Top Banner
1 Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun 2012 1 Dokumen ini pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) Bagian. Pada Bagian I, akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan ‘amanat reformasi’ berkaitan dengan pengaturan tentang desa di masa yang akan datang, yang menurut pandangan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) harus dijadikan titik tolak perencanaan kebijakan tentang desa yang baru. Bagian II berisikan tinjauan terhadap naskah ‘RUU Desa’ yang sedang dibahas oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini (Juni 2012). Sedangkan Bagian III berisikan ulsan singkat tentang proses amandemen Pasal 18 UUD 1945 dan implikasinya terhadap kedudukan dan regulasi tentang desa. Bagian IV berisikan kerangka usulan Catatan Pembuka Dokumen ini disusun dengan kesadaran tinggi bahwa dalam rangka penyusunan ‘Undang- Undang Desa’ berbagai pihak, baik dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, maupun dari berbagai organisasi dan/atau jaringan kerja masyarakat sipil, telah menyusun sejumlah Naskah Akademik yang dibutuhkan. Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) menyambut gembira dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada masing-masing inisiatif itu. Pada dasarnya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria bersetuju dan mendukung banyak gagasan yang telah disampaikan dalam berbagai Nasakah Akademik dimaksud. KECUALI, tentunya, yang BERTENTANGAN dengan pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam dokumen ini. 1 Dokumen ini dimungkinkan oleh serangkaian kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk melalui sebuah lokakarya penulisan yang turut disponsori Parade Nusantara, yang diselenggarakan di Yogyakarta, Tanggal 21 – 23 Februari 2012. Meski begitu, tanggungjawab atas seluruh isi dokumen ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
61

Kajian RUU Desa

Nov 30, 2014

Download

News & Politics

Yossy Suparyo

Kajian yang dilakukan oleh KARSA tentang RUU Desa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kajian RUU Desa

1

Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia:

Pandangan dan Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun

20121

Dokumen ini pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) Bagian. Pada Bagian I, akan diuraikan

hal-hal yang berkaitan dengan ‘amanat reformasi’ berkaitan dengan pengaturan tentang

desa di masa yang akan datang, yang menurut pandangan Lingkar Pembaruan Desa dan

Agraria (KARSA) harus dijadikan titik tolak perencanaan kebijakan tentang desa yang baru.

Bagian II berisikan tinjauan terhadap naskah ‘RUU Desa’ yang sedang dibahas oleh

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini (Juni 2012). Sedangkan Bagian III

berisikan ulsan singkat tentang proses amandemen Pasal 18 UUD 1945 dan implikasinya

terhadap kedudukan dan regulasi tentang desa. Bagian IV berisikan kerangka usulan

Catatan Pembuka

Dokumen ini disusun dengan kesadaran tinggi bahwa dalam rangka penyusunan ‘Undang-

Undang Desa’ berbagai pihak, baik dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia, maupun dari berbagai organisasi dan/atau jaringan kerja masyarakat sipil, telah

menyusun sejumlah Naskah Akademik yang dibutuhkan. Lingkar Pembaruan Desa dan

Agraria (KARSA) menyambut gembira dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada

masing-masing inisiatif itu. Pada dasarnya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria bersetuju

dan mendukung banyak gagasan yang telah disampaikan dalam berbagai Nasakah

Akademik dimaksud. KECUALI, tentunya, yang BERTENTANGAN dengan pokok-pokok

pikiran yang tercantum dalam dokumen ini.

1 Dokumen ini dimungkinkan oleh serangkaian kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk melalui sebuah lokakarya penulisan yang turut disponsori Parade Nusantara, yang diselenggarakan di Yogyakarta, Tanggal 21 – 23 Februari 2012. Meski begitu, tanggungjawab atas seluruh isi dokumen ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.

Page 2: Kajian RUU Desa

2

Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria tentang ‘Rancangan Undang-Undang tentang

Desa atau disebut dengan nama lain’ yang sebaiknya disusun di masa depan sebagai

pengganti rancanagan yang tengah dibahas itu.

Kerangka usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria terhadap substansi

‘Rancangan Undang-undang Desa atau disebut dengan nama lain’ dimaksud mencakup hal-

hal sebgai berikut:

1. Landasan Filosifis, Sosiologis, Historis dan Yuridis

2. Azas dan Tujuan Undang-Undang tentang ‘Desa atau disebut dengan nama lain’,

selanjutnya disebut Desa.

3. Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan di Tingkat Desa

4. Kewenangan Desa

5. Demokrasi dan Kepemimpinan

6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan dan Pembangunan Desa

7. Keuangan Desa

8. Sharing Pendapatan dari Asset dan Sumber Daya Alam di Desa

I. Amanat Reformasi tentang desa

“…kalau desa kita memang mulai bergerak maju atas kekuatannya sendiri, barulah seluruh

masyarakat kita akan pula naik tingkatan serta kemajuannya di dalam segala lapangan, …”

kata Sutan Sjahrir, salah seorang pendiri Republik ini pada suatu ketika. Pernyataan ini

secara langsung menunjukkan bahwa betapa desa merupakan entitas sosial yang memiliki

tempat penting bagi kemajuan suatu bangsa dan Negara, dalam hal ini adalah Indonesia.

Maka, ketika kita kembali membincangkan suatu kemungkinan tentang suatu kebijakan

Negara yang menyangkut desa ini, tidak bisa tidak kita harus menoleh kebelakang: melihat

kembali hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana sebenarnya cita-cita Proklamasi

berkenaan dengan desa ini, dan juga, bagaimana desa ini telah diatur sepanjang usia

Kemerdekaan selama ini. Menoleh kebelakang tentu saja bukan dimaksudkan untuk

sekedar bernostalgia tentang romantisme masa lalu, melainkan menjadi suatu upaya dalam

Page 3: Kajian RUU Desa

3

menemukan kembali energi-energi positif dalam menyongsong masa depan ‘komunitas

terbayangkan’ yang disebut Indonesia itu sendiri.

Meski lahir di tengah kontroversi pro dan kontra serta diwarnai tragedi “Jembatan

Semanggi Berdarah”, berbagai keputusan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan di

penghujung tahun 1998 lalu disambut optimis berbagai pihak sebagai langkah awal

kehidupan Bangsa Indonesia yang baru. Salah satu keputusan penting itu adalah lahirnya

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998

tentang Penyelenggaraan Ototomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan

Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

dalam Kerangka Negara Keatuan Republik Indonesia.

Dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia sendiri, khususnya dalam bagian Menimbang, antara lain dinyatakan “bahwa

pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan

melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah”; dan “bahwa penyelenggaraan otonomi daerah,

pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional; perimbangan keuangan

pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip

demokrasi, keadilan dan pemerataan”.

Sebab itu TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 memutuskan untuk menetapkan bahwa (Pasal

1): Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata,

dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,

pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah; (Pasal 2) Penyelenggaraan otoonomi daerah dilaksanakan

dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah; (Pasal

3, ayat 1) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat

dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa

secara keseluruhan, dan (ayat 2) Pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara efektif

dan efisien, bertanggungjawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan

Page 4: Kajian RUU Desa

4

kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi; (Pasal 4)

Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi

daerah, luas daeerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan

masyarakat daerah; (Pasal 5) Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya

nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan; (pasal 6)

Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya

nasional yang berkeadilan; dan Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka

mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan

berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat. Seluruh ketentuan ini, sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 7, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 ini sendiri tentunya tidak dapat dilepaskan dari

keberadaan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan

dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara,

yang pada hakekatnya “merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujudkan

pembaruan di segala bidang pembangunan nasional, terutama bidang-bidang ekonomi,

politik, hukum, serta agama dan sosial budaya’. Dalam bagian Bab II butir B, dinyatakan

bahwa:

“Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan

stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang

sangat kental corak paternalistik dan kultur neofeodalistiknya mengakibatkan proses

partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana

mestinya. (…) Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga

kepresidenan mengakibatkan krisis struktural dan sistemik sehingga tidak mendukung

berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara

proporsional secara optimal. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di

masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan. (…)

Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut setralisasi kekuasaan dan

pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis.

Keadaan ini mengahambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan

Page 5: Kajian RUU Desa

5

pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. (…) Pengembangan

kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak

berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan nefeodalistik mendorong

mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehiongga kurang memberi

kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi

dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan

legitimasi”.

Agenda-agenda yang harus dijalankan dalam Reformasi politik ini adalah, antara lain, (a)

Menegakkan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan peranan pengawasan oleh

lembaga negara, lebaga politik dan lembaga kemasyarakatan; (b) Menghormari

keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi

kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila; dan (c) Pembagian secara

tegas wewenang kekuasaan antara esekutif, legislatif, dan yudikatif.

Kita pun tahu bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

termasuk ke dalam paket undang-undang yang dicabut pada masa-masa awal reformasi.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pun diberlakukan.

Pengaturan tentang keberadaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa tercakup dalam

undang-undang yang baru ini. Pada tahun 2004, UU inipun direvisi menjadi UU No. 32

tahun 2004.

Menarik untuk merenungkan kembali apa yang dikatakan kebijakan baru ini tentang

kebijakan tentang desa di masa lalu. Pada Bagian Menimbang butir e. dinyatakan bahwa: “..

bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang

menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai

dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak

asal usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”.

Maka, bagi kami, ketika hendak mengevaluasi apakah pesan reformasi terkait dengan

kebijakan desa ini telah dipenuhi atau belum, setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang perlu

dicermati. Semangat reformasi baru dapat kita katakan terpenuhi, dan itu berarti kita telah

menghindari kesalahan-kesalahan pada masa lalu, adalah jika kebijakan baru tentang desa

Page 6: Kajian RUU Desa

6

itu mampu merealisasikan (1) pengakuan atas hak asal-usul, (2) yang bersifat istimewa di

hadapan (hak-hak) Negara, di dalam situasi (3) keberagaman social dan budaya masing-

masing susunan asli (baca desa atau disebut nama lainnya) yang ada, yang pada masa

pasca-proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan

Negara-bangsa yang disebut Indonesia itu. Ketiga hal inilah inti dari pengakuan konstitusi

Indonesia terhadap desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 18, Pasal 18B, dan Pasal 28i

Undang-undang Dasar 1945.

Ada-tidaknya pengakuan atas hak asal-usul dapat dilihat sejauh mana kebijakan Negara

mengakui keberlakukan hak-hak (bawaan) masing-masing susunan asli, yang sejatinya

meliputi 3 elemen utama. Masing-masing adalah hak-hak yang terkait pada susunan asli

sebagai persekutuan social dan budaya; susunan asli sebagai suatu system pengurusan

hidup bersama cq. pemerintahan; dan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan yang

integral antara susunan asli dengan basis-basis materialnya. Keberlakukan ketiga hak

bawaan inilah yang sejatinya dapat disebut sebagai otonomi asli itu.

Pemenuhan syarat keistimewaan, dengan demikian, akan terlihat sejauh mana hak-hak

bawaan ini tetap berlaku – dengan penyesuaian yang tidak sampai menghilangkan hak

esensialnya -- di tengah sejumlah hak berian yang muncul sebagai hasil dari penyusunan

sejumlah kebijakan Negara yang muncul kemudian. Sedangkan pemenuhan syarat

keberagaman akan terlihat dari terbukanya ruang bagi penyelenggaraan sistem-sistem

pengurusan hidup bersama yang sejatinya memang sangat beragam itu. Termasuk

terbukanya ruang bagi keberlakukan system-sistem baru yang muncul sebagai akibat dari

keniscayaan perubahan social, politik, ekonomi, dan kebudayaan.

II. Posisi dan pemaknaan penyebutan desa atay disebut dengan nama lain pasca-

amandemen Pasal 18 UUD 1945

Pasca reformasi, UUD 1945 mengalami amandemen. Salah satunya adalah amandemen

terhadap Pasal 18. Dalam proses yang berlangsung pada bulan Agustus tahun 2000, alih-

alih menghapus pengakuan itu, boleh jadi karena sudah dianggap tidak relevan lagi dan

dimakan zaman, pengakuan terhadap keberdaan desa atau disebut dengan nama lain itu

Page 7: Kajian RUU Desa

7

justru semakin lebih tegas. Hal ini tampak dalam proses amandemen Pasal 18, yang

hasilnya kemudian dinormakan ke dalam Pasal 18B Ayat 2.

Memang, satu hal yang selalu menjadi perdebatan sebelum amandemen Pasal 18 adalah

bagaimana kedudukan (otonomi) desa terhadap (otonomi) Pemerintahan Daerah, dan juga

terhadap ‘otonomi sektoral’ lainnya, sebagaimana yang tergambarkan pada problem-

problem pengakuan terhadap ‘hak-hak masyarakat (hukum) adat’ pada UU Pokok Agraria,

UU Pokok Kehutanan, dan UU sektoral lainnya (Arizona, 2011). Menyangkut masalah yang

pertama, dalam proses amandemen Pasal 18 terjadi pedebatan serius soal ketidak-

konsistenan pengaturan norma-norma hukum yang menyangkut ‘pembagian daerah yang

besar dan kecil’ cq ‘hak istimewa’, serta keberadaan ‘susunan asli’ di dalam Pasal 18

dimaksud (lihat Naskah Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2). Perdebatan

ini kemudian bermuara pada usul F TNI-POLRI cq. Taufiequrrahman Ruki yang

menyarankan pemilahan norma pengaturan yang tidak jelas itu ke dalam dua ranah

pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Usul ini diterima, dan bermuara pada,

pertama, soal ‘pembagian daerah besar dan kecil’ cq. ‘Pemerintahan Daerah’, yang

kemudian yang diatur oleh Pasal 18 dan 18A; dan kedua, adalah soal pengakuan ‘hak

istimewa’, sebagaimana yang kemudian diatur oleh Pasal 18B.

Pasal 18B itu pun mengatur dua entitas sosial-politik yang berbeda satu sama lainnya.

Pasal 18B Ayat (1) berbunyi ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

undang-undang. Sedangkan Pasal 18B Ayat (2) berbunyi “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”2

Berbeda dengan situasi sebelum amandemen, penyebutan ‘kesatuan masyarakat hukum

adat’ tidak lagi menjadi sekedar berada pada penjelasan melainkan langsung berada pada

2 Pasca amandemen, para aktivis oerganisasi masyarakat sipil banyak membahas soal ‘pembatasan’ yang terdapat dalam pasal ini (yang sesungguhnya juga sudah terjadi pada masa-masa sebelumnya, seperti yang terjadi pada Undang-Undang Pokok Agraria 1960). Misalnya Simarmata (2002), dan Arozona (2011). Banyak argument yang dapat disampaikan sebagai ‘opini tanding’ atas kekuatiran akan pembatasan-pembatasan itu. Namun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk itu.

Page 8: Kajian RUU Desa

8

batang tubuh UUD 1945 hasil Amandemen Kedua itu. Artinya, melalui proses amandemen,

pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu semakin kuat dari waktu-waktu

sebelumnya.

Tentu saja, kemudian, hasil amendemen ini menghasilkan beberapa implikasi. Di

antaranya, melalui pengaturan pada Pasal 18 dan Pasal 18A, desa – dengan demikian

tentunya juga soal ‘Pemerintahan di Desa’ – tidak lagi menjadi bagian dari tata

pemerintahan yang diamanatkan langsung oleh konstitusi seperti yang pernah berlaku

pada masa pra-amandemen. Pasal 18 pasca-amandemen jelas-jelas mengatur hanya ada 3

unit wilayah yang disebit ‘Daerah’, berikut dengan Pemerintahan Propinsi, Kabupaten, dan

Kota. Tafsir selanjutnya, kalaupun diperlukan apa yang kemudian disebut sebagai sistem

pengaturan tentang ‘penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Desa atau disebut dengan

nama lain’ atau disingkat ‘Pemerintahan Desa atau disebut dengannama lain’,

kedudukannya tidaklah menjadi bagian dari rezim Pemerintahan Daerah, melainkan

menjadi unit pemerintahan yang otonom, berdasarkan ‘otonomi asli’ desa atau yang

disebut dengan nama lain, atau bisa juga disebut ‘otonomi desa’ sebagai ‘imbangan’ dari

‘otonomi daerah’, sebagaimana diatur oleh Pasal 18B Ayat 2. Kalaupun pengaturan tentang

‘Pemerintahan Desa’ itu perlu ‘merujuk’ pada pasal-pasal yang mengatur soal-soal yang

menyangkut kepemerintahan (daerah), hal itu tidak harus berarti ‘otonomi desa’ berada di

bawah ‘otonomi daerah’. Sebabnya adalah, alih-alih memberikan perhatian pada soal

‘pemerintahan desa’, proses amandemen Pasal 18 memang memberikan perhatian khusus

pada soal-soal yang menyangkut desa atau disebut dengan nama lain, sebagaimana yang

ditunjukkan oleh Pasal 18B ayat 2.

Maka, dalam konteks ini, kedudukan desa sebenarnya setara dengan kedudukan ‘daerah’

dan/atau ‘daerah istimewa’ itu. Hal ini didasarkan pada pandangan Prof. Talizinduhu

Ndraha (1999) yang menyebutkan bahwa kewenangan (dalam sistem pemerintahan) dapat

diturunkan/dikembangkan dari dua jenis hak yang berbeda satu sama lainnya. Masing-

masing adalah hak bawaan, yakni hak yang melekat pada entitas yang bersangkutan; dan

hak berian, yakni hak yang muncul sebagai hasil pemberian/peyerahan dari kekuasaan

yang lebih tinggi. Dengan konsepsi yang demikian maka sejatinya ‘Daerah’ memiliki

‘otonomi daerah’, yang dikembangkan berdasarkan ‘hak berian’, kecuali untuk daerah-

Page 9: Kajian RUU Desa

9

daerah tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 18B ayat 1, di mana hak-

haknya juga diturunkan dari hak-hak bawaan yang dimilikinya. Sementara Desa atau

disebut dengan nama lain memiliki ‘otonomi desa’, yang muncul sebagai konsekwensi ‘hak

bawaan’ (yang muncul sebagai akibat disebutkannya ‘hak asal-usul’ (sebelum amendemen)

dan/atau ‘hak-hak tradisional’ di dalam UUD 45 pasca-amandemen. Oleh sebab itu sering

pula disebut sebagai ‘otonomi asli’.

Perlu pula diingat bahwa, berbeda dengan posisi desa dan konsep volksgemeenschappen cq.

‘kesatuan masyarakat hukum adat’ pada UUD 1945, konsep ‘kesatuan masyarakat hukum

adat’ muncul secara langsung pada norma konstitusi. Seperti juga pada situasi sebelum-

amandemen, desa dan atau disebut dengan nama lain, kemudian, juga ‘sekedar’ menjadi

contoh saja dari apa yang kemudian disebut ‘masyarakat adat’, sebagai sandingan dari

penyebutan-penyebutan lain seperti nagari, marga, dan seterusnya. Atau dapat kita singkat

menjadi ‘desa atau disebut dengan nama lain’ saja.

Dalam pada itu, yang dimaksud sebagai ‘masyarakat hukum adat’ dalam proses

amandemen Pasal 18 adalah juga apa yang disebut ‘masyarakat adat’, konsep yang

diusulkan oleh OMS dalam rapat-rapat dengar pendapat dalam proses amandemen kedua.

Adanya kesamaan ‘objek yang diacu’ antara konsep ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat

adat’, dan ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu juga ditegaskan dan/atau dibenarkan

oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. di dalam proses amandemen yang berlangsung tahun 2000

itu (lihat Naskah Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2, hal. 1356.).

Selanjutnya, pengakuan terhadap hak-hak yang melekat kepada ‘kesatuan masyarakat

hukum adat’, ‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu makin

diperkuat pula oleh kehadiran Bab XA, tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 28i, yang

menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras

dengan perkembangan zaman”.

Dengan argumentasi di atas, kami percaya bahwa pengakuan dan perlindungan hak-hak

masyarakat (hukum) adat dapat saja dicapai melalui undang-undang yang mengatur

tentang ‘desa dan atau disebut dengan nama lain’, sejauh undang-undang dimaksud tidak

semata-semata tentang ‘pemerintahan desa’, sebagaimana yang terdapat pada aturan-

Page 10: Kajian RUU Desa

10

perundangan tentang desa selama ini. Termasuk ‘semangat utama’ yang mewarnai ‘RUU

Desa’ yang tengah berproses itu.

Jika logika yang benar adalah sebagaimana sudah dijelaskan di atas maka, judul regulasi

yang paling tepat bagi regulasi tentang ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ atau

‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ dimaksud, sesuai pasal

konstitusi utama yang menjadi dasarnya, dalam hal ini adalah Pasal 18B ayat 2, adalah

sebagaimana dalam tata urutan berikut. Pertama, ‘Undang-undang tentang Pengakuan

dan Penghormatan terhadap Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat’. Kedua,

‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat’. Ketiga,

‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat’ (sebagaimana

yang diusulkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Dewan Perwakilan Daerah 2010).

Keempat, ‘Undang-undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain’. Dengan demikian,

penyebutan sekedar ‘RUU Desa’, sebagaimana yang ada saat ini, adalah penyebutan yang

paling tidak sesuai, karena paling tidak konsisten dengan mandat konstitusi.

Selain tidak sesuai, penyebutan sekedar ‘RUU Desa’ itu juga sangat mudah ‘ditelikung’

menjadi sekedar regulasi tentang ‘pemerintahan desa’, sebagai ‘efek historis’ yang begitu

kental melekat pada sebutan ‘desa’ saat ini. Baik yang menjadi ‘keyakinan’ dari kalangan

pemerintah (termasuk aparat pemerintahan desa, sebagaimana yang tergambarkan dalam

RUU versi Pemerintah dan aspirasi Aparat Pemerintahan Desa, sebagaimana yang

disuarakan beberapa organisasi yang mengatasnamakan ‘aparat dan/atau rakyat desa’),

maupun kalangan masyarakat luas pada umumnya. Bahkan, anehnya, juga menjadi

‘keyakinan’ dari sebagian kalangan gerakan sosial dan perguruan tinggi sekalipun!

Realita lapangan memang sering berkata lain. Pengalaman dalam mengubah pandangan

bahwa kata desa itu tidak semata-mata merujuk pada pengertian desa sebagai hasil

kontruksi administrasi pemerintahan pada masa kolonial dan nasional, melainkan juga bisa

merujuk pada desa sebagai ’susunan asli’ yang ada sebelum upaya-upaya administrasi

pemerintahan itu dilakukan, sebagaimana yang pernah ada di di Jawa dan Bali pada masa

lampau misalnya, tidaklah mudah dimengerti. Boleh jadi, diperlukan satu kebiasaan baru,

sebagaimana telah ’ditemukan’ oleh masyarakat Bali, yang menyebut ’desa’ sebagai hasil

konstruksi proses administrasi pemerintahan itu sebagai desa dinas, dan desa adat untuk

Page 11: Kajian RUU Desa

11

menyebut entitas sosial yang tumbuh dalam proses perkembangan masyarakat (Bali) itu

sendiri. Dengan cara ini, kita mungkin lebih mudah membedakan keduanya; untuk yang

pertama (desa dinas), kita cukup menulisnya dengan kata desa saja, tapi desa (cetak

miring) untuk menunjukkan keberadaan desa adat – atau desa asli -- itu.

Selain itu, akibat pengalaman masa lalu, kata ’desa’ nyatanya begitu menakutkan bagi

kalangan yang terlibat dalam gerakan hak-hak masyarakat adat; dan sebaliknya, kata

’masyarakat adat’ dan/atau ’masyarakat hukum adat’ begitu ’tidak jelasnya’ bagi kubu yang

lain. Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh penggerak Parade Nusantara, salah satu

organisasi ’persatuan aparat dan rakyat desa’ yang gigih memperjuangkan ’RUU Desa’ agar

segera ditetapkan misalnya, merasa ’jenggah’ jika ’RUU Desa’ yang tengah diperjuangkan

itu, sesuai dengan amanat Pasal 18 Ayat 2, diubah judulnya sesuai dengan tuntutan AMAN.

Padahal, Parade Nusantara sangat maklum dan mendukung apa yang menjadi concern

pihak AMAN, yang menginginkan ’RUU PPMA’ – oleh sebab itu juga ’RUU Desa’ -- itu tidak

sekedar mengatur soal Pemerintahan Desa, melainkna juga mengatur soal pengakuan dan

perlindungan hak-hak masyarakat adat pada umumnya. ”Kami memaklumi tuntutan

AMAN,” kata seorang tokoh Parade Nusantara suatu ketika. ”Tapi, mohon, kata ’desa’ tidak

dihilangkan dalam RUU yang sedang dibahas DPR itu. Kalau mau diganti dengan ’RUU

tentang Desa atau disebut dengan nama lain’ kami masih bisa menerimanya.”3

Sebaliknya, bagi sebagian aktivis pendukung gerakan masyarakat adat, yang terjadi justru

sebaliknya. ”Kata desa itu penuh rekayasa demi kepentingan negara. Berbahaya bagi

kepentingan pengakuan hak-hak masyarakat adat,” kata Sandra Moniaga, seorang aktivis

senior yang gigih memperjuangkan sebutan ’masyarakat adat’ dalam proses amandemen

Pasal 18, berkali-kali.

4 Perdebatan di kalangan pendukung gerakan masyarakat tentang

konsepsi mana yang akan digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat

(hukum) adat, antara pilihan-pilihan yang tersedia itu, pun akhirnya tidak kunjung

berakhir.5

3 Komunikasi pribadi, Yogyakarta, 15 Februari 2012. 4 Komunikasi pribadi. Terakhir terjadi pada 21 April 2012, di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.

5 Silahkan ikuti diskusi pada [email protected], mailing list resmi yang dikelola oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN.

Page 12: Kajian RUU Desa

12

Bahkan kerancuan pengertian yang demikian itu juga dialami oleh kaum cerdik-cendekia

yang berkumpul di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Salah satu

contohnya adalah sebagaimana yang tergambarkan dalam tabel berikut, yang merupakan

rangkuman hasil penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FPPD (2008),6

6 Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri. Lihat juga Kolopaking, 2011.

dan juga

Kolopaking (2011).

Jika dicermati, tabel di atas secara tegas mengasumsikan bahwa (pengertian) ’desa’

tidaklah dapat berupa adat; dan desa adalah semata-mata unit wilayah yang saat ini diurus

oleh sebuah Pemerintahan Desa. Meski kami tahu yang dimaksud ’desa’ di sini adalah apa

yang dimaksud sebagai ’desa dinas’ tadi. Namun, penggunaan yang ’serampangan’ itu tetap

saja potensial menimbulkan kerancuan dalam menyusun kebijakan ke depan. Misalnya,

’desa adat’ – meminjam dikotomi yang dikembangkan masyarakat Bali tadi -- yang ada di

sebagian Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, yang dikenal dengan sebutan ngata, banua,

wanua, marga, misalnya, jadi tersingkirkan sebagai contoh dari ’desa adat’. Bagaimana

mungkin ’Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’

dikategorikan sebagai ‘tidak ada adat, tetapi ada desa’? Jika demikian halnya, lalu,

bagaimana kita mendudukkan keberadaan ‘kelurahan (sebelum diboyong ke kota), ngata,

banua, wanua, marga, sekedar menyebutkan contoh sebutan ’desa adat’ dari ’Jawa,

sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’? Bukankah sejatinya

kelurahan (sebelum ‘diboyong ke kota), ngata, banua, wanua, marga itu adalah ’desa adat’

atau sering juga disebut sebagai bentuk ’desa asli’, terlepas apakah masih sangat efektif

atau pun tidak sistem pengorganisasiannya?

Page 13: Kajian RUU Desa

13

Tipe Desa Deskripsi Daerah Ada adat, tetapi tidak ada desa.

Adat sangat dominan. Desa tidak punya pengaruh.

Papua

Tidak ada adat, tetapi ada desa

Pengaruh adat sangat kecil. Desa modern sudah tumbuh kuat.

Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera

Integrasi antara desa dan adat.

Adat dan desa sama-sama kuat. Terjadi kompromi keduanya.

Sumatera Barat

Dualisme/Konflik antara adat dengan desa

Pengaruh adat jauh lebih kuat ketimbang desa. Terjadi dualisme kepemimpinan lokal. Pemerintahan desa tidak efektif.

Bali, Kalimantan Barat, Aceh, NTT, Maluku.

Tidak ada desa tidak ada adat

Kelurahan sebagai unit administratif (local state government). Tidak ada demokrasi lokal.

Wilayah perkotaan.

Kerancuan yang demikian itu telah mengakibatkan gerakan sosial yang peduli dengan hak-

hak masyarakat adat dan/atau hak-hak petani dan/atau hak-hak masyarakat perdesaan

pada umumnya tersegregasi satu sama lain (lihat gambar). Realitas yang demikian tentulah

sangat tidak produktif. Hemat kami, sejumlah kompromi – yang tidak meninggalkan

substansi tentunya -- perlu diupayakan. Perdebatan yang mempertentangkan konsep-

konsep masyarakat hukum adat, masyarakat adat, desa dan atau disebut dengan nama lain,

menurut kami, sudah harus diakhiri. Gerakan pembelaan harus mulai memberikan

perhatian pada substansi dan proses-proses politik yang terus bergulir. Sebab itulah, dua

fenomena politik yang kami singgung di atas harus segera disikapi, dan tidak boleh

dibiarkan berproses ’sebagaimana adanya saja’.

III. Tinjauan Kritis atas ‘RUU Desa’ (versi Juni 2012)

Saat ini setidaknya beredar dua versi ’RUU Desa’. Satu versi adalah yang dijadikan bahan

bahasan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dala masa sidang saat ini (Juni

2012), dan satunya lagi adalah versi DPD RI, sebagaimana yang tertuang pada Keputusan

Dewan Perwakilan Daerah No. 44/DPD/RI/IV/2010-2011 tentang Rancangan Undang-

Undang tentang Desa.

Page 14: Kajian RUU Desa

14

Masa depan desa yang baik – dalam arti sesuai dengan amanat Konstitusi -- seperti segera

dijanjikan ketika pada bagian Menimbang, Butir a., tercantum rumusan ” bahwa sesuai

ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang”. Inilah rumusan Pasal 18B: 2 hasil amandemen Pasal 18 pasca-reformasi itu.

Namun, optimisme itu segera buyar setelah kita membaca bagian yang sama, butir b., yang

berbunyi ”bahwa dalam upaya melaksanakan ketentuan huruf a, Pemerintah Pusat

berkewajiban menata kembali pengaturan mengenai desa sehingga keberadaannya mampu

mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan

sesuai dengan perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada

nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi

dan demokratisasi yang terus berkembang”. Pertanyaan yang segera bisa kita ajukan

adalah: ”Apa hubungan antara penataan desa dengan pengakuan terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat? Apakah diasumsikan bahwa MHA itu adalah desa? Kalau memang

begitu, mengapa hanya ‘desa’. Apa yang dimaksudkan dengan ‘desa’? Apakah juga desa

dengan penyebutan dengan nama lain sebagaimana yang pernah ada dalam Penjelasan

Pasal 18 sebelum mandemen? Apa dasar pengasumsian ini?

Optimisme yang sempat muncul tadi semakin buyar pula ketika kita membaca defenisi

desa yang digunakan. Sebagaimana yang tercantum apda Pasal 2, butir 5., desa

didefenisikan sebagai “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,

adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-

usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Menurut hemat kami, defenisi ini kurang konsisten dengan bunyi Pasal 18B: 2

yang menjadi DASAR pengaturan tentang desa ini. Pertanyaannya, mengapa tidak

disebutkan bahwa ‘desa, adalah kesatuan masyarakat hukum adat’.

Page 15: Kajian RUU Desa

15

Lebih dari itu, menurut kami, pernyataan ‘berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan

sosial budaya masyarakat’ juga bersifat normatif dan tidak operasional, yang selama ini

telah menjadi arena pertarungan makna yang bermuara pada penggerogotan ’otonomi

desa’. Seharusnya defenisi ini langsung menunjukkan ’kewenangan untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat’ yang bersumber dari ’hak asal-asul, dan

lainnya itu.....’ itu. Misalnya berupa ’kewenangan untuk TETAP MENGUASAI wilayah hidup

desa itu (yang dalam litaratur ilmiah disebut ’ulayat desa’), kewenangan untuk

menjalankan Pemerintahan (karena ’desa atau disebut dengan nala lain itu’ hakekatnya

juga sebuah organisasi yang menyelengarakan ’pemerintahan’ atau lebih tepatnya

’pengurusan hidup bersama’, kewenangan untuk menalankan proses peradilan (dalam

lingkup desa), dan karenanya adalah SUBYEK HUKUM dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia.

Harapan akan hadirnya sebuah ’undang-undang tentang desa atau disebut dengan nama

lain’ pada ’RUU Desa’ versi ’Juni 2012’ benar-benar harus dikubur dengan kehadiran Pasal

2 yang berbunyi ” Di daerah kabupaten/kota dibentuk desa yang pengelolaannya berbasis

masyarakat (penebalan ditambahkan). Pendefenisian yang demikian ini tidak sesuai lagi

dengan amanat Pasal 18B: 2. Atau, bisa tetap relevan, namun penyelenggaraannya tetap

harus di dalam kerangka pengakuan atas ‘otonomi asli’ desa atau disebut dengan nama lain

itu. Dengan kata lain, menurut rumusan ini desa bukanlah sesuatu yang given dalam

realitas sosial-politik Indonesia (meruju pada hak bawaan), melainkan sesuatu yang

dimunculkan berdasarkan hak berian Negara! Kenyataan ini diperkuat oleh pengaturan

pada pasal-pasal selanjutnya.

Sebagai alternatif ke depan kami mengusulkan defenisi desa atau disebut dengan nama lain

itu adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak asal usul yang berkaitan

dengan tatanan/struktur organisasi, ulayat (wilayah kehidupan), dan aturan-aturan yang

mengatur kehidupan bersama masyarakat desa yang bersangkutan, dan diberi kewenang

untuk menyelenggarakan Pemerintahan Nasional yang disebut pemerintahan desa dalam

sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Maka, konsisten dengan komentar untuk butir 5, seharusnya ‘Pemerintah Desa’

sebagaimana yang diatur pada Pasal 1, butir 7 menjadi TIDAK ADA. Sebagai gantinya, yang

Page 16: Kajian RUU Desa

16

ada adalah proses/peran penyelenggaraan ‘Pemerintahan di Desa’ yang diselenggarakan

oleh ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu. Seriring dengan beragamanya tingkat

perkembangan ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu, sistem ‘pemerintahan desa’ itu

bisa bersifat beragam pula, dan menjadi pilihan bagi ‘desa-desa atau disebut dengan nama

lain itu’, sebagaimana akan diuaraiakn lebih lanjut dalam bagianbagian berikut.

Dengan catatan yang demikian maka Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria ingin

menyatakan bahwa ‘RUU Desa’ versi Juli 2012 ini TIDAK SESUAI dengan AMANAT

REFORMSI dan rumusan Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

Beberapa catatan lain yang bisa diberikan adalah sebagai berikut: (1) draf versi

Pemerintah ini hanya mengatur satu kemungkinan sistem penyelenggaraan ‘pemerintahan

desa’. Sejauh yang dapat dipahami, keberagaman hanya akan terjadi dalam hal

penyebutannya saja. Sementara hal-hal yang terkait dengan struktur pemerintahan,

kedudukan dan kewenangan, penyelenggaraan sistem demokrasi, hak dan kewajiban desa,

semuanya sama! Artinya, meski menyebut-nyebut pengakomodasian soal keragaman,

tetapi format desa tetap bersifat “default village” yaitu desa yang bentuk atau formatnya

seperti telah diatur seperti sekarang ini. Penyeragaman sebagaimana yang terjadi dalam

pemberlakukan UU No. 5/1979 akan terulang kembali. RUU baru ini belum memberi ruang

bagi berkembangnya apa yang disebut oleh Tim Peneliti FPPD sebagai “optional village”,

yaitu bentuk atau format desa lain yang boleh dipilih oleh pemerintah daerah sesuai

dengan karakteristik dan keragaman masyarakat desanya. Tidak ada opsi bagi daerah

untuk “boleh” melembagakan keragaman desa secara beragam.

Ingin dikatakan bahwa secara paradigmatis draf versi Pemerintah ini tetap mengandung 3

'penyakit akut' yang tidak atau belum diurus sebagaimana mestinya. Penyakit pertama,

draf ini tetap saja mencampuradukkan dua hal yang berbeda sama sekali, yakni soal

pengaturan tentang pengakuan (rekognisi) desa sebagaimana yang diamanatkan

konstitusi dan TAP MPR yang telah disebut tadi) dengan ‘pemerintahan’ sebagai suatu

kebutuhan penyelenggaraan negara di tingkat desa atau disebut dengan nama lain itu.

Meski dari ari segi judul, draf RUU ini adalah RUU tentang Desa. Namun, nyatanya, norma

pengaturan yang mayoritas adalah soal pemeritahan desa. Dimulai dari Pembentukan

Desa, Status Desa (yang tidak lain bicara soal satus Pemerintahan Desa atau Pemerintahan

Page 17: Kajian RUU Desa

17

Kelurahan), Struktur Pemerintahan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Kewajiban

dan Keweangan Kepala Desa, dan seterusnya, hingga Keuangan (Pemerintahan) Desa, dan

seterusnya.

Penyakit kedua, kalaupun ada klausul-klausul yang diarahkan pada pengakuan atas desa,

pengakuan-pengakuan itu, kemudian, menjadi macan ompong, sekedar formalitas, dan

akhirnya gugur tidak terealisasi, karena diserang ‘virus administratif’ yang dibawa oleh

hasrat pengaturan tentang ‘pemerintahan desa’ tadi. Cobalah perhatikan pasal-pasal yang

ada pada Bagian II tentang ‘Penataan Desa’, antara lain mengatur syarat pembentukan

desa, yang dikaitkan dengan waktu keberadaan dan jumlah populasinya. Hal ini menjadi

sangat ironik karena amanat konstitusi itu adalah soal pengakuan desa, yang sejatinya lahir

dari proses-proses sosial, ekonomi, politik dan budaya entitas yang bersangkutan, bukan

atas dasar proses pembentukan dari atas, sebagaimana bisa dilakukan untuk keperluan

Pemerintahan Desa.

Penyakit ketiga, dalam konteks pertemuan antara pengaturan atas desa dan kebutuhan

(birokrasi) penyelenggaraan Negara di tingkat desa, draf ini juga masih gagal

mengakomodasi keberagaman yang menjadi keniscayaan dalam tatanan sosial-budaya

yang ada di Indonesia. Seperti telah disinggung, draft ini tetap menganut default model,

yakni model tunggal bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Jika dicermati lebih jauh maka versi terakhir RUU Desa ini, yang konon digodog langsung di

bawah pengawasan Menteri Dalam Negeri, jauh lebih mundur dari Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Masyarakat Desa (versi Desember 2010) yang sempat beredar luas. Malah,

dapat dikatakan, naskah ‘RUU Desa versi DPD’ jauh lebih maju, dalam arti cukup

memperjelas hal-hal yang berkaitan aspek rekognisi dan azas subsidiaritas dalam

penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah Desa. Namun, menurut pandangan kami,

yang agak masih kurang tegas adalah soal ruang (otonomi) desa atau disebut dengan nama

lain itu, atau apa yang disebut sebagai desa adat dalam RUU Desa versi DPD RI ini.

Khususnya dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan Negara di Tingkat Desa.

Pengaturan tentang Pemerintahan Desa dalam RUU Desa versi DPD juga mengindikasikan,

menurut permahaman kami, adanya satu sistem pemerintahan desa sebagai default model.

Page 18: Kajian RUU Desa

18

Dengan kata lain, keberagaman dalam 'penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat desa

atau disebut dengan nama lain', yang sejatinya sebagai konsekwensi logis dari pengakuan

atas keberadaan dan kemampuan desa-desa adat itu dalam menyelenggarakan

pemerintahan belum benar-benar tertampung. Bahkan, bukan tidak mungkin, dengan

pengaturan ala RUU Desa versi DPD RI ini akan terjadi 'persaingan peran' antara 'desa

dinas’ (desa yang dibentuk untuk menyelenggarakan pemerintahan desa) versus desa adat,

sebagaimana yang 'lamat-lamat' terjadi di daerah-daerah yang telah menerapkan dual

system ini.

IV. Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria tentang Rancangan Undang-

Undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain.

4.1. Tentang Landasan Filosofis: Desa sebagai DNA Kenegaraan dan Kebangsaan

Indonesia

Fakta sejarah menunjukkan desa atau disebut dengan nama lain, untuk selanjutnya disebut

desa, demikian pula dengan adat, menjadi topik pembicaraan yang mendapat sorotan

khusus dalam perbincangan menyusun dasar-dasar dan bentuk Negara sepanjang sidang-

sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan

sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menggantikan,

sebagaimana tercatat dalam risalah yang dirujuk (Sekretariat Negara Republik Indonesia,

1995).

Setidaknya ada 3 simpul pemikiran yang dapat ditarik dalam perdebatan yang hangat itu.

Pertama, jelaslah bahwa, Indonesia yang hendak didirikan itu tidaklah berpijak pada

pengetahuan tentang Jawa saja, melainkan meliputi wilayah yang saat ini disebut

Nusantara itu. Dalam salah satu sesi sidang Mr. M. Yamin mengatakan “… Negara Indonesia

tak dapatlah didudukkan di atas hasil penyelidikan bahan-bahan yang didapat di Pulau

Jawa saja, karena keadaan itu boleh jadi menyesatkan pemandangan dan sedikit-dikit

mungkin melanggar pendirian kita. Sejak dari sekarang hendaklah meliputi seluruh

keadaan-keadaan di segala pulau Indonesia dengan pikiran yang sudah meminum air

persatuan Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan akan pengetahuan

yang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia.”

Page 19: Kajian RUU Desa

19

Kedua, pada masa-masa awal berdirinya Indonesia itu, ada kesepahaman yang amat kuat

tentang yang kehendak bahwa negara baru yang ingin dibangun itu adalah sebuah Negara-

bangsa Indonesia yang baru sama sekali. Dipahami pula bahwa Negara-bangsa Indonesia

yang baru itu tidak bisa dilandaskan pada kebesaran-kebesaran Kerajaan Nusantara yang

pernah ada, karena menurut Mr. M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats patrimonies

(Negara berdasarkan keturunan) ataupun etats puissances (Negara atas dasar kekuasaan

semata).

Sebagai alternatifnya, yang menjadi topik penting yang ketiga, adalah soal dipilihnya desa –

dan adat --sebagai pondasi pendirian Negara bangsa Indonesia itu. “… Kita tidak mabuk

dengan hiburan menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu malam atau bertanam pohon

beringin di atas awan, melainkan melihat kepada peradaban yang memberi tenaga yang

nyata dan kekuatan yang maha dahsyat untuk menyusun negara bagian bawah. Dari

peradaban rakyat zaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum Adat bagian bawahan,

dari sanalah kita mengumpulkan dan mengumpulkan sari-sari tata negara yang sebetul-

betulnya dapat menjadi dasar Negara,” ujar Mr. M. Yamin.

Pada kesempatan lain Mr. M. Yamin mengatakan bahwa ““… Kesanggupan dan kecakapan

Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang semenjak beribu-ribu

tahun menjadi dasar negara dan rakyat murba, dapat diperhatikan pada susunan

persekutuan hukum pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa,

700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di

tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain-lain sebagainya. … Susunan persekutuan yang

mengagumkan pada garis-garis besar tak rusak dan begitu kuat sehingga tak dapat

diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme, dan pengaruh Eropa. Desa tinggal

desa dan susunan memang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia berubah-

ubah, dan bedanya, sebagai warna intan yang menyilaukan bermacam-macam seri.”

Mr. M. Yamin juga mengatakan bahwa “… Negara Indonesia disusun tidak dengan

meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan pula suatu salinan daripada jiwa atau

peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata suatu kelengkapan yang menyempurnakan

kehidupan bangsa yang hidup berjiwa di tengah-tengah rakyat dan tumpah-darah yang

Page 20: Kajian RUU Desa

20

menjadi ruangan hidup kita sejak purbakala; kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan

sifat keinginan rakyat Indonesia sekarang. ... Maka dengan sendirinya ... menyusun dasar

negara itu dalam adat, agama, dan otak Indonesia, dan ... (di) dalamnya memanglah

tersimpan persesuaian dasar yang akan menjadi sendi pembentukan negara.”

Seperti kita ketahui, kemudian, desa atau disebut dengan

nama lain, memang diakui keberadaannya dalam UUD

1945. Desa, yang merupakan susunan asli Bangsa

Indonesia itu, memiliki hak asal-usul, karenanya bersifat

istimewa, dan Negara harus menghormati keberadaan

hak-hak asal asul yang bersifat istimewa itu, sebagaimana

yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD 1945 sebelum

amandemen.

Pasca reformasi UUD 1945 mengalami amandemen. Salah satunya adalah terhadap Pasal

18. Dalam proses yang berlangsung pada bulan Agustus tahun 2000, alih-alih mengapus

pengakuan itu, pasca-amandemen pengakuan terhadap keberdaan desa atau disebut

dengan nama lain itu justru semakin ditegas dan semakin lebih jelas ketimbang

sebelumnya. Hal ini tampak dengan regas dan jelas dalam Pasal 18B Ayat 2, sebagaimana

yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain.

Realitas politik yang demikian jelas menunjukkan, ke depan, kelangsungan hidup negara-

bangsa ini akan sangat ditentukan -- oleh sebab itu akan didasarkan pada -- pengaturan

tentang desa yang benar, sebagaimana telah dimandatkan oleh konstitusi UUD 1945. Sejak

dulu hingga masa depan desa adalah DNA Negara-bangsa Indonesia, karena diyakini di desa

tumbuh dan berkembang nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang universal, yang

menjadi cita-cita pokok proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana yang

diamatkan oleh Pembukaan UUD 1945.

4.2. Tentang Landasan Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya: Menghargai

Kemajemukan dan Menjadikan Desa sebagai arena utama pemberdayaan

warga Negara secara paripurna

Politik pengakuan terhadap

desa

SusunanAsli

Hak Asal-Usul

BersifatIstimewa

Page 21: Kajian RUU Desa

21

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia adalah masyarakat majemuk. Baik secara harisontal

(berdasarkan hal-hal yang bersifat turunan seperti suku, agama, dan ras), maupun

mejemuk secara vertikal (berdasarkan kategori-kategori yang bersifat capaian individual

ataupun kelompok, seperti soal kaya-miskin, powerfull – powerless, dominan-marginal, dan

seterusnya). Sejak awal Negara Republik Indonesia telah menghargai kemajemukan ini.

Bhineka Tunggal Ika pun kemudian menjadi semboyan Negara.

Prof. Dr. Koentjaraningrat (1970), Bapak Antropologi Indonesia memang menegaskan

bahwa “… gejala aneka warna kebudayaan itu masih merupakan suatu realitet yang tak

dapat diingkari…, sebaiknya kita terima dengan akal yang sehat dan memupuk kesatuan

bangsa kita dengan lebih dahulu mengakui dan menghormati semua variasi kebudayaan

yang ada di negara kita itu.”

Salah satu implikasinya adalah, Negara mengakui dan menghormati keberagaman sosial

dan budaya itu, sebagaimana yang tergambarkan pada semboyan Negara Bhineka Tunggal

Ika. Termasuk di dalamnya pengakuan atas keberadaan desa – atau disebut dengan nama

lain -- yang memiliki susunan asli berupa struktur, dukungan sumberdaya alam, dan

kapasitas sumberdaya manusia yang beragam pula. Maka, rekayasa sosial, ekonomi,

budaya, dan politik yang terjadi selama ini seharusnya makin memperkaya keberagaman

desa-desa (asli) di Indonesia saat ini.

Namun, dalam sejarah yang pernah dilalui, banyak kebijakan Negara justru mengarah pada

arah sebaliknya. Alih-alih menghargai keberagaman, kebijakan politik Negara – terlebih-

lebih pada era Orde Baru (1966 – 1998), kecenderungan yang terjadi justru berupa upaya

penyeragaman, yang terjadi hampir pada seluruh lapangan kehidupan sosial, ekonomi,

politik, dan budaya (Bourchier, 2007). Dalam ranah politik administrasi pemerintahan,

Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa hadir sebagai bagian

pengendalian sistem pemerintahan yang hyper-centralistic (Zakaria, 2000). Hasilnya sangat

kontra-produktif bagi masa depan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana disampaikan

Prof. Dr. Taufik Abdullah, Sejarawan Senior, Mantan Kepala LIPI, pada masa-masa awal

reformasi, “… Undang-undang yang mengatur hingga ke sistem desa itu adalah puncak dari

kesewenangan kebudayaan Orde Baru. (Akibatnya, terjadi) …krisis kepemimpinan yang

Page 22: Kajian RUU Desa

22

parah. … Pemerintah beranggapan mereka bisa kuat ketika kekuatan sosial di daerah-

daerah dihancurkan, … Desalah yang kemudian porak poranda. … Ketika Orde Baru jatuh,

pedesaan kehilangan jaring pengamannya, ikatan lama sudah hancur oleh kekuasaan. …

Maka, seperti yang kerap diberitakan di media massa, konflik kerap diselesaikan bukan

oleh tokoh, pemimpin, kepala adat yang berwibawa. (Puncaknya, terjadi ) … spiral

kebodohan yang menukik ke bawah. Satu tindakan bodoh ditanggapi dengan tindakan

bodoh lainnya. … ”

Dalam pada itu, sebagaimana dilaporkan oleh Ina E. Slamet (1965), disebabkan oleh

berbagai faktor, seperti pertumbuhan internal, dan terutama sekali karena pertumbuhan

feodalisme dan kolonialisme-kapitalisme di Nusantara, desa-desa di Indonesia telah

mengalami masalah kemiskinan, ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria, dan

kepemimpinan yang akut. Tentu, beberapa upaya mengatasi itu telah dilakukan sejak

proklamasi kemerdekaan RI. Namun, beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa

pembangunan masyarakat desa yang telah dilakukan dalam beberapa dekade terakhir

tidak banyak mengubah situasi. ‘Kaya proyek, tapi miskin kebijakan’ yang mampu

memberdayakan desa, simpul Eko & Krisdiatmiko, eds., (2006). Bahkan, ‘pembangunan

justru meminggirkan desa’, terutama kelompok-kelompok marginal di desa, tulis

Krisdiatmiko & Dwipayana, eds., (2006).

Konsorsium Pembaruan Agraria (2011), mengutip data resmi dari Badan Pusat Statistik,

melaporkan bahwa sekitar 52% sumberdaya agraria dikuasi oleh hanya sekitar 2%

penduduk Indonesia. Betapa timpangnya penguasaan sumber-sumber kehidupan itu!

Situasi kemiskinan struktural ini makin mudah dipahami dengan melihat angka-angka

pertumbuhan konflik agraria yang dilaporkan oleh berbagai kalangan dalam beberapa

dekade terkahir (Poffenberger, 1997; Meyer & Stephen Bass, 1999; Global Witness, 2000;

ARD Inc., 2004; Wulan, et.al., 2004; Clark, ed., 2004).

Angka-angka statistik kemiskinan yang lebih banyak menunjukkan realitas ‘kemiskinan

statistik’ dalam beberapa dekade tetap saja fluktuatif. Namun tetap berkisar di angka 15%.

Terjadi stagnasi pengurangan jumlah kaum miskin. Kalaupun ada kelompok miskin yang

dapat ditingkatkan kesejahteraannya, sebagaimana yang rajin dikemukakan Pemerintah

Page 23: Kajian RUU Desa

23

melalui program-program kemiskinan yang telah dilaksanakannya, di saat yang sama, ada

sejumlah warga lain yang justru terjerembab ke lembah kemiskinan. Kaum miskin baru ini

muncul seiring dengan terus meningkatnya program-program pembangunan ekonomi

yang dikembangkan Pemerintah yang berbasis penggunaan sumberdaya alam secara

ekstraktif, padat modal, dan berorientasi eksport, ketimbang meningkatkan kualitas

teknologi pertanian yang diakrabi mayoritas penduduk perdesaan.

Oleh sebab itu, ke depan, desa harus menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat desa

dalam arti yang sesungguhnya (Mahardika, 2001; Zakaria 2004; Eko, ed., 2005b; dan

Sahdan, ed., 2005). Dalam arti, meminjam konsepsi trisakti Soekarno, Proklamator dan

Presiden Pertama RI, pembangunan masyarakat desa ke depan haruslah ditujukan untuk

menjadikan (warga) desa bermartabat secara budaya, mandiri secara ekonomi, dan

berdaulat secara politik. Oleh karenanya, ‘UU Desa’ ke depan adalah ‘UU Desa’ yang dapat

menjadi jalan bagi upaya untuk ‘menyembuhkan negara-bangsa Indonesia’ yang tengah

sekarat, sebagaimana yang telah dijelaskan secara singkat di atas.

Maka, sesuai amanat konstitusi, Lingkaran Pembaruan Agraria (KARSA) berpendapat

bahwa ‘UU Desa’ ke depan TIDAK HANYA untuk mengatur soal ‘pemerintahan desa’,

sebagaimana yang terlihat jelas pada ‘RUU Desa’ yang diajukan Pemerintah dan dibahas

Parlemen saat ini. Namun – utamanya – adalah pengaturan tentang PENGAKUAN

(rekognisi) terhadap eksistensi desa – atau disebut dengan nama lain – berikut

implikasinya dalam berbagai sistem pengaturan lain dalam berbangsa dan bernegara di

Indonesia ini.

Termasuk di dalamnya adalah pengakuan

atas soal-soal yang berkaitan dengan

pengakuan terhadap tiga dimensi susunan

asli dan/atau desa atau disebuit dengan lain

sebagaimana yang ditunjukkan digaram di

samping ini. Yakni, pertama pengakuan

desa sebagai persekutuan sosial dan

Desa sebagai organisasi yg

mengurus kehidupan politik,

hukum, danpemerintahan

Desa sebagai satuan wilayah (ulayat) yg menjadi basis material komunitas ybs.

Desa sebagaipersekutuan sosial

& budaya

Page 24: Kajian RUU Desa

24

budaya, di mana di dalamnya terdapat sistem nilai dan aturan yang mengatur kehidupan

bersama susunan asli. Kedua, pengakuan terhadap desa sebagai suatu sistem organisasi

yang ditujukan untuk mengatur kehidupan politik, hukum, dan pemerintahan di dalam

lingkup komunitas yang bersangkutan; serta pengakuan terhadap basis material yang

berupa hak-hak penguasaan atas ulayat yang menjadi sumber kehidupan susunan asli yang

bersangkutan.

Dalam konteks desa yang sudah kehilangan ulayat-nya, baik karena alasan-alasan yang

berkaitan dengan pertumbuhan penduduk desa yang bersangkutan ataupun karena sebab-

sebab pengambil-alihan hak secara paksa pada waktu-waktu lampau, pengakuan pada ‘hak

penguasaan’ yang melekat pada desa ini menjadi mandat bagi (re-)distribusi aset negara

demi pengembangan kesejahteraan warga desa yang bersangkutan.

Tegasnya, melalui pengakuan atas hak asal usul dari susunan asli, ‘UU Desa’ dimaksudkan

juga sebagai instrument kebijakan dalam mengatasi kemiskinan, ketimpangan struktur

agraria, dan masalah kepemimpinan yang akut di tingat desa atau disebut dengan nama

lain itu. Untuk itu, sebagaimana pernah disampaikan Slamet (1965), pembangunan

masyarakat desa ke depan, karenanya, juga harus mengandung upaya-upaya

membangkitkan kepercayaan diri, daya cipta, dan inisiatif rakyat biasa itu sendiri. Upaya

itu dapat dilakukan melalui jalan pembaharuan desa (Zakaria, et.al., 2001; Juliantara, 2002;

Pambudi, et.al., 2003; Zakaria, 2004; dan Eko, ed., 2005a).

• Implikasi Kebijakan

Dengan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa ‘UU Desa’ ke depan juga harus dapat

mengatasi masalah-masalah berupa kerusakan sosial dan ekologis yang diakibatkan

berbagai kebijakan sebelum ini. Kebijakan tentang Desa, sebagaimana dilaporkan van

Ufford, ed. (1988); Antlov (1995); Zakaria (2000); dan Soetarto (2006), serta

pemberlakukan undang-undang sektoral lainnya, sebagaimana yang dilaporkan Fauzi

(1999); Simarmata (2002); dan Dianto Bachriadi, et.al., (2002), memang telah

memarginalisasi desa. Baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh sebab itu, berbagai

kebijakan yang mengerogoti kapasitas desa itu harus pula segera direvisi, sebagaimana

Page 25: Kajian RUU Desa

25

telah diamanatkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumberdaya Alam.

4.3. Tentang Landasan Historis dan Yuridis: Lex Spesialis Desa dalam Konstitusi

Desa, atau disebut dengan nama lain, pada intinya merujuk pada rumusan kesatuan

masyarakat hukum di tingkat lokal yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan

rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan (hukum) adat setempat. Dalam

perjalanannya pengaturan tentang desa oleh institusi negara telah diwarnai kepentingan

politik penguasa, hingga melunturkan sebagian besar identitas dari desa itu sendiri.

Kebijakan paling mutakhir – sebelum masa reformasi -- adalah fenomena pemberlakukan

UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa oleh Rezim Orde Baru, yang dengan

sistematik menyederhanakan desa melalui penyeragaman bangunan konsep institusional

yang mekanis dan sentralistis dengan model desa di Jawa sebagai rujukan utamanya. Hal

tersebut membawa konsekuensi porak-porandanya sebagian besar desa, baik dari sisi

lembaga (organisasi) maupun dari sisi entitas sosialnya yang seharusnya independen.

Padahal, dari sisi konstitusi, sesungguhnya UUD’45 telah secara eksplisit menyebutkan—

meskipun ‘hanya’ sebatas pada penjelasan Pasal 18—bahwa mengakui keberagaman

berbagai bentuk dan sebutan desa sebagai realitas yang tidak boleh dikesampingkan.

Dalam konteks mengakui keberadaan keberagaman desa tersebut, UUD’45 meletakkannya

dalam rejim pemerintahan daerah, di mana desa merupakan entitas pemerintahan mandiri

yang kedudukannya sama halnya dengan pemerintah daerah (supra-desa) yang ‘lebih

besar’. Pasal 18 menyebutkan bahwa: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan

kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara,

dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Pada Bagian

Penjelasan, khsususnya angka Romawi II, dikatakan bahwa: “Dalam territoir Negara

Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappendan

volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan

marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh

karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik

Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan

Page 26: Kajian RUU Desa

26

negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah

tersebut.”

Nyatanya, yang kemudian berlaku, adalah sebaliknya. Dalam tataran pemerintahan daerah,

relasional pemerintah pusat dan daerah lebih cenderung meletakkannya dalam hubungan

yang hierarkhis bertingkat dan bersifat sub-ordinatif. Posisi dan kedudukan desa

kemudian sekedar merupakan sub-sistem dari Pemerintahan Kabupaten.

Proses amandemen Pasal 18 pada tahun 2000 lalu telah meluruskan kekeliruan itu dengan

memilah Pasal 18 lama menjadi 3 (tiga) pasal baru, berikut beberapa ayat yang

menyertainya. Masing-masing adalah Pasal 18 (baru), Pasal 18A, dan Pasal 18b. Pemilihan

ini telah menegaskan perbedaan antara “desa” dan “daerah” yang lebih besar (supradesa)

dalam bingkai penyelenggaraan hubungan sistem pemerintahan secara Nasional. Secara

khusus Pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

Akan tetapi, pesan konstitusi tersebut sepertinya masih gagal—atau sengaja didisain

sedemikian rupa—diterjemahkan dalam Undang-Undang yang (juga) mengatur desa pasca-

reformasi. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang relatif heavy

sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Amandemen Pasal 18 pada dasarnya memperkuat konteks pengakuan (rekognisi)

keberadaan desa, yang pada dasarnya memang berbeda dengan—serta bukan merupakan

bagian dari sub-sistem—daerah yang lebih besar.

Oleh sebab itu, walaupun secara umum desa dimasukkan dalam konstruksi rejim

pemerintahan daerah (tercantum pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah), akan tetapi

konsekuensi pengakuan secara khusus ini juga membawa perlakuan yang juga khusus dan

tersendiri. Sebagaimana keberlakuan azas universal hukum yang menyatakan bahwa

ketentuan yang lebih khusus/spesifik berlaku mengalahkan/menyampingkan ketentuan

yang umum (lex spesialis derogat legi generalis). Untuk itu, diperlukan Undang-Undang

khusus yang mengatur tentang desa tersendiri,dan berada di luar Undang-Undang yang

mengatur pemerintahan daerah. Demikianlah amanat atributif dari konstitusi.

Page 27: Kajian RUU Desa

27

desentralisasi dengan spirit utama otonomi, pun “hanya” berhasil membawa perubahan

mengenai labelisasi bentuk dan sebutan desa yang tidak lagi seragam sebagaimana

pengaturan sebelumnya. Yaitu menyebutkan istilah “desa atau yang disebut dengan nama

lain.” Namun tetap tidak sampai pada pengakuan bahwa desa sesungguhnya juga

merupakan daerah otonom yang juga harus memperoleh perlakuan yang memadai

berkaitan dengan hak dan kewenangannya sebagai entitas hukum yang mandiri. Bahkan,

seolah ada kesepakatan pada tingkat elit politik yang secara aklamasi menyepakati bahwa

otonomi dalam politik disentralisasi (pemerintahan), sebagaimana yang tampak pada UU

22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 yang ‘menyempurnakannya’, berhenti pada

tingkat kabupaten/kota saja!

Talizinduhu Ndraha (1999) menyebutkan bahwa kewenangan dalam sistem pemerintahan

dapat diturunkan dan/atau dikembangkan dari dua jenis hak yang berbeda satu sama lain.

Masing-masing adalah “hak bawaan” yang melekat pada entitas yang bersangkutan, dan

“hak berian” yang merupakan pemberian dari kekuasaan yang lebih tinggi. Maka, menurut

konsepsi ini daerah (supra-desa) memiliki “otonomi daerah”, sedangkan desa memiliki

‘otonomi desa’ atau sering juga disebut sebagai ‘otonomi asli’ (kecuali untuk daerah-daerah

tertentu yang bersifat isitimewa sebagimana dimaksud oleh Pasal 18B ayat 1).

Gagasan desentralisasi desa sebagai wujud derivasi dari amanat Pasal 18B ayat (2) UUD’45,

setidaknya menskemakan tiga aras desentralisasi. Pertama, desentralisasi politik

(devolusi); yaitu menegaskan/mengakui bahwa desa sebagai entitas yang otonom atau

sebagai local-self government, yang kemudian diikuti dengan pembagian hak dan

kekuasaan (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 46). Di dalam desentralisasi politik juga

terkandung, kedua, gagasan desentralisasi pembangunan. Gagasan pembangunan yang

terdesentralisasi pada prinsipnya paralel dan terintegrasi dengan pemerintahan. Gagasan

utama desentralisasi pembangunan adalah menempatkan desa sebagai entitas yang

otonom dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian, perencanaan desa dari bawah

ke atas (bottom up) juga harus ditransformasikan menjadi village self planning, sesuai

dengan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa. Desentralisasi pembangunan

identik dengan membuat perencanaan pembangunan cukup sampai di desa saja. Desa oleh

Page 28: Kajian RUU Desa

28

karenanya mempunyai kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa instruksi dan

intervensi oleh pemerintah supradesa (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 47).

Desentralisasi politik dan desentralisasi pembangunan tidak dapat berjalan apabila tidak

diikuti dengan desentralisasi keuangan (fiskal) sampai ke desa. Tujuannya adalah

memastikan perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Dana Alokasi Umum,

misalnya, harus dibagi secara seimbang antara provinsi, kabupaten/kota dan desa.

Demikian juga pembagian dana perimbangan (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan SDA) maupun pemberian taxing power

kepada desa. Desa juga mempunyai hak dan kesempatan untuk melakukan pungutan,

retribusi maupun mengelola sumber-sumber lain di luar tanah kas desa, seperti pasar.

Pungutan dan hasil pasar desa dapat dikumpulkan langsung oleh desa tanpa harus disetor

kepada kabupaten, untuk pembiayaan urusan desa. Cara seperti ini memungkinan

penguatan kesempatan, kepercayaan, tanggungjawab dan sekaligus bisa mengurangi

budaya ketergantungan dan kultur mengemis pada kabupaten (Sutoro Eko dan Abdur

Rozaki, 2005: 48).

Desentralisasi desa sebagai sebuah wacana yang lebih lanjut akan direalisasikan menjadi

peraturan perundang-undangan sebagai benteng pengakuan desa (atau disebut dengan

nama lain) dengan demikian secara konstitusional feasibilitasnya memungkinkan.

Didasarkan pada pemahaman pada amanat Pasal 18B ayat (2) UUD’45, lebih jauh

Skema desentralisasi desa:

1. Desentralisasi politik: pembagian kewenangan dan tanggungjawab kepada desa untuk mengelola pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik dasar.

2. Desentralisasi pembangunan: devolusi perencanaan desa yang menegaskan desa berwenang membuat perencanaan sendiri (village self planning).

3. Desentralisasi fiskal: alokasi dana desa untuk membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan

Page 29: Kajian RUU Desa

29

desentralisasi desa merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) dari rejim pemerintahan

daerah (lex generalis) sebagaimana ketentuan Pasal 18 dan Pasal 18A UUD’45.

• Tentang Azas

Dengan landasan-landasan berfikir sebagai mana telah dirinci pada bagian terdahulu maka

kebijakan yang akan mengatur desa atau disebut dengan nama lain di masa depan haruslah

disusun berdasar azas-azas berikut ini:

Rekognisi

Subsidiaritas

Keberagaman

Kesetaraan

Keadilan

Demokratis

• Tentang Tujuan

Adapun tujuan dari pengaturan desa atau disebut dengan nama lain itu adalah untuk

menghadirkan instrumen kebijakan yang memungkinkan suatu proses pembangunan dan

penyelenggaraan pemerintahaan Nasonal di tingkat desa atau disebut dengan nama lain itu

menjadi:

Desa yang Bermartabat secara Budaya

Desa yang Mandiri secara Ekonomi

Desa yang Berdaulat secara Politik

4.4. Tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan di Tingkat Desa

Implikasi dari amandemen konstitusi yang kemudian melahirkan rumusan Pasal 18 (baru)

dan Pasal 18A serta 18B UUD’45 adalah keharusan perubahan paradigma yang mendasari

Page 30: Kajian RUU Desa

30

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Terutama berkaitan dengan keberadaan dan

kedudukan entitas otonom di tingkat lokal, dalam hal ini yang kita sebut sebagai desa (atau

disebut dengan nama lain) sebagaimana pesan Pasal 18B ayat (2). Perubahan mendasar

tersebut hadir sebagai konsekuensi dari pengakuan (recognition) terhadap “desa atau

disebut dengan nama lain” sebagai lembaga otonom yang dengan demikian harus pula

diakui status dan hak-haknya secara khusus, bahwa desa berada diluar kerangka sub-

sistem pemerintahan daerah; dalam hal ini kabupaten.

Pengakuan “desa atau disebut dengan nama lain” berdasarkan amanat Pasal 18B ayat (2)

setidaknya harus melingkupi pada tiga aras hak asal-usul, yaitu: pengakuan terhadap

susunan asli; pengakuan terhadap sistem norma/pranata sosial yang dimiliki dan berlaku;

serta, pengakuan terhadap basis material yakni ulayat serta aset-aset kekayaan desa

(property right). Dengan demikian, pengaturan lebih lanjut dari pengakuan “desa atau

disebut dengan nama lain” harus benar-benar mendasarkan pada pertimbangan pada ciri-

ciri keberagaman sosial dan budaya masyarakat yang ada. Oleh sebab itu, sistem

penyelenggaraan pemerintahan juga harus lebih beragam lebih daripada sekedar sistem

pemerintahan yang ada berlaku sekarang ini.

Apabila dalam pembicaraan hubungan pusat dan daerah sebagai konsekuensi pesan Pasal

18 baru dan Pasal 18A menghasilkan konsensus nasional mengenai desentralisasi dan

otonomi daerah, maka seyogyanya konsekuensi dari pesan Pasal 18B ayat (2) juga harus

menghasilkan konsensus nasional tentang desentralisasi dan otonomi desa. Perbedaannya,

jika dalam pesan Pasal 18 baru dan Pasal 18A desentralisasi melahirkan pengakuan

terhadap otonomi daerah melalui pembagian kekuasaan dan pembagian keuangan, sedang

dalam pesan Pasal 18B ayat (2) pengakuan terhadap entitas otonom-lah (baca: desa atau

disebut dengan nama lain) yang kemudian melahirkan desentralisasi desa yang—

seharusnya—juga lengkap dengan pembagian kekuasaan dan keuangan. Dengan demikian

basis nalarnya jelas; yaitu pengakuan membawa konsekuensi desentralisasi desa.

Namun oleh karena keberadaan “desa atau disebut dengan nama lain” secara karakteristik

cukup beragam—belum lagi bila ditambah dengan keberadaan konstruksi desa yang sudah

tidak asli lagi—maka implementasi desentralisasi dan otonomi desa hendaknya juga harus

Page 31: Kajian RUU Desa

31

bisa mengakomodasi eksistensi keberagaman tersebut. Lebih-lebih basis logikanya adalah

pengakuan yang melahirkan desentralisasi. Dalam kontek ini penting untuk mengingat apa

yang disampaikan Prof. Dr. R. Soepomo, SH. (1993). Menurutnya, “… persamaan hukum

hanyalah bisa diterima, jikalau didasarkan kepada persamaan keadaan dan kebutuhan; jika

tidak, keseragaman hukum akan dirasakan sebagai ketidak-adilan yang menyakitkan.”

Maka, dalam konteks mengakomodasi eksistensi

keberagaman desa, setidaknya disain

desentralisasi desa akan mengarah pada tiga

macam bentuk penyelenggaraan pemerintahan

di aras desa itu. Masing-masing adalah sistem

desa adat; sistem desapraja; dan dan sistem

desa administratif. Pada level desa yang bukan

merupakan bagian dari subsistem pemerintahan

supradesa—disini sistem desa asli dan sistem

desa swapraja—dalam penyelenggaraan sistem

pemerintahan nasional, secara hukum

ketatanegaraan feasible untuk diwujudkan.7

Dalam sistem ‘desa asli’ (atau ‘dea adat’), maka penyelenggaraan sistem pemerintahan di

level lokal akan menerapkan desentralisasi dan pengakuan secara penuh dan istimewa

mengingat susunan kelembagaan asli, sistem norma/pranata sosial dan ulayat sebagai

wujud dari property right, semuanya masih hidup dan berjalan. Dalam hal ini kehadiran

negara melalui pengaturan, tidak lebih sekedar mengakui eksistensi dan kedudukan

melalui peran menunaikan kewajiban-kewajiban dalam rangka pemenuhan kebutuhan

hak-hak dasar kehidupan warga negaranya. Misalnya mengenai akses kesehatan dan

pendidikan. Di sini letak Negara —lembaga supradesa—terhadap sistem desa asli ada pada

posisi yang relative mengambang (floating state). Pengembangan kemandirian desa dalam

sistem desa asli akan lebih banyak ditopang dari keleluasaan desa dalam

7 Konsepsi Desapraja yang dimaksudkan dalam dokumen ini berbeda bentuknya dengan penyebutan yang sama pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.

Page 32: Kajian RUU Desa

32

mengkapitalisasikan ulayat dan aset-aset (property right) yang dimiliki sesuai dengan

preferensi kemitraan institusi eksternal supradesa menurut selera desa yang

bersangkutan. Dengan demikian negara juga berkewajiban menggaransi ketersediaan dan

penguasaan property right oleh desa. Mengenai eksistensi sistem desa asli di dalam sistem

pemerintahan tersebut dapat dilabeli sebagai asymmetric recognition sebagaimana gejala

teoritis yang juga berlaku dalam daerah-daerah istimewa dalam mandat Pasal 18A—yang

dikecualikan dari desentralisasi dan otonomi daerah konvensional yang berlaku—yang

kita kenal dengan asymmetric decentralization.8

Perlu disampaikan bahwa konsepsi Desapraja yang dimaksud di dalam gagasan ini adalah

desa yang berbeda dari konsep desapraja yang (pernah) dimaksud oleh UU No. 19 Tahun

1965. Sistem desapraja berangkat dari asumsi bahwa negara mengakui entitas otonom (self

governing community) yang sekaligus memperoleh desentralisasi (local-self government).

Sedang sistem ‘desapraja’ dimunculkan sebagai respon untuk merevitalisasi keberadaan

desa-desa di sebagian besar Jawa dan sebagian di luar Jawa dalam untuk menjadi local-self

government. Prinsip dasar pertama adalah, desentralisasi desa merupakan pengakuan

negara terhadap self-governing community, dan prinsip selanjutnya adalah pembagian

kewenangan dan keuangan kepada desa untuk membuat desa sebagai local-self government

(Sutoro Eko dan Adur Rozaki, 2005: 45). Konsekuensi dari sistem desapraja, kewajiban

negara dalam desentralisasi keuangan adalah memastikan perimbangan keuangan yang

layak dan mencukupi untuk diberikan kepada desa sebagai modal pembangunan mereka.

Selain itu, juga harus ada upaya redistribusi aset-aset sebagai basis material (property

right) bagi desa sebagai wujud revitalisasi ‘ulayat’ yang selama ini telah berkurang baik

sebagai akibat dinamika pertambahan penduduk atau karena telah digerus oleh kekuatan

supradesa yang menghisap. Perbedaan mendasar pada sistem desapraja dibanding sistem

desa asli adalah dalam institusionalisasi tata pemerintahannya—baik mekanisme dan

lembaga penyelenggaranya—yang sedikit banyak akan diatur oleh hukum negara, yakni

‘undang-undang desa’ ini sendiri.

8 Meskipun begitu, agar kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Tingkat Desa dapat berjalan efektif maka pilihan Sistem Desa Asli ini HANYA dapat dilaksanakan jika struktur dan organsiasi desa asli yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi sebuah organisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang efisien, sebagaimana yang akan diatur oleh kebijakan khusus tentang hal ini.

Page 33: Kajian RUU Desa

33

Dengan demikian di dalam konsep desapraja tetap ada dan berlaku sistem pemerintahan

modern (baca: prasyarat pemerintah yang demokratis) melalui organ-organ kelengkapan,

mekanisme maupun prosedur dari sistem pemerintahan yang diatur oleh negara, namun

dengan tetap menghormati kedudukannya sebagai desa yang otonom. Artinya, otoritas

pemerintah supradesa hanya membuat pedoman mengenai prasyarat sistem pemerintahan

yang demokratis bagi entitas desa tanpa mengurangi otonomi desa. Misalnya, pedoman

mengenai nomenklatur organ-organ kelengkapan organisasi desa yang minimal harus ada

dalam rangka penyelenggaraan check and balances pilar-pilar lembaga kekuasaan

(eksekutif, legislatif dan—mungkin—yudikatif) di desa. Kemudian mengenai pedoman

tentang mekanisme hubungan antar pilar-pilar lembaga kekuasaan, dan juga pedoman

mengenai prosedur pengisian jabatan-jabatan di dalam pilar-pilar lembaga kekuasaan tadi.

Oleh karenanya sistem desapraja harus ditempatkan sebagai sistem pemerintahan yang

bukan merupakan bagian dari subsistem pemerintahan supradesa. Ini yang membedakan

dengan konsep desapraja sebagaimana yang dianut oleh rejim UU No. 19 Tahun 1965.

Desapraja menurut UU No. 19 Tahun 1965 meski merupakan local-self government tetapi

tetap diposisikan sebagai subsistem pemerintahan supradesa yang lebih tinggi.

Sebagaimana pengertian di dalam UU tadi yang meletakkan desapraja sebagai unit

terendah dalam hierarkhi sistem pemerintahan; yaitu daerah daerah tingkat III di bawah

provinsi dan kabupaten. Dimana dalam ketetuan tersebut dikenal istilah “Daerah Atasan”,

yaitu: Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat I yang menjadi atasan dari desapraja (Pasal 2

huruf b UU No. 19 Tahun 1965). Lebih-lebih di dalam UU tersebut dengan tegas juga

disebutkan bahwa “kepala desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga

desapraja dan sebagai alat Pemerintah Pusat

Sementara sistem desa administrasi adalah berangkat dari kepanjangan tangan negara

untuk menunaikan fungsi-fungsi pelayanan publiknya terhadap warga negaranya,

mengingat sudah tidak ada lagi kelembagaan desa yang merepresentasikan otonomi dan

kemandirian komunitas. Akomodasi ini mengingat perkembangan sosial kemasyarakatan

yang heterogen yang semakin cepat terutama di daerah-daerah mulai maju oleh pengaruh

modernisasi. Dalam hal ini keberadaan sistem desa administrasi sama sekali merupakan

domainnya negara, yang dengan demikian desa administrasi kompatibel sebagai bagian

” (Pasal 8 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1965).

Page 34: Kajian RUU Desa

34

dari subsistem pemerintah supradesa. Model desa administrasi juga diutamakan untuk

daerah-daerah terpencil di mana warga dan sistem organisasi desa aslinya belum mampu –

atau belu mau -- menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang diinginkan.

Rincian implikasi pemilahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di

tingkat desa ke dalam 3 (tiga) tipologi ini terhadap (1) struktur organisasi; (2)

kepemimpinan; (3) sistem check and balances; (4) mekansime pertangggungjawaban; (5)

kewenangan dalam pemerintahan, dan (6) keuangan desa adalah sebagaimana tercantum

dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1: Perbedaan Nomenklatur pada 3 Tipologi Penyelenggaraan Pemerintahan di Tingkat Desa 9

Tipologi Desa

Struktur/ Organisasi

Kepemim-pinan Sistem check and balances

Mekanasime Pertanggang-jawaban

Kewenangan dalam Pemerintah-an dan Pembangun-an10

Keuangan

11

Sistem Desa Asli

Sesuai keadaan yang ada, dilengkapi dengan ‘urusan penyelengga-raan pemerintah-an di tingkat desa’

Sesuai keadaan yang ada

Sesuai keadaan yang ada

Sesuai keadaan yang ada dan kepada Pembina (dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota)

Kewenagan yang relative terbatas, kecuali yang berkaitan dengan hak asal usul cq. hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dgn keweangan yang relative terbatas; 12 pengelolaan hak ulayat; dan penyelenggaraan pengadilan adat.13

Relatif Terbatas

Sistem Desa-praja

Pemerintahan Desa yang Terdiri dari unsur Kepala Desa, Aparat Desa, dan ‘Badan Perwakilan’ atau disebutu dengan

Merit system& Mekanisme Pemilihan Langsung

Terdapat lembaga yang merepresentasikan warga desa

Betanggungjawab kepada embaga yang merepresentasikan warga desa kepada Pembina (dalam hal ini Pemerintah

Kewenagan yang Luas. a.l: • Pembuatan

dan penetapan Perdes

• Kerjasama antar desa

• Pemberian ijin dan

Relaif Luas

9 Rincian realisasi masing-masing unsur nomenklatur dalam ketiga tipologi penyelenggaraan pemerintahan di Tingkat Desa akan diatur dalam Peraturan Daerah, sejauh yang tidak bertentangan dengan semangat PENGAKUAN yang menjadi dasar Undang-Undang Desa mendatang, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagianbagian berikut. 10 Lebih lanjut lihat bahasan dalam bagian ‘Kewenangan Desa’. 11 Penjelasan lebih lanjut lihat bagian ‘Keuangan Desa’. 12 Dalam konteks ini struktur desa asli wajib memfasilitasi implementasi kewajiban negara (supradesa) dlm pemenuhan kebutuhan dasar warga di desa yang bersangutan. 13 Termasuk urusan pelestarian kelembagaan adat.

Page 35: Kajian RUU Desa

35

nama lain Kabupaten/ Kota) pengelolaan potensi SDA desa

• Pengaturan dan pengambangan BUMDesa

• Merumuskan dan menetapkan rencana pembangunan desa.

• Menentukan dan menetapkan sumber-sumber pendapatan asli desa

Sistem Desa Adminitrasi

Kepanjangan birokrasi Pemerintah Kabupaten

Merit system dan pengankatan oleh Pemerintah Kabupaten

Jika dianggap perlu, Terdapat lembaga yang merepresentasikan warga desa

Bertanggung-jawab kepada Pembina (dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/ Kota)

Kewenagan yang dilimpahkan Supra-desa, sejauh yang dibutuhkan. a.l:

• Memberikan rekomendasi pemberian perijinan usaha/kegiatan yg berbasis di desa

• Pelaksanaan pembangunan dlm urusan-urusan tugas pembantuan

Sejauh yang dibutuhkan

• Tentang Kewenangan Desa

Pada dasarnya kewenangan desa dari cara perolehannya dapat dikategorikan sebagai

kewenangan atributif dan kewenangan distributif. Kewenangan atributif berkaitan dengan

hak yang telah ada pada suatu entitas baik kelompok (komunitas) maupun individu—

sering disebut sebagai kewenangan asli—yang kemudian diakui melalui pencantumnnya di

dalam konstitusi. Dalam tinjauan hukum tata negara, selanjutnya kewenangan atribusi

merupakan kewenangan yang bersumber dari konstitusi atau peraturan perundang-

undangan.

Sementara, kewenangan distributif adalah kewenangan yang diperoleh dari

pelimpahan/pembagian sebagian kewenangan dari pihak lain yang timbul sebagai

Page 36: Kajian RUU Desa

36

konsekuensi dari pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang

timbul sebagai akibat pelimpahan/pembagian kewenangan tersebut lebih lanjut menurun

pada dua bentuk kewenangan; yaitu kewenangan delegasi dan kewenangan mandat.

Konsekuensi daripada kewenangan delegasi adalah telah beralihnya tanggungjawab akibat

kewenangan yang dilimpahkan/dibagi dari pihak pemberi kewenangan semula menjadi

tanggungjawab pihak pemegang kewenanganyang dilimpahi kewenangan belakangan.

Kewenangan delegasi dalam tinjauan relasi pemerintah pusat dan daerah seringkali

dipadankan sebagai desentralisasi politik (pembagian kekuasasaan) sehingga muncul

klasifikasi adanya bidang politik/kekuasaan yang menjadi kewenangan pusat dan bidang

kekuasaaan yang menjadi kewenangan daerah.

Sedang dari kewenangan mandat, konsekuensi dari pelimpahan/pembagian kewenangan

tidak berakibat pada beralihnya tanggungjawab pihak pemegang kewenangan semula

kepada pihak yang menerima kewenangan yang bersangkutan. Jenis kewenangan mandat

ini di dalam tinjauan relasional pemerintah pusat dan daerah dapat dipadankan sebagai

bentuk dekonsentrasi dimana pemerintah yang “lebih tinggi” dapat memberikan tugas

kepada pemerintah yang “lebih rendah” untuk dijalankan dengan segala dukungan sarana,

infrastruktur dan sumberdaya dari pemberi tugas. Dalam istilah ketatapemerintahan

pelimpahan kewenangan yang berupa penugasan ini seringkali disebut dengan tugas

pembantuan (medebewind). Ketiga konsep kewenangan tersebut dapat dilihat dalam Tabel

2 berikut.

Tabel 2. Jenis-jenis Kewenangan Desa Dan Contohnya

Jenis Kewenangan

Definisi Contoh

(1) Atributif

(Dominan pada Sistem Desa Asli)

Rekognisi atas Hak asal-usul • Tanah Ulayat

• Nilai dan Norma Sosial

• Struktur Organisasi Masyarakat Adat.

Page 37: Kajian RUU Desa

37

(2) Delegasi

(Dominan pada Sistem Desa Praja)

Desa mendapatkan pelimpahan wewenang untuk penyelenggaran pelayanan publik dan pembangunan dengan tanggung jawab dan tanggunggugat kepada desa penerima wewenang. Pemberian delegasi dilakukan berdasarkan prinsip subsidiarity danco-production.

• Pengelolaan Infrastruktur Sekolah

• Pemeliharaan Infrastruktur Puskesmas.

• Pengelolaan Posyandu.

• Pengeloalaan Irigasi Desa

• Pengembangan kegiatan ekonomi desa.

• Pembangunan dan pemeliharaan pasar desa.

• Pengembangan Badan Usaha Desa

(3) Mandat

(Dominan pada Sistem Desa Administratif).

Desa mendapatkan pelimpahan wewenang dengan tanggung jawab dan tanggunggugat pada pemberi mandate

• Program-program pemerintah yang dijalankan ditingkat desa dan bekerja sama dengan pemerintah/masyarakat desa seperti sensus kependudukan, Penyelenggaraan pemilu, Program penanggulangan kemiskinan.

Dalam tataran eksistensi desa sebagai entitas yang otonom, maka kewenangan-

kewenangan tersebut dapat diidentifikasikan kepada desa, namun tentu dengan

penyesuaian-penyesuaian pada kebutuhan wacana otonomi dan desentralisasi desa.

Pertama, adalah kewenangan asli. Meminjam istilah Sutoro Eko (2004), kewenangan asli

disebut pula dengan kewenangan generik. Kewenangan asli atau juga sering disebut

dengan hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan

masyarakat hukum (rechtgemeenschappen) dalam banyak kesempatan juga disamakan

dengan property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

sebagai konsekuensi dari otonomi asli (Zakaria, 2000, dalam Sutoro Eko dan Abdur Rozaki,

2005: 58). Ada beberapa jenis kewenangan generik yang jamak dibicarakan, antara lain:

kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; kewenangan

mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan

adat/desa, dll); kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat sendiri; kewenangan

mengelola dan merawat nilai-nilai budaya lokal (adat-istiadat); dan, kewenangan yudikatif

atau peradilan komunitas, misalnya dalam hal penyelesaikan konflik/sengketa non-

kriminal (Sutoro Eko, 2004, dalam Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 58).

Page 38: Kajian RUU Desa

38

Kewenangan generik merupakan indikator desa sebagai kesatuan masyarakat hukum

(rechtgemeenschappen) atau desa sebagai subyek hukum yang otonom

(volksbestuurgemeenschappen). Desa-desa di Jawa, misalnya, mempunyai wewenang

mengelola tanah kas desa maupu tanah bengkok secara mandiri untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan desa. Sementara desa-desa adat di luar Jawa umumnya

mempunyai hukum adat atau sistem nilai/pranata sosial untuk mengatur pemerintahan

maupun hubungan sosial serta mengelola sumberdaya lokal (tanah, hutan, sungai, dll).

Mengatur berarti membuat dan melaksanakan peraturan yang bersifat memaksa

(imperatif) dan mengikat warga, atau menentukan batas-batas yang boleh dilakukan dan

yang tidak boleh dilakukan oleh warga (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 58-59).

Kedua, dalam memposisikan desa sebagai entitas otonom, maka kewenangan delegasi

harus ditempatkan pada pembagian bidang kekuasaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan kepada desa melalui penerapan secara ketat prinsip subsidiarty. Yaitu

kewenangan yang melekat pada desa berkaitan dengan daftar bidang kekuasaan yang

memang mampu, lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan oleh desa dibanding bila

dilaksankan oleh entitas supradsesa. Dari sisi desa, kewenangan ini bersifat co-production,

yaitu desa berperan dalam memproduksi barang dan jasa publik yang seharusnya

diproduksi oleh negara. Sebagai konsekwensinya negara harus membayar barang dan jasa

tersebut melalui alokasi anggaran untuk desa. Dalam kerangka pembangunan, ke depan

perlu ada gagasan kewenangan delegasi ini dilembagakan, yakni membuat desa sebagai

entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa secara otonom bisa membuat

perencanaan dan pembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal versi mereka

sendiri. Dengan demikian keberadaan lembaga supradesa akan lebih pada posisi

memfasilitasi dan men-support celah dari proses pembangunan oleh desa yang desa sendiri

merasa tidak mampu menyelesaikannya.

Ketiga, dalam konteks kewenangan mandat, yaitu dalam rangka pelaksanaan tugas

pembantuan oleh desa. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena

tugas pembantuan hanya sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan,

sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan

pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Dalam hal

Page 39: Kajian RUU Desa

39

ini titik kewenangannya justru pada desa yang harus memiliki keleluasaan untuk menolak

tugas pembantuan apabila tidak disertai dengan pendukungnya sehingga sekedar menjadi

beban desa saja. Padahal dalam konteks tugas pembantuan, tidak jarang program-program

kegiatan yang hendak dilaksanakan sesungguhnya memang merupakan kewajiban dari

kelembagaan pemerintah supradesa dalam rangka memenuhi kebutuhan hak-hak warga

negaranya. Misalnya mengenai program-program untuk memenuhi kebutuhan kesehatan,

pendidikan, kependudukan dan pemilihan umum.

Kewenangan desa dalam disain wacana desentralisasi dan otonomi desa tersebut pada

akhirnya tetap saja meniscayakan adanya kewenangan keuangan (fiskal)—yang tidak

boleh dilupakan—yang juga harus sampai ke desa. Hal ini penting guna memastikan

perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa, untuk selanjutnya musti ada dana

alokasi desa. Dalam Dana Alokasi Umum, misalnya, harus dibagi secara seimbang antara

provinsi, kabupaten/kota dan desa.

• Tentang Demokrasi dan Kepemimpinan:

Sebagaimana dilaporkan Slamet (1965: 73 - 84), salah seorang antropolog senior lainnya,

pada bulan May 1951, Charles Wolf pernah menulis sebuah artikel di Majalah Far Eastern

Survey, yang antara lain menyatakan bahwa “Barangkali desa-lah, yang sepanjang sejarah

merupakan hampir satu-satunya tempat persemaian bagi tehnik organisasi dan demokrasi

di Asia Tenggara, bisa disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat yang

baru; pengalaman yang kaya dari masyarakat desa dalam mencapai suatu pemufakatan dan

dalam menciptakan pimpinan yang bertanggungjawab, mungkin bisa meresap sampai ke

tingkat pemerintah-pemerintah nasional di Asia Tenggara dan mempengaruhi pula

bentuknya pemerintahan itu”. Pada waktu berikutnya, Oktober 1951, Justus van de Kroef,

pada majalah yang sama membantah pendapat itu. Menurutnya, “Desa tradisional

Indonesia tidaklah merupakan suatu demokrasi, maka tidak dapat pula dijadikan landasan

bagi ‘teknik-teknik organisasi dan operasi yang demokratis’ sebagaimana yang dikenal

dalam dunia Barat”. Di mana letak kebenaran yang sesungguhnya?

Atas pertanyaan yang diajukannya itu, Slamet berpendirian bahwa kebenaran dimaksud

terletak di antara kedua pandangan itu. Namun, untuk memahaminya, kata Slemet, kita

Page 40: Kajian RUU Desa

40

harus menggunakan pendekatan dari sudut historis. Artinya, di desa memang sudah sejak

lama terdapat apa yang disebut sebagai demokrasi asli, dan bukan demokrasi Barat yang

dimaksudkan van de Kroef. Demokrasi asli itu tumbuh dalam masyarakat-masyarakat

primitif yang belum mengenal stratifikasi sosial. ‘Kepemimpinan di dalam perkauman

(community) yang masih hidup pada taraf subsistensi ini pada pokoknya berdasarkan pada

persetujuan bulat dari segenap anggotanya dan tidak mempunyai sifat turun-menurun,

sehingga pemimpin-pemimpinnya yang pada umumnya tidak pula diakui secara resmi

(oleh kekuatan politik lain, pen), diikuti hanya atas dasar kemampuan saja,” tulis Slemet.

Selanjutnya Slamet menjelaskan bahwa demokrasi asli tersebut berkembang sesuai dengan

syarat hidupnya, yakni dalam ’perkauman-perkauman kecil yang tertutup, yang terdiri dari

dari sejumlah manusia yang semuanya salaing kenal satu sama lain, dan punya hubungan-

hubungan kekerabatan, serta -- yang terpenting -- bisa memenuhi sendiri semua

kebutuhan-kebutuhan pokoknya’.

Desa-desa – dapat pula disebut begitu -- ini dipimpin oleh seorang kepala, yang fungsinya

tidak dipegang secara turun-menurun, namun atas dasar kemampuan. ‘Sifat-sifat yang

dianggap terpenting bagi seorang kepala, selain kecerdasan dan kebijakan, ialah

kesanggupannya untuk mendamaikan perselisihan; meyakinakan orang pada umumnya;

keberanian untuk mengambil keputusan; dan kemurahan hati yang tidak terhingga,” urai

Slamet. Namun, kepala-kepala desa ini tidak dapat memutuskan apapun tanpa musyawarah

dengan segenap kepala keluarga. Sebabnya adalah kesempatan untuk memaksa seseorang

dengan kekerasan tidak atau belum ada. Sebagai balas jasa, kepala-kepala desa ini dibantu

penduduk dalam hal mengerjakan ladangnya, mendirikan rumahnya, bahkan membayar

hutang-hutangnya.

Seturut sejarahnya, urai Slamet, demokrasi asli, pada akhirnya, juga mengalami tekanan

yang menyebabkan sejumlah perubahan. Tekan itu berupa pertumbuhan penduduk;

adanya keluarga-keluarga tertentu yang kemudian memiliki kedudukan istimewa

(previllage) dalam desa; meluasnya penggunaan tenaga budak; dan diperkukuh oleh

perkembangan feodalisme dan kemudian kolonialisme. Bahkan, seperti ditulis oleh

Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Projono ( 1983) kemunduran demokrasi (di Jawa) juga

Page 41: Kajian RUU Desa

41

disebabkan oleh ‘polarisasi dalam perang kemerdekaan, pelaksanaan land reform di

pertengahan tahun 1960-an, dan kudeta yang gagal pada tahun 1965’.

Sejarah telah mencatat bahwa kolonialisme memperkuat kedudukan kepala adat (desa)

dan mempergunakannya sebagai perantara dengan penduduk desa, sebagaimana yang

telah dilaporkan oleh van Vollenhoven (1987); Kartohadikoesoemo, 1984; Suhartono, et.al.,

(2000); dan beberapa sumber yang telah dirujuk terdahulu. Meski begitu, demokrasi asli

tidak menyerah begitu saja. Bentrokan antara azas demokrasi asli dan azas otokrasi telah

melahirkan sejumlah bentuk pemerintahan yang bangunannya hasil kompromistis kedua

azas itu. Maka, tidak salah jika kemudian van de Kroef berpendapat bahwa “Struktur yang

historis dari masyarakat Indonesia bercirikan paternalisme, otokrasi dan kuatnya ikatan-

ikatan tradisi”. Namun, menurut Slamet, ‘apa yang dilihat van de Kroef itu hanya

merupakan muka yang satu dari masyarakat desa Indonesia, sedangkan mukanya yang lain

adalah tradisi-tradisi demokratisnya’. Slamet melanjutkan, “ van de Kroef rupanya sama

sekali tidak sanggup atau bersedia melihat muka ini. Padahal tradisi-tradisi demokratis ini

menurut pendapat saya tidak hanya masih hidup di hati orang dan diperkuat oleh cita-cita

revolusi, namun masih ditaati sepenuhnya sampai hari kini di dalam suatu sektor

kehidupan masyarakat desa yang amat penting, ialah di dalam gotong-royong (tolong-

menolong) yang bersifat spontan antara sanak-saudara dan tetangga-tetangga di semua

pelosok desa dan malah seringkali masih di kampung-kampung kota”. “Sebetulnya

kekayaan tidak dibagi sama rata, tetapi norma-norma sosial menghalangi adanya polarisasi

secara besar walaupun terdapat orde sosial yang tidak sama,” tulis Tjiptoherijanto dan

Yumiko M. Projono ( 1983).

Meski pun begitu, menurut Slamet, walaupun di antara kepala desa itu terdapat banyak

kepala desa yang sungguh-sungguh memperjuangkan pembangunan desa, terdapat pula

banyak kepala desa yang menyalahgunakan kedudukannya dengan maksud memelihara

kepentingan mereka sendiri. Hatta, UU No. 5/1979 pun kemudian diberlakukan. Alih-alih

memperbaiki keadaan, Zakaria (2000) melaporkan bahwa strategi transplantasi

Pemerintahan Desa berikut berbagai lembaga yang menyertainya, seperti LKMD, PKK,

Karang Taruna, KUD, telah gagal total dan telah menimbulkan dampak negarif yang tidak

kecil. Demikian pula nada dasar yang ada dalam berbagai tulisan terbit sebelumnya,

Page 42: Kajian RUU Desa

42

sebagaimana dirangkum oleh van Ufford (1988). Antlov (1995), menyebutkan bahwa

aparat desa hanya pelayan bagi pejabat di tingkat atas demi kelangsungan kepentingan

kepala desa itu sendiri. “Praktek pelaksanaan, yang terutama Lurah dipergunakan untuk

‘mengamankan’ hasil pemilihan umum, telah mengganggu kedudukan kekuasaan local

banyak lurah,” tulis Nordholt (1987). Maka, seperti dikemukakan Soetarto (2006), desa

tidak pernah benar-benar pulih dalam hal rest and order (ketenangan dan keteraturan)-

nya. Pembangunan masyarakat desa telah gagal mencapai tujuannya karena dilakukan

dengan cara-cara teknokratis dan paternalistik, oleh sebab itu keberadaan dan peran

institusi-institusi ekonomi-politik bentukan Negara yang selama ini sarat dengan ciri

korporatis perlu ditinjau ulang,’ tulis Soetarto. Hasil penelitian tentang Local Level

Institution (Pertama) yang disponsori BAPPENAS dan World Bank (Chandrakirana 1999;

Evers, 1999; dan Grootaert, 1999), maupun yang Kedua (Wetterberg, 2002) menunjukkan

bahwa institusi Pemerintahan Desa, Kepala Desa,dan Aparat Desa, alih-alih mampu

menyelesaikan masalah yang ada di desanya, justru menjadi salah satu dari masalah desa

itu sendiri.

Oleh sebab itu, seperti pernah diingatkan Slamet (1965), “… usaha pembangunan desa

tidak bisa disalurkan melalui pemimpin-pemimpin desa yang tradisional saja. Tetapi perlu

diadakan hubungan langsung yang melibatkan rakyat biasa di desa-desa.” Nordholt (1987)

juga berpendapat sama. “Sekalipun kedudukan kekuasaan seseorang lurah tidak dapat

disangkal pentingnya, namun untuk menganggapnya juga sebagai ‘kunci pembangunan

desa’ adalah masalah lain sama sekali. Justru dengan menjadikan para lurah sebagai satu-

satunya sasaran pintu masuk ke penduduk desa, tampaknya berakibat sebaliknya,” tulis

Nordholt.

Maka, seperti diusulkan Slamet (1965), “Yang dibutuhkan ialah suatu proses demokratisasi

desa di bermacam-macam lapangan, yang akan mengijinkan suatu kontrole dari bawah. …

Untuk mencapai tujuan dimaksud, maka pertama-tama adalah demokrasi asli harus

dibebaskan dari tekanan-tekanan dari atas. … Perlu pula memberi ruang tumbuh bagi

persekutuan-persekutuan penduduk marginal lainnya, seperti buruh tani, dan lain

sebagainya,” saran Slamet hampir 50 tahun lalu, dan hampir tidak pernah dilakukan

dengan sungguh-sungguh.

Page 43: Kajian RUU Desa

43

Masih relevankan usul yang demikian itu saat ini? Tentu! Bahkan makin relevan dari waktu

ke waktu, sebagai akibat dari elan ‘penaklukan Negara terhadap (pemerintahan) desa’

selama ini. Terlebih-lebih seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, yang telah membalik

arah akar (baca: tanggungjawab) kepemimpinan lokal: dari semula berakar ke bawah

menjadi berakar ke atas-(an)-nya.

Persoalannya kemudian adalah apakah proses demokrastisasi yang niscaya di tingkat desa

itu harus sama-sebangun dengan proses-proses demokratisasi di tingkat supra-desa itu?

Harus diakui, di samping sejumlah permasalahan yang telah dikemukakan di atas, terdapat

pula sejumlah masalah lain yang telah turut menghambat proses penyelenggaraan

‘pemerintahan desa’ selama ini. Dua hal yang terpenting adalah, pertama, bahwa kapasitas

sumberdaya manusia (Kepala Desa) relatif terbatas. Hal ini adalah konsekwensi dari

keterbatasan sumberdaya manusia yang memang terbatas di tingkat desa. Akibatnya,

adaptasi terhadap tugas dan fungsi relative lambat. Di sisi lain, dalam situasi kelangkaan

sumberdaya manusia yang demikian rupa, hadirnya kepala desa yang mumpuni tentunya

akan sangat menguntungkan (masyarakat) desa yang bersangkutan.

Kedua, dalam konteks penyelenggaraan ‘pemerintahan desa’ ala ‘desa praja’ (atau disebut

dengan nama lain), merujuk pada pengalaman masa lampau, suksesi kepala desa ataupun

‘badan perwakilan desa’ (ataupun disebut dengan nama lain), dalam prakteknya telah

menimbulkan ‘kegaduhan politik’ tersendiri (sebagaimana dilaporkan Sartono Kartodidjo,

ed., 1992; dan Rozaki, et.al., 2004, misalnya). Friksi yang terjadi dalam proses-proses

suksesi dimaksud seringkali berlarut-larut. Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan

desa sebagaimana mestinya seringkali terhambat atau bahkan tertunda dalam jangka

waktu yang relative cukup lama. ‘Kegaduhan politik’ ini, pasca reformasi, semakin lebih

nyaring bunyinya, seiring dengan pemberlakukan kebijakan pemilihan anggota parlemen

yang baru (yang menganut sistem terbuka, sehingga seorang calon hadir sebagai

pribadinya); dan pemilihan pimpinan eksekutif, yakni Bupati, Gubernur, dan Presiden

secara langsung pula.

Menghadapi situasi-situasi seperti dijelaskan di atas maka masa tugas Kepala Desa yang

ditetapkan sepanjang 5 tahun itu akan menjadi relatif singkat dan tidak kondusif bagi

Page 44: Kajian RUU Desa

44

pengembangan kinerja Kepala Desa sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, dalam

mengatasi masalah yang dihadapi ini, mengingat pula bahwa kekayaan Negara dan hak

publik yang berada dalam kontrol kepala desa yang relatif terbatas jumlahnya, dan di sisi

lain masih cukup kuatnya nilai-nilai ‘demokrasi asli’ dalam desa-desa yang bersangkutan,

Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) beranggapan bahwa MEMPERPANJANG

MASA TUGAS Kepala Desa melebihi kebiasaan yang ada pada kasus pimpinan lembaga

eksekutif supra-desa adalah suatu yang masuk akal. Dalam konteks ini Lingkar Pembaruan

Desa dan Agraria (KARSA) mengusulkan satu masa jabatan Kepala Desa setara dengan 1,5

kali masa jabatan yang berlaku di tingkat supra-desa. Artinya, Kami mengusulkan masa

tugas Kepala Desa ke depan yang lebih rasional dan kondusif bagi peningkatan kinerja

pemerintahan desa itu adalah 7,5 tahun, dengan maksimal 2 kali masa jabatan.

Meski begitu, tentunya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) juga bersetuju

bahwa perpanjangan masa tugas kepala desa ini tentu saja harus disertai – bahkan

mensyaratkan -- peningkatan kinerja mekanisme pertangungjawaban jabatan yang dibuat

secara lebih terbuka dan lebih akuntabel. Salah satu upaya itu adalah dengan tetap

mempertahan sistem kelembagaan yang mempresentasi warga yang diberi kewenangan

untuk mengontrol kinerja eksekutif desa.

Model perwakilan dan mekanisme rekruitmen anggota Badan Perwakilan Desa

sebagaimana yang diatur oleh UU No. 22/1999 telah memperburuk kegaduhan politik di

tingkat desa. Meski begitu, kenyataan itu tidak harus bermuara pada penghapusan

keberadaan kelembagaan yang dapat merepresentasikan penduduk secara keseluruhan.

Sebab, seperti dikemukakan Rozaki, et.al., (2004), kalau kelembagaan semacam ini dihapus

maka ‘sarana warga untuk mengimbangi peran dan dinamika kelembagaan pemerintahan

desa menjadi pupus pula. Konservatisme lurah dapat muncul kembali’. Anggapan yang

mengatakan demokrasi tidak dibutuhkan di desa adalah keliru. Pola pemerintahan yang

represif dan korporatis bukanlah pola yang normal di desa. Maka, kamai setuju, seperti

yang dikemukakan para pengamat, reformasi tidak boleh mandek di tingkat desa (Klinken,

2001; cq. White & Aji, 2000).

Page 45: Kajian RUU Desa

45

Jalan tengahnya adalah dengan menghidupkan dan/atau memberikan ruang kepada

mekanisme-mekanise demokrasi asli (seperti musyawarah dan rembug desa) untuk turut

berperan serta dalam sistem pemerintahan desa dimaksud. Untuk itu, mekansime-

mekanisme demokrasi asli harus diberi kewenangan dan sumberdaya yang cukup agar

fungsi sebagai penyeimbang kekuatan eksekutif demi kinerja pemerintahan desa yang

optimal dapat dicapai.

• Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Desa

Dalam bagian terdahulu telah disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan nasional

di tingkat desa perlu pula memberi ruang bagi tumbuhnya perhimpunan-perhimpunan

penduduk marginal lainnya. Seperti buruh tani, kelempok perempuan, dan lain sebagainya.

Hal ini dimaksudkan agar warga desa dapat lebih berpartisipasi secara lebih sistematis

dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerinatahan dan pembangunan

di tingkat desa. Penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif, sebuah sistem

pemerintahan yang memungkinkan proses-proses delebirasi yang mampu

mengartikulasikan kepentingan warga pada umumnya memang telah menjadi pilihan pada

Abad 21 ini (Alvarez, ,1993; Clarke and Stewart, 1998; Gaventa & Velderama, 1999;

Cornwall and Gaventa, , 2001; Goetz and Gaventa, 2001; Soemardjo, 2003; Dwipayana &

Eko, eds., 2003). Sebagaimana ditunjukkan Suwondo (2003), pilihan ini telah memberikan

harapan baru bagi kemajuan desa.

Maka, termasuk dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa yang

lebih terbuka dan lebih akuntabel sebagaimana yang dipromosikan di atas, adalah

keharusan Pemerintah Desa untuk melibatkan berbagai sistem pengorganisasi warga desa

lainnya, seperti kelompok-kelompok perempuan, kelompok tani, dan kelompok-kelompok

warga desa lainnya, utamanya kelompok-kelompok rentan dan/atau marjinal lainnya.

Artinya, dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan pembangunan desa ke depan,

yang akan diselenggarakan dengan skema ‘satu desa, satu rencana, dan satu

penganggaran’, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu tidak semata-mata dilakukan oleh

kepala desa bersama aparat desa, ‘badan perwakilan desa’ dan berbagai lembaga

korporatis desa saja. Melainkan, untuk keperluan pembanguna desa itu, Pemerintah Desa

Page 46: Kajian RUU Desa

46

wajib pula melahirkan, merawat, memberdayakan, dan yang terpenting adalah melibatkan

berbagai bentuk pengelompokan warga desa itu dalam pengambilan keputusan-keputusan

penting desa. Termasuk untuk mengalirkan sumberdaya yang ditujukan untuk

memampukan organisasi-organisasi rakyat itu agar dapat bergerak dan lebih berkembang

lagi.

4.5. Tentang Keuangan Desa: Devolusi Keuangan ke Desa adalah Wujud Konkrit

Pemihakan ke Desa

• Masalah Keuangan yang Dihadapi Desa

Praktek pembagungan dan kebijakan alokasi keuangan negara telah melahirkan

ketidakseimbangan pembangunan danpenyediaan pelayanan publik desa – kota. Sejak

tahun 1970-an pemerintah Indonesia fokus mendorong pusat-pusat pertumbuhan (growt

pool) yang didorong untuk menjadi kota-kota dengan dukungan sistem administrasi yang

sepenuhnya didukung oleh negara. Di sisi lain desa tidak diberi perhatian dan sumber daya

keuangan yang memadai untuk menjadi penggerak pembangunan.Sebagai implikasi dari

pusat pelayanan publik yang berbasis perkotaan, lokasi desa yang jauh dari pusat

pemerintahan juga menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik di desa lebih buruk

dan tidak segera terditeksi oleh kabupaten/pusat jika terjadi persoalan.

Pemusatan pembangunan di perkotaan juga telah mendorong urbanisasi. Dengan kata lain,

pemusatan pembangunan telah menyebabkan sumber daya manusia potensial di desa

bermigrasi ke kota. Jika pada tahun 2010 sebanyak 53 persen penduduk Indonesia tinggal

di kawasan perkotaan, maka BPS memprediksi bahwa pada tahun 2025 penduduk di

kawasan perkotaan akan mencapai 65 persen. Karena masyarakat desa yang melakukan

urbanisasi umumnya tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai untuk

hidup dalam kegiatan ekonomi perkotaan makasemakin lama kota tidak sanggup

mengelola beban ekonomi dan kependudukan kota seperti tumbuhnya pemukiman padat

dan kumuh serta pertumbuhan di pinggiran kota yang tidak terkontrol (urban sprawl).

Studi yang dilakukan oleh IAP (Ikatan Ahli Perencana) tahun 2011 menunjukkan ada

kecenderungan penurunan livable city dari kota-kota menengah ketika menjadi kota-kota

Page 47: Kajian RUU Desa

47

besar (IAP, 2011). Dengan kata lain, pengabaian pembangunan di desa bukan hanya

merugikan desa tetapi juga merugikan kota.

Sejak tahun 1998 pemerintah nampaknya mulai menyadari permasalahan di pedesaan. Ini

dapat dilihat dengan makin banyaknya program-program pemerintah pusat di desa baik di

bidang sosial, pelayanan pubik maupun pembangunan infrastruktur. Tetapi ada persoalan

mendasar dari program ini, yaitu permasalahan desa ‘didefinisikan’ dan diselesaikan

dengan program-program dari pemerintahan supra desa dan bukan dari cara melihat dan

sumber daya desa itu sendiri. Sebagai dampaknya maka ada kecenderungan:

• Terjadinya tumpang tindih program – dari sisi rencana, kelompok sasaran, dan

kegiatan. Ini dapat dilihat dari banyaknya varian-varian PNPM di satu desa, Program

Provinsi, dan Program Kabupaten di tingkat desa.

• Pemerintah Desa jadi ‘korban’ ketidakjelasan target dan kegagalan desain program di

tingkat pusat pusat. Contoh paling kongkrit dari kasus ini adalah program Bantuan

Langsung Tunai dari pemerintah pusat yang memicu terjadinya konflik horizontal dan

vertikal di tingkat desa.

• Dari sisi desa, program tidak berkesinambungan. Dengan kata lain keberadaan program

sangat tergantung di satu sisi pada kabaikan hati dan kriteria yang ditetapakan oleh

pemerintah supra desa dan di sisi laian pada kemampuan desa, terutama pemimpinnya

dalam meloby pemerintah supra desa.

• Desa tidak memiliki ‘harga diri’ dalam pembangunan program-program di desa.

Keberhasilan pembangunan desa dinilai berdasarkan sejauh mana keterampilan kepala

desa menggaet/melobi agar program masuk desa ketimbang kemampuan mengelola

keuangan dan pembangunan desa itu sendiri.

Pada tahun anggaran 2012, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk program

Penanggulangan Kemiskinan sebesar Rp 99,2 trilyun dengan sasaran menurunkan tingkat

kemiskinan menjadi 10,5%-11% dari jumlah penduduk. Dari total dana tersebut, 8, 46

trilyun dialokasikan untuk pembangunan 5.1000 kecamatan dengan alokasi Rp 6.000 juta

sampai dengan Rp 3 milyar/kecamatan dan pembangunan infrastruktur sosial wilayah

Page 48: Kajian RUU Desa

48

sebesar Rp 423, 5 milyar dan PNPM infrastruktur peedesaan sebesar Rp 982,5 milyar

untuk desa, dan PNPM daerah tertinggal dan khusus sebesar 42,5 M. Selain

penanggulangan kemiskinan, pemerintah juga mengalokasikan program yang target

sasarannya desa seperti ketahanan pangan (meningkatkan ketersediaan bahan pangan)

dan subsidi pupuk.

Dari data di atas, tampak bahwa banyak beberapa program di tingkat nasional dengan

target sasaran desa. Program pembangunan desa juga dilakukan oleh pemerintah provinsi

dan pemerintah kabupaten. Survey yang dilakukan oleh Suhirman dan Rianingsih Djohani

(2011) menunjukkan bahwa di beberapa desa telah terjadi penumpukkan program-

program pembangunan dan ‘pemberdayaan’ di satu desa. Pada Tabel 3 dapat dilihat contoh

kasus program-program yang ada di desa pada tahun yang sama dengan total program

yang masuk pada tahun 2010 lebih dari 800 juta.

Tabel 3. Contoh Program-Program Pembangunan di Desa

Nama Program/Dana Sumber Dana Jumlah Alokasi Dana Desa Kabupaten 28.000.000 P2MBG Kabupaten 30.000.000 Balik Deso Bangun Desa Provinsi 100.000.000 PNPM-P2SPP Pusat 85.000.000 PNPM-Perdesaan Pusat 67.000.000 PPIP Pusat 250.000.000 PNPM-Pamsimas Pusat 275.000.000 Program ke Kelompok sasaran (Gapoktan, Sekolah, dll)

Kebupaten dan Pusat

Tidak tercatat di desa

835.000.000

Sejak tahun 2004, pemerintah telah mengitrodusir kebijakan ADD untuk meningkatkan

kapasitas keuangan pemerintah desa. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa masalah

mendasar dari kebijakan ini. Pertama, ADD dilekatkan dengan DAU yaitu 10% dari DAU

setelah dikurangi Dana Alokasi Dasar (gaji pegawai). Padahal DAU dikurangi DAD sangat

kecil (kurang dari 20%), sehingga total dana yang diterima oleh Desa adalah 2% dari DAU

denga kecenderungan menurun seiring kebijakan penaikan gaji pegawai yang dilakukan

pemerintah. Kedua, Formulasi DAU sendiri bermasalah (menurut UU No 33/2004 adalah

26 % dari APBN Murni) yang dibagi ke pemerintah daerah (provinsi + kabupaten) dengan

Page 49: Kajian RUU Desa

49

formulasi tertentu. Sepuluh tahun pelaksanaan formulasi ini menghasilkan kabupaten/kota

yang rendah kapasitas fiskalnya bahkan dapat dikategorikan bangkrut (lihat hasil studi

BAKD tahun 2010). Ketiga, Mengandalkan ADD dari kebijakan pemerintah kabupaten

sangat sulit, karena Kabupaten sendiri menghadapi keterbatasan fiskal. Keempat, ADD

menjadi salah satu penyebab SKPD tidak responsi dengan usulan skala desa karena

dianggap telah ditangani oleh ADD. Ini menjadi penyebab usulan desa melalui forum

musrenbang tidak ditanggapi oleh SKPD.

• Tinjauan Masalah

Permasalahan mengenai keuangan desa bersumber dari ketidakfahaman pemerintah

terhadap kewenangan desa. Kewenangan desa, tidak hanya kewenangan asli yang

berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat tetapi juga kewenangan untuk menjalankan

pelayanan publik dan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintahanan otonom.

Sebagai implikasi dari kewenangan desa maka desa perlu mendapatkan alokasi dana untuk

dapat menjalankan pelimpahan wewenang untuk penyelenggaran pelayanan publik dan

pembangunan dengan tanggung jawab dan tanggunggugat kepada desa penerima

wewenang. Selain itu desa juga perlu mendapatkan alokasi dana untuk dapat menjalankan

‘mandat (tugas pembantuan)’ yang diberikan negara kepada desa agar dapat dijalankan

dengan baik.

• Kerangka Usulan Keuangan Desa dalam Undang-undang Desa

Ada tiga strategi yang perlu dilakukan untuk memperkuat desa dalam menjalankan

kewenangannya. Pertama, memperbesar kapasitas keuangan. Kedua, memperkuat proses

alokasi keuangan dan assset desa, termasuk proses perencanaan program dan

penganggaran. Ketiga, memperkuat akuntabilitas pengelolaan kuangan dan asset desa.

Kapasitas fiskal merupakan syarat mutlak bagi desa untuk dapat menjalankan

kewenangannya. Ini sesuai dengan berbagai teori yang menyatakan bahwa pemberdayaan

harus seiring dan sejalan dengan kemampuan komunitas/masyarakat dalam mengelola

anggaran (Friedman, 1992; Uffhop; 1986). Untuk memperkuat kapasitas keuangan desa

maka Alokasi Dana Desa harus dari pusat melalui APBN. Hal ini disebabkankan, seperti

Page 50: Kajian RUU Desa

50

data yang diolah oleh BKAD Kementrian Dalam Negeri, kapasitas keuangan kabupaten

lemah (BKAD, 2010). Selain itu selama ini pusat telah mengalokasikan program-program

pembangunan di pedesaan yang terfragmentasi dalam beberapa kementrian baik dalam

skema PNPM maupun skema lain.

Ada tiga pilihan strategi transfer pusat ke desa yang berkesinambungan. Pertama, transfer

Alokasi Dana Desa (ADD) langsung dari pusat ke desa. Kedua, melalui proporsi DAU

Kabupaten. Ketiga, melalui skema DAK ke kabupaten.

Transfer dana dari pemerintah pusat langsung ke desa idealnya dihitung berdasarkan pada

kebutuhan desa dalam menjalankan kewenangan delegatif dikurangi kemampuan desa

tersebut dalam menjalankan kewenangan tersebut melalui pendapatan asli desa (PAD).

Dengan kata lain, pusat mentransfer sejumlah dana untuk menutupi celah fiskal desa dalam

menjalankan kewenangannya. Dengan menggunakan contoh-contoh program yang masuk

ke desa, maka transfer dana pusat ke desa untuk menjalankan kewenangan delegatif

idealnya adalah 10 % dari total APBN. Angka ini juga sesuai dengan program-program

pemerintah pusat di desa yang seringkali salah sasaran. Pilihan kebijakan ini ideal, tetapi

akan bertabrakan dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan yang tidak

mengatur transfer pusat –berupa DAU –langsung ke desa karena berdasarkan pasal 18 UUD

1945 daerah otonom dan pemerintahan daerah mencakup Provinsi, Kabupaten dan Kota

saja.

Pilihan kedua adalah transfer keuangan pusat ke desa dilakukan melalui transfer – DAU -

ke kabupaten. Agar transfer dana dari pusat ke Desa dijamin oleh UU maka DAU untuk

kabupaten diperbesar dan mencakup Alokasi Dana Desa (ADD). Dengan demikian DAU

kabupaten harus dialokasikan untuk Alokasi Dana Desa minimal sebesar 15 % dari total

DAU Kabupaten. Pembagian ADD per-desa diatur dengan formulasi wewenang delegatif

dari kabupaten ke desa yang diatur oleh peraturan daerah dengan prinsip: subsidiarity, co-

production, inclusive economic development, dan keseimbangan pembangunan daerah.

Pilihan ketiga – yang digabung dengan pilihan kedua - adalah transfer melalui DAK. Dalam

hal ini ’UU Desa atau disebut dengan nama lain’ menyatakan bahwa pelayanan publik dan

pembangunan desa adalah urusan kabupaten yang strategis secara nasional. Ini menjadi

Page 51: Kajian RUU Desa

51

dasar bagi pemerintah pusat untuk mengalokasikan DAK sebesar 5% dari APBN kepada

kabupaten untuk ditransfer kepada pemerintahan desa. Dana tersebut harus digunakan

untuk mendanai pelayanan publik dan pembangunan di desa oleh pemerintahan desa.

Besar DAK untuk tiap desa ditetapkan oleh Kabupaten berdasarkan kriteria yang

ditetapkan oleh peraturan daerah. Alokasi dana khusu sebesar 5% dihitung berdasarkan

pada program-program yang selama ini dialokasikan pemerintah pusat untuk membangun

dan meningkatkan pelayanan publik di pedesaan.

Dari paparan di atas, jelas bahwa logika yang dibangun untuk keabsahan transfer dana

pusat ke desa adalah mencakup desapraja dan desa administratif. Untuk desapraja transfer

dilakukan ke pemerintahan desa. Sedangkan untuk desa administratif transfer dilakukan

ke pengelola administrasi desa. Tentu saja - sesuai dengan azas recognisi – ‘UU Desa atau

disebut dengan nama lain’ tidak dapat memaksa desa-desa untuk tetap menjadi desa asli

dan tidak mau menerima kewenangan delegatif dan mandat. Dalam situasi seperti ini maka

tugas pelayanan dan pembangunan desa langsung menjadi tugas pemerintah supra desa

yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada warganya. Pada Tabel 4 dapat dilihat

justifikasi untuk alokasi pemerintah – pusat/daerah - ke desa beserta sumber-sumber

alokasinya.

Tabel 4. Alokasi Keuangan Desa berdasarkan Tipologi Desa

Tipologi Desa Dasar Alokasi Sumber Alokasi Desa Asli Pemerintah –Pusat dan Daerah-

berkewajiban menyediakan barang dan jasa publik (pelayanan dan program) untuk setiap komunitas yang ada di wilayah republik Indonesia.

- Sumber utama Keuangan Desa bersumber dari pengelolaan Tanah Ulayat yang dikelola secara mandiri;

- Tidak ada transfer dana dari pemerintah ke desa. Masyarakat desa mendapatkan pelayanan dan program langsung dari pemerintah sebagai hak dasar warga Negara;

- Dalam hal kewenangan tertentu dilimpahkan kepada Desa, Desa berhak atas dana transfer yang diperuntukkan bagi pembiayaan kewenangan dimaksud.

Desa Praja Desa menjalankan kewenangan delegasi dan mandat dari pemerintah daerah dan pusat berdasarkan prinsip subsidiarity dan co-production.

- Transfer dana dari pemerintah pusat/daerah ke pemerintahan desa (berupa ADD) untuk menutupi celah fiskal desa dalam menyelenggarakan kewenangan delegatif.

Page 52: Kajian RUU Desa

52

Tipologi Desa Dasar Alokasi Sumber Alokasi - Transfer dana dari pemerintah

pusat/daerah ke desa untuk mendukung ‘mandat’ yang diberikan pemerintah pusat/daerah ke desa.

Desa Administrasi Pemerintah pusat/daerah mengembangkan sistem administrasi untuk mendukung pelayanan dan pembangunan di desa.

- Transfer dana dari pemerintah pusat/daerah ke pengelola administrasi untuk penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan di desa.

- Alokasi dana didasarkan pada preferensi masyarakat desa.

Setelah desa mendapatkan transfer dana yang memadai untuk pelayanan publik dan

pembangunan desa, maka perlu diatur strategi alokasi keuangan dan aset desa. Isu ini

berkaitan dengan prosedur dan substansi dari: Rencana pembangunan jangka menengah

desa (RPJMDesa), Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa), dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa. Untuk itu perlu dipertegas prinsip-prinsip dasar dalam

perencanaan dan penganggaran desa terutama: 1) partisipasi (musyawarah desa) yang

inklusif melibatkan laki-laki dan perempuan serta kelompok miskin dan 2) perencanaan

dan penganggaran diarahkan pada pencapaian tujuan pembangunan yang disepakati oleh

warga masyarakat dan sesuai dengan rencana kabupaten dan rencana pembangunan

nasional.

Dengan dana yang memadai maka musyawarah perencanaan pembangunan desa akan

membahas kegiatan yang akan dibiayai oleh ADD, kegiatan yang diusulkan untuk dibiayai

pemerintah kabupaten, dan program-program pemerintah supra desa yang akan

dilaksanakan di desa. Aspek pertama (Alokasi ADD) ditujukan untuk membangun desa,

sedangkan aspek kedua (dibiayai pemerintah) ditujukan untuk membangun kawasan

perdesaan. Gambar 3 menunjukan hubungan antara kewenangan desa, transfer dana dan

alokasi sumber daya keuangan di desa.

Page 53: Kajian RUU Desa

53

Gambar 2. Skema Transfer Dana Pusat Ke Desa untuk Mendanai Kewenangan Desa (Utamanya dalam Sistem Desapraja)

Strategi yang ketiga adalah mekanisme akuntabilitas (pertanggungjawaban) pengelolaan

keuangan dan asset desa yang mencakup: pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan dan

pertanggunghawaban pelaporan kegiatan. Untuk meningkatkan pertanggungjawaban

pelaksanaan kegiatan, desa dapat mengadopsi program-program pemberdayaan yang

selama ini telah diintrodusir oleh pemerintah pusat dan desa, seperti: tim pelaksana, tim

verifikasi, tim pengawas, dll. Untuk pertanggungjawaban pelaporan kegiatan desa, perlu

diperkuat peran dan kemampuan sekretaris desa dalam penatausahaan keuangan desa,

desa dapat menganggkat bendaharawan desa dan peran BPD dalam pengawasan

pembangunan dan keuangan desa. Selain itu, akuntabilitas dari bawah perlu diperkuat

dengan mengembangkan berbagai prosedur pengaduan dari masyarakat – teruma

masyarakat miskin - dan resolusinya.

• Implikasi Kebijakan

Dengan memperkuat keuangan desa, maka akan berimplikasi pada penyelenggaraan

program di berbagai tingkat pemerintahan dan kebutuhan untuk merevisi UU 32/2004

tentang perimbangan keuangan. Pada tingkatan pemerintahan kewenangan delegatif desa

perlu didefinisikan dengan jelas (positif list) sehingga ADD untuk tiap desa dapat

dialokasikan dengan jelas. Sedangkan Revisi UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan

Page 54: Kajian RUU Desa

54

terutama adalah mendorong besaran DAU ke daerah yang lebih besar dari saat ini (di atas

26% dari APBN Murni) sekaligus mendorong penetapan 15% DAU Kabupaten untuk

Alokasi Dana Desa (ADD) dan Alokasi DAK Pemerintahan Pusat ke Kabupaten untuk

Pembangunan Desa sebesar 5% dari total APBN Murni.

Implikasi kedua adalah penataan desa. Dalam konteks kewenangan delegatif dan kuangan

desa, maka besaran desa harus masuk dalam sekala optimal untuk menjalan berbagai

kewenangan delegatif secara optimal. Desa-desa yang kecil perlu digabung agar, skala

pengelolaannya masuk. Dan desa-desa yang besar perlu dicegah terfragmentasi menjadi

desa-desa kecil dengan alasan untuk mendapatkan dana. ‘Undang-undang Desa atau

disebut dengan nama lain’ juga perlu mendorong kerja sama antar desa terutama untuk

kerja sama ekonomi dan pembangunan infrastruktur perdesaan dalam meningkatkan

ekonomi lokal dan pertumbuhan ekonomi regional berbasis pedesaan.

4.6. Tentang Sharing Pendapatan Asset cq. Sumber Daya Desa

• Masalah yang dihadapi

Sumber daya alam sebagai hak ulayat desa seringkali menjadi masalah ketimbang manfaat

yang dapat diterima oleh penduduk setempat. Masyarakat seringkali tidak dilibatkan

dalam hak pengelolaan, tiba-tiba pengelolaan telah dikuasai oleh

organisasi/orang/perusahaan supra desa melalui mekanisme perijinan yang prosesnya

tidak melibatkan masyarakat setempat. Sebagai dampaknya masyarakat hanya

mendapatkan eksternalitas negatif dari pengelolaan sumber daya alam seperti banjir,

longsor, pencemaran limbah, dll.

Di sisi lain, pengelolaan sumber daya yang tidak melibatkan masyarakat setempat –

misalnya untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, dll. juga memicu konflik antara

masyarakat lokal, pengelola sumber daya alam dan pemerintah daerah. Konflik-konflik ini,

yang lahir dari meningkatnya daya kritis masyarakat lokal, telah menjadi penyebab tidak

efektifnya pengelolaan sumber daya alam baik dari sisi masyarakat lokal maupun secara

makro. Beberapa contoh konkrit konflik yang terjadi akhir-akhir ini misalnya adalah:

konflik hak kelola eksplorasi mineral di beberapa desa di Kabupaten Bima, Hak kelola

Page 55: Kajian RUU Desa

55

perkebunan kelapa sawit di Masuji, konflik warga dengan penambangan liar di Kabupaten

Bengkayan Kalimantan Barat, dll.

Pengakuan terhadap sumber daya alam (aset) desa sebagai hak ulayat ditetapkan dalam

‘UU Desa atau disebut dengan nama lain’ berdasarkan azas recognisi. Pengakuan tersebut

diwujudkan dalam bentuk:

• Pelibatan desa dalam pemanfaatan asset/sumber daya yang menjadi hak ulayat desa.

• Penerimaan manfaat langsung desa dari pengelolaan asset/sumber daya yang menjadi

hak ulayat desa oleh pihak di diluar desa.

• Kerangka Usulan Sharing Pendapatan Asset/Sumber Daya Desa

Tentu saja secara ideal, pengelolaan sumber daya alam yang menjadi hak ulayat desa

sebaiknya dikelola oleh desa. Tetapi ada situasi dimana desa tidak dapat mengelola sumber

daya tersebut, berkaitan dengan skala, jenis, dan sumber daya manusia. Dalam situasi

tersebut ‘UU Desa atau disebut dengan nama lain’ perlu menegaskan mengenai proses

pelibatan masyarakat dalam pemberian ijin pengelolaan hak ulayat desa oleh pihak luar

yang mencakup: mekanisme musyawarah untuk pengambilan keputusan yang dilakukan

secara inklusif melibatkan laki-laki dan perempuan serta kelompok miskin, besar dan

mekanisme pemberian ganti rugi, dan kontrol atas keputusan.

‘Undang-undang Desa atau disebutu dengan nama lain’ perlu menegaskan bentuk-bentuk

penerimaan manfaat pengelolaan sumber daya desa yang merupakan hak ulayat mencakup

manfaat dari kerja sama langsung desa dengan pengelola sumber daya desa yang dilakukan

melalui perjanjian perdata dan disepakati oleh pengelola sumber daya desa.

Selain perjanjian antara desa dengan pengelola sumber daya, dimungkinkan perjanjian hak

kelola dilakukan oleh pemerintah pusat/provinsi/kabupaten. Dalam situasi ini maka ‘RUU

Desa atau disebut dengan nama lain’ perlu menegaskan bahwa Desa harus mendapatkan

manfaat dari bagi hasil pajak melalui kabupaten pemerintah pusat/provinsi/kabupaten.

Dalam hal ini maka pemerintah pusat/provinsi memberikan bagi hasil pajak kepada

kabupaten (berdasarkan UU 32/2004). Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa kabupaten

memberikan bagi hasil pajak kepada desa yang hak ulayatnya dikelola agar desa dapat

mengatasi eksternalitas negatif skala desa sekaligus meningkatkan kesejahteraan sebagai

Page 56: Kajian RUU Desa

56

akibat dari dieksploitasinya sumber daya alam tersebut. Tentu saja pemberian hak ini

disertai kewajiban bagi pemerintahan desa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang

diakibatkan oleh pengelolaan sumber daya alam tersebut.

• Implikasi Kebijakan

Ada dua implikasi kebijakan yang perlu dipikirkan ke depan. Pertama, perlu ketegasan

mengenai prosedur pemberian perijinan mengenai hak kelola termasuk mekanisme

kontrolnya. Kedua, merevisi UU 32/2004 dengan penegasan desa mendapatkan pajak yang

diterima kabupaten dari bagi hasil pajak sumber daya alam untuk dimanfaatkan bagi

penanggulangan eksternalitas negatif dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Rangkuman

1. Undang-Undangan Tentang Desa atau disebut dengan nama lain, termasuk kewenangan

dan penyelenggaraan ‘Pemerintahan Desa’, berdasarkan hasil amandemen terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 (lama) tahun 2000 lalu, haruslah merujuk pada

Pasal 18B Ayat 2; karenanya Undang-Undang tentang Desa atau disebut dengan nama

lain itu bukanlah bagian dari rezim Undang-Undang tentang Otonomi Daerah ataupun

Pemerintahan Daerah, yang merujuk pada Pasal 18 (baru), Pasal 18A, dan Pasal 18B

Ayat 1.

2. Undang-Undang tentang Desa medatang haruslah dirancang sedemikian rupa, untuk

menjadikan Desa atau disebut dengan nama lain sebagai dasar kemajuan Indonesia di

masa datang. Untuk itu, Undang-Undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain

itu haruslah memberikan kewenangan dan keuangan yang memadai, berdasarkan

PENGAKUAN (rekognisi) terhadap hak asal-usul yang melekat pada desa atau disebut

dengan nama lain itu.

3. Hak asal-usul yang melekat pada desa itu menyangkut soal kewenagan untuk

menyelenggarakan pemerintahan negara di Tingkat Desa; penguasaan terhadap

sumberdaya (ulayat) yang menjadi dasar penghidupan desa (termasuk hak untuk

menerima distribusi asset dan/atau kekayaan Negara lainnya); serta hak untuk

melakukan tindakan-tindakan pengadilan di tingkat desa.

Page 57: Kajian RUU Desa

57

4. Atas dasar kenyataan keberadaan desa yang amat beragam di Indonesa, baik karena

tradisi maupun hasil rekayasa sosial selama ini, maka Undang-Undang tentang Desa

atau disebut denghan nama lain itu haruslah memungkinkan penyelenggaraaan

pemerintahan desa yang beragam pula; yakani, baik melalui Sistem Desa Asli; Sistem

Desapraja; dan Sistem Desa Administratif.

5. Atas dasar pengakuan dan kemauan politik untuk menjadi dasar bagi pengembangan

kemajuan Negara dan bangsa Indonesia di masa yang akan datang, berdasarkan

kemampuan yang telah terjadi dalam beberapa decade terakhir ini, desa berhak atas

alokasi dana desa yang bersifat block grant dan bersumber dari APBN, setara 10% dari

total jumlah APBN, melalaui berbagai skema keuangan yang telah djelaskan dalam

dokumen ini.

6. Demi kelangsungan kepemimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan, masa tugas yang layak bagi jabatan Kepala Desa adalah 2 kali masa

jabatan, masing-masing 7 – 8 Tahun, dengan BATASAN USIA TERTUA pada akhir masa

jabatan maksimal 65 tahun.

7. Seiring dengan perluasan kewenagan dan keuangan desa, utamanya pada sistem

Desapraja, pengadaan sistem check dan balances adalah suatu keniscayaan pula. Hal ini

dapat dilakukan melalui pemberdayaan pada mekanisme-mekanise ‘demokrasi asli’

(seperti musyawarah dan rembug desa), dan mendorong partisipasi warga melalui

pengorganisasian kelompok-kelompok tani, perempuan, pemuda, dan sejenis.

8. Agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seluruh unsur yang ada dalam sistem

organisasi yang ada di tingkat desa ini berhak atas sumberdaya yang cukup. Setidak-

tidaknya untuk membantu biaya operasionalnya. Termasuk untuk pembiayaan

Pemilihan Langsung Kepala Desa (pilkades) yang harus 100 % ditanggung oleh APBD

Kabupaten/Kota.

Page 58: Kajian RUU Desa

58

Kepustakaan

Antlov, Hans, 1995. Exemplary Center, Administrative Periphery. Rural Leadership and the New Order in Java. Surrey: Curzon Press.

Antlov, Hans, & Sven Cederroth, eds., 1996. Leadership on Java. Gentle Hints, Authoritarian Rule. Surrey: Curzon Press.

Alvarez, S. E. (1993), “Deepening Democracy: Popular Movement Networks, Constitutional Reform, and Radical Urban Regimes in Contemporary Brazil”, in Fisher and Kling, eds., Mobilising the Community: Local Politics and the Era of the Global City, hal. 191-219. California: Sage Publications.

ARD Inc., 2004.Miningkatnya Konflik dan Keresahan di Kawasan Indonesia. Burlington: USAID/ANE/TS.

Bachriadi, Dianto, Yudi Bachrioktora, dan Hilma Safitri, 2002. Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang.Mal Administrasi di Bidang Pertanahan. Laporan Penelitian. Kerjasama Komisi Ombudsman Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Bouchier, David., 2007. Pancasila versi Orde Baru dan Asal-muasal Negara Organis (Integralistik). Yogyakarta: Kerjasama Pusat Studi Pancasila (PSP), Pusat Studi Sosial Asiang Tenggara (PSSAT), Universitas Universitas Gadjah Mada, dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jakarta.

Chandrakirana, Kamala, 1999. ”Local Capacity and Its Implications for Development: The Case of Indonesia”. Jakarta: Bappenas & World Bank.

Clarke M. and Stewart J., 1998.Community governance, community leadership, and the new local government, Joseph Rowntree Foundation, London.

Clark, Samuel, ed., 2004, Bukan Sekedar Persoalan Kepemilikan: Sepuluh Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa Timur dan Flores. Conflict and Community Development Research and Analytical Program, Indonesia Social Development Paper No. 4. Jakarta: Bank Dunia.

Cornwall A. and Gaventa, J., 2001. “Bridging the gap: citizenship, participation and accountability”, in Deliberative Democracy and Citizen Empowerment - PLA Notes 40: 32-35. International Institute for Environment and Development (IIED), London.

Dwipayana, AAGN. Ari & Sutoro Eko, eds., 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment.

Eko, Sutoro, ed., 2005a. Pemberdayaan Kaum Marginal. Yogyakarta: APMD Press dan Program Studi Pembangunan Masayarakat Desa, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”.

------------------., 2005b. Manifesto Pembaharuan Desa. Persembahan 40 Tahun STPMD “APMD”. Yogyakarta: APMD Press.

Eko, Sutoro, dan Abdur Rozaki, 2005. Prakarsa Desentrasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.

Page 59: Kajian RUU Desa

59

Eko, Sutoro & Krisdiatmiko, eds., 2006. Kaya Proyek, Miskin Kebijakan. Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment dan TIFA Foundation.

Evers, Peter J., 1999. “Villages Governments and Their Communities”. Jakarta: Bappenas & World Bank.

Fauzi, Noer, 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress, KPA, dan Putaka Pelajar.

Friedman, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Oxford: Blackwell.

Gaventa, John, & C. Velderama, 1999, “Participation, Citizenship and Local Governannce – Backgropund Paper for Workshop: Strenghtening Participation in Local Governance”, mimeo, IDS, Brighton, 21 – 24 June 1999, www.ids.ac.uk/particip (5 March 2002).

Goetz, A.M. and John Gaventa, 2001).From Consultation to Influence: Bringing Citizen Voice and Client Focus into Service Delivery. Consultancy report for the Department for International Development (DFID). Institute of Development Studies (IDS), Brighton

Global Witness, 2000, The Logs of War, the Timber Trade and Armed Conflict. NP: Fato Institute for Applied Social Science.

Grootaert, Christiaan. 1999. “Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia”. Jakarta: Bappenas & World Bank.

IAP, 2001. Indonesia Most Livable Citi Index 2011, Jakarta.

Juliantara, Dadang., Pembaruan Desa Bertumpu pada yang Terbawah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Kana, Nico L., Pradjarta Ds., Kutut Suwondo, eds., 2001. Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Perubahan, Tantangan dan Harapan. Salatiga: Pustaka Percik & Ford Foundation.

Kana, Nico L., Pradjarta Ds., Kutut Suwondo, eds., 2002. Politik Pemberdayaan. Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Salatiga: Pustaka Percik & Ford Foundation.

Kartodidjo, Sartono, ed., 1992. Pesta Demokrasi di Pedesaan. Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa di Jawa Tengah dan DIY. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media.

Kartohadikoesoemo, Soetarto, 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka.

Klinken, Gerry van., 2001. “Demokrasi di Desa”, dalam RENAI, Jurnal Politik Lokal dan Sosial – Humaniora, Tahun 1, No. 4, Edisi Musim Labuh, Oktober 2001. Salatiga: Yayasan Percik.

Koentjaraningrat, ed., 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Konsorsium Pembaruan Agraria, 2011. “Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat. Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2011. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria.

Page 60: Kajian RUU Desa

60

Krisdiatmiko & AAGN. Ary Dwipayana, eds., 2006. Pembangunan yang Meminggirkan Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment dan TIFA Foundation.

Mahardika, timur, 2001. Strategi Tiga Kaki. Dari Pintu Otomomi Daerah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002. Buku IV, Jilid 2, Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Moenek, Rey Donnyzar. 2010. Paparan Pada Expert Meeting tentang Keuangan Daerah dan Aset Daerah di Surakarta. Badan Keuangan dan Administrasi Daerah-Kementrian Dalam Negeri Indonoesia.

Meyer, James & Stephen Bass, 1999. Real Prospects for Forest Governance and Livelihood. Policy That Works Series No. 7, London: IIED.

Nordholt, Nico Schulte, 1987. Ojo Dumeh. Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Pambudi, Himawan, ed. 2003. Jaln Baru Keadilan. Dokumen Pertemuan Konsolidasi Pembaharuan Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Poffenberger, Mark, 1997. “Rethinking Indonesia Policy: Beyond the Timber Barons”, Asian Survey, Vol. 37, No. 5, California: The Regent of the University of California.

Rozaki, Abdur., et.al., 2004. Memperkuta Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi. Naskah Akademik dan Legal Drafting. Yogyakarta: IRE Press & Ford Foundation.

Sahdan, Gregorius, 2005. Transformasi Ekonomi – Politik Desa. Yogyakarta: APMD Press dan Ford Foundation.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Simarmata, Ricardo, 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Yogyakarta: INSSTPress.

Slamet, Ina E., 1965. Pokok-Pokok Pembangunan Masjarakat Desa.Sebuah Pandangan Anthropologi Budaja. Djakarta: Bharata.

Soepomo, 1993. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Soetarto, Endriatmo, 2006. Elite versus Rakyat. Dialog Kritis dalam Keputusan Politik di

Desa. Yogyakata: Lappera Pustaka Utama. Suhartono, et.al., 2000. Parlemen Desa. Dinamika DPR Kelurahan dan DPRK Gotong Royong.

Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

Suhirman dan Rianingsih Djohani. 2011. Studi Dampak P2SPP di 6 Kabupaten. LGCD WB – Jakarta (Paper tidak diterbitkan).

Page 61: Kajian RUU Desa

61

Sumarto, Hetifah Sj., 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suwondo, Kutut, 2003. Civil Society di Aris Lokal. Perkembangan Hubungan Antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa. Salatiga: Pusaka Percik.

Tjiptoherijanto, Prijanto & Yumiko M. Prijono, 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Uphoff, N . 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook,with Cases. Kumarian Press, West Hartford,

van Ufford, Philip Quarles, ed., 1988. Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program. Jakarta: Penebit Gramedia.

van Vollenhoven, Cornelis, 1987. Penemuan Hukum Adat. Jakarta: Djambatan.

Wetterberg, Anna, 2002. Social Capital, Local Capacity, and Goverment. Overview Report. Jakarta: Bappenas dan World Bank.

White, Ben, dan Gutomo Bayu Aji, 2000. “The Changging Caracter of Local Politics: Notes on Village in Yogyakarta from Independent to reformasi”. Makalah yang disajikan pada Seminar International “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan dan Harapan”. Diselenggarakan oleh Lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan (PERCIK), di Yogyakarta, 3 – 7 Juli 2000.

Wulan , Yuliana Cahya, et.al., 2004, An Analysis of Forestry Sector Conflict in Indonesia 1997 – 2003. Governance Brief, Forest and Governance Program, Bogor: Center for International Forestry Research.

Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

---------------------, 2004. Merebut Negara. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama dan KARSA.

--------------------, 2012. “Menggagas Arah Kebijakan/Regulasi tentang Desa yang Menyembuhkan Indonesia”. Makalah yang disampaikan pada Simposium Konsolidasi Jaringan Advokasi ‘RUU Desa’, diselenggarakan oleh Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD) dan Tifa Foundation, Yogyakarta, 10 – 11 Januari 2012.

Zakaria, R. Yando, et.al., 2001. Mensiasati Otonomi Daerah demi Pembaharuan Agraria. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Konsorsium Pembaruan Agraria.