Top Banner
KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI DI INDONESIA DAN PETA JALANNYA Juni 2019 Pernyataan Dokumen ini dimungkinkandengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi daridokumen iniadalah pendapat para penulis dan tidakmencerminkanpandangan USAID atauPemerintah Amerika Serikat.
57

KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Oct 15, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN

KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI

DI INDONESIA DAN PETA JALANNYA

Juni 2019

Pernyataan

Dokumen ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan

Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari dokumen ini adalah pendapat para penulis dan

tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Page 2: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN

KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI

DI INDONESIA DAN PETA JALANNYA

Tim Penulis:

Andi Rusandi

Sarminto Hadi

Wendy Fadri Ariansyah

Efin Muttaqin

Risris Sudarisman

Ita Sualia

Raditya Wahyu Prihardiyanto

Photo credit: Ita Sualia/Wildlife Conservation Society

Page 3: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI DI INDONESIA iii

Daftar Isi

Daftar Gambar dan table ...................................................................................................................... iv

I. Pendahuluan .........................................................................................................................................1

II. Pengumpulan Data dan Informasi ...................................................................................................2

2.1 Studi literature ............................................................................................................................2

2.2 Kunjungan lapangan ...................................................................................................................2

2.3 Wawancara dan Diskusi terarah ............................................................................................2

III. Sistem ketelusuran dalam implementasi mekanisme CITES .....................................................3

3.1 Prinsip – prinsip ketelusuran ..........................................................................................................4

IV. Review pelaksanaan sistem ketertelusuran di Indonesia ...........................................................8

V. Monitoring perdagangan dan ketelusuran hiu dan pari ........................................................... 12

5.1 Catch recording (Pencatatan hasil tangkapan) ................................................................. 12

5.2 Sertifikat kelayakan pengolahan ikan UPI .......................................................................... 14

5.3 Rekomendasi perdagangan produk hiu dan pari .............................................................. 14

5.4 Penjaminan kesehatan ikan dan hasil perikanan untuk perdagangan domestik dan

ekspor. .................................................................................................................................................... 14

VI. Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia ...................................................................................... 16

6.1 Sentra pendaratan hiu dan pari di Indonesia. .......................................................................... 16

6.2 Produk hiu dan pari ................................................................................................................ 19

6.3 Rantai perdagangan hiu dan pari di Indonesia. ................................................................. 21

6.4 Tantangan dalam rantai perdagangan produk hiu dan pari Indonesia. .............................. 23

VII. Rekomendasi dan aplikasi ketelusuran sirip hiu ......................................................................... 27

VIII. Peta Jalan (Road Map) Sistem Ketelusuran Produk Hiu Dan Pari di Indonesia ................ 31

Daftar Pustaka ............................................................................................................................................ 48

Lampiran 1. Form pengisian data penangkapan hiu dilindungi appendiks CITES. ................. 49

Lampiran 2. Form pengisian data pengolahan hiu dilindungi appendiks CITES ..................... 50

Lampiran 3. Form pengisian data pengiriman dalam negeri hiu dilindungi appendiks ......... 51

Page 4: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Figure 1 Kunjungan lapangan .....................................................................................................................2

Figure 2 Contoh penggunaan “kode unik” dalam rantai perdagangan. ............................................4

Figure 3 Contoh titik pencatatan dan data yang dicatat untuk ketelusuran produk hiu. ............5

Figure 4 Sistem pengelolaan data multi databased system .................................................................6

Figure 5 Sistem pengelolaan “single databased system” (Taylor and Sant, 2015) .........................7

Figure 6 Analisis penggunaan sistem data based (Taylor and Sant, 2015).......................................7

Figure 7 Alur pemanfaatan satwa dan tumbuhan Appendix CITES. .................................................9

Figure 8 Skema pemanfaatan jenis satwa dan tumbuhan appendix CITES. .................................. 11

Figure 9 Beberapa contoh system ketertelusuran dalam perdagangan satwa di Indonesia ..... 11

Figure 10 Skema penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan.......................................................... 13

Figure 11 Produksi ikan hiu Nasional periode 2005 - 2014 ............................................................ 16

Figure 12 Sentra-sentra Perikanan Hiu dan Pari di Indonesia ......................................................... 17

Figure 13 Sentra – sentra pendaratan hiu dan pari di Indonesia. ................................................... 19

Figure 14 Jenis produk hiu dan pari yang dipasarkan ........................................................................ 20

Figure 15 Nilai ekspor produk hiu Indonesia per tahun .................................................................. 21

Figure 16 Rantai Perdagangan Hiu dan Pari Indonesia ...................................................................... 22

Figure 17 Rantai perdagangan produk hiu dalam negeri .................................................................. 23

Figure 18 Identifikasi stakeholder yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perdagangan hiu

dan pari di Indonesia ................................................................................................................................. 24

Figure 19 Rekomendasi alur ketertelusuran ....................................................................................... 27

Figure 20 Rekomendasi alur sistem ketelusuran sirip hiu appendik 2 di Indonesia. .................. 29

Figure 21 Rekomendasi penanda produk hiu...................................................................................... 30

Page 5: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

I. Pendahuluan

Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar langka atau “Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melaksanakan

Conference of the Parties (CoP) CITES ke-12 tahun 2002 di Santiago (Chile) dan pada CoP

CITES tersebut negara-negara anggota CITES telah sepakat untuk memasukan beberapa jenis

hiu ke dalam daftar Appendix II, yaitu Rhincodon typus dan Cetorhinus maximus. Selanjutnya,

pada CoP-13 CITES tahun 2004 di Bangkok (Thailand), jenis hiu lainnya yaitu Carcharodon carcharias juga dimasukan ke dalam daftar Appendix II CITES Lamna nasus, Sphyrna spp., Carcharinus longimanus, Manta spp. adalah jenis-jenis hiu dan pari yang kemudian dimasukan ke

dalam daftar Appendix II pada CoP-16 CITES tahun 2013 di Bangkok (Thailand). Terakhir, pada

CoP-17 tahun 2016 di Johannesburg, Afrika Selatan, negara-negara anggota CITES sepakat

untuk memasukkan Alopias spp., Mobula spp. dan Carcharinus falciformis ke dalam daftar

Appendix II CITES.

Berdasarkan ketentuan CITES terkait perdagangan internasional spesies yang masuk dalam

daftar Appendix II yang walaupun saat ini populasinya tidak terancam punah, tetapi

kemungkinan bisa menjadi terancam punah, jika perdagangan jenis tersebut tidak diatur dengan

ketat untuk menghindari pemanfaatan yang mengancam kelangsungan hidup mereka.

Berdasarkan Artikel IV CITES tentang ketentuan perdagangan spesimen dari jenis Appendix II,

ekspor dari spesimen suatu jenis dalam Appendix II memerlukan penerbitan izin export (export permit) yang dikeluarkan oleh Otorita Ilmiah dari negara pengekspor. Selain itu otorita ilmiah

juga telah memberikan rekomendasi bahwa ekspor tersebut tidak menimbulkan kerusakan

(detriment) terhadap kelangsungan jenis yang diperdagangkan tersebut di alam.

Pada artikel VIII tentang upaya pengelolaan menyebutkan bahwa setiap negara anggota CITES

harus memmiliki database perdagangan spesimen dari jenis-jenis yang termasuk dalam Appendix

II. Pada data base tersebut, terdapat informasi kunci yang harus tercata antara lain: nama

eksportir/importir, izin eskport atau import dan informasi mengenai spesimen yang diperjual

belikan.

Pengaturan perdagangan species dengan mekanisme CITES bertujuan untuk memastikan

keberlanjutan (sustainable), sesuai aturan (legality) dan ketelusuran (traceability) dari spesies

yang diperdagangkan. Selain itu, juga pengaturan perdagangan terhadap spesies – spesies

appendix II dapat mencegah perdagangan illegal dan meningkatkan kepatuhan pada mekanisme

CITES. Prinsip dasar pada monitoring perdagangan adalah identifikasi jejak dan asal produk hiu

yang diperdagangkan.

Bagi Management Autorithy (MA) di suatu negara, ketelusuran dapat membantu melakukan

penilaian apakah produk dan spesimen yang diperdagangkan berasal dari sumber yang legal.

Sementara bagi Scientitific Authority (SA), ketelusuran dapat membantu dalam menyusun

dokumen Non Detrimental Finding (NDF), melakukan pendugaan bahwa perdagangan yang

dilakukan masih berada pada batas-batas keberlanjutan.

Selanjutnya CITES, melalui pertemuan Standing Committee 69 mengeluarkan mandate (SC69

Doc 50) kepada semua Standing Committee untuk melakukan kajian sistem ketelusuran. Kajian

dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari sistem yang telah ditetapkan oleh

CITES, identifikasi permasalahan dan pembelajaran dari sistem ketelusuran yang sudah ada dari

specimen jenis Appendix II lainnya. Hasil identifikasi tersebut menjadi dasar dalam penyusunan

sistem ketelusuran perdagangan spesies hiu dan pari di Indonesia.

Page 6: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

II. Pengumpulan Data dan Informasi

Proses penyusunan dokumen ini dilakukan melalui studi literatur, kunjungan lapangan ke sentra

pendaratan, pengolahan dan penjualan hiu dan produknya, wawancara dan diskusi grup terarah.

2.1 STUDI LITERATURE

Studi literature dilakukan untuk mengidentifikasi teori dan konsep dasar perdagangan jenis

appendiks CITES, identifikasi permasalahan perdagangan hiu dan pari di Indonesia dan

identifikasi regulasi terkait perlindungan dan pemanfaatan hiu dan pari di Indonesia.

2.2 KUNJUNGAN LAPANGAN

Kunjungan lapangan dilakukan untuk mengumpulkan informasi perdagangan produk hiu dan pari

dan melakukan verifikasi. Kunjungan lapangan dilakukan di Muara Baru – Jakarta, Lombok timur

– Nusa Tenggara Barat, Banyuwangi dan Surabaya – Jawa Timur serta Banda Aceh – Aceh.

Figure 1 Kunjungan lapangan

No Lokasi Kajian Waktu Kunjungan

1 Muara Baru – Jakarta Desember 2017

2 Lombok timur – Nusa Tenggara Barat Januari 2018

3 Banyuwangi dan Surabaya – Jawa Timur Desember 2017

4 Banda Aceh – Aceh April 2018

2.3 WAWANCARA DAN DISKUSI TERARAH

Wawancara dan Diskusi terarah dilakukan untuk mengidentifikasi rantai perdagangan produk

hiu dan pari, pembelajaran sistem ketelusuran dari spesies CITES Appendix II lainnya dan

menjaring aspirasi terkait konsep keterlusuran produk hiu dan pari. Wawancara dan diskusi

grup terarah melibatkan para pihak, seperti:

1. Management Authority CITES Indonesia yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal

Konservasi Sumber Daya Alam – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2. Lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan yang meliputi:

• Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal

Pengelolaan Ruang Laut,

• Direktorat Sumber Daya Ikan – Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,

• Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan,

Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan,

• Pusat Riset Perikanan – Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan

Perikanan.

3. Scientific Authority CITES Indonesia yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam

hal ini Pusat Penelitian Oseanografi

4. Pihak swasta yang meliputi pengumpul dan eksportir produk hiu dan pari.

Page 7: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

III. Sistem ketelusuran dalam implementasi mekanisme

CITES

Traceability atau ketelusuran adalah kemampuan untuk menelusuri jejak atau sejarah, perlakuan

dan lokasi dari produk termasuk di dalamnya bahan-bahan penyusunnya, bagiannya dan sejarah

pengolahan, pengiriman dan lokasi tujuan pengiriman (ISO, 2015). Sistem ketelusuran juga

menyediakan informasi tentang penyimpanan dan pemindahan produk selama dan di antara para

pelaku di dalam rantai perdagangan. Sistem ini dapat memastikan sebuah produk dapat

dilakukan pengecekan ke proses sebelumnya selama rantai perdagangan, melalui berbagai

macam proses atau transformasi yang telah dilakukan (FAO, 2014).

Pada awalnya konsep ketelusuran digunakan untuk merespon isu keamanan pangan, dimana

skema yang diterapkan dapat mengidentifikasi jejak produk-produk yang terkontaminasi melalui

sumber produk dan dapat mengambil langkah-langkah untuk melakukan penarikan produk

(Knuckey et al., 2014). Dalam kontek memperkuat implementasi CITES, ketelusuran juga

digunakan untuk melihat kepatuhan, jumlah produk yang beredar dan menjamin keberlanjutan

makhluk hidup. Selain itu juga, sistem ketelusuran dapat melakukan penilaian bahwa produk dan

spesimen yang diperdagangkan berasal dari sumber yang legal dan tidak membahayakan

kelangsungan spesies tersebut di alam. Selain itu, bagi Scientitific Authority (SA), ketelusuran

dapat membantu dalam menyusun dokumen Non Detrimental Finding (NDF), melakukan

pendugaan bahwa perdagangan yang dilakukan masih berada pada batas-batas keberlanjutan

(Mundy and Sant, 2015).

Pengaturan perdagangan internasional (eksport, import dan re – eksport) spesies dibawah

pengawasan CITES dilakukan melalui (CITES Secretariat, 2013):

• Pengeluaran izin dan sertifikat.

• Pencatatan dan pelaporan secara nasional terhadap izin yang telah dikeluarkan.

• Identifikasi dan verifikasi setiap keluar – masuk spesies dari suatu negara.

• Kewajiban memberikan penanda (misalnya pelabelan standar, tagging, barcode) pada

spesiesyang diperdagangkan.

• Melakukan kolaborasi antara otoritas pengelola CITES suatu negara dengan lembaga

lainnya dan otoritas penegak hukum.

Untuk meningkatkan ketelusuran produk spesimen yang diperdagangkan, beberapa langkah

telah diambil dalam rangka melakuan pemantauan perdagangan bagi beberapa spesies yang

menjadi perhatian CITES. Beberapa contoh di bawah didesain untuk identifikasi sumber

specimen yang antara lain, meliputi:

• Pelabelan standar untuk telur caviar yang berasal dari ikan sturgeon (order:

Acipenseriformes). Label standar ditetapkan untuk perdagangan internasional

berdasarkan resolusi CITES pada COP 16 (Conf. 12.7. Rev. CoP16);

• Penggunaan tagging untuk identifikasi kulit buaya dan bagian – bagiannya.

Penggunaan tagging dilakukan untuk perdagangan internasional berdasarkan resolusi

CITES pada COP 15 (CITES Resolution Conf. 11.12. Rev. CoP15);

• Penggunaan penanda untuk gading gajah (Elephantidae spp.) berdasarkan resolusi

COP 16 (CITES Resolution 10.10 (Rev. CoP16);

• Penggunaan penanda untuk perburuan legal macan tutul Panthera pardus dan

markhor Capra falconeri – berdasarkan resolusi CITES pada COP 16 dan 14

(Resolution Conf. 10.14 dan Resolution Conf. 10.15 (Rev. CoP14).

Page 8: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

3.1 PRINSIP – PRINSIP KETELUSURAN

Secara umum prinsip dari ketelusuran adalah memungkinkan transparansi dalam rantai pasokan

hiu dan produk turunannya serta memungkinkan untuk mengetahui asal usul produk,

perlakukan yang didapat serta kepemilikan barang dari tahapan atau proses sebelumnya.

a. Identifikasi unik (unique identification)

Sistem ketelusuran bertujuan untuk membangun jejaring antara setiap pelaku usaha perikanan

dalam rantai perdagangan dengan mencantumkan informasi yang dibutuhkan pada setiap

produknya. Untuk memudahkan proses identifikasi produk diperlukan “unit pengenal” yang bisa

membedakan antara produk yang satu dengan produk lainnya yang disebut “kode unik”.

• “Kode unik” ini menempel pada produk dalam setiap unit atau satuan. Satu unit

atau satu satuan bisa berupa massa, set (satu set), box (satu box), kontainer (satu

kontainer), atau satuan lainnya.

• Informasi yang termuat di dalam “kode unik” tersebut meliputi informasi : nama

jenis, jumlah (kg atau individu), asal (perairan, lokasi pendaratan, kota, atau provinsi),

waktu, dan proses pengolahan.

• Setiap perpindahan tempat, perubahan bentuk produk wajib memiliki “kode unik”

berbeda dengan mencatat informasi dari “kode unik” sebelumnya.

Pada beberapa kasus ketelusuran produk, “kode unik” ditempelkan pada produk dengan

mengunakan beberapa benda seperti tagging pada kulit buaya, label pada Caviar.

Figure 2 Contoh penggunaan “kode unik” dalam rantai perdagangan.

Page 9: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

b. Pencatatan dan pengelolaan data

Sistem ketelusuran bertujuan untuk melakukan identifikasi jalur atau rute perjalanan produk

perikanan seperti sirip hiu, berawal dari tertangkap, didaratkan, dijual, diproses, dikumpulkan

dan dipasarkan. Rantai perdagangan produk hiu di Indonesia sangat komplek karena melibatkan

banyak pihak dan banyak tingkatan. Sangat penting bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan

pencatatan dan mendokumentasikan semua aktivitas atau proses yang dilakukan terhadap

produk hiu yang diperdagangkan. Pencatatan dilakukan mulai dari proses penangkapan,

pemrosesan produk hiu sampai dengan pemasaran.

Ada 2 aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan pencatatan, yaitu:

1. Elemen data kunci (Key data element/KDEs).

2. Titik pelacakan kritis (Critical Tracking Event/CTEs).

Elemen data kunci (Key data element/KDEs) merupakan informasi penting yang harus ada dan

dicatat di setiap tahapan pada rantai perdagangan. Untuk produk hiu, informasi penting yang

harus ada adalah “who, what, where, and how”. Dengan demikian, untuk produk hiu informasi

jenis hiu, pelaku usaha, lokasi, kapan dan cara menangkap menjadi elemen data minimum yang

harus dicatat.

Titik pelacakan kritis (Critical Tracking Event/CTEs) merupakan simpul-simpul dari rantai

perdagangan yang memungkinkan terjadinya perubahan bentuk, lokasi atau kepemilikan, dan

tahapan. Pada produk hiu titik pelacakan penting terdapat pada lokasi penangkapan, lokasi

pendaratan, lokasi pengolahan, pengiriman dan pintu eksport.

Figure 3 Contoh titik pencatatan dan data yang dicatat untuk ketelusuran produk hiu.

No Titik pelacakan penting

(CTEs) Element data kunci (KDEs)

1. Aktivitas penangkapan Tanggal, nama spesies hiu, jumlah, alat

tangkap, lokasi penangkapan.

2. Pendaratan Nama spesies, jumlah, tanggal pendaratan,

lokasi pendaratan

3. Pengolahan (penggabungan) Nama spesies hiu, nama produk, jumlah,

asal sirip, informasi pengolahan.

4. Distribusi Nama spesies, nama produk, jumlah, asal

sirip, pengolahan, lokasi pergudangan,

lama penyimpangan, metode pengiriman,

tujuan pemasaran

5. Pemasaran Tanggal, nama spesies, nama produk,

jumlah, asal sirip, tujuan.

Tahapan yang paling penting lainnya dalam menerapkan sistem ketelusuran adalah pengelolaan

data yang telah dikumpulkan dari setiap titik-titik kritis pelacakan. Proses pengelolaan data

ketelusuran berawal dari proses pencatatan dari setiap tahapan. Terdapat 3 cara pencatatan

yaitu:

• Berbasiskan kertas (Paper based): Metode ini dilakukan dengan bukti pencatatan

berupa kertas dengan format yang telah ditentukan oleh pengelola. Setiap tahapan seperti

penangkapan, pendaratan, pengolahan, distribusi dan pemasaran wajib mengisi informasi

yang telah ditentukan. Informasi diisi oleh setiap pelaku usaha di setiap titik pelacakan,

kemudian diserahkan kepada pengelola untuk dilakukan penyimpanan data.

• Berbasiskan sistem elektronik (Electronic system based). Penyimpanan data

Page 10: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

dilakukan pada setiap tahapan oleh pelaku usaha dengan mengisi data oleh operator

menggunakan sistem komputerisasi.

• Perangkat keras (Integrated hardware). Penyimpanan data dengan metode ini

merupakan perpaduan antara perangkat keras dengan sistem infomasi yang terintegrasi

pada perangkat keras. Dalam pelaksanaanya dilakukan dengan barcode atau Radio Frequency Identification (RFID).

c. Sistem penyimpanan data dan penyajian (akses data).

Setelah data tersimpan, data yang tersimpan dari setiap tahapan kemudian dikumpulkan dalam

bank data sehingga menjadi catatan lalu lintas perdagangan hiu. . Selain itu, setiap informasi

ketelusuran memiliki kemudahan untuk disajikan dan diakses oleh publik. Proses penyimpanan

data dari setiap tahapan ke bank data pusat dilakukan dengan beberapa pendekatan:

• Sistem penyimpanan data individu

Sistem penyimpanan data individu dikenal dengan sistem one step up – up step down

dimana pencatatan dilakukan pada setiap tahapan. Konsekuensinya setiap tahapan harus

memiliki operator yang mencatat informasi asal produk (Gambar 2). Sistem pencatatan

tersebut dikenal dengan nama multi – data based system.

Figure 4 Sistem pengelolaan data multi databased system

• Sistem penyimpanan terintegrasi

Sistem ini dikenal dengan nama single database system, di mana semua operator pada

rantai perdagangan akan mengisi setiap informasi pada setiap titik pelacakan kritis ke

dalam satu database terpusat yang dapat di akses kapan pun (Gambar 3). Mekanisme ini

memiliki keuntungan lebih cepat dan lebih mudah dalam proses penyimpanan. Tetapi

konsekuensinya, pengelola harus memiliki sistem data based yang terpusat dan rumah

data based yang cukup besar.

Page 11: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Figure 5 Sistem pengelolaan “single databased system” (Taylor and Sant, 2015)

Figure 6 Analisis penggunaan sistem data based (Taylor and Sant, 2015)

One up - One down (multi

databased system)

Integrated data based system

(single data based system)

Keuntungan

Mudah dilaksanakan Respon lebih cepat

Sesuai dengan pencatatan berbasis

kertas ( paper based)

Konsistensi data tinggi

Lebih irit Akses data lebih mudah

Data lebih aman Cocok dengan pengembangan teknologi

Kekurangan

Slow response Biaya mahal

Peluang terjadinya Human eror

tinggi

Dibutuhkan kolaborasi

Konsistensi data diragukan

Page 12: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

IV. Review pelaksanaan sistem ketertelusuran di

Indonesia Pada tahun 1978, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) melalui Keputusan Presiden No 43

Tahun 1978. Untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar, serta mengatasi permasalahan

perdagangan dan eksploitasi satwa liar di Indonesia yang populasinya terancam, Pemerintah

Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta peraturan turunannya, yaitu

Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta

Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Peraturan-peraturan tersebut kemudian disusul dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian di revisi menjadi Undang – Undang No 45 tahun

2009, Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

Dalam pelaksanaan CITES di Indonesia, Pemerintah Indonesia menunjuk Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai focal point untuk otoritas pengelola (Management

Authority) di Indonesia. Sementara itu, untuk otoritas keilmuan, pemerintah menetapkan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai focal point. Hal tersebut tertuang dalam

Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1999 Pasal 65.

Mekanisme pemanfaatan dengan regulasi CITES diberlakukan untuk jenis – jenis yang diatur

CITES yang diketagorikan dalam Appendix I, II dan III. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan

bahwa perdagangan internasional dari jenis – jenis tersebut tidak membahayakan populasi di

alam sesuai dengan prinsip – prinsip pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, yaitu:

• Pemanfaatan yang terkontrol.

• Pemanfaatan yang lestari dan tidak menyebabkan kelangkaan.

• Pemanfaatan yang tidak merusak lingkungan.

• Perdagangan yang legal dan dapat ditelusuri asal usulnya.

Pemanfaatan jenis yang masuk ke dalam daftar Appendix CITES baik secara utuh maupun

bagian-bagian tubuhnya dikategorikan menjadi pemanfaatan untuk penelitian dan pengembangan,

penangkaran/perkembangbiakan, perdagangan, pertukaran luar negeri, pemeliharaan untuk

kesenangan/akuaria. Pemanfaatan jenis – jenis appendix CITES di Indonesia harus didasari oleh

sebuah kajian ilmiah yang komprehensif yang menyatakan status populasi jenis tersebut di alam,

kemudian kajian mengenai layak atau tidaknya jenis – jenis tersebut dimanfaatkan dan mengatur

mekanisme pemanfaatan dan perdagangannya (dikenal dengan nama dokumen Non Detriment Finding). Pemanfaatan jenis diatur oleh pengelola dengan ketat dan untuk memastikan

pemanfaatan dan perdagangan internasional tidak membahayakan populasi di alam salah satunya

adalah dengan mekanisme kuota. Setiap pelaku usaha yang memiliki ijin pemanfaatan jenis

appendix CTES dalam memanfaatkan satwa dan tumbuhan appendix CITES tidek boleh

memanfaatkan melebihi kuota yang telah ditetapkan oleh otoritas pengelola.

Monitoring pemanfaatan dan perdagangan jenis dilakukan dengan pencatatan setiap satwa dan

tumbuhan yang ditangkap dan dilalulintaskan baik di dalam negeri dan atau ke luar negeri. Data

pemanfaatan tersebut didokumentasikan olehOtoritas Pengelola. Data tersebut, terutama

realisasi ekspor akan dijadikan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam mengeluarkan

rekomendasi pemanfaatan pada tahun selanjutnya oleh Otoriats Ilmiah (gambar 4).

Page 13: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Figure 7 Alur pemanfaatan

satwa dan tumbuhan

Appendix CITES.

Page 14: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Alur pemanfaatan jenis appendix CITES untuk pemanfaatan dalam negeri maupun luar negeri

meliputi: pendugaan status populasi dan sebaran jenis yang akan dimanfaatkan di alam, status

konservasi, realisasi ekspor, dll. Berdasarkan data-data tersebut Otoritas keilmuan kemudian

mengajukan usulan kuota kepada Otorita Pengelola dan selanjutnya Otoritas Pengelola

mentapkan jumlah kuota tangkap dan kuota ekspor untuk jenis – jenis yang ditentukan. Kuota

tersebut menjadi dasar pengeluaran izin penangkapan dan izin perdagangan satwa liar di dalam

dan di luar negeri bagi setiap perusahaan atau orang yang memiliki ijin untuk memperdagngakan

satwa liar. Setiap pelaku usaha baik perorangan maupun perusahaan kemudian akan mengajukan

permohonan kuota pemanfaatan dan perdagangan satwa dan tumbuhan yang masuk appendix II

CITES kepada Otoritas Pengelola untuk beberapa tujuan antara lain :.

a. Pemanfaatan dari alam

b. Pemanfaatan dari pengembangbiakan

c. Perdagangan dalam negeri

Pelaku usaha yang memiliki izin penangkapan/pengambilan dari alam maupun dari hasil

penangkaran dapat melakukan perdagangan dalam negeri, ekspor, impor maupun re – ekspor.

Setiap perdagangan jenis satwa dan tumbuhan appendix CITES wajib dilengkapi dengan

dokumen yang sah antara lain; SAT – DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Ngeri)

untuk perdaganan dalam negeri dari unit pelaksana teknis di Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan atau SAJI – DN (Surat Angkut Jenis Ikan – Dalam Negeri) dari Kementerian

Kelautan dan Perikanan.

d. Perdagangan luar negeri.

Untuk perdagangan luar negeri dokumen yang sah yang diperlukan adalah SAT – LN dari

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau SAJI – LN dari Kementerian Kelautan dan

Perikanan. Selain dokumen tersebut, masih diperlukan dokumen pendukung lainnya yaitu Surat

Persetujuan Eksport dari Kementerian Perdagangan dan Sertifikat Kesehatan dari Badan

Karantina.

Page 15: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Asal Spesimen Pemanfaatan Perizinan Verifikasi dokumen Penanda Contoh

spesimen

Pengambilan dari

alam

Perdagangan

dalam negeri

Izin tangkap Surat rekomendasi

BPSPL

Kertas

segel

Sirip Hiu

Penangkaran/Pem

besaran

Perdagangan luar

negeri

Izin edar

dalam negeri

Health sertifikat dari

BKIPM

Stiker Kulit phyton

Izin edar luar

negeri

Surat Persetujuan

Eksport dari Kemendag

Tagging Kulit buaya,

kulit phyton

Surat Pemberitahuan

eksport barang/Surat

pemberitahuan import

barang dari Dirjen Bea

Cukai

Chip Arwana

Super Red

Figure 9 Beberapa contoh system ketertelusuran dalam perdagangan satwa di Indonesia

Figure 8 Skema pemanfaatan jenis satwa dan

tumbuhan appendix CITES.

Page 16: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

V. Monitoring perdagangan dan ketelusuran hiu dan pari

5.1 CATCH RECORDING (PENCATATAN HASIL TANGKAPAN)

Dalam kegiatan penangkapan ikan, pencatatan dilakukan melalui logbook, enumerator dan

observer di beberapa titik pendaratan. Pencatatan melalui logbook diwajibkan untuk kapal-kapal

penangkap ikan dengan ukuran diatas 5 GT (Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan

Republik Indonesia Nomor 48/Permen-Kp/2014 Tentang Log Book Penangkapan Ikan).

Enumerator dan observer diwajibkan untuk kapal-kapal penagkap ikan diatas 30 GT (Permen

KP No 1 Tahun 2013 tentang Pemantauan dan Pemantau Kapal Penangkap Ikan dan Kapal

Pengangkut Ikan). Semntara itu, untuk kapal dibawah 5 GT belum ada mekanisme kewajiban

untuk pencatatan aktivitas penangkapan dan pencatatan hasil tangakapannya.

Armada kapal yang mendarat di pelabuhan perikanan memiliki kewajiban untuk melaporkan

hasil tangkapannya kepada pengawasperikanan dan mendaratkan ikan hasil tangkapan di

pelabuhan pangkalan. Verifikasi hasil tangkapan ikan dilakukan sebagai persyaratan

dikeluarkannya Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) atau catch recording. Sertifikat Hasil

Tangkapan Ikan (SHTI) merupakan surat keterangan yang menyatakan bahwa hasil perikanan

yang diekspor bukan dari kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Informasi

yang tercantum dalam laporan hasil verifikasi yang kemudian didokumentasikan dalam sertifikat

hasil tangkapan ikan antara lain: nama kapal, surat izin, jenis alat tangkap, waktu penangkapan,

daerah penangkapan ikan, pelabuhan pangkalan, jenis ikan dan berat atau jumlah ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per. 13 /MEN/ 2012

tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan menyatakan bahwa SHTI merupakan alat

penelusuran (traceability) hasil tangkapan ikan pada tahapan penangkapan, pengolahan,

pengangkutan dan pemasaran. Sertifikat tersebut dapat membantu pemerintah dalam

memberantas (menghindari, melawan dan memerangi) kegiatan IUU Fishing di perairan

Indonesia. Selain itu sertifikat hasil tangkapan juga menjamin ikan yang ditangkap sesuai dengan

aturan yang berlaku baik nasional dan internasional, sehingga dapat memperlancar kegiatan

perdagangan hasil tangkapan ikan dari laut oleh kapal penangkap ikan Indonesia dan/atau kapal

penangkap ikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung dipasarkan ke Uni Eropa.

SHTI diberikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kepada armada kapal yang memiliki surat

izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan dengan ukuran > 20 GT dan kapal

dengan ukuran < 20 GT. Pada pelaksanaanya, Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan

kewenangannya kepada Direktur Jenderal selaku otoritas kompeten, kemudian ditingkat

lapangan dilakukan oleh otoritas pelabuhan perikanan melalui unit pelaksana teknis kementerian

atau unit pelaksana teknis daerah.

Page 17: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Dalam memroses penerbitan SHTI, petugas di pelabuhan perikanan melakukan verifikasi

terhadap:

• Kelengkapan dokumen izin penangkapan ikan (SIPI atau Bukti Pencatatan Kapal

Perikanan)

• Hasil pemeriksaan Logbook penangkapan ikan

• Kedatangan kapal perikanan di pelabuhan perikanan yang dibuktikan dengan Surat Tanda

Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK)

• Hasil pengumpulan data produksi kapal perikanan di pelabuhan perikanan

• Memperhatikan standar waktu pelayanan penerbitan SHTI

Dalam rangka memastikan penelusuran hasil perikanan yang akan diekspor, Otoritas Kompeten

Lokal Pelabuhan Perikanan dapat melakukan pengecekan asal bahan baku hasil perikanan pada

unit penangkapan ikan dan pengolahan ikan terkait (pasal 17 Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan No. 13 tahun 2012 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan).

Figure 10 Skema penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan

Page 18: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

5.2 SERTIFIKAT KELAYAKAN PENGOLAHAN IKAN UPI

Produk hiu dan pari di Indonesia termasuk sirip hiu dibeberapa tempat diolah menjadi produk

turunan sirip seperti sirip kering danhisit hiu kering. Pengolahan sirip hiu tersebut dilakukan

oleh usaha kecil dan menengah yang tersebar di berapa wilayah di Indonesia, terutama di

daerah yang terdapat pendaratan hiu. Beberapa tempat pengolahan ikan termasuk hiu beberapa

diantaranya ada yang terdaftar di dalam Unit Pengolahan Ikan (UPI).

Dalam rangka menjamin mutu dan keamanan hasil perikanan serta peningkatan nilai tambah

produk perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan No 72 tahun 2016 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penerbitan

Sertifikat Kelayakan Pengolahan. Berdasarkan peraturan ini, sertifikat diberikan kepada pelaku

usaha Unit Pengolahan Ikan yang telah menerapkan cara pengolahan Ikan yang baik (good manufacturing practices) dan memenuhi persyaratan prosedur operasi sanitasi standar

(standard sanitation operating procedure). Melalui peraturan Menteri tersebut, diatur juga

mengenai bahan baku, penanganan dan pengolahan, pengemasan dan penyimpan serta sanitasi

lingkungan termasuk proses – proses pengolahannya.

5.3 REKOMENDASI PERDAGANGAN PRODUK HIU DAN PARI

Produk hiu dan pari memiliki nilai jual yang cukup tinggi, sehingga dipasarkan baik di pasar

domestik maupun pasar internasional. Dalam rangka mengendalikan dan mengontrol

perdagangan produk hiu dan pari dari dan ke Indonesia, Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang

Laut (PRL) - Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Dirjen PRL No 5

tahun 2016 tentang Pedoman Standar Pelayanan Publik di Lingkungan Direktorat Jenderal

Pengelolaan Ruang Laut. Produk pelayanan dapat berupa penyediaan barang, jasa, dan/atau

produk administrasi yang diberikan dan diterima oleh pengguna layanan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan. Produk layanan dimaksud meliputi pemberian surat

rekomendasi hiu dan sirip utuh, pari, insang pari dan kulit pari, dan produk olahan hiu dan

pari.

Surat rekomendasi tersebut diberikan oleh unit pengelola teknis di bawah Direktorat

Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) kepada pelaku usaha yang akan melalu

lintaskan produk – produk hiu dan pari baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan surat

rekomendasi tersebut dimungkinkan untuk mengendalikan dan menghentikan perdagangan jenis

– jenis hiu yang dilindungi dan jenis – jenis yang dilarang keluar dari negara Indonesia. Selain itu,

surat rekomendasi tersebut juga dapat dipergunakan unutk melakukan monitoring perdagangan

produk hiu dan pari di Indonesia.

5.4 PENJAMINAN KESEHATAN IKAN DAN HASIL PERIKANAN

UNTUK PERDAGANGAN DOMESTIK DAN EKSPOR.

Pengawasan perdagangan hasil perikananan dilakukan oleh Badan Karantina Ikan, Pengendalian

Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan No 32/PERMEN-KP/2014 tentang Pelayanan Publik di Lingkungan Kementerian

Kelautan dan Perikanan yang dimaksud Pelayanan Jasa Publik meliputi Pelayanan Jasa Tindakan

Karantina. dan Pelayanan Administrasi Penerbitan Sertifikasi dan/atau rekomendasi di bidang

karantina ikan dan pengendalian mutu hasil perikanan. Pelayanan tersebut antara lain berupa

Penjaminan Kesehatan Ikan dan Hasil Perikanan serta mutu dan keamanan hasil perikanan

ekspor, impor, dan perdagangan domestik.

Pada praktek pelayanannya, BKIPM melalui unit pelaksana teknis melakukan pengecekan kepada

semua produk perikanan termasuk produk hiu dan pari yang akan dilalu lintas di dalam negeri,

ke luar negeri maupun dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Khusus pengecekan produk

hiu dan pari seperti sirip hiu dan daging, proses pengecekan dilakukan setelah adanya surat

Page 19: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

rekomendasi dari BPSPL. Untuk produk yang akan dilalu lintaskan di tingkat domestik, produk

yang lolos pengecekan akan mendapat dokumen sertifikat kesehatan ikan perikanan domestik

dan sertifikat keterangan lalu lintas ikan dan produk perikanan. Sementara untuk produk yang

akan dilalu lintaskan ke luar negeri akan mendapatkan Health Certificate for Fish and Fish Product dari BKIPM.

Page 20: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

VI. Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia

6.1 SENTRA PENDARATAN HIU DAN PARI DI INDONESIA.

Hiu dan pari seperti halnya beberapa spesies yang masuk daftar appendiks CITES memiliki nilai

ekonomi yang sangat tinggi. Bagi hiu sendiri, sirip merupakan produk yang memiliki nilai

ekonomi yang paling tinggi, dibandingkan produk lainnya seperti daging, tulang, minyakdan kulit.

Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir produk hiu terbesar di dunia.

Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tahun 2015, produksi ikan hiu selama periode

2005 sampai dengan 2014 menunjukkan kecenderungan peningkatan produksi ikan hiu,

walaupun perubahannya tidak signifikan. Pada tahun 2014 produksi hiu nasional mencapai

49.020 ton dengan nilai Rp 677.900.570.000,00. Dari lima kelompok hiu, hiu lanjaman

(Carcharinidae) memiliki volume produksi terbesar dibandingkan dengan kelompok hiu lainnya

yaitu sebesar 31.113 ton. Setelah hiu lanjaman, hiu tikus menempati peringkat kedua sebagai

kelompok hiu yang memiliki volume produksi terbesar.

No Kelompok Hiu PRODUKSI (TON)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

1 Hiu Botol

(Squalidae) 16,536 14,472 12,066 5,413 5,302 2,585 4,014 3,281 3,863 5,494

2 Hiu Lanjaman

(Carcharinidae) 12,971 25,530 29,687 26,000 28,378 26,454 23,934 28,116 33,681 31,113

3 Hiu Martil

(Sphyrnidae) 253 99 1,423 2,366 3,112 3,438 3,394 1,497 529 658

4 Hiu Tikus

(Alopidae) 13,274 14,474 13,767 9,385 8,210 12,890 18,240 8,792 13,229 11,051

5 Hiu Mako

(Lamnidae) 272 1,363 497 461 830 733 632 350 966 704

TOTAL 43,306 55,938 57,440 43,625 45,832 46,100 50,214 42,036 52,268 49,020

Figure 11 Produksi ikan hiu Nasional periode 2005 - 2014

Sumber: Statistik Perikanan 2014

Page 21: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Ikan hiu dan pari merupakan salah satu komoditi yang penting bagi nelayan di Indonesia.

Perikanan hiu dan pari di Indonesia pada umumnya dilakukan oleh nelayan skala kecil/artisanal.

Alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap hiu antara lain: jaring, pancing, rawai, dan

tombak yang tersebar di seluruh wilayah perairan di Indonesia. Berdasarkan wilayah

pengelolaan perikanan Indonesia, wilayah – wilayah yang berpotensi sebagai lokasi penangkapan

hiu dan pari antara lain wilayah barat Sumatera (WPP 572), selatan Jawa, Bali, dan Nusa

Tenggara (WPP 573), Laut Natuna dan Selat Karimata (WPP 711), Laut Jawa (WPP 712) dan

Laut Arafuru (Tabel 5).

Figure 12 Sentra-sentra Perikanan Hiu dan Pari di Indonesia

No Sentra Perikanan

Kategori/

Level

Pelabuhan

Pengelola Daerah

Penangkapan

1 Lampulo Banda Aceh Pelabuhan

Perikanan

Samudera

UPTD Provinsi WPPNRI 572,

WPPNRI 571

2 Meulaboh, Aceh Barat

(Ujung Baroeh dan

Kuala Tuha)

Pelabuhan

Pendaratan

Ikan

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 572

3 Pelabuhan Ujung

Seurangga - Aceh Barat

Daya

Pelabuhan

Pendaratan

Ikan

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 572

4 Labuhan Haji - Aceh

Selatan

Pelabuhan

Perikanan

Pantai

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 572

5 Pelabuhan Perikanan

Krueng Mane - Aceh

Utara

Pelabuhan

Perikanan

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 571

6 Sibolga, Sumatera Utara Pelabuhan

Perikanan

Nusantara

UPT Pusat WPPNRI 572

7 Bengkulu NA NA WPPNRI 572

8 Lampung NA NA WPPNRI 572,

WPPNRI 712

9 Bangka, Bangka belitung NA NA WPPNRI 711

10 Belitung, Bangka

belitung

NA NA WPPNRI 711

11 Muara Baru, DKI

Jakarta

Pelabuhan

Perikanan

Samudera

UPT Pusat WPPNRI 712,

WPPNRI 718,

WPPNRI 573

12 Muara angke, DKI

Jakarta

Pelabuhan

Perikanan

Nusantara

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 712,

WPPNRI 713,

WPPNRI 711,

WPPNRI 573

13. PP Karangsong,

Indramayu, Jawa Barat

Pelabuhan

Perikanan Ikan

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 712,

WPPNRI 711

14 Pelabuhan Perikanan

Mayangan -

Probolinggo, Jawa

Timur

Pelabuhan

Perikanan

Pantai

UPTD Provinsi WPPNRI 712,

WPPNRI 713

15. Pelabuhan Perikanan

Brondong - Lamongan,

Pelabuhan

Perikanan

UPT Pusat WPPNRI 712,

WPPNRI 713

Page 22: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

No Sentra Perikanan

Kategori/

Level

Pelabuhan

Pengelola Daerah

Penangkapan

Jawa Timur Nusantara

16. Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan ratu – Jawa

Barat

Pelabuhan

Pelabuhan

Perikanan

Nusantara

UPT Pusat WPPNRI 573,

WPPNRI 572

14 Pelabuhan Perikanan

Cilacap, Jawa Tengah

Pelabuhan

Perikanan

Samudera

UPT Pusat WPPNRI 573

17. Pelabuhan Tegal Sari -

Tegal, Jawa Tengah

Pelabuhan

Perikanan

Pantai

UPTD Provinsi WPPNRI 712,

WPPNRI 713

18. Pelabuhan Perikanan

Pekalongan, Jawa

Tengah

Pelabuhan

Perikanan

Nusantara

UPT Pusat WPPNRI 712,

WPPNRI 713

19. Pelabuhan Perikanan

Sadeng - Yogyakarta

Pelabuhan

Perikanan

Pantai

UPTD Provinsi WPPNRI 573

20 Pelabuhan Perikanan

Prigi - Trenggalek, Jawa

Timur

Pelabuhan

Perikanan

Nusantara

UPT Pusat WPPNRI 573

21. Pelabuhan Perikanan

Muncar - Banyuwangi,

Jawa Timur

Pelabuhan

Perikanan

Pantai

UPTD Provinsi WPPNRI 573,

WPPNRI 713

22. Benoa, Bali WPPNRI 573,

WPPNRI 713,

WPPNRI 714.

23 Pelabuhan Perikanan

Kedonganan, Badung -

Bali

Pelabuhan

Perikanan Ikan

UPTD

Kabupaten/Kota

WPPNRI 573

23. Pelabuhan Perikanan

Tanjung luar, Lombok

Timur - NTB

Pelabuhan

Perikanan Ikan

UPTD Provinsi WPPNRI 573,

WPPNRI 713

24 Flores Timur, NTT WPPNRI 573,

WPPNRI 713

25. Bima, Sumbawa WPPNRI 573,

WPPNRI 713

26. Halmahera Selatan,

Maluku Utara

WPPNRI NRI 715

27. Sungai Pemangkat,

Kalbar

WPPNRI 711

28. Balikpapan, Kaltim WPPNRI 713

Page 23: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Figure 13 Sentra – sentra pendaratan hiu dan pari di Indonesia.

6.2 PRODUK HIU DAN PARI

Bagian tubuh Hiu dan pari memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi masyarakat nelayan,

pedagang lokal dan eksportir antara lain; daging, tulang rawan, kulit, gigi, rahang, isi perut, hati,

tapis insang, dan sirip. Berdasarkan kategori, produk hiu dan pari diperjual belikan dalam bentuk

daging beku (Frozen), daging kering (dried), daging asin (salted) dan sirip kering.

Daging hiu dan pari dipasarkan secara domestik dan internasional. Untuk konsumsi di tingkat

domestik, daging hiu diolah dengan berbagai cara seperti dibakar, diasap, dipindang, dibuat steak, sup

dan ikan asin. Daging ikan hiu dan pari dapat pula diolah menjadi abon, dendeng bakso, otak-otak

ataukerupuk ikan. Daging ikan hiu yang sudah dijadikan ikan asin dijual ke berbagai kota besar

seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Aceh dan Medan. Di beberapa wilayah seperti Aceh,

daging hiu dijadikan salah satu sumber protein dan kuliner lokal dalam bentuk kari hiu.

Saat ini ekspor daging hiu dan pari dari Indnesia cukup tinggi terutama berasal dari famili

Carcharhinidae. Negara yang menjadi tujuan ekspor daging hiu dan pari adalah Banglades,

Srilankadan negara- negara Amerika Selatan.

Tulang rawan ikan hiu kering menjadi salah satau komoditas ekspor dengan negara tujuan

utama adalah Jepang. Di Jepang, tulang rawan hiu akan diolah untuk dijadikan bahan dasar

perekat, kosmetik, pupuk, bahkan dijadikan bahan farmasi untuk mengobati kanker. Jumlah

ekspor tulang kering hiu masing sangat kecil dibandingkan produk hiu lainnya seperti daging dan

sirip.

Kulit dan bagian tubuh hiu lainnya biasanya akan ditampung oleh industri yang lebih kecil untuk

dijadikan berbagai macam produk seperti kerupuk kulit, kerajinan, maupun pakan ternak.

Kulit ikan hiu dapat diolah menjadi berbagai macam produk, misalnya pada Hiu Karet (Blue

Shark / Prionace glauca) dan Hiu Martil (Sphyrna sp) dapat digunakan untuk bahan kerupuk,

sedangkan dari jenis hiu dan pari lainnya dapat digunakan untuk bahan industri produk kulit

misalnya dijadikan dompet dan sepatu. Selain jenis hiu, jenis pari yang sering dijadikan bahan

sepatu adalah pari yang memiliki duri seperti genera Himantura dan Dasyatis. Pemasaran

Page 24: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

kerajinan kulit pari cukup luas mulai dari skala lokal, nasional dan beberapa produk dengan

kualitas bagus menjadi salah satu komoditas ekpsor.

Gigi ikan hiu dapat diolah menjadi berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, kancing baju dan

sebagainya. Bagian usus hiu dapat diolah menjadi bahan baku pembuat insulinDisamping itu,

organ usus hiu juga menghasilkan enzim protease sehingga banyak dimanfaatkan dalam berbagai

industri. Pada kelompok hiu botol (Suku Squalidae dan Centrophoridae), minyak hati kelompok

hiu ini biasa dimanfaatkan sebagai pelumas maupun sebagai bahan industri obat dan kosmetik,

karena memiliki kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu minyak hati ikan hiu dari

marga Centrophorus dapat dimanfaatkan sebagai pelumas dan bahan bakar pesawat.

No Bagian tubuh hiu atau Manta Nama produk Tujuan

1 Sirip Sup sirip hiu Sebagain

besar untuk

ekspordan

hanya

sebagian kecil

untuk pasar

domestik

2 Tulang rawan

Pil dan serbuk kesehatan Ekspor

Sumber untuk supplement kesehatan Ekspor

3 Insang kering Pari Manta Sumber obat tradisional Ekspor

4

Minyak hati (Squalinidae)

Kosmetik (lip balm, krim wajah, pembersih) Ekspor

Vaksin Ekspor

Minyak pelumas Ekspor

4

Daging

Fillet Domestik

Ikan Asin Domestik

Baso ikan Domestik

Daging beku Ekspor

5

Kulit

Dompet Domestik

Sepatu Domestik

Ikat pinggang Domestik

Kulit kering Domestik dan

ekspor

6 Gigi Perhiasan dan souvernir Domestik dan

ekspor

Figure 14 Jenis produk hiu dan pari yang dipasarkan

Sirip ikan hiu merupakan bagian tubuh yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi untuk dijadikan

bahan utama sup sirip ikan hiu. Hidangan ini merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran

penyaji makanan laut baik di dalam negeri (Kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya)

maupun di luar negeri (misalnya China, Hongkong. Taiwan, dan Singapura). Rata-rata nilai

ekspor sirip hiu Indonesia mencapai $10.035.000 per tahun (Gambar 8). Periode tahun 2010

dan 2013 merupakan nilai tertinggi eskpor siirp hiu dalam 10 tahun terakhir. Akan tetapi jika

dibandingkan dengan negara lainnya nilai ekspor sirip hiu Indonesia berada di peringkat ke 6.

Negara dengan nilai ekspor tertinggi adalah China (Hongkong) dengan nilai $ 110.152,

kemudian Singapura $ 26.631.000, China $ 23.732.000, Thailand $15.158.000, dan UEA

$14.330.000.

Page 25: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Figure 15 Nilai ekspor produk hiu Indonesia per tahun

6.3 RANTAI PERDAGANGAN HIU DAN PARI DI INDONESIA.

Rantai perdagangan hiu di Indonesia cenderung panjang dan kompleks, mulai dari tingkat

nelayan, pengepul, eksportir, hingga negara-negara tujuan ekspor. Rantai perdagangan di tingkat

pengepul adalah tingkat perdagangan hiu yang paling kompleks di Indonesia karena banyaknya

tingkatan dan menyebabkan sulitnya membangun sistem ketelusuran. Berdasarkan data dari

Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) seluruh Indonesia, alur perdagangan

domestik berasal dari berbagai daerah dengan sumber daya perikanan hiu dan pari yang tinggi

seperti Cilacap, Banyuwangi, Kupang, Lamongan dan Lombok, yang kemudian dikumpulkan oleh

para pengusaha/pengepul lokal dari berbagai provinsi di Indonesia.

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Nila

i eks

po

r si

rip

hiu

pe

r ta

hu

n (

US$

)

Page 26: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Figure 16 Rantai Perdagangan Hiu dan Pari Indonesia

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

--

-

Page 27: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Figure 17 Rantai perdagangan produk hiu dalam negeri

Produk hiu dan pari yang berasal kota-kota asal kemudian dikirim ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Medan untuk selanjutnya diolah baik untuk konsumsi domestik maupun internasional. Negara-negara utama tujuan ekspor produk hiu dari Indonesia antara lain

adalah Jepang, Cina, Taiwan dan Hong Kong, selain itu juga diekspor ke Korea Selatan, Singapura dan Malaysia dimana komoditas utama yang bernilai tinggi berupa produk sirip hiu. Tercatat setidaknya

ada 123 perusahan yang melakukan perdagangan produk hiu dan pari di Indonesia. Perusahan terbanyak terdapat di wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

6.4 TANTANGAN DALAM RANTAI PERDAGANGAN PRODUK HIU DAN

PARI INDONESIA.

Rantai perdagangan produk hiu dan pari di Indonesia sangat komplek karena melibatkan banyak pihak

dari setiap tahapnya. Selain itu, setiap produk memiliki jalur perdagangan yang berbeda dengan tingkat

perubahan bentuk dan jumlah produk sangat tinggi. Salah satu syarat penting dalam menyusun system

ketertelusuran adalah memetakan rantai perdagangan hiu dan pari khususnya yang masuk ke dalam

Appendix II CITES.

Beberapa isu yang teridentifikasi dalam menfidentifikasi ketertelusuran produk hiu dan pari di

Indonesia adalah:

1. Beberapa armada penangkapan hiu dengan ukuran < 5 GT tidak memiliki izin penangkapan.

2. Lokasi pendaratan hiu di Indonesia berada dilokasi remote area, sehingga menyulitkan untuk

melakukan proses pendataan dan monitoring.

3. Di beberapa lokasi, hiu didaratkan dalan keadaan tidak utuh sehingga menyulitkan proses

identifikasi dan pencatatan.

Page 28: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

4. Pencatatan pendaratan ikan tidak terhubung dengan informasi wilayah penangkapan hiu. Hal ini

akan berpengaruh pada penggunaan kuota pendaratan hiu per Propinsi.

5. Rantai distribusi yang panjang membuat pencatatan ketelusuran barang tidak tercatat dengan baik

dan/atau menyulitkan pencatatan.

6. Harmonized System code (kode HS) produk hiu tidak spesifik berdasarkan spesies. Kode HS

hanya berdasarkan jenis produk. Misalnya sirip hiu memiliki kode 0305.71.00.00.

7. Format pencatatan pendaratan ikan berbeda-beda, sehingga menyebabkan masih ada kelemahan

dalam hal pencatatan di lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan hiu (logbook) yang didaratkan

di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum akurat, terdapat kelemahan pada

jumlah sumberdaya manusia pencatat.

8. Pengolahaan produk hiu tidak dipisahkan berdasarkan spesies. Dalam pengolahan produk hiu,

bahan baku daging atau bagian tubuh hiu lainnya dicampur tanpa membedakan species.

9. Pencatatan pendaratan ikan tidak sepenuhnya dijalankan. Masih ada kelemahan dalam hal

pencatatan di lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan hiu (logbook) yang didaratkan di

pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum akurat, juga masih terdapat kelemahan

pada jumlah sumberdaya manusia yang membantu proses pencatatan.

Figure 18 Identifikasi stakeholder yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perdagangan hiu dan pari di Indonesia

Tahapan Stakeholder Tugas dan fungsi

Penangkapan 1. Pemerintah Provinsi. • Perizinan kapal penangkapan ikan < 30

GT.

• Pengaturan pelabuhan perikanan pantai.

• Pengelolaan sumber daya < 12 mil.

• Kapal > 60 GT : DJPT Direktorat

Perijinan dan Kenelayanan

• Nelayan

2. Pemerintah pusat (Kementerian

Kelautan dan Perikanan).

- Perizinan kapal penangkapan ikan

- Pengelolaan pelabuhan ikan skala

nasional dan samudera.

- Pengelolaan sumber daya ikan > 15 mil.

Pendaratan 1. Pemerintah kabupaten

2. Pemerintah provinsi

3. Pemerintah Pusat.

4. Nelayan

Kabupaten : Pelabuhan Pendaratan Ikan

(PPI)

Propinsi : PPP

Pusat : PPN, PPS

Stakeholder: Pemerintah, PS DKP

Nelayan dan Pengumpul

Pengolahan 1. Unit Pengolahan Ikan > Direktorat

Pengelohan dan Bina Mutu/

Karantina (cek lagi)

2. Pengumpul dan Pengolah (indutri

pengolahan)

Perdagangan

Dalam Negeri

1. Balai Pengelolaan Sunber daya

Pesisir dan Laut (BPSPL).

2. Badan Karantina Ikan,

Pengendalian Mutu dan Keamanan

Hasil Perikanan:

3. Balai Konservasi Sumber Daya

Alam.

Page 29: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Tahapan Stakeholder Tugas dan fungsi

4. Pedagang produk perikanan antar

daerah.

Perdagangan

luar Negeri

1. Balai Pengelolaan Sunber daya

Pesisir dan Laut (BPSPL).

2. Badan Karantina Ikan,

Pengendalian Mutu dan Keamanan

Hasil Perikanan:

3. Balai Konservasi Sumber Daya

Alam.

4. Direktorat Jenderal Pengelolaan

Ruang Laut – Kementerian

Kelautan dan Perikanan

5. Direktorat Jenderal Konservasi

Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya.

6. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

– Kementerian Keuangan.

7. Kementerian Perdagangan

8. Eksportir.

BPSPL : untuk

BKIPM:

KSDAE :

Bea Cukai

MA:

Pengumpul, Eksportir

Tahap Regulasi Bunyi / Keterangan

pengaturan

Gap dalam

Implementasi

Regulasi

Penangkapan • Perijinan Armada

Tangkap : Permen KP

No.17 Tahun 2006 pasal

6 ayat (2) dan (3)

• Pencatatan: Log book ,

Observer: Permen KP

No.48 Tahun 2014 pasal

5 ayat (1)

pasal 6 ayat (2)

- Setiap orang atau badan hukum

Indonesia yang menggunakan

kapal untuk melakukan

penangkapan ikan di WPP

Republik Indonesia, wajib

melengkapi dengan SIPI untuk

setiap kapal yang digunakan

pasal 6 ayat (3)

- Kewajiban memiliki SIUP

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 huruf a dikecualikan bagi

kegiatan usaha di bidang

penangkapan ikan yang

dilakukan oleh nelayan dengan

menggunakan sebuah kapal

perikanan tidak bermotor atau

bermotor luar atau bermotor

dalam tidak lebih dari 5 GT.

pasal 5 ayat (1)

- Setiap kapal perikanan yang

memiliki SIPI dan melakukan

operasi penangkapan ikan wajib

dilengkapi dengan log book

penangkapan ikan.

SIPI dan Surat Ijin

Pengangkutan cek

diaturan mana dan

kapal mana yang

diwajibkan

Pendaratan SHTI: Permen KP No.13

Tahun 2012 pasal 6 ayat

(1)

Pasal 6 ayat (1)

- SHTI digunakan sebagai

kelengkapan dokumen ekspor

untuk hasil tangkapan ikan di

laut yang berasal dari kapal

Hanya mengatur kapal

> 20 GT sehingga

tidak ada kewajiban

kapal <10GT untuk

melapor

Page 30: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Tahap Regulasi Bunyi / Keterangan

pengaturan

Gap dalam

Implementasi

Regulasi

*sebagai Surat Keterangan

Asal Pencatatan hasil

Tangkapan Kepelabuhan

penangkap ikan Indonesia dan

kapal penangkap ikan asing.

Pengolahan • Ijin Pengolahan: UPI

(masih draft Permen)

• Sertifikat Kelayakan

Pengolahan (SKP):

Permen KP No.72

Tahun 2016 pasal 3 ayat

(1) dan pasal 6 terkait

alur proses keluarnya

sertifikat

pasal 3 ayat (1)

- Terhadap UPI yang telah

menerapkan Cara Pengolahan

Ikan yang Baik (good manufacturing practices) dan

memenuhi persyaratan Prosedur

Operasi Sanitasi Standar

(standard sanitation

operating procedure)

diberikan SKP oleh Menteri KKP

Perdagangan Dalam

Negeri

KSDAE : SATS-DN

Kepmenhut 447/ 2003

pasal 61

pasal 61

- Seluruh kegiatan peredaran

komersial dalam negeri wajib

disertai Surat Angkut

Tumbuhan dan Satwa Liar

Dalam Negeri (SATS-DN).

Perdagangan Luar

Negeri

KSDAE : Export permit

• Kepmenhut 447/ 2003

pasal 63 ayat (1)

Permen Kemdag untuk

Perdagangan Spesies yang

dilindungi

BKIPM: Health Certificate

untuk kesehatan Ikan

Permen KP No. 26 Tahun

2008 pasal 3 ayat (1)

Beacukai : Undang-undang

Kepabean

pasal 63 ayat (1)

- Peredaran komersial luar negeri

baik ekspor, impor, re-ekspor

maupun introduksi dari laut

wajib disertai dengan Surat

Angkut Tumbuhan dan Satwa

Liar Luar Negeri (SATS-LN)

pasal 3 ayat (1)

- Sertifikat Kesehatan Ikan dan

Produk Perikanan (Health Certificate for Fish and Fish Products) sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a,

diterbitkan apabila media

pembawa yang akan dikeluarkan

dari wilayah Negara Republik

Indonesia telah dilakukan

tindakan karantina dan/atau

memenuhi persyaratan yang

ditetapkan oleh negara tujuan

Page 31: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

VII. Rekomendasi dan aplikasi ketelusuran sirip hiu Sistem ketelusuran produk sirip hiu yang masuk ke dalam daftar Appendik IICITES dilakukan pada

skala nasional hingga global. Hal ini terjadi karena sirip hiu merupakan komoditas ekspor yang

memiliki nilai ekonomi tinggi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan bermuara di negara –

negara pengimpor seperti China, Hongkong, Taiwan, Singapura Thailand dan Jepang. Rantai

perdagangan sirip hiu di Indonesia tergolong sangat komplek dengan berbagai tahapan dan setiap

tahapannya memiliki pelaku usaha yang berbeda (Gambar 11).

Figure 19 Rekomendasi alur ketertelusuran

Titik pelacakan penting (CTEs) yang memungkin dilakukan pencatatan adalah:

1. Titik perpindahan dari nelayan – pengumpul.

2. Pengumpul tingkat 1 – pengumpul lebih besar.

3. Pintu keluar ekspor

Page 32: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pada titik kritis pertama adalah perpindahan hiu dari nelayan kepada pengumpul. Hiu biasanya

didaratkan untuk kemudian dilakukan penjualan dengan lelang atau langsung ke pembeli. Pembeli ini

biasanya tidak hanya membeli hiu dari satu armada melainkan dari berbagai armada. Setelah

dilakukan pembelian para pengumpul tahap 1 melakukan pemisahan produk hiu menjadi beberapa

bagian seperti sirip, daging, tulang dan kulit. Beberapa pengumpul tahap 1 melakukan pengolahan

dengan mencuci dan melakukan pengeringan sirip. Pada tahapan ini dilakukan pencatatan terhadap

asal hiu yang didaratkan pengumpul.

Pada titik kritis kedua adalah perpindahan sirip hiu dari pengumpul kecil kepada pengumpul

besar. Para pengumpul tingkat 1 biasanya pembeli yang berasal dari daerah tempat dilakukannya

penjualan dari nelayan. Pengumpul tahap 1 tersebut kemudian menjual kepada pengumpul yang jauh

besar yang berada di luar kota atau luar provinsi. Pengumpul besar ini menampung sirip dari

berbagai kota dan provinsi dengan pendistribusian menggunakan jalur darat dan laut. Sebelum

melakukan pengiriman antar provinsi pengumpul tahap 1 atau 2 wajib melakukan pencatatan dan

pelaporan barang kepada pihak BPSPL di setiap wilayah. Pencatatan dan pendokumentasian

dilakukan kedalam sistem data based terpusat (nasional), dimana pengisian informasi dilakukan oleh

petugas. Setelah dilakukan pengisian, setiap unit sirip wajib mendapatkan label baru yang memuat

informasi asal produk dan tujuan produk.

Pada titik kritis ketiga: Pengumpul besar di Indonesia biasanya berlokasi di Medan, Jakarta,

Semarang, Surabaya, Medan dan Denpasar. Para pengumpul tersebut mendapatkan produk sirip

kering dari berbagai wilayah di Indonesia yang berbeda provinsi sehingga terjadi penambahan

jumlah dan perubahan kemasan pengiriman. Pada beberpa kasus para pengumpul ini melakukan

penyimpanan di gudangnya masing-masing sampai dilakukan ekspor. Pada tahapan ini para

pengumpul wajib melaporkan kembali kepada pihak BPSPL untuk dilakukan pengecekan dan

pencatatan sebelum dilakukan pengecepak ulang oleh pihak BKPIM untuk kemudian di ekspor

melalui pintu – pintu ekspor.

Page 33: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pihak Tahapan Aktivitas Pencatatan Kode unik

Nelayan

Pendaratan

Hiu yang ditangkap oleh armada

yang terdaftar pada SIPJI Menggunakan

kertas (Form A1) Belum ada

Pemisahan hiu

Hiu appendiks CITES dipisahkan

dan diberi tagging/label/atau

keterangan

Pengumpul

Penerimaan

Sirip hiu appendiks CITES yang

sudah dipisahkan diberi

tanda/tagging kemudian di cuci dan

dikeringkan Menggunakan

kertas (Form A2) Belum ada

Penyimpanan Sirip hiu disimpan berdasarkan jenis

Pengemasan

Sirip dikemas dalam box

berdasarkan spesies dengan

menggunakan label

Pengajuan izin

Pelaku usaha mengajukan Ijin

perdagangan dalam negeri (SAJI -

DN).

Data based

terpusat

(komputerisasi)

UPT KKP

(BPSPL dan

BKIPM)

Pengecekan

Verifikasi dilakukan dari dari form

A1 dan A2

Data based

terpusat

(komputerisasi)

Sirip yang lolos verifikasi diberi

label/barcode Barcode

Penyimpanan data dan informasi

form A1 dan A2 (Form B1)

Eksportir

Penerimaan

Pembacaan barcode terhadap

produk

Data based

terpusat

(komputerisasi)

Pengisian informasi ke dalam data

based (form B1)

Penyimpanan

Sirip hiu disimpan berdasarkan jenis

dengan label/barcode terpasang

Pengemasan

Sirip dikemas dalam box

berdasarkan spesies dengan

menggunakan label/keterangan baru

(Form B2)

Data based

terpusat

(komputerisasi)

Pengajuan izin

pengajuan Ijin perdagangan Luar

negeri (SAJI- LN)

Data based

terpusat

(komputerisasi)

UPT KKP

(BPSPL dan

BKIPM)

Pengecekan

Verifikasi dilakukan dari dari form

B1 dan B2

Data based

terpusat

(komputerisasi)

Sirip yang lolos verifikasi diberi

label/barcode baru Barcode

Penyimpanan data dan informasi

form B2

Figure 20 Rekomendasi alur sistem ketelusuran sirip hiu appendik 2 di Indonesia.

Page 34: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

No Tahapan Informasi

tercantum Kode unik Pihak Bahan Tata cara pelaksanaan

1. Pendaratan Jenis, Tanggal pendaratan, Lokasi pendaratan, Lokasi tangkap

• Jenis: Martil= M, Lanjaman = L, Koboy= K

• Tanggal pendaratan= DDMMYY

• Lokasi pendaratan: Tj Luar : TJ Lampulo

• Wilayah tangkap:

Samudera Hindia,Laut jawa, Selat Bali

• Individu ke _

Contoh kode

M121219-Lampulo – Hindia - 1

Nelayan / pengumpul

Bahan sementara contoh pita laundy roll

• Penandaan (tagging) dilakukan di pelabuhan atau tempat pendaratan.

• Sirip Hiu Appendiks yang sudah dipisah dan masih basah di-tag dengan pita laundry.

• Posisi tag pada ujung atas sirip dorsal (liat gambar 1.)

• Informasi tangkapan ditulisan tangan pada pita laundry.

• Ukuran pita 1.5 x 5 cm

• Dilakukan pencatatan pada form 1.

• Tagging sementara dipertahankan hingga penggantian tagging resmi .

2. Gudang pengumpul

Kode provinsi.Tahun kuota.Kode perusahaan. Tanggal pendaratan. Individu ke-

• Kode jenis hiu. Martil Lewini= ML, Martil Mokkaran =MM, Lanjaman =L

• Kode provinsi

Contoh: 01 = Aceh

• Tahun kuota

Contoh: 2019

• Kode perusahaan : adalah kode yang akan diberikan B/LPSPL kepada pemilik SIPJI di provinsi

• Tanggal pendaratan dituliskan sesuai yang tercantum pada tagging sementara

• Informasi “individu ke-“ dituliskan sesuai yang tercantum pada tagging sementara

Contoh :

ML.01.2019.01.020319.1

Martil lewini. Provinsi Aceh, kuota tahun 2019, perusahaan, didaratkan pada 2 maret 2019 individu ke 1.

Pengumpul / pemilik SIPJI Perdagangan DN

Bahan disiapkan oleh pemerintah

• Penandaan (tagging) dilakukan di gudang penyimpanan pengepul.

• Sirip Hiu Appendiks yang sudah dipisah di-tag dengan tagging yang telah disiapkan

• Posisi tag pada ujung atas sirip dorsal (liat gambar 1.)

• Informasi tangkapan ditulisan tangan pada tagging

• Dilakukan pencatatan pada form 2

• Proses pengiriman sirip hiu Appendiks CITES melalui penerbitan SAJI-DN dilakukan per set, yang terdiri dari minimal 1 dorsal dan 2 pektoral

• Satu kemasan pengiriman hanya untuk satu jenis dan tidak boleh dicampur dengan jenis lain

Figure 21 Rekomendasi penanda produk hiu

Page 35: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

VIII. Peta Jalan (Road Map) Sistem Ketelusuran Produk Hiu

Dan Pari di Indonesia

Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3274);

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5073);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang

Tahun 2005 sampai 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4866); 8. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan

dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan

Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 141); 9.

5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

(Lampiran diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi

6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi

Secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);

7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian

Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Republik

Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92

Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142); 11. Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Kelautan dan Perikanan;

8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 61/PERMEN-KP/2018

tentang Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi Dan/Atau Jenis Ikan Yang Tercantum Dalam

Appendiks Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora

9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/Men/2010 tentang Log Book

Penangkapan Ikan

10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan

Tangkap di Laut Lepas

11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2013 tentang Pemantau Kapal

Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan

Page 36: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha

Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

13. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan

Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus)

14. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan

Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta

Page 37: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Identifikasi Permasalahan

Page 38: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Kategor

i

Isu dan permasalahan Status pelaksanaan Rekomendasi

Arm

ad

a T

an

gkap

• Armada kapal yang menangkap hiu

berukuran 5GT hingga > 60GT).

• Kapal berukuran 5GT atau lebih

kecil dari tidak memiliki kewajiban

untuk memiliki SIUP, SIPI dan SIKPI.

Registrasi kapal hanya berupa surat

ijin kepemilikan kapal yaitu "pas

kecil"

Hiu tertangkap atau ditangkap di perairan

pesisir dengan armada berukuran < 60GT

dan di laut lepas dengan armada berukuran >

60GT.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI

Nomor 30/Men/2012 Tentang Usaha

Perikanan Tangkap di WPP RI Pasal 12

(1) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a

dikecualikan bagi:

a. nelayan kecil; dan

b. Pemerintah, pemerintah daerah, atau

perguruan tinggi untuk

kepentingan pelatihan dan

penelitian/eksplorasi perikanan.

(2) Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(2) huruf b dan huruf c, dikecualikan bagi

nelayan kecil dan kewajiban tersebut diganti

dengan Bukti Pencatatan Kapal.

Pengefektifan

registrasi kapal

ukuran ≤ 5GT

Kapal penangkap hiu ukuran > 5GT

ada yang memiliki ijin dan tidak

memiliki ijin

Kapal berukuran > 5GT wajib memiliki SIUP,

SIPI dan SIKPI.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI

Nomor 30/Men/2012 Tentang Usaha

Perikanan Tangkap Di WPP RI

Pasal 86

(1) Dokumen yang ada di atas kapal

penangkap ikan dan/atau kapal

pengangkut ikan terdiri atas:

a. SIPI/SIKPI asli;

b. Surat Laik Operasi (SLO) asli; dan

c. Surat Persetujuan Berlayar (SPB) asli

Pengefektifan

registrasi kapal

ukuran > 5GT

Alat tangkap tidak selektif dan multi

alat tangkap

Sekitar 70% hiu yang didaratkan merupakan

hasil tangkapan sampingan (bycatch).

Beberapa jenis alat tangkap yang memiliki

potensi tinggi tertangkapnya hiu yaitu: (1)

Trawl dan modifikasi trawl; (2) Jaring insang;

(3) Pancing rawai (longline, tuna longline,

rawai dasar, rawai hanyut); (4) Pukat cincin

(purse seine)

Pengefektifan

penegakan aturan

tentang

pelarangan alat

tangkap yang tidak

ramah lingkungan

Lo

kasi

Pen

an

g

kap

an Lokasi ditangkap atau tertangkap nya

hiu sebagian di open seas, terutama

kapal berukuran > 60 GT

Penangkapan ikan di laut lepas menganut

prinsip kebebasan sehingga tidak ada

kewajiban atau pemeriksaan dokumen dan

pencatatan aktivitas penangkapan ikan di laut

lepas (open sea).

Pen

dara

tan

Tidak semua hiu didaratkan di

pelabuhan wilayah penangkapan

(fishing ground) nya.

• Pencatatan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan

(SHTI) ada tetapi belum efektif.

• Perbedaaan lokasi pendaratan dan wilayah penangkapan menjadikan ketelusuran lebih

kompleks.

• Pencatatan di pelabuhan belum tentu

mencatat asal wilayah ikan tersebut

ditangkap. Hal ini akan berpengaruh pada

penggunaan kuota pendaratan per Propinsi

Diperlukan format

formulir verifikasi

yang sama antar

wilayah dan

sistem input data base yang online

dan terpusat

Page 39: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pencatatan pendaratan ikan tidak

terhubung dengan informasi wilayah

penangkapan hiu. Hal ini akan

berpengaruh pada penggunaan kuota

pendaratan hiu per Propinsi

Pencatatan memiliki format yang berbeda dan

tidak terhubung dengan informasi wilayah

penangkapan (fishing ground) sehingga

pencatatan hanya menghitung jumlah hiu yang

didaratkan di Propinsi tersebut. Hal ini pada

akhirnya akan berpengaruh pada penggunaan

kuota pendaratan hiu per Propinsi yang telah

ditetapkan pemerintah.

Perbedaaan lembaga pengelola pelabuhan

perikanan misalnya PPS (Pelabuhan Perikanan

Samudera) dan PPN (Pelabuhan Perikanan

Nusantara) oleh pemerintah pusat, PPP

(Pelabuhan Perikanan Pantai) dan PPI

(Pangkalan Pendaratan Ikan) membuat

pencatatan memiliki format dan tingkat

kualitas data yang berbeda.

Pencatatan

mencakup detail

asal usul atau dari

wilayah mana hiu

tertangkap/

ditangkap

Diperlukan format

formulir verifikasi

yang sama antar

wilayah dan

sistem input data base yang online

dan terpusat.

Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)

yang luas untuk cakupan wilayah kerja

BPSPL

Terdapat kegiatan verifikasi hiu yang

didaratkan, namun pelaksanaan pengawasan

lalu lintas perdagangan jenis ikan yang

dilindungi belum efektif, salah satu nya adalah

tidak ada nya BPSPL di semua WPP, sehingga

pengawasan lalu lintas perdagangan jenis ikan

yang dilindungi tidak langsung dilakukan oleh

BPSPL namun dibantu oleh PSDKP, Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten/ Propinsi

setempat

Sertifikasi

kualifikasi SDM

yang akan

membantu BPSPL

dalam pengawasan

lalu lintas

perdagangan jenis

ikan yang

dilindungi

Pencatatan pendaratan ikan tidak

sepenuhnya dijalankan

Masih ada kelemahan dalam hal pencatatan di

lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan

hiu (logbook) yang didaratkan di pelabuhan-

pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum

akurat, masih terdapat kelemahan pada

jumlah sumberdaya manusia pencatat.

Kemampuan petugas enumerator untuk

mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu

(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning)

mutlak diperlukan

Diperlukan SDM

dan sistem

database yang

mudah untuk

menginput dan

menyimpan data

pendaratan ikan

Peningkatan

kapasitas

enumerator

dalam mengidentifikasi

jenis hiu

Terdapat hiu yang didaratkan tidak

utuh, sehingga kesulitan untuk

diidentifikasi

Praktik ini cenderung membiaskan jumlah

tangkapan hiu sebenarnya yang terjadi.

Praktik ini dapat dikategorikan sebagai ilegal

dan unreported fishing.

Kewajiban

mendaratkan hiu

secara utuh

Banyak hiu yang memiliki nama lokal

yang sama walaupun dari spesies yang

berbeda. Contoh: hiu lanjaman untuk

semua spesies dari genus

Charchahinus dan hiu martil untuk

semua jenis Spyrna. Sedangkan dalam

CITES pengaturan ketelusuran

komoditas dilakukan per spesies

Kemampuan petugas enumerator untuk

mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu

(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning)

mutlak diperlukan

Peningkatan

kapasitas

enumerator

dalam

mengidentifikasi

jenis hiu

Pen

go

lah

an

Dalam pengolahan produk hiu, bahan

baku daging atau bagian tubuh hiu

lainnya dicampur tanpa membedakan

species

Pengolahan produk hiu tidak memisahkan per

spesies hiu

Dari proses

pendaratan,

distribusi ke

pengolahan

sampai ke proses

pengolahan harus

dipisah per

spesies.

Page 40: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Tidak semua Sentra pengolahan atau

Unit Pengolahan Ikan (UPI) memiliki

nomer registrasi atau terdaftar.

UPI berskala indutri rumah tangga sehingga

kesulitan dalam memenuhi kriteria HACCP

Sentra pengolahan

didorong untuk

menjadi UPI

Sentra pengolahan tidak mensyaratkan

surat keterangan asal barang dari

distributor, pelabuhan pendaratan

atau tempat pelelangan ikan.

Surat asal barang tidak menjadi persyaratan

oleh industri pengolahan saat penerimaan

bahan baku

Surat asal usul

barang dijadikan

syarat saat

penerimaan bahan

baku

Dalam penyimpanan stok bahan baku

hiu di gudang, hiu dicampur, tidak

dipisahkan perjenis maupun waktu

datang nya bahan bau tersebut.

Pemisahan biasanya dilakukan berdasarkan

jenis bahan baku dan teknik penyimpanan,

misalnya daging disimpan secara beku, sirip

disimpan secara kering

Penyimpanan

barang (hiu)

dikemas agar

informasi asal usul

bahan baku tidak

hilang

Tidak ada atau tidak lengkap nya

pencatatan lalu lintas barang keluar

Pencatatan barang keluar masuk tidak spesifik

mencatat informasi jenis hiu dari setiap

produk olahan. Sejak proses pengolahan

tidak ada pembedaan spesies hiu, bahkan hiu

dicampur sehingga informasi jenis spesies dan

asal barang ataupun kemungkina besar sudah

tidak ada lagi

Penyimpanan (hiu)

dikemas agar

informasi asal usul

bahan baku tidak

hilang

Dis

trib

usi

Tidak memiliki surat keterangan asal

usul (SHTI) dan surat jalan (surat

angkut) termasuk informasi tujuan

pengiriman barang

• Surat keterangan asal usul tidak menjadi

persyaratan pasar.

• Tidak ada surat angkut barang dari penjual

ke pembeli.

• Pencampuran spesies dalam proses

pengolahan sudah tidak memungkinkan lagi

adanya pemisahan spesies untuk tujuan

ketelusuran

Sosialisasi spesies

ikan yang

dilindungi yang

sering

diperdagangkan

kepada penegak

hukum dan Dinas

Perhubungan

Lalu lintas barang melalui transportasi

darat sulit terverifikasi

Lalu lintas barang melalui darat sulit

terverifikasi karena tidak ada pemeriksaan

khusus di perbatasan antar Propinsi

Rantai distribusi yang panjang

membuat pencatatan ketelusuran

barang tidak tercatat dengan baik atau

menyulitkan pencatatan

Rantai distribusi yang panjang di mulai setelah

pendaratan ikan hingga distribusi ke

konsumen membuat keakuratan pencatatan

menurun bahkan kemungkinan besar dari

proses tersebut tidak dilakukan lagi kontrol

pencatatan asal usul bahan baku.

Diperlukan

teknologi

informasi input

data yang terpusat

dan terhubung.

Informasi yang

diperlukan

mencakup asal

usul bahan baku,

produk olahan,

siapa industri

pengolahan nya,

informasi waktu

kapan produk

diproduksi dan

tujuan distribusi

produk Beragam nya asal dan jenis bahan baku

membuat pencatatan di pengumpul

kompleks, lemah atau tidak ada

pencatatan sama sekali

Rantai distribusi yang panjang dan beragam

nya asal, jenis bahan baku dan perbedaan

waktu bahan baku diterima pengumpul

membuat pencatatan di pengumpul

kompleks, bahkan tidak ada pencatatan sama

sekali.

Memperpendek

rantai distribusi

dapat membantu

ketelusuran,

mereduksi biaya

dan menjaga

kualitas produk

Kemasan produk olahan belum

terstandarisasi

Kemasan produk olahan belum

terstandarisasi sehingga tercampur dengan

produk olahan lainnya, khususnya produk

yang memiliki metode distribusi yang sama

Membuat dan

mengefektifkan

penggunaan

kemasan yang

terstandar dan

memuat informasi

Page 41: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

asal usul bahan

baku. L

alu

lin

tas

dala

m

negeri

Pencatatan distribusi antar propinsi

tidak sepenuh nya dilakukan karena

representasi UPT tidak ada di seluruh

Propinsi. BPSPL saat ini ada di

Propinsi Sumatera Barat, Riau

Kepulauan, Banten, Bali, Kalimantan

Barat, Sulawesi Selatan

Daerah yang belum ada BPSPL atau bukan

Wilayah Kerja BPSPL, maka pengawasan

perdagangan jenis yang dilindungi dibantu

oleh PSDKP atau Dinas Kelautan dan

Perikanan setempat. Sumberdaya Manusia

yang membantu tersebut haruslah

berkompeten yang dibuktikan dengan

sertifikat. Minimal di tiap Pendaratan memiliki

satu orang yang kompeten untuk

memverifikasi dokumen SHTI

Harus disertai

dokumen

karantina/sertifikat

sanitasi produk

hewan.

Ikan tidak didaratkan di pelabuhan,

bahkan beberapa langsung diserahkan

ke pengumpul

Tidka ada proses pencatatan Pengefektifan

aturan kewajiban

pendaratan ikan di

pelabuhan dan

pencatatan

pendaratan ikan

Lalu

lin

tas

luar

negeri

Harmonized System code (kode HS)

Produk hiu tidak spesifik berdasarkan

spesies

Kode HS hanya berdasarkan jenis produk.

Misal nya sirip hiu memiliki kode

0305.71.00.00

Pintu ekspor banyak dan illegal Ekspor dilakukan melalui transhipment di laut, jalur darat

Pengefektifan

pengawasan

transhipment

Alur perijinan ekspor belum

tersosialisasi dengan baik sehingga

banyak ekportir yang tidak

mengetahui alur perijinan eksport

dengan baik

Perijinan eksport oleh pihak ketiga Sosialisasi

prosedur ekspor

hiu

Koordinasi dengan KLHK sebagai MA

CITES yang mengeluarkan Ijin ekspor

dengan KKP yang mengelola tahapan

mulai dari penangkapan hingga

compliance untuk mendapatkan ijin

export

Koordinasi untuk menerapkan persyaratan

ijin ekspor yang akan dikeluarkan oleh KKHL

Meningkatkan

koordinasi

Kuota ekspor untuk spesies hiu

Appendix II CITES masih nol (dilarang

ekspor) dan untuk jenis lainnya belum

ada

Hiu Appendix II CITES yang dilarang untuk

diekspor yaitu hiu koboi, hiu martil

Pembuatan NDF

dan pengaturan

kuota ekspor dan

kuota penjualan

dalam negeri

Informasi pemeriksaaan barang Belum ada penanda barang yang menyatakan bahwa barang tersebut sudah terverifikasi

Mekanisme secara visual untuk

menerangkan

bahwa produk

olahan tersebut

telah diverifikasi

oleh otoritas RI

Traceability tidak disyaratkan oleh

pasar luar negeri

Perdagangan hiu merupakan perdebatan di

dunia secara global, meskipun CITES telah

mengatur perdagangan global nya, namun

ketidak telusuran spesies hiu dan asal usul

nya yang menjadi masalah untuk menjamin

kelestarian populasi hiu di alam

Edukasi konsumen

dan pasar

Page 42: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Data

Format pencatatan pendaratan ikan

yang berbeda-beda

Masih ada kelemahan dalam hal pencatatan di

lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan

hiu (logbook) yang didaratkan di pelabuhan-

pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum

akurat, terdapat kelemahan pada jumlah

sumberdaya manusia pencatat.

Kemampuan petugas enumerator untuk

mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu

(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning)

mutlak diperlukan

Data ini dapat

menjadi

pertimbangan

untuk pengaturan

lokasi

penangkapan,

pengaturan jenis

alat tangkap, dan

musim

penangkapan

dianjurkan.

Lebih lanjut, data

yang ada dapat

digunakan untuk

penelitian lebih

lanjut tentang

wilayah kawin

(mating area),

wilayah

pembesaran

anakan (nursery

ground) dan

pelepasan anakan.

Page 43: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Desain Alur Ketelusuran Perdagangan Produk Hiu dan Pari

Page 44: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Peta Jalan Ketertelusuran Produk Hiu dan Pari 2020-2024

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5

Peraturan

Perundangan

Surat Dirjen

PRL kepada

Kepala BKIPM,

BPSPL, PSDKP

tentang

penerapan

Permen-KP

61/2018 dan

perangkat

turunan nya

(Juknis

stracability,

SOP

pemberian

surat

rekomendasi)

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

Semester 1

Surat Menteri

KP kepada

Kemdag,

Kemenkeu

tentang

penerapan

Permen-KP

61/2018

Dit KKHL

Dirjen PRL

Menteri

KKP

Kementerian

Perdagangan

&

Kementerian

Keuangan

Semester 1

Page 45: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

Surat dari

Dirjen PRL

untuk

kesamaan

format

rekomendasi

perdagangan

BPSPL

Minimal

keputusan

Dirjen untuk

Juknis

Traceability

hiu dan pari

Dit KKHL

Dirjen PRL

Semeter1

Legalitas

Kelembagaan

dan

Implementasi

Peraturan

Perundangan

dalam

Ketelusuran

Surat notifikasi

MA CITES dari

KKP ke

Sekretariat

CITES

(tembusan ke

Kemlu, KLHK,

Kemendag dan

Bea Cukai)

Dit KKHL

Dirjen PRL

Menteri

KKP

Kementerian

Luar Negeri,

KLHK

CITES

Sekretariat,

Kementerian

perdagangan,

Bea Cukai

Semeter1

Kuota Tangkap

Page 46: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

Formulasi dan

Legalisasi Kuota

Tangkap dan

Ekspor

Usulan kuota

penangkapan

per provinsi

untuk

perdagangan

hiu lanjaman

dari UPT ke

Dit. KKHL

(format

seragam)

BPSPL

Dit KKHL

P2B LIPI

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Setiap UPT BPSPL

KKHL Jakarta

Usulan kuota

penangkapan

dari Dirjen

PRL ke LIPI

cq. Kepala P2B

BPSPL

Dit KKHL

P2B LIPI

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP Jakarta

P2B LIPI

Cibinong

Penetapan

kuota

penangkapan

setiap provinsi

oleh Dirjen

PRL

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP Jakarta

Penyampaian

kuota

penangkapan

dari Dirjen

PRL kepada

Kepala UPT

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP Jakarta

Page 47: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

Penetapan

formulasi

pembagian

kuota

penangkapan

dari Kepala

UPT ke

pemilik SIPJI

Perdagangan

DN

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

Pengusaha

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Di Setiap

UPT

BPSPL dan

Wilayah

kerjanya

Penetapan

kuota

penangkapan

dari Kepala

UPT ke

pemilik SIPJI

Perdagangan

DN

BPSPL

Pengusaha

pemegang

SIPJI

Perdagangan

DN

Semester 2 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Di Setiap

UPT

BPSPL dan

Wilayah

kerjanya

Kuota

Ekspor

Penetapan

kuota ekspor

tahunan

dengan

menyertakan

detail

informasi

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

P2B LIPI

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP

Jakarta

P2B LIPI

Cibinong

Page 48: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

perhitungan

untuk

1. Sirip

2. Daging

3. Tulang

dan organ

tubuh

lainnya

Penetapan

formulasi

pembagian

kuota ekspor

kepada pemilik

SIPJI

Perdagangan

LN

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

P2B LIPI

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP

Jakarta

P2B LIPI

Cibinong

Penetapan

kuota ekspor

kepada pemilik

SIPJI

Perdagangan

LN

BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP

Jakarta

Di setiap

UPT

Penetapan HPI

dan PNBP

Pemanfaatan

Jenis Ikan di

Lindungi dana

Usulan PNBP

pemanfaatan

Jenis Ikan

untuk merevisi

PP 75/ 2015

tentang PNBP

di KKP oleh

Dit KKHL

Dirjen PRL

Kementerian

Keuangan

Semester 1 & 2 Semester 1

Page 49: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

tau Appendix

CITES

Ditjen PRL

kepada

Kementerian

Keuangan

Proses Revisi

PP75/ 2015

Dit KKHL

Dirjen PRL

Biro hukum

KKP

Kementerian

Keuangan

Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2

Usulan Harga

Patokan Ikan

oleh Ditjen

PRL kepada

Kementerian

Perdagangan

Dit KKHL

Dirjen PRL

Kementerian

Perdagangan

Semester 1 &

2

Peningkatan

Kapasitas

(BIMTEK dan

Sosialisasi)

Bimbingan

teknis

identifikasi hiu

dan pari

terutama

spesies CITES

Appendix

Puslatluh

KKP

KKHL

BPSPL

BKIPM

Bea Cukai

Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1

Page 50: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

Bimbingan

Teknis OSS,

Pendampingan

Perijinan dan

Penerbitan

SIPJI, SAJI DN

dan SAJI LN

oleh Ditjen

PRL kepada

UPT BPSPL

Dit KKHL

Dirjen PRL

BPSPL

Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1

Sosialisai dan

Pendampingan

Perizinan dari

BPSPL kepada

pengusaha

Dit KKHL

Dirjen PRL

BPSPL

Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1

Pelayan

Administrasi

Penerbitan Ijin

Pelayanan

penerbitan

surat angkut

DN

Dit KKHL Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2

Pelayanan

penerbitan

surat angkut

LN

Dirjen PRL Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2

Surat dari

Direktur

KKHL kepada

Kepala UPT

B/LPSPL

BPSPL

Page 51: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Pendekatan Langkah

Operasional

Unit Kerja

Terkait Tata Waktu Pelaksanaan

Lokasi

Kegiatan

Anggaran

(RP)

terkait

permintaan

data lalu lintas

produk hiu per

pelaku usaha

per provinsi

Surat dari

Direktur

KKHL kepada

Kepala UPT

B/LPSPL

terkait

permintaan

untuk

melakukan

pemeriksaan

stok gudang

pelaku usaha

Dit KKHL

Dirjen PRL

BPSPL

Catatan:

Rencana penerapan Permen-KP 61/2018:

• 2019 akan diterapakan pada C. falciformis dan Alopias sp.

• 2020 akan diterapakan C. falciformis , kuda laut, napoleon, Sphyrna sp., sidat, kima, BCF dan Alopias sp.

• 2021 akan diterapakan C. falciformis , kuda laut, napoleon, Sphyrna sp.,sidat, kima, BCF, Alopias sp., teripang, Rhincobatus sp., kepiting bakau,

lobster, rajungan, lola,

Page 52: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Daftar Pustaka FAO, 2017. The Food Traceability Guidanace. Santiago. Acessed at

http://www.fao.org/3/i7665en/I7665EN.pdf

ISO, 2015. ISO 9001 2015. 8.5.2 Indentification and traceability

Knuckey, Ian & Ciconte & Koopman, Matt & Hudson & Rogers, Paul. (2014). Trials of Longlines to

Target Gummy Shark in SESSF Waters off South Australia.

Lehr, H. 2015. Traceability study in shark products. Report commissioned by the CITES Secretariat.

Acessed at ttps://cites.org/sites/default/files/eng/prog/shark/docs/BodyofInf11.pdf

Mundy, V. and Sant, G. (2015). Traceability systems in the CITES context: A review of experiences,

best practices and lessons learned for the traceability of commodities of CITESlisted shark species.

TRAFFIC report for the CITES Secretariat.

Page 53: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

LAMPIRAN 1. FORM PENGISIAN DATA PENANGKAPAN HIU DILINDUNGI APPENDIKS CITES.

FORMAT A1 PENGISIAN DATA PENANGKAPAN HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS

No Kode Tanggal

penangkapan Nama Kapal

Lokasi

penangkapan

(WPP)

Jenis hiu Jumlah

(Ekor)

Tanggal

pendaratan Lokasi pendaratan

Page 54: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

LAMPIRAN 2. FORM PENGISIAN DATA PENGOLAHAN HIU DILINDUNGI APPENDIKS CITES

FORMAT A2 PENGISIAN DATA PENGOLAHAN HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS

No No

Batch

Kuantitas

(kg)

Nama

jenis hiu

Nama

produk

Asal

produk

Kategori

pengolahan

Lama

penyimpanan

(hari)

Lokasi

penyimpanan

(kota)

Tujuan

pengiriman

(kota)

Metode

pengiriman

Page 55: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

LAMPIRAN 3. FORM PENGISIAN DATA PENGIRIMAN DALAM NEGERI HIU DILINDUNGI APPENDIKS

FORMAT B1 : PENGISIAN DATA PENGIRIMAN DALAM NEGERI HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS

No

Batch

Kuantitas

(kg)

Nama

perusahan

Nama

produk

Asal

produk

Kategori

pengolahan

Lama

penyimpanan

(hari)

Lokasi

penyimpanan

Ikota)

Tujuan

pengiriman

(kota)

Metode

pengiriman

Page 56: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …

Lampiran 4. Form pengisian data pengiriman luar negeri hiu dilindungi appendiks

FORMAT B2 : PENGISIAN DATA PENGIRIMAN LUAR NEGERI HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS

No Batch

lama

No Batch

baru

Kuantitas

(kg)

Nama

perusahan

Nama

produk

Asal

produk

Kategori

pengolahan

Lama

penyimpanan

(hari)

Lokasi

penyimpanan

(kota)

Negara

tujuan

Metode

pengiriman

Page 57: KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN …