-
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Daerah tanah gambut di Indonesia luasnya
mencapai 21 juta hektar (Wahyunto dkk, 2003, 2004, 2007) yang
tersebar di beberapa pulau, diantaranya Sumatera 7,2 ha, Kalimantan
5,8 ha, Papua 8 ha. Menurut paparan Sumaryono (2008), luas lahan
gambut di Indonesia 20,1 juta hektar atau sekitar 70 persen dari
total area lahan gambut di Asia Tenggara, bahkan menempati urutan
terluas ke-4 di dunia setelah Kanada, Rusia dan Amerika Serikat.
Pada mulanya daerah tanah gambut kurang diperhatikan dan tidak
menarik secara ekonomi, tetapi karena pertumbuhan penduduk dan
perkembangan pembangunan memaksa orang membangun diatas tanah
gambut. Hal ini sejalan juga dengan program pemerintah untuk
membuka daerah terisolir dengan pembangunan infrastruktur terutama
pembuatan ruas jalan baru yang banyak berada di atas lahan gambut.
Provinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh daerah yang
pembangunan ruas jalan barunya berada diatas lahan gambut.
Gambut yang ada di Indonesia sekarang ini terbentuk dalam waktu
lebih dari 5000 tahun (Hardjowigeno,1997) dan merupakan jenis
gambut tropis yang terbentuk sebagai hasil proses penumpukan sisa
tumbuhan rawa seperti berbagai macam jenis rumput, paku-pakuan,
bakau, pandan, pinang, serta tumbuhan rawa lainnya (Van de Meene,
1984). Karena tempat tumbuh dan tertimbunnya sisa tumbuhan tersebut
selalu lembab dan tergenang air serta sirkulasi oksigen yang kurang
bagus, maka proses humifikasi oleh bakteri tidak berjalan dengan
sempurna. Sebagai akibatnya sebagian serat-serat tumbuhan masih
terlihat jelas dan sangat mempengaruhi perilaku dari tanah gambut
yang bersangkutan.
Berdasarkan klasifikasi tanah menurut sistem USCS (Unified Soil
Classification System), tanah dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok
besar yaitu tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir), tanah
berbutir halus (lanau, lempung dan organik), serta tanah gambut
atau yang sering disebut dengan peat soil. Gambut disimbolkan
dengan Pt dan dikelompokan kedalam tanah dengan kadar
-
2
organik tinggi (organic soil). Tanah gambut merupakan tanah
dengan kandungan organik 50 % (Mankinen, dkk, 1982), tetapi menurut
Landya, dkk (1982), Kearns, dkk,(1982), ASTM (1985), tanah gambut
adalah tanah dengan kandungan organik 75 %. Tingkat dekomposisi
bahan organik yang dikandung oleh tanah gambut juga mempengaruhi
perilaku dari tanah gambut yang bersangkutan karena perbedaan
kandungan serat yang terbentuk bervariasi (kasar sampai dengan
halus) sehingga berdasarkan ASTM (1992) dikenal sebagai gambut
berserat kasar (fibric), gambut berserat sedang (Hemic), dan gambut
berserat halus (Sapric).
Tanah gambut dikatagorikan ke dalam tanah lunak yang tidak
menguntungkan bagi pembangunan konstruksi diatasnya. Banyak kasus
kerusakan/kegagalan bangunan yang berada diatas tanah gambut,
seperti di daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Kerusakan yang sering terjadi adalah perbedaan penurunan pada arah
memanjang jalan (Differential Settlement) seperti yang terjadi pada
ruas jalan Buntok-Palangkaraya, dan ada juga penurunan pada oprit
jembatan seperti pada jembatan Handil II pada ruas jalan
Banjarmasin-Marabahan.
Tanah gambut memiliki tekstur terbuka dimana selain pori-pori
makro, tekstur tanah gambut juga didominasi oleh pori-pori mikro
yang berada di dalam serat-serat gambut. Dengan sistem pori ganda
dan tingkat homogenitas yang tidak merata tersebut, serta berat isi
tanah yang mendekati berat isi air, maka masalah pemampatan
(compressibility) yang besar bisa mengakibatkan penurunan
(settlement) yang besar juga. Selain itu karena tanah gambut ini
sangat lembek pada umumnya mempunyai daya dukung (bearing capacity)
yang rendah, bahkan menurut penelitian Jelisic, Leppanen (1992)
bahwa daya dukung tanah gambut lebih rendah dari pada tanah soft
clay sehingga bisa mengakibatkan kelongsoron/keruntuhan (bearing
capacity failure), hal ini menjadi masalah utama bagi struktur yang
akan dibangun di atasnya.
Sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki
sifat-sifat tanah gambut tersebut agar memiliki daya dukung yang
tinggi dan pemampatannya kecil. Usaha-usaha yang telah dilakukan
selama ini, biasanya dikelompokan pada 2 bagian. Pertama, untuk
lapisan tanah gambut yang tebalnya kurang dari 3 meter, usaha yang
dilakukan adalah mengupas/membuang
-
3
(disposal) lapisan gambutnya; untuk masalah ini tidak ditemukan
adanya penelitian-penelitian yang berkenaan dengan cara
perbaikannya. Kedua, untuk lapisan tanah gambut yang tebal,
usaha-usaha yang dilakukan diataranya adalah pemberian beban awal
(preloading); pemasangan cerucuk atau kolom pasir (sand column);
dan metode stabilisasi tanah. Stabilisasi yang dimaksud sebenarnya
adalah solidifikasi, yaitu penambahan zat aditif (baik dalam bentuk
sebenarnya atau hanya terkandung dari suatu bahan) ke dalam suatu
massa tanah untuk meningkatkan sifat-sifat mekanis-nya. Penelitian
yang berkenaan dengan metode preloading diantaranya adalah Farni
Indra (1996). Penelitian yang pernah dilakukan dengan metode
cerucuk atau sand column diantaranya adalah H.G.Kempfert, dkk
(1997, 2001). Pemakaian semen sebagai bahan aditif pada tanah
gambut banyak digunakan dalam beberapa penelitian di Indonesia
diantarannya T.Iyas, dkk (2008); Hendry (1998).
Dari uraian yang diberikan diatas dapat diketahui bahwa
usaha-usaha perbaikan yang telah dilakukan kecuali metode
stabilisasi, masih kurang memperhatikan lingkungan. Metode
pengupasan biasanya menimbulkan masalah yaitu harus menyiapkan
lahan yang cukup luas untuk dijadikan tempat menumpuk tanah gambut
hasil kupasan tersebut dan tanah gambut yang menumpuk akan
mengering dimana gambut yang mengering mudah sekali terbakar dan
sulit dipadamkan kecuali dengan cara merendam lahan gambut dengan
air. Metode perbaikan dengan pemasangan kolom pasir membutuhkan
pasir yang sangat banyak yang berarti diperlukan penambangan pasir
di sungai atau di laut dengan volume yang cukup besar. Hal yang
sama untuk sistim surcharge dengan tanah galian yang diambil dari
quarry juga akan merusak lingkungan quarry dan meningkatkan
kepadatan lalu lintas oleh truk pengangkut tanah. Apabila bahan
surcharge yang berupa pasir diambil dari laut, maka lingkungan laut
yang akan rusak. Begitu juga dengan pemakaian dolken untuk
perbaikan lapisan tanah gambut akan dibutuhkan kayu yang cukup
banyak yang akan berakibat pada penebangan hutan.
-
4
Metode stabilisasi sebenarnya merupakan sistem yang ramah
lingkungan, hanya saja semen yang digunakan sebagai bahan
stabilisasi mahal harganya. Bila campuran semen yang dibutuhkan
sangat banyak maka metode ini menjadi tidak ekonomis lagi karena
harga semen sangat mahal, apalagi jenis semen yang dipakai adalah
semen khusus biasanya Portland cement type V(PC-V) yaitu semen yang
tahan terhadap asam dan cepat mengeringnya, mengingat tanah gambut
sifatnya sangat asam. Penggunaan kapur sebagai bahan stabilisasi
sebenarnya bisa relatif lebih ekonomis, tetapi pemakaian kapur
tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan karena tidak adanya
silica yang berfungsi sebagai bahan pengikat nantinya dan kandungan
organik yang sangat tinggi pada tanah gambut. Oleh sebab itu
diperlukan bahan pozzolan yang dapat dicampurkan dengan kapur untuk
dipakai sebagai bahan stabilisasi tanah gambut.
Menurut Abadi, Taufan Chandra (1998), bahan yang banyak
mengandung silica dan relatif tidak mahal adalah abu terbang
batubara (Fly Ash). Fly ash dari PLTU Suryalaya Serang Banten
memiliki kandungan Silikon Dioksida (SiO3) sebesar 55,29% sedangkan
dari PLTU Paiton Probolinggo kandungannya SiO3 nya 29,80%. Fly ash
ini merupakan limbah buangan dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga
Uap) yang banyak terdapat di Indonesia dan belum memiliki nilai
ekonomis karena belum banyak dimanfaatkan walaupun jumlahnya
berlimpah bahkan cendrung bisa mencemari lingkungan sekitarnya.
Sampai dengan sekarang kandungan kimia bahan berbahaya dan
beracun (B3) pada fly ash belum diketahui; sedangkan bahan baku
batubaranya memilki kandungan bahan kimia yang berbahaya terutama
adalah Pb (timbal), S (belerang), Hg (mercury). Fly ash yang
merupakan hasil pembakaran batubara pada temperatur yang sangat
tinggi masih dikhawatirkan mengandung bahan kimia berbahaya (B3).
Karena alasan tersebut maka diperlukan test TCLP (Toxicity
Characteristics Leachate Parameter) pada tanah gambut yang sudah
distabilisasi dengan campuran kapur dan fly ash.
Penggunaan bahan pozzolan berupa kapur dan fly ash sebagai bahan
stabilisasi pada tanah gambut berserat belum pernah dilakukan
sebelumnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian ini agar
dapat memberikan tambahan metode baru dalam pelaksanaan perbaikan
tanah gambut yang relatif lebih murah dan
-
5
ramah lingkungan. Jadi dengan penelitian ini diharapkan mampu
memecahkan 2 (dua) masalah sekaligus, yaitu memecahkan masalah
tanah gambut yang selama ini metode perbaikannya masih kurang
berwawasan lingkungan dan juga mengatasi masalah limbah buangan
dari PLTU yang berupa fly ash yang diambil dari PLTU Paiton dan
kapur yang juga merupakan limbah pabrik Petro Kimia Gresik.
1.2. Perumusan Masalah Penggunaan kapur dan fly ash sebagai
bahan stabilisasi tanah gambut
merupakan alternatif yang lebih ramah lingkungan dengan biaya
lebih murah. Masalah utama yang ingin dipecahkan dalam penelitian
ini adalah diperolehnya prosentase campuran bahan stabilisasi
(kapur dan fly ash) yang tepat untuk tanah gambut agar daya
dukungnya meningkat dan pemampatannya berkurang. Adapun rincian
masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
1. Berapa prosentase kapur yang harus dicampurkan pada fly ash
agar diperoleh campuran bahan stabilisasi yang paling optimum
2. Berapa prosentase bahan stabilisasi (campuran kapur dan fly
ash) yang harus dicampurkan pada tanah gambut agar diperoleh
peningkatan kekuatan dan penurunan pemampatan yang paling
optimum.
3. Bagaimana kandungan bahan berbahaya dan beracun (B3) pada
tanah gambut yang sudah distabilisasi.
4. Bagaimana menetralisir tanah gambut yang sudah distabilisasi
apabila ternyata mengandung B3, agar diperoleh kondisi stabilisasi
tanah gambut yang ramah terhadap lingkungan.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memperoleh prosentase campuran
kapur dan fly ash yang optimum sebagai bahan stabilisasi tanah
gambut dan juga untuk memperoleh prosentase campuran bahan
stabilisasi dengan tanah gambut agar kekuatan tanah gambut
meningkat dan pemampatannya berkurang.
-
6
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan
menjadikan temuan baru dan referensi
dalam metode stabilisasi tanah gambut yang lebih ramah
lingkungan dan lebih ekonomis sehingga bisa dimanfaatkan dalam
dunia konstruksi yang selama ini mengalami masalah besar apabila
harus berhadapan dengan tanah gambut yang memiliki perilaku yang
tidak menguntungkan bagi dunia konstruksi.
1.5. Batasan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang
memadai, pembahasan dalam
penelitian ini dibatasi sebagai berikut : 1. Penelitian ini
adalah penelitian di bidang geoteknik yang merupakan salah
satu bidang keahlian teknik sipil. 2. Sistim perbaikan perilaku
tanah gambut yang dipilih dalam penelitian ini
adalah stabilisasi dengan kapur yang dicampur dengan bahan
pozzolan. 3. Bahan pozzolan yang dipakai dalam penelitian ini
adalah fly ash (abu
terbang batubara) yang diambil dari PLTU Paiton. 4. Tanah gambut
diambil dari desa Bereng Bengkel, Palangkaraya, Kalimantan
Tengah.
5. Kapur diambil dari hasil buangan/sampingan pabrik Petrokimia
Gresik 6. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium, dengan
melakukan
berbagai pengukuran dan pengamatan, diantaranya : 6.1.
Pengukuran sifat fisis dan teknis tanah gambut asli maupun tanah
gambut
yang dicampur kapur dan fly ash dilakukan di laboratorium
Mekanika Tanah dan Batuan.
6.2. Pengamatan kandungan limbah berbahaya B3 pada tanah gambut
yang sudah distabilisasi dilakukan dengan cara test Toxicity
Characteristics Leachate Parameter (TCLP).
6.3. Pengamatan aktivitas dan kandungan mineral bahan
stabilisasi dilakukan dengan X-Ray Diffractometer (XRD).
6.5. Pengamatan struktur mikroskopis dari tanah gambut yang
sudah distabilisasi maupun tanah gambut yang belum distabilisasi
dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope
(SEM).