KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN
KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 392/Kpts/IK.120/4/1999
TENTANG JALUR-JALUR PENANGKAPAN IKANPASAL 2Wilayah Perikanan RI
dibagi menjadi 3 Jalur Penangkapan Ikan yaitu :
a. Jalur Penangkapan Ikan I
b. Jalur Penangkapan Ikan II ; dan
c. Jalur Penangkapan Ikan III
PASAL 3 ( 1 ) Jalur Penangkapan Ikan I meliputi perairan pantai
diukur dari permukaan air laut
pada surut yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 mil
laut ke arah laut
( 2 ) Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana ayat (1) dibagi
menjadi :
a. Perairan Pantai yang diukur dari permukaan air laut pada
surut yang
terendah sampai dengan 3 mil laut
b. Perairan pantai diluar 3 mil laut sampai dengan 6 mil
laut
( 3 ) Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada
surut yang terendah
sampai dengan 3 mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 )
huruf a, hanya
dibolehkan bagi :a. Alat Penangkap Ikan yang menetap
b. Alat Penangkap Ikan yang tidak menetap yang tidak
dimodifikasi; dan atau
c. Kapal Perikanan tanpa motor dengan ukuiran panjang
keseluruhan tidak lebih dari 10 m
( 4 ) Perairan Pantai diluar 3 mil laut sampa dengan 6 mil laut
sebagaimana dalam
ayat ( 2 ) huruf b hanya dibolehkan bagi :
a. Alat Penangkap Ikan yang tidak menetap yang tidak
dimodifikasi
b. Kapal Perikanan :
1. Tanpa motor dan atau bermotor tempel dengan ukuran
panjang
keseluruhan tidak lebih dari 10 meter
2. Bermotor tempel dan bermotor dalam dengan ukuran panjang
keseluruhan max 12 m atau berukuran max 5 GT dan atau ;
3. Pukat cincin ( purse seine ) berukuran panjang max 150 m
4. Jaring insang hanyut ( drift gill net ) ukuran panjang max
1000 m ( 5 ) Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur
Penangkapan Ikan I wajib diberi
tanda pengenal jalur dengan mengecat min 1/4 lambung kiri dan
kanan :
a. Dengan warna putih bagi kapal perikanan yang beroperasi di
perairan
sampai dengan 3 mil laut diukur dari permukaan air laut pada
surut yang
terendah
b. Dengan warna merah bagi kapal perikanan yang beroperasi di
perairan
pantai diluar 3 mil laut sampai dengan 6 mil
PASAL 4 ( 1 ) Jalur Penangkapan Ikan II sebagimana dimaksud dlm
pasal (2) huruf b meliputi perairan diluar jalur penangkapan ikan I
sampai dengan 12 mil laut kearah laut ( 2 ) Pada jalur penagkapan
ikan II sebagaimana dimaksud dlm ayat (1), dibolehkan
bagi :
a. Kapal perikanan bermotor dalam berukuran max 60 GT
b. Kapal Perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan :
1. Pukat cincin ( purse seine ) berukuran panjang max 600 m
dengan cara pengoperasian menggunakan l kapal atau tunggal ayang
bukan group atau max 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2
kapal atau ganda yang bukan group.
2. Tuna long line ( pancing tuna ) max 1200 buah mata pancing
;
3. Jaring insang hanyut berukuran panjang max 2500 m
( 3 ) Setiap kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur
Penangkapan Ikan II wajib diberi tanda pengenal jalur dengan
mengecat min 1/4 lambung kiri dan kanan dengan
warna orange
PASAL 5 ( 1 ) Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 huruf c
meliputi perairan diluar jalur penangkapan ikan II sampa dengan
batas terluar
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
( 2 ) Pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur
sebagai berikut :
a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi kapal Perikanan berbendera
Indonesia berukuran max 200 GT, kecuali yang menggunakan alat
penangkap ikan
purse sein pelagis besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut
Seram, Laut
Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran b.
Perairan ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi kapal Perikanan
berbendera
Indonesia berukuran max 200 GT kecuali yang menggunakan alat
penangkap Ikan Pukat Ikan ( Fish net ) min ukuran 60 GT
c. Perairan ZEEI diluar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi :
1. Kapal perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing
ukuran
max 350 GT bagi semua alat penangkap Ikan
2. Kapal Perikanan berukuran diatas 350 GT 800 GT yang
menggunakan alat penangkap ikan purse sein hanya boleh
beroperasi diluar 100 mil laut daru garis pangkal Kepulauan
Indonesia
3. Kapal Perikanan dengan alat tangkap purse sein dengan sistem
group
hanya boleh beroperasi diluar 100 mil laut dari garis
pangkal
Kepulauan Indonesia
( 3 ) Kapal Perikanan berbendera asing boleh dioperasikan pada
jalur Penangkapan
Ikan III sebaimana pada ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan
berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
( 4 ) Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur
Penangkapan ikan III wajib
diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat min 1/4 lambung kiri
dan kanan
dengan warna kuning PASAL 7Kapal Perikanan yang menggunakan
jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm ( 1 inch ) dan
purse sein cakalang ( tuna ) dengan ukuran mata jaring kurang dari
75 mm ( 3 inch ) dilarang untuk diopersikan di semua jalur
Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat ( Lift net
)PASAL 9 ( 4 ) Semua kapal perikanan dan alat Penangkap Ikan yang
diperbolehkan beroperasi
pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana pada pasal 2 huruf c
dilarang
beroperasi pada jalur penangkapan ikan I dan II sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 2 huruf a dan b
PASAL 10 ( 1 ) Dirjen Perikanan mencantumkan jalur-jalur
penangkapan Ikan yang dilarang dalam SPI dan SIPI bagi setiap
kapal
( 2 )Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I dan Daerah Tkt II
mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dlm Surat
Ijin Kapal Ikan ( SIKP ) bagi tiap kapal perikanan KETENTUAN PIDANA
( SANGSI )PASAL 11Setiap Kapal Perikanan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Jalur
Penangkapan Ikan, ketentuan Kapal Perikanan, Ketentuan Alat
Penangkap Ikan serta
ketentuan Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan dapat dikenakan
pencabutan SPI atau
SIPI atau IUP dan atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp
25.000.000 ,- sesuai
dengan pasal 27 Undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang
PerikananUNDANG-UNDANG RI NO. 16 TH 1992
TENTANG
KARANTINA HEWAN, IKAN DAN TUMBUHAN
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA
PASAL 5
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara RI wajib :
a. Dilengkapi sertifkat kesehatan dari negara asal dan negara
transit bagi hewan, bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan
bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang tergolong benda
lainb. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan
c. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina
PASAL 6
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah Negara RI wajib :
a. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari area asal bagi hewan,
bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagian tumbuha, kecuali
media pembawa yang tergolong benda lain
b. Melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah
ditetapkan
c. Dlaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan
karantina
PASAL 7
1. Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang
akan dikeluarkan
dari wilayah Negara RI wajib :
a. Dilengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan, bahan asal hewan,
dan bahan asal hewan kecuali media pembawa yang tergolong benda
lain
b. Melalui tempat-tempat yang telah ditetapkan
c. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina
2. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga
bagi media pembawa hama dan penyakit ikaan dan media pembawa
organisme pengganggu tumbuhan yang akan dikeluarkan dari Wilayah RI
apabila disyaratkan oleh negara tujuan
BAB IIITINDAKAN KARANTINA
PASAL 9
1. Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina ayang
dimasukkan, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam, dan atau dikeluarkan dari Wilayah RI dikenakan tindakan
karantina
2. Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam
dan/ atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam
Wilayah Negara Ridikenakan tindakan karantina
3. Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan dari Wilayah RI
tidak dikenakan tindakan karantina, kecuali disyaratkan oleh negara
tujuan PASAL 21
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
9, terhadap orang, alat angkut, peralatan air atau pembungkus yang
diketahui atau diduga membawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina, dapat dikenakan tindakan karantina
PASAL 25 Media pembawa lain yang terbawa oleh alat angkut dan
diturunkan di tempat pemasukan harus dimusnahkan pemilik alat
angkut yang bersangkutan dibawah pengawasan petugas karantina BAB
IX
KETENTUAN PIDANA
PASAL 31
1. Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6,
pasal 7, pasal 9, pasal 21 dan pasal 25 dipidana dengan pidana
paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,- 2.
Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7,
pasal 9, pasal 21 dan pasal 25, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,-3.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) adalah
kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
adalah pelanggaran
I.PENDAHULUAN
a.Latar Belakang
Taman Nasional adalah : Kawasan Pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli , dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, wisata alam dan rekreasi
Adapun fungsi Taman Nasional adalah terkenal dengan 3 P yaitu
:1. Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan2.
Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman flora / fauna
3. Sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya
Salah satu Taman Nasional di Jawa Tengah adalah Taman Nasional
Karimunjawa
Sebelum menjadi Taman Nasional dengan SK Menteri Kehutanan No.
123/KPTS-II/1986 merupakan Cagar Alam Laut. Kemudian dengan
Keputusan MenHutBun No. 78/Kpts-II/1999 terjadi perubahan fungsi CA
Karimunjawa dan Perairan menjadi Taman Nasional Karimunjawa. Taman
Nasional Karimunjawa mempunyai wilayah daratan dan perairan dimana
luas daratan 222,20 Ha berada di Kemujan dan 1.285,50 Ha berada di
Pulau Karimunjawa. Sedangkan luas perairannya adalah 110.117,30 Ha.
Jadi jumlah luas seluruhnya adalah 111.625 Ha.
Saat ini jumlah penduduk Karimunjawa kurang lebih 9.000 jiwa,
dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan. Seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk tersebut maka ancaman terhadap
kawasan Taman Nasional semakin besar terutama terhadap kawasan
perairan. Dengan semakin banyaknya para nelayan mencari ikan, maka
sangat dimungkinkan kerusakan ekosistem laut akan terancam. Data
kapal saat ini menunjukkan bahwa jumlah kapal se-Karimunjawa kurang
lebih 300 buah ( kapal niaga, johnson, mesin tempel dan jukung ).
Apabila kapal tersebut melaut, sepertiganya saja dari jumlah
seluruhnya, maka dapat dibayangkan berapa kerusakan yang
ditimbulkan akibat membuang jangkar sembarangan.
Dengan beberapa pertimbangan tersebut diatas pemerintah dalam
hal ini Departemen Kehutanan Cq. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam ( PHKA ) dipandang perlu untuk mengatur/
mengelola pemanfaatan secara berlebihan salah satu P ( Pemanfaatan
secara lestari potensi Sumber Daya Aalam Hayati dan Ekositemnya )
betul-betul dapat terwujud.
Didalam pengelolaan Taman Nasional ini tidak hanya Balai Taman
Nasional Karimunjawa saja, akan tetapi ada Dinas/ instansi lain
yang juga ikut mengelola seperti Dinas Perikanan Tingkat I, Tingkat
II, Pelabuhan Perikanan. Masing-masing dinas/ instansi tersebut.
Tentunya mempunyai cara pengelolaan yang berbeda-beda tergantung
dari apa tujuannya. Sebenarnya tujuannya sama yaitu untuk
meningkatkan tarap hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat khususnya
Karimunjawa. Tujuan yang lainnya adalah ikut melestarikan
Karimunjawa sebagai satu-satunya wisata bahari andalan yang ada di
Jawa Tengah ini. Disinilah perlunya dibangun satu tekad dan
komitmen yang sama untuk ikut menjaga kelestarian alam lingkungan
Karimunjawa. Janganlah hanya menunjukkan ego sektoral sendiri tanpa
koordinasi dengan instansi yang lain. Jika masing-masing dinas /
intansi berjalan sendiri-sendiri maka mustahil bahwa tujuannya akan
tercapai/ terwujud.b. Maksud dan tujuan
Maksud dan tujuan dibuatnya karya tulis ilmiah ini adalah
sebagai berikut :
I. Memberi gambaran bahwa pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa
dilakukan secara terpadu ,melibatkan dinas/ instansi terkait serta
peran serta masyarakat
II. Membuat efek jera bagi para pelaku tindak pidana pelanggaran
serta memberikan sangsi/ hukuman yang seberat-beratnya
III. Dituntut tidak hanya belajar mengenai Undang-undang
Kehutanan saja tetapi juga belajar dengan Undang-undang lainnya (
diluar Kehutanan ) sebab dalam satu kawasan tadi terdapat beberapa
dinas/ instansi terkaitII.Tinjauan Pustaka
Dalam hal Pustaka Penulis membandingkan beberapa Peraturan
perundangan RI baik di bidang Kehutanan maupun bidang lainnya (
Perikanan, Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dan sebagainya ). Sebab
diantara Undang-undang tersebut penerapan sangsinya tidak sama. Ada
yang sangsinya ringan, ada yang sedang dan ada pula yang berat
tergantung dengan tingkat permasalahannya. Dengan dasar inilah
penulis akan mencoba untuk menyajikan beberapa peraturan
perundang-undangan. Sedangkan Dasar tinjanauan pustaka yang penulis
gunakan untuk membuat karya tulis ini adalah :
UNDANG UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI
DAN EKOSISTEMNYA
Pasal 19
( 1 )Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
( 2 )Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) tidak
termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa didalam
suaka maegasatwa
( 3 )Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam ayat ( 1 ) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi
dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan
satwa lain yang tidak asli
Pasal 21
( 1 )Setiap orang dilarang untuk :
( a )Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi
atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati
( 2 )Setiap orang dilarang untuk :
( a )Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan hidup
( b )Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati
( c )Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia
( d )Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat di dalam atau diluar
Indonesia
( e )Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan
atau memiliki telur dan / sarang satwa yang dilindungiPasal 33
( 1 )Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman
Nasional
( 2 )Perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas zona int Taman Nasional serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli
( 3 )Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan fungsi zona pemanfaatan dan zoana lain dari Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata alam
Pasal 40
( 1 )Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat ( 1 ) dan pasal
33 ayat ( 1 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (
sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,-
( 2 )Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat ( 1 ) dan ayat (
2 ) serta pasal 33 ayat ( 3 ) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,-
( 3 )Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan
pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
tahun dan denga paling banyak Rp 100.000.000,-
( 4 )Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta pasal 33 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda
paling banyak Rp 50.000.000,-
( 5 )Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
Pasal 38
( 1 )Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan
diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan lindung
( 2 )Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan
( 3 ) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan
dilakukan melalui pemberian ijin pinjam pakai oleh menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan
( 4 )Pemberian ijin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis dlakukan oleh Menteri atas persetujuan DPR
Pasal 50( 1 ) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana
perlindungan hutan
( 2 )Setiap orang yang diberikan ijin usaha pemanfaatan kawasan,
ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasl
hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan
( 3 )Setiap orang dilarang :
a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah
b. Merambah kawasan hutan
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan :
1. 500 meter dari tepi waduk atau danau
2. 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah
rawa
3. 100 meter dari kiri kanan sungai
4. 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai5. 2 kali kedalaman
jurang dan tepi jurang
6. 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai
d. Membakar hutan
e. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang
berwenang
f. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau
patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah
g. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa ijin
menteri
h. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan
i. Mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak
ditunjuk secaara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang
berwenang
j. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lajim
atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di
dalam kawasan huta, tanpa ijin pejabat yang berwenang
k. Membawa alat-alat yang lajim digunakan untuk
menebang,memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
ijin pejabat berwenang
l. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dam
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan
fungsihutan ke dalam kawasan hutan dan
m. Mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuh-tumbuhan atau
satwa liar
Yang tidak dilindungi Undang-undang yang berasal dari kawasan
hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang
( 4 )Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa dan atau mengangkut
tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 78
( 1 )Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) atau pasan 50 ayat (2) diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,-
( 2 )Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b atau huruf c
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,-( 3 )Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,-
( 4 )Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,-
( 5 ) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3 ) huruf e atau huruf f
, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,-
( 6 ) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (4) atau pasal 50 ayat (3)
huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,-
( 7 ) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3 ) huruf h diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak
Rp 10.000.000.000,-
( 8 ) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3 ) huruf I diancam
dengan pidana penjara paling lama 3 bulan dan denda paling banyak
Rp 10.000.000,-
( 9 ) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf j diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,-
( 10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf k diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,-
( 11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf L diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,-
( 12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf m diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000,-
( 13)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), (4),(5),(6), (7), (8), (9), (10), (11) adalah kejahatan,
dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dan ayat (12)
adalah pelanggaran
( 14)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1)
ayat (2) dan ayat (3) aapabila dilakukan oleh dan atau atas nama
badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sangsi pidana dijatuhkan
terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 dari pidana yang dijatuhkan
( 15)Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan
atau alat-alat termasuk alat angkutan yang dipergunakan intuk
melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini dirampas untuk negara
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 31 TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN
PASAL 8
( 1 )Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/ atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan Perikanan RI
( 2 )Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkap ikan
dan Anak Buah Kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang
menggunakan bahan kimia, bahan biologi, bahan peledak, alat dan/
atau cara, dan/ atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
lingkungannya di Wilayah pengelolaan Perikanan RI
( 3 )Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan dan/ atau operator kapal
perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/ atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/ atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/
atau lingkungannya di Wilayah pengelolaan Perikanan RI
( 4 )Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia,
bahan biologis,bahan peledak, alat dan/ atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/ atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya di Wilayah Pengelolaan
perikanan RI
( 5 )Penggunaan bahan kimia, bahan bilogis, bahan peledak, alat
dan/ atau cara, dan/ atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/ atau
pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 )
diperbolehkan hanya untuk penelitian
( 6 )Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau cara, dan/ atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 5 ) diatur dengan PPPASAL
9
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/ atau
menggunakan di kapal penangkap ikan di wlayah pengelolaan perikanan
RI :
a. Alat Penangkap ikan dan/ atau alat bantu penangkapan ikan
yang tidak sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkanb. Alat
penangkap ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar
yang ditetapkan untuk type alat tertentu dan/ atauc. Alat penangkap
ikan yang dilarang
PASAL 12
( 1 )Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/ atau kerusakan sumber daya ikan dan/
atau lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI
( 2 )Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/
atau kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI
( 3 )Setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa
genetikayang dapat membahayakan sumber daya ikan, dan/ atau
kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI
( 4 )Setiap orang dilarang menggunakan obat-obatan dalam
pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan,
lingkungan sumber daya ikan, dan/ atau kesehatan manusia di wilayah
Pengelolaan Perikanan RI
( 5 )Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagimana dimaksud
pada ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ), dan ayat ( 4 ) diatur
dengan PPPASAL 14
( 1 )Pemerintah mengatur dan/ atau mengembangkan pemanfaatan
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka
pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan
( 2 )Setiap orang wajib melastarikan plasma nutfah yang
berkaitanm dengan sumber daya ikan
( 3 )Pemerintah mengendalikan pemasukan ikan jenis baru dari
luar negeri dan/ atau lalu lintas antar pulau untuk menjamin
kelestarian plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya
ikan
( 4 )Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan
( 5 )Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian
palsma nutfah sumber daya ikan sebagaiman dimaksud pada ayat (1),
ayat(2) dan ayat (3) datur dalam PPPASAL 16
( 1 )Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan,
mengedarkan dan/ atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat,
pembudidayaan ikan, sumber daya ikan dan/ atau lingkungan sumber
daya ikan ke dalam dan/ atau keluar wilayah pengelolaan Perikanan
RI
( 2 ) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran,
pengadakan, pengedaran, dan/ atau pemeliharaan ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
PASAL 23
( 1 )Setap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan
makanan, bahan penolong, dan/ atau alat yang membahayakan kesehatan
manusia dan/ atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan ikan
( 2 )Pemerintah menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan,
bahan penolong, dan/ atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
dan/ atau lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 )
PASAL 26
( 1 )Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang
penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran
ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI wajib memiliki SIUP.
( 2 )Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1
), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/ atau pembudidayaan ikan
kecil
PASAL 27
( 1 )Setiap orang yang memiliki dan/ atau mengoiperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI dan/
atau laut lepas wajib memiliki SIPI
( 2 )Setiap orang yang memilik dan/ atau mengoperasikan kapal
kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI
wajib memiliki SIPI
( 3 )SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) diterbitkan oleh
Menteri
( 4 )Kapal Penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di Wilayah Yurisdiksi Negara lain harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari pemerintahPASAL 28
( 1 )Setap orang yang memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI wajib memiliki
SIKPI
( 2 )SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) diterbitkan oleh
MenteriPASAL 31
( 1 )Setiap kapal perikanan yangh dipergunakan untuk menangkap
ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI wajib melengkapi SIPI
( 2 )Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut
ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI wajib dilengkapi SIKPI
PASAL 38
( 1 )Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak
memilik ijin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan
Perikanan RI wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam
palka
( 2 )Setap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah
memiliki ijin penangkapan ikan dengan 1 jenis alat penangkapan ikan
tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat
penangkapan ikan lainnya
( 3 )Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah
memiliki ijin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan
yang diijinkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI
PASAL 69
( 1 )Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat
(1), dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senpi dan/
atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan kapal
pengawas perikanan( 2 )Kapal pengawas Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi melaksanakan pengawasan dan
penegakan hukum di bidang perikanan
( 3 ) Kapal Pengawas Perikanan dapat menghentikan, memeriksa,
membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan
pelanggaran di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI ke Pelabuhan
terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut
( 4 )Kapal Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilengkapi dengan SenpiBAB XV
KETENTUAN PIDANA
PASAL 84( 1 )Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah
Pengelolaan Perikanan RI melakukan penangkapan ikan dan/ atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/ atau cara, dan/ atau bangunan yang dapat
merugikan dan/ atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/
atau lingkungannua sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling
banyak Rp 1.200.000.000 ,-
( 2 )Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan
ikan, dan Anak Buah Kapal yang dengan sengaja di Wilayah
Penmgelolaan Perikanan RI mel;akukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/
atau cara, dan/ atau bangunan yang dapat merugikan dan/ atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp
1.200.000.000 ,-
( 3 )Pemilik Kapal Perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/ atau operator kapal
perikanan yang dengan sengaja di wilayah Pengelolaan Perikanan RI
melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/ atau cara , dan/ atau
bangunan yang dapat merugikan dan/ atau membahayakan kelestaran
sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000 ,-(4 )Pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan,
pembudidayaan ikan, dan/ atau penanggung jawab perusahaan
pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha
pembudidayaan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/ atau cara,
dan/ atau bangunan yang dapat merugikan dan/ atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan denda Rp 2.000.000.000 ,-PASAL 85
Seseorang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan Perikanan
RI memiliki, menguasai, membawa, dan / atau menggunakan alat
tangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan,
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, standar
ditetapkan untuk type alat tertentu dan/ atau alat penangkapan ikan
yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp
2.000.000.000 ,-PASAL 86
( 1 )Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI melakukan perbuatan yang menmgakibatkan pencemaran
dan/ atau kerusakan sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud da;lam pasal 12 ayat ( 1 ) dipidana dengan
pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000
,-
( 2 )Setiap orang yang dengan sengaja d Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber
daya ikan dan/ atau lingkungan sumber daya ikan dan/ atau kesehatan
manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak
Rp 1.500.000.000 ,-
( 3 )Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/ atau lingkungan sumber daya ikan
dan/ atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan
denda paling banyak Rp 1.500.000.000 ,-( 4 )Setiap orang yang
dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI menggunakan
obat-obatan pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya
ikan dan/ atau kesehatan ,manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal
12 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan
denda paling banyak Rp 1.500.000.000 ,-
PASAL 87
( 1 )Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000 ,-
( 2 )Setiap orang yang karena kelalaiannya di Wilayah
Pengelolaan Perikanan RI mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal
14 ayat ( 4 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak Rp 500.000.000 ,-PASAL 88
Setiap orang yang dengan sengaja memasukkanm mengeluarkan,
mengadakan, mengedarkan dan/ atau memelihara ikan yang merugikan
masyarakat, pembudidayaan ikan, sunber daya ikan dan/ atau
lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/ atau ke luar wilayah
pengelolaan Perikanan RI sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000 ,-PASAL 91
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,
bahan-bahan makanan, bahan penolong dan/ atau alat yang
membahayakan manusia dan/ atau lingkungan dalam melaksanakan
penanganan pengolahan ikan sebagaimana dimaksuud dalam pasal 23
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan
denda paling banyak Rp 1.500.000.000 ,-PASAL 92
Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan yang
tidakmemiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling
banyak Rp 1.500.000.000 ,- PASAL 93
( 1 )Setiap orang yang memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan RI dan/ atau di laut lepas, yang
tidak memiliki SIPI seagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling
banyak Rp 2.000.000.000 ,-( 2 )Setiap orang yang memiliki dan/ atau
mengoperaskan kapal Penangkap Ikan berbendera asing melakukan
penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI yang tidak
memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat(2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak
Rp 2.000.000.000 ,-PASAL 94
Setiap orang yang memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan RI yang melakukan
pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki
SIKPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat(1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp
1.500.000.000 ,- PASAL 97
( 1 )Nahkoda yang mengoperasikan kapal Penangkap ikan berbendera
asing yang tidak memiliki ijin penangkapan ikan yang selama di
Wilayah Pengelolaan Perikanan RI tidak menyimpan alat penangkap
ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1)
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 ,-( 2
)Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
yang telah memliki ijin penangkapan ikan dengan 1 jenis alat
penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa
alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 38
ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000 ,-
( 3 )Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing yang telah memiliki ijin penangkapan ikan yang tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada diluar
daerah penangkapan ikan yang diijinkan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat(3) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 ,-
PASAL 98
Nahkoda yang berlayar tidak neniliki Surat Ijin Berlayar kapal
perikanan yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud
dalam pasa 42 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 ,-
UNDANG-UNDANG RI
NOMOR : 27 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
PASAL 21
( 1 )Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis,
admnistratif, dan operasional
( 2 ) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
c. Kesesuaian dengan rencana zona dan/ atau rencana pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
d. Hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume
pemanfaatannya
e. Pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan
atau kegiatan yang berpotensi merusak sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil
( 3 )Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi
a. Penyediaan dokumen administratif
b. Penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan daya dukung
ekosistem
c. Pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada
pemberi HP-3
d. Dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai,
pemohon wajib memiliki hak atas tanah
( 4 )Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mmencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk :
a. Memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan
b. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat
dan/ atau masyarakat lokal
c. Memperhatikan hak masyarakat untuk mendapatkan akses
kesempadan pantai dan muara sungai
d. Melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan
di lokasi HP-3( 5 )Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai
dengan salah satu alasan dibawah ini :a. Terdapat ancaman yang
serius terhadap kelestarian wilayah pesisir
b. Tidak didukung bukti ilmiah atau
c. Kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat
dipulihkan
( 6) Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pengumuman secara terbuka
PASAL 22
HP 3 tidak dapat diberikan pada kawasan konservasi, suaka
perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum
KONSERVASI
PASAL 28
( 1 )Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
diselenggarakan untuk
a. Menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau- pulau
kecil
b. Melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain
c. Melindungi habitat biota laut dan
d. Melindungi situs budaya tradisional
( 2 )Untuk kepentingan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sebagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat
ditetapkan sebagai kawasan konservasi
( 3 ) Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem diselenggarakan
untuk melindungi :
a. Sumber daya ikan
b. Tempat persinggahan dan/ atau alur migrasi biota laut
lain
c. Wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, manee,
Panglima laut, Awig-awig, dan/ atau istilah lain adat tertentu
dan
d. Ekosistem pesisir yang unik dan/ atau rentan terhadap
perubahan
( 4 )Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
ditetapkan dengan Peraturan Menteri
( 5 )Pengelolaan kawasan konservasi sebagimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan( 6 )Untuk mencapai
tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan
a. Kategori kawasan konservasi
b. Kawasan konservasi nasional
c. Pola dan tata cara pengelolaan kawasan konservasi dan
d. Hal lain yang dianggap penting dalam pencapaian tujuan
tersebut
( 7 )Pengusulan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat,
dan/ atau oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah berdasarkan ciri
khas kawasan yang ditunjang dengan data dan informasi lmiah PASAL
29
Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam pasal (28) ayat
(2) dibagi atas 3 zona, yaitu :
a. Zona inti
b. Zona pemanfaatan terbatas dan
c. Zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan
PASAL 30
Perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud dalam pasal (29)
untuk kegiatan eksploitasi yang dapat menimbulkan dampak besar
dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan
memperhatikan pertimbangan DPR
PASAL 31
( 1 )Pemerintah daerah menetapkan batas sempadan pantai yang
disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik,
hydro-oceanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta
ketentuan lain
( 2 )Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan :
a. Perlindungan terhadap gempa dan/ atau tsunami
b. Perlindungan pantai dari erosi atau abrasi
c. Perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai,
banjir, dan bencana alam lainnyad. Perlindungan terhadap ekosistem
pesisirm seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang
lamun, gumuk pasir, estuaria dan delta
e. Pengaturan akses publik serta
f. Pengaturan untuk saluran air dan limbah
( 3 )Ketentuan lebih lanjut mengenai batas sempadan pantai
sebagimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
Presiden
REHABILITASI
PASAL 32
(1) Rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib
dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/ atau
keanekaragaman hayati setempat
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara
a. Pengayaan sumber daya hayati
b. Perbaikan habitat
c. Perlindungan species biota laut agar tumbuh dan berkembang
secara alami dan
d. Ramah lingkungan
REKLAMASIPASAL 34
( 1 )Reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan
dalam rangka meningkatkan manfaat dan/ atau nilai tambah wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek teknis,
lingkungan, dan sosial ekonomi
( 2 )Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menjaga dan memperhatikan :
a. Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat
b. Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil
serta
c. Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan
material
( 3 )Perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur lebih lanjut
dengan peraturan PresidenLARANGANPASAL 35
Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap
orang secara langsung atau tidak langsung dilarang ;
( a )Menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan
ekosistem terumbu karang
( b )Mengambil terumbu karang di kawasan konservasi
( c )Menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/ atau bahan
lain yang merusak terumbu karang
( d )Menggunakan peralatan, cara dan metode lain yang merusak
ekosistem tertumbu karang
( e )Menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove
yang tidak sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
( f )Melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona
budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis
pesisir danpulau-pulau kecil
( g )Menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan
industri, pemukiman, dan/ atau kegiatan lain
( h )Menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun
( i )Melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila
secara teknis, ekologis, sosial,dan/ atau budaya menimbulkan
kerusakan lingkungan dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya
( j )Melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang
apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/ atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/ atau pencemaran lingkungan
dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya
( k )Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila
secara teknis dan/ atau ekologis dan/ atau sosial dan/ atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/ atau pencemaran lingkungan
dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya serta
( l )Melakukan penambangan fisik yang menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya PASAL 59
( 1 )Setiap orang yang berada di wilayah Pesisir dan pulau-pulau
kecil wajib melaksanakan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang
berpotensi mengakibatkan kerusakan Wilayah Peisisir dan pulau-pulau
kecil( 2 )Mitigasi bencana sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan struktur/ fisik dan/ atau non struktur/
non fisik
( 3 )Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditentukan oleh instansi yang berwenang
( 4 )Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan kerusakan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil diatur lebih lanjut oleh PPKETENTUAN
PIDANA
PASAL 73
( 1 )Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan
paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
2.000.000.000 ,- dan paling banyak Rp 10.000.000.000 ,- setiap
orang yang dengan sengaja :
a. Melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil
terumbu karang di kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak,
dan bahan beracun dan/ atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya
ekosistem terumbu karang sebagimana dimaksud pada pasal 35 huruf a,
huruf b , huruf c, dan huruf d
b. Menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove,
melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk
kegiatan industri dan permukiman dan/ atau kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf e, huruf f dan huruf
g
c. Menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun
sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf h
d. Melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam pasal
35 huruf i
e. Melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud
dalam pasal 35 hurf j
f. Melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam
pasal 35 huruf k
g. Melakukan penambangan fisik yang menimbulkan kerusakan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf l
h. Tidak melaksanakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang diakibatkan oleh alam dan/ atau oarang
sehingga mengakibatkan timbulnya bencana alam atau dengan sengaja
melakukan kegiatan yang dapat i. mengakibatkan terjadinya
kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat ( 1 )(
2 )Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 ,-
PASAL 74
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda
paling banyak Rp 300.000.000 ,- setiap orang yang karena
kelalaiannya :
a. Tidak melaksanakan kewajiban sehabilitasi sebagaimana dmaksud
dalam pasal 32 ayat (1) dan/ atau
b. Tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 34 ayat (2)
PASAL 75
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda
paling banyak Rp 300.000.000 ,- setiap orang yang karena
kelalaiannya :
f. Melakukan kegiatan usaha di wilayah pesisir tanpa hak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan/ atau
g. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal
21 ayat (4)
III.Rumusan dan Analisa Masalah Seperti diketahui bahwa
kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di Taman Nasional Karimunjawa
cukup beragam yaitu antara lain :
1. Pencurian kayu di kawasan Hutan Hujan Tropis dataran
rendah
2. Pencurian kayu mangrove di kawasan perlindungan Taman
Nasional
3. Pencurian ikan dengan potasium sianida, jaring muoroami
modifikasi, cantrang, menggunakan bahan peledak (bom) di kawasan
Taman Nasional
4. Perburuan satwa liar baik dilindungi maupun tidak
dilindungi
5. Timbulnya kebakaran hutan di musim kemarau ( kering )
6. Pelanggaran jalar tangkap serta ukuran mata jaring
7. Perambahan kawasan baik sebagai tambak maupun bangunan
8. Penambangan pasir dan karang mati di Kawasan Perairan Taman
Nasional Karimunjawa
9. Adanya pembuatan resort baru Pulau-pulau di Karimunjawa yang
tidak sesuai dengan zonasi10. Adanya budidaya rumput laut yang
berada di zona larangan Taman Nasional
11. Pencemaran lingkunag di kawasan Perairan12. Pengambilan besi
bagian kapal tenggelam di zona inti ataupun zona perlindungan Taman
Nasional dan lain- lain Jika kasus pelanggaran tindak pidana bidang
kehutanan ( konservasi ) mungkin tidak kesulitan untuk menerapkan
sangsinya atau menanganinya. Mungkin cukup dengan Undang- Undang No
05 tahun 1990, Undang-Undang No. 41 tahun 1999 ataupun PP no 7
tahun 1999, tentang satwa-satwa yang dilindungi. Tetapi jika
menyangkut non kehutanan seperti Perikanan, lingkungan hidup maka
tentunya kita menggunakan Undang-undang yang berkaitan erat dengan
konteks permasalahan itu.
Pengalaman menunjukkan bahwa sebagai seorang petugas Kehutanan
terkadang merasa ragu-ragu dalam menentukan langkah dengan cepat,
tepat dan akurat, dalam menangani kasus pelanggaran yang terjadi di
kawasan perairan. Padahal saat itu kita berhadapan dengan
orang-orang yang sudah terbiasa hidup di laut. Dan orang yang hidup
di laut cenderung menggunakan jalan pintas dalam mengatasi suatu
masalah. Jika kita tidak siap maka kita justru yang terkena
batunya. Oleh karena itu dipersiapkan mental yang gigih dan
semangat pantang menyerah setiap menghadapi permasalah di
lapangan.
Didalam penerapan suatu Peraturan perundang-undangan hendaknya
jeli dalam penerapannya, serta gunakanlah pasal yang mempunyai
sangsi atau hukuman yang terberat. Jika kita kaji secara mendalam
masing-masing Undang-undang tersebut mempunyai tingkat/ sangsi/
hukuman yang berbeda-beda walaupun dengan kasus pelanggaran yang
sama. Jika Undang-undang tersebut dibuat dengan waktu yang lama
maka sangsi/ hukumannya akan lebih ringan. Jadi singkatnya semakin
lama Undang-undang dibuat, maka penerapan sangsi / hukuman akan
semakin ringan. Hal itu disesuaikan dengan tingkat ekonomi ( nilai
ekonomi ) pada saat itu. Sebaliknya semakin baru umur Undang-undang
dibuat maka sangsi hukuman/ denda akan semakin berat. Apabila
melihat dari aspek waktu penerapan sangsinya relatif tidak banyak
berubah. Sama sama dengan pidana penjara 10 tahun tetapi dengan
dengan sangsi denda tidak sama. Misalnya pada UU No. 05 tahun 1990
pasal 40 ayat ( 1 ) dan UU No 27 tahun 2007 pasal 73 ayat ( 1 )
huruf a. Kedua UU tersebut menyatakan bahwa masa hukuman terhadap
tindak pidana pelanggaran sama sama 10 tahun penjara. Tetapi jika
melihat dari aspek ekonomi ( materiil ) maka akan terdapat
perbedaan yang sangat mencolok ( jauh ). Di UU No 05 tahun 1990
denda maksimal hanya Rp 200.000.000,- tetapi di UU No. 27 tahun
2007 minimal Rp 2.000.000.000,- maksimal 10.000.000.000 ,- Inilah
sebenarnya yang menjadi dasar kenapa penulis membuat karya tulis
tentang penanganan kasus tindak pidana di kawasan perairan
dikaitkan dengan peratuiran perundang-undangan. Contoh lagi : Pada
pasal 78 ayat (2) UU No. 41 tahun 1999, dinyatakan bahwa Jika
dengan sengaja mengerjakan, menggunakan, menduduki, merambah
kawasan hutan akan diancam dengan pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 ,- . Sedangkan pada
pasal 35 huruf (e),(f) dan (g) UU RI No. 27 thn 2007, dinyatakan
bahwa dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000 ,- dan
paling banyak Rp 10.000.000.000 ,-
Kemudian pada Pasal 86 ayat (1) UU No. 31 Thn 2004 tentang
perikanan, dinyatakan : Setiap orang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan Perikanan RI melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan / atau kerusakan sumber daya ikan / atau
lingkungannya dipidana dengan pidana penjara 10 tahun dan denda
paling banyak Rp 2.000.000.000 ,- Sedangkan pada UU No. 05 tahun
1990 pada pasal 40 ayat (2) : Dengan sengaja melakukan kegiatan
yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
Taman Nasional dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan denda paling banyak Rp 100.000.000 .-
Jadi singkatnya kita dituntut juga mempelajari peraturan
perundangan yang lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih
kepentingan. Pentingnya koordinasi dengan dinas/instansi yang lain
harus dilaksanakan dan perlu ditingkatkan secara kontinue dan terus
menerus. Jangan sampai terjadi ada kejadian pelanggaran tindak
pidana di kawasan perairan misalnya kapal cantrang beroperasi di
kawasan perlindungan perairan hanya instansi A saja yang mengurusi.
Padahal sebenarnya dari berbagai peraturan perundangan dapat
dijerat dalam penerapan sangsi dan hukumannya. Tetapi sekali lagi
jeratlah pelaku tindak pidana pelanggaran tadi dengan undang-undang
dengan hukuman dan sangsi yang terberat. Dengan penerapan sangsi
hukuman yang berat akan dapat membuat efek jera bagi pelakunya
sehingga tingkat pelanggaran kawasan perairan Taman Nasional dapat
diminimalisir yang pada akhirnya kondisi kawasan Taman Nasional
Karimunjawa menjadi aman, lestari serta terwujudnya masyarakat
Karimunjawa yang makmur berkeadilan.
Dalam penerapan kasus tindak pidana di Taman Nasional
Karimunjawa terkadang kita tidak puas dengan sangsi/ hukuman yang
diterima oleh pelaku tindak pidana. Sebab sangsi/ hukuman yang
diterapkan tidak sebanding dengan tingkat/ kualitas pelanggaran.
Misalnya kasus terbaru pengambilan bagian besi kapal tenggelam di
zona inti/ perlindungan Taman Nasional Karimunjawa. Saat ini telah
divonis dengan hukuman 7 bulan penjara dan potong masa tahanan.
Sebenarnya kalau melihat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh
pengambilan besi yang sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun
dan telah menjadi rumah ikan dengan segala kehidupan ekosistem yang
ada, jelas sangat besar kerugiannya. Bahkan kita sangat sulit untuk
menghitungnya, berapa sebenarnya nilai ekonominya. Tetapi itulah
kenyataan yang terjadi selama ini. Dan jika kita kembali melihat
Undang-undang kehutanan tidak ada yang menyatakan hukuman
minimalnya, yang ada hanya maksimalnya saja. Sehingga jika terjadi
pelanggaran di kawasan perairan mungkin kena hukuman maksimalnya
tetapi bisa juga bebas tanpa syarat. Tetapi di UU No 27 tahun 2007
tidak demikian. Ada pelanggaran maka sangsinya kena hukuman
minimal. Jadi tidak ada yang tidak terkena hukuman. Nah disinilah
sebenarnya yang menurut hemat penulis letak kelemahan Undang-undang
kita kenapa tidak ada hukuman minimalnya. Dan tentunya penulis
mempunyai harapan ( wacana ) jika Undang-undang kita diterapkan ada
hukuman minimalnya. Seperti di Negara Malaisyia bahwa hukumannya
ada minimalnya. Dengan begitu pelaku tindak pidana akan lebih
ekstra hati-hati dalam melakukan sesuatu di kawasan Perairan Ta,man
Nasional Karimunjawa.
Beberapa pertimbangan inilah penulis memberikan gambaran (
wawasan ) untuk mengoptimalisasikan dan mengefektifkan tindakan
hukum terhadap para pelaku tindak pidana di kawasan Perairan Taman
Nasional. Para pelaku tindak pidana dengan kualitas yang tergolong
berat jadikanlah mereka sebagai mitra ( teman ) dan jangan anggap
mereka sebagai musuh. Merekapun juga akan menyadari betapa
pentingnya aspek kelestarian alam lingkungan ini. Kita motivasi(
dorong ) untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat positip. Di dalam
agamapun juga melarang Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi ini , dan jika kamu membuat kerusakan niscaya azab dari-Nya
akan tiba.IV. KESIMPULAN DAN SARANA.Kesimpulan 1.Penerapan sangsi
terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran agar mempunyai efek jera,
maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang mempunyai sangsi
hukuman/ denda yang seberat-beratnya 2.Koordinasi dengan Dinas /
instansi terkait harus ditingkatkan dan jangan mempunyai sifat
mementingkan Dinas/ instansinya sendiri ( ego sektoral )
3.Dengan kompleksitasnya permasalahan di Kawasan Taman Nasional
Karimunjawa hendaknya jeli dalam mencermati peraturan
Perundang-undangan yang ada. 4.Penerapan sangsi hukuman yang berat
akan membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana pelanggaran
sehingga tingkat pelanggaran di kawasan Taman Nasional dapat dapat
diminimalisir
B. S a r a n
1.Para Petugas Lapangan ( Polhut ) dituntut untuk belajar
peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan kawasan Taman
Nasional dan tidak hanya UU kehutanan saaja
2.Harus mempunyai keberanian dan jangan timbul keraguan dalam
melakukan tindakan hukum dengan menguasahi Materi Peraturan
Perundang-undangan khususnya di bidang konservasi
3.Proaktif, responship dan tuntaskan setiap permasalahan tindak
pidana pelanggran di bidang konservasi ( Taman Nasional ) secara
hati-hati
4.Selalu koordinasi dengan Dinas / Instansi, tokoh masyarakat,
tokoh agama setempat dalam mensikapi setiap kasus yang berkembang
saat itu.BAGIAN PENUNJANG a. Daftar Pustaka
1.Peraturan Perundang-undangan Bidang Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
Dan konservasi Alam ( Cetakan Jakarta Agustus 2004 )
2.Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 tahun 2004, tentang
Perikanan ( HHO )
3.Undang-undang Republik Indonesia No. 27 yahun 2007, tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( Cetakan kle III
)
4.Kebijaksanaan Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa,
Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Balai Taman Nasional Karimunjawa
( Semarang 2004 )
b. Lampiran - lampiran1. Peta Kerawanan Taman Nasional
Karimunjawa2. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa
3. Photo-photo kegiatan kasus tindak pidana pelanggaran kawasan
Perairan Taman Nasional Karimunjawa
4. Data kapal sebagian Wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional
Wilayah I Kemujan
JUDUL KARYA TULIS ILMIAH BIDANG POLISI KEHUTANAN YANG TIDAK
DIPUBLIKASIKAN
PENERAPAN SANGSI TERBERAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DI
KAWASAN KONSERVASIDISUSUN OLEH
:
:710025452
BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WILAYAH IKEMUJANAHUN : 2008
`Kata Pengantar
Dengan memanjatkan rasa syukur Alhamdulillah kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yang telah memberikan rahmad, taufiq dan hidayah-Nya
kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah Bidang Polisi Kehutanan yang tidak dipublikasikan dengan
judul Penerapan Sangsi Terberat Terhadap Pelaku Tindak Pidana di
Kawasan Konservasi , dengan tanpa halangan suatu apapun.
Pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini dikandung maksud untuk
memberikan wawasan / gambaran kepada kita untuk menerapkan sangsi
yang berat bagi pelaku tindak pidana di bidang konservasi khususnya
di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat
menyelesaiakan Karya Tulis Ilmiah ini dengan sebaik-baiknya, namun
penulis percaya, bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
harapan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya Karya Tulis ini dan di
masa-masa yang akan datang.
Akhirnya semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi para
pembaca khususnya dan kita pada umumnya. Hormat kami,
P E N Y U S U NBAGIAN PENDAHULUAN
a. Halaman Judul ib. Kata Pengantar .. ii
c. Daftar Isi iii
BAGIAN ISI I. Pendahuluan 1
1.Latar Belakang 2
2.Maksud dan Tujuan 3
II. Tinjauan Pustaka 3
-Undang-Undang No. 05 tahun 1990 .. 3
-Undang-Undang RI No. 41 thn 1999 . 5
-Undang-Undang RI No. 31 thn 2004 . 8
-Undang-Undang RI No. 27 thn 2007 . 17
III. Rumusan dan Analisa Masalah 23
IV. Kesimpulan dan Saran . 28 a.Kesimpulan 28
b.Saran .. 28
BAGIAN PENUNJANG.a.
Daftar Pustaka 29
b.
Lampiran 29
Lembar Pengesahan
Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis Ilmiah
Di Bidang Polisi Kehutanan
Yang bertanda tangan di bawah ini:
N a m a
:Ir. M.G. NababanN I P
:710008326
Jabatan
:Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa
Unit Kerja
:Balai Taman Nasional Karimunjawa
Mengesahkan kegiatan di bidang Polisi Kehutanan yang
dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional
N a m a
:Waspodo Suka Basuki
N I P
:710025452
Pangkat / Gol. Ruang :Pengatur Tingkat I ( II/d )Jabatan
:Polisi Kehutanan Pelaksana
Unit Kerja
:Balai Taman Nasional Karimunjawa
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan
Berupa penyusunan Karya Tulis Ilmiah dalam bentuk makalah yang
tidak dipublikasikan sebagaimana terlampir dan kepada yang
bersangkutan dapat dinilai angka kreditnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Demikian lembar pengesahan ini dibuat dengan
sesungguhnya dengan mengingat sumpah jabatan dan apabila di
kemudian hari ternyata isi lembar pengesahan ini tidak benar yang
mengakibatkan kerugian bagi Negara, maka saya bersedia menanggung
kerugian tersebut. Semarang , 30 Desember 2008
Kepala Balai Taman Nasional
Karimunjawa
Ir. M.G. Nababan NIP. 710008326`