KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU>< B KARYA AL-QUSHAYRI> (w.465/1072)” DISERTASI Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Promosi Oleh: Lukman Sumarna 31141200000043 Pembimbing: Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA Prof. Dr. Sukron Kamil, MA KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019
44
Embed
KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B
KARYA AL-QUSHAYRI> (w.465/1072)”
DISERTASI
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Promosi
Oleh:
Lukman Sumarna
31141200000043
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B
KARYA AL-QUSHAYRI> (w.465/1072)”
DISERTASI
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Promosi
Oleh:
Lukman Sumarna
31141200000043
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawa ini:
Nama : Lukman Sumarna
NIM : 31141200000043
Tempat/Tgl. Lahir : Sungailiat, 18 November 1984
Alamat : Jln. SDN. Inpres No. 11. Pisangan Barat
Ciputat Tangsel
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi berjudul:
“Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”
Adalah benar merupakan karya asli penulis, terkecuali kutipan-kutipan
yang dicantumkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan
kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Demikan surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Jakarta, 26 Desember 2018
Penulis
Lukman Sumarna
vi
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disertasi saudara Lukman Sumarna, berjudul “Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”,
telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk dimajukan pada Ujian
Promosi.
Jakarta, 26 Desember 2018
Pembimbing, I.
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.
vii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disertasi saudara Lukman Sumarna, berjudul “Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”,
telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk dimajukan pada Ujian
Promosi.
Jakarta, 26 Desember 2018
Pembimbing, II.
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA.
viii
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN
Disertasi yang berjudul: “Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”, ditulis
oleh Lukman Sumarna NIM: 31141200000043 telah
dinyatakan lulus ujian pendahuluan yang diselengarakan
pada hari Jum’at 26 Oktober 2018.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan
komentar para penguji sehingga disetujui untuk diajukan
ke ujian disertasi promosi.
Jakarta, 26 Desember 2018
Tim Penguji:
No Nama Tanda Tangan Tanggal
1 Prof. Dr. Masykuri Abdillah
(Ketua Sidang/merangkap penguji)
2 Prof. Dr. Azizi Fachrrurozi, M.A
(Penguji 1)
3 Prof. Dr. Zainun Kamaludin Fakih, M.A
(Penguji 2)
4 Prof. Dr. Satori Ismail, MA
(Penguji 3)
5 Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.
(Pembimbing/merangkap penguji)
6 Prof. Dr. Sukron Kamil, MA.
(Pembimbing/merangkap penguji)
viii
ABSTRAK
Disertasi ini berupaya menganalisis semiosis perspektif kaum sufi melalui
teks nahwu, orientasi utama semiotiknya, dan pesan esensial yang dihadirkan.
Adapun sumber primer penelitian ini adalah Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r dan Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>. Penelitian ini termasuk kajian kepustakaan
bersifat kualitatif. Pembacaan yang digunakan dengan pendekatan semiotik
Roland Barthes tentang denotasi dan konotasi. Penulis juga menggunakan teori
linguistik Noam Chomsky berkaitan dengan mental bahasa yang dikenal dengan
teori transformatif generatif tentang surface structure dan deep structure.
Disertasi ini membuktikankan bahwa ekstraksi pesan esoteris melalui
simbol kaidah nahwu oleh sufi, didasarkan atas nalar probabilitas bahasa Arab
yang meniscayakan multiplisitas makna pada setiap teks. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pesan esoteris dari produk interpretatif ini bersifat subjektif,
sebagai ekspresi atas dominasi paham mistis pengarang. Semiotik berwawasan
sufistik ini, merupakan orisinalitas gagasan kreatif sebagai pesan moral spiritual
dan orientasi esensial semiotik yang dieksplorasi oleh penggagas utamanya.
Penelitian ini mendukung pandangan Ramzi Baalbaki (2008), menyatakan
bahwa kajian yang memadukan nahwu dan tasawuf sesungguhnya pemikiran
kreatif (creative mind) pertama yang mengelaborasi tata bahasa dengan ide
kesufian. Tesis Tamas Ivanyi (2006), menyimpulkan bahwa konfigurasi tata
bahasa Arab kedalam pemaknaan sufistik yang diformulasikan master sufi adalah
metamorfosis fungsi ganda dari fenomena eksoteris menuju dimensi esoteris. F.
Dominic Longo (2011), yang menegaskan bahwa kajian tentang spiritual grammar
telah membangun interkonektif antara doktrin mistis dan kaidah nahwu yang
semuanya, berangkat dari struktur realitas tata bahasa dan pengalaman spiritual
master sufi. Melalui interpretasi intuitif bebasis metaporis yang terlahir dari
percampuran tata bahasa dan ajaran agama pengarangya dalam satu elemen.
Pandangan Francesco Chiabotti (2009), melihat integrasi grammar Arab dan
perspektif sufi telah membuka harizon baru dalam kajian tata bahasa Arab,
khususnya berkaitan dengan metalinguistik. fenomena kaidah nahwu yang
ditafsirkan ulama sufi berangkat dari pengakuan “karakter suci” sebagai
keistimewaan bahasa Arab, yang berimplikasi terbentuknya leksikon yang
memproduksi terminlogi partikuler dalam tradisi sufistik.
Penelitian ini tidak sependapat dengan Kees Versteekh (2000), Ami>n al-
Khu>li> (1995) dan M. J. Carter (1997). Versteekh menilai bahwa nahwu adalah
epistem yang statis karena adanya ketertutupan hubungan (clos relation) terhadap
epistem yang lain. Sedangkan Amin al-Khu>li, berpandangan bahwa ilmu nahwu
salah satu epistemlogi yang telah tuntas dan mapan karena konstruk kaidahnya
dianggap telah sempurna. Adapun M. J. Carter, berpandangan bahwa fokus kajian
nahwu dan tasawuf sangat berbeda karena dua disiplin ilmu ini bersifat
independen, maka pemaknaan esoteris terhadap teks nahwu merupakan produk
penafsiran bersifat ambigu dan terkesan pemaknaan yang absurd. Hal itu, karena
adanya pemaksaan interpretasi atas teks kaidah nahwu hanya untuk tujuan
legitimasi atas doktrin kesufian.
Kata kunci: nahwu, tasawuf, semiotik, esoteris dan eksoteris
ix
الملخص
هذه الأطروحة هدفها كشف المعاني الخفية عند الصوفيين من خلال النصوص
لهذه أساسي وأما المراجع النحوية، واتجاهاتها السيميائية، والحِكَم الأساسيةّ الظاهرة فيها.الأطروحة فشاملة على كتابي "نحو القلوب الكبير" و "نحو القلوب الصغير" للقشيري.
وهذه الأطروحة تعتبر الدراسة المكتبية الوصفية . وأما المقاربة المستخدمة فهي مقاربة
( و المفهوم denotation) منطوقالتي تبحث عن معنى ال Roland Barthesسيميائية (connotationوه .) ذه الأطروحة مبنية على نظريةNoam Choamsky التي تتعلق
( التي تفرق generative transformative theoryبالروحانية اللغوية التي تشتهر ب )
بين البنية السطحية والبنية العميقة للغة.: إن استخراج الصوفيين للمعاني الخفية من رموز ثبتهذه الأطروحة ت نتيجةو
النحوية، مبني على خصيصة العربية باعتبارها لغة حمالة الوجوه. والمعاني الخفية القواعد
التي تؤخذ من المنتوج التفسيري تعد أشياء ذاتية من فهم صاحب الكتاب لرموز القواعد النحوية فهما غيبيا. ومثل هذا الفهم الغيبي عبارة عن النظر الفلسفي من الفكر الإبداعي
ية واتجاهات سيميائية أساسية التي أخرجها صاحب الكتاب.ليكون حِكَما روحان
وهذه الأطروحة تدعم رأي رامزي بلباكي الذي يقول : إن الدراسة التي تجمع النحو والتصوف عبارة عن الفكر الإبداعي الأول الذي يجمع القواعد النحوية بالأفكار الصوفية.
اعد النحوية إلى المعاني الصوفية تقول: إن توجيه القو Tamas Ivanyi (2006)ونظرية
.Fالذي فعله الصوفي يحمل الوجهين من الظاهرة الملموسة إلى البعُد الخفي. وأما Dominic Longo فيؤكد أن الدراسة النحوية الروحانية تبني جسورا بين الأفكار الإشارية
ارب الروحانية والقواعد النحوية التي تنطلق من البناء الواقعي للقواعد النحوية والتج
للصوفي، وذلك من خلال التفسير الإشاري المبني على المجازات المستخرجة من القواعد فيرى أن التداخل بين Francisco Chiabottiاللغوية والتعاليم الدينية في بناء واحد. وأما
ك الذي القواعد العربية والأنظار الصوفية يفتح مجالا جديدا في الدراسة اللغوية، خاصة ذل
(. والظاهرة النحوية "التي فسرها الصوفيون" تنطلق من Metalinguisticله علاقة ب )الاعتراف "للذات المقدسة" باعتبارها مزية العربية، وهذا يؤدي إلى ظهور الوحدات
المعجمية الجزئية في العادة الصوفية.
و Amin al khuli و Kees Versteekhأطروحة رفضوهذه الأطروحة تM.J Charteer وأما ،Versteekh فيقول إن النحو مبدأ ثابت بوجود الحجاب بينه وبين
بأن علم النحو يعتبر مبدأ نهائيا ثابتا بالنظر Amin Al-Khuliالمبادئ الأخرى. وأضاف
يرى أن تخصص علم النحو وتخصص M J Charteerإلى قواعدها الكاملة. وأما ، لأن كل واحد منهما غني عن الآخر. وبناء على ذلك، التصوف يختلفان تمام الاختلاف
تعتبر المعاني الخفية المستخرجة من النصوص النحوية أشياء لا قيمة لها. لأن تفسير القواعد
النحوية بهذا الشكل يعتبر تجاوزا، من أجل تبرير الأفكار الصوفية المعينة.
This research aims to analysis how purport esoteric the sufis through text
nahwu, orientation semiotic main, and the message essential of semiotic that
identified by sufi. The primary source of data in this research is Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r and Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r Al-Qushayri’s work. This research including of
the study of literature that qualitative. The reading of a data was used with approach
semiotic Roland Barthes both denotasi and connotation. And was applayed the theory
of linguistics Noam Chomsky that pertaining to mental language known as the theory
tranformatif generative about surface structure and deep structure.
This study concluded that extraction message esoteric through a symbol rules
nahwu formulated by sufi based on probability of Arabic language who proved a
multiplicity of the meaning of any text. Esoteric message in the product interpretative
this is a subjective, as an expression of domination understand mystical author.
Semantics sufistik it is philosophical originality reflection of creative ideas as a moral
message spiritual and orientation essential of semantics that explored by author.
This research supported the Ramzi Baalbaki’s view (2008), who stated that
study whose combined nahwu and tasawuf is a really creative ideas first who
combined nahwu and tasawuf. The Tamas Ivanyi’s thesis (2008), who concluded that
configuration of nahwu into sufistik purport who formulated sufi master is a dual
function of metamorphosis from penomena eksoteris to esoteric dimension. F
.Dominic Longo (2011) stressed that the study about spiritual grammar have built
interkonektif between the doctrine mystical and nahwu which all it, comes from the
structure of reality grammar and spiritual master sufi experience. Through the
interpretation intuitive and metaporis based who come from commingling grammar
and religion doctrine in one element. Francesco chiabotti’s views (2009), who sees
integration grammar Arab and persepektif sufi has opened new harizon of study the
Arabic language, particulary in connection with the metalinguistic. The phenomenon
of rule nahwu that was interpreted by sufi comes from the recognition of sacred
character as Arabic language, which is potential formed its lexicon producing
terminlogi sufistik in the tradition of the special.
This research disagree with Kees Versteekh (2000), Ami>n al-Khu>li> (1995) and
M. J. Carter (1997). Versteekh Consider that nahwu as a static of episteme, because
that it close relation another of epistemology. While Amin al-khuli views that the
science nahwu one of epistemlogy that has been going and established, because the
principle of counstruc was considered to have been perfect. But M .G. Charter views
that focus of study nahwu and tasawuf very different for two discipline this science
independent, so that purport to text nahwu esoteric Is the product interpretation is
ambiguous and impressed purport an absurd. Because there is an coercion
interpretation of the text rule nahwu merely for the purpose of legitimacy of the
doctrine sufi.
Key Words: grammar, esoteric, exsoteric, sufsm and semiotic.
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek : a = ´ ; i = ِ ; u = ِ
Vokal Panjang : a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Diftong : ay = ا ي ; aw = ا و
______________
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
TRANSLITERASI v
DAFTAR ISI vii
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 16
C. Perumusan Masalah 18
D. Pembatasan Masalah 18
E. Tujuan Penelitian 19
F. Manfaat/Signifikansi Penelitian 19
G. Penelitian Terdahulu yang Relevan 20
H. Metodologi Penelitian 25
1. Sumber Data 25
2. Data Primer dan Data Skunder 26
3. Pendekatan dan Teori Penelitian 27
J. Sistematika Penulisan 30
BAB II: DISKURSUS SEMIOTIK DALAM WACANA KEBAHASAAN
A. Perdebatan fenomena dan Nomena Perspektif Teori Linguistik 34
B. Semiotika Sebagai Landasan Teoritis 41
1. Konsepsi Semiotik 41
2. Singnifikansi dan Fungsi Semiotik 42
C. Konstruk Semiotik Struktural: Dialektika Teks, Makna dan Pembaca 49
D. Basis Pemaknaan Esoteris dan Orientasi Semiotik 55
E. Multiplisitas Makna Nahwu Transformasi Makna Lahir Pada Makna
Batin 59
BAB III: ARGUMENTASI DAN DINAMIKA KEILMUAN Al-
QUSHAYRI< MEMAKNAI NAHWU DALAM ASPEK
ESOTERIS
A. Konteks Sosiohistoris dan Transformasi Intelektual al-Qushayri> 65
B. Perjumpaan Nahwu Dan Tasawuf 75
C. Argumentasi dan Basis Nahwu Tasawuf al-Qushayri> 80
C. Paradigma Integratik Nahwu Tasawuf Dalam Pendidikan Bahasa Arab
1. Sintaksis 256
BAB VI: PENUTUP 271
A. Kesimpulan 271
B. Rekomendasi 273
DAFTAR PUSTAKA 275
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
M. J. Carter menilai ijtihad semiosis yang diformulasikan sebagian
para sufi, menimbulkan produk pemaknaan absurd, karena terkesan
memaksakan suatu penafsiran atas struktur teks nahwu ke dalam dimensi
tasawuf yang tidak ada relevansinya.1 Pemaknaan esoteris absurd tentang
yang diformulasikan para sufi, menimbulkan problem pemaknaan
tersendiri, mengingat paradigma dari konstruk tasawuf dan nahwu, secara
basis ontologis dan aksiologis memiliki difrensiasi fundamental. Tasawuf
distingsi keilmuannya menekankan dimensi esoteris, sedangkan nahwu
peran sentralnya hanya berfungsi sebagai ilmu alat yang memfokuskan
kajiannya terhadap epistemologi yang saling kompatable.
Relasi paradigmatik konstruk nahwu terhadap epistem yang
kompatable seperti, eksegetik al-Qur’a>n, stilistika/bala>gah, metric, us}u>l al-nah}w, morfologi dan semantik adalah varian ilmu yang memang
bersifat senyawa dan linier.2 Berdasarkan argumen tersebut, menurut
1M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical
Grammar or Grammatical Mysticism? A S{u>fi> Commentary on The Ājurrūmiyya’
dalam “Festschrift for Werner Diem” (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997),Vol.
IX, 24. 2Interkonektifitas linguistik Arab sebagai sumber makro linguistik yang
pada gilirannya meretas sub sistem bahasa yang bersifat otonom seperti
sintaksis, morfologi, semiotik dan fonologi dianggap disiplin ilmu mikro
linguistik yang mengalami progresifitas pada sisi epistemologi linguistik Arab,
yang akhirnya menjadi ilmu yang mapan. Namun perlu dicatat, ijtihad integrasi
seperti ini telah banyak dilakukan sarjana kontemporer di antaranya oleh ulama
usu>l fiqh dan us}u>l nah}w dan sarjana linguis kontemporer seperti Ramzi Baalbaki,
Tamma>m Hassa>n, Shauqi> D{haif, A<tif Fadl. Layaknya A<tif dengan melakukan
pemetaan terminologi tentang relevansi konsep us}u>l nah}w dan dalil us}u>l al-fiqh}. A<tif membandingkan proses istinba>th salah satu dalil istis}h}a>b antara nahwu dan
us}hul al-fiqh. Dalam pandangan A<tif ada kaesamaan –tidak berarti sama secara
identik- dalil istis}h}a>b antara nahwu dan fiqh dari aspek penarikan kesimpulan
hukum keduanya. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitiannya melihat fiqh
dan nahwu memiliki hubungan yang simbiosis mutualisme, sebab saling
membutukan dan membangun satu dengan yang lainya. Fiqh tidak terlepas dari
kaidah-kaidah bahasa Arab yang menggunakan analisis bahasa, maka dengan
analisis nahwu dapat menetapkan dan menjawab suatu hukum berbagai
permasalahan yang ada dalam ilmu ushul al-fiqh dengan pendekatan bahasa atau
perangkat kaidah nahwu. Lebih jelas lihat komunitas akademik yang
menghubungkan tata bahasa Arab dengan disiplin ilmu yang lain di antaranya,
2
Carter, upaya konfigurasi pemaknaan esoteris lewat kaidah nahwu, secara
epistemologis sangat kontra produktif. Bahkan dinilai sesuatu
“abnormal”, karena menimbulkan problem mendasar terhadap sistem dua
konstruk keilmuannya, khususnya dalam konteks pemaknaan.
Interkoneksi disiplin ilmu nahwu terhadap disiplin ilmu-lmu
(eksegetik al-Qur’a>n, stilistika atau bala>gah, fiqh, metric, hadi>th) adalah
suatu yang aksiomatik. Relasi antara nahwu dengan ilmu-ilmu ini
dianggap sebagai sistem instrumental fundamental sebab bersifat
parallelistik dan didasarikan atas relasi paradigmatik. Fakta historitas
keterkaitan ilmu nahwu tersebut, telah lama memiliki basis ontologis,
karena sedari awal geneologi keilmuannya terlahir dalam satu induk yang
sama, adalah bersumber dari bahasa Arab. Hanya saja menurut
Versteekh, seiring waktu progresifitas nahwu dengan ilmu tersebut
sempat mengalami degradasi dan setagnasi dalam meretas ide kreatif. Hal
demikian, lebih disebabkan hilangnya nalar kritis dan ijtihad konstruktif
karena adanya dikotomi dan diskursus penafsiran.3 Menurutnya bahwa
fenomena itu disebabkan terjadinya ketertutupan relasi (close relation between grammar to others epitemology) masing-masing dari hubungan
pondasi ilmu nahwu, yang sebelumnya harmoni, sebut saja seperti relasi
qira’a >t dan nahwu, balagha dan nahwu. Sementara disiplin ilmu nahwu
A<tif Fad}l Muhammad Khali>l, al-Istis}h}a>b baina Us}u>l al-Fiqh wa Us}u>l al-Nah}w
(Makka: Ja>miah Ummul Qurra, th.), 20. Lihat juaga Ramzi Baalbaki, 1983. “The
Relation between Nah}w and Bala>gha: A Comparative Study of the Methods of
Si>bawayh and Gurga>ni>.” Dalam, Zeitschrift für arabische Linguistik (Leiden:
Da>r al-Ma‘a>rif, 1987), 31. 3Kebekuan progresifitas ilmu nahwu (tajammad tat}wi>r al-nah}w) dengan
ilmu yang lainya, khususnya dengan ilmu qira’a>t, menurut Versteekh
dikarenakan adanya latarbelakang fakta historis tentang perdebatan soal struktur
teks al-Qur’a>n yang terkadang keluar dari sistem formulasi nalar kaidah nahwu.
Sehingga di antara tokoh ilmuan tersebut, berimplikasi hubungan ketertutupan
(close relation between grammar and reading). Kebuntuan episteme nahwu
dengan qira’a>t lebih disebabkan difrensiasi prinsip epistemologi, metodologi,
dan background yang dikonstruksi oleh sarjana nahwu dan ahli qira’a>t. Lebih
jelas baca Kees Versteekh, Arabic Langguage (New York: Colombia University
Press, 1997), 37. Baca juga artikel perdebatan sarjana nahwu versus ahli qira’a>t yang ditulis oleh Akram ‘Ali> H{amda>n, “Kutub al-Ih}tija>j wa al-S{ora>‘u baina al-
Nuh}a>’ wa al-Qurra>’i”, dalam Majallah Ja>‘miah al-Isla>mi>yah silsilah al-Dirasa>sat al-Insa>ni>yah (London: Bari>t}ani>, 2006),Vol. 14. 90.
3
yang mulanya memiliki relasi geneologi epistemologis, seiring waktu
terpisah dan menjadi ilmu yang mapan. Tetapi semua ilmu tersebut
hakikatnya tetap terlahir dari satu sumber. Sumber induknya adalah
lingustik Arab yang dianggap sebagai sumber epistemologi makro
linguistik.4
Persoalan penafsiran tasawuf melalui kaidah nahwu, tentu dinilai
kontradistingsi, mengingat teks nahwu tidak mengandung makna esoteris
sama sekali. Lebih jauh, kedua disiplin ilmu ini memang tidak punya
relevansi bahkan dinilai terdapat gap, sebab masing-masing domain dua
keilmuan ini titik tekannya berbeda. Tasawuf berdimensi esoteris,
sementara nahwu pondasinya menitik beratkan pada aspek eksoteris.
Karenanya hal demikian, adanya pemaksaan paradigma suatu konstruk
ilmu yang secara geneologinya jauh berbeda. Konsekwensi dari
gagasannya, menimbulkan suatu yang ambivalensi, anomali dan
kontradiktif, karena secara eksplisit tidak memiliki basis relevansi baik
pada level konseptual dan teoritis.5
4Bilal Orfali, Ghazal and Grammar: al-Ba>uni>’s Tad}mi>n Alfiyat Ibn Ma>lik
fi> L-Ghazal (Leiden: Brill, 2011), 6. Ramzi Baalbaki, “In The Shadow Of Arabic
The Centrality Of Language To Arabic Culture”, dalam Studies in Semitic Languages and Linguistics [ad.] T. Muraoka (Leiden: Brill, 2011), vol. 62. 11.
5Ambivalensi konstruk nahwu tasawuf ditegaskan Lango dalam
penjelasannya, bahwa memang sekilas hubungan nahwu dan tasawuf terkesan
memang tidak terdapat kaitan. Karenanya, melahirkan teka-teki yang sangat
membingungkan (puzzling) dan nampak terlalu “mengada-ada “alias “al-bid‘ah”.
Namun terlepas dari penilaian itu, ternyata seorang master sufi mencoba
bereksperimen dalam menyatukan antara dua disiplin ilmu tersebut, dengan
melakukan sebuah rekayasa dari latar epistemologi berbeda. Inovasi itu, disebut
ijtihad hibriditas antara nahwu dan tasawuf dalam paradigma integratiknya itu.
Pandangan itu dinyatakan oleh Lango dan Ahmad ‘Alam al-Di>n al-Jundi> dalam
menilai tentang relasi nahwu dan tasawuf yang diformulasikan oleh al-Qushayri>.
Karena memang, relasi kedua ilmu itu tidak terdapat hubungan baik pada level
paradigma dan konsepsi. Tetapi, setelah ditelisik lebih mendalam oleh para
peneliti tersebut, maka dapat diyakinkan bahwa sesungguhnya al-Qushayri>
hendak menjelaskan gagasan kesufiannya dengan menggunkan konsep
persilangan atau teori hibriditas antara dua budaya keilmuan yang berbeda.
Dalam konteks ini, tata bahasa yang dieksplorasi dalam harizon konsep tasawuf
yang semua gagasan itu tertuang dalam karyanya berjudul “Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r” dan Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r. Istilah unik diterjemahkan Lango spiritual
tata bahasa atau “spiritual of grammar”. Hanya saja kajian Lango ini menitik
beratkan kajiannya pada aspek perbandingan teologi antara Islam dan Kristen,
lewat konsep hibrida berupa persinggungan dan integrasi antara tata bahasa dan
teologi (the hybrid genre of grammar and theology) atau disebut “perkawinan
secara silang” antara nahwu dan doktrin teologis. F. Dominic Longo, Spiritual
4
Pemaknaan esoteris atas nahwu kedalam wawasan tasawuf, bukan
suatu hal mustahil terlebih dianggap problem dalam konteks pemaknaan.
Produk ijtihad pemaknaan demikian, telah banyak digagas tokoh sufi, di
antaranya al-Qushayri>, yang “mengawinkan” antara nahwu dan tasawuf
dalam konteks pemaknaan. Walaupun dianggap melahirkan problem
fundamental pada aspek epistemologi, karena gagasannya seakan sangat
utopis yang dinilai kurang dilandasi argumen akademik ilmiah, sebab itu
kreasi ijtihad demikian mustahil dan sulit diterima secara rasional.
Namun produk pemikiran yang diformulasikan tersebut, tertuang secara
sistematis dalam karya al-Qushayri> berjudul “Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r”
dan “Nah}w al-Qulu>b al-S}hagi>r”. Dari dua karya ini, pengarang ingin
menggambarkan relasi konstruktif dalam proses pemaknaan, sehingga
terbentuk keharmonisan antara nahwu dan tasawuf.6 Walaupun, keduanya
seakan tidak berbanding lurus dan tidak memiliki keterkaitan secara
Grammar: A Comparative Theological Study of Jean Gerson's Donatus Moralizatus and Abd al-Kari>m al-Qushayri>'s Nah}w al-Qulu>b (Cambridge:
Harvard University, 2011), 25. Secara panjang lebar penjelasan tentang teori dan
konsep hibridasi dapat dibaca dalam beberapa karya yang menyoroti berbagai
kasus seperti budaya, sastra, lingustik, sosiologi, antropologi, religion dan
sejarah. Adapun tema-tema yang sering dikaji adalah wacana poskololialis, di
antara karya tersebut Isabelle Thuy Pelaud, History and Hybridity in Vietnamese American Literature (United States of America: Temple University, 2011 ), 44.
C. M. Owen, The Female Crusoe Hybridity, Trade and the Eighteenth-Century Individual (New York: Rodopi, 2010), 63. Anjali Prabhu, Hybridity Limits, Transformations, Prospects (Albany: State University Of New York Press,
2007), 1-5. Courtney Bender, Constructing Buddhism: Interreligious Dialogue And Religious Hybridity (New York: Columbia University, 2006), 229. Ingrid
Piller, Bilingual Couples Talk The Discursive Construction Of Hybridity
(Philadelphia: University Of Sydney, 2002), 265. 6Cukup banyak sarjana Barat yang telah melakukan penelitian tentang
karya-karya al-Qushayri> mulai metode tafsir, pemikiran tasawuf dan konsep
mistisme al-Qushayri> di antaranya ditulis oleh Arnaldez R, Quelques Remarques Sur le Commentaire Mystique de Qushayri>: Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Annales: du
Département des Lettres Arabes, 1992), 99–106. Keeler A, “S{ufi> Tafsi>r as a Mirror: Al-Qushayri> the Murshi>d in His Lat}a>‘if al-Isha>ra>t”, dalam Journal of Qur’anic Studies. Vol, 8. No. 1 (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006),
21. Rashid Ahmad, Qur’a>nic Exegesis in Classical Literature with Particular Reference to Abu Al-Qa>sim Al-Qushayri>: A Critique of His Age and His Work on the Qur’a>nic Exegesis (Lahore: Institute of Islamic Culture, 2006), 12.
5
epistem, sebab dua ilmu tersebut memiliki difrensiasi signifikan baik
pada sisi karakteristik dan tipologi keilmuan yang bersifat independen.7
Diskursus semiosis nahwu yang ditafsirkan ke dalam horizon
tasawuf, berimplikasi munculnya sejumlah persoalan fundamental
khususnya aspek pemaknaan. Bahkan, mengantarkan perdebatan tajam di
kalangan masyarakat akademik, khususnya para penggiat linguistik Arab
beraliran fungsionalis. Bagaimana tidak, konstruk kedua disiplin ilmu
tersebut, (nahwu dan tasawuf) sungguh sangat jauh berbeda secara
7Ahmad ‘Alam al-Di>n al-Jundi> menilai tentang posisi ilmu nahwu dan
tasawuf merupakan disiplin ilmu yang bersifat independen (‘ilm mustaqillun),
karena sumber epistemologi (ibisti>mu>liji>, da>’irat al-ma‘a>rif), ontologi (wuju>d al-‘ilm), dan aksiologi (qi>mahtu al-‘ilm) sangat berbeda. Dengan demikian domain
kajian keduanya memiliki distingsi dan difrensiasi. Ilmu nahwu berdemensi
eksoterik sedangkan tasawuf menekankan aspek esoteric, maka ketika kedua
ilmu tersebut disintesiskan dan digabungkan menjadi satu bagunan keilmuan,
maka akan melahirkan disiplin ilmu baru. Demikian itu sebagaimana statemen
beliau ketika menilai produk ijtihad al-Qushayri> yang menyatukan atau
mensintesiskan antara nahwu dan tasawuf dalam satu wadah keilmuan, berikut
komentar singkatnya al-Jundi>:النحو علم مستقل و التصوف علم في صعيد واحد فهو علم جديد Berangkat dari pandangan al-Jundi> ini, menurut penulis .مستقل، وأمّا الجمع بينهما
kajian ini adalah tantangan dan motivasi akademik bahwa harus menguji konsep
al-Qushayri> tentang integrasi nahwu dan tasawuf meskipun sulit diterima
mengingat terdapat problem epistemologi tersendiri, oleh sebab itu penulis
tertarik untuk melakukan reset lanjutan dalam usaha membuktikan adanya
penyatuan paradigma harmonis dan konsep yang bersinergi secara produktif,
seandainya memang terdapat titik temu bagaimana relevansi signifikan
keduanya dalam satu karakteristik epistemologi unik dan produktif. Hipotesis
tersebut akan diuji lewt riset ini, maka apabila mampu menyajigan dan
membuktikan bahwa terdapat relasi paradigma positif, dalam artian watak dasar
keilmuan nahwu dan tasawuf mampu melahirkan tipelogi episteme yang
konstruktif, inovatif, dan kreatif, maka dinilai mampu menjawab dari
kegelisahan akademik peneliti. Dimaksud oleh penulis dengan paradigma
konstruktif positif adalah fondasi dasar bagunan keilmuan atau konstruk
epistem ini, setidaknya dinilai mampu mengaktualisasikan sistem rancang bagun
keilmuan yang dapat saling menyatu (itha>d), melengkapi (taka>mul), dan
memperkokoh (tama>suk), yang istilah itu oleh Tamma>m sebagai fondasi
keilmuan bahasa Arab. Sehingga mampu memproduksi pondasi epistemologi
holistik dan komprehensif tentang keterkaitan antara nahwu dan tasawuf yang
syarat dengan nilai rasional-objektif, prosedural-ilmiah, dan factual-empiris baik
secara teoritis maupun praktis untuk memberi kontribusi serta pengembangan
dalam dunia akademik. Untuk lebih jelas penilaian Ahmad al-Jundi> dapat dibaca
dalam prolog karya Nahwu Sufi al-Qushayri>, Ahmad ‘Alam al-Di>n al-Jundi>,
prinsip epistemologis baik pada aspek karakteristik, domain kajian,
konsep, dan basis metodis.8 Permasalahan lebih pelik dan kontra
produktif yang muncul dari dua disiplin keilmuan tersebut, pada aspek
hubungan secara dialektik paradigmatik.
Bertolak atas problem pemaknaan itu, maka muncul sejumlah
pertanyaan partikuler mendasar penulis, adalah ekspresi kegelisahan
akademik dan problem utama penelitian ini. Permasalahan ini, tentu
merefleksikankan pertanyaan, mengapa teks nahwu yang ditafsirkan oleh
al-Qushayri> sebagai media dalam mentransformasikan gagasan
sufistiknya? Apakah memang terdapat korelasi semiotik yang termuat
pesan esoteris dalam teks nahwu? Lalu bagaimana basis metodelogis dan
landasan teoritis dalam sistem semantik dua bangunan ilmu yang berbeda
secara ontologis? Mungkinkah terdapat orientasi semantik terselubung
penulis yang mana pemaknaanya bersifat tendensius? Mengapa harus
mengadopsi teks nahwu untuk menafsirkannya kedalam wacana tasawuf?
Mungkinkah dominasi aspek ideologis dan teologis tertentu yang menjadi
memotivasi pengarangnya? Apakah memang terdapat pesan tasawuf yang
tersembunyi dibalik teks nahwu?
Serangkaian pertanyaan di atas, merupakan problem utama
penelitian ini dalam mengidentifikasi akar permasalahan krusial. Dari
8Difrensiasi fundamental keilmuan antara nahwu dan tasawuf, memang
ketika diamati secara parsial, maka akan sulit untuk mencari titik temu antara
kedua ilmu tersebut. Dengan demikian kajian seperti ini meskipun dinilai aneh
alias tidak biasa, namun sesungguhnya menurut sebagian sarjana barat yang
mengkaji nahwu seperti Ramzi Baalbaki dan Tamas Ivanyi, menyimpulkan
dalam pandangan dan penilaian mereka bahwa konstruk kaidah nahwu yang
dielaborasi dengan lintas disiplin episteme berbeda, setidaknya telah
menawarkan harizon baru dalam kajian lingustik Arab (new horizons in the study of arabic language). Di samping itu, dapat memberikan ruang kepada para
penggiat dan pengkaji nahwu, untuk mengeskplor secara mendalam posisi kaidah
nahwu dari berbagai aspek dan pendekatan. Tentu, terdapat orientasi yaitu agar
nahwu lebih inovatif dan progresif dalam memperkaya harizon keilmuan, dan
menghilangkan setigma atau adagium bahwa nahwu tela matang dan terbakar
(qad nad}aja wa ih}taraqad) seperti yang difostulatkan oleh Ami>n al-Khu>li,
Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}wi wa al-Bala>ghah al-Tafsi>r wa al-Adab (Kairo: al-
Haiah al-Misriyyah al-‘A>mmah, 1995), 43. Tamas Ivanyi, “Towards a Grammar
of the Hearts: al-Qushayri>’s Nah}w al-Qulu>b”, dalam The Arabist: Budapest Studies in Arabic (Brill: Leiden, 2006.), 41–54. Michael. J. Carter, “Humanism
and the Language Sciences in Medieval Islam.” dalam Humanism Culture & Language in the Near East: Studies in Honor of Georg Krtokofff. Ed. Asma
Afsaruddin (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997), 27–38. Kees Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam (Leiden dan New York: E.J.
Brill, 1993), 30-31.
7
pertanyaan ini, memunculkan problem utama dalam penelitian yang
dilakukan penulis. Tujuannya adalah untuk mengetahui motivasi sang-
author, disamping menemukan orisinalitas teori semiotik sebagaimana
yang telah dikonstruk al-Qushayri> dalam karyanya tersebut. Orientasi
utama yang tidak kalah penting, salah satunya untuk dapat menggali
jawaban komprehensif dari penelitian yang dilakukan ini.
Persoalan mendasar lainnya juga, salah satu yang mengundang
perdebatan menarik adalah, terdapat pemaksaan pemaknaan atas struktur
teks nahwu ke dalam wawasan tasawuf. Persoalan pemaknaan ini, yang
telah memotivasi M. J. Carter menulis artikel apik bertajuk ‘Mystical Grammar or Grammatical Mysticism? A S{u>fi> Commentary on The Ājurrūmi>ya’.9 Kritikan tajam Carter dalam tulisannya itu, ingin
menyoroti dan mempermasalahkan tentang relasi paradigmatik dan
difrensiasi fungsional dari unsur utama grammar (al-nah}w) dan
pemaknaan mistisme (‘ilm al-tas}awwuf). Kajian Carter diawali dengan
melakukan pembacaan terhadap karya ‘Ali ibn Maymu>n yang berjudul
Risa>lah Maymu>nah fi> al-Tauh}i>d al-A<jurru>miya>h sebagai sumber utama
penelitiannya. Dalam pandanganya bahwa ilmu nahwu secara ontologis,
fungsional dan orientasi awalnya hanya murni membahas formulasi nalar
kaidah nahwu. Karenanya, fokus kajiannya hanya pada aspek fenomena
kebahasaan, yang basis paradigmanya didasarkan atas positivistik dan
empirik.10
Dalam konteks itu juga, ‘Ali> ibn Maymu>n bereksperimen dengan
meminjam kaidah nahwu sebagai teks “mati”, dengan melakukan
penafsirannya ke dalam konteks esoteris berwawasan tasawuf. Proses
menyingkapan makna esotoris itu, di antaranya merefleksikan ajaran
tauhid yang tersembunyi dibalik simbol kaidah nahwu. Teks nahwu
sengaja diadopsi sebagai media bahasa yang berpretensi dan bertendensi
untuk diarahkan ideologis-dogmatis. Bahkan melalui interpretasi
tendensius ini, kaidah nahwu bertransformasi ke dalam wacana tauhid
dalam dimensi mistisme.11 Oleh sebab itu, menurut Carter permasalahan
krusial yang muncul hubungan antara nahwu dan tasawuf itu terletak
pada dua problematika sentral, tak lain, adalah orientasi semantik yang
9M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical
Grammar or Grammatical Mysticism? A S{u>fi> Commentary on The Ājurrūmiyya’
dalam “Festschrift for Werner Diem” (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997),Vol.
IX, 24. 10‘Ali> ibn Maymu>n ibn Abi> Bakr ibn Yu>suf al-Ha>shimi> al-H{asani> al-Idri>si>,
Sayyid ‘Abd Allah, al-Ara>’ al-Kalami>ya wa-l-Sufi>ya ‘ind al-Qushayri> (Kairo:
Maktabat al-Thiqāfa al-Dīniyya, 2006), 63. Martin Tren Nguyen, The Confluence and Construction of Traditions: Al-Qushayri> (d. 465/1072) and the Intersection of Qur’ānic Exegesis, Theology, and Sufism (New York: Harvard
University, 2009), 39-41.
11
dan tasawuf. Hasil dari “perkawinan” sialng ini, melahirkan karya yang
terbilang unik dan menarik untuk diteliti, bahkan bisa dinilai karya yang
fenomenal dan monumental karena dinilai berhasil melahirkan warisan
inteletual (legacy of intellectua) begitu kontributif dan berharga. Semua
pandangan itu tertuang dalam karyanya berjudul Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (the grammar of the hearts).
Menurut Ramzi Baalbaki, konsep grammar yang ditawarkan al-
Qushayri> ini merupakan ide kreatif (creativ minds) yang merefleksikan
tafsir bernuansa filosofis. Karena sepanjang penelitian Ramzi sejak pra-
modern daya progresifitas dan produktifitas, dalam memperkaya literatur
Arab, telah mengalami setagnan. Lebih ekstrim, dianggap miskin untuk
melahirkan gagasan kreatif dan inovatif dalam merespon gairah dan
geliat intelektual yang menjadi animo dan espektasi masyarakat
akademik terhadap geliat progresifitas epistem nahwu.18
Ide dan gagasan al-Qushayri> yang membangun interkoneksi antara
nahwu dan tasawuf, melalui teori pemaknaan yang keduanya berporos
dari demensi eksoterik dan esoterik. Pembacaan itu, memang dinilai
peneliti asing karena, memang jarang dikenal luas mayoritas komunitas
akademik.19 Oleh sebab itu, gagasan tersebut menarik untuk diteliti
secara mendalam dan patut diuji sejauh mana subjektifitas dan
objektifitas teori semantiknya. Di samping, konsepsi penafsiran
filosofisnya secara ilmiah dalam ranah akademik, dengan memfokuskan
terhadap magnum opusnya Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r.20 Di antara
18Ramzi Baalbaki, “In the Shadow of Arabic The Centrality of Language
to Arabic Culture”. Ed, A.D. Rubin, dalam Studies in Semitic Languages and Linguistics (Leiden: Brilll, 2011), 447. V.63.
19Ketidak familiaran karya al-Qushayri> yang “mengawinkan” epistem
nahwu dan tasawuf diafirmasi F. Dominic dalam penelitian yang ia jelaskan dari
ulasan berikut: adalah Al-Qushayri> seorang figure ilmuan dan master sufi yang
hanya terkenal dengan karya sufinya, namun produk pemikiran nahwu sufi ini,
begitu asing dikalangan akademik. Demikian, dinilai buah pemikiran aneh,
seperti gagasan nahwu sufistik yang ia tuangkan dalam karyanya, konsep ilmu
yang ia rumuskan sangat membingungkan (puzzling) dan sangat langkah.
Penilaiannya seperti kutipan setatemen berikut: “Although these authors are major figures in their respective religious traditions, Qushayri>t's Nah}w al-Qulu>b have been more or less neglected by academic studies-probably because of their puzzling hybrid genre”. Lebih jelas baca F. Dominic Lango, A Comparative Theological Study of Jean Gerson's Donatus Mowralizatus and ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>'s Nah}w al-Qulu>b (New York: Harvard University, 2011), 5.
20Francesco Chiabotti melihat pemikiran al-Qushayri> dalam karyanya ini,
adalah salah satu risalah tertua dan pionir pertama yang berhasil menafsirkan
terminologi dan kaidah tata bahasa Arab ke dalam konsep tasawuf. Meskipun
12
permasalahan yang muncul kemudian adalah pada aspek peran dan fungsi
antara tasawuf dan nahwu sungguh sangat berbeda jauh. Hal itu,
sebagaimana dikemukakan sarjana nahwu di antaranya Tamma>m Hassa>n,
Shauqi D{aif, Mus}tafa al-Ghala>yaini menyatakan domain kajian nahwu
merupakan konstruk ilmu yang hanya membahas kedudukan akhir setiap
kalimat. Struktur kalimatnya, baik bersifat mabni> (statis) dan mu‘rab
(dinamis), sesuai dengan faktor-faktor eksternal yang menyertai struktur
kalimat dalam bahasa Arab, sehingga berimplikasi terhadap makna yang
terkandung sesuai dengan konteks struktur kalimat.21 Sementara
hasil interpretasi kaidah nahwu ini, bercorak mistis merupakan ekspresi intuitif
sang-author. Adapun indikasi yang disinyalir oleh Chiabotti ditulisnya karya al-
Qushayri> salah satunya, sebagai pengakuan karakter “suci” dari pada
keistimewaan bahasa Arab (the sacred character of arabic language). Terlepas
dari semua paparan di atas, produk interpretasi dalam kaidah nahwu mampu
menyingkap harizon baru tentang relasi antara nahwu dan tasawuf, adalah
manifesto yang bersumber dari dua demensi bahasa yaitu antara fenomena dan
nomena atau antara pisik dan metapisik yang terpusat lewat tata bahasa Arab.
Langkah itu, membahas tentang salah satu basis yang mampu membentuk
leksikon yang dirumuskan komunitas sufi lewat term-term mistis yang mereka
rumuskan. Terminologi sufistik itu, seperti maqa>ma>t, takhalli>, tah}alli>, tajalli>, ittih}a>d, h}ulu>l dan masih banyak istilah tekni dari kaida nahwu yang melahirkan
dalam leksikon versi komunitas tasawuf. Pada saat yang sama, pengakuan
karakter “suci” tata bahasa Arab ini hasil dari pergumulan antara nahwu dan
seorang sufi melalui artikulasi atas kaidah nahwu sebagai wadah dalam
membangun ijtihad integratiknya. Al-Qushayri>, sebagai pemimpin para sufi
dalam mengembangkan konsep simbolis tata bahasa Arab dan leksikonnya yang
merefleksikan dua dimensi wacana nahwu, yaitu dari aspek eksoteris menuju
dimensi esoteris. Dalam terminoligi diusung al-Qushayri> adalah min nah}w al-z{a>hir ila> nah}w al-ba>t}h}in. Dengan demikian, ijtihad ini membuka teori baru yang
terlahir dari percampuran teks kebahasaan dengan pemahaman teologi seorang
master Sufi> dalam satu tempat. Seperti dinyatakan F. Dominic Lango “an intermixture of the grammatical and religious at one hand”. Menurut Chiabotti
bahwa tata bahasa Arab merefleksikan pesan dibalik hal yang bersifat simbolik
dengan perhatian khusus tentang masalah metabahasa atau metalinguistik. Lebih
jelas baca dalam Francesco Chiabotti “Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r: La (grammaire
descoeurs) de ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, dalam Bulletin de Setudes Orientales,
vol. 58, Damasco 2009, 385-402. ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (Kairo: Ja>mi‘ah ‘Ain al-Sham, 1994), 14. Lihat juga karya Ahmad
Mus}t}afa>, Mausu>‘atu Mus}t}alah}a>t wa Qawa> ‘id al-S{u>fi>yah (Beiru>t: Da>r al-Kutub
23Awal dari teori hibridasi ini, semula merujuk kepada tradisi ilmu
biologi, yang berkaitan dengan ilmu botanik dan zologi. Salah satu
eksperimental ilmu biologi secara partikuler membahas proses persilangan atau
“perkawinan” tumbuhan baik yang sejenis atau dua jenis tumbuhan berbeda. Uji
coba rekayasa genetika botanik melalui hibridasi ini dinilai berhasil, sehingga
mampu membuahkan suatu produk tumbuhan yang unik. Namun teori dan
konsep hibridasi tersebut, seiring waktu beralih fungsi, sebagian ilmuan yang
memfokuskan studinya dalam bidang humaniora ini, hendak ditarik dalam
konteks penelitian bersifat normative-filosifis. Penelitian ini kususnya dalam
kaitannya dengan wacana poskolonial yang diusung oleh Michel Foucault,
Edwar Said, Homi Baba dan para ilmuan lainya yang fokus kajiannya tentang
itu. Sementara terma, teori dan wacana yang mereka mengadopsi istilah kusus,
sebagai kata kunci dan alat analisi dalam mengidintifikasi teori yang berkaitan
14
yang dirumuskan oleh al-Qushayri>, harus diposisikan secara objektif
dengan melakukan analisis mendalam untuk menemukan signifikansi dari
teori pemaknaanya. Tujuannya, agar kajian ini mampu mengungkapkan
konsep unik dan teori orisinalitas pemaknaannya secara signifikan
sebagai kontribusi akademik.
Proses pemaknaanya yang terkesan “memaksakan” sangat
kontradistingtif karena disiplin nahwu dan tasawuf sangat berbeda,
namun dalam pandangan master sufi, kedua ilmu itu bukan epistemologi
yang saling bertentangan, terlebih dinilai menempatkan kedudukan
bersifat oposisi biner yang saling berlawanan. Dalam pandangan al-
Qushayri> kedua ilmu nahwu dan tasawuf adalah sesuatu yang saling
melengkapi dan menyempurnakan, sehingga mampu memproduksi
keilmuan yang progresif dan saling sinergis melalui konsepsi pemaknaan.
Dengan konsepnya ini, ternyata ia mampu melakukan interpretasi kaidah
nahwu bergenre sufistik, dengan landasan daya intiutif. Untuk itulah,
dalam gagasan intinya ia menyatakan bahwa nahwu seringkali hanya
dilihat sebagai alat untuk menjaga lisan semata, yang fungsinya hanya
menhindari dari kesalahan berbahasa Arab, tanpa melibatkan daya
intuitif atau potensi kedalaman hati sang-penutur bahasa Arab itu sendiri.
dengan “rekayasa” social (as a tool social of engineering), seperti dominasi,
subordinasi, hibridasi, subalternitas dan istilah analisis lainya. Penulis melihat
konsep “hibridasi” atau persilangan dalam tradisi keilmuan lintas episteme
berbeda, sudah umum karena dianggap konsep serta teori yang dapat digunakan
sesuai dengan konteksnya. Konkritnya konsep “hibridasi” telah berevolusi
menuju lintas disiplin keilmuan, hal itu dibuktikan bahwa teori itu begitu populis
dan familiar diadopsi oleh ilmuan humaniora. Kesimpulannya, ijtihad hibridasi
ini telah banyak meretas beragam karya yang akrab dan dapat ditemukan dalam
beberapa penelitian di antaranya Oluf Schonbeck, “Sufism in the USA:
Creolisation, Hyibridisation, Syicretitation?”, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global, ed. Catharina Raudvere and Leif Stenberg, 177-187.
Begitu juga dapat dilihat dalam Approaches to Arabic Linguistics, dalam
Studies in Semitic Languages and Linguistics: Presented to Kees Versteegh on
the Occasion of his Sixtieth Birthday, ed. Everhard Ditters and Harald Motzki
dengan kontributor, Mushira Eid, “Arabic on the Media: Hybridity and Styles”
(Leiden-Boston: Brill, 2007), 403. Bandingkan dengan sejumlah karya yang
secara partikuler studinya tentang poskolonialis, budaya, fenomena social, begitu
juga tentang lingustik dalam teori hibriditas. Robert J.C.Young, Colonial Desire Hybridity In Theory, Culture And Race (New York: Routledge, 1995), 18-20.
Marwan M. Kraidy, Hybridity, or The Cultural Logic of Globalization
(Philadelphia: Temple University Press, 2005), 116.
15
Oleh sebab itu, ia berpandangan bahwa harus adanya koneksi
kaidah nahwu dengan mengaktualisasikan potensi intuitif hati dari setiap
pengkaji kaidah nahwu. Karenaya, konsep persilangan epistem berbeda
adalah ide dasar yang sengaja, ia elaborasi sehingga menjadi konsep tata
bahasa berbasis hati yang agung. Dalam konteks nahwu sufinya, kaidah
nahwu memiliki pesan esoterik, melalui artikulasi struktur kaidah nahwu.
Nalar formulasi nahwu dengan mengusung ijtihad hibridasi ini,
merupakan nalar konstruktif dan pemaknaan kreatif al-Qushayri> yang
bertranformasi min nah}w al-z}ha>hir ila> al-nah}w al-ba>t}hin. Kemungkinan
orientasi utama dari gagasan nahwu kedalam wawasan esoteris, salah
satu tujuannya agar nahwu tidak kering kerontang dari aspek spiritual
dengan melibatkan potensi kedalaman hati, sehingga adanya sinergisitas
antara lisa>n ha>l dengan lisa>n ba>t}in.24
Dalam kajian lingustik modern, kususnya berkaitan dengan ilmu
semiotik yang beraliran strukturalis, maka fungsi semiotik yang
diaplikasikan penulis dalam membaca pemikiran nahwu bathin al-
Qushayri> sagat tepat digunakan. Dengan mengadopsi kaidah nahwu yang
dimaknai dalam konteks sufi, secara teoritik tampaknya relevan dan
kompetable dengan studi yang berkaitan dengan teori semiotik yang
dibagun oleh Roland Barthes tentang konsep semiotik strukturalis.
Barthes sebagai tokoh sentral saat mengeksplor teori tanda dengan model
dikotomi dan indepensi teks kebahasaan. Teori itu, seperti dijelaskan
Benny H. Hoed, bahwa teori Barthes tidak lain, perpanjagan dari
genologi pemikiran linguistik Ferdinand de Saussure. Pandangan
demikian, sebagaimana dikenal dengan formulasi meaning-nya yaitu
penanda (signifiant), petanda (signifie), tanda (sign). Penjelasan dari teori
semiotik Barthes ini, bahwa apabila ditinjau dari aspek pemakai tanda
bahwa sistem tanda terdiri dari primer dan sukunder yang terbagi kepada
a. expression/ungkapan atau penanda, b. contenu/isi atau petanda, c.
relation/hubungan yang menjembatani kedua elemen tersebut.
Pandangan semiotik Barthes, menitik beratkan sistem tanda
berbentuk teks, yang memiliki lapisan makna yang disebut denotative
sebagai makna primer. Adapun konotatif, sebagai makna sekunder yang
dieksplorasi pemberi makna, apabila teori tersebut dikontekstualisasi
dalam pembacaan nahwu sufi al-Qushayri>, hemat penulis sangat tepat
untuk menemukan signifikansi dan orisinalitas pemaknaan al-Qushayri>
tawarkan. Analisis tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut, bahwa
kaidah nahwu yang awalnya masih murni disebut tanda primer atau level
makna denotative berbentuk kaidah nahwu atau istilah master sufi nah}w
al-z}ha>hir sebab belum tersentuh proses interpretasi. Sementara pesan
sufistik sebagai hasil dari artikulasi yang termanifestasi dalam symbol
kaidah nahwu disebut makna konotatif atau nah}w al-ba>t}hin, dikarenakan
telah diperluasan maknanya, kususnya melalui proses interpretasi
berbasis intuitif oleh master sufi.25
Berangkat dari semua paparan di atas, maka dalam kasus dan tema
yang relevan dengan kajian ini, peneliti hendak menguji ojektifitas dan
subjektifitas pemaknaan melalui perspktif teori semiotik terhadap karya
nahwu yang dimaknai kedalam wacana sufistik oleh al-Qushayri>. Penulis
secara partikuler melihat bahwa studi ini bersifat multi interdisipliner
atau lintas disiplin keilmuan yang berbeda antara nahwu dan tasawuf.
Sekalipun terjadi difrensiasi secara keilmuan, tetapi memungkinkah
adanya harmonisasi antara nahwu dan tasawuf yang mampu disatukan
dalam satu paradigma harmonis, sehingga membangun epistem unik
untuk saling melengkapi. Demikian juga, produk interkoneksi kedua ilmu
ini dapat terbagun dalam suatu sistem keilmuan yang koheren dan kohesi
sebagai hasil dari ijtihad hibridasi yang digagas al-Qushayri>.
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, tentu
banyak permasalahan teridentifikasi dalam penelitian ini, tetapi
permasalahan yang menjadi fokus dalam kajian ini persoalan pemaknaan
esoteris. Terkhusus dalam konteks studi semiotik, yang erat kaitannya
dengan pola pemaknaan yang dibangun para sufi melalui teks kaidah
nahwu, yang menimbulkan ambivalensi dan anomali dalam konteks
pemaknaan. Selanjutnya problem subjektifitas-objektivitas pemaknaan,
motivasi serta orientasi semantik yang bertendensi ideologis.
Semua identifikasi permasalah di atas, tampak seperti yang
diformulasikan oleh sufi dalam karyanya tersebut. Dengan menjadikan
sumber struktur teks nahwu, sebagai wadah dalam mentransformasikan
gagasan kesufiannya. Pendasaran wacana tersebut, jelasa bermasalah
karena bersumber dari dua paradigma keilmuan yang berbeda antara
nahwu dan tasawuf. Dengan demikian, menimbulkan problem kususnya
dari aspek ontologis, karena nahwu dan tasawuf terdapat difrensiasi
fundamental dari setiap karakteristik epistemologinya.
25Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de
Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sander Peirce, Marcel Danesi & Paul Perron, dll (Depok: Komunitas Bambu, 2008), 97-
98.
17
Persoalan lainnya juga, tentang konstruk nahwu dan tasawuf yang
bersifat independen yang secara lahiriah tidak terdapat titik temu yang
saling berkaitan. Meskipun basisnya, adalah penafsiran yang menjadi
anaisisnya untuk membangun dialektika kedua ilmu tersebut. Karenanya,
terdapat asumsi yang berpandangan mustahil untuk menafsirkan teks
kaidah nahwu sebagai objek utama, hingga menemukan pesan tasawuf
dari simbol nahwu. Mengingat antara nahwu dan tasawuf yang kedua
ilmunya berbeda secara identik, sebab awal dirumuskan sampai kedua
ilmu itu menjadi mapan dan sempurna, memang tidak ada korelasi.
Persoalan lain juga, aspek domain kajian kedua imu ini bersumber dari
demensi eksoterik dan esoterik yang fokusnya bersebrangan. Kosekuensi
dari semuanya, ilmu nahwu bercorak tasawuf itu memunculkan
permasalahan tersendiri, karena terdapat anomali dalam konteks
pemaknaan, sebab itu mengundang perdebatan di kalangan akademik.
Gagasan kreatif yang dikonstruk al-Qushayri> dalam menafsirkan
kaidah nahwu yang semula disiplin ilmu terpisah dari harizon tasawuf,
sungguh telah melahirkan ambivalensi makna, pemaksaan penafsiran
karena teks utama yang digunakan tidak relevan, dan sisi ojektifitas-
subjektifitas pemaknaan menjadi diskursus keilmuan dalam ranah
akademik. Hal demikian, menimbulkan persoalan akademik di antara
para penggiat ilmu bahasa Arab. Meskipun menimbulkan problem
mendasar, tetapi gagasan dalam pemaknaan teks nahwu dalam dimensi
esoteris, telah dirumuska ulama sufi. Dengan demikian, ijtihad atau ide
untuk merumuskan kedua disiplin ilmu tersebut, ternyata telah
dihadirkan sejak lama. Melalui ijtihad semantik sufistik al-Qushayri> yang
orientasinya adalah mensintesiskan antara tasawuf dan nahwu sekalipun
epistemnya berbeda.
Pembuktian dari ide kreatifnya, dinilai telah menghasikan produk
ilmu baru yang harmonis dan konstruktif. Sekalipun, kecendrungan
pemaknaan ini didasari atas pandangan subjektif, tetapi melahirkan
produk disiplin ilmu yang terbilang unik dan kontributif lewat metode
dan teori interpretasi metalingustik yang ia bagun.
Dalam konteks ini, perlu dibuktikan lewat penelitian ini
berdasarkan uraian identifikasih permasalahan di atas, maka
permasalahan yang teridentifikasi dalam penelitian disertasi ini dapat
dideskripsikan dengan menampilkan sejumlah persoalan partikuler, yang
menjadi fokus penelitian. Pandangan al-Qushayri> tentang posisi kaidah
nahwu dan tasawuf yang semula dinilai sebagai epistemologi berbeda
secara paradigmatik dan epistemologis, namun dengan ijtihad pemaknaan
sufinya, ia dapat membagun makna harmonis dalam satu keilmuan yang
nampak “aneh” Sejauh mana nilai objektifitas dan unsur subjektif hasil
interpretasi sufistik atas kaidah nahwu yang dirumuskan oleh al-
18
Qushayri>. Perumusan nahwu bathin ini, tentu punya orientasi utama yang
diinginkan al-Qushayri> dengan cara menafsirkan dua disiplin ilmu yang
berbeda ini, dengan menjadikan kaidah nahwu sebagai sumber utama
dalam mengeksplor penafsiran sufinya. Tentu terdapat argumentasi
konseptual yang dibangun oleh al-Qushayri> saat mengadopsi kaidah
nahwu sebagai media komunikasi dalam menyampaikan ideologi dan
doktrin tasawufnya. Di samping itu, tentu terdapat motivasi, orientasi
dan pesan terselubung yang hendak disampaikan oleh al-Qushayri> melalui
penafsirannya atas kaidah nahwu. Persoalan krusial lainnya, yaitu kriteria
validitas dan otentisitas dari ijtiha>d semiosis melalui teks nahwu yang
dikonstruksi al-Qushayri>. Demikian identifikasi permasalahan yang
peneliti tampilkan berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang
akan menjadi konsen penelitian.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka di antara
masalah pokok yang menjadi fokus penelitian ini, penulis hanya ingin
menyoroti pola dari proses semiosis dilakukan sufi ketika menggali
pesan-pesan esoteris melalui teks nahwu. perumusan masalah dalam
disertasi ini, ingin menjawab dan menganalisa secara komprehensif
tentang paradigma semiotik yang digagas oleh al-Qushayri> dalam
karyanya Nah}w al-Qulu>b dengan menjadikan sebagian tema-tema nahwu
sebagai teks utama, dalam menggali pesan tasawuf. Di antara rumusan
masalah yang peneliti ajukan sebagai berikut:
1. Apa argumentasi pengarang mengadopsi simbol nahwu sebagai
teks primer dalam menggali pesan esoteris?
2. Bagaimana pola semiotik diaplikasikan pengarangan dalam
menemukan pesan esoteris yang terkandung dalam teks nahwu?
3. Bagaimana relevansi dan signifikansi semiotik berdemensi
esoteris melalui kaidah nahwu yang ditawarkan sufi?
4. Apa gagasan subtansial yang ditampilkan pengarang melalui
pemaknaan esoteris tersebut?
D. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya tema-tema besar nahwu yang ditampilkan
al-Qushayri>, maka penulis penting memfokuskan kajian ini hanya pada
sebagian dari tema nahwu seperti diformulasika dalam karyanya tersebut.
Dalam kajian ini, penulis membatasi kajiannya hanya menitik beratkan
studi semiotik yang meliputi tema nahwu dalam konteks pemaknaan
esoteris yang terdapat dalam karyanya berjudul “Nah}w al-Qulu>b”.
Sedangkan di antara tema-tema yang dikaji adalah kala>m mufi> dan ghair al-mufi>d. Ekstraksi makna tasawuf melalui ism, fi‘il dan h}urf, mu‘rab dan
19
mabni>. Manifestasi makna esoteris dibalik simbol nahwu: fa>‘il wa Anwa>‘uha>, maf‘u>l wa ‘anwa>‘uha >, na‘t wa man‘u>t, h{a>l, al-badal wa ‘anwa>‘uha>, al-ta‘jub, al-tamyi>z, al-‘at}af, tauki>d, ism ma> yuns}arif wa ma> la> yuns}arif. Tema-tema nahwu tersebut, merupakan batasan penelitian
yang akan penulis jelaskan secara utuh dengan menggunakan perspektif
semiotik.
E. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk mencari jawaban
secara utuh dan mendalam, berdasarkan perumusan masalah yang
terangkum kepada empat poin berikut:
1. Tujuan hendak memahami argumentasi dan urgensitas, mengapa
pengarang penting mengadopsi simbol nahwu sebagai teks primer
dalam menggali pesan esoteris.
2. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola semiotik yang diaplikasikan
pengarangan dalam menemukan pesan esoteris yang terkandung dalam
kaidah nahwu. Bersumber dari atikulasi sang penafsir melalui teks
yang pada mulanya hanya berfungsi sebagai formulasi kaidah bahasa
Arab bersifat independen.
3. Penelitian ini juga, hendak membuktikan bahwa gagasan pemaknaan
esoteris atas nahwu punya relevansi dan signifikan terhadap konsep
kesufian sebagaimana yang ditawarkan pengarangnya.
4. Penelitian ini bertujuan memahami gagasan utama yang dikonstruk
pengarang melalui pemaknaan esoteris tersebut. Karena itu, dengan
menggunakan analisis semiotik dalam penelitian ini, setidaknya
mampu menggali subtansi atas pemaknaan teks nahwu berwawasan
sufistik.
F. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dijelaskan di atas, tentu
penelitian ini memberikan manfaat dan signifikansi sebagai kontribusi
akademik. Adapun manfaat dan signifikansi penelitian ini di antaranya:
Dalam penelitian ini diharapkan mampu menjawab secara utuh apa
yang menjadi fokus penelitian, sehingga berkontribusi dalam
memaparkan secara teoritis konsep keilmuan tentang paradigma awal
terjalinya antara nahwu dan tasawuf. Signifikansi wacana tasawuf yang
termanifestasi dalam symbol kaidah nahwu, diharapkan memberikan
gambaran utuh bagaimana ilmu nahwu tidak hanya sekedar sebagai ilmu
alat sebagai tata bahasa semata, namun dibalik itu mengandung pesan
tasawuf yang diinterpretasi secara kreatif dan komperhensif komunitas
sufi.
20
Manfaat dan signifikansi penelitian ini secara praktis, memberikan
gambaran konkrit bagi masyarakat akademik berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan peneliti. Selain itu, manfaat penelitian ini secara praksis,
memberikan kontribusi yang lebih berarti bagi pengkaji ilmu bahasa Arab
secara signifikan dan orientasinya untuk membuka harizon lebih luas
tentang dinamika bahasa Arab dan perdebatan antara ahli nahwu
terhadap wacana nahwu sufi. Untuk itu, diharapkan dari penelitian ini,
bermanfaat bagi penggiat bahasa Arab, khususnya tentang konsep yang
menawarkan kajian yang unik dan baru. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi signifikan secara teoritis dan konseptual tentang
perkembangan sejarah ilmu nahwu dan pergumulannya dengan diskursus
tasawuf yang dirintis oleh sebagian sarjana sufi klasik. Hal demikian itu,
setidaknya dapat memperkaya informasi baru, dan memberikan inspirasi
bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan kajian ilmu nahwu yang
lebih kreatif dan inovatif.
G. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dalam penelitian disertasi ini, penulis telah menelusuri tinjauan
pustaka terdahulu yang relevan, khususnya yang pernah dikaji dan ditulis
oleh peneliti sebelumnya. Bertolak dari itu, penulis penting untuk
menelusuri kajian-kajian yang relevan berdasarkan tema dan kasus yang
sedang dijadikan objek penelitian dalam disertasi ini. Untuk itu,
penelitian tersebut diperoleh dari sumber yang otoritatif baik buku, jurnal
ilmiah, sumber buku, dan disertasi. Setelah ditelusuri peneliti tema dan
kasus yang diteliti, ternyata belum banyak yang mengkaji secara utuh
dan komprehensif yang berkaitan tentang semiotik nahwu tasawwuf.
Idealnya kajian terdahulu yang relevan ini harus bersumber dari
penelitian yang pernah dikaji oleh komunitas akademik, hanya saja belum
secara tuntas diteliti atau harus ada distingsi, perbedaan dan posisi
peneliti. Dengan demikian, penulis hendak mengisi kekosongan dan
melanjutkan kajiannya dalam penelitian yang lebih utuh. Tentunya,
menggunakan perspektif berbeda berdasarkan teori dan metodologi yang
digunakan. Penelitian ini memfokuskan bagaimana pola pemaknaan dan
paradigmatik nahwu tasawwuf yang digagas oleh al-Qushairi> dalam
karyanya Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (grammar of the heart). Di antara
karya-karya yang pernah mengangkat isu tersebut adalah:
Ramzi Baalbaki dalam artikelnya yang berjudul In the Shadow of Arabic The Centrality of Language to Arabic Culture, menyoroti tentang
hubungan interpretasi alegoris ahli sufi terhadap kaidah nahwu, ia
mencatat tentang dua problem fundamental terjadinya kemandekan
21
nahwu. Pertama,26 Bahwa epistem nahwu telah mengalami kevakuman
alias terjadi “kemandulan” dalam upaya mengeksplorasi ke arah yang
lebih inovatif dan kreatif mulai dari materi, teori, metode, dan konsep
yang disugukan. Terlihat kajian nahwu selama ini monoton, sebab hanya
berkutat pada aspek kaidah-kaidah formal yang bersifat simbolis. Kedua,
dalam lintasan historis, Ramzi menilai bahwa awal mula perkembangan
nahwu adanya ketertutupan relasi (close relation) pada konstruk episteme
kaidah nahwu dalam mengeksplor dan mengelaborasi terhadap lintas
disiplin ilmu lainya seperti bala>gah, us}u>l al-fiqh, tafsi>r, mu‘jam, fiqh,
qira’ah, dan naqd atau kritik sastra. Pendapat Ramzi ini, diafirmasi oleh
Kees Versteegh, dan Michael Carter.27 Konsekuensi hubungan tertutup
ini, menyebabkan kegagalan para sarjana nahwu dalam mengembangkan
bahasa Arab ke arah yang lebih bermakna (meaning) dengan
menggunakan teori koheren dan kohesi pada grammatikal Arab. Langkah
ini kemudian menjadi proyek besar yang dikembangkan oleh Tamma>m
Hassa>n lewat teori makna (ma‘na>), kolokasi (tad}a>fur), dan indicator
(qara>’in) dalam menganalisi setiap fenomena struktur bahasa Arab, yang
dikaji secara komprehensif dalam karya monumentalnya berjudul “al-Ma‘na> wa al-Mabna>”.28 Hanya saja, peneliti melihat dalam artikel Ramzi
tersebut, hanya menyoroti kepakuman laju progresifitas kaidah nahu
dengan sedikit mengomentari karya al-Qushayri> yang dianggap punya
pemikiran kreatif, tanpa mengkaji lebih mendalam dari berbagai aspek.
Oleh sebab itu, penulis hendak melanjutkan penelitian tersebut dalam
konteks penelitian yang lebih mendalam.
Penelitian yang tidak jauh berbeda dilakukan oleh F. Dominic
Longo, dalam penelitianya tentang tata bahasa dan suatu perbandingan
teologi Islam dan Kristen berjudul: Spiritual Grammar: A Comparative Theological Study of Jean Gerson’s Donatus moralizatus and ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri’s Nah}w al-Qulu>b, karya ini merupakan disertasi yang
26Ramzi Baalbaki, “In the Shadow of Arabic The Centrality of Language
to Arabic Culture”, [ad.] T. Muraoka, A.D. Rubin dan C.H.M. Versteegh dalam
Studies in Semitic Languages and Linguistic (Leiden: Brill, 2011), Vol. 63, 23. 27Kees Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam
(Leiden and New York: E.J. Brill, 1993), 191. Michael Carter “Humanism and
the Language Sciences in Medieval Islam,” dalam Humanism Culture and Language in the Near East: Studies in Honor of Georg Krtokofff. Ed. Asma
Afsaruddin and A.H. Mathias Zahniser (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997), 27–
38. 28Tamma>m Hassa>n, al-Lughah al-‘Arabi>yah: Ma‘na>ha> wa Mabna>ha>
(Magrib: Da>r al-Thaqa>fah, 1994), 177-191.
22
ditulis di universitas Harvard, pada tahun 2011.29 Focus kajian Longo ini
merupakan studi perbandingan antara teologi Islam dan Katolik, teologi
Islam diwakili oleh al-Qushayri> sebagai pemikir besar sufi Arab,
sementara teolog katolik diwakili oleh sarjana Barat Jean Gerson dengan
menganalisis teks dari dua karya tokoh tersebut berjudul Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r dan Donatus moralizatus. Kongklusi yang dibangun dalam
penelitian Lango ini memaparkan tentang konsep sepiritual grammar
yang ditawarkan al-Qushayri>. Nahwu, sebagai alat yang tidak hanya
berfungsi menjelaskan kaidah bahasa Arab semata, dan menjaga lisan dari
kesalahan berbahasa sebagai panduan prinsip. Sumber utama semuanya
itu, bersifat simbolik yang sesungguhnya berpijak pada sistem atau
aturanan legal formal kaidah nahwu. Tujuannya, untuk menjaga lisan dari
kesalahan berbahasa. Namun dalam persepektif sufi fungsi, kaidah nahwu
lebih dari itu, kaidah nahwu yang dikonstruksi oleh al-Qushayri> hendak
menawarkan penafsirannya ke dalam konteks teologis. Kajiannya
menawarkan konsep hibriditas antara tradisi keilmuan berbeda dalam
konteks ini adalah nahwu dan tasawuf. Ijtihad hibridasi ini, dinilai
mampu melahirkan gagasan inti bertendensi dogmatis teologis dan
berpretensi ideologis yang ia bangun. Namun demikian, terdapat
distingtif kajian Loango dengan peneliti yang akan dilakukan ini, bahwa
distingtif kajian Lango, di mana ia tidak mengulas secara utuh, aspek
ketasawufan yang sesungguhnya menjadi pemikiran inti al-Qushayri>.
karena ia lebih menekankan demensi paradigma esoteris, bukan semata
berkutat dalam konteks teologis Asy‘ariy>ah. Sementara menelisik doktrin
teologi Ash‘ari> dalam karya al-Qushayri>, nampak kontra produktif
dengan kasus atau wacana yang dikehendaki oleh sang-author. Mengingat
karyanya ini, lebih memfokuskan kajiannya tentang relasi nahwu yang
diinterpretasi ke dalam konsep tasawuf. Sedangkan antara tasawuf dan
teologi, sering terjadi tensi panas karena selalu terjadi diskursus antara
doktrin teologis dan konsep tasawuf, karena persepektif dari dua ilmu ini
memiliki konsepsi berbeda. Oleh sebab itu, penulis lebih menitik
beratkan kajian disertasi ini kepada relasi nahwu-tasawuf dalam
persepektif pemaknaan esoteris menurut al-Qushayri>. kajian peneliti,
menjadi pembeda dan distingsi dari kajian yang telah dilakukan Lango.
Kajian di atas, sedikit berbeda dari penelitaian yang dilakukan oleh
Martin Tran Ngunyen yang memfokuskan kajiannya tentang pertemuan
dan konstruksi tradisi intelektual al-Qushayri> dan interaksi sosial yang
ikut membentuk produk penafsirannya. Fokus kajian Ngunyen
29F. Dominic Longo, “Spiritual Grammar: A Comparative Theological
Study of Jean Gerson’s Donatus moralizatus and ʿAbd al-Kari>m al-Qushayri>’s Nah}w al-Qulu>b” (American: Harvard University, 2011), 43.
23
memusatkan terhadap tiga tema besar dalam tradisi interpretasi al-
Qur’a>n. Tiga tema pokok itu, teologi, wacana sufisme dan tradisi
interpretasi penulisnya. Nguyen menulis disertasinya berjudul the Confluence and Construction of the Traditions: al-Qushayri> (d. 465/1072) and the Intersection of Qur’anic Exegesis, Theology, and Sufism.30
Dalam penelitian Nguyen ini, lebih banyak menyoroti fakta dan dinamika
dari kronologi social historitas yang meliputi latar belakang kehidupan
al-Qushayri>, seperti konteks geopolitik, fenomena interaksi sosil berikut
serangkaian peristiwa dan momen penting di era al-Qushayri> hidup. Dari
persinggungan itu semua, telah memberi andil besar dan berpengaruh
kuat terhadap produk penafsirannya. Penulis sengaja banyak mengangkat
aspek sejarah dengan mengaitkan tiga wacana inti dari pada kajiannya
seperti tafsir, teologi dan sufisme yang tersimpan dalam pemikiran sang
aktor intelektual. Argumen Ngunyen lebih menyoroti fakta historis sebab
antara teks dan konteks tidak bisa dipisahkan, karena semuanya turut
mengkonstruk pemikran sang penulis. Hanya saja, dalam kajiannya
Nguyen tidak menyinggug karya al-Qushayri> berjudul “Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r” yang sesunggunya banyak memuat inti pemikiran sufisme.
Sementara, core studi al-Qushayri> lebih banyak memusatkan tentang
konsepsi tasawuf yang begitu unik dalam karyanya itu, dalam konteks ini
Nguyen tidak sedikitpun menggukan rujukan dari karya sang Sufi
tersebut. Sebab itu, penulis hendak mengkaji secara holistik dan
komprehensif dari pemikiran nahwu sufi versi al-Qushayri>.
Relevansi literature review di atas, ternyata ada beberapa karya
serupa dari karya yang pernah ditulis oleh selain al-Qushayri>. Hanya saja
terdapat distingtif fundamental dari wacana yang diketengahkan,
mengingat ditulis oleh ulama yang latar belakangnya dari kelompok
teolog. Ide dasar yang hendak dibangun adalah dengan menafsirkan
kaidah nahwu berwawasan doktrin ketauhidan. Konsep itu seperti yang
dijelaskan oleh Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Maymu>n ibn Abi> Bakr ibn Yu>suf
al-Ha>shimi> al-H{asani> al-Idri>si>. Melalui karyanya yang berjudul Risa>lah al-Maimu>nah fi> Tawhi>d al-Ajru>mi>yah ‘Ali> ibn Maymu>n berupaya
mengintegrasikan antara doktrin tauhi>d yang tersimpan dalam kaidah
nahwu.31 Pemikiran pokok yang dikemukakan oleh ‘Ali> ibn Maymu>n
tidak lain, hendak menguak konsep ketauhidan yang tak terkatakan (al-
30Martin Tran Ngunyen, the Confluence and Construction of the
Traditions: al-Qushayri> (d. 465/1072) and the Intersection of Qur’anic Exegesis, Theology, and Sufism (American: Harvard University, 2010), 29.
31Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Maymu>n ibn Abi> Bakr ibn Yu>suf al-Ha>shimi> al-
masku>t ‘anhu) yang termanifestasi dalam struktur kaidah nahwu, tentu
yang sebelumnya tak terpikirkan menjadi terpikirkan (anthinkable to thinkeble) yang dirumuskan oleh para teolog ini. Namun, setelah penulis
kaji karya ini, di antara tema-tema yang dikemukakan oleh penulis hanya
mengaitkan nilai dokmatis atau doktrin ketauhidan tanpa menjelaskan
demensi tasawuf yang terkandung dalam struktur kaidah nahwu. Gagasan
ini, tentunya yang membedakan dengan karya al-Qushayri>. Dengan
demikian posisi penulis lebih memfokuskan tentang relasi nahwu dan
tasawuf dalam konteks pemaknaan dari perspektif al-Qushayri>. Harus
diakui, bahwa terdapat difrensiasi fundamental konsep tasawuf dengan
doktrin tauhid. Sebagai contoh komplik dan perdebatan tentang konsep
wih}datu wuju>d, h}ulu>l, tajalli> dan konsep-konsep lainnya, yang dianggap
menyimpang dari subtansi ketauhidan oleh para teolog.
Konsepsi tauhid lewat artikulasi simbol-simbol kaidah nahwu, juga
disusun dalam karya Ibn ‘Aji>ba yang telah memberi ulasan atas karya
Maimu>n tersebut yang berjudul, Sharh} al-futu>h}a>t al-quddu>si>ya fi> sharh} al-muqa>dima al-A<jurru>mi>ya. Karya ini dimuat dalam Kita>b sharh} s}ala>t al-qut}b Bin Mashi>sh: Silsila>t Nu>raniyya Fari>da. Ed. Al-‘Umra>ni> al-Kha>lidi>
‘Abd al-Sala>m, 1999.32 Karya ini lebih detail menjelaskan tentang pesan
tauhid yang termuat dari seluruh tema besar yang dihadirkan dalam
struktur kaidah nahwu. Tetapi karena karya ini hanya merupakan sharh}
atau komentar dari karya ‘Ali> ibn Maymu>n. Hanya saja terdapat
perbedaan, karya ibn ‘Aji>ba ini, di mana karya ini memuat lebih
tersistematis sesuai dengan tema-tema yang tersusun dalam kaidah
nahwu. Hanya saja, karyanya tidak banyak menyinggung konsep tasawuf
karena ada kemungkinan pandangan ibn ‘Aji>bah lebih didominasi oleh
doktrin tauhid dibandingkan konsep tasawuf. Oleh sebab itu, penulis
mencoba menelisik relasi nahwu-tasawuf dalam perspektif al-Qushayri>,
lebih luas dan mampu menemukan konsep baru serta teori orasinalitas
linguistik yang menjadi core kajian lanjutan dalam penelitian disertasi
ini.
Sejalan dengan beberapa literatur review di atas, terdapat sejumlah
karya yang hampir serupa dengan pemikiran nahwu sufi al-Qushayri>,
pernah ditulis oleh ‘Izuddin ibn ‘Abd al-Sala>m bertajuk, Talkhi>s} al-‘Iba>rat fi> Nah}w Ahl al-Isha>rat.33 ‘Abd al-Sala>m dalam karyanya ini
mengemukakan gagasan kesufiannya lewat penafsiran atas kaidah nahwu
sebagai alat dalam menyampaikan konsep dan pemikiran tasawufnya.
Hanya saja, nahwu sufi versi ‘Abd al-Sala>m ini, tidak mengeksplor secara
mendalam dan tak menjelaskan lebih luas berdasarkan tematik dan
sistematik yang tersusun berdasarkan kasus-kasus yang tersusun dalam
kitab-kitab nahwu. Sekilas kajian ‘Abd al-Sala>m, memang terdapat
kesamaan dengan nahwu sufi versi al-Qushayri>. tetapi, terma-terma yang
digunakan berbeda, begitu juga penjelasan yang disampaikan lebih
singkat, sementara al-Qushayri> lebih mendalam dan sistematis. Dengan
demikian peneliti hendak mencari titik perbedaan dan sisi kesamaan pola
pemaknaan esoteris di antara karya-karya serupa yang pernah ditulis oleh
ulama tasawuf seperti al-Qushayri>.
Begitu juga pandangan yang hampir serupa dari karya-karya
nahwu sufi yang ditorehkan ulama di atas, adalah ‘Abd al-Qadi>r ibn
Ahmad al-Kuha>ni> dengan karyanya bertajuk “Mani>yatu al-Faqi>r al-Munjarid wa Sairu al-Muri>d al-Mutafarrid” dalam karyanya ini. Al-
Kuha>ni> membangun ide sufistiknya juga, dengan mengadopsi teks nahwu
untuk dimaknai kedalam wacana esoterik. Adapun tema seperti fa>‘l, maf‘u>l, mubtada khbar, s}ifat dan maus}uf. Hanya saja karya al-Kuha>ni ini,
masih terlihat begitu sedarhana dalam menafsirkan makna esoterik,
bahkan terkesan menyadur beberapa pendapat ulama tasawuf dari karya
serupa dengannya. Sehingga nilai orisilalitas pemaknaan esoterisnya,
yang dihadirkan kurang represntatif apabila dibandingkan dengan karya-
karya nahwu bergenre bathin. Hal itu, sebagaimana yang telah ditulis
oleh al-Qushayri>. untuk itu, penulis perlu memberi pemaknaan lebih
holistik dan kontruktif lewat penelitian yang dilakukan ini.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini murni studi kepustakaan (library research). Objek
material penelitian ini secara partikuler berkaitan dengan sumber-sumber
kepustakaan yang membahas masalah pokok dan sub-sub permasalah
yang telah dirumuskan. Karena subjek utama penelitian ini adalah
mengkaji teks nahwu perspektif tafsir esoteris al-Qushayri>, maka
diharapkan mampu merefleksikan pesan sufistik yang selama ini
tersembunyi dibalik teks nahwu yang bersifat simbolik (nah}w al-d}ha>hir). Ditinjau dari data dan jenis penelitian, penelitian ini termasuk jenis
penelitian kualitatif,34 karena menghasilkan data deskriptif.35 Dengan
34Lexy J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2007), 3.
26
demikian, secara umum memerlukan model pembacaan secara deskriptif-
analitik dengan langkah-langkah oprasional sebagai berikut: A)
Mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi obyek penelitian. B)
Membahas gagasan primer, yang pada dasarnya melakukan interpretasi
peneliti terhadap gagasan yang telah dideskripsikan. C) Melakukan “studi
analitik” yakni studi terhadap gagasan primer tentang semantik nahwu
tasawwuf dalam bentuk hubungan, dengan berlandaskan teori, metode,
dan pendekatan yang digunakan. Selanjutnya menyimpulkan hasil
penelitian.
2. Sumber dan Data Penelitian
Dalam proses penelusuran dan pengumpulan data penelitian,
penulis memfokuskan kajian ini bertumpu pada studi teks atau dokumen.
Terdapat dua Sumber yang digunakan dalam disertasi ini di antaranya
sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah karya-karya orisinalitas dari pemikiran
nahwu berwawasan tafsir tasawuf al-Qushairi> yang bertajuk Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r wa al-S{aghi>r. Argumen peneliti menjadikan karya ini
sebagai sumber primer, dikarenakan al-Qushayri> sebagai tokoh sentral
yang telah menuangkan gagasan briliannya dalam menyatukan tasawuf
dan nahwu, sekaligus sebagai tema sentral dari penelitian. Kasus yang
dijadikan objek penelitian adalah kaidah-kaidah nahwu yang
diinterpretasikan oleh al-Qushayri> dalam mengeksplorasi dan menggali
pesan tasawuf yang termanifestasi dibalik kaidah nahwu. Seluruhnya
penelitian ini, terangkum lewat antologi pemikiran nahwu sufi al-
Qushayri>.
Adapun sumber sekunder penelitian ini, tentu berkaitan dengan
kajian sejarah nahwu yang membahas tentang motivasi, orientasi dan
faktor-faktor pemaknaan melalui kaidah nahwu dan bagaimana titik awal
persinggungan dan pergumulan kaidah nahwu yang ditafsirkan kedalam
tasawuf tersebut. Karya tersebut, seperti Takhli>s} al-‘Iba>rah fi> Nah}w Ahl al-Isha>rah karya ‘Izz al-Dīn aL-Maqdisi, Sharh} al-futu>h}a>t al-Quddu>si>ya fi> Sharh} al-Muqa>dima al-A<jurru>mi>ya karya Ibn ‘Aji>ba, ‘Ali> ibn Maimu>n
Risa>lah Maimu>nah fi> al-Tauh}i>d al-Ajurru>mi>ya karya Ahmad Mukhtar;
Ta>ri>kh al-Nah}w al-‘Araby fi> al-Mashriq wa al-Maghri>b, Karya
Muhammad bin Hasan al-Zubaidi T{aba>qa>t al-Nah}wiyi>n wa al-
35Bogdan dan Taylor mendefinisikan jenis penelitian kualitatif dan
prosedurnya adalah sebagai suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis dari objek yang diamati. Lexy J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, 4.
27
Lughawiyi>n. Di samping itu, terdapat karya-karya sekunder lainnya yang
berkaitan dengan jurnal-jurnal yang mengkaji nahwu dan tasawuf oleh
sarjana Barat, sebagai perbandingan untuk lebih memperdalam dan
mengeksplorasi demensi interkoneksi dan intertekstualis antara nahwu
dan tasawuf. Karya semisal Francesco Chiabotti, “Nah}w al-Qulu>b al-S{agi>r: La grammaire des coeurs de Abd al-Kari>m al-Qushayri>: Presentation et annotee”, ditulis oleh Tamas Ivanyi, “Towards a Grammar of the Hearts: al-Qushayri’s Nah}w al-Qulu>b”. Sedangkan
karya-karya serupa dengan gagasan al-Qushyari> yang memaparkan aspek
tasawuf lewat teks nahwu, dinilai layak sebagai sumber pendukung yang
refresentatif. Hal itu, khususnya yang masih menjadi wacana menarik
layaknya, Talkhi>s} al-‘Iba>rah fi> Nah}w al-Isha>rah karya ‘Izuddin Ibn Abi>
Sala>mah, Risa>lah al-Maimu>nah fi> Tauh}i>d al-Juru>mi>yah adalah karya Ibn
Maimu>n, Futu>ha>t al-Qudu>si>yah fi> Sharh} al-Muqaddimah al-A<juru>mi>yah karya Ibn ‘Aji>bah. Karya-karya itu, oleh sebagian masyarakat akademis
menjadi diskursus menarik untuk diteliti dalam ranah akademik. Karya
al-Qushayri> dalam bidang tafsir, tasawuf dan tauhi>d semisal, Lat}a>if al-Isha>rah, Risa>lah al-Qushairiyyah fi ‘Ilm al-Tas}awuf, Tah}bi>r fi al-Tadhki>r,. Karya Ibra>hi>m Basyu>mi> Ima>m al-Qushairi>: H{aya>tuhu wa Atha>ruhu fi ‘Ilm al-Tasawuf.
3. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan sumber dan data yang digunakan dalam disertasi ini,
maka penelitian ini murni penelitian kepustakaan (Library Research).
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa
pendekatan sesuai dengan jenis data yang diteliti di antaranya:
A. Pendekatan linguistik (al-madkhal al-lughah), mekanisme
oprasional dalam pendekatan ilmu linguistik berfungsi untuk menjelaskan
dan menyingkap dua aspek yang terdapat dalam kaidah nahwu yaitu
fenomena dan nomena dari realitas struktur kaidah nahwu. Dengan
mengadopsi teori yang diperkenalkan oleh Chomsky yang disebut
transformatif generative. Teori ini merupakan representatif dari pada
teori linguistik yang dibangun olehnya, seperti setruktur lahir sebagai
performansi penutur bahasa (surface structure) dan setruktu batin atau
gagasan dan ide inti dari sang-penutur bahasa (deep structure) yang
masih abstrak dan tersimpan dalam bentuk ide serta pemikiran.36
36Terbagunya toeri transformasi generatif oleh Chomsky ini,
sesungguhnya suatu dimensi tak terkatakan atau pembungkaman bahasa yang
terbentuk dalam kategori kompetensi dan performansi. Kemampuan atau
kompetensi representasi dari deep structure (bahasa yang masih berbentuk hanya
ide/pikiran). Sementara aktualisasi atau performansi disebut surface strucutre
28
Orientasiya adalah memaparkan argumen rasional, upaya menemukan
teori dan menangkap pesan sufistik yang terjalin dalam intertekstual dan
interkonektif antara struktur kaidah nahwu dan dimensi esoteris berupa
manifestasi pesan mistisme. Fungsinnya menangkap makna secara
mendalam, baik aspek yang bersifat idiologis berupa pesan sufistik dan
orientasi teologis yang terjalin melalui relasi antarkata dan kalimat dalam
memahami relasi fenomena serta nomena dari kaidah nahwu tasawuf.
B. Pendekatan semiologi versi Roland Barthes tentang lapisan
makna yang diproduksi, terdiri dari denotatif dan konotatif (‘ilm al-si>ma>’yah).37 Semiotik Barthes ini berfungsi untuk menggali dan
menyingkap lapisan makna yang selama ini tak terkatakan (al-masku>t ‘anhu), yang mana dibalik lahiriyah struktur teks kaidah nahwu, memiliki
sebagai teks terdiri dari huruf, kata-kata, selanjutnya dirangkai menjadi
kalimat oleh unsur-unsur. Sementara itu, kalimat sebagai ekspresi
kebahasaan yang mengandung pernyataan, gagasan atau pesan. Oleh
(bahasa yang mengaktual dalam aplikasi nyata). Dalam proses generatif inilah,
pada dasarnya dibutuhkan fungsi semiologi atau peran semiotik untuk
menciptakan sintaksis-sintaksis yang berbentuk bunyi, makna dan pesan yang
dapat menyibak maksud atau tujuan dasar dari setiap aspek dari fenomena
bahasa. Noam Chomsky, Syntactic Structures (Berlin and New York: Mouton de
Gruyter, 2002), 26. 37Teori tentang mental bahasa dimaksud adalah menjelaskan dimensi
kedalaman makna atau inner word, yang pada dasarnya telah sejak lama dibahas
dalam tradisi pemikiran filsafat bahasa, khususnya berkaitan dengan teori
penafsiran hermeneutik. Seperti teori yang digagas oleh Roland Barthes yang
melihat fenomena keilmiahan bahasa terdiri dari dua lapisan, lapisan pertama.
Denotativ dan lapisan kedua. Konotatif. Teori Barthes ini diafirmasi oleh Poul
Ricoeur yang mengatakan bahwa suatu teks atau statemen yang telah dikatakan
atau ditulis oleh sang pengarang, menjadi tidak terikat lagi dari otoritas sang
pemilik teks, alias menjadi teks otonom sebab telah terlepas dari kuasa sang
pengarang. Untuk itu, dalam konteks ini Barthes memfostulatkan tentang konsep
“matinya sang pengarang” (the death of author), maka konsekuensi logisnya
bahwa produk teks, karya, atau ungkapan tersebut menjadi “bebas” untuk
ditafsirkan oleh setiap pembaca sesuai dengan orientasi wacana yang hendak dia
bangun. Demikian, karena ia telah menjadi teks independen (nas}s} mustaqillun).
Lebih jelas baca, Karl Sims, Poul Riceour (New York: Routledge, 2003), 41-43.
Roland Barthes, Image, Music, and Text, Translated by Stephen Heath (New
York: Hill and Wang, 1977), 142. Bandingkan dan lebih jelas baca karya Benny
H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sander Peirce, Marcel Danesi & Paul Perron, dll (Depok: Komunitas Bambu, 2008), 97-98.
29
karena itu, penulis menggunakan pendekatan semiotik Barthes, untuk
mengidentifikasi pesan, motif, ide, motivasi, dan orientasi dari gagasan
yang terkandung pada struktur kaidah nahwu sufi yang dikonstruksi oleh
al-Qushayri>. Semua itu, terangkum dalam relasi teks kaidah nahwu
dengan tasawuf yang melahirkan paradigma baru yaitu nahwu bercorak
sufistik. Singkatnya dalam pandangan Fahmi Hijazi> bahwa pendekan
ilmu bahasa adalah studi tentang fenomena bahasa secara ilmiah.38
C. Kerangka Teoritis yang diadopsi dalam penelitian ini adalah
teori post strukturalisme, kususnya gagasan inti tentang studi fenomena
linguistik. Teori tersebut salah satu yang dikembangkan oleh Noam
Chomsky secara mutakhir, di mana ia memfokuskan studinya tentang
mental bahasa. Dalam teori ini, Chomsky berpendapat bahwa tidak ada
gagasan koheren tentang bahasa secara eksternal dalam pikiran manusia.
Karena itu, studi tentang bahasa harus memfokuskan kajianya meliputi
konstruk mental bahasa yang merupakan pengetahuan atau informasi inti
seseorang tentang bahasa. Oleh karena itu, bahasa manusia adalah
representasi dari pemikiran psikologis dan gagasan subtantif dibalik teks
atau ucapan yang bersifat simbolis. Semua unsur kebahasaan itu, pada
akhirnya menurut Chomsky merupakan objek biologi yang dapat dikaji.
Dalam konteks wacana perkembagan ilmu linguistik, demikian harus
dianalisis dengan menggunakan metodologi ilmu linguistik secara ilmiah,
layaknya ilmu alam yang bersifat empirik seperti biologi, fisika atau
eksak dan lain sebagainya.39
Teori mental bahasa Noam Chomsky, nampak sejalan dengan teori
post-strukturalisme. Teorinya menyatakan bahwa sesuatu yang eksis atau
wujut yang berbentuk ucapan dan tulisan yang terlahir dari pemikiran
manusia, tidak sekedar merefleksikan sesuatu yang bersifat lahiriyah atau
demensi fenomenologis semata. Tetapi sebaliknya, sesuatu bersifat
realitas yang tampak terlihat oleh mata secara simbolik, maka
sesungguhnya memiliki aspek nomena atau nilai subtansi dibalik teks
yang awalnya bersifat lahiriyah. Dalam konteks ini, penulis berasumsi
bahwa aplikasi teori mental bahasa yang dirumuskan oleh Chomsky,
begitu relevan untuk dioprasikan dalam penelitian disertasi ini.
Konkritnya, apabila teori mental bahasa diaplikasikan untuk menyoroti
relasi nahwu dan wacana tasawuf, yang mana selama ini kaidah nahwu
hanya diasosiasikan oleh sebagian komunitas akademik, fungsinya hanya
sebagai alat untuk mengatur struktur kalimat agar mampu berbahasa
38Mahmu>d Fahmi Hija>zi>, Madkhal Ila ‘Ilm al-Lughah (Kairo: Da>r al-
Quba’, t.t), 17. 39Noam Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind
(New York: Cambridge University Press, 2000), 29.
30
dengan benar baik lisan dan tulisan. Ternyata sebaliknya, bahwa kaidah
nahwu terkandung pesan sufistik sebagai hasil pemaknaan yang
merefleksikan aspek filosofis yang oleh al-Qushayri> disebut dari dimensi
yang tak terkatakan (al-ittija>h}a>t al-nas}s} al-masku>t) dari kaidah nahwu.
4. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari enam bab. Adapun bab pertama meliputi
pembahasan dari langkah-langkah penelitian seperti: penelitian yang
mencakupi mulai dari permasalahan (identifikasi masalah, pembatasan
masalah, dan perumusan masalah), penelitian terdahulu yang relevan,
tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penelitian.
Bab kedua berisi kerangka konseptual, teori, dan argumen-argumen
yang dijadikan landasan oleh mayoritas ahli tasawuf ketika menafsirkan
kaidah nahwu yang melahirkan nahwu bercorak nahwu sufistik. Untuk
itu, dalam bab ini penulis penting menyajikan perdebatan seputar relasi
kaidah nahwu versus tasawuf, kerangka teoritis linguistik, diskursus
antara fenomena dan nomena semiotika perspektif teoritis, pembacaan
awal atas nahwu sufistik semiotik struktural: relasi teks, makna dan
pembaca dalam struktur nahwu tasawuf orientasi semiotik struktural
dalam penafsiran nahwu Sufistik wacana ganda nahwu sufi: dialektika
antara makna lahiriah dan batiniah. Bab ini penting dimulai dengan
tinjauan umum mengenai teori dan metode para ahli nahwu dalam
merumuskan kaidah nahwu sebagai dalil normatif dalam pola pemaknaan
esoteris yang dihadirkan.
Bab ketiga mengulas argumentasi penggunaan nahwu dan
menyoroti biografi al-Qushayri> secara utuh, pembahasan biografi
meliputi latar belakang intelektual, dinamika sosiokultural dan karya
intelektual al-Qushayri> serta menyoroti pemikiran linguistik yang
berkaitan dengan ilmu nahwu. Pada bab ini penting dijelaskan, untuk
mengenal reputasi al-Qushayri> dan kapasitas keilmuan dengan
menelusuri dinamika yang meliputi saat ia tumbuh.
Bab keempat menyajikan tentang paradigma pemaknaan eksoteris
menuju pesan esoteris, relevansi antara teks-konteks-makna, refleksi
moral spiritual filosofis sintaksis-sufistik, signifikansi pesan harmoni
nahwu dan tasawuf. Semua pembahasan ini, sebagai aplikasi dari
semiosis yang diformulasikan al-Qushayri> mencakup sejumlah tema
kaidah nahwu berikut ini: Intertekstual nah}w al-z}a>hir dan nah}w al-ba>t}hin: Eksplorasi makna Tasawuf kala>m mufi> dan makna tasawuf ghair al-mufi>d. Refleksi semantik esoterik dalam Sintaksis bergenre sufistik. Ekstraksi makna tasawuf melalui ism, fi‘il dan h}urf: menyibak tafsir
tasawuf dalam ism, menyibak tafsir tasawuf lewat fi‘il, menyibak tafsir
31
tasawuf melalui hurf. Signifikansi Pesan ssoterik mu‘rab dan mabni>: pesan esoteris pada mu‘rab, pesan esoterik pada mabni>. Manifestasi
makna esoteris dibalik simbol nahwu: fa>‘il wa Anwa>‘uha>, maf‘u>l wa ‘anwa>‘uha>, na‘t wa man‘u>t, h{a>l, al-badal wa ‘anwa>‘uha>, al-ta‘jub, al-tamyi>z, al-‘at}af, tauki>d, ism ma> yuns}arif wa ma> la> yuns}arif. Pada bab
yang dipaparkan tersebut, penulis penting untuk mengeksplorasi secara
detail dan mendalam untuk mengetahui orientasi utama semantik al-
Qushayri> dan seperti apa titik temu secara subtantif tentang relasi
paradigmatik lewat intertekstualis dan interkonetif antara nahwu dan
tasawuf terjalin.
Bab kelima pembahasan tentang relevansi dan signifikansi dari
hasil aplikasi semiotik esoterik yang terkandung dalam karyanya al-
Qushayri> nah{w al-qulu<b al-kabi<r al-Qushayri> yang mana penulis berupaya
mengaitkan tentang internalisasi konsep tasawuf h}aqi>qatu al-tauh}i>d,
tazkiyat al-nufu>s, tas}fi>yat al-qalu>b. Selanjutnya penulis memaparkan
bagaimana aktualisasi pesan moral spiritual tasawuf, al-zuhu>d, a-mah}abba. Begitu juga penulis penting memaparkan tentang paradigma
integratik nahwu tasawuf dalam konteks pendidikan bahasa arab, yang
ditarik ke dalam tema-tema besar yang menyoroti epistimologi mikro
dalam kajian linguistik sintaktikal. Bab kelima ini, penting diulas penulis
secara detail, tujuannya untuk melihat relevansi dan signifikansi dalam
konteks kekinian dan sebagai kontribusi nyata baik dalam tatanan
akademik khususnya dan masyarakat umumnya.
Bab keenam penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian dan