Top Banner
Universitas Indonesia KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) ANTARA LAUT DAN UDARA Oleh : IKHSAN BUDI WAHYONO 0806477106 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KELAUTAN DEPOK 2011 Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011
86

KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Feb 26, 2018

Download

Documents

truongkhuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN

BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS

KARBON DIOKSIDA (CO2) ANTARA LAUT DAN UDARA

Oleh :

IKHSAN BUDI WAHYONO

0806477106

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KELAUTAN

DEPOK

2011

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 2: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN

BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS

KARBON DIOKSIDA (CO2) ANTARA LAUT DAN UDARA

TESIS

Untuk diajukan sebagai salah satu syarat

Memperoleh gelar Magister Sains

Oleh :

IKHSAN BUDI WAHYONO

0806477106

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KELAUTAN

DEPOK

2011

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 3: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

LEMBAR PENYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 4: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 5: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Penelitian yang berjudul “Kajian Biogeokimia Perairan Selat Sunda

dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2)

Antara Laut dan Udara” ini, diharapkan melengkapi berbagai studi tentang

pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan

atmosfer. Di samping itu, tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan

kurikulum program Magister Bidang Ilmu Kelautan Pascasarjana Universitas

Indonesia guna memperoleh gelar Magister Sains.

Akhirnya penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas

segala limpahan dan taufiq-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai

dengan batas waktu yang telah ditentukan. Dan bagi pihak-pihak yang telah

banyak membantu penyelesaian tesis ini, dengan kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih yang tulus terutama kepada :

1. Dr. Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc., selaku pembimbing I dan Dr. A Harsono

Soepardjo, M.Eng., selaku pembimbing II yang telah berkenan memberikan

bimbingan, masukan, arahan dan kritikan bersifat konstruktif pada tulisan ini,

serta bantuan lainnya untuk kelancaran proses penyelesaian tugas akhir ini.

2. Dr. rer. nat Abdul Haris, selaku penguji I dan Dr. Rokhmatuloh, M.Eng, selaku

penguji II yang telah memberikan koreksi, kritik dan masukan untuk perbaikan

materi dan format tulisan ini.

3. Dr. Mufti, Ibu Tuti, Pak Sundowo, Pak Titis, seluruh dosen dan pegawai

administrasi di Program Studi Magister Ilmu Kelautan, Universitas Indonesia

yang telah memberikan ilmu serta melaksanakan tugas dengan penuh

keikhlasan.

4. Dr. Ridwan Djamaluddin, Ir. Yudi Anantasena, M.Sc, Dr. Wahyu Pandu, Dr.

Imam Mudita, Dr. Firdaus Manti dan Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc selaku pimpinan

Balai TEKSURLA - BPPT, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan

kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu Kelautan,

Universitas Indonesia.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 6: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 7: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 8: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

NAME : IKHSAN BUDI WAHYONO MARINE SCIENCE

TITLE : STUDY OF BIOGEOCHEMISTRY IN SUNDA STRAIT AND

WEST SUMATERA WATERS VIEWED FROM THE GAS

EXCHANGE OF CARBON DIOXIDE (CO2) BETWEEN THE SEA

AND AIR

SUPERVISORS : Dr. Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc; Dr. A Harsono Soepardjo, M.Eng

ABSTRACT

CO2 is one of the main causes of global warming gases which cause global

climate change, droughts, forest fire, sea level rise and flooding. Natural CO2

sinks are the Mainland, oceans and atmosphere. Indonesian waters has the

potential to absorb CO2 due to high primary productivity.

This research is to know the variability of CO2 in determining whether the

Indonesian waters as carbon sources or carbon sinks and fill the CO2 data gaps.

dan mengisi kekosongan data CO2. Research in February-March 2010 in the

Sunda Strait and April 2010 in west Sumatra, using the RV Baruna Jaya III. Air

pCO2 data obtained from the average of monthly observations of the Global

Atmospheric Watch station in Kototabang Bukittinggi in February, March and

April 2010.

CO2 gases in view of the inorganic carbon parameters, acidity, alkalinity

and total CO2 partial pressure in the study area varies with different values. Sunda

Strait have a role carbon source and west Sumatra as carbon sinks. Partial

pressure of CO2 in the Sunda Strait and west Sumatra is more influenced by the

pH. The average net flux of CO2 in the Sunda strait 841.603 mol CO2cm-2

day-1

which shows the release of CO2 from the ocean into the atmosphere occur in this

region and average net flux of CO2 in the west of Sumatra -945.292 mol CO2cm-

2day

-1 which shows the absorption of CO2 by the ocean occurs in the region.

Keywords : global warming, CO2, carbon, source, sink, partial pressure, flux

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 9: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

NAMA : IKHSAN BUDI WAHYONO ILMU KELAUTAN

JUDUL : KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA DAN

BARAT SUMATERA DITINJAU DARI PERTUKARAN GAS

KARBON DIOKSIDA (CO2) ANTARA LAUT DAN UDARA

PEMBIMBING : Dr.Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc; Dr. A Harsono Soepardjo, M.Eng

ABSTRAK

CO2 merupakan salah satu gas penyebab utama pemanasan global yang

mengakibatkan perubahan iklim dunia sehingga terjadi kekeringan, kebakaran

hutan, naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas dan periode hujan. Darat,

laut dan atmosfer penyerap CO2 alami. Perairan Indonesia berpotensi menyerap

CO2 karena produktifitas primer tinggi.

Penelitian ini untuk mengetahui variabilitas CO2 dalam menentukan

apakah perairan Indonesia sebagai carbon source atau carbon sink dan mengisi

kekosongan data CO2. Penelitian pada bulan Februari-Maret 2010 di Selat Sunda

dan bulan April 2010 di Barat Sumatera menggunakan K/R Baruna Jaya III. Data

pCO2 udara didapatkan dari hasil rata-rata pengamatan bulanan stasiun Global

Atmospheric Watch di Kototabang Bukittinggi pada Februari, Maret dan April

2010.

CO2 di lihat dari parameter karbon anorganik, derajat keasaman, total

alkalinitas dan tekanan parsial CO2 di lokasi studi bervariasi dengan nilai berbeda-

beda. Selat Sunda berperan sebagai source karbon dan barat Sumatera berperan

sebagai sink karbon. Tekanan parsial CO2 di selat Sunda dan barat Sumatera lebih

dipengaruhi oleh parameter pH. Rata-rata flux bersih CO2 di selat Sunda 841.603 mol CO2cm

-2hr

-1 yang menunjukkan pelepasan CO2 dari laut ke atmosfer terjadi

di wilayah ini dan rata-rata flux bersih CO2 di barat Sumatera -945.292 mol

CO2cm-2

hr-1

yang menunjukkan penyerapan CO2 oleh laut terjadi di wilayah ini.

Kata Kunci : Pemanasan global, CO2, karbon, source, sink, tekanan parsial, flux

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 10: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………… ii

Lembar Pernyataan Orisinalitas………………………………………….. iv

Lembar Persetujuan……………………………………………………… v

Kata Pengantar……..……………………………………………………. vi

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi………………………………. viii

Abstrak…………………………………………………………………… ix

Daftar Isi…………………………………………………………………. xi

Daftar Gambar…………………………………………………………… xiii

Daftar Tabel……………………………………………………………… xiv

Daftar Lampiran…………………………………………………………. xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang……………………………………………………… 1

1.1.Tujuan Penelitian………………………………………….………… 4

1.2.Batasan Masalah……………………………………………………. 5

1.3.Manfaat Penelitian……………………………………….…………. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Karbon……………………………………………………….. 7

2.2. Laut Sebagai Penyerap Karbon…………………………………….. 10

2.3. Penyerapan Karbon Oleh Laut Indonesia………………………….. 16

2.4. Karbon Flux………………………………………………………… 18

2.5. Kondisi Oseanografi Laut Indonesia……………………………….. 20

2.5.1. Temperatur………………………………………………………… 20

2.5.2. Salinitas…………………………………………………………… 22

2.5.3. pH (Keasaman)………………………………………………….... 24

2.5.4. Nutrien (Fosfat, Nitrat, Silikat)…………………………………… 25

2.5.5. Klorofil-a………………………………………………………….. 27

2.5.6. Karbon Anorganik Terlarut……………………………………….. 28

BAB III METODOLOGI

3.1.Alat dan Bahan……………………………………………………. 29

3.2.Analisa Klorofil dan Parameter CO2………………………………. 31

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 11: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

3.3. Pengukuran CO2 Udara di Stasiun GAW Kototabang……………. 32

3.4. Metode Analisis Data……………………………………………… 33

3.4.1. Analisis Pertukaran Gas CO2 Laut dan

Atmosfer………………… 33

3.4.2. Analisa Sink dan Source

CO2…………………………………….. 34

3.4.3. Analisis Regresi Linear……………………………………………. 35

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Umum dan Profil Pantai…………………………………… 37

4.2. Kondisi Temperatur dan Salinitas…………………………………... 39

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat

Sumatera……………………………………………………………..

40

5.2. Variabilitas Nutrien (Fosfat, Nitrat, silikat) Perairan Selat Sunda

danBarat Sumatera………………………………………………….

42

5.3. Variabilitas pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera………… 45

5.4. Variabilitas Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…. 46

5.5. Variabilitas CO2 Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera……..… 48

5.6. Analisa Sink dan Source CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat

Sumatera……………………………………………………………..

50

5.7. Perhitungan Flux CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera.. 51

5.8. Analisa Regresi Linear pCO2 dengan Parameter Lainnya………….. 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 5

6.1. Kesimpulan………………………………………………………….. 54

6.2. Saran………………………………………………………………… 55

DAFTAR ACUAN

LAMPIRAN

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 12: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Global CO2 Flux …………………..………………………… 6

Gambar 2. Diagram Siklus Karbon ………………..………………………… 10

Gambar 3. Pompa Biologis dan Fisis …………….….………......................... 12

Gambar 4. Great Ocean Conveyor Belt ………………..……………………. 12

Gambar 5. Baromatic Pressure Gradient …………………..……………....... 15

Gambar 6. Flux Karbon ………………….….……………….......................... 20

Gambar 7. Peta Lokasi Survei …………………………….………………….. 30

Gambar 8. Temperatur Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…………… 40

Gambar 9. Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat Sunatera………………. 41

Gambar 10. Kandungan Nitrat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…… 43

Gambar 11. Kandungan Fosfat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…… 43

Gambar 12. Kandungan Silikat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…... 44

Gambar 13. Nilai pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera……………... 45

Gambar 14. Kandungan Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera.. 47

Gambar 15. DIC Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera………………….. 49

Gambar 16. Total Alkalinitas di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera…. 50

Gambar 17. ΔpCO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera……………. 51

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 13: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Alat dan Bahan Survei…………………………………………….. 29

Tabel 2. Nilai R2 Analisa Regresi Linear pCO2 Dengan Parameter Lainnya.. 52

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 14: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Survei Perairan Selat Sunda…………………………….. L1

Lampiran 2. Data Survei Perairan Barat Sumatera…………………………. L2

Lampiran 3. Grafik Regresi Linear Data Selat Sunda …………………..…. L3

Lampiran 4. Grafik Regresi Linear Data Barat Sumatera………………….. L4

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 15: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan manusia dibumi yang semakin beragam telah menimbulkan

dampak terhadap perubahan lingkungan. Salah satu perubahan lingkungan yang

menimbulkan dampak buruk adalah perubahan iklim global akibat efek emisi gas

CO2 (karbon dioksida), CO (karbon monoksida), SO2 dan SO3 (oksida belerang),

NO dan NO2 (oksida nitrogen), CH4 (metana), O3 (ozon), CFC (karbon fluoro

karbon).

Gas CO2 merupakan salah satu gas penyebab Efek Rumah Kaca penyebab

utama pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim yang telah terjadi

di berbagai belahan dunia. Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas

CO2 dan gas lainnya di atmosfer. Konsentrasi gas CO2 meningkat disebabkan oleh

pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang

melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.

Perubahan lingkungan berupa kekeringan dan kebakaran hutan, naiknya

muka air laut dan meningkatnya intensitas dan periode hujan yang berakibat

banjir merupakan dampak dari perubahan iklim. Dampak ini akan terus meningkat

sampai mencapai puncaknya pada tahun 2060 apabila tidak ada usaha-usaha untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca seperti yang disepakati dalam Protokol Kyoto

(Susandi, 2004 dalam Susandi, dkk., 2006).

Dalam laporan yang di rilis oleh BMKG Jawa Tengah pada tahun 2010

menyebutkan bahwa para ahli memprediksikan pada tahun 2100 suhu bumi akan

meningkat 1.4 – 5.8 0C, menyebabkan es dikutub utara mencair dan lautan

menjadi lebih hangat sehingga volume lautan meningkat dan permukaannya naik

9 – 100 cm. Akibat lanjutannya menimbulkan banjir di daerah pantai dan

menenggelamkan pulau-pulau kecil diseluruh dunia. Beberapa daerah akan

menerima curah hujan yang lebih tinggi dan tanah akan lebih cepat kering

sehingga merusak tanaman pangan bahkan menghancurkan suplai makanan.

Hasil laporan BMKG Jawa Tengah 2010 tersebut juga menyebutkan

bahwa berdasarkan hasil penelitian dengan simulasi model iklim dapat

diprediksikan bahwa seluruh es dikutub Utara akan mencair pada tahun 2040 bila

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 16: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

kadar pelepasan emisi gas-gas rumah kaca tetap setinggi saat ini. Pengamatan

menggunakan satelit penginderaan jauh memperlihatkan bahwa pada bulan

september 2006 luas daratan es di kutub Utara tersisa hanya 1.9 juta km2 atau

seluas daratan Alaska, telah terjadi penurunan luasan es didaratan sekitar 4 juta

km2 dalam kurun waktu 10 tahun.

Fenomena pemanasan global yang sangat berhubungan erat dengan

perubahan iklim dunia berdampak sangat luas terhadap kehidupan di bumi baik

didaratan, lautan maupun diangkasa. Hasil-hasil penelitian ilmuwan geologi

menjelaskan bahwa sejak 1 juta tahun yang lalu sudah 10 kali suhu bumi

mengalami peningkatan dan selalu berhubungan erat dengan peningkatan CO2 di

bumi. Pemanasan global yang paling mengkhawatirkan terjadi dalam 20 tahun

terakhir ini di mana pemanasan yang terjadi sudah melebihi pemanasan yang

terjadi pada zaman medieval 1000 tahun yang lalu. Apabila tidak ada pencegahan

untuk menurunkan pemanasan global secara significan maka bisa diperkirakan

bahwa dampaknya akan lebih parah dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.

Kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan

munculnya berbagai macam penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah,

merupakan beberapa dampak dari pemanasan global, disamping adanya pengaruh-

pengaruh lain dari peristiwa-peristiwa tersebut. Data-data yang dirilis BMKG

Jawa Tengah pada tahun 2010 menyebutkan bahwa pada tahun 2002 puso

melanda wilayah pantai utara Jawa seluas kurang lebih 12.985 ha. Tahun 2003

luas sawah yang mengalami kekeringan akibat berubahnya musim adalah 450.000

ha dimana 100.000 ha sawah tersebut mengalami puso dan mengakibatkan gagal

panen. Daerah Jawa - Bali terjadi peningkatan kasus penyakit malaria, dari 18

kasus per 100 ribu penduduk menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk, tahun

1998, naik hampir tiga kali lipat. Sementara di luar Jawa Bali, terjadi peningkatan

sebesar 60% dari 1998 sampai tahun 2000. Peristiwa banjir besar yang terjadi di

Jakarta pada tahun 2002 diakibatkan oleh curah hujan di atas rata-rata 107 mm,

sedangkan normalnya adalah 50 mm. Tahun 2007 kemarin curah hujan juga

mencapai 250 mm sehingga mengakibatkan banjir yang relatif sama.

Saat sekarang ini diperkirakan konsentrasi CO2 atmosfer kurang lebih 380

ppm dan akan terus meningkat sekitar 1 % tiap tahunnya selama beberapa dekade

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 17: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

bila tidak ada usaha untuk menurunkan konsentrasi CO2 (IPCC, 2007). Sebelum

revolusi industri, jumlah CO2 adalah 275 ppm. Agar suhu bumi tidak naik sampai

2 0C, maka kadar CO2 di atmosfer harus berada di bawah 450 ppm. Peningkatan

konsentrasi CO2 ini mempengaruhi konsentrasi karbon anorganik yang berada di

dalam lautan (Houghton et al., 2001). Secara teori peningkatan jumlah CO2

terlarut dalam air laut akan menurunkan pH dan ketersediaan ion karbonat (CO32-

)

yang diikuti dengan menurunnya saturasi senyawa mineral karbonat pembentuk

karang (Caldeira and Wickett., 2005).

Sudah menjadi hal yang umum bahwa daratan, lautan dan atmosfer

menjadi penyerap CO2 alami di bumi. Hanya saja kemampuan alami daratan

untuk menyerap CO2 telah mengalami penurunan karena berbagai macam faktor

diantaranya karena penebangan hutan yang mengakibatkan stok karbon yang

tersimpan di dalam vegetasi menjadi terlepas ke atmosfer sehingga perhatian

mulai ditujukan ke laut karena laut merupakan penyerap CO2 alami terbesar di

bumi (Raven and Falkowski., 1999).

Kemampuan lautan di dalam menyerap CO2 masih menjadi misteri. Angka

penyerapan CO2 oleh lautan masih bervariasi dan menjadi penelitian intensif para

ahli. Sabine et al., (2004) menyatakan bahwa kemampuan laut hingga 48 % dalam

menyerap CO2. Penelitian lain menyebutkan dari total 4 – 5 Pg C emisi tiap tahun

ke atmosfer, sekitar 2 Pg C di serap laut, yang ± setara dengan 50 %-nya (Cai et

al., 2006). Hasil lain sekitar 90 Gigaton (Gt) karbon/tahun dilepaskan dari

permukaan lautan di seluruh dunia, sementara penyerapan tahunan oleh lautan

sebesar 92 Gt, sehingga terdapat penyerapan bersih CO2 oleh laut sekitar 2 Gt

setiap tahunnya (Fletcher et al., 2006).

Posisi geografis negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang di apit

benua Asia dan Australia serta di antara samudera Hindia dan samudera pasifik

maka sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tahun 1997 - 1998,

bencana alam banyak terjadi di Indonesia termasuk kebakaran hutan dan

kerusakan terumbu karang yang cukup parah karena berubahnya karakteristik El

Nino akibat pemanasan global.

Pada umumnya penelitian mengenai peran laut sebagai penyerap CO2

dilakukan di perairan laut lepas di wilayah lintang tinggi karena faktor volume air

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 18: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

yang besar, suhu rendah, tidak adanya stratifikasi termoklin dan aktivitas biologi

yang tinggi untuk kepentingan penyerapan dan penyimpanan alami CO2. Wilayah

laut yang berfungsi sebagai oceanic sink terbesar untuk CO2 adalah laut Selatan

(Moore et al., 2000) dan laut Atlantik (Chierici et al., 2009). Pada kondisi suhu

rendah akan meningkatkan kelarutan CO2 dan menurunkan pCO2 perairan

sehingga terjadi aliran penyerapan CO2 dari atmosfer ke laut. Suhu homogen di

laut mengakibatkan CO2 di permukaan dapat tertransfer dan tersimpan ke dasar

laut.

Perairan pesisir juga berperan penting terhadap total budget karbon global

karena menerima aliran karbon dan nutrien dari darat dan ekosistem lahan basah

walaupun total luasannya lebih kecil dibandingkan laut lepas. Kemampuan ini

didukung dengan adanya transpor materi dan energi dengan laut lepas melalui

continental slope yang menjadikannya salah satu wilayah yang proses

biogeokimianya paling aktif. Milliman and Syvitski (1992) menyebutkan bahwa

sebanyak 0.25 – 0.4 x 105 g karbon organik terlarut dilepaskan ke laut dari sungai

ke perairan pesisir setiap tahunnya. Pertukaran CO2 antara atmosfer dan perairan

pesisir juga terjadi cukup intensif dan mempengaruhi flux CO2 pada skala regional

maupun global (Borges et al., 2005).

Perairan Indonesia seluas 17 % dari total wilayah laut dunia juga

berpotensi menyerap CO2 karena mempunyai produktivitas primer tinggi

(Behrenfeld et al., 2005 dalam Adi N.S, dkk., 2010), wilayah upwelling yang luas

(Kunarso dkk., 2009; Lefevre et al., 2002) dan continental shelf (Tsunogai et al.,

1999). Selain faktor-faktor tersebut, tingginya curah hujan juga akan membawa

flux sedimen dari sungai sebagai sumber materi karbonat ke perairan pesisir.

1.2 Tujuan Penelitian

Judul penelitian ini adalah Kajian Biogeokimia Perairan Selat Sunda dan

Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut

dan Udara. Secara umum tujuan penelitian ini adalah

- Mengkaji variabilitas gas CO2 di perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

dengan melihat parameter data karbon anorganik terlarut, derajat

keasaman, total alkalinitas dan tekanan parsial CO2.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 19: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

- Menghitung daya serap perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera terhadap

gas CO2 yang dialirkan ke udara diatas permukaan laut dengan

membandingkan tekanan parsial CO2 udara dan permukaan laut.

- Menghitung flux CO2 antara udara dan permukaan laut di perairan Selat

Sunda dan Barat Sumatera.

- Mengkaji kaitan pertukaran gas karbon dioksida CO2 dengan proses

biogeokimia yang terjadi di perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera.

1.3 Batasan masalah

Pertukaran gas karbon yang menjadi obyek dalam penelitian ini dibatasi

hanya pada pertukaran gas karbon dipermukaan laut dengan udara diatasnya. Gas

karbon dipermukaan laut di hitung dari karbon anorganik terlarut, pH, alkalinitas

dan tekanan parsial CO2. Sedangkan pCO2udara didapatkan dari hasil pengukuran

CO2 di stasiun pengamatan BMKG di Koto Tabang Bukittinggi pada bulan

Februari, Maret dan April tahun 2010 dengan nilai rata-rata pCO2udara adalah

385.501 ppm dan diasumsikan nilainya seragam dengan wilayah penelitian.

Penelitian ini dilakukan disebagian wilayah perairan Indonesia dalam

rangka mengisi kekosongan data CO2 dari wilayah perairan Indonesia

sebagaimana terlihat pada Gambar 1 dibawah ini berupa Peta Global CO2 Flux

(Takahashi, 2009).

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa penelitian, baik berbasis kajian, model dan observasi langsung

telah dilakukan untuk mengetahui variabilitas sistem CO2 dalam rangka

menentukan apakah perairan Indonesia sebagai carbon source ataukah carbon

sink. Sejalan dengan tujuan penelitian sebelumnya, secara umum hasil penelitian

ini juga diharapkan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi tujuan diatas

terutama dari sisi kaitan pertukaran gas karbon laut dan udara dengan proses

biogeokimia yang terjadi di lautan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

mengisi kekosongan data CO2 di wilayah perairan Indonesia sehingga dalam peta

global flux CO2 Internasional data dari wilayah perairan Indonesia tidak kosong.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 20: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 1. Peta Global CO2 Flux (Takahashi, 2009)

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 21: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Karbon

Karbon adalah elemen kunci dari kehidupan dan merupakan elemen

terbanyak ke empat di alam semesta setelah hidrogen (H), helium (He) dan

oksigen (O). Siklus karbon adalah pertukaran karbon antara biosfer, geosfer,

hidrosfer dan atmosfer. Pertukaran karbon ini melalui empat reservoir karbon

utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial, lautan dan sedimen. Pergerakan tahunan

karbon dan pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia,

fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Siklus karbon merupakan

siklus biogeokimia yang mencakup proses dan reaksi kimia, fisika, geologi, dan

biologi yang membentuk komposisi lingkungan alam (termasuk biosfer, hidrosfer,

pedosfer, atmosfer, dan lithosfer), serta siklus zat dan energi yang membawa

komponen kimiawi bumi dalam ruang dan waktu.

Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk

menjadi tempat menyerap gas CO2. Gas karbon dioksida di serap oleh tumbuhan

yang sedang tumbuh dan di simpan dalam batang kayunya. Di lautan, gas karbon

dioksida yang digunakan oleh fitoplankton untuk proses fotosintesa, tenggelam ke

dasar lautan bersama kotoran makhluk hidup pemakan fitoplankton dan predator-

predator tingkat tinggi lainnya.

Siklus biogeokimia merupakan siklus atau proses perputaran yang secara

tetap atau berpola yang meliputi siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen, siklus

fosfor dan siklus air. Proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler

bertanggung jawab atas perubahan dan pergerakan utama karbon. Naik turunnya

CO2 dan O2 atsmosfer secara musiman disebabkan oleh penurunan aktivitas

fotosintetik. Dalam skala global kembalinya CO2 dan O2 ke atmosfer melalui

respirasi hampir menyeimbangkan pengeluarannya melalui fotosintesis. Akan

tetapi pembakaran kayu dan bahan bakar fosil menambahkan lebih banyak lagi

CO2 ke atmosfir. Sebagai akibatnya jumlah CO2 di atmosfer meningkat. CO2 dan

O2 atmosfer juga berpindah masuk ke dalam dan ke luar sistem akuatik, di mana

CO2 dan O2 terlibat dalam suatu keseimbangan dinamis dengan bentuk bahan

anorganik lainnya.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 22: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Pengetahuan dan pemahaman menyeluruh tentang bagaimana siklus

karbon terjadi di laut merupakan hal yang sangat penting dalam meramalkan

naiknya tingkat gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer. Keberadaan

lautan yang sangat penting dalam pengaturan alami CO2 atmosfer telah diakui

oleh para ahli sejak dahulu. Kurangnya data akurat di laut telah membatasi

pemahaman tentang mekanisme dan jumlah karbon yang terlibat dalam

pertukaran karbon antara laut dan atmosfer.

Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon yang

masuk dan keluar antara reservoir karbon atau antara satu putaran spesifik siklus

karbon dari atmosfer ke biosfer. Analisa neraca karbon dari sebuah kolam atau

reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir

berfungsi sebagai sumber atau lubuk karbon dioksida.

Pertukaran karbon menjadi penting dalam mengontrol pH di laut dan

sebagai sumber atau lubuk karbon. Di laut yang terjadi upwelling CO2 dilepaskan

ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling CO2 berpindah dari atmosfer

ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam karbonat terbentuk :

Reaksi ini memiliki sifat dua arah dan mencapai sebuah kesetimbangan

kimia. Reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol pH lautan adalah pelepasan

ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada

pH :

Bagian terbesar karbon di atmosfer bumi adalah gas karbon dioksida.

Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas

yang ada di atmosfer (sekitar 0,04 % dalam basis molar), namun ia memiliki

peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas lain yang mengandung

karbon di atmosfer adalah metana dan klorofluorokarbon atau CFC. Gas-gas

tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 23: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global. Pertukaran atau

perpindahan karbon dari atmosfer meleati berbagai macam cara yaitu :

- Di dalam tumbuh-tumbuhan terjadi proses fotosintesa dengan bantuan

sinar matahari yang menjadikan perubahan karbon dioksida menjadi

karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer.

- Di dalam lautan pada proses sirkulasi termohalin, CO2 yang larut dalam

air laut akan terbawa dalam massa air di permukaan yang lebih berat ke

kedalaman laut atau interior laut.

- Di dalam lautan yang mempunyai produktifitas tinggi terutama dibagian

permukaan maka beberapa organisme memanfaatkannya untuk

membentuk jaringan yang mengandung karbon seperti cangkang carbonat

dan bagian tubuh lainnya yang keras dan terjadi proses aliran karbon dari

permukaan laut ke bawah.

- Di dalam proses geologi terutama proses pelapukan batuan silikat dan

batuan karbonat. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto

terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke

laut di mana selanjutnya di pakai untuk membuat karbonat laut dengan

reaksi yang sebaliknya.

Karbon dapat kembali ke atmosfer dengan berbagai cara pula, yaitu:

- Di dalam proses pernafasan baik pada tumbuhan dan binatang

menghasilkan karbondioksida, serta penguraian glukosa dan molekul

organik lainnya menjadi karbon dioksida dan air.

- Di dalam proses penguraian/pembusukan binatang dan tumbuhan, dimana

jamur dan bakteri akan mengubah senyawa karbon menjadi karbon

dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia

oksigen.

- Di dalam proses pembakaran material organik yang akan mengoksidasi

karbon menghasilkan karbon dioksida dan asap. Pembakaran bahan bakar

fosil seperti batu bara, produk perminyakan dan gas alam akan melepaskan

karbon yang sudah tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer.

- Di dalam proses pembuatan semen dengan cara memanaskan batu kapur

akan menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah yang banyak.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 24: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

- Di dalam proses pemanasan air laut permukaan oleh sinar matahari maka

karbon dioksida terlarut akan di lepas kembali ke atmosfer.

- Di dalam proses erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan

melepaskan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon

dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer

secara kasar hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang hilang dari

atmosfer akibat pelapukan silikat.

Siklus karbon digambarkan dalam diagram siklus karbon seperti yang

terdapat dalam Gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2. Diagram Siklus Karbon (NASA, 2006)

2.2 Laut Sebagai Penyerap Karbon

Laut merupakan bagian dari sistem hidrologi yang tidak bisa dipungkiri

perannya bagi sistem iklim global dengan luasnya yang berkisar 361 juta km2 atau

72 % dari permukaan bumi tentu saja sangat mempengaruhi siklus iklim di dunia.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 25: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Salah satu yang peranan laut yang sangat penting adalah menjaga stabilitas

konsentrasi gas di atmosfer khususnya karbondioksida.

Sejak tahun 1970-an sudah di kenal bahwa secara keseluruhan laut

merupakan penyerap bagi CO2 antropogenik. Akan tetapi masih banyak

pertanyaan para ahli kelautan tentang seberapa besarkah CO2 yang diserap, proses

apa sajakah yang menggerakkannya dan bagaimanakah ia berubah di masa depan.

Berbagai riset telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut

dan yang paling penting adalah memahami siklus alami karbon di laut.

Organisme fitoplankton di dalam lautan adalah titik awal dari carbon sink

melalui suatu sistem rantai makanan. Fitoplankton mengekstrak karbon dari gas

karbon dioksida yang mereka serap dari atmosfer pada saat proses fotosintesa.

Binatang bercangkang atau berkerang juga menggunakan karbon untuk membuat

cangkang atau kerang mereka. Ketika mati, cangkang atau kerang tersebut akan

tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter

dalam waktu ribuan tahun. Carbon sink juga akan terjadi melalui tenggelamnya

makhluk hidup yang telah mati, kotoran-kotoran, zooplankton, ikan dan

organisme lainnya ke dasar laut.

Peredaran karbon dalam bentuk organik dan anorganik serta transpor

karbon dari permukaan ke laut dalam di bangun oleh proses-proses fisis dan

biologis. Proses-proses ini disebut sebagai pompa fisis dan pompa biologis

(IGBP, 2007) (Gambar 3). Kedua pompa ini bertindak meningkatkan konsentrasi

CO2 di dalam interior laut. Pompa fisis dibangkitkan oleh sirkulasi balik laut yang

lamban dan lebih mudah terlarutnya CO2 di air dingin daripada di air hangat.

Massa air laut yang hangat dan rapat di laut lintang tinggi, terutama di Atlantik

Utara dan samudra bagian Selatan, menyerap CO2 atmosferik sebelum tenggelam

ke interior laut. Air yang tenggelam ini akan diimbangi oleh transpor vertikal di

bagian laut lainnya. Air yang naik ke atas akan menjadi hangat ketika mencapai

permukaan sehingga CO2 menjadi kurang dapat larut dan sebagian diantaranya

akan terlepas kembali ke atmosfer melalui sebuah proses yang di sebut pelepasan

gas. Efek bersih dari proses-proses ini adalah pemompaan CO2 ke dalam interior

laut.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 26: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Dalam pompa biologis, fitoplankton mengambil nutrien dan CO2 melalui

proses fotosintesis. Laju di mana proses ini terjadi di sebut produktivitas primer.

Beberapa bahan organik yang dihasilkan diedarkan melalui rantai makanan

makanan di laut bagian atas dan beberapa bagian lainnya tenggelam ke dasar laut.

Beberapa bagian dari karbon ini kemudian dimineralisasi kembali menjadi CO2

dan sebagian kecil lainnya terkubur dalam sedimen di lantai samudera.

Gambar 3. Pompa Biologis dan Fisis (IGBP, 2007)

Pompa fisis dibangkitkan oleh pertukaran gas antar muka udara-air dan

proses-proses fisis yang membawa CO2 ke laut dalam. CO2 atmosferik masuk ke

laut melalui pertukaran gas yang bergantung pada kecepatan angin dan perbedaan

tekanan parsial antar muka udara-air. Jumlah CO2 yang diserap oleh air laut juga

merupakan fungsi dari temperatur melalui efek kedayalarutan. Daya larut

bertambah jika temperatur turun sehingga permukaan air yang dingin akan

mengambil CO2 lebih banyak daripada air yang hangat.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 27: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Penyerapan karbon oleh fitoplankton dan organisme mikroskopis lainnya

yang hidup di permukaan laut yang terkena sinar matahari dan ekspornya ke

interior dan sedimen laut disebut pompa biologis. Fitoplankton adalah mesin bagi

pompa biologis. Pompa biologis memainkan peranan yang penting dalam

kemampuan laut menyerap CO2 atmosferik. Tanpa adanya fotosintesis di laut,

CO2 atmosferik akan menjadi 1000 ppm jika dibandingkan dengan kondisi saat ini

sekitar 365 ppm. Sebaliknya, jika pompa biologis berfungsi dengan efisiensi yang

maksimum, maka tingkat CO2 diatmosfer dapat turun hingga menjadi 110 ppm.

Pendistribusian CO2 dilaut sangat dipengaruhi oleh arus laut dalam yang

terjadi melalui siklus thermohalin yang bergerak berdasarkan perbedaan suhu dan

salinitas di laut, dapat digambarkan dalam sabuk laut raksasa berjalan (Great

Ocean Conveyor Belt) berikut ini (Gambar 4).

Gambar 4. Great Ocean Conveyor Belt (Broecker, 1991)

Gambar 4 terlihat bahwa terjadi perputaran massa air antara 3 samudera

(Pasifik, Hindia, dan Atlantik), dimana selama proses siklus tersebut, „sabuk

raksasa‟ terbagi atas 2 perbedaan mendasar yaitu shallow current (arus atas) dan

deep current (arus bawah). Great Ocean Conveyor Belt merupakan Thermohaline

Circulation (THC) yang merupakan faktor penggerak yang membentuk siklus

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 28: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

global dan terjadi karena dorongan perbedaan densitas air laut secara global

sebagai akibat panas perbedaan temperatur permukaan dan masukan airtawar

sehingga mempengaruhi kadar garam air laut.

Lapisan permukaan merupakan daerah yang sering terkena sinar matahari,

sehingga temperaturnya akan lebih tinggi dibanding lapisan dibawahnya. Di

perairan tropis akibat intensitas cahaya matahari membuat lapisan permukaan laut

menjadi panas, dengan kadar garam yang relatif lebih tinggi dan dukungan dari

pergerakan angin, maka terjadi pergerakan aliran massa air dari samudera Pasifik

melewati samudera Hindia menuju Greenland melalui selatan Atlantik. Selama

pergerakannya, massa air ini berada di lapisan atas karena densitasnya lebih

rendah. Setelah mencapai daerah Atlantik, massa air tersebut akan menurun ke

kedalaman dikarenakan temperaturnya menurun yang mengakibatkan densitasnya

meningkat.

Ketika air dari Pasifik berhasil mencapai Atlantik, maka di daerah ambang

(ridge) yang terletak antara Greenland dan Skotlandia akan terjadi penurunan

tinggi permukaan laut akibat meningkatnya densitas dan salinitas. Sehingga hal

ini akan menggerakkan aliran massa air menuju Mediterania dengan dibantu oleh

Barotropic pressure gradient (Gambar 5).

Setelah berada di wilayah Mediterania, maka akan terjadi proses

pendinginan dan penurunan kadar garam. Proses yang berlangsung merupakan

stratifikasi massa air mulai dari salinitas, temperatur, dan densitasnya, disebut

„thermohaline ventilation„. Setelah melewati tahap ini maka massa air akan

bergerak turun ke kedalaman yang sesuai dengan densitasnya, biasanya

digolongkan menjadi lapisan pertengahan (siklusnya berlangsung sekitar ratusan

tahun) dan lapisan dalam (siklusnya sekitar ribuan tahun). Karena adanya tekanan

akibat peningkatan densitas, maka di kedalaman terjadi tekanan untuk bergerak

melewati ambang, kemudian baroclinic pressure gradient memaksa air bergerak

menyusuri ambang untuk kemudian kembali menuju pasifik (Corell et al., 2005).

Di sini jelas terlihat bahwa salah satu faktor penggerak siklus global

tersebut adalah gradien temperatur. Dalam hal ini arus permukaan membawa

panas menuju daerah kutub untuk kemudian panas ini akan dilepaskan dengan

cara interaksinya dengan perairan kutub ataupun terjadi pelepasan ke atmosfer

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 29: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

dalam bentuk uap air. Setelah massa air yang jumlahnya maha besar tersebut telah

berhasil „didinginkan‟ melalui mekanisme thermohaline ventilation, maka

selanjutnya akan bergerak turun ke kedalaman menuju dasar laut kemudian akan

berputar kembali ke arah Pasifik merayap di dasar lautan sehingga di sebut arus

bawah. Massa air ini akan terpecah menjadi 2 jalur, sebagian bergerak muncul

kembali ke permukaan di samudera Hindia dan sebagian bergerak menuju Pasifik

melalui Australia. Kemunculan massa air tersebut karena terjadi penurunan

densitas akibat temperaturnya meningkat.

Gambar 5. Baromatic Pressure Gradient (Corell et al, 2005)

Maka dapat dipahami bahwa lautan memegang peranan kunci dalam

pemahaman perubahan iklim global. Laut berperan dalam membentuk

keseimbangan temperatur global dunia. Ketika temperatur bumi makin meningkat

tentu hal ini akan memberikan berbagai akibat bagi kelangsungan siklus global

laut, karena temperatur merupakan faktor utama penggerak siklus ini.

Gambar tersebut menunjukkan bahwa pertukaran CO2 rata-rata tahunan

yang melewati permukaan laut menunjukkan bahwa penyerapan dan pelepasan

gas CO2 tidak terdistribusi secara merata di laut global. Peta tersebut

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 30: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

menunjukkan bahwa Pasifik khatulistiwa termasuk Indonesia merupakan sumber

alami CO2 yang terus menerus di laut. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara

upwelling yang kuat dari air yang kaya akan CO2 dan kegiatan biologis yang

rendah. Sebaliknya, Atlantik Utara adalah kawasan yang paling kuat dalam

mengambil CO2 di laut global (IGBP, 2007).

2.3 Penyerapan Karbon Oleh Laut Indonesia

Sebelum merebaknya isu pemanasan global, di kalangan ilmiah dipahami

bahwa air laut merupakan penyerap karbon. Namun dengan berkembangnya ilmu

pengetahuan sebagai hasil dari berbagai riset tentang pemanasan global dan

dampaknya, muncul pemahaman baru bahwa laut tak lagi sebagai penyerap

karbon, melainkan sudah berada pada posisi sebagai penghasil karbon bersih.

Peneliti karbon Alan Koropitan menyatakan bahwa sebelum revolusi

industri “laut global” memang berperan sebagai penyerap karbon. Pasca revolusi

industri laut global bukan lagi sebagai penyerap melainkan pelepas karbon di

atmosfir. Terjadi keseimbangan baru dalam siklus biogeokimia laut. Secara

regional tak semuanya laut berperan sebagai penyerap karbon terutama laut

tropis. Laut samudera bagian selatan oleh para ilmuwan diyakini sebagai

penyerap karbon pun kini sudah mengalami penurunan tingkat penyerapannya.

Pasca revolusi industri nyatanya peran laut global, termasuk laut samudera bagian

selatan, sudah berubah menjadi pelepas karbon. Siklus karbon global sudah

mengalami keseimbangan baru. Proses perubahan ini terjadi akibat kegiatan

manusia yang meningkatkan emisi CO2 di atmosfir yang bersumber dari bahan

bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan pelepasan

karbon ke atmosfir meningkat. Akibatnya, terjadi penumpukkan karbon di

atmosfir yang kemudian menurunkan peran ”laut global” sebagai penyerap

karbon pasca revolusi industri. Kini laut tak lagi berperan sebagai penyerap

melainkan sebagai sumber karbon.

Sesungguhnya laut dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dan juga

sebagai penyedia karbon ke atmosfer, tergantung kondisinya. Karbon yang

diserap maupun yang dilepas ke atmosfer berada dalam bentuk gas karbon

dioksida. Laut akan menyerap karbon bilamana tekanan parsial gas karbon

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 31: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

dioksida di atmosfer lebih tinggi dari tekanannya di dalam air laut. Sebaliknya,

laut akan melepas karbon apabila tekanan parsial gas karbon dioksida di dalam air

laut lebih tinggi dari tekanannya di atmosfer. Laut berfungsi sebagai penyerap

karbon dalam dua bentuk yakni melalui serapan pasif dan aktif.

Secara umum, pola flux CO2 di Indonesia akan mengikuti pola musim

monsun yang terjadi di Indonesia. Menurut Khromov dalam Prawirowardoyo

(1996), Januari adalah maksimum musim dingin di belahan bumi utara atau

maksimum panas di belahan bumi selatan. Juli adalah maksimum musim panas di

belahan bumi utara atau maksimum musim dingin di belahan bumi selatan, serta

musim transisinya pada bulan April dan Juli.

Hasil penelitian Susandi (2006), menyebutkan bahwa penyerapan

maksimum di sekitar Laut Cina Selatan terjadi pada tahun 2002, dengan suhu

permukaan laut yang berkisar antara 25,5 – 27,5 oC dan membuat tekanan parsial

CO2 dipermukaan berkisar antara 300 - 360 μatm, dibandingkan dengan pCO2udara

diatasnya yang besarnya 372 μatm, sehingga menggerakkan CO2 dari udara

menuju laut cukup besar, kemudian dengan besarnya rata-rata kecepatan angin di

daerah ini yang berkisar antara 7 - 9 ms-1

menyebabkan intensitas transfer gas

CO2 ini meningkat (19 - 32 cm/jam).

Kemudian pada bagian belahan bumi selatan, pengaruh musim panas

sangat terlihat di bagian tenggara perairan Indonesia (sekitar Laut Arafura) yang

suhu permukaan lautnya berkisar antara 29 - 31oC, sehingga perairan ini memiliki

pCO2laut berkisar antara 380 - 420 μatm, sedangkan pCO2udara diatasnya berkisar

antara 350 - 380 μatm yang meyebabkan daerah ini sebagai tempat pelepasan CO2

sepanjang Januari setiap tahunnya. Meskipun rata-rata kecepatan transfer gasnya

lebih kecil daripada kecepatan transfer gas di belahan bumi utara, namun

perbedaan tekanan parsial CO2 antara permukaan laut dan atmosfernya yang

cukup besar membuat aliran CO2 juga menjadi besar dari laut menuju atmosfer.

Kecepatan angin pada daerah ini berkisar antara 3 - 7 ms-1

sehingga kecepatan

transfer gasnya adalah 3 - 19 cm/jam (Susandi, 2006).

Data pada bulan April tahun 1998 menunjukkan bahwa rata-rata aliran di

belahan bumi utara sebesar 2,641 moles CO2 m2 yr

-1 sedangkan di selatan

besarnya 3,780 moles CO2 m2 yr

-1, karena di sekitar Laut Arafura (9 - 11

o LS dan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 32: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

137 - 141o BT) aliran CO2 mencapai 16 - 20 moles CO2 m

2 yr

-1 hal ini disebabkan

pada daerah itu angin yang berhembus cukup kencang berkisar antara 6 - 8 ms-1

.

Seperti pada bulan Juli tahun 1999 di sekitar Laut Cina Selatan suhu permukaan

lautnya mencapai sekitar 30oC sehingga tekanan parsial dipermukaan lautnya pun

besar dengan kecepatan angin yang mencapai 5 - 7 ms-1

menjadikan tempat ini

sumber pelepasan CO2 (Susandi, 2006).

Di belahan utara Indonesia berperan sebagai tempat pelepasan CO2

dimana rata-rata aliran sebesar 2,635 moles CO2 m2 yr

-1. Pada bagian selatan

Jawa, terdapat daerah penyerapan CO2 hingga mencapai 8 moles CO2 m2 yr

-1

karena pada daerah tersebut suhu permukaan lautnya rendah membuat tekanan

parsial CO2 diatmosfer lebih tinggi kemudian ditambah dengan kecepatan angin

permukaan yang besar pada daerah tersebut yang berkisar antara 7 - 9 ms-1

membuat kecepatan transfer gasnya menjadi lebih besar pula.

Sementara itu data dari Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan

bahwa sumber daya laut Indonesia berpotensi untuk menyerap karbon sekitar

245,6 juta ton karbon per tahun. Jumlah tersebut berasal dari ekosistem terumbu

karang seluas 61 ribu km persegi dengan daya serap 73,5 juta ton CO2 per tahun,

rumput laut seluas 30 ribu km persegi dengan daya serap 56,3 juta ton karbon.

Selain itu, hutan bakau seluas 93 ribu km persegi mampu menyerap 75,4 juta ton

karbon dan laut terbuka seluas 5,8 juta km persegi dengan daya serap karbon

sebesar 40,4 juta ton per tahun.

2.4 Karbon Flux

Pertukaran CO2 rata-rata tahunan yang melewati permukaan laut

menunjukkan bahwa penyerapan dan pelepasan gas CO2 tidak terdistribusi secara

merata di laut global (Gambar 6). Peta tersebut menunjukkan bahwa Pasifik

khatulistiwa merupakan sumber alami CO2 yang kontinyu di laut. Hal ini

disebabkan oleh kombinasi antara upwelling yang kuat dari air yang kaya akan

CO2 dan kegiatan biologis yang rendah. Sebaliknya, Atlantik Utara adalah

kawasan yang paling kuat dalam mengambil CO2 di laut global. Dengan

diangkutnya air hangat oleh Gulf Stream dan Drift Atlantik Utara ke arah utara, ia

menjadi dingin dan menyerap CO2 dari atmosfer. Kawasan ini juga merupakan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 33: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

salah satu kawasan laut yang lebih produktif secara biologis akibat pasokan

nutrien yang berlebih. Jadi, berlawanan dengan Pasifik khatulistiwa, faktor-faktor

biologis dan fisis bergabung menghasilkan flux bersih CO2 yang besar dari

atmosfer ke dalam Atlantik Utara dan Pasifik Utara, meskipun bersifat musiman.

Samudra bagian Selatan juga merupakan kawasan penyerapan yang penting

lainnya dimana massa air permukaan yang dingin tenggelam dan kegiatan

biologis kadangkala tinggi. Peta pada Gambar 3 menunjukkan flux rata-rata

tahunan. Perubahan flux musiman ini dipengaruhi oleh skala waktu yang lebih

panjang, serta gangguan oseanik dan atmosferik skala besar seperti siklus El Niño

Southern Oscillation (ENSO).

Flux Karbon (Wanninkhof, 1992) dalam Gambar 6 menunjukkan

pertukaran CO2 rata-rata tahunan yang melintasi permukaan laut. Warna biru dan

ungu menyatakan kawasan dimana laut mengambil CO2 dalam jumlah yang besar,

warna merah dan kuning menandakan kawasan dimana sejumlah besar CO2

diemisikan ke atmosfer. Pasifik khatulistiwa merupakan sumber CO2 alami yang

kontinyu di laut. Hal ini terjadi karena kuatnya pompa fisis yang bergabung

dengan pompa biologis yang suboptimal. Upwelling yang banyak terjadi di

sepanjang khatulistiwa membawa air dingin yang kaya akan CO2 ke permukaan.

Ketika air ini menghangat selama perjalanannya naik ke permukaan, ia menahan

hanya sedikit CO2 dan gas yang terperangkap di dalam air ini akan terlepas ke

udara. Meskipun kawasan ini kaya akan nutrien, namun fitoplankton tidak

menghasilkan bloom yang rapat dari sel-sel besar yang tenggelam dengan cepat

sehingga ekspor karbon dari bahan organik yang dihasilkan di permukaan air

secara umum rendah.

Peta flux CO2 laut-atmosfer global menggambarkan fungsi terintegrasi

dari pompa fisis dan pompa biologis, proses-proses yang telah berjalan selama

ribuan tahun. Pelepasan dan penyerapan CO2 diyakini telah berada dalam

kesetimbangan di masa praindustri. Sejak revolusi industri, penambahan emisi

antropogenik secara dramatis telah mengakibatkan laut menjadi penyerap bersih

bagi CO2. Secara kasar sekitar 6 petagram karbon per tahun (Pg C y-1

) dilepaskan

ke atmosfer sebagai hasil dari pembakaran bahan bakar fosil (1 petagram = 1

gigaton = 1000 juta ton). Sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 34: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

atmosferik ini, gradien tekanan parsial antara atmosfer dan laut mengalami

perubahan. Hal ini telah mengakibatkan penenggelaman alami menjadi sedikit

lebih kuat dan sumber menjadi sedikit lebih lemah. Akibatnya penyerapan CO2

bersih oleh laut telah meningkat sekitar 2,2 Pg per tahun, sekitar sepertiga dari

emisi total karbon antropogenik. Penyerapan CO2 antropogenik ini sebagian besar

dikontrol oleh pompa fisis.

Gambar 6. Flux Karbon (Wanninkhof, 1992)

2.5 Kondisi Oseanografi Laut Indonesia

2.5.1 Temperatur

Pengetahuan mengenai suhu permukaan laut sangat bermanfaat untuk

banyak hal yang terkait dengan penelitian maupun aplikasinya. Suhu permukaan

laut merupakan salah satu faktor utama penggerak siklus musim baik di daerah

tropis maupun sub tropis dimana suhu permukaan laut akan mempengaruhi

kondisi atmosfer, cuaca dan musim, bahkan munculnya fenomena El Nino dan La

Nina dapat di pelajari melalui suhu permukaan laut. Banyak lagi hal lain yang

terkait dengan aplikasi yang dipengaruhi oleh suhu permukaan laut, diantaranya

kesuburan perairan dan perikanan.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 35: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Perairan laut Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropis memiliki

massa air permukaan yang lebih hangat karena intensitas sinar matahari yang

berlangsung sepanjang tahun. Intensitas sinar matahari menyebabkan pemanasan

air laut permukaan sehingga mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam

kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu. Wyrtki (1961)

membagi perairan menjadi tiga lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada

permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur; b) lapisan

diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin

dengan kondisi yang hampir homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-

lahan ke arah dasar perairan.

Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi,

evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari dan faktor-faktor fisika

yang terjadi di dalam kolom air. Presipitasi terjadi melalui curah hujan yang dapat

menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi meningkatkan suhu

permukaan akibat aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan.

Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-

kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya

kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 – 75 m. Disamping itu Lukas and Lindstrom

(1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung

pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur.

Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy dan

entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur

serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi

vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan

bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi

dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat

mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan

permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa

air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang

mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas sehingga

sebaran suhu menjadi homogen.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 36: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 – 30

oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya

kedalaman hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara 31.2

– 34.5 ‰ (Tomascik et al. 1997a). Nontji (1993) mengatakan bahwa suhu

permukaan perairan Indonesia berkisar antara 28 – 31 oC dan di Laut Banda pada

saat upwelling, suhu turun sampai 25 oC. Hal ini disebabkan karena massa air

dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas. Illahude and Gordon (1996)

mengatakan bahwa suhu permukaan bagian tengah Laut Banda pada musim timur

berkisar antara 25.7 – 26.1 oC dengan salinitas 34.1 – 344 ‰ sedangkan musim

barat suhu berkisar antara 29.6 – 30.3 oC dan salinitas 34,5 ‰.

2.5.2 Salinitas

Salinitas merupakan komposisi kimia perairan yang menyatakan

kontribusi percampuran air tawar dan air laut serta sejumlah aliran lokal. Di

perairan pantai, air laut banyak bercampur dengan air tawar sehingga seringkali

indek percampuran dinyatakan dengan salinitas. Fluxtuasi salinitas di suatu

perairan menjadi faktor utama penentu keberadaan tumbuhan dan organisme laut.

Salinitas seringkali menjadi indikasi penting untuk menentukan sirkulasi dan

percampuran akibat adanya interaksi masuknya air tawar dengan air laut

(Pikcard, 1975 dalam Nurhayati dan Suyarso, 2000).

Distribusi vertikal dan horisontal salinitas perairan dipengaruhi oleh

bentuk dasar kanal, pasang surut, arus laut, aliran sungai, penguapan dan

sumbangan air tawar yang berasal dari daratan. Proses-proses tersebut dapat

menyebabkan nilai distribusi salinitas yang beragam sehingga distribusi menjadi

lebih kompleks.

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola

sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat

curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang

rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas

perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran

salinitas di suatu perairan.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 37: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan

bertambahnya kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan

penyebaran salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan

memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang

mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan

meningkatnya salinitas permukaan perairan.

Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh

terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal.

Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan

sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang

mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki (1961),

sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang

akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim

tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang

bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem

angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan,

evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas

menjadi sangat bervariasi.

Wyrtki (1961) menyatakan bahwa sebaran salinitas yang terjadi diperairan

laut Indonesia pada umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang terjadi

diwilayah Indonesia. Sebagai contoh adalah dilaut Banda bagian Timur pada

waktu Musim Timur terjadi upwelling yang umumnya mempunyai kadar salinitas

lebih tinggi menuju ke permukaan sehingga mempengaruhi sebaran salinitas

perairan di wilayah tersebut. Selain sistem angin muson, sebaran salinitas juga

dipengaruhi oleh arus yang membawa massa air bersalinitas tinggi dari Lautan

Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Flores. Di Laut Flores,

salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh

masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas

dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya

salinitas Laut Flores. Massa air perairan Laut Jawa pada umumnya memiliki nilai

salinitas rendah disebabkan karena banyaknya masukan air tawar dari aliran

sungai dari sungai-sungai besar di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau Jawa.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 38: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

2.5.3 pH (Keasaman)

Derajat keasaman pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau

kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma

aktivitas ion hidrogen H+ yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak

dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan

teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan

larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional

(IUPAC, 2011).

Pengasaman laut adalah istilah yang diberikan untuk proses turunnya

kadar pH air laut yang kini tengah terjadi akibat penyerapan karbon dioksida di

atmosfer yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Menurut Jacobson (2005), pH di

permukaan laut diperkirakan turun dari 8.25 menjadi 8.14 dari tahun 1751 hingga

2004.

Pada siklus karbon alami, konsentrasi CO2 di atmosfer menggambarkan

sebuah keseimbangan fluks antara lautan, daratan dan atmosfer. Perubahan fungsi

lahan, penggunaan bahan bakar fosil, dan produksi semen mengakibatkan adanya

sumber CO2 tambahan ke dalam atmosfer bumi. Sebagian CO2 tersebut diserap

oleh tumbuhan di darat dan sebagian lainnya diserap oleh lautan. Ketika CO2

terlarut, dia akan bereaksi dengan air membentuk suatu kesetimbangan jenis ionik

dan non-ionik yaitu: karbon dioksida yang terlarut bebas CO2(aq), asam karbonat

H2CO3, bikarbonat HCO3-, dan karbonat CO3

2-. Perbandingan dari jenis-jenis ini

bergantung pada temperatur air laut dan alkalinitas.

Terlarutnya CO2 menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen H+ di

lautan, sehingga mengurangi pH lautan. Menurut Orr et al (2005), sejak revolusi

industri, pH lautan telah turun sebesar 0.1 satuan dan diperkirakan terus turun

hingga 0.3 – 0.4 satuan pada tahun 2100 karena makin banyaknya gas CO2 akibat

aktivitas manusia. Meskipun penyerapan CO2 oleh lautan membantu

memperbaiki efek iklim akibat emisi CO2, namun diyakini bahwa ada

konsekuensi negatif terhadap organisme kerang-kerangan yang memanfaatkan

kalsit dan aragonit dari kalsium karbonat untuk membentuk cangkang. Pada

kondisi normal, kalsit dan aragonit stabil di permukaan air karena ion karbonat

berada pada kondisi sangat jenuh. Dengan turunnya pH air laut, konsentrasi ion

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 39: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

karbonat ini juga akan turun, dan pada saat karbonat berada pada kondisi tak

jenuh, struktur yang dibentuk dari kalsium karbonat menjadi rapuh dan akan

mudah terpecah atau terputus.

Semakin rendah pH air laut, keasamannya makin tinggi. Ketika karbon

dioksida bercampur dengan air maka pH airpun akan turun. Sejak zaman es

permukaan air laut memiliki pH 8.3, akan tetapi sejak bumi memasuki era

industrial keasamannya berada pada angka 8.2 dan terus menurun hingga

sekarang pH air laut menjadi 8.1.

2.5.4 Nutrien (Fosfat, Nitrat, Silikat)

Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh

tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya

amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien

utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor,

oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace

element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper dan

vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al., (1984), alga membutuhkan

elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P,

Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien,

sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan

biasanya disebut mikronutrien.

Keberadaan nutrien fosfat, nitrat dan silikat diperairan laut menjadi faktor

pembatas bagi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton.

Penggunaan nutrien sebagai faktor pembatas dapat dibedakan menjadi :

1. Nutrien sebagai pembatas pertumbuhan populasi yang dominan.

2. Nutrien sebagai faktor pembatas terhadap laju potensial produksi

primer bersih.

3. Nutrien sebagai faktor pembatas produksi ekosistem bersih, populasi

primer kotor melebihi total respirasi ekosistem.

Keberadaan ekosistem yang kompleks, pola aliran arus antar pulau yang

dinamis dan aktifitas di kawasan tersebut mempunyai pengaruh terhadap

kandungan zat hara serta pola sebarannya. Kandungan zat hara di suatu perairan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 40: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung pada keadaan sekelilingnya,

seperti sumbangan dari daratan melalui sungai serta serasah mangrove dan lamun.

Unsur hara merupakan zat-zat yang diperlukan dan mempunyai pengaruh

terhadap proses dan perkembangan hidup organisme seperti fitoplankton,

terutama zat hara nitrat dan fosfat. Kedua zat hara ini berperan penting terhadap

sel jaringan jasad hidup organisme serta dalam proses fotosintesis. Tinggi

rendahnya kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tergantung pada kandungan

zat hara di perairan tersebut antara lain nitrat dan fosfat (Nybakken, 1998).

Senyawa nitrat dan fosfat secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri melalui

proses-proses penguraian, pelapukan ataupun dekomposisi tumbuh-tumbuhan,

sisa-sisa organisme mati dan buangan limbah daratan seperti domestik, industri,

pertanian, dan limbah peternakan ataupun sisa pakan (Wattayakorn, 1988).

Piehler et al (2004), menyatakan bahwa nitrogen secara signifikan

berpengaruh terhadap struktur komunitas fitoplankton. Sedangkan Pomeroy

(1991) menyatakan bahwa laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan

meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang

saturasi dan setelah keadaan ini pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi

pada konsentrasi nutrien.

Nitrogen di laut berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan

garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan amonia dan beberapa senyawa

nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat di laut berada dalam bentuk fosfat

anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan partikulat fosfat (Levinton, 1984;

Parsons et al., 1984). Fosfat berperan didalam mentransfer energi dalam sel

fitoplankton (misalnya dalam phosphorylation) dari energi ADP (Adenosin

Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et

al., 1997). Sedangkan silikat berfungsi untuk menyusun kerangka (shell) diatom

dan cyst dari yellow-brown algae (Reid dan Wood, 1976) serta berperan dalam

sintesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Kennish, 1990).

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada

konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan

akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal ini juga

dikemukakan oleh Brown et al., (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 41: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan

bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada

kedalaman antara 500 – 1500 m.

2.5.5 Klorofil-a

Klorofil-a adalah salah satu parameter indikator tingkat kesuburan suatu

perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat dipengaruhi oleh

faktor hidrologi perairan (suhu, salinitas, nitrat dan fosfat). Tisch et al., (1992)

mengatakan perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat

sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan kandungan

nutrien. Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung merupakan

penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut. Perairan

yang subur dan mempunyai produktivitas yang tinggi tentunya akan memberikan

daya dukung lingkungan yang positif bagi kehidupan biota laut.

Klorofil merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan

produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil

sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan (Mann dan Lazier,

1991).

Produktivitas primer dalam artian umum adalah laju produksi bahan

organik melalui reaksi fotosintesis per satuan volume atau luas suatu perairan

tertentu (mg C/m3/hari atau g C/m

3/tahun). Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada

semua tumbuhan yang mengandung pigmen klorofill, dan dengan adanya cahaya

matahari.

Klorofil itu sendiri terdiri dari tiga jenis yaitu klorofil-a, b, dan c. Ketiga

jenis klorofil ini sangat penting dalam proses fotosintesis tumbuhan yaitu suatu

proses yang merupakan dasar dari pembentukan zat-zat organik di alam.

Kandungan klorofil yang paling dominan dimiliki oleh fitoplankton adalah

klorofil-a. Oleh karena itulah klorofil-a dapat dijadikan sebagai salah satu

indikator kesuburan perairan (Samawi, 2001). Selanjutnya menurut Steemann-

Nielsen (1975) dalam Nontji (2008) mengatakan bahwa 95 % produktivitas

primer di laut disumbangkan oleh fitoplankton. Klorofil memegang posisi kunci

dalam reaksi fotosintesis yang menentukan produktivitas suatu perairan.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 42: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Sehubungan hal tersebut, maka cara pengukuran yang terbaik telah diusahakan

sejak dahulu guna menentukan kandungan klorofill fitoplankton di laut.

Perairan oseanik tropis merupakan perairan yang cukup jernih dan

penyinaran matahari terjadi hampir sepanjang tahun sehingga memungkinkan

tersedianya cahaya matahari pada lapisan permukaan tercampur. Hal ini

memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah dari lapisan

permukaan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin jika dibandingkan

dengan bagian pertengahan atau dibawah dari lapisan termoklin. Hal ini juga

dikemukakan oleh Matsuura et al., (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur

laut Samudera Hindia (barat laut Australia) yang mengatakan bahwa sebaran

konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat

sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan

tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada

lagi klorofil-a pada lapisan di bawah termoklin.

2.5.6 Karbon Anorganik Terlarut

Karbon anorganik erat hubungannya dengan proses pembentukan senyawa

CaCO3, yang merupakan penyusun utama terumbu karang ataupun

mikroorganisme yang ada di lautan seperti foraminifera dan cocolitoporit

(Jutterstrom and Anderson., 2005). Selain itu juga berhubungan erat dengan

proses kimia yang terjadi ketika gas karbon dioksida terlarut dalam perairan.

Dalam air laut, hanya sekitar 1% dari total karbon dioksida yang tetap

sebagai senyawa CO2 yang dapat berubah seiring dengan perubahan dari tekanan

parsial CO2 di udara, sedangkan sisanya dalam bentuk ion bikarbonat (91%) dan

ion karbonat (8%) (Royal Society, 2005). Asam karbonat dan ion karbonat biasa

dirujuk sebagai dissolved inorganic carbon (DIC). Proporsi relatif ketiga bentuk

DIC mencerminkan pH air laut dan mengendalikan DIC dalam batas-batas relatif

yang sempit. DIC ini berperan sebagai buffer pH alami yang disebut sebagai

'buffer karbonat'. Masuknya CO2 ke air laut menyebabkan ion hidrogen yang ada

akan bereaksi dengan ion karbonat CO32-

dan membentuk ion bikarbonat HCO3-

dan akhirnya akan mengurangi konsentrasi ion hidrogen (keasaman) sedemikian

rupa sehingga perubahan pH akan jauh lebih kecil daripada yang dapat diharapkan

(Royal Society, 2005).

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 43: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) periode yaitu pada tanggal 22

Februari s/d 1 Maret 2010 di perairan Utara Banten, Selat Sunda dan Samudera

Hindia dimana dalam pembahasan hanya disebutkan sebagai perairan Selat Sunda

(SS), serta pada tanggal 6 s/d 28 April 2010 di perairan Barat Sumatera (BS)

dengan menggunakan KR Baruna Jaya III milik Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT) Jakarta (Gambar 4).

Alat dan bahan yang digunakan dalam survei adalah :

Tabel 1. Alat dan Bahan Survei

NO ALAT DAN BAHAN SURVEI

1 Kapal Riset Baruna Jaya III

2 CTD SeaBird SBE19plus (Conductivity, Temperature, Depth)

3 Botol Niskin dan Rossette Sampler

4 pH meter

5 Spektrofotometer

6 Centrifuge

7 Tabung reaksi

8 Titrator

9 Botol sampel kaca gelap dan polietilen

10 Jerigen 2 liter

11 Vacuum pump

12 Kertas saring Whatman 0.45 µm

13 Aceton 90 %

14 Freezer

15 Pinset

16 Alat tulis

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 44: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Sampel air laut diambil menggunakan botol niskin yang sudah

terintegrasi dengan rossette sampler dan CTD mulai permukaan sampai

kedalaman yang kita inginkan. Sampel dari botol niskin dipindahkan kedalam

jerigen ukuran 2 liter kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman

0.45 µm. Hasil saringan disimpan dalam kertas alumunium foil untuk analisa

klorofil-a dilaboratorium. Sebanyak 250 ml sampel hasil saringan dimasukkan

kedalam botol kaca dan disimpan dalam lemari pendingan untuk analisa DIC, pH

dan alkalinitas dilaboratorium.

Sumber : Peta Bakosurtanal 2008

Gambar 7. Peta Lokasi Survei

PETA LOKASI SURVEI

Februari - April 2010

Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

Balai Teknologi Survei Kelautan

Badan Pengkajian dan Penerapan TeknologiJakarta

PEKERJAAN

SURVEITEKNOLOGI PENGENDALIAN DAN MITIGASI

DAMPAK PEMANASAN GLOBAL

PELAKSANA

DARATAN

GARIS PANTAI

KETERANGAN

Jl. M.H. Thamrin No.8

Jakarta Pusat

Telp. (021) 316 8820

Fax. (021) 310 8149

Utara

LOKASI SURVEI FEBRUARI 2010

LOKASI SURVEI APRIL 2010

SKALA 1 : 11.200.000

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 45: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

3.2 Analisa Klorofil dan Parameter CO2

Klorofil diukur menggunakan alat spektrometer menurut metode APHA

(American Public Health Association, edisi 21, tahun 2005, 10200-H). Satuan

konsentrasi klorofil yang digunakan adalah μg/l. Sistem CO2 di perairan dapat

dikaji melalui empat parameter yang dapat diukur, yaitu DIC, total alkalinitas, pH

dan tekanan parsial CO2 (Lewis and Wallace, 1997). Dua dari parameter tersebut

dapat dihitung dari dua parameter lainnya (Lewis and Wallace, 1997). Pada studi

ini DIC diukur menggunakan metode titrasi dengan prinsip mendasarkan pada

perubahan pH setelah ditambahkan HCl dan NaOH pada sampel air yang telah

disaring (Giggenbach and Goguel, 1989). DIC didapatkan dari penjumlahan

HCO3- dan CO3

2- yang terdeteksi setelah ditambahkan HCl dan NaOH. Alkalinitas

diukur di laboratorium menggunakan metode titrasi (Anderson and Robinson,

1946) dengan prinsip mendasarkan pada perubahan pH awal dan akhir pada 200

ml sampel (hasil saringan), sebelum dan setelah ditambahkan HCl 0.01 N

sebanyak 25 ml.

Tekanan parsial CO2 dihitung dari DIC dan pH menggunakan prinsip dasar

dari Cai and Wang (1998), yaitu:

(3)

dimana : DIC = dissolved inorganic karbon, Kh adalah konstanta solubilitas gas

dalam air menurut Weiss (1974), {H}= 10-pH, K1 dan K2 adalah konstanta

disosiasi dari asam karbonat.

Secara praktis pCO2 dihitung menggunakan perangkat lunak CO2SYS

yang dikembangkan oleh Lewis and Wallace (1997). Di dalam perangkat tersebut

terdapat beberapa model perhitungan yang kemudian akan menentukan asumsi

dan konstanta yang digunakan untuk menghitung pCO2. Model yang digunakan

pada studi ini adalah GEOSECS (Takahashi et al., 1982) dengan pertimbangan

tidak ada pembedaan antara pCO2 dan fCO2 (fugasitas). Selain DIC dan pH, untuk

menghitung pCO2 model GEOSECS juga memerlukan input parameter untuk

koreksi, yaitu suhu (in situ maupun laboratorium) dan salinitas. Karena model

perhitungan yang digunakan untuk menghitung pCO2 adalah menggunakan model

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 46: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

GEOSECS, maka koreksi suhu dan salinitas juga mengikuti model tersebut, yaitu

mengacu pada Mehrbach et al., (1973). Formula perhitungan K1 dan K2 yang

telah memperhitungkan suhu dan salinitas adalah sebagai berikut (Mehrbach et

al., 1973) :

(4)

(5)

Formula untuk KH (atau Ko di dalam Weiss, 1974) adalah juga bentuk

yang telah mengalami koreksi suhu dan salinitas, yaitu (Weiss, 1974) :

(6)

Untuk alkalinitas, koreksi terhadap suhu dan salinitas telah diakomodasi

pada perhitungan alkalinitas pada metode yang dipakai, yaitu Giggenbach and

Goguel (1989), sebagai berikut :

Total alkalinitas (meq/l) = 2.500 – 125 (7)

dimana untuk persamaan (4), (5), (6) dan (7) :

3.3 Pengukuran CO2 Udara di Stasiun GAW Kototabang

Di dalam Protokol Kyoto menyebutkan ada enam gas yang dikategorikan

sebagai gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous

oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan sulfur

heksafluorida (SF6) (UN, 1998). Dari ke enam gas ini, empat gas diantaranya

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 47: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

yaitu CO2, CH4, N2O, dan SF6, sudah diukur konsentrasinya di Stasiun Pemantau

Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatera Barat.

Pengambilan sampel gas rumah kaca dilakukan dengan menggunakan

Airkit Flask Sampler. Inlet dari airkit flask sampler diletakan pada menara dengan

ketinggian 35 meter agar CO2 dari sampel udara yang diambil tidak terpengaruh

langsung dari tanaman dan manusia. Sampel gas yang diperoleh kemudian

dianalisis lebih lanjut di Climate Monitoring and Diagnostic Laboratory (CMDL)

NOAA. Gas CO2 akan dianalisis dengan menggunakan metode Non-Dispersive

Intra Red (NDIR), dimana gas CO2 oleh I2O5 (diiodin pentoksida) dalam suasana

panas akan menghasilkan gas I2. Selanjutnya gas tersebut akan ditangkap oleh

larutan KI membentuk warna kuning dan diukur dengan spektrofotometer panjang

gelombang 420 nm. Metode ini cocok untuk untuk konsentrasi CO relatif tinggi 5

ppm. Adapun reaksi kimianya adalah sebagai berikut:

Pengukuran ini berdasarkan kemampuan gas CO menyerap sinar infra

merah pada panjang 420 nm. Banyaknya intensitas sinar yang diserap sebanding

dengan konsentrasi CO di udara. Analyzer ini terdiri dari sumber cahaya

inframerah, tabung sampel dan reference, detektor dan rekorder.

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Analisis Pertukaran Gas CO2 Laut dan Udara

Secara umum flux atau pertukaran aliran gas CO2

antara darat dan laut

adalah fungsi dua parameter yaitu perbedaan konsentrasi CO2

antara laut dan

darat yang merupakan fungsi termodinamika dan kecepatan transfer gas CO2

yang

merupakan fungsi dari faktor hidrodinamika di permukaan laut. Aliran pertukaran

bersih di suatu lokasi tergantung kepada tingkat kejenuhan CO2 di permukaan air

dan dirumuskan dengan persamaan (8) :

(8)

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 48: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

dimana k adalah koefisien pertukaran dimana nilainya meningkat sebanding

dengan pertambahan kecepatan angin dipertemuan antar muka udara laut, s adalah

kelarutan CO2 dalam air laut. pCO2 laut menunjukkan tekanan parsial CO2

dipermukaan laut dan pCO2 udara menunjukkan tekanan parsial CO2 di udara.

Berdasarkan persamaan (8), aliran bersih diasumsikan positif ketika aliran

tersebut bergerak dari laut ke atmosfer. pCO2 laut akan berbeda-beda tergantung

kepada beberapa faktor seperti suhu dan aktifitas biologi lautan. Ada tiga formula

untuk menentukan nilai k yang paling sering digunakan sebagai fungsi dari angin

yaitu hubungan linier (Liss dan Merlivat, 1986), hubungan kuadratik

(Wanninkhof, 1992), dan hubungan kubik (Wanninkhof dan McGills, 1999).

Didalam penelitian ini, formulasi angin yang digunakan adalah fungsi

kuadratik oleh Wanninkhof (1992) (W92 dalam persamaan 9) karena data yang

digunakan pada penelitian ini adalah hasil pengukuran dilapangan pada saat survei

pengambilan data .

(9)

Dimana k dalam satuan cm hr-1

u10 adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m

(m s-1

) dari permukaan laut. Sedangkan solubilitas atau kelarutan CO2 di dalam air

laut bergantung kepada dua variabel utama yaitu suhu permukaan laut dan

salinitas permukaan laut.

Karena ΔCO2 udara – laut

sebanding dengan perbedaan pCO2 udara – laut

, maka

formulanya dapat didetailkan menjadi (persamaan 10) :

(10)

Variabel K adalah fungsi dari kecepatan angin dan kekasaran permukaan laut

yang dapat dihitung dari data angin maupun dari data satelit altimetri.

3.4.2 Analisa ‘Sink & Source’ CO2

Analisis „sink & source‟ CO2 dilakukan untuk menentukan apakah suatu

perairan penyerap atau pelepas CO2. Analisis ini dilakukan dengan mengurangkan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 49: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

nilai pCO2 udara atau tekanan parsial CO2 di atmosfer dengan nilai pCO2 laut yang

telah didapatkan dari perhitungan (persamaan 10). Secara ideal pCO2 udara

didapatkan melalui pengukuran langsung secara simultan dengan pCO2 laut. Dalam

penelitian ini nilai pCO2 udara didapatkan dari hasil rata-rata pengamatan bulanan

stasiun Global Atmospheric Watch di Kototabang Bukittinggi pada bulan

Februari, Maret dan April tahun 2010 dan diasumsikan mewakili nilai pCO2 udara

diwilayah penelitian. Nilai pCO2 udara yang didapatkan adalah 385.501 ppm.

Formula umumnya :

(11)

Laut berperan sebagai sumber/pelepas CO2 bila pCO2 laut lebih tinggi dari

nilai atmosfer (nilai positif) karena akan terjadi aliran CO2 dari air ke atmosfer

dan sebaliknya berperan sebagai penyerap CO2 dari atmosfer jika nilai pCO2 laut

lebih rendah dari pCO2 udara (nilai negatif).

3.4.3 Analisis Regresi Linear

Regresi linear merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari

pola hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada kenyataan sehari-hari sering

dijumpai sebuah kejadian dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel, oleh

karenanya dikembangkanlah analisis regresi linier berganda. Adanya metode

analisis regresi ini sangat menguntungkan bagi banyak pihak, baik di bidang

sains, sosial, industri maupun bisnis.

Dalam analisis regresi, dikenal dua jenis variabel yaitu :

- Variabel Respon disebut juga variabel dependent yaitu variabel yang

keberadaannya diperngaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan

Y.

- Variabel Prediktor disebut juga variabel independent yaitu variabel yang

bebas (tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan X.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 50: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Tekanan parsial CO2 (pCO2) merupakan salah satu parameter kunci dalam

mengetahui sistem CO2 di perairan. Untuk mengkaji variabilitas dari pCO2 dan

untuk mengetahui proses fisis dan kimia yang paling mempengaruhi

variabilitasnya maka dilakukan analisis regresi linear tunggal antara pCO2 dengan

DIC, pH, T alk, suhu, salinitas, klorofil-a dan nutrien (fosfat, nitrat, silikat).

Pembahasan kemudian didasarkan pada nilai R2 yang didapatkan. R

2 dapat

diartikan sebagai suatu nilai yang mengukur proporsi atau variasi total di sekitar

nilai tengah Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi. Nilai R2 berkisar antara 0

sampai dengan 1.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 51: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

BAB IV

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Musim dan Profil Pantai

Wilayah yang diamati dalam studi ini meliputi perairan Selat Sunda, dan

barat Sumatera (Gambar 7). Wilayah studi merupakan daerah yang wilayah

pesisirnya digunakan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan tangkap,

perikanan budidaya, pariwisata, pelayaran, pelabuhan, pemukiman, maupun

kegiatan perdagangan. Perairan wilayah studi termasuk perairan Indonesia yang

merupakan perairan penghubung antara Samudera Pasifik dengan Samudera

Hindia, dan juga sangat dipengaruhi oleh iklim monson. Hal ini mengakibatkan

sifat yang khas bagi perairan Indonesia. Dengan adanya karakter tersebut, perairan

ini memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi secara musiman

serta dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik yang melintasi perairan

Indonesia menuju Samudera Hindia melalui Arus Lintas Indonesia (Yusuf, 2007).

Secara umum, kondisi perairan wilayah studi dipengaruhi oleh empat

musim yaitu musim barat yang mewakili bulan Desember, Januari dan Februari,

musim peralihan barat timur mewakili bulan Maret, April dan Mei, musim timur

mewakili bulan Juni, Juli dan Agustus serta musim peralihan timur - barat

mewakili bulan September, Oktober dan November. Selama musim-musim

tersebut tejadi perubahan kondisi umum perairan wilayah studi, baik dari aspek

fisik, kimia maupun biologis.

Stasiun 1, 2, 3 dan 4 dalam studi periode 1 terletak diperairan utara Banten

yang masuk dalam perairan laut Jawa dengan kondisi umum bahwa wilayah

pantainya merupakan pantai datar terhampar dan termasuk dalam kategori laut

dangkal. Lingkungan laut sebelah utara Banten banyak terkena dampak

eksploitasi sumberdaya alam didaratan yang berpengaruh terhadap sedimentasi

perairan laut utara Banten.

Stasiun 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 dalam studi periode 1 terletak diperairan selat

Sunda dengan karakteristik lingkungan perairan yang berbeda. Perairan selat

Sunda terletak di antara pulau Sumatera dan pulau Jawa serta berhubungan

dengan laut Jawa dan samudera Hindia. Di dalam perairan ini terdapat pulau –

pulau kecil dan gunung berapi yang masih aktif yaitu gunung Krakatau dan anak

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 52: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Krakatau (Rakata). Di perairan selat bagian utara yang berhubungan dengan laut

Jawa, kedalaman lautnya dangkal (kurang dari 50 meter), tetapi di perairan selat

bagian selatan yang berhubungan dengan samudera Hindia mempunyai

kedalaman laut lebih dari 1000 meter.

Selat Sunda berbatasan dengan propinsi Lampung dimana merupakan

wilayah ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dengan kondisi perairan yang

sangat menarik dimana pada musim timur, saat terjadi surut di samudera Hindia

akan terjadi pertemuan dua arus di samudera Hindia dengan massa air laut dari

laut Jawa yang berbeda karakteristiknya dan biasanya diikuti dengan

meningkatnya kesuburan perairan yang diikuti melimpahnya sumberdaya

perikanan.

Wyrtki (1961) menyatakan bahwa massa air di selat Sunda bergerak ke

arah samudera Hindia sepanjang tahun dan sangat kuat hubungannya dengan

gradien permukaan muka laut. Arus maksimum pertama diperoleh pada bulan

Agustus saat monsun timur dan maksimum kedua diperoleh pada bulan Desember

/ Januari saat puncaknya monsun utara.

Wilayah Banten dan selat Sunda mempunyai iklim yang sangat

dipengaruhi oleh angin monson dan gelombang La Nina dan El Nino. Saat musim

penghujan (November - Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera

Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang

melewati laut Cina Selatan. Pada musim kemarau Juni - Agustus, cuaca

didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami

kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara, terlebih lagi bila

berlangsung El Nino. Temperatur udara secara umum berkisar antara 20 s/d 32oC.

Sedangkan stasiun 11 dan 12 sudah masuk dalam wilayah perairan

samudera hindia yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagaimana wilayah studi

periode 2. Dalam studi periode 2 dari stasiun penelitian 1 s/d 15, semuanya

merupakan wilayah disebelah barat Sumatera yang termasuk dalam wilayah

samudera Hindia. Wilayah perairan studi 2 melewati beberapa propinsi yaitu

propinsi Lampung, propinsi Bengkulu, propinsi Sumatera Barat (Padang) dan

propinsi Daerah Istimewa Aceh. Profil dasar pantai yang curam merupakan ciri

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 53: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

khas perairan pantai Barat Sumatera, dimana kedalaman perairan yang besar

ditemukan dekat dengan garis pantai.

4.2 Kondisi Temperature dan Salinitas

Kondisi perairan wilayah penelitian cenderung hangat sepanjang tahun,

musim hujan berlangsung bulan Desember – Mei (musim barat) dan musim

kemarau berlangsung pada musim timur. Curah hujan yang cukup tinggi

menyebabkan penurunan kadar salinitas di wilayah penelitian terutama perairan

Barat Sumatera. Menurut Nybakken (1998), kisaran suhu dan salinitas tidak

mengalami fluktuasi yang tinggi atau dapat disebut konstan.

Menurut Surinati (2009) bahwa distribusi horizontal temperatur di

perairan samudera Hindia terutama di perairan P. Simeulue dan sekitarnya pada

bulan Agustus 2007 nilai temperatur rata-rata 29.2oC. Temperatur rata-rata pada

kedalaman 100 sekitar 21.4oC dan pada kedalaman 200 m temperatur rata-rata

sekitar 12.9oC. Mulai kedalaman 200 m variasi temperatur dari stasiun ke stasiun

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kondisi ini menunjukkan bahwa massa

air mulai stabil dan tidak terlalu dinamis.

Sedangkan distribusi horizontal salinitas di perairan samudera Hindia

terutama di perairan pulau Simeulue dan sekitarnya pada bulan Agustus 2007

mempunyai nilai salinitas rata-rata sekitar 33.1 PSU. Pada kedalaman 100 m nilai

salinitas rata-rata ~ 34 PSU. Nilai salinitas tinggi dengan nilai rata-rata 35.03 PSU

berada pada kedalaman 200 m. Massa air bersalinitas tinggi ini diduga berasal

dari massa air yang datang dari utara, yaitu massa air Subtropical Lower Water

(Surinati., 2009).

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 54: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat

Sumatera

Data hasil penelitian di perairan Selat Sunda dan barat Sumatera

ditampilkan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. Hasil menunjukkan bahwa pada

bulan Februari 2010 diperairan Selat Sunda temperatur permukaan laut berkisar

29.38 s/d 30.78oC dan salinitas permukaan berkisar 28.23 s/d 24.00 PSU.

Sedangkan pada bulan April 2010 diperairan barat Sumatera temperatur

permukaan laut berkisar 30.11 s/d 30.83oC dan salinitas permukaan laut berkisar

32.13 s/d 33.14 PSU. Distribusi spasial temperatur dan salinitas pada bulan

Februari dan April 2010 ditampilkan pada gambar 8 dan 9, yang secara umum

keduanya menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada perairan samudera bila

dibandingkan perairan dekat dengan pantai. Hal ini diduga karena perairan dekat

pantai mendapatkan pasokan air tawar dengan suhu yang relatif lebih dingin

sehingga menyebabkan perairan yang berdekatan dengan pantai menjadi lebih

dingin dan nilai salinitas menjadi lebih rendah.

Gambar 8. Temperatur Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 55: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Dari gambar 8 terlihat bahwa pola temperatur permukaan di dua lokasi

penelitian menunjukkan pola yang hampir saja walaupun secara umum rata-rata

nilai temperatur permukaan dalam penelitian periode 2 diperairan barat Sumatera

mempunyai nilai yang lebih tinggi yaitu 30.42oC bila dibandingkan perairan Selat

Sunda sebesar 29.94oC. Perbedaan ini diduga karena wilayah penelitian periode 1

masih banyak dipengaruhi massa air dari laut Jawa yang cenderung mempunyai

temperatur lebih rendah, sedangkan wilayah penelitian periode 2 diperairan barat

Sumatera merupakan bagian wilayah Samudera Hindia dengan karakteristik

massa air dengan temperatur yang lebih tinggi.

Temperatur perairan, khususnya perairan Indonesia, dipengaruhi oleh

siklus perubahan musim (Wyrtki, 1961). Selain oleh musim, temperatur air di

suatu perairan juga dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari, kedalaman dan

daratan di sekelilingnya (Sidjabat, 1974).

Gambar 9. Salinitas Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Nilai salinitas dalam gambar 9 terlihat secara umum bahwa salinitas di

wilayah penelitian periode 2 yaitu perairan barat Sumatera lebih tinggi bila

dibandingkan dengan nilai salinitas di wilayah penelitian periode 1 di Selat Sunda

dengan rata-rata 32.81 PSU dan 31.07 PSU. Massa air bersalinitas tinggi ini

diduga berasal dari massa air yang datang dari utara, yaitu massa air Subtropical

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 56: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Lower Water. Sedangkan rendahnya salinitas di wilayah studi 1 disebabkan oleh

pengaruh massa air dari laut Jawa yang mempunyai salinitas rendah yang

diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di pulau Sumatra, pulau

Kalimantan dan pulau Jawa (Wyrtki, 1961).

5.2 Variabilitas Nutrien (Fosfat, Nitrat, Silikat) Perairan Selat Sunda dan

Barat Sumatera

Hasil analisa nutrien (fosfat, nitrat, silikat) menunjukkan bahwa pada

bulan Februari 2010 diperairan Selat Sunda kandungan nitrat, fosfat dan silikat

permukaan laut secara berurutan adalah 0.061 s/d 0.610 mg-at P/l, 0.01 s/d 0.83

mg-at N/l dan 0.061 s/d 0.257 mg-at Si/l. Sedangkan pada bulan April 2010

diperairan Barat Sumatera kandungan nitrat, fosfat dan silikat permukaan laut

secara berurutan adalah 0.088 s/d 0.143 mg-at N/l, 0.37 s/d 1.30 mg-at P/l dan

0.223 s/d 0.660 mg-at Si/l.

Kandungan fosfat, nitrat dan silikat di kedua wilayah studi menunjukkan

nilai yang bervariasi, hal ini disebabkan karena wilayah penelitian melewati

beberapa wilayah berbeda yaitu wilayah laut Jawa, wilayah Selat Sunda

(percampuran) dan wilayah samudera Hindia (laut lepas). Disamping itu juga

bahwa wilayah studi 2 (dua) di duga terjadi percampuran massa air terutama

massa air yang dibawa oleh arus sakal Samudera Hindia dengan massa air

terutama yang berasal dari sungai-sungai besar disepanjang pantai barat Sumatera.

Gambar 10 terlihat bahwa kandungan nitrat di wilayah studi 1 dan 2

menunjukkan nilai yang bervariasi dan masih sesuai dengan kandungan nitrat

pada umumnya perairan laut antara 0.01 - 50 mg-at N/l (Brotowidjoyo, 1995).

Adanya kandungan nitrat yang rendah dan tinggi pada daerah-daerah tertentu

dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya arus pada daerah

tersebut yang membawa fosfat dan kelimpahan fitoplankton (Koesoebiono,

1981). Konsentrasi nitrat bervariasi menurut letak geografis dan kedalaman, di

mana pola geografis nitrat di lapisan bawah lebih dikontrol oleh sirkulasi air

lapisan bawah dan proses mineralisasi nitrogen organik partikulat (Wada and

Hattori, 1991). Massa air bawah yang kaya akan nutrien dapat ditransportasikan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 57: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

ke permukaan melalui proses upwelling. Di lain sisi, nitrat akan senantiasa

diambil di lapisan permukaan selama proses produktifitas primer (Millero, 1991).

Rata-rata kandungan fosfat diwilayah studi 1 dan 2 adalah 0.167 mg-at

P/L dan 0.110 mg-at P/L, dimana kandungan fosfat ini masih normal sesuai

dengan umumnya dijumpai di perairan laut. Kandungan fosfat di perairan laut

yang normal berkisar antara 0.01 - 4 mg-at P/L (Brotowidjoyo, 1995).

Gambar 10. Kandungan Nitrat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Gambar 11. Kandungan Fosfat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

N (

NO

3-N

) m

g/l

Stasiun

BS

SS

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 58: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Tingginya kandungan fosfat permukaan di stasiun 8 wilayah studi 1 (0,610

mg-at P/L) dan stasiun 2 wilayah studi 2 (0.143 mg-at P/L) (Gambar 11), diduga

karena stasiun ini berada paling dekat dari daratan. Reservoir yang besar dari

fosfat bukanlah udara, melainkan batu-batu atau endapan-endapan lain. Fosfat

yang ada di batuan ini akan ditranspor ke laut melalui run off ataupun saat terjadi

hujan. Kandungan fosfat umumnya semakin menurun semakin jauh ke arah laut

(Muchtar, 2008). Di perairan pesisir dan paparan benua, sungai sebagai pembawa

hanyutan-hanyutan sampah maupun sumber fosfat daratan lainnya akan

mengakibatkan konsentrasi di muara lebih besar dari sekitarnya.

Gambar 12. Kandungan Silikat Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Nilai kadar silikat pada lapisan permukaan disemua stasiun pengamatan

terlihat beragam (Gambar 12). Rendahnya kadar silikat distasiun 11 (wilayah 1)

dan stasiun 14 (wilayah 2) diduga karena lokasi stasiun tersebut jauh dari pantai

sehingga pasokan sedimen dari daratan yang mengandung silikat sangat sedikit,

disamping itu juga terkait dengan rendahnya curah hujan yang terjadi. Tingginya

curah hujan akan meningkatkan terjadinya proses erosi disepanjang sungai dan

pantai sehingga kadar silikat di lokasi tersebut akan meningkat pula.

Rata-rata kandungan silikat di wilayah studi 1 dan 2 adalah 0.167 mg-at

Si/L dan 0.389 mg-at Si/L. Data ini menunjukkan bahwa distribusi kadar silikat

lebih tinggi didaerah studi 2, hal ini diduga karena di wilayah studi 2 di duga

banyak terjadi turbulensi (pengadukan) massa air sehingga kadar silikat yang

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Silik

at (

mg/

l)

Stasiun

BS

SS

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 59: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

tinggi dilapisan dasar akan terangkat ke permukaan. Sedangkan di wilayah studi 2

yang sebagian besar stasiunnya berdekatan dengan garis pantai dan aktifitas

manusia menyebabkan terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang

menyebabkan melimpahnya fitoplankton, dimana dengan melimpahnya

fitoplankton menyebabkan kandungan silikat perairan semakin berkurang karena

dikonsumsi oleh fitoplankton.

5.3 Variabilitas pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

Gambar 13. Nilai pH Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai pH dikedua wilayah penelitian

bervariasi. Rata-rata nilai pH di wilayah penelitian 1 (perairan Selat Sunda) lebih

rendah bila dibandingkan dengan nilai pH di wilayah penelitian 2 (perairan barat

Sumatera) yaitu 8.25 dan 8.32. Rendahnya nilai pH di wilayah studi 1 diduga

karena tingginya kandungan CO2 yang berasal dari kapal-kapal penyeberangan

yang hilir mudik setiap hari di wilayah tersebut, dimana terlarutnya CO2

menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di lautan, sehingga

mengurangi pH lautan. Hal ini juga dibuktikan dengan lebih tingginya nilai DIC

di wilayah 1 bila diandingkan wilayah 2 yaitu 1623.10 dan 1605.98 µmol/kg.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 60: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

5.4 Variabilitas Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

Pengukuran klorofil-a menunjukkan bahwa pada bulan Februari 2010

diperairan Selat Sunda kandungan klorofil-a 1.1 s/d 4.7 mg/m3 Sedangkan pada

bulan April 2010 diperairan barat Sumatera kandungan klorofil-a permukaan laut

berkisar 0.1 s/d 0.5 mg/m3.

Gambar 14 menunjukkan bahwa sebaran kandungan klorofil-a diwilayah

studi 1 (Selat Sunda) mempunyai nilai jauh lebih besar bila dibandingkan wilayah

studi 2 (Barat Sumatera) dengan nilai rata-rata klorofil-a di wilayah studi 1

sebesar 2.28 mg/m3 dan di wilayah studi 2 sebesar 0.35 mg/m

3.

Menurut Nontji (1974) dalam Monk et al., (1997) mengatakan bahwa rata-

rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16

mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m

3 selama Musim Timur.

Berdasarkan hasil di atas, maka terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada

musim timur di kedua wilayah studi memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi.

Hal ini terutama didapatkan pada daerah pantai diwilayah studi 1. Tingginya

konsentrasi klorofil-a diwilayah studi 1 khususnya stasiun 1 karena banyaknya

aliran sungai yang bermuara di daerah pantai. Suplai nutrien yang berasal dari

daratan merupakan faktor utama yang mengakibatkan tingginya konsentrasi

klorofil-a tersebut. Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan

oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya

amonia, nitrat) dan anorganik terlarut. Hal ini sesuai dengan pendapat Valiela

(1984) yang mengatakan bahwa di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi

konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas

pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir

disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari

daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai

karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung.

Selain faktor nutrien, maka faktor lain yang kemungkinan mengakibatkan

tingginya konsentrasi klorofil-a pada musim timur adalah faktor pencahayaan.

Pada bulan Maret - April di perairan wilayah studi matahari bersinar dengan

intensitas yang cukup tinggi dan selanjutnya digunakan oleh fitoplankton untuk

proses fotosintesis. Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 61: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur

tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa (Tubalawony,

2001).

Selain konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada daerah pantai, maka di

perairan lepas pantai juga ditemukan daerah yang memiliki konsentrasi klorofil-a

yang cukup tinggi, walaupun pada umumnya di daerah tersebut memiliki

konsentrasi klorofil-a yang rendah akibat tidak adanya suplai nutrien yang berasal

dari daratan. Tingginya konsentrasi klorofil-a pada perairan lepas pantai akibat

tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,

dimana massa air dalam terangkat bersama-sama dengan nutrien ke lapisan

permukaan dan hal ini disebut dengan proses upwelling.

Gambar 14. Kandungan Klorofil-a Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling

disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur

yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang

dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju

produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien

secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator. Beberapa

daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 62: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

muson adalah Laut Banda dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987),

Selatan Jawa dan Bali (Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor

(Tubalawony, 2000).

5.5 Variabilitas CO2 Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

Hasil data lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa pada akhir

bulan Februari 2010 data DIC di wilayah penelitian periode 1 (perairan Selat

Sunda) berkisar antara 1372.44 s/d 1795.71 µmol/kg dan alkalinitas total dilokasi

studi berkisar 1680.6 s/d 2071.2 µmol/kg. Sedangkan DIC di wilayah penelitian

periode 2 (perairan Barat Sumatera) berkisar 1346.68 s/d 1754.95 µmol/kg dan

alkalinitas total dilokasi studi berkisar 1578.90 s/d 2064.50 µmol/kg. Distribusi

spasial konsentrasi DIC dan alkalinitas total dikedua lokasi studi ditampilkan pada

gambar 12 dan 13, yang secara umum menunjukkan terjadinya trend kenaikan

dari stasiun 1 menuju stasiun 15. Survei periode 1 (perairan Selat Sunda) terlihat

jelas bahwa nilai DIC mengalami kenaikan dari stasiun 1 s/d 5 (massa air laut

Jawa), nilai DIC relatif stabil dari stasiun 6 s/d 10 (percampuran massa air laut

Jawa dan Samudera Hindia), kemudian nilai DIC tertinggi ditemukan di stasiun

11 dan 12 yang merupakan massa air Samudera Hindia .

Data hasil penelitian karbon anorganik terlarut pada daerah studi 1 dan 2

disajikan pada Gambar 15 dengan nilai rata-ratanya adalah 1623.10 µmol/kg dan

1605.98 µmol/kg. Kisaran konsentrasi karbon anorganik terlarut selama

penelitian masih berada di bawah kisaran yang dilaporkan oleh Dickson & Goyet

(1994) yaitu antara 1800 – 2300 μmol/kg. Rendahnya nilai rata-rata karbon

anorganik terlarut disebabkan salah satunya adalah derajat keasaman (pH).

Dimana berdasarkan hasil penelitian Suratno (2010) bahwa berdasarkan uji

statistika (korelasi Pearson) maka semakin rendah pH air laut maka akan semakin

tinggi nilai karbon anorganik terlarut.

Thomas & Schneider (1999) menemukan bahwa terjadi perbedaan

fluxtuasi yang tinggi (250 μmol/kgSW ) CT di perairan Laut Baltic. Perbedaan

yang tinggi dipengaruhi oleh arus masuk dari lautan yang mempunyai salinitas

rendah sepanjang musim semi dan musim panas yang berasal dari Laut Bothnian,

serta Teluk Finland dan Teluk Riga yang memiliki salinitas tinggi selama musim

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 63: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

gugur dan musim dingin yang berasal dari Laut Utara. Goyet et al., (1998)

menemukan adanya perbedaan karbon anorganik total di Laut Arabia (10° - 20°

LU) pada permukaan laut dan pada kedalaman 1 – 30 m (zona sub permukaan).

Pada posisi 10° LU CT permukaan sebesar 1.995 μmol/kgSW dan zona sub

permukaan sebesar 2.150 μmol/kgSW. Perbedaan ini disebabkan karena adanya

perubahan musim, proses biogeokimia dan aktivitas biologi yang ada, selain itu

adanya zona ephotik yang ada di kedalaman yang menyebabkan terjadinya

percampuran air dari lapisan dasar ke atas dan sebaliknya (Goyet et al., 1998).

Gambar 15. DIC Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Total alkalinitas (Gambar 16) dalam survei periode 1 terlihat bahwa nilai

total alkalinitas mengalami kenaikan dari stasiun 1 s/d 3, relatif stabil dari stasiun

4 s/d 8 walaupun ada penurunan distasiun 5, kemudian mengalami kenaikan dari

stasiun 9 s/d 12. Kondisi yang cukup bervariasi walaupun secara umum trendnya

mengalami kenaikan diduga karena adanya masukan massa air dari laut jawa dan

air tawar dari sungai diteluk Banten yang terbawa menuju selat Sunda dan

Samudera Indonesia.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 64: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 16. Total Alkalinitas Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Alkalinitas total (T alk) air laut didefinisikan sebagai penjumlahan mol ion

hidrogen yang ekuivalen dengan proton akseptor (misalnya HCO3-, CO3

2-,

B(OH)4-, HPO4

2-, PO4

3-, H3SiO4

- HS

- dan NH3

-) dikurangi dengan seluruh proton

donor (terdiri dari H3PO4, HSO4- dan HF (Wolf-Gladrow et al., 2007) dalam 1

kilogram sampel air laut (Dickson & Goyet, 1994). Rata-rata nilai alkalinitas

total dikedua wilayah studi adalah 1859.99 µmol/kg dan 1894.86 µmol/kg. Nilai

total alkalinitas yang didapatkan dibawah rentang kisaran total alkalinitas

menurut Dickson & Goyet (1994), yaitu dalam kisaran rentang 2000 – 2500

μmol/kgSW. Nilai yang kecil ini dikedua wlayah studi pada bulan Maret dan

April kemungkinan penyebabnya adalah adanya ion fosfat atau silikat, karena satu

mol asam fosfat akan menyebabkan berkurangnya alkalinitas total sebesar satu

ekuivalen (Wolf-Gladrow et al., 2007).

5.6 Analisa ‘Sink dan Source’ CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat

Sumatera

Gambar 17 menunjukkan bahwa pada bulan Februari dan Maret 2010

diperairan studi wilayah 1 dan wilayah 2 mempunyai hasil yang bervariasi baik

sebagai sink maupun source. Stasiun 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10 dan 11 diwilayah studi 1

merupakan pelepas CO2 ke atmosfer yang ditunjukkan oleh nilai pCO2 positif dan

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 65: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

stasiun 1, 3, 8 dan 12 wilayah studi 1 merupakan penyerap CO2 dari atmosfer

yang ditunjukkan oleh nilai pCO2 negatif. Sedangkan wilayah studi 2 didominasi

oleh penyerap CO2 (sink) dengan nilai pCO2 negatif pada stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8,

9, 10, 11, 14 dan 15. Sisanya stasiun 6, 12 dan 13 merupakan pelepas CO2 ke

atmosfer.

Gambar 17. ΔpCO2 Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

(Sumber : Data primer diolah, 2010)

Angka nol (0) untuk membedakan pCO2 negatif dan positif.

Hasil penelitian Cai et.al. (2006) dan Borges et.al. (2005) secara

eksplisit menyatakan bahwa perairan pesisir tropis, utamanya wilayah pertemuan

darat - laut, termasuk estuari dan mangrove, berperan sebagai pelepas CO2

kuat ke

atmosfer dikarenakan input karbon organik dari daratan yang memicu kondisi

heterotropik. Namun penelitian Tsunogai et.al., (1999) menyatakan bahwa daerah

paparan benua, terutama yang dipengaruhi oleh sungai berperan sebagai penyerap

CO2.

5.7 Perhitungan Flux CO2 di Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera

Data hasil perhitungan flux CO2 di perairan selat Sunda dan barat

Sumatera dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. Pada bulan Februari

Maret di perairan Selat Sunda rata-rata aliran (flux) CO2 sebesar 841.603 moles

CO2 cm-2

hr-1

, sedangkan di perairan Barat Sumatera rata-rata aliran (flux) sebesar

-250

-200

-150

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Δρ

CO

2(µ

atm

)

Stasiun

BS

SS

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 66: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

-945.292 moles CO2 cm-2

hr-1

. Berdasarkan data flux bersih dikedua wilayah

terlihat jelas bahwa di perairan Selat Sunda merupakan wilayah pelepas CO2 dan

perairan Barat Sumatera merupakan wilayah penyerap CO2. Perbedaan kedua

wilayah tersebut diduga karena aktifitas diperairan Selat Sunda sebagai salah satu

selat paling sibuk dengan keberadaan kapal ferry penyeberangan dari Merak-

Bakaehuni yang menyumbang keberadaan gas CO2 cukup besar. Data tekanan

parsial CO2 di perairan selat Sunda juga menunjukkan nilai yang jauh lebih besar

bila dibandingkan dengan pCO2 di perairan Barat sumatera sehingga

menggerakkan CO2 dari permukaan laut menuju atmosfer dan juga kecepatan

angin rata-rata di perairan Selat Sunda lebih besar bila dibandingkan kecepatan

angin rata-rata di perairan Barat Sumatera sehingga menyebabkan intensitas

transfer gas CO2 lebih besar.

5.8 Analisa Regresi Linier pCO2 dengan Parameter Lainnya

Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab variabilitas pCO2

di wilayah

studi maka dilakukan analisis regresi linier sederhana antara pCO2

dengan suhu,

salinitas, pH, total alkalinitas, DIC, nutrien (fosfat, nitrat, silikat) dan klorofil-a.

Dalam pembahasan ini lebih ditekankan kepada faktor-faktor apakah yang paling

berpengaruh terhadap pCO2 baik faktor fisika, kimia dan biologi perairan.

Pembahasan ini juga dilakukan karena dimungkinkan memprediksi atau menduga

pCO2

dari suhu dan atau klorofil-a yang merupakan produk satelit penginderaan

jauh (Lohrenz and Cai, 2006; Lefevre et al., 2002; Chierici et al., 2009).

Pada studi ini dilakukan analisa regresi linier sederhana dan mendasarkan

pembahasan pada nilai R2

dan persamaan regresi linear di perairan selat Sunda

(Lampian 3), serta perairan Barat Sumatera (Lampiran 4). Nilai R2 yang

didapatkan dari kedua wilayah penelitian adalah sebagai berikut (Tabel 2) :

Tabel 2. Nilai R2 Analisa Regresi Linear pCO2 Dengan Parameter Lainnya

Temp Sal pH DIC T alk Klo-a N P Si

pCO2 SS 0.161 0.012 0.962 0.205 0 0.177 0.004 0.192 0.015

pCO2 BS 0.323 0.139 0.635 0.225 0.082 0.023 0.236 0.021 0.037

Sumber : Data primer diolah 2010

Keterangan : SS = Selat Sunda dan BS = Barat Sumatera

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 67: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Berdasarkan nilai R2 pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada bulan

Februari diperairan selat Sunda nilai pCO2 lebih dipengaruhi oleh pH (R2 = 0.962

artinya nilai pCO2 dipengaruhi sebesar 96.2 % oleh parameter pH) dan DIC (R2 =

0.205 artinya nilai pCO2 dipengaruhi sebesar 20.5 % oleh parameter DIC).

Persamaan regresi pCO2 dengan pH yang diperoleh dari analisa statistika adalah

(Lampiran 3 Gambar 19) :

Persamaan regresi diatas memiliki Pvalue 0.000, karena nilai Pvalue dari

persamaan regresi < α (5 %) maka tolak Ho (Ho = variabel pH tidak berpengaruh

pada variabel pCO2), artinya model persamaan regresi diatas cocok diterapkan

dalam penelitian ini.

Sedangkan nilai R2 pada bulan April diperairan barat Sumatera nilai pCO2

lebih dipengaruhi oleh pH (R2 = 0.635 artinya nilai pCO2 dipengaruhi sebesar

63.6 % oleh parameter pH) dan Temperature (R2 = 0.323 artinya nilai pCO2

dipengaruhi sebesar 32.3 % oleh parameter temperature). Persamaan regresi pCO2

dengan pH yang diperoleh dari analisa statistika adalah (Lampiran 4 Gambar 28) :

Persamaan regresi ini memiliki Pvalue 0.000, karena nilai Pvalue dari

persamaan regresi < α (5 %) maka tolak Ho (Ho = variabel pH tidak berpengaruh

pada variabel pCO2), artinya model persamaan regresi diatas cocok diterapkan

dalam penelitian ini.

Hasil penelitian Novi et al., (2009) diperairan teluk Banten pada bulan Juli

menunjukkan hasil yang berbeda bahwa pCO2 lebih dipengaruhi oleh suhu (R2 =

0.632) dan pH (R2 = 0.445), sedangkan pada penelitian bulan Agustus pCO2 lebih

dipengaruhi oleh DIC (R2 = 0.9633) dan klorofil-a (R

2 = 0.9442).

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 68: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Beberapa hal dapat disimpulkan dari penelitian tentang Kajian

Biogeokimia Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran

Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut dan Udara, yaitu sebagai berikut :

1. Sistem CO2 di perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera bila dilihat dari

parameter karbon organik (DIC), derajat keasaman (pH), total alkalinitas

dan tekanan parsial CO2 (pCO2) sangat bervariasi dengan nilai yang

berbeda-beda yang diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu input

material dari darat dan laut Jawa serta pola oseanografi lokal yang terjadi

di wilayah penelitian.

2. Perairan wilayah studi 1 (Selat Sunda) cenderung berperan sebagai pelepas

(source) karbon dan perairan wilayah studi 2 (Barat Sumatera) cenderung

berperan sebagai penyerap (sink) karbon yang diduga karena wilayah studi

1 lebih banyak mendapatkan input karbon dari darat dan laut Jawa serta

adanya aktifitas kapal penyeberangan di Selat Sunda, bila dibandingkan

dengan wilayah studi 2 (Barat Sumatera).

3. Flux CO2 di kedua wilayah studi menunjukkan hal yang berbeda dimana

wilayah studi 1 (Selat Sunda) rata-rata flux bersih CO2 sebesar 841.603

mol CO2 cm-2

hr-1

yang menunjukkan pelepasan CO2 dari laut ke atmosfer

terjadi diwilayah ini dan rata-rata flux bersih CO2 di wilayah studi 2 (Barat

Sumatera) sebesar -945.292 mol CO2cm-2

hr-1

yang menunjukkan bahwa

penyerapan CO2 oleh laut terjadi diwilayah ini.

4. Hasil regresi linear tekanan parsial CO2 di perairan selat Sunda lebih

dipengaruhi oleh parameter pH dengan nilai R2 = 0.962 dan persamaan

regresinya adalah sedangkan tekanan parsial

CO2 di perairan Barat Sumatera juga dipengaruhi oleh parameter pH

dengan nilai R2 = 0.635 dan persamaan regresinya adalah

.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 69: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

6.2 Saran

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang Kajian Biogeokimia Perairan

Selat Sunda dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida

(CO2) Antara Laut dan Udara, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut :

1. Diperlukan pengukuran yang lebih banyak dan sering pada lokasi

penelitian untuk lebih menjelaskan sistem CO2 sehingga dapat mewakili

variabilitas musiman dilokasi penelitian dan sekitarnya.

2. Diperlukan pengukuran CO2 atmosfer secara langsung dan bersamaan

pada saat pengambilan sampel lapangan disetiap stasiun penelitian

sehingga mendapatkan data CO2 atmosfer dilokasi yang sama dengan

lokasi pengambilan sampel air laut.

3. Diperlukan pengukuran yang lebih banyak aspek-aspek oseanografi

terutama pasang surut dan pola arus di wilayah penelitian untuk lebih

menjelaskan secara lengkap distribusi spasial dan temporal sistem CO2.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 70: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Adi, N.S and Rustam, A., 2009. Studi Awal Pengukuran sistem CO2 di Teluk

Banten. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan VI ISOI 2009. Ikatan Sarjana

Oseanologi Indonesia.

American Public Health Association (APHA)., 2005. American Water Works

Association (AWWA) & Water Environment Federation (WEF): Standard

Methods for the Examination of Water and Wastewater, 21st Edition, 2005.

Anderson, D.H and R.J. Robinson. 1946. Rapid Electrometric Determination of

the Alkalinity of Sea Water. Industrial and Engineering Chemistry,

Analytical Edition, Vol. 18, p767-769.

Borges, A. V., B. Delille, and M. Frankignoulle. 2005. Budgeting Sinks and

Sources of CO2 in the Coastal Ocean: Diversity of Ecosystems Counts.

Geophysical Research Letters., 32, L14601, doi:10.1029/2005GL023053.

Broecker., 1991. In Climate Change, 1995, Impacts, Adaptation and Mitigation of

Climate Change : Scientific Technical Analysis, Contribution of Working

Group 2 to the Second Assessment Report of the Intergovermental Panel of

Climate Change, UNEP and WMO, Cambrige Press University, 1996.

Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, E. Mubyarto., 1995, Pengantar Lingkungan

Perairan dan Budidaya Air, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Cai, W.J., Dai, M., and Wang, Y. 2006. Air-Sea Exchange of Karbon Dioxide in

Ocean Margins : A Province Based Synthesis. Geophysical Research

Letters, Vol.33. L12603, doi: 10.1029/2006GL026219.

Caldeira, K., and M.E. Wickett., 2005. Ocean model predictions of chemistry

changes from carbon dioxide emissions to the atmosphere and ocean. J.

Geophys. Res. 110 : 1-12.

Chierici, M, A.Olsen, T. Johannessen, J. Trinanes and R. Wanninkof. 2009.

Algorithms to Estimate the Karbon Dioxide Uptake in the Northern North

Atlantic Using Shipboard Observations, Satellite and Ocean Analysis Data.

Deep Sea Research II, 56, 630-639.

Corell, R, P. Pal, P.A. Anderson, S. Baldursson, E. Bush and T.V. Callaghan.,

2005. Arctic Climate Impact Assessment. Cambridge University Press. New

York.

Cullen, J. J., M. R. Lewis, C. O. Davis, and R. T. Barber, 1992. Photosynthetic

Characteristics and Estimated Growth Rates Incate Grazing is the Proximate

Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J. Geophys. Res.,

97 (C1): 639 – 654.

Dickson, A., and C. Goyet 1994. DOE Handbook of methods for the analysis of

the various parameters of the carbon dioxide system in sea water. Version

2.0. ORNL/CDIAC-74.

Fletcher, S.E.M., N. Gruber., A.R. Jacobson., S.C. Doney., S. Dutkiewicz., M.

Gerber., M. Follows., F. Joos., K. Lindsay., D. Menemenlis., A. Mouchet.,

S. A. Muller and J.L. Sarmiento. 2006. Inverse Estimates of Anthropogenic

CO2 Uptake, Transport and Storage by the Ocean. Global Biogeochemical

Cycles, Vol. 20. Doi:10.1029/2005GB002530.

Friis, K., A. Kortzinger and D.W.R. Wallace., 2003. The salinity normalization of

marine inorganic carbon chemistry data, Geophys. Ress. Lett. 30 (2): 1085,

doi:10.1029/2002GL015898

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 71: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Giggenbach, W.F and R.L. Goguel. 1989. Collection and Analysis of Geothermal

and Volcanic Water and Gas Discharges. Report No. CD 2401, 4th edition.

Chemistry Division , Department of Scientific and Industrial Research.

Peton, New Zealand.

Goyet C., N. Metzl, F. Millero, G. Eischeid, D.W. O‟Sullivan and A. Poisson

1998. Temporal variation of the sea surface CO2 - carbonate properties in

the Arabian Sea. Marine Chemistry, 63: 69–79.

Hendiarti, N., S. I. Sachoemar, A. Alkatiri, dan B. Winarno, 1995. Pendugaan

Lokasi Upwelling di Perairan Selatan P. Jawa – Bali Berdasarkan Tinjauan

Parameter Fisika Oceanografi dan Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding

Seminar Kelautan Nasional 1995. Panitia Pengembangan Riset dan

Teknologi Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta.

http://index.bmkgjateng.com/index.php

http://earthobservatory.nasa.gov/Library/CarbonCycle/carbon_cycle4.html

Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P. J. Van Der Linden and D.

Xiaosu., 2001. Climate change 2001: The scientific basis, contribution of

working group I to the third assessment report of the international panel on

climate change. Cambridge University Press: Cambridge, UK and New

York, USA: 944pp.

IPCC., 2007. Climate Change 2007 : The Physical Science Basis. Contribution of

Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental

Panel on Climate Change (IPCC) [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z.

Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)].

Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York,

NY, USA, 996 pp

IGBP., 2007. Biogeokimia Laut dan Perubahan Iklim. IGBP (International

Geosfer-Biosfer Programme) Science No.2. diterjemahkan oleh Agus

Setiawan-BPPT.

IUPAC., 2011. The Measurement of pH - Definition, Standards and Procedures –

Report of the Working Party on pH, IUPAC (International Union of Pure

and Applied Chemistry) Provisional Recommendation.

Ilahude, A. G., and A. L. Gordon, 1996. Thermocline Stratification within the

Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,401 – 12,420.

Jacobson, M. Z. (2005). "Studying ocean acidification with conservative, stable

numerical schemes for nonequilibrium air-ocean exchange and ocean

equilibrium chemistry". Journal of Geophysical Research - Atmospheres

110: D07302.

Jutterstrom, S. and L.G. Anderson., 2005. The Saturation of Calcite and Aragonite

in the Arctic Ocean. Marine Chemistry 94 : 101 – 110.

Koesoebiono, 1981, Plankton dan Produktivitas Bahari, Fakultas Perikanan-

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kunarso., S. Hadi., Nining Sari Ningsih dan A. Supangat. 2009. Upwelling dan

Fishing Ground Tuna di Laut Nusantara. Badan Penerbit Universitas

Diponegoro.

Lefevre, N., J. Aiken., J. Rutllant., G. Daneri., S. Lavender and T. Smyth. 2002.

Observations of pCO2 in the Coastal Upwelling off Chile: Spatial and

Temporal Extrapolation Using Satellite Data. Journal of Geophysical

Research, Vol. 107, No. C6, 3055, 10.1029/2000jc000395.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 72: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice – Hall inc.

Lewis, E and D.Wallace. 1997. CO2SYS. Program Developed for CO2 System

Calculations. Department of Applied Science, Brookhaven National

Laboratory, Upton, New York.

Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western Equatorial

Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 – 3357.

Mann, K.H. and J.R.N. Lazier. 1991. Dynamic of Marine Ecosystem, Biological-

Physical Interaction in the Ocean. Boston.

Matsuura, M., T. Sugimoto, M. Nakai, and D S. Tsuji, 1997. Oceanographic

conditions near the spawning ground of Southern Bluefin Tuna:

Northeastern lndian Ocean. J. Oceanogr. 53: 421 - 433.

McPhaden, and S. P. Hayes, 1991. On the Variability of Winds, Sea Surface

Temperature, and Surface Layer Heat Content in the Western Wquatorial

Pacific. J. Geosphys. Res. 96: 3331 – 3342.

Mehrbach, C., C.H. Culberson., J.E., Hawley and R.M. Pytkowics. 1973.

Measurement of the Apparent Dissociation Constants of Karbonic Acid in

Seawater at Atmospheric Pressure. Limnology and Oceanography, Vol. 18

(6).

Millero, F.J and M.L. Sohn., 1991, Chemical Oceanography, CRC Press, Boca

Raton, Florida.

Milliman, J. D and J. P. M. Syvitski. 1992. Geomorphic / Tectonic Control of

Sediment Discharge to the Ocean: the Importance of Small Mountainous

Rivers. J. Geol., 100, 525– 544.

Monk, K. A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley, 1997. The Ecology of

Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. Vol. V.

Periplus Editions.

Moore, J.K., M.R. Abbottt, J.G. Richman and D.M. Nelson. 2000. The Southern

Ocean at the Last Glacial Maximum: A Strong Sink for Atmospheric

Karbon Dioxide. Global Biogeochemical Cycles, Vol.14, No.1, 455-475.

Muchtar, M dan Simanjuntak, 2008, Karakteristik dan Fluxtuasi Zat Hara Fosfat,

Nitrat dan Derajat Keasaman (pH) di estuary Cisadane pada Musim yang

Berbeda, Dalam : kosistem Estuari Cisadane (Editor: Ruyitno, A.

Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana, LIPI: 139-148.

Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Press. Jakarta. 331 hal.

Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Jembatan, Jakarta.

Nurhayati dan Suyarso, 2000. Variasi Temporal Salinitas Teluk Lampung.

Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta

Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Penerjemah: M.

Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. PT.

Gramedia. Jakarta. 459 hal.

Orr, James C, et al., 2005. Anthropogenic ocean acidification over the twenty-

first century and its impact on calcifying organisms. Nature 437 (7059):

681–686.

Parsons, T. R., M. Takashi, and B. Hargrave, 1984. Biological Oceanography

Process. Third Edition. Pergamon Press, New York.

Prawirowardoyo, S., 1996. Meteorologi. Penerbit ITB.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 73: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Raven, J.A and Falkowski, P.J. 1999. Oceanic Sinks for Atmospheric CO2. Plant,

Cell and Environment, 22, 741-755.

Royal Society., 2005. Ocean acidification due to increasing atmospheric carbon

dioxide. Policy Document 12/05. The Royal Society :1 - 68.

Sabine, C.L., R.A. Feely., N. Gruber., R.M. Key., K. Lee., J.L. Bullister., R.

Wanninkhof., C.S. Wong., D.W.R. Walles., B. Tilbrook., F.J. Millero., T.H.

Peng., A. Kozyr., T. Ono and A.F. Rios. 2004. The Oceanic Sink for

Anthropogenic CO2. Science, 305, 367–371.

Samawi, M.F., 2001 Penuntun Praktikum Kimia Oseanografi. Laboratorium

Oseanografi Kimia. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.

Makassar.

Schalk, P. H., 1987. Monsoon – Related Changes in Zooplankton Biomass in the

Eastern Banda Sea and Aru Basin. Biol. Oceanogr., 5: 1 – 12.

Sidjabat, M.M., 1974. Pengantar Oseanografi, Institut Pertanian Bogor, 1974, p.

127.

Surinati, D. 2009. Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Barat Sumatera (Pulau

Semeulue dan Sekitarnya) Pada Bulan Agustus 2007 Pasca Tsunami

Desember 2004. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Makara, Sains, Vol.

13, No. 1, April 2009: 17-22 Suratno dan Bayu, P., 2010. Distribusi Temporal Karbon Anorganik Di Perairan

Gugus Pulau Pari. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. ISSN 0125-

9830.

Susandi, dkk., 2006. Kajian Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) Antara Laut

dan Udara di Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Proceeding Convention

The 31st Annual Scientific Meeting HAGI. Semarang.

Susandi, A., 2004: The Impact of International Greenhouse Gas Emissions

Reductions on Indonesia, Max Planck Institute for Meteorologi, Hamburg.

Takahashi, T , et al., 2009. Climatological mean and decadal change in surface

ocean pCO2, and net sea–air CO2 flux over the global oceans. Deep Sea

Research Part II: Topical Studies in Oceanography.

Takahashi, T., et al., 1999. Net sea-air CO2 flux over the global oceans: An

improved estimate based on the air-sea pCO2 difference. In: Nojiri, Y. (ed.),

Proceedings of the 2nd International Symposium on CO2 in the Oceans, pp.

9-15, Tsukuba, Japan.

Takahashi, T., R. T. Williams and D. L. Bos. 1982. Karbonate Chemistry. pp. 77-

83. In W. S. Broecker, D. W. Spencer, and H. Craig, GEOSECS Pacific

Expedition, Volume 3, Hydrographic Data 1973-1974. National Science

Foundation, Washington, D.C.

Tisch, T. D., S. R. Ramp, and C. A. Collins., 1992. Observations of the

GeosWophic Current and Water Mass Characteristics off Point Sur,

California, From May 1988 through November 1989, J. Geopltys Res. 97

(C8): 12,355 - 12,555

Tsunogai, S., S. Watanabe, and T. Sato.1999. Is There A „„Continental Shelf

Pump‟‟ for the Absorption of Atmospheric CO2? Tellus, Ser. B, 51, 701–

712.

Tubalawony, S. 2001. Pengaruh Faktor-Faktor Oseanografi terhadap

Produktivitas Primer Perairan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 74: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 a. The Ecology of

the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII.

Periplus Editions (HK) Ltd.

United Nations. 1998. Kyoto Protocol To The United Nations Framework

Convention on Climate Change

Valiela, I. 1984. Marine Ecological Processes. Springer-Verlag. New York. USA.

Wada, E. and A. Hattori, 1991, Nitrogen in The Sea: Form, Abundances and Rate

Processes, CRC Press, Boca Raton, Florida.

Wanninkhof, R., 1992. J. Geophys. Res. 97, 7373-7382.

Wattayakorn, G., 1988, Nutrient Cycling in estuarine. Paper presented in the

Project on Research and its Application to Management of the Mangrove of

Asia and Pasific, Ranong, Thailand, 17 pp.

Weiss, R.F., 1974. Karbon Dioxide in Water and Seawater, the Solubility of a

Non-ideal Gas. Mar. Chem. 2, 203–215.

Wolf-Gladrow D.A., E. Richard, R.E. Zeebe, C. Klaas, A. Kortzinger and A.G.

Dickson 2007. Total alkalinity: The explicit conservative expression and its

application to biogeochemical processes. Marine Chemistry 106 : 287–300.

Wyrtki, 1961. Physical Ocenography in the Southeast Asian Waters, Naga Report

Vol. 2, Sripss Institution of Oceanography, California, 1961, p.195.

Yusuf, 2007. Dinamika Massa Air di Perairan Selat Makassar pada Bulan Juli

2005. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Univ. Padjadjaran.

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 75: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 76: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 77: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

L3

Lampiran 3. Grafik Regresi Linear Data Selat Sunda

Gambar 18 . Grafik Regresi Linear pCO2 versus Temperatur

Gambar 18. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Salinitas

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 78: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 19. Grafik Regresi Linear pCO2 versus pH

Gambar 20. Grafik Regresi Linear pCO2 versus DIC

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 79: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 21. Grafik Regresi Linear pCO2 versus T Alkalinity

Gambar 22. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Klorofil-a

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 80: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 23. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Fosfat

Gambar 24. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Nitrat

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 81: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 25. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Silikat

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 82: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

L4

Lampiran 4. Grafik Regresi Linear Data Barat Sumatera

Gambar 26. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Temperatur

Gambar 27. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Salinitas

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 83: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 28. Grafik Regresi Linear pCO2 versus pH

Gambar 29. Grafik Regresi Linear pCO2 versus DIC

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 84: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 30. Grafik Regresi Linear pCO2 versus T Alkalinity

Gambar 31. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Klorofil-a

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 85: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 32. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Fosfat

Gambar 33. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Nitrat

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011

Page 86: KAJIAN BIOGEOKIMIA PERAIRAN SELAT SUNDA …diharapkan melengkapi berbagai studi tentang pemanasan global ditinjau dari pertukaran gas karbon dioksida antara laut dan ... Kondisi Oseanografi

Universitas Indonesia

Gambar 34. Grafik Regresi Linear pCO2 versus Silikat

Kajian Biogeokimia..., Ikhsan Budi Wahyono, FMIPA UI, 2011