Top Banner

Click here to load reader

136

Jurnal Agustus 2014

Dec 31, 2016

Download

Documents

nguyenlien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Agustus 2014

I

DISPARITAS YUDISIAL

Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 Hal. 103 - 212

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

jurnal agustus isi.indd 1 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 2: Jurnal Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 2 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 3: Jurnal Agustus 2014

III

Jurnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.

Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.

Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI

Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)

2. Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)

Penyunting: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)

2. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)

3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional)

4. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)

5. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)

Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)

5. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)

6. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)

7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)

ISSN 1978-6506

Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 Hal. 103 - 212

jurnal agustus isi.indd 3 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 4: Jurnal Agustus 2014

IV

PE

NG

AN

TAR 8. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)

9. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)

10. Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H. (Hukum Acara, Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum)

11. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum)

12. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)

13. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)

Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.

2. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

3. Yuni Yulianita, S.S.

4. Festy Rahma Hidayati, S.Sos.

5. Andhika Reza Pratama, S.Kom.

6. Eka Desmi Hayati, A.Md.

7. Andry Kurniadi, A.Md.

Desain Grafis

dan Fotografer: 1. Dinal Fedrian, S.IP.

2. Widya Eka Putra, A.Md.

Alamat:Sekretariat Jurnal Yudisial

Komisi Yudisial Republik IndonesiaJl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189

E-mail: [email protected]: www.komisiyudisial.go.id

jurnal agustus isi.indd 4 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 5: Jurnal Agustus 2014

V

PE

NG

AN

TAR DISPARITAS YUDISIAL

Terma“disparitas” secara popular muncul pada abad ke-16, yang awalnya berakar pada kata Latin “paritas” atau “parity.” Istilah ini mengandung makna ekuivalen, sehingga antoniminya, yakni disparitas, berarti perbedaan,

kesenjangan, atau inkonsistensi.

Pengadilan merupakan manifestasi drama kehidupan kemanusiaan yang berlangsung dalam koridor kewenangan majelis hakim yang notabene terdiri dari manusia-manusia biasa. Mereka bekerja bermodalkan rasio, intuisi, empiri, bahkan emosi, yang dalam banyak segi tidak mudah terlacak di dalam putusan mereka. Masyarakat yang menjadi pembaca putusan, pada gilirannya hanya mampu menyelami untuk kemudian menginterpretasikan ulang hasil bacaan mereka atas teks putusan-putusan tersebut. Dalam hal inilah akan terbuka kemungkinan ditemukannya disparitas putusan-putusan tersebut, baik yang berdimensi horizontal (dalam arti satu level institusi pengadilan) maupun vertikal (berbeda level institusi pengadilan).

Analisis aneka putusan yang diangkat dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini menyajikan dimensi disparitas yang sangat menarik. Para penulis menawarkan problematika disparitas tadi di dalam arena hukum pembuktian (misalnya perbedaan penafsiran Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; perbedaan penafsiran kekuatan alat bukti testimonium de auditu), lalu juga hukum-hukum sektoral mencakup hukum pertanahan, hukum ketenagakerjaan, dan hukum konstitusi.

Sebagai sebuah karya yudisial yang memiliki kekuatan kebenaran melalui asas res judicata pro veritatehabetur, putusan-putusan yang diklaim memiliki derajat disparitas tersebut tidak serta merta harus dilabel negatif. Disparitas dapat menjadi pertanda munculnya pergulatan pemikiran di antara komunitas para hakim. Masyarakat pembaca putusan terbuka untuk menilai mana di antara argumentasi para hakim ini yang layak diamini atau membuka peluang lahirnya argumentasi berikutnya.

Jurnal Yudisial memberi ruang bagi para penulis yang menjadi pembaca kritis putusan-putusan hakim untuk berkontemplasi dan menuangkan hasil renungan mereka ke dalam tulisan-tulisan mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bagi para pembaca tulisan-tulisan mereka akan menghadirkan pandangan berbeda lagi, yang boleh saja ditulis kembali sebagai respons atas karya-karya tulis dalam jurnal ini. Bila itu terjadi, artinya misi Jurnal Yudisial telah beringsut maju.

Terima kasihTertandaPemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

jurnal agustus isi.indd 5 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 6: Jurnal Agustus 2014

DA

FTA

R IS

I

jurnal agustus isi.indd 6 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 7: Jurnal Agustus 2014

VII

DA

FTA

R IS

I Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014

DISPARITAS PUTUSAN TERKAIT PENAFSIRAN PASAL 2 DAN 3 UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI .............................................................. 103 - 116Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

DUALISME PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI STATUS HUKUM TENAGA KERJA ASING ........... 117 - 135Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 595K/PDT.SUS/2010 dan Nomor 29PK/PDT.SUS/2010Vidya Prahassacitta, Fakultas Humaniora Jurusan Business Law Universitas Bina Nusantara, Jakarta

KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM PERKARA PERCERAIAN .................................................. 137 - 155Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.BdgRamdani Wahyu Sururie, Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung

KEPAILITAN DALAM PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM FORMIL DAN MATERIL ........................ 157 - 172Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN.SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012Bambang Pratama, Ketua Umum Asosiasi Dosen Entrepreneurship Indonesia (ADEI), Jakarta

DISPARITAS PUTUSAN PERKARA SENGKETA TANAH TERKAIT PENERAPAN HUKUM FORMIL ....................................... 173 - 195Kajian terhadap Lima Putusan Pengadilan Negeri dan Lima Putusan Pengadilan Tinggi Tahun 2004-2011 di YogyakartaTata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

REDUKSI FUNGSI ANGGARAN DPR DALAM KERANGKA ChECkS AND BAlANCES .......................... 197 - 212Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013Yutirsa Yunus & Reza FarabyKementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta

ISSN 1978-6505

jurnal agustus isi.indd 7 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 8: Jurnal Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 8 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 9: Jurnal Agustus 2014

IX

UDC 343.352

Melani (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Bandung)

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 103-116

Penemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan sangatlah penting. Namun apabila penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum dan justru akan berimplikasi pada munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ditafsirkan sebagai orang yang bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman minimal Pasal 2, sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran restriktif tersebut berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal demikian bertentangan

dengan payung hukum pidana karena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam jabatan ditambah sepertiga.

(Melani)

Kata kunci: penemuan hukum, korupsi, penyalahgunaan wewenang.

UDC 347.991; 331.62

Prahassacitta V (Fakultas Humaniora Jurusan Business Law, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum Tenaga Kerja Asing

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 595K/PDT.SUS/2010 dan Nomor 29PK/PDT.SUS/2010

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 117-135

Penggunaan tenaga kerja asing di pasar kerja Indonesia hanyalah untuk jabatan dan waktu tertentu. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Dalam praktiknya perjanjian kerja waktu tertentu antara pengusaha dengan tenaga kerja asing sering dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Perjanjian kerja tersebut sering dibuat tidak tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia. Selain itu jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu tersebut yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum ketika terjadi perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja terkait dengan status hubungan kerja dan kompensasi PHK. Memang peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing sehingga pelanggaran atas perjanjian kerja

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 2 Agustus 2014Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

jurnal agustus isi.indd 9 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 10: Jurnal Agustus 2014

X

waktu tertentu tersebut mengakibatkan perjanjian kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal tersebut tidaklah tepat karena seharusnya terhadap perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing berlaku lex specialis. Dalam hal ini peran hakim menjadi penting dalam melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Faktanya Mahkamah Agung sendiri tidak satu suara atas hal tersebut sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 dan No. 29PK/PDT.SUS/2010. Hal ini menimbulkan dualisme dalam putusan-putusan Mahkamah Agung.

(Vidya Prahassacitta)

Kata kunci: perjanjian kerja, tenaga kerja asing, PHK.

UDC 347.627.2

Sururie RW (Fakultas Hukum dan Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung)

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian

Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 137-155

Saksi merupakan salah satu alat bukti yang digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa dan sangat menentukan untuk membuka tabir sejelas-jelasnya mengenai kebenaran pokok perkara yang disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam ketentuan hukum acara, saksi memiliki nilai kesaksian atau bernilai saksi sempurna apabila memenuhi syarat formil dan materil tentang apa yang disaksikan. Saksi seperti itu dinamakan saksi yang auditu sedangkan saksi yang tidak memiliki nilai kesaksian atau tidak memenuhi syarat formil dan materil kesaksian dinamakan saksi yang testimonium de auditu. Penelitian ini memfokuskan

pada kajian adanya disparitas di dalam penilaian bukti saksi yang testimonium de auditu di dalam pemeriksaan perkara perceraian antara pengadilan agama tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada Pengadilan Agama Karawang, majelis hakim mempertimbangkan bahwa saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan sudah memiliki nilai pembuktian sekalipun keterangan yang diperoleh saksi berdasarkan apa yang didengar dari penggugat sehingga gugatan penggugat patut dikabulkan sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim banding keterangan saksi yang diajukan dinilai sebagai saksi yang de auditu sehingga gugatan penggugat tidak terbukti dan akhirnya Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Karawang.

(Ramdani Wahyu Sururie)

Kata kunci: perceraian, saksi, perselisihan.

UDC 347.736

Pratama B (Ketua Umum Asosiasi Dosen Entrepreneurship Indonesia (ADEI), Jakarta)

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Formil dan Materil

Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN.SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 157-172

Ruh dari undang-undang kepailitan adalah asas kelangsungan usaha, di mana putusan pailit merupakan ultimum remedium. Beberapa putusan pailit menjadi kontroversial karena keadaan keuangan debitor secara materil solven tetapi secara formil insolvensi. Isu kepailitan menarik untuk dibahas karena beban pembuktian dalam permohonan pailit di pengadilan menurut undang-undang kepailitan menggunakan pembuktian sederhana. Tulisan ini akan mengulas masalah kepailitan yang diputus oleh Pengadilan Niaga Semarang dan Mahkamah Agung ditinjau dari aspek hukum materil dan

jurnal agustus isi.indd 10 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 11: Jurnal Agustus 2014

XI

hukum formil. Dengan meneliti konsistensi dan pertimbangan hukum putusan hakim pada kasus ini, maka diharapkan memperoleh gambaran penerapan undang-undang kepailitan secara das sollen-sein. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum doktrinal dengan tujuan mengkaji koherensi pertimbangan hukum antara judex factie dan judex juris pada kasus yang sama. Alasan pemilihan kasus kepailitan ini dibatasi pada bank sebagai pemohon pailit atas pertimbangan bahwa sudah memiliki sistem dan mekanisme utang-piutang yang terpercaya. Atas asumsi tersebut maka secara hipotetis dapat dikatakan permohonan pailit oleh bank kepada debitornya merupakan keputusan paling akhir. Penelitian ini setidaknya menemukan empat hal menarik dalam penerapan undang-undang kepailitan. Pertama, permohonan kepailitan yang diajukan ke pengadilan niaga tidak melewati pengujian cash flow test dan balanced sheet test, sehingga pembuktiannya di pengadilan hanya mengandalkan pada pembuktian sederhana sesuai Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Kedua, adanya iktikad buruk dari kreditor untuk menguasai aset debitor melalui permohonan pailit. Ketiga, tidak disertakannya Comanditaire Venotshcaap (CV) sebagai subjek hukum pailit. Keempat, putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang melewati batas waktu ketentuan formil undang-undang kepailitan.

(Bambang Pratama)

Kata kunci: debitor, kreditor, kepailitan, insolvensi.

UDC 349.421

Wijayanta T (Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah Terkait Penerapan Hukum Formil

Kajian terhadap Lima Putusan Pengadilan Negeri dan Lima Putusan Pengadilan Tinggi Tahun 2004-2011 di Yogyakarta

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 173-195

Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa ketentuan dan asas yang harus diperhatikan dan ditaati oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan penelitian yang berupa kajian terhadap putusan-putusan pengadilan di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang meliputi putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam perkara sengketa tanah yang mengandung gugatan “monetary remedy” dan “equitable remedy.” Sengketa tanah dapat disebut sengketa yang sangat sensitif dan sifatnya multi-isu karena merupakan sengketa sosial (social dispute) yang bersinggungan dengan persoalan budaya, sosio-struktural, strategis dan ekonomis. Banyaknya hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan putusan sengketa tanah merupakan latar belakang mengapa perlu dikaji penerapan hukum formil (acara) dalam putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) yang menjadi objek kajian. Dalam kajian ini, akan diketahui persoalan-persoalan dalam penerapan hukum acara yang dapat ditemukan di dalam putusan tersebut serta melihat apakah terdapat disparitas (perbedaan) mengenai tingkat ketaatan dan kepatuhan hakim judex facti dalam menerapkan ketentuan hukum formil.

(Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya)

Kata kunci: disparitas, monetary remedy, equitable remedy.

UDC 328; 993

Yunus Y (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta)

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 197-212

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-

jurnal agustus isi.indd 11 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 12: Jurnal Agustus 2014

XII

XI/2013 merupakan salah satu putusan penting. Putusan ini telah merombak struktur ketatanegaraan Indonesia yang menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, khususnya dalam pelaksanaan fungsi anggaran oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan dua lembaga dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran pada dasarnya merupakan konsekuensi konsep negara hukum yang menganut prinsip checks and balances, yang bertujuan agar kekuasaan tidak hanya terletak pada satu tangan dan menghasilkan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. Namun, pelaksanaan fungsi anggaran oleh kedua lembaga harus memerhatikan batasan-batasan sesuai fungsi masing-masing agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang dan justru mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi kembali fungsi checks and balances di mana pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan pembangunan dan penganggaran, sementara DPR mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai amanat UUD NRI 1945.

(Yutirsa Yunus & Reza Faraby)

Kata kunci: fungsi anggaran, APBN, checks and balances.

jurnal agustus isi.indd 12 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 13: Jurnal Agustus 2014

XIII

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 2 Agustus 2014The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 343.352

Melani (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Bandung)

A Disparity in Judge’s Interpretation on Article 2 and 3 of the Law on Corruption Eradication

An Analysis of Thirteen Decisions of Anti-Corruption Court of Bandung in 2011-2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 103-116

Law making method (rechtsvinding), either by using interpretation or construction by the judge is of great importance. However, once it is based on the incorrect law interpretation, it cannot be regarded as law making since it will result in public disappointment. The conclusion of the analysis of thirteen court decisions points to a red line of a disparity in law interpretation, either horizontally or vertically against article 2 and 3 of the law on corruption eradication. Among the most prominent law interpretation deployed by the judges is the restrictive interpretation, which has made the element of “any person” in article 2 interpreted as people who are not civil servants or state officials, whereas the element of “everyone” in article 3 interpreted as civil servants or state officials. The unreasonable interpretation has caused the civil servants or state officials cannot be trapped by article 2 (act against the law) and can only be trapped by article 3 (abuse of authority). The minimum penalty set out in article 3 is lenient than that in article 2, and therefore, such decision based on restrictive interpretation, could bring about injustice and legal uncertainty. Therefore that kind by systematical interpretation is against the criminal law as affirmed on article 52 of the criminal code stating the threat of criminal acts in the department is enhanced by one-third.

(Melani)

Keywords: law making method (rechtsvinding), corruption, abuse of authority.

UDC 347.991; 331.62

Prahassacitta V (Fakultas Humaniora Jurusan Business Law, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

The Supreme Court’s Dualism Interpretation on Foreign Workers’ Legal Status

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 595K/PDT.SUS/2010 and Number 29PK/PDT.SUS/2010 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 117-135

The employment of foreign workers in the Indonesian labor market is merely set for particular positions and a certain period of time as clearly stipulated in Law Number 13 of 2003 on Labor and its implementation regulations. In practice, temporary employment agreement between the employer and the foreign workers habitually does not meet the applicable regulations. The agreements are often unwritten and not set in Indonesian Language. Additionally, it has often exceeded the period of time set out in the law. This is a real issue that has resulted in legal problem, such as industrial disputes related to termination of employment concerning on employment status and compensation layoffs. Law and legislation do not specifically regulate on this temporary employment agreement for foreign workers, thus if there happens to be violations of the agreement, it would be stated as invalid agreement. This is not applicable, since the principle of lex specialis should have been deployed in such agreement between the employer and the foreign workers. In this regard, the role

jurnal agustus isi.indd 13 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 14: Jurnal Agustus 2014

XIV

of judge to conduct lawful discovery is crucial to overcome a legal vacuum that could arise. But the fact that the Supreme Court does not agree with the terms as stated in the Decision number 595K/PDT.SUS/2010 and number 29PK/PDT.SUS/2010 has led to dualism in the majority of the Supreme Court’s decisions.

(Vidya Prahassacitta)

Keywords: employment agreement, foreign workers, termination of employment.

UDC 347.627.2

Sururie RW (Fakultas Hukum dan Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung)

Evidence Validity of Testimonium de Auditu in a Divorce Case

An Analysis of Decision Number 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw and Number 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 137-155

Witness is a kind of evidence used to resolve a dispute and crucial in unveiling the factual truth of the matter on the dispute by the two sides. In the Code of Civil Procedure, a witness has testimony value and is of the perfect witness if the formal and substantive requirements are satisfied. Such witness is called auditu witness. While if it has no testimony value or ineligible for the formal and substantive requirements, it is called testimonium de auditu. This analysis focuses on a disparity issue in the assessment of proof of testimonium de auditu in the review of a divorce case in two level courts: the Religious Court of First Instance of Karawang and the Appeal Court of Bandung. In Religious Court of Karawang, the judges considered that the proposed witnesses in the trial already have probative value of the information obtained even though it is built on what is heard from the plaintiff, so that their

claim should be granted. While in the Judges’ consideration of the Appeal Court of Bandung, the witnesses proposed is assessed as a witness de auditu, therefore the plaintiff’s claim could not be proven, and Bandung High Court finally overturned the decision of the Religious Court of Karawang.

(Ramdani Wahyu Sururie)

Keywords: divorce, witness, dispute.

UDC 347.736

Pratama B (Ketua Umum Asosiasi Dosen Entrepreneurship Indonesia (ADEI), Jakarta)

The Issue of Bankruptcy in Judge’s Decision Through the Perspective of Procedural and Substantive Law

An Analysis of Decision Number 02/Pailit/2012/PN.SMG and Number 522K/Pdt.Sus/2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 157-172

The spirit of Bankruptcy Law is business sustainability, which means that the decision of bankruptcy is ultimum remedium. Some bankruptcy decisions are controversial because the debtor’s financial condition is materially solvent but is formally insolvent. Hence, this issue is interesting to discuss because the court only relies on formal compliance through simple argumentation to determine whether the subject is solvent or not. This paper reviews a bankruptcy case of the Commercial Court of Semarang and the Supreme Court within the perspective of substantive and procedural law. By observing the consistency of judge’s considerations on this case, it is expected to generate a description of bankruptcy application in das sollen-sein. This research deploys doctrinal method in a thorough study to demonstrate the coherency between judex factie and judex jurist of the same case. The study is partially to the bank as bankruptcy applicant on consideration that the bank has a reliable system in

jurnal agustus isi.indd 14 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 15: Jurnal Agustus 2014

XV

debt mechanism. Hypothetically it can be argued that the bankruptcy application submitted by bank towards its debtor is ultimum remedium. There are four thought-provoking findings in the application of Indonesian Bankruptcy Law. First, bankruptcy application submitted to the Commercial Court without passing cash flow test and balanced sheet test. As the consequence, the court relies only on the straightforward argumentation as stated on Article 8, paragraph (4) of the Bankruptcy Law. Second, there seems to be a bad intention of the creditor to gain control over debtor assets through the bankruptcy application. Third, Comanditaire Venotschaap (CV) as a legal entity is ruled out as the subject of bankruptcy law. Fourth, bankruptcy decision by Commercial Court of Semarang has violated the procedural time limit as stipulated on the Bankruptcy Law.

(Bambang Pratama)

Keywords: debtor, creditor, bankrupt, insolvency.

UDC 349.421

Wijayanta T (Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Disparity in the Decision of Land Dispute Case Pertaining to the Implementation of Procedural Law

An Analysis of Five Decisions of District Court and Five Decisions of High Court of Yogyakarta in 2004-2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 173-195

In the Code of Civil Procedure, there are some rules and principles to which the judge adhere and observe and in making a decision. This paper is part of a research report studying the decisions of several District Courts and High Court in the Special Region of Yogyakarta Province regarding a case of land dispute which contains the lawsuit of “the monetary remedy” and “equitable remedy”.

Land dispute is a highly sensitive and multi-issue for it is a social dispute that may relate to socio-cultural and economic issues. The fact that many obstacles and difficulties in the implementation of the decision of the land dispute is the main background of why it is necessary to study the application of the procedural law in court decisions that become the object of the study. In this study, it will be elaborated the implementation issues of the procedural law which is found in the decision, then inferred whether there is a disparity in the level of adherence and compliance of the judex facti in implementing the provisions of Procedural Law.

(Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya)

Keywords: disparity, monetary remedy, equitable remedy.

UDC 328; 993

Yunus Y (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta)

Reduction of the House’s Budgeting Function in Terms of Checks and Balances

An Analysis of the Constitutional Court’s Decision Number 35/PUU-XI/2013 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 197-212

The Constitutional Court Decision Number 35/PUU-XI/2013 is one of the crucial decisions. This decision has revolutionized the Indonesian constitutional structure which seems to have deviated from democratic principles and rule of law, especially in the implementation of budgeting function by the government and the parliament. Those two agencies’ authorities in carrying out the function of planning and budgeting are basically a consequence of checks and balances principle in the rule of law, which aims to prevent corruption and authoritarian system resulted from an absolute government power. However, the implementation of the budgeting function by both agencies should

jurnal agustus isi.indd 15 9/22/2014 9:41:11 AM

Page 16: Jurnal Agustus 2014

XVI

give attention to each agency’s function limits in order to avoid intervention of power, conflict of interest, and abuse of power. In this case, the Constitutional Court Decision No. 35/PUU-XI/2013 has affirmed the limitation to the Parliament’s authority to discuss the National Budget Plans only in the scheme level. This limitation of the functions of Parliament is made as an effort to prevent the Parliament’s authority being that could possibly disrupt the government’s planning and budgeting system. Thus, this decision has repositioned the function of checks and balances, in which the government holds the function of development planning and budgeting, while the House of Representatives implements the budgeting policy as mandated on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

(Yutirsa Yunus & Reza Faraby)

Keywords: budgeting function, the National Budget Plans, checks and balances.

jurnal agustus isi.indd 16 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 17: Jurnal Agustus 2014

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 103

ABSTRAK

Penemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan sangatlah penting. Namun apabila penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum dan justru akan berimplikasi pada munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ditafsirkan sebagai orang yang bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman minimal Pasal 2, sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran restriktif tersebut berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal

demikian bertentangan dengan payung hukum pidana karena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam jabatan ditambah sepertiga.

Kata kunci: penemuan hukum, korupsi, penyalahgunaan wewenang.

ABSTRACT

Law making method (rechtsvinding), either by using interpretation or construction by the judge is of great importance. However, once it is based on the incorrect law interpretation, it cannot be regarded as law making since it will result in public disappointment. The conclusion of the analysis of thirteen court decisions points to a red line of a disparity in law interpretation, either horizontally or vertically against Article 2 and 3 of the Law on Corruption Eradication. Among the most prominent law interpretation deployed by the judges is the restrictive interpretation, which has made the element of “any person” in Article 2 interpreted as people who are not civil servants or state officials, whereas the element of “everyone” in Article 3 interpreted as civil servants or state officials. The unreasonable interpretation has caused the civil servants or state officials cannot be trapped by Article 2 (act against the law) and can only be trapped by Article 3 (abuse of authority). The minimum penalty set out in article 3 is lenient than

DISPARITAS PUTUSAN TERKAIT PENAFSIRAN PASAL 2 DAN 3 UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012

A DISPARITY IN JUDGE’S INTERPRETATION ON ARTICLE 2 AND 3 OF THE LAW ON CORRUPTION ERADICATION

MelaniFakultas Hukum Universitas Pasundan

Jl. Lengkong Besar No. 68 Kota BandungE-mail: [email protected]

An Analysis of Thirteen Decisions of Anti-Corruption Court of Bandung in 2011-2012

Naskah diterima: 3 Februari 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 103 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 18: Jurnal Agustus 2014

104 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

that in Article 2, and therefore, such decision based on restrictive interpretation, could bring about injustice and legal uncertainty. Therefore that kind by systematical interpretation is against the Criminal Law as affirmed on Article 52 of the Criminal Code stating the threat

of criminal acts in the department is enhanced by one-third.

Keywords: law making method (rechtsvinding), corruption, abuse of authority.

PENDAHULUANI.

Tindak pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia telah mewabah ke berbagai segi kehidupan. Putusan pengadilan tipikor yang diteliti ini pun terdakwanya terdiri dari berbagai kalangan, yaitu mulai dari bidang pendidikan, kepala daerah (bupati dan walikota), ketua UKM (Usaha Kecil dan Menengah) sampai dengan pejabat perusahaan swasta rekanan BUMN.

Sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia memang merupakan sejarah panjang dengan sederetan perundang-undangan yang dilengkapi dengan berbagai Tim atau Komisi Khusus guna menunjang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. Namun hingga kini korupsi masih merajalela dan masif.

Tindak pidana korupsi adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), sehingga pemberantasannyapun memerlukan proses luar biasa. Oleh karena itu bangsa-bangsa di dunia telah sepakat untuk secara bahu-membahu memberantas korupsi yang bersifat transnasional. Indonesia adalah termasuk negara yang ikut menandatangani UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) atau Konvensi PBB Menentang Korupsi dan Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dengan demikian Indonesia telah terikat secara moral, politis, dan yuridis untuk melaksanakan UNCAC.

Salah satu aspek yang penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah proses penegakan hukum. Proses penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi harus dilakukan secara teliti, cermat, dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang diberikan hakim dapat mencerminkan penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Sebuah keputusan akan mendekati keadilan apabila diambil melalui proses interpretasi hukum. Seorang hakim, misalnya pada setiap pembacaan yang menetapkan sesuatu mendekati keadilan apabila menjaga undang-undang sekaligus menghancurkan atau menghapus undang-undang, karena itu, setiap momen pada hakikatnya unik. Interpretasi hukum (yang selalu baru) harus dilakukan secara terus-menerus agar sebuah keputusan yang mendekati keadilan dapat diambil, tanpa hal tersebut, sebuah keputusan tidak dapat dianggap adil, meskipun keputusan ini sahih. Momen pengambilan keputusan adalah kontinum di mana orang mempertahankan rentetan waktu, tetapi sebuah keputusan yang adil harus merobek waktu dan membangkang terhadap berbagai dialektika (Susanto, 2010: 289).

Dalam kenyataannya banyak pelaku tindak pidana korupsi yang diberikan hukuman yang relatif ringan, bahkan belakangan ini banyak

jurnal agustus isi.indd 104 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 19: Jurnal Agustus 2014

104 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 105

kasus yang diputus bebas oleh pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di daerah. Dengan adanya kenyataan tersebut telah menimbulkan disparitas secara horizontal antara sesama putusan pengadilan tipikor tingkat pertama, antara sesama putusan pengadilan tingkat banding, dan antara sesama putusan tingkat kasasi. Di samping itu telah menimbulkan pula disparitas secara vertikal, yaitu antara putusan pengadilan tipikor tingkat pertama dengan putusan pengadilan tingkat selanjutnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi et.al., 2002: 270), disparitas adalah, perbedaan atau jarak. Menurut Black’s Law Dictionary (Garner, 1999: 482), disparity is inequality or a difference in quantity or quality between two or more things. Terjemahan bebasnya, disparitas adalah ketidaksetaraan atau perbedaan kuantitas atau kualitas antara dua atau lebih dari sesuatu.

Adapun putusan yang akan diteliti disparitasnya adalah, lima putusan pengadilan tipikor tingkat pertama dan delapan putusan pengadilan tipikor tingkat berikutnya, yaitu sebagaimana tabel di bawah ini:

Ke-13 putusan tersebut dalam tabel di atas dijatuhkan hakim atas dasar dakwaan jaksa penuntut umum, yang pada umumnya mengacu pada bentuk dakwaan subsidairitas, yaitu primair Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan Subsidair Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi dalam pertimbangan hukumnya terjadi disparitas penafsiran hakim terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik secara horizontal maupun vertikal dan anehnya penafsiran hakim dalam putusan-putusan tersebut pada umumnya malah menguntungkan terdakwa, sehingga ada terdakwa yang dibebaskan dan juga ada terdakwa yang dihukum ringan berdasarkan dakwaan subsidair, yaitu Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dibebaskan dari dakwaan primair, yaitu Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-

No. Nama Terdakwa (Inisial) Nomor Putusan Pengadilan Tingkat Pertama

Nomor Putusan Pengadilan Tingkat Berikutnya

1 HTS 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 29/TIPIKOR/2011/PT.Bdg

1874 K/PID.SUS/2011

2 MY dan HTD 10/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 31/TIPIKOR/2011/PT.Bdg

2104 K/ PID.SUS/2011

3 MM 22/PID.SUS/TPK/2011/PN.Bdg 2547 K/PID.SUS/2011

4 AS 36/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 41/TIPIKOR/2011/PT.Bdg

2637 K/PID/SUS/2011

5 ICHL 76/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 21/TIPIKOR/2012/PT.Bdg

Tabel 1. Daftar Putusan yang Diteliti

jurnal agustus isi.indd 105 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 20: Jurnal Agustus 2014

106 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang yang terurai tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana disparitas penafsiran hakim atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)?

2. Bagaimana implikasi hukum yang terjadi dengan adanya disparitas penafsiran hakim atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)?

STUDI PUSTAKAIII. A. Disparitas dalam Tindak Pidana

Korupsi

Menurut Cheang Molly (dalam Muladi & Arief, 1998: 52), disparity of sentencing atau disparitas pidana, adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim (Loqman, 2002: 100-101) terdiri dari; faktor intern, faktor pada undang-undang itu sendiri, faktor penafsiran, faktor politik, dan faktor sosial.

Korupsi adalah penyakit universal negara, yang bisa ditemukan di mana pun. Penyebabnya

amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti sistem pemerintahan, misalnya dari totaliter ke demokrasi, seperti di Indonesia, tidak akan cukup untuk menaklukkan korupsi sampai ke akarnya. Justru sebaliknya negara-negara yang notabene berhasil melenyapkan korupsi, seperti Singapura dan Hongkong (Cina), bukanlah negara demokratis (Wattimena, 2012: 9-10).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi et.al., 2002: 597), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Menurut Black’s Law Dictionary (Garner, 1999: 348), corruption is depravity, perversion, or taint: an impairment of integrity, virtue, or moral principle; esp the impairment of a public official’s duties by bribery. Terjemahan bebasnya, korupsi adalah kebejatan moral, perbuatan tidak wajar, noda: perusakan integritas, kebajikan, moral, khususnya perusakan oleh pejabat publik dengan penyogokan.

Menurut Baharuddin Lopa (dalam Hartanti, 2005: 10) ada dua sifat korupsi, yaitu korupsi yang bersifat terselubung dan korupsi yang bermotif ganda. Korupsi yang bersifat terselubung, yakni korupsi secara sepintas bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.

Menurut Gunnar Myrdal (1977: 166), The problem is of vital concern to the government of South Asia, because the habitual practice of bribery and dishonesty pravers the way for the authoritarian rezim which justifies it self by the disclosures of corruption has regularly been advance as a main justification for military take overs. Terjemahan bebasnya, Masalah itu merupakan suatu hal yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena kebiasaan menyuap dan

jurnal agustus isi.indd 106 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 21: Jurnal Agustus 2014

106 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 107

tidak jujur membuka jalan membongkar korupsi dan menghukum pelanggar, pemberantasan korupsi biasanya dijadikan alasan pembenar untuk kup militer.

B. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil

Hukum pidana sering dikatakan hukum undang-undang karena terikat dengan asas legalitas. Dalam KUHP asas legalitas dimuat dalam Pasal 1 ayat (1). Adagium yang terkenal dari Ansellem Von Feurbach adalah nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali.

Sifat melawan hukum materil dalam yurisprudensi di Indonesia terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 42/K/Kr/1965, dalam perkara Machroes Effendi yang didakwa melakukan tindak pidana melanggar Pasal 372 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan oleh Pengadilan Negeri Singkawang dalam Putusan Perkara No. 6/1964/Tolakan, tanggal 24 September 1964, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 372 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP serta dihukum 1 tahun 6 bulan, kemudian dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta dalam Putusan Perkara No. 146/1964 PT Pidana, tanggal 27 Januari 1965, dinyatakan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, dan Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam pertimbangannya pengadilan tinggi berpendapat, bahwa pengeluaran-pengeluaran DO gula insentif padi yang dilakukan terdakwa sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan terdakwa yang menyimpang dari tujuan yang ditentukan, akan tetapi faktor kepentingan umum dilayani, serta faktor tidak adanya keuntungan yang masuk ke dalam saku terdakwa dan faktor tidak dideritanya kerugian oleh negara, merupakan faktor-faktor yang memiliki nilai lebih dari cukup

guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-perbuatan terdakwa, yang terbukti formil masuk dalam rumusan tindak pidana (dalam Sapardjaja, 2002: 137).

C. Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK

Sifat melawan hukum materil yang terdapat dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dapat ditelaah dari bunyi undang-undangnya.

Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, menyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Wiyono (2006: 26) menyatakan: ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegaskan dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi.

Pada tanggal 25 Juli 2006 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 menyatakan pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam arti materil tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,

jurnal agustus isi.indd 107 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 22: Jurnal Agustus 2014

108 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

mengingat pengertian dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ini bertentangan dengan UUD 1945 karena selain pengertian ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, juga bertentangan dengan asas legalitas yang diadopsi dalam Pasal 28D Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan prinsip nullum crimen sine lege stricta.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung dalam beberapa putusan, seperti dalam perkara atas nama Rusadi Kantaprawira tetap menerapkan asas sifat melawan hukum materil, dengan alasan hakim berdasarkan doktrin Sens-Clair, yaitu dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim harus menemukan hukum.

Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Wiyono (2006: 37) menyatakan, terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, dalam penjelasan Pasal 3 hanya disebutkan kata “dapat” dalam ketentuan tersebut diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2. Dengan demikian, untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh penjelasan Pasal 3 tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2. Di dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan;

“Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan, bukan timbulnya akibat.” Tenyata maksud dari penjelasan Pasal 3 tersebut hanya menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 juga merupakan delik formil seperti halnya tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1).

Dalam praktik kerap terjadi penafsiran yang keliru atas Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Ada hakim yang menafsirkan, bahwa ketentuan Pasal 2 hanya berlaku bagi mereka yang tergolong bukan pegawai negeri, sedangkan Pasal 3 subjek delik harus memenuhi kualitas sebagai pejabat.

Terhadap kontroversi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Mahkamah Agung telah membuat rumusan, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 diperuntukan untuk setiap orang baik swasta maupun pegawai negeri. Jadi Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku bagi pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri (MA RI, 2012: 21).

D. Tindak Pidana dalam Jabatan Menurut KUHP

Pemberatan karena jabatan diatur dalam Pasal 52 KUHP yang menyatakan:

Bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana

jurnal agustus isi.indd 108 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 23: Jurnal Agustus 2014

108 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 109

memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Contoh lainnya adalah Pasal 415 KUHP yang menyatakan: Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Apabila penggelapan dalam jabatan (Pasal 415 KUHP) dibandingkan dengan penggelapan biasa (Pasal 372 KUHP), maka tampak penggelapan dalam jabatan ancaman hukumannya jauh lebih tinggi dari ancaman hukuman bagi penggelapan biasa yang hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun.

E. Ajaran Deelneming (Penyertaan)

Menurut Hooge Raad untuk dapat mengatakan bahwa bentuk turut serta adalah turut melakukan, harus ada dua unsur, yaitu:

a. Antara para peserta ada kerjasama yang diinsafi (buweste samenwerking);

b. Para peserta bersama telah melaksanakan (gezamenlijke uitvoering).

Menurut Lamintang (1984: 588) menjelaskan bentuk medeplegen sebagai berikut: dalam bentuk deelneming itu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga

sering disebut sebagai suatu mededadersschap. Dengan demikian, maka medeplegen itu di samping merupakan bentuk deelneming, maka ia juga merupakan bentuk daderschap.

F. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette handeling)

Pasal 64 KUHAP mengatur tentang Perbuatan Berlanjut yang dalam bahasa Belanda disebut (Voortgezette Handeling). A.Z. Abidin dan Andi Hamzah (2002: 309) menyatakan, dalam hal perbuatan berlanjut, pertama-tama harus ada satu keputusan kehendak perbuatan itu mempunyai jenis yang sama. Putusan hakim menunjang arahan ini, yaitu:

1. Adanya kesatuan kehendak;

2. Perbuatan-perbuatan itu sejenis;

3. Faktor hubungan waktu (jarak waktu tidak lama).

G. Dakwaan Subsidairitas

Van Bemmelen dalam Andi Hamzah (1996: 190) menyatakan: Dalam dakwaan subsidair pembuat dakwaan bermaksud agar hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair dan jika ini tidak terbukti, barulah diperiksa dakwaan subsidair.

Terdakwa didakwa jaksa penuntut umum melakukan tindak pidana korupsi dengan bentuk dakwaan secara bersusun lapis (subsidairitas) yaitu dalam dakwaan primair melanggar Pasal 2 ayat (1) sub b jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b ayat (2), (3) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, kemudian subsidair melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20

jurnal agustus isi.indd 109 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 24: Jurnal Agustus 2014

110 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pada aspek ini jaksa penuntut umum akan membuktikan dakwaan tersebut dari mulai dakwaan primair. Apabila dakwaan primair telah terbukti, dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi. Akan tetapi sebaliknya, apabila dakwaan primair tidak terbukti, jaksa penuntut umum secara imperatif akan membuktikan dakwaan subsidair (Mulyadi, 2013: 228).

H. Penemuan Hukum

Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum (Mertokusumo & Pitlo, 1993: 4).

Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu metode interpretasi dan konstruksi (Ali, 2008: 122). Agar dapat mencapai kehendak dari pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial, hakim menggunakan beberapa cara penafsiran (Ardhiwisastra, 2000: 9).

I. Filsafat Pemidanaan

Peradilan dan penemuan hukum oleh hakim adalah sah (legitim), demikian bunyi sebuah pendirian, jika mereka menghasilkan putusan-putusan yang adil (Pontier, 2008: 9).

Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang (2012: 11), pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat

itu sendiri;

2. Untuk membuat orang menjadi jera;

3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

M. Sholehuddin (dalam Marlina, 2011: 35-36) menyebutkan tiga perspektif filsafat tentang pemidanaan, yaitu:

1. Perspektif eksistensialisme tentang pemidanaan.

2. Perspektif sosialisme tentang pemidanaan.

3. Pemidanaan ditinjau dari perspektif Pancasila.

ANALISISIV. A. Posisi Kasus

Dalam seluruh putusan pengadilan yang diteliti pada dasarnya bentuk dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum/KPK adalah dakwaan subsidairitas, kecuali pada Perkara No. 22/PID.SUS/TPK/2011/PN.BDG jo. Perkara No. 2547K/PID.SUS/2011 bentuk dakwaannya adalah kombinasi (kumulatif yang disubsidairkan dan dialternatifkan), akan tetapi dakwaan kesatu berbentuk subsidairitas.

Pada dasarnya dakwaannya adalah:

Primair:

Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

jurnal agustus isi.indd 110 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 25: Jurnal Agustus 2014

110 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 111

Subsidair:

Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam Perkara No. 76/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg jo. No. 21/TIPIKOR/2012/PT.Bdg selain pasal-pasal tersebut, dakwaan primair dan dakwaan subsidair dihubungkan pula dengan perbuatan berlanjut, yaitu Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Unsur-unsur dari Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah:

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sedangkan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berkaitan dengan pidana tambahan dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berkaitan dengan penyertaan.

Unsur-unsur Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah:

1. Setiap orang;

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sedangkan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. PUU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan pidana tambahan dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berkaitan dengan penyertaan.

Tentang penerapan Pasal 18 UU PTPK dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dalam ke-13 putusan yang diteliti tidak terlalu menimbulkan masalah, sehingga masalah yang akan diteliti disparitasnya adalah pemahaman hakim terhadap Pasal 2 dan 3 UU PTPK. Oleh karena itu disparitas yang akan dianalisis di sini adalah penafsiran hakim atas Pasal 2 dan 3 UU PTPK.

B. Disparitas Penafsiran Hakim atas Pasal 2 dan 3 UU PTPK

Disparitas yang terjadi dalam ke-13 putusan yang diteliti pada dasarnya terdiri dari empat aspek, yaitu:

a. Aspek hukum acara;

b. Aspek hukum material;

c. Aspek filosofi penjatuhan pidana;

d. Aspek penalaran hukum.

Dari keempat aspek tersebut di atas aspek hukum material, yaitu pemahaman hakim terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU PTPK) yang

jurnal agustus isi.indd 111 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 26: Jurnal Agustus 2014

112 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

berkaitan pula dengan aspek filosofi penjatuhan pidana dan aspek penalaran hukum, dirasakan peneliti paling menonjol disparitasnya dan paling besar implikasinya terhadap penjatuhan pidana oleh hakim, oleh karena itu selanjutnya peneliti akan fokus kepada aspek hukum material khususnya penafsiran hakim terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK tersebut.

Dalam menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU PTPK) telah terjadi disparitas baik secara horizontal (antara sesama putusan hakim setingkat) maupun secara vertikal (antara putusan pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat selanjutnya).

Dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/ PN.Bdg, Putusan Perkara No. 10/Pid.Sus/TPK/2011 dan Putusan Perkara No. 22/Pid.Sus/TPK/2011, pada pokoknya dinyatakan:

a. Oleh karena surat dakwaan disusun secara subsidair, maka majelis akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primair.

b. Menimbang bahwa rumusan yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang unsurnya meliputi:

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Menimbang bahwa sekarang majelis hakim akan mempertimbangkan satu-persatu unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di muka persidangan aquo, yaitu pada pokoknya sebagai berikut:

Ad 1. Unsur Setiap Orang:

Menimbang bahwa unsur setiap orang dalam tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yaitu setiap orang adalah perseorangan adalah orang perseorangan atau korporasi.

Menimbang bahwa unsur setiap orang dalam Pasal 1 butir 3 UU PTPK adalah bersifat umum, demikian juga dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, majelis berpendapat bahwa setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK juga bersifat umum.

d. Menimbang bahwa pengertian setiap orang yang termaktub dalam Pasal 3 UU PTPK, majelis memandang mempunyai pengertian yang lebih khusus jika dibanding dengan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yaitu adanya predikat unsur jabatan atau kedudukan yang melekat pada orang dimaksud.

e. Menimbang sesuai dengan asas spesialitas, apabila dalam waktu, tempat, dan objek yang sama saling diperhadapkan antara ketentuan yang bersifat umum dengan ketentuan yang bersifat khusus, maka yang diterapkan adalah ketentuan yang bersifat khusus.

f. Menimbang dakwaan penuntut umum, yang mendakwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan

jurnal agustus isi.indd 112 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 27: Jurnal Agustus 2014

112 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 113

dengan jabatan atau kedudukan terdakwa (dalam Perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg, sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi, dalam Perkara No. 10/Pid.Sus/TPK/PN.Bdg, sebagai Bupati Subang, dan Perkara No. 22/Pid.Sus/TPK/PN.Bdg sebagai Walikota Bekasi).

g. Menimbang berdasarkan uraian tersebut di atas majelis berpendapat bahwa unsur setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tidaklah terbukti.

h. Pada akhirnya majelis hakim menyimpulkan bahwa yang terbukti adalah seluruh unsur-unsur dari Pasal 3 UU PTPK.

Dari ketiga putusan pengadilan negeri tersebut yang selanjutnya dua putusan, yaitu Putusan Perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg dan Putusan Perkara No. 10/Pid.Sus/TPK/2011 dikuatkan oleh pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung, sedangkan Putusan No. 22/Pid.Sus/TPK/2011 dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dapat disimpulkan bahwa tiga putusan pengadilan negeri dan dua putusan pengadilan tinggi, ditambah dengan dua Putusan Mahkamah Agung, beranggapan bahwa Pasal 2 UU PTPK diperuntukan bagi orang yang bukan PNS atau pejabat negara, sedangkan Pasal 3 diperuntukan bagi orang yang bekerja sebagai PNS atau pejabat negara.

Berdasarkan Putusan No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg jo. Putusan No. 29/TIPIKOR/2011/PT.Bdg jo. Putusan No. 1874 K/PID.SUS/2011, Putusan No. 10/Pid.Sus/TPK/2011 jo. Putusan No. 31/TIPIKOR/2011/PT.Bdg jo. Putusan No. 2104 K/Pid.SUS/2011, dan Putusan No. 22/Pid.Sus/TPK/2011/ PN Bandung, dapat ditarik kesimpulan bahwa PNS atau pejabat negara tidak dapat dijerat oleh Pasal

2 UU PTPK (berupa perbuatan melawan hukum) dan hanya bisa dijerat dengan Pasal 3 UU PTPK (berupa penyalahgunaan wewenang).

Lain halnya dengan Putusan No. 36/Pid.Sus/TPK/2011 jo. Putusan No. 41/TIPIKOR/2011/PT.Bdg dan Putusan No. 76/Pid.Sus/TPK/2011 jo. Putusan No. 21/TIPIKOR/2012/PT.BDG dalam perkara-perkara tersebut terdakwanya bukanlah PNS/pejabat negara, sehingga tidak teridentifikasi tentang pemahaman hakim terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK, karena majelis hakim langsung menganggap dakwaan primair telah terbukti (Pasal 2 ayat (1) UU PTPK).

Dengan demikian tidak jelas apakah pengenaan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK terhadap terdakwa, dikarenakan terdakwa bukan PNS atau tidak. Sedangkan Putusan No. 2547 K/PID.SUS/2011 yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sudah tepat dan benar.

Dari uraian tersebut terhadap penafsiran Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK tampak telah terjadi disparitas baik secara horizontal maupun vertikal. Namun yang paling mencemaskan adalah penafsiran restriktif (terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK) justru banyak dilakukan hakim sebagaimana uraian tersebut di atas. Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum (Mertokusumo & Pitlo, 1993: 4). Sebuah keputusan akan mendekati keadilan apabila diambil melalui proses interpretasi

jurnal agustus isi.indd 113 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 28: Jurnal Agustus 2014

114 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

hukum (Susanto, 2010: 289). Dengan demikian penemuan hukum oleh hakim amatlah penting, akan tetapi penemuan hukum haruslah logis sebagai upaya mendekatkan hukum pada keadilan. Sebagaimana pendapat J.A. Pontier, peradilan dan penemuan hukum oleh hakim adalah sah (legitim), demikian bunyi sebuah pendirian, jika mereka menghasilkan putusan-putusan yang adil (Pontier, 2008: 9).

Penafsiran restriktif yang dilakukan hakim-hakim tersebut di atas, yaitu mempersempit pengertian setiap orang dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK dengan mengartikan Pasal 2 diperuntukan bukan untuk PNS atau pejabat negara, sedangkan Pasal 3 diperuntukan bagi PNS atau pejabat negara sangatlah keliru dan tidak masuk akal karena bertentangan dengan payung hukum pidana yaitu KUHP.

Dalam KUHP tindak pidana dalam jabatan ancamannya justru ditambah satu pertiga dari ancaman tindak pidana biasa (Pasal 52 KUHP), bahkan penggelapan dalam jabatan Pasal 415 KUHP ancaman hukumannya maksimal 7 (tujuh) tahun penjara, jauh lebih berat dari ancaman hukuman penggelapan biasa (Pasal 372 KUHP) yang hanya maksimal 4 (empat) tahun penjara.

Menurut Rumusan Rapat Pleno Mahkamah Agung RI 2012, Pasal 2 dan Pasal 3 diperuntukan untuk setiap orang baik swasta maupun pegawai negeri. Jadi Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku bagi pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri (MA RI, 2012: 21). Dengan demikian putusan pengadilan tipikor yang didasarkan pada pertimbangan hukum berupa penafsiran restriktif terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK adalah keliru.

C. Implikasi Penafsiran Hakim atas Pasal 2 dan 3 UU PTPK

Sebagaimana terurai dalam analisis butir 1 di atas, penafsiran restriktif hakim terhadap Pasal 2 dan 3 UU PTPK adalah sangat keliru dan tidak masuk akal. Penafsiran yang keliru tersebut akan berimplikasi pada penjatuhan pidana bagi terdakwa dan vonis pemidanaan yang rendah bagi terdakwa tindak pidana korupsi, akan berimplikasi bagi ketiadaan efek jera bagi narapidana juga langkah para koruptor akan diikuti oleh yang lainnya.

Apabila PNS/pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 UU PTPK, berarti PNS/pejabat negara tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan melawan hukum dan hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 UU PTPK (penyalahgunaan wewenang). Apabila penafsiran yang keliru tersebut terus menerus diterapkan hakim tipikor, maka akan berimplikasi, PNS/pejabat negara tidak akan segan-segan mengikuti jejak para koruptor terdahulu untuk melakukan tindak pidana korupsi karena ancaman pidana minimal dalam Pasal 3 UU PTPK ringan, yaitu 1 (satu) tahun penjara dan/atau denda minimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sedangkan Pasal 2 UU PTPK ancaman pidana minimalnya adalah 4 (empat) tahun penjara dan denda minimal Rp.200.000.000,- dan anehnya hakim pengadilan tingkat pertama kerap menjatuhkan pidana dengan ancaman minimal, seperti halnya dalam perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg, perkara No. 10/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg dan malahan dalam Perkara No. 22/Pid.Sus/TPK/2011/PN Bdg, terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan.

Putusan bebas pengadilan tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung tersebut sangat

jurnal agustus isi.indd 114 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 29: Jurnal Agustus 2014

114 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 115

melukai rasa keadilan di dalam masyarakat dan bertentangan dengan filsafat pemidanaan.

SIMPULANV.

Berdasarkan analisis yang terurai di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yang diteliti telah terjadi disparitas penafsiran hakim baik secara horizontal, yaitu antara sesama putusan pengadilan tipikor tingkat pertama dan juga antara sesama putusan pengadilan tipikor tingkat tinggi, serta antara sesama putusan Mahkamah Agung. Di samping itu telah terjadi disparitas secara vertikal antara pengadilan tipikor tingkat pertama dengan pengadilan tipikor tingkat selanjutnya. Penafsiran restriktif, yaitu mempersempit pengertian setiap orang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK ternyata banyak dilakukan oleh hakim pengadilan tipikor tingkat pertama dan tingkat selanjutnya yang mengambil alih semua pertimbangan hukum pengadilan tipikor tingkat pertama dan memperkuat putusan pengadilan tipikor tingkat pertama. Penafsiran restriktif tersebut amatlah keliru karena bertentangan dengan payung hukum pidana yaitu KUHP. Dalam KUHP tindak pidana dalam jabatan ancamannya justru ditambah satu pertiga dari ancaman tindak pidana biasa (Pasal 52 KUHP), sedangkan dengan penafsiran restriktif tersebut PNS/pejabat negara tidak dapat dijerat oleh Pasal 2 UU PTPK (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat oleh Pasal 3 UU PTPK (penyalahgunaan wewenang) yang ancaman hukuman minimalnya jauh lebih rendah dari Pasal 2 UU PTPK.

2. Implikasi hukum disparitas penafsiran atas Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK adalah timbulnya penjatuhan hukuman yang berbeda-beda. Apabila putusan didasarkan pada penafsiran restriktif hakim atas Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK, maka tampak dalam Putusan No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg, Putusan No. 10/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg, pengadilan menjatuhkan pidana penjara minimal berdasarkan Pasal 3 UU PTPK yang jauh lebih ringan dari ancaman pidana minimal dalam Pasal 2 UU PTPK dan malahan dalam Putusan No. 22/Pid.Sus/TPK/2011/PN Bdg, terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan. Putusan bebas pengadilan tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung tersebut sangat melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Apabila dalam perkara tindak pidana korupsi dihukum ringan, maka hal itu bertentangan dengan filsafat pemidanaan karena tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku yang malah akan diikuti oleh pelaku lainnya dan akan membahayakan bagi kredibilitas pengadilan tipikor, akibat ketidakpercayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z. & Andi Hamzah. 2002. Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya.

Ali, Achmad. 2008. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

jurnal agustus isi.indd 115 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 30: Jurnal Agustus 2014

116 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 117

Alwi, Hasan et.al. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni.

Garner, A Bryan. 1999. Black’s Law Dictionary. St Paul: Minn.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sapta Artha Jaya.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang. 2012. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia. Jakarta: Sinar Baru.

Loqman, Loebby. 2002. HAM dalam HAP. Jakarta: Datacom.

Mahkamah Agung RI. 2012. Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Repubik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Agung RI.

Marlina. 2011. Hukum Penitensier. Bandung: Refika Aditama.

Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muladi & Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2013. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni.

Myrdal, Gunnar. 1977. Asian Drama an Inquiry into the Poverty of Nation. Penguin Books Australia Ltd.

Pontier, J.A. Penerjemah B. Arief Sidharta. 2008. Penemuan Hukum. Bandung: Jendela Mas Pustaka.

Sapardjaja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Alumni.

Susanto, Anthon F. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Wattimena, Reza A.A. 2012. Filsafat Anti-Korupsi. Yogyakarta: Kanisius.

Wiyono. 2006. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

jurnal agustus isi.indd 116 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 31: Jurnal Agustus 2014

116 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 117

ABSTRAK

Penggunaan tenaga kerja asing di pasar kerja Indonesia hanyalah untuk jabatan dan waktu tertentu. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Dalam praktiknya perjanjian kerja waktu tertentu antara pengusaha dengan tenaga kerja asing sering dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Perjanjian kerja tersebut sering dibuat tidak tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia. Selain itu jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu tersebut yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum ketika terjadi perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja terkait dengan status hubungan kerja dan kompensasi PHK. Memang peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing sehingga pelanggaran atas perjanjian kerja waktu tertentu tersebut mengakibatkan perjanjian kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal tersebut tidaklah tepat karena seharusnya terhadap perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja asing berlaku lex specialis. Dalam hal ini peran hakim menjadi penting dalam melakukan

penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Faktanya Mahkamah Agung sendiri tidak satu suara atas hal tersebut sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 dan No. 29PK/PDT.SUS/2010. Hal ini menimbulkan dualisme dalam putusan-putusan Mahkamah Agung.

Kata kunci: perjanjian kerja, tenaga kerja asing, PHK

ABSTRACT

The employment of foreign workers in the Indonesian labor market is merely set for particular positions and a certain period of time as clearly stipulated in Law Number 13 of 2003 on Labor and its implementation regulations. In practice, temporary employment agreement between the employer and the foreign workers habitually does not meet the applicable regulations. The agreements are often unwritten and not set in Indonesian Language. Additionally, it has often exceeded the period of time set out in the law. This is a real issue that has resulted in legal problem, such as industrial disputes related to termination of employment concerning on employment status and compensation layoffs. Law and legislation do not specifically regulate on this temporary employment agreement for foreign workers, thus if there happens

DUALISME PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI STATUS HUKUM TENAGA KERJA ASING

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 595K/PDT.SUS/2010 danNomor 29PK/PDT.SUS/2010

THE SUPREME COURT’S DUALISM INTERPRETATIONON FOREIGN WORKERS’LEGAL STATUS

Vidya PrahassacittaFakultas Humaniora Jurusan Business Law Universitas Bina NusantaraKampus Kijang Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45 Palmerah Jakarta 11480

E-mail: [email protected]/[email protected]

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 595K/PDT.SUS/2010 and Number 29PK/PDT.SUS/2010

Naskah diterima: 10 April 2014; revisi: 7 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 117 9/22/2014 9:41:12 AM

Page 32: Jurnal Agustus 2014

118 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 119

to be violations of the agreement, it would be stated as invalid agreement. This is not applicable, since the principle of lex specialis should have been deployed in such agreement between the employer and the foreign workers. In this regard, the role of judge to conduct lawful discovery is crucial to overcome a legal vacuum that could arise. But the fact that the Supreme Court

does not agree with the terms as stated in the Decision number 595K/PDT.SUS/2010 and number 29PK/PDT.SUS/2010 has led to dualism in the majority of the Supreme Court’s decisions.

Keywords: employment agreement, foreign workers, termination of employment.

PENDAHULUANI.

Keberadaan tenaga kerja asing (“TKA”) di pasar kerja Indonesia dewasa ini telah menjadi fenomena yang lumrah. Latar belakang keberadaan TKA di Indonesia pun telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman (Agusmidah, 2010: 111). Jika dahulu keberadaan TKA di Indonesia untuk keperluan pembangunan nasional dewasa ini keberadaan TKA merupakan bagian dari era pasar bebas atau era globalisasi. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat selama tahun 2013 terdapat 68.957 TKA yang bekerja di berbagai sektor di Indonesia. Keberadaan TKA tersebut akan terus bertambah terutama setelah diberlakukannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 2015 mendatang yang memungkinkan TKA dari negara-negara ASEAN untuk bersaing dalam pasar kerja dan bekerja bebas di Indonesia.

Terkait dengan keberadaan TKA tersebut, Indonesia telah memiliki payung hukum dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13 Tahun 2003”) dan peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan tersebut memberikan batasan mengenai penggunaan TKA di Indonesia. Secara filosofis penggunaan TKA di Indonesia merupakan sarana untuk alih teknologi dan alih keahlian dari TKA kepada tenaga kerja dalam negeri. Penggunaan TKA pun hanya dibatasi untuk

jabatan atau kedudukan dan waktu tertentu.

Untuk mempekerjakan TKA, pengusaha harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”) dan TKA tersebut harus memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (“IMTA”) yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk. Dengan demikian hubungan kerja antara pengusaha dengan TKA didasarkan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) dan secara tidak langsung pengaturan mengenai PKWT untuk TKA mengikuti aturan mengenai PKWT yang berlaku untuk tenaga kerja dalam negeri dengan pengecualian-pengecualiannya.

Dalam praktiknya keberadaan PKWT bagi TKA tersebut sering timbul permasalahan. Salah satu permasalahannya adalah banyak PKWT yang dibuat oleh pengusaha dengan TKA tidak dibuat dalam bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Inggris, sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana keabsahan dari PKWT tersebut? Padahal dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 secara tegas menyatakan bahwa PKWT harus dibuat secara tertulis dan dalam bahasa Indonesia atau setidak-tidaknya dalam bilingual, apabila tidak maka PKWT tersebut dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (“PKWTT”). Permasalahan lainnya ialah mengenai jangka waktu penggunaan TKA tersebut.

jurnal agustus isi.indd 118 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 33: Jurnal Agustus 2014

118 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 119

Dalam Pasal 13 jo. 24 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“Permenakertrans No. PER.02/MEN/III/2008”) diatur bahwa RPTKA berlaku untuk jangka waktu selama lima tahun dan dapat diperpanjang, sedangkan IMTA berlaku untuk jangka waktu satu tahun dan dapat diperpanjang. Ketidakjelasan jangka waktu ini berdampak pada ketidakjelasan PKWT tersebut yang dapat diperpanjang terus dan tidak diperbarui bahkan terkadang perpanjangan atau pembaruannya dibuat secara lisan yang tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 57 (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 sehingga PKWT tersebut secara hukum dinyatakan menjadi PKWTT.

Dampak dari hal tersebut terlihat ketika terjadi perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja (“PHK”) antara pengusaha dengan TKA tersebut. Dalam perselisihan tersebut terdapat dua hal yang menarik. Pertama, mengenai status hukum dari TKA tersebut apakah merupakan pekerja tetap atau pekerja tidak tetap. Kedua ialah mengenai kompensasi PHK yang berhak diterima oleh TKA tersebut. Permasalahan hukum tersebut terjadi karena UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya tidak mengatur secara jelas dan khusus mengenai PKWT bagi TKA. Hal ini menjadi daerah abu-abu (grey area) dan lubang yang harus diisi dengan penemuan hukum oleh hakim melalui penafsiran hukum dalam putusan-putusan pengadilan.

Terkait dengan permasalahan tersebut, menarik untuk melihat bagaimana penafsiran Mahkamah Agung atas status hukum dan kompensasi PHK yang akan diterima oleh TKA akibat dari pelanggaran atas PKWTT tersebut.

Dari putusan-putusan Mahkamah Agung terkait dengan perselisihan hubungan industrial terkait PHK atas TKA ditemukan fakta bahwa terdapat dua pandangan dari para hakim agung mengenai hal ini. Hal tersebut terlihat dari putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010.

Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 merupakan putusan dalam perkara perselisihan hubungan industrial terkait PHK antara PT. AKT dengan KEK seorang TKA berkebangsaan Amerika Serikat. Dalam perkara tersebut PKWT yang dibuat pada tanggal 19 September 2008 antara PT. AKT dengan KEK dibuat hanya dalam bahasa Inggris. Perselisihan timbul ketika PT. AKT secara sepihak mengakhiri PKWT tersebut sebelum berakhirnya PKWT tersebut.

Mahkamah Agung dalam putusannya membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 24/PHI.G/2010/PHI.PN.JKT PST tanggal 30 Maret 2010 dengan mengadili sendiri perkara tersebut dengan menghukum tergugat (dalam hal ini PT. AKT) untuk membayar ganti kerugian sebagai pekerja tidak tetap sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003.

Mahkamah Agung pada tahun yang sama juga mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 terkait perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja antara PT. HMS dengan NMF. PT. HMS yang mempekerjakan NMF pada tanggal 23 Juni 1997 untuk jangka waktu tiga tahun dengan PKWT yang dibuat dalam bahasa Inggris.

jurnal agustus isi.indd 119 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 34: Jurnal Agustus 2014

120 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 121

Setelah berakhirnya PKWT tersebut hubungan kerja antara PT. HMS dan NMF masih berlanjut tanpa adanya PKWT baru atau perpanjangan PKWT tersebut sampai dengan tahun 2006. Perselisihan timbul ketika PT. HMS melakukan PHK secara sepihak dengan alasan reorganisasi perusahaan. Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali kemudian memutuskan membatalkan putusan kasasi Mahkamah Agung No. 294K/Pdt.Sus/2007 dengan mengadili kembali perkara tersebut dengan menghukum tergugat (dalam hal ini PT. HMS) untuk membayar kompensasi PHK sebagai pekerja tetap sesuai dengan ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003.

Dari kedua putusan Mahkamah Agung tersebut, menarik untuk mengkaji mengenai pandangan Mahkamah Agung mengenai status hukum dan kompensasi PHK dari TKA yang PKWT-nya dibuat tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya. Hal ini dalam praktiknya sering terjadi pelanggaran baik pembuatan PKWT maupun pembaruan dan perpanjangannya bagi TKA sehingga menimbulkan perselisihan hubungan industrial.

RUMUSAN MASALAHII.

Dari uraian di atas, tulisan ini akan melakukan kajian analisis atas Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 dengan rumusan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana keabsahan PKWT bagi TKA yang tidak sesuai dengan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/

PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010?

2. Bagaimana penafsiran hukum majelis hakim agung atas status hukum TKA dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010?

3. Bagaimana penafsiran hukum Mahkamah Agung mengenai kompensasi PHK bagi TKA dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010?

STUDI PUSTAKAIII.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 15 UU No. 13 Tahun 2003 hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Lebih lanjut perjanjian kerja merupakan salah satu bentuk dari perjanjian yang harus memenuhi empat syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Keempat syarat tersebut ialah kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (Soebekti & Tjitrosudibio, 2008: 305).

Menurut Soebekti keempat syarat sahnya perjanjian tersebut terdiri dari syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi adanya kesepakatan dan kecakapan di antara para pihak, sedangkan syaraf objektif meliputi sebab dan objek yang halal (Soebekti, 2008: 20). Perjanjian kerja merupakan bagian dari jenis perjanjian untuk

jurnal agustus isi.indd 120 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 35: Jurnal Agustus 2014

120 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 121

melakukan pekerjaan yang diatur dalam KUHPer yang memiliki ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas, hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (pengusaha) berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh pihak lainnya (pekerja) (Soebekti, 2008: 57-58).

Menurut Rood suatu perjanjian kerja harus memiliki empat unsur yaitu adanya unsur pekerjaan, pelayanan, waktu tertentu dan upah (Salam, 2009: 63-66). UU No. 13 Tahun 2003 secara khusus mengatur mengenai ketenagakerjaan termasuk mengenai perjanjian kerja sehingga merupakan lex specailis.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003, menurut waktunya perjanjian kerja dibagi menjadi PKWT dan PKWTT. PKWT hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam kurun waktu tertentu. Pekerjaan tersebut mencakup pekerjaan yang sekali selesai atau yang bersifat sementara, pekerjaan yang diperkirakan akan selesai dalam jangka waktu paling lama tiga tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam penjajakan (Agusmidah dkk, 2012: 18). Selain itu PKWT juga diperuntukan untuk hubungan kerja bagi pengusaha dengan pekerja yang merupakan TKA. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.

Selanjutnya PKWT merupakan suatu perjanjian bersyarat di mana PKWT haruslah dibuat dalam bentuk tertulis dan dalam bahasa Indonesia dan apabila tidak maka PKWT tersebut dianggap sebagai PKWTT. Hal tersebut diatur dalam Pasal 57 UU No. 13 Tahun 2003 (Syahrizal & Rukiyah, 2013: 33).

Terkait dengan keberadaan TKA, harus diakui bahwa keberadaan TKA tidak dapat dihindari baik untuk kepentingan pasar kerja bebas maupun kepentingan nasional. Dalam usaha pembangunan nasional salah satu yang diperlukan ialah TKA yang memiliki keahlian yang berkualitas maupun berkuantitas. Hal ini diperlukan mengingat fakta bahwa pasar dalam negeri belum mampu menyediakannya (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2003: 13). UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya mengakomodir kebutuhan tersebut dengan memberikan pembatasan di mana pengusaha yang mempekerjakan TKA tersebut wajib untuk menyediakan tenaga kerja dalam negeri sebagai pendamping TKA untuk kepentingan alih teknologi dan alih keahlian.

Pengusaha yang hendak mempekerjakan TKA tersebut harus memiliki RPTKA yang berlaku untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri. Dalam RPTKA tersebut sekurang-kurangnya harus memuat alasan penggunaan TKA, jabatan atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan di mana TKA akan bekerja, jangka waktu penggunaan TKA dan penunjukan tenaga kerja dalam negeri yang akan mendampingi TKA tersebut. Setelah RPTKA tersebut disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk, TKA baru dapat dipekerjakan oleh pengusaha setelah memperoleh IMTA dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk. IMTA tersebut berlaku untuk satu tahun dan dapat diperpanjang.

Sebagai warga negara asing yang tinggal di Indonesia, TKA yang dipekerjakan oleh pengusaha

jurnal agustus isi.indd 121 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 36: Jurnal Agustus 2014

122 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 123

di Indonesia wajib memiliki izin tinggal yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Imigrasi ada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau pejabat lain yang ditunjuk. Izin tersebut berupa Kartu Izin Tinggal Terbatas (“KITAS”) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (“KITAP”) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian yang sebagaimana telah dirubah terakhir melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2005. Dalam pengurusan izin tersebut, pengusaha harus bertindak sebagai sponsor bagi TKA selama TKA yang bersangkutan bekerja di Indonesia. Sesuai dengan Permenakertrans No. PER.02/MEN/III/2008, pengurusan KITAS dan KITAP baru dapat dilakukan apabila Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk telah mengeluarkan RPTKA dan IMTA.

Meskipun UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya telah memberikan aturan mengenai keberadaan dan penggunaan TKA, namun untuk ketentuan yang mengatur mengenai PKWT bagi TKA sama dengan ketentuan PKWT untuk tenaga kerja dalam negeri. UU No. 13 Tahun 2003 tidak dibedakan antara PKWT untuk tenaga kerja dalam negeri dengan TKA. Dengan demikian ketentuan mengenai PKWT yang berlaku bagi TKA sama dengan PKWT yang berlaku pada umumnya kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 13 Tahun 2003.

Ketentuan mengenai PHK secara jelas diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2 Tahun 2004”). Ketentuan mengenai PHK secara jelas diatur tersendiri di dalam Bab XII UU No. 13 Tahun 2003, sedangkan mengenai proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial

terkait PHK diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 yang merupakan hukum formil di bidang ketenagakerjaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 25 UU No. 13 Tahun 2013, PHK adalah “pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.” Perselisihan PHK berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “perselisihan yang ditimbulkan karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.” Demikian pula dengan perselisihan hubungan industrial terkait PHK antara pengusaha dengan TKA dapat terjadi akibat terdapat ketidaksepakatan antara pengusaha dan TKA mengenai sah atau tidaknya alasan PHK maupun besarnya kompensasi atas PHK tersebut (Ugo & Pujiyo, 2012: 39).

Terkait dengan penyelesaian perselisihan ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 harus terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kata “antara pengusaha dan pekerja” bisa diartikan sebagai dua pihak yang di dalam UU No. 2 Tahun 2004 disebut sebagai bipartit (Damanik, 2006: 38). Jika penyelesaian secara bipartit tersebut tidak berhasil maka salah satu pihak harus mencatatkan perselisihan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di wilayah pekerja bekerja untuk dilakukan penyelesaian perselisihan dengan bantuan dari pihak ketiga atau tripartit. Khusus untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkait PHK penyelesaian melalui forum tripartit hanya dapat dilakukan dengan forum konsiliasi dan mediasi saja (Soeroso, 2010: 184 & 189).

jurnal agustus isi.indd 122 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 37: Jurnal Agustus 2014

122 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 123

Apabila tidak juga ada kesepakatan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2004, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum (Sutiyoso, 2006: 12). Atas putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan untuk perselisihan hubungan industrial terkait PHK. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus peninjauan kembali untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir dengan alasan-alasan yang diatur dalam undang-undang (Mertokusumo, 2002: 40).

Dalam pemeriksaan perselisihan hubungan industrial terkait PHK, baik di tingkat pengadilan tingkat pertama, kasasi maupun di tingkat peninjauan kembali hakim dapat melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum melalui penafsiran hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan yang berdiri sendiri namun berkesinambungan dengan proses pembuktian (Mertokusumo, 2002: 193). Berdasarkan doktrin Sens-Clair penemuan hukum oleh hakim dibutuhkan jika peraturannya sudah ada tetapi belum jelas. Menurut Achmad Ali terdapat sembilan metode interpretasi yang lazim digunakan oleh para hakim. Kesembilan metode interpretasi tersebut yaitu: (1) metode subsumtif, (2) interpretasi gramatikal, (3) interpretasi historis, (4) interpretasi sistematis, (5) interpretasi sosiologis atau teologis, (6) interpretasi komparatif, (7) interpretasi futuristis, (8) interpretasi restriktif dan (9) interpretasi ekstensif (Martitah, 2013: 68, 90-91).

Hakim dalam mengambil suatu keputusan yang didasarkan pada penemuan hukum harus

secara proporsional memperhatikan tiga faktor yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Suatu putusan harus adil dan mengandung kepastian hukum serta memiliki manfaat bagi para pihak yang bersengketa dan masyarakat. Suatu putusan tidak boleh hanya memperhatikan salah satu faktor saja dan mengorbankan atau mengesampingkan faktor-faktor lainnya (Mertokusumo, 2002: 194).

ANALISISIV. A. Dualisme Pandangan Mahkamah

Agung Mengenai Status Hukum dan Kompensasi PHK bagi TKA

Berdasarkan analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010, ditemukan fakta bahwa terdapat dualisme pandangan Mahkamah Agung mengenai status hukum dan kompensasi PHK yang berhak diterima oleh TKA yang PKWT-nya dibuat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Pertama Mahkamah Agung berpendapat bahwa PKWT antara pengusaha dengan TKA yang dibuat secara tertulis namun tidak dalam bahasa Indonesia sehingga bertentangan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tidak secara mutis mutandis menjadikan PKWT tersebut dinyatakan menjadi PKWTT, sehingga status hukum TKA tersebut tetaplah pekerja tidak tetap dan kompensasi PHK yang diterima harus lah sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003. Kedua, Mahkamah Agung berpendapat bahwa PKWT yang dibuat oleh pengusaha dan TKA yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 harus dianggap bahwa PKWT tersebut menjadi PKWTT sehingga TKA

jurnal agustus isi.indd 123 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 38: Jurnal Agustus 2014

124 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 125

tersebut merupakan pekerja tetap dan berhak untuk menerima kompensasi PHK layaknya pekerja tetap.

1. Penafsiran Sistematis dan Teleogikal dalam Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 Tanggal 29 Juli 2010

Pandangan pertama Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010. Duduk perkara perselisihan hubungan industrial terkait PHK tersebut bermula dari adanya hubungan kerja antara PT. AKT dengan KEK didasarkan pada PKWT yang dibuat hanya dalam bahasa Inggris pada tanggal 6 September 2008 yang berlaku mulai tanggal 6 Oktober 2008 untuk jangka waktu dua tahun. Sebagai TKA yang dipekerjakan secara resmi, KEK memegang KITAS dan IMTA yang masing-masing berakhir pada tanggal 17 Oktober 2009. Namun sebelum jangka waktu tersebut berakhir PT. AKT mengakhiri hubungan kerja tersebut dengan alasan disharmonisasi pada tanggal 31 Agustus 2009. Terhadap perselisihan ini sudah diupayakan penyelesaian secara bipartit dan tripartit melalui mediasi sebagaimana diwajibkan dalam UU No. 2 Tahun 2004 namun tidak mencapai perdamaian.

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian melalui Putusannya No. 24/PHI.G/2010/PHI.PN.JKT PST tanggal 30 Maret 2010 telah memutus perkara perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja antara PT. AKT dengan KEK dengan putusan sebagai berikut:

“MENGADILI

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat putus dan berakhir sejak putusan ini diucapkan;

3. Menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat, yaitu hak-hak penggugat yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tergugat kepada penggugat, yang terdiri dari uang pesangon, uang penggantian hak atas perumahan serta pengobatan dan perawatan, biaya kepulangan penggugat beserta istri dan satu orang anaknya ke Texas, USA, serta gaji bulan Agustus 2009 dan September 2009, yang keseluruhannya berjumlah sebesar USD 47.500 (Empat puluh tujuh ribu lima ratus USD);

4. Menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya;

5. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang keseluruhannya berjumlah sebesar Rp.247.000,- (dua ratus empat puluh tujuh ribu rupiah).”

Dari putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dapat disimpulkan bahwa majelis hakim tingkat pertama menyatakan bahwa tidak dipenuhinya syarat pembuatan PKWT dalam bahasa Indonesia menyebabkan TKA tersebut dianggap menjadi pekerja tetap. Hal tersebut mengakibatkan KEK berhak untuk memperoleh kompensasi PHK layaknya pekerja tetap dengan memperoleh uang pesangon, uang penggantian hak serta pengobatan.

Kemudian atas Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 24/PHI .G/2010/PHI .PN.JKT.PST tersebut diajukan upaya hukum kasasi oleh PT. AKT. Mahkamah Agung melalui putusannya 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 telah

jurnal agustus isi.indd 124 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 39: Jurnal Agustus 2014

124 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 125

mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Majelis hakim agung pada Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan putusan sebagai berikut:

“MENGADILI

Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: PT. AKT, tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 24/PHI.G/2010/PHI.PN.JKT.PST tanggal 30 Maret 2010;

MENGADILI SENDIRI

1. Mengabulkan gugatan penggugat/pekerja dari pemohon kasasi untuk sebagian;

2. Menghukum tergugat/pengusaha membayar hak kompensasi PHK kepada penggugat/pekerja sebesar USD 24.500;

3. Menolak gugatan selain dan selebihnya;

4. Menghukum biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada penggugat/pekerja sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).”

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa perselisihan hubungan industrial terkait PHK dan mengadili sendiri perkara tersebut. Putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi dengan membatalkan putusan pengadilan di bawahnya dan kemudian mengadili sendiri perkara tersebut merupakan dengan mengabulkan sebagian gugatan penggugat merupakan variasi dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang sering terjadi dalam praktik (Saleh & Mulyadi, 2012: 258).

Hal menarik yang menjadi pembahasan utama dalam perselisihan hubungan industrial ini ialah bagaimana keabsahan PKWT antara PT. AKT dan KEK yang dibuat tidak dalam bahasa

Indonesia? PKWT sebagai suatu perjanjian kerja tentunya harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yaitu kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Faktanya, PKWT yang dibuat oleh PT. AKT dengan KEK telah memenuhi keempat syarat tersebut sehingga PKWT tersebut telah sah dan mengikat PT. AKT dengan KEK. Permasalahan timbul mengenai bentuk PKWT antara PT. AKT dengan KEK yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 di mana PKWT tersebut dibuat dalam bahasa Inggris, sehingga menurut ketentuan pada ayat (2) Pasal 57 tersebut maka PKWT tersebut dinyatakan sebagai PKWTT.

Terkait dengan hal ini ternyata majelis hakim agung tidak secara kaku menerapkan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim agung dalam perkara tersebut tidak hanya mempertimbangkan adanya alat bukti surat PKWT yang dibuat dalam bahasa Inggris saja namun majelis hakim agung juga mempertimbangkan alat bukti surat KITAS dan IMTA sebagai salah satu persyaratan izin kerja yang harus dimiliki oleh TKA sebagai alat bukti adanya hubungan kerja waktu tertentu antara PT. AKT dengan KEK. KITAS dan IMTA tersebut memiliki jangka waktu yang terbatas sampai dengan tanggal 17 Oktober 2009.

Keberadaan KITAS dan IMTA tersebut secara tegas menunjukkan bahwa hubungan

jurnal agustus isi.indd 125 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 40: Jurnal Agustus 2014

126 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 127

kerja antara KEK dengan PT. AKT dibuat dalam hubungan kerja waktu tertentu. Dengan demikian meskipun PKWT antara PT. AKT dengan KEK dibuat dalam bahasa Inggris yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 namun tidak serta merta menjadikan PKWT tersebut menjadi PKWTT karena keberadaan alat-alat bukti surat lainnya yaitu KITAS dan IMTA mempertegas bahwa hubungan kerja antara PT. AKT dengan KEK merupakan hubungan kerja waktu tertentu.

Dengan berdasarkan pada alat bukti KITAS dan IMTA tersebut, majelis hakim agung secara tegas berpendapat bahwa majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan hukum atas ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 karena TKA hanya berhak untuk dipekerjakan dalam hubungan kerja tidak tetap. KEK yang merupakan TKA bukan merupakan pekerja tetap. Sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa TKA hanya dapat dipekerjakan untuk jabatan atau kedudukan dan waktu tertentu.

Ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 sesuai dengan salah satu asas pembatasan penggunaan TKA yang berlaku yaitu asas sementara waktu. Dengan demikian majelis hakim agung dalam melakukan penemuan hukum telah menggunakan penafsiran sistematis dan teleogikal dari ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 42 ayat (2) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam penafsiran tersebut majelis hakim agung menafsirkan tujuan pembentukan Pasal 42 UU No. 13 Tahun 2003 dan kemudian mengaitkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan pelaksanaan dari UU No. 13 Tahun 2003 yaitu Permennakertras No. PER.02/MEN/III/2008.

Selanjutnya dengan mendasarkan pada alat bukti surat KITAS dan IMTA tersebut, majelis hakim agung kemudian menentukan besarnya ganti rugi kompensasi PHK yang harus dibayarkan oleh PT. AKT kepada KEK. Oleh karena TKA bukanlah pekerja tetap dan hanya dapat dipekerjakan dalam hubungan kerja tidak tetap, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja secara sepihak wajib untuk membayarkan ganti rugi yang besarnya berupa sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja.

Majelis hakim agung menggunakan jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja yang tercantum pada KITAS dan IMTA yaitu pada tanggal 17 Oktober 2009 untuk menghitung besarnya ganti rugi dan bukan jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja pada PKWT yaitu pada tanggal 6 Oktober 2010. Dengan demikian PT. AKT harus membayarkan ganti rugi berupa sisa gaji bulan September dan Oktober 2009 kepada KEK. Selain itu karena KEK merupakan TKA maka PT. AKT juga dibebankan kewajiban untuk membayar biaya pengembalian pulang ke negara asal KEK beserta keluarganya sesuai dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 13 Tahun 2003.

Dari pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010, majelis hakim agung tidak dengan kaku menerapkan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003. Majelis hakim agung tidak membatasi penafsiran hukumnya atas adanya suatu hubungan kerja yang didasarkan hanya pada PKWT namun lebih luas dengan melakukan penafsiran hukum atas adanya suatu hubungan kerja melalui KITAS dan IMTA.

jurnal agustus isi.indd 126 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 41: Jurnal Agustus 2014

126 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 127

Kedua dokumen tersebut merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar hubungan kerja antara pengusaha dan TKA secara formil berlaku dan sah. Baik KITAS dan IMTA dapat dijadikan bukti adanya hubungan kerja waktu tertentu karena pada KITAS dan IMTA tercantum nama pengusaha, pekerja, jabatan pekerja dan jangka waktu pengusaha mempekerjakan TKA. Ketiga unsur tersebut merupakan bagian dari empat unsur-unsur perjanjian kerja yang dikemukan oleh Rood (Salam, 2009: 63-66).

Sikap majelis hakim agung yang tidak secara kaku menerapkan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 baik dalam menentukan status hukum TKA tersebut juga dilakukan dalam menafsirkan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 mengenai besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada TKA sebagai kompensasi PHK yang dilakukan secara sepihak.

Majelis hakim agung secara bebas melakukan penafsiran sistematis yang sesuai dengan landasan filosofis dan historis penggunaan TKA di Indonesia yang diperuntukan hanya sebagai tenaga ahli yang akan melakukan alih teknologi dan alih keahlian ke tenaga kerja dalam negeri.

2. Penafsiran Gramatikal yang Kaku dalam Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS2010 Tanggal 24 Agustus 2010

Pandangan berbeda dapat dilihat dari putusan peninjauan kembali yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 29K/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010. Perkara ini bermula dari PT. HMS yang mempekerjakan NMF berdasarkan perjanjian

kerja tanggal 23 Juni 1997 untuk jangka waktu tiga tahun sampai dengan 23 Juni 2000. PKWT tersebut dibuat tidak dalam bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Inggris.

Setelah jangka waktu perjanjian tersebut berakhir, faktanya PT. HMS tetap mempekerjakan NMF sampai dengan tanggal 30 Juni 2006 dengan jabatan akhir sebagai Head of Marketing Intelligence. Hubungan kerja tersebut berjalan tanpa adanya perpanjangan maupun pembaruan PKWT secara tertulis. Pada tanggal 30 Juni 2006, PT. HMS secara sepihak melakukan PHK kepada NMF karena alasan restrukturisasi organisasi perusahaan dan PHK tersebut berlaku efektif pertanggal 7 Juni 2006. NMF tidak sependapat dengan kompensasi yang ditawarkan oleh PT. HMS sehingga memperselisihkan hal ini.

Terhadap perselisihan ini sudah diupayakan penyelesaian secara bipartit dan tripartit melalui mediasi sebagaimana diwajibkan dalam UU No. 2 Tahun 2004 namun tidak mencapai perdamaian. Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya No. 169/PHl/G/2006/PHI.PN.JKT.PST. tanggal 4 Januari 2007 telah mengeluarkan putusan yang menolak gugatan NMF untuk seluruhnya.

Upaya hukum kasasi yang diajukan oleh NMF pun telah ditolak oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 294K/Pdt.Sus/2007 tanggal 27 Maret 2008. NMF kemudian mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru atau novum berupa IMTA yang berlaku sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai dengan 28 Mei 2006. IMTA tersebut tidak pernah dijadikan bukti di pengadilan karena baru diketemukan oleh NMF pada tanggal 24 Mei 2009. Mahkamah Agung melalui putusan peninjauan kembalinya No.

jurnal agustus isi.indd 127 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 42: Jurnal Agustus 2014

128 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 129

29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 telah memutus sebagai berikut:

“MENGADILI

Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari: pemohon Peninjauan Kembali: NMF, tersebut;

Membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Maret 2008 No. 294K/Pdt.Sus/2007.

MENGADILI KEMBALI

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.

2. Menyatakan hubungan kerja antara tergugat PT. HMS dengan penggugat NMF putus terhitung sejak 30 Juni 2006.

3. Menghukum tergugat untuk membayar penggugat sebagai berikut:

- Uang pesangon 2 x 9 x US$ 24.406 = US$ 439.308

- Uang penghargaan masa kerja 1 x 4 x USS 24.406 =US$ 97.624

- Uang penggantian perumahan dan pengobatan 1

5% x (US$ 439.308 + US$ 97.624) = US$ 80.539,8

Biaya kepulangan ke tempat asal 0,5% x US$ 24.406 = US$ 12.203 +

Jumlah = US$ 629.674,8

4. Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya.

Menghukum termohon kasasi membayar biaya perkara dalam semua tingkatan dan dalam Peninjauan Kembali.”

Timbul pertanyaan, bagaimana keabsahan hubungan kerja antara PT. HMS dan NMF mengingat PKWT dibuat dalam bahasa Inggris dan tidak adanya perpanjangan atau pembaruan PKWT secara tertulis antara PT. HMS dengan NMF. Pada prinsipnya suatu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya

sejak para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian (Suharnoko, 2008: 3). Berdasarkan asas konsensualime tersebut pada prinsipnya hubungan kerja antara PT. HMS dan NMF sebenarnya telah berlanjut meskipun tidak dibuat dalam bentuk tertulis.

Kesepakatan timbul pada saat PT. HMS dan NMF secara diam-diam setuju untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing di mana PT. HMS memberikan perintah kerja dan membayarkan upah kepada NMF, sementara NMF melaksanakan perintah kerja dan menerima upah sebagai imbalan pekerjaan yang ia lakukan dari PT. HMS.

Dengan demikian sesungguhnya terdapat perjanjian kerja antara PT. HMS dengan NMF meskipun dibuat tidak dalam bentuk tertulis. Menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana perjanjian kerja yang seharusnya merupakan PKWT tersebut dibuat dengan tidak memenuhi syarat formal pembuatan suatu PKWT di mana harus dibuat dalam bentuk tertulis dan dalam bahasa Indonesia? Sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 maka PKWT tersebut tidak menjadi batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalan namun PKWT tersebut dinyatakan sebagai PKWTT.

Dalam pertimbangan hukum majelis hakim agung peninjauan kembali dalam perkara perselisihan hubungan industrial ini, majelis hakim agung menafsirkan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 secara kaku dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan mendasarkan pada novum berupa IMTA yang berlaku sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai dengan 28 Mei 2006 dan slip gaji, majelis hakim berpendapat bahwa telah terjadi hubungan kerja

jurnal agustus isi.indd 128 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 43: Jurnal Agustus 2014

128 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 129

selama sembilan tahun secara terus menerus tanpa putus antara PT. HMS dan NMF. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas ketentuan Pasal 42 ayat (4) jo.57 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 sehingga demi hukum PKWT tersebut dinyatakan menjadi PKWTT.

Lebih lanjut majelis hakim agung secara tidak langsung dalam pertimbangan hukumnya tersebut telah menyatakan bahwa hubungan hukum antara PT. HMS dengan NMF berubah dari hubungan kerja waktu tertentu menjadi hubungan kerja waktu tidak tentu. Dengan demikian NMF dianggap sebagai pekerja tetap sehingga berhak menerima kompensasi PHK yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pergantian hak serta biaya pengembalian ke negara asal.

Dari pertimbangan hukum tersebut tampak bahwa majelis hakim agung telah menafsirkan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) dan Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 secara gramatikal yang kaku. Pertama, meskipun dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim agung menyinggung mengenai ketentuan mengenai TKA yang hanya dapat dipekerjakan dalam hubungan kerja waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 namun dalam pertimbangan hukum lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan ketentuan mengenai PKWT bagi TKA dan tenaga kerja dalam negeri sehingga bagi TKA dikenakan ketentuan mengenai PKWT yang sama dengan tenaga kerja dalam negeri. Kedua, seperti halnya pertimbangan hukum majelis hakim agung dalam Putusan No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 yang mempertimbangkan adanya hubungan kerja waktu tertentu berdasarkan alat bukti surat IMTA, namun majelis hakim agung dalam Putusan No. 29K/PDT.SUS/2010 menilai bahwa

alat bukti surat IMTA tersebut merupakan bukti adanya pelanggaran jangka waktu kerja tertentu di mana suatu PKWT hanya boleh dilangsungkan untuk jangka waktu maksimal tiga tahun saja, sehingga melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.

2.1. Diabaikannya Aspek Historis Pembentukan Peraturan TKA dalam Putusan Mahkamah Agung No. 29K/PDT.SUS/2010 Tanggal 24 Agustus 2010

Pertimbangan hukum majelis hakim agung dalam Putusan No. 29K/PDT.SUS/2010 dipandang tidaklah tepat. Bahwa meskipun ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya tidak secara khusus mengatur mengenai PKWT bagi TKA namun jika ditinjau dari historis pembentukan pasal-pasal mengenai TKA dalam UU No. 13 Tahun 2003 seharusnya ketentuan mengenai PKWT bagi TKA merupakan lex specialis.

Keberadaan TKA di Indonesia tidak lepas dari mulai masuknya modal asing. Keberadaan modal asing memberikan andil dalam alih teknologi, alih keterampilan dan masuknya TKA ke Indonesia. Sebelum UU No. 13 Tahun 2003, peraturan perundang-undangan mengenai TKA secara berurutan ialah Undang-Undang No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (“UU No. 3 Tahun 1958”), Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang, Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Asing Pendatang dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.173/MEN/2000 tentang Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.

jurnal agustus isi.indd 129 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 44: Jurnal Agustus 2014

130 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 131

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut secara tegas diatur bahwa penggunaan TKA di Indonesia dibatasi. Pembatasan tersebut untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Keberadaan TKA di Indonesia hanyalah untuk keperluan alih teknologi dan alih keahlian selama tenaga kerja dalam negeri belum memiliki kemampuan untuk mengisi jabatan tersebut sehingga jangka waktu penggunaan TKA dibatasi. Terkait dengan jangka waktu penggunaan TKA di Indonesia pembatasannya diberikan melalui RPTKA selama lima tahun yang dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

Setelah diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003, peraturan pelaksanaan tentang penggunaan TKA ialah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 228/Men/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang terakhir kali diperbarui melalui Permenakertrans No. PER.02/MEN/III/2008. Dengan diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003 maka UU No. 3 Tahun 1958 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Seperti halnya UU No. 3 Tahun 1958 dan peraturan perundang-undangan mengenai TKA lainnya yang berlaku sebelum UU No. 13 Tahun 2003, penggunaan TKA di Indonesia dibatasi untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu dan hanya sebagai sarana alih teknologi dan keahlian. Ketentuan tersebut belum berubah meskipun dewasa ini keberadaan TKA di Indonesia bukan lagi untuk penanaman modal asing tetapi karena era globalisasi.

Berdasarkan tinjauan historis tersebut terdapat dua hal yang merupakan lex specialis terkait PKWT bagi TKA. Pertama, pembuatan PKWT bagi TKA yang tidak menggunakan

bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Inggris harus dipahami bukan merupakan iktikad buruk untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 maupun Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.100/MEN/VI/2004 namun semata-mata hanya untuk memudahkan kedua belah pihak baik pengusaha maupun TKA.

Apabila terjadi pelanggaran atas bentuk PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia maka tidak dapat serta merta menjadikan PKWT tersebut menjadi PKWTT. Kedua, mengenai jangka waktu PKWT bagi TKA dan perpanjangan atau pembaruannya yang memiliki jangka waktu lebih lama. Berdasarkan Permenakertrans No. PER.02/MEN/III/2008, RPTKA diberlakukan untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan penggunaan TKA tersebut. Dengan demikian tidak dapat disamakan mengenai jangka waktu PKWT bagi TKA dan perpanjangan maupun pembaruannya dengan PKWT bagi tenaga kerja dalam negeri.

2.2. Novum sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 Tanggal 24 Agustus 2010

Peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan apabila setelah suatu perkara diputus ditemukan adanya alat bukti surat yang bersifat menentukan yang sebelumnya pada saat perkara tersebut diperiksa alat bukti tersebut tidak ditemukan. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf b UU No. 2 Tahun 2004 alat bukti surat tersebut haruslah sangat menentukan sehingga apabila alat bukti tersebut tidak ada maka majelis hakim akan mengambil keputusan yang keliru (Saleh & Mulyadi, 2012: 262).

jurnal agustus isi.indd 130 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 45: Jurnal Agustus 2014

130 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 131

Faktanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh NMF didasarkan pada alasan adanya novum atau berupa IMTA yang berlaku sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai dengan 28 Mei 2006. IMTA tersebut tidak pernah dijadikan bukti di pengadilan karena baru diketemukan oleh NMF pada tanggal 24 Mei 2009.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim agung peninjauan kembali menyatakan bahwa novum tersebut telah membuktikan fakta bahwa PT. HMS telah mempekerjakan NMF selama sembilan tahun sehingga majelis hakim agung dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Pertimbangan majelis hakim agung tersebut keliru, karena novum berupa IMTA yang diajukan oleh NMF tersebut tidak merubah fakta hukum yang telah terbukti di persidangan bahwa PT. HMS telah mempekerjakan NMF selama sembilan tahun.

Dalam persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah diajukan bukti-bukti surat berupa surat pemberitahuan PHK dari PT. HMS kepada NMF pertanggal 30 Juni 2006 dan slip gaji NMF. Dengan demikian meskipun IMTA yang berlaku sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai dengan 28 Mei 2006 merupakan novum karena baru diketemukan setelah putusan diambil, namun novum tersebut bukanlah alat bukti surat yang sangat menentukan sehingga apabila alat bukti tersebut tidak ada maka majelis hakim akan mengambil keputusan yang keliru.

2.3. Dissenting Opinion dalam Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 Tanggal 24 Agustus 2010

Salah satu hal lain yang menarik dari Putusan Mahkamah Agung No. 29K/PDT.SUS/2010 ialah

adanya dissenting opinion dari salah satu hakim anggota yang merupakan hakim ad hoc. Terdapat dua poin penting mengenai pendapat hakim agung tersebut. Pertama, hubungan kerja antara PT. HMS dengan NMF merupakan hubungan kerja waktu tertentu karena sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 hubungan kerja untuk TKA hanya dimungkinkan sebagai hubungan kerja tidak tetap dan hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Kedua, sebagai pekerja tidak tetap maka NMF hanya berhak untuk menerima kompensasi berupa ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 jo. 1603 f KUHPer jo. 100 jo. 190 UU No. 13 Tahun 2003 dengan pembayaran ganti rugi maksimal satu tahun upah.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1603 f KUHPer, hubungan kerja antara PT. HMS dengan NMF dipandang diperpanjang secara diam-diam selama satu tahun sampai dengan bulan Juni 2007 sehingga PHK efektif berakhir pada bulan Juni 2007. Dengan demikian besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan oleh PT. HMS kepada NMF ialah upah bulan Juni 2006 sampai dengan bulan Juni 2007. Selain itu PT. HMS juga harus membayarkan kewajibannya kepada NMF berupa uang pengembalian NMF dan keluarganya ke negara asal NMF atau biaya repatriasi.

Dissenting opinion yang disampaikan tersebut telah tepat. Pandangan hakim agung ad hoc mengenai status hukum dari NMF didasarkan pada penafsiran sistematis dan penafsiran teleogikal. Hal ini berbeda dengan pandangan ketua majelis dan hakim anggota lainnya yang menafsirkan gramatikal atas ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) serta Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 secara kaku. Begitu pula dalam menentukan besarnya ganti rugi sebagai kompenasi PHK,

jurnal agustus isi.indd 131 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 46: Jurnal Agustus 2014

132 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 133

hakim agung ad hoc menggunakan penafsiran sistematis. Dalam hal ini meskipun tidak ada perpanjangan maupun pembaruan PKWT secara tertulis dan dalam bahasa Indonesia, namun telah terjadi kesepakatan dan secara diam-diam antara PT. HMS dan NMF untuk hak dan kewajiban masing-masing.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1603 f KUHPer kesepakatan secara diam-diam tersebut berlaku untuk jangka waktu satu tahun yang mana dalam perkara ini satu tahun sejak IMTA terakhir berakhir yaitu akhir bulan Mei 2006, sehingga kesepakatan secara diam-diam tersebut berlaku sejak bulan Juni 2006 sampai dengan bulan Juni 2007. Dengan demikian apabila PT. HMS mengakhiri hubungan kerja pada bulan Juni 2006 pada sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003, PT. HMS harus membayar ganti rugi kepada NMF sebagai kompensasi PHK berupa selisih dari bulan Juni 2006 sampai dengan bulan Juni 2007.

SIMPULAN V.

Berdasarkan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010, disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Suatu PKWT bagi TKA yang dibuat tidak dalam bentuk tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia tetap sah dan berlaku mengikat bagi pengusaha dan TKA, karena pada prinsipnya PKWT tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. PKWT yang tidak dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tersebut

mengakibatkan dianggapnya PKWT tersebut menjadi PKWTT dengan segala akibat hukumnya, akan tetapi khusus bagi PKWT bagi TKA berlaku lex specialis yang berbeda dengan PKWT bagi tenaga kerja dalam negeri sehingga PKWT tidak secara serta merta dianggap sebagai PKWTT. Lex specialis tersebut dikarenakan secara historis dan tujuan pembentukan pasal-pasal mengenai TKA dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang berbeda dengan tenaga kerja dalam negeri.

2. Mahkamah Agung dalam menentukan status hubungan kerja seorang TKA dalam perselisihan hubungan industrial tidak hanya terpaku pada alat bukti surat PKWT saja tetapi juga mempertimbangkan alat bukti surat lainnya berupa IMTA dan KITAS yang merupakan izin-izin yang diperlukan untuk mempekerjakan TKA di Indonesia. Mengenai status hukum TKA yang PKWT-nya dibuat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, Mahkamah Agung memiliki dua pendapat, yaitu:

a. Dengan menggunakan penafsiran sistematis dan teleogikal serta dengan melihat historis dari pembentukan pasal-pasal mengenai TKA, Mahkamah Agung berpandangan bahwa PKWT bagi TKA yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 maka status hubungan kerjanya tetap merupakan hubungan kerja waktu tertentu dan tidak serta merta menjadi pekerja tetap. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29

jurnal agustus isi.indd 132 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 47: Jurnal Agustus 2014

132 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 133

Juli 2010 dan dissenting opinion dari hakim anggota ad hoc dalam perkara Putusan No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010.

b. Selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010, Mahkamah Agung menggunakan penafsiran gramatikal yang kaku atas ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) dan Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian apabila TKA yang PKWT-nya dibuat tidak sesuai dengan ketentuan tersebut maka status hukum dari TKA tersebut secara serta merta berubah menjadi pekerja tetap.

3. Mahkamah Agung dalam menentukan besarnya kompensasi PHK bagi TKA yang PKWT-nya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 disesuaikan dengan status hukum hubungan kerja TKA tersebut. Terjadi dualisme pendapat Mahkamah Agung mengenai kompensasi PHK yang diterima bagi TKA sebagai berikut:

a. Atas dasar pandangan bahwa TKA tidak bisa menjadi pekerja tetap maka berdasarkan penafsiran sistematis atas ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan KUHPer, TKA hanya berhak memperoleh ganti rugi sebagai kompensasi PHK sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan dissenting opinion dari

hakim anggota ad hoc dalam perkara Putusan No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010.

b. Berbeda dengan pendapat Mahkamah Agung lainnya, atas dasar pandangan bahwa TKA dapat menjadi pekerja tetap apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 maka TKA berhak memperoleh kompensasi PHK yang sama dengan kompensasi PHK yang diterima oleh pekerja tetap tenaga kerja dalam negeri. Adapun kompensasi PHK tersebut terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pergantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini dapat dilihat dari Putusan No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010.

Selain ganti rugi atau kompensasi PHK yang berhak diterima, salah satu komponen yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada TKA ketika terjadi PHK ialah uang pengembalian TKA dan keluarganya ke negara asalnya atau biaya repatriasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU No. 13 Tahun 2003.

Terhadap simpulan di atas, berikut saran yang dapat dijadikan sebagai solusi mengenai permasalahan penggunaan TKA di Indonesia:

1. Pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hendaknya dapat membuat dan menerbitkan suatu peraturan baru yang secara khusus mengatur mengenai PKTW bagi TKA yang merupakan lex specialis dari PKWT.

jurnal agustus isi.indd 133 9/22/2014 9:41:13 AM

Page 48: Jurnal Agustus 2014

134 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 135

2. Hendaknya Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 tidak dijadikan acuan dan yurisprudensi dalam perkara-perkara perselisihan hubungan industrial terkait PHK terhadap TKA karena putusan tersebut sangat janggal dan tidak sesuai dengan tujuan penggunaan TKA di Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya.

3. Untuk mencegah adanya dualisme terkait status hubungan kerja TKA dan kompensasi PHK dalam perkara-perkara perselisihan hubungan industrial terkait PHK terhadap TKA, Mahkamah Agung hendaknya dapat merumuskan norma hukum baru melalui suatu yurisprudensi untuk melengkapi kebolongan peraturan mengenai penggunaan TKA di Indonesia sehingga pada akhirnya dapat menjadi acuan dan dapat diikuti oleh putusan hakim lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah, dkk. 2012. Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan di Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan.

Agusmidah. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika & Kajian Teori. Bogor: Ghalia Indonesia.

Damanik, Sehat. 2006. Hukum Acara Perburuhan Menyelesaikan Perselisihan Hubungan

Industrial Menurut UU No. 2 Tahun 2004 Disertai Contoh Kasus. Jakarta: DSS Publisihng.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2003. Pemahaman Pasal-Pasal Utama Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003). Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konpress.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Salam, Moch. Faisal. 2009. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju.

Saleh, Mohammad & Lilik Mulyadi. 2012. Seraut Wajah Peradilan Hubungan Industrial Indonesia (Perspektif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya) Dilengkapi UU Nomor 2 Tahun 2004 dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Soebekti, R & R. Tjitrosudibio. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Soebekti. 2008. Aneka Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

Soebekti. 2008. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

Soeroso, R. 2010. Hukum Acara Khusus Kompilasi Ketentuan Hukum Acara dalam Undang-Undang. Jakarta: PT Sinar Grafika.

jurnal agustus isi.indd 134 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 49: Jurnal Agustus 2014

134 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135 Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 135

Suharnoko. 2008. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Pernada Media Group.

Sutiyoso, Bambang. 2006. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media.

Syahrizal, Darda & Rukiyah L. 2013. Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Aplikasinya. Jakarta: Dunia Cerdas.

Ugo & Pujiyo. 2012. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan. Jakarta: PT Sinar Grafika.

jurnal agustus isi.indd 135 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 50: Jurnal Agustus 2014

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 137

jurnal agustus isi.indd 136 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 51: Jurnal Agustus 2014

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 137

ABSTRAK

Saksi merupakan salah satu alat bukti yang digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa dan sangat menentukan untuk membuka tabir sejelas-jelasnya mengenai kebenaran pokok perkara yang disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam ketentuan hukum acara, saksi memiliki nilai kesaksian atau bernilai saksi sempurna apabila memenuhi syarat formil dan materil tentang apa yang disaksikan. Saksi seperti itu dinamakan saksi yang auditu sedangkan saksi yang tidak memiliki nilai kesaksian atau tidak memenuhi syarat formil dan materil kesaksian dinamakan saksi yang testimonium de auditu. Penelitian ini memfokuskan pada kajian adanya disparitas di dalam penilaian bukti saksi yang testimonium de auditu di dalam pemeriksaan perkara perceraian antara pengadilan agama tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada Pengadilan Agama Karawang, majelis hakim mempertimbangkan bahwa saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan sudah memiliki nilai pembuktian sekalipun keterangan yang diperoleh saksi berdasarkan apa yang didengar dari penggugat sehingga gugatan penggugat patut dikabulkan sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim banding keterangan saksi yang diajukan dinilai sebagai saksi yang de auditu sehingga gugatan penggugat tidak terbukti dan akhirnya Pengadilan Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Karawang.

Kata kunci: perceraian, saksi, perselisihan.

ABSTRACT

Witness is a kind of evidence used to resolve a dispute and crucial in unveiling the factual truth of the matter on the dispute by the two sides. In the Code of Civil Procedure, a witness has testimony value and is of the perfect witness if the formal and substantive requirements are satisfied. Such witness is called auditu witness. While if it has no testimony value or ineligible for the formal and substantive requirements, it is called testimonium de auditu. This analysis focuses on a disparity issue in the assessment of proof of testimonium de auditu in the review of a divorce case in two level courts: the Religious Court of First Instance of Karawang and the Appeal Court of Bandung. In Religious Court of Karawang, the judges considered that the proposed witnesses in the trial already have probative value of the information obtained even though it is built on what is heard from the plaintiff, so that their claim should be granted. While in the Judges’ consideration of the Appeal Court of Bandung, the witnesses proposed is assessed as a witness de auditu, therefore the plaintiff’s claim could not be proven, and Bandung High Court finally overturned the decision of the Religious Court of Karawang.

Keywords: divorce, witness, dispute.

KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM PERKARA PERCERAIAN

Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

EVIDENCE VALIDITY OF TESTIMONIUM DE AUDITU IN A DIVORCE CASE

Ramdani Wahyu SururieFakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Jl. AH. Nasution No. 105 Cibiru, Bandung 40164E-mail: [email protected]

An Analysis of Decision Number 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw andNumber 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

Naskah diterima: 24 Maret 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 137 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 52: Jurnal Agustus 2014

138 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 139

PENDAHULUAN I.

Perceraian merupakan salah satu bentuk sengketa perkawinan di pengadilan agama. Jika angka-angka perceraian di pengadilan agama disajikan, maka jumlahnya sangat mengagetkan. Sepanjang tahun 2011, jumlah suami dan istri yang mengajukan perceraian sebanyak 314.615 perkara dengan rincian; cerai talak 99.599 (27.40%) dan cerai gugat sebanyak 215.368 (59,25%) sedangkan untuk tahun 2012 sebanyak 346.478 perkara dengan rincian cerai talak sebanyak 107.805 (26.63%) dan cerai gugat sebanyak 238.673 (58.95%) (www.badilag.net).

Dalam mengadili sengketa perceraian, tugas hakim dalam proses pemeriksaan perceraian sebelum suatu perkara diputus harus benar-benar meyakini dengan pasti apakah saksi yang diperiksa dalam persidangan telah memahami dengan baik apa yang disaksikan nya sehinggga hakim dapat dengan mudah memberi pertimbangan hukum di dalam men jatuh kan putusan. Kedudukan saksi dalam perkara perceraian sangat penting bagi hakim dalam mempertimbangkan putusan yang akan dijatuhkan. Keterangan saksi yang kurang jelas, tidak tahu dengan pasti dapat dikatakan sebagai keterangan yang lemah.

Dalam perkara Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw mengenai perceraian dengan alasan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, keterangan saksi dalam perkara ini dipandang kurang sempurna namun hakim mempertimbangkannya sebagai keterangan saksi yang telah memenuhi unsur formil dan materil. Perkara perceraian Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw dilatarbelakangi oleh perselisihan dan percekcokan yang terus menerus antara suami istri. Perselisihan dan pertengkaran tersebut disebabkan antara lain karena:

1. Tergugat sering bersikap kasar kepada penggugat dan anak-anak, baik dari ucapannya maupun perbuatannya, sehingga mengakibatkan ketika anak yang ketiga marah kepada kakak-kakaknya, ia menirukan hal tersebut, keadaan yang demikian tidaklah dapat dibiarkan, karena atas perbuatan tergugat tersebut secara psikis penggugat merasa tertekan dan juga dapat merusak perkembangan anak-anak di kemudian hari.

2. Tergugat sering mengucapkan agar mempersilakan kepada penggugat untuk mengurus perceraiannya, tetapi ketika itu penggugat masih bisa bersabar, adapun tergugat pada tahun 2006 pernah mengajukan permohonan Cerai Talak terhadap penggugat di Pengadilan Agama Karawang dalam register perkara Nomor 303/Pdt.G/2006/PA.Krw, tetapi karena tergugat dalam perkara tersebut tidak membuktikan permohonannya, oleh pengadilan tersebut permohonannya ditolak.

3. Tanpa alasan yang jelas tergugat telah mengurangi uang nafkah biaya keperluan pendidikan dan kesehatan anak-anak, padahal keperluan biaya tersebut sekarang semakin meningkat.

Penggugat telah berusaha menghimbau tergugat serta mengharapkan kehidupan berumah tangga dengan tergugat kembali harmonis, akan tetapi usaha tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam berumah tangga, oleh karena sudah tidak ada harapan hidup rukun kembali dalam berumah tangga dengan tergugat, maka penggugat memilih jalan yang terbaik untuk menyelesaikan

jurnal agustus isi.indd 138 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 53: Jurnal Agustus 2014

138 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 139

permasalahan ini dengan mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Karawang.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penggugat meminta Pengadilan Agama Karawang menjatuhkan putusan dalam perkara ini sebagai berikut:

Primair:

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;

2. Menjatuhkan talak tergugat (tergugat asli) terhadap penggugat (penggugat asli);

3. Menetapkan pemeliharaan anak diserahkan kepada penggugat untuk diasuh, dipelihara dan dididik hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;

4. Menghukum tergugat membayar nafkah anak kepada penggugat minimal Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) setiap bulan, sejak putusan dalam perkara ini mem punyai kekuatan hukum tetap sampai anak tersebut dewasa atau mampu berdiri sendiri;

5. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Subsidair: Mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Dalam perkara ini, penggugat sebenarnya tidak mampu menghadirkan saksi yang memberi kesaksian sempurna. Saksi tersebut memberikan keterangan berdasarkan cerita dari penggugat sendiri. Dalam hukum acara, dikenal kesaksian semacam ini sebagai testimonium de auditu yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami (Harahap, 2010: 661).

Di pengadilan tingkat pertama, gugatan perceraian ini dikabulkan sedangkan di pengadilan tingkat banding, melalui putusan

Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg. di dalam amarnya menyebutkan bahwa putusan pengadilan tingkat pertama dibatalkan. Di antara pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat pertama menyebutkan bahwa gugatan penggugat didukung alat bukti saksi yang sempurna (auditu) sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim banding, gugatan penggugat didukung oleh saksi yang de auditu yaitu saksi yang hanya mendengar sehingga gugatan penggugat tidak terbukti.

Dalam perkara ini antara putusan pengadilan tingkat pertama dan banding terjadi disparitas dalam menilai keterangan saksi. Dalam perkara Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw keterangan saksi dipandang kurang sempurna karena diperoleh dari mendengar dan curhat penggugat dan tergugat namun hakim mempertimbang-kannya sebagai keterangan saksi yang telah memenuhi unsur formil dan materil sehingga berimplikasi pada dikabulkannya permohonan penggugat untuk bercerai dengan tergugat. Sementara itu dalam tingkat banding, putusan Pengadilan Agama Karawang dibatalkan karena keterangan saksi dipandang tidak memenuhi syarat materil kesaksian dalam arti saksi hanya mendengar (de auditu).

RUMUSAN MASALAHII.

Sesuai latar belakang permasalahan di atas, telah terjadi disparitas dalam putusan pengadilan agama mengenai perceraian di dalam mempertimbangkan keterangan saksi. Dalam putusan pengadilan agama tingkat pertama, keterangan saksi dipandang sempurna (auditu) sedangkan dalam pemeriksaan tingkat banding, majelis hakim menilainya sebagai saksi yang de auditu, dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat dalam analisis ini adalah:

jurnal agustus isi.indd 139 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 54: Jurnal Agustus 2014

140 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 141

1. Apakah keterangan saksi yang bernilai kurang sempurna (de auditu) dalam perkara perceraian ini memiliki nilai pembuktian?

2. Apakah landasan yuridis sehingga keterangan saksi yang kurang sempurna (de auditu) dalam perkara perceraian dapat dijadikan pertimbangan sebagai saksi yang memiliki kekuatan nilai pembuktian?

STUDI PUSTAKA III.

Dalam kajian putusan Pengadilan Agama Karawang, fokus masalah atau perkara yang diperiksa dan diadili oleh hakim adalah perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami istri dan tidak ada harapan untuk rukun kembali.

Pembuktian dalam perkara perceraian yang disebabkan oleh terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami istri dalam lingkup kewenangan pengadilan agama, mengikuti ketentuan pembuktian secara khusus dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 22 dan UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 (Azizi, 2012: 242).

Pasal 22 ayat (2) menyebutkan bahwa gugatan perceraian karena alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu baru dapat diterima oleh pengadilan, apabila telah cukup jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkarannya itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri yang mengajukan perceraian itu.

Dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dinyatakan: (1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari

keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri; (2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.

Berdasarkan pasal di atas, untuk dapat dikabulkannya suatu gugatan perceraian yang menggunakan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus apabila majelis hakim telah:

1. Meneliti dan terbukti tentang ada tidaknya perselisihan dan pertengkaran, serta bagaimana bentuk perselisihan dan pertengkaran itu.

2. Meneliti dan terbukti sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran.

3. Mempertimbangkan sebab perselisihan dan pertengkaran itu, apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri.

4. Mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri. Sebagai saksi, mereka harus disumpah.

5. Mendengar keterangan saksi-saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri, dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing ataupun orang lain untuk menjadi hakam. Hakam dapat ditunjuk oleh masing- masing pihak atau oleh hakim.

6. Membuktikan tidak adanya harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Keyakinan hakim di atas harus pula didukung oleh keterangan para saksi. Keterangan saksi

jurnal agustus isi.indd 140 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 55: Jurnal Agustus 2014

140 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 141

yang ada dalam perkara pembuktian perceraian karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus memang berbeda dengan maksud Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 146 HIR, yang justru melarang keluarga sedarah dan semenda untuk didengar sebagai saksi.

Saksi mempunyai peranan penting dalam memberikan masukan kepada majelis hakim untuk mendukung dan menguatkan dalil-dalil dari pihak yang berperkara dari adanya peristiwa perselisihan dan pertengkaran. Perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang terjadi pada suami istri sifatnya berbeda sekali dengan perselisihan dan pertengkaran yang terjadi dengan hukum pidana. Perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, orang lain sangat sedikit atau bisa-bisa tidak sama sekali mengetahui kejadian, bentuk kejadian, dan permasalahan apa yang terjadi. Orang lain yang mengetahui adanya tidak kumpul atau pisah tempat tinggal antara suami istri, hanya sebatas mengetahui tidak kumpulnya, tetapi kepastian mengapa sampai tidak kumpul dalam rumah tangga dan kepastian sekian lamanya tidak kumpul, belum tentu tahu. Ada suami istri yang pura-pura harmonis ketika bertemu orang lain, akan tetapi sebenarnya sebaliknya. Dengan mengatakan, yang penting permasalahan rumah tangga hanya yang tahu kita (suami istri) sendiri. Untuk membuktikan kondisi tersebut, diperlukan kehadiran saksi (Hasim, 2013: 3).

Saksi sebagai alat bukti dalam hukum perdata mempunyai jangkauan yang sangat luas sekali hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdata, hanya dalam hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak diperbolehkan, seperti melarang pembuktian saksi terhadap isi suatu akta otentik, rasio pelarangan adalah karena pada umumnya keterangan saksi cenderung kurang dapat dipercaya, sering

berbohong, sehingga bisa terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi suatu akta dan jika dibiarkan maka nilai kekuatan pembuktian akta otentik bisa kehilangan tempat berpijak yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap akta otentik.

Banyak penulis yang menggambarkan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti cenderung tidak dapat dipercaya, dengan argumentasi bahwa saksi cenderung berbohong baik sengaja atau tidak, saksi mendramatisir, menambah atau mengurangi dari kejadian yang sebenarnya dan ingatan manusia atas suatu peristiwa tidak selamanya akurat sering dipengaruhi oleh emosi (Harahap, 2010: 625).

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terhadap alat bukti saksi meliputi persyaratan formil dan materil yang bersifat kumulatif dan bukan alternatif. Artinya bila suatu kesaksian tidak memenuhi seluruh syarat yang dimaksud maka kesaksian itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Adapun syarat formil itu adalah:

1. Saksi adalah orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk menjadi saksi (Pasal 145 HIR, Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1909 KUH Perdata).

2. Saksi memberikan keterangan di persidangan (Pasal 144 HIR, Pasal 171 R.Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata).

3. Saksi mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan (Pasal 147 HIR, Pasal 175 R.Bg dan Pasal 1911 KUH Perdata).

4. Ada penegasan dari saksi bahwa ia menggunakan haknya sebagai saksi, jika

jurnal agustus isi.indd 141 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 56: Jurnal Agustus 2014

142 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 143

undang-undang memberikannya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 146 HIR dan Pasal 171 (1) R.Bg.).

5. Saksi diperiksa seorang demi seorang (Pasal 144 (1) HIR, Pasal 171 (1) R.Bg).

Syarat formil saksi dalam hukum acara perdata sesungguhnya dapat disederhanakan menjadi dua kategori: pertama terkait siapa yang cakap dan tidak cakap untuk menjadi saksi dan kedua terkait tata cara dan prosedur (ubo rampe) pemberian kesaksian (Mujahidin, 2012: 190-192).

Syarat materil saksi adalah:

1. Keterangan saksi berdasarkan alasan dan pengetahuan, maksudnya kete rangan saksi harus berdasarkan alasan-alasan yang mendukung pengetahuan saksi atas peristiwa atau fakta yang diterangkannya (Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata).

2. Fakta yang diterangkan bersumber dari penglihatan, pendengaran dan pengalaman saksi itu mempunyai relevansi dengan perkara yang disengketakan (Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata).

3. Keterangan saksi saling bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain (Pasal 172 HIR, Pasal 309 R.Bg dan Pasal 1908 KUH Perdata).

Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat pribadi saksi, dugaan saksi, kesimpulan pendapat saksi, perasaan pribadi saksi dan kesan pribadi

saksi (Pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2) R.Bg dan Pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata).

Memperhatikan syarat materil alat bukti saksi tersebut maka keterangan yang diberikan harus bersumber dari pengalaman, penglihatan atau pendengaran dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Sementara itu keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah berkualitas sebagai testimonium de auditu yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami (Harahap, 2010: 661).

Ada juga yang mendefinisikan testimonium de auditu sebagai kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain (Arto, 2010: 164). Tentang tata cara dan prosedur pemberian kesaksian, ada tiga unsur yang harus dipenuhi oleh saksi agar cakap didengar kesaksiannya: 1) Saksi harus memberikan kesaksian di depan persidangan (Pasal 144 H.I.R. dan 171 R.Bg.); 2) Saksi harus disumpah (Pasal 147 H.I.R, 175 R.Bg. dan 1911 KUH Perdata); dan 3) Saksi harus diperiksa satu-persatu (seorang demi seorang) (Pasal 144 H.I.R. dan 171 R.Bg.) (Bintania, 2012: 58-62).

Saksi yang telah memenuhi syarat formil dan materil berarti ia mempunyai kekuatan nilai pembuktian bebas (vrijbewijs kracht). Artinya hakim bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, hakim tidak terikat dengan keterangan saksi karena hakim dapat saja menyingkirkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan

jurnal agustus isi.indd 142 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 57: Jurnal Agustus 2014

142 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 143

argumentasi yang kuat dan bahkan hakim dapat pula menerima keterangan saksi meskipun itu berkualitas testimonium de auditu asal ada dasar eksepsional untuk menerimanya (Sukri, t.t: 2).

Selanjutnya, dalam menerapkan frasa “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9/1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga, dapat dijadikan alasan perceraian.

2. Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan masih ada harapan bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

3. Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak terus menerus baik masih ada harapan atau tidak ada harapan lagi bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian (Sudono, 2011: 12).

Dipisahkannya kata perselisihan dan pertengkaran dalam pasal tersebut di atas tentu mempunyai maksud yang berbeda. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (2009: 1174), perselisihan adalah persengketaan yang harus diputuskan lebih dahulu sebelum perkara

pokok dapat diadili dan diputus sedangkan pertengkaran adalah percekcokan, perdebatan, yang kedua kata tersebut adalah kumulatif, yang menunjukkan bahwa perselisihan berbeda dengan pertengkaran.

Kehendak kalimat dalam pasal tersebut di atas adalah “terus menerus“ maka pengertian dan pengembangan maknanya diserahkan kepada hakim untuk menilainya, apakah perselisihan dan pertengkaran suami istri dikategorikan terus menerus atau tidak, apakah masih ada harapan untuk hidup rukun lagi atau tidak, atau apakah setelah terjadi perselisihan dan pertengkaran suami istri masih hidup rukun lagi dalam rumah tangganya atau tidak. Semua diserahkan kepada penilaian hakim karena hakimlah yang punya otoritas untuk itu.

Adanya ketentuan yang menyatakan perselisihan dan pertengkaran dan ditambah dengan kalimat terus menerus bukanlah harga mati sebagai alasan perceraian akan tetapi hanyalah alat bantu bagi hakim untuk menjatuhkan penilaian apakah suami istri masih ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau tidak, sehingga kesimpulannya kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga merupakan alasan perceraian yang mendominasi ketentuan alasan perceraian pada pasal tersebut.

Jika demikian, syarat terus menerus bukan harga mati bagi alasan perceraian karena faktanya banyak kasus suami istri yang tidak pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus akan tetapi mereka tidak pernah berkumpul sebagai suami istri, karena begitu selesai akad nikah mereka langsung berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Mereka melangsungkan perkawinan karena ditangkap dan dipaksa untuk

jurnal agustus isi.indd 143 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 58: Jurnal Agustus 2014

144 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 145

kawin, niatnya sama-sama hanya pacaran saja dan tidak menghendaki perkawinan, maka dalam hal ini dengan melihat latar belakang masing-masing pihak yang sebenarnya hakim dapat menjatuhkan penilaian bahwa mereka sama-sama menghendaki perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, misalnya perkawinan baru seumur jagung, tidak pernah bertengkar apalagi terus menerus dan nyatanya memang tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, maka unsur tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga itulah kuncinya, kalau memang hati nurani mengatakan suami istri sudah tidak akan dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga lalu apa perlunya mereka menunggu dulu untuk menjalani perselisihan dan pertengkaran dan syarat lainnya yaitu terus menerus, kalau ini yang terjadi maka secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah pihak dalam waktu yang berkepanjangan sehingga mudaratnya lebih banyak dari pada manfaatnya. Untuk penerapan alasan perceraian pada huruf f ini diserahkan kepada penilaian hakim apalagi hakim dapat menerapkannya secara luwes dan fleksibel.

Ada pula perselisihan dan pertengkaran yang orang lain tidak tahu, yaitu perselisihan dan pertengkaran secara diam-diam, tidak diperlihatkan dalam pertengkaran mulut atau kelihatan secara adu fisik tetapi suami istri tidak tegur sapa, tidak mau melayani suami atau istrinya dalam waktu yang lama, diam seribu bahasa atau hanya menangis ketika ditanyakan apa masalah yang sedang terjadi. Dengan demikian, begitu luasnya istilah perselisihan dan pertengkaran sehingga alasan ini mendominasi alasan perceraian di Indonesia.

Frasa “perselisihan dan pertengkaran” dalam Pasal 19 huruf f menjadi kritikan pemohon

penguji UU Nomor 1 Tahun 1974 terhadap UUD 1945. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan yang kelak dijabarkan pula di dalam Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam memuat salah satu alasan perceraian, “antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran…” tanpa mengatur secara hukum normatif bahwa manakala terjadi perselisihan dan pertengkaran suami istri, niscaya bukan tidak mungkin terdapat penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran di rumah tangga. Kebanyakan pihak istri yang dikorbankan dalam perselisihan dan pertengkaran aquo, justru di kala suami merupakan penyebab perselisihan dan pertengkaran itu.

Misalnya dalam hal ini suami mempunyai hubungan gelap dengan perempuan lain lalu meninggalkan tempat kediaman bersama, perselisihan dan pertengkaran antar keduanya niscaya tidak akan terhindarkan. Tetapi aturan hukum tidak menjamin perlindungan kepastian hukum, keadilan bagi istri yang dikorbankan yang kelak diputus cerai atau talak pada perkawinannya oleh badan pengadilan, dengan pertimbangan hukum tidak ada harapan atau rukun lagi di dalam rumah tangga (Anonimous, 2011: 6).

ANALISISIV.

Penelitian ini memfokuskan pada kajian kedudukan saksi de auditu dalam pemeriksaan perkara perceraian dalam putusan majelis hakim Pengadilan Agama Karawang Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw.

Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, apakah saksi de auditu memiliki nilai pembuktian dalam pemeriksaan perkara perceraian menunjukkan bahwa dalam pemeriksaannya terjadi disparitas di antara

jurnal agustus isi.indd 144 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 59: Jurnal Agustus 2014

144 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 145

majelis hakim. Majelis hakim pada tingkat pertama berkesimpulan bahwa keterangan saksi dalam perkara perceraian sekalipun bernilai de auditu dapat dipertimbangkan sehingga gugatan penggugat dikabulkan tetapi pada tingkat banding keterangan saksi yang de auditu dibatalkan karena kesaksian yang diajukan saksi tidak sempurna. Dari sinilah letak masalah dalam penelitian ini untuk dibahas berikutnya.

Putusan hakim Pengadilan Agama Karawang mengenai putusan cerai gugat didasarkan alasan antara suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk rukun kembali sebagai suami istri. Alasan perceraian tersebut didasarkan pada Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9/1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam.

Pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan Pasal 19 huruf f sebagaimana disebutkan di atas harus didengar keterangan saksi-saksi dalam proses pembuktiannya yang berasal dari pihak keluarga dari kedua belah pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Sebelum penggugat mengajukan alat bukti saksi, penggugat mengeluarkan alat bukti surat berupa fotocopy kutipan Akta Nikah Nomor 332/24/SR/VIII/1976 yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Cirebon Utara/Barat tanggal 11 Agustus 1976, telah bermeterai cukup, telah dinazeglen, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, kemudian diberi tanda (P. 1).

Selain alat bukti tertulis tersebut, penggugat telah mengajukan dua orang saksi di persidangan yang secara ringkas pada intinya menerangkan sebagai berikut:

1. Saksi I, umur 67 tahun, agama Islam, pekerjaan pensiunan PNS, bertempat tinggal di Kabupaten Karawang:

a. Bahwa saksi kenal dengan penggugat bernama penggugat asli, karena saksi sebagai ibu kandungnya, penggugat adalah anak ke-6 dari tujuh bersaudara;

b. Bahwa keadaan rumah tangga penggugat dengan tergugat kurang harmonis sejak penggugat mengandung usia 1 bulan anak ke-3, tergugat jarang di rumah, kalaupun ada datang tidak mau menegur penggugat;

c. Bahwa saksi sering ke Bandung dan penggugat juga sering pulang ke Karawang, kalau lagi ada masalah, penggugat sering mengadu kepada saksi bahwa tergugat kalau pulang suka marah-marah, sering melakukan kekerasan fisik, meludahi penggugat dan bila tergugat memarahi penggugat suka di depan anak-anak;

d. Bahwa sebab yang lain yang saksi tahu dari pengaduan penggugat, yaitu masalah biaya, karena gaji dipegang oleh tergugat, penggugat diatur mengenai keuangan rumah tangga;

e. Bahwa orang tua tergugat dan keluarganya dulu waktu ada kejadian yang pertama pernah datang ke rumah saksi dan mereka sudah diusahakan dirukunkan; Tapi kejadian yang sekarang belum ada datang, namun saksi pernah menanyakan kepada orangtua tergugat, tapi tidak ada jawaban, dan terserah kepada tergugat saja;

jurnal agustus isi.indd 145 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 60: Jurnal Agustus 2014

146 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 147

f. Bahwa penyebab lain tidak rukunnya penggugat dengan tergugat yaitu tergugat pernah selingkuh dengan perempuan lain; Ceritanya tergugat pernah kecelakaan oleh mesin di pabriknya, lalu dirawat di rumah sakit, waktu itu saksi dilarang oleh tergugat menengok di atas jam 6 malam, dan saksi tanda tanya, lalu saksi menengok jam 9 malam datang ke rumah sakit, ketuk pintu dan saksi masuk ternyata di dalam kamar itu ada seorang perempuan bernama PEREMPUAN, orang Telukjambe;

g. Penggugat cerita kepada saksi bahwa memang tergugat setiap hari pulang tapi tidak pernah komunikasi, jadi rumah tangganya tidak normal.

2. Saksi II, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal di Kabupaten Karawang:

a. Bahwa saksi kenal dengan penggugat bernama penggugat asli karena saksi sebagai kakaknya, juga kenal dengan tergugat bernama tergugat asli, suaminya penggugat;

b. Bahwa pada waktu penggugat dengan tergugat menikah saksi tahu dan hadir yang dilangsungkan di Karawang pada tahun 1996;

c. Bahwa penggugat sering mengeluh kepada saksi mengenai sikap tergugat, waktu saksi ke Bandung juga dia pernah curhat sampai menangis;

d. Bahwa yang dikeluhkan oleh penggugat bahwa tergugat jarang pulang, jarang

komunikasi, namun masalah cekcok saksi belum pernah melihat sendiri, hanya pengaduan dari penggugat saja;

e. Bahwa penggugat sering telepon begitu juga ibunya penggugat, tapi telepon oleh tergugat tidak pernah diangkat dan sekalipun ada pulang, tergugat datang malam dan paginya sudah berangkat lagi.

Demikian keterangan saksi yang diajukan penggugat. Sedangkan keterangan saksi yang diajukan tergugat sebagai berikut:

1. Saksi I, umur 72 tahun, agama Islam, pekerjaan pegawai swasta, bertempat tinggal di Kota Bandung:

a. Bahwa saksi kenal dengan tergugat bernama tergugat asli karena saksi sebagai ayah kandungnya, tergugat anak ke-5 dari tujuh bersaudara; saksi juga kenal dengan penggugat bernama penggugat asli, sebagai menantu;

b. Bahwa tergugat menikah dengan penggugat atas dasar suka sama suka, tidak dijodohkan dan orang tua hanya merestui saja;

c. Bahwa penggugat dengan tergugat sudah mempunyai anak 3 orang yang bernama: 1. Anak I; 2. Anak II; dan 3. Anak III dan sampai sekarang mereka masih satu rumah;

d. Bahwa keadaan rumah tangganya yang saksi tahu mereka rukun-rukun saja, saksi tidak pernah melihat penggugat dan tergugat bertengkar;

e. Bahwa setelah saksi mendengar

jurnal agustus isi.indd 146 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 61: Jurnal Agustus 2014

146 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 147

penggugat mengajukan gugatan cerai, saksi kaget, pas ditanya oleh saksi, penggugat ingin tergugat ngasih gaji kepada penggugat transparan;

f. Bahwa saksi selaku orang tua sudah berusaha menasihati penggugat dan tergugat;

g. Bahwa tergugat dulu biasa pulangnya seminggu sekali, tapi sekarang tiap hari pulang.

2. Saksi II, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, bertempat tinggal di Kota Bandung:

a. Bahwa saksi kenal dengan tergugat bernama tergugat asli, saksi sebagai kakak iparnya; saksi dengan tergugat kenal sejak masih kecil, karena rumah saksi terhalang satu rumah, sedangkan dengan penggugat kenal sejak dia menikah dengan tergugat;

b. Bahwa saksi bertemu dengan tergugat setiap hari Sabtu dan Minggu, kalau setiap harinya ketemu dengan penggugat dan anak-anaknya, karena tergugat pada hari kerja, kerja di Karawang berangkat pagi pulang malam;

c. Bahwa selama ini saksi tidak pernah melihat mereka bentrok/engga pernah bertengkar, kalau nengok anaknya yang sekolah di Cirebon juga biasa suka bareng;

d. Bahwa saksi suka memberikan saran dan nasihat kadang dikala bercanda kepada penggugat agar damai dengan tergugat.

Berdasarkan cuplikan keterangan saksi dari penggugat dan tergugat di atas, nyatalah bahwa saksi penggugat dan tergugat saling memberi keterangan bahwa antara penggugat dan tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran. Namun demikian, jika ditelusuri keterangan para saksi nyatalah bahwa keterangan saksi itu tidak diperoleh berdasarkan pengetahuan saksi sendiri.

Penulis tidak sependapat dengan putusan majelis hakim tingkat pertama dalam menilai alat bukti. Majelis hakim tingkat pertama menilai bahwa keterangan saksi yang diberikan di dalam persidangan telah cukup bukti karena memenuhi syarat formil dan materil kesaksian padahal berdasarkan atas berkas putusan, kedudukan saksi hanya sebagai saksi testimonium de auditu yang tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua orang saksi tersebut di atas mengetahui adanya perselisihan antara penggugat dengan tergugat dan hanya mendengar dari keluhan/curhat penggugat, bahkan saksi kedua menyatakan tidak pernah melihat adanya cekcok, yang demikian merupakan testimonium de auditu, menurut yurisprudensi, testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu (Putusan MARI No. 308 K/Sip./1973 tanggal 11 Nopember 1959), sedangkan persangkaan saja yang tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu, dan ada hubungannya satu sama lain.

Persoalan nya, apakah dalam konteks hukum keluarga saksi yang tidak melihat dan

jurnal agustus isi.indd 147 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 62: Jurnal Agustus 2014

148 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 149

menyaksikan sendiri tidak disebut kesaksian, lalu apakah ada saksi yang benar-benar menyaksikan perselisihan dan pertengkaran (seperti dalam kasus ini saksinya seorang ibu kandung, kakak ipar, ayah kandung) yang semuanya tidak satu rumah, padahal para pihak secara materil merasakan ada ketidakberesan di dalam rumah tangganya. Atas perihal tersebut majelis hakim harus secermat mungkin menimbang fakta hukum yang tercantum juga dalam berita acara. Jika berita acara tidak lengkap atas keterangan saksi, maka majelis hakim pun akan tidak lengkap di dalam memberikan penilaian terhadap para saksi.

Perselisihan dan perteng karan tidak mungkin terjadi tanpa adanya sebab-sebab. Penggugat yang dalam hal ini mendalilkan bahwa penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran karena tergugat bersikap kasar baik ucapan maupun perbuatan, sering mengucapkan agar penggugat mengurus perceraian nya, dan mengurangi uang belanja, ternyata tidak mampu membuktikan dalil-dalilnya sehingga harus dinyatakan tidak terbukti. Dengan demikian apa yang menjadi sebab-musabab perselisihan dan pertengkaran sesungguhnya tidak jelas.

Saksi-saksi keluarga dari pihak tergugat juga telah didengar. Saksi pertama bernama Drs. DS bin MP (ayah kandung) antara lain menerangkan bahwa setahu saksi rumah tangga penggugat dan tergugat rukun-rukun saja tak pernah melihat mereka bertengkar; tergugat memberi belanja kepada penggugat sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulan selain untuk keperluan dapur, tetapi penggugat minta uang berlanja setiap bulan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) diserahkan kepada penggugat; tergugat dulu pulang kerja setiap minggu sekali, sekarang setiap hari; segala keperluan dipenuhi, kecuali permintaan penggugat untuk dibelikan mobil.

Saksi kedua AS bin AK (kakak ipar) antara lain menerangkan bahwa selama ini tidak pernah melihat penggugat dan tergugat cekcok; kalau menengok anaknya yang sekolah di Cirebon biasanya penggugat dan tergugat suka bareng.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari keterangan dua orang saksi keluarga tergugat/pembanding juga tidak nampak adanya perselisihan yang serius antara penggugat/terbanding dengan tergugat/pembanding, hanya dapat diduga bahwa yang menjadi masalah adalah penggugat/terbanding minta uang belanja total sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan minta dibelikan mobil. Dalam sebuah rumah tangga perselisihan semacam itu hal yang biasa dan wajar-wajar saja. Karena itu tidak selayaknya jika sampai terjadi perceraian.

Demikianlah, pembuktian terhadap saksi yang diajukan kedua belah pihak dari sisi nilai pembuktian. Sebuah alat bukti dapat dinilai kekuatan pembuktiannya dalam beberapa kategori, yaitu bukti lemah, bukti sempurna, bukti menentukan, bukti mengikat dan bukti permulaan (Syam, 2010: 2).

Para saksi yang diajukan penggugat dan tergugat sama-sama memiliki nilai bukti yang lemah karena kekurangsempurnaan para saksi membuat argumen tentang telah terjadinya fakta hukum berupa perselisihan dan percekcokan di antara suami istri, sehingga tidak ditemukan:

1. Bukti tentang adanya perselisihan dan pertengkaran, serta bentuk perselisihan dan pertengkaran itu.

2. Bukti sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran.

3. Bukti perselisihan dan pertengkaran itu

jurnal agustus isi.indd 148 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 63: Jurnal Agustus 2014

148 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 149

benar-benar berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri.

4. Bukti keterangan yang memadai dari saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.

5. Bukti adanya harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian, alat bukti saksi yang diajukan kedua belah pihak sah secara hukum karena memenuhi unsur formil kesaksian, namun penilaian majelis hakim terhadap keterangan saksi yang tidak mampu memberikan kesaksian secara materil atas apa yang dilihat mengenai perselisihan dan percekcokan yang terus menerus sebagai testimonium de auditu yang pantas jika tidak dipertimbangkan. Keterangan saksi dalam perkara perceraian yang bernilai kurang sempurna tidak dapat dijadikan kekuatan bukti sempurna bagi hakim sekalipun dalam sengketa keluarga sulit sekali melihat dengan jelas apakah suami istri tersebut nyata-nyata terjadi perselisihan dan percekcokan di antara keduanya. Dari sisi inilah, kesimpulan hakim di dalam memeriksa fakta hukum benar-benar diuji, apakah hakim meyakini saksi tersebut melihat (auditu) atau saksi tidak melihatnya (de auditu).

Rumusan masalah kedua dalam penelitian ini mengenai landasan yuridis saksi de auditu. Landasan yuridis tentang saksi testimonium de auditu dapat dilacak dalam yurisprudensi Mahkamah Agung. Menurut yurisprudensi, testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu (Putusan MARI No. 308 K/Sip./1973 tanggal 11 Nopember 1959), sedangkan persangkaan saja yang tidak didasarkan pada ketentuan undang-

undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu, dan ada hubungannya satu sama lain.

Terlepas dari diskursus di kalangan para akademisi dan para praktisi mengenai eksistensi testimonium de auditu dalam ranah hukum perdata, satu hal yang harus diperhatikan bahwasanya tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice), sedangkan hakim dalam proses peradilan tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan dan hakim tidak berperan sekadar seperti makhluk tak berjiwa (antre anemimes). Oleh karenanya terhadap keterangan saksi de auditu sesungguhnya tidak otomatis harus ditolak sebagai alat bukti, permasalahannya adalah bukan mengenai ditolak atau diterimanya testimonium de auditu sebagai alat bukti.

Sikap yang tepat adalah diterima saja dulu, baru kemudian dipertimbangkan dengan menganalisis apakah ada dasar eksepsional untuk menerimanya, kalau ada baru dipertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de auditu tersebut. Di dalam khazanah peradilan Islam telah dikenal dengan apa yang disebut syahadah al istifadhah atau kesaksian bersifat muan’an yakni kesaksian yang didapat dari orang lain (Bastary, 2012: 1). Dalam hukum acara perdata disebut dengan testimonium de auditu.

Berkenaan dengan yurisprudensi mengenai testimonium de auditu telah banyak para pakar hukum perdata yang memperkarakan apakah testimonium de auditu dapat dipertimbangkan

jurnal agustus isi.indd 149 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 64: Jurnal Agustus 2014

150 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 151

sebagai saksi atau tidak. Pemikiran pertama adalah mereka yang menolak atau tidak menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti, merupakan aturan umum yang masih kuat dianut para praktisi sampai sekarang. Saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari sumber pengetahuan sebagaimana yang digariskan Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata tidak diterima (inadmissable) sebagai alat bukti. Demikian pula menurut Sudikno pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri sehingga saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.

Bagi kalangan yang memperkenankan saksi testimonium de auditu, para praktisi sudah ada penerimaan bahwa saksi testimonium de auditu dapat dipakai sebagai alat bukti dengan beragam bentuk penerapannya. Pertama testimonium de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang. Dalam putusan itu Mahkamah Agung membenarkan testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materil.

Hal ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut

keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar.

Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima langsung pesan. Ternyata masalah tersebut telah terpenuhi di mana orang yang menerangkan pesan di dalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan.

Kedua, testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden) dengan pertimbangan yang objektif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesung-guhnya putusan ini tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti, namun untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden).

Ketiga, membenarkan testimonium de auditu sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi. Demikian putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/ Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984. Dalam putusan tersebut menyebutkan testimonium de auditu sebagai keterangan yang dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa.

Dalam kasus ini saksi yang langsung ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi

jurnal agustus isi.indd 150 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 65: Jurnal Agustus 2014

150 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 151

pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de auditu, akan tetapi meskipun demikian ternyata dalam persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil pengetahuan yang langsung bersumber dari tergugat sendiri. Berdasarkan fakta tersebut Mahkamah Agung berpendapat keterangan mereka itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan keterangan seorang saksi (Sukri, 2012: 10).

Menurut Munir Fuady (2012: 54), saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti, namun hal tersebut sangat bergantung pada kasus per kasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk mempercayai kebenaran dari saksi de auditu, misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang dikecualikan, saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Fokus utama dari dipakainya saksi de auditu adalah sejauh mana dapat dipercaya ucapan saksi yang tidak ke pengadilan. Jika menurut hakim yang menyidangkannya ternyata keterangan saksi pihak ketiga tersebut cukup reasonable (beralasan), keterangan saksi itu dapat diakui sebagai alat bukti tidak langsung, yakni lewat alat bukti petunjuk. Jadi pada dasarnya walaupun kesaksian de auditu (saksi yang mendapat keterangan yang diberitahukan/diperoleh dari orang lain) dikecualikan dari keterangan saksi, tapi setidaknya dapat menjadi alat bukti petunjuk.

Jikalau demikian berarti kesaksian de auditu yang ditafsirkan sebagai petunjuk, kekuatan pembuktiannya sama dengan yang ditentukan dalam KUHAP yaitu kekuatan pembuktiannya bebas, tidak terikat. Hakim bebas menilainya untuk menarik kesimpulan perihal kesalahan terdakwa yang didasarkan pada keterangan yang

diuraikan oleh saksi de auditu. Keterangan saksi de auditu juga tetap harus disesuaikan dengan batas minimum pembuktian, artinya keterangan saksi de auditu harus didukung dengan keterangan saksi yang lain, keterangan ahli, surat atau keterangan terdakwa, agar hakim dapat menarik petunjuk untuk memperoleh keyakinan perihal terbukti/tidaknya terdakwa.

Mengingat akan hal tersebut, yang perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan pembuktian dalam perkara perceraian dengan alasan “pertengkaran dan perselisihan yang terjadi secara terus menerus”, adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga hanya dimungkinkan dibuktikan dengan bukti saksi (peristiwa pertengkaran tidak dimungkinkan dibuktikan dengan bukti surat/akta), sementara pada bukti saksi melekat syarat formil dan materil yang salah satu syaratnya adalah keterangan saksi hanya terbatas mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri oleh saksi atau dilihat sendiri oleh saksi atau didengar sendiri oleh saksi. Di sisi lain peristiwa pertengkaran yang akan dibuktikan bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja dan terjadi di satu tempat, melainkan pertengkaran yang terjadi secara berkesinambungan/secara terus menerus dan terjadi tanpa proses perencanaan. Secara logika sangat sulit terjadi ada seseorang yang dapat melihat langsung seluruh rangkaian peristiwa pertengkaran demi per tengkaran yang terjadi dalam rumah tangga orang lain, sehingga sangat sulit untuk mendatangkan saksi untuk membuktikannya. Lain halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya “peristiwa jual beli”. Terhadap yang terakhir ini mudah saja dibuktikan dengan bukti

jurnal agustus isi.indd 151 9/22/2014 9:41:14 AM

Page 66: Jurnal Agustus 2014

152 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 153

saksi, karena peristiwa yang didalilkan itu adalah peristiwa yang terjadinya dalam satu ruang dan waktu dan telah direncanakan sebelumnya, terlebih lagi bahwa dalam jual beli, para pihak yang terlibat di dalamnya pada umumnya sengaja membuat surat/akta mengenai terjadinya peristiwa jual beli itu, baik itu berupa akta otentik maupun akta bawah tangan, sehingga bila terjadi sengketa, peristiwa tersebut sangat dimungkinkan dibuktikan dengan bukti surat;

2. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa sangat kecil kemungkinan terjadi sepasang suami istri mau bertengkar di depan orang lain. Apabila pertengkaran antara suami istri disaksikan oleh orang lain akan mengakibatkan malu (aib) bagi suami istri yang bertengkar itu, sehingga pada umumnya suami istri yang bertengkar tersebut sengaja tidak menampakkan/tidak mempertontonkan pertengkarannya dan bahkan berusaha menutup-nutupi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangganya agar tidak diketahui oleh orang lain. Peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga sangat sulit diketahui secara langsung oleh orang lain selain kedua belah pihak yang bersangkutan, sehingga untuk membuktikannya dengan saksi sangat sulit. Lain halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya “utang piutang” di mana kedua belah pihak sengaja memanggil atau mengundang orang lain untuk menyaksikan perbuatan hukum yang dilakukannya itu.

Atas keterangan saksi tersebut majelis hakim telah menilai bahwa keterangan saksi dari pengugat dan tergugat cukup memenuhi kekuatan pembuktian sempurna, artinya bahwa mereka telah memenuhi unsur kesaksian secara formil

dan materil. Namun dengan memperhatikan keterangan saksi de auditu dapat dinyatakan bahwa kesaksian mengenai yang ia lihat, yang ia tahu dan yang ia dengar tidak sempurna. Mereka hanya mendengar semua kesaksian itu dari penggugat dan tergugat. Mereka tidak menyaksikan peristiwa perselisihan dan pertengkaran itu melalui mata dan telinganya langsung. Dengan demikian mereka kurang sempurna memenuhi unsur materil kesaksian.

Walaupun tidak sempurna, adalah sulit mencari seorang saksi yang bisa menyaksikan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami istri secara langsung. Ia hanya mendengar dari keluhan atau curhat penggugat dan tergugat. Oleh karena itu semua nilai keterangan saksi diserahkan kepada majelis hakim, apakah sempurna atau lemah. Penulis berkeyakinan bahwa secara objektif saksi tidak tahu yang sebenarnya, tetapi secara subjektif mereka tahu dari keterangan penggugat atau sempurna.

Putusan majelis hakim PA Karawang kemudian diajukan banding, majelis banding telah menilai bahwa oleh karena keterangan para saksi testimonium de auditu tidak perlu dipertimbangkan, maka majelis banding menilai keterangan saksi itu lemah. Hal ini didasari oleh ketentuan yang diatur dalam tata cara pemeriksaan perkara perceraian dengan atas alasan Pasal 19 huruf f mengggunakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 ayat (2) dan Pasal 134 KHI. Dalam pasal tersebut dinyata-kan:

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman tergugat.

2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi

jurnal agustus isi.indd 152 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 67: Jurnal Agustus 2014

152 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 153

pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu.

Dalam penjelasan ayat (2) pasal tersebut dijelaskan sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri. Ruh dari pasal tersebut dalam pemeriksaan perkara perceraian oleh hakim harus dapat dibuktikan dan diyakini bahwa telah ada perselisihan dan pertengkaran serta bentuknya di antara suami istri, diketahui dan diyakini penyebab perselisihan dan pertengkaran, siapa penyebabnya dan antara suami istri tersebut benar-benar tidak ada harapan lagi akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.

Semua keadaan itu harus pula diperkuat dengan keterangan saksi untuk memberikan pembuktian kepada hakim sebagaimana tuntutan Pasal 22 ayat (2). Atas pertimbangan ini majelis hakim setelah memeriksa keterangan para saksi tidak terbukti, maka majelis hakim akhirnya memutuskan untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan menolak gugatan penggugat.

Majelis hakim tingkat banding membuat amar putusan sesuai dengan apa yang telah dipertimbangkan, dalam hal ini mempertimbangkan kualitas kesaksian. Amar putusan pada tingkat banding terdiri atas tiga bagian, yaitu amar tentang diterimanya permohonan banding, amar tentang pokok perkara sebagai wujud pengadilan ulang atas apa yang telah diputuskan oleh PA, dan amar tentang biaya perkara.

Amar putusan yang dibuat oleh majelis hakim tingkat banding telah melalui proses panjang mulai dari memeriksa administrasi perkara pada tingkat banding, memeriksa syarat-syarat formil permohonan banding, memeriksa syarat formil perkara pada tingkat pertama, memeriksa dan merumuskan jenis dan pokok perkara, memeriksa upaya damai hakim tingkat pertama (termasuk proses mediasi), memeriksa eksepsi, memeriksa petitum, memeriksa posita, memeriksa alat-alat bukti, memeriksa fakta-fakta hukum, mempertimbangkan hubungan pihak-pihak dalam perkara, posita, dan petitum, mempertimbangkan hukum masing-masing petitum, mempertimbangkan ulang pertimbangan hakim tingkat pertama, mempertimbangkan ulang amar putusan hakim tingkat pertama, membuat kesimpulan akhir hasil pemeriksaan ulang, mempertimbangkan biaya perkara dan mengambil keputusan (membuat putusan).

Dalam amar putusannya majelis tingkat banding akhirnya membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan menolak gugatan penggugat. Amar putusan hakim tersebut telah sesuai dengan filosofi dasar hukum yang digunakan majelis hakim.

Dengan lahirnya putusan tingkat banding yang membatalkan dan menolak gugatan penggugat, putusan pengadilan tingkat banding kemudian berfungsi menggantikan putusan pengadilan tingkat pertama. Dengan adanya putusan banding, maka putusan tingkat pertama tidak berlaku lagi. Putusan pengadilan agama yang dibatalkan oleh pengadilan tinggi agama karena salah satu alasannya adalah karena putusan pengadilan tingkat pertama tidak berdasarkan fakta.

jurnal agustus isi.indd 153 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 68: Jurnal Agustus 2014

154 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 155

Dengan uraian di atas menunjukkan bahwa penilaian hakim terhadap saksi dalam perkara perceraian apakah berkualitas auditu atau de auditu sangat mungkin terjadi bias dan subjektif di antara para hakim. Oleh karena itu, perlu dicarikan rumusan dan kriteria yang mendekati kepada nilai kebenaran informasi yang dibawa oleh saksi oleh majelis hakim, misalnya majelis hakim perlu benar-benar meyakini bahwa apakah telah bisa dibuktikan perselisihan dan pertengkaran itu berdasarkan keterangan saksi serta bentuknya di antara suami istri, sebab-sebab apa saja yang melatarbelakangi perselisihan dan pertengkaran itu, apakah perselisihan dan pertengkaran itu benar-benar berpengaruh secara prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri, apakah keterangan dari saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri telah sesuai dengan posita dan fakta hukum yang diajukan oleh masing-masing pihak dan apakah ada kemungkinan bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Berdasarkan patokan inilah nampaknya majelis hakim dapat mengambil kesimpulan atas perkara yang diajukan oleh masing-masing pihak mengenai perlu tidaknya suatu gugatan perceraian dikabulkan atau ditolak.

SIMPULANV.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan untuk menjawab uraian masalah tentang nilai pembuktian dan landasan yuridis saksi de auditu. Keterangan saksi de auditu perkara perceraian dalam putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw memiliki nilai pembuktian karena majelis hakim tingkat pertama menilai keterangan saksi yang diberikan di dalam persidangan telah memenuhi

syarat formil dan materil kesaksian. Berbeda halnya pada putusan Nomor 16/Pdt.G/2012/ PTA.Bdg, dalam pertimbangannya majelis hakim banding menilai keterangan saksi yang diajukan adalah de auditu sehingga gugatan penggugat tidak terbukti.

Landasan yuridis mengenai keterangan saksi de auditu dalam perkara perceraian yang dapat dijadikan pertimbangan sebagai saksi yang memiliki kekuatan nilai pembuktian bersumber dari yurisprudensi Mahkamah Agung. Menurut yurisprudensi, testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu (Putusan MARI No. 308 K/Sip./1973 tanggal 11 Nopember 1959).

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

_________. 2011. Risalah Sidang Perkara Nomor 38 PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Jakarta: Mahkamah Konstusi.

_________. 2012. Statistik Perkara di Pengadiilan Agama Tahun 2011-2012. www.badilag.net.

Arto, A. Mukti. 2010. Praktik Perkara Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azizi, Wawan Nur. 2012. “Pembuktian Perkara

jurnal agustus isi.indd 154 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 69: Jurnal Agustus 2014

154 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155 Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 155

Cerai Gugat dengan Alasan Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus di Pengadilan Agama Sukoharjo”. Artikel dalam Jurnal Fakultas Hukum UNS.

Bastary, M. Luqmanul Hakim. 2012. Sedikit tentang Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata. http://www.pta-banten.go.id.

Bintania, Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha. Jakarta: Rajawali Pers.

Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.

Harahap, M. Yahya. 2010. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persi dangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Gra fika.

Hasim. 2013. Problematika Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 (Sorotan atas Pasal 54 dan Pasal 76). Akses 17 Januari 2014. www.badilag.net.

Mujahidin, Ahmad. 2012. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir Berperkara. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sudono. 2011. Sensitivitas Hakim dalam Menginterpretasikan Alasan Perceraian. Akses 19 Mei 2013. http://www.pa-lumajang.go.id.

Sukri, Muntasir. (t.t). Menimbang Ulang Saksi De Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan Praktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law). Akses 17 Mei 2013. www.badilag.net.

Sukri, Muntasir. 2012. Testimonium de Auditu,

Why Not? www.badilag.net.

Syam, Marjohan. 2010. Pembuktian dalam Proses Perdata. www.pta-yogyakarta.go.id.

jurnal agustus isi.indd 155 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 70: Jurnal Agustus 2014

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 157

jurnal agustus isi.indd 156 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 71: Jurnal Agustus 2014

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 157

ABSTRAK

Ruh dari undang-undang kepailitan adalah asas kelangsungan usaha, di mana putusan pailit merupakan ultimum remedium. Beberapa putusan pailit menjadi kontroversial karena keadaan keuangan debitor secara materil solven tetapi secara formil insolvensi. Isu kepailitan menarik untuk dibahas karena beban pembuktian dalam prmohonan pailit di pengadilan menurut undang-undang kepailitan menggunakan pembuktian sederhana. Tulisan ini akan mengulas masalah kepailitan yang diputus oleh Pengadilan Niaga Semarang dan Mahkamah Agung ditinjau dari aspek hukum materil dan hukum formil. Dengan meneliti konsistensi dan pertimbangan hukum putusan hakim pada kasus ini, maka diharapkan memperoleh gambaran penerapan undang-undang kepailitan secara das sollen-sein. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum doktrinal dengan tujuan mengkaji koherensi pertimbangan hukum antara judex factie dan judex juris pada kasus yang sama. Alasan pemilihan kasus kepailitan ini dibatasi pada bank sebagai pemohon pailit atas pertimbangan bahwa sudah memiliki sistem dan mekanisme utang-piutang yang terpercaya. Atas asumsi tersebut maka secara hipotetis dapat dikatakan permohonan pailit oleh bank kepada debitornya merupakan keputusan paling

akhir. Penelitian ini setidaknya menemukan empat hal menarik dalam penerapan undang-undang kepailitan. Pertama, permohonan kepailitan yang diajukan ke pengadilan niaga tidak melewati pengujian cash flow test dan balanced sheet test, sehingga pembuktiannya di pengadilan hanya mengandalkan pada pembuktian sederhana sesuai Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Kedua, adanya iktikad buruk dari kreditor untuk menguasai aset debitor melalui permohonan pailit. Ketiga, tidak disertakannya Comanditaire Venotshcaap (CV) sebagai subjek hukum pailit. Keempat, putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang melewati batas waktu ketentuan formil undang-undang kepailitan.

Kata kunci: debitor, kreditor, kepailitan, insolvensi.

ABSTRACT

The spirit of Bankruptcy Law is business sustainability, which means that the decision of bankruptcy is ultimum remedium. Some bankruptcy decisions are controversial because the debtor’s financial condition is materially solvent but is formally insolvent. Hence, this issue is interesting to discuss because the court only relies on formal compliance through simple argumentation to determine whether the subject is solvent or not. This paper reviews a bankruptcy case of the Commercial

KEPAILITAN DALAM PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM FORMIL DAN MATERIL

Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN.SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012

THE ISSUE OF BANKRUPTCY IN JUDGE’S DECISION THROUGH THE PERSPECTIVE OF PROCEDURAL

AND SUBSTANTIVE LAW

Bambang PratamaKetua Umum Asosiasi Dosen Entrepreneurship Indonesia (ADEI)

Puri Botanical Residence Blok H9/9 Jl. Joglo Raya, Joglo, Kembangan, Jakarta BaratE-mail: [email protected]

An Analysis of Decision Number 02/Pailit/2012/PN.SMG and Number 522K/Pdt.Sus/2012

Naskah diterima: 21 Juni 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 157 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 72: Jurnal Agustus 2014

158 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 159

Court of Semarang and the Supreme Court within the perspective of substantive and procedural law. By observing the consistency of judge’s considerations on this case, it is expected to generate a description of bankruptcy application in das sollen-sein. This research deploys doctrinal method in a thorough study to demonstrate the coherency between judex factie and judex jurist of the same case. The study is partially to the bank as bankruptcy applicant on consideration that the bank has a reliable system in debt mechanism. Hypothetically it can be argued that the bankruptcy application submitted by bank towards its debtor is ultimum remedium. There are four thought-provoking findings in the application of Indonesian Bankruptcy

Law. First, bankruptcy application submitted to the Commercial Court without passing cash flow test and balanced sheet test. As the consequence, the court relies only on the straightforward argumentation as stated on Article 8, paragraph (4) of the Bankruptcy Law. Second, there seems to be a bad intention of the creditor to gain control over debtor assets through the bankruptcy application. Third, Comanditaire Venotschaap (CV) as a legal entity is ruled out as the subject of bankruptcy law. Fourth, bankruptcy decision by Commercial Court of Semarang has violated the procedural time limit as stipulated on the Bankruptcy Law.

Keywords: debtor, creditor, bankrupt, insolvency.

PENDAHULUANI.

Penjatuhan putusan pailit oleh pengadilan niaga sering kali diperdebatkan oleh kalangan pakar hukum karena ada anggapan penerapan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat menjadi UU-KPKPU) mencederai asas kelangsungan usaha yang menjadi ruh dari undang-undang kepailitan. Meski substansi kepailitan pada prinsipnya masih berputar-putar pada perbedaan pemaknaan atas sejumlah ketentuan (Zulaika, 2003: 49-84). Secara materil perbedaan pendapat yang mencolok terletak pada unsur-unsur kepailitan dalam Pasal 2 dan secara formil pada pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU-KPKPU.

Kelemahan undang-undang kepailitan lainnya adalah tidak dicantumkannya jumlah kreditor minimal dan nilai minimal nominal utang. Bahkan asas kepatutan atas nilai minimal nominal utang juga tidak diatur di dalam undang-undang sehingga tidak mengherankan jika ada putusan-putusan kepailitan menjadi kontroversial.

Jika membandingkan unsur kepailitan dengan negara-negara lain yang mencantumkan nominal utang seperti di Singapura dan Hongkong yang mencantumkan nilai minimal utang, agaknya menjadi jumlah nominal utang penting untuk diatur agar tidak terjadi permohonan pailit dengan nilai utang yang lebih kecil dari aset yang dimiliki debitor. Pengaturan kepailitan di Amerika Serikat selain pencantuman nilai minimal utang ketentuan jumlah kreditor juga disyaratkan, yaitu minimal 12 atau lebih (Sunarmi, 2004: 9-11). Dengan penentuan unsur-unsur kepailitan yang tidak sederhana maka filosofi kelangsungan usaha tercermin ke dalam uraian pasal-pasal di dalam undang-undang kepailitan sehingga putusan kepailitan menjadi ultimum remedium.

Dalam hukum kepailitan konsep utang seringkali dipandang sebagai raison d’etre bagi terjadinya kepailitan (Shubhan, 2008: 34-35) yang kemudian membawa pada klaim penagihan atau right to payment (Syahdeni, 2002: 105). Unsur penting dalam hukum kepailitan yang harus diperhatikan adalah derajat insolvensi dan untuk menentukan pailit parameter pengujiannya

jurnal agustus isi.indd 158 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 73: Jurnal Agustus 2014

158 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 159

harus jelas. Oleh sebab itu permohonan pailit seharusnya melewati pengujian cash flow terlebih dahulu. Mengambil contoh pengaturan kepailitan di Rusia misalnya, sebelum debitor dipailitkan ada tahapan yang harus dilalui, yaitu: supervision, financial rehabilitation, external administration, liquidation, dan amicable arrengement (Lovells, 2011: 3) sehingga justifikasi insolvensi memiliki landasan bukti yang kuat.

Sebelum UU-KPKPU tahun 2004 disahkan diskursus kepailitan terletak pada penafsiran ‘konsep utang’ yang ditafsirkan secara restriktif atau ekstentif. Pada saat ini (pasca tahun 2004) diskursus kepalitan pada umumnya lebih terfokus pada pemenuhan unsur-unsur kepailitan. Putusan pailit PT. Telkomsel tahun 2012 yang diputus oleh pengadilan niaga Jakarta merupakan salah satu putusan yang kontroversial karena nilai utang PT. Telkomsel lebih kecil daripada nilai aset yang dimilikinya. Perkara ini di tingkat banding kemudian dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012. Pada kasus ini disinyalir ada faktor lain yang menjadi celah dari undang-undang kepailitan (Brantingham, 1985: 281-305) yaitu besaran fee kurator yang nilainya minimal 6% dari nilai aset debitor merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus. Ada kemungkinan kurator dalam kasus kepailitan PT. Telkomsel adalah para rent seeker (pencari rente) yang bermain dalam rangkaian proses kepailitan (Roe & Tung, 2013: 1237).

Tulisan ini mengulas putusan kepailitan yang diputus oleh pengadilan niaga Semarang No. 02/Pailit/2012/PN.SMG dan putusan Mahkamah Agung No. 522 K/ Pdt.Sus/2012 antara CV. Mahkota Mas Pratama (selanjutnya disingkat CV. MMP) dengan pemiliknya yang bernama JD dan LEB melawan Bank BII sebagai

pemohon pailit. Beberapa isu kompleks yang dapat diidentifikasikan dalam putusan ini antara lain: (1) surat konfirmasi dari Bank UOB yang menerangkan bahwa debitor memiliki utang, tetapi tidak dijelaskan berapa nilai utangnya. Celakanya, kuasa hukum termohon pailit berargumentasi bahwa surat konfirmasi tersebut didapat dengan cara melawan hukum, (2) tidak disertakannya CV. MPP sebagai subjek hukum dalam permohonan pailit, dan (3) adanya perjanjian utang-piutang berupa hak tanggungan dan fidusia yang diklaim dalam permohonan pailit. Padahal dalam ketentuan hak tanggungan dan fidusia pemegang objek hak tanggungan dapat menjual objek yang dikuasainya apabila debitor tidak dapat membayar tanpa harus memohonkan pailit, (4) adanya iktikad buruk dari kreditor untuk menguasai harta debitor dengan menggunakan sarana kepailitan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif atau metode penelitian doktrinal (Wignjosoebroto, 2011: 121-122). Metode penelitian ini digunakan untuk memahami teori di balik undang-undang kepailitan (Razak, 2009:10). Bahan hukum yang digunakan (Soekanto, 1984: 47-48) adalah putusan Pengadilan Niaga Semarang No. 02/Pailit/2012/PN.SMG dan Putusan Mahkamah Agung No. 522 K/ Pdt.Sus/2012. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis, yaitu mengkaji koherensi pertimbangan hukum antara judex factie dan judex jurist.

Teknik analisis data yang dilakukan pertama; pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan cara mengunduh dari internet putusan pengadilan niaga dan putusan Mahkamah Agung dengan menyeleksi pemohon pailitnya adalah bank. Kedua; kedua putusan kemudian dianalisis

jurnal agustus isi.indd 159 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 74: Jurnal Agustus 2014

160 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 161

dan diteliti koherensi pertimbangan hukum dan putusannya. Ketiga; bertolak pada keadaan insolvensi kemudian dilakukan korespondensi antara aturan di dalam undang-undang yang seharusnya (sollen) dengan fakta yang senyatanya (sein). Keempat; tahap ini merupakan bagian terakhir untuk pengambilan kesimpulan apakah dalam kasus kepailitan ini putusannya divergen atau konvergen antara putusan pengadilan niaga dan putusan Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukum dan putusannya.

Penelitian ini membatasi pembahasan tentang kepailitan dengan pemohon pailitnya adalah bank. Alasan pemilihan bank sebagai pemohon pailit didasarkan pada asumsi bahwa bank merupakan lembaga keuangan terpercaya yang sistem keuangannya dijaga oleh pemerintah (Caprio Jr. & Klingebiel, 1996: 2-3) di antaranya dengan sistem interest rate (Schwartz, 2005: 1207) sehingga resiko kerugian pada bank sangat kecil (Rahman, Et. All, 2009: 190). Keterbatasan penelitian ini hanya dilakukan pada satu kasus sehingga perbedaan pendapat tentang kepailitan tidak dapat mewakili asumsi umum dalam menerapkan undang-undang kepailitan. Tetapi temuan dalam penelitian ini sekurang-kurangnya mampu menggambarkan bahwa penerapan undang-undang kepailitan sarat dengan potensi silang pendapat yang terkadang seringkali terjadi tanpa dilandasi argumen yang kuat dan cenderung positivistik dalam menafsirkan undang-undang kepailitan.

RUMUSAN MASALAHII.

Dari uraian di atas maka rumusan masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat koherensi dalam pertimbangan hukum putusan kepailitan

antara Pengadilan Niaga Semarang No. 02/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg dan Mahkamah Agung No. 522K/Pdt.Sus/2012?

2. Bagaimana aspek hukum formil dan hukum materil dalam pertimbangan hukum putusan pailit antara dua putusan di atas?

STUDI PUSTAKA III.

Terminologi kepailitan (bankrupt) berkorelasi dengan kata insolvency, arti kata ini dalam Black’s Law Dictionary adalah “the condition of being unable to pay debts as they fall due or in the ussual course of business” (Garner, 2009: 867). Apabila diterjemahkan secara bebas berarti keadaan di mana seseorang atau badan hukum tidak mampu membayar utang mereka pada saat jatuh tempo. Terminologi inilah yang digunakan dalam undang-undang kepailitan Amerika Serikat yang mengatur bahwa sebuah claim dapat membawa konsekuensi:

(5) The term “claim” means—

a. right to payment, whether or not such right is reduced to judgment, liquidated, unliquidated, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, legal, equitable, secured, or unsecured; or

b. right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise to a right to payment, whether or not such right to an equitable remedy is reduced to judgment, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, secured, or unsecured.

Bertolak dari terminologi klaim insolvensi, keadaan ini dapat berujung pada putusan pailit. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa insolvensi tidak niscaya pailit karena keadaan insolvensi bersifat kasuistis dan dipengaruhi oleh keadaan

jurnal agustus isi.indd 160 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 75: Jurnal Agustus 2014

160 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 161

eksternal debitor/suatu perusahaan (Levratto, 2013: 4). Oleh sebab itu untuk menjawab apakah keadaan insolvensi dapat dipailitkan maka harus diuji terlebih dahulu melalui cash flow test atau balanced test (Anisah, 2009: 37). Pengujian atas keadaan insolvensi juga dikenal dengan sebutan ‘solvency test’. Terminologi solvency test sebenarnya merupakan istilah pengujian keadaan insolvensi yang umum digunakan di Amerika Serikat, berbeda di negara-negara Eropa yang mengenalnya dengan istilah ‘capital-maintenence’ yang diambil dari konsensus negara-negara Uni Eropa, di mana ketentuan ini tertuang dalam Pasal 43 Council of the European Communities Tahun 1976 (Arminger, 2013: 1-2).

Pengukuran keadaan insolvensi yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan cakupan parameter pengujian sekurang-kurangnya: industry risk, management risk, financial flexibility, credibility, competitiveness, operating risk, common business performance analysis parameter, firm default parameter, reorganisation parameter, pricing, differentiation parameter, marketing parameter, delivery parameters, productivity (Martin. et.al., 2014: 36-38). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini pengukuran tentang keadaan insolvensi sudah dikomputasikan, sehingga dapat diprediksi dan lebih objektif.

Ketentuan tentang kewajiban pengujian insolvensi dalam hukum kepailitan juga digunakan di Irlandia, ketentuan ini diatur dalam the Companies Acts 1963-2001, the Rules of the Superior Courts, Ord 74 (SI 15/1986), dan yurisprudensinya yang berisi:

(3) There are two tests for establishing insolvency:

(c) the ‘cash flow’ test, which requires showing that the company is unable to pay its debts as they fall due for payment; and

(d) the ‘balance sheet’ test, which depends on showing that the value of the company’sassets is insufficient to meet its liabilities, including (for certain statutory purposes) contingent and prospective liabilities.

Artinya dalam setiap kasus kepailitan perlu ada pengujian tentang kebenaran atas derajat insolvensi dari debitor, secara prinsip UU-KPKPU sebenarnya mensyaratkan hal ini. Meski pada kenyataannya keadaan insolvensi debitor bisa saja disebabkan karena kesialan (bad luck), ketidakjujuran, ataupun karena perbuatan melawan hukum (Jackson, 1986: 13) sehingga undang-undang kepailitan harus berperan menyelesaikan keadaan ini. Undang-undang kepailitan setidaknya harus memiliki empat atribut dasar (Skeel Jr., 2014: 2222-2223), yaitu; (1) sebagai restrukturisasi kewajiban debitor, (2) penyelesaian utang-piutangnya difasilitasi oleh pemerintah, (3) mengatur hubungan antar kreditor, dan (4) menunjuk subjek hukum secara spesifik. Dalam kaitannya jenis kreditor, undang-undang kepailitan di Amerika Serikat membagi jenis kreditor menjadi 6 jenis, yaitu: (1) super-priority creditors; (2) priority creditors; (3) pari passu creditors; (4) subordinated creditors; (5) equity shareholders; and (6) expropriated creditors (Wood, 2013: 96).

Undang-undang kepailitan di Indonesia mengandung prinsip pari passu pro rate parte yang berarti harta kekayaan (pari pasu) yaitu jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional (pro rate parte) di antara mereka, kecuali bagi kreditor yang menurut undang-undang harus

jurnal agustus isi.indd 161 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 76: Jurnal Agustus 2014

162 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 163

didahulukan. Prinsip-prinsip ini diatur dalam Pasal 176 dan Pasal 189 ayat (4) KUHPerdata. Pembagian jenis-jenis kreditor tersebut menurut (Hoff, 2000: 27) sejalan dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU-KPKPU yaitu; kreditor separatis (secured creditors), kreditor preferen (preferred creditors) dan kreditor konkuren (unsecured creditors). Dengan pembagian jenis kreditor ini maka kedudukan kreditor dijamin oleh undang-undang. Tujuan pembagian jenis-jenis kreditor agar para kreditor yang terbukti memiliki piutang pada debitor yang sama terhindar dari perebutan harta debitor (Sgard, 2009: 15). Khusus bagi kreditor separatis dan kreditor preferen dalam mengajukan hak kepailitan mereka tidak kehilangan hak agunannya, karena telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan diatur juga pada Pasal 1150 sampai Pasal 1160 KUHPerdata.

Di balik prinsip pembalasan pada undang-undang kepailitan (debt collection principle) terdapat prinsip kelangsungan usaha jika usaha debitor dianggap prospektif untuk dilanjutkan (Jackson, 1986: 7). Prinsip inilah yang sesungguhnya menjadi ruh dari undang-undang kepailitan di Indonesia. Dengan berpegangan pada prinsip kelangsungan usaha maka seharusnya permohonan pailit merupakan opsi ultimum remedium. Oleh sebab itu untuk menjalankan prinsip kelangsungan usaha maka diperlukan penafsiran hakim yang mendalam agar penjatuhan putusan pailit tidak terkesan spekulatif dan asal-asalan. Hal ini memang logis, karena permohonan pailit memiliki 2 konsekuensi, pertama: permohonan pailit bagi badan hukum memiliki pemisahan harta antara pemilik badan hukum dengan harta badan hukum, kedua: ketika

permohonan pailit diajukan maka badan usaha tersebut dalam keadaan stay atau diam (Turak, 2014: 2195). Keadaan diam di sini berarti pengurusan operasional tidak lagi dilakukan oleh pemilik, tetapi dilakukan oleh kurator.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam kepailitan adalah iktikad buruk yang tidak hanya datang dari kreditor tetapi juga dari debitor. Undang-undang kepailitan di Indonesia tidak mengatur mengenai iktikad buruk debitor dan kreditor, kecuali dalam penjelasan ketentuan umum UU-KPKPU. Berbeda dengan undang-undang kepailitan di Amerika Serikat yang secara spesifik mengaturnya, yaitu: ‘property transferred, concealed, or removed with intent to hinder, delay, or defraud such entity’s creditors’ (11 U.S.C. § 101 – Definitions).

Dalam hal teori tentang hukum kepailitan dari berbagai literatur yang didapat ternyata dua teori yang melandasinya, yaitu: (1) incentive theory, dan (2) disstress theory. Pada incentive theory, debitor yang memohonkan pailit jika diputuskan pailit oleh pengadilan maka akan diberikan insentif untuk tetap menjalankan usahanya. Berbeda dengan disstress theory seperti yang dianut Indonesia bahwa debitor yang memohonkan pailit maka dianggap menyerahkan diri atas hartanya secara penuh untuk dibagikan kepada para kreditornya dengan meminta pemerintah agar dibebaskan dari kewajiban membayar seluruh utangnya dengan penjatuhan putusan pailit (Heynes, 2006: 607). Dari kedua teori ini yang menjadi perdebatan di kalangan jurist terletak pada kebijakan yang diambil oleh negara. Oleh sebab itu pemilihan salah satu teori bergantung pada politik hukum undang-undang kepailitan yang dianut oleh masing-masing negara (Heynes, 2006: 609-619).

jurnal agustus isi.indd 162 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 77: Jurnal Agustus 2014

162 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 163

Negara Uni Eropa dan Inggris menyebut kebijakan dalam menjalankan undang-undang kepailitan adalah alasan pemaaf atau ‘forgiving’. Alasan ini dikarenakan undang-undang kepailitan di negara-negara itu bertujuan untuk meningkatkan jumlah pegusaha (Armour & Cumming, 2008: 304). Berbeda dengan tujuan undang-undang kepailitan di Indonesia saat ini yang tidak jelas tujuannya, karena pembentukannya hanya untuk merespon krisis ekonomi tahun 1998. Selain itu ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hukum kepailitan yang ada saat ini berada dalam dua kutub yang berbeda, yaitu ‘rescue culture’ untuk penyelamatan atau rehabilitasi debitor dan ‘limited liability’ sebagai bentuk pertanggungjawaban debitor (Quinn, 2003: 63). Meski demikian pada prinsipnya tujuan hukum kepailitan tetap sama menjaga kepentingan

para kreditor (Ayotte, 2013: 1564) dan putusan permohonan pailit oleh hakim harus mengandung kebijakan praktikal (phronesis) (Bruckner, 2013: 255).

ANALISIS IV.

Pemohon pailit dalam putusan Pengadilan Niaga Semarang No. 02/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg dan Putusan Mahkamah Agung No. 522K/Pdt.Sus/2012 pemohon pailitnya adalah Bank BII dengan termohon pailit I JD dan termohon pailit II LEB, kedua termohon pailit ini adalah pasangan suami-istri yang bertindak sebagai pengurus CV. MMP. Secara singkat putusan pailit pada Pengadilan Niaga Semarang dapat dirinci sebagai berikut: (liat tabel)

Maks. Sanksi Menurut UU Dipailitkan dengan segala akibat hukumnya

Tuntutan Pemohon Pailit

Bank BII:Menerima dan mengabulkan permohonan pailit;1. Menyatakan termohon pailit berada dalam keadaan pailit dengan segala 2. akibat hukumnya;Mengangkat Hakim Pengawas;3. Mengangkat Kurator Wenang Noto Buwono, S.H., M.H. dan Muhammad 4. Dipa Yustiapa, S.H., M.Kn.

Dasar Hukum Penuntutan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) sampai dengan (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU

Putusan Pengadilan Niaga

Bunyi Amar Putusan

Mengabulkan permohonan pernyataan pailit untuk seluruhnya;1. Menyatakan termohon pailit dalam keadaan pailit dengan segala akibat 2. hukumnya;Mengangkat Hakim Pengawas Noor Ediyono, S.H., M.H.3. Mengangkat Kurator Wenang Noto Buwono, S.H., M.H. dan Muhammad 4. Dipa Yustiapa, S.H., M.Kn.Menghukum termohon pailit untuk membayar biaya perkara sebesar 5. Rp.2.061.000,-

Sanksi Putusan Penjatuhan pailit kepada termohon pailit

Pokok-pokok Pertimbangan Hakim

Pemohon dapat membuktikan dirinya sebagai kreditor termohon I dan II;1. Termohon I, II, dan III adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih 2. kreditor;Tidak dibayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat 3. ditagih.

Tabel 1. Putusan No. 02/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg pada Pengadilan Niaga Semarang

jurnal agustus isi.indd 163 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 78: Jurnal Agustus 2014

164 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 165

A. Aspek Hukum Materil

Titik tumpu permohonan pailit perkara ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 8 UU-KPKPU. Kedua pasal ini memang disampaikan sebagai dasar argumentasi oleh pemohon pailit Bank BII. Tetapi jika mencermati naskah putusan tentang keterangan perjanjian kredit yang ada, perjanjian utang-piutang yang ada tidak seluruhnya perjanjian utang-piutang biasa tetapi di dalamnya terdapat perjanjian hak tanggungan dan perjanjian fidusia. Kedua bentuk perjanjian tersebut pada dasarnya sudah memiliki pengaturannya masing-masing. Tetapi

sayangnya majelis hakim pengadilan niaga dalam pertimbangan hukumnya tidak memperhatikan hal ini sama sekali, sehingga menimbulkan kesan mengesampingkan fakta yang ada dan hanya mengedepankan pemenuhan unsur materil semata.

Kedudukan perjanjian fidusia dan hak tanggungan menjadi penting untuk diperhatikan karena di dalam naskah putusan Pengadilan Niaga Semarang disebutkan 2 buah perjanjian fidusia, yaitu stok barang bahan pembuat plastik dengan nilai utang kurang lebih Rp. 2 Milyar dan 2 buah perjanjian hak tanggungan. Merujuk pada

Pada putusan Mahkamah Agung rinciannya sebagai berikut:

Maks. Sanksi Menurut UU Dipailitkan dengan segala akibat hukumnya

Tuntutan Pemohon Kasasi

JD dan LEB:Putusan PN Semarang tidak sah dan melanggar Pasal 11 ayat (2) UU-1. KPKPU.Majelis Hakim PN Semarang salah dan keliru dalam penerapan hukum 2. karena tidak memasukkan CV. MMP sebagai subjek hukum.Alat bukti surat dari Bank UOB cacat secara formil.3. Majelis Hakim PN Semarang tidak mempertimbangkan utang yang memiliki 4. objek tanggungan.Hakim PN Semarang telah salah dan keliru dalam penerapan hukum dengan 5. menyatakan somasi sebagai syarat permohonan pailit, seharusnya ’dapat ditagih’.Utang pokok debitor adalah sesuai dengan yang diajukan awal oleh kreditor.6.

Dasar Hukum Penuntutan Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) sampai dengan (4) dan Pasal 11 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU.

Putusan Pengadilan Niaga

Bunyi Amar Putusan

Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi I: JD dan pemohon 1. kasasi II: LEB.Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Semarang.2.

Sanksi PutusanMenolak permohonan pernyataan pailit dari pemohon pailit untuk 1. seluruhnya.Menghukum termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat 2. kasasi sebesar lima juta rupiah.

Pokok-pokok Pertimbangan Hakim

Pengabulan permohonan pailit merupakan 1. ultimum remedium dalam penyelesaian utang debitor kepada kreditor;Cara penyelesaian suatu utang-piutang yang telah diatur dalam sertifikat hak 2. tanggungan adalah pelelangan objek hak tanggungan;Tanpa upaya pelelangan objek hak tanggungan maka permohonan pailit 3. sangat prematur;Pengajuan pailit yang demikian merupakan iktikad buruk dari kreditor 4. karena bertujuan ‘kematian perdata’ bagi debitor.

Tabel 2. Putusan No. 522K/Pdt.Sus/2012 pada Mahkamah Agung

jurnal agustus isi.indd 164 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 79: Jurnal Agustus 2014

164 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 165

ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, pengaturan tentang debitor gagal janji (wanprestasi) sudah diatur dan aturan yang sama juga terdapat dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu: “Apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Anehnya hakim Pengadilan Niaga Semarang sama sekali tidak mempertimbangkan objek hak tanggungan dalam pertimbangan hukumnya. Hal ini menimbulkan kesan hakim mengesampingkan fakta yang ada.

Hukum kepailitan mengadaptasi konsep wanprestasi menjadi penundaan pembayaran. Athreya (2010) mengingatkan bahwa di dalam situasi insolvensi ada situasi di mana debitor dalam keadaan ‘deliquency’ selain ‘bankruptcy’. Pembedaan ini dikarenakan deliquency merupakan penundaan pembayaran akibat gagal janji (Athreya, 2010: 8) dan bisa saja dalam beberapa waktu ke depan keadaan keuangan debitor membaik sehingga kembali lagi pada keadaan mampu membayar. Jika konsep delinquency dikaitkan dengan putusan kasus kepailitan yang diputus Pengadilan Niaga Semarang, maka seharusnya bentuk perjanjian hak tanggungan diperhatikan oleh hakim atau sekurang-kurangnya tidak dimasukkan ke dalam unsur kepailitan. Salah satu alasan yang fundamental karena dalam perjanjian fidusia dan hak tanggungan mekanisme gagal janji sudah diatur yaitu dengan memberi kewenangan kepada kreditor untuk menjual objek yang dijadikan jaminan tanpa harus memohon pailit.

Meskipun perjanjian hak tanggungan ini dibantah dalam eksepsi debitor, tetapi sayangnya tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh judex

factie. Sebaliknya dalam putusan judex juris yang memasukkan hal ini sebagai salah satu pertimbangan hukumnya. Pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung yang menarik adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa ada iktikad buruk dari kreditor yang bertujuan untuk kematian perdata debitor agar tidak berdaya menjalankan usahanya. Pendapat Mahkamah ini menjadi menarik karena ternyata ada jenis permohonan pailit oleh kreditor yang dapat dikategorikan beriktikad buruk. Terlepas dari kebenaran formal atas putusan pailit, pendapat Mahkamah Agung menjadi menarik karena permohonan pailit diajukan oleh bank tanpa berlandaskan analisis keuangan yang cermat dan beriktikad buruk, sehingga permohonan pailit oleh bank kepada debitornya seharusnya dapat dikategorikan sebagai anomali hukum.

Pendapat Mahkamah Agung tentang iktikad buruk kreditor sayangnya tidak dielaborasi lebih mendalam. Padahal jika dijelaskan secara lebih terperinci dalam pertimbangan hukum, pendapat Mahkamah Agung tentang iktikad buruk kreditor dapat dijadikan preseden bagi putusan pailit yang akan datang. Membandingkan putusan judex factie dan judex juris terlihat secara kontras perbedaan pandangan antara keduanya. Putusan Pengadilan Niaga Semarang hanya mendasarkan putusannya pada pemenuhan unsur-unsur kepailitan semata tanpa menggali fakta-fakta secara mendalam. Majelis hakim Mahkamah Agung terlihat lebih memahami konsep hukum dagang khususnya dalam hal utang-piutang dan kepailitan sehingga mampu menilai permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor memiliki iktikad buruk. Meski putusan Mahkamah Agung jika dipandang dari sisi positivistik terkesan menyimpangi ketentuan undang-undang, tetapi secara filosofis putusannya berpegangan pada

jurnal agustus isi.indd 165 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 80: Jurnal Agustus 2014

166 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 167

asas kelangsungan usaha dengan berpendapat bahwa putusan pailit merupakan upaya terakhir.

Dalam hal pemenuhan unsur Pasal 2 UU-KPKPU Pengadilan Niaga Semarang tidak mendalami fakta dan bukti. Dalam hal bukti adanya kreditor lain hakim tidak mempermasalahkan keberadaan ‘surat konfirmasi’ dari Bank UOB yang menyatakan bahwa JD pernah memiliki utang. Naskah putusan tidak menjelaskan secara rinci berapa nilai utang yang dimiliki. Seharusnya hakim dapat menggali bukti lebih dalam karena ada hal penting terkait bukti ini yaitu hubungan hukum antara debitor dengan kreditor yang menjadi salah satu unsur Pasal 2 UU-KPKPU. Jika naskah putusan dicermati, hubungan hukum debitor-kreditor hanya mengikat pada JD dan Bank UOB (termohon pailit I), LEB sebagai termohon pailit II tidak terikat. Secara materil unsur kepailitan tidak terpenuhi pada LEB tetapi sayangnya hakim Pengadilan Niaga Semarang tidak mempersoalkan hal ini padahal subjek hukum sangat fundamental dalam hukum acara agar terhindar dari error in persona oleh sebab itu hakim seharusnya menolak permohonan pailit.

Menanggapi hal ini kuasa hukum debitor dalam eksepsinya mengatakan bahwa utang dengan Bank UOB sudah dilunasi sehingga hubungan hukum debitor-kreditor antara JD dan Bank UOB sudah tidak ada lagi. Menyikapi hal ini seharusnya hakim pengadilan niaga menggali fakta lebih dalam, tetapi dalam naskah putusan tidak terlihat sama sekali pertimbangan hakim tentang hal ini. Ada tiga kesan yang ditangkap tentang hal ini: pertama; rasa acuh hakim dalam mencermati fakta-fakta yang disajikan, kedua; majelis hakim tidak mengerti hukum kepailitan khususnya pada bagian kualifikasi keadaan yang dapat dipailitkan, ketiga; adanya pat-gulipat antara hakim dengan pemohon pailit.

Majelis hakim Pengadilan Niaga Semarang juga tidak memahami pengertian insolvensi dari permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Pemaknaan terhadap kata-kata Pasal 2 “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,” bermakna agar pengguna undang-undang ketika membaca ketentuan ‘tidak dapat membayar’ adalah ‘keadaan insolvensi’ sehingga harus berkorespondensi pada cash flow dan balanced sheet debitor. Bahkan menurut (Bal et.al., 2013: 5-6) dalam hal insolvensi setidaknya ada 24 parameter rasio finansial yang harus diujikan sebelum sebuah perusahaan dipailitkan sehingga penentuan klaim insolvensi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh pembuat undang-undang kepailitan. Meskipun secara filosofi undang-undang kepailitan mengandung asas kelangsungan usaha tetapi dalam penerapannya tidak demikian. Hakim seringkali mengesampingkan pengujian keadaan insolvensi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa insolvensi tidak niscaya pailit, karena bisa saja berakhir penundaan pembayaran.

Permohonan pailit yang dilakukan oleh bank kepada debitornya jika dikaitkan dengan sistem skim utang-piutang yang digunakan oleh bank sesungguhnya merupakan hal yang aneh. Bank sebagai lembaga keuangan yang terpercaya sudah memiliki sistem keuangan yang rigid dan pelaksanaannya dikontrol oleh pemerintah. Selain memiliki sistem yang kuat, bank juga menggunakan teori self-fulfilling atau panic theory (Krugman, 1979: 319). Teori ini digunakan sebagai salah satu acuan untuk menilai keuangan nasabah bank sehingga pemegang saham pada bank tetap aman. Teori ini juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiko keuangan investasi pemegang saham. Selain untuk menjaga keamanan investasi pemegang saham teori self-

jurnal agustus isi.indd 166 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 81: Jurnal Agustus 2014

166 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 167

fulfilling juga dapat digunakan untuk memprediksi keadaan keuangan nasabah bank (Altman, 1968: 589-591). Jika melihat penjelasan Krugman (1979) maka menjadi aneh jika sebuah bank tidak dapat melakukan analisis dan prediksi keuangan kepada nasabahnya dengan seksama sehingga harus memohonkan pailit nasabahnya.

Jadi seharusnya permohonan pailit yang diajukan oleh bank merupakan sebuah ‘error’ kesalahan sistem, oleh sebab itu permohonan pailit oleh bank seharusnya dapat dijelaskan dengan argumentasi kuantitaif dan bersandar pada analisis keuangan yang mendalam, tidak hanya pada pemenuhan unsur-unsur kepailitan. Jika bank tetap berkeinginan memailitkan debitornya, maka penjaga pintu terakhir adalah hakim pengadilan niaga dengan berpegangan pada undang-undang kepailitan. Jika merujuk pada putusan Pengadilan Niaga Semarang atas kasus kepailitan yang menimpa JD dan LEB, maka sulit untuk berharap para hakim di pengadilan niaga lainnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang konsep insolvensi dalam undang-undang kepailitan. Hal ini dikarenakan undang-undang kepailitan tidak mengatur secara tegas tentang keadaan insolvensi, tetapi hanya membebankan pada pembuktian utang dengan pembuktian sederhana. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada putusan-putusan kepailitan yang terkesan asal-asalan dan spekulatif.

B. Aspek Hukum Formil

Dalam lingkup hukum acara, temuan yang menarik dalam kasus ini adalah tentang nilai utang yang dikemukakan di pengadilan niaga. Berdasarkan naskah putusan terjadi perbedaan nilai utang, yaitu nilai utang senilai 6 milyar rupiah dan 300 juta rupiah. Menanggapi hal ini

kuasa hukum debitor berpegangan pada nilai utang yang lebih rendah tentunya dengan jumlah 300 juta sesuai ketentuan Pasal 174 HIR yang menyatakan:

”Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, entah pengakuan itu diucapkannya sendiri, entah dengan perantaraan orang lain, yang diberi kuasa kbusus. (KUHPerd. 1925; Rv. 256 dst., 383; IR. 176, 307.)”.

Jika mercermati putusan secara seksama, sepertinya terjadi kesalahan ketik dari pihak pemohon pailit atau ketidakcermatan kuasa hukum kreditor. Meski demikian seharusnya ada verifikasi dari pihak kreditor dan tanggapan dari hakim, apakah kesalahan ini dimaknai secara tekstual atau kontekstual. Tetapi dalam naskah putusan hakim tidak menanggapi hal ini sehingga seolah-olah memberi kesan putusan hakim menabrak fakta yang terjadi.

Alat bukti yang digunakan untuk menerangkan adanya kreditor lainnya yang diajukan oleh pemohon pailit adalah Bank UOB. Yang menarik dari alat bukti yang dikemukakan adalah ‘surat keterangan’ berupa konfirmasi dari Bank UOB yang menyatakan bahwa debitor memiliki utang. Jika ditinjau dari aspek hukum formil argumentasi yang didalilkan oleh kuasa debitor menyatakan bahwa untuk mendapatkan surat keterangan tersebut Bank BII telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara meminta kepada Bank Indonesia. Dalam argumentasi kuasa hukum debitor menyatakan bahwa alat bukti berupa surat konfirmasi adalah cacat hukum. Dalil lainnya yang diajukan oleh debitor dalam kaitannya utang dengan Bank UOB adalah keterangan bahwa ‘utang sudah dilunasi oleh debitor’ sehingga tidak relevan jika dijadikan sebagai salah satu alasan dalam permohonan pailit.

jurnal agustus isi.indd 167 9/22/2014 9:41:15 AM

Page 82: Jurnal Agustus 2014

168 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 169

Kedudukan Bank UOB sebagai kreditor memberi kesan bahwa keberadaannya seperti dibuat-buat untuk memenuhi unsur kepailitan. Tetapi, dalam putusan judex factie dan judex jurist hal ini tidak ditanggapi dan tidak dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Menangkap makna dari putusan hakim, ada kesan hakim menutup mata akan kedudukan Bank UOB sebagai kreditor. Seharusnya hakim dapat memberi pertimbangan hukum atas dalil kuasa hukum debitor sehingga pemenuhan unsur formil dan materil dapat dipertanggungjawabkan.

Aspek fundamental lainnya yang ditemukan dalam putusan ini adalah tentang subjek hukum kepailitan termohon pailit. Dalam perkara ini debitor/subjek hukumnya adalah Commanditaire Venotschaap (CV. MMP). Penentuan subjek CV menjadi tricky apakah CV dapat dikategorikan sebagai subjek hukum atau tidak. Pada kasus ini, CV. MMP dalam pelaksanaan aktivitas sehari-harinya dilakukan oleh suami-isteri (JD dan LEB) sebagai pengurus persekutuan. Dalam permohonan pailit CV. MMP tidak disertakan sebagai termohon pailit yang tertulis sebagai termohon pailit hanya JD dan LEB. Artinya, kuasa hukum pemohon pailit beranggapan bahwa CV. MMP bukan badan hukum/personrecht. Hakim juga beranggapan CV bukan badan hukum. Menganggapi hal ini kuasa hukum debitor mendalilkan bahwa CV. MMP seharusnya dimasukkan sebagai termohon pailit atau dianggap sebagai subjek hukum. Dalil kuasa hukum debitor merujuk pada putusan MA No. 61ZK1SIP11975 yang menyatakan bahwa Comanditaire Venotschaap dapat dikatakan sebagai subjek hukum.

Jika kedudukan CV sebagai subjek hukum ditinjau dari perspektif akademisi hukum, maka CV dapat dikatakan sebagai subjek hukum. Hal yang sama juga dikatakan oleh Yetty Komalasari

dalam disertasi doktoralnya yang menyatakan bahwa Commandetaire Venotschaap adalah badan hukum (Komalasari, 2011: 145-146). Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa badan hukum merupakan ciptaan hukum (Rahardjo, 2006: 69) dengan ciri adanya sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan yang sama. Untuk dapat dikategorikan sebagai kenyataan yuridis seperti dikatakan oleh Meijers (Arrasjid, 2004: 130) maka anggaran dasar CV harus mendapat pengesahaan dari Menteri Kehakiman (Subekti, 1984: 204) dengan cara diumumkan pada lembaran negara. Cara pengumuman badan hukum ini hanya digunakan oleh penganut sistem hukum civil law karena di dalam sistem hukum common law tidak dikenal adanya pengumuman melalui berita negara (Prasetya, 2011: 27).

Untuk dapat menentukan sebuah perkumpulan dapat dikatakan sebagai badan hukum atau tidak, maka ciri dari badan hukum yang dapat dikenali adalah: (1) dalam pembuatannya dilakukan oleh dua orang atau lebih, (2) pembuatan badan hukum yang dilakukan oleh para pihak dilakukan dengan membuat tujuan bersama yang ingin dicapai sebagai manifesasi dari perjanjian, (3) membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, (4) mendapat pengesahan dari negara dengan cara diumumkan dalam lembaran negara yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman.

Dari pendapat para jurist di atas tentang konsepsi badan hukum maka untuk dapat menentukan apakah CV dapat dikategorikan sebagai badan hukum atau tidak maka dapat dijawab sebagai badan hukum jika CV tersebut memiliki anggaran dasar yang diumumkan oleh Menteri Hukum dan HAM. CV tidak berbadan hukum jika anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD/ART) tidak diumumkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Mengaitkan konsepsi

jurnal agustus isi.indd 168 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 83: Jurnal Agustus 2014

168 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 169

tentang badan hukum maka seharusnya CV disertakan sebagai subjek hukum oleh kreditor karena hal ini didukung oleh argumentasi dan pendapat jurist serta putusan Mahkamah Agung tahun 1975.

Meski di dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia tidak mengenal CV sebagai subjek hukum. Selama ini di dalam doktrin ilmu hukum subjek hukum yang dikenal hanya tiga, yaitu: perseroan, yayasan dan koperasi. Dalam praktik di lapangan badan hukum memiliki perluasan makna dan sesempit doktrin hukum. Beberapa contohnya antara lain: partai politik, organisasi masyarakat (ormas), badan hukum pendidikan dan sebagainya. Mengenai subjek hukum ini judex factie dan judex jurist tidak menyinggung sama sekali tentang hal ini dan tidak dijadikan sebagai pertimbangan hukum sehingga tidak jelas apa pendapat hakim dalam menentukan subjek hukum CV. Hakim seharusnya dapat melakukan pertanyaan kepada debitor untuk memverifikasi bukti apakah CV yang bersangkutan berbadan hukum atau tidak.

Temuan terakhir dalam aspek hukum acara adalah pernyataan kuasa hukum debitor yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Niaga Semarang melebihi batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (5) UU-KPKPU yang mengatur bahwa; ‘putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Jika melihat tanggal yang tertera di dalam amar putusan Pengadilan Niaga Semarang tertulis bahwa permohonan pailit didaftarkan pada tanggal 19 Maret 2012 dan pada bagian akhir putusan, yaitu amar putusan tertulis tanggal 11 Juni 2012. Jika kedua tanggal tersebut di atas diperiksa secara seksama maka rentang waktu

tersebut jika dijumlahkan adalah 83 hari. Maka dengan demikian memang benar jika putusan Pengadilan Niaga Semarang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (5) tetapi masalahnya melanggar ketentuan ini tidak ada konsekuensi hukum apapun.

SIMPULANV.

Putusan Pengadilan Niaga Semarang dengan Putusan Mahkamah Agung ternyata tidak koheren, karena putusan Pengadilan Niaga Semarang cenderung hanya menekankan pada pemenuhan unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU-KPKPU tanpa mengindahkan fakta-fakta yang diajukan oleh debitor. Meskipun keadaan keuangan debitor tidak nampak solven atau insolvensi dalam putusan ini, tetapi yang terlihat jelas adalah penalaran hakim Pengadilan Niaga Semarang yang terkesan sangat positivistik. Sebaliknya dalam putusan Mahkamah Agung lebih cenderung bersandar pada filosofi undang-undang kepailitan yaitu asas kelangsungan usaha.

Dalam aspek hukum materil ada tiga hal yang dapat disimpulkan, pertama; Pengadilan Niaga Semarang tidak mempertimbangkan perjanjian hak tanggungan dan fidusia tetapi hanya menekankan pada ketentuan normatif. Padahal kedua perjanjian utang tersebut sudah memiliki lex specialist yang di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur jika debitor cedera janji maka kreditor dapat menjual objek hak tanggungan yang dipegangnya tanpa harus memohonkan pailit. Kedua; keberadaan surat keterangan yang menyatakan bahwa Bank UOB sebagai kreditor lainnya selain Bank BII yang diajukan di Pengadilan Niaga Semarang, bahkan tidak dijelaskan secara rinci berapa nilai utangnya.

jurnal agustus isi.indd 169 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 84: Jurnal Agustus 2014

170 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 171

Ketiga; Pengadilan Niaga Semarang juga tidak menggali fakta keadaan insolvensi sehingga permohonan pailit tidak melalui pengujian cash flow test atau balaced sheet test.

Pada aspek hukum formil ada empat poin yang dapat disimpulkan, pertama; Pengadilan Niaga Semarang tidak cermat dalam melihat nominal utang karena terdapat dua pernyataan nominal nilai utang. Dengan tidak ada pendapat hakim mengenai hal ini maka seolah-olah hakim tidak peduli dengan nominal utang dan hanya mementingkan pemenuhan unsur materil. Kedua; surat keterangan yang dari Bank UOB yang cacat hukum karena hanya menyatakan bahwa debitor memiliki utang kepada Bank UOB tanpa ada penjelasan nilai utangnya dan cara mendapatkannya menabrak kerahasian bank. Ketiga; subjek hukum termohon pailit dalam kasus ini kurang lengkap karena tidak memasukkan CV sebagai subjek hukum padahal hubungan hukum utang piutang yang terjadi adalah antara CV dengan Bank UOB. Karena hal ini tidak disinggung sama sekali oleh hakim maka tidak terlihat seperti apa pandangan hakim mengenai subjek hukum CV dalam kepailitan. Keempat; putusan pailit Pengadilan Niaga Semarang telah melanggar Pasal 8 ayat (5) yang mencantumkan jangka waktu putusan paling lambat 60 hari sejak permohonan pailit, tetapi putusan pailit ini diputuskan dengan jangka waktu 83 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Anisah, Siti. 2009. “Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan

Debitor dalam Hukum Kepailitan”. Jurnal Hukum, Edisi Khusus, Vol. 16.

Arrasjid, Chainur. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.

Arminger, Josef. 2013. “Solvency-Tests-An Alternative to The Rules for Capital-Maintenance Within The Balance Sheet in The European Union”. ACRN Journal of Finance and Risk Perspectives, Vol. 2. Issue 1. p.1-8.

Armour, John & Douglas Cumming. 2008. “Bankruptcy Law and Entrepreneurship”. American Law and Economic Review. V. 10 N2.

Athreya, Kartik, et.al. 2014. “Bankruptcy and Delinquency in a Model of Unsecured Debt”. Working Paper Federal Reserve Banks of St. Louis USA.

Ayotte, Kenneth & David A. Skeel Jr. 2013. “Bankruptcy Law as a Liquidity Provider”. The University of Chicago Law Review, Volume 80. Fall 2013 Number 4.

Bal, Jay, et.al. 2013. “Entropy for Business Failure Prediction: An Improved Prediction Model for The Construction Industry”. Advance in Decision Sciences”. Hindawi Publishing Corporation, Volume 2013. Article ID 459751.

Brantingham, Patricia L. 1985. “Sentencing Disparity: An Analysis of Judicial Consistency”. Journal of Quantitative Criminology, Vol. 1. No. 3.

Bruckner, Matthew. 2013. “The Virtue in Bankruptcy”. Layola University Chicago

jurnal agustus isi.indd 170 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 85: Jurnal Agustus 2014

170 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 171

Law Journal, Vol. 45.

Caprio Jr, Gerard & Daniela Klingebiel. 1997. “Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad Banking?” Annual Wold Bank Conference on Development Economics.

Altman, Edward. I. 1968. “Financial Ratios, Discriminant Analysis and Prediction of Corporate Bankruptcy”. The Journal of Finance, Vol. 23, No. 4.

Garner, A. Bryan. 2009. Black’s Law Dictionary 9th Edition. New York: Thomson West.

Jackson, Thomas H. 1986. The Logic and Limits of Bankruptcy Law. Cambridge: Harvard University Press.

Hoff, Jerry & Gregory J. Churcil. 2000. Indonesian Bankruptcy Law. Jakarta: Tata Nusa.

Komalasari, Dewi Yetty. 2011. Disertasi Doktor “Pemikiran Baru tentang Commanditaire Vennootschap (CV) (Studi Perbandingan KUHD dan WvK Serta Putusan Pengadilan Indonesia dan Belanda)”. Jakarta: Badan Penerbit FHUI.

Krugman, Paul. 1979. “A Model of Balance-of-Payments Crises”. Journal of Money, Credit, and Banking. Ohio State University.

Levratto, Nadine. 2013. “From Failure to Corporate Bankruptcy: a Review”. Journal of Innovation and Entrepreneurship. a Springer Open Journal.

Lovells, Hogan. 2011. Russian Law Aspects of Insolvency. New York: MOSLIBO.

Martin, A., et.al. 2014. “An Analysis on Qualitative Bankruptcy Prediction Rules Using Ant-Miner. I.J. Intelligent System

and Application”. Online Journal, Modern Education and Computer Science Press.

Prasetya, Rudhi. 2011. Perseroan Terbatas Teori dan Praktik. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.

Wood, QC & R. Philip. 2013. “The Bankruptcy Ladder of Priorities and The Inequalities of Life”. Hofstra Law Review, Vol. 40:93. New York.

Quinn, Michael. 2003. “Introduction to Insolvency: Overview and Recent Developments”. Dalam Anne-Marie Mooney Cotter. Ed. Insolvency Law. London: Cavendish Publishing.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rahman, A. Aisyah, et.al. 2009. “Lending Structure and Bank Insolvency Risk: A Comparative Study Between Islamic and Conventional Banks”. Journal of Business & Policy Research, Vol.4 No. 2.

Razak, Adilah Abd. 2009. Understanding Legal Research, Integration and Dissemination. Selangor: Universiti Putra Malaysia.

Heynes, Richard M. 2006. “Bankruptcy and State Collection: The Case of The Missing Garnishments.” Cornell Law Review, Vol. 91.

Roe, J. Mark & Frederick Tung. 2013. “Breaking Bankruptcy Priority: How Rent-Seeking Upends The Creditor’s Bargain”. Virginia Law Review, Vol. 99.

Schwartz, Alan. 2005. “A Normative Theory of Business Bankruptcy”. Faculty Scholarship Series. Paper 303. Yale Law School.

jurnal agustus isi.indd 171 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 86: Jurnal Agustus 2014

172 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 173

Sgard, Jerome. 2009. Bankruptcy Law, Majority Rule, and Privat Ordering in England and France (Seventeenth - Nineteenth Century). OXPO - Oxford Science PO Research Group.

Shubhan, M. Hadi. 2008. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana.

Skeel Jr., David A. 2014. “When Should Bankruptcy Be an Option (for People, Places, or Things)?” William & Mary Law Review, Volume 55. Issue 6.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: UI-Press.

Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Intermasa.

Sunarmi. 2004. Perbandingan Sistem Hukum kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System). Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillisementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Turak, J. Alisha. 2014. “Why Wright Was Wrong: How The Third Circuit Misinterpreted The Bankruptcy Code . . . Again”. Columbia Law Review, Vol. 113:2129.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2011. “Ragam-Ragam Penelitian Hukum, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi”. Editor: Sulistyawati Irianto & Sidharta. Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Zulaika, Fuji Kadriah. 2003. “Pengertian Utang dalam Kasus Kepailitan: Suatu Analisa Yuridis Berkaitan dengan Utang dalam Putusan Pailit Manulife Indonesia.” Tesis Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.

jurnal agustus isi.indd 172 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 87: Jurnal Agustus 2014

172 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 173

ABSTRAK

Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa ketentuan dan asas yang harus diperhatikan dan ditaati oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Tulisan ini merupakan bagian dari laporan penelitian yang berupa kajian terhadap putusan-putusan pengadilan di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang meliputi putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam perkara sengketa tanah yang mengandung gugatan “monetary remedy” dan “equitable remedy”. Sengketa tanah dapat disebut sengketa yang sangat sensitif dan sifatnya multi-isu karena merupakan sengketa sosial (social dispute) yang bersinggungan dengan persoalan budaya, sosio-struktural, strategis dan ekonomis. Banyaknya hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan putusan sengketa tanah merupakan latar belakang mengapa perlu dikaji penerapan hukum formil (acara) dalam putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) yang menjadi objek kajian. Dalam kajian ini, akan diketahui persoalan-persoalan dalam penerapan hukum acara yang dapat ditemukan di dalam putusan tersebut serta melihat apakah terdapat disparitas (perbedaan) mengenai tingkat ketaatan dan kepatuhan hakim judex facti dalam menerapkan ketentuan hukum formil.

Kata kunci: disparitas, monetary remedy, equitable remedy.

ABSTRACT

In the Code of Civil Procedure, there are some rules and principles to which the judge adhere and observe and in making a decision. This paper is part of a research report studying the decisions of several District Courts and High Court in the Special Region of Yogyakarta Province regarding a case of land dispute which contains the lawsuit of “the monetary remedy” and “equitable remedy”. Land dispute is a highly sensitive and multi-issue for it is a social dispute that may relate to socio-cultural and economic issues. The fact that many obstacles and difficulties in the implementation of the decision of the land dispute is the main background of why it is necessary to study the application of the procedural law in court decisions that become the object of the study. In this study, it will be elaborated the implementation issues of the procedural law which is found in the decision, then inferred whether there is a disparity in the level of adherence and compliance of the judex facti in implementing the provisions of Procedural Law.

Keywords: disparity, monetary remedy, equitable remedy.

DISPARITAS PUTUSAN PERKARA SENGKETA TANAHTERKAIT PENERAPAN HUKUM FORMIL

Kajian terhadap Lima Putusan Pengadilan Negeri dan Lima Putusan Pengadilan Tinggi Tahun 2004-2011 di Yogyakarta

DISPARITY IN THE DECISION OF LAND DISPUTE CASE PERTAINING TO THE IMPLEMENTATION

OF PROCEDURAL LAW

Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri AristyaFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281E-mail: [email protected] & [email protected]

An Analysis of Five Decisions of District Court and Five Decisions of High Courtof Yogyakarta in 2004-2011

Naskah diterima: 24 Maret 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 173 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 88: Jurnal Agustus 2014

174 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 175

PENDAHULUANI.

Berdasarkan statistik Kepaniteraan Mahkamah Agung RI tahun 2010, jumlah perkara terbanyak yang mendominasi perkara perdata adalah yang berkaitan dengan sengketa tanah, yaitu 1824 perkara atau sekitar 44,26% dari seluruh jumlah perkara perdata yang ditangani oleh MA, diikuti oleh perkara perbuatan melawan hukum (PMH) sebanyak 836 perkara atau sekitar 20,17% (Kepaniteraan Mahkamah Agung, 2010). Banyaknya jumlah sengketa tanah yang diajukan ke pengadilan di berbagai wilayah menunjukkan bahwa sengketa ini merupakan sengketa sosial (social dispute) yang bersinggungan dengan persoalan sosio-struktural dan ekonomis. Padahal dalam kenyataannya, putusan pengadilan terkait sengketa tanah mengalami lebih banyak hambatan/kesulitan terkait eksekusinya di lapangan.

Terdapat beberapa alasan mengapa kajian terhadap putusan pengadilan terkait sengketa tanah merupakan suatu kajian yang penting dan menarik. Pertama, sengketa tanah pada dasarnya merupakan sebuah sengketa yang adversarial in nature, di mana para pihak yang bersengketa benar-benar mengambil posisi untuk menang-kalah dibanding kompromi (Daryono, 2004). Isu yang terkait dalam sengketa tanah biasanya sangat multi-isu dan cenderung menimbulkan suasana permusuhan yang tidak terkendali saat para pihak saling berhadapan. Kondisi ini dipersulit dengan adanya keterlibatan banyak pihak yang masuk dalam perkara, baik dari kalangan masyarakat maupun kalangan pemerintah.

Selain itu, karakteristik sengketa tanah bersifat multi-isu dan ruang lingkupnya sangat luas karena dasar timbulnya sengketa tanah dapat berasal dari berbagai hubungan hukum/peristiwa hukum, misalnya: karena persoalan atas

hak kepemilikan (atas dasar eigendom maupun bezit); karena masalah pewarisan/wasiat; karena persoalan hibah; karena perjanjian (jual beli/sewa menyewa); karena adanya persoalan hak tanggungan (perjanjian kredit); atas dasar PMH (perbuatan melawan hukum) dan sebagainya.

Karakteristik sengketa yang multi-isu semacam ini jarang ditemui dalam sengketa-sengketa lainnya. Bahkan dalam beberapa perkara sengketa tanah, berbagai konsep hukum yang kurang terdefinisikan secara jelas pun sering muncul dan dihadapi oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara, misalnya terkait konsep ‘iktikad baik’ yang sering didalilkan dalam sengketa terkait perjanjian jual beli tanah. Padahal konsep “iktikad baik” adalah suatu konsep hukum yang sangat luas pengertiannya dan cukup bias.

Selain itu, yang menjadikan kajian terhadap putusan atas sengketa tanah ini menarik adalah jenis tuntutan hak yang diajukan penggugat. Dalam beberapa perkara sengketa tanah, terdapat gugatan yang bersifat “monetary remedy” dan “equitable remedy” yang bisa diajukan oleh penggugat secara bersamaan dalam gugatannya. Monetary remedy merupakan suatu tuntutan penggugat agar tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang (misal tuntutan ganti rugi), sedangkan equitable remedy adalah tuntutan penggugat yang tidak berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, melainkan tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan/tidak melakukan perbuatan tertentu (misal tuntutan pengosongan tanah dan bangunan di atasnya).

Aspek ini menjadi penting untuk dikaji mengingat dalam memeriksa dan mengadili tuntutan penggugat, terdapat beberapa aturan dan asas-asas yang harus diperhatikan oleh hakim, misalnya, gugatan dwangsom atau uang paksa

jurnal agustus isi.indd 174 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 89: Jurnal Agustus 2014

174 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 175

tidak dapat diajukan jika gugatan dapat dieksekusi secara riil, atau norma bahwa gugatan dwangsom tidak dapat dituntut dan dikabulkan bersama-sama dengan tuntutan pembayaran sejumlah uang (Mulyadi, 2009: 76-77).

Di provinsi DIY, keistimewaan Yogyakarta yang berada di bawah naungan kesultanan menentukan bahwa hukum kesultanan merupakan hukum adat yang hidup dan berlaku di wilayah ini, termasuk meliputi sistem pengelolaan tanah-tanah secara khusus yang dikenal dengan istilah “sultan ground” (tanah keraton). Diperkirakan hampir 60% tanah di Yogyakarta merupakan “sultan ground”. Dengan keberadaan sistem pengelolaan tanah secara khusus tersebut, tentunya berpengaruh terhadap penyelesaian perkara-perkara sengketa tanah yang muncul di wilayah Yogyakarta.

Berdasarkan hal tersebut, sangat penting untuk menekankan konsistensi dari badan peradilan agar memberi putusan yang adil dan bermanfaat serta menjamin kepastian hukum, dalam arti hakim sebagai ajudikator wajib memperhatikan dan menerapkan norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku serta meminimalisir bahkan meniadakan putusan-putusan yang saling bertentangan satu sama lain terhadap perkara yang sejenis, baik secara horizontal (terhadap putusan pengadilan yang dihasilkan di tingkat peradilan yang sama) maupun secara vertikal (terhadap putusan pengadilan yang dihasilkan di tingkat peradilan pertama dan peradilan tingkat banding).

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah bagaimana penerapan hukum acara dalam putusan pengadilan tingkat pertama (PN) dan

pengadilan tingkat banding (PT) terkait perkara sengketa tanah di Yogyakarta? Dari pertanyaan ini diharapkan kajian dapat berkembang hingga mengetahui apakah terdapat perbedaan (disparity) mengadili baik secara horizontal maupun vertikal atas perkara yang sejenis tersebut.

STUDI PUSTAKA III.

Kajian ini menekankan analisis terhadap aspek penerapan hukum formil dalam putusan pengadilan, sehingga konsep hukum yang ditinjau terutama terkait dengan norma dan asas-asas dalam menjatuhkan putusan pengadilan. Setelah hakim menganggap peristiwa yang menjadi sengketa telah terbukti, maka tindakan hakim selanjutnya adalah menemukan hukumnya, dalam arti menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Kemudian setelah hukumnya ditemukan selanjutnya diterapkan pada peristiwa hukumnya dan kemudian hakim harus menjatuhkan putusan.

Idealnya di dalam setiap putusan hakim harus memuat dimensi kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit) secara proporsional, sebagaimana Lilik Mulyadi dalam bukunya mengutarakan bahwa putusan hakim yang baik adalah putusan yang dapat memenuhi kriteria dan dimensi yang meramu antara keadilan hukum (legal justice), keadilan sosial (social justice) dan keadilan moral (moral justice) (Mulyadi, 2009: 164). Meskipun di dalam praktik di antara ketiganya sering terjadi ketegangan atau pertentangan sehingga suatu putusan jarang memuat ketiga unsur tersebut secara bersamaan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tujuan akhir pemeriksaan perkara di pengadilan adalah diambilnya suatu putusan

jurnal agustus isi.indd 175 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 90: Jurnal Agustus 2014

176 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 177

oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan karena berdasarkan putusan tersebut dapat ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang disengketakan. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada dasarnya terdapat beberapa norma dan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum yang harus ditegakkan (Harahap, 2006: 797).

Asas-asas dan norma yang berwujud ketentuan hukum tersebut diatur secara normatif dalam peraturan perundang-undangan mulai dari UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan peraturan hukum acara di mana dalam penelitian ini terkait dengan hukum acara perdata, yaitu HIR.

Konstitusi mengatur suatu asas umum yang sangat penting dan harus ditegakkan oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, yaitu dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum. Ketentuan ini merujuk pada suatu asas universal yang memuat dimensi hak asasi manusia dalam negara yang demokratis yaitu asas “equality before the law”. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur jalannya proses peradilan di Indonesia, asas ini diimplementasikan dalam ketentuan-ketentuan yang mengarah pada prinsip “audi et alteram partem” yaitu para pihak yang berperkara di hadapan pengadilan harus diperlakukan sama, baik selama proses jawab menjawab, pembuktian hingga penyusunan pertimbangan hukum dalam rangka menjatuhkan putusan.

Konstitusi juga mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Untuk mewujudkan amanat

konstitusi, dalam menjalankan kekuasaan kehakiman maka badan peradilan diwajibkan untuk memutus suatu perkara berdasarkan hukum dan rasa keadilan berdasarkan asas Pancasila sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga, dalam mengadili dan memutus suatu perkara, hakim tidak hanya wajib menegakkan aturan hukum yang sifatnya tertulis dan tidak tertulis, melainkan juga mengadili menurut rasa keadilan masyarakat yang sesuai dengan kaidah luhur Pancasila.

Khusus terkait dengan putusan pengadilan, menurut Yahya Harahap (2006: 797-807) terdapat beberapa asas yang penting yang harus ditegakkan oleh hakim saat mengadili dan memutus perkara yaitu:

a. Putusan harus memuat dasar alasan yang jelas dan rinci;

b. Dalam putusan, semua dalil gugatan wajib diperiksa, dipertimbangkan, diadili dan diputus;

c. Putusan tidak boleh mengabulkan lebih dari yang dituntut atau yang tidak dituntut;

d. Putusan harus diucapkan di muka sidang terbuka untuk umum.

Dalam menjatuhkan putusan, hakim juga harus memperhatikan sifat dan jenis putusan yang akan dijatuhkan karena terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan agar putusan tersebut dapat menyelesaikan suatu perkara secara tuntas dan tidak menjadi non-executable.

Menurut sifatnya putusan hakim dapat dibagi dalam tiga macam (Mulyadi, 2009: 155-156), yaitu:

jurnal agustus isi.indd 176 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 91: Jurnal Agustus 2014

176 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 177

a. Putusan hakim yang bersifat declaratoir, yaitu putusan hakim yang bersifat menyatakan ada tidaknya sesuatu keadaan hukum tertentu;

b. Putusan hakim yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang sifatnya memberi atau menjatuhkan hukuman pada salah satu pihak; dan

c. Putusan hakim yang bersifat constitutif, yaitu putusan hakim dengan mana keadaan hukum dihapuskan atau ditetapkan sesuatu keadaan hukum baru.

Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR/196 ayat (1) RBg, berdasarkan jenisnya putusan dibedakan menjadi:

a. Putusan akhir, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sehubungan dengan pokok perkara, untuk mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir). Namun demikian pada hakikatnya semua putusan baik yang condemnatoir maupun yang constitutif bersifat declaratoir; dan

b. Putusan yang bukan akhir (putusan sela), yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memutus pokok perkara dan dimaksudkan untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.

Dalam ketentuan perundang-undangan secara eksplisit tidak ditemukan tentang bagaimanakah seharusnya susunan dan isi dari pada putusan hakim. Namun demikian beberapa

ketentuan seperti Pasal 183, 184, 187 HIR/Pasal 194, 195, 198 RBg; Pasal 50 ayat (1) UUKK; Pasal 27 RO, dan; Pasal 61 Rv mengatur secara implisit tentang apa yang harus dimuat dan terdapat dalam putusan hakim. Suatu putusan hakim pada pokoknya terdiri dari empat bagian, yaitu: (a) kepala putusan; (b) identitas para pihak; (c) pertimbangan, dan (d) amar.

Setiap putusan hakim/pengadilan harus dimulai dengan kata: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 435 Rv. Dengan dicantumkan kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dilaksanakannya putusan). Pencantuman kepala putusan ini dimaksudkan bahwa peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar para hakim dalam menjalankan keadilan oleh undang-undang diletakkan suatu pertanggungjawaban, yang lebih berat dan mendalam dalam menginsyafi kepada-Nya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan rakyat namun juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagaimana suatu gugatan yang mempunyai sekurang-kurangnya dua pihak, maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak. Pencantuman identitas ini meliputi: (1) Nama; (2) Umur; (3) Pekerjaan; (4) Alamat; (5) Nama dan alamat kantor/domisili kuasanya, dengan catatan apabila perkara tersebut dimintakan kuasa pada seorang/lebih kuasa.

Pertimbangan merupakan dasar dari putusan. Pertimbangan sering juga disebut dengan

jurnal agustus isi.indd 177 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 92: Jurnal Agustus 2014

178 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 179

considerans. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi dua, yaitu: (1) pertimbangan tentang duduk perkaranya atau peristiwanya (feitelijke gronden), dan (2) pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden).

Amar atau putusan atau dictum ini merupakan aspek penting dan merupakan isi dari putusan itu sendiri dan dimulai dengan kata: Mengadili. Yang merupakan jawaban terhadap petitum atau gugatan adalah amar. Ini berarti bahwa dictum merupakan tanggapan terhadap petitum. Amar (dictum) dibagi menjadi apa yang disebut declaratif dan apa yang disebut dispositif. Bagian yang disebut declaratif merupakan penetapan daripada hubungan hukum yang menjadi sengketa, sedangkan bagian yang dispositif ialah yang memberi hukum atau hukumnya.

Putusan pengadilan merupakan salah satu sumber hukum yang berlaku di Indonesia (Mertokusumo, 2006: 8). Sebagai sumber hukum, putusan pengadilan merupakan tempat untuk mencari dan menemukan hukum sebagai landasan bagi hakim dalam menyelesaikan perkara (Mertokusumo, 2006: 107). Putusan pengadilan pada dasarnya merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan sehingga berbeda dengan undang-undang yang mengikat secara umum bagi setiap orang (in abstracto), putusan pengadilan mengikat secara khusus terhadap orang-orang tertentu (in concreto) dalam hal ini orang-orang yang berperkara di pengadilan (Mertokusumo, 2006: 146). Putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang berperkara sejak putusan itu dijatuhkan dan memiliki kekuatan berlaku untuk dilaksanakan sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Sebagai sumber hukum, putusan pengadilan dapat

diklasifikasikan sebagai sumber hukum formil, yaitu sumber di mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum dilihat dari bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku (Mertokusumo, 2006: 108). Dalam pengertian ini, maka putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan landasan atau dasar bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara di pengadilan.

Dalam ilmu hukum, setiap putusan pengadilan pada dasarnya disebut sebagai yurisprudensi. Yurisprudensi juga diartikan secara lebih luas sebagai ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan (Mertokusumo, 2006: 146). Namun dalam perkembangannya, Mahkamah Agung RI menetapkan beberapa kriteria yang menentukan apakah suatu putusan dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi (Mulyadi, 2009:164). Beberapa kriteria tersebut di antaranya sebagai berikut:

a. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan;

b. Putusan tersebut harus merupakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;

c. Putusan tersebut harus dijadikan dasar untuk memutus kasus yang sama secara berulang-ulang;

d. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat;

e. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Kriteria-kriteria tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung menilai tidak semua putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai

jurnal agustus isi.indd 178 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 93: Jurnal Agustus 2014

178 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 179

yurisprudensi. Padahal peranan yurisprudensi dalam keilmuan dan implementasi hukum sangat penting berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut (Mulyadi, 2009:174):

a. Yurisprudensi merupakan kebutuhan fundamental untuk melengkapi beberapa peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum mengingat dalam sistem hukum nasional yurisprudensi memegang peranan sebagai sumber hukum;

b. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan stagnasi;

c. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan peradilan.

Mengingat sistem hukum di Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent (stare decisis) maka hakim-hakim di Indonesia pada dasarnya tidak terikat pada yurisprudensi yang telah dijatuhkan sebelumnya terhadap perkara yang sejenis (Mulyadi, 2009: 149). Secara teoritis dan praktis, yurisprudensi dinilai hanya memiliki kekuatan yang sifatnya persuasive precedent (Mulyadi, 2010). Meskipun demikian, dalam perkembangannya hakim di Indonesia dalam menjatuhkan putusan pengadilan memiliki kecenderungan untuk mengikuti putusan pengadilan di tingkat atasnya atau di tingkat yang setara terhadap suatu perkara yang sejenis dengan pertimbangan psikologis, praktis dan alasan adanya persesuaian pendapat (Mulyadi, 2010).

Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka salah satu tugas hakim yang paling fundamental adalah penemuan hukum

(rechtsvinding). Teori Sudikno menyatakan bahwa tugas hakim ada tiga, yaitu: konstatir (menetapkan peristiwa yang terbukti); kualifisir (melakukan kualifikasi peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum), serta konstruir (membentuk hukum) (Mertokusumo, 2006: 201). Pada tahap kualifisir inilah sesungguhnya hakim melakukan penemuan hukum, di mana hakim harus menemukan atau mencari hukum atas suatu peristiwa yang telah terbukti. Itulah mengapa penemuan hukum merupakan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan pembuktian (Mertokusumo, 2006: 201).

Melakukan penemuan hukum bukan perkara mudah. Adakalanya suatu norma/aturan hukum tidak jelas (multitafsir) atau bahkan tidak lengkap. Oleh sebab itu, dalam kegiatan penemuan hukum terdapat beberapa metode yang umumnya dibedakan menjadi metode penafsiran hukum (interpretasi) dan metode argumentasi hukum (konstruksi). Pentingnya penemuan hukum adalah untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum (Mertokusumo, 2006: 209) dan agar hakim memiliki pemahaman hukum yang tidak hanya normatif, sosiologis tapi juga filosofis artinya bahwa hukum tidak hanya dipandang sebagai kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Hukum berfungsi untuk menciptakan kepastian, ketertiban, juga mencerminkan nilai-nilai filosofis bangsa yaitu Pancasila demi menunjang kepentingan pembangunan nasional (Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-VI 1994, 1995).

Selain itu, dalam sistem hukum di Indonesia, praktik peradilan (yurisprudensi) dan hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang melengkapi dan memperkuat hukum tertulis sebagai sumber hukum yang utama. Dengan begitu, maka undang-undang akan tetap aktual,

jurnal agustus isi.indd 179 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 94: Jurnal Agustus 2014

180 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 181

efektif, dan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial dan pengayoman (Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-VI 1994, 1995).

Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, hakim diwajibkan untuk melakukan penemuan hukum saat memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kewajiban hakim itu dilandasi adanya asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukumnya) serta kewajiban normatif sebagaimana tertuang dalam berbagai ketentuan di dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

a. Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

b. Pasal 10 ayat (1) yang mengatur bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas.

c. Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Bagi para pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan di tingkat pertama terbuka upaya hukum banding dalam upaya untuk mempersoalkan dan memeriksa kembali putusan yang merugikannya. Pada asasnya pengadilan banding merupakan judex facti sehingga perkara diperiksa secara keseluruhan baik dari segi peristiwanya maupun dari segi hukumnya

(Mertokusumo, 2006: 32). Terhadap permohonan banding, hakim pengadilan tinggi harus terlebih dulu menilai dan menyatakan apakah permohonan banding diterima atau tidak dapat diterima.

Permohonan banding dinyatakan tidak dapat diterima jika terjadi pelanggaran tertib beracara (hukum formil) dalam pengajuan banding, misalnya surat kuasa khusus untuk banding tidak memenuhi ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR dan bertentangan dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 tentang Surat Kuasa Khusus. Contoh lain pelanggaran tata tertib acara untuk banding antara lain: terhadap materi perkara tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum banding atau pengajuan permohonan banding melebihi tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang (Mulyadi, 2009: 331).

Amar putusan banding dapat berupa tiga hal sebagaimana diuraikan berikut:

a. Menguatkan putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa dan diputus pengadilan negeri dianggap benar dan tepat menurut keadilan.

b. Memperbaiki putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri kurang tepat menurut rasa keadilan karenanya perlu diperbaiki.

c. Membatalkan putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa dan diputus pengadilan negeri dipandang tidak benar dan tidak adil karenanya harus dibatalkan. Dalam hal ini pengadilan tinggi memberikan putusan sendiri.

Apabila putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri, artinya pengadilan tinggi menilai bahwa putusan tersebut

jurnal agustus isi.indd 180 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 95: Jurnal Agustus 2014

180 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 181

sudah tepat dan benar, baik mengenai hukum acara maupun hukum materilnya (Mulyadi, 2009: 332). Apabila putusan pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri, hal ini berarti hakim banding menilai bahwa putusan pengadilan negeri tersebut dinilai tidak benar ditinjau dari penerapan hukum acara dan hukum materil serta tidak sesuai dengan keadilan. Jika putusan pengadilan negeri dibatalkan, pengadilan tinggi langsung mengadili sendiri perkara itu (Mulyadi, 2009: 332-333).

Jika putusan pengadilan tinggi memperbaiki putusan pengadilan negeri diartikan bahwa pengadilan tinggi memandang putusan pengadilan negeri tersebut kurang tepat menurut rasa keadilan. Dalam praktik, perubahan yang dilakukan hanya tertuju pada beberapa bagian tertentu dari amar dan tidak mencakup perubahan pada bagian pertimbangan karena pertimbangan tersebut dinilai sudah benar (Mulyadi, 2009: 333). Pemohon banding tidak wajib menyampaikan memori banding (alasan-alasan pengajuan banding), dan pengadilan tinggi tidak wajib mempertimbangkan memori banding karena pada dasarnya di tingkat banding yang masih merupakan judex facti perkara akan diperiksa kembali. Jika pembanding mengajukan memori banding, alasan-alasan yang lazimnya diajukan sebagai alasan memori banding pada hakikatnya dapat dikualifikasikan ke dalam dua alasan (Mulyadi, 2009: 320), yaitu:

a. Alasan-alasan bersifat formal:

1. Surat kuasa khusus tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.

2. Ketidakwenangan pengadilan (kompetensi) mengadili perkara.

3. Bahwa gugatan penggugat adalah obscuur libel.

4. Bahwa putusan pengadilan negeri mengabulkan gugatan di mana subjek tergugat tidak lengkap.

b. Alasan-alasan bersifat materil:

1. Bahwa putusan pengadilan negeri harus dibatalkan karena didasarkan pertimbangan yang kurang lengkap.

2. Bahwa putusan pengadilan negeri telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian atau hukum acara pada umumnya.

3. Bahwa pengadilan negeri telah memutus melebihi dari tuntutan atau memutus terhadap hal yang tidak dituntut.

Hakim adalah pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman sehingga profesi ini dikenal sebagai officium nobile (profesi yang mulia). Meskipun demikian, hakim adalah manusia yang tidak luput kesalahan, kelalaian, kekeliruan atau kekhilafan. Kesalahan atau kelalaian (rechterlijk dwaling) tersebut dapat terjadi dalam lingkup hukum acara perdata maupun hukum perdata materil (Mulyadi, 2009: 174). Lilik Mulyadi mengidentifikasi beberapa aspek yang kerap muncul dan kurang diperhatikan oleh hakim dalam membuat putusan, antara lain (Mulyadi, 2009: 174-179):

a. Kelalaian, kekurang hati-hatian, dan kekeliruan/kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum acara yang mengakibatkan putusan batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

b. Kekeliruan/kekhilafan dan kesalahan hakim dalam menerapkan hukum pada umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya.

jurnal agustus isi.indd 181 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 96: Jurnal Agustus 2014

182 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 183

c. Kelalaian, kekuranghati-hatian, dan kekeliruan/kekhilafan hakim yang tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum tetapi hanya sekedar “diperbaiki” oleh pengadilan yang lebih tinggi (PT atau MA).

Jika suatu putusan pengadilan negeri dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, maka pengadilan yang lebih tinggi akan “mengadili sendiri” perkara tersebut. Dalam praktiknya, putusan pengadilan negeri dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi antara lain karena putusan judex facti kurang cukup dipertimbangkan

(onvoldoende gemotiveerd), terjadi kesalahan penerapan hukum acara atau terjadi kesalahan dalam menilai alat bukti.

ANALISISIV. A. Posisi Kasus

Dalam artikel ini, objek kajian terdiri dari lima putusan PN dan lima putusan PT terkait perkara sengketa tanah di Yogyakarta. Untuk memudahkan pemahaman mengenai posisi kasus dari masing-masing perkara, akan diuraikan dalam tabel berikut:

No. Tingkat Pertama Tingkat Banding Ringkasan Kasus Posisi

1. Putusan Nomor 88/Pdt.G/2010/PN.Slmn

Putusan Nomor 48/PDT/2011/PTY

Dalam perkara ini penggugat mempermasalahkan penguasaan tanah oleh tergugat I yang dianggap tanpa alas hak yang tidak sah dan secara melawan hukum, dikarenakan peralihan hak atas tanah yang menjadi objek sengketa dilakukan secara tidak sah yaitu adanya faktor ketidakcakapan dari pihak penjual.

2. Putusan Nomor 105/Pdt.G/2010/PN.Slmn

Putusan Nomor 57/PDT/2011/PTY

Perkara ini menyangkut sengketa tanah dalam perjanjian kredit dengan jaminan tanah di mana penggugat mempermasalahkan dan menilai pelelangan tanah jaminan kredit oleh pemberi kredit tersebut sebagai PMH.

3. Putusan Nomor 54/Pdt.G/2004/PN.Slmn

Putusan Nomor 70/PDT/2005/PTY

Perkara ini muncul dari gugatan ahli waris D (penggugat) kepada ahli waris Dj berkaitan dengan tidak sahnya peralihan hak (jual beli) tanah objek sengketa (Leter C 172 Persil 121) yang pada saat diajukan gugatan tanah objek sengketa sudah dikonversi dan bersertifikat atas nama Dj.

4. Putusan Nomor 43/Pdt.G/2010/PN.Btl

Putusan Nomor 81/PDT/2011/PTY

Perkara ini dimulai dengan adanya gugatan ahli waris bernama Ny. S (penggugat) terhadap para tergugat. Penggugat mengaku dirinya sebagai ahli waris dari Alm. Ny. P dan bahwa ia adalah pemilik yang sah dari tanah objek sengketa serta menganggap perbuatan para tergugat sebagai PMH.

5. Putusan Nomor 122/Pdt.G/2010/Pn.Slmn

Putusan Nomor 60/PDT/2011/PTY

Dalam perkara ini, gugatan yang diajukan oleh para ahli waris RSB kepada para tergugat di mana para tergugat dianggap telah merugikan para penggugat karena menguasai sebidang tanah dan bangunan rumah serta melakukan berbagai tindakan melawan hukum terkait beberapa hal.

Tabel 1. Daftar Putusan dan Ringkasan Kasus Posisi

jurnal agustus isi.indd 182 9/22/2014 9:41:16 AM

Page 97: Jurnal Agustus 2014

182 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 183

B. Penerapan Ketentuan Hukum Acara dalam Putusan PN dan Putusan PT

Sebagai titik tolak kajian mengenai penerapan ketentuan hukum acara dalam putusan PN dan putusan PT terkait perkara sengketa tanah di Yogyakarta, ruang lingkup kajian akan dibatasi dalam empat poin permasalahan, yaitu: (1) kesesuaian putusan dengan unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara (Pasal 184 HIR); (2) tidak adanya alasan yang membatalkan putusan maupun alasan batal demi hukum (null and void); (3) putusan hakim sudah didukung oleh alat bukti yang memadai dan sah sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan hukum acara; (4) termuatnya sumber hukum formal selain undang-undang yang dijadikan dasar dalam pertimbangan hakim terkait pembuktian.

1. Kesesuaian Putusan dengan Unsur yang Dipersyaratkan dalam Ketentuan Hukum Acara (Pasal 184 HIR)

Ketentuan Pasal 184 HIR/195 RBg secara normatif mengatur sebagai berikut:

Dalam putusan hakim harus dicantumkan ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban serta alasan dari keputusan itu, begitu juga harus dicantumkan keterangan tersebut pada ayat (14) Pasal 7……, keputusan pengadilan negeri tentang pokok perkara dan besarnya biaya, serta pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua belah pihak itu pada waktu dijatuhkan keputusan itu.

Dalam ketentuan tersebut, termuat bagian-bagian yang harus ada di dalam putusan pengadilan. Terkait unsur memuat ringkasan yang jelas dari gugatan dan jawaban, di dalam putusan-putusan yang menjadi objek kajian pada dasarnya telah dimuat uraian dalil-dalil gugatan serta jawaban

dari para pihak. Meskipun ketentuan hukum acara menghendaki uraian tuntutan dan jawaban yang berupa ringkasan saja, namun pada praktiknya majelis hakim biasanya memuat seluruh uraian gugatan maupun jawaban yang disampaikan para pihak dengan alasan agar tidak terjadi kesalahan maupun kekeliruan dalam menuangkan dalil-dalil para pihak yang bersengketa di dalam putusan (FGD Hakim PN di Provinsi DIY, Oktober 2012).

Dari sisi normatif, praktik yang demikian ini pada dasarnya tidak keliru selama uraian tersebut jelas dan merepresentasikan apa yang didalilkan oleh para pihak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yahya Harahap, bahwa di dalam praktiknya, di dalam putusan dimuat keseluruhan isi dalil gugatan secara total seakan-akan sudah menjadi teknis peradilan yang baku sehingga baik PT maupun MA tidak mempersoalkannya lagi (Harahap, 2006 : 808).

Namun dari praktik tersebut sesungguhnya terdapat akibat-akibat yang potensial terjadi, yaitu:

1. Dapat menimbulkan persoalan terkait pemahaman hakim atas perkara yang disengketakan karena tidak terbiasa untuk menarik inti sari dari fakta-fakta yang dipersengketakan.

2. Putusan tersebut bisa menjadi tidak jelas dan sulit dipahami oleh publik jika uraian dalil-dalil gugatan dan jawaban yang dimuat di dalam putusan sangat panjang, berbelit-belit dan rumit untuk dipahami. Padahal konsep fair trial sebagai sumbu utama proses peradilan yang bermartabat menekankan salah satu prinsip utama yang harus dijunjung yaitu public hearing (asas sidang terbuka untuk umum), di mana proses pemeriksaan perkara bersifat terbuka

jurnal agustus isi.indd 183 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 98: Jurnal Agustus 2014

184 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 185

untuk umum begitu juga pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009.

Terkait unsur adanya alasan-alasan putusan, dari sepuluh putusan yang menjadi objek kajian dapat diketahui bahwa majelis hakim telah menetapkan persoalan hukum yang dihadapi dan harus dijawab di persidangan. Penetapan persoalan hukum tersebut merupakan langkah yang tepat dan sistematik sebagai langkah awal dalam merumuskan dasar-dasar dalam menjatuhkan putusan.

Secara formil alasan-alasan putusan telah dimuat di dalam bagian pertimbangan, baik yang memuat pertimbangan dan penilaian hakim atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan dalam bagian “pertimbangan tentang duduk perkaranya” (feitelijke gronden/factual grounds) (Mulyadi, 2009: 200) maupun yang memuat dasar-dasar/alasan dalam menjatuhkan putusan yang diuraikan dalam bagian “pertimbangan tentang hukumnya” (rechtsgronden/legal grounds) (Mulyadi, 2009: 200).

Meskipun demikian, terdapat persoalan penerapan Pasal 184 HIR/195 RBg terkait keharusan mencantumkan alasan dari putusan hakim. Sebagai contoh adalah kajian peneliti terhadap Putusan No. 43/Pdt.G/2010/PN.Bantul. Di dalam putusan ini dapat ditemukan alasan-alasan putusan di dalam bagian pertimbangan, baik yang memuat pertimbangan dan penilaian hakim atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan maupun yang memuat dasar-dasar/alasan dalam menjatuhkan putusan yang diuraikan dalam bagian “pertimbangan tentang hukumnya”.

Alasan-alasan yang dijadikan dasar

pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut tidak diuraikan secara jelas dan tidak memuat ketentuan normatif atau pasal dari suatu peraturan perundang-undangan yang dirujuk sebagai sumber hukum. Padahal mencantumkan dasar hukum dan ketentuan normatif dari peraturan perundang-undangan maupun sumber hukum tidak tertulis adalah suatu prinsip yang harus diterapkan oleh hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa peradilan dilakukan berdasarkan hukum dan keadilan.

Selain itu terdapat kewajiban hakim untuk mencantumkan ketentuan pasal dari peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Menurut ketentuan Pasal 178 ayat (1) HIR hakim juga memiliki kewajiban untuk melengkapi dasar hukum yang tidak diajukan/disampaikan oleh para pihak. Hal ini dipertegas dalam praktik peradilan sebagaimana ditunjukkan dalam Putusan MARI No. 1043 K/Sip/1971 tanggal 3 Desember 1974 dalam perkara: Ny. S cs. lawan VS yang kaidah hukumnya menyatakan bahwa “menambahkan alasan-alasan hukum yang tidak diajukan oleh pihak-pihak merupakan kewajiban hakim berdasarkan Pasal 178 HIR”.

Tidak diterapkannya ketentuan hukum yang berupa asas dan bersifat imperatif ini, putusan pengadilan dapat dinilai cacat sehingga menjadi alasan untuk dibatalkan di pengadilan yang lebih tinggi (Pasal 30 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA). Hal ini senada dengan pendapat Yahya Harahap yang mengatakan bahwa kewajiban normatif untuk menyebut pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan atau sumber hukum tak tertulis yang menjadi landasan putusan pada masa sekarang ini tidak diindahkan, bahkan seringkali putusan menjadi membingungkan

jurnal agustus isi.indd 184 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 99: Jurnal Agustus 2014

184 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 185

karena tidak jelas pasal peraturan perundang-undangan mana yang dijadikan rujukan atau landasan pertimbangan (2006: 810).

Dalam Putusan No. 43/Pdt.G/2010/PN.BANTUL tersebut, di dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa tergugat I terbukti melakukan perbuatan melawan hukum namun tidak disertai dengan uraian tentang ketentuan hukum materil yang ditetapkan atas peristiwa hukum tersebut.

Mencantumkan dasar hukum dan ketentuan normatif dari peraturan perundang-undangan maupun sumber hukum tidak tertulis adalah suatu prinsip yang harus diterapkan oleh hakim, mengingat alasan-alasan berikut:

1. Dasar hukum adalah hal yang sangat fundamental yang harus menjadi sumber bagi hakim dalam memutus perkaranya sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa peradilan dilakukan berdasarkan hukum dan keadilan.

2. Putusan pengadilan (yurisprudensi) adalah sumber hukum. Putusan pengadilan menjadi rujukan/pedoman untuk mencari dan menggali ketentuan hukum objektif dan subjektif. Putusan pengadilan adalah rujukan karena sifatnya yang persuasive precedent (memberi keyakinan) (Mulyadi, 2010) bahkan dalam perkembangannya di negara Belanda dan negara eropa kontinental lainnya, putusan pengadilan mulai memiliki kekuatan authoritative precedent (sumber hukum yang utama) (FGD, Fernhout, 2012), yaitu:

a. Adanya asas ius curia novit (hakim tahu hukumnya).

b. Adanya kewajiban hakim untuk mencantumkan ketentuan pasal dari peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.

c. Adanya kewajiban hakim untuk melengkapi dasar hukum yang tidak diajukan/disampaikan oleh para pihak berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat (1) HIR.

Terkait unsur dimuatnya pokok perkara, dalam perkara gugatan, pokok perkara tersimpul dalam amar atau diktum putusan yang merupakan pernyataan yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa (Harahap, 2006 : 811). Dengan kata lain, amar putusan merupakan jawaban atas sengketa yang diajukan di persidangan. Berdasarkan teori dan praktiknya, ada beberapa ketentuan formil yang harus diperhatikan dalam menyusun amar putusan, yaitu:

1. Amar ditempatkan setelah bagian pertimbangan fakta dan hukumnya.

2. Amar disusun dengan bertitik tolak dari terbukti atau tidaknya gugatan.

3. Memperhatikan sifat amar putusan, yaitu hanya amar yang bersifat condemnatoir (menghukum) yang bisa dieksekusi.

4. Amar putusan harus jelas (tidak kabur/umum).

Mengingat asas kebebasan/kemerdekaan kehakiman (judicial independence), hakim berwenang untuk mengabulkan maupun menolak gugatan. Hakim wajib mengabulkan gugatan jika terpenuhi beberapa kriteria berikut: alat bukti yang diajukan berhasil membuktikan dalil gugatan;

jurnal agustus isi.indd 185 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 100: Jurnal Agustus 2014

186 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 187

dalil gugatan mempunyai dasar hukum yang kuat; pengabulan gugatan tidak bertentangan dengan asas kepatutan (appropriateness) dan keadilan umum (general justice principle) (Harahap, 2006: 815). Sesuai dengan tata tertib beracara, jika gugatan dikabulkan sebagian, maka amar dimulai dengan memuat pernyataan “Mengabulkan gugatan untuk sebagian”, kemudian amar putusan yang bersifat mengabulkan harus dideskripsi dan dirinci satu per satu lalu di bagian akhir amar ditutup dengan pernyataan “Menolak gugatan untuk seluruhnya” (Harahap, 2006: 815-816).

Secara formil, dalam sepuluh putusan yang menjadi objek kajian, amar atas pokok perkara telah disusun sesuai dengan tata tertib beracara sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 HIR/195 RBg. Terlepas dari ketaatan terhadap ketentuan Pasal 184 HIR/195 RBg tersebut, terdapat persoalan terkait pencatuman amar sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan No. 43/Pdt.G/2010/PN.BANTUL. Di dalam putusan tersebut, ada perbedaan antara bagian yang tercantum di bagian pertimbangan dengan bagian amar, yaitu di bagian amar tidak ada putusan yang menyatakan bahwa tergugat II melakukan PMH namun di bagian pertimbangan hakim menyatakan bahwa perbuatan tergugat II yang menumpang adalah PMH sehingga petitum 16 dapat dikabulkan.

Hal ini merupakan kelalaian hakim karena di dalam petitum poin 16, penggugat pun nyata-nyata meminta agar hakim menyatakan bahwa penggugat yang tidak mau menyerahkan tanah pekarangan Persil 104b Luas 2400 m2 dalam keadaan kosong dan bebas syarat maupun beban apapun dikualifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran Pasal 178 ayat (2) HIR/189 ayat (2)

RBg yaitu ketentuan yang mengatur bahwa hakim wajib mengadili semua bagian yang dituntut (Hamid, 1986: 132). Putusan hakim seharusnya menjawab permintaan atau tuntutan dari pihak penggugat dengan menyatakan mengabulkan atau menolak gugatan atau petitum tersebut. Di dalam amar atau diktum, ditetapkanlah oleh hakim siapa yang berhak atau siapa yang benar atas pokok perselisihan antara pihak yang berperkara (Makarao, 2004:128).

Selain itu, dengan adanya ketidaksesuaian antara apa yang tertuang di dalam pertimbangan hakim (quod vide halaman 115 Putusan) dengan apa yang tidak dituangkan dalam amar atau diktum, maka majelis hakim dalam hal ini menunjukkan ketidakcermatan. Pertimbangan hakim atau considerans merupakan dasar dari putusan yang meliputi pertimbangan tentang duduk perkaranya dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan peristiwanya harus diuraikan oleh para pihak yang berperkara sedangkan pertimbangan hukumnya adalah urusan hakim (Soeroso, 1996: 80).

Pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Setelah menganalisis alat bukti yang diajukan para pihak dan mengkonstatir peristiwa yang telah terbukti, hakim harus menetapkan hukum apa yang diterapkan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Di dalam analisisnya, hakim memberikan pertimbangan yang objektif dan rasional mengenai apa saja yang terbukti dan tidak, untuk kemudian merumuskan kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan di dalam amar atau diktum putusan (Harahap, 2006: 809).

Putusan hakim dapat dikualifikasikan sebagai onvoldoende gemotiveerd atau putusan

jurnal agustus isi.indd 186 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 101: Jurnal Agustus 2014

186 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 187

yang tidak cukup pertimbangan hukumnya jika putusan tersebut tidak dibuat secara lengkap dan saksama (Harahap, 2006: 809). Hal ini ditegaskan di dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 3766 K/Pdt/1985 tanggal 28 Februari 1987, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1854 K/Pdt/1984 tanggal 30 Juli 1987 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1250 K/Pdt/1986 tanggal 20 Juli 1987 (Mulyadi, 2009: 193).

Oleh sebab itu, ketidakcermatan dalam menyusun putusan pada dasarnya merupakan pelanggaran di dalam hukum acara karena putusan pengadilan yang tidak konsisten atau cermat mengakibatkan putusan tersebut tidak memiliki kepastian hukum. Putusan hakim merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh pejabat yudisial yang berwenang untuk itu, sehingga putusan hakim yang diucapkan atau dijatuhkan harus definitif, bulat, tuntas dan pasti serta tidak mengandung kontradiksi di dalamnya. Putusan yang definitif, bulat dan tuntas memberi kepercayaan dan kepastian kepada para pihak yang bersangkutan (Wijayanta & Firmansyah, 2011: 27).

Ditinjau dari sisi praktis, pertimbangan hukum (rechtsgronden) akan menentukan nilai suatu putusan hakim sehingga aspek pertimbangan hukum oleh hakim harus disikapi secara teliti, baik dan cermat (Mulyadi, 2009: 193).

2. Tidak Adanya Alasan yang Membatalkan Putusan Maupun Alasan Batal Demi Hukum (null and void)

Di dalam Pasal 30 huruf b dan c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terdapat ketentuan yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan sah tidaknya suatu putusan pengadilan. Pasal 30 huruf b mengatur

bahwa suatu putusan pengadilan dapat dikasasi jika hakim salah menerapkan atau karena melanggar hukum yang berlaku, sedangkan Pasal 30 huruf c mengatur bahwa putusan dapat dikasasi jika hakim lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka suatu putusan pengadilan adalah batal jika tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan itu sendiri dibedakan konsep batal yang berupa batal demi hukum (nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar). Batal demi hukum (nietig) berarti tidak sah oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum seperti apa yang dikehendaki. Sesuatu yang dinyatakan batal demi hukum dianggap menurut hukum tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi atau tidak pernah dilakukan (Prinst, 2002: 138). Dapat dibatalkan (vernietig baar) artinya sesuatu tetap dianggap sah apabila tidak dimohonkan pembatalannya (Prinst, 2002: 142).

Putusan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya hakim tidak membacakan putusan di dalam sidang terbuka untuk umum yang merupakan pelanggaran terhadap Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan ancamannya adalah putusan tersebut batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3).

Putusan dapat dibatalkan karena putusan tersebut melanggar atau bertentangan dengan hukum yang berlaku. Putusan yang bertentangan dengan hukum adalah (Soeroso, 1996: 91):

jurnal agustus isi.indd 187 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 102: Jurnal Agustus 2014

188 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 189

1. Apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau terdapat kesalahan dalam pelaksanaannya;

2. Apabila tidak dilaksanakan peradilan berdasarkan tata tertib beracara menurut undang-undang.

Dari sepuluh putusan yang menjadi objek kajian, menurut peneliti terdapat tiga putusan pengadilan yang memuat alasan yang dapat membatalkan putusan. Hal ini dapat terlihat dari kajian peneliti terhadap Putusan No. 54/Pdt.G/2004/PN.Slm. Peneliti menilai terdapat kelalaian hakim yang melanggar Pasal 178 HIR ayat (2) yaitu dalam kewajibannya mengadili semua tuntutan penggugat di mana terhadap petitum ke-2 mengenai permohonan penggugat untuk dinyatakannya sah dan berharga sita jaminan (quo vide halaman 11 Putusan) namun tidak ada satu pun pertimbangan majelis hakim tentang dikabulkan atau ditolaknya permohonan tersebut.

Ketentuan Pasal 178 HIR ayat (2) bukan sekadar norma prosedural tetapi merupakan asas fundamental yang menurut doktrin asas tersebut harus ditegakkan oleh hakim saat mengadili dan memutus perkara (Harahap, 2006: 797-807). Hal ini diteguhkan dalam praktik peradilan sebagaimana nampak dari yurisprudensi MARI No. 312 K/Sip/1974 tanggal 19 Agustus 1975 dalam perkara: M. Achsan lawan M. Balandi Sutandipura dkk yang pada intinya menetapkan bahwa “pertimbangan pengadilan tinggi dibenarkan oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa pendapat hakim pengadilan negeri tidak dapat dibenarkan karena menurut Pasal 178 HIR hakim wajib memutuskan semua bagian tuntutan”.

Kewajiban hakim untuk mengadili dan memutus seluruh bagian tuntutan sesuai dengan asas judicare secundum allegata et

probata (Wijayanta, et.al., 2010: 573) atau juga dikenal dengan asas secundum allegat iudicare (Mertokusumo, 2006: 12). Asas ini menggambarkan bahwa di dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara perdata hakim terikat pada ruang lingkup sengketa atau perkara yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa (Mertokusumo, 2006: 12).

Dengan kata lain hakim harus memutus berdasarkan apa yang digugat/dibantah dan dibuktikan oleh para pihak (Anonymous, 1856: 21). Kepentingan penggugat memegang peranan krusial atas dimulainya suatu pemeriksaan perkara perdata di pengadilan (Mertokusumo, 2006: 224). Di dalam perkara perdata, kepentingan penggugat yang terurai di dalam gugatannya merupakan titik tolak dari hakim untuk memulai pemeriksaan. Oleh sebab itu dalam batasan tertentu hakim harus bersikap tut wuri (Mertokusumo, 2006: 12) yaitu hakim terikat pada gugatan yang diajukan oleh penggugat untuk kemudian menentukan apakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan oleh penggugat relevan dengan apa yang dituntut (van Apeldoorn, 2005: 250-251).

3. Putusan Hakim Sudah Didukung Oleh Alat Bukti yang Memadai dan Sah Sebagaimana Ditetapkan dalam Ketentuan Hukum Acara

Tahapan pembuktian merupakan tahapan prosedural yang sangat penting dalam rangka memberikan kepastian atau keyakinan kepada hakim tentang terjadi/tidaknya peristiwa-peristiwa tertentu (Mertokusumo, 2006: 136).

Dalam proses perdata, para pihaklah yang mengemukakan peristiwanya sehingga fakta-fakta yang diungkapkan di persidangan harus

jurnal agustus isi.indd 188 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 103: Jurnal Agustus 2014

188 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 189

dibuktikan oleh para pihak sendiri. Urusan hukumnya adalah tugas hakim (Hamid, 1986: 81). Oleh sebab itu peran hakim di dalam pembuktian sangat penting karena peraturan hukum hanyalah sebuah alat atau instrumen untuk memutus dan mengadili tetapi yang bersifat menentukan tetaplah peristiwanya (Soeroso, 1996: 79). Hakim harus cermat dan objektif dalam menilai fakta-fakta yang diuraikan para pihak menurut hukum pembuktian yang berlaku.

Secara garis besar, tugas hakim terkait pembuktian meliputi tiga hal, yaitu:

1. Menentukan beban pembuktian (bewijslast).

2. Menyatakan alat bukti yang sah menurut hukum (bewijs).

3. Menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan (bewijskracht).

Membuktikan berarti berkaitan dengan penyajian atau pengajuan fakta-fakta/fakta hukum dengan alat-alat bukti yang sah menurut ketentuan hukum yang berlaku, baik dari penggugat maupun dari tergugat. Penggugat harus dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya kecuali jika tergugat sudah mengakui kebenaran dalil penggugat (Halim, 2005: 85). Dalam tahap tanya jawab, pada prinsipnya penggugat harus membuktikan kebenaran dalil gugatannya jika:

1. Tergugat tidak mengakui/menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat, dan/atau;

2. Tergugat mengajukan dalil-dalil baru yang isinya juga menentang atau menyangkal kebenaran dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat (Halim, 2005: 85).

Beban pembuktian umum menurut hukum acara perdata merujuk pada ketentuan Pasal

283 RBg/163 HIR yang menyatakan bahwa barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu. Pembuktian dilakukan oleh para pihak, dan bukan oleh hakim. Alat bukti yang sah sebagaimana dikenal di dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUHPerdata terdiri dari alat bukti tertulis, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu ada pula alat bukti lain yang bisa digunakan berupa keterangan ahli dan pemeriksaan setempat.

Dari sepuluh putusan pengadilan yang menjadi objek kajian, hanya satu putusan pengadilan yang mencerminkan persoalan dalam penerapan hukum pembuktian oleh hakim. Hal ini terlihat dari kajian peneliti terhadap putusan No. 54/Pdt.G/2004/PN.Slm. Dalam putusan ini, peneliti menilai bahwa majelis hakim membuat bukti persangkaan yang tidak sah karena ditarik dari fakta-fakta yang tidak jelas dan bertentangan meskipun fakta tersebut berasal dari alat bukti saksi dan alat bukti tertulis yang diajukan di persidangan.

Fakta yang bertentangan tersebut adalah di satu sisi hakim menyatakan bahwa para pihak tidak bisa menunjukkan putusan desa yang menerangkan adanya proses jual beli, di sisi lain ada kuitansi pembayaran serta keterangan-keterangan saksi yang membenarkan adanya jual beli namun oleh hakim dianggap tidak cukup sebagai alat bukti karena tidak memenuhi syarat terang dan tunai.

Selain itu terdapat pertimbangan hakim (quo vide halaman 61 alinea 4 Putusan) yang mencantumkan kalimat “... setidak-tidaknya

jurnal agustus isi.indd 189 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 104: Jurnal Agustus 2014

190 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 191

peralihan hak yang didasarkan atas jual beli tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur hukum yang sah,...”. Di satu sisi majelis berkeyakinan bahwa peristiwa jual beli tidak terbukti namun di sisi lain majelis menyatakan bahwa ada jual beli namun tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pertimbangan hukum ini mengandung kontradiksi dan ketidakjelasan.

Padahal ketentuan Pasal 173 HIR/310 RBg telah mengatur bahwa persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. Mengenai bagaimana penerapan syarat penting, saksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain dalam praktik peradilan, Elfi Marzuni berpendapat demikian:

Dalam perkara perdata, fakta itu penting apabila fakta itu menjadi pokok sengketa antara penggugat dan tergugat. Penentuan pokok sengketa oleh hakim diperoleh dari hasil tahapan jawab-jinnawab yang harus dilakukan dengan saksama menuju kepada persoalan hukum tertentu yang sedang disengketakan. Kesesuaian fakta dari bukti-bukti yang diajukan para pihak akan membantu hakim untuk menemukan bukti persangkaan hakim bilamana diperlukan. Tanpa adanya bukti-bukti yang saling bersesuaian dan berkaitan satu sama lain hakim tidak akan menemukan bukti persangkaan hakim (Wawancara, Elfi Marzuni, 2013).

Pendapat Elfi Marzuni ini pada dasarnya menjelaskan bahwa dalam praktiknya hakim dapat menarik kesimpulan atau persangkaan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Hanya fakta yang relevan dengan pokok sengketalah yang dapat ditarik sebagai persangkaan dan persangkaan itu harus dihasilkan berdasarkan kesesuaian dan keterkaitan fakta-

fakta. Dengan kata lain, fakta itu tidak boleh hanya terdiri dari satu fakta saja, atau meskipun terdiri dari banyak fakta namun jika secara kualitas tidak saling terkait dan berkaitan maka fakta tersebut tidak dapat ditarik menjadi persangkaan.

Bukti persangkaan dikenal dengan istilah circumstantial evidence karena bukti ini lebih berbentuk kesimpulan-kesimpulan dibanding fakta yang nyata dan langsung. Hal ini sesuai dengan pengertian dari perspektif negara penganut common law, yaitu “Circumstantial evidence is an inference from the impressions or perceptions of the tribunal to the objective existence of the thing perceived” (Phipson, 1920: 705-717).

Direct evidence (bukti berupa saksi), documentary evidence (bukti berupa dokumen) maupun demonstrative evidence bisa digunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang akhirnya membentuk bukti persangkaan (Aristya, 2013: 30).

Hal ini sesuai dengan pendapat Retnowulan Sutantio yang dikutip dari buku Lilik Mulyadi menyatakan bahwa (Mulyadi, 2009: 129):

Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim. Sikap salah satu pihak dalam perkara di persidangan, misalnya pihak yang bersangkutan meskipun berkali-kali diperintahkan untuk menghaturkan pembukuan perusahaannya, ia ini tidak memenuhi perintah tersebut, dapat menelurkan persangkaan hakim bahwa pembukuannya itu tidak beres dan bahwa yang bersangkutan belum memberi pertanggungjawabannya. Juga, jawaban yang mengelak, jawaban yang tidak tegas, sifat plin-plan, memberi persangkaan

jurnal agustus isi.indd 190 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 105: Jurnal Agustus 2014

190 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 191

bahwa dalil pihak lawan adalah benar, setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai suatu hal yang negatif bagi pihak tersebut.

Ketentuan Pasal 1915 BW mengatur bahwa “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”. Dalam kamus hukum Belanda, persangkaan dikenal dengan istilah vermoeden yang berarti dugaan atau presumptie yang artinya “kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan yang belum diketahui”.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, Yahya Harahap menyimpulkan bahwa untuk memperoleh persangkaan harus bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, kemudian ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya, yang sebelumnya fakta itu tidak/belum diketahui (Harahap, 2006: 684).

Menurut Yahya Harahap, bukti persangkaan merupakan alat bukti yang tidak termasuk dominan di dalam hukum acara perdata. Bahkan Yahya Harahap mengatakan bahwa bukti persangkaan tidak meliputi segala segi yang esensial dari sisi pembuktian (2006: 683). Hal ini disebabkan pengaturan tentang alat bukti persangkaan hanya diatur dalam satu ketentuan pasal yaitu 173 HIR/310 Rbg. Itupun hanya mengandung pengertian tentang persangkaan yang sangat kabur dan tidak ada penjelasan mengenai bagaimana penerapannya di lapangan. Secara sistematis jika dihubungkan dengan BW yang mengatur tentang pembuktian secara umum, justru terdapat lebih banyak pengaturan tentang persangkaan, yaitu di Pasal 1915-1922 BW.

Meskipun demikian, persangkaan memiliki peranan yang vital dalam mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian (Harahap, 2006: 686).

Dalam menerapkan persangkaan hakim yang memenuhi syarat mendekati kepastian yang dibenarkan hukum, hakim harus memperhatikan hal-hal berikut (Harahap, 2006: 700):

1. Hakim sesungguhnya memiliki kebebasan dan kewenangan menarik kesimpulan dalam bentuk persangkaan yang bernilai sebagai alat bukti;

2. Namun Pasal 173 HIR dan Pasal 1922 BW mengatur bahwa penggunaan kebebasan dan kewenangan itu harus diterapkan secara saksama dan hati-hati;

3. Sumber landasan fakta yang digunakan untuk menarik persangkaan harus berdasarkan fakta yang kuat dari alat bukti tulisan atau saksi maupun dari pengakuan, sehingga persangkaan yang ditarik mendekati kepastian objektif.

Oleh sebab itu, jika persangkaan ditarik dari fakta-fakta yang belum terbukti kebenarannya dan bahkan saling bertentangan sebagaimana nampak dari putusan No. 54/Pdt.G/2004/PN.Slm, persangkaan atau kesimpulan yang ditarik tersebut sangat lemah kualitasnya. Untuk memperoleh persangkaan yang benar-benar mendekati kepastian, maka fakta yang menjadi sumber landasannya harus kuat (Harahap, 2006: 699), dengan kata lain, fakta-fakta yang masih mengandung kontradiksi atau pertentangan tidak dapat dijadikan bukti persangkaan.

jurnal agustus isi.indd 191 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 106: Jurnal Agustus 2014

192 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 193

4. Termuatnya Sumber Hukum Formal Selain Undang-Undang yang Dijadikan Dasar dalam Pertimbangan Hakim Terkait Pembuktian

Dari sepuluh putusan yang menjadi objek kajian, sembilan putusan tidak memuat sumber hukum formal selain undang-undang yang dijadikan dasar pertimbangan hakim terkait pembuktian. Sebagaimana telah disampaikan di atas, tugas hakim terkait pembuktian meliputi tiga hal, yaitu: (1) menentukan beban pembuktian (bewijslast); (2) menyatakan alat bukti yang sah menurut hukum (bewijs); serta (3) menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan (bewijskracht).

Terkait tiga aspek pembuktian tersebut, sebenarnya terdapat sumber hukum formil di luar undang-undang yang mengatur hukum pembuktian. Sebagai contoh, terkait beban pembuktian. Selain diatur dalam Pasal 163 HIR, terdapat yurisprudensi yaitu Putusan MARI No. 547/K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972 yang memutuskan bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif di mana pihak yang terakhir inilah yang lebih mampu untuk membuktikan. Yurisprudensi ini sesuai dengan prinsip “negative non sunt probanda” (membuktikan sesuatu yang negatif adalah sulit) (Mertokusumo, 2006: 142).

Selain yurisprudensi, juga terdapat doktrin atau pendapat dari sarjana hukum yang terkemuka dan ilmiah terkait penerapan alat bukti yang sah menurut hukum. Sebagai contoh ajaran Yahya Harahap mengenai bukti persangkaan yang menyimpulkan bahwa untuk memperoleh persangkaan harus bertitik tolak dari fakta-fakta

yang diketahui, kemudian ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya, yang sebelumnya fakta itu tidak/belum diketahui (Harahap, 2006: 684), sehingga langkah-langkah menentukan persangkaan adalah: (1) menemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan; dan (2) dari fakta atau bukti langsung itu kemudian ditarik kesimpulan yang paling mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.

Berdasarkan hal tersebut, yurisprudensi dan doktrin sebagai sumber hukum formil sebenarnya dapat berguna bagi hakim sebagai rujukan dalam menerapkan ketentuan hukum pembuktian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga hakim memiliki dasar yang kuat dalam menerapkan beban pembuktian yang menjunjung asas audi et alteram partem (judges hear both sides) dan menilai alat bukti serta supaya hakim tidak keliru atau salah dalam menerapkan hukum pembuktian. Meskipun suatu ketentuan hukum acara telah diatur dalam undang-undang maupun kodifikasi, sesungguhnya kekosongan hukum masih sering terjadi.

Selain itu, pelaksanaan hukum yang terlalu berorientasi pada undang-undang maupun kodifikasi akan semakin menjauhkan pelaksanaan hukum dari keadilan (Mulyadi, 2009: 298). Di satu sisi, hukum acara perdata masuk ke dalam penggolongan tradisional sebagai hukum publik (Sanusi, 2002: 105). Pada umumnya hukum publik adalah hukum yang sifatnya memaksa sehingga tidak diperkenankan adanya penyimpangan terhadap hukum publik tersebut (Sanusi, 2002: 110).

Mengingat undang-undang dan kodifikasi bukanlah satu-satunya sumber hukum di Indonesia (Mertokusumo, 2006: 7-10), maka

jurnal agustus isi.indd 192 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 107: Jurnal Agustus 2014

192 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 193

keberadaan yurisprudensi dan doktrin sebagai sumber hukum dalam hukum acara perdata tidak bisa ditiadakan sama sekali. Yurisprudensi dan doktrin sesungguhnya merupakan instrumen yang dapat membantu hakim dalam mewujudkan keadilan prosedural (procedural justice). Keadilan prosedural sesungguhnya merupakan implementasi dari due process yang terwujud ketika proses beracara telah dilakukan secara seimbang dan adil (fair and equitable) (Aristya, 2012).

Di antara beberapa prinsip utama (leading principles) dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan, terdapat dua prinsip yang mendorong terwujudnya keadilan prosedural yaitu: ensuring the fairness of the process (jaminan atas proses yang adil) dan achieving just and effective outcome (berorientasi pada penyelesaian sengketa yang efektif dan adil) (Neils, 2012). Itulah mengapa, penggunaan sumber hukum lain selain undang-undang di dalam hukum acara perdata khususnya dalam penerapan hukum pembuktian merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh hakim semata-mata dalam rangka memberikan perlakuan yang lebih adil, tidak memihak dan berorientasi kepada penyelesaian sengketa yang efektif.

SIMPULANV.

Berdasarkan tinjauan dan kajian tersebut, maka dapat ditarik simpulan bahwa di dalam putusan-putusan pengadilan yang dikaji, meskipun pada batasan tertentu pengadilan telah menerapkan ketentuan hukum formil (acara) dalam mengadili dan memutus perkara, tetapi masih terdapat persoalan–persoalan yang dapat menjadi alasan dibatalkannya putusan tersebut di tingkat yang lebih tinggi. Persoalan terkait penerapan hukum formil yang terjadi terutama

berupa pelanggaran asas putusan yang penting sebagaimana diatur dalam Pasal 178 HIR dan pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Dari hasil kajian juga dapat ditarik simpulan tentang adanya disparitas (perbedaan) hakim dalam menerapkan ketentuan hukum acara dengan titik tolak yang meliputi 4 (empat) aspek yaitu: (1) kesesuaian putusan dengan unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara (Pasal 184 HIR); (2) tidak adanya alasan yang membatalkan putusan maupun alasan batal demi hukum (null and void); (3) putusan hakim sudah didukung oleh alat bukti yang memadai dan sah sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan hukum acara; (4) termuatnya sumber hukum formal selain undang-undang yang dijadikan dasar dalam pertimbangan hakim terkait pembuktian.

Dari kelima putusan pengadilan di tingkat pertama (PN), terdapat 100% dari total putusan yang telah memperhatikan aspek-aspek yang penting dalam kesesuaian putusan dengan unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara, terutama menurut Pasal 184 HIR. Putusan yang tidak mengandung persoalan yang menjadi alasan pembatalan di tingkat yang lebih tinggi berjumlah 60%. Terdapat 80% dari total putusan yang telah didukung dengan alat bukti yang memadai dan sah berdasarkan ketentuan hukum acara dan hanya 20% dari total putusan yang menerapkan dasar hukum selain undang-undang yang dijadikan dasar pertimbangan hakim terkait pembuktian.

Persoalan utama yang terjadi di pengadilan tingkat pertama adalah terkait aktivitas penemuan hukum oleh hakim dalam mencari dasar hukum di luar undang-undang yang memberikan landasan yang kuat dalam pertimbangan putusannya,

jurnal agustus isi.indd 193 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 108: Jurnal Agustus 2014

194 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 195

sementara dari kelima putusan pengadilan di tingkat banding (PT), terdapat 100% dari total putusan yang telah memperhatikan aspek-aspek yang penting dalam kesesuaian putusan dengan unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara terutama menurut Pasal 184 HIR.

Putusan yang tidak mengandung persoalan yang menjadi alasan pembatalan di tingkat yang lebih tinggi berjumlah 80%. Terdapat 100% dari total putusan yang telah didukung dengan alat bukti yang memadai dan sah berdasarkan ketentuan hukum acara. Meskipun begitu, ternyata 0% dari total putusan yang menerapkan dasar hukum selain undang-undang yang dijadikan dasar pertimbangan hakim terkait pembuktian. Persoalan utama yang terjadi di pengadilan tingkat banding pun cenderung sama dengan yang terjadi di pengadilan tingkat pertama yaitu terkait aktivitas penemuan hukum oleh hakim dalam mencari dasar hukum di luar undang-undang yang memberikan landasan yang kuat dalam pertimbangan putusannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1856. “Maxims of Law from Bouvier’s 1856 Law Dictionary”. Akses 19 Mei 2014. http://www.rightsandwrong.com.au/MAXIMS.pdf.

Aristya, Sandra Dini F. 2012. “Integrating Small Claim Court Within Indonesian Civil Litigation (Comparative Perspectives in Civil Law and Common Law Countries). Paper dipresentasikan pada International Conference of the Draft of Civil Procedure Law berjudul “How Small Claim Court

could be incorporated in the draft law of Indonesia” pada 28 Juni 2012.

____________________. 2013. “Penerapan Alat Bukti Persangkaan Sebagai Circumstantial Evidence dalam Perkara Kelalaian Medis Di Yogyakarta”. Laporan hasil penelitian melalui Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum UGM periode Mei-Agustus 2013.

Daryono. 2004. “The Alternative Dispute Resolution and the Customary (Adat) Land Dispute in Indonesia”. Akses 11 April 2013. http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/Daryono-ASAA2004.pdf .

FGD Hakim Pengadilan Negeri di Provinsi DIY. Oktober 2012.

FGD. Fokke Fernhout. 2012 (University of Maastricht).

Halim, A. Ridwan. 2005. Hukum Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab). Edisi Revisi Cetakan Ketiga. Bogor: Ghalia-Indonesia.

Hamid, A.T. 1986. Hukum Acara Perdata Serta Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Harahap, Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata. Cetakan keempat. Jakarta: Sinar Grafika.

Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. “Keadaan Perkara yang Diregister Tahun 2010”. Akses 4 April 2013. http://kepaniteraan.m a h k a m a h a g u n g . g o . i d / s t a t i s t i k -perkara/125.html.

Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-VI 1994. “Pembangunan Sistem Hukum Nasional dalam PJPT Kedua (BPHN

jurnal agustus isi.indd 194 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 109: Jurnal Agustus 2014

194 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195 Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 195

Departemen Kehakiman)”. Varia Peradilan, No. 115 Tahun X April 1995.

Makarao, Moh. Taufik. 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta.

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Ketujuh Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty.

___________________. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Mulyadi, Lilik. 2009. Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan (Hukum Acara Perdata, Hukum Perdata Materil, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perkara Perdata Niaga). Edisi Pertama Cetakan ke-1. Bandung: PT. Alumni.

________________. 2009. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (Teori,Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya). Cetakan ke-1. Bandung: PT.Cipta Aditya Bakti.

________________. 2010. “Eksistensi Yurisprudensi Dikaji Dari Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan”. Akses 11 April 2013. http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=104:eksistensi yurisprudensi-dikaji-dari-perspektif-teoretis-dan-praktik peradilan&catid=23:artikel&Itemid=36.

Neils, Andrew. 2012. “Fundamental Principles of Civil Procedure: Order Out of Chaos”. di dalam Kramer, X.E., van Rhee, C.H. Civil Litigation in a Globalising World. The Hague: Asser Press.

Phipson, Sydney L. 1920. “Real Evidence”. The Yale Law Journal, Vol. 29, No. 7.

Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Cetakan Ketiga Revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sanusi, Ahmad. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Cetakan Kedua Edisi Keempat. Bandung: Tarsito.

Soeroso, R. 1996. Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan). Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Van Apeldoorn, L.J. 2005. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Wijayanta, Tata & Firmansyah, Herry. 2011. Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Wijayanta, Tata, et.al. 2010. “Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal”. Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3.

__________________. 2013. “Kajian Komprehensif terhadap Putusan-Putusan Pengadilan di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Terkait Perkara Sengketa Tanah yang Mengandung Gugatan Monetary Remedy dan/atau Equitable Remedy”. Laporan Hasil Penelitian yang disusun dalam rangka program Penelitian Putusan Hakim Tahun 2013 yang diadakan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia.

jurnal agustus isi.indd 195 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 110: Jurnal Agustus 2014

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 197

jurnal agustus isi.indd 196 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 111: Jurnal Agustus 2014

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 197

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 merupakan salah satu putusan penting. Putusan ini telah merombak struktur ketatanegaraan Indonesia yang menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, khususnya dalam pelaksanaan fungsi anggaran oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan dua lembaga dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran pada dasarnya merupakan konsekuensi konsep negara hukum yang menganut prinsip checks and balances, yang bertujuan agar kekuasaan tidak hanya terletak pada satu tangan dan menghasilkan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. Namun, pelaksanaan fungsi anggaran oleh kedua lembaga harus memerhatikan batasan-batasan sesuai fungsi masing-masing agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang dan justru mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi kembali fungsi checks and balances di mana pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan

pembangunan dan penganggaran, sementara DPR mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai amanat UUD NRI 1945.

Kata kunci: fungsi anggaran, APBN, checks and balances.

ABSTRACT

The Constitutional Court Decision Number 35/PUU-XI/2013 is one of the crucial decisions. This decision has revolutionized the Indonesian constitutional structure which seems to have deviated from democratic principles and rule of law, especially in the implementation of budgeting function by the government and the parliament. Those two agencies’ authorities in carrying out the function of planning and budgeting are basically a consequence of checks and balances principle in the rule of law, which aims to prevent corruption and authoritarian system resulted from an absolute government power. However, the implementation of the budgeting function by both agencies should give attention to each agency’s function limits in order to avoid intervention of power, conflict of interest, and abuse of power. In this case, the Constitutional Court Decision No. 35/PUU-XI/2013 has affirmed the limitation to the Parliament’s authority to discuss the National Budget Plans only in the scheme level. This limitation of the

REDUKSI FUNGSI ANGGARAN DPR DALAM KERANGKA ChECkS AND BAlANCES

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013

REDUCTION OF THE HOUSE’S BUDGETING FUNCTION IN TERMS OF CHECKS AND BALANCES

Yutirsa Yunus & Reza FarabyKementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

Jl. Taman Suropati No. 02, Jakarta Pusat 10310E-mail: [email protected] & [email protected]

An Analysis of the Constitutional Court’s Decision Number 35/PUU-XI/2013

Naskah diterima: 1 Juli 2014; revisi: 5 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 197 9/22/2014 9:41:17 AM

Page 112: Jurnal Agustus 2014

198 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 199

functions of Parliament is made as an effort to prevent the Parliament’s authority being that could possibly disrupt the government’s planning and budgeting system. Thus, this decision has repositioned the function of checks and balances, in which the government holds the function of development planning and budgeting, while the House

of Representatives implements the budgeting policy as mandated on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords: budgeting function, the National Budget Plans, checks and balances.

PENDAHULUANI.

Sebagai sebuah negara hukum demokratis, Indonesia berupaya menerapkan pemisahan dan pembagian kekuasaan (separation and distribution of power) guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaaan yang sewenang-wenang, sebagaimana diungkapkan oleh Lord Acton bahwa, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Pemisahan dan pembagian kekuasaan ini berkaitan erat dengan pemisahan fungsi (Lutz, 2011: 112), yang diejawantahkan dalam berbagai model di antaranya adalah konsep trias politica oleh Montesquieu yang memisahkan tiga fungsi kekuasaan negara yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Montesquieu, 1989: 169).

Pemisahan fungsi di atas merupakan implementasi konsep negara hukum demokratis yang dibangun menurut prinsip checks and balances, yang intinya menghendaki agar kekuasaan tidak hanya terletak pada satu tangan, sebagaimana lazim terjadi dalam sistem pemerintahan otoriter. Salah satu bentuk pemisahan dan pembagian fungsi berdasarkan prinsip checks and balances adalah fungsi anggaran (budgetary function). Di Indonesia, fungsi anggaran dijalankan oleh pemerintah yang bertugas menyusun Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (R-APBN), bersama dengan DPR yang bertugas ikut membahas dan

menyetujui R-APBN, termasuk pengawasan atas pelaksanaan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Pada asasnya, dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia, pelaksanaan fungsi anggaran merupakan fungsi utama pemerintah, namun secara teoretis maupun praktis, peran DPR dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel. Namun, diperlukan batasan agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Pada praktiknya, DPR memiliki kekuasaan berlebihan dalam menjalankan fungsi anggaran, antara lain dalam membahas rancangan anggaran yang terlalu detil dan memberikan tanda bintang untuk menunda pencairan anggaran, yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan kasus-kasus korupsi yang terkait penyalahgunaan anggaran.

Hal ini yang mendasari permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU MD3) terkait fungsi anggaran DPR yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Atas permohonan ini, Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013,

jurnal agustus isi.indd 198 9/22/2014 9:41:18 AM

Page 113: Jurnal Agustus 2014

198 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 199

memutus untuk memangkas kewenangan DPR agar tidak terlalu detil dalam membahas rancangan anggaran.

Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi lazimnya, putusan ini merupakan putusan penting (landmark decision), yang merombak kembali tatanan fungsi antar lembaga negara dalam menjalankan fungsi anggaran. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XI/2013 menggunakan dasar pertimbangan yang sangat kaya akan elaborasi dan kontemplasi akademis mengenai nilai-nilai dan konsep dasar negara hukum, checks and balances, pemisahan dan pembagian kekuasaan, maupun sistem pemerintahan presidensial yang dikaitkan dengan sistem dan praktik perencanaan penganggaran yang ideal. Adapun hal paling krusial namun implisit dalam putusan ini merefleksikan bahwa reformasi sistem perencanaan dan penganggaran pasca Orde Baru yang telah berlangsung 15 tahun, ternyata masih membuka potensi korupsi akibat fungsi dan kewenangan yang berlebihan oleh suatu lembaga.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, berikut ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: bagaimanakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 terhadap pelaksanaan fungsi anggaran dan prinsip checks and balances di Indonesia?

STUDI PUSTAKAIII. A. Konsep Negara Hukum Demokratis dan

Checks and Balances

Konsep negara Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dengan tegas dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa, “Negara Indonesia merupakan negara hukum”. Menurut Jimly Asshiddiqie (2010: 55), ketentuan ini mengandung pengertian bahwa:

..Adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.

Pandangan Jimly Asshiddiqie mengenai konsep negara hukum dalam UUD NRI 1945 tidak terlepas dengan faktor historis Indonesia sebagai negara bekas jajahan kolonial Belanda yang turut mewarisi sistem hukum Eropa Kontinental maupun konsep negara hukum Eropa yakni, rechtstaat. Adapun unsur-unsur negara hukum rechtstaat menurut Julius Stahl, mencakup (Budiardjo, 2001: 57-58):

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;

c. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Salah satu unsur esensial rechtstaat adalah adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan. Konsep ini secara konkret dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan utama, yakni (i) kekuasaan eksekutif, dijalankan oleh pemerintah;

jurnal agustus isi.indd 199 9/22/2014 9:41:18 AM

Page 114: Jurnal Agustus 2014

200 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 201

(ii) kekuasaan legislatif, dijalankan oleh parlemen; dan (iii) kekuasaan yudikatif, dijalankan oleh lembaga peradilan (Montesquieu, 1989: 169). Konsep pemisahan dan pembagian kekuasaan ini menjadi cikal bakal berkembangnya konsep negara hukum klasik menjadi negara hukum demokratis, di mana parlemen telah memiliki kedudukan setara dengan pemerintah. Sehingga, konsep negara hukum demokratis tidak lagi menempatkan pemerintah sebagai pihak tunggal dan sentral yang potensial menghasilkan pemerintahan otoriter.

Konsep ini diterapkan Indonesia di mana (i) kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai Kementerian/Lembaga dan dikepalai oleh Presiden; (ii) kekuasaan legislatif dijalankan oleh MPR yang terdiri dari DPR dan DPD; dan (iii) kekuasaan yudikatif dijalankan oleh lembaga peradilan. Ketiga fungsi ini belum dijalankan di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945. Sebelumnya, ketentuan UUD 1945 pra amandemen menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif, secara tekstual dan praktikal, berada di bawah MPR. Namun, pasca amandemen UUD NRI 1945, baik MPR, DPR, DPD, dan Presiden telah memiliki posisi setara sebagai lembaga tinggi negara.

Lebih lanjut, prinsip pemisahan dan distribusi kewenangan dilengkapi dengan prinsip checks and balances. Prinsip ini bertujuan untuk mewujudkan keselarasan pelaksanaan fungsi maupun pengawasannya oleh masing-masing lembaga. Namun pada praktiknya, pelaksanaan prinsip checks and balances sangat kompleks. Utamanya dalam hal terdapat dua lembaga negara yang menjalankan fungsi yang sama dalam menetapkan kebijakan, terdapat banyak pola atau

mekanisme interkasi yang harus dilakukan untuk menjaga prinsip checks and balances berjalan baik (Dragu et.al., 2014: 2). Dalam hal inilah dibutuhkan batasan-batasan antar lembaga dalam menjalan fungsinya masing-masing.

B. Fungsi Anggaran Eksekutif dan Legislatif dalam Penyusunan APBN

Penyelenggaraan negara sangat bertumpu pada pengelolaan keuangan negara yang terstruktur melalui sistem perencanaan dan penganggaran. Dalam konteks Indonesia, perencanaan dan penganggaran keuangan negara dilaksanakan oleh pihak eksekutif, yakni Pemerintah Republik Indonesia, yang dituangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, bahwa:

Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketentuan di atas mengandung tiga unsur utama yang harus diperhatikan dalam penyusunan APBN, yakni:

1. Dilaksanakan secara terbuka dan akuntabel, artinya proses perencanaan dan penganggaran harus membuka akses kepada seluruh pihak dan masyarakat untuk memungkinkan penyerapan aspirasi masyarakat seluas-luasnya serta menutup celah korupsi dan penyalahgunaan keuangan negara;

2. Ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, artinya penyusunan APBN tidak boleh dimaknai sebagai sarana untuk menampung seluruh program/

jurnal agustus isi.indd 200 9/22/2014 9:41:18 AM

Page 115: Jurnal Agustus 2014

200 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 201

kegiatan K/L yang hanya bersifat rutin dan operasional, melainkan harus sungguh-sungguh disesuaikan antara program/kegiatan fungsional K/L dengan kebutuhan masyarakat; dan

3. Penetapan APBN melalui undang-undang, merupakan jaminan legalitas APBN sebagai produk eksekutif atas keuangan negara yang perlu mendapat persetujuan oleh pemilik uang negara yakni, seluruh masyarakat Indonesia sebagai pembayar pajak, yang diwakili oleh DPR sebagai perwakilan rakyat.

Ketiga poin di atas mencerminkan bahwa APBN bukan hanya sekedar kumpulan mata anggaran, melainkan juga merupakan sebuah kebijakan. Sebagai instrumen kebijakan, APBN bersifat multi-fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai arah dan tujuan masyarakat (Soeriaatmadja et.al., 2010: 4). Hal yang sama dinyatakan dalam Penjelasan Umum poin 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa:

Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Dengan demikian, APBN memiliki peran yang sangat vital sebagai kebijakan anggaran yang menentukan berjalannya program-program dan kegiatan-kegiatan di Kementerian/Lembaga mulai dari pemenuhan hak dasar, pelayanan publik yang baik dan berkualitas, pembangunan infrastruktur yang memadai, kepastian dan penegakan hukum, dan berbagai program/kegiatan yang bertujuan untuk menyejahterakan

masyarakat. Dikarenakan fungsi APBN yang sangat vital karena menyangkut kemaslahatan rakyat Indonesia, maka penyusunannya tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, namun dibutuhkan pula peran lembaga legislatif untuk melakukan persetujuan atas rancangan anggaran yang disusun oleh pemerintah. Logika ini sesuai dengan berbagai praktik di setiap negara demokrasi yang berfungsi dengan baik, di mana pemeriksaan seksama atas rancangan anggaran oleh parlemen merupakan hal esensial dalam persetujuan anggaran (Juwono & Eckardt, 2008: 302).

Dalam siklus perencanaan dan penganggaran di Indonesia, DPR memiliki peran pada tahap akhir, yakni menyetujui rancangan anggaran (R-APBN) yang diajukan dan mengesahkannya menjadi undang-undang (APBN). Secara rinci, sebelum diajukan ke DPR, R-APBN telah disusun sedemikian rupa melalui proses perencanaan dan penganggaran di lingkup pemerintah dengan melibatkan seluruh unit eksekutif yang terdiri atas puluhan Kementerian/Lembaga (selanjutnya disingkat K/L), yang terbagi lagi ke dalam belasan ribu satuan kerja. Kompleksitas proses perencanaan dan penganggaran ini merupakan mekanisme yang terdiri atas beberapa tahapan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab di dalamnya yakni (Kementerian Keuangan, 2013: 60): (i) pembuatan perencanaan dan penganggaran berbasis kebijakan oleh Bappenas, Departemen Keuangan dan departemen teknis; (ii) penyusunan pagu anggaran indikatif dan rencana kerja masing-masing K/L (Renja-K/L), dengan merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); (iii) pembahasan di DPR yang terdiri atas pandangan umum masing-masing fraksi terhadap R-APBN

jurnal agustus isi.indd 201 9/22/2014 9:41:18 AM

Page 116: Jurnal Agustus 2014

202 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 203

hingga rapat kerja komisi dengan K/L, yang dapat menghasilkan berbagai revisi anggaran sebelum mencapai keputusan penolakan atau penetapan menjadi undang-undang (Bappenas, 2010: 108).

Skema di atas menggambarkan kompleksitas proses perencanaan dan penganggaran yang paling banyak melibatkan pihak pemerintah. Besarnya peran pemerintah dalam proses ini merupakan domain fungsi, kewenangan, maupun diskresi lembaga eksekutif dalam merencanakan program/kegiatan yang dapat dijalankan secara operasional untuk kepentingan masyarakat umum. Namun, untuk mencegah terjadinya pemerintahan yang otoriter, maka pelaksanaan fungsi, kewenangan, maupun diskresi pemerintah membutuhkan

pemeriksaan seksama, persetujuan, maupun pengawasan oleh lembaga legislatif. Dengan demikian, proses perencanaan dan penganggaran dalam hal ini merupakan implementasi konsep negara hukum demokratis yang bertumpu pada checks and balances.

ANALISISIV. A. Putusan Nomor 35/PUU-XI/2013: Fungsi

Anggaran dan Checks and Balances

Ketentuan mengenai penyusunan APBN yang melibatkan dua lembaga tinggi negara yakni pemerintah dan DPR dianggap telah bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum maupun sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terbukti

Gambar 1. Pemetaan Tanggung Jawab dalam Siklus Perencanaan dan Penganggaran(Sumber: Bappenas, 2010)

jurnal agustus isi.indd 202 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 117: Jurnal Agustus 2014

202 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 203

pada implementasinya yang kerap menimbulkan permasalahan dalam praktik perencanaan penganggaran. Sebagai eksesnya, lembaga swadaya masyarakat dan akademisi mengajukan permohonan Nomor 35/PUU-XI/2013 diajukan oleh mengenai pengujian beberapa pasal dalam UU Keuangan Negara dan UU MD3 yang terkait dengan kewenangan DPR dalam melaksanakan hak anggaran. Ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut dianggap telah mengatur fungsi anggaran DPR yang begitu luas dalam proses penyusunan APBN sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, berpotensi menciptakan penyalahgunaan kewenangan, menjadi akar praktik korupsi, serta bertentangan dengan UUD 1945. Secara garis besar, poin permohonan yang diajukan terkait dengan lima isu, sebagai berikut:

1. Keberadaan Badan Anggaran di DPR yang bersifat tetap (Pasal 104 dan 105 ayat (1) UU MD3);

2. Kewenangan Badan Anggaran DPR untuk melakukan pembahasan R-APBN secara rinci mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan K/L (Pasal 107 ayat (1) UU MD3) dan kewenangan DPR untuk melakukan pembahasan alokasi anggaran hingga satuan tiga yakni mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja (Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, dan Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3);

3. Kewenangan DPR untuk memberikan tanda bintang pada rencana anggaran sebagai bentuk penundaan/pemblokiran pencairan anggaran (Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a UU MD3); dan

4. Kewenangan DPR dalam proses dan ruang lingkup pembahasan APBN-P (Pasal 161

dan Pasal 156 butir c angka (2) UU MD3).

Berdasarkan permohonan di atas, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yakni:

1. Terkait dengan keberadaan Badan Anggaran di DPR, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa hal tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945;

2. Terkait dengan kewenangan Badan Anggaran DPR dan kewenangan DPR untuk melakukan pembahasan APBN secara rinci hingga level kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga). Mahkamah Konstitusi memutus bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga, DPR hanya berwenang membahas rincian alokasi pada unit organisasi, fungsi, dan program;

3. Terkait ketentuan mengenai masih adanya proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN, yang menjadi dasar praktik pemberian tanda bintang oleh DPR pada rencana anggaran, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

4. Terkait kewenangan DPR dalam lingkup pembahasan APBN-P, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa perubahan rancangan anggaran hanya menyangkut pergeseran anggaran antar unit organisasi, sehingga tidak mendetail hingga level antar kegiatan dan antar jenis belanja.

jurnal agustus isi.indd 203 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 118: Jurnal Agustus 2014

204 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 205

Putusan di atas mencerminkan bahwa permasalahan utama dalam proses penyusunan APBN adalah cakupan fungsi anggaran DPR yang terlalu rinci membahas perencanaan dan penganggaran di Kementerian/Lembaga hingga level kegiatan dan jenis belanja, sehingga Mahkamah Konstitusi membatasi cakupan fungsi anggaran DPR hanya sampai level program. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi membatasi fungsi anggaran DPR dilandaskan pada sistem penyelenggaraan kekuasaan penyusunan dan penetapan anggaran negara menurut Pasal 23 ayat (2) UUD NRI 1945 berikut ini:

Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 di atas menegaskan adanya unsur sistem checks and balances sebagaimana dinyatakan berikut ini:

Pasal 23 ayat (2) UUD 1945... tersebut menegaskan dua hal, yaitu: Pertama, dalam sistem checks and balances yang dianut oleh UUD 1945, hanya Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara, yang dapat mengajukan RUU APBN. Kedua, rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tersebut dibahas oleh DPR bersama Presiden. Kewenangan DPR membahas rancangan APBN tersebut selain terkait dengan fungsi anggaran yaitu membahas rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang juga terkait dengan fungsi legislasi yang dimiliki DPR.

Adapun menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan di atas juga saling terkait dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) UUD NRI 1945 yang dimaknai sebagai:

Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan

dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa makna Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 ini menegaskan pengakuan sistem presidensial yang memberikan kewenangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan anggaran, sebagai berikut:

Makna Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), pada pokoknya berarti Presiden mengajukan anggaran dan DPR menyetujui anggaran tersebut. Pasal 23 ini memberikan satu deskripsi bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 UUD 1945 adalah yang paling mengetahui hal ihwal program pembangunan yang hendak dilaksanakannya sehingga oleh konstitusi diberikan kewenangan konstitusional yang bersifat eksklusif kepada Presiden untuk mengajukan RAPBN yang kemudian dibahas bersama dan disetujui oleh DPR. Hal itu pulalah yang membedakan RUU lainnya yang dapat diajukan baik oleh DPR, Presiden, atau RUU tertentu oleh DPD dengan RUU APBN. Ketentuan tersebut sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang dianut Indonesia, yaitu sistem presidensial. UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan penggunaan anggaran, termasuk merencanakan program dan anggaran pemerintahan negara yang akan dilaksanakan setiap tahun. Anggaran tersebut diajukan oleh Presiden dalam bentuk RUU.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa makna Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa kewenangan DPR hanya pada level persetujuan, sebagai berikut:

Kewenangan DPR dalam hal ini adalah untuk memberikan persetujuan terhadap program maupun rencana anggaran yang

jurnal agustus isi.indd 204 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 119: Jurnal Agustus 2014

204 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 205

diajukan Presiden tersebut, dalam hal ini memberikan persetujuan dan otorisasi terhadap rancangan anggaran yang diajukan oleh Presiden. Selanjutnya DPR selaku wakil rakyat melakukan kontrol dan pengawasan atas penggunaan anggaran yang telah disetujui bersama. Norma inilah yang pada hakikatnya menjelaskan makna dari fungsi anggaran DPR yang dinyatakan dalam Pasal 20A UUD 1945.

Baik ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 maupun penafsiran Mahkamah Konstitusi di atas memberikan distribusi dan pembatasan kekuasaan antara Presiden dan DPR, di mana Presiden berwenang menyusun rancangan anggaran (R-APBN). Kewenangan Presiden untuk menyiapkan R-APBN merupakan fungsi Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 UUD 1945. Sehingga, Presiden sebagai pihak yang paling mengetahui ihwal program pembangunan yang hendak dilaksanakan oleh berbagai Kementerian/Lembaga, memiliki kewenangan konstitusional yang bersifat eksklusif untuk merencanakan program-program pembangunan yang akan dilaksanakan setiap tahun beserta kebutuhan anggarannya.

Kewenangan Presiden dalam menyusun rancangan anggaran merupakan konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia. Namun, meski sistem presidensial memberi kewenangan ekslusif kepada Presiden untuk menyusun rencana anggaran, hal ini tidak berarti bahwa fungsi anggaran yang dimiliki Presiden bersifat absolut. Melainkan tetap dibutuhkan fungsi DPR dalam membahas dan menyetujui/tidak menyetujui R-APBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagaimana dinyatakan oleh (Ma & Hou, 2009: 54), peran lembaga

legislatif dan partisipasi publik merupakan hal yang penting dalam memastikan akuntabilitas finansial. Namun akan menjadi sesuatu yang tidak tepat pula apabila penentuan anggaran hanya dititikberatkan kepada lembaga legislatif semata.

Hal ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi, yang mengakui adanya pelaksanaan fungsi anggaran oleh dua lembaga dengan batasan-batasan fungsi tertentu sebagai berikut:

Dengan memperhatikan pembagian dan pembatasan kewenangan melalui sistem checks and balances yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas, pada pokoknya penetapan APBN dilakukan oleh dua pemegang cabang kekuasaan yaitu oleh Presiden dan DPR. Kedua lembaga tersebut memiliki peran dan batasan kewenangan yang berbeda. Presiden mengajukan RAPBN sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang secara spesifik dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Sementara itu, DPR menjalankan fungsi anggaran, atau fungsi membahas dan menyetujui anggaran yang diajukan Presiden dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran yang sudah disetujui bersama. Menurut Mahkamah, berdasarkan prinsip pembatasan kekuasaan, kewenangan DPR terkait APBN adalah:1) Membahas dan menyetujui bersama

Presiden atas RAPBN yang telah diajukan Presiden;

2) Mengawasi pelaksanaan APBN yang sudah disetujui bersama tersebut.

Pelaksanaan suatu fungsi anggaran oleh dua lembaga ini dibutuhkan untuk mencegah terciptanya sistem pemerintahan otoriter. Sistem ini merupakan implementasi prinsip checks and balances yang merupakan prasyarat utama sebuah negara hukum yang demokratis. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang mengaitkan antara pelaksanaan fungsi anggaran oleh Pemerintah dan DPR dengan prinsip checks and balances, sebagai berikut:

jurnal agustus isi.indd 205 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 120: Jurnal Agustus 2014

206 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 207

Fungsi Anggaran DPR yang diatur dalam norma a quo sangat berkaitan dengan prinsip pembagian kekuasaan antar-lembaga negara yang berdasarkan UUD 1945 menganut prinsip checks and balances antar-lembaga negara yaitu bahwa hubungan satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain dilakukan berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan (power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain (power supervises other powers), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain (power controls other powers). Kekuasaan pemerintahan dipandang sebagai kekuasaan yang sangat besar yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Checks and balances menjaga agar suatu cabang pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya.

Namun demikian, fungsi anggaran DPR tidak serupa dengan fungsi anggaran yang dimiliki Presiden. Hal ini didasarkan pada prinsip pembagian dan pembatasan kekuasaan maupun checks and balances yang menyebabkan fungsi dan kewenangan DPR dibatasi agar tidak sampai mengintervensi domain kekuasaan pemerintah. Sebab, fungsi perencanaan dan penganggaran merupakan fungsi eksekutif, yang bertugas merencanakan dan mengeksekusi jalannya program pemerintahan. Pelaksanaan fungsi anggaran oleh dua lembaga ini merupakan bentuk checks and balances untuk memastikan bahwa rencana program dan anggaran yang disusun benar-benar diarahkan untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi telah mereposisi dan merevitalisasi prinsip checks and balances dalam pelaksanaan fungsi anggaran Pemerintah dan DPR. Melalui putusan ini telah menjadi jelas batas pelaksanaan fungsi anggaran DPR dalam membahas R-APBN, yang sebelumnya hingga level kegiatan dan jenis belanja, kini hanya sampai level program. Adapun

keputusan Mahkamah Konstitusi membatasi kewenangan DPR ini didasari oleh pertimbangan bahwa:

Hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja. Adapun kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai perencana dan pelaksana APBN... Selain itu, pembahasan terperinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada saat rencana tersebut diimplementasikan. Ketika DPR melalui Badan Anggaran memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja maka pada saat itu DPR telah melewati kewenangannya dalam melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif... Selain itu, proses perencanaan anggaran adalah proses kerja yang sangat spesifik dan teknis, sehingga hanya dipahami secara mendetail dan terperinci oleh masing-masing penyelenggara negara tersebut.

Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya sesuai dengan konsep parlemen dalam sistem presidensial, di mana parlemen tidak perlu melakukan pembahasan rencana anggaran terlalu detil. Sebab, pembahasan detil oleh parlemen akan mengonsumsi waktu dan sumber daya yang dapat melemahkan kualitas pelaksanaan fungsi parlemen lainnya, yakni fungsi legislatif dan fungsi pengawasan. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Juwono & Eckardt (2008: 302) berikut ini:

jurnal agustus isi.indd 206 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 121: Jurnal Agustus 2014

206 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 207

The current budget deliberation process, and the resulting appropriations structure embodied in the budget law and annexes, allow for legislative involvement at a rather detailed level. The practice of submitting full ministerial work plans and budgets to the DPR for deliberation is one of the reasons for this focus on details. Article 15 of Law 17/2003 on state finances stipulates that budget appropriations of the DPR are to be classified by organizational units, functions, programs, activities, and types of expenditure. There are currently about 130 programs, with 19,945 spending units (satker) detailed by location, each of which has a detailed line item budget. Reportedly the DPR can, and routinely does, change the specific line items in expenditure appropriations proposed in the executive budget proposals. This detailed appropriations approach is not atypical in presidential systems... These detailed deliberations not only consume considerable time and resources on the part of both the executive and the legislature, but they also presumably impair the quality of legislative engagement. Although the parliament as an institution has a strong interest in ensuring that overall spending priorities are reflected in the budget and that fiscal stability is maintained, the attention of individual members to detailed line items may distract from the focus on those more aggregate variables in the budget.

Hal ini sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia. Sehingga, kondisi ini berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang menganut prinsip supremasi parlemen, yang dimaknai sebagai tidak satupun yang dapat menghalangi parlemen dalam membentuk undang-undang (Masterman, 2011: 20). Model kekuasaan parlemen ini berlaku di Inggris yang jauh berbeda dengan Indonesia. Secara praktis, di Indonesia, pembahasan rancangan anggaran yang detil tidak akan mungkin dilakukan oleh parlemen oleh karena adanya keterbatasan anggota DPR dari segi waktu (time constraint), kompetensi (competency

constraint), dan keterbatasan pendidikan (educational constraint) (Suyanto, 2008: 1). Hal ini juga disertai oleh keterbatasan pengalaman anggota DPR (inexperience of members) maupun kekurangan finansial, sumber daya manusia, dan prosedural (financial, human resources, and procedural deficiencies) DPR sebagai sebuah institusi (Sherlock, 2011: 3). Berbagai teori ini terbukti pada praktik di mana dalam konteks penyusunan APBN, tidak seluruh anggota DPR memahami konsep dan praktik perencanaan dan penganggaran yang sangat teknis. Di samping itu, waktu pembahasan R-APBN yang sangat singkat, yakni hanya sekitar dua bulan, sangat tidak memungkinkan DPR untuk membahas secara mendetil rancangan anggaran secara detil, sebagaimana data dilihat pada tabel berikut (Sekjen DPR-RI, 2009: 9):

Hal ini juga tercermin dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan rakyat dapat dimaknai sebagai kedaulatan parlemen, yang merupakan kumpulan entitas representasi rakyat. Di mana konsep kedaulatan parlemen itu sendiri sejak dahulu dipandang sebagai inti dari adanya praktik demokrasi (Ginsburg, 2012: 1). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang pada dasarnya tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang menganut kedaulatan parlemen absolut. Melainkan kedaulatan parlemen sendiri dibatasi dengan konstitusi sebagaimana dinyatakan bahwa, “...dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sehingga, dalam pelaksanaan kedaulatan dan kekuasaannya, DPR pun harus mematuhi batas-batas kewenangan yang telah ditentukan dalam ketentuan UUD 1945.

jurnal agustus isi.indd 207 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 122: Jurnal Agustus 2014

208 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 209

NO. KEGIATAN PELAKSANA WAKTU

1. Penyiapan dokumen awal berupa rencana kegiatan K/L untuk kemudian diserahkan pada Departemen Keuangan

K/L Januari – Mei tahun sebelumnya

2. Pengolahan dokumen awal menjadi paket pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro

Kemenkeu / Bappenas Januari – Mei tahun sebelumnya

3. Rapat kabinet dihadiri seluruh menteri yang melahirkan RAPBN usulan pemerintah untuk tahun depan

Jajaran Kabinet Pertengahan Mei tahun sebelumnya

4. Penyerahan dan pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro untuk dijadikan bahan penyusun RUU APBN dan Nota Keuangan

Panitia Anggaran, Menteri Keuangan, Menneg PPN/Kepala Bappenas, Gubernur BI

Pertengahan Mei tahun sebelumnya

5. Penyampaian pidato pengantar RUU APBN dan nota keuangan pemandangan umum dan jawaban pemerintah

Presiden/ Kepala Negara, Paripurna DPR, fraksi-fraksi DPR

16 Agustus tahun sebelumnya

6. Pembicaraan tingkat I RUU APBN dan nota keuangan

Panitia anggaran dan jajaran menteri/ Kepala Lembaga Negara

September-Oktober tahun sebelumnya

7. Pembicaraan tingkat II dan pengambilan keputusan atas RUU APBN

Panitia anggaran, fraksi-fraksi, jajaran pemerintah

Akhir Oktober tahun sebelumnya

8. Pelaksanaan APBN Pemerintah dan DPR

1 Januari – 31 Desember tahun berjalan

9. Laporan realisasi semester I dan prognosis semester II

Pemerintah, cq. Departemen Keuangan dan Panitia Anggaran

Akhir Juli tahun berjalan

10. Penyampaian RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN

Presiden dan Paripurna DPR Akhir juli tahun selanjutnya

11. Pengajuan, pembahasan, dan penetapan RUU APBN Perubahan

Pemerintah dan DPR Sewaktu-waktu pada tahun berjalan

Tabel 1. Timeline Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan APBN(Sumber: Sekjen DPR-RI, 2009)

Sebagai sebuah lembaga politik, DPR seharusnya tidak terlalu detail merinci kegiatan dan jenis belanja pemerintah yang bersifat mikro-teknis. Melainkan DPR seharusnya berfokus pada politik anggaran negara yang bersifat makro-strategis. Hal ini pula yang dinyatakan oleh saksi ahli Ahmad Erani Yustika bahwa, keterlibatan DPR dalam perumusan anggaran merupakan wujud turut serta dalam menentukan politik anggaran yang kini sudah hilang pada saat berbicara mengenai fungsi perumusan anggaran DPR di dalam pembahasan APBN. Sehingga,

sifat fungsi anggaran DPR seharusnya dimaknai sebagai sifat yang makro-strategis, bukan mikro-teknis.

Hal ini pada dasarnya tersirat secara implisit dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU MD3, yang dapat ditafsirkan bahwa pembahasan APBN akan mengarah ke arah pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal sebagaimana ditentukan bahwa:

Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan

jurnal agustus isi.indd 208 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 123: Jurnal Agustus 2014

208 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 209

segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:

a. Kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;

b. Kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan

c. Rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.

Dapat dilihat bahwa ketentuan poin c di atas sangat bersifat teknis dan tidak relevan dengan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang menjadi acuan dimulainya pembicaraan pendahuluan penyusunan APBN. Ketentuan poin c ini pula yang menjadi titik kritis putusan Mahkamah Konstitusi sehingga yang semula lingkup fungsi anggaran DPR merambah hingga level kegiatan, kini hanya sampai level program. Putusan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya telah berupaya merombak lingkup fungsi anggaran DPR yang telah jauh bertentangan dengan konsep maupun praktik perencanaan penganggaran yang ideal menurut berbagai kerangka, baik menurut kerangka sistem pemerintahan presidensial, kerangka negara hukum demokratis, maupun kerangka checks and balances.

Di samping pembatasan kewenangan DPR untuk membahas R-APBN terlalu rinci, Mahkamah Konstitusi juga memutus persoalan fundamental dalam praktik pembahasan R-APBN di DPR, yakni terkait pemberian tanda bintang oleh DPR yang berakibat pada penundaan pencairan APBN yang sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.

Lagi-lagi, Mahkamah Konstitusi menggunakan prinsip checks and balances sebagai dasar pertimbangannya berikut ini:

Bahwa sesuai dengan pembagian kewenangan antara Presiden dan DPR dalam penyelenggaraan APBN seperti yang telah dipertimbangkan di atas, menurut Mahkamah, kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran adalah terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran. Meskipun UU 27/2009 tidak secara eksplisit mengatur mengenai proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN di dalam Badan Anggaran maupun di dalam rapat paripurna, pengaturan tentang proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN tidak dibenarkan untuk menyalahi prinsip pembatasan kewenangan DPR dalam prinsip checks and balances yang dianut oleh konstitusi. Hal ini penting untuk menjamin adanya keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif sesuai dengan porsi masing-masing. Praktik penundaan pencairan (pemberian tanda bintang) anggaran pada mata anggaran oleh DPR yang mengakibatkan mata anggaran tersebut tidak mendapat otorisasi untuk digunakan sudah masuk pada pelaksanaan APBN yang telah ditetapkan sebelumnya, dan bukan termasuk pada salah satu fungsi pengawasan oleh DPR yang dimaksud oleh UUD 1945.

Di samping pertimbangan prinsip checks and balances, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa praktik pemberian tanda bintang oleh DPR berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk adanya kejelasan dan ketegasan mengenai kewenangan DPR ketika menyelenggarakan fungsinya dalam penyusunan dan penetapan APBN maka Undang-Undang, dalam hal ini UU APBN, harus secara tegas menyetujui atau tidak menyetujui mata anggaran tertentu dengan tanpa persyaratan seperti dengan melakukan penundaan pencairan (pemberian tanda bintang). Dengan adanya persyaratan dalam pencairan APBN, sangat

jurnal agustus isi.indd 209 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 124: Jurnal Agustus 2014

210 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 211

berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.

Berdasarkan dasar pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa ketentuan Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR mempunyai tugas dan wewenang: g. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden” dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun perancangan APBN; b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”.

Meski demikian, masih banyak hal belum terjawab melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang masih perlu diatur secara teknis melalui revisi Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib DPR. Antara lain mengenai pembahasan APBN di tingkat DPR yang kini hanya mencakup level program. Sekilas ini mengindikasikan adanya kemudahan dan keringanan dalam membahas program pemerintah di DPR. Namun, secara faktual, jumlah program K/L pun masih cukup banyak dan akan menyita waktu dalam proses pembahasan di tingkat DPR. Sehingga, perlu untuk merekonstruksi kembali mekanisme pembahasan APBN di tingkat DPR. Dalam hal ini, seharusnya proses pembahasan R-APBN di

DPR lebih diarahkan pada pembahasan rencana program dan anggaran program prioritas yang telah ditentukan sebagai fokus prioritas dalam rencana pembangunan, yakni RKP maupun RPJMN.

Gejala kekinian menunjukkan ketidakpahaman atau ketidakpedulian DPR terhadap program-program prioritas pembangunan yang dicanangkan dalam RKP maupun RPJMN. Padahal, secara ideologis, RKP maupun RPJMN bukan merupakan produk Pemerintah semata, melainkan produk negara yang menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang disahkan melalui produk legislatif, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Berbagai arah kebijakan pembangunan negara di segala bidang telah dicanangkan dalam berbagai dokumen perencanaan, di mana secara formil dan moril, DPR harus ikut serta dalam menjamin terlaksananya berbagai program pembangunan prioritas tersebut melalui fungsi anggaran, fungsi pengawasan, maupun fungsi legislasinya. Berbagai pelaksanaan fungsi DPR tidak lain dimaksudkan untuk mendukung Pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Kerangka hubungan DPR yang mendukung Pemerintah seperti inilah yang ideal namun belum terbangun di Indonesia. Di mana esensi prinsip checks and balances bukanlah pada aspek saling mengawasi dan mengintervensi, melainkan saling mendukung melalui fungsi masing-masing.

Dominannya peran Pemerintah dan minimnya peran DPR dalam pelaksanan fungsi anggaran tidak dapat dimaknai sebagai bentuk dominasi Pemerintah atas DPR ataupun Pemerintah merupakan pihak yang lebih superior dari DPR. Melainkan, pembagian fungsi ini semata

jurnal agustus isi.indd 210 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 125: Jurnal Agustus 2014

210 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212 Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 211

merupakan bentuk distribusi dan pemisahan kekuasaan berdasarkan fungsi masing-masing lembaga, yang harus diterapkan dalam suatu negara hukum demokratis. Lebih lanjut, guna mengimbangi minimnya peran DPR dalam fungsi anggaran, prinsip checks and balances dapat dilaksanakan oleh DPR melalui fungsi lainnya, yakni fungsi pengawasan atas penggunaan anggaran yang telah disetujui bersama, untuk memastikan kesesuaian peruntukannya dalam mencapai kemakmuran rakyat.

Fungsi checks and balances tidak dapat dimaknai bahwa suatu lembaga berwenang untuk melakukan pengawasan terlalu jauh ke dalam domain kekuasaan lembaga lainnya. Sebab, hal ini justru akan bertentangan dengan konsep checks and balances itu sendiri yang menghendaki adanya keseimbangan kekuasaan. Dalam hal ini, DPR memang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI mulai dari tahap perancangan hingga pertanggungjawabannya.

Namun, perlu diatur sampai batas-batas tertentu kewenangan tersebut dapat dilaksanakan agar tidak sampai merambah pada ranah teknis yang justru mengacaukan sistem dan kewenangan yang telah ditata sedemikian rupa. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 yang pada intinya membatasi kewenangan DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada tingkat program, dan tidak lagi sampai tingkat kegiatan, merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang dalam melakukan fungsi pengawasan yang justru mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi kembali fungsi check and balances.

SIMPULANV.

Fungsi anggaran eksekutif dan legislatif dalam penyusunan APBN baik menurut UUD NRI 1945 maupun praktik perencanaan panganggaran di Indonesia sangatlah kompleks karena melibatkan pihak Pemerintah dan DPR. Dalam hal ini, Pemerintah memiliki peran paling besar dalam proses perencanaan dan penganggaran yang merupakan domain fungsi, kewenangan, maupun diskresi lembaga eksekutif dalam merencanakan program/kegiatan yang dapat dijalankan secara operasional untuk kepentingan masyarakat umum. Namun, untuk mencegah terjadinya pemerintahan otoriter, maka pelaksanaan fungsi Pemerintah membutuhkan pemeriksaan, persetujuan, maupun pengawasan oleh lembaga legislatif yakni, DPR. Dengan demikian, proses perencanaan dan penganggaran dalam hal ini merupakan implementasi konsep negara hukum demokratis yang bertumpu pada checks and balances.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 terhadap pelaksanaan fungsi anggaran dan prinsip checks and balances di Indonesia mengakibatkan terbatasnya fungsi anggaran DPR hanya pada tingkat pembahasan di level program dan hilangnya kewenangan DPR memberi tanda bintang pada proses pembahasan rancangan anggaran. Namun demikian, pembatasan ini tidak berimplikasi pada pembatasan fungsi DPR sebagai wakil rakyat untuk mengawasi sejauhmana suatu rencana anggaran yang disusun Pemerintah telah sesuai dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mekanisme pembahasan R-APBN oleh DPR hanya sampai level program sudah sangat sesuai dan ideal dengan konteks Indonesia yang menerapkan RPJPN dan RPJMN. Adapun mekanisme yang dapat dijalankan dalam pembahasan R-APBN di DPR adalah pembahasan program-program prioritas yang

jurnal agustus isi.indd 211 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 126: Jurnal Agustus 2014

212 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

telah dicanangkan oleh Pemerintah dengan mengacu pada sasaran-sasaran pembangunan jangka panjang dan menengah dalam RPJPN dan RPJMN. Dengan demikian, diharapkan DPR dapat mewujudkan fungsi politik anggaran yang mengacu pada anggaran berbasis prioritas-prioritas pembangunan dalam RPJMN maupun RKP sesuai amanat UUD NRI 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Bappenas. 2010. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru. Jakarta: The World Bank.

Budiardjo, Miriam. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dragu, Tiberiu et.al. 2014. Designing Checks and Balances. New York: Quarterly Journal of Political Science.

Ginsburg, Tom. 2012. Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases. Cambridge: Cambridge University Press.

Juwono, Vishnu & Sebastian Eckardt. 2008. Budget Accountability and Legislative Oversight in Transition: The Case of Post-Suharto in Indonesia, dalam World Bank, Legislative Oversight and Budgeting: A World Perspective. Washington: The World Bank.

Kementerian Keuangan. 2013. Dasar-Dasar Praktik Penyusunan APBN di Indonesia. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Lutz, Donald S. 2011. Principles of Constitutional Design. Cambridge: Cambridge University Press.

Ma, Jun & Yilin Hou. Dec 2009. Budgeting for Accountability, A Comparative Study of BudgetReforms in the United States during the Progressive Era and in Contemporary China. Chicago: Public Administration Review.

Masterman, Roger. 2011. The Separation of Powers in the Contemporary Constitution. Cambridge: Cambridge University Press.

Montesquieu. 1989. The Spirit of the Laws. Cambridge: Cambridge University Press.

Sekjen DPR-RI. 2009. Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan. Jakarta: Sekjen DPR-RI.

Sherlock, Stephen. 2011. Parliamentary Indicators: Indonesia. Washington: World Bank Institute.

Soeriaatmadja, Arifin et.al. 2010. Kompedium Bidang Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Suyanto, Siswo. 2008. “Hak Budget dan Keterbatasan Lembaga Legislatif”. Akses 13 Januari 2014. <http://www.keuanganpublik.com/2008/01/hak-budget-dan-keterbatasan-lembag a.html>.

jurnal agustus isi.indd 212 9/22/2014 9:41:19 AM

Page 127: Jurnal Agustus 2014

212 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.

4. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.

5. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S.

6. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.

7. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.

ISSN 1978-6506

Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 Hal. 103 - 212

jurnal agustus isi.indd 213 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 128: Jurnal Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 214 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 129: Jurnal Agustus 2014

BIODATA PENULIS

Melani, lahir di Bandung, 24 Mei 1957, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Selain itu juga advokat yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI pada tanggal 20 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Pengalaman berorganisasi, sebagai aktivis LBH Bandung (1981-1997), Direktur LBH Bandung (1991-1997), Anggota Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) Bandung (1985). Pengurus Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Bandung (1985-2002), Anggota Dewan Kehormatan IKADIN Bandung, (2003-2005), Ketua Dewan Penasihat IKADIN Bandung (2006-2007). Wakil Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Barat (2008-2013). Anggota Dewan Kehormatan KAI Jabar (2013-2018). Aktivitas lain di antaranya, Working Group Restorative Justice kerjasama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar-UNICEF (2003-2004), Working Group dalam Program Uji Coba Model Restorative Justice di Kota Bandung, Kerjasama LPA Jabar-UNICEF, (2005-2007), Pengajar Pendidikan Praktisi & Konsultasi Hukum Angkatan ke-1 dan ke-3 LPM UNPAD (2001/2003), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama FH-UNPAD dengan DPC IKADIN Bandung (2005), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat KAI Jabar (2009-2010), (2011-2012), dan menulis di jurnal hukum, majalah, serta surat kabar baik nasional maupun daerah

Vidya Prahassacitta, lahir di Denpasar (1985), memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia tahun 2007 dan merupakan lulusan terbaik program Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2010 dengan konsentrasi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Saat ini merupakan dosen tetap pada Fakultas Humaniora Jurusan Business Law Universitas Bina Nusantara Jakarta dan merupakan pengasuh beberapa mata kuliah antara lain hukum pidana, praktek pengadilan niaga dan pengadilan hubungan industrial. Sebelumnya pemegang Kartu Advokat dari Peradi ini merupakan asisten untuk mata kuliah hukum perburuhan pada Universitas Tarumanegara Jakarta dan merupakan advokat yang telah magang dan bekerja pada beberapa firma hukum terkemuka di Jakarta seperti Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Amir Syamsuddin & Partners, SRS dan NSMP Law Office yang berafiliasi dengan firma hukum Wong Alliance LLP di Singapura, RRC dan Timor Leste serta Jipyong & Jisung di Korea Selatan. Kontak 08161462458 dan 08119770576.

Ramdani Wahyu S, dilahirkan di Banjar, 30 Oktober 1972. Pendidikan S1 di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1991-1996) jurusan Peradilan Agama, Program Pascasarjana (S2) IAIN SGD Bandung prodi Hukum Islam dan Pranata Sosial (1998-2000), Program Pascasarjana (S2) Unpad Bidang kajian Sosiologi-Antropologi (2000-2004) dan UIN SGD Bandung Program Pascasarjana (S3) prodi Hukum Islam (2011). Sejak tahun 1997 sebagai dosen luar biasa di IAIN SGD Bandung. Tahun 2000 diangkat sebagai dosen tetap (PNS) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung. Selain itu, menjadi dosen luar biasa di STAI Siliwangi Bandung tahun 1999-2004, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad tahun 2000 s.d. sekarang. Tahun 2003-2007 menjadi Sekpri Rektor UIN SGD, 2008-2012 sebagai

jurnal agustus isi.indd 215 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 130: Jurnal Agustus 2014

Kepala Pusat Penelitian Kehidupan Beragama pada Lembaga Penelitian UIN SGD, tahun 2012-2015 sebagai Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu pada Lembaga Penjaminan Mutu UIN SGD Bandung. Buku yang pernah ditulis antara lain Sosiologi Keluarga (Pustaka Setia-2000), Asuransi Syariah (SGDPress-2001), Sosiologi Hukum Perspektif Baru Studi Hukum dalam Masyarakat (SGDPress-2003), Ilmu Sosial Dasar (Pustaka Setia-2006), Ilmu Budaya Dasar (Pustaka Setia-2007) dan Pendidikan Agama Islam (2007). Penelitian yang pernah dilakukan antara lain Politik Hukum Islam pada Masa Orde Baru (1998), “Kiai dan politik” (2004), Politik Hukum Islam pada Masa Orde Baru (1998), Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama (2011), dan Analisis Putusan Perceraian di Ligkungan Peradilan Agama (2013). Kegiatan lainnya adalah Tim penulis modul Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Ketua Bidang Pengembangan Alumni IKA Fak Syariah dan Hukum, dan Anggota HISSI (Himpunan Sarjana Syariah Indonesia), Ketua Divisi Organisasi dan Kelembagaan ICMI Orwil Jawa Barat, Ketua dan konsultan pada Biro Konsultasi dan Layanan Hukum Keluarga (BKLHK).

Bambang Pratama, menyelesaikan studi strata satu di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya tahun 2002 dengan bidang studi Hukum Perdata. Strata dua diselesaikan di Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2006 dengan bidang studi hukum bisnis. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Riset hukum yang diminati adalah Hukum Bisnis, Hak Kekayaan Intelektual dan Cyber Law. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain: Economic Sustainable Development (2008); Konfigurasi Pendidikan Entrepreneurship Pada Pendidikan di Indonesia Sesuai dengan Kebutuhan Industri dalam Menciptakan Lulusan Berdaya Saing Global (2011); Perlindungan Hukum Digital Property di Indonesia (2012); Kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual Bagi Pengguna Jejaring Sosial (2013); Merekonstruksi Bangunan Hukum Siber di Indonesia (2014). Tulisan yang pernah dipublikasikan antara lain: Open Source Sebagai Salah Satu Bentuk HKI (2010); Prevention of Hijacking and Dissemination of Intellectual Property Right (2010); Intellectual Property Right in Cyber Space (2011); Implementation of Corporate Zakah Calculation at Amil Zakah Institution in Indonesia (2011); Badan Hukum dan Kelembagaan Perguruan Tinggi dalam Kerangka Hukum Pendidikan Indonesia (2012); ICT Law Framework in Indonesia Toward ASEAN Economy Community (2013); A Quest for University Governance: an Institutional Approach within Legal Framework (2014). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected]

Tata Wijayanta, menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Program S2 di Program Pascasarjana FH UGM Yogyakarta dan Program Doktor Falsafah di Fakulti Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia. Menjadi dosen di FH UGM sejak tahun 1990 hingga sekarang. Beberapa karya ilmiah yang telah dipublikasikan, di antaranya (1) Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Perkara di Pengadilan Negeri (Buku, 2011); (2) Penyelesaian Kes Kebankrapan di Mahkamah Tinggi Malaysia dan Pengadilan Niaga di Indonesia (Buku, 2013); (3) Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Dalam Hukum Acara Perdata (jurnal, UGM, 2012); (4) Pelaksanaan Pasal 302 ayat (3) UU RI Nomor 37 Tahun 2004 berkaitan dengan pelantikan hakim ad hoc dalam perkara kepailitan (Jurnal UMM Malang, 2004); dan sejumlah karya ilmiah lainnya, seperti jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung, Universitas Pasundan, Universitas

jurnal agustus isi.indd 216 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 131: Jurnal Agustus 2014

Sebelas Maret, Universitas Islam Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman, dan lain-lain. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Sandra Dini Febri Aristya, memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004, dan gelar Master on European and Internasional Regulation (Major: Droit et Pratique de la Solidarité Internasionale) pada tahun 2008 dari Institut du Droit de la Paix et du Developpement (IDPD), Université de Nice-Sophia Antipolis. Penulis menekuni ilmu Hukum Acara, dengan kekhususan Hukum Acara Perdata dan keminatan bidang hukum kedokteran. Beberapa penelitian yang telah dilakukan misalnya “Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik di Yogyakarta” (2009) dan “Penerapan Keterangan Ahli (Expert) Dalam Perkara Malpraktik Medis (Perdata) Ditinjau Dari Prinsip Audi et Alteram Partem” (2011). Beberapa tulisan yang didiseminasikan di seminar internasional dan nasional adalah “Enhancing the Security and Justice by Revitalizing the Mechanism of Judicial Assistance and Service of Documents Within Various Law fields Under ASEAN Framework” (2nc CILS Conference, 21st -22nd November 2011) and “Integrating Small Claim Court within Indonesian Civil Litigation: Comparative Perspectives in Civil Law and Common Law Countries” (Conference on the Draft of Civil Procedural Law, 28th June, 2012). Penulis dapat dihubungi di alamat e-mail: [email protected]

Yutirsa Yunus, lahir di Ujung Pandang, 29 Desember 1989. Saat ini bekerja sebagai Tenaga Pendukung Substansi Perencanaan pada Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas. Penulis memiliki tugas pokok dalam menyusun kajian pendahuluan (background study) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 bidang hukum. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan predikat cum laude dan penghargaan sebagai Wisudawan Terbaik Universitas. Memiliki minat yang sangat besar dalam kegiatan kajian dan penelitian di bidang hukum. Berbagai hasil kajiannya dimuat di jurnal ilmiah dan meraih penghargaan di tingkat nasional. Penulis dapat dihubungi via [email protected] atau [email protected].

Reza Faraby, lahir di Depok, 26 Februari 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2008, dengan mengambil Program Kekhususan Hukum Tata Negara. Penulis pernah bekerja sebagai staf Bagian Hukum dan Penanganan Pelanggaran pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia. Selanjutnya, penulis kini bekerja sebagai Staf Perencana pada Direktorat Hukum dan HAM, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Bappenas. Saat ini penulis tengah menempuh studi Master Hukum di University of Exeter’s School of Law melalui Beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institutions). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].

jurnal agustus isi.indd 217 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 132: Jurnal Agustus 2014

jurnal agustus isi.indd 218 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 133: Jurnal Agustus 2014

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial pada bulan April, Agustus, dan Desember. Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini bertujuan mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial.

FORMAT NASKAH

1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris

2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

Judul NaskahJudul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis

di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK

Kajian Putusan Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg

IMPOSING PENAL SANCTIONS FOR CRIMES COMMITED BY KIDSAn Analysis of Decision Number 50/Pid.B/2009/PN.Btg

PEDOMAN PENULISAN

jurnal agustus isi.indd 219 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 134: Jurnal Agustus 2014

Nama dan Identitas PenulisNama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.

Nama penulis dilengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad TariganFakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440, E-mail [email protected].

Ilyasa Sitanggang & Ibrahim PelupessyFakultas Hukum Universitas YudisialJl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450

E-mail: [email protected] & [email protected]

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah kata masing-masing antara 150 s.d. 200 dalam satu paragraf dengan jarak satu spasi. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms).

PENDAHULUAN I.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. Pertimbangan majelis terkait permasalahan yang akan disorot wajib dijadikan bagian dari latar belakang. Nama–nama para pihak dan majelis hakim yang dikutip dari putusan, ditulis dengan inisial. Pendahuluan harus memberi pengantar yang cukup bagi masalah yang akan dirumuskan.

RUMUSAN MASALAH II.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan (maksimal tiga pertanyaan).

jurnal agustus isi.indd 220 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 135: Jurnal Agustus 2014

STUDI PUSTAKA III.

Subbab ini memuat tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab.

ANALISISIV.

Subbab ini memuat analisis yang harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

SIMPULANV.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

DAFTAR PUSTAKA VI.

Daftar pustaka harus terdiri dari referensi yang digunakan sebagai acuan naskah, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan berjumlah minimal 15 referensi. Untuk kemutakhiran, pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer (bukan mengutip dari sumber kedua). Pengacuan pustaka harus dari situs ilmiah yang kredibel dan bukan berasal dari blog pribadi.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

1. Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...2. Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); 3. Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);4. Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Abdi, Mualimin. 2012. “Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 9 No. 4. Hlm. 535-546.

jurnal agustus isi.indd 221 9/22/2014 9:41:20 AM

Page 136: Jurnal Agustus 2014

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.

Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Ikhsan Azhar (085299618833); atauArnis (08121368480).

Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57

Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.

jurnal agustus isi.indd 222 9/22/2014 9:41:20 AM