Top Banner
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 1 Jurnal Penelitian FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BARA-BARAYA KECAMATAN MAKASSAR KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2014 Risk Factors Of Pulmonary Tuberculosis In The Working Area Of Bara-Baraya Health Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014 Andi Marjuni (141 2010 0281) DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (Pembimbing I) Muh. Ikhtiar, SKM.,M.Kes (Pembimbing II) Alamat Koresponden Jl. Pelabuhan Bajoe No.17 Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan [email protected] PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2014
27

Jurnal TB Paru

Jul 07, 2016

Download

Documents

andiazho

jurnal penelitian tentang tuberkulosis paru
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 1

Jurnal Penelitian

FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS BARA-BARAYA KECAMATAN MAKASSAR

KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

TAHUN 2014

Risk Factors Of Pulmonary Tuberculosis In The Working Area Of Bara-Baraya Health

Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014

Andi Marjuni (141 2010 0281)

DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (Pembimbing I)

Muh. Ikhtiar, SKM.,M.Kes (Pembimbing II)

Alamat Koresponden

Jl. Pelabuhan Bajoe No.17

Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone

Provinsi Sulawesi Selatan

[email protected]

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2014

Page 2: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 2

Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

PENULIS

Andi Marjuni*

DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes**

Muh. Ikhtiar, SKM., M.Kes**

NAMA INSTANSI

*) Mahasiswa Epidemiologi FKM UMI

**) Tim Pembimbing FKM UMI

Andi Marjuni (141 2010 0281)

DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (Pembimbing I)

Muh. Ikht iar ,SKM.,M.Kes (Pembimbing II)

Alamat Koresponden

Jl. Pelabuhan Bajoe No.17

Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone

Provinsi Sulawesi Selatan

[email protected]

Page 3: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 3

Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

Risk Factors Of Pulmonary Tuberculosis In The Working Area Of Bara-Baraya Health Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014

Andi Marjuni*, Andi Zulkifli**, Muh. Ikhtiar**

Epidemiology Department of Public Health Faculty of Indonesian Moslem

University

ABSTRACT

Background : Pulmonary tuberculosis is the number one cause of disease in the group of infectious diseases or infectious diseases. the level of the highest prevalence of cases of pulmonary tuberculosis in a health center is the city of Makassar in 2012 in the coal-baraya health centers, the incidence rate is 64 cases, while the prevalence rates were 68 cases, or 183 per 100,000 population. in 2013, the incidence rate of as many as 71 cases of pulmonary tuberculosis. when compared to the last five years of data, namely in 2009 and 2013, the incidence rate of lung tuberculosis is increasing. This study aims to analyze the risk factors of pulmonary tuberculosis in the working area of Bara-Baraya Health Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014.

Methods : This study is an observational analytic study using a case-control study design, in which the independent variable is suspected as a factor affecting the dependent variable. independent variable in this study is the knowledge, personal hygiene, nutritional status, occupation, and residential density, while the dependent variable was the incidence of pulmonary tuberculosis. cases were pulmonary tuberculosis patients, the control is not pulmonary tuberculosis patients or neighbors of patients with pulmonary tuberculosis. sample size is determined by the formula Lemeshow, namely 71 cases and 71 controls. sampling is purposive sampling is sampling based on certain considerations. Data analysis was univariate analysis (frequency distribution), bivariate analysis (odds ratios) and multivariate analysis (multiple logistic regression).

Result : Results of the bivariate analysis showed, the knowledge (OR=5.057, 95% CI: 2.328-10.985), personal hygiene (OR=2.515, 95% CI: 1.277-4.951), nutritional status (OR=2.902, 95% CI: 1.453-5.795), type of work (OR=2.403, 95% CI: 1.216-4.751), and residential density (OR=4.024, 95% CI: 1.973-8.205). Multivariate analysis showed that risk factors influence the incidence of pulmonary tuberculosis is the density residential (OR=4.683, 95% CI: 2.036-10.770), and the obtained logistic regression model, namely logit = -2.170 + pulmonary tuberculosis 1.544 (density residential) + 1.422 (knowledge) + 1.348 (nutritional status) + 0.704 (type of work). The forecast probability (risk) of a person or an individual who lived in crowded homes occupants or 10m² > 1 person, with knowledge score of < 50 %, nutritional status with BMI < 18.5, and the type of work, such as drivers, carpenters / laborers, carpenters tricycles, retired, scavengers, klining service, newspaper sellers, etc. have a probability for pulmonary tuberculosis disease by 94 % .

Page 4: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 4

Conclusion : The knowledge of risk factors on the incidence of pulmonary tuberculosis, personal hygiene is a risk factor on the incidence of pulmonary tuberculosis, nutritional status is a risk factor for pulmonary tuberculosis incidence, type of work is a risk factor on the incidence of pulmonary tuberculosis, and residential density is a risk factor for the incidence of tuberculosis lung because each independent variable has a value OR > 1.

Suggestion : Expected for local health officers to remain on efforts to increase public knowledge about the prevention of disease transmission potential of pulmonary tuberculosis, for patients and visitors Baraya-Baraya other Health Centers in order to carry out good hygiene measures, such as closing the mouth when coughing and sneezing, and do not spit in any place, so as to isolate the transmission of pulmonary tuberculosis, the local community with a low nutritional status nutritional status need to make improvements, such as eating foods that contain carbohydrates, proteins, vitamins, and minerals sufficient protection efforts in anticipation of the work environment-related tuberculosis lung, such as using a mask, and hands sanitizers, and as residents or homeowners who are going to renovate the house, so that environmental sanitation aspects need to be considered, especially those in crowded housing conditions of residents.

Keywords : Pulmonary Tuberculosis, An Infectious Disease

Page 5: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 5

Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

Andi Marjuni*, Andi Zulkifli**, Muh. Ikhtiar**

Peminatan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Muslim Indonesia

RINGKASAN

Latar Belakang : Tuberkulosis paru merupakan penyebab penyakit nomor satu pada kelompok penyakit menular atau penyakit infeksi. Tingkat prevalensi kasus Tuberkulosis Paru tertinggi se Puskesmas di Kota Makassar tahun 2012 adalah di Puskesmas Bara-Baraya, dengan tingkat insidensi sebanyak 64 kasus, sedangkan tingkat prevalensi sebanyak 68 kasus atau 183 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013, tingkat insidensi Tuberkulosis Paru sebanyak 71 kasus. jika dibandingkan data lima tahun terakhir yaitu tahun 2009 hingga 2013, tingkat insidensi penyakit Tuberkulosis Paru semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain case-control study, dimana variabel independen diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, higiene perorangan, status gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian, sedangkan variabel dependen adalah kejadian Tuberkulosis Paru. Kasus adalah penderita Tuberkulosis Paru, Kontrol adalah bukan penderita Tuberkulosis Paru atau tetangga dari penderita Tuberkulosis Paru. Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus lemeshow, yaitu 71 kasus dan 71 kontrol. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat (distribusi frekuensi), analisis bivariat (odds ratio) dan analisis multivariat (multiple logistic regression).

Hasil : Hasil analisis bivariat menunjukkan, pengetahuan (OR=5,057; 95%CI: 2,328-10,985), higiene perorangan (OR=2,515; 95%CI: 1,277-4,951), status gizi (OR=2,902; 95%CI: 1,453-5,795), jenis pekerjaan (OR=2,403; 95%CI: 1,216-4,751), dan kepadatan hunian (OR=4,024; 95%CI: 1,973-8,205). Hasil analisis multivariat menunjukkan, faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis Paru yaitu kepadatan hunian (OR=4,683; 95%CI: 2,036-10,770), dan didapatkan model persamaan regresi logistik, yaitu Logit Tuberkulosis Paru = -2,170 + 1,544 (Kepadatan Hunian) + 1,422 (Pengetahuan) + 1,348 (Status Gizi) + 0,704 (Jenis Pekerjaan). Dengan ramalan probabilitas (risiko) seseorang atau individu yang tinggal di rumah yang padat penghuni atau 10m

2 > 1 orang, pengetahuan dengan

skor < 50%, status gizi dengan IMT < 18,5, dan jenis pekerjaan, seperti supir, tukang/buruh, tukang becak, pensiunan, pemulung, klining servis, penjual koran, dll mempunyai probabilitas untuk terkena penyakit Tuberkulosis Paru sebesar 94%.

Kesimpulan : Pengetahuan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, higiene perorangan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, status gizi

Page 6: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 6

merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, jenis pekerjaan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru karena masing-masing variabel independen tersebut mempunyai nilai OR > 1.

Saran : Diharapkan bagi petugas Puskesmas setempat untuk tetap melakukan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan potensi penularan penyakit Tuberkulosis Paru, bagi penderita dan pengunjung Puskesmas Baraya-Baraya lainnya agar melakukan tindakan higiene yang baik, misalnya menutup mulut pada waktu batuk dan bersin, serta tidak meludah di sembarang tempat, sehingga dapat mengisolir penularan penyakit Tuberkulosis Paru, masyarakat setempat dengan status gizi yang rendah perlunya melakukan perbaikan status gizi, seperti makan makanan yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang cukup, melakukan upaya proteksi di lingkungan kerja terkait antisipasi terhadap penyakit Tuberkulosis Paru, seperti menggunakan masker, dan hands sanitizer, dan sebagai penghuni rumah atau pemilik rumah yang sedang akan merenovasi rumah, agar aspek sanitasi lingkungan perlu diperhatikan, terkhusus pada kondisi rumah yang padat penghuni.

Kata Kunci : Tuberkulosis Paru, Penyakit Infeksi

Page 7: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 7

PENDAHULUAN

Tuberkulosis Paru merupakan penyebab

kematian nomor tiga terbesar setelah

penyakit kardiovaskuler dan penyakit

saluran pernapasan atas (ISPA) pada semua

golongan umur. Tuberkulosis Paru juga

penyebab penyakit nomor satu pada

kelompok penyakit menular atau penyakit

infeksi23.

Sampai saat ini, belum ada negara yang

berhasil terbebas dari Mycobacterium

Tuberculosis. India, Cina dan Indonesia

berkontribusi > 50% dari seluruh kasus

Tuberkulosis yang terjadi di 22 negara.

Sekitar 583 ribu orang dan diperkirakan

sekitar 140 ribu orang meninggal dunia tiap

tahun akibat Tuberkulosis Paru22.

Di Indonesia penyakit ini adalah

pembunuh nomor satu di antara penyakit

menular dan merupakan penyebab kematian

nomor tiga setelah penyakit jantung dan

penyakit pernapasan akut pada seluruh

kalangan usia. Meskipun keberhasilan

strategi dalam mengontrol kasus

Tuberkulosis cukup tinggi, keberadaan

Tuberkulosis di berbagai belahan dunia

menunjukkan kebutuhan untuk

mengidentifikasi berbagai faktor yang

meningkatkan risiko terjadinya TB11.

Indonesia masih menempati urutan

kelima dari 22 negara dengan beban tinggi

Tuberkulosis Paru semenjak tahun 2010.

Pada tahun 2012, jumlah penderita

Tuberkulosis Paru 429.730 kasus dan jumlah

kasus baru dari 183.366 kasus. Jumlah kasus

pengobatan ulang sebanyak 6.589 kasus dan

(67%) adalah kasus kambuh8.

Berdasarkan Data Dinas Kesehatan

Provinsi Sulawesi Selatan (2012), untuk

tahun 2011, penderita penyakit menular ini

mencapai 8.939 kasus dengan peningkatan

jumlah penderita sebesar 55%. Angka ini

meningkat signifikan dibanding tahun

sebelumnya yang hanya 7.783 kasus.

Kabupaten Takalar menduduki peringkat

pertama dalam jumlah kasus dengan

pertumbuhan penderita Tuberkulosis Paru

di atas 109%, menyusul Pare-pare 79%,

Pinrang 75%, disusul Makassar 70%,

Kabupaten Luwu 33%, Jeneponto 36%.

Angka insidens Tuberkulosis Paru BTA

positif sebesar 9,162% per 100.000

penduduk yaitu 5.367 laki-laki dan 3.795

perempuan, prevalensi Tuberkulosis Paru

sebesar 107 per 100.000 penduduk yaitu 127

laki-laki dan 87 perempuan dan kematian

akibat Tuberkulosis Paru BTA positif

sebesar 322 (3,7%) per 100.000 penduduk,

Page 8: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 8

angka penemuan penderita Tuberkulosis

Paru BTA positif Case Detection Rate

(CDR) sebesar 55,13% sedangkan angka

kesuksesan (Success Rate) sebesar 89,18%

bila dibandingkan pada tahun 2010

mengalami penurunan. Berdasarkan angka

penemuan kasus Tuberkulosis Paru

sebanyak 12.310 kasus atau sebesar 56%,

sedangkan jumlah kasus Tuberkulosis Paru

BTA positif sebanyak 9.404 kasus.

Kabupaten Takalar menempati urutan

pertama dengan angka penemuan kasus

sebesar 103,39%, Pinrang 76,13%,

Makassar 72,92%, dan 18,52% di Tana

Toraja sebagai Kabupaten dengan angka

penemuan yang terendah dari 24

Kabupaten6.

Khusus di kota Makassar, berdasarkan

data yang diperoleh dari Bidang Bina

Pencegahan Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Dinas Kesehatan Kota

Makassar, pada tahun 2009 jumlah penderita

Tuberkulosis Paru Klinis sebanyak 9.916

penderita, dengan rincian 3.568 berdasarkan

pencatatan dan pelaporan Puskesmas se

Kota Makassar, sisanya 4.412 berdasarkan

laporan dari 15 RS yang ada di Kota

Makassar. Sedangkan jika dibandingkan

pada tahun 2009, angka kejadian

Tuberkulosis Paru meningkat pada tahun

2010, dimana jumlah penderita Tuberkulosis

Paru Klinis sebanyak 18.835 penderita,

berdasarkan pencatatan dan pelaporan dari

Puskesmas, dan RS. Pada tahun 2011, angka

kejadian Tuberkulosis Paru mengalami

penurunan dibandingkan tahun 2010,

dilaporkan jumlah penderita Tuberkulosis

Paru Klinis di Puskesmas dan Rumah Sakit

sebanyak 511 jumlah penderita Tuberkulosis

Paru Klinis, Tuberkulosis BTA + sebanyak

1.608 penderita (Puskesmas dan Rumah

Sakit)13.

Pada tahun 2012, angka kejadian

Tuberkulosis Paru mengalami penurunan

dibandingkan tahun sebelumnya, tingkat

insidensi Tuberkulosis Paru di Puskesmas

dan RS se Kota Makassar sebanyak 1.819

kasus, tingkat prevalensi Tuberkulosis Paru

sebanyak 1.932 kasus atau 143 per 100.000

penduduk, dengan jumlah keseluruhan kasus

Tuberkulosis Paru BTA positif untuk

wilayah Puskesmas dan RS se Kota

Makassar sebanyak 1.819 kasus, sedangkan

untuk angka kesuksesan (Success Rate)

adalah 80,3%5.

Tingkat prevalensi kasus Tuberkulosis

Paru tertinggi se- Puskesmas di Kota

Makassar tahun 2012 adalah di Puskesmas

Bara-Baraya, dengan tingkat insidensi

sebanyak 64 kasus, sedangkan tingkat

Page 9: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 9

prevalensi sebanyak 68 kasus atau 183 per

100.000 penduduk5.

Berdasarkan Data P2PM Puskesmas

Bara-Baraya (2013), tingkat insidensi

Tuberkulosis Paru sebanyak 71 kasus. jika

dibandingkan data lima tahun terakhir yaitu

tahun 2009 hingga 2013, tingkat insidensi

penyakit Tuberkulosis Paru semakin

meningkat7.

Dari uraian di atas maka akan dianalisis

besar risiko yang mempengaruhi kejadian

Tuberkulosis Paru diantaranya pengetahuan,

higiene perorangan, status gizi, pekerjaan,

kepadatan hunian di wilayah kerja

Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan

Makassar, Kota Makassar, Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2014.

BAHAN DAN METODE

Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian

kuantitatif dengan menggunakan metode

observasional analitik dengan rancangan

“Case Control Study”, dimana variabel

independen diduga sebagai faktor yang

mempengaruhi variabel dependen. Variabel

independen dalam penelitian ini adalah

pengetahuan, higiene perorangan, status

gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian.

Sedangkan variabel dependen adalah

kejadian Tuberkulosis Paru.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah

kerja Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan

Makassar, Kota Makassar, Provinsi

Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Desember

sampai dengan 20 Februari 2014

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah

semua pasien yang datang berkunjung di

Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan

Makassar, Kota Makassar, Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2013. Penelitian ini

terdiri dari 2 kelompok sampel, yakni

kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Kelompok kasus adalah pasien yang telah

didiagnosis dan tercatat sebagai penderita

Tuberkulosis Paru (BTA positif dan BTA

negatif) yang berjumlah 71 orang di ruangan

program P2PM Puskesmas Bara-Baraya.

Sedangkan kelompok kontrol adalah

Tetangga dari penderita penyakit

Tuberkulosis Paru yang belum pernah

didiagnosis menderita Tuberkulosis Paru

(BTA positif maupun BTA negatif) dan

dalam sebulan terakhir. Sampel diambil

dengan metode “ purposive sampling”.

D a n b esar sampel yang diperoleh

berdasarkan rumus Lemeshow untuk kasus

dan kontrol sebesar 7 1 responden dengan

Page 10: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 10

perbandingan 1:1, sehingga jumlah sampel

secara keseluruhan adalah 142.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dengan dua

cara, yakni data primer (wawancara

langsung antara peneliti dengan responden

yang terpilih sebagai sampel dengan

menggunakan kuesioner dan observasi) dan

data sekunder diperoleh dari catatan medik

berupa nama dan alamat pasien yang

terkumpul di Puskesmas Bara-Baraya Kota

Makassar Tahun 2014.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis

univariat (Distribusi Frekuensi) untuk

mengetahui distribusi frekuensi atau

distribusi tunggal pada masing-masing

variabel independen, analisis bivariat (Odds

Ratio) untuk melihat besaran risiko variabel

indepeden terhadap variabel dependen, dan

analisis multivariat (Multiple regression

logistic) untuk mengetahui besarnya OR

murni yang sudah dikontrol dengan

menghilangkan pengaruh variabel yang

diduga sebagai variabel lain dengan variabel

bebas utama, setelah memperhitungkan

variabel lain.

HASIL PENELITIAN

Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian

Berdasarkan karakteristik responden pada

subvariabel pengetahuan menunjukkan,

bahwa dari 94 orang (66,2%) pada

pengetahuan risiko tinggi, terdapat lebih

banyak pada penderita Tuberkulosis Paru

yaitu 59 orang (83,1%), dibandingkan pada

bukan penderita Tuberkulosis Paru yaitu 35

orang (49,3%), sedangkan dari 48 orang

(33,8%) pada pengetahuan risiko rendah,

terdapat lebih banyak pada bukan penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 36 orang (50,7%),

dibandingkan pada penderita Tuberkulosis

Paru yaitu 12 orang (16,9%).

Pada subvariabel higiene perorangan

menunjukkan, bahwa dari 66 orang (66,2%)

pada higiene perorangan risiko tinggi,

terdapat lebih banyak pada penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 41 orang (57,7%),

dibandingkan pada bukan penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 25 orang (35,2%),

sedangkan dari 76 orang (53,5%) pada

higiene perorangan risiko rendah, terdapat

lebih banyak pada bukan penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 76 orang (53,5%),

dibandingkan pada penderita Tuberkulosis

Paru yaitu 30 orang (42,3%).

Pada subvariabel status gizi

menunjukkan, bahwa dari 60 orang (42,3%)

Page 11: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 11

pada status gizi risiko tinggi, terdapat lebih

banyak pada penderita Tuberkulosis Paru

yaitu 39 orang (54,9%), dibandingkan pada

bukan penderita Tuberkulosis Paru yaitu 21

orang (29,6%), sedangkan dari 82 orang

(57,7%) pada status gizi risiko rendah,

terdapat lebih banyak pada bukan penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 50 orang (70,4%),

dibandingkan pada penderita Tuberkulosis

Paru yaitu 32 orang (45,1%).

Pada subvariabel jenis pekerjaan

menunjukkan, bahwa dari 81 orang (57,0%)

pada jenis pekerjaan risiko tinggi, terdapat

lebih banyak pada penderita Tuberkulosis

Paru yaitu 48 orang (67,6%), dibandingkan

pada bukan penderita Tuberkulosis Paru

yaitu 33 orang (46,5%), sedangkan dari 61

orang (43,0%) pada jenis pekerjaan risiko

rendah, terdapat lebih banyak pada bukan

penderita Tuberkulosis Paru yaitu 38 orang

(53,5%), dibandingkan pada penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 23 orang (32,4%).

Pada subvariabel kepadatan hunian

menunjukkan, bahwa dari 83 orang (58,5%)

pada kepadatan hunian risiko tinggi, terdapat

lebih banyak pada penderita Tuberkulosis

Paru yaitu 53 orang (74,6%), dibandingkan

pada bukan penderita Tuberkulosis Paru

yaitu 30 orang (42,3%), sedangkan dari 59

orang (41,5%) pada kepadatan hunian risiko

rendah, terdapat lebih banyak pada bukan

penderita Tuberkulosis Paru yaitu 41 orang

(57,7%), dibandingkan pada penderita

Tuberkulosis Paru yaitu 18 orang (25,4%).

Analisis Risiko Variabel Bebas Dengan

Kejadian TB Paru

Hasil analisis odds ratio terhadap variabel

pengetahuan diperoleh nilai OR = 5,057

yang berarti risiko kejadian Tuberkulosis

Paru pada responden yang mempunyai

pengetahuan dengan skor < 50% (risiko

tinggi) adalah 5,057 kali lebih besar

dibanding responden yang mempunyai

pengetahuan dengan skor > 50% (risiko

rendah). Berdasarkan 95% Confidence

Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan

Upper Limit = 2,328 - 10,985, dalam hal ini

tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor

pengetahuan rendah merupakan faktor risiko

yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Hasil analisis odds ratio terhadap variabel

hygiene perorangan diperoleh nilai OR =

2,515 yang berarti risiko kejadian

Tuberkulosis Paru pada responden dengan

higiene perorangan yang kurang (risiko

tinggi) adalah 2,515 kali lebih besar

dibanding responden dengan higiene

perorangan yang baik (risiko rendah).

Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)

diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit

Page 12: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 12

= 1,277 - 4,951, dalam hal ini tidak

mencakup nilai 1 yang berarti faktor higiene

perorangan yang kurang baik merupakan

faktor risiko yang bermakna terhadap

kejadian Tuberkulosis Paru.

Hasil analisis odds ratio terhadap variabel

status gizi diperoleh nilai OR = 2,902 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada responden dengan status gizi < 18,5

(risiko tinggi) adalah 2,902 kali lebih besar

dibanding responden dengan status gizi ≥

18,5 (risiko rendah). Berdasarkan 95%

Confidence Interval (CI) diperoleh nilai

Lower Limit dan Upper Limit = 1,453 -

5,795, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1

yang berarti faktor status gizi kurang

merupakan faktor risiko yang bermakna

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.

Tabel 1

Hasil Analisis Bivariat Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

No Variabel

Independen

Kasus Kontrol n % OR 95%CI

n % n %

1. Pengetahuan

a. Risiko tinggi

b. Risiko rendah

59

12

83,1

16,9

35

36

49,3

50,7

94

48

66,2

33,8

5,057

2,328-10,985

2. Higiene Perorangan

a. Risiko tinggi

b. Risiko rendah

41

30

57,7

42,3

25 46

35,2

64,8

66

76

46,5

53,5

2,515 1,277-4,951

3. Status Gizi

a. Risiko tinggi

b. Risiko rendah

39

32

54,9

45,1

21

50

29,6

70,4

60

82

42,3

57,7

2,902

1,453-5,795

4. Jenis Pekerjaan

a. Risiko tinggi

b. Risiko rendah

48

23

67,6

32,4

33

38

46,5

53,5

81

61

57,0

43,0

2,403

1,216-4,751

5. Kepadatan Hunian

a. Risiko tinggi

b. Risiko rendah

53

18

74,6

25,4

30

41

42,3

57,7

83

59

58,5

41,5

4,024

1,973-8,205

Sumber : Data Primer

Hasil analisis odds ratio terhadap

variabel jenis pekerjaan diperoleh nilai OR

= 2,403 yang berarti risiko kejadian

Tuberkulosis Paru pada responden dengan

jenis pekerjaan seperti, supir, tukang/buruh,

tukang becak, pensiunan, pemulung, klining

servis, penjual koran, dll adalah 2,403 kali

lebih besar dibanding responden dengan

jenis pekerjaan seperti pekerja kantoran.

Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)

diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit

= 1,216 - 4,751, dalam hal ini tidak

mencakup nilai 1 yang berarti faktor jenis

pekerjaan risiko tinggi merupakan faktor

Page 13: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 13

risiko yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Hasil analisis odds ratio terhadap

variabel kepadatan hunian diperoleh nilai

OR = 4,024 yang berarti risiko kejadian

Tuberkulosis Paru pada rumah yang padat

penghuni atau 10m2 > 1 orang (risiko tinggi)

adalah 4,024 kali lebih besar dibanding

rumah yang tidak padat penghuni atau 10m2

= 1 orang (risiko rendah). Berdasarkan 95%

Confidence Interval (CI) diperoleh nilai

Lower Limit

Lower Limit dan Upper Limit = 1,973 -

8,205, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1

yang berarti faktor kepadatan hunian

merupakan faktor risiko yang bermakna

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.

Analisis Faktor Risiko Yang Paling

Dominan Terhadap Kejadian TB Paru

Pada tahap ini, variabel pengetahuan,

higiene perorangan, status gizi, jenis

pekerjaan, dan kepadatan hunian di analisis

secara bersama-sama untuk menjawab faktor

mana yang dominan berisiko terhadap

kejadian Tuberkulosis Paru, maka perlu

dilakukan analisis multivariat.

Variabel

Variabel independen yang diikutkan

dalam analisis multivariat adalah variabel

yang mempunyai nilai p < 0,25 dan

Tabel 2

Hasil Analisis Bivariat Untuk Menilai Variabel Yang Akan Diikutkan Dalam Analisis Multivariat Pada

Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

No Variabel OR LL – UL (CI:95%) p Diikutkan

1 Pengetahuan 5,057 2,328 – 10,985 0,000 Ya

2 Higiene Perorangan 2,515 1,277 – 4,951 0,012 Ya

3 Status Gizi 2,902 1,453 – 5,795 0,004 Ya

4 Jenis Pekerjaan 2,403 1,216 – 4,751 0,018 Ya

5 Kepadatan Hunian 4,024 1,973 – 8,205 0,000 Ya Sumber: Data Primer

Tabel 3

Hasil Model 1 Analisis Multivariat Multiple Logistic Regression Faktor Risiko Kejadian

Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

No

Variabel B Sig. Exp (B)

95,0% C.I for Exp (B)

Lower Upper

1 Kepadatan Hunian 1,502 0,000 4,492 1,942 10,391

2 Pengetahuan 1,368 0,002 3,928 1,638 9,418

3 Status Gizi 1,306 0,002 3,693 1,603 8,510

4 Jenis Pekerjaan 0,710 0,084 2,033 0,910 4,544

5 Higiene Perorangan 0,626 0,119 1,869 0,851 4,107

Constant -2,170 0,000 0,114 Sumber: Data Primer

Page 14: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 14

mempunyai kemaknaan secara substansi.

Adapun metode yang di gunakan adalah

Backward Stepwise (Conditional) pada

tingkat kemaknaan 95% dengan

menggunakan software SPSS versi 16,0.

Adapun hasil analisis beberapa variabel

yang masuk pemodelan analisis multivariat

yang terkait dengan faktor risiko kejadian

Tuberkulosis

Tuberkulosis Paru yang dapat dilihat pada

tabel 2.

Pada tabel 2 menunjukkan, variabel

independen yang mempunyai p < 0,25 pada

hasil analisis bivariat yaitu pengetahuan,

higiene perorangan, status gizi, jenis

pekerjaan dan kepadatan hunian, sehingga

kelima variabel independen tersebut

diikutkan

Tabel 4

Pemodelan Dengan Mengeluarkan Variabel Dengan

P Value < 0,05 Dan Mempertimbangkan

Perubahan Nilai OR Higiene Perorangan

Variabel

OR Higiene

Perorangan

(Ada)

OR Higiene

Perorangan

(Tidak Ada)

Perubahan

OR (%)

Kepadatan Hunian

Pengetahuan

Status Gizi

Jenis Pekerjaan

Higiene Perorangan

4,492

3,928

3,693

2,033

1,869

4,683

4,146

3,849

2,021

-

4,0

5,2

4,2

5,9

-

Jenis Pekerjaan

Variabel

OR Higiene

Perorangan

(Ada)

OR Higiene

Perorangan

(Tidak Ada)

Perubahan

OR (%)

Kepadatan Hunian

Pengetahuan

Status Gizi

Jenis Pekerjaan

4,683

4,146

3,849

2,021

4,559

4,639

3,916

-

2,7

10,6

1,7

- Sumber: Data Primer

Tabel 5

Hasil Model 1 Analisis Multivariat Multiple Logistic Regression

Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja

Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2014

No

Variabel B Sig. Exp (B)

95,0% C.I for Exp (B)

Lower Upper

1 Kepadatan Hunian 1,544 0,000 4,683 2,036 10,770

2 Pengetahuan 1,422 0,001 4,146 1,762 9,753

3 Status Gizi 1,348 0,001 3,849 1,682 8,811

4 Jenis Pekerjaan 0,704 0,083 2,021 0,911 4,484

Constant -2,170 0,000 Sumber: Data Primer

Page 15: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 15

diikutkan dalam analisis multivariat. Pada

tabel 3 menunjukkan, terdapat tiga variabel

independen yang mempunyai nilai p wald <

0,05. Namun, terdapat juga dua variabel

independen yang mempunyai nilai p wald >

0,05, yaitu variabel higiene perorangan dan

variabel jenis pekerjaan, sehingga kedua

variabel tersebut dikeluarkan dari model.

Kemudian dilakukan pertimbangan pada

kedua variabel yang dikeluarkan dari model

tadi dengan membandingkan koefisien atau

OR masing-masing variabel pada model.

Jika perubahan koefisien tersebut besar

(>10%), berarti variabel tersebut tidak dapat

dikeluarkan dari model karena akan

mengganggu estimasi koefisien variabel

lainnya. Perubahan pada nilai OR pada

masing-masing variabel setelah variabel

higiene perorangan dan jenis pekerjaan

dikeluarkan dari model dapat dilihat pada

tabel 4.

Pada tabel 4 menunjukkan, setelah

variabel higiene perorangan dikeluarkan,

terlihat tidak menunjukkan perubahan pada

nilai OR dari masing-masing variabel,

sedangkan setelah variabel jenis pekerjaan

dikeluarkan diperoleh perubahan OR > 10%

yaitu 10,6. Walaupun variabel jenis

pekerjaan mempunyai p wald > 0,05, tapi

setelah di uji confounding ternyata variabel

jenis pekerjaan confounder terhadap variabel

pengetahuan karena variabel pengetahuan

mengalami perubahan OR > 10% yaitu

10,6% maka variabel jenis pekerjaan tetap

dimasukkan dalam model selanjutnya dan

higiene perorangan dikeluarkan dalam

pemodelan karena mempunyai p wald <

0,05. Kemudian diproses lagi dengan

mengikutkan variabel pengetahuan, status

gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian

pada model 2 yang terlihat pada tabel 5.

Pada tabel 5, hasil analisis multivariat

menunjukkan, terdapat empat variabel yang

berperan bersama-sama sebagai faktor risiko

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru,

variabel tersebut dari yang memiliki OR

terbesar.

Risiko faktor kepadatan hunian pada hasil

uji analisis multivariat diperoleh nilai odds

ratio diperoleh nilai OR = 4,683 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada rumah yang padat penghuni atau 10m2

> 1 orang (risiko tinggi) adalah 4,683 kali

lebih besar dibanding rumah yang tidak

padat penghuni atau 10m2

= 1 orang (risiko

rendah). Berdasarkan 95% Confidence

Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan

Upper Limit = 2,036 - 10,770, dalam hal ini

tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor

kepadatan hunian merupakan faktor risiko

Page 16: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 16

yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Risiko faktor pengetahuan pada hasil uji

analisis multivariat diperoleh nilai odds

ratio (OR) adalah 4,639 yang berarti risiko

kejadian Tuberkulosis Paru pada responden

yang mempunyai pengetahuan dengan skor

< 50% (risiko tinggi) adalah 4,639 kali lebih

besar dibanding responden yang mempunyai

pengetahuan dengan skor ≥ 50% (risiko

rendah). Berdasarkan 95% Confidence

Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan

Upper Limit = 1,762 - 9,753, dalam hal ini

tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor

pengetahuan rendah merupakan faktor risiko

yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Risiko faktor status gizi pada hasil uji

analisis multivariat diperoleh nilai odds

ratio diperoleh nilai OR = 3,849 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada responden dengan status gizi < 18,5

(risiko tinggi) adalah 3,849 kali lebih besar

dibanding responden dengan status gizi

≥18,5 (risiko rendah). Berdasarkan 95%

Confidence Interval (CI) diperoleh nilai

Lower Limit dan Upper Limit = 1,682 -

8,811, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1

yang berarti faktor status gizi kurang

merupakan faktor risiko yang bermakna

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.

Risiko faktor jenis pekerjaan pada hasil

uji statistik multivariat menunjukkan,

analisis odds ratio diperoleh nilai OR =

2,021 yang berarti risiko kejadian

Tuberkulosis Paru pada responden dengan

jenis pekerjaan seperti, supir, tukang/buruh,

tukang becak, pensiunan, pemulung, klining

servis, penjual koran, dll adalah 2,021 kali

lebih besar dibanding responden dengan

jenis pekerjaan seperti pekerja kantoran.

Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)

diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit

= 0,911 - 4,484, dalam hal ini tidak

mencakup nilai 1 yang berarti faktor jenis

pekerjaan risiko tinggi merupakan faktor

risiko yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Setelah mempertimbangkan semua

keempat variabel tersebut, maka persamaan

regresi logistik yang telah dimiliki, yaitu :

Logit Tuberkulosis Paru = -2,170 + 1,544

(Kepadatan Hunian) + 1,422 (Pengetahuan)

+ 1,348 (Status Gizi) + 0,704 (Jenis

Pekerjaan), maka dapat dihitung ramalan

probabilitas (risiko) individu untuk

mengalami penyakit Tuberkulosis Paru

dengan menggunakan rumus:

p = 1

1+e–(−α+ β1X 1+ β1X 1…β iXi )

Page 17: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 17

P =1

1 + 2,72–(−2,170+ 1,544 X1 + 1,422 X2 + 1,348 X3 + 0,704 X4 )

= 1

1 + 2,72–(2,848 )

= 1

1,057 = 0,94 = 94%

Jadi, seseorang atau individu yang tinggal

di rumah yang padat penghuni atau 10m2 >

1 orang, pengetahuan dengan skor < 50%,

status gizi dengan IMT < 18,5, dan jenis

pekerjaan, seperti supir, tukang/buruh,

tukang becak, pensiunan, pemulung, klining

servis, penjual koran, dll mempunyai

probabilitas untuk terkena penyakit

Tuberkulosis Paru sebesar 94%.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengumpulan,

pengolahan, dan penyajian data penelitian

diatas, maka akan dibahas sesuai dengan

variabel yang diteliti.

Risiko Pengetahuan dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru

Pengetahuan kesehatan adalah mencakup

apa yang diketahui seseorang terhadap cara

memelihara kesehatan. Pengetahuan

kesehatan dapat diukur dengan mengajukan

pertanyaan secara langsung (wawancara)

atau melalui pertanyaan tertulis atau angket.

Indicator pengetahuan tentang kesehatan

adalah “tingginya pengetahuan” responden

tentang kesehatan atau besarnya persentase

kelompok responden atau masyarakat

tentang variabel atau komponen kesehatan,

misalnya berapa persen responden atau

masyaraat yang tahu tentang cara mencegah

penyakit Tuberkulosis Paru10.

Perilaku mempunyai peran 50% yang

dapat menunjang tercapainya status

kesehatan yang optimal, termasuk di

dalamnya adalah pengetahuan. Tindakan

yang didasari oleh pengetahuan akan lebih

baik daripada tindakan yang tidak didasari

oleh pengetahuan.

Pengetahuan dalam penelitian ini adalah

hasil penilaian atau skoring dari jawaban

responden terhadap beberapa pertanyaan

yang meliputi pengertian, penyebab, tanda

dan gejala, cara penularan dan cara

pencegahannya yang diukur dengan

menjumlahkan skor pada setiap pertanyaan.

Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban

salah diberi nilai 0.

Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis

odds ratio diperoleh nilai OR = 5,057 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada responden dengan pengetahuan < 50%

(risiko tinggi) adalah 5,057 kali lebih besar

dibanding responden dengan pengetahuan >

50% (risiko rendah). Berdasarkan 95%

Confidence Interval (CI) diperoleh nilai

Lower Limit dan Upper Limit = 2,328 -

10,985, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1

yang berarti faktor pengetahuan rendah

Page 18: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 18

merupakan faktor risiko yang bermakna

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Rusnoto dkk (2007) di Balai

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru

Pati menunjukkan, proporsi tingkat

pengetahuan kurang pada kelompok

penderita Tuberkulosis Paru 90,6 % lebih

besar dari kelompok bukan Tuberkulosis

Paru 26,4 %. Hasil analisa statistik

menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan dengan nilai p = 0,0001, hasil

kategorikal terbukti ada hubungan yang

bermakna dengan didapatkan hasil odds

ratio (OR) sebesar 26,743 dengan 95 %

Confidence Interval (CI) 8,857 – 80,74915.

Hasil penelitian ini juga diperkuat dalam

penelitian yang dilakukan oleh Sididi (2013)

di wilayah kerja Puskesmas Pasarwajo

Buton menunjukkan, orang dengan

pengetahuan kurang mempunyai risiko

terkena Tuberkulosis Paru 2,870 kali lebih

besar dibandingkan dengan yang

berpengetahuan cukup, bermakna secara

statistic (95% CI = 1,207 – 6,825)18.

Keadaan pengetahuan dan tingkat

pendidikan yang kurang mempengaruhi

terjadinya berbagai macam penyakit,

terutama Tuberkulosis Paru. Pada penelitian

yang didapatkan menunjukkan, masih

banyak responden yang tidak tahu mengenai

penyebab dari penyakit Tuberkulosis Paru,

gejala, tindakan higiene, dan lain-lain,

terutama bagi penderita Tuberkulosis Paru

dengan proporsi (83,1%).

Pemahaman tentang penyebab penyakit

sangat penting dalam bidang kesehatan tidak

hanya untuk mencegah timbulnya penyakit,

tetapi juga untuk mendiagnosis dan tindakan

pengobatan yang benar. Penyebab penyakit

adalah peristiwa, kondisi, sifat atau

kombinasi dari berbagai faktor tersebut yang

dapat berperan penting dalam timbulnya

penyakit. Logisnya suatu penyebab harus

mendahului terjadinya sakit4.

Risiko Higiene Perorangan dengan

kejadian Tuberkulosis Paru

Pada analisis kebiasaan membuang

dahak, yaitu di luar tubuh manusia, kuman

Mycobacterium tuberculosis hidup baik

pada lingkungan yang lembab, akan tetapi

tidak tahan terhadap sinar matahari. Hal ini

terkait dengan keadaan di lingkungan

responden yang rumahnya berdempetan,

masyarakatnya tidak menerapkan praktik

kesehatan yang baik, maka responden

tersebut kemungkinan tertular sangat

tinggi12.

Page 19: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 19

Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis

odds ratio diperoleh nilai OR = 2,515 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada responden dengan higiene perorangan

yang kurang (risiko tinggi) adalah 2,515 kali

lebih besar dibanding responden dengan

higiene perorangan yang baik (risiko

rendah). Berdasarkan 95% Confidence

Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan

Upper Limit = 1,277 - 4,951, dalam hal ini

tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor

higiene perorangan yang kurang baik

merupakan faktor risiko yang bermakna

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Pertiwi dkk (2012) di Kecamatan

Semarang Utara, terdapat hubungan

signifikan kebiasaan tidak menutup mulut

pada saat batuk maupun bersin dan

kebiasaan meludah disembarang tempat. Di

mana responden yang mempunyai kebiasaan

tidak menutup mulut saat batuk cenderung

lebih banyak daripada yang mempunyai

kebiasaan menutup mulut saat batuk12. Hasil

yang ditemukan dalam penelitian ini juga

sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Tri Wahyu (2008) di Magetan,

diperoleh nilai OR = 3,8, sehingga

kebiasaan membuang dahak di sembarang

tempat merupakan faktor risiko

Tuberkulosis Paru21.

Pada saat melakukan wawancara dengan

responden, tidak sedikit responden yang

ketika diwawancarai batuk dengan tidak

menutup mulut bahkan ketika mereka

menggendong anaknya, dimana proporsi

responden dengan higiene perorangan yang

kurang dalam penelitian ini yaitu 66%, dan

terutama proporsi higiene perorangan yang

kurang bagi penderita Tuberkulosis Paru

yaitu 57%, dibandingkan yang bukan

penderita Tuberkulosis Paru yaitu 35,2%.

Pada waktu batuk atau bersin penderita

mengeluarkan dahak/sputum. Apabila

dibuang sembarangan tempat, maka

dahak/sputum akan mengering, sehingga

kuman Tuberkulosis akan beterbangan dan

terhirup oleh pejamu disekitarnya.

Begitupun pada batuk dengan tidak menutup

mulut di dalam rumah, ditambah lagi dengan

kondisi rumah yang padat penghuni,

sehingga memungkinkan untuk menularkan

kepada seluruh anggota keluarga.

Faktor risiko higiene perorangan terhadap

kejadian Tuberkulosis Paru merupakan

faktor yang perlu untuk diwaspadai.

Reservoir dari kuman Tuberkulosis atau

mycobacterium tuberculosis adalah percikan

droplet dari manusia yang terinfeksi.

Page 20: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 20

Penderita dapat menyebarkan bakteri ke

udara dalam bentuk percikan dahak, yang

dalam istilah kedokteran disebut droplet

nuclei. Sekali batuk dapat menghasilkan

3000 percikan dahak. Melalui udara yang

tercemar oleh Mycobacterium tuberculosis

yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita

Tuberkulosis Paru saat batuk. Bakteri akan

masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul

hingga berkembang menjadi banyak

terutama pada orang yang memiliki daya

tahan tubuh rendah. Sementara, bagi yang

mempunyai daya tahan tubuh baik, maka

penyakit Tuberkulosis Paru tidak akan

terjadi1.

Risiko Status Gizi dengan kejadian TB

Paru

Penyakit-penyakit atau gangguan-

gangguan kesehatan masyarakat akibat dari

kelebihan atau kekurangan gizi merupakan

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia,

seperti penyakit Tuberkulosis Paru dan

penyakit lainnya. Kekurangan gizi pada

seseorang akan berpengaruh terhadap

kekuatan daya tahan tubuh dan responden

imunologis terhadap penyakit19.

Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis

odds ratio diperoleh nilai OR = 2,902 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada responden dengan status gizi < 18,5

(risiko tinggi) adalah 2,902 kali lebih besar

dibanding responden dengan status gizi ≥

18,5 (risiko rendah). Berdasarkan 95%

Confidence Interval (CI) diperoleh nilai

Lower Limit dan Upper Limit = 1,453 -

5,795, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1

yang berarti faktor status gizi kurang

merupakan faktor risiko yang bermakna

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto

(2007) di Balai Pencegahan dan Pengobatan

Penyakit Paru Pati menunjukkan, proporsi

status gizi (IMT) kurang baik pada

kelompok Tuberkulosis Paru 64,2 % lebih

besar dari kelompok bukan TB 11,3 %.

Hasil analisa statistik menunjukkan adanya

perbedaan yang bermakna dengan nilai p =

0,038, hasil kategorikal menunjukkan ada

hubungan yang bermakna dengan

didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar

3,789 dengan 95 % Confidence Interval (CI)

1,694 – 8,475, sehingga status gizi

merupakan faktor risiko kejadian

Tuberkulosis Paru15.

Hasil penelitian inipun juga diperkuat

oleh penelitian yang dilakukan oleh

Ruswanto (2010) di Kabupaten Pekalongan,

Hasil analisis statistik menunjukkan, nilap ρ

= 0,005 dan OR = 2,923 dengan CI 95% =

Page 21: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 21

1,355<OR<6,308 sehingga bermakna karena

nilai ρ < 0,05 dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa status gizi merupakan

faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis

Paru16.

Kondisi berat badan dan tinggi badan

responden secara retrospektif, juga diperkuat

dengan hasil pengukuran IMT responden

oleh peneliti untuk membuktikan, bahwa

beberapa responden memiliki berat badan

ideal atau normal sebelum terinfeksi kuman

Tuberkulosis, dan kondisi berat badan

menurun setelah responden terinfeksi kuman

Tuberkulosis. Dan terdapat juga beberapa

responden yang memang memiliki berat

badan yang sudah tidak ideal sebelum

terinfeksi kuman Tuberkulosis, dimana

proporsi status gizi risiko tinggi terbanyak

adalah penderita Tuberkulosis Paru yaitu

54,9%, dibandingkan proporsi status gizi

risiko rendah terbanyak adalah responden

yang bukan penderita yaitu 70,4%.

Status gizi dalam kaitannya dengan faktor

risiko kejadian Tuberkulosis Paru

merupakan salahsatu pintu penularan kuman

Tuberkulosis, karena status gizi itu

menggambarkan outcome dari asupan gizi

seseorang. Sistem imun dalam tubuh akan

selalu terjaga dengan baik, jika asupan

makro nutrisi dan mikro nutrisi yang

disuplei setiap hari tetap terjaga kualitasnya.

Semakin baik asupan gizi seseorang, maka

akan semakin baik pula sistem imun yang

dimilikinya, sehingga ancaman dari berbagai

macam penyakit akan tertangani secara

alami oleh sistem imun, terkhusus bagi

penularan penyakit Tuberkulosis Paru.

Bakteri akan tetap ada di dalam paru

dalam keadaan tidur atau dormant, namun

jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh

menurun maka bakteri yang sebelumnya

”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan

penyakit. Salah satu contoh ekstrim keadaan

ini adalah status gizi kurang yang akan

menurunkan daya tahan tubuh, sehingga

Tuberkulosis Paru muncul.

Risiko Jenis Pekerjaan dengan Kejadian

Tuberkulosis

Pekerjaan merupakan suatu aktifitas yang

dilakukan untuk mencari nafkah. Faktor

lingkungan kerja mempengaruhi seseorang

untuk terpapar suatu penyakit. Lingkungan

kerja yang buruk mendukung untuk

terinfeksi Tuberkulosis Paru antara lain

supir, buruh, tukang becak dan lain-lain

dibandingkan dengan orang yang bekerja di

daerah perkantoran3.

Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis

odds ratio diperoleh nilai OR = 2,403 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

Page 22: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 22

pada responden dengan jenis pekerjaan

risiko tinggi seperti, supir, tukang/buruh,

tukang becak, pensiunan, pemulung, klining

servis, penjual koran, dll adalah 2,403 kali

lebih besar dibanding responden dengan

jenis pekerjaan risiko rendah seperti pekerja

kantoran. Berdasarkan 95% Confidence

Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan

Upper Limit = 1,216 - 4,751, dalam hal ini

tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor

jenis pekerjaan risiko tinggi merupakan

faktor risiko yang bermakna terhadap

kejadian Tuberkulosis Paru.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian

ini juga sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Rusnoto (2007) di Balai

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru

Pati menunjukkan, hasil odds ratio (OR)

sebesar 2,606 dengan 95 % Confidence

Interval (CI) 1,076 – 6,310, dengan nilai p =

0,031, sehingga jenis pekerjaan merupakan

faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru15.

Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan

penelitian yang dilakukan oleh Sididi (2013)

Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasarwajo

Kabupaten Buton menunjukkan, nilai OR =

2,613 pada Confidence Interval 95% dengan

LL = 0,884 dan UL = 7,772. Karena OR >

1,sehingga pekerjaan merupakan faktor

risiko pada kejadian Tuberkulosis Paru18.

Tingkat pendidikan responden juga bisa

dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang kini

mereka dapatkan, bahwa pada kelompok

responden kasus tingkat pendidikan SD

lebih dominan yaitu sebanyak 26 orang

(36,6%). Dan jenis pekerjaan yang ia tekuni

tidak sedikit sebagai supir angkutan umum,

buruh harian dan tukang. Jenis – jenis

pekerjaan yang disebutkan tadi merupakan

jenis pekerjaan yang rentan interaksinya

dengan agent , misalkan supir angkutan

umum dapat tertular penyakit Tuberkulosis

Paru melalui uang yang terkontaminasi

droplet dari dahak seorang pejamu yang

terinfeksi, dan juga paparan debu yang bisa

menurunkan fungsi paru. Begitupun pada

jenis pekerjaan seperti tukang becak, buruh

harian ataupun tukang bangunan yang rentan

dengan interaksi antara pejamu atau pekerja

dengan agent. Beda halnya dengan

pekerjaan kantoran yang tidak rentan untuk

terinfeksi, kecuali pekerjaan kantoran

tersebut terdapat pejamu terinfeksi ataupun

lingkungan kerja yang tentunya juga

memungkinkan untuk terjadinya penularan

penyakit Tuberkulosis Paru.

Jenis pekerjaan seseorang sangat

berdampak terhadap terjadinya Tuberkulosis

Paru. Pada penelitian ini diperoleh bahwa

pekerjaan responden dapat dihubungkan

Page 23: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 23

dengan penyakit paru akibat kerja dan

lingkungan kerja yang memungkinkan

keterpaparan yaitu infeksi Tuberkulosis

Paru. Penyakit Tuberkulosis Paru adalah

airborne infection, maka penyebaran

penyakit dapat terjadi di lingkungan,

terkhusus di lingkungan kerja oleh pejamu

terinfeksi kepada pejamu yang rentan

melalui percikan dahak atau droplet.

Risiko Kepadatan Hunian dengan

Kejadian Tuberkulosis

Kepadatan hunian menentukan insidensi

penyakit maupun kematian, terutama di

negara Indonesia yang masih banyak sekali

terdapat penyakit menular, seperti penyakit

pernapasan dan semua penyakit yang

menyebar lewat udara misalnya tuberkulosis

menjadi mudah sekali menular19.

Dalam hubungannya dengan penularan

Tuberkulosis Paru, maka kepadatan hunian

dapat menyebabkan infeksi silang (Cross

infection). Adanya penderita Tuberkulosis

Paru dalam rumah dengan kepadatan cukup

tinggi, maka penularan penyakit melalui

udara ataupun “droplet” akan lebih cepat

terjadi. Kepadatan penghuni rumah yang

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen,

di mana bila salah satu anggota keluarga

terkena penyakit infeksi seperti Tuberkulosis

Paru, maka akan mudah menular kepada

anggota keluarga lain20.

Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis

odds ratio diperoleh nilai OR = 4,024 yang

berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru

pada rumah yang padat penghuni atau 10m2

> 1 orang (risiko tinggi) adalah 4,024 kali

lebih besar dibanding rumah yang tidak

padat penghuni atau 10m2

= 1 orang (risiko

rendah). Berdasarkan 95% Confidence

Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan

Upper Limit = 1,973 - 8,205, dalam hal ini

tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor

kepadatan hunian merupakan faktor risiko

yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Ruswanto (2010) di Kabupaten

Pekalongan menunjukkan, nilai ρ = 0,003

dan OR = 3,101 dengan CI 95% =

1,440<OR<6,681 sehingga bermakna karena

nilai ρ < 0,05 dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa kepadatan penghuni

dalam rumah merupakan faktor risiko

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru16.

Hasil penelitian ini juga diperkuat pada

penelitian yang dilakukan oleh Sairi (2012)

di wilayah kerja Puskesmas Pasarwajo

Kabupaten Buton menunjukkan, nilai OR =

Page 24: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 24

2,778 dengan nilai LL = 1,006 dan UL =

7,673 yang tidak mencakup nilai 1 pada

tingkat kepercayaan 95% maka Ho ditolak

dan Ha diterima artinya dengan kepadatan

penghuni berisiko 2,778 kali untuk terkena

penyakit Tuberkulosis Paru dibandingkan

dengan responden yang rumahnya tidak

padat penghuni17.

Pada lokasi penelitian ini, terdapat

banyak pemukiman yang berdempetan

bahkan mempunyai ventilasi yang tidak

sesuai dengan luas ruangan, dan juga

termasuk pemukiman yang padat penduduk.

Bahkan satu rumah terdapat dua hingga

lebih dari dua KK (kepala keluarga). Dalam

pembagian ruangannya tidak tertata dengan

baik dan menjadikan satu ruangan sebagai

ruangan serba guna, misalnya pada ruang

depannya yang berfungsi sebagai ruang

tamu saja, namun merangkap menjadi ruang

tidur, sekaligus tanpa dipisahkan oleh

dinding pembatas.

Luas bangunan yang tidak sebanding

dengan jumlah penghuninya akan

menyebabkan over crowded, hal ini tidak

sehat, sebab disamping menyebabkan

kurang konsumsi O₂, juga bila salah satu

anggota keluarga terkena infeksi penyakit

menular akan menularkan kepada anggota

keluarga yang lain9.

Risiko Paling Dominan Terhadap

Kejadian Tuberkulosis Paru

Pada hasil uji analisis multivariat

menunjukkan, variabel yang mempunyai

nilai p < 0,05 adalah pengetahuan, status

gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian.

Variabel tersebut merupakan faktor risiko

yang berpengaruh terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru. Sedangkan faktor risiko

yang paling dominan berisiko terhadap

kejadian Tuberkulosis Paru adalah

kepadatan hunian yang mempunyai nilai

odds ratio (OR) = 4,683 yang berarti risiko

kejadian Tuberkulosis Paru pada rumah

yang padat penghuni yaitu 10m2 > 1 orang

(risiko tinggi) adalah 4,683 kali lebih besar

dibanding rumah yang tidak padat penghuni

yaitu 10m2

= 1 orang (risiko rendah).

Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)

diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit

= 2,036 - 10,770, dalam hal ini tidak

mencakup nilai 1 yang berarti faktor

kepadatan hunian merupakan faktor risiko

yang bermakna terhadap kejadian

Tuberkulosis Paru.

Hasil uji analisis multivariat dalam

penelitian ini juga sejalan pada penelitian

yang dilakukan oleh Amiluddin (2009) di

Kecamatan Tamalatea Kabupaten

Jeneponto, analisis statistik multivariat

Page 25: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 25

dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR =

2,024 (LL = 0,803 dan UL = 5,102),

sehingga kepadatan hunian merupakan fakto

risiko kejadian Tuberkulosis Paru2.

Hasil uji analisis multivariat dalam

penelitian ini juga diperkuat pada penelitian

yang dilakukan oleh Razak (2009) di

wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota

Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara

menunjukkan, uji analisis statistik

multivariat dengan uji odds ratio diperoleh

nilai OR = 2,611 (LL = 1,208 dan UL =

5,645) dengan nilai p = 0,015, sehingga

kepadatan hunian merupakan fakto risiko

kejadian Tuberkulosis Paru14.

Hasil penelitian kepadatan penghuni

rumah telah menunjukkan bahwa pada

umumnya kepadatan penghuni rumah yang

memenuhi syarat rumah sehat yang telah

ditentukan oleh Departemen Kesehatan yaitu

10 m2 per orang. Kondisi kepadatan

penghuni yang demikian turut mendukung

perpindahan penyakit Tuberkulosis Paru.

Oleh sebab itu, kepadatan penghuni

merupakan variabel yang berperan penting

dalam kejadian Tuberkulosis Paru.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan pada bab sebelumnya, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengetahuan merupakan faktor risiko

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru

karena mempunyai nilai OR > 1 yang

menunjukkan, pengetahuan dengan skor

< 50% berisiko 5,057 kali lebih besar,

dibandingkan dengan responden yang

mempunyai pengetahuan dengan skor >

50%.

2. Higiene perorangan merupakan faktor

risiko terhadap kejadian Tuberkulosis

Paru karena mempunyai nilai OR > 1

yang menunjukkan, higiene perorangan

yang kurang baik berisiko 2,515 kali

lebih besar, dibandingkan responden

dengan higiene perorangan yang baik.

3. Status gizi merupakan faktor risiko

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru

karena mempunyai nilai OR > 1 yang

menunjukkan, status gizi dengan IMT <

18,5 berisiko 2,902 kali lebih besar,

dibandingkan responden dengan status

gizi dengan IMT ≥ 18,5.

4. Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko

terhadap kejadian Tuberkulosis Paru

karena mempunyai nilai OR > 1 yang

menunjukkan, jenis pekerjaan seperti,

supir, tukang/buruh, tukang becak,

pensiunan, pemulung, klining servis,

penjual koran, dll berisiko 2,403 kali

lebih besar, dibandingkan responden

Page 26: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 26

dengan jenis pekerjaan seperti pekerjaan

kantoran.

5. Kepadatan hunian merupakan faktor

risiko terhadap kejadian Tuberkulosis

Paru karena mempunyai nilai OR > 1

yang menunjukkan, rumah yang padat

penghuni yaitu 10m² > 1 orang berisiko

4,024 kali lebih besar, dibandingkan

dengan rumah yang tidak padat penghuni

yaitu 10m² = 1 orang.

SARAN

1. Bagi petugas Puskesmas setempat untuk

tetap melakukan upaya peningkatan

pengetahuan masyarakat tentang

pencegahan potensi penularan penyakit

Tuberkulosis Paru, misalnya melakukan

kegiatan penyuluhan ataupun pendidikan

kesehatan. Agar dengan pengetahuan

yang baik, maka pengetahuan terkhusus

gejala Tuberkulosis Paru, status gizi,

higiene perorangan, dan sanitasi

lingkungan dari masyarakat bisa mereka

terapkan sebagai upaya pencegahan.

2. Bagi Penderita dan pengunjung

Puskesmas Baraya-Baraya lainnya

berdasarkan temuan, agar melakukan

tindakan higiene yang baik, misalnya

menutup mulut pada waktu batuk dan

bersin, serta tidak meludah di sembarang

tempat, sehingga dapat mengisolir

penularan penyakit Tuberkulosis Paru.

3. Bagi Penderita dan pengunjung

Puskesmas Baraya-Baraya lainnya

dengan status gizi yang rendah perlunya

melakukan perbaikan status gizi, seperti

makan makanan yang mengandung

karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral

yang cukup.

4. Bagi Penderita dan pengunjung

Puskesmas Baraya-Baraya lainnya perlu

untuk melakukan upaya proteksi di

lingkungan kerja terkait antisipasi

terhadap penyakit Tuberkulosis Paru,

seperti menggunakan masker, dan hands

sanitizer.

5. Bagi Penderita dan pengunjung

Puskesmas Baraya-Baraya lainnya

sebagai penghuni rumah atau pemilik

rumah yang sedang akan merenovasi

rumah, agar aspek sanitasi lingkungan

perlu diperhatikan, terkhusus pada

kondisi rumah yang padat penghuni.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama, Tjandra Yoga. 2006.

Tuberkulosis, Rokok, dan Perempuan.

Jakarta FKUI.

2. Amiluddin. 2009.“Faktor Risiko

KejadianTuberkulosis Paru Di

Kecamatan Tamalatea Kabupaten

Jeneponto”.Tesis Pascasarjana UNHAS.

3. Arsin A, Azriful,.Aisyah. Beberapa

Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja

Page 27: Jurnal TB Paru

Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com

Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 27

Puskesmas Kassi-Kassi, Jurnal Medika

Nusantara Volume 25 no.3; 2004.

4. Beaglehole, R, Bonit, K. T. 1993. Basic

epidemiology. Geneva, World Health

Organization.

5. Data Dinas Kesehatan Kota Makassar

Tahun 2012

6. Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun 2012

7. Data P2 TB Puskesmas Bara-Baraya

Makassar Tahun 2013

8. Kemenkes RI. 2012. Profil Data

Kesehatan Indonesia Tahun 2011.

Jakarta: Kemenkes RI.

9. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

829 Menkes SK/VII/1999 Tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan.

10. Knutson, A. L, 1999. The individual,

society, and health behavior. Rusel

Sange Fundation, New York.

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2002. Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia.

12. Pertiwi, Rikha Nurul, dkk. Hubungan

Antara Karakteristik Individu, Praktik

Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan

Dengan Kejadian Tuberculosis Di

Kecamatan Semarang Utara Tahun

2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat,

Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012,

Halaman 435 – 445.

13. Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun

2011

14. Razak, Abd. 2009. “Faktor Risiko

Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah

Kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari

Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun

2008”. Tesis pascasarjana UNHAS.

15. Rusnoto dkk. 2007. Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru

Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai

Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit

Paru Pati). Jurnal Magister

Epidemiologi UNDIP.

16. Ruswanto, Bambang. 2010.“Analisis

Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis

Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan

Dalam Dan Luar Rumah Di Kabupaten

Pekalongan”. Tesis Kesehatan

Lingkungan Undip.

17. Sairi, Suriaty. 2012. “Faktor Risiko

Kejadian TBC Paru Di Wilayah Kerja

Puskesma Pasarwajo Kecamatan

Pasarwajo Kabupaten Buton Tahun

2011”. Skripsi FKM STIKES Mandala

Waluya Kendari.

18. Sididi, Mansur. 2013. “Faktor Risiko

Kejadian Tuberkulosis Paru BTA (+) Di

Wilayah Kerja Puskesmas Pasarwajo

Kabupaten Buton Tahun 2012”. Skripsi

FKM UMI.

19. Soemirat, J. 2000. Epidemiologi

Lingkungan, Gajah Mada University

Press, Yogyakarta.

20. Suyono, pokok Bahan Modul

Perumahan dan pemukiman Sehat,

Pusdiknakes, 2005.

21. Wahyu R, Tri. 2008. Hubungan Kondisi

Fisik Rumah Dan Praktek Kesehatan

Dengan Kejadian TB Paru di Puskesmas

Masopati Kabupaten Magetan [Tidak

diterbitkan]. Semarang: UNDIP.

22. World Health Oranization. 2010. Pursue

High Quality DOTS Expansion and

Enhancement. Geneva.

23. World Health Oranization. Global

Tuberculosis Control: WHO Report

2011. Available from:

http://whqlibdoc.who.int/ diakses pada

tanggal 20 Maret 2012.