Top Banner
i
124

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

Jul 27, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

i

Page 2: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

ii

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Page 3: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

iii

JURNAL PENDIDIKAN

Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember, berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian maupun hasil kajian pustaka

di bidang pendidikan dan artikel telaah (review article).

Penanggung JawabSarjilah

Pemimpin RedaksiInsan Yudanarto

Ketua PenyuntingAgus Wasisto Dwi Dosowarso

Wakil Ketua PenyuntingSugiyanta

Penyunting PelaksanaArwan RifaiYoko RimySuwastanto

Pelaksana Tata UsahaDwi WidiyantiSri Widayati

Nur Endri PamungkasAri Suryani

Hilarius Widiyarto

Desain/Lay OutApriantoni Eko Putranto

Alamat Penyunting dan Tata Usaha : LPMP DIY Jalan Raya Tirtomartani, Kalasan Sleman Yogyakarta 55571. Telepon. 0274 496921-Fax (0274) 497002. Alamat email: [email protected].

JURNAL PENDIDIKAN mulai terbit bulan April 2010, diterbitkan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto spasi ganda kurang lebih 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (Petunjuk bagi Calon Penulis Jurnal Pendidikan). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Page 4: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

iv

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

EDITORIAL

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas terbitnya Jurnal Pendidikan Volume IX/Nomor 1/April 2018. Jurnal Pendidikan merupakan se-buah wadah publikasi ilmiah hasil penelitian dan kajian ilmiah di bidang pendi-dikan dari para pendidik dan tenaga kepedidikan antara lain widyaiswara, dosen, pengawas, kepala sekolah, guru, pamong pelajar dan para pemerhati pendidi-kan. Jurnal Pendidikan diterbitkan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan D.I. Yogyakarta.

Tema Jurnal Pendidikan pada edisi April 2018 ini adalah peningkatan kompetensi guru dalam publikasi ilmiah, peningkatan kinerja kepala sekolah melalui pendampingan dan penggunaan model serta media pembelajaran. Ar-tikel ditulis oleh pendidik dan tenaga kependidikan dari berbagai instansi yang berbeda.

Harapan Redaksi, Jurnal Pendidikan penerbitan jurnal ini dapat memo-tivasi para pendidik dan tenaga kependidikan untuk menulis dan mempublika-sikan hasil penelitiannya sehingga bermanfaat bagi dunia pendidikan. Tetap se-mangat dan berkarya untuk Indonesia yang lebih baik.

Redaksi

Page 5: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

v

DAFTAR ISI

EditorialDaftar Isi

MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURUDALAM MEMBUAT PUBLIKASI ILMIAHMELALUI PROGRAM BIMBINGAN POLA IN ON IN PADA PARA GURUDI KAB. GUNUNG KIDUL (DIY)Agus Wasisto Dwi Doso Warso - Widyaiswara LPMP DIY

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER LUHUR DAN ETOS SEKOLAHWaryono - Widyaiswara LPMP D.I. Yogyakarta

PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH DALAM MENYUSUN RENCANA KEGIATAN DAN ANGGARAN SEKOLAH (RKAS) MELALUI PENDAMPINGAN DI SMK BINAAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2017Sugiyanto - Dinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul

PENINGKATAN KINERJA GURU PPKn DALAM MENERAPKAN METODE PEMBELAJARAN DEBAT MELALUI PENDAMPINGAN KOLABORATIF DI SEKOLAH BINAAN Sri Haryati - Pengawas Sekolah SMA Pengawas Sekolah SMA Balai Dikmen Kabupaten Bantul

“PENGGUNAAN APLIKASI WhatsApp SEBAGAI MEDIA LAYANAN BIMBINGAN KARIER PADA SISWA KELAS XII SMK NEGERI 2 GEDANGSARI”Iin Las Priyanti - SMK N 2 Gedangsari

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK MELALUI SI CANTIK DARI LENGKAS BAGI SISWA KELAS XII A TUNAGRAHITABekti Winoto - SLB NEGERI 1 YOGYAKARTA

MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP PECAHAN DENGAN MEDIA RAINBOW CIKAS PADA SISWA KELAS III SDMuginah - SD Brajan UPT PP Kecamatan Kasihan

PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS SWAY PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS 6 SEKOLAH DASARFita Sukiyani - SD Negeri Sumber 1 Berbah, Sleman, DI Yogyakarta

PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Teguh Hariyadi - Widyaiswara LPMP Sulawesi Tengah

Hal

ii iii

1-11

12-28

29-40

41-54

55-64

65-81

82-94

95-107

108-116

Volume IX/ Nomor 01/April 2018JURNAL PENDIDIKAN

ISSN 2086-9134

Page 6: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

vi

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Page 7: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

1

MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MEMBUAT PUBLIKASI ILMIAHMELALUI

PROGRAM BIMBINGAN POLA IN ON IN PADA PARA GURU DI KAB. GUNUNG KIDUL (DIY)

Agus Wasisto Dwi Doso WarsoWidyaiswara LPMP DIY

E-mail: [email protected]

Abstrak: Tujuan program bimbingan pola In On Inyaitu untuk meningkatkan kemampuan guru dalam membuat publikasi ilmiah laporan PTK.Program bimbingan pola In On In dilaksanakan melalui 4 tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut. Program bimbingan pola In On In merupakan program peningkatan profesionalisme guru dalam membuat publikasi ilmiah. Program bimbingan pola In On In merupakan program pembinaan bimbingan kepada guru dimana widyaiswara memberikan bimbingan secara bersiklus antara fase In (tatap muka) dilanjutkan fase On ( mandiri). Pada fase In Service widyaiswara dan guru bertemu melakukan kegiatan bimbingan terkait dengan konsep dasar, teori dalam membuat publikasi ilmiah, mengkoreksi apa yang telah dilakukan para guru peserta bimbingan. Pada fase OnService para guru mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan widyaiswara pada akhir pertemuan pada saat In Service. Berdasarkan hasil pengalaman widyaiswara dalam pelaksanaan program bimbingan pola In On In tersebut menunjukkan bahwa program bimbingan pola In On In dapat meningkatkan kemampuan guru dalam membuat publikasi ilmiah laporan PTK. Disamping itu bahwa program bimbingan pola In On In juga berdampak pada motivasi guru-guru lain ikut serta membuat publikasi ilmiah laporan PTK.

Kata kunci: Bimbingan, publikasi ilmiah

Abstract: The purpose of In On In guidance program was to improve teachers’ ability in making scientific publication of CAR report. In On In guidance program,an improvement program of teachers’professionalism in making scientific publication,was implemented through 4 stages of activities, namely planning, implementation, evaluation, and follow up. In On In guidance program was a guidance counseling program for teachers. In this activity widyaiswara provide guidance cyclically between phasesIn (face to face) continued phase On (independent). In the In Service phase, widyaiswara met teachers to conduct guidance activities related to the basic concepts, theories of making scientific publications, as well as correcting the work of teachers who had done at the time of mentoring.In the On Service phase teachers were working on tasks that had been assigned at the end of the In Service meeting. Based on the experience of widyaiswara, the implementation of the In On In guidance program succeeded in increasing the ability of teachers in composing scientific publication of CAR reports.In addition, In On In guidance program also gave an impact on the motivation of other teachers to participate in making scientific publication of CAR report.

Keyword: guidance program, scientific publication

Page 8: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

2

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Pendahuluan

Peningkatan mutu pendidikan hanya dapat dicapai jika guru-gurunya berkompeten dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan kompetensi, profesionalisme guru serta kesejahteraan guru. Salah satu upaya peningkatan hasil belajar melalui Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Pengembangan Keprofesionan Berkelanjutan (PKB) guru. Program Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) bagi guru.(Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009). Melalui program PKG dan PKB tersebut diharapkan guru semakin profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan mutu pendidikan secara keseluruhan.

Berdasarkan pada hasil pengamatan dan wawancara dengan para guru diberbagai jenjang pendidikan yang ada kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidu D.I. Yogyakarta mulai dari TK sampai dengan guru jenjang menengah atas ternyata masih banyak para guru yang tidak mampu melaksanakan publikasi ilmiah penelitian maupun non penelitian. Pemahaman dan keterampilan guru dalam melaksanakan publikasi ilmiah masih sangat terbatas sehingga cenderung pasif dalam melaksanakan publikasi ilmiah.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan kompetensi, profesionalisme guru serta kesejahteraan guru. Namun demikian faktanya masih banyak para guru berbagai jenjang pendidikan yang belum melaksanakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dengan baik, khususnya dalam melaksanakan publikasi ilmiah penelitian maupun non penelitiam.

Sebagai seorang widyaiswara di LPMP DIY tentunya merasa prihatin melihat kondisi guru yang demikian itu. Melihat kondisi guru yang demikian tersebut tentunya harus segera diatasi. Pada umumnya tentunya perlu segera diatasi. Salah satu solusi yang widyaiswara pilih dalam rangka meningkatkan kompetensi guru dalam melaksanakan publikasi ilmiah tersebut yaitu melakukan bimbingan kepada para guru dalam membuat publikasi ilmiah penelitian maupun non penelitian dengan pola In On In. Alasan widyaiswara memilih bimbingan pola in on in untuk meningkatkan kemampuan guru dalam membuat publikasi ilmiah antara lain yaitu karena pada umumnya para guru itu sudah pernah mengukuti sosialisasi, workshop ataupun pelatihan tentang pembuatan publikasi ilmiah tersebut namun pada umumnya para guru tersebut tidak dapat menyelesaikan publikasi ilmiah tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan karena ketika mengalami kesulitan mereka tidak tahu harus bagaimana memecahkannya, kemudian bertanya kepada siapa mereka merasa kebingungan. Oleh karena itu,melalui

Page 9: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

3

Agus Wasisto Dwi Doso Warso - MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU

bimbingan pola in on intersebut diharapkan para peserta dibimbing, diberikan arahan secara sistematis dan pola In On In sehingga ketika ada kesulitan para guru tersebut segera mendapatkan arahan dan jalan keluarnya.

Melihat kondisi sebagian guru yang seperti itu maka sebagai widyaiswara merasa terpanggil untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut, oleh karena itu perlu dicari solusi yang tepat. Menurut penulis bahwa guru-guru tersebut perlu dibina melalui bimbingan secara pola in on in, oleh karena itu rumusan masalah pada program pembinaan ini yaitu apakah program bimbingan pola In On In dapat meningkatkan kemampuan pada guru guru di DIY tersebut dalam membuat publikasi ilmiah.?Tujuan program bimbingan pola In On In ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan para guru dalam membuat publikasi ilmiah.

Publikasi Ilmiah

Publikasi ilmiah merupakan salah satu komponen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru. PKB adalah pengembangan keprofesian berkelanjutan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan guru untuk mencapai standar kompetensi profesi dan/atau meningkatkan kompetensinya di atas standar kompetensi profesinya yang sekaligus berimplikasi kepada perolehan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru. PKB mencakup tiga hal yakni pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.Publikasi ilmiah adalah karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan kepada masyarakat

sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran di sekolah dan pengembangan dunia pendidikan secara umum. Publikasi ilmiah mencakup 3 kelompok kegiatan, yaitu: (1) Presentasi pada forum ilmiah;(2) publikasi ilmiah hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal;(3) publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan/atau pedoman guru.

Program Bimbingan Pola In-On-InMenurut peraturan Kepala Lembaga

Administrasi Negara Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pedoman Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Widyaiswara dijelaskan bahwa bimbingan adalah proses bimbingan /pemberian arahan kepada perserta diklat dalam menyelesaikan/menyusun suatu produk diklat.

Bimbingan pola In-On-In pada dasarnya merupakan pola pemberian bantuan yang bergiliran antara fase In dan fase On secara terus menerus. Pada faseInmerupakan fase para guru bertemutatap mukadengan widyaiswara melakukan konsultasi dalam menyelesaikan produk pekerjaan.Pada fase On merupakan fase para guru mengerjakan secara mandiri tugas-tugas yang diberikan oleh pembimbing dalam hal ini yaitu widyaiswaraselama 1-2 minggu di rumah atau ditempat tugas.

Metode yang digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi para guru dalam melaksanakan publikasi ilmiah yaitu melalui bimbingan pola In On In terhadap prosedur pemecahan masalah.

Page 10: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

4

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Prosedur bimbingan pola in on in ini ada 4 (empat ) tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindaklanjut.

Pada tahap perencanaan widyaiswara melakukan persiapan pelaksanaan bimbingan pola In On In yang meliputi : 1) melakukan koordinasi dengan para guru yang ingin mengikuti bimbingan melewati gugus atau KKG guru tentang teknis pelaksanaan bimbingan pembuatan publikasi ilmiah terkait jenis publikasi ilmiah apa yang akan dibuat, tempat dan waktu pelaksanaan bimbingan; 2) menyusun jadwal bimbingan; 3) membuat perencanaan dan skenario bimbingan; 4) membuat bahan ajar bimbingan; dan 5) membuat instrumen penilaian hasil bimbingan.

Setelah semua persiapan lengkap maka program bimbingan pola In On In siap dilaksanakan. Pada tahapan pelaksanaan ini widyaiswara melaksanakan program bimbingan pola In On In. Pelaksanaan coaching-mentoring diawali dengan kegiatan pertemuan tatap muka: materi konsep publikasi ilmiah tentang Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan cara pembuatan laporannya. Pada akhir kegiatan In 1 para guru peserta bimbingan diberikan tugas agar dikerjakan pada saat ditempat tugas atau

dikerjakan di rumah selama 2 minggu. Fase dimana guru mengerjakan tugas mandiri dirumah atausekolah ini dinamakan dengan fase On.

Pada tahap In 2 (pertemuan kedua) peserta akan menyampaikan hasil kerja yang ditugaskan pada In 1. Widyaiswara sebagai pembimbing melakukan bimbingan pada para peserta. Pembimbing mengoreksi hasil kerja peserta dan memberikan penguatan arahan terhadap materi materi yang belum dipahami oleh peserta. Pada akhir pertemuan In 2 pembimbing memberikan tugas kembali kepada para peserta.

Program bimbingan pola In On In dilaksanakan selama 10 kali pertemuan bimbingan tatap muka (In 10). Pada pertemuan yang terakhir In ke 10, para guru peserta bimbingan mengumpulkan laporan hasil PTK nya selanjutnya pembimbing melakukan penilaian produk laporan hasil PTK-nya dengan instrumen penilaian yang telah disiapkan widyaiswara pada tahap perencanaan.

Setelah program bimbingan pola In On In yang diselenggarakan tiap kelompok selesai dilaksanakan maka penulis melaksanakan evaluasi terhadap program bimbingan pola In On In yang telah dilaksanakan pada aspek perencanaan,

Page 11: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

5

pelaksanaan, dan pada hasil bimbingan. Berdasarkan pada hasil evaluasi tersebut akan menjadi catatan untuk diperbaiki pada pada pelaksanaan program di kelompok lain. Sehingga apa yang menjadi kelemahan dan kendala suatu kelompok akan dijadikan bahan masukan untuk pelaksanaan program pada kelompok lain, begitu juga apa yang menjadi faktor pendukung keberhasilan suatu kelompok akan digunakan bahan pertimbangan untuk pelaksanaan program pada kelompok lain.

Hasil evaluasi terhadap program bimbingan Pola In On In hasil evaluasi yang merupakan kendala dianalisis dicari penyebabnya sebagai bahan perbaikan untuk pelaksanaan program berikutnya. Sedangkan hasil evaluasi program yang berupa keberhasilan akan dijadikan sebagai

bahan masukan yang perlu dipertahankan dan diperbaiki untuk pelaksanaan program berikutnya.

Pelaksanaan dan Hasil Program Bimbingan

Permasalahan utama para guru yaitu masih rendahnya kemampuan para guru dalam membuat publikasi ilmiah. Pada program bimbingan pola In On Inini difokuskan pada bimbingan kepada para guru dalam membuat publikasi ilmiah dalam membuat laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Peserta Program Bimbingan Pola In On In

Program bimbinganpola In On In dilaksanakan dengan sasaran para kelompok guru TK dan SD yang ada di gugus

Agus Wasisto Dwi Doso Warso - MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU

Page 12: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

6

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Kecamatan Playen Kabupateb Gunungkidul antara lain (Tabel 1.).

Program bimbinganpola In On In dilaksanakan selama 10 (sepuluh ) kali pertemuan tatap muka bimbingan (In) dan tugas mandiri dirumah/tempat tugas (On). Program ini ada 4 (empat ) tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindaklanjut.

Pada tahap perencanaan widyaiswara melakukan persiapan pelaksanaan program bimbingan pola In On In yaitu 1) melakukan koordinasi dengan para guru yang ingin mengikuti bimbingan melewati gugus atau KKG guru tentang teknis pelaksanaan bimbingan pembuatan publikasi ilmiah terkait jenis publikasi ilmiah apa yang akan dibuat, tempat dan waktu pelaksanaan bimbingan; 2) menyusun jadwal bimbingan; 3) membuat perencanaan dan skenario bimbingan; 4) membuat bahan ajar bimbingan; 5) membuat instrumen penilaian hasil bimbingan.

Setelah semua persiapan lengkap maka widyaiswara melaksanakan program bimbingan pola In On In. Pada tahapan pelaksanaan ini widyaiswara melaksanakan bimbingan pola In On In yang telah dipersiapkan dan diskenariokan pada tahap perencanaan. Pelaksanaan bimbingan diawali dengan kegiatan pertemuan tatap muka dengan memberikan arahan tentang materi konsep publikasi ilmiah tentang Penelitian Tindakan Kelas dan cara pembuatan laporannya.

Pada akhir kegiatan bimbingan In

1 para guru peserta bimbingan diberikan tugas untuk dikerjakan ditempat tugas atau dikerjakan di rumah selama 1-2 minggu. Fase dimana guru mengerjakan tugas mandiri dirumah atau disekolah ini sebagai tindak lanjut pertemuan In dinamakan dengan fase On.

Selanjutnya pada pada tahap In 2 (pertemuan kedua) ini peserta akan menyampaikan hasil kerja yang ditugaskan pada In 1, widyaiswara akan melakukan bimbingan dengan memberikan arahan-arahan pada para peserta. Widyaiswara sebagai pembimbing mengoreksi hasil kerja peserta dan akan memberikan penguatan terhadap materi materi yang belum dipahami oleh para peserta bimbingan. Pada akhir pertemuan In 2 pembimbing memberikan tugas kembali kepada para peserta.

Pola kegiatan bimbinganpola In On In dilaksanakan selama 10 kali pertemuan (In 10) (agenda pelaksanaan bimbingan terlampir). Pada pertemuan bimbingan yang terakhir yaitu pada pertemuan In ke 10, para guru peserta bimbingan mengumpulkan laporan hasil PTK nya selanjutnya widyaiswara melakukan review dan penilaian produk laporan hasil PTKnya.

Setelah program bimbingan pola In On In yang diselenggarakan tiap kelompok selesai dilaksanakan maka widyaiswara dan kelompok melaksanakan evaluasi terhadap program bimbingan pola In On In yang telah dilaksanakan pada aspek perencanaan,

Page 13: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

7

Agus Wasisto Dwi Doso Warso - MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU

Page 14: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

8

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

pelaksanaan, dan pada hasil bimbingan. Berdasarkan pada hasil evaluasi tersebut dijadikan catatan untuk diperbaiki pada pada pelaksanaan program bimbingan di kelompok lain. Sehingga apa yang menjadi kelemahan dan kendala disuatu kelompok bimbingan dijadikan bahan masukan untuk pelaksanaan program bimbingan dikelompok lain, begitu juga apa yang menjadi faktor pendukung keberhasilan pada suatu kelompok bimbingan digunakan bahan pertimbangan untuk pelaksanaan program pada kelompok lain.

Hasil evaluasi terhadap program bimbingan Pola In On In dianalisis keterlaksanaannya baik selama proses maupun dampaknya. Jika ditemukan kendala selama proses bimbingan berlangsung dicari penyebabnya dan dijadikan sebagai bahan perbaikan untuk pelaksanaan program berikutnya. Sedangkan hasil evaluasi program bimbingan yang berupa keberhasilan akan dijadikan sebagai bahan masukan yang perlu dipertahankan dan diperbaiki untuk pelaksanaan program berikutnya.

Page 15: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

9

Hasil Pelaksanaan Program Bimbingan Pola In On In

Berdasarkan hasil penilaian terhadap produk laporan hasil PTK yang telah dikumpulkan oleh peserta bimbingan diperoleh data seperti pada Tabel 3.

Berdasarkan laporan hasil PTK yang dikumpulkan tersebut setelah direview dan dinilai menunjukkan bahwa sebagian besar peserta bimbinganpola In On In sudah dapat menyelesaikan membuat laporan PTK yang kategori layak seperti yang ada di kelompok Playen 1 ada 25 peserta atau 83,33% dari peserta yang ikut bimbingan yang berjumlah 30 peserta, sedangkan laporan PTK peserta yang tidak layak karena belum selesai ada 5 peserta atau 16,57 %. Di kelompok Playen 2 ada 19 peserta atau 90% dari peserta yang ikut bimbingan yang berjumlah 20 peserta, sedangkan yang tidak layak laporan PTK-nya karena belum selesai ada 1 peserta atau 5 %. Di kelompok Paliyan ada 28 peserta atau 93,33% dari peserta bimbingan yang berjumlah 30 peserta, sedangkan yang tidak layak laporan PTK-nya karena belum selesai ada 2 peserta atau 7,14 %. Hal ini menunjukan bahwa program bimbingan pola In On In ini dapat membantu peserta guru dapat membuat publikasi ilmiah laporan PTK.

Begitu juga dari respon peserta selama mengikuti bimbingan menunjukkan respon yang positip baik, berdasarkan hasil pengamatan widyaiswara terhadap partisipasi para peserta dalam mengikuti program bimbingan juga sangat tinggi.Hal ini dapat dilihat dari jumlah kehadiran mereka dalam kegiatan bimbingan rata-rata 90 %. Tanggapan peserta bimbingan juga baik pada umumnya para peserta bimbingan merasa senang karena melalui program bimbingan pola In On In mereka dapat secara berkala diingatkan dan diarahkan dalam melaksanakan penelitian. Khususnya masalah metodologi PTK yang selama ini menjadi kendala mereka dalam melaksanakan penelitian dapat terpecahkan ketika ada jadwal pertemuan bimbingan (In). Sehingga kalau dilihat selama proses bimbingan dan hasil karya publikasi

Agus Wasisto Dwi Doso Warso - MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU

Gambar 3. Kelayakan Produk Laporan

Page 16: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

10

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Ilmiah berupa laporan PTK yang dihasilkan widyaiswara menganggap bahwa kegiatan bimbingan pola In On In ini sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan para guru dalam membuat publikasi ilmiah yang berupa laporan PTK.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan program bimbingan PTK pola In On In yangtelah dilakukan diberbagai kelompok tersebut secara umum ditemukan kendala-kendala yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan program bimbingan PTK pola In On In.Kendala tersebut yaitu: 1) kadang jadwal bimbingan tidak tepat ada pergeseran waktu karena disebabkan ada acara bersamaan dari para guru maupun widyaiswarasebagai pembimbing; 2) pada umumnya para guru kesulitan mencari buku-buku referensi yang diperlukan karena keterbatasan perpustakaan yang ada disekolahnya; 3) pada umunya para guru masih kesulitan dalam metodologinya dalam PTK, sehingga mereka umumnya kurang percaya diri; 4) pada umumnya mereka kurang terbiasa menulis publikasi ilmiah karena sebelumnya merasa belum perlu; 5) mereka merasa sudah sibuk kehabisan waktu untuk tugas-tugas disekolah.

Program bimbingan Pola In On In guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) dan membuat laporan ini mempunyai manfaat bagi berbagai aspek antaralain:

Program bimbingan Pola In On In ini bagi guru sangat bermanfaat karena

guru mampu mengembangkan kompetensi profesionalnya dalam pembelajaran. Guru menjadi mampu melakukan penelitian dan membuat laporan sehingga para guru dapat mengumpulkan nilai angka kredit pada komponen PKB Publikasi ilmiahnya

Keberhasilan program bimbingan Pola In On In yang dilakukanmendorong kelompok-kelompok guru lain yang ada DIYingin melaksanakan program bimbingan Pola In On In dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan PTK

Program bimbingan Pola In On In ini sangat bermanfaat dalam rangka peningkatan mutu sekolah, karena melalui program bimbingan Pola In On In ini para guru akan semakin profesional dalam melakukan inovasi pembelajaran. Jika banyak guru-guru menjadi kreatif dalam melakukan inovasi-inovasi pembelajarannyasehingga menjadikan sekolah menjadi sekolah yang bermutu karena proses pembelajaran yang ada disekolah tersebut dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan profesional.

Keberhasilan program bimbingan Pola In On Inmenjadi berdampak positip terhadap kepercayaan masyarakat terhadap LPMP sebagai lembaga yang bertugas membantu satuan pendidikan memenuhi standar nasional pendidikan (SNP), dan menjadi bahan masukan tentang pola pembinaan dan pembimbingan yang dapat diterapkan oleh LPMP dalam pemenuhan SNP disekolah. Keberhasilan program bimbingan dalam meningkatkan profesionalisme guru

Page 17: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

11

menjadi sumber insipirasi LPMP dalam memberikan guru disekolah di tempat lain ikut melakukan program yang sama.

Simpulan

Berdasarkan pada uraian hasil dan pembahasannya pelakasanan bimbingan pola In On Inyang widyaiswaratelah laksanakan maka widyaiswara menyimpulkan bahwa program bimbingan pola In On In merupakan strategi pola pembinaan profesionalisme guru yang efektif untuk meningkatkan kemampuan guru dalam membuat publikasi ilmiah yang berupa membuat laporan PTK, hal ini dapat ditunjukkan hasil review dan penilaian terhadap laporan PTK yang dikumpulkan, bahwa laporan PTK yang termasuk dalam kategori layak mencapai 91,43 %.Program bimbingan pola In On In juga berdampak pada motivasi guru-guru lain yang ada diwilayah DIY untuk membuat publikasi ilmiah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin banyaknya permintaan yang ditujukan kepada penulis sebagai widyaiswara untuk mengadakan kerjasama mengadakan program bimbingan In On In dalam melaksanakan dan membuat publikasi Ilmiah khususnya dalam Penelitian Tindakan Kelas ( PTK).

Daftar RujukanBPSDM Dan PMP. 2011. Pedoman

Pengelolaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Buku 1.

Direktorat PMPTK Diknas.2008. Widyaiswaraan Karya Ilmiah.

Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. 1996. Pedoman Penyu-sunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Widya-iswara. Jakarta: Depdikbud, Dikdasmen.

Suhardjono. 2005. Penelitian Tindakan Kelas. Makalah pada “Diklat Pengembangan Profesi bagi Jabatan Fungsional Guru”, Direktorat Tenaga Kependidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Suhardjono. 2005. Laporan Penelitian Eksperimen dan Penelitian Tindakan Kelas sebagai KTI, Makalah pada “Pelatihan Peningkatan Mutu Guru di Makasar”, Jakarta

Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi. 2006. Peneilitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bina Aksara.

Supardi. 2005. Penyusunan Usulan, dan Laporan Penelitian Penelitian Tindakan Kelas, Makalah disampaikan pada “Diklat Pengembangan Profesi Widyaiswara”, Ditektorat Tenaga Pendidik dan Kependidikan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Warso, Agus. 2014. Publikasi ilmiah Non Penelitian . Yogyakarta: Graha Cendikia

Warso, Agus. 2016. Publikasi ilmiah Tinjauan Ilmiah & Best Practice. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Warso, Agus. 2016. PKB Publikasi ilmiah Tinjauan Ilmiah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Nilai Angka Kreditnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Agus Wasisto Dwi Doso Warso - MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU

Page 18: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

12

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER LUHUR DAN ETOS SEKOLAH

WaryonoWidyaiswara LPMP D.I. Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak: Masyarakat di masa sekarang ini menghadapi sejumlah tantangan seperti pola kekerasan intensif yang tinggi dalam masyarakat dan penurunan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Kriminalitas, kejahatan remaja, perkelahian pelajar, dan kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok komunitas ke kelompok masyarakat lainnya. Demikian pula dengan kasus terorisme dan kekerasan berbasis agama dan konflik horizontal yang terkait dengan SARA (etnis, agama dan ras). Keragaman dipandang sebagai ancaman dan menjadi legitimasi untuk tindakan teror dan kekerasan yang menghancurkan nilai-nilai luhur sebagai manusia. Untuk mengatasi tantangan tersebut, pendidikan memiliki peran yang signifikan. Namun, model pendidikan baru sebatas untuk pencapaian akademik dan cenderung mengabaikan orientasi terhadap peningkatan nilai individu dan sosial. Pendidikan karakter, memiliki peran penting dalam menyebarkan karakter yang luhur dalam rangka meningkatkan kualitas peserta didik dalam menerapkan nilaimulia dan luhur, dan meningkatkan toleransi di tengah masyarakat yang heterogen. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran utama dalam menyebarkan karakter mulia dan nilai luhur, baik bagi anggota komunitas sekolah itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Sebuah sekolah yang mengembangkan pendidikan berbasis karakter mulia dalam ruang lingkupnya akan menjadi teladan dan mengilhami perdamaian bagi semua anggota komunitas sekolah itu sendiri dan masyarakat. Untuk mencapai hal ini, harus ada perubahan mendasar dari institusi yang hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yaitu dengan menetapkan etos berdasarkan karakter dan nilai positif untuk mencapai tujuan utama, yaitu membangun generasi dengan karakter yang luhur.

Kata kunci: Kekerasan, penurunan nilai sosial dan kemanusiaan, pendidikan karakter, etos

Abstract: Today’s society faced a number of challenges such as patterns of intense violence in society and decline in social and humanitarian values. Crime, teen crime, student fights, and violence committed by one community group to another. Similarly, cases of terrorism and religion-based violence and horizontal conflicts related to SARA (ethnicity, religion and race). Diversity was seen as a threat and became legitimate for acts of terror and violence that destroyed noble values as human beings. To overcome these challenges, education had a significant role. However, the new educational model was limited to academic achievement and tends to ignore the orientation towards increasing individual and social values. Character education, had an important role in spreading the noble character in order to improve the quality of learners in applying noble and noble values, and increasing tolerance in a heterogeneous society. Schools as educational institutions had a major role in spreading noble character and noble values, both for members of the school community itself and for society at large. A school that developed a noble character-based education within its scope would set an example and inspired peace for all members of the school community itself and society. To achieve this, there must be a fundamental change from the institution that only teaches knowledge and skills by establishing ethos based on character and positive values to achieve the ultimate goal of building a generation with a noble character.

Keywords: Violence, decline in social values and humanity, character education, ethos

Page 19: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

13

PendahuluanBeberapa tahun belakangan ini,

kasus kekerasan di kalangan masyarakat semakin meningkat. Kriminalitas, kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, dan lebih memprihatinkan yaitu kasus kekerasan yang dilakukan satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya yang berbeda.Termasuk kasus terorisme dan kekerasan berlatar belakang agama ataupun SARA. Perbedaan dilihat sebagai ancaman dan menjadi legitimasi untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan yang menghancurkan nilai-nilai luhur sebagai manusia. Hal tersebut tentu menjadi potret muram dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, agama dan latar belakang untuk hidup bersama dalam suasana yang damai dan harmonis.

Pada saat yang bersamaan, dunia informasi dibanjiri oleh berbagai tayangan yang berbau kekerasan. Media massa yang seharusnya menjadi penyampai informasi yang mendidik dan membangun juga seperti terjebak dalam lingkaran kekerasan dengan terus menerus memberitakan tayangan kekerasan, entah lewat program berita, film ataupun tayangan yang berbau kekerasan fisik atau verbal. Padahal media massa sangat efektif mempengaruhi masyarakat dan terutama pada perkembangan mental dan karakter individu.

Selain itu, masyarakat saat ini dihadapkan pada permasalahan yang rumit dan pelik yang mempengaruhi perkembangan generasi penerus, dalam hal ini anak-anak. Mendidik anak memiliki

tantangan yang tidak mudah ketika berbagai pesan-pesan negatif memenuhi ruang kehidupan sehari-hari yang mempengaruhi perkembangan mental, emosional dan spiritual mereka. Media massa menjadi sumber informasi yang digemari, sehingga melalui berbagai tayangan dan iklan, anak-anak dihadapkan pada kesan bahwa materi dan hiburan merupakan segalanya. Media massa juga mempengaruhi anak-anak untuk merasakan gemerlap hidup yang di luar diri mereka sendiri, entah melaui figur selebritis, hiburan yang mewah, dan sebagainya. Pada akhirnya, ketika anak-anak merasakan hidup yang sebenarnya yang tidak sesuai dengan kenyataan, mereka menjadi frustasi dan mudah terjerumus dalam berbagai penyakit sosial, seperti kenakalan remaja.

Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua sejauh mana pendidikan berperan dalam melahirkan manusia atau generasi penerus yang yang tidak hanya cerdas dan terampil secara lahiriah, tetapi juga memiliki karakter dan nilai kemanusiaan yang luhur dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Atau sejauh mana institusi pendidikan bertanggung jawab dalam memberi ruang bagi pengembangan pribadi dalam mewujudkan nilai kemanusiaan khususnya lagi apakah lembaga pendidikan kita selama ini sudah memberikan materiyang berbudi pekerti luhur sehingga menciptakan masyarakat yang hidup rukun dan harmonis.Sudahkah lembaga pendidikan kita memberikan lebih ruang bagi tumbuh kembangnya karakter luhur individu? Apakah proses pembelajaran

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 20: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

14

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

disekolah-sekolah saat ini sudah menjadi tempat yang tepat bagi individu untuk memahami karakter-karakter luhur dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan bersama dengan orang lain? Sudah seharusnya lembaga pendidikan menjadi ruang yang bisa memfasilitasi pengembangan karakter luhur individu di tengah bermacam kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah sudah saatnya memikirkan ulang peran mereka dalam melaksanakan pendidikan “nilai atau moral” sehingga melahirkan manusia yang penuh nilai karakter, nilai kedamaian, kasih sayang dan penghargaan terhadap perbedaan dan mampu menyelesaikan persoalan dengan prinsip-prinsip antikekerasan. Menurut I Wayan Koyan (2000:13) bahwa nilai adalah patokan atau standar yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah ”satisfication, fulfillment, and meaning”. Sementara moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang akan mempunyai nilai atau moral jika yang bersangkutan mempunyai tingkah laku yang baik, yang susila sesuai patokan atau standar kebaikan. Adapun standar kebaikan tersebut sudah termaktub dalam 5 pilar karakter yaitu religiusitas, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. UNESCO telah merumuskan empat pilar pendidikan yang inovatif dan relevan untuk pengembangan pendidikan nilai, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar untuk

menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar hidup bersama (learing to live together).Dalam realitasnya, dua pilar pertama memang sudah dilakukan oleh banyak lembaga pendidikan. Di sisi lain, dua pilar terakhir, yaitu belajar menjadi (learning to be) dan belajar hidup bersama (learning to live together) belum menjadi perhatian para pelaku pendidikan (Diane Tillman dan Pilar Quera Colomina, 2004:30). Di dalam belajar mengetahui (learning

to know), ranah pengetahuan menjadi titik berat bagi pelaku pendidikan nilai yaitu peserta didik dan pendidik,di mana masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Peserta didik akan belajar apa yang harus dipelajari, dimulai dari proses belajarnya sampai mendapatkan hasil atau produknya. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan ilmu pengetahuan, “mengapa” ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunakan ilmu pengetahuan itu. Sementara pendidik memiliki berbagai fungsi yang diantaranya sebagai fasilitator, yaitu sebagai teman sejawat dalam berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik guna mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu. Pendidik juga harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.

Page 21: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

15

Belajar berbuat (learning to do), ranah keterampilan menjadi aktualisasi dari materi yang didapatnya yaitu berkarya dan berbuat. Learning to do mengupayakan terhadap diberdayakannya peserta didik agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya sehingga mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam masyarakat. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkret yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang cerdas dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi. Learning to be mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian institusi pendidikan kita. Dengan learning to do seseorang akan mengenal jati diri, memahami kemampuan dan kelemahannya dengan kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi yang utuh. Learning to live together merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari learning to know, learning to do dan learning to be. Learning to live together ini menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat

baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya (Syamsul Ma’arif, 2005:126).Realitas Pendidikan Indonesia

Pendidikan merupakan usaha sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri manusia secara integral dan utuh melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain. Namun direfleksikan secara mendalam, dunia pendidikan kita saat ini jauh dari ideal baik dalam proses maupun tujuan atau hasilnya. Banyak pihak mengkritik bahwa lembaga pendidikan saat ini tidak lebih dari pabrik yang hanya mencetak atau menghasilkan anak didik menjadi tenaga kerja yang bisa memenuhi kebutuhan industri. Pendidikan kita melenceng jauh dari tujuan utamanya, yaitu suatu proses untuk mencapai pertumbuhan pribadi secara penuh dan integral, di mana pendidikan memerlukan sentuhan humaniora agar menghasilkan orang-orang yang memiliki kreativitas, daya seni, daya cipta, daya rasa, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, bukan sekedar transformasi ilmu atau penguasaan ketrampilan teknis belaka. Sekolah hanya menekankan pada pentingnya pencapaian akademik tetapi mengabaikan pembangunan moral dan karakter individu. Dalam kaitannya dengan berbagai kekerasan yang ada di masyarakat, pendidikan kita telah kehilangan tujuan dasarnya yaitu yang menyediakan ruang bagi anak didik untuk

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 22: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

16

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

menggali karakter dan kepribadian yang menjunjung nilai kemanusiaan. Filosofi pendidikan kita saat ini dilandaskan pada prinsip bahwa kemajuan peradaban dunia membutuhkan tenaga yang terampil, pintar secara teknis, tetapi miskin karakter dan budi pekerti. Pendidikan yang ada saat ini hanya menekankan pada pendidikan model teknokrasi yang memberi bekal keterampilan langsung bagi peserta didik agar siap memasuki persaingan kerja (Doni Koesoema, 2004:196-216).

Memang sudah ada pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan agama atau apapun namanya yang diharapkan bisa melahirkan generasi yang cerdas secara spiritual dan emosional. Namun menilik kenyataan yang ada di masyarakat, tentu harus dipertanyakan kembali sejauh mana pendidikan moral yang ada telah mencapai tujuannya. Bisa jadi pendidikan moral dan kewarganegaraan hanya proses indoktrinasi dan tanpa adanya ruang bagi anak didik untuk berpikir kritis, sehingga anak didik terbiasa membeo, mudah dibujuk bahkan untuk hal-hal yang menjerumuskan sebagai pribadi maupun makhluk sosial. Atau barangkali pendidikan agama hanya mengajarkan dogma kaku tentang pahala, surga dan neraka, menyalahkan pihak lain, sehingga sangat alergi terhadap keberagaman.Atau secara umum pendidikan moral dan agama hanya diajarkan dalam bentuk hafalan yang hasilnya keluar dalam bentuk nilai angka dalam hasil evaluasi pembelajaran di akhir tahun ajaran.Dari fakta tersebut maka kita dapat melihat sejauh mana peserta

didik dan individu di dalam sekolah telah melaksanakan pendidikan karakter.

Dunia pendidikan di Indonesia selama bertahun tahun mengalami penyakit kronis yang bahkan sampai mengancam jiwa orang lain, baik peserta didik sendiri maupun orang lain. Penyakit ini barupa tawuran antar pelajar, kekerasan, dan tindak kejahatan. Jika pendidikan karakter itu diterapkan di sekolah sehingga fenomena tawuran antar pelajar, kekerasan, dan tindak kajahatan dapat dikurangi, rasa hormat menghormati, harga menghargai antar sesama makhluk dapat ditingkatkan maka hal tersebut bisa menjadi salah satu indikasi keberhasilan pendidikan karakter. Selain tawuran antar pelajar, fenomena yang tak kalah menarik perhatian yaitu keterlibatan para pelajar dalam jerat narkoba. Semakin hari semakin bertambah pengguna narkoba di kalangan pelajar. Dimulai dari seringnya kumpul-kumpul, merokok dan akhirnya mencoba maka jerat narkoba akan membelenggu para pelajar kita. Pendidikan karakter yang dilakukan sekolah jika berhasil maka akan menurunkan angka pengguna di kalangan pelajar di sekolah tersebut. Harapannya prestasi akademik peserta didik akan meningkat, hal ini dapat sebagai patokan bahwa pendidikan karakter di sekolah tersebut berhasil. Sehingga kultur non edukatif yang menggerogoti sekolah kita selama ini yaitu tidak dihargainya nilai kerja keras dan kejujuran perlahan-lahan dapat dikikis. Contoh dari fenomena tersebut yaitu mencontek yang telah mendarah daging.

Page 23: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

17

Sekolah Berbasis Karakter LuhurSekolah bukan hanya sebagai

institusi yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan teknis. Lebih dari itu, sekolah juga memiliki peran dalam menyebarkan karakter luhur dan nilai perdamaian, baik bagi anggota komunitas sekolah itu sendiri maupun bagi masyarakat secara umum. Sebuah sekolah yang mengembangkan pendidikan karakter luhur dalam lingkupnya akan menjadi sebuah ruang kecil dalam komunitas yang lebih kompleks yang mampu menjadi model dan inspirasi perdamaian bagi seluruh anggota komunitas itu sendiri maupun orang lain di sekitarnya.

Untuk mencapai hal tersebut, tentu harus ada perubahan fundamental dari institusi yang hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan kognitif menjadi sekolah yang berbasis karakter luhur.Dengan demikian sekolah yang berbasis karakter luhur sebagai etosnya mampu menciptakan suasana penuh nilai dan karakter luhur dalam lingkungan sekolah itu sendiri serta memberikan kontribusi positif di bidang perdamaian kepada komunitas yang lebih besar. Lingkungan sekolah dapat menjadi tempat pendidikan yang baik bagi pertumbuhan karakter peserta didik. Segala peristiwa yang terjadi di sekolah semestinya dapat diintegrasikan dalam program pendidikan karakter. Dengan demikian pendidikan karakter merupakan sebuah usaha bersama dari seluruh warga sekolah untuk menciptakan sebuah kultur baru di sekolah, yaitu kultur pendidikan karakter. Untuk itu ada beberapa lingkungan

pendidikan di sekolah yang dapat menjadi lahan tempat pendidikan karakter itu dapat diterapkan baik secara langsung maupun tidak langsung (Doni Koesoema, 2010:223-224).

Secara langsung, sekolah dapat menciptakan sebuah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, penegakkan disiplin, manajemen kelas, maupun melalui program-program pendidikan yang dirancangnya. Terlebih dengan pemberian otonomi sekolah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sekolah-sekolah sesungguhnya diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sekolah yang dijiwai dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu, adanya KTSP semestinya menjadi tantangan bagi setiap pendidik untuk dapat memaknai setiap pembuatan kurikulum dalam lingkungan sekolah sehingga nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah benar-benar menjadi jiwa dalam proses pembelajaran peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Secara tidak langsungsekolah dapat memberikan pendidikan karakter dengan cara menciptakan lingkungan moral yang membantu setiap individu dalam lingkungan pendidikan agar semakin dapat menemukan individualitasnya dan menghayati kebebasannya secara lebih penuh. Lingkungan moral yang sehat merupakan sebuah kondisi ketika setiap individu di dalam sekolah merasakan kesejahtraan karena kebebasan dan keunikannya dihargai. Sebab, ketika kita berbicara tentang moral, kita berbicara terutama tentang bagaimana

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 24: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

18

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

setiap individu itu saling menghargai satu sama lain, menganggap pribadi yang lain itu bernilai di dalam dirinya sendiri dan karena itu tidak dapat ditundukkan demi kepentingan yang lain.

Dengan demikian sekolah menjadi tempat yang istimewa bagi penanaman nilai-nilai dan laboratorium bagi latihan pelaksanaan nilai yang membantu mengembangkan individu menjadi pribadi yang semakin utuh, menghayati kebebasan dan tanggungjawabnya sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam prakteknya, sekolah berbasis budaya damai tercermin dari tidak adanya tindak kekerasan baik fisik maupun nonfisik (bullying) antar individu dalam sekolah, baik pendidik kepada murid, pendidik kepada pendidik serta murid kepada murid. Setiap persoalan yang ditemui selalu diselesaikan dengan cara dialog dengan mengakomodir setiap aspirasi dari masing-masing individu.

Tantangan terbesar untuk mewujudkan sekolah tersebut yaitu peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki pola pikir dan kesadaran pentingnya nilai perdamaian. Dalam konteks sekolah sebagai pembangun budaya damai, pendidik memiliki peran besar dalam menjadi model atau teladan bagi anak-anak didiknya. Maria Montessori, seorang pendidik dan praktisi perdamaian yang dikenal dengan Metode Montessori mengatakan bahwa pendidik merupakan faktor penting dalam sistem pendidikan, karena mereka bertanggungjawab untuk menyediakan ruang dan lingkungan yang

sesuai dengan potensi dan latar belakang anak didiknya. Dengan kata lain, tugas pendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan (transfer knowledge) tetapi juga mentransfer “nilai”(transfer of value) yang mendukung terciptanya perdamaian di suatu komunitas. Peran pendidik tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral, dan budaya bagi peserta didiknya (Daryanto dan Suryatri 2013: 11). Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga usaha untuk hidup mengatasi detrminasinya tersebut.

Menentukan Etos SekolahKata etos berasal dari bahasa

Yunani “ethos” yang mempunyai arti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan tertentu. Dari kata etos terambil pula kata “etika” dan “etis” yang hampir mendekati kepada makna akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sempurna (Toto Tasmara, 2002:15).Jadi, etos dapat diartikan sebagai doktrin yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai sesuatu kebaikan dan kebenaran yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kehidupan mereka.

Dengan kata lain, etos sekolah adalah semangat menjalankan visi

Page 25: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

19

pendidikanyang ditetapkan suatu sekolah dan didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu, dalam hal ini karakter luhur sekolah tersebut. Visi pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah merupakan cita-cita yang akan dicapai melalui proses kerja sekolah tersebut. Semestinya setiap sekolah menentukan visi pendidikannya yang akan menjadi dasar acuan pemenuhan kerjanya dengan pembuatan program, dan tentu saja pendekatan pendidikan karakter luhur yang dilakukan di dalam sekolah tersebut. Visi hendaknya diungkapkan dalam pernyataan yang jelas, dan dapat dipahami oleh semua pihak terkait, supaya tidak sia-sialah perumusan visi tersebut. Visi yang baik akan membentuk budaya sekolah yang baik pula dan pada gilirannya akan memperbaiki prestasi dan mutu sekolah. Sehingga visi pendidikan suatu sekolah akan menjiwai setiap langkah warga sekolah karena mereka merasa dilibatkan dalam penentuan visi tersebut (Doni Koesoema, 2010:156).

Setelah visi pendidikan suatu sekolah sudah ada maka langkah selanjutnya adalah menentukan misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih rinci dan praktis operasional, yang indikasinya dapat diverifikasi, diukur, dan dievaluasi secara terus menerus. Keberhasilan dalam melaksanakan suatu misi akan menjadi pertanda bahwa visi tersebut berhasil dilaksanakan dengan konsisten dan setia. Keterlaksanaan visi pendidikan oleh suatu sekolah dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sekolah tersebut, diantaranya: 1) Sekolah menentukan tujuan. Tujuan sekolah

mengacu pada visi dan misi pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Visi merupakan cita-cita sekolah yang ingin diraih dan agar lebih operasional serta terukur maka dijelmakan melalui rumusan misi sekolah. Misi sekolah ini merupakan rumusan yang akan dicapai (tujuan) atau direalisasikan secara nyata. Tujuan tersebut seharusnya dapat diukur dan ditera melalui indikator tertentu. Maka dari itu, berhasil dan tidaknya misi sekolah dapat dievaluasi secara transparan dan obyektif melalui parameter tertentu tersebut; 2) Sekolah menentukan kebijakan. Kebijakan sekolah ini mengatur tentang bagaimana sebuah sekolah akan dijalankan. Kebijakan dapat berupa lisan, yang merupakan kesepakatan warga sekolah atau tertulis melalui aturan kepegawaian; 3) Sekolah menentukan organisasi dengan baik, yaitu pengaturan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Organisasi ini antara lain, pengaturan struktur kegiatan sekolah, jadwal harian, petugas piket dan lain-lain.

Jadi sebuah sekolah yang mempunyai visi pendidikan berbasis karakter adalah sekolah yang memiliki suatu etos karakter tertentu yang didasarkan atas visi misi dan tujuan sekolah tersebut. Etos tersebut harus disepakati bersama berdasarkan hasil musyawarah sekolah. Sebuah sekolah yang mengembangkan pendidikan karakter harus benar-benar memikirkan secara seksama etos apa yang akan dikembangkan dan dihidupkan di sekolah. Etos sekolah tersebut harus dibangun berdasarkan nilai atau karakter dasar seperti kejujuran, menghormati, kebahagiaan, tanggung

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 26: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

20

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

jawab, toleransi dan sebagainya. Karakter-karakter luhur dasar tersebut selanjutnya menjadi bahan untuk disampaikan secara langsung kepada peserta didik, baik melalui pelajaran-pelajaran dan program kegiatan yang berdasarkan karakter-karakter tersebut

Sebagai contoh, sekolah memiliki etos kejujuran, kerjasama, dan cinta kasih.Tentu sekolah tersebut harus terus menerus melakukan suatu refleksi dan kajian apakah kejujuran telah menjadi dasar dalam hubungan antar individu dalam sekolah? Apakah kerjasama telah menjadi dasar dalam hubungan antar individu dalam sekolah? Apakah cinta kasih menjadi dasar dalam hubungan antar individu dalam sekolah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan dasar refleksi pribadi maupun bersama dalam suatu pertemuan khusus antar pihak di sekolah. Dengan menentukan etos sekolah dan menjadikannya sebagai bahan refleksi bersama maka semua pihak yang ada dalam lingkup sekolah pada dasarnya sedang mengembangkan karakter atas dasar kesadaran masing-masing dan dengan demikian telah mengembangkan sebuah sekolah yang menyebarkan nilai luhur bagi pribadi-pribadi di dalamnya. Hal tersebut akan mendorong setiap orang, termasuk peserta didik untuk berusaha memperbaiki diri, sikap dan tingkah laku dalam kesehariannya. Tentu saja dalam rangka menciptakan etos sekolah yang positif, haruslah ada komitmen dari seluruh staf untuk menjadikan pendidikan berbasis karakter luhur sebagai visi misi dan etos sekolah.

Menurut Thomas Likcona, (2015:61) sekolah berharap bisa melakukan pendidikan moral, yaitu (1) Nilai-nilai yang seharusnya dapat diajarkan di sekolah memiliki tujuan yang bermanfaat secara umum dapat diterima oleh masyarakat yang beragam; (2) Sekolah tidak hanya mengekspos nilai-nilai tersebut kepada para peserta didik, tetapi juga harus mampu membimbing mereka untuk dapat mengerti, meresapi, dan melakukan nilai-nilai yang berlaku.

KeteladananAda ungkapan yang mengatakan

bahwa satu perbuatan itu lebih baik dari seribu kata nasehat. Hal tersebut banyak tertempel di dinding-dinding kelas karena untuk memberi peringatan pada peserta didik. Sampai saat ini masih banyak peserta didik yang banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Kata-kata nasehat itu memang menarik untuk disampaikan pada peserta didik, namun teladanlah yang diperlukan untuk merubah suatu keadaan menjadi lebih baik. Seribu kata nasehat tentang kebaikan akan menjadi tidak bermakna manakala peserta didik tidak menemukan dalam keteladanan kehidupan di sekolah sehari-harinya.

Keteladanan akan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi keberhasilan sebuah tujuan pendidikan karakter. Menjadi teladan berarti mampu mempraktekkan visi, tujuan, dan nilai-nilai yang telah disepakati bersama, bukan semata-mata penguasaan teori tentang sekolah saja. Dalam sekolah berbasis karakter, setiap orang memiliki

Page 27: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

21

peran penting dalam mempraktekkan karakter luhur dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah harus berperan sebagai teladan dan memberi contoh yang baik dalam sekolah tersebut karena kepala sekolah merupakan figur tertinggi dalam sekolah. Begitu juga para pendidik, yang dalam bahasa jawa berarti “digugu lan ditiru”, sudah mencirikan jiwa dari karakter itu sendiri. Jika merujuk kata-kata pendiri bangsa ini, Ir. Soekarno, di hadapan pendidik Taman Peserta didik yang berjudul, “Mendjadi Goeroe di Masanja Kebangoenan”tentang sebuah bangsa yang mendidik dirinya sendiri.

Soekarno (1959:613-614) mengatakan, “Pendidik yang sifat hakikatnya hijau akan ‘beranak hijau’, pendidik yang sifat hakikatnya hitam akan ‘beranak hitam’. Saya tidak mau masuk ke dalam golongannya orang-orang yang mengatakan, bahwa pendidik bisa ‘main komedi’ kepada anak-anak. Di depan anak-anak dengan muka yang angker hanya mengasih pengajaran, pengajaran yang termuat dalam lesson tes saja, tetapi di belakang anak-anak itu berjiwa lain, berjiwa fasis atau anarkis atau nasionalis atau komunis, bertindak seperti orang yang tak berani membunuh nyamuk atau bertindak seperti bandit......tidak, pendidik tidak bisa ‘main komedi’, pendidik tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri. Pendidik hanya bisa mengajarkan apa dia-itu sebenarnya. Men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan allen onderwijzen wat man is (manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak

hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya).

Apa yang dikatakan Bung Karno tersebut mengisyaratkan bahwa karakter ada di pundak pendidik. Pendidik perlu konsisten dalam membelajarkan nilai karakter, tidak sekedar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran di dalam kelas melainkan nilai karakter itu juga tampil dalam diri seorang pendidik, dalam kehidupan yang nyata di luar kelas. Dalam hal ini pendidik menjadi model keteladanan dalam penerapan nilai karakter. Sehingga semua warga sekolah seperti staf, peserta didik dan seluruh pegawai akan meniru dan mempraktekkan karakter luhur dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, membiasakan karakter adalah aktivitas yang berangkat dari kesadaran bersama, bukan sebuah paksaan dari seseorang atau suatu kelompok.

Peran pendidikPendidik memiliki peran penting

dalam mencapai visi bersama sekolah yang mengajarkan pendidikan karakter. Hal ini karena pendidik terlibat penuh dengan peserta didik setiap harinya. Pendidik harus memiliki komitmen kuat untuk menjadi teladan hidup bagi peserta didik. Sekolah yangmemiliki etos kejujuran harus memastikan bahwa para pendidik harus betul-betul jujur dan bertanggung jawab atas apa yang dikatakan, dan dengan demikian mereka menjamin bahwa nilai kejujuran betul-betul hidup dalam sekolah. Pendidik memainkan peran yang sangat vital dalam proses pendidikan karakter

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 28: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

22

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

luhur ini, terutama di dalam kelas. Pendidik membantu para peserta didik untuk menggali lebih dalam karakter luhur dalam setiap materi pelajaran. Tentu pendidik dituntut untuk bisa menyelaraskan pengelolaan kelas dan kegiatan pembelajaran dengan nilai atau karakter luhur. Dengan kata lain pendidik menerjemahkan etos sekolah yang melandasi pembelajaran karakter luhur di dalam kelas, di mana bertemunya pendidik dengan peserta didik. Pertemuan ini terencana dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran tertentu sesuai dengan kurikulum sekolah tersebut. Penjadwalan dilakukan supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai, diantaranya: penguasaan materi, keterampilan dalam mata pelajaran tertentu, dan pengayaan pribadi terkait materi pelajaran tertentu. Proses yang terjadi di dalam kelas antara pendidik dan peserta didik inilah yang akan menentukan pembaharuan pendidikan kita. Pembaharuan kurikulum berulang kali niscaya tidak akan efektif jika para pendidik tidak pernah menerapkannya di dalam kelas. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995: 364-370), pendidik yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, dan orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi. Oleh karena itu pendidik mempunyai peran yang penting bagi pembaharuan pendidikan yang dimulai dari dalam kelas.

Doni Koesoema (2010 : 231-233) merinci beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pendidik di dalam kelas sebagai berikut. Pertama, pendidik bertindak

sebagai pengasuh, teladan, dan pembimbing. Pendidik semestinya memperlakukan peserta didik dengan penuh cinta dan rasa hormat, mengkondisikan terciptanya keteladanan yang baik, mendukung perilaku sosial yang positif, memperbaiki perilaku yang merusak, entah karena perilaku pribadi atau kelompok, melalui pendampingan yang sifatnya personal dan individual, tahap demi tahap, dan mengangkatnya menjadi keprihatinan seluruh kelas. Kedua, pendidik menciptakan komunitas moral di dalam kelas. Pendidik semestinya membantu peserta didik untuk saling menghargai satu sama lain, memandang orang lain sebagai pribadi yang unik, memiliki rasa hormat, saling mengasuh satu sama lain, dan mearasakan diri mereka sebagai bagian dalam dan bertanggung jawab atas kelompok. Menciptakan komunitas moral seperti ini tidak mudah mengingat tekanan kelompok sebaya bisa sangat kuat terjadi di dalam kelas. Kultur mencontek misalnya, akan membuat mereka yang berusaha menghayati nilai-nilai kejujuran tersingkirkan sebab tekanan kelompok sebaya di dalam komunitas begitu kental. Situasi ini bisa diperbaharui ketika pendidik mampu menciptakan komunitas moral di dalam kelas. Ketiga, pendidik menegakkan disiplin moral melalui pelaksanaan kesepakatan yang telah ditentukan sebagai aturan main bersama. Tegaknya peraturan moral di dalam kelas menjadi sebuah kesempatan bagi para peserta didik untuk menguji dan memaknai perilaku bersama

Page 29: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

23

tadi melalui penalaran sehingga peserta didik dapat menghayati kebebasan yang selaras dengan ketetapan bersama tadi. Peserta didik pada akhirnya mengerti bahwa peraturan itu, meskipun mengikat, tidaklah membatasi kebebasan. Sebaliknya, peserta didik belajar mengerti bahwa hidup bersama memerlukan sebuah penghayatan akan kebebasan yang bertanggung jawab bagi yang lain, sebab hanya dengan cara demikianlah peserta didik dapat menghargai satu sama lain. Keempat, pendidik menciptakan sebuah lingkungan kelas yang demokratis, dengan cara melibat peserta didik dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab bagi terbentuknya kelas sebagai tempat belajar yang menyenangkan. Untuk inilah dalam setiap proses belajar mengajar perlu diusahakan bahwa dalam hal pendalaman materi setiap peserta didik dapat memiliki otonomi, dalam arti, memiliki alternatif pilihan materi yang akan diajarkan. Dengan demikian pendalaman itu memiliki sifat terbuka. Pendidik dapat menentukan target sebagai tujuan pembelajaran, namun pilihan materi itu diserahkan kepada peserta didik untuk mengerjakannya. Selain itu pendidik dapat menentukan standar penilaian sejak awal yang diketahui peserta didik dalam proses belajar di dalam kelas, target apa yang diinginkan sebagai sebuah komunitas kelas sehingga peserta didik merasa benar-benar dilibatkan dan kreativitas serta rasa ingin tahunya mendapat penghargaan dalam komunitas. Kelima, pendidik mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum dengan cara

menggali isi materi pembelajaran dari mata pelajaran yang sangat kaya dengan nilai-nilai moral, seperti sastra, sejarah, sain dan teknologi, dan kewarganegaraan sebagai sebuah sarana bagi pengajaran nilai-nilai moral dan membahas persoalan-persoalan moral. Keenam, pendidik mempergunakan metode pembelajaran melalui kerjasama agar peserta didik semakin mampu mengembangkan kemampuan mereka dalam memberikan apresiasi atas pendapat orang lain, berani memiliki pendapat sendiri, mampu dan mau bekerja sama dengan yang lain demi berhasilnya tujuan bersama. Ketujuh, pendidik membangun sebuah rasa ‘tanggung jawab bagi pembentukan diri’ dalam diri peserta didik dengan cara memberikan penghargaan atas kesediaan para peserta didik untuk belajar, menyemangati kemampuan mereka untuk dapat bekerja keras, memiliki komitmen pada keunggulan, dan penghayatan akan nilai kerja yang dapat mempengaruhi kehidupan orang lain. Kedelapan, pendidik mengajak peserta didik agar berani memikirkan dan mengolah persoalan yang berkaitan dengan konflik moral, melalui bacaan, penelitian, penulisan esai, kliping koran, diskusi, debat, apresiasi film dan lain-lain. Kesembilan, pendidik melatih peserta didik untuk belajar memecahkan konflik yang muncul secara adil dan damai tanpa kekerasan sehingga para peserta didik memperoleh keterampilan moral esensial ketika harus menghadapi persoalan serupa di dalam hidup.

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 30: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

24

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Pengajaran dan PembelajaranKarakter selama ini dipahami

sebagai sesuatu yang abstrak dan jauh mengawang-awang. Padahal pada dasarnya karakter atau nilai luhur adalah sesuatu yang hidup dan bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.Dalam sekolah berbasis karakter, mengembangkan dan menghidupkan karakter bisa dicapai dengan metode yang dimiliki oleh sekolah sebagai institusi pendidikan. Beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain: Pertama penggunaan metode diskusi. Mengembangkan karakter dalam sebuah program metode diskusi kelompok yang khusus dikembangkan untuk praktek pendidikan karakter. Misalnya pendidik diminta untuk membuat kelompokdan masing-masing kelompok diminta untuk memilih satu karakter luhur yang ingin mereka hidupkan selama periode waktu tertentu. Anggota kelompok kemudian bisa mendiskusikan karakterluhur tersebut dan menghubungkannya dengan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah atau rumah. Dengan demikian karakter luhur bisa lebih dipahami jika peserta didik mengaitkannya dengan situasi kehidupan yang sebenarnya.

Kedua, penggunaan metode bercerita (story telling) semacam ini sangat efektif untuk merangsang otak dan emosi anak. Depdiknas (2004: 12) mendefinisikan bahwametode bercerita adalah cara bertutur kata penyampaian cerita atau memberikan penjelasan kepada anak secara lisan, dalam upaya mengenalkan ataupun memberikan keterangan hal baru pada anak. Menurut

Otib Satibi Hidayat (2005:4.12), bahwa cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Selain itu juga bisa dilakukan refleksi kecil dalam kelompok mengenai karakter luhur yang telah mereka pilih, baik melalui metode berbagi pengalaman, menggambar atau yang lain. Materi-materi khusus tentang pembelajaran karakter luhur semacam ini menyediakan kesempatan lebih banyak kepada para peserta didik untuk memahami diri mereka sendiri, menggali pesan-pesan moral, dan juga menyediakan aktifitas yang sesuai dalam mengembangkan pemahaman peserta didik akan nilai kebaikan. Ketiga, penggunaan puisi sebagai metode penanaman nilai. Melalui metode puisi pendidik dapat melaksanakan penanaman nilai-nilai moral kepada anak. Penggunaan puisi ini merupakan metode yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Penggunaan puisi dalam penanaman nilai akan membuat anak terbawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Disamping itu anak juga dapat dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam puisi itu. Secara nilai moral, melalui puisi anak akan memiliki kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui puisi sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005:4, 21). Keempat, karya wisata. Metode karya wisata ini akan menjadikan anak mengerti akan arti kebesaran Tuhan. Dengan karya wisata maka anak akan

Page 31: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

25

mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dansekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Salah satu manfaat dari karya wisata bagi anak adalah bahwa karya wisata kaya akan nilai pendidikan. Oleh karena itu akan dapat mengembangkan kemampuan sosial, sikap dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Melalui karya wisata juga akan dapat menimbulkan sikap menghargai terhadap pekerjaan atau hasil karya orang lain. Kelima, melalui kegiatan pembelajaran/kurikulum. Sekolah mengidentifikasi pelajaran yang bisa memberi kontribusi khusus terhadap visi misi sekolah dan mencari metode-metode yang bisa digunakan dalam mengembangkan karakter-karakter luhur tersebut. Dalam prakteknya, setiap pendidik atau pendidik akan memberi waktu khusus untuk mengajarkan pendidikan karakter melalui kelompok-kelompok peserta didik yang telah dibentuk. Namun harus selalu diperhatikan bahwa metode atau pola pembelajaran karakter harus membuat setiap anak didik berperan aktif dalam prosesnya. Pelibatan anak didik dalam pembelajaran karakter luhur ini bisa dalam bentuk teori, studi kasus ataumengkaitkan dengan situasi kehidupan yang sebenarnya, merefleksikan tingkahlaku pribadi dan masyarakat, mendengarkan orang lain, dan belajar memahami serta merefleksikan makna di

balik suatu kejadian sehingga peserta didik terbiasa untuk berpikir kritis. Cara lain yang sederhana tetapi cukup efektif adalah dengan memvisualkan karakter-karakter luhur dalam bentuk poster, gambar, dan semacamnya yang ditempel di kelas atau seluruh bagian sekolah untuk memotivasi semua individu di sekolah agar selalu menghidupkan karakter dan etos sekolah. Poster atau gambar yang dibuat semenarik mungkin yang berisi hal-hal positif, memuat karakter-karakter luhur, maupun etos dan visi misi sekolah akan selalu memberi ruang perenungan bagi kepala sekolah, pendidik, anak didik, staf dan siapapun yang datang ke sekolah untuk selalu mempraktekkan karakter-karakter luhur tersebut.

Dialog dan Komunikasi Cara lain yang juga sangat efektif untuk mengembangkan pendidikan karakter yaitu dengan membangun dialog dan komunikasi yang baik dengan semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan, terutama dalam hal ini orang tua atau wali. Bisa dengan cara pertemuan rutin dan mendiskusikan berbagai masalah yang dihadapi sekolah dengan peserta didik selama proses pembelajaran sekaligus ruang untuk menjelaskan tentang kebijakan tentang pendidikan karakter luhur, etos sekolah sekaligus meminta kerjasama dan dukunganorang tua dalam proses pelaksanaannya. Selain itu sekolah juga bisa memberikan bahan atau informasi tertulis kepada orangtua anak didik yang menjelaskan karakter-karakter yang

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 32: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

26

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dikembangkan di sekolah dan ajakan untuk bekerjasama mengembangkan karakter luhur tersebut di rumah. Dialog dan komunikasi antara pendidik dengan orang tua peserta didik dalam rangka mengembangkan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan, diantaranya: 1) Mengadakan perkumpulan orang tua peserta didik dengan pendidik. Perkumpulan ini dibentuk dengan maksud sebagai sarana komunikasi antara orang tua peserta didik dan pendidiknya. Bentuk komunikasi tersebut antara lain mendiskusikan tentang perkembangan peserta didik di sekolah dan program-program pendidik di sekolah yang harus diketahui oleh orang tua. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ngalim Purwanto (2004: 129) yang mengemukakan bahwa dengan adanya perkumpulan orang tua murid dan pendidik, sekolah dapatmengadakan pertemuan-pertemuan secara teratur untuk membicarakan masalah-masalah mendidik yang masih banyak kesalahan yang terdapat pada orang tua. Dengan adanya perkumpulan orang tua dan pendidik dapat membantu kelancaran jalannya pengajaran di sekolah; 2) Mengadakan sosialisasi terkait program pendidikan karakter yang ada di sekolah.Sosialisasi program pendidikan karakter tersebut penting dilakukan dengan maksud untuk memberi informasi pada orang tua peserta didik tentang apa itu pendidikan karakter dan pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik. Menurut pendapat Thomas Lickona (2013: 81), yang menyatakan bahwa langkah pertama adalah

sekolah menjelaskan mengenai bagaimana caranya melihat sebuah tanggung jawab yang saling melengkapi antara rumah dan sekolah dalam pengembangan karakter. Tanggung jawab yang pertama adalah di rumah sebagai dasar bagi pendidikan karakter sementara sekolah adalah memperkuat nilai karakter positif yang sudah terbangun dari rumah; 3) Mengajak orang tua peserta didik dalam merumuskan pendidikan karakter. Bentuk keterlibatan orang tua peserta didik dalam merumuskan pendidikan karakter contohnya, dengan mendukung dan menjalankan komitmen yang dibuat orang tua peserta didik denganpendidikseperti pendampingan belajar di rumah, pendampingan saat menonton televisi, pendampingan dalam bermain dan bergaul, pendampingan dalam beribadah, dan pendampingan saat makan serta melakukan pemantauan kegiatan dan perkembangan peserta didik di rumah.Thomas Lickona (2013: 88) dengan jelas mengatakan bahwa peran orang tua harus menjadi bagian dalam perumusan prakarsa pendidikan karakter; 4) Penyepakatan peraturan tata terib sekolah atau kelas. Kesepakatan antara orang tua peserta didik dengan pendidikadalah tentang pelaksanaan peraturan tata tertib sekolah dan peraturan tata tertib kelas. Jika peserta didik melanggar peraturan tata tertib, maka yang bersangkutan harus menerima sanksi atau hukuman. Dalam hal ini orang tua harus mendukung upaya pembentukan karakter oleh pendidik dengan tidak membantu peserta didik agar tidak mendapatkan hukuman atas apa yang telah dilakukannya. Hal tersebut sesuai dengan

Page 33: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

27

pendapat Thomas Lickona (2013:94), untuk bekerjasama dengan sekolah dalam permasalahan kedisiplinan, sekolah harus membantu orang tua dalam memahami bahwa perjanjian tersebut merupakan kepentingan terbaik bagi anak-anak mereka. Contoh dalam penyepakatan orang tua dan pendidikadalah larangan membawa handphone ke sekolah. Hal tersebut dimaksudkan untuk memerangi dampak dari penggunaan handphone tersebut. Pendidik juga meminta orang tua untuk mengawasi anak di rumah dalam menggunakan handphone agar penggunaannya tidak disalahgunakan; 5) Penyediaan kotak kritik dan saran. Peningkatan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik perlu mendapatkan kritik dan saran dari orang tua peserta didik atau masyarakat luas, tentu saja kritik dan saran tersebut adalah sifatnya membangun. Orang tua peserta didik atau masyarakat bisa memberikan kritik dan saran yang membngun tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui kotak saran yang telah disediakan. Tentunya kotak saran tersebut akan ditindaklanjuti oleh sekolah; 6) Home visit, pelaksanaan kunjungan pendidik ke rumah orang tua peserta didik dapat dilakukan pada saat ada peserta didik yang mengalami masalah di sekolah dan orang tuanya tidak pernah hadir pada saat pertemuan di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ngalim Purwanto (2004: 128-129), yang menyebutkan bahwa kunjungan pendidik ke rumah orang tua murid itu dilakukan bilamana diperlukan, misalnya, untuk membicarakan kesulitan-

kesulitan yang dialami di sekolah terhadap anak-anaknya atau mengunjungi murid yang sembuh dari sakitnya atau sekedar memberi hiburan.

Demikian pula halnya, dialog juga menjadi prinsip pembelajaran di kelas. Setiap ada persoalan di kelas, baik antara pendidik dengan peserta didik atau peserta didik dengan mereka sendiri, harus selalu menomorsatukan dialog untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Dialog sangat penting karena mensyaratkan setiap orang untuk membuka diri terhadap ide dan pemikiran baru serta mengedepankan prinsip partisipasi dan keterlibatan semua individu.

Penilaian Pendidikan Karakter Oleh karena pendidikan karakter dipahami pertama-tama sebagai keseluruhan dinamika relasional yang dialami oleh individu di dalam dan bersama dengan lingkungannya, penilai utama pendidikan karakter adalah individu itu sendiri (Doni Koesoema, 2010:279). Sebagai usaha sadar, proses pendidikan mengandaikan adanya sikap reflektif dalam diri individu dalam menilai dan menera perkembangan dan pertumbuhan karakternya sendiri. Namun, karena usaha sadar yang menjadi ciri perjuangan berkarakter ini adalah usaha-usaha untuk mengatasi struktur antropologis manusia berhadapan dengan determinasi yang ada dalam dirinya dalam relasinya dengan orang lain, orang lain lantas menjadi partner yang dapat membantu mengembangkan pribadi individu tersebut.

Waryono - PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Page 34: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

28

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Keberhasilan pendidikan karakter tidak akan dapat diukur jika subjek yang mengukur adalah pribadi lain di luar diri individu, sebab kondisi struktural antropologis mereka tidak memungkinkan menilai penghayatan moral yang dilakukan oleh orang lain. Penilaian pendidikan karakter di sekolah bukanlah terutama untuk menentukan kelulusan peserta didik. Namun lebih sebagai penentu apakah setiap individu yang hidup di sekolah mau mengembangkan daya-daya reflektif yang ada sehingga hidup dalam kebersamaan dengan orang lain menjadi semakin bermutu. Kalimat “bukan terutama untuk menentukan kelulusan peserta didik” tidak berarti bahwa penilaian dalam pendidikan karakter tidak dapat dipakai sebagai kriteria kelulusan peserta didik. Sejauh metodenya dapat diverifikasi secara objektif, ada transparansi dan komunikasi atas kriteria penilaian, pendidikan karakter bisa juga dipakai sebagi salah satu penentu kelulusan/kenaikan peserta didik.

Simpulan Proses pendidikan karakter luhur hanya akan berjalan efektif jika semua pihak aktif dan terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya. Kepala sekolah, pendidik, staf, anak didik maupun orang tua atau wali harus berkomitmen penuh untuk bekerja sama dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter luhur. Hanya dengan cara yang demikian sekolah tidak hanya mengajarkan mata pelajaran dan keterampilan kognitif, tetapi juga melahirkan generasi yang mampu hidup di masyarakat sebagai individu yang

cerdas sosial spiritual, memiliki tanggung jawab sosial, dan menyebarkan karakter luhur dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar RujukanDaryanto dan Suryatri. 2013. Implementasi

Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Depdiknas. 2004. Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Depdiknas.

Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Press.

Hidayat, Otib Satibi. 2006. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama. Jakarta: Universitas Terbuka

Koesoema, Doni. 2004. Pendidikan Manusia VS Kebutuhan Pasar, dalam Tony D Widiastono (ed.) Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Koesoema, Doni. 2010. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Koyan, I Wayan.2000. Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Depdiknas.

Lickona, Thomas. 2013. Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essentia lVirtues (Terjemahan). Jakarta: PT Bumi Aksara.

Lickona, Thomas. 2015. Educating For Character, terj. Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Ma’arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta: Logung Pustaka.

Purwanto, Ngalim. 2004. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tasmara, Toto 2002. Membudidayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press.

Tillman, Diane and Pilar Quera Colomina. 2004.Living Values an Educational Program, Educator Training Guide, Jakarta, Grasindo.

Page 35: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

29

PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH DALAM MENYUSUN RENCANA KEGIATAN DAN

ANGGARAN SEKOLAH (RKAS) MELALUI PENDAMPINGAN DI SMK BINAAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

TAHUN 2017

SugiyantoDinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian bertujuan untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS melalui pelaksanaan pendampingan di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen Tahun 2017.Penelitian ini adalah penelitian tindakan sekolah. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah SMK Binaan Pengawas di Kabupaten Gunungkidul Tahun Pelajaran 2016/2017. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi. Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan melalui pendampingan terdapatpeningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS setelah pelaksanaan pendampingan di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen Tahun 2017.

Kata kunci: kinerja kepala sekolah, pendampingan, penyusunan RKAS

Abstract: The research aimed to improve the performance of school principals in preparing RKAS through the implementation of assistance in SMK MuhammadiyahRongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, and SMK MuhammadiyahNgawen Year 2017. This research was a school action research. Subjects in this study were the principal of SMK assisted by supervisors in Gunungkidul District year 2016/2017. Data collected using observation. Data was analyzeddescriptive quantitatively. The result of the research showed that there was an improvement of principal performance in preparing RKAS after the implementation of assistance in SMK MuhammadiyahRongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, and SMK MuhammadiyahNgawen Year 2017.

Keywords: principal performance, assistance, RKAS preparation

PendahuluanPengawas sekolah merupakan salah

satu elemen dalam organisasi pendidikan yang turut menentukan keberhasilan dari pencapaian tujuan pendidikan. Faktor terpenting dalam organisasi pendidikan adalah sumberdaya manusia. Pengawas memiliki tugas yang sangat strategis dalam lingkungan sekolah. Kepala sekolah dan guru sebagai ujung tombak pendidikan

memerlukan konsultasi dan diskusi mengenai proses belajar dan mengajar yang menjadi bidangnya sehingga pelaksanaan pendidikan bisa maksimal.

Kinerja kepala sekolah memiliki hubungan yang sangat erat dengan kinerja sekolah secara keseluruhan. Dharma (2005: 26) menyatakan bahwa kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan individu

Page 36: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

30

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang direncanakan serta standar dan persyaratan kompetensi yang telah ditentukan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kinerja merupakan cara untuk mendapatkan hasil kerja yang baik.

Menurut Mangkunegara (2007: 67), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Hal ini senada dengan pendapat Sutrisno (2010: 170) yang mengungkapkan bahwa kinerja atau performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja adalah konsep yang bersifat universal yang merupakan efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan bagian karya berdasar standar dan kriteria yang ditetapkan.

Bernardin dan Russel dalam Keban (2004: 192) mengartikan kinerja sebagai “the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”. Dalam definisi ini, aspek yang ditekankan oleh kedua pengarang tersebut adalah catatan tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerjaan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berdasarkan

teori di atas maka kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seseorang selama periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik pribadi orang yang dinilai tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kinerja kepala sekolah adalah hasil kerja yang dicapai kepala sekolah dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggungjawabnya dalam mengelola sekolah yang dipimpinnya. Hasil kerja tersebut merupakan refleksi dari kompetensi yang dimilikinya. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kinerja kepala sekolah ditunjukkan dengan hasil kerja dalam bentuk konkrit, dapat diamati, dan dapat diukur baik kualitas maupun kuantitasnya.

Kepala Sekolah menjadi sosok kunci yang menentukan terwujudnya berbagai standar pengelolaan satuan pendidikan, khususnya di bidang perencanaan dan peyusunan RKAS. Kepala Sekolah merupakan pengambil berbagai keputusan strategis yang menjadi prasyarat keberhasilan pengembangan sekolah. Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan di sekolah, seorang kepala sekolah harus memiliki kinerja yang baik dalam menyusun RKAS sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan di sekolah. Kepala sekolah harus memahami fungsi perencanaan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.

Sekolah sebagai suatu lembaga/institusi memiliki satu tujuan atau lebih. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu disusun rencana strategis dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Rencana

Page 37: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

31

dan program yang disusun sekolah dalam Rencana Kerja Sekolah/Madrasah (RKS/M) nantinya merupakan cara untuk mencapai tujuan. Berkaitan dengan RKAS, pemerintah telah menganti istilah dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) menjadi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS). Namun tidak dapat dipungkiri masih ada beberapa sekolah yang menggunakan istilah RAPBS dibanding istilah RKAS dalam penyususnan Rencana Kerja Sekolah (RKS).

Muhaimin (2011: 199) mengemukakan bahwa RKS/M adalah recana kerja yang disusun bersama oleh sekolah/madrasah dan komite. Kebutuhan sekolah dan aspirasi masyarakat menjadi dasar utama penyusunan RKS/M. Dengan kata lain, RKS/M bertujuan untuk mengemukakan apa yang diperlukan sekolah serta harapan masyarakat di sekitar sekolah. Dengan demikian, rencana kerja untuk pengembangan sekolah berdasarkan dua jenis masukan, yaitu (1) keterangan lengkap mengenai keadaan sekolah/madrasah atau gambaran keadaan sekolah; (2) pandangan atau aspirasi masyarakat dan pengguna jasa sekolah atau pandangan dan harapan pihak-pihak yang berkepentingan.

Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan menyatakan bahwa Rencana Kerja Sekolah/Madrasah (RKS) meliputi: 1) Rencana Kerja Jangka Menengah yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningktan mutu lulusan; 2)

Rencana Kerja Tahunan yang dinyatakan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKAS/M), dilaksanakan berdasarkan rencana jangka menengah.

Rencana program merupakan proses penentuan jumlah dan jenis sumber daya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan suatu rencana. Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahawa RKAS merupakan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun ajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam program sekolah.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak kepala sekolah yang kurang mampu melaksanaan penyusunan rencana kerja seperti halnya RKAS. Berdasarkan hasil supervisi terhadap SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen dapat diketahui bahwa Kepala Sekolah belum mampu menyusun RKAS sesuai dengan Standar Pengelolaan. Kepala sekolah seringkali melakukan penyusunan RKAS hanya karena memenuhi persyaratan administrasi sekolah saja, tanpa disesuaikan dengan Rencana Kerja Tahunan. Hal ini dapat dilihat dari ketidaksesuaian antara RKAS dengan Rencana Kerja Tahunan. Bahkan ada juga sekolah yang belum memiliki RKAS.

Rendahnya kinerja kepala sekolah dalam menyususn RKAS tentunya perlu ditingkatkan karena perencanaan sangat diperlukan guna menghasilkan program sekolah yang berkualitas. Penyusunan perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan merupakan salah satu

Sugiyanto - PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

Page 38: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

32

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

materi manajerial pengawas sekolah dalam program pembinaan dalam rangka perbaikan dan peningkatan kinerja kepala sekolah. Salah satu metode pembinaan yang dapat dilakukan oleh pengawas kepada kepala sekolah adalah melalui pendampingan.

Istilah pendampingan berasal dari kata kerja “mendampingi”, yaitu suatu kegiatan menolong yang karena sesuatu sebab butuh didampingi. Sebelum itu istilah yang banyak dipakai adalah “pembinaan”. Ketika istilah pembinaan ini dipakai terkesan ada tingkatan yaitu ada pembina dan ada yang dibina, pembinaan adalah orang atau lembaga yang melakukan pembinaan. Kesan lain yang muncul adalah pembina adalah pihak yang aktif sedangkan yang dibina pasif atau pembina adalah sebagai subyek dan yang dibina adalah obyek. Ketika istilah pendampingan dimunculkan, langsung mendapat sambutan positif dikalangan praktisi pengembangan masyarakat. Kata pendampingan menunjukkan kesejajaran (tidak ada yang satu lebih dari yang lain), yang aktif justru yang didampingi sekaligus sebagai subyek utama, pendamping lebih bersifat membantu saja.

Berdasarkan dari pengertian pendampingan yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendampingan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas yang dilakukan dan dapat bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dan mengembangkan diberbagai potensi yang dimiliki oleh para kepala sekolah dengan menempatkan pendamping atau pengawas sebagai fasilitator,

komunikator, dan dinamisator sehingga kepala sekolah mampu mencapai kualitas kinerja yang lebih baik. Pendampingan adalah proses pembimbingan yang dilakukan oleh pengawas sekolah. Atas dasar tersebut penelitian tentang peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyususn RKAS melalui pendampingan dilakukan.

Tujuan penelitian ini yaitu 1) Untuk mengetahui pelaksanaan pendampingan peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen Tahun 2017; 2) Untuk mengetahui peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS melalui pelaksanaan pendampingan di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen Tahun 2017.

Metode PenelitianProsedur pelaksanaan penelitian

secara lebih rinci diuraikan sebagai berikutSiklus I

Tahapan yang dilakukan pada siklus I yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Pada perencanaan, tindakan yang dilakukan dalam penelitian iniyaitu pendampingan. Oleh karena itu, langkah yang dilaksanakan pada tahap perencanaan sebagai berikut: 1) Menyusun perencanaan penelitian dan skenario tindakan; 2) Mempersiapkan instrumen penelitian yang terdiri dari lembar observasi pelaksanaan pendampingan, lembar observasi kepala sekolah, lembar penilaian

Page 39: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

33

kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS, dan lembar penilaian RKAS; 3) Rapat koordinasi antara pendamping dan kolaborator yang akan melakukan observasi selama tindakan berlangsung; 4) Rapat koordinasi antara pendampingdengan kepala sekolah dari masing-masing sekolah yang menjadi subjek penelitian; 5) Penentuan jadwal pelaksanaan tindakan.

Pada pelaksanaan tindakan kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan tindakan yaitu pendampingan penyusunan RKAS. Metode pendampingan adalah sebuah bentuk hubungan yang memungkinkan terjadinya proses berbagi keterampilan dan pengalaman baik profesional, maupun personal yang mendorong proses tumbuh dan berkembangnya pengetahuan. Proses pendampingan didasarkan pada pemberian dorongan, komentar dan saran yang bersifat membangun, terlaksana dalam suasana keterbukaan, saling percaya dan saling menghargai, serta keinginan yang kuat untuk berbagi dan belajar satu sama lain. Keseluruhan proses dan semua aspek pendampingan terjadi karena hubungan yang terjalin antara pihak yang terlibat dalam pendampingan adalah hubungan yang sudah lama terbangun. Aspek-aspek yang dicermati dalam pendampingan adalah hal-hal yang dikembangkan dan dijalankan dalam penyusunan RKAS.

Tahap selanjutnya yaitu observasi. Observasi dilakukan selama tindakan pendampingan berlangsung. Observasi merupakan upaya untuk mengamati pelaksanaan tindakan. Observasi dalam

pelaksanaan penelitian ini dibantu oleh kolaborator yang berperan sebagai observer yang mengamati jalannya pendampingan dengan melakukan pencatatan suasana yang terjadi selama tindakan. Pengamatan dilakukan terhadap proses pendampingan dan aktivitas serta respon masing-masing kepala sekolah selama pendampingan berlangsung.

Pendamping menyusun instrumen berupa perangkat penilaian serta daftar pedoman observasi yang memuat seluruh indikator yang harus diamati dan dinilai. Pedoman observasi ditujukan untuk mengetahui sejauh mana kesuksesan pelaksanaan tindakan serta hasil dari pelaksanaan tindakan. Evaluasi juga dilakukan terhadap kinerja kepala sekolah dalam penyusunan RKAS serta penilaian terhadap RKAS yang disusun sebagai hasil dari pendampingan. Tujuan evaluasi utamanya untuk 1) mengetahui tingkat keterlaksanaan penyusunan RKAS; 2) mengetahui keberhasilan penyusunan RKAS; dan 3) memberikan penilaian (judgement) terhadap kinerja kepala sekolah dalam melakukan penyusunan RKAS untuk kegiatan operasional sekolah.

Tahap selanjutnya yaitu refleksi. Refleksi dilakukan terhadap hasil observasi dan evaluasi yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan pendampingan. Hasil refleksi kemudian dijadikan sebagai acuan untuk melaksanakan siklus selanjutnya. Apabila kepala sekolah memperoleh skor dalam penilaian lebih besar atau sama dengan 75 maka kepala

Sugiyanto - PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

Page 40: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

34

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

sekolah tersebut dinyatakan sudah memiliki kinerja yang baik dalam penyusunan RKAS. Namun demikian, apabila kurang dari 75 maka kepala sekolah tersebut dinyatakan belum memiliki kinerja yang baik dalam penyusunan RKAS.

Siklus IIAdanya perubahan kinerja kepala

sekolah dalam menyusun RKAS tentunya sangat diharapkan setelah siklus I. Oleh karena itu, kepala sekolah yang diikutsertakan pada siklus II adalah kepala sekolah yang memperoleh skor di bawah 75 pada siklus I. Pada siklus II, kembali dilakukan pendampingan sebagai tindakan untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam penyusunan RKAS. Tahap kegiatan yang dilakukan pada siklus II pada dasarnya sama dengan siklus I, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Akan tetapi, pelaksanaan siklus II dirubah atau diperbaiki atas pertimbangan hasil refleksi dari siklus I.

Teknik Pengumpulan DataData kinerja kepala sekolah merupakan

data primer. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data penelitian tanpa adanya media perantara. Pengumpulan data kinerja kepala sekolah dilakukan melalui observasi dan tes.

Data terkait pelaksanaan pembinaan kepala sekolah juga merupakan data primer. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data penelitian

tanpa adanya media perantara. Pengumpulan data pelaksanaan pembinaan kepala sekolah dilakukan melalui observasi.

Data Kinerja Kepala SekolahData mengenai kinerja kepala

sekolah diperoleh secara langsung melalui observasi dan tes. Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. Metode observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari keadaan yang ingin diamati, yaitu respon kepala sekolah ketika mengikuti pendampingan dan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS selama pendampingan. Tes merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan mengevaluasi dan menilai hasil dari pekerjaan. Dalam hal ini, pengawas melakukan penilaian terhadap dokumen RKAS yag telah disusun kepala sekolah.Data Pembinaan

Data mengenai pembinaan diperoleh dari pelaksanaan observasi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. Metode observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data pembinaan dari keadaan yang ingin diamati, yaitu pelaksanaan tindakan serta aktivitas, sikap, dan pelaksanaan pendampingan. Observasi dilaksanakan secara langsung terhadap subjek penelitian pada saat pelaksanaan tindakan. Observasi

Page 41: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

35

didokumentasikan melalui foto, penilaian pada lembar observasi, serta catatan lapangan selama pelaksanaan tindakan.

Adapun instrumen yang digunakan untuk memperoleh data selama observasi berlangsung adalah pedoman observasi. Pengisian pedoman observasi dilakukan dengan memberikan tanda pada kolom yang disediakan saat peristiwa tersebut muncul. Skala yang digunakan adalah skala Likert dengan lima katagori sikap yaitu: sangat baik, baik, cukup, kurang baik, dan tidak baik. Penilaian dilakukan dengan memberikan skor pada kolom yang tersedia dengan ketentuan sebagai berikut: skor 5 = sangat baik, skor 4 = baik, skor 3 = cukup, skor 2 = kurang baik, dan skor 1 = tidak baik. Pendamping juga memberikan keterangan terkait dengan pelaksanaan tindakan pendampingan dan pola perilaku kepala sekolah pada kolom keterangan di instrumen observasi tersebut.

Teknik Analisis Data Penelitian ini adalah penelitian

tindakan sekolah. Subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen Tahun Pelajaran 2016/2017. Pegumpulan data

dilakukan melalui observasi. Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif kuantitatif.

Indikator kinerja dalam penelitian ini adalah keberhasilan hasil dan keberhasilan proses. Pelaksanaan penelitian tindakan sekolah ini dinyatakan berhasil apabila Kepala Sekolah memiliki skor kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS > 75 dan skor terhadap RKAS yang disusun > 75. Selain itu, indikator kinerja juga didasarkan pada jumlah kepala sekolah yang berhasil meningkatkan kinerjanya dalam menyusun RKAS. Pelaksanaan penelitian tindakan ini dapat dikatakan berhasil apabila > 80% kepala sekolah yang menjadi subjek mengalami peningkatan kinerja dalam menyusun RKAS hingga minimal memperoleh katagori Baik dengan hasil penilaian > 75.

Hasil Penelitian dan PembahasanSiklus I

Pada pertemuan ke-1, tindakan yang dilaksanakan hanya menilai kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS yag selama ini telah disusun.

Perbandingan kinerja kepala sekolah sebelum dan setelah siklus I dapat dilihat pada Tabel 1.

Sugiyanto - PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

Page 42: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

36

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Dari Tabel 1 diketahui bahwa terjadi peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS setelah Siklus I. Rata-rata nilai kepala sekolah meningkat dari sebesar 50,95 menjadi 76,67. Berikut hasil dari pengkategorian terhadap ketepatan pendamping.

Berdasarkan hasil penilaian observasi pada Tabel 2 terlihat bahwa secara keseluruhan ketepatan pendamping dalam melaksanakan tindakan pada siklus I tergolong baik dengan nilai 80. Peran dengan ketepatan yang tergolong paling tinggi yang dilaksanakan yaitu peran fasilitator dengan nilai 82 dalam kategori baik. Peran dengan ketepatan yang paling rendah yang dilaksanakan oleh pendamping adalah peran motivator dengan nilai 78 dalam kategori baik. Peran katalisator yag dilakukan pendamping memperoleh nilai 80 dengan kategori baik. Rata-rata respon kepala sekolah dalam mengikuti tindakan pada siklus I tergolong cukup dengan nilai rata-rata 70,67. Respon mayoritas kepala sekolah dalam mengikuti tindakan adalah cukup dengan jumlah sebanyak 2 orang kepala sekolah, yaitu Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah Rongkop dan Kepala Sekolah SMK Bhina Karya 1 Rongkop. Kepala sekolah lainnya sebanyak 1 orang

memiliki respon yang baik, yaitu Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah Ngawen. Setelah melakukan pengamatan atas tindakan di sekolah, selanjutnya diadakan refleksi atas segala kegiatan yang telah dilakukan dalam siklus I. Dalam kegiatan siklus I didapatkan hasil refleksi.

Berdasarkan data hasil penilaian kinerja kepala sekolah menyusun RKAS sebelum pelaksanaan tindakan dapat dilihat bahwa belum mencapai batas nilai minimal pada mayoritas kepala sekolah. Setelah siklus I, ketuntasan yang diperoleh adalah sebesar 66,67% dengan nilai rata-rata sebesar 76,67. Nilai terendah 70,71 dan nilai tertinggi 80. Jumlah kepala sekolah dengan nilai melebihi batas minimal ketuntasan yang ditentukan adalah sebanyak 2 orang atau 66,67%. Hal ini belum sesuai dengan yang diharapkan karena hasil yang diharapkan sekurang-kurangnya ketuntasan yang diharapkan > 80%, dengan nilai kepala sekolah > 75.

Hasil penilaian ketepatan pendamping menunjukkan bahwa pelaksanaan tindakan sudah baik. Hasil ini dapat dinilai dari skor lembar observasi keseuruhan ketepatan yang tergolong baik dengan nilai 80. Dalam proses tindakan tentunya diharapkan peneliti memiliki ketepatan yang baik sehingga dapat melaksanakan tindakan secara tepat. Selama

Page 43: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

37

tindakan berlangsung, respon kepala sekolah seperti mengikuti penjelasan, menjelaskan hasil pemikirannya, menuangkan gagasan secara langsung maupun dalam tulisan masih cukup pada siklus I. Kepala sekolah yang memiliki respon baik dalam keseluruhan kegiatan pada siklus I hanya sebanyak 1 orang.

Secara garis besar pelaksanaan siklus I berlangsung dengan baik, hal tersebut dapat dilihat bahwa pada akhir siklus I ini mampu meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS walaupun belum sesuai dengan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, kegiatan pada siklus I perlu diulang dan ditingkatkan agar kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS meningkat sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, perencanaan yang disusun untuk siklus II dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pendamping harus selalu memotivasi kepala sekolah agar aktif dalam kegiatan pendampingan oleh kareana itu perlu meningkakan peran motivator. Pendamping juga menekankan agar kepala sekolah lebih aktif mengungkapkan pendapat atau bertanya. Walaupun pendapat yang diungkapkan salah, pendamping akan

tetap mengapresiasi dengan baik. Untuk meningkatkan kerjasama antara pendamping dengan kepala sekolah, pada pertemuan selanjutnya kepala sekolah diberikan contoh kasus dan permasalahan yang memungkinkan kepala sekolah melakukan aktifitas lebih nyata seperti berdiskusi terkait dengan contoh kasus yang berhubungan dengan penyusunan RKAS. Kepala sekolah selalu diingatkan dalam memahami materi penyusunan RKAS, kepala sekolah diperkenankan untuk menggunakan sumber lain selain materi yang diberikan. Hal ini dimaksudkan agar kepala sekolah aktif mencari sumber referensi.

Siklus IIPada Siklus II dalam tindakan melalui

pendampingan, nilai rata-rata kepala sekolah mencapai 86,90 dengan persentase ketuntasan sebesar 100. Kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS setelah Siklus II tergolong baik dengan nilai yang meningkat menjadi 86,90. Kepala sekolah dengan nilai yang tergolong dalam kategori baik adalah sebanyak 3 orang. Perbandingan kinerja kepala sekolah sebelum dan setelah Siklus II dapat dilihat pada Tabel 3.

Sugiyanto - PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

Page 44: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

38

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Dari tabel dan gambar di atas diketahui bahwa terjadi peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS setelah Siklus II. Rata-rata skor kepala sekolah meningkat dari sebesar 76,67 menjadi 86,90. Persentase ketuntasan meningkat dari 66,67% menjadi 100%. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kinerja kepala sekolah menyusun RKAS telah meningkat dan telah mencapai keberhasilan >80% dengan nilai minimal 75. Berikut hasil dari pengkategorian terhadap ketepatan pendamping melaksanakan tindakan berupa pendampingan pada siklus II.

Berdasarkan hasil penilaian observasi pada Tabel 4 terlihat bahwa secara keseluruhan ketepatan pendamping dalam melaksanakan tindakan pada siklus I tergolong sangat baik dengan nilai 90,67. Peran dengan ketepatan yang tergolong paling tinggi yang dilaksanakan oleh pendamping adalah peran fasilitator dan katalisator dengan nilai pada masing-masing kategori sebesar 92 dalam kategori sangat baik. Peran dengan ketepatan yang paling rendah yang dilaksanakan oleh pendamping adalah peran motivator dengan nilai 88 dalam kategori baik. Berdasarkan hasil penilaian observasi pada tabel di atas

terlihat bahwa respon kepala sekolah dalam mengikuti tindakan pada Siklus II tergolong baik dengan nilai rata-rata 81,87. Dalam kegiatan Siklus II didapatkan hasil refleksi.

Berdasarkan data hasil penilaian kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS sebelum pelaksanaan tindakan seluruh kepala sekolah sudah mencapai batas nilai minimal. Setelah Siklus II, ketuntasan yang diperoleh adalah sebesar 100% dengan nilai rata-rata sebesar 86,90. Nilai terendah 82,86 dan nilai tertinggi 92,14. Hal ini sudah sesuai dengan yang diharapkan yaitu sekurang-kurangnya nilai ketuntasan > 80%, dengan nilai kepala sekolah > 75.

Hasil penilaian ketepatan pendamping menunjukkan bahwa pelaksanaan tindakan sudah cukup baik. hasil ini dapat dinilai dari skor lembar observasi yang tergolong sangat baik dengan nilai 90,67. Dalam proses tindakan tentunya diharapkan pendamping memiliki ketepatan yang sangat baik sehingga dapat melaksanakan tindakan dengan tepat. Selama tindakan berlangsung, respon kepala sekolah seperti bertanya, menjelaskan, menuangkan gagasan secara langsung maupun dalam tulisan sudah sangat baik pada Siklus II. Kepala sekolah yang sangat aktif dalam keseluruhan

Page 45: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

39

kegiatan pada Siklus II adalah sebanyak 3 orang. Secara garis besar pelaksanaan Siklus II berlangsung dengan baik, hal tersebut dapat dilihat bahwa pada akhir Siklus II ini mampu meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS serta hasil yang diharapkan telah tercapai.

PembahasanDalam kegiatan pendampingan

diharapkan dapat tercipta kondisi atau suatu proses yang mengarahkan kepala sekolah untuk mampu memahami cara penyusunan RKAS. Proses interaksi antara pendamping dengan kepala sekolah dalam proses pendampingan bukan hanya merupakan proses yang berkelanjutan tapi juga berlangsung dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, pendamping harus mampu melaksanakan pendampingan secara efektif, sehingga tujuan dari pelaksanaan tindakan dapat tercapai secara optimal. Salah satu tolok ukur berkualitas atau tidaknya suatu tindakan yang dilaksanakan dapat diketahui melalui peningkatan dari kemampuan yang diharapkan.

Pendampingan merupakan salah satu model pembinaan terhadap kepala sekolah. Model pembelajaran ini menerapkan struktur diskusi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa pendampingan dapat meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS. Setelah dilakukan pendampingan terlihat bahwa kinerja kepala sekolah mengalami peningkatan. Perolehan nilai rata-rata kepala sekolah pada akhir tes siklus I yaitu 76,67 dengan ketuntasan

66,67%, siklus II 86,90 dengan ketuntasan pada akhir siklus II sebesar 100%. Dengan demikian, kinerja kepala sekolah pada siklus I telah mengalami peningkatan dan pada II sudah memenuhi indikator yang telah ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sekurang-kurangnya 80% dari keseluruhan kepala sekolah telah memperoleh nilai batas minimal, yaitu > 75.

Pada siklus I, mayoritas kepala sekolah memberikan respon yang tergolong cukup yaitu sebanyak 2 orang, sedangkan 1 orang kepala seolah lainnya memberikan respon yang baik. Dalam pelaksanaan siklus II, respon mayoritas kepala sekolah meningkat menjadi kategori baik pada seluruh kepala sekolah. Kepala sekolah dengan respon yang cenderung lebih baik memiliki peningkatan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kepala sekolah lainnya.

Pada siklus I, kinerja kepala sekolah belum memenuhi indikator yang telah ditetapkan, sehingga perlu dilanjutkan dengan siklus II agar indikator yang telah ditetapkan dapat terpenuhi. Peningkatan kinerja kepala sekolah menyusun RKAS pada siklus II disebabkan oleh kepala sekolah yang telah memahami materi yang disampaikan oleh pendamping. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS. Melalui hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa hipotesis tindakan penelitian dapat diterima, yaitu ada peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS setelah pelaksanaan pendampingan di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop,

Sugiyanto - PENINGKATAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

Page 46: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

40

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dan SMK Muhammadiyah Ngawen Tahun 2017.

SimpulanHasil penelitian ini dapat disimpulkan

sebagai berikut 1) Penelitian tindakan peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) melalui pendampingan di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen Gunungkidul pada tahun 2017 dilakukan selama 2 siklus. Pendampingan dilakukan melalui: tahap pembukaan dengan langkah menyampaikan tujuan pendampingan, tahap pelaksanaan dengan langkah penyampaian informasi tentang cara menyusun RKAS; serta tahap penutup dengan langkah meminta kepala sekolah menyusun RKAS secara individu, mengoreksi RKAS yang telah disusun, dan menyimpulkan hasil pendampingan; 2) Terjadi peningkatan kinerja kepala sekolah dalam menyusun RKAS setelah pelaksanaan pendampingan di SMK Muhammadiyah Rongkop, SMK Bhina Karya 1 Rongkop, dan SMK Muhammadiyah Ngawen. Hasil akhir penelitian sudah sesuai dengan yang diharapkan karena nilai ketuntasan > 80%, dengan nilai kepala sekolah > 75.

Daftar RujukanDharma, S. 2005. Manajemen Kinerja

Falsafah Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keban, Y. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media.

Mangkunegara, A. P. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhaimin. 2011. Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengebangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sutrisno, Edy. 2010. Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Page 47: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

41

PENINGKATAN KINERJA GURU PPKn DALAM MENERAPKAN METODE PEMBELAJARAN DEBAT

MELALUI PENDAMPINGAN KOLABORATIF DI SEKOLAH BINAAN

Sri HaryatiPengawas Sekolah SMA Balai Dikmen Kabupaten Bantul

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru-guru PPKn dalam menerapkan metode debat. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan sekolah yang berlangsung dalam 2 (dua) siklus. Subjek penelitian ini yaitu guru PPKn di SMA Negeri 1 Jetis, SMA Negeri 1 Pajangan dan SMA Pangudi Luhur Sedayu Kabupaten Bantul. Data kemampuan guru dalam menerapkan metode debat dalam pembelajaran PPKn diperoleh dengan menggunakan lembar observasi denganskala Likert. Peningkatan kemampuan guru dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan menerapkan metode debat dianalisis secara deskriptif kualitatif maupun kuantitatif dengan membandingkan kemampuan guru sebelumtindakandankemampuan guru sesudah tindakan pada siklus pertama dan siklus kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Melalui pendampingan kolaboratif dapat meningkatkan kinerja guru PPKn dalam penyusunan RPP. Peningkatan kinerja guru dalam menyusun RPP tampak dari adanya peningkatan kinerja prasiklus 2.82 menjadi 3.06, pada siklus 1,dan 3.20 pada siklus II. Pendampingan kolaboratif dapat meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran dalam menerapkan metode debat. Hal tersebut tampak dari adanya peningkatan kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran dari prasiklus 2.51 menjadi 2.92 pada siklus 1 dan 3.38 pada siklus II.

Kata Kunci: kinerja guru, metodedebat, pendampingankolaboratif

Abstract: This study aimed to improve the performance of PPKn teachers in applying the method of debate. This study was a school action research that takes place in 2 (two) cycles. The subjects of this research are the teachers of PPKn in SMA Negeri 1 Jetis, SMA Negeri 1 Pajangan and SMA PangudiLuhurSedayuBantul Regency. The data was obtained by using observation sheet with Likert scale. Data of improvement of teacher ability in preparingLesson Plan by applying the method of debate was analyzed descriptively qualitative and quantitative by comparing teacher ability before action and ability of teacher after action in first cycle and second cycle. The results showed that: collaborative assistance could improve the performance of PPKnteachers in the preparation of lesson plan. The improvement of teacher performance in preparing the lesson plan was an evident of the improvement of the performance in pre-cycle 2.82 to 3.06, in cycles 1, and 3.20 in cycle 2. Collaborative accompaniment improved teacher performance in implementing learning in applying the method of debate. This seen in the improvement of teacher performance in implementing lessons from pre-cycle 2.51 to 2.92 in cycles 1 and 3.38 in cycle 2.

Keywords: teacher performance, method of debate, collaborative mentoring

Pendahuluan Guru merupakan ujung tombak

dalam keberhasilan mutu pendidikan. Salah satu ciri dari mutu pendidikan yang baik

yaitu terciptanya proses pembelajaran yang baik meliputi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran maupun evaluasi. Guru sebagai penanggung jawab standar proses

Page 48: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

42

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

yang meliputi perencanaan pembelajar-an, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pem belajaran wajib melaksanakan secara efektif dan efisien. Terkait dengan proses interaksi belajar mengajar, menuntut terjadinya retensi tinggi, terkontrol dan berlangsung sesuai perencanaan pembelajaran, sehingga proses pembelajaran yang terjadi menjadi efektif, efisien sebagaimana ditetapkan dalam standar proses (Depdiknas, 2007 )

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi, peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas ketercapaian standar kelulusan (Depdiknas, 2016).

Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan proses belajar mengajar untuk membimbing, membina dan mengembangakan potensi peserta didik menjadi individu yang berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia. Pembelajaran bermutu di sekolah merupakan kewajiban bagi guru secara umum, guru dituntut untuk mampu menguasai kurikulum,

menguasai materi, menguasai metode, dan guru diharapkan mampu mengelola kelas sedemikian rupa sehingga pembelajaran berlangsung secara aktif, inovatif dan menyenangkan.Dalam kenyataannya guru belum melakukan secara maksimal, mereka kurang kreatif menggunakan model-model pembelajaran maupun teknik-teknik pendekatan yang tepat.

Peserta didik memperoleh pengalaman belajar formal terbanyak selama mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, maka dari itu mutu pembelajaran di sekolah wajib ditingkatkan secara terus menerus. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk menyadari pentingnya kualitas pembelajaran, dimana guru sebagai ujung tombaknya, oleh sebab itu profesi guru harus dikembangkan sebagai profesi yang berkualitas. Guru sebagai pendidik profesional, mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik.

Berdasarkan hasil pengamatan dalam supervisi pembelajaran yang dilakukan di beberapa sekolah binaan selama satu tahun terakhir pada tahun pelajaran 2015/2016 dapat diketahui adanya kesenjangan antara realitas atau kenyataan dengan idealitas atau harapan, yaitu peserta didik kurang aktif, kurang responsif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Demikian pula guru PPKn kurang kreatif dengan metode yang masih konvensional metode ceramah yang monoton dalam pelaksanaan pembelajaran, aktivitas pembelajaran di dalam kelas masih

Page 49: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

43

didominasi oleh guru sehingga aktivitas peserta didik belum optimal. Kondisi tersebut jika dibiarkan akan berdampak pada ketidak tercapaian kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, akibatnya perolehan hasil belajar peserta didik kurang memuaskan. Selain itu pengawas sekolah di dalam melakukan supervisi di sekolah secara rutin satu atau dua bulan sekali, juga kurang fokus di dalam pembinaan pembelajaran. Hal ini mengakibatkan hasil pelaksanaan pembelajaran belum maksimal, belum sesuai dengan aturan yang ada di dalam Permendikbud yang mengatur tentang standar proses. Berkaitan dengan uraian tersebut, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tindakan sekolah. Pengawas melakukan musyawarah kepada guru-guru PPKn di sekolah binaan bersepakat untuk meningkat mutu pembelajaran, mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran serta dalam usaha meningkatkan kinerja guru PPKn dengan menerapkan metode debat dalam pembelajaran PPKn di sekolah. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu 1) apakah melalui penerapan metode debat melalui pendampingan kolaboratif di sekolah binaan tahun pelajaran 2015/2016 dapat meningkatkan kinerja guru PPKn?; 2) Bagaimanakah meningkatkan kinerja guru PPKn dalam menerapkan metode pembelajaran debat melalui pendampingan kolaboratif di sekolah binaan tahun pelajaran 2015/2016?

Sesuai dengan rumusan masalah sebagaimana dikemukakan di atas

maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan peranan guru PPKn dalam merencanakan pembelajaran dengan menggunakan metode debat dalam pembelajaran PPKn, meningkatkan kinerja guru PPKn dalam menerapkan metode pembelajaran debat melalui pendampingan kolaboratif.

Manfaat hasil penelitian tindakan sekolah ini bagi guru yaitu dapat meningkatkan kinerja guru dalam mengembangkan metode debat dalam pembelajaran PPKn. Bagi sekolah penelitian ini daiharapkan dapat memberikan informasi/masukan, untuk mengambil kebijakan dalam peningkatan kinerja guru dan peningkatan mutu dalam upaya peningkatan kompetensi guru dan peningkatan mutu sekolah, sedangkan bagi pengawas untuk mengetahui kinerja pengawas sekolah pada pelaksanaan pembinaan kepada guru dengan menerapkan teknik pendampingan kolaboratif dalam mengembangkan metode pembelajaran.Kinerja Guru

Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh tiap-tiap individu dalam kaitannya untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa definisi mengenai kinerja. Menurut Mulyasa (2005:136), kinerja merupakan hasil dari suatu proses, kinerja atau performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk kerja. Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang merupakan efektifitas operasional suatu organisasi,

Sri Haryati - PENINGKATAN KINERJA GURU

Page 50: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

44

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam menjalankan perannya dalam suatu organisasi untuk memenuhi perilaku yang telah ditetapkan agar menghasilkan tindakan serta hasil yang diinginkan. Menurut Prawirosentono (1999:2) performance adalah hasil dari kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan.

Dari beberapa pengertian kinerja tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi yang dicapai oleh seseorang. Kinerja atau prestasi kerja merupakan hasil akhir dari suatu aktifitas yang telah dilakukan seseorang untuk meraih suatu tujuan. Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan hasil kerja yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Apabila hasil kerja yang dilakukan seseorang sesuai dengan standar kerja atau bahkan melebihi standar maka dikatakan kinerja itu mencapai prestasi yang baik.

Kinerja guru merupakan sebuah rangkaian yang terintegrasi dengan kerja guru. Pekerjaan seorang guru tidak hanya mengajar saja melainkan banyak hal yang harus dikerjakan oleh guru dengan tugas utamanya yaitu merencanakan, melaksanakan, menilai, dan menindaklanjuti hasil penilaian. Di samping tugas utama

tersebut, masih banyak tugas tambahan yang lain diantaranya pengembangan profesional, pengembangan kurikulum, mendampingi dan membimbing peserta didik dalam meningkatkan prestasi akademik maupun prestasi kepribadiannya.

Kebijakan Kemendiknas dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing menyatakan bahwa standar profesi guru merupakan dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya, baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. Kinerja guru akan terus diukur berdasarkan standar profesi guru yang telah ditetap akan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 52, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru dan Permendiknas Nomor 39 Tahun 2009 tentang Guru dan Pengawas.

Berdasarkan Pemeneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penilaian Kinerja Guru, dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dijelaskan bahwa: 1) Jabatan guru adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegitan mendidik, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik; 2) Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan guru dalam menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik; 3)

Page 51: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

45

Kegiatan membimbing adalah kegiatan guru dalam menyusun rencana bimbingan, melaksanakan bimbingan, mengevaluasi proses dan hasil bimbingan, serta melakukan perbaikan tindak lanjut bimbingan dengan memanfaatkan hasil evaluasi.Pendampingan Kolaboratif

Pengawas sekolah mempunyai tugas yang sangat penting di dalam mendorong guru dan kepala sekolah untuk melakukan proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan berpikir kritis, kreatif, inovatif, cakap menyelesaikan masalah, dan bernaluri kewirausahaan bagi siswa sebagai produk suatu sistem pendidikan. Materi ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi peningkatan kompetensi pengawas sekolah sesuai yang diamanahkan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, sejalan dengan uraian sebelumnya untuk melaksanakan tugas pokok pengawas sekolah melaksanakan fungsi supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Supervisiakademik adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah. Dengan demikian fungsi pengawas sekolah pada dimensi kompetensi supervisi akademik butir kesembilan yaitu pengembangan dan pemanfaatan alat bantu dan media pembelajaran dan atau pembimbingan.

Pendampingan kolaboratif ini merupakan teknik pembinaan yang dilakukan oleh pengawas sekolah kepada guru. Dalam

pendampingan kolaboratif, perilaku pokok pembinaan mencakup: mendengarkan, mempresentasikan, memecahkan masalah dan negosiasi. Target pembinaan guru dalam pendampingan kolaboratif adalah terdapatnya kontrak antara Pembina dan guru (Ali Imron, 1995:75).

Adapun urutan perilaku pembina dalam pendampingan kolaboratif yaitu 1) Pembina mempresentasikan persepsinya mengenai materi/permasalahan yang dijadikan sebagai sasaran pembinaan; 2) Pembina mempertanyakan kepada guru mengenai persepsinya terhadap materi/permasalahan yang menjadi sasaran pembinaan; 3) Pembina mendengarkan tanggapan atau pendapat guru; 4) Pembina dan guru mengajukan alternatife pemecahan masalah; 5) Pembina dan guru bernegosiasi atau berunding untuk memecahkan masalah.

Metode Debat

Pengertian metode menurut WJS. Poerwadarminta (1999:767) adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Berdasarkan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa metode merupakan jalan atau cara yang ditempuh seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Mengajar merupakan suatu usaha yang sangat kompleks, sehingga sulit menentukan bagaimana sebenarnya mengajar yang baik. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan, sedangkan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah laku peserta didik berubah

Sri Haryati - PENINGKATAN KINERJA GURU

Page 52: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

46

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000:24). Pengertian metode pembelajaran

debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam institusi legislative seperti parlemen, terutama di negara-negara yang menggunakan sistem oposisi. Dalam hal ini, debat dilakukan menuruti aturan-aturan yang jelas dan hasil dari debat dapat dihasilkan melalui voting atau keputusan juri. Jadi debat adalah suatu diskusi antara dua orang atau lebih yang berbeda pandanagan, dimana antara satu pihak dan pihak yang lain saling menyerang (sumber: eduscpes.com).

Keunggulan metode pembelajaran debat yaiti 1) Memantapkan pemahaman konsep siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan; 2) Melatih siswa untuk bersikap kritis terhadap semua teori yang telah diberikan; 3) Melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat, selain itu juga terdapat. Namun begitu metode pembelajaran debat juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya 1) Ketika menyampaikan pendapat saling berebut; 2) Terjadi debat usir yang tak kunjung selesai bila guru tidak menengahinya; 3) Siswa yang pandai berargumen akan selalu aktif tapi yang kurang pandai berargumen hanya diam dan pasif; 4) Menghabiskan banyak waktu untuk melakukan sesi debat antar kelompok; 5) Perlunya tema yang mudah dipahami oleh siswa; 6) Tema haruslah yang dapat diperdebatkan; 7) Penataan siswa

dalam kelompok terkadang tidak heterogen.Dalam berdebat, harus diperhatikan

beberapa etika, yaitu (1) Berpikir logis dan memiliki pengetahuan yang mendukung permasalahan yang dibahas dalam debat; (2) mampu berbahasa dengan baik, benar dan komunikatif serta tanggap terhadap respons yang diterima; (3) dilarang menyangkutpautkan permasalahan dengan SARA; (4) Interupsi ditawarkan dengan berdiri dan berkata “interupsi” atau kata-kata semacam itu; (5) Pembicara di podium tidak diwajibkan menerima semua interupsi. Pembicara tersebut boleh meminta penyela untuk duduk dulu selagi pembicara tersebut menyelesaikan kalimatnya baru boleh menerima interupsi; (6) poin interupsi boleh ditawarkan oleh lebih dari satu pembicara dari pihak lawan, pembicara di podium bisa menolak semua ataupun beberapa, dan bisa memilih penyela mana yang diizinkan, sehingga yang lain harus duduk.

Langkah-langkah dalam pembela-jaran metode debat yaitu 1) Guru membagi dua kelompok peserta debat yang satu pro dan yang lain kontra; 2) Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh kedua kelompok; 3) Setelah selesai membaca materi, guru menunjuk salah satu anggota kelompok pro untuk berbicara, saat itu ditanggapi atau dibantah oleh kelompok kontra. Demikian seterusnya sampai sebagian besar peserta didik bisa mengemukakan pendapatnya; 4) Sementara peserta didik menyampaikan gagasannya, guru menulis ide/inti dari setiap pembicaraan di papan tulis, sampai sejumlah

Page 53: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

47

ide yang diharapkan guru terpenuhi; 5) Guru menambahkan konsep atau ide yang belum terungkap; 6) Dari data-data yang ada di papan tulis, guru mengajak peserta didik membuat kesimpulan atau rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.

Efektifitas metode debat dalam meningkatkan partisipasi peserta didik, pembentukan pola pikir kritis dan kerja sama antar kelompok dapat lebih ditingkatkan dengan menerapkan model pembelajaran debat di kelas. Kelebihan model ini lebih banyak mengeksplorasi kemampuan peserta didik dari segi intelektual dan emosi siswa dalam kelompok kerjanya, sehingga pembentukan kerjasama antar siswa, pola pikir yang kritis, dan pemahaman etika dalam berpendapat dapat diperoleh dalam pembelajaran di kelas. Namun disamping ada kelebihan tetapi masih ada juga kekurangannya yang memerlukan peran dari seorang guru untuk memperbaikinya.

Agar mempermudah proses berpikir dalam penelitian ini, dirumuskan kerangka berpikir sebagaimana dapat dicermati pada Gambar 1.

Berdasarkan kerangka pikir pada Gambar 1, dirumuskan hipotesis tindakan penelitian sebagai berikut: “Jika pendampingan kolaboratif diterapkan pada sekolah binaan, maka kinerja guru PPKn dalam menerapkan metode debat dalam pembelajaran PPKn akan meningkat”.Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan sekolah yang dilakukan terhadap guru-guru PPKn di sekolah binaan SMA negeri/swasta untuk meningkatkan kemampuan guru-guru dalam menerapkan metode debat dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru diawali dari penyusunan RPP. Perencanaan diawali dengan sosialisasi tentang prinsip-prinsip menyusun RPP dan

Sri Haryati - PENINGKATAN KINERJA GURU

Page 54: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

48

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan RPP melalui pendampingan kolaboratif kepada guru-guru PPKn yang menjadi subjek penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus diakhiri dengan penilaian. Siklus I berlangsung 4 (empat) pertemuan dengan kegiatan penyusunan RPP dengan mengembangkan metode debat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, sedangkan siklus II berlangsung 3 (tiga) pertemuan dengan kegiatan menerapkan metode debat di dalam pembelajaran di kelas. Pada setiap akhir siklus diadakan analisis dan refleksi untuk mengetahui keberhasilan maupun kekurangan yang terjadi. Tahapan dalam setiap siklus dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tahap pertama yaitu perencanaan. Kegiatan perencanaan mencakup: (1) Menyusun rencana pendampingan kolaboratif; (2) Menyusun lembar observasi; (3) Menyusun format catatan hasil tindakan; (4) Menyusun format hasil refleksi untuk mendokumentasikan temuan hasil refleksi; serta (5) Menyusun alat evaluasi untuk mengukur kemampuan guru.

Tahap selanjutnya yang ada pada setiap siklus yaitu pelaksanaan tindakan. Pelaksanaan tindakan ini meliputi (1) Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah memberi materi kepada guru-guru dalam menyusun RPP; (2) Memberikan tugas kepada guru-guru untuk menyusun RPP semester 2 kelas X, XI, dan XII; (3) Mencermati RPP yang telah disusun oleh guru-guru binaan; (4) Membimbing guru

dalam menyusun RPP sesuai dengan peraturan yang ada; (5) Mencermati/melakukan supervisi pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan metode pembelajaran sesuai dengan RPP; dan (6) Melakukan diskusi hasil pelaksanaan pembelajaran.

Tahap ketiga yaitu observasi. Pada tahapan ini penulis melakukan observasi kepada guru-guru binaan dalam menyusun RPP dan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan instrumen supervisi RPP dan pelaksanaan pembelajaran meliputi (1) Melakukan observasi terhadap guru pada waktu menyusun RPP; (2) Melakukan observasi pada guru dalam KBM; (3) Mencatat kejadian penting selama pelaksanaan KBM kemudian diamati dengan menggunakan lembar observasi.

Tahap terakhir dalam setiap siklus yaitu refleksi. Pada tahap refleksi ini peneliti, kolaborator, dan guru melaksanakan diskusi refleksi untuk menganalisa data hasil observasi untuk mengetahui efektivitas tindakan yang telah dilaksanakan. Hasil refleksi dari siklus I digunakan untuk menentukan langkah-langkah pada siklus berikutnya.

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu guru PPKn, pengawas sekolah sebagai peneliti. Data dalam penelitian ini ada 2 macam yaitu kemampuan guru dalam menyusun RPP dimana skor RPP diambil dengan studi dokumen menggunakan lembar instrumen penilaian RPP, dan yang kedua skor implementasi RPP di dalam pembelajaran yang diambil dengan

Page 55: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

49

observasi pembelajaran menggunakan lembar instrumen pembelajaran. Kedua instrumen yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi instrumen yang dikembangkan oleh Direkorat Pembinaan SMA dengan penyempurnaan pada bagian-bagian tertentu.

Indikator keberhasilan penelitian ini yaitu adanya peningkatan kemampuan guru PPKn dalam mengajar dengan mengembangkan metode debat melalui pendampingan kolaboratif. Apabila kemampuan guru PPKn yang diperoleh setelah dikenai tindakan mengalami peningkatan seperti yang diharapkan berarti hipotesis tindakan terbukti. Hasil tindakan dengan pendampingan kolaboratif guru PPKn dikatakan berhasil apabila: (1) Guru PPKn mampu mengembangkan RPP dengan kategori baik; (2) Adanya peningkatan kemampuan guru PPKn dalam mengajar dengan mengembangkan metode debat dalam kategori baik, dapat dikatakan berhasil.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui peningkatan kemampuan guru dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan menerapkan metode debat dianalisis dengan membandingkan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran sebelum tindakan dan kemampuan guru sesudah tidakan pada siklus pertama dan siklus ke dua; (2) Untuk mengetahui peningkatan kemampuan guru dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan

menerapkan metode debat digunakan Skala Likert untuk memudahkan mengadakan penilaian yang pilihannya berjenjang, dengan empat pilihan ; sangat baik, baik, rendah atau sangat rendah. Skor 4 dengan predikat sangat baik jika indikator muncul lengkap dan benar; skor 3 dengan predikat baik jika indikator muncul lengkap tetapi benar sebagian ; skor 2 dengan predikat rendah jika indikator kurang lengkap benar sebagian ; skor 1 jika indikator tidak muncul. Jumlah skor yang diperoleh dari observasi, dihitung rata-rata kemudian ditentukan kategori sebagai berikut (1) Amat Baik (3,6≤ A ≤4); (2) Baik (3,1≤ B ≤ 3,5) ; (3) Cukup (2,6 ≤ C ≤3,0); (4) Kurang (K ≤ 2,5 ) (Kemdikbud, 2010:61)

Hasil Penelitian dan PembahasanSiklus I Berdasarkan hasil pengamatan dari prasiklus maka dibuatlah penentuan tindakan dari siklus I sebagai berikut (1) pengawas sekolah menilai penyusunan RPP; (2) pengawas menanyakan kepada guru tentang persepsinya dalam penyusunan RPP; (3) pengawas mendengarkan tanggapan/pendapat guru; (4) pengawas melaksanakan observasi kelas; (5) pengawas dan guru mengajukan alternatif pemecahan masalah; (6) pengawas dan guru bernegosiasi/berunding untuk memecahkan masalah.

Pelaksanaan tindakan siklus I dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait peningkatan kinerja guru PPkn dalam menggunakan metode pembelajaran tertentu yang menarik yaitu dengan

Sri Haryati - PENINGKATAN KINERJA GURU

Page 56: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

50

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

menerapkan metode debat dalam pembelajaran PPKn. Pelaksanaan pada kegiatan ini dilakukan melalui langkah-langkah: (1) Pelaksanaan pendampingan kolaboratif penyusunan RPP dengan langkah-langkah yaitu mempresentasikan persepsi, mempertanyakan persepsinya, mempertanyakan persepsinya kepada guru, mendengarkan tanggapan guru, mengajukan alternatif pemecahan masalah, dan bernegosiasi; (2) Pelaksanaan observasi; (3) Penggunaan instrumen observasi.

Tahap selajutnya dalam siklus I yaitu observasi. Tindakan selama siklus I diobservasi menggunakan instrumen observasi yang telah disiapkan. Hasil observasi pada akhir dari kegiatan menunjukkan bahwa hasil penyusunan RPP secara keseluruhan dengan kategori cukup yaitu sebesar 3.06, sedangkan untuk hasil pengamatan supervisi KBM pada siklus

I sebesar 2.92. Hasil observasi ini dapat dicermati pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui hasil penilaian RPP pada siklus I menunjukkan hasil bahwa masih ada beberapa sekolah yang masih mendapatkan skor 1,00 misalnya di SMA Jetis pada metode pembelajarannya masih menggunakan ceramah, di SMA PL Sedayu pada penilaian belum menuliskan soal post-test, sedangkan di SMA Negeri 1 Pajangan pada media dan sumber pembelajaran juga belum menggunakan media serta sumber belajarnya masih minim hanya buku paket saja. Hasil Supervisi KBM Siklus I dapat dicermati pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil penga-matan supervisi KBM pada siklus I di SMA PL Sedayu pada nilai pembelajarannya masih perlu ditingkatkan yaitu pada penerapan metode debat serta pada pemanfaatan sumber

Page 57: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

51

dan media pembelajaran. Maka dari itu perlu pendampingan untuk meningkatkannya pada pertemuan berikutnya.

Tindakan selama siklus I diobservasi menggunakan instrumen observasi yang telah disiapkan. Hasil observasi pada akhir dari kegiatan ini menunjukkan bahwa hasil penyusunan RPP secara keseluruhan berada pada kategori cukup. Hasil selengkapan dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa penyusunan RPP guru maupun praktek pembelajarannya belum memenuhi indikator keberhasilan

Berdasarkan hasil observasi, maka dapat dilakukan analisis dan refleksi sebagai berikut. Pada kegiatan siklus I guru telah dapat menyusun RPP sesuai ketentuan yang berlaku dengan baik namun berdasarkan hasil observasi praktek pembelajaran di kelas, belum menunjukkan hasil yang optimal. Beberapa kekurangan yang terjadi pada guru dan harus dilengkapi pada siklus II yaitu guru harus meningkatkan kemampuannya dalam strategi pembelajaran debat, guru harus mengembangkan metode yang digunakan agar mengaktifkan siswa/semua siswa berpartisipasi, guru harus meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan media dan sumber pembelajaran, pengawas sekolah dalam melakukan pendampingan kolaboratif harus lebih memprioritaskan perhatiannya kepada guru yang kemampuan dalam mengembangkan strategi maupun metode pembelajaran yang masih kurang, pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan kepada guru harus menggunakan pendekatan yang bersifat kolegial.

Deskripsi Siklus II Penelitian Tindakan Sekolah pada

siklus II ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai dengan 9 Maret 2016. Perencanaan pada siklus II pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan perencanaan pada siklus I. Perbedaannya bahwa pada siklus II ini dilakukan perbaikan-perbaikan berdasarkan kekurangan pada siklus I. Adapun perbaikan yang dilakukan antara lain merencanakan kegiatan pendampingan yang akan dilaksanakan pada siklus II sebagai tindak lanjut dari hasil refleksi pada siklus I. Pada tahap ini disampaikan informasi dan rencana kegiatan yang akan di lakukan oleh guru pada siklus ke II.

Pelaksanaan tindakan pada siklus II, pada dasarnya sama dengan pelaksanaan siklus I, hanya mengacu pada perbaikan rencana tindakan yang telah dilakukan sebagai upaya perbaikan terhadap kekuranagn yang ditemukan pada siklus I, yaitu materi utama yang harus dilakukan berupa pengembangan strategi dan metode debat dalam pembelajaran PPKn yang benar-benar bisa mengaktifkan semua peserta didik sesuai penjelasan pada pertemuan sebelumnya. Dengan memperhatikan dan melengkapi kekurangan pada siklus I, dilakukan pendampingan kolaboratif pada guru. Pada kegiatan ini guru dibimbing dalam pengembangan metode debat di dalam pembelajaran yang bisa mengaktifkan seluruh peserta didik.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti melakukan analisis dan refleksi sebagai beriku. Pada kegiatan

Sri Haryati - PENINGKATAN KINERJA GURU

Page 58: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

52

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

siklus II guru telah dapat mengembangkan metode debat di dalam pembelajaran yang dapat mengaktifkan semua peserta didik dan sekaligus telah memperhatikan dan menindaklanjuti hasil dari siklus I. Beberapa aspek yang telah terjadi pada guru dan harus diperhatikan yaitu (1) guru harus selalu berusaha meningkatkan kemampuannya dalam penyusunan RPP; (2) dalam penyusunan RPP guru harus memperhatikan strategi dan metode dalam pembelajaran yang tepat yang dapat mengaktifkan seluruh peserta didik; (3) meningkatkan hasil belajar yang optimal. Hasil observasi pada akhir siklus II menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru dalam pembelajaran dengan mengembangkan metode debat, terbukti skor yang diperoleh guru dalam pembelajaran di kelas menunjukkan kategori amat baik dengan rata-rata 3,38.

Perkembangan nilai RPP dan Rekapitulasi Observasi Pembelajaran dari prasiklus, siklus I dan siklus II di tiap sekolah dapat dilihat dalam Gambar 2.

Hasil pencermatan RPP dari prasiklus, siklus I, dan siklus II menunjukkan

adanya peningkatan kemampuan guru dalam pembelajaran dengan mengembangkan metode debat. Terbukti skor yang diperoleh guru dalam pembelajaran di kelas menunjukkan peningkatan kategori amat baik dengan rata-rata 3,38 sehingga siklus II telah mengalami peningkatan sebesar 0,38.

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada prasiklus, siklus I, dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru dalam pembelajaran dengan mengembangkan metode debat. Hasil ini dapat dicermati pada Gambar 3. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada prasiklus, siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru dalam pembelajaran dengan mengembangkan metode debat. Skor yang diperoleh guru dalam pembelajaran di kelas menunjukkan kategori amat baik dengan rata-rata 3,38 sehingga siklus II telah mengalami peningkatan sebesar 0,38. Pada observasi pelaksanaan pembelajaran dilakukan pendampingan kolaboratif dengan cara mencermati praktek mengajar guru,

Page 59: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

53

sehingga mengalami peningkatan sebesar 0,87 dari hasil pendampingan kolaboratif tersebut.

Berdasarkan analisis hasil pada siklus I dan siklus II terlihat adanya peningkatan pada setiap siklusnya . Hal ini terjadi karena setiap kelemahan atau kekurangan yang ditemukan pada siklus sebelumnya direncanakan ulang dan diperbaiki pada siklus berikutnya. Berdasarkan hasil pencermatan RPP dari prasiklus, siklus I, dan siklus II ada beberapa indikator yang masih mendapatkan skor kategori kurang. Pada pendahuluan bagian yang kurang dalam penyampaian kompetensi dan rencana kegiatan. Selain itu juga belum tepat dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran. Ketiga sekolah tersebut pada metode pembelajaran masih menggunakan metode ceramah, sehingga belum mengaktifkan peserta didik. Pada bagian penutup pembelajaran beberapa sekolah kurang lengkap diantaranya guru belum menyampaikan post-test dan tindak lanjut. Berdasarkan beberapa kekurangan tersebut maka dilakukan bimbingan dan pendampingan kepada guru untuk menyempurnakan RPP tersebut. Beberapa hal yang ditekankan kepada para guru untuk menyempurnakan RPP pada siklus II yaitu (1) Guru harus meningkatkan kemampuannya dalam strategi pembelajaran debat; (2) Guru harus mengembangkan metode yang digunakan agar mengaktifkan siswa / semua siswa berpartisipasi; (3) Guru harus meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan media dan sumber pembelajaran; (4) Pengawas sekolah dalam

melakukan pendampingan kolaboratif harus lebih memprioritaskan perhatiannya kepada guru yang kemampuannya dalam mengembangkan strategi maupun metode pembelajaran masih kurang; (5) Pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan kepada guru harus menggunakan pendekatan yang bersifat kolegial.

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada akhir siklus II menunjukkan adanya peningkatan kemampuan guru dalam pembelajaran dengan mengembangkan metode debat. Terbukti skor yang diperoleh guru dalam pembelajaran di kelas menunjukkan kategori amat baik dengan rata-rata 3,38 sehingga siklus II telah mengalami peningkatan sebesar 0,38. Pada kegiatan observasi pelaksanaan pembelajaran dilakukan pendampingan kolaboratif dengan cara mencermati praktek mengajar guru sehingga skor mengalami peningkatan sebesar 0,87. Berdasarkan hasil pendampingan kolaboratif tersebut disimpulkan bahwa guru-guru mengalami peningkatan kinerjanya dalam penyusunan RPP dan pelaksanaan pembelajaran telah mencapai kategori baik, sehingga penelitian tindakan ini dihentikan pada siklus II.

Simpulan Berdasarkan hasil analisis sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpukan bahwa: (1) Pendampingan kolaboratif dapat meningkatkan kinerja guru PPKn dalam menyusun RPP dengan menerapkan metode pembelajaran debat di sekolah binaan SMA

Sri Haryati - PENINGKATAN KINERJA GURU

Page 60: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

54

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Negeri 1 Jetis, SMA Negeri 1 Pajangan dan SMA Pangudi Luhur Sedayu Kabupaten Bantul tahun pelajaran 2015/2016. Hal ini dapat dilihat dari hasil rata- rata nilai prasiklus 2,82 (70,5 %) menjadi 3,06 (76,5 %) pada siklus I dan 3,20 (80,0 %) pada siklus II; (2) Pendampingan kolaboratif dapat meningkatkan kinerja guru dalam mengimplementasikan RPP yang menerapkan metode debat di sekolah binaan tahun pelajaran 2015/2016. Hal ini dapat dilihat dari hasil rata-rata nilai prasiklus sebesar 2,51 (62, 8 %) menjadi 2,92 (73,0 %) pada siklus I dan 3,38 (84,5 %) pada siklus II.

Daftar RujukanDepdiknas. 2007. Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BNSP

----------------. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah. Jakarta : Depdikdas.

-----------------. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdikdas.

------------------. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Guru. Jakarta.

-------------------. 2007. Peraturan Menteri Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta.

--------------------. 2009. Peraturan Menteri Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pengawas. Jakarta.

----------------------. 2008. Laporan Penelitian Tindakan Sekolah sebagai Karya Tulis Ilmiah dalam Kegiatan Pengembangan Profesi Pengawas Sekolah. Jakarta : Direktorat Tenaga Kependidikan.

Imron, Ali. 1995. Pembinaan Guru SMU di Indonesia. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.

Kemdikbud. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses. Jakarta.

Suharsimi A.; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara.

Suharsimi Arikunto, 2006. Dasar-dasar Supervise Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pemerintah RI. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003: Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: BP. Cipta Jaya.

http :// Idtesis.com “Metode Pembelajaran Forum Debat”. Diakses pada Januari 2016.

Page 61: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

55

PENGGUNAAN APLIKASI WhatsApp SEBAGAI MEDIA LAYANAN BIMBINGAN KARIER PADA SISWA KELAS XII

SMK NEGERI 2 GEDANGSARI

Iin Las PriyantiSMK N 2 Gedangsari

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiefektivitaslayanan bimbingan karier dengan menggunakan aplikasi WhatsApp. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptifkualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan wawancara dan dokumentasi. Analisis data dengan data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Hasil implementasi penggunaan aplikasi Whatsapp dapatmembantu peserta didik dalam: 1) menentukan perencanaan karier yang meliputi pemilihan perguruan tinggi, pemilihan program studi; 2) memutuskan tentang arah hidup untuk masa depan; 3) mudah untuk diakses dan cepat; 4) tidak perlu face to face; 5). Memfasilitasi peserta didik menjadi lebih mudah terbuka dalam menyampaikan masalah yang sedang dihadapi; dan 6) Memberikan kemudahan dalam berinteraksi antara siswa dan guru BK. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aplikasi WhatsApp efektif digunakan sebagai media layanan bimbingan karier bagi siswa.

Kata kunci: WhatsApp, bimbingan karir,siswa SMK

Abstract: This study aimed to determine the effectiveness of career guidance services by using the WhatsApp application. This research was a qualitative descriptive study. Data collection techniques used interviews and documentation. Data were analyzed using data reduction, display data, and conclusion drawing / verification. The results of implementation of WhatsApp application helped learners in: 1) determining career planning which includes selection of universities, selection of study programs; 2) deciding on the direction of life for the future; 3) providing ease and speed of access; 4) facilitating communication without face-to-face meeting; 5). Facilitating learners to be more easily open in addressing the problem; and 6) providing ease of interaction between students and teachers counselor. It could be concluded that WhatsApp application is effectively used as a media for career guidance services for students.

Keywords: WhatsApp, career guidance, vocational students

PendahuluanKemajuan teknologi yang pesat di

bidang komunikasi telah melahirkan banyak inovasi dan gagasan baru. Salah satu inovasi yang mempermudah proses komunikasi yaitu telepon selular. Munculnya berbagai smartphone seperti Backberry, Android, Iphone, WindowsPhone, serta Symbian S60 merupakan contoh kecanggihan teknologi

dalam bentuk ponsel. Aplikasi WhatsApp Messenger sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dapat digunakan dengan mudah oleh semua kalangan, termasuk remaja yang tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan berkomunikasi.

Pada umumnya di semua handphone Android, aplikasi WhatsApp dapat diinstal dengan mudah. Setelah aplikasi WhatsApp

Page 62: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

56

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

terinstal, kita dapat berkomunikasi dengan mengirimkan pesan kepada rekan kita yang memiliki WhatsApp messenger juga. Jadi hal ini bisa dilakukan guru BK kepada siswanya yang sama-sama memiliki WhatsApp messenger. Lewat komunikasi di WhatsApp messenger, layanan bimbingan karier dapat dilakukan, bukan hanya percakapan sehari-hari.

Dalam pelaksanaan layanan BK di SMK Negeri 2 Gedangsari masih banyak terdapat kendala yang terjadi. Berdasarkan data yang dperoleh guru BK saat ini berjumlah 3 orang, sedangkan jumlah siswa keseluruhan 675 siswa. Idealnya 1 orang guru BK membimbing 150 siswa, sehingga sekolah ini masih kekurangan guru BK. Dengan demikian jumlah kebutuhan konseling yang terlalu banyak, dimana tidak diimbangi dengan jumlah konselor yang relatif lebih sedikit. Kendala lainnya antara lain terbatasnya waktu yang dimiliki konselor dan konseli untuk melakukan layanan bimbingan konseling, siswa juga kurang aktif dalam menemui konselor untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi.

Berdasarkan wawancara dengan siswa diketahui bahwa siswa masih mengalami kebingungan, kecemasan setelah lulus SMK mau kemana. Di satu sisi harus mengejar cita-cita yaitu memiliki keinginan untuk melanjutkan PTN, di sisi lain orangtua menginginkan untuk bekerja. Terlebih bagi kelas XII yang sudah memikirkan atau merencanakan setelah lulus SMK mau ke mana. Selain itu, bagi

yang ingin melanjutkan pendidikan, mereka mempertimbangkan lokasi tempat kuliah, pemilihan jurusan, akreditasi jurusan, daya tampung. Selanjutnya faktor ekonomi juga merupakan salah satu kendala dalam meraih cita-cita, karena sebagian besar siswa SMK Negeri 2 Gedangsari kondisi ekonomi berada pada rentang menengah ke bawah/ pinggiran.

Layanan Bimbingan konseling dan profesionalisme konselor dapat ditingkatkan melalui teknologi. Teknologi dapat membuat kinerja konselor menjadi lebih cepat, mudah, dan dapat tertangani dalam pelayanan BK sehingga konselor akan lebih produktif dan profesional. (http://www.posbali.id/media-sosial-dalam-layanan-bimbingan-konseling). Dalam Layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan dengan berbagai media sehingga memungkinkan konselor dalam menyajikan informasi akan lebih menarik dan mempermudah siswa dalam melakukan konseling atau bimbingan. Media inovatif bimbingan dan konseling merupakan usaha kreatif dan inovatif guru bimbingan dan konseling atau konselor untuk menghasilkan produk yang mampu menjembatani penyampaian pesan bimbingan dan konseling yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik/konseli untuk menangkap pesan dengan tepat. Media bimbingan dan konseling tersebut dalam bentuk cetak atau elektronik/digital. Sebagai alat bantu menyampaikan pesan, memilih media harus hati-hati dan bisa mengikuti pilihan dari tingkat yang paling kongkrit

Page 63: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

57

ke yang paling abstrak (Kemendikbud, 2016:92). WhatsApp adalah aplikasi pesan untuk smartphone dengan basic mirip Blackberry Messenger. WhatsApp Messenger merupakan aplikasi pesan lintas platform yang memungkinkan kita bertukar pesan tanpa biaya SMS, karena WhatsApp menggunakan paket data internet (https//id.m.wikipedia.org). Dengan aplikasi WhatsApp yang dimanfaatkan secara benar dan melalui perencanaan yang baik, akan sangat mendukung keberhasilan pelayanan BK yang dilaksanakan oleh konselor. Melalui kegiatan konseling menggunakan aplikasi WhatsApp, maka diharapkan dapat lebih mengefektifkan kegiatan bimbingan dan konseling serta dapat meningkatkan pelayanan bimbingan konseling dalam bidang penempatan dan penyaluran.

Seperti yang diungkapkan Rachman Natawijaya (1981:19) mengemukakan bahwa bimbingan karier adalah proses membantu seseorang untuk mengerti dan menerima gambaran tentang diri pribadinya dan gambaran tentang dunia kerja di luar dirinya dan mempertemukannya, sehingga pada akhirnya mampu memilih bidang pekerjaan, menyiapkan diri untuk bidang pekerjaan dan membina karier dalam bidang tersebut. Selanjutnya dalam “ICT for Counseling and Careers Guidance Services”, dijelaskan bahwa pemanfaatan ICT dapat membantu konselor dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan karier bagi konseli.

Media WhatsApp dalam layanan bimbingan dan konseling bagi siswa akan memberikan kemudahan dan efisiensi

waktu karena bisa dilakukan kapan saja dan dimanapun. Sedangkan dalam dunia pendidikan dijadikan sebagai bahan untuk memahami pesatnya perkembangan teknologi sehingga akan memunculkan berbagai inovasi yang dapat mempermudah komunikasi dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah yaitu “Bagaimana penggunaan aplikasi WhatsApp untuk mengefektifkan layanan bimbingan karier pada siswa kelas XII SMK Negeri 2 Gedangsari”?

Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan yang dicapai yaitu untuk mengetahui layanan bimbingan karir dengan menggunakan aplikasi WhatsApp dalam pengefektifan bimbingan karir pada sisiwa kelas XII SMK Negeri 2 Gedangsari.

Metode PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6)

Subyek penelitian yaitu siswa kelas XII Tata Busana, Akuntansi dan Otomotif SMK Negeri 2 Gedangsari. Waktu penelitian pada bulan Januari sampai dengan Juni 2017.

Iin Las Priyanti - PENGGUNAAN APLIKASI WhatsApp

Page 64: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

58

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan pada saat siswa setelah melaksanakan layanan bimbingan dan konseling dengan media Whatsapp untuk mengetahui sejauhmana penggunaan Aplikasi WhatsApp dan layanan bimbingan karier melalui media WhatsApp. Aplikasi Whatsapp memuat banyak fitur-fitur menarik yang bisa digunakan untuk berkomunikasi.

Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data dengan cara meneliti dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan masalah atau subjek penelitian. Adapun data yang akan dikumpulkan yaitu dokumen hasil wawancara dan Screenshoot percakapan anatara konselor dan konseli.

Menurut Suharsimi Arikunto (1998:151) instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data. Adapun instrumen penelitian yang digunakan yaitu pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang diajukan kepada subyek dan dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu screenshoot percakapan antara konselor dan konseli.

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis data kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan informasi yang menggambarkan efektifitas penggunaan whatsapps sebagai layanan bimbingan karir pada siswa. Teknis analisis data yang digunakan yaitu model alur yang terekam dalam catatan lapangan yang terdiri dari alur

kegiatan yang berlangsung secara bersamaan yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification, Milles and Huberman (2013:337).

Hasil PenelitianMedia Layanan Bimbingan Karier

dengan menggunakan handphone Android dan aplikasi WhatsApp dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan siswa dapat diketahui bahwa Penggunaan aplikasi WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier siswa SMK Negeri 2 Gedangsari menunjukkan bahwa 1) media tersebut membantu konseli dalam merencanakan pendidikan, memutuskan dalam pemilihan PTN/PTS sesuai dengan kemampuan yang dimiliki; 2) melalui WhatsApp lebih simple karena siswa tidak perlu datang langsung menemui guru BK, dengan WhatsApp permasalahan dapat segera teratasi dengan bimbingan guru BK, 3) dengan terbatasnya waktu di sekolah, siswa lebih leluasa melakukan bimbingan dengan media sosial yaitu WhatsApp karena tidak mengenal waktu, bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja dan siswa lebih terbuka dalam menyampaikan keluhan atau permasalahan yang sedang dihadapi.

Berikut ini salah satu bukti bahwa aplikasi WhatsApp efektif dalam pelayanan bimbingan karier pada siswa dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 65: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

59

Hasil dari aplikasi WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa layanan bimbingan karier hasil kerjasama dengan UNRIYO untuk mensosialisasikan Pendaftaran Mahasiswa Baru (PMB) 2017.

Gambar 1. Screeshots Percakapan tentang Sosialisasi dari UNRIYO Yogyakarta

Gambar 2 menunjukkan layanan bimbingan karier dalam pemilihan Perguruan Tinggi Swasta. Siswa tertarik mengikuti program dari PTS tersebut dengan jalur beasiswa penuh dan beasiswa subsidi. Dengan jalur beasiswa terdapat beberapa persyaratan antara lain: nilai raport semester

Gambar 2. Screenshots Percakapan tentang Formulir Pendaftaran PTS Respati (UN-

RIYO)

Iin Las Priyanti - PENGGUNAAN APLIKASI WhatsApp

Page 66: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

60

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

1-4 rata-rata 8, memiliki kepribadian baik dan motivasi belajar tinggi, serta mendapatkan rekomendasi dari kepala sekolah.

Gambar 3 menjelaskan pengumuman kelulusan PMB 2017. Dengan pilihan program studi sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan jalur beasiswa penuh dari UNRIYO selama 8 semester untuk S1 sedangkan untuk D3 selama 6 semester.

Gambar 4 menunjukkan bahwa siswa memiliki masalah dengan program studi dari jalur beasiswa PTS. Dalam hal ini program studi tidak sesuai dengan pada saat mendaftar.

Gambar 5 menunjukkan bimbingan pada tahap verifikasi nilai SNMPTN 2017 yang dilakukan oleh siswa, dengan menggunakan NISN dan Password. Dengan verifikasi nilai

Gambar 6 menunjukkan tentang permasalahan yang dialami siswa dalam pendaftaran SNMPTN 2017 sehingga guru BK mengarahkan untuk mengikuti jalur SBMPTN dengan ujian PBT atau CBT.

Gambar 3. Screenshots Percakapan tentang Pengumuman PMB UNRIYO

2017

Gambar 4. Screenshots Percakapan tentang Permasalahan Program Studi

yang tidak Sesuai

Gambar 5. Screenshots Percakapan ten-tang Bimbingan Verifikasi nilai melalui

www.pdss.snmptn.ac.id/siswa

Page 67: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

61

Gambar 7 menunjukkan tentang konselor sekolah (guru BK) yang melakukan wawancara dengan siswa tentang aplikasi WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier. Hasil wawancara yaitu: a) responden (siswa) sudah mengenal dan menggunakan WhatsApp (WA) sejak duduk di kelas IX; b) dengan WA semua informasi

bisa diterima melalui video, gambar, pesan, dan lain-lain; c) layanan bimbingan karier dengan WA sangat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pemilihan program studi, perguruan tinggi negeri, dan lain-lain tanpa harus bertemu dengan guru BK.

Gambar 8 menunjukkan tentang konselor sekolah (guru BK) melakukan wawancara dengan siswa tentang aplikasi WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier yaitu a). siswa mengenal dan menggunakan aplikasi WA sejak tahun 2014; b). dengan menggunakan WA siswa lebih terbuka menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan pemilihan jurusan, kemampuan akademik yang dimiliki untuk menentukan jurusan yang akan diambil. Pada saat melakukan bimbingan dengan media WA siswa merasa sangat efektif karena bisa dilakukan di rumah dan kapan saja; c) dapat membantu dalam perencanaan

Gambar 6. Screenshots percakapan bimbingan tentang Permasalahan Pilihan Program Studi Perguran

Gambar 7. Wawancara dengan Siswa

Gambar 8. Wawancara dengan Siswa.

Iin Las Priyanti - PENGGUNAAN APLIKASI WhatsApp

Page 68: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

62

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

karier sampai akhirnya dapat lolos PMB di PTS Yogyakarta.

Gambar 9 menunjukkan konselor sekolah (guru BK) melakukan wawancara dengan siswa tentang aplikasi WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier yaitu a) siswa mengenal dan menggunakan WA sejak tahun 2016; b) dengan menggunakan WA semua file, gambar, video, dan lain-lain dapat dishare ke teman-teman dan fitur-fitur lain yang menarik; dan c) layanan bimbingan karier dengan WA sangat menguntungkan siswa, apabila dalam kondisi darurat siswa dapat melakukan bimbingan tanpa harus ketemu guru BK dan lebih leluasa mengungkapkan permasalahan tentang karier. Apalagi pada saat akan mendaftar ke PTS (perguruan tinggi swasta) sangat membantu dalam mengarahkan dalam memilih progran studi sampai akhirnya dietrima di PTS Yogyakarta.

Gambar 9. Wawancara dengan Siswa.

Analisis Data Hasil Aplikasi Praktis Berdasarkan dokumentasi di atas,

maka layanan bimbingan karier dengan menggunakan media aplikasi WhatsApp sangat efektif digunakan dimanapun dan kapanpun tanpa harus bertemu langsung dengan konselor sekolah atau guru BK. Dengan aplikasi WhatsApp dalam layanan bimbingan karier berdampak positif pada siswa terhadap penyelesaian masalah karier atau perencanaan karier. Terlihat dari data hasil aplikasi di atas, siswa lebih nyaman, terbuka sehingga siswa mampu mengambil keputusan.

Dari data hasil aplikasi WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier siswa menunjukkan ada perubahan atau efektivitas dalam layanan bimbingan karier sebagai yaitu pertama, dengan aplikasi WhatsApp sangat membantu guru BK dalam menyebarluaskan informasi secara cepat berkenaan dengan perencanaan karier seperti Pengenalan Kampus, program studi, akreditasi jurusan, informasi tentang jalur beasiswa PTN atau PTS, jalur prestasi akademik,syarat-syarat pendaftaran, dan lain-lain. Kedua, melalui WhatsApp informasi yang berkaitan dengan PMB dari UNRIYO dengan jalur beasiswa dapat langsung dishare ke siswa. Bagi siswa yang berminat untuk melanjutkan perguruan tinggi dapat segera mengumpulkan berkas-berkas sebagai persyaratan, seperti nilai raport, SKTM, foto diri, surat keterangan atau rekomendasi dari kepala sekolah, dan lain-lain. Mengingat kegiatan kelas XII sangat padat, maka informasi ini harus

Page 69: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

63

segera disampaikan. Dengan media aplikasi WhatsApp siswa dapat langsung memberikan informasi saat itu juga tentang pendaftar PMB yang lolos di UNRIYO Yogyakarta tanpa tes, tanpa harus bertemu dengan guru BK. Untuk jalur beasiswa ada lima siswa yang lolos PMB 2017 dengan beasiswa penuh dan beasiswa subsidi.

Ketiga, dengan media aplikasi WhatsApp siswa dapat menyampaikan masalah secara langsung kepada guru yaitu tentang pilihan program studi yang tidak sesuai dengan pilihan. Guru BK membantu menjembatani masalah ini dengan menghubungi panitia PMB karena seleksi PMB sudah ditentukan oleh Panitia PMB dengan berbagai pertimbangan seperti nilai raport, prestasi akademik/non akademik, penghasilan orangtua, dan lain-lain. Panitia PMB memberi solusi bahwa apabila program studi tidak sesuai dengan minat, siswa dapat mengikuti pendaftaran di jalur berikutnya yaitu jalur kedua tanggal 2 Mei 2017. Keempat, karena begitu padatnya kegiatan siswa kelas XII dalam menghadapi UNCBT dan bersamaan dengan jadwal SNMPTN 2017, siswa perlu bantuan untuk memverifikasi nilai raport di Portal PDSS. Dalam Portal PDSS siswa, semua siswa memiliki hak dan mendapatkan password diikutkan sebagai peserta yang akan digunakan untuk verifikasii nilai. Siswa masuk ke laman PDSS siswa untuk melakukan verifikasi nilai raport semester 1 sampai semester 5, dengan tujuan apabila ada nilai yang bergeser atau tidak sesuai dengan niali raport maka disampaikan kepada guru

BK untuk merubah nilai tersebut kemudian silahkan diverifikasi. Selanjutnya siswa dapat mendaftar di laman SNMPTN Siswa 2017. Kelima, guru BK memanfaatkan WhatsApp dalam layanan BK untuk memfasilitasi siswa yang mengalami masalah, dalam kasus ini tidak bisa mendaftar SNMPTN secara online. Untuk menyelsaikan masalah tersebut, guru BK menyampaiakn keluhan kepada Panitia Penyelenggara melelui help desk. Selanjutnya panitia memberikan balasan bahwa siswa tersebut diarahkan untuk mengikuti SBMPTN karena siswa tersebut tidak lolos pemeringkatan berdasarkan akreditasi sekolah. Untuk syarat SNMPTN sekolah yang sekolah memiliki akreditasi A yaitu 50% siswa terbaik di sekolahnya.

Siswa sudah mengenal dan menggunakan WhatsApp sebagai media sosial sejak tahun 2014 sampai sekarang dan menjadi trend di kalangan remaja dengan berbagai fitur seperti pesan video, gambar/foto, dokumen, dan lain-lain sehingga membuat siswa tertarik menggunakannya. Dengan WhatsApp sebagai media untuk layanan BK, siswa merasakan banyak manfaat seperti melakukan bimbingan tentang pemilihan PTN, Program Studi, beasiswa semua bisa dilakukan tanpa harus tatap muka. Siswa lebih terbuka dalam menyampaikan masalah berkenaan dengan perencanaan karier dimasa depan dalam pemilihan PTN, pemilihan program studi yang sesuai dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki setiap siswa sehingga siswa mampu mengambil keputusan dalam merencanakan karier yaitu melanjutkan

Iin Las Priyanti - PENGGUNAAN APLIKASI WhatsApp

Page 70: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

64

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

ke perguruan tinggi sampai akhirnya pengumuman PMB siswa-siswa lolos dalam seleksi. Hal ini berarti aplikasi WhatsApp efektif digunakan sebagai media layanan bimbingan karier bagi siswa.

SimpulanBerdasarkan analisis data di atas dapat

ditarik kesimpulan bahwa penggunaan aplikasii WhatsApp sebagai media layanan bimbingan karier sangat efektif diterapkan dalam layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan karier dengan melalui WhatsApp dapat dilaksanakan dimanapun dan kapanpun siswa berada sehingga siswa mampu mengambil keputusan terhadap kemampuan perencanaan karier. Aplikasi WhatsApp dapat digunakan juga untuk bimbingan pribadi, sosial, dan belajar siswa.

Daftar Rujukan

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. 2016. Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: Kemendikbud.

https://id.wikipedia.org/wiki/WhatsApp diakses tanggal 3 April 2017.

http://www.posbali.id/media-sosial-dalam-layanan-bimbingan-konse l ing diakses tanggal 4 April 2017.

Moleong, Rexy J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Palomba, E. 2007. ICT for Counseling and Careers Guidance Service. Research Refflections and Innovations in Integrating ICT in Education (Leece Universita del Salento).

Natawijaya, Rachman 1981. Beberapa Pendekatan dalam Bimbingan Karier. Bandung: Diponegoro.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Page 71: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

65

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK MELALUI SI CANTIK DARI LENGKAS BAGI SISWA KELAS XII A

TUNAGRAHITA

Bekti Winoto SLB NEGERI 1 YOGYAKARTA

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar keterampilan membatik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS pada siswa kelas XII A Tunagrahita. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan desain penelitian Kemmis dan McTaggart. Subjek penelitian yaitu 3 siswa tunagrahita ringan kelas XII A. Penelitian terdiri dari dua siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam tiga pertemuan. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, penilaian proses dan hasil unjuk kerja. Metode analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan SI CANTIK DARI LENGKAS dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar keterampilan membatik. Hasil tersebut dibuktikan dengan meningkatnya keaktifan dan penilaian hasil belajar keterampilan membatik pada siklus I dan II. Kesimpulannya dengan SI CANTIK DARI LENGKAS dapat meningkatkan kemampuan membatik pada siswa kelas XII A SMALB Tunagrahita.

Kata kunci: tunagrahita, membatik, SI CANTIK DARI LENGKAS

Abstract: This study aimed to improve the activity and learning result of batik skills with “SI CANTIK DARI LENGKAS” in grade XII students A mentally disabled. This research was a classroom action research with Kemmis and McTaggart research design. The subjects were 3 students of mild grade mentally disabled class XII A. Research consisted of two cycles. Each cycle was held in three meetings. Each cycle consisted of four stages, namely planning, action implementation, observation, and reflection. Data collection was done by observation, process assessment and performance result. Data analysis method used was descriptive qualitative. The results showed that with the “SI CANTIK DARI LENGKAS”could improve the activity and learning result of batik skills. The result was showed by the increasing of activity and assessment of learning result of batik skill in cycle I and II. The conclusion was“SI CANTIK DARI LENGKAS” had improved the ability of batik in grade XII mentally disabled students in special needs SHS.

Keyword: mentally disabled, batik skills, SI CANTIK DARI LENGKAS

PendahuluanMembatik merupakan salah satu

keterampilan yang diajarkan di SLB Negeri 1 Yogyakarta. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa yaitu membatik dengan proses pemalaman. Siswa kelas XII tunagrahita seharusnya sudah dapat

membatik dengan baik, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterampilan membatik kelas XII belum mencapai target yang diharapkan. Kelas XII tunagrahita terdapat 2 siswa dan semuanya belum dapat membatik dengan baik. Dari hasil belajar berupa tes unjuk kerja membatik, semua

Page 72: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

66

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

siswa tersebut mendapatkan skor penilaian di bawah kriteria ketuntasan minimal 75. Keadaan pembelajaran keterampilan membatik di kelas XII masih terjadi kesulitan membatik dan tidak ada motivasi sama sekali. Anak cenderung pasif melihat canting dari tembaga.

Penyebab rendahnya keterampilan membatik yaitu siswa kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran, siswa cenderung tidak peduli ketika guru memberi contoh membatik, siswa kesulitan menggunakan alat membatik yang sudah ada untuk membatik, siswa masih bingung dan takut mencampur warna dan tidak ada media pembelajaran yang menunjang. Pembelajaran yang demikian jika tidak ditemukan cara untuk meningkatkan kemampuan membatik, dampaknya akan kesulitan membatik tingkat selanjutnya. Siswa tunagrahita membutuhkan banyak alat pendukung untuk membatik, tetapi banyak yang tidak tepat guna.

Berdasarkan pokok permasalahan dan untuk memecahkan masalah pembelajaran tersebut, kemudian ditetapkan tindakan untuk meningkatkan kemampuan membatik. Pelaksanaan membatik menggunakan dengan canting, cap tembaga kurang sesuai dengan kemampuan anak. Hal ini perlu inovasi baru sebagai pengganti canting dan cap. Inovasi peneliti yaitu simpel canting batik dari kaleng bekas (SI CANTIK DARI LENGKAS) dalam menumbuhkan motivasi membatik. SI CANTIK DARI LENGKAS merupakan alat yang diharapkan menarik perhatian siswa. Penggunaan SI CANTIK DARI LENGKAS ini

sangat praktis, inovatif dan menyenangkan. Harapan dipergunakannya SI CANTIK DARI LENGKAS ini dapat meningkatkan motivasi membatik, dapat membuat siswa lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan membatik. Dengan ketertarikan tersebut, perhatian siswa terhadap materi pelajaran lebih meningkat dan akhirnya meningkatkan kemampuan membatik.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, masalah yang dirumuskan yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan membatik melalui SI CANTIK DARI LENGKAS pada siswa kelas XII A?

Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan membatik melalui SI CANTIK DARI LENGKAS bagi siswa kelas XII A.

Anak Tunagrahita Ringan Pengertian anak tunagrahita banyak

ahli yang mengemukakannya. Astati (2010: 17) memberikan definisi bahwa individu dianggap mental retardation jika memenuhi dua kriteria, yaitu keterbelakangan atau kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan kekurangan penyesuaian diri dengan lingkungannya diukur dengan taraf usia menurut kalender yang telah dicapai seorang anak. Keterbelakangan tersebut meliputi komunikasi, menolong diri sendiri, keterampilan kehidupan di keluarga, keterampilan sosial, kebiasaan di masyarakat, pengarahan diri, menjaga kesehatan dan keamanan diri, akademik fungsional, waktu luang dan kerja.

Menurut Mumpuniarti (2000:

Page 73: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

67

12) anak tunagrahita ringan yaitu anak yang tingkat kecerdasannya berkisar 50–70, mampu menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi-terampil. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa anak tunagrahita ringan yaitu anak yang memiliki IQ di bawah normal, mereka masih memiliki potensi untuk berkembang dalam bidang membaca, menulis dan berhitung sederhana, mereka juga dapat dididik keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat diberikan latihan-latihan keterampilan sederhana agar nantinya dapat berkembang potensinya seoptimal mungkin untuk bekal hidup mandiri di masyarakat.

Karakteristik Anak Tunagrahita RinganSecara fisik anak tunagrahita ringan

tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya tetapi secara psikis berbeda karakteristik khusus. Mumpuniarti (2000:41), mengemukakan ciri-ciri atau karakteristik anak tunagrahita menjadi tiga bagian yakni karakteristik secara fisik, psikis dan sosial diuraikan sebagai berikut 1) karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik; 2) karakteristik psikis sukar berfikir abstrak dan logis. Kurang memiliki kemampuan analisa, asosiasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik dan buruk; 3) karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada

yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. Kemampuan dalam bidang pendidikan termasuk mampu didik.

Menurut Munzayanah (2000:23) ciri-ciri atau karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu 1) dapat dilatih tentang tugas-tugas yang ringan; 2) mempunyai kemampuan yang terbatas dalam bidang intelektual sehingga hanya mampu dilatih untuk membaca, menulis dan menghitung pada batas-batas tertentu; 3) dapat dilatih untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang rutin maupun keterampilan; 4) mengalami kelainan bicara speech direct, sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi. Berdasarkan pendapat tentang karakteristik anak tunagrahita ringan tersebut dapat ditegaskan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan antara lain kemampuan bahasa rendah, tidak dapat berfikir secara abstrak, dapat melakukan pekerjaan yang sederhana. Dengan karakteristik yang dimiliki anak tunagrahita tersebut, memungkinkan untuk dapat mengikuti pembelajaran keterampilan membatik. Kemampuan anak tunagrahita yang terbatas pada kognitif masih memiliki kemampuan yang dikembangkan yaitu motoriknya. Kemampuan motorik anak tunagrahita ringan pada umumnya tidak berbeda dengan anak normal, maka untuk melakukan pembelajaran keterampilan tidak bermasalah. Keterampilan membatik sebagian besar hanya menggunakan tenaga tangan maka akan lebih mudah untuk dilakukan oleh anak tunagrahita.

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 74: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

68

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Membatik Berdasarkan etimologi dan

terminologinya, batik merupakan rangkaian kata mbat dan tik dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau melempar berkali-kali, sedangkan tik berarti titik-titik berkali-kali pada kain (Asti Musman, dkk, 2011). Sedangkan menurut Amri Yahya (dalam Asti Musman, dkk, 2011) batik merupakan karya seni yang banyak memanfaatkan unsur menggambar ornament pada kain dengan proses tutup-celup, maksudnya mencoret dengan malam pada kain yang berisikan motif-motif ornamentatif. Di sisi lain, menurut Linda Kaun (dalam Asti Musman, dkk, 2011) kata batik paling tidak memilik tiga arti dan konotasi. Bagi sebagian besar orang asing, batik adalah perbuatan yang aktual dan secara fisik mendekorasi kain dengan malam, kemudian mewarnai kain tersebut. Hal ini juga bisa dilakukan dengan cara pencelupan atau implikasi langsung, kuncinya yaitu malam. Kata batik juga berlaku untuk hasil produksi, yakni kain batik yang merupakan hasil dari tindakan menggambar dengan malam dan mewarnai kain. Gambar itu pada akhirnya terpantul pada sisi belakang kain.

Pelukis batik Tulus Warsito (dalam Asti Musman dkk, 2011) juga mengungkapkan setidaknya ada dua pengertian tentang batik. Pertama, batik merupakan teknik tutup-celup (resist-technique) dalam pembentukan gambar kain, menggunakan lilin sebagai perintang dan zat pewarna bersuhu dingin sebagai bahan pewarna desain pada katun. Kedua, batik adalah sekumpulan desain

yang sering digunakan dalam pembatikan pada pengertian pertama tadi, yang kemudian berkembang menjadi ciri khas desain tersendiri walaupun desain tersebut tidak lagi dibuat di atas katun dan tidak lagi menggunakan lilin.

Ada 3 jenis batik, yaitu batik tulis, batik cap, dan batik jumputan. Batik tulis dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam membentuk gambar awal pada permulaan kain (Anindito Prasetyo, 2012: 7). Gambar atau hasil pada batik tulis bisanya relatif sama antara bagian depan dan belakang atau kedua sisinya. Sehingga batik tulis memiliki harga yang lebih mahal dibanding dengan batik cap. Batik cap adalah kain yang dihias dengan motif atau corak batik dengan menggunakan media canting cap (Asti Musman dkk, 2011). Canting cap adalah suatu alat dari tembaga dimana terdapat desain suatu motif (Asti Musman dkk, 2011). Dalam buku Batik Belanda 1840-1940 (Asti Musman dkk, 2011) disebutkan bahwa Raffles pernah menggunakan kayu sebagai bahan cap guna mengaplikasikan pewarna tumbuhan pada kain katun untuk membuat tiruan palempore India di Jawa. Sedangkan menurut Soerachman (Asti Musman dkk, 2011) cap dari bahan berbeda digunakan untuk menggambar kain dengan malam. Jumputan ini mempunyai istilah lain Tie Die atau ikat celup. Dinamakan ikat celup

Page 75: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

69

karena pembuatannya dilakukan dengan cara di ikat sedemikian rupa kemudian barulah dicelup, kedalam larutan pewarna sehingga membentuk motif. Sama halnya dengan arti jumputan yang berarti di jumput kemudian diikat lalu di warna sehingga membentuk motif (Puspita Setiawati, 2004: 72). Jumputan ini juga tergolong dalam kerajinan batik karena jumputan juga memakai teknik halang rintang. Pada jumputan motif yang dihasilkan lebih sederhana karena proses pembuatannya juga lebih cepat dan sedikit lebih mudah.

Cara Membuat Batik Sebelum membuat batik seharusnya

adalah mempersiapkan alat dan bahan diantaranya yaitu kain mori (bisa terbuat dari sutra atau katun), canting sebagai alat pembentuk motif, gawangan (tempat untuk menyampirkan kain), lilin/malam yang dicairkan, panci/wajan kecil dan kompor kecil untuk memanaskan, larutan pewarna.

Adapun tahapan-tahapan dalam pembuatan proses batik tulis ini (Anindito Prasetyo, 2012: 31) yaitu langkah pertama membuat desain batik yang biasa disebut molani. Setelah selesai melakukan molani, langkah kedua yaitu melukis dengan lilin (malam) dengan mengikuti pola tersebut. Tahap selanjutnya, menutupi dengan lilin malam bagian-bagian yang akan tetap berwarna putih (tidak berwarna).

Tahap berikutnya, proses pewarnaan pertama pada bagian yang tidak tertutup oleh lilin dengan mencelupkann kain tersebut pada warna tertentu. Setelah dicelupka, kain tersebut dijemur dan

dikeringkan. Setelah kering, kembali melakukan proses pembatikan yaitu melukis dengan lilin malam menggunakan canting untuk menutup bagian yang akan tetap dipertahankan pada pewarnaan yang pertama. Kemudian, dilanjutkan dengan proses pencelupan warna yang kedua. Proses berikutnya, menghilangkan lilin malam dari kain tersebut dengan cara meletakkan kain tersebut dengan air panas diatas tungku. Setelah kain bersih dari lilin dan kering, dapat dilakukan kembali proses pembatikan dengan penutupan lilin (menggunakan alat canting) untuk menahan warna pertama dan kedua. Proses membuka dan menutup lilin malam dapat dilakukan berulangkali sesuai dengan banyaknya warna dan kompleksitas motif yang diinginkan.

Proses selanjutnya yaitu nglorot, dimana kain yang telah berubah warna direbus air panas. Tujuannya yaitu untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas. Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan kemudian mengeringkannya dengan menjemurnya.

Hakikat Media PembelajaranPembelajaran adalah proses

komunikasi penyampaian pesan dari pengantar (guru) ke penerima (siswa) berupa isi atau ajaran yang dituangkan ke dalam sismbol komunikasi verbal (kata-kata dan tulisan) maupun non verbal, sehingga media sangat diperlukan untuk mendukung proses pembelajaran secara optimal. Media berasal dari bahasa Latin dan bentuk jamak

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 76: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

70

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dari kata “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” yaitu perantara sumber pesan dengan penerima pesan. Hubungan media dengan pesan, metode dalam proses pembelajaran digambarkan dalam bagan Gambar 1:

Hubungan media dengan pesan dan metode pembelajaran, menunjukkan dalam proses belajar mengajar terdapat pesan yang harus dikomunikasikan berupa isi topik atau materi yang disampaikan guru kepada siswa melalui media menggunakan prosedur pembelajaran (metode). Agar penyampaian pesan dapat diterima siswa dengan baik maka perlu adanya perantara yaitu media pembelajaran (Anitah, 2009: 6.4).

Hamdani (2010: 243) menjelaskan media pembelajaran adalah media yang membawa pesan atau informasi, merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga mendorong terciptanya proses belajar yang dapat membangkitkan motivasi dan minat siswa, meningkatkan pemahaman siswa, menyajikan data dengan menarik, terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.

Sedangkan menurut Sanjaya (2014: 61) media pembelajaran adalah alat, lingkungan, dan bentuk kegiatan yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menanamkan keterampilan pada setiap orang yang memanfaatkannya. Sependapat Arsyad (2014: 10-13) media pembelajaran adalah alat atau objek yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi dalam proses belajar mengajar sehingga dapat merangsang perhatian dan minat siswa. Landasan teori penggunaan media digambarkan dalam bentuk Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience). Kerucut pengalaman Dale merupakan elaborasi yang lebih rinci dari tiga konsep pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner. Semakin ke bawah terlihat bahwa hasil belajar seseorang diperoleh dari pengalaman langsung, sedangkan semakin ke atas atau di puncak kerucut terlihat semakin abstrak media penyampaian pesan itu (Arsyad, 2014: 10-13).

Page 77: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

71

Anitah (2008: 6.9) menjelaskan, ciri-ciri media pembelajaran yaitu 1) sarana alat bantu untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif; (2) media saling berhubungan dengan komponen pembelajaran lainnya; (3) media harus relevan dengan kompetensi pembelajaran; (4) media bukan sekedar hiburan untuk mengatasi kejenuhan siswa; (5) mempercepat proses belajar. Alat atau objek dapat dikategorikan sebagai media, jika memiliki ciri-ciri sebagai media pembelajaran. Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar, memiliki jenis-jenis yang berbeda sesuai dengan materi dan tujuan pembelajaran. SI CANTIK DARI LENGKAS merupakan alat membatik yaitu canting batik yang simpel, inovatif yang terbuat dari kaleng bekas. Adapun kaleng bekas yang bisa digunakan yaitu semua jenis kaleng. Kaleng yang sering digunakan yaitu kaleng bekas tempat roti. Alat ini sangat sederhana dan setiap anak bisa membuat sesuai keinginan. Penggunaan SI CANTIK DARI LENGKAS sangat mudah, praktis dan aman.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Actin Research). Menurut Suharsimi Arikunto (2006:90) penelitian tindakan adalah salah satu strategi pemecahan masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dalam bentuk proses pengembangan yang inovatif dalam mendeteksi dan memecahkan masalah. Menurut Suharsimi Arikunto, dalam tiap siklus meliputi empat tahap

Dasar pengembangan kerucut tersebut berdasarkan tingkat keabstrakan jumlah indera yang turut serta dalam menerima isi pembelajaran. Pengalaman langsung berpengaruh pada kesan yang didapat siswa secara utuh dan paling bermakna mengenai isi pembelajaran melalui semua indera yang dimilikinya. Tingkat keabstrakan pesan akan semakin tinggi ketika pesan ditampilkan ke dalam lambang-lambang seperti bagan, grfaik, atau kata.

Berdasarkan pengertian media, menurut peneliti media pembelajaran merupakan alat bantu yang digunakan dalam proses belajar mengajar untuk memperjelas isi materi pelajaran atau menyampaikan pesan yang dapat membangkitkan motivasi siswa sehingga tujuan dapat tercapai. Agar pesan dapat diterima dan dipahami siswa dengan baik, maka diperlkan perantara berupa media pembelajaran. Objek atau alat dikategorikan sebagai media pembelajaran karena memiliki ciri-ciri tertentu.

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 78: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

72

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

yaitu: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Jika siklus 1 telah dilaksanakan, berdasarkan refleksi masih terdapat kekurangan, maka dengan memperhatikan hasil refleksi 1 dapat digunakan sebagai masukan atau saran untuk menentukan perencanaan siklus 2.

Teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan kolaborasi antara peneliti dengan salah satu guru yaitu dengan observasi, catatan lapangan, dan dokumentasi. Subjek penelitian ini yaitu siswa kelas XII A tunagrahita yang berjumlah 2 anak. Subjek penelitian ini semuanya berjenis kelamin laki-laki. Subjek pertama berinisial Ag dan subjek kedua berinisial Rh. Indikator keberhasilan pada penelitian

tindakan kelas ini dikatakan telah berhasil yaitu adanya peningkatan kemampuan membatik, ditandai dengan 2 siswa kelas XII A mengalami peningkatan kemampuan membatik dengan indikasi mendapatkan nilai baik ≥ 75.

Hasil dan PembahasanPrasiklus

Observasi kondisi awal mengenai keaktifan dan hasil belajar siswa pada keterampilan membatik dilaksanakan sebagai pra-siklus yaitu membuat karya dengan menggunakan canting. Adapun keaktifan siswa pra siklus dan hasil penilaian praktik keterampilan membatik sebagai berikut (Tabel 1 dan Tabel 2)..

Page 79: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

73

Siklus I

Penelitian siklus I pertemuan ke-1 dilaksanakan dengan menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS materi mencap motif batik pada kain mori. Pertemuan ke-2 dilaksanakan dengan materi memberi warna pada kain yang telah dicap pada pertemuan 1 dengan menggunakan pewarna remasol. Kemudian pertemuan ke-3 dengan materi penglorotan malam dengan cara direbus dan pencucian serta penjemuran dengan diangin-anginkan.

Pertemuan ke-1 dilaksanakan dengan projek yang diberikan yaitu membuat karya batik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS. Kegiatan yang dilakukan pada siklus I pertemuan ke-1 yaituh memberikan materi tentang SI CANTIK DARI LENGKAS sekaligus pemberian tugas untuk membuat batik slayer. Slayer dipilih karena memiliki ukuran tidak terlalu besar sehingga dalam waktu tiga kali pertemuan dapat terselesaikan. Langkah awal sebelum proses pembuatan karya batik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS, peneliti memulai dengan memberikan pengertian SI CANTIK DARI LENGKAS serta menunjukkan hasil karya yang telah jadi. Setelah memberi pengertian serta menunjukkan hasil karya menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS kemudian peneliti mendemonstrasikan secara singkat atau garis besarnya tentang cara membatik dengan malam pada kain. Setelah peneliti selesai menjelaskan tentang membatik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS dengan proses mengecapkan pada kain mori, selanjutnya peneliti memberikan tugas

kepada siswa untuk membuat slayer batik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS. Setelah itu menugaskan untuk bergantian mencap satu motif batik yang telah ditentukan dengan malam panas menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS. Pada kegiatan siklus I pertemuan ke-1 ini peneliti mendampingi selama proses pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengarahkan jika ada siswa yang mengalami kesulitan.

Pertemuan ke-2 pada siklus I dilaksanakan dengan melanjutkan proses pewarnaan. Pewarnaan dilaksanakan dengan teknik colet dengan pewarna remasol. Sebelum kegiatan dimulai, peneliti terlebuh dahulu menanyakan atau mereview apa yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya mengenai proses pencapan malam pada kain dan dikaitkan dengan kegiatan yang akan dilakukan yaitu pewarnaan. Setelah dirasa cukup, seperti pada pertemuan ke-1 diawal pertemuan ke-2 ini peneliti juga memberikan contoh cara mencoletkan warna dengan menggunakan busa spon agak besar disesuaikan pada kain yang telah dibubuhi malam. Setelah itu memberi tugas kepada siswa untuk mempraktikan mewarnai dengan teknik colet. Sebagai catatan bahwa di sekolah teknik mencolet pewarna sudah diajarkan bertahun-tahun tetapi untuk batik printing, bahkan kegiatan ini boleh dilakukan siswa yang tertarik dengan kegiatan ini dari semua jenjang untuk mengisi waktu luang. Jadi bisa dikatakan siswa sudah bisa teknik dasar mencolet dengan baik, hanya saja peneliti masih memilihkan warna yang akan digunakan.

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 80: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

74

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Pada kegiatan ini peneliti mendampingi siswa dalam melakukan persiapan hingga proses pewarnaan, hal ini disebabkan agar bisa membantu siswa yang mendapatkan kesulitan dalam praktik mewarnai.

Siklus I pertemuan ke-3 ini yaitu pertemuan terakhir dalam siklus I. kegiatan yang dilaksanakan pada pertemuan ke-3 ini yaitu melanjutkan proses membatik yang dilakukan pertemuan sebelumnya yaitu melanjutkan ke proses menguasan waterglass dan kemudian setelah kering dilanjutkan penglorotan dengan cara direbus. Sebelum kegiatan dimulai peneliti menjelaskan proses yang akan dilaksanakan. Peneliti menerangkan fungsi waterglass yaitu sebagai pengunci warna supaya warna tidak luntur ketika proses penglorotan. Proses penguasan waterglass ini kain masih pada posisi ketika diwarna, yaitu masih dipancang sehingga mudah untuk menguaskan larutan waterglass. Peneliti memberikan beberapa kali contoh menguaskan larutan waterglass

pada kain. Setelah dirasa cukup peneliti memberikan tugas kepada siswa untuk menguaskan waterglass pada kain dengan merata. Setelah sekitar dua jam waterglass sudah mengering ditandai kain menjadi kaku seperti lembaran kertas karton. Peneliti menerangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya yaitu proses penglorotan. Pada proses penglorotan siswa diajak menyiapkan panci dan kompor untuk mendidihkan air. Peneliti memberi contoh cara menglorot dengan cara menarik-narik kain naik turun pada air mendidih di atas kompor menyala dengan menggunakan batang kayu yang panjang. Setelah dirasa cukup peneliti memberi tugas siswa untuk praktik menglorot. Peneliti tetap membimbing siswa karena proses ini menggunakan api dan air panas jadi harus lebih hati-hati.

Hasil observasi keaktifan siswa dan hasil belajar membatik pada siklus I pertemuan ke-1 sampai dengan ke-3 dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 81: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

75

Sementara itu untuk hasil penilaian praktik selama siklus I dapat dilihat pada Tabel 4.

Keaktifan dan hasil belajar siswa pada siklus I mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari hasil observasi siklus I yang menunjukkan perubahan peningkatan yaitu melebihi dari indikator keberhasilan 75. Namun, jika melihat pada proses pembelajaran masih ada 1 siswa yang belum mampu menyelesaikan secara tepat waktu serta asik mengobrol dan bermain walaupun sudah melebihi KKM. Refleksi yang didapatkan pada siklus I yaitu sebagai berikut a) siswa kurang memperhatikan betapa pentingnya waktu yang tersedia; b) siswa masih banyak bercanda; c) masih ada siswa yang belum bisa tetapi malah diam atau tidak mengerjakan; d) ada siswa yang sering bergurau dan kurang serius; e) tempat pewarnaan kurang nyaman karena di dalam kelas; dan f) siswa masih takut dan kurang percaya diri.

Berdasarkan refleksi tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan yaitu a) pada saat pembelajaran sesering mungkin peneliti harus menyampaikan/memberikan pengertian tentang berharganya waktu; b)

memberikan perhatian secara maksimal kepada siswa serta memberikan motivasi dan penghargaan; c) mengamati siswa yang terlihat belum bisa kemudian didekati dan dijelaskan agar dapat berkarya; d) mengingatkan siswa yang sering bergurau dan kurang serius; e) mencari tempat yang lebih nyaman untuk pewarnaan; f) peneliti memberikan kebebasan kepada siswa dalam memilih motif SI CANTIK DARI LENGKAS; dan g) melatih percaya diri siswa dengan memberi keleluasaan dalam bekerja.

Siklus IITindakan siklus II pertemuan ke-1

dilaksanakan dengan materi mencap motif batik pada kain mori dengan SI CANTIK DARI LENGKAS. Pertemuan ke-2 yaitu memberi warna pada kain yang telah dicap pada pertemuan 1 dengan teknik colet mengunakan pewarna remasol. Kemudian pertemuan ke-3 dilaksanakan dengan materi menguaskan waterglass pada kain mori yang sudah mengalami proses pemalaman dan pewarnaan serta materi penglorotan malam dengan cara direbus dan pencucian serta penjemuran.

Pertemuan ke-1 dilaksanakan dengan proyek yang diberikan yaitu

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 82: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

76

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

membuat karya batik dengan menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS. Langkah awal sebelum proses pembuatan karya batik dimulai dengan peneliti memberikan penjelasan tentang motif yang lain yang berbeda dengan siklus I. Setelah memberi pengertian serta menunjukkan hasil karya yang mereka buat, peneliti bersama siswa membahas kekurangan yang ada pada hasil siklus I. Peneliti pada siklus II memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan motif sendiri.

Setelah selesai menjelaskan, selanjutnya peneliti memberikan tugas kepada siswa untuk membatik slayer. Siswa secara bergantian mencap motif batik dengan malam panas dengan SI CANTIK DARI LENGKAS. Pada kegiatan siklus II pertemuan ke-1 ini peneliti mendampingi selama proses pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengarahkan jika ada siswa yang mengalami kesulitan.

Pertemuan ke-2 pada siklus II melanjutkan proses pewarnaan. Pewarnaan dilaksanakan dengan teknik colet dengan pewarna remasol. Sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu menanyakan atau mereview apa yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya mengenai proses pencapan malam pada kain dan dikaitkan dengan kegiatan yang akan dilakukan yaitu pewarnaan. Peneliti juga mereview hasil pewarnaan siswa pada siklus I. banyak warna yang masih tumpak melewati malam. Kemudian peneliti memberikan contoh lagi cara mewarna dengan SI CANTIK DARI LENGKAS.

Pada siklus II ini dibebaskan dalam pemilihan warna pada siswa. Peneliti hanya membantu mencampurkan seandainya yang siswa pilih bukan warna primer. Serta menjelaskan bagaimana caranya membuat warna yang lebih muda. Tempat yang digunakan untuk mewarnai juga disediakan yang lebih longgar karena kelas terlalu sempit. Pada kegiatan ini peneliti mendampingi siswa mewarnai di luar ruang kelas menggunakan papan, hal ini supaya siswa tidak mendapatkan kesulitan dalam praktik mewarnai.

Siklus II pertemuan ke-3 ini yaitu pertemuan terakhir. Kegiatan yang dilaksanakan pada pertemuan ke-3 iniyaitu melanjutkan proses membatik yang dilakukan pertemuan sebelumnya yaitu melanjutkan ke proses menguasan waterglass dan kemudian setelah kering dilanjutkan penglorotan dengan cara direbus. Sebelum kegiatan dimulai peneliti menjelaskan proses yang akan dilaksanakan. Peneliti menerangkan fungsi waterglass yaitu sebagai pengunci warna supaya warna tidak luntur ketika proses penglorotan. Proses penguasan waterglass ini kain masih pada posisi ketika diwarna, yaitu masih dipancang sehingga mudah untuk menguaskan larutan waterglass. Peneliti menjelaskan bahwa penguasan waterglass harus hati-hati karena jika terlalu sering dikaus warna bisa larut dan bercampur dengan warna yang lain sehingga terlihat tidak bagus.

Peneliti memberikan beberapa kali contoh menguaskan larutan waterglass pada kain. Setelah dirasa cukup peneliti

Page 83: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

77

memberikan tugas kepada siswa untuk menguaskan waterglass pada kain dengan merata. Setelah sekitar dua jam waterglass sudah mengering ditandai kain menjadi kaku seperti lembaran kertas karton. Peneliti menerangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya yaitu proses penglorotan. Pada proses penglorotan siswa diajak menyiapkan panci dan kompor untuk mendidihkan air. Peneliti memberi contoh cara menglorot dengan cara menarik-narik kain naik turun pada air mendidih diatas kompor menyala dengan menggunakan batang kayu yang panjang. Setelah dirasa cukup peneliti memberi tugas siswa untuk praktik menglorot. Peneliti tetap membimbing siswa karena proses ini menggunakan api dan air panas jadi harus lebih hati-hati.

Hasil observasi keaktifan siswa dan hasil belajar membatik pada siklus II dapat dilihat pada Tabel 5.

Hasil penilaian praktik selama siklus II dapat dilihat pada Tabel 6.

Refleksi yang dilakukan pada siklus II yaitu berdasarkan hasil penelitian siklus II pertemuan ke-3 menunjukkan bahwa adanya pencapaian indikator keberhasilan peningkatan keaktifan siswa dan hasil belajar keterampilan membatik. Secara keseluruhan peningkatan keaktifan siswa terbesar mencapai 98,5% dengan predikat sangat baik. Untuk hasil penilaian praktik membatik hasil tertinggi adalah 84,5% dengan predikat baik. Jika dilihat dari keseluruhan rata-rata keaktifan siswa mencapai 88,8% dengan predikat baik. Sedangkan untuk hasil

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 84: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

78

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

penilaian praktik rata-rata keseluruhan yaitu 81% juga dengan predikat baik. Hal ini dikarenakan telah dilaksanakan perbaikan pada siklus I. Dengan demikian penelitian ini dihentikan pada siklus II karena sudah mencapai pada indikator keberhasilan yang diharapkan yaitu >75%.

PembahasanProses kegiatan pembelajaran

keterampilan membatik menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada keterampilan proses pemalaman. Karena proses pemalaman yaitu inti dari batik itu sendiri, dalam artian jika proses pemalaman tidak maksimal, hasil akhir batik juga tidak akan maksimal meskipun proses yang lainnya seperti pewarnaan, penguasan waterglass dan penglorotan dilaksanakan dengan baik. Pada siklus I siswa diberi tugas membuat batik berupa slayer menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS. siswa menunjukkan dengan cepat menguasai Sehingga dalam pertemuan berikutnya peneliti harus bisa memberi arahan dengan baik atau dalam kata lain tidak melepas siswa begitu saja melainkan tetap harus didampingi.

Pada pertemuan selanjutnya siswa diberi tugas untuk membuat batik berupa slayer dengan menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS. Pada siklus II ini siswa dipersilahkan menyiapkan keperluan mereka sendiri didampingi oleh peneliti. Peneliti juga memberikan keleluasaan untuk memilih motif yang siswa sukai

dan pemilihan warna yang siswa senangi. Tempat praktik juga dipindah ke tempat yang lebih luas supaya siswa lebih leluasa melaksanakan praktik membatik. Pada siklus II ini peneliti juga lebih memberi apresiasi kepada siswa apa yang mereka lakukan dan mengingatkan siswa untuk menghargai waktu yang tersedia. Observasi kondisi siswa pada pra siklus menunjukkan bahwa keaktifan dan hasil belajar keterampilan membatik pada kriteria cukup. Berdasarkan hasil observasi pada kondisi awal mengenai keaktifan siswa siswa, diketahui bahwa dari skor ideal yaitu 24. Hasil maksimal hanya memperoleh skor 11 (45,8%) diperoleh oleh siswa Ag, sementara Rh memperoleh skor sama 11 (45,8%). Hal ini dapat dilihat dari keengganan siswa menggunakan canting maupun cap tembaga karena siswa menyatakan tidak mudah, gagangnya panas dan tidak bagus. Siswa tidak semangat membatik menggunakan malam. Dari hasil penilaian praktik membatik pada pra siklus, hasilnya masih relatif rendah. Hasil tertinggi adalah 48% dengan kriteria kurang. Hasil terendah adalah 47, 50% juga pada kriteria kurang. Pada siklus I semua siswa mengalami peningkatan. Untuk hasil penilaian praktik nilai tertinggi yang dicapai adalah 82,75% dengan kriteria baik. Hal ini dapat dilihat siswa terlihat tertarik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS yang diajarkan oleh peneliti. Dengan menariknya proses pemalaman dengn menggunakan alat ini membuat siswa tertarik untuk melanjutkan proses berikutnya yaitu pewarnaan, dan penglorotan.

Page 85: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

79

Pada siklus II hasil penilaian keaktifan nilai tertinggi yaitu 95,8% dengan kriteria amat baik dan hasil terendah yaitu 83,3%. Sementara untuk hasil penilaian praktik membatik hasil terbaik yaitu 84,50% dan yang terendah adalah 82%. Hal ini dapat dilihat siswa sudah merasa nyaman melakukan praktik membatik. Hasil karya siswa juga terlihat lebih bagus dan bersih dari pada hasil sebelumnya. Hal ini juga dapat dilihat dari semua aspek telah mengalami peningkatan dan hasil yang di harapkan tercapai. Pelaksanaan tindakan dihentikan sampai dengan siklus II karena sudah mencapai kriteria keberhasilan yang diharapkan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dengan SI CANTIK DARI LENGKAS dapat meningkatkan kemampuan membatik.

Selama proses pembelajaran dari pra siklus hingga siklus II tampak bahwa hasil karya siswa dapat meningkat. Hasil karya pada siklus I dan II merupakan hasil yang cukup baik, karena siswa bisa berkreasi dengan ide-ide mereka. Secara garis besar karya yang dibuat pada siklus II merupakan batik SI CANTIK DARI LENGKAS. Berikut merupakan sebagian dari hasil karya siswa

dari siklus I sampai dengan siklus II dengan kat

Pada Gambar 2 contoh hasil karya kegiatan siklus I secara keseluruhan terlihat masih belum maksimal karena siswa belum pernah membuat karya batik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS ini. Tingkat kerapihan juga masih belum sempurna serta kesabaran yang masih perlu dilatih dalam membatik. Pada gambar karya kategori kurang baik karena gambar daun tidak jelas, ini disebabkan karena siswa menekan alat batik pada kain terlalu keras sehingga malamnya menyebar, sedangkan pada kategori cukup warna sudah ramai tetapi banyak yang warna yang tumpah keluar garis malam. Hal ini disebabkan terlalu tebal pewarnaan sehingga ketika dikuas memakai waterglass larut dan ikut keluar dari wilayah bunga. Untuk kategori baik terlihat warna kupu-kupu sudah seragam dan pewarnaan juga sudah terlihat rapi meskipun masih sedikit keluar warna dari wilayah kupu-kupu. Karya siklus II secara keseluruhan sudah terlihat bagaimana siswa dapat berkreasi, hal ini ditandai semakin beragam meskipun dari motif yang simple tetapi bias menghasilkan

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Gambar 3. Hasil karya siswa pada siklus I

Page 86: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

80

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

karya yang bagus. Setiap siswa dapat bereksplorasi dengan karya yang mereka buat karena dengan memberikan kebebasan pada siswa untuk berkarya. Pada gambar kategori kurang hanya motif terlalu sederhana dan warnanya juga kurang padu padan, pada kategori baik meskipun motifnya senada lingkaran tetapi masih ada beberapa lingkaran tidak tertutup sempurna sehingga ketika diwarna keluar area, sedangkan pada kategori baik karya yang dihasilkan sudah bagus baik motif yang dipilih juga proses pewarnaan yang bagus sehingga hasilnya bersih.

SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, meningkatnya keterampilan membatik pada siswa kelas XII A SMALB Tunagrahita SLB Negeri 1 Yogyakarta dapat dilakukan dengan menggunakan SI CANTIK DARI LENGKAS yaitu membatik dengan proses pemalaman SI CANTIK DARI LENGKAS. Siswa diberi kebesan untuk membatik dengan motif yang disukai siswa. Siswa merasa mudah dan senang membatik dengan SI CANTIK DARI LENGKAS. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengamatan

terhadap aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran dari siklus I sampai dengan siklus III. Skor aktivitas siswa pada siklus I dengan rata-rata sebesar 81,00%. Pada siklus II skor aktivitas siswa dengan rata-rata 89,55%. Pada siklus II meningkat dengan memperoleh rata-rata 83,25% dengan melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal. Penggunaan SI CANTIK DARI LENGKAS sesuai dengan hipotesis peneliti dapat meningkatkan kemampuan membatik pada siswa kelas XII SMALB Tunagrahita SLB Negeri 1 Yogyakarta.

Daftar Rujukan

Astati. 2010. Pendidikan Anak Tunagrahita. Bandung: Amanah.

Mumpuniarti. 2007. Penanganan Anak Tunagrahita. Yogyakarta: FIP UNY.

Munzayanah. 2000. Tunagrahita. Surakarta: Depdikbud UNS.

Musman, Asti dan Ambar B. Arini. 2011. Batik Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta: G-Media.

Prasetyo, Anindito. 2012. Batik Karya Agung Warisan Budaya Indonesia. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Setiawati, Puspita. 2004. Kupas Tuntas Teknik Proses Membatik Dilengkapi Teknik menyablon. Yogyakarta: Absolut

Gambar 3. Hasil karya batik pada siklus II

Page 87: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

81

Suharsimi Arikunto,dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas . Jakarta: Bumi Aksara

Wena, Made. 2009. Strategi Belajar Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.

Bekti Winoto - MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBATIK

Page 88: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

82

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP PECAHAN DENGAN MEDIA RAINBOW CIKAS

PADA SISWA KELAS III SD

MuginahSD Brajan UPT PP Kecamatan Kasihan

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman konsep pecahan dengan media Rainbow Cikas pada siswa kelas III sekolah dasar. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK), yang terdiri atas dua siklus. Setiap siklus mengikuti tahapan-tahapan Model Kemmis dan Taggart yang meliputi: perencanaan, tindakan dan observasi, refleksi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan hasil kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan pembelajaran pemahaman konsep pecahan dengan media Rainbow Cikas. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes dan nontes.Pendekatan deskriptif ada dua macam, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Kriteria keberhasilan penelitian diukur dari pencapaian nilai rata-rata kelas minimal sebesar70. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media Rainbow Cikas dapat meningkatkan pemahaman konsep pecahan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatkan nilai rata-rata kelas sebesar 73 telah melampau kriteria yang ditetapkan. Kata kunci : pemahamankonsep, pecahan, media, Rainbow Cikas.

Abstract: This research was aimed to improve the understanding of fractional concept with Rainbow Cikas media in third grade students of elementary school. This research was a classroom action research (CAR), which consisted of two cycles. Each cycle followed the stages of the Kemmis and Taggart Models which include: planning, action, observation, and reflection. The data collected in this study was the result of activities related to the implementation of learning the concept of fractions with the media Rainbow Cikas. Technique of collecting data was test and non-test. The two descriptive approaches used were quantitative and qualitative. The criterion of research success was measured from the achievement of the average grade value of at least 70. The results showed that the use of Rainbow Cikas media improved the understanding of fractional concepts. This was showed by the increase in the class average score of 73.

Keywords: concept comprehension, fractional, media, Rainbow Cikas.

Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang mendasari ilmu pengetahuan yang lain. Kemajuan pesat dibidang teknologi informasi dan

komunikasi dewasa ini pun dilandasi oleh perkembangan matematika (Depdiknas, 2006 : 416). Itulah sebabnya matematika diajarkan sejak sekolah dasar, agar siswa

Page 89: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

83

sekolah dasar memahami konsep-konsep matematika sejak dini.

Konsep-konsep matematika yang dipelajari di sekolah dasar (SD) merupakan dasar bagi penerapan konsep di jenjang berikutnya. Agar siswa memahami dan terampil menggunakan berbagai konsep matematika, diperlukan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran yang bermakna akan tercipta jika dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar mampu menata dan meletakkan dasar penalaran siswa yang logis, kritis, dan cermat. Hal tersebut dapat membantu memperjelas dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari–hari dan berkomunikasi dengan bilangan dan simbol–simbol, serta lebih mengembangkan sikap logis, kritis, cermat, disiplin, terbuka, optimis, dan menghargai matematika.

Seperti yang dimuat dalam KTSP yang menyatakan matematika diajarkan di sekolah agar siswa dapat mengetahui berbagai contoh penggunaan matematika sebagai alat pemecah masalah dalam mata pelajaran lain atau dalam kehidupan sehari–hari yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa (Depdiknas, 2006: 428). Agar dapat menyesuaiakan dengan perkembangan siswa diperlukan pembelajaran proses pembelajaran yang efektif.

DePorter & Hernacki (2011: 8) menyatakan bahwa proses pembelajaran efektif jika pembelajaran menyenangkan. Guru dituntut untuk mampu menumbuhkan rasa senang pada suatu mata pelajaran. Dalam

hal ini guru harus menuangkan kreativitasnya dalam menciptakan pembelajaran yang inovatif dengan mengerahkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber belajar yang optimal. Guru sebagai fasilitator pada mata pelajaran matematika harus berusaha semaksimal mungkin agar bisa memfasilitasi penyampaian matematika yang sesuai dengan taraf perkembangan siswa sehingga tujuan dari matematika benar-benar bisa terwujud. Inil merupakan tantangan bagi guru agar pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan bagi siswa sehingga materi–materi yang ada dalam ruang lingkup matematika dapat diserap dengan baik.

Materi pecahan yang merupakan bagian dari materi matematika pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 diajarkan sejak kelas 3 SD semester 2. Konsep pecahan merupakan konsep abstrak sedangkan siswa kelas 3 berusia sekitar 9-10 tahun berada pada tahap operasional konkret (Piaget), pada tahap ini anak-anak dapat melakukan operasi konkret: mereka dapat juga bernalar secara logis sejauh penalaran diaplikasikan pada contoh-contoh yang spesifik atau konkret (Santrok J.W, 2012: 329). Tugas bagi guru yaitu bagaimana mengkonkretkan konsep yang abstrak agar konsep yang diterima siswa tersimpan dengan baik oleh karena itu guru dituntut untuk memberikan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.

Pembelajaran penanaman konsep pecahan di kelas 3 umumnya diajarkan dengan menggunakan peraga garis bilangan,

Muginah - MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP

Page 90: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

84

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

gambar-gambar yang menunjukkan pecahan ataupun cara perkalian silang untuk membandingkan dua pecahan. Cara ini tentu saja tidak bisa menanamkan konsep dengan baik karena merupakan cara semi konkret dan instan yang kurang sesuai dengan perkembangan siswa. Sehingga siswa tidak memahami konsep pecahan dengan baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Heruman (2007:3) yang menyatakan bahwa Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak, sehingga dalam pembelajaran konsep dasar diharapkan penggunaan alat peraga untuk membantu kemampuan pola pikir siwa. Hal ini terbukti dari hasil nilai untuk penanaman konsep di kelas 3 masih rendah yaitu rata-rata 57, dan 21 siswa masih belum mencapai KKM. Dari permasalahan di atas dapat dirumuskan permasalahan pembelajaran pecahan di kelas III SD sebagai berikut (1) Pemahaman konsep pecahan siswa kelas 3 masih rendah; (2) Guru belum menggunakan media yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa kelas III dalam mengajarkan konsep pecahan; (3) Nilai rata-rata siswa dan persentase siswa yang mencapai KKM pada pelajaran matematika masih rendah serta; (4) Siswa kurang berminat mengikuti pembelajaran matematika.

Tujuan pada penelitian ini yaitu untuk (1) Meningkatkan pemahaman konsep siswa pada mata materi pecahan dengan media Rainbow Cikas; (2) Meningkatkan

prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika dengan Rainbow Cikas

Materi Pecahan Pecahan dapat diartikan sebagai

bagian dari sesuatu yang utuh ( Heruman, 2007:43). Pecahan merupakan salah satu topik yang abstrak biasanya guru mengajarkan langsung dengan pengenalan lambang bilangan (angka) sehingga cukup sulit dipahami oleh anak didik. Materi pecahan untuk tahap awal penanaman konsep sebaiknya diajarkan dengan menggunakan alat peraga berupa benda-benda konkret. Hal tersebut mengingat bahwa pecahan di sekolah dasar mulai diajarkan di kelas 3, dimana siswa kelas 3 yang berusia 8-10 tahun masuk dalam tahap operasional konkret.

Menurut Sri Subarinah (2006:79-125), pecahan adalah beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama. Jumlah seluruh bagian yang sama ini bersama-sama membentuk satuan (unit). Misalnya sebuah

roti dibagi menjadi 4 bagian yang sama.

artinya 1 bagian dari 4 bagian yang sama, artinya 2 bagian dari 4 bagian yang sama,

dan artinya 3 bagian dari 4 bagian yang sama.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan pecahan adalah beberapa bagian yang sama dari keseluruhan dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan dua

bilangan cacah a dan b, ditulis dengan

syarat b ≠ 0. Sehingga artinya, a bagian dari b bagian yang sama.

Page 91: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

85

Macam-macam PecahanMenurut Sri Subarinah (2006: 83-

93 macam pecahan ada 3. Yang pertama yaitu pecahan senilai. Pecahan senilai adalah pecahan-pecahan yang penulisannya berbeda, tetapi mewakili bagian atau daerah yang sama Pecahan-pecahan senilai

mempunyai nilai yang sama. Misalnya

senilai dengan . Pecahan yang kedua yaitu pecahan senama. Pecahan senama adalah pecahan yang mempunyai penyebut yang

sama. Contoh: dengan . Pecahan yang terakhir yaitu pecahan tak senama. Pecahan tak senama adalah pecahan yang mempunyai

penyebut yang tak sama. Contoh: dengan .Selain tiga macam pecahan di atas

dalam materi pecahan juga dipelajari konsep membandingkan dua pecahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Yang Pertama yaitu membandingkan dua pecahan. Konsep membandingkan dua pecahan senama yaitu membandingkan dua pecahan dengan menggunakan alat peraga dua kertas yang kongruen.

Contoh: dan

Konsep yang kedua yaitu membandingkan dua pecahan tak senama,yang dapat dijelaskan dalam contoh pada Gambar 1 dan membandingkan dua pecahan tak senama yang dapat dicermati pada Gambar 2.

: dan

Berdasarkan Gambar 2, karena luas peraga

lebih kecil daripada luas peraga , maka

< .

Pemahaman KonsepPemahaman konsep sangat

diperlukan dalam pembelajaran. Tanpa pemahaman konsep yang baik mustahil siswa dapat menyelesaikan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan pemahaman konsep. Teori Perkembangan Belajar yang dikemukakan oleh Jerome S Bruner (dalam Sri Subarinah, 2006:3-4) menyatakan bahwa proses belajar dibagi dalam tiga tahapan yaitu (1) Tahap kegiatan (enactive) Anak belajar konsep melaui benda riil atau peristiwa di sekitarnya; (2) Tahap gambar bayangan (iconic) Anak telah dapat mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda riil dalam bentuk bayangan mental dibenaknya; (3) Tahap simbolik (symbolic)

Muginah - MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP

Page 92: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

86

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dimana anak dapat menyatakan bayangan mentalnya dalam bentuk simbol dan bahasa, sehingga mereka sudah memahami simbol-simbol dan menjelaskanya dengan bahasa.: enactive, iconic, symbolic.

Menurut Bloom (dalam Ahmad Susanto, 2013:6) pemahaman diartikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang yang dipelajarai. Sedangkan menurut Dorothi J. Skeel (dalam Nursid Sumaatmadja, 2005:2-3), konsep merupakan sesuatu yang tergambar dalam pikiran, suatu pemikiran, gagasan atau pengertian. Jadi pemahaman konsep dapat diartikan kemampuan seseorang untuk menyerap materi yang tergambar dalam pikiran.

Menurut Hamzah B.Uno dan Satria Koni (2012:216), indikator yang menunjukkan pemahaman konsep antara lain 1) Menyatakan ulang sebuah konsep; 2) Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya); 3) Memberi contoh dan noncontoh dari konsep; 4) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis; 5) Mengembangkan syarat perlu atau syarat-syarat cukup suatu konsep; 6) Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu; 7) Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mempelajari konsep siswa harus belajar melalui benda riil (konkret), kemudian dilanjut dengan gambar (semi konkret) baru dengan simbol.

Karakteristik Siswa Sekolah DasarBerdasarkan teori belajar Jean Piaget

dalam (Subarinah, 2006) tahapan berpikir dibagi menjadi empat yaitu (1) sensori motorik ( usia kurang dari 2 tahun); (2) praoperasi (2-7 tahun)‘ (3) operasi konkret (7-11 tahun); (4) operasi formal (11 tahun keatas). Siswa SD pada umumnya berusia antara 7 12 tahun dengan demikian, maka usia anak SD berada pada tahap operasional konkret.

Pada tahap operasional konkret, materi yang diberikanpun harus dimulai dari hal-hal yang konkret, tak terkecuali pada mata pelajaran matematika. Meskipun cukup sulit, mengingat matematika lahir sebagai ilmu deduktif aksiomatis yang bersifat abstrak.

Lebih lanjut menurut Piaget (dalam Santrock, 2012:329) mengatakan bahwa pada umur 7 sampai 11 tahun anak-anak dapat melakukan operasi konkret; mereka juga dapat bernalar secara logis sejauh penalaran itu dapat diaplikasikan pada contoh-contoh yang spesifik atau konkret.

Menurut Syamsu Yusuf (2011: 24-25) masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah, pada masa keserasian bersekolah ini secara relatif, anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Siswa kelas III termasuk dalam kelas rendah. Anak-anak masih membutuhkan nilai yang baik, sehingga menantang guru untuk menggunakan berbagai cara agar berhasil dalam pembelajaran dan siswa memperoleh nilai yang tinggi (baik). Guru harus selalu

Page 93: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

87

berinovasi agar siswa tertarik mengikuti pembelajaran.

Berdasarkan uraian tentang perkembangan peserta didik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peserta didik pada siswa kelas III berada pada tahap operasional konkret (8-10 tahun) yang masuk pada masa kanak-kanak akhir , termasuk dalam kelas rendah dan mulai memasuki masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Siswa kelas III sekolah dasar memiliki karakteristik yaitu selalu ingin bermain, sikap tunduk pada peraturan-peraturan permainan tradisional, suka membandingkan dirinya dengan orang lain, anak menghendaki nilai (angka) yang baik, anak juga ingin mengembangkan dasar-dasar keterampilan membaca, menulis, dan matematika yang berkaitan dengan konsep, logika dan simbol. Selain itu juga anak sering membentuk kelompok-kelompok teman sebaya untuk bermain. Untuk memahami konsep sesuai dengan masa perkembangannya sangat tepat dengan segala sesuatu yang bersifat konkret baru kemudian semi abstrak dan abstrak.Rainbow Cikas

Rainbow dalam bahasa Indonesia berarti pelangi/ bianglala. Warna pelangi yang terdiri dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu sangat menarik untuk siswa kelas III SD. Pelangi dalam media ini digunakan warnanya untuk mempercantik penampilan compact disc (CD) bekas yang telah dipotong-potong untuk menvisualisasikan pecahan.

CIKAS akronim dari CD bekas,

penggunaan keping CD bekas berdasarkan beberapa pertimbangan diantaranya bentuk keping CD yang lingkaran dengan ukuran yang sama menyerupai kue sehingga sesuai untuk pembelajaran pecahan. Sebagaimana diungkapkan J.Souviney (1994) yang menyatakan “Fraction pies and strips are instructional materials can be constructed by reproducting each shape, out of a different color of contruction paper. The circles (or squares) are then cut into the fractional pieces 1, ½, 1/3, ¼, 1/6,1/8, 1/9,1/10,and 1/12”, yang artinya pai (kue) pecahan dan garis-garis merupakan bahan ajar model daerah, bahan-bahan ini dapat dibangun dengan membuat setiap bentuk dalam gambar dari warna yang berbeda dari susunan kertas. Lingkaran dipotong-potong dengan potongan pecahan 1, ½, 1/3, ¼, 1/6,1/8, 1/9,1/10,and 1/12. Alasan selanjutnya yaitu banyak keping CD bekas yang menjadi sampah tak berguna, bisa disulap menjadi barang yang berguna dalam pembelajaran di kelas. Pertimbangan lain pemilihan CD bekas yaitu karena ukuran yang sama dari CD karena merupakan bahan pabrikan sesuai untuk pembelajaran konsep pecahanebagaimana pendapat J.Souviney (1994) yang menyatakan pembelajaran konsep pecahan “the concept of fractional part involves making equal-sized partitions of an area or set” yang artinya konsep pecahan melibatkan membuat bagian berukuran sama dari suatu daerah atau set.Proses Pembuatan Rainbow CikasProses pembuatan Rainbow Cikas dapat dijelaskan sebagai berikut. .Alat dan bahan

Muginah - MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP

Page 94: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

88

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

yang dibutuhkan yaitu keping CD bekas, sterofom, gunting, cuter, pemotong sterofom, lem sterofom dan perekat kain, kertas lipat warna, dan kain flanel

Proses cara membuat yaitu (1) Bagi CD bekas menjadi pecahan yang ½, 1/3, 1/4 dan seterusnya; (2) Potong CD bekas sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan; (3) Potong dengan pemotong besi; (4) Potong sterofom dan kertas lipat warna sesuai dengan pecahan dari CD; (5) Tempelkan potongan CD bekas di atas sterofom, kemudian tutup CD bekas dengan kertas warna; (6) Tempeli bagian bawah sterofom dengan perekat kain; (7) Rainbow Cikas siap digunakan.

Media Rainbow Cikas digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan. Dalam pembelajaran, papan flannel digunakan sebagai media bantuan. Materi yang diberikan sebagai berikut: (1) Mengenalkan konsep pecahan; (2) Membandingkan pecahan; (3) Penjumlahan pecahan berpenyebut sama.

Media ini sangat sesuai dengan karakteristik siswa kelas 3 yang berada tahap operasional konkret, sehingga dalam pembelajaran pecahan dimulai dengan benda-benda konkret sebelum dengan gambar dan simbol.

Metode PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian

tindakan kelas (clasroom action research) yang bertujuan untuk mengatasi masalah–masalah dalam pengajaran di kelas. Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan Kemmis dan Taggart, dengan tahapan seperti pada Gambar 3.

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara kolaboratif antara penelitidan guru kelas. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik tes dan nontes. Tes digunakan untuk mendapatkan nilai hasil belajar siswa terhadap materi pecahan dengan media Raibow Cikas. Sedangkan teknik nontes yang digunakan yaitu observasi, angket, catatan lapangan, dan dokumentasi. Responden dari penelitian adalah siswa kelas III SD 1 Kadipiro. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Pendekatan deskriptif ada dua macam, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis data berupa hasil tes karena datanya berupa rata-rata dan persentase hasil belajar siswa. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis data berupa hasil observasi dan angket

Gambar 3. Penelitian Tindakan Kelas Model Kemmis dan Taggart (1990: 11)

Page 95: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

89

Hasil Penelitian dan PembahasanHasil Prapenelitian Data awal pada tahap prapenelitian diperoleh berdasarkan wawancara dengan guru kelas III, dengan hasil: 1) guru biasanya mengajarkan materi pecahan dengan garis bilangan dan gambar pecahan; (2) proses pembelajaran materi pecahan d kelas III SD 1 Kadipiro belum mendapatkan hasil yang maksimal; dan (3) siswa kurang tertarik mengikuti pembelajaran hal ini berakibat pada suasana belajar yang kurang menyenangkan (respon siswa kurang), karena aktivitas siswa kurang dan penguasaan siswa terhadap pemahaman konsep pecahan masih abstrak. Berdasarkan hasil tersebut peneliti menyusun rencana penelitian tindakan untuk memperbaiki pembelajaran pemahaman konsep pecahan. Hasil penyusunan tersebut yaitu (1) Tersusunnya jadwal pelaksanaan tindakan siklus I; (2) Tersusunnya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tentang materi yang diajarkan dan digunakan dalam tindakan; (3) Tersedianya media atau alat peraga yang akan digunakan dalam pembelajaran pemahaman pecahan yaitu media Rainbow Cikas; (4) Tersusunnya Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang digunakan dalam pembelajaran; (5) Tersusunnya kisi-kisi soal tes setelah tindakan siklus I ; (6) Tersusunnya kisi-kisi angket respon siswa; (7) Tersusunnya kisi-kisi dan lembar observasi yang akan digunakan untuk mengetahui secara langsung pelaksanaan pembelajaran

pecahan dengan media Rainbow Cikas; (8) Diperolehnya hasil tes sebelum tindakan (tes awal) untuk mengetahui kemampuan awal siswa terhadap materi pecahan peneliti. Hasil analisis tes menunjukkan nilai rata-rata sebelum tindakan materi pecahan pada siswa kelas III SD 1 Kadipiro sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil Penelitian Siklus I Berdasarkan catatan lapangan pada siklus I, pada tahap pelaksanaan guru mengawali kegiatan dengan memberikan motivasi pada siswa dengan memberikan soal-soal cerita dalam kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan pecahan, dilanjutkan dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan kegiatan yang akan dilaksanakan hari itu. Siswa tampak antusias dalam mengikuti pembelajaran karena menggunakan alat peraga yang menarik. Siswa penasaran dengan media baru yang akan digunakan untuk pembelajaran pecahan. Siswa memperhatikan dengan seksama pajangan media Raibow Cikas yang ditampilkan guru di papan flanel, seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Muginah - MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP

Page 96: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

90

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Pada kegiatan inti guru melibatkan siswa dalam menggunakan media untuk mengenalkan pecahan. Kegiatan dilanjutkan dengan guru membimbing siswa untuk mengenal pecahan dengan media Rainbow Cikas. Setelah paham mengenal pecahan menggunakan media Rainbow Cikas, siswa dikenalkan pecahan dengan gambar. Pada sesi ini siswa belajar menggunakan LKS secara berkelompok.

Hasil pengamatan kegiatan guru pada pertemuan 1, diperoleh hasil: dari 22 indikator yang diamati ada 3 indikator yang belum terlaksana. Indikator ini diantaranya indikator 13 tentang guru membimbing siswa menarik kesimpulan, indikator 18 tentang guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan dan indikator 19 tentang guru melakukan refleksi atau merangkum dengan melibatkan siswa sehingga skor rata-rata persentase baru mencapai 86,3%. Pada pertemuan 2, dari 22 indikator pengamatan, hanya 1 indikator yang belum muncul yaitu indikator 19 tentang guru melakukan refleksi atau merangkum dengan melibatkan siswa. Sedangkan pada pertemuan 3 indikator yang belum muncul yaitu indikator 3 tentang guru memotivasi siswa tentang pentingnya pemahaman

konsep pecahan dalam kehidupan sehari–hari.

Hasil pengamatan aktivitas siswa pada siklus I dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada pertemuan 1 dan 2, dari 9 indikator yang diamati pada indikator 5 tentang sebanyak 80% siswa saling membantu antara anggota dalam kelompok belum muncul, yang terlihat baru 60% siswa saling membantu dalam kelompok. Sedangkan pada pertemuan 3 semua indikator sudah muncul. Tes prestasi yang dilaksanakan pada siklus I menunjukan hasil yang meningkat dibandingkan dengan hasil sebelum tindakan. Hasil tes setelah tindakan siklus I dapat dilihat dalam Tabel 2. Setelah pembelajaran pada siklus I dilakukan siswa diberi angket untuk mengetahui respon siswa setelah melakukan pembelajaran menggunakan media Rainbow Cikas. Rangkuman hasil dari angket respon siswa pada siklus I dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa siswa yang berjumlah 32 mencapai persentase

Page 97: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

91

skor sebesar 80-100 sehingga dalam kategori sangat baik. Sehingga persentase siswa yang memberikan respon dalam kategori

sangat baik adalah

. Refleksi dilakukan oleh peneliti dengan guru kolabor pada siklus I berakhir dengan hasil sebagaimana dapat dicermati pada Tabel 4.

Hasil skor angket siswa menunjukkan semua siswa yang berjumlah 32 memberikan respon yang amat baik. Peningkatan nilai terjadi baik pada nilai tertinggi, nilai terendah, maupun rata-rata. Dengan demikian dikatakan kriteria keberhasilan 75% siswa memberikan respon dalam kategori baik dapat tercapai. Hasil observasi yang dilakukan bersama kolaborator menunjukkan bahwa pembelajaran telah berjalan sesuai dengan RPP. Hanya ada 3 indikator yang tidak muncul dalam pembelajaran. Sesuai hasil penelitian pada siklus I, secara umum pelaksanaan pembelajaran pecahan dengan media Rainbow Cikas pada siswa kelas III SD 1 Kadipiro, Kasihan, Bantul telah berjalan dengan baik, namun belum sepenuhnya optimal dan belum mencapai semua kriteria keberhasilan, sehingga

direkomendasikan untuk melakukan siklus II untuk diberikan perlakuan yang berbeda agar menyempurnakan tindakan.

Hasil Penelitian Tindakan Siklus IIBerdasarkan catatan lapangan

pada siklus II, pada tahap perencanaan mendapatkan hasil sebagai berikut (1) Tersusunnya RPP siklus 2 yang terdiri dari 3 pertemuan dengan materi membandingkan pecahan pertemuan 1 pertemuan 2 dan 3 dengan materi menyelesaikan soal cerita tentang pecahan; (2) Tersusunnya LKS siklus II; (3) Tersusunnya kisi-kisi soal tes setelah tindakan siklus II; (4) Tersusunnya kisi-kisi dan angket respon siswa terhadap pembelajaran pecahan bulat dengan media Rainbow Cikas.

Data yang terkumpul dari observasi kegiatan guru pada siklus II menunjukkan bahwa semua indikator pada siklus II sudah dapat dilaksanakan oleh guru, yang berarti sudah terjadi perbaikan dalam proses pembelajaran pada siklus II.

Hasil tes setelah tindakan siklus II mengalami peningkatan dari siklus 1. Secara ringkas hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Setelah PBM siklus II berakhir siswa mengisi angket respon siswa, hasil analisis respon angket siswa pada siklus II dapat

Muginah - MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP

Page 98: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

92

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dilihat pada Tabel 6.Berdasakan Tabel 6 tersebut dapat

dicermati bahwa semua persentase respon siswa dalam kategori sangat baik atau siswa yang memberikan respon dalam kategori sangat baik mencapai 100%. Setelah tindakan siklus II berakhir, dilakukan refleksi dengan membandingkan hasil tes siswa. Hasil tes akhir siswa pada penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam siklus II menunjukkan peningkatan hasil pada nilai rata-rata kelas. Seperti yang terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil angket respon siswa juga mengalami peningkatan seperti yang terlihat dari siklus I yang memberikan respon sangat baik mencapai 97% meningkat menjadi 100% pada siklus II. Hal tersebut menunjukkan bahwa kriteria pada penelitian ini telah tercapai sehingga bisa dikatakan penelitian tersebut

berhasil. Dengan tercapainya kriteria keberhasilan pada penelitian siklus II ini maka diputuskan untuk menghentikan penelitian tindakan tersebut.

Pembahasan Hasil penelitian berhasil menjawab semua pertanyaan penelitian, sehingga bisa memenuhi semua kriteria keberhasilan dalam penelitian. Berdasarkan deskripsi pelaksanaan tindakan siklus I dan siklus II, penerapan pembelajaran pecahan dengan media Raibow Cikas telah berhasil meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep dasar pecahan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Heruman (2007:3) yang menyatakan kalau saja dalam pembelajaran pecahan siswa diberikan contoh lewat media peraga yang konkret, siswa akan memahami konsep pecahan dengan lebih baik. Hasil tes sebelum tindakan, tes setelah tindakan siklus I, dan tes setelah tindakan siklus II menunjukkan adanya peningkatan tersebut. Secara umum nilai rata-rata kelas mengalami peningkatan. Peningkatan nilai rata-rata kelas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 99: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

93

Persentase siswa yang mencapai kriteria ketruntasan minimal dari siklus I dan siklus II mengalami peningkatan. Secara umum persentase siswa yang mencapai KKM meningkat, namun masih ada beberapa siswa yang belum mencapai KKM. Siswa yang belum mencapai KKM termasuk ABK, mengingat SD 1 Kadipiro merupakan sekolah inklusi maka KKM untuk ABK tidak sama dengan siswa yang regular.

Respon siswa pada pembelajaran pecahan dengan media Rainbow Cikas dari siklus I dan II dalam kategori baik dan sangat baik. Pembelajaran pecahan menggunakan media Rainbow Cikas ini sesuai karakteristik siswa SD yang dikemukakan oleh Felmand (2011: 214) dimana siswa kelas III masuk dalam tahap operasional konkret (Piaget) terjadi antara usia 7–12 tahun, ditandai dengan aktif dan tepat dalam menggunakan logika. Rainbow Cikas merupakan media yang mengkonkretkan bilangan pecahan dan memberikan gambaran yang nyata tentang bilangan pecahan. Walaupun Rainbow Cikas baru pertama diterapkan di SD 1 Kadipiro, respon siswa sangat baik karena media ini merupakan media yang konkret dan bisa menggambarkan konsep bilangan pecahan. Pembelajaran bilangan pecahan menggunakan media Rainbow Cikas di kelas III SD mendapatkan alokasi waktu 12 jam pelajaran. Terbagi dalam 6 pertemuan. Pada penelitian ini terbagi dalam 2 siklus, tiap siklus terdiri dari 3 pertemuan. Dari hasil observasi siklus I, pertemuan 1 persentase keterlaksanaan pembelajaran yang direncanakan baru mencapai 86,3%,

pertemuan 2 dan 3 mencapai 95,45%. Dengan demikian menurut kriteria keberhasilan yang ditetapkan sudah dikatakan berhasil.

Simpulan Media Rainbow Cikas dapat meningkatkan

nilai rata-rata siswa kelas III SD 1 Kadipiro pada materi pecahan. Pembelajaran pecahan dengan media rainbow cikas pada siswa kelas III SD 1 Kadipiro, Kasihan Bantul dapat meningkatkan nirai rata-rata matematika di kelas 3. Pembelajaran pecahan dengan media Rainbow Cikas mendapatkan respon yang baik dari siswa kelas III SD 1 Kadipiro, Kasihan, Bantul. Pada penelitian ini untuk soal-soal yang pemecahan masalah yang berhubungan dengan pecahan belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu peneliti hendaknya memperpanjang waktu penelitian dengan mengembangkan banyak soal-soal pemecahan masalah agar materi pecahan benar-benar bermakna dan dikuasai oleh siswa.

Daftar Rujukan

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Eko Jaya.

DePorter, B. & Hernacki, M. 2011. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (Terjemahan Alwiyah Abdurrahman). New York: Dell Publishing.

Feldman, R. S. 2012. Dicovery the Life Span(ednd2 ). Amherst, Massachusetts:

Pearson Prentice Hall.

Muginah - MENINGKATKAN PEMAHAMAM KONSEP

Page 100: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

94

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Heruman. 2007. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: Rosdakarya.

Kemmis, S. & Mc. Tanggart, R. 1990. The Action Research Planner. Warrnambool, Victoria: Deakin University Press.

Santrock, J. W. 2012. Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup. (Terjemahan Benedictine Widyasinta). Boston: McGraw-Hill.

Subarinah, Sri. 2006. Inovasi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Sumaatmadja, Nursid. 2001. Metodologi Pengajaran IPS. Bandung: Alumni.

Uno, Hamzah B. & Satria. 2012. Assesment Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Ahmad, Susanto. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar, Jakarta: Kencana.

Yusuf, S. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 101: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

95

PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS SWAY PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS 6 SEKOLAH DASAR

Fita SukiyaniSD Negeri Sumber 1 Berbah, Sleman, DI Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitianini bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran IPS pada materi negara-negara di dunia melalui pembelajaran kooperatif berbasis aplikasi Sway di kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah, Sleman, tahun pelajaran 2016/2017. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, indepth interview, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu analisis data kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan informasi yang menggambarkan peningkatan hasil belajar dan pelaksanaan pembelajaran, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis nilai hasil belajar pesertadidik. Tindakan perbaikan pembelajaran IPS pada materi negara-negara di dunia melalui pembelajaran kooperatif berbasis Sway ini berlangsung dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiriatas 4 kegiatan yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil tindakan perbaikan menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang semula pada siklus I jumlah pesertadidik yang memenuhi KKM hanya 13 orang atau 46,43%, sedangkan pada siklus II menjadi 24 orang atau 85,72%. Selain itu perkembangan individu dan kelompok juga meningkat secara signifikan. Peningkatan hasil belajar tersebut membuktikan bahwatindakan perbaikan pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif berbasis Sway pada mata pelajaran IPS untuk siswa kelas 6 Sekolah Dasar telah berhasil.

Kata kunci: Kooperatif, Sway, IPS, Kelas 6 SD.

Abstract: This study aimed to improve the learning of social studies in the materials of countries in the world through cooperative learning based on Sway application in Grade 6 SD NegeriSumber 1 Berbah, Sleman, academic year 2016/2017. This research was a classroom action research. Observation, in-depth interview, and documentation were used as data collection techniques. Data were analyzed qualitative and quantitatively. Qualitative analysis was used to provide information that describes improvement of learning outcomes and implementation of learning, while quantitative analysis was used to analyze learners’score of learning outcomes. This classroom action research took place in 2 cycles. Each cycle consisted of 4 activities namely planning, action, observation, and reflection. The results of corrective action showed an increase in learning outcomes initially in the first cycle the number of students who meet the minimum requirement standard only 13 students or 46.43%, while in the second cycle to 24 students or 85.72%. In addition, individual and group development also increased significantly. The improvement of the learning result proved that the action of learning improvement through “Sway” based cooperative learning on social studies subjects for 6th grade students of Primary School had been successful.

Keywords: Cooperative, Sway, social science, Grade 6 elementary school.

Page 102: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

96

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

PendahuluanPerkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi berimplikasi pada semua bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Percepatan peningkatan pengetahuan didukung oleh penerapan media dan teknologi digital yang disebut information super highway (Gates, 1996). Perkembangan ini tentu saja menuntut dunia pendidikan untuk dapat meningkatkan kompetensi tenaga pendidik dalam memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran. Hal ini agar dapat membekali peserta didiknya agar memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan yang positif. Itulah mengapa guru dituntut bukan hanya untuk menjawab tantangan untuk mampu mengintegrasikan teknologi dalam segala aspek pembelajaran tradisional, namun juga membimbing peserta didik dalam menggunakan teknologi dalam pembelajaran (Taffe & Gwinn, 2007: 3).

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran atau mata kuliah yang mempelajari kehidupan sosial yang kajiannya mengintegrasikan bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora (Nursid Sumaatmadja, 2005: 1.9). Proses pembelajaran IPS sebagaimana pembelajaran pada umumnya, harus dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus mengembangkan karakter sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan Ipteks pada umumnya. Pembelajaran IPS diarahkan untuk melahirkan pelaku-pelaku yang berdimensi personal, sosiokultural, spiritual, dan intelektual (Sardiman A.M., 2010: 155-156).

Di kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah pembelajaran IPS dianggap kurang menarik bagi peserta didik. Penggunaan metode pembelajaran yang kurang menyenangkan dan menantang menambah turunnya minat belajar peserta didik pada mata pelajaran IPS. Belum lagi cakupan materi negara-negara di dunia pada mata pelajaran IPS sangat luas. Pengalaman peserta didik juga terbatas. Mereka belum pernah berkunjung ke negara lain, bahkan baru sedikit anak yang pernah bepergian ke luar kota di Indonesia. Kelangkaan kesempatan bepergian tersebut memperkecil pengalaman dan wawasan peserta didik.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian tindakan perbaikan pembelajaran dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi dengan keyakinan bahwa teknologi dapat menjadi solusi untuk pemecahan masalah pembelajaran di kelas 6 tempat peneliti mengajar. Peneliti mengajak peserta didik kelas 6 untuk bekerja kelompok membuat laporan virtual field trip (darmawisata maya) dengan memanfaatkan aplikasi Sway. Sway adalah sebuah aplikasi cerita digital bagi kantor, sekolah dan rumah yang memudahkan dan mempercepat pembuatan dan pembagian laporan, presentasi, cerita pribadi, dan dokumen interaktif lainnya yang memukau (Microsoft, https://www.microsoft.com). Peneliti memilih aplikasi Sway, karena aplikasi ini mudah digunakan. Aplikasi ini akan lebih memudahkan peserta didik untuk berfokus pada konten laporan yang disusun (Microsoft, https://microsoft.com),

Page 103: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

97

bukan pada tampilan dan kreasi laporannya. Aplikasi Sway juga dapat dibuka di ponsel maupun tablet. Hal ini akan memudahkan peserta didik dalam mengakses laporan kelompok lain, sehingga dapat belajar kapan saja dan dimana saja asalkan ada jaringan internet yang mendukung.

Pembelajaran kooperatif dipilih karena kemampuan berkolaborasi adalah salah satu keterampilan abad 21 yang harus dimiliki oleh peserta didik. Keterampilan bekerjasama ini penting bagi kehidupan anak. Slavin (Etin Solihatin & Raharjo, 2007:4) menyatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang. Struktur kelompok bersifat heterogen dari sisi kemampuan dan aktivitas baik secara individu maupun kelompok.

Pendapat Slavin di atas tidak berbeda jauh dengan Lickona (1991) yang menyatakan “In cooperative learning, the teacher started having students work together─usually in three or four─in all subjects for part of the day. They worked on math problems in groups, researched social studies questions in groups, practiced reading to each other in groups, and so on”. Yang berarti bahwa dalam pembelajaran kooperatif, guru memulai pembelajaran dengan membagi kelompok─ yang terdiri dari 3 atau 4 anak─dalam setiap mata pelajaran selama beberapa jam setiap harinya. Peserta didik belajar memecahkan masalah matematika secara berkelompok,

melakukan penelitian dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pembelajaran ilmu-ilmu sosial secara berkelompok, membaca bergantian secara berkelompok, dan lain-lain.

Dari kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pembelajaran kooperatif menekankan pada kerja kelompok. Dimana dalam setiap kelompok dapat terdiri dari 3, 4, atau 6 peserta didik, dengan tingkat kemampuan individu yang heterogen. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu “getting better together”, atau “menjadi lebih baik secara bersama-sama” (Slavin dalam Etin Solihatin & Raharjo, 2007:5). Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para peserta didik bekerja bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Dengan demikian, keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas kelompok, baik secara individu, maupun kelompok.

Tindakan perbaikan pembelajaran ini adalah upaya untuk memperbaiki pembelajaran, sekaligus hasil belajar peserta didik. Prestasi belajar diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam rapor (Purwanto, 1986: 28). Menurut Syaiful Bahri Djamarah, “prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, atau diciptakan secara individu maupun secara kelompok” (1999: 78). Pendapat ini berarti

Fita Sukiyani - PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

Page 104: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

98

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

prestasi tidak akan pernah dihasilkan apabila seseorang tidak melakukan kegiatan. Hasil belajar atau prestasi belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai oleh peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar.

Metode PenelitianSubjek penelitian ini yaitu 28 peserta

didik kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Peserta didik kelas 6 terdiri dari 11 anak laki-laki dan 17 anak perempuan. Berdasarkan rancangan penelitian, maka penelitian ini menggunakan desain penelitian class action research atau penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri yang secara kolektif dilakukan dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik pendidikan dan sosial mereka serta pemahaman mereka mengenai praktik ini dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik ini (Kemmis & Taggart, 1988: 5-6).

Penerapan pembelajaran kooperatif berbasis Sway dalam pelaksanaan perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran IPS tentang materi negara-negara di dunia pada penelitian ini terbagi menjadi 3 siklus yaitu: Pra siklus, siklus I, dan siklus II. Pada setiap siklus, kecuali pra siklus, terdiri dari 4 tahap, yaitu: perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi.

Analisis data dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu analisis data kualitatif dan kuantitaf.

Analisis data kualitatif digunakan untuk memberikan informasi yang menggambarkan peningkatan hasil belajar dan pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran kooperatif berbasis Sway pada mata pelajaran IPS tentang materi negara-negara di dunia. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis nilai hasil belajar peserta didik pada pembelajaran kooperatif berbasis Sway pada mata pelajaran IPS tentang materi negara-negara di dunia (Suharsimi Arikunto, 2006: 131).

Hasil Penelitian dan PembahasanTindakan perbaikan pembelajaran

dimulai pada siklus I. Pada siklus ini mulai diterapkan pembelajaran kooperatif berbasis Sway dengan kegiatan pembelajaran sebagai berikut. Dalam kegiatan pembelajaran ini, peserta didik yang berjumlah 28 anak dibagi menjadi 7 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 4 anak. Mula-mula pembelajaran berlangsung secara klasikal, guru mengajak anak-anak melakukan virtual field trip (wisata maya) ke negara-negara lain di dunia dengan memanfaatkan internet (Sway yang dibuat guru, YouTube, via Skype, Bing). Aktivitas dalam pembelajaran ini dapat dicermati pada Gambar 1. Link URL yang dibuka antara lain: https://sway.com/V6tfGkrLqq7HFD7r, https://goo.gl/d6fPiu, https://goo.gl/d6fPiu, https://goo.gl/d6fPiu, https://www.youtube.com/watch?v=YeMOsrVP0lY, https://goo.gl/d6fPiu, https://goo.gl/d6fPiu, https://goo.gl/d6fPiu (100, https://goo.gl/d6fPiu, https://goo.gl/d6fPiu.

Page 105: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

99

Selain berwisata maya di sekolah, peserta didik juga diberikan tugas untuk melakukan virtual field trip ke negara-negara yang disukai bersama teman-teman sekelompoknya di rumah. Selanjutnya, peserta didik membuat laporan virtual field trip-nya dengan menggunakan aplikasi Sway. Aktivitas siswa dapat dilihat pada Gambar 2. Aplikasi Sway dipilih, karena aplikasi ini mudah digunakan dan tidak membuat peserta didik berfokus pada desain laporan, namun cukup pada isi laporannya

saja. Hal ini dikarenakan aplikasi Sway sudah menyediakan fasilitas desain yang unik, menarik, dan otomatis pada tools Remix.

Setelah membuat laporan virtual field trip menggunakan aplikasi Sway, peserta didik kemudian mempresentasikan laporannya di depan kelas sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3. Berikut ini produk Sway peserta didik: https://sway.com/s02oQ7z9uUUspWsD, https://sway.com/5QqOJImM8lMwpCV9, https://sway.com/gZxxAnKaZCRDbzjo, https://sway.com/CDnBF3sgAlIhYoW3 https://sway.com/1VG7bk8zWcRJb3NE, https://sway.com/xocRmAQaxVjqx0Nz, https://sway.com/rkdc3Ww4mkKJVykJ, https://sway.com/NCHmNUQY5GkZWiMB.

Setelah melakukan presentasi, peserta didik melakukan tanya jawab untuk melengkapi laporan agar lebih kaya informasi. Aktivitas ini dapat dilihat pada Gambar 4. Karena menggunakan aplikasi Sway, maka pekerjaan mengedit laporan menjadi lebih mudah. Guru kemudian mengadakan evaluasi siklus I untuk

Gambar 1. Aktivitas Peserta Didik selama Virtual Field Trip

Gambar 2. Aktivitas Pembelajaran Kooperatif Peserta Didik dalam Melakukan Virtual Field Trip dan Membuat Laporan

Menggunakan Aplikasi Sway

Gambar 3. Peserta Didik Mempresentasikan Laporannya

Fita Sukiyani - PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

Page 106: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

100

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

mengukur ketercapaian hasil belajarnya.Hasil tindakan perbaikan

pembelajaran IPS melalui pembelajaran kooperatif berbasis Sway dapat dicermati pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil belajar pada siklus I, dapat disimpulkan bahwa tindakan perbaikan pembelajaran belum secara optimal berhasil. Dari sebanyak 28 siswa, baru 13 peserta didik atau 46,43% saja yang sudah tuntas KKM. Oleh karena itu dilakukan tindakan perbaikan pembelajaran pada siklus berikutnya.

Praktik pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengedepankan kerja kelompok. Oleh karena itu, untuk mengukur keberhasilan kerja kelompok

dalam penelitian, dilakukan pengukuran perkembangan individu peserta didik untuk menjustifikasi nilai kelompok.

Berdasarkan Tabel 2. Daftar Nilai Kelompok Siklus I dapat dicermati pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kelompok terbaik yaitu kelompok D dan G dengan nilai kelompok antara 10,25 - 15. Kelompok ini terlihat antusias selama mengikuti proses pembelajaran. Kerjasama yang terjalin antar anggota kelompok berlangsung baik dan menyenangkan. Peserta didik yang belum paham tidak malu bertanya kepada yang sudah paham, sedangkan yang sudah paham dengan antusias mengajari temannya.

Sehubungan dengan hasil belajar siklus I yang belum optimal, maka penelitian dilanjutkan pada siklus berikutnya, yaitu siklus II. Kegiatan yang berlangsung pada siklus II pada dasarnya sama dengan siklus I. Perbedaannya hanya terletak pada kegiatan pembelajarannya. Pada siklus II, peserta didik tidak mempresentasikan laporannya di depan kelas, namun membagi link URL Sway-nya di media sosial, via BBM, maupun WhatsApp. Tujuan dari membagi link URL

Gambar 4. Aktivitas Tanya Jawab di Kelas

Page 107: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

101

ini adalah agar kelompok lain dapat belajar dari kelompok pembagi tentang apa yang sudah dikerjakannya. Aktivitas siswa dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Gambar 5

Link URL produk Sway hasil laporan peserta didik pada siklus II antara lain: https://sway.com/akBuTolpsILBhInw, https://sway.com/MWt6p4wP78vcmOHG, https://sway.com/Zvbwjt0K51vputyg, https://sway.com/Zvikm9O7gRMsOBbQ, https://sway.com/nOjOuNU7vGIN9csj, https://sway.com/dqxVPTqHnLZFOyka, https://sway.com/Bb5lif7GvZC2CU8x, https://sway.com/C5UBcISV5V7DnouG, https://sway.com/0dgG1E7R4UQ6JpeI, https://sway.com/rGpO3RBmHv3645oy.

Bagi peserta didik yang tidak dapat mengakses hasil laporan Sway secara individu, mereka dapat mengakses bersama kelompoknya dan belajar bersama, baik di rumah maupun di sekolah. Aplikasi Sway berbasis internet, sehingga peserta didik tidak perlu mengcopy paste laporan temannya, namun cukup membuka link URL

Gambar 5. Aktivitas Pembelajaran Kooperatif Peserta Didik Mengakses Sway Menggunakan Laptop maupun Handphone di Sekolah dan di Rumah secara Berkelompok

untuk Belajar

yang sudah dibagi. Sway tidak harus dibuka dengan laptop maupun PC, namun dapat juga dibuka menggunakan handphone maupun ipad, tablet dengan kualitas tampilan yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai media belajar.

Hasil tindakan perbaikan pembelajaran pada siklus II mengalami peningkatan. Dari semula hanya sebanyak 13 peserta didik yang tuntas KKM menjadi 24 peserta didik atau 85,71%. Hasil belajar tersebut tercantum dalam rekapitulasi sebagaimana dapat dicermati pada Tabel 3

Pada siklus ini, 24 anak atau 85,71% peserta didik telah mencapai KKM, hal ini berarti telah lebih dari 75% peserta

Fita Sukiyani - PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

Page 108: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

102

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

didik yang tuntas KKM dengan nilai sama dengan atau di atas 70. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan perbaikan pembelajaran pada siklus II telah berhasil. Oleh karena praktik pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengedepankan kerja kelompok, maka untuk mengukur keberhasilan kerja kelompok dalam penelitian ini, perkembangan individu juga diukur untuk menjustifikasi nilai kelompok.

Berdasarkan Tabel 4. Daftar Nilai Kelompok Siklus II dapat dicermati pada Tabel 4. Berdasar Tabel 4 dapat diketahui bahwa kelompok terbaik yaitu kelompok A dan B. Dengan kategori Superior nilai kelompok yang diperoleh kelompok A sebesar 32, sedangkan kelompok B dengan kategori Baik Sekali memiliki nilai kelompok 18,25. Kedua kelompok ini terlihat sangat antusias selama proses pembelajaran. Kelompok E dan F masuk katagori Baik dengan nilai 15 dan 14,75. Kelompok yang masuk katagori Cukup adalah kelompok C, D, dan G dengan nilai katagori Cukup yang tinggi. Kerjasama yang terjalin dalam kerja kelompok berlangsung lebih baik dan menyenangkan. Peserta didik yang belum paham tidak malu bertanya kepada yang

sudah paham, sedangkan yang sudah paham dengan antusias mengajari temannya.

Berdasarkan kedua hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan perbaikan yang telah dilakukan telah berhasil secara optimal, sebab telah ada 75% atau lebih peserta didik yang sudah mencapai KKM. Oleh karena itu, tindakan perbaikan tidak dilanjutkan lagi.

Tindakan perbaikan pembelajaran kooperatif berbasis Sway pada mata pelajaran IPS dengan materi negara-negara di dunia di kelas 6 Sekolah Dasar dilaksanakan dalam 2 siklus. Kegiatan pada siklus I dan Siklus II hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada pelaporan Sway-nya. Kegiatan tersebut yaitu 1) Guru memberikan informasi awal tentang jalannya pembelajaran yang menerapkan pembelajaran kooperatif berbasis Sway yang memanfaatkan internet; 2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada materi negara-negara di dunia di kelas 6; 3) Dalam kegiatan pembelajaran ini, peserta didik yang berjumlah 28 anak dibagi menjadi 7 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 4 anak. Ketujuh kelompok tersebut duduk secara berkelompok dengan penataan meja dan kursi secara berkelompok, guru melibatkan siswa mengatur meja dan kursi secara berkelompok; 4) Mula-mula pembelajaran berlangsung secara klasikal, guru mengajak anak-anak melakukan virtual field trip (wisata maya) ke negara-negara lain di dunia dengan memanfaatkan internet (Sway yang dibuat guru, YouTube, Bing); 5) Selain berwisata maya di sekolah, peserta

Page 109: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

103

didik juga ditugasi melakukan virtual field trip ke negara-negara yang disukai bersama teman-teman sekelompoknya di rumah; 6) Kemudian membuat laporan virtual field trip-nya menggunakan aplikasi Sway. Aplikasi Sway dipilih, karena aplikasi ini mudah digunakan dan tidak membuat peserta didik berfokus pada desain laporan, namun cukup pada isi laporannya saja. Hal ini dikarenakan aplikasi Sway sudah menyediakan fasilitas desain yang unik, menarik, dan otomatis pada tools Remix; 7) Setelah membuat laporan virtual field trip menggunakan aplikasi Sway, peserta didik kemudian mempresentasikan laporannya di depan kelas (siklus I). Laporan virtual field trip dibagi link URLnya di media sosial, BBM, Whatsapp; 8) Setelah presentasi, peserta didik melakukan tanya jawab untuk melengkapi laporan agar lebih kaya informasi. Karena menggunakan aplikasi Sway, maka pengerjaan mengedit laporan menjadi lebih mudah. Setelah itu guru mengadakan evaluasi pada akhir siklus I dan II untuk mengukur ketercapaian hasil belajarnya; 9) Guru menutup pelajaran.

Selama proses pembelajaran berlangsung, guru melakukan pengamatan: 1) Pengamatan aktivitas peserta didik dan keberhasilan peserta didik dalam melaksanakan tugas; 2) Pengamatan secara kolaboratif terhadap jalannya proses pembelajaran; 3) Pengamatan terhadap aktivitas peserta didik dalam memecahkan masalah/tugas; 4) Pengamatan partisipatif dalam sesi tanya jawab dan diskusi; 5) Pengamatan/pencatatan terhadap peserta

didik yang aktif, berani bertanya atau mengerjakan tugas di depan kelas atau di papan tulis.

Melalui kegiatan tersebut peserta didik bekerja sama setelah guru mempresentasikan pelajaran dan melakukan virtual field trip. Mereka dapat bekerja dengan kelompoknya, mendiskusikan perbedaan yang ada, yang sudah mahir membuat laporan menggunakan aplikasi Sway dapat mengajari temannya yang belum mahir, dan saling membantu satu sama lain saat menghadapi jalan buntu. Lickona (1991:192) menyatakan bahwa “. . . student team learning develops both group responsibility for the individual and individual responsibility to the group.” Pernyataan ini berarti bahwa pembelajaran kooperatif mengembangkan baik tanggung jawab kelompok kepada individu dan tanggung jawab individu kepada kelompok.

Tanggung jawab individual ini memotivasi peserta didik melakukan sebuah pekerjaan tutorial dengan baik dan saling menjelaskan satu sama lain, mengingat satu-satunya cara tim tersebut berhasil adalah jika seluruh anggota tim telah menuntaskan informasi atau keterampilan yang sedang dipelajarinya. Karena skor tim didasarkan pada peningkatan diatas skor mereka yang lalu (kesempatan yang sama untuk berhasil), semua peserta didik memiliki peluang menjadi bintang pada suatu minggu tertentu, dengan cara memperoleh skor baik diatas skor terdahulu atau dengan mendapatkan skor sempurna. Skor sempurna selalu menghasilkan poin maksimum tidak

Fita Sukiyani - PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

Page 110: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

104

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

memandang berapapun rata-rata skor terdahulu peserta didik (Lickona, 1991:191-192).

Selanjutnya, pembahasan yang kedua dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan tentang hasil penerapan pembelajaran kooperatif berbasis Sway pada materi negara-negara di dunia di kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah tahun pelajaran 2016/2017, dimulai dengan pembahasan antar siklus. Pembahasan ini sangat perlu dilakukan untuk mengetahui secara ringkas hasil dari tindakan perbaikan yang dilakukan guru.

Pada siklus I telah menggambarkan keberhasilan tindakan, meskipun belum signifikan. Pada siklus II telah menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif berbasis Sway telah berhasil meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran IPS, terutama pada materi negara-negara di dunia. Hal ini membuktikan bahwa tindakan yang ditempuh berhasil. Hasil perkembangan peserta didik tersebut dapat dilihat pada tabel dan grafik berikutnya yang menggambarkan hasil evaluasi antar siklus. Pada tabel dan grafik tersebut tersaji dengan jelas perubahan ke arah yang lebih baik sebagai akibat dari dampak tindakan perbaikan pembelajaran yang telah dilakukan. Untuk selanjutnya, disajikan rekapitulasi hasil evaluasi antar siklus sebagaimana dapat dicermati pada Tabel 5.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bukti keberhasilan penerapan pembelajaran kooperatif berbasis Sway melalui peningkatan hasil belajar peserta didik

yang mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Apabila semula pada siklus I hanya 13 peserta didik yang lulus KKM atau 46,43%, maka pada siklus II menjadi 24 peserta didik atau 85,72%. Peningkatan ini sangat bagus. Hal ini semakin membuktikan bahwa tindakan perbaikan pembelajaran telah berhasil meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah tahun pelajaran 2016/2017 untuk mata pelajaran IPS.

Perkembangan individu dan kelompok juga signifikan, hal ini dapat terlihat pada Tabel 6. Untuk mengetahui bagaimana nilai kelompok tersebut, disajikan nilai kelompok antar siklus.

Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif berbasis Sway ini terbukti telah berhasil menciptakan proses pembelajaran kooperatif yang sangat bagus untuk diterapkan dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2011: 302) yang menyebutkan beberapa asumsi yang mendasari pengembangan pembelajaran kooperatif (cooperative learning), antara lain 1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar dibandingkan dalam

Page 111: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

105

bentuk lingkungan kompetitif individual. Kelompok-kelompok sosial integrative memiliki pengaruh yang lebih besar dari pada kelompok yang dibentuk secara berpasangan. Perasaan-perasaan saling berhubungan (feeling of connectedness) menghasilkan energi yang positif; 2) Anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama lain. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak dibandingkan dalam sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antar satu peserta didik dengan peserta didik lainnya; 3) Interaksi antar anggota, akan menghasilkan aspek kognitif semisal kompleksitas sosial, menciptakan sebuah aktivitas intelektual yang dapat mengembangkan pembelajaran ketika dibenturkan pada pembelajaran tunggal; 4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain, menghilangkan pengasingan dan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan sebuah

pandangan positif mengenai orang lain; 5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya melalui pembelajaran yang terus berkembang, namun juga melalui sebuah perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan; 5) Peserta didik yang mengalami dan menjalani tugas serta merasa harus bekerja sama dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif. Dengan kata lain, semakin banyak peserta didik mendapat kesempatan untuk bekerjasama, maka mereka akan semakin mahir bekerjasama, dan hal ini akan sangat berguna bagi kemampuan sosial mereka secara umum; 6) Peserta didik, termasuk juga anak-anak, bisa belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja sama.

Melalui kerjasama kelompok, rasa memiliki terhadap tanggung jawab dan interaksi yang intens antarsesama anggota kelompok menghasilkan lebih banyak

Fita Sukiyani - PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

Page 112: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

106

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

perasaan positif terhadap masalah tugas, meningkatkan hubungan antar kelompok, dan yang lebih penting adalah menghasilkan sebuah image diri yang lebih baik dalam diri peserta didik yang memiliki prestasi kurang baik (Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E, 2011: 303). Hal ini sangat menguntungkan peserta didik untuk semakin mengembangkan potensi dirinya. Guru juga akan semakin mudah membantu dan memfasilitasi peserta didik untuk meningkatkan perasaan positif terhadap materi tertentu maupun mata pelajaran tertentu, terutama mata pelajaran IPS di kelas 6 yang selama ini sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan banyak hapalan.

SimpulanTindakan perbaikan pembelajaran

kooperatif berbasis Sway pada mata pelajaran IPS dalam materi negara-negara di dunia di kelas 6 Sekolah Dasar dilaksanakan dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 kegiatan yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Kegiatan pembelajaran pada siklus I dan Siklus II hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada pelaporan Sway-nya. Kegiatan tersebut sebagai berikut: 1) Guru memberikan informasi awal tentang jalannya pembelajaran yang menerapkan pembelajaran kooperatif berbasis Sway yang memanfaatkan internet; 2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada materi negara-negara di dunia di kelas 6; 3) Dalam kegiatan pembelajaran ini, peserta didik yang berjumlah 28 anak dibagi menjadi 7 kelompok

dengan masing-masing kelompok terdiri atas 4 anak; 4) Mula-mula pembelajaran berlangsung secara klasikal, guru peneliti mengajak anak-anak melakukan virtual field trip (wisata maya) ke negara-negara lain di dunia dengan memanfaatkan internet (Sway yang dibuat guru, YouTube, Bing); 5) Selain berwisata maya di sekolah, peserta didik juga ditugasi melakukan virtual field trip ke negara-negara yang disukai bersama teman-teman sekelompoknya di rumah; 6) Kemudian membuat laporan virtual field trip-nya menggunakan aplikasi Sway. Aplikasi Sway dipilih, karena aplikasi ini mudah digunakan dan tidak membuat peserta didik berfokus pada desain laporan, namun cukup pada isi laporannya saja. Hal ini dikarenakan aplikasi Sway sudah menyediakan fasilitas desain yang unik, menarik, dan otomatis pada tools Remix; 7) Setelah membuat laporan virtual field trip menggunakan aplikasi Sway, peserta didik kemudian mempresentasikan laporannya di depan kelas (siklus I). Laporan virtual field trip dibagi link URLnya di media sosial, BBM, Whatsapp; 8) Setelah presentasi, peserta didik melakukan tanya jawab untuk melengkapi laporan agar lebih kaya informasi. Karena menggunakan aplikasi Sway, maka untuk mengedit laporan pengerjaannya menjadi lebih mudah. Setelah itu guru peneliti mengadakan evaluasi pada akhir siklus I dan II untuk mengukur ketercapaian hasil belajarnya; 9) Guru menutup pelajaran.

Penerapan pembelajaran kooperatif berbasis Sway dalam materi negara-negara di

Page 113: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

107

dunia di kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah, tahun pelajaran 2016/2017 terbukti berhasil meningkatkan hasil belajar peserta didik. Apabila semula pada siklus I yang lulus KKM hanya 13 peserta didik atau 46,43%, maka pada siklus II menjadi 24 peserta didik atau 85,72%. Peningkatan ini sangat bagus. Hal ini semakin membuktikan bahwa tindakan perbaikan pembelajaran telah berhasil meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas 6 SD Negeri Sumber 1 Berbah tahun pelajaran 2016/2017 pada mata pelajaran IPS. Selain itu, perkembangan individu dan kelompok juga meningkat secara signifikan. Hal ini semakin membuktikan bahwa tindakan perbaikan pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif berbasis Sway pada mata pelajaran IPS di Kelas 6 telah berhasil.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta.

Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetesi Guru. Jakarta: Rineka Cipta.

Gates, B., et.all. 1996. The Road Ahead. London: Penguin Books.

Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. 2011. Models of Teaching: Model-Model Pengajaran. (diterjemahkan oleh Achmad Fawaid & Ateilla Mirza). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kemmis, S., & McTaggart, R. 1988. The Action Research Reader. Australia: Deakin University Press.

Lickona, T. 1991. Educating For Character. New York: Bantam Books.

Microsoft. 2009. Introducing Sway, diunduh dari https://microsoft.com, diakses pada 18 September 2016.

Purwanto. 1986. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sardiman, A.M. 2010. “Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS dalam Pembentukan Karakter Bangsa.” Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th.XXIX.

Solihatin, Etin & Raharjo. 2007. Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara

Sumaatmadja, Nursid. 2005. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka.

Uno, Hamzah B. 2009. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Fita Sukiyani - PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS

Page 114: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

108

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Teguh HariyadiWidyaiswara LPMP Sulawesi TengahE-mail: [email protected]

Abstrak: Penilaian Kinerja Guru (PK GURU) merupakan penilaian tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karier, kepangkatan dan jabatannya. Penilaiankinerjagurusebagai bagian dari kegiatan pembelajaran harus mampu memberikan informasi yang dapat membantugurumeningkatkankemampuanmengajardalam rangkamembantu siswa mencapai perkembangan pendidikan secara optimal.Prosedur pelaksanaannya, pada awal tahun pelajaran dilakukan perencanaan pembelajaran dan wawancara, pada pertengahan tahun pelajaran dilakukan interviu dan pada akhir dilakukan lagi interviu. Terdapatbeberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru yaitu motivasi, etos kerja, dan lingkungan kerja.Penilaian kinerja guru harus melibatkan pihak eksternal (orang tua, masyarakat, siswa). Olehkarenaituuntuk menjaga objektifitas penilaian, perlu diberikan penghargaan bagi guru dan kelompok guru yang memperlihatkan kinerja baik selama mengajar dan perlu memberikan hukuman bagi guru yang memiliki kinerja kurang atau tidak baik.

Kata Kunci : penilaian, kinerja, guru

Abstract: Teacher Performance Assessment (PK GURU) was an assessment of each item of main tasks of the teacher in order to develop career, rank, and position. Assessment of teacher performance as part of learning activities must be able to provide information that helped teachers improve teaching skills in order to help students achieve educational development optimally. The procedureof implementation was as follows: 1)composing lesson plan and interviewwas done at the beginning of the lesson year. 2)Interview was done in the middle and the end of the lessons year. Teacher performance was influenced by several factors such as motivation, work ethic, and work environment. Teacher performance assessments should involve external parties (parents, community, students). Therefore, to maintain the objectivity of the assessment, it should be rewarded for teachers and teachers group who demonstrate good performance during teaching and need to impose penalties for teachers with poor or poor performance.

Keywords: assessment, performance, teacher

Pendahuluan

Guru adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas, fungsi, dan peran penting dalam mencerdasakan kehidupan bangsa. Guru yang profesional diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan insan

Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan YME, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa masa depan masyarakat, bangsa dan negara, sebagian besar ditentukan oleh

Page 115: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

109

guru. Oleh sebab itu profesi guru perlu dikembangkan secara terus menerus dan proporsional menurut jabatan fungsional guru. Agar fungsi dan tugas yang melekat pada jabatan fungsional guru dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan Penilaian Kinerja Guru (PK GURU) yang menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas di semua jenjang pendidikan.

Pelaksanaan PK GURU dimaksudkan bukan untuk menyulitkan guru, tetapi sebaliknya PK GURU dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, karena harkat dan martabat suatu profesi ditentukan oleh kualitas layanan profesi yang bermutu. Menemukan secara tepat tentang kegiatan guru di dalam kelas dan membantu guru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan akan memberikan kontribusi secara langsung pada peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan, sekaligus membantu pengembangan karir guru sebagai tenaga profesional. Oleh karenaitu, untuk meyakinkan bahwa setiap guru adalah seorang profesional di bidangnya dan sebagai penghargaan atas prestasi kerjanya maka PKGuru harus dilakukan di semua satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintahdaerah, dan masyarakat. Guru yang dimaksud tidak terbatas pada guru yang bekerja di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Pendidikandan Kebudayaan, tetapi juga mencakup guru yang bekerja di satuan pendidikan di lingkungan KementerianAgama.

Hasil PK Guru dapat dimanfaatkanuntuk menyusun profil kinerja guru sebagai input dalam penyusunan program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Hasil PK Guru juga merupakan dasar penetapan perolehan angka kredit guru dalam rangka pengembangan karir guruse bagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jika semua ini dapat dilaksanakan dengan baik dan obyektif,maka cita-cita pemerintah untuk menghasilkan “insan yang cerdas komprehensif dan berdaya saing tinggi” lebih cepat direalisasikan.

Laura Pigazzalo (2013) menjelaskan bahwa penilaian guru berlangsung secara teratur di banyak negara dan, dalam beberapa terakhirtahun, telah menjadi semakin umum. Terlepas dari semakin umum dan luasnya dari penilaian guru, bagian dari profesi guru telah menyuarakan keprihatinan guru. Ada kekhawatiran tidak hanya tentang metode yang digunakan untuk melakukan penilaian, tetapi juga tentang dampaknya pada ‘kerja dan semangat kerja, serta di mana itu terjadi pada guru guru yang bersangkutan. Sebagai perbandingan dan referensi tentang penilaian kinerja guru di Indonesia maka dapat dibuat perbandingan dengan penilaian kinerja guru di beberapa Negara seperti Jepang, Italia, Korea, Belanda, Australia dan Jerman. Di negar-negara maju khususnya Jepang, pemerintahannya sangat peduli dengan bidang pendidikan. Jepang sendiri dikenal

Teguh Hariyadi - PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Page 116: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

110

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

sebagai negar maju yang pernah terpuruk namun segera bangkit kembali setelah tragedi bom atom. Salah satu faktor kebangkitan Negara Jepang karena pemerintah sangat mengutamakan bidang pendidikan.

Pengertian Penilaian Kinerja Guru

Sedarmayanti (2011) menyatakan istilah kinerja berasal darikata performance, berasal dari akar kata “to perform” yang mempunyai pengertian melakukan, menjalankan, melaksanakan. Arti kata performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satu “arti yaitu “thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan). Kinerja terjemahan dari performance berarti perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan yang berdaya guna. Penilaian pelaksanaan pekerjaan kinerja adalah sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara keseluruhan kerja atau prestasi sesunggunya yang dicapai oleh seseorang. Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja seorang pegawai selamaperiode tertentu yang dimulai dengan serangkaian tolak ukur yang berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta kriteria yang ditetapkan. Menurut Lako (dalam Sinurat, 2007), kinerja adalah penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kasmir (2016) menyatakan kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil. Kinerja adalah hasil kerja dan perilaku kerja yang telah dicapai dalam menyelesaikan

tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan dalam suatu periode tertentu. Kinerja merupakan fungsi dari kemampuan (A), motivasi (M), dan kesempatan (O).

Deskripsi dari kinerja menyangkut 3 komponen penting yakni tujuan, ukuran dan penilaian.Tujuan ini memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap personil. Hasibuan (1995) menyatakan kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguh serta waktu.

Menurut Mulyana (2007) kinerja guru merupakan keberhasilan guru dalam pembelajaran di kelas yang dapat ditinjau dari dua segi: 1) Segi proses yaitu guru dikatakan berhasil jika mampu melibatkan sebagian besar anak didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping itu dapat dilihat dari gairah dan semangat guru pada waktu mengajar di kelas serta adanya rasa percayadiri; 2) Segi hasil yaitu guru dikatakan berhasil apabila mampu mengubah perilaku sebagian besar anak didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang baik.

Depdiknas (2006) menyatakan penilaian kinerja guru sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran harus mampu memberikan informasi yang dapat membantu guru meningkatkan kemampuan mengajarnya dalam rangka membantu siswa mencapai perkembangan pendidikan secara

Page 117: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

111

optimal. Anwar Prabu Mangkunegara (2000) menyatakan evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kasmir (2016) menyatakan penilaian kinerja merupakan suatu sistem yang dilakukan secara periodik untuk meninjau dan mengevaluasi kinerja individu.

Permeneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 menyatakan penilaian kinerja guru merupakan penilaian tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karier, kepangkatan dan jabatannya. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja guru merupakan suatu aktivitas memberikan nilai pada setiap butir kegiatan guru dalam rangka penilaian kinerjanya dan perbaikan kinerja selanjutnya.

Sistem Penilaian Kinerja Guru Negara Lain

Figazzolo (2013) dalam Jurnal Internasional tentang Pendidikan menjelaskan sistem penilaian kinerja beberapa negara sebagai berikut: 1) Jepang melaporkan bahwa semua guru tetap wajib dinilai setahun sekali oleh dewan sekolah dan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, untuk sertifikasi guru dan managemen; 2) Italia menjelaskan bahwa guru yang dinilai pada akhir periode induksi awal, jika seorang guru permanen membutuhkan penilaian, dan dalam konteks prosedur

disiplin atau pelepasan layanan karena kinerja yang buruk, (3) Korea mengatakan penilaian berbasis kinerja sistem insentif, penilaian guru ini mengacu pada penilaian kualitas guru, dan pengembangan penilaian profesi guru untuk menawarkan umpan balik sehingga guru dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka; 4) Belanda mengatakan dewan sekolah bertanggung jawab untuk merekrut, melatih, dan menilai guru yang dinilai dalam wawancara kinerja dengan kepala sekolah, rekan-rekan guru dan siswa juga mungkin konsultan sekolah dengan cara wawancara penilaian,serta sikap terhadap rekan-rekan dan profesional pengembangan; 5) Australia menjelaskan bahwa penilaian guru bervariasi tergantung pada yurisdiksi atau sekolah; 6) Jerman mengatakan guru dinilai sebelum perubahan status PNS mereka secara berkala.

Penilai dalam Pelaksanaan PK GURU

Kasmir (2016) menyatakan penilaian kinerja adalah sistem formal untuk memeriksa atau mengkaji dan mengevaluasi kinerja seseorang atau kelompok. Untuk menjamin konsistensi penilaian, para penilai harus mendapatkan pelatihan yang memadai. Pelatihan ini harus menekankan bahwa salah satu tugas pokok seseorang kepala sekolah adalah menilai secara obyektif. Jika keberatan terhadap nilai yang diperoleh maka bisa mengajukan keberatan. Siagian (2008) menyatakan salah satu pandangan yang sangat penting dipertahankan dalam manajemen sumber daya manusia adalah bahwa setiap pekerja

Teguh Hariyadi - PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Page 118: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

112

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

dapat mencapai tingkat kedewasaan mental, intelektual, dan psikologis. Apabila dikaitkan dengan pengembangan karier pengawai maka hal ini antara lain berarti bahwa seorang mampu melakukan penilaian yang objektif mengenai diri sendiri, termasuk mengenai potensinya yang masih dapat dikembangkan. Penilaian dilakukan oleh banyak penilai antara lain dengan wawancara, penilaian oleh atasan dan oleh ahli psikologi

Ramli (2008) menyatakan bahwa di Jepang model evaluasi guru yang diterapkan sangat bervariasi dengan faktor pembeda yaitu evaluator internal dan evaluator eksternal. Evaluator internal yaitu atasan langsung dalam hal ini kepala sekolah atau pengawas sekolah yang ditunjuk oleh dinas pendidikan . Evaluator pada umumnya yaitu atasan atau pengawas yang ditujuk oleh Kementerian Pendidikan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya, wacana tentang perlunya mengedepankan akuntabilitas publik di dunia pendidikan memunculkan ide baru yaitu keterlibatan lembaga independen sebagai evaluator eksternal.

Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan penilaian internal maka dikembangkan pula konsep self evaluation (jiko hyouka), yaitu guru sekaligus sebagai evaluator untuk dirinya sendiri. Selain itu juga dikenalkan evaluasi yang dilakukan oleh teman sejawat, siswa dan orang tua (Ramli dalam Katsuno, 2008).

Penilaian Kinerja Guru di Jepang

Marwansyah (2012) menyatakan kompetensi adalah perpaduan pengetahuan, keterampilan, sikap dan karakteristik pribadi lainnya yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah pekerjaan, yang biasa diukur dengan menggunakan standar yang telah disepakati, dan yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan. Berdasarkan pengertian ini maka komponen penialaian kinerja berangkat dari kompetensi yang diurai menjadi sub kompetensi. Berikut ini akan dijelaskan komponen penilaian kinerja guru.

Berdasarkan laporan dari Komite Pemeriksa Sistem Evaluasi Guru prefektur Nagano (dalam Ramli, 2008), disebutkan bahwa ada beberapa poin yang ditekankan sebagai target penilaian yaitu 1) Gakusyu shidow yaitu penilaian berdasarkan kualifikasi akademik guru, dan kegiatan mengajar di dalam kelas berdasarkan petunjuk pengakaran yang dikelarkan MEXT (Gakusyuushidouryou); 2) Seito shidou dan seikastsu shidou yaitu pembimbingan dan pembinaan kepada kebiasaan sehari-hari (seikastsu sidou) serta penanganan kelas (gagyyu keiei).

Dalam hal ini setiap guru diharuskan untuk memahami jiwa anak, sikap, perilaku dan perkembangan jasmani dan rohaninya dan mampu mengarahkannya kepada kebiasaan belajar dan semangat hidup; 3) Shindrou shidou, yaitu kemampuan mengarahkan siswa berdasarkan keinginannya, bakat dan kemampuan akademiknya, baik secara pribadi maupun

Page 119: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

113

bekerjasama dengan keluarga anak; 4) Tokubetsu Katsudou, yaitu kemampuan membina anak untuk bekerjasama dalam kegiatan atau even khusus di luar jam pelajaran di sekolah; 5) Gakkou keie, yaitu yaitu peran guru dalam manajemen sekolah, kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat, memahami dan berusaha untuk mencapai tujuan sekolah; 6) Hogosya, chiiki to no renkei, yaitu kemampuan guru untuk membina kerjasama dengan orang tua murid dan komponen masyarakat; 7) Kenkyuu, kensyuu, yaitu semangat dan motivasi guru untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya melalui kegiatan penelitian dan training.

Penilaian Kinerja Guru di Indonesia

Penilaian kinerja yang terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaran bagi guru mata pelajaran atau guru kelas, meliputi kegiatan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi dan menilai, menganalisis hasil penilaian, dan melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian dalam menerapkan 4 (empat) domain kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang dirangkum menjadi 14 (empat belas) kompetensi sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)

Prosedur dan Waktu Pelaksnaan PK GURU

Di Jepang, pelaksanaan evaluasi guru dimulai sejak awal tahun ajaran yaitu setiap akhir bulan april atau awal bulan mei. Pada tahap awal, masing-masing guru menyusun rencana pembelajaran, target pencapaian, dan program kerjanya yang mengacu pada tujuan sekolah dan prinsip pendidikan di sekolah yang dikembangkan oleh the board of education. Selanjutnya kepala sekolah dan wakilnya akan mewawancarai guru perihal rencana kerja yang dibuatnya dan memberikan masukan. Selanjutnya guru menerapkan program tersebut dalam aktifitas belajar mengajar dan kepala sekolah selama masa tersebut melakukan pengamatan intensif untuk mencocokkan antara rencana awal guru dan menganalisa permasalahan yang muncul (Ramli, 2008)

Pelaksanaan evaluasi guru dapat dikatakan sebagai bagian yang terintegrasi dengan evaluasi sekolah (gakkou hyouka) yang juga menjadi amanat reformasi pendidikan di Jepang. Selama ini, pelaksanaan evaluasi sekolah yang berjalan yaitu naibu hyouka atau evaluasi internal dan gaibu hyouka atau evaluasi eksternal.

Evaluasi internal adalah bentuk penilaian terhadap semua komponen pendidikan di sekolah termasuk kinerja guru yang dilakukan oleh anggota sekolah, yaitu siswa, guru, kepala sekolah dan wakilnya. Sedangkan evaluasi eksternal adalah penilaian terhadap komponen yang sama dilakukan oleh orang tua dan masyarakat. Metode evaluasi yang digunakanpada

Teguh Hariyadi - PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Page 120: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

114

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

umumnya yaitu metode survey.Di Indonesia, PK GURU dilakukan

sekurang-kurangnya dua kali setiap tahun, yaitu pada awal tahun pelajaran dan akhir tahun pelajaran. PK GURU formatif digunakan untuk menyusun profil kinerja guru dan harus dilaksanakan dalam kurung waktu 6 (enam) minggu di awal tahun ajaran. Berdasarkan profil kinerja guru ini dan hasil evaluasi diri yang dilakukan oleh guru secara mandiri, sekolah menyusun Rencana Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Guru yang memiliki nilai PK GURU di bawah standar, program PKB diorientasikan untuk mencapai standar tersebut. Guru yang memiliki nilai PK GURU mencapai atau melampaui standar, program PKB diorientasikan untuk meningkatkan atau memperbaharui pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki.

PK GURU sumatif digunakan untuk menetapkan perolehan angka kredit guru pada tahun tersebut. PK GURU sumatif juga digunakan untuk menganalisis kemajuan yang dicapai guru dalam pelaksanaan PKB, baik bagi guru yang nilainya masih di bawah standar, telah mencapai standar, atau melebihi standar kompetensi yang ditetapkan. Prosedur pelaksanaan PK GURU meliputi tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan.

Pada tahap persiapan, hal-hal yang harus dilakukan oleh penilai maupun guru yang akan dinilai, yaitu 1) memahami Pedoman PK GURU, terutama tentang sistem yang diterapkan dan posisi PK

GURU dalam kerangka pembinaan dan pengembangan profesi guru; (2) memahami pernyataan kompetensi guru yang telah dijabarkan dalam bentuk indikator kinerja; (3) memahami penggunaan instrumen PKGURU dan tata cara penilaian yang akan dilakukan, termasuk cara mencatat semua hasil pengamatan dan pemantauan, serta mengumpulkan dokumen dan bukti fisik lainnya yang memperkuat hasil penilaian; dan 4) memberitahukan rencana pelaksanaan PK GURU kepada guru yang akan dinilai sekaligus menentukan rentang waktu jadwal pelaksanaannya (Depdiknas, 2010).

Pada tahap pelaksanaan sebagaimana dinyatakan oleh Ahmad (2006) bahwa penilaian prestasi kerja adalah suatu peniilaian periodik atas nilai seorang individu karyawan bagi organisasinya, dilakukan oleh atasannya atau seesorang dalam posisi untuk mengamati/menilai kinerjanya. Usaha pengembangan sumber daya manusia tentunya bertujuan agar organisasi tersebut merealisasikan visi mereka dan mencapai tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dalam pelekasanaan penilaian kinerja karyawan atau guru sangat perlu untuk memperhatikan setiap tahapan dengan baik.

Pada tahap pelaporan, setelah nilai PK GURU formatif dan sumatif diperoleh, penilai wajib melaporkan hasil PK GURU kepada pihak yang berwenang untuk menindaklanjuti hasil PK GURU tersebut. Hasil PK GURU

Page 121: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

115

formatif dilaporkan kepada kepala sekolah/koordinator PKB sebagai masukan untuk merencanakan kegiatan PKB tahunan. Hasil PK GURU sumatif dilaporkan kepada tim penilai tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, atau tingkat pusat sesuai dengan kewenangannya. Laporan PK Guru sumatif ini digunakan oleh tim penilai tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau pusat sebagai dasar perhitungan dan penetapan angka kredit (PAK) tahunan yang selanjutnya dipertimbangkan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsional guru (Depdiknas, 2010).

Nilai kinerja guru hasil PK GURU perlu dikonversikan ke skala nilai menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Hasil konversi ini selanjutnya digunakan untuk menetapkan sebutan hasil PK GURU dan persentase peroleh angka kredit sesuai pangkat dan jabatan fungsional guru. Sebelum melakukan pengkonversian hasil PK GURU ke angka kredit, tim penilai harus melakukan verifikasi terhadap hasil PK GURU. Kegiatan verifikasi ini dilaksanakan dengan menggunakan berbagai dokumen berupa: hasil PK GURU yang direkapitulasi dalam Format Rekap Hasil PKGURU, catatan hasil pengamatan, studi dokumen, wawancara, dan sebagainya yang ditulis dalam format laporan dan evaluasi per kompetensi beserta dokumen pendukungnya yang disampaikan oleh sekolah untuk pengusulan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru.

Tabrani Rusyan,dkk mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru yaitu 1) Motivasi kinerja guru; 2) Etos kinerja; 3) Lingkungan kinerja guru; 4) tugas dan tanggung jawab guru. Busra Lamberi dan Sukarto Indrafachrudi membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kedalam dua kategori yakni “faktor internal (faktor instrintik) dan faktor eksternal (ekstrintik)”. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi kinerjanya.

Faktor instrintik (faktor internal) yaitu 1) adanya hasrat dan keinginan berhasil seseorang yang memiliki hasrat dan keinginan berhasil akan cenderung untuk berusaha menyelesaikan tugasnya secara tuntas tanpa menunda-nunda pekerjaannya; 2) adanya dorongan dan kebutuhan belajar seseorang yang memiliki motivasi belaja belajar; 3) adanya harapan dan cita-cita masa depan. Dengan adanya harapan dan cita-cita masa depan yang harus dicapai sehingga menimbulkan motivasi dan dorongan dari dalam diri untuk belajar dan berusaha melakukan yang terbaik demi tercapainya tujuan dan cita-cita tersebut. Faktor ekstrintik (faktor eksternal) yaitu 1) adanya penghargaan dalam belajar; 2) adanya kegiatan yang menarik dalam

Teguh Hariyadi - PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Page 122: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

116

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

belajar; 3) adanya lingkungan belajar yang kondusif.

Terkait dengan penilaian kinerja guru ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai rekomendasi bagi pelaksanaannya yaitu 1) Tunjangan profesi guru harus disesuaikan dengan kinerja yang diperoleh guru yang bersangkutan; 2) Penilaian kinerja guru harus melibatkan pihak eksternal (orang tua, masyarakat, teman sejawat dan siswa) untuk menjaga objektifitas penilaian; 3) Perlu diberikan penghargaan bagi guru dan kelompok guru yang memperlihatkan kinerja baik selama mengajar; 4) Perlu memberikan hukuman bagi guru yang memiliki kinerja kurang atau tidak baik; 5) Pemerintah harus memenuhi standar pengelolaan sekolah untuk menjamin terwujudnya sekolah ramah anak.

Daftar RujukanUno, Hamzah B. 2012. Assesment Pembelajaran.

Jakarta: Bumi Aksara.Depdiknas. 2010. Pedoman Pelaksanaan

Penilaian Kinerja Guru. Jakarta: Dirjen PMPTK.

Figazzolo, Laura. 2013. The Use and Misuse of Teacher Apprisal. Brussel: Education International.

Hamalik, Oemar. 2010. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.

Kasmir. 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia (Teori dan Praktek). Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Marwansyah. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Alfabeta.

Mangkunegara, Prabu Anwar. 2010. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung. Refika Aditama.

Permendiknas. 2007. Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru. Jakarta: BSNP.

Permen PAN dan RB. 2009. Penilaian Kinerja Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta : Men PAN dan RI

Siagian, Sondang P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

R. Wayne. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga.

Ramli, Murni. 2008. Kebijakan Evaluasi Guru di Jepang. Japan: Nagoyo University.

Sabrin. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru, diakses melalui http://sabrin wopress,com/2010/04/05 pada tanggal 13 Nopember 2016.

Sedarmayanti. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil.Bandung: Refika Aditama.

Soemanto, Bakdi Nin. 2005. Memperbaiki Efektivitas Sekolah.Jakarta: Grasindo.

S. Ruki Ahmad. 2006. Sumber Daya Manusia Berkualitas Mengubah Visi menjadi Misi. Jakarta: Gramedia Pustaka Ilmu.

Page 123: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

117

Petunjuk bagi (calon) Penulis

JURNAL PENDIDIKAN

a. Artikel yang ditulis untuk Jurnal Pendidikan meliputi hasil telaah pustaka dan hasil penelitian dibidang kependidikan. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts,dengan spasi At least 12 pts, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman,dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta CD nya. Berkas ( file) dibuat dengan Microsoft word. Pengiriman file juga dapat dilakukan attachment e-mail ke alamat : [email protected]

b. Nama Penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama;nama penulis penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyuntng hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan komunikasi.

c. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan hurub besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda ( sesuai judul bagian dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka /nomor pada judul bagian.

PERINGKAT 1( HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 ( Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 ( Huruf Besar Kecil, Tebal –Miring, Rata Tepi Kiri)d. Sistematika artikel hasil telaah adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak

(maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan ( tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

e. Sistematika artikel hasil penelitian adalah : judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata) yang berisi tujuan ,metode,dan hasil penelitian;kata kunci;pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil dan pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

f. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir.Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian( termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan /atau majalah ilmiah.

g. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama,tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: ( Agus,2002:09)

h. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini diurutkan secara alfabetis dan kronologis:

Buku:

Page 124: Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018lpmpjogja.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/... · iii JURNAL PENDIDIKAN Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember,

118

Jurnal Pendidikan, Volume IX , No: 01, April 2018

Anton, A. & Wasisto, M.G. (Eds). 2002. Menulis Artikel (edisi ke -5, cetakan ke 2). Yogyakarta: Sinar Surya Press.

Artikel dalam buku kumpulan artikel Russel, T.1998. An Alternative Conception:Representing Representation. dalam P.J.Black & A.

Lucas (Eds). Children’s Informal Ideas in Science (hlm.62-84). London: Routldge. Artikel dalam jurnal atau majalah: Agus. 2002. Persepsi masyarakat tentang Limbah. Detik, X(2): 5-9 Artikel dalam Koran: Wasisto, A. 09 Agustus, 2003. Pendidikan PKLH di SD. Joglo Post, hlm. 4 & 8 Tulisan/Berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Jawa Pos. 23 Agustus, 2009. Pendidikan Kesehatan Reproduksi, hlm.5. Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.2008. Pedoman Penulisan Laporan Ilmiah.Jakarta:

Depdiknas. Buku Terjemahan: Antonius. 2003. Pengantar Penelitian. Terjemahan oleh Agus. 2003.Yogyakarta: Surya mentari

Skripsi, tesis, Disertasi, Laporan Penelitian Wasisto, A.2010. Penjaminan mutu proses pembelajaran IPA pada madrasah kab. Klaten. Tesis

tidak diterbitkan. Yogyakarta: UN Yogyakarta. Makalah seminar, lokakarya, penataran: Warso. 2004. Pengembangan Profesi Pendidik.Makalah disajikan dalam seminar pengembangan

profesi, Sekolah Tinggi Agama Islam, Klaten,10-15 Agustus Internet (karya individual): Doso, D. 2007. A Survey of SMA online Journals,2002-2006: A Quality Assurance, (online), (http://

journal,ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html,diakses 15 Januari 2006)i. Tata cara penyajian kutipan,rujukan,tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam pedoman

penulisan karya ilmiah. Atikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud,1987). Artikel berbahasa Inggris menggunakan ragam baku.

j. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh Mitra Bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi /saran dari Mitra Bestari atau penyuntin.Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukan secara tertulis

k. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan

penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak –coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh

penyunting jika diketahui bermasalah.l. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk

pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya,menjadi tanggung jawab penulis arti-kel tersebut.