Top Banner
KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU>< B KARYA AL-QUSHAYRI> (w.465/1072)DISERTASI Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Promosi Oleh: Lukman Sumarna 31141200000043 Pembimbing: Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA Prof. Dr. Sukron Kamil, MA KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019
44

KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

Nov 11, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B

KARYA AL-QUSHAYRI> (w.465/1072)”

DISERTASI

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Promosi

Oleh:

Lukman Sumarna

31141200000043

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA

Prof. Dr. Sukron Kamil, MA

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019

Page 2: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B

KARYA AL-QUSHAYRI> (w.465/1072)”

DISERTASI

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Promosi

Oleh:

Lukman Sumarna

31141200000043

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA

Prof. Dr. Sukron Kamil, MA

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019

Page 3: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawa ini:

Nama : Lukman Sumarna

NIM : 31141200000043

Tempat/Tgl. Lahir : Sungailiat, 18 November 1984

Alamat : Jln. SDN. Inpres No. 11. Pisangan Barat

Ciputat Tangsel

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi berjudul:

“Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”

Adalah benar merupakan karya asli penulis, terkecuali kutipan-kutipan

yang dicantumkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan

kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Demikan surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Jakarta, 26 Desember 2018

Penulis

Lukman Sumarna

Page 4: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

vi

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi saudara Lukman Sumarna, berjudul “Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”,

telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk dimajukan pada Ujian

Promosi.

Jakarta, 26 Desember 2018

Pembimbing, I.

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.

Page 5: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

vii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi saudara Lukman Sumarna, berjudul “Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”,

telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk dimajukan pada Ujian

Promosi.

Jakarta, 26 Desember 2018

Pembimbing, II.

Prof. Dr. Sukron Kamil, MA.

Page 6: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

viii

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Disertasi yang berjudul: “Kajian Semiotik atas Nah}w al-Qulu>b Karya Al-Qushayri> (w.465/1072)”, ditulis

oleh Lukman Sumarna NIM: 31141200000043 telah

dinyatakan lulus ujian pendahuluan yang diselengarakan

pada hari Jum’at 26 Oktober 2018.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan

komentar para penguji sehingga disetujui untuk diajukan

ke ujian disertasi promosi.

Jakarta, 26 Desember 2018

Tim Penguji:

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1 Prof. Dr. Masykuri Abdillah

(Ketua Sidang/merangkap penguji)

2 Prof. Dr. Azizi Fachrrurozi, M.A

(Penguji 1)

3 Prof. Dr. Zainun Kamaludin Fakih, M.A

(Penguji 2)

4 Prof. Dr. Satori Ismail, MA

(Penguji 3)

5 Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.

(Pembimbing/merangkap penguji)

6 Prof. Dr. Sukron Kamil, MA.

(Pembimbing/merangkap penguji)

Page 7: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

viii

ABSTRAK

Disertasi ini berupaya menganalisis semiosis perspektif kaum sufi melalui

teks nahwu, orientasi utama semiotiknya, dan pesan esensial yang dihadirkan.

Adapun sumber primer penelitian ini adalah Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r dan Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>. Penelitian ini termasuk kajian kepustakaan

bersifat kualitatif. Pembacaan yang digunakan dengan pendekatan semiotik

Roland Barthes tentang denotasi dan konotasi. Penulis juga menggunakan teori

linguistik Noam Chomsky berkaitan dengan mental bahasa yang dikenal dengan

teori transformatif generatif tentang surface structure dan deep structure.

Disertasi ini membuktikankan bahwa ekstraksi pesan esoteris melalui

simbol kaidah nahwu oleh sufi, didasarkan atas nalar probabilitas bahasa Arab

yang meniscayakan multiplisitas makna pada setiap teks. Penelitian ini

menunjukkan bahwa pesan esoteris dari produk interpretatif ini bersifat subjektif,

sebagai ekspresi atas dominasi paham mistis pengarang. Semiotik berwawasan

sufistik ini, merupakan orisinalitas gagasan kreatif sebagai pesan moral spiritual

dan orientasi esensial semiotik yang dieksplorasi oleh penggagas utamanya.

Penelitian ini mendukung pandangan Ramzi Baalbaki (2008), menyatakan

bahwa kajian yang memadukan nahwu dan tasawuf sesungguhnya pemikiran

kreatif (creative mind) pertama yang mengelaborasi tata bahasa dengan ide

kesufian. Tesis Tamas Ivanyi (2006), menyimpulkan bahwa konfigurasi tata

bahasa Arab kedalam pemaknaan sufistik yang diformulasikan master sufi adalah

metamorfosis fungsi ganda dari fenomena eksoteris menuju dimensi esoteris. F.

Dominic Longo (2011), yang menegaskan bahwa kajian tentang spiritual grammar

telah membangun interkonektif antara doktrin mistis dan kaidah nahwu yang

semuanya, berangkat dari struktur realitas tata bahasa dan pengalaman spiritual

master sufi. Melalui interpretasi intuitif bebasis metaporis yang terlahir dari

percampuran tata bahasa dan ajaran agama pengarangya dalam satu elemen.

Pandangan Francesco Chiabotti (2009), melihat integrasi grammar Arab dan

perspektif sufi telah membuka harizon baru dalam kajian tata bahasa Arab,

khususnya berkaitan dengan metalinguistik. fenomena kaidah nahwu yang

ditafsirkan ulama sufi berangkat dari pengakuan “karakter suci” sebagai

keistimewaan bahasa Arab, yang berimplikasi terbentuknya leksikon yang

memproduksi terminlogi partikuler dalam tradisi sufistik.

Penelitian ini tidak sependapat dengan Kees Versteekh (2000), Ami>n al-

Khu>li> (1995) dan M. J. Carter (1997). Versteekh menilai bahwa nahwu adalah

epistem yang statis karena adanya ketertutupan hubungan (clos relation) terhadap

epistem yang lain. Sedangkan Amin al-Khu>li, berpandangan bahwa ilmu nahwu

salah satu epistemlogi yang telah tuntas dan mapan karena konstruk kaidahnya

dianggap telah sempurna. Adapun M. J. Carter, berpandangan bahwa fokus kajian

nahwu dan tasawuf sangat berbeda karena dua disiplin ilmu ini bersifat

independen, maka pemaknaan esoteris terhadap teks nahwu merupakan produk

penafsiran bersifat ambigu dan terkesan pemaknaan yang absurd. Hal itu, karena

adanya pemaksaan interpretasi atas teks kaidah nahwu hanya untuk tujuan

legitimasi atas doktrin kesufian.

Kata kunci: nahwu, tasawuf, semiotik, esoteris dan eksoteris

Page 8: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

ix

الملخص

هذه الأطروحة هدفها كشف المعاني الخفية عند الصوفيين من خلال النصوص

لهذه أساسي وأما المراجع النحوية، واتجاهاتها السيميائية، والحِكَم الأساسيةّ الظاهرة فيها.الأطروحة فشاملة على كتابي "نحو القلوب الكبير" و "نحو القلوب الصغير" للقشيري.

وهذه الأطروحة تعتبر الدراسة المكتبية الوصفية . وأما المقاربة المستخدمة فهي مقاربة

( و المفهوم denotation) منطوقالتي تبحث عن معنى ال Roland Barthesسيميائية (connotationوه .) ذه الأطروحة مبنية على نظريةNoam Choamsky التي تتعلق

( التي تفرق generative transformative theoryبالروحانية اللغوية التي تشتهر ب )

بين البنية السطحية والبنية العميقة للغة.: إن استخراج الصوفيين للمعاني الخفية من رموز ثبتهذه الأطروحة ت نتيجةو

النحوية، مبني على خصيصة العربية باعتبارها لغة حمالة الوجوه. والمعاني الخفية القواعد

التي تؤخذ من المنتوج التفسيري تعد أشياء ذاتية من فهم صاحب الكتاب لرموز القواعد النحوية فهما غيبيا. ومثل هذا الفهم الغيبي عبارة عن النظر الفلسفي من الفكر الإبداعي

ية واتجاهات سيميائية أساسية التي أخرجها صاحب الكتاب.ليكون حِكَما روحان

وهذه الأطروحة تدعم رأي رامزي بلباكي الذي يقول : إن الدراسة التي تجمع النحو والتصوف عبارة عن الفكر الإبداعي الأول الذي يجمع القواعد النحوية بالأفكار الصوفية.

اعد النحوية إلى المعاني الصوفية تقول: إن توجيه القو Tamas Ivanyi (2006)ونظرية

.Fالذي فعله الصوفي يحمل الوجهين من الظاهرة الملموسة إلى البعُد الخفي. وأما Dominic Longo فيؤكد أن الدراسة النحوية الروحانية تبني جسورا بين الأفكار الإشارية

ارب الروحانية والقواعد النحوية التي تنطلق من البناء الواقعي للقواعد النحوية والتج

للصوفي، وذلك من خلال التفسير الإشاري المبني على المجازات المستخرجة من القواعد فيرى أن التداخل بين Francisco Chiabottiاللغوية والتعاليم الدينية في بناء واحد. وأما

ك الذي القواعد العربية والأنظار الصوفية يفتح مجالا جديدا في الدراسة اللغوية، خاصة ذل

(. والظاهرة النحوية "التي فسرها الصوفيون" تنطلق من Metalinguisticله علاقة ب )الاعتراف "للذات المقدسة" باعتبارها مزية العربية، وهذا يؤدي إلى ظهور الوحدات

المعجمية الجزئية في العادة الصوفية.

و Amin al khuli و Kees Versteekhأطروحة رفضوهذه الأطروحة تM.J Charteer وأما ،Versteekh فيقول إن النحو مبدأ ثابت بوجود الحجاب بينه وبين

بأن علم النحو يعتبر مبدأ نهائيا ثابتا بالنظر Amin Al-Khuliالمبادئ الأخرى. وأضاف

يرى أن تخصص علم النحو وتخصص M J Charteerإلى قواعدها الكاملة. وأما ، لأن كل واحد منهما غني عن الآخر. وبناء على ذلك، التصوف يختلفان تمام الاختلاف

تعتبر المعاني الخفية المستخرجة من النصوص النحوية أشياء لا قيمة لها. لأن تفسير القواعد

النحوية بهذا الشكل يعتبر تجاوزا، من أجل تبرير الأفكار الصوفية المعينة.

.السيميائية و، الصوفى، المنطوق، المفهوم، النحوالكلمات الأساسية:

Page 9: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

x

ABSTRAK

This research aims to analysis how purport esoteric the sufis through text

nahwu, orientation semiotic main, and the message essential of semiotic that

identified by sufi. The primary source of data in this research is Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r and Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r Al-Qushayri’s work. This research including of

the study of literature that qualitative. The reading of a data was used with approach

semiotic Roland Barthes both denotasi and connotation. And was applayed the theory

of linguistics Noam Chomsky that pertaining to mental language known as the theory

tranformatif generative about surface structure and deep structure.

This study concluded that extraction message esoteric through a symbol rules

nahwu formulated by sufi based on probability of Arabic language who proved a

multiplicity of the meaning of any text. Esoteric message in the product interpretative

this is a subjective, as an expression of domination understand mystical author.

Semantics sufistik it is philosophical originality reflection of creative ideas as a moral

message spiritual and orientation essential of semantics that explored by author.

This research supported the Ramzi Baalbaki’s view (2008), who stated that

study whose combined nahwu and tasawuf is a really creative ideas first who

combined nahwu and tasawuf. The Tamas Ivanyi’s thesis (2008), who concluded that

configuration of nahwu into sufistik purport who formulated sufi master is a dual

function of metamorphosis from penomena eksoteris to esoteric dimension. F

.Dominic Longo (2011) stressed that the study about spiritual grammar have built

interkonektif between the doctrine mystical and nahwu which all it, comes from the

structure of reality grammar and spiritual master sufi experience. Through the

interpretation intuitive and metaporis based who come from commingling grammar

and religion doctrine in one element. Francesco chiabotti’s views (2009), who sees

integration grammar Arab and persepektif sufi has opened new harizon of study the

Arabic language, particulary in connection with the metalinguistic. The phenomenon

of rule nahwu that was interpreted by sufi comes from the recognition of sacred

character as Arabic language, which is potential formed its lexicon producing

terminlogi sufistik in the tradition of the special.

This research disagree with Kees Versteekh (2000), Ami>n al-Khu>li> (1995) and

M. J. Carter (1997). Versteekh Consider that nahwu as a static of episteme, because

that it close relation another of epistemology. While Amin al-khuli views that the

science nahwu one of epistemlogy that has been going and established, because the

principle of counstruc was considered to have been perfect. But M .G. Charter views

that focus of study nahwu and tasawuf very different for two discipline this science

independent, so that purport to text nahwu esoteric Is the product interpretation is

ambiguous and impressed purport an absurd. Because there is an coercion

interpretation of the text rule nahwu merely for the purpose of legitimacy of the

doctrine sufi.

Key Words: grammar, esoteric, exsoteric, sufsm and semiotic.

Page 10: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t{ = ط

z{ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

Vokal Pendek : a = ´ ; i = ِ ; u = ِ

Vokal Panjang : a< = ا ; i> = ي ; ū = و

Diftong : ay = ا ي ; aw = ا و

______________

Page 11: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

TRANSLITERASI v

DAFTAR ISI vii

BAB I: PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 16

C. Perumusan Masalah 18

D. Pembatasan Masalah 18

E. Tujuan Penelitian 19

F. Manfaat/Signifikansi Penelitian 19

G. Penelitian Terdahulu yang Relevan 20

H. Metodologi Penelitian 25

1. Sumber Data 25

2. Data Primer dan Data Skunder 26

3. Pendekatan dan Teori Penelitian 27

J. Sistematika Penulisan 30

BAB II: DISKURSUS SEMIOTIK DALAM WACANA KEBAHASAAN

A. Perdebatan fenomena dan Nomena Perspektif Teori Linguistik 34

B. Semiotika Sebagai Landasan Teoritis 41

1. Konsepsi Semiotik 41

2. Singnifikansi dan Fungsi Semiotik 42

C. Konstruk Semiotik Struktural: Dialektika Teks, Makna dan Pembaca 49

D. Basis Pemaknaan Esoteris dan Orientasi Semiotik 55

E. Multiplisitas Makna Nahwu Transformasi Makna Lahir Pada Makna

Batin 59

BAB III: ARGUMENTASI DAN DINAMIKA KEILMUAN Al-

QUSHAYRI< MEMAKNAI NAHWU DALAM ASPEK

ESOTERIS

A. Konteks Sosiohistoris dan Transformasi Intelektual al-Qushayri> 65

B. Perjumpaan Nahwu Dan Tasawuf 75

C. Argumentasi dan Basis Nahwu Tasawuf al-Qushayri> 80

D. Distingsi Dan Kategori Nahwu Sufi: 89

1. Nahw al-Qulu>b al-Kabi>r 89 2. Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r 92

E. Otoritas Pemaknaan dan Pendekatan Isha>ri> dalam Nahwu Bathin 93

BAB IV: KAJIAN SEMIOTIK DAN ORIENTASINYA PERSPEKTIF

MAKNA ESOTERIS AL-QUSHAYRI<<

Page 12: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

viii

A. Dialektika Nah}w al-Z{a>hir dan Nah}w al-Ba>t}hin 100

1. Eksplorasi Makna Esoteris Kala>m Mufi>d dan Ghair al-Mufi>d 100 B. Ekstraksi Makna Esoterik pada Ism, Fi‘il dan H{urf 112

1. Menyibak Makna Esoteris Nomina (Ism) 114

2. Menyibak Makna Esoteris Verba (Fi‘il) 124

3. Menyibak Makna Esoteris Fonem (H{urf) 140

C. Ekstraksi Pesan Esoterik Mu‘rab dan Mabni> 143

1. Pesan Esoterik Dinamis (Mu‘rab) 144

2. Klasifikasi Identitas dan Karakteristik Mu‘rab 152

D. Manifestasi Makna Esoterik dibalik Simbol Nahwu 157

1. Subjek dan Variannya (Fa>‘il wa Anwa>‘uha>) 158 2. Objek dan Variannya (Maf‘u>l wa Anwa>‘uha)> 160 3. Adjektif (Na‘t wa Man‘u>t) 162 4. Situasional (H{a>l) 166 5. Pengganti (Al-Badal wa ‘Anwa>‘uha>) 169 6. Kekaguman (Al-Ta‘jub) 174 7. Difrensiatif (Al-Tamyi>z) 177 8. Konjektif (Al-‘At}af) 181 9. Imperesi (Tauki>d) 187 10. Nomina Generatif (Ism Ma> Yuns}arif wa Ma> La> Yuns}arif) 193

BAB V: RELEVANSI DAN SIGNIFIKANSI SEMIOTIK ESOTERIS

NAH{W AL-QULU<B AL-QUSHAYRI< A. Internalisasi Konsep Tasawuf 201

1. Haqi>qatu al-Tauh}i>d 202 2. Tazkiyat al-Nufu>s 214 3. Tas}fi>yat al-Qulu>b 226

B. Aktualisasi Pesan Moral Spiritual Tasawuf 236

1. Spirit Kesalihan sosial 237 2. Al-Zuhu>d 244 3. Al-Mah}abba 248

C. Paradigma Integratik Nahwu Tasawuf Dalam Pendidikan Bahasa Arab

1. Sintaksis 256

BAB VI: PENUTUP 271

A. Kesimpulan 271

B. Rekomendasi 273

DAFTAR PUSTAKA 275

Page 13: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

M. J. Carter menilai ijtihad semiosis yang diformulasikan sebagian

para sufi, menimbulkan produk pemaknaan absurd, karena terkesan

memaksakan suatu penafsiran atas struktur teks nahwu ke dalam dimensi

tasawuf yang tidak ada relevansinya.1 Pemaknaan esoteris absurd tentang

yang diformulasikan para sufi, menimbulkan problem pemaknaan

tersendiri, mengingat paradigma dari konstruk tasawuf dan nahwu, secara

basis ontologis dan aksiologis memiliki difrensiasi fundamental. Tasawuf

distingsi keilmuannya menekankan dimensi esoteris, sedangkan nahwu

peran sentralnya hanya berfungsi sebagai ilmu alat yang memfokuskan

kajiannya terhadap epistemologi yang saling kompatable.

Relasi paradigmatik konstruk nahwu terhadap epistem yang

kompatable seperti, eksegetik al-Qur’a>n, stilistika/bala>gah, metric, us}u>l al-nah}w, morfologi dan semantik adalah varian ilmu yang memang

bersifat senyawa dan linier.2 Berdasarkan argumen tersebut, menurut

1M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical

Grammar or Grammatical Mysticism? A S{u>fi> Commentary on The Ājurrūmiyya’

dalam “Festschrift for Werner Diem” (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997),Vol.

IX, 24. 2Interkonektifitas linguistik Arab sebagai sumber makro linguistik yang

pada gilirannya meretas sub sistem bahasa yang bersifat otonom seperti

sintaksis, morfologi, semiotik dan fonologi dianggap disiplin ilmu mikro

linguistik yang mengalami progresifitas pada sisi epistemologi linguistik Arab,

yang akhirnya menjadi ilmu yang mapan. Namun perlu dicatat, ijtihad integrasi

seperti ini telah banyak dilakukan sarjana kontemporer di antaranya oleh ulama

usu>l fiqh dan us}u>l nah}w dan sarjana linguis kontemporer seperti Ramzi Baalbaki,

Tamma>m Hassa>n, Shauqi> D{haif, A<tif Fadl. Layaknya A<tif dengan melakukan

pemetaan terminologi tentang relevansi konsep us}u>l nah}w dan dalil us}u>l al-fiqh}. A<tif membandingkan proses istinba>th salah satu dalil istis}h}a>b antara nahwu dan

us}hul al-fiqh. Dalam pandangan A<tif ada kaesamaan –tidak berarti sama secara

identik- dalil istis}h}a>b antara nahwu dan fiqh dari aspek penarikan kesimpulan

hukum keduanya. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitiannya melihat fiqh

dan nahwu memiliki hubungan yang simbiosis mutualisme, sebab saling

membutukan dan membangun satu dengan yang lainya. Fiqh tidak terlepas dari

kaidah-kaidah bahasa Arab yang menggunakan analisis bahasa, maka dengan

analisis nahwu dapat menetapkan dan menjawab suatu hukum berbagai

permasalahan yang ada dalam ilmu ushul al-fiqh dengan pendekatan bahasa atau

perangkat kaidah nahwu. Lebih jelas lihat komunitas akademik yang

menghubungkan tata bahasa Arab dengan disiplin ilmu yang lain di antaranya,

Page 14: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

2

Carter, upaya konfigurasi pemaknaan esoteris lewat kaidah nahwu, secara

epistemologis sangat kontra produktif. Bahkan dinilai sesuatu

“abnormal”, karena menimbulkan problem mendasar terhadap sistem dua

konstruk keilmuannya, khususnya dalam konteks pemaknaan.

Interkoneksi disiplin ilmu nahwu terhadap disiplin ilmu-lmu

(eksegetik al-Qur’a>n, stilistika atau bala>gah, fiqh, metric, hadi>th) adalah

suatu yang aksiomatik. Relasi antara nahwu dengan ilmu-ilmu ini

dianggap sebagai sistem instrumental fundamental sebab bersifat

parallelistik dan didasarikan atas relasi paradigmatik. Fakta historitas

keterkaitan ilmu nahwu tersebut, telah lama memiliki basis ontologis,

karena sedari awal geneologi keilmuannya terlahir dalam satu induk yang

sama, adalah bersumber dari bahasa Arab. Hanya saja menurut

Versteekh, seiring waktu progresifitas nahwu dengan ilmu tersebut

sempat mengalami degradasi dan setagnasi dalam meretas ide kreatif. Hal

demikian, lebih disebabkan hilangnya nalar kritis dan ijtihad konstruktif

karena adanya dikotomi dan diskursus penafsiran.3 Menurutnya bahwa

fenomena itu disebabkan terjadinya ketertutupan relasi (close relation between grammar to others epitemology) masing-masing dari hubungan

pondasi ilmu nahwu, yang sebelumnya harmoni, sebut saja seperti relasi

qira’a >t dan nahwu, balagha dan nahwu. Sementara disiplin ilmu nahwu

A<tif Fad}l Muhammad Khali>l, al-Istis}h}a>b baina Us}u>l al-Fiqh wa Us}u>l al-Nah}w

(Makka: Ja>miah Ummul Qurra, th.), 20. Lihat juaga Ramzi Baalbaki, 1983. “The

Relation between Nah}w and Bala>gha: A Comparative Study of the Methods of

Si>bawayh and Gurga>ni>.” Dalam, Zeitschrift für arabische Linguistik (Leiden:

Brill, 1983), Vol. XI, 7-23. Tamma>m Hassa>n, al-Baya>n fi> Rawa>i‘i al-Qur’a>n: Dira>sat Lughawiyat wa Uslubiyyah li Nas}s} al-Qur’a>ni > (Kairo: ‘A<lam al-Kutub,

1992), 17. Shauqi> D{haif, al-Fann wa Madha>hibuh fi> al-Shi‘r al-‘Arabi> (Kairo:

Da>r al-Ma‘a>rif, 1987), 31. 3Kebekuan progresifitas ilmu nahwu (tajammad tat}wi>r al-nah}w) dengan

ilmu yang lainya, khususnya dengan ilmu qira’a>t, menurut Versteekh

dikarenakan adanya latarbelakang fakta historis tentang perdebatan soal struktur

teks al-Qur’a>n yang terkadang keluar dari sistem formulasi nalar kaidah nahwu.

Sehingga di antara tokoh ilmuan tersebut, berimplikasi hubungan ketertutupan

(close relation between grammar and reading). Kebuntuan episteme nahwu

dengan qira’a>t lebih disebabkan difrensiasi prinsip epistemologi, metodologi,

dan background yang dikonstruksi oleh sarjana nahwu dan ahli qira’a>t. Lebih

jelas baca Kees Versteekh, Arabic Langguage (New York: Colombia University

Press, 1997), 37. Baca juga artikel perdebatan sarjana nahwu versus ahli qira’a>t yang ditulis oleh Akram ‘Ali> H{amda>n, “Kutub al-Ih}tija>j wa al-S{ora>‘u baina al-

Nuh}a>’ wa al-Qurra>’i”, dalam Majallah Ja>‘miah al-Isla>mi>yah silsilah al-Dirasa>sat al-Insa>ni>yah (London: Bari>t}ani>, 2006),Vol. 14. 90.

Page 15: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

3

yang mulanya memiliki relasi geneologi epistemologis, seiring waktu

terpisah dan menjadi ilmu yang mapan. Tetapi semua ilmu tersebut

hakikatnya tetap terlahir dari satu sumber. Sumber induknya adalah

lingustik Arab yang dianggap sebagai sumber epistemologi makro

linguistik.4

Persoalan penafsiran tasawuf melalui kaidah nahwu, tentu dinilai

kontradistingsi, mengingat teks nahwu tidak mengandung makna esoteris

sama sekali. Lebih jauh, kedua disiplin ilmu ini memang tidak punya

relevansi bahkan dinilai terdapat gap, sebab masing-masing domain dua

keilmuan ini titik tekannya berbeda. Tasawuf berdimensi esoteris,

sementara nahwu pondasinya menitik beratkan pada aspek eksoteris.

Karenanya hal demikian, adanya pemaksaan paradigma suatu konstruk

ilmu yang secara geneologinya jauh berbeda. Konsekwensi dari

gagasannya, menimbulkan suatu yang ambivalensi, anomali dan

kontradiktif, karena secara eksplisit tidak memiliki basis relevansi baik

pada level konseptual dan teoritis.5

4Bilal Orfali, Ghazal and Grammar: al-Ba>uni>’s Tad}mi>n Alfiyat Ibn Ma>lik

fi> L-Ghazal (Leiden: Brill, 2011), 6. Ramzi Baalbaki, “In The Shadow Of Arabic

The Centrality Of Language To Arabic Culture”, dalam Studies in Semitic Languages and Linguistics [ad.] T. Muraoka (Leiden: Brill, 2011), vol. 62. 11.

5Ambivalensi konstruk nahwu tasawuf ditegaskan Lango dalam

penjelasannya, bahwa memang sekilas hubungan nahwu dan tasawuf terkesan

memang tidak terdapat kaitan. Karenanya, melahirkan teka-teki yang sangat

membingungkan (puzzling) dan nampak terlalu “mengada-ada “alias “al-bid‘ah”.

Namun terlepas dari penilaian itu, ternyata seorang master sufi mencoba

bereksperimen dalam menyatukan antara dua disiplin ilmu tersebut, dengan

melakukan sebuah rekayasa dari latar epistemologi berbeda. Inovasi itu, disebut

ijtihad hibriditas antara nahwu dan tasawuf dalam paradigma integratiknya itu.

Pandangan itu dinyatakan oleh Lango dan Ahmad ‘Alam al-Di>n al-Jundi> dalam

menilai tentang relasi nahwu dan tasawuf yang diformulasikan oleh al-Qushayri>.

Karena memang, relasi kedua ilmu itu tidak terdapat hubungan baik pada level

paradigma dan konsepsi. Tetapi, setelah ditelisik lebih mendalam oleh para

peneliti tersebut, maka dapat diyakinkan bahwa sesungguhnya al-Qushayri>

hendak menjelaskan gagasan kesufiannya dengan menggunkan konsep

persilangan atau teori hibriditas antara dua budaya keilmuan yang berbeda.

Dalam konteks ini, tata bahasa yang dieksplorasi dalam harizon konsep tasawuf

yang semua gagasan itu tertuang dalam karyanya berjudul “Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r” dan Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r. Istilah unik diterjemahkan Lango spiritual

tata bahasa atau “spiritual of grammar”. Hanya saja kajian Lango ini menitik

beratkan kajiannya pada aspek perbandingan teologi antara Islam dan Kristen,

lewat konsep hibrida berupa persinggungan dan integrasi antara tata bahasa dan

teologi (the hybrid genre of grammar and theology) atau disebut “perkawinan

secara silang” antara nahwu dan doktrin teologis. F. Dominic Longo, Spiritual

Page 16: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

4

Pemaknaan esoteris atas nahwu kedalam wawasan tasawuf, bukan

suatu hal mustahil terlebih dianggap problem dalam konteks pemaknaan.

Produk ijtihad pemaknaan demikian, telah banyak digagas tokoh sufi, di

antaranya al-Qushayri>, yang “mengawinkan” antara nahwu dan tasawuf

dalam konteks pemaknaan. Walaupun dianggap melahirkan problem

fundamental pada aspek epistemologi, karena gagasannya seakan sangat

utopis yang dinilai kurang dilandasi argumen akademik ilmiah, sebab itu

kreasi ijtihad demikian mustahil dan sulit diterima secara rasional.

Namun produk pemikiran yang diformulasikan tersebut, tertuang secara

sistematis dalam karya al-Qushayri> berjudul “Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r”

dan “Nah}w al-Qulu>b al-S}hagi>r”. Dari dua karya ini, pengarang ingin

menggambarkan relasi konstruktif dalam proses pemaknaan, sehingga

terbentuk keharmonisan antara nahwu dan tasawuf.6 Walaupun, keduanya

seakan tidak berbanding lurus dan tidak memiliki keterkaitan secara

Grammar: A Comparative Theological Study of Jean Gerson's Donatus Moralizatus and Abd al-Kari>m al-Qushayri>'s Nah}w al-Qulu>b (Cambridge:

Harvard University, 2011), 25. Secara panjang lebar penjelasan tentang teori dan

konsep hibridasi dapat dibaca dalam beberapa karya yang menyoroti berbagai

kasus seperti budaya, sastra, lingustik, sosiologi, antropologi, religion dan

sejarah. Adapun tema-tema yang sering dikaji adalah wacana poskololialis, di

antara karya tersebut Isabelle Thuy Pelaud, History and Hybridity in Vietnamese American Literature (United States of America: Temple University, 2011 ), 44.

C. M. Owen, The Female Crusoe Hybridity, Trade and the Eighteenth-Century Individual (New York: Rodopi, 2010), 63. Anjali Prabhu, Hybridity Limits, Transformations, Prospects (Albany: State University Of New York Press,

2007), 1-5. Courtney Bender, Constructing Buddhism: Interreligious Dialogue And Religious Hybridity (New York: Columbia University, 2006), 229. Ingrid

Piller, Bilingual Couples Talk The Discursive Construction Of Hybridity

(Philadelphia: University Of Sydney, 2002), 265. 6Cukup banyak sarjana Barat yang telah melakukan penelitian tentang

karya-karya al-Qushayri> mulai metode tafsir, pemikiran tasawuf dan konsep

mistisme al-Qushayri> di antaranya ditulis oleh Arnaldez R, Quelques Remarques Sur le Commentaire Mystique de Qushayri>: Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Annales: du

Département des Lettres Arabes, 1992), 99–106. Keeler A, “S{ufi> Tafsi>r as a Mirror: Al-Qushayri> the Murshi>d in His Lat}a>‘if al-Isha>ra>t”, dalam Journal of Qur’anic Studies. Vol, 8. No. 1 (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006),

21. Rashid Ahmad, Qur’a>nic Exegesis in Classical Literature with Particular Reference to Abu Al-Qa>sim Al-Qushayri>: A Critique of His Age and His Work on the Qur’a>nic Exegesis (Lahore: Institute of Islamic Culture, 2006), 12.

Page 17: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

5

epistem, sebab dua ilmu tersebut memiliki difrensiasi signifikan baik

pada sisi karakteristik dan tipologi keilmuan yang bersifat independen.7

Diskursus semiosis nahwu yang ditafsirkan ke dalam horizon

tasawuf, berimplikasi munculnya sejumlah persoalan fundamental

khususnya aspek pemaknaan. Bahkan, mengantarkan perdebatan tajam di

kalangan masyarakat akademik, khususnya para penggiat linguistik Arab

beraliran fungsionalis. Bagaimana tidak, konstruk kedua disiplin ilmu

tersebut, (nahwu dan tasawuf) sungguh sangat jauh berbeda secara

7Ahmad ‘Alam al-Di>n al-Jundi> menilai tentang posisi ilmu nahwu dan

tasawuf merupakan disiplin ilmu yang bersifat independen (‘ilm mustaqillun),

karena sumber epistemologi (ibisti>mu>liji>, da>’irat al-ma‘a>rif), ontologi (wuju>d al-‘ilm), dan aksiologi (qi>mahtu al-‘ilm) sangat berbeda. Dengan demikian domain

kajian keduanya memiliki distingsi dan difrensiasi. Ilmu nahwu berdemensi

eksoterik sedangkan tasawuf menekankan aspek esoteric, maka ketika kedua

ilmu tersebut disintesiskan dan digabungkan menjadi satu bagunan keilmuan,

maka akan melahirkan disiplin ilmu baru. Demikian itu sebagaimana statemen

beliau ketika menilai produk ijtihad al-Qushayri> yang menyatukan atau

mensintesiskan antara nahwu dan tasawuf dalam satu wadah keilmuan, berikut

komentar singkatnya al-Jundi>:النحو علم مستقل و التصوف علم في صعيد واحد فهو علم جديد Berangkat dari pandangan al-Jundi> ini, menurut penulis .مستقل، وأمّا الجمع بينهما

kajian ini adalah tantangan dan motivasi akademik bahwa harus menguji konsep

al-Qushayri> tentang integrasi nahwu dan tasawuf meskipun sulit diterima

mengingat terdapat problem epistemologi tersendiri, oleh sebab itu penulis

tertarik untuk melakukan reset lanjutan dalam usaha membuktikan adanya

penyatuan paradigma harmonis dan konsep yang bersinergi secara produktif,

seandainya memang terdapat titik temu bagaimana relevansi signifikan

keduanya dalam satu karakteristik epistemologi unik dan produktif. Hipotesis

tersebut akan diuji lewt riset ini, maka apabila mampu menyajigan dan

membuktikan bahwa terdapat relasi paradigma positif, dalam artian watak dasar

keilmuan nahwu dan tasawuf mampu melahirkan tipelogi episteme yang

konstruktif, inovatif, dan kreatif, maka dinilai mampu menjawab dari

kegelisahan akademik peneliti. Dimaksud oleh penulis dengan paradigma

konstruktif positif adalah fondasi dasar bagunan keilmuan atau konstruk

epistem ini, setidaknya dinilai mampu mengaktualisasikan sistem rancang bagun

keilmuan yang dapat saling menyatu (itha>d), melengkapi (taka>mul), dan

memperkokoh (tama>suk), yang istilah itu oleh Tamma>m sebagai fondasi

keilmuan bahasa Arab. Sehingga mampu memproduksi pondasi epistemologi

holistik dan komprehensif tentang keterkaitan antara nahwu dan tasawuf yang

syarat dengan nilai rasional-objektif, prosedural-ilmiah, dan factual-empiris baik

secara teoritis maupun praktis untuk memberi kontribusi serta pengembangan

dalam dunia akademik. Untuk lebih jelas penilaian Ahmad al-Jundi> dapat dibaca

dalam prolog karya Nahwu Sufi al-Qushayri>, Ahmad ‘Alam al-Di>n al-Jundi>,

Muqaddimah Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r lil Ima>m Zain al-Isla>m ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri> (Kairo: ‘A<lam al-Fikr, 1994), 14.

Page 18: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

6

prinsip epistemologis baik pada aspek karakteristik, domain kajian,

konsep, dan basis metodis.8 Permasalahan lebih pelik dan kontra

produktif yang muncul dari dua disiplin keilmuan tersebut, pada aspek

hubungan secara dialektik paradigmatik.

Bertolak atas problem pemaknaan itu, maka muncul sejumlah

pertanyaan partikuler mendasar penulis, adalah ekspresi kegelisahan

akademik dan problem utama penelitian ini. Permasalahan ini, tentu

merefleksikankan pertanyaan, mengapa teks nahwu yang ditafsirkan oleh

al-Qushayri> sebagai media dalam mentransformasikan gagasan

sufistiknya? Apakah memang terdapat korelasi semiotik yang termuat

pesan esoteris dalam teks nahwu? Lalu bagaimana basis metodelogis dan

landasan teoritis dalam sistem semantik dua bangunan ilmu yang berbeda

secara ontologis? Mungkinkah terdapat orientasi semantik terselubung

penulis yang mana pemaknaanya bersifat tendensius? Mengapa harus

mengadopsi teks nahwu untuk menafsirkannya kedalam wacana tasawuf?

Mungkinkah dominasi aspek ideologis dan teologis tertentu yang menjadi

memotivasi pengarangnya? Apakah memang terdapat pesan tasawuf yang

tersembunyi dibalik teks nahwu?

Serangkaian pertanyaan di atas, merupakan problem utama

penelitian ini dalam mengidentifikasi akar permasalahan krusial. Dari

8Difrensiasi fundamental keilmuan antara nahwu dan tasawuf, memang

ketika diamati secara parsial, maka akan sulit untuk mencari titik temu antara

kedua ilmu tersebut. Dengan demikian kajian seperti ini meskipun dinilai aneh

alias tidak biasa, namun sesungguhnya menurut sebagian sarjana barat yang

mengkaji nahwu seperti Ramzi Baalbaki dan Tamas Ivanyi, menyimpulkan

dalam pandangan dan penilaian mereka bahwa konstruk kaidah nahwu yang

dielaborasi dengan lintas disiplin episteme berbeda, setidaknya telah

menawarkan harizon baru dalam kajian lingustik Arab (new horizons in the study of arabic language). Di samping itu, dapat memberikan ruang kepada para

penggiat dan pengkaji nahwu, untuk mengeskplor secara mendalam posisi kaidah

nahwu dari berbagai aspek dan pendekatan. Tentu, terdapat orientasi yaitu agar

nahwu lebih inovatif dan progresif dalam memperkaya harizon keilmuan, dan

menghilangkan setigma atau adagium bahwa nahwu tela matang dan terbakar

(qad nad}aja wa ih}taraqad) seperti yang difostulatkan oleh Ami>n al-Khu>li,

Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}wi wa al-Bala>ghah al-Tafsi>r wa al-Adab (Kairo: al-

Haiah al-Misriyyah al-‘A>mmah, 1995), 43. Tamas Ivanyi, “Towards a Grammar

of the Hearts: al-Qushayri>’s Nah}w al-Qulu>b”, dalam The Arabist: Budapest Studies in Arabic (Brill: Leiden, 2006.), 41–54. Michael. J. Carter, “Humanism

and the Language Sciences in Medieval Islam.” dalam Humanism Culture & Language in the Near East: Studies in Honor of Georg Krtokofff. Ed. Asma

Afsaruddin (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997), 27–38. Kees Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam (Leiden dan New York: E.J.

Brill, 1993), 30-31.

Page 19: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

7

pertanyaan ini, memunculkan problem utama dalam penelitian yang

dilakukan penulis. Tujuannya adalah untuk mengetahui motivasi sang-

author, disamping menemukan orisinalitas teori semiotik sebagaimana

yang telah dikonstruk al-Qushayri> dalam karyanya tersebut. Orientasi

utama yang tidak kalah penting, salah satunya untuk dapat menggali

jawaban komprehensif dari penelitian yang dilakukan ini.

Persoalan mendasar lainnya juga, salah satu yang mengundang

perdebatan menarik adalah, terdapat pemaksaan pemaknaan atas struktur

teks nahwu ke dalam wawasan tasawuf. Persoalan pemaknaan ini, yang

telah memotivasi M. J. Carter menulis artikel apik bertajuk ‘Mystical Grammar or Grammatical Mysticism? A S{u>fi> Commentary on The Ājurrūmi>ya’.9 Kritikan tajam Carter dalam tulisannya itu, ingin

menyoroti dan mempermasalahkan tentang relasi paradigmatik dan

difrensiasi fungsional dari unsur utama grammar (al-nah}w) dan

pemaknaan mistisme (‘ilm al-tas}awwuf). Kajian Carter diawali dengan

melakukan pembacaan terhadap karya ‘Ali ibn Maymu>n yang berjudul

Risa>lah Maymu>nah fi> al-Tauh}i>d al-A<jurru>miya>h sebagai sumber utama

penelitiannya. Dalam pandanganya bahwa ilmu nahwu secara ontologis,

fungsional dan orientasi awalnya hanya murni membahas formulasi nalar

kaidah nahwu. Karenanya, fokus kajiannya hanya pada aspek fenomena

kebahasaan, yang basis paradigmanya didasarkan atas positivistik dan

empirik.10

Dalam konteks itu juga, ‘Ali> ibn Maymu>n bereksperimen dengan

meminjam kaidah nahwu sebagai teks “mati”, dengan melakukan

penafsirannya ke dalam konteks esoteris berwawasan tasawuf. Proses

menyingkapan makna esotoris itu, di antaranya merefleksikan ajaran

tauhid yang tersembunyi dibalik simbol kaidah nahwu. Teks nahwu

sengaja diadopsi sebagai media bahasa yang berpretensi dan bertendensi

untuk diarahkan ideologis-dogmatis. Bahkan melalui interpretasi

tendensius ini, kaidah nahwu bertransformasi ke dalam wacana tauhid

dalam dimensi mistisme.11 Oleh sebab itu, menurut Carter permasalahan

krusial yang muncul hubungan antara nahwu dan tasawuf itu terletak

pada dua problematika sentral, tak lain, adalah orientasi semantik yang

9M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical

Grammar or Grammatical Mysticism? A S{u>fi> Commentary on The Ājurrūmiyya’

dalam “Festschrift for Werner Diem” (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997),Vol.

IX, 24. 10‘Ali> ibn Maymu>n ibn Abi> Bakr ibn Yu>suf al-Ha>shimi> al-H{asani> al-Idri>si>,

Risa>lah al-Maymu>nah fi> Tawh}i>d al-A<jurru>miyyah (Cairo: Da>r al-Kutub, tt), 42. 11‘Ali> ibn Maymu>n, Risa>lah al-Maymu>nah fi> Tawh}i>d, 45.

Page 20: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

8

dibangun bersifat ideologis, hingga merefleksikan aspek dokmatis yang

tidak bisa ditanggalkan oleh Ibn Maymu>n.

Konsep pemaknaan Ibn esoteris Maymu>n atas kaidah nahwu yang

diformulasikan, seakan telah bermetamorfosis menjadi fungsi ganda.

Karena, telah keluar dari orientasi dan fungsi awal kaidah nahwu itu

sendiri, yang sejatinya sebagai formulasi nalar kaidah bahasa. Pada waktu

yang sama, teks nahwu harus “dipaksakan” sebagai media bahasa untuk

menyampaikan konsep tauhid yang sengaja diinterpretasi oleh Maymu>n

dengan penuh tendensius. Sebab itu, Carter menyimpulkan bahwa

gagasan inti dari pemaknaan esoteris oleh pengarang dalam

mentransformasi nila-nilai transcendental berdemensi teosentris, begitu

sangat utopis.

Permasalahan artikulasi dan pembacaannya lewat teks nahwu,

telah mengalami transformatif dari sesuatu yang bersifat profan karena

bersumber dari kreasi pandangan antroposentris kearah teosentrik

“transedental” yang bernuasa sakralitas (atribut ketuhanan atau pesan

tauhid). Maksudnya, bahwa kaidah nahwu yang semula sebagai produk

gagasan dan nalar manusia ditafsirkan ke dalam nilai-nilai kesufian yang

memuat atribut Ilahiyat berwatak teosentris.12 Produk pembacaan ini

menurut peneliti, di satu sisi merupakan ide unik dan kreatif, namun sisi

lain melahirkan paradok dan ambivalen tentang fungsi kaidah nahwu,

berangkat dari sinilah kajian ini menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Selanjutnya Carter menilai bahwa gagasan Maymu>n ini pada

awalnya, upaya artikulasi dokmatis lewat kaidah nahwu sebagai teks

primer untuk menyingkap doktrin mistisme dan tauhid. Maymu>n sengaja

mengadopsi kaidah nahwu sebagai symbol yang mengandung konsep

tauhid, karena gagasan ini sangat unik. Sebab itu, tak mengherankan

bahwa produk interpretasi Maymu>n ini bagian tak terpisahkan dari

moralitas dan latar belakang dari pengarangnya sebagai seorang teolog

sekaligus laku tasawuf.13

Poin utama dari permasalahan yang perlu dicatat dalam konteks

ini, menurut Carter upaya menghubungkan antara nahwu dan tasawuf

dalam konteks pemaknaan, akan menimbulkan beberapa masalah krusial

dan problem episteme fundamental. Permasalahan itu, di antaranya

terjadinya anomali dan ambivalensi tentang relasi pemaknaan atas nahwu

12M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical

Grammar or Grammatical Mysticism? ASu>fi> Commentary on The Ājurrūmiyya’,

38. 13M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical

Grammar or Grammatical Mysticism? A Su>fi> Commentary on The

Ājurrūmiyya’, 41.

Page 21: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

9

yang memunculkan konsep mistisme dan tauhid yang tidak linier secara

ontologis.

Kritikan tajam atas pemaknaan esoteris yang dipermasalahkan

oleh Carter di antara pertama, adalah posisi nahwu sebagai episteme yang

hanya berfungsi mengkaji kaidah formal bahasa Arab. Karena hanya

untuk tujuan membebaskan pembicara dari kesalahan berbahasa, maka

apabila dua episteme tersebut digabungkan dalam satu konstruk keilmuan

konsekuensinya terlalu “mengada-ada”.14 Kedua, problematika

interpretasi sebagai hasil interpretasi dari sang-penafsir, mengabaikan

nilai objektif penafsiran sebab bias dokmatis. Persoalan pemaknaan tak

kala pelik adalah apakah simbol formal kaidah nahwu benar-benar

memuat doktrin tauhi>d. Pasalnya tafsiran yang dihasilkan oleh pengarang

lebih didominasi oleh unsur subjektifitas. Ketiga, adanya unsur ideologi

pengarang yang sengaja diciptakan melalui interpretasi atas kaidah

nahwu untuk menyampaikan doktrin sufistiknya kepada pembaca, maka

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat relevansi atau keterkaitan erat

secara dialektika paradigmatik antara nahwu dan tasawuf.15

Kritikan dan argumen yang dilanyangkan Carter, berbeda dari

pembacaan dan analisis Francesco Chiabotti terhadap pemikiran nahwu

sufi versi al-Qushayri>. Dari argumentasi akademiknya, menilai konsep

penting dari kontribusi dan warisan intelektual Qushayri>, sesunggunya

tidak sekedar dipersoalkan pada aspek pemaknaan esoterisnya, bertujuan

dalam integrasi dan relevansi antara nahwu-tasawuf. Tetapi lebih jauh,

harus dilihat dari usaha menjembatani antara sains dan ilmu keislaman.

Konstruksi relasi sains dan tasawuf, dibuktikan melalui teori fenomena

dan nomena (za>h}ir wa ba>t}hin fi t}abi‘iy>at al-lughawiy>ah) tentang teori

metalinguistic, yang semuanya berporos pada aspek fenomena linguistik

14Mengada-ada dalam tradisi saintifik maksudnya adalah sesuatu yang

tidak punya akar atau pondasi keilmuan rasional empiris, lalu direkayasa seakan

menjadi ilmu yang mapan dan paten. Ijtihad mengada-ada ini. Pada hakikatnya

sangat bertolak belakang dengan prinsip filasafat keilmuan yang dipatenkan

ilmuan Islam dan Barat kedalam tiga pondasi utama yang meliputi aspek

epistemologi, ontologi dan aksiologi sebagai parameter untuk mengukur setiap

produk keilmuan yang ditemukan, apakan ia sebuah keilmuan atau hanya prodak

ilmu yang mengada-ada. Dalam konteks “mengada-ada” sesuatu ilmu yang

sebenarnya bukan hakikatnya ilmu, begitu relevan dengan pandangan Azyumardi

Azra yang olehnya difostulatkan sebagai “sudo saintifik” yaitu menganggap

sebuah ilmu tetapi bukan ilmu yang basis epistemologi sistemik, dapat diuji

keilmiahannya dan tidak bertentangan dengan nalar rasional. 15M. J. Carter, ed. Monika Gronke dan Marco Schöller, ‘Mystical

Grammar or Grammatical Mysticism? A Su>fi> Commentary on The

Ājurrūmiyya’, 43.

Page 22: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

10

sebagai ilmu humaniora yang sarat dengan landasan empiris dan

positivistik. Konsepsi nahwu sufi yang dikonstruksi al-Qushayri>

merupakan paradigma filsafat bahasa sebagai manifestasi keilmiahan

bahasa Arab itu sendiri.16 Upaya interpretasinya, tentu didukung dengan

kapabilitas pengetahuan holistik akan kaidah nahwu yang dimiliki oleh

‘ulama dan pengalaman mistik mendalam sang penggagas. Produk

keilmuan mereka, telah merefleksikan paradigma integratik antara nahwu

dan tasawuf yang kental dengan nilai moral spiritual dan sisi filosofis.

Produk pembacaan yang berbasis esoteris, dinilai peneliti mampu

melahirkan konsep integratik baru sebagaimana diformulasikan oleh

Qushayrī yang tertuang dalam karyanya.

Ijtihat inovatif dan gagasan kreatif yang dibangun al-Qushayri>,

yang biasa dikenal ‘Abd al-Kari>m,17 sebagai figur sentral dan tokoh sufi

besar yang populer dilahirkan di Naisabur abad ke-6 tepatnya pada tahun

365 H. Karyanya ini, telah menuangkan gagasan briliannya dengan

berupaya merumuskan ijtihad hibridasi atau “kawin silang” antara nahwu

16Francesco Chiabotti “Nah}w al-Qulūb al-Saġīr: La (Grammaire

Descoeurs) de ‘Abd al-Karīm al-Qushayrī, dalam Bulletin de Setudes Orientales, vol. 58, Damasco 2009, 385-402. ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (Kairo: Ja>mi‘ah ‘Ain al-Sham, 1994), 14.

17Banyak sekali sarjana yang melakukan penelitian tentang autobiografi

dan pemikiran tasawuf al-Qushayri> secara detail. Hasil penelitian meliputi

tempat kelahirannya, konteks social cultural, pemikiran dan karya

intelektualnya. Namun, untuk karya Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>rnya yang sedang

dikaji peneliti ini, masih sangat minim diteliti dalam konteks akademik. Sebab

itu, hal demikian adalah salah satu yang memotivasi penulis untuk meneliti

karya al-Qushayri> ini lebih komprehensif. Di antara karya-karya penting yang

pernah menulis tentang otobiografi al-Qushayri> yaitu Badi>‘ al-Zamān

Furūzānfar, tentang pengantar terjemahan dari bahasa Parsia al-Qushayrī al-

Risa>la oleh Abū ‘Alī Hasan ibn Ah}mad ibn ‘Uthmānī, (Tehran: Intishārāt-i ‘Ilmī

wa Farhangī, 2002), 13-15. Ibrāhīm Basyūnī, al-Ima>m al-Qushayri>: Sira>tuhu, A<tha>ruhu, Madhhabuhu fi> al-Tas}awuf (Kairo: Majma‘ al-Buh}ūth al-Islāmiyya,

1972), 22. 15. Idem, “Madkhal” Lat}a>‘if al-Isha>ra>t, [ed.] Ibrāhīm Bashūnī. (Kairo:

Dār al-Kātib al-‘Arabī, 1968), 10. Frank R.M, Two Short Dogmatic Works of Abu> al-Qa>sim al-Qushayri> (New York: Boston University, 2010), 32. Edisi

terjemahan dari karyanya Abu Qa>sim al-Qushayri>, “al-Fus}u>l fi> al-Us}u>l ( Kairo:

Da>r al-Ilm, 1983), 59–94. Pīr Muhammad Hasan, Al-Rasa>’il al-Qushayri> (Karachi: al-Ma’had al-Markazī li-l-Abḥāth al-Islāmīya, 1964), 45. Imām Hanafī

Sayyid ‘Abd Allah, al-Ara>’ al-Kalami>ya wa-l-Sufi>ya ‘ind al-Qushayri> (Kairo:

Maktabat al-Thiqāfa al-Dīniyya, 2006), 63. Martin Tren Nguyen, The Confluence and Construction of Traditions: Al-Qushayri> (d. 465/1072) and the Intersection of Qur’ānic Exegesis, Theology, and Sufism (New York: Harvard

University, 2009), 39-41.

Page 23: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

11

dan tasawuf. Hasil dari “perkawinan” sialng ini, melahirkan karya yang

terbilang unik dan menarik untuk diteliti, bahkan bisa dinilai karya yang

fenomenal dan monumental karena dinilai berhasil melahirkan warisan

inteletual (legacy of intellectua) begitu kontributif dan berharga. Semua

pandangan itu tertuang dalam karyanya berjudul Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (the grammar of the hearts).

Menurut Ramzi Baalbaki, konsep grammar yang ditawarkan al-

Qushayri> ini merupakan ide kreatif (creativ minds) yang merefleksikan

tafsir bernuansa filosofis. Karena sepanjang penelitian Ramzi sejak pra-

modern daya progresifitas dan produktifitas, dalam memperkaya literatur

Arab, telah mengalami setagnan. Lebih ekstrim, dianggap miskin untuk

melahirkan gagasan kreatif dan inovatif dalam merespon gairah dan

geliat intelektual yang menjadi animo dan espektasi masyarakat

akademik terhadap geliat progresifitas epistem nahwu.18

Ide dan gagasan al-Qushayri> yang membangun interkoneksi antara

nahwu dan tasawuf, melalui teori pemaknaan yang keduanya berporos

dari demensi eksoterik dan esoterik. Pembacaan itu, memang dinilai

peneliti asing karena, memang jarang dikenal luas mayoritas komunitas

akademik.19 Oleh sebab itu, gagasan tersebut menarik untuk diteliti

secara mendalam dan patut diuji sejauh mana subjektifitas dan

objektifitas teori semantiknya. Di samping, konsepsi penafsiran

filosofisnya secara ilmiah dalam ranah akademik, dengan memfokuskan

terhadap magnum opusnya Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r.20 Di antara

18Ramzi Baalbaki, “In the Shadow of Arabic The Centrality of Language

to Arabic Culture”. Ed, A.D. Rubin, dalam Studies in Semitic Languages and Linguistics (Leiden: Brilll, 2011), 447. V.63.

19Ketidak familiaran karya al-Qushayri> yang “mengawinkan” epistem

nahwu dan tasawuf diafirmasi F. Dominic dalam penelitian yang ia jelaskan dari

ulasan berikut: adalah Al-Qushayri> seorang figure ilmuan dan master sufi yang

hanya terkenal dengan karya sufinya, namun produk pemikiran nahwu sufi ini,

begitu asing dikalangan akademik. Demikian, dinilai buah pemikiran aneh,

seperti gagasan nahwu sufistik yang ia tuangkan dalam karyanya, konsep ilmu

yang ia rumuskan sangat membingungkan (puzzling) dan sangat langkah.

Penilaiannya seperti kutipan setatemen berikut: “Although these authors are major figures in their respective religious traditions, Qushayri>t's Nah}w al-Qulu>b have been more or less neglected by academic studies-probably because of their puzzling hybrid genre”. Lebih jelas baca F. Dominic Lango, A Comparative Theological Study of Jean Gerson's Donatus Mowralizatus and ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>'s Nah}w al-Qulu>b (New York: Harvard University, 2011), 5.

20Francesco Chiabotti melihat pemikiran al-Qushayri> dalam karyanya ini,

adalah salah satu risalah tertua dan pionir pertama yang berhasil menafsirkan

terminologi dan kaidah tata bahasa Arab ke dalam konsep tasawuf. Meskipun

Page 24: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

12

permasalahan yang muncul kemudian adalah pada aspek peran dan fungsi

antara tasawuf dan nahwu sungguh sangat berbeda jauh. Hal itu,

sebagaimana dikemukakan sarjana nahwu di antaranya Tamma>m Hassa>n,

Shauqi D{aif, Mus}tafa al-Ghala>yaini menyatakan domain kajian nahwu

merupakan konstruk ilmu yang hanya membahas kedudukan akhir setiap

kalimat. Struktur kalimatnya, baik bersifat mabni> (statis) dan mu‘rab

(dinamis), sesuai dengan faktor-faktor eksternal yang menyertai struktur

kalimat dalam bahasa Arab, sehingga berimplikasi terhadap makna yang

terkandung sesuai dengan konteks struktur kalimat.21 Sementara

hasil interpretasi kaidah nahwu ini, bercorak mistis merupakan ekspresi intuitif

sang-author. Adapun indikasi yang disinyalir oleh Chiabotti ditulisnya karya al-

Qushayri> salah satunya, sebagai pengakuan karakter “suci” dari pada

keistimewaan bahasa Arab (the sacred character of arabic language). Terlepas

dari semua paparan di atas, produk interpretasi dalam kaidah nahwu mampu

menyingkap harizon baru tentang relasi antara nahwu dan tasawuf, adalah

manifesto yang bersumber dari dua demensi bahasa yaitu antara fenomena dan

nomena atau antara pisik dan metapisik yang terpusat lewat tata bahasa Arab.

Langkah itu, membahas tentang salah satu basis yang mampu membentuk

leksikon yang dirumuskan komunitas sufi lewat term-term mistis yang mereka

rumuskan. Terminologi sufistik itu, seperti maqa>ma>t, takhalli>, tah}alli>, tajalli>, ittih}a>d, h}ulu>l dan masih banyak istilah tekni dari kaida nahwu yang melahirkan

dalam leksikon versi komunitas tasawuf. Pada saat yang sama, pengakuan

karakter “suci” tata bahasa Arab ini hasil dari pergumulan antara nahwu dan

seorang sufi melalui artikulasi atas kaidah nahwu sebagai wadah dalam

membangun ijtihad integratiknya. Al-Qushayri>, sebagai pemimpin para sufi

dalam mengembangkan konsep simbolis tata bahasa Arab dan leksikonnya yang

merefleksikan dua dimensi wacana nahwu, yaitu dari aspek eksoteris menuju

dimensi esoteris. Dalam terminoligi diusung al-Qushayri> adalah min nah}w al-z{a>hir ila> nah}w al-ba>t}h}in. Dengan demikian, ijtihad ini membuka teori baru yang

terlahir dari percampuran teks kebahasaan dengan pemahaman teologi seorang

master Sufi> dalam satu tempat. Seperti dinyatakan F. Dominic Lango “an intermixture of the grammatical and religious at one hand”. Menurut Chiabotti

bahwa tata bahasa Arab merefleksikan pesan dibalik hal yang bersifat simbolik

dengan perhatian khusus tentang masalah metabahasa atau metalinguistik. Lebih

jelas baca dalam Francesco Chiabotti “Nah}w al-Qulu>b al-S{aghi>r: La (grammaire

descoeurs) de ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, dalam Bulletin de Setudes Orientales,

vol. 58, Damasco 2009, 385-402. ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (Kairo: Ja>mi‘ah ‘Ain al-Sham, 1994), 14. Lihat juga karya Ahmad

Mus}t}afa>, Mausu>‘atu Mus}t}alah}a>t wa Qawa> ‘id al-S{u>fi>yah (Beiru>t: Da>r al-Kutub

al-Isla>mi>, 2007), 12. 21Mustafa al-Ghala>yaini>, Ja>mi‘ al-Duru>s al-Lughah al-‘Arabi>yah (Beirut:

Da>r al-Kutub al-‘Ilm, 2002), 27. Tamma>m Hassa>n, al-Lughah al-‘Arabi>yah: Ma‘na>ha> wa Mabna>ha > (Magrib: Da>r al-Thaqa>fah, 1994), 23. Shauqi> D{aif, al-

Page 25: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

13

paradigma tasawuf adalah konsep keilmuan yang memabahas demensi

esoterik beserta tahapan sepiritual baik aspek teoritik dan praktik yang

bersumber dan berorientasi hanya kepada Allah swt, sambil berusahan

mensucikan jiwa dari perilaku yang buruk.22

Akar permasalahan utama dari penelitian ini juga, yang menjadi

sorotan dan mengundang perdebatan adalah nahwu dan tasawuf itu

sendiri. Sebab hubungan kedua epistem itu, memunculkan disorientasi,

ambivalensi dan anomali tentang pola pemaknaan kedua disiplin ilmu

tersebut (nahwu dan tasawuf). Karena faktanya, memang watak natural

lahiriah ilmu nahwu dan tasawuf berbeda dan independen. Oleh sebab itu,

terkesan adanya “pemaksaan interpretasi” (imposition of interpretation)

yang kurang rasional, mengingat adanya difrensiasi signifikan antara

tasawuf dan nahwu dari berbagai aspek.

Bertolak dari fenomena unik dua ilmu ini, menurut penulis menarik

dan layak untuk dikaji lebih holistik dan komprehensif dalam ranah

akademik. Penelitian penting dilakukan, untuk membuktikan adanya

paradigma integratik sekaligus menggali gagasan orisinalitas al-

Qushayri>, dalam membagun teori baru pemaknaan berkaitan dengan

metalinguistik. Paradigma yang hendak dikonstruk oleh sang-author,

dinilai penulis mampu melahirkan persepektif dan konsepsi “hibridasi”

yang berangkat dari dua episteme berbeda.23 Konsep ijtihad hibridasi

Mada>ris al-Nah}wi>yah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1967), 11. Badingkan dengan

karyanya Taisi>r al-Lughawi>yah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1990), 5-8. 22Ibra>hi>m al-Basu>mi>, Na’shah al-Tas}awuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-

Ma‘a>rif, 1919), 9. Lihat juga penelitian secara utuh dalam disertasinya tentang

aliran, pengaruh, pemikiran tasawuf dan authobiografi al-Qushayri>, Ibra>hi>m al-

Basu>mi, al-Ima>m al-Qushayri>: Sira>tuhu, A<tha>ruhu, Madhhabuhu fi> al-Tasawuf (Kairo: Majma‘ al-Buḥūth al-Islāmiyya, 1972), 42.

23Awal dari teori hibridasi ini, semula merujuk kepada tradisi ilmu

biologi, yang berkaitan dengan ilmu botanik dan zologi. Salah satu

eksperimental ilmu biologi secara partikuler membahas proses persilangan atau

“perkawinan” tumbuhan baik yang sejenis atau dua jenis tumbuhan berbeda. Uji

coba rekayasa genetika botanik melalui hibridasi ini dinilai berhasil, sehingga

mampu membuahkan suatu produk tumbuhan yang unik. Namun teori dan

konsep hibridasi tersebut, seiring waktu beralih fungsi, sebagian ilmuan yang

memfokuskan studinya dalam bidang humaniora ini, hendak ditarik dalam

konteks penelitian bersifat normative-filosifis. Penelitian ini kususnya dalam

kaitannya dengan wacana poskolonial yang diusung oleh Michel Foucault,

Edwar Said, Homi Baba dan para ilmuan lainya yang fokus kajiannya tentang

itu. Sementara terma, teori dan wacana yang mereka mengadopsi istilah kusus,

sebagai kata kunci dan alat analisi dalam mengidintifikasi teori yang berkaitan

Page 26: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

14

yang dirumuskan oleh al-Qushayri>, harus diposisikan secara objektif

dengan melakukan analisis mendalam untuk menemukan signifikansi dari

teori pemaknaanya. Tujuannya, agar kajian ini mampu mengungkapkan

konsep unik dan teori orisinalitas pemaknaannya secara signifikan

sebagai kontribusi akademik.

Proses pemaknaanya yang terkesan “memaksakan” sangat

kontradistingtif karena disiplin nahwu dan tasawuf sangat berbeda,

namun dalam pandangan master sufi, kedua ilmu itu bukan epistemologi

yang saling bertentangan, terlebih dinilai menempatkan kedudukan

bersifat oposisi biner yang saling berlawanan. Dalam pandangan al-

Qushayri> kedua ilmu nahwu dan tasawuf adalah sesuatu yang saling

melengkapi dan menyempurnakan, sehingga mampu memproduksi

keilmuan yang progresif dan saling sinergis melalui konsepsi pemaknaan.

Dengan konsepnya ini, ternyata ia mampu melakukan interpretasi kaidah

nahwu bergenre sufistik, dengan landasan daya intiutif. Untuk itulah,

dalam gagasan intinya ia menyatakan bahwa nahwu seringkali hanya

dilihat sebagai alat untuk menjaga lisan semata, yang fungsinya hanya

menhindari dari kesalahan berbahasa Arab, tanpa melibatkan daya

intuitif atau potensi kedalaman hati sang-penutur bahasa Arab itu sendiri.

dengan “rekayasa” social (as a tool social of engineering), seperti dominasi,

subordinasi, hibridasi, subalternitas dan istilah analisis lainya. Penulis melihat

konsep “hibridasi” atau persilangan dalam tradisi keilmuan lintas episteme

berbeda, sudah umum karena dianggap konsep serta teori yang dapat digunakan

sesuai dengan konteksnya. Konkritnya konsep “hibridasi” telah berevolusi

menuju lintas disiplin keilmuan, hal itu dibuktikan bahwa teori itu begitu populis

dan familiar diadopsi oleh ilmuan humaniora. Kesimpulannya, ijtihad hibridasi

ini telah banyak meretas beragam karya yang akrab dan dapat ditemukan dalam

beberapa penelitian di antaranya Oluf Schonbeck, “Sufism in the USA:

Creolisation, Hyibridisation, Syicretitation?”, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global, ed. Catharina Raudvere and Leif Stenberg, 177-187.

Begitu juga dapat dilihat dalam Approaches to Arabic Linguistics, dalam

Studies in Semitic Languages and Linguistics: Presented to Kees Versteegh on

the Occasion of his Sixtieth Birthday, ed. Everhard Ditters and Harald Motzki

dengan kontributor, Mushira Eid, “Arabic on the Media: Hybridity and Styles”

(Leiden-Boston: Brill, 2007), 403. Bandingkan dengan sejumlah karya yang

secara partikuler studinya tentang poskolonialis, budaya, fenomena social, begitu

juga tentang lingustik dalam teori hibriditas. Robert J.C.Young, Colonial Desire Hybridity In Theory, Culture And Race (New York: Routledge, 1995), 18-20.

Marwan M. Kraidy, Hybridity, or The Cultural Logic of Globalization

(Philadelphia: Temple University Press, 2005), 116.

Page 27: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

15

Oleh sebab itu, ia berpandangan bahwa harus adanya koneksi

kaidah nahwu dengan mengaktualisasikan potensi intuitif hati dari setiap

pengkaji kaidah nahwu. Karenaya, konsep persilangan epistem berbeda

adalah ide dasar yang sengaja, ia elaborasi sehingga menjadi konsep tata

bahasa berbasis hati yang agung. Dalam konteks nahwu sufinya, kaidah

nahwu memiliki pesan esoterik, melalui artikulasi struktur kaidah nahwu.

Nalar formulasi nahwu dengan mengusung ijtihad hibridasi ini,

merupakan nalar konstruktif dan pemaknaan kreatif al-Qushayri> yang

bertranformasi min nah}w al-z}ha>hir ila> al-nah}w al-ba>t}hin. Kemungkinan

orientasi utama dari gagasan nahwu kedalam wawasan esoteris, salah

satu tujuannya agar nahwu tidak kering kerontang dari aspek spiritual

dengan melibatkan potensi kedalaman hati, sehingga adanya sinergisitas

antara lisa>n ha>l dengan lisa>n ba>t}in.24

Dalam kajian lingustik modern, kususnya berkaitan dengan ilmu

semiotik yang beraliran strukturalis, maka fungsi semiotik yang

diaplikasikan penulis dalam membaca pemikiran nahwu bathin al-

Qushayri> sagat tepat digunakan. Dengan mengadopsi kaidah nahwu yang

dimaknai dalam konteks sufi, secara teoritik tampaknya relevan dan

kompetable dengan studi yang berkaitan dengan teori semiotik yang

dibagun oleh Roland Barthes tentang konsep semiotik strukturalis.

Barthes sebagai tokoh sentral saat mengeksplor teori tanda dengan model

dikotomi dan indepensi teks kebahasaan. Teori itu, seperti dijelaskan

Benny H. Hoed, bahwa teori Barthes tidak lain, perpanjagan dari

genologi pemikiran linguistik Ferdinand de Saussure. Pandangan

demikian, sebagaimana dikenal dengan formulasi meaning-nya yaitu

penanda (signifiant), petanda (signifie), tanda (sign). Penjelasan dari teori

semiotik Barthes ini, bahwa apabila ditinjau dari aspek pemakai tanda

bahwa sistem tanda terdiri dari primer dan sukunder yang terbagi kepada

a. expression/ungkapan atau penanda, b. contenu/isi atau petanda, c.

relation/hubungan yang menjembatani kedua elemen tersebut.

Pandangan semiotik Barthes, menitik beratkan sistem tanda

berbentuk teks, yang memiliki lapisan makna yang disebut denotative

sebagai makna primer. Adapun konotatif, sebagai makna sekunder yang

dieksplorasi pemberi makna, apabila teori tersebut dikontekstualisasi

dalam pembacaan nahwu sufi al-Qushayri>, hemat penulis sangat tepat

untuk menemukan signifikansi dan orisinalitas pemaknaan al-Qushayri>

tawarkan. Analisis tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut, bahwa

kaidah nahwu yang awalnya masih murni disebut tanda primer atau level

makna denotative berbentuk kaidah nahwu atau istilah master sufi nah}w

24‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (Kairo: Ja>mi‘ah

‘Ain al-Sham , 1994), 14.

Page 28: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

16

al-z}ha>hir sebab belum tersentuh proses interpretasi. Sementara pesan

sufistik sebagai hasil dari artikulasi yang termanifestasi dalam symbol

kaidah nahwu disebut makna konotatif atau nah}w al-ba>t}hin, dikarenakan

telah diperluasan maknanya, kususnya melalui proses interpretasi

berbasis intuitif oleh master sufi.25

Berangkat dari semua paparan di atas, maka dalam kasus dan tema

yang relevan dengan kajian ini, peneliti hendak menguji ojektifitas dan

subjektifitas pemaknaan melalui perspktif teori semiotik terhadap karya

nahwu yang dimaknai kedalam wacana sufistik oleh al-Qushayri>. Penulis

secara partikuler melihat bahwa studi ini bersifat multi interdisipliner

atau lintas disiplin keilmuan yang berbeda antara nahwu dan tasawuf.

Sekalipun terjadi difrensiasi secara keilmuan, tetapi memungkinkah

adanya harmonisasi antara nahwu dan tasawuf yang mampu disatukan

dalam satu paradigma harmonis, sehingga membangun epistem unik

untuk saling melengkapi. Demikian juga, produk interkoneksi kedua ilmu

ini dapat terbagun dalam suatu sistem keilmuan yang koheren dan kohesi

sebagai hasil dari ijtihad hibridasi yang digagas al-Qushayri>.

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, tentu

banyak permasalahan teridentifikasi dalam penelitian ini, tetapi

permasalahan yang menjadi fokus dalam kajian ini persoalan pemaknaan

esoteris. Terkhusus dalam konteks studi semiotik, yang erat kaitannya

dengan pola pemaknaan yang dibangun para sufi melalui teks kaidah

nahwu, yang menimbulkan ambivalensi dan anomali dalam konteks

pemaknaan. Selanjutnya problem subjektifitas-objektivitas pemaknaan,

motivasi serta orientasi semantik yang bertendensi ideologis.

Semua identifikasi permasalah di atas, tampak seperti yang

diformulasikan oleh sufi dalam karyanya tersebut. Dengan menjadikan

sumber struktur teks nahwu, sebagai wadah dalam mentransformasikan

gagasan kesufiannya. Pendasaran wacana tersebut, jelasa bermasalah

karena bersumber dari dua paradigma keilmuan yang berbeda antara

nahwu dan tasawuf. Dengan demikian, menimbulkan problem kususnya

dari aspek ontologis, karena nahwu dan tasawuf terdapat difrensiasi

fundamental dari setiap karakteristik epistemologinya.

25Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de

Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sander Peirce, Marcel Danesi & Paul Perron, dll (Depok: Komunitas Bambu, 2008), 97-

98.

Page 29: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

17

Persoalan lainnya juga, tentang konstruk nahwu dan tasawuf yang

bersifat independen yang secara lahiriah tidak terdapat titik temu yang

saling berkaitan. Meskipun basisnya, adalah penafsiran yang menjadi

anaisisnya untuk membangun dialektika kedua ilmu tersebut. Karenanya,

terdapat asumsi yang berpandangan mustahil untuk menafsirkan teks

kaidah nahwu sebagai objek utama, hingga menemukan pesan tasawuf

dari simbol nahwu. Mengingat antara nahwu dan tasawuf yang kedua

ilmunya berbeda secara identik, sebab awal dirumuskan sampai kedua

ilmu itu menjadi mapan dan sempurna, memang tidak ada korelasi.

Persoalan lain juga, aspek domain kajian kedua imu ini bersumber dari

demensi eksoterik dan esoterik yang fokusnya bersebrangan. Kosekuensi

dari semuanya, ilmu nahwu bercorak tasawuf itu memunculkan

permasalahan tersendiri, karena terdapat anomali dalam konteks

pemaknaan, sebab itu mengundang perdebatan di kalangan akademik.

Gagasan kreatif yang dikonstruk al-Qushayri> dalam menafsirkan

kaidah nahwu yang semula disiplin ilmu terpisah dari harizon tasawuf,

sungguh telah melahirkan ambivalensi makna, pemaksaan penafsiran

karena teks utama yang digunakan tidak relevan, dan sisi ojektifitas-

subjektifitas pemaknaan menjadi diskursus keilmuan dalam ranah

akademik. Hal demikian, menimbulkan persoalan akademik di antara

para penggiat ilmu bahasa Arab. Meskipun menimbulkan problem

mendasar, tetapi gagasan dalam pemaknaan teks nahwu dalam dimensi

esoteris, telah dirumuska ulama sufi. Dengan demikian, ijtihad atau ide

untuk merumuskan kedua disiplin ilmu tersebut, ternyata telah

dihadirkan sejak lama. Melalui ijtihad semantik sufistik al-Qushayri> yang

orientasinya adalah mensintesiskan antara tasawuf dan nahwu sekalipun

epistemnya berbeda.

Pembuktian dari ide kreatifnya, dinilai telah menghasikan produk

ilmu baru yang harmonis dan konstruktif. Sekalipun, kecendrungan

pemaknaan ini didasari atas pandangan subjektif, tetapi melahirkan

produk disiplin ilmu yang terbilang unik dan kontributif lewat metode

dan teori interpretasi metalingustik yang ia bagun.

Dalam konteks ini, perlu dibuktikan lewat penelitian ini

berdasarkan uraian identifikasih permasalahan di atas, maka

permasalahan yang teridentifikasi dalam penelitian disertasi ini dapat

dideskripsikan dengan menampilkan sejumlah persoalan partikuler, yang

menjadi fokus penelitian. Pandangan al-Qushayri> tentang posisi kaidah

nahwu dan tasawuf yang semula dinilai sebagai epistemologi berbeda

secara paradigmatik dan epistemologis, namun dengan ijtihad pemaknaan

sufinya, ia dapat membagun makna harmonis dalam satu keilmuan yang

nampak “aneh” Sejauh mana nilai objektifitas dan unsur subjektif hasil

interpretasi sufistik atas kaidah nahwu yang dirumuskan oleh al-

Page 30: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

18

Qushayri>. Perumusan nahwu bathin ini, tentu punya orientasi utama yang

diinginkan al-Qushayri> dengan cara menafsirkan dua disiplin ilmu yang

berbeda ini, dengan menjadikan kaidah nahwu sebagai sumber utama

dalam mengeksplor penafsiran sufinya. Tentu terdapat argumentasi

konseptual yang dibangun oleh al-Qushayri> saat mengadopsi kaidah

nahwu sebagai media komunikasi dalam menyampaikan ideologi dan

doktrin tasawufnya. Di samping itu, tentu terdapat motivasi, orientasi

dan pesan terselubung yang hendak disampaikan oleh al-Qushayri> melalui

penafsirannya atas kaidah nahwu. Persoalan krusial lainnya, yaitu kriteria

validitas dan otentisitas dari ijtiha>d semiosis melalui teks nahwu yang

dikonstruksi al-Qushayri>. Demikian identifikasi permasalahan yang

peneliti tampilkan berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang

akan menjadi konsen penelitian.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka di antara

masalah pokok yang menjadi fokus penelitian ini, penulis hanya ingin

menyoroti pola dari proses semiosis dilakukan sufi ketika menggali

pesan-pesan esoteris melalui teks nahwu. perumusan masalah dalam

disertasi ini, ingin menjawab dan menganalisa secara komprehensif

tentang paradigma semiotik yang digagas oleh al-Qushayri> dalam

karyanya Nah}w al-Qulu>b dengan menjadikan sebagian tema-tema nahwu

sebagai teks utama, dalam menggali pesan tasawuf. Di antara rumusan

masalah yang peneliti ajukan sebagai berikut:

1. Apa argumentasi pengarang mengadopsi simbol nahwu sebagai

teks primer dalam menggali pesan esoteris?

2. Bagaimana pola semiotik diaplikasikan pengarangan dalam

menemukan pesan esoteris yang terkandung dalam teks nahwu?

3. Bagaimana relevansi dan signifikansi semiotik berdemensi

esoteris melalui kaidah nahwu yang ditawarkan sufi?

4. Apa gagasan subtansial yang ditampilkan pengarang melalui

pemaknaan esoteris tersebut?

D. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya tema-tema besar nahwu yang ditampilkan

al-Qushayri>, maka penulis penting memfokuskan kajian ini hanya pada

sebagian dari tema nahwu seperti diformulasika dalam karyanya tersebut.

Dalam kajian ini, penulis membatasi kajiannya hanya menitik beratkan

studi semiotik yang meliputi tema nahwu dalam konteks pemaknaan

esoteris yang terdapat dalam karyanya berjudul “Nah}w al-Qulu>b”.

Sedangkan di antara tema-tema yang dikaji adalah kala>m mufi> dan ghair al-mufi>d. Ekstraksi makna tasawuf melalui ism, fi‘il dan h}urf, mu‘rab dan

Page 31: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

19

mabni>. Manifestasi makna esoteris dibalik simbol nahwu: fa>‘il wa Anwa>‘uha>, maf‘u>l wa ‘anwa>‘uha >, na‘t wa man‘u>t, h{a>l, al-badal wa ‘anwa>‘uha>, al-ta‘jub, al-tamyi>z, al-‘at}af, tauki>d, ism ma> yuns}arif wa ma> la> yuns}arif. Tema-tema nahwu tersebut, merupakan batasan penelitian

yang akan penulis jelaskan secara utuh dengan menggunakan perspektif

semiotik.

E. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk mencari jawaban

secara utuh dan mendalam, berdasarkan perumusan masalah yang

terangkum kepada empat poin berikut:

1. Tujuan hendak memahami argumentasi dan urgensitas, mengapa

pengarang penting mengadopsi simbol nahwu sebagai teks primer

dalam menggali pesan esoteris.

2. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola semiotik yang diaplikasikan

pengarangan dalam menemukan pesan esoteris yang terkandung dalam

kaidah nahwu. Bersumber dari atikulasi sang penafsir melalui teks

yang pada mulanya hanya berfungsi sebagai formulasi kaidah bahasa

Arab bersifat independen.

3. Penelitian ini juga, hendak membuktikan bahwa gagasan pemaknaan

esoteris atas nahwu punya relevansi dan signifikan terhadap konsep

kesufian sebagaimana yang ditawarkan pengarangnya.

4. Penelitian ini bertujuan memahami gagasan utama yang dikonstruk

pengarang melalui pemaknaan esoteris tersebut. Karena itu, dengan

menggunakan analisis semiotik dalam penelitian ini, setidaknya

mampu menggali subtansi atas pemaknaan teks nahwu berwawasan

sufistik.

F. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dijelaskan di atas, tentu

penelitian ini memberikan manfaat dan signifikansi sebagai kontribusi

akademik. Adapun manfaat dan signifikansi penelitian ini di antaranya:

Dalam penelitian ini diharapkan mampu menjawab secara utuh apa

yang menjadi fokus penelitian, sehingga berkontribusi dalam

memaparkan secara teoritis konsep keilmuan tentang paradigma awal

terjalinya antara nahwu dan tasawuf. Signifikansi wacana tasawuf yang

termanifestasi dalam symbol kaidah nahwu, diharapkan memberikan

gambaran utuh bagaimana ilmu nahwu tidak hanya sekedar sebagai ilmu

alat sebagai tata bahasa semata, namun dibalik itu mengandung pesan

tasawuf yang diinterpretasi secara kreatif dan komperhensif komunitas

sufi.

Page 32: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

20

Manfaat dan signifikansi penelitian ini secara praktis, memberikan

gambaran konkrit bagi masyarakat akademik berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan peneliti. Selain itu, manfaat penelitian ini secara praksis,

memberikan kontribusi yang lebih berarti bagi pengkaji ilmu bahasa Arab

secara signifikan dan orientasinya untuk membuka harizon lebih luas

tentang dinamika bahasa Arab dan perdebatan antara ahli nahwu

terhadap wacana nahwu sufi. Untuk itu, diharapkan dari penelitian ini,

bermanfaat bagi penggiat bahasa Arab, khususnya tentang konsep yang

menawarkan kajian yang unik dan baru. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi signifikan secara teoritis dan konseptual tentang

perkembangan sejarah ilmu nahwu dan pergumulannya dengan diskursus

tasawuf yang dirintis oleh sebagian sarjana sufi klasik. Hal demikian itu,

setidaknya dapat memperkaya informasi baru, dan memberikan inspirasi

bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan kajian ilmu nahwu yang

lebih kreatif dan inovatif.

G. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam penelitian disertasi ini, penulis telah menelusuri tinjauan

pustaka terdahulu yang relevan, khususnya yang pernah dikaji dan ditulis

oleh peneliti sebelumnya. Bertolak dari itu, penulis penting untuk

menelusuri kajian-kajian yang relevan berdasarkan tema dan kasus yang

sedang dijadikan objek penelitian dalam disertasi ini. Untuk itu,

penelitian tersebut diperoleh dari sumber yang otoritatif baik buku, jurnal

ilmiah, sumber buku, dan disertasi. Setelah ditelusuri peneliti tema dan

kasus yang diteliti, ternyata belum banyak yang mengkaji secara utuh

dan komprehensif yang berkaitan tentang semiotik nahwu tasawwuf.

Idealnya kajian terdahulu yang relevan ini harus bersumber dari

penelitian yang pernah dikaji oleh komunitas akademik, hanya saja belum

secara tuntas diteliti atau harus ada distingsi, perbedaan dan posisi

peneliti. Dengan demikian, penulis hendak mengisi kekosongan dan

melanjutkan kajiannya dalam penelitian yang lebih utuh. Tentunya,

menggunakan perspektif berbeda berdasarkan teori dan metodologi yang

digunakan. Penelitian ini memfokuskan bagaimana pola pemaknaan dan

paradigmatik nahwu tasawwuf yang digagas oleh al-Qushairi> dalam

karyanya Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r (grammar of the heart). Di antara

karya-karya yang pernah mengangkat isu tersebut adalah:

Ramzi Baalbaki dalam artikelnya yang berjudul In the Shadow of Arabic The Centrality of Language to Arabic Culture, menyoroti tentang

hubungan interpretasi alegoris ahli sufi terhadap kaidah nahwu, ia

mencatat tentang dua problem fundamental terjadinya kemandekan

Page 33: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

21

nahwu. Pertama,26 Bahwa epistem nahwu telah mengalami kevakuman

alias terjadi “kemandulan” dalam upaya mengeksplorasi ke arah yang

lebih inovatif dan kreatif mulai dari materi, teori, metode, dan konsep

yang disugukan. Terlihat kajian nahwu selama ini monoton, sebab hanya

berkutat pada aspek kaidah-kaidah formal yang bersifat simbolis. Kedua,

dalam lintasan historis, Ramzi menilai bahwa awal mula perkembangan

nahwu adanya ketertutupan relasi (close relation) pada konstruk episteme

kaidah nahwu dalam mengeksplor dan mengelaborasi terhadap lintas

disiplin ilmu lainya seperti bala>gah, us}u>l al-fiqh, tafsi>r, mu‘jam, fiqh,

qira’ah, dan naqd atau kritik sastra. Pendapat Ramzi ini, diafirmasi oleh

Kees Versteegh, dan Michael Carter.27 Konsekuensi hubungan tertutup

ini, menyebabkan kegagalan para sarjana nahwu dalam mengembangkan

bahasa Arab ke arah yang lebih bermakna (meaning) dengan

menggunakan teori koheren dan kohesi pada grammatikal Arab. Langkah

ini kemudian menjadi proyek besar yang dikembangkan oleh Tamma>m

Hassa>n lewat teori makna (ma‘na>), kolokasi (tad}a>fur), dan indicator

(qara>’in) dalam menganalisi setiap fenomena struktur bahasa Arab, yang

dikaji secara komprehensif dalam karya monumentalnya berjudul “al-Ma‘na> wa al-Mabna>”.28 Hanya saja, peneliti melihat dalam artikel Ramzi

tersebut, hanya menyoroti kepakuman laju progresifitas kaidah nahu

dengan sedikit mengomentari karya al-Qushayri> yang dianggap punya

pemikiran kreatif, tanpa mengkaji lebih mendalam dari berbagai aspek.

Oleh sebab itu, penulis hendak melanjutkan penelitian tersebut dalam

konteks penelitian yang lebih mendalam.

Penelitian yang tidak jauh berbeda dilakukan oleh F. Dominic

Longo, dalam penelitianya tentang tata bahasa dan suatu perbandingan

teologi Islam dan Kristen berjudul: Spiritual Grammar: A Comparative Theological Study of Jean Gerson’s Donatus moralizatus and ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri’s Nah}w al-Qulu>b, karya ini merupakan disertasi yang

26Ramzi Baalbaki, “In the Shadow of Arabic The Centrality of Language

to Arabic Culture”, [ad.] T. Muraoka, A.D. Rubin dan C.H.M. Versteegh dalam

Studies in Semitic Languages and Linguistic (Leiden: Brill, 2011), Vol. 63, 23. 27Kees Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam

(Leiden and New York: E.J. Brill, 1993), 191. Michael Carter “Humanism and

the Language Sciences in Medieval Islam,” dalam Humanism Culture and Language in the Near East: Studies in Honor of Georg Krtokofff. Ed. Asma

Afsaruddin and A.H. Mathias Zahniser (Winona Lake: Eisenbrauns, 1997), 27–

38. 28Tamma>m Hassa>n, al-Lughah al-‘Arabi>yah: Ma‘na>ha> wa Mabna>ha>

(Magrib: Da>r al-Thaqa>fah, 1994), 177-191.

Page 34: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

22

ditulis di universitas Harvard, pada tahun 2011.29 Focus kajian Longo ini

merupakan studi perbandingan antara teologi Islam dan Katolik, teologi

Islam diwakili oleh al-Qushayri> sebagai pemikir besar sufi Arab,

sementara teolog katolik diwakili oleh sarjana Barat Jean Gerson dengan

menganalisis teks dari dua karya tokoh tersebut berjudul Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r dan Donatus moralizatus. Kongklusi yang dibangun dalam

penelitian Lango ini memaparkan tentang konsep sepiritual grammar

yang ditawarkan al-Qushayri>. Nahwu, sebagai alat yang tidak hanya

berfungsi menjelaskan kaidah bahasa Arab semata, dan menjaga lisan dari

kesalahan berbahasa sebagai panduan prinsip. Sumber utama semuanya

itu, bersifat simbolik yang sesungguhnya berpijak pada sistem atau

aturanan legal formal kaidah nahwu. Tujuannya, untuk menjaga lisan dari

kesalahan berbahasa. Namun dalam persepektif sufi fungsi, kaidah nahwu

lebih dari itu, kaidah nahwu yang dikonstruksi oleh al-Qushayri> hendak

menawarkan penafsirannya ke dalam konteks teologis. Kajiannya

menawarkan konsep hibriditas antara tradisi keilmuan berbeda dalam

konteks ini adalah nahwu dan tasawuf. Ijtihad hibridasi ini, dinilai

mampu melahirkan gagasan inti bertendensi dogmatis teologis dan

berpretensi ideologis yang ia bangun. Namun demikian, terdapat

distingtif kajian Loango dengan peneliti yang akan dilakukan ini, bahwa

distingtif kajian Lango, di mana ia tidak mengulas secara utuh, aspek

ketasawufan yang sesungguhnya menjadi pemikiran inti al-Qushayri>.

karena ia lebih menekankan demensi paradigma esoteris, bukan semata

berkutat dalam konteks teologis Asy‘ariy>ah. Sementara menelisik doktrin

teologi Ash‘ari> dalam karya al-Qushayri>, nampak kontra produktif

dengan kasus atau wacana yang dikehendaki oleh sang-author. Mengingat

karyanya ini, lebih memfokuskan kajiannya tentang relasi nahwu yang

diinterpretasi ke dalam konsep tasawuf. Sedangkan antara tasawuf dan

teologi, sering terjadi tensi panas karena selalu terjadi diskursus antara

doktrin teologis dan konsep tasawuf, karena persepektif dari dua ilmu ini

memiliki konsepsi berbeda. Oleh sebab itu, penulis lebih menitik

beratkan kajian disertasi ini kepada relasi nahwu-tasawuf dalam

persepektif pemaknaan esoteris menurut al-Qushayri>. kajian peneliti,

menjadi pembeda dan distingsi dari kajian yang telah dilakukan Lango.

Kajian di atas, sedikit berbeda dari penelitaian yang dilakukan oleh

Martin Tran Ngunyen yang memfokuskan kajiannya tentang pertemuan

dan konstruksi tradisi intelektual al-Qushayri> dan interaksi sosial yang

ikut membentuk produk penafsirannya. Fokus kajian Ngunyen

29F. Dominic Longo, “Spiritual Grammar: A Comparative Theological

Study of Jean Gerson’s Donatus moralizatus and ʿAbd al-Kari>m al-Qushayri>’s Nah}w al-Qulu>b” (American: Harvard University, 2011), 43.

Page 35: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

23

memusatkan terhadap tiga tema besar dalam tradisi interpretasi al-

Qur’a>n. Tiga tema pokok itu, teologi, wacana sufisme dan tradisi

interpretasi penulisnya. Nguyen menulis disertasinya berjudul the Confluence and Construction of the Traditions: al-Qushayri> (d. 465/1072) and the Intersection of Qur’anic Exegesis, Theology, and Sufism.30

Dalam penelitian Nguyen ini, lebih banyak menyoroti fakta dan dinamika

dari kronologi social historitas yang meliputi latar belakang kehidupan

al-Qushayri>, seperti konteks geopolitik, fenomena interaksi sosil berikut

serangkaian peristiwa dan momen penting di era al-Qushayri> hidup. Dari

persinggungan itu semua, telah memberi andil besar dan berpengaruh

kuat terhadap produk penafsirannya. Penulis sengaja banyak mengangkat

aspek sejarah dengan mengaitkan tiga wacana inti dari pada kajiannya

seperti tafsir, teologi dan sufisme yang tersimpan dalam pemikiran sang

aktor intelektual. Argumen Ngunyen lebih menyoroti fakta historis sebab

antara teks dan konteks tidak bisa dipisahkan, karena semuanya turut

mengkonstruk pemikran sang penulis. Hanya saja, dalam kajiannya

Nguyen tidak menyinggug karya al-Qushayri> berjudul “Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r” yang sesunggunya banyak memuat inti pemikiran sufisme.

Sementara, core studi al-Qushayri> lebih banyak memusatkan tentang

konsepsi tasawuf yang begitu unik dalam karyanya itu, dalam konteks ini

Nguyen tidak sedikitpun menggukan rujukan dari karya sang Sufi

tersebut. Sebab itu, penulis hendak mengkaji secara holistik dan

komprehensif dari pemikiran nahwu sufi versi al-Qushayri>.

Relevansi literature review di atas, ternyata ada beberapa karya

serupa dari karya yang pernah ditulis oleh selain al-Qushayri>. Hanya saja

terdapat distingtif fundamental dari wacana yang diketengahkan,

mengingat ditulis oleh ulama yang latar belakangnya dari kelompok

teolog. Ide dasar yang hendak dibangun adalah dengan menafsirkan

kaidah nahwu berwawasan doktrin ketauhidan. Konsep itu seperti yang

dijelaskan oleh Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Maymu>n ibn Abi> Bakr ibn Yu>suf

al-Ha>shimi> al-H{asani> al-Idri>si>. Melalui karyanya yang berjudul Risa>lah al-Maimu>nah fi> Tawhi>d al-Ajru>mi>yah ‘Ali> ibn Maymu>n berupaya

mengintegrasikan antara doktrin tauhi>d yang tersimpan dalam kaidah

nahwu.31 Pemikiran pokok yang dikemukakan oleh ‘Ali> ibn Maymu>n

tidak lain, hendak menguak konsep ketauhidan yang tak terkatakan (al-

30Martin Tran Ngunyen, the Confluence and Construction of the

Traditions: al-Qushayri> (d. 465/1072) and the Intersection of Qur’anic Exegesis, Theology, and Sufism (American: Harvard University, 2010), 29.

31Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Maymu>n ibn Abi> Bakr ibn Yu>suf al-Ha>shimi> al-

Hasani> al-Idri>si>, Risa>lah al-Maimu>nah fi> Tawh}i>d al-Ajru>mi>yah (Mesr: Da>r al-

Kutub, tt ), 5-10.

Page 36: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

24

masku>t ‘anhu) yang termanifestasi dalam struktur kaidah nahwu, tentu

yang sebelumnya tak terpikirkan menjadi terpikirkan (anthinkable to thinkeble) yang dirumuskan oleh para teolog ini. Namun, setelah penulis

kaji karya ini, di antara tema-tema yang dikemukakan oleh penulis hanya

mengaitkan nilai dokmatis atau doktrin ketauhidan tanpa menjelaskan

demensi tasawuf yang terkandung dalam struktur kaidah nahwu. Gagasan

ini, tentunya yang membedakan dengan karya al-Qushayri>. Dengan

demikian posisi penulis lebih memfokuskan tentang relasi nahwu dan

tasawuf dalam konteks pemaknaan dari perspektif al-Qushayri>. Harus

diakui, bahwa terdapat difrensiasi fundamental konsep tasawuf dengan

doktrin tauhid. Sebagai contoh komplik dan perdebatan tentang konsep

wih}datu wuju>d, h}ulu>l, tajalli> dan konsep-konsep lainnya, yang dianggap

menyimpang dari subtansi ketauhidan oleh para teolog.

Konsepsi tauhid lewat artikulasi simbol-simbol kaidah nahwu, juga

disusun dalam karya Ibn ‘Aji>ba yang telah memberi ulasan atas karya

Maimu>n tersebut yang berjudul, Sharh} al-futu>h}a>t al-quddu>si>ya fi> sharh} al-muqa>dima al-A<jurru>mi>ya. Karya ini dimuat dalam Kita>b sharh} s}ala>t al-qut}b Bin Mashi>sh: Silsila>t Nu>raniyya Fari>da. Ed. Al-‘Umra>ni> al-Kha>lidi>

‘Abd al-Sala>m, 1999.32 Karya ini lebih detail menjelaskan tentang pesan

tauhid yang termuat dari seluruh tema besar yang dihadirkan dalam

struktur kaidah nahwu. Tetapi karena karya ini hanya merupakan sharh}

atau komentar dari karya ‘Ali> ibn Maymu>n. Hanya saja terdapat

perbedaan, karya ibn ‘Aji>ba ini, di mana karya ini memuat lebih

tersistematis sesuai dengan tema-tema yang tersusun dalam kaidah

nahwu. Hanya saja, karyanya tidak banyak menyinggung konsep tasawuf

karena ada kemungkinan pandangan ibn ‘Aji>bah lebih didominasi oleh

doktrin tauhid dibandingkan konsep tasawuf. Oleh sebab itu, penulis

mencoba menelisik relasi nahwu-tasawuf dalam perspektif al-Qushayri>,

lebih luas dan mampu menemukan konsep baru serta teori orasinalitas

linguistik yang menjadi core kajian lanjutan dalam penelitian disertasi

ini.

Sejalan dengan beberapa literatur review di atas, terdapat sejumlah

karya yang hampir serupa dengan pemikiran nahwu sufi al-Qushayri>,

pernah ditulis oleh ‘Izuddin ibn ‘Abd al-Sala>m bertajuk, Talkhi>s} al-‘Iba>rat fi> Nah}w Ahl al-Isha>rat.33 ‘Abd al-Sala>m dalam karyanya ini

32Ibn ‘Aji>ba, Sharh} al-Futu>h}a>t al-Quddu>siyya fi> Sharh} al-Muqaddima al-

A<jurru>mi>ya, dalam karya Kita>b Sharh} S{ala>t al-Qut}b Bin Mashi>sh: Silsila>t Nu>rani>ya Fari>da. [ed.] Al-‘Umra>ni> al-Kha>lidi> ‘Abd al-Sala>m. (Maroko: Da>r al-

Rasha>d al-Ḥadi>tha, 1999), 5-13. 33‘Izuddin ibn ‘abd al-Sala>m, Talkhi>s} al-‘Iba>rat fi> Nah}w Ahl al-Isha>rat

(Beiru>t: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiah, 2006), 4-9.

Page 37: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

25

mengemukakan gagasan kesufiannya lewat penafsiran atas kaidah nahwu

sebagai alat dalam menyampaikan konsep dan pemikiran tasawufnya.

Hanya saja, nahwu sufi versi ‘Abd al-Sala>m ini, tidak mengeksplor secara

mendalam dan tak menjelaskan lebih luas berdasarkan tematik dan

sistematik yang tersusun berdasarkan kasus-kasus yang tersusun dalam

kitab-kitab nahwu. Sekilas kajian ‘Abd al-Sala>m, memang terdapat

kesamaan dengan nahwu sufi versi al-Qushayri>. tetapi, terma-terma yang

digunakan berbeda, begitu juga penjelasan yang disampaikan lebih

singkat, sementara al-Qushayri> lebih mendalam dan sistematis. Dengan

demikian peneliti hendak mencari titik perbedaan dan sisi kesamaan pola

pemaknaan esoteris di antara karya-karya serupa yang pernah ditulis oleh

ulama tasawuf seperti al-Qushayri>.

Begitu juga pandangan yang hampir serupa dari karya-karya

nahwu sufi yang ditorehkan ulama di atas, adalah ‘Abd al-Qadi>r ibn

Ahmad al-Kuha>ni> dengan karyanya bertajuk “Mani>yatu al-Faqi>r al-Munjarid wa Sairu al-Muri>d al-Mutafarrid” dalam karyanya ini. Al-

Kuha>ni> membangun ide sufistiknya juga, dengan mengadopsi teks nahwu

untuk dimaknai kedalam wacana esoterik. Adapun tema seperti fa>‘l, maf‘u>l, mubtada khbar, s}ifat dan maus}uf. Hanya saja karya al-Kuha>ni ini,

masih terlihat begitu sedarhana dalam menafsirkan makna esoterik,

bahkan terkesan menyadur beberapa pendapat ulama tasawuf dari karya

serupa dengannya. Sehingga nilai orisilalitas pemaknaan esoterisnya,

yang dihadirkan kurang represntatif apabila dibandingkan dengan karya-

karya nahwu bergenre bathin. Hal itu, sebagaimana yang telah ditulis

oleh al-Qushayri>. untuk itu, penulis perlu memberi pemaknaan lebih

holistik dan kontruktif lewat penelitian yang dilakukan ini.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini murni studi kepustakaan (library research). Objek

material penelitian ini secara partikuler berkaitan dengan sumber-sumber

kepustakaan yang membahas masalah pokok dan sub-sub permasalah

yang telah dirumuskan. Karena subjek utama penelitian ini adalah

mengkaji teks nahwu perspektif tafsir esoteris al-Qushayri>, maka

diharapkan mampu merefleksikan pesan sufistik yang selama ini

tersembunyi dibalik teks nahwu yang bersifat simbolik (nah}w al-d}ha>hir). Ditinjau dari data dan jenis penelitian, penelitian ini termasuk jenis

penelitian kualitatif,34 karena menghasilkan data deskriptif.35 Dengan

34Lexy J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

Rosda Karya, 2007), 3.

Page 38: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

26

demikian, secara umum memerlukan model pembacaan secara deskriptif-

analitik dengan langkah-langkah oprasional sebagai berikut: A)

Mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi obyek penelitian. B)

Membahas gagasan primer, yang pada dasarnya melakukan interpretasi

peneliti terhadap gagasan yang telah dideskripsikan. C) Melakukan “studi

analitik” yakni studi terhadap gagasan primer tentang semantik nahwu

tasawwuf dalam bentuk hubungan, dengan berlandaskan teori, metode,

dan pendekatan yang digunakan. Selanjutnya menyimpulkan hasil

penelitian.

2. Sumber dan Data Penelitian

Dalam proses penelusuran dan pengumpulan data penelitian,

penulis memfokuskan kajian ini bertumpu pada studi teks atau dokumen.

Terdapat dua Sumber yang digunakan dalam disertasi ini di antaranya

sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah karya-karya orisinalitas dari pemikiran

nahwu berwawasan tafsir tasawuf al-Qushairi> yang bertajuk Nah}w al-Qulu>b al-Kabi>r wa al-S{aghi>r. Argumen peneliti menjadikan karya ini

sebagai sumber primer, dikarenakan al-Qushayri> sebagai tokoh sentral

yang telah menuangkan gagasan briliannya dalam menyatukan tasawuf

dan nahwu, sekaligus sebagai tema sentral dari penelitian. Kasus yang

dijadikan objek penelitian adalah kaidah-kaidah nahwu yang

diinterpretasikan oleh al-Qushayri> dalam mengeksplorasi dan menggali

pesan tasawuf yang termanifestasi dibalik kaidah nahwu. Seluruhnya

penelitian ini, terangkum lewat antologi pemikiran nahwu sufi al-

Qushayri>.

Adapun sumber sekunder penelitian ini, tentu berkaitan dengan

kajian sejarah nahwu yang membahas tentang motivasi, orientasi dan

faktor-faktor pemaknaan melalui kaidah nahwu dan bagaimana titik awal

persinggungan dan pergumulan kaidah nahwu yang ditafsirkan kedalam

tasawuf tersebut. Karya tersebut, seperti Takhli>s} al-‘Iba>rah fi> Nah}w Ahl al-Isha>rah karya ‘Izz al-Dīn aL-Maqdisi, Sharh} al-futu>h}a>t al-Quddu>si>ya fi> Sharh} al-Muqa>dima al-A<jurru>mi>ya karya Ibn ‘Aji>ba, ‘Ali> ibn Maimu>n

Risa>lah Maimu>nah fi> al-Tauh}i>d al-Ajurru>mi>ya karya Ahmad Mukhtar;

Ta>ri>kh al-Nah}w al-‘Araby fi> al-Mashriq wa al-Maghri>b, Karya

Muhammad bin Hasan al-Zubaidi T{aba>qa>t al-Nah}wiyi>n wa al-

35Bogdan dan Taylor mendefinisikan jenis penelitian kualitatif dan

prosedurnya adalah sebagai suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis dari objek yang diamati. Lexy J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, 4.

Page 39: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

27

Lughawiyi>n. Di samping itu, terdapat karya-karya sekunder lainnya yang

berkaitan dengan jurnal-jurnal yang mengkaji nahwu dan tasawuf oleh

sarjana Barat, sebagai perbandingan untuk lebih memperdalam dan

mengeksplorasi demensi interkoneksi dan intertekstualis antara nahwu

dan tasawuf. Karya semisal Francesco Chiabotti, “Nah}w al-Qulu>b al-S{agi>r: La grammaire des coeurs de Abd al-Kari>m al-Qushayri>: Presentation et annotee”, ditulis oleh Tamas Ivanyi, “Towards a Grammar of the Hearts: al-Qushayri’s Nah}w al-Qulu>b”. Sedangkan

karya-karya serupa dengan gagasan al-Qushyari> yang memaparkan aspek

tasawuf lewat teks nahwu, dinilai layak sebagai sumber pendukung yang

refresentatif. Hal itu, khususnya yang masih menjadi wacana menarik

layaknya, Talkhi>s} al-‘Iba>rah fi> Nah}w al-Isha>rah karya ‘Izuddin Ibn Abi>

Sala>mah, Risa>lah al-Maimu>nah fi> Tauh}i>d al-Juru>mi>yah adalah karya Ibn

Maimu>n, Futu>ha>t al-Qudu>si>yah fi> Sharh} al-Muqaddimah al-A<juru>mi>yah karya Ibn ‘Aji>bah. Karya-karya itu, oleh sebagian masyarakat akademis

menjadi diskursus menarik untuk diteliti dalam ranah akademik. Karya

al-Qushayri> dalam bidang tafsir, tasawuf dan tauhi>d semisal, Lat}a>if al-Isha>rah, Risa>lah al-Qushairiyyah fi ‘Ilm al-Tas}awuf, Tah}bi>r fi al-Tadhki>r,. Karya Ibra>hi>m Basyu>mi> Ima>m al-Qushairi>: H{aya>tuhu wa Atha>ruhu fi ‘Ilm al-Tasawuf.

3. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan sumber dan data yang digunakan dalam disertasi ini,

maka penelitian ini murni penelitian kepustakaan (Library Research).

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa

pendekatan sesuai dengan jenis data yang diteliti di antaranya:

A. Pendekatan linguistik (al-madkhal al-lughah), mekanisme

oprasional dalam pendekatan ilmu linguistik berfungsi untuk menjelaskan

dan menyingkap dua aspek yang terdapat dalam kaidah nahwu yaitu

fenomena dan nomena dari realitas struktur kaidah nahwu. Dengan

mengadopsi teori yang diperkenalkan oleh Chomsky yang disebut

transformatif generative. Teori ini merupakan representatif dari pada

teori linguistik yang dibangun olehnya, seperti setruktur lahir sebagai

performansi penutur bahasa (surface structure) dan setruktu batin atau

gagasan dan ide inti dari sang-penutur bahasa (deep structure) yang

masih abstrak dan tersimpan dalam bentuk ide serta pemikiran.36

36Terbagunya toeri transformasi generatif oleh Chomsky ini,

sesungguhnya suatu dimensi tak terkatakan atau pembungkaman bahasa yang

terbentuk dalam kategori kompetensi dan performansi. Kemampuan atau

kompetensi representasi dari deep structure (bahasa yang masih berbentuk hanya

ide/pikiran). Sementara aktualisasi atau performansi disebut surface strucutre

Page 40: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

28

Orientasiya adalah memaparkan argumen rasional, upaya menemukan

teori dan menangkap pesan sufistik yang terjalin dalam intertekstual dan

interkonektif antara struktur kaidah nahwu dan dimensi esoteris berupa

manifestasi pesan mistisme. Fungsinnya menangkap makna secara

mendalam, baik aspek yang bersifat idiologis berupa pesan sufistik dan

orientasi teologis yang terjalin melalui relasi antarkata dan kalimat dalam

memahami relasi fenomena serta nomena dari kaidah nahwu tasawuf.

B. Pendekatan semiologi versi Roland Barthes tentang lapisan

makna yang diproduksi, terdiri dari denotatif dan konotatif (‘ilm al-si>ma>’yah).37 Semiotik Barthes ini berfungsi untuk menggali dan

menyingkap lapisan makna yang selama ini tak terkatakan (al-masku>t ‘anhu), yang mana dibalik lahiriyah struktur teks kaidah nahwu, memiliki

pesan signifikansi tersembunyi (al-magza makhfiyun). Kaidah nahwu

sebagai teks terdiri dari huruf, kata-kata, selanjutnya dirangkai menjadi

kalimat oleh unsur-unsur. Sementara itu, kalimat sebagai ekspresi

kebahasaan yang mengandung pernyataan, gagasan atau pesan. Oleh

(bahasa yang mengaktual dalam aplikasi nyata). Dalam proses generatif inilah,

pada dasarnya dibutuhkan fungsi semiologi atau peran semiotik untuk

menciptakan sintaksis-sintaksis yang berbentuk bunyi, makna dan pesan yang

dapat menyibak maksud atau tujuan dasar dari setiap aspek dari fenomena

bahasa. Noam Chomsky, Syntactic Structures (Berlin and New York: Mouton de

Gruyter, 2002), 26. 37Teori tentang mental bahasa dimaksud adalah menjelaskan dimensi

kedalaman makna atau inner word, yang pada dasarnya telah sejak lama dibahas

dalam tradisi pemikiran filsafat bahasa, khususnya berkaitan dengan teori

penafsiran hermeneutik. Seperti teori yang digagas oleh Roland Barthes yang

melihat fenomena keilmiahan bahasa terdiri dari dua lapisan, lapisan pertama.

Denotativ dan lapisan kedua. Konotatif. Teori Barthes ini diafirmasi oleh Poul

Ricoeur yang mengatakan bahwa suatu teks atau statemen yang telah dikatakan

atau ditulis oleh sang pengarang, menjadi tidak terikat lagi dari otoritas sang

pemilik teks, alias menjadi teks otonom sebab telah terlepas dari kuasa sang

pengarang. Untuk itu, dalam konteks ini Barthes memfostulatkan tentang konsep

“matinya sang pengarang” (the death of author), maka konsekuensi logisnya

bahwa produk teks, karya, atau ungkapan tersebut menjadi “bebas” untuk

ditafsirkan oleh setiap pembaca sesuai dengan orientasi wacana yang hendak dia

bangun. Demikian, karena ia telah menjadi teks independen (nas}s} mustaqillun).

Lebih jelas baca, Karl Sims, Poul Riceour (New York: Routledge, 2003), 41-43.

Roland Barthes, Image, Music, and Text, Translated by Stephen Heath (New

York: Hill and Wang, 1977), 142. Bandingkan dan lebih jelas baca karya Benny

H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sander Peirce, Marcel Danesi & Paul Perron, dll (Depok: Komunitas Bambu, 2008), 97-98.

Page 41: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

29

karena itu, penulis menggunakan pendekatan semiotik Barthes, untuk

mengidentifikasi pesan, motif, ide, motivasi, dan orientasi dari gagasan

yang terkandung pada struktur kaidah nahwu sufi yang dikonstruksi oleh

al-Qushayri>. Semua itu, terangkum dalam relasi teks kaidah nahwu

dengan tasawuf yang melahirkan paradigma baru yaitu nahwu bercorak

sufistik. Singkatnya dalam pandangan Fahmi Hijazi> bahwa pendekan

ilmu bahasa adalah studi tentang fenomena bahasa secara ilmiah.38

C. Kerangka Teoritis yang diadopsi dalam penelitian ini adalah

teori post strukturalisme, kususnya gagasan inti tentang studi fenomena

linguistik. Teori tersebut salah satu yang dikembangkan oleh Noam

Chomsky secara mutakhir, di mana ia memfokuskan studinya tentang

mental bahasa. Dalam teori ini, Chomsky berpendapat bahwa tidak ada

gagasan koheren tentang bahasa secara eksternal dalam pikiran manusia.

Karena itu, studi tentang bahasa harus memfokuskan kajianya meliputi

konstruk mental bahasa yang merupakan pengetahuan atau informasi inti

seseorang tentang bahasa. Oleh karena itu, bahasa manusia adalah

representasi dari pemikiran psikologis dan gagasan subtantif dibalik teks

atau ucapan yang bersifat simbolis. Semua unsur kebahasaan itu, pada

akhirnya menurut Chomsky merupakan objek biologi yang dapat dikaji.

Dalam konteks wacana perkembagan ilmu linguistik, demikian harus

dianalisis dengan menggunakan metodologi ilmu linguistik secara ilmiah,

layaknya ilmu alam yang bersifat empirik seperti biologi, fisika atau

eksak dan lain sebagainya.39

Teori mental bahasa Noam Chomsky, nampak sejalan dengan teori

post-strukturalisme. Teorinya menyatakan bahwa sesuatu yang eksis atau

wujut yang berbentuk ucapan dan tulisan yang terlahir dari pemikiran

manusia, tidak sekedar merefleksikan sesuatu yang bersifat lahiriyah atau

demensi fenomenologis semata. Tetapi sebaliknya, sesuatu bersifat

realitas yang tampak terlihat oleh mata secara simbolik, maka

sesungguhnya memiliki aspek nomena atau nilai subtansi dibalik teks

yang awalnya bersifat lahiriyah. Dalam konteks ini, penulis berasumsi

bahwa aplikasi teori mental bahasa yang dirumuskan oleh Chomsky,

begitu relevan untuk dioprasikan dalam penelitian disertasi ini.

Konkritnya, apabila teori mental bahasa diaplikasikan untuk menyoroti

relasi nahwu dan wacana tasawuf, yang mana selama ini kaidah nahwu

hanya diasosiasikan oleh sebagian komunitas akademik, fungsinya hanya

sebagai alat untuk mengatur struktur kalimat agar mampu berbahasa

38Mahmu>d Fahmi Hija>zi>, Madkhal Ila ‘Ilm al-Lughah (Kairo: Da>r al-

Quba’, t.t), 17. 39Noam Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind

(New York: Cambridge University Press, 2000), 29.

Page 42: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

30

dengan benar baik lisan dan tulisan. Ternyata sebaliknya, bahwa kaidah

nahwu terkandung pesan sufistik sebagai hasil pemaknaan yang

merefleksikan aspek filosofis yang oleh al-Qushayri> disebut dari dimensi

yang tak terkatakan (al-ittija>h}a>t al-nas}s} al-masku>t) dari kaidah nahwu.

4. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari enam bab. Adapun bab pertama meliputi

pembahasan dari langkah-langkah penelitian seperti: penelitian yang

mencakupi mulai dari permasalahan (identifikasi masalah, pembatasan

masalah, dan perumusan masalah), penelitian terdahulu yang relevan,

tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian,

dan sistematika penelitian.

Bab kedua berisi kerangka konseptual, teori, dan argumen-argumen

yang dijadikan landasan oleh mayoritas ahli tasawuf ketika menafsirkan

kaidah nahwu yang melahirkan nahwu bercorak nahwu sufistik. Untuk

itu, dalam bab ini penulis penting menyajikan perdebatan seputar relasi

kaidah nahwu versus tasawuf, kerangka teoritis linguistik, diskursus

antara fenomena dan nomena semiotika perspektif teoritis, pembacaan

awal atas nahwu sufistik semiotik struktural: relasi teks, makna dan

pembaca dalam struktur nahwu tasawuf orientasi semiotik struktural

dalam penafsiran nahwu Sufistik wacana ganda nahwu sufi: dialektika

antara makna lahiriah dan batiniah. Bab ini penting dimulai dengan

tinjauan umum mengenai teori dan metode para ahli nahwu dalam

merumuskan kaidah nahwu sebagai dalil normatif dalam pola pemaknaan

esoteris yang dihadirkan.

Bab ketiga mengulas argumentasi penggunaan nahwu dan

menyoroti biografi al-Qushayri> secara utuh, pembahasan biografi

meliputi latar belakang intelektual, dinamika sosiokultural dan karya

intelektual al-Qushayri> serta menyoroti pemikiran linguistik yang

berkaitan dengan ilmu nahwu. Pada bab ini penting dijelaskan, untuk

mengenal reputasi al-Qushayri> dan kapasitas keilmuan dengan

menelusuri dinamika yang meliputi saat ia tumbuh.

Bab keempat menyajikan tentang paradigma pemaknaan eksoteris

menuju pesan esoteris, relevansi antara teks-konteks-makna, refleksi

moral spiritual filosofis sintaksis-sufistik, signifikansi pesan harmoni

nahwu dan tasawuf. Semua pembahasan ini, sebagai aplikasi dari

semiosis yang diformulasikan al-Qushayri> mencakup sejumlah tema

kaidah nahwu berikut ini: Intertekstual nah}w al-z}a>hir dan nah}w al-ba>t}hin: Eksplorasi makna Tasawuf kala>m mufi> dan makna tasawuf ghair al-mufi>d. Refleksi semantik esoterik dalam Sintaksis bergenre sufistik. Ekstraksi makna tasawuf melalui ism, fi‘il dan h}urf: menyibak tafsir

tasawuf dalam ism, menyibak tafsir tasawuf lewat fi‘il, menyibak tafsir

Page 43: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

31

tasawuf melalui hurf. Signifikansi Pesan ssoterik mu‘rab dan mabni>: pesan esoteris pada mu‘rab, pesan esoterik pada mabni>. Manifestasi

makna esoteris dibalik simbol nahwu: fa>‘il wa Anwa>‘uha>, maf‘u>l wa ‘anwa>‘uha>, na‘t wa man‘u>t, h{a>l, al-badal wa ‘anwa>‘uha>, al-ta‘jub, al-tamyi>z, al-‘at}af, tauki>d, ism ma> yuns}arif wa ma> la> yuns}arif. Pada bab

yang dipaparkan tersebut, penulis penting untuk mengeksplorasi secara

detail dan mendalam untuk mengetahui orientasi utama semantik al-

Qushayri> dan seperti apa titik temu secara subtantif tentang relasi

paradigmatik lewat intertekstualis dan interkonetif antara nahwu dan

tasawuf terjalin.

Bab kelima pembahasan tentang relevansi dan signifikansi dari

hasil aplikasi semiotik esoterik yang terkandung dalam karyanya al-

Qushayri> nah{w al-qulu<b al-kabi<r al-Qushayri> yang mana penulis berupaya

mengaitkan tentang internalisasi konsep tasawuf h}aqi>qatu al-tauh}i>d,

tazkiyat al-nufu>s, tas}fi>yat al-qalu>b. Selanjutnya penulis memaparkan

bagaimana aktualisasi pesan moral spiritual tasawuf, al-zuhu>d, a-mah}abba. Begitu juga penulis penting memaparkan tentang paradigma

integratik nahwu tasawuf dalam konteks pendidikan bahasa arab, yang

ditarik ke dalam tema-tema besar yang menyoroti epistimologi mikro

dalam kajian linguistik sintaktikal. Bab kelima ini, penting diulas penulis

secara detail, tujuannya untuk melihat relevansi dan signifikansi dalam

konteks kekinian dan sebagai kontribusi nyata baik dalam tatanan

akademik khususnya dan masyarakat umumnya.

Bab keenam penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian dan

saran berdasarkan kesimpulan yang dihasilkan.

Page 44: KAJIAN SEMIOTIK ATAS NAH}W AL-QULU><B KARYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48608...Kabi>r dan Nah}w al-Qulu> b al-S{aghi>r karya al-Qushayri>.

32