Top Banner

of 40

Jong Indonesia Edisi 01 2009

Jul 18, 2015

Download

Documents

buniyani
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

| Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda | No. 1 - 17 Agustus 2009 |

1

I N D O N E S I A

JONG

Suka Duka Kuliah di BelandaNo. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun IPerdana (Wageningen) Foto: Jimmy - JONG INDONESIA

2

SalamApalah arti sebuah nama? kata Shakespeare. Bukankah mawar akan tetap harum, meski kita sebut dengan nama lain? Mungkin, bagi Shakespeare nama hanya sekedar nama. Berbeda ketika Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia yang berdiri tahun 1908 diubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Nama buletinnya pun diubah dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka tahun 1924. Perubahan nama itu dan pencantuman nama Indonesia membawa pengaruh yang luar biasa. Setelah 101 tahun berlalu, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda, yang punya kaitan historis dan semantis dengan Indische Vereeniging dan Perhimpunan Indonesia, menerbitkan sebuah majalah online, untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan lewat media. Ada sekitar 1500 pelajar Indonesia di Belanda. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan militan. Masa untuk menerbitkan sebuah majalah, tidak bisa? Itulah yang menggerakkan penerbitan majalah ini. Proses inisiasi dan perekrutan dimulai sejak Maret 2009. Namun, memilih dan menentukan nama media itu tidak selesai dalam semalam. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul: Jembatan, Indonesia Muda, Agora, van Indonesie, Tinta Ilmu, Penggiat Indonesia, dan Indonesia Maju. Dari nama-nama itu akhirnya mengerucut menjadi dua: Indonesia Muda dan van Indonesie. Perdebatan di redaksi cukup alot. Ketika di-voting, hasilnya 50:50. Akhirnya, kami meminta warga PPI Belanda untuk menentukan nama majalah ini lewat poling online. Sebanyak 208 voters berpartisipasi. Ketika deadline ternnyata hasilnya masih sama 50: 50. Lalu dalam rapat online redaksi, muncul usulan nama Indonesia. Jong Indonesia Nama itulah yang akhirnya dipilih dan disepakati. Kenapa Jong Indonesia? Seperti kita tahu, menjelang Sumpah Pemuda 1928, banyak muncul perkumpulan seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. Jong Indonesia atau Jong Indonesie adalah nama organisasi yang didirikan di Bandung 1927. Mereka menggunakan warna merah putih dan kepala banteng sebagai simbol. Nama organisasi ini kemudian diubah menjadi Pemuda Indonesia untuk yang berjenis kelamin laki-laki dan Putri Indonesia bagi yang perempuan. Pemuda Indonesia membuat kongres di mana pada kongres yang kedua menghasilkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, JONG Indonesia ingin mengajak para pemuda, khususnya pelajar Indonesia di Belanda, untuk menyumbangkan pemikirannya untuk Indonesia yang lebih baik. Majalah ini diharapkan menjadi media pembelajaran, transfer informasi dan pengetahuan; mempererat-memperluas persaudaran antarmahasiswa Indonesia di Belanda; dan memberikan masukan terhadap perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Penerbitan majalah versi online dipilih karena pertimbangan: lebih murah dan hemat kertas; dan pelajar Indonesia di Belanda sebagian besar bisa mengakses internet. Majalah online ini berbasis web di http:// majalah.ppibelanda.org. Format web juga memungkinkan untuk meng-update informasi-informasi penting dan aktual dalam bentuk berita (straight news). Versi majalah dengan format PDF juga kami sediakan, sehingga bisa diunduh dan dicetak. Jong Indonesia mengajak kawankawan PPI Belanda dan siapa saja untuk menulis dan berbagi. Sebab, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Yohanes Masboi Widodo Pemimpin Umum/ Sekjen PPI Belanda

Redaksi

JONG INDONESIA - Majalah online PPI Belanda. Pemimpin Umum: Yohanes Widodo (Wageningen) Pemimpin Redaksi: Yon Daryono (Denhaag) Sekretaris Redaksi: Yessie Widya Sari (Wageningen) Staf Redaksi: Asti Rastiya (Denhaag) Sujadi (Leiden) Dian Kusumawati (Amsterdam) Amar Maruf (Amsterdam) Rahma Saiyed (Denhaag) Henky Widjaja (Denhaag) Prita Wardani (Denhaag) Meditya Wasesa (Rotterdam) Hosea Sapto Handoyo. Fotografer: Qonita S (Eindhoven) Jimmy Perdana (Wageningen)

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

3

UtamaWah enaknya, ya, bisa kuliah di Belanda. Demikian komentar yang seringkali dilontarkan oleh teman atau kerabat terhadap orang yang belajar di luar negeri, khususnya di Belanda. Kuliah di Belanda itu enak, menyenangkan, bisa jalan-jalan, dan lain-lain. Benarkah demikian? Qonita S, Yessie Widya Sari, dan Asti Rastiya dari Jong Indonesia mengumpulkan kisah, pengalaman, dan komentar anggota PPI Belanda tentang suka, duka, perjuangan mereka selama belajar dan hidup di Belanda. Laporan dirangkum oleh Yohanes Masboi Widodo. Redaksi

Suka Duka Kuliah di BelandaPicture is taken from http://www.readerbookpatch.com

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

4

Sukanya kuliah di Belandaika ditanya apa enaknya belajar di Belanda, yang mesti disebutkan pertama adalah bahasa. Ini harus diakui. NESO Indonesia, penyelenggara beasiswa Stuned, bahkan punya tagline: In English, for sure! Ya, meskipun kita belajar di Belanda namun kita cukup menguasai Bahasa Inggris. Di Belanda, Bahasa Inggris bisa dibilang bahasa kedua. Hampir 80 persen orang Belanda bisa berbahasa Inggris. Dimanapun kita berada, setiap kali ketemu orang, mereka bisa berbahasa Inggris. Ini diakui oleh Arya Adriansyah dari TU Eindhoven, bidang Computer Science and Engineering, spesialisasi Architecture of Information System. Sebagian besar orang Belanda bisa berbahasa Inggris, sehingga tidak terlalu sulit berkomunikasi, termasuk ketika kuliah, ujar Arya. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Jerman, Italia, dan Perancis, orang Belanda lebih lebih foreigner friendly, relatif lebih rapi atau teratur, ujar Renaldi, mahasiswa TU Eindhoven jurusan Sustainable Energy Technology. Kedua, banyaknya mahasiswa yang belajar di Belanda. Menurut catatan Nuffic, ada sekitar 1.500 pelajar Indonesia di Belanda. Banyaknya teman-teman dari Indonesia memungkinkan proses adaptasi dengan lingkungan relatif cepat dan meminimalisir culture shock, tambah Arya. Satu hal yang sangat menyenangkan bisa memasak dan makan bareng, pergi jalan-jalan bareng, dan nongkrongnongkrong bareng dengan temanteman Indonesia. Ketiga, kualitas universitas, perkuliahan dan pendidikan. Dilihat dari semua sisi universitas di Belanda. Setidaknya, ia melihatnya dari tiga hal: human resource, fasilitas, dan support center universitas. Perkuliahan di kampus Belanda merupakan sistem yang lebih banyak diskusi dan berbagi pengalaman dengan sesama mahasiswa dari berbagai Negara, tidak melulu fokus pada buku teks, ujar Dilli Sagala,

J

alumni ICHD KIT Amsterdam 2008. Dosen di Belanda berkompeten dan egaliter. Para dosen terbuka untuk diskusi diluar jam kuliah dan melek teknologi. Dosen juga punya riset yang sejalan dengan kuliah, sehingga ilmu-ilmunya benar-benar

up to date, bahkan kadang-kadang punya tools sendiri, papar Arya. Dosen tidak pernah memaksakan idenya kepada mahasiswa. Dengan kata lain tersedia ruang untuk kebebasan dalam berfikir dan memaksimalkan potensi diri, jelas Hustarna, master

Belajar KehidupanTechnische Universiteit Eindhoven Jurusan Technologie Management (PhD 2001-2006). Saat ini Rektor Universitas Widya Kartika SurabayaPengalaman tersebut telah menempa kemandirian, kemampuan mengorganisir, mengambil keputusan, dan bersikap fokus seperti gaya managemen Belanda pada umumnya. Saya selama di kampus juga aktif mengikuti Phd Council dengan rekan-rekan dari berbagai negara untuk memperjuangkan kami di fakultas. Interaksi itulah yang memberikan pelajaran di luar akademis terhadap budaya managemen Belanda. Selain itu interaksi kami dengan keluarga asli Belanda juga merupakan pengalaman indah buat kami sekeluarga. Rasa gotong royong rakyat Belanda kami rasakan melebihi rakyat Indonesia pada umumnya. Empati akan sesama jauh lebih kuat, dan rasa sosial dan kesetia kawanan juga menonjol. Hal ini kami rasakan bukan sebagai teori namun kenyataan hidup kami sekeluarga. Saat ini dalam pekerjaan dan jabatan saya di tanah air, pengalaman tersebut dan jaringan yang ada sangat membantu kehidupan kami ditanah air. Kami tetap melanjutkan hubungan tersebut hingga saat ini.***

Dr.Ir .Ir. Baskoro, Dr.Ir. Gembong Baskoro, M.Sc.

Kuliah tidak hanya belajar selama di kampus saja tapi juga dari faktor eksternal lingkungan, masyarakat, pergaulan, persoalan hidup, dan lain-lain. Selama saya di Belanda, kuliah sebagai AiO (PhD) dengan anak tiga orang, tentu saja merupakan perjuangan yang sangat berat. Namun pelajaran, hikmah, yang saya petik tiada bandingnya. Saya tidak hanya kuliah untuk diri saya sendiri, tapi kami sekeluarga dapat belajar banyak dari kehidupan selama di Belanda dan daratan Eropa. Selama kurun itu saya aktif bersama mahasiswa Indonesia (PPI) di seluruh Eropa dalam berbagai kegiatan PPI di berbagai kota Eropa. Tentu saja kegiatan lain yang berhubungan dengan kuliah saya juga berjalan paralel.

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

5

Irene Panuju, jurusan ICT, Fontys University of Applied Sciences, Eindhoven. Linguistics di Radboud University Nijmegen menyoroti hubungan dosen dan mahasiswa yang setara. Mahasiswa bisa menyampaikan pendapat meski bertentangan dengan dosen atau fasilitator. Fasilitatornya kebanyakan para pakar di bidangnya masing-masing yang berasal dari berbagai negara dan organisasi internasional, termasuk dari WHO, sehingga merupakan pengalaman yang sangat berharga, tambah Dilli yang mengambil program internasional pembangunan kesehatan. Dosen lebih berdedikasi. Mengajarnya jelas. Mata kuliah dikupas sampe sebiji-bijinya. Kalau kita ada komplain ke dosen, misalnya dia absen tanpa keterangan atau mengajar kurang jelas, bisa dilaporin ke universitas, ujar Irene Panuju, mahasiswa tahun kedua jurusan ICT, Fontys University of Applied Sciences, Eindhoven. Kita ditantang untuk berpikir secara kritis dan mandiri, bukan hanya menerima dan menelan mentah-mentah. Saya ingat pesan dosen saya: kita boleh saja lupa dengan semua rumus, toh itu bisa dilihat di banyak buku. Yang terpenting justru bagaimana kita mampu berpikir sistematis untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Mulai dari mencari penyebab sampai melakukan evaluasi dampak dari hasil kerja kita, ujar Margaetha Siregar atau Margie, alumni UNESCO-IHE 2007-2009, Delft.

Aprilianto Eddy Wiria, Immunology Department of Parasitology, LUMC Leiden. Dosen bisa dipanggil langsung dengan namanya. Meski awalnya kurang sreg, tapi itu cukup efektif untuk menghilangkan jarak guru dengan murid dan menghindari feodalisme dalam dunia pendidikan, ujar Selamet Hidayat, mahasiswa Royal Tropical Institute (KIT) Amsterdam, Jurusan Public Health. Perbedaan strata antara dosenmahasiswa tidak keliatan. Jadinya, mahasiswa lebih berani berpendapat, berkreasi, nyari-nyari ide tanpa takut dapet nilai jelek karena dosennya tidak suka, kata Renaldi. Fasilitas yang mendukung ilmu pengetahuan tersedia dengan melimpah ruah. Universitas punya akses ke jurnal-jurnal aktual, kecepatan internetnya kencang tanpa batas. Di sini komputer diperbarui terus. Mahasiswa juga mendapat jatah printer gratis, kata Arya. Akses jurnal kedokteran yang lebih lengkap, seminar-simposiadiskusi melimpah ruah merupakan kemewahan bagi orang yang ingin menjadi ilmuwan, kata Aprilianto Eddy Wiria, mahsiswa PhD jurusan Immunology Department of Parasitology, LUMC Leiden. Perpustakaan juga melayani mahasiswa secara penuh. Rata-rata perpustakan dibuka hingga malam hari, terutama pada musim exam. Perpustakaan juga sedia buku-buku terbaru, langganan majalah-majalah yang memang menunjang, tambah

Arya Adriansyah, jurusan Computer Science and Engineering, TU Eindhoven Arya. Support center kampus juga diakui bagus. Segala bisa diurus/ ditanyain ke Support Center, mulai dari cara apply residence permit, ijin kerja, nanya-nanya arti surat-surat berbahasa belanda, dan ngebantunya tidak pakai sinissinisan, kata Arya. Arya pernah menanyakan tentang Internet ke Support Center dan mereka langsung telpon provider Internetnya. Jika memerlukan surat keterangan juga relatif cepet. Mintanya pagi, dapatnya siang atau sore, tambahnya. Selain itu, ada satu lagi yang penting menurut Arya. Sekolah di Belanda kerjasama sama industrinya oke. Menurutnya, riset-riset yang dikerjain banyak yang memang dibutuhkan oleh industri. Bahkan tools yang dikembangkan bisa jadi dicontek oleh produk-produk komersil. Disini juga disupport software-software komersil yang up to date. Kemarin tutorku memesan satu software simulasi buat ngajar, dan berhasil dapet lisensi untuk 60 orang dalam waktu kurang dari tiga bulan. Padahal harga softwarenya lumayan, katanya. Selain tentang kampus dan perkuliahan, beberapa anggota PPI menyoroti tentang transportasi dan lalu lintas di Belanda yang tertib dan teratur. Sistem transportasi massal luar biasa. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Istilah dia mendekatkan yang jauh dan merapatkan yang sudah dekat

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

6

Rezki Lestari Arief, Institute of Social Studies The Hague Jurusan Economic of Development 2007. karena mudahnya koneksi. Di Belanda itu tidak ada kota yang jauh, semuanya dekat, ujar Selamet . Jalanan di sini juga pedestrianfriendly. Trotoarnya lebar-lebar dan tidak dibajak PKL. Benar-benar melengkapi lingkungannya yang juga minim polusi, baik polusi udara, air, tanah, maupun suara, ujar Irene Panuju. Di Belanda jalur pejalan kaki, jalur sepeda dan jalur mobil/bus/tram yang terpisah dengan baik. Tidak rebutan kayak di Indonesia. Mobil mengalah dengan sepeda, sepeda mengalah dengan pejalan kaki. Apa tidak terharu lihat Mercedes atau Audi kinclong tiba-tiba mengerem mendadak karena ada sepeda bututku mau lewat? Di mana lagi bisa begini? tanya Selamet. Belanda juga menjadi surga bagi pengendara sepeda. Meski ada yang pernah bilang, Jogja juga kota sepeda, tapi kenyamana naik sepeda baru saya rasakan di Belanda. Tak perlu takut keserempet kendaraan seperti motor dan mobil. Keadaan di Belanda, membuat saya tahan meninggalkan tanah kelahiran demi cita-cita, ujar Rezki Lestari Arief atau Kiki, lulusan Institute of Social Studies The Hague Jurusan Economic of Development 2007. Urusan makan juga tidak ada masalah. Hampir semua bahan makanan Indonesia tersedia di Belanda. Bagi yang kangen makanan Indonesia, ada Toko Asia

Buat saya hal paling worth it atau menyenangkan selama hidup di Belanda adalah adanya kartu pathe. Dengan kartu ini kita nonton bioskop sepuasnya dalam sebulan cuma dengan 18 Euro.Wah Nam Hong di Centrum Den Haag. Tempat ini menjadi surga belanja bagi penikmat masakan Indonesia: ada daun salam, terasi, hingga tempe. Jadi, tidak usah takut kangen masakan Indonesia selama kuliah di Belanda, tambah Kiki. Makanan apa yang paling disukai? Durum kebab met knoflooksaus, kata Rezon B. Jovian, Stenden Hogeschool, Jurusan Informatics. Menurut Dilli, kondisi lingkungan Belanda juga kondusif untuk berinteraksi dengan masyarakat, baik lokal maupun pendatang. Secara sosial, masyarakat Belanda juga menghargai perbedaan dan pluralisme. Kehidupan beragama dapat berjalan dengan baik. Bagi orang muslim terdapat fasilitas ibadah yang relatif baik untuk ukuran Eropa. Buat yang muslim ada mushola (stillteruimte), ada mesjid, dan orangorang juga mengerti kalau muslim harus ibadah lima kali sehari, ujar Arya. Masyarakat Belanda terbuka, egaliter terus terang, namun tidak pendendam, tambah Selamet. Di sini kita bebas mengutarakan pendapat, menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, ujar Aditya Tri Hernowo, PhD program Ophthalmology, UMC Groningen. Orang-orang Belanda juga dinilai disiplin dan respek dengan waktu. Disini semuanya terjadwal, jadi

Aditya Tri Hernowo, PhD program Ophthalmology, UMC Groningen.

gampang buat bikin personal schedule. Orang Belanda juga tidak terlalu workaholic dibandingkan orang Asia. Pada saat kerja ya kerja, pada saat libur ya libur, tutur Renaldi. Belanda juga bisa dibilang surga untuk hiburan. Letak geografisnya yang dekat dengan negara-negara tetangga, sehingga dapat sekedar plesir walaupun cuma di akhir pekan. Bangunan tua atau bersejarah dirawat dengan baik. Itulah nilai plus kota-kota di Eropa mempertahankan ciri dan karakter mereka. Jadinya banyak obyek wisata bangunan tua yang menarik, serasa hidup di golden period di era 1800-an. Buat saya hal paling worth it atau menyenangkan selama hidup di Belanda adalah adanya kartu pathe. Dengan kartu ini kita nonton bioskop sepuasnya dalam sebulan cuma dengan 18 Euro, ujar Mackenzie Hadi, mahasiswa di Groningen. Hal paling sederhana yang bisa dipelajari dari orang Belanda? On time. Disinilah saya belajar on time dan alhamdulillah sekarang saya sudah lumayan tidak ngaret seperti dulu lagi, kata Selamet. Manajemen dan ketepatan waktu yang mengagumkan, hidup hemat ala Belanda, perbedaan status sosial yang tidak mencolok, bersikap apa adanya tanpa menghakimi orang lain, tambah Margie.***

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

7

Dukanya kuliah di Belandaerbagai fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan oleh kampus serta keunikan alam yang ditawarkan negeri Kincir Angin menjadi magnet tersendiri bagi pelajar Indonesia untuk belajar di Belanda. Sehingga bisa dimaklumi histeria para calon pelajar Indonesia, manakala angin segar tersebut berubah menjadi kenyataan: kepastian bahwa dirinya akan berangkat ke Belanda, sebuah negera yang memiliki hubungan historis kuat dengan Indonesia. Berbeda dengan apa yang dialami Rara Diantari, penerima beasiswa Stuned yang belajar di Wageningen University. Keraguan akan segala kemampuan dirinya untuk bisa menyelesaikan studi justru mulai membayangi dirinya. Ketakutan Rara cukup beralasan, mengingat banyak aspek harus diadaptasi. Wajar jika histeria tersebut meluruh seiring berjalannya waktu. Bahkan, kebahagiaan tersebut mulai pudar sejak awal kedatangan. Tingginya minat pelajar Internasional untuk melanjutkan studi di Wageningen University membuat pihak universitas kesulitan untuk menyediakan apartemen. Beberapa pelajar Indonesia sempat mendapatkan imbasnya. Mereka harus mengungsi ke bungalow yang jaraknya sekitar 25 km dari kampus. Selain harus berjuang dengan masalah waktu dan jarak tempuh, mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dengan kondisi bungalow yang kurang kondusif. Fase kesulitan hidup sangat kental mewarnai bulan-bulan awal kehidupan pelajar Indonesia. Rindu kampung halaman alias home sick dapat dipastikan terjadi. Terutama bagi sang bunda yang meninggalkan ananda tersayang nun jauh di sana. Perbedaan gaya dan pola hidup adat ketimuran dan kebaratan, juga menjadi kendala, setidaknya dari pola makan dan adat istiadat di kamar mandi. Orang Indonesia bisa dibilang belum makan kalau belum menyantap nasi. Beruntunglah bagi mereka yang bisa segera

B

Rara Diantari, penerima beaiswa Stuned, Wageningen University menyesuaikan diri dengan mengonsumsi roti. Bagamana nasib rekan-rekan yang sistem metabolismenya belum bisa menyesuikan diri? Jangan khawatir. Beras dan bumbu-bumbu masak khas Indonesia tersedia di sini. Namun, jika tidak bisa masak, mau diapakan bumbu-bumbu tersebut? Urusan makanan juga terkait dengan harga-harga yang mahal, meski kita tahu kalau tdiak tepat membandingkan harga makanan di Eropa dengan di Indonesia. Hal lain, bagi teman-teman Muslim, adalah susahnya cari makanan halal. Ini paling repot, jalan keluarnya kalau ndak dapet resto Turki ya terpaksa Patat lagi patat lagi kata Selamet Hidayat, mahasiswa KIT Amsterdam. Perilaku di kamar mandi juga mendatangkan derita tersendiri. Jangan berharap mendapatkan gayung untuk membersihkan diri sehabis buang air. Jangankan gayung, airpun tak ada. Yang bisa ditemukan di kamar mandi hanya satu: tissue. Toilet di Belanda, dan juga di negara-negara lainnya di Eropa, adalah toilet kering, alias tidak pakai air. Beruntunglah bagi mereka yang sudah terbiasa dengan toilet kering sejak di Indonesia. Untuk

masalah tatakrama di toilet, beberapa teman mengakalinya dengan membawa air dalam botol. Perbedaan cara penyampaian pendapat juga bisa memicu cultural shock terutama bagi mereka yang terbiasa basa-basi. Memang, ada juga beberapa golongan masyarakat di Belanda yang memelihara pola basa-basi. Namun, mayoritas dari mereka lebih cenderung straight to the point. Kondisi ini bisa jadi masalah bagi mahasiswa Indonesia yang belum terbiasa menerima kritik secara terbuka. Selain masalah sosial, untuk bisa bertahan hidup di Belanda diperlukan kemampuan beradaptasi terhadap iklim. Pola hidup di negara yang memiliki empat musim pasti berbeda dengan pola hidup di Indonesia yang hanya memiliki musim hujan dan panas. Kenikmatan berganti jenis kostum antar musim serta kenikmatan melihat salju hampir dapat dipastikan menjadi imajinasi sebagian besar calon pelajar Indonesia, terutama mereka yang belum pernah tinggal di negeri empat musim.

Selamet Hidayat, mahasiswa KIT Amsterdam.

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

8Kenyataannya? Kenikmatankenikmatan tersebut ternyata hanya sepersekian dari penderitaan yang dirasakan. Belanda dikenal sebagai negara yang memiliki tingkat ketidakteraturan cuaca. Jika pagi hari suhu sekitar 4 derajat Celcius, siang hari bisa berubah menjadi 20 derajat Celcius. Cuaca sering tak jelas. Walaupun secara umum baik, cuman pergantian cuaca dari menit-ke-menit yang bisa drastis cukup membuat payah dan pusing tujuh keliling lapangan sepak bola. Jadi ketar-ketir kadang mau keluar pake kaos oblong sama celana pendek, entar tahu-tahu hujan bisa menggigil di jalan kan ndak lucu, ujar Selamet Hidayat, mahasiswa KIT Amsterdam. Belum lagi perbedaan durasi siang dan malam yang berbeda, terutama memasuki musim panas. Siang yang lebih panjang dibandingkan malam menjadi kendala tersendiri bagi rekan-rekan muslim dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu. Sebagai gambaran, memasuki musim panas, jarak antara Maghrib, Isya, dan Subuh sangat pendek. Maghrib sekitar pukul 22.00, Isya pukul 24.00, dan subuh pukul 03.00. Bisa dibayangkan bagaimana mereka harus berpandai-pandai mengatur waktu dan stamina. Bicara masalah moda transportasi, sebenarnya tinggal di Belanda jauh lebih menyenangkan. Namun hal ini bisa berbalik 180 derajat bagi rekan-rekan yang tidak bisa mengendarai sepeda. Kenapa begitu? Sepeda menjadi alat transportasi utama di Belanda tanpa memandang usia dan gender, tua-muda, laki-laki atau perempuan. Belanda merupakan negara dengan densitas sepeda terbesar di dunia. Transportasi publik seperti bus dan tram menjadi solusi bagi mereka yang tidak bisa bersepeda ria. Konsekuensinya, biaya hidup menjadi meningkat dan fleksibilitas waktu berkurang karena harus menyesuaikan diri dengan jadwal bus atau tram tersebut. Transportasi menjadi kendala utama bagi Yusdiana, penerima beasiswa Ford Foundation di Wageningen University yang seharihari menggunakan kursi roda. Jika dibandingkan dengan negara Eropa Belanda. Konsekuensinya biaya transportasi menjadi meningkat dikarenakan dia harus menggunakan fasilitas taksi untuk menunjang aktivitas kesehariannya yang menuntut mobilitas dari satu kampus ke kampus lainnya. Kehidupan akademik, penguasaan bahasa Inggris serta kemampuan manajerial waktu menjadi kendala tersendiri. Tak dipungkiri, penguasaan bahasa Inggris menjadi salah satu persyaratan untuk melanjutkan studi di Belanda. Nilai TOEFL atau IELTS yang tinggi seolah-olah menjadi penjamin kualifikasi calon mahasiswa. Kenyataannya, tidak demikian. Uji kualifikasi tersebut lebih bersifat normatif. Realitanya banyak aspek lain yang harus dikuasai. Kemampuan untuk bisa berkomunikasi verbal menjadi salah satu kendala tersendiri bagi pelajar Indonesia. Terutama bagi rekanrekan yang menggeluti bidang sosial yang dicirikan dengan tuntutan memiliki kemampuan mengemukakan pendapat. Minimnya penguasaan kosa kata, terutama kosa kata yang spesifik pada bidang ilmu tertentu juga ikut berkontribusi dalam memperlambat kemajuan studi. Sistem pendidikan di Belanda menuntut pelajarnya siap tempur sebelum turun ke medan perang. Mau tidak mau, bertumpuk artikel dan reader wajib dibaca sebelum aktivitas kelas dimulai. Belum lagi bertumpuk laporan menanti untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Hal lain yang sering bikin pusing dan ribet adalah berurusan dengan Asuransi. Pengalaman beberapa teman, harus pake ribut dan minta bantuan kampus baru masalah beres. Pesan saya, be prepared dengan obat-obatan darurat dari rumah, ujar Selamat Hidayat. Banyak pelajar Indonesia yang ingin mengisi waktunya dengan berbagai aktivitas ekstrakurikuler bahkan menjadi aktivis LSM. Di sinilah kemampuan manajerial waktu menjadi kunci keberhasilan studi. Kendala-kendala akademis itulah yang mengantarkan resit menjadi fenomena tersendiri di kalangan pelajar Indonesia. ***

Yusdiana, penerima beasiswa Ford Foundation, Wageningen University

Siang lebih panjang dibandingkan malam. Ini menjadi kendala tersendiri bagi rekan-rekan muslim. Memasuki musim panas, jarak antara Maghrib, Isya, dan Subuh sangat pendek. Maghrib sekitar 22.00, Isya 24.00, dan subuh 03.00.lainnya, Inggris misalnya, fasilitas transportasi untuk tuna daksa di Belanda masih kurang memadai ujar Diana. Sebagai contoh, beberapa universitas di Inggris menyediakan fasilitas antar jemput bagi mereka yang memiliki keterbatasan seperti Diana. Namun hal itu tidak terjadi di

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

9

Resit alias re-exam Ayo kita bikin milis alumni resit. Yang belum pernah dapat resit, gak boleh jadi member! Itulah usulan bermuatan canda seorang mahasiswa master saat berkumpul dengan temantemannya, sesama mahasiswa master dari berbagai kota di Belanda. Mereka berkumpul di kamar Diana Chaidir, mahasiswa Erasmus Universiteit Rotterdam, untuk bersama-sama melihat pesta kembang api dalam rangka pergantian tahun 2008-2009 di jembatan Erasmus, Rotterdam. Usulan tersebut timbul setelah mereka saling bertukar cerita dan menemukan kesamaan nasib: berkenalan dengan RESIT alias REEXAM. Pada dasarnya, tentu tak ada yang ingin berteman dengan resit. Tapi kenyataannya, cukup banyak mahasiswa Indonesia di Belanda yang mendapat resit. Apakah karena mereka bodoh? Tentu saja, bukan. Tak sedikit dari mereka yang termasuk siswa outstanding di jenjang studi sebelumnya. Lalu, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab mereka mendapat resit? Rata-rata, mahasiswa Indonesia mendapat resit di masa-masa awal kuliah. Seperti dialami mayoritas mahasiswa Indonesia di program Master of International Communication Management (MICM), The Hague University of Applied Sciences. Di program ini tak ada ujian di dalam kelas, tapi berupa assignments (paper) dan empat penelitian. Hampir semua courses menugaskan mahasiswanya membuat empat assignments selama kurang lebih dua bulan masing-masing course berlangsung. Pada assignment pertama dan kedua, di MICM grup B, hanya satu dari delapan mahasiswa Indonesia yang lulus (mendapatkan nilai 5.5 ke atas). Berhubung total mahasiswa di kelas tersebut hanya 20 orang, maka jumlah mahasiswa Indonesia yang mendapatkan resit terlihat cukup menonjol. Tiadanya masa penyesuaian diri terhadap sistem belajar-mengajar di Belanda yang relatif berbeda dengan sistem belajar-mengajar di Indonesia, memaksa para mahasiswa Indonesia harus siap dengan dengan proses belajar mandiri. Saat bersamaan, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan dan budaya baru. Kendala ini tentu tak hanya dirasakan oleh mahasiswa MICM, tapi juga mahasiswa di program dan universitas lainnya di Belanda. Selain kendala di atas, sejumlah mahasiswa Indonesia dari beberapa universitas di Belanda mengatakan perbedaan siklus ujian pun ikut penjadi penyebab mereka mendapat resit. Mahasiswa Indonesia terbiasa dengan sistem semester, dimana ujian dilakukan dalam siklus enam bulanan. Sementara di Belanda, siklus ujian berlangsung sekitar dua bulan sekali untuk beberapa courses sekaligus, sehingga waktu yang dimiliki untuk mempersiapkan diri sebelum ujian, terasa sangat minim. Kendala lainnya adalah bahasa. Bagi sebagian besar mahasiswa Indonesia, inilah kali pertama mereka harus mengikuti ujian dan membuat paper dalam bahasa Inggris, yang tentu saja menuntut kemampuan aca-

demic writing yang cukup baik. Barry Amanda Coady dan Barr y erbeek, Verbeek keduanya dosen di program MICM, memandang tingkat kemampuan bahasa Inggris sebagai penyebab utama cukup banyaknya mahasiswa mereka yang mendapat resit. Amanda menuturkan, lemahnya kemampuan bahasa Inggris dalam academic level menyebabkan para mahasiswa Indonesia membutuhkan lebih banyak waktu untuk membaca dan memahami literatur, yang otomatis mengurangi alokasi waktu untuk mengerjakan assignments (paper). Amanda menambahkan, kendala bahasa juga menyebabkan tulisan para mahasiswanya sulit dipahami dan rentan menyebabkan dosen salah interpretasi. Ia melihat banyak mahasiswa Indonesia yang pada akhirnya hanya menuliskan atau mengungkapkan apa yang mampu mereka katakan, bukan apa yang sesungguhnya ingin mereka katakan. Selain itu, Amanda juga melihat faktor budaya mempengaruhi sistematika dan logika berpikir mahasiswa Indonesia, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap kualitas tulisan mereka.

We require a very linear approach, a clear rationale with one point leading to another and building up an argument with a clear conclusion. We expect points to make explicitly. There are other cultures which prefer a different approach: less direct, greater use of imagery or story telling, implying things rather than stating them explicitly etc. This means that work which might have been considered very high quality in their own country receives a low grade here, ujar Amanda.No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

10

MandirikreatifKemandirian dan kreativitas menjadi kunci keberhasilan. Seperti diungkapkan oleh Aprilianto Eddy Wiria: Tahun 2006 saya merasakan suasana berbeda hidup di negara lain, bertemu teman-teman seperantauan baik kawan baru maupun sahabatsahabat yang lama tidak berjumpa. Mengawali pendidikan sebagai mahasiswa S3, banyak nilai-nilai kemandirian yang makin terbentuk. Semakin dijalani, saya makin menyadari bahwa yang terpenting dalam memajukan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia adalah kreativitas. Hal-hal yang terasa berat di awal, terasa lebih menyenangkan di saat hasil yang kita harapkan sedikit demi sedikit bisa dianalisa, dan didapatkan halhal baru yang membuka mata pengetahuan saya. Menurutnya, fasilitas hanya nomor sekian walau memang menjadi penunjang. Bila kita kreatif, baik dalam menggali ideide maupun menjalin kerja sama, membuka diri, dan selalu belajar, anak-anak Indonesia tidak ada bedanya dengan siapa pun dari belahan dunia manapun, tambahnya. Dari sini saya merasakan harus lebih banyak lagi anak-anak Indonesia mendapatkan kesempatan seperti saya, dan juga bagaimana saya dan juga teman-teman yang sudah mendapatkan kesempatan berharga ini memanfaatkannya dengan baik sebagai duta bangsa, dan mengamalkan ilmu dengan lebih kreatif lagi, serta menjadi jembatan dan pembuka jalan bagi rekan-rekan lainnya, tegasnya lagi. Segala suka, duka, dan dinamika perjuangan selama belajar dan hidup di Belanda membekali kita, bahwa kita belajar bukan untuk nilai, namun untuk hidup. Non scholae sed vitae discimus.

Elsa Risfadona, mahsiswa Rijkuniversiteit Groningen Kendala-kendala di atas relatif bersifat umum. Ada pula hal-hal lain, yang lebih bersifat personal, yang membuat sejumlah mahasiswa Indonesia terpaksa berkenalan dengan resit. Seperti yang dialami Amar Maruf, seorang master student di VU Amsterdam. Di masa awal perkuliahan, ia menjalani jadwal kuliah yang padat dan mengerjakan setumpuk tugas di tengah bulan Ramadhan dengan waktu berpuasa yang lebih panjang dari Indonesia. Hal ini menyebabkan staminanya drop dan sulit konsentrasi belajar, sehingga ia gagal pada ujian course pertama. Kegagalan di ujian pertama, tak lantas membuat Amar patah semangat. Ia berusaha bangkit dengan mengubah strategi belajarnya, dari belajar sendiri menjadi belajar kelompok. Ia mengaku strategi ini sangat efektif, karena terbukti ia berhasil lulus di ujian ke-2, ke-3, dan ke-4. Selain itu, ia pun mengalokasikan hari tertentu, khusus untuk belajar di tengah-tengah kesibukannya bekerja part-time dan mengerjakan tesis, agar ia tak kembali berjumpa dengan resit. Meski tak sedikit mahasiswa Indonesia yang mendapat resit, tak sedikit pula mahasiswa Indonesia yang hingga saat ini sama sekali belum pernah berkenalan dengan resit. Salah satunya adalah Elsa Risfadona, mahasiswa master di Rijkuniversiteit Groningen. Ia melakukan sejumlah jurus-jurus yang membuat resit enggan mendekat.

Amar Maruf, mahasiswa VU Amsterdam Pertama, ia berusaha memahami sistem ujian setiap course, salah satu caranya dengan mempelajari soalsoal ujian tahun sebelumnya. Kedua, menanyakan sumber bahan ujian pada dosen yang bersangkutan. Ketiga, mendengarkan diskusi teman-teman sebelum ujian berlangsung. Keempat, ia tidak pernah meninggalkan jawaban kosong meski sebetulnya ia tak ada ide harus menjawab apa. Jurus ini perlu dilakukan karena terkadang dosen memberi nilai 0.1 sebagai upah menulis. Kelima, berdiskusi dengan teman sekelas, khususnya untuk membahas soal-soal. Keenam, selalu membaca literatur sebelum dan setelah kuliah. Ketujuh, berdoa sebelum ujian dan berusaha rileks. Menurutnya, jurus ini sangatlah penting agar hapalan yang sudah ada di kepala tak lantas menguap gara-gara rasa tegang. Sebagai jurus pamungkas, Elsa menambahkan managemen waktu, yaitu pandaipandai membagi waktu antara jalanjalan, chatting, fesbukan, dan belajar. Menyelesaikan study tanpa resit, tentu saja menjadi keinginan semua mahasiswa Indonesia. Tapi jika pun harus bersua dengannya, Aufarul Faroh, mahasiswa master di VU Amsterdam, menegaskan bahwa resit bukanlah hal yang memalukan. Senada dengan Aufarul, Amar memandang resit sebagai proses untuk menjadikannya seorang manusia yang lebih berkualitas: Bagi saya nilai tidak begitu penting, tapi pengalaman belajar di sini yang alhamdulillah bisa membuat saya lebih tegar dalam menjalani hidup.

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

11

Hatta, Teladan BangsaOleh Meditya WasesaPada umumnya, biografi hanya ditulis untuk mengidolakan seorang tokoh. Semakin inferior penulisan sebuah biografi, semakin besar tendensi pengidolaan terhadap tokoh tersebut. Dalam pandangan saya, saya lebih menyukai untuk mendengar atau membaca pernyataan-pernyataan yang mengulas kegagalan dan kejadian-kejadian memalukan dalam hidup saya daripada yang mengulas pujian dan pujaan. (Moehammad Hatta)Dr. (H.C.) Drs. H. Muhammad Athar, yang lebih kita kenal sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Sejak bayi, Bung Hatta kecil sudah harus menjadi seorang yatim. Ayah Bung Hatta, Haji Mohammad Djamil, seorang ulama yang sangat disegani dari Batuhampar, Payakumbuh, meninggal dunia saat umur Bung Hatta masih kurang dari 8 bulan. Sepeninggal ayahnya, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga dari pihak ibunya. Dengan latar belakang keluarga yang kental akan nilai religi, Bung Hatta tumbuh dengan pemahaman akan kitab suci yang sangat baik. Di balik profil keagamaannya yang sangat kuat, beliau juga dikenal sebagai seorang dengan kombinasi kecakapan yang sangat revolusioner pada zamannya. Kecakapan agama warisan didikan keluarganya dikombinasikan dengan kecakapan dan pengetahuan formal barat bersatu serasi dalam seseorang pribadi sederhana yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Pemikiran-pemikiran ekonomi Bung Hatta yang selalu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat kecil secara kolektif tidak bisa lepas dari pendidikan dan pencerahanpencerahannya yang didapatnya selama hidup di Belanda. Bung Hatta sangat besar, dan sangat riskan tentunya. Selain aktif melakukan pergerakan kemerdekaan melalui organisasi Indonesische Vereeniging, Bung Hatta juga aktif terlibat dalam pergerakan menentang penjajahan secara global. Tahun 1927, bersama Jawaharlal Nehru, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan India, Bung Hatta aktif dalam pergerakan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Aktivitasnya di Liga sempat mengantarkannya menikmati hotel prodeo di Belanda ini, meskipun melalui pidato pembelaannya yang bejudul Indonesia Free Bung Hatta akhirnya dibebaskan kembali. Tahun 1932 Bung Hatta kembali ke Indonesia dan meneruskan pergerakannya hingga akhir hayatnya. Bung Hatta adalah seorang teladan dengan kecakapan lengkap bagi masyarakat Indonesia. Profilnya sebagai seseorang yang taat dan menguasai agama dan seorang cendekia yang menguasai ilmu ekonomi barat dan mengaplikasikannya dalam pemikiran dan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Walaupun berasal dari keluarga priyayi berada, hal ini tidak membuatnya enggan untuk hidup dalam stigma anti kemapanan yang sederhana. Bung Hatta tidak suka menonjolkan diri. Meski bergelimang dengan nilai kebaikan tidak membuatnya ingin dikenal dan diapresiasi. Dialah teladan bangsa kita, seseorang yang lebih memilih untuk diingatkan kesalahannya dari pada dipuji kebaikannya. Dialah Mohammad Athar, Bung Hatta, seorang Indonesische Jongere yang riwayatnya hidupnya nyaris tanpa cacat. Dialah Bung Hatta, sang teladan bangsa. Wasesa asesa, Meditya Wasesa RSM-Erasmus University Rotterdam

menghabiskan hidupnya di Belanda sekitar 11 tahun (1921-1932). Dalam periode hidupnya di Belanda, Bung Hatta berhasil meraih gelar doktorandus (Drs.) dalam bidang ekonomi dari Rotterdam aan de Handelshogeschool (sekarang Universitas Erasmus Rotterdam). Karena pencapaian akademis Bung Hatta yang tinggi, Hatta berkesempatan mengejar program doktoralnya di universitas yang sama. Walaupun sempat mengerjakan disertasi doktoralnya, namun kesibukan dan dedikasinya dalam pergerakan pra kemerdekaan menyebabkan disertasinya tidak sempat terselesaikan. Dari awal hidupnya di Belanda, Bung Hatta sangat aktif dalam organisasi Indische Vereeniging, sebuah pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 19 Februari 1922, Bung Hatta ditunjuk sebagai bendahara dari Indische Vereeniging. Tanggal ini juga sekaligus menjadi momentum bersejarah, karena pada tanggal ini pulalah Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak saat itu, para tokoh pergerakan setuju untuk mengganti penggunaan nama Hindia Belanda menjadi Indonesia. Sebuah pergantian yang mengandung muatan politik yang

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

12Cukup beralasan jika mereferensikan Negeri Van Oranje sebagai buku wajib bagi para calon pencari cita di negeri yang terkenal dengan kincir angin dan bunga tulip. Gaya bahasanya yang ringan cenderung ngebanyol serta detail pendeskripsian life style mahasiswa Indonesia di Belanda setidaknya menjadi daya tarik tersendiri untuk menggugah keingintahuan apa dan bagaimana bertahan hidup di sana. Tidak hanya itu, buku inipun bisa jadi acuan bagi petualang berbekal tas punggung, backpacker istilah kerennya. Lihat saja, banyak ilustrasi yang diberikan untuk menggambarkan suasana kota yang mereka angkat sebagai setting tiap bab. Keunikan buku ini tidak hanya terletak pada spirit menuntut ilmu dan traveling, alur cerita yang dimainkannya pun menjadi tantangan bagi para pembaca. Bacaan ringan namun menuntut konsentrasi yang cukup tinggi dikarenakan aneka ragam setting waktu dan suasana serta lima karakter tokoh yang berbeda menghiasi jalan cerita. Kecerdikan penulis mengatur alur juga patut diacungi jempol. Memasuki bab De Waarheid, pembaca baru menyadari bahwa mereka ternyata telah melintasi waktu dan kembali ke situasi cerita bab Prolog. Scientific research pastilah dilakukan oleh penulis. Hal ini tercermin dari beberapa data historis serta isu-isu masa kini yang mereka sajikan, seperti sejarah perjalanan Belanda di masa keemasan era kolonialisme hingga isu illegal logging. Keterkaitan historis BelandaIndonesia pun tidak lupa mereka sajikan. Cerita kocak yang membungkus potret kehidupan lima pelajar Indonesia ini mulai terlihat sejak halaman 2, saat Banjar dengan tenangnya meninggalkan pramusaji yang terbengong-bengong melihat lembar uang yang diterimanya bertuliskan rupiah. Nuansa humoris yang diangkat penulis semakin muncul di lembarlembar berikutnya. Perut pembaca semakin terkocok saat

Spirit Negeri van Oranje

berbagai akses dunia maya, mulai dari messenger, berbagai jenis blog, hingga mailing list, kelima tokoh perlahan-lahan saling mengerti dunia keempat sahabat lainnya. Berderet kalimat dalam forum conference dan berkali-kali Oleh Yessie Widya Sari kesempatan hang out bersama ternyata tidak mampu menyembunyikan ketertarikan Banjar, Wicak, Daus, dan Geri terhadap sosok Lintang. Konflik sosial pun tak terhindarkan. Lagi, penulis lihai mengasah rasa keingintahuan dan keterkejutan pembaca dengan caranya yang apik dalam menuntaskan pertengkaran diantara mereka. Siapakah yang berhasil memikat hati Lintang? Banjar, Wicak, Daus, Geri? Atau bahkan ada tokoh lain? Pola hidup mahasiswa Indonesia di Belanda pun direpresentasikan dengan Judul Buku : Negeri van Oranje baik melalui lima tokoh Penulis : Wahyuningrat, Adept Widiarsa, AAGABAN. Tergambar jelas Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana beberapa aktifitas Penerbit : PT. Bentang Pustaka keseharian mereka, ISBN : 978-979-1227-58-2 diantaranya bersepeda ria, masak dan makan massal, membayangkan bagaimana Wicak titip menitip barang bagi mereka yang dengan mulusnya mengecoh Tyas, mau datang dari tanah air tercinta, mahasiswa baru yang perlente, untuk penjemputan mahasiswa baru, lapor diri serta menunjukkan hingga berburu bumbu-bumbu khas paspornya ke supir tram. Sayang, Indonesia. Tak ketinggalan pula beberapa banyolan terkesan digambarkan euforia kelima tokoh dipaksakan. Gaya penulisan bab saat temu kangen dengan jajanan Koopen en Koken dan Leiden yang pasar, seperti nasi kuning, perkedel, lebih formil dan kaku dibandingkan risol, hingga klepon. Tersirat bahwa bab lainnya seolah tidak memberikan penulis ingin memberikan gambaran ruang bagi joke segar. kemudahan hidup di Belanda, Kepiawaian penulis menyajikan terutama urusan selera nusantara. cerita juga terlihat dari kesan Penulis seolah-olah juga naturalisme perjumpaan tak menyadari bahwa mereka harus disengaja kelima tokohBanjar, menghindarkan diri dari janji-janji Wicak, Daus, Geri, serta Lintangdi muluk dengan hanya memberikan sebuah stasiun kereta yang terletak cerita-cerita indahnya hidup di di kota Amersfoort. Bertolak dari Belanda. Oleh karena itu, mereka perjumpaan yang dipicu oleh petaka juga menyajikan cerita beberapa cuaca di Belanda inilah kemudian permasalahan yang dialami kelima lahir aliansi yang diberi nama tokoh, seperti kesusahan yang AAGABAN: Aliansi Amersfoort GAra- dialami Lintang saat kehilangan gara BAdai Netherlands. Jarak dompetnya ditengah-tengah tempat tinggal yang memisahkan kerumunan masalternyata tidak kelima tokoh ternyata tidak cukup jauh berbeda dengan kondisi tanah membendung kekompakan dan airdan bagaimana Banjar harus keeratan AAGABAN. Terfasilitasi oleh bersusah payah merelakan

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

13kehilangan masa-masa indahnya di akhir pekan demi mengejar penghasilan tambahan dengan bekerja paruh waktu pada salah satu restoran milik warga Indonesia. Tak lupa, mereka mengajak pembaca untuk tenggelam dalam pergulatan penyelesaian tesis di hari-hari akhir penyelesaian studi mereka dan suka cita saat mereka dinyatakan layak menyandang gelar master. Lompatan-lompatan waktu yang dinamis, ide cerita yang mengalir dengan smooth, kekuatan karakter AAGABAN, dan tentu saja tips-trik bertahan hidup di Belanda seolah menjadi magnet bagi mereka yang sedang mencari semangat baru untuk melanjutkan studi dan juga bagi mereka yang ingin berkelana menjelajah benua eropa. Sayang, beberapa kalimat yang disampaikan dalam bahasa Belanda tidak disertai translasinya. *** hamil, hamil, b a h k a n melahirkan. Kalau ditotal, sekitar satu tahun. K a l a u dibaca lebih teliti, masih banyak aspek kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda yang belum diangkat di NvO. Sengaja untuk memunculkan sequel berikutnya atau memang terlewat? Betul, masih banyak aspek yang belum kami tulis. Kami hanya khawatir kalau ditulis semua, bisabisa nanti bukunya setebal karya J.K. Rowling. Puas tidak dengan hasil karya kalian? Sejauh ini kami merasa puas. Bahkan kami tidak menyangka kalau penerbit hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk memasuki cetakan keempat. Total buku yang sudah tercetak hingga cetakan ketiga sudah mencapai 10.000 buah. Pangsa pasar pembaca kami juga cukup luas. Berbicara pesan moral yang ingin kalian sampaikan, yaitu spirit dan travelling, apakah kalian merasa sudah sampai ke sasaran? Boleh dikatakan iya. Ada beberapa pembaca menghubungi kami dan bertanya mengenai studi di Belanda. Tidak hanya mereka yang mau ambil gelar master atau doktor bahkan banyak juga lulusan SMA yang ingin ambil bachelor di Belanda. Untuk travelling, kami juga sudah dihubungi beberapa pembaca, bahkan ada yang berkeinginan menjadi backpacker setelah membaca novel kami. (yws)

Untuk lebih mengetahui kisah dibalik novel Negeri Van Oranje (NvO), Yessie Widya Sari dari Jong Indonesia mewawancarai Rizki Pandu Permana, salah satu penulis yang kini sedang menyelesaikan studi doktoral di Utrecht University. Berikut kutipannya:

Bisa diceritakan asal muasal novel ini? Sebenarnya ide ini muncul saat kami berempat nongkrong sambil ngopi. Kami tidak muluk-muluk, hanya ingin sekedar berbagi pengalaman dengan teman-teman yang ada di Indonesia. Sayang kalau pengalaman itu hanya menjadi kenangan kami sendiri. Dari situlah kami kepikiran untuk melahirkan novel ini. Penulis NvO ada empat orang, lalu kenapa memunculkan lima tokoh? Kenapa menciptakan tokoh baru, bukan mengangkat diri kalian masing-masing sebagai tokoh? Alasannya sederhana saja, supaya kami bisa bebas berekspresi. Kalau diri kami yang diangkat sebagai tokoh, wah bisa ketahuan nanti aib-aib kami. Dari mana mendapatkan inspirasi pembentukan masingmasing karakter AAGABAN? Tiap penulis mengusulkan satu karakter, karakter tokoh kelima kami tentukan bersama. Dalam menentukan satu tokoh AAGABAN, kami berusaha mengamati karakter teman-teman yang ada di sekitar kami dan kami coba campurkan berbagai macam karakter dalam satu karakter. Walaupun banyak teman-teman kami yang sudah membaca novel ini akhirnya bisa menebak di tokoh yang mana karakter masing-masing penulis muncul. Bagaimana cara kalian mengatur kemunculan karakter di tiap bab yang kalian tulis? Penulisan bab di novel ini kami bagi berempat. Tiap penulis diberi

Rizki Pandu Permana kesempatan menjadikan tokoh ciptaanya sebagai central character di bab yang dia tulis. Tentu, untuk menciptakan keharmonisan jalan cerita, tiap penulis diwajibkan mengerti empat karakter lainnya. Novel ini kalian tulis justru saat sebagian besar penulisnya sudah kembali ke Indonesia. Lalu bagaimana cara kalian supaya menjaga kesinambungan antar bab yang kalian tulis? Nggak beda dengan cara tokoh AAGABAN berkomunikasi: internet. Kami biasanya memanfaatkan messenger dan mailing list untuk berdiskusi dan saling berbagi. Naskah yang ditulis tiap penulis akan dikritisi oleh penulis lainnya. Dengan cara ini diharapkan watak tokoh AAGABAN ciptaan yang bersangkutan tetap terjaga. Selain itu, tentu, kami bisa saling mengisi kekurangan yang ada di tiap bab. Ada hambatan saat menyelesaikan novel ini? Tentu ada. Kesulitan awal kami adalah perbedaan gaya penulisan masing-masing penulis. Ada yang bisa dengan mudahnya ngebanyol, ada yang tidak. Masalah ketidakseragaman mood masingmasing penulis juga berkontribusi dalam lamanya waktu yang kami butuhkan untuk menyelesaikan novel ini, sejak Anis (Nisa Riyadi-red) belum

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

T

14

asem Atmareja merentang tangan seperti hendak menari. Lensa kamera digital yang semula hendak dipasang untuk mengambil close up wajah pun diundurkan. Akhirnya seluruh badan yang diambil. Ini kesempatan langka karena pada awalnya untuk bertutur mengenai riwayat hidupnya pun Tasem terkesan menghindar. Ternyata masih cantik. Masih ada kasihe, katanya ketika melihat hasil jepretan. Kasihe adalah daya tarik pada yang memandang. Tasem yang telah berumur 60-an masih melihat aura kecantikan pada wajahnya di kamera. Ia mengenakan baju tipis lengan panjang warna coklat muda. Rambutnya berselubung kain penutup. Daya tarik itu pertanda bahwa Indang Kastinem masih menemani dan melindungi dirinya. Indang adalah roh yang oleh para ronggeng dan masyarakat setempat diyakini mampu merasuk ke dalam diri seseorang yang meminta atau mendapatkan anugerah. Kastinem adalah nama seorang ronggeng yang entah hidup pada tahun berapa dan rohnya tinggal di sekitar Desa Gerduren Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sehingga perpaduan Indang Kastinem menjadi daya dukung spiritual bagi para ronggeng di desa tersebut. Waktu saya kecil, saya tinggal di pinggir desa dekat hutan. Saya sering mendengar suara tetabuhan lesung di Bukit Garut. Tetapi kalau didekati ya, tidak ada orangnya, tutur Tasem. Desa Gerduren dilingkupi bukit pada sisi utara, timur dan barat. Sisi selatan dipisahkan oleh Sungai Tajum, dekat dengan jalan raya Purwokerto-Bandung. Di salah satu titik ruas jalan Purwokerto-Bandung itulah budayawan Ahmad Tohari tingal yang dari tangannya lahir novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan diterjemahkan lebih dari lima bahasa. Tempat tinggal Ahmad Tohari hanya terpisahkan oleh Sungai Tajum dengan Desa Gerduren, sebuah desa yang menyimpan dinamika kehidupan Ronggeng tua di wilayah Kabupaten Banyumas. Samben Kemis ngadeg. Meja itu tingginya sedada saya, papar Tasem. Ia bertutur mengenai masa kecilnya ketika mulai berkenalan

Dunia Batin Seorang RonggengOleh: Sutriyono ([email protected])dengan dunia ronggeng. Kala itu dirinya sedikit lebih tinggi dari meja 80 centimeter. Usianya sekitar 8 tahun. Setiap Kamis malam, tatkala kelompok ronggeng di desanya latihan, ia ikut serta ditengah-tengah mereka. Sekedar membantu persiapan atau bersih-bersih selepas latihan. Sebagai seniman, Tasem ditempa oleh alam desa dan lingkungan sosialnya. Inisiasi itu dimulai ketika teman dan orang-orang dewasa menilai suara Tasem bagus. Ia bisa menirukan lagu-lagu seorang ronggeng. Seorang ronggeng tua lantas datang dari belakang sambil memegang kusan, alat menanak nasi berupa anyaman bambu berbentuk kerucut. Krep, krep, krep, ping telu, kata sang ronggeng tua seraya menangkupkan kusan ke kepala Tasem. Tiga kali kusan itu ditangkupkan ke kepala gadis kecil Tasem. Itu biar tidak malu, katanya. Dalam keseharian, kusan hanya ada di dapur. Ruang yang menjadi tempat keseharian perempuanperempuan Jawa. Ketika tidak terpakai, kusan yang sudah bersih dicuci itu akan diletakkan dalam posisi menelungkup. Ujung runcing di bagian atas. Tetapi ketika kusan itu dipakai, ujung runcing di bawah, di dalam dandang, dan bertugas menyelesaikan pekerjaan panci atau kuali yang menanak beras menjadi nasi setengah matang. Di kusan di dalam dandang dengan diuapi air mendidih itulah nasi setengah matang selanjutnya dituntaskan menjadi nasi atau kadang menjadi tumpeng. Di dalam tradisi ronggeng Desa Gerduren, kusan yang hanya di dapur itu dibawah ke ruang publik. Dalam posisi telungkup, kusan menangkup kepala gadis kecil calon ronggeng. Kusan sebagai alat menanak nasi makanan pokok untuk kehidupan, digunakan untuk srana atau alat antara membangkitkan kepercayaan diri. Itulah sarana untuk menjadikan seorang perawan desa

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

15pohon bulu besar. Tasem dan ronggeng lain mengatakan, mata air itu telah ada sebelum dirinya lahir. Beberapa sumur bahkan sebenarnya juga sumber air keseharian beberapa keluarga di sekitarnya. Ketika kemarau panjang, sumur-sumur itu menjadi rujukan masyarakat setempat untuk mendapatkan air. Bersama penghargaan akan sumur-sumur tua, Tasem dan masyarakat Desa Gerduren menghargai pohon. Di bukit Garut, sisi utara desa setempat, dulu masyarakat mengenali dua pohon bulu besar. Pohon tersebut mirip pohon beringin. Pada pohon yang di puncak bukit, diyakini berdiam roh Kakek Garut. Sementara satu lagi yang terletak sedikit lebih ke bawah dari bukit tersebut, diyakini menjadi rumah tinggal roh Indang Kastinem. Kakek Garut diyakini semacam kamitua ronggeng dan Kastinem adalah ronggengnya. Seseorang telah membakar pohon bulu tersebut. Belakangan, seniman ronggeng generasi selepas Tasem menanam pohon bulu kembali di dua titik bekas pohon terdahulu. Alam dan pohon adalah berkat bagi para ronggeng seperti Tasem. Menjelang pentas Selasa Kliwon, Tasem minum air kelapa muda. Bukan sembarang kelapa muda tetapi jenis kelapa hijau. Buahnya dipilih dari tangkai yang menjulur ke timur. Seekor cacing gelang direndam terlebih dahulu dalam air kelapa muda itu. Sehari kemudian baru diminum.

Ronggeng sekarang di sebuah perayaan Kabupaten Banyumas. Mereka tidak menjalani laku matiraga seperti Tasem. yang barangkali hanya mengenal dapur dan tanah lahan-lahan bukit serta sawah menjadi berani tampil di depan publik, keluar dari Desa Gerduren yang terpencil. Keliling desa-desa, menari dan menyanyi. Tidak malu. Laku matiraga dijalani Tasem. Pada malam-malam tertentu ia mandi di tujuh sumur tua. Laku itu dimulai selepas tengah malam, ketika tamutamu pemuda dari desa-desa tetangga yang hendak melihat pesona lengger Desa Gerduren sudah pulang. Beranjak dari satu sumur, di situ ia mandi. Lantas, ketika sudah kering, berangkat lagi ke sumur berikutnya. Demikian seterusnya, menyusuri jalanan setapak desa. Meskipun dingin, terus dijalani. Meskipun lelah, kaki terus melangkah. Biasanya subuh baru tuntas. Ketika mandi, disertai juga dengan doa-doa. Laku mandi tujuh sumur tersebut disertai juga laku puasa atau pantang. Demikianlah, adakah yang lebih berharga bagi kehidupan selain air? Air adalah sumber kehidupan. Tujuh sumur tua itu menjadi sumber pengharapan bagi Tasem. Bot-bote pengin dikasihi Mas, kata Tasem dengan maksud menjelaskan daya pesona seorang ronggeng terpancar karena laku mandi dini hari hingga subuh itu dijalani. Dengan daya pesonanya, Tasem dan kelompok ronggeng Desa Gerduren menerima permintaan pentas tiada henti. Itu juga berarti Tasem mendapatkan sejumlah rupiah. Sumur tua adalah mata air di sudut-sudut pekarangan atau di ujung bawah bukit yang dirimbuni pohon bambu. Tak ada pasangan bata-semen di situ, hanya cekungan tanah yang digenangi air yang tak pernah habis. Diameternya antara 12 meter. Beberapa mata air mengalir persis di bawah pohon beringin atau

Dua cucu Tasem di Sumur Sepi, salah satu mata air yang digunakan untuk mandi ronggeng. No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

16

Akses keluar masuk Desa Gerduren Rekasa, ora sugih seprene kur nggo riwayat thok, kata Tasem. Laku dan tirakat seorang ronggeng bagi Tasem tidaklah ringan, juga tidak membuatnya menjadi kaya secara materi. Tetapi ia tidak mengelak ketika ditanya bahwa hal itu membuat dirinya gembira. Ia dipuja ketika pentas. Keterangan Warsun, penduduk setempat yang segenerasi dengan Tasem menggambarkan bagaimana gairah kaum muda memuja para ronggeng. Ketika para ronggeng pentas di satu desa tetangga, maka dalam beberapa hari berikutnya anak-anak muda di desa tersebut berduyun-duyun ke Desa Gerduren. Bertamu ke tempat para ronggeng tersebut dan mencoba meraih hatinya. Saya biasanya diminta teman saya mengawasi tamu, kata Warsun. Tasem sendiri menikah dengan Atmareja pada tahun 1953. Pemuda desa setempat, anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) yang kelak pada tahun 1979 menjabat sebagai polisi desa. Sebelum menikah, Atmareja menyusul kemanapun Tasem pentas. Ia heran dengan keberanian Atmareja. Tidak takut dimusuhi anakanak muda setempat. Walau dirinya tahu Atmareja menyukainya, waktu itu ia belum mau menanggapi. Atmareja terus saja mengikuti kemana ia pentas. Ya hanya ikut di antara penonton. Ketika saya sudah melihat sosoknya, lantas menyingkir. tambah Tasem. Selain menari sambil menyanyi, dalam pementasan seorang ronggeng juga melayani tayub. Dalam tayub, seorang pria akan menari berpasangan dengan ronggeng. Tarian ini dimulai dengan tawaran ronggeng. Ia membawa soder atau selendang untuk menari. Soder tersebut diletakkan di atas piring. Sang ronggeng berjalan ke arah pria sasaran. Kepadanya diberikan soder, sementara si pria menaruh sejumlah uang ke dalam piring tersebut. Urutan para pria yang menari mengikuti derajat kepangkatan mereka. Bila di situ ada camat, maka camatlah yang ditawari terlebih dahulu, baru perangkat-perangkat di bawahnya. Bila yang hadir di situ paling tinggi lurah, maka lurahlah yang ditawari untuk tayub lebih dulu. Mereka tidak menolak, karena hadir di situ artinya bersedia ikut nayub, kata Tasem. Biasanya para istri pejabat desa juga hadir di situ. Tidak ada yang cemburu dengan tayuban suaminya. Beberapa ronggeng Desa Gerduren diperistri pejabat perkebunan atau aparat kepolisian, pria-pria yang memiliki derajat dan pangkat lebih tinggi dari pada umumnya penduduk Gerduren. Maka ronggeng sekaligus menjadi jalan kenaikan strata sosial. Seorang ronggeng akan berhenti menjadi ronggeng ketika menikah. Tetapi kalau ada permintaan nadar ya harus dituruti, kata Tasem. Ia pernah tampil kembali meronggeng sesudah menikah. Salah seorang teman mantan ronggeng sakit. Matanya buta. Dan ia ber-nadar, ketika sembuh akan mengundang Ronggeng Tasem pentas. Dan Tasem memenuhinya. Masa menjadi ronggeng bagi Tasem sendiri telah lewat sekitar setengah abad yang lalu. Tetapi suaranya masih bening ketika menembang. Dalam wangsalannya: Jampang amben,dlika kapitan galar Adoh katon wis perek durung kelakon. Jampang amben, dlika kapitan galar maksudnya adalah bambu kerangka dipan. Adoh katon wis perek durung kelakon artinya jauh terlihat, sudah dekat belum juga menjadi pasangan. Wangsalan ini menggambarkan saat dimana Atmareja mengejarngejar dirinya. Suara yang indah itu pula yang telah meruntuhkan hati Atmareja. Seorang pekerja keras yang kini meninggali rumah besar hanya berdua dengan Tasem. Sementara anak-anak mereka telah memiliki rumah sendiri-sendiri. *** Sutriyono, Sutriyono penulis lepas tinggal Jalan Gereja No 3 Purwokerto.

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

17

Pemilih Pemula dan Terobosan PolitikBangsa Indonesia telah selesai menyelenggarakan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009 sebagai satu sarana konstitusional dalam menentukan arah kehidupan berbangsa bernegara. Bagaimana menyikapi apatisme pemilih pemula, dan melakukan terobosan untuk menampung aspirasi poltik mereka? Pengamat sosial politik dari Universitas Paramadina Eka Wenats mengatakan, pendidikan kewarganegaraan yang berlaku saat ini belum memberikan pengetahuan yang cukup, khususnya bagi para pemilih pemula dalam memahami sistem dan budaya demorasi seperti mengenai Pemilu. Pemahaman pendidikan kewarganegaraan yang masuk ke ranah politik sebaiknya dimulai masyarakat dari keluarga dan di sekolah, seperti budaya memilih ketua kelas atau budaya membiasakan anak mengekspresikan pendapat dan ide-idenya, ujar Eka. Kelemahan di Indonesia, tambah Eka, budaya sosial politik dalam lingkup keluarga dan sekolah umumnya masih diwarnai budaya otorisme dan diktator, seperti Ayo, ini gurumu jadi turuti apa kata gurumu, atau Ayo,ini orang tuamu yang lebih tahu mana yang benar dan yang salah, jadi turuti saja. Masyarakat pun menjadi terbiasa dengan budaya otoriter seperti itu. Menurut Eka, pemilih pemula di Indonesia berjumlah sekitar 20-30% dari 170 juta pemilih di Indonesia. Merekalah yang turut menentukan arah jalannya kehidupan berbangsa bernegara, dalam jangka pendek melalui pilihan mereka dalam Pemilu dan dalam jangka panjang melalui partisipasinya dalam setiap proses politik. Mereka bisa menjadi simpatisan aktif/pasif dalam partai politik atau merupakan swing voter, ujar Eka. Ada tiga kecenderungan perilaku swing voter dalam momen Pemilu. Pertama, memiliki antusiasme yang tinggi disebabkan faktor pengalaman pertama memilih tapi belum memiliki

Oleh C.T Adhikara ([email protected])

pilihan partai politik dan calon legislatif. Kedua, pilihan akan dipengaruhi oleh pilihan keluarga (orang tua, kerabat, pasangan hidup). Nilai-nilai yang dianut keluarga akan menjadi panduan dalam memilih. Ketiga, pilihan juga turut dipengaruhi oleh peer group (kelompok di lingkungan yang menjadi sarana berkumpul dan bergaul) seperti kelompok motor, grup/individu A fans club dan lain-lain. Yuke Yurike, calon legislatif dari PDI-P mengalami budaya tidak demokratis di lingkungan masyarakat seperti yang diutarakan Eka Wenats. Tapi, menurutnya, budaya yang menjurus kurang baik ini sebaiknya diubah. Salah satu caranya adalah dengan masuk ke dalam sistem seperti menjadi anggota partai politik yang aktif dalam arti ikut serta dalam proses pengambilan keputusan jalannya parpol. Menurutnya, generasi muda sebaiknya ikut serta dalam proses politik, seperti dahulu ketika Sukarno, Hatta, Sutan Syahrir, yang usianya antara 26-35 tahunan tapi telah turut mewarnai perpolitikan di nusantara dan kecenderungan di dunia saat ini adalah tampilnya tokoh-tokoh politik usia muda yang berkwalitas. Dalam Pemilu, pemilih pemula disayangkan bila hanya mengikuti euforia atau kemeriahannya saja. Idealnya turut dicarilah informasi tentang partai politik dan individu-

individu yang ikut dalam pencalonan sebagai anggota legislatif. Pemilu adalah salah satu sarana pembelajaran politik dan partai politik sebaiknya mengambil momen ini sehingga selain menghindarkan masyarakat dari pilihan Golput juga akan menjadikan pemilih pemula menjadi smart voter (pemilih cerdas). Golput adalah fenomena yang terkadang menjadi simbolisasi pemilih pemula. Andaikan parpol senantiasa menjadi sarana yang mumpuni dalam menampung ekspresi politik dan juga menjadi sarana pusat pengetahuan tentang Pemilu dan Demokrasi secara keseluruhan, Golput dapat diminimalkan. Ralie M.S, calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) 20092014 menambahkan, keapatisan terhadap kondisi dan situasi bangsa negara, khususnya bila mengenai sosial politik, tampaknya menghinggapi generasi muda Indonesia. Padahal Indonesia terwujud karena pemuda. Kebangkitan Nasional dipelopori dengan berdirinya organisasi Trikoro Darmo oleh pemuda Sutomo, Wahidin dan Multatuli. Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak persatuan bangsa diadakan para pemuda yang rata-rata berusia 20 tahunan. Kemerdekaan Indonesia diwujudkan para pemuda yang ratarata berusia 30 tahunan. Berbagai peristiwa yang menjadi momentum nasional juga digerakan oleh kaum muda seperti Peristiwa Malari, Gerakan Reformasi 1998 dll. Bagaimana supaya apatisme dapat tergantikan menjadi optimisme? Melihat kondisi saat ini, wajar bila generasi muda menjadi pesimis dan apatis. Kondisi sosial politik tidaklah menunjukkan kepanutan dan keidealismean. Tindak kriminal dilakukan oleh para individu-individu yang seharusnya menjadi pemimpin, seperti terlibat dalam tindak korupsi, suap,malas dll. Kondisi lingkungan juga sudah diwarnai oleh iklim globalisme yang cenderung menjadikan generasi

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

18muda hanya objek pasar belaka bahkan pola yang terjadi adalah membawa bangsa ini menjadi terjajah oleh iklim globalisme budaya, ekonomi dan sosial. Globalisme mungkin tidak salah, namun masyarakat, khususnya generasi muda belum disiapkan dengan baik untuk menghadapi ini semua. Akibatnya, berimbas pada apatisme dalam memperhatikan sosial politik, ujar Ralie. Karena itu, diperlukan peran parpol yang dapat memberikan panutan dan pengetahuan mengenai kewarganegaraan. Salah satu fungsi parpol yaitu memberikan pendidikan politik. Sayangnya, parpol di Indonesia belum maksimal menjalankan fungsinya. Tapi diharapkan, masyarakat janganlah pesimis. Kondisi ini sebaiknya diminimalkan dan yang melakukannya adalah dari masyarakat itu sendiri juga. Pendidikan politik khususnya tentang demokrasi disaat ini sangat kurang dibanding dengan masa lalu. Pada masa lalu, pemuda termotivasi untuk ikut serta dalam proses politik oleh adanya kolonialisme Belanda. Ada baiknya pendidikan politik dan demorasi diperbanyak kapasitasnya. Semangat adalah yang membedakan pemuda di era 1920an dengan pemuda di era saat ini. Bagaimana menumbuhkan semangat itu kembali, itulah salah satu tugas parpol dan politikus. Para caleg dan politisi seharusnya melakukan perubahan sehingga dapat memotivasi rakyat untuk turut melakukan perubahan. Di sisi lain, pemilih belum menjadi prioritas karena politisi sekarang memberikan panutan negatif, sehigga ada kekhawatiran bahwa politikus berikutnya dan bila yang saat ini terpilih kembali, maka mereka tetap melakukan kenegatifan tersebut. Ralie M.S. mengatakan, suasana saat itu adalah suasana terjajah, saat ini adalah dalam kondisi globalisasi. Seharusnya semangat tetap ada karena globalisasi juga bisa menjadikan bangsa ini terjajah kembali khususnya secara ekonomi. Parpol adalah salah satu institusi yang seharusnya memotivasi dan memberikan edukasi politik.Pihakpihak lain yang berkompeten pun sebaiknya juga dapat memberikan pendidikan politik. Sedangkan DPD bertugas mengawasi penggunaan dana, pembuatan kebijakan danpulau seribu melambai di luar jendela kaca, Singapura, Bangkok lalu Abu Dhabi, terlintas begitu saja diiringi irama Get Away yang parau tertelan kepak sayap Sang Garuda perkasa tersentak kuterjaga di atas Roma bagai mimpi dalam lompatan yang hilang angkasa Eropa penuh garis-garis putih halus menggurat langit biru muda tegas membekas stempel imigrasi di pasporku dan kumelangkah tak berpaling lagi.Mei 1976

pemekaran wilayah. Yuke menambahkan, edukasi politik sekarang secara bertahap mulai diperhatikan, khususnya oleh parpol. Paling penting adalah pendidikan politik harus dilakukan dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan sekolah. Eka Wenats mengatakan, salah satu sarana edukasi politik adalah melalui media masa dan internet. Situasi sosial dan budaya juga berpengaruh dalam edukasi politik tapi yang berpengaruh besar adalah tingkah wakil rakyat atau politisi itu sendiri. Edukasi politk akan menyebabkan masyarakat mempelajari pilihanpilihan yang diutarakan politisi sekaligus mencari tahu jejak pemikiran dan aktivitas para politisi. Edukasi juga menyebabkan masyarakat tahu dan bisa menuntut kewajiban pemimpinnya. Generasi muda sebaiknya ikut berperan, minimal memperhatikan proses politik (proses Pemilu). Memilih dan terlibat secara aktif dalam proses politik adalah wujud keterlibatan dalam proses perbaikan politik Indonesia. *** C.T. Adihikara, C.T. Adihikara JejakLangkah Study Club (JLSC).meninggalkan padang pengembaraan tercinta mengulang perjalanan larut penuh kisah rakyat raya dengan kegilaan nestapa dan gelandangan pemabuknya kuacuh terhenyak di kabin kelas dua dekat WC bau pesing ketak ketik kaca tebal disisiku menyambut butiran salju muda berirama roman perburuan kerap dan kencang sementara dingin menyelinap lewat dua helai lapis tipis menyentuh dadaku nan pepat kala si karcis dilubangi tanpa senyum terlampau banyak tanya dalam denyut hari-hari terakhir hingga suatu "selamat jalan kawan ...." tanpa kuperinci kemana mauku dan apa yang terbuang.12 Nopember 1978

Puisi-Puisi Bagus KumaraBagus Kumara adalah nama pena Bambang S. Santoso, kini tinggal di Abu Dhabi. Kumpulan puisinya berjudul ANGIN CITA DI NEGERI CITA BELANDA: Suntingan Sajak dan studi, Sanjakelana Dari masa studi pernah diperbanyak oleh PPI Delft, 1985. Berikut dua buah puisinya.

Schiphol Airport di Awal CeritaDC10 Irian Jaya merapat di pier A pada ujung perjalanan yang panjang meninggalkan pertiwi, kampus Ganesha dan Si Dia tercinta: tak kan kulupa desahmu kemarin malam, dalam haru perpisahan antara cinta dan padang pengembaraan, mengungkap misteri di belakang sejuta tanda tanya

Kereta Terakhir ke Rijswijktiga kereta antara Leeuven dan Rijswijk (selepas ikut sepotong kecil dari penjelajahan antar benua, rekan FM dan EI bersama Mazda 323 nya) berlari menggeram

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

19

Nyong Ambon Pung GayaImajinasi Gaya dan Identitas Tubuh Anak Muda Kota AmbonOleh Hatib Abdul KadirKota Ambon yang sempit dan padat, menyebabkan pola interaksi anak muda menjadi lebih intensif. Pasca konflik, ruang publik anak muda secara garis besar hanya terpusat pada dua tempat yakni Ambon Plaza dan Lapangan Merdeka. Karena sempitnya ruang publik ini, persebaran gosip, isu dan perkembangan anak muda sangat cepat. Gaya atau pola tingkah anak muda Ambon yang penuh sensasi, luar biasa atau bahkan menjengkelkan dengan cepatnya terkabarkan ke segala pelosok. Anak muda akan segera tahu, jika si A sebagai pelaku sesuatu, maka pendengar kabar atau saksi mata akan mengetahui, si A anak muda dari wilayah mana, siapa saudara yang dikenalnya, dan tempat ia sering duduk-duduk. (1) Pakaian, selera makanan dan minuman, dan pilihan musik menggambarkan pengalaman sosio kultural. Demikian pula, pengalaman anak muda Ambon dalam menerjemahkan pilihan gaya hidup dan selera tubuh mengacu kepada benang historis dan nilai kultural. Kemampuan menjalankan gaya secara bergengsi pada sebagian anak muda Ambon, dianggap bagian dari transfer gaya kaum kolonial yang diadaptasi kembali dan terus diartikulasikan hingga pasca konlik tahun 2002. Pencuatan gaya dikalangan anak muda disinyalir karena dua hal yakni: anak muda yang memasuki masa usia transisi dan perlu menyampaikan ekspresi tubuh dengan mencolok; dan anak muda yang memiliki kesensitifan terhadap rasa keterasingan diri ketika berada di tengah modernitas sebuah kota (Ewen, 47-54: 1988). Konstruksi Anak Muda versi Negara Anak muda digambarkan sebagai orang-orang paling bergelora, radikal dan heroik terhadap wacana anti kolonial. Munculnya Jong Java (Pemuda Jawa), Indonesia Muda No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA (Pemuda Indonesia), Jong Islamietenbond (Liga Pemuda Islam), Jong Minahasa (Pemuda Minahasa), dan lainnya mengindikasikan pemuda identik dengan orientasi yang peduli dengan konstruksi Negara Bangsa. Setiap individu pemuda diharuskan mempunyai loyalitas kepatuhan terhadap negara sekaligus pelaku utama perubahan dan mempunyai berbagai potensi yang masih tertanam (Ryter, 47, 58: 1998). Salah satu karakter pemuda Indonesia seperti yang digambarkan Anderson tidak merujuk pada jenjang usia tertentu, dan memang pemuda di Indonesia dalam rentangan rejim tidak terbatas pada waktu tertentu (timeless) (Anderson 3: 1999). Antropolog James T Siegel melihat bahwa karakterisasi pemuda yang dianggap sangat politik pada masa Orde Baru, dibengkokkan ke istilah remaja. Ini sebuah istilah yang diidentikkan dengan anak-anak muda apolitis, dekat dengan perilaku konsumtif dan hasrat-hasrat ketubuhan yang bertingkah hedonistik.(2) Kata remaja juga mengacu kepada anak muda kelas menengah dengan pilihan-pilihan konsumsi yang telah selesai mengurusi permasalahan tubuh secara primer, seperti masalah gizi, kesehatan hingga pendidikan. Konsep remaja ataupun anak muda mempunyai satu kesamaan, yakni sangat peduli dengan selera (taste) dan tingkat konsumtivitas yang tinggi (Ryter, 58: 1998; Siegel, 203-4: 1986; Shiraishi, 1997: 149). Pada masa Orde Baru beberapa konsep sengaja dikaburkan. (3) Sebagai misal konsep remaja yang berkelindan dengan makna anak muda. Meski sebuah organisasi negara bernama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang baru mengalami transisi fisik dari anak-anak menuju dewasa, yakni mereka yang berusia antara 10 hingga 21 tahun. Namun, terdapat kesepakatan struktural dan kultural yang mengakui bahwa anak muda dewasa adalah mereka yang telah menginjak usia 17 tahun. Karena itu, mereka berhak mendapatkan surat ijin mengemudi, mendapatkan kartu tanda penduduk, menghisap rokok, meminum minuman keras, melihat sinema dewasa di bioskop, hingga mencoblos dikala pemilihan umum yang diadakan dalam lima tahun sekali. Kartu-kartu yang diproduksi oleh negara menentukan identitas tubuh seseorang untuk menjadi dewasa atau tidak. Mengenai konsep tentang anak muda yang dihadirkan oleh negara, berikut adalah bagan yang dibuat buat berdasarkan hasil pembacaan terhadap beberapa literatur mengenai anak muda di Indonesia. Bagan di kolom pertama adalah anak muda yang berhasil ditaklukkan oleh negara. Sepanjang rejim Orde Baru, tampak pada NKK/BKK yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri (1982-1983) bahwa mahasiswa dijadikan seperti macan kehilangan taring. Demikian pula istilah remaja seperti yang telah saya bahas di atas. Pada kolom kedua di tahun yang sama ribuan pemuda jalanan diberangus melalui Petrus (penembakan misterius sepanjang 1983-1985) dan juga dicap sebagai

20musuh negara karena dianggap mengancam stabilitas pembangunan. Semua anak muda harus dikerahkan untuk selalu mendukung pembangunan negara. Sedangkan anak muda yang tak dapat dipetakan oleh negara, terkonstruk dengan istilah anak jalanan, Gali atau geng jalanan. Bagan di kolom ketiga adalah sekelompok anak muda yang mau dan mampu diklasifikasikan sebagai perangkat negara yang dimasukkan seperti ke dalam kelompok PP (Pemuda Pancasila). Ini adalah sebuah kelompok legal resmi yang mendukung satu partai dominan pada waktu itu yakni Golkar (Golongan Karya) (Ryter, 63: 1998). Negara menyebut anak muda ini sebagai preman sadar, karena terdiri dari preman yang dibina negara (4), dipupuk rasa nasionalismenya, namun pada saat yang sama menjadi backing perjudian, perlontean dan berbagai hiburan malam. Jika salah satu anggotanya kedapatan berbuat diluar hukum, akan disebut sebagai oknum, sehingga tetap selamatlah organisasi di bawah negara tersebut (Ryter, 63-8: 1998). Terdapat pula organisasi yang disebut dengan Angkatan Muda Golkar (AMG) yang kategorisasi usia anggotanya diperlebar hingga mereka yang menginjak usia 40 tahun. Begitu juga dengan Pemuda Pancamarga dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Pragmatisme terhadap konsep anak muda pada kolom ketiga dikenakan demi berbagai suksesi yang diinginkan oleh negara. Konsep mengenai anak muda Indonesia pada kolom ketiga ini berkesan timeless, tak mempunyai batasan pada tingkatan umur tertentu. Karena konstruksi politik Orde Baru yang memasukkan institusi-institusi dengan kata muda seperti diatas. Modernitas Tubuh Moder nitas Kolonial dalam Tubuh Anak Muda Ambon Harus diakui bahwa agama Kristen menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam membentuk perkembangan gaya (5) dan identitas modern pada anak muda di Ambon, karena agama ini identik dengan pihak koloni. Karena kondisi ini, identitas gaya tubuh telah terbagi ke dalam beberapa kluster, antara Islam dan Kristen; kluster etnis seperti China, Ambon itu sendiri, Jawa, serta orang-orang dari ujung Sulawesi seperti Buton, Bugis dan Makasar. Tubuh dan segala gayanya merupakan konstruksi dari dunia politik kolonial. Pada pertengahan abad XVII, awal dari kepercayaan baru terhadap agama Kristen bukan didapat dari masyarakat Ambon sejak lahir. Menjadi Kristen merupakan transformasi tubuh di usia muda, yang terjadi melalui tatanan pemerintahan koloni. Kekuasaan koloni membahasakan teologi dengan menciptakan ketergantungan personal melalui dominasi pekerjaan birokrasi, pakaian, pola makan hingga pola mandi dan mencuci. Kepercayaan dikreasikan melalui konversi doktrin baru, seperti mengubah makna tubuh telanjang seperti yang biasa oleh kepercayaan sebelumnya, menjadi tidak boleh. Kekuasaan juga mengkonstruksi landscape kota yang menegaskan hadirnya penguasa Kristen. Terjadi pula konversi pemaknaan terhadap Tuhan. Karena itu permasalahan memilih agama tidak terlepas dari unsur kepentingan politik. Jika merujuk pada asumsi bahwa agama dan keimanan adalah sistem yang dibentuk semenjak lahir, maka pengorbanan orang Ambon untuk mengubah kepercayaan dari Shamanisme ke bentuk agama Abrahamik merupakan suatu transfromasi yang patut dipertanyakan karena memeluk agama lebih didasarkan pada posisi tawar politik dan gengsi tubuh (Bartels, 4-5: 1976; 3-4: 1990). Di sinilah saya memperkirakan bahwa koloni (modernitas) memunculkan kesetaraan urgensi antara keimanan terhadap suatu agama dan gengsi. Demi gengsi dapat memasuki tataran birokrasi modern, warga Ambon mentransformasikan keimanan sebagai salah satu strateginya. Seruan gaya tubuh dengan datangnya abad modern tidak dapat dipisahkan dari kondisi subjektif manusia. Ketakutan terhadap kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian, terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap, distrategikan dengan semangat demi menumbuhkan gaya sebagai keangkuhan dan kehormatan dalam identitas modern. Anak-anak muda Ambon tak hendak melepas identitas keetnisan di manapun kaki diinjak (Bartels, 1990: 5-6). Dengan bangganya mereka menyebut bahwa Maluku adalah propinsi kedua belas dari Belanda, kemanapun mereka berdiaspora. Kebanggaan tersebut muncul karena Belanda dianggap sebagai koloni yang berhasil memodernkan dan memperadabkan anak muda Ambon. Salah satu modernitas yang dihasilkan adalah sistem sistem pendidikan, yang dikenal dengan istilah sekolah madras sekolah diasuh oleh gereja, terutama yang menunjang untuk pendidikan agama. Pelajaran yang disampaikan adalah berhitung, membaca dan tentu saja menyanyi (lagu-lagu rohani) (Leirizza, 2004: 76). Saya mensinyalir bahwa munculnya sekolah di jaman koloni, bertujuan untuk mengubah tiga hal, kecerdasan intelektual, keimanan dan gengsi. Perluasan reformasi pendidikan tidak semata mengubah ketersediaan manusia untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, namun juga menciptakan relasi di antara orang-orang Ambon itu sendiri dengan pihak Koloni dan relasi horizontal dengan penduduk pribumi sendiri. Anak-anak burger (pegawai) menolak menjadi pekerja kasar, dan karena ingin menjadi pekerja kantoran mulai memasuki sekolah umum. Di berlakukannya sistem politik etik, mengubah sistem pendidikan yang berbasis keagamaan dan berorientasi pada keuntungan koloni, ke arah pendidikan yang humanis dan progresif. Maka berdirilah ABS (Ambon Burger School) pada tahun 1856. Bahasa Belanda digunakan sebagai pengantarnya. Sekolah tidak dipungut biaya, sehingga siapapun dapat menuntut ilmu di dalamnya. Dari sinilah kemudian anak muda kota Ambon benar-benar berperadaban dan semakin tercipta jarak dengan masyarakat di sekitarnya yang bukan orang kota dan bukan orang terdidik. Di sisi lain anak muda Ambon Islam juga banyak yang mengapropriasi [membenarkan] budaya kolonial, hal ini tampak pada

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

21banyaknya mereka yang direkrut the native child in general would menjadi tentara KNIL. Demikian pula rather associate have with native than ketika ide mengenai Nasionalisme with the European and prefers to menyebar hingga ke Ambon, anak- speak Malay than Dutch, with the anak muda terpelajar Islam juga Ambonese its just the reverse, as menjadi penggerak utama dalam much as possible the ambonese want menentang sistem kolonialisme to be Dutchmen and it is their good (Chauvel, 1990: 198). Namun fortune than in Ambon a certain indemikian, tetap bersatunya orang termingling between European and Kristen dan Islam modern ke dalam native axists (Historisch overzicht identitas Orang Ambon tak lain 1930-31; 1: 54-5, via Chauvel 1990: karena kepercayaan terhadap 31). satunya tradisi kepercayaan Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek moyang mereka. (6) Pasca tahun 1930, pendirian sekolah tak lepas dari ide-ide Nasionalisme seperti yang diusung anakanak muda di Syarekat Ambon. Salah satu idenya a d a l a h memunculkan Mode pakaian anak muda keturunan Buton yang dianggap pendidikan untuk tidak memenuhi syarat bergaya anak muda Ambon mencegah anak muda melakukan Van Chijs mengobservasi sistem migrasi ke kota-kota di Jawa. Sekolah diharapkan mampu menjadi pra- gaya bersekolah pada sekelompok syarat mencerdaskan anak muda di kecil anak muda Kristen yang terdidik dalam kota. Di dalam komunitas kota Ambon sendiri. Kaum Nasionalis juga sekolah, kesempatan pendidikan diperluas dibanding menganggap bahwa belajar Bahasa lebih Belanda adalah bentuk alienasi, kesempatan yang didapat elit agama karena itu perlu pendidikan dengan lokal dan elit adat. Beberapa penyebab deman bahasa Ambon sendiri, yang di dalamnya juga belajar tentang kultur sekolah tak lepas dari adanya Malaise pada tahun 1930. Tak sedikit orAmbon (Chauvel, 1990: 152-3). Ide mengenai Nasionalisme ke- ang-orang Ambon keluar dari wilayah Ambonan mulai digulirkan melalui Maluku untuk menjadi tentara. Jaman pendidikan. Sekolah menempati Malaise menyebabkan anjloknya posisi pengalaman penting dalam harga cengkeh di pasaran dunia dan upaya Pembaratan. Ajaran dan merosotnya lowongan untuk bekerja lingkungan pendidikan dianggap di kantor-kantor pemerintahan. Sekitar 61% dari anak muda sebagai momen terjadinya transfer kekuasaan dari pemerintah Belanda, Kristen Ambon yang terdidik mulai yang oleh Bartels menyebutnya bekerja di luar Maluku, seperti di birokrasi kolonial, guru, misionaris sebagai White Power. Sebagaimana ketika inspektur dan tentara. Anak-anak mereka pendidikan J.A. van Chijs, yang mendapat standar posisi yang lebih mengunjungi Ambon pada tahun tinggi, kemakmuran materi, fasilitas yang lebih lengkap dan mobilitas 1869 melaporkan: Among the pupils the knowledge sosial yang lebih luas, dibandingkan of our language is much more devel- dengan mereka yang tinggal di oped than among for example the dalam kota Ambon. Javanese or Malays. In many reHal ini menunjukkan bahwa, spects our manners and customs nasionalisme ke-Ambonan lebih have become theirs. While in Java, mengacu kepada produk sistem pendidikan Belanda yang didukung sepenuhnya dalam komunitas Kristen urban. Demikian pula nasionalisme ke-Ambonan ini juga melanda di kalangan anak muda urban Islam (Chauvel, 1990, 205-8). Konstruksi Image Anak Muda Ambon Paska Kolonial Kiblat gaya anak muda beralih paska kolonial. Dekolonisasi besarbesaran yang dilakukan negara Indonesia hingga tahun 1950 menjadikan anak muda Ambon berdiaspora ke kota-kota yang mulai pesat membangun, yakni kota-kota di Jawa. Image pergi lihat atau tinggal di kota-kota besar di Jawa mengacu kepada kesuksesan ekonomi atau sekedar berbelanja, belajar bahkan bekerja. Karena sepulang dari sana ada narasi yang diceritakan di sesama anak muda Ambon. Migrasi anak muda Ambon yang dilakukan paska kolonial, seperti tertera dalam tulisan M Fauzi yang menceritakan kembali pengalaman Maun Sarifin, yang pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di stasiun Jatinegara: Yang namanya calo dari dulu ada di bioskop. Tapi kita bukan ngituin suku ya. Yang banyakan tuh anakanak yang dari Ambon. Dulu, waktu itu anak-anak itu kan masih apa sih anak emas gitu ya ama Belanda kan. Jadi seolah-olah dia tuh paling tinggi di situ. Jadi dikuasai oleh orang-orang itu, anak-anak itu. (Sebagaimana diungkapkan oleh pelaku sejarah Sarifin, dalam Fauzi, 2004: 21). Bahkan penduduk di Batavia pun punya bayangan terhadap gaya anak muda Ambon. Diaspora mereka di kota-kota besar di Jawa mengkonstruksi image tersendiri bagi penduduk di Jawa. Identitas anak muda yang hanya lahir di kota Ambon atau orang tua mereka berasal dari Ambon, disebut sebagai Ambon Card. Ambon Card ini menempati posisi gengsi tertinggi dalam image anak muda di Kota Ambon. Karena generasi Ambon Card dianggap mempunyai nilai lebih untuk mengetahui tentang dunia kota-kota besar di luar kota Ambon, dan dalam hidupnya, mereka kemudian menjadi sukses secara ekonomi. (7) Suku bangsa yang tidak mempunyai pengalaman pertemuan dengan koloni adalah Buton. Anak

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA

22Persepsi asal-usul mereka ditolak dari dua arah, di Ambon dan Buton sekaligus. Salah satu sebab termasuknya orang Buton ke dalam kategori polutif, sebagaimana dilaporkan oleh Palmer: Migrants often recall how Ambonese people swear at friends when they meet them, spend what they have immediately, and live to be fashionable (bergaya), in contrast to the migrants being polite, saving their money, and not being as interested in looking trendy. When the discussion turns to life in Buton, the returnees often mention how people here are stingy with money, not helping each other like how it is done in Ambon. (Palmer, 2004: 92). Kesederhanaan bergaya anak muda Buton justru dianggap sebagai bagian dari kepelitan mereka untuk tidak mengalokasikan uang untuk berdandan dan bergaya. Dalam pandangan anak muda Ambon, gaya berpakaian trendi yang merepresentasikan solidaritas Paska kerusuhan (1999-2003), dominasi gaya klas menengah antarteman tidak Cina Ambon sirna, dan kini gaya anak muda Islam dominan. diterapkan dalam people. Namun inferioritas ini tetap kultur lokalitas anak muda Buton. tidak menutup kemungkinan anak Gaya berpakaian kemudian muda muslim Ambon untuk menikah menciptakan batas antara kita dan dengan orang-orang Buton. Anak mereka dalam struktur kekuasaan muda Islam Ambon menganggap anak muda Ambon. Di sisi lain gaya tubuh menciptakan bahwa perempuan Buton adalah dandan pekerja keras, hemat dan mempunyai seperangkat kecemburuan sosial diantara anak-anak muda Buton yang jiwa pengusaha. itu hanya rekaan Hal terpenting bahwa mereka tak melihat gengsi untuk memilih berbagai kesombongan yang dikonstruksi pekerjaan apapun yang dapat anak-anak muda . dilakoninya. Rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya lapangan Konstruksi Image Anak Muda Ambon kerja membuat anak-anak muda Paska Konflik Agama (1999-2002) Konflik selama lebih dari tiga Buton sering dianggap menjadi pelaku kriminal di kota. Juga, mereka tahun di Ambon telah menyebabkan berangasan dalam bertetangga. tajamnya disparitas identitas anak Rusuh-rusuh kecil pada malam hari muda hingga saat ini. Identitas tidak menjadi biasa di kampung-kampung lagi terbelah antara anak muda urban dengan non-urban, kumuh yang ditempati rata-rata ambon migran Buton, seperti di wilayah melainkan antara anak muda Ambon yang beragama Kristen dengan anak Silale, Soabali dan Abdulalie. Di kota Ambon, orang-orang muda Ambon yang beragama Islam. Buton ini tidak diterima sepenuh hati Anak-anak muda migran yang sebagai orang Ambon kota. Mereka selama ini inferior, seperti anak muda tidak memiliki identitas yang pasti. Buton, Jawa dan Makasar berafiliasi JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I muda Buton nyaris tidak mempunyai tempat khusus di mata Belanda dan birokrasi modern. Selama melakukan migrasi ke kota Ambon, anak muda Buton hidup dari membuat makanan, menjadi tukang becak dan di beberapa sektor jasa informal lainnya. Dibanding anak-anak muda Ambon, mereka jauh lebih tidak terdidik. Sehingga dalam penentuan dan kebijakan politik kota, anak muda Buton nyaris tak masuk dalam perhitungan. Dimata anak muda Ambon Kristen maupun Islam, anak muda Buton dianggap backward ke anak muda Islam Ambon. Meski telah damai, kota Ambon masih menyisakan batas-batas kultural yang semakin menguat perbedaannya antara Kristen dan Islam. Pada bentuk pilihan musik misalnya. Anak-anak muda Islam lebih menyukai Pasha dan Band Ungunya, dikarenakan dua hal. Pertama, band ini menjadi salah satu pengiklan utama pakaian distro bernama Black Id. Sebuah perusahaan pakaian independen yang bermarkas di Bandung. Kaos dari Black Id ini sering dipakai oleh Pasha. Paska konflik, aspirasi terhadap pakaian independen (baca: Indie) semacam Black Id ini justeru lebih banyak menyebar di anak muda komunitas Islam, mengingat barang yang masuk melalui pelabuhan dagang diakses terlebih dahulu oleh pedagang di pesisir yang notabene Muslim. Kedua, Band Ungu mengkonstruksi dirinya sebagai band Muslim ketika pada bulan puasa/ ramadhan 2006 mengeluarkan sebuah album rohani Islam. (8) Sedangkan pada ruang kota dapat dilihat pada satu-satunya mall di Ambon, yakni Ambon Plasa, menjadi saksi transformasi kelas menengah keturunan Cina yang menghilang paska konflik dan tergantikan dengan gaya anak muda Islam yang sangat dominatif. Tatkala saya memasuki lantai dasar Ambon Plasa, para pedagang di stan-stan tak berhentinya mengajukan pertanyaan cari apa abang? (9) Begitu memasuki plasa, nuansa keislaman langsung dapat dirasakan. Dua pintu utama yang berada di dalam mall ini menjual perangkat busana muslim dan kopyah. Pada busana muslim di depan etalase didominasi oleh warna merah muda dan putih. Terdapat sebuah patung kepala perempuan berwajah putih beralis tebal yang diberi kerudung. Sedangkan penjualan tasbih, kopyah dan sajadah berada pada mulut pintu utama di bagian timur. Beberapa penjual berjenggot lebat dan mengenakan celana hingga di atas mata kaki. Sesekali mereka bersalaman tatkala menemui beberapa rekan yang ternyata juga tengah berbelanja. (10) Karena terletak di pesisir yang dikuasai oleh komunitas Islam, Ambon Plasa otomatis menjadi milik kekuasaan anak muda Islam. Tak sedikit anak

23muda Kristen yang merasa was-was untuk datang ke tempat ini. Pada tingkatan imajinasi, disparitas konstruksi ruang perkotaan paska konflik ditindaklanjuti dengan perbedaan-perbedaan superficial seperti makna kecantikan. Di kalangan anak muda Kristen, image ketampanan, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan AmbonBelanda. Sedangkan pada anak muda Ambon Islam, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan Ambon-Arab. Dua model keturunan ini terdapat di kota Ambon, dan dianggap sebagai manusia yagn berfisik ideal, pada masing-masing komunitas Kristen maupun Islam. Kesamaan konstruksi tubuh ideal di antara komunitas anak muda Kristen dan Islam adalah, sama-sama berhidung tinggi alias mancung, baik dari keturunan Ambon-Arab dan Ambon-Belanda. Inilah mengapa kemudi