BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar belakangDi dalam praktek kedokteran
terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed
consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.
Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak
dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma
etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang
mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki
sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki
sanksi disiplin profesi yang bersifat administrative. Keadaan
menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa
standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai
domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi
standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat
dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran
hukum. 1.2 TujuanUntuk menghindari hal-hal di atas, jelaslah bahwa
profesi kedokteran membutuhkan pedoman sikap dan perilaku yang
harus dimiliki oleh seorang dokter. Pedoman yang demikian dikenal
dengan nama Kode Etik Kedokteran. Untuk menjalankan dan mengamalkan
kode etik tersebut seorang dokter juga harus sudah dibekali dengan
wawasan keagamaan yang kuat karena dalam ilmu agama sudah tercakup
pengetahuan mengenai moral dan akhlak yang baik antara sesama
manusia. Seorang dokter harus menghayati dan mengamalkan Kode Etik
Kedokteran dalam menjalankan profesinya. Dengan berpedoman pada
kode etik tersebut diharapkan seorang dokter dapat menjalankan
profesinya dengan baik sehingga martabat profesi kedokteran dapat
lebih terjaga. Dalam makalah ini akan dibahas skenario seperti
berikut: Seorang pasien berumur 62 tahun datang ke rumah sakit
dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup
sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini.
Ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang
ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak
sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu, ia meminta
kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi
yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU, dan
lain-lain), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun, ia
tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit
bila memang dibutuhkan. Mengingat pentingnya kejadian yang dialami
oleh pasien di atas dan melihat seringnya kasus yang terjadi dan
banyak muncul pada masyarakat, maka saya menyusun makalah ini
dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai masalah
tersebut baik dari aspek hukum dan prosedur medikolegal, etika
profesi kedokteran, rekam medis, dan prosedur tindakan medis yang
seharusnya dilakukan oleh dokter dalam menangani kasus penyakit
seperti pasien alami di atas.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Karsinoma KolonCarsinoma colon atau
kanker usu besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadipada
kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker
ini mendudukiperingkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan
menjadi penyebab kematian yang utama didunia barat.Mula-mula
gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala
umumkeganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah
berlangsung beberapa waktubarulah muncul gejala-gejala lain yang
berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuranyang bermakna di
usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya
gejalanyamakin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor
usus besar, gejala tersebut terbagitiga, yaitu gejala lokal, gejala
umum, dan gejala penyebaran (metastasis).Gejala lokalnya adalah,
antara lain :1a. Perubahan kebiasaan buang air. b. Perubahan
frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare).
Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah
tidak bisa keluar) dan perubahan diameter serta ukuran kotoran
(feses). Keduanya adalah ciri khas dari kanker kolorektal.c.
Perubahan wujud fisik kotoran/feses. Feses bercampur darah atau
keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air besar, feses
bercampur lendir. d. Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan
dengan terjadinya perdarahan disaluran pencernaan bagian atas.e.
Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar,
terjadi akibatsumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa
tumor.f. Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh
penderita.g. Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor,
karena kanker dapat tumbuh mengenai organ dan jaringan sekitar
tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul darah pada air seni,
timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang
berbau, muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini
terjadi belakangan, menunjukkan semakin besar tumor dan semakin
luas penyebarannya.
2.2 Etika Profesi KedokteranEtika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau
perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut
menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya.
Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah
teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa, Teori deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu
perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri, sedangkan
teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan
melihat hasilnya atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan
kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih
ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada
azas manfaat (aliran utilitarian).2Etika adalah cabang ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap atau
perbuatan dilihat dari moralitas. Etik deskriptif yaitu bidang
sains yang mempelajarimoralitas merupakan pengatuan empiris tentang
moralitas dan menjelaskan pandangan moral tentang isu-isu yang
terjadi pada ketika itu. Etika sendiri terbagi kepada :2a. Etika
normatif : Penegakan terhadap apa yang benar secara moral dan mana
yang salah secara moral dalam kaitannya.b. Etika meta etik:
Memperlihatkan analisis dari kedua konsep moral yang telah
disebutkan.World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada
tahun 1968 membuat sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran
Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap
sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik
Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik
Kedokteran Internasional. Dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran) pasal
2 dijelaskan bahwa: seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan
ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.KODEKI pasal 7d juga
menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan
dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan
manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya, seorang dokter tidak
boleh melakukan:2a. Pengguguran kandungan (Abortus Provocatus). b.
Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan
pengetahuan tidakmungkin akan sembuh lagi (euthanasia).Sumpah
dokter yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang
berisikan kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap seperti
code ofconduct bagi dokter. Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI)
dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional
yang berunsurkan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien,
kewajipan terhadap sesama dan kewajipan terhadap diri sendiri.
KODEKI berisikan:2a. Kewajiban Umum Pasal 1:Setiap dokter harus
menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Pasal
2:Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standarprofesi yang tertinggi. Pasal 3: Dalam
melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi olehsesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi. Pasal 4: Setiap dokter harus menghindarkan
diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Pasal 5: Tiap
perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisikhanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien,
setelah memperoleh persetujuan pasien. Pasal 6: Setiap dokter harus
senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya
dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Pasal 7:
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya. Pasal 7a: Seorang dokter
harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis
yangkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang(compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia. Pasal 7b: Seorang dokter harus bersikap jujur dalam
berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, danberupaya untuk
mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien. Pasal 7c: Seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien Pasal 7d:
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani. Pasal 8: Dalam melakukan pekerjaannya seorang
dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan
semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenar-benarnya. Pasal 9: Setiap dokter dalam
bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
b. Kewajiban dokter terhadap pasien Pasal 10: Setiap dokter
wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib menujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Pasal 11: Setiap dokter
harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan
atau dalam masalah lainnya. Pasal 12: Setiap dokter wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien,bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pasal 13:
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan,kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia
dan mampu memberikannya.
c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat Pasal 14: Setiap
dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan. Pasal 15: Setiap dokter tidak boleh mengambil alih
pasien dan teman sejawat, kecuali denganpersetujuan atau
berdasarkan prosedur yang etis.
d. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri Pasal 16: Setiap
dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik. Pasal 17: Setiap dokter harus senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.Bioetika adalah salah satu cabang dari etik
normatif di atas. Bioetik atauBiomedicalethics adalah etik yang
berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang
biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah:
Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk
memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium terminal
bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat
dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat
dibenarkan secara moral? Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut
tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu hukum dilihat dari
segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima
tindakan medis yang bersifat life saving, meskipun bertentangan
dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila
dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit
jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan
pasien?Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang
membolehkan tindakan medis apasaja yang diminta oleh pasien kepada
dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi? Di dalam
menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan
hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran
atas hak pasien akan mengakibatkanjuga pelanggaran atas kebutuhan
dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar
moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah
dasar moral tersebut adalah :3a. Prinsip otonomi, yaitu prinsip
moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hakotonomi pasien (
the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan doktrin informed consent.b. Prinsip beneficence
yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan
untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya. c. Prinsip
non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non
nocere" atau" above all do no harmd. Prinsipjustice, yaitu prinsip
moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun
dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur
dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien),
confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) danfidelity (loyalitas
dan promise keeping). Selain prinsip atau kaidah dasar moral di
atas yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis,
profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan
dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).
Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika
profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.
Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan
Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan
"kontrak kewajiban moral"antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu
masyarakat profesinya. 2.3 Aspek HukumPERMENKES
No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan
Dokter Gigi pasal 17 menyebutkan dokter atau dokter gigi dalam
memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
terlebih dahlu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang
tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan
pasien. Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap
dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung
jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang
penyakitnya.3Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan
pasien dan bila pasien meminta untuk dihentikan pengobatan, maka
terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan
mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien.
Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang
dokter dapat dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin
kedokteran apabila tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis,
dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya
dalam melakukan praktik kedokteran.2.3.1 Hak Pasien atas Informasi
Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum Kedokteran. Menerima
pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan
secara lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya
(Undan-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup:1. Diagnosis
dan tata cara tindakan medis2. Tujuan tindakan medis yang
dilakukan3. Alternatif tindakan lain dan resikonya4. Resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi5. Prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan. (Pasal 45 ayat 3). Dalam praktek kedokteran dikenal dua
macam euthanasia yaitu:4a. Euthanasia pasif: Ialah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam
tubuh pasien tersebut. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah
bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang
penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang
sudah parah.b. Euthanasia pasif: Tindakan dokter berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian
obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi. Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa
sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi.
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya
dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan
atas permintaan pasien atau korban itu sendiri (voluntary
euthanasia). Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara palinglama dua belas tahun. Maka disimpulkan, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana
bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang
dan tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang
sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut
tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan,
Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP menyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana lebih dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Pasal
356 (3) KUHP Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Pasal 304 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja menempatkan
atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pasal 306 (2) KUHP
dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut
dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun. KUHP hanya
melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Akibatnya, dokter
sering dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah
tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin
hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang
dalam KUHP. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia
antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum
dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain
pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal
tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum
sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum
terhadap euthanasia yang dilakukan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok, telah menyiapkan
perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana,
manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak
melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI
no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati.
Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan
baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah
sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki
pandangan dan kebijakan yang berlainan.Masalah euthanasia dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan 344 KUHP. Dalam
hal ini terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur
dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu
perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat. (2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu
aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2)
KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi generalis,
yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang
sifatnya umum.2.4 Persetujuan tindakan medisPeraturan menteri
kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan
medis: Pasal 1. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 mengatakan:21.
Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut;2. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik;3.
Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh;4. Dokter adalah dokter
umum/spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang bekerja
di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek perorangan atau
bersama. Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989:21. Semua
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.2. Persetujuan dapat diberi secara bertulis atau
lisan3. Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.4.
Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien. Pasal 3. Pemenkes No
585/MenKes/Per/IX/1989:1. Setiap tindakan medis yang berisiko
tinggi harus dengan persetujuan bertulis yang ditanda tangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan. Pasal 4. Pemenkes No
585/MenKes/Per/IX/1989:1. Informasi tentang tindakan medik harus
diberi kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.2. Dokter
harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila
dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi. Pasal 5.
Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989:1. Informasi yang diberikan
mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang kan
dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik2. Informasi diberikan
secara lisan3. Informasi harus diberiakn jujur dan benar kecuali
bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien,4. Dalam hal dimaksud dalam ayat (3) dokter dengan
persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada
keluarga terdekat pasien. Pasal 8. Pemenkes No
585/MenKes/Per/IX/19891. Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa
yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental.2. Pasien dewasa
yang dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun atau
telah menikah. 2.4.1 Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik
KedokteranPeraturan menteri kesehatan No 554/MenKes/Per/XII/1982
tentang Panitia pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran dalam:
Pasal 8 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982: Panitia Pertimbangan
Dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) Pusat dalam persoalan Etik
Kedokteran dan khusunya dalam menangani pelanggaran kode etik
masing-masing bekerjasam dengan IDI atau PDGI. Pasal 22 Permenkes
No 554/MenKes/Per/XII/19821. P3EK Propinsi dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mengusulkan kepada Kakanwil DepKes
Propinsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap dokter
atau dokter gigi yang bersngkutan.2. Kakanwil DepKes Propinsi dapat
mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan administratif
terhadap dokter atau dokter gigi sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran.
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien
terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap
pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang
menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban
yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan
Tindakan Medik atau yang sekarang disebut Persetujuan Tindakan
Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu pihak dokter (tim
dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan,
dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan
pertimbangannya (mereka), dan di lain pihak pasien atau keluarga
pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik
apa yang akan dilaluinya. Masalahnya adalah, tidak semua jalan
pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter akan sejalan dengan
apa yang diinginkan' atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga
pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien
hanya dari segi medik saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan
mempertimbangkan dari segi lain yang tidak kalah pentingnya,
seperti keuangan, psikis, agama, dan pertimbangan keluarga.
Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah
ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan No.
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik (informed
consent).
2.5 Informed ConcernYang dimaksud dengan informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak
kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien
sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan
memahami tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent juga
disebut persetujuan tindakan medis. Persetujuan (consent) dapat
dibagi menjadi 2, yaitu:21. expressed, dapat secara lisan atau
secara tulisan, dan2. implied, yang dianggap telah
diberikan.Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang
diberikan secara lisan, misal untuk tindakan-tindakan rutin.
Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang mempunyai risiko yang
kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh
persetujuan yang tertulis agar suatu saat apabila diperlukan
persetujuan itu dapat dijadikan bukti.Namun, persetujuan yang
dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat
untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang
merugikan pasien. Hal ini harus diingat karena secara etik dokter
diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien. Apabila dalam
suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka
dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Begitu pula dari pihak pasien; mereka tidak bisa langsung menuntut
apabila terjadi hal-hal di luar dugaan karena harus ada bukti-bukti
yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan
antara kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan
risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan
tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh sebab itu, untuk
memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya
salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib memberikan informasi
sejelas-jelasnya agar pasien dapat mempertimbangkan apa yang akan
terjadi terhadap dirinya. Biasanya informasi itu meliputi:2a. sifat
dan tujuan tindakan medik;b. keadaan pasien yang memerlukan
tindakan medis;c. risiko dari tindakan itu apabila dilakukan atau
tidak.Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari.
Misalnya, seorang ibu datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan
terasa ada yang aneh pada alat-alat genital. Dalam hal ini, ia
dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan
sesuai prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter
diharapkan meminta persetujuan lisan.Implied consent juga dapat
terjadi pada keadaan gawat darurat apabila pasien dalam keadaan
tidak sadar, kritis, sementara persetujuan dari wali tidak
diperoleh karena tidak ada di tempat. Dalam hal ini dokter secara
etik berkewajiban menolong pasien jika memang diyakini tidak ada
orang lain yang sanggup.Dalam memberikan informasi tentang tindakan
medis yang akan dilakukan, harus diingat kondisi pasien pada saat
itu. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak
sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat
mempengaruhi keputusan pasien karena dalam keadaan yang demikian
itu pikiran pasien tersebut mudah terpengaruh. Atau apabila kondisi
pasien tidak memungkinkan untuk menerima informasi tersebut,
diharapkan wali yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali
tidak ada dan kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat
diambil sebagai pegangan untuk melakukan tindakan medis.Selain
terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga harus
dapat menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien agar
pasien mengerti dan memahami pembicaraan. Pasien mempunyai hak
untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban menyampaikan
informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika
penyampaian informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini
sesuai dengan hak dan kewajiban dokter dan pasien.Tujuan dari
informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan.
Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak
pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna
apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat
dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan
psikis pada pasien.Suatu informed consent harus meliputi dokter
harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan
penyakitnya, pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang
diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya, pasien
harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat
apabila penyakit tidak diobati, pasien harus diberitahu mengenai
risiko apabila menerima atau menolak terapi. Risiko yang harus
disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang
dilakukan.Hal-hal yang harus diinformasikan kepada pasien yaitu: 1.
Hasil Pemeriksaan. Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada
hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan
selanjutnya berada di tangan pasien.2. Resiko tindakan atau terapi.
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai
upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal
tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga
akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus
diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa
tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan
lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika
seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu
prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya,
ia wajib memberitahukan pada pasien.3. Alternatif terapi. Dokter
harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan
bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Dokter
harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta
komplikasi yang mungkin timbul.4. Rujukan/ konsultasi. Dokter
berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi
pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter
harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang
dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.5. Prognosis.
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan
termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan
apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan
apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas
kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian
yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent.
2.6 Rekam MedisDalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama
yang dilakukan para dokter baik di rumah sakit maupun praktik
pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan
sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian,
ada ungkapan bahwa rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter
menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami karena catatan
demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil
pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu
itu. Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk
mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan
pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk
berobat ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah
beberapa tahun kemudian. Dengan adanya rekam medis, ia bisa
mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga
lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya.
Namun, kini makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas
pada asumsi yang dikemukakan di atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh
karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan
baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.Dalam Undang-undang
Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang rekam medis
secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan
adanya rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan
kedokteran/ kesehatan yang berkualitas.Kewajiban dokter untruk
membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas dalam UUPK
seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2)
Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya
dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat,
yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti
sengaja tidak membuat rekam medis.3,5Dalam Permenkes No.
749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian RM adalah
berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien
pada sarana pelayanan kesehatan.2Di rumah sakit didapat dua jenis
RM, yaitu:61. RM untuk pasien rawat jalan. Untuk pasien rawat
jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien,
antara lain: Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
Riwayat penyakit (anamnesis) tentang : keluhan utama, riwayat
sekarang, riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga
tentang penyakit yang mungkin diturunkan. Laporan pemeriksaan
fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning,
MRI, dan lain lain. Diagnosis dan/atau diagnosis banding. Instruksi
diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan
yang berwenang.2. RM untuk pasien rawat inapUntuk rawat inap,
memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan,
dengan tambahan : Persetujuan tindakan medik Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya Catatan observasi
klinik dan hasil pengobatan Resume akhir dan evaluasi
pengobatan.Secara umum kegunaan RM adalah:61. Sebagai alat
komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan
pasien. Dengan membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya
yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya, pada pasien rawat
bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit,
perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa
harus berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana
komunikasi yang efisien.2. Sebagai dasar untuk perencanaan
pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada pasien. Segala
instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.3. Sebagai
bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila
suatu waktu diperlukan bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis
pelayanan yang diberikan serta perkembangan penyakit selama
dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.4.
Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan
yang diberikan kepada pasien. Baik buruknya pelayanan yang
diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau data yang
didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi
ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.5. Melindungi
kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien
kepada dokter maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil
dari RM tentu dapat diterima semua pihak. Di sinilah akan terungkap
aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan data terisi lengkap,
RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan yang
ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan
dokter dan rumah sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa
bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.6. Menyediakan data-data
khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien
hanya dapat diper-gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu.
Oleh karena itu, RM di rumah sakit pendidikan biasanya tersusun
lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.7.
Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik
pasien. Bila pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan
cukup melihat RM, dan segala biaya yang harus dibayar
pasien/keluarga dapat ditentukan.8. Menjadi sumber ingatan yang
harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan
laporan.Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan
dokumentasi, bila diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang memerlukan masa
mendatang.2.7 Prosedur terapi yang dapat diberikan kepada pasien
dengan diagnosa karsinoma kolonTujuan pengobatan kanker ada dua,
yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratifmerupakan upaya yang
ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara
pengobatan paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah
tidak memungkinkan kembali dicapainya kesembuhan. Di antara pilihan
terapi untuk penderitanya, pilihan operasi masih menduduki
peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau
radioterapi (mungkin diperlukan). Pemeriksaan yang dapat dilakukan
pada pasien dengan diagnosis carcinoma kolon adalah:1 Pemeriksaan
Fisik Tanda-tanda Ca Colon tergantung pada letak tumor. Tanda-tanda
yang biasanya terjadi adalah perdarahan pada rectal, anemia,
perubahan feces. Kemungkinan darah ditunjukan sangat kecil atau
lebih hidup seperti mahoni atau bright-red stooks. Darah kotor
biasanya tidak ditemukan tumor pada sebelah kanan kolon tetapi
biasanya (tetapi bisa tidak banyak) tumor disebelah kiri kolon dan
rectum. Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di
mana dokter memeriksa keadaan dinding rektum sejauh mungkin dengan
jari; pemeriksaan ini tidak selalu menemukan adanya kelainan,
khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar
hingga rectum. Hal pertama yang ditunjukkan oleh Ca Colon adalah
teraba massa,pembuntuan kolon sebagian atau seluruhnya, perforasi
pada karakteristik kolon dengan distensi abdominal dan nyeri. Ini
ditemukan pada indikasi penyakit Cachexia. Pemeriksaan Psikososial.
Orang-orang sering terlambat untuk mencoba perawatan kesehatan
karena khawatir dengan diagnosa kanker. Kanker biasanya berhubungan
dengan kematian dan kesakitan. Banyak orang tidak sadar dengan
kemajuan pengobatan dan peningkatan angka kelangsungan hidup.
Deteksi dini adalah cara untuk mengontrol Ca Colon dan
keterlambatan dalam mencoba perawatan kesehatan dapat mengurangi
kesempatan untuk bertahan hidup dan menguatkan kekhawatiran klien
dan keluarga klien. Orang-oarang yang hidup dalam gaya hidup sehat
dan mengikuti oedoman kesehatan mungkin merasa takut bila melihat
pengobatan klinik, klien ini mungkin merasa kehilangan kontrol,
tidak berdaya dan shock. Proses diagnosa secara umum meluas dan
dapat menyebabkan kebosanan dan menumbuhkan kegelisahan pada pasien
dan keluarga pasien. Perawat membolehkan klien untuk bertanya dan
mengungkapkan perasaanya selama proses ini. Pemeriksaan
laboratorium. Nilai hemaglobin dan Hematocrit biasanya turun dengan
indikasi anemia. Hasil tes Gualac positif untuk accult blood pada
feces memperkuat perdarahan pada GI Tract. Pasien harus menghindari
daging, makanan yang mengandung peroksidase (Tanaman lobak dan Gula
bit) aspirin dan vitamin C untuk 48 jam sebelum diberikan feces
spesimen. Perawat dapat menilai apakah klien pada menggumakan obat
Non steroidal anti peradangan (ibu profen) Kortikosteroid atau
salicylates. Kemudian perawat dapat konsul ke tim medis tentang
gambaran pengobatan lain. Makanan-makanan dan obat-obatan tersebut
menyebabkan perdarahan. Bila sebenarnya tidak ada perdarahan dan
petunjuk untuk kesalahan hasil yang positif. Dua contoh sampel
feses yang terpisah dites selama 3 hari berturut-turut, hasil yang
negatif sama sekali tidak menyampingkan kemungkinan terhadap Ca
Colon. Carsinoma embrionik antigen (CEA) mungkin dihubungkan dengan
Ca Colon, bagaimanapun ini juga tidak spesifik dengan penyakit dan
mungkin berhubungan dengan jinak atau ganasnya penyakit. CEA sering
menggunakan monitor untuk pengobatan yang efektif dan
mengidentifikasi kekambuhan penyakit. Pemeriksaan radiografi.
Pemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas keadaan
tumor dan mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin
menggambarkan adanya kebuntuan pada isi perut, dimana terjadi
pengurangan ukuran tumor pada lumen. Luka yang kecil kemungkinan
tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium secara umum
dilakukan setelah sigmoidoscopy dan colonoscopy. Computer Tomografi
(CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas dari penyakit.
Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang jauh
yang sudah metastasis. Pemeriksaan diagnosa lainnya. Tim medis
biasanya melakukan sigmoidoscopy dan colonoscopy untuk
mengidentifikasi tumor. Biopsi massa dapat juga dilakukan dalam
prosedur tersebut.Rencana Terapi. Perawatan penderita tergantung
pada tingkat staging kanker itu sendiri dan komplikasi yang
berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah
terbukti berhasil dalam pentahapankanker kolorektal pada periode
praoperatif. Metode pentahapan yang dapat digunakan secara luas
adalah klasifikasi Duke:1 Kelas A: tumor dibatasi pada mukosa dan
sub mukosa. Kelas B: penetrasi melalui dinding usus. Kelas :Invasi
ke dalam sistem limfe yang mengalir regional. Kelas D: Metastasis
regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas Terapi akan jauh
lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat
kesembuhan kanker stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila
kanker ditemukan pada stadium yang lanjut, atau ditemukan pada
stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan
jauh lebih sulit. Di antara pilihan terapi untuk penderitanya,
operasi masih menduduki peringkat pertama, dengan ditunjang oleh
radiasi dan kemoterapi mungkin juga digunakan untuk membantu
pembedahan, untuk mengontrol dan mencegah kekambuhan
kanker.Pelaksanaan tanpa pembedahan. Tim medis dapat menilai kanker
tiap pasien untuk menentukan rencana pengobatan yang baik dengan
mempertimbangkan usia, komplikasi penyakit dan kualitas. a. Terapi
radiasi. Persiapan penggunaan radiasi dapat diberikan pada pasien
yang menderita Ca kolorektal yang besar, walaupun ini tidak
dilaksanakan secara rutin. Terapi ini dapat menyebabkan kesempatan
yang lebih banyak dari tumor tertentu, yang mana terjadi fasilitas
reseksi tumor selama pembedahan. Radiasi dapat digunakan post
operatif sampai batas penyebaran metastase. Sebagai ukuran nyeri,
terapi radiasi menurunkan nyeri, perdarahan, obstruksi usus besar
atau metastase ke paru-paru dalam perkembangan penyakit. Perawat
menerangkan prosedur terapi radiasi pada klien dan keluarga dan
memperlihatkan efek samping (contohnya diare dan kelelahan).
Perawat melaksanakan tindakan untuk menurunkan efek samping dari
terapi. b. Kemoterapi. Obat non sitotoksik memajukan pengobatan
terhadap Ca kolorektal kecuali batas tumor pada anal kanal.
Bagaimanapun juga 5 fluorouracil (5-FU,Adrucil) dan levamisole
(ergamisol) telah direkomendasikan terhadap standar terapi untuk
stadium khusus pada penyakit (contoh stadium III) untuk
mempertahankan hidup. Kemoterapi juga digunakan sesudah pembedahan
untuk mengontrol gejala-gejala metastase dan mengurangi penyebaran
metastase. Kemoterapi intrahepatik arterial sering digunakan 5 FU
yang digunakan pada klien dengan metastasis liver.Penatalaksanaan
dengan Pembedahan. Tindakan ini dibagi menjadi curative,
palliative, bypass, fecal diversion, dan open-and-close.a. Bedah
kuratif, dikerjakan apabila tumor ditemukan pada daerah yang
terlokalisir. Intinya adalah membuang bagian yang terkena tumor dan
sekelilingnya. Pada keadaan ini mungkin diperlukan suatu tindakan
yang disebut TME (Total Mesorectal Excision), yaitu suatu tindakan
yang membuang usus dalam jumlah yang signifikan. Akibatnya kedua
ujung usus yang tersisa harus dijahit kembali. Biasanya pada
keadaan ini diperlukan suatu kantong kolostomi, sehingga kotoran
yang melalui usus besar dapat dibuang melalui jalur lain. Pilihan
ini bukanlah suatu pilihan yang enak akan tetapi merupakan langkah
yang diperlukan untuk tetap hidup, mengingat pasien tidak mungkin
tidak makan sehingga usus juga tidak mungkin tidak terisi makanan /
kotoran; sementara ada bagian yang sedang memerlukan penyembuhan.
Apa dan bagaimana kelanjutan dari kolostomi ini adalah kondisional
dan individual, tiap pasien memiliki keadaan yang berbeda-beda
sehingga penanganannya tidak sama. b. Bedah paliatif, dikerjakan
pada kasus terjadi penyebaran tumor yang banyak, dengan tujuan
membuang tumor primernya untuk menghindari kematian penderita
akibat ulah tumor primer tersebut. Terkadang tindakan ini ditunjang
kemoterapi dapat menyelamatkan jiwa. Bila penyebaran tumor mengenai
organ-organ vital maka pembedahan pun secara teknis menjadi sulit,
sehingga dokter mungkin memilih teknikk bedah bypass atau fecal
diversion (pengalihan tinja) melalui lubang. Pilihan terakhir pada
kondisi terburuk adalah open and close, di mana dokter membuka
daerah operasinya, kemudian secara de facto melihat keadaan sudah
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dilakukan apa-apa lagi atau
tindakan yang akan dilakukan tidak memberikan manfaat bagi keadaan
pasien, kemudian di tutup kembali. Tindakan ini sepertinya sudah
tidak pernah dilakukan lagi mengingat sekarang sudah banyak
tersedia laparoskopi dan radiografi canggih untuk mendeteksi
keberadaan dan kondisi kanker jauh sebelum diperlukan
operasi.1,7Penatalaksanaan pada pasien karsinoma kolon terminal,
pembedahan merupakan pilihan terbaik untuk memperpanjangkan jangka
hayat hidup pasien. Melalui pembedahan dokter akan membuang bagian
tumor kolon dan mencantumkan bagian yang sehat bersama. Pilihan
lain adalah cryotherapy yaitu membekukan dan membuang tumor
tersebut. Kemudian, kemoterapi dilakukan untuk membunuh sel-sel
yang tersisa setelah pengangkatan dan biasanya ditujukan pada organ
yang terinfeksi. Metode yang digunakan adalah heptic artery
infusion di mana targetnya langsung ke hati. Prognosis tergantung
dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu k1asifikasi tumor dan
tingkat keganasan sel tumor. Untuk tumor yang terbatas pada dinding
usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup lima tahun adalah
80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran
kelenjar 32%, dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai
diferensiasi sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.1,7
BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanPada kasus di atas, yang terpenting
sebenarnya adalah rambu-rambu etika, moral maupun humum yang tegas
bagi para dokter, agar terdapat kejelasan tentang euthanasia.
Seorang dokter itu haruslah memastikan dirinya berada dalam keadaan
yang optimum dengan senantiasa menerapkan etika profesi kedokteran
yang berlandaskan konsep dasar moral yaitu prinsip otonomi, prinsip
beneficence, prinsip non-maleficence, dan prinsip justice. Suatu
tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai
penyerangan atas hak orang lain atau melanggar hukum. Namun,
euthanasia dari segi hukum yang antaranya dibahas pada Pasal 338,
340, 344, 345, dan 359, tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup
seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan
tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut. Munculnya permintaan tindakan medis euthanasia
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami
pergeseran nilai kultural. Namun tetap saja pasien memiliki hak
autonomi dimana pasien berhak menentukan apa yang terbaik untuk
dirinya, sehingga dengan adanya hak autonomi tersebut seorang
pasien boleh meminta eutanashia kepada dokter yang merawatnya.
Namun tindakan tersebut harus tetap dengan indikasi dan alasan yang
tepat dan didiskusikan oleh tim dokter dari berbagai bidang
spesialis yang menangani pasien dengan berbagai macam pertimbangan
sesuai dengan tingkat keparahan penyakit. Selain harus dengan
indikasi dan alasan yang jelas, tim dokter yang melakukannya harus
melakukan informed consent sejelas-jelasnya kepada pasien maupun
keluarganya serta menyimpan rekam medic pasien dari awal pasien
berobat sehingga keputusan untuk melakukan tindakan euthanasia
tersebut tidak dapat dibawa ke meja hukum.
Daftar Pustaka1. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadabrata
M, Setiati S (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Interna Publishing;2014.h.567-75.2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja D
T. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi mahasiswa
kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar;2007.h.77-83.3.
Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik
kedokteran. Jakarta: Departemen Ilmu kedokteran forensic
FKUI;2014.h.65-109.4. Achadiat C M. Dinamika etika dan hukum
kedokteran dalam tantangan zaman. Jakarta: EGC;2007.h.180-8.5.
Redaksi Best Publisher. Undang-undang kesehatan dan praktik
kedokteran. Yogyakarta: Best Publisher;2009.h.128.6. Hanafiah M J,
Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC;2008.h.258-9.7. R. Sjamsuhidajat & Wim De Jong, Buku ajar
ilmu bedah, Edisi revisi, Jakarta: Buku Kedokteran EGC;1997.h.646
63.
23