Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki kelebihan tersendiri dibanding peninggalan budaya lain yang berprinsip sama, yaitu celup rintang warna. Di antara berbagai wastra tradisional yang menggunakan teknik ini, tidak ada satupun yang tampil seindah dan sehalus batik. 1 Namun nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri. Dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa penyebaran batik tidak terlepas dari peranan para pedagang ke berbagai pelosok Nusantara, bahkan ke Malaysia atau Singapura. Dalam usaha penyebaran itulah, terjadi penetrasi budaya luar yang menambah khasanah perbatikan Indonesia. Fleksibilitas tersebut dapat dilihat melalui batik pesisir yang secara antropologis lebih terbuka terhadap sesuatu yang baru dibanding daerah pedalaman, menyebabkan masyarakat pendukungnya lebih mudah menerima budaya luar 2 . Salah satu contohnya dapat di lihat dari batik cirebon motif Mega Mendung atau pengaplikasian warna-warna cerah seperti merah tua, merah muda, atau hijau yang merupakan pengaruh kuat dari China. Selain itu batik juga merupakan salah satu hasil seni dan budaya yang terlahir dari masyarakat sawah, tepatnya di daerah Surakarta. Perkembangan batik 1 Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 10 2 Lihat Modern Miring tulisan Jacob Soemardjo halaman 36 1
109

Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Jun 11, 2015

Download

Documents

aksaraini
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki kelebihan

tersendiri dibanding peninggalan budaya lain yang berprinsip sama, yaitu celup

rintang warna. Di antara berbagai wastra tradisional yang menggunakan teknik

ini, tidak ada satupun yang tampil seindah dan sehalus batik.1 Namun nilai

pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih

jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman

transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam

komposisi batik itu sendiri.

Dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa penyebaran batik tidak

terlepas dari peranan para pedagang ke berbagai pelosok Nusantara, bahkan ke

Malaysia atau Singapura. Dalam usaha penyebaran itulah, terjadi penetrasi

budaya luar yang menambah khasanah perbatikan Indonesia. Fleksibilitas

tersebut dapat dilihat melalui batik pesisir yang secara antropologis lebih

terbuka terhadap sesuatu yang baru dibanding daerah pedalaman,

menyebabkan masyarakat pendukungnya lebih mudah menerima budaya luar2.

Salah satu contohnya dapat di lihat dari batik cirebon motif Mega Mendung atau

pengaplikasian warna-warna cerah seperti merah tua, merah muda, atau hijau

yang merupakan pengaruh kuat dari China.

Selain itu batik juga merupakan salah satu hasil seni dan budaya yang terlahir

dari masyarakat sawah, tepatnya di daerah Surakarta. Perkembangan batik

1 Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 10 2 Lihat Modern Miring tulisan Jacob Soemardjo halaman 36

1

Page 2: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

sangat didukung oleh keadaan masyarakat yang memiliki banyak waktu luang

saat menunggu masa panen tiba, ditambah dengan kompleksitas masyarakat

pendukung yang memungkinkan terjadinya pengerjaan batik bukan hanya

sebagai kegiatan membatik, tetapi juga memiliki nilai ibadah yang transenden

dengan nilai filosofi yang tinggi. Batik itu sendiri berawal dari lingkungan

istana, sehingga adanya sebutan batik keraton yang pada akhirnya meluas ke

segala lapisan masyarakat. Hal inilah yang memberikan kesan aristokrat dan

feodal pada batik keraton.

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak pada latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya di atas,

dalam penelitian ini Penulis akan membahas batik klasik keraton Surakarta

dengan sampel-sampel yang berasal dari kumpulan koleksi batik Santosa

Doellah yang merupakan pemberian dari kolektor batik asal Belanda,

Veldhuisen.

Dalam penelitian ini, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah visualisasi dan nilai estetik batik klasik keraton Surakarta

koleksi H Doellah Santosa?

2. Bagaimana pengaruh Keraton pada perkembangan batik Keraton

Surakarta?

1.3 Batasan Masalah

Di dalam membahas makalah yang dikaji pada penelitian ini, beberapa batasan

masalah yang diambil antara lain :

2

Page 3: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

1. Sampel yang digunakan berasal dari kumpulan koleksi batik yang dimiliki

oleh Santosa Doellah. Sampel tersebut merupakan pemberian dari

seorang kolektor asal Belanda, Veldhuisen

2. Lokasi yang di bahas adalah keadaan Surakarta baik secara geografis,

etnografis maupun antropologis

3. Pembatasan jenis kain batik yang dibahas sebatas nyamping dan

sejenisnya.

4. Klasifikasi batik yang digunakan sebagai sampel berdasarkan pada

klasifikasi bentuk, baik itu Geometris maupun Non Geometris.

1.4 Tujuan Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menimbulkan penghargaan

dalam diri masyarakat Indonesia melihat keuletan, dedikasi, ketekunan,

keterampilan dalam membatik maupun usaha pendistribusiannya agar bentuk

kesenian ini tetap lestari dan tak lekang oleh waktu.

Selain itu dalam tingkat selanjutnya, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat

batik sebagai ragam hias atau artefak tradisi, namun juga mampu membantu

membaca sejarah bangsa yang lebih lanjut menciptakan kesadaran dan

penghargaan atas budaya lokal. Agar seni budaya ini tidak stagnan, maka

diperlukan adanya pengkajian lebih lanjut.

1.5 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini penulis berharap masyarakat Indonesia dapat menyadari

kebesaran warisan budaya yang tak ternilai harganya, yang pada akhirnya

menumbuhkan kecintaan pada budaya lokal. Penulis sadar sekali dengan

ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang’, sehingga penulis berusaha mengenalkan

dan memberi kesadaran akan lokalitas, yang dalam hal ini batik keraton dengan

3

Page 4: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

mengkorelasikannya pada antropologi budaya dan sejarah lokal yang

mengantarkan pada sudut pandang baru dalam melihat batik.

Selanjutnya, dikemudian hari diharapkan masyarakat Indonesia mampu

menciptakan batik yang sesuai dengan perkembangan zaman namun tidak

menghilangkan fundamen dasar yang membangun teknik dan falsafah membatik

itu sendiri. Namun, yang lebih penting dengan kesadaran yang telah terbangun,

pada akhirnya bangsa Indonesia mengetahui hendak dibawa kemana budaya ini.

Karena jika bukan kita yang peduli, lalu siapa?

1.6 Hipotesis Awal

kegiatan membatik adalah suatu proses yang selain membutuhkan ketelatenan

dan keuletan, juga memerlukan kesungguhan dan konsistensi yang tinggi. Hal

ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain

(pencucian, pelorodan, pengetelan, pengemplongan), membuat pola

(ngelowongi), membuat isian (Ngisen-iseni), Nerusi, Nembok, hingga Bliriki3.

Melalui serangkaian proses panjang tersebut, juga dapat diketahui bahwa

waktu yang dipergunakanpun relatif panjang. Hal itu berarti masyarakat saat

itu memiliki waktu yang cukup untuk membatik. Karena itulah kegiatan

membatik ini pada awalnya tumbuh dalam masyarakat sawah yang memiliki

masa tunggu panen.

Secara visual, batik keraton memiliki pakem-pakem tertentu yang harus

diterapkan, baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan

motif tersebut beserta upacara ritual yang akan diselenggarakan. Pakem

tersebut muncul karena sistem terpusat yang diterapkan pada masyarakat

sawah membutuhkan hierarki untuk mengukuhkan sentralisasi. Seperti halnya

pola Parang Rusak yang hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola

Truntum yang diperuntukkan kepada pasangan pengantin. 3 Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 13-18

4

Page 5: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Warna yang digunakan pada batik keratonpun terbatas pada pewarna alam

mengingat belum ditemukannya pewarna sintesis pada masa itu. Jika

dipandang melalui alam kosmologi jawa, penerapan warna seperti hitam,

merah atau coklat juga mengacu pada kaidah dan pakem yang berlaku.

Keseluruhan tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan

harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan

utama masyarakat tradisi dalam penciptaan karya seni, yang dalam hal ini

adalah batik. Lebih jauh, penciptaan tersebut tidak terklasifikasi dalam suatu

kegiatan kesenian tersendiri, namun sebagai suatu bagian dari kehidupan

sehari-hari. Dalam hal ini seni tidaklah sekuler seperti halnya konsep seni pada

Masyarakat Modern.

1.7 Metode Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, metode penelitian yang digunakan

kali ini secara umum menggunakan metode kualitatif. Pendekatan historis

digunakan untuk terlebih dahulu menyusun data-data kronologis sejarah

tumbuh kembangnya batik keraton Surakarta. Kemudian pendekatan deskriptif

digunakan untuk menjelaskan ciri-ciri dari objek kajian. Adapun teknik yang

digunakan dalam penelitian data :

1. Kajian literatur :

Langkah pertama dalam penelitian ini adalah melakukan kajian literatur

dalam rangka pengumpulan data yang berhubungan dengan objek

penelitian

2. Dokumentasi :

Melakukan pendokumentasian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

objek kajian. Baik itu sketsa, gambar ataupun rekaman wawancara.

5

Page 6: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

1.8 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian kali ini sistematika penulisan disusun menjadi

beberapa bab dengan urutan sebagai berikut :

Bab I : PENDAHULUAN

Membahas tentang latar belakang pemilihan objek penelitian,

menjelaskan rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian,

metode penelitian, hipotesis awal, sistematika penulisan dan alur kerja.

Bab II : SEJARAH BATIK

Pada bab ini membahas secara kronologis awal munculnya batik,

munculnya pertama kali di Keraton Surakarta dan pengembangan

polanya.

Bab III : DEFINISI, KLASIFIKASI DAN FUNGSI BATIK

Memuat definisi apa batik itu sendiri, beserta pembagian batik secara

garis besar. Dalam bab ini juga berisi penggolongan motif-motif, baik

yang sesuai dengan pakem yang berlaku atau yang muncul dikemudian

hari pengaruh dari sinkretisasi budaya

Bab IV : ANALISA BATIK KERATON SURAKARTA

Bab ini mengetengahkan analisa beberapa sampel visual batik dari

koleksi Batik Danar Hadi dengan motif batik keraton Surakarta (Solo)

Bab V : SIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari penelitian.

6

Page 7: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

1.9 Alur Kerja

Bagaimana pengaruh Keraton pada perkembangan batik

Keraton Surakarta?

Bagaimanakah visualisasi dan nilai estetik batik klasik

keraton Surakarta koleksi H Doellah Santosa?

Kain batik yang di bahas adalah nyamping dan

sejenisnya

Daerah geografis Surakarta

Sampel yang dianalisa adalah batik koleksi H

Santosa Doellah

Tinjauan Literatur

Masyarakat Surakarta

Batik Keraton

Surakarta

Seni Tradisi

Batasan Masalah

Batik Keraton

Teknik Penelitian

Analisa Data

Kesimpulan Dan saran

SISTEM ALUR KERJA PENELITIAN GAMBAR 1.1

SUMBER : PENULIS

7

Page 8: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

BAB II

SEJARAH BATIK

“Culture is an organization of phenomena acts (patterns of behaviour), object

(tools, things made with tools), idea (beliefs, knowledge) and sentiment

(attitudes values) that is independent upon the use of symbols”

Leslie A. White

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah suatu sistem gagasan, tindakan

dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

bagian dari manusia dengan cara belajar. Dengan kemampuan akal budinya,

manusia telah mengembangkan berbagai sistem tindakan, mulai dari yang

sangat sederhana ke arah yang lebih kompleks sesuai kebutuhannya. Dari

pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi ciri-

ciri kebudayaan. Yang pertama, kebudayaan itu dipelajari satu sama lain dalam

satu kelompok. Yang kedua, kebudayaan dipegang secara luas oleh suatu

kelompok, dalam artian telah disepakati bersama, dan terakhir kebudayaan

mempengaruhi pikiran, tingkah laku, dan perasaan dalam kelompok secara

mendalam.

Kebudayaan merupakan suatu struktur yang tersusun sangat rapi dimana suatu

komponen tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan banyak

komponen lain yang terkait. Adanya perubahan pada suatu komponen

menyebabkan perubahan pada komponen lain. Karena itulah kebudayaan tidak

pernah statis, melainkan dinamis. Bahkan tanpa adanya pengaruh ekstern pun,

kebudayaan akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dan

berkembangnya pola pikir di dalam masyarakat tersebut. Karena perubahan

itulah diperlukan adaptasi secara berkelanjutan pada kebudayaan itu sendiri.

8

Page 9: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Seperti yang diketahui bahwa ada 7 unsur kebudayaan, dan kesenian adalah

salah satunya. Disini, dapat dilihat bahwa dalam perspektif kebudayaan,

kesenian adalah salah satu elemen penting dan kesenian itu sendiri sangat erat

kaitannya dalam kebudayaan.

Dalam penelitian kali ini, batik yang berangkat dari seni tradisi merupakan

suatu bentuk kesenian yang merupakan produk budaya yang erat kaitannya

dengan keseharian dan bersifat aplikatif meskipun disisi lain juga memuat sisi

transendenitas. Sebenarnya istilah seni tidak ada dalam kamus masyarakat

tribal, mengingat seni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan

sehari-hari mereka. Dalam pembahasannya, batik sebagai produk budaya dari

masyarakat tradisi tidak terlepas dengan keadaan geografis, etnografis dan

antropologis masyarakat pendukungnya.

Selain itu, secara rinci diketahui bahwa pada masa Austronesia, Indonesia

dikenal sebagai manusia kepulauan maritim yang berjiwa bahari. Kerajaan-

kerajaan di Indonesia menjelajah hingga di samudera Hindia dan Pasifik

(Tabrani 1995: 15-1)4. Hal inilah yang membawa pengaruh budaya luar masuk

ke Indonesia dan diadaptasi sesuai dengan keperluan. Hal ini pulalah yang

menyebabkan sejak abad ke tiga Masehi, mulai tampak kebudayaan yang

berasal dari India, seiring dengan masuknya agama Hindu Buddha5.

Mattiebelle Gittinger berpendapat bahwa batik di Jawa mempunyai persamaan

dengan Cina dalam bentuk stensil. Prosesnya, desain pertama kali dicetak

diatas kertas lalu dipotong-potong yang disusul proses pembekasan bagian yang

terangkat dengan jalan perekatan stensil pada kain. Proses stensil bersama-

sama dengan perekatan dipergunakan sebagai penutup saat kain di celup pada

larutan pewarna6.

4 Pujianto. Kajian Batik Surakarta. Tesis FSRD ITB, Bandung. 1983 halaman 127 5 Ibid halaman 127 6 Ibid halaman 128

9

Page 10: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

2.1 Bukti Otentik Batik sebagai produk asli Indonesia

Peninggalan-peninggalan dari India khususnya motif batik mulai tampak di Jawa

pada tahun 1822 (Djajasoebrata. 1972:3)7, yaitu gambar batik stensilan kertas

yang mempunyai persamaan dengan India Selatan yang banyak muncul di batik

pesisir daerah Gresik. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat pesisir

memang lebih fleksibel menerima pengaruh luar dibanding batik keraton.

Pada zaman Islam purba, motif-motif batik diperkaya dengan berbagai bentuk

ilmu ukur, motif huruf arab dan motif asing lain yang ikut berperan dalam

pembentukan hiasan batik. Pada perkembangan selanjutnya, hubungan Cina

dengan Nusantara semakin erat. Hal ini dapat dilihat melalui babad tanah Jawa

ketika diceritakan bahwa kerajaan Mataram awal utusan Majapahit pergi ke

negeri Cina dan pulang membawa Puteri Cempo yang selanjutnya menjadi isteri

Prabu Brawijaya yang nantinya menghasilkan keturunan Raden Patah (Romawi.

1989 :39)8. Unsur Cina pada batik keraton muncul pada turunan bentuk yang

dihasilkan, seperti halnya motif Cemungkiran sebagai turunan bentuk Lotus dan

Sembagen Huk sebagai turunan dari bentuk burung phoenix yang mengadopsi

budaya Cina. Bukan hanya pada motif, pengaruh Cina juga muncul pada

pemilihan warna dan komposisi yang cenderung cerah dan berani seperti

merah, kuning dan biru.

Dari keterangan diatas terkesan bahwa batik bukanlah warisan budaya asli

Nusantara. Namun jika dianalisa, arca peninggalan zaman Sriwijaya-Syailendra

dalam penerapan pakaiannya memperlihatkan perkembangan desain batik.

Seperti halnya pada patung Syiwa dan Singosari Malang (abad 13) dimana

terdapat motif kawung dengan isen yang menyerupai motif ceplok (1980 :2).

Hal tersebut menegaskan bahwa terlihat keterkaitan antara perkembangan

7 Ibid halaman 128 8 Ibid halaman 128

10

Page 11: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

batik dengan rekaman sejarah yang tertoreh pada dinding candi. Hal ini dapat

dijadikan parameter bahwa batik telah ada saat candi tersebut dibangun.

GAMBAR 2.1

MOTIF CEPLOK YANG JUGA MEMILIKI KESAMAAN DENGAN MOTIF DARI INDIA SELATAN, DIMANA MOTIF-MOTIF TERSEBUT DIGAYAKAN DI GRESIK

SUMBER : DJAJASOEBRATA. 1972:39

Sekalipun tidak mungkin menemukan lembar kain batik sebagai bukti arkeologi

pada masa silam, tetapi bukti sejarah tentang teknik rintang celup warna,

ragam hias dekoratif, simbolik, keseimbangan dinamis dan menjiwai bentuk

batik sudah dikenal sejak zaman pra sejarah.

Temuan arkeologi berupa arca dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang

menggambarkan sosok Kertajasa, Raja pertama Majapahit yang memerintah

pada tahun 1294-1309 memakai kain beragam hias kawung (Van der Hoop 1949:

9 Ibid halaman 128

11

Page 12: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

80)10. Bisa saja ragam hias pada kain itu dibuat dengan teknik melukis, prada,

tenun songket atau batik.

GAMBAR 2.2

MOTIF CEPLOK YANG MUNCUL PADA PATUNG SIWA DI CANDI SINGOSARI SUMBER : DWI RAHAYU SURVIATI

Tetapi bila hal tersebut diamati lebih cermat dengan membandingkan rincian

ukiran pada bentuk perhiasan manik-manik dan urat daun teratai serta detail

yang sangat halus, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi tentang

teknik yang diterapkan pada pengolahan kain tersebut.

Garis sejajar lembut sebagai batas bentuk elips kawung mengingatkan pada

garis yang dihasilkan oleh canting carat loro pada teknik batik. Sedangkan

10 Diambil dari Tesis mahasiswa FSRD ITB “pengaruh Etos Dagang Santri pada Batik Pesisiran” oleh hasanudin NIM: 27192008 tahun 1997 halaman 9

12

Page 13: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

susunan titik yang runtut hampir berdekatan hanya mungkin dihasilkan oleh

canting cecek siji untuk membuat isen-isen cecek (titik).

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik yang diterapkan dalam

pengolahan kain tersebut adalah batik, mengingat teknik tenun sulit untuk

mencapai ketelitian garis yang halus dan sejajar. Sedangkan lukisan dan prada

kurang lazim diterapkan dalam tekstil karena cepat rontok dan warnanya

kurang tahan lama.

Selain itu, bila mengungkap seni sastra Jawa Tengahan di zaman Majapahit,

seperti Kudang Sundayana, Rangga Lawe, Serat Pararaton dan Bima Suci yang

mengetengahakan pemikir-pemikir agama dan menceritakan keadaan pada

zaman tersebut, salah satunya adalah perkembangan batik (Hardjonagoro.

1978:1)11.

Karya sastra lama tersebut diterbitkan oleh Brandes dan karya surat Kidung

Rangga Lawe dan Sundayana oleh C.C. Berg12. Karya-karya tersebut antara lain:

1. Serat Pararaton

Serat Pararaton berisi antara lain adalah sebagai berikut :

“ Raden Wijaya amacal sisisngkalaning amaluku

Dadanipun Kebo mundarung tekeng mukanipun kebek endut,

Mundur tur anguncap :

‘Aduh, tuhu yan dewa si pakenira Raden’

Semangka Raden wijaya adum lancingan gerising

Ring kawunalira sawiji sowing

Ayun sira angamuka

Kang dinuman sira sora, sira Rangga Lawe

Sira Pedang, Sira Dangdi, Sira Gajah”

11 Diintisarikan dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 131 12 Ibid halaman 131

13

Page 14: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Artinya :

Raden Wijaya menginjakkan kaki untuk memulai perjalanannya,

Dada Kebo Mundarung hingga mukanya penuh Lumpur,

Jalan mundur sambil berkata :

‘Aduh, pasrah kepada dewaku ya Raden’

Saat itu Raden Wijaya sedang membagikan celana gerising

Kepada rakyatnya

Agar segera menentang

Yang kamu bicarakan sora, kamu Rangga Lawe

Kamu Pedang, Kamu Dangdi,Kamu Gajah]

2. Tembang Durma

Tembang Durma no. 74 dalam Rangga Lawe yang diterbitkan oleh C.C

Berg (1939: 148) menerangkan tentang pemakaian kain dodot untuk

penutup mayat di zaman Majapahit seperti yang tertulis di bawah ini:

“Tan-Dwana usungan pan atawan brana

Sang Nata kon nastari

Mangkat tan ingundang

Teka adodot petak

Winingkis pupune kalih

Tikeng Kacuran

Atuntnan limaris.”

Artinya :

Tidak bermaksud menangis karena mayat

Sang Raja suruh lestari

Barangkat tidak diundang

Dengan memakai dodot putih

Digulung pada kedua kakinya

14

Page 15: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Sampai lutut kakinya

Merupakan petunjuk jalan

Dengan memperhatikan karya sastra lama tersebut diatas, menunjukkan bahwa

batik muncul dan berkembang bersamaan dengan syair-syair lama. Hal ini

membuktikan pendapat J.L. Brandes bahwa batik berasal dari zaman yang sama

dengan pertanian, gamelan, wayang13, syair, pelayaran dan barang logam

(Handoyo: 1987: 4)14

2.2 Klasifikasi Simbolik dalam Budaya jawa

Menurut Koentjaraningrat, sistem klasifikasi simbolik orang Jawa didasarkan

atas dua, tiga, lima dan sembilan pola15. Sistem yang didasarkan pada dua pola

dikaitkan oleh orang Jawa dengan hal-hal yang berlawanan atau saling

membutuhkan, seperti siang dan malam, lelaki dan perempuan, atau atas dan

bawah. Sistem klasifikasi simbolik yang dualistik tersebut dapat dilihat dalam

kesenian wayang kulit, dimana dalam pertunjukannya, tokoh jahat berada

disebelah kiri dalang sedangkan yang baik berada dalam sisi kanannya. Pola

dualistik ini dapat mewujud menjadi pola tiga dimana kedua sisi yang berlainan

tersebut diselaraskan sehingga menghasilkan suatu entitas yang sama sekali

baru. Keadaan ini disebut harmonisasi.

Selain kedua pola tersebut, orang Jawa juga mempercayai pola empat yang

dikaitkan dengan arah mata angin dan yang ke lima sebagai pusatnya. Bagi

orang Jawa, klasifikasi simbolik dengan lima kategori tersebut berkaitan

dengan persepsi kemantapan dan keselarasan. Pembagian pola lima atau yang

13 Berasal dari kata dasar ‘Yang’, merujuk pada segala sesuatu yang bersifat gaib. Contohnya wayang kulit adalah pertunjukkan yang menampilkan repertoar lakon yang mengandung mitologi dan filsafat. Pada masa penyebaran islam, media wayang pernah dimanfaatkan dalam upaya sosialisasi dan penyebaran Islam di Indonesia. Wayng ini sendiri sesungguhnya adalah suatu upacara untuk mengenang roh leluhur sekaligus memanggilnya turun untuk kepentingan yang masih hidup. 14 Ibid halaman 134 15 Diambil dari ‘Indonesia Indah’ buku ke 8 tentang Batik halaman 56

15

Page 16: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

dikenal dengan istilah manca-pat16 ini, dengan satu sebagai pusat tersebut yang

kemudian menyelipkan satu diantara empat, sehingga disekeliling pusat

tersebut menjadi berjumlah delapan. Hal ini menimbulkan pola sembilan.

Dalam kesenian Jawa, pola sembilan dapat dijumpai pada tari Bedhoyo

Ketawang17.

Pada dasarnya pandangan dunia Jawa bertolak dari perbedaan antara dua segi

fundamental realitas, seperti atas dan bawah serta hal-hal yang telah

disebutkan di atas. Inilah yang menjadi titik tolak dari ajaran kejawen yang

pada intinya adalah kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan batin dan diri

yang terdalam dari seseorang. Dalam pandangan Kejawen18, gerak diri harus

mengalir dari luar ke dalam, dari penguasaan lahir ke pengembangan batin.

Jadi, pada hakikatnya Kejawen itu sendiri adalah menyelaraskan diri dengan

kebenaran yang lebih tinggi hingga lebur (transenden).

2.2.1 Kepercayaan dan Pandangan Hidup Masyarakat Jawa

Kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Manaisme sudah ada sejak zaman Batu,

yaitu kepercayaan akan adanya roh, benda bertuah, kekuatan gaib, dan arwah

nenek moyang19. Kepercayaan ini dianut oleh sebagian besar masyarakat

16 Sistem manca-pat juga mencermunkan keunggulan pusat, namun dengan penambahan daerah di pinggirannya yang di bagi atas 4 bagian (pat, yang artinya empat). Keempat pinggiran tersebut berkaitan dengan salah satu mata angin. 17 Tarian keramat yang dibawakan setiap ulang tahun Sunan atau Senopati sebagai penguasa tertinggi. Ini merupakan suatu hierogami, yaitu perkawinan sakral untuk mendapatkan kekuatan. Dalam hal ini senopati menikah dengan Nyi Roro Kidul di Pantai Parang Tritis. Pada awalnya tarian ini hanya boleh ditonton oleh warga keraton., namun baru beberapa tahun terakhir ini tarian Bedhoyo ketawang dapat ditonton oleh semua orang. Dalam tarian ini kesembilan penari wanitanya bergerak lambat mengelilingi Senopati yang duduk dengan agungnya. Karena itu selain dianggap sebagi pola sembilan, pola ini juga merepresentasikan tatanan kosmis dengan raja sebagai pusat semesta. 18 Kejawen adalah falsafah asli pribumi Jawa yang tak tersentuh oleh pengaruh Barat maupun Arab 19 Hal ini merupakan indikasi nyata bahwa manusia memang membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk dimintai pertolongan akan sesuatu di luar kemampuan dirinya. Dengan kata lain, sejak zaman dahulu manusia menyadari keterbatasannya dalam menghadapi sesuatu baik dari dalam maupun dari luar diirinya, seperti bencana alam atau kematian. Hal inilah yang memacu

16

Page 17: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Indonesia khususnya di jawa seperti kerajaan Majapahit. Selain kepercayaan-

kepercayaan yang telah disebutkan di atas, pada kerajaan majapahit juga

memiliki kepercayaan Kejawen yang berkembang sejak abad ke 8.

Masuknya agama Hindu da kerajaan-kerajaan Jawa memunculkan kepercayaan

akan Dewa-Dewa Polytheisme). Menurut Hasaan Shadily, masyarakat Jawa

mempercayai bahwa Dewa adalah makhluk Tuhan yang diciptakan pada awal

proses penciptaan alam semesta, yang selanjutnya ditugaskan untuk

mengendalikan kekuatan alam. Raja yang dianggap titisan dewa memiliki

kekuatan yang lebih sebagai guru bagi rakyatnya. Hal inilah yang menjadi titik

tolak kepercayaan akan adanya Raja yang mampu memerintah dunia dengan

sebaik-baiknya.

Setelah kerajaan Majapahit pecah, muncullah kerajaan Demak yang pada

akhirnya melahirkan kerajaan Pajang. Pada zaman inilah Islam mulai masuk ke

Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Mataram II di kota Gede

Yogyakarta yang menyatukan Animisme, Dinamisme, Manaisme, Dewa Raja dan

Islam untuk dijalankan di Dalem Ageng. Kerajaan ini berkembang dan pindah di

Kartasura menjadi Mataram II yang selanjutnya oleh Susuhunan Pakubuwono II

di pindah ke Surakarta dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Pada

Keraton Surakarta inilah kepercayaan Kejawen mulai berkembang kembali

hingga ke masyarakat luar Dalem Ageng.

2.2.2 Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang berlaku di Keraton kasunanan dan Kadipaten

Surakarta adalah campuran Hindu Islam. Pencampuran tersebut

dilatarbelakangi oleh sejarah berdirinya keraton, dimana kronologisnya dimulai

dari kerajaan Majapahit, Keraton Demak, Keraton Pajang dan Keraton

timbulnya penyembahan akan sesuatu yang dianggap dapat menjadi penyelamat, pelindung sekaligus pencipta.

17

Page 18: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Mataram. Pengaruh tersebut membuahkan sinkretisasi antara semua

kepercayaan tersebut.

Seperti halnya kepercayaan Animisme yang beranggapan bahwa segala sesuatu

yang ada di dunia ini adalah bernyawa. Sedangkan Dinamisme adalah

kepercayaan dimana segala sesuatu yang ada di dunia memiliki kekuatan dan

daya magis. Masyarakat Kearaton Surakarta percaya bahwa selain alam raya

terdapat alam lain yang merupaka tempat kehidupan para makhluk halus yang

apabila diganggu akan marah dan melakukan kerusakan di alam raya.

Sedangkan kepercayaan pada Manaisme merupakan sistem kepercayaan akan

adanya roh jelmaan dari arwah leluhur yang semasa hidup dipercaya memiliki

kekuatan magis.

2.2.3 Kejawen sebagai Wujud Ideal Kebudayaan Masyarakat Jawa

Kata kejawen berasal dari kata Jawi. Jawi sendiri merupakan bentuk halus atau

krama dari kata Jawa. Pengertian pertama kejawen mencakup segala hal yang

berhubungan dengan pandangan hidup Jawa serta wawasan tentang Jawa.

Menurut Mulder (1996 :7), Kejawen bukanlah suatu agama namun lebih

cenderung kepada suatu etika dan gaya hidup yang berpedoman pada

pemikiran khas Jawa.

Kejawen sering pula disebut dengan istilah Ilmu Jawi, suatu ajaran tentang

cara untuk menjadi seorang manusia Jawa seutuhnya. Ajaran ini merupakan

bentuk awal dari apa yang dewasa ini disebut kebatinan, yang seperti telah kita

ketahui sebelumnya merupakan inti dari kejawen itu sendiri.

Sedangkan hakikat dari kebatinan itu sendiri terletak pada permasalahan

kedudukan serta kehidupan masyarakat di dunia melalui perspektif religius.

Manusia dinilai keberadaannya dalam konteks kosmologis, di tengah alam

18

Page 19: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

semesta yang diyakini merupakan kancah peperangan antara dua kekuatan

untuk diselaraskan.

Kisah Bima dan Dewaruci20 yang merupakan salah satu mitologi yang terkenal

dari Mahabarata adalah kisah-kisah yang mengungkapkan tentang pencarian jati

diri, hati nurani dan peningkatan akan pemahaman yang lebih jauh terhadap

diri sendiri21.

Menurut Geertz22, segala perilaku orang Jawa bertolak pada dua buah ajaran

kejawen, yaitu :

1. Nilai yang bertolak pada penghormatan

2. Nilai yang berkaitan dengan penampilan sosial yang rukun

Selain itu, sifat orang jawa dalam Salah satu Sikap Hidup Orang Jawa oleh De

Jong (1985: 19-20) dijelaskan sebagai berikut :

1. Narimo, adalah merasa puas dengan nasibnya dan tidak ngoyo. Percaya

bahwa Tuhan memiliki rencana sendiri untuknya

2. Rila, adalah keikhlasan hati dengan rasa bahagia dalam hal menyerahkan

segala miliknya kepada Tuhan. Keikhlasan ini didasari akan pemahaman

bahwa segala sesuatunya adalah milik Tuhan dan segala sesuatu yang

ada di dunia adalah barang pinjaman yang sewaktu-waktu akan di ambil

kembali.

3. Sabar, merupakan kelapangan dada yang membantu melewati segala

cobaan. Kesabaran diibaratkan dengan samudera yang tidak pernah

meluap meski sebanyak apapun air yang mengalirinya.

20 Salah satu tokoh perwayangan yang berasal dari mitologi Mahabarata (Hindu). Esensinya Bima dan Dewaruci adalah orang yang sama. Keduanya merujuk pada satu karakter wayang yang sama, dimana tokoh ini terkenal kasar dan bringasan 21 Dikutip dari Kuasa Wanita Jawa halaman 54 22 Dikutip dari tesis S2 Pujianto yang berjudul Kajian batik Keraton Surakarta halaman 92

19

Page 20: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Sedangkan menurut K.R.T Widiatono, terdapat lima sikap dasar yang harus

dimiliki orang Jawa. Lima sikap dasar tersebut adalah sebagai beikut :

1. Rila, keikhlasan hati untuk menyerahkan segala miliknya hanya kepada

Tuhan.

2. Narimo, artinya bersyukur atas apa yang telah dimilikinya

3. Temen, artinya menepati janji yang telah diikrarkan

4. Sabar, merupakan kekuatan untuk melalui segala cobaan.

5. Budi Luhur, yaitu keadaan dimana manusia seyogyanya selalu berusaha

mengisi hidupnya dengan melakukan kebaikan terhadap sesama23

2.2.4 Manca-pat

Sistem manca-pat24 jelas memegang peranan penting dalam pembentukan

mentalitas Jawa, karena berfungsi sebagai sistem klasifikasi. Pada setiap arah

mata angin sesungguhnya terkait tidak hanya kepada satu orang Dewa, namun

antara lain juga pada warna dasar, logam, cairan dan hewan25. Pengertian

ruang di sini, bukan hanya dalam definisi geometris, akan tetapi manusia

seutuhnya yang terbagi atas lima kategori26. Timur dianggap berpadanan

dengan putih, perak, santan; selatan dengan warna merah, tembaga, darah;

barat dengan warna kuning, emas dan madu; serta utara dengan warna hitam

besi dan nila. Sedangkan pusat dari ke empat penjuru angin itu merupakan

harmonisasi dari keseluruhannya. Adapun panca warna tersebut dapat

tersistemasi seperti di bawah ini :

23 Ibid halaman 94 24 Sistem yang terdiri atas lima unsur dengan satu pusat dan empat arah mata angin telah berkembang menjadi sistem yang lebih rumit yang memperhitungkan arah mata angin tengah diantara keempat arah mata angin tadi. 25 Dikutip dari buku Nusa Jawa : Silang Budaya yang disusun oleh Danys Lombard halaman 100 26 Kategori ini dalam perkembangannya menjadi pola sembilan

20

Page 21: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Hitam

Pancawarna

Merah

Putih Kuning

Barat Pusat Timur

Selatan

Utara

Wage

Pon Kliwon

Pahing

Legi

GAMBAR 2.3 PEMBAGIAN POLA MANCA-PAT DALAM MASYARAKAT JAWA YANG MEMPENGARUHI

KEHIDUPAN BERMASYARAKAT SECARA KESELURUHAN

21

Page 22: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 2.4

RANGKUMAN PEMBAGIAN MANCA-PAT MULAI DARI ZAMAN PRASEJARAH HINGGA MASUKNYA ISLAM

SUMBER : TELAAH BATIK KERATON. RISTYO EKO

Dari bagan di atas tampak jelas bahwa bahkan haripun tidak merupakan

kategori otonom, melainkan terklasifikasi menjadi lima unsur, dengan hari

kliwon dianggap yang utama karena berada di tengah-tengah. Selain itu dalam

alam falsafah jawa juga dikenal nilai akan suatu angka27. Contohnya antara lain

3 yang mewakili api dan perempuan, 4 untuk segala sesuatu yang cair (air, laut,

hujan), 5 untuk angin, 6 untuk selera dan rasa, 7 untuk gunung dan hewan-

hewan tertentu seperti kuda, 8 untuk hewan-hewan lain seperti ular, gajah,

buaya, serta 9 untuk pintu dan dewata28.

Keempat warna yang mewakili empat penjuru tersebut berdasarkan penelitian

Sewan Susanto memuat falsafahnya masing-masing. Adapun falsafah yang

terkadung adalah sebagai berikut :

27 Yang merupakan dasar dari Primbon 28 Dikutip dari buku Nusa Jawa : Silang Budaya seri 3 halaman 100

22

Page 23: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

TABEL 2.1 KLASIFIKASI PEMAKNAAN WARNA YANG MEWAKILI ARAH ANGIN MENURUT SEWAN SUSANTO

SUMBER : PUJIANTO

No. Warna Makna 1. Hitam Perlambangan unsur Bumi yang direpresentasikan dengan visualisasi

tumbuhan (baik tumbuhan sulur maupun pohon hayat), binatang dan Meru

2. Merah Melambangkan unsur api yang digambarkan dengan ornament lidah api (modang)

3. Kuning Melambangkan unsur air yang divisualisasikan dengan ornamen air, hewan air serta perahu

4. Putih Melambangkan unsur angin atau udara yang digambarkan dengan burung, mega, atau awan. Berhubungan dengan dunia atas

Sedangkan dalam buku Weavings of Power and Might the Glory of Java (1988:

51)29, Alit Vandhuisen menghubungkannya dengan pemaknaan sebagai berikut :

TABEL 2.2

KLASIFIKASI PEMAKNAAN WARNA YANG MEWAKILI ARAH ANGIN MENURUT ALIT VANDHUISEN SUMBER : PUJIANTO

No. Warna Makna 1. Hitam Menunjukkan arah Utara yang merujuk pada kematian 2. Merah Menunjukkan arah Selatan yang merepresentasikan kedewasaan dan

kecermatan 3. Kuning Merujuk pada arah Barat yang berarti menuju kerusakan 4. Putih Menunjukkan arah Timur yang merupakan awal dari kebangkitan

Selain itu terdapat pula tabel pemaknaan angka-angka yang merujuk pada

pembagian arah mata angin dan warna berdasarkan pembagian pola empat

dalam alam pemikiran Jawa. Tabel tersebut dilampirkan sebagai berikut :

TABEL 2.3 PEMAKNAAN ANGKA MENURUT KEPERCAYAAN JAWA

SUMBER : TELAAH BATIK KERATON. RISTYO EKO

No. Angka Pemaknaan 1. Tiga Api, Perempuan 2. Empat Segala sesuatu yang cair (air, laut, hujan) 3. Lima Angin 4. Enam Selera dan rasa 5. Tujuh Gunung dan hewan-hewan tertentu seperti kuda 6. Delapan Hewan-hewan tertentu seperti gajah, ular, buaya 7. Sembilan Kesempurnaan, Dewata 8. Nol Kembali ke asal mula

29 Di intisarikan dari tesis S2 Pujianto yang berjudul Kajian Batik Keraton Surakarta halaman 225

23

Page 24: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Pola manca-pat ini dapat dicermati dalam beberapa ungkapan budaya sosial

Jawa, seperti tata letak dan tata karma susunan Singasana Raja dan para

pengiringnya, arah dan sistem peletakan rumah atau perkampungan hingga

hiasan ornamentik diberbagai aplikasi. Seperti tata peletakan Keraton yang

dipercaya berada pada titik pusat diantara empat penjuru yang

mengelilinginya. Sebelah Utara terdapat Gunung Merapi yang dikuasai oleh

Kanjeng30 Ratu Sekar Kedathon, sebelah Selatan diduduki oleh Laut Selatan

dengan penguasanya Nyi Roro Kidul, sebelah Timur terdapat Gunung Lawu di

bawah kekuasaan Kanjeng Sunan Lawu terakhir di sebelah Barat terdapat Kiai

Sapu Jagad Khayangan dengan pemimpin Dlepuh sang Hyang Harmoni.

Keraton Kiai Sapu Jagad Khayangan Dlepuh sang Hyang Harmoni

Laut Selatan Nyi Roro Kidul

Gunung Merapi Kanjeng Ratu Sekar

Kedathon

Gunung Lawu Kanjeng Sunan Lawu

GAMBAR 2.5 MITOLOGI KERATON SEBAGAI PUSAT SUMBER : HARTONO, 1999: 63

2.3 Masyarakat Pendukung Kebudayaan Surakarta

Secara geografis, Jawa tengah, khususnya Surakarta (Solo) merupakan daerah

dengan masyarakat pendukungnya adalah masyarakat persawahan. Kategori

30 Berasal dari kata ‘kang’, yang merupakan sebutan kepada Raja

24

Page 25: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

ketiga31 produk budaya primordial ini menempati dataran-dataran rendah yang

subur oleh banyaknya sungai-sungai dan gunung berapi. Dalam pandangan

hidup, pandangan masyarakat sawah mirip dengan masyarakat ladang karena

keduanya merupakan masyarakat yang produktif. Keduanya menghasilkan

pangannya sendiri, tidak lagi bergantung pada belas-kasihan alam. Tetapi tetap

saja ada perbedaan mendasar diantara kedua masyarakat tersebut. Ladang

dapat dikerjakan oleh sekelompok kecil manusia, dan memang harus dalam

jumlah terbatas karena hambatan perpindahannya yang periodik. Sedangkan

sawah cenderung produksi padi masal. Persawahan membutuhkan pembukaan

hutan (babad) yang harus dikerjakan beramai-ramai. Sawah membutuhkan

irigasi yang juga harus dikerjakan secara masal pula. Karena itulah orang sawah

cenderung ekspansif mengingat kebutuhan mereka akan lahan persawahan yang

luas. Kecenderungan ini mengantarkan masyarakat sawah pada pribadi yang

terbuka dan adaptif secara umum, karena dalam pengolahannya membutuhkan

sumber daya manusia yang tidak sedikit32. Mereka tidak lagi mengenal batas

antara orang ‘dalam’ dan orang ‘luar’. Semua yang bersedia masuk dan

membantu masyarakat sawah otomatis menjadi bagian dari masyarakat sawah.

Kecenderungan mereka dalam hal ekspansif juga menyebabkan mereka

terampil dalam pengelolaan organisasi besar. Luasnya tanah pertanian dan

banyaknya tenaga penduduk tani yang bekerja didalamnya menyebabkan

munculnya sifat sentralisasi organisasi kekuasaan. Pengaturan sawah inilah yang

mendesak mereka untuk memilih suatu pusat kekuasaan tunggal yang kuat dan

adikuasa33.

31 Masyarakat Indonesia lama memandang dunia ini dengan pandangan Kosmosentris dan biosentris, bukannya antroposentris (terpusat pada manusianya) seperti halnya pandangan manusia modern. Dalam pandangan Indonesia lama, manusia tidak mandiri melainkan bergantung pada dunia kosmos dan spiritual. Pandangan primitif seperti ini masih membudaya hingga abad ke-19 di Indonesia, bahkan hingga saat ini masih ada di beberapa tempat di Indonesia.Secara umum, masyarakat Indonesia terbagi menjadi 4 kategori yang didasarkan pada keadaan alam tempat tinggal. Seperti yang diketahui bahwa alam Indonesia terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, pesisir pantai dan pedalaman hutan. Empat keadaan alam yang berbeda itu membentuk masyarakat yang menempati wilayah masing-masing agar mampu bertahan. Hal ini mungkin didasarkan pada kemampuan adaptif manusia terhadap keadaan alam sekitarnya. 32 Hal inilah yang mendasari peribahasa Banyak anak banyak rejeki 33 Hal tersebut merupakan indikasi umum yang terjadi pada setiap masyarakat yang mengalami ‘peradaban hidrolik’, seperti Mesir, Cina, India Utara dan juga Mesopotamia.

25

Page 26: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Masyarakat sawah tidak lagi hidup dengan menggantungkan diri kepada alam,

seperti halnya masyarakat peramu atau peladang. Sebaliknya, masyarakat

sawah adalah masyarakat yang berhasil menaklukan dan menguasai alam. Hal

ini dikarenakan semakin banyak lahan yang dibuka untuk persawahan, semakin

besarlah produksi mereka. Produksi yang melimpah ini dapat diperjualbelikan

kepada masyarakat maritim atau ladang. Kegiatan ini memungkinkan terjadinya

feodalime yang semakin mengakar. Akibat lebih jauh mengantarkan mereka

pada keadaan dimana diterapkannya hierarki kekuasaan yang memerlukan

pengaturan yang tidak mudah. Dalam perkembangan selanjutnya, kebutuhan

akan literasi sangat diperlukan, sehingga masyarakat sawah tumbuh menjadi

masyarakat yang literer. Karena itulah dalam periode ini juga bermunculan

syair-syair, pantun, babad34 dan bentuk seni sastra Indonesia Lama lainnya.

Selain itu, sesuai dengan konsep pengaturannya yang bersifat sentralisasi,

konsep ketuhanan mereka juga mengenal pemahaman yang absolut. Ketuhanan

yang Maha esa sesuai dengan kenyataan hidup sehari-hari mereka yang diatur

oleh sebuah kekuasaan pusat yang tunggal dan adikuasa. Paham dewa-rajapun

mudah berkembang dan diterima oleh masyarakat ini.

Dalam alam pemahaman mereka, lelaki diletakkan dalam dunia atas,

sedangkan perempuan berada di dunia bawah. Hal ini juga merupakan salah

satu perbedaan mendasar antara masyarakat ladang dan masyarakat sawah,

dimana dalam masyarakat ladang perempuan merupakan representasi dari

dunia atas. Hal ini dapat dipahami melalui peran perempuan dan lelaki yang

berbeda di antara dua masyakat tersebut. Dalam masyarakat ladang lebih

banyak melibatkan jernih payah kaum perempuan sehingga dominasi

perempuan lebih besar. Dalam masyarakat ladang, lelaki hanya berfungsi

34 Babad berarti menebang bersih hutan. Sebuah istilah umum untuk menyebut naskah tertulis (biasanya berupa puisi) sejarah Jawa tradisional

26

Page 27: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

sebagai ‘pelengkap’. Karena itulah muncul simbolisasi Dewi sri35 sebagai dewi

kesuburan yang digambarkan dengan sosok perempuan berpostur tubuh yang

sesuai dengan idealisasi perempuan pada masa itu. Hal ini terjadi berkebalikan

dengan masyarakat sawah yang peran lelaki lebih dominan, sehingga kedudukan

mereka lebih terhormat. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan

paternalistik yang kuat di dalam sistem masyarakat sawah. Selanjutnya dalam

kebutuhan akan pemusatan kekuasaan tersebut, tampillah keraton36 sebagai

suatu sistem pemerintahan yang mengatur secara absolut37.

2.3.1 Keraton Surakarta

Ki Pamanahan merupakan seorang panglima khusus Kerajaan Pajang yang

tekun, berbakat dan rajin melatih diri38. Selain itu berkat jasa-jasanya kepada

kerajaan Pajang, maka beliau dihadiahkan tanah bumi Mataram seluas 800

karya (satu karya : 40.000 m2). Tanah yang masih hutan belantara tersebut

dibuka (babad) untuk dibangun sebuah padepokan39 sebagai tempat untuk

meningkatkan Kawuh kasampurnaan40, tempat tinggal keluarga dan

pengikutnya.

Bumi Mataram yang amat subur dengan air yang melimpah menyebabkan

banyaknya pendatang baru yang menetap untuk mengolah sawah. Hal ini

35 Sekalipun kata Sri berasal dari India, namun mitos ini terdapat di seluruh Nusantara, sampai ke pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh kebudayaan India. Meskipun memiliki versi yang cukup variatif, namun secara garis besar sama, yaitu sri telah dikurbankan, kemudian di seluruh tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman pangan. Pemujaan terhadap dewi sri hingga kini masih dilakukan oleh para petani di desa untuk mendapatkan hasil panen yang lebih baik. 36 Berasal dari akar kata ‘ratu’ (Raja atau Ratu). Karaton merujuk pada ‘tempat kedudukan seorang Raja’, yakni istana, kuasa raja, kerajaan. Kata keraton yang berasal dari kata ratu yang berarti pempin perempuan ini menunjukkan pentingnya posisi perempuan dalam masyarakat ini. Hal tersebut kemungkinan besar merupakan manifestasi masyarakat ladang pola tiga yang berkembang menjadi pola lima dan pola sembilan. 37 Tulisan ini sebagian besar diintisarikan dari tulisan Jacob Soemardjo dalam Moden Miring halaman 31-50 38 Maksud dari melatih diri di sini adalah suatu upaya yang dilakukan berdasarkan tata aturan tertentu untuk menjadi manusia ‘Jawa’ seutuhnya, yang diatur dalam Kejawen. 39 Sejenis tempat tinggal yang multi fungsi karena memiliki sarana dan prasarana yang memadai 40 Salah satu jalan untuk menjadi manusia Jawa seutuhnya.

27

Page 28: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

lambat laun menjadikan daerah ini sebagai desa dengan sistem pemerintahan

yang juga sentralisasi. Mataram pun selanjutnya terus berkembang dalam

kepemimpinan Ki Pamenahan yang mendapat gelar Ki Ageng Mataram dan

dibantu oleh putera sulungnya, Bagus Danar yang merupakan putera angkat dari

Ki Ageng Mataram. Bagus Danarpun memiliki gelar tersendiri, yaitu Raden

Ngabei Sutowidjojo yang berperan sebagai panglima khusus. Setelah Ki Ageng

Mataram wafat, Raden Ngabei Sutowidjojo naik menggantikan posisi tertinggi di

Mataram dengan gelar Senopati Ing Ngalogo.

Peristiwa ini merupakan penanda berakhirnya keraton Pajang, karena dengan

bergantinya tampuk kepemimpinan kepada Senopati Ing Ngalogo pada tahun

1586, berpindahlah keraton, tidak lagi di Pajang melainkan di daerah Kuta

Gede yang dikemudian hari dikenal sebagai Keraton Mataram.

Adapun raja-raja Mataram adalah sebagai berikut :

• Panembahan41 Senopati Ing Ngalogo (1586-1601)

• Susuhunan42 Hadi prabu Hanjokrowati, putera Panembahan Senopati Ing

Ngalogo (1601-1613)

• Sultan43 Agung Prabu Hanjokrokusumo (1613-1645)

• Susuhunan Hamangkurat I (1646-1677)

Dibawah pimpinan Susuhunan Hamangkurat I terjadi pemberontakan dengan

Trunodjojo sebagai pimpinannya. Peristiwa ini mengakibatkan kekakalahan

Susuhunan Hamangkurat I, sehingga beliau dan pasukannya lari meninggalkan

41 Kata Panembahan secara harafiah berarti ‘dia yang pantas menerima sembah’ (tindak kepatuhan). Gelar kerajaan Jawa yang sangat tinggi yang sejak abad ke 19 dikhususkan bagi pangeran senior yang terkemuka 42 Susuhunan berarti ‘Dia yang dijunjung’ yang merupakan gelar kerajaan atau keagamaan. Gelar ini sejak abad ke-18 hanya diperuntukkan bagi penguasa tertinggi Mataram, dan sejak tahun 1755 hanya digunakan untuk penguasa keraton Surakarta (Solo). Pada awalnya gelar ini diperuntukkan untuk hierarki wali Islam 43 Gelar untuk petinggi kerajaan yang merupakan pengaruh dari Arab

28

Page 29: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

keraton. Sri baginda meninggal di perjalanan dan dikebumikan di daerah

Tegalwangi, sebelah selatan dari kota Tegal.

Sebelum meninggal dia menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Adipati

Anom sebagai Susuhunan Amangkurat II. Dengan bantuan Belanda dibawah

pimpinan Cornelis Speelman44, Susuhunan Amangkurat II berhasil menyingkirkan

Trunodjojo. Selanjutnya Susuhunan Amangkurat II memindahkan keraton dari

Mataram ke Wanakarta karena keraton Mataram mengalami kerusakan dan

kerugian yang besar sebagai akibat dari perang perebutan kekuasaan tersebut.

Dikemudian hari Wanakarta lebih dikenal sebagai Kartasura.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saparto45, Kartasura dalam

pemerintahannya dipimpin oleh lima raja. Kelima raja tersebut adalah :

• Susuhunan Hamangkurat II, putera dari Susuhunan Hamangkurat I (1677-

1703)

• Susuhunan Hamangkurat III, putera dari Susuhunan Hamangkurat II (1703-

1704)

• Susuhunan Pakubuwono I, putera dari Susuhunan Hamangkurat I (1704-

1719)

• Susuhunan Hamangkurat IV, putera dari Susuhunan Pakubuwono I (1719-

1727)

• Susuhunan Pakubuwono II, putera dari Susuhunan Hamangkurat IV (1727-

1745).

44 Pimpinan kolonial Belanda yang menduduki wilayah Jawa. Selanjutnya, dengan adanya campur tangan Belanda dalam upaya perebutan tanah Mataram kembali, menyebabkan Belanda dapat menjajah Indonesia. Dari hal ini dapat dicermati bahwa masuknya Belanda ke Indonesia dengan merangkul para petinggi di daerah ini terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadikan mereka bonekanya. 45 Diambil dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 23

29

Page 30: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II tercetus sebuah perjanjian

Giyanti. Perjanjian ini diprakarsai oleh pihak Belanda. Menurut Moh. Dalyono

(1939 :8), pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi pemisahan kerajaan Mataram

sebagai hasil dari perjanjian Giyanti di Gunung Lawu.

Isi perjanjian tersebut menerangkan bahwa di dalam keraton Mataram terbagi

dua wilayah kekuasaan. Hal ini dilakukan untuk mengangkat Mangkubumi

sebagai raja dari setengah wilayah yang dibagi. Selanjutnya Mangkubumi

dengan gelar Hamengkubuwono membangun keraton di daerah yang

selanjutnya dikenal sebagai Yogyakarta (Dalyono :8)46.

Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Mataram selanjutnya terbagi

menjadi dua wilayah, yaitu Yogyakarta dengan sistem pemerintahan Kasultanan

di bawah pimpinan Mangkubumi (adik Susuhunan Pakubuwono II) dan Surakarta

dengan sistem Kasunanan yang dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono II.

Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat beberapa perbedaan mendasar

antara kedua daerah ini. Hal tersebut dapat dicermati melalui perbedaan

antara susunan motif parang di daerah Surakarta dengan arah kiri atas ke kanan

bawah, sedangkan di daerah Yogyakarta arahnya adalah sebaliknya, yaitu dari

kanan atas ke kiri bawah47.

2.3.2 Pola Larangan

Keraton menempatkan dirinya sebagai suatu pusat tertinggi terhadap segala

sesuatu di tanah Jawa dan sungguh-sungguh mengaplikasikannya secara total.

46 Ibid halaman 25 47 Perbedaan arah diagonal motif parang tersebut menjadi salah satu penanda bahwa di Yogyakarta lebih kental pengaruh dari arab mengingat arah parang bergerak dari kanan atas ke kiri bawah. Hal ini seperti arah menulis tulisan arab dari arah kanan ke kiri. Sedangkan di Surakarta pengaruh Hindu Buddha lebih dominant. Hal ini tampak dari arah parang dari kiri atas ke kanan bawah, juga dari motif-motif yang ditampilkan banyak mendapat pengaruh dari India, seperti motif Sawat atau Meru

30

Page 31: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Salah satu upaya untuk mengukuhkan hierarki tersebut dengan cara

mengeluarkan pola larangan dengan peraturan yang tegas mengikat dari

keraton. Pola larangan ini sendiri adalah pola yang hanya boleh dikenakan oleh

Raja dan kerabatnya, sehingga yang bukan ningrat atau priyayi48 tidak

diperkenankan menggunakannya.

Tata aturan keraton yang merupakan penghalusan dalam kehidupan sehari-hari

di keraton tercermin dalam Dasa sila Etika Keraton, seperti Ngadi saliro, Ngadi

Busono, Ngadi Jiwo, Ngadi Logo, Wisastro, Udo Negoro, Tata Krama, Tata

Cara, Susila dan Utama. Dalam prakteknya keseluruhan sila tersebut memadu

menjadi satu sebagai sikap penghalusan.

Aturan-aturan yang melarang penggunaan corak-corak tertentu didasari atas

pertimbangan feodalistik, seperti yang dikatakan Phillip Kitley (1987:56)

sebagai berikut :

“Raja mengemukakan bahwa batik telah kehilangan sifat-sifat ekslusifnya yang dahulu, karena

kini dibuat oleh pengrajin Jawa. Pangkat atau kedudukan tidak lagi dihubungkan dengan

praktik itu sendiri, dan rumah tangga kerajaan terpaksa membuat rancangan pola yang

dikerjakan secara teliti dan terperinci untuk menunjukkan para pemakai batik dari keluarga

kerajaan dan membedakan mereka dari pemakai yang lain”

Salah satu aturan yang melarang pemakaian corak batik tertentu dikeluarkan

oleh sunan Pakubuwono III (1749-1788), pada tahun 1769 yang ditulis oleh

Sudjoko sebagi berikut :

“Anandene kang arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun : Batik Sawat

lan batik Parang rusak, batik Cumangkiri kang calacap, Modang, Bangun Tulak,

Lenga Teleng, Dargem lan tumpal.Andene batik cumangkirang ingkang

acalacap Lung-lungan atawa Kekembangan, ingkang ingsun kawenangken

anganggoha papatih-ingsun, lan Sentaningsunkawulaningsun Wedana”

48 Berasal dari kata “Para Yayi” (Para adik sang Raja). Dalam penggunaannya, istilah ini merujuk pada kelompok elit administratif dan bangsawan pada suatu negara

31

Page 32: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

“Adapun rupa jurit dalam larangan saya : Batik sawat dan Batik Parang Rusak,

batik cumangkiri yang berupa motif modang, bangun tulak, lenga teleng,

daragem dan tumpal. Adapun batik cumangkirang yang berupa (motif) lung-

lungan atau kekembangan (buketan), saya izinkan terpakai oleh Patih-Patih

saya dan keluarga bangsawan, abdi dalem Wedana”

Masa awal pemberlakuan peraturan tentang pola larangan yang tercatat adalah

tahun 1769, 1784, dan 1790 melalui maklumat Solo49. Pola-pola larangan

tersebut diantaranya adalah Sawat, Parang Rusak, Cemungkiran dan Udan Liris.

Pola-pola tersebut dituangkan dalam tata tertib sebagai berikut50 :

• Penguasa, Putera mahkota dan Permaisuri

o Semua jenis pola Parang Rusak

o Semen Gurdha

o Sawat

o Sembagen Huk

o Modang

o Bangun Tulang

• Khusus anggota keuarga yang bergelar Pangeran serta keturunan

penguasa

o Semua pola semen, baik Lar, sawat atau mirong

o Udan Liris

o Buketan

o Lung-lungan

• Keluarga jauh yang bergelar Raden atau Raden Mas

o Semua pola semen tanpa bentuk sayap

o Kawung

o Udan Liris

49 Dikutip dari Indonesia Indah buku ke-8 tentang Batik Halaman 62 50 Diambil dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 63

32

Page 33: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

BAB III

DEFINISI, KLASIFIKASI DAN FUNGSI BATIK

3.1 Pengertian Batik

Berdasarkan sumber literatur Indonesia Indah : Batik , jika ditinjau dari proses

pengerjaan, pengertian kata benda dan penggunaannya, batik bisa juga disebut

sebagai kain bercorak. Dalam bahasa Jawa sendiripun, kata batik berasal dari

akar kata ‘tik’, yang mempunyai korelasi pada sesuatu hal yang berhubungan

dengan pekerjaan yang halus, lembut, detil dan memiliki unsur keindahan

secara visual51. Secara etimologis, batik berarti menitikkan malam dengan

canting sehingga membentuk corak yang terdiri atas titik dan garis. Sedangkan

jika ditinjau sebagai kata benda, batik merupakan hasil penggambaran corak

diatas kain dengan menggunakan canting sebagai alat menggambar dan malam

sebagai zat perintangnya. Dengan kata lain, membatik merupakan penerapan

corak di atas kain melalui proses celup rintang warna dengan malam sebagai

medium perintang.

Sebenarnya, selain batik adapula beberapa jenis kain yang diproses dengan

teknik celup rintang warna di Indonesia. Meskipun begitu, hasilnya tidak

sehalus, serapih dan sedetail batik. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan

peralatan, tingkat kerumitan dan kualitas bahan yang dipakai52. Contohnya

dalam pembuatan kain Simbut yang merupakan kain khas Baduy, suku

pedalaman yang bertempat tinggal di sebelah selatan Banten. Bahan perintang

pengganti malam dalam pembuatan kain ini adalah bubur ketan atau biasa

disebut darih. Sedangkan untuk melukis kain dengan bahan perintang

menggunakan buluh kecil atau sabut kelapa untuk mewarnai kain dengan

51 Diambil dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 143 52 Lihat Indonesia Indah buku ke 8 “Batik” halaman 15

33

Page 34: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

bidang yang luas (blocking). Corak yang muncul dalam visualisasi kain simbut

pun sangatlah sederhana dan terbatas, sesuai dengan peralatan yang

digunakan. Bentuk-bentuk geomentris dasar seperti lingkaran, segitiga dan titik

yang mendominasi ikonografinya. Zat pewarna yang lazim dipakai juga sebatas

hitam, biru tua dan merah mengkudu, yaitu zat pewarna alami yang dapat

diperoleh dilingkungan sekitar.

3.2 Bahan Baku Tekstil dalam Batik

Bahan yang paling tepat untuk pembuatan batik adalah kain yang terbuat dari

serat alami seperti kapas, sutera atau rayon. Sedangkan penggunaan katun

sebagai bahan utama batik dimulai sekitar abad ke 17. pada masa berikutnya

dipergunakan pula kain mori dari Belanda. Kain mori kualitas terbaik adalah

primissima, yang menengah adalah prima, mori biru untuk batik kasar dan yang

terendah adalah belacu53. Namun dalam perkembangannya, batik dapat

diaplikasikan pada kain wol atau sutera.

Dalam penggunaannya, kain mori digunakan sesuai panjangnya kain yang

diperlukan. Pengukuran panjangnya mori tidak mengikuti standar yang pasti

seperti halnya jika menggunakan meteran, namun lebih mengacu pada sistem

perhitungan tradisional. Ukuran tradisional tersebut dinamakan kacu. Kacu

adalah sebutan untuk saputangan yang berbentuk bujur sangkar. Perhitungan

sekacu adalah ukuran persegi dari kain mori yang diperoleh dari melipat ujung

lebar kain secara diagonal ke titik sisi yang penjang. Dalam sistem pengukuran

seperti ini ukuran panjang sekacu sangat bergantung pada lebarnya kain.

Karena itulah ukuran sekacu sangat relatif.

Sebelum dibatik, kain mori sebelumnya harus diolah terlebih dahulu. Proses

pengolahan mori sebelum dibatik sangat menentukan hasil akhir dari batik itu

sendiri. Pertama-tama ujung kain mori diplipit atau biasa disebut di neci. 53 Ibid halaman 17

34

Page 35: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Tujuannya agar benang pakan tidak terurai. Benang pakan adalah benang yang

melintang diagonal pada tenunan kain. Setelah diplipit kemudian di cuci

dengan air tawar hingga bersih. Tujuannya agar tidak ada kotoran yang berada

disela-sela kain sehingga penyerapan lilin rintang dapat maksimal. Untuk

daerah Blora, kain yang selesai dicuci bersih kemudian direbus dengan wantu.

Wantu adalah air rebusan yang di bagian dasarnya ditutupi dengan daun

bambu, daun papaya atau merang. Gunanya untuk mencegah hangus atau

gosongnya kain yang direbus. Setelah di wantu, kain baru dibilas akhir

kemudian dijemur. Tetapi dalam pembuatan batik Yogyakarta dan Surakarta,

proses pembersihan mori tidak melewati proses wantu, melainkan langsung

direbus54.

Setelah kering, mori di kanji. Biasanya kanji dibuat dari beras ketan yang

sebelumnya ditumbuk hingga menjadi bubuk. Selesai di kanji kain mori menjadi

mengerut dan kaku. Karena itulah dalam proses selanjutnya kain mori tersebut

diembun-embunkan selama beberapa hari. Setelah mori lembab, mori

kemudian dikemplong untuk melemaskan benang sehingga mempermudah

penyerapan malam. Cara mengemplong adalah memukul kain mori dengan cara

tertentu pada bagian tertentu pula.

Dalam perkembangan selanjutnya, proses penghilangan kanji pada mori juga

dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam, yaitu dengan

menggunakan larutan asam sulfat (H2SO3) atau asam klorida (HCL). Namun

dalam penerapan proses ini kain mori ada kemungkinan mengalami kerusakan

jika larutan asam terlalu pekat atau perendaman terlalu lama55.

54 Lihat Batik Klasik halaman 10 55 Lihat Indonesia Indah buku ke 8 “Batik” halaman 21

35

Page 36: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

3.3 Peralatan yang digunakan dalam Membatik

Dalam membatik dibutuhkan beberapa peralatan khusus agar mencapai hasil

yang halus dan detail. Adapun peralatan yang dipergunakan adalah sebagai

berikut :

3.3.1 Canting

Canting biasanya terbuat dari tembaga ringan, mudah dilenturkan, tipis namun

kuat, memiliki ukuran dan jumlah cucuk (ujung canting yang mengalirkan

malam) bervariasi dan diletakkan pada gagang pembuluh bambu yang

ramping56. Menurut fungsinya, canting terbagi menjadi dua macam :

a. Canting Reng-rengan

Reng-rengan adalah batikan pertama kali yang membentuk pola dasar.

Biasa disebut kerangka. Untuk tahap ini biasanya cucuk canting

berukuran sedang.

b. Canting Isen

Canting Isen ialah canting untuk membatik isi bidang secara detail dan

halus.

Sedangkan menurut ukurannya, canting dapat dibedakan menjadi canting

bercucuk kecil, sedang dan besar57. Klasifikasi canting brdasarkan jumlah cucuk

adalah sebagai berikut :

56 Lihat Batik Klasik halaman 5 57 Ibid halaman 7

36

Page 37: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

TABEL 3.1 KLASIFIKASI CANTING TULIS BERDASARKAN JUMLAH CUCUK

SUMBER : BATIK KLASIK, HAMZURI

No. Nama Keterangan 1. Canting Cecekan Canting bercucuk satu. Biasa dipergunakan untuk

membuat titik-titik kecil atau garis panjang 2. Canting Loron Loro berasal dari kata Loro yang berarti dua. Canting

bercucuk dua ini biasa digunakan untuk membentuk garis rangkap

3. Canting Telon Talon berasal dari kata Telu yang berarti tiga. Biasa digunakan untuk susunan titik berbentuk segitiga.

4. Canting Prapatan Prapatan berasal dari kata papat yang berarti empat. Biasa digunakan untuk mebuat titik yang membentuk persegi.

5. Canting Liman Liman berasal dari kata lima. Digunakan untuk membuat bentuk persegi dengan satu titik di tengahnya.

6. Canting Byok Canting yang bercucuk tuhuh buah. Canting ini biasa dipergunakan untuk membuat lingkaran-lingkaran kecil dengan titik.

7. Canting Galaran Galaran berasal dari kata Galar yang berarti suatu alas ridur yang terbuat dari bamboo yang dicacah membujur. Biasa berjumlah genap.

Selain canting cap yang bervariasi untuk menghasilkan batik cap. Adapula

canting cap untuk menghasilkan batik cap. Pada visualisasi akhir batik cap

biasanya kurang detail, karena sulitnya membuat cecek yang halus sehingga

jika kadar malamnya tidak pas dengan panas yang juga harus cukup, titik yang

satu dengan yang lain sehingga mengaburkan detail.

GAMBAR 3.1

SALAH SATU CONTOH CANTING CAP SUMBER : DOKUMENTASI PENULIS

37

Page 38: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

3.3.2 Malam

Pemalaman adalah proses penggambaran corak dengan prinsip negatif diatas

kain dengan menggunakan malam cair dengan canting sebagai alatnya58. Proses

ini didahului dengan pemolaan. Malam yang dipakai sebagai perintang warna

berasal dari sarang lebah. Daerah penghasil sarang lebah antara lain Sumbawa,

Timor, Sumba dan Palembang. Pada awal abad ke-19 ketika penyebaran batik

mulai meluas, Palembang sempat mengirim lilin lebah ke Pulau Jawa. Namun

hal ini dianggap terlalu mahal karena pembudidayaan sarang lebah merupakan

pekerjaan yang tidak mudah dan memakan waktu yang tidak sedikit59.

TABEL 3.2 JENIS-JENIS MALAM YANG DIGUNAKAN DALAM MEMBATIK BESERTA KEGUNAANNYA

SUMBER ; BATIK KLASIK, HAMZURI No. Jenis malam Keterangan 1. Malam tawon Dari sarang lebah (Tolo Tawon) 2. Malam Klenceng Dari sarang lebah klenceng 3. Malam Timur Asal bahan belum terindentifikasi, namun merupakan jenis terbaik 4. Malam putih minyak latung yang diproduksi massal 5. Malam Songkal Terbuat dari minyak Latung yang diproduksi massal 5, Keplak dan

Gandarukem Digunakan sebagai bahan campuran

6. Parafin Berasal dari munyak bumi, bersifat mudah retak sehingga biasa digunakan sebagai campuran atau sebagai isen latar untuk kesan retakan yang halus

Beberapa jenis malam batik lainnya adalah gondorukem yang berasal dari getah

pohon Pinus merkusi, damar mata kucing yang berasal dari Sorea Spec dan

parafin. Sedangkan parafin sendiri berasal dari minyak bumi, bersifat getas dan

mudah retak. Karena sifat inilah, penggunaan parafin dalam batik meskipun

kurang baik sebagai malam, namun dapat memberikan efek retak yang

58 Prinsip dasar ini mirip dengan prinsip dasar cukil kayu pada Seni Grafis, dimana bagian yang tertoreh adalah bagian yang berwarna putih. Dalam teknik pencelupan warna bertingkat juga mengingatkan kita pada teknik pengasaman etsa dimana lamanya perendaman dalam larutan asam bergantung pada tingkat kepekatan warna yang ingin dihasilkan 59 Ibid halaman 7

38

Page 39: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

memperkaya khasanah visual dari batik itu sendiri. Parafin sendiri dapat

digunakan sebagai bahan campuran pada malam.

Berbagai malam yang telah disebutkan diatas digunakan menurut ramuan, sifat

dan kegunaan tertentu. Beberapa contohnya Malam Klowongan. Malam ini

digunakan untuk membuat garis-garis klowongan atau garis pola. Ada juga

malam Tembokan, yaitu malam yang digunakan untuk menutupi bidang pada

pola. Berdaya lekat kuat pada kain, sangat peka panas, karena sangat mudah

mencair dan mengering.

3.3.3 Pewarna Kain

Pada batik tradisional, pewarna yang digunakan adalah pewarna alami.

Contohnya penggunaan warna coklat dari pohon tingi, warna biru dari tarum,

akar pohon mengkudu yang mengeluarkan warna merah atau kunyit yang

memunculkan warna kuning. Warna-warna batik keraton biasanya dihiasi

dengan warna-warna tanah seperti coklat, hitan, krem, putih atau bitu tua.

Sedangkan warna cerah seperti merah atau kuning lebih banyak digunakan

dalam pembuatan batik pesisir60.

Sekitar akhir abad ke-19 menyusul penemuan zat pewarna buatan sebagai

pengaruh dari pedagang Cina yang menjual batik namun berusaha mencari jenis

pewarna baru yang efisien, murah, tahan sinar matahari dan variatif. Zat

pewarna yang popular dikalangan batik saat itu adalah Naphtol dan Indigosol.

Secara kimiawi, naphtol merupakan persenyawaan phenolik yang diperoleh

dengan menggantikan satu atau lebih Hidrogen Napthalen dengan gugus

pencelupan gugus hidroksil. Sifat lain dari zat kimia ini adalah tidak dapat larut

60 Lihat Indonesia Indah buku ke 8 “Batik” halaman 27. Warna cerah merupakan pengaruh kuat dari bangsa China atau Arab yang bersinkretitasi dengan budaya setempat, mengingat kefleksibelan masyarakat maritim terhadap perubahan dan sesuatu hal yang baru.

39

Page 40: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

dalam air, asam atau basa encer sekalipun dipanasi. Akan tetapi cat jenis ini

tidak tahan terhadap gosokan. Warna-warna yang mampu dihasilkan oleh

naphtol hampir melingkupi seluruh spektrum warna61.

Jenis-jenis naphtol yang banyak digunakan adalah AS, ASBO, ASLB, ASOL, ASG,

ASBS dan ASGR. Kesemua jenis naphtol ini dapat dibangkitkan dengan garam

diazo. Apabila dibangkitkan dengan garam jenis lain menghasilkan warna yang

berbeda pula. Namun, kelemahan dari pewarna naphtol ialah dia tidak dapat

menghasilkan warna-warna muda. Bila hal ini dipaksakan dengan cara

mengurangi kadar naphtol pada takaran larutan yang seharusnya maka hasilnya

akan tidak merata dan kurang cemerlang62.

TABEL 3.3 KLASIFIKASI PENERAPAN WARNA DALAM BATIK

SUMBER : INDONESIA INDAH SERI 8 TENTANG BATIK

No. Nama Penghasil Warna

Jenis warna Penggunaan pada Serat

1. Nila (Indigofera Tinctoria L) daun Biru tarum Sutera, kapas 2. Mengkudu (Morinda Citrifolia L) Kulit akar Merah, merah

coklat Sutera, kapas

3. Kunir (Curcuma), Kunyit (Longa L) Bubuk, akar mentah

Kuning Sutera, kapas

4. Soga Tingi (Ceriops Candolleana Arn)

kulit Merah Sutera, kapas

5. Soga Tegeran (Cudrania Javanensis) kayu Kuning

Sutera, kapas

6. Soga (Peltoporum Ferrugineium) Kulit jambal Merah coklat Sutera, kapas 7. Soga Jawa (Caesalpina Sappan L) kayu Merah

Sutera, kapas

8. Soga Kenet, Soga Tekik Kulit, kulit Merah Coklat

Sutera, kapas

Sebenarnya penggunaan pewarnaan alami pada kain batik memiliki filosofi tersendiri.

Proses pewarnaan dengan pewarna alami (pembabaran) yang harus dilakukan berulang

kali agar menghasilkan warna yang perlahan-lahan naik bukannya tanpa tujuan. Selain

agar menghasilkan warna yang lembut, dengan peningkatan warna yang berubah

61 Diambil dari buku Panduan Workshop Batik yang diselenggarakan oleh PSTK-ITB (Perkumpulan Seni tari dan Karawitan) dan Sanisen Batik pada tanggal 18-19 Maret 2006 62 Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 13

40

Page 41: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

pelan-pelan bukannya warna keras yang instan, proses ini mengisyaratkan harmoni dan

keseimbangan. Dari hal tersebut, tampak bahwa dalam membatik bukan hanya

menghargai hasil akhir yang tervisualisasikan, namun juga proses dan ritual selam

proses pengerjaannya63.

3.3.4 Lain-lain

Adapun beberapa perlengkapan dalam membatik selain bahan baku dasar yang

telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut :

1. Gawangan berfungsi untuk menyangkutkan kain mori saat di batik

2. Wajan untuk mencairkan malam

3. Anglo, berupa perapian untuk memanaskan malam

4. Tepas atau kipas

5. Saringan malam

3.4 Teknik dan Proses Membatik

Teknik membatik identik dengan teknik celup rintang. Karena itu, ciri khas dari

batik adalah penggambaran corak dalam bentuk negatif. Dalam hal ini,

terdapat kesamaan prinsip antar teknik membatik dengan menggrafis

menggunakan teknik cukil kayu (cetak tinggi). Dalam cukil kayu juga dituntut

keahlian untuk mengimajinasikan bentuk berlawan dari torehan cukil kau

seperti halnya penggunaan canting dalam membatik.

Dalam teknik pembuatannya, batik terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu

batik tulis dan batik cap. Kedua teknik tersebut memiliki rancangan, proses

produksi dan karakteristik yang berbeda. Batik Tulis ialah batik yang dihasilkan

dengan menggunakan canting tulis sebagai alat bantu untuk merekatkan malam

63 Dikutip dari tesis mahasiswa S2 FSRD ITB, Hasanudin yang berjudul “pengaruh Etos dagang Santri pada Batik Pesisiran" halaman 21

41

Page 42: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

pada kain. Batik cap adalah batik yang menggunakan canting cap.

pemalamannya relatif lebih cepat dibanding pemalaman dengan canting tulis.

Namun dalam penggunaan batik cap sulit untuk menghasilkan pemalaman yang

detail karena jika terlalu kecil detailnya akan menjadi kabur. Selain itu dalam

batik cap, canting cap yang digunakan harus menggunakan bahan logam karena

jika menggunakan material kayu menyebabkan malam cepat mengeras dan

masa pemakaiannyapun tidak terlalu lama. Hal ini dikarenakan kayu bersifat

menyerap cairan sehingga mempercepat pelapukan dan mengaburnya detail.

Dalam proses pembuatannya, batik dibagi menjadi tiga macam proses yaitu

secara tradisional, kesikan dan pekalongan atau pesisiran.

3.4.1 Proses Batik Tradisional

Proses membatik dengan cara tradisional ini memiliki beberapa perbedaan

antara satu daerah dengan yang lain. Namun, proses pengerjaan batik kali ini

dipaparkan secara garis besar

2.1.1. Nganji

Membersihkan kain dari segala kotoran yang menempel

2.1.2. Ngemplong

Menghalusk

agar tidak ada yang merintangi malam menyerap sempurna

an kain yang kaku dengan memukul-mukul kain

u

malam di atas kain

enutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna

batik.

2.1.5. Medel

traditional_ngemplong.gif (1971 bytes)

dengan cara tertent

2.1.3. Ngelowong

Membuat pola dengan

2.1.4. Nembok

M

putih dengan lilin

42

Page 43: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Mencelup mori yang sudah diberi lilin batik dengan warna

biru

2.1.6. Ngerok

Men

.

Men

tempat-tempat yang terdapat cecek

2.1.8. Nyoga

edalam larutan soga

lilin batik dengan air panas dengan cara

h

GAMBAR 3.2 PROSES MEMBATIK DENGAN TEKNIK TRADISIONAL

om

ghilangkan lilin pada bagian yang akan berwarna soga

2.1 7. Mbironi

utup bagian yang akan tetap berwarna biru dan

Mencelup mori k

2.1.9. Nglorod

Menghilangkan

mencelupkan kain agar lilinnya meluru

: www.danarhadi.cSUMBER pada tanggal 20 Maret 2006 13:18WIB

3.4.2 Proses Batik K

Cara ya adalah

danya proses pengerokan, yaitu proses menutup bagian pola yang akan

serta bagian yang akan berwarna putih dan cecek

• Ngemplong

an kain yang kaku dengan memukul-mukul kain dengan cara

engan malam di atas kain

esikan

ng membe tradisional dakan proses pengerjaan ini dengan batik

a

dibiarkan tetap berwarna biru

• Nganji

Membersihkan kain dari segala kotoran yang menempel agar tidak ada yang

merintangi malam menyerap sempurna

Menghalusk

tertentu

• Ngelowong

Membuat pola d

43

Page 44: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

• Nembok

Menutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna putih dengan lilin

ri yang sudah diberi lilin batik dengan warna biru

ilangkan lilin pada bagian yang akan berwarna soga

i

mpat yang

k

ian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna biru serta bagian

ori kedalam larutan soga

anas dengan cara mencelupkan kain

a a meluruh64.

3.4.3 tik Pesisiran

Dalam proses pewarnaan pesisir, tidak hanya dilakukan pencelupan, namun

ga proses pencoletan. Pewarnaan pada bagian tertentu pola, cukup dengan

ewarna (coletan), sehingga dapat dilakukan

ewarnaan secara serentak dengan berbagai macam warna. Proses yang

• Mbhatik

batik

• Medel

Mencelup mo

• Ngerok

Mengh

• Mbiron

Menutup bagian yang akan tetap berwarna biru dan tempat-te

terdapat cece

• Ngesik

Menutup bag

yang akan berwarna putih dan cecek

• Nyoga

Mencelup m

• Nglorod

Menghilangkan lilin batik dengan air p

ag r lilinny

Proses ba

ju

menyapukan larutan zat p

p

diperlukan adalah sebagai berikut :

• Mola

Membuat sketsa awal pola diatas kain untuk mempermudah proses membatik

64 Dikutip dari buku Batik : Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 15

44

Page 45: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Membuat pola pada mori dengan menempelkan lilin batik dengan

menggunakan canting

• Nyolet

rn gian tersebut

ng telah dicolet degan lilin batik

nu ian latar pola yang telah diwarnai

alam warna biru

ng menempel pada mori kedalam bak air mendidih dan

an Granitan

telah diberi warna dan bagian yang akan

bia p putih serta membuat titik-titik putih pada garis-garis di luar

3

R

sehingga membentuk suatu kesatuan rancangan yang berpola. Unsur yang

rdapat dalam batik keraton itu sendiri mencakup pada ornamen, motif

Memberi warna pada bagian tertentu pola dengan menyapukan larutan zat

wa a pada ba

• Nutup

Menutup bagian kain ya

• Ndasari

Mencelup latar pola dengan zat warna yang dikehendaki

• Menutup dasaran

Me tup bag

• Medel

Mencelup ke d

• Nglorod

Me hilangkan lilin yang

menghasilkan kelengan warna

• Nutup d

Menutup bagian-bagian yang

di rkan teta

pola yang disebut granit dengan lilin batik65.

.5 Pola Batik

agam hias batik terdiri atas hiasan-hiasan yang disusun sedemikian rupa

te

maupun warna.

65 Ibid halaman 16

45

Page 46: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Berdasarkan Ensiklopedi Nasional Indonesia, ornamen adalah corak yang

ditambahkan pada bagian benda yang berfungsi sebagai pengindah, sedangkan

motif adalah suatu corak atau hiasan yang terungkap sebagai ekspresi jiwa

manusia terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan yang bersifat budaya.

Dalam Pengetahuan Teknologi Batik (1979 : 14)66 dijelaskan bahwa kata motif

bersinonim dengan kata corak, yaitu berupa suatu kerangka gambar pada suatu

Antar ornamen, motif, pola dan ragam hias dapat disimpulkan bahwa ornamen

Sewan Susanto (1980:212)68 menjelaskan bahwa motif batik terdiri dari dua

Ornamen Motif Batik

o Ornamen utama adalah suatu gambar yang ditentukan oleh

motif itu sendiri

ng

• Isen Motif Batik

benda. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa motif adalah suatu bagian

yang dapat disusun membentuk pola.

Menurut The New Oxford Encyclopedic Dictionary, Pola adalah gambar untuk

membuat bentuk yang lebih indah. Sedangkan ragam hias terbentuk dari suatu

susunan terdiri atas berbagai corak serta pembagian bidang yang beraturan

(Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 6 1991: 409).

merupakan elemen hias dalam motif. Bila motif dikomposisikan dan diulang-

ulang dalam penerapannya, maka akan menghasilkan ragam hias. Penerapan

ragam hias itulah yang menghasilkan suatu pola67.

kerangka ornamen, yaitu :

o Ornamen tambahan, adalah gambar yang berfungsi sebagai

pegisi bida

66 Diambil dari karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 143 67 Ibid halaman 143 68 Ibid halaman 143

46

Page 47: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Isen motif adalah gambar yang berfungsi sebagai pengisi motif.

TABEL 3.4 TABEL ISEN AN PEMGEMBANGANNYA

No. Bentuk a Isen Pengembangan dari simbol Arti

MOTIF BATIK BESERTA PEMAKNAAN DSUMBER : PUJIANTO

Nam Cecek Siji Ceplok Manunggaling

sti kawula Gu1.

Cecek Telu Pembagian 3 dunia Kehidupan 2.

3.

KehidupCecek Lima Kepemerintahan,

an Manca-pat

4. Cecek Pitu Kehidupan Dina (hari)

5.

Carat Banji/ Swastika Kehidupan

6. Cakar Atam Ceplok Mencari Rezeki, Pangan

7.

Mlinjon Manca-pat Kehidupan, Pemerintahan, Pusat

8.

Alis Gunung Kehidupan, Kesuburan, Tempat Para Dewa

9.

Uceng Modang (api) Cemungkiran

Kesaktian, Berbakti

10.

Matan Ceplok Manunggalinkawula Gusti

g

Sisik Melik Gunung Kehidupan, Keesaan

11.

Jambu Cepot Manca-pat

ntahan, Kehidupan, PemeriPusat

12.

Galaran Air Cobaan 13.

Kembang Cengkeh Manca-pat

n, Kehidupan, PemerintahaPusat

14.

15.

Ukel Swastika/ Banji Kehidupan

47

Page 48: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

16.

Tritis Modang (api) Cemungkiran

, Berbakti Kesaktian

17.

Sawat Garuda Kesaktian, Keperkasaan

Srimpet Meander Kehidupan Banji

18.

Blarak Sairit Modang (api)

iran Kesaktian,

Cemungk Berbakti 19.

Secara tradisional pola batik sangat banyak jenisnya. Untuk mempermudah

gklasifikas n, men M. A yang juga d leh

Alit Veldhusein dan Djajasoebrata kkan batik berdasarkan

entuknya m jadi dua bagian. Kedua bagian tersebut motif geometrik dan

otif Non Geometrik69.

seperti garis miring, bujur sangkar, persegi panjang,

lingkaran dan bentuk-bentuk terukur lainnya yang disusun secara berulang-

tuk kesatuan pola. Pola Geometris terdiri dari pola

Ceplokan, Kawung, Truntum, Motif miring, motif garis pinggir dan Udan liris.

r,

emusat ke tengah atau secara berkelompok tersusun rapi seperti bunga yang

pen ia urut hemat mir Sutaarga iperkuat o

mengelompo

b en

m

3.5.1 Motif Geometrik

Ragam hias yang tergolong ke dalam pola geometri adalah yang mengandung

unsur garis dan bangun

ulang sehingga memben

3.5.1.1 Pola Ceplokan

Ceplok berasal dari bahasa jawa yang berarti bulatan. Motif ceplok adalah

motif batik yang tersusun dari ornamen-ornamen yang mengarah melingka

m

69 Ibid halaman 143

48

Page 49: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

dilihat dari atas. Motif ini merupakan stilasi dari bentuk bunga, daun, bintang

dan yang bersifat simetris.

GAMBAR 3.3

POLA CEPLOK SRIWEDARI SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Motif Ceplokan adalah salah satu motif tertua yang ada dalam batik70. Selain

itu motif ini juga dihormati karena memiliki manca-pat. Manca-pat sendiri

merupakan suatu u itu

bentuknya yang menyerupai biji melambangkan Dewi Sri, yang merupakan

terlihat pada candi Prambanan

sekitar abad ke-8 Masehi. Motif ini juga terdapat pada arca Kertajasa Raja

ing ini terdiri dari lingkaran-lingkaran kecil yang

idalamnya terdapat sebuah titik pusat dengan latar belakang sisik ikan atau

nsur das mpat dan lima. Selainar dalam pola angka e

lambang kesuburan manusia maupun tanaman.

3.5.1.2 Pola Kawung

Motif ini adalah salah satu motif kuno yang

Majapahit yang pertama.

Menurut Rouffer yang ditulis oleh Muhammad Sutaarga (1964:12)71, bahwa

motif kawung berasal dari pola kuno yaitu Grinsing yang telah ditemukan pada

abad ke 17. motif Grins

d

ular. Dalam buku Indonesia Indah: Tenunan Indonesia (Affendi. 1995:197)

Grinsing berasal dari bahasa Bali, yaitu Gering yang artinya sakit. Gerinsing

70 Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 13 71 Dintisarikan dari tesisi S2 FSRD ITB yang berjudul “Kajian Batik Surakarta” halaman 158

49

Page 50: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

sendiri adalah sebuah kain tenun yang dibuat dari benang kapas dengan motif

geometrik dengan teknik ikat ganda berwarna merah kecoklatan. Jenis ini

dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat menyembuhkan orang yang

sakit.

GAMBAR 3.4

CONTOH POLA KAWUNG SUMBER : PUJIANTO

Sedangkan motif kawung digambarkan seperti penampang luar buah aren yang

disusun empat membentuk kotak-kotak yang dianggap simbolisasi dari alam

semesta berupa susunan kosm di pusatnya beserta manca-

pat yang merupaka peng n da . Karena itulah motif ini

bang kapas yang mengarah

ma ke masing-masing sudut. Di sela-sela ornamen utama terdapat ruang yang

g penguasa yang dikelilingi pengawalnya. Motif ini juga

ilihat sebagai stilasi dari bentuk bunga teratai yang merupakan simbolisasi

is dengan raja berada

n embanga ri pola tiga

hanya boleh dikenakan oleh Raja dan keluarganya.

Motif kawung tercipta dari empat bentuk oval seperti kelopak bunga atau

tablet secara diagonal kea rah masing-masing sudut. Pada tiap-tiap tablet

berisi dua bintang yang merupakan isen motif kem

sa

mengarah vertikal dan horizontal yang merupakan ornamen tambahan

(mlinjon). Di dalam mlinjon ini terdapat isen kembang jambu yang mengikuti

bentuk tablet bunga.

Dalam pemaknaannya, motif kawung yang berbentu oval miring dengan buah

kawung sejenis aren yang di potong melintang dengan penyusunan geometri,

tampak seperti seoran

d

dari umur panjang dan kesucian. Adapun bintang (palang-palang)yang

ditampilkan pada bulatan adalah sebagai perumpamaan biji dari buah kawung

yang diartikan sebagai lambang kesuburan.

50

Page 51: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Meskipun dalam kehidupan sehari-hari morif ini hanya diperuntukkan untuk

Raja dan keluarganya, namun dalam dunia pewayangan motif ini dipakai oleh

Punawakan yaitu Semar. Diperbolehkannya Semar memakai motif kawung

ilatarbelakangi oleh sifatnya yang arif dan anggapan bahwa dia adalah titisan

1. Kawung Picis adalah motif kawung berukuran kecil. Nama ini diambil

alah motif Kawung berukuran sedang. Nama ini

diambil dari mata uang 50 sen

r.

Jenis Kawung tersebut jika diperhatikan dari penamaan motifnya merupakan

sua ma

adanya so garuhi budaya Keraton.

dapun penggunaan nama jenis Kawung ini bukan karena bobot nilai mata

bagi Mataram menjadi dua wilayah kekuasaan ini, motif kawung menjadi

ciri khas dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

d

seorang Dewa.

Berdasarkan besar kecilnya motif yang ditampilkan, maka motif kawung

memiliki tiga nama, yaitu :

dari nama mata uang senilai sepuluh sen

2. Kawung Bribil ad

3. Kawung sen adalah motif Kawung berukuran besar yang namanya

diambil dari motif Kawung berukuran besa

tu ta uang yang dipakai pada Zaman Belanda. Hal ini menunjukkan

sial budaya di zaman Belanda yang mempen

A

uangnya, namun lebih pada ukuran penampang mata uang logam pada zaman

itu.

Sesuai perjanjian Giyanti, motif kawung tidak digunakan dalam lingkungan

keraton Kasunanan dan Kadipaten mangkunegaran. Sesuai perjanjian yang

mem

51

Page 52: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 3.5

CONTOH POLA KAWUNG YANG MENCERMINKAN POLA MANCA-PAT DAN POLA SEMBILAN SUMBER : DJAJASOEBRATA. 1979 :2472

3.5.1.3 Pola Truntum

Motif ini diciptakan pada zaman pemerintahan Susuhunan Pakubuwono III.

lisan Batik in the History and Philosophy of Javanese

extile (Hardjonagoro. 1979: 238) menceritakan bagaimana terciptanya pola

pulang ke rumah keluarganya. Di rumah beliau membatik untuk mengisi hatinya. Pada suatu ketika Susuhunan

Pakubuwono III datang ke rumah mertuanyadan melihat suatu tatanan pola motif yang rapi dan alus. Setelah mengetahui bahwa batik tersebut adalah

Dalam tu The Place of

T

truntum hingga menjadi salah satu batik larangan73.

Singkatnya, awal pelarangan pengunaan motif ini berdasarkan sebuah cerita

seperti yang dituturkan berikut ini :

Ceritanya pada saat Permaisuri dimarahi Raja, mengakibatkan Permaisuri

kekosongan dan untuk menghibur

buatan isteri pertamanya, maka Susushunan pakubuwono III senang sekali akan hal ini, meskipun batik tersebut belum selesai digunakan. Hal ini menyebabkan hati Susuhunan Pakubuwono III menjadi luluh lantas meminta Permaisuri untuk kembali ke Keraton. Karena motif baru tersebut belum bernama, maka Susuhunan Pakubuwono III memberi nama motif baru tersebut dengan nama Truntum74.

72 Sebagian besar tulisan tentang Kawung ini diintisarikan dari karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 158-161 73 Ibid halaman 161

lus hasilnya, semakin t menurut anggapan stuktur social masyarakat setempat.

74 Pada beberapa kebudayaan Tradisional Indonesia memang terdapat fenomena bahwa baik tidaknya seseorang di lihat dari hasil kerajinanannya. Semakin rapi dan abaiklah orang tersebu

52

Page 53: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Truntu ntum

otif Truntum adalah bentuk yang menyerupai bunga mekar yang saling

m sendiri berasal dari bahasa Jawa dengan akar kata tu

(mengumpulkan), tumaruntun atau menuntun dan tumbuh. Visualisasi motif ini

adalah stilasi yang menyerupai bintang bersinar di langit atau bunga yang

sedang mekar. Maksud dari kata mengumpulkan dalam motif ini adalah

menghimpun atau menyatukan. Pengertian menuntun merujuk pada keadaan

dimana orang tua menuntun anaknya untuk memasuki tahap kehidupan

selanjutnya (dalam hal ini adalah pernikahan), sedangkan kata tumbuh

mengambil dari bentuk bunga yang sedang mekar.

M

mengait. Motif ini memiliki dua keindahan. Pertama, keindahan pada kontur

motif yang ditampilkan secara teratur yaitu ornament utama pada motif yang

terlihat seperti bunga mekar. Yang kedua adalah tampilnya bentuk ornament

baru yang berfungsi sebagai latar atau ornament tambahan yang tasmpak

seperti bintang. Perpaduan dua hal tersebut secara berulang-ulang

mengesankan taburan bintang-bintang yang memberi kesan hidup.

GAMBAR 3.6

CONTOH POLA TRUNTUM SUMBER : DJAJASOEBRATA DAN HAMZURI 1979: 2475

amzuri dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik mengartikan Truntum

adalah mengumpulkan yang merujuk pada pengumpulan material. Sedangkan

Nian S. Djoemena dalam tulisannya yang berjudul Ungkapan Sehelai Batik

H

(1990: 13) mengemukakan bahwa Truntum memuat artian menuntun, bahwa 75 Ibid halamn 164

53

Page 54: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

orang tua menuntun kedua mempelai untuk memasuki tahap hidup selanjutnya

yang banyak lika-likunya. Karena itulah, kain ini biasa digunakan dalam upacara

pernikahan yang merepresentasikan harapan tersebut. Batik ini dapat dilihat

memuat pengharapan agar dapat melalui bahtera pernikahan dengan sebaik-

baiknya, baik secara spiritual maupun material.

3.5.1.4 Pola Garis Miring

Pola ini memiliki kemiringan 45 derajat dengan arah dari kiri bawah ke kanan

atas atau kiri atas kekanan bawah. Perbedaan ini berdasarkan daerah asalnya.

is m Surakarta mengarah dari kiri atas ke kanan

awah, sedangkan di Keraton Yogyakarta arah diagonalnya dimulai dari kanan

Pola gar iring pada keraon

b

atas menuju kiri bawah. Dari arah diagonal gerak motif pada pola garis miring

ini tampak bahwa pada keraton Yogyakarta kental akan pengaruh Islam, lain

halnya dengan keraton surakarta yang di dominasi budaya Hindu-Buddha. Hal

ini dapat dilihat dari arah gerak diagonal pola garis miring di Yogyakarta dari

kanan atas ke kiri bawah yang mengingatkan kepada kaligrafi arab, sedangkan

arak kiri atas ke kanan bawah cenderung kepada cara penulisan aksaran Jawa

Kuno. Contoh lain dapat kita lihat dari gelar pemimpin tertinggi di Keraton

Yogyakarta menggunakan gelar Kasuhunan atau sultan yang mengadopsi dari

budaya Arab.

Pola garis miring ini memiliki berbagai macam variasi yang diklasifikasikan

menjadi 3 pola. Pola tersebut adalah Pola Parang, Udan Liris dan Garis

Pinggir76.

76 Diambil dari karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 167

54

Page 55: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

i. Pola Parang

Motif Parang adalah stilasi dari bentuk senjata yang dikomposisikan

secara teratur dan berulang. Dalam visualisasinya, motif parang

erup erhanaan dari golok, keris dan teratai dengan

komposisi yang rapi dan berulang.

m akan penyed

GAMBAR 3.7

DETAIL POLA PARANG SUMBER : DJAJASOEBRATA.1979: 2477

Stilasi parang sering ditampilkan secara bergantian dari sisi atas dan

bawah yang saling mengisi ruang. Pada setiap stilasi parang terdapat

isen uceng yang memberi kesan gerak. Diantara stilasi parang terdapat

ruang yang bernama sirap kendhela dan bagongan yang ditampilkan

secara bergantian mengikuti arah diagonal dari stilasi parang. Selain itu

juga terdapat mata gareng disela-sela stilasi parang yang mengapit

bagongan.

77 Ibid halaman 171

55

Page 56: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Garis diagonal akan tampak jika memperhatikan alis-alisan yang

ditampilkan secara bersambungan. Pengulangan alis-alisan yang terus-

enerus memberi kesan ritmis tanpa batas. Dari hal inipun terlihat

akan bahwa motif parang

endapat pengaruh dari seni rupa Islam, yaitu motif arabesque. Motif ini

m

bahwa garis diagonal muncul bukan hanya sebagai batas, namun juga

sebagai pemersatu. Alis-alisan ditampilan secara berhadapan yang

dipisahkan dengan isen mlinjon berbentuk belah ketupat kaku yang

kontras dengan bentuk lainnya yang lentur.

Justine Boow dalam bukunya yang berjudul Symbol and Status In

Javanese Batik (1988: 16)78 mengemuk

m

merupakan motif klasik islam yang berusaha menggambarkan

transendenitas dengan pola yang tidak berawal dan berakhir. Visualisasi

ini berusaha menggambarkan keesaan Tuhan yang tiada awal dan akhir.

Pola ini juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk doa atau dzikir yang

tidak terputus-putus kepada Tuhan. Transendenitas didukung dengan

garis diagonal yang merepresentasikan keadaan ‘diantara’ dunia atas dan

bawah.

GAMBAR 3.8

POLA PARANG CURIGA SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

78 Ibid halaman 169

56

Page 57: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Selain itu, parang diartikan pula sebagai karang runcing yang

menggambarkan heroisme, patriotisme sehingga mampu memberi

kekuatan pada pemakai (Sastroatmodjo :1993 :46)79. Jenis motif parang

yang sangat terkenal adalah Parang Rusak. Menurut kepercayaan

kejawen, Parang rusak dianggap mampu memberikan kekuatan pada

pemakainya sehingga sering digunakan saat maju ke medan perang

dengan harapan dapat menjadi pemenang.

Menurut L. Koesoediarto (1960 : 5), Parang Rusak adalah sumber

kehidupan dan keselam ini diyakini memiliki tenaga

penghalang terhadap s menjadi

keramat di dalam keraton karena melambangkan kehidupan, yang dalam

.

alam penelitian ini, penulis membahas teratai sebagai perwakilan dari

enarik dari keris adalah, selain berfungsi sebagai senjata,

eris juga memiliki unsur estetis, filosofis, dan magis mistis.

atan otif, karena m

emua kerusakan dan kematian. Motif ini

hal ini adalah sang Pencipta. Kepercayaan itulah yang menyebabkan

motif ini hanya boleh dikenakan oleh Raja karena Raja saat itu dianggap

sebagai penjelmaan dari Bhatara Guru. Parang rusak merupakan stilasi

dari keris.

Selain stilasi dari senjata, baik itu keris atau golok, pola Parang ini juga

mengadopsi bentuk tumbuhan seperti halnya bunga atau tumbuhan

D

kelompok tumbuhan yang distilasi menjadi bentuk parang. Di bawah ini,

akan dipaparkan penjelasan singkat perihal keris dan teratai.

1. Keris

Keris adalah sebuah benda tajam yang terbuat dari logam yang

berkembang pesat pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Jawa.

Hal yang m

k

79 Ibid halaman 168

57

Page 58: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 3.9

PROSES PENGOLAHAN BENTUK SENJATA KE STILASI MOTIF PARANG SUMBER :SEOTOPO. 1957: 1280

Surakarta,

jenis baja yang sering digunakan adalah baja yang digabungkan dengan

logam pamor yang digabungkan dengan logam pamor yang berasal dari

batu meteor. Bahan logam pamor ini mengandung nikel dan alumunium

murni berwarna putih terang. Logam ini diyakini berasal dari meteor

yang jatuh di daerah Prambanan pada masa pemerintahan Sunan

Pakubuwana III ( 1749 M ). Dalam catatan Surakarta, meteor ini cukup

besar se tangan

10 orang dewasa. Karena meteor ini mengandung nikel dan alumunium

BAGIAN-BAGIAN KERIS

Keris pertama terbuat dari bahan baja yang diekstrak dari pasir, atau

biasa disebut baja malela (bijih besi bercampur dengan nikel dan

mangan). Kemudian jenis baja malela ini digantikan oleh baja81 yang

dibawa oleh pedagan India dan Persia. Pada masa kekuasaan

hingga ketika jatuh membuat lubang selebar bentangan

dalam jumlah besar, maka dapat digunakan untuk membuat pamor keris

sejak zaman Pemerintahan Sunan Pakubuwana IV hingga Sunan

Pakubuwana. Sisa batu meteor seberat 15 kg yang diberi nama Kyai

Pamor ini sekarang disimpan di Keraton surakarta82

GAMBAR 3.10

SUMBER : BUDIHARJO W

80 Ibid halaman 172 81 Baja yang merupakan campuran nikel dan karbon

Senjata, Karya Seni dan Simbol yang disusun oleh Alpha Febrianto untuk 2004-2005 FSRD ITB program S1.

82 Dikutip dari Keris;mata kuliah Antropologi Seni semester II tahun ajaran

58

Page 59: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

1. Deder

2. Selut

3. Mendak

4. Warangka

5. Pendok

1. Pesi

2. Ganja

3. Bungkul

4. Blumbangan

5. Srawehan

6. Gandik

8. Lambe Gajah

9. Kembang Kacang

10. Jenggot

11. tikel Alis

12. Jalen

13. Sogokan Depan

7. Jalu Memet 14. Lis-lisan

59

Page 60: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

15. Gusen

16. Kruwingan

17. Ada-ada

18. Janur

19. Sogokan Belakang

20. Wadidang

21. Ron Dha Nunut

22. Tungkakan

23.

24. Greneng

25. Ri Pandan

26. Kanyut

27. Tinggil

27. Pundak Sateg

GAMBAR 3.11 RICIKAN KERIS DAN NAMA-NAMANYA

SUMBER : BAMBANG BAMBANG HARSINUKUSUMO, 1985 : 8-15

Bila dilihat dari struktur bentuknya, keris bukanlah senjata tebas seperti

halnya pedang atau jenis senjata pisau lainnya. Bentuk yang ramping dan

melancip ke ujung menunjukkan bahwa keris digunakan untuk gerakan

menusuk. Warangka yang berada ditubuh keris berfungsi untuk

angkis serangan. Keris yang ber tuk para ksatria yang

ut para ahli merupakan stilasi etir atau kilat

sarnya, bersatunya besi baja r atu pamor dari

or dianggap sebagai harmonisasi antara ‘bapak angkasa dan bumi

ilah keris dianalogikan sebag ri pria,

arangkanya adalah lam wanita. Hal ini seperti yang

dibahas sebelumnya merupakan bentuk dari pola tiga yang

bang di masyarakat saat itu.

ri sebilah keris adalah l knya yang selalu ganjil.

filosofi kejawen, angka ganj ang mistis. Adapun

pemaknaan keris dalah sebagai berikut

men lekuk dibuat un

menur dari bentuk p

Pada da da i bumi dengan b

mete

pertiwi. B ai representasi da

sedangkan w bang

sering

berkem

Keunikan da jum ah leku

Dalam il memiliki arti y

berdasarkan jumlah luknya a

60

Page 61: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

a. Luk satu atau biasa disebut keris lurus merupakan lambang

n kesaktian, kegembiraan dalam

f. keris yang memiliki luk lebih dari sembilan disebut keris

Palawija85. Keris-keris palawija ini berarti memiliki

kekuatan tambahan.

2. Teratai

Teratai adalah salah satu simbolisasi penting yang muncul pada

kebudayaan Hindu-Buddha. Diceritakan bahwa teratai merupakan

tempat singgasana dari dewi Kwan in juga Dewi Laksmi. Dalam visualisasi

Wisnu86, dia digambarkan memiliki empat tangan yang disetiap

tangannya memegang benda-benda yang berbeda.

keberanian, kebenaran, kemakmuran dan kebulatan tekad.

b. Luk tiga merepresentasikan akal budi, perlawanan dan

inisiatif.

c. Luk lima melambangkan ketertiban, disiplin dan

keagungan83

d. luk tujuh melambangka

hidup serta ilmu pengetahuan.

e. luk sembilan melambangkan kesempurnaan, ketuhanan,

kepuasan hidup serta gerbang nirwana84.

83 Luk lima juga kerap dihubungkan dngan pandawa lima dalam kisah pewayangan yang diadaptasi dari mitologi Mahabrata. Karena itulah keris luk lima sering pulas disebut sebagai dapur Pandawa. 84 Merupakan luk tertinggi, karena sembilan adalah angka kesempurnaan. Asumsi seperti ini muncul karena setelah angka sembilan kita akan kembali ke titik nol. 85 Palawija adalah tanaman selangan (antara dua jenis padi), biasanya kacang polong dan kacang lainnya. Dalam istilah ini merujuk pada orang luar biasa. Ciri-ciri umumnya biasanya bertubuh cebol. Palawija adalah para orang-orang yang memiliki cacat fisik yang diangkat menjadi abdi-abdi terdekat raja. 86 Wisnu adalah Dewa Pemelihara dalam agama Hindu. Dalam mitilogi Hindu, Wisnu akan bereikarnasi sebanyak sepuluh kali di dunia. Reikarnasi ini bertujuan untuk memerangi ketidakadilan dan menyelamatkan manusia. Pada reinkarnasinya yang terakhir, Wisnu akan

61

Page 62: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 3.12

AI KE STILASI PARANG SUMBER : JASPER DAN PRINGADI : 191 :1

PROSES PENGOLAHAN BENTUK TERAT6 5587

Tangan perta

memegang kerang, tangan ketiga memegang cakram yang jika dilempar

akan kembali ke tangannya dan tongkat. Bunga teratai disini dipercaya

dari pertumbuhan penciptaan, kerang merupakan

mbang dari alam, sedangkan cakram dan tongkat merupakan lambang

ma dewa Wisnu memegang bunga teratai, tangan kedua

sebagai simbolisasi

la

kekuasaan dan kekuatan untuk melawan Dewa Indra88.

GAMBAR 3.13

GAMBAR BUDDHA DI ATAS SINGGASANA LUTOS (TERATAI) SUMBER : MICROSOFT ENCARTA 2006

muncul dengan kuda putih untuk menghancurkan alam semesta. Saat inilah yang dalam mitoligi Hindu dipercaya sebagai akhir dunia. 87 Diambil dari tulisan Pujianto untuk tesis S2 FSRD ITB yang berjudul Kajian Batik Surakarta halaman 172 88 Sumber literatur berasal dari Microsoft Encarta 2006

62

Page 63: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

ii. Pola Udan Liris

Udan Liris artinya hujan gerimis atau berasal dari kata Lis yang berarti

Garis. Pengertian ini diperoleh dari persamaan sifat antara air hujan

yang jatuh dengan susunan motif Udan Liris yang keduanya membentuk

garis diagonal. Sedangkan pengertian Lis sendiri menghubungkan corak

yang ditampilkan yaitu garis-garis kecil yang penuh.

GAMBAR 3.14

DETAIL POLA UDAN LIRIS SUMBER : DJAJASOEBRATA, 1979: 2489

Motif ini terdiri dari beberapa jenis ornamen yang diatur secara

bergantia jenis ornamen

dipertegas dengan garis lurus memanjang yang mengesankan tak

n de embe iap ngan m ntuk sudut 45 derajat. T

berbatas.

89 Ibid halaman 174

63

Page 64: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Motif Udan Liris merupakan simbol kesuburan dan perkembangan, karena

ungan keraton yang

hanya boleh dipakai oleh Raja dan kaum bangsawan. Dalam

penggunaannya, motif ini biasa digunakan saat upacara-upacara sesaji.

iii. Pola Garis Pinggir

Motif garis pinggir merupakan motif yang diterapkan pada pinggiran kain

yang melintang arah kain. Motif garis pinggir secara pengulangan dengan

bentuk yang sama. Pada pangkal motif selalu didekatkan atau

dihubungkan dengan ornamen lain yang biasanya merupakan elemen

pokok dan dibagian ujungnya lepas dari ornamen yang mengarah ke

ruang kosong atau bidang lain.

Nama motif ini disesuaikan dengan penerapan dalam kain batik yang

meliputi ornamen yang diterapkan pada pinggir kain (kemada), motif

yang diterapkan diantara batas dua ornamen disebut blabakan atau

cinde, dan motif yang diterapkan pada batas bidang kosong disebut

cemungkiran. Ketiga motif upakan batik tradisional keraton

Surakarta namun hanya uk motif larangan.

lasi dari lidah api atau sinar

sesuai dengan namanya yaitu hujan gerimis yang mampu menyuburkan

tumbuhan dan menjaga kelangsungan makhluk hidup lainnya.

Dengan tingginya nilai filosofi dan harapan yang terkandung didalamnya,

motif ini tampil menjadi motif larangan dalam lingk

tersebut mer

cemungkiran yang termas

Motif cemungkiran sendiri merupakan sti

matahari yang melambangkan kehebatan alam semesta.

64

Page 65: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

PROSES STILASI POLA CEMUNGKIRAN SUMBER : DJAJASOEBRATA, 1979: 24

GAMBAR 3.15

ebagai turunan dari bentuk lotus yang

erupakan pengaruh dari budaya China. Lotus sendiri dalam budaya

3.5.2

Motif

alam s okkan ini didasari oleh bentuk ornamen

yang ditampilkan dalam motif. Bentuk ornamen yang ditampilkan selanjutnya

dikomp

begit,

simetr

Nama

berkem

simbol

Penuli sedikit banyak

mampu menampilkan pola non geometrik secara keseluruhan.

90

Cemungkiran juga di anggap s

m

China mengandung arti kekuasaan dan umur panjang.

Motif Non Geometrik

non geometrik adalah motif yang berasal dari penyederhanaan bentuk

ebagai simbolisasi. Pengelomp

osisikan secara bebas, tidak mengacu pada satuan ilmu ukur. Meskipun

jika diperhatikan pada pola non geometris tetap terdapat komposisi yang

is antara satu ornamen dengan yang lain.

motif menurut pengelompokkannya cukup banyak karena terus

bang sehingga menghasilkan motif baru yang tetap mengacu pada

alam yang mengacu pada interpretasi yang sama. Dalam penelitian ini

s memilih beberapa motif non geometrik yang dianggap

90 Ibid halaman 174

65

Page 66: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

3.5.2.1 Pola Semen

Semen berasal dari kata semi yang berarti tunas. Kata ini juga mengandung

unsur perlambangan kesuburan seperti halnya motif cemungkiran dan banyak

motif batik lainnya. Pola semen sendiri merupakan ornamen yang

menggambarkan tumbuhan-tumbuhan atau tanaman menjalar. Dalam motif ini

sering ditampilkan bebe ng biasanya merupakan

ilasi dari bentuk b ngan dominas

motif semen. Tanaman sulur tersebut merupakan simbol kesuburan, sedangkan

pohon hayat melambangkan kehidupan.

rapa macam ornamen lainnya ya

st inatang de i tanaman sulur yang menjalar pada

GAMBAR 3.16

DETAIL POLA SEMEN SUMBER : DJAJASOEBRATA, 1979: 2491

91 Ibid halaman 174

66

Page 67: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Tiap-tiap ornamen yang hadir dalam visualisasi motif semen memiliki arti

tumbuhan diseluruh bidang juga dimaksudkan sebagai penyebaran seluruh

t, Meru dan Pohon Hayat

i. Sawat

Sawat merupakan stilasi lengkap dari Garuda. Garuda itu sendiri merupakan

hewan yang berasal dari alam mitologi Hindu, dimana dia merupakan

kendaraan Dewa Wisnu. Menurut mitologi yang berjudul Garudeya, Garuda

adalah putera dari Kasyapa dan isterinya Vinata. Garuda menetas dari telur

yang telah inkubasi selama 1000 tahun. Dalam mitologi Hindu, garuda muncul

dalam dua skenario besar, yaitu sebagai pemakan orang-orang yang berkhianat

pada dewa Wisnu atau dalam mitologi yang lain, Garuda diceritakan mencuri

soma dari Dewa Wisnu92. Soma adalah pohon yang tepat berada dipuncak Meru.

Di bawah pohon ini terdapat mata air para Dewa. Alasan Garuda mencuri soma

adalh untuk membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Keberhasilan

Garuda mengambil air Soma di puncak Meru tersebut tampaknya menjadi

simbolisasi sebuah keberanian, kebaktian serta kesetiaan.

simbolis yang mengarah pada kepercayaan suatu kehidupan. Penyebaran

kehidupan yang merata di alam semesta. Karena itulah motif ini dalam

penerapannya di keraton diperuntukkan bagi Pangeran, Adipati serta pengantin

pria dengan harapan pasangan pengantin tersebut dapat memiliki keturunan

yang banyak dan sehat.

Secara garis besar, terdapat beberapa ornamen utama dalam motif semen ini,

yaitu Sawa

92 Soma dipercaya dapa upkan uga setara dengan Tirta Merta yang merupakan air kehidupan. Dalam mitologi Hindu, air ini dianggap mampu

n yang kekal abadi.

t menghid orang yang telah mati. Air ini j

memberikan kehidupa

67

Page 68: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

PENGGAGAMBAR 3.17

MBARAN GARUDA DALAM MITOLOGI HINDU Sumber : MICROSOFT ENCARTA 2006

n representasi dari dunia

n segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal negatif93.

GAMBAR 3.18

Dalam kepercayaan Hindu, Garuda merepresentasikan dunia atas. Biasa

digambarkan sedang melawan ular yang merupaka

bawah da

RAGAM HIAS GARUDA (SAWAT) YANG TERDAPAT PADA BATIK KERATON SURAKARTA SUMBER : PUJIANTO

93 Diambil dari Microsoft Encarta 2006

68

Page 69: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

ii. Meru

Dalam motif ini salah satu ornamen utamanya adalah Meru. Menurut

kepercayaan India, Meru (gunung) berdiri di pusat dunia dan diatasnya bersinar

Bintang Utara (kutub). Ternyata kepercayaan tersebut tidak hanya di India,

tetapi merupakan kepercayaan seluruh dunia atau biasa disebut budaya

universalitas (Baca Elaide; 2003:13). Di dalam gunung terdapat ‘axis mundi’,

yaitu titik pertem

PENGAPLIKASIAN MERU DALAM GUNUNGAN PADA KESENIAN WAYANG

uan antara Bumi, Neraka dan Nirwana94.

GAMBAR 3.19

SUMBER : EDI SUNARYO

94 Karya Tesis ITB yang berjudul ‘Kajian Bentuk dan Makna Batik kasumedangan’ oleh Dwi Rahayu Surviati halaman 90

69

Page 70: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 3.20 RAGAM HIAS MERU YANG TERDAPAT PADA BATIK KERATON SURAKARTA

SUMBER :PUJIANTO

70

Page 71: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia mendapat pengaruh Hindu dari

India, tetapi Hindu yang ada di Indonesia tidak sama seperti Hindu menurut

versi asli India. Kepercayaan Hindu di Indonesia telah bersinkretisme dengan

budaya asli Indonesia, sehingga memunculkan ragam Meru khas Jawa atau bali

sebagai contohnya.

Meru dianggap sebagai perwujudan dari gunung Mahameru yang terdapat di

India. Pada gunung ini tumbuh berbagai macam tanaman yang berkhasiat bagi

tubuh. Pada puncak gunung Meru dipercaya tumbuh Pohon Soma yang dapat

memberikan kesaktian. Sedangkan pada bagian barat Meru terdapat pohon

Jambu wrekso yang memiliki seratus batang ranting. Pada gunung ini juga

terdapat mata air kala-kala yang dapat membuat para Dewa mati bila

meminumnya. Di dekat mata air kala-kala tumbuh pohon Sandilata yang

dipercaya

Di sisi lain, dalam alam pemikiran Jawa kuno, Meru adalah lambang

keseluruhan kosmos maupun kosmis (jagad besar dan jagad kecil) sehingga

segala bentuk kehidupan tentulah terdapat didalamnya. Maka tampillah Meru

merangkum seisi jagad raya dan segenap kehidupan. Bentuknya menjadi

gunungan seperti yang digunakan pada pertunjukkan wayang kulit. Meru atau

gunungan juga merupakan kekayon atau pohon hayat (pohon kehidupan). Pohon

ini juga melambangkan alam beserta isinya yang merupakan sumber kehidupan

manusia.

Konsep Meru di Jawa berasal dari konsep triloka agama Hindu, yaitu ajaran

tentang tiga alam atau tiga dunia yang berasal dari kepercayaan Siwa Pasupata

(Sumardjo :2001)95. Ajaran ini mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari

keadaan Syiwa sebagai Dewa tertinggi penguasa dunia atas yang kemudian

mampu menghidup gal. kan orang yang telah mening

95 Ibid halaman 92

71

Page 72: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

secara bertahap menjelma atau menubuh dari keadaan ‘tiada’, atau keadaan

‘tidak kasat mata’ menjadi keadaan ada dan kasat mata (Hadiwoyono :83).

GAMBAR 3.21

KONSEP PEMBAGIAN TIGA DUNIA DALAM KOSMOLOGI JAWA SUMBER : KAJIAN BENTUK DAN MAKNA BATIK KASUMEDANGAN, DWI RAHAYU SERVIATI

Konsep triloka di atas ternyata juga dianut oleh masyarakat Jawa kuno. Konsep

ini meyakini bahwa segala sesuatu di dunia idealnya terdiri dari tiga bagian

dasar, seperti halnya kepercayaan yang dianut oleh Hindu.

Selain itu terdapat pula kepercayaan bahwa Gunung Tidar, sebuah bukit kecil

di dekat kota Magelang, Jawa Tengah sebagai poros atau ‘paku’ dari pulau

Jawa.

iii. Pohon Hayat

Dalam sistem religi masa lampau, pohon hayat merupakan simbol dari

kemakmuran dan keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos96.

edangkan dalam agama Hindu, pohon hayat merupakan pohon hayat dikenal S

dengan istilah kalpavrksa, kalpadruma, kalpataru, atau kalpavalli. Istilah

tersebut berasal dari kata kalva yang berarti keinginan, masa dunia, zaman, 96 Menurut kamus filsafat istilah makrokosmos berasal dari bahasa Yunani, yaitu macros yang artinya panjang, lebar dancosmos yang berarti alam semesta. Secara umum makrokosmos adalah keseluruhan yang besar, dan kontras dengan bagian-bagian yang terkecil, yaitu mikrokosmos. Secara khusus makrokosmos adalah adalah alam semesta yang dipandang dalam totalitasnya.

72

Page 73: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

harapan, nama dan cara. Sehingga kalpavrksa, kalpadruma, kalpataru, atau

kalpavalli memiliki pengertian sebagi pohon pengharapan, pohon masa dunia

tau pohon keinginan. Dalam agama Buddha juga dikenal Pohon Bodhi yang

dianggap sebagai pemberi pencerahan ketika Sidharta Gautama sedang

bersemedi.

a

GAMBAR 3.22

budaya India, kalpavrksa dikenal sebagai pohon yang buah-buahnya

apat mengabulkan setiap permohonan. Pohon tersebut selalu menghasilkan

, yaitu enam macam makanan para dewa serta buahnya juga mampu

enghasilkan pakaian dan perhiasan. Dengan demikian pengertian kalpavrksa

Sawat dalam kamus Kawi Jawa juga memiliki arti yang sama dengan semen,

gkap dengan ekor terbuka yang disebut sawat, maupun satu sisi

TREE OF LIFE (POHON HAYAT) DARI INDIA SUMBER : STELLA KAMRITCH, 1972

Dalam

d

milk

m

di India sama dengan pengertian pohon khayangan atau pohon surga di Jawa

karena berada di khayangan tempat tinggal para dewa.

3.5.2.2 Pola Sawat

yaitu pertumbuhan dan kehidupan. Motif sawat ditampilkan dalam visualisasi

sayap burung pada sisi kanan dan kiri yang disebut mirong, dua sayap terbuka

kembar len

73

Page 74: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

sayap, baik kanan atau kiri adalah Lar yang kesemuanya melambangkan

keperkasaan dan keberanian.

G

ORNAMEN DASAR PADA POLA SAWAT 97

kat.

TABEL 3.5 JENIS-JENIS SAWAT YANG MUNCUL PADA BATIK KERATON

SUMBER : PUJIANTO

AMBAR 3.23

SUMBER : DJAJASOEBRATA. 1979: 24

Dalam mitologi Hindu-Jawa, Lar sebagai burung garuda, yaitu sejenis burung

yang berkaki manusia. Burung ini merupakan kendaraan Dewa Wisnu, yaitu

Dewa pemelihara. Dalam sejarah Mataram saat pemerintahan Sultan Agung

motif ini merupakan lambang kejayaan. Karena itulah motif ini diperuntukkan

bagi Raja agar diberi kekuatan untuk mengayomi masyara

No. Jenis Ciri-Ciri Visual

1. Sawat Sepasang sayap yang terbuka lengkap dengan ekor dan

bagian tubuh lainnya.

97 Ibid halaman 184

74

Page 75: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

2. Mirong Sepasang sayap yang terbuka

3. Lar Sebuah sayap, baik kiri maupun kanan

GAMBAR 3.24 VISUALISASI RAGAM HIAS GARUDA YANG TERDAPAT PADA BATIK KERATON SURAKARTA

SUMBER : KAJIAN BATIK SURAKARTA, PUJIANTO

3.5.2.3 Pola Alas-alasan

Alas-alasan berarti hutan, sehingga ornamen yang muncul dalam motif ini

sebagian besar adalah hewan dan tumbuhan. Motif ini hampir sama dengan

otif semen, hanya saja ornamen hewan lebih dominan dibanding motif

tumbuhan dengan vis asih mengacu

pada unsur alam dengan k ain dan jarak antar

ang sama. Selain emberi kesan tidak monoton maka

ka isian bidang koson ang

sekaligus menjadi penghubun

m

ualisasi rama aya bebas namun mi dengan g

omposisi menyeluruh bagian k

ornamen y itu, untuk m

ma peng g dilakukan dengan menampilkan tumbuhan y

g antar hewan.

75

Page 76: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Pem kesan berantaka salah satu cara untuk

n irkan kesan hutan a perti yang telah

sebelumnya bahwa meskipun pola geometri, pola ini tetap memiliki

pe ri

alam dunia yang dipenuhi ol

diperhatikan lebih teliti akan tampak adanya hewan yang merusak tanaman

atau memangsa hewan lain, seperti macan dan serangga. Sedangkan hewan

yang tidak merusak lingkungan seperti kupu-kupu. Berbagai sifat hewan

tersebut mewakili sifat-sifat yang ada di dunia ini.

Motif alas-alasan ini hanya boleh diterapkan pada kain Dodot Bangun Tulak

dengan kombinasi prada emas. Jenis batik ini sering digunakan untuk upacara-

upacara agung seperti menghadiri upacara pengantin agung dan tari bedhaya.

berian n dan liar merupakan

me ghad lam yang masih liar. Namun se

diutarakan

rhitungan jarak yang konsisten. Motif ini juga merupakan representasi da

eh kebaikan dan kejahatan, karena jika

GAMBAR 3.25

POLA ALAS-ALASAN BURON SAMUDERA SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Menurut paham triloka, unsur kehidupan terbagi atas 3 bagian, yaitu Alam atas,

Alam tengah dan Alam bawah. Ornamen yang berhubungan dengan alam atas

seperti Garuda, kupu-kupu dan lidah api megacu pada para dewa, pohon hayat,

tumbuhan dan meru yang mewakili Alam tengah dan perahu, naga dan binatang

laut lainnya merupakan representasi dari alam bawah.

76

Page 77: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

3.5.2.4 Pola Lung-lungan

Motif Lung-lungan ini merupakan motif turunan dari semen. Namun jika dalam

semen sawat yang digunakan berbentuk lengkap dengan kedua sayap dan

ekornya, dalam motif Lung-lungan ornamen sawat hanya muncul sebagai lar

atau mirong. Selain itu, pada motif lung-lungan ini tidak selalu terdapat Meru,

yang menjadi karakteristik dari motif semen.

Sebaliknya, motif ini kaya dengan unsur tumbuhan, baik itu tumbuhan sulur

taupun pohon hayat. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa motif Lung-lungan

a

bih kepada dunia flora.

a

memiliki kesamaan pula dengan motif Alas-alasan. Bedanya, jika dalam motif

Alas-alasan ornamen yang dominan adalah hewan-hewannya karena

merepresentasikan dunia fauna, maka dalam motif Lung-lungan tendensiny

le

GAMBAR 3.26

POLA LUNG-LUNGAN BABON ANGREM SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

77

Page 78: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Dari kes luruhan pola non e geometrik yang diterapkan dalam batik klasik

eraton ini, maka dapat diklasifikasikan dengan tabel berikut ini :

ORNAMEN YANG SERING MUNCUL PADA BATIK KERATON POLA NON GEOMETRIK BESERTA

K

TABEL 3.6

PEMAKNAANNYA SUMBER : SUSANTO DAN VELDHUISEN

No. Nama Arti 1. Sawat atau Garuda mentari yang berarti keperkasaan dan kesaktian. 2. meru tempat para dewa 3. pohon hayat kehidupan 4. lidah api api, kesaktian dan bakti 5. burung umur panjang 6. binatang berkaki empat keperkasaan dan kesaktian 7. kapal cobaan 8. Pusaka Wahyu, kegembiraan dan ketenangan 9. Naga kesaktian dan kesuburan 10. Kupu-kupu kebahagiaan dan kemujuran 11. Dampar Keramat, tempat raja

Sedangkan menurut Wiyoso Yudoseputro dalam Pengenalan Ragam Hias Jawa I

B (1983 :93)98 bahwa beberapa motif yang sering digunakan dalam batik

mempunyai lambang tertentu seperti :

TABEL 3.7 ORNAMEN YANG SERING MUNCUL PADA BATIK KERATON POLA NON GEOMETRIK BESERTA

PEMAKNAANNYA SUMBER : WIYOSO YUDOSEPUTRO

No. Ornamen batik arti 1. Meru Tanah, bumi atau gunung tempat para dewa 2. Lidah Api Api, Dewa api, lambang kesaktian 3. burung Alam atas 4. Pohon hayat Alam tengah 5. Barito Air, dunia bawah 6. Pusaka Kegembiraan, ketenangan 7. Garuda Kendaraan dewa Wisnu, matahari

Sehingga bila ornamen tersebut dikelompokkan berdasarkan wilayah alam

berdasarkan falsafah Jawa, maka akan menjadi :

98 Ibid halaman 88

78

Page 79: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

TABEL 3.8

SUMBER : SUSANTO DAN VENDHIUSEN KLASIFIKASI ORNAMEN BERDASARKAN PELAMBANGAN DAN MAKNA

lam atas Alam tengah Alam bawah A

Garuda (burung) Pohon ha Perahu yat Kupu-kupu Meru Naga Lidah api Bangu Ular nan Dampar natang ng air lain Bi berkaki empat Binata Pusaka Barito

Di ba i akan ditampilkan be otif pada batik klasik keraton

ak ewakili tiap pe dunia tersebut

la

AS AMEN BATIK KERATO DASARKAN PEMBAGIAN

SUMB

3

wah in berapa contoh m

Sur arta yang m mbagian dunia. Ketiga dunia

ada h :

GAMBAR 3.27 KL IFIKASI ORN N POLA NON GEOMETRIS BER

TIGA DUNIA ER : PUJIANTO

.6 Dunia Bawah

79

Page 80: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

3.7 Dunia Tengah

80

Page 81: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

3.8 Dunia Atas

81

Page 82: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

BAB IV

ANALISA VISUALISASI BATIK KERATON KLASIK

SURAKARTA

Dalam bab ini penulis akan membahas visualisasi dari batik keraton klasik

Surakarta. Melalui analisa ini, Penulis mengharapkan dapat memberi

interpretasi baru sebuah karya batik keraton. Pembagian Pola yang dianalisa

diklasifikasikan sesuai bentuk geometris dan non geometris beserta turunannya.

4.1 Motif Geometris

Motif geometris seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya adalah

motif yang mengikuti kaidah ilmu ukur. Motif ini biasanya bertendensi pada

sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan dan pemerintahan, seperti halnya

motif parang rusak, cemungkiran atau ceplok.

4.1.1 Pola Parang Barong

GAMBAR 4.1

POLA PARANG BARONG SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

82

Page 83: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Batik yang dibahas kali ini adalah batik dengan motif Parang Barong dari marga

Parang-parangan yang tergolong motif geometris. Parang Barong merupakan

turun sak

Klitik (Kecil) dan patang Rusak edang). Parang Rusak sendiri

adalah salah satu motif larangan yang diciptakan oleh Sultan Agung dimana

beliau adalah Raja Mataram saat itu. Dalam komposisinya, batik ini membentuk

garis-garis diagonal dari kiri atas ke kanan bawah. Warna yang digunakan dalam

batik ini adalah warna-warna yang dihasilkan oleh pewarna alami yang berasal

dari nabati, seperti warna coklat soga, krem dan hitam. Kain ini berukuran 3

kacu, dimana satu kacu adalah ukuran diagonal dari lebar kain. Ukuran ini biasa

digunakan untuk kain nyamping.

Pada panjang kain ini terdapat 17 baris mlinjon dan 35 baris parang yang saling

berhadapan. Adapun tabel rincian jumlah mlinjon dan isen utama parang

diselembar wastra batik ini adalah sebagai berikut :

RINCIAN JUMLAH MILNJON DAN UCENG PADA PARANG BARONG SUMBER : PENULIS

o Mlinjon Uceng

an dari Parang Rusak. Selain Parang Rusak Barong terdapat Parang Ru

Gendreh (ukuran s

TABEL 4.1

N Utuh Setengah Utuh Setengah 1. 5 1 sisi kiri mlinjon : 2

sisi kanan mlinjon : 3 sisi kiri mlinjon : - sisi kanan mlinjon : 1

2. 12 1 sisi kiri mlinjon : 5 sisi kanan mlinjon : 7

sisi kiri mlinjon : - sisi kanan mlinjon :-

3. 17 2 sisi kiri mlinjon : 8 sisi kanan mlinjon : 10

sisi kiri mlinjon : - sisi kanan mlinjon :-

4. 24 2 sisi kiri mlinjon : 11 sisi kanan mlinjon :13

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon :-

5. 25 2 sisi kiri mlinjon :12 sisi kanan mlinjon :13

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon :-

6. 25 2 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 12

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 2

7. 26 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 13

sisi kiri mlinjon : 2 sisi kanan mlinjon : 1

8. 25 2 sisi kiri mlinjon : 13 sisi kanan mlinjon : 13

sisi kiri mlinjon : - sisi kanan mlinjon : 1

9. 25 2 on : 13 n : 13

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 1

sisi kiri mlinjsisi kanan mlinjo

10. 25 1 sisi kanan mlinjon : 13

injon : 1 sisi kanan mlinjon : -

sisi kiri mlinjon : 13 sisi kiri ml

83

Page 84: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

11. 25 1 sisi kiri mlinjon : 13 sisi kiri mlinjon : - sisi kanan mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 2

12. 24 1 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 12

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 1

13. 24 1 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 12

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 1

14. 24 1 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 11

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 1

15. 18 1 sisi kiri mlinjon : 10 sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 7 sisi kanan mlinjon : 1

16. 11 1 sisi kiri mlinjon : 7 sisi kanan mlinjon : 4

sisi kiri mlinjon : - sisi kanan mlinjon : 1

17. 4 1 sisi kiri mlinjon : 3 sisi kanan mlinjon : 1

sisi kiri mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 1

Menurut falsafah Jawa, batik adalah suatu cara untuk mencapai

transendensitas. Transendenitas itu sendiri merupakan salah satu cara untuk

beribadah pada Tuhan. Karena itulah, dilakukan berbagai upaya untuk berada

atau menggambarkan transendenitas tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

ah’. Tidak berada horizontal maupun vertikal. Sedangkan penggambaran

dari arah kiri atas ke kanan bawah merupa rang

Surakarta ya k Surakarta

tampil dengan ciri khasnya yang lebih halus, rapih dan teratur.

ng angan kumpula otif parang iago

ak rbatas. Kesa ini sering di an pe tif

b ue yang beras dari seni rup abesq an

id berbatasan T an dengan s

merepresentasikan keadaan berdzik rus s

pada Tuhan.

komposisi Parang Barong secara diagonal yang melambangkan keadaan

‘teng

kan salah satu ciri motif batik pa

ng membedakannya dengan batik Yogyakarta. Bati

Pe ul n m yang membentuk d nal memberi kesan

tid te n anggap merupak ngaruh dari mo

ara esq al a Islam. Motif ar ue menggambark

ket ak uh uatu pola tanpa awal dan akhir. Karena

Tuhan tidak memiliki awal dan akhir. Namun pola tak berbatas itu juga

ir yang terus-mene dan tak terputu

84

Page 85: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GA

SALAH SATU CONTOH PENGAPLIKASI POLA SUMBER : MICROSOFT ENCARTA 2006

yang lebih kuat

amun tetap senada untuk mempertegas motif batik secara keseluruhan. Selain

kan oleh para Raja dan Bangsawan. Alasan diberlakukannya

larangan ini karena parang adalah lambang kekuatan dan kekuasaan, sehingga

jika digunakan oleh orang yang salah dapat menyalahgunakan kekuasaannya.

Dalam pewayangan, Parang Barong biasa digunakan oleh para Dewa. Sedangkan

dalam kehidupan sehari-hari, motif ini digunakan oleh kalangan ningrat dan

MBAR 4.2 ARABESQUE PADA BANGUNAN ARSITEKTURAL

Sedang dalam visualisasinya, stilasi parang ditampilkan secara bergantian dari

sisi atas dan sisi bawah sehingga saling berhadapan dan mengisi ruang. Pada

tiap-tiap stilasi parang terdapat isen uceng yang memberi kesan dinamis. uceng

sendiri merupakan simbolisasi dari kesaktian dan ketaatan. Isen ini

memperkuat penggambaran dinamis yang direpresentasikan melalui

pengulangan motif parang yang membentuk garis diagonal. Selain itu juga

terdapat isen mlinjon yang menjadi jeda antara isen yang satu dengan yang

lain. Kekontrasan juga ditampilkan bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga

dalam pewarnaannya. Untuk isen mlinjon sengaja dipilih warna

n

itu, ditinjau dari penerapan warna yang dipilih, warna putih merupakan

perlambangan dari dunia terang dan kehidupan, warna kuning kecoklatan

merupakan lambang kematangan dan kejujuran sedangkan warna hitam

mewakili keabadian.

Dalam budaya Jawa, parang merupakan salah satu motif larangan yang hanya

boleh diguna

85

Page 86: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

priyayi. Selain itu yang perlu diketahui bahwa penerapan motif ini dalam pola

geometri yang mengacu pada konsep ilmu ukur menguatkan motif ini sebagai

sebuah motif yang melambangkan kekuasaan atau pemerintahan.

4.1.2 Pola Parang Sarpa

Batik yang dibahas kali ini adalah batik dengan motif Parang Sarpa dari marga

Pa i

membentuk garis-ga ah, yang merupakan

ng, motif ini biasa digunakan oleh Puteri dalem

yang berbadan kecil.

rang-parangan yang tergolong motif geometris. Dalam komposisinya, batik in

ris diagonal dari kiri atas ke kanan baw

indikasi bahwa batik ini berasal dari Surakarta (Solo). Warna yang digunakan

dalam batik ini adalah warna-warna yang dihasilkan oleh pewarna alami yang

berasal dari nabati, seperti warna coklat soga, krem dan hitam.

Motif Parang merupakan stilasi dari senjata tajam yang dikenal dengan sebutan

parang. Senjata ini di pakai untuk perang oleh para Punggawa Keraton. Dari hal

tersebut dapat diketahui bahwa fungsi parang adalah untuk mengalahkan

musuh. Bila pengertian tersebut dikembalikan ke dalam diri manuia, maka yang

dikalahkan adalah sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Dalam batik kali ini,

Motif Parang yang digunakan adalah Parang Klitik, yang berarti Parang yang

berukuran kecil. Parang tersebut disusun secara diagonal dari kiri atas ke kanan

bawah dengan komposisi saling berhadapan sehingga saling mengisi ruang yang

kosong. Dengan alis-alisan dua lapis hitam dan coklat tua, dan uceng kecil yang

mengisi bagongan yang rampi

86

Page 87: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 4.3

POLA PARANG SARPA SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Sarpa sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Ular. Adapun

apat mencelakakan bahkan mencoreng muka sendiri. Sri

akubuwana IV mengambil simbolisasi seekor kijang gesit yang sangat yakin

akan kemampuan diri sendiri dengan berlebihan sehingga tidak waspada bahwa

ada harimau yang bersembunyi di balik semak-semak, siap untuk

menerkamnya.

penjelasan tentang hewan melata tersebut dalam kedudukannya pada

simbolisasi falsafah Jawa adalah sebagai berikut :

4.1.2.1 Ular

Dalam serat Wulang Reh karya Sri Pakubuwana IV, beliau menegaskan bahwa

sebagai seorang yang terhormat hendaknya menjauhi sifat Adigang, Adigung

dan Adiguna.

Adigang adalah watak sombong karena mengandalkan kekayaan, pangkat dan

kekuasaan. Sifat ini d

P

87

Page 88: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepintarannya, lantas

meremehkan orang lain. Sifat ini dilambangkan dnegan gajah yang

membanggakan kebesaran tubuhnya, lantas dia lupa bahwa makhluk sekecil

semut dapat masuk ke dalam tubuhnya dan membuatnya berang.

Adiguna adalah seseorang yang berwatak sombong karena mengandalkan

keberanian dan kemampuannya bersilat lidah. Kata-katanya sebenarnya

hanyalah manis di mulut saja, namun dirinya sendiripun tidak mampu

membuktikannya. Sifat seperti ini dianalogikan dengan seekor ular berbisa oleh

Sri Pakubuwana IV.

Ular adalah binatan meng lupa,

ahwa segala penyakit dan racun memiliki penawarnya. Tubuh ularpun

.

uh, bisa ular dapat ditawarkan dengan empedu ular itu sendiri. Hal

rsebut di sisi lain mengisyaratkan bahwa racun itu terdapat di dalam diri

i untuk menemukan jawabannya dengan kembali ke dalam diri

ndiri.

g yang andalkan bisa beracunnya. Namun ular

b

sebenarnya jika dipergunakan dalam takaran dan penggunaan yang tepat dapat

menjadi obat. Karena itulah, penggunaan kata-kata dalam ini hendaknya

secukupnya. Tidak berlebihan namun cukup adanya

Lebih ja

te

sendiri, begitu pula penawarnya. Dalam artian yang lebih luas, ungkapan ini

merepresentasikan bahwa proses pencarian diri sendiri adalah proses keluar

dari diri sendir

se

.

88

Page 89: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 4.4

RAGAM HIAS YANG MERUPAKAN STILASI DARI BENTUK ULAR ATAU NAGA DALAM BATIK KERATON SURAKARTA

SUMBER : PUJIANTO

Pada batik Parang sarpa ini, visualisasi ular tampak dari bentuk gelombang yang

berada diantara satu baris motif parang dengan baris yang lain. Sebagai isen

motif dalam Pola ini, ditengah dua gelombang yang merepresentasikan ular

tersebut terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang disebut matan. Lingkaran ini

ditata secara teratur dari awal dan akhir99 sehingga mengesankan

99 Disebut juga Gringsing

89

Page 90: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

ketidakberbatasan, seperti halnya kesan motif parang pada umumnya yang tak

ada ujung pangkal.

GAMBAR 4.5 DETAIL POLA PARANG SARPA

SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Gelombang tersebut selain merepresentasikan ular, juga ber icara tentang

gel g

sebaliknya. Kadang di beri diuji dengan

kesulitan.

dan kejujuran dan warna hitam merepresentasikan dunia petang sebagai

(keabadian). Sedangkan gradasi warna kuning ke coklat

b

ombang kehidupan yang berputar dan naik turun. Kadang di atas kadan

kemudahan, tetap i tak jarang

Warna yang digunakan dalam pola ini juga mengikuti pakem warna yang biasa

diterapkan dalam motif parang, yaitu gradasi dari kuning ke cokelat soga dan

hitam. Namun dalam pola kali ini tidak muncul warna putih yang kerap muncul

dalam pola parang. Warna kuning yang terlihat di sini mewaikili kematangan

lambang kelanggengan

90

Page 91: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

kehitaman merupakan proses kehidupan manusia dalam upayanya mencapai

transendenitas.

Secara keseluruhan, pola ini berisi nasihat untuk menjalani kehidupan dengan

kebesaran jiwa dan keteguhan hati100, sehingga dapat menjalani hidup dengan

sebaik-baiknya.

4.1.3 Pola Kawung

GAMBAR 4.6

POLA KAWUNG SUMBER : BATIK, PE ARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

orang Jawa akan pola lima atau biasa dikenal dengan istilah

manca-pat. Dalam pengaturannya, pola ini terdapat empat sisi dengan satu

NG

Pola kawung merupakan salah satu pola turunan dari salah satu ornamen

tertua, yaitu ceplok101. Ceplok sendiri merupakan representasi dari alam

kepercayaan

berada di tengah sebagai pusatnya (sentralisasi). Sistem manca-pat juga

mencermunkan keunggulan pusat, namun dengan penambahan daerah di

pinggirannya yang di bagi atas 4 bagian (pat, yang artinya empat). Keempat

pinggiran tersebut berkaitan dengan salah satu mata angin. 100 Hal ini tampak dari visualisasi Parang yang merupakan harapan untuk dapat mengalahkan sifat-sifat buruk dalam diri sendiri. 101 Selain kawung , terdapat Truntum yang juga merupakan turunan dari pola ceplok

91

Page 92: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

4.1.3.1 Manca-pat

Sistem manca-pat102 jelas memegang peranan penting dalam pembentukan

pada warna dasar, logam, cairan dan hewan103. Pengertian

ang di sini, bukan hanya dalam definisi geometris, akan tetapi manusia

agi atas lima kategori104. Timur dianggap berpadanan

engan putih, perak, santan; selatan dengan warna merah, tembaga, darah;

barat dengan warna kuning, emas dan madu; serta utara dengan warna hitam

besi dan nila. Sedangkan pusat dari ke empat penjuru angin itu merupakan

harmonisasi dari keseluruhannya.

Pola manca-pat ini dapat dicermati dalam beberapa ungkapan budaya sosial

Jawa, seperti tata letak dan tata karma susunan Singasana Raja dan para

pengiringnya, arah dan sistem peletakan rumah atau perkampungan hingga

hiasan ornamentik diberbagai aplikasi105.

mentalitas Jawa, karena berfungsi sebagai sistem klasifikasi. Pada setiap arah

mata angin sesungguhnya terkait tidak hanya kepada satu orang Dewa, namun

antara lain juga

ru

seutuhnya yang terb

d

.

GAMBAR 4.7 DETAIL ISEN-ISENAN PADA POLA KAWUNG

SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

.

h mata angin tengah

103 Dikutip dari buku Nusa Jawa : Silang Budaya yang disusun oleh Danys Lombard halaman 100

n yang mengikuti pakem-pakem yang sudah disepakati

102 Sistem yang terdiri atas lima unsur dengan satu pusat dan empat arah mata angin telah berkembang menjadi sistem yang lebih rumit yang memperhitungkan aradiantara keempat arah mata angin tadi.

104 Kategori ini dalam perkembangannya menjadi pola sembilan 105 Seperti tata peletakan Keratobersama

92

Page 93: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

Selain ornamen utama tersebut, terdapat isen motif batik yang bentuknya

ujur sangkar dengan setengah lingkaran memotong setiap sisinya. Ditengah

al ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa

erjalanan kesejarahan Jawa beserta alam pemikirannya tidaklah linear seperti

Secara keseluruhan, pola ini tersusun dari pengulangan motif ceplok yang

tertata rapih, sehingga dapat ditarik garis vertikal, horizontal maupun

diagonal. Pengulangan yang tak berujung pangkal tersebut merepresentasikan

tendensitas pada pemaknaan dari motif ceplok tersebut. Motif ini merupakan

salah satu motif larangan yang hanya boleh digunakan oleh golongan ningrat

karena dalam pemaknaannya merepresentasikan poros kekuasaan atau

pemegang tampuk kepemimpinan.

b

isen ini terdapat pengembangan dari mancapat atau yang biasa dikenal dengan

pola lima tersebut. Pola ini disebut dengan pola sembilan. Tampak disini,

terdapat delapan arah mata angin dengan satu berada ditengah sebagai pusat.

Namun jika dicermati kembali, tampak bahwa arah mata angin yang berada

diantara empat mata angin dasar lebih kecil dibandingkan dengan arah mata

angin tengah yang mendominasi dengan visual yang lebih besar.

Secara keseluruhan tampak pola empat dengan pusat pola delapan106, namun di

sisi lain juga terdapat penggambaran pola empat mengalami perkembangan

menjadi pola delapan107. Dari h

p

halnya alam pemikiran Barat. Dalam falsafah Jawa, masa kini tidak dapat

terlepas dari masa lampau, bahkan saling melengkapi seperti halnya kulit

bawang108.

106 Lihat gambar 4.6 bagian A 107 Lihat gambar 4.6 bagian B 108 Ini merupakan istilah yang digunakan oleh Danys Lombard dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa : Silang Budaya seri 3 halaman 104

93

Page 94: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

4.1.3.2 Biji

Di sisi lain, motif ceplok ini dapat di lihat sebagai stilasi dari bentuk biji atau

tumbuhan yang melambangkan pertumbuhan, perkembangan dan kesuburan.

Seperti halnya pohon hayat yang melambangkan kehidupan, biji atau bibit yang

nantinya akan tumbuh menjadi besar ini merupakan simbolisasi dari dunia

tengah. Kesuburan dalam konteks ini melingkupi secara keseluruhan, baik itu

manusia, tumbuhan maupun hewan. Karena itulah motif ini sering pula

igunakan oleh puteri dalem keraton.

Non Geometris

d

Biasanya penggunaan kain ini pada puteri dalem menyimpan pengharapan akan

kesuburan dan dipermudah mendapatkan keturunan. Dari hal ini, dapat kita

ketahui bahwa motif ini diperuntukkan pada seorang puteri yang telah

bersuami.

4.2 Motif

Motif yang dimaksud Geometris disini adalah motif yang tidak mengacu pada

ilmu ukur. Meskipun begitu jika diperhatikan secara seksama terdapat

perhitungan jarak dan komposisi yang teratur antara satu ornament dengan

ornamen lainnya. Pada analisa kali ini pola yang dipilih berdasarkan atas

pertimbangan keragaman visual dan re[resentasi yang berusaha ditampilkan.

94

Page 95: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

4.2.1 Pola Semen

POLA SEMEN GURDHA

GAMBAR 4.8 : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

.2.1.1 Meru

akikat Meru itu sendiri adalah lambang gunung atas tempat tumbuhan

ertunas109.

SUMBER

Ragam hias utama yang merupakan ciri khas pola Semen adalah Meru, suatu

gubahan yang menyerupai gunung. Kata Meru sendiri berasal dari nama gunung

Mahameru yang dianggap sebagai titik tertinggi di muka bumi dan dianggap

sebagai tempat persemayaman para dewa menurut kepercayaan Hindu.

4

H

b

9 Tunas tersebut dalam bahasa Jawa di sebut semi yang merupakan akar kata dari Semen. 10

95

Page 96: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 4.9

DETAIL VISUAL ORNAMEN SAWAT DARI POLA SEMEN GURDHA SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Motif Semen yang dibahas kali ini adalah motif Semen Gurdha. Gurdha adalah

hewan kendaraan Wisnu untuk naik ke Nirwana. Karena itulah Gurdha dianggap

sebagai hewan suci dan merupakan perlambang dari dunia atas.

GAMBAR 4.10

PENGGAMBARAN DEWA WISNU DALAM 10 REINKARNASI SUMBER : MICROSOFT ENCARTA 2006

Penekanan pada transendenitas terlihat pa gulangan simbol ini, baik pada

Meru, tumbuhan sulur ataupun garuda yang merupakan ikon utama dalam motif

ini. Sisi transendensi tersebut ditampilkan melalui bentuknya yang mengerucut

da pen

96

Page 97: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

ke atas. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa tanda segitiga dengan

ujung mengarah ke atas merupakan simbolisasi dari dunia atas.

GAMBAR 4.11

4.2.1.2 Bangunan

DETAIL VISUAL MERU DARI POLA SEMEN GURDHA SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

GAMBAR 4.12

DETAIL VISUAL BANGUNAN DARI POLA SEMEN GURDHA SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Bangunan merupakan tempat untuk berdiam, menetap dan berlindung. Selain

itu, bangunan khususnya rumah juga mampu berfungsi untuk melindungi harta

keluarga, menyimpan rahasia keluarga. Biasanya dihuni oleh sebuah keluarga

yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Munculnya visualisasi ini dalam pola

Semen Gardha ini merupakan penggambaran dari harapan bahwa seyogyanya

manusia dapat menerima siapapun yang memerlukan perlindungan, mengatur

97

Page 98: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

serta menyelesaikan segala masalah, arif, bijaksana dan dapat diandalkan.

GAMBAR 4.13

DETAIL POLA SEMEN GURDHA SECARA KESELURUHAN SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Pada bagian kanan dan kiri Meru terdapat dua bangunan, dengan penggabungan

simbolisasi dunia atas dan bawah yang merepresentasikan harmonisasi diantara

keduanya dan menciptakan suatu entitas yang sama sekali baru. Hal ini

merupakan pemikiran pola tiga yang tidak lagi beranggapan bahwa keberadaan

yang satu adalah kematian bagi yang lain seperti halnya dalam pola dua. Pola

98

Page 99: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

tiga merupakan dasar dari perkembangan ke kompleksitas pola-pola

selanjutnya. Peletakan ikon yang melambangkan harmonisasi di kedua sisi Meru

tersebut juga bukannya tidak memiliki tendensi tertentu. Meru yang dianggap

sebagai tempat para Dewa di muka bumi dipercaya merupakan titik

penguhubung dengan dunia atas.

Pada intinya, motif ini memaparkan pembagian dunia secara tiga garis besar,

yaitu dunia atas yang disimbolisasikan dnegan Garuda, Meru yang merupakan

titik penghubung sehingga dapat dikatakan sebagai dunia tengah dan tumbuhan

sulur yang merupakan penggambaran dari dunia bawah. Ketiga bagian tersebut

dipisahkan oleh sebuah garis yang organis dengan bentuk juga segitiga atas.

4.2.2 Pola Bondhet

POLA LUNG-LUNGAN MOTIF BONDHET SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

GAMBAR 4.14

Pola ini adalah pola Bondhet dari kelompok Lung-lungan. Motif Lung-lungan ini

merupakan motif turunan dari semen. Namun jika dalam motif Semen ornamen

99

Page 100: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

sawat yang digunakan berbentuk lengkap dengan kedua sayap dan ekornya,

dalam motif Lung-lungan ornamen sawat hanya muncul sebagai lar atau

mirong. Selain itu, pada motif lung-lungan ini tidak selalu terdapat Meru, yang

menjadi karakteristik dari motif semen.

Sebaliknya, motif ini kaya dengan unsur tumbuhan, baik itu tumbuhan sulur

ini, pola yang di bahas adalah pola Bondhet. Kata ini

erasal dari nama lagu gamelan yang artinya bergandengan dengan akrabnya.

Karena itulah Bondhet sering dianggap merepresentasikan kemesraan atau

kecintaan.

Secara visual, pola ini didominasi oleh warna coklat kemerahan, hitam dan

cokelat muda. Hal ini merupakan ciri khas dari jenis batik keraton Surakarta, di

mana warna-warna yang ditampilkan dalam satu kesatuan batik cenderung

berupa gradasi warna, bukannya perpaduan warna yang kontras seperti yang

sering terlihat pada batik keraton Yogyakarta. Menurut filosofi Jawa, warna

hitam melambangkan dunia atas sedangkan warna merah merupakan

perlambangan dari dunia atas. Penggunaan kedua warna tersebut secara

dominan dalam penerapan pola Bondhet kali ini tentu saja bukannya tanpa

tujuan. Perpaduan dua warna yang mewakili dunia yang sama sekali berbeda

itu berusaha merepresentasikan keadaan penyatuan atau biasa disebut

transendensi.

ataupun pohon hayat. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa motif Lung-lungan

memiliki kesamaan pula dengan motif Alas-alasan. Perbedaannya terletak pada

unsure yang dominannya. Jika dalam motif Alas-alasan ornamen yang dominan

adalah hewan-hewannya karena merepresentasikan dunia fauna, maka dalam

motif Lung-lungan tendensinya lebih kepada dunia flora.

Pada motif batik kali

b

Dalam tampilan bentuknya, batik keraton ini menampilkan lar dengan jumlah 3

bulu pada sisi pertama, 5 pada bagian ke dua dan 9 pada bagian terakhir. Pada

100

Page 101: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

bagian lar tampak kerangka batik yang membentuk visualisasi sayap berupa

naga dengan kedua cakar yang jumlahnya masing-masing 5 ruas jari dan gigi

menonjol yang berjumlah empat di sisi kanan dan kirinya (jumlah keseluruhan

8). Pada bagian tengahnya, terdapat bentuk seperti bunga dengan empat

elopak dan satu titik pusat.

rjumlah 8 di kanan dan kirinya dengan bentuk segitiga utama di

tasnya, dimana di sana terdapat bentuk sepasang sayap pula.

k

Diantara kedua lar yang saling berhadapan, terdapat sawat yang tidak

dilengkapi dengan ekor (mirong). Sebagai gantinya, di tengah mirong tersebut

terdapat bentuk belah ketupat (segitaga atas dan segitiga bawah) di mana

ditengahnya terdapat sepasang sayang yang di setiap sisinya terdapat 7 buah

bulu.

Pada bagian bawah mirong tersebut terdapat bentuk yang menyerupai bunga

lotus tampak samping yang jika di lihat sekilas tampak seperti segitiga atas.

Selanjutnya di bawah stilasi bunga lotus tersebut terdapat tumpal dengan

lingkaran be

a

Pada bagian selanjutnya terdapat beberapa pengulangan, namun jika dibagian

awal tumpal yang muncul mengarah ke atas, pada bagian ini tumpal yang ada

menghadap ke bawah. Selain itu, jika jumlah lar yang berada di tengah-tengah

tersebut berjumlah 3, 5 dan 9, maka pada mirong, jumlah bulu yang muncul

secara berurutan adalah 2, 4 dan 7.

101

Page 102: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 4.15

DETAIL POLA LUNG-LUNGAN MOTIF BONDHET BAG.1 SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Dalam ranah pemaknaan Jawa, angka-angka yang muncul pada pola ini

bukannya tanpa alasan. Angka 3, 5 dan 9 yang muncul pada mirong merupakan

representasi pengembangan pola dalam masyarakat Jawa, mulai dari pola tiga

yang sudah mengenal penyelarasan dan harmoni, pola lima yang memberi

penekanan berarti pada sebuah pemusatan dan pola sembilan yang merupakan

perluasan dari sentralisasi tersebut. Alasan tampilnya angka-angka tersebut

pada mirong juga merupakan penekanan pada sesuatu yang bersifat

kepemerintahan, dimana mirong merupakan turunan visualisasi dari garuda

yang dalam mitologi Hindu terkenal dengan pengabdian, keperkasaan dan

korelasinya dengan dunia atas.

102

Page 103: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

GAMBAR 4.16

n

gigi Naga dengan jumlah gigi 4 pada setiap

sisinya. Selanjutnya ditengahnya terdapat bentuk menyerupai bunga

berkelopak empat dengan satu titik pusat. Penguraian tersebut tampak jelas

merujuk pada pola 4 dan pengembangannya yaitu pola 9. pengulangan pada

DETAIL POLA LUNG-LUNGAN MOTIF BONDHET BAG.2 SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Pembahasan selanjutnya adalah penyatuan paradoksial pada bentuk lar yang

menghasilkan suatu harmonisasi dan transendensi. Penyatuan bentuk sawat

yang diyakini sebagai representasi dari dunia atas dengan bentuk Naga sebagai

kerangka merupakan suatu cara menghasilkan transendensi. Hal ini diperkuat

denga pemilihan warna hitam dan merah yang merupakan perlambangan dari

dunia atas dan dunia bawah, namun diharmonisasikan dalam satu kesatuan

pola, yaitu pola Bondhet. Selain itu hal tersebut juga tampak pada visualisasi

tumpal yang menyerupai bentuk

103

Page 104: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

tampilan segitiga atas dengan 8 lingkaran di kanan kirinya merupakan

penegasan pada manca-pat itu sendiri.

Pada sisi selanjutnya tidak terdapat banyak perbedaan. Namun jika disisi

sebelumnya tumpalnya menghadap ke atas, kali ini tumpalnya menghadap

bawah. Melalui visualisasi ini tampak usaha untuk menghadirkan dunia bawah

untuk mencapai suatu transendensi. Di sisi lain, hal ini juga dapat diartikan

sebagai pasang surut kehidupan, dimana kadang manusia berada di atas,

kadang berada di bawah. Kadang di beri kemudahan, kadang diberikan cobaan.

Pengulangan yang ditampilkan bukan hanya berusaha memberikan penekanan

bahwa perjalanan hidup manusia yang selalu naik turun, namun juga dalam

pergerakan itu terdapat harmonisasi yang menghasilkan transendensi, suatu

hubungan yang vertikal dengan Tuhan. Hal tersebut mengingatkan pada konsep

pola Parang yang mengadopsi dari konsep motif arabesque yang bersifat tak

berujung pangkal seperti halnya seharusnya sebuah doa. Juga seperti halnya

keberadaan Tuhan yang tidak berujung pangkal.

Dalam pola ini s tang kehidupan,

dimana kita nya d aiknya, dan

tetap berdoa dan berusaha saat cobaan dan kesenangan datang. Pola ini juga

ecara keseluruhan memuat suatu arahan ten

seyogya apat menjalani hidup dengan sebaik-b

berusaha menyampaikan bahwa dalam hidup segala sesuatunya adalah fana,

dan yang abadi hanyalah Tuhan Yang maha Esa.

104

Page 105: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

celup ikat bertujuan untuk

emuja nenek moyang sehingga diharapkan mampu menolak pengaruh roh

atu cara untuk mencapai

ansendensitas. Transendenitas itu sendiri merupakan salah satu cara untuk

eribadah pada Tuhan. Karena itulah, dilakukan berbagai upaya untuk berada

tau menggambarkan transendenitas tersebut. Hal ini dapat dipahami, karena

ampir seluruh bentuk kesenian tradisi Indonesia pembuatannya bertujuan

ntuk menciptakan penyelarasan dan harmonisasi.

alam hal visual, pemilihan ornamen yang muncul biasanya berasal dari

ngkungan sekitar yang dianggap mampu merepresentasi maksud yang

iharapkan. Hal ini dapat dilihat dari pola Kawung yang mengadopsi bentuk

I. Simpulan

Teknik rintang warna telah dikenal di Indonesia sejak masa prasejarah. Hal

tersebut dibuktikan dengan penemuan gambar telapak tangan pada lukian

dinding di Gua-gua daerah Sulawesi Tenggara, Pulau Mula sebagai salah satu

contohnya. Teknik rintang warna tertua ini dilakukan dengan cara

merentangkan telapak tangan yang kemudian pada sela-sela jari dan telapak

tangan dibubuhi pigmen merah yang berasal dari tanah.

Teknik rintang warna lainnya yang juga sederhana dapat dilihat dari celu ikat,

jumputan, tritik dan plangi. Teknik pembuatan

m

Jahat dan mendapat perlindungan dari roh baik. Berangkat dari rintang warna

yang sangat sederhana itulah, berkembang menjadi batik yang merupakan titik

puncak dari perkembangan rintang warna di Indonesia.

Menurut falsafah Jawa, batik adalah su

tr

b

a

h

u

D

li

d

105

Page 106: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

bunga yang sedang mekar. Selain itu, motif ini sekilas terlihat seperti biji yang

merujuk pada pertumbuhan dan an. Lebih jauh, pola ini juga

menampilkan sistem kepercayaan saat itu, yaitu manca-pat sekaligus

pengembangannya, yaitu pola sembilan. Contoh lai lihat dari pola

arang Barong yang merupakan stilasi bentuk dari senjata keris. Pada masa itu,

is m senjata yang sekaligus menjadi penanda status sosial. Senjata

erupakan representasi dari kekuasaan dan pemerintahan, sedangkan penanda

dunia atas dan dunia

awah. Transendenitas tersebut berusaha ditampilkan bukan hanya melalui

kesubur

n dapat di

P

ker erupakan

m

status sosial dengan sangat jelas mengacu pada strata sosial tertentu, yang

dalam hal ini adalah Raja dan para bangsawan. Dalam ranah Non Geometris,

dapat kita lihat pola Alas-alasan yang menggambarkan kehidupan belantara

hutan yang liar. Stilasi hewan yang ditampilkan bertolak pada hewan-hewan

yang ada di alam sekitarnya atau mengadopsi dari hewan-hewan Mitologi,

seperti Garuda yang merupakan pengaruh agama Hindu.

Selain itu, setiap ornamen yang muncul pada satu kesatuan pola batik bukanlah

tanpa maksud. Karena meskipun memiliki kecenderungan Horror vacui,

ornamen yang muncul diharapkan mampu memberikan suatu hal yang positif,

bukan hanya mengisi ruang kosong agar tidak di isi oleh sesuatu yang ‘lain’. Hal

ini dapat dilihat dalam pola batik Bondhet yang secara keseluruhan mengusung

tema tentang penyelarasan atau transendensi antara

b

motif lar (turunan bentuk Garuda, dunia atas) yang disekelilingnya dibentuk

oleh ular (dunia bawah), tetapi juga tersampaikan pada pemilihan warnanya,

yang berkisar antara warna hitam, merah dan coklat. Telah kita ketahui

sebelumnya bahwa dalam kepercayaan Jawa warna merah mewakili dunia atas,

hitam representasi dari dunia bawah sedangkan coklat adalah dunia tengah

pada pencampuran kedua warna tersebut.

Untuk pemilihan warna pada batik keraton Surakarta ini lebih memberikan

kesan gradasi dibanding kesan kontras antara satu warna dengan yang lain. Hal

ini bertolak pada falsafah yang mengajarkan bahwa segala sesuatunya harus

106

Page 107: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

dilakukan perlahan-lahan dan berproses. Hal ini diperkuat dengan proses

pewarna alami yang membutuhkan beberapa kali membabaran untuk

meningkatkan kepekatan warna. Hasil akhir pewarnaannyapun lebih lembut dan

tidak mencolok mata.

Dengan sistem pemerintahan feodal yang terpusat dan absolut, bukan hal yang

mengejutkan bahwa pembagian hierarki sosial merupakan paham yang

diterapkan dalam masyarakat pendukung kebudayaan batik ini. Hal ini jugalah

yang menyebabkan lebih mudahnya penerimaan budaya serta agama Hindu,

sehingga semakin banyak budaya Hindu yang diadopsi dalam penerapan kain

batik ini. Lebih lanjut, penerapan pola larangan melalui maklumat Surakarta

mengukuhkan posisi keraton sebagai ranah absolute dan adikuasa. Di sisi lain,

prinsip auratis pada kain batik mengingatkan pada lukian auratis pada zaman

ra-rennaissance, dimana karya lukis adalah wahyu dan seniman adalah nabi.

ap warna. Selain itu, jika dalam

embatik pada proses pewarnaan dengan pewarna alam mengandung makna

p

Dalam kasus ini, pembatik adalah shaman atau media perantara antara dunia

bawah (manusia) dengan Tuhannya. Karena itulah, layaknya kebanyakan

shaman yang ada, pembatik biasanya anak gadis yang belum mendapat haid

atau nenek tua yang sudah menopause. Dan seperti halnya kepemilikan karya

lukis pada zaman pra-renaissance hanya sebatas raja dan golongan bangsawan

lainnya, kain batik dengan tata aturannya tertentu hanya boleh digunakan

segelintir orang dengan pembagian penggunaan motif yang ketat.

Dalam penelitian kali ini penulis juga melihat persamaan dasar antara kegiatan

membatik dengan seni cetak Grafis. Kedua bentuk kesenian tersebut selain

menghargai proses ritual pengerjaannya (bukannya melulu visualisasi akhir),

juga menerapkan teknik negatif, dimana bagian yang dicukil atau dibubuhi

malam adalah bagian yang resist terhad

m

filosofi perjalanan bertahap dalam upaya mendekatkan diri dengan Yang maha

Kuasa. Dalam seni grafis, hal tersebut dapat dilihat dalam Etsa saat melakukan

107

Page 108: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

teknik pengasaman bertingkat untuk menghasilkan tingkat kepekatan warna

yang berbeda-beda.

II. Saran

Batik sebagai hasil produk budaya masyarakat tradisi Indonesia telah tumbuh

bon Angrem

bagai harapan akan kesuburan yang hanya boleh dikenakan oleh perempuan

dengan pakem-pakemnya yang berlaku mampu menciptakan ciri khas

dan berkembang sesuai dengan pergerakan zaman. Hal tersebut dapat dilihat

dari masuknya pengaruh-pengaruh dari luar, baik secara visualisasi seperti

munculnya bentuk lotus atau Garuda, juga dalam hal ketidakberbatasan Tuhan

yang mengadopsi dari budaya Islam. Meskipun hubungan yang transenden

bukanlah hal yang baru dalam alam pemikiran mereka, namun kesadaran dan

cara penuturan yang berkesan tak berujung pangkal tersebut merupakan

sumbangan dari budaya Islam.

Dalam masyarakat sawah yang terpusat dan hierarkis, dibutuhkan suatu

eksklusifitas untuk mengukuhkan hal tersebut, sehingga dikeluarkanlah

maklumat Surakarta yang isinya tentang pelarangan penggunaan motif-motif

tertentu beserta tata aturan pemakaian bagi siapa yang boleh mengenakannya.

Deawasa ini, pelarangan penggunaan pola tertentu dihapuskan, namun

pemakaiannyapun tetap disesuaikan dengan konteks acara yang dilangsungkan.

Seperti halnya penggunaan pola Truntum yang hanya boleh digunakan oleh

pasangan pengantin yang menikah, atau penggunaan motif Ba

se

yang telah menikah dan ingin dikaruniai seorang anak, atau seorang perempuan

hamil.

Dewasa ini pelestarian batik tradisional dilakukan oleh para produsen batik

yang menyebarluaskan batik ke berbagai tempat, sehingga batik tidak hanya

dikenal di Nusantara namun juga di luar Negeri. Meskipun pengembangan batik,

baik dari segi visual maupun proses pengerjaan mengarah pada perkembangan

yang positif, namun perlu disadari bahwa batik keraton adalah suatu batik yang

108

Page 109: Kajian Batik Klasik Keraton Solo

tersendiri. Hal ini bukan berarti mengacu pada pengkultusan suatu kelompok

tertentu seperti halnya yang terjadi pada zaman feodal terdahulu, namun lebih

tarikan budaya bangsa dan falsafah yang terkandung didalamnya.

elain itu, diharapkan dalam pengembangan batik keraton ini tidak terlepas

kepada meles

S

dari pemahaman akan batik keraton itu sendiri, sehingga menghasilkan suatu

wastra batik keraton yang tidak kehilangan nilai budayanya.

109