Top Banner
BAB I LATAR BELAKANG PERMASALAHAN 1.1 KESEHATAN LINGKUNGAN Kesehatan lingkungan diperuntukan untuk semua faktor eksternal baik fisik, kimia, biologis dan semua faktor terkait yang mempengaruhi perilaku. Ini meliputi penilaian dan pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan. 1.1.1 Definisi Kesehatan lingkungan adalah Ilmu dan seni untuk mencegah pengganggu,menanggulangi kerusakan dan meningkatkan/memulihkan fungsi lingkungan melalui pengelolaan unsur-unsur/faktor- faktor lingkungan yang berisiko terhadap kesehatan manusia dengan cara identifikasi, analisis, intervensi/rekayasa lingkungan, sehingga tersedianya lingkungan yang menjamin bagi derajat kesehatan manusia secara optimal.(Tri Cahyono, 2000) 1.1.2 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan Kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologis yang harus ada antara manusia dengan lingkungannya agar dapat menjamin keadaan sehatdari manusia. Ruang lingkup: 1. Penyediaan air minum 2. Pengolahan air buangan dan pengendalian pencemaran 3. Pengelolaan sampah padat 4. Pengendalian vector 1
36

jamban sehat

Dec 31, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: jamban sehat

BAB I

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

1.1 KESEHATAN LINGKUNGAN

Kesehatan lingkungan diperuntukan untuk semua faktor eksternal baik fisik, kimia,

biologis dan semua faktor terkait yang mempengaruhi perilaku. Ini meliputi penilaian dan

pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi kesehatan. Hal

ini ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan yang mendukung

kesehatan.

1.1.1 Definisi

Kesehatan lingkungan adalah Ilmu dan seni untuk mencegah pengganggu,menanggulangi

kerusakan dan meningkatkan/memulihkan fungsi lingkungan melalui pengelolaan unsur-

unsur/faktor-faktor lingkungan yang berisiko terhadap kesehatan manusia dengan cara

identifikasi, analisis, intervensi/rekayasa lingkungan, sehingga tersedianya lingkungan yang menjamin

bagi derajat kesehatan manusia secara optimal.(Tri Cahyono, 2000)

1.1.2 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologis yang harus ada antara manusia

dengan lingkungannya agar dapat menjamin keadaan sehatdari manusia.

Ruang lingkup:

1. Penyediaan air minum

2. Pengolahan air buangan dan pengendalian pencemaran

3. Pengelolaan sampah padat

4. Pengendalian vector

5. Pencegahan dan pengendalian pencemaran tanah dan ekskreta manusia

6. Hygiene makanan

7. Pengendalian pencemaran udara

8. Pengendalian radiasi

9. Kesehatan kerja

10. Pengendalian kebisingan

11. Perumahan dan permukiman

12. Perencanaan daerah perkotaan

13. Kesehatan lingkungan transportasi udara, laut dan darat

1

Page 2: jamban sehat

14. Pencegahan kecelakaan

15. Rekreasi umum dan pariwisata

16. Tindakan sanitasi yang berhubungan dengan epidemic, bencana,kedaruratan

17. Tindakan pencegahan agar lingkungan bebas dari risiko gangguankesehatan(WHO, 1979)

1.1.3 Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Lingkungan

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 162

Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat,

baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 163

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan

tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.

(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja,

tempat rekreasi, serta tempat danfasilitas umum.

(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan

gangguan kesehatan, antara lain: a. limbah cair; b. limbah padat; c. limbah gas; d. sampah yang

tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; e. binatang pembawa

penyakit; f. zat kimia yang berbahaya; g. kebisingan yang melebihi ambang batas; h. radiasi sinar

pengion dan non pengion; i. air yang tercemar; j. udara yang tercemar; dan makanan yang

terkontaminasi.

(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan

limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

1.2 JAMBAN

Jamban merupakan sanitasi dasar penting yang harus dimiliki setiap masyarakat. Di

suatu wilayah ada rumah yang sudah memiliki jamban, ada yang belum memiliki jamban.

Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah

tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia. Alasan

utama yang selalu diungkapkan masyarakat mengapa sampai saat ini belum memiliki jamban

keluarga adalah tidak mempunyai uang. Sebenarnya tidak adanya jamban di setiap rumah

tangga bukan semata faktor ekonomi, tetapi lebih kepada belum adanya kesadaran

masyarakat untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), jamban pun tidak harus

2

Page 3: jamban sehat

mewah dengan biaya yang mahal. Cukup yang sederhana saja disesuaikan dengan

kemampuan ekonomi rumah tangga. Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah

dipastikan mereka memanfaatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air

besar (BAB). Dengan masih adanya masyarakat di suatu wilayah yang BAB sembarangan,

maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan

diantaranya penyakit cacingan, kolera, diare, demam tifoid, disentri, dan masih banyak

penyakit lainnya.

1.2.1 Definisi

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen

Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut

sebagai sanitasi yang antara lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air

besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan

MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat

BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat

pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah

atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-

UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu ‘improved’, ‘shared’,

‘unimproved’ dan ‘open defecation’. Dikategorikan sebagai ‘improved’ bila penggunaan

sarana pembuangan kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir

tinjanya tangki septik atau SPAL.

Pengertian lain terkait jamban menyebutkan bahwa jamban keluarga adalah suatu

bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan mengumpulkan kotoran/najis

manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu

tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori

lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur

dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama dengan

pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-

syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah.

1.2.2 Jenis-jenis Jamban

Terdapat beberapa jenis jamban sesuai bentuk dan namanya, antara lain Azwar (1983)

1. Jamban cubluk (pit privy)

Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah sedalam 2,5 sampai 8 meter

dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dari batu bata ataupun tidak. Sesuai

3

Page 4: jamban sehat

dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding bambu

dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

Gambar 1. Jamban cubluk

2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine)

Jamban ini hampir sama dengan jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk

daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat dibuat dari bambu.

Gambar 2. Jamban cubluk berventilasi

3. Jamban empang (fish pond latrine)

4

Page 5: jamban sehat

Merupakan jamban ini dibangun di atas empang ikan. Sistem jamban empang memungkinkan

terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang,

dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.

Gambar 3. Jamban empang

4. Jamban pupuk (the compost privy)

Secara prinsip jamban ini seperti kakus cemplung, hanya lebih dangkal galiannya, di dalam

jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan sampah, daun-daunan.

5. Septic tank

Jamban jenis septic tank merupakan jamban yang paling memenuhi syarat. Septic tank

merupakan cara yang memuaskan dalam pembuangan ekskreta untuk kelompok kecil yaitu

rumah tangga dan lembaga yang memiliki persediaan air yang mencukupi, tetapi tidak

memiliki hubungan dengan sistem penyaluran limbah masyarakat (Chandra, 2007). Septic

tank merupakan cara yang terbaik yang dianjurkan oleh WHO tapi memerlukan biaya mahal,

tekniknya sukar dan memerlukan tanah yang luas (Entjang, 2000).

Untuk mencegah penularan penyakit yang berbasis lingkungan, kita semua harus buang air

besar (BAB) di jamban. Ada 3 jenis jamban :

1. Jamban Leher Angsa

Jamban ini, perlu air untuk menggelontor kotoran. Air yang terdapat pada leher angsa adalah

untuk menghindarkan bau dan mencegah masuknya lalat dan kecoa.

2. Jamban Cemplung

Jamban ini, tidak memerlukan air untuk menggelontor kotoran. Untuk mengurangi bau serta

agar lalat dan kecoa tidak masuk, lubang jamban perlu ditutup.

3. Jamban Plengsengan

Jamban ini, perlu air untuk menggelontor kotoran. Lubang jamban perlu juga ditutup

5

Page 6: jamban sehat

Gambar . Jenis-jenis jamban

1.2.3 Cara Memilih Jenis Jamban

Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air

Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk daerah yang cukup air dan daerah

padat penduduk, karena dapat menggunakan multiple latrine yaitu satu lubang

penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh beberapa jamban (satu lubang dapat

menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban)

Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya ditinggikan kurang

lebih 60 cm dari permukaan air pasang.

1.2.4 Alasan Menggunakan Jamban

1. Menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak berbau

2. Tidak mencemari sumber air yang ada di sekitamya.

3. Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit

Diare, Kolera Disentri, Thypus, cacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit

dan keracunan.

1.2.5 Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan memenuhi

syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu :

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit

2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman

3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit

4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan

6

Page 7: jamban sehat

1.2.6 Lokasi

Dengan memperhatikan pola pencemaran tanah dan air tanah, maka hal-hal berikut harus

diperhatikan untuk memilih lokasi penempatan sarana pembuangan tinja (Soeparman, 2002):

1. Pada dasarnya tidak ada aturan pasti yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk

menentukan jarak yang aman antara jamban dan sumber air. Banyak faktor yang

mempengaruhi perpindahan bakteri melalui air tanah, seperti tingkat kemiringan,

tinggi permukaan air tanah, serta permeabilitas tanah. Yang terpenting harus

diperhatikan adalah bahwa jamban atau kolam pembuangan (cesspool) harus

ditempatkan lebih rendah, atau sekurang-kurangnya sama tinggi dengan sumber air

bersih. Apabila memungkinka, harus dihindari penempatan langsung di bagian yang

lebih tinggi dari sumur. Jika penempatan di bagian yang lebih tinggi tidak dapat

dihindarkan, jarak 15 m akan mencegah pencemaran bakteriologis ke sumur.

Penempatan jamban di sebelah kanan atau kiri akan mengurangi kemungkinan

kontaminasi air tanah yang mencapai sumur. Pada tanah pasir, jamban dapat

ditempatkan pada jarak 7,5 m dari sumur apabila tidak ada kemungkinan untuk

menempatkannya pada jarak yang lebih jauh.

2. Pada tanah yang homogen, kemungkinan pencemaran air tanah sebenarnya nol

apabila dasar lubang jamban berjarak lebih dari 1,5 m di atas permukaan air tanah,

atau apabila dasar kolam pembuangan berjarak lebih dari 3 m di atas permukaan air

tanah.

3. Penyelidikan yang seksama harus dilakukan sebelum membuat jamban cubluk (pit

privy), kakus bor (bored-hole latrine), kolam pembuangan, dan sumur resapan di

daerah yang mengandung lapisan batu karang atau batu kapur. Hal ini dikarenakan

pencemaan dapat terjadi secara langsung melalui saluran dalam tanah tanpa filtrasi

alami ke sumur yang jauh atau sumber penyediaan air minum lainnya

1.2.7 Kriteria Jamban Sehat

Menurut WSP (2008) kriterian Jamban Sehat (improved latrine), merupakan fasilitas

pembuangan tinja yang memenuhi syarat :

Tidak mengkontaminasi badan air.

Menjaga agar tidak kontak antara manusia dan tinja.

Membuang tinja manusia yang aman sehingga tidak dihinggapi lalat atau serangga

vektor lainnya termasuk binatang.

Menjaga buangan tidak menimbulkan bau

7

Page 8: jamban sehat

Konstruksi dudukan jamban dibuat dengan baik dan aman bagi pengguna 

1.2.8 SEPTIC TANK

Mekanisme Kerja Septic Tank

Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, sebagai tempat tinja dan air

buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Di dalam tangki ini tinja akan berada selama

beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses (Notoatmodjo, 2003):

Desain Septic Tank

Secara teknis desain atau konstruksi utama septic tank sebagai berikut :

a. Pipa ventilasi. Pipa ventilasi secara fungsi dan teknis dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Mikroorganisme dapat terjamin kelangsungan hidupnya dengan adanya pipa ventilasi

ini, karena oksigen yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya dapat masuk ke

dalam bak pembusuk, selain itu juga berguna untuk mengalirkan gas yang terjadi

karena adanya proses pembusukan. Untuk menghindari bau gas dari septick tank

maka sebaiknya pipa pelepas dipasang lebih tinggi agar bau gas dapat langsung

terlepas di udara bebas (Daryanto, 2005).

2. Panjang pipa ventilasi 2 meter dengan diameter pipa 175 mm dan pada lubang

hawanya diberi kawat kasa (Machfoedz, 2004).

b. Dinding septic tank:

1. Dinding septic tank dapat terbuat dari batu bata dengan plesteran semen

(Machfoedz,2004)

2. Dinding septic tank harus dibuat rapat air (Daryanto, 2005)

3. Pelapis septic tank terbuat dari papan yang kuat dengan tebal yang sama (Chandra,

2007).

c. Pipa penghubung:

1. Septic tank harus mempunyai pipa tempat masuk dan keluarnya air (Chandra, 2007).

2. Pipa penghubung terbuat dari pipa PVC dengan diameter 10 atau 15 cm (Daryanto,

2005)

d. Tutup septic tank:

1. Tepi atas dari tutup septic tank harus terletak paling sedikit 0,3 meter di bawah

permukaan tanah halaman, agar keadaan temperatur di dalam septic tank selalu hangat

dan konstan sehingga kelangsungan hidup bakteri dapat lebih terjamin

(Daryanto,2005).

2. Tutup septic tank harus terbuat dari beton (kedap air) (Machfoedz, 2004).

8

Page 9: jamban sehat

Gambar 4. Desain septic tank

1.2.9 Cara Memelihara Jamban Sehat

Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air

Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih

Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat

Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran

Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih)

Bila ada kerusakan segera diperbaiki.

1.2.10 Persyaratan Pembuangan Tinja

Menurut Kumoro (1998), terdapat beberapa bagian sanitasi pembuangan tinja, antara lain :

Rumah Kakus: Berfungsi sebagai tempat berlindung dari lingkunagn sekitar, harus

memenuhi syarat ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika. Konstruksi disesuaikan

dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga.

Lantai Kakus: Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus

baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga disesuaikan

dengan bentuk rumah kakus.

Tempat Duduk Kakus: Fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja,

harus kuat, mudah dibersihkan, berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah

diangkat.

Kecukupan Air Bersih: Jamban hendaklah disiram minimal 4-5 gayung, bertujuan

menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap bersih. Juga agar

menghindari kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga dapat mencegah penularan penyakit.

Tersedia Alat Pembersih: Tujuan pemakaian alat pembersih, agar jamban tetap bersih setelah

9

Page 10: jamban sehat

jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai

agar tidak berlumut dan licin. Sedangkan peralatan pembersih merupakan bahan yang ada di

rumah kakus didekat jamban.

Tempat Penampungan Tinja: Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang

berfungsi sebagai tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksi lubang harus kedap air

dapat terbuat dari pasangan batu bata dan semen, sehingga menghindari pencemaran

lingkungan.

Saluran Peresapan: Merupakan sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang

lengkap, berfungsi mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur tinja.

10

Page 11: jamban sehat

BAB II

PERMASALAHAN

2.1 DEMAM TIFOID

Demam Tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik

yang terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. S.typhi telah menjadi patogen manusia

selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk. Penularan demam tifoid

terjadi secara oro-fecal melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja yang

mengandung S.typhi. Presentasi klasik meliputi demam, malaise, sakit perut menyebar, dan

sembelit. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tifoid di negara

maju, tetapi tetap menjadi endemik di negara-negara berkembang. Jika tidak diobati, demam

tifoid dapat berkembang menjadi delirium, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian

dalam waktu satu bulan onset. Jika penderita dibiarkan dapat menyebabkan komplikasi

neuropsikiatri jangka panjang atau permanen.

2.1.1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit sistemik dikarakteristikan oleh demam dan nyeri

abdomen oleh karena diseminasi S. Typhi atau S. Paratyphi. Dinamai demam tifoid karena

kemiripan gejala klinisnya dengan tifus.

2.1.2 Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah. Surveilans Departemen

Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan

pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dan survei

berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan

peningkatan jumlah penderita sekitar 35.89% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi

lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di

daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan

berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi

lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan

lingkungan.1

11

Page 12: jamban sehat

2.1.3 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, dapat juga disebabkan oleh

S.paratyphi.2,3 Salmonela adalah bakteri gram negatif, termasuk ke dalam famili

Enterobactericeae. Seperti golongan Enterobactericeae yang lain, salmonella memiliki tiga

antigen utama: antigen O [lipopolisakarida (LPS)], antigen Vi (surface antigen; S.typhi dan

S.paratyphi C), dan antigen H (flagel). Secara umum, pada pemeriksaan laboratorium,

Salmonella dibagi menjadi serogrup A, B, C1, C2, D, dan E. Pemeriksaan biokimia dan

serologi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi serotipe-serotipe ini.

S. typhi merupakan patogen enterik yang sangat virulen dan invasif yang menyerang

manusia. Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau minuman oleh

bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita demam tifoid.

2.1.4 Patogenesis & Patofisiologi

Masuknya kuman S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui

makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung.

Sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.. Bila respons

imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel

dan selanjtunya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit

oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Akibat difagositosisnya Salmonela, bakteri ini

menjadi kebal terhadap respons imun PMN, komplemen, dan juga antibodi. Salmonela sudah

berevolusi sedemikian tupa sehingga mampu menghindari/menunda proses ‘pembunuhan’

oleh makrofag. Hal ini dimungkinkan karena saat difagositosis, bakteri membentuk suatu

“spacious phagosome” dan alterasi regulasi ~200 protein bakterial.

Sistem regulator yang paling terkenal adalah PhoP/PhoQ, duet komponen regulon

yang mendeteksi perubahan lokasi dan ekspresi protein bakterial. Alterasi yang dimaksud

adalah modifikasi LPS dan sintesis oyter-membrane proteins; perubahan tersebut

berkontribusi dalam remodeling permukaan membran bakteri sehingga mereka menjadi

resisten terhadap aktivitas antimikroba dan signaling host cell. PhoP/PhoQ juga memediasi

sintesis transporter kationik divalent yang men-scavenge magnesium. Dengan mekanisme

sekresi second type III, Salmonela bisa secara langsung mentranslokasi protein bakterial ke

dalam makrofag, fenomena yang dipercayai sebagai mekanisme survival bakteri di dalam sel

fagosit.

12

Page 13: jamban sehat

Dengan ini, Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag

ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik)

dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-

organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-¬tanda dan gejala penyakit infeksi

sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam empedu, berkembang biak, dan bersama cairan

empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan

melalui feses dan sebagian masuk ke kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang

sama terulang kernbali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat

fagositosis kuman Salmonela terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya

akan menimbulkan gejala rekasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit

perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.

Didalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan

(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan

dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah

sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-

sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang

hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di receptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan

organ lainnya.

2.1.5 Diagnosis

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi

yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan

pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Manifestasi Klinis.

13

Page 14: jamban sehat

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan

epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam

adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu

kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu

1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental

berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,

dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi

walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan

trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun

limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

Uji Widal

Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji Widal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut

aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah susoensi Salmonela yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya

aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh

kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi

kuman ini.

14

Page 15: jamban sehat

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan

aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji

Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

2.1.7 Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan domain tifoid, yaitu:

Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah

baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air

kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam

perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang

dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik

serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet dan Terapi Penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam

tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita

akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

Pemberian Antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah

kloramfenikol (pilihan utama), tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi

ketiga, golongan florokuinon, dan dapat diberikan kombinasi obat antimikroba, dan

kortikosteroid bila diperlukan.

Obat Mekanisme kerja Dosis Keterangan

Kloramfeniko

l

Berikatan dengan

unit 50S bakteri

Oral

4 x 500 mg sampai

7 hari bebas demam

Perbaikan dicapai dalam interval

3-7 hari. Tidak digunakan pada

pasien anak.

Tiamfenikol Berikatan dengan

unit 50S ribosom

bakteri

Oral

4 x 500 mg sampai

7 hari bebas demam

Perbaikan dicapai dalam 4-6

hari. Efek samping lebih ringan

dari kloramfenikol. Tidak

diberikan pada ibu hamil

15

Page 16: jamban sehat

khususnya trimester 1

Ampisilin Menghambat

pembentukan

dinding sel bakteri

Oral

75-150 mg/kg BB,

terbagi 3 kali sehari,

berikan selama 10-14

hari

Perbaikan dicapai dalam 3-5 hari

TMP-SMZ Menghambat

pembentukan

asam dihidrofolat

2 x 2 tablet/hari (400

mg SMZ- 80 mg

TMP) selama 2

minggu

Perbaikan dalam rentang yang

sama dengan kloramfenikol

Ceftriaxone Menghambat

pembentukan

dinding sel bakteri

3-4 gram

Ciprofloxacin Menghambat

sintesis DNA

bakterial

2 x 500 mg/hari

selama 6 hari

Teruskan pengobatan hingga 2-4

hari setelah gejala menghilang

Corticosteroid Mengurangi

inflamasi

Dexamethasone

dosis tinggi

Pada kasus tifoid toxic, sepsis,

peritonitis

2.1.8 Komplikasi

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat

diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat

terjadi pada demam tifoid yaitu :

Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis

Komplikasi ekstra-intestinal:

Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.

Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritic.

Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.

komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.

komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.

komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.

16

Page 17: jamban sehat

2.1.9. DATA PASIEN

1. Data Administrasi Pasien

a. Nama / Umur : S / 20 tahun

b. No. register : -

c. Status kepegawaian : -

d. Status sosial : anak ke 2 dari 3 bersaudara

2. Data Demografis

a. Alamat : Kr.Suci

b. Agama : Islam

c. Suku : Jawa

d. Pekerjaan : Pedagang

e. Bahasa Ibu : Indonesia

f. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Data Biologik

a. Tinggi Badan : 157 cm

b. Berat Badan : 54 kg

c. Habitus : jarang mencuci tangan sebelum makan

4. Data Klinis

Anamnesis

Keluhan Utama :

Demam sejak empat hari sebelum ke puskesmas

Riwayat Penyakit Sekarang :

• Demam sejak 4 hari sebelum ke Puskesmas, demam tinggi, naik turun, tidak

menggigil dan tidak berkeringat

• Mual dirasakan semenjak sakit, muntah tidak ada, mencret tidak ada

• Rasa tidak enak di perut (+)

• Sakit kepala dirasakan semenjak sakit

• Pasien sudah berobat ke bidan dan diberi obat penurun panas, demam tidak turun

setelah minum obat

• Bintik-bintik merah di tangan atau kaki tidak ada

• Nyeri sendi tidak ada

• BAB dan BAK biasa

Riwayat Penyakit dahulu

17

Page 18: jamban sehat

• Tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

• Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Pemeriksaan Jasmani

Vital sign :

Keadaan umum : sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Frekuensi nadi : 88x /menit

Frekuensi nafas : 20x /menit

Suhu : 39,6º C

Status Generalisata :

Kepala : tidak ditemukan kelainan

Kulit : turgor baik, ikterik (-)

Mata : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik

THT : lidah kotor (+)

Leher : Kelenjar getah bening tak membesar

Kelenjar thyroid tidak membesar

JVP 5-2 CmH2O

Thorax : Paru

I : simetris kiri dan kanan

Pa : fremitus kiri sama dengan kanan

Pe : sonor kiri sama kanan

Aus: vesikuler, ronchi -/- , wheezing -/-

Jantung

I : iktus tidak terlihat

Pa : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Pe : batas jantung kiri 1 jari medial LMCS RIC V, kanan linea

sternalis dextra, atas : RIC II sinistra

Aus : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)

Abdomen :

I : tidak buncit

Pa : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)

Pe : tympani

18

Page 19: jamban sehat

Aus : Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

Extremitas : edem -/-, reflex fisiologis +/+, reflex patologis -/-

5. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

Anjuran pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan darah rutin dan Tes Widal

6. Diagnosis

Diagnosis Kerja : Observasi febris ec susp. Demam Tifoid

19

Page 20: jamban sehat

BAB III

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

III.1. METODE

metode yang dilakukan adalah metode penyuluhan dengan diskusi 2 arah.

20

Page 21: jamban sehat

III.2. INTERVENSI

- Perhatian pasien terhadap kepatuhan dan keteraturan mengkonsumsi obat

- Mengkonsumsi makanan sehat

- memperhatikan kebersihan diri

21

Page 22: jamban sehat

BAB IV

PELAKSANAAN

4.1 Strategi Penanganan Masalah

Diagnosis klinis : observasi febris ec susp. demam tifoid

Penanganan masalah : Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.

Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat.

Diet dan Terapi Penunjang

Pemberian antimikroba ( kloramfenikol4x500mg selama 7 hari bebas

demam)

Diagnosis biologis : sanitasi yang kurang

Penanganan masalah : memperhatikan sanitasi lingkungan dan kebersihan

makanan.

22

Page 23: jamban sehat

BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

V.1.MONITORING

Kesehatan lingkungan ditujukan untuk mencegah penyakit dan menciptakan

lingkungan yang mendukung kesehatan. Untuk mencegah penularan penyakit yang berbasis

lingkungan, kita semua harus buang air besar (BAB) di jamban. Jamban keluarga adalah

suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia atau najis

bagi suatu keluarga yang lazim disebut kakus atau WC. Jamban merupakan sanitasi dasar

penting yang harus dimiliki setiap mayarakat. Jamban tidak harus mewah dengan biaya yang

mahal. Cukup sederhana saja disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rumah tangga. BAB

di jamban yang memenuhi syarat dapat dapat mencegah penyakit menular yang berbasis

lingkungan seperti penyakit cacingan, kolera, diare, demam tifoid, disentri, dan masih banyak

penyakit lainnya.

Bagi yang sudah BAB di jamban, jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dilakukan

setiap hari. Bagi yang belum memiliki jamban, agar tidak BAB disembarang tempat, sudah

saatnya merencanakan untuk membuat jamban agar lingkungan kita sehat dan terhindar dari

ancaman penyakit menular berbasis lingkungan.

Cara pengendalian yang paling sederhana adalah dengan menumbuhkan kesadaran

dari dalam diri untuk selalu menggunakan jamban yang sehat. Selain itu diperlukan juga

kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai sanitasi lingkungan, walaupun

kadang harus dihadapkan pada mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga

sangat diharapkan karena jika tidak maka perilaku masyarakat untuk menggunakan jamban 

yang sehat tidak optimal.

Demam Tifoid adalah penyakit multisistemik yang terutama disebabkan oleh

Salmonella typhi. Penularan demam tifoid terjadi secara oro-fecal melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi tinja yang mengandung S.typhi. Presentasi klasik meliputi

demam, malaise, sakit perut menyebar, dan sembelit. Jika tidak diobati, demam tifoid dapat

berkembang menjadi delirium, perdarahan usus, perforasi usus, komplikasi neuropsikiatri

jangka panjang atau permanen, dan kematian.

23

Page 24: jamban sehat

V.2.EVALUASI

Kepada keluarga pasien dijelaskan mengenai penyakit ini dan komplikasi yang

dapat terjadi. Pasien saat ini membutuhkan perawatan berupa istirahat total, diet

makanan lunak, dan obat-obatan lainnya. Selain itu pada keluarga pasien dijelaskan

tentang pentingnya menjaga kesehatan makanan yang dikonsumsi mengingat penyakit

ini ditularkan oleh kuman melalui makanan dan kebersihan lingkungan.

24

Page 25: jamban sehat

DAFTAR PUSTAKA

1. Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC

2. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Jakarta:

PT. Rineka Cipta

3. Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja & Limbah Cair (Suatu

Pengantar). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

4. Munif A. Environmental Sanitation's Journal. Available at

http://environmentalsanitation.wordpress.com/category/septic-tank/

5. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati

S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen IPD FKUI; 2006. h. 1774-6.

6. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser

SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 15 th

ed. USA: McGraw Hill; 2001.p. 970-3.

7. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Jawetz,

melnick & adelberg mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996. h. 243-7.

8. Lesser CF & Miller SI. Salmonellosis. Harrison’s Principle of Internal Medicine, 16th

ed. USA: McGraw Hill Inc. 2005. p926-929.

25