Top Banner
Volume 1, Maret, 2011 JURNAL LUKA INDONESIA Editorial Decubitus, permasalah dimulai disini Review Decubitus, efek tekanan terhadap kematian seluler. Case Report: Perawatan luka decubitus pada pasien stroke dalam konteks home care. Kilas riset Kilas riset Kilas riset Kilas riset Apakah nutritional marker dalam cairan luka dapat merefleksikan status pressure ulcer
24

Jurnal luka januari 2015

Apr 07, 2016

Download

Documents

Saldy Yusuf

Jurnal Luka Indonesia adalah Jurnal ilmiah pertama di Indonesia yang menerbitkan artikel terkait perawatan dan manajemen luka akut maupun luka kronis baik riset quantitative maupun qualitative. Jurnal Luka Indonesia hadir sebagai media ilmiah bagi praktisi dan professional dari berbagai disiplin ilmu yang terlibat dalam perawatan dan manajemen luka untuk meningkatkan kualitas perawatan luka di Indonesia berdasarkan evidence based research.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal luka januari 2015

Volume 1, Maret, 2011

JURNAL LUKA INDONESIA

• Editorial

Decubitus, permasalah dimulai disini

• Review

Decubitus, efek tekanan terhadap kematian

seluler.

• Case Report:

Perawatan luka decubitus pada pasien

stroke dalam konteks home care.

• Kilas risetKilas risetKilas risetKilas riset

Apakah nutritional marker dalam cairan

luka dapat merefleksikan status pressure

ulcer

Page 2: Jurnal luka januari 2015

DEWAN REDAKSI

JURNAL LUKA INDONESIA

Editorial Board:

Saldy Yusuf, S.Kep, Ners, ETN

Griya Afiat, Makassar-Indonesia

Universitas Kanazawa, Jepang

Dr. Suriadi, AWCS., PhD

Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Muhammadiyah Pontianak, Indonesia

Universitas Kanazawa, Jepang

Haryanto, S.Kep, Ners, MSN, ETN, RN

Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Muhammadiyah Pontianak, Indonesia

Universitas Kanazawa, Jepang

Yunita Sari, S.Kp, MHS, RN., PhD

PSIK, Universitas Sudirman

Universitas Tokyo, Jepang

Yufitriana Amir, MSc

PSIK,Universitas Riau

Maastricht University, Maastricht, the

Netherlands

Nasrul Wathoni, Msi,Apt.

Fakultas Farmasi

Universitas Padjajaran, Bandung

Reviewers Board:

Iful Syarif Al Munawi

ETN Centre Indonesia

Alimuddin Ali, S.Kep.,Ns..ETN

ETN Centre Indonesia

Fitriani Amin, S.Kep.,Ns.,ETN

ETN Centre Indonesia

Muhammad Saleh, S.Kep.,ETN

ETN Centre Indonesia

Hastuty, ETN

ETN Centre Indonesia

H. Muhammad Yusuf, S.Kep.,Ns.,ETN

ETN Centre Indonesia

Anik Maryuani, S.Kep, Ners, ETN, RN

Rumah Sakit Ibu dan Anak Jakarta

JURNAL LUKA INDONESIA

Diterbitkan oleh ETN Centre Indonesia

[email protected]

REDAKSI

Page 3: Jurnal luka januari 2015

DECUBITUS, PERMASALAHAN DI MULAI DISINI

Saldy Yusuf, S.Kep.Ners ETN

Clinical Nursing Departement, Kanazawa University-Japan

ermasalahan seputar dekubitus tidak

hanya berkaitan dengan tingginya

angka morbiditas, mortalitas dan

biaya yang membebani institusi pelayanan

kesehatan tapi juga tingginya insidens dan

prevalensi decubitus. Bahkan dalam 25

tahun terakhir insidens dan prevalensi

dekubitus relatif stagnan, hal ini

menunjukkan bahwa modalitas pencegahan

sejauh ini belum menunjukkan hasil yang

maksimal.

Setidaknya tercatat lebih dari 200 faktor

resiko yang berkontibusi dalam

perkembangan luka decubitus dan pressure

merupakan faktor yang dianggap paling

berperan. Landis (1930) menemukan bahwa

tekanan sebesar 32 mmHg dapat

menyebabkan sumbatan total pembuluh

darah, sayangnya angka ini sering

digunakan sebagai nilai acuan untuk

perkembangan luka decubitus. Hal ini

tentunya sangat keliru sebab sebab angka ini

berasal dari riset yang dilakukan pada

kapiler jari-jari yang secara anatomis jelas

berbeda dengan daerah sacrum ataupun

daerah beresiko lainnya. Fakta lain yang

menarik adalah bahwa dibutuhkan tekanan

yang sangat tinggi untuk menyebabkan

decubitus, sebaliknya tekanan sebesar

50mmHg bila berasosiasi dengan friction

sudah cukup untuk menyebabkan dekubitus

adapun coefficient of friction (CoF) sangat

dipengaruhi oleh kelebihan kelembaban

antara pasien dan permukaan tempat tidur.

ooOOoo

Permasalahan decubitus sebenarnya dimulai

dari inkonsistensi penggunaan istilah

(nomenclature inconsistency). Hal ini

membuat pressure ulcers seolah-olah seperti

penyakit tanpa definisi. Campbell (2010)

mencatat ada begitu banyak istilah yang

sering digunakan berkaitan dengan

dekubitus:

pressure ulcer, decubitus ulcer, bedsore,

bed-sore, pressure sore, tissue necrosis,

decubiti (grammatically incorrect) or

decubitus, trophic ulcer, chronic ulcer,

decubitus omniosus/acutus/chronicus,

erythema gangraenosum, cuticular necrosis,

and skin ulcer

Meskipun pressure diyakini sebagai

penyebab utama, namun penggunaan istilah

dekubitus nampaknya lebih netral untuk

mencakup semua kemungkinan faktor

penyebab termasuk faktor tekanan, dan

friction. Kotnerr (2009) menambahkan

bahwa untuk penggunaan di klinis maka ada

dua alternatif terminologi yang dapat

digunakan yaitu superficial ulcers yang

P

EDITORIAL

Page 4: Jurnal luka januari 2015

umumnya disebabkan oleh friction dan deep

ulcer yang lebih dominan disebabkan oleh

pressure. Oleh karena superficial ulcers

dapat dikategorikan ke kategoi I dan II

(Gefen, 2010), maka dengan demikian deep

ulcer dapat diasumsikan ke dalam kategori

III dan IV dari definisi NPUAP dan EPUAP.

Penggunaan istilah pressure ulcer telah

menjebak kita pada pemahaman bahwa

decuitus semata-mata disebabkan oleh

pressure atau tekanan. Penggunaan istilah

decubitus lebih dapat diterima sebab bersifat

netral dan dapat mencakup faktor-faktor

resiko lainnya. Pemahaman akan

patomekanisme penyebab decubitus

tentunya akan menentukan ke mana arah

modalitas intervensi pencegahan dan

perawatan.

Referensi:

1. Kottner, Jan., Balzer, katrin., Dassen, Theo.,

Heinze, sarah. Pressure Ulcers: A Critical

Review of Definitions and Classifications

Ostomy Wound Management. 2009;55(9):22–

29

2. International guidelines. Pressure ulcer

prevention: prevalence and incidence in

context. A consensus

document.London:MEPLtd, 2009.

3. Hillan, EM., Fraser, AK. Pressure sores: a

desease without definitions Clinical

Effectiveness in Nursing. 1998; 2: 103 105

4. Landis, E. Microcirculation studies of

capillary blood pressure in human skin. Heart

1930;15:209-228

5. Yusuf, Saldy. Betulkah pressure ulcer

disebabkan oleh pressure?

http://saldyusuf.blogspot.com/2010/07/betulk

ah-pressure-ulcer-disebabkan-oleh.html

accessed 26 Januari 2011.

6. Campbell, Caren., Charles, Lawrence. The

decubitus ulcer: Facts and

controversies .Clinics in Dermatology.

2010;28:527–532

EDITORIAL

Page 5: Jurnal luka januari 2015
Page 6: Jurnal luka januari 2015

DEKUBITUS, EFEK TEKANAN TERHADAP KEMATIAN SELULER Saldy Yusuf, S.Kep.Ns ETN

Clinical Nursing Departement, Kanazawa University-Japan

…If he has a bed sore, its generally the fault

not of the desease, but of nursing…

(Nightingale, 1859)

ressure ulcer atau dekubitus

hingga saat ini masih menjadi

masalah kesehatan global baik di

negara maju maupun di negara

berkembang. Decubitus tidak

hanya memberikan implikasi negatif

terhadap fisik, psikologis, dan fungsi sosial

namun juga mempengaruhi termasuk

kualitas hidup pasien (quality of life)1,2,3.

Hal ini sebagai akibat dari nyeri, bau dan

kebocoran balutan. Selain itu tingginya

insidens decubitus pada unit pelayanan

kesehatan dapat dijadikan indikator kualitas

perawatan yang diberikan (quality of care).

Permasalahan yang berkaitan dengan

decubitus tidak hanya berdampak pada

pasien, namun juga membebani institusi

pelayanan kesehatan dan pemerintah

sebagai akibat dari tingginya biaya yang

harus dikeluarkan untuk pencegahan dan

perawatan. Di Belanda biaya yang harus

dikeluarkan untuk decubitus sebesar $362

juta hingga $2.8 milyar yang menyerap 1 %

dari anggaran kesehatan nasional pertahun.

Sementara di Inggris biaya yang

dikeluarkan per tahun sebesar £1.4–£2.1

milyar atau menyerap 4 % dari anggaran

kesehatan nasional Inggris.4 Adapun di

Australia untuk perawatan decubitus derajat

I selama 16 hari dan decubitus derajat 2

selama 40 hari masing-masing € 240 and €

680. Sayangnya di Indonesia belum ada data

resmi mengenai biaya perawatan dan

pencegahan decubitus.

Review artikel ini bertujuan untuk

memberikan gambaran pemahaman

terhadap patomekanisme tekanan terhadap

kerusakan jaringan di level seluler.

DEFINISI

Dekubitus termasuk penyakit yang paling

sulit didefinisikan ditandai dengan tidak

konsistennya penggunaan istilah. Bahkan

Fraser and Hillan (1998) menyatakan

dekubitus sebagai penyakit tanpa definisi.

Campbell (2010) mengidentifikasi ada 14

nomenclatur atau istilah yang sering

digunakan berkaitan dengan dekubitus.

Istilah yang paling sering digunakan adalah

bed sore, pressure ulcer, pressure sore,

decubitus dan decubiti. Penggunaan

nomenklatur dekubitus sepertinya lebih

tepat untuk meng-capture faktor penyebab

dan faktor resiko lain (Kotnerr, Jan., et al

2009., Campbell, Caren et al 2010). Selain

itu penggunaan istilah pressure ulcer

menjebak kita pada pemahaman bahwa

decubitus disebabkan oleh semata-mata oleh

pressure.

P

REVIEW

Page 7: Jurnal luka januari 2015

Tahun 2009, NPUAP-EPUAP

mengeluarkan konsensus dokumen dan

mendefinisikan ulang dekubitus sebagai

luka yang terlokalisir pada kulit atau

jaringan yang ada di bawahnya sebagai

akibat dari tekanan atau tekanan (pressure)

yang disertai tarikan (shear). Selain itu

sejumlah faktor yang berkontribusi juga

dapat menyebabkan decubitus. Yang

menarik dari dokumen ini adalah

NPUAP-EPUAP menawarkan penggunaan

istilah kategori untuk menggantikan

penggunaan istilah `derajat` atau `grade`

yang selama ini dikenal.

Penggunaan istilah kategori dimaksudkan

untuk menghindari misinterpretasi proses

perkembangan luka dekubitus dari derajat I

ke derajat IV atau proses penyembuhan luka

decubitus dari derajat IV ke derajat I

(NPUAP-EPUAP, 2009).

TEORI DECUBITUS

Menurut Jan Kotner, et al (2009) ada 4 teori

berkaitan dengan decubitus:

Gambar 1: Klasifikasi kategori decubitus

(NPUAP-EPUAP, 2009)

1. Teori Ischemia.

Tekanan eksternal yang melebihi resistensi

kapiler akan mengakibatkan penyempitan

kapiler baik sebagian ataupun total yang

berakhir pada iskemia jaringan. Kondisi ini

mengakibatkan terganggunya metabolisme

seluler serta akumulasi produk sisa

metabolisme, meningkatnya permeabilitas

kapiler mengakibatkan edema lokal dan

infiltrasi seluler. Peningkatan derajat dan

durasi iskemia yang terjadi tidak hanya

meningkatkan permeabilitas membran dan

terjadinya ekstravasasi tetapi juga

berdampak pada nekrosis seluler dan reaksi

inflamasi.

2. Teori reperfusi injury.

Ketika aliran darah kembali normal maka

terjadi peristiwa reperfusi. Reperfusi

merangsang pelepasan beberapa radikal

bebas yang menyebabkan respon inflamasi

dan memperparah kerusakan sel.

3. Teori kegagalan fungsi limfatik.

Hipoksia yang terjadi akibat oklusi

pembuluh darah juga berdampak pada

kerusakan pembuluh limfe, dimana

motilitas pembuluh limfe dan aliran limfe

mengalami disfungsi. Akibatnya sisa-sisa

produk metabolisme terakumulasi dan

berakhir pada nekrosis jaringan. Sejumlah

kecil tekanan pada awalnya akan

meningkatkan aliran limfe (kompensasi)

namun setelah melampaui critical point

aliran limfe menjadi berkurang

(dekompensasi).

REVIEW

Page 8: Jurnal luka januari 2015

4. Teori deformitas jaringan sel.

Tekanan yang berlebihan juga berdampak

pada deformitas jaringan dan sel, terutama

membrane sel. Sel-sel kemudian mengalami

ruptur akibat meningkatnya tekanan antara

sel. Kondisi ini juga yang diduga

menimbulkan kerusakan jaringan

irreversible. Selain itu beban tekanan yang

sangat tinggi juga dapat merusak sel-sel

jaringan otot secara fisik akibat deformitas

dan pecahnya dinding sel-sel otot.

Walaupun ke empat teori tersebut berbeda,

namun berawal dari proses patologis yang

sama yaitu sumbatan pembuluh darah

akibat adanya tekanan eksternal yang

melebihi ambang toleransi kapiler dan

berakhir pada iskemia dan nekrosis

jaringan.

EFEK TEKANAN TERHADAP

KERUSAKAN JARINGAN

Secara tradisional penelitian untuk

mengeksplorasi penyebab decubitus hanya

berfokus pada terjadinya occlusi pembuluh

darah. Hipotesa yang mendasari adalah

kerusakan perfusi dan sumbatan pembuluh

darah yang disertai dengan kegagalan

pembuluh limfe. Penyumbatan kapiler

(partial atau total) akan berakibat pada

hipoksia jaringan, terhentinya suplai nutrisi

dan hambatan dalam pembuangan produk

sisa metabolik akan memperburuk

kerusakan jaringan.

Namun perlu diketahui bahwa jaringan lebih

cepat mengalami kerusakan akibat

deformitas dibandingkan akibat ischemik.

Fakta lain adalah jaringan otot lebih rentan

terhadap tekanan eksternal dibanding

jaringan kulit. Tekanan eksternal mampu

menyebabkan deformitas jaringan otot

hanya dalam waktu 2 jam untuk kemudian

berakhir dengan kerusakan jaringan.

Kerusakan jaringan yang terjadi pada tahap

awal ditandai dengan rupturnya cytoskeleton

jaringan otot bukan karena ischemik.

Gambar 2 A menunjukkan jaringan otot

atrofi tanpa adanya tekanan eksternal,

setelah diberikan tekanan eksternal (gambar

B) memperlihatkan adanya deformitas otot

ke arah lateral.

Gambar 2. Evaluasi deformitas muscular

dengan menggunakan MRI. Gambar A

tanpa tekanan eksternal (unloading) dan

Gambar B dengan tekanan eksternal

(loading)

REVIEW

Page 9: Jurnal luka januari 2015

Percobaan yang dilakukan oleh Staarink

(1995) dengan menggunakan 14 sensor,

menunjukkan bawah tekanan tertinggi

berada pada bagian internal pada

tuberositas ischial yakni sebesar 22.5 kPa

jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan

tekanan yang diterima oleh kulit yakni

hanya sebesar 8.4 kPa (gambar 3). Hal ini

sekali lagi membuktikan bahwa jaringan

internal (otot) lebih beresiko mengalami

injury bila dibandingkan dengan jaringan

eksternal.

Gambar 3. Perbandingan antara tekanan

internal dan eksternal

Menurut Bouten, et al (2001) deformitas

yang terjadi pada sel-sel otot yang

berlangsung terus-menerus memainkan

peran yang penting dalam kerusakan

jaringan. Ada tiga mekanisme utama yang

terjadi sebagai akibat dari deformitas

seluler; stress lokal pada membran sel,

perubahan volume intra sel dan remodelling

cytoskletal. Untuk mengeksplorasi dampak

dari tekanan eksternal terhadap deformitas

myoblast, maka Bouten (2001)

mengembangkan protokol experimen untuk

mengobservasi perubahan yang terjadi pada

myoblast (gambar 4.A.). Gambar 4.B.

memperlihatkan myoblast dalam kondisi

normal tanpa dan gambar 4.C.

memperlihatkan tahapan-tahapan deformitas

yang terjadi.

Gambar 4. Tahapan Deformitas Myoblast

Lebih lanjut Bouten et al (2001) dan Wang

et al (2005) mengobservasi persentase

kematian sel dalam kaitannya dengan

loading time selama periode 1,2,4,12,dan 24

jam. Hasilnya menunjukkan bahwa

kerusakan seluar mencapai puncaknya

hanya dalam dua jam pertama.

Gambar 5. Persentase kematian seluler

dan loading time.

REVIEW

Page 10: Jurnal luka januari 2015

IMPLIKASI KLINIS

Perubahan posisi telah lama dikenal sebagai

modalitas pencegahan dan perawatan

dekubitus, namun evidence yang mendasari

kapan sebaiknya pasien dilakukan

perubahan posisi masih kontroversial.

Berdasarkan uraian diatas, dimana pada

eksperimen Bouten (2001) dan wang (2005)

menunjukkan tingginya persentase kematian

sel dalam dua jam pertama, maka dapat

disimpulkan bahwa perubahan posisi

sebaiknya dilakukan setiap dua jam.

REFERENSI

1. Gorecki, Claudia., Brown, Julia.M., Nelson,

E.Andrea., Brigs, Michelle. Et al (2009)

Impact of Pressure Ulcers on Quality of Life

in Older Patients: A Systematic Review. J

Am Geriatr Soc 57:1175–1183

2. Essex, Holly, N., Clark, Michael., Sims,

Joyce., Warinner, Ann., Cullum, Nicky.

(2009) Health-related quality of life in

hospital inpatients with pressure ulceration

-assessment using generic health related

wuality of life measures.Wound Rep Reg

17 :797–805

3. Bennet, Gerry., Dealey, Carol., Posnett, John.

(2004) The cost of pressure ulcer in the UK.

Age and ageing. 33:230-235

4. Williem, Jan., Lardevonoye., Jean, A.J.G.,

Faine, Thie., Breslau,Paul.J. (2009)

Assessment of Incidence, Cause, and

Consequences of Pressure Ulcers to Evaluate

Quality of Provided Care. Dermatol

Surg;35:1797–1803.

5. Mistiaen, patriek., Ament, Andre., Francke,

Anneke.L., Achterberg, Wilco., Halfens,

Ruud., Huizinga, Janneke., Post, Henri

(2010) An economic appraisal of the

Australian Medical Sheepskin for the

prevention of sacral pressure ulcers from a

nnursing home perspective. BMC health

service research. 10:22

6. Abrussezze RS. Early assessment and

prevention of pressure ulcers. In: Lee BY, ed.

Chronic Ulcers of the Skin. New York:

McGraw-Hill;1985: 1-9.

7. Allman RM. Pressure ulcers among the

elderly. N Engl J Med. Mar

30 1989;320(13):850-3.

8. Yarkony GM. Pressure ulcers: a review. Arch

Phys Med Rehabil. Aug 1994;75(8):908-17.

9. Campbell, Caren., Charles, Parish. L. The

decubitus ulcer: Facts and controversies

Clinics in Dermatology (2010) 28, 527–532

10. Kottner, Jan., Balzer, Katrin., Dassen, Theo.,

Heinze, Sarah. (2009) Pressure Ulcers: A

Critical Review of Definitions and

Classifications. Ostomy wound

management.55(9) 22-29

11. National Pressure Ulcer Advisory Panel and

European Pressure Ulcer Advisory Panel.

Prevention and treatment of pressure ulcers:

Clinical practice guidelines. Washington DC:

National Pressure Ulcer Advisory Panel;

2004

12. Barczak CA, Barnett RI, Childs EJ, Bosley

LM. Fourth national pressure ulcer

prevalence survey. Adv Wound Care.

1997;10 (4):18-26

13. Allcock N, Wharrad H, Nicholson A.

Interpretation of pressure-sore prevalence. J

Adv Nurs. 1994;20 (1):37-45.

14. Gardner SE, Frantz RA, Berquist S, Shin CD.

A prospective study of the pressure ulcer

scale for healing (PUSH). J Gerontol A Biol

REVIEW

Page 11: Jurnal luka januari 2015

Sci Med Sci. 2005 Jan; 60 (1):93-7

15. Meehan M. Multisite pressure ulcer

prevalence survey.Decubitus. 1990:3(4):14-7

16. Meehan M.national pressure ulcer prevalence

survey. Adv Wound Care.

1994;7(3):27-30,4,6-8.

17. Lorentzen HF, Gottrup F. Clinical

Assessment of infection innon healing ulcers

analyzed by latent class analysis. Wound

Repair regen. 2006;14(3):350-3

18. Russell LJ, Reynolds TM. How accurate are

pressure ulcer grades? An image-based

survey of nurse performance. J Tissue

Viability.2001;11(2):67,70-5

19. Bates Jensen BM. The pressure sore status

tool a few thousand assessment later. Adv

Wound Care. 1997; 10(5):65-73.

20. Reger, S.I., Mc.Govern, T.R.F., Chung, K.C.:

Biomechaics of tissue distortions and

stiffness by magnetic resonance imaging. In

Bader, D. (ed). Pressure Sores-Clinical

Practice and Scientific Approach, ch.14, pp,

177-190. MacMillan, London (1990).

21. Staarink, H.A.M.:[In Dutch] Sitting posture,

comfort and pressure. The quality of

wheelchair cushion, Delft University of

technology (1995).

22. Oomens, C., Bader, Dan. Tissue Enginereed

Models: A valuable tool in pressure research.

In A. Gefen (Ed.): Bioengineering Research

of Chronic Wounds, SMTEB 1,

pp.249-262.Springer-Verlag Berlin. 2009.

REVIEW

Page 12: Jurnal luka januari 2015
Page 13: Jurnal luka januari 2015

PERAWATAN LUKA DEKUBITUS

PADA PASIEN STROKE DALAM KONTEKS HOME CARE

Ns. Anik Maryunani, S.Kep, ETN, RN.

Perawat Home Care Luka dan Stoma

ekubitus merupakan kerusakan

atau kematian kulit sampai

jaringan di bawah kulit, bahkan

menembus otot sampai mengenai tulang

akibat adanya penekanan pada suatu area

secara terus-menerus, sehingga

mengakibatkan gangguan sirkulasi darah

setempat. Dekubitus atau luka tekan

adalah kerusakan jaringan yang

terlokalisir dan disebabkan adanya

kompresi jaringan yang lunak di atas

tulang yang menonjol. (bony

prominence) dan jangka waktu yang

lama. Kompresi jaringan akan

menyebabkan gangguan pada suplai

darah pada daerah yang tertekan. Apabila

ini berlangsung lama, hal ini dapat

menyebabkan insufisiensi aliran darah,

anoksia atau iskemia jaringan dan

akhirnya dapat mengakibatkan kematian

sel. (Sutanto, 2008)

Decubitus merupakan masalah serius yang

sering terjadi pada pasien yang mengalami

gangguan mobilitas dan tirah baring lebih

dari satu minggu seperti pada pasien stroke.

Hasil penelitian Dwianti (2007)

menunjukkan bahwa pada pasien stroke,

dekubitus terjadi pada hari ke-7. Menurut

Mukti, (2005) insidensi dan prevalensi

terjadinya dekubitus di Amerika Serikat di

tatanan perawatan rumah (home health

care) sekitar 7 -12%. Sementara itu,

Kami (penulis) tidak mendapatkan data

pasti tentang insidensi dan prevalensi

terjadinya dekubitus dalam perawatan

rumah (home health care).

LAPORAN KASUS

Strategi Penatalaksanaan Perawatan

Luka:

Tujuan strategi penatalaksanaan luka

yang paling utama adalah untuk

mengoptimalkan penyembuhan luka.

Dalam kasus kami mempertimbangkan

strategi-strategi perawatan luka sebagai

berikut ini:

1. Bersihkan luka dan sekitar luka pada

saat setiap mengganti balutan, dan

minimalkan trauma pada luka:

a. Tidak ada studi khusus yang

menunjukan bahwa terdapat

penggunaan beberapa larutan

pembersih luka khusus atau

teknik pembersihan tertentu

terhadap ulkus tekan

(Moore&Cowman, 2008)

b. Metode pembersihan seharusnya

cukup memberikan tekanan untuk

mengangkat debris/kotoran luka

dan tidak menimbulkan trauma

D

CASE REPORT

Page 14: Jurnal luka januari 2015

pada dasar luka (wound bed)

(Rodeheaver & Ratliff, 2007).

c. Air dapat digunakan untuk

membersihkan luka, yaitu dapat

berupa air kran, air suling, air

matang yang didinginkan atau

saline (air garam) (Fernandez,

Griffiths & Ussia, 2007; Joanna

Briggs Institute (JBI), 2003)

d. Belum ada data statistik yang

signifikan yang menunjukkan

bahwa angka penyembuhan luka

lebih baik apakah menggunakan

air atau normal saline (Moore &

Cowman, 2005).

e. Hindari menggunakan produk

atau larutan pembersih yang

ditujukan untuk kulit utuh

digunakan pada luka terbuka.

Hindari menggunakan pembersih

yang ditujukan khusus untuk

membersihkan feses. Kedua

produk tersebut dapat toksik

terhadap dasar luka (wound bed).

Demikian juga halnya, apabila

antiseptik ditambahkan pada

larutan pembersih, maka

toksisitas dapat meningkat.

Manfaat menambahkan antiseptik

pada larutan pembersih belum

dapat dibuktikan (Rodeheaver &

Ratliff, 2007).

f. Tehnik yang digunakan untuk

membersihkan luka meliputi

irigasi luka, swabbing (menyeka)

luka, showering, bathing, atau

whirpool.

g. Jika luka memiliki banyak

eksudat atau materi yang lengket

dan memerlukan pembersihan,

maka perlu digunakan pembersih

luka komersial. Pembersih luka

komersial yang mengandung

surfaktan dapat membantu

mengangkat kontaminant luka.

h. Alat –alat scrubbing (menggosok

luka) seperti kassa atau spons

dapat meningkatkan

efikasi/keefektifan dari larutan

pembersih luka. Namun, hal

terpenting yang perlu diingat

adalah untuk meminimalkan

trauma pada tepi luka dengan

menggunakan alat yang tidak

abrasif (menimbulkan lecet-lecet)

dengan sedikit tekanan untuk

mencapai pembersihan. Luka

yang digosok (scrubbing) dengan

spons/kassa yang kasar secara

signifikan meningkatkan resiko

terjadinya infeksi daripada luka

yang digosok dengan spons/kassa

lembut (Rodeheaver & Ratliff,

2007).

i. Irigasi bertekanan tinggi bisa

diperlukan pada luka yang

terdapat slough (slaf) atau

jaringan nekrotik. Tekanan irigasi

seharusnya adekuat untuk

membersihkan permukaan ulkus

tekan tanpa menyebabkan trauma

pada tepi luka, yakni biasa antara

4-15-psi.(Fernandez, dkk , 2007).

CASE REPORT

Page 15: Jurnal luka januari 2015

Bisa juga menggunakan spuit

berukuran 35 ml dan jarum

bernomor 19, yang menimbulkan

aliran tekanan 8-psi (Rodeheaver,

2001).

j. Seharusnya menggunakan alat

pelidung diri (APD) seperti

menggunakan baju pelindung,

sarung tangan, kacamata

pelindung) unntuk mencegah

percikan cairan luka sebagai

langkah pencegahan dan

pengendalian infeksi. (Ho,

Jonhson, dkk, 2009). Juga perlu

memperhatikan cuci tangan 7

langkah atau 12 langkah dengan

menggunakan cairan antiseptik

sesuai dengan panduan WHO.

2. Kelola infeksi luka:

Insidens yang pasti dari infeksi luka

tekan belum diketahui pasti (Moore

& Cowman, 2008).

a. Infeksi tidak biasa terjadi pada

ulkus stadium I atau II, sehingga

fokus pengkajian infeksi

ditujukan pada ulkus stadium

III/IV (Konya, dkk, 2005b).

Selain itu, jaringan yang

iskhemik lebih rentan terhadap

perkembangan infeksi, sehingga

ulkus tekan pada area yang

kekurangan perfusi darah

beresiko lebih besar untuk

menjadi terinfeksi (Chao, Greer,

Mc Corvey, Wright & Garza,

2004).

b. Gardner, Franz, dan Doebbling

(2001) mengkaji validitas

gambaran luka klinis, termasuk

eksudat serousa, bau yang

menyengat dan perubahan warna

pada jaringan granulasi yang

rentan untuk menentukan adanya

infeksi.

3. Penggunaan balutan/dressings

antimikroba/silver dan pemakaian

madu:

a. Mempertimbangkan penggunaan

antibiotika topikal 2 minggu-an

untuk membersihkan ulkus tekan

tidak menyembuhkan atau

malah berlanjut menghasilkan

eksudat purulen setelah 2 sampai

4 minggu dari perawatan standar

(WOCN, 2003). Pada saat

bioburden bakterial telah

menurun, hentikan penggunaan

antibiotika (Whitney, dkk, 2006).

b. Balutan silve rdan madu (silver &

honey dressings) merupakan

pilihan untuk ulkus yang

terinfeksi dengan berbagai

macam organisme, karena

dressings (balutan) ini

memberikan cakupan

antimikrobial yang luas

(NPUAP/EPUAP, 2009;

American Medical Directors

Association (AMDA), 2008).

Namun, yang terpenting adalah

bukan hanya melihat agent

antimikrobial dan dampaknya

pada luka, tetapi juga memeriksa

carrier dressings/balutan yang

mengabsorbsi (misal, alginate,

foam, dll) dan perannya dalam

CASE REPORT

Page 16: Jurnal luka januari 2015

meningkatkan penyembuhan luka

(Cutiing, White, Mahoney &

Harding, 2005).

4. Lakukan debridement jaringan yang

mati pada ulkus tekan:

a. Tidak ada satu metode

debridement yang telah terbukti

paling optimal untuk ulkus tekan.

Masalah dengan berbagai macam

studi mengenai debridement

adalah bahwa studi-studi tersebut

mengukur angka penyembuhan

dan bukan angka atau

efikasi/keefektifan dari

pengangkatan jaringan nekrotik.

Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi selain dari

debridement itu sendiri.

Penelitian-penelitian perlu

dilakukan untuk menentukan

keefektifan dari satu metode

dibanding metode lainnya dalam

mengangkat jaringan nekrotik

(Bolton, 2006).

b. Pemilihan metode untuk

debridement seharusnya

ditentukan oleh kondisi luka,

seperti ada atau tidak adanya

infeksi, jumlah jaringan nekrotik,

vaskularisasi luka, toleransi nyeri,

dan ketersediaan/akses pada

berbagai macam metode

debridement (WOCN, 2005).

c. Macam-macam debridement

meliputi surgical, conservative

sharp, mekhanik, irigasi cairan

bertekanan tinggi, autolysis,

enzimatik/kimiawi, terapi maggot,

dan lain-lain.

5. Penggunaan dressings/balutan

lainnya:

a. Pemilihan dan penggunaan

dressings/balutan yang tepat

dapat memfasilitasi

penyembuhan ulkus tekan. Belum

ada bukti yang menunjukkan

dressing/balutan tertentu adalah

yang paling efektif untuk

menangani ulkus tekan. Banyak

studi yang menggunakan kassa

saline (kompres kassa dengan

cairan NaCl) sebagai kelompok

kontrolnya. Perbandingan dengan

tipe produk yang sejenis

sebenarnya lebih membantu

dalam menentukan produk apa

yang digunakan. Namun, ada

banyak dressings yang

mempunyai fungsi lebih dari satu

fungsi. Fungsi utama dressing

(misalnya, manajemen eksudat)

bisa membantu petugas kesehatan

untuk memilih dressings/therapi

khusus daripada yang lainnya

berdasarkan kharakteristik luka

(Cutting, White & Hoekstra,

2009). Terdapat suatu penelitian

mengenai hubungan antara nyeri

luka dan materi dressings

(Cutting, dkk, 2009).

b. Tipe dressings bisa berubah

setiap waktu sesuai dengan

kondisi ulkus tekan apakah

membaik atau memburuk. Luka

CASE REPORT

Page 17: Jurnal luka januari 2015

seharusnya dimonitor setiap kali

ganti balutan dan dikaji secara

teratur untuk menentukan apakah

modifikasi dalam

balutan/dressings diperlukan.

Riwayat dan Temuan Saat

Pemeriksaan Awal:

Laporan ini mengenai pasien laki-laki

berusia 83 tahun yang diberitahukan oleh

seorang therapist Bekam agar kami

(penulis) bersedia merawat luka

dekubitus di rumah pasien. Setelah kami

tiba di rumah pasien, kami mendapatkan

riwayat pasien sebagai berikut:

Pasien adalah pasien pasca rawat stroke

dari rumah sakit sejak 3 bulan yang lalu,

pemenuhan ADL pasien dibantu anak,

pembantu dan menantunya yang tidak

tinggal satu rumah. Menurut anaknya,

sepulang dari rumah sakit sudah ada luka

pada bagian punggung dan bokong tapi

belum begitu parah, hanya tampak

kemerah-merahan. Selain adanya

gangguan mobilisasi akibat stroke, ada

beberapa alasan lain mengapa pasien

tidak dibawa ke rumah sakit, antara lain:

dirawat di rumah sakit membutuhkan

waktu lama, kesulitan membawa

pasien ke rumah sakit, tidak ada yang

menjaga rutin di rumah sakit, faktor

biaya, dan lain-lain.

Gambar 1A: Kondisi balutan saat kunjungan

pertama

Gambar 1B: Luka punggung kanan (1):

tampak nekrotik tebal (2): tampak slough (3):

nekrotik tebal

Gambar 1: Kondisi luka Saat kunjungan pertama

1111 3333

2222

CASE REPORT

Page 18: Jurnal luka januari 2015

Kunjungan I (08-07-2009)

Dari pemeriksaan ditemukan adanya beberapa luka decubitus pada daerah punggung dan

sakrum (Gambar 1) sehingga pasien tidak dapat tidur terlentang. Perawatan yang

dilakukan pada kunjungan pertama ini, luka yang nekrotik diberikan terapi hydroactive gel

(melunakkan jaringan nekrotik) dan slough-nya ditutup dengan dressing yang dapat

menyerap eksudat yang terbuat dari bahan rumput laut (Alginat). Sebagai secondary

dressings, kami gunakan kassa lebar dan difiksasi dengan plester. Luka dibersihkan dengan

menggunakan cairan normal saline.

Kunjungan II (10-07-2009)

Pada kunjungan ke-dua kali ini, tindakan perawatan yang dilakukan antara lain:

Membuka plester yang lengket dengan

bantuan cairan normal saline, yang dibuka

secara perlahan-lahan agar pasien tidak

nyeri.

Kasa/dressings yang telah dibuka, tampak

sebagian nektrotik dan debris terbawa dalam

kasa tersebut.

Menunjukan area yang dahulunya tertutup

jaringan nekrotik hitam, sebagian telah

terangkat dan tampak sebagian area berupa

slough (kuning)

kami juga melakukan conservative sharp

debridement pada jaringan nekrotik yang tebal

dan telah lunak untuk dilakukan

pengguntingan karena bantuan dari pemberian

hydroactive gel pada saat kunjungan pertama.

CASE REPORT

Page 19: Jurnal luka januari 2015

Setelah dilakukan debridement ternyata di

dalamnya tampak luka yang kotor dan

slough yang begitu tebal, bau, dan dalam.

Dalam melakukan perawatan luka dirumah,

terkadang perlu penerangan ekstra seperti ini

agar kondisi luka tampak jelas sehingga

tindakan dapat dilakukan dengan tepat.

Mengukur kedalaman luka dengan

menggunakan pinset (kedalaman luka pada

gambar tersebut ± 7 cm)

Setelah dilakukan pencucian, maka luka mulai

ditutup dengan dressing yang dapat mengikat

bakteri pada luka yang terbuat dari bahan

asetat. Dressing luka ini bertujuan untuk

mengangkat bakteri dan mikroorganisme

lainnya dari luka bereksudat, luka kotor, luka

terkontaminasi dan terinfeksi.

CASE REPORT

Page 20: Jurnal luka januari 2015

Kunjungan ke – 3: (13-07-2009)

Membuka balutan luka perlahan-lahan

searah pertumbuhan rambut pada kulit

pasien untuk mengurangi rasa sakit pada saat

pembukaan balutan dan plester.

Melakukan debridement untuk

mengangkat jaringan nekrotik atau slough

yang masih tersisa.

Keluarga dilibatkan untuk memberikan penguatan dan dukungan pada pasien (tampak tangan

menantu pasien memegang tangan pasien selama pasien diberikan perawatan luka. Inilah

peranan utama perawat dalam perawatan home care, dimana mengikutsertakan keluarga

dalam pelayanannya).

Kesimpulan:

Studi kasus di atas merupakan contoh

perawatan luka dekubitus yang kami

lakukan di rumah pasien (secara home

care). Kami hanya menampilkan studi

kasus selama 3 kali kunjungan, karena

kami sengaja ingin memperlihatkan

bahwa dalam 3 kali kunjungan tersebut

banyak kemajuan perkembangan luka

yang telah diperlihatkan. Merawat

pasien secara home care terutama

merawat luka kronik seperti pada pasien

lanjut usia di atas memerlukan banyak

kesabaran dari perawat dan kemauan

yang kuat untuk menolong pasien

tersebut. Selama pelaksanaan tindakan

perawatan luka diperlukan kerjasama

yang baik antara perawat, pasien dan

keluarganya.

CASE REPORT

Page 21: Jurnal luka januari 2015

Daftar Pustaka:

1. WOCN. Guideline for Prevention and Management of Pressure Ulcers. 2 WOCN

Clinical Practice Guideline Series. 15000 Commerce Parkway, Suite C. Mount Pe

2. http://www.scribd.com/doc/17456735/Hubungan-Pengetahuan-Masyarakat-Dengan-Pe

ncegahan-Dekubitus

3. Agustina, HR. Kajian Kebutuhan Perawatan di Rumah bagi Klien dengan Stroke di

RSUD Cianjur. Diunduh dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp

content/uploads/2010/05/kebutuhan_perawatan_di_rumah_pasien_stroke.pdf

4. Fitriyani, N. Pengaruh Posisi Lateral Inklin 30˚ Terhadap Kejadian Dekubitus pada

Pasien Stroke di Bangsal Anggrek I RSUD Dr. Moewardi Surakarta (skripsi) diunduh

dari http://etd.eprints.ums.ac.id/4462/1/J210050012.pdf

TENTANG PENULIS

Penulis adalah seorang perawat PNS, perawat homecare luka & stoma, penulis buku keperawatan & kebidanan, penulis kolom tabloid Ners dan Nursing, pemimpin redaksi buletin Akbid Al Ikhlas Cisarua – Bogor, dan pengajar tamu di PSIK & Akper di Jakarta dan Akbid di Bogor. Penulis berdomisili di wilayah Bogor, Jawa Barat.

CASE REPORT

Page 22: Jurnal luka januari 2015
Page 23: Jurnal luka januari 2015

APAKAH NUTRITIONAL MARKERS DALAM CAIRAN LUKA

DAPAT MEREFLEKSIKAN STATUS PRESSURE ULCER ?

Haryanto, S.Kep, Ners, MSN, ETN

Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak

valuasi karakteristik cairan

luka untuk pengkajian

pressure ulcer di klinik

membutuhkan pertimbangan tenaga ahli.

Shinji Izaka et al dalam studinya

dengan menggunakan metode

crosssectional memfokuskan untuk

menginvestigasi nutritional marker

pada cairan luka sebagai alat yang

objektif untuk merefleksikan status

pressure ulcer berdasarkan fase

penyembuhan, infeksi dan granulasi

khususnya nilai serum. Sampel yang

digunakan berjumlah 28 pasien dengan

32 luka full thickness pressure ulcer.

Nilai albumin, total protein, glukosa dan

zinc yang didapat dari cairan luka

dihitung. Pada kondisi pressure ulcer ,

fase penyembuhan dan infeksi

dievaluasi berdasarkan tanda-tanda

klinis dan derajat pembentukan jaringan

granulasi yang ditentukan berdasarkan

konsentrasi hydroxyproline.

Berdasarkan studi ini, Shinji

mengatakan rasio cairan luka/serum

secara signifikan lebih rendah selama

fase inflammasi dibanding fase

proliferasi (p50.020). Cairan pada luka

infeksi mengandung glukosa kurang

dari (0.3–1.0 mmol/L) dibanding pada

luka yang tidak terinfeksi (5.0–7.6

mmol/L). Ada hubungan negative

antara rasio cairan luka/serum untuk

glukosa dengan nilai hydroxyproline

pada fase proliferasi (r5_0.73, p50.007).

Kecuali, nilai zinc pada cairan luka

menunjukkan hubungan positif (r50.61,

p50.028).

Dari hasil studi ini, Shinji mengatakan

bahwa penentuan nutritional markers

pada cairan luka khususnya rasio cairan

luka.serum kemungkinan dapat berguna

untuk mengevaluasi status lokal

Pressure Ulcer.

Sumber:

Iizaka. S et al., Do nutritional markers in

wound fluid reflect pressure ulcer

status? Wound Rep Reg (2010) 18: 31–37

E

KILAS RISET

Page 24: Jurnal luka januari 2015

CALL FO AUTHOR

Dewan Redaksi menerima manuskript: Review Artikel, Original Artikel dan Laporan Kasus

Kirimkan manuscript anda ke:

[email protected]