Top Banner
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH ‐ INDONESIA JAWA TENGAH ‐ INDONESIA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH ‐ INDONESIA fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol. 1 N0. 2. Juli- Desember 2013 ISSN : 2354-6174 Page: 1-206 fikrah Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah MENIMBANG POKOK‐POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI IMAM AL‐ ASY'ARI DAN AL‐MATURIDI Fathul Mufid OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR PEMBAHARUAN (Telaah terhadap Pemikiran Hassan Hanafi) Abdurrohman Kasdi & Umma Farida AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA Donny Khoirul Aziz PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND KRISHNA Andi Hartoyo IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAAN UMAT KONTEMPORER MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR Mas'udi PESAN DAKWAH DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH (Kasus Pembangunan Rumah Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman)
268

Jurnal Fikrah Edisi Juli

Dec 08, 2016

Download

Documents

trandung
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Fikrah Edisi Juli

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH ‐ INDONESIAJAWA TENGAH ‐ INDONESIASEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH ‐ INDONESIA

Diterbitkan oleh:Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu AqidahSekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus

Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322

fikrahJurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Vol. 1 N0. 2.Juli- Desember 2013

ISSN : 2354-6174

Page: 1-206

fikra

hVol. 1

N0.2

. Juli- Desem

ber 2

013

ISS

N :2

354-6

174

Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu AqidahJurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu AqidahJurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah

MENIMBANG POKOK‐POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI IMAM AL‐ASY'ARI DAN AL‐MATURIDIFathul Mufid

OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR PEMBAHARUAN (Telaah terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)Abdurrohman Kasdi & Umma Farida

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWADonny Khoirul Aziz

PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND KRISHNAAndi Hartoyo

IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAAN UMAT KONTEMPORER MENURUT SEYYED HOSSEIN NASRMas'udi

PESAN DAKWAH DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH (Kasus Pembangunan Rumah Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman)

Page 2: Jurnal Fikrah Edisi Juli
Page 3: Jurnal Fikrah Edisi Juli
Page 4: Jurnal Fikrah Edisi Juli

FIKRAHJurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Page 5: Jurnal Fikrah Edisi Juli

FIKRAHJurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Volume 1, No 2. Juli - Desember 2013 ISSN: 2354-6174

Penanggung JawabFathul Mufid

RedakturUmma FaridaMas’udi

Editor/PenyuntingAbdul KarimAhmad Atabik

Desain GrafisNur Sa’idMasdi

Sekretariat M. NuruddinMa’mun Mu’minMuchlisinDwi SulistionoMarhamah

Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Diterbitkan Oleh:Jurusan Ushuluddin Program Studi

Ilmu Aqidah STAIN Kudus

Alamat RedaksiJl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51 Kudus 59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.

Email: [email protected]

Terbit 2 dua kali dalam satu tahun

Bulan Januari-Juni dan Juli Desember

FIK�HJurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Volume 1 Januari-Juni 2013 ISSN: 2354-6174

Penanggung JawabFathul Mu�d

RedakturUmma FaridaMas’udi

Editor/PenyuntingAbdul KarimAhmad Atabik

Desain Gra�sNur Sa’idMasdi

Sekretariat M. NuruddinMa’mun Mu’minMuchlisinDwi SulistionoMarhamah

FikrahJurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Diterbitkan Oleh:Jurusan Ushuluddin Program Studi

Ilmu Aqidah STAIN Kudus

Alamat RedaksiJl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51 Kudus 59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.

Email: [email protected]

Terbit 2 dua kali dalam satu tahun

Bulan Januari-Juni dan Juli Desember

Page 6: Jurnal Fikrah Edisi Juli

v

DAFTAR ISI

Menimbang Pokok-pokok Pemikiran Teologi Imam •Al-Asy’ari Dan Al-Maturidi

—Fatkhul Mufid—..................................................... 207-230

Oksidentialisme Sebagai Pilar Pembaharuan •(Telaah Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)

—Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida— .......... 231-252

Akulturasi Islam dan Budaya Jawa •

—Donny Khoirul Aziz— ............................................ 253-286

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna •

— Andi Hartoyo — ................................................... 287-304

Implikasi Perensial Islam Terhadap Keberagaman •Umat Kontemporer Menurut Seyyed Hossein Nasr

—Mas’udi— ............................................................... 305-334

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik Rumah •Ibadah (Kasus Pembangunan Rumah Ibadah antara

Islam dan Kristen di Desa Payaman Mejobo Kudus)

—Nur Ahmad— ........................................................ 335-364

Page 7: Jurnal Fikrah Edisi Juli

vi

Pandangan Imam Az-Zamakhsyari Tentang Kalam •Allah (Al-Qur’an)

—Ma’mun Mu’min— ................................................ 365-386

Resolusi Konflik Berlatar Agama: Studi Kasus •Ahmadiyah di Kudus

—Moh.Rosyid— ......................................................... 387-412

Mengkontruk Akhlak Kemanusiaan Dengan Teologi •Kepribadian Hasan Hanfi

—Manijo— ................................................................ 413-448

Memahami Konsep Hermeneutik Kritis Habermas•

—Ahmad Atabik— .................................................... 449-464

Page 8: Jurnal Fikrah Edisi Juli

vii

PENGANTAR REDAKSI

BismillahirrahmanirrahimDari ungkap syukur dan puji kepada Ilahi, Allah swt.,

serta salawat dan salam kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad saw., kehadiran Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan pada Volume 2. No. 2., ini dapat hadir ke hadapan para pembaca. Sebagaimana catatan dari Volume 1. No. 1., untuk edisi Januari – Juni secara niscaya kehadiran jurnal ini merupakan sebuah kesyukuran tiada terhingga. Kenyataan ini berpijak kepada eksistensi kehadiran jurnal ini untuk pemenuhan kebutuhan akademis para ahli di bidang Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan.

Dalam perkembangannya, Kajian Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan merupakan hakikat yang senantiasa hangat untuk ditelaah dan dikaji. Sebagai alasannya, dinamika kehidupan keagamaan masyarakat menjadi kenyataan yang senantiasa menggejala dan berkembang. Tidak ketinggalan pula, fenomena keberagamaan mereka menjadi hal penting yang akan senatiasa mengembang dan bahkan terkadang berakibat kepada konflik interest yang tiada kunjung berakhir. Di atas fenomena inilah maka penting untuk memberikan wawasan yang cukup integral terhadap dinamika keagamaan dan keberagamaan masyarakat melalui jurnal ini.

Pada volume ini, Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan mengarahkan kajiannya kepada aspek-aspek teoritis kajian aqidah dan keagamaan. Perspektif Ilmu Aqidah yang telah dibangun oleh banyak ahli dikupas dengan mendetail untuk memberikan sinergi keagamaan dan keberagamaan masyarakat masa kini. Tidak ketinggalan pula, kajian tentang fenomena keberagamaan masyarakat dengan indikasi-indikasi analisa

Page 9: Jurnal Fikrah Edisi Juli

viii

konflik menjadi bagian yang dirumuskan untuk Volume 2. No. 2., Juli – Desember ini.

Besar harapan redaksi untuk menyumbangkan khazanah pemikiran tentang Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan dalam meningkatkan aspek-aspek mutual keagamaan dan keberagamaan masyarakat. Besarnya harapan tersebut dituntut sepenuhnya mampu terwadahi melalui rangkaian editorial data dalam jurnal tersaji ini. Untuk itulah, dari semua cita dan idealitas yang ingin diwujudkan tersebut, mudah-mudahan edisi ini memenuhi keseluruhannya secara komprehensif. Semoga bermanfaat…..!!!

Kudus, Desember 2013

Redaksi

Page 10: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 207

MENIMBANG POKOK-POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI IMAM AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

Fathul MufidSTAIN KUDUS

Email: [email protected]

ABSTRAK

Latar belakang Al-Asy’ari berubah pendirian dari kedudukannya sebagai pembela Mut’tazilah menjadi pembela faham salaf di kalangan para ulama terjadi perselisihan dan merupakan perdebatan yang terus berkembang. Akan tetapi terlepas dari berbagai alasan yang diajukan para ahli, Al-Asy’ari telah menjadikan pendapat-pendapatnya yang menyerang Mu’tazilah, sebagai paham (aliran pemikiran) yang berdiri sendiri dan paling banyak memperoleh pengikut. Empat puluh tahun telah dihabiskan Al-Asy’ari dalam mengabdikan dirinya di bawah naungan bendera teologi Mu’tazilah, namun secara tiba-tiba Dia berbalik arah dan menjadi lawan tangguh yang begitu telak menyerang Mu’tazilah. Dalam kitab Al-Ibanah Al-Asy’ari telah memproklamirkan dirinya sebagai pembela suara kebenaran dan pengikut sunnah, dan mengkategorikan pengikut Mu’tazilah dan Qodariyah sebagai kelompok yang telah melenceng dari kebenaran dan ahli bid’ah. Tokoh lain yang oleh para ahli disepakati sebagai pendiri ahlus sunnah wal jamah adalah Abu Manshur al-Maturidi. Jalan pemikiran

Page 11: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013208

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-Asy’ari sebagaimnna tercermin dalam ajaran teologinya, sehingga kendatipun ia banyak menyerang konstitusi Mu’tazilah namun ia lebih dekat kepadanya ketimbang Asy’ariah. Bila demikian keadaannya, maka posisi Al-Maturidi berada di antara dua kutub yang senantiasa kontroversial yaitu, antara kutub Al-Asy’ariah yang sangat ortodok karena lebih setia kepadaa sumber-sumber Islam secara literal dengan kutub Al-Mu’tazilah yang sangat rasional dan dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Oleh karena itulah, maka ajaran-ajarannya kemudian dikelompokkan secara tersendiri, dan para Mutakallimun memberi nama madzhab yang satu ini dengan nama Al-Maturidiah. Bahkan untuk selanjutnya aliran Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiah ini diidentikkan sebagai madzhab Ahl Suunnah wa Al-Jama’ah. Bahkan Sayid Murtadha Al-Zabidi, pengarang kitab “Ittihaf Sadat Al-Muttaqin”, mengatakan: ”Apabila disebut ”Ahl al-Sunnah wa Al-Jama’ah,” maka yang dimaksud adalah faham ”Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiah”.

Kata Kunci: Teologi, Mu’tazilah, Filsafat Yunani, Madzhab

Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Nama asli Abu Al-Hasan Al-Asy’ari ialah Ali Ibnu

Isma’il, keluarga Abu Musa Al-Asy’ary. Secara lengkap nama

itu adalah Abi Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin

Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi

Musa Al-Asy’ari. Ia dilahirkan di kota Bashrah tahun 260 H

dan wafat pada tahun 330 H (Musa, 1975: 165-166). Kapasitas

dan kapabilitas intelektual Al-Asy’ari dapat di ketahui dengan

sikap Al-juba’i yang sering mempercayakan kepadanya untuk

mengajarkan paham Mu’tazilah manakala sang guru Al-Juba’i

berhalangan. Barangkali karena itu pula mengapa Al-Asy’ari

sering disebut-sebut bakal menjadi pengganti Al-Juba’i dalam

melanjutkan missi Mu’tazilah, walaupun sebenarnya Al-Juba’i

Page 12: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 209

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

sendiri mempunyai anak kandung bernama “Abu Hasyimi”

(Watt, 1979: 99).

Tentang motif teologis yang mendorong Al-Asy’ari

berubah haluan dari Mu’tazilah ke aliran salaf, para ahli terdapat

banyak versi yang dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama,

ketidakpuasan Al-Asy’ari atas jawaban Al-Juba’i berkaitan

dengan keadilan Tuhan yang diukur dengan menggunakan batas-

batas akal manusia. Suatu ketika Al-Asy’ari bertanya kepada sang

guru, Al-Juba’i tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa

yang sama-sama masuk surga karena imannya. Sesuai dengan

keadilan Tuhan menurut persepsi Mu’tazilah, orang dewasa

akan menempati surga yang lebih tinggi dibanding kedudukan

si anak. Mengapa harus begitu tanya Al-Asy’ari, yang dijawab

oleh sang guru karena yang dewasa telah melakukan amal

kebaikan. Kenapa si anak tidak diberi usia lebih panjang supaya

ada kesempatan melakukan amal baik, kejar Al-Asy’ari. Tuhan

tahu jika si anak dibiarkan hidup lebih panjang usianya, ia akan

tumbuh menjadi anak yang durhaka, kilah Al-Juba’i, padahal

Tuhan harus berbuat yang terbaik buat manusia. Kalau begitu,

kejar Al-Asy’ari lebih lanjut, bagaimana jika orang-orang yang

telah dijeblosken dalam neraka berteriak menuntut, mengapa

mereka tidak dimatikan saja ketika masih kecil, sehingga tidak

tumbuh menjadi orang yang durhaka. Al-Juba’i terdiam tak

menjawab (Rahman, 1984: 126).

Kedua, karena memperoleh petunjuk dari Nabi Muhammad

SAW lewat mimpi, di mana intinya Nabi memerintahkan kepada

Al-Asy’ari meninggalkan teologi rasionalistik dan kembali

berpegang pada ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul. Setelah

itu Al-Asy’ari mengurung diri di dalam rumah selama 15 hari

merenungkan apa saja yang telah diajarkan guru-guru Mu’tazilah,

Page 13: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013210

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

kemudian setelah menemukan kemantapan jawabannya, Dia ke

Masjid dan mengumumkan bahwa dirinya telah meninggalkan

ajaran Mu’tazilah dan sebaliknya akan membela faham salaf

yang berpegang pada al-Qur’an dan As-sunnah.1

Di samping motif yang semata-mata bersifat teologis,

mungkin saja Al-Asy’ari kecewa dengan posisi kaum

Mu’tazilah yang sudah tidak lagi sesuai dengan situasi baru.

Setelah Al-Mutawakkil membatalkan keputusan Al-Ma’mun

tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara,

kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun. Apalagi setelah

Al-Mutawakkil memberikan penghargaan dan penghormatan

kepada Ibnu Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.

Dengan demikian leluasalah orang-orang yang dikecewakan

dan disakiti Mu’tazilah untuk melakukan kritik dan serangan

kepada Mu’tazilah. Apalagi akibat ”mihnah” yang sangat tak

terlupakan oleh mayoritas masyarakat muslim, menjadi salah

satu faktor tersisihnya paham mu’tazilah di kalangan ummat.

Bahkan dalam situasi semacam di atas, di kalangan Mu’tazilah

terjadi perpecahan dan sebagian tokoh-tokohnya meninggalkan

barisan Mu’tazilah, seperti Isa Al-Warraq, Ahmad Ibnu

Rawandi. Itulah sebabnya menurut Harun Nasution mengapa

Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Kebetulan pada saat

yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat dijadikan

pegangan masyarakat. Ditambah dengan keraguan yang ada

dalam diri Al-Asy’ari, maka lengkaplah sudah dorongan untuk

menyusun teologi baru, yang kemudian terkenal dengan Teologi

(mazdhab) Al-Asy’ariyah, suatu nama yang dinisbatkan kepada

sang pendiri, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.2

1Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo, An-Nahdah, 1936), hlm. 67.2Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta, Universitas Indonesia,

1986), hlm. 68.

Page 14: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 211

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Mirip dengan kekecewaan di atas (walaupun latar

belakangnya berbeda), Al-Asy’ari melihat bahwa fungsi

mu’tazilah yang merupakan suatu upaya kompromi antara

golongan sunni dan Syi’ah, sudah tidak sesuai lagi dengan

situasi yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan Al-Mutawakkil

tampak cenderung kepada golongan sunni. Hal ini berakibat

terjadinya konsolidasi di kalangan sunni. Pada saat yang sama,

ketidakjelasan konsep golongan Rafidloh, telah digantikan oleh

bentuk ”imamah” yang lebih jelas. Dengan demikian telah terjadi

pengentalan baik pada faham Sunni maupun Syi’ah. Maka masa

depan Mu’tazilah dengan segala komprominya akan menjadi

kurang begitu penting (Watt, 1979: 100).

Pemikiran Teologi Al-Asy’ariInti pokok teologi Al-Asy’ari adalah Sunnisme. Hal ini

dikatakan sendiri dalam bukunya, misalnya dalam al-Ibanah.

Bahwa pedoman yang dianutnya adalah berpegang teguh

kepada kitab al-Qur’an, sunnah Rasul dan riwayat (shahih) dari

para sahabat, tabi’in dan pemuka hadist. Di samping itu, ia juga

akan mengikuti fatwa Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin

Hambal (Al-Asy’ari, tt: 8). Selanjutnya pokok-pokok pandangan

al-Asy’ari secara rinci disimpulkan berikut :

Al-Qur’an sebagai Kalam Allah1. Sebagai reaksi atau teologi Mu’tazilah, Al-Asy’ari

mengecam pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan Allah, dan karenanya maka ia adalah ”mahluq”. Golongan yang berpandangan semacam ini dikecam oleh Al-Asy’ari sebagai pendapat yang mengadopsi pendirian orang kafir yang mengenggap Al-Qur’an sebagai ucapan manusia (In huwa illa qaul al-basyar). Bahkan lebih jauh Al-Asy’ari berpendapat bahwa orang yang meyakini Al-Qur’an sebagai

Page 15: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013212

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

mahluq adalah, kafir. Bagi Al-Asy’ari menentukan apakah Al-Qur’an itu sebagai kalam Allah yang qadim atau sebagai mahluq yang hadis (baru) adalah amat penting. Sebab di sinilah letaknya apakah al-Qur’an memiliki otoritas atas pendapat manusia atau tidak. Bagi Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah sumber otoritas yang harus dipedomani. Karena itu ia mesti qodim dan bukan mahluk (seperti manusia). Sebab memahlukkan al-Qur’an secara tidak langsung sebenarnya telah berketetapan bahwa al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia. Pandangan sangat berbahaya bagi keutuhan doktrin. Karena itu maka paham keterciptaan manusia ditolak Al-Asy’ari. Berangkat dari asumsi di atas, maka Al-Asy’ari berpendirian bahwa memahami al-Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan akal tetapi harus mengikuti petunjuk Sunnah dan riwayat salaf al-Mutaqadimin. Penalaran akal bisa digunakan selama dapat memperjelas al-Qur’an (Al-Asy’ari, tt: 6-9).

Di sinilah Al-Asy’ari dinilai berhasil menjaga hak-hak penafsirn, tanpa mengurangi hak-hak wahyu. Bahkan lebih jauh ia juga dinilai telahh berhasil mendefinisikan al-Qur’an secara benar sebagai sumber otoritas doktrin. Bertitik tolak dari pandangan di atas, Al-Asy’ari dalam memahami nash lebih bersifat leteral dan skriptural. Fungsi akal diletakkan di bekakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri. Ia (akal) bukanlah hakim yang mengadili. Spikulasi apapun terhadap sesuatu yang sakral dianggap suatu bid’ah (Kamal, 1994: 135).

Tuhan Memiliki Sifat2. Dari beberapa ayat al-Qur’an, jelas disebut bahwa

Tuhan itu ALIM, mengetahui dengan pengetahuannya. Bukan dengan Zat-Nya, dan mustahil Tuhan itu merupakan

Page 16: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 213

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

pengetahuan. Di sini terlihat Al-Asy’ari menetapkan sifat sama dengan kalangan salaf, namun cara penafsirannya berbeda. Kaum salaf hanya menetapkan sifat kepada Tuhan sebagaimana dalam teks ayat, tanpa melakukan pembahasan. Bagi Al-Asy’ari, arti sifat berbeda dengan makna zat tetapi bukan pula lain dari zat. Pemaknaan semacam ini seperti tidak jauh berbeda dengan ungkapan Mu’tazilah. Bagi mereka sifat sama dengan zat. Jika dikatakan bahwa Tuhan mengetahui (Alim), maka ini artinya menetapkan pengetahuan bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah zat-Nya. Dan penetapan ini hanya digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) itu tidak jahil.3

Jadi secara esensial ungkapan Al-Asy’ari dengan Mu’tazilah sebenarnya tidak berbeda, hanya saja karena al-Asy’ari ingin melakukan rekonsiliasi antara paham tasybih dengan paham tanzih, maka ia berusaha melakukan abstraksi terhadap sifat-sifat Tuhan. Menurut al-Asy’ari konsepsi ketuhanan dengan sifat-sifat yang cenderung antropomorfis, harus diabstraksi dan tidak boleh dipahami secara literal (harfiyah). Dari paham tentang adanya sifat-sifat bagi Tuhan, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk mendukung pendirian ini ia mengutip dalil naql dan resio. ”Wajah-wajah ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhannya” (al-Qiyamah 22). Bagi Al-Asy’ary yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak wujud. Tuhan wujud, maka Ia dapat dilihat. Kata ”nadlirah” menurut Asy’ary, tidak dapat diartikan ”memikirkan” sebagaimana pendapat Mu’tatilah, sebab di alam akhirat bukan lagi merupakan tempat berpikir (Al-Asy’ari, tt: 12-13).

Perbuatan Tuhan dan Teori Kasb3.

3Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, hlm. 75.

Page 17: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013214

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan wajib berbuat yang terbaik untuk manusia, Al-Asy’ari berpendapat sebaliknya. Bagi Asy’ary Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan kekuasaam-Nya yang mutlak. Tuhan bisa saja, memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki atau sebaliknya. Ia juga berkuasa menyantuni orang-orang mukmin atau menyesatkan orang-orang kafir. Bahkan lebilh dari itu, semua Ia berkuasa menyantuni orang-orang kafir. Semua yang terjadi dialam ini atas kehendak dan ketetapan Tuhan (Al-Asy’ari, tt: 9). Bertitik tolak dari paham kekuasaan mutlak tak terbatas yang dimiliki Tuhan, Al-Asy’ary berpendapat bahwa Allah (Tuhan) tidak wajib berbuat adil. Seperti dikatakan dalam Al-Luma’, sebagaimana dikutip zainun Kamal, bagi Al-Asy’ari tidak dikatakan salah kalau Tuhan memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam surga, termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya, tidak bisa dikatakan bahwa Tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam neraka.4

Pendirian Al-Asy’ary di atas tampakaya banyak diilhami ayat-ayat al-Qur’an. Misanya ”Inna rabbaka fa’ aalun lima yuridu” dan ayat ”Man yahdi Allahu fahuwa al-muhtadi wa man yudhlil fa ulaika hum al-khasirun” Ayat-ayat inilah yang mugkin mendorong Al-Asy’ari berpendirian bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak dan karena itu ia dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya terhadap makhluq ciptaan-Nya. Sebenarnya Al-Asy’ary sepekat dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan itu Maha Adil, tetapi ia tidak sepakat bahwa Tuhan harus adil. Tuhan mustahil

4Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal Wa al Nihal (Mesir: Darul Fikri, Ttt), hlm. 101.

Page 18: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 215

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

tidak adil kata Al-Asy’ari sebab ketidakadilan itu berarti merampas hak orang lain. Akan tetapi di alam semesta ini tidak ada yang bukan milik Tuhan. Karena itu jika Tuhan bertindak seperti yang tidak adil dengan alasan apapun, Dia tetap tidak bisa dikatakan tidak adil. Di sini terdapat kejanggalan menyangkut nilai intrinsik, yaitu bahwa Tuhan diungkapkan tidak sesuai dengan citra-Nya. Tuhan memiliki sejumlah nama atribut dan kwalitas. Diantaranya ialah bahwa Dia itu Maha Kasih dan Santun, memiliki sifat Rahman dan Rahim .Namun Al-Asy’ari mengkostruksi sebuah pandangen religius tentang Tuhan dengan penggambaran akan ke-Maha kuasaan ke titik yang hampir mengabaikan semua kualitas Tuhan yang lain (Bakar, 1994: 96).

Berdasar prinsip ke-Maha Kuaasaan Tuhan, Al-Asy’ary berpendirian bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan daya untuk melakukan sebuah pekerjaan. Apa yang dikerjakan manusia adalah merupakah kehendak dan ciptaan Tuhan. Tidak ada seorangpun yang mampu melakukan suatu perbuatan sebelum perbuatan itu dikehendaki dan dicipta oleh Tuhan (Al-Asy’ari,tt: 9). Dasar yang dipedomani Al-Asy’ary ialah ayat ”Wa Allahu Khalaqakum wa ma ta’malun”, dan ayat : ”Hal min khaliqin ghairu Allah” serta ayat lain yang jumlahnya cukup banyak. Untuk menjelaskan hubungan antara perbuatan Tuhan dengan perbuatan manusia, Al-Asy’ari menetapkan teori ”kasb”. Dalam Al-Luma’, sebagaimana dikutib Dr. Harun Nasution, arti kasb ialah sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-Muktasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.5

Dalam hal ini sebenarnya Al-Asy’ari ingin mengkopromikan antara kelemahan manusia, di hadapan

5 Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 107.

Page 19: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013216

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

kekuasaan Tuhan dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan yang dilakukan Namun terkesan berbelit-belit. Di satu pihak ia ingin menjelaskan tentang peran manusia, tetapi dalam penjelasannya terungkap suatu keterangan bahwa kasb itu sendiri hakikatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi dalam teori kasb manusia tidak mempunyai peran efektif dalam perbuatahnya. Karena itu teori ini mirip dengan teorinya jabariyah moderat. Bahkan Ibnun Hazm dan Ibnu Taimiyah menilainya sebagai Jabariyah murni. Karena itu Al-Asy’ari dinilai gagal dalam menengahi faham Jabariyah dan Qodariyah (Kamal, 1994: 141).

Akan tetapi menurut Usman Bakar, uraian Al-Asy’ary tentang kasab ini dilandasi dengan teori atom yang menyangkal adanya kausalitas Aristotalian. Menurut teori ini materi, ruang dan waktu, serta alam semesta ini menjadi wilayah keterpisahan, menjadi entitas kongkrit yang saling bebas, tidak terikan satu sama lain. Tidak ada hubungan antara satu momen eksistensi dengan yang selanjutnya. Itulah sebabnya mengapa Asy’ary menyangkal bahwa ada keterkaitan horisontal antara benda-benda. Lalu bagaimana realitas yang terbagi-bagi dan terputus-putus ini menjadi kesatuan yang teratur ? Adalah melalui kehendak Tuhan yang mencipta segala sesuatu pada setiap saat, yang merupakan kausa langsung dan satu-satunya sebab bagi eksistensi dan kausalitasnya. Jadi kesatuan dan keselarasan alam semesta ini karena ia dihadirkan dan diatur oleh suatu kehendak yang Maha Tunggal, Nah, gagasan Al-Asy’ari tentang Tuhan sebagai sebab tunggal segala sesuatu dan semua peristiwa, menegaskan peran sebab-sebab sekunder di alam raya. Tiada wujud berhingga yang tercipta yang dapat menjadi sebab sekunder bagi sesuatu yang lain. Segala sesuatu tidak memiliki fitrah untuk memiliki kekuatan. Apa yang disebut

Page 20: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 217

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

sebagai kekuatan yang dimiliki oleh obyek-obyek alamiyah, termasuk manusia, bukanlah sebuah kekuatan efektif karena ia adalah kekuatan turunan (Bakar, 1994: 103).

Konsep Tentang Iman4. Dalam Al-Ibanah ’An Usul Al-Diyahah, Al-Asy’ary

mengatakan bahwa iman itu menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa bertambah dan berkurang. Memperhatikan pandangan ini maka Al-Asy’ari sebenarnya mengakui bahwa amal itu penting bagi pembinaan kualitas iman seseorang, dan iman itu akan mencapai kesempurnaannya bila didukung oleh amal shalih. Akan tetapi ketika Al-Asy’ary dihadapkan pada persoalan pendosa besar, seperti para pelaku zina, pencuri dan peminum arak, maka Ia berpendapat bahwa inereka itu tetap tidak dapat dikatakan kafir, selama masih berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang diharamkan (Al-Asy’ari, tt: 10).

Dari pendapat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa iman, bagi Al-Asy’ary merupakan perbuatan hati, jadi selama dalam diri seseorang masih terdapat kepercayaan (tasdiq bi Al-Qalb), maka masih dapat disebut sebagai mu’min (beriman), walaupun perbuatannya tidak sesuai dengan keimanannya. Hanya saja yang tersebut terakhir ini, menurut Asy’ary disebut fasiq karena perbuatannya bertentangan dengan keimanannya. Bagi Al-Asy’ary, predikat mukmin fasiq itu bisa dikumpulkan dalam diri seseorang. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah ”al-manzilu baina al-manzilataini” (Musa, hlm, 265).

Jadi, iman dalam perspektif Al-Asy’ari adalah pasif. Hal ini terjadi karena Asy’ary mengikuti alur pemikiran sunni, di mana konsep keimanannya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah perkembangan pemikiran teologi

Page 21: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013218

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

sunni. Seperti diketahui bersama, bahwa pemikiran teologi muncul akibat pergumulan politik internal umat Islam, yang mendorong terjadinya perdebatan tentang kriteria “mu’min-kafir”. Adalah firqoh al-waqifiyah (bagian dari Hawarij) yang pertama kali mempertanyakan apa hak kita mengurusi seseorang sampai sejauh menilai apakah seorang itu mu’mn atau kafir ? Menurut golongan ini kita harus berhenti pada segi-segi lahiriyah saja, selebihnya kita serahkan kepada Allah. Paham ini kemudian diadopsi oleh golongan Murji’ah, di mana akhirnya menjadi unsur jama’ah. Teologi Al-Asy’ari timbul sebagai refleksi situasi sosial dan kultur masyarakat, yang mayoritas menganut faham “Jama’ah” atau dalam istilah yang baku disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah.6

Abu Mansur Al-MaturidiNama lengkapnya adalah lmam Abu Mansur Muhammad

bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Nama Al-Maturidi

adalah nisbah pada suatu daerah di mana ia dilahirkan, daerah

itu dikenal dengan Maturidi atau Maturiti yang terletak di kota

Samarqandi, terkenal dengan “Ma wara’a, al-Nahr” atau “Ma wa

ra’a al-Nahr Jaihun ( First Encyclopaedia Islam, 1987 : 414).”

Oleh sebab itulah ia pun dikenal dengan nama Al-Syaikh Al-

Imam ‘Ilm Al-Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad

bin Mahmud Al-Maturidi Al-Samarqandi. Sementara para

sejarawan merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi yang

jelas mengenai kedua orang tuanya, demikian juga keadaan

keluargarnya, namun, oleh sebagian penulis Al-Maturidi

dinyatakan keturunan dari Abu Ayub Khalid bin Zaid bin Kalibi

Al-Anshari, yakni salah seorang sahabat yang rumahnya pernah

disinggahi Nabi SAW. Pada waktu beliau hijrah ke Madinah.

6Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1992), hlm. 17-18.

Page 22: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 219

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Sehingga Imam Al-Bayadhi mengkaitkan kata Al-Anshari di

akhir nama Al-Maturidi (al-Maturudi, 1979: 2).

Demikian juga sejarah tidak mencatat secara pasti tentang

tanggal kelahirannya, namun DR.Ayub Ali memperkirakan

ia lahir sekitar tahun 238 H / 852 M. Dasar pertimbangannya

antara lain, salah seorang guru Al-Maturidi, yaitu Muhammad

bin Muqalil Al-Razi, meninggal dunia tahun 248 H / 862 M.

Dengan demikian juga dapat dikatakan Al-Maturidi hidup pada

masa khalifah Al-Mutawakil, yang memerintah pada tahun 232–

247 H /847–916 M. Kendatipun perkiraan Ayub Ali tersebut

mempunyai dasar pertimbangan historis, namun angka pasti

tahun kelahiran Al-Maturidi tersebut masih perlu penelitian

lebih lanjut. Tetapi yang jelas, ia lahir sekitar pertengahan abad

ketiga hijriyah danwaf at pada tahun 333 H bertepatan dengan

tahun 944 H di Samarqan (Abbas, 1988: 34).

Mengenai perjalanan pendidikannya ia berguru kepada

para ulama terkemuka, diantaranya ; Abi Nasr Al-‘Iyadhi, dia

belajar fiqh kepada Abu Bakar Ahmad Al-Janzani, dari Abi

Sulaiman Al-Janzani, dari Muhammad, dari Abi Hanifah Al-

Zabidi berkata : “Al-Maturidi berguru kepada Imam Abi Nasr

Al-‘Iyadi ... dan dari gurunya, Al-Imam Abu Bakar Ahmad

bin Ishaq bin Shalih Al-Janzani, pengarang kitab Al-Farq wa

Al-Tamyiz. Dan di antara guru Al-Maturidi yang lain adalah

Muhammad bin Muqatil Al-Razi, seorang ulama yang sangat

mengagungkan akal. Adapun Abu Bakar Al-Janzani, Abu Nasr

Al-’Iyadi, dan Nasr bin Yahya semuanya belajar fiqh kepada

Imam Abi Sulaiman bin Musa bin Sulaiman Al-Janzani dan ia

belajar kepada dua imam, yakni Imam Abi Yusuf dan Muhammad

bin Al-Hasan. Muhammad bin Muqatil dan Nasr bin Yahya juga

belajar fiqh kepada Imam Abi Mathi Al-Hakim bin Abdullah

Al-Balakhi dan kepada Imam Abi Muqatil Hafsh bin Muslim

Page 23: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013220

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Al-Samarqandi. Muhammad ibnu Muqatil juga belajar fiqh

dari Muhammad bin Al-Hasan. Meraka berempat (Abi Yusuf

Muhammad bin Al-Hasan, Abi Mathi’ Al-Hakim bin Abdullah

Al-Balakhi, dan Abi Muqatil Hafsh bin Muslim Al-Samarqandi)

berguru kepada Imam Abi Hanifah (Al-Maturidi, 1979: 5).

Adapun karya-karyanya yang orisinal adalah kitab Al-

Jadal, Al-Ushul fi Ushul Al-Din, Al-Maqalat fi Al-Kalam, Kitab

Al-Tauhid, Rada’ Awa-il Al-Adillah, li Al-Ka’bi, Radd Tahdzib

Al-Jadal li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al- Khamsan Ali Abi

Muhammad Al-Bahili, Radd I’mamah li Ba’dhi Al-Rawafidh,

Al-Radd ‘ala Al-Qaramithan, Bayan, Wahm Al-Mu’tazilah,

Radd Wa’id Al-Fussaq li Al-Ka’bi, Risalah Al-Aqa’id, Syarh

Al-Fiqh Al-Akbar, dan lain sebagainya. Namun kendatipun

begitu banyak hasil karyanya, sampai saat ini kita kesulitan

untuk mendapatkannya. Oleh karena itu wajar bila Harun

Nasution menyayangkan keadaan seperti ini, sebab sampai saat

ini karangan-karangannya tersebut belum dapat diterbitkan

dan masih dalam bentuk manuskrip atau makhtutat. Sementara

buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte, seperti

buku Al-Syahrastani, Ibn Hazm, Al- Baghdadi, tidak memuat

keterangan-keterangan tentang Al-Maturidi atau pengikutnya.

Dengan demikian, salah satu jalan untuk melacak pendapat-

pendapatnya adalah dengan mempelajari buku-buku yang

dikarang oleh pengikut-pengikutnya, seperti Isyarat Al-Maram

dikarang oleh Al-Bayadi, dan Ushul Al-Din, dikarang oleh Al-

Bazdawi.7

Pokok-Pokok Pikiran Al-MaturidiSebagaimana yang telah penyusun jelaskan di halaman

muka bahwa Imam Al-Maturidi banyak dipengaruhi oleh

7 Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 76.

Page 24: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 221

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

pola fikir Imam Abi Hanifah, yang banyak memakai rasio

dalam pendangan keagamaannya, maka tak heran jika ia pun

banyak menggunakan kakuatan akal dalam sistem teologinya.8

Oleh karena itu, kendatipun ia sama-sama menentang faham

Mu’tazilah dengan Imam Al-Asy’ari ternyata banyak fahamnya

yang kontroversi dengan Asy’ari sendiri dan ketika itu ia justru

sependapat dengan Mu’tazilah. Demikian juga sebaliknya

ketika ia sependapat dengan Asy’ari, secara tidak langsung Al-

Maturidi pun bersikap konfrontatif dengan Mu’tazilah. Khusus

pertentangannya dengan Al-Asy’ari, Syekh Muhamnad Abduh

menjelaskan hal itu tak lebih dari sepuluh masalah saja (Nasir,

1994: 169).

Di antara pemikiran-pemikirannya dalam masalah

teologi adalah :

Mengenai al-Qur’an1. Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari demikian

juga dengan Abi Hanifah bahwa Kalam Allah adalah qadim. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang qadir, tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak ada permulaannya. Adapun huruf-huruf muqaththa’ah bentuk-bentuk, warna-warna, suara-suara dan segala sesuatu yang tertentu dan segala sesuatu yang ada di alam dari al-Mukaffayat, adalah makhluk yang berpermulaan dan diciptakan. Dan sesungguhnya Kalam Allah SWT adalah sifat yang ada dengan dzat Allah Ta’ala, yang tidak tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara.

Dalam masalah ini ada sedikit perbedaan antara Imam Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi, Asy’ari sependapat dengan Ibn ’Azbah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Kalam Allah adalah “isim musytarak” yang dapat dibagi dua,

8 Ibid., hlm. 70)

Page 25: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013222

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

yakni KalamNafsi yang qadim, dan yang kedua adalah kalam yang terdiri dari lafadz-lafadz dan huruf-huruf yang baru. Sementara Al-Maturidi sependapat dengan Imam Abi Hanifah. Sebagaimana DR, Qasim, mengatakan : “Al-Maturidi membagi menjadil dua pula, pertama Kalam Nafsi, dalam artian “al-Qadim al-Qaim bi Dzatihi”, yaitu kalam yang bukan sejenis perkataan manusia, kalam yang tidak berupa huruf-huruf dan suara-suara, yang demikian ini adalah sifat dzat bagi-Nya. Kedua adalah kalam yang tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara, maka tidak ragu lagi kalam yang seperti ini adalah baru dan makhluk. Jadi bila kita liltat, perbedaanya itu hanya sedikit sekali, yakni perbedaan formulasi dan pengungkapan kalimat saja yang satu sependapat dengan Ibn Azbah dan yang satunya lagi sependapat dengan Abi Hanifah (Musa, tt: 300).

Mengenai Sifat Allah SWT2. Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan

di antara Imam Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sif at-sifat, seperti adanya nash yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan sifat mendengar dan mellihat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi dengan pengetahuannya, tetapi Dia tidak seperti pengetahuan (al-’Ulm), Dia juga berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan Kekuasaan-Nya, tetapi Dia tidak seperti kekuasaan (al-Qudrah), Dia mendengar bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan pendengaran-Nya, dan Dia tidak seperti pendengaran (al-Asma’), begitu pula Dia melihat, tetapi bukan dengan dzat-Nya, Dia melihat dengan penglihatan-Nya dan Dia tidak seperti penglihatan (al-Abshar) (al-Maturidi, 1979: 10).

Page 26: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 223

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Mengenai sifat-sifat Tuhan ini, ada sedikit perbedaan redaksi antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari, demikian juga dengan Abu Hanifah. Perbedaannya dengan Imam Al-Asy’ari, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat azali yang ada pada dzat-Nya, sifat itu bukan dzat, tetapi juga bukan lain dari dzat (as-Syahrastani, tt: 95). Sedangkan perbedaan antara Al-Maturidi dengan Abi Hanifah adalah Ia tidak berusaha membagi sifat itu menjadi sifat dzat dan sifat af’al (wa Al-Maturidi la Yufarriqu baina sifat al-dzat wa sif al Af’al). Sementara Imam Abi Hanifah membaginya menjadi dua bagian, yakni sifat dzat dan sifat af’al. Yang termasuk sifat dzat adalah al-Hayat, al-Qudrat, al-‘Ilm, al-Kalam, al-Sama’, al-Bashar, al-Iradat. Sementara sifat af’al di antaranya adalah al-Takhliq, al-Tarziq, al-Insya’, dan al-Ibda’, yang berupa sifat-sifat perbuatan Abu Hanifat juga mengatakan : Kanallahu aliman bi’ilmihi wa al-’ilmu sifat fi al-ajal, wa qadiran biqudratihi... wa al-qudrat sifat fi al-ajal, wa mutakalliman bi kalamihi wa al-kalam sifat al-ajal, wa khliqan bi takhlilqihi wa litakhliq sifat fi al-ajal, wa fa’ilan bi fi’lihi wa al-fi’lu sifat fi al-ajal. Beliau juga mengatakan : Beliau adalah Allah, perbuatan adalah sifat sejak zaman ajali, yang dilakukan adalah makhluk dan perbuatan Allah bukan makhluk dan sifat-Nya di zaman azali tidak baru dan bukan makhluk, maka barangsiapa mengatakan bahwa sifat-sifat itu makhluk atau baru atau meragukan keberadaannya, maka berarti ia sudah inkar dengan Allah SWT (Hanifah, 1324: 2).

Dalam masalah sifat Allah ini, penyusun menyimpulkan bahwa pada dasarnya antara Imam Al-Maturidi, al-Asy’ari dan Abi Hanifah sepakat mengakui adanya sifat bagi Allah. Namun dengan kapasitas dan latar belakang pendidikannya

Page 27: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013224

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

mereka berusaha menjelaskannya untuk meyakinkan manusia dengan formulasi kalimat masing-masing, terutama hal ini terjadi antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Sementara pendahulunya, yakni Abi Hanifah menjelaskan secara lebih detail, sehingga melahirkan adanya sifat dzat dan sifat af’al. Namun satu hal saja yang penyusun sayangkan, di mana Abu Hanifah mengkultuskan kafir terhadap orang yang tidak sejalan dengan pendapatnya tersebut, yang justru hal ini bisa menjerumuskannya pada jurang subyektifitas yang lebih dalam.

Masalah Iman dan Islam3. Syaikh Zadah menjelaskan ; ”Telah terjadi perbedaan

pendapat antara Imam-Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari dalam masalah hakikat iman, apakah ia wajib dengan akal atau tidak, apakah ia bertambah atau tidak ? Demikian juga terjadi, perbedaan pendapat maksud al-Iman dan al-Islam, iman taqlid bagaimana pengecualian dalam masalah iman dan apakah iman itu makhluk atau bukan ? Ibn ’Idzbah menjelaskan adanya perbedaan pendapat antara keduanya dalam maslalah ”Istitsna fi al-Iman” dan “Iman taqlid”. Syaikh Zadah menjelaskan sesungguhnya al-Iman menurut Al-Maturidi adalah ”al-Iqrar wa al-Tashdiq”, yakni ikrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Sementara orang-orang Al-Asy’ariah mensyaratkan iman dengan membaca dua kalimah syahadat sebagai bukti adanya pembenaran. Argumentasi Al-Maturidi sesungguhnya iaman secara bahasa adalah pembenaran (al-Tashdiq), sementara tashdiq kadang dengan hati, kadang dengan lisan. Sementara orang-orang Asy’ariah berpandangan sesungguhnya tempat pembenaran (al-Tashdiq) adalah hati, sementara tempat ikrar adalah lisan dengan membaca dua kalimah syahadat. Jadi

Page 28: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 225

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

keduanya merupakan rukun iman. Mereka ini pada dasarnya mengembalikan argumentasinya kepada QS. Al-Mujadalah ayat 22, sebagai dalil bahwa iman adalah pembenaran dengan hati saja (Nasyah, tt: 284).

Syaikh Zadah mengatakan, sesungguhnya pembenaran (al-Tashdiq) menurut Al-Asy’ari adalah “Kalam linafs masyruth bi al-Ma’rifah”, atau dengan kata-kata A-Syahrastani, pembenaran (al-Tashdiq) menurut Al-Asy’ari adalah Qaul fi nafsi, yatadhamman ma’rifatullahi.” Dengan demikian, iman menurut Al-Asy’ari dapat bertambah dan dapat berkurang. Sementara Al-Maturidi sependapat dengan Abi Hanifah, iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Abu Hanifah, mengatakan:”Tidaklah tergambarkan bertambahnya iman, kecuali dengan berkurangnya kekufuran. Demikian juga tidak dapat tergembarkan berkurangnya iman kecuali dengan bertambahnya kekufuran” (Nasyah, tt: 285).

Lalu bagaimana keberadaan akal dalam masalah iman ini, apakah wajib dengan akal atau dengan syari’at ? Bagi Al-Maturidi, iman wajib dengan akal. Ia berpendapat : ”Sekiranya Allah SWT tidak mengutus seorang rasul kepada manusia, maka wajib atas mereka mengetahui adanya Allah dengan melalui akalnya, baik yang berhubungan dengan sifat al-Hayat, al-’Ilm al-Qudrat, dan lain sebagainya. Sementara orang-orang Al-Isy’ariah berpendapat : ”Tidak wajib iman dan tidak haram kufur sebelum adanya utusan, maka menjadi ’udzur bagi generasi yang sudah jauh dan belum sampai dakwah kepadanya (Nasyah, tt: 286).

Masalah Melihat Allah SWT4. Dalam hal Ru’yatullah, Al-Maturidi sejalan dengan

golongan Al-Asy’ariah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat oleh manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai

Page 29: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013226

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

berikut : tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud, setiap berwujud pasti dapat dilihat dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat. Silogisme tersebut secara tidak langsung menunjukkan adanya kontroversi dengan pendapat golongan Mu’tazilah yang mengatakan; ”Innallaha Ta’ala la yura bi al-hal min al-ahwal”. Demikian juga berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh golongan Musyabbihah, yang mengatakan ; ”Innallah yura mukayyafan mahdudan al-marayat” (Al-Maturidi, 1979: 13).

Lalu bagaimana Tuhan, dapat dilihat ? Dalam hal ini, Imam Al-Maturidi mengatakan: ”Dia (Tuhan) dapat dilihat bukan dalam dimensi suatu keadaan (al-hulul), batas-batas (al-hudud) atau dalam dimensi bentuk. Sebagaimana kita melihat, Dia bukan sesuatu yang dibatasi dan tidak dibentuk, maka demikianlah, kita melihat-Nya, bahwa Dia tidak dibatasi dan tidak dibentuk. Tetapi yang jelas, bagi Al-Maturidi melihat Allah adalah sesuatu yang mesti ada (terjadi) tanpa adanya penawaran atau interpretasi, yaitu tanpa mempunyai bentuk. Sementara al-kaifiyah ada gai sesuatu yang memiliki bentuk, akan tetapi Dia dapat dilihat dengan tanpa sifat ; berdiri dan duduk, bertelekkan dan bergantung, berhubungan dan tidak berhubungan, berhadap-hadapan dan membelakangi, pendek dan panjang, terang dan gelap, diam dan bergerak, bersentuhan dan bertolakan, di luar dan di dalam, dan tidak ada angan-angan yang mampu mengambil maknanya. Akal juga tidak akan mampu, karena ke Maha Agungan Allah SWT. Dan satu hal lagi, orang-orang Mu’min hanya dapat melihat Allah di akhirat kelak. Namun dalam hal ini ada sedikit perbedaan antara Maturidi dengan Asy’ari, bagi Maturidi melihat Allah

Page 30: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 227

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

merupakan sesuatu yang terjadi tanpa adanya interpretasi, yakni kita dituntut untuk beriman adanya Ru’yatullah, karena ada adanya penjelasan dari al-Qur’an dari al-Sunnah, sementara akal tidak akan sanggup (tidak usah mancari) alasan ditetapkannya ”Ru’yatullah”. Adapun bari Al-Asy’ari, ia berpendapat mungkin saja akal mampu membuat argumentasi mengenai ”Rulyatullah” (Al-Maturidi, 1979: 24).

Masalah Dosa Besar5. Dalam masalah ini, golongan Khawarij berpendapat,

bahwa orang yang melakukan dosa besar dihukum kafir atau musyrik. Berbeda dengan golongan Murji’ah, mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap dihukumi sebagai seorang Mu’min. Adapun soal dosanya yang mereka buat, ditunda penyelesaiannya sampai kelak di hari akhirat (perhitungan). Sementara bagi Mu’tazilah orang-orang yang demikian itu, tidak dihukumi sebagai seorang kafir, juga bukan seorang Mu’min, akan tetapi fasik yang menduduki posisi di antara dua tempat (posisi), atau sering dikenal “al-Manzilah baina al- Manzilatain.”.9

Sementara Al-Maturidi tidak sefaham dengan yang pertama (Khawarij), maupun yang terakhir (Mu’tazilah). Dalam hal ini kelihatannya ia lebih cenderung kepada pendapat yang kedua (Murji’ah), demikian juga dengan maha gurunya, Abu Hanifah. Bagi Maturidi orang yang berdosa besar (seperti zina dan membunuh) tetap dikatakan sebagai seorang Mu’min. Adapun bagaimana nasibnya kelak di akhirat, terserah kepada Tuhan. Hemat penyusun, wajar dia berpendapat demikian, sebab baginya iman dan Islam adalah sama. Kalau keberadaan iman yang ”La yazid wala

9Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 43.

Page 31: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013228

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

yanqush” maka Islam pun tentu tidak jauh dari itu. Pendapat Al-Maturidi di atas sejalan dengan guru utamanya, Abu Hanifah y ang mengatakan bahwa seorang Muslim tidak bisa menjadi kafir dengan berbuat dosa, kendatipun itu adalah dosa besar (Hanifah, 1324 H: 5).

Masalah Baik dan Buruk 6. Syaikh Zadah menjelaskan (Nasyah, tt: 298) ;

Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat antara golongan Al-Asy’ariah dengan golongan Al-Maturidiah ketika membahas masalah baik dan buruk. Dalam hal ini Maturidiah lebih dekat kepada Mu’tazilah. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya akal mampu mengidentifikasi sesuatu yang baik dan buruk. Sementara Al-Asy’ariah berpendapat lain, mereka memandang bahwasanya akal tidak mampu mampu mengetahui baiknya sesuatu dari sesuatu, demikian juga akal tidak mampu mengetahui jeleknya sesuatu dari sesuatu. Dan sesungguhnya jalan ke arah sana hanya dapat diketahui dengan melalui Syar’i. Maka dengan demikian, sesuatu yang baik adalah sesuatu yang dipesan oleh Syar’i, dan akan mendapat pahala bari yang melaksanakannya. Dan kejelekan adalah sesuatu yang dijelaskan oleh Syar’i dan akan mandapat dosa bagi siapa saja yang melakukannya.

Kesimpulan Berangkat dari pembahasan di atas, dapat dipetik

beberapak kesimpulan sebagai berikut:

Jalan pemikiran Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-1. Asy’ari sebagaimnna tercermin dalam ajaran teologinya,

sehingga kendatipun ia banyak menyerang konstitusi Mu’tazilah

namun ia lebih dekat kepadanya ketimbang Asy’ariah. Bila

demikian keadaannya, maka posisi Al-Maturidi berada di

Page 32: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 229

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

antara dua kutub yang senantiasa kontroversial yaitu, antara

kutub Al-Asy’ariah yang sangat ortodok karena lebih setia

kepadaa sumber-sumber Islam secara literal dengan kutub Al-

Mu’tazilah yang sangat rasional dan dipengaruhi oleh filsafat

Yunani.

Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah, kebetulan pada 2. saat yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat

dijadikan pegangan masyarakat. Ditambah dengan keraguan

yang ada dalam diri Al-Asy’ari, maka lengkaplah sudah

dorongan untuk menyusun teologi baru, yang kemudian

terkenal dengan Teologi (mazdhab) Al-Asy’ariyah, suatu

nama yang dinisbatkan kepada sang pendiri, Abu Al-Hasan

Al-Asy’ari

Oleh karena itu, kendatipun ia sama-sama menentang 3. faham Mu’tazilah dengan Imam Al-Asy’ari ternyata banyak

fahamnya yang kontroversi dengan Asy’ari sendiri dan ketika

itu ia justru sependapat dengan Mu’tazilah. Demikian juga

sebaliknya ketika ia sependapat dengan Asy’ari, secara tidak

langsung Al-Maturidi pun bersikap konfrontatif dengan

Mu’tazilah. Khusus pertentangannya dengan Al-Asy’ari,

Syekh Muhamnad Abduh menjelaskan hal itu tak lebih dari

sepuluh masalah saja (Nasir, 1994: 169).

Page 33: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013230

Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

DAFTAR BACAAN

Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Kairo, An-Nahdah, 1936.

Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal Wa al Nihal, Darul, Fikri Mesir, Tanpa tahun

Al-Ghuroby, Ali Mustofa, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Kairo, 1958

Al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab At-Tauhid, University Library, Cambridge, Tanpa tahun

Al-Bazdawi, Abu Al-Yusr Muhammad, Ushul Al-Diin, Ed, Dr. Hans Peterr Lins, Kairo, 1963.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Waqaf Paramadina, 1992.

Page 34: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 231

OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR PEMBAHARUAN(Telaah terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)

Abdurrohman Kasdi & Umma FaridaSTAIN Kudus

Email: [email protected]

ABSTRAK

Oksidentalisme yang diusung oleh Hassan Hanafi memperjuangkan netralitas perspektif antara ego (Timur) dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus dibongkar dari hierarkinya yang superior dan inferior menuju model dialektika yang berimbang. Bukan untuk saling dibenturkan, melainkan hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu dengan yang lain, sehingga terhindar dari relasi yang hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur.Sejatinya, oksidentalisme ini memiliki keterkaitan erat dengan tiga pilar pembaharuan versi Hanafi, yaitu sikap kita terhadap tradisi lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap kita terhadap realitas. Tulisan ini mencoba mengungkap oksidentalisme yang merupakan sikap kita terhadap tradisi barat sebagai salah satu pilar pembaharuan.

Kata Kunci: Oksidentalisme, Pilar Pembaharuan, Timur, Barat, Tradisi, Realitas

Page 35: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013232

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

PendahuluanOksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam

menghadapi hegemoni keilmuan Barat. Hassan Hanafi

merupakan pemikir Islam yang secara aktif menjadikan

oksidentalisme sebagai gerakan penyeimbang kajian Timur dan

Barat dari berbagai aspeknya dengan prinsip relasi yang egaliter,

transformatif, dan ilmiah. Oksidentalisme ini dilawankan dengan

orientalisme, namun demikian oksidentalisme tidak memiliki

tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme.

Oksidentalisme yang diusung Hanafi ini tidak dapat

dilepaskan dari tiga pilar atau agenda dari proyek tradisi dan

pembaharuannya (at-turats wa at-tajdid), yang meliputi sikap

kritis terhadap tradisi, sikap kritis terhadap Barat—dan inilah

yang sering disebut dengan oksidentalisme—dan sikap kritis

terhadap realitas. Jika dicermati, tiga pilar ini sejatinya juga

mewakili tiga dimensi waktu. Pilar pertama mewakili masa lalu

yang mengikat kita, pilar kedua, mewakili masa depan yang kita

harapkan, dan pilar ketiga mewakili masa kini di mana kita hidup.1

Dalam pada itu, Hanafi berprinsip bahwa masa lalu bukan untuk

dipertahankan atau diserang, tetapi untuk direkonstruksi, masa

depan bukan untuk diserang atau dipertahankan, tetapi untuk

dipersiapkan dan direncanakan, dan masa kini tidak mungkin

dikembalikan ke masa lalu (salafiyyah) atau diajukan ke masa

depan (sekularisme), tetapi merupakan tempat berinteraksi

ketiga medan perlawanan di atas.2

Lebih Dekat dengan Hassan Hanafi Hassan Hanafi—selanjutnya hanya disebut Hanafi—

dikenal sebagai pemikir muslim kontemporer yang dibesarkan

1Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 6.

2Ibid., hlm. 86.

Page 36: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 233

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

dalam dua tradisi keilmuan yang sangat berbeda, yakni tradisi

kelimuan Timur dan tradisi keilmuan Barat. Dari tradisi

keilmuan Timur, Hanafi mendapat sumbangan intelektualnya

yang signifikan dalam khazanah-khazanah keilmuan klasik

Islam. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan

keislaman yang kental, ia sangat akrab dengan tradisi keilmuan

Muslim klasik. Terlebih negeri Mesir, yang merupakan kota

kelahirannya juga sudah masyhur dikenal sebagai pusat kajian

dan aktivitas keilmuan Islam paling terkemuka serta tertua

dalam sejarah Islam. Sementara dari tradisi keilmuan Barat,

Hanafi banyak mempelajari berbagai teori dan metode ilmiah

kontemporer dalam beragam disiplin keilmuan.

Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir,

tepatnya di perkampungan al-Azhar dekat benteng Salahuddin.

Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim

di seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas al-

Azhar. Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi

yang berada di pedalaman Mesir, kemudian pindah ke Kairo,

ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko.

Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah

Bani Mur yang di antaranya menurunkan Bani Gamal Abd al-

Nasser, Presiden Mesir kedua.

Hanafi tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis.

Ia mulai menghafal al-Qur’an sejak usia 5 tahun, dengan berguru

kepada Syaikh Sayyid di jalan al-Benhawi, kompleks bab asy-

Sya’riyah, sebuah kawasan di Kairo bagian selatan. Pendidikan

dasarnya dimulai di Madrasah Sulaiman Gawisy, bab al-Futuh,

kompleks perbatasan Benteng Shalahuddin al-Ayyubi selama 5

tahun. Setamatnya dari pendidikan dasar, Hanafi masuk sekolah

pendidikan guru, al-Muallimin. Setelah 4 tahun dilalui, ia

kemudian memutuskan untuk pindah ke Madrasah Silahdar, yang

Page 37: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013234

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

berada di kompleks masjid al-Hakim bin Amrillah dan langsung

diterima di kelas dua, mengikuti jejak kakaknya hingga tamat.

Di sekolah yang baru ini, ia banyak mendapat kesempatan untuk

belajar bahasa asing.

Pada tahun 1956, Hanafi memperoleh gelar Sarjana Muda

Bidang Filsafat dari Universitas Cairo. Lalu, Hanafi memutuskan

untuk berangkat ke Sorbonne, Perancis dan menetap di sana

selama 10 tahun. Selama di Perancis, ia menyelesaikan program

master dan doktornya di Universitas Sorbonne Paris dan

berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1966, dengan disertasi

yang berjudul L Exegese de la Phenomenologi, L’etat actual de la methode Phenomenologue et son Aplication au phenomeno Religiux. Sebuah karya yang berupaya memperhadapkan Ilmu

Ushul Fiqih dengan Filsafat Fenomenologi Edmund Husserl.

Dengan karyanya ini, Hanafi mendapatkan penghargaan dari

Pemerintah Mesir dan dinobatkan sebagai penulis karya ilmiah

terbaik di Mesir.

Berkat kecerdasannya, Hanafi mampu menguasai

kebudayaan, tradisi dan pemikiran serta keilmuan Barat berhasil

dengan cukup baik. Studinya di Perancis juga memberikan

pencerahan pemikiran serta dimulainya berlatih berpikir secara

metodologis. Selain itu, Hanafi mendalami berbagai disiplin

ilmu, di antaranya adalah metode berpikir (ilmu mantiq),

dan fenomenologi pada Paul Ricour. Belajar tentang analisa

kecerdasan pada Husserl dan belajar bidang perubahan pada

Massignon yang sekaligus pembimbing disertasinya.

Karir akademik Hanafi dibangun sejak ia kembali ke

ke Mesir dan mendapatkan kepercayaan menjadi dosen mata

kuliah Pemikiran Kristen Pertengahan dan Filsafat Islam di

Universitas Kairo pada tahun 1967 hingga meraih gelar Professor

dalam bidang Filsafat pada tahun 1980. Selain di Mesir,

Page 38: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 235

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Hanafi aktif juga memberikan kuliah di beberapa perguruan

tinggi negara lainnya, seperti Perancis (1969), Belgia (1970),

Temple University, Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975),

Universits Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko (1982-1984),

dan menjadi guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985),

Persatuan Uni Emirat Arab (1985), dan penasehat program

pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987). Gagasan paling

penting yang diajukannya yang sekaligus banyak mengundang

respon dari berbagai pemikir lainnya ialah tentang Kiri Islam

(al-Yasar al-Islami) yang dijadikan sebagai nama sebuah jurnal

yang diterbitkan pada tahun 1981. Di dalam jurnal itulah Hanafi

secara panjang lebar mengupas masalah Kiri Islam. Walau

hanya sekali terbit, teks ini cukup memiliki arti penting bagi

pengkayaan khazanah pemikiran Islam Kontemporer.

Sebagai seorang intelektual, Hanafi terus menerus bergulat

mencari formula tepat bagi perubahan yang diimpikannya.

Dalam situasi inilah, ia mengalami berbagai fase perkembangan

kesadaran intelektual. Perkembangan dan perubahan yang

dialaminya dari satu kesadaran kepada kesadaran lain sangat

terkait pula dengan perubahan situasi lingkungannya yang lebih

luas di Mesir. Karena itu, dalam otobiografi tersebut, Hanafi

lebih banyak mengungkapkan keterlibatan dan partisipasinya

dalam kehidupan nasional Mesir daripada kehidupan pribadi dan

keluarganya. Kesadaran pertama yang tumbuh dalam diri Hanafi

adalah kesadaran nasional (national consciousnes). Pertumbuhan

kesadaran ini terkait dengan kenyataan situasi Mesir yang dalam

Perang Dunia II menjadi sasaran serangan Jerman.

Hanafi secara alamiah bergeser kepada Islam, karena rasa

frustrasi yang sangat pahit terhadap realitas nasionalisme Arab

sekuler yang gagal menyatukan bangsa Arab. Ia pun memutuskan

untuk bergabung dengan organisasi al-Ikhwan al-Muslimun

Page 39: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013236

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

(IM), yang saat itu sedang menemukan momentumnya, bukan

hanya karena IM berdiri paling depan melawan Israel, tetapi

juga karena ia percaya bahwa organisasi ini mampu menghadapi

sosialisme-komunisme yang juga semakin kuat dalam lingkaran

kekuasaan Mesir. Hanafi pun aktif dalam berbagai demonstrasi

IM dan politik mahasiswa di kampus Universitas Kairo. Ia

sangat tidak suka kepada orang-orang komunis yang ia pandang

sebagai orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar;

teralienasi, asing, dan memiliki kecenderungan-kecenderungan

yang jauh dari kebenaran.

Tahun 1950, kesadaran keagamaan (religious consciousness) menguat dalam diri Hanafi, hingga seluruh

pemikiran, wacana intelektual dan aktivitasnya bertitik-tolak

dari motif-motif Islam. Pada masa ini, ia mengenal lebih jauh

pemikiran dan wacana Islam yang berkembang di lingkungan

gerakan Islam (harakah). Ia membaca dan mendalami berbagai

karya tokoh-tokoh gerakan Islam seperti Hassan al-Banna,

Sayyid Quthb, Abu al-A’la al-Maududi, Abu al-Hassan al-Nadwi,

dan lain-lain. Dalam tulisan-tulisan mereka Hanafi menemukan

semangat kebangkitan Islam (al-nahdlah al-Islamiyah), yang

sedikit banyak mempengaruhi pandangan dunia dan misi

intelektualnya.

Pada saat yang sama, kritisisme Hanafi juga tumbuh dan

mendorongnya mempertanyakan isi dan metodologi pemikiran

Islam harakah tersebut, yang dalam pandangannya telah

kehilangan relevansinya dengan realitas zamannya. Karena itu,

ia mencoba menawarkan interpretasinya sendiri atas topik-topik

utama filsafat Islam dan kalam hasil pemikiran ulama abad

pertengahan. Ia pun mulai bergeser kepada tingkat kesadaran

baru, yaitu kesadaran filosofis (philosophical consciousness).

Hanafi pun rajin menulis, dan pada fase awal pemikiran ini,

Page 40: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 237

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

tulisan-tulisan Hanafi bersifat ilmiah murni. Kemudian, ia

mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan

wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi egaliter.

Periode selanjutnya pada tahun 1980-an Hanafi mulai

mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam

sebagai paradigma peradaban melalui sistematisasi proyek

“Tradisi dan Modernitas” (at-Turas wa at-Tajdid), lalu Kiri

Islam (al-Yasar al-Islami), kemudian Dari Aqidah Menuju Revolusi (Min al-Aqidah ila ats-Tsaurah) yang memuat uraian

rinci tentang pembaruan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu

kalam Hanafi dan disusun selama hampir sekitar 10 tahun.

Secara umum, karya-karya Hassan Hanafi dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga bagian. Pertama, karya

kesarjanaan di Sorbonne; kedua, buku, kompilasi tulisan dan

artikel; ketiga, karya terjemahan, saduran dan suntingan.

Klasifikasi pertama yang berupa karya kesarjanaannya adalah

tiga buah (trilogi) disertasi: Les Metodes d’Exegese, essai sur La science des Fondaments de la Comprehension, ‘ilm ushul al fiqh (1965); L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode phenomenologique et son application au ph’enomene religiux (1965); dan La Phenomenologie d L’exegese: essai d’une hermeneutique axistentielle a parti du Nouvea Testanment (1966).

Bagian kedua terdiri lebih dari sepuluh buku: dimulai

oleh Religious Dialog and Revolution (1977); At-Turast wa at-Tajdid (1980) yang berisikan dasar-dasar proyek pembaruan

Hanafi; dan Dirasat Islamiyah (1981) yang mengulas beberapa

disiplin keilmuan tradisional Islam seperti Ushul Fiqh dan

Teologi Islam, serta kritik atas hilangnya wacana manusia dan

sejarah di dalamnya; al-Yasar al-Islami: Kitabat fi an-Nahdhah al-Islamiyyah (1981) yang memuat manifesto Kiri Islam yang

Page 41: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013238

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

sangat fenomenal; Qadaya Mu’ashirah: Fi Fikrina al-Mu’ashir,

dua volume (1983); Dirasat Falsafiyyah (1988); Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, empat volume tebal yang merupakan karya

monumental dan paling sistematis dari Hanafi (1988), yang berisi

rekonstruksi teologi Islam tradisional dalam rangka transformasi

sosial; ad-Din wa ats-Tsaurah fi Mishr 1956-1981, delapan jilid,

memuat tulisan lepas Hanafi di berbagai media (terbit 1989);

Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (1990); Islam in the Modern World, dua volume tebal berbahasa Inggris (1995); Humum al-Fikr al-Wathan, dua jilid (1997); Jalaluddin al-Afghani (1997);

dan Hiwar al-Ajyal (1998).

Sedangkan ketiga, karya-karya awal Hanafi banyak

terkait dengan saduran dan suntingan, mengingat kebutuhan

kuliah dan memperkenalkan materi dan contoh-contoh filsafat

Muslim maupun Barat secara cepat dan memuaskan. Di

antaranya: Muhammad Abu Husain al-Bashri: al-Mu’tamad fi ‘ilm Ushul al-Fiqh (1964-1965), dua jilid, berisikan diskusi

tentang filsafat hukum Islam; al-Hukumah al-Islamiyyah li al-Imam al-Khumeini (1979); Jihad an-Nafs aw Jihad al-Akbar li al-Imam al-Khumeini (1980) yang berisi kekaguman Hanafi

pada keberhasilan revolusi Iran; Namadzij min al-Falsafah al-Masihiyyah fi al-‘Ashr al-Wasith: al-Mu’allim li Aghustin, al-Iman al-bahis ‘an al-‘Aql la taslim, al-wujud wa al-Mahiyah li Thuma al-Akwini (1968); Spinoza Risalah fi al-Lahut wa as-Siyasah (1973); Lessing: Tarbiyyah fi al-Jins al-Basyari wa A’mal al-Ukhra (1977); dan Jean Paul Sartre: Ta’ali Ana Mawjud (1978).

Makna Oksidentalisme dan Sejarah KemunculannyaOksidentalisme berasal dari bahasa Inggris, occident,

yang berarti negeri barat. Sehingga oksidentalisme dapat

Page 42: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 239

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

dimaknai sebagai studi tentang Barat dengan segala aspeknya.

Oksidentalisme ini dilawankan dengan orientalisme, namun

demikian oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan

dominasi sebagaimana orientalisme.

Secara ideologis, oksidentalisme versi Hanafi diciptakan

untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap

kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya adalah

bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri.

Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran

Barat atas dunia lain, harus dibatasi. Dengan demikian, Barat

harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas kulturalnya.

Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif

historis-kultural Barat sendiri.

Sejarah kemunculan oksidentalisme tidak dapat

terlepas dari sejarah kecemerlangan peradaban Islam dan masa

kegelapan peradaban dunia Barat. Peradaban Islam yang maju

telah mengubah bangsa Timur yang notabene primitif dan

terbelakang menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama,

pemerintahan, politik, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kondisi

demikian mendorong para sarjana barat untuk mengkaji dunia

Timur, termasuk masyarakat, peradaban, dan agamanya.

Saat terjadi renaissance di Barat, dunia Timur mulai

mengalami kemunduran disebabkan para pemimpinnya yang

lemah, terlebih ketika peradaban Islam dihancurkan oleh pasukan

Tartar, yang mengakibatkan dunia Timur semakin terpuruk.

Sebaliknya, Barat justru semakin menunjukkan hegemoninya

hingga sekarang ini.

Para orientalis Barat pun tidak lagi hanya memfokuskan

kajian keilmuan peradaban Timur saja, tetapi juga bagaimana

cara menguasai dunia Timur dan demi tujuan penjajahan. Mereka

menonjolkan keunggulan orang-orang Barat serta mengerdilkan

Page 43: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013240

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

segala yang terkait dengan Timur khususnya Islam. Mereka

membalikkan sejarah dan mengesankan bahwa orang Islam

adalah orang-orang yang bodoh dan terbelakang.

Motif para orientalis mempelajari Islam telah menjadi

perdebatan di kalangan sarjana muslim maupun Barat. Pandangan

positif dan negatif terus bermunculan menanggapi karya-karya

mereka tentang Islam. Menurut Nurcholis Madjid,3 meski di

antara sarjana muslim ada yang menilai orientalis dengan citra

negatif, namun mereka tetap mengakui adanya poin positif dari

orientalis yang bermanfaat bagi kaum muslim.

Edward W. Said4 mendefinisikan orientalisme secara

kritis yaitu suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan

tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat

Eropa. Ia memandang orientalisme berkedok ilmiah dan menilai

dirinya sebagai ‘obyektif dan netral’. Sedangkan menurut Moh.

Natsir Mahmud,5 umumnya orientalis membahas Islam dengan

pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori

ilmiah tertentu, misalnya dengan pendekatan historis, sosiologis,

psikologis, dan sebagainya. Pendekatan tersebut meskipun turut

memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya

yang besar adalah Islam diposisikan sebagai fenomena empirik

sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual

dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan

bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu Allah. Pendekatan

saintifik dari sejumlah sarjana Barat sering juga dicampurkan

3Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 59-61.

4Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 4.

5Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif, (Semarang: Dimas, t.t), hlm. 5.

Page 44: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 241

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

dengan predisposisi agama yang dianutnya, hingga mengambil

konklusi bahwa Islam adalah ciptaan dari Yahudi dan Kristen.

Islam hanya merupakan salah satu sekte Kristen atau Yahudi

yang sesat.

Keseluruhan fenomena seperti ini membangkitkan

kesadaran dunia Timur dan Islam untuk juga melakukan kajian

tentang segala sesuatu yang terkait dengan Barat, menandingi

orientalisme, dan merebut kembali ego Timur yang telah

direbut Barat. Kajian inilah yang selanjutnya dikenal dengan

oksidentalisme.

Oksidentalisme sebagai Pilar PembaharuanOksidentalisme yang digagas Hanafi berpijak dari tiga

pilar pembaharuan yang diusungnya melalui proyek Tradisi dan

Pembaharuannnya (at-Turats wa at-Tajdid), yaitu: sikap kritis

terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap barat, dan sikap

kritis terhadap realitas. Jika pilar pertama berinteraksi dengan

kebudayaan warisan, maka pilar kedua berinteraksi dengan

kebudayaan pendatang. Kedua-duanya tertuang dalam realitas

di mana kita hidup.

Pilar pertama, sikap kritis terhadap tradisi lama. Menurut

Hanafi, pilar pertama ini dapat membantu menghentikan

westernisasi sebagai permulaan dari upaya rekonstruksi terhadap

ego ketimuran. Sehingga mereka dapat menghindari penetrasi

pemikiran Barat ke dalam tradisi umat yang mengakibatkan

terjadinya pertikaian antara pendukung kelompok pembela

ortodoks (al-Anshar al-qadim) dan kelompok pembela modern

(al-Anshar al-jadid), serta menghapuskan keterpecahan

kepribadian bangsa. Selain itu, pemikiran Islam dapat

memberikan keteladanan dalam mempertahankan identitas dan

memerangi westernisasi seperti hal-hal berikut:

Page 45: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013242

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

Larangan al-Qur’an untuk tidak berpihak pada orang lain, 1. menjalin keakraban dengan musuh, mencintainya dan

melakukan konsiliasi dengannya. Sebab, tujuan musuh

adalah menghancurkan identitas ego, menjatuhkannya ke

jurang taqlid, dan melenyapkannya hingga tidak ada yang

eksis kecuali pihak lain tersebut (the other). Berpegang

pada al-Qur’an sejatinya sama dengan berpegang pada

tradisi rakyat, sumber kekuasaan, dan sumber kontrol

bagi kesadaran manusia.

Menolak taqlid baik dalam aqidah maupun akhlak, karena 2. sikap taqlid ini dicela dalam agama.

Keteladanan pemikiran Islam lama yang mampu 3. mempresentasikan peradaban pendahulu tanpa

menafikan identitasnya, bahkan mengkritiknya,

kemudian mengembangkannya serta menyempurnakan

keberhasilan-keberhasilannya. Upaya ini dilakukan agar

pemikiran Islam tetap sesuai dengan zaman serta menjadi

dirinya sendiri dan mampu berinteraksi dengan pihak lain

(the other) dan pada akhirnya Islam mampu mewakili

peradaban umat manusia seluruhnya.

Pemikiran Islam modern memiliki kemandirian atau semi 4. kemandirian supaya tidak kehilangan karakteristiknya

ketika berinteraksi dengan Barat. Maksudnya, meskipun

pemikiran Islam modern mengagumi Barat dan

menganggapnya sebagai tipe modernisasi dalam aspek

industri, pendidikan, sistem parlemen, perundang-

undangan dan pembangunan, namun ia juga mengkritik

Barat sebagai peradaban duniawi yang tidak lepas dari

dimensi waktu dan tidak harus selalui diadopsi bangsa

lain.

Berpijak dari sikap gerakan Islam sekarang terhadap 5.

Page 46: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 243

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Barat yang membedakan ego dengan the other, lalu

merasionalisasikan hubungan tersebut kepada kritik

yang cerdas, dan mengubah hubungan antagonistis

antara ego dengan the other menjadi hubungan seorang

pakar dengan ilmu pengetahuan, subyek dengan obyek,

pengkaji dengan yang dikaji.6

Senada dengan Hanafi, Arkoun juga menekankan urgensi

untuk membedah perspektif lama yang statis dan apatis yang

menempatkan tradisi semata-mata sebagai pandangan ulama-

ulama dan sarjana-sarjana terdahulu, baik yang berupa pandangan

pribadi maupun kutipan atas pandangan angkatan sebelumnya.

Kemudian, generasi belakangan hanya bersikap pasif dan

menyerah pada pandangan-pandangan terdahulu, seolah-olah

masa lalu adalah the ultimate meaning. Padahal, sikap seperti ini

justru menjadikan mereka kehilangan semangat kritis.7

Tawaran pendekatan baru terhadap tradisi ini jelas

merupakan suatu keniscyaan di tengah dinamika zaman yang

sangat cepat ini. Ini dikarenakan tradisi diproduksi dalam

periode tertentu dan terpisahkan dengan masa kini oleh jarak

waktu tertentu. Dalam konteks ini, Hanafi menawarkan tujuh

elemen penyikapan terhadap tradisi lama, yakni (1) Dari teologi

ke revolusi; (2) Dari transferensi ke inovasi; (3) Dari teks ke

realitas; (4) Dari kefanaan menuju keabadian; (5) Dari teks ke

rasio; (6) Akal dan alam; (7) Manusia dan sejarah.8

Pilar kedua, adalah sikap kritis terhadap tradisi barat atau

yang biasa disebut oksidentalisme. Di sini, Hanafi menekankan

perlunya reorientasi terhadap dunia Barat, karena pada dasarnya

6Hassan Hanafi, op.cit , hlm. 24-25. 7Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. A. Baso

(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 11. 8Hanafi, op.cit., hlm. 3.

Page 47: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013244

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

oksidentalisme diciptakan untuk menghadapi westernisasi, yang

di antaranya dijalankan melalui orientalisme, yang memiliki

pengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi kita

tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban

kita serta seluruh gaya hidup keseharian kita.9 Implikasi besar

dari westernisasi ini, terutama orientalismenya, ialah lahirnya

perspektif Barat terhadap Timur dari tangga yang lebih tinggi,

superior, sehingga Timur seolah-olah adalah dunia barbar yang

dina. Padahal, tentu saja perspektif Barat sebagai komunitas

lain (the other) terhadap Timur itu niscaya akan berbeda jika

didekati dari kacamata Timur itu sendiri.

Apabila orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah

yang mendua antara ego dengan the other itu, dan dialektika

antara kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas

superioritas pada pihak the other. Orientalisme lahir dan mencapai

kematangannya melalui kekuasaan dan kekuatan imperialisme

Barat yang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya

tentang masyarakat yang dijajah, sehingga Barat menjelma

sebagai ego yang menjadi subyek dan menganggap Timur

sebagai the other yang menjadi obyek. Di sinilah tampaknya

teori Michaal Foucault menemukan relevansinya, bahwa

kekuasaan di mana pun selalu menindas, karena kekuasaan telah

memproduksi kebenaran menurut ukurannya. Kebenaran selalu

berada dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan

yang telah memproduksi dan menjaga kebenaran itu. Kebenaran

tidak ada dengan sendirinya. Dalam hal ini, jelas kebenaran

tidak berada di luar kekuasaan. Ia lahir dari dalam kekuasaan itu

sendiri. Foucault menilai bahwa kebenaran yang direproduksi

oleh kekuasaan dan dominasi sesungguhnya memberangus

9 Ibid., hlm. 16-17.

Page 48: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 245

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

kebebasan manusia untuk menjalin relasi antar sesama, melalui

relasi yang seimbang dan egaliter, bukan didasarkan atas

pengaruh dan dominasi.10

Melalui oksidentalisme, Hanafi mencoba mengambil

peran yang berimbang, jika ego Barat dahulu berperan sebagai

pengkaji, kini menjadi obyek yang dikaji, sedangkan the other Timur yang kemarin menjadi obyek yang dikaji, kini berperan

sebagai subyek pengkaji. Dengan demikian, secara otomatis

akan terbangun perubahan dialektika ego dengan the other, dari

dialektika Barat dan Timur menjadi dialektika Timur dan Barat.

Oksidentalisme berjuang untuk mengurai inferioritas sejarah

hubungan ego dengan the other, Barat dan Timur. Dengan

oksidentalisme, Timur diharapkan tidak lagi merasa inferior di

hadapan Barat, dalam hal bahasa, peradaban, budaya, ideologi,

bahkan ilmu pengetahuan.11 Bahkan, juga dapat menyingkirkan

bahaya dari adanya asumsi bahwa peradaban Barat merupakan

sumber ilmu pengetahuan seluruhnya.

Oksidentalisme juga memiliki tugas untuk mengembalikan

emosi Timur ke tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya,

melenyapkan inferioritasnya, mengaitkan kembali dengan akar

tradisinya sendiri, menempatkannya ke posisi realistisnya

untuk selanjutnya menganalisanya secara langsung, menyikapi

peradaban Barat secara tepat, tanpa mengagungkannya.

Hanafi juga menegaskan bahwa oksidentalisme tidak ingin

mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui

keterbentukan dan strukturnya. Menurutnya, ego oksidentalisme

lebih bersih, obyektif dan netral dibandingkan dengan ego

orientalisme. Bahkan, meskipun Barat seringkali menyerukan

10Michael Foucault, Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, (The Haervester Press, 1980), hlm. 133.

11Hanafi, op.cit., hlm. 26.

Page 49: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013246

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

pentingnya obyektivitas dan netralitas namun faktanya mereka

justru menyembunyikan egosentrisme dan keberpihakan Barat

dalam proyek orientalismenya.12

Selain itu, oksidentalisme bertugas menghapus

eurosentrisme, mengembalikan kebudayaan Barat ke batas

alaminya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar

keluar melalui penguasaan dalam berbagai bidang: media

informasi, budaya, penelitian, penerbitan, pengaturan ekonomi

dan pertahanan negara, bahkan spionase.

Oksidentalisme seharusnya juga mampu mematahkan

mitos bahkan peradaban Baratlah yang maju, sehingga harus

diadopsi oleh bangsa-bangsa lainnya. Padahal sejatinya

peradaban Barat bukanlah peradaban universal yang mencakup

seluruh model-model aksperimentasi manusia. Ia juga bukan

peninggalan pengalaman panjang eksperimentasi manusia

yang berhasil mengakumulasikan pengetahuan mulai dari

Timur sampai ke Barat, melainkan sebuah pemikiran yang lahir

dalam lingkungan dan situasi tertentu, yaitu sejarah Eropa,

yang belum tentu sesuai jika diterapkan dalam lingkungan dan

situasi bangsa lainnya. Pada proses selanjutnya, oksidentalisme

diharapkan mampu mengembalikan keseimbangan kebudayaan

umat manusia, yang tidak hanya menguntungkan kesadaran

Eropa dan merugikan kesadaran non-Eropa. Atau dengan kata

lain, oksidentalisme dituntut untuk mampu menghapuskan

dikotomi sentrisme dan ekstrimisme pada tingkat kebudayaan

dan peradaban, karena selama kebudayaan Barat menjadi sentris

dan kebudayaan Timur menjadi ekstremis maka hubungan

keduanya akan tetap merupakan hubungan monolitik.13

Hanafi menyadari bahwa pengkajian Barat oleh Timur

12Ibid., hlm. 29 13Ibid., hlm. 36-37.

Page 50: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 247

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

bisa jadi menjebak pengkajinya ke dalam jurang subyektifitas,

ketidak netralan, atau bahkan balas dendam. Pengkaji (Timur)

memungkinkan untuk terjebak dengan lebih banyak melihat apa

yang ada dalam dirinya daripada apa yang ada dalam kenyataan.

Pengkaji juga bisa tergelincir ke dalam premis-premis retorik

atau fanatisme dan menyerang peradaban lain yang menjadi

obyek kajiannya. Peluang ketergelinciran ini sangat mungkin

terjadi khususnya jika pengkaji pernah mengalami penderitaan

akibat imperialisme langsung atau imperialisme kultural oleh

bangsa Barat. Namun, keterjebakan dan ketergelinciran ini

dapat dihindari melalui penumbuhan kesadaran dan orisinalitas

dalam diri pengkaji.14

Tantangan pertama dari oksidentalisme ini adalah

menciptakan keserasian hubungan antara ego (Barat) dengan

the other (Timur), mengingat kompleksitas inferioritas sejarah

ego di hadapan the other masih tersimpan dalam benak ego. Hubungan keduanya dideskripsikan sebagai hubungan antara

dua pihak yang tidak seimbang, hubungan antara superordinat

dengan subordinat, tuan dengan hamba. Hubungan ini juga

merupakan hubungan pihak tunggal tanpa terjadi pergantian

peran. Pihak pertama selalu menjadi produsen dan pihak lain

selalu menjadi konsumen. Pihak pertama memiliki superioritas

dan pihak kedua terbebani inferioritas.15

Pilar ketiga, sikap terhadap realitas. Jika pilar

pertama, meletakkan ego pada sejarah masa lalu dan warisan

kebudayaannya, dan pilar kedua, meletakkan ego pada posisi

yang berhadapan dengan the other kontemporer, terutama

kebudayaan Barat pendatang, maka pilar ketiga ini meletakkan

ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi

14Ibid., hlm. 30. 15Ibid., hlm. 32.

Page 51: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013248

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

langsung terhadap realitasnya yang lalu untuk menemukan teks

sebagai bagian dari elemen realitas tersebut, baik teks agama

yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral

tradisional yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah.16

Selanjutnya, Hanafi menjelaskan bahwa pilar ketiga ini

menghadapi tujuh tantangan, yaitu: Pertama, membebaskan

tanah air dari serangan eksternal kolonialisme dan zionisme.

Kedua, kebebasan universal melawan penindasan, dominasi dan

kediktatoran dari dalam. Ketiga, keadilan sosial menghadapi

kesenjangan lebar antara kaum miskin dan kaya. Keempat,

persatuan menghadapi keterpecahbelahan dan diaspora. Kelima,

pertumbuhan melawan keterbelakangan sosial, ekonomi, politik,

dan budaya. Keenam, identitas diri menghadapi westernisasi dan

kepengikutan. Ketujuh, mobilisasi kekuatan massa melawan

apatisme.17

Melalui pilar ketiga ini, Hanafi merekomendasikan

sikap kritis terhadap realitas (kekinian). Ini dimaksudkan

sebagai upaya rehabilitasi psikologis yang masih diderita dunia

Timur akibat gelombang imperialisme dan modernitas Barat.

Gelombang ilmiah sekuler begitu gencar menstimulasi kita

untuk mengadopsi Barat sebagai tipe modernisasi ideal dalam

rangka mencapai kemajuan hidup. Akibatnya, paham selain

Barat, tidak diandaikan sebagai potensi yang sama kualitatifnya

dengan Barat, sehingga modernitas yang dikembangkan

dunia Timur justru mengukuhkan erosentrisme. Inilah pemicu

kemunduran peradaban Timur yang terlanjur terkesima kepada

Barat yang dipersepsikan sebagai “peradaban yang modern

dan rasional”, kendati sejatinya secara historis-dogmatis

Timur banyak memiliki kekhasan dan keunikan yang tak kalah

16Ibid., hlm. 5. 17Ibid., hlm. 21.

Page 52: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 249

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

agungnya dengan Barat.18

Dengan berpijak dari tiga pilar di atas, oksidentalisme

berakumulasi pada urgensi dialog egaliter yang mengisyaratkan

pola “kritik ke dalam” dan sekaligus “kritik ke luar”, Hanafi

berjuang menciptakan keberimbangan antara Timur dan Barat,

baik dalam peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, maupun relasi

antar agama.

Alternatif Sikap terhadap BaratMenurut Hanafi, ide demitologisasi Barat harus

dijalankan dalam rangka meruntuhkan superioritas Barat

tersebut. Ini dikarenakan selama beberapa dekade, Barat—

melalui westernisasinya—telah melenyapkan ego dunia Timur.

Westernisasi selalu menciptakan citra Barat sebagai tipe

modernisasi dan pembebasan. Sehingga Hanafi berpandangan

bahwa terbelenggunya pembaharu Islam yang berpijak pada

tradisi Barat sebagai tipe modernisasi sejatinya hanyalah

memperoleh sebuah pembebasan semu, karena masih

menempatkan inferioritas ego di hadapan the other.

Dalam menyikapi Barat ini pula, Hanafi mendorong

adanya penyeimbangan perspektif netral antara ego (Timur)

dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus dibongkar dari

hierarkinya yang superior dan inferior menuju model dialektika

yang berimbang. Bukan untuk saling dibenturkan, melainkan

hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik

antara yang satu dengan yang lain, sehingga terhindar dari relasi

yang hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia

Timur.

Adapun munculnya penyikapan terhadap tradisi Barat

18http://ediakhiles.blogspot.com/2011/10/oksidentalisme-dalam-wacana-dialog.html

Page 53: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013250

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

secara total yang diawali dengan memamerkan tokoh-tokoh

pemikirnya, dengan tujuan untuk memperkenalkan tokoh

Barat kepada masyarakat secara obyektif tanpa memilah

kelebihan dan kekurangan mereka, ditanggapi Hanafi bahwa

menurutnya langkah seperti ini justru bisa menjadi bumerang

jika masa pengenalan terus berlanjut tanpa dimasukinya tahap

representasi, penolakan, dan analisis langsung terhadap realitas.

Pada akhirnya, Hanafi berpandangan bahwa sikap tersebut tidak

efektif.

Selanjutnya, Hanafi mencoba memasukkan ego dunia

Timur ke dalam realitas Barat. Sikap ini diharapkan Hanafi dapat

mendorong ego (Timur) menyelesaikan problemnya dengan

caranya sendiri setelah belajar dari pengalaman the other (Barat)

dengan mempertimbangan sisi persamaan dan perbedaannya.

Bahkan, sikap seperti ini—menurutnya—juga termasuk dalam

konteks qiyas syar’i, yang berarti menganalogikan satu hal

dengan hal lain dalam suatu hukum karena adanya kesamaan

antara kedua hal tersebut.

Selain itu, sikap seperti ini juga mendatangkan

keuntungan bagi masyarakat Timur, yakni penghapusan taqlid.

Dengan demikian, pemikiran dan peradaban Barat yang lahir

dalam lingkungan tertentu tidak dapat diadopsi atau ditransfer

ke lingkungan lain dengan mengatasnamakan pembaharuan

tanpa terlebih dahulu dilakukan kajian ulang atau kritik yang

didasarkan pada kesadaran tentang adanya tradisi ego, tuntutan

zaman, dan tradisi the other.19

Sikap demikian pada akhirnya semakin meneguhkan

oksidentalisme dalam tataran kajian ilmiah yang bersifat

obyektif, karena ia berusaha menurunkan problem historis

19 Hanafi, op.cit.., hlm. 91.

Page 54: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 251

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

pembentukan superioritas Barat ke dalam wilayah epistemologi

yang menyusun struktur dasar pengetahuannya, yang tidak

diiringi oleh dominasi, ataupun penindasan. Dengan demikian,

gagasan oksidentalisme yang diusung oleh Hanafi diharapkan

mampu menjadi gerakan penyeimbangan Timur di hadapan

Barat dengan prinsip relasi yang egaliter, transformatif, dan

ilmiah.

PenutupOksidentalisme mengupayakan kenetralan kemampuan

ego dalam memandang the other, mengkajinya, dan mengubahnya

menjadi obyek, setelah sekian lama the other menjadi

subyek yang menjadikan pihak lain sebagai obyek. Namun,

oksidentalisme tidak berambisi merebut kekuasaan, melainkan

hanya menginginkan pembebasan. Oksidentalisme bertujuan

mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat

manusia dan sebagai pusat kekuatan, sekaligus melenyapkan

inferioritas Timur serta mengembalikan ego ketimurannya.

Salah satu alternatif menyikapi Barat yaitu melalui ide

demitologisasi Barat dan mendorong adanya penyeimbangan

perspektif netral antara ego (Timur) dengan the other (Barat).

Relasi keduanya harus direkonstruksi kembali dari hierarkinya

yang superior dan inferior menuju model dialektika yang

berimbang. Wallahu A’lam

Page 55: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013252

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan

DAFTAR PUSTAKA

Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000).

Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997).

Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif, (Semarang: Dimas, t.t).

Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. A. Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 11.

Michael Foucault, Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, (The Haervester Press, 1980)

http://ediakhiles.blogspot.com/2011/10/oksidentalisme-dalam-wacana-dialog.html

Page 56: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 253

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

Donny Khoirul AzizSTAIN Purwokerto

Email: [email protected]

ABSTRAK

Kemunculan dan perkembangan Islam di Dunia Indo-Melayu (termasuk di dalamnya adalah Jawa) menimbulkan transformasi kebudayaan-peradaban lokal. Transformasi suatu kebudayaan-peradaban melalui pergantian agama dimungkinkan, karena Islam bukan hanya menekankan keimanan yang benar, tetapi juga tingkah yang baik, yang pada giliranya harus diejawantahkan setiap Muslim dalam berbagai aspek kehidupan, dan tentu saja termasuk aspek budaya di dalamnya. Masuknya Islam ke Jawa, dalam konteks kebudayaan membawa dampak pada akulturasi Islam dan budaya Jawa, yaitu budaya yang telah hidup dan berkembang selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa. Akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat pada batu nisan, arsitektur (seni bangunan), seni sastra, seni ukir, dan berbagai tradisi perayaan hari-hari besar Islam. akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat dalam setiap era kesultanan (kerajaan Islam) yang ada di Jawa, baik era Demak, era Pajang, maupun era Mataram Islam. Pada era Demak, akulturasi antara Islam dan budaya Jawa terjadi dalam banyak hal, misalnya, arsitektur, seni ukir,

Page 57: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013254

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

kesenian wayang, pola pemakaman, dan seni sastra (seperti babad, hikayat, dan lainnya). Berbagai hasil akulturasi Islam dan budaya Jawa tersebut dijadikan sarana bagi penanaman nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa.

Kata Kunci: Akulturasi, Budaya Jawa, Tradisi, Babad

Masuknya Islam ke IndonesiaSebelum tahun 1883 M, Crawfurd telah mengajukan dalil

bahwa penduduk pribumi Indonesia dan Melayu telah menerima

Islam langsung dari Arab. Tetapi setelah tahun 1883 M pendapat

tersebut mulai disanggah oleh para sarjana dengan beragam

pendapatnya.1 Para sarjana memiliki beragam pendapat tentang

masuknya Islam di Indonesia/Nusantara. Beragamnya pendapat

ini berkaitan dengan dari wilayah manakah Islam di Indonesia

berasal, siapa yang membawanya, dan kapan waktu masuknya

Islam ke Indonesia.

Pendapat pertama berpendapat bahwa asal-muasal

Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India, bukannya

dari Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengungkapkan

teori ini adalah Pijnappel. Dia mengaitkan asal-muasal Islam di

Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya,

adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi

dan menetap di India tersebutlah yang kemudian membawa

Islam ke Nusantara. Pendapat ini selanjutnya dikembangkan

oleh Snouck Hurgronje. Menurut Snouck, setelah Islam

berakar kuat di kota-kota pelabuhan di Anak Benua India,

Muslim Deccan tersebut datang ke wilayah Melayu-Indonesia

sebagai para penyebar Islam yang pertama. Setelah itu, barulah

1Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 17.

Page 58: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 255

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

mereka disusul oleh orang-orang Arab, kebanyakan adalah

keturunan Nabi SAW. karena bergelar sayyid atau syarif, yang

menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara.2

Selanjutnya, menurut Snouck abad ke-12 adalah periode

paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.

Moquette, seorang sarjana Belanda, juga berkesimpulan

bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Pendapatnya

ini didasarkan pada pengamatannya terhadap bentuk batu-

batu nisan di Passai (wilayah utara Sumatra), khususnya yang

bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H / 27 September 1419 M, yang

ternyata memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang ada

di Cambay, Gujarat. Pendapat pertama ini kebanyakan dianut

oleh para sarjana yang berasal dari Belanda.3

Pendapat bahwa Islam berasal dari Gujarat dengan

didasarkan pada pengamatan bahwa batu nisan yang ditemukan

memiliki persamaan dengan batu nisan di Gujarat ditentang oleh

Fatimi. Menurutnya, pendapat tersebut merupakan pendapat

yang keliru. Menurut hasil penelitiannya, bentuk batu nisan

dan gayanya Malik al-Salih berbeda sepenuhnya dengan batu

nisan yang terdapat di Gujarat dan batu nisan yang lain yang

ditemukan di wilayah Nusantara. Menurut Fatimi, bentuk dan

gaya batu nisan tersebut justru mirip dengan batu nisan yang

ada di Bengal (Banglades). Oleh sebab itu, menurutnya seluruh

batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Bengal. Hal inilah

yang menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa

asal muasal Islam di Nusantara adalah dari wilayah Bengal.4

Pendapat kedua menyatakan bahwa Islam di Nusantara

2Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 2-3.

3Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 2-3. 4Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 4.

Page 59: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013256

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

bukan berasal dari Gujarat, tetapi dibawa oleh para penyebar

Muslim yang berasal dari pantai Coromandel pada akhir abad

ke-13. Pendapat ini diungkapkan oleh Marrison. Pendapat

Marrison ini mematahkan teori yang menyatakan bahwa Islam

di Nusantara berasal dari Gujarat dengan menunjukkan pada

kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudra Passai, yang

raja pertamanya wafat pada 698 H / 1297 M, Gujarat masih

merupakan kerajaan Hindu. Baru pada tahun 699 H / 1298 M.5

Pendapat Marrison ini, menurut Azra, kelihatan

mendukung pendapat yang dipegang oleh Arnold. Arnold -yang

telah menulis jauh sebelum Marrison- berpendapat bahwa Islam

dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Corromandel dan

Malabar. Ia menyokong teorinya ini dengan menunjuk pada

persamaan madzhab fikih di antara kedua wilayah tersebut.

Mayoritas Muslim di Nusantara adalah bermadzhab Syafi’i, yang

juga merupakan madzhab yang dominan di wilayah Coromandel

dan Malabar, sebagaimana disaksikan oleh ‘Ibnu Batutah ketika

berkunjung ke wilayah ini. Lebih lanjut, Arnold mengungkapkan

bahwa para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai

peranan yang penting dalam perdagangan antara India dan

Nusantara. Para pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan

di Melayu-Nusantara tidak hanya terlibat dalam kegiatan

perdagangan, tetapi juga terlibat dalam penyebaran agama

Islam. Perlu menjadi catatan penting bahwa menurut Arnold,

Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam

dibawa, namun Islam juga dibawa ke Nusantara dari Arabia.

Menurutnya, para pedagang Arab juga telah menyebarkan

Islam saat mereka dominan di dalam perdagangan Barat-Timur

semenjak permulaan abad Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8

5Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 5.

Page 60: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 257

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Masehi.6

Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang

kegiatan para pedagang Arabia dalam penyebaran Islam, cukup

pantas jika mengasumsikan bahwa mereka ikut terlibat dalam

penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi

tersebut menjadi semakin pantas jika mempertimbangkan

sumber-sumber Cina yang mengabarkan bahwa menjelang akhir

perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi

pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai

Sumatra. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan

perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus

sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab

pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-

anggota komunitas Muslim ini juga melakukan aktivitas-

aktivitas penyebaran agama Islam kepada penduduk lokal.7

Ada banyak sumber-sumber klasik Islam yang

menerangkan berbagai hal tentang Nusantara. Misalnya,

Ya’qubi (w. 377 H/987 M) menulis tentang hubungan dagang

antara pelabuhan Kalah di pantai barat semenanjung Melayu

dan Aden di Yaman. Hasan Abu Zaid as-Sirafi (w. 304 H/916

M) menyatakan bahwa Kalah merupakan pusat perdagangan

rempah-rempah dan dupa yang disinggahi oleh kapal-kapal dari

Oman, bahkan as-Sirafi telah menjelaskan dengan panjang lebar

tentang kerajaan maharaja di Jawaga (Jawa) dan serangannya

atas Kamboja (Qimar atau Khmer). Ibnu Faqih (w. 290 H/902

M?) menyebutkan tentang hasil-hasil kerajaan Sriwijaya (Zabij)

dan sifat kosmopolitan daerah itu, di mana orang-orang berbicara

dalam bahasa Arab, Persia, dan Cina. Ibnu Khurdadbih (w.

6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 6.7Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 6. Lihat juga

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 305.

Page 61: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013258

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

300 H/911 M) juga menyebutkan tentang pulau Barus (Barus,

Sumatra).8

Seorang pelayar Persia, Buzurg bin Syahriyar al-

Ramhurmuzi pada tahun 344 H/955 M menerima berbagai

laporan tentang keadaan di kerajaan Sriwijaya (Sarabiza) di

bagian selatan Lamuri (Aceh, Sumatera), ia menyebut sejumlah

nama tempat yang ada di sekitar Sumatera seperti Lamiri, Kalah

(Kedah), Mayat, Niyam, Sinfin, Barawah, Saryre dan Sinf,

meskipun beberapa di antara nama tersebut sudah tidak dikenal

dalam ilmu bumi modern (Geografi) Sumatra. Al-Biruni (w. 440

H/1048 M) memasukan Lamuri dan Kalah dalam daftar induk

untuk mencari letak sejumlah tempat yang berhubungan dengan

garis Khatulistiwa. Al-Mas’udi (w. 956 M) bahkan menyebutkan

tentang emas di Sumatera, gunung-gunung berapi, dan kapur

barus dari Fansur (Panchur-Barus).9

Berbagai literatur Islam klasik tersebut di atas nyata-

nyata tidak menyebutkan tentang masuknya penduduk asli

Nusantara ke dalam Islam, meskipun demikian pengetahuan

mereka yang luas tentang Nusantara dapat dijadikan bukti

bahwa ada hubungan-hubungan dini antara kaum Muslimin

dengan penduduk lokal. Satu karya penting Buzurg bin Syahriyar

al-Ramhurmuzi yang menyebutkan suatu peraturan disertai

denda berat, yang mewajibkan baik penduduk pribumi maupun

orang-orang Islam asing untuk bersila sebagai tanda penyerahan

di hadapan raja beragama Budha dari Zabaj (Sriwijaya). Al-

Ramhurmuzi mengatakan bahwa peraturan tersebut diprotes

dengan sopan oleh seorang pedagang Muslim dari Oman dengan

menceritakan dongeng kepada sang raja, yang menghasilkan

8Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 14-15.

9Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 14-15.

Page 62: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 259

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dicabutnya peraturan bersila tersebut bagi kaum Muslimin asing.

Kenyataan bahwa peraturan tersebut menyebut penduduk asli

beragama Islam membuktikan bahwa pada waktu itu sejumlah

penduduk pribumi sudah menganut agama Islam.10

Ketiga adalah teori bahwa Islam Nusantara dibawa

langsung dari Arab. “Teori Arab” ini dikemukakan –sebagaimana

dalam alinea pertama sub bab ini- oleh Crawfurd, meskipun ia

menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum

Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan

faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sedangkan

Keijzer memandang bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir,

pendapat ini didasarkan atas persamaan Islam di Nusantara

dengan Islam di Mesir yang sama-sama menganut madzhab

Syafi’i. “Teori Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de

Holander dengan sedikit revisi, menurut mereka Mesir bukanlah

sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadramawt. Pendapat

tentang sumber Islam Nusantara dari Arab juga dipegang

dengan kukuh oleh sebagian ahli Indonesia. Dalam seminar

yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan

Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan bahwa Islam datang

langsung dari Arabia, tidak dari India, dan Islam datang bukan

pada abad ke-12 atau ke-13 M melaikan pada abad pertama

Hijiriyah atau abad ke-7 Masehi.11

Salah satu pembela tergigih “teori Arab” ini sekaligus

penentang keras “teori India” adalah Naguib al-Attas. Menurut

dia -seperti halnya Marisson- penemuan epigrafis yang

disodorkan oleh Moquette sebagai bukti langsung bahwa Islam

dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India

10 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 15.

11 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 7.

Page 63: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013260

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

tidak bisa diterima. Menurutnya, batu-batu nisan itu dibawa

dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dengan

Arabia. Ia mengajukan apa yang ia sebut dengan “teori umum

tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama

pada literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-

dunia (world view) Melayu yang terlihat dalam perubahan

konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-

Indonesia pada abad ke-10 sampai ke-11 H/ 16-17 M. Dari

pengamatannya dia menyimpulkan bahwa sebelum abad ke-

17 M seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak

mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal

dari India. Para pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana

Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang

disebut sebagai dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik

secara etnis maupun kultural. Argumen yang dikemukakan oleh

Al-Attas tersebut sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara

berasal langsung dari Arab.12

Sebagaimana dikemukakan di depan, para sarjana Barat

kebanyakan memegang teori bahwa para penyebar Islam pertama

di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan

Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini, maka

terciptalah nucleus komunitas Muslim yang pada gilirannya

memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Sebagian dari

para pedagang Muslim juga melakukan perkawinan dengan

bangsawan lokal, sehingga memungkinkan bagi mereka atau

keturunan mereka untuk mencapai kekuasaan politik yang dapat

dimanfaatkan untuk penyebaran Islam.13 Teori “para pedagang”

tersebut nampak memiliki banyak kelemahan, yang antara lain

adalah terlalu menitik beratkan pada motif-motif ekonomi dalam

12Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 8-9.13Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 12.

Page 64: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 261

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

masuknya penduduk lokal Nusantara ke dalam agama Islam.

Berbeda dengan kebanyakan sarjana Barat, A.H. Johns

mengajukan sebuah teori bahwa para sufi pengembaralah yang

terutama melakukan penyebaran agama Islam di kawasan

Nusantara, dengan mempertimbangkan kemungkinan kecil

bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam

penyebaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil

mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara sejak abad

ke-13. Dalam “teori sufi” yang diajukan Johns ini, para sufi

berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk Nusantara

karena kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan

yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian

dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam

kepercayaan dan praktek keagamaan lokal. Untuk memperkuat

argumentasi “teori sufi” yang diajukannya, Johns menggunakan

tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah

Melayu-Indonesia untuk memeriksa sejumlah sejarah lokal.14

Dalam hasil pemeriksaan sejarah lokal tersebut, Johns

mengungkapkan bahwa banyak sumber-sumber lokal Melayu-

Indonesia yang mengaitkan pengenalan Islam kekawasan

ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi

yang kental. Selanjutnya, berkat otoritas kharismatik dan

kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini

putri-putri bangsawan –dan karena itu- memberikan kepada

anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura

keilahian atau karisma keagamaan. Kesimpulan yang diajukan

Jhons, dengan “teori sufinya”, Islam tidak dapat dan tidak

menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara di

kawasan Nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka

sampai para sufi menyiarkan Islam di kawasan ini, dan hal ini

14Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 13.

Page 65: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013262

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di

Nusantara sampai abad ke-13 M.15

“Teori sufi” yang diajukan Johns ini disokong oleh

Fatimi yang memberikan argumen tambahan -antara lain-

dengan menunjuk pada kesuksesan yang sama dari kaum sufi

dalam mengislamkan dalam jumlah besar penduduk Anak

Benua India pada periode yang sama. Berkaitan dengan sebab

aktifnya gelombang para pengembara sufi baru sejak abad ke-

13, Johns menjelaskan bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri

cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai

jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 656 H/ 1258

M. Pada masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi

yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan

kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan yang turut

membentuk masyarakat urban. “Teori sufi” yang disajikan

oleh Johns, menurut Azra, lebih masuk akal dengan tingkat

aplikabilitas lebih luas dibandingkan dengan teori yang disajikan

oleh para sarjana lainnya.16

Dengan berpijak pada “teori sufi” yang dikemukakan

oleh Johns ini, maka didapatkan “pijakan teoritis” yang kokoh

untuk menjelaskan bagaimana fenomena akulturasi Islam dan

budaya lokal di wilayah Nusantara -termasuk di Jawa- berjalan

dengan lancar.

Peran Budaya dalam Penyebaran Islam di JawaJika merujuk pada makam Fatimah binti Maimum yang

ditemukan di Leran, Gresik Jawa Timur dengan angka di batu

nisan yanga menunjuk tahun 475 H/ 1082 M, maka Islamisasi

telah dimulai di wilayah Jawa pada abad ke-11 M.17 Namun

15Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 14-16.16 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 14-15.17 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah,

Page 66: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 263

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

demikian, sebagaimana daerah lain di Nusantara, konversi

besar-besaran penduduk Jawa ke dalam Islam belumlah terjadi.

Para guru sufi di Jawa, yang dikenal dengan sebutan walisongo,

memainkan peranan yang sangat penting dalam mengislamkan

sebagian besar penduduk lokal di wilayah Jawa.

Mayoritas sarjana bersepakat bahwa di antara para

penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim

(w. 1419 M). Ia dikabarkan mengislamkan kebanyakan wilayah

pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali membujuk raja

Majapahit, Vikramavardhana (berkuasa 788-833 H/ 1386-1429

M), agar masuk Islam. Baru setelah kedatangan Raden Rahmat

(sunan Ampel), putra dai Arab di Campa, Islam memperoleh

momentum di istana Majapahit. Raden Rahmat dikabarkan

memiliki peran penting dalam mengislamkan pulau Jawa,

oleh sebab itu ia dipandang sebagai pemimpin Walisongo. Dia

mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam di daerah Ampel.18

Dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa, walisongo

menggunakan pendekatan tasawuf (mistik Islam).19 Dengan

cara perlahan dan bertahap, dengan tanpa menolak dengan keras

terhadap budaya masyarakat Jawa, Islam memperkenalkan

toleransi dan persamaan derajat. Dalam masyarakat Hindu-

Jawa yang menekankan perbedaan derajat, ajaran Islam tentang

persamaan derajat menarik bagi masyarakat Jawa. Ditambah lagi

kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan,

panggilan Islam kemudian menjadi dorongan untuk mengambil

alih kekuasaan politik dari tangan penguasa Hindu-Jawa

(Majapahit).20

2009), hlm. 314. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 4.

18Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 11. 19Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 316.20Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 22.

Page 67: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013264

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para walisongo. Misalnya, perkawinan putri Campa yang beragama Islam dengan putra mahkota raja Majapahit melahirkan putra yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Islam Demak, yaitu Raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M). Maulana Ishak mengawini putri Blambangan dan melahirkan Sunan Giri (Gresik).21 Perkawinan menjadi salah satu modus dakwah para walisongo untuk memperkokoh legitimasi sosial dan politik Islam di lingkungan penguasa Majapahit, serta memberikan gensi darah para bangsawan Jawa dan aura keilahian kepada keturunan mereka.

“Pembentukan budaya” menjadi pola penguatan Islam agar mengakar di kalangan penduduk lokal Nusantara, termasuk juga di Jawa. Islam yang telah memapankan diri di pusat kerajaan Majapahit di Jawa, para pedagang Muslim telah mendapat tempat di pusat-pusat politik semenjak abad ke-11 M. Namun, komunitas Muslim baru mulai membesar pada abad ke-14 M. Ketika posisi raja melemah, para saudagar kaya di wilayah pesisir Jawa mulai mendapatkan peluang untuk menjauhkan diri dari kekuasaan Majapahit. Mereka tidak hanya masuk Islam tetapi juga mulai membangun pusat-pusat politik yang independen (keraton-keraton kecil). Setelah keraton pusat Majapahit goyah dan semakin melemah, keraton-keraton kecil ini mulai bersaing untuk menggantikan kedudukan Majapahit. Demak akhirya berhasil menggantikan kedudukan Majapahit sebagai penguasa politik di Jawa. Dengan posisi baru ini, Demak tidak hanya menjadi pemegang hegemoni politik di Jawa, tetapi juga menjadi “jembatan penyebrangan Islam” yang paling penting di Jawa.22

Walaupun mencapai kebehasilan politik dengan cepat,

21Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 23.22Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,

2010), hlm. 227.

Page 68: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 265

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Demak tidak hanya dihadapkan pada persoalan legitimasi politik, tetapi panggilan kultural untuk kontinuitas. Di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Sehingga, yang muncul adalah dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.23 Wajar saja jika Reid berpendapat bahwa revolusi agama di Jawa belum selesai. Salah satu faktornya adalah bahwa Jawa mempunyai kebudayaan istana keindia-indaan (Hindu) yang paling mapan dibanding dengan negara-negara lain Nusantara yang menerima Islam.24 Di sinilah, para walisongo memainkan peran penting dalam melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Islam yang bercorak sufi yang dibawa oleh para walisongo, menjadi Islam yang mampu “tampil dengan wajah yang ramah”. Islam sufi mampu mentoleransi dengan baik dan menjaga kontinuitas budaya yang telah ada dan mengakar di masyarakat Jawa.

Pada tahun 1476 M, di Bintoro (Demak) dikeluarkan kebijakan penyebaran Islam dengan dibentuknya Bayangkare Islah (angkatan pelopor perbaikan), dengan rencana kerja yang antara lain adalah pendidikan dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Jawa, asal tidak menyalahi (secara substantif) ajaran-ajaran Islam.25 Di tangan para walisongo inilah akulturasi antara Islam dan budaya Jawa berjalan dengan baik dan harmonis, dan nilai-nilai Islam mampu secara bertahap tertanam tertanam dengan baik di dalam masyarakat Jawa.

“Struktur walisongo” yang bertugas menyebarkan agama

Islam kesuluruh wilayah Jawa adalah terdiri dari wali, kiai ageng,

23Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 227. 24Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana

dan Kekuasaan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 66.25Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010), hlm. 114.

Page 69: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013266

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dan pelaksanaan putusan. Wali merupakan pimpinan yang diberi

tugas oleh Bintoro (Demak) untuk mengepalai penyebaran Islam

di suatu wilayah tertentu di Jawa dan Madura. Wali suatu daerah

diberi gelar suan ditambah dengan nama daerah yang menjadi

wilayah dakwahnya. Misalnya, sunan Kudus, sunan Gunung

Jati, sunan Giri. Sedangkan badal, yang bertugas membantu

wali, diberi gelar kiai ageng. Misalnya, Kiai Ageng Tarub, Kiai

Ageng Selo. Sedangkan pelaksanaan putusan ditugaskan pada

Raden Said (Sunan Kalijaga), dan Raden Paku (Sunan Giri). 26

Dakwah para wali dengan memasukkan unsur-unsur

pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang

kebudayaan hasilnya sangat memuaskan, sehingga agama Islam

tersebar keseluruh pelosok wilayah Jawa.27 Pada era Mataram

Islam, Sultan Agung juga mengeluarkan kebijakan dakwah Islam

dengan basis kebudayaan, yaitu dengan mengakulturasikan

berbagai kebudayaan lama Jawa (era Hindu-Budha) dengan

ajaran-ajaran Islam.28 Bentuk dakwah yang dilakukan oleh

para wali (pada era Demak), dan era Mataram Islam dengan

pendekatan budaya pada akhirnya mampu menanamkan nilai-

nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa tanpa mereka harus

tercerabut dari basis kebudayaannya.

Akulturasi Islam dan Budaya JawaBentuk makam dari periode awal masuknya Islam

menjadi model bagi model makam pada era berikutnya. Hal

ini disebabkan karena pada tradisi Hindu tidak ada tradisi

memakamkan jenazah. Dalam tradisi Hindu jenazah dibakar

dan abunya dibuang kelaut, jika jenazah orang kaya maka akan

disimpan diguci atau bila jenazah raja maka akan disimpan

26 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 114-115.27Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 114-115.28Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 115.

Page 70: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 267

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dicandi. Akulturasi budaya dapat dilihat pada bentuk nisan.

Pengaruh budaya Jawa dapat dilihat dari bentuk nisan yang

tidak lagi hanya berbentuk lunas (bentuk kapal terbalik) yang

merupakan pengaruh Persia, tetapi sudah memiliki beragam

bentuk teratai, bentuk keris, dan bentuk gunungan pewayangan.29

Bentuk-bentuk nisan tersebut merupakan pengaruh dari budaya

Jawa.

Masjid Agung Demak –yang disebut sebagai masjid

tertua di Jawa, dan masjid-masjid keraton di Kota Gede

(Mataram) memiliki bentuk atap bersusun seperti kuil-kuil

Hindu Asia Selatan. Pola arsitektur ini tidak dikenal di kawasan

dunia Muslim lainnya.30 Jika merujuk pada gaya arsitektur yang

berkembang di dunia Islam, maka ada beberapa corak yang akan

kita temukan, yaitu: corak Ottoman style (Byzantium), India style, dan Syiro-Egypto style. Arsitektur bangunan masjid banyak

dipengaruhi oleh seni bangunan era kerajaan Hindu-Budha.

Pengaruh tersebut dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut:31

Ba. entuk atap masjid. Bentuk atap masjid tidak berbentuk

kubah seperti Ottoman style, India style atau Syiro-Egyptian style, namun berbentuk atap bersusun yang semakin ke atas

semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota.

Bilangan atapnya selalu ganjil, kebanyakan berjumlah tiga

atau lima.

Tidak adanya menara. Tidak adaanya menara pada arsitektur b. masjid di Jawa berkaiatan dengan digunakannya pemukulan

bedug sebagai tanda masuk waktu sholat. Dari masjid-

masjid tua di Jawa, hanya masjid di Kudus dan Banten yang

ada menaranya, dan menara kedua masjid tersebut memiliki

29 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 94-95.30 Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus

Kebatinan (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2012), hlm. 87.31 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 95-96.

Page 71: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013268

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

bentuk yang berbeda. Menara masjid Kudus berbentuk candi

Jawa Timur (Majapahit) yang telah diubah, disesuaikan

penggunaannya dan diberi atap tumpang. Menara masjid

Banten adalah bangunan tambahan pada zaman kemudian,

menara tersebut dibangun oleh Cordell, seoranng pelarian

Belanda yang masuk Islam. Bentuk menara masjid Banten

adalah seperti mercusuar.

Letak masjid. Masjid selalu terletak di dekat istana raja (atau c. adipati/bupati). Di belakang masjid sering terdapat makam-

makam. Sedangkan di depan istana selalu ada lapangan besar

(alun-alun) dengan pohon beringin kembar. Letak masjid

selalu ada di tepi barat istana. Rangkaian makam dan masjid

ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari fungsi candi pada

zaman kerajaan Hindu-Nusantara.

Berbagai “variasi” arsitektur masjid dengan pengaruh

budaya Jawa yang kental, merupakan wujud akulturasi Islam

dan budaya Jawa. Dalam bidang kesusasteraan, kesusasteraan

Nusantara dapat dibagi dalam kesusasteraan zaman madya

(Islam) dan kesusasteraan purba (Hindu-Budha). Kesusasteraan

zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi

perkembangnya tidak sebesar kesusasteraan zaman purba

(Hindu-Budha). Hal ini dikarenakan tidak ada tempat khusus

untuk melestarikannya seperti kesusasteraan purba yang masih

tersimpan rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada

saat ini sebagaian besar merupakan hasil gubahan baru. Hal

ini menyebabkan kesusasteraan zaman madya sulit diturutkan

kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-bagi

menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian

tersebut tidak dapat dilakukan secara tegas karena suatu naskah

Page 72: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 269

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dapat masuk dalam 2 golongan.32

Kesusasteraan zaman madya (era Islam) tidak terlepas

dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan dari kesusasteraan

zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di

Jawa. Banyak gubahan-gubahan sastra purba berkembang di

zaman madya. Gubahan-gubahan sastra ini biasanya ditulis

dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yangditulis

dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang

ditulis dalam tembang disebut syair. Di daerah Melayu karya

sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab,

sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga

yang menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan

soal-soal keagamaan.33

Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat

dibagi menjadi empat kelompok, yaitu hikayat, babad, suluk,

dan kitab primbon. Pertama, hikayat merupakan cerita atau

dongeng yang biasanya penuh dengan keajaiban dan keanehan.

Tidak jarang pula, hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah

dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi.34 Karya sastra

dalam bentuk hikayat ini banyak mendapatkan pengaruh dari

Persia. Hikayat tersebut antara lain adalah: Kalilah Wa Dimnah, Bayan Budiman, dan Abu Nawas. Cerita-cerita (hikayat) tersebut

disadur ke dalam bahasa Indonesia (bahasa melayu), namun

kebanyakan tidak diketahui penyalinnya. Karya sastra yang

tertulis dalam bentuk tembang atau gancaran antara lain adalah:

Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat

32http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

33http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

34http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

Page 73: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013270

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Seri Rama, Hikayat Maharaja Rahwana, Syair Ken Tambunan, Lelakon Mesa Kumetir, Syair Panji Sumirang, Carita Wayang Kinudang, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Waneng Pati,dan Hikayat Panji Wila Kusuma.35 Karya sastra dalam

bentuk tembang atau gancaran tersebut merupakan gubahan

baru dari cerita Mahabarata, dan Ramayana yang merupakan

karya sastra peninggalan masa kerajaan Hindu-Nusantara.

Kedua, babad merupakan dongeng yang sengaja

diubah sebagai cerita sejarah. Di dalam babad tokoh, tempat,

dan peristiwa hampir semuanya ada dalam sejarah, tetapi

penggambarannya dilakukan secara berlebihan (hiperbolis).36

Karya sastra dalam bentuk babad ini sesungguhnya adalah cerita

yang digubah sebagai cerita sejarah. Dalam tradisi sastra melayu,

karya sastra dalam bentuk babad disebut dengan salasilah dan

tanbo atau hikayat, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Salasilah Perak, dll. Karya sastra yang berbentuk babad antar lain

adalah Babad Tanah Jawa, Babad Giyanti, Sejarah Hasanudin, dan Sejarah Banten Rante-Rante,37 babad Cirebon, dan Babad Pakepung.38

Ketiga adalah suluk. Suluk merupakan kitab-kitab yang

menguraikan soal tasawuf (mistik Islam). Suluk tergolong

dalam karya sastera “nyentrik”. Beberapa pujangga yang

menulis suluk di antaranya adalah Ronggowarsito, Hamzah

Fansuri, Sunan Bonang, dan Syaekh Yusuf.39 Karakteristik khas

dari suluk adalah karena ia memuat ajaran tasawuf yang bersifat

35 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 98-99.36http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-

masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.37Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99, dan 100.38http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-

masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.39http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-

masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

Page 74: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 271

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

panteisme (manunggaling kawulo gusti),40 yang dianggap aliran

tasawuf yang non-mainstrem dan dianggap menyimpang. Di

antara karya sastra dalam bentuk suluk adalah Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, dan Suluk Wijil. Di antara karya sastra

dalam bentuk suluk (disebut juga dengan kitab suluk), banyak

yang tidak mempunyai judul dan juga tidak diketahui nama

pengarangnya. 41

Keempat adalah kitab primbon. Kitab primbon memiliki

kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang

kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan

buruk, dan pemberian makna pada suatu kejadian. Contoh kitab

primbon adalah kitab primbon Bataljemur Adam makna, dan

kitab primbon Lukman Hakim.42 Ada juga kesusteraan yang

disebut kitab, disebut kita karena isinya memuat tentang ajaran-

ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan syariat dan adat.

Karya sastra yang berbentuk kitab misalnya kitab manik maya, kitab anbiya, kitab taj al-salatin (mahkota segala raja), dan kitab

bustan al-salatin.43

Adanya doktrin Islam yang melarang untuk

menggambarkan makhluk hidup dan memperlihatkan

kemewahan, maka pada zaman awal Islam di Nusantara ada

berbagai cabang kesenian yang kehilangan daya hidupnya,

40Wahdat al-wujud adalah ajaran dari Sufi besar Ibnu ‘Arabi, yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati yaitu Allah (al-Haqq), hlm. sedangkan alam tidak dari sekedar manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut. Sebagian kalangan menyebut aliran ini dengan panteisme. Lihat Mulyadi Kertanegara, Grebang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 61, dan 68. Oleh banyak kalangan (terutama sebagian Fuqaha) ajaran ini dianggap menyimpang.

41Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99 - 100.42http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-

masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.43 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99 - 100.

Page 75: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013272

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dibatasi, atau disamarkan. Misalnya, seni arca, seni tuang

logam mulia, dan seni lukis, sehingga jenis seni tersebut kurang

berkembang. Namun demikian, ada juga seni yang berasal

dari zaman Hindu-Budha yang terus berlangsung walaupun

mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai Islam, misalnya seni

wayang. Seni wayang dilakukan dengan dibuatkan cerita-cerita

yang mengambil tema-tema Islam seperti Pandawa Lima, dan Kalimasada, dengan gambar manusianya disamarkan, tidak

seperti manusia utuh supaya tidak menyalahi peraturan Islam.

Cerita Amir Hamzah –bahkan- dipertunjukan melalui wayang

golek dengan tokoh-tokohnya diambilkan dari pahlawan-

pahlawan Islam. Wayang menjadi sarana yang efektif untuk

menyebarkan nilai-nilai Islam pada saat itu. Di samping itu,

muncul juga wayang yang dimainkan oleh orang-orang, sehingga

drama dan seni tari masih tetap berkembang dengan disesuaikan

dengan nilai-nilai Islam.44

Sunan Kalijaga merupakan tokoh walisongo yang mahir

memainkan kesenian wayang, kemahirannya dalam kesenian

wayang dimanfaatkan betul untuk melakukan kegiatan dakwah

Islam. Dalam setiap pementasannya, Sunan Kalijaga tidak

meminta upah, namun dia meminta para penonton untuk

mengikutinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Tema-

tema wayang yang telah dimasuki dengan nilai-nilai Islam

dipentaskan sebagai sarana mengajarkan nilai-nilai Islam kepada

para penonton, yang notabene telah masuk Islam karena telah

mengucapkan dua kalimat syahadat.45 Dengan menggunakan

basisi kesenian, dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga

ini merupakan metode dakwah yang sangat arif-kreatif khas

para guru sufi. Mendidik dengan hati, dan mendidik tanpa

44Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 100-101.45Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 203.

Page 76: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 273

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

“menggurui”.

Pada era Mataram Islam, Sultan Agung mengeluarkan kebijakan agar kebudayaan lama Jawa (era Hindu-Budha) diakulturasikan dengan ajaran-ajaran Islam. Kebijakan Sultan Agung ini menghasilkan akulturasi budaya, sebagai berikut:46

Grebega. disesuaikan dengan hari besar Islam, yaitu hari raya

idul fitri dan Maulid Nabi, yang disebut Grebeg Poso dan

Grebeg Mulud.

Gamelan Sekatenb. dibunyikan pada Grebeg Mulud, dipukul di

halaman masjid Agung.

Tahun Caka (baca: Saka) -peninggalan era Hindu-

Budha- yang berdasarkan perjalanan matahari, tahun Caka pada

tahun 1633 M telah menunjukkan tahun 15550 Saka tidak lagi

ditambah dengan hitungan matahari, tetapi dengan hitungan

yang didasarkan pada perjalanan bulan, sesuai dengan model

tahun Hijriyah. Tahun yang baru disusun itu disebut tahun Jawa

dan sampai sekarang tetap dipakai.

Akulturasi Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Budaya JawaPendidikan di dalam agama Islam menempati posisi yang

sangat penting, pentingnya posisi pendidikan di dalam Islam dapat dilihat di dalam sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.47 Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik

46 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 115.47 HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama (Jakarta :

Bulan Bintang, 1976), hlm. 12.

Page 77: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013274

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

menuju terbentuknya kepribadian yang utama.48 Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda

Poerbakawatja ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi

tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,

kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda.

Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi

hidupnya baik jasmani maupun rohani.49

Merujuk pada pendapat Ahmad D. Marimba, pendidikan

Islam adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan

hukum-hukum agama. Islam menuju terbentuknya kepribadian

utama menurut ukuran-ukuran Islam.50 Sedangkan menurut

Chabib Thoha, pendidikan Islam adalah pendidikan yang

falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk

melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar

Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits.51 Achmadi

mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk

memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber

daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya

manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau

dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim.52

Dari beberapa definisi pendidikan Islam di atas, dapat

ditarik benang merah bahwa pengertian pandidikan Islam

adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat

kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah

48Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif, 1989), hlm. 19.

49Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta : Gunung Agung, 1981), hlm. 257.

50Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, 21.51HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99.52Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:

Aditya media, 1992), hlm. 14.

Page 78: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 275

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

manusia berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-

Qur’an dan Hadits menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil) yang berkepribadian Islami dan berakhlak terpuji serta

taat pada aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT

dalam kerangka menghambakan diri kepada-Nya, sehingga

dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Semangat Islam di dalam menempatkan pendidikan

dalam posisi yang sangat penting dapat dilihat di dalam al-

Qur’an, antara lain yang terdapat dalam surat al-‘Alaq, yang

memerintahkan untuk membaca (iqra’). “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq: 1-5).

Membaca yang dimaksud adalah membaca dalam dalam

arti luas, yaitu membaca ayat qauliyah maupun ayat-ayat

kauniyah. Membaca merupakan salah satu unsur penting dalam

proses pendidikan, karena membaca merupakan “jalan” bagi

manusia untuk mendapatkan ilmu. Perintah membaca tersebut

tentu saja mengandung maksud bahwa Islam menginginkan

agar umatnya senantiasa memperkaya diri dengan ilmu, karena

dengan ilmulah maka manusia akan dapat beribadah kepada

Allah dengan sebenar-benarnya. Pentingnya pendidikan di

dalam al-Qur’an juga dapat dilihat dari penekanan al-Qur’an

terhadap umat Islam agar mendalami keilmuan yang terdapat

di dalam QS. al-Taubah: 122, serta tingginya derajat orang-

orang yang diberi ilmu di sisi Allah SWT yang terdapat di dalam

QS. al-Mujadalah: 11. “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam

Page 79: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013276

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

pengetahuan (agama) mereka, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga diri” (QS. al-Taubah: 122), dan “Niscaya Allah akan meninggikan (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS.

al-Mujadalah: 11).

Di samping di dalam al-Qur’an, pentingnya posisi

pendidikan dapat dilihat dari banyaknya Hadis-hadis Nabi

SAW yang menekankan pentingnya mencari ilmu, makna

penting mencari ilmu, dan keutamaan orang yang berilmu

(ahli ilmu) dibandingkan dengan ahli ibadah, bahkan ajaran

Islam menempatkan posisi “mencari ilmu” sebagai sesuatu

yang diwajibkan bagi semua orang Islam. Hal-hal tersebut di

atas antara lain dapat dilihat di dalam hadis-hadis berikut ini:

“Barangsiapa yang Allah menghandaki kebaikan baginya maka dia akan memahamkannya tentang agama” (Bukhari

dan Muslim). Selanjutnya disabdakan pula dalam hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim “Barangsiapa yang menempuh jalan yang memohon ilmu di dalamnya, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju sorga”. Dalam hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dijelaskan “Keutamaan ahli ilmu dengan ahli ibadah adalah seperti keutamaanku (Nabi SAW) atas orang yang paling rendah derajatnya di antaramu, kemudian Rasulullah SAW berkata: sesungguhnya Allah dan para malaikat, penduduk langit dan bumi, hingga semut yang ada di sarangnya dan ikan di lautan niscaya akan mendoakan kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”.

Dari berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut di

atas menunjukan bahwa Islam benar-benar merupakan agama

yang menempatkan pendidikan sebagai bagian yang sangat

penting dalam ajaran keagamaannya. Sebagaimana diungkapkan

Page 80: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 277

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

di dalam QS. al-Dzariyat: 57, bahwa Allah tidak menciptakan

jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya, maka

menghambakan diri (beribadah) kepada Allah SWT untuk

mencari keridloan-Nya merupakan tujuan umum dari misi

diutusnya Rasulullah kepada umat manusia dengan membawa

agama Islam. Oleh sebab itu, sebagai bagian yang sangat penting

dalam ajaran Islam maka tujuan umum pendidikan Islam pun

adalah dalam rangka menghambakan diri kepada Allah SWT.

Tujuan umum dari pendidikan Islam tersebut di atas,

dapat dijabarkan dalam tiga aspek sebagai berikut, yaitu53:

Menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah SWT. 1. Pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan dan

memelihara hubungan manusia dengan Allah SWT. Semakin

dekat dan semakin terpelihara hubungan tersebut, maka

keimanan seseorang akan semakin tumbuh dan berkembang

pula keimanannya. Semakin tumbuh dan berkembang

keimanan seseorang, maka akan semakin terbuka juga

kesadaran akan penerimaan / ketaatan dan ketundukannya

kepada segala perintah dan larangan-Nya. Rangkaian dari

hal tersebut akan membawa dampak berupa tercapainya

kebahagiaan manusia, baik dalam kehidupan dunia maupun

kehidupan akhirat kelak.

Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya. 2. Memelihara, memperbaiki, dan meningkatkan hubungan

antara manusia dan lingkungan sosialnya merupakan upaya

yang harus terus dilakukan. Di sinilah fungsi penting

pendidikan Islam yang bertujuan agar hubungan manusia

senantiasa berjalan dengan baik. Terjaganya hubungan antar

manusia yang menjadi tujuan pendidikan tersebut tidak

53Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. hlm.84.

Page 81: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013278

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

hanya terbatas pada sesama Muslim, namun juga dengan

non-Muslim.

Mewujudkan keseimbangan antara kedua hubungan. 3. Mewujudkan keseimbangan antara hubungan manusia

dengan Allah SWT, serta hubungan manusia dengan manusia

merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam Islam. Hal ini

dikarenakan agama Islam adalah agama yang menekankan

pentingnya kedua hubungan tersebut dijaga dengan baik agar

terwujud keseimbangan, di sinilah letak penting pendidikan

Islam yang mengemban tujuan agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, pembawa rahmat untuk seluruh alam. Upaya

mengenal, memperbaiki diri, serta mengaktualisasikan

kedua aspek – hubungan manusia dengan Allah SWT, dan

hubungan manusia dengan manusia- secara seimbang dalam

bentuk tindakan sehari-hari memberi petunjuk atas sejauh

manakah tingkatan yang telah dicapai oleh manusia di dalam

menghambakan dirinya kepada Allah SWT.

Di dalam pendidikan Islam, nilai adalah sesuatu yang

sangat penting dalam rangka mencapai tujuan umum pendidikan

Islam, yaitu penghambaan diri kepada Allah SWT. Menurut

Zakiah Derajat, nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau

perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan

corak yang khusus kepada pola pemikiran dan perasaan,

keterikatan maupun perilaku.54 Adapun nilai-nilai Islam apabila

ditinjau dari sumbernya, maka dapat digolongkan menjadi dua

macam, yaitu:55

Nilai Ilahi.a.

54 Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. hlm.260.

55Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung : Bumi Aksara, 1991), hlm. hlm.111.

Page 82: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 279

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Nilai Ilahi adalah nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan

hadits. Nilai ilahi dalam aspek teologi (kaidah keimanan)

tidak akan pernah mengalami perubahan, dan tidak

berkecenderungan untuk berubah atau mengikuti selera hawa

nafsu manusia. Sedangkan aspek alamiahnya dapat mengalami

perubahan sesuai dengan zaman dan lingkungannnya.

Nilai Insanib. Nilai insani adalah nilai yang tumbuh dan berkembang atas

kesepakatan manusia. Nilai insani ini akan terus berkembang

ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Nilai ini bersumber

dari ra’yu, adat istiadat (‘urf), dan kenyataan alam.

‘Urf adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa yang

diperoleh melalui kesaksian dan akan diterima oleh tabiat. ‘Urf adalah suatu perbuatan dan perkataan yang menjadikan jiwa

merasa tenang mengerjakan suatu perbuatan, karena sejalan

dengan akal sehat yang diterima oleh tabiat yang sejahtera,

namun tidak semua tradisi yang dapat dijadikan dasar ideal

pendidikan Islam, melainkan setelah melalui seleksi terlebih

dahulu. Selanjutnya, ‘urf yang dapat dijadikan dasar pendidikan

Islam tentulah harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

Pertama, tidak bertentangan dengan ketentuan nash baik itu

Al-Qur’an maupun Hadits. Kedua, tradisi yang berlaku tidak

bertentangan dengan akal sehat dan tabiah sejahtera, serta tidak

mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudharatan.56

Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai-nilai

ideal Islam dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu:57

Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan a.

56 Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh Al-Islami (Bairut:Dar al-Fikr, 1969), hlm. 183.

57M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hlm. 120.

Page 83: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013280

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

kesejahteraan hidup manusia didunia.

Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia b. untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan.

Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan c. antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.

Sebagai bagian penting dari agama Islam, akulturasi

yang terjadi antara Islam dan budaya Jawa pada akhirnya juga

berakibat pada akulturasi antara nilai-nilai pendidikan Islam

dengan budaya Jawa. akulturasi ini dapat kita lihat dalam setiap

fase kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, baik era Demak, Pajang,

maupun Mataram Islam.

Pendidikan memainkan peran penting dalam penyebaran

Islam di Jawa. Pesantren atau pondok menjadi lembaga pendidikan

yang memainkan peran penting, pesantren diselenggarakan oleh

para ulama. Di pesantren para calon guru agama, kiai, atau

ulama mendapatkan pendidikan agama Islam. Setelah lulus dari

pesantren, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing

atau ke daerah lain untuk menyebarkan agama Islam. Pesantren-

pesantren pada awal penyebaran Islam di Jawa misalnya adalah

pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel)

di Ampel Denta-Surabaya, dan Pesantren yang didirikan oleh

Sunan Giri di Giri.58

Di era Demak, akulturasi nilai-nilai pendidikan Islam

menjadi ruh dikeluarkannya kebijakan tentang “Bayangkare Islah”, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dalam

konteks pendidikan, kebijakan Bayangkare Islah ini memuat

beberapa hal sebagai berikut:59

Tanah Jawa dan Madura dibagi atas beberapa bagian untuk a.

58Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 203.59Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 114.

Page 84: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 281

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap

bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu

(badal). Wali diberi gelar sunan ditambah dengan nama

daerah yang dikepalai olehnya, misalnya Sunan Kudus,

Sunan Muria, Sunan Giri, dan lain sebagainya.

Pendidikan Islam agar mudah dipahami dan diterima b. oleh masyarakat Jawa, maka pendidikan harus diberikan

melalui jalan kebudayaan yang hidup di masyarakat asal

tidak bertentangan dengan syari’ah.

Para wali/c. badal selain harus pandai ilmu agama juga harus

memelihara budi pekerti supaya menjadi suri tauladan

bagi masyarakat.

Di Bintoro (di Demak) didirikan masjid Agung untuk d. menjadi sumber ilmu, dan pusat kegiatan pendidikan

Islam.

Sedangkan pada era Mataram Islam, pelaksanaan

pendidikan di bagi dalam beberapa tingkatan disesuaikan dengan

birokrasi pemerintahan, sebagai berikut: pelaksanaan pendidikan

di tingkat kabupaten dibagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaan

pendidikan di masing-masing bagian dipertanggungjawabkan

kepada beberapa ketib, dibantu oleh beberapa modin. Naib

bertugas sebagai kepala, sedangkan pegawainya, serta modin desa adalah penyelenggara pendidikan di tingkat desa. Pada

beberapa daerah kabupaten diadakan pesantren besar lengkap

dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di

tingkat desa. Guru yang mengelola pesantren disebut kia sepuh atau kiai kanjeng, yang merupakan bagian dari “ulama keraton”.60

Model pesantren yang dipraktekan pada era Demak dan Mataram

tersebut, merupakan hasil akulturasi dari sistem pendidikan

60 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 117.

Page 85: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013282

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Islam dengan sisem pendidikan era kerajaan-kerajaan Hindhu di

Jawa (Majapahit).

Di samping akulturasi sistem pendidikan Islam dengan

sistem pendidikan era kerajaan Hindu Jawa (Majapahit) yang

menghasilkan sistem pendidikan model pesantren, akulturasi

juga terjadi dalam macapat dan nilai-nilai pendidikan Islam.

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap

bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan

setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan)

tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut

guru lagu. Macapat digunakan sebagai sarana pendidikan untuk

menanamkan nilai-nilai luhur pada era kerajaan Hindu Jawa.61

Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit

dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa

dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur

dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.

Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru,

pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah

tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak

dianggap sebagai hasil karya sastra, namun hanya semacam

“daftar isi” saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis

dalam tembang macapat misalnya adalah Serat Wedhatama,

Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.62

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi

menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan

dan tembang gedhe. Macapat digolongkan kepada kategori

tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno,

namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak

61 http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013. 62 http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.

Page 86: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 283

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.

Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung,

puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan. 63

63 http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.

Page 87: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013284

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2012.

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

Page 88: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 285

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

Mulyadi Kertanegara, Grebang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. Jakarta : Bulan Bintang, 1976.

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Al Ma’arif, 1989.

Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta : Gunung Agung, 1981.

HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya media, 1992.

Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1984.

Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung : Bumi Aksara, 1991.

Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh Al-Islami. Bairut: Dar al-Fikr, 1969.

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1993.

http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.

Page 89: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013286

Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.

Page 90: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 287

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND KRISHNA

Andi HartoyoSekolah Harapan Utama Batam

Email: [email protected]

ABSTRAK

Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus dan di dalam dialog tersebut seseorang akan memberi dan menerima. Dialog akan terwujud hanya ketika seseorang bisa duduk sejajar dalam dataran kediriannya. Dunia ini milik bersama, hidup ini dijalani bersama dan semua persoalan manusia adalah juga persoalan semua orang, termasuk persoalan keber-Tuhan-an dan masalah agama serta keberagamaan adalah juga persoalan sebagai sesama manusia. Kedirian akan lestari serta akan menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau tali pengikatnya adalah ikatan cinta, simpati dan didasari rasa saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing bisa dipercaya. Anand Krishna mengungkap bahwa agama tidak hanya milik satu orang atau kelompok, apapun jenis dan nama agamanya, sumbernya hanya satu yaitu Tuhan.

Kata Kunci: Cinta kasih, Pengorbanan diri, Agama, Institusi

Page 91: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013288

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Peran Agama Bagi Umat BeragamaAgama dapat dikatakan sebagai kekuatan paling dahsyat

dan berpengaruh di muka bumi ini. Sepanjang sejarah, gagasan

dan komitmen keagamaan telah mengilhami individu dan kaum

beriman untuk menanggalkan semua kepentingan pribadi

yang sempit demi tercapainya nilai dan kebenaran yang lebih

tinggi. Sejarah menunjukan bahwa cinta kasih, pengorbanan

diri dan pengabdian kepada orang lain seringkali berakar begitu

mendalam pada pandangan dunia keagamaan. Pada saat yang

sama, sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa agama sering

kali dikaitkan secara langsung dengan contoh terburuk perilaku

manusia. Kedengarannya usang tetapi, sayangnya benar, jika

dikatakan bahwa dalam sejarah manusia, perang, membunuh

orang dan kini semakin banyak lagi kejahatan yang lebih sering

dilakukan atas nama agama dibandingkan atas nama kekuatan

institusional lain. Sebagai mana yang dikatakan oleh Anand

Krishna :

Bangsa ku berada diambang disintegrasi. Perang saudara di Ambon telah mencabik-cabik jiwa dan hati ibu pertiwi. Sementara itu beberapa pejabat kita masih saja menggunakan bahasa yang sangat provokatif, bahasa yang sama sekali tidak menyejukkan, malah bisa memicu amarah dan emosi. Di balik pernyataan-pernyataan mereka, aku mencium bau tidak sedap, kepentingan diri dan kepentingan kelompok atau partai yang mereka wakili. Ayat-ayat suci al-Qur’an dipakai seenaknya dan disalah tafsirkan demi kepentingan sesaat. Begitu pula dengan para Rohaniwan yang sering muncul di layar TV berjualan agama. cara-cara yang mereka pakai, demi apa yang mereka sebut ‘menyelamatkan jiwa manusia’ terasa memuakkan sekali. Mereka tidak sadar bahwa cara-cara tersebut hanya memicuh pihak-pihak lain yang tidak sadar pula untuk berlombah dalam ketidaksadaran. Al-Kitab dan Yesus dijadikan komoditas, dijadikan barang dagangan untuk diperjual belikan.1

1Anand Krishna, Shambala – Fajar Pencerahan Di Lembah Kesadaran

Page 92: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 289

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Agama hanya merupakan sebuah jalan dan selama

masih ada yang melakukan perjalanan maka, pasti ada jalan-

jalan yang diciptakan.2 Dan setiap jalan agama bertujuan

satu – memanusiakan manusia. “Tujuan agama bukanlah

menciptakan manusia Hindu atau manusia Islam atau manusia

Kristen atau manusia Budha atau manusia Sikh tetapi tujuan

agama adalah menciptakan manusia”.3 Kendatipun beragama

sama, pemahaman masing-masing pemeluk agama tetap beda,

kemudian pengalamannya pun akan berbeda pula. Tetapi, akan

menjadi petaka apabila agama itu di lembagakan, karena setiap

lembaga pasti ada pemimpinnya dan setiap pemimpin belum

tentu memahami esensi agama, jika mereka belum memahami

esensi agama, mereka akan menyalah tafsiran ayat-ayat suci

demi kepentingan pribadi.4

Kamu harus membedakan antara Religion atau Agama dan Religion Institutions atau lembaga keagamaan. Agama merupakan pengalaman pribadi, setiap orang harus menjalaninya sendiri. Seperti jika haus, kamu harus minum air sendiri, tidak ada yang bisa mewakili dirimu. Lalu, kamu juga harus bisa memilih apakah harus meminum air biasa atau hangat atau dingin… pun demikian juga dengan agama. Sementara itu lembaga keagamaan berupaya untuk menyuguhkan sesuatu yang seragam, kalau air dingin, ya dingin saja, kalau hangat ya hangat saja. … dan yang namanya lembaga memang harus demikkian, karena setiap lembaga harus memiliki dasar, asas. Dan kalau kita berbicara tentang dasar, tentang asas kita berbicara tentang pembakuan beberapa konsep. Lalu pembakuan tentang konsep-konsep itulah yang menciptakan keseragaman. Lembaga-lembaga keagamaan itu sesungguhnya hanya dibutuhkan untuk suatu masa pertumbuhan, dan selama

(Jakarta, Gramedia, 2000), hlm. viii – viii 2Ibid, hlm. 633Ibid4 Ibid, hlm. 135

Page 93: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013290

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

itu pula keseragaman pun dibutuhkan. Celakanya, para penyelenggara lembaga-lembaga keagamaan sudah terlanjur menjadi ‘haus kuasa’. Mereka tahu persis, selama umat mereka belum bertumbuh, mereka masih bisa dikuasai. Jadi, dibiarkan tetap bodoh saja. … seharusnya lembaga-lembaga keagamaan itu harus melakukan re – positioning, dari lembaga yang menguasai mereka harus menjadi lembaga yang melayani. Selama ini mereka memang mengaku sudah melayani, tetapi sesungguhnya belum. Kadang-kadang pemimpinnya menyebut diri mereka sebagai hamba dari para hamba.5

Kepemimpinan keagamaan tidaklah buruk secara inhern.

Sebaliknya ini merupakan ciri yang penting dan utama bagi

setiap tradisi agama. Namun pada tingkat tertentu, setiap

kelompok dalam tradisi agama harus bertanya tentang hubungan

mereka yang sebenarnya dengan masyarakat luas. Setiap

agama selalu menyatakan adanya sesuatu yang salah dalam

kehidupan manusia. Ajaran tentang hakikat nasib manusia dan

petunjuk jalan yang membimbing pada tujuan yang dikehendaki

merupakan resep kunci dalam setiap komunitas iman.

Dibekali dengan pengetahuan, orang-orang beriman harus

bertanya bagaimana mereka dapat berperan baik di dunia yang

di dalamnya kebanyakan orang lain tidak memiliki pengalaman

yang sama, dengan kata lain: Bagaimana orang beriman–baik

Yahudi, Hindu, Budha, Kristen maupun Islam dapat hidup di

dunia ini tanpa harus meleburkan pemahamannya?. Karena itu

orang selalu lupa bahwa apabila yang dicari itu adalah esensi

agama maka, yang ingin diperoleh itu adalah spiritualitas, dengan

demikian seseorang tidak perlu ganti agama.6 Sebenarnya yang

5Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan, (Jakarta, Gramedia, 2004), hlm. 64–65

6Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV (Jakarta, Gramedia, 1999), hlm, 157

Page 94: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 291

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

mereka cari itu tidak berada di luar, yang sedang mereka cari

itu berada dalam diri mereka sendiri. bahkan, sebetulnya yang

sedang mereka cari itu adalah diri mereka sendiri.7

Agama hanya berperan sebagai jari telunjuk. Mereka yang pernah mencapai kebenaran dan ingin meninggalkan pesan bahwa “Ada kebenaran di situ”, tetapi manusia harus mencarinya sendiri.8… dan nantinya yang akan Tuhan tanyakan – kamu berbuat baik atau tidak? Identitas agama tidak akan ditanyakan, Islam tidak akan masuk surga atau neraka. Hindu, Budha, Islam – tidak harus bertanggung jawab kepada siapa-siapa. Manusianya lah yang harus bertanggung jawab kepada Tuhan. Islam tidak harus dibela, orang membela agama – bodoh. Kenapa agama harus kamu bela? Bela dirimu saja dari adzab Allah.9

Agama tidak perlu dibela, agamalah yang seharusnya membela manusia, jika manusia itu menyadari bahwa agama itu berasal dari Tuhan. Dengan melalui fenomena spiritualitas yang menuntut kepedulian terhadap sesama makhluk Tuhan yang mengaplikasikan cinta kasih. Tetapi, jika sulit untuk merasakan kasih di dalam diri, anggaplah Tuhan sebagai perwujudan kasih sejati, yang sifat utama-Nya adalah Rahman dan Rahim (maha pengasih dan maha penyayang), karena itu, bila seseorang menerapkan kasih di dalam hidup sehari-hari sesungguhnya seseorang itu sedang menerapkan “Tuhan”. “Berke-Tuhan-an” berarti “mengasihi”.10

Agama CintaTuhan sebagai zat Yang Satu adalah wujud muhith

7 Ibid.8Anand Krishna, Reinkarnasi–Hidup tak Pernah Berakhir, (Jakarta:

Gramedia, 1998), hlm. 33.9Ibid.10Anand Krishna, Narada Bakhti Sutra–Menggapai Cinta Tak

Bersyarat dan Tak Terbatas, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 29

Page 95: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013292

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

(meliputi segala sesuatu) dan merupakan panggung terakhir

dari kewujudan. Pada sisi ini faktor cinta (Ishq, Hubb11) menjadi

penting untuk dibicarakan. Sebab cinta menjadi faktor utama

yang mendorong yang satu untuk memanifestasikan diri-Nya.

Cinta sebagai sumber dan hakikat wujud berimplikasi

sangat jauh terhadap eksistensi kehidupan itu sendiri. Tanpa

cinta, kehidupan menjadi tidak ada, dan tanpa apresiasi yang

benar terhadap cinta kehidupan pun tidak akan bermakna

sedikitpun bagi manusia dan makhluk lain. Manusia memerlukan

cinta. Karena cinta adalah sumber energi kehidupan. Tetapi,

apa makna cinta itu sendiri?. Sifat cinta tidak dapat dijelaskan,

seperti pengalaman orang bisu.12 Cinta tidak bersifat juga tidak

bersyarat,13 berkembang dan meluas setiap saat, utuh dan tak

terbagi. Cinta (kasih) adalah pengalaman terhalus dan terdalam.14

Hanya perilaku seorang pecinta yang menjadi saksi nyata akan

11Ishq tidak sama dengan Mahabbah. Bila cinta atau mahabbah sudah mencapai titik “ketidak warasan duniawi” dan menjadi liar lahirlah Ishq. Mahabbah menunggu, menanti. Ia tunggu dijemput sang kekasih. Ishq enggan menunggu, ia akan mendatangi sang kekasih dimanapun ia berada. Mahabbah masih bisa menyabarkan diri. Ishq berkata “sabar apa? Adakah kesabaran di luar yang maha sabar?” dan dalam ketidak sabaran semacam itu, ia pun mencari yang sabar. Mencari yang sabar dalam ketidak sabaran diri. Anand Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya Cinta Ilahi, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 4

12Orang bisu tidak bisa menjelaskan ap yang dirasakannya. Diberi sesuatu yang enak, lezat, dia senang dan menikmatinya, tetapi bagaimana ia menjelaskannya. Untuk definisi cinta baca lagi Anand Krishna, Narada Bakhti Sutra–Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, hlm. 212

13Cinta tidak memiliki definisi yang melalui esensinya cinta menjadi bisa dikenal. Sebaliknya yang dimilikinya hanya definisi-definisi deskriptif dan verbal tidak lebih dari itu. Siapa pun yang mendefinisikan cinta sesungguhnya tidak pernah mengenal cinta, siapa pun tidak pernah mereguknya, tidak pernah mengenalnya. Dan siapa pun yang telah mengatakan bahwa mereka telah merasa puas olehnya berarti tidak pernah mengenalnya, karena cinta adalah mereguk tanpa pernah merasa puas. Lihat lagi buku Anand Krishna yang berbicara masalah Cinta.

14Ibid, hlm. 216

Page 96: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 293

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

cintanya. Tidak perlu memaksanya menjadi manusia bermoral,

karena dia akan “menetaskan” nilai-nilai moral.

Cinta dalam wujud pluralisme memiliki urgensi untuk

dikembangkan dalam kehidupan saat ini. Kini beragam bentuk

kekerasan merambah kemana-mana, bahkan ada kesan seakan-

akan kekerasan dianggap sebagai upaya yang sah dalam

menyelesaikan suatu konflik atau pertentangan.

Di tanah air, masyarakat, khususnya kaum elit politik

menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperteguh posisi

serta berupaya meremehkan kelompok lain agar kekuasaan yang

diperoleh tidak diganggu gugat. Kekuasaan untuk kekuasaan,

sementara kepentingan bangsa, negara dan masyarakat menjadi

terabaikan. Bahkan mereka berusaha mereduksi kepentingan itu

untuk diri dan kelompok sendiri.

Seorang politik atau penguasa, dituntut untuk melihat

perbedaan. Karena sebaik-baiknya seorang politik atau

penguasa dia hanya bisa “bekerja sama” dengan pihak lain.

Dia tidak bisa sepandang dan sepaham dengan pihak lain. Para

politisi atau penguasa bisa berjubah apa saja, bisa ‘menyamar’

sebagai pemimpin agama untuk membelenggu jiwa manusia,

bisa ‘menjelma’ sebagai ketua kelompok dan golongan untuk

membodohi dan memperbodoh umatnya sendiri.15 Lalu

persoalannya apakah manusia bisa hidup tanpa mereka? Karena

manusia akan selalu melahirkan para penguasa dan politisi,

sebab hal itu berkaitan erat dengan persoalan “ego”16 manusia.

15 Ibid, hlm. 228 16 Meminjam konstruk dari Martin Burber (W.1965). kekerasan yang

terjadi itu karena umat manusia dari kalangan elit sampai gross root-nya, hanya mengedepankan rasa egoismenya sendiri-sendiri. karena hubungan antara manusia saat ini lebih banyak bersifat pola hubungan I-it. Relasi ini merupakan pola hubungan dimana seseorang muncul sebagai ego dan menganggap sesuatu yang lain (termasuk lawan dialog) sebagai sesuatu yang harus ditundukkan dan digunakan. Pada relasi model I-it ini, seseorang melihat orang lain tidak

Page 97: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013294

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Manusia SpiritualDari sudut pandang mistisisme, pengalaman mistik-

spiritual memiliki beragam variasi. Dalam tradisi spiritual

Budha misalnya penghayatan pengalaman mistik-spiritual

biasa dipakai manusia untuk mencapai “Nirvana”. Zen untuk

menggapai “satori”sebagai pengalaman kebenaran. Sedangkan

dari sudut pandang epistemologi keagamaan, manusia spiritual

bukan sekedar bermakna fisik (badan bersih), tetapi justru lebih

bermakna metafisik, beresensi kerohanian, sehingga sempurna

secara spiritual.17 Pada dataran spiritual ini, manusia spiritual

tidak akan membedakan agama, karena roh yang menghidupkan

badan itu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Allah).18

Nama kita berbeda, tapi sinar Ilahi dalam diri kita satu adanya. Cahaya kasih yang menggerakkan kita sama adanya. … dan entah kamu beragama Kristen atau Islam atau Hindu atau Budha atau entah apa saja atau bahkan bila kamu mengaku tidak beragama–tidak menjadi masalah. Seperti darah yang mengalir dalam badanmu tidak mengenali perbedaan agama, begitu pula sinar Ilahi dalam dirimu, begitu pula cahaya kasih dalam dirimu, tidak mengenali perbedaan agama. lalu kenapa mereka mempermasalahkan agama?, karena mereka tidak menyadari sinar Ilahi dalam diri mereka, mereka tidak

dalam bentuk pola hubungan antar sesama manusia, tetapi lebih merupakan relasi antar manusia dengan benda suatu objek yang dapat ditata sesuai dengan kehendaknya, diperalat sesuai dengan kepentingannya, serta tidak boleh mengganggu kepentingannya. Dikutip dari Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed., (Jakarta: Kompas, 2002), hlm, 60. dan lihat juga K.Berten, Filsafat Barat Abat XX; Inggris – Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 163-164.

17Ada tiga hal yang biasanya dapat diperoleh dalam kehidupan ini; kemulian, keseimbangan dan kesadaran. Apabila tidak satupun yang diperolehnya, maka hidup manusia menjadi hampa dan sangat tidak berguna. Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Karya Agung Sripaduka Mangkunagoro IV, hlm. 105-106.

18Anand Krishna, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi, hlm. 152.

Page 98: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 295

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

menyadari cahaya kasih dalam diri mereka. … para Ulama, para Pastor, para Rohaniawan, para Pertapa dan para Tokoh agama yang mempermasalahkan agama–berarti belum menyadari cahaya kasih, adanya sinar Ilahi dalam diri mereka. … dan oleh karena itu mereka mencari cahaya kasih di luar diri mereka. Ada yang mencari di Kashi (kota suci umat Hindu), ada yang mencari di Ka’bah (tempat suci umat Islam). Nah, Kashi sudah pasti berbeda dengan Ka’bah, yang satu di tepi sungai Gangga dan yang satu lagi di tengah gurun pasir.19… Tuhan tidak membedakan apakah agama seseorang itu Islam atau Hindu atau Budha, tetapi yang Tuhan perhatikan adalah amal shaleh manusia itu sendiri.20

Manusia spiritual yang menyadari akan esensi agama

yang merupakan inti dari ajaran-ajaran setiap agama akan

menekankan untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang

hamba (umat beragama). Disini agama berfungsi sebagai

fasilitator untuk menunjang perkembangan diri menuju ke

tingkat kesadaran yang tinggi sehingga menjadikan hidupnya

terasa aman, damai. Lestari dan abadi serta penuh perasan cinta

dan kasih sayang terhadap sesama makhluk.

… Ia yang sadar tidak akan melihat perbedaan. Ia yang sadar tidak akan membedakan kesadaran dan ketidak sadaran. Baginya segalanya adalah satu. Untuk ia yang belum sadar, kesadaran adalah satu hal dan ketidak sadaran adalah hal lain lagi. suatu saat ia terjaga dan ia mengira bahwa ia sadar, dilain waktu ia tertidur dan ia mengira ia tidak lagi sadar. Kemudian ia bermimpi dan menemukan dirinya tidak berada dimana-mana. Ia tidak bisa memutuskan apakah ia sadar atau tidak.21

Ketidaksadaran akan merintangi penglihatan dan pikiran

19Anand Krishna, Shambala – Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran, Hlm. 35-36

20Anand Krishna, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi, hlm. 153

21Anand Krishna, Soul Quest, (Jakarta: Gramaedia, 2002), hlm. 272

Page 99: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013296

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

pun menjadi keruh, lalu penafsiran akan pesan-pesan agama akan

selalu salah yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap

benar. Menafsirkan agama dan kepercayaan-kepercayaan secara

begitu sempit, sehingga maknanya hilang, kalau makna agama

hilang maka, jiwa agama pun akan hilang dan pesannya pun

akan tidak jelas lagi.

Ajaran serta kepercayaan yang membuat manusia menjadi sedih dan begitu menyedihkan tidak berguna sama sekali, sia-sialah kebajikan yang mendatangkan kepedihan, kebahagian adalah kodrat manusia, dan membagi kebahagian adalah takdirnya. … dan ia yang tidak akan melihat kerajaan Surga dalam hidup ini tidak akan melihatnya pula dalam kehidupan yang akan datang.22

Disini kepercayaan akan jati diri seseorang akan

membuat lemah akan jiwanya, sehingga seseorang itu akan

selalu ingin mencari sandaran, dan akhirnya seseorang itu akan

digiring untuk meyakini keperantaraan lembaga-lembaga yang

akan menjanjikan Surga. Seseorang harus menjadi pelita bagi

dirinya sendiri dan harus menempuh sendiri perjalanan hidup ini.

“jangan bersandar kepada siapa pun dan jangan mengharapkan

bantuan siapa pun”.23 Karena dengan mencintai diri sendiri

hidup ini akan menjadi dinamis, dan akan menemukan kasih,

kedamaian dan ketentraman.

Melihat kerajaan Surga24 dengan memanifestasikannya

22Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan, hlm. 80-81

23Ibid, dan Anand Krishna, Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir, hlm. 85, serta Anand Krishna, Kehidupan – Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri, hlm. 80

24 Mewujudkan Surga di dalam dunia adalah Surga dalam arti yang merupakan suatu keadaan (tingkat kesadaran). Istilah ‘Surga’ yang digunakan dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Sansekerta “Svarga”. Svarga berarti Suvarga. Kemudian dalam bahasa Indonesia ada istilah ‘Warga’ yang dalam bahasa Sansekerta ‘Varga’. Warga dan Varga dapat diartikan sebagai

Page 100: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 297

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

dalam hidup ini, sekarang, saat ini dan di tempat ini, berarti

menyadari kehadiran Allah disini, sekarang, saat ini dan di

tempat ini juga.

Semesta ini adalah bait Allah. Rumah Allah yang ada di Mekah dan di Yerussalem dan di Himalaya – dan dimana pun anda kira – itu hanya simbolik. Sesungguhnya alam semsta ini adalah rumah-Nya. … seandainya kita bisa berpikir demikian, maka definisi kata Islam akan menjadi luas sekali, seandainya kita beranggapan demikian kasih Kristiani akan merangkul lebih banyak orang lagi, seandainya kita memahami hal ini, kehinduan dan kebudhaan umat Hindu dan Budha akan memperoleh makna tambahan. Tetapi, sebaliknya apabila anda tidak dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidup ini, sia-sialah hidup anda. Jangan mengharapkan bisa melihat kerajaan Allah setelah mati nanti, jika anda tidak dapat melihatnya dalam hidup ini.25

Peran Tuhan Bagi Umat BeragamaManusia yang sadar26 akan jati dirinya sebagai makhluk

‘masyarakat’, ‘habitat asal’ atau ‘lingkungan sendiri’. kemudian istila ‘Su’ dalam bahasa Sansekerta yang juga sering digunakan dalam bahasa Indonesia berarti baik, bagus, indah, menyenangkan menentramkan dan memenangkan. Mewujudkan Surga di dalam dunia harus diartikan sebagai upaya untuk mempersatukan bangsa, mengikat warganya dalam tali persaudaraan, menciptakan masyarakat cinta damai dan memperbaharui komitmen mereka terhadap kesatuan dan persatuan. Anand Krishna, Shalala – Merayakan Hidup, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 110 dan lihat juga J.P.Vasnawi, Life After Death, disadur oleh Anand Krishna, (Jakarta: Gramedia,2000), hlm. 83

25Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan, hlm. 82

26Sadar dalam arti kesadaran. Kesadaran itu sangat misterius, tidak dapat dijelaskan, tidak dapat disebut nyata atau pun tidak nyata. Namun tanpa adanya kesadaran seseorang tidak akan pernah merasakan kesatuan. Karena kesadaran tidak dapat dijelaskan, maka hanya hasil akhirnya yang dapat dirasakan. Hasil akhir kesadaran yang dicapai adalah hilangnya segala macam ‘dualitas’. Ia yang telah mencapai kesadaran akan mampu untuk hidup berdampingan, toleran antar sesama. Ia tidak akan mempermasalahkan dinding pemisah antar suku, antar ras dan antar agama. ia akan melihat Allah ada dimana-mana. Kesadaran yang telah dicapai itu akan melahirkan

Page 101: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013298

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Ilahi akan dengan mudah untuk mencapai esensi agama yaitu

spiritualitas. Yang kasih Ilahi menjadi dasar setiap peraturan-

peraturan hidup manusia dan kasih Ilahi juga menjadi asas

tunggal yang merupakan kebutuhan dasar setiap makhluk yang

akan mewarnai setiap lembaran kehidupan manusia. Karena kasih

adalah bayangan Allah dalam diri setiap manusia dan bayangan

Allah itulah hakikat diri manusia (kebenaran diri manusia).27

Selaras dengan itu pula Anand Krishna mengatakan:

Mau mencari pembenaran apa lagi? yang sedang mencari Allah, sedang berkonsep ria, sedang mengumpulkan pembuktian akan keberadaan-Nya, sesungguhnya belum kenal kasih. Begitu sibuk melakukan ziarah di luar diri, sehingga tidak pernah berkesempatan untuk menoleh ke dalam diri sendiri. “kenalilah dirimu dan kamu akan mengenali Tuhanmu”, demikian apa yang menurut apa yang diriwayatkan Ali – seorang sahabat Nabi. … ia yang mengenal dirinya maka, mengenal Tuhannya, dan mengenal diri berarti menemukan kasih dalam diri.28

Memahami diri, berarti memahami Tuhan sang pencipta.

Tetapi manusia terlalu terlibat dengan permainan kata-kata.

Disini Anand lebih sering menggunakan kata “Aku” dalam

mengungkap Tuhan. “ada yang menyebut-Nya “sang Aku”

mereka berang, tetapi ketika mereka menyebut-Nya “Tuhan”

meraka senang, sang “Aku”, “Dia”, ”Tuhan” – semuanya

fenomena baru yaitu fenomena kuno, namun tetap baru yaitu Kasih. Lihat lagi Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Karya Agung Sripaduka Mangkunagoro IV, hlm. 228-232

27Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan, hlm. 88

28 Ibid, hlm. 89

Page 102: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 299

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Sinonim.29 Karena yang dimaksud hanya satu itu.30

Selama beribu-ribu tahun masyarakat India berada pada kesadaran itu. Brahman31 dianggap paling tinggi, belakangan mereka baru sadar, walau tidak dapat dijelaskan, Brahman dapat dirasakan. Shankaracharya menempatkan “Aku” dibalik Brahman. “Aku” melampaui Brahman. Istilah Brahman itu sendiri adalah ciptaan–Ku. Konsep-konsep tentang Tuhan – tentang Brahman adalah hasil citaan–Ku. “Aku” berada dibalik semuanya, karena itu muncullah pertanyaan yang sangat esensial (pertanyaan inti) : “Aku siapa?”, siapa pula yang tahu tentang diri-Ku kecuali “Aku” sendiri?, kadang “Aku” berada didekat kain berwarna hijau dan “Aku” tampak hijau, bahkan sepertinya ikut menjadi hijau. Padahal tidak demikian “Aku” hanya kena imbas sesaat. Kadang “Aku” berada di dekat kain berwarna kuning, dan “Aku” kelihatan kuning, padahal warna kuning pun bukanlah warna-Ku.32

“Aku” berada dimana-mana, “kesadaran murni” meliputi

segalanya. Tetapi tidak selalu nampak jelas, seperti halnya orang

Hindu menyebut-Nya “sang Aku”, orang Budhis menyebut-Nya

“sang Budha” atau “Kebudhaan”, orang Islam atau Kristen

menyebut-Nya Allah atau Tuhan. Dia berada dimana-mana.

Tetapi selama ini pemahaman tentang Dia diselewengkan demi

untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu, kelompok-

29 Dia itulah “Aku”. “Aku”, “Dia”, “Kau” pun sama, Dia, Dia…. Bila kamu tidak senang dengan “Aku” maka katakana Dia, Dia,Dia….yang ada hanyalah Dia, sama saja anatara “Aku”, “Kau” dan “Dia”. Dan bila manusia masih memisahkan diri dengan Allah, maka itu, berlaku pemahaman mu bagimu, pemahaman ku bagiku. Anand Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya Cinta Ilahi, hlm. 54-55

30Anand Krishna, Atma Bodha,….., hlm. 6031Brahman berasal dari sebuah suku kata yang berarti “Berkembang

Terus”, kebenaran tidak pernah berhenti berkembang. Ia berkembang terus. Brahman juga disebut Anaadi dan Ananta – tak berawal dan tak berakhir. Ibid, hlm. 122

32Ibid, hlm. 102

Page 103: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013300

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

kelompok yang berkuasa. Karena itu, keberadaan Tuhan pun

dikaitkan dengan tempat-tempat tertentu, tidak lagi dengan

kesadaran diri.

Nafsu untuk berperang merebut tempat-tempat suci juga disebabkan oleh pemahaman salah tentang keberadaan Tuhan. Seolah-olah Dia ada di “sana”. Bila kita sadar di sini pun yang ada hanyalah Dia. Bahwa Dia berada dimana-mana – tinggal kita meningkatkan kesadaran diri untuk merasakan kehadiran-Nya , maka dengan demikian kita tidak akan berperang atas nama agama. … Tuhan maha ada dan meliputi segalanya, berarti kita tidak perlu memaksa diri dan meniru apa yang dilakukan oleh masyarakat di tempat lain. Dan bila Dia tidak nampak jelas, maka yang harus dibersihkan adalah pikiran-pikiran kita sendiri, yang harus dijernihkan adalah pandangan kita sendiri tentang Tuhan itu. Demikian agama menjadi suatu yang bersifat amat sangat pribadi. Hubungan antara aku dengan sang “Aku”, antara Allah dengan anda, tidak ada yang perlu mencampuri urusan itu. Dan pada dataran sosial penghayatan agama itu akan menjadi moral sosial. Serta hubungan pribadi dengan Allah itu akan tercermin juga dalam hubungan dengan sesama dan segala makhluk. Kalau ada orang yang atas nama agama bisa berutal dan dengan kebencian mengorbankan semangat perang dan merusak, maka, kita pantas bertanya-tanya hubungan pribadi apa yang dimiliki dengan Allah.33

Merasakan kehadiran Tuhan dalam diri, akan membuat

manusia ramah, saling menghormati antar sesama makhluk

Allah dan tidak akan membedakan agama, karena agama-agama

yang berbeda hanyalah jalan untuk mencapai Tuhan dan tiada

sesuatu di luar Tuhan, yang ada hanyalah Dia–sang kesadaran

murni,34 akan tetapi agama-agama yang ada sekarang ini masih

sibuk mempersoalkan Wujud dan tanpa Wujud, karena ia belum

menemukan Tuhan di dalam diri mereka. Bagi mereka yang

33 Ibid, hlm. 113-11734Anand Krishna, Shangrilla,….., hlm. 108

Page 104: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 301

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

belum menemukan Tuhan dalam dirinya selalu menjadi soal dan

bahkan menciptakan persoalan. Sebagaimana Anand tegaskan

“berhentilah mencari Tuhan, mau mencari di mana?, Dia berada

dimana-mana, lebih baik mencari setan, mencari hewan dalam

diri, begitu mereka tertaklukkan, terjinakkan, ketuhanan dalam

diri akan muncul kepermukaan”.35

KesimpulanPluralitas agama dalam pandangan Anand Krishna

secara niscaya berhubungan erat dengan perspektif yang bisa

dimunculkan oleh masing-masing pribadi tentang agama.

Agama bagi individu merupakan suatu jalan untuk membentuk

kepribadian mereka menjadi manusia seutuhnya. Agama dalam

pandangan Anand Krishna tidak diorientasikan membentuk

manusia menjadi Hindu, Sikh, Budha, dan Islam atau dalam

bentuk agama apapun. Akan tetapi, agama hadir ke tengah-

tengah kehidupan dalam rangka menciptakan manusia menjadi

manusia seutuhnya.

Agama menurut Anand Krishna merupakan jalan

individu untuk mencapai suatu tempat. Pencapaian tersebut

akan dilakukan oleh setiap pribadi melalui agama yang diyakini.

Untuk itulah, selama pencapaian terhadap tempat-tempat

tersebut terus dilakukan maka jalan-jalan menuju ke arahnya

akan senantiasa dicipta dan dihadirkan.

35Ibid, hlm. 109

Page 105: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013302

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

DAFTAR PUSTAKA

Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, (ed.,) Jakarta: Kompas, 2002.

Anand Krishna, Atma Bodha – Menggapai Kebenaran Sejati, Kesadaran Murni dan Kebahagian Kekal, Jakarta, Gramedia, 2001.

Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan, Jakarta, Gramedia, 2004

Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan, Jakarta, Gramedia, 2004.

Anand Krishna, Cakrawala Sufi 3 – Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi, Jakarta, Gramedia, 2000.

Anand Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya Cinta Ilahi. Jakarta: Gramedia, 2005.

Anand Krishna, Kehidupan – Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri, Jakarta, Gramedia, 2002.

Anand Krishna, Narada Bakhti Sutra–Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia, 2001.

Anand Krishna, Narada Bhakti Sutra – Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, Jakarta, Gramedia, 2001.

Anand Krishna, Reinkarnasi–Hidup tak Pernah Berakhir. Jakarta: Gramedia, 1998.

Anand Krishna, Shalala – Merayakan Hidup. Jakarta: Gramedia, 2001.

Anand Krishna, Shambala – Fajar Pencerahan Di Lembah

Page 106: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 303

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Kesadaran, Jakarta, Gramedia, 2000.

Anand Krishna, Shangrila – Mencecap Sorga Dunia, Jakarta, Gramedia, 2000.

Anand Krishna, Soul Quest. Jakarta: Gramaedia, 2002.

Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV, Jakarta, Gramedia, 1999.

J.P.Vasnawi, Life After Death, disadur oleh Anand Krishna. Jakarta: Gramedia,2000.

K. Berten, Filsafat Barat Abat XX; Inggris – Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983.

Page 107: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013304

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna

Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Page 108: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 305

IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAAN UMAT KONTEMPORER MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR

Mas’udiSTAIN KUDUS

Email: [email protected]

ABSTRAK

Mengembalikan manusia kepada asalnya yang suci, adalah manifestasi dari pesan kesucian (Sophia Perennis) yang diamanatkan Tuhan kepada manusia. Dimensi pokok kesejatian yang terdapat dalam aspek keagamaan umat manusia merupakan pesan suci yang sejatinya dirumuskan pada setiap agama. Dapat dimengerti bersama bahwa asal-usul dari doktrin-doktrin, ajaran-ajaran keagamaan tidak lain adalah dari Yang Maha Kuasa. Kenyataan ini memberikan pintu dasar pembuka kepada setiap pribadi untuk dimengerti sehingga memunculkan kesadaran akan kesamaan pesan suci dalam agama. Menganalisa perkembangan keagamaan di masyarakat muslim penting untuk mengetahui implikasi dari perwujudan dimensi perenial dalam Islam bagi keberagamaan umat menurut Seyyed Hossein Nasr. Eksistensi Islam yang ramah dan penuh dengan kasih sayang perlu dieksplorasi kembali oleh para penganalisanya guna menyadarkan masing-masing dimaksud kepada orisinalitas doktrin Islam dari Pemiliknya. Dalam kerangka inilah pembahasan tentang

Page 109: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013306

pentingnya kesamaan persepsi dalam dimensi keberagaamaan umat manusia, membangun satu persepsi dalam keberagamaan, mengedepankan nilai bertoleransi dalam perbedaan, dan menyeru kepada pencapaian kondisi masyarakat yang tradisionalis mustahil dinafikkan.

Kata Kunci: Keberagamaan, Perenialisme, Kesejatian, Tradisi

Membangun Titik Temu dalam KeberagamaanManusia sebetulnya telah dicipta untuk hidup di dalam

dunia yang serupa yang terdapat di dalamnya ada satu matahari di

langit sehingga penampakan normal matahari yang satu-satunya

di angkasa itu bertalian dengan susunan alami pikiran dan jiwa

manusia, dan itulah satu-satunya yang membentuk lingkungan

yang alami dan bermakna baginya. Dalam kenyataan ini Nasr

menyatakan bahwa dalam lingkungan keagamaan manusia

telah dicipta untuk hidup dalam suatu tradisi keagamaan yang

homogen.1

Dalam setiap perjalanan hidup manusia, agama telah

memberikan warna yang sangat berarti bagi kehidupan mereka,

mengapa berbagai agama senantiasa bertahan dan dianut oleh

manusia? Secara antropologis, sosiologis dan psikologis berbagai

agama itu bertahan hidup karena agama bisa memberikan

pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia.2

Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah

bahwa bumi manusia ini hanyalah satu, sementara penghuninya

terkotak-kotak dalam berbagai suku, ras, bangsa, profesi,

kultural dan agama. Mengingkari kenyataan pluralitas di atas

1Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj., Abdul Hadi WM. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 178.

2Ibid.

Page 110: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 307

sama halnya dengan mengingkari kesadaran kognitif manusia itu

sendiri. Begitu juga ketika berbicara tentang agama, kata agama

selalu tampil dengan bentuk plural (religions). Di balik pluralitas

itu terdapat ciri umum yang sama, yang menjadi karakter agama.

Dalam kenyataan ini Komaruddin Hidayat mendeskripsikan

bahwa membayangkan dalam kehidupan ini hanya terdapat

satu agama, rasanya merupakan suatu ilusi belaka.3 Kesucian

dari fithrah yang terdapat dalam diri manusia adalah suatu

cerminan akan kesamaan konsep penciptaan terhadap manusia

itu sendiri. Kalau dilihat dari proses awal penciptaan manusia

serta mempelajari kepercayaan mereka, maka yang ditemukan

adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan

yang mengatur alam raya ini.

Quraish Shihab mendasarkan pandangannya akan

kesuciaan (fithrah) penciptaan manusia dengan melihat

realitas dari orang-orang Yunani Kuno yang menganut paham

politeisme (keyakinan banyak Tuhan): bintang adalah tuhan

(dewa), Venus adalah (tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah

Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaaan, sedangkan

Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.4 Gambaran

lain yang dapat diketemukan dalam kepercayaan umat manusia

terhadap keagungan Tuhan adalah, orang-orang Hindu—masa

lampau—juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai

tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata masyarakat Mesir. Mereka meyakini adanya Dewa

Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra’. Masyarakat

Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap

3Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 201.

4Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 14.

Page 111: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013308

dan Tuhan Terang.5

Dinamika di atas adalah gambaran dari beragamnya

kepercayaan umat manusia dari awal keberagamaannya, yang

pada akhirnya akan mempertemukan mereka dalam wadah

kepercayaannya kepada Yang Abadi yaitu Tuhan Yang Maha

Absolut. Argumentasi yang dibangun oleh Quraish Shihab dalam

melihat dimensi kesucian fithrah manusia dengan menyatakan

bahwa al-Qur’an mengisyaratkan adanya kehadiran Tuhan ada

dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan

fithrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian

dipahami dari firman-Nya dalam surat al-Rum (30): 30.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) Fithrah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tiada perubahan pada fithrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.6

Realitas kesucian sebagai bagian dari hakikat kehidupan

manusia dipandang oleh Nasr sebagai kebangkitan tradisi.

Dalam analisa Nasr membangkitkan tradisi serta menyadarkan

manusia akan pemenuhan tradisi sebagai bagian dari kesucian

dan menyadarkan mereka akan arti penting dari tradisi, telah

memberikan pemenuhan final dan sempurna pencarian manusia

kontemporer terhadap penemuan kembali kesucian.7

Membangkitkan tradisi sebagai landasan dari kesucian

dalam dimensi keagamaan umat adalah keniscyaan yang harus

diagungkan. Bukti ini dilandaskan karena agama yang datang

dari Tuhan itu memang sempurna dan satu karena Tuhan itu

Maha Sempurna dan Maha Tunggal. Akan tetapi, karena agama

5Ibid. 6Ibid., hlm. 15. 7Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj., Suharsono.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 108.

Page 112: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 309

itu datang untuk umat manusia maka mau tidak mau agama

harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan sifat-sifat

kemanusiaan dengan berbagai dinamikanya. Untuk mewujudkan

nilai keseragaman dalam dimensi keagamaan, Frithjof Schuon

mengatakan:

Agar agama dianggap tetap ortodoks, ia harus didukung sepenuhnya oleh doktrin yang memadai tentang Yang mutlak. Ia juga harus menjunjung tinggi dan mewujudkan suatu kerohanian yang sesuai dengan doktrin tersebut baik sebagai konsep maupun realitas. Ini berarti ia harus berhulu Ilahi dan karenanya diikuti dengan sakramental atau kehadiran supranatural yang menjelmakan dirinya terutama di dalam mukjizat-mukjizat dan dalam seni sakral. Unsur-unsur formal tertentu seperti tokoh-tokoh rasul dan kejadian-kejadian keramat berada di dalam unsur-unsur utama di atas. Oleh karena itu semua ini mungkin yang membedakan dalam signifikansi dan nilai antara satu agama dengan agama lainnya, karena perbedaan manusiawi menjadikan perbedaan semacam itu tidak terelakkan, tanpa menyebabkan timbulnya pertentangan dalam kriteria penting yang menyangkut kebenaran metafisis dan kekuatan penyelamat serta stabilitas manusia.8

Mengembalikan agama dalam wadahnya yang Satu

dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan Tuhan), adalah suatu

bukti bahwasannya dalam semua agama terdapat visi yang sama.

Lebih lanjut, gambaran yang dapat ditelaah kembali adalah

realitas keagamaan dalam Islam dan Hinduisme yang memiliki

suatu realitas yang sangat berbeda, tidak ada satu nilai pun

yang dapat mempertemukannya, apalagi keduanya mempunyai

sejarah bentukan yang berbeda. Padahal kedua agama ini, seperti

dikatakan kaum perenialis, pada tingkat the common vision

8Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti. (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 25.

Page 113: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013310

mengikuti istilah Huston Smith, mempunyai kesatuan kalau

tidak malah kesamaan gagasan dasar yang dalam Islam disebut

dengan “pesan dasar agama,” (yaitu islam dalam arti generiknya

yaitu “sikap pasrah,” untuk selalu bertakwa: selalu menghayati

kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari).9

Penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan

sehari-hari adalah dimensi pokok yang selalu ada dalam inti

ajaran semua agama. Dalam konteks agama-agama, penerimaan

adanya the common vision ini berarti menghubungkan kembali

the many (dalam hal ini adalah realitas eksoteris agama-agama)

kepada asalnya The One (Tuhan), yang diberi berbagai macam

nama oleh para pemeluknya, sejalan dengan perkembangan

kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga

kesan empiris tentang adanya agama-agama yang majemuk

itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja, tetapi

kemudian dilanjutkan: bahwa ada satu realitas yang menjadi

pengikat yang sama dari agama-agama tersebut.10 Kesatuan

agama-agama yang dimaksud di atas bukanlah dalam doktrin-

doktrin, ajaran-ajaran, bentuk-bentuk atau cara-cara ibadahnya,

tetapi terletak dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan

Tuhan), atau Tuhan sendiri. Berangkat dari adanya pemahaman

akan kesatuan persepsi—the common vision—dalam mencapai

Yang Satu dalam suatu agama adalah suatu metodologi yang

dapat dijadikan sudut pandang, bahwa dari proses inilah agama

dalam aspek dasariahnya memiliki nilai yang universal seperti

adanya kesamaan visi tentang Kebenaran Abadi sehingga

mengesampingkan realitas parsial dari agama.

Menyikapi universalitas keimanan Nasr mengatakan

9Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 8.

10Ibid.

Page 114: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 311

bahwa dengan dasar doktrin al-Qur’an tentang universalitas

keimanan dan sejumlah pengalaman historis yang bersifat

global, budaya Islam berkembang ke arah perspektif keagamaan

yang mendunia dan kosmopolitan, yang sama sekali tidak

sebanding dengan apa yang terjadi dalam agama lain sebelum

abad modern. Visi global ini masih tetap merupakan bagian dan

paket dari pandangan dunia (world view) umat Islam tradisional,

di mana mereka tidak mengorbankan visi universal mereka

akibat serangan gencar modernisme ataupun karena pengaruh

dari perlawanan terhadap modernisme tersebut yang dilakukan

oleh gerakan yang dikenal dengan istilah “fundamenatalisme”.11

Dalam konteks keagamaan yang global ini, tentu saja,

agama Yahudi dan Kristen merupakan ajaran di mana Islam

memiliki keterhubungan paling kuat. Nabi-nabi Yahudi dan

Yesus dihormati secara mendalam oleh umat Islam. Keimanan

terhadap masalah tersebut begitu kuat dalam diri umat Islam

sehingga dalam dialog antar agama dengan Kristen ataupun

Yahudi dewasa ini, kaum Muslim sering kebagian porsi

menjelaskan dan mempertahankan doktrin-doktrin tradisional

agama Yahudi dan Kristen di hadapan para penafsir modern.12

Dalam bingkai tradisinya tentang nilai sakral yang

diberikan Islam kepada agama lain, adalah kenyataan yang

tercakup dalam Islam nilai kesetaraan dan ketermuatan

ajaran lain di dalamnya. Berangkat dari sana juga dapat

dilihat keberlanjutan dari tradisi dalam Islam tidak lain untuk

memberikan pengertian akan nilai-nilainya yang senantiasa ada

dalam setiap perjalanan sejarah mansuia. Untuk itulah berbagai

kegelisahan yang muncul dari para pemeluk agama di dalam

11Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj., Nurasiah Faqih Sutan Harahap. (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 50.

12Ibid.

Page 115: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013312

proses keberagamaan mereka tidak lain berangkat dari suatu

dogma yang senantiasa disanjung dan dipuja oleh mereka di

dalam menjalankan proses keagamaannya, “eksklusif” dan tidak

bisa berbagi dengan sesamanya. Menyikapi realitas ini Eaton

menyatakan “di lain pihak kalau mau dicari titik tolaknya dalam

aspek keberagamaan orang-orang beragama tidak selamanya

berprilaku lebih baik daripada tetangga mereka, bahkan

terkadang lebih buruk”. Mereka seringkali “ketus”, kadang kala

“kasar”, terhadap siapa saja yang tidak ikut merasakan bahaya

yang mereka takuti. Mereka mempropagandakan kasih sayang

namun mereka jauh dari sifat kasih sayang itu, dan kemunafikan

mereka seringkali diperkuat oleh rasa puas terhadap kebaikan

diri sendiri.13

Polemik keagamaan yang senantiasa terjadi di masyarakat

adalah suatu bukti dari tindakan penutupan diri manusia akan

kebenaran yang senyatanya ada di balik diri mereka sendiri,

tidak jarang pula agama menjadi kambing hitam dari semua

polemik tersebut. Jika perang, kekerasan dan pertikaian

dinisbatkan kepada agama, maka ia merupakan langkah pendek

menuju keyakinan bahwa keimanan kepada Tuhan merupakan

ilusi yang sengaja diciptakan, dan merupakan hal yang sangat

berbaya.14

Sikap-sikap eksklusif ini akan senantiasa menjadi

dogma yang tidak akan ada tuntasnya ketika keterbukaan akan

kebenaran yang ada di luar keberagamaan manusia tidak dapat

dipahami dalam bingkainya yang terbuka dan mensejahterakan

kehidupan. Bagaimanapun, manusia dalam dinamikanya

adalah makhluk yang dialogis15 yang senantiasa membutuhkan

13Charles Le Gai Eaton, Zikir: Nafas Peradaban Modern, terj., Zaimul Am (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 164.

14Ibid., hlm. 165. 15Ibid., hlm. 42.

Page 116: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 313

kehadiran orang lain. Melalui dialog dengan—dan berada

bersama—orang lain maka seseorang akan tumbuh menjadi

dirinya sendiri. Pada mulanya menjadi diri sendiri ditempuh

dengan cara meniru perilaku orang. Memulai menapaki garis

kehidupan adalah juga berarti meniru dan mengikuti pola pikir,

kepercayaan dan perilaku generasi yang lebih dulu lahir. Tetapi

harus diingat hanya peniruan yang diikuti sikap kritis yang

akhirnya akan mengantarkan seseorang untuk menemukan dan

membentuk dirinya sendiri secara otentik.16

Realitas manusia yang beragam ini digambarkan oleh

John Hick dengan dinamika pluralisme, fenomenanya terjadi

karena perkembangan yang cepat dalam teknologi komunikasi

dan peningkatan yang cepat dalam transmisi pengetahuan

dan informasi.17 Dari sini pula John Hick mendeskripsikan

bahwasannya agama tidak bisa menolak pluralisme itu sendiri.

Sebaliknya, agama-agama harus berhadapan dengan sebuah

‘teologi global’ karena mereka tidak hanya sama-sama memiliki

karakteristik serupa seperti doktrin, ritual dan sistem etika,

tetapijuga memiliki tujuan yang sama semisal optimisme dan

keselamatan kosmik, sifat sabar dan etis.18 Berlandaskan dari

peta pemikiran yang dikatakan oleh John Hick ini dapat dilihat

bahwa agama dalam pluralitasnya yang tinggi memiliki tujuan

yang sama dalam setiap perjalanannya.

Dialog bermakna melibatkan sikap jujur menghadapi

perbedaan-perbedaan pokok dan pencarian bersama akan suatu

kebenaran yang tak sepenuhnya dimiliki kelompok mana pun.

Tujuan pluralitas ini dapat dimaknai bahwasannya dari kenyataan

ini bukanlah untuk mencapai suatu agama super seragam, namun

16Ibid. 17Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran Pluralisme Agama dalam

Filsafat Islam dan Kristen, terj., Munir. (Bandung: Alifya, 2004) hlm. 147.18Ibid., hlm. 148

Page 117: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013314

untuk memperbaiki dan meningkatkan keyakinan dari masing-

masing partisipan dengan memahami komitmen pihak lain dan

terkadang mengadaptasi nilai-nilai yang bermanfaat dan terbukti

efektif di tempat lain.19

Karen Amstrong mengatakan bahwa sebelum terjadinya

dialog dalam dimensi keagamaan manusia, pada mulanya

manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab

Pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi. Dia

tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil

atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk

ibadah manusia yang tidak memadai.20 Dari keluhuran-Nya

inilah terpancar beragam kebenaran yang termanifestasikan

dalam kehidupan beragama manusia.

Dari sudut pandang kaum Muslim, saling pengertian

dan dialog merupakan akibat logis ajaran asasi Kitab Suci al-

Qur’an. Pada titik mula sekali, logika saling pengertian dan

dialog antar agama alam semesta ini ialah al-Islam, yaitu sikap

pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta.21 Kebijaksanaan

perenial dalam agama-agama lain adalah juga kebijaksanaan

perenial dalam Islam. Karena itu, Islam dapat melakukan

dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan

identitas dirinya. Golongan perenialis merumuskan dimensi ini

dalam suatu pandangan bahwasannya kebenaran mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini

memancar berbagai “kebenaran” (truths) sebagaimana matahari

19William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj., Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 200), hlm. 305.

20Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj., Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 27.

21Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over, hlm. 7.

Page 118: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 315

yang secara niscaya memancarkan cahanya.22

Kebenaran yang terdapat dalam Keesaan Tuhan yang

memancar dalam segenap penjuru, adalah nilai yang tidak dapat

dibantah lagi oleh manusia. Dari sana pula sikap pasrah setiap

manusia harus dimulai. Kepasrahan yang harus dijalankan

oleh manusia terhadap Keesaan Tuhan adalah keniscayaan

yang senantiasa ada dalam setiap perjalanan manusia dari dulu

ataupun sekarang. Keniscayaan ini tidak dapat terbantahkan lagi

ketika manusia memahami bahwasannya pada manusia ada bibit

kesucian dan kebaikan penciptaan asal yang suci (fithrah) yang

berkecenderungan suci (hanif). Fithrah itu tidak akan berubah

sepanjang masa, karena itu juga merupakan lokus bagi kearifan

abadi (al-Hikmat al-Khalidah, Sophia Perennis).23

Dalam mengemukakan fithrah manusia dalam pesan

keabadian dalam agama, Seyyed Hossein Nasr menguraikannya

dalam dua pengertian Islam. Pertama, orang Islam atau Muslim

adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan tanpa memandang

dari mana dan apa agamanya baik ia seorang Islam, Hindu,

Kristen, Yahudi maupun Zoroaster.24 Dalam pengertian pertama

ini Nasr melihat seorang Muslim adalah orang yang melalui

penggunaan akal dan kebebasan memilihnya, ia menerima

hukum Tuhan. Kedua, pengertian Islam menunjukkan pada

semua ciptaan (makhluk) yang menerima keberadaan hukum

Tuhan yang tidak terbantahkan yang di dalam terminologi

Barat disebut dengan hukum alam.25 Dalam rumusan kedua ini

22Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, hlm. 45.

23Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over, hlm. 13

24Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr,” Tesis, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 1999, hlm. 28.

25Ibid.

Page 119: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013316

dapat dilihat bahwasannya pluralitas agama sebagai manifestasi

kehidupan manusia di bumi adalah sunnatullah (hukum Tuhan).

Pengukuhan akan kenyataan hukum Tuhan pada setiap

manusia adalah bukti akan kenyataan manusia yang hidup dalam

proses ciptaan yang sama kemudian terbagi dalam tradisi-tradisi

yang berbeda. Dalam ruang lingkup ini yang dapat dimasukkan

dalam aspek keberagamaan manusia adalah kode etik yang

sama-sama dimiliki oleh berbagai tradisi keagamaan. Tradisi

agama besar sama-sama mengajarkan ideal moral tentang

kehendak baik, cinta dan kasih sayang yang terkandung dalam

kitab suci masing-masing. Prinsip etis universal ini, yang dapat

didefinisikan sebagai ‘kebaikan demi kemaslahatan yang lain

dan kejahatan yang membahayakan mereka,’ merupakan prinsip

tak terelakkkan dari tradisi-tradisi besar yang dapat dipandang

sebagai tujuan bersama seluruh agama.26

Seyyed Hossein Nasr menganalisa keragaman agama

sebagai salah satu aspek di antara aspek-aspek filsafat perenial.

Ia meyakini bahwa doktrin, ritual sakral, dan kitab suci agama

tertentu itu suci dan tak berubah dengan berlalunya waktu. Di

lain pihak, Adnan Aslan dalam analisanya terhadap pemikiran

Nasr ini menyatakan bahwa agama adalah respon Ilahi terhadap

kebutuhan manusia. Pernyataan agama dalam wahyu adalah

pernyataan faktual tentang realitas secara umum dan Tuhan

secara khusus, sementara perubahan dan keragamannya dalam

mendeskripsikan realitas ini bersifat ‘formal’ yakni berasal dari

bentuknya, dan tidak esensial.27

Lebih jauh Seyyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa

keberagaman agama, dalam dimensinya yang perenial, terdapat

dalam inti semua ajaran agama. Kesatuan akan kebenaran

26Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran, hlm. 164.27Ibid, hlm. 171.

Page 120: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 317

merupakan perwujudan dari pesan-pesan kearifan yang akan selalu

ada dalam setiap zaman. Akan tetapi, kebenaran akan kesatuan

ini selalu hilang dari diri manusia karena mereka mencarinya

dari luar esensinya yang suci.28 Karena pencarian yang salah

ini manusia seringkali terjebak dalam konflik yang seringkali

mengatasnamakan agama, eksploitasi alam secara berlebihan

yang mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan.

Fenomena hilangnya dimensi kesucian agama dari pesan

kearifan yang abadi ini digambarkan oleh Seyyed Hossein

Nasr dengan realitas manusia yang hidup di pinggir lingkaran

eksistensi. Dinamika ini dapat ditemukan dalam kehidupan

manusia modern saat ini yang melihat segala sesuatu hanya dari

sudut pandang pinggiran eksistensinya dan tidak pada “pusat

spiritualitas dirinya,” sehingga mengakibatkan ia lupa siapa

dirinya.29

Islam sebagai agama yang menyejarah dan rahmatan lil alamin dalam setiap perkembangannya ingin membawa

manusia untuk mengerti akan hakikat dirinya sebagai wakil

Tuhan di bumi. Dalam bingkai ini, Islam menghendaki manusia

untuk hidup dalam lingkaran eksistensi Ilahiah. Dari sana pula

seorang Muslim dituntut untuk memahami kesejatian Islam,

tidak hanya dipahami sebagai bentuk yang selalu berada di atas

menara gading, akan tetapi harus diupayakan untuk memberikan

perhatian pada penyelesaian problem kemanusiaan. Dalam

pandangan Nurcholish Majdid Islam perlu dipahami, diperbarui,

dan dikembangkan menjadi ajaran yang mampu memberikan

dampak bagi kemanusiaan universal.30

28Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science (Albany: State University of New York Press, 1993), hlm. 59.

29Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, hlm. 2.

30Ibid.

Page 121: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013318

Sebagai perlambangan Kasih dan Sayang Tuhan dalam

membimbing manusia untuk senantiasa hidup dalam kesejahteraan

keberagamaan yang universal, Tuhan merefleksikan sifat Kasih

dan Sayang itu dalam kehidupan manusia. Menurut Nasr, dalam

ajaran spiritual Islam, ternyata keseluruhan alam raya ini tidak

lain hanyalah refleksi dari Nama-Nama dan Sifat Tuhan yang

saling mempengaruhi. Nasr mengatakan, Nama-nama Tuhan

seperti “Keindahan” dan “Rahmat” mesti direfleksikan ke

dalam ciptaan-Nya sebanyak Nama-Nama “Yang Maha Besar”

dan “Maha Adil”. Selanjutnya, Nama-Nama Rahmat dan Kasih

Sayang, karena merupakan dimensi batin dari Realitas Tuhan,

menempati tempat yang lebih utama ketika memasuki kehidupan

batin jiwa seorang Muslim.31

Kesejatian pesan Islam dalam membangun suatu

paradigma kesejahteraan bersama antar umat beragama selalu

menekankan tujuan awal suci Islam itu sendiri. Tujuan awal Islam

sejak awal adalah melatih setiap individu agar peka dan sadar

akan Kasih Sayang dan Rahmat Tuhan, menyandarkan kehidupan

spiritual mereka pada sifat-sifat Tuhan ini, dan merefleksikan

kualitas Tuhan tersebut dalam bentuk kemanusiaan mereka

dalam hubungan mereka dengan semua makhluk lain ciptaan

Tuhan.32

Tujuan wahyu al-Qur’an juga untuk menciptakan sebuah

masyarakat yang sejahtera dipenuhi dengan kasih sayang antar

sesamanya, masyarakat yang didasarkan bukan pada kompetisi

yang kejam dan ego individualis, melainkan pada kesadaran

bahwa untuk meraih kebahagiaan hakiki dan menerima

Rahmat dan Belas Kasih Tuhan, manusia harus menunjukkan

kasih sayang dan kebaikan kepada orang lain. Ketika manusia

31Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam, hlm. 243.32Ibid., hlm. 250.

Page 122: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 319

memberikan kasih sayang dan kemurahan hatinya kepada orang

lain, berarti ia juga memberikan dirinya kepada Tuhan serta

meraih kemerdekaaan dan melepaskan diri dari penjara ego

manusia yang membelenggu.33

Islam, dalam dimensinya sebagai rahmat bagi alam

semesta (rahmatan lil alamin), memiliki tujuan yang sama

dengan agama-agama besar lainnya, yaitu membangun suatu

kesejahteraan bersama dalam kehidupan beragama yang

berbeda. Perbedaan aspek eksoteris suatu agama sebagai dimensi

yang niscaya dan kehendak dari Ilahi tidak perlu lagi untuk

diperdebatkan bahkan tidak perlu lagi untuk menegaskan jati

diri suatu agama yang secara diametral dapat dibedakan dengan

agama lain. Namun yang menjadi masalah dan harus dihindari

adalah jika seseorang hanya berhenti pada aspek lahiriah agama

saja dengan mengabaikan aspek esoterisnya.34

Dari uraian di atas jelaslah bahwa bagi Nasr, Agama-

agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan,

tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog.

Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan

asas agama lainnya. Tetapi, sebaliknya, agama-agama lain

itu dapat memperkaya pemahaman tentang yang lainnya. Di

sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan

mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaran-ajaran

esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain

adalah juga kebijaksanaan perenial dalam Islam. Karena itu,

Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama

lain tanpa kehilangan identitas dirinya.

33Ibid., hlm. 251.34Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein

Nasr”, hlm. 31.

Page 123: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013320

Bertoleransi dalam Perbedaan Islam yang terlahir sebagai rahmat bagi alam semesta

(rahmatan lil alamin) dalam nilai-nilainya yang universal

senantiasa menyanjung tinggi dimensi perbedaan dalam

kehidupan. Nasr mengatakan, dari ciri Islam yang khusus

memiliki hubungan dalam membicarakan masalah ini adalah

kekuatan sintesa dan integrasi dari wahyu Islam, yang mengakui

kemuliaan nabi-nabi dan orang suci agama-agama yang

terdahulu—khususnya garis agama Ibrahim—sampai pada nabi

kaum Muslimin di dalam konteks seperti yang ditunjukkan oleh

kemuliaan hati Nabi Islam.35

Bagi seorang Muslim, di lingkungan Islam, Nabi

Muhammad dapat diibaratkan seperti bulan purnama, sementara

nabi-nabi dan orang suci lain bagaikan bintang-bintang yang

sinarnya gemerlap di angkasa yang sama. Setiap nabi dapat

dilihat dengan sebaik-baiknya sebagai planet bersinar, yang

memberikan sinar tidak langsung dari sumber Ilahi.36 Seorang

Muslim bisa berdoa untuk Nabi Ibrahim atau Isa, bukan sebagai

Nabi orang Yahudi atau Kristen, melainkan sebagai Nabi orang

Islam. Tradisi intelektual Islam yang secara historis telah

(tampak/manampakkan diri) dalam dua aspek—yaitu gnostic (ma’rifah atau irfan ) dan filsafat atau teosof (al-Hikmah)—

memandang sumber-sumber kebenaran unik yang merupakan

agama yang benar (Din al-Haq) sudah terdapat dalam ajaran

nabi-nabi terdahulu.37

Suhrawardi38 salah satu filosof Muslim, menggambarkan

35Seyyed hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 188.36William E. Phipps, Muhammad dan Isa, hlm. 311. 37Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa

Depan, hlm. 59.38Nama lengkap as-Suhrawardi al-Maqtul adalah Syihab al-Din

Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futh Suhrawardi, beliau sangat terkenal

Page 124: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 321

mata rantai kefilsafatannya sampai Nabi Syis dan Nabi Idris a. s. Keduanya merupakan pemegang mata rantai paling awal tradisi philosophia perennis dalam Islam. As-Suhrawardi sendiri menyamakan Nabi Syis dengan Agathademon, mursyid atau Imam ordo Hermetiah Yunani sesudah Hermes. Dari Nabi Syis dan Agathademon inilah bermula tradisi yang didasarkan pada hikmah. Adapun Nabi Idris AS disamakan dengan Hermes, tokoh yang diutus dewa untuk menyampaikan pesan ketuhanan dan kerohanian kepada manusia di bumi.39 Bangunan kefilsafatan yang ditampilkan oleh Suhrawardi tidak lain adalah representasi dari penyatuan konsep perenial dalam dimensi kehidupan antara konsep: al-Hikmah al-Laduniyyah (kebijaksanaan ilahi) dan al-Hikmah al-`Atîqah (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal, yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.40 Pengejawantahan atas semuanya dapat dilihat ketika mereka mengakui akan adanya suatu kekuatan Yang Abadi dalam realitas hidup ini.

Suatu gambaran yang dapat dijadikan tolak ukur adanya

suatu persepsi dalam menyikapi realitas Yang Abadi dalam

hidup ini adalah ketika agama Yahudi, Kristen, dan Islam dalam

dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh al-Isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzhab baru filsafat yang berbeda dengan madzhab Peripatetik (madzhab, atau maktab al-Masysya’un). Suhrawardi lahir di kota kecil Suhraward di Persia Barat Laut pada 459 H/1154 M. Ia menemui kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M dan karena itulah terkadang disebut guru yang terbunuh (al-Syaikh al-Maqtul). Lebih lanjut baca, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj., Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 544.

39Taufiq Abdullah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 216.

40Ibid., hlm. 215.

Page 125: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013322

kesepakatan; Tuhan adalah “Penguasa Atas Segalanya”. Mereka

juga menyepakati bahwa Tuhan itu “Penguasa” atas semua

makhluk yang terdapat di alam kosmologi ini.41 Dari ketiga

agama tersebut sumber keutuhan pesan yang terdapat di dalam

ketiganya dapatlah direferensikan bahwa Tuhan adalah sumber

dari semua mata rantai pesan itu sendiri.

Keutuhan pesan, dengan menjadikan Tuhan

sebagai sumber dari segala aktivitas keberagamaan manusia

adalah suatu keniscayaan yang harus dipercayai oleh segenap

manusia. Agama Islam dengan seorang utusannya sebagai

pembawa wahyu Tuhan, agama Kristen dengan misionarisnya

membawa pesan Kasih dan Sayang di mana antara Tuhan dan

manusia terdapat satu pertalian yang kuat, dan di lain pihak

agama Yahudi juga tidak jauh berbeda muatan pesannya, begitu

pula dengan agama Hindu dan agama Budha serta agama

lainnya di bumi, pesan moral yang termuat di dalamnya tidak

mungkin jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Akan tetapi, betapa pun jauhnya perbedaan nuansa eksoteris

dari agama-agama ini dapat dikatakan terdapat satu bentuk

pesan yang diwahyukan dalam keberagamaan ini. Keselamatan,

kesejahteraan, dan kebersamaan adalah keutuhan dari semua

tujuan agama-agama ini. Sementara Tuhan adalah Pemilik dari

semua keselamatan, kesejahteraan, serta kerukunan dari mereka,

Dia tidak mendambakan suatu agama yang menggambarkan

adanya kekerasan.42

Dalam membangun dimensi toleransi dalam kehidupan

keberagamaan umat manusia, Islam memberikan proporsi

yang sangat tajam dengan melihat manusia dalam konsep awal

41Isma’il Raji al-Faruqi, ed., Trialogue of the Abrahamic Faiths (New Delhi: Genuine Publication Pvt. Ltd, 1989), hlm. 7.

42Ibid., hlm. 9.

Page 126: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 323

penciptaannya yaitu satu dan tidak terbagi—Adam dan Hawa—.

Manusia diciptakan dalam satu kesetaraan, semua manusia

adalah hamba-hamba-Nya, sama-sama diberikan kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka memiliki kecakapan

serta rasa tanggung jawab, tidak ada pengecualian atas mereka,

tidak seorang pun memiliki “kemerdekaan” dalam kuasa-Nya.

Tidak seorangpun memiliki hak istimewa dan tertinggi untuk-

Nya. Tidak ada seorang pun memiliki beban yang lebih ringan

atau beban yang lebih berat atas yang lainnya atau tanggung

jawabnya yang terlimpahkan kepada orang lain, rasa tanggung

jawab dalam hal ini adalah murni personal. Kesederajatan yang

absolut dan pemahaman Islam yang universal secara tidak

langsung adalah implikasi dari adanya al-Tauhid (Keesaan

Tuhan, Realitas Tertinggi dan Transendental).43

Melalui pemberlakuan Hukum Tuhan, penanaman nilai-

nilai moral kepada segenap manusia, dan penciptaan ikatan

persaudaraan, Islam telah menunjukkan peran yang besar

dalam mengintegrasikan masyarakat manusia. Suatu lingkaran

konsentris dapat menggambarkan berbagai area hubungan. Di

titik pusat adalah hubungan antara individu dan Tuhan. Di sekitar

daerah pusat adalah lingkaran hubungan keluarga, kemudian

lingkaran berikutnya adalah masyarakat satu desa atau kota,

selanjutnya lingkaran masyarakat satu bangsa (wathan) dalam

pengertian yang umum, dilanjutkan dengan lingkaran komunitas

Islam (ummah), dan terakhir adalah lingkaran hubungan umat

manusia dan seluruh makhluk di dunia secara keseluruhan.

Sama halnya bahwa setiap lingkaran dalam rangkaian tersebut

memiliki pusat yang satu, maka setiap hubungan seluruhnya

tetap disandarkan pada hubungan dasar antara manusia dan

43Ibid., hlm. 81.

Page 127: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013324

Tuhan.44

Tatanan hirarkis hubungan manusia di atas adalah

dimensi logis yang harus dipahami oleh masing-masing orang

akan keterikatannya dengan manusia lebih-lebih hubungan

mereka dengan Tuhan. Lebih jauh lagi Nasr memberikan suatu

tatanan bahwa al-Tauhid atau kesatuan, yang merupakan doktrin

sentral Islam dan juga bermakna “integrasi”, karenanya dimulai

dengan integrasi jiwa individu ke dalam lokus tempat Tuhan

bersemayam, baru kemudian ditarik kepada ikatan-ikatan antara

anggota keluarga dan selanjutnya kepada kelompok-kelompok

yang lebih besar dan seterusnya sampai akhirnya melingkupi

seluruh makhluk hidup.45

Menuju Masyarakat yang TradisionalisMengembalikan manusia dalam dimensinya yang

sakral adalah pesan-pesan yang senantiasa disuarakan filsafat

perenial, yaitu pesan yang ingin membawa manusia kembali

kepada hakikat kemanusiaannya sebagai wakil Tuhan di

bumi. Tradisi adalah manifestasi dari pengertian akan adanya

kesejatiaan Yang Asal Ilahi maupun yang dimunculkan melalui

lingkaran-lingkaran sejarah manusia, melalui transmisi, juga

penyegaran kembali ajaran tersebut melalui pewahyuan. Ia juga

mengimplikasikan adanya kesejatian hakikat (inner truth) yang

ada di jantung berbagai bentuk sakral yang beragam, karena

bagaimanapun juga kesejatian adalah tunggal adanya.46

Untuk memahami pengertian tradisi secara baik,

perlu kiranya membicarakan hubungannya dengan agama

secara lengkap. Jika tradisi secara etimologis dan konseptual

44Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam, hlm. 237.45Ibid., hlm. 238.46Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat

Abadi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 150.

Page 128: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 325

dihubungkan dengan pengertian tentang transmisi, maka agama

(religion), pada gilirannya juga memiliki akar makna yang

hampir sama, yaitu “mengikat” (dari bahasa Latin religere).47

Jika term “religi” berasal dari akar kata Latin religere, bermakna

“mengikat”, maka asal kata ini dapat mengacu pada makna

bahwa ia menjadi pertalian “yang mengikat” manusia dengan

Tuhan. Di lain pihak ad-din menurut ahli gramatikal bahasa

Arab dan ahli tafsir al-Qur’an berasal dari kata dayn, yang

bermakna “hutang”.48 Dengan demikian, ad-din bermakna proses

pelunasan hutang manusia kepada penciptanya melibatkan

seluruh kehidupan manusia itu sendiri, tidak hanya terbatas pada

karunia yang diberikan-Nya kepada setiap individu, akan tetapi

yang paling mendasar adalah atas keberadaan manusia sendiri

telah berhutang kepada-Nya.

Dipahami dalam arti di atas, agama dapat dianggap

sebagai asal-usul tradisi. Sebagai sesuatu yang berasal dari langit

dan melalui wahyu memunculkan prinsip-prinsip tertentu dan

pelaksanannya dianggap sebagai atau berupa tradisi. Namun,

sebagaimana juga telah disebutkan dalam bab III, makna lengkap

tradisi mencakup keseluruhan bagian-bagiannya, mulai dari

asal-usul, percabangan dan penerapannya. Dalam pengertian ini,

tradisi merupakan konsep yang lebih umum, dan di dalamnya

mencakup agama, sebagaimana istilah ad-din juga mengandung

arti tradisi dan agama sekaligus, dalam pengertiannya yang

lebih universal.49

Tradisi dalam pengertiannya secara teknis oleh Nasr

diartikan sebagai prinsip-prinsip dari Yang Ilahi yang diwahyukan

47Ibid., hlm. 151. 48Seyyed Hossein Nasr, Islam Agama, Sejarah, dan Peradaban, terj.,

Koes Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) hlm. 29.49Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat

Abadi, hlm. 152.

Page 129: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013326

kepada manusia melalui figur-figur terpilih seperti Nabi dan

Rasul. Termasuk di dalam pengertian itu adalah pengungkapan

atau pengembangan dari prinsip-prinsip tersebut dalam sejarah

kemanusiaan yang meliputi hukum-hukum, struktur sosial, seni,

simbol-simbol serta ilmu pengetahuan.50

Wahyu yang dibawa oleh Nabi dan Rasul tidak lain

adalah pesan sakral yang diterima mereka untuk disampaikan

kepada segenap manusia dari setiap periode sejarah hidup

manusia. Karena wahyu termuat dalam agama dengan unsur

pengikatan terhadap manusia, dan tradisi sebagai bagian dari

agama termuat di dalamnya juga nilai sakral dalam dimensi

vertikal dan horizontal manusia, dari sana pula dimensi vertikal

dan horizontal dalam tradisi diibaratkan sebagai dua sisi yang

antara satu dan lainnya tidak dapat terpisahkan. Sisi vertikalnya

berkaitan dengan sumber dari pesan sakral itu sendiri sedangkan

sisi horizontalnya adalah implementasi dari pesan itu dalam

pranata kehidupan umat manusia baik sosial, politik, hukum

maupun seni. Dalam tatanan inilah Nasr mengibaratkan tradisi

akarnya tidak lain adalah al-Qur’an dan al-Hadits, sementara

batang dan cabang-cabangnya membentuk tubuh tradisi yang

tumbuh dari akar-akar itu sepanjang sejarah manusia.51

Lebih lanjut Nasr menegaskan bahwa seruan kembali

kepada tradisi di kalangan masyarakat modern beberapa dekade

ini pengertiannya lebih diarahkan kepada hikmah perenial yang

terdapat di jantung setiap agama. Di dalam kata pengantar

buku Islam dan Filsafat Perenial karya Fritjhof Schuon, Nasr

menyamakan sophia-perennis dengan philosophia-perennis yang berarti suatu kebenaran kekal di pusat semua tradisi

50Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr”, hlm. 20.

51Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 1.

Page 130: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 327

bahkan disamakan dengan Sanatana Dharma dalam khazanah

agama Hindu.52 Tradisi menyiratkan Kebenaran yang kudus,

yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta

penerapan bersinambung prinsip-prinsipnya yang langgeng

terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.

Hikmah perenial merupakan elemen utama penyusunan

tradisi, sehingga tradisi tidak mungkin dipisahkan darinya:

sophia perennis, di Barat, dan oleh orang Islam disebut al-Hikmah al-Khalidah (Arab) dan Javidan khiradz (Persia).53

Salah satu pengertian Sanatana Dharma dan Sophia Perennis berkaitan dengan konsep tentang Tradisi Yang Sejati, yaitu

Asal eksistensi manusia, muara dari sumber kebenaran yang

termanifestasikan dari berbagai utusan-Nya yang mulia dalam

bentuk yang berbeda-beda.

Segala bentuk pewahyuan yang terdapat dalam semua

agama tidak lain adalah perwujudan Tradisi Primordial dalam

dimensi manusiawi, yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai

dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang

menjadi tujuan pewahyuan tersebut. Ia adalah manifestasi

kemungkinan Ilahi (Divine Possibilities) dalam tataran

manusiawi.54 Keberadaan Tradisi Yang Sejati atau Sophia Perennis ini sama sekali tidak menafikan ajaran-ajaran dari

langit, berupa berbagai agama dengan segala keberlangsungan

sejarah dan temporalnya.

Tradisi sebagai bagian dari aspek sejarah dan tempo

dari perjalan Tradisi Yang Sejati memiliki hubungan erat

dengan perwujudan dari sophia perennis dalam seluruh dimensi

52Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti. (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 7.

53Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, hlm. 147.

54Ibid.

Page 131: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013328

kehidupan. Sebagaimana diketahui, tradisi teristimewa yang

bersifat keagamaan, berpindah dari satu generasi ke generasi

berikutnya dalam bentuk ucapan atau tulisan. Tradisi lisan

(oral tradition) bagi penganut agama Yahudi, misalnya, yang

kemudian diabadikan dalam kitab Talmud, merupakan bagian

integral yang tak terpisahkan dari ajaran Nabi Musa a.s. yang

mengikat sepanjang masa. Demikian pula ucapan dan tindakan

Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber kedua ajaran

Islam setelah al-Qur’an, mulanya merupakan tradisi lisan yang

kemudian dilestarikan dalam buku-buku hadits.55

Bagi Nasr, perputaran sejarah dalam masanya yang

panjang serta proses jalannya ruang dan waktu yang terkadang

kontroversial tetap mendudukkan tradisi dalam dimensinya yang

menyejarah dalam segala zaman. Signifikansi Islam tradisional

dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap beberapa

ajaran dasar Islam. Wewenang-wewenang tradisional sepenuhnya

ada pada mereka yang mempunyai hak untuk berbicara pada

kalangan tradisional tanpa perlu merujuk pada bentuk-bentuk

agama lain. Tanggung jawab itu juga berada di pundak mereka

untuk menunjukkan kunci-kunci khazanah hikmah tradisi-

tradisi lain agar dapat diungkapkan, kemudian disampaikan

kepada mereka yang telah ditentukan untuk menerima hikmah

ini sebagai kesatuan hakiki yang memiliki universalitas dan

pada saat yang sama sebagai keragaman formal dari tradisi dan

wahyu.56

Nasr mengatakan dalam Pendekatan kepada perwujudan

masyarakat tradisional adalah dengan menghidupkan kembali

hal-hal yang bersifat metafisik berlandaskan kepada kitab suci

55Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 288.

56Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 180.

Page 132: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 329

masing-masing agama. Seorang tradisionalis adalah dia yang

secara pokok memberikan reaksi universal dan penjelasan

secara terperinci tentang agama dari sudut pandang philosophia perennis, termasuk juga pengetahuan yang luas akan keutamaan

spiritualitas manusia.57

Islam tradisional menerima al-Qur’an sebagai Kalam

Tuhan baik kandungan maupun bentuknya. Islam tradisional

juga menerima komentar-komentar tradisional atas al-Qur’an,

yang berkisar dari komentar-komentar linguistik dan historikal

hingga metafisikal. Dalam kenyataan, Islam tradisional

menginterpretasikan Bacaan Suci tersebut bukan berdasarkan

tradisi hermeneutics58 yang sudah lazim di zaman Nabi SAW, dan bersandar pada penyampaian lisan dan komentar-komentar tertulis.59

Dalam pandangannya terhadap Islam tradisional Nasr menyatakan bahwa dalam Islam tradisional juga menerima kemungkinan memberikan pandangan-pandangan segar berdasarkan prinsip-prinsip legal (ijtihad), dan juga

memanfaatkan alat-alat penerapan hukum lain ke dalam situasi-

situasi yang baru muncul, namun selalu selaras dengan prinsip-

57Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science, hlm. 64.58Hermeneutics, berasal dari kata Yunani yaitu penafsiran. Secara

umum hermeneutik adalah teori dan praktik pemahaman serta penafsiran teks, baik teks Kitab Suci maupun teks-teks yang lain. Dengan tetap berusaha untuk (a) menentukan makna asli teks dalam konteks historisnya dan (b)mengungkapkan maknanya untuk sekarang, hermeneutik mengakui bahwa suatu teks dapat memuat dan menyampaikan makna yang lebih jauh daripada maksud penulis yang asli. Lebih lanjut baca, O’Collins, S. J., Gerald dan Edward G. Farrugia, S. J., A Concise Dictionary of Theology, terj., I. Suharyo, Pr. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 99.

59Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 4.

Page 133: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013330

prinsip legal tradisional seperti qiyas,60 ijma’,61 dan istihsan.62

Lagi pula, bagi Islam tradisional seluruh moralitas diturunkan

dari al-Qur’an dan al-Hadits dan, dalam cara yang lebih konkret

dari syari’ah.63

Lebih lanjut Nasr menyatakan bahwa dalam Islam

tradisional al-Qur’an dan al-Hadits dijadikan sandaran utama

pengambilan semua hukum, dan keduanya adalah keutamaan

sandaran dari realitas tradisi dalam bingkainya yang sakral

di mana realitasnya harus senantiasa hidup dan terjaga dalam

kehidupan manusia. Sekali manusia menolak wahyu dan tradisi

akan sedikitlah kemungkinan baginya memiliki jiwa keagamaan

yang terbuka oleh karena ia tidak lagi memiliki kriteria

60Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan yang lain” (taqdir al-Shay’ bigairih), penetapan suatu hukum yang disebutkan dalam suatu nas (al-Qur’an atau al-Hadits)untuk suatu peristiwa hukum yang belum ditentukan hukumnya karena di antara kedua hukum itu terdapat kesamaan. Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, Jilid. III (Jakarta: DEPAG. R. I., 1993), hlm. 967.

61Ijma’ (Bahasa Arab) mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur suatu hal yang tak teratur, atau menetapkan dan memutuskan suatu perkara. Menurut istilah ulama fiqih, ijma’ adalah kesepakatan pendapat di antara para mujtahid (ulama) atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqh pada periode tertentu mengenai masalah hukum. Kesepakatan tersebut dapat terjadi dengan 3 cara: A. Dengan ucapan (qaul), yaitu berdasarkan pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah tentang suatu masalah. B. Dengan perbuatan (fi’il) yaitu kesepakatan pengalaman di antara mujtahid atau ulama. C. Kesepakatan secara diam (sukut) yaitu apabila para mujtahid tidak membantah suatu pendapat dari satu atau beberapa mujtahid. Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, jilid. II, hlm. 430.

62Istihsan adalah suatu cara penetapan hukum dalam Islam melalui ijtihad bi ra’iy yang berkaitan erat dengan qiyas. Arti istihsan yang lebih luas dikemukakan oleh Abu Hasan al-Karakhy (ulama Hanafiah) bahwa istihsan pada hakikatnya adalah berpalingnya mujtahud dari memberikan hukum pada suatu masalah dengan hukum seperti yang telah diberikan kepada masalah yang sebanding, karena ada sebab kuat yang menghendaki mujtahid berpaling dari yang pertama. Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, jilid. II, hlm. 488.

63Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 5.

Page 134: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 331

membedakan yang benar dari yang salah.64

Penutup Dogma yang membenarkan agama sendiri atas agama lain

harus ditiadakan sebagai suatu pengejawantahan dari Realitas

Ilahi Yang Universal. Hal inilah yang antara lain digelisahkan oleh

beberapa tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr dan Frithjof Schuon,

karena bagi keduanya kesatuan agama yang termanifestasikan

dalam nilai-nilai esoteris agama harus senantiasa dihidupkan.

Bagi mereka, aspek esoteris itu sendiri tidak lain dari pancaran

dan inti yang berada di balik yang eksoteris. Oleh karena

itu, agama yang menolak kenyataan metafisis dan bangunan

kerohanian dan kemudian hanya berpegang pada dogma lahiriah

akan menimbulkan kekafiran yang tidak terelakkan. Abdul

Basir dalam pernyataannya mengatakan bahwa dogma agama

yang tercabut dari dimensi rohaniah akan menjadi bumerang

dan potensial melahirkan bid’ah bahkan sikap ateistik.

Nasr mengungkapkan, dalam mewujudkan masyarakat

yang tradisionalis, manusia dibimbing untuk senantiasa mengerti

dan memahami hakekat dari perwujudan tradisi itu sendiri.

Tradisi, dalam pengertiannya yang universal, adalah usaha untuk

membimbing manusia menuju surga dengan prinsip-prinsip yang

mengikat mereka. Agama dalam dimensi ini sebagai manifestasi

dari bimbingan ini ketika dilihat dari esensinya tidak lain adalah

upaya pengejawantahan dari prinsip-prinsip yang mengikat

ini atau penampakan dari surga untuk membimbing manusia

kembali kepada permulaannya. Semua tradisi, secara duniawi

adalah manifestasi pola dasar surgawi yang pada akhirnya

berhubungan dengan pola dasar abadi Tradisi Sejati. Dalam cara

yang sama, semua wahyu itu dihubungkan dengan logos atau

64 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 182.

Page 135: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013332

firman yang merupakan permulaan dan sekaligus aspek logos

universal.

Lebih jauh untuk memaknai tradisi, Nasr mengatakan;

tradisi seperti agama, adalah kebenaran dan kehadiran. Ia

memperhatikan subjek yang mengetahui dan objek yang

diketahui. Ia datang dari sumber dari yang segala sesuatu

bermula dan segala sesuatu kembali. Tradisi tidak dapat

dipisahkan berkenaan dengan wahyu dan agama, kesucian,

gagasan ortodoksi, otoritas, keberlanjutan dan regularitas

transmisi kebenaran eksoterik dan esoterik.

Manifestasi dari kebenaran ini dalam Islam tercermin

dari realitas yang terpadu dari nilai-nilai murni yang diberikan

atau dipancarkan oleh al-Qur’an sebagai panduan Realitas Tuhan

dan al-Hadits sebagai aktualisasi nilai-nilai kenabian. Kesucian

ini adalah sumber tradisi. Dalam realitas ini Nasr menyatakan,

manusia yang tidak mempunyai pengertian tentang kesucian

tidak dapat menerima perspektif tradisional, dan manusia

tradisional tidak pernah dipisahkan dari pengertian tentang

kesucian.

Page 136: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 333

DAFTAR PUSTAKA

Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj., Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia, 2001.

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2001.

Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj., Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1998.

Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta: Gramedia, 2003.

Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj., Nurasiah Faqih Sutan Harahap. Bandung: Mizan, 2003.

Charles Le Gai Eaton, Zikir: Nafas Peradaban Modern, terj., Zaimul Am. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.

Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen, terj., Munir. Bandung: Alifya, 2004.

William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj., Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 200.

Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj., Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2003.

Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr,” Tesis, Program Magister Studi Islam Universitas

Page 137: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013334

Muhammadiyah, Surakarta, 1999.

Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science. Albany: State University of New York Press, 1993.

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj., Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Taufiq Abdullah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.

Isma’il Raji al-Faruqi, ed., Trialogue of the Abrahamic Faiths. New Delhi: Genuine Publication Pvt. Ltd, 1989.

Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Seyyed Hossein Nasr, Islam Agama, Sejarah, dan Peradaban, terj., Koes Adiwidjajanto. Surabaya: Risalah Gusti, 2003.

Schuon, Frithjof. Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1998.

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1999.

O’Collins, S. J., Gerald dan Edward G. Farrugia, S. J., A Concise Dictionary of Theology, terj., I. Suharyo, Pr. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, Jilid. III. Jakarta: DEPAG. R. I., 1993

Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan kesucian, terj., Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Page 138: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 335

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

PESAN DAKWAH DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH(Kasus Pembangunan Rumah Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman)

Nur Ahmad STAIN KUDUS

Email: [email protected]

ABSTRAK

Dakwah merupakan proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan mentransformasikan sikap batin dan prilaku warga masyarakat menuju suatu tatanan kesalehan individu serta kesalehan sosial dan secara bertahap menuju tatanan kehidupan yang Islami. Keberhasilan kegiatan dakwah dapat dilihat dari keberhasilan menginterpretasikan kesadaran untuk ber-amar ma’ruf dan nahi munkar serta berakhlaq al-karimah yang terdapat dalam pesan-pesan dakwahnya. Baik yang disampaikan secara lisan maupun saling nasehat menasehati satu dengan lainnya. Agama Islam dan Kristen adalah dua di antara agama besar di dunia. Kedua agama tersebut menjadi landasan bagi peradaban-peradaban dunia yang pernah ada. Akan tetapi sejarah peradaban mencatat berbagai kejadian suram (konflik) yang mewarnai hubungan para pemeluk agama ini. Konflik-konflik itu hingga hari ini masih berlangsung dan seperti tidak ada kunjung hentinya, mulai dari berbagi faktor

Page 139: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013336

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

kepentingan ekonomi, politik, agama, maupun sosial sampai pada suatu pembangunan rumah ibadah. semua itu memicu ketegangan atau konflik dipicu semangat keagamaan yang eksklusif dan minimnya pemahaman agama serta kurang berkembangnya tradisi dialog antar umat beragama. Maka dari itu sumbangan pesan dakwah disini diharapkan mampu menyelesaikan persoalan konflik termasuk pembangunan rumah ibadah misalnya, ini merupakan persoalan yang serius dan cukup sensitif. Oleh karenanya masalah ini harus disikapi dengan bijaksana atau dengan pendekatan dakwah.

Kata Kunci : Pesan Dakwah, Konflik Rumah Ibadah, Desa Payaman

Pendahuluan Dakwah Islam tidak hanya mengajak dan menyeru umat

manusia agar memeluk Islam, akan tetapi lebih dari itu dakwah

juga berarti upaya membina muslim agar mampu menjadi

masyarakat yang lebih berkualitas (khairu ummah) yang selalu

dibina dalam nilai-nilai keislaman. Islam merupakan konsepsi

yang sempurna karena meliputi segala aspek kehidupan manusia

baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Secara teologis Islam

merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah. Sedang

dalam aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban,

kultur dan realitas sosial dalam kehidupan.1

Selanjutnya dakwah merupakan proses yang

berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban

dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk

ke jalan Allah, dan mentransformasikan sikap batin dan prilaku

warga masyarakat menuju suatu tatanan kesalehan individu

serta kesalehan sosial dan secara bertahap menuju tatanan

1Elizabeth K. Notthingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pende katan Sosiologi agama, Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2002, hal : 31.

Page 140: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 337

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

kehidupan yang Islami. Suatu proses yang berkesinambungan

adalah suatu proses yang bukan kebetulan, melainkan benar-

benar direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara terus

menerus oleh para pengemban dakwah sesuai dengan tujuan-

tujuan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, sudah bukan

waktunya lagi bahwa dakwah dilakukan asal jalan, tanpa sebuah

perencanaan yang matang, baik menyangkut materinya, tenaga

pelaksananya, ataupun metode yang digunakan2.

Dakwah juga memiliki banyak kontribusi yang cukup

besar dalam menyebarluaskan ajaran Islam, sehingga Islam

menjadi agama yang dianut dan diyakini oleh berbagai masyarakat

seluruh penjuru dunia. Kenyataan ini merupakan bukti dari hasil

sebuah proses dakwah yang terus menerus dilakukan oleh para

juru dakwah yang berlangsung dalam jangka waktu cukup lama

sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Menghadapi kemajuan hidup masyarakat yang semakin

dimanis, maka juru dakwah juga diharapkan mampu melakukan

pesan dakwah sesuai dengan tingkat intelektualitas masyarakat

atau kondisi masyarakat yang dihadapi, hal ini menuntut para

juru dakwah untuk memiliki daya kritis dan kreativitas yang

cukup serta mampu menginterpretasikan kesadaran untuk ber-

amar ma’ruf dan nahi munkar serta berakhlaq al-karimah untuk

kegiatan dakwah. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka kegiatan

dakwah tidak akan berhasil dengan baik3.

Islam adalah agama dakwah, oleh karena itu Islam

harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Seorang muslim

tidak hanya berkewajiban melaksanakan ajaran Islam dalam

2Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta, PT. Amzah, 2009, hal 95-98.

3Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan Metode Dakwah, Semarang, RaSAIL, 2005 : 4.

Page 141: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013338

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

hidup keseharian, melainkan juga harus menyampaikan atau

mendakwahkan kebenaran ajaran Islam terhadap orang lain.

Kewajiban berdakwah terletak pada setiap persoalan seorang

muslim berdasarkan kemampuan maupun profesi masing-masing

beserta cara maupun media yang dimiliki.

Gagasan ini dapat diartikan bahwa islam merupakan

agama pembawa misi dakwah yang patut menjadi tempat dan

mekanisme transformasi yang disepakati, dengan sendirinya

akan melahirkan entitas negara dan entitas warga, maka negara

harus menjamin kebebasan keyakinan dan keberagaman masing-

masing kelompok, bukan memberi hak luas kepada satu kelompok

dan mendiskriminasikan kelompok lain dan tentunya aturan

hukum tersebut bukan untuk mengawasi dan mengintimidasi

warga negara atau mendiskriminasikan kelompok agama lain.

Selanjutnya setiap konflik senantiasa terjadi benturan

kepentingan. Dalam konteks ini, ada yang menggunakan konflik

untuk mempertahankan status quo, diskriminasi, dan hegemoni,

ada juga yang menggunakan konflik untuk memacu perubahan

sosial bahkan sampai untuk memukul kelompok lain. Disini

konflik memiliki relasi-relasi sosial dengan kelompok yang

terlibat dengan segala kepentingannya mulai dari kepentingan

ekonomi, politik, negara dan kelompok sosial lain termasuk

dalam hal ini adalah konflik pendirian atau pembangunan yang

terjadi di desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.

Melalui tulisan ini kami akan menyoroti persoalan

pendirian rumah ibadah yang seringkali berujung pada konflik

bernuansa agama. Persoalan tersebut akan dilihat dari dimensi

dakwah dengan melakukan telaah terhadap regulasi pendirian

rumah ibadah, serta perspektif pesan dakwah tentang pendirian

rumah ibadah sebagai bagian dari hak umat beragama di

Indonesia.

Page 142: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 339

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Fenomena Pluralitas Agama Di Negara KitaBangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang

terdiri dari beragam agama, suku dan bangsa. Fakta adanya

pluralitas tersebut sejatinya menjadi sebuah keniscayaan.

Adanya keragaman isi alam serta respon dan refleksi manusia

atas lingkungannya telah melahirkan keragaman budaya,

peradaban, bahkan agama. Kesadaran untuk mengakui realitas

plural menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini dimaksudkan agar

masing-masing manusia dapat hidup bebas untuk menjadi

dirinya sendiri, sesuai dengan pencarian dan pilihannya, serta

dapat menghargai dan menghormati keberagamaan orang lain

Agama merupakan salah satu fenomena pluralitas yang

harus disadari setiap orang. Sejarah kehidupan manusia yang

panjang telah melahirkan kreatifitas budaya dalam berbagai

hal termasuk kreatifitas spititual. Dari kreatifitas spiritualnya

tersebut menunjukan bahwa manusia adalah mahluk spiritual (homo religious). Demikian juga bahwa fenomena pluralitas

agama juga mempunyai kecenderungan kuat terhadap penjagaan

identitas agama masing-masing, yang apabila dilakukan dengan

tanpa terkendali akan berpotensi menimbulkan konflik.

Untuk mewujudkan kerukunan hidup antar umat

beragama yang sejati, harus tercipta suatu konsep hidup

bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang

berbeda agama agar terhindar dari konflik. Kerukunan hidup

antar umat beragama harus dapat dikelola dan dijaga dengan

baik sehingga keragaman agama menjadi nilai yang hidup di

tengah masyarakat dan masyarakat minoritas dapat menikmati

hidup dengan tenang, baik dari segi kenyamanan beribadat,

ekonomi, sosial, dan budaya, bersama umat mayoritas (Islam)

tanpa adanya pertentangan, perselisihan atau konflik.

Terjadinya konflik yang bernuansa suku agama dan ras di

Page 143: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013340

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

sejumlah daerah di Indonesia nampaknya masih sering terjadi.

Hal ini didukung oleh kurangnya pemahaman masyarakat

terhadap hak asasi manusia. Perbedaan yang ada sering

memiliki potensi untuk menimbulkan tindakan yang melanggar

hak asasi manusia. Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong

terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain

yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan

merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari

Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama4.

Agama Islam dan agama Kristen merupakan dua di antara

agama terbesar di dunia. Keduanya akan menjadi cerminan

bagi peradaban agama di dunia yang pernah ada hingga saat

ini. Kedua agama tersebut mempunya akar sejarah dari nenek

moyang yang sama yaitu Nabi Ibrahim. Secara teologis, agama-

agama Ibrahim mempunyai ciri khas dengan kepercayaan pada

Tuhan Yang Maha Esa ( monoteisme), meskipun kedua agama

tersebut memiliki konsep monoteisme yang berbeda-beda. Oleh

karena itu, monoteisme ini dapat dianggap sebagai titik agama-

agama Ibrahim.

Islam merupakan kelanjutan dari agama Kristen dan

Yahudi, Islam tidak mengeklaim sebagai agama baru. Islam

menegaskan apa yang telah dibawa agama Kristen dan Yahudi.

Islam mengakui kebenaran dan keabsahan agama-agama

tersebut untuk membawa umatnya menuju keselamatan. Dengan

mengakui ini, Islam mendesak penganutnya untuk menjadi

dari pengakuan itu, artinya adalah menjadi kewajiban kaum

muslimin untuk menyatakan keimanan mereka pada agama-

agama tersebut.

Berkenaan dengan kaum Kristen dan Yahudi istilah

4 Noor Ma’rufin, Sosiologi Agama STAIN Kudus, 2006, hal 244.

Page 144: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 341

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

dalam “Ahli Kitab” banyak dibicarakan oleh para mufasir,

mereka mempersoalkan siapa yang tercakup dalam istilah

tersebut. Apakah istilah yang tercakup dalam ahli kitab hanya

mencakup orang-orang Kristen dan Yahudi sebelum kedatangan

Islam, dan bagaimana keabsahan agama Kristen dan Yahudi

setelah kedatangan Islam? Dan bagaimana dengan komunitas

agama yang mengeklaim mempunyai kitab suci, seperti orang-

orang Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaster, Sinto dan lain-lain,

apakah mereka juga bisa disebut ahli kitab? Apakah agama

tersebut juga dapat membawa umatnya menuju keselamatan?

Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain.

Namun, sekali lagi apa yang tertulis dalam kitab suci,

tidak selalu terjadi dalam kenyataan. Apa yang terjadi pada

masa-masa awal tidak selalu diikuti oleh generasinya. Kaum

muslimin sendiri tidak selalu melaksanakan perintah-perintah

al-qur’an uantuk berbuat baik terhadap ahli kitab dan berdebat

secara adil dengan mereka. Apa yang menjadi sejarah masa

silam adalah bahwa hubungan kaum Muslimin dengan Kristen

memburuk setiap waktu, setiap saat, dan dimanapun. Sementara

kehidupan pada masa Nabi Muhammad, kehidupan yang damai

dengan orang-orang Kristen begitu mencolok, namun generasi

berikutnya justru menghapus dan menggantinya dengan

ketegangan, kegelisahan serta konflik berkelanjutan.

Alwi Shihab mengatakan bahwa ada banyak faktor

yang menyebabkan ketegangan, perselisihan dan permusuhan

kaum Muslimin dan kaum Kristen. Ada banyak kepentingan

terlibat didalamnya, mulai dari kepentingan ekonomi, politik,

social, budaya hingga keamanan. Namun ada satu faktor yang

senantiasa mewarnai setiap konflik Muslim-Kristen yakni

perbedaan teologi, dimana Islam hanya menganut system

kepercayaan yang dikenal Islam dengan istilah tauhid (satu

Page 145: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013342

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Tuhan). Sementara Kristen menganut sistem trinitas, sebuah

konsep yang dianggap mengakui adanya tiga pribadi Tuhan,

sedang Islam menolaknya. Dengan memperhatikan pluralitas

masyarakat pada masa sekarang, paradigma lama yang sudah

dibangun hidup rukun bergandengan tangan akhirnya berbalik

saling memusuhi dan berlanjut sampai saat ini dan sepertinya

sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Eronisnya tidak hanya

masalah kepentingan ekonomi, politik, sosial, budaya hingga

keamanan. Namun ada satu faktor yang senantiasa mewarnai

setiap konflik termasuk sampai pada ketegangan pembangunan

tempat ibadah.

Beberapa peristiwa yang memicu terjadinya konflik

muncul berkaitan dengan pembangunan sarana ibadah yang

merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam mengungkapkan

haknya dalam beragama. Munculnya bangunan-bangunan yang

berkelamin agama (terutama agama minoritas) memunculkan

logika ancaman yang begitu besar. Setiap kali pembangunan

rumah ibadah, sekolah agama, rumah sakit/klinik, panti asuhan,

dan panti jompo milik agama minoritas, maka yang terlintas di

benaknya adalah adanya bahaya. Kalau yang mayoritas adalah

Muslim, maka Muslim akan terancam dengan munculnya

bangunan agama. Kalau Kristen yang mayoritas, maka mereka

akan terancam dengan bangunan ibadah agama lain, demikian

juga ketika di daerah Bali kalau muncul masjid, maka umat Hindu

sebagai mayoritas akan merasa terancam dengan berdirinya

masjid tersebut.

Hal ini juga dapat kita lihat dari kejadian-kejadian di

beberapa daerah, yakni betapa sulitnya mendirikan rumah

ibadah sebagai warga minoritas. Adanya kecurigaan terhadap

misi agama tertentu dalam mendirikan tempat ibadah tidak

dapat dinafikan. Tidak dapat dipungkri, ketegangan soal tempat

Page 146: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 343

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

ibadah ujungnya adalah soal kristenisasi meskipun hal ini tidak

selalu muncul kepermukaan. Isu ini sebenarnya sudah mempunyai

sejarah yang panjang dalam kehidupan di Indonesia.

Berdasarkan deskripsi diatas yang sudah kami uraikan,

maka kami merasa perlu dan tertarik untuk mengkaji serta lebih

dalam lagi tentang konflik pembangunan rumah ibadah dalam

komunitas muslim, melalui studi kasus hubungan Islam dan

Kristen di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.

Namun untuk mengkaji hal tersebut, maka perlu juga dikaji pula

faktor-faktor yang mempengaruhi dan upaya-upaya pencegahan

konflik tersebut.

Pokok Permasalahan Konflik Rumah Ibadah Berdasarkan Hukum

Menurut Imam Baehaqi, (2002:51)5, untuk mengelola

kehidupan umat beragama, Negara mengeluarkan kebijakan

melalui surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Agama no. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya, serta surat keputusan (SK) Menteri

agama no. 70 tahun 1978 tentang pedoman penyiaran agama

oleh Menteri agama6. Sebagaimana isi surat keputusan ini

merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan departemen

setempat, untuk membimbing, mengarahkan dan mngawasi

serta menyelesaikan pertentangan yang mungkin timbul secara

adil dan tidak memihak. Kebijakan yang mencerminkan campur

5Baehaqi Imam, 2002, Agama dan Relasi Sosial, Yogyakarta, LKiS, 2005, hal 51.

6http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah, diunduh 3 juni 2013.

Page 147: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013344

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

tangan Negara terhadap kehidupan umat beragama. Kebijakan ini

selanjutnya akan diuji secara materiil dalam praksis kehidupan

umat beragama di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Dalam upaya mengatur prosedur pendirian rumah

ibadah, pada masa lalu pemerintah telah menerbitkan

kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama

(SKB) No. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya7. Keberadaan SKB tersebut ternyata masih dirasa

cukup memojokan bagi kaum minoritas, terlebih umat Kristen-

Katolik yang memiliki banyak sekte, aturan ini dianggap sangat

membatasi. Bagi umat Islam yang kebetulan secara komposisi

minoritas disebuah wilayah juga terkena dampak yang

menyulitkan dari SKB ini. Dengan alasan bahwa umat Kristen

dianggap yang paling dirugikan dengan diberlakukannya SKB

ini, maka melalui Persekutuan Gereja Indonesia, dilontarkan

usulan akan perlunya pemerintah mencabut SKB tersebut.

Menurut Kustini (2009:2),dalam praktik dilapangan,

pemberlakuan SKB tersebut menemui berbagai kendala. Hal

ini terjadi karena beberapa faktor antara lain bahwa dalam SKB

tersebut masih terdapat kalimat multitafsir sehingga tidak ada

kejelasan mengenai siapa yang disebut sebagai pemerintah daerah,

siapa yang disebut sebagai pejabat pemerintah dibawahnya yang

dikuasakan untuk itu, dan siapa yang disebut sebagai organisasi

keagamaan dan ulama atau rohaniawan setempat8.

Pro dan kontra di masyarakat terkait keberadaan SKB

7http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah, diunduh 3 juni 2013

8 Kustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta: Balitbang Departemen Agama RI, 2009 hal 2

Page 148: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 345

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Nomor 1 Tahun 1969 juga terlihat diberbagai media massa.

Sebagian pemuka agama mengusulkan SKB tersebut dicabut,

sementara sebagian pemuka agama lainnya mengusulkan

untuk tetap dipertahankan. Untuk merespon permasalahan

ini, pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Dalam

Negeri) mengundang para wakil dari masing-masing majelis

agama antara lain Konferensi Gereja-gereja Indonesia, Majelis

Ulama Indonesia, Persatuan Gereja-Gereja Indonesia, Parisada

Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI), dan Perwakilan Umat

Budha Indonesia (WALUBI) untuk merevisi Surat Keputusan

Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor. 1

tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.

Melalui proses pembahasan dan dialog yang relatif

intensif, serius dan berulang-ulang selama lebih kurang enam

bulan dalam 11 kali pertemuan, akhirnya berhasil mencapai

kesepakatan yang kemudian pada tanggal 21 Maret 2006 telah

dikeluarkan kebijakan berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan

umat beragama melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun

2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/

Wakil Kepala Daerah dalam memelihara Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,

dan pendirian rumah ibadat.

Keberadaan regulasi yang baru tersebut diharapkan mampu

menjembatani dan mencegah potensi konflik yang ditimbulkan

oleh persoalan pendirian rumah ibadah. Pada umumnya potensi

konflik tersebut biasanya muncul karena beberapa persoalan,

diantaranya belum adanya penjelasan mengenai persyaratan dan

tata cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan rumah ibadat

Page 149: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013346

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

yang sering berlarut-larut, penyalahgunaan rumah tinggal atau

bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat, pendirian

atau keberadaan rumah ibadat yang sesuai dengan prosedur

yang berlaku dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat

setempat, pengaturan masing-masing pemerintah daerah yang

masih seragam atau bahkan masih banyak pemerintah daerah

yang belum memiliki regulasi untuk mengatur pendiriaan rumah

ibadat, serta kurangnya komunikasi antar pemuka agama disuatu

wilayah.

Ada beberapa ketentuan yang memang berbeda dengan

ketentuan yang ada apada regulasi sebelumnya. Pada Peraturan

Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini. beberapa ketentuan

tersebut diatur secara rinci dalam Bab IV pasal 13-17 Dalam

Pasal 13 disebutkan mengenai ketentuan dukungan sosiologis

dalam mendirikan rumah ibadah, disebutkan bahwa :

Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan 1. sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk

bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah

kelurahan/desa

Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 2. dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama,

tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta

mematuhi peraturan bangunan gedung.perundang-undangan.

Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama 3. di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1)

tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk

digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota

atau provinsi9.

Dalam pasal 14 juga disebutkan mengenai syarat

9 Ibid, Kustini

Page 150: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 347

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

administrasi dan dukungan komposisi jemaat dan warga

setempat dalam pendirian rumah ibadah :

Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan 1. administratif dan persyaratan teknis

Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada 2. ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan

khusus meliputi :

Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna 1) rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang

yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan

tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 ayat (3),

Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 2) (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala

desa;

Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama 3) kabupaten/kota; dan

Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.4) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada 5) ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf

b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban

memfasilitasi tersedianyalokasi pembangunan rumah

ibadah

Berkaitan dengan konfigurasi ketatanegaraan, menurut

Kustini, kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting.

Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal

mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan

kebebasan politik sampai pada pembangunan rumah ibadah.

Norma-norma itu berkisar dari doa yang diucapkan dalam

kesendirian hingga partisipasi aktif dalam kehidupan politik

suatu negara.

Page 151: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013348

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang

paling mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional

dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran

mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan

politik. Namun demikian, kebebasan beragama menemukan

jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan dengan

entitas negara. Di sini muncul perdebatan mengenai gugus

negara apa yang harus dibentuk supaya kebebasan beragama

tidak teraniaya. Sejauh mana legitimasi moral dan hukum

bahwa negara boleh “mengelola” tindakan-tindakan yang

bertolak tarik dengan kebebasan beragama. Bagaimanapun juga

kerangka yang bernurani untuk membaca kebebasan beragama

berhadapan dengan kekuasaan dan kepentingan umum dalam

tarikan nafas HAM.

Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan

bernegara itu ternyata melahirkan debat tiada berkesudahan

mengenai kebebasan beragama dan gugus negara. Dalam studi

ilmu negara lazim diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk

pertama-tama melindungi HAM warganegara dan memberikan

kesejahteraan secara optimal

Bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan

bernegara. Para pengamat sosial merumuskan beberapa teori

untuk membaca hubungan agama dengan negara, yang antara lain

dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma

integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.

Dalam gugus negara dengan paradigma integralistik, agama

dan negara menyatu, jadi wilayah agama mencakup wilayah

politik atau negara. Oleh karena itu, negara merupakan lembaga

politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini yang kemudian

melahirkan paham negara-agama, di mana kehidupan kenegaraan

diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip kegamaan.

Page 152: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 349

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Agama merupakan ruh, spirit yang harus masuk ke

negara. Sementara negara adalah badan, raga yang mesti

membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini, keberadaan negara

tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial

dari masyarakat manusia yang bersifat sekular, akan tetapi lebih

dari itu, negara dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya

dari idealisme ketuhanan, sementara agama adalah substansi

untuk menegakkan keadilan semesta.

Dari berbagai uraian teori diatas dapat kita tarik

kesimpulan bahwa keberadaan regulasi yang baru tersebut

diharapkan mampu menjembatani dan mencegah potensi konflik

yang ditimbulkan oleh persoalan pendirian rumah ibadah. Pada

umumnya potensi konflik tersebut biasanya muncul karena

beberapa persoalan, diantaranya belum adanya penjelasan

mengenai persyaratan dan tata cara pendirian rumah ibadah,

Pada Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini.

Ada beberapa ketentuan tersebut diatur secara rinci dalam Bab

IV pasal 13-17 dalam Pasal 13 disebutkan mengenai ketentuan

dukungan sosiologis dalam mendirikan rumah ibadah. Ketika

pendekatan dan mengikuti persyaratan dan tata cara pendirian

rumah ibadah dipenuhi niscaya kesenjangan dan potensi konflik

pembangunan rumah ibadah akan bisa kita atasi bersama tanpa

ada yang dirugikan kedua belah pihak.

Konflik Pembangunan Rumah IbadahKonflik berasal dari kata kerja latin Configure, yang berarti

saling memukul, yang dimaksud dengan konflik sosial adalah salah

satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain

didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling

mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik

sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua

Page 153: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013350

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative

sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dengan demikian,

terjadilah persaingan hingga menimbulkan suatu benturan-

benturan fisik baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar.

Konflik merupakan sikap saling mempertahankan diri sekurang-

kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan

pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga

mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik

dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan

(the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan

lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan

sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap

di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain

sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan

tujuan masing masing.

Beberapa peristiwa konflik sosial yang disebabkan oleh

persoalan rumah ibadat masih terus terulang dan belum ada model

penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Sederet

peristiwa konflik karena persoalan rumah ibadah masih mewarnai

kehidupan umat beragama di Indonesia. Konflik pendirian

tempat ibadah (terutama gereja) ini bisa jadi akan membesar

di masa mendatang. Ini karena perpindahan warga, munculnya

perumahan-perumahan baru, dengan masuknya pendatang yang

beragama beda dengan warga lokal. Survei yang dilakukan

oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan adanya

persepsi yang berbeda antara warga Islam dan Kristen dalam

melihat pendirian tempat ibadah.

Dalam hal ini perlunya pemahaman bahwa persoalan

pendirian rumah ibadah bukanlah berada dalam ruang kosong.

Ia harus menjadi bagian dari komunitas sosial (masyarakat)

yang terkadang tidak identik dengan pemeluknya, tetapi lebih

Page 154: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 351

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

luas lagi ia berada dalam tatanan ruang sosial dan psikologis

sekaligus karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat tepat apabila

pendirian rumah ibadat harus mendapat dukungan sosiologis

masyarkat setempat. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 13

ayat 1, 2 dan 3 PBM Nomor 9 dn 8 Tahun 2006 maka syarat

dukungan sosiologis pendirian rumah ibadat diantaranya:

Didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh 1. berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan

umat beragama yang bersangkutan di wilayah desa/

kelurahan ;

Dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat 2. beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban

umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan;

Jika syarat keperluan nyata bagi pelayanan umat di 3. wilayah kelurahan atau desa tidak terpenuhi, maka

didasarkan pada pertimbangan komposisi jumlah

penduduk pada batas wilayah kecamatan atau kabupaten/

kota atau propinsi.

Syarat dukungan Sosiologis sangat dibutuhkan apabila

ditinjau dari segi hukum, oleh karenanya pengaturan tersebut

harus dihubungkan dengan penafsiran sistematis kepada landasan

politik. Pendirian rumah ibadat secara fisik berkaitan dengan

kepentingan umum terutama peruntukan sebuaah lokasi yang

dikaitkan dengan berbagai kepentingan termasuk tata ruang.

Dalam PBM tersebut juga ditegaskan mengenai

pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),

prinsip yang dianut oleh Peraturan Bersama ini adalah bahwa

pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama

umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan

dan pemberdayaan umat beragama. Dengan demikian, maka

Page 155: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013352

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

umat beragama bukanlah objek melainkan adalah subjek di dalam

upaya pemeliharaan kerukunan dan peramaian. Oleh karenanya,

agar pemberdayaan umat beragama dapat terlaksana dengan

baik, maka diperlukan adanya suatu wadah di tingkat lokal dalam

hal ini kabupaten/kota dan provinsi untuk menghimpun para

pemuka agama baik yang memimpin maupun tidak memimpin

ormas keagamaan yang menjadi panutan masyarakat. Wadah ini

disebut Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dengan

maksud akan menjadi tempat dimusyawarahkannya berbagai

masalah keagamaan lokal dan kemudian dicarikan jalan

keluamya.

FKUB bertugas melakukan dialog dengan pemuka agama

dan masyarakat, menampung dan menyalurkan aspirasi ormas

keagamaan dan masyarakat dan melakukan sosialisasi peraturan

perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang

berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan

masyarakat. Khusus FKUB tingkat kabupaten/kota salah

satu tugasnya adalah memberikan rekomendasi tertulis atas

permohonan pendirian rumah ibadat. FKUB bukan dibentuk oleh

Pemerintah, tetapi dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi

oleh Pemerintah.

Hubungan Sosial Budaya Masyarakat Islam dan Kristen Desa Payaman a). Masyarakat Islam Desa Payaman

Masyarakat menurut ilmu Sosioligi adalah golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia, yang dengan kata lain atau karena sendirian bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya.

Pengertian masyarakat yang menjadi titik poin adalah pengaruh dan pertalian batin yang terjadi dengan sendirinya

Page 156: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 353

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

atau menjadi unsur yang harus ada dalam masyarakat. Keberadaan masyarakat bukannya dengan menjumlahkan orang-orang yang masuk saja, diantara mereka harus ada pertalian satu sama lainnya. Sedikitnya tiap anggota sadar akan adanya orang lain itu dalam tiap langkahnya. Kalau cara memperhatikan itu telah menjadi adat, tradisi atau lebih lagi menjadi lembaga, maka perhatian itu tetap dipelihara sekalipun tidak ada seseorang didekatnya. Umpamanya saja karena memperhatikan adanya orang laindan supaya berjalan tidak bentrokan dengan dia, maka orang berjalan disebelah kiri jalan.

Kemudian masyarakat islam adalah kelompok manusia yang hidup dan terciptanya kebudayaan islam atas apa saja yang diamalkan oleh kelompok itu. Kelompok manusia yang mengamalkan kebudayaan Islam dengan sendirinya adalah mereka yang beragama Islam. Kenapa demikian? Kebudayaan Islam ialah pernyataan cara berfikir dan cara mereka bertaqwa. Taqwa adalah sikap yang dibentuk oleh agama, kebudayaan Islam adalah lanjutan dari agama Islam. Kebudayaan itu adalah cara hidup kelompok yang beragama. Agama dan kebudayaan disatukan oleh syari’at dalam ad-diin. Agama adalah syari’at dalam hubungan manusia dengan tuhannya dan kebudayaan adalah syari’at hubungan manusia dengan manusia10.

Semantara itu yang kami maksud masyarakat Islam Desa Payaman adalah sekelompok masyarakat yang tergabung dalam ikatan social yang berada di wilayah Desa Payaman dan tentunya memeluk agama Islam. Adapun dilihat dari demografi kependudukan masyarakat Desa

10 Khadiq, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama Masyarakat, Yogyakarta, Teras 2009 hal 61

Page 157: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013354

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Payaman adalah mayoritas memeluk agama Islam, baik dari penduduk asli maupun pendatang sampai saat ini mayoritas kependudukan masyarakat tersebut adalah beragama Islam. Hal ini di kuatkan data atau arsip kependudukan di kantor pemerintahan Desa Peyaman menunjukkan 99 % masyarakat Desa Payaman beragama Islam11.Hal ini juga dikuatkan aktifitas kegiatan ubudiyah dan kegiatan keagamaan seperti, majlis-majlis ta’lim, kegiatan-kegiatan Ibu-ibu PKK yang dikemas dengan mejlis ta’lim, juga beberapa kegiatan arisan remaja dan orang tua juga dikemas dalam wadah jam’iyyah keagamaan.

b). Masyarakat Kristen Desa Payaman Sebenarnya yang perlu kami rumuskan dalam

menggambarkan keadaan masyarakat Kristen yang ada diwilayah Desa Payaman adalah tidak jauh berbeda dengan gambaran secara umum masyarakat Islam yang ada di Desa Payaman. Hanya saja ketika kami berbicara tentang masyarakat Islam di desa tersebut sebagai masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah memeluk Agama Islam. Akan tetapi ketika kita berbicara tentang masyarakat Kristen yang berada di Desa Payaman justru sebaliknya, artinya dalam masyarakat tersebut yang memeluk agama Kristen adalah hanya sebagian kecil dari jumlah penduduk Desa Payaman.

Menurut arsip dari kependudukan masyarakat Desa Payaman pada terhitung 1 Juli 2012 hanya sekitar 66 orang, itupun data diambil dari usia menurut usia dan jenis kelamin. Jumlah tersebut mulai dari usia 01 tahun sampai dewasa, yang terdiri dari 19 kepala keluarga (KK) dalam 16 rumah,

11Data diambil dari arsip kependudukan menurut agama dan jenis kelamin Desa Payaman 2013

Page 158: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 355

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

dengan jumlah keseluruhan Juli 2012 tercatat 66 orang. Adapun kegiatan keagaman yang mereka lakukan hanya 1 bulan sekali dan 1 pekan sekali kegiatan ke gereja12 Hal ini sangat berbeda jauh dengan aktivitas keagamaan masyarakat Islam desa tersebut yang hamper tiap malam dalam tiap sepekan selalu ada aktifitas keagamaan, mulai dari majlis ta’lim aanak-anak, remaja, laki-laki perempuan, bapak-bapak sampai ibu-ibu rumah tangga. Belum lagi kegiatan kemasyarakatannya yang bersifat social juga dikemas dengan bentuk ibadah. Sementara itu dalam aktivitas kegiatan keagaman masyarakat Desa Payaman walaupun tidak saling mengejek, akan tetapi bila masalah kegiatan keagamaan ada yang mengusik masyarakat Desa Payaman akan merasa sensitive dengan kata lain fanatik. Ini terbukti ketika masyarakat Kristen tersebut mau mendirikan sebuah tempat ibadah di Desa Payaman, sampai saat ini masih merupakan konflik dan sampai saat ini masih belum terwujud tempat ibadah orang Kristen Payaman. Hal ini sebenarnya bukan berawal dari kefanatikan masyarakat Islam Desa Payaman akan tetapi langkah dan cara masyarakat Kristen tersebut yang kurang tepat.

Kekurang tepatan ini membuat masyarakat Islam sebagai masyarakat yang mayoritas merasa tertipu dan dikhianati, diantaranya adalah waktu itu dari masyarakat Kristen meminta KTP dan mngisi biodata lengkap dengan tanda-tangan untuk mendapat bantuan dari para dermawan yang peduli dengan masyarakat miskin. KTP dan tanda-tangan tersebut rupanya dimanfaatkan oleh orang Kristen untuk bukti persetujuan masyarakat sekitar untuk pendirian

12 Data wawancara diambil dari pemuka agama Kristen Desa Payaman kepada Bapak Kasmin pada bulan Juli 2013.

Page 159: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013356

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

rumah ibadah atau sebuah gereja. Belum sempat pendirian dan izin pembangunan rumah ibadah keluar, adalah salah satu masyarakat yang tahu maksud niat balik itu semua akhirnya semua KTP lengkap dengan tanda-tangannya diambil dan diminta oleh orang Islam Desa Payaman dan sampai pada hari ini sudah lebih dari enam tahun silam pembangunan rumah ibadah orang Kristen belum sempat terealisasi. Adapun masyarakat Kristen yang tergabung dalam masyarakat desa Payaman ketika kebaktian di Gereja adalah masih menggabung di daerah tetangga Desa dan sampai saat ini.

Analisis Konflik Pembangunan Rumah Ibadah dalam komunitas muslim Desa Payaman

Konflik pendirian tempat ibadah (terutama gereja)

ini bisa jadi akan membesar di masa mendatang. Ini karena

perpindahan warga, munculnya perumahan-perumahan baru,

dengan masuknya pendatang yang beragama beda dengan warga

lokal. Melihat beberapa survai kasus yang terjadi dibeberapa

tempat pembangunan rumah ibadah dalam wilayah yang

mayoritas memang cukup sulit, artinya tidak semudah apa yang

kita harapkan. Hal ini juga terjadi pada pembangunan rumah

ibadah di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.

Hal ini juga atas dasar ketetapan pemerintah dalam perundang-

undangan termasuk dalam ketetapan UUD 1945. Bila dilihat

dari perspektif hukum, tujuh tahun Era Reformasi (1998 -2006)

pada umumnya telah lahir kebijakan nasional yang mendasar

dan konstruktif dalam pembangunan dan jaminan kebebasan

beragama. Perubahan UUD 45 dalam 4 tahap (1999-2002) yang

menyangkut hak keagamaan warga negara dan beberapa legislasi

hukum nasional yang berkaitan dengan masalah keagamaan

banyak dipengaruhi oleh prinsip HAM.

Page 160: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 357

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Mengacu tentang dasar hukum lagi adalah bila minoritas

ingin membuat tempat ibadah, sementara syarat dan aturan

izin pembuatan rumah tidak terpenuhi sebenarnya itu bukan

karena factor masyarakat yang mayoritas bukan dan bukan

fanatic masyarakat seperti yang sudah diuraikan diatas akan

tetapi karena dasar hukum tidak membolehkan. Hal ini menurut

pemahaman kami adalah karena berbagai faktor diantaranya

adalah memang belum mencapai standar pencapaian minimal.

Selanjutnya Syarat dukungan Sosiologis diatas

diterjemahkan dalam bentuk Persyaratan Administratif antara

lain mencakup persyaratan yang bersifat khusus, sebagaimana

yang termuat dalam pasal 14 ayat 2 PBM No. 8 dan 9 Tahun

2006 yang pada intinya mencakup :

Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat minimal 1. 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempaat sesuai

dengan tingkat batas wilayah

Dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang 2. disahkan oleh lurah/kepala desa.

Rekomendasi tertulis oleh Kepala Kantor Departemen 3. Agama kabupaten/kota, dan

Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota4. 13.

Dalam pasal 16 PBM juga diatur mengenai syarat

prosedural pengajuan permohonan izin pendirian rumah ibadah

kepada pemerintah daerah. Pengajuan tersebut dilakukan oleh

panitia pembangunan rumah ibadat dan ditujukan kepada

bupati/walikota. Dalam jangka waktu maksimal 90 hari izin tadi

sudah harus diputuskan. Dalam perspektif hukum adminstrasi

negara, menurut Sjahran Basah, izin merupakan perbuatan

13http://www.membuatblog.web.id/2010/07/kemajemukan-masyarakat-indonesia.html, diunduh 19 Mei 2013

Page 161: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013358

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

hukum administrasi negara yang mengaplikasikan peraturan

dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur

sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan. Perizinan sering dipandang sebagai instrumen yuridis

pemerintah untuk tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan,

tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum. Kewenangan

pemerintah, termasuk pemerintah daerah dalam permohonan

pendirian rumah ibadat ini terkait dengan kewenangan dalam

penataan ruang, kehidupan beragama, dan menjaga ketertiban

umum.

Melihat dasar hukum tersebut Nampak jelaslah bagi

kita khususnya bagi masyarakat minoritas yang berada di Desa

Payaman, yaitu masyarakat Kristen wajar bila sampai saat ini

pembangunan rumah ibadah belum sampai terealisasikan karena

memang berdasarkan aturan perundang-undangan juga belum

masuk standar minimal. Belum lagi saat kaum minoritas mau

mendirikan tempat ibadah adalah meka lakukan berbagai cara

dan ingin membohongi masyarakat Islam setempat sebagai

masyarakat mayoritas Islam dengan jalan mengumpulkan KTP

dan Tanda-tangan dengan alasan nanti akan ada pembagian

sumbangan dari para dermawan bagi kaum tidak mampu

(ekonomi), sesuai yang sudah di singgung di atas14.

Analisis Hubungan Islam Dengan Kristen Di Desa PayamanSepanjang tahun 2011, konflik yang berlatar belakang

agama terjadi kembali seperti tahun-tahun sebelumnya. Peristiwa

yang paling banyak menyita perhatian adalah peristiwa GKI

Yasmin di Bogor, Konflik Maluku, dan bentrok antara Sunni-

Syi’ah di Sampang Madura pada penghujung tahun 2011.

14 Hasil wawancara dengan KH. Ahmad Shobar, selaku tokoh agama Islam di Desa Payaman pada bulan Juni 2013.

Page 162: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 359

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Kejadian-kejadian tersebut sebetulnya merupakan letupan yang

berasal dari tahun-tahun sebelumnya. Bila dikerucutkan, kasus-

kasus konflik yang bermotif keagamaan ini bermuara pada dua

persoalan, yaitu hubungan antara Islam-Kristen dan hubungan

antara Islam dengan aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah,

Syiah, dan sebagainya.

Realitas konflik semacam ini tentu merupakan hal yang

tidak diharapkan terjadi. Semua berharap agar semua pihak

berdampingan secara damai. Untuk mewujudkan hal tersebut

tentu saja harus ada kesadaran dari semua pihak untuk bertindak

lebih arif dalam melihat konflik-konflik tersebut dan berlaku

adil terhadap semua pihak sesuai dengan porsinya. Keinginan ini

dalam banyak kasus justru malah tidak dapat terwujud karena

provokasi media yang cenderung berat sebelah. Untuk menuju

ke arah sana tulisan ini ingin melihat realitas konflik terebut

dan kemudian diambil pelajaran untuk memprediksi kasus-

kasus serupa pada tahun 2012. Bangsa Indonesia merupakan

masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama, suku

dan bangsa. Fakta adanya pluralitas tersebut sejatinya menjadi

sebuah keniscayaan.

Adanya keragaman isi alam serta respon dan refleksi

manusia atas lingkungannya telah melahirkan keragaman

budaya, peradaban, bahkan agama. Kesadaran untuk mengakui

realitas plural menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini dimaksudkan

agar masing-masing manusia dapat hidup bebas untuk menjadi

dirinya sendiri, sesuai dengan pencarian dan pilihannya, serta

dapat menghargai dan menghormati kebeagamaan orang lain.

Agama merupakan salah satu fenomena pluralitas yang

harus disadari setiap orang. Sejarah kehidupan manusia yang

panjang telah melahirkan kreatifitas budaya dalam berbagai

hal termasuk kreatifitas spititual. Dari kreatifitas spiritualnya

Page 163: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013360

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

tersebut menunjukan bahwa manusia adalah mahluk spiritual (homo religious) Demikian juga bahwa fenomena pluralitas

agama juga mempunyai kecenderungan kuat terhadap penjagaan

identitas agama masing-masing, yang apabila dilakukan dengan

tanpa terkendali akan berpotensi menimbulkan konflik.

Untuk mewujudkan kerukunan hidup antar umat

beragama yang sejati, harus tercipta suatu konsep hidup

bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang

berbeda agama agar terhindar dari konflik. Kerukunan hidup

antar umat beragama harus dapat dikelola dan dijaga dengan

baik sehingga keragaman agama menjadi nilai yang hidup di

tengah masyarakat dan masyarakat minoritas dapat menikmati

hidup dengan tenang, baik dari segi kenyamanan beribadat,

ekonomi, sosial, dan budaya, bersama umat mayoritas (Islam)

tanpa adanya pertentangan, perselisihan atau konflik.

Terjadinya konflik yang bernuansa suku agama dan ras di

sejumlah daerah di Indonesia nampaknya masih sering terjadi.

Hal ini didukung oleh kurangnya pemahaman masyarakat

terhadap hak asasi manusia. Perbedaan yang ada sering

memiliki potensi untuk menimbulkan tindakan yang melanggar

hak asasi manusia. Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong

terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain

yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan

merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari

Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama.

Sementara yang terjadi di Desa Payaman justru

sebaliknya, bahkan seperti main peta umpet atau main kucing-

kucingan. Tidak transparan dan justru hal ini akan membuat

masyarakat mayoritas semakin geram karena merasa dibohongi

dan wajar bila hal ini justru masyakarat semakin curiga dibalik

misi dakwahnya orang minoritas.

Page 164: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 361

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

PenutupKonflik yang disebabkan persoalan rumah ibadah

misalnya, ini merupakan persoalan yang serius dan cukup sensitif.

Oleh karenanya masalah ini harus disikapi dengan bijaksana

atau dengan pendekatan aturan hukum Negara. Gagasan ini

dapat diartikan bahwa negara menjadi tempat dan mekanisme

transformasi yang disepakati, dengan sendirinya wilayah negara

melahirkan entitas negara dan entitas warga, maka negara harus

menjamin kebebasan keyakinan dan keberagaman masing-masing

kelompok, bukan memberi hak luas kepada satu kelompok dan

mendiskriminasikan kelompok lain dan tentunya aturan hukum

tersebut bukan untuk mengawasi dan mengintimidasi warga

negara atau mendiskriminasikan kelompok agama lain.

Menurut Alwi Shihab bahwa ada banyak faktor yang

menyebabkan ketegangan, perselisihan dan permusuhan kaum

Muslimin dan kaum Kristen. Ada banyak kepentingan terlibat

didalamnya, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, social,

budaya hingga keamanan. Namun ada satu faktor yang senantiasa

mewarnai setiap konflik Muslim-Kristen yakni perbedaan

teologi, dimana Islam hanya menganut system kepercayaan

yang dikenal Islam dengan istilah tauhid (satu Tuhan).

Beberapa peristiwa yang memicu terjadinya konflik

muncul berkaitan dengan pembangunan sarana ibadah

adalah munculnya bangunan-bangunan yang berkelamin

agama (terutama agama minoritas). Pada umumnya potensi

konflik tersebut biasanya muncul karena beberapa persoalan,

diantaranya belum adanya penjelasan mengenai persyaratan dan

tata cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan rumah ibadat

yang sering berlarut-larut, penyalahgunaan rumah tinggal atau

bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat, pendirian

atau keberadaan rumah ibadat yang sesuai dengan prosedur

Page 165: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013362

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

yang berlaku dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat

setempat, pengaturan masing-masing pemerintah daerah yang

masih seragam atau bahkan masih banyak pemerintah daerah

yang belum memiliki regulasi untuk mengatur pendiriaan rumah

ibadat, serta kurangnya komunikasi antar pemuka agama disuatu

wilayah.

Sementara yang terjadi di Desa Payaman justru

sebaliknya, bahkan seperti main peta umpet atau main kucing-

kucingan. Tidak transparan dan justru hal ini akan membuat

masyarakat mayoritas semakin geram karena merasa dibohongi

dan wajar bila hal ini justru masyakarat semakin curiga dibalik

misi dakwahnya orang minoritas.

Page 166: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 363

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

DAFTAR PUSTAKA

Baehaqi Imam, 2002, Agama dan Relasi Sosial, Yogyakarta, LKiS

Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 2010, Konseling Religi, Fakultas Dakwah, Stain Kudus

K. Nattingham, Elizabet, 2002, Agama dan Masyarakat, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Kustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta: Balitbang Departemen Agama RI, 2009.

Khadiq, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama Masyarakat, Yogyakarta, Teras 2009 hal 61

Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Strategi dan Metode Dakwah, Semarang: RaSAIL.

Data wawancara diambil dari pemuka agama Kristen Desa Payaman kepada Bapak Kasmin pada bulan Juli 2013.

Data diambil dari arsip kependudukan menurut agama dan jenis kelamin Desa Payaman 2013

Data diambil dari pemuka agama Kristen Desa Payaman kepada Bapak Kasmin pada bulan Juli 2013.

Hasil wawancara dengan KH. Ahmad Shobar, selaku tokoh agama Islam di Desa Payaman pada bulan Juni 2013.

Sumber bacaan lain :

Abdul Djalil Maman dkk, 2001, Prinsip dan Strategi Dakwah Islam, Bandung, Bumi Aksara

Amin Masyahur, 1997, Dakwah Islam dan Pesan Moral , Yogyakarta: Al-Amin Press

Ayoub Mustafa, 2007, Mengurai Muslim-Kristen dalam Perspektif

Page 167: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013364

Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Islam, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru

Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama, oleh Muhammad M Basyuni, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006

Sarapung Elga, 2004, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah

http://www.membuatblog.web.id/2010/07/kemajemukan-masyarakat-indonesia.html

Page 168: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 365

PANDANGAN IMAM AZ-ZAMAKHSYARY TENTANG KALAM ALLAH (AL-QUR’AN)

Ma’mun Mu’minSTAIN Kudus

Email: [email protected]

ABSTRAK

Sebagai seorang Mu’tazilah, Imam az-Zamakhsyary sudah sepantasnya pada setiap kesempatan membela madzhabnya, tidak terkecuali ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, seperti ketika ia dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai eksistensi Kalam Allah (al-Qur’an).Tulisan ini bermaksud mengungkap lebih jauh pendapat az-Zamakhsyary mengenai eksistensi Kalam Allah (al-Qur’an), apakah ia qadim atau baharu. Setelah diteliti, dengan menggunakan metode maudlu’i, terhadap beberapa ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2) ayat 1,2, 23, dan 89, Q.S. al-Hijr (15) ayat 87, Q.S. az-Zukhruf (43) ayat 1-4, dan Q.S. al-Qadr (97) ayat 1-5, dapat disimpulkan bahwa Imam az-Zamakhsyary berpendapat bahwa Kalam Allah (al-Qur’an) adalah hadis (baru). Ia beralasan, Kalam Allah yang kita kenal sekarang adalah kalam yang diturunkan, terdiri dari untaian huruf hijaiyah, menggunakan bahasa Arab,

Page 169: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013366

ditulis dalam bentuk mushaf, dan digandakan dalam bentuk cetakan.

Kata Kunci: Az-Zamakhsyary, Kalam Allah, dan al-Qur’an.

Biografi Imam Az-ZamakhsyaryNama lengkap az-Zamakhsyary yaitu Abul Qasim

Muhammad bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmiy al-

Hanafiy al-Mu’taziliy, yang bergelar Jarullah (tetangga Allah)

(az-Zahabi, Jilid 1, 1976: 429), dan Taj al-Islam (mahkota Islam).

Beliau di lahirkan pada tahun 467 H. Disebuah dusun bernama

Zamakhsyar terletak di daerah Khurasan (Turkistan) (Abdul

Halim Mahmud, 1967: 105, Mahmud Basuni Faudah, 1967:

115, dan az-Zahabi, Jilid 1, 1976: 429). Dia pergi ke Bagdad

dan menuntut ilmu pada ulama-ulama besar di sana. Kemudian

beliau pergi ke Khurasan, di sana kariernya semakin menanjak

dan namanya semakin termasyhur ke mana-mana. Banyak

Ulama berguru kepadanya, dan beliau menjadi pemuka berbagai

cabang ilmu pada zamannya.

Tidak dapat dipungkiri, az-Zamakhsyary adalah seorang

imam besar dalam bidang tafsir, hadits, nahwu, bahasa, serta

kesusasteraan. Di antara sekian banyak karangannya adalah:

Asraru al-Balagah (tentang bahasa), al-Mufassal (tentang

nahwu), serta Ru’usu al-Masa’il (tentang fiqh). Puncak

karanganya yang paling besar adalah kitab Tafsir al-Kasysyaf an Haqa’iqit Tanzil wa ‘Uyuni al-aqawil fi Wujuhi at-Ta’wil. Kitab

ini beliau karang ketika tinggal di kota Mekkah (Abdul Hay al-

Farmawi, 1976: 29).1

Karena ia seorang yang jenius dan ahli dalam bidang

1Baca juga, Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, (Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961), hlm. 430.

Page 170: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 367

nahwu, bahasa, adab, serta tafsir, pendapat-pendapatnya dalam

bidang bahasa ini, diakui oleh para ulama karena keorisinilannya.

Hal ini tentunya sangat berharga dan sebagai asset yang sangat

besar bagi kalangan Mu’tazilah serta kalangan Hanafiyah,

sebagai aliran dalam bidang teologi dan madzhab di bidang fiqh

yang beliau anut (Manna’ul Qaththan, 1973: 369).

Az-Zamakhsyary wafat tahun 538 Hijriyah di daerah

Jurjaniayh, wilayah Khwarizmy sekembalinya dari tanah suci

Makkah. Masa hidup ia adalah masa keemasan bagi ilmu

tafsir, karena di masa itu lahir kitab-kitab tafsir besar, seperti

al Baghawy, ath-Thabary, Ibnu Araby, dan lain-lain kitab tafsir

penting, diabadikan kepada Kitabullah Ta’ala.2

Metode dan Sistematika Tafsir al-KasysyafImam az-Zamakhsyary memiliki keistimewaan yang

membedakannya dari mufasir sebelumnya, sezamannya,

dan sesudahnya. Keistimewaan tersebut berbungan dengan

pendapatnya tentang rahasia-rahasia balaghah yang terkandung

dalam al-Qur’an. Ia menyuguhkan kepada masyarakat sebuah

kitab tafsir besar yang tidak ada persamaannya (Mahmud

Basuni Faudah, 1967: 116). Sebagai bukti kecerdasan dan

kecermatannya dalam mengungkap isyarah-isyarah yang jauh

supaya terkandung makna ayat dalam rangka mendukung faham

Mu’tazilah serta menolak atas lawan-lawannya (Manna’ul

Qaththan, 1973: 369).

Sekalipun Imam Az-Zamakhsyary seorang tokoh ulama

Mu’tazilah yang gigih membela madzhabnya, dan mengecam

ulama-ulam Ahlus Sunnah dengan kata-kata yang sinis, namun

setiap orang yang berpegang teguh pada kebenaran pasti akan

2Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, hlm. 431.

Page 171: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013368

menyanjung namanya. Tafsir al-Kasysyaf diakui sebagai tidak

ada bandingannya dalam lapangan kebahasaan (balaghah). Para

ulama Sunni sekalipun banyak mengambil manfaat dari tafsir

ini (Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116).

Kitab tafsir Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, disusun selama tiga

tahun, mulai dari tahun 526-528 H, di Makkah al-Mukarramah,

ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang

kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri

yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini,

ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan

lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.

Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi, dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa

dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat

yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang

Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang

populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan

gramatika atau nahwu.

Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir

yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan

atas pandangan mu’tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan

Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-

Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara

lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang

menguasai balaghah dan ta’wil.

Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas

secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-

Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah

wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan

Page 172: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 369

al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya

dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin

lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang

pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek

kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di

mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk

menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-

Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas

pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan

pada tafsir az-Zamakhsyary. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi,

dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.

Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti

aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij

Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap

pandangan-pandangan Mu’tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf)

oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir

al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai

syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin

Affandi.

Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri

atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama.

Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang

oleh az-Zamakhsyary disebut sebagai khutbah al-Kitab yang

berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab

tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-

Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi

penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah

al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat

yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat

Page 173: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013370

yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid

keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah

Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-

Nas (surah ke-114).

Az-Zamakhsyary melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat al-Qur’an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyary sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.

Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika az-Zamakhsyary ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid az-Zamakhsyary dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan.

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra. Disisi lain tafsir ini banyak dijadikan sebagai

Page 174: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 371

obyek kajian para ulama,yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur’an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.

Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu: (1) Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah, (2) Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi, (3) Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa, (4) Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu, (5) Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at, (6) Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh, (7) Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan (8) Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.

Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyary dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu’tazilah.

Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan

asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa

keistimewaan yang dimiliki tafsir al-Kasysyaf, yaitu: (a)

Page 175: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013372

terhindar dari cerita-cerita israiliyyat, (b) terhindar dari

uraian yang panjang, (c) dalam menerangkan pengertian kata

berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa

yang mereka gunakan, (d) memberikan penekanan pada aspek-

aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa

ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan (e) dalam melakukan

penafsiran ia menempuh metode dialog.

(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsir wa Rijaluhu

karya al-fadhil Ibn ‘Asyur, kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun karya

Abdur Rahman Ibn Khaldun, kitab Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an

karya Manna’ al-Qaththan, kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi, kitab Al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby, dan

kitab Al-Isra’iliyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir karya

Muhammad bin Muhammad Abu Shabah.

Corak Tafsir al-KasysyafSecara garis besar, corak tafsir dapat kita kategorikan

menjadi tiga kelompk besar, yakni Tafsir bil al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir bi al-Isyar’. Pembagian ini kiranya telah

menjadi suatu kesepakatan di kalangan mufassir baik salaf

maupun khalaf (Manna’ul Qaththan, 1987). Berbicara masalah

tafsir Az-Zamakhsyary, tafsir ini termasuk pada kategori kedua,

yaitu tafsir bi al-Ra’yi, hal ini di karenakan karena pendekatan

yang telah dilakukan Az-Zamakhsyary dengan pendekatan

kebahasaan (balaghah), bayan, adab, serta nahwu dan sharaf

(Manna’ul Qaththan, 1987: 369 dan az-Zahabi, Jilid 1, 1976:

430). Kesemuannya ini dalam rangka penyajiannya sangat

menguras kekuatan rasional (ra’yu) sebagai salah satu kode etik

tafsir bi al-Ra’yi.

Namun di sini, para ulama berbeda pendapat tentang

Page 176: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 373

tafsir az-Zamakhsyary, ada yang memasukkannya ke dalam

tafsir yang tercela, lantaran di dalamnya terdapat paham-paham

Mu’tazilah, Ada pula yang memasukkannnya ke dalam tafsir

yang terpuji, karena di dalamnnya terdapat banyak faedah

ilmiyyah yang penting (M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1972: 226).

Penafsiran az-Zamakhsyary Mengenai Kalam Allah (al-Qur’an)

Imam az-Zamakhsyary adalah seorang Mu’tazily3, yang

bermazhab Hanafi dalam bidang fiqh (Az-Zahabi, Jilid 1, 1976:

429, Abdul Halim Mahmud, 1984: 105, Manna’ul Qaththan,

1973: 369), dan karena dia seorang Mu’tazilah,4 maka sudah

barang tentu ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, ia

berlandaskan serta bertitik tolak pada Pancasila Mu’tazilah

(Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116-117).

Demikian pula bagaimana sikap az-Zamakhsyary

ketika berhadapan dengan masalah Kalam Allah (al-Qur’an)

apakah Kalam Allah Ta’ala itu hadits atau qadim, kesemuanya

itupun harus dikaji secara objektif. Seperti ia kemukakan

dalam muqadimah tafsirnya, bahwa bagi Mu’tazilah dalam

menghaditskan al-Qur’an adalah berdasarkan dalil aqal, yaitu

bahwa al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian, dan dalil naqal,

seperti firman Allah dalam Q.S. al-Anbiya (21) ayat 2. Dengan

dua argumentasi tersebut, orang-orang Mu’tazilah berpendapat

al-Qur’an itu makhluk (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 5-6).

Beberapa ayat al-Qur’an yang dikutif az-Zamakhsyary

3 Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, hlm. 429. Baca juga, Muhammad Ali ash-Shobuni, 1982: 197 dan Abdul Halim Mahmud, 1984, hlm. 105, kemudian Manna’ul Qaththan, 1987, 369.

4 Baca, Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116, Ibn Khaldun, t.t.: 491, dan Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, hlm. 440.

Page 177: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013374

untuk mendukung pendapatnya, yaitu:

Firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah (2) ayat 1 dan 2.(1) Menurut az-Zamakhsyary, “Sengaja semua huruf-

huruf itu tidak dijadikan satu, tetapi diulang-ulang dalam beberapa surat (sampai 29 kali), supaya lebih kuat dan hebat tantangannya. Ada kalanya haya satu huruf, dua huruf, tiga huruf, empat huruf, dan lima huruf, hal ini sebagai mana kebiasaan susunan kata-kata dalam bahasa Arab” (Az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 104-105). Katanya, “Jika kita memperhatikan apa yang telah difirmankan Allah SWT, mengenai Fawatih al-Suwar ini, maka kita akan menemukan jumlah itu sebanyak setengah dari jumlah huruf hijaiyyah (sebanyak 14) huruf (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 100-101). Kesemua ini menunjukkan akan keagungan serta kemu’jizatan al-Qur’an, semikian juga hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah merupakan wahyu matlu, yaitu bahwa al-Qur’an ditulis dengan huruf-huruf. Dalam segi ini tidak menunjukkan kemu’jizatan al-Qur’an, kecuali keberadaannya hanya berasal dari Allah SWT (az-Zamakhsyary, Jilid1, 1977: 99).

Ketelitian ilmu az-Zamakhsyary ketika mengungkapkan maksud al-Huruf al Muqatta’ah, sehingga ia ungkapkan jumahnya, korelasinya antara keseluruhan, serta perbedaannya, yaitu mengenai hakikat kemu’jizatan al-Qur’an hanya dalam segi makna saja dan berasal dari Allah SWT (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 99).

Tafsir: Dzaalika al-Kitaabu, menurut az-Zamakhsyary bahwa yang dimaksud Dzaalika al-Kitaabu adalah al-Qur’an ini, yaitu al-Qur’an yang ditulis dengan huruf hijaiyah. Kendatipun penunjukkan di sini dengan memakai Dzaalika, hal ini untuk mengungkapkannya, sebab al-Qur’an

Page 178: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 375

memberikan hidayah yang sangat tinggi (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 111).

Tafsir: Laa Raiba fiihi Hudan li al-Muttaqiin. Menurut az-Zamakhsyary kata Raibah adalah jiwa yang goyang. Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Hasan bin ‘Ali r.a. berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda”: Da’ Maa Yaribuka Ilaa Maa Laa Yariibuka” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 113 dan al-Maraghi, Jilid 1, t.t.: 40). Karena sesungguhnya keraguan adalah meragukan dan kebenaran membawa ketenangan (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 113). Demikian juga firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 23.

Bagi az-Zamakhsyary, sesungguhnya al-Qur’an tidaklah berperan sebagai hidayah bagi orang-orang yang sudah mengetahui tentang sesuatu, akan tetapi yang dimaksud dengan petunjuk (hudan) di sini adalah bahwa Allah SWT memberikan petunjuk ke dalam hati-hati hamba-Nya. Apabila menerima makna yang pertama, maka mau tidak mau Allah SWT hanya akan memberikan al-kitab (risalah), sehingga di antara mereka ada yang menerima hidayah itu dan ada juga di antara mereka yang jatuh pada kedhaliman (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 117-121).

Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 23(2) Imam az-Zamakhsyary berkata: “Setelah Allah SWT

meletakkan asas untuk tauhid bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, serta menolak kemusyrikan, maka langsung menghadapkan kepadanya (orang-orang kafir) khitab untuk memberi tahu bahwa barang siapa yang musyrik, berarti dia telah menyalahi akalnya, dan tidak mengakui nikmat yang telah dianugrahkan kepadanya, berupa pengetahuan dan fotensi untuk membedakan (tamyiz), memberikan

Page 179: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013376

hujjah dengan memperkuat kenabian Muhammad Saw. dan membantah rasa sekeptisme (ragu-ragu) keberadaan al-Qur’an sebagai mu’jizat. Dia memberikan peringatan kepada orang kafir bagaimana mereka mengetahui, apakah al-Qur’an itu berasal dari Allah SWT sebagaimana yang diinformasikan-Nya, ataukah dia berasal dari Muhammad Saw sebagaimana tuduhan mereka” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 238).

Menurut Zamakhsyary: “Apa sebabnya Allah SWT dalam hal ini memakai lafazh tanziil tidak dengan lafazh inzal. Jawabnya: “Karena yang dimaksud dengan turun atau nuzul di sini adalah dengan proses berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, yaitu menghalau apabila ada penolakan dan menjawab apabila ada pertanyaan atau masalah. Yang demikian itu sebab mereka sering berkata: “Seandainya al-Qur’an ini memang berasal dari Allah bukan dari manusia, kenapa proses penurunannya demikian, dengan berangsur-angsur, surah ini sesudah surah itu, ayat ini sebelum ayat itu...demikian seterusnya” (az-Zamakhsyari, Jilid 1, 1977: 238-239).

Apakah faidah pengelompokan dan pemisahan surah-surah dalam al-Qur’an?. Menurut az-Zamakhsyary tidak ada faidah tersendiri, sebab demikianlah Allah menurunkan kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Adapun para pengarang membuat karangannya dengan bagian-bagian dan bab-perbab, hal ini supaya para pembaca jangan sampai merasa jenuh, sehingga apabila ia telah selesai membaca satu surah atau bab, maka dia akan membaca surah atau bab lain dengan rajin, demikian seterusnya” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 240).

Menurut az-Zamakhsyary (Jilid 1, 1977: 242), tantangan itu berarti suatu tantangan atas orang-orang kafir supaya

Page 180: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 377

mendatangkan dengan satu surat saja yang seumpama surat dalam al-Qur’an baik dalam sifatnya dalam menjelaskan masalah yang ghaib, sangat tinggi tingkatnya, dan sangat baik susunannya, atau hendaknya kamu mendatangkan yang seumpamanya dengan bahasa Arab.

Penyusun sependapat dengan az-Zamakhsyary, bahwa Q.S. al-Baqarah (2) ayat ayat 23, merupakan penolakkan atas tuduhan orang-orang kafir kepada al-Qur’an. Sebaba sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. al-Furqon (25) ayat 1-34: “Mereka megatakan al-Qur’an sesuatu yang palsu, dan berisi dongeng-dongeng”. Dalam Q.S. Saba’ (34) ayat 43 mereka mengatakan: “Kebohongan yang diada-adakan”. Dan dalam Q.S. al-Mudatsir (74) ayat 24 mereka mengatakan: “Al-Qur’an berisi sihir”, dan lain sebagainya. Maka Allah SWT menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S. as-Sajadah (32) ayat 2 dan 3: Bahwa al-Qur’an benar-benar merupakan wahyu Allah SWT, dia bukan syair nabi (Q.S. Yasin (36) ayat 69 dan 70), bukan perkataan syaitan (Q.S. at-Takwir (81) ayat 25), dan lain sebagainya. Bahkan sampai penentuan tertib ayat dan surat semuanya atas ketentuan Allah SWT. (Q.S. al-Qiyamah (75) ayat 16-35) (Az-Zamakhsyary, jiluid I, 1977: 242-245).

Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 89(3) Penafsiran az-Zamakhsyary demikian: “Yang dimaksud

dengan Kitaabu min indi Allaahi, yakni al-Qur’an al-Karim, yang membenarkan atas kitab-kitab mereka terdahulun (Zabur, Taurat, dan Injil). Mereka memohon pertolongan tetkala terjadi peperangan dengan orang-orang kafir, mereka berdo’a: “Ya! Allah, tolonglah kami dengan seorang nabi yang diutus pada akhir zaman yang kami peroleh sifat-

Page 181: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013378

sifatnya dalam kitab Taurat untuk mengalahkan orang-orang kafir.” Tetapi begitu tiba masa-masa yang mereka tunggu, ternyata mereka menyalahi permohonan itu, kendati apa yang mereka tahu akan kebenaran telah tiba di hadapannya” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 296).

Mahmud rahimahullahu berkata: Li annahum idzaa Kafaruu bima Yuwafiqu al-Taurat. Ahmad Rahimahullahu berkata: “Ada pendapat yang lucu, dia mewajibkan kufurnya orang-orang Qadariyah sebagaimana salah satu perkataan Malik, Syafi’i, dan al-Qadiy r.a.: Sesungguhnya yang benar adalah i’tiqad Ahl Sunnah, yang saling membenarkan antara yang satu dengan yang lainnya. Barang siapa yang menolak salah satu diantara ketetapan itu berarti inkar secara keseluruhan.” Kami mohon perlindungan pada Allah SWT.” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 296).

Imam az-Zamakhsyari berpendapat, bahwa kekufuran mereka itu adalah usaha mereka sendiri untuk demikian, bukan diciptakan Allah (keinginan Allah), seperti yang di i’tiqadkan kaum Ahl Sunnah. Sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan demikian dalam hati-hatinya, sehingga dapat menghentikan usaha mereka...., Wallah al-Maufiq” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 296).

Firman Allah SWT Q.S al-Hijr (15) ayat 87:(4) Menurut az-Zamakhsyary, yang dimaksud Sab’an di

sini adalah tujuh ayat ialah surat al-Fatihah, yang terdiri tujuh ayat. Atau tujuh surat yang panjang-panjang, yaitu: Q.S. al-Baqarah, Ali Imran, al-Ma’idah, an-Nisa, al-A’raf, Al-An’am, dan al-Anfal atau at-Taubah. Mengenai yang tujuh terjadi penyelisihan, menurut satu pendapat al-Anfal dan al-Bara’ah, sebab keduanya dihukumi satu surat, sebab diantara keduanya tidak dipisah dengan Basmalah. Munurut

Page 182: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 379

pendapat lain adalah surat Yunus, ada juga yang berpendapat yaitu: Alif Laam Haa Miin. Dan al-Matsani, asal kata al-Tasniah, yakni berulang-ulang, karena surat al-Fatihah senantiasa diulang-ulang dalam salat atau lainnya. Atau berasal dari ats-Tsana, karena dalam al-Fatihah meliputi (berisi) puji-pujian kepada Allah Yang Maha Esa, oleh karena-Nya memuji merupakan sifat bagi ayat. Dan adapun surat-surat atau Sab’ul Matsani ketika ada dalam bentuk kisah, nasehat, perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya, yang diulang-ulang, maka bila adanya pujian, sesungguhnya pujian itu hanya untuk Allah dengan af’al-Nya yang agung dan sifat Maha Baik (az-Zamakhsyari, Jilid 2, 1977: 397).

Sedang menurut Ahmad, korelasi antara ayat delapan tujuh dengan ayat delapan-delapan (ayat sebelum dengan sesudahnya), pantas sekali mengandung arti al-Hadis atau baru (az-Zamakhsyary, Jilid 2, 1977: 397). Penyusun lebih cenderung kepada pendapat az-Zamakhsyari yang pertama, bahwa yang dimaksud Sab’un mina al-Masaniy adalah surat al-Fatihah, atau menurut kata-kata Abdullah Ibn ‘Abbas Fatihatu al-Kitab (Tanwir al-Miqbas, t.t.: 220), hal ini sebagai mana perkataan ‘Umar, ‘Ali, dan Ibnu Mas’ud, yang diriwayatkan oleh Abi Hudairah, sesungguhnya Rasullullah Saw. bersabda: Um al-Qur’an al-Sab’u al-Masaniy al-Lati U’tituha. Atau karena al-Fatihah itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian puji dan do’a (Ahmad Musthofa al-Maraghi, Jilid 5, t.t.: 45).

Firman Allah SWT Q.S. az-Zukhruf (43) ayat 1-4(5) Menurut az-Zamakhsyary, lafad Ja’alnaahu bima’na

Kholaqnaahu, artinya menjadikan atau menciptakan, sebab hal ini hanya dapat dilakukan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman yang lain: Wa ja’ala Dzulumaat wa al-Nuur (Q.S. al-

Page 183: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013380

An’am (6) ayat 1). Dan Allah SWT menjadikan al-Qur’an dengan bahasa Arab tidak dengan bahasa ‘Ajamiy (luar dari bahasa Arab atau sulit dipahami), dengan tujuan supaya mudah dipahami oleh orang-orang Arab, sebab mereka berkata: Lau laa Fushshilat Aayaatuhu (Q.S. Fushshilat (41) ayat 44), artinya: “Mengapa al-Qur’an tidak dijelaskan ayat-ayatnya” (az-Zamakhsyary, Jilid 3, 1977: 477).

Adapun yang dimaksud dengan Ummi al-Kitab adalah al-Lauh, sebagaimana firman Allah dalam ayat yang lalu: Bal Huwa Qur’anu Majidu fi Lauhi Mahfuz (Q.S. al-Buruj (85) ayat 22), artinya: “Bahkan mereka dustakan itu adalah al-Qur’an yang mulia. Yang tersimpan di Lauh Mahfuz”. Yang dimaksud dengan Lauh Mahfuz adalah suatu tempat yang ada di atas langit ke tujuh, yang terjaga dari jamahan Syaitan (az-Zamakhsyary, Jilid 4, t.t.: 240). Disebut Ummi Al-Kitab karena disinilah asalnya al-Kitab (al-Qur’an) tersimpan dan darinyalah dipindahkan. Suatu keberadaan yang sangat tinggi dalam al-Kitab karena keberadaannya sebagai mu’jizat, yang memiliki hikmah, yang diturunkan dari Allah SWT. (az-Zamakhsyary, Jilid 3, 1977: 477-478).

Menurut sepengetahuan penyusun, mengenai penafsiran ayat tersebut di atas tidak ada perbedaan antara satu penafsir dengan penafsir lainnya, semuanya sepakat bahwa al-Qur’an asal mulanya tersimpan pada suatu tempat yang terjaga dari jamahan Syaitan dan tangan-tangan makhluk lainnya, yaitu suatu tempat yang berada di atas langit ke-7, yang disebut dengan Lauh Mahfud (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 122, Ahmad Musthofa al-Maraghi, Jilid 9, t.t.: 68, Tanwir al-Miqbas, t.t.: 411, dan Nawawi al-Bantani, Jilid 2, t.t.: 273). Hal ini sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Mujahid. Menurut imam Qatadah, yang dimaksud La’aliyyun, yaitu

Page 184: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 381

memiliki tempat yang agung atau mulya (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 122).

Menurut Ibnu Katsir, kesemuanya ini menunjukkan kepada kemulyaan serta keagungan al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Tabarak Wata’ala dalam Q.S. al-Waqi’ah (56) ayat 77-80, yang artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz) Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam”.

Demikian juga firman Allah SWT dalam Q.S. ‘Abasa (80) ayat 11-16, yang artinya: “Sekali-kali jangan (demikian)!. Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah Ia memperlihatkannya di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (Lauh Mahfud). Yang ditinggikan lagi disucikan. Di tangan para penulis (utusan). Yang mulia lagi berbakti”.

Firman Allah SWT Q.S. al-Qadar (97) ayat 1-5:(6) Tafsir Imam az-Zamakhsyary: Al-Qur’an diagungkan

dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, Sanad penurunannya ditujukan hanya kepada Allah SWT dan Allah menjadikannya lain dari yang lain. Kedua, sesungguhnya al-Qur’an datang dengan zamir-nya, tidak dengan namanya, sebagai suatu tanda kemasyhurannya, dan sangat sarat dengan tanbih. Ketiga, ditinggikan atau dimuliakan dengan malam kemuliaan, dimana pada waktu itu ia diturunkan.

Menurut satu riwayat, sesungguhnya diturunkan secara keseluruhan ada malam Lailatul Qadr dari Lauh Mahfuz ke-Langit Dunia. Dan Malaikat Jibril mengimlakannya untuk menuliskan. Kemudian diturunkan kepada Rasulillah Saw secara berangsur-angsur kurang-lebih selama duapuluh tiga

Page 185: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013382

tahun.Dari al-Sa’biy: ”Adapun yang dimaksud dengan awal-

mula penurunan al-Qur’an pada Malam Lailatul Qadr. Mereka berbeda pendapat mengenai waktunya, kebanyakan mereka berpendapat, sesungguhnya hal itu terjadi pada bulan Ramadan dalam sepeuluh hari akhir Ramadan (malam ke-20 Ramadan).ada juga yang berpendapat tujuh hari sebelum akhir Ramadan (malam tanggal 23).

Sedang yang dimaksud dengan Lailatul al-Q adr adalah malam penentuan segala urusan. Sebagaimana firman Allah SWT: Fiaha Yufraqu Kullu Amrin Hakiim, artinya: Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh dengan hikmah (Q.S. ad-Dukhan (44) ayat 4). Menurut pendapat lain, dinamai dengan Lailatul al-Qadr untuk meninggikan serta memuliakannya atas malam-malma yang lain. Sebab malam itu lebih baik dari seribu bulan. Sebab pada malam itulah turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril, serta penentuan segala urusan yang penuh dengan hikmah. Para Malaikat itu turun ke Langit Dunia. Menurut pendapat lain, yaitu turun ke bumi, untuk mengatur segala urusan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sehingga malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar (az-Zamakhsyary, Jilid 4, 1977: 273).

Tingginya kemuliaan Malam Lailatul Qadr ini, menggiring banyak sekali hadis Nabi Muhammad Saw yang menceritakan akan kemuliaan malam mini. Diantara hadits-hadits itu adalah, sabda Nabi Saw, yang artinya: “Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh telah dating kepada kamu sekalian Bulan Ramadan, yaitu bulan yang penuh dengan keberkahan, pada bulan ini Allah SWT telah memardukan berpuasa pada kamu sekalian, pada bulan itu semua pintu surga dibukakan,

Page 186: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 383

ditutup semua pintu neraka, dan semua Syaitan dikunci. Pada bulan Ramadan itu terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan” (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 531).

Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mendirikan Malam Lailatul qadr dengan berbagai macam ibadah dengan iman s erta mengharapkan ridlo Allah SWT, maka baginya diampuni semua dosanya yang telah lewat” (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 531).

KesimpulanDiktum al-Qur’an makhluq (hadis) yang dimaksudkan

oleh Imam az-Zamakhsyary, adalah al-Qur’an yang tersusun

oleh huruf-huruf, kalimat-kalimat, dan lafaz-lafaz. Beliau

berpendapat demikian adalah suatu hal wajar meurut hemat

penyusun, sebab beliau adalah salah seorang tokoh mufassir yang

beraliran mu’tazilah dalam bidang aqidah, serta bermazhabkan

Hanafi dalam masalah fiqh. Tentunya sedikit banyak beliau

sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Pancasila Mu’tazilah. Jadi,

yang dimaksud al-Qur’an hadis oleh az-Zamakhsyary hádala al-

Qur’an dalam konteks sosiologis, yaitu al-Qur’an yang sudah

tersentuh oleh budaya umat manusia, seperti ada tulisannya,

huruf-huruf, dibukukan, dan dicetak oleh penerbit.

Sementara yang dimaksud dengan diktum “al-Qur’an

Qadim”, sebagaimana yang dikatakan oleh Sunni adalah al-

Qur’an yang tidak tersusun oleh huruf-huruf, tidak terdiri dari

kalimat-kalimat, dan tidak tersusun oleh lafaz-lafaz (suara-

suara). Hemat penyusun, adalah merupakan suatu kewajaran

beliau berpendapat demikian, sebab beliau adalah seorang

tokoh mufassir kenamaan, yang beraliran Asy’ariyah dan

bermazhabkan Syafi’iy dalam masalah fiqh. Yang tentunya ia

sangat kukuh dalam memegang prinsip ke Asy’ariyahannya. Jadi,

Page 187: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013384

yang dimaksud dengan al-Qur’an Qadim oleh Sunni, demikian

juga lanilla, hádala al-Qur’an dalam konteks metafisik, yaitu al-

Qur’an yang Belem terdiri dari huruf, kalimat, atau ayat-ayat,

serta Belem berbunyi. Al-Qur’an seperti ini Belem tersentuk

oleh budaya umat manusia.

Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi antara

Imam az-Zamakhsyary dengan Sunni, demikian juga dengan

mufassir lanilla, adalah hanya terletak pada silang pendapat

mengenai hakikat esensi dari al-Qur’an. Imam az-Zamakhsyary

mengatakan: “Al-Qur’an adalah firman Allah, Allah berfirman dengan firman-Nya, dan firman-Nya itu adalah Zat-Nya”.

Sedang ulama Sunni berpendapat: “Al-Qur’an adalah firman Allah, Allah befirman dengan firman-Nya, dan fiman-Nya itu adalah bukan Zat-Nya, tetapi sifat-Nya”. Ini lah sesungguhnya

silang pendapat yang pernah terjadi.

Page 188: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 385

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hasan ibn Isma’il al-Asy’ari, Maqalat al Islamiyyin wa Ikhtilaf al Mushallin, jilid I, (Kairo: Tp., t.t.).

Abdurrahman Badawi, Madzahibu al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-‘Ilmi Li al-Malayin, 1971).

Abdul Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayna l-Firaq, (Kairo: Dar al-Turats, t.t.).

Abu Lababah Husayn, Mawqif al-Mu’tazilah min al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Mawathin Inhirafihim ‘anha, (Riyadh: Dar al-Liwa’, al-Tab’ah al-Daniyah, 1987).

Al-’Allamah ’Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Ed.), Muhammad al-Iskandarani, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Arabi, 2004).

Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi l-Siyasah wa l-‘Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Dar al-Fikri al-‘Arabi, t.p, t.t.).

Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm’al Tafsir wa Manahij al Mufassirin, Terj. Ahmad Karom, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).

Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, Nasy’atu ‘Ilmi a- Kalam ‘Inda al-Muslimin, (Mesir: Muhammad Ali Shabih Wa Auladuh, t.t.).

Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf’an Haqaiqi at Tanzil wa ‘Uyuni al-Aqawil, Jilid I, (Kairo: Cet. 1, 1977).

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986).

Harun Nasution, Islam Rasionai: Gagasan dan Pemikiran,

Page 189: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013386

(Bandung: Mizan, 1998),

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987).

Mana’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyad: Mansyurat al-‘Ashriyah al-Hadits, 1973).

Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, (Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961).

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jilid I, (Percetakan Al-Manar, 1367 H).

Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, (Dar Ukaz, Jeddah, 1984).

Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Al-Tatuf lil Mathbu’at, Beirut, 1980).

M. Ali Al-Hasan,. Al-Manar fi al-Ulm al-Qur’an,, (Amman: Mathba’ah Asy-Syarq wa Maktabatuha; 1983).

Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Husaini, Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Jeddah: Darusy Syuruq; 1983).

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cetakan II, Oktober 1992).

Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlu Sunnah wa al Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, Cetakan 14, 1988).

Shalah Zaky Ahmad, Qâdatu al-Fikr al-Arabiy, (Kairo: ‘Ashr al-Nahdhah al-Arabiyyah, cet. 1, 1798/1930).

Page 190: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 387

RESOLUSI KONFLIK BERLATAR AGAMA: STUDI KASUS AHMADIYAH DI KUDUS

Moh. Rosyid STAIN Kudus

Email: [email protected]

ABSTRACT

Ahmadist community in Kudus resides in Colo village, Dawe, Kudus, Central Java since 1998 after the election of village chief. The losing party established religious activity as a counter which was responded by Ahmadist preacher from Pati – neighboring regency –through opening traditional medication event to introduce Ahmadiyah. Until the end of 2012 there is no open conflict against Ahmadist community. The key for harmony between Ahmadist and the majority is conflict resolution based on mutual benefit and does no harm to others. The forms of conflict resolution are: (1) distributing leaflets to the public stating that they have the same god, the same prophet, (2) writing an inscription of laailaha illallah, muhammadur rosulullah on the mosque, after 10 years of its foundation, (3) in collaboration with Indonesian Red Cross coordinating blood donor every month, (4) distributing qurban meat to Ahmadist and non-Ahmadist, as in 1433 H/2012 there are 4 goats which are divided into 70 packages for non-Ahmadist and 13 for Ahmadist. Thus, the Ahmadi community in the village of Colo, Kudus is still exist because (a) the number of adherents are

Page 191: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013388

only 10 families of 4,000 population of the village of Colo, (b) they never violate social norms, the rule of law, and religious norms in the society, (c) inviting non-Ahmadist in their religious activities such as in public preaching and halal bi halal, (d) not all of the residents of Colo are devout in religion, and mostly do not care about the MUI fatwa concerning Ahmadiyah, because of their economic activities (as traders, farmers, ojek, etc.) and because of tolerance, (e) religious leader does not supporting conflict against Ahmadiyah, (f) there is no Islamic based hard-liner organization in Kudus and (e) there is family ties between Ahmadists and non-Ahmadists.

Keywords: Ahmadist, Kudus, no conflict, conflict resolution

PendahuluanPada Hari Amal Bakti/HUT Depag ke-62 pada 3 Januari

2007 Menag RI Maftuh Basuni (saat itu) dalam sambutan

tertulis pada upacara HUT Depag terdapat anggle “situasi

keagamaan bangsa kita akhir-akhir ini dilanda permasalahan

yang meresahkan yaitu munculnya aliran sempalan dan paham

keagamaan menyimpang yang secara nyata menodai agama”.

Imbas lanjutan pernyataan tersebut gulung tikarnya Ahmadiyah

di beberapa daerah.1 Buntut kerusuhan di Cikeusik, Pemda

1Ahmadiyah di wilayah Ungaran bagian selatan, Kab.Semarang, Jateng, menghentikan aktivitas pascaterbitkannya SKB (Jawa Pos,12/6/2008, hlm.5), Begitu pula di Surakarta (Jawa Pos dan Suara Merdeka,12/6/2008), Ahmadiyah di Manis Lor, Kab. Kuningan, Jabar dicidrai masyarakatnya (Kompas,28/12/2007). Ahmadiyah di lokasi pengungsian Transito, Mataram, NTB mengharapkan suaka ke AS ketika Wakil Konsulat Jenderal AS, Jeffri M.Loore, dan sejumlah konsulat yang mengunjunginya menjanjikan akan menyampaikan keinginan pengungsi kepada pemerintah AS (Jawa Pos, 18/10/2008, hlm.13). Hingga ditulisnya naskah ini, informasi kelanjutannya belum diperoleh penulis. Ahmadiyah di tempat lahirnya (Pakistan) sejak 1977, era Presiden Ziaul Haq, bermarkas di Kota Rabwah, Provinsi Punjab, dibatasi ruang geraknya tak boleh adzan secara terbuka, tak boleh membangun menara yang tinggi menyerupai masjid, dilarang berhaji ke Makkah, tak memiliki hak politik, dan tak diperbolehkan mengucapkan salam, jika mengucapkan salam dan

Page 192: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 389

Banten terbitkan Perda Pelarangan Ahmadiyah, disusul Pemda

Jatim melarang keberadaan Ahmadiyah dalam hal (1) penyebaran

ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, maupun melalui media

elektronik, (2) memasang papan nama organisasi JAI di tempat

umum, (3) memasang papan nama di masjid, musalla, lembaga

pendidikan, dll. dengan identitas JAI, dan (iv) menggunakan

atribut JAI dalam segala bentuk2.

Jawa Pos 7 Februari 2011 menampilkan headline, Ahmadiyah Diserang, 3 tewas, 8 luka parah dan ringan. Kejadian

Ahad 6 Februari 2011 Pukul 10.45 WIB di rumah pengikut

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Suparman, Kampung

Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kec. Cikeusik, Pandeglang,

Banten dengan foto korban mengenaskan. Kompas,7 Februari

2011 memberitakan Pemerintah Mengecam Kekerasan di Cikeusik, 3 Jemaah Ahmadiyah Tewas. Republika 7 Februari

2011 mewartakan Ahmadiyah-Warga Bentrok, 3 Tewas. Hal

itu direspon pemerintah3 dan Komnas HAM.4 Tragedi tersebut

dilaporkan ke kepolisian, divonis pidana setahun (Jawa Pos,5/3/2007,hlm.1). Ahmadiyah di Kudus tetap eksis pascaditerbitkannya SKB bahkan hingga ditulisnya naskah ini.

2 Jawa Pos, 1 Maret 2011, hlm.1.3Menkopolhukkam Djoko Suyanto 6/2/2011 didampingi Kapolri

Jend.Pol.Timur Pardopo, Menag Suryadharma Ali, Kejagung Basrief Arief, dan Mendagri Gamawan Fauzi. Pemerintah meminta Polri mencari dan mengungkap tuntas kekerasan tersebut. Staf Khusus Presiden, Daniel Sparringa menyatakan, Presiden prihatin atas tragedi itu dan memerintahkan aparat Polri bertindak tegas terhadap kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama, konstitusi menjamin kemerdekaan beribadah (Kompas, 7/2/2011). Presiden SBY pada Jumpa Pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin 7/2/2011 menginstruksikan agar diinvestigasi menyeluruh guna mengetahui sebab-akibat kejadian yang sebenarnya. Siapa yang lalai, siapa yang bersalah, dan siapa yang melanggar hukum harus diberi sanksi, termasuk manakala sesungguhnya benturan itu bisa dicegah, tetapi pencegahan tidak cukup dilakukan, baik oleh aparat keamanan maupun pemerintah setempat (Kompas, 8/2/2011, hlm.1).

4Komnas HAM meminta Polri mengusut tuntas dan menindak pelaku

Page 193: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013390

bersamaan perayaan The World Interfaith Harmony Week di

Istora Senayan Jakarta.5Jauh sebelumnya, Republika 15 Oktober

2010 edisi tabloid headlinenya menggetarkan:

Ahmadiyah: Bubar atau Agama Baru. Islam dan Ahmadiyah sangat berbeda secara teologis. Sejak tiga dekade silam, ulama Indonesia menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, menyesatkan, dan di luar ajaran Islam. Menteri agama pun menegaskan Ahmadiyah harus dibubarkan atau menjadi agama baru. Beranikah pemerintah melakukannya?

Membuat agama baru merupakan langkah ’terjal’

karena keberadaan agama yang ’resmi’ di negeri ini seperti

agama Konghucu belum mendapat perhatian proporsional oleh

Kemenag. Sebagaimana pejabat struktural yang menangani

agama Konghucu, terutama bidang pendidikan agama dan

keagamaan belum memiliki ‘meja’6. Aspek konstitusional,

mungkinkah membuat agama baru?7 Di antara pertimbangan

yang anarkis (Kompas, 8/2/2011, hlm.1). 5The World Interfaith Harmony Week merupakan program PBB hasil

inisiatif Raja Jordania, Abdullah II pada September 2010 dalam pertemuan tahunan sidang PBB. Acara dihadiri perwakilan tokoh agama yakni Ketua MUI Slamet Effendy Yusuf, Ketua Komisi Hubungan antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Mandagi, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) Wawan Wiratma, Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) I Dewa Putu Sukardi, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Ketua DPD Irman Gusman (Kompas, 7/2/2011).

6Jawa Pos, 5/2/2011.7Menag Suryadharma Ali menegaskan Ahmadiyah lebih baik

dibubarkan dari pada dibiarkan tetap menjalankan syariat. Lanjut Menag, ada dua pilihan, membiarkan atau membubarkan sama-sama memiliki risiko. Pembubaran berdasarkan SKB 3 Menteri dan UU No.1/PNPS/1965. Membubarkan lebih baik daripada membiarkan, dengan membubarkan dapat menghentikan kesesatan yang berkelanjutan. Menag meminta JAI membuat agama baru di luar Islam jika tetap bersikukuh dengan keyakinannya dan tak boleh menggunakan simbol-simbol Islam seperti al-Quran, masjid, dan ritual-ritual yang merupakan tuntunan Islam yang benar. Bukan atas dalih kebebasan

Page 194: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 391

yang memberatkan adalah aliran kepercayaan (kategori produk

budaya) ditutup peluangnya menjadi agama, di sisi lain agama

yang ada sering timbul konflik dan tak optimalnya pelayanan

negara pada umat beragama (tertentu).

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 hak

untuk hidup, tak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati

nurani, beragama, untuk tak diperbudak, diakui sebagai pribadi

dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tak dituntut

atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun.8 Hingga

kini Indonesia masih saja tak lepas dari konflik antarumat

beragama dan intern umat beragama. Agama yang semestinya

penyemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi

sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan,

bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk. Bagaimana

jalan keluarnya? Jalaluddin Rakhmat meresponnya bahwa kita

perlu mengembangkan pemahaman agama madani9.

agama lalu menginterpretasikan agama Islam dengan salah. 8Meski Pasal tersebut ’dihadang’ oleh Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1/

PNPS/1965 agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Chu (Confusius). Keenam agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia. Diperkuat PP 55/2007 Pasal 8 (1) tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Penjelasan UU No.1/PNPS/1965 kecuali agama yang tertera dalam perundangan, pemeluk agama lain mendapat jaminan hukum tertuang pada Pasal 29 (2) UUD ’45. Kata ’pemeluk agama lain’ merupakan frase yang melelahkan jika ditelaah karena kepentingan politik lebih dominan.

9 Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban. Pemahaman agama madani paling cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di Indonesia sekarang ini. Ide agama madani bagi Kang Jalal, diilhami dari filusuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau yang hidup semasa Revolusi Perancis abad ke-18 yang mengusung konsep la religion civil (agama civil) sebagai pengembangan dari dua tipe sebelumnya yakni agama yang menyatukan kebangsaan serta agama institusional. Kang Jalal mengusung wacana agama

Page 195: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013392

Konflik agama dari aspek internal dapat berupa penodaan

agama, penyiaran agama, dan interpretasi atas teks agama.

Aspek eksternal berupa ekonomi, politik, hukum/kebijakan,

pendidikan agama, dan media massa. Isu pemicu konflik agama

karena pembangunan atau peran tempat ibadah, siar kebencian

agama (hate speech), penyiaran agama, aliran non-mainstream,

dan kebijakan bidang agama. Masalah yang muncul dapat berupa

delik penodaan agama, hubungan agama dengan negara, dan

perspektif untuk membaca kehidupan beragama. Hal tersebut

akan terminimalisasi bila umat beragama memahami bahwa

beragama adalah hak yang diyakini dalam batin (internum) dan diekspresikan dalam kehidupan (eksternum) oleh pemeluk

agama sehingga tercipta social order dan social harmony. Peran

negara dalam bingkai HAM berupa melindungi (to protect), menghormati, dan memenuhi hak.

Pola pikir beragama yang sempit berimbas fanatis

sebagian umat Islam Indonesia ketika berhadapan dengan aliran

lain yang dianggap berseberangan dengan kaidah agamanya

madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman Indonesia yang dipilah tiga jenis pemahaman Islam yakni Islam fiqhiy, siyasiy, dan madani. Pertama, Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikih yang dipraktikkan sehari-hari, Islam menjadi sangat ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan yang lain salah. Kemunduran Islam karena dianggap meninggalkan al-Quran dan sunah. Agar maju harus kembali berpedoman pada 2 sumber tersebut. Kedua, Islam siyasiy (Islam politik) yang menjadikan Islam sebagai kegiatan politik yang memusatkan perjuangannya untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam atau mendirikan khilafah. Keselamatan untuk seluruh umat Islam. Islam politik melihat faktor kemunduran Islam karena dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Kedua pandangan tersebut mengantarkan pada Islam madani yakni semua agama bisa bertemu dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban untuk mengambil nilai universal dalam setiap agama. Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan seseorang diukur dari kecintaannya terhadap sesama (Kompas, 6/2/2011, hlm.23).

Page 196: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 393

diperlakukan nisata, sebagaimana dialami pengikut Ahmadiyah,

terutama pasca-fatwa sesat MUI No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980

1Juni 1980/17 Rajab 1400 H dipertegas pada Munas MUI ke-7,

27-29 Juli 2005.10 Sesatnya Ahmadiyah karena keyakinannya

bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah nabi terakhir, tapi

kenabiannya ‘diteruskan’ oleh Ghulam Ahmad. Ahmadiyah

pun memiliki Kitab Suci yakni Tadzkirah, dan anggapannya

jika salat dengan imam orang non-Ahmadiyah, salatnya tak

sah karena tak mengakui kenabian Ghulam Ahmad. Hal ini jika

dikonfirmasi pada warga Ahmadi, mereka tak mudah mengakui

tudingan tersebut.11

Masalah JAI menurut Mukri Ajie (Ketua MUI Kab.

Bogor) bukan lagi masalah fikih, tapi teologi. Berdasarkan

laporan Bupati Kuningan, Kejaksaan Kuningan, dan MUI Kab.

Kuningan Jabar, MUI Pusat, mendesak Menag, Mendagri,

dan Kejagung agar mengusulkan kepada Presiden untuk

membubarkan atau mendorong Ahmadiyah menjadi organisasi

non-Islam karena Ahmadiyah tak dapat diluruskan dan tak

mematuhi SKB 3 Menteri yang ditetapkan 9 Juni 2008.12 Seperti

10Kinerja MUI (i) menasehati dan memberi fatwa masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat, (ii) meningkatkan ukhuwah islamiyah dan kerukunan hidup antarumat beragama dalam rangka memantapkan kesatuan dan persatuan nasional, dan (iii) mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama dan antara umat beragama dengan pemerintah.

11Menanggapi polemik, Juru Bicara JAI, Jafrullah Ahmad Pontoh, menegaskan bahwa agama milik Tuhan, tak ada yang bisa menyuruh orang membubarkan atau membuat agama. Ahmadiyah pun merasa masih tetap bagian dari Islam karena rukun iman dan Islam yang diajarkan sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Kitab sucinya, menurut pengakuan Jafrullah bukan Tadzkirah. Tadzkirah hanyalah kumpulan berbagai tulisan JAI yang dikumpulkan dalam kompilasi yang menjadi satu buku. Perihal pembubaran, JAI berpandangan bahwa pembubaran di negara hukum tentunya berkaitan dengan tindak kriminal, JAI tak melakukan tindak kriminal (Republika, 15/10/2010).

12Anggapan sesat ditujukan MUI terhadap Ahmadiyah Qadian,

Page 197: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013394

apapun wujudnya realitas yang ada tak untuk dimusuhi, tapi

perlu dicari jalan tengah. Didasarkan pernyataan bahwa rasa

beragama bagi individu dan kelompok biasanya diidentikkan

sejauhmana memertahankan prinsip dan substansi pesan agama

ketika pihak lain diduga ‘menyelewengkan’ prinsip dan substansi

pesan agamanya. Namun sebaliknya, jika individu (pemilik

agama) menghadapi fenomena penyelewengan pihak lain tak

tersinggung, mendapat julukan tak memiliki ‘nasionalisme’

beragama. Pandangan ini bertolak belakang dengan madzhab

kemajemukan (pluralisme), keragaman (diversity), dan perbedaan

tetapi sama (multicultural) bahwa perbedaan tak perlu direspon

dengan ketersinggungan karena sunnatullah.

sedangkan Ahmadiyah Lahore tak memiliki ajaran yang menyesatkan versi Islam. Tetapi, muslimin Indonesia pada umumnya tak memilah antara yang Lahore dengan Qadian, asalkan ‘berbendera’Ahmadiyah maka dibasmi. Kegarangan muslim Indonesia terhadap Ahmadiyah, tetapi penulis menemukan fenomena lain bahwa Ahmadiyah di Kota Kudus damai bersama kaum muslimin meski telah diterbitkannya SKB diterbitkan oleh 3 lembaga negara, Menag, Mendagri, dan Kejagung No.3/2008; No.199/2008; dan No.KEP-033/A/JA/6/2008, 9/6/2008 memuat 6 poin (1) peringatan kepada masyarakat untuk mematuhi Pasal 1 UU No.1/PPNS/1965 yang berbunyi untuk tak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan, dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu, (2) memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, (3) penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan perintah dan peringatan ini dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya, (4) memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama dengan tidak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap JAI, (5) warga masyarakat yang tak mengindahkan peringatan dan perintah ini dikenai sanksi sesuai perundangan, dan (6) memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemda untuk melakukan langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan keputusan bersama.

Page 198: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 395

Bagi yang tersinggung, reaksi yang muncul variatif (1) perlawanan terbuka (konfrontasi), (2) terselubung/tak kasat mata, (3) terpendam/perlawanan bersifat laten, meletup pada saat pemicunya muncul atau tersinggung karena sikap the others, dan (4) mendesak kebijakan penguasa. Bentuk perlawanan tersebut sangat dipengaruhi kondisi dan karakter individu dan kelompok ketika bereaksi menghadapi ‘penyelewengan’ dari the others. Berbagai bentuk konfrontasi itu dipicu Era Reformasi ‘yang mentradisikan’ demonstrasi, didukung kebijakan dan action politik penguasa. Analisis Mudzakkir, era Orde Baru, selama keberadaan kaum minoritas tak mengancam legitimasi penguasa, selama itu pula mereka hanyalah subjek yang tak diperhitungkan secara signifikan13.

Potret AhmadiyahKelahiran Ahmadiyah tak dapat dipisahkan dengan

gerakan orientalisme dan kolonialisme di Asia Selatan. Tokoh

orientalis, Sayyid Ahmad Khan bahwa akhir abad ke-19

memprakondisikan masyarakat India dihadapkan dengan gagasan

yang menyimpang Islam. Didukung oleh kolonial Inggris yang

mengadudomba masyarakat, pada 23 Maret 1889 mendirikan

Ahmadiyah. Agar gerakannya mendapat wibawa, ditunjuklah

keluarga bangsawan India keturunan Kerajaan Moghul, putra

pasangan Mirza Ghulam Murtadha dengan Ciraagh Bibi, Mirza

Ghulam Ahmad (1839-1908). Nenek moyangnya berhubungan

keluarga dengan Zahiruddin Muhammad Babur, pendiri Dinasti

Mogul (1526-1530). Ayahnya seorang hakim pemerintah

kolonial Inggris di India. Ghulam lahir 13 Februari 1835, ada

yang menyebut 1839 M/1255 H di Desa Qadian, Punjab, India

13Amin Mudzakkir. 2006.Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan: Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Tifa: Jakarta. Hlm. 200.

Page 199: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013396

dan wafat di Qadian 26 Mei 1908 M/1326 H.

Dalam Ensiklopedi Islam, Ghulam sejak kecil mendapat

pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya dan

menyukai meditasi sejak kecil, ia mengaku sering mendapat

petunjuk langsung dari Allah SWT, seperti mendapat makrifat

dalam dunia sufi, meskipun ia tak pernah dikenal sebagai sufi atau

murid dari guru sufi. Pada usia 40 tahun (1880), ia menulis buku

Barahini Ahmadiyah (argumentasi Ahmadiyah) berisi antara

lain pengakuan dirinya sebagai al-Mahdi. Semasa mudanya, ia

pernah bertempat tinggal di Sialkot, India mengikuti ayahnya

yang menyelesaikan perkara tanah, ia berkenalan dengan orang

Kristen mempelajari kitab sucinya, Injil dan menyaksikan

langsung betapa gencarnya misi kristenisasi, ia membaca

komentar Sir Sayid Ahmad Khan antara lain mengenai genesis

dan tafsir al-Quran.Ghulam mengkritik tafsir al-Quran karena

memandang tafsir menggunakan pendekatan netralistik (hukum

alam, misalnya, malaikat ditafsirkan dengan fungsi hukum

alam). Menurutnya, tulisan Ahmad Khan terlalu apologetik

dan membanggakan kejayaan masa lampau, padahal yang harus

dihadapi adalah keadaan obyektif masa kini. Ketika ayah Ghulam

wafat (1876), Ghulam kembali ke Qadian mengurus tanah milik

keluarganya dan meneruskan kebiasaan lamanya yaitu meditasi.

Tahun 1877, di Punjab, India, ia menyaksikan kebangkitan Arya

Samaj dan Brahma Samaj, yaitu gerakan kesadaran umat Hindu.

Peristiwa tersebut di Sialkot dan Punjab menimbulkan semangat

Ahmad untuk membangkitkan suatu gerakan Islam.

Pada 4 Maret 1889, Ghulam memproklamirkan diri

menerima wahyu langsung dari Allah SWT yang menunjuk

dirinya sebagai Al-Mahdi dan memberi petunjuk agar manusia

melakukan baiat kepadanya. Baiat pertama dilakukan 20 orang

pengikutnya di Ludiana, dekat Qadian, India. Salah seorang di

Page 200: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 397

antara mereka, Maulwi (gelar kehormatan paduka/yang mulia)

Nuruddin kelak menjadi khalifah pertama sepeninggal Ahmad14.

Keberadaan Ghulam di tengah masyarakatnya sebagai dai tenar.

Ghulam memproklamirkan diri sebagai pembaru (mujaddid)

bergulir mahdi al-muntazhar dan al-masih al-mau’ud. Pada

1876, ia mengaku sebagai nabi yang kenabiannya lebih tinggi

daripada Nabi Muhammad SAW dan mengaku menerima wahyu

dari Tuhan dalam bahasa Inggris, yang dikumpulkan dalam kitab

disebut tadzkiroh 15.

Tahun 1914 aliran Ahmadiyah pecah menjadi dua

golongan, Lahore dan Qadian. Analisis Iskandar, Ahmadiyah

Lahore berprinsip memiliki pemahaman bahwa Nabi SAW

nabi terakhir dan keberadaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai

mujadid (pembaru) abad ke-14 H. Ahmadiyah Qadian berprinsip

sepeninggal Nabi SAW, muncullah nabi buruzi yakni nabi yang

tak membawa syariat, sehingga keberadaan nabi dalam versi

Ahmadiyah Qadian terpilah (a) Nabi Shakib Asy-Syari’ah dan

Mustaqil. Shakib Asy-Syariah adalah nabi pembawa syariat

untuk manusia, seperti Nabi Muhammad SAW. Nabi mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tak mengikuti

nabi sebelumnya, misalnya nabi Musa AS, (b) Nabi Musytaqil ghoir at Tasyri’ yakni nabi yang tak membawa syariat baru, tapi

menjalankan syariat yang dibawa nabi sebelumnya, seperti Nabi

Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa, dan (c) Zhilli Ghoiru at-Tasyri’ yakni menjadi nabi karena semata-mata patuh

pada nabi sebelumnya, seperti Ghulam Ahmad. Pengakuan

pengikut aliran Ahmadiyah Lahore bahwa keberadaan nabi

terpilah atas nabi haqiqi (pembawa syariat) dan nabi lughowi

14Republika, Kolom Dialog Jumat, 18 Januari 2008, hlm.2.15M.Yuanda Zara, dkk. 2007. Aliran-Aliran Sesat di Indonesia. Banyu

Media: Yogyakarta. Hlm.57.

Page 201: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013398

(nabi yang menerima wahyu, tidak mensiarkan syariat)16.

Ahmadiyah Qadian berpusat di Qadian, India berpendapat

bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Ahmadiyah Lahore

berpusat di Lahore, komunitas ahmadi berpendapat Mirza

Ghulam adalah mujadid (pembaru), bukan nabi. Pada awalnya,

Mirza mengaku sebagai mujadid. Pada 4 Maret 1889 Mirza

mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung

dari Tuhan yang menunjuknya sebagi al-Mahdi al Ma’huud

(Imam Mahdi yang dijanjikan) agar umat Islam berbai’at

kepadanya. Pada 23 Maret 1889 Mirza menerima baiat dari 20

warga Kota Ludhiana, di antara yang membai’at adalah Hadrat

Nurudin yang kelak menjadi Khalifah al-Masih I, pimpinan

tertinggi Ahmadiyah. Pada 1890, Mirza mengaku sebagai al-

Mahdi dan mendapat wahyu dari Allah menyatakan bahwa Nabi

Isa AS -yang dipercaya umat Islam dan Kristen- bersemayam

di langit, menurut Mirza telah wafat dan janji Allah mengutus

Nabi Isa kedua kalinya dengan menunjuk Mirza sebagai al-Masih al-Mau’ud (al-Masih yang dijanjikan). Menurut pengakuan

pengikut Ahmadiyah, Nabi Isa AS setelah dipaku di palang

salib oleh kaum Yahudi, tidak mati tapi hanya pingsan. Sesudah

sembuh menyingkir dari Palestina ke daerah timur bersama

sepuluh suku Israel lainnya. Sesampai Nabi Isa di Kashmir

wafat dikuburkan di Khan Yar Street Srinagar, sampai kini

kuburan masih ada. Pengakuan ini menurut Ahmadiyah dalam

diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi yaitu al-

Masih (yang dijanjikan) dan al-Mahdi (yang dinantikan). Pada

1901, Mirza Ghulam Ahmad mengaku diangkat Allah sebagai

nabi dan rasul17.

16Iskandar.2005, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, hlm.101-104.

17Republika, 15/10/2010.

Page 202: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 399

Ahmadiyah dalam Lintasan HAMDalam tataran riil, jika sebuah komunitas mendapatkan

perlakuan yang tidak wajar dan melanggar hukum dari pihak

lain, diduga dapat menyulut reaksi (pembelaan) dari berbagai

kalangan, di antaranya pembela HAM, seperti Hendardi (Ketua

Badan Pengurus SETARA Institute for Democracy and Peace,

Jakarta) mengkritisi sikap masyarakat yang garang ketika

menghadapi aliran yang dianggap ‘lain’ dengan alirannya.

Pada dasarnya pelanggaran HAM yang memiliki dua prinsip

yakni nonderogable rights dan derogable rights. Nonderogable rights adalah hak individu yang tak dapat ditangguhkan atau

ditunda dalam situasi dan kondisi apapun, seperti hak beragama,

berpikir, dan berkeyakinan. Satu dari ketiga atau ketiga-tiganya

jika diganggu, pada dasarnya melanggar HAM18.

Selain adanya pembelaan terhadap Ahmadiyah, akademisi

menolak Ahmadiyah karena pengakuan Ghulam adalah nabi dan

Nabi SAW bukanlah nabi terakhir. Di sisi lain, dengan prinsip

itu, Ahmadiyah membawa ‘bendera’ Islam sebagai agamanya,

perlu diluruskan, maksudnya jika Ahmadiyah mendirikan agama

baru, tentunya bukan persoalan bagi umat Islam. Ibarat merokok

di bus ber-AC, meskipun orang lain (dalam bus tak merokok)

tentunya terganggu ulah perokok. Tetapi suasana menjadi lain

jika perokok meninggalkan bus yang ber-AC menumpang bus

lain.

Ahmadiyah di IndonesiaKehadiran aliran Ahmadiyah di Indonesia atas prakarsa

tiga pemuda yang baru berusia 16 s.d 20 tahun (Abu Bakar

Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan) asal Minangkabau,

18Hendardi. Beragama, Kebebasan Dasar. Kompas, 10 September 2005. Hlm.6.

Page 203: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013400

Padang yang tergabung dalam Sumatera Thawalib. Atas saran

guru ketiga pemuda tersebut, Zaenuddin Labai El-Junusi dan

Syekh Ibrahim Musa Paraek, semula mereka ingin belajar ke

Universitas Al-Azhar, Mesir, tetapi diarahkan ke Hindustan,

India dengan pertimbangan, Hindustan adalah pusat reformasi

dan modernisasi Islam dan banyaknya perguruan tinggi dan

tokoh Islam yang berkualitas. Setelah di Hindustan, mereka

bertiga melanjutkan perjalanan ke Kota Lahore selanjutnya

hijrah ke Qadian. Pada 1923, ketiga santri dibaiat oleh khalifah

pertama Ahmadiyah India, Hadhrat Hafiz H.Hakim. Selanjutnya,

mereka bertiga pulang ke tanah air sekaligus mensiarkan

Ahmadiyah di kota kelahirannya. Agar masyarakat yakin atas

keberadaan Ahmadiyah di muka bumi ini, ketiga santri tersebut

menghadirkan mubaligh dari India, Maulana Rahmat Ali, untuk

tablig di Padang19.

Pada 1924 muballigh Ahmadiyah asal Lahore, Mirza Wali

Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang ke Kota Yogyakarta.

Sekretaris Muhammadiyah Yogyakarta, Minhadjurrahman

Djojosoegito, mengundang Mirza dan Maulana berpidato

pada muktamar ke-13 Muhammadiyah. Pada 1929 muktamar

Muhammadiyah ke-18 di Kota Solo, disepakati oleh forum

muktamar Muhammadiyah bahwa orang yang percaya ada nabi

sesudah Nabi Muhammad SAW adalah kafir. Fatwa itulah,

Djojosoegito meninggalkan Ahmadiyah dan membentuk gerakan

Ahmadiyah Indonesia pada 4 April 1930. Pada 1953, Presiden

Soekarno menyetujui aliran Ahmadiyah berbadan hukum

berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman Nomor: JA.

5/23/13, 13 Maret 195320.

19Yuanda Zara, 2007. hlm. 60.20 Ibid. Hlm:61.

Page 204: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 401

Tindakan Pemkab Kudus terhadap AhmadiyahPemerintah RI dalam mengatasi aliran yang menyimpang

dari frame perundangan, dilakukan penegakan hukum21,

pencegahan (preventif)22, penanggulangan (represif)23, dan

tindakan kuratif24. Mensikapi Ahmadiyah tergantung kondisi

kenyamanan sosial, karena tak terjadi gejolak maka tindakan

Pemkab Kudus adalah memantau kondisi25. SKB Menag,

Mendagri, dan Kejagung poin (6) memerintahkan kepada aparat

pemerintah dan pemda untuk melakukan langkah pembinaan

dalam rangka pengamanan dan pengawasan keputusan bersama.

Jadi, tindakan pemkab.Kudus memantau/pengawasan sesuai

amanat SKB, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan.

Dengan kata lain, relatif tak ada tindakan yang dilakukan aparat

pemerintah Kab. Kudus terhadap keberadaan warga Ahmadiyah,

21Berlandaskan UU No.1/PNPS/’65 Pasal 1 Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan agama itu dan UU No.2/2002 tentang Kepolisian RI Pasal 2 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan Pasal 15 (1) d mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Penjelasan pasal, aliran adalah semua aliran atau faham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah negara RI.

22Berupa persuasif edukatif yaitu pengarahan dan bimbingan dengan penyuluhan.

23Yakni menanggulangi kasus yang terjadi dengan membatasi akibat/risiko yang timbul dengan tindakan bersifat administratif, misalnya pembinaan/sanksi administratif berupa pernyataan tertulis dan penindakan yustisial dengan penyelidikan dan penyidikan hukum.

24Yakni menghilangkan ajaran sesat disertai pembimbingan kesadaran spiritual.

25Dinyatakan oleh Kepala Kesbanglinmas Kab. Kudus (Jawa Pos, Radar Kudus, 21/12/2010).

Page 205: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013402

baik berupa penegakan hukum, tindakan preventif, kuratif,

apalagi represif.

Resolusi KonflikKonflik merupakan keniscayaan sejarah dan berpeluang

muncul. Makna positif konflik berupa terjadinya perubahan

sosial, makna negatif berupa kerenggangan sosial dan kekerasan26.

Mengelola konflik menurut Solihan dengan memahami penyebab

konflik dan menyikapi tipe konflik. Jenis penyebab konflik

berupa pemicu (triggers), penyebab dasar (pivotal factors),

faktor yang memobilisasi (mobilizing factors), dan faktor yang

memperburuk (aggravating factors).27 Pemicu konflik karena

perbedaan bersifat teologis, meski belum terpicu secara terbuka

dan tak adanya faktor yang memobilisasi konflik. Penyebab

konflik menurut Solihan secara teoretis (1) terjadi polarisasi,

ketidakpercayaan, dan permusuhan antarkelompok yang berbeda

dalam satu komunitas, (2) disebabkan posisi yang diadopsi oleh

kelompok yang bertentangan semata, (3) kebutuhan manusia

yang tak tercukupi (fisik, psikologis, dan sosial), (4) identitas

yang terancam, (5) miskomunikasi antarbudaya karena gaya yang

berbeda, (6) transformasi konflik; disebabkan ketidaksetaraan

26Jenis kekerasan menurut Salmi (2005:32) terpilah kekerasan langsung (direct violence) yakni menyerang fisik dan psikis individu secara langsung, kekerasan tidak langsung (indirect violence) yakni tindakan yang membahayakan manusia bahkan ancaman kematian, tetapi tak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan. Kekerasan represif (repressive violence) berkaitan dengan pencabutan hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif (alienating violence) berupa pencabutan hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual.

27Sholihan, Memahami Konflik dalam Mengelola Konflik Membangun Damai, Mukhsin Jamil (Ed) (Semarang: Wali Songo Media Center, 2007), hlm.5.

Page 206: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 403

dan ketidakadilan.28 Penyebab konflik tereduksi (tak terjadi)

antara komunitas Ahmadi dengan warga muslim Kudus karena

terjadinya rekonsiliasi konflik dengan kompromi.

Resolusi konflik menurut penulis sebagai tindakan

konstruktif yang diagendakan, dilakukan, dan dievaluasi

kedua belah pihak bertujuan menyelesaikan konflik. Tindakan

konstruktif tersebut sangat ditentukan kesediaan menggapai

perdamaian dengan prinsip saling menyadari dan memahami,

tanpa merasa dirugikan. Model penyelesaian konflik menurut

Schilling (1995) meliputi meninggalkan konflik (abandoning),

meghindari (avoiding), menguasai (dominating), melayani

(obliging), mencari bantuan (getting help), menunda

penyelesaian (postponing), menyatukan (integrating), mengurai

masalah (problem solving), dan kompromi (compromise).29

Konteks Ahmadiyah di Kudus, model penyelesaiannya dengan

kompromi.

Model Penyelesaian KonflikAnalisis terhadap fatwa sesat oleh MUI terhadap

Ahmadiyah jika dikaitkan dengan nihilnya konflik di Kudus

karena (1) mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam,

tetapi warga Ahmadi Kudus dalam beragama tak mengingkari

kedua sumber ajaran Islam, (2) meyakini atau mengikuti

akidah yang tak sesuai dengan dalil syarak. Data yang digali

peneliti, mereka secara lisan mengakui Nabi SAW sebagai

nabi, membantah jika non-Ahmadi salat di masjid Ahmadi

dicuci sebagai tanda bahwa warga non-Ahmad adalah najis,

masjid Ahmadiyah selalu terbuka untuk dijadikan ibadah bagi

siapa pun, (3) meyakini turunnya wahyu sesudah al-Quran.

28Ibid, hlm.16-17. 29Alo Liliweri, 2005. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas

Budaya Masyarakat Multikultur. LKiS: Yogyakarta. Hlm.297.

Page 207: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013404

Warga Ahmadiyah berdalih al-Quran kitab sucinya dengan

bukti ditelaah secara bersama-sama setiap selesai jamaah

salat mahrib di masjidnya, (4) mengingkari autentisitas dan

kebenaran al-Quran. Al-Quran dipahami sebagai kitab yang

otentik. Jika ada anggapan bahwa Muhamad SAW sebagai nabi

penutup, keberadaan Mirza Ghulam hanyalah sebagai penerus

perjuangan Nabi SAW (mujadid), (5) menafsirkan al-Quran

yang tak berdasar kaidah tafsir. Warga Ahmadiyah di Kudus,

belum mendalami tafsir quran, hanya belajar membaca quran,

(6) mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran

Islam. Hal ini tak menjadi karakter Ahmadiyah, (7) menghina,

melecehkan, dan/atau merendahkan nabi dan rasul. Warga

Ahmadiyah menghormati Nabi SAW, tak melecehkan atau tak

menghinanya, (8) mengingkari Nabi SAW sebagai nabi dan

rasul terakhir. Warga Ahmadiyah mengaku bahwa Nabi SAW

adalah nabi terakhir, (9) mengubah, menambah, dan mengurangi

pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat. Mereka

mengaku tak mengurangi atau menambah pokok ibadah dalam

Islam, (10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i. Poin

ini pun tidak menjadi ’lagu wajibnya’.

Kesepuluh kriteria tersebut oleh sebagian pengamat

mendapatkan kritik bahwa pencetus kriteria adalah manusia

(antara elemen yang menerima dengan yang memproduk sesama

manusia), sehingga ketika memahami wahyu memiliki derajat

yang sama, kebenaran kriteria adalah kebenaran manusiawi,

bukan kebenaran Ilahi. Pada dasarnya bahwa klaim aliran

sesat pada Ahmadiyah bukan didasarkan kebenaran substantif,

melainkan klaim kebenaran hegemonik. Artinya, klaim seperti

itu tak akan lahir dari kalangan minoritas terhadap mayoritas.

Dengan argumentasi, sesat atau tidak sesatnya lebih banyak

diukur dari kuantitas pendukung. Tetapi hal tersebut mungkinkah

Page 208: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 405

strategi berkelitnya (taqiyah)30? Perlu pendalaman penelitian

berikutnya.

Strategi Resolusi Konflik Ahmadiyah di Kudus Masyarakat Kudus dalam berinteraksi dengan komunitas

Ahmadiyah di Rt.1 Rw.3, Dukuh Pandak, Desa Colo, Dawe,

Kudus, Jateng yang keberadaannya sejak 1998 pascakekalahan

pilkades, reaksinya terselubung dan terpendam, meskipun dalam

jumlah mayoritas dan Ahmadiyah minoritas karena belum pernah

terjadi konfrontasi terbuka, hanya sebatas dentuman batin

komunitas muslim di Kudus yang berpeluang terjadi konflik.31

Desa Colo memiliki lima perdukuhan, setiap dukuh

memiliki musala, jumlah keseluruhan musala 11, 1 Vihara, 1

30Pencegahan melawan penyiksaan dengan menyembunyikan keyakinan dan praktik keagamaan melalui sikap pura-pura. Pengembangan lebih jauh, menyembunyikan secara aktif keyakinan yang sesungguhnya demi melindungi nyawa, harta benda, dan agama.

31Reaksi masyarakat Kudus tahun 2006 kaitannnya dengan sentimen agama-kepercayaan yakni ketegangan antara warga Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati dengan umat Kristiani yang dilatarbelakangi oleh pemanfaatan rumah toko (ruko) di gedung IPIEMS di jalan Agus Salim yang dijadikan tempat ibadah (gereja) pimpinan pendeta F. Iskandar Wibawa karena dianggap menyalahi fungsi. Hal tersebut direspon oleh Bupati Kudus dengan menerbitkan surat No.450/7777/11/2006, 23/11/2006 yang ditandatangani oleh Asisten Tata Praja Kudus. Isi surat, agar menghentikan penggunaan ruko sebagai tempat ibadah. Untuk mengurangi tensi ketegangan, aparat Polres Kudus pun disiagakan (Jawa Pos,Radar Kudus,27/11/2006, hlm.1). Juga munculnya jamaah dzikrussholikhin pimpinan Nur Rokhim di wilayah Rt. 06 Rw. 01 Desa Golantepus, Mejobo, Kudus,2007. Sang tokoh mengakui bertemu dengan malaikat yang diakibatkan (dalam pengakuannya) oleh ketaatannya melakukan dzikir setiap malam. Sehingga pada suatu malam ditemui cahaya, cahaya tersebut mengajak ruh Nur Rokhim bersinggah pada rumah mewah. Oleh Rokhim, cahaya dianggap sebagai bentuk malaikat. Pengalaman spiritual tersebut dipublikasikan melalui selebaran, sehingga oleh (sebagian) masyarakat Kudus dianggap aliran sesat dan membuat tegangnya suasana desa. Agar permasalahan tak meruncing menjadi konflik, maka aparat desa dan kepolisian mendamaikan kedua belah pihak di balai desa setempat ( Jawa Pos, Radar Kudus, 4 dan 8/9/2007, hlm.1).

Page 209: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013406

gereja, dan 5 masjid berhaluan NU dan 1 ‘berbendera’ Ahmadiyah.

Hal ini menandakan bahwa keberagamaan masyarakatnya

dinamis-variatif-nirkonflik. Mengapa aliran Ahmadiyah tak

dimusuhi? Meski kehidupan beragama muslim Kudus tak nihil

dari konflik.32

Kemunculan konflik laten sangat mungkin terjadi di

Kudus antara komunitas Ahmadiyah dengan non-Ahmadi

berdasarkan hasil deteksi dini peneliti dengan dalih. Pertama,

komunitas Ahmadiyah menyendiri dalam beribadah dan

pengajian rutin, tak terbuka (tanpa pengeras suara jika adzan

salat harian, bukan karena tak memiliki), tak sebagaimana umat

Islam Kota Kudus lazimnya. Kedua, struktur sosial masyarakat

pedesaan wilayah wisata Colo, Gunung Muria menjadi areal

wisata nasional (adanya makam Sunan Muria dan makam

Syekh Syadzali). Hal ini berimbas pada gaya hidup dan pola

pikir masyarakat yang terbuka dan tak tradisional an sich lagi.33

Ketiga, masyarakat Kudus variatif yakni santri dan abangan,

bila tanpa memahami kehidupan pluralis dan multikultur

mudah tersulut konflik. Nomenklatur santri memiliki adagium

32Pemanfaatan ruko (rumah-toko) di Kelurahan Getas Pejaten untuk dijadikan tempat ibadah, timbullah konflik. Rumah-toko (ruko) tersebut di gedung IPIEMS jalan Agus Salim Kudus pimpinan pendeta Franciskus Iskandar Wibawa. Hal ini menimbulkan ketegangan antara warga Kudus sekitar ruko dengan umat beragama. Agar tidak terjadi konflik yang meruncing, Bupati Kudus mengeluarkan surat No. 450/7777/11/2006, 23/11/2006 menghentikan penggunaan ruko sebagai tempat ibadah (Radar Kudus, 27/11/2006, hlm.1). Begitu pula, pengikut aliran tarekat yang mengakui bertemu malaikat menyulut konflik dialami Nurrokhim, warga Kelurahan tenggeles Kecamatan jekulo Kudus. Agar tidak berkecamuk, pemerintahan esa mendamaikan seluruh komponen desa untuk damai. Akhirnya Rokhim mencabut pernyataannya.

33Seperti terjadinya pergeseran fanatisme melaksanakan ritual rutin organisasi keagamaan di perkampungan yang diselenggarakan setiap malam Jumat. Jika malam Jumat pahing, diprediksi jumlah wisatawan yang memadati areal wisata Colo melonjak, maka acara ritual rutin menyusut jumlah yang hadir karena lebih memprioritaskan pekerjaannya menjadi pedagang kaki lima dan tukang ojek wisata-ziarah.

Page 210: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 407

Gusjigang; dari kata ’Gus’, bagus (baik) perilakunya, ji; dari kata

kaji (haji) atau ngaji (mengaji), dan gang bermakna pedagang.

Keempat, kehidupannya semi individualis imbas pelaku wisata

yang berhadapan dengan ‘dunia jalanan’ dan penyelesaian

dengan cara demonstrasi menjadi tren, sebagaimana tayangan

media massa yang memberitakan realitas Ahmadiyah di wilayah

Jawa Tengah.

Ahmadiyah di Kudus memiliki strategi resolusi konflik

dengan ‘mengamankan’ kelompoknya, memberi pemahaman

pada masyarakat umum bahwa alirannya tak sesat dengan siasat

(1) membuat selebaran yang dibagikan pada warga Colo pada

2006 bertuliskan tuhannya sama, nabinya sama, (2) masjid

yang mereka bangun diberi tulisan kalimat Laailaha illallah Muhammdurrosulullah, lafal baru muncul setelah 10 tahun

berdiri semenjak gejolak terhadap Ahmadiyahan di Indonesia,

(3) menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga

Desa Colo yang non-Ahmadi, seperti menjadi pedagang dan

anggota perkumpulan sosial-keagamaan yang terdiri warga

nahdliyin, (4) proaktif terhadap kebijakan pemerintah dan

taat terhadap norma sosial yang berlaku di lingkungannya,

(5) tempat tinggalnya bergabung dengan warga non-Ahmadi,

dan (6) interaksi sosialnya positif sebagaimana pembagian

daging kurban warga Ahmadi pada warga non-Ahmadi. Pada

1433 H/2012 M terdapat 4 kambing kurban warga Ahmadi a.n

Sukardi, Mubarik, Endro, dan Kasminah, sebanyak 70 bungkus

untuk warga non-Ahmadi dan 13 bungkus untuk warga ahmadi.

Setiap bungkus minimal berisi 1 kg daging. Pada 2013 terdapat

2 kambing kurban warga Ahmadi yakni Bpk. Endro dan warga

ahmadi dari Solo. Daging terbungkus 42 kantung plastik yang

dibagikan pada 14 KK warga ahmadi dan 28 untuk tetangga

ahmadi yang muslim. Begitu pula warga Ahmadi mendapatkan

Page 211: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013408

pembagian daging kurban dari warga muslim non-Ahmadi di

lingkungannya.

Selain strategi di atas, adem-ayemnya Ahmadiyah di Desa

Colo karena (1) jumlah pemeluknya hanya 14 kepala keluarga

dari 4 ribu jumlah penduduk Desa Colo, meski tidak setiap rumah

yang kepala keluarganya ahmadi menjadi pengikut ahmadi, (2)

tak pernah melanggar norma sosial, hukum, dan agama, (3)

mengadakan ritual yang kolosal menyertakan tetangganya yang

non-Ahmadi, (4) refleksi keagamaan masyarakat Desa Colo

kurang peduli dengan fatwa MUI yang memfatwa Ahmadiyah

sesat, tetapi karena tak fanatis dan dipicu pemahan terhadap

agama warga tak semua mendalam, kesibukan sehari-hari

‘ditelan’ aktivitas ekonomi (pedagang, petani, pengojek sepeda

motor, dsb.), bukan karena tingginya rasa toleransi terhadap aliran

sesat, (5) tak adanya ormas Islam bergaris keras di Kudus, (6)

tokoh agama setempat tak berperan sebagai lokomotif melawan

Ahmadi, dan (7) ada hubungan kekerabatan dan pertemanan

antara warga Ahmadi dengan non-Ahmadi.34

PenutupResolusi menangkal konflik yang dilakukan komunitas

Ahmadiyah di Kudus berupa (1) membuat selebaran yang

dibagikan pada warga Colo pada 2006 bertuliskan tuhannya sama, nabinya sama, (2) masjidnya diberi tulisan kalimat

laailaha illallah muhammdurrasulullah, meski setelah 10

tahun berdiri semenjak gejolak keahmadiyahan di Indonesia,

(3) menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga

Desa Colo yang non-Ahmadiyah, (4) proaktif terhadap semua

kebijakan pemerintah dan taat terhadap norma sosial yang

34 Moh. Rosyid, ”Ahmadiyah di Kabupaten Kudus”, Analisa, Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Vol.XVIII, No.01, Januari-Juni 2011. Balai Litbang, Kemenag, Semarang. hlm.91.

Page 212: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 409

berlaku di lingkungannya, dan (5) bertempat tinggal bergabung

di tengah-tengah kerumunan rukun tetangga (RT) masyarakat

Desa Colo.

Keberadaan komunitas Ahmadiyah di Desa Colo tetap

eksis karena (a) jumlah pemeluknya hanya 10 kepala keluarga

(KK) dari 4 ribu jumlah penduduk Desa Colo, (b) pengikut

aliran Ahmadiyah tak pernah membuat pelanggaran norma

sosial, hukum, dan agama, sehingga tak muncul reaktif dari

lingkungannya (non-Ahmadiyah), (c) dalam aktifitas beragama,

tak menampakkan ‘gebyar’ (show of force), sehingga tak

mengundang kecurigaan, dan (d) masyarakat Colo mensikapi

aliran Ahmadiyah tak fanatis dipicu keberagamaan yang tak

semua warga mendalam, kesibukan sehari-hari di bidang

ekonomi (pedagang, petani, pengojek sepeda motor, dsb.).

Dalam hal ini pihak-pihak terkait seperti pemerintah,

agar : 1.Melaksanakan amanat UUD 1945 dan perundangan

lain yang esensinya menghormati hak individu, terutama

dalam hal beragama dan kenyamanan bagi pemeluknya, 2.)

Melaksanakan UU No.7/2012 tentang Penanganan Konflik

Sosial menegaskan bahwa NKRI melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga

negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram,

tertib, damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai

wujud hak setiap orang atas perlindungan agama, diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Pasal 10 (1)

Pemerintah dan Pemda membangun sistem peringatan dini

untuk mencegah konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai

daerah potensi konflik; dan/atau perluasan konflik di daerah

yang sedang terjadi konflik. (2) Sistem peringatan dini dapat

berupa penyampaian informasi mengenai potensi konflik atau

Page 213: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013410

terjadinya konflik di daerah tertentu pada masyarakat. (3)

Sistem peringatan dini melalui media komunikasi. Pasal 11

Membangun sistem peringatan dini dilakukan Pemerintah dan

Pemda dengan cara penelitian dan pemetaan wilayah potensi

konflik; penyampaian data dan informasi mengenai konflik

secara cepat dan akurat; penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan; peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan

penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai ketentuan

perundangan. Pasal 12 Penghentian konflik dilakukan melalui:

penghentian kekerasan fisik; penetapan status keadaan konflik;

tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban; dan/

atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI. Pasal

11 tersebut perlunya Pemda menggandeng akademisi yang

juga peneliti untuk mewujudkan simbiosis mutualisme dalam

menangkal konflik sosial.

Selain itu juga para tokoh masyarakat juga dituntut peran

aktifnya agar : 1). mengendalikan perilaku diri dan komunitasnya

agar tak berbuat kriminal terhadap sesama umat manusia, 2)

berperan sebagai lentera kehidupan yang menyejukkan dan tak

menjadi provokator bagi komunitasnya untuk melawan yang

lemah. Di sampng itu pihak intelektual yakni para aAkademisi/

Peneliti, agar: 1)mempublikasikan situasi yang santun di tengah

perbedaan umat manusia dari hasil risetnya; 2)merumuskan

kondisi damai di tengah potensi konflik yang ada di tengah

masyarakat. Terakhir adalah masyarakat itu sendiri agar:1)tidak

mudah tersulut konflik dari manapun sumbernya karena akan

menderita kerugian pada diri dan keluarganya jika tak mampu

mengendalikan diri; 2) berpikir kritis dan waspada bahwa

berbagai dalih untuk memprovokasi pada pihak yang lemah

selalu mengintai kita.

Page 214: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 411

DAFTAR PUSTAKA

Haq Al-Badri, Hamka, Koreksi Total terhadap Ahmadiyah, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981.

Hendardi, “Beragama, Kebebasan Dasar”, Kompas, 10 September 2005.

Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Mudzakkir, Amin, “Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan: Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay” dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: Tifa, 2007.

Rosyid, Moh., ”Ahmadiyah di Kabupaten Kudus”, Analisa, Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Vol.XVIII, No.01, Januari-Juni 2011. Balai Litbang, Kemenag, Semarang.

Salmi, Jamil, Violence and Democratic Society Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Scott, James C., Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

--------, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts, New Haven & London: Yale University Press, 1990.

Sholihan, “Memahami Konflik” dalam Mengelola Konflik Membangun Damai, Mukhsin Jamil (Ed), Semarang: Wali Songo Media Center, 2007.

Sidiq, Ahmad dan Masfiyah, Umi, “Organisasi Ahmadiyah Qadian di Surakarta” dalam Analisa Jurnal Pengkajian

Page 215: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013412

Masalah Sosial Agama, No. 21 Th XI April 2006. Balai Litbang, Kemenag, Semarang.

Sulhan, Moh., “Akar Diskriminasi Minoritas dan Pluralisme Agama Studi Kasus Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Kuningan” dalam Holistik, Journal for Islamic Social Sciences. Vol. 07, No.1, 1427/2006, STAIN Cirebon.

Zara, M.Yuanda, dkk., Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, Yogyakarta: Banyu Media, 2007.

Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesi, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Page 216: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 413

MENGKONSTRUK AKHLAK KEMANUSIAAN DENGAN TEOLOGI KEPRIBADIAN HASAN HANAFI(Perspektif Teologi Antroposentris)

ManijoDosen STAIN Kudus

Email: [email protected]

ABTRAK

Manusia adalah makhluk komplek dan dinamis kemudian keadaannya lahir dengan seperangkat potensi yang diberikan Allah SWT, sehingga dengan potensi itu manusia siap hidup sempurna serta mampu menjaga kemanusiaannya. Namun, dalam perjalanannya banyak manusia yang tidak bisa menemukan jati dirinya, tidak bisa mengembangkan potensinya, bahkan tidak mampu hidup mencapai derajat kesempurnaan.Salah satu persoalan kemanusiaan yang sulit untuk dibangun adalah persoalan akhlak kemanusiaan atau karakter manusia itu sendiri, karena akhlak adalah akibat dari potensi teologi yang ada dalam batin. Hasilnya, bila manusia secara teologi telah menemukan kepribadian kemanusiaan yang kokoh, maka akhlak yang dimunculkan adalah akibat dari nilai teologi yang diyakini. Kemunculan ini bisa berbentuk cipta, karsa, dan rasa manusia yang ditampilkan. Teologi Antroposentris dari Hasan Hanafi adalah salah satu solusi alternatif yang bisa dijadikan dasar pembentukan akhlak kemanusiaan atau karakter

Page 217: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013414

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

manusia yang akan direalisasikan dalam bentuk tiga kekuatan manusia tersebut. Sifat Wujud, Qidam, Baqa, Mukhaalafatu lilhawadits, Qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyyah, adalah sifat-sifat yang selama ini dimaknai dan ditujukan pada Allah SWT, yang menurutnya Allah SWT tidak butuh disifati, karena tanpa disifatipun Allah SWT sudah tinggi, namun manusialah yang butuh pada Allah SWT. Inilah yang menjadi dasar Hasan Hanafi beralih dari Teologi Teosentris menuju Teologi Antroposentris.

Kata kunci: Akhlak, Manusiaan, Teologi antroposentris, Hasan Hanafi

PendahuluanIndonesia harus bangkit, Indonesia harus maju ke depan,

Indonesia harus modern, adalah slogan-slogan motivasi bagi bangsa Indonesia terutama manusia Indonesia, dimana posisi manusia dalam pembangunan ada pada wilayah sebagai subyek dan obyek pembangunan yang lazim disebut Sumber Daya manusia (SDM). SDM adalah pusat perubahan dalam kemodernan, SDM merupakan kunci kemajuan dalam kehidupan, manusia juga sebagai penggerak (motor) bagi semua sektor turunanya. Bila manusia baik, produktif, inovatif, kreatif dan progresif, maka roda kehidupan dalam berbangsa dan bernegara juga akan cepat maju, dan mungkin lebih cepat sejahtera.Tapi bila SDM tidak bisa diandalkan semua serba minus dan pasif, maka apa jadinya Negara dan bangsa pada masa depannya.

Tanggal 28 Oktober1 dalam setiap tahunnya di Indonesia

1Hari sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena tekad dan keberanian para pemuda kala itu untuk tetap pada satu Indonesia. Pertama Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.Kedua Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu,

Page 218: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 415

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

selalu diperingati sebagai hari sumpah pemuda, di mana dalam hal ini mengingatkan pada sejarah masa lalu bahwa lewat pemuda kemajuan bangsa Indonesia akan lebih cepat, lebih bergairah dan mungkin lebih cepat sejahtera. Momentum ini patut diapresiasi dan didukung terus agar semangat dan ruh sumpah pemuda betul-betul ada dan jelas kontribusinya, baik dalam sektor politik, budaya, seni, teknoilogi, bahkan pendidikan dan dakwah Islamnya. Fiolosofi pemuda adalah jenjang manusia yang mempunyai potensi bahkan mempunyai sejuta progresifitasnya.

Tapi kenyataan dan harapan kadang bertemu sangat jauh, bahkan terkadang tidak ketemu sama sekali, asal tidak saling berkelahi.2 Baru kemarin (2013) tokoh pemuda dan sekaligus tokoh reformasi Indonesia banyak yang ditahan KPK dengan tuduhan korupsi. Baru kemarin juga (Masih di tahun yang sama) KPK menangkap para pemuda yang kebetulan menjabat dalam jabatan yang cukup strategis dalam wilayah kebijaksanaanya. Sungguh sangat ironis, pada sisi yang lain kita cukup bangga dengan adanya anak-anak muda Indonesia yang sudah mampu berprestasi di tingkat dunia, baik pada sektor pendidikan, sains, olah raga, dan termasuk seni kebudayaan.

Indonesia adalah Negara besar dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa3, pulau tersebar mulai Sabang sampai Merauke,

bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia

2Seperti tokoh pemuda Andi malarangeng, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap mantan Menpora Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek hambalang. Ini merupakan pemeriksaan kedua Andi dalam sepekan, setelah Jumat 11 Oktober 2013 pekan lalu dia diperiksa penyidik KPK sebagai tersangka.dan akhirnya ditahan oleh KPK.

3Jumlah penduduk menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan kalau tahun ini penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun. Liputan6.com.

Page 219: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013416

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

kebudayaan yang beragam, termasuk juga agama yang plural. Dengan banyaknya kebaragaman ini, tentu pada satu sisi menjadi kendala tapi pada sisi yang lain justru menjadi peluang untuk bergerak maju yang lebih kuat.

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, kualitas beragama penduduknya sangat menjiwai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Islam sebagai idiologi sangat mendasar dalam membimbing perjalanan seseorang yang hidup di Negara Indonesia, nilai-nilai Islam yang ada dalam pancasila dan yang ada dalam nafas undang-undang dasar Negara Indonesia adalah bukti adanya spirit Islam dalam Negara dan bangsa.

Islam adalah agama terbesar pemeluknya di Indonesia, Islam menjadi pandangan hidup bagi setiap penduduk Indonesia, dan juga dengan Islam Indonesia menata dan membangun bangsa dan Negara. Islam semenjak masuk ke negeri ini, telah diterima dengan damai, Islam mampu berakulturasi dengan budaya pribumi saat itu, Islam masuk tanpa kekerasan, bahkan kala itu Islam mampu memasuki dari semua kasta kehidupan, mulai rakyat jelata sampai pejabat dan para raja di waktu itu.

Islam adalah agama Rahmatan lilálamin, bukan saja menjanjikan kebahagiaan di dunia saja, namun juga menjanjikan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Islam dengan tauhid (ketuhanan yang maha esa) mampu mengukir dan sekaligus penggerak manusia yang progresif dengan akhlakul karimah yang ditampilkan dalam kehidupan, sehingga manusia dalam kehidupan seraya tangguh dalam teologi, anggun dalam perbuatan dan kaya akan amal dan perbuatan.

Manusia yang berkualitas dengan dasar teologi yang kuat inilah yang dalam konsep kepribadian pembangunan karakter manusia sering disebuat sebagai kepribadian muslim. Cukup banyak pembangunan karakter manusia Indonesia, baik dari sisi

Page 220: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 417

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

fiqh, pemikiran Islam, muammalah, dan mungkin juga filsafat Islam, namun integralistik, dan multi disipliner akan lebih baik untuk membangun manusia yang berkepribadian muslim.

Secara historis Islam telah diterjemahkan (keberagamaan) berdasarkan fase dan era dan tempat di masing-masing waktu sejarah, seperti Islam masa khulafaurrosidin, Islam masa Abbasiyah, Islam wilayah arab, Islam Asia, termasuk juga Islam Indonesia.Perjalanan panjang Islam, tentu membawa konsekwensi-konsekwensi logis dari masing-masing era, inilah yang kemudian menampilkan wajah Islam dalam bentuk budaya dan gaya atau corak pemikiran yang berbeda-beda.

Abad ke XI M adalah era kejatuhan peradaban Islam dimana-mana, yang sebelumnya kebudayaan Islam telah bercokol di puncak keemasan (The Golden Age). Pada masa itu muncul corak dan gerakan keras dari pihak luar yaitu serangan pasukan Salib yang mengumandangkan perang suci melawan umat Islam, ini berlangsung kurang lebih dua abad lamanya. Akibat dari kondisi ini kehancuran peradaban Islam ada dimana-mana dan hampir di semua sektor, termasuk juga dalam literatur Islam sebagai hasil pergumulan umat Islam atas respon terhadap wahyu kala itu, sehingga hampir-hampir sendi-sendi peradabanpun hampir hilang.

Akibat dari itu, peradaban Islam porak-poranda hancur berkeping-keping. Islam mengalami kemunduran, stagnan dan masa kegelapan. Sementara itu di Eropa (Barat) mengalami kebangkitan, kemajuan yang ditandai dengan adanya revolusi industri dan Renaisan. Munculnya kebangkitan Eropa dan melemahnya peradaban Islam dalam kancah dunia melahirkan kepahitan yang harus ditelan, berkat kegagagalan, kejumudaan, dan kegelapan pemikiran yang cukup panjang. Mesir umpanya, yang dulu sebagai pusat peradaban Islam saat itu hancur dan

Page 221: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013418

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

ditaklukkan Barat, Turki mengalami kekalahan, semua Negara Asia termasuk Indonesia dan Afrika jadi bulan-bulanan bangsa-bangsa Eropa.

Untuk Mesir untung lahir pahlawan seperti Napoleon Bonaparte tahun 1798 M yang menyadarkan rakyatnya atas kemunduran dan kelemahannya, sehingga Mesir lambat laun mulai bangkit. Sir Sayyid Ahmad Khan di India (Pakistan) yang membukakan pintu ilmu bagi umat Islam India sehingga mampu bangkit dari penjajahan selama ini. Mohammad Hatta dan tokoh-tokoh pembaharu lainnya dengan kesabaran dan keteguhan teologi, sedikit demi sedikit mampu menyadarkan sekaligus membuat gerakan Islam, sehingga Islam Indonesia tampil dengan Islam kemodernan.

Negara-negara Asia dan Afrika mulai abad ke 19 sadar dan cepat bangun dari keterpurukan selama ini dan membangun Islam dari bawah dengan penuh kemerdekaan.4 Satu dua Negara akhirnya merdeka dari tangan penjajah Eropa sampai akhir abah ke 20. termasuk Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pembaharuan yang dilakukan para tokoh untuk membangkitkan umat Islam dilakukan dari semua sektor termasuk juga teknologi pemikiran intelektal muslim, lihatlah Mohammad Abduh di Mesir yang ingin memasukan ilmu empiris dalam ilmu Islam yang sebelumnya didominasi pemikiran deduktif daripada berfikir induktif, dari berfikir tektualis menjadi kontektual, dari dogmatis normativitas menjadi historisitas. Arkoen dengan teknologi wacananya Nalar Islami dan nalar Modernnya,

4 Konfrensi Asia Afrika di Bandung adalah bukti kesadaran bersama atas pemindasan dan eksploitasi Negara-negara Barat atas wilayah Asia dan Afrika, sehingga momentum inipun dari sudut pandang pemikiran Islam disebut juga sebagai awal kebangkitan Islam dari kolonialisme barat dan program marginalisasi bagi kaum pribumi.

Page 222: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 419

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Abdullahi Ahmed An-Naím dengan Dekontruksi Syariáhnya. Termasuk Hasan Hanafi dengan Islam kirinya dan Teologi Antroposentrisnya.

Melanjutnya beberapa nalar pemikiran tentang teologi yang disampaikan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Islam bisa dibangkitkan dari pemahaman fundamentalnya terutama teologi. Menurut Hasan Hanfi, selama ini teologi umat Islam hanya untuk Tuhan (Allah) dengan berbagai sifat dan asmaul husna-Nya, padahal Tuhan tanpa harus diberi sifat, asma dan embel-embel apapun tetap suci, Tuhan tidak butuh disifati, bahkan Tuhan tidak butuh manusia, namun manusialah yang butuh Tuhan. Inilah yang menyebabkan pemikian Islam sangat abstrak dan non dialektis serta bersifat teosentris sehingga tampilan Islam menjadi sangat melangit dan tidak membumi. Hasilnya umat Islam sangat sulit untuk maju. Bahkan dalam perjalanan sejarah mungkin kita hanya sibuk berfikir metodologi atau alat saja, sehingga tidak sampai-sampai pada tujuan dan kemakmuran umatnya. Teologi hanya cukup di hafal dan di sebutkan, tidak pernah menjadi foundamen berfikir dan bertindak, sehingga manusia cukup terpuaskan hanya pada dataran hafalan saja.

Pada dataran lain, Islam masih banyak ternostalgia dengan kabar kebahagiaan yang sengaja melemahkan potensi rasional manusia, Islam ada di mana-mana, Islam sebagai jawaban semua persoalan umat, Islam sudah kumplit, dan Islam sudah tahu dari awal, bahkan Islam tidak perlu lagi dipikirkan dan dikaji semua sudah ada, pintu ijtihad sudah tertutup, dan kata-kata metofor yang lain, sehingga tampilan empirisnya menjadi serba pasrah, pasif, regresif, mundur, bahagia dalam angan-angan, dan mungkin jumud. Kondisi ini cukup membingungkan umat Islam dalam menghadapi budaya luar yang kala itu Eropa yang sudah mampu bangkit, sehingga peradaban Islam yang sudah cukup lama

Page 223: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013420

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

dibangun, hancur dalam hitungan tahun, bahkan kualitas manusia sebagai pribadi yang muslim sangat jauh dari membumi, bahkan cenderung melangit.

Teologi Islam (ilm al-kalâm asy`ari), secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun filosofis.5 Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan

untuk mempertahankan doktrin, bahkan kemunculannya lebih banyak sebagai jawaban kesamaan atas kasus atau permasalahan yang dihadapi umat non Islam, sehingga Islam tinggal menyesuaikan, Jawaban atas hal ini demi memelihara kemurniannya, dan mungkin juga menangkis atas tuduhan

tersebut, atas hal ini menjadikan manusia tinggalah menerima

dan melaksanakannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah yang bisa dijadikan rancang bangun pemikiran dan kebudayaan sosial, disamping itu ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah

5Apa yang dimaksud ilmiah dalam pandangan Hanafi disini adalah jika teologi tidak asing dari dirinya sendiri. Artinya, teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Lihat Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), 408-9. Adapun statementnya bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis, sama sebagaimana yang pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa metodologi teologi tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga teologi hanya cocok untuk komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis. Lihat Osman Bakar, Herarkhi Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 149. Statement ini juga pernah disampaikan oleh Al-Ghazali, dalam Al-Munqid Min al-Dlalâl, ( Beirut, dar al-Fikr, tt), 36.

Page 224: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 421

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

kemandirian dan kesadaran.6

Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Teologi tidak patut untuk diperbincangkan atau diperdebatkan, teologi hanya bisa sebagai alat pemaham manusia yang sifatnya sangat sacral, dan suci. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi,7 dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).

Di sinilah keberadaan teologi menjadi menarik untuk

dikaji ulang dan dipikirkan ulang, sehingga teologi tidak lagi

bicara bahasa langit yang hanya milik Tuhan, tapi teologi

lebih bersifat antroposentris dan humanis dengan landasan dan

prinsip-prinsip sifat-sifat yang ada pada Tuhan selama ini. Kini

saatnya untuk meretingking kembali atas makna dan maksud dari

sifat-sifat tersebut dalam kehidupan manusia (antroposentris),

sehingga kita bisa masuk menjadi manusia dengan akhlak

kepribadian yang tangguh dengan landasan teologi menurut

paradigma berfikir Tokoh Islam sebesar Hasan Hanafi.

6AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogya, Ittaqa Press, 1998), 44-5. Atas dasar inilah kemudian Hanafi menuduh teologi Asyari sebagai salah satu penyebab kemunduran Islam, disamping sufisme.

7Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, (Kairo; Maktabah Matbuli, 1991), Historis/Rekonstruksi Teologi

Page 225: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013422

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Riwayat HidupHassan Hanafi adalah pemikir Arab dalam bidang teologi.

Sebelum menulis buku teologi antroposentris, beliau juga pernah menulis buku tentang teologi dengan judul Teologi Islam. Buku pertama ini Beliau masih mengartikan teologi sebagaimana pemikir Islam lakukan yaitu teologi teosentris, namun pada buku teologi kedua ini Beliau justru bertolak 180 derajat. Dulu teologi bermuara pada Tuhan, namun sekarang teologi bermuara pada manusia, itulah sebabnya disebuat teologi antroposentris.

Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935,8 dari keluarga musisi. Layaknya anak-anak di Mesir Hassan Hanafi belajar dan menimba ilmu mulai dasar sampai ke jenjang berikutnya, Pendidikannya diawali di pendidikan dasar di wilayahnya, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ‘Khalil Agha’, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan

dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga

mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.

Kebiasaan berfikir dalam Islam, sudah terlihat sejak kecil,

pemikirannya yang cerdas, telah menghantarkan beliau lebih

banyak mengkaji ilmu-ilmu Islam termasuk teologi. Pengaruh

kehidupan politik, dan sosial saat itu berimbas juga pada cara

pandang Hanafi dalam berfikir Islam. Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, Berkat dukungan keluarga dan budaya kala

itu Hanafi terus melanjutkan pendidikannya ke luar Negeri yang

8John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm.98.

Page 226: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 423

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

didambakannya sejak kecil, Universitas Sorbone, Prancis adalah pilihannya, mengigat Prancis saat itu sangat maju dalam berfikir. 9 Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux’.10

Hassan Hanafi tidak membutuhkan waktu lama untuk merealisasikan ide-idenya dalam kehiduan nyata, hanya satu tahun Hassan Hanafi dari pendidikan ke karier. Karier akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Profesor Filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Beliau orang cerdas, ide-ide beliau sangat brilian, sehingga beliau banyak diminta untuk memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi baik di dalam Mesir sendiri maupun di luar Negeri, Hanafi aktif memberi kuliah dibeberapa negara, seperti di Perancis (1969) padahal beliau pernah mengenyam ilmu di negeri ini, Belgia (1970), Temple

University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982-1984).11 Selanjutnya,

9Hanafi, Al-Dîn wa al-Tsaurah fî Misra 1952-1981, VII, (Mesir; Maktabah Madbuli), 332. Selama di Perancis ini, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode berfikir, pembaharua dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar fenomenologi dari Husserl, belajar analisa kesadaran pada Paul Ricouer dan pada bidnag pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasnya.

10Lutfi Syaukani, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V, tahun 1994, 121.

11John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia, 98. Keberangkatannya ke Amerika sebagai dosen tamu ini, sebenarnya, dikarenakan perselsihannya dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir. Lihat pula Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, 16.

Page 227: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013424

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

diangkat sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).

Historis/Rekonstruksi Teologi, Di samping dunia

akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islamî. Pemikirannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat, sehingga menyeretnya dalam penjara.12

Kondisi SosialMesir secara sosial merupakan negara yang tidak pernah

berhenti dalam percaturan peradaban dunia, Mesir mulai awal

adanya ilmu pengetahuan, Mesir tetap menjadi perhatian para

peikir dunia, politik dan letak geografisnya yang strategis mampu

menjadi daya tarik tersendiri dalam perebutan kekuasaan, Mesir

selalu meninggalkan peradaban yang mendunia, sebut saja

seperti Raja Firáun, Piramid, bahkan Terusan Sueznya. Mungkin

atas dasar itu pula mesir sampai sekarang tetap menarik untuk

berubah secara dinamis.

Kedinamisan masyarakat Mesir itu jugalah yang

12Ridwan,Ibid. Lebih lengkap tentang gagasan dan apa yang dimaksud dengan ‘Islam Kiri’ oleh Hanafi, lihat tulisan Hanafi Al-Yasar al-Islamî dalam Jurnal Islamika edisi 1 Juli- September 1993, atau bisa juga dilihat pada bagian apendik dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogya, LKiS, 1994).

Page 228: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 425

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

melatarbelakangi lahirnya tokoh-tokoh besar Mesir yang

sampai tingkat dunia, Hanafi lahir dan dibesarkan juga pada

suasana sosio-historis masyarakat Mesir yang plural, dengan

berbagai kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan

dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh dan simpatisan dari masyarakat, mengingat masyarakat Mesir adalah masyarakat majemuk yang sedang mencari bentuk dan pengaruh. Selain itu masyarakat Mesir adalah masyarakat dengan tingkat keterbukaan yang tinggi, dan ini merupakan modal dalam budaya dan peradaban dunia nantinya.

Dua kelompok ekstrim itu, pada sayap kiri ada partai komunis yang keberadaannya samakin kuat berkat pengaruh Sovyet diseluruh dunia, dan Mesir adalah salah satu yang dijadikan obyek keterpengaruhannya saat itu. Kemenangan Sovyet selama perang menjadikan Sovyet membutuhkan badan perwakilan sehingga tahun1942 dikukuhkannya perwakilan Sovyet di Kairo (1942), Atas prakarsa inilah Sovyet dengan partai komunisnya merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk belajar komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, yang didirikan Hassan Al-Banna tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan anti Barat.13 Kelompok ini sangat berseberangan dengan kelompok komunis, Ikhwanul Muslimin memiliki sejumlah besar pengikut, yang mayoritas dari orang-orang Islam, termasuk Hanafi sendiri pada awalnya. Pengaruh kelompok ikhwanul muslimin pada masyarakat Mesir saat itu menjadi penting dan harga mati untuk menang dalam perpolitikan,

13George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992), 298. Istilah ‘sayap kanan’ dan ‘sayap kiri’ ini semata hanya untuk mepermudah pemahaman. Golongan Ikhwan Al-Muslimin menolak dirinya disebut sebagai ‘sayap kanan’ dan ini disadari oleh Hanafi sendiri. Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, 88-89.

Page 229: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013426

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Hebatnya kelompok ini justru menjadi ikon Islam, bukan hanya di Mesir dan Arab sekitarnya tapi sudah berpengaruh di Asia bahkan Eropa, termasuk Indonesia saat itu dan mempunyai jaringan yang kuat diseluruh dunia.

Pada percaturan politik di Mesir, akhirnya kelompok Ikhwanul musliminlah yang menang dan mereka duduk dalam pemerintahan. Selain bekerja memajukan Mesir, kelompok ini ternyata dengan nama Pemerintah Mesir sendiri juga ambil bagian dalam pergolakan selanjutnya, dengan melakukan pembersihan terhadap kaum komunis (1946), bahkan kemudian melakukan pembunuhan terhadap al- Banna (1949) setelah setahun sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan ini terus berlanjut setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh partai sosialis. Beberapa bulan kemudian, pada tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal dengan Free Officers yang dikomandoi Muhammad Najib14 mengambil kesempatan Historis/Rekonstruksi Teologi dengan

melakukan kudeta terhadap raja Faruq, saat situasi tidak dapat

dikendalikan.

Saat pengambil alihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya

menggandeng Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai basis kuat dikalangan masyarakat bawah. Akan tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan Gamal Abdul Naser sebagai Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwanul Muslimin karena menganggap bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan

kekuasaannya.

Dari sisi pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang

14The Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun 1947, yang terdiri atas sebelas perwira dipimpin Mayor Jenderal Muhlammad Najîb, yang saat itu menjadi kepala staf 3 angkatan bersenjata Mesir. George Lenczowski,Ibid, 318

Page 230: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 427

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada Islam (the Islamic trend) yang diwakili oleh al- Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend) yang diwakili oleh antara lain, Luthfi al-Sayyid dan para emigran Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi peradaban Barat dengan prestasi-prestasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat (the syntetic trend) yang diwakili oleh `Ali `Abdul Raziq (1966).

Atas dasar inilah mungkin menjadi motivasi gerakan

sekarang ini di Mesir pasca diturunkannya prediden Mesir

Husni Mubarrok, dan sampai sekarangpun diantara kelompok-

kelompok yang ingin berkecimpung di pemerintahan Mesir

terilhami dari kelompok-kelompok pemikiran di atas tadi. Oleh

karena itu isu Islam dan Barat serta pemaduan antara keduanya

juga masih tetap sebagai isu sentralnya.

Dalam menghadapi tantangan modernitas dan leberalisme

politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan Barat menganggap bahwa jika Mesir ingin maju, ia harus menerapkan

sistem Barat. Mereka menganggap bahwa ulama adalah kendala

modernisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam

sosial-politik dan ekonomi. Pemikiran dan gerakan kelompok

kedua ini banyak mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga

dalam hal tertentu mereka berhasil mencanangkan program- programnya. Dukungan ini dikarenakan adanya keinginan

pemerintah untuk memperluas perannya dalam berbagai sektor kehidupan, disamping semakin dominannya pengaruh Barat pada

Page 231: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013428

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Mesir.15

Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan- gagasan kelompok pemikiran diatas, meski pada awal karier intelektualnya pernah berfihak pada kelompok pertama. Tetapi, pemikirannya mengalami proses dengan banyak dipengaruhi oleh kelompok kedua dan ketiga, terutama setelah belajar di Perancis. Walhasil, bangunan pemikirannya akhir-akhir dalam kehidupannya terbangun lewat situasi gerak pemikiran di Mesir dan di Perancis. Termasuk dalam hal ini pemikiran tentang

teologi antrposentrisnya, padahal beliau pula yang menulis

teologi tradisional yang bercorak teosentris.

Teologi AntroposentrisSosio-Historis kehidupan Hasan Hanafi dengan berbagai

lawatan keilmuannya, juga kondisi empiris masyarakat Islam di dunia, menjadikan pemikiran Beliau semakin terbuka dan banyak melahirkan ide-ide besarnya. Sebagaimana disiplin keilmuan yang beliau geluti selama ini dalam bidang filsafat, Hanafi ingin merubah umat Islam justru dari posisi yang sangat fundamental yaitu teologi Islam. Beliau sadar dengan berubahnya cara pandang dan paradigma berfikir umat Islam, akan melahirkan akhlak kepribadian manusia yang berkebudayaan yang positif sehingga dari dasar inilah umat Islam bisa merubah peradaban dunia.

Berlatar belakang pada pemikiran sebagai mana tersebut di atas, Hanafi mencoba untuk memberi solusi alternatif yang sifatnya fundamental, yaitu membangun akhlak kepribadian atau karakter manusia yang tangguh (Kepribadian muslim) dengan teologi Islam yang membumi dengan nama teologi antroposentris.

15Syahrin Harahap, Alqur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Taha Husain, (Yogya, Tiara Wacana, 1994), 26.

Page 232: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 429

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Salah satu ”asbabul wurudnya” secara sosio historis, Umat Islam yang belum beranjak dari cara pandang Islam atas realita kehidupan di Negara-negara Timur tengah dan negara-negara di Asia. Islam terlalu pasif, Islam terlalu lambat, dan Islam terlalu menunggu, sehingga agar tidak terjadi hal seperti itu perlu ada motor penggerak umat Islam itu sendiri. Bidang yang cukup vital dan strategis dalam memotinasi umat Islam adalah dari dimensi teologi.

Selain itu juga, karena menganggap bahwa teologi Islam yang ada selama ini tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, lebih bersifat teosentris, sehingga Umat Islam bagai hidup dalam angan-angan yang kosong, oleh karena itu Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam yang tidak lagi bersifat teosentris tapi bercorak antroposentris. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.

Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.16

16 Ridwan,Reformasi……, 50.

Page 233: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013430

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Lebih lanjut, untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.17 Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk

menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer terutama dalam membentuk manusia yang berakhlak kepribadian yang tangguh dan berkarakter.

Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi

paling tidak menggunakan tiga metode berfikir; dialektika, fenomenologi dan hermeunetik.18 dari ketiga metode berfikir

inilah yang menjadi landasan pijakan pemikiran teologi

antroposentrisnya. Ketiga metode berfikir itu adalah:

Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan

17Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan……, 408-409.18Menurut Boullata, pemikiran Hanafi didasarkan tiga metodologi;

analisan sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Maxsian. Boullata, ‘Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, edisi, I, (Juni-Sept, 1993), 21.

Page 234: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 431

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankan diatas kakinya.19 Artinya, kalam klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal.

Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau

mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya- miskin, atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep Hegel maupun Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme.20 Disini mungkin ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan

(tesa) dan setan (anti-tesa).

Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang

berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859- 1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui -- minimal--

19 Lihat Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996), 235; Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogya, Kanisius, 1983), 80.

20Lihat Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism, (Amsterdam, University of Amsterdam, 1979), 1-2, sebagaimana dikutip oleh Ridwan dalam Reformasi Intelektual..., 70.

Page 235: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013432

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi eidetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya.21

Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik

ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolusi.22 ‘Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain

kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa

Islam di Mesir’, katanya.23 Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah

Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga

dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.24

Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau

simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk

menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan,

21 Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta, Pembangunan, 1984), 121-124; Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung, Alumni, 1980), 52. Lihat juga Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta, Ghalia, 1984), 113-7

22Hanafi, Muqadimah fi ilm al-Istighrâb, (Kairo, Dar al-Faniyah, 1981), 84-6

23Ridwan, Reformasi Intelektual..., 22 yang dikutip dari Hanafi, Dirasah al-Islamiyah, (Kairo, al-Maktabah al-Misriyah, 1981), 415.

24Hanafi,Muqaddimah, 63-4.

Page 236: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 433

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsir sendiri.25

Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk

melandingkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai manusia.26 Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial. Menurut AH. Ridwan,27 hermeneutik Hanafi dipengaruhi metode hermeneutik Bultman. Akan tetapi, penulis tidak melihat signifikansi yang jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadic kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.

Akhlak Kepribadian Teologi Hasan Hanafi. Akhlak kepribadian adalah puncak dari pergulatan antara

keyakinan dan pemikiran yang diejawantahkan dalam bentuk aplikasi dalam kehidupan, baik dalam bentuk ide dan gagasan, pekataan, atau pemkiran dan tindakan manusia yang ini semua adalah bentuk ekpresi atau tanda dari gerakan “dalam” yang telah terkonsepkan dalam hal ini adalah teologi.

Dari dua tawaran konsep diatas, ditambah metode

pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi

25Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, (Yogya, Kanisius, 1993), 31.

26Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991), 1.

27Ridwan, Reformasi Intelektual.., 170

Page 237: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013434

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

teologi dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi klasik

secara metaforis-analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran

penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan soal tauhid.

Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat- sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan

tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan- Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana

yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih

mengarah pada pembentukan akhlak kepribadian manusia yang baik, manusia ideal, atau insan kamil.28

Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushâf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskrip-Nya tentang sifat- sifat-Nya (aushâf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai

28Penafsiran Hanafi bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan lebih mengarah pada pembentukan manusia ideal, bukan tentang transendensi Tuhan, jelas sangat dipengaruhi pemikiran Muktazilah. Menurut kum Muktazailah, sifata-sifat Tuhan sebagaimana yang dideskripsikan dalam Asma Al-Husna sebenarnya adalah palajaran bagaimana manusia harus bertindak dan bersikap. Artinya, itu adalah sifat-sifat yang harus dipunyai dan dilakukan oleh seorang muslim. Jadi bukan penjelasan tentang eksistensi Tuhan, apalagi tentang ke-Maha Kuasaan Tuhan. Lihat, Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, (Istambul, Hakekat Kitabevi, 1985), 21-26.

Page 238: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 435

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya

adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.29

Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term

keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar

material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan

pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap

yang lebih berorentasi pada realitas empirik.30 Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm

binafsihdan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut.

Pertama,wujûd. Menurut Hanafi, wujud disini tidak

menjelaskan wujud Tuhan, karena --sekali lagi-- Tuhan tidak

memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, tuntutan

pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Manusia harus ”menjadi dirinya sendiri” bukankah manusia telah dibekali dengan potensi? karena dengan potensi ini, yakinlah manusia akan menjadi dan mampu bereksistensi dalam kehidupan, manusia akan menjelma dan berdiri sendiri walaupun dalam proses penjelmaan ini butuh bantuan orang lain, namun dalam

29 Konsep ini juga tidak berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kaum sufi dengan istilah insan kamil. Menurut Al-Jilli, insan kamil adalah orang yang mampu merefleksikan sifat-sifat keagungan Tuhan, sehingga ia menjadi manifestasi Tuhan di bumi. Lihat, Ibrahim Al-Jilli,Al- Insan Al-Kamil, II, (Bairut, Dar Al-Fikr, tt), 71-77. Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-aurah, II, p. 600 dan seterusnya

30 Menurut Hanafi, Tuhan dalam Islam tidak sekedar Tuhan langit tetapi juga Tuhan bumi (rabb al-samawat wa al-ardl), sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan mempertahankan kekuasaan Tuhan.

Page 239: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013436

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

hal ini, penjelmaan tidak seketika datang lansung, mengingat manusia berkembang dan bertahap, tapi yakinlah bahwa potensi manusia akan menjadi dan berbeda dengan yang lainnya. Batas akhir dari bereksistensinya manusia adalah kemandulan, Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan

nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan

eksistensi diri.31

Kedua,qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan

yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam

sejarah. Sifat akhlak kepribadian manusia yang kedua ini akan muncul tatkala sifat pertama wujud (bereksistensi) muncul. Sifat kedua ini sifatnya adalah sosio-historis keagamaan, manuisa tidak bisa berdiri dengan kekuatan nafsu yang menguasai atas segalanya, ingat manusia hidup sebagai rentetan manusia pada masa sebelumnya, sehingga benar dan lurusnya kehidupan manusia sekarang akan ditentukan atas progresifitas dari manusia sebelumnya, mungkin inilah pesan yang dimaksud dalam ”Ulama adalah pewaris Nabi”. Setelah manusia bereksistensi dalam kehidupan, maka baru selanjutnya manusia harus berQidam, sehingga Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan

kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa

depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid

dan kesalahan.32

Ketiga, baqa berarti kekal, Sifat yang diharapkan muncul dari manusia adalah penjelmaan setelah sifat wujud dan qidam bersemayam dalam diri manusia, alangkah indahnya

31Hanafi,Ibid, 112-114. Ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Iqbal; apa yang dinamakan hidup adanya kemauan untuk terus berusaha dan menunjukkan dirinya ada sedang kematian adalah ketidakmaun untuk maju dan berusaha. Lihat Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, (Jakarta, Panjimas, 1987), 8.

32Hanafi,Ibid, 130-132.

Page 240: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 437

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

bila memunculkan sifat keteguhan, kebenaran, kelurusan, dan kebijaksanaan yang dijadikan sandaran jelas benarnya, jelas kelurusannya dan jelas kebenarannya, ini tentu akan menjadikan manusia dalam kualitas hidup yang ”ighdinas syirotol mustaqim”. Sifat baqa ini adalah sebagai bentuk pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana. Berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, karena apa yang dilakukan benar-benar sebagai bentuk keteguhan dan jalan yang lurus yang jelas kebenarannya, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi.33 Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk mempunyai sifat menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu berbudaya dan mewariskan karya-karya besar yang bersifat monumental.

Keempat, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya memberi tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Manusia yang berakhlak kemandirian sebenarnya telah dibekali oleh Allah SWT dengan sifat yang tidak sama satu dengan yang lainnya, ini tentu akan melahirkan sifat pembeda yang bisa dijadikan unggulan sekaligus koreksi dari yang lain. Beda bukan berarti jelak, tapi beda adalah kekuatan yang menjadi pengisi kelemahan dari sifat manusia yang lain. Keperbedaan bukan halangan tapi keperbedaan adalah keindahan yang melahirkan keanekaragaman. Sedangkan sifat Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh

33 Ibid,137- 142

Page 241: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013438

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan

segala potensi dan kemampuan diri.34 Budaya yang dihasilkan

manusia, sekali lagi bukan barang yang seketika itu jadi, tapi

sebuah perjalanan panjang dengan banyak pertimbangan atas

potensi manusia dan realitas alam yang digelar, sehingga apa

yang telah diciptakan, dikarsakan dan dirasakan adalah bentuk

akhir dari penjelmaan diri manusia atas proses panjang itu

tadi, hasilnya adalah kemandirian yang betul-betul kokoh dan

membanggakan serta bermanfaat, bukan hasil pengadopsian

dan penjiplakan dari hasil karya orang lain yang belum tentu

sama. Inilah, mengapa dicipkakan manusia dengan bentuk

yang berbeda, ras yang berbeda dan bangsa yang berbeda, ini

semua menunjukkan bahwa manusia adalah sudah dikondisikan

sebagaimana keseimbangannya, dan yakinlah bahwa manusia di

hidupkan sudah sesuai dengan kemampuanya.

Kelima,wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada

keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang

diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih

mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniah adalah

pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan

tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.35 Sifat ke lima

ini sebagai bentuk kemanusiaan manusia yang tidak bisa hidup

sendirian secara individu person, tapi manusia harus hidup

berkelompok dengan kemampuan dan sifat dan potensi yang

mempunyai kesamaan walaupun tetap berbeda. Artinya adalah

34Ibid, 143-303. Pemikiran Hanafî ini sangat mungkin dipengaruhi oleh slogan-slogan revolosi Iran yang menyatakan, ‘la syarqiyah wala gharbiyah’ (tidak ke Barat dan tidak ke Timur), mengingat bahwa pemikiran revolosioner Hanafî, sebagaimana diakui, salah satunya diilhami dari keberhasilan revolosi Iran pimpinan Imam Khumaini. Lihat Kazuo Shimogaki, Islam Islam, 92.

35Hanafi,Ibid, 309-311.

Page 242: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 439

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

manusia pada dataran tertentu perlu untuk membentuk kekuatan

yang besar, kekuatan yang bermaslahah dan kemampuan hidup

untuk kelangsungan bersama, bukan untuk bermusuhan, bukan

untuk mencari kemenagan melainkan untuk hidup bersama,

berdampingan dan hidup untuk perdamaian. Oleh karena itu

manusia harus mampu menundukan sifat kebinatangan yang

sebagai bentuk lawan dari kemanusiaan, sifat kebinatangan

sangat merugikan manusia, karena sifat yang keluar dari sifat ini

bukan berdasar pada sifat-sifat dan potensi baik manusia, tapi

lebh terarahkan pada sifat keburukan dan kesombongan serta

keserakahan.

Keenam sifat ini adalah sifat dasar pembangunan dan kemandirian manusia, sifat-sifat setelah keenam ini sebagai bentuk kekuatan potensi dalam manusia, mungkin pada kesempatan lain bisa penulis lanjutkan, namun dasar dari teologi antroposentris Hasan Hanafi secara esensi sudah tegambar dan terangkum dari keenam sifat di atas.

Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba

materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan

istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang

menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham

trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan

pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik. Menurut Hanafi,36

apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapkan (itsbat).37 Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep

36 Ibid, 324-329. 37 Hanafî menyatakan bahwa tauhid mengandung dua dimensi; penafian

Page 243: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013440

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan.

Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa

direalisasikan dalam kehidupan kongkrit.38 Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan

modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan

membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan

modern tersebut.

Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih

kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.39

Teologi antroposentris Hasan Hanafi adalah salah

dan penetapan (itsbat). Kata ‘Lailaha’ berarti penafian terhadap segala bentuk ketuhanan, sedang ‘Illallah’ adalah penetapan tentang adanya Tuhan yang Esa.Ibid, 326.

38Statemen ini sama sebagaimana dikatakan Muthahhari, meski dalam pengertian yang berbeda. Menurut Muthahari, konsep-konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam perbuatan, yang dalam faham Mutahari difokuskan dalam bentuk ibadah. Lihat Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, (Bandung, Yayasan Mutahhari, 1992), 7-23.

39Hanafi, Min al-Aqîdah, 330. Pandangan seperti ini pernah disampaikan oleh Mutahhari dengan konsep yang masih lebih luas. Bahwa tauhid adalah kesatuan ciptaan tanpa membedakan antara yang duniawi maupun ukhrawi, manusia dengan binatang, spiritual dengan kewadagan dan seterusnya. Lihat Muthahhari, Fundamentals of Islamic Though, sebagaimana yang dikutip Shimogaki dalam Islam Kiri, 19. Hanya saja, disini, Hanafi lebih jelas dan terfokus pada manusia.

Page 244: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 441

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

satu bukti pemikiran keislaman yang lebih pada pemikiran

kemanusiaan dari pada bahasa dan agama yang melangit, dengan

tujuan membangkitkan manusia dari kejumudannya dan kelesuan

berfikirnya, namun walaupun banyak pakar yang mengatakan

bahwa pemikiran sebagaimana Hanafi bangun sudah ada dalam

pemikiran sufi, terlepas dari itu, bagi saya hal ini menarik untuk

dijadikan metodologi kritis yang selama ini (masa tahun 2000an)

cenderung pasif dan stagnan, kurang berani untuk memikirkan

ulang teks-teks besar apalagi pada ranah teologi.

Pemikiran antroposentris dengan manusia sebagai

pusatnya adalah hal lain yang cukup menarik apalagi kaitannya

dengan pembentukan akhlak kepribadian muslim yang tersusun

atas wujud (keberadaan manusia bereksistensi, qidam yang

lebih pada berlatar belakang kesejarahan budaya dan agama,

baqo sebagai bukti kemandirian yang tidak bisa tergiyahkan,

mukholafatu lil hawadisi, dan qiyamuhu bnafsihi sebagai bentuk

keberadaannya sebagai wujud yang unik dan bermanfaat tidak

ada tandingannya, tidak mengekor pada budaya lain, wahdaniyah

sebagai sifat kesamaan hak, kesamaan kepentingan, kesamaan

teologi, dan kesamaaan kebangsaan, sehingga muncul sifat

kemanusiaan, dan perdamaian bersama.

PenutupCara berfikir Hanafi tidak bisa terlepas dari latar belakang

pemikiran Hanafi ketika beliau belajar, juga tidak bisa terlepas

dari soosio historis masyarakat Mesir pada khususnya dan umat

Islam pada umumnya yang cenderung stagnan, diam dan jumud,

serta pengaruh tekanan barat atas cengkraman kekuasaannya

yang seakan ingin menguasai umat Islam terutama Mesir, dalam

hal ini adalah Sofyet.

Berdasar uraian diatas disampaikan kekukuhan dan

Page 245: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013442

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

pengaruh pemikiran beliau beberapa hal. Pertama, dari sisi metodologis, Hasan Hanafi dipengaruhi --atau ada kesamaan dengan-- cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan Husserl, mungkin ini sebagai oleh-oleh pendidikan di Prancis. Pengaruh atau tepatnya kesamaan dengan metode Husserl terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri (kebangsaan dan nasionalisme), lepas pengaruh Barat. Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri terutama membangun paradigma berfikir teologi yang membebaskan (antroposentris) cara ini juga yang dilakukan modal pemikiran

fenomenologi Husserl. Adapun kesamaannya dengan Marxisme

terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis

sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Ini juga yang mengilhami bahwa teori kebangsaan yang didengungkan Abdurrahman Wahid dengan bangga atas milik sendiri dari pada milik orang lain yang belum tentu tepat untuk kita. dari sinilah mula lahir nasionalisme Indonesia.

Teologi dimulai dari titik praktis (Empiris antroposentris) pembebasan rakyat tertindas. Umat Islam yang cenderung diam, stagnasi dan jumud. Slogan-slogannya yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin dihadapan Barat dan sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme. Kesamannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Hanya saja, bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong

Page 246: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 443

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi roh yang tidak sekedar materialistik malah justru pondasi teologi dan pemikiran dasar manusia bergerak.

Ada pranata- pranata yang bersifat religius atau kerohanian yang menggerakkan sebuah perjuangan muslim. Juga, jika dalam

perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan, kemanusiaan, dan kebangsaan, bahwa perjuangan mesti memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut, Barat tetapi tidak ‘sekuler’.40 Ada metode- metode yang orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri.

Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, terus terang, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya

sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang

sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan

oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula konsepnya tentang

tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan

Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah

bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara

lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru. Disinilah

orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya.

Selanjutnya, mengikuti apa yang digagas Hanafi, ada cacatan yang perlu disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi

40 Hanafi sendiri, sebagaimana dikatakan didepan, memang menolak jika dikatakan bahwa dirinya dipengaruh pemikiran Barat apalagi Maxsisme. Menurutnya, apa yang dilakukan semata berdasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan Islam sendiri dan berkandaskan akan realitas sosial muslim.

Page 247: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013444

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam kadar yang

relatif kecil; yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis pada

rasionalitas Muktazilah. Keberfihakan Hanafi pada rasionalitas

Muktazilah ini menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada

pada muktazilah, yakni bahwa mereka pernah melakukan mihnah. Kedua, kritik Hanafi bahwa kalam Asy’ari adalah penyebab kemunduran Islam terasa terlalu menyederhakan masalah disamping tidak didasarkan investigasi historis yang memadai dan kongkrit. Kenyataannya, sebagaimana dikatakan Shimogaki,41

Asy’ariyah telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah sangat terbelakang di banding Barat.

Ketiga, terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak sebagaimana diragukan Boullata,42 jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang

bersifat spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan

bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan- muatan spiritual dan transenden.

Akhirnya saya mengapresiasi pemikiran teologi

antroposentris Hasan Hanafi yang mengilhami pembentukan

manusia terutama kemandirian akhlak manusia yang tergambar

dalam makna teologinya. Manusia sempurna ada dalam akhlak

kepribadian muslim yang tercermin dari makna teologi wujud,

41Shimogaki, Kiri Islam, 46. 42 Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’

dalam Islamika (Bandung, Mizan, 1993), 20

Page 248: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 445

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

qidam, baqa, mukholafatu lil hawadis dan qiyamuhu binafsihi

serta wahdaniyyah.

Memang belum ada contoh manusia biasa sebagaimana

yang diinginkan dalam teologi Hasan Hanafi namun siapa tahu

pada masa yang akan datang akan muncul manusia-manusia

sebagaimana yang dinginkan dalam teologi antroposentris

Hasan Hanafi.

Page 249: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013446

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

DAFTAR PUSTAKA

AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998.

Al-Ghazali, Al-Munqid Min al-Dlalâl, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia, 1984.

Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, Jakarta: Gramedia, 1996.

Boullata, ‘Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, edisi, I, Juni-Sept, 1993.

Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, Bandung: Alumni, 1980.

Drijarkara, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan, 1984.

George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby, Bandung: Sinar Baru, 1992.

Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991.

………, Al-Dîn wa al-Tsaurah fî Misra 1952-1981, VII, Mesir: Maktabah Madbuli

………., Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991.

............, Dirasah al-Islamiyah, Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1981 .

………., Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, Kairo: Maktabah Matbuli, 1991.

............., Muqadimah fi ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Faniyah, 1981.

………., Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism, Amsterdam: University of

Page 250: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 447

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Amsterdam, 1979.

Ibrahim Al-Jilli, Al- Insan Al-Kamil, II, Beirut: Dar Al-Fikr, tt.

Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, Jakarta: Panjimas, 1987.

Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika Bandung: Mizan, 1993.

Jurnal Islamika edisi 1 Juli- September 1993.

John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1994.

Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, Istambul: Hakekat Kitabevi, 1985.

Lutfi Syaukani, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V, tahun 1994.

Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, Bandung: Yayasan Mutahhari, 1992.

Osman Bakar, Hirarkhi Ilmu, Bandung, Mizan, 1997.

Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, 1986.

Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Taha Husain, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Page 251: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013448

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Marijo)

Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Page 252: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 449

MEMAHAMI KONSEP HERMENEUTIKA KRITIS HABERMAS

Ahmad AtabikSTAIN Kudus

Email: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini coba menguak tentang teori hermeneutika kritis Habermas. Teori hermeneutika kritis Habermas merupakan sebuah terobosan baru untuk menjembatani ketegangan antara obyektifitas dengan subyektifitas, antara yang idealitas dengan realitas, antara yang teoritis dengan yang praktis. Dan inilah sebuah prestasi Habermas dalam disiplin hermeneutika. Hermeneutika yang awal mulanya berkutat pada wilayah idealisme, oleh Habermas telah ditarik secara “paksa” turun untuk bisa memahami lapangan realisme-empiris. Pada era ini aspek subyektifitas dan obyektifitas sudah mulai diperhitungkan untuk menafsirkan tek dan realitas sosial. Hal ini sebagai upaya untuk mengcounter balik terhadap arogansi ilmu eksakta yang mulai mendominasi wilayah ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Kata Kunci: Hermeneutika, Kritis, Habermas

PendahuluanDiskursus permasalahan hermeneutik –walaupun

Page 253: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013450

merupakan topik bahasan lama—dewasa ini telah menjadi

sesuatu yang baru yang menarik dalam bidang filsafat.

Hermeneutik seakan-akan lahir dan bangkit kembali dari masa

lalu yang dianggap penting. Disamping itu hermeneutik telah

menjadi telaah ilmiah yang meliputi beberapa aspek. Aspek

sejarah lahirnya wacana tersebut memunculkan beberapa tokoh

–termasuk Habermas yang akan kita kaji—serta pemikirannya

tentang hermeneutik. Sedang aspek isi kajian, yang terkandung

dalam wacana hermeneutika menghadirkan berbagai macam

pandangan dan berbagai fungsi konsep hermenerutika

sebagaimana dimunculkan oleh para penggagasnya. Hal lain yang

kirannya cukup penting adalah dalam aspek analisis wacana.

Aspek tersebut sesungguhnya dapat membantu baik dalam

pemahaman tentang konsep hermeneutika, pengembangan,

aplikasi, kritik, serta konsekuensi-konsekuensi logisnya.

Dalam pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu

diketahui ketika kita memasuki zona kawasan hermeneutika

jurgen Habermas. Pertama, Habermas sendiri dalam kapasitas

intelektual lebih dikenal sebagai pemikir ilmu-ilmu sosial. Kedua, Habermas adalah seorang filosof yang berusaha “mengawinkan”

dimensi teori dan praksis melalui prespektif hermeneutika.

Makanya wajar bila hasil pengawinan ini muncul dalam istilah

Habermas dengan konsep hermeneutik kritis-komunikatif.

Dari dua poin diatas, maka sudah sedikit banyak

dapat mendeskripsikan “keunikan” hermeneutika Habermas.

Bagaimana konstruksi pemikiran hermeneutika tumbuh dan

berkembang dalam kapasitas subyek yang sangat intens pada

bidang social-filsafat non hermeneutika? Betapa terjadi lompatan

atau reformulasi hermeneutis yang cukup mengagumkan ketika

hermeneutika yang dalam tradisinya hanya berkutat pada

lapangan idealisme, tiba-tiba oleh Habermas “dipaksa” turun

Page 254: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 451

untuk bisa memahami lapangan realisme-empiris?1

Habermas dan Cultural Background yang MelingkupinyaJurgen Habermas adalah salah seorang filosof

kontemporer yang lahir di Gummersbach pada tahun 1929. Ia

belajar kesusastraan Jerman, sejarah dan filsafat di Göttingen,

disamping ia juga mempelajari bidang-bidang lain seperti

misalnya sikologi dan ekonomi. Selang beberapa setelah ia

pindah ke Zurichk Habermas melajutkan studi filsafatnya di

Universitas Bonn dimana ia memperoleh gelar doctor bidang

filsafat seteleah ia mempertahankan disertasinya yang berjudul

“Das Absolute und die Geschichte” (yang absolute dan sejarah).

Dalam karya tulis ini ia banyak mendapat pengaruh dari

pemikiran Heideger.

Disamping ia tekun dalam meniti karier dibidang

filsafat ia ia meperlajari dan bahkan menerkuni bidan politik

dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang “persenjatan

kembali” (rearmament) di Jerman. Pada tahun 1956 Habermas

berkenalan dengan lembaga penelitian sosial di Frankfurt dan

menjadi asisten Adorno. Bersama suah tim (Von Friedburg,

Oehler, Wedltz) ia mengambil bagian dalam suatu proyek riset

mengenai sikap politik mahasiswa-mahasiswa di Universitas

Frankfurt. Habermas terutama mengerjakan segi teoretisnya.

Hasil penelitian itu terdapat dalam buku Studen und politik

(mahasiswa dan politik) 19642.

Pada awal tahun 1960-an Habermas sangat popular

1Arif Fahruddin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, dari konfigurasi filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Atho’ Nafisul dkk. Yogyakarta; IRciSoD, 2003 hlm. 188.

2K. Bertens, Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman, Jakarta; Gramedia, 1990, hlm. 213.

Page 255: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013452

di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa gologan

dianggap sebagai ideology mereka, khusunya bebarapa golongan

“Sozialistische Deutsche Studentenbund” (ikatan mahasiswa

sosialis Jerman). Tetapi ketika aksi-aksi mahasiswa mulai

melewati batas karena mulai menggunkan kekerasan, Habermas

tidak segan mengemukankan kritiknya sehingga ia terlibat

konflik dengan mahasiswa.

Pada tahun 1964 ia diangkat sebagai professor sosiologi

dan fisafat untuk menggatikan Horkheimer. Sesuai dengan

tradisi mazhab Frankfurt ia juga tidak asing di amerika serikat,

sebab selama beberapa waktu ia mengajar pada New School for Social research di New York3.

Di tahun 1969 ia menerbitkan buku yang berjudul

“Protesbewegung und Hochschul reform” (gerakan perlawanan

dan pembaharuan perguruan tinggi), tahun 1970 Habermas

meninggalkan Frankfurt dan pindah ke Starnberg untuk

meneriman tawaran menjadi direktur pada ‘Maz Planck Institut’,

sebuah lembaga yang mempelajari kondisi-kondisi kehidupan

dalam dunia ilmiah-teknis. Karya tulisnya cukup banyak dan

seperti pendahulu-pendahulunya dalam mazhab Frankfurt, ia

juga mencoba mempraktekkan filsafat dan sosiologi tanpa

membedakan secara tajam antara dua jenis disiplin ilmu

tersebut4. Dalam hal-hal pemikirannya, di Jerman, Habermas

merupakan filosof yang paling banyak didiskusikan. Sejak tahun

70-an Habermas semakin diperhatikan juga didaerah berbahasa

Inggris dan Prancis5.

Habermas dikenal luas sebagai salah seorang tokoh

3 Ibid, 215.4Ibid, 215-216.5Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Yogyakarta;

Penerbit Kanisius 2000) hlm.215.

Page 256: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 453

mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Shule) adalah sebuah komunitas intelektual di lingkungan institute fur Sozialforschung, sebutah universitas di kota Frankfurt, Jerman.

Di Frankfurt lah sebuah gerakan filsafat dilancarkan. Itulah

filsafat kritis atau kritis. Mazhab bisa dikategorikan dalam

dua fase; pertama, generasi pertama, semisal Maz Horkheimer,

Herbert Marcuse dan Theodore Adorno. Pada fase ini deklarasi

filsafat kritis pertama kali didengungkan oleh Horkheimer,

melalui karyanya, “Traditional dan Critical Theory”, generasi

pertama ini mengalami kebuntuan atau pesimisme dalam

implementasi teori kritis yang mereka dengungkan. Kedua, generasi pencerahan, semisal Habermas, kemudian Georg Lukacs,

Karl Korsch dan Atonio Gramsci. Dimulai dari Habermaslah

teori kritis benar-benar mencapai puncak performnya6.

Habermas Dan Teori KritisSebagai generasi kedua madzhab Frankfurt, Habermas

berupaya mengatasi kebuntuan dan merekonstruksi ulang

bangunan pemikiran yang telah dibangun oleh generasi

pertamanya. Madzhab ini dikenal dengan teori kritisnya. Teori

ini sebenarnya dirumuskan oleh Horkheimer. Secara sederhana

teori ini dapat diartikan sebagai rumusan konsep yang diarahkan

untuk menguji kembali konsepsi pengetahuan social yang sudah

mapan pada waktu itu. Kelompok mapan ini tidak lain adalah

aliran positivistic-kapitalistik dengan topangan metode-metode

tradisionalnya dan bahkan didalam kelompok sosialis itu sendiri.

Kondisi social seperti itu perlu ditelaah kembali karena dalam

dataran realitasnya mereka tidak mampu lagi menjawab problem

6Arif Fahrudin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, Yogyakarta; IRcisoD, 2000, hlm. 189.

Page 257: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013454

dan tantangan yang dihadapi masyarakat pada waktu itu7.

Untuk menjalankan kembali kemacetan pemikiran dan

program tersebut Habermas mencoba berusaha membangun

kembali kerangka epistemology dan metodologis pemikiran

para pendahulunya dengan paradigmaa baru. Paradigma ini

dimaksudkan untuk dapat mendapatkan metodologi kritis atas

pemikiran pendahulunya.

Salah satu sasaran kritik Habermas adalah pemikiran

dialektika Hegel. Bagi Habermas dialektika yang ditawarkan

Hegel belum sepenuhnya memadai, karena ia baru sebatas teori

dan pemahaman saja. Dialektik Hegel masih melangit dan belum

punya “kaki”. Filsafat dialektik Hegel (1770-1831) menyatakan

bahwa proses sejarah itu tidak lain merupakan perkembangan

terus-menerus dari apa yang disebut dengan idea. Oleh sebab itu,

bagi Hegel cita pikiran lebih penting daripada benda (materi).

Teori dialektika ini kemudian dikritik dengan

dialektika Marx dan diberi “kaki” supaya dapat membumi.

Karena menurutnya berpikir dialektik sesungguhnya berpikir

dalam kerangka kesatuan teori dan praktek. Dengan pemikiran

Marx ini pemikiran dialektik Hegel dibalikkan dan diberi “kaki”

sehingga memungkinkan perubahan dalam masyarakat. Berkaitan

dengan teori kritik Habermas, sebenarnya ia muncul sebagai

kritik terhadap teori kritis mazhab Frankfurt sebelumnya. Teori

kritis tersebut bertujuan untuk mengembangkan pembebasan

(imansipasi), pemberdayaan dan penarikan diri masyarakat yang

bertujuan untuk refleksi diri. Habermas berusah melakukan

rekonstruksi terhadap pandangan-pandangan Hegelian-Marxis

sebelumnya. Tawaran rekonstruksi Habermas dimulai dengan

suatu hipotesa antropologis bahwa kerja dan komunikasi adalah

7Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”,dalam Refleksi Vol. 4. No.1 Junuari 2004. hlm. 15-16.

Page 258: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 455

syarat masyarakat yang tak dapat direduksi8.

Sebenarnya, inti dari pemikiran Habermas adalah kritik

terhadap Marx. Menurut Habermas meskipun pandangan

Marx merupakan suatu teori kritis, tetapi Marx terjebak pada

positivistic social, sebab Marx mereduksi manusia pada suatu

macam tindakan saja, yaitu kerja. Bagi Habermas pandangan

Marx ini harus direkonstruksi, yaitu bahwa dimensi kerja

saja tidaklah cukup dan belum memadai, sebab manusia akan

“teraliensi”. Oleh sebab itu, harus ditambah dengan dimensi

komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua macam

tindakan dasar manusia. Jika kerja merupakan sikap manusia

kepada alam, maka komunikasi merupakan sikap manusia

terhadap yang lain.

Hubungan manusia dengan alam tidaklah berjalan

simetris, sebab ketika manusia mengerjakan alam ini senantiasa

aktif, sedangkan alam sebagai bahan bersikap pasif. Dengan

demikian, kerja tidak lain artinya bahwa manusia menguasai

alam, sedangkan komunikasi merupakan hubungan yang simetris

atau timbal-balik. Komunikasi bukanlah hubungan kekuasaan,

sebab hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling

mengakui kebebasan dan saling percaya9.

Sementara karakter dari sebuah pemahaman adalah

kebalikan dari karaktr penjelasan. Ia bersifat experiental-

oriented-subjektif, ia juga mrupakan lokus bertemunya

pengertian teoritis (penjelasan) dan pengalaman (pemahaman),

sehingga bangunan makna yang terdapat di dalam obyek juga

terpengaruh oleh sang subyek. Jadi subyek brhak memaknai

8Lihat Rick Roderick, Habermas and the Foundation of Critical Theory, New York; St. Martins Press 1980) 100.

9Abd. Mustaqim, Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan Implikasinya di era Pluralisme, Reflesi, Vol. 2, No. 1. Januari 2002, hlm. 20.

Page 259: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013456

sebuah obyek. Dari sifat-sifat pemahaman ini subtyek dituntut

aktif dalam usaha menemukan makna. Tanpa subyek tak akan

ditemukan makna obyek.

Dengan kombinasi dialektis anatara konsep penjelasan

dan pemahaman, maka Habrmas berusha mengawinkan anatra

subyektifitas dengan obyektifitas, antara yang otentik dengan

akulturatif, antara yang saintis dengan yang filosofis. Dengan ini,

dari sudut saintis, Habermas berusaha melakukan pembumian

makna, supaya ia bisa ditangkap oleh otak manusia. Sementara

dalam sudut filosofis, ia hendak melakukan dialogisasi makna

antara bahasa murni dan bahsa tak murni(filosofis).

Dengan demikian, rekonstruksi teori kritis sosial

Habermas secara tegas diwujudkan pada teori komunikasi10

sosialnya. Teori ini merupakan salah satu upaya utnuk

membangun kembali teori kritik yang dikemukakan oleh Karl

Marx sebagai representasi mazhab Frankfurt waktu itu.

Habermas dan Psikoanalisis FreudHabermas dalam membangun kembali bangunan teori

kritis sangat terpengaruhi dengan teori psikoanalisnya Freud.

Habermas memandang bahwa apa yang dikemukakan Freud

dengan psikoanalisisnya, khususnya teori tafsir mimpi, bukan

saja dipandang sebagai sebuah konsep fenomena ketidaksadaran

10Teori komunikatif ini muncul sebagai pembaharuan atas teori Karl Marx yang anti dialogis. Kontribusi teori komunikatif Habermas adalah alat teori elaborasi yang dia paparkan dala karyanya The Theory of Communicative Action. Communicative action dapat dipahami sebagai proses sirkulasi yang dimiliki pelaku bermata dua; sebagai pemprakarsa (intiator), yang menguasai situasi melalui tindakan yang dikerjakan, dan sebuah produksi perubahan yang mengelilingi dirinya, dari kelompok yang kohesi yang didasarkan pada solidaritas untuk mengikutinya, dan pada proses sosialisasi yang melatarbelakanginya. “The Criticl Theory of Jurgen Habermas” dalam http://www.physics.nau.edu/

Page 260: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 457

manusia dengan berbagai pengembangan konsepsinya, namun,

juga dapat dijadikan sebagai metode dan sekaligus sebagai kritik

untuk membebaskan ketidak sadaran dan distorsi manusia.

Habermas kemudain memformulasikannya dalam sebuah konsep

“refleksi diri metodis”. Jelasnya tafsir mimpi yang diajukan

freud oleh Habermas tidak dilihat sebagai bentuk interpretasi

hermeneutika belaka sebagaimana terjadi pada umumnya namun

juga dapat dilihat sebagi bentuk interpretasi dan pemahaman

terhadap teks-teks bawah sadar yang terselubung.

Oleh Habermas konsep hermeneutiknya ini dinamakan

dengan “depth hermeneutic” atau “critical hermeneutic”11. Habermas menegaskan bahwa kinerja hermeneutika yang

dicanangkan hampir sama dengan teori tafsir mimpi yang

dikembangkan oleh Freud. Dalam tafsir mimpi, Freud memberi

perhatian terhadap persoalan ketidaksadaran dalam diri manusia.

Menurut Habermas apa yang dilakukan oleh Freud sesungguhnya

telah mempratekkan teori kritis. Bentuk praktek tersebut

konkritnya adalah upaya mengembangkan sikap emansipatoris

dalam diri manusia dimana didalam dirinya memang terdapat

ketidaksadaran dan kesadaran dalam dunia nyata ini12.

Habermas dalam mengembangkan konsep psikoanalisis

tersebut kedalam konsep hermeneutika sebagai upaya untuk

menguatkan apa yang ia rumuskan sebagai suatu konsep

masyarakat komunikatif. Persoalan kemudian berkembang

ketika apa yang ia rumuskan tersebut ternyata berhadapan

dengan berbagai konsep hermeneutika pendahulunya yang

11 Tentang critical hermeneutic ini Josef Blecheir mengatakan bahwa diantara tokoh yang masuk dalam hermeneutika kritis adalah Karl Otto Apel, Lorenze dan Sandkuhler. Josef Blacher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routledge, 1980) 141-148.

12Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”,dalam Refleksi, Vol. 4. No. 1. Januari 2004, hlm 18.

Page 261: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013458

memang sudah mapan.

Untuk menghadapi permasalahan ini, Habermas berusaha

untuk selalu menjelaskan konsep yang sesungguhnya ia ajukan.

Usaha tersebut terlihat sekali dalam perdebatannya dengan

Gadamer, filosof hermeneutic yang dikelompokkan dalam

hermeneutika filosofis, termasuk juga kelebihan hermeneutika

yan gia rumuskan dibanding dengan hermeneutika lainnya.

Kajian hermeneutika yang dikembangkan oleh

Gadamer, secara sederhana, adalah universalitas hermeneutika

sehingga seluruh upaya pemahaman selalu berangkat dari

lingkaran-lingkaran spiral hermeneutic. Itulah yang pada

akhirnya hermeneutikanya cenderung bernuansa ontologism.

Bagi Habermas kecenderungan Gadamer tersebut tercakup

dalam kompentensi komunikasi. Oleh karena itu, bisa saja

bahwa pemahaman melampaui dialog namun bukan berarti

hermeneutika dapat mencapai pada universalitasnya. Habermas

jelas menolak universalitas hermeneutika.

Pada tataran perkembangan konsep selanjutnya, tidak

banyak bicara tentang hermeneutika. Konsentrasi Habermas

lebih pada tema-tema kesaling-pemahaman atau understanding

sebagai dasar pemikiran untuk mewujudkan cita-citanya yaitu

terwujudnya suatu system kemasyarakatan yang komunikatif.

Tema tentang pemahaman atau kesaling-pemahaman itu diawali

dengan konsep depth hermeneutik yang bertujuan pada upaya

penemuan berbagai sebab terjadinya distorsi dalam pemahaman

dan komunikasi atau tepatnya adalah dilema pemahaman13.

Habermas dan HermeneutikaSecara etimologis, “hermeneutika” berasal dari bahasa

Yunani hermeneuein yan berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata

13Ibid., hlm 21.

Page 262: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 459

benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau

interpretasi. Sedangkan secara terminologis, hermeneutika

berarti proses mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan

menjadi ketahuan atau mengerti14.

Walaupun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat

pada hermeneutik, namun gagasan-gagasannya itu mendukung

pustaka hermeneutik. Bahkan karya-karyanya pun tidak secara

khusus membicarakan hermeneutik sebagai gagasan tunggalnya.

Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan didalam tulisannya

yang diberi judul Knowledge and human interests (pengetahuan

dan minat manusia)15.

Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa konstruksi

dari hermeneutika Habermas membentuk beberapa metode

pemahaman dan jenis pemahaman.

Dalam “metode memahami” Habermas membedakan

antara pemahaman dan penjelasan. Ia memperingatkan kita

bahwa; kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu

fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi.

Bahkan kita tidak dapat menginterpretasikan fakta secara tuntas.

Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat

lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang

terdapat di dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’,

‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan diluar pikiran kita. Semua hal

tersebut mengalir secara terus-menerus didalam hidup kita.

14 Istilah Hermeneutik dalam bahasa Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang ernama Hermas, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Oliympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta; Penerbit Kanisius 1999) hlm. 23-24.

15 Ibid, 88.

Page 263: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013460

Pemahaman hermeneutik sedikit berbeda dari jenis

pemahaman yang lainnya sebab pemahaman hermeneutik

diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas

membicarakan tentang “pemahaman monologis atas makna”,

yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan

faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti

misalnya bahasa symbol. Dari pembedaan itu kita mengetahui

bahwa monologika adalah pemahaman atas symbol-simbol

yang disebut Habermas sebagai “bahasa murni”, karena symbol-

simbol mempunyai makna yang definitive, sebagaimana terdapat

dalam setiap rumusannya16.

Dapat dikatakan bahwa proyek hermeneutika Habermas

adalah proyek hermeneutik sosio-kritis (social-critical hermeneutic) yang dapat diberangkatkan dari sisi epistemologis

pemahaman manusia maupun sisi metodologis dan pendekatan

komunikatif baik dalam teks, tradisi maupun institusi

masyarakat.

Kontribusi Hermeneutik Habermas terhadap Pemahaman Keislaman

Salah satu tujuan dipelajarinya hermeneutik adalah

untuk menelaah dan menginterpretasi hal-hal yang berkenaan

dengan teks-teks kitab suci agama-agama. Kelayakan teks

kitab suci ditengah masyarakat dewasa ini kadang masih

dipertanyakan, sebab relevansinya dirasa kurang cocok dengan

kondisi sekarang. Maka, salah satu tawaran atau konsep yang

kiranya dapat diterapkan adalah dengan merujuk pada teori-teori

hermeneutik yang dirasa sesuai dengan kondisi pengkonsumsi

teks-teks tersebut.

Berangkat dari view point diatas, ada beberapa agenda

16 Ibid, 90.

Page 264: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 461

atau tawaran dari Habermas mengenai teorinya yang patut

dipertimbangkan untuk direkomendasikan pada pemahaman

teks-teks kitab suci. Dari pelajaran yang dapat kita ambil dari

Habermas adalah mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif.

Hermeneutika Habermas adalah dealektis, dimana antara subjek

(interpreter) dan objek (teks/yang ditafsir) memiliki hak untuk

menyodorkan wacana dirinya secara terbuka. Tidak ada dominasi

karena disana ada saling kritik-konstruktif-dinamis. Wacana

kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang

berharga dalam studi Islam. Khususnya dalam pengembangan

pemikiran terhadap Al-Qur’an.

Pemikiran tentang pemahaman Al-Qur’an (tafsir) selama

ini telah di kultuskan lebih dari posisinya yang sebagai produk

budaya manusia yang tentu ada kesalahan dalam memahami

Al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kiranya tidak ada salahnya

apabila dirumuskan kembali reorientasi pemahaman terhadap

teks Al-Qur’an yang berwacana suprioritas Al-Qur’an menuju

Al-Qur’an yang komunikatif. Memang, Al-Qur’an merupakan

“benda suci” atau “kalam ilahi” yang tidak salah. Akan tetapi,

penafsiran-penafsiran yang selama ini dianggap “semua benar”

harus dipertanyakan kembali mengingat bahwa banyak tafsiran-

tafsiran yang kiranya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat

yang ada.

Maka dari situ diperlukan suatu paradigma berpikir yang

tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur’an sendiri sebagai “produk

budaya manusia” dalam menangkap eksistensi Tuhan. Kerangka

inilah yang disebut sebagai “Al-Qur’an komunikatif” dimana

setiap individu diberi kebebasan dan ruang gerak seutuhnya

dalam menginterpretasikan Al-Qur’an sebagai kebenaran

menurut ukuran manusia itu sendiri. Al-Qur’an tidak bisa

menunjukkan kebenarannya tanpa disokong oleh pandangan

Page 265: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013462

kebenaran dari diri manusia. Jadi, kebenaran Al-Qur’an adalah

kebenaran yang bersifat manusiawi dan sudah sewajarnya jika

manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.

SimpulanDari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan

bahwa konsepn hermeneutika kritik Habermas merupakan jenis

hermeneutika yang berusaha mengawinkan antara obyektifitas

dengan subyektifitas, antara yang saintis dengan filosofis, antara

yang ontentik dengan yang artikulatif. Teori kritis juga berusaha

untuk menelanjangi teori tradisional, karena ia memposisikan

obyek sebagai sesuatu yang tak tersentuh (untouchable) alias

obyektif, apa adanya. Sehingga sulit ditangkap maknanya oleh

manusia. Hal ini menjadikan obyek terkesan sangat sakral dan

harus diterima secara bulat-bulat.

Berdasar pada hermeneutika kritis tidak lepas dari yang

terkandung dalam obyektifisme, yaitu bahwa obyektifisme

sendiri tak bisa lepas dari peran interpretasi manusia sebagai

subyek. Maka obyketiifisme itu nihilisme dan absurd.

Bagaimanapun juga subyek dan interpretasi tak bisa lepas dari

hukum sejarah. Maka bagi habermas antara konsep penjelasan

dan pemahaman harus selalu didialogkan untuk menggapai

sebuah makna obyek.

Page 266: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 463

DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman, Jakarta; Gramedia, 1990.

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Yogyakarta; Penerbit Kanisius 2000)

Arif Fahrudin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, Yogyakarta; IRciSoD, 2000.

Rick Roderick, Habermas and the Foundation of Critical Theory, New York; St. Martins Press 1980).

Abd. Mustaqim, Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan Implikasinya di era Pluralisme, Reflesi, Vol. 2, No. 1. Januari 2002.

“The Criticl Theory of Jurgen Habermas” dalam http://www.physics.nau.edu/.

Fransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta; Kanisius 2003)

E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta; Penerbit Kanisius 1999)

Zuhri, Hermeneutika dalam Pemikiran Habermas, Jurnal Refleksi. Vol. 4. No. 1, Januari 2004.

Josef Blacher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routledge, 1980)

Page 267: Jurnal Fikrah Edisi Juli

Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013464

Page 268: Jurnal Fikrah Edisi Juli

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH ‐ INDONESIAJAWA TENGAH ‐ INDONESIASEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH ‐ INDONESIA

Diterbitkan oleh:Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu AqidahSekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus

Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322

fikrahJurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Vol. 1 N0. 2.Juli- Desember 2013

ISSN : 2354-6174

Page: 1-206

fikra

hVol. 1

N0.2

. Juli- Desem

ber 2

013

ISS

N :2

354-6

174

Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu AqidahJurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu AqidahJurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah

MENIMBANG POKOK‐POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI IMAM AL‐ASY'ARI DAN AL‐MATURIDIFathul Mufid

OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR PEMBAHARUAN (Telaah terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)Abdurrohman Kasdi & Umma Farida

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWADonny Khoirul Aziz

PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND KRISHNAAndi Hartoyo

IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAAN UMAT KONTEMPORER MENURUT SEYYED HOSSEIN NASRMas'udi

PESAN DAKWAH DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH (Kasus Pembangunan Rumah Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman)