhan pangan bagi
keluarga4 Saya relatif mudah menjangkau kebutuhan akan pakaian keluarga5 Kemampuan saya dalam memenuhi kebutuhan pakaian keluarga relatif
memadai6 Saya merasakan tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pakaian
keluarga7 Saya merasa keadaan rumah saya cukup sehat8 Dari waktu ke waktu saya memandang keadaan rumah saya semakin
layak dihuni9 Kemampuan saya akan pemenuhan kebutuhan rumah tempat tinggal
keluarga sudah memadai
C5. Akses Pelayanan Publik1 Saya sudah memperoleh pelayanan memadai yag disediakan pemerintah2 Saya mudah memperoleh fasilitas umum3 Jumlah fasilitas umum relatif banyak4 Saya merasa tenaga pelayananan di sisni cukup memadai5 Kemampuan saya menjangkau setiap pelayanan sudah memadai6 Saya sebagai warga banjar emiliki hak yang sama dalam memperoleh
pelayanan publik
C6. Partisipasi Politik1 Secara umum saya terlibat dalam proses pengambilan keputusan di desa2 Saya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lain dalam
menentukan kebijakan banjar3 Saya bebas menentukan pilihan dalam proses pengambilan keputusan
disetiap organisasi lokal4 Perbedaan pendapat antar anggota warga banjar adalah hal yang biasa5 Saya bebas menentukan sikap berpolitik6 Saya merasa ada kebebasan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik
7 Kegiatan-kegiatan politik selama ini, bermanfaat bagi pengembangandiri saya
8 Keikutsertaan saya dalam kegiatan politik nasional sangat dihargaimasyarakat disini
247
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C7. Relasi Sosial
1 Hubungan sosial saya dengan anggota masyarakat disini sangat baik
2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan hubungansosial antar warga
3 Hubungan sosial saya relatif luas hingga menjalin kerja sama dalambidang usaha saya
4 Bentuk hubungan kerja sama yang saya bangun tidak terbatas hanya dalam bentukhubungan
5 Kemampuan saya merintis hubungan kerja sama cukup memadai
6 Hubungan kerja sama yang berhasil saya bina cukup banyak
C8. Keamanan Sosial
1 Saya menyadari pentingnya keamanan sosial
2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan bidangkemanan sosial
3 Dalam kehidupan sehari-hari, saya merasakan tidak ada tekanan sosialterhadap diri dan keluarga saya.
4 Secara sosial, usaha agribisnis saya disini aman tidak ada gangguan yangberarti
5 Saya sebagai anggota komunitas agribisnis di banjar ini merasa nyamandalam berusaha
6 Lingkungan sekitar saya sangat menjamin adanya keamanan sosial bagisetiap warga disini
C9. Persepsi Kebahagiaan
1 Saya merasa cukup bahagia menjalani kehidupan sosial saya2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan rasa
kebahagiaan diri3 Saya merasa bahagia karena mampu memenuhi kebutuhan keluarga sesuai ukuran
kebutuhan4 Secara sosial, keluarga saya dianggap bahagia oleh warga sekitar
5 Lingkungan sekitar mendukung pencapaian kebahagiaan keluarga saya
6 Kebahagiaan adalah tujuan hidup saya
248
Item Pernyataan/Pertanyaan
1. Sangat tidakSetuju
2. Tidak Setuju3. Netral4. Setuju5. Sangat Setuju6. Tidak tahu
C10 Makna Hidup1 HidupadalahkodratdariTuhanyangharusditerimadandiperjuangkan2 Saya memaknai hidup sesuai dengan kaidah-kaidah berkehidupan sosial
dilingkungan sekitar3 Saya memaknai hidup dengan berusaha sesuai dengan kemampuan yang
saya miliki..4 Hidup damai dengan ligkungan adalah tujuan saya menjalani kehidupan
sosial.5 Hidup ini sangat berarti bagi saya
C.11 Kualitas Lingkungan
1 Lingkungan bertetangga sangat mententeramkan saya sebagai anggotabanjar
2 Saya merasa lingkungan hidup saya mendukung seluruh kegiatankeluarga
3 Alam sekitar mendukung saya mencapai kualitas hidup yang memadai4 Lingkungan sosial di banjar sangat menentukan pencapain kualitas hidup
saya5 Saya sebagai anggota komunitas agribisnis di banjar ini merasa bertanggung jawab
ataskelesarianlingkunganhidup
C12. Kualitas Beragama1 Saya sebagai anggota banjar menyadari pentingnya kehidupan
beragama2 Dari waktu ke waktu saya merasakan adanya peningkatan kualitas
beragama3 Dalam kehidupan sehari-hari, saya merasakan tidak ada tekanan sosial
dalam menjalani kewajiban beragama4 Ketaatan beragana menentukan kualitas hidup saya5 Ligkungan sekitar mendukung kegiatan agama yang saya lakukan
C13. Persepsi Mobilitas Vertikal
1 Saya merasa setiap waktu mengalami peningkatan status sosialnya2 Dibandingkan dengan orang tua, saya merasakan ada peningkatan status
bidang pekerjaan yang saya jalani3 Dibandingkan dengan sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu, sayamerasa mengalami
peningkatandalamberusaha4 Keadaan perekonomian keluarga saya cukup meningkatn dari waktu ke
C.14. Morbiditas1. Berapa kali saudara menderita sakit dalam kurun waktu satu tahun ini?
249
(1) Lebih dari 10 kali(2) 8 sd. 10 kali(3) 6 s.d 8 kali(4) 3 s.d 5 kali(5) Kurang dari 3 kali
2. Bagaimana saudara menjangkau pelayanan kesehatan?(1) Sangat sulit mendapat pelayanan(2) Sulit mendapatkan pelayanan(3) Cukup mudah mendapatkan pelayanan(4) Mudah mendapatkan pelayanan(5) Sangat mudah mendapatkan pelayanan(6) Tidak tahu
3. Bagaimana pendapat saudara mengenai kondisi kesehatan anggota keluarga?(1) Sangat rendah(2) Rendah(3) Cukup(4) Sehat(5) Sangat sehat(6) Tidak tahu
4. Kondisi Kesehatan Keluarga:Menurut Saudara, pada kelompok yang mana keadaan kesehatan anggota keluarga Bapak?
(1)Sangat Memadai(2)Memadai(3)Cukup Memadai(4)Kurang Memadai(5)Sangat tidak Memadai(6) Tidak tahu
Jelaskan lebih lanjut .....................................................
C.15. Angka kematian bayi (IMR)*)
C.16. Angka harapan hidup umur 1 tahun*)
*) Data mengenai IMR dan Angka Harapan Hidup tidak perlu diisi, data diperoleh di instansi terkait
250
Mohon Saudara memberi skor (skala 1 s/d 5) untuk masing-masing indikator yang menentukanKualitas Hidup (QoL) masyarakat (Lihat Tabel berikut) sesuai dengan tingkatan pentingnya masing-masing indikator itu. Indikaor yang dipandang sangat penting diberi skor 5, penting diberi skor 4;cukup penting diberi skor 3; kurang penting skor 2; dan tidak penting diberi skor 1.
Indikator Kualitas HIdup Skor (1 s/d 5) Keterangan
1. Tingkat Okupasi (matapencaharian utama
2. Pendapatan3. Tingkat Pendidikan4. Pemenuhan Kebutuhan Primer5. Akses Pelayanan Publik6. Tingkat Partisipasi Politik7. Relasi Sosial8. Keamanan Sosial9. Tingkat Kebahagiaan10. Makna Hidup11. Kualitas Lingkungan12. Kualitas Beragama
(Religiusitas)13. Tingkat Mobilitas Vertikal14. Kondisi Kesehatan (Morbiditas)15. Angka Kematian Bayi16. Angka Harapan Hidup
251
PEDOMAN WAWANCARA SEBAGAI PENGARAH PENELITIANDALAM PENGUMPULAN DATA KUALITATIF.
1. Bagamaiman peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis?2. Bagaimana peran pihak swasta selama ini?3. Apakah program itu melibatkan masyarakat anggota“Banjar”sebagai organisasi tradisi?4. Bagaimana mekanisme penetapan kebijakan program pembangunan di daerah ini?5. Bagaimana relasi koproduksi pemerintah-swasta- masyarakat dalam proses
pembangunan agribisnis?6. Bagaimana gambaran kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
pengembangan agribisnis di desa ini?7. Bagaimana keterkaitan kebijakan pemerintah dan lingkungan aturan-aturan formal
dengan aturan-aturan informal banjar dalam pengembangan agribisnis di desa ini?8. Potensi banjar yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung usaha agribisnis?9. Mohon penjelasan mengenai keragaan kapital sosial masyarakat anggota banjar10. Bagaimana penguasaan kapital budaya dalam masyarakat disisni?11. Apakah kapital politik relatif berkembang dalam masyarakat?12. Bagaimana pandangan Bapak mengenai keadaan kapital ekonomi masyarakat?13. Bagaimana persaingan (kompetisi) antar waga masyarakat anggota banjar dalam
menguasai kapital-kapital tersebut? Sejauhmana pertukaran antar kapital yangdilakukan setiap aktor anggota banjar disini?
14. Sejauh mana terjadinya persaingan antar aktor dalam ranah pertanian dan sistem banjar?15. Aakah kedudukan seseorang dalam sistem banjar mempengaruhi penguasaan kapital
masyarakat?16. Selain ranah pertanian dan sistem banjar, ranah apa saja yang menonjol di sini?17. Seberapa besar peran kapital sosial dalam mencapai peningkatan kualitas hidup?
(Ditanyakan juga, berapa persen (%) kira-kira perannya?)18. Bagaimana peran kapital budaya dalam meningkatakan kualitas hidup? (Kira-kira
berapa persen perannya?)19. Seberapa besar peran kapital politik dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat?
(Berapa persen perannya?)20. Bagaimana peran kapital ekonomi dalam peningkatan kualitas hidup? (Berapa persen
kira-kira peran kapital ekonomi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat?)21. Bagaimana gambaran kesempatan kerja, dan peluang berusaha di sini?22. Bagaimana keadaan pembangunan pendidikan di sisni?23. Bagaimana keadaan kesehatan masyarakat?24. Bagaimana gambaran kualitas hidup sosial disini?25. Apakah masyarakat cukup puas dengan kualitas hidup mereka?
252
26. Sejauhmana munculnya habitus (pengelompokkan habitus-habitus aktor) sebagaikombinasi posisi sosial dan sejarah personal aktor (Asal-usul sosial, pekerjaan,pendidikan, dll)? Posisi sosial tertentu dalam ranah, mislnya orang kaya akancenderung menghasilkan habitus sendiri yang ditunjukkan dengan misalnya selera dancara makan yang berbeda dengan habitus orang misikin.
27. Bagaimana keterkaitan sistem kasta yang dikenal disini dengan munculnya habitus-habitus itu? Mohon dijelaskan juga sistem pelapisan sosial disini dan pertaliannyadengan kualitas hidup masyarakat?.
OBSERVASI LAPANGAN:
1. Keadaan umum lingkungan Desa lokasi penelitian, termasuk dinamika kehidupan sosialmasyarakat berbasis banjar
2. Pola hubungan sosial antar warga banjar3. Pola hubungan sosial banjar dengan supra sistem sosialnya4. Dinamika kehidupan berorganisasi5. Kegiatan adat dan budaya masyarakat6. Kegiatan perekonomian masyarakat7. Kesibukan pada setiap akses layanan publik8. Kondisi sarana prasarana umum9. Keunikan-keunikan lainnya, sistem sosial masyarakat berbasis Banjar
253
Lampiran 2. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Data Pretes
1. Peran PemerintahNilai Cronbach’s Alpha Peran Pemerintah.
254
2. Peran Swasta.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Peran Swasta.
3. Peran Masyarakat.
NilaiCronbah’s Alpha if Item Deleted Masing-masing Item untuk Peran Masyarakat
255
4. Ko-produksi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
.742 .732 7
Nilai Cronbah’s Alpha if Item Deleted Masing-masing Item untuk PeranKoproduksi
5. Variabel Kapital Sosial
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Sosial.
256
6. Variabel Kapital Budaya.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Budaya.
7. Variabel Kapital Politik.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Politik.
257
8. Variabel Kapital Ekonomi
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Kapital Ekonomi.
9. Alpha Variabel Stratifikasi Sosial.
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk Stratifikasi.
258
10. Variabel Qol
NilaiCronbah’s Alpha if Item DeletedMasing-masing Item untuk QoL.
259
Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Data Survai
1. Peran Pemerintah.
2. Peran Swasta.
260
3. Peran Masyarakat.
4. Peran Koproduksi Pemerintah, Swasta, Masyarakt.
261
5. Kapital Sosial.
262
6. Kapital Budaya.
7. Kapital Politik:
8. Kapital Ekonomi:
263
9. Kualitas Hidup (QoL):
264
Lampiran 4. Uji Normalitas Variabel Endogen: Kualitas Hidup (QoL)
265
Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian oleh Program Pascasarjana Sosiologi, UniversitasIndonesia dan dari Badan LINMAS Propinsi Bali).