KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP SIFAT KIMIAWI TEPUNG IKAN SELAMA PENYIMPANAN Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Oleh Denny Purnanila H0604010 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP SIFAT KIMIAWI TEPUNG
IKAN SELAMA PENYIMPANAN
Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh
Denny Purnanila
H0604010
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi sumber daya perikanan hasil laut di Indonesia, diperkirakan mencapai sekitar
6,5 juta ton setahun, termasuk di dalamnya potensi perairan teritorial sebesar 4,5 juta ton
(Murtidjo, 2001). Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan dilaut dan di perairan
umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen
Perikanan Tangkap, 2007).
Potensi sumberdaya hasil laut yang dimiliki oleh Indonesia dan produksi yang
dihasilkan menunjukkan bahwa perikanan memiliki potensi yang baik untuk berkontribusi di
dalam pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani, di samping kontribusinya
dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Produksi perikanan hasil tangkapan dari laut yang dicapai baru sekitar 30% dari
seluruh potensi yang telah dimanfaatkan bagi keperluan konsumsi dan ekspor. Dari produksi
perikanan tersebut, hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan dan yang lainnya
dibuang.
Bagian terbesar hasil tangkapan laut yang ada memang sudah dimanfaatkan sebagai
makanan manusia. Sementara, bagian lain yang digolongkan sebagai hasil ikutan atau limbah
perikanan yang terdiri atas tangkapan hasil sampingan, kelebihan hasil tangkapan pada
musim puncak, sampai sekarang belum termanfaatkan secara baik.
Hasil ikan yang tidak terpakai yang mempunyai ukuran kecil jika dibuang percuma,
sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi produk yg lebih bermanfaat atau mempunyai nilai
tambah sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis. Ikan yg tidak terpakai tadi dapat
dimanfaatkan sebagai hasil samping yaitu dibuat menjadi tepung ikan yg dapat digunakan
sebagai pakan unggas, campuran biskuit, dan lain-lain.
Tepung ikan merupakan produk antara yang dapat memperpanjang umur konsumsi
dengan tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis. Prosedur baku pembuatan tepung ikan
tradisional adalah pembersihan ikan rucah, penjemuran setengah kering, penggilingan,
penjemuran kering, penepungan. Perajin tepung ikan tradisional mempunyai banyak
kelemahan diantaranya adalah kadar lemaknya relatif tinggi, kadar air tinggi, tidak
terkontrolnya kadar protein, pengeringan dengan sinar matahari menghasilkan warna tepung
ikan yang lebih gelap. Hal ini berkaitan dengan waktu pengeringan yang lebih lama sehingga
suhu tidak terkontrol. Selain itu kualitas dari tepung ikan bervariasi karena bahan baku yang
berupa ikan rucah kurang terseleksi secara ketat, serta terdapat kontaminasi mikrobia.
Dengan melihat kenyataan di atas maka ingin dicari dan dilakukan perlakuan tertentu yang
dapat mengatasi kelemahan pada pembuatan tepung ikan pada umumnya, salah satu cara
adalah dengan melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut.
Dalam penelitian ini bertujuan untuk membantu perajin tepung ikan tradisional agar
mendapatkan kualitas tepung ikan yang berkualitas sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan memberikan kontribusi informasi standar mutu tepung ikan yang baik.
Selain itu juga produsen dapat meningkatkan kepercayaan kepada konsumen rnendapatkan
bahan pangan yang berkualitas sesuai persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) dimana
diketahui bahwa perajin tepung ikan tradisional mempunyai banyak kelemahan.
B. Perumusan Masalah
Perajin tradisional mempunyai prosedur pembuatan tepung ikan yaitu pembersihan
ikan rucah, penjemuran setengah kering, penggilingan, penjemuran kering, penepungan yang
kualitas tepung ikannya masih di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI).
Prosedur Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pembuatan tepung ikan tidak
dilakukan sepenuhnya oleh perajin tradisional. Karena perajin tepung ikan tradisional
membuat tepung ikan tanpa memperhatikan kualitas dari tepung ikan dan higienitas dari
tempat maupun alat-alat untuk membuat tepung ikan tersebut. Sehingga para konsumen
kurang berminat dengan produk tepung ikan dari perajin tradisional atau bisa dikatakan
hanya sesuai pesanan.
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk
mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan
nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena
oksidasi dapat dihambat oleh adanya antioksidan.
Dengan melakukan perlakuan pendahuluan yang meliputi pengukusan, pengukusan
dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, perebusan, perebusan dengan
penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, maka permasalahan dengan kualitas
tepung ikan di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI) diharapkan bisa lebih ditingkatkan.
Namun selama ini belum diketahui pengaruh perlakuan pendahuluan seperti
pengukusan, pengukusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%,
perebusan, perebusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%
terhadap sifat kimiawi tepung ikan sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Oleh karena itu
dalam penelitian ini akan dikaji apakah dengan berbagai perlakuan pendahuluan ini dapat
memperbaiki kualitas tepung ikan yang dibuat oleh perajin tepung ikan tradisional agar
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui nilai parameter kualitas (sifat kimiawi) dari perlakuan pandahuluan
yang dilakukan.
2. Untuk membandingkan nilai parameter kualitas tepung ikan hasil perlakuan pendahuluan
terhadap nilai parameter kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Untuk memberikan kontribusi kepada perajin tepung ikan tradisional agar dapat
memperbaiki kualitas tepung ikan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu
dengan memperbaiki aspek teknologi proses produksi.
2. Agar produsen dapat meningkatkan kepercayaan kepada konsumen yaitu rnendapatkan
bahan pangan yang berkualitas sesuai persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI).
3. Memanfaatkan hasil samping/limbah/ikan yang terbuang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Ikan Rucah
Tabel 2.1 Komposisi kimia dari beberapa jenis ikan rucah
Jenis Ikan Komposisi Kimia (%) Nama lokal Nama latin Protein Lemak Abu Air Blose Saurida sp. 16,00 0,55 1,30 79,50 Pafere (pethek) Leiognathus sp. 17,70 0,20 1,30 80,00 Tiga waja Pseudosciaena
spp. 17,82 1,73 0,01 79,27
Kerong-kerong Therapron therapen sp.
19,36 0,41 1,22 79,70
Kuniran Upeneus sp. 15,43 0,46 0,77 84,29 Kerisi Nemipterus sp. 14,80 0,47 0,70 84,00 Selangat Doerosema
chacunda 19,60 1,10 1,70 77,50
Selar kuning Caranx leptolepsis 19,02 2,28 0,88 78,85 Julung-julung Tylesorus sp. 18,02 1,45 0,10 79,98 Rejung Silago spp. 21,38 0,41 1,43 76,78 Mata besar Priacantus 18,10 0,81 1,35 79,68 Bulu ayam Thryssa 16,95 4,45 1,78 77,33 Kepala gepeng Platycephalus 20,75 0,14 1,78 77,33
Sumber: Jaringan Informasi Perikanan Indonesia, 1986 dalam Syarief, 1991.
Ikan rucah sebagai bahan baku produk tepung ikan, mudah sekali mengalami
kerusakan. Sehingga jika sampai membusuk, akan menjadi bahan baku yang tidak baik
digunakan dalam pembuatan produk tepung ikan (Syarief, 1991).
Bahan baku tepung ikan sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai
bahan utama. Ikan rucah termasuk bahan pangan yang kualitasnya cepat menurun
terutama pada iklim tropis termasuk Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan
penanganan yang memadai agar kualitasnya tetap baik yaitu untuk menghambat
penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan dengan penurunan suhu atau pembekuan
(Suwirya dkk dalam Litbang, 2002).
Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil dengan ukuran ± 10 cm yang ikut
tertangkap oleh nelayan, antara lain ikan pari, cucut, tembang, kuniran, rebon, selar, krisi
dan sejenisnya. Ikan rucah oleh nelayan biasa dijual dalam wadah keranjang tanpa
seleksi, serta dijual dengan harga murah. Selain itu, pemanfaatan ikan rucah kurang
maksimal, biasanya hanya untuk pakan ternak, ikan asin, atau pun hanya dibuang begitu
saja terutama pada saat panen raya. Seperti jenis-jenis ikan yang lain, kandungan gizi
ikan rucah cukup lengkap, sehingga dapat diolah menjadi bahan baku produk olahan ikan
(Koesoemawardani dan Nurainy, 2008).
Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam
budidaya laut maka ikan rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah
yang baru ditangkap secepat mungkin diberi es, dan tidak terlalu lama di dalam kapal.
Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah memperlambat proses penurunan mutu.
Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan disimpan dalam freezer.
Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat
penyimpanan yang memadai agar pemberian pakan tidak terputus
(Suwirya dkk dalam Litbang, 2002).
2. Tepung Ikan
Definisi tepung ikan menurut standar Nasional Indonesia (SNI 01-
2715-1995 tahun 1995) adalah produk yang diolah dari ikan segar yang mengalami
perlakuan sebagai berikut : pencucian, pengukusan atau perebusan, kemudian
pengepresan, pengeringan, dan penggilingan/ penepungan. Umumnya tepung ikan
dimanfaatkan untuk fortifikasi pakan ternak, unggas, ikan serta udang budidaya. Menurut
Sahwan (2001) tepung ikan merupakan bahan baku yang paling penting karena paling
baik sebagai sumber protein.
Cara pembuatan tepung ikan dapat dilakukan dengan cara basah dan kering. Cara
basah dilakukan untuk mengolah ikan-ikan yang berkadar lemak tinggi (lebih dari 5%).
Proses pembuatan tepung ikan tersebut yaitu pengukusan dan pengepresan. Hasil
pengepresan berupa ikan tanpa lemak kemudian dikeringkan dan digiling sehingga
dihasilkan tepung ikan. Air perasannya dipisahkan dari lemaknya, kemudian dilanjutkan
dengan proses pengeringan. Bagian lemaknya berupa minyak ikan. Keuntungan cara
pengolahan basah yaitu diperoleh hasil tambahan berupa “fish soluble” hasil pemisahan
lemak dan minyak ikan yang bermutu tinggi. Sedangkan kerugiannya adalah banyak zat
yang diperlukan terbuang pada proses pengolahan, randemen kecil dan cara
pengoperasian lebih sukar (Syarief, 1991).
Pengolahan tepung ikan dengan cara kering dilakukan untuk ikan yang kandungan
lemaknya rendah (kurang dari 5%). Urutan proses pembuatannya yaitu penggilingan
kasar, pengeringan, pengepresan, penggilingan halus dan pengeringan lanjutan (Syarief,
1991).
PT. Wiraniaga Kumala Mas merupakan salah satu industri pengolah tepung ikan
di jalur pantai Utara Jawa yang telah menggunakan ikan bergaram (ikan asin) sebagai
bahan baku utamanya. Tepung ikan yang dihasilkan oleh PT. Wiraniaga Kumala Mas
memiliki komposisi sebagai berikut: air 13,7%, abu 28,7%, lemak 7,7%, dan protein
47.5%. Dengan mengacu kepada standar mutu tepung ikan (Dewan Standarisasi
Nasional, 1992), maka dapat disimpulkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan oleh
indusri kecil tersebut termasuk kategoni mutu III. Konsekuensi dan rendahnya mutu
produk adalah harga jual yang rendah. yaitu Rp. 2400/kg. Sedangkan harga jual untuk
mutu II adalah Rp. 2850/kg dan Mutu I adalah Rp. 3700/kg (Astawan dkk, 2003).
Gambar 2.1 Diagram alir pembuatan tepung ikan yang diterapkembangkan di PT.
Wiraniaga Kumala Mas.
Bahan Baku Limbah Pembuatan Bakso** ** ****888
Desalting
Direbus 10 menit
Dipress*
Dikeringkan I*
Dikeringkan II*
Digiling
Diayak*
Press Cairan
Limbah
Ikan asin
Ikan Rucah segar
Gambar 2.1 Bagan Alir Proses Pembuatan Tepung Ikan
Keterangan :
*) Penekanan proses dilakukan pada: perebusan 10 menit, pengepresan dengan alat
pengepres, pengeringan dengan lantai jemur, pengayakan, dan pengemasan.
**) merupakan campuran tepung limbah bakso ikan atau tepung ikan asin hasil desalting
dengan tepung ikan rucah segar (perbandingan 4 : 1) (Astawan dkk, 2003).
Jenis tepung ikan yang dihasilkan oleh PT. Wiraniaga Kumala Mas termasuk
peralihan antara mutu III dan mutu II. Komposisi kimia tepung yang dihasilkan dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Analisis proksimat tepung ikan yang diproduksi oleh PT. Wiraniaga Kuala
Mas dibandingkan standar DSN 1992.
Komposisi Nilai (%) Standar Mutu III Standar Mutu II Protein (% bk) 53,7 Minimal 45% Minimal 55% Air 10,4 Maksimal 12% Maksimal 12% Abu 31,4 Maksimal 30% Maksimal 25% Lemak 8,2 Maksimal 12% Maksimal 10% Serat kasar 2,4 Maksimal 3% Maksimal 2,5% Garam (NaCl) 0,9 Maksimal 4% Maksimal 3%
Sumber: Astawan dkk, 2003
Adapun untuk dapat menghasilkan tepung ikan berkualitas baik, sebaiknya
digunakan bahan baku yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bahan baku berupa ikan rucah yang memiliki ukuran kecil dengan kandungan lemak
yang relatif rendah.
b. Kesegaran bahan baku ikan rucah yang digunakan harus baik.
c. Proses pengolahan harus dilakukan dengan cepat dan bersih.
d. Pengemasan dan penyimpanan produk tepung ikan harus baik.
(Murtidjo, 2001).
Tepung ikan sebagai bahan baku pakan ternak merupakan salah satu hasil
pengolahan produk perikanan dalam bentuk kering. Walaupun kadar air tepung ikan yang
dianggap aman dari penyebab kerusakan adalah 5-6%, akan tetapi tingkat
kesetimbangannya dengan keadaan lingkungan suhu dan kelembaban relatif (T dan RH)
berkisar antara 10-12%. Oleh karena itu standar mutu tepung ikan di Indonesia
menentukan kadar air maksimal tepung ikan adalah 10-12% (Syarief, 1991).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) menunjukkan pertumbuhan ikan lebih
cepat jika pada pakannya ditambahkan tepung ikan 10-40% dan pada ternak mampu
memperbaiki pertumbuhan dan produktivitasnya (Brody, 1965). Menurut Stanby dan
Dassow (1963), tepung ikan memiliki kandungan konsentrat yang tinggi, bergizi karena
mengandung protein, vitamin B kompleks, mineral dan juga mengandung zat-zat tertentu
yang mengarah ke pertumbuhan hewan dimana zat-zat tersebut dikenal sebagai unknown
growth factors. Brody (1965) dan Rasyaf (1989), menambahkan bahwa protein dalam
tepung ikan kaya akan asam amino esensial yaitu lisin dan metionin dimana tepung dari
biji-bijian defisiensi akan dua asam amino tersebut. Selain itu kandungan mineral tepung
akan cukup tinggi antara 12-13%, pembuatannya relatif mudah, dan biayanya tidak
mahal. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasyaf (1989), tepung ikan merupakan sumber
kalsium dan fospor yang baik dalam pembuatan ransum pakan unggas. Standar mutu
tepung ikan yang dikeluarkan DSN dalam SNI 01-2715-1995 tahun 1995 seperti dalam
tabel 2.3.
Tabel 2.3. Standar mutu tepung ikan
Karakteristik Persyaratan Mutu Mutu I Mutu II
a. Organoleptik * Nilai minimum * Kapang b. Mikrobiologi * Staphylococcus aureus
7
Negatif
5 x 103
5
Negatif
5 x 103
* Echericia coli, MPN/gr maks * Salmonella c. Kimia * Air, % bobot/bobot, maks * Abu tak larut dalam asam,% b/b maks * Protein, % bobot/bobot, maks * Lemak, % bobot/bobot, maks
3 Negatif
10 2 60 10
Negatif Negatif
12 4
45 15
Sumber : SNI, 1995
Persyaratan dan standar tepung ikan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penilaian secara fisik
Penilaian secara fisik meliputi parameter-parameter sebagai berikut:
a. Warna : Kuning kecoklatan atau sedikit kemerahan, tergantung jenis ikan yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan.
b. Bau : Produk disertai sedikit bau minyak.
c. Bentuk : Hasil penggilingan tepung ikan 100% harus dapat lolos saringan nomor
9 dan 98% dapat lolos saringan nomor 10.
d. Sifat : Produk tepung ikan bebas dari ketengikan serta tidak hangus, warna
dan tingkat kehalusannya homogen.
2. Komposisi Kimiawi
Komposisi kimiawi meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Kadar air rerata 6,5%, dengan spesifikasi maksimal 10,0%.
b. Kadar protein kasar rerata 60,5%, dengan spesifikasi minimal 60,0%
c. Kadar lemak rerata 6,0%, dengan spesifikasi maksimal 10,0% atau minimal 5,0%.
d. Kadar serat kasar rerata 1,0%, dengan spesifikasi maksimal 1,0%.
e. Kadar abu rerata 21,0%, dengan spesifikasi maksimal 20%.
f. Kadar kalsium rerata 6,0%.
g. Kadar phospor rerata 3,0%.
h. Tulang dengan spesifikasi maksimal 15%
i. Protein tercerna dengan spesifikasi maksimal 90%.
3. Pertimbangan kualitas lainnya
Adapun beberapa hal lain yang digunakan untuk mempertimbangkan kualitas
tepung ikan adalah sebagai berikut :
a. Produk tepung ikan tidak diproses dengan suhu yang terlalu tinggi hingga hangus.
b. Produk tepung ikan diawetkan dengan antioksidan, sehingga tidak mudah menjadi
tengik.
c. Produk tepung ikan memiliki kandungan tulang dan sisik maksimal 15,0%.
d. Produk tepung ikan tidak dipalsu dengan bahan baku lain.
e. Produk tepung ikan mengandung pasir maksimal 1,0%.
f. Produk tepung ikan mengandung bahan NPN (Non Protein Nitrogen) maksimal
0,32%.
g. Produk tepung ikan mengandung abu yang tidak larut pada asam maksimal 2,5%
(Murtidjo, 2001).
Tepung ikan mutu pangan dapat ditambahkan pada produk ekstrusi, roti, biskuit
dan kue kering. Pada pembuatan produk ekstrusi tepung ikan dicampur dengan jagung,
beras dan kacang hijau (Fawzya et al., 1997; Murdinah et al., 1998). Tepung ikan, tepung
kerang dan tepung udang dapat ditambahkan pada pembuatan permen jeli sebanyak 7,6%
(Irianto et al., 2003).
Tepung ikan hendaknya mempunyai ukuran partikel yang seragam bebas dari
serpihan tulang, mata ikan dan partikel-partikel kasar lainnya yang tertahan oleh saringan
80 mesh. Fraksi lolos 50 mesh masih dianggap terlalu besar untuk tepung ikan yang
bermutu baik.
Metode pengolahan melalui tahap pengepresan akan menghasilkan warna tepung
ikan yang lebih baik dan kadar lemak yang lebih rendah, sehingga mempunyai daya awet
yang lebih panjang dibandingkan tanpa pengepresan (Shaleh, 1990). Ilza dkk (2000)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengolahan tepung ikan dengan cara
pengukusan terbukti menghasilkan kualitas tepung ikan yang lebih baik dibandingkan
dengan cara perebusan ditinjau dari kadar protein dan organoleptik hingga penyimpanan
60 hari.
Proses pembuatan dan peralatan yang digunakan akan menentukan mutu tepung
yang dihasilkan, demikian pula jenis atau spesies ikan yang digunakan untuk tepung.
Menurut Sofyan Ilyas dkk (1985) dalam Syarief, 1991, berdasarkan sumbernya, ikan
yang diolah menjadi tepung ikan dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu ikan yang memang
khusus ditangkap untuk dijadikan tepung ikan, hasil tangkapan sampingan (ikan rucah)
dan dari limbah industri pengalengan pembekuan dan lain-lain.
Kondisi ikan bukan merupakan faktor penentu nilai nutrisi tepung ikan melainkan
hanya berpengaruh pada yieldnya (Brody, 1965). Hal ini telah dibuktikan Shaleh (1990)
dalam penelitiannya, bahwa tepung ikan yang diolah dari ikan lemuru segar mempunyai
kandungan asam amino threonin, glisin, asam glutamat, valin, metionin, lisin dan arginin
yang lebih tinggi daripada yang diolah dari ikan yang kurang segar, sedangkan
kandungan asam-asam amino lainnya relatif sama.
Pemanfaatan tepung ikan untuk fortifikasi dalam produk pangan manusia tentu
akan meningkatkan nilai gizi dari produk tersebut. Purnomosari (2001) dalam
penelitiannya melakukan fortifikasi tepung mujair pada pembuatan kerupuk. Fortifikasi
tepung mujair ini mampu meningkatkan kadar protein kerupuk dimana semakin banyak
tepung ikan yang ditambahkan, semakin tinggi kandungan proteinnya. Namun fortifikasi
ini mengakibatkan penurunan presentasi pengembangan volumetrik kerupuk sehingga
tingkat kesukaan konsumen semakin menurun dengan semakin banyaknya tepung mujair
yang ditambahkan. Tingkat penambahan tepung mujair sebesar 5% menghasilkan
kerupuk yang paling disukai dibandingkan penambahan tepung mujair sebesar 10%,
15%, dan 20%.
3. Minyak
Lemak dan minyak atau secara kimiawi adalah trigliserida merupakan bagian
terbesar dari kelompok lipida. Secara umum, lemak diartikan sebagai trigliserida yang
dalam kondisi suhu ruang berada dalam keadaan padat. Sedangkan minyak adalah
trigliserida yang dalam suhu ruang berbentuk cair. Dalam bidang gizi, lemak dan minyak
merupakan sumber biokalori yang cukup tinggi nilai kilokalorinya yaitu sekitar 9
kilokalori setiap gramnya. Juga merupakan sumber asam-asam lemak tak jenuh yang
esensial yaitu linoleat dan linolenat. Disamping itu lemak dan minyak juga merupakan
sumber alamiah vitamin-vitamin yang terlarut dalam minyak yaitu vitamin A, D, E, dan
K. Dalam teknologi makanan lemak dan minyak memegang peran yang penting. Karena
minyak dan lemak memiliki titik didih yang tinggi (sekitar 200oC) maka biasa
dipergunakan untuk menggoreng makanan sehingga bahan yang digoreng akan
kehilangan sebagian besar air yang dikandungnya dan menjadi kering. Minyak dan lemak
juga memberikan rasa gurih dan memberi aroma yang spesifik (Sudarmadji, 2003).
Kerusakan lemak minyak pada umumnya disebabkan oleh :
a. absorpsi bau oleh minyak
b. aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak.
c. oksidasi oleh oksigen atau kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan diatas.
Umumnya kerusakan lemak dan minyak yang utama adalah timbulnya bau dan
rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh
adanya prooksidan dan antioksidan, prooksidan akan menghambatnya. Hal ini
disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak dan minyak.
Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah kerusakan diatas adalah dengan
penambahan antioksidan. Antioksidan adalah suatu senyawa kimia yang dalam kadar
tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan lemak dan minyak akibat
proses oksidasi. Berdasarkan fungsinya antioksidan dapat digolongkan menjadi
antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah senyawa yang
dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-
zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan (sintetis).
Antioksidan alam antara lain : tokoferol, lesitin, sesamol, fosfasida, dan asam askrobat,
Antioksidan buatan adalah senyawa-senyawa fenol, misalnya : butylated hidroxytoluene
(BHT). Antioksidan sekunder adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerja
prooksidan yaitu faktor-faktor yang mempercepat terjadinya reaksi oksidasi terutama
logam-logam seperti: Fe, Cu, Pb, Mn (Anonima, 2006).
Kerusakan lemak/minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan
hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Kerusakan minyak yang mungkin
terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap
cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak,
aldehid dan keton. Bau tengik atau ransid terutama disebabkan oleh aldehid dan keton.
Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida
atau angka asam thiobarbiturat (TBA). Faktor penentu minyak atau lemak antara lain
adalah angka asam, angka asam lemak bebas, angka peroksida, dan angka TBA. Angka
asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar berasal dari hidrolisa
minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik (Sudarmadji, 2003).
Angka asam merupakan asam lemak bebas yang berasal dari hidrolisa minyak
ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka
makin rendah kualitasnya ( Anonimb, 2007).
Angka asam lemak bebas pada minyak atau lemak hasil ekstraksi dapat
ditentukan dengan cara titrasi. Angka asam lemak bebas dinyatakan dalam % asam lemak
yang dianggap dominan pada sampel produk yang dianalisis. Adanya asam lemak bebas
cenderung menunjukkan terjadinya ketengikan hidrolitik, namun masih dimungkinkan
oksidasi lemak menghasilkan asam-asam organik lainnya (Rahardjo, 2004).
Metode angka peroksida mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang
terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Pengukuran dilakukan dengan titrasi
menggunakan larutan iod dan dinyatakan sebagai miliequivalen (meq) peroksida per kg
minyak. Pada angka peroksida tinggi jelas mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan
laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya
menjadi senyawa lain. Oleh karena itu pengukuran angka peroksida harus dilakukan
beberapa kali dalam interval waktu tertentu (Gray and Monahan dalam Rahardjo,
1992).
Angka TBA menunjukkan oksidasi lemak pada fase lanjut (terminasi)
menghasilkan senyawa-senyawa aldehid seperti 2-enal dan 2-dienal. Senyawa aldehid ini
bisa bereaksi dengan asam 2-thiobarbiturat (TBA) sehingga bisa dilakukan pengukuran.
Hasil reaksinya akan membentuk warna merah yang bisa diukur menggunakan
spektrofotometer. Meskipun semula metode ini dimaksudkan untuk mengukur kadar
malonaldehid, namun uji TBA ini juga bisa bereaksi dengan aldehid lain termasuk
bereaksi dengan senyawa fenol pada produk yang diasapi. Penerjemahan nilai TBA mirip
seperti angka peroksida. Pada nilai TBA yang rendah bukan selalu berarti lemak belum
mengalami oksidasi, bisa jadi karena aldehid yang terakumulasi sudah bereaksi dengan
senyawa lain atau menguap selama penyimpanan (Gray, 1987 dalam Rahardjo,
1992).
Lemak dan minyak dapat mengalami kerusakan yang dapat menurunkan nilai gizi
serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau pada lemak yang bersangkutan.
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses
ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam
lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan
oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak
atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin
seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno,
2000).
Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh
mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan
oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Menurut teori
yang sampai kini masih dianut orang, sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom
karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat
disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas (Winarno,
2000).
Kemudian radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat
membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi
senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas,
katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah
asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan
bau tengik pada lemak. (Winarno, 2000).
Kemungkinan kerusakan lemak dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu : (1) absorbsi
bau oleh lemak, (2) aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, (3) aksi
mikrobia dan oksidasi oleh oksigen udara atau (4) kombinasi dari dua atau lebih
penyebab kerusakan tersebut. Bentuk kerusakan, terutama ketengikan yang paling
penting disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Dekomposisi lemak oleh
mikroba hanya dapat terjadi jika terdapat air, senyawa nitrogen dan garam mineral,
sedangkan oksida oleh O2 udara terjadi secara spontan jika bahan yang mengandung
lemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya
tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Dalam bahan pangan, konstituen
yang mudah mengalami oksidasi spontan adalah asam lemak tidak jenuh dan sejumlah
kecil persenyawaan (Ketaren, 1986).
Ada dua tipe kerusakan lemak dan minyak yang utama, yaitu :
a. Ketengikan
Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap
terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh.
Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tak diinginkan dalam
lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu.
b. Hidrolisis
Hidrolisis minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang
dapat mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan
oleh adanya air dalam lemak atau minyak karena kegiatan enzim (Buckle, 1985).
Menurut Ketaren (1986) proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya
jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil
pun mudah mengalami proses oksidasi. Fosfolipid dalam jumlah kecil pun dapat
teroksidasi, sebagai contoh ialah kadar fosfolipid dalam susu sekitar 0,03% dapat
mempercepat kerusakan susu, daging dan ikan karena proses oksidasi. Pengaruh oksidasi
terhadap lemak dapat dilihat pada gambar 2.2
Gambar 2.2. Pengaruh proses oksidasi terhadap komponen dalam lemak
Lemak tak jenuh + O2
Lipo peroksida, aldehida, asam keton hidroksi, epoksi, polimer
Oksidasi berantai
menyebabkan menyebabkan
Off odour, destruksi asam lemak esensial, browning dengan protein,
kemungkinan menimbulkan keracunan
Destruksi konstituen aroma, flavor dan vitamin
Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga
dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging
sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata 17,2%, sedang jika dimasak dengan suhu
600C, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2 - 13,2% (Muchtadi dkk, 1992).
4. Antioksidan
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai satu
elektron/lebih yang tidak berpasangan biasanya pada rumus bangunnya ditulis dengan
titik tebal dibelakang atom atau molekul ( R• ). Radikal bebas di dalam tubuh sangat
berbahaya sebab untuk memperoleh pasangan elektron, ia amat reaktif dan merusak
jaringan (Afriansyah, 1996).
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau
sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal
seperti asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan
lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering
dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan jantung dan kanker (Wikipedia,
2008).
Berbagai definisi telah diberikan untuk menggambarkan “antioksidan”. Secara
umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat
dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat
menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid
(Kochhar dan Rossell, 1990 cit Ardiansyah, 2007).
Menurut Cuppert (1997) Disitir Widjaya (2003) antioksidan dinyatakan sebagai
senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang
lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.
Antioksidan adalah senyawa yang melindungi senyawa atau jaringan dari efek
destruktif jaringan oksigen (Swarth, 2004). Sedangkan menurut Kumalaningsih (2006)
antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan
elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal
bebas.
Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat
oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak
reaktif yang relatif stabil. Akan tetapi jika dikaitkan dengan radikal bebas yang dapat
menyebabkan penyakit, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang
melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif (Sofia, 2008). Oksidasi
adalah suatu proses normal di dalam tubuh sehingga panas dan energi bebas dilepaskan
untuk mempertahankan temperatur tubuh, membentuk dan memperbaiki sel-sel jaringan,
menguraikan dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, serta untuk proses
metabolisme yang lain. Akan tetapi, pada kondisi tertentu yang tidak normal misalnya
infeksi, inflamasi, paparan biota asing yang berlebihan (xenobiotics), pemutusan ikatan
oleh cahaya dapat menyebabkan oksidasi yang bersifat destruktif. Oksidasi yang bersifat
destruktif dapat menyebabkan kerusakan sel-sel dan jaringan. Bahkan, melalui proses
oksidasi yang normal pun kerusakan sel-sel juga dapat terjadi (Silalahi, 2006).
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi didalam
bahan. Antioksidan terutama penting dalam melindungi lemak, bahan pangan yang dapat
dibuat dengan lemak sabun, produk karet, produk petroleum, pelumas, plastik, kosmetika,
dan beberapa obat-obatan. Meskipun kerusakan mikrobiologis merupakan faktor utama
yang perlu diperhatikan dalam pengawetan bagian karbohidrat dan protein suatu produk
pangan, namun oksidasi adalah faktor utama yang mempengaruhi kualitas lemak,
minyak, dan bagian lemak dari pangan. Lemak dan minyak mudah mengalami oksidasi
yang mengakibatkan kerusakan karena timbulnya bau dan cita rasa menyimpang.
Antioksidan efektif dalam mengurangi ketengikan oksidatif dan polimerisasi tetapi tidak
mempengaruhi hidrolisis atau reverse. Penggunaan antioksidan disini tergantung pada
macam lemak yang distabilkan. Sebagai contoh beberapa tipe kacang seperti kacang
kenari, kacang tanah, dan lain-lainnya perlu distabilkan dahulu sebelum ditambahkan
pada permen. Mentega yang digunakan dalam permen biasanya distabilkan dengan
kombinasi Butylated Hydroxyanisole (BHA) dan Butylated Hydroxytoluene (BHT)
(Cahyadi, 2006).
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk
mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan,
perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk
pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh adanya antioksidan.
Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan
antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan alami di dalam
makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua
komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama
proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan
ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt, 1992; Ardiansyah,
2007). Berbagai sumber nutrisi yang mengandung antioksidan diantaranya adalah semua
biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, hati, tiram, unggas, kerang, ikan,
susu, dan daging (Destiutami, 2007).
Dewasa ini telah dikenal kurang lebih sebanyak 500 macam persenyawaan kimia
yang mempunyai aktivitas anti-oksidan, yaitu dapat menghambat atau mencegah
kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pada umumnya
antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzene tidak
jenuh disertai gugusan hidroksil atau gugusan amino. Mekanisme antioksidan dalam
menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak
yang teroksidasi dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi, yaitu: 1) pelepasan
hidrogen dari antioksidan, 2) pelepasan elektron dari anti-oksidan, 3) adisi lemak ke
dalam cincin aromatik pada antioksidan dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara
lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap
proses oksidasi. Dalam industri pangan, oksidasi lemak biasanya disertai dengan off
flavor yang disebabkan oleh persenyawaan aldehid dan keton. Persenyawaan aldehid dan
keton ini merupakan hasil pemecahan dari rantai asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 1986).
Secara umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi flavor, odor, warna pada
produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah, (d) tahan terhadap proses pengolahan produk
(berkemampuan antioksidan yang baik), (e) tersedia dengan harga yang murah. Ciri
keempat merupakan hal yang sangat penting karena sebagian proses pengolahan
menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan merusak lipida dan stabilitas antioksidan
yang ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan. Kemampuan bertahan antioksidan
terhadap proses pengolahan sangat diperlukan untuk dapat melindungi produk akhir.
Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai
sifat-sifat tidak toksik, efektif pada konsentrasi yang rendah (0,01–0,02%), dan dapat
terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat lipofilik). Selain itu, antioksidan
harus dapat tahan pada kondisi pengolahan pangan pada umumnya. Antioksidan yang
sering ditambahkan ke dalam makanan dapat bersifat alami, seperti tokoferol dan beta-
karoten atau merupakan antioksidan sintetis seperti butylated hydorxyanisole (BHA),
butylated hydroytoluene (BHT), PG (propil galat), dan TBHQ (di-t-butyl
hydroquinone (Siagian, 2002).
Pada umumnya antioksidan alami yang banyak dalam lemak dan minyak nabati
tidak cukup untuk menghambat proses ketengikan atau kerusakan pada lemak dan
minyak. Untuk menghambat kerusakan pada lemak dan minyak perlu ditambahkan
antioksidan sintetis untuk bahan pangan lain dengan mengacu peraturan pangan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan antioksidan sintetis pada bahan
pangan adalah :
a. Efektif pada konsentrasi rendah (0,001-0,01%).
b. Tidak memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap bau, warna, rasa, dan
karakteristik lain pada makanan.
c. Mempunyai kesesuaian dengan makanan dan mudah untuk digunakan.
d. Mempunyai kestabilan pada pengelolaan lebih lanjut dan pada penyimpangan
makanan (Sebayang, 2008).
Minyak hidrokarbon seperti parafin dan minyak mineral juga mempunyai ikatan
tak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Untuk bahan ini, BHT merupakan
antioksidan yang paling efektif dan biasanya digunakan konsentrasi 0,0025%.
Antioksidan dalam bentuk padat biasanya mudah larut dalam paraffin panas atau minyak
mineral panas (Tranggono dkk, 1990).
Sebagaimana suatu zat pada umumnya, antioksidan juga memiliki keterbatasan-
keterbatasan. Keterbatasan tersebut meliputi (a) antioksidan tidak dapat memperbaiki
flavor lipida yang berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak dapat memperbaiki lipida
yang sudah tengik, (c) antioksidan tidak dapat mencegah kerusakan hidrolisis, maupun
kerusakan mikroba (Coppen, 1983).
5. Butylated Hydroxytoluene
Butylated Hidroxytoluene (BHT) telah dipate
ijin untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan bahan pengawet oleh Badan
Administrasi Makanan dan Obat United State pada tahun 1954 (Department of Health
and Human Services, 2005).
Gambar 2.3 Kristal putih
Sumber: Jack Reed, Department of Entomology, Mississippi State University.
Gambar 2.4. Struktur Kimia
Butylated Hydroxytoluene
diformulasikan secara khusus digunakan dalam plastik, elastomers, produk minyak
tanah, makanan, dan pakan.
yang sudah tengik, (c) antioksidan tidak dapat mencegah kerusakan hidrolisis, maupun
Coppen, 1983).
Butylated Hydroxytoluene (BHT)
Butylated Hidroxytoluene (BHT) telah dipatenkan pada tahun 1947 dan mendapat
ijin untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan bahan pengawet oleh Badan
Administrasi Makanan dan Obat United State pada tahun 1954 (Department of Health
and Human Services, 2005).
putih Butylated Hydroxytoluene (BHT).
Sumber: Jack Reed, Department of Entomology, Mississippi State University.
Gambar 2.4. Struktur Kimia Butylated Hydroxytoluene (BHT).
(statcounter.com).
Hydroxytoluene (BHT) banyak digunakan sebagai indu
diformulasikan secara khusus digunakan dalam plastik, elastomers, produk minyak
tanah, makanan, dan pakan.
yang sudah tengik, (c) antioksidan tidak dapat mencegah kerusakan hidrolisis, maupun
nkan pada tahun 1947 dan mendapat
ijin untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan bahan pengawet oleh Badan
Administrasi Makanan dan Obat United State pada tahun 1954 (Department of Health
Sumber: Jack Reed, Department of Entomology, Mississippi State University.
BHT).
BHT) banyak digunakan sebagai industri yang
diformulasikan secara khusus digunakan dalam plastik, elastomers, produk minyak
BHT terdiri dari 3 macam :
1. Kristal BHT : terdiri dari kristal bentuk acak
2. Bedak BHT : khusus dirancang dalam bentuk serbuk
3. Cairan BHT : cairan volume besar yang dapat mencair karena suhu dengan suhu
100 oC.
Kelebihan BHT diantaranya :
a. Mengawetkan bahan organik dengan mengurangi efek dari waktu, panas, cahaya.
b. Mencegah pembentukan minyak menjadi tengik.
(Manura, 1995).
Tabel 2.4 Komposisi Butylated Hydroxytoluene (BHT).
Kimia
Nama Kimia 2,6Di-tert-butyl-para cresol (2,6 DBPC) BHT Sinonim 2,6-diterbutyl-3-metyl phenol CAS No. 128-37-0 Kemurnian WT % 99,0 menit Warna yang mencair 50,0 APHA maks Campuran abu % WT 0,01 maks Kelembaban % WT 0,1 maks Residu pada pengapian 0,002% maks Arsenik 3 ppm max
Fisik
Tampilan Kristal putih solid Formula WT 220,35 Berat jenis 20/4C:1,01
Titik beku 69 oC Titik didih 265 oC (760 mm) 190 oC (100 mm) Titik tercepat 245 oC dari ASTM D93-73 Gelas tertutup 118,3 oC Index Refractive 1,49
(Manura, 1995).
Menurut Sherwin (1990), antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA,
akan memberi efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat
putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propil galat mempunyai
karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148 0C, dapat
membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya
rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak
larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck,
1991).
6. Pengeringan
Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang
memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari
permukaan bahan, yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas.
Tujuan pengeringan adalah
mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan
kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Dengan
demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lebih lama
(Nani, 2007).
Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan
kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini,
kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban nisbi yang
rendah sehingga terjadi penguapan (Adawyah, 2007).
Kemampuan udara membawa uap air bertambah besar jika perbedaan antara
kelembaban nisbi udara pengering dengan udara sekitar bahan semakin besar. Salah satu
faktor yang memepercepat proses pengeringan adalah kecepatan angin atau udara yang
mengalir. Udara yang tidak mengalir menyebabkan kandungan uap air di sekitar bahan
yang dikeringkan semakin jenuh sehingga pengeringan semakin lambat (Adawyah,
2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 golongan, yaitu: faktor yang
berhubungan dengan udara pengering. Yang termasuk dalam golongan ini adalah suhu,
kecepatan volumetrik, aliran udara pengering, dan kelembaban udara. Faktor yang
berhubungan dengan sifat bahan. Yang temasuk dalam golongan ini adalah ukuran bahan,
kadar air awal, dan tekanan parsial dalam bahan (Nani, 2007).
Pengering ini mirip lemari yang merupakan sebuah ruangan yang dibatasi oleh
sekat-sekat dimana bahan yang dikeringkan diletakkan dalam nampan/ baki. Udara dari
sumber panas dibantu dengan kipas angin yang diletakkan dalam lori yang dihembuskan
pada bahan yang dikeringkan. Biasanya digunakan di laboratorium untuk mengeringkan
sayuran, buah-buahan, dan bahan makanan yang lain (Kusmawati dkk, 2000).
Cabinet dryer ini dindingnya tebal sehingga panas yang ada dalam ruangan tidak
keluar melainkan lewat cerobong sehingga hemat pemanasan dan bahan cepat kering.
Digunakan untuk berbagai pengeringan bahan seperti tepung-tepungan, daun-daunan,
empon-empon,ubi dll (Arifin, 2007).
Cabinet dryer ini mempunyai banyak keuntungan yaitu dapat dilakukan secara
terus menerus, pemakaian tidak tergantung dengan cuaca, bebas sama sekali dari lalat,
waktu pengeringan relatif pendek, kapasitas alat pengering besar, mutu ikan asin yang
dihasilkan lebih baik (Adawyah, 2007).
7. Penyimpanan
Penyimpanan tepung ikan dalam karung plastik atau kemasan yang dilapisi
polietilen kedap uap air telah banyak dilakukan. Masalah yang timbul umumnya berupa
penggumpalan bagian-bagian tertentu akibat peningkatan kadar air. Penyimpanan tepung
ikan pada kadar air di atas 12% dapat menimbulkan serangan jasad renik. Kadar lemak
tepung ikan berkisar 10-12%. Kadar lemak yang terlalu tinggi akan menyebabkan
ketengikan (Syarief, 1991).
Umur simpan adalah periode waktu dimana wadah serta bahan makanan yang
berada di dalamnya dalam kondisi dapat diterima konsumen atau layak dijual di bawah
kondisi penyimpanan tertentu. Produk hasil pertanian baik berbentuk segar atau olahan
sangat mudah mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan bahan organik yang terkandung
didalamnya yang terus mengalami perubahan selama penyimpanan. Untuk menjaga
kondisi ini, perlu upaya pengawetan dan pengemasan untuk memperpanjang umur
simpan. Bahan pengemas yang dipilih tergantung proteksi yang diinginkan bagi produk.
Bahan yang sering digunakan adalah plastik film. Untuk produk kering segi proteksi yang
diharapkan terutama adalah sifat penetrasi kemasan terhadap uap air. Sifat permeabilitas
bahan pengemas terhadap uap air sangat berperan terhadap kualitas produk yang dikemas
(Downes dan Harte, 1982).
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan
1. Jenis & karakteristik produk pangan
a. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk
segar.
b. Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedang produk
yang mengandung protein & gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna
coklat).
2. Jenis & karakteristik bahan kemasan
Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan (uap air,
cahaya, aroma, oksigen).
3. Kondisi lingkungan
a. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi
warna.
b. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.
(Labuza dan Schmild, 1984).
Selama penyimpanan dapat terjadi penyimpangan warna, yaitu tepung ikan yang
semula putih kekuningan (dari ikan rucah) atau abu-abu dari limbah pengolahan ikan
berubah menjadi coklat yang disertai bau tengik (Syarief, 1991).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kemunduran mutu. Suhu
rendah mampu untuk menghambat reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan
mikroba (Winarno, 1973) sehingga masa simpan dapat diperpanjang dengan kualitas
yang relatif baik. Dalam Djundjung (1988), bahwa kemampuan memperpanjang umur
simpan dalam suhu dingin sangat tergantung pada jenis produk atau bahan pangan.
Produk perikanan selama penyimpanan dipengaruhi oleh proses kimiawi antara
lain oksidasi atau pencoklatan, perubahan sifat hidrofilik protein, aktivitas enzim dan
bakteri. Proses-proses ini dapat memperbaiki rasa atau merusak produk tergantung arah
reaksinya. Kecepatan perkembangan sifat alamiah proses-proses ini tergantung pada
kondisi kemasan dan penyimpanan. Perubahan yang terjadi pada produk perikanan
selama penyimpanan terdiri dari:
1. Perubahan kimiawi
Produk perikanan yang disimpan pasti akan mengalami perubahan kimiawi dan
penyebabnya antara lain karena aktivitas enzim, mikrobia maupun kondisi
penyimpanannya. Perubahan kimiawi yang terjadi seperti degradasi protein, oksidasi
lemak dan perubahan kadar air atau aw bahan.
2. Perubahan mikrobiawi
Proses pembusukan pada produk perikanan selama penyimpanan juga dapat
disebabkan oleh adanya mikrobia perusak. Mikrobia ini setiap saat akan terus
meningkat jumlahnya, karena mengandung sejumlah protein yang merupakan
makanan bagi mikrobia tersebut. Menurut Eskin dkk (1971) pertumbuhan mikrobia
selama penyimpanan disebabkan karena tersedianya komponen-komponen organik
yang ada pada daging ikan terutama protein. Selanjutnya, Chen dkk dalam Sonisa
(1998) menyatakan bahwa ada hubungan antara kandungan protein dengan
pertumbuhan bakteri proteolitik yang dapat merombak protein menjadi senyawa
sangat sederhana. Bakteri tersebut antara lain Bacillus subtilis, Escherichia coli,
Proteus vulganis, dan Clostridium sporangenus.
3. Perubahan fisik dan organoleptik
Bahan pangan yang disimpan akan mengalami penurunan kualitas yang disebabkan
oleh kondisi penyimpanannya. Penurunan kualitas produk ikan antara lain ditandai
dengan adanya aroma dan rasa yang tidak enak. Produk tersebut sudah mengalami
proses pembusukan sehingga tidak diterima oleh konsumen. Proses pembusukan yang
diawali dengan perubahan tekstur ini dapat disebabkan karena adanya aktivitas enzim
dan mikroba yang ada dalam produk ikan tersebut. Akibat penyimpanan pada produk
perikanan telah diketahui akan menurunkan nilai organoleptiknya. Hal ini disebabkan
karena terjadinya dekomposisi asam lemak, protein, atau kedua-duanya yang
menghasikan senyawa volatil yang berbau tidak enak. Penyebab bau yang tidak enak
pada produk hasil perikanan selain disebabkan oleh karena degradasi protein, juga
adanya kerusakan lemak karena proses oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
8. Pengemasan
Pengemasan merupakan tahap yang harus dilakukan dalam rangkaian proses
pengolahan. Secara umum pengemasan bertujuan untuk melindungi produk dari
kerusakan karena pengaruh lingkungan selama penyimpanan, distribusi dan pemasaran.
Dewasa ini terdapat berbagai macam bahan pengemas untuk berbagai penggunaan yaitu
logam kayu, logam yang bersifat fleksibel, plastik, kertas karton, kayu laminasi, serta
kombinasi dari berbagai bahan untuk memperoleh sifat yang tidak mungkin dipenuhi
oleh satu jenis bahan pengemas. Cara pengemasan juga bermacam-macam disesuaikan
dengan tujuan tertentu tergantung pada jenis bahan yang akan dikemas (Basworo, 1998).
Pada umumnya tujuan pengemasan adalah memelihara aseptabilitas bahan pangan
misalnya warna, tekstur dan citarasa serta memelihara nilai gizi selama transportasi dan
distribusi (Ketaren, 1986).
Peranan utama pengemasan dalam pengawetan bahan makanan adalah memberi
perlindungan terhadap masuknya bahan dari luar dan kotoran selama penyimpanan.
Bahan pengemas diharapkan dapat memperpanjang umur simpan produk. Lebih lanjut,
pengemasan ditujukan untuk menyajikan produk dalam bentuk yang bisa menarik
pembeli (Suyitno, 1990).
Wadah yang dibuat dari plastik dapat berbentuk film
(lembaran plastik), kantung, wadah dan bentuk-bentuk lain seperti botol, kaleng, stoples
dan kotak. Kini penggunaan plastik sangat luas karena relatif murah ongkos produksinya,
mudah dibentuk menjadi aneka model, mudah penanganannya dalam sistem distribusi
dan bahan bakunya mudah diperoleh (Syarief, Rizal dan Anies Irawati, 1988).
Untuk membatasi dan mengendalikan pengaruh kondisi lingkungan terhadap
produk sampai batas tertentu, dapat ditempuh dengan melakukan pengemasan
menggunakan bahan pengemas dan cara pengemasan yang baik atau sesuai. Bahan
pengemas yang kini digunakan secara luas adalah plastik karena mudah didapatkan dan
harganya relatif murah. Terdapat berbagai macam plastik dengan sifat proteksinya yang
sangat bervariasi dan dengan pemilihan jenis plastik yang tepat, tujuan pengemasan dapat
tercapai dengan biaya murah (Benning, 1983).
Tepung ikan sebagai produk yang berasal dari bahan baku berupa ikan rucah atau
sisa olahan, merupakan produk yang memiliki nilai ekonomi. Sehingga jika akan
diperdagangkan secara komersial, memerlukan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Tepung ikan disajikan dalam bentuk tepung atau padatan yang dikemas dengan
karung plastik atau kemasan lain yang sesuai, bersih, kering, dan dijahit kuat, dengan
berat maksimal 75 kg.
2. Pemberian merk di bagian luar kemasan berupa tulisan yang tidak mudah luntur dan
tertulis jelas, meliputi nama barang, nama/kode dan alamat perusahaan, berat bersih
(netto), kode dan tanggal produksi, serta tanggal kadaluwarsa.
3. Pemberian merk, di bagian dalam dari kemasan diberi label yang tidak mudah luntur
dan tertulis jelas, misalnya mengenai kandungan atau komposisi nutrisinya (dalam%).
4. Jenis antioksidan (pengawet) yang digunakan sesuai dengan yang diizinkan
(Murtidjo, 2001).
Polypropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin yang merupakan polimer dari
propilen. Sifat umum PP :
1. Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang, jernih dalam bentuk film. Tidak
transparan dalam bentuk kaku.
2. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE.
3. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan
yang peka terhadap oksigen.
4. Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang
baik (Syarief, Rizal dan Hariyadi Halid, 1989).
Polipropilen (PP) merupakan salah satu jenis termoplastik yang pertama kali
direkomersialkan pada tahun 1950-an. Polipropilen dibuat dengan polimerisasi katalitik
dari monomer propilen menggunakan panas dan tekanan. Polipropilen banyak digunakan
untuk pengemas makanan yang bersifat kaku (Brown, 1992).
Polipropilen dihasilkan dengan polimerisasi gas polipropilen murni dengan
Ziegler-Natta katalis. Polipropilen merupakan plastik dengan densitas antara 0,9-0,91.
Polipropilen mempunyai sifat kekakuan yang baik, kuat, permukaan mengkilap dan
kenampakan yang bening (Kondo, 1990) dan polipropilen juga memiliki sifat transparan
susu pada bentuk film, tahan terhadap panas, relatif sulit ditembus oleh air akan tetapi
mudah ditembus oleh gas.
Menurut Supriyadi (1993), polipropilen mempunyai sifat tingkat kekakuan baik,
kuat, dan transparan pada bentuk film, tahan terhadap panas, relatif sulit ditembus uap
air, akan tetapi mudah sekali ditembus oleh gas. Polipropilen baru akan meleleh pada
suhu 162oC sehingga dapat digunakan sebagai kemasan kantong yang tahan terhadap
proses pemanasan suhu tinggi seperti sterilisasi. Sifat tahan terhadap suhu tinggi
membawa konsekuensi menjadi sulit direkatkan dengan menggunakan panas.
Polipropilen bersifat lebih keras dan titik lunaknya lebih tinggi dari pada PEDT,
lebih kenyal namun daya tahannya terhadap kejutan lebih rendah terutama pada suhu
rendah. Tidak mengalami stress cracking oleh perubahan kondisi lingkungan, tahan
terhadap sebagian besar senyawa kimia, kecuali pelarut aromatik dan hidrokarbon klorida
dalam keadaan panas. Sedangkan sifat permebilitasnya terletak antara PEDR dan PEDT.
Permukaannya yang keras dan licin membuatnya sulit ditulisi atau ditempeli tinta
(Suyitno, 1990).
Polipropilen merupakan polimer dari propilen. Plastik jenis ini bersifat lebih kuat,
kaku dan ringan dibanding dengan polietilena dengan daya tembus uap air yang rendah,
tahan terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi dan cukup mengkilap (Buckle dkk., 1978).
Polipropilen juga mempunyai daya tahan yang sangat baik terhadap zat kimia (Setiadji,
1993).
B. Kerangka Berpikir
Gambar 2.6 Kerangka Berpikir Penelitian
Tanpa Proses Penepungan
Membusuk
Pengawetan dengan Proses Penepungan
Analisis terhadap kualitas Tepung Ikan
(air, abu, protein, lemak, angka peroksida)
Ikan
Tepung Ikan
C. Hipotesa
Pada penelitian ini diduga bahwa ada perubahan kadar air, abu, protein, lemak, angka
peroksida selama proses pengolahan tepung ikan akibat proses pengukusan, perebusan,
pengepresan dan penambahan Butylated Hydroxytoluene (BHT) 0,001% yang dikemas
dengan plastik polipropilen dalam penyimpanan selama 28 hari pada suhu kamar.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian, Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Lama pelaksanaan penelitian dilaksanakan bulan Juli - September
2009.
B. Bahan, Alat dan Tahap Penelitian
1. Bahan
Bahan dasar yang digunakan untuk penelitian adalah ikan rucah diperoleh dari TPI
di Juwana, Kabupaten Pati Jawa Tengah, es batu, Bahan yang di gunakan untuk uji uji
sifat kimia (protein adalah katalis N campuran Na2SO4 : HgO, asam sulfat pekat, NaOH,
asam borat 4%, indikator PP, HCl 0,02 N, dan sampel tepung ikan), (angka peroksida
adalah larutan asam asetat-kloroform (3:2), larutan KI jenuh, 0,1 N natrium thiosulfat,
larutan pati 1 %), (lemak adalah pelarut organik petroleum ether, sampel tepung ikan),
(kadar air adalah sampel tepung ikan), (kadar abu adalah sampel tepung ikan).
2. Alat
Alat yang digunakan adalah pisau, panci, telenan, blender, termos, sendok besar,
nampan, gelas ukur, kabinet dryer, timbangan analitik, timbangan, kempa hidrolik, alat
penggiling, ayakan 80 mesh dan kompor. Sedangkan alat yang digunakan pada uji sifat
kimia kadar protein (labu destruksi/ labu kjeldahl, desikator, gelas ukur, pemanas listrik,
buret, erlenmeyer, uji kadar lemak (alat ekstraksi soxhlet, eksikator, kertas saring bebas
lemak, dan neraca analitik), uji kadar air (botol timbang, eksikator, oven, penjepit), uji
kadar abu (krus, oven, neraca analitik, desikator, tanur).
3. Tahap Penelitian
a. Pembuatan tepung ikan
Ikan rucah dicuci bersih dari kotoran yang melekat dari jenis ikan yang
tercampur. Setelah itu ikan disimpan dalam freezer, lalu dilakukan thawing terlebih
dahulu dengan mengaliri air sampai semua kristal es mencair. Kemudian dilakukan
pemasakan dengan pengukusan dan perebusan selama 10 menit pada suhu 100°C.
Selanjutnya dilakukan pengepresan yang bertujuan untuk mengurangi air dan lemak
dalam ikan. Bungkil yang diperoleh dari pengepresan, dihancurkan dengan alat
penggiling dan dikeringkan dengan cabinet dryer selama 8 jam pada suhu 50-60°C.
Setelah benar-benar kering, bungkil dihancurkan/diblender kemudian diayak
menggunakan ayakan ukuran 80 mesh. Setelah itu baru ditambahkan antioksidan BHT
0,001% yang sudah dilarutkan dengan etanol. Lalu dikemas dengan plastik
polipropilen 0,03 mm dan direkatkan dengan alat press. Tepung yang diperoleh siap
untuk disimpan pada suhu kamar (kurang lebih 27°C) dan selanjutnya dianalisa kimia
dan kerusakan minyak. Analisa dilakukan pada hari ke-1, 14,28.
Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 1 : dilakukan Pengukusan tanpa Penambahan BHT
0,001% (tanda*)
*
Ikan rucah
Thawing
Pengukusan 10 menit, T = 100oC (P1) *10060oC
Cairan
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 1
Keterangan : * = Pengukusan tanpa penambahan BHT 0,001% Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 2 : dilakukan Pengukusan dengan Penambahan BHT
0,001% (tanda*)
* Cairan
Pengepresan
Penggilingan
Bungkil
Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC
Penghancuran
Pengayakan 80 mesh
Pengemasan PP 0,03 mm
Penyimpanan selama 28 hari
Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28
Ikan rucah
Thawing
Pengukusan 10 menit, T = 100oC (P2)
Pengepresan
Bungkil
*
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 2
Keterangan : * = Pengukusan dengan Penambahan BHT 0,001%
Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 3 : dilakukan Perebusan tanpa Penambahan BHT
0,001% (tanda *)
*
Cairan
Penggilingan
Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC
Penghancuran
Pengayakan 80 mesh
Penambahan BHT 0,001%
Pengemasan PP 0,03 mm
Penyimpanan selama 28 hari
Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28
Ikan rucah
Thawing
Perebusan 10 menit, T = 100oC (P3)
Pengepresan
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 3
Keterangan : * = Perebusan Tanpa Penambahan BHT 0,001% Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 4 : dilakukan Perebusan dengan Penambahan BHT
0,001% (tanda *)
* Cairan
Penggilingan
Bungkil
Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC
Penghancuran
Pengayakan 80 mesh
Pengemasan PP 0,03 mm
Penyimpanan selama 28 hari
Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28
Ikan rucah
Thawing
Perebusan 10 menit, T = 100oC (P4)
Pengepresan
Bungkil
*
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 4
Keterangan : * = Perebusan dengan Penambahan BHT 0,001% C. Metode Analisa
Dalam penelitian ini menggunakan menggunakan metode analisa, yaitu analisa kimia.
Jenis dan metode analisa dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
No Macam uji Metode 1 2 3 4
Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein total Kadar Lemak
Gravimetri (Anton Apriyantono dkk, 1989) Cara Penetapan Total Abu (Anton Apriyantono dkk, 1989) Mikro Kjehdahl (Anton Apriyantono dkk, 1989) Metode Soxhlet (Anton Apriyantono dkk, 1989)
Penggilingan
Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC
Penghancuran
Pengayakan 80 mesh
Penambahan BHT 0,001%
Pengemasan PP 0,03 mm
Penyimpanan selama 28 hari
Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28
5 Angka Peroksida (Sudarmadji, 1984)
D. Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan pola rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan
berdasar perbedaan perlakuan pendahuluan. Adapun perlakuan tersebut yaitu : pengukusan,
pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%, perebusan, perebusan dengan penambahan
BHT 0,001%. Dalam penelitian ini dilakukan dengan dua kali ulangan analisa kimia dan
analisa kerusakan minyak. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama dilakukan
untuk mengetahui perlakuan pendahuluan yang terbaik dan tahap ke dua dilakukan untuk
mengetahui analisa kimia dan tingkat kerusakan minyak selama penyimpanan 28 hari.
Analisis data yang diperoleh dianalisa dengan Anova dan apabila ada perbedaan dilanjutkan
dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan α = 0,05.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua
pola faktorial yaitu :
Hari (H)
Perlakuan (P)
Dikukus (P1)
Dikukus + BHT 0,001%
(P2)
Direbus (P3)
Direbus + BHT 0,001%
(P4) 1 (H1) 14 (H2) 28 (H3)
H1P1 H2P1
H3P1
H1P2
H2P2
H3P2
H1P3
H2P3
H3P3
H1P4 H2P4
H3P4
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Analisa Sifat Kimiawi Tepung ikan
Tepung ikan yang mempunyai fungsi utama dalam pembuatan pakan ikan dan pakan
ternak lain dapat ditingkatkan mutunya dengan penggunaan bahan baku dan penerapan
teknologi dalam proses produksinya. Namun demikian, apabila kondisi penyimpanan tepung
ikan kurang memadai akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan penurunan
kualitas tepung ikan. Pengamatan terhadap perubahan kadar air, kadar abu, kadar protein,
kadar lemak, angka peroksida tepung ikan dilakukan untuk mengetahui penurunan kualitas
tepung ikan selama penyimpanan.
1. Analisa Kadar Air Tepung Ikan
Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut.
Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme sedangkan bahan
pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno, 2002).
Tabel 4.1 Hasil Analisa Kadar Air Tepung Ikan (%db)
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata H1P1 H1P2 H1P3 H1P4 H2P1 H2P2 H2P3 H2P4 H3P1 H3P2 H3P3 H3P4
3,516 6,102 5,288 5,507 3,438 4,852 3,356 4,899 3,533 4,962 3,545 4,917
3,666 6,047 5,549 5,574 3,492 4,926 3,589 4,942 3,549 4,992 3,559 4,909
3,591a
6,075d
5,419c
5,541c
3,465a
4,889b
3,473a
4,921b
3,541a
4,977b
3,552a
4,913b
Keterangan: H1 : Hari ke-1
H2 : Hari ke-14
H3 : Hari ke-28
P1 : Dikukus
P2 : Dikukus + BHT 0,001%
P3 : Direbus
P4 : Direbus + BHT 0,001%
Dari tabel 4.1 terlihat hasil analisa kadar air dari tepung ikan. Berdasarkan hasil
uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, dalam variasi perlakuan
pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar air yang
dihasilkan pada tepung ikan.
Dari tabel 4.1 terlihat hasil analisa kadar air dari tepung ikan. Berdasarkan hasil
uji statistik diperoleh hasil yaitu pada hari 1 penyimpanan kadar air tertinggi pada
perlakuan dikukus dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-1 dan yang paling
rendah pada perlakuan dikukus pada hari ke-14. Perlakuan dengan penambahan BHT
0,001% pada hari ke-14 dan ke-28 cenderung ± 4,9% dan perlakuan tanpa penambahan
BHT 0,001% cenderung ± 3,5%. Selama penyimpanan dari hari ke-1 sampai ke-14
umumnya untuk perlakuan dengan penambahan BHT 0,001% dan tanpa penambahan
BHT 0,001% terjadi penurunan yang beda nyata. Pada penyimpanan hari ke-14 sampai
ke-28 tidak terjadi penurunan yang signifikan, hal ini disebabkan karena telah terjadi
keseimbangan kadar air antara tepung ikan dengan lingkungannya.
Pengaruh lama penyimpanan tepung ikan terhadap kadar air tepung ikan dapat
dilihat pada tabel 4.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa kadar air tepung ikan menurun selama penyimpanan. Selama
5.5405c
4.9205b 4.913b
6.0745d
4.889b 4.977b
3.591a
3.465a 3.541a
5.4185c3.4725a 3.552a
0
1
2
3
4
5
6
7
1 14 28
% K
adar
Air
Waktu Penyimpanan (Hari)
Grafik 4.1 Persentase Kadar Air Tepung Ikan
rebus BHT
kukus BHT
kukus
rebus
penyimpanan terjadi penguapan air yang menyebabkan airnya menurun sampai terjadinya
equilibrium moisture containe (keseimbangan kadar air) berkisar 3-4%.
Pada proses pengeringan terjadi penguapan air dari bahan yang diikuti dengan
perpindahan massa dari dalam bahan ke permukaan secara difusi karena adanya panas
(Hall, 1971). Proses utama pengeringan adalah transfer panas dan massa. Panas ditransfer
dari udara pengering yang bersuhu 60 ºC, kemudian air dimobilisasi keluar untuk
kemudian diuapkan. Uap air selanjutnya diserap udara pengering dan keluar bersama
dengan udara sisa pengering sehingga air yang semula terperangkap dalam struktur 3
dimensi gel akan menguap dan akan dihasilkan tepung ikan yang teksturnya keras.
Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan menghasilkan tepung
ikan dengan rata-rata kadar air yang lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan
perebusan. Penambahan BHT sebagai antioksidan pada tepung ikan menunjukkan kadar
air yang lebih tinggi dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT. Tepung ikan
dengan penambahan BHT mengalami hidrolisa lemak yang lebih lambat sehingga
kebutuhan air untuk hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas lebih sedikit
sehingga penurunan kadar airnya lebih sedikit. Menurut Sri Raharjo (2004), kadar air
tepung ikan selama penyimpanan sangat dipengaruhi oleh adanya hidrolisa lemak tepung
ikan maupun penyerapan uap air ke dalam tepung ikan tersebut.
Pada penelitian ini tepung ikan disimpan dalam plastik polipropilen. Pengemasan
yang rapat menyebabkan terjadinya kontak antara tepung ikan dan udara lebih sulit
sehingga proses pengikatan air oleh tepung ikan semakin lambat. Akibat dari proses
tersebut, tepung ikan akan tidak akan memadat dan dalam keadaan paling buruk
mengeluarkan bau tidak sedap. Menurut Winarno (1997), keberadaan air dapat
menyebabkan lemak menjadi terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak sehingga
menyebabkan ketengikan hidrolitik. Tepung ikan mutu I dan mutu II menurut standar
SNI 01-2715-1995 berkadar air maksimal 10% dan 12%. Setelah penyimpanan selama 28
hari, kadar air tepung ikan tidak melebihi 12%. Hal ini terlihat bahwa tepung ikan
termasuk dalam standar mutu I maupun mutu II pada akhir penyimpanan.
2. Analisa Kadar Abu Tepung Ikan
Dari tabel 4.2 terlihat hasil analisa kadar abu dari tepung ikan. Berdasarkan hasil
uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa
variasi perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang dihasilkan
tetapi pada lama waktu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kadar abu dari tepung
ikan.
Tabel 4.2 Hasil Analisa Kadar Abu Tepung Ikan (%db)
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata H1P1 H1P2 H1P3 H1P4 H2P1 H2P2 H2P3 H2P4 H3P1 H3P2 H3P3 H3P4
21,845 14,024 14,727 14,993 21,967 13,653 14,426 14,726 21,519 13,779 14,348 14,919
21,881 14,165 14,752 14,999 21,887 13,917 14,689 14,624 21,51 13,809 14,454 14,916
21,863h
14,095b
14,740de
14,996f
21,927h
13,785a
14,558cd
14,675d
21,515g
13,794a
14,401c
14,918ef
Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan
Dari tabel 4.2 terlihat hasil analisa kadar abu dari tepung ikan. Tepung ikan
dengan perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan kadar abu
14.996f 14.675d 14.918ef
14.095b 13.785a 13.794a
21.863h21.927h
21.515g
14.740de
14.558cd14.401c
0
5
10
15
20
25
1 14 28
% K
adar
Abu
Waktu Penyimpanan (Hari)
Grafik 4.2 Persentase Kadar Abu Tepung Ikan (%)
rebus BHT
kukus BHT
kukus
rebus
lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan dengan penambahan BHT
0,001%. Perebusan menunjukkan kadar abu lebih rendah dibandingkan dengan
pengukusan. Dimana pengukusan menunjukkan kadar abu yang paling tinggi. Hal ini
disebabkan oleh beragamnya jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
tepung ikan (Murtidjo, 2001). Selain itu dikarenakan pencampuran antara daging ikan,
sisik ikan, tulang kurang merata.
Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar abu
yang terkandung dalam tepung ikan maksimal 4%. Kadar abu tepung ikan berkisar antara
13,785% - 21,927%, sehingga kadar abu tepung ikan tidak memenuhi standar mutu
tepung ikan sesuai dengan SNI 01-2715- 1995.
3. Analisa Kadar Protein Tepung Ikan
Tabel 4.3 terlihat hasil analisa kandungan protein dari tepung ikan. Berdasarkan
hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan
bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh
terhadap kadar protein dari tepung ikan yang dihasilkan.
Tabel 4.3 Hasil Analisa Kadar Protein Tepung Ikan (%db)
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata H1P1 H1P2 H1P3 H1P4 H2P1 H2P2 H2P3 H2P4 H3P1 H3P2 H3P3 H3P4
64,206 71,786 67,249 71,359 65,434 73,243 70,353 70,625 72,327 73,339 71,130 71,066
64,317 71,343 67,595 71,406 60,759 73,317 71,161 71,184 72,6
73,615 70,748 71,039
64,262a 71,565cde 67,422b
71,383cde 63,097a 73,280de 70,757c 70,905cd 72,464cde 73,477e 70,939cd 71,053cd
Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu
penyimpanan mempengaruhi dari kandungan protein yang terdapat pada tepung ikan.
Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan menunjukkan rerata kadar protein yang lebih
tinggi dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. Namun pengukusan
dan perebusan pada proses pembuatan tepung ikan memberikan perubahan yang
signifikan pada peningkatan protein selama penyimpanan. Secara umum, selama
penyimpanan terjadi kenaikan protein pada semua perlakuan pada tepung ikan. Kenaikan
kadar protein ini disebabkan karena penurunan kadar air dan degradasi lemak sehingga
mengurangi proporsi lemak pada tepung ikan selama penyimpanan.
Pada grafik 4.3 terlihat bahwa penyimpanan pada perlakuan perebusan dengan
penambahan BHT 0,001% dari hari ke-1 sampai hari ke-28 tidak terjadi perubahan yang
signifikan. Pada penyimpanan perlakuan pengukusan dari hari ke-1 sampai hari ke-14
terjadi penurunan 1%, tetapi pada hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi kenaikan kadar
protein yang tinggi sebesar 9%. Dari semua perlakuan, hanya pada perlakuan pengukusan
yang mengalami kenaikan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar air rendah dan
pada hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi penurunan kadar lemak sehingga kadar protein
mengalami kenaikan yang signifikan.
Kelarutan protein yang terekstrak di dalam air dipengaruhi oleh ukuran partikel,
perbandingan bahan dan air serta suhu air untuk ekstraksi. Perbandingan bahan dan air
yang cukup akan menyebabkan seluruh partikel-partikel bahan kontak dengan air,
71.383cde
70.905cd71.053cd
71.565cde73.280de 73.477e
64.262a63.097a
72.464cde
67.422b70.757c 70.939cd
5658606264666870727476
1 14 28
% K
adar
Pro
tein
Waktu Penyimpanan (Hari)
Grafik 4.3 Persentase Kadar Protein Tepung Ikan (%)
rebus BHT
kukus BHT
kukus
rebus
sedangkan ukuran partikel yang kecil akan menyebabkan kontak antara bahan dan air
lebih baik (Prihtiyono, 1998).
Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar
protein yang terkandung dalam tepung ikan mutu I sebesar 60% dan mutu II sebesar
45%. Kadar protein tepung ikan berkisar antara 63,097% -73,477%, sehingga kadar
protein tepung ikan memenuhi standar mutu I sesuai dengan SNI 01-2715-1995.
4. Analisa Kadar Lemak Tepung Ikan
Tabel 4.4 terlihat hasil analisa kandungan lemak dari tepung ikan. Berdasarkan
hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan
bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh
terhadap kadar lemak dari tepung ikan yang dihasilkan.
Tabel 4.4 Hasil Analisa Kadar Lemak Tepung Ikan (%db)
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata H1P1 H1P2 H1P3 H1P4 H2P1 H2P2 H2P3 H2P4 H3P1 H3P2 H3P3 H3P4
8,104 6,586 5,564 7,273 8,561 10,676 6,834 11,499 6,913 9,405 8,964 9,021
7,914 6,362 5,654 7,216 8,422 10,655 6,854 11,706 7,145 9,296 8,963 8,957
8,009e 6,474b 5,609a 7,245d 8,492f 10,666i 6,844c 11,603j 7,029c 9,351h 8,964g 8,989g
Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan
Dari tabel 4.4 terlihat bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu
penyimpanan mempengaruhi dari kandungan lemak yang terdapat pada tepung ikan. Pada
hari ke-1 sampai hari ke-14 semua variasi perlakuan mengalami kenaikan kadar lemak
yang signifikan, dimana pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% dan
pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% mengalami kenaikan kadar lemak yang
tinggi yaitu sekitar 4%. Kenaikan terbesar pada perlakuan perebusan dengan penambahan
BHT 0,001%. Menurut Belitz dan Grosch (1998) kadar air juga mempengaruhi
kandungan lemak didalam bahan. Menurut Buckle, dkk (1987), semakin rendah kadar air
maka kandungan lemak akan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin tinggi kadar air
maka kandungan lemak akan semakin rendah.
Pada hari ke-14 sampai hari ke-28 untuk semua perlakuan pendahuluan terjadi
penurunan kadar lemak sekitar 2%-3% selain perlakuan perebusan yang terjadi kenaikan
kadar lemak sekitar 2,5%. Hal ini diduga karena lemak terdegradasi oleh peroksida.
Dari keseluruhan perlakuan, kadar lemak tertinggi pada perlakuan perebusan
dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-14 sebesar 11,603% dan terendah pada
perlakuan perebusan pada hari ke-1 sebesar 5,609%.
Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar
lemak yang terkandung dalam tepung ikan mutu I sebesar 10% dan mutu II sebesar 15%.
Kadar lemak tepung ikan berkisar antara 5,609%- 11,603%, sehingga kadar lemak tepung
ikan memenuhi standar mutu I sesuai dengan SNI 01-2715-1995.
7.245d
11.603j
8.989g
6.474b
10.666i 9.351h8.009e 8.492f7.029c
5.609a6.844c
8.964g
0
2
4
6
8
10
12
14
1 14 28
% K
adar
Lem
ak
Waktu Penyimpanan (Hari)
Grafik 4.4 Persentase Kadar Lemak Tepung Ikan (%)
rebus BHT
kukus BHT
kukus
rebus
5. Analisa Angka Peroksida Tepung Ikan
Tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Berdasarkan
hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan
bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh
terhadap kadar peroksida dari tepung ikan yang dihasilkan.
Tabel 4.5 Hasil Analisa Angka Peroksida Tepung Ikan (%db)
Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata H1P1 H1P2 H1P3 H1P4 H2P1 H2P2 H2P3 H2P4 H3P1 H3P2 H3P3 H3P4
0,644 2,127 0,695 5,556 2,001 2,518 6,243 6,988 6,080 4,935 8,889 13,957
0,655 2,182 0,686 5,659 1,955 2,568 6,352 7,043 5,783 4,961 8,964 14,03
0,650a 2,155c 0,691a 5,608f 1,978b 2,543d 6,298h 7,016i 5,932g 4,948e 8,927j
13,994k
Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan
Dari tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Tepung ikan
dengan perlakuan pengukusan menunjukkan angka peroksida lebih rendah dibandingkan
tepung ikan dengan perebusan. Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan saat
perebusan maupun pengukusan menunjukkan angka peroksida yang berbeda nyata
dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. BHT (Butylated
hydroxytoluene) adalah antioksidan primer yang sering digunakan dalam bahan makanan
(Winarno,1997). Antioksidan hanya berfungsi untuk menghambat reaksi oksidasi dan
tidak dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak. Kerja antioksidan
dalam menghambat kerusakan lemak yaitu dengan menghambat pembentukan radikal
bebas pada tahap inisiasi atau menghambat reaksi berantai pada tahap propagasi pada
reaksi autooksidasi. Peningkatan angka peroksida terjadi pada semua perlakuan
pendahuluan. Tetapi perlakuan pendahuluan yang peningkatannya tidak terlalu signifikan
adalah pada perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%. Hal ini disebabkan
karena pada perlakuan pengukusan menghasilkan kadar air yang sedikit, sedangkan
kerusakan lemak memerlukan kadar air yang lebih banyak. Maka dengan kadar air yang
sedikit dapat mengakibatkan angka peroksidanya rendah. Apalagi dengan penambahan
BHT 0,001%, maka dengan adanya antioksidan BHT akan menghambat kerusakan lemak
sehingga peningkatan kadar peroksida masih rendah. Tepung ikan dengan perlakuan
pengukusan dan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan angka
5.608f
7.016i
13.994k
2.155c2.543d 4.948e
0.650a 1.978b
5.932g
0.691a
6.298h
8.927j
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1 14 28angk
a pe
roks
ida(
mg
ekiv
/kg)
Waktu Penyimpanan (Hari)
Grafik 4.5 Persentase Angka Peroksida Tepung Ikan (mg ekiv/kg)
rebus BHT
kukus BHT
kukus
rebus
peroksida yang tidak beda nyata. Tetapi selain perlakuan itu, menunjukkan angka
peroksida yang tidak beda nyata.
Kerusakan tepung ikan disebabkan oleh keberadaan molekul air yang
mengakibatkan terjadinya ketengikan hidrolitik dan juga disebabkan oleh proses oksidasi
oksigen dalam udara dengan lemak tepung ikan. Oksidasi biasanya dimulai dengan
pembentukan peroksida dan hidroperoksida dimana pada tingkat selanjutnya asam-asam
lemak akan terurai disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton
serta asam-asam lemak bebas (Ketaren, 1986). Senyawa peroksida sebagai hasil oksidasi
lemak bukanlah senyawa yang berbau tengik. Apabila jumlah senyawa peroksida dalam
minyak makin banyak, maka minyak tersebut akan cepat menjadi tengik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tepung ikan hasil perlakuan pengukusan mempunyai rerata kadar air 3,532%;
kadar abu 21,768%; kadar protein 66,607%; kadar lemak 7,843%; angka peroksida
2,853 mg ekivalen peroksida/kg.
2. Tepung ikan hasil perlakuan (pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%)
mempunyai rerata kadar air 5,314%; kadar abu 13,891%; kadar protein 72,774%; kadar
lemak 8,830%; angka peroksida 3,215 mg ekivalen peroksida/kg.
3. Tepung ikan hasil perlakuan perebusan mempunyai rerata kadar air 4,148%;
kadar abu 14,566%; kadar protein 69,706%; kadar lemak 7,139%; angka peroksida
5,305 mg ekivalen/kg.
4. Tepung Ikan hasil perlakuan (perebusan dengan penambahan BHT 0,001%)
mempunyai rerata kadar air 5,125%; kadar abu 14,863%; kadar protein 71,113%; kadar
lemak 9,279%; angka peroksida 8,872 mg ekivalen peroksida/kg
5. Pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% akan menghasilkan tepung ikan yang
lebih baik daripada ketiga perlakuan yang lain dilihat dari kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, angka peroksida selama penyimpanan.
6. Perlakuan pengukusan dan perebusan pada proses pembuatan tepung ikan memberikan
perubahan yang signifikan pada peningkatan kadar protein selama penyimpanan.
7. Perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,01% dan perebusan dengan
penambahan BHT 0,001% memberikan pengaruh nyata selama penyimpanan 28 hari.
8. Penambahan BHT sebagai antioksidan sebesar 0,001% efektif dalam menghambat
terjadinya oksidasi selama penyimpanan.
9. Tepung ikan hasil perlakuan pengukusan lebih baik daripada perebusan dilihat dari
parameter kualitas (sifat kimiawi).
10. Tepung ikan hasil perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% lebih baik
daripada perebusan dengan penambahan BHT 0,001% dilihat dari parameter kualitas
(sifat kimiawi).
11. Mutu tepung ikan yang dihasilkan pada semua perlakuan, penyimpanan 28 hari sesuai
dengan SNI 01-2715-1995 adalah kadar air berkisar 3,465%-6,075%, kadar protein
berkisar 63,097%-73,477%, kadar lemak berkisar 5,609%-11,603%.
12. Mutu tepung ikan yang dihasilkan tidak sesuai dengan SNI 01-2715-1995 adalah kadar
abu berkisar 13,785%-21,927%.
B. SARAN
Dari penelitian yang sudah dilakukan, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah
sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan penambahan BHT yang tepat dan konsentrasi yang
optimal agar kemampuannya dalam menghambat oksidasi optimal.
2. Selain pengujian perubahan kimiawi, perlu dilakuan penelitian lanjutan pengujian
organoleptik dan pengujian mikrobiologi.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Afrianto, Eddy dan Evi Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Anonima. 2006. Kimia Lemak. http://narienzaland.multiply.com/journal/item/18. Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009.
Anonimb. 2007. Teknologi Lemak dan Minyak. http://www.scribd.com/doc. Diakses pada Hari Rabu, tanggal 27 Januari 2010.
Apriyantono, Anton, dkk. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB Press. Bogor.
Ardiansyah, 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan. http://tumoutou.net/6_sem2_023/wini_trilaksani.htm. Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009.
Arifin, Nur. 2007. Pengering Kabinet. http://gama-mesin.com/mesin_alat_ pengering_ cabinet_dryer.htm. Diakses pada hari Minggu, tanggal 26 Juli 2009.
Astawan, Made, Sutrisno Koswara, Dwi Budiyanto. 2003. Pengembangan Teknik Desalting Ikan Asin dan Perbaikan Proses Produksi untuk Meningkatkan Mutu Tepung Ikan. Vol.II, No.9, 2003. http://www.asosiasi-politeknik. or.id/. Diakses pada hari Rabu, tanggal 15 Juli 2009.
Basworo, R., 1998. Pengaruh Pengemasan Vakum Terhadap Mutu Sale Pisang. Skripsi S-1. FTP Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Springer Verlag. Berlin.
Benning, C.J., 1983. Plastik Film for Packaging Technology Application and Prosses Economics. Thecnomic Publishing Co. Inc, London.
Brody, J., 1965. Fishery by Product Technology. The Avi Publishing Company. Inc., Westport Connecticut.
Brown, W.E, 1992. Plastic in Food Packaging. Marcel Dekker. Inc, New York. Buck , D.F. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H, dan Woodon, M.M. 1985. Ilmu Pangan (diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono, 1987). UI Press. Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Woodon, M.M. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan. UI Press. Jakarta.
Cahyadi, Wisnu. 2006. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.
Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers, London.
Destiutami. 2007. Antioksidan. http://destiutami. wordpress. com. Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009.
Dewan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia, Tepung Ikan. Dewan Standarisasi Nasional Jakarta.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia, Tepung Ikan. SNI 01-2715-1995.
Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Kebijakan dan Program Prioritas tahun 2008. Makalah disampaikan dalam Rakornas Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Djundjung, D., 1998. Pendinginan dan Pembekuan dalam Pengawetan Pangan. Jurusan Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Downes, T.W and Harte, B.R, 1982. Food Packaging : Principles of Selection and Evaluation of Food Packaging System. Michigan State University, East Lansing.
Eskin, N.A.M., Henderson, H.M. and Townsend, R.J. 1971. Biochemistry of Food. Academic Press, New York.
Fawzya, Y.N. dan Irianto, H.E. 1997. Fortifikasi Makanan dengan Sumber Gizi dari Ikan untuk Peningkatan Konsumsi Ikan dan Kesehatan. Warta Penelitian Perikanan Indonesia III (1): 2-6.
Hall, C.W, 1971. Drying Farm Crops. The AVI Publishing Company, Inc.Westport, Connecticut, USA.
Ilza, M., Leksono, T., dan Syahrul. 2000. Studi Pengaruh Cara Pemasakan Terhadap Mutu Tepung Ikan. Jurnal Peternakan dan Lingkungan Vol 6 : 22. hlm 43-49.
Irianto, H.E., Subaryono dan Herlina, N. 2003. Development of Gelatin Jelly Candy Enriched with Fish Flour. Di dalam Proceeding International Seminar onMarine and Fisheries, Jakarta 15-16 December 2003. (Eds. Burhanuddin, S.et al.) hal 207-211.
Jack,Reed. 2005. Butylated Hydroxytoluene (BHT) Antioxidant. Department of Entomology, Missisippi State University. wikipedia. org/wiki/ Butylated _hydroxytoluene. Diakses pada hari Rabu, 15 Juli 2009.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia-Press. Jakarta.
Kochar, S.P. dan B. Rossell. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants in food system. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elvisier Applied Science. London.
Koesoemawardani, Dyah dan Fibra Nurainy. 2008. Karakterisasi Konsentrat Protein ikan rucah. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.Universitas Lampung 17-18 November 2008 VIII-32.
Kondo, K., 1990. Plastic Containers (Dalam Foods Packaging). Kadoya, T.Ed). Academic Press inc, San Diego.,- Tokyo.
Kumalaningsih, Sri. 2006. Antioksidan Alami. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Labuza, T.P, 1984. Moisture Sorption: Practical Asepticts of Isotherm Measurement and Use. American Association of Cereal Chemists, St Paul, Minnesota.
Manura, John J., LC/GC, Vol II, No. 2 (2/93) pp. 140-146. [Earliest Online Tables of Contents to the LC/GC magazine are from 1995.]
Muchtadi, Deddy, Nurheni Sri Palupi dan Made Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimiawi dan
Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Murdinah, Fawzya, Y.N, Irianto, H.E. dan Wibowo, S. 1998. Fortifikasi Tepung Ikan pada Makanan Ekstrusi dari Campuran Beras dan Kacang Hijau. di dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II, Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997. p.315-320.
Murtidjo, Bambang Agus. 2001. Beberapa Metode Pengolahan Tepung Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Nani. 2007. Pengeringan Cabynet Dryer. http://nani.wordpress.com/pengeringan-cabinet-dryer/. Diakses pada hari Minggu, tanggal 26 Juli 2009.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health H. American Society, Washington DC.
Prihtiyono, 1998. Perubahan Kadar Proksimat Susu Vitalac Selama Penyimpanan. Skripsi S-1. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Purnomosari Lupi. 2001. Fortifikasi Kerupuk dengan Tepung Mujair (Tilapia mossambica). Skripsi S-1. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Raharjo, Sri. 2004. Kerusakan Oksidatif Pada Makanan. Pusat Studi dan Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Rasyaf, M., 1989. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sahwan Firdaus, 2001. Pakan Ikan dan Udang. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Saleh, M., 1990. Pengaruh Pengepresan, Mutu Bahan Mentah dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Tepung Ikan. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan No 65 : 41-52.
Sebayang, Mariani. 2008. Peran Antioksidan pada Lemak dan Minyak. http://narienzaland. multiply.com/journal/item/. Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009.
Sherwin, 1990. Antioksidan: Jenis, Sumber, Mekanisme Kerja dan Peran Terhadap Kesehatan. http://tumoutou.net/6_sem2_023/wini_trilaksani.htm. Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009.
Siagian, Albert. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Universitas Lampung. http://www.fkm-albiner.pdf.manfaat BHT tepung ikan.com.
Silalahi, Jansen. 2006. Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta.
Sofia, Dinna. 2008. Antioksidan dan Radikal Bebas. Http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=81. Diakses pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009.
Sonisa Julie Sandra, 1998. Kualitas Belut Sawah (Monopterus albus Z) Asap dalam Berbagai Kemasan Selama Penyimpanan. Tesis S-2. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Stanby, M.E., dan Dassaw, J., 1963. Industrial Fishery Technology. Reinhold Publishing Corp. New York.
Sudarmadji, Slamet., dkk. 2003. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Supriyadi, 1993. Dasar Pengemasan: Kemasan Plastik, Sifat Fisik dan Metode Pengujian. FTP Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Suyitno. 1990. Bahan – Bahan Pengemas. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Swarth, Judith. 2004. Stres dan Nutrisi. Bumi aksara. Jakarta.
Syarief, Rizal dan Anies Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Prakasa. Jakarta.
Syarief, Rizal dan Hariyari Halid. 1989. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta.
Tranggono, Sutardi, Haryadi, Supanno, Agnes, M., Slamet S., Kapti R., Sri., Mary A. 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
TR-150: Bioassay of Butylated Hydroxytoluene (BHT) for Possible Carcinogenicity (CAS No. 128-37-0) National Toxicology Program, U.S. Department of Health and Human Services.
Widjaya, C.H. 2003. Peran Antioksidan Terhadap Kesehatan Tubuh. Healthy Choice. Edisi IV.
Wikipedia. 2008. Radikal Bebas. http://id.wikipedia.org/. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 25 April 2009.
Winarno, F.G. 1973. Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, FG.2002. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.