1 Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun 2012 1 Dokumen ini pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) Bagian. Pada Bagian I, akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan ‘amanat reformasi’ berkaitan dengan pengaturan tentang desa di masa yang akan datang, yang menurut pandangan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) harus dijadikan titik tolak perencanaan kebijakan tentang desa yang baru. Bagian II berisikan tinjauan terhadap naskah ‘RUU Desa’ yang sedang dibahas oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini (Juni 2012). Sedangkan Bagian III berisikan ulsan singkat tentang proses amandemen Pasal 18 UUD 1945 dan implikasinya terhadap kedudukan dan regulasi tentang desa. Bagian IV berisikan kerangka usulan Catatan Pembuka Dokumen ini disusun dengan kesadaran tinggi bahwa dalam rangka penyusunan ‘Undang- Undang Desa’ berbagai pihak, baik dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, maupun dari berbagai organisasi dan/atau jaringan kerja masyarakat sipil, telah menyusun sejumlah Naskah Akademik yang dibutuhkan. Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) menyambut gembira dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada masing-masing inisiatif itu. Pada dasarnya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria bersetuju dan mendukung banyak gagasan yang telah disampaikan dalam berbagai Nasakah Akademik dimaksud. KECUALI, tentunya, yang BERTENTANGAN dengan pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam dokumen ini. 1 Dokumen ini dimungkinkan oleh serangkaian kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk melalui sebuah lokakarya penulisan yang turut disponsori Parade Nusantara, yang diselenggarakan di Yogyakarta, Tanggal 21 – 23 Februari 2012. Meski begitu, tanggungjawab atas seluruh isi dokumen ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia:
Pandangan dan Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun
20121
Dokumen ini pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) Bagian. Pada Bagian I, akan diuraikan
hal-hal yang berkaitan dengan ‘amanat reformasi’ berkaitan dengan pengaturan tentang
desa di masa yang akan datang, yang menurut pandangan Lingkar Pembaruan Desa dan
Agraria (KARSA) harus dijadikan titik tolak perencanaan kebijakan tentang desa yang baru.
Bagian II berisikan tinjauan terhadap naskah ‘RUU Desa’ yang sedang dibahas oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini (Juni 2012). Sedangkan Bagian III
berisikan ulsan singkat tentang proses amandemen Pasal 18 UUD 1945 dan implikasinya
terhadap kedudukan dan regulasi tentang desa. Bagian IV berisikan kerangka usulan
Catatan Pembuka
Dokumen ini disusun dengan kesadaran tinggi bahwa dalam rangka penyusunan ‘Undang-
Undang Desa’ berbagai pihak, baik dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, maupun dari berbagai organisasi dan/atau jaringan kerja masyarakat sipil, telah
menyusun sejumlah Naskah Akademik yang dibutuhkan. Lingkar Pembaruan Desa dan
Agraria (KARSA) menyambut gembira dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada
masing-masing inisiatif itu. Pada dasarnya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria bersetuju
dan mendukung banyak gagasan yang telah disampaikan dalam berbagai Nasakah
Akademik dimaksud. KECUALI, tentunya, yang BERTENTANGAN dengan pokok-pokok
pikiran yang tercantum dalam dokumen ini.
1 Dokumen ini dimungkinkan oleh serangkaian kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk melalui sebuah lokakarya penulisan yang turut disponsori Parade Nusantara, yang diselenggarakan di Yogyakarta, Tanggal 21 – 23 Februari 2012. Meski begitu, tanggungjawab atas seluruh isi dokumen ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
2
Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria tentang ‘Rancangan Undang-Undang tentang
Desa atau disebut dengan nama lain’ yang sebaiknya disusun di masa depan sebagai
pengganti rancanagan yang tengah dibahas itu.
Kerangka usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria terhadap substansi
‘Rancangan Undang-undang Desa atau disebut dengan nama lain’ dimaksud mencakup hal-
hal sebgai berikut:
1. Landasan Filosifis, Sosiologis, Historis dan Yuridis
2. Azas dan Tujuan Undang-Undang tentang ‘Desa atau disebut dengan nama lain’,
selanjutnya disebut Desa.
3. Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan di Tingkat Desa
4. Kewenangan Desa
5. Demokrasi dan Kepemimpinan
6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan dan Pembangunan Desa
7. Keuangan Desa
8. Sharing Pendapatan dari Asset dan Sumber Daya Alam di Desa
I. Amanat Reformasi tentang desa
“…kalau desa kita memang mulai bergerak maju atas kekuatannya sendiri, barulah seluruh
masyarakat kita akan pula naik tingkatan serta kemajuannya di dalam segala lapangan, …”
kata Sutan Sjahrir, salah seorang pendiri Republik ini pada suatu ketika. Pernyataan ini
secara langsung menunjukkan bahwa betapa desa merupakan entitas sosial yang memiliki
tempat penting bagi kemajuan suatu bangsa dan Negara, dalam hal ini adalah Indonesia.
Maka, ketika kita kembali membincangkan suatu kemungkinan tentang suatu kebijakan
Negara yang menyangkut desa ini, tidak bisa tidak kita harus menoleh kebelakang: melihat
kembali hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana sebenarnya cita-cita Proklamasi
berkenaan dengan desa ini, dan juga, bagaimana desa ini telah diatur sepanjang usia
Kemerdekaan selama ini. Menoleh kebelakang tentu saja bukan dimaksudkan untuk
sekedar bernostalgia tentang romantisme masa lalu, melainkan menjadi suatu upaya dalam
3
menemukan kembali energi-energi positif dalam menyongsong masa depan ‘komunitas
terbayangkan’ yang disebut Indonesia itu sendiri.
Meski lahir di tengah kontroversi pro dan kontra serta diwarnai tragedi “Jembatan
Semanggi Berdarah”, berbagai keputusan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan di
penghujung tahun 1998 lalu disambut optimis berbagai pihak sebagai langkah awal
kehidupan Bangsa Indonesia yang baru. Salah satu keputusan penting itu adalah lahirnya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Ototomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
dalam Kerangka Negara Keatuan Republik Indonesia.
Dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia sendiri, khususnya dalam bagian Menimbang, antara lain dinyatakan “bahwa
pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah”; dan “bahwa penyelenggaraan otonomi daerah,
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional; perimbangan keuangan
pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan pemerataan”.
Sebab itu TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 memutuskan untuk menetapkan bahwa (Pasal
1): Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; (Pasal 2) Penyelenggaraan otoonomi daerah dilaksanakan
dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah; (Pasal
3, ayat 1) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat
dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa
secara keseluruhan, dan (ayat 2) Pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara efektif
dan efisien, bertanggungjawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan
4
kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi; (Pasal 4)
Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi
daerah, luas daeerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan
masyarakat daerah; (Pasal 5) Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya
nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan; (pasal 6)
Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan; dan Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka
mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan
berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat. Seluruh ketentuan ini, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 7, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 ini sendiri tentunya tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara,
yang pada hakekatnya “merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujudkan
pembaruan di segala bidang pembangunan nasional, terutama bidang-bidang ekonomi,
politik, hukum, serta agama dan sosial budaya’. Dalam bagian Bab II butir B, dinyatakan
bahwa:
“Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan
stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang
sangat kental corak paternalistik dan kultur neofeodalistiknya mengakibatkan proses
partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana
mestinya. (…) Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga
kepresidenan mengakibatkan krisis struktural dan sistemik sehingga tidak mendukung
berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara
proporsional secara optimal. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di
masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan. (…)
Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut setralisasi kekuasaan dan
pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis.
Keadaan ini mengahambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan
5
pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. (…) Pengembangan
kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan nefeodalistik mendorong
mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehiongga kurang memberi
kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi
dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan
legitimasi”.
Agenda-agenda yang harus dijalankan dalam Reformasi politik ini adalah, antara lain, (a)
Menegakkan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan peranan pengawasan oleh
lembaga negara, lebaga politik dan lembaga kemasyarakatan; (b) Menghormari
keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila; dan (c) Pembagian secara
tegas wewenang kekuasaan antara esekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kita pun tahu bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
termasuk ke dalam paket undang-undang yang dicabut pada masa-masa awal reformasi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pun diberlakukan.
Pengaturan tentang keberadaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa tercakup dalam
undang-undang yang baru ini. Pada tahun 2004, UU inipun direvisi menjadi UU No. 32
tahun 2004.
Menarik untuk merenungkan kembali apa yang dikatakan kebijakan baru ini tentang
kebijakan tentang desa di masa lalu. Pada Bagian Menimbang butir e. dinyatakan bahwa: “..
bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai
dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak
asal usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”.
Maka, bagi kami, ketika hendak mengevaluasi apakah pesan reformasi terkait dengan
kebijakan desa ini telah dipenuhi atau belum, setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang perlu
dicermati. Semangat reformasi baru dapat kita katakan terpenuhi, dan itu berarti kita telah
menghindari kesalahan-kesalahan pada masa lalu, adalah jika kebijakan baru tentang desa
6
itu mampu merealisasikan (1) pengakuan atas hak asal-usul, (2) yang bersifat istimewa di
hadapan (hak-hak) Negara, di dalam situasi (3) keberagaman social dan budaya masing-
masing susunan asli (baca desa atau disebut nama lainnya) yang ada, yang pada masa
pasca-proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan
Negara-bangsa yang disebut Indonesia itu. Ketiga hal inilah inti dari pengakuan konstitusi
Indonesia terhadap desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 18, Pasal 18B, dan Pasal 28i
Undang-undang Dasar 1945.
Ada-tidaknya pengakuan atas hak asal-usul dapat dilihat sejauh mana kebijakan Negara
mengakui keberlakukan hak-hak (bawaan) masing-masing susunan asli, yang sejatinya
meliputi 3 elemen utama. Masing-masing adalah hak-hak yang terkait pada susunan asli
sebagai persekutuan social dan budaya; susunan asli sebagai suatu system pengurusan
hidup bersama cq. pemerintahan; dan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan yang
integral antara susunan asli dengan basis-basis materialnya. Keberlakukan ketiga hak
bawaan inilah yang sejatinya dapat disebut sebagai otonomi asli itu.
Pemenuhan syarat keistimewaan, dengan demikian, akan terlihat sejauh mana hak-hak
bawaan ini tetap berlaku – dengan penyesuaian yang tidak sampai menghilangkan hak
esensialnya -- di tengah sejumlah hak berian yang muncul sebagai hasil dari penyusunan
sejumlah kebijakan Negara yang muncul kemudian. Sedangkan pemenuhan syarat
keberagaman akan terlihat dari terbukanya ruang bagi penyelenggaraan sistem-sistem
pengurusan hidup bersama yang sejatinya memang sangat beragam itu. Termasuk
terbukanya ruang bagi keberlakukan system-sistem baru yang muncul sebagai akibat dari
keniscayaan perubahan social, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
II. Posisi dan pemaknaan penyebutan desa atay disebut dengan nama lain pasca-
amandemen Pasal 18 UUD 1945
Pasca reformasi, UUD 1945 mengalami amandemen. Salah satunya adalah amandemen
terhadap Pasal 18. Dalam proses yang berlangsung pada bulan Agustus tahun 2000, alih-
alih menghapus pengakuan itu, boleh jadi karena sudah dianggap tidak relevan lagi dan
dimakan zaman, pengakuan terhadap keberdaan desa atau disebut dengan nama lain itu
7
justru semakin lebih tegas. Hal ini tampak dalam proses amandemen Pasal 18, yang
hasilnya kemudian dinormakan ke dalam Pasal 18B Ayat 2.
Memang, satu hal yang selalu menjadi perdebatan sebelum amandemen Pasal 18 adalah
bagaimana kedudukan (otonomi) desa terhadap (otonomi) Pemerintahan Daerah, dan juga
terhadap ‘otonomi sektoral’ lainnya, sebagaimana yang tergambarkan pada problem-
problem pengakuan terhadap ‘hak-hak masyarakat (hukum) adat’ pada UU Pokok Agraria,
UU Pokok Kehutanan, dan UU sektoral lainnya (Arizona, 2011). Menyangkut masalah yang
pertama, dalam proses amandemen Pasal 18 terjadi pedebatan serius soal ketidak-
konsistenan pengaturan norma-norma hukum yang menyangkut ‘pembagian daerah yang
besar dan kecil’ cq ‘hak istimewa’, serta keberadaan ‘susunan asli’ di dalam Pasal 18
ini kemudian bermuara pada usul F TNI-POLRI cq. Taufiequrrahman Ruki yang
menyarankan pemilahan norma pengaturan yang tidak jelas itu ke dalam dua ranah
pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Usul ini diterima, dan bermuara pada,
pertama, soal ‘pembagian daerah besar dan kecil’ cq. ‘Pemerintahan Daerah’, yang
kemudian yang diatur oleh Pasal 18 dan 18A; dan kedua, adalah soal pengakuan ‘hak
istimewa’, sebagaimana yang kemudian diatur oleh Pasal 18B.
Pasal 18B itu pun mengatur dua entitas sosial-politik yang berbeda satu sama lainnya.
Pasal 18B Ayat (1) berbunyi ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Sedangkan Pasal 18B Ayat (2) berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”2
Berbeda dengan situasi sebelum amandemen, penyebutan ‘kesatuan masyarakat hukum
adat’ tidak lagi menjadi sekedar berada pada penjelasan melainkan langsung berada pada
2 Pasca amandemen, para aktivis oerganisasi masyarakat sipil banyak membahas soal ‘pembatasan’ yang terdapat dalam pasal ini (yang sesungguhnya juga sudah terjadi pada masa-masa sebelumnya, seperti yang terjadi pada Undang-Undang Pokok Agraria 1960). Misalnya Simarmata (2002), dan Arozona (2011). Banyak argument yang dapat disampaikan sebagai ‘opini tanding’ atas kekuatiran akan pembatasan-pembatasan itu. Namun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk itu.
8
batang tubuh UUD 1945 hasil Amandemen Kedua itu. Artinya, melalui proses amandemen,
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu semakin kuat dari waktu-waktu
sebelumnya.
Tentu saja, kemudian, hasil amendemen ini menghasilkan beberapa implikasi. Di
antaranya, melalui pengaturan pada Pasal 18 dan Pasal 18A, desa – dengan demikian
tentunya juga soal ‘Pemerintahan di Desa’ – tidak lagi menjadi bagian dari tata
pemerintahan yang diamanatkan langsung oleh konstitusi seperti yang pernah berlaku
pada masa pra-amandemen. Pasal 18 pasca-amandemen jelas-jelas mengatur hanya ada 3
unit wilayah yang disebit ‘Daerah’, berikut dengan Pemerintahan Propinsi, Kabupaten, dan
Kota. Tafsir selanjutnya, kalaupun diperlukan apa yang kemudian disebut sebagai sistem
pengaturan tentang ‘penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Desa atau disebut dengan
nama lain’ atau disingkat ‘Pemerintahan Desa atau disebut dengannama lain’,
kedudukannya tidaklah menjadi bagian dari rezim Pemerintahan Daerah, melainkan
menjadi unit pemerintahan yang otonom, berdasarkan ‘otonomi asli’ desa atau yang
disebut dengan nama lain, atau bisa juga disebut ‘otonomi desa’ sebagai ‘imbangan’ dari
‘otonomi daerah’, sebagaimana diatur oleh Pasal 18B Ayat 2. Kalaupun pengaturan tentang
‘Pemerintahan Desa’ itu perlu ‘merujuk’ pada pasal-pasal yang mengatur soal-soal yang
menyangkut kepemerintahan (daerah), hal itu tidak harus berarti ‘otonomi desa’ berada di
bawah ‘otonomi daerah’. Sebabnya adalah, alih-alih memberikan perhatian pada soal
‘pemerintahan desa’, proses amandemen Pasal 18 memang memberikan perhatian khusus
pada soal-soal yang menyangkut desa atau disebut dengan nama lain, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Pasal 18B ayat 2.
Maka, dalam konteks ini, kedudukan desa sebenarnya setara dengan kedudukan ‘daerah’
dan/atau ‘daerah istimewa’ itu. Hal ini didasarkan pada pandangan Prof. Talizinduhu
Ndraha (1999) yang menyebutkan bahwa kewenangan (dalam sistem pemerintahan) dapat
diturunkan/dikembangkan dari dua jenis hak yang berbeda satu sama lainnya. Masing-
masing adalah hak bawaan, yakni hak yang melekat pada entitas yang bersangkutan; dan
hak berian, yakni hak yang muncul sebagai hasil pemberian/peyerahan dari kekuasaan
yang lebih tinggi. Dengan konsepsi yang demikian maka sejatinya ‘Daerah’ memiliki
‘otonomi daerah’, yang dikembangkan berdasarkan ‘hak berian’, kecuali untuk daerah-
9
daerah tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 18B ayat 1, di mana hak-
haknya juga diturunkan dari hak-hak bawaan yang dimilikinya. Sementara Desa atau
disebut dengan nama lain memiliki ‘otonomi desa’, yang muncul sebagai konsekwensi ‘hak
bawaan’ (yang muncul sebagai akibat disebutkannya ‘hak asal-usul’ (sebelum amendemen)
dan/atau ‘hak-hak tradisional’ di dalam UUD 45 pasca-amandemen. Oleh sebab itu sering
pula disebut sebagai ‘otonomi asli’.
Perlu pula diingat bahwa, berbeda dengan posisi desa dan konsep volksgemeenschappen cq.
‘kesatuan masyarakat hukum adat’ pada UUD 1945, konsep ‘kesatuan masyarakat hukum
adat’ muncul secara langsung pada norma konstitusi. Seperti juga pada situasi sebelum-
amandemen, desa dan atau disebut dengan nama lain, kemudian, juga ‘sekedar’ menjadi
contoh saja dari apa yang kemudian disebut ‘masyarakat adat’, sebagai sandingan dari
penyebutan-penyebutan lain seperti nagari, marga, dan seterusnya. Atau dapat kita singkat
menjadi ‘desa atau disebut dengan nama lain’ saja.
Dalam pada itu, yang dimaksud sebagai ‘masyarakat hukum adat’ dalam proses
amandemen Pasal 18 adalah juga apa yang disebut ‘masyarakat adat’, konsep yang
diusulkan oleh OMS dalam rapat-rapat dengar pendapat dalam proses amandemen kedua.
Adanya kesamaan ‘objek yang diacu’ antara konsep ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat
adat’, dan ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu juga ditegaskan dan/atau dibenarkan
oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. di dalam proses amandemen yang berlangsung tahun 2000
itu (lihat Naskah Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2, hal. 1356.).
Selanjutnya, pengakuan terhadap hak-hak yang melekat kepada ‘kesatuan masyarakat
hukum adat’, ‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu makin
diperkuat pula oleh kehadiran Bab XA, tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 28i, yang
menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman”.
Dengan argumentasi di atas, kami percaya bahwa pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat (hukum) adat dapat saja dicapai melalui undang-undang yang mengatur
tentang ‘desa dan atau disebut dengan nama lain’, sejauh undang-undang dimaksud tidak
semata-semata tentang ‘pemerintahan desa’, sebagaimana yang terdapat pada aturan-
10
perundangan tentang desa selama ini. Termasuk ‘semangat utama’ yang mewarnai ‘RUU
Desa’ yang tengah berproses itu.
Jika logika yang benar adalah sebagaimana sudah dijelaskan di atas maka, judul regulasi
yang paling tepat bagi regulasi tentang ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ atau
‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ dimaksud, sesuai pasal
konstitusi utama yang menjadi dasarnya, dalam hal ini adalah Pasal 18B ayat 2, adalah
sebagaimana dalam tata urutan berikut. Pertama, ‘Undang-undang tentang Pengakuan
dan Penghormatan terhadap Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat’. Kedua,
‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat’. Ketiga,
‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat’ (sebagaimana
yang diusulkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Dewan Perwakilan Daerah 2010).
Keempat, ‘Undang-undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain’. Dengan demikian,
penyebutan sekedar ‘RUU Desa’, sebagaimana yang ada saat ini, adalah penyebutan yang
paling tidak sesuai, karena paling tidak konsisten dengan mandat konstitusi.
Selain tidak sesuai, penyebutan sekedar ‘RUU Desa’ itu juga sangat mudah ‘ditelikung’
menjadi sekedar regulasi tentang ‘pemerintahan desa’, sebagai ‘efek historis’ yang begitu
kental melekat pada sebutan ‘desa’ saat ini. Baik yang menjadi ‘keyakinan’ dari kalangan
pemerintah (termasuk aparat pemerintahan desa, sebagaimana yang tergambarkan dalam
RUU versi Pemerintah dan aspirasi Aparat Pemerintahan Desa, sebagaimana yang
disuarakan beberapa organisasi yang mengatasnamakan ‘aparat dan/atau rakyat desa’),
maupun kalangan masyarakat luas pada umumnya. Bahkan, anehnya, juga menjadi
‘keyakinan’ dari sebagian kalangan gerakan sosial dan perguruan tinggi sekalipun!
Realita lapangan memang sering berkata lain. Pengalaman dalam mengubah pandangan
bahwa kata desa itu tidak semata-mata merujuk pada pengertian desa sebagai hasil
kontruksi administrasi pemerintahan pada masa kolonial dan nasional, melainkan juga bisa
merujuk pada desa sebagai ’susunan asli’ yang ada sebelum upaya-upaya administrasi
pemerintahan itu dilakukan, sebagaimana yang pernah ada di di Jawa dan Bali pada masa
lampau misalnya, tidaklah mudah dimengerti. Boleh jadi, diperlukan satu kebiasaan baru,
sebagaimana telah ’ditemukan’ oleh masyarakat Bali, yang menyebut ’desa’ sebagai hasil
konstruksi proses administrasi pemerintahan itu sebagai desa dinas, dan desa adat untuk
11
menyebut entitas sosial yang tumbuh dalam proses perkembangan masyarakat (Bali) itu
sendiri. Dengan cara ini, kita mungkin lebih mudah membedakan keduanya; untuk yang
pertama (desa dinas), kita cukup menulisnya dengan kata desa saja, tapi desa (cetak
miring) untuk menunjukkan keberadaan desa adat – atau desa asli -- itu.
Selain itu, akibat pengalaman masa lalu, kata ’desa’ nyatanya begitu menakutkan bagi
kalangan yang terlibat dalam gerakan hak-hak masyarakat adat; dan sebaliknya, kata
’masyarakat adat’ dan/atau ’masyarakat hukum adat’ begitu ’tidak jelasnya’ bagi kubu yang
lain. Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh penggerak Parade Nusantara, salah satu
organisasi ’persatuan aparat dan rakyat desa’ yang gigih memperjuangkan ’RUU Desa’ agar
segera ditetapkan misalnya, merasa ’jenggah’ jika ’RUU Desa’ yang tengah diperjuangkan
itu, sesuai dengan amanat Pasal 18 Ayat 2, diubah judulnya sesuai dengan tuntutan AMAN.
Padahal, Parade Nusantara sangat maklum dan mendukung apa yang menjadi concern
pihak AMAN, yang menginginkan ’RUU PPMA’ – oleh sebab itu juga ’RUU Desa’ -- itu tidak
sekedar mengatur soal Pemerintahan Desa, melainkna juga mengatur soal pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat pada umumnya. ”Kami memaklumi tuntutan
AMAN,” kata seorang tokoh Parade Nusantara suatu ketika. ”Tapi, mohon, kata ’desa’ tidak
dihilangkan dalam RUU yang sedang dibahas DPR itu. Kalau mau diganti dengan ’RUU
tentang Desa atau disebut dengan nama lain’ kami masih bisa menerimanya.”3
Sebaliknya, bagi sebagian aktivis pendukung gerakan masyarakat adat, yang terjadi justru
sebaliknya. ”Kata desa itu penuh rekayasa demi kepentingan negara. Berbahaya bagi
kepentingan pengakuan hak-hak masyarakat adat,” kata Sandra Moniaga, seorang aktivis
senior yang gigih memperjuangkan sebutan ’masyarakat adat’ dalam proses amandemen
Pasal 18, berkali-kali.
4 Perdebatan di kalangan pendukung gerakan masyarakat tentang
konsepsi mana yang akan digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat
(hukum) adat, antara pilihan-pilihan yang tersedia itu, pun akhirnya tidak kunjung
berakhir.5
3 Komunikasi pribadi, Yogyakarta, 15 Februari 2012. 4 Komunikasi pribadi. Terakhir terjadi pada 21 April 2012, di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.
5 Silahkan ikuti diskusi pada [email protected], mailing list resmi yang dikelola oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN.
Bahkan kerancuan pengertian yang demikian itu juga dialami oleh kaum cerdik-cendekia
yang berkumpul di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Salah satu
contohnya adalah sebagaimana yang tergambarkan dalam tabel berikut, yang merupakan
rangkuman hasil penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FPPD (2008),6
6 Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri. Lihat juga Kolopaking, 2011.
dan juga
Kolopaking (2011).
Jika dicermati, tabel di atas secara tegas mengasumsikan bahwa (pengertian) ’desa’
tidaklah dapat berupa adat; dan desa adalah semata-mata unit wilayah yang saat ini diurus
oleh sebuah Pemerintahan Desa. Meski kami tahu yang dimaksud ’desa’ di sini adalah apa
yang dimaksud sebagai ’desa dinas’ tadi. Namun, penggunaan yang ’serampangan’ itu tetap
saja potensial menimbulkan kerancuan dalam menyusun kebijakan ke depan. Misalnya,
’desa adat’ – meminjam dikotomi yang dikembangkan masyarakat Bali tadi -- yang ada di
sebagian Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, yang dikenal dengan sebutan ngata, banua,
wanua, marga, misalnya, jadi tersingkirkan sebagai contoh dari ’desa adat’. Bagaimana
mungkin ’Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’
dikategorikan sebagai ‘tidak ada adat, tetapi ada desa’? Jika demikian halnya, lalu,
bagaimana kita mendudukkan keberadaan ‘kelurahan (sebelum diboyong ke kota), ngata,
Angka-angka statistik kemiskinan yang lebih banyak menunjukkan realitas ‘kemiskinan
statistik’ dalam beberapa dekade tetap saja fluktuatif. Namun tetap berkisar di angka 15%.
Terjadi stagnasi pengurangan jumlah kaum miskin. Kalaupun ada kelompok miskin yang
dapat ditingkatkan kesejahteraannya, sebagaimana yang rajin dikemukakan Pemerintah
23
melalui program-program kemiskinan yang telah dilaksanakannya, di saat yang sama, ada
sejumlah warga lain yang justru terjerembab ke lembah kemiskinan. Kaum miskin baru ini
muncul seiring dengan terus meningkatnya program-program pembangunan ekonomi
yang dikembangkan Pemerintah yang berbasis penggunaan sumberdaya alam secara
ekstraktif, padat modal, dan berorientasi eksport, ketimbang meningkatkan kualitas
teknologi pertanian yang diakrabi mayoritas penduduk perdesaan.
Oleh sebab itu, ke depan, desa harus menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat desa
dalam arti yang sesungguhnya (Mahardika, 2001; Zakaria 2004; Eko, ed., 2005b; dan
Sahdan, ed., 2005). Dalam arti, meminjam konsepsi trisakti Soekarno, Proklamator dan
Presiden Pertama RI, pembangunan masyarakat desa ke depan haruslah ditujukan untuk
menjadikan (warga) desa bermartabat secara budaya, mandiri secara ekonomi, dan
berdaulat secara politik. Oleh karenanya, ‘UU Desa’ ke depan adalah ‘UU Desa’ yang dapat
menjadi jalan bagi upaya untuk ‘menyembuhkan negara-bangsa Indonesia’ yang tengah
sekarat, sebagaimana yang telah dijelaskan secara singkat di atas.
Maka, sesuai amanat konstitusi, Lingkaran Pembaruan Agraria (KARSA) berpendapat
bahwa ‘UU Desa’ ke depan TIDAK HANYA untuk mengatur soal ‘pemerintahan desa’,
sebagaimana yang terlihat jelas pada ‘RUU Desa’ yang diajukan Pemerintah dan dibahas
Parlemen saat ini. Namun – utamanya – adalah pengaturan tentang PENGAKUAN
(rekognisi) terhadap eksistensi desa – atau disebut dengan nama lain – berikut
implikasinya dalam berbagai sistem pengaturan lain dalam berbangsa dan bernegara di
Indonesia ini.
Termasuk di dalamnya adalah pengakuan
atas soal-soal yang berkaitan dengan
pengakuan terhadap tiga dimensi susunan
asli dan/atau desa atau disebuit dengan lain
sebagaimana yang ditunjukkan digaram di
samping ini. Yakni, pertama pengakuan
desa sebagai persekutuan sosial dan
Desa sebagai organisasi yg
mengurus kehidupan politik,
hukum, danpemerintahan
Desa sebagai satuan wilayah (ulayat) yg menjadi basis material komunitas ybs.
Desa sebagaipersekutuan sosial
& budaya
24
budaya, di mana di dalamnya terdapat sistem nilai dan aturan yang mengatur kehidupan
bersama susunan asli. Kedua, pengakuan terhadap desa sebagai suatu sistem organisasi
yang ditujukan untuk mengatur kehidupan politik, hukum, dan pemerintahan di dalam
lingkup komunitas yang bersangkutan; serta pengakuan terhadap basis material yang
berupa hak-hak penguasaan atas ulayat yang menjadi sumber kehidupan susunan asli yang
bersangkutan.
Dalam konteks desa yang sudah kehilangan ulayat-nya, baik karena alasan-alasan yang
berkaitan dengan pertumbuhan penduduk desa yang bersangkutan ataupun karena sebab-
sebab pengambil-alihan hak secara paksa pada waktu-waktu lampau, pengakuan pada ‘hak
penguasaan’ yang melekat pada desa ini menjadi mandat bagi (re-)distribusi aset negara
demi pengembangan kesejahteraan warga desa yang bersangkutan.
Tegasnya, melalui pengakuan atas hak asal usul dari susunan asli, ‘UU Desa’ dimaksudkan
juga sebagai instrument kebijakan dalam mengatasi kemiskinan, ketimpangan struktur
agraria, dan masalah kepemimpinan yang akut di tingat desa atau disebut dengan nama
lain itu. Untuk itu, sebagaimana pernah disampaikan Slamet (1965), pembangunan
masyarakat desa ke depan, karenanya, juga harus mengandung upaya-upaya
membangkitkan kepercayaan diri, daya cipta, dan inisiatif rakyat biasa itu sendiri. Upaya
itu dapat dilakukan melalui jalan pembaharuan desa (Zakaria, et.al., 2001; Juliantara, 2002;
Pambudi, et.al., 2003; Zakaria, 2004; dan Eko, ed., 2005a).
• Implikasi Kebijakan
Dengan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa ‘UU Desa’ ke depan juga harus dapat
mengatasi masalah-masalah berupa kerusakan sosial dan ekologis yang diakibatkan
berbagai kebijakan sebelum ini. Kebijakan tentang Desa, sebagaimana dilaporkan van
Ufford, ed. (1988); Antlov (1995); Zakaria (2000); dan Soetarto (2006), serta
pemberlakukan undang-undang sektoral lainnya, sebagaimana yang dilaporkan Fauzi
(1999); Simarmata (2002); dan Dianto Bachriadi, et.al., (2002), memang telah
memarginalisasi desa. Baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh sebab itu, berbagai
kebijakan yang mengerogoti kapasitas desa itu harus pula segera direvisi, sebagaimana
25
telah diamanatkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam.
4.3. Tentang Landasan Historis dan Yuridis: Lex Spesialis Desa dalam Konstitusi
Desa, atau disebut dengan nama lain, pada intinya merujuk pada rumusan kesatuan
masyarakat hukum di tingkat lokal yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan
rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan (hukum) adat setempat. Dalam
perjalanannya pengaturan tentang desa oleh institusi negara telah diwarnai kepentingan
politik penguasa, hingga melunturkan sebagian besar identitas dari desa itu sendiri.
Kebijakan paling mutakhir – sebelum masa reformasi -- adalah fenomena pemberlakukan
UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa oleh Rezim Orde Baru, yang dengan
sistematik menyederhanakan desa melalui penyeragaman bangunan konsep institusional
yang mekanis dan sentralistis dengan model desa di Jawa sebagai rujukan utamanya. Hal
tersebut membawa konsekuensi porak-porandanya sebagian besar desa, baik dari sisi
lembaga (organisasi) maupun dari sisi entitas sosialnya yang seharusnya independen.
Padahal, dari sisi konstitusi, sesungguhnya UUD’45 telah secara eksplisit menyebutkan—
meskipun ‘hanya’ sebatas pada penjelasan Pasal 18—bahwa mengakui keberagaman
berbagai bentuk dan sebutan desa sebagai realitas yang tidak boleh dikesampingkan.
Dalam konteks mengakui keberadaan keberagaman desa tersebut, UUD’45 meletakkannya
dalam rejim pemerintahan daerah, di mana desa merupakan entitas pemerintahan mandiri
yang kedudukannya sama halnya dengan pemerintah daerah (supra-desa) yang ‘lebih
besar’. Pasal 18 menyebutkan bahwa: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara,
dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Pada Bagian
Penjelasan, khsususnya angka Romawi II, dikatakan bahwa: “Dalam territoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappendan
volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
26
negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut.”
Nyatanya, yang kemudian berlaku, adalah sebaliknya. Dalam tataran pemerintahan daerah,
relasional pemerintah pusat dan daerah lebih cenderung meletakkannya dalam hubungan
yang hierarkhis bertingkat dan bersifat sub-ordinatif. Posisi dan kedudukan desa
kemudian sekedar merupakan sub-sistem dari Pemerintahan Kabupaten.
Proses amandemen Pasal 18 pada tahun 2000 lalu telah meluruskan kekeliruan itu dengan
memilah Pasal 18 lama menjadi 3 (tiga) pasal baru, berikut beberapa ayat yang
menyertainya. Masing-masing adalah Pasal 18 (baru), Pasal 18A, dan Pasal 18b. Pemilihan
ini telah menegaskan perbedaan antara “desa” dan “daerah” yang lebih besar (supradesa)
dalam bingkai penyelenggaraan hubungan sistem pemerintahan secara Nasional. Secara
khusus Pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
Akan tetapi, pesan konstitusi tersebut sepertinya masih gagal—atau sengaja didisain
sedemikian rupa—diterjemahkan dalam Undang-Undang yang (juga) mengatur desa pasca-
reformasi. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang relatif heavy
sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Amandemen Pasal 18 pada dasarnya memperkuat konteks pengakuan (rekognisi)
keberadaan desa, yang pada dasarnya memang berbeda dengan—serta bukan merupakan
bagian dari sub-sistem—daerah yang lebih besar.
Oleh sebab itu, walaupun secara umum desa dimasukkan dalam konstruksi rejim
pemerintahan daerah (tercantum pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah), akan tetapi
konsekuensi pengakuan secara khusus ini juga membawa perlakuan yang juga khusus dan
tersendiri. Sebagaimana keberlakuan azas universal hukum yang menyatakan bahwa
ketentuan yang lebih khusus/spesifik berlaku mengalahkan/menyampingkan ketentuan
yang umum (lex spesialis derogat legi generalis). Untuk itu, diperlukan Undang-Undang
khusus yang mengatur tentang desa tersendiri,dan berada di luar Undang-Undang yang
mengatur pemerintahan daerah. Demikianlah amanat atributif dari konstitusi.
27
desentralisasi dengan spirit utama otonomi, pun “hanya” berhasil membawa perubahan
mengenai labelisasi bentuk dan sebutan desa yang tidak lagi seragam sebagaimana
pengaturan sebelumnya. Yaitu menyebutkan istilah “desa atau yang disebut dengan nama
lain.” Namun tetap tidak sampai pada pengakuan bahwa desa sesungguhnya juga
merupakan daerah otonom yang juga harus memperoleh perlakuan yang memadai
berkaitan dengan hak dan kewenangannya sebagai entitas hukum yang mandiri. Bahkan,
seolah ada kesepakatan pada tingkat elit politik yang secara aklamasi menyepakati bahwa
otonomi dalam politik disentralisasi (pemerintahan), sebagaimana yang tampak pada UU
22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 yang ‘menyempurnakannya’, berhenti pada
tingkat kabupaten/kota saja!
Talizinduhu Ndraha (1999) menyebutkan bahwa kewenangan dalam sistem pemerintahan
dapat diturunkan dan/atau dikembangkan dari dua jenis hak yang berbeda satu sama lain.
Masing-masing adalah “hak bawaan” yang melekat pada entitas yang bersangkutan, dan
“hak berian” yang merupakan pemberian dari kekuasaan yang lebih tinggi. Maka, menurut
konsepsi ini daerah (supra-desa) memiliki “otonomi daerah”, sedangkan desa memiliki
‘otonomi desa’ atau sering juga disebut sebagai ‘otonomi asli’ (kecuali untuk daerah-daerah
tertentu yang bersifat isitimewa sebagimana dimaksud oleh Pasal 18B ayat 1).
Gagasan desentralisasi desa sebagai wujud derivasi dari amanat Pasal 18B ayat (2) UUD’45,
setidaknya menskemakan tiga aras desentralisasi. Pertama, desentralisasi politik
(devolusi); yaitu menegaskan/mengakui bahwa desa sebagai entitas yang otonom atau
sebagai local-self government, yang kemudian diikuti dengan pembagian hak dan
kekuasaan (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 46). Di dalam desentralisasi politik juga
terkandung, kedua, gagasan desentralisasi pembangunan. Gagasan pembangunan yang
terdesentralisasi pada prinsipnya paralel dan terintegrasi dengan pemerintahan. Gagasan
utama desentralisasi pembangunan adalah menempatkan desa sebagai entitas yang
otonom dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian, perencanaan desa dari bawah
ke atas (bottom up) juga harus ditransformasikan menjadi village self planning, sesuai
dengan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa. Desentralisasi pembangunan
identik dengan membuat perencanaan pembangunan cukup sampai di desa saja. Desa oleh
28
karenanya mempunyai kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa instruksi dan
intervensi oleh pemerintah supradesa (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 47).
Desentralisasi politik dan desentralisasi pembangunan tidak dapat berjalan apabila tidak
diikuti dengan desentralisasi keuangan (fiskal) sampai ke desa. Tujuannya adalah
memastikan perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Dana Alokasi Umum,
misalnya, harus dibagi secara seimbang antara provinsi, kabupaten/kota dan desa.
Demikian juga pembagian dana perimbangan (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan SDA) maupun pemberian taxing power
kepada desa. Desa juga mempunyai hak dan kesempatan untuk melakukan pungutan,
retribusi maupun mengelola sumber-sumber lain di luar tanah kas desa, seperti pasar.
Pungutan dan hasil pasar desa dapat dikumpulkan langsung oleh desa tanpa harus disetor
kepada kabupaten, untuk pembiayaan urusan desa. Cara seperti ini memungkinan
penguatan kesempatan, kepercayaan, tanggungjawab dan sekaligus bisa mengurangi
budaya ketergantungan dan kultur mengemis pada kabupaten (Sutoro Eko dan Abdur
Rozaki, 2005: 48).
Desentralisasi desa sebagai sebuah wacana yang lebih lanjut akan direalisasikan menjadi
peraturan perundang-undangan sebagai benteng pengakuan desa (atau disebut dengan
nama lain) dengan demikian secara konstitusional feasibilitasnya memungkinkan.
Didasarkan pada pemahaman pada amanat Pasal 18B ayat (2) UUD’45, lebih jauh
Skema desentralisasi desa:
1. Desentralisasi politik: pembagian kewenangan dan tanggungjawab kepada desa untuk mengelola pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik dasar.
2. Desentralisasi pembangunan: devolusi perencanaan desa yang menegaskan desa berwenang membuat perencanaan sendiri (village self planning).
3. Desentralisasi fiskal: alokasi dana desa untuk membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan
29
desentralisasi desa merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) dari rejim pemerintahan
daerah (lex generalis) sebagaimana ketentuan Pasal 18 dan Pasal 18A UUD’45.
• Tentang Azas
Dengan landasan-landasan berfikir sebagai mana telah dirinci pada bagian terdahulu maka
kebijakan yang akan mengatur desa atau disebut dengan nama lain di masa depan haruslah
disusun berdasar azas-azas berikut ini:
Rekognisi
Subsidiaritas
Keberagaman
Kesetaraan
Keadilan
Demokratis
• Tentang Tujuan
Adapun tujuan dari pengaturan desa atau disebut dengan nama lain itu adalah untuk
menghadirkan instrumen kebijakan yang memungkinkan suatu proses pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahaan Nasonal di tingkat desa atau disebut dengan nama lain itu
menjadi:
Desa yang Bermartabat secara Budaya
Desa yang Mandiri secara Ekonomi
Desa yang Berdaulat secara Politik
4.4. Tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan di Tingkat Desa
Implikasi dari amandemen konstitusi yang kemudian melahirkan rumusan Pasal 18 (baru)
dan Pasal 18A serta 18B UUD’45 adalah keharusan perubahan paradigma yang mendasari
30
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Terutama berkaitan dengan keberadaan dan
kedudukan entitas otonom di tingkat lokal, dalam hal ini yang kita sebut sebagai desa (atau
disebut dengan nama lain) sebagaimana pesan Pasal 18B ayat (2). Perubahan mendasar
tersebut hadir sebagai konsekuensi dari pengakuan (recognition) terhadap “desa atau
disebut dengan nama lain” sebagai lembaga otonom yang dengan demikian harus pula
diakui status dan hak-haknya secara khusus, bahwa desa berada diluar kerangka sub-
sistem pemerintahan daerah; dalam hal ini kabupaten.
Pengakuan “desa atau disebut dengan nama lain” berdasarkan amanat Pasal 18B ayat (2)
setidaknya harus melingkupi pada tiga aras hak asal-usul, yaitu: pengakuan terhadap
susunan asli; pengakuan terhadap sistem norma/pranata sosial yang dimiliki dan berlaku;
serta, pengakuan terhadap basis material yakni ulayat serta aset-aset kekayaan desa
(property right). Dengan demikian, pengaturan lebih lanjut dari pengakuan “desa atau
disebut dengan nama lain” harus benar-benar mendasarkan pada pertimbangan pada ciri-
ciri keberagaman sosial dan budaya masyarakat yang ada. Oleh sebab itu, sistem
penyelenggaraan pemerintahan juga harus lebih beragam lebih daripada sekedar sistem
pemerintahan yang ada berlaku sekarang ini.
Apabila dalam pembicaraan hubungan pusat dan daerah sebagai konsekuensi pesan Pasal
18 baru dan Pasal 18A menghasilkan konsensus nasional mengenai desentralisasi dan
otonomi daerah, maka seyogyanya konsekuensi dari pesan Pasal 18B ayat (2) juga harus
menghasilkan konsensus nasional tentang desentralisasi dan otonomi desa. Perbedaannya,
jika dalam pesan Pasal 18 baru dan Pasal 18A desentralisasi melahirkan pengakuan
terhadap otonomi daerah melalui pembagian kekuasaan dan pembagian keuangan, sedang
dalam pesan Pasal 18B ayat (2) pengakuan terhadap entitas otonom-lah (baca: desa atau
disebut dengan nama lain) yang kemudian melahirkan desentralisasi desa yang—
seharusnya—juga lengkap dengan pembagian kekuasaan dan keuangan. Dengan demikian
basis nalarnya jelas; yaitu pengakuan membawa konsekuensi desentralisasi desa.
Namun oleh karena keberadaan “desa atau disebut dengan nama lain” secara karakteristik
cukup beragam—belum lagi bila ditambah dengan keberadaan konstruksi desa yang sudah
tidak asli lagi—maka implementasi desentralisasi dan otonomi desa hendaknya juga harus
31
bisa mengakomodasi eksistensi keberagaman tersebut. Lebih-lebih basis logikanya adalah
pengakuan yang melahirkan desentralisasi. Dalam kontek ini penting untuk mengingat apa
yang disampaikan Prof. Dr. R. Soepomo, SH. (1993). Menurutnya, “… persamaan hukum
hanyalah bisa diterima, jikalau didasarkan kepada persamaan keadaan dan kebutuhan; jika
tidak, keseragaman hukum akan dirasakan sebagai ketidak-adilan yang menyakitkan.”
Maka, dalam konteks mengakomodasi eksistensi
keberagaman desa, setidaknya disain
desentralisasi desa akan mengarah pada tiga
macam bentuk penyelenggaraan pemerintahan
di aras desa itu. Masing-masing adalah sistem
desa adat; sistem desapraja; dan dan sistem
desa administratif. Pada level desa yang bukan
merupakan bagian dari subsistem pemerintahan
supradesa—disini sistem desa asli dan sistem
desa swapraja—dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan nasional, secara hukum
ketatanegaraan feasible untuk diwujudkan.7
Dalam sistem ‘desa asli’ (atau ‘dea adat’), maka penyelenggaraan sistem pemerintahan di
level lokal akan menerapkan desentralisasi dan pengakuan secara penuh dan istimewa
mengingat susunan kelembagaan asli, sistem norma/pranata sosial dan ulayat sebagai
wujud dari property right, semuanya masih hidup dan berjalan. Dalam hal ini kehadiran
negara melalui pengaturan, tidak lebih sekedar mengakui eksistensi dan kedudukan
melalui peran menunaikan kewajiban-kewajiban dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hak-hak dasar kehidupan warga negaranya. Misalnya mengenai akses kesehatan dan
pendidikan. Di sini letak Negara —lembaga supradesa—terhadap sistem desa asli ada pada
posisi yang relative mengambang (floating state). Pengembangan kemandirian desa dalam
sistem desa asli akan lebih banyak ditopang dari keleluasaan desa dalam
7 Konsepsi Desapraja yang dimaksudkan dalam dokumen ini berbeda bentuknya dengan penyebutan yang sama pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
32
mengkapitalisasikan ulayat dan aset-aset (property right) yang dimiliki sesuai dengan
preferensi kemitraan institusi eksternal supradesa menurut selera desa yang
bersangkutan. Dengan demikian negara juga berkewajiban menggaransi ketersediaan dan
penguasaan property right oleh desa. Mengenai eksistensi sistem desa asli di dalam sistem
pemerintahan tersebut dapat dilabeli sebagai asymmetric recognition sebagaimana gejala
teoritis yang juga berlaku dalam daerah-daerah istimewa dalam mandat Pasal 18A—yang
dikecualikan dari desentralisasi dan otonomi daerah konvensional yang berlaku—yang
kita kenal dengan asymmetric decentralization.8
Perlu disampaikan bahwa konsepsi Desapraja yang dimaksud di dalam gagasan ini adalah
desa yang berbeda dari konsep desapraja yang (pernah) dimaksud oleh UU No. 19 Tahun
1965. Sistem desapraja berangkat dari asumsi bahwa negara mengakui entitas otonom (self
governing community) yang sekaligus memperoleh desentralisasi (local-self government).
Sedang sistem ‘desapraja’ dimunculkan sebagai respon untuk merevitalisasi keberadaan
desa-desa di sebagian besar Jawa dan sebagian di luar Jawa dalam untuk menjadi local-self
government. Prinsip dasar pertama adalah, desentralisasi desa merupakan pengakuan
negara terhadap self-governing community, dan prinsip selanjutnya adalah pembagian
kewenangan dan keuangan kepada desa untuk membuat desa sebagai local-self government
(Sutoro Eko dan Adur Rozaki, 2005: 45). Konsekuensi dari sistem desapraja, kewajiban
negara dalam desentralisasi keuangan adalah memastikan perimbangan keuangan yang
layak dan mencukupi untuk diberikan kepada desa sebagai modal pembangunan mereka.
Selain itu, juga harus ada upaya redistribusi aset-aset sebagai basis material (property
right) bagi desa sebagai wujud revitalisasi ‘ulayat’ yang selama ini telah berkurang baik
sebagai akibat dinamika pertambahan penduduk atau karena telah digerus oleh kekuatan
supradesa yang menghisap. Perbedaan mendasar pada sistem desapraja dibanding sistem
desa asli adalah dalam institusionalisasi tata pemerintahannya—baik mekanisme dan
lembaga penyelenggaranya—yang sedikit banyak akan diatur oleh hukum negara, yakni
‘undang-undang desa’ ini sendiri.
8 Meskipun begitu, agar kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Tingkat Desa dapat berjalan efektif maka pilihan Sistem Desa Asli ini HANYA dapat dilaksanakan jika struktur dan organsiasi desa asli yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi sebuah organisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang efisien, sebagaimana yang akan diatur oleh kebijakan khusus tentang hal ini.
33
Dengan demikian di dalam konsep desapraja tetap ada dan berlaku sistem pemerintahan
modern (baca: prasyarat pemerintah yang demokratis) melalui organ-organ kelengkapan,
mekanisme maupun prosedur dari sistem pemerintahan yang diatur oleh negara, namun
dengan tetap menghormati kedudukannya sebagai desa yang otonom. Artinya, otoritas
pemerintah supradesa hanya membuat pedoman mengenai prasyarat sistem pemerintahan
yang demokratis bagi entitas desa tanpa mengurangi otonomi desa. Misalnya, pedoman
mengenai nomenklatur organ-organ kelengkapan organisasi desa yang minimal harus ada
dalam rangka penyelenggaraan check and balances pilar-pilar lembaga kekuasaan
(eksekutif, legislatif dan—mungkin—yudikatif) di desa. Kemudian mengenai pedoman
tentang mekanisme hubungan antar pilar-pilar lembaga kekuasaan, dan juga pedoman
mengenai prosedur pengisian jabatan-jabatan di dalam pilar-pilar lembaga kekuasaan tadi.
Oleh karenanya sistem desapraja harus ditempatkan sebagai sistem pemerintahan yang
bukan merupakan bagian dari subsistem pemerintahan supradesa. Ini yang membedakan
dengan konsep desapraja sebagaimana yang dianut oleh rejim UU No. 19 Tahun 1965.
Desapraja menurut UU No. 19 Tahun 1965 meski merupakan local-self government tetapi
tetap diposisikan sebagai subsistem pemerintahan supradesa yang lebih tinggi.
Sebagaimana pengertian di dalam UU tadi yang meletakkan desapraja sebagai unit
terendah dalam hierarkhi sistem pemerintahan; yaitu daerah daerah tingkat III di bawah
provinsi dan kabupaten. Dimana dalam ketetuan tersebut dikenal istilah “Daerah Atasan”,
yaitu: Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat I yang menjadi atasan dari desapraja (Pasal 2
huruf b UU No. 19 Tahun 1965). Lebih-lebih di dalam UU tersebut dengan tegas juga
disebutkan bahwa “kepala desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga
desapraja dan sebagai alat Pemerintah Pusat
Sementara sistem desa administrasi adalah berangkat dari kepanjangan tangan negara
untuk menunaikan fungsi-fungsi pelayanan publiknya terhadap warga negaranya,
mengingat sudah tidak ada lagi kelembagaan desa yang merepresentasikan otonomi dan
kemandirian komunitas. Akomodasi ini mengingat perkembangan sosial kemasyarakatan
yang heterogen yang semakin cepat terutama di daerah-daerah mulai maju oleh pengaruh
modernisasi. Dalam hal ini keberadaan sistem desa administrasi sama sekali merupakan
domainnya negara, yang dengan demikian desa administrasi kompatibel sebagai bagian
” (Pasal 8 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1965).
34
dari subsistem pemerintah supradesa. Model desa administrasi juga diutamakan untuk
daerah-daerah terpencil di mana warga dan sistem organisasi desa aslinya belum mampu –
atau belu mau -- menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang diinginkan.
Rincian implikasi pemilahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
tingkat desa ke dalam 3 (tiga) tipologi ini terhadap (1) struktur organisasi; (2)
kepemimpinan; (3) sistem check and balances; (4) mekansime pertangggungjawaban; (5)
kewenangan dalam pemerintahan, dan (6) keuangan desa adalah sebagaimana tercantum
dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1: Perbedaan Nomenklatur pada 3 Tipologi Penyelenggaraan Pemerintahan di Tingkat Desa 9
Tipologi Desa
Struktur/ Organisasi
Kepemim-pinan Sistem check and balances
Mekanasime Pertanggang-jawaban
Kewenangan dalam Pemerintah-an dan Pembangun-an10
Keuangan
11
Sistem Desa Asli
Sesuai keadaan yang ada, dilengkapi dengan ‘urusan penyelengga-raan pemerintah-an di tingkat desa’
Sesuai keadaan yang ada
Sesuai keadaan yang ada
Sesuai keadaan yang ada dan kepada Pembina (dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota)
Kewenagan yang relative terbatas, kecuali yang berkaitan dengan hak asal usul cq. hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dgn keweangan yang relative terbatas; 12 pengelolaan hak ulayat; dan penyelenggaraan pengadilan adat.13
Relatif Terbatas
Sistem Desa-praja
Pemerintahan Desa yang Terdiri dari unsur Kepala Desa, Aparat Desa, dan ‘Badan Perwakilan’ atau disebutu dengan
Merit system& Mekanisme Pemilihan Langsung
Terdapat lembaga yang merepresentasikan warga desa
Betanggungjawab kepada embaga yang merepresentasikan warga desa kepada Pembina (dalam hal ini Pemerintah
Kewenagan yang Luas. a.l: • Pembuatan
dan penetapan Perdes
• Kerjasama antar desa
• Pemberian ijin dan
Relaif Luas
9 Rincian realisasi masing-masing unsur nomenklatur dalam ketiga tipologi penyelenggaraan pemerintahan di Tingkat Desa akan diatur dalam Peraturan Daerah, sejauh yang tidak bertentangan dengan semangat PENGAKUAN yang menjadi dasar Undang-Undang Desa mendatang, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagianbagian berikut. 10 Lebih lanjut lihat bahasan dalam bagian ‘Kewenangan Desa’. 11 Penjelasan lebih lanjut lihat bagian ‘Keuangan Desa’. 12 Dalam konteks ini struktur desa asli wajib memfasilitasi implementasi kewajiban negara (supradesa) dlm pemenuhan kebutuhan dasar warga di desa yang bersangutan. 13 Termasuk urusan pelestarian kelembagaan adat.
35
nama lain Kabupaten/ Kota) pengelolaan potensi SDA desa
• Pengaturan dan pengambangan BUMDesa
• Merumuskan dan menetapkan rencana pembangunan desa.
• Menentukan dan menetapkan sumber-sumber pendapatan asli desa
Sistem Desa Adminitrasi
Kepanjangan birokrasi Pemerintah Kabupaten
Merit system dan pengankatan oleh Pemerintah Kabupaten
Jika dianggap perlu, Terdapat lembaga yang merepresentasikan warga desa
Bertanggung-jawab kepada Pembina (dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/ Kota)
Kewenagan yang dilimpahkan Supra-desa, sejauh yang dibutuhkan. a.l:
• Memberikan rekomendasi pemberian perijinan usaha/kegiatan yg berbasis di desa
• Pelaksanaan pembangunan dlm urusan-urusan tugas pembantuan
Sejauh yang dibutuhkan
• Tentang Kewenangan Desa
Pada dasarnya kewenangan desa dari cara perolehannya dapat dikategorikan sebagai
kewenangan atributif dan kewenangan distributif. Kewenangan atributif berkaitan dengan
hak yang telah ada pada suatu entitas baik kelompok (komunitas) maupun individu—
sering disebut sebagai kewenangan asli—yang kemudian diakui melalui pencantumnnya di
dalam konstitusi. Dalam tinjauan hukum tata negara, selanjutnya kewenangan atribusi
merupakan kewenangan yang bersumber dari konstitusi atau peraturan perundang-
undangan.
Sementara, kewenangan distributif adalah kewenangan yang diperoleh dari
pelimpahan/pembagian sebagian kewenangan dari pihak lain yang timbul sebagai
36
konsekuensi dari pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang
timbul sebagai akibat pelimpahan/pembagian kewenangan tersebut lebih lanjut menurun
pada dua bentuk kewenangan; yaitu kewenangan delegasi dan kewenangan mandat.
Konsekuensi daripada kewenangan delegasi adalah telah beralihnya tanggungjawab akibat
kewenangan yang dilimpahkan/dibagi dari pihak pemberi kewenangan semula menjadi
tanggungjawab pihak pemegang kewenanganyang dilimpahi kewenangan belakangan.
Kewenangan delegasi dalam tinjauan relasi pemerintah pusat dan daerah seringkali
dipadankan sebagai desentralisasi politik (pembagian kekuasasaan) sehingga muncul
klasifikasi adanya bidang politik/kekuasaan yang menjadi kewenangan pusat dan bidang
kekuasaaan yang menjadi kewenangan daerah.
Sedang dari kewenangan mandat, konsekuensi dari pelimpahan/pembagian kewenangan
tidak berakibat pada beralihnya tanggungjawab pihak pemegang kewenangan semula
kepada pihak yang menerima kewenangan yang bersangkutan. Jenis kewenangan mandat
ini di dalam tinjauan relasional pemerintah pusat dan daerah dapat dipadankan sebagai
bentuk dekonsentrasi dimana pemerintah yang “lebih tinggi” dapat memberikan tugas
kepada pemerintah yang “lebih rendah” untuk dijalankan dengan segala dukungan sarana,
infrastruktur dan sumberdaya dari pemberi tugas. Dalam istilah ketatapemerintahan
pelimpahan kewenangan yang berupa penugasan ini seringkali disebut dengan tugas
pembantuan (medebewind). Ketiga konsep kewenangan tersebut dapat dilihat dalam Tabel
2 berikut.
Tabel 2. Jenis-jenis Kewenangan Desa Dan Contohnya
Jenis Kewenangan
Definisi Contoh
(1) Atributif
(Dominan pada Sistem Desa Asli)
Rekognisi atas Hak asal-usul • Tanah Ulayat
• Nilai dan Norma Sosial
• Struktur Organisasi Masyarakat Adat.
37
(2) Delegasi
(Dominan pada Sistem Desa Praja)
Desa mendapatkan pelimpahan wewenang untuk penyelenggaran pelayanan publik dan pembangunan dengan tanggung jawab dan tanggunggugat kepada desa penerima wewenang. Pemberian delegasi dilakukan berdasarkan prinsip subsidiarity danco-production.
• Pengelolaan Infrastruktur Sekolah
• Pemeliharaan Infrastruktur Puskesmas.
• Pengelolaan Posyandu.
• Pengeloalaan Irigasi Desa
• Pengembangan kegiatan ekonomi desa.
• Pembangunan dan pemeliharaan pasar desa.
• Pengembangan Badan Usaha Desa
(3) Mandat
(Dominan pada Sistem Desa Administratif).
Desa mendapatkan pelimpahan wewenang dengan tanggung jawab dan tanggunggugat pada pemberi mandate
• Program-program pemerintah yang dijalankan ditingkat desa dan bekerja sama dengan pemerintah/masyarakat desa seperti sensus kependudukan, Penyelenggaraan pemilu, Program penanggulangan kemiskinan.
Dalam tataran eksistensi desa sebagai entitas yang otonom, maka kewenangan-
kewenangan tersebut dapat diidentifikasikan kepada desa, namun tentu dengan
penyesuaian-penyesuaian pada kebutuhan wacana otonomi dan desentralisasi desa.
Pertama, adalah kewenangan asli. Meminjam istilah Sutoro Eko (2004), kewenangan asli
disebut pula dengan kewenangan generik. Kewenangan asli atau juga sering disebut
dengan hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum (rechtgemeenschappen) dalam banyak kesempatan juga disamakan
dengan property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sebagai konsekuensi dari otonomi asli (Zakaria, 2000, dalam Sutoro Eko dan Abdur Rozaki,
2005: 58). Ada beberapa jenis kewenangan generik yang jamak dibicarakan, antara lain:
kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; kewenangan
mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan
adat/desa, dll); kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat sendiri; kewenangan
mengelola dan merawat nilai-nilai budaya lokal (adat-istiadat); dan, kewenangan yudikatif
atau peradilan komunitas, misalnya dalam hal penyelesaikan konflik/sengketa non-
kriminal (Sutoro Eko, 2004, dalam Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 58).
38
Kewenangan generik merupakan indikator desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
(rechtgemeenschappen) atau desa sebagai subyek hukum yang otonom
(volksbestuurgemeenschappen). Desa-desa di Jawa, misalnya, mempunyai wewenang
mengelola tanah kas desa maupu tanah bengkok secara mandiri untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan desa. Sementara desa-desa adat di luar Jawa umumnya
mempunyai hukum adat atau sistem nilai/pranata sosial untuk mengatur pemerintahan
maupun hubungan sosial serta mengelola sumberdaya lokal (tanah, hutan, sungai, dll).
Mengatur berarti membuat dan melaksanakan peraturan yang bersifat memaksa
(imperatif) dan mengikat warga, atau menentukan batas-batas yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan oleh warga (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 58-59).
Kedua, dalam memposisikan desa sebagai entitas otonom, maka kewenangan delegasi
harus ditempatkan pada pembagian bidang kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan kepada desa melalui penerapan secara ketat prinsip subsidiarty. Yaitu
kewenangan yang melekat pada desa berkaitan dengan daftar bidang kekuasaan yang
memang mampu, lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan oleh desa dibanding bila
dilaksankan oleh entitas supradsesa. Dari sisi desa, kewenangan ini bersifat co-production,
yaitu desa berperan dalam memproduksi barang dan jasa publik yang seharusnya
diproduksi oleh negara. Sebagai konsekwensinya negara harus membayar barang dan jasa
tersebut melalui alokasi anggaran untuk desa. Dalam kerangka pembangunan, ke depan
perlu ada gagasan kewenangan delegasi ini dilembagakan, yakni membuat desa sebagai
entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa secara otonom bisa membuat
perencanaan dan pembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal versi mereka
sendiri. Dengan demikian keberadaan lembaga supradesa akan lebih pada posisi
memfasilitasi dan men-support celah dari proses pembangunan oleh desa yang desa sendiri
merasa tidak mampu menyelesaikannya.
Ketiga, dalam konteks kewenangan mandat, yaitu dalam rangka pelaksanaan tugas
pembantuan oleh desa. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena
tugas pembantuan hanya sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan,
sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Dalam hal
39
ini titik kewenangannya justru pada desa yang harus memiliki keleluasaan untuk menolak
tugas pembantuan apabila tidak disertai dengan pendukungnya sehingga sekedar menjadi
beban desa saja. Padahal dalam konteks tugas pembantuan, tidak jarang program-program
kegiatan yang hendak dilaksanakan sesungguhnya memang merupakan kewajiban dari
kelembagaan pemerintah supradesa dalam rangka memenuhi kebutuhan hak-hak warga
negaranya. Misalnya mengenai program-program untuk memenuhi kebutuhan kesehatan,
pendidikan, kependudukan dan pemilihan umum.
Kewenangan desa dalam disain wacana desentralisasi dan otonomi desa tersebut pada
akhirnya tetap saja meniscayakan adanya kewenangan keuangan (fiskal)—yang tidak
boleh dilupakan—yang juga harus sampai ke desa. Hal ini penting guna memastikan
perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa, untuk selanjutnya musti ada dana
alokasi desa. Dalam Dana Alokasi Umum, misalnya, harus dibagi secara seimbang antara
provinsi, kabupaten/kota dan desa.
• Tentang Demokrasi dan Kepemimpinan:
Sebagaimana dilaporkan Slamet (1965: 73 - 84), salah seorang antropolog senior lainnya,
pada bulan May 1951, Charles Wolf pernah menulis sebuah artikel di Majalah Far Eastern
Survey, yang antara lain menyatakan bahwa “Barangkali desa-lah, yang sepanjang sejarah
merupakan hampir satu-satunya tempat persemaian bagi tehnik organisasi dan demokrasi
di Asia Tenggara, bisa disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat yang
baru; pengalaman yang kaya dari masyarakat desa dalam mencapai suatu pemufakatan dan
dalam menciptakan pimpinan yang bertanggungjawab, mungkin bisa meresap sampai ke
tingkat pemerintah-pemerintah nasional di Asia Tenggara dan mempengaruhi pula
bentuknya pemerintahan itu”. Pada waktu berikutnya, Oktober 1951, Justus van de Kroef,
pada majalah yang sama membantah pendapat itu. Menurutnya, “Desa tradisional
Indonesia tidaklah merupakan suatu demokrasi, maka tidak dapat pula dijadikan landasan
bagi ‘teknik-teknik organisasi dan operasi yang demokratis’ sebagaimana yang dikenal
dalam dunia Barat”. Di mana letak kebenaran yang sesungguhnya?
Atas pertanyaan yang diajukannya itu, Slamet berpendirian bahwa kebenaran dimaksud
terletak di antara kedua pandangan itu. Namun, untuk memahaminya, kata Slemet, kita
40
harus menggunakan pendekatan dari sudut historis. Artinya, di desa memang sudah sejak
lama terdapat apa yang disebut sebagai demokrasi asli, dan bukan demokrasi Barat yang
dimaksudkan van de Kroef. Demokrasi asli itu tumbuh dalam masyarakat-masyarakat
primitif yang belum mengenal stratifikasi sosial. ‘Kepemimpinan di dalam perkauman
(community) yang masih hidup pada taraf subsistensi ini pada pokoknya berdasarkan pada
persetujuan bulat dari segenap anggotanya dan tidak mempunyai sifat turun-menurun,
sehingga pemimpin-pemimpinnya yang pada umumnya tidak pula diakui secara resmi
(oleh kekuatan politik lain, pen), diikuti hanya atas dasar kemampuan saja,” tulis Slemet.
Selanjutnya Slamet menjelaskan bahwa demokrasi asli tersebut berkembang sesuai dengan
syarat hidupnya, yakni dalam ’perkauman-perkauman kecil yang tertutup, yang terdiri dari
dari sejumlah manusia yang semuanya salaing kenal satu sama lain, dan punya hubungan-
hubungan kekerabatan, serta -- yang terpenting -- bisa memenuhi sendiri semua
kebutuhan-kebutuhan pokoknya’.
Desa-desa – dapat pula disebut begitu -- ini dipimpin oleh seorang kepala, yang fungsinya
tidak dipegang secara turun-menurun, namun atas dasar kemampuan. ‘Sifat-sifat yang
dianggap terpenting bagi seorang kepala, selain kecerdasan dan kebijakan, ialah
kesanggupannya untuk mendamaikan perselisihan; meyakinakan orang pada umumnya;
keberanian untuk mengambil keputusan; dan kemurahan hati yang tidak terhingga,” urai
Slamet. Namun, kepala-kepala desa ini tidak dapat memutuskan apapun tanpa musyawarah
dengan segenap kepala keluarga. Sebabnya adalah kesempatan untuk memaksa seseorang
dengan kekerasan tidak atau belum ada. Sebagai balas jasa, kepala-kepala desa ini dibantu
penduduk dalam hal mengerjakan ladangnya, mendirikan rumahnya, bahkan membayar
hutang-hutangnya.
Seturut sejarahnya, urai Slamet, demokrasi asli, pada akhirnya, juga mengalami tekanan
yang menyebabkan sejumlah perubahan. Tekan itu berupa pertumbuhan penduduk;
adanya keluarga-keluarga tertentu yang kemudian memiliki kedudukan istimewa
(previllage) dalam desa; meluasnya penggunaan tenaga budak; dan diperkukuh oleh
perkembangan feodalisme dan kemudian kolonialisme. Bahkan, seperti ditulis oleh
Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Projono ( 1983) kemunduran demokrasi (di Jawa) juga
41
disebabkan oleh ‘polarisasi dalam perang kemerdekaan, pelaksanaan land reform di
pertengahan tahun 1960-an, dan kudeta yang gagal pada tahun 1965’.
Sejarah telah mencatat bahwa kolonialisme memperkuat kedudukan kepala adat (desa)
dan mempergunakannya sebagai perantara dengan penduduk desa, sebagaimana yang
telah dilaporkan oleh van Vollenhoven (1987); Kartohadikoesoemo, 1984; Suhartono, et.al.,
(2000); dan beberapa sumber yang telah dirujuk terdahulu. Meski begitu, demokrasi asli
tidak menyerah begitu saja. Bentrokan antara azas demokrasi asli dan azas otokrasi telah
melahirkan sejumlah bentuk pemerintahan yang bangunannya hasil kompromistis kedua
azas itu. Maka, tidak salah jika kemudian van de Kroef berpendapat bahwa “Struktur yang
historis dari masyarakat Indonesia bercirikan paternalisme, otokrasi dan kuatnya ikatan-
ikatan tradisi”. Namun, menurut Slamet, ‘apa yang dilihat van de Kroef itu hanya
merupakan muka yang satu dari masyarakat desa Indonesia, sedangkan mukanya yang lain
adalah tradisi-tradisi demokratisnya’. Slamet melanjutkan, “ van de Kroef rupanya sama
sekali tidak sanggup atau bersedia melihat muka ini. Padahal tradisi-tradisi demokratis ini
menurut pendapat saya tidak hanya masih hidup di hati orang dan diperkuat oleh cita-cita
revolusi, namun masih ditaati sepenuhnya sampai hari kini di dalam suatu sektor
kehidupan masyarakat desa yang amat penting, ialah di dalam gotong-royong (tolong-
menolong) yang bersifat spontan antara sanak-saudara dan tetangga-tetangga di semua
pelosok desa dan malah seringkali masih di kampung-kampung kota”. “Sebetulnya
kekayaan tidak dibagi sama rata, tetapi norma-norma sosial menghalangi adanya polarisasi
secara besar walaupun terdapat orde sosial yang tidak sama,” tulis Tjiptoherijanto dan
Yumiko M. Projono ( 1983).
Meski pun begitu, menurut Slamet, walaupun di antara kepala desa itu terdapat banyak
kepala desa yang sungguh-sungguh memperjuangkan pembangunan desa, terdapat pula
banyak kepala desa yang menyalahgunakan kedudukannya dengan maksud memelihara
kepentingan mereka sendiri. Hatta, UU No. 5/1979 pun kemudian diberlakukan. Alih-alih
memperbaiki keadaan, Zakaria (2000) melaporkan bahwa strategi transplantasi
Pemerintahan Desa berikut berbagai lembaga yang menyertainya, seperti LKMD, PKK,
Karang Taruna, KUD, telah gagal total dan telah menimbulkan dampak negarif yang tidak
kecil. Demikian pula nada dasar yang ada dalam berbagai tulisan terbit sebelumnya,
42
sebagaimana dirangkum oleh van Ufford (1988). Antlov (1995), menyebutkan bahwa
aparat desa hanya pelayan bagi pejabat di tingkat atas demi kelangsungan kepentingan
kepala desa itu sendiri. “Praktek pelaksanaan, yang terutama Lurah dipergunakan untuk
‘mengamankan’ hasil pemilihan umum, telah mengganggu kedudukan kekuasaan local
banyak lurah,” tulis Nordholt (1987). Maka, seperti dikemukakan Soetarto (2006), desa
tidak pernah benar-benar pulih dalam hal rest and order (ketenangan dan keteraturan)-
nya. Pembangunan masyarakat desa telah gagal mencapai tujuannya karena dilakukan
dengan cara-cara teknokratis dan paternalistik, oleh sebab itu keberadaan dan peran
institusi-institusi ekonomi-politik bentukan Negara yang selama ini sarat dengan ciri
korporatis perlu ditinjau ulang,’ tulis Soetarto. Hasil penelitian tentang Local Level
Institution (Pertama) yang disponsori BAPPENAS dan World Bank (Chandrakirana 1999;
Evers, 1999; dan Grootaert, 1999), maupun yang Kedua (Wetterberg, 2002) menunjukkan
bahwa institusi Pemerintahan Desa, Kepala Desa,dan Aparat Desa, alih-alih mampu
menyelesaikan masalah yang ada di desanya, justru menjadi salah satu dari masalah desa
itu sendiri.
Oleh sebab itu, seperti pernah diingatkan Slamet (1965), “… usaha pembangunan desa
tidak bisa disalurkan melalui pemimpin-pemimpin desa yang tradisional saja. Tetapi perlu
diadakan hubungan langsung yang melibatkan rakyat biasa di desa-desa.” Nordholt (1987)
juga berpendapat sama. “Sekalipun kedudukan kekuasaan seseorang lurah tidak dapat
disangkal pentingnya, namun untuk menganggapnya juga sebagai ‘kunci pembangunan
desa’ adalah masalah lain sama sekali. Justru dengan menjadikan para lurah sebagai satu-
satunya sasaran pintu masuk ke penduduk desa, tampaknya berakibat sebaliknya,” tulis
Nordholt.
Maka, seperti diusulkan Slamet (1965), “Yang dibutuhkan ialah suatu proses demokratisasi
desa di bermacam-macam lapangan, yang akan mengijinkan suatu kontrole dari bawah. …
Untuk mencapai tujuan dimaksud, maka pertama-tama adalah demokrasi asli harus
dibebaskan dari tekanan-tekanan dari atas. … Perlu pula memberi ruang tumbuh bagi
persekutuan-persekutuan penduduk marginal lainnya, seperti buruh tani, dan lain
sebagainya,” saran Slamet hampir 50 tahun lalu, dan hampir tidak pernah dilakukan
dengan sungguh-sungguh.
43
Masih relevankan usul yang demikian itu saat ini? Tentu! Bahkan makin relevan dari waktu
ke waktu, sebagai akibat dari elan ‘penaklukan Negara terhadap (pemerintahan) desa’
selama ini. Terlebih-lebih seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, yang telah membalik
arah akar (baca: tanggungjawab) kepemimpinan lokal: dari semula berakar ke bawah
menjadi berakar ke atas-(an)-nya.
Persoalannya kemudian adalah apakah proses demokrastisasi yang niscaya di tingkat desa
itu harus sama-sebangun dengan proses-proses demokratisasi di tingkat supra-desa itu?
Harus diakui, di samping sejumlah permasalahan yang telah dikemukakan di atas, terdapat
pula sejumlah masalah lain yang telah turut menghambat proses penyelenggaraan
‘pemerintahan desa’ selama ini. Dua hal yang terpenting adalah, pertama, bahwa kapasitas
sumberdaya manusia (Kepala Desa) relatif terbatas. Hal ini adalah konsekwensi dari
keterbatasan sumberdaya manusia yang memang terbatas di tingkat desa. Akibatnya,
adaptasi terhadap tugas dan fungsi relative lambat. Di sisi lain, dalam situasi kelangkaan
sumberdaya manusia yang demikian rupa, hadirnya kepala desa yang mumpuni tentunya
akan sangat menguntungkan (masyarakat) desa yang bersangkutan.
Kedua, dalam konteks penyelenggaraan ‘pemerintahan desa’ ala ‘desa praja’ (atau disebut
dengan nama lain), merujuk pada pengalaman masa lampau, suksesi kepala desa ataupun
‘badan perwakilan desa’ (ataupun disebut dengan nama lain), dalam prakteknya telah
ed., 1992; dan Rozaki, et.al., 2004, misalnya). Friksi yang terjadi dalam proses-proses
suksesi dimaksud seringkali berlarut-larut. Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan
desa sebagaimana mestinya seringkali terhambat atau bahkan tertunda dalam jangka
waktu yang relative cukup lama. ‘Kegaduhan politik’ ini, pasca reformasi, semakin lebih
nyaring bunyinya, seiring dengan pemberlakukan kebijakan pemilihan anggota parlemen
yang baru (yang menganut sistem terbuka, sehingga seorang calon hadir sebagai
pribadinya); dan pemilihan pimpinan eksekutif, yakni Bupati, Gubernur, dan Presiden
secara langsung pula.
Menghadapi situasi-situasi seperti dijelaskan di atas maka masa tugas Kepala Desa yang
ditetapkan sepanjang 5 tahun itu akan menjadi relatif singkat dan tidak kondusif bagi
44
pengembangan kinerja Kepala Desa sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, dalam
mengatasi masalah yang dihadapi ini, mengingat pula bahwa kekayaan Negara dan hak
publik yang berada dalam kontrol kepala desa yang relatif terbatas jumlahnya, dan di sisi
lain masih cukup kuatnya nilai-nilai ‘demokrasi asli’ dalam desa-desa yang bersangkutan,
Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) beranggapan bahwa MEMPERPANJANG
MASA TUGAS Kepala Desa melebihi kebiasaan yang ada pada kasus pimpinan lembaga
eksekutif supra-desa adalah suatu yang masuk akal. Dalam konteks ini Lingkar Pembaruan
Desa dan Agraria (KARSA) mengusulkan satu masa jabatan Kepala Desa setara dengan 1,5
kali masa jabatan yang berlaku di tingkat supra-desa. Artinya, Kami mengusulkan masa
tugas Kepala Desa ke depan yang lebih rasional dan kondusif bagi peningkatan kinerja
pemerintahan desa itu adalah 7,5 tahun, dengan maksimal 2 kali masa jabatan.
Meski begitu, tentunya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) juga bersetuju
bahwa perpanjangan masa tugas kepala desa ini tentu saja harus disertai – bahkan
mensyaratkan -- peningkatan kinerja mekanisme pertangungjawaban jabatan yang dibuat
secara lebih terbuka dan lebih akuntabel. Salah satu upaya itu adalah dengan tetap
mempertahan sistem kelembagaan yang mempresentasi warga yang diberi kewenangan
untuk mengontrol kinerja eksekutif desa.
Model perwakilan dan mekanisme rekruitmen anggota Badan Perwakilan Desa
sebagaimana yang diatur oleh UU No. 22/1999 telah memperburuk kegaduhan politik di
tingkat desa. Meski begitu, kenyataan itu tidak harus bermuara pada penghapusan
keberadaan kelembagaan yang dapat merepresentasikan penduduk secara keseluruhan.
Sebab, seperti dikemukakan Rozaki, et.al., (2004), kalau kelembagaan semacam ini dihapus
maka ‘sarana warga untuk mengimbangi peran dan dinamika kelembagaan pemerintahan
desa menjadi pupus pula. Konservatisme lurah dapat muncul kembali’. Anggapan yang
mengatakan demokrasi tidak dibutuhkan di desa adalah keliru. Pola pemerintahan yang
represif dan korporatis bukanlah pola yang normal di desa. Maka, kamai setuju, seperti
yang dikemukakan para pengamat, reformasi tidak boleh mandek di tingkat desa (Klinken,
2001; cq. White & Aji, 2000).
45
Jalan tengahnya adalah dengan menghidupkan dan/atau memberikan ruang kepada
mekanisme-mekanise demokrasi asli (seperti musyawarah dan rembug desa) untuk turut
berperan serta dalam sistem pemerintahan desa dimaksud. Untuk itu, mekansime-
mekanisme demokrasi asli harus diberi kewenangan dan sumberdaya yang cukup agar
fungsi sebagai penyeimbang kekuatan eksekutif demi kinerja pemerintahan desa yang
optimal dapat dicapai.
• Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Desa
Dalam bagian terdahulu telah disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan nasional
di tingkat desa perlu pula memberi ruang bagi tumbuhnya perhimpunan-perhimpunan
penduduk marginal lainnya. Seperti buruh tani, kelempok perempuan, dan lain sebagainya.
Hal ini dimaksudkan agar warga desa dapat lebih berpartisipasi secara lebih sistematis
dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerinatahan dan pembangunan
di tingkat desa. Penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif, sebuah sistem
pemerintahan yang memungkinkan proses-proses delebirasi yang mampu
mengartikulasikan kepentingan warga pada umumnya memang telah menjadi pilihan pada
Abad 21 ini (Alvarez, ,1993; Clarke and Stewart, 1998; Gaventa & Velderama, 1999;
Cornwall and Gaventa, , 2001; Goetz and Gaventa, 2001; Soemardjo, 2003; Dwipayana &
Eko, eds., 2003). Sebagaimana ditunjukkan Suwondo (2003), pilihan ini telah memberikan
harapan baru bagi kemajuan desa.
Maka, termasuk dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa yang
lebih terbuka dan lebih akuntabel sebagaimana yang dipromosikan di atas, adalah
keharusan Pemerintah Desa untuk melibatkan berbagai sistem pengorganisasi warga desa
lainnya, seperti kelompok-kelompok perempuan, kelompok tani, dan kelompok-kelompok
warga desa lainnya, utamanya kelompok-kelompok rentan dan/atau marjinal lainnya.
Artinya, dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan pembangunan desa ke depan,
yang akan diselenggarakan dengan skema ‘satu desa, satu rencana, dan satu
penganggaran’, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu tidak semata-mata dilakukan oleh
kepala desa bersama aparat desa, ‘badan perwakilan desa’ dan berbagai lembaga
korporatis desa saja. Melainkan, untuk keperluan pembanguna desa itu, Pemerintah Desa
46
wajib pula melahirkan, merawat, memberdayakan, dan yang terpenting adalah melibatkan
berbagai bentuk pengelompokan warga desa itu dalam pengambilan keputusan-keputusan
penting desa. Termasuk untuk mengalirkan sumberdaya yang ditujukan untuk
memampukan organisasi-organisasi rakyat itu agar dapat bergerak dan lebih berkembang
lagi.
4.5. Tentang Keuangan Desa: Devolusi Keuangan ke Desa adalah Wujud Konkrit
Pemihakan ke Desa
• Masalah Keuangan yang Dihadapi Desa
Praktek pembagungan dan kebijakan alokasi keuangan negara telah melahirkan
ketidakseimbangan pembangunan danpenyediaan pelayanan publik desa – kota. Sejak
tahun 1970-an pemerintah Indonesia fokus mendorong pusat-pusat pertumbuhan (growt
pool) yang didorong untuk menjadi kota-kota dengan dukungan sistem administrasi yang
sepenuhnya didukung oleh negara. Di sisi lain desa tidak diberi perhatian dan sumber daya
keuangan yang memadai untuk menjadi penggerak pembangunan.Sebagai implikasi dari
pusat pelayanan publik yang berbasis perkotaan, lokasi desa yang jauh dari pusat
pemerintahan juga menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik di desa lebih buruk
dan tidak segera terditeksi oleh kabupaten/pusat jika terjadi persoalan.
Pemusatan pembangunan di perkotaan juga telah mendorong urbanisasi. Dengan kata lain,
pemusatan pembangunan telah menyebabkan sumber daya manusia potensial di desa
bermigrasi ke kota. Jika pada tahun 2010 sebanyak 53 persen penduduk Indonesia tinggal
di kawasan perkotaan, maka BPS memprediksi bahwa pada tahun 2025 penduduk di
kawasan perkotaan akan mencapai 65 persen. Karena masyarakat desa yang melakukan
urbanisasi umumnya tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai untuk
hidup dalam kegiatan ekonomi perkotaan makasemakin lama kota tidak sanggup
mengelola beban ekonomi dan kependudukan kota seperti tumbuhnya pemukiman padat
dan kumuh serta pertumbuhan di pinggiran kota yang tidak terkontrol (urban sprawl).
Studi yang dilakukan oleh IAP (Ikatan Ahli Perencana) tahun 2011 menunjukkan ada
kecenderungan penurunan livable city dari kota-kota menengah ketika menjadi kota-kota
47
besar (IAP, 2011). Dengan kata lain, pengabaian pembangunan di desa bukan hanya
merugikan desa tetapi juga merugikan kota.
Sejak tahun 1998 pemerintah nampaknya mulai menyadari permasalahan di pedesaan. Ini
dapat dilihat dengan makin banyaknya program-program pemerintah pusat di desa baik di
bidang sosial, pelayanan pubik maupun pembangunan infrastruktur. Tetapi ada persoalan
mendasar dari program ini, yaitu permasalahan desa ‘didefinisikan’ dan diselesaikan
dengan program-program dari pemerintahan supra desa dan bukan dari cara melihat dan
sumber daya desa itu sendiri. Sebagai dampaknya maka ada kecenderungan:
• Terjadinya tumpang tindih program – dari sisi rencana, kelompok sasaran, dan
kegiatan. Ini dapat dilihat dari banyaknya varian-varian PNPM di satu desa, Program
Provinsi, dan Program Kabupaten di tingkat desa.
• Pemerintah Desa jadi ‘korban’ ketidakjelasan target dan kegagalan desain program di
tingkat pusat pusat. Contoh paling kongkrit dari kasus ini adalah program Bantuan
Langsung Tunai dari pemerintah pusat yang memicu terjadinya konflik horizontal dan
vertikal di tingkat desa.
• Dari sisi desa, program tidak berkesinambungan. Dengan kata lain keberadaan program
sangat tergantung di satu sisi pada kabaikan hati dan kriteria yang ditetapakan oleh
pemerintah supra desa dan di sisi laian pada kemampuan desa, terutama pemimpinnya
dalam meloby pemerintah supra desa.
• Desa tidak memiliki ‘harga diri’ dalam pembangunan program-program di desa.
Keberhasilan pembangunan desa dinilai berdasarkan sejauh mana keterampilan kepala
desa menggaet/melobi agar program masuk desa ketimbang kemampuan mengelola
keuangan dan pembangunan desa itu sendiri.
Pada tahun anggaran 2012, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk program
Penanggulangan Kemiskinan sebesar Rp 99,2 trilyun dengan sasaran menurunkan tingkat
kemiskinan menjadi 10,5%-11% dari jumlah penduduk. Dari total dana tersebut, 8, 46
trilyun dialokasikan untuk pembangunan 5.1000 kecamatan dengan alokasi Rp 6.000 juta
sampai dengan Rp 3 milyar/kecamatan dan pembangunan infrastruktur sosial wilayah
48
sebesar Rp 423, 5 milyar dan PNPM infrastruktur peedesaan sebesar Rp 982,5 milyar
untuk desa, dan PNPM daerah tertinggal dan khusus sebesar 42,5 M. Selain
penanggulangan kemiskinan, pemerintah juga mengalokasikan program yang target
sasarannya desa seperti ketahanan pangan (meningkatkan ketersediaan bahan pangan)
dan subsidi pupuk.
Dari data di atas, tampak bahwa banyak beberapa program di tingkat nasional dengan
target sasaran desa. Program pembangunan desa juga dilakukan oleh pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten. Survey yang dilakukan oleh Suhirman dan Rianingsih Djohani
(2011) menunjukkan bahwa di beberapa desa telah terjadi penumpukkan program-
program pembangunan dan ‘pemberdayaan’ di satu desa. Pada Tabel 3 dapat dilihat contoh
kasus program-program yang ada di desa pada tahun yang sama dengan total program
yang masuk pada tahun 2010 lebih dari 800 juta.
Tabel 3. Contoh Program-Program Pembangunan di Desa
Nama Program/Dana Sumber Dana Jumlah Alokasi Dana Desa Kabupaten 28.000.000 P2MBG Kabupaten 30.000.000 Balik Deso Bangun Desa Provinsi 100.000.000 PNPM-P2SPP Pusat 85.000.000 PNPM-Perdesaan Pusat 67.000.000 PPIP Pusat 250.000.000 PNPM-Pamsimas Pusat 275.000.000 Program ke Kelompok sasaran (Gapoktan, Sekolah, dll)
Kebupaten dan Pusat
Tidak tercatat di desa
835.000.000
Sejak tahun 2004, pemerintah telah mengitrodusir kebijakan ADD untuk meningkatkan
kapasitas keuangan pemerintah desa. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa masalah
mendasar dari kebijakan ini. Pertama, ADD dilekatkan dengan DAU yaitu 10% dari DAU
setelah dikurangi Dana Alokasi Dasar (gaji pegawai). Padahal DAU dikurangi DAD sangat
kecil (kurang dari 20%), sehingga total dana yang diterima oleh Desa adalah 2% dari DAU
denga kecenderungan menurun seiring kebijakan penaikan gaji pegawai yang dilakukan
pemerintah. Kedua, Formulasi DAU sendiri bermasalah (menurut UU No 33/2004 adalah
26 % dari APBN Murni) yang dibagi ke pemerintah daerah (provinsi + kabupaten) dengan
49
formulasi tertentu. Sepuluh tahun pelaksanaan formulasi ini menghasilkan kabupaten/kota
yang rendah kapasitas fiskalnya bahkan dapat dikategorikan bangkrut (lihat hasil studi
BAKD tahun 2010). Ketiga, Mengandalkan ADD dari kebijakan pemerintah kabupaten
sangat sulit, karena Kabupaten sendiri menghadapi keterbatasan fiskal. Keempat, ADD
menjadi salah satu penyebab SKPD tidak responsi dengan usulan skala desa karena
dianggap telah ditangani oleh ADD. Ini menjadi penyebab usulan desa melalui forum
musrenbang tidak ditanggapi oleh SKPD.
• Tinjauan Masalah
Permasalahan mengenai keuangan desa bersumber dari ketidakfahaman pemerintah
terhadap kewenangan desa. Kewenangan desa, tidak hanya kewenangan asli yang
berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat tetapi juga kewenangan untuk menjalankan
pelayanan publik dan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintahanan otonom.
Sebagai implikasi dari kewenangan desa maka desa perlu mendapatkan alokasi dana untuk
dapat menjalankan pelimpahan wewenang untuk penyelenggaran pelayanan publik dan
pembangunan dengan tanggung jawab dan tanggunggugat kepada desa penerima
wewenang. Selain itu desa juga perlu mendapatkan alokasi dana untuk dapat menjalankan
‘mandat (tugas pembantuan)’ yang diberikan negara kepada desa agar dapat dijalankan
dengan baik.
• Kerangka Usulan Keuangan Desa dalam Undang-undang Desa
Ada tiga strategi yang perlu dilakukan untuk memperkuat desa dalam menjalankan
kewenangannya. Pertama, memperbesar kapasitas keuangan. Kedua, memperkuat proses
alokasi keuangan dan assset desa, termasuk proses perencanaan program dan
penganggaran. Ketiga, memperkuat akuntabilitas pengelolaan kuangan dan asset desa.
Kapasitas fiskal merupakan syarat mutlak bagi desa untuk dapat menjalankan
kewenangannya. Ini sesuai dengan berbagai teori yang menyatakan bahwa pemberdayaan
harus seiring dan sejalan dengan kemampuan komunitas/masyarakat dalam mengelola
anggaran (Friedman, 1992; Uffhop; 1986). Untuk memperkuat kapasitas keuangan desa
maka Alokasi Dana Desa harus dari pusat melalui APBN. Hal ini disebabkankan, seperti
50
data yang diolah oleh BKAD Kementrian Dalam Negeri, kapasitas keuangan kabupaten
lemah (BKAD, 2010). Selain itu selama ini pusat telah mengalokasikan program-program
pembangunan di pedesaan yang terfragmentasi dalam beberapa kementrian baik dalam
skema PNPM maupun skema lain.
Ada tiga pilihan strategi transfer pusat ke desa yang berkesinambungan. Pertama, transfer
Alokasi Dana Desa (ADD) langsung dari pusat ke desa. Kedua, melalui proporsi DAU
Kabupaten. Ketiga, melalui skema DAK ke kabupaten.
Transfer dana dari pemerintah pusat langsung ke desa idealnya dihitung berdasarkan pada
kebutuhan desa dalam menjalankan kewenangan delegatif dikurangi kemampuan desa
tersebut dalam menjalankan kewenangan tersebut melalui pendapatan asli desa (PAD).
Dengan kata lain, pusat mentransfer sejumlah dana untuk menutupi celah fiskal desa dalam
menjalankan kewenangannya. Dengan menggunakan contoh-contoh program yang masuk
ke desa, maka transfer dana pusat ke desa untuk menjalankan kewenangan delegatif
idealnya adalah 10 % dari total APBN. Angka ini juga sesuai dengan program-program
pemerintah pusat di desa yang seringkali salah sasaran. Pilihan kebijakan ini ideal, tetapi
akan bertabrakan dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan yang tidak
mengatur transfer pusat –berupa DAU –langsung ke desa karena berdasarkan pasal 18 UUD
1945 daerah otonom dan pemerintahan daerah mencakup Provinsi, Kabupaten dan Kota
saja.
Pilihan kedua adalah transfer keuangan pusat ke desa dilakukan melalui transfer – DAU -
ke kabupaten. Agar transfer dana dari pusat ke Desa dijamin oleh UU maka DAU untuk
kabupaten diperbesar dan mencakup Alokasi Dana Desa (ADD). Dengan demikian DAU
kabupaten harus dialokasikan untuk Alokasi Dana Desa minimal sebesar 15 % dari total
DAU Kabupaten. Pembagian ADD per-desa diatur dengan formulasi wewenang delegatif
dari kabupaten ke desa yang diatur oleh peraturan daerah dengan prinsip: subsidiarity, co-
production, inclusive economic development, dan keseimbangan pembangunan daerah.
Pilihan ketiga – yang digabung dengan pilihan kedua - adalah transfer melalui DAK. Dalam
hal ini ’UU Desa atau disebut dengan nama lain’ menyatakan bahwa pelayanan publik dan
pembangunan desa adalah urusan kabupaten yang strategis secara nasional. Ini menjadi
51
dasar bagi pemerintah pusat untuk mengalokasikan DAK sebesar 5% dari APBN kepada
kabupaten untuk ditransfer kepada pemerintahan desa. Dana tersebut harus digunakan
untuk mendanai pelayanan publik dan pembangunan di desa oleh pemerintahan desa.
Besar DAK untuk tiap desa ditetapkan oleh Kabupaten berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh peraturan daerah. Alokasi dana khusu sebesar 5% dihitung berdasarkan
pada program-program yang selama ini dialokasikan pemerintah pusat untuk membangun
dan meningkatkan pelayanan publik di pedesaan.
Dari paparan di atas, jelas bahwa logika yang dibangun untuk keabsahan transfer dana
pusat ke desa adalah mencakup desapraja dan desa administratif. Untuk desapraja transfer
dilakukan ke pemerintahan desa. Sedangkan untuk desa administratif transfer dilakukan
ke pengelola administrasi desa. Tentu saja - sesuai dengan azas recognisi – ‘UU Desa atau
disebut dengan nama lain’ tidak dapat memaksa desa-desa untuk tetap menjadi desa asli
dan tidak mau menerima kewenangan delegatif dan mandat. Dalam situasi seperti ini maka
tugas pelayanan dan pembangunan desa langsung menjadi tugas pemerintah supra desa
yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada warganya. Pada Tabel 4 dapat dilihat
justifikasi untuk alokasi pemerintah – pusat/daerah - ke desa beserta sumber-sumber
alokasinya.
Tabel 4. Alokasi Keuangan Desa berdasarkan Tipologi Desa
Tipologi Desa Dasar Alokasi Sumber Alokasi Desa Asli Pemerintah –Pusat dan Daerah-
berkewajiban menyediakan barang dan jasa publik (pelayanan dan program) untuk setiap komunitas yang ada di wilayah republik Indonesia.
- Sumber utama Keuangan Desa bersumber dari pengelolaan Tanah Ulayat yang dikelola secara mandiri;
- Tidak ada transfer dana dari pemerintah ke desa. Masyarakat desa mendapatkan pelayanan dan program langsung dari pemerintah sebagai hak dasar warga Negara;
- Dalam hal kewenangan tertentu dilimpahkan kepada Desa, Desa berhak atas dana transfer yang diperuntukkan bagi pembiayaan kewenangan dimaksud.
Desa Praja Desa menjalankan kewenangan delegasi dan mandat dari pemerintah daerah dan pusat berdasarkan prinsip subsidiarity dan co-production.
- Transfer dana dari pemerintah pusat/daerah ke pemerintahan desa (berupa ADD) untuk menutupi celah fiskal desa dalam menyelenggarakan kewenangan delegatif.
52
Tipologi Desa Dasar Alokasi Sumber Alokasi - Transfer dana dari pemerintah
pusat/daerah ke desa untuk mendukung ‘mandat’ yang diberikan pemerintah pusat/daerah ke desa.
Desa Administrasi Pemerintah pusat/daerah mengembangkan sistem administrasi untuk mendukung pelayanan dan pembangunan di desa.
- Transfer dana dari pemerintah pusat/daerah ke pengelola administrasi untuk penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan di desa.
- Alokasi dana didasarkan pada preferensi masyarakat desa.
Setelah desa mendapatkan transfer dana yang memadai untuk pelayanan publik dan
pembangunan desa, maka perlu diatur strategi alokasi keuangan dan aset desa. Isu ini
berkaitan dengan prosedur dan substansi dari: Rencana pembangunan jangka menengah
desa (RPJMDesa), Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa), dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa. Untuk itu perlu dipertegas prinsip-prinsip dasar dalam
perencanaan dan penganggaran desa terutama: 1) partisipasi (musyawarah desa) yang
inklusif melibatkan laki-laki dan perempuan serta kelompok miskin dan 2) perencanaan
dan penganggaran diarahkan pada pencapaian tujuan pembangunan yang disepakati oleh
warga masyarakat dan sesuai dengan rencana kabupaten dan rencana pembangunan
nasional.
Dengan dana yang memadai maka musyawarah perencanaan pembangunan desa akan
membahas kegiatan yang akan dibiayai oleh ADD, kegiatan yang diusulkan untuk dibiayai
pemerintah kabupaten, dan program-program pemerintah supra desa yang akan
dilaksanakan di desa. Aspek pertama (Alokasi ADD) ditujukan untuk membangun desa,
sedangkan aspek kedua (dibiayai pemerintah) ditujukan untuk membangun kawasan
perdesaan. Gambar 3 menunjukan hubungan antara kewenangan desa, transfer dana dan
alokasi sumber daya keuangan di desa.
53
Gambar 2. Skema Transfer Dana Pusat Ke Desa untuk Mendanai Kewenangan Desa (Utamanya dalam Sistem Desapraja)
Strategi yang ketiga adalah mekanisme akuntabilitas (pertanggungjawaban) pengelolaan
keuangan dan asset desa yang mencakup: pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan dan
pertanggunghawaban pelaporan kegiatan. Untuk meningkatkan pertanggungjawaban
pelaksanaan kegiatan, desa dapat mengadopsi program-program pemberdayaan yang
selama ini telah diintrodusir oleh pemerintah pusat dan desa, seperti: tim pelaksana, tim
verifikasi, tim pengawas, dll. Untuk pertanggungjawaban pelaporan kegiatan desa, perlu
diperkuat peran dan kemampuan sekretaris desa dalam penatausahaan keuangan desa,
desa dapat menganggkat bendaharawan desa dan peran BPD dalam pengawasan
pembangunan dan keuangan desa. Selain itu, akuntabilitas dari bawah perlu diperkuat
dengan mengembangkan berbagai prosedur pengaduan dari masyarakat – teruma
masyarakat miskin - dan resolusinya.
• Implikasi Kebijakan
Dengan memperkuat keuangan desa, maka akan berimplikasi pada penyelenggaraan
program di berbagai tingkat pemerintahan dan kebutuhan untuk merevisi UU 32/2004
tentang perimbangan keuangan. Pada tingkatan pemerintahan kewenangan delegatif desa
perlu didefinisikan dengan jelas (positif list) sehingga ADD untuk tiap desa dapat
dialokasikan dengan jelas. Sedangkan Revisi UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
54
terutama adalah mendorong besaran DAU ke daerah yang lebih besar dari saat ini (di atas
26% dari APBN Murni) sekaligus mendorong penetapan 15% DAU Kabupaten untuk
Alokasi Dana Desa (ADD) dan Alokasi DAK Pemerintahan Pusat ke Kabupaten untuk
Pembangunan Desa sebesar 5% dari total APBN Murni.
Implikasi kedua adalah penataan desa. Dalam konteks kewenangan delegatif dan kuangan
desa, maka besaran desa harus masuk dalam sekala optimal untuk menjalan berbagai
kewenangan delegatif secara optimal. Desa-desa yang kecil perlu digabung agar, skala
pengelolaannya masuk. Dan desa-desa yang besar perlu dicegah terfragmentasi menjadi
desa-desa kecil dengan alasan untuk mendapatkan dana. ‘Undang-undang Desa atau
disebut dengan nama lain’ juga perlu mendorong kerja sama antar desa terutama untuk
kerja sama ekonomi dan pembangunan infrastruktur perdesaan dalam meningkatkan
ekonomi lokal dan pertumbuhan ekonomi regional berbasis pedesaan.
4.6. Tentang Sharing Pendapatan Asset cq. Sumber Daya Desa
• Masalah yang dihadapi
Sumber daya alam sebagai hak ulayat desa seringkali menjadi masalah ketimbang manfaat
yang dapat diterima oleh penduduk setempat. Masyarakat seringkali tidak dilibatkan
dalam hak pengelolaan, tiba-tiba pengelolaan telah dikuasai oleh
organisasi/orang/perusahaan supra desa melalui mekanisme perijinan yang prosesnya
tidak melibatkan masyarakat setempat. Sebagai dampaknya masyarakat hanya
mendapatkan eksternalitas negatif dari pengelolaan sumber daya alam seperti banjir,
longsor, pencemaran limbah, dll.
Di sisi lain, pengelolaan sumber daya yang tidak melibatkan masyarakat setempat –
misalnya untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, dll. juga memicu konflik antara
masyarakat lokal, pengelola sumber daya alam dan pemerintah daerah. Konflik-konflik ini,
yang lahir dari meningkatnya daya kritis masyarakat lokal, telah menjadi penyebab tidak
efektifnya pengelolaan sumber daya alam baik dari sisi masyarakat lokal maupun secara
makro. Beberapa contoh konkrit konflik yang terjadi akhir-akhir ini misalnya adalah:
konflik hak kelola eksplorasi mineral di beberapa desa di Kabupaten Bima, Hak kelola
55
perkebunan kelapa sawit di Masuji, konflik warga dengan penambangan liar di Kabupaten
Bengkayan Kalimantan Barat, dll.
Pengakuan terhadap sumber daya alam (aset) desa sebagai hak ulayat ditetapkan dalam
‘UU Desa atau disebut dengan nama lain’ berdasarkan azas recognisi. Pengakuan tersebut
diwujudkan dalam bentuk:
• Pelibatan desa dalam pemanfaatan asset/sumber daya yang menjadi hak ulayat desa.
• Penerimaan manfaat langsung desa dari pengelolaan asset/sumber daya yang menjadi
hak ulayat desa oleh pihak di diluar desa.
• Kerangka Usulan Sharing Pendapatan Asset/Sumber Daya Desa
Tentu saja secara ideal, pengelolaan sumber daya alam yang menjadi hak ulayat desa
sebaiknya dikelola oleh desa. Tetapi ada situasi dimana desa tidak dapat mengelola sumber
daya tersebut, berkaitan dengan skala, jenis, dan sumber daya manusia. Dalam situasi
tersebut ‘UU Desa atau disebut dengan nama lain’ perlu menegaskan mengenai proses
pelibatan masyarakat dalam pemberian ijin pengelolaan hak ulayat desa oleh pihak luar
yang mencakup: mekanisme musyawarah untuk pengambilan keputusan yang dilakukan
secara inklusif melibatkan laki-laki dan perempuan serta kelompok miskin, besar dan
mekanisme pemberian ganti rugi, dan kontrol atas keputusan.
‘Undang-undang Desa atau disebutu dengan nama lain’ perlu menegaskan bentuk-bentuk
penerimaan manfaat pengelolaan sumber daya desa yang merupakan hak ulayat mencakup
manfaat dari kerja sama langsung desa dengan pengelola sumber daya desa yang dilakukan
melalui perjanjian perdata dan disepakati oleh pengelola sumber daya desa.
Selain perjanjian antara desa dengan pengelola sumber daya, dimungkinkan perjanjian hak
kelola dilakukan oleh pemerintah pusat/provinsi/kabupaten. Dalam situasi ini maka ‘RUU
Desa atau disebut dengan nama lain’ perlu menegaskan bahwa Desa harus mendapatkan
manfaat dari bagi hasil pajak melalui kabupaten pemerintah pusat/provinsi/kabupaten.
Dalam hal ini maka pemerintah pusat/provinsi memberikan bagi hasil pajak kepada
kabupaten (berdasarkan UU 32/2004). Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa kabupaten
memberikan bagi hasil pajak kepada desa yang hak ulayatnya dikelola agar desa dapat
mengatasi eksternalitas negatif skala desa sekaligus meningkatkan kesejahteraan sebagai
56
akibat dari dieksploitasinya sumber daya alam tersebut. Tentu saja pemberian hak ini
disertai kewajiban bagi pemerintahan desa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
diakibatkan oleh pengelolaan sumber daya alam tersebut.
• Implikasi Kebijakan
Ada dua implikasi kebijakan yang perlu dipikirkan ke depan. Pertama, perlu ketegasan
mengenai prosedur pemberian perijinan mengenai hak kelola termasuk mekanisme
kontrolnya. Kedua, merevisi UU 32/2004 dengan penegasan desa mendapatkan pajak yang
diterima kabupaten dari bagi hasil pajak sumber daya alam untuk dimanfaatkan bagi
penanggulangan eksternalitas negatif dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Rangkuman
1. Undang-Undangan Tentang Desa atau disebut dengan nama lain, termasuk kewenangan
dan penyelenggaraan ‘Pemerintahan Desa’, berdasarkan hasil amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 (lama) tahun 2000 lalu, haruslah merujuk pada
Pasal 18B Ayat 2; karenanya Undang-Undang tentang Desa atau disebut dengan nama
lain itu bukanlah bagian dari rezim Undang-Undang tentang Otonomi Daerah ataupun
Pemerintahan Daerah, yang merujuk pada Pasal 18 (baru), Pasal 18A, dan Pasal 18B
Ayat 1.
2. Undang-Undang tentang Desa medatang haruslah dirancang sedemikian rupa, untuk
menjadikan Desa atau disebut dengan nama lain sebagai dasar kemajuan Indonesia di
masa datang. Untuk itu, Undang-Undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain
itu haruslah memberikan kewenangan dan keuangan yang memadai, berdasarkan
PENGAKUAN (rekognisi) terhadap hak asal-usul yang melekat pada desa atau disebut
dengan nama lain itu.
3. Hak asal-usul yang melekat pada desa itu menyangkut soal kewenagan untuk
menyelenggarakan pemerintahan negara di Tingkat Desa; penguasaan terhadap
sumberdaya (ulayat) yang menjadi dasar penghidupan desa (termasuk hak untuk
menerima distribusi asset dan/atau kekayaan Negara lainnya); serta hak untuk
melakukan tindakan-tindakan pengadilan di tingkat desa.
57
4. Atas dasar kenyataan keberadaan desa yang amat beragam di Indonesa, baik karena
tradisi maupun hasil rekayasa sosial selama ini, maka Undang-Undang tentang Desa
atau disebut denghan nama lain itu haruslah memungkinkan penyelenggaraaan
pemerintahan desa yang beragam pula; yakani, baik melalui Sistem Desa Asli; Sistem
Desapraja; dan Sistem Desa Administratif.
5. Atas dasar pengakuan dan kemauan politik untuk menjadi dasar bagi pengembangan
kemajuan Negara dan bangsa Indonesia di masa yang akan datang, berdasarkan
kemampuan yang telah terjadi dalam beberapa decade terakhir ini, desa berhak atas
alokasi dana desa yang bersifat block grant dan bersumber dari APBN, setara 10% dari
total jumlah APBN, melalaui berbagai skema keuangan yang telah djelaskan dalam
dokumen ini.
6. Demi kelangsungan kepemimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, masa tugas yang layak bagi jabatan Kepala Desa adalah 2 kali masa
jabatan, masing-masing 7 – 8 Tahun, dengan BATASAN USIA TERTUA pada akhir masa
jabatan maksimal 65 tahun.
7. Seiring dengan perluasan kewenagan dan keuangan desa, utamanya pada sistem
Desapraja, pengadaan sistem check dan balances adalah suatu keniscayaan pula. Hal ini
dapat dilakukan melalui pemberdayaan pada mekanisme-mekanise ‘demokrasi asli’
(seperti musyawarah dan rembug desa), dan mendorong partisipasi warga melalui
pengorganisasian kelompok-kelompok tani, perempuan, pemuda, dan sejenis.
8. Agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seluruh unsur yang ada dalam sistem
organisasi yang ada di tingkat desa ini berhak atas sumberdaya yang cukup. Setidak-
tidaknya untuk membantu biaya operasionalnya. Termasuk untuk pembiayaan
Pemilihan Langsung Kepala Desa (pilkades) yang harus 100 % ditanggung oleh APBD
Kabupaten/Kota.
58
Kepustakaan
Antlov, Hans, 1995. Exemplary Center, Administrative Periphery. Rural Leadership and the New Order in Java. Surrey: Curzon Press.
Antlov, Hans, & Sven Cederroth, eds., 1996. Leadership on Java. Gentle Hints, Authoritarian Rule. Surrey: Curzon Press.
Alvarez, S. E. (1993), “Deepening Democracy: Popular Movement Networks, Constitutional Reform, and Radical Urban Regimes in Contemporary Brazil”, in Fisher and Kling, eds., Mobilising the Community: Local Politics and the Era of the Global City, hal. 191-219. California: Sage Publications.
ARD Inc., 2004.Miningkatnya Konflik dan Keresahan di Kawasan Indonesia. Burlington: USAID/ANE/TS.
Bachriadi, Dianto, Yudi Bachrioktora, dan Hilma Safitri, 2002. Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang.Mal Administrasi di Bidang Pertanahan. Laporan Penelitian. Kerjasama Komisi Ombudsman Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Bouchier, David., 2007. Pancasila versi Orde Baru dan Asal-muasal Negara Organis (Integralistik). Yogyakarta: Kerjasama Pusat Studi Pancasila (PSP), Pusat Studi Sosial Asiang Tenggara (PSSAT), Universitas Universitas Gadjah Mada, dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jakarta.
Chandrakirana, Kamala, 1999. ”Local Capacity and Its Implications for Development: The Case of Indonesia”. Jakarta: Bappenas & World Bank.
Clarke M. and Stewart J., 1998.Community governance, community leadership, and the new local government, Joseph Rowntree Foundation, London.
Clark, Samuel, ed., 2004, Bukan Sekedar Persoalan Kepemilikan: Sepuluh Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa Timur dan Flores. Conflict and Community Development Research and Analytical Program, Indonesia Social Development Paper No. 4. Jakarta: Bank Dunia.
Cornwall A. and Gaventa, J., 2001. “Bridging the gap: citizenship, participation and accountability”, in Deliberative Democracy and Citizen Empowerment - PLA Notes 40: 32-35. International Institute for Environment and Development (IIED), London.
Dwipayana, AAGN. Ari & Sutoro Eko, eds., 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment.
Eko, Sutoro, ed., 2005a. Pemberdayaan Kaum Marginal. Yogyakarta: APMD Press dan Program Studi Pembangunan Masayarakat Desa, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”.
Eko, Sutoro, dan Abdur Rozaki, 2005. Prakarsa Desentrasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
59
Eko, Sutoro & Krisdiatmiko, eds., 2006. Kaya Proyek, Miskin Kebijakan. Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment dan TIFA Foundation.
Evers, Peter J., 1999. “Villages Governments and Their Communities”. Jakarta: Bappenas & World Bank.
Fauzi, Noer, 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress, KPA, dan Putaka Pelajar.
Friedman, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Oxford: Blackwell.
Gaventa, John, & C. Velderama, 1999, “Participation, Citizenship and Local Governannce – Backgropund Paper for Workshop: Strenghtening Participation in Local Governance”, mimeo, IDS, Brighton, 21 – 24 June 1999, www.ids.ac.uk/particip (5 March 2002).
Goetz, A.M. and John Gaventa, 2001).From Consultation to Influence: Bringing Citizen Voice and Client Focus into Service Delivery. Consultancy report for the Department for International Development (DFID). Institute of Development Studies (IDS), Brighton
Global Witness, 2000, The Logs of War, the Timber Trade and Armed Conflict. NP: Fato Institute for Applied Social Science.
Grootaert, Christiaan. 1999. “Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia”. Jakarta: Bappenas & World Bank.
IAP, 2001. Indonesia Most Livable Citi Index 2011, Jakarta.
Juliantara, Dadang., Pembaruan Desa Bertumpu pada yang Terbawah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Kana, Nico L., Pradjarta Ds., Kutut Suwondo, eds., 2001. Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Perubahan, Tantangan dan Harapan. Salatiga: Pustaka Percik & Ford Foundation.
Kana, Nico L., Pradjarta Ds., Kutut Suwondo, eds., 2002. Politik Pemberdayaan. Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Salatiga: Pustaka Percik & Ford Foundation.
Kartodidjo, Sartono, ed., 1992. Pesta Demokrasi di Pedesaan. Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa di Jawa Tengah dan DIY. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media.
Klinken, Gerry van., 2001. “Demokrasi di Desa”, dalam RENAI, Jurnal Politik Lokal dan Sosial – Humaniora, Tahun 1, No. 4, Edisi Musim Labuh, Oktober 2001. Salatiga: Yayasan Percik.
Koentjaraningrat, ed., 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Konsorsium Pembaruan Agraria, 2011. “Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat. Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2011. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Krisdiatmiko & AAGN. Ary Dwipayana, eds., 2006. Pembangunan yang Meminggirkan Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment dan TIFA Foundation.
Mahardika, timur, 2001. Strategi Tiga Kaki. Dari Pintu Otomomi Daerah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002. Buku IV, Jilid 2, Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Moenek, Rey Donnyzar. 2010. Paparan Pada Expert Meeting tentang Keuangan Daerah dan Aset Daerah di Surakarta. Badan Keuangan dan Administrasi Daerah-Kementrian Dalam Negeri Indonoesia.
Meyer, James & Stephen Bass, 1999. Real Prospects for Forest Governance and Livelihood. Policy That Works Series No. 7, London: IIED.
Nordholt, Nico Schulte, 1987. Ojo Dumeh. Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Poffenberger, Mark, 1997. “Rethinking Indonesia Policy: Beyond the Timber Barons”, Asian Survey, Vol. 37, No. 5, California: The Regent of the University of California.
Rozaki, Abdur., et.al., 2004. Memperkuta Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi. Naskah Akademik dan Legal Drafting. Yogyakarta: IRE Press & Ford Foundation.
Sahdan, Gregorius, 2005. Transformasi Ekonomi – Politik Desa. Yogyakarta: APMD Press dan Ford Foundation.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Simarmata, Ricardo, 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Yogyakarta: INSSTPress.
Slamet, Ina E., 1965. Pokok-Pokok Pembangunan Masjarakat Desa.Sebuah Pandangan Anthropologi Budaja. Djakarta: Bharata.
Soepomo, 1993. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Soetarto, Endriatmo, 2006. Elite versus Rakyat. Dialog Kritis dalam Keputusan Politik di
Desa. Yogyakata: Lappera Pustaka Utama. Suhartono, et.al., 2000. Parlemen Desa. Dinamika DPR Kelurahan dan DPRK Gotong Royong.
Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Suhirman dan Rianingsih Djohani. 2011. Studi Dampak P2SPP di 6 Kabupaten. LGCD WB – Jakarta (Paper tidak diterbitkan).
61
Sumarto, Hetifah Sj., 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suwondo, Kutut, 2003. Civil Society di Aris Lokal. Perkembangan Hubungan Antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa. Salatiga: Pusaka Percik.
Tjiptoherijanto, Prijanto & Yumiko M. Prijono, 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Uphoff, N . 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook,with Cases. Kumarian Press, West Hartford,
van Ufford, Philip Quarles, ed., 1988. Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program. Jakarta: Penebit Gramedia.
van Vollenhoven, Cornelis, 1987. Penemuan Hukum Adat. Jakarta: Djambatan.
Wetterberg, Anna, 2002. Social Capital, Local Capacity, and Goverment. Overview Report. Jakarta: Bappenas dan World Bank.
White, Ben, dan Gutomo Bayu Aji, 2000. “The Changging Caracter of Local Politics: Notes on Village in Yogyakarta from Independent to reformasi”. Makalah yang disajikan pada Seminar International “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan dan Harapan”. Diselenggarakan oleh Lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan (PERCIK), di Yogyakarta, 3 – 7 Juli 2000.
Wulan , Yuliana Cahya, et.al., 2004, An Analysis of Forestry Sector Conflict in Indonesia 1997 – 2003. Governance Brief, Forest and Governance Program, Bogor: Center for International Forestry Research.
Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
---------------------, 2004. Merebut Negara. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama dan KARSA.
--------------------, 2012. “Menggagas Arah Kebijakan/Regulasi tentang Desa yang Menyembuhkan Indonesia”. Makalah yang disampaikan pada Simposium Konsolidasi Jaringan Advokasi ‘RUU Desa’, diselenggarakan oleh Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD) dan Tifa Foundation, Yogyakarta, 10 – 11 Januari 2012.
Zakaria, R. Yando, et.al., 2001. Mensiasati Otonomi Daerah demi Pembaharuan Agraria. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Konsorsium Pembaruan Agraria.