Top Banner
1 AbstrakIPAL Benowo adalah instalasi pengolahan air limbah di kota surabaya. Proses pengolahan limbah di aeration basin tidak menggunakan sistem pengendalian sehingga seringkali hasil proses tidak mampu memenuhi kriteria proses yang telah ditetapkan, yaitu 40-60% BOD removal. Adapun BOD input yang masuk ke dalam plant nilainya tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengendalian yang mampu mendeteksi adanya perubahan BOD untuk melakukan penentuan setpoint bagi proses. Permasalahan inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. Metode monitoring dan perubahan setpoint proses yang digunakan dalam penelitian ini adalah cumulative of sum (CUSUM.) CUSUM mampu memonitoring perubahan deviasi error dari proses tiap saat dan mengubah setpoint proses berdasarkan besarnya perubahan deviasi tersebut. Pada penelitian tugas akhir ini telah diimplementasikan metode CUSUM sebagai sistem pengawas untuk memonitor konsentrasi BOD pada proses pengolahan limbah cair sekaligus menentukan setpoint BOD. Digunakan model predictive control (MPC) untuk mengendalian proses berdasarkan setpoint hasil perhitungan CUSUM. Dari keseluruhan hasil pengujian sistem didapatkan hasil pengendalian yang baik karena selalu memenuhi kriteria plant, yaitu 40-60% BOD removal, dengan settling time respon 40 jam, maximum overshoot 3.2% dan error seady state 0.0009%. Kata kunciCumulative of Sum, Model Predictive Control, Aeration basin, Konsentrasi BOD I. PENDAHULUAN Aeration basin merupakan suatu bak berisi bakteri aerob di dalamnya yang berfungsi untuk menguraikan limbah cair. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah didekomposisikan oleh mikroorganisme menjadi produk yang lebih sederhana sehingga menyebabkan bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini bahan buangan organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel baru (protoplasma) serta diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti karbondioksida, air, dan ammonia. Massa dari protoplasma dan bahan organik baru yang dihasilkan, mengendap bersama-sama dengan endapan dalam activated sludge atau lumpur aktif. Dalam penentuan kualitas olahan air limbah ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan, antara lain adalah : dissolved oxygen (DO), biochemical oxygen demand (BOD), amonia (NH4), dan nitrat (NO3). Parameter BOD sendiri secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. BOD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi. Dalam proses penguraian bahan organik yang terdapat pada limbah, bakteri aerob di dalam aeration basin membutuhkan oksigen yang cukup untuk pertumbuhan dan suplai energinya sebanding dengan besarnya nilai BOD yang terkandung dalam limbah [11]. Suplai oksigen yang cukup akan meningkatkan performa dari proses penguraian bahan organik tersebut sehingga diharapkan konsentrasi BOD hasil proses mampu memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan di plant. Adapun standar baku mutu output BOD aeration basin yang ditetapkan di IPAL Benowo adalah 40-60% dari konsentrasi BOD input. Standar ini harus terpenuhi agar proses pengolahan limbah selanjutnya dapat berjalan dengan baik sehingga mampu menghasilkan air olahan limbah yang memenuhi standar baku mutu lingkungan. Air limbah yang menjadi inputan untuk aeration basin memiliki kandungan BOD yang berubah-ubah dan nilainya tidak dapat ditentukan. Saat konsentrasi BOD tinggi, maka diperlukan suplai oksigen yang tinggi pula, demikian sebaliknya saat konsentrasi BOD rendah, maka diperlukan suplai udara yang rendah pula. Oleh karena itu, pengendalian BOD yang tepat akan meningkatkan performa dari bioproses dalam upaya mendukung proses menjadi lebih ekonomis dengan cara meminimalkan kelebihan oksigen melalui pengaturan suplai nilai minimum udara yang dibutuhkan, sehingga suplai udara masuk dapat berubah-ubah nilainya sesuai dengan konsentrasi BOD input. Dengan demikian nilai setpoint BOD merupakan variabel yang perlu dikendalikan berdasarkan kondisi proses pengolahan air limbah. Sistem yang modern seperti aeration basin akan memiliki proses yang lebih komplek dan banyak variabel proses yang saling berpengaruh sehingga dibutuhkan sistem pengendalian yang lebih komplek pula. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menggunakan sistem pengendalian berpengawasan dengan teknik CUSUM yang terintegerasi dengan algoritma MPC sebagai algortima pengendalian. Algoritma MPC digunakan karena keunggulannya dalam mengatasi permasalahan pengendalian pada proses yang komplek. Sedangkan teknik CUSUM digunakan untuk menentukan setpoint berdasarkan besarnya deviasi error proses yang terjadi setiap waktu. Dari paparan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah Bagaimana merancang algoritma pengendalian MPC untuk mengendalikan BOD pada aeration basin, merancang suatu algoritma yang sesuai untuk menentukan setpoint BOD pada aeration basin dengan metode CUSUM, mengintegerasikan algoritma penentu setpoint dengan algoritma pengendalian Perancangan Sistem Pengendalian Berpengawasan pada Aeration basin dengan Teknik Cumulative of Sum (CUSUM) Bambang Pramono 1) Katherin Indriawati 1) 1) Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology ITS Surabaya Indonesia 60111, email: [email protected]
13

Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

Mar 09, 2019

Download

Documents

ngohuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

1

Abstrak— IPAL Benowo adalah instalasi pengolahan air

limbah di kota surabaya. Proses pengolahan limbah di aeration

basin tidak menggunakan sistem pengendalian sehingga seringkali

hasil proses tidak mampu memenuhi kriteria proses yang telah

ditetapkan, yaitu 40-60% BOD removal. Adapun BOD input yang

masuk ke dalam plant nilainya tidak dapat diprediksi. Oleh karena

itu, diperlukan sistem pengendalian yang mampu mendeteksi

adanya perubahan BOD untuk melakukan penentuan setpoint bagi

proses. Permasalahan inilah yang melatarbelakangi dilakukannya

penelitian ini.

Metode monitoring dan perubahan setpoint proses yang

digunakan dalam penelitian ini adalah cumulative of sum

(CUSUM.) CUSUM mampu memonitoring perubahan deviasi error

dari proses tiap saat dan mengubah setpoint proses berdasarkan

besarnya perubahan deviasi tersebut. Pada penelitian tugas akhir

ini telah diimplementasikan metode CUSUM sebagai sistem

pengawas untuk memonitor konsentrasi BOD pada proses

pengolahan limbah cair sekaligus menentukan setpoint BOD.

Digunakan model predictive control (MPC) untuk mengendalian

proses berdasarkan setpoint hasil perhitungan CUSUM. Dari

keseluruhan hasil pengujian sistem didapatkan hasil pengendalian

yang baik karena selalu memenuhi kriteria plant, yaitu 40-60%

BOD removal, dengan settling time respon 40 jam, maximum

overshoot 3.2% dan error seady state 0.0009%.

Kata kunci—Cumulative of Sum, Model Predictive Control,

Aeration basin, Konsentrasi BOD

I. PENDAHULUAN Aeration basin merupakan suatu bak berisi bakteri aerob di dalamnya yang berfungsi untuk menguraikan limbah cair. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah didekomposisikan oleh mikroorganisme menjadi produk yang lebih sederhana sehingga menyebabkan bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini bahan buangan organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel baru (protoplasma) serta diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti karbondioksida, air, dan ammonia. Massa dari protoplasma dan bahan organik baru yang dihasilkan, mengendap bersama-sama dengan endapan dalam activated sludge atau lumpur aktif.

Dalam penentuan kualitas olahan air limbah ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan, antara lain adalah : dissolved oxygen (DO), biochemical oxygen demand (BOD), amonia (NH4), dan nitrat (NO3). Parameter BOD sendiri secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. BOD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan

oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi.

Dalam proses penguraian bahan organik yang terdapat pada limbah, bakteri aerob di dalam aeration basin membutuhkan oksigen yang cukup untuk pertumbuhan dan suplai energinya sebanding dengan besarnya nilai BOD yang terkandung dalam limbah [11]. Suplai oksigen yang cukup akan meningkatkan performa dari proses penguraian bahan organik tersebut sehingga diharapkan konsentrasi BOD hasil proses mampu memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan di plant. Adapun standar baku mutu output BOD aeration basin yang ditetapkan di IPAL Benowo adalah 40-60% dari konsentrasi BOD input. Standar ini harus terpenuhi agar proses pengolahan limbah selanjutnya dapat berjalan dengan baik sehingga mampu menghasilkan air olahan limbah yang memenuhi standar baku mutu lingkungan.

Air limbah yang menjadi inputan untuk aeration basin memiliki kandungan BOD yang berubah-ubah dan nilainya tidak dapat ditentukan. Saat konsentrasi BOD tinggi, maka diperlukan suplai oksigen yang tinggi pula, demikian sebaliknya saat konsentrasi BOD rendah, maka diperlukan suplai udara yang rendah pula. Oleh karena itu, pengendalian BOD yang tepat akan meningkatkan performa dari bioproses dalam upaya mendukung proses menjadi lebih ekonomis dengan cara meminimalkan kelebihan oksigen melalui pengaturan suplai nilai minimum udara yang dibutuhkan, sehingga suplai udara masuk dapat berubah-ubah nilainya sesuai dengan konsentrasi BOD input. Dengan demikian nilai setpoint BOD merupakan variabel yang perlu dikendalikan berdasarkan kondisi proses pengolahan air limbah.

Sistem yang modern seperti aeration basin akan memiliki proses yang lebih komplek dan banyak variabel proses yang saling berpengaruh sehingga dibutuhkan sistem pengendalian yang lebih komplek pula. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menggunakan sistem pengendalian berpengawasan dengan teknik CUSUM yang terintegerasi dengan algoritma MPC sebagai algortima pengendalian. Algoritma MPC digunakan karena keunggulannya dalam mengatasi permasalahan pengendalian pada proses yang komplek. Sedangkan teknik CUSUM digunakan untuk menentukan setpoint berdasarkan besarnya deviasi error proses yang terjadi setiap waktu.

Dari paparan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah Bagaimana merancang algoritma pengendalian MPC untuk mengendalikan BOD pada aeration basin, merancang suatu algoritma yang sesuai untuk menentukan setpoint BOD pada aeration basin dengan metode CUSUM, mengintegerasikan algoritma penentu setpoint dengan algoritma pengendalian

Perancangan Sistem Pengendalian Berpengawasan pada Aeration basin dengan Teknik Cumulative of Sum (CUSUM)

Bambang Pramono1) Katherin Indriawati1) 1) Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology

ITS Surabaya Indonesia 60111, email: [email protected]

Page 2: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

2

prediktif menjadi sebuah sistem pengendalian berpengawasan, dan mensimulasikan kinerja sistem pengendalian berpengawasan untuk mengetahui dampak ekonomis sistem tersebut.

Sehingga tujuan dari makalah ini adalah dapat melakukan perancangan system pengendalian berpengawasan pada aeration basin dengan teknik cumulative of sum (CUSUM). Beberapa batasan masalah yang terdapat pada makalah kali ini adalah:

1. Plant yang dimodelkan adalah pengolahan air buangan

(Waste Water Treatment Plant) di IPAL Benowo. 2. Variabel yang dikontrol adalah BOD dengan

memanipulasi suplai udara masuk sehingga proses dalam aeration basin berlangsung optimal.

3. Bentuk gangguan yang diujikan dalam sistem pengendalian hasil rancangan ini adalah konsentrasi BOD pada air limbah yang masuk.

4. Algoritma kontrol yang digunakan adalah Model predictive control (MPC).

5. Penentuan set point menggunakan data statistik hasil pengukuran BOD dengan teknik CUSUM.

II. DASAR TEORI

A. Aeration basin Aeration basin atau yang juga sering disebut aerated lagoon

merupakan suatu bak berisi bakteri aerob di dalamnya yang dilengkapi dengan alat pensuplai udara untuk mendukung proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah didekomposisikan oleh mikroorganisme menjadi produk yang lebih sederhana sehingga menyebabkan bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini bahan buangan organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel baru (protoplasma) serta diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti karbondioksida, air, dan ammonia.

Gbr.1. Aeration basin

Massa dari protoplasma dan bahan organik baru yang

dihasilkan, mengendap bersama-sama dengan endapan dalam activated sludge atau lumpur aktif [11].

Pada proses pengolahan air limbah ada beberapa parameter untuk mengukur apakah proses berjalan dengan normal dan apakah suatu limbah sudah layak dibuang ke lingkungan. Parameter yang sering digunakan dalam penanganan air limbah antara lain[1] :

Dissolved oxygen (DO), pada aeration basin besar konsentrasi DO menunjukkan jumlah kandungan oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen dibutuhkan oleh biota sungai untuk respirasi dan penguraian limbah organik.

Biochemical oxygen demand atau BOD, pada aeration basin, konsentrasi BOD merupakan ukuran konsentrasi oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba di dalam reaktor untuk menguraikan senyawa organik.

Amonia (NH4), pada aeration basin besar konsentrasi ammonia menunjukkan reaksi nitrifikasi berlangsung secara optimal atau tidak dan menentukan banyaknya konsentrasi nitrat untuk diuraikan menjadi nitrogen bebas pada reaksi denitrifikasi.

Nitrat (NO3), pada aeration basin besar konsentrasi nitrat menunjukkan reaksi denitrifikasi berlangsung secara optimal atau tidak.

Jenis-jenis total padatan yang berbagai macam antara lain padatan terendap, padatan tersuspensi dan padatan terlarut.

Aeration basin di IPAL Benowo memiliki 4 aerator, akan tetapi hanya 2 buah yang diaktifkan, sehingga di dalam aeration basin ada beberapa proses yang terjadi, antara lain adalah:

o Nitrifikasi Proses nitrifikasi terjadi pada daerah di dekat aerator.

Dalam proses ini, terjadi penguraian senyawa amonia hingga menjadi nitrat melalui 2 tahapan. Pertama yaitu penguraian senyawa amonia menjadi nitrit oleh bakteri nitrosomonas dilanjutkan dengan penguraian nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter.

Proses nitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti:

Konsentrasi disolve oxygen (DO) Kadar oksigen terlarut dalam limbah memperngaruhi laju pertumbuhan bakteri nitrifikasi.

Temperatur Temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap laju reaksi nitrifikasi.

pH Proses nitrifikasi berlangsung pada kisaran pH 7,2-9,0. [1] Selain proses nitrifikasi, penurunan kadar BOD terjadi pada kondisi aerobik dengan memanfaatkan oksigen bebas dalam air.

Laju penguraian BOD juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, temperatur, dan konsentrasi DO [1]. Dalam penelitian ini laju reaksi BOD rmoval hanya menggunakan faktor konsentrasi DO yang berbanding lurus dengan laju reaksi BOD removal. Sehingga apabila konsentrasi BOD tinggi, maka laju BOD removal akan tinggi juga. Hal ini mengakibatkan konsentrasi BOD dalam limbah menjadi rendah. Demikian pula sebaliknya.

o Denitrifikasi

Pada saat larutan menjauhi menjauhi aerator, suplai oksigen di dalam bak menjadi sangat rendah. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya reaksi denitrifikasi yang ditandai

Page 3: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

3

dengan pembentukan gas N2 bebas karena aktifitas mikroorganisme, seperti yang diilustrasikan pada gambar 2. Selain reaksi ini melepaskan nitrogen bebas dan gas karbon dioksida. Sama seperti reaksi nitrifikasi, reaksi denitrifikasi juga dipengaruhi oleh pH, temperatur, konsentrasi nitrat, dan konsentrasi BOD. Pada kondisi anaerob, penurunan kadar BOD terjadi dengan memanfaatkan nitrat sebagai electron acceptor sebab konsentrasi DO pada keadaan anaerobik ini sangatlah kecil. Gbr.2. Proses nitrifikasi dan denitrifikasi di aeration basin [1]

B. Sensor BOD BIOX 1010 Sensor yang digunakan untuk simulasi tugas akhir ini

adalah sensor BOD BIOX 1010. Berdasarkan spesifikasi dari sensor BIOX 1010, diketahui bahwa Sensor BIOX 1010 memiliki range kerja dengan 3 macam pilihan, yaitu: 5 - 1500 mg/liter BOD (with low concentration option), 20 - 1500 mg/liter BOD (standard), 20 – 100.000 mg/liter BOD (with high concentration option), dengan outputan berupa arus dengan pilihan range kerja: 0-20mA dan 4-20mA, untuk simulasi ini digunakan nilai pertama, yaitu 0-20mA. Oleh karena air limbah di IPAL Benowo bernilai lebih dari 1500mg/l, maka digunakan opsi terakhir, yaitu high concentration option.

Gbr.3. Sensor BOD BIOX 1010

Langkah kerja sensor BOD BIOX 1010 ini selengkapnya

dapat dilihat pada gambar yang menjelaskan alur kerja sensor BOD BIOX 1010. Pengkuran BOD dilakukan pada sample BOD yang diambil dari kolam pengolahan limbah. Air limbah dilewatkan melalui saluran masuk sample, kemudian dipompa oleh peristaltic pump (P1) yang terdapat dalam bagian dalam sensor. Air limbah dialirkan menuju tabung reaktor yang terdapat dalam sensor, kemudian air limbah dalam tabung tersebut diukur oleh O2-probe (E1). Hasil pengukuran tersebut akan diubah menjadi arus oleh sensor BOD BIOX 1010, kemudian air limbah dipompakan kembali ke kolam pengolahan limbah. Nilai hasil pengukuran ini akan langsung

diubah menjadi sinyal output berupa arus dengan range kerja 0-20mA, kemudian diteruskan menuju controller.

C. Aerator Aqua Jet 15 HP Aerator yang digunakan pada plant adalah aqua jet aerator

FSS series 15 HP dengan mode kerja variable speed. Berdasarkan spesifikasi aerator tersebut tertera bahwa kecapatan maksimum aerator FSS series 15 HP adalah 1800 Rpm. Actuator mengendalikan kecepatan aerator melalui besarnya tegangan kontrol yang diberikan. Inputan actuator berupa sinyal kontrol dengan range kerja: 0-5Volt. Oleh karena range kerja output dari aerator adalah: 0-1800 Rpm, dan actuator pada aerator bekerja pada range kerja input: 0-5Volt.

Gbr.4. Aerator kecepatan tinggi

D. Model Predictive Control Model predictive control adalah sebuah metode kontrol

proses modern yang digunakan dalam industri proses seperti proses kimia atau penyulingan sejak tahun 1980. Metodologi semua pengendali yang termasuk kedalam katagori jenis-jenis MPC dapat dikenali oleh strategi berikut ini, seperti yang diwakili pada gambar 5

Gbr.5. Struktur dasar MPC [7]

Langkah-langkah kerja MPC adalah sebagai berikut: Keluaran proses yang akan datang untuk rentang horizon N yang ditentukan, dinamakan prediction horizon, diprediksi pada setiap waktu pencuplikan dengan menggunakan model proses. Keluaran proses terprediksi ini y(t+k|t) untuk k = 1 ... N bergantung pada nilai masukan dan keluaran lampau serta sinyal kendali yang akan datang u(t+k|t), k = 0 ... N-1 yang akan digunakan sistem dan yang harus dihitung.

Serangkaian sinyal kendali dihitung dengan mengoptimasi suatu fungsi kriteria yang ditetapkan sebelumnya, dengan tujuan untuk menjaga proses sedekat mungkin terhadap

Nitrifikasi Denitrifikasi

Page 4: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

4

trayektori acuan w(t+k). Fungsi kriteria tersebut umumnya berupa suatu fungsi kuadratik dari kesalahan antara sinyal keluaran terprediksi dengan trayektori acuan. Dalam banyak kasus tujuan pengendalian seperti pemakaian energi yang minimum disertakan didalam fungsi kriteria. Solusi eksplisit dapat diperoleh jika fungsi kriteria adalah kuadratik, model linier, dan tidak ada constraints, jika tidak optimasi iteratif harus digunakan untuk memecahkannya.

Sinyal kendali u(t|t) dikirim ke proses, sedangkan sinyal kendali terprediksi berikutnya dibuang, karena pada pencuplikan berikutnya y(t+1) sudah diketahui nilainya. Maka langkah pertama diulang dengan nilai keluaran proses yang baru dan semua prosedur perhitungan yang diperlukan diperbaiki. Sinyal kendali yang baru u(t+1|t+1) (nilainya berbeda dengan u(t+1|t) dihitung dengan menggunakan konsep receding horizon.

E. Algoritma Model Predictive Control Model predictive control termasuk dalam kategori konsep

perancangan pengendali berbasis model proses di mana model proses digunakan secara eksplisit untuk merancang pengendali dengan meminimasi suatu fungsi kriteria.Perhitungan sinyal kendali pada MPC dilakukan dengan meminimumkan suatu fungsi kriteria. Menurut Aryani Dharma (2009), fungsi kriteria yang digunakan dalam algoritma MPC berbentuk kuadratik seperti berikut :

𝑉 𝑘 = 𝑦 𝑘 + 𝑖 𝑘 − 𝑟(𝑘 + 𝑖 𝑘 ) 𝑄(𝑖)

2

+ ∆𝑢 (𝑘 + 𝑖 𝑘 ) 𝑅(𝑖)

2𝐻𝑢−1

𝑖=0

𝐻𝑝

𝑖=1

(1) dengan: 𝒚 (𝒌 + 𝒊 𝒌) = keluaran terprediksi untuk i-langkah ke depan saat waktu k 𝒓(𝒌 + 𝒊 𝒌) = nilai trayektori acuan (reference trajectory) ∆𝒖 (𝒌 + 𝒊 𝒌) = perubahan nilai sinyal kendali

terprediksi untuk i-langkah kedepan saat waktu k

Q(i) dan R(i) = faktor bobot Hp = prediction horizon Hu = control horizon Pemilihan penggunaan ∆𝒖 (𝒌 + 𝒊 𝒌) pada fungsi kriteria bertujuan untuk meminimumkan perubahan sinyal kendali yang masuk ke plant. F. Model Proses

Model proses yang digunakan dalam perancangan pengendali MPC umumnya berupa model ruang keadaan diskrit linier: x(k+1) = Ax(k) + Bu(k)

(2) y(k) = Cx(k)

(3)

Dengan x(k), u(k), dan y(k) adalah variable keadaan, masukan sistem, dan keluaran sistem, sedangkan A,B, dan C adalah matriks keadaan, matriks masukan, dan matriks keluaran. Persamaan prediksi sepanjang prediction horizon untuk variabel keadaan dapat dinyatakan sebagai

Sedangkan persamaan prediksi untuk keluaran sistem dapat dinyatakan sebagai

(4) Adapun algoritma pengendalian MPC dapat dituliskan sebagai berikut : 1. Mendefinisikan jumlah masukan sistem (m), jumlah

keluaran sistem (p), rentang horizon (Hp=Hu), model proses sistem, titik kerja linier, waktu pencuplikan

2. Membuat matriks 𝑄 = 𝑐1𝐼(𝑝𝑥𝐻𝑝) dan 𝑅 = 𝑐2𝐼(𝑚𝑥𝐻𝑢) 3. Membuat matriks 𝐶𝑦𝛹,𝐶𝑦𝛤,𝐶𝑦𝜃 4. Menghitung matriks 𝐻 = (𝐶𝑦𝜃)𝑇𝑄𝐶𝑦𝜃 + 𝑅 dan invers

H 5. Menghitung matriks E(k)

6. Menghitung matriks 𝐺 𝑘 = 2 𝐶𝑦𝜃 𝑇

𝑄𝐸(𝑘)

7. Mencari du optimal dengan ∆𝑈(𝑘)𝑜𝑝𝑡 =1

2𝐻−1𝐺

8. Menghitung sinyal kendali 𝑢 𝑘 = ∆𝑢 𝑘 + 𝑢(𝑘 − 1) 9. Nilai u(k) disimpan untuk dipakai sebagai u(k-1) pada k

selanjutnya 10. Menghitung nilai keadaan 𝑥 𝑘 + 1 = 𝐴 𝑥 𝑘 + 𝐵 𝑢(𝑘) 11. Nilai x(k+1) disimpan untuk dipakai sebagai x(k) pada k

selanjutnya 12. Menghitung nilai keluaran 𝑦 𝑘 𝐶𝑥 𝑘 + 𝐷𝑢(𝑘)

Page 5: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

5

G. Cumulative of Sum (CUSUM) Cumulative of sum (CUSUM) merupakan salah satu

alternatif terbaik untuk Shewhart control charts jika perubahan kecil adalah hal yang penting. Dalam SPC, CUSUM adalah sebuah teknik analisa rangkaian yang pertama kali diajukan oleh E.S. Page dari Cambridge University. Grafik CUSUM secara langsung membangun seluruh informasi dalam rangkaian nilai sample dengan mem-plot jumlah kumulatif deviasi-deviasi dari nilai-nilai sample dari nilai target. Grafik kontrol cumulative of sum dibentuk dari plotting nilai :

𝐶𝑖 = 𝑥𝑗 − 𝜇0

𝑖

𝑗=1

(5) Di mana: 𝑥𝑗 = rata-rata dari sample ke-j 𝜇0 = target rata-rata proses 𝐶𝑖 = cumulative sum pada sample ke-i

o Tabular or Algorithmic CUSUM for Monitoring the Process Mean

Tabular CUSUM bekerja dengan mengakumulasi asal mula dari μ0 yang berada di atas target dengan simbol 𝐶+ dan mengakumulasi asal mula dari μ0 yang berada di bawah target dengan simbol lain 𝐶−. Simbol 𝐶+ dan 𝐶− masing-masing disebut one sided upper dan lower cusums yang dihitung berdasarkan persamaan: 𝐶𝑖

+ = max[0, 𝑥𝑖 − (𝜇0 + 𝐾) + 𝐶𝑖−1+ ]

(6) 𝐶𝑖− = max[0, 𝜇0 + 𝐾 − 𝑥𝑖 + 𝐶𝑖−1

− ] (7)

dengan : 𝐶𝑖

+ = one sided upper pada sample ke-i 𝐶𝑖− = lower cusums pada sample ke-i

K = nilai referensi atau toleransi nilai awal adalah 𝐶0

+ = 𝐶0− = 0

Jika perubahan dinyatakan dalam satuan standar deviasi sebagai μ1 = μ0 + δσ (atau δ = μ1 − μ0 /𝜎), maka K adalah setengah magnitude dari perubahan, atau:

𝐾 =𝛿

2𝜎 =

μ1 − μ0

2

(8) dengan: K = nilai referensi atau toleransi Jika nilai 𝐶𝑖+ dan 𝐶𝑖− melampaui decision interval H, maka proses dianggap out of control. Adapun pemilihan nilai H yang direkomendasikan adalah 5σ, di mana σ adalah standard deviasi proses. Aksi yang diambil untuk mengatasi sinyal out of control dalam skema kontrol CUSUM adalah sama dengan grafik kontrol yang lain. Dalam keadaan ketika sebuah pengaturan

untuk beberapa manipulateable variable dibutuhkan untuk membawa proses kembali ke nilai target μ0, maka sebuah estimasi dari mean proses baru berdasarkan perubahan atau pergeseran akan sangat membantu. Maka rata-rata baru proses dapat dihitung dengan persamaan:

μ = μ0 + K +

Ci+

N+, if Ci

+ > 𝐻

μ0 − K − Ci−

N−, if Ci

− > 𝐻

(9)

𝜇 = nilai baru mean proses μ0 = nilai awal mean proses 𝐶𝑖

+ = one sided upper pada sample ke-i 𝐶𝑖− = lower cusums pada sample ke-i

K = nilai referensi atau toleransi H = decision interval (5σ) N+ = jumlah data naik tiap periode N− = jumlah data turun tiap periode

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Pemodelan Aeration basin

Gbr.6. Skema plant aeration basin di IPAL Benowo

Proses pada aeration basin dijelaskan secara singkat

sebagai berikut. Air limbah pada anaerobic buffle reactor (ABR) dialirkan menuju aeration basin untuk proses aerasi atau penambahan oksigen. Pada bak ini terdapat empat motor, akan tetapi hanya dua buah motor penggerak yang selalu bekerja 24 jam. Diperkirakan lamanya aerasi ini adalah 120 jam atau sekitar 5 hari. Adapun proses pada Aeration basin ini berfungsi mengurangi aroma, buih pada permukaan, aerosol dan Volatile Organic Compound (VOC) serta meningkatkan proses pengendapan lumpur aktif dan proses dewatering pada proses renovasi atau proses pengolahan limbah lumpur aktif.

Aerator dipasang pada keempat ujung kolam aerasi, sedangkan aerator yang diaktifkan hanya dua buah selama 24 jam. Aerator yang diaktifkan hanya 2 buah saja. Pada gambar 6 dapat dilihat bahwa pada daerah 2 dan 3 merupakan zona di mana aerator diaktifkan. Pada daerah ini terjadi proses nitrifikasi, sedangkan pada zona 1 dan 4 merupakan daerah di mana aerator tidak aktif. Pada daerah ini terjadi proses denitrifikasi.

Selama sirkulasinya, air limbah yang terdapat dalam Aeration basin diaduk oleh surface aerator dengan kecepatan tinggi sehingga air limbah dalam Aeration basin tersembur ke

Page 6: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

6

grr rVQXQXVdtdX

0

kXrg

20)20()(

TCLTL aKaK

udara. Hal ini mengakibatkan udara bercampur dengan air limbah pada bak aerasi. Tujuannya adalah untuk mensuplai oksigen terlarut yang diperlukan oleh bakteri aerobik untuk mendegradasi limbah dari industri sekaligus untuk memperlancar aliran air agar bersirkulasi sepanjang bak yang menghasilkan lumpur aktif. Keadaan ini memungkinkan berlangsungnya nitrifikasi dan denitrifikasi dengan kadar oksigen yang terkontrol di dalam bak aerasi.

Blok model aeration basin merupakan pemodelan yang menjelaskan model plant secara real dengan menggunakan model matematik proses yang terjadi pada aeration basin. Pada aeration basin terdapat beberapa variabel input dan output, sehingga plant aeration basin ini dapat dikatakan sebagai sistem MIMO (Multi Input Multi Output), akan tetapi dalam sistem pengendalian ini, yang dikendalikan hanyalah 1 variabel saja, yaitu nilai BOD.

Aeration basin merupakan suatu bak aerasi yang digambarkan sebagai reaktor yang proses aerobik/anaerobik terjadi dalam satu reaktor dan berkerja secara berkesinambungan untuk setiap prosesnya, sehingga untuk tiap-tiap kondisi (areobik / anaerobik) dimodelkan sebagai satu CSTR. Secara keseluruhan, aeration basin merupakan CSTR yang disusun secara seri (Metcalf & Eddy, 1991). Untuk setiap CSTR, kesetimbangan massa tiap-tiap komponen dinyatakan

(10)

dtdX

= laju perubahan konsentrasi effluen

rV = volume reaktor (L) Q = laju aliran (L/h)

0X = konsentrasi influen (mg/l) X = konsentrasi effluen (mg/l) k = laju reaksi (

1h ) dimana pada kondisi aerobik dan anaerobik terjadi reaksi yang berbeda. Satu aeration basin memiliki empat aerator, dan setiap aerator menunjukkan adanya proses nitrifikasi sehingga satu aeration basin dengan empat aerator dapat dimodelkan dengan dua CSTR kondisi aerobik dan dua CSTR kondisi anaerobik secara berselingan.

o Nitrifikasi Pada proses nitrifikasi, laju reaksi maksimum dinyatakan dengan

(11)

m = laju pertumbuhan maksimum bakteri Y = koefisien yield maksimum

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa nilai laju pertumbuhan bakteri μm dipengaruhi oleh beberapa perubahan parameter, sehingga laju pertumbuhan maksimum bakteri menjadi:

(12)

m' = laju pertumbuhan maksimum bakteri oleh pengaruh

perubahan temperatur, oksigen dan pH (1h )

T = temperatur (ºC) DO = oksigen terlarut dalam air (disolved oxygen) (mg/l) KO2 = konstanta setengah jenuh dari oksigen terlarut dalam air pH = tingkat pH pada proses Laju perubahan konsentrasi DO pada daerah aerator dinyatakan dengan:

(13) dimana

dtdC

= laju perubahan konsentrasi Cs = konsentrasi jenuh oksigen (mg/l) C = konsentrasi oksigen (mg/l)

aK L = koefisien perpindahan massa (oksigen) (1s ) secara

keseluruhan yang dipengaruhi oleh temperatur, berdasarkan persamaan van’t Holff-Arrhenius

(14) bernilai 1.015 – 1.040, untuk aerator mekanik = 1.024 Sedangkan laju penurunan kadar BOD diasumsikan menggunakan hubungan BOD dan DO yang diasumsikan berbanding lurus. Hal ini berarti bahwa apabila kadar DO tinggi, maka laju reaksi BOD removal juga tinggi, demikian pula sebaliknya apabila kadar DO rendah, maka laju reaksi BOD removal juga rendah. Variabel input dan output proses pada reaksi nitrifikasi digambarkan pada gambar 7.

Gb.7. Blok model pada reaksi nitrifikasi [5]

pH

Temperatur BODeff

NO3

BODin NH4in

DO

Laju aliran

Nitrifikasi NH4eff

)( CCsaKdtdC

L

Yk m

)]2.7(833.01['2

)15(098.0pH

DOK

DOe

O

T

mm

Page 7: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

7

o Denitrifikasi Dalam kondisi anaerobik, yaitu pada saat limbah bergerak menjauhi aerator, maka terjadi proses denitrifikasi yang ditandai dengan diuraikannya nitrat hasil reaksi nitrifikasi menjadi nitrogen bebas. Laju reaksi nitrifikasi dinyatakan dengan:

(14)

DNU ' = laju reaksi denitrifikasi keseluruhan (1h )

DNU = laju reaksi denitrifikasi (1h )

T = temperatur limbah (ºC) DO = oksigen terlarut dalam air (disolved oxygen) (mg/l) Reaksi penurunan kadar BOD sama seperti pada kondisi aerobik, yaitu persamaan 3.6. Variabel input dan output proses pada reaksi denitrifikasi digambarkan pada gambar 8.

Gbr.8. Blok model pada reaksi denitrifikasi [5]

B. Pemodelan Sensor BOD BIOX 1010 Sensor BIOX 1010 memiliki range kerja input: 20-100.000,

dan range kerja output: 0-20mA. Sehingga fungsi transfer BIOX 1010 menjadi: Gain BIOX 1010:

0002.0=20)mg/l-(100000

0)mA-20(=

InputSpanOutputSpan

τt adalah konstanta waktu untuk sensor yang didapat dari spesifikasi alat, besarnya adalah 1 sekon, maka:

1+sτ0002.0

=)()(

sCsI

C. Pemodelan Aerator Aqua Jet 15 HP Oleh karena range kerja output dari aerator adalah: 0-1800 Rpm, dan actuator pada aerator bekerja pada range kerja input: 0-5Volt. Sehingga fungsi transfer aerator dapat dinyatakan sebagai berikut: Gain Aerator:

360=5)V-(0

1800)Rpm-0(=

InputSpanOutputSpan

τt adalah konstanta waktu untuk aerator yang didapat dari spesifikasi alat besarnya adalah 1 sekon, maka:

1+sτ360

=)()(

sCsI

Hubungan antara V control, Rpm, oxygen transfer rate (OTR), dan laju reaksi (k1) dapat dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 1 Hubungan u, Rpm, OTR, dan k1 No u (V) Rpm OTR (kg/h) k1 (1/h) 1 1 360 0.56 0.02742 2 2 720 1.12 0.05483 3 3 1080 1.68 0.08225 4 4 1440 2.24 0.10966 5 5 1800 2.8 0.13707

D. Algoritma Model Predictive Control Tahapan awal proses pada algoritma MPC pada sistem

pengendalian BOD adalah start dimana konsentrasi BOD akan menjadi inputan untuk sensor BOD BIOX 1010. Sensor ini berfungsi untuk membaca konsentrasi BOD pada plant aeration basin kemudian mengkonversi nilai tersebut menjadi arus, sehingga outputan dari sensor BOD BIOX 1010 ini berupa arus. Arus ini dialirkan menuju sebuah rangkaian pengubah arus menjadi tegangan. Tegangan inilah yang menjadi inputan untuk MPC untuk kemudian dilakukan perbaikan agar nilai BOD pada plant aeration basin dapat sesuai dengan setpoint yang diinginkan. Nilai tegangan ini dijaga agar nilainya sama dan konstan dengan nilai konsentrasi BOD setpoint yang telah dikonversi menjadi tegangan. MPC melakukan perubahan nilai BOD dengan cara mengendalikan sinyal kontrol penggerak motor aerator. Jika nilai BOD belum sesuai dengan setpoint yang diinginkan, maka MPC akan mengubah sinyal kontrol sehingga proses BOD removal berjalan sesuai dengan yang diinginkan dan didapatkan nilai BOD pada plant aeration basin sesuai dengan setpoint. Flowchart implementasi algoritma model predictive control pada gambar 6 akan menjelaskan proses kerja sistem dalam mengendalikan BOD.

Gbr.9. Diagram blok pengendalian MPC

Berdasarkan gambar 9, maka proses algoritma pengendali MPC dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tegangan yang menyatakan konsentrasi BOD terukur

pada plant masuk sebagai inputan ke dalam blok MPC. 2. MPC melakukan perhitungan output terprediksi berupa

sinyal kendali berdasarkan model plant yang telah diberikan terlebih dahulu.

)1(09.1' )20( DOUU TDNDN

NO3out Laju aliran

NO3in BODout Temperatur

DO

BODin

Denitrifikasi

Page 8: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

8

3. Sinyal kendali berupa tegangan digunakan untuk menggerakkan aerator yang menyuplai udara ke plant aeration basin.

4. Jumlah udara yang ditransfer aerator akan menentukan kecepatan reaksi BOD removal dan menghasilkan BOD output.

5. Nilai BOD output kemudian diteruskan menuju sensor untuk diubah menjadi tegangan.

6. Tegangan yang menyatakan konsentrasi BOD tersebut dibandingkan oleh controller dengan BOD setpoint.

7. Jika nilainya sudah sama dan konstan, maka proses akan dilanjutkan ke memutar aerator karena aerator harus bekerja terus. Jika nilainya tidak sama dan belum konstan, maka MPC akan melakukan perubahan sinyal kendali naik atau turun melalui perhitungan. Setelah itu akan didapatkan sinyal kendali baru. Proses ini diulang terus-menerus hingga BOD output sama dengan BOD setpoint.

E. Perancangan Sistem Pengawas dengan Metode CUSUM Kadar BOD dalam limbah yang menjadi inputan aeration

basin merupakan variabel bebas yang nilainya tidak dapat diprediksi. Terkadang BOD inputan bernilai tinggi, tetapi di saat yang berbeda, nilainya rendah. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil proses yang maksimal, maka setpoint pengolahan limbah pun harus berubah menyesuaikan dengan kadar BOD dari limbah yang masuk. Penentuan setpoint BOD dapat dilakukan dengan menggunakan metode CUSUM yang menjumlahkan penyimpangan nilai error dari outputan proses terhadap nilai mean awal.

Gambar 10 merupakan algoritma yang digunakan untuk sistem pengawas secara lengkap. Sistem pengawas mulai bekerja ketika menerima data pengukuran BOD dari sensor, selanjutnya sistem pengawas membangkitkan data residual atau penyimpangan dari hasil pengukuran terhadap mean proses. Penyimpangan ini berarti nilai yang tidak sama dengan mean proses, sehingga nilainya dapat berada di atas nilai mean, dapat juga berada di bawah mean. Setelah mendapatkan nilai penyimpangan, selanjutnya adalah melakukan perhitungan nilai kumulatif deviasi error dengan tabular CUSUM sehingga didapatkan nilai 𝐶𝑖+ dan 𝐶𝑖−. Kedua nilai ini kemudian dibandingkan dengan nilai sebelumnya. Apabila nilai 𝐶𝑖+ memiliki kecenderungan naik, maka sistem pengawas akan menaikkan setpoint proses. Demikian pula sebaliknya apabilai 𝐶𝑖− memiliki kecenderungan turun, maka sistem pengawas akan menurunkan setpoint proses. Perhitungan setpoint dilakukan dengan menggunakan persamaan:

𝑟𝑖 = 𝑟𝑖−1 + 𝑚𝑎𝑥 𝐶𝑖 , 𝑖𝑓 𝐶𝑖 > 𝑚𝑎𝑥 𝐶𝑖−1

𝑟𝑖 , 𝑒𝑙𝑠𝑒𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒

(15) 𝑟𝑖 adalah setpoint proses pada saat ini, 𝐶𝑖 merupakan nilai

cumulative data residual. Persamaan 15 merupakan persamaan yang digunakan untuk menentukan setpoint baru bagi proses. persamaan tersebut berarti apabila nilai 𝐶𝑖 lebih besar daripada nilai 𝐶𝑖−1 yaitu nilai cumulative proses sebelumnya, maka 𝑟𝑖 akan diubah menjadi kenaikan setpoint proses sbesar nilai maksimum 𝑐𝑖 dijumlahkan dengan 𝑟𝑖−1 atau setpoint sebelumnya. Jika kumulatif residual tidak lebih besar daripada

nilai kumulatif residual sebelumnya, maka tidak terjadi perubahan setpoint.

Dalam simulasi ini, nilai K yang digunakan adalah 2 untuk proses perhitungan 𝐶𝑖+ dan -2 untuk proses perhitungan 𝐶𝑖− di mana kedua nilai ini didapatkan dari proses trial and error. Nilai 2 dan -2 ini dipilih bukan hanya karena kemampuannya untuk mendeteksi kenaikan dan penurunan konsentrasi input, akan tetapi juga karena kemampuannya untuk mengabaikan nilai perubahan BOD yang sangat kecil sehingga proses pengolahan limbah tetap berjalan stabil saat terjadi gangguan seperti noise pengukuran pada sistem.

Gbr.10. Flowchart algoritma sistem pengawas

F. Integrasi CUSUM dan MPC pada Aeration basin

Gbr.11. Diagram blok sistem pengendalian berpengawasan Diagram blok pada gambar 11 merupakan hasil

perancangan sistem pengendalian berpengawasan pada aeration basin. Blok yang terletak pada ujung kiri merupakan sistem pengawas yang menggunakan teknik CUSUM. Adapun yang menjadi inputan bagi blok ini adalah nilai BOD terukur untuk kemudian ditentukan setpoint barunya berdasarkan deviasi yang terjadi pada setiap pengukuran. Sehingga yang menjadi outputan dari blok ini adalah nilai setpoint baru bagi proses pengolahan limbah. Nilai setpoint baru ini kemudian

Page 9: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

9

menjadi inputan bagi MPC yang berperan sebagai controller bersama dengan nilai terukur BOD.

Setelah dilakukan perhitungan oleh MPC, kemudian MPC memberikan sinyal kendali bagi aerator untuk berputar dan mentransfer oksigen sesuai dengan besarnya sinyal kontrol yang diberikan oleh MPC. Aerator kemudian berputar untuk mentransfer oksigen ke dalam plant aeration basin. Dalam aeration basin dipasang sensor BOD yang gunanya adalah untuk memonitor proses BOD removal yang terjadi pada plant. Nilai konsentrasi BOD terukur tersebut kemudian menjadi inputan bagi MPC dan sistem pengawas. Sistem pengawas akan mengidentifikasi terjadinya deviasi error naik atau turun dengan teknik CUSUM, kemudian jika penyimpangan yang terjadi pada sistem pengawas sudah mencapai ambang batas yang diberikan, maka akan terjadi perubahan setpoint naik atau turun sesuai dengan deviasi yang terjadi. Dengan adanya sistem pengendalian seperti ini, diharapkan bahwa nilai output proses mampu memenuhi kriteria limbah yang ditentukan dari plant, yaitu 40-60% reduksi konsentrasi BOD masuk.

IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Simulasi

Uji 1: perubahan beban naik (BOD input 2200-3000) mg/l dengan noise variance 0.1% (uji sistem)

Uji 1, dilakukan dengan ditambahkan noise variance

sebesar 0.1%. Gambar 12 merupakan grafik respon dari sistem pengendalian saat diberikan input BOD yang konsentrasinya naik secara tiba-tiba. BOD input pada awalnya bernilai 2200 mg/l, kemudian pada t=120 jam berubah menjadi 3000 mg/l. Dapat dilihat bahwa saat terjadi perubahan input, sistem pengawas mampu mendeteksi terjadinya perubahan konsentrasi BOD input, sehingga sistem pengawas melakukan perubahan setpoint sesuai dengan perubahan yang terjadi pada konsentrasi BOD input. Dari hasil simulasi perubahan beban 2200-3000 mg/l, sistem pengawas menaikkan setpoint yang semula bernilai 1250 menjadi 1299 mg/l. Maximum overshoot terjadi pada t=5 jam dengan nilai sebesar 40 mg/l dan pada t=130 jam dengan nilai 20 mg/l. Respon sistem memerlukan waktu untuk menuju keadaan steady sebesar 15 jam untuk setpoint pertama dan 30 jam untuk setpoint kedua. Respon sistem pengendalian ini menunjukkan hasil yang baik karena respon mampu mengikuti nilai setpoint yang diberikan oleh sistem dengan error steady state hanya sebesar 0.0009%.

Gbr.12. Grafik respon uji 1

Gambar 13 merupakan grafik kecepatan aerator. Dapat dilihat bahwa akibat adanya perubahan setpoint, maka kecepatan aerator pun juga berubah. Pada saat t=120, terjadi kenaikan konsentrasi BOD menjadi 3000 mg/l yang mengakibatkan aerator menaikkan kecepatannya dari kecepatan awal yang bernilai 600 rpm menjadi 900 rpm. Perubahan kecepatan aerator mengimbangi kenaikan konsentrasi BOD input sehingga nilai BOD output tidak melonjak naik hingga melebihi kriteria yang telah ditetapkan, melainkan dapat dikendalikan dengan baik.

Gbr.13. Grafik kecepatan putar aerator uji 1

Uji 2: perubahan beban turun (BOD input 3000-2200 mg/l) dengan noise variance 1% (uji sistem)

Uji 2 dilakukan dengan menggunakan seluruh parameter

yang sama dengan uji sebelumnya. Nilai BOD input diatur ulang dengan nilai awal sebesar 3000 mg/l dan kemudian turun menjadi 2200 mg/l. Gambar 14 merupakan respon sistem saat dilakukan uji perubahan beban turun dari 3000-2200 mg/l. Saat terjadi penurunan konsentrasi BOD input pada t=120 jam, sistem pengawas melakukan perubahan setpoint dari 1250 mg/l menjadi 1200 mg/l. Pada saat terjadi perubahan setpoint, maka respon sistem juga turun mengikuti setpoint baru. Dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa respon sistem mengalami overshoot pada saat t=10 jam yang besarnya 25 mg/l dan t=130 yang nilainya sebesar 30 mg/l. Respon sistem memerlukan waktu untuk menuju keadaan steady sebesar 25 jam untuk setpoint pertama dan 30 jam untuk setpoint kedua. Respon sistem menunjukkan hasil pengendalian yang baik karena respon sistem mampu mengikuti setpoint yang diberikan oleh sistem pengawas dengan error steady state hanya sebesar 0.0009%.

Gbr.14. Grafik respon uji 2

Page 10: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

10

Gbr.15. Grafik kecepatan putar aerator uji 2

Gambar 15 menunjukkan kecepatan putar aerator untuk uji

perubahan beban turun. Pada awal sistem bekerja, aerator berada pada kecepatan 900 rpm. Hal ini terjadi karena konsentrasi BOD input sangat tinggi, yaitu 3000 mg/l, akan tetapi pada saat terjadi perubahan konsentrasi BOD input pada t=120 jam dapat dilihat bahwa kecepatan aerator yang tadinya berada pada nilai 900 rpm turun menjadi 600 rpm mengikuti perubahan konsentrasi BOD input. Oleh karena konsentrasi BOD input turun, maka aerator tidak perlu bekerja terlalu berat, sehingga cukup dengan menurunkan kecepatannya sesuai dengan setpoint yang diinginkan. Secara keseluruhan, controller MPC mengendalikan sistem dengan baik. Hal ini terbukti dari respon sistem yang mampu mengikuti setpoint yang diberikan.

Uji 3: perubahan beban naik-turun (BOD input 2200-2500-2100-2900-2000 mg/l) dengan noise variance 1% (uji sistem)

Selanjutnya untuk uji terakhir, dilakukan perubahan beban

naik-turun. Pengujian ini dilakukan dengan waktu simulasi sebesar 600 jam dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan sistem pengendalian dalam memberikan respon yang berubah-ubah secara berkesinambungan. Dalam pengujian ini dilakukan perubahan beban BOD dari nilai awalnya yaitu 2200 mg/l, menjadi 2500 mg/l pada t=120 jam, 2100 mg/l pada t=240 jam, kemudian naik menjadi 2900 mg/l pada t=360 jam, dan turun lagi menjadi 2000 mg/l pada t=480 jam. Gambar 20 merupakan respon sistem respon sistem saat dilakukan uji perubahan beban naik turun dari 2200-2500-2100-2900-2000 mg/l.

Dalam uji ini, sistem pengawas melakukan 4 kali perubahan setpoint karena terjadi 4 kali perubahan konsentrasi BOD input. Pada awal simulasi dengan konsentrasi BOD input sebesar 2200 mg/l, sistem pengawas memberikan setpoint awal sebesar 1250 mg/l. Saat terjadi kenaikan BOD input menjadi 2500 mg/l, sistem pengawas menaikkan setpoint menjadi 1260 mg/l. Kemudian ketika BOD input turun menjadi 2100 mg/l, sistem pengawas juga menurunkan setpoint hingga menjadi 1210 mg/l. Begitu seterusnya untuk kenaikan BOD input menjadi 2900 mg/l, sistem pengawas menaikkan setpoint menjadi 1290 mg/l dan saat BOD input mengalami penurunan menjadi 2000 mg/l, sistem pengawas menurunkan setpoint menjadi 1284 mg/l.

Gbr.16. Grafik respon uji 3

Terdapat 5 kali overshoot pada grafik respon sistem, di

mana overshoot pertama terjadi pada t=20 jam dengan nilai 2 mg/l, overshoot kedua terjadi pada t=120 jam dengan nilai 10 mg/l, overshoot ketiga terjadi pada t=240 jam dengan nilai 20 mg/l, overshoot keempat terjadi pada t=360 jam dengan nilai 30 mg/l, dan overshoot terakhir terjadi pada t=480 jam dengan nilai 40 mg/l. Untuk mencapai keadaan steady, sistem membutuhkan waktu sebesar 30 jam untuk setpoint pertama, 25 jam untuk setpoint kedua, 30 jam untuk setpoint ketiga, 35 jam untuk setpoint keempat, dan 40 jam untuk setpoint kelima. Respon sistem menunjukkan hasil pengendalian yang baik karena respon mampu mengikuti perubahan setpoint naik dan turun secara berulang-ulang dengan nilai error steady state hanya sebesar 0.0009% saja.

Gbr.17. Grafik kecepatan putar aerator uji 3

Gambar 17 merupakan grafik kecepatan putar aerator untuk

uji perubahan BOD naik turun. Kecepatan aerator mencapai keadaan steady pada saat t=10 jam. Nilai kecepatan aerator berubah-ubah mengikuti setpoint yang diberikan oleh sistem pengawas. Pada awal proses, kecepatan aerator berada pada nilai 600 rpm. Saat terjadi kenaikan BOD input, kecepatan aerator berubah menjadi 700 rpm pada t=120 jam, kemudian turun menjadi 590 rpm pada t=240 jam. Kecepatan aerator mengalami kenaikan lagi saat t=360 menjadi 800 rpm, setelah itu turun lagi menjadi 550 rpm pada saat t=480. Nilai kecepatan aerator menyesuaikan dengan kebutuhan proses agar proses pengolahan limbah tetap memenuhi kriteria yang diharapkan dengan juga mempertimbangkan sisi ekonomis yang bisa diperoleh, misalnya pada saat konsentrasi BOD

Page 11: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

11

turun, maka kinerja aerator dapat dikurangi untuk menghemat daya. Perhitungan mengenai dampak ekonomis sistem pengendalian akan dijelaskan pada sub-bab C.

Keseluruhan simulasi dilakukan dengan menggunakan sistem pengendalian berpengawasan hasil rancangan. Setelah melakukan pemilihan parameter pengendalian dengan tuning trial and error, selanjutnya dilakukan uji sistem pengendalian berpengawasan secara keseluruhan dengan beberapa variasi perubahan beban dan noise. Adapun konsentrasi BOD yang diujikan dalam simulasi ini berada pada range 2000 mg/l hingga 3000 mg/l, karena berdasarkan data dari plant, konsentrasi BOD input berada pada range tersebut. Dari hasil uji yang dilakukan pada sistem pengendalian, maka didapatkan hasil respon yang baik untuk setiap keadaan, yaitu keadaan konsentrasi BOD konstan, konsentrasi BOD naik secara tiba-tiba, konsentrasi BOD turun secara tiba-tiba, serta konsentrasi BOD berubah terus-menerus. Secara keseluruhan, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem pengendalian berpengawasan memberikan respon yang baik untuk sistem pengolahan limbah cair ini karena pada setiap simulasi yang dilakukan, tidak ada error yang cukup berarti dari respon sistem pengendalian ini. Selain itu dapat dilihat juga bahwa dengan adanya sistem pengawas, sistem pengendalian BOD ini mampu memberikan dampak ekonomis dengan cara mengurangi daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan aerator sesuai dengan nilai konsentrasi BOD pada limbah masuk. Dengan demikian, selain kriteria proses terpenuhi, yaitu 40-60% BOD removal, juga dapat dilakukan penghematan daya melalui pengendalian kecepatan aerator sesuai dengan kebutuhan proses.

Dari keseluruhan hasil uji yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan nilai setpoint baru untuk keadaan proses dengan konsentrasi limbah naik dan turun. Hal ini dapat dilihat pada gambar 16 dan gambar 18. Dari gambar tersebut jelas sekali bahwa nilai setpoint yang dihasilkan untuk input naik dan input turun berbeda. Hal ini terjadi dikarenakan setpoint awal proses yang ditentukan bagi proses sebelum sistem pengawas bekerja adalah 1250 mg/l, sesudah itu barulah sistem pengawas menentukan setpoint berdasarkan nilai proses yang baru. Sehingga terjadi perbedaan deviasi antara input naik dan input turun yang mengakibatkan setpoint hasil perhitungan dengan CUSUM juga berbeda. Akan tetapi perlu diketahui juga bahwa perbedaan nilai setpoint ini tidak berpengaruh buruk bagi proses pengolahan limbah karena setpoint hasil perhitungan dengan teknik CUSUM mampu menghasilkan setpoint baru yang nilainya selalu memenuhi kriteria proses pengolahan limbah yang telah ditentukan di IPAL Benowo. Jadi, meskipun terjadi perbedaan nilai setpoint baru, akan tetapi hasil proses pengolahan limbah selalu berada pada nilai kriteria proses yang ditentukan, atau dengan kata lain sistem pengendalian berpengawasan hasil perancangan mampu menghasilkan respon pengendalian yang baik sehingga respon sistem selalu berada dalam keadaan in control atau terkendali.

B. Hasil Perbandingan Uji Respon Sistem Pengendalian Pada sub-bab ini akan dibahas mengenai hasil uji sistem secara keseluruhan. Hasil pengujian sistem dinyatakan dalam tabel 2. Adapun hasil uji sistem dinyatakan dalam jenis uji

yang dilakukan, konsentrasi input yang diberikan, setpoint hasil perhitungan CUSUM atau disebut juga setpoint generated, maximum overshoot yang merupakan nilai penyimpangan terbesar respon sistem dari nilai setpoint, settling time yaitu waktu yang dibutuhkan oleh sistem pengendalian untuk mencapai keadaan steady, peak time yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon untuk mencapai maximum overshoot pertamanya, dan ESS atau error steady state yang menyatakan nilai error dari respon sistem pengendalian pada saat steady.

Tabel 2 Hasil perbandingan uji respon sistem pengendalian

Jenis uji Setpoint generated

Max Overshoot terbesar

(%)

Settling time

terbesar (h)

Ess (%)

Uji beban naik

(2200-3000 mg/l)

1250 mg/l-1299 mg/l

3.2 30 0.0009

Uji beban turun

(3000-2200 mg/l)

1250 mg/l-1200 mg/l

2.5 30 0.0009

Uji beban naik-turun

(2200-2500-2100-2900-2000 mg/l)

1250 mg/l-1260 mg/l-1210 mg/l-1290 mg/l- 1284 mg/l

3.1 40 0.0009

Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa sistem pengendalian berpengawasan mampu memberikan hasil pengendalian yang baik dengan nilai error yang kecil, yaitu 0.0009% saja. Selain itu, nilai maximum overshoot terbesar hanyalah 3.2% saja.

C. Perhitungan Dampak Ekonomis Pengendalian Selanjutnya Selanjutnya dilakukan perhitungan dampak ekonomis untuk mengetahui apakah sistem pengendalian berpengawasan mampu memberikan dampak ekonomis dalam proses pengolahan limbah. Perhitungan ini dilakukan hanya pada saat proses pengolahan limbah mengalami keadaan penurunan konsentrasi input. Hal ini dilakukan karena penurunan daya terjadi pada saat terjadi input turun. Dari hasil uji sistem sebelumnya, terdapat 3 kali perubahan konsentrasi input turun, yaitu pada uji beban turun (3000-2200 mg/l), uji beban naik-turun (2500-2100 mg/l), dan uji beban naik-turun (2900-2000 mg/l). Adapun perhitungan dampak ekonomis sistem pengendalian ini akan diberikan 1 contoh. Selanjutnya hanya perlu menggunakan proses perhitungan yang serupa dan hasil perhitungannya dapat dilihat pada tabel 3. Perhitungan dampak ekonomis:

- Kecepatan mula-mula : 900 rpm => 5589 Watt - Kecepatan akhir : 600 rpm => 3726 Watt - Selisih daya : 1863 Watt

Misal: tarif dasar listrik : Rp.600,00 per kWh

Page 12: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

12

Setiap fase pada aerator bekerja selama 5 hari atau 120 jam, sehingga total pengurangan daya dapat dihitung sebagai berikut: 1863 watt x 120 jam = 223560 Watt 223560 watt = 223.56 kWh Sehingga total saving money dapat dinyatakan sebagai berikut: 223.56 kWh x Rp.600,00 = Rp.134.136,00 Tabel 3 Perhitungan dampak ekonomis sistem pengendalian

No. Jenis Uji

rpm Perubahan Daya

Selisih Daya

Saving money

1 Beban turun (3000-2200)

900-600

5589-3726

1863 Rp. 134.136,00

2 Beban naik turun (2500-2100)

700-590

4353-3668

685 Rp.49.320,00

3 Beban naik turun (2900-2000)

800-550

4968-3415

1553 Rp.111.816,00

Tabel 3 merupakan hasil perhitungan dampak ekonomis sistem pengendalian berpengawasan. Dapat dilihat bahwa sistem pengendalian berpengawasan hasil rancangan dapat melakukan penghematan daya dan biaya dengan cara melakukan perubahan setpoint agar kecepatan aerator sesuai dengan kebutuhan proses. Sehingga apabila tidak memerlukan kecepatan yang tinggi, maka kecepatan aerator dapat dikurangi. Dengan adanya sistem pengendalian berpengawasan, kinerja aerator mampu menyesuaikan dengan kebutuhan proses yang sedang berlangsung. Pada saat konsentrasi BOD input turun, maka sistem CUSUM akan membentuk setpoint baru sehingga kinerja aerator mampu dikurangi sedemikian sehingga aerator mampu bekerja dengan daya yang minimum akan tetapi memberikan hasil pengolahan limbah yang baik. Melalui uji perubahan beban turun terbesar yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian berpengawasan hasil rancangan mampu melakukan penghematan biaya operasi hingga sebesar Rp.134.136,00 sehingga dapat dikatakan bahwa pengendalian aeration basin dengan mengunakan teknik CUSUM ini mampu memberikan dampak ekonomis bagi sistem.

V. KESIMPULAN Terdapat beberapa kesimpulan yang didapat dalam pelaksanaan pengerjaan Tugas Akhir ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

Sistem pengendali dengan menggunakan algoritma MPC mampu mengendalikan proses pengolahan limbah dengan baik. Hal ini terbukti pada saat MPC diberi inputan yang berubah-ubah dan saat diberi noise 1% hingga 10%.

Controller MPC yang memberikan hasil pengendalian terbaik dalam simulasi ini menggunakan parameter-parameter kontrol sebagai berikut: control interval 2, prediction horizon 10, control horizon 2, bobot input 0, bobot laju 0.01, dan bobot output 1.

Sistem pengendalian berpengawasan hasil perancangan mampu menghasilkan respon output proses yang baik dengan error steady state hanya sebesar 0.0009%.

Parameter terbaik yang digunakan pada sistem pengawas adalah K = 2 untuk proses perhitungan 𝐶𝑖+ dan -2 untuk proses perhitungan 𝐶𝑖− di mana kedua nilai ini didapatkan dari proses trial and error.

Sistem pengawas mampu mendeteksi perubahan BOD input dengan selisih minimum sebesar 300 mg/l dan tidak dapat mendeteksi perubahan BOD input dengan selisih yang lebih kecil, misalnya 100 mg/l. Selain itu, setpoint hasil perhitungan sistem pengawas ini tidak sama saat diberikan input naik dan turun untuk konsentrasi yang sama. Hal ini dikarenakan terjadinya perbedaan deviasi antara nilai proses dengan setpoint yang ada pada saat input naik dan pada saat input turun.

Sistem pengawas mampu bekerja dengan baik pada saat diberi noise sebesar 0.1% dan menjadi tidak stabil pada saat diberi noise sebesar 1% dan 10%. Hal ini disebabkan oleh pemilihan parameter sistem pengawas yang terlalu sensitif, sehingga batasan maksimum noise yang diperbolehkan bagi sistem pengendalian adalah 0.1%.

Sistem pengendalian berpengawasan hasil perancangan mampu memberikan dampak ekonomis melalui penghematan daya hingga 223.56 kWh yang setara dengan Rp.134.136,00 untuk hasil uji dengan perubahan beban turun terbesar.

Hasil simulasi selalu memenuhi kriteria air limbah ketetapan dari plant, yaitu 40-60% removal.

VI. DAFTAR PUSTAKA [1] Metcalf and Eddy. 1991. ―Wastewater Engineering, Treatment

Disposal, and Reuse‖ McGraw Hill, New York.

[2] Aryani, Dharma, 2009. ―Perancangan Pengendali Model Predictive

Control Constrained pada Sistem Proton Exchange Membrane

(PEMFC)‖ Thesis Fakultas Teknik Program Studi Kontrol Industri Universitas Indonesia, Depok.

[3] Bemporad, Alberto. Morari, Manfred. Ricker, Lawrence 2011 ―Model

Predictive Control Toolbox Getting Started Guide‖ The Mathworks Inc, Apple Hill Drive, Natick

[4] D.C. Montgomery, 2005. ―Introduction to Statistical Quality

Control‖ 5th ed., John Wiley & Sons, New York. [5] Pradana, Kresna, Metrik. 2007. ―Sistem Monitoring pada Oxidation

Ditch Berbasis Multivariate Statistical Process Control

Page 13: Judul : Persiapan Paper untuk Title: PERANCANGAN SISTEM ... · proses pengolahan limbah [9]. Proses pengolahan limbah secara biologis terjadi di dalam aeration basin dengan bahan-bahan

13

Berbantukan Fuzzy‖ Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

[6] Middlebrooks, E.J. 1982. Wastewater Stabilization Lagoon Design,

Performance and Upgrading. McMillan Publishing, <URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Aerated_lagoon>

[7] Disain Pengendali dengan Metode Model Predictive Control (MPC), <URL:http://xa.yimg.com/kq/groups/22941810/2092404652/name/Bab>

[8] Proses Pengolahan Limbah dengan Biakan Tersuspensi,

<URL: http://www.kelair.bppt.go.id/>

Biodata Nama : Bambang Pramono TTL : Surabaya, 23 Februari

1990 Alamat : Kertapura II/15 Denpasar-Bali Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan: 1994 – 1995 : TK Kristen Petra 5 Surabaya 1995 – 2000 : SDK Petra 5 Surabaya 2000 – 2002 : SDK Santo Yoseph 2 Denpasar-Bali 2002 – 2005 : SLTP Negeri 1 Denpasar 2005 – 2008 : SMA Negeri 4 Denpasar 2008 – Sekarang : Jurusan Teknik Fisika ITS Surabaya