Top Banner
ISBN: 978-602-9000-11-5
144

ISBN: 978-602-9000-11-5

Nov 01, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ISBN: 978-602-9000-11-5

ISBN: 978-602-9000-11-5

Page 2: ISBN: 978-602-9000-11-5

i

STRUKTUR DAN

REKAYASA BAMBU

Oleh:

I Gusti Lanang Bagus Eratodi

PENERBIT

UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL

DENPASAR BALI

Page 3: ISBN: 978-602-9000-11-5

ii

STRUKTUR DAN

REKAYASA BAMBU

Penulis

Dr. I Gusti Lanang Bagus Eratodi, S.T., M.T.

ISBN: 978-602-9000-11-5

Desain Sampul dan Tata Letak

I Gusti Bagus Yuda Swastika, S.H.

Penerbit

Universitas Pendidikan Nasional Jl. Bedugul No. 39, Sidakarya

Denpasar Bali

Cetakan Pertama, 2017

Edisi Pertama iv + 211 Halaman, 15 x 23 cm

Ketebalan: 1 cm

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan

dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Page 4: ISBN: 978-602-9000-11-5

iii

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa sehingga Buku

Struktur dan Rekayasa Bambu ini dapat terwujud. Dalam kehidupan

masyarakat di Indonesia, bambu memegang peranan sangat penting.

Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik

untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras,

mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan

sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah

dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di

sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi

masyarakat pedesaan. Bambu telah sejak lama dikenal sebagai bahan

multi-fungsi, yang salah satunya sebagai bahan bangunan. Pemrosesan

bambu sebagai bahan bangunan juga telah dipahami oleh masyarakat

pengguna bambu secara tradisional, terutama pemilihan jenis bambu,

masa penebangan bambu, proses pengawetan bambu, proses pengeringan

dan rekayasa bambu sebagai bahan bangunan unggulan.

Buku ini disusun sebagai bahan informasi global tentang bambu yang

terdiri dari 7 (tujuh), dimulai dari anatomi bambu, sifat fisika bambu, sifat

mekanika bambu, sifat pengawetan bambu, sifat kimia bambu,

kemunduran bambu dan modifikasi bambu.

Akhirnya, ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

disampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi penyusunan

buku ini sehingga dapat bermanfaat bagi umat manusia, terutama

menggugah para ilmuwan untuk menjadikan bambu bagian integral dari

gerakan untuk maju bersama bambu dan selaras dengan semangat

pelestarian hutan. Harapannya melalui buku ini, informasi tentang bambu

dan rekayasa bambu dapat diketahui masyarakat umum dan sebagai daya

dorong masyarakat memanfaatkan bambu lebih lanjut.

Denpasar, 06 Januari 2017

Penulis,

KATA PENGANTAR

Page 5: ISBN: 978-602-9000-11-5

iv

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL i

HALAMAN JUDUL ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL viii

BAB I ANATOMI BAMBU 1

I. Parameter Penentu Sifat Anatomi Bambu 7

II. Beberapa penelitian terkait Anatomi Bambu 8

III. Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan

Wulung dalam Arah Longitudinal 11

BAB II SIFAT FISIKA BAMBU 13

I. Kadar Air (Moisture Content) 15

II. Berat Jenis (Specific Gravity= SG) dan

Kerapatan (Density) 17

III. Kembang susut (Shrinkage and Swelling) 18

IV. Hasil-hasil penelitian tentang sifat Fisika

Bambu 20

BAB III SIFAT MEKANIKA BAMBU 25

I. Kuat tekan 25

II. Kuat tarik 27

III. Kuat geser sejajar serat 29

IV. Modulus lentur (Modulus of Rupture (MOR)) 31

V. Modulus elastisitas (Modulus of Elasticity

(MOE)) 33

BAB IV SIFAT PENGAWETAN BAMBU 36

I. Pengawetan Bambu 36

II. Proses Pengawetan Bambu 39

III. Pengolahan Bambu 46

BAB V SIFAT KIMIA BAMBU 57

I. Sifat Kimia Umum 57

II. Pengujian Kandungan Kimia Bambu 59

III. Intisari Kimia Bambu 74

BAB VI KEMUNDURAN BAMBU 76

I. Penguraian Dinding Sel 76

II. Penurunan Kualitas Dinding Sel 76

III. Penelitian terkait dengan kemunduran Bambu 79

IV. Intisari Kemunduran Bambu 86

BAB VII REKAYASA BAMBU 88

I. Definisi Rekayasa Bambu 88

II. Rekayasa Stabilisasi Warna 89

Page 6: ISBN: 978-602-9000-11-5

v

III. Bambu lapis 90

IV. Bambu lamina 93

V. Papan Semen 94

VI. Arang 95

VII. Pulp 97

BAB VIII BAMBU LAMINASI 100

I. Definisi Bambu Laminasi 100

II. Teknik Perekatan 102

III. Rekayasa Bambu Laminasi 104

DAFTAR PUSTAKA 127

Page 7: ISBN: 978-602-9000-11-5

vi

DAFTAR TABEL

No. Keterangan halaman

1.1. Jenis Bambu di Indonesia 3

1.2. Komponen Anatomi Bambu Menurut Tempat Tumbuh 10

1.3. Hasil rata-rata prosentase Parenkim (%) pada 3 jenis

bambu dan 3 posisi contoh uji dalam batang 11

1.4. Hasil rata-rata prosentase Massa Serat (%) pada 3 jenis

bambu dan 3 posisi contoh uji dalam batang.. 11

1.5. Hasil rata-rata Panjang Serat (mikron) pada 3 jenis bambu

dan 3 posisi contoh uji dalam batang 12

1.6. Kandungan tepung (%) pada 6 jenis bambu 12

2.1. Nilai sifat fisika dan mekanika bambu ater, bitung dan

andong 21

2.2. Sifat Fisika Bambu pada Umur 3-5 tahun menurut tempat

tumbuhnya 21

2.3. Nilai Kadar Air (%) berdasarkan usia dan posisi 21

2.4. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh 22

2.5. Sifat fisika bambu laminasi 22

2.6. Kembang susut bambu menurut spesies dan posisi batang 22

2.7. Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah 23

2.8. Sifat fisika dari berbagai jenis dan kondisi bambu 23

3.1. Kuat Tekan rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi 26

3.2. Kuat tarik bambu tanpa buku kering oven 28

3.3. Kuat tarik bambu kering oven 28

3.4. Kuat Tarik Rata-rata Bambu pada berbagai posisi 29

3.5. Tegangan Batas Lentur Bambu 32

3.6. Modulus Elastisitas Lentur Bambu 33

3.7. Hasil pengujian 3 spesies bambu, Gigantochloa apus

Kurz, Gigantochloa Verticillata Munro, dan

Dendrocalamus asper Backer (Siopongco dan Munandar) 34

3.8. Sifat Mekanika bambu hitam dan bambu apus 34

3.9. Kuat batas dan tegangan ijin bambu 35

3.10. Sifat mekanik bambu berdasarkan kondisi ketinggian

tempat tumbuh bambu 35

4.1. Bubuk yang ditemukan pada bambu 45

4.2. Penyebaran jenis bubuk pada bambu 46

4.3. Penetrasi persenyawaan bor pada dua belas jenis bambu 47

4.4. Penetrasi Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu 48

4.5. Nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7

pada tiga jenis bambu 49

4.6. Penembusan bahan pengawet pada bambu yang direndam

secara vertikal 50

Page 8: ISBN: 978-602-9000-11-5

vii

4.7. Penetrasi longitudinal (cm) pada bambu andong dan tali 52

4.8. Hasil pengamatan Penetrasi longitudinal 52

5.1. Analisis kimia bambu 59

5.2. Analisis kimia menurut standard ASTM 60

5.3. Komposisi kimia dari bambu 65

5.4. Analisis kimia 10 jenis bambu 75

6.1. Pengkodean Uji panel 81

6.2. Kondisi iklim di PUSPIPTEK Serpong-Tangerang dari

Juni 2001 sampai Mei 2002 83

6.3. Kerapatan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 83

6.4. Ketebalan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 83

7.1. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali

(Gigantochloa apus) yang telah diputihkan 90

7.2. Beberapa sifat fisik dan mekanik bambu lapis 91

7.3. Sifat fisik dan mekanik bambu lapis 92

7.4. Nilai sifat fisik dan mekanik bambu lamina 93

7.5. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu 95

7.6. Sifat arang bambu 96

7.7. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung 97

8.1. Kekuatan tekan dan modolus elastisitas tekan sejajar serat 105

8.2. Pengaruh lebar lamina pada kekuatan balok bambu

laminasi 105

8.3. Pengaruh lebar lamina pada MOE dan MOR 106

8.4. Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan bambu

laminasi 106

8.5. Kekuatan papan laminasi bambu Petung 107

8.6. Pengaruh umur bambu pada kekuatan lentur balok bambu

laminasi 108

8.7. Pengaruh umur bambu pada kekuatan geser balok bambu

laminasi 108

8.8. Kekuatan dan kekakuan balok uji 109

8.9. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi bambu

Petung 110

8.10. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi bambu

Ampel 110

Page 9: ISBN: 978-602-9000-11-5

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan halaman

1.1. Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan 2

1.2. Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan 2

1.3. Sel bambu 4

1.4. Ilustrasi morfologi nodia 5

1.5. Potongan internode batang bambu (Cross sectional view) 5

1.6. Cross section batang bambu (magnifikasi 10x) 5

1.7. Potongan Longitudinal Bambu yang menampilkan

Anatominya 6

1.8. Susunan parenkim bambu pada bagian dalam bambu,

skala 55µm.. 6

1.9. Susunan serat bambu 6

2.1. Distribusi serat beraneka ragam ukuran pada irisan bambu

(arah tangensial) 16

2.2. Penurunan kadar air bambu menyebabkan bambu

menyusut dan melengkung (swelling) 19

2.3. Keluar-masuknya air terikat pada dinding sel berakibat

terjadinya kembang-susut 19

2.4. Makroskopik batang bambu, tampak arah longitudinal

(A), bambu terbelah (B) dan tampilan arah tangensial

serta radial (C) 19

3.1. Uji Tekan Bambu 26

3.2. Hasil Uji Tekan Bambu 27

3.3. Pengujian kuat tarik sejajar serat 27

3.4. Hasil Uji Tarik Bambu 28

3.5. Hasil Uji Tarik Bambu Ori, Bambu Petung dan Baja 29

3.6. Uji Geser Bambu 30

3.7. Hasil Uji Geser Bambu 31

3.8. Uji Lentur (Bending) Batang Bambu 32

3.9. Hasil Uji Lentur Bambu 32

4.1. Proses pengawetan bambu tradisonal bambu dengan

perendaman 37

4.2. Sistem pengawetan Boucheri 38

4.3. Sistem pengawetan Boucheri-Morisco 38

4.4. Pengawetan bambu metode boucheri 51

4.5. Metode pengeringan bambu dengan cara pengasapan 54

5.1. Kandungan ekstraktif bambu pada usia dan lokasi berbeda 65

5.2. Kandungan ekstraktif alcohol-toluene dari bambu usia

tiga tahun dengan lapis horizontal yang berbeda 66

5.3. Kandungan ekstraktif air panas dari bambu pada usia dan

ketinggian lokasi berbeda 67

Page 10: ISBN: 978-602-9000-11-5

ix

5.4. Kandungan ekstraktif air panas dari lapis horizontal

bambu berbedakan 67

5.5. Kandungan holocellulose dari bambu pada usia dan tinggi

yang berbeda 68

5.6. Kandungan holocellulose pada bambu usia 3 tahun dari

lapis horizontal yang berbeda 69

5.7. Kandungan Alpha-cellulose dari bambu pada usia dan

tinggi yang berbeda 70

5.8. Kandungan Alpha-cellulose pada bambu usia 3 tahun

darilapis horizontal yang berbeda 70

5.9. Kandungan Klason Lignin dari bambu pada usia dan

tinggi yang berbeda 71

5.10. Kandungan Klason lignin pada bambu usia 3 tahun dari

lapis horizontal yang berbeda 72

5.11. Kandungan Abu dari bambu pada usia dan tinggi yang

berbeda 73

5.12. Kandungan Abu pada bambu usia 3 tahun dari lapis

horizontal yang berbeda 73

6.1. Kehilangan berat dari panel zephyr bambu pada kondisi

outdoor 86

6.2. MOR dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 86

8.1. Sistem perekatan dengan lima gaya perekatan 104

8.2. Penampang melintang balok uji 104

8.3. Penampang Benda uji tekan sejajar serat 111

8.4. Penampang lamina bilah bambu dengan lubang-lubang

sistem pola incising 116

8.5. Distribusi tegangan kondisi seimbang 118

8.6. Uji balok komposit beton bertulang-bambu laminasi 118

8.7. Geometri model numerikal sambungan balok-kolom

struktur bambu laminasi 121

8.8. Konektor pelat baja 122

8.9. Sambungan dengan pelat konektor disisipkan pada balok 122

8.10. Proses uji siklik sambungan balok-kolom struktur bambu

laminasi dengan konektor pelat baja dikarter 125

8.11. Hubungan tahanan momen-rotasi join sambungan hasil

ekperimen 126

Page 11: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

1 Anatomi Bambu

BAB I

ANATOMI BAMBU

Bambu di dunia tercatat tumbuh dilebih dari 75 negara dan

terdapat 1250 spesies bambu, selanjutnya kuantitas bambu yang

ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara kira-kira 80% dari

keseluruhan bambu yang ada di dunia. Genus Bambusa

mempunyai jumlah spesies paling banyak, terutama tersebar di

daerah tropis, termasuk Indonesia. Bambu yang bergerombol

dalam rumpun pada dasarnya termasuk tanaman hutan. Bambu

yang tumbuh menjalar pertumbuhannya cenderung merajarela ke

segala arah untuk menguasai lahan yang ada. (Sharma, 1987 dan

Uchimura, 1980). Bambu mempunyai keunggulan sebagai bahan

multi fungsi, tanaman cepat tumbuh (3 - 5 tahun), dan mempunyai

sifat kuat tarik yang hampir mendekati baja. Rittirong dan Elnieri

(2007), memaparkan penggunaan bambu yang dibagi dalam bambu

tradisional (konvensional) dan bambu rekayasa (mengalami proses

manufaktur). Bambu berdasarkan pertumbuhannya, dapat

dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu bambu simpodial dan

bambu monopodial (Morisco, 2005). Bambu simpodial tumbuh

dalam bentuk rumpun, setiap rhizome hanya akan menghasilkan

satu batang bambu, bambu muda tumbuh mengelilingi bambu yang

tua. Bambu simpodial tumbuh di daerah tropis dan subtropis,

sehingga hanya jenis ini saja yang dapat dijumpai di Indonesia.

Bambu monopodial berkembang dengan rhizome yang menerobos

ke berbagai arah di bawah tanah dan muncul ke permukaan tanah

sebagai tegakan bambu yang individual. Batang bambu terdiri atas

dua bagian yaitu:

a. Nodia (ruas/buku bambu)

Nodia adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu

batang dari bambu, karena pada nodia sebagain serat bambu

berbelok. Serat yang berbelok ini sebagian menuju sumbu

batang, sedang sebagian lain menjauhi sumbu batang, sehingga

pada nodia arah gaya tidak lagi sejajar semua serat (Morisco

1999). Secara umun nodia mempunyai kapasitas memikul

Page 12: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

2 Anatomi Bambu

bahan yang tidak efektif baik dari segi kekuatan ataupun

deformasi. Meskipun demikian adanya nodia pada batang

bambu mencegah adanya tekuk lokal yang sangat penting

dalam perancangan bambu sebagai elemen tekan (kolom).

b. Internodia (antar ruas)

Internodia adalah daerah antar nodia, semua sel yang terdapat

pada internodia mengarah pada sumbu aksial, sedang pada

nodia mengarah pada sumbu transversal. Tiap-tiap jenis bambu

mempunyai jarak internodia yang berbeda-beda. Bagian

internodia adalah bagian yang paling kuat dari bambu, sehingga

mempunyai kapasitas memikul bahan yang efektif.

a b

Gambar 1.1. Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan:

a. Simpodial; b. Monopodial

a b

Gambar 1.2. Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan:

a. Bambu Simpodial; b. Bambu Monopodial

Page 13: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

3 Anatomi Bambu

Menurut Krisdianto, dkk. (2005) tanaman bambu di Indonesia

merupakan tanaman bambu simpodial, dengan batang-batang yang

cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan

rhizomnya di dalam tanah. Batang bambu yang lebih tua berada di

tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses

penebangannya. Di Indonesia terdapat lebih dari 13 spesies bambu

yang biasa digunakan masyarakat untuk struktur bangunan, seperti

yang tercantum pada Tabel 1.1. berikut:

Tabel 1.1. Jenis Bambu di Indonesia (Krisdianto dkk, 2005)

Nama Ilmiah Nama Lokal Bambusa Spinosa Bluemeana Bambu duri, bambu gesing, bambu

greng, haur cucuk, pring greng

Bambusa Bambos Cruce Bambu duri, pring ori

Bambusa Multiplex Raeusech Awi krisik, bambu cina, pring gendani,

pring cendani, bambu pagar

Bambusa Vulgaris Schrad Bambu tutul, jajang gading, awi

koneng

Dendrocalamus Asper (Schult, F)

Black ex Heyne

Awi betung, bambu petung, deling

peting, jajang betung, pring petung

Gigantochloa Verticillite (Willa)

Munro

Andong gombong, awi gombong,awi

hideung, bambu hitam, pring wulung,

pereng sorat

Gigantochloa Nigrociliata (Bues)

Kurz

Bambu lengka tali, awi tela, bambu

lengka

Gigantochloa Apus Awi tali, bambu tali, deling apus, pring

tali, pring apus

Gigantochloa Hasskarlina (kurz) Back

ex Heyne

Awi lengka tali, awi tela

Phyllostachuhys Aurea Pring unceu, bambu cina

Schizostashyum Blumei Nees Awi bunar, awi tamiyang, pring

wuluh, buluh sumpitan

Schizostashyum Zollingeri (Steud)

Kurz

Bambu perling, awi cakeutreauk

Schizostachy Branchycladium Kurz Awi bulu

Strukur anatomi batang bambu ditentukan oleh bentuk, ukuran,

susunan dan jumlah berkas pengangkutan. Jumlah berkas

pengangkutan lebih banyak pada bagian luar dari pada bagian

dalam. Bagian luar berbentuk bulat telur dan kecil, sedangkan pada

bagian dalam berbentuk bulat dan besar. Semakin sedikit ke arah

ujung batang semakin rapat (Liese, 2000).

Page 14: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

4 Anatomi Bambu

Penelitian Feng (2014), susunan sel bambu seperti tampak

pada Gambar 1.1. Anatomi struktur batang bambu menentukan

karakteristiknya. Bambu-bambu bersifat seperti rumput-rumputan

yang tinggi dan tidak seperti pohon-pohon, pertumbuhannya hanya

tunggal tanpa pertumbuhan sekunder. Parenkim dan sel

penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari

kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar.

Susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki

kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara

parenkimnya berkurang.

Gambar 1.3. Sel bambu (Osorio dkk, 2010).

Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat

dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tubes), Dransfield

dan Widjaja (1995). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak

ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih

banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada

ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah

besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang.

Penelitian struktur anatomi dari ruas/nodia bambu telah dilakukan

oleh Ota dan Sugi (1953), Grosser dan Liese (1971), Zee (1974),

Hsiung dkk. (1980), dan Younus-Uzzaman (1990). Liese,(1997),

Page 15: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

5 Anatomi Bambu

melakukan penelitian struktur nodia bambu monopodial dan

sympodial. Struktur nodal berpengaruh pada pergerakan cairan

selama pengeringan dan pengawetan, dan mempengaruhi beberapa

sifat fisik dan mekanika batang bambu. Simpul dari batang bambu

terdiri dari upper edge of diaphragm, ridge nodal, diafragma,

sheath scar, ektra-node (Gambar 1.2). Serat dan sel parenkim di

daerah nodal granulae sering mengandung pati (Gambar 1.3).

Gambar 1.4. Ilustrasi morfologi nodia (Ding dkk, 1997).

Gambar 1.5. Potongan internode batang bambu (Cross sectional view)

Gambar 1.6. Cross section batang bambu (magnifikasi 10x)

Page 16: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

6 Anatomi Bambu

Gambar 1.7. Potongan Longitudinal Bambu yang menampilkan

Anatominya

Gambar 1.8. Susunan parenkim bambu pada bagian dalam bambu,

skala 55µm.

Gambar 1.9. Susunan serat bambu

Page 17: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

7 Anatomi Bambu

Keterangan:

L1 – L4 = Lapisan papan (broad layers);

N1 – N3 = Lapisan sempit (narrow layers);

O = Lapisan terluar dari dinding kedua (outermost layer of the

second wall);

P = Dinding primer (primary wall) .

Sumber: Wai , Li dkk 1995

I. Parameter Penentu Sifat Anatomi Bambu

Dalam penelitian tentang parameter penentu sifat-sifat

anatomi bambu, meliputi kerapatan berkas pengangkutan proporsi

sel: pembuluh, parenkim, massa serat dan dimensi serat.

Pengambilan contoh benda uji dilakukan dengan memotong setiap

bagian bambu secara longitudinal.

Pembuatan preparat untuk mengukur kerapatan berkas

pengangkutan dan proporsi masing-masing sel penyusun batang

bambu dilakukan dengan mengiris bagian internodia beberapa

penampang melintang dengan ketebalan 20 mikron. Pengirisan

dengan mikrotom. Preparat yang dihasilkan dipotret dengan foto-

mikroskop pada pembesaran 32 kali. Pemotretan dilakukan di

dalam medan penglihatan dalam mikroskop dan diarahkan pada

posisi dalam, posisi tengah, dan posisi luar dari ketebalan bambu.

Foto yang dihasilkan diukur dimensi panjang dan lebarnya,

kemudian digunakan untuk memisahkan bagian foto yang berisi

jaringan bambu dari bagian foto yang tidak berisi jaringan bambu.

Bagian foto yang berisi jaringan batang bambu ditimbang dan

dihitung jumlah berkas pengangkutan. Bagian foto yang berisi

gambar jaringan batang bambu kemudian digunting-gunting lagi

mengikuti garis-garis batas kelompok masing-masing unsur

penyusun struktur anatomi bambu untuk memisahkan satu unsur

dengan terhadap unsur yang lainnya. Setiap bagian foto yang

bergambar kelompok unsur penyusun anatomi itu kemudian

ditimbang.

Kerapatan berkas pengangkutan ditentukan dengan persamaan:

2

1

mA

JbpBP (1)

Page 18: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

8 Anatomi Bambu

dimana:

BP = kerapatan berkas pengangkutan dalam satuan/cm2;

Jbp = jumlah unit-unit berkas pengangkutan yang tergambar struktur

anatomi bambu (cm2);

m = perbesaran yang diberlakukan pada foto-mikroskop.

Proporsi masing-masing unsur penyusun struktur anatomi bambu

ditentukan dengan persamaan:

Prop %100

Wsa

Wpo (2)

dimana:

Prop = proporsi atau prosentase unsur tertentu penyusun struktur

anatomi batang bambu (%);

Wpo = berat foto yang bergambar unsur tertentu penyusun strukutr

anatomi yang bersangkutan (gram);

Wsa = berat seluruh format foto yang bergambar struktur anatomi

bambu;

Panjang serat bambu ditentukan berdasarkan diri pada metode

maserasi dan pengukuran yang diterapkan oleh Forest Product

Laboratory. Maserasi dilakukan dengan memasukkan serpih

bambu berukuran 2 x 2 x 40 mm ke dalam tabung reaksi tertutup

berisi campuran antara CH3COOH dan H2O2 dengan perbandingan

1:20, kemudian tabung itu direbus dalam refluks kondensor selama

4 jam. Hasil maserasi dicuci hingga masing-masing serat bambu

saling terpisahkan. Serat bambu diwarnai dengan safranin. Setelah

dibiarkan selama 24 jam, serat bambu dipindahkan dengan bantuan

pipet ke atas gelas preparat, serat dipisah-pisahkan dengan bantuan

jarum dan ditutup dengan gelas penutup. Panjang serat diukur

dengan menggunakan kurvimeter dan pengukuran dilakukan

dibawah fibroskop yang telah diketahui besarannya. Setiap

preparat diukur 200 buah serat.

II. Beberapa Penelitian Terkait Anatomi Bambu

A. Komponen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis Bambu

(Chemical Component and Anatomical Features of Three

Species of Bambu)

E. Manuhuwa dan M. Loiwatu meneliti pada 3 lokasi (Buria,

Morekao, Tala), terhadap 3 jenis bambu (Dendrocalamus asper,

Schizostachyium brachycladum, Schyzotachium lima), dan 3 posisi

dalam batang (pangkal, tengah dan ujung). Tujuan penelitian

Page 19: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

9 Anatomi Bambu

adalah untuk mengukur komponen kimia dan anatomi 3 jenis

bambu (Dendrocalamus asper, Schizostachyium brachycladum,

Schyzotachium lima) asal 3 kecamatan Seram bagian barat

(Taniwel, Piru, Kairatu), dan 3 bagian batang (pangkal, tengah dan

ujung). Percobaan faktorial dalam rancangan petak terpisah

digunakan dalam penelitian dengan 3 ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan lokasi

terhadap kadar lignin, diameter sel serat dan rongga sel serat dan

proporsi sel parensim; jenis bambu terhadap panjang dan diameter

sel serat; posisi dalam batang terhadap kadar ekstraktif larut air

dingin, ekstraktif larut alkohol benzen, panjang dan diameter sel

serat, dan diameter sel serat. Ekstraktif larut air dingin berkisar

3,10-3,79%; larut air panas 5,43-6,23%; larut alkohol benzen

3,37%-4,10%; alfa selulosa 44,22%-46,94%; holoselulosa 71,97%-

75,57%; lignin 26,00%-27,37%; panjang sel serat 3,40mm-

3,96mm; diameter sel serat 4,34mikron-4,91mikron; diameter

rongga sel serat 2,74mikron-3,23mikron; tebal dinding sel serat

0,76mikron-0,91mikron proporsi sel parensim 51,95%-56,85%;

proporsi sel serat 27,81%-62,66%; dan proporsi sel pori 12,39%-

14,60%.

Komponen anatomi mengacu pada Pedoman LPHH (Silitonga

dkk, 1972) dan metode Kaakinen dkk (2004) serta Nugroho dkk

(2005) untuk pengukuran dimensi serat dan proporsi sel. Rumus

untuk menghitung 100 serat pendahuluan menurut Kasmudjo, 1998

sebagai berikut :

2

24

L

SN dengan, S2 =

1

)( 22

n

n

fixifiXi

dan L = 05,0n

fiXi

dimana:

N = Jumlah serat yang diukur;

S = Standar deviasi;

L = Nilai rata-rata panajng serat kali 0,05 (error 5% diangap telah

memadai);

Xi = Panjang serat;

Fi = Frekwensi serat (yang sama ukurannya);

N = Jumlah serat yang diukur pada pengukuran pendahuluan (100 serat).

Page 20: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

10 Anatomi Bambu

Pengukuran diameter serat dan diameter lumen dapat

dilakukan secara langsung dengan menggunakan program Image

Pro Plus V 4.5. Cara pengukuran proporsi sel menggunakan

program Image Pro Plus V 4.5 dengan spacing horizontal dan

vertikal masing-masing 100 dan gambar foto anatomi bambu yang

diukur pada penampang melintang (x). Selanjutnya foto anatomi

bambu tersebut dihitung jumlah titik dot grid dengan menggunakan

manual Tag, kemudian hasil perhitungan tersebut di ekspor ke

Microsoft Excel (Nugroho dkk, 2005).

Tabel 1.2. Komponen Anatomi Bambu Menurut Tempat Tumbuh

KOMPONEN ANATOMI DIMENSI SEL (mm dan Mikron)

Panjang

Serat

tn-*-

**

3,79 3,56 3,70 3,90 3,55 3,57 3,96 3,67 3,40

Diameter

Serat

**-**-

**

4,91 4,44 4,59 4,91 4,60 4,44 4,97 4,72 4,34

Diameter

Lumen

**-tn-

**

3,10 2,92 2,98 3,10 3,00 2,90 3,23 3,02 2,74

Tebal

Dinding

Sel

tn-tn-

tn

0,91 0,76 0,80 0,90 0,80 0,77 0,91 0,80 0,77

PROPORSI SEL (%)

Sel

Parensim

*-tn-* 55,44 53,10 56,71 54,79 54,79 56,85 56,83 55,67 51,95

Sel Serat tn-tn-* 32,31 62,66 29,99 32,64 39,03 33,03 27,81 31,84 35,31

Sel Pori tn-tn-

tn

12,39 14,33 14,05 12,58 14,96 13,23 14,60 13,43 13,13

Keterangan: **=sangat nyata, *=nyata dan tn=tidak nyata; B=Buria;

B. Kesimpulan

1. Lokasi yang berbeda memberikan interaksi yang signifikan

terhadap kandungan lignin bambu, diameter serat, diameter

lumen, dan proporsi sel parensim.

2. Jenis bambu yang berbeda memberikan interaksi yang

signifikan terhadap panjang dan diameter sel serat.

3. Posisi batang bambu yang berbeda memberikan interaksi yang

signifikan terhadap ekstraktif larut panas, ekstraktif larut

alkohol benzen, panjang dan diameter serat, serta diameter

lumen.

4. Rata-rata ekstraktif larut air dingin bambu berkisar antara

3,10%-3,79%; ekstraktif larut air panas 5,43%-6,23%;

ekstraktif larut alkohol benzen 3,37%-4,10%; alfa selulosa

Page 21: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

11 Anatomi Bambu

44,22%-46,94%; holoselulosa 71,97%-75,57%; lignin 26,00%-

27,37%.

5. Rata-rata panjang sel serat bambu berkisar antara 3,40mm-

3,96mm; diameter serat 4,34mikron-4,91mikron; diameter

lumen 2,74 mikron-3,23mikron; tebal dinding sel serat 0,76

mikron-0,91mikron; proporsi sel parensim 51,95%-56,85%;

proporsi sel serat 27,81%-62,66%, dan proporsi sel pori

12,39%-14,60%.

III. Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan Wulung

dalam Arah Longitudinal

Yustinus Suranto meneliti tiga jenis bambu yang ditebang

masing-masing sebanyak 3 batang dari desa Degolan, Kec.

Ngentak, Kab. Sleman. Setiap batang dibedakan lagi dalam arah

longitudinal sebagai bagian pangkal, tengah dan ujung batang.

Setiap bagian batang ini diteliti kerapatan berkas pengangkutan,

proporsi parenkim, proporsi pembuluh, proporsi masa serat, dan

panjang seratnya.

A. Proporsi parenkim

Tabel 1.3. Hasil rata-rata prosentase Parenkim (%) pada 3 jenis bambu

dan 3 posisi contoh uji dalam batang

Jenis bambu Posisi Contoh Uji

Pangkal Tengah Ujung

Ampel

Ori

Wulung

50,834

55,450

46,368

43,437

47,633

44,156

42,101

42,791

43,082

B. Proporsi Massa Serat

Tabel 1.4. Hasil rata-rata prosentase Massa Serat (%) pada 3 jenis bambu

dan 3 posisi contoh uji dalam batang

Jenis bambu Posisi Contoh Uji

Pangkal Tengah Ujung

Ampel

Ori

Wulung

41,703

37,095

45,827

45,472

40,217

47,415

45,921

42,950

45,173

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proporsi perenkim

dan pembuluh berbeda-beda pada jenis bambu dan arah

Page 22: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

12 Anatomi Bambu

longitudinal. Proporsi masa serat hanya berbeda dalam jenis saja.

Sementara itu, panjang serat tidak berbeda dalam jenis bambu

maupun posisi longitudinal batang.

C. Proporsi Panjang Serat

Tabel 1.5. Hasil rata-rata Panjang Serat (mikron) pada 3 jenis bambu dan

3 posisi contoh uji dalam batang

Jenis bambu Posisi Contoh Uji

Pangkal Tengah Ujung

Ampel

Ori

Wulung

3814,629

3359,306

3103,612

3240,139

3700,502

3318,511

3093,136

3040,088

2830,858

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proporsi perenkim

dan pembuluh berbeda-beda pada jenis bambu dan arah

longitudinal. Proporsi masa serat hanya berbeda dalam jenis saja.

Sementara itu, panjang serat tidak berbeda dalam jenis bambu

maupun posisi longitudinal batang.

D. Kandungan tepung pada enam jenis bambu (%)

Tabel 1.6. Kandungan tepung (%) pada 6 jenis bambu

Spesies Pangkal

(%)

Tengah

(%)

Ujung

(%)

Rata-rata

(%)

1. Bambusu vulgaris

(bambu Ampel)

2. Gigantochloa apus

(bambu Apus)

3. Bambusa

arundinacea (bambu

Ori)

4. Gigantochloa

atroviolacea (bambu

Wulung)

5. Gigantochloa

verticillata (bambu

Legi)

6. Dendrocalamus

asper(bambu Petung)

5,71

1,01

0,17

1,15

0,34

1,59

6,91

0,91

0,15

0,91

0,68

2,22

7,61

1.04

0,21

1,62

1,27

2,03

6,75

1,01

0,18

1,23

0,76

1,95

Rata-rata 1,67 1,96 2,30 1,98

Page 23: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

13 Sifat Fisika Bambu

BAB II

SIFAT FISIKA BAMBU

Bambu mempunyai ruas dan buku, pada setiap ruas tumbuh

cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan

dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-akar

sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak

tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-

tunas rimpangnya.

Sifat fisika bambu terdiri dari berat jenis, kadar dan kembang

susut. Kualitas bambu sangat tergantung dari nilai sifat fisika

bambu. Semakin tinggi kualitas bambu akan ditunjukkan oleh nilai

berat jenis yang tinggi, kadar air yang rendah dan kembang susut

yang rendah. Sehingga dalam pemilihan bambu akan sangat perlu

melihat sifat fisika dari bambu yang akan kita pakai.

Bambu sangat sensitif terhadap perubahan kadar air udara atau

kelembapan udara. Sifat fisika bambu adalah perilaku fisik bambu

sebagai tanggapan terhadap perubahan kondisi udara di sekitar

tempat tumbuh bambu. Sifat fisika bambu terdiri dari berat jenis,

kadar dan kembang susut. Kualitas bambu sangat tergantung dari

nilai sifat fisika bambu. Semakin tinggi kualitas bambu akan

ditunjukkan oleh nilai berat jenis yang tinggi, kadar air yang

rendah dan kembang susut yang rendah. Kadar air dan berat jenis

merupakan sifat fisika bambu yang dapat mempengaruhi sifat

mekanika bambu. Pada batang bambu yang baru dipotong kadar air

berkisar antara 50-99% dan pada bambu kering sekitar 12-18%.

Berat jenis bambu berkisar antara 600-900 kg/cm3 (Taurista dkk,

2006). Pemilihan bambu sangat perlu melihat sifat fisika dari

bambu yang akan digunakan.

Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisika bambu adalah

umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi

beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke

bagian dalam dan kadar air bambu. Lu Xiu-xin, dkk (1985) (dalam

Janssen, 1991) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh

umur dan tempat tumbuh bambu terhadap kadar air dan berat jenis

Page 24: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

14 Sifat Fisika Bambu

bambu. Setiap macam pengujian dan setiap daerah asal bambu

menggunakan lebih dari 200 spesimen. Bambu diambil dari empat

daerah di Propinsi Shandong, dari umur 1 – 7 tahun.

Sifat fisika merupakan informasi penting guna memberi

petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang

dihasilkan. Hasil pengujian sifat fisis bambu telah diberikan oleh

Ginoga (1977) dalam Krisdianto 2005, dalam taraf pendahuluan.

Pengujian dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.)

dan bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata Kurz.). Beberapa hal

yang mempengaruhi sifat fisis adalah umur, posisi ketinggian,

diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas),

posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air

bambu. Titik jenuh serat bambu 20-30%. Bagian dalam bambu

lebih banyak mengandung lengas (air bebas), daripada bagian luar.

Bagian buku-buku (nodes) mengandung +10% lebih sedikit kadar

airnya dari pada bagian ruasnya. Bambu kurang tahan jika

dipergunakan sebagai tulangan beton karena daya serap airnya

bisa mencapai 300%. Bambu perlu diawetkan agar dapat mencapai

mutu dan umur yang diharapkan. Penggunaan pada konstruksi

bangunan harus dihindarkan dari hujan dan panas matahari

langsung, agar tidak mudah rapuh dan membusuk.

Kebanyakan bambu tumbuh pada temperatur 8.8° C sampai

36° C. Moso dan bambu Ma yang tumbuh di Jepang dapat tumbuh

pada temperatur – 10° C. Ketinggian tanah dimana bambu tumbuh

dapat mencapai 3.600 m di atas permukaan laut seperti bambu

yang tumbuh di Ekuador. Bambu umumnya tumbuh pada tanah

yang berpasir (sandy loam) sampai di tanah liat (kuning, coklat

kekuning-kuningan atau merah kekuning-kunigan). Kualitas tanah

tidak penting bagi pertumbuhan bambu.

Moisture content bambu, Phisikal propertis, Mekanikal/

teknikal propertis sebagaimana juga dalam penggunaan bambu

sebagai bahan baku atau komponen bangunan tergantung dari

kadar airnya (moisture content). Kadar air bambu pada buku dan

batang sangat tergantung pada umur dan musim. Pada batang antar

buku dapat mencapai 25% dibandingkan dengan pada bagian buku

Page 25: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

15 Sifat Fisika Bambu

sedangkan pada bagian dasar sangat bervariasi. Pada daerah

subtropical musim sangat mempengaruhi moisture content

(kandungan air) bambu dan pada musim hujan dapat mencapai dua

kalinya. Kandungan air bambu ini sangat mempengaruhi kualitas

bambu terutama pada saat akan dimanfaatkan sebagai komponen

bangunan.

Pemuaian dan penyusutan bambu hampir sama dengan

kayu. Perubahan yang terjadi pada panjang, lebar serta tebal

kurang lebih proporsional dengan kadar air yang dikandung. Pada

penggunaan konstruksi yang seluruhnya menggunakan bambu

kondisi ini tidak begitu berpengaruh pada konstruksi, berbeda

dengan konstruksi yang menggunakan kombinasi antara bambu

dan kayu kemungkinan terlepasnya sambungan sangat besar.

Ketahanan api bambu, dibandingkan dengan kayu lunak

sejenis spruce (famili pinus) maka bambu mempunya daya rambat

yang lebih baikSpruce terbakar lebih cepat sedangkan bambu dua

kali lebih lama. Kulit bambu yang mengandung silisic acid sangat

membantu menahan rambatan api shingga proses terbakarnya lebih

lama dibandingkan spruce. Komponen yang dipasang secara

horizontal lebih tahan dibandingkan dengan yang posisinya

vertikal.

I. Kadar Air (Moisture Content)

Kadar air terdiri dari tiga jenis,

a. Kadar air segar, nilai kadar air bambu saat masih bambu sesaat

baru ditebang (fresh moisture content), nilai kada air bambu

sangat tinggi bahkan bisa melampaui

b. Kadar air TJS, kadar air setelah bambu diawetkan baik secara

tradisional maupun modern dimana dinding sel bambu dalam

keadaan penuh berisi air sedangkan lumenselnya kosong air.

c. Kadar air ovendry, kadar air setelah bahan bambu di

oven/dikeringkan sampai air dalam dinding sel dan lumen sel

menguap seluruhnya.

Page 26: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

16 Sifat Fisika Bambu

Kandungan air dalam bambu teridi dari dua jenis yaitu air terikat

(bound water) dan air bebas (free water)

a. Air terikat adalah air yang berada pada dinding sel yang terikat

akibat gaya ikatan antara air dan molekul selulosa. Jika air

terikat habis sering disebut kering tanur, sedangkan jika air

terikat tidak habis sedangkan air bebas tidak ada disebut kering

angina.

b. Air bebas air yang berada pada lumen sel akibat gaya pipa

kapiler.

Kering angin tergantung tempat dimana bambu berada dan terjadi

kadar air seimbang sekitar 3-6 bulan.

Kadar air (Moisture content) dihitung dengan menggunakan

rumus:

Moisture content (%) = bambutotalberat

bambudalamairberat x 100% (1)

Nilai kadar air akan meningkat setelah dilaksanakan perekatan

pada pembuatan bambu laminasi, hal ini diakibatkan oleh

kandungan air yang terdapat pada bahan perekat. Semakin kecil

nilai RS (resin solid) dalam spesifikasi yang tercantum pada bahan

perekat menunjukkan semakin besar jumlah air yang

dikandungnya. Jumlah air ini akan masuk ke sel bambu saat proses

perekatan dan pengempaan sehingga akan meningkatkan kadar air

bambu.

Gambar. 2.1. Distribusi serat beraneka ragam ukuran pada irisan bambu

(arah tangensial)

Page 27: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

17 Sifat Fisika Bambu

II. Berat Jenis (Specific Gravity= SG) dan Kerapatan (Density)

Berat Jenis

Berat jenis merupakan sifat fisika yang terbaik dalam

memprediksi sifat suatu bahan. Berat jenis bambu berkisar 0,4-0,8.

Berat jenis diukur dari jumlah zat padat yang terkandung didalam

dinding sel. Merupakan rasio dari berat kering oven (ovendry =

OD) pada kadar air 0% bahan bambu terhadap berat yang sama

volume dalam air. Berat jenis dapat dihitung dengan rumus:

SG = airdalambambuberat

bambuODberat (2)

Dalam pengukuran berat jenis ada dua jenis, yaitu:

a. Variasi Radial

Berat jenis yang diukur berdasarkan spesimen bambu arah

radial (dari dalam ke sisi luar bambu.

b. Variasi Longitudinal

Berat jenis yang diukur berdasarkan spesimen bambu arah

logitudinal (sepanjang dan sejajar arah serat).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berat jenis bambu:

a. Kadar air, semakin tinggi akan menyebabkan berat jenis

semakin rendah.Berat jenis tertinggi bambu terjadi pada kadar

air 0%,

b. Proporsi tipe sel penyusun volume bambu dan ketebalan

dinding sel. Semakin tebal dinding sel maka semakin tinggi

berat jenis bambu,

c. Ukuran sel dan lumen sel, ukur sel dan lumen sel yang lebar

akan membuat nilai berat jenis bambu semakin rendah

Metode pengujian SG untuk kayu dan non kayu dapat

menggunakan ASTM 1997, Spesimen dipotong kurang lebih 2,5

cm dengan variasi lebar, ketebalan, dan beragam kombinasi antara

lokasi batang (dengan nodia atau tanpa nodia).

Density

Density () didefinisikan sebagai massa per unit volume dengan

rumus:

Page 28: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

18 Sifat Fisika Bambu

= massa/volume (3)

Density dari bahan bambu sekitar 0,5-0,8 g/cm3. Walaupun

kenyataan dilapangan density bambu melebihi dari 1 g/cm3.

Density dari bahan bambu juga dapat dihitung dengan rumus

density berat (weight density – Wt density)terhadap volume pada

kadar air tertentu, seperti rumus beikut:

Wt density = tertentuairkadarpadabambuvolume

tertentuairkadarpadabambuberat

Semakin tinggi nilai density bambu maka sifat fisika bambu akan

lebih baik.

III. Kembang susut (Shrinkage and Swelling)

Kembang susut dipelajari rangka mengatasi bambu pecah

pada saat dipakai sebagai bahan konstruksi. Kembang susut terjadi

saat air terikat mulai keluar ataupun masuk pada dinding sel. Saat

air terikat masuk ke dinding sel sampai dengan kondisi TJS bambu

akan mengembang (shrinkage) dan sebaliknya, dari kondisi TJS air

terikat pada bambu keluar dinding sel bambu akan menyusut

(Swelling).

Kembang susut arah tangensial sedikit lebih besar bahkan

pada kondisi dan jenis bambu tertentu nilainya sama besar,

sedangkan arah longitudinal nilai kembang susut paling kecil.

Seperti tampak pada gambar 4. posisi arah serat longitudinal,

radial, tangensial, batang dengan nodia dan tanpa nodia

(internodia), posisi arah serat berbeda akan mengakibatkan nilai

kembang suust yang berbeda pula.

MC= 0% kembang

susut

(4)

Page 29: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

19 Sifat Fisika Bambu

Gambar. 2.2. Penurunan kadar air bambu menyebabkan bambu menyusut

dan melengkung (swelling)

Gambar 2.3. Keluar-masuknya air terikat pada dinding sel berakibat

terjadinya kembang-susut

Gambar 2.4. Makroskopik batang bambu, tampak arah longitudinal (A),

bambu terbelah (B) dan tampilan arah tangensial serta radial (C)

Sifat fisika bambu berbagai jenis bambu dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti yang diuraikan sebagai berikut:

A. Usia bambu

Berat jenis berdasar umur bambu, semakin muda bambu maka

berat jenisnya semakin kecil, semakin besar kadar airnya dan

Page 30: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

20 Sifat Fisika Bambu

kembang susutnyapun semakin besar. Begitu pula sebaliknya

semakin tua usia bambu berat jenis akan meningkat sedangkan

kadar air dan kembang susut nilai semakin kecil.

B. Posisi bambu (pangkal, tengah, ujung)

Sifat fisika tergantung posisi bambu, kualitas bambu

mendekati tanah (pangkal) nilai/kualitas nya lebih rendah bila

dibandingkan dengan bambu yang jauh dari pangkalnya.

C. Jenis bambu,

Setiap bambu jenis berbeda akan memiliki sifat fisika yang

berbeda pula. Sifat fisika bambu jenis yang berbeda akan berakibat

pada sifat mekanika dan anatomi bambu yang berbeda pula.

Banyak peneliti sudah melakukan penelitian tentang sifat fisik

bambu yang ada didaerahnya, kuantitas yang terbanyak didaerah

ataupun sesuai kebutuhan eksperimen bambu selanjutnya,

D. Tempat tumbuh,

Tempat tumbuh yang dimaksud dalam hal ini adalah posisi

kemiringan/datarnya tanah dan kandungan air, kesuburan tanah

serta cuaca daerah sekitarnya tempat bambu itu tumbuh. Tempat

tumbuh erat kaitannya dengan sifat fisika bambu yang tumbuh di

tempagt tersebut. Sebagai contoh semakin tinggi kadar air tanah

yang dikandung akan otomatis kadar air bambu yang tumbuh

ditempat tersebut akan tinggi.

IV. Hasil-hasil penelitian tentang sifat Fisika Bambu

Berikut dibawah ini beberapa hasil penelitian berbagai jenis

bambu dan nilai sifat fisikanya:

A. Nilai sifat fisis dan mekanis bambu ater, bitung dan andong

hasil penelitian Hadjib dan Karnasudirdja (1986)

Hadjib dan Karnasudirja (1986), melakukan penelitian

perbandingan berat jenis bambu yang sering dijumpai di

masyarakat. Berat jenis yang paling tinggi adalah bambu Ater

kemudian bambu bitung dan bambu andong. Besarnya berat jenis

seperti tertera dalam Tabel 2.3.

Page 31: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

21 Sifat Fisika Bambu

Tabel 2.1. Nilai Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Ater, Bitung dan

Andong (Hadjib dan Karnasudirdja, 1986)

No Jenis Bambu Berat Jenis 1 Bambu Ater (Gigantochloa Atter Kurz) 0,71

2 Bambu Bitung (Dendrocalamus Asper Backer) 0,68

3 Bambu Andong (Gigantochloa Apus Kurz) 0,55

Tabel 2.2. Sifat Fisika Bambu pada Umur 3-5 tahun menurut tempat

tumbuhnya (Lu, dkk. 1985)

Daerah Asal bambu

Sancha Luchanya Dahuaya Dajin-

kou

Lingkungan

tempat

tumbuh

bambu

Daerah

pengunungan

dingin,

sepenjang

sungai

Di tengah

pegunungan

Daerah

pantai,

daerah

datar, pada

cabang/anak

sungai

Daerah

datar,

dekat

sungai

Kadar Air (%) 79,02

77,46

77,21

99,11

76,18

74,02

80,26

79,45

70,67

84,97

84,73

81,54

Berar Jenis

(kg/m3)

717 704 680 679

B. Kadar Air (%) Berdasarkan Zhou Fangchun (1980)

Tabel 2.3. Nilai Kadar Air (%) berdasarkan usia dan posisi

Posisi Umur B. vulgaris B. tulda

Pangkal Dewasa

Muda

52,8

85,7

77,2

90,2

Tengah Dewasa

Muda

48,7

86,3

75,9

75,2

Ujung Dewasa

Muda

51,9

94,5

75,4

66,4

Rata-rata Dewasa

Muda

50,9

88,8

76,8

77,3

Page 32: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

22 Sifat Fisika Bambu

C. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh ILL: Xiu-

xin dkk. (1985)

Tabel. 2.4. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh

Umur

(tahun)

Daerah asal bambu

Sancha Dajinkou Uahuaya Luchanya

1 95,66 88,58 95,53 121,22

2 87,39 86,85 91,96 105,25

3 79,02 84,97 80,26 99,11

4 77,46 84,73 79,45 76,18

5 77,21 81,54 70,67 74,02

6 73,21 80,96 67,87 70,40

7 66,93 71,77 66,52

D. Nilai Sifat Fisika Papan Bambu Laminasi hasil penelitian dari

IM Sulastiningsih dan Nurwati (2009)

Tabel. 2.5. Sifat fisika bambu laminasi

Sifat Fisika Nilai

MC (%)

Density (g/cm3)

TS (%)

LE (%)

12.67 – 13.68

0.71 – 0.75

2.47 – 4.08

0.07 – 0.17

E. Hasil uji kembang-susut bambu (Triwiyono dan Morisco, 2000)

Tabel. 2.6. Kembang susut bambu menurut spesies dan posisi batang

Spesies Posisi Muai

rata-rata

( %)

Susut

rata-

rata

( %)

Kisaran

(%)

Gigantochloa apus

Bambu Apus

Pangkal

Tengah

Ujung

19,129

13,586

11,923

1,364

4,891

4,479

20,493

18,477

16,402

Bambusa arundinacea

Bambu Ori

Pangkal

Tengah

Ujung

13,073

10,873

11,392

4,262

6,965

7,499

17,336

17,837

18,891

Dendrocalamus asper

Bambu Petung

Pangkal

Tengah

Ujiang

1,852

5,856

2,935

9,261

9,941

9,699

11,113

15,797

12,633

Gigantochloa

atroviolacea

Bambu Wulung

Pangkal

Tengah

Ujung

15,461

8,284

3,866

2,677

8,950

7,562

18,138

17,235

11,428

Page 33: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

23 Sifat Fisika Bambu

F. Hasil Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah dan

kering (Triwiyono dan Morisco, 2000 dalam Morisco 2006)

Tabel. 2.7. Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah

Posisi

Nomor

Bambu Basah Bambu Kering

Udara

Kadar

air

(%)

Berat

Jenis

Kadar

air

(%)

Berat

Jenis

Pangkal 1

2

3

38,610

34,256

35,361

0,634

0,680

0,603

5,381

4,390

5,909

0,646

0,663

0,682

rata-rata 36,076 0,639 5,227 0,664

Tengah 1

2

3

41,129

36,402

35,965

0,695

0,701

0,712

6,250

6,926

6,859

0,711

0,702

0,769

rata-rata 37,832 0,703 6,678 0,727

Ujung 1

2

3

38,699

36,078

35,517

0,754

0,712

0,686

6,034

8,756

6,818

0,763

0,697

0,820

rata-rata 36,765 0,717 7,203 0,760

G. Kesimpulan Sifat fisika dari berbagai jenis dan kondisi bambu

Tabel. 2.8. Sifat fisika dari berbagai jenis dan kondisi bambu

Sifat Fisika Kisaran Nilai

1. Berat jenis

2. Kadar Air

3. Kembang Susut

0,55 – 0,75 kg/cm2

5,227 – 105,25 %

11,113-20,493 %

Beberapa cara teknis sederhana dalam pemilihan bambu untuk

mendapatkan kualitas bambu yang baik:

1. Usia yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, antara 3

sampai dengan 5 tahun,

2. Posisi bambu yang diambil minimal 1.5 meter dari pangkal

bambu yang ditebang, dipilih bambu yang lurus dan diameter

seragam sehingga akan menghindari bambu pada posisi paling

ujung,

Page 34: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

24 Sifat Fisika Bambu

3. Tempat tumbuh, diusahakan mengambil bambu pada posisi

tanah yang datar dan kadar air tanah yang relatif rendah. Serta

rumpun bambu tempat tumbuh telah mengikuti prosedur

budidaya bambu yang baik.

Page 35: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

25 Sifat Mekanika Bambu

BAB III

SIFAT MEKANIKA BAMBU

Sifat mekanika merupakan informasi penting guna memberi

petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang

dihasilkan. Hasil pengujian mekanis bambu telah diberikan oleh

Ginoga (1977) dalam taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada

bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam

(Gigantochloa nigrocillata Kurz.). Beberapa hal yang

mempengaruhi mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian,

diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas),

posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air

bambu. Sifat mekanika, merupakan nilai paling utama dalam

desain perancangan bambu sebagai bahan konstruksi. Nilai ini

menetukan kuat tidaknya, dan layak tidaknya digunakan pada

posisi tertentu pada konstruksi. Lingkungan tempat tumbuh bambu

juga berpengaruh pada sifat mekanik bambu. Untuk membuktikan

hal tersebut, penelitian telah dilakukan oleh Lu Xiu-xin dkk 1985

(dalam Janssen, 1991). Setiap macam pengujian dan setiap daerah

asal bambu menggunakan lebih dari 200 spesimen. Bambu diambil

dari empat daerah di Propinsi Shandong. Hasil eksperimen yang

dilakukan pada penelitian itu dapat dilihat pada Tabel 2.5. Ginoga

(1977) meneliti sifat mekanika bambu Hitam (Gigantochloa

atroviolacea) dan bambu Apus (Gigantochloa apus). Hasil

pengujian sifat mekanika tertera pada Tabel 2.7.

Sifat mekanika dari bambu antara lain:

I. Kuat tekan

Kekuatan bambu untuk menahan gaya tekan tergantung pada

bagian ruas dan bagian antar ruas batang bambu. Kuat tekan dari

batang bambu dapat dihitung dengan Persamaan 1. Bagian batang

tanpa ruas memiliki kuat tekan (8 – 45)% lebih tinggi dari pada

batang bambu yang beruas.

A

Ptk (N/mm2) (1)

Page 36: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

26 Sifat Mekanika Bambu

dengan :

Ptk = beban maksimum ( N );

A = luas bidang tekan ( mm2 ).

Kegagalan akibat uji tekan ada tiga jenis, yaitu:

a. Kegagalan tekuk (buckling failure), kegagalan bambu berupa

batang bambu menekuk akibat yang kemudian ditandai bambu

pecah (failure)

b. Kegagalan geser (split), kegagalan bambu langsung pecah dan

terbelah arah longitudinal akibat uji tekan.

c. Kegagalan tekuk dan geser, kegagalan bambu kombinasi tekuk

dan geser yang terjadi bersamaan saat bambu akan failure

Tabel 3.1. Kuat Tekan rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi

(Morisco, 1999) Jenis Bambu Bagian Kuat Tekan

(MPa) Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) Pangkal

Tengah

Ujung

277

409

548

Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Pangkal

Tengah

Ujung

532

543

464

Bambu Galah (Gigantochloa ven icilata) Pangkal

Tengah

Ujung

327

399

405

Bambu Apus (Gigantochloa apus) Pangkal

Tengah

Ujung

215

288

335

Gambar 3.1. Uji Tekan Bambu

Page 37: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

27 Sifat Mekanika Bambu

Gambar 3.2. Hasil Uji Tekan Bambu

(Structural Bambu Project_Univ. Of Hawaii)

II. Kuat tarik

Kekuatan bambu untuk menahan gaya tarik tergantung pada

bagian batang yang digunakan dan besarnya dihitung dengan

Persamaan 2. Bagian ujung memiliki kekuatan terhadap gaya tarik

12% lebih rendah dibanding dengan bagian pangkal.

A

Ptr (N/mm2) (2)

dengan :

Ptk = beban maksimum ( N );

A = luas bidang tarik ( mm2 ).

Gambar 3.3. Pengujian kuat tarik sejajar serat

Page 38: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

28 Sifat Mekanika Bambu

Gambar 3.4. Hasil Uji Tarik Bambu

(Structural Bambu Project_Univ. Of Hawaii)

Tabel 3.2. Kuat tarik bambu tanpa buku kering oven (Morisco, 1999)

Jenis Bambu Kuat Tarik

Bagian Dalam

(kg/cm2)

Kuat Tarik

Bagian Luar

(kg/cm2)

Bambu Ori (Bambusa arundinacea)

Bambu Petung (Dendrocalamus

asper)

Bambu Hitam (Gigantochloa

atroviolacea)

Bambu Tutul (Bambusa maculata)

1.640

970

960

1.460

4.170

2.850

2.370

2.860

Tabel 3.3. Kuat tarik bambu kering oven (Morisco, 1999)

Jenis Bambu Kuat Tarik

tanpa Buku

(MPa)

Kuat Tarik

dengan Buku

(MPa) Bambu Ori (Bambusa arundinacea)

Bambu Petung (Dendrocalamus

asper)

Bambu Wulung (Gigantochloa

atroviolacea)

Bambu Legi (Gigantochloa

verticilata)

Bambu Tutul (Bambusa maculata)

Bambu Galah (Gigantochloa

verticilata)

Bambu Apus (Gigantochloa apus)

291

190

166

288

216

253

151

128

116

147

126

74

124

55

Page 39: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

29 Sifat Mekanika Bambu

Tabel 3.4. Kuat Tarik rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi Jenis Bambu Bagian Kuat Tekan

(MPa) Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) Pangkal

Tengah

Ujung

228

177

208

Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Pangkal

Tengah

Ujung

239

292

449

Bambu Galah (Gigantochloa ven icilata) Pangkal

Tengah

Ujung

192

335

232

Bambu Apus (Gigantochloa apus) Pangkal

Tengah

Ujung

144

137

174

Gambar 3.5. Hasil Uji Tarik Bambu Ori, Bambu Petung dan Baja

(Morisco, 1999)

III. Kuat geser sejajar serat

Kemampuan bambu untuk menahan gaya - gaya yang membuat

suatu bagian bambu bergeser dari bagian lain di dekatnya disebut

dengan kuat geser. Kuat geser bambu tergantung pada ketebalan

dinding batang bambu. Bagian batang tanpa ruas memiliki

kekuatan terhadap gaya geser 50% lebih tinggi dari pada batang

bambu yang beruas. Pengujian ini menggunakan standar ISO / DIS

Page 40: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

30 Sifat Mekanika Bambu

3347, bertujuan menentukan kekuatan atau keteguhan geser

(ultimate Shearing stress) dengan cara memberikan beban secara

teratur pada bidang geser benda uji sampai menimbulkan retak

akibat geser. Perhitungan kuat geser menggunakan Persamaan 3.:

lb

P// (N/mm2) (3)

dengan :

τ//serat = tegangan geser sejajar serat (MPa);

P = beban maksimum (N);

b = tebal benda uji (mm);

l = panjang bidang geser (mm).

Kegagalan geser tertinggi berada pada posisi internodia, karena

posisi internodia memiliki daya ikat antar serat yang paling lemah

Gambar 3.6. Hasil Uji Geser Bambu

Page 41: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

31 Sifat Mekanika Bambu

Gambar 3.7. Uji Geser Bambu

IV. Modulus lentur (Modulus of Rupture (MOR))

Modulus lentur merupakan keteguhan lentur suatu bahan,

dimana merupakan refleksi dari kapasitas beban maksimum pada

perlakuan.

Nilai modulus lentur bahan dapat dihitung dengan Persamaan 4.

2

max

2

3

hb

lPMoR (N/mm2) (4)

dengan :

Pmax. = beban maksimum ( N );

b = lebar benda uji ( mm );

h = tinggi benda uji ( mm );

l = jarak antar tumpuan ( mm ).

l

½ l ½ l

P

Page 42: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

32 Sifat Mekanika Bambu

Gambar 3.8. Uji Lentur (Bending) Batang Bambu

Gambar 3.9. Hasil Uji Lentur Bambu

Tabel 3.5. Tegangan Batas Lentur Bambu (Morisco, 1999) Jenis Minimum Maksimum Rata-rata

Bambu Dengan

Buku

Tanpa

Buku

Dengan

Buku

Tanpa

Buku

Dengan

Buku

Tanpa

Buku Bambu

Apus

28 42 155 199 80 124

Bambu

Temen

35 79 226 389 103 184

Bambu

Petung

61 95 207 337 124 207

Page 43: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

33 Sifat Mekanika Bambu

V. Modulus elastisitas (Modulus of Elasticity (MOE))

Modulus elastisitas merupakan keteguhan lentur pada batas

elastis bahan. Keteguhan lentur adalah rasio beban terhadap

regangan dibawah batas proporsional. Peningkatan nilai modulus

elastisitas dapat seiring dengan peningkatan keteguhan lentur suatu

bahan. Modulus elastisitas merupakan implikasi bahwa deformasi

yang terjadi oleh beban yang rendah dapat kembali ke posisi

semula secara sempurna setelah beban ditiadakan. Perhitungan

modulus elastisitas ini menggunakan standar ISO 3349 – 1975,

sesuai Persamaan 5.

34

.

hb

lPMoR (N/mm2) (5)

dengan:

P = beban rata-rata dari batas atas dan bawah ( N );

l = jarak antar tumpuan ( mm );

b = lebar benda uji ( mm );

h = tinggi benda uji ( mm );

γ = defleksi pada titik lengkung dihitung dari rata-rata

defleksi batas atas dan bawah ( mm ).

Tabel 3.6. Modulus Elastisitas Lentur Bambu (Morisco, 1999)

Jenis Minimum Maksimum Rata-rata

Bambu Dengan

Buku

Tanpa

Buku

Dengan

Buku

Tanpa

Buku

Dengan

Buku

Tanpa

Buku Bambu

Apus

1.075 1.340 17.033 19.359 5.751 12.133

Bambu

Temen

2.862 3.667 29.596 22.789 5.662 12.139

Bambu

Petung

3.267 12.247 26.672 31.547 10.329 21.658

Tegangan tekan pada serat paling luar mencapai batas

tegangan tekan maksimum, maka kondisi elastis akan terlewati dan

masuk pada kondisi plastis. Pada tahap ini bagian tekan akan

meleleh dan terus merambat keserat bagian dalam, sedangkan serat

tarik akan terus mengalami tarik sampai mencapai tegangan tarik

maksimum dan runtuh jika tegangan telah mencapai maksimum.

Page 44: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

34 Sifat Mekanika Bambu

Hasil uji kuat tarik dapat dilihat pada Gambar 3.8. Hasilnya

menunjukkan hubungan tegangan regangan hasil uji tarik bambu

petung dan ori yang dibandingkan dengan hasil uji kuat tarik baja.

Hasilnya menunjukkan bambu memiliki nilai kuat tarik yang

sangat tinggi dan bahkan melebihi bahan baja, hanya saja bambu

memiliki nilai regangan yang cukup besar. Sehingga untuk

mencapai kekuatan tarik yang tinggi bahan bambu akan

terdeformasi memanjang cukup besar.

Tabel 3.7. Hasil pengujian 3 spesies bambu, Gigantochloa apus Kurz,

Gigantochloa Verticillata Munro, dan Dendrocalamus asper Backer

(Siopongco dan Munandar)

Sifat Kisaran Jumlah

Spesimen Kuat Tarik

Kuat Lentur

Kuat Tekan

E Tarik

E Tekan

Batas Regangan Tarik

Berat Jenis

Kadar Lengas

118-275 MPa

78,5-196 MPa

49,9-58,8 MPa

8.728-31.381 MPa

5.590-21.182 MPa

0,0037-0,0244

0,67-0,72

10,04-10,81%

234

234

234

54

234

54

132

117

Tabel 3.8. Sifat Mekanika bambu hitam dan bambu apus No. Sifat Mekanika Bambu

Hitam

Bambu

Apus 1 Kuat Lentur Statik

a. Tegangan batas proporsi (kg/cm2)

b. Tegangan batas runtuh (kg/cm2)

c. Modulus Elastisitas (kg/cm2)

d. Energi batas proporsi (kg/dm3)

e. Energi batas runtuh (kg/dm2)

447

663

99.000

1,2

3,6

327

546

101.000

0,8

3,3

2 Kuat Tekan Sejajar Serat (kg/cm2) 489 504

3 Kuat Geser Sejajar Serat (kg/cm2) 61,4 39,5

4 Kuat Tarik Tegak Lurus Serat (kg/cm2) 28,7 28,3

5 Kuat Tekan Tegak Lurus Serat (kg/cm2)

6 Kuat Impact

a. Bagian dalam bambu (kg/dm3)

b. Arah Tangensial bambu (kg/dm3)

c. Bagian luar bambu (kg/dm3)

32,53

31,76

17,23

45,1

31,9

31,5

Sumber : Ginoga (1977)

Page 45: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

35 Sifat Mekanika Bambu

Tabel 3.9. Kuat batas dan tegangan ijin bambu (Morisco, 1999)

Sifat Mekanika Kuat Batas (kg/cm2)

Tegangan Ijin (kg/cm

2)

Kuat Tarik

Kuat Lentur

Kuat Tekan

E Tarik

981-3.920

686-2.940

245-981

98.070-294.200

294,2

98,07

78,45

196,1×103

Tabel 3.10. Sifat mekanik bambu berdasarkan kondisi ketinggian tempat

tumbuh bambu (Lu, dkk., 1985)

Daerah Asal bambu

Sancha Luchanya Dahuaya Dajin-

kou

Kondisi

Daerah

Daerah

pengunungan

dingin,

sepenjang

sungai

Di tengah

pegunungan

Daerah

pantai,

daerah

datar, pada

cabang/ana

k sungai

Daerah

datar,

dekat

sungai

Diameter

Bambu (mm)

46,6 47,0 49,4 48,5

Kuat Tekan

Kuat Tarik

Kuat Lentur

(dalam MPa)

82,7

296

186

73,2

329

174

71,0

277

162

65,8

289

153

Page 46: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

36 Sifat Pengawetan Bambu

BAB IV

SIFAT PENGAWETAN BAMBU

I. Pengawetan Bambu

A. Anatomi bambu diperbandingkan dengan anatomi kayu

Pada kayu, susunan anatomi lebih kompleks, modern/ maju

dibandingkan dengan monokotil seperti bambu, perbedaan ini

menyebabkan pada kayu mampu melakukan pertumbuhan

sekunder (diameter membesar). Isi sel-sel yang menyusun kayu

atau bambu yang disebut ekstraktif. Ada dua jenis definisi

ekstraktif: pertama, ekstraktif adalah deposit atau endapan bahan-

bahan kimia yang ada di dalam permukaan dinding sel sewaktu sel

mati membentuk kayu teras. Dan kedua ekstraktif adalah bahan

kimia yang ada di luar dinding sel berbentuk cairan. Pada

monokotil tidak pernah ada sel mati, keseluruhan bagian bambu

dari luar ke dalam semua sel hidup.

Kalau dilihat dari definisi pertama berarti pada monokotil

tidak ekstraktif, tapi kalau mengacu definisi kedua bambu memiliki

ekstraktif. Kondisi bambu serupa dengan kayu gubal yang tidak

begitu awet seperti kayu teras. Keawetan bambu berbeda-beda

karena tergantung awet alami, timbul secara turunan dari genetika

tiap jenis bambu.

B. Pengawetan buatan oleh Manusia

1. Sewaktu bambu masih hidup

Bambu dimasukkan bahan pengawet sewaktu masih hidup,

misalnya air disekitar tempat bambu tumbuh diberi pengawet

sehingga bahan pengawet terserap oleh akar bambu. Prinsip sama

juga digunakan oleh Boucheri, bambu yang baru ditebang masih

mengalami photosintesis/ proses metabolisme. Pengisapan akan

berhenti kira-kira 3-6 jam setelah penebangan.

Pada satu serat bembu terdiri dari jaringan penguat

(schelercime) berwarna gelap, ploim dan xylem. Cairan naik lewat

xylem dan turun melalui ploim (ukurannya lebih lebih kecil dari

xylem). Bahan pengawet masuk lewat saluran xylem, karena xylem

berada merata di seluruh bagian bambu maka seluruh bagian

Page 47: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

37 Sifat Pengawetan Bambu

bambu akan terkena bahan pengawet. Pada bagian luar persentase

jaringan penguat (schelercime) sangat tinggi, jaringan ini sebagai

pengawet bambu sehingga bambu bagian luar cenderung lebih

awet dari bagian yang lebih dalam.

2. Sewaktu bambu sudah mati

a. Proses rendaman, proses ini berlangsung karena sifat

hygroskopic bambu. Makin rendah kadar air, makin besar sifat

hygroskopic maka sebelum bambu diawetkan dengan

perendaman maka bambu dikondisikan kadar airnya serendah

mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan

pengeringan/penjemuran dan cara di vakum. Seperti

ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Proses pengawetan bambu tradisonal bambu dengan

perendaman

b. Sistem Boucheri dan modifikasi Boucheri-Morisco

Saat bambu sudah mati dan proses photosintesis sudah

berhenti, cairan dalam bambu membeku maka bambu sulit di

masukkan bahan pengawet. Sehingga perlu gaya untuk

memasukkan bahan pengawet. Sistem ini sebagai dasar proses

Boucheri dan Boucheri-Morisco. Dengan bantuan gravitasi dan

tenaga dorong diharapkkan bahan pengawet dapat secara paksa

Page 48: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

38 Sifat Pengawetan Bambu

masuk kedalam bambu sehingga bambu terawetkan. Seperti terlihat

pada gambar 4.2 dan 4.3.

Gambar 4.2. Sistem pengawetan Boucheri

Gambar 4.3. Sistem pengawetan Boucheri-Morisco

c. Modifikasi sel bambu

Menggunakan proses kimiawi menjadikan komponen kimia

yang disenangi biotik (semua organisme perusak) dirubah menjadi

tidak disukai. Proses ini sering disebut ssterifikasi yaitu suatu

proses dengan bantuan bahan kimia lainnya yang digabungkan

dengan selulosa melalui ester, sehingga rayap tidak mau memakan

dinding sel. Penelitian ini telah dilaksanakan di Eropa.

Page 49: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

39 Sifat Pengawetan Bambu

C. Pengawetan ramah lingkungan

Pada umumnya pengawet berasal dari tumbuhan yang punya

potensi pengawet. Seperti tahun 1970 pemanfaatan racun/sianida

yang ada pada umbi-umbian gadung, yang pada awalnya tidak

dapat dimakan setelah racunnya dipisahkan maka dapat gadung

dapat dimakan

D. Bahan pengawet dari Piropilislignoselulosa

Pengawetan jenis ini sangat trend laksanakan saat ini terutama

dari kalangan penelitian ahli kimia. Prinsip yang digunakan pada

jenis pengawetan bambu ini adalah mengubah unsur kimiawi sel

bambu sehingga tidak disukai oleh organisme perusak bambu.

II. Proses Pengawetan Bambu

Pengawetan bambu bertujuan untuk menaikkan umur pakai

dan nilai ekonomis bambu. Apapun spesies bambunya, pengawetan

tetap perlu dilakukan. Tetapi, pengawetan bambu biasanya jarang

dilakukan orang. Alasannya antara lain: kurangnya pengetahuan

tentang teknik pengawetan, kurangnya fasilitas untuk metode

perlakuan tertentu dan ketersediaan bahan kimia (pengawet),

keraguan terhadap manfaat pengawetan bambu serta kurangnya

permintaan pasar terhadap bambu keawetan. Metode pengawetan

bambu yang baku (standar) pun belum ada.

A. Keawetan Bambu

Walau memiliki banyak sifat menguntungkan, bambu rentan

terhadap kerusakan. Proses kerusakan mempengaruhi keawetan

bambu. Penyebab kerusakan bambu ada 2 yaitu: perusak biologis

dan non-biologis. Perusak biologis yang sering menyerang bambu

adalah jamur, rayap, kumbang bubuk dan mikroorganisme laut.

Jamur menyebabkan kerusakan seperti: pengotoran, pelapukan dan

perubahan warna. Kerusakan bambu karena serangan kumbang

bubuk biasanya terjadi setelah batang bambu ditebang. Kumbang

ini hidup dalam jaringan serat bambu untuk mendapatkan patinya.

Penyebab kerusakan non-biologis yang terpenting adalah air.

Page 50: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

40 Sifat Pengawetan Bambu

Kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan

mudah lapuk.

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam metode

pengawetan bambu apapun adalah pengeringan. Penggunaan

bambu yang benar-benar kering (kadar airnya tepat) dalam setiap

metode pengawetan akan menghasilkan tingkat keawetan yang

lebih baik dibanding penggunaan bambu yang masih basah (kadar

air tinggi). Keawetan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan

cuaca dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan pengawetan,

apabila dibiarkan bersentuhan secara langsung dengan tanah dan

tidak terlindung dari cuaca, hanya mempunyai umur pakai sekitar 1

– 3 tahun. Bambu yang terlindung dari gangguan cuaca, umur

pakainya dapat bertahan antara 4 – 7 tahun atau lebih. Dalam

lingkungan yang ideal rangka (konstruksi) bambu dapat tahan

selama 10 - 15 tahun. Jika berinteraksi dengan air laut, bambu

cepat hancur oleh serangan mikroorganisme laut dalam waktu

kurang dari satu tahun.

Keawetan bambu dipengaruhi juga oleh: kondisi fisik bambu,

bagian ruas, spesis dan kandungan pati. Bambu yang telah dibelah

lebih cepat rusak dibanding bambu yang masih utuh (belum

dibelah). Ruas bambu bagian bawah mempunyai ketahanan rata-

rata yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau bagian atasnya.

Bagian sebelah dalam ruas biasanya lebih dulu terserang (serangga

atau jamur) daripada bagian luar. Keawetan alamiah bambu

bervariasi antara satu spesies dengan spesies lain. Variasi ini

berkaitan dengan ketahanan spesis terhadap serangan rayap atau

kumbang. Bambu yang kandungan patinya lebih tinggi lebih rentan

terhadap serangan kumbang bubuk. Keawetan alamiah bambu

relatif lebih rendah dibanding kayu. Artinya, umur pakai struktur

bambu relatif lebih pendek dibanding struktur kayu. Cara

memperpanjang umur pakai bambu yaitu melalui pengawetan dan

penerapan metode konstruksi tertentu. Metode ini bertujuan

meminimalisir laju serangan jamur dan serangga. Meletakan

tonggak bambu pada dinding batu atau semen merupakan cara

sederhana yang lebih baik ketimbang membenamkan bambu secara

Page 51: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

41 Sifat Pengawetan Bambu

langsung ke dalam tanah. Pada konstruksi rumah bambu, sangat

dianjurkan membuat pondasi dari beton atau batu. Pelapisan

bambu dengan bahan penahan air dapat mengurangi serangan

jamur.

B. Metode Pengawetan

Ada 2 jenis metode pengawetan bambu, yaitu: metode

nonkimia dan metode kimia. Metode nonkimia (tradisional) telah

digunakan sejak lama di daerah pedesaan. Kelebihan metode ini

yaitu: tidak membutuhkan biaya dan dapat dilakukan sendiri tanpa

penggunaan alat-alat khusus. Metode non-kimia, misalnya: curing,

pengasapan, pelaburan, perendaman dalam air dan perebusan.

Metode pengawetan secara kimia biasanya menggunakan bahan

pengawet.

Bahan pengawet yang terkenal adalah Copper-Chrrome-

Arsenic (CCA). Metode kimia relatif mahal tetapi menghasilkan

perlindungan yang lebih baik. Keberhasilan metode ini sangat

tergantung pada ketepatan konsentrasi larutan pengawet yang

diberikan. Metode kimia misalnya: metode Butt Treatment, metode

tangki terbuka, metode Boucherie, dan fumigasi (dengan senyawa

metilbromida). Metode ini tidak selalu ekonomis. Metode kimia -

dalam skala besar - digunakan secara meluas di India, Taiwan dan

Jepang. Metode kimia yang sederhana lebih tepat diterapkan di

desa-desa yang terletak jauh dari pusat industri.

Tingkat keberhasilan pengawetan bambu dengan metode

kimia tergantung dari beberapa faktor, yaitu: (1) kondisi fisik

bambu sebelum diawetkan, (2) berat jenis bambu, (3) umur bambu,

(4) musim, (5) jenis bahan pengawet, (6) posisi dan ukuran bambu.

Bambu segar lebih mudah diberi perlakuan di banding bambu yang

sudah kering. Makin tinggi berat jenis bambu, makin sulit

diawetkan karena ikatan pembuluhnya makin rapat dan kandungan

serabutnya makin banyak. Makin tua umur bambu, kadar airnya

makin turun sehingga bambu makin sulit diawetkan. Metode kimia

lebih baik diterapkan pada musim hujan. Penetrasi pengawet akan

lebih baik bila digunakan senyawa garam yang larut dalam air.

Page 52: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

42 Sifat Pengawetan Bambu

Pengawetan bambu dalam jumlah yang kecil akan menaikkan

biaya pengawetan. Aspek ekonomis yang perlu dipertimbangkan

adalah biaya pengangkutan dari hutan (kebun) ke tempat

pengawetan. Suatu metode pengawetan dikatakan ekonomis

apabila umur pakai bambu dapat mencapai waktu 10 - 15 tahun;

untuk bambu dalam keadaan terbuka, dan 15 - 25 tahun untuk

bambu yang diberi perlindungan tertentu. Beberapa metode

pengawetan bambu yang dapat diterapkan adalah:

1. Curing

Mula-mula batang bambu dipotong pada bagian bawah tetapi

cabang dan daunnya tetap disisakan. Kemudian, selama waktu

tertentu rumpun bambu tersebut disimpan di dalam ruang khusus.

Karena proses asimilasi daun masih berlangsung, kandungan pati

ruas bambu akan berkurang. Akibatnya, ketahanan bambu terhadap

serangan kumbang bubuk meningkat. Tetapi, metode ini tidak

berpengaruh terhadap serangan jamur atau rayap.

2. Pengasapan

Bambu diletakkan di atas rumah perapian (tungku) selama

waktu tertentu sampai pengaruh asap menghitamkan batang

bambu. Proses pemanasan menyebabkan terurainya senyawa pati

dalam jaringan parenkim. Di Jepang, bambu mentah disimpan

dalam ruang pemanas pada suhu 120 - 150oC selama 20 menit.

Perlakuan ini cukup efektif untuk mencegah serangan serangga.

Efek negatif metode ini adalah kemungkinan terjadinya retak yang

dapat mengurangi kekuatan bambu.

3. Pelaburan

Metode ini lebih ditujukan untuk mendapatkan efek hiasan

ketimbang manfaat pengawetannya. Batang bambu untuk

konstruksi perumahan dilaburi dengan kapur tohor (Ca[OH]2).

Tujuannya untuk memperlambat penyerapan air, sehingga daya

tahan bambu terhadap jamur menjadi lebih tinggi. Efektivitas

metode ini masih perlu dibuktikan, terutama menyangkut pengaruh

senyawa alkali terhadap kekuatan bambu. Di daerah pedesaan,

Page 53: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

43 Sifat Pengawetan Bambu

metode ini mengalami modifikasi. Bambu dilaburi dahulu dengan

ter lalu diperciki dengan debu halus. Segera setelah debu melekat

dan kering, dilakukan pelaburan dengan kapur tohor sampai 4 kali.

Metode pelaburan lain yang biasa dilakukan rakyat adalah

penurapan (pemlesteran) bambu dengan menggunakan campuran

kotoran sapi dengan kapur atau adukan semen. Dewasa ini, bambu

yang digunakan sebagai tiang pancang untuk bangunan terlebih

dahulu dilumuri dengan ter lalu dililitkan dengan anyaman

sabut kelapa.

4. Perendaman dalam air

Perendaman bambu dalam air adalah salah satu metode

pengawetan tradisional yang sudah dikenal secara luas oleh

masyarakat pedesaan. Perendaman menyebabkan penurunan

kandungan pati bambu. Bambu mengandung pati relatif tinggi

misalnya bambu ampel, sedangkan bambu apus kadar patinya

relatif rendah. Tujuan akhir perendaman adalah menekan serangan

kumbang bubuk. Metode ini lebih cocok diterapkan pada bambu

yang digunakan untuk bahan bangunan. Waktu perendaman yang

dianjurkan sebaiknya tidak lebih dari 1 bulan.

5. Perebusan

Perebusan bambu pada suhu 55-60oC selama 10 menit akan

menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sempurna, yaitu menjadi

amilosa yang larut dalam air (Matangaran, 1987 dalam Krisdianto

2000). Perebusan pada 100oC selama 1 jam cukup efektif untuk

mengurangi serangan kumbang bubuk. Metode ini di samping

metode pengasapan pemanasan dan perebusan dengan air kapur

tidak populer karena kurang efektif.

6. Metode Butt Treatment

Bagian bawah batang bambu yang baru dipotong diletakkan di

dalam tangki yang berisi larutan pengawet. Cabang dan daun pada

batang tetap disisakan. Larutan pengawet tersebut akan mengalir

ke dalam pembuluh batang karena proses transpirasi daun masih

berlangsung. Karena

Page 54: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

44 Sifat Pengawetan Bambu

prosesnya memakan waktu yang lama, metode ini hanya tepat

diterapkan pada batang bambu yang pendek dan berkadar air

tinggi.

7. Metode Tangki Terbuka

Metode ini termasuk metode yang ekonomis, sederhana serta

memberi efek perlindungan yang baik. Metode ini tidak

memerlukan teknik instalasi yang rumit. Batang dengan ukuran

tertentu, direndam selama beberapa hari dalam campuran yang

terdiri dari air dan larutan bahan pengawet. Penggunaan bambu

yang telah dibelah dapat mengurangi lama perendaman sebanyak

satu setengah kali. Konsentrasi larutan pengawet yang digunakan

untuk bambu yang baru dipotong harus lebih tinggi dibanding

bambu yang telah dikeringkan dengan penganginan. Lama

perendaman tergantung pada jenis bahan pengawet, spesis bambu

dan kondisi batang. Penggarukan kulit bagian luar dapat

mempercepat penetrasi larutan pengawet.

8. Metode Boucherie

Mula-mula bambu dipotong menurut ukuran tertentu.

Kemudian, bambu dimasukkan ke dalam mesin Boucherie. Lewat

bagian khusus mesin itu, cairan pengawet dengan konsentrasi

tertentu dialirkan masuk ke dalam bambu dengan tekanan 0.8 - 1.5

kg/m2. Proses tersebut dianggap selesai bila konsentrasi cairan

yang keluar dari bambu sama dengan konsentrasi bahan pengawet

di tambang konsentrasi air.

9. Metode kimia sederhana

Bambu segar yang baru ditebang, didirikan terbalik. Pada

ujung bambu bagiaan atas, dimasukkan tabung yang berisi minyak

solar. Karena gaya gravitasi, minyak solar ini akan mendesak

keluar cairan yang terkandung dalam batang bambu. Proses ini

memakan waktu satu minggu.

Penelitian keawetan bahan bambu telah dilakukan oleh Jasni

dan Sumarni (1999) dalam Krisdianto 2000, sedangkan penelitian

tentang keterawetan bahan bambu belum dilakukan. Jasni dan

Page 55: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

45 Sifat Pengawetan Bambu

Sumarni (1999) dalam Krisdianto 2005 mengemukakan bahwa dari

tujuh jenis bambu yang diteliti, bambu ampel (Bambusa vulgaris)

paling rentan terhadap serangan bubuk, kemudian bambu andong

(Gigantochloa pseudoarundinacea), bambu hitam (Gigantochloa

atroviolaceae) dan bambu terung (Gigantochloa nitrocilliata).

Sedangkan bambu atter (Gigantochloa atter) dan bambu apus/tali

(Gigantochloa apus) relatif tahan terhadap serangan bubuk. Jenis

bubuk bambu yang banyak ditemukan menyerang bambu adalah

Dinoderus sp., sedangkan jenis bubuk yang paling sedikit

ditemukan menyerang bambu adalah Lyctus sp. Kuantitas bubuk

yang ditemukan pada bambu terdapat pada Tabel 4.1, sedangkan

penyebaran jenis bubuk pada bambu terdapat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.1. Bubuk yang ditemukan pada bambu

No. Jenis bambu Jumlah serangga Total

serangga

DS

(%)

P

(e)

T

(e)

U

(e)

S

(e)

R

(%)

Y

(b) 1. Bambusa vulgaris 415 375 10 800 30,48 2312 100

2. Gigantochloa apus 125 25 6 156 5,94 252 40

3. Gigantochloa

atroviolaceae

257 295 2 554 21,10 997 90

4. Gigantochloa atter 175 30 8 213 8,11 484 40

5. Gigantochloa

nigrocilliata

180 48 - 228 8,69 1176 70

6. Gigantochloa robusta 177 60 - 237 9,03 655 70

7. Gigantochloa

pseodoarundinacea

227 202 8 457 16,65 1982 90

Sumber : Jasni dan Sumarni (1999)

Keterangan :

P = pangkal; Y = lubang gerek;

T = tengah; DS = derajat serangan;

U = ujung; e = ekor;

S = jumlah individu; b = buah;

R = jumlah dalam %.

Page 56: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

46 Sifat Pengawetan Bambu

Tabel 4.2. Penyebaran jenis bubuk pada bambu

No. Jenis bubuk Jenis bambu Jumlah

A B C D E F G H I 1. H. aequalis Wat - - + + + - + 327 12,33

2. Lyctus sp. - - + - + + + 35 1,32

3. Dinodeus + + + + + + + 1.946 73,23

4. Minthea sp. - - + + + + + 369 13,93

Sumber : Jasni dan Sumarni (1999)

Keterangan :

A = bambu ampel; F = bambu mayan;

B = bambu apus (tali); G = bambu andong;

C = bambu hitam; + = ditemukan;

D = bambu atter; - = tidak ditemukan;

E = bambu terung.

III. Pengolahan Bambu

A. Penetrasi Bambu

Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal

oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara

merendamnya di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau di

air laut dan pengasapan. Selain itu juga sering ditemukan cara

pengawetan dengan pelaburan kapur dan kotoran sapi pada gedek

dan bilik bambu.

Penelitian pengawetan bambu dengan menggunakan bahan

kimia disertai metode yang tepat dan efisien terus dilakukan.

Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk mencegah serangan

jamur (pewarna dan pelapuk) maupun serangga (bubuk kering,

rayap kayu kering dan rayap tanah). Beberapa pengrajin mebel

bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan

boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau

pengasapan dengan belerang. Namun sejauh ini belum diketahui

efektifitas bahan-bahan kimia yang digunakan dan metode

pengawetan yang dilaksanakan.

Penelitian pengawetan bahan bambu dengan menggunakan

pestisida pengawet kayu telah dimulai oleh Martawijaya (1964).

Hasilnya menunjukkan bahwa bambu dapat diawetkan dengan

mudah terutama jika menggunakan bahan pengawet yang dapat

berdifusi dengan baik. Penggunaan senyawaan boron dalam

Page 57: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

47 Sifat Pengawetan Bambu

pengawetan bambu apus dan bambu hitam dilakukan oleh Supriana

(1987). Hasilnya menunjukkan bahwa bambu apus dan bambu

hitam dapat diawetkan dengan proses rendaman dingin masing-

masing selama satu dan tiga hari pada konsentrasi tiga persen.

Penelitian cara pengawetan dengan cara rendaman dingin

menggunakan larutan asam borat dan boraks (boric acid

equivalent) 10% dan larutan Wolmanit CB 10% terhadap dua belas

jenis bambu telah dilakukan oleh Abdurrochim (1982). Hasil

penetrasi persenyawaan bor dan Wolmanit CB pada dua belas jenis

bambu dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4.

Tabel 4.3. Penetrasi persenyawaan bor pada dua belas jenis bambu

potongan dibelah bulat

No. Jenis bambu

Penetrasi bor pada lama rendaman

(%)

1

hari

3

hari

5

hari

7

hari

Rata-

rata

1. Ampel hijau (Bambusa

vulgaris Schard)

77,6

45,3

65,4

73,3

93,7

61,9

50,7

21,0

72,0

50,4

2. Ampel kuning (Bambusa

vulgaris Schard)

83,4

51,3

83,9

67,2

80,1

77,0

75,5

32,1

80,7

56,9

3. Andong (Gigantochloa

verticillata (Wild.)

Munro.)

67,0

41,2

64,1

33,0

64,8

49,2

68,2

22,3

66,0

36,4

4. Apus (Gigantochloa apus

(Bl.ex Schult.f.) Kurz.)

75,1

35,6

66,8

28,5

68,9

36,7

68,7

51,1

69,9

38,0

5. Bitung (Dendrocalamus

asper (Schult.f.) Kurz.)

65,7

24,3

63,7

26,2

67,2

44,6

63,4

25,8

65,0

30,2

6. Buluh (Schizostachyum

brachycladum Kurz.)

72,7

38,9

96,0

76,7

100,0

80,7

100,0

90,5

92,2

71,7

7. Cakeutreuk

(Schizostachyum zolingeri

Steud.)

72,8

21,1

72,0

36,8

89,1

62,7

77,8

45,2

77,9

41,5

8. Hitam (Gigantochloa atter

(Hassk) Kurz. ex Munro)

72,0

33,9

68,4

44,4

73,7

30,4

73,0

36,3

71,8

36,3

9. Lengka (Gigantochloa

nigrocillata (Buese) Kurz)

100,0

93,3

100,0

100,0

100,0

96,5

100,0

91,3

100,0

95,3

10. Tamiang (Schizostachyum

blumei Nees)

100,0

100,0

95,5

77,5

100,0

91,5

100,0

95,3

98,9

91,1

11. Temen (Gigantochloa

verticillata (wild.)

70,2

36,2

72,3

47,5

69,4

32,2

72,8

27,7

71,2

35,9

12. Uncul (Phyllostachys

aurea A&Ch. Riviera)

76,0

46,3

90,4

72,1

92,7

79,3

78,0

75,0

84,3

68,2

Page 58: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

48 Sifat Pengawetan Bambu

Tabel 4.4. Penetrasi Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu potongan

dibelah bulat

No. Jenis bambu

Penetrasi bor pada lama rendaman

(%)

1

hari

3

hari

5

hari

7

hari

Rata-

rata

1. Ampel hijau (Bambusa

vulgaris Schard)

80,2

73,3

88,8

78,5

78,4

87,8

97,9

69,2

86,3

77,2

2. Ampel kuning (Bambusa

vulgaris Schard)

78,6

76,9

97,2

73,7

86,1

91,7

97,5

36,0

89,9

69,6

3. Andong (Gigantochloa

verticillata (Wild.)

Munro.)

71,5

46,4

89,2

62,6

86,3

58,0

90,0

87,4

84,3

63,6

4. Apus (Gigantochloa apus

(Bl.ex Schult.f.) Kurz.)

82,4

63,6

97,1

94,8

93,8

69,1

95,6

94,2

92,2

80,4

5. Bitung (Dendrocalamus

asper (Schult.f.) Kurz.)

64,3

45,1

94,2

61,8

100,0

76,0

91,5

88,6

87,5

67,9

6. Buluh (Schizostachyum

brachycladum Kurz.)

76,8

100,0

96,0

77,5

100,0

98,8

100,0

95,7

93,2

93,0

7. Cakeutreuk

(Schizostachyum zolingeri

Steud.)

64,5

53,1

92,0

92,1

100,0

51,0

90,7

92,9

86,8

72,3

8. Hitam (Gigantochloa atter

(Hassk) Kurz. ex Munro)

72,6

73,8

87,8

66,2

100,0

78,2

99,3

37,9

89,9

64,1

9. Lengka (Gigantochloa

nigrocillata (Buese) Kurz)

100,0

78,3

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

90,6

100,0

92,2

10. Tamiang (Schizostachyum

blumei Nees)

100,0

93,3

95,5

100,0

100,0

100,0

100,0

94,0

98,9

96,8

11. Temen (Gigantochloa

verticillata (wild.)

69,9

80,4

83,0

63,3

78,8

81,6

92,6

90,4

81,1

78,9

12. Uncul (Phyllostachys

aurea A&Ch. Riviera)

80,0

55,7

90,4

100,0

99,2

88,0

100,0

64,0

92,4

76,9

Sumber : Abdurrochim (1982)

Proses pengawetan pada jenis bambu yang sama dan telah

dibelah berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi senyawaan

boron. Hal ini berarti proses pengawetan akan lebih efisien pada

bambu yang telah dibelah daripada bambu yang bulat utuh. Lama

rendaman dalam pembelahan dan pada jenis bambu yang sama,

juga berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi Wolmanit CB.

Pengawetan dengan senyawaan boron terhadap jenis bambu ampel

hijau, ampel kuning, andong, apus, bitung, hitam, lengka, tamiang

dan temen baik yang dibelah maupun bulat serta bambu cakeutreuk

dan uncul yang dibelah cukup direndam satu hari. Bambu buluh

Page 59: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

49 Sifat Pengawetan Bambu

baik yang dibelah maupun bulat dan bambu cakeutreuk dan uncul

yang bulat sebaiknya direndam tiga hari.

Pengawetan dengan Wolmanit CB terhadap bambu ampel

hijau, ampel kuning, apus, lengka dan tamiang baik yang dibelah

maupun bulat, bambu andong yang dibelah serta bambu buluh,

hitam, temen dan uncul yang dibelah sebaiknya direndam tiga hari.

Bambu andong yang bulat sebaiknya direndam tujuh hari.

Penelitian pengawetan bambu dengan bahan pengawet lainnya

dilakukan oleh Barly dan Permadi (1987) dalam Krisdianto 2005.

Pengawetan dilakukan terhadap bambu andong (Gigantochloa

verticillata Munro), apus (Gigantochloa apus (Bl.ex Schult.f.)

Kurz) dan bitung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex

Heyne) menggunakan bahan pengawet Koppers F 7 pada

konsentrasi 5%. Hasil nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet

Formula 7 pada 3 jenis bambu yang diawetkan secara rendaman

dingin dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7 pada tiga

jenis bambu

No. Jenis

bambu

Waktu

rendaman

Perlakuan

awal

Penetrasi

(%)

Retensi

(kg/m3)

1. Betung 1

3

5

D

TD

D

TD

D

TD

57,4

61,1

43,7

52,2

52,4

57,0

11,93

21,35

13,56

21,44

16,66

18,56

2. Andong 1

3

5

D

TD

D

TD

D

TD

82,2

90,7

97,2

95,9

94,2

94,9

24,59

32,97

28,58

31,56

27,94

35,66

3. Tali 1

3

5

D

TD

D

TD

D

TD

81,5

70,9

91,4

93,9

93,7

95,9

11,83

22,33

21,64

26,07

26,09

30,96

Sumber : Barly dan Permadi (1987)

Keterangan :

D = ditutup TD = tidak ditutup

Page 60: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

50 Sifat Pengawetan Bambu

Hasil penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa masuknya

bahan pengawet dari arah longitudinal dapat mencapai hasil

maksimum setelah direndam selama satu hari. Nilai retensi yang

dicapai pada percobaan ini cukup besar dan melebihi persyaratan

yang dianjurkan untuk bahan bangunan perumahan yang diawetkan

(Barly, 1995 dalam Krisdianto 2005). Untuk mencapai persyaratan

itu bambu betung dan bambu andong cukup direndam selama satu

hari sedangkan untuk bambu apus direndam selama tiga hari.

Perpanjangan waktu rendaman tidak meningkatkan nilai penetrasi

dan retensi bahan pengawet.

Penelitian mengenai penembusan bahan pengawet ke dalam

batang bambu andong dan bambu betung yang diawetkan secara

vertikal telah dilakukan oleh Permadi (1992). Hasil penelitian itu

menyebutkan bahwa keterawetan bambu andong dan betung relatif

sama. Rendaman selama empat minggu menghasilkan penetrasi

bahan pengawet tertinggi (33 cm dan 30 cm), sedangkan

perendaman selama satu sampai tiga minggu menghasilkan

penetrasi bahan pengawet yang relatif sama. Hasil penelitian ini

juga memberikan catatan bahwa karena bambu yang digunakan

sudah kering sehingga bahan pengawet tidak dapat berdifusi

dengan baik, sehingga perlu diadakan perbaikan dalam proses

pengawetannya. Metode pengawetan bambu secara vertikal

diperlihatkan pada gambar 1, sedangkan hasil penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Penembusan bahan pengawet pada bambu yang direndam

secara vertikal

No. Jenis

bambu

Kadar air (%) Lama perendaman (minggu)

Saat

ditebang

Saat

pengawetan

1 2 3 4

1. Andong 93,7 82,5 11,11

cm

14,75

cm

15,88

cm

33,40

cm

2. Betung 98,3 83,6 12,58

cm

16,28

cm

19,26

cm

30,33

cm

Sumber : Permadi (1992)

Bagian batang dari bambu juga mempunyai karakteristik

serangan hama. Hal ini diungkapkan oleh Sumarni dan Ismanto

Page 61: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

51 Sifat Pengawetan Bambu

(1992) dalam Krisdianto 2000. Jenis serangga yang menyerang

pada bagian tengah ialah jenis serangga Dinoderus sp., Lyctus sp.

dan kumbang, sedangkan pada bagian pangkal hanya ditemukan

dua jenis serangga yaitu Dinoderus sp. dan kumbang. Bagian

pangkal lebih awet daripada bagian tengah bambu. Pengembangan

metode pengawetan telah dilaksanakan, diantaranya dengan

metode boucheri untuk pengawetan bambu segar yang telah diteliti

oleh Permadi dan Sumarni (1995) dalam Krisdianto 2000. Bahan

bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu andong

(Gigantochloa verticillata Munro.) dan bambu tali (Gigantochloa

apus Kurz.), dengan bahan pengawet borax (Na2B4O7. 10H2O)

konsentrasi 5%. Pengawetan dengan metode boucheri memberikan

bahan pengawet pada bagian bawah batang bambu dan tidak

memotong daun dan rantingnya, agar proses asimilasi dan

penyerapan bahan makanan tetap berlangsung, seperti tampak

dalam gambar 4.4a pada bambu andong dan 4.4b pada bambu tali.

a b

Gambar 4.4. Pengawetan bambu metode boucheri:

a. Bambu andong; b. Bambu tali

Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa bambu

andong lebih mudah diawetkan dengan cara boucheri dibandingkan

bambu tali. Rata-rata penetrasi longitudinal pada bambu andong

Page 62: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

52 Sifat Pengawetan Bambu

dan tali dengan variasi waktu lama perendaman ditunjukkan pada

Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Penetrasi longitudinal (cm) pada bambu andong dan tali

Lama

Perendaman

(hari)

Rata-rata Penetrasi

(cm)

Andong Tali 2 131,40 68,30

4 304,92 116,83

6 308,42 151,37

8 469,88 141,88

10 315,28 128,17

Sumber : Permadi dan Sumarni (1995)

Penelitian tentang pengawetan bambu segar secara sederhana

telah dilaksanakan oleh Barly dan Sumarni (1997) dalam

Krisdianto 2005. Pengawetan dilakukan pada bambu yang sudah

terpilih ditebang dan diusahakan tetap tegak berdiri atau bersandar

pada pohon lain. Pada bagian pangkal batang dikuliti sepanjang 10

cm untuk memperluas permukaan. Batang yang sudah dikuliti

segera dimasukkan ke dalam larutan bahan pengawet untuk

mencegah masuknya udara ke dalam batang bambu yang mungkin

dapat mengganggu proses aliran bahan pengawet. Hasil

pengamatan rata-rata dari 5 ulangan tercantum dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Hasil pengamatan Penetrasi longitudinal

No. Uraian Konsentrasi

(%)

Waktu (hari)

1 3 5 1. Absorpsi (l) 5

10

1,66

2,23

2,40

2,63

3,66

4,16

2. Penetrasi (m) 5

10

7,67

10,36

10,04

7,40

12,33

11,89

3. Penetrasi (%) 5

10

52,55

70,32

80,52

57,61

81,45

80,48

4. Retensi pada bagian

terawetkan (kg/m3)

5

10

3,18

5,90

4,46

9,36

4,72

7,84

5. Retensi pada seluruh volume

(kg/m3)

5

10

1,56

3,70

3,90

5,39

3,77

6,36

Sumber : Barly dan Sumarni (1997)

Page 63: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

53 Sifat Pengawetan Bambu

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh informasi tentang

adanya kecenderungan kenaikan absorpsi dengan bertambahnya

waktu pengawetan. Dan sebagai saran dalam mengawetkan bambu

sebaiknya digunakan bahan pengawet dengan konsentrasi 10% dan

lama pengawetan 5 hari agar memperoleh retensi yang memenuhi

syarat dengan catatan penembusan bahan pengawet mencapai 75%

dari panjang bambu.

Pengujian keragaan bahan pengawet Boron-Fluor-Chrom-

Arsen (BFCA) pada bahan bambu dilakukan oleh Sumarni dkk.

(1992) dalam Krisdianto 2000. Pengujian dilakukan pada bambu

betung (Dendrocalamus asper Back.) terhadap serangga bubuk

kering. Contoh uji dibuat 12 perlakuan selanjutnya direndam dalam

larutan bahan pengawet BFCA 5% selama tiga hari. Pengamatan

dilakukan selama satu tahun dengan kriteria penilaian jumlah

lubang serangan, serangga hidup, stadium serangga dan derajat

serangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tiga dari dua

belas jenis perlakuan yaitu ruas bambu antar dua buku yang

berkulit, berkulit disayat sebagian dan berkulit dilubangi (dibor)

hasilnya tidak efektif. Hal ini disebabkan karena retensi bahan

pengawet yang digunakan hanya berkisar antara 3,17 kg/m3 - 4,24

kg/m3 atau masih dibawah standar (6 kg/m3 ).

B. Pengeringan

Proses pengeringan bambu dibutuhkan guna menjaga

stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, juga untuk

pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan memudahkan

dalam pengerjaan lebih lanjut. Kekuatan bambu juga akan

bertambah dengan bertambah keringnya bambu. Pengeringan

bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila

dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah)

atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan

mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan

kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang

terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering,

bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap.

Page 64: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

54 Sifat Pengawetan Bambu

Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying),

pengasapan, pengeringan dengan energi tenaga surya (solar

collector drying) atau kombinasi dengan energi tungku, dan

pengeringan dalam dapur pengering. Penelitian mengenai metode

pengeringan bambu telah dilakukan oleh Basri (1997). Basri

menginformasikan bahwa dengan sistem pengasapan dan energi

tenaga surya sebaiknya dilakukan setelah kadar air bambu di

bawah 50% agar kualitas bambu tetap terjaga. Bambu yang masih

sangat basah setelah dipotong sesuai ukuran yang akan

dipergunakan, dibersihkan dan ditumpuk berdiri dengan posisi

saling menyilang atau ditumpuk secara horisontal selama kurang

lebih satu minggu. Untuk mempercepat pengeluaran air

ditempatkan kipas/fan didekatnya. Pengeringan bambu dengan cara

diasapkan tampak pada gambar 4.4a dan 4.4b.

Gambar 4.5. Metode pengeringan bambu dengan cara pengasapan

Pengeringan dengan energi tenaga surya dilakukan dengan

menjaga agar suhu dan kelembaban tidak berfluktuasi. Usaha yang

dilakukan dengan sesering mungkin membuka ventilasi atau

menyemprotkan air ke permukaan bambu. Untuk membantu

distribusi panas ke seluruh permukaan bambu perlu dipasang kipas

yang jumlah dan ukuran dayanya disesuaikan dengan luas ruangan.

Ruangan dengan kapasitas bambu basah 3 m3 diperlukan 2 buah

fan yang masing-masing dengan daya 1 PK (HP) dan putaran 1600

RPM.

Page 65: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

55 Sifat Pengawetan Bambu

Dalam ruangan pengering perlu dijaga keseimbangan suhu

serta kelembabannya, agar kualitas pengeringan bambu dapat

terjaga. Pada malam haripun diperlukan suplai energi ke dalam

dapur pengeringan tenaga surya. Suplai energi tersebut dapat

berasal dari tungku limbah kayu atau kompor.Penyimpanan dan

penanganan bambu yang telah dikeringkan perlu dilakukan agar

kualitas bambu tidak mengalami penurunan. Hal ini perlu

dilakukan karena bambu mempunyai sifat hygroskopis, sehingga

bambu yang sudah kering akan tetap menyerap air kembali apabila

ditempatkan pada kondisi yang lembab. Penyerapan dan

pengeluaran air yang berulang-ulang biasanya diikuti dengan retak

dan pecah pada bambu. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka

beberapa cara yang perlu diperhatikan diantaranya adalah

menyimpan bambu pada ruang yang tidak lembab, lantai kering

dan sirkulasi udara lancar. Hal yang perlu diperhatikan adalah

penyimpanan bambu yang sudah kering dan bambu yang masih

basah dicampur dalam suatu ruang tertutup. Disamping itu

pengangkutan bambu kering harus terlindung dari hujan dan panas

yaitu dengan menggunakan bahan pembungkus kedap air, namun

juga dapat melewatkan udara yang lembab dari dalam tumpukan

bambu.

Pengembangan penelitian peningkatan kualitas bambu melalui

tehnik pengeringan dan pengawetan dilakukan oleh Basri dan Jasni

(1995). Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan

pengawet dari jenis pestisida chlorpirifos 400 cc pada 3 tingkat

konsentrasi dan borax 4 macam konsentrasi. Bambu-bambu yang

telah diawetkan kemudian dikeringkan pada 3 kondisi suhu yang

berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa daya tahan bambu terhadap

rayap bergantung pada konsentrasi bahan pengawet yang

digunakan. Pengawetan bambu menggunakan chlorpyrifos 400 gr/l

atau boraks dapat meningkatkan daya tahan bambu terhadap

serangan rayap tanah Captotermes curvignathus dan rayap kayu

kering Cryptotermes cynocephalus. Kualitas fisik dan warna bahan

bambu bergantung kepada pemakaian suhu pengeringan.

Pengeringan bambu menggunakan suhu sedang (+500C) dapat

Page 66: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

56 Sifat Pengawetan Bambu

meningkatkan kualitas bambu dari segi fisik (tidak pecah, kulit

tidak mengelupas ataupun mengerinyut). Bambu yang diawetkan

dengan boraks pada konsentrasi minimal 4% dan dikeringkan

dengan suhu sedang, selain dapat meningkatkan daya tahan bambu

tersebut terhadap rayap juga mempunyai kualitas warna lebih cerah

dibandingkan dengan bahan pengawet chlorpirifos.

Page 67: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

57 Sifat Kimia Bambu

BAB V

SIFAT KIMIA BAMBU

Komposisi kimia bambu hampir sama dengan kayu. Unsur

pokok utama dari batang bambu adalah cellulose, hemi-cellulose

dan lignin. Total unsur pokok utama bambu ini hampir 90% dari

total masa bambu. Unsur lain dari batang bambu adalah resin,

tannin, paraffin dan garam organik. Komposisi kimia bambu

dipengaruhi oleh umur, tinggi dan lapisan bambu. Komposisi kimia

bambu seperti alpha-cellulose, lignin, extractives, pentosan, ash

dan silica meningkat seiring dengan bertambahnya umur bambu.

Epidermis dari bambu memiliki warna hijau yang menarik karena

klorofil dalam pada epidermisnya. Setelah ekstraksi dengan

alkohol-toluena, warna larutan ekstraksi berubah menjadi warna

hijau gelap karena ekstraksi klorofil. Beberapa studi telah

mengungkapkan bahwa klorofil dalam epidermis sangat mudah

rusak dan perlakuan dengan garam anorganik seperti chromates,

garam nikel, dan tembaga telah digunakan untuk melestarikan

permukaan bambu warna hijau.

I. Sifat Kimia Umum

Sifat kimia dibagi atas dua kelompok:

A. Penyusun struktural,

B. Penyusun non struktural

A. Penyusun Struktural

Kandungan kimia bambu terdiri dari sellulosa, lumen sel, dan

lignin. Tiga bahan kimia ini membentuk dinding sel.

Pembentukan sel bambu:

1. Pertama di bentuk jaringan meristim bambu berupa pucuk

bambu (kalo masih pendek/muda disebut rebung), Terdiri dari

sel yang bertugas membelah diri (memperpanjang bambu/

longitudinal dan membentuk keliling bambu/ periperal).

Membelah diri ini sering disebut: Konsep “Tunikas Corpus”.

Pola pembelahan varyklinal (membentuk keliling) dan anti

Page 68: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

58 Sifat Kimia Bambu

klinal (// dan ┴ keliling). Satu sel menjadi 2 sel dan selanjutnya

terus membelah diri

2. Kedua, mengembangkan dimensi, diameter dan panjang sel

3. Ketiga, mulai membentuk diding sel, sampai ketebalan tertentu

dinding sel yang tergantung dari posisi dan jenis sel

Jenis sel antara lain:

a. Kolenkim (agak hitam dekat kulit), penebalan sel luar biasa,

seluruhnya da dinding sel

b. Parenkim (posisi agak didalam), dinding sel tipis, rongganya

besar

Kimia pembentuk struktur sel tergantung dinding sel, keluar

makin tebal dinding sel, ke dalam dinding sel makin tipis.

Distribusi kimia banyak di tepi, rendah di tengah

B. Penyusun non struktural

Berupa zat ekstraktif, bahan kimia yang mudah dikeluarkan

dari sel-sel bambu. Di keluarkan dengan pelarut netral (seperti air).

Zat ekstraktif berupa pati, amilum yang menjadi makanan

kumbung (bitel) keluar karendam terndam air. Cara perendaman

dengan air dingin membutuhkan waktu berhari-hari sekitar 12

harian, sedangkan perebusan membutuhkan waktu minimal 3 jam.

Metode pengasapan juga dapat dilakukan sehingga dapat

mengubah permukaan dinding sel. Pada pengasapan pada suhu

1600 keatas terjadi proses perubahan permukaan dinding sel yang

dinamai Hidropilin menjadi hidropopik, dan diatas suhu 1700

terjadi proses piropilis yakni penguraian dinding sel seperti remuk,

rusak. Pada kondisi ini terjadi keuntungan degradasi, perubahan

komponen kimia. Proses ini saat ini dimanfaatkan menjadikan

teknologi merekat tanpa bahan perekat tambahan (binderku).

Banyaknya kandungan ekstraktif tergantung pada jenis

bambu, jenis rebung manis (ekstraktif karbohidrat seperti gula

kandungannya tinggi) dan jenis rebung pahit (koloid, kandungan

minyak C diatas 20)

Jenis-jenis ekstraktif:

1. Karbohidrat,

Page 69: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

59 Sifat Kimia Bambu

2. Koloid,

3. Tanin, flafonoid menyebabakan ekstraktis pada rebung terasa

sepat.

Jenis ekstraktif ini berfungsi pada pengawet. Bahan kimia

untuk pengawetan di masukkan ke dalam lumen sel bambu. Variasi

bahan kimia yang terkandung pada bambu berdasarkan spesies

bambu. Menurut Sultoni ada 17 jenis bambu sedang di jogja baru 6

spesies yang telah diteliti tentang kandungan kimianya.

Berdasarkan kandungan ekstraktif akan memudahkan memasukkan

kelas awet tiap bambu. Makin banyak ekstraktif karbohidrat makin

lemah keawetannya, sedang semakin banyak ekstraktif koloidnya

makin tinggi keawetannya. Dan semakin tinggi alcohol bensin,

bahan bambu akan juga semakin awet.

II. Pengujian Kandungan Kimia Bambu

A. Metode dan Bahan

Pohon bambu untuk studi ini dikumpulkan pada Juni 2003

dari Kisatchie National Forest, Pineville La. Dua perwakilan

batang bambu untuk setiap kelompok usia (satu, tiga, dan lima

tahun) yang dipanen. Internode setiap ketinggian lokasi dan

kelompok usia untuk analisis kimia dipotong menjadi potongan

kecil dengan silet. Strip cukup kecil untuk ditempatkan di sebuah

Wiley Mill. Bahan-bahan ini kemudian ditempatkan di sebuah

saringan shaker dengan melewati mesh saringan nomor 40 (425-

μm) namun tertahan pada mesh saringan nomor 60 (250-μm).

Bahan yang dihasilkan ditempatkan dalam toples kaca yang diberi

label dengan kode sesuai analisis kimia.

Tabel 5.1. Analisis kimia bambu (Higuchi 1955)

Spesies Ash

(%)

Ethanol

Toluene

Extractives

Lignin

(%)

Cellulosa

(%)

Pentosan

(%)

Phyllostachys

heterocycla 1,3 4,6 26,1 49,1 27,7

Phyllostachys

nigra 2,0 3,4 23,8 42,3 24,1

Phyllostachys

reticulata 1,9 3,4 25,3 25,3 26,5

Page 70: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

60 Sifat Kimia Bambu

Untuk mempersiapkan sampel lapisan horisontal yang berbeda

dari bambu, bagian bawah dari tiga tahun bambu yang digunakan.

Epidermis dari strip pertama kali dikeluarkan dengan pisau halus.

Epidermis ini disimpan untuk analisis kimia dan sisanya dari strip

itu dibagi secara merata berdasarkan pada volume bagian dalam,

tengah dan lapisan luar sepanjang arah radial pisau. Dilanjutkan

dengan proses penggilingan yang sama seperti dijelaskan di atas.

Semua tes dilakukan di bawah standar American Society for

Ujiingdan Material (ASTM) kecuali untuk kelarutan alkohol-

toluena dari bambu.

Ada modifikasi kecil untuk menguji kandungan ekstraktif,

solusi benzena, larutan toluena yang digunakan. Standar yang tepat

diikuti untuk setiap sifat kimia yang dilakukan disajikan dalam

Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Analisis kimia menurut standard ASTM

Analisis Kimia Standar Uji Alcohol-tolune solubility ASTM D 1107-56

Hot-water solubility ASTM D 1110-56

Klason lignin ASTM D 1106-56

Holocellulosa ASTM D 1104-56

Alpha-cellulose ASTM D 1103-60

Ash Content ASTM D 1102-84

Setiap uji dilakukan menggunakan 3 ulangan. Diperlukan

eksperimen tambahan ketika menganalisis untuk kandungan

ekstraktif alkohol-toluena dan holocellulose. Uji toluena alkohol

dimulai lebih awal karena membutuhakan bahan yang banyak

dibanding eksperimen lain. Uji kandungan lignin dan holocellulose

dilakukan untuk menguji bambu yang bebas ekstraktif yang berasal

dari uji ekstraktif toluena alkohol. Selain itu holocellulose dengan

tahap persiapan yang diperlukan dalam rangka untuk menentukan

kandungan alfa-selulosa. Kelarutan alkohol-toluena bambu,

ekstraksi terdiri dari sebuah tabung ekstraksi Soxhlet terhubung

pada ujung atas sebuah kondensor refluks dan bergabung di bawah

dengan termos mendidih.

Dua-gram kering oven sampel ditempatkan dalam wadah

ekstraksi selulosa. Wadah ini terhubung dengan sedikit kapas dan

Page 71: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

61 Sifat Kimia Bambu

ditempatkan dalam tabung ekstraksi soxhlet. Merebus botol-botol

berisi larutan 2:1 etil alkohol 95 persen dan suling toluena dan

ditempatkan di mantel pemanas. Ekstraksi dilakukan selama

delapan jam dengan kecepatan sekitar enam siphonings per jam.

Ketika ekstraksi selesai, semua solusi yang tersisa ditransfer ke

termos mendidih yang dipanaskan pada mantel pemanas sampai

larutan itu menguap. Termos dikering-oven di 103 ± 2oC,

didinginkan dalam desiccator dan ditimbang sampai diperoleh

berat konstan. Rumus berikut ini digunakan untuk memperoleh

kandungan kelarutan alkohol-toluena bambu:

Alcohol-tolune solubles (Persen) =

(1)

dimana:

W1 = berat kering-oven uji specimen (grams);

W2 = berat kering-oven ekstraksi sisa (grams).

Sebuah perubahan kecil dibuat diperlukan untuk melakukan

percobaan tambahan dalam rangka untuk menyediakan cukup

ekstraktif bebas bambu untuk percobaan sifat kimia lainnya. Oleh

karena itu, ukuran sampel telah meningkat menjadi 20 gram dan

waktu ekstraksi empat puluh delapan jam. Kelarutan air panas dari

bambu dengan sampel dua gram kering oven dan ditempatkan

dalam labu Erlenmeyer 250 mL dengan 100 mL air suling. Sebuah

kondensor refluks menempel pada botol dan ditempatkan di bak air

mendidih selama tiga jam. Perhatian khusus diberikan untuk

memastikan bahwa tingkat solusi dalam termos tetap di bawah

yang air mendidih. Sampel itu kemudian dibersihkan dengan air

dan disaring vakum isap ke dalam wadah gelas fritted yang

ditentukan beratnya. Residu dicuci dengan keran air panas sebelum

itu kering-oven pada suhu 103 ± 2oC. Crucibles kemudian

didinginkan dalam desiccator dan ditimbang sampai diperoleh

berat konstan. Rumus berikut ini digunakan untuk memperoleh

kandungan larutan air panas pada bambu:

Page 72: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

62 Sifat Kimia Bambu

Hot-water solubles (Persen) =

(2)

dimana:

W1 = berat kering oven specimen (grams).

W2 = berat kering oven specimen setelah diekstraksidengan air panas

(grams).

Klason Lignin dalam Bambu, satu gram sampel bambu

kering-oven bebas ekstraktif ditempatkan di 150mL beaker. Lima

belas mL asam sulfat dingin (72 persen) ditambahkan perlahan-

lahan sambil mengaduk-aduk dan dicampur dengan baik. Reaksi

berlangsung selama dua jam dengan sering diaduk pada air

dipertahankan pada 20oC. Setelah dua jam spesimen dipindahkan

dengan mencuci menggunakan 560 mL air suling ke dalam 1.000

mL termos dan konsentrasi asam sulfat tiga persen. Sampel

ditempatkan didalam air mendidih selama empat jam. Residu

dicuci bebas dari asam dengan air keran panas 500 mL dan

kemudian dikering oven 103 ± 2oC. Rumus berikut ini digunakan

untuk memperoleh kandungan lignin bambu:

Klason lignin content (Persen) =

(3)

dimana:

W1 = kandungan ekstaktif alcohol-toluene (percent).

W2 = berat kering oven bebas ekstraktif (grams).

W3 = berat kering oven wadah (grams).

W4 = berat kering oven wadah dan residu (grams).

Holocellulose dalam Bambu. Dua gram sampel kering oven

ekstraktif bebas bambu ditimbang dan ditempatkan dalam 250 mL

termos dengan penutup gelas kaca kecil. Spesimen kemudian

diperlakukan dengan 150 mL air suling, 0,2 mL asam asetat glasial

dingin dan satu gram NaClO2, ditempatkan dalam bak air

dipertahankan antara 70oC - 80oC. Setiap jam selama lima jam 0.22

mL dingin asam asetat glasial dan satu gram NaClO2 ini

ditambahkan dan termos itu diupayakan bergerak terus-menerus.

Setelah lima jam, termos yang sudah ditempatkan dalam bak air es

sampai suhu termos dikurangi sampai 10oC. Isi termos itu disaring

kedalam wadah kaca porositas kasar yang diketahui beratnya.

Page 73: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

63 Sifat Kimia Bambu

Residu dicuci bebas dari ClO2 dengan 500 mL air suling dingin

dan residu berubah warna dari kuning menjadi putih. Wadah

kemudian kering-oven di 103 ± 2oC, kemudian didinginkan dalam

desiccator, dan beratnya konstan. Rumus berikut ini digunakan

untuk menentukan kandungan dalam holocellulose pada bambu:

Holocellulosw content (Persen) =

(4)

dimana:

W1 = kandungan ekstraktif alcohol-toluene (percent).

W2 = berat kering oven sampel bebas ekstraktif (grams).

W3 = berat kering oven wadah (grams).

W4 = berat kering oven wadah dan residu (grams).

Alpha-selulosa dalam Bambu. Tiga gram sampel kering oven

holocellulose ditempatkan di 250 mL termos Erlenmeyer dengan

penutup gelas kaca kecil. Termos itu ditempatkan dalam bak air

yang ditetapkan pada 20oC. Sampel ini kemudian diperlakukan

dengan 50 mL 17,5 persen NaOH dan menyeluruh dicampur

selama satu menit. Setelah spesimen diizinkan untuk bereaksi

dengan solusi selama 29 menit, 50 mL air suling ditambahkan dan

dicampur dengan baik untuk beberapa menit lagi. Reaksi

berlangsung selama lima menit lagi. Isi termos itu disaring dengan

bantuan vakum hisap dengan wadah gelas kaca yang telah

diketahui beratnya. Residu pertama dicuci dengan 50 mL 8,3

persen NaOH, kemudian dengan 40 mL asam asetat 10 persen.

Residu dicuci bebas dari asam dengan air keran panas 1.000 mL.

Wadah kering-oven ini dioven pada 103 ± 2oC, kemudian

didinginkan di sebuah desiccator, dan ditimbang sampai berat

konstan tercapai. Rumus berikut ini digunakan untuk memperoleh

selulosa alfa-kandungan dalam bambu:

Alpha-cellulosa (Persen) =

(5)

dimana:

W1= Kandungan Holocellulose (percent).

W2= Berat sampel holocellulose kering oven (grams).

W3= Berat kering oven wadah (grams).

W4= Berat kering oven wadah dan residu (grams).

Page 74: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

64 Sifat Kimia Bambu

Kandungan abu dalam Bambu. Nyalakan wadah kosong dan

penutupnya pada 600oC, dinginkan dalam dessicator, dan beratnya

mendekati 0,1 mg. Letakkan sekitar 2 gram sampel bambu kering

udara pada wadah, tentukan berat wadah ditambah spesimen, dan

ditempatkan di oven pengeringan 103 ± 2oC dengan penutup

wadah dibuka. Dalam desiccator dan menimbang sampai beratnya

konstan. Tempatkan wadah dan isinya kedalam tungku dan dibakar

sampai semua karbon hilang. Suhu akhir 580oC sampai 600oC.

Keluarkan wadah dengan isinya ke sebuah dessiccator tanpa

penutup, didinginkan dan ditimbang secara akurat. Ulangi

pemanasan selama 30 menit sampai berat setelah pendinginan

konstan 0,2 mg. Rumus berikut ini digunakan untuk mendapatkan

kandungan abu bambu:

Ash content (Persen) =

(6)

dimana:

W1 = berat abu (grams).

W2 = berat kering oven sampel (grams).

Kandungan kimia bambu dipengaruhi oleh usia, tinggi,

lapisan bambu yang dievaluasi dengan analisis varian pada level

signifikan 0.05.

B. Kandungan Kimia

Hasil pengujian kimia bambu tercantum dalam Tabel 5.3.

Khusus hasil komponen kimia dibahas secara rinci di bawah ini.

Tabel 5.4 menunjukkan hasil analisis varians dan Tabel 5.5

menunjukkan hasil perbandingan Tukey.

1. Ekstraktif Alkohol-toluena dan Air panas

Ekstraktif alkohol-toluena bambu terdiri dari bahan yang tidak

larut, umumnya dianggap sebagai bagian dari substansi bambu,

terutama lilin, lemak, resin, dan beberapa kerak, beberapa substansi

yang larut dalam air. Kandungan ekstraktif alkohol-toluena dari

berbagai usia dan ketinggian lokasi disajikan pada Gambar 5.1.

Umur mempunyai pengaruh yang signifikan pada kandungan

ekstraktif toluena alkohol. Dengan meningkatnya umur, kandungan

Page 75: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

65 Sifat Kimia Bambu

ekstraktif toluena alkohol terus meningkat. Usia lima tahun bambu

memiliki kandungan ekstraktif tertinggi. Ada beberapa variasi di

antara lokasi sampling vertikal. Bagian atas memiliki kandungan

ekstraktif tertinggi. Pangkal dan menengah tidak secara signifikan

berbeda dalam kandungan ekstraktif toluena alkohol.

Tabel 5.3. Komposisi kimia dari bambu

Usia

(thn) Lokasi

Ash

(%)

Hot

Water

Solubles

(%)

Alcohol-

toluene

Solubles

(%)

Lignin

(%)

Holo

Cellulose

(%)

α-

cellulose

(%)

1

Bawah

Tengah

Atas

1,82

1,94

1,95

5,83

5,07

5,14

3,32

2,86

3,48

21,98

22,11

21,26

68,92

70,84

71,95

46,52

47,30

47,51

2

Bawah

Tengah

Atas

1,30

1,36

1,41

6,33

6,91

7,43

4,17

4,38

5,21

23,21

23,95

23,71

68,58

72,69

73,82

46,21

46,82

46,99

3

Bawah

Tengah

Atas

1,26

1,30

1,35

4,89

5,19

5,84

6,61

6,81

7,34

22,93

22,97

23,02

69,94

72,50

73,65

46,08

47,65

47,91

31

Epidermis

Luar

Tengah

Dalam

4,09

0,54

0,65

0,88

9,19

5,26

7,25

9,33

5,99

3,15

4,25

5,78

22,41

24,30

21,79

22,57

63,14

69,94

65,84

64,54

41,71

49,02

45,08

42,84

Gambar 5.1. Kandungan ekstraktif bambu pada usia dan lokasi berbeda

Kandungan ekstraktif Alkohol-toluena dari berbagai lapisan

horizontal bagian bawah bambu pada usia tiga tahun bambu ini

disajikan dalam Gambar 5.2. Epidermis dan lapisan signifikan

lebih tinggi kandungan ekstraktif toluena alkohol. Lapisan luar

Page 76: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

66 Sifat Kimia Bambu

kandungan ekstraktif alkohol toluena terendah. Epidermis dari

bambu memiliki warna hijau yang menarik karena klorofil dalam

pada epidermisnya. Setelah ekstraksi dengan alkohol-toluena,

warna larutan ekstraksi berubah menjadi warna hijau gelap karena

ekstraksi klorofil. Beberapa studi telah mengungkapkan bahwa

klorofil dalam epidermis sangat mudah rusak dan perlakuan

dengan garam anorganik seperti chromates, garam nikel, dan

tembaga telah digunakan untuk melestarikan permukaan bambu

warna hijau (Chang dkk. 1998, 2001; Wu 2002). Bahan lilin yang

melekat pada lapisan juga berkontribusi terhadap kandungan

ekstraktif alcohol yang lebih tinggi-toluena relatif ke tengah dan

lapisan luar.

Gambar 5.2. Kandungan ekstraktif alcohol-toluene dari bambu usia tiga

tahun dengan lapis horizontal yang berbeda

Ekstraktif air panas dalam bambu termasuk tannin, gums,

gula, bahan pewarna, dan pati. Umur mempunyai beberapa efek

pada kandungan ekstraktif air panas bambu. Bambu usia tiga tahun

memiliki kandungan ekstraktif air panas tertinggi. Tidak ada

perbedaan yang signifikan antara usia satu dan lima tahun bambu.

Hal ini menunjukkan bahwa kandungan ekstraktif air panas

meningkat dari tahun kesatu ke tahun tiga dan kemudian menurun

secara bertahap. Bambu memiliki bagian atas lebih tinggi secara

nyata kandungan ekstraktif air panas dari tengah dan bagian

Page 77: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

67 Sifat Kimia Bambu

bawah/pangkal. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara bagian

tengah dan bawah. Kandungan ekstraktif air panas dalam setiap

lapisan menunjukkan kecenderungan yang sama seperti yang

dilakukan oleh kandungan ekstraktif toluena alkohol. Lapisan luar

memiliki kandungan ekstraktif air panas terendah. Epidermis dan

lapisan dalam yang lebih tinggi secara signifikan kandungan

ekstraktifnya, yang dapat dijelaskan sama seperti rincian

kandungan ekstraktif untuk alkohol-toluena ekstraktif.

Gambar 5.3. Kandungan ekstraktif air panas dari bambu pada usia

dan ketinggian lokasi berbeda

Gambar 5.4. Kandungan ekstraktif air panas dari lapis horizontal

bambu berbeda

2. Kandungan Holocellulose dan Alpha-selulosa

Kandungan holocellulose mencakup alfa-selulosa dan

Hemiselulosa. Alpha-selulosa adalah konstituen utama dari bambu.

Sekitar 40-55% dari bahan kering dalam bambu adalah alfa-

Page 78: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

68 Sifat Kimia Bambu

selulosa. Selulosa adalah homopolysaccharide terdiri dari unit β-D-

glukopiranosa yang dihubungkan bersama-sama dengan (1 → 4)

pengikat glikosidik. Molekul selulosa sepenuhnya linear dan

memiliki kecenderungan kuat untuk membentuk intra dan antar

molekul hidrogenobligasi. Kumpulan molekul selulosa dengan

demikian dikumpulkan bersama-sama dalam bentuk mikrofibril, di

mana daerah kristalin bergantian dengan daerah amorf.

Hemicelluloses yang polisakarida heterogen, seperti selulosa,

kebanyakan hemicelluloses berfungsi sebagai bahan pendukung

dalam dinding sel. Alpha-selulosa adalah sumber utama dari sifat

mekanik bambu dan kayu (Janssen, 1981). Gambar 5.5 menyajikan

kandungan holocellulose bambu pada usia dan lokasi yang

berbeda. Ada perbedaan yang signifikan kandungan

diholocellulose antara bambu usia tiga dan lima tahun. Bambu

berumur satu tahun kandungan holocellulose relatif lebih rendah.

Bagian atas memiliki kandungan holocellulose tertinggi; bagian

bawah memiliki kandungan holocellulose terendah.

Gambar 5.5. Kandungan holocellulose dari bambu pada usia dan tinggi

yang berbeda

Kandungan Holocellulose dari berbagai lapisan bagian bawah

bambu usia tiga tahun disajikan dalam Gambar 5.6. Lapisan luar

memiliki kandungan holocellulose tertinggi dan epidermis yang

terendah. Meskipun kandungan holocellulose tampaknya menurun

dari lapisan luar ke lapisan dalam, hal itu tidak secara signifikan

Page 79: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

69 Sifat Kimia Bambu

berbeda antara tengah dan lapisan dalam. Kandungan holocellulose

rendah di epidermis sebagian disebabkan oleh tingginya

kandungan ekstraktif dan abu. Penelitian sebelumnya telah

menunjukkan bahwa dinding epidermis terdiri dari lapisan luar dan

dalam; lapisan tampaknya sangat lignified. Lapisan cutinized terdiri

dari selulosa dan petin (Liese dan Hamburg, 1987). Karena lapisan

luar yang lebih tinggi secara nyata kandungan ekstraktif dan

abunya, berdampak mengurangi kandungan holocellulose

epidermis dalam bambu. Kandungan Alpha-selulosa bambu pada

usia dan tinggi yang berbeda disajikan dalam Gambar 5.7. Analisis

varians menunjukkan bahwa umur tidak memiliki dampak

signifikan pada kandungan alphacellulose. Ada perbedaan yang

signifikan dalam kandungan alfa-selulosa sepanjang ketinggian

batang bambu, neningkat secara bertahap dari bawah ke bagian

atas.

Gambar 5.6. Kandungan holocellulose pada bambu usia 3 tahun dari lapis

horizontal yang berbeda

Kandungan Alpha-selulosa terdapat perbedaan yang

signifikan pada batang bambu batang bagian bawah pada usia

bambu tiga tahun (Gambar ). Secara konsisten menurun dari

lapisan luar ke lapisan dalam. Epidermis bambu memiliki

kandungan alphacellulose terendah. Secara umum, kandungan

alfa-selulosa dalam bambu adalah 40-50% yang merupakan sesuai

Page 80: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

70 Sifat Kimia Bambu

dengan kandungan selulosa pada softwood (40-52%) dan kayu

keras (38 - 56%). Kandungan selulosa dalam kisaran ini membuat

bambu baik untuk bahan baku industri kertas.

Gambar 5.7. Kandungan Alpha-cellulose dari bambu pada usia dan tinggi

yang berbeda

Gambar 5.8. Kandungan Alpha-cellulose pada bambu usia 3 tahun dari

lapis horizontal yang berbeda

3. Kandungan Lignin Klason

Lignin merupakan polimer dari unit phenylpropane. Banyak

aspek lignin dalam kimia masih tetap tidak jelas. Lignin dapat

diisolasi dari kayu bebas ekstraktif sebagai residu larut setelah

proses pemindahan hidrolitik polisakarida. Klason lignin diperoleh

Page 81: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

71 Sifat Kimia Bambu

setelah menghilangkan polisakarida dengan proses kayu diekstraksi

(resin bebas) oleh hidrolisis dengan asam sulfat 72%. Lignin

bambu dibangun dari unit tiga fenil-propana, p-coumaryl, coniferyl

dan saling berhubungan melalui sinapyl alcohol biosintetik (Liese,

1987). Lignin hadir dalam bambu adalah unik, proses yang

mengalami perubahan lignifications sepanjang dari batang bambu,

lignification penuh jelaga bambu diselesaikan dalam satu musim

tanam, tidak menunjukkan efek penuaan lebih lanjut (Itoh dan

Shimaji 1981). Kandungan lignin dari bambu berumur satu tahun

secara signifikan lebih rendah daripada usia bambu tiga dan lima

tahun (Gambar 5.9). Usia bambu tiga tahun tampak kandungan

ligninnya yang lebih tinggi dari usia lima tahun, tapi perbedaan

besarnya secara statistik tidak terlalu signifikan.

Gambar 5.9. Kandungan Klason Lignin dari bambu pada usia dan tinggi

yang berbeda

Kandungan Lignin Klason dari berbagai lapisan bagian bawah

pada usia bambu tiga tahun disajikan pada Gambar 5.10. Lapisan

luar memiliki kandungan lignin tertinggi. Tidak ada perbedaan

yang signifikan antara epidermis, lapisan dan lapisan bambu

dibagian tengah. Kandungan lignin yang lebih tinggi memberikan

kontribusi besar terhadap kekuatan sifat lapisan luar yang lebih

tinggi. Nilai-nilai kandungan lignin dibagian ujung bambu normal

Page 82: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

72 Sifat Kimia Bambu

20-26% atau mirip untuk non-kayu biomas 11-27% (Bagby 1971)

dan sangat sesuai dengan rentang yang dilaporkan untuk softwoods

(24-37%) dan kayu keras (17-30%). Kandungan lignin yang tinggi

pada bambu memberikan kontribusi nilai yang tinggi akibat proses

pemanasan bambu, dan kekakuan yang sangat baik sebagai bahan

bangunan structural.

Gambar 5.10. Kandungan Klason lignin pada bambu usia 3 tahun dari

lapis horizontal yang berbeda

4. Kandungan Abu

Kandungan abu adalah istilah yang umumnya digunakan

untuk merujuk kepada bahan-bahan anorganik seperti silikat,

sulfat, karbonat, atau ion logam (Rydholm 1965). Kandungan abu

bambu pada usia yang berbeda dan tinggi disajikan pada Gambar

5.11. Kandungan abu dari bambu berumur satu tahun secara

signifikan lebih tinggi dari pada tiga dan lima tahun. Usia tiga dan

lima tahun bambu tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam

kandungan abunya. Analisis varians juga menunjukkan tidak ada

perbedaan antara bagian atas dan tengah untuk kandungan abu;

kandungan abu di bagian bawah batang memiliki nilai terendah.

Gambar 5.12 menunjukkan kandungan abu pada lapisan yang

berbeda. Kita dapat melihat bahwa epidermis secara signifikan

menunjukkan kandungan abu yang lebih tinggi, yang merupakan

tiga kalinya pada tiga lapisan lainnya. Telah dikatakan bahwa

kandungan abu yang lebih tinggi dalam epidermis terutama

Page 83: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

73 Sifat Kimia Bambu

disebabkan karena hampir semua seluruh silika terletak di lapisan

epidermis, nyaris tanpa silika dalam sisa dinding sel (Satish dkk.

1994). Tabel 5.4 juga menunjukkan data kandungan abu beberapa

jenis kayu umum. Jelas bahwa bambu memiliki kandungan abu

lebih tinggi secara signifikan dari kandungan pada kayu hutan,

tetapi umumnya lebih rendah dibandingkan dengan sebagian besar

pada spesies kulit kayu.

Gambar 5.11. Kandungan Abu dari bambu pada usia dan tinggi yang

berbeda

Gambar 5.12. Kandungan Abu pada bambu usia 3 tahun dari

lapis horizontal yang berbeda

Page 84: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

74 Sifat Kimia Bambu

III. Intisari Kimia Bambu

Komposisi kimia dari usia bambu satu, tiga, dan lima tahun

bambu pada berbagai lokasi ketinggian lyang ditentukan. Studi ini

juga meneliti komposisi kimia berbagai lapisan horisontal

(epidermis, luar, tengah, dan lapisan dalam) dari bagian bawah

pada usia bambu tiga tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kecuali untuk satu tahun bambu, kandungan ekstraktif alkohol-

toluena dan panas air meningkat dari bawah ke bagian atas.

Kandungan ekstraktif Toluena alkohol yang terus-menerus

menunjukkan peningkatan dari bambu berumur satu tahun sampai

lima tahun (bambu tua). Kandungan ekstraktif air panas

menunjukkan peningkatan dari bambu berumur satu tahun dan

kemudian menurun dari tiga tahun sampai lima tahun. Kandungan

Holocellulose dan alpha-selulosa meningkat dari bagian bawah ke

bagian atas. Ada variasi yang signifikan dalam kandungan abu dan

lignin dari bawah ke bagian atas bambu. Lapisan luar bambu

memiliki kandungan holocellulose, alfa-selulosa tertinggi, dan

kandungan lignin Klason serta kandungan ekstraktif abu memiliki

nilai terendah. Epidermis memiliki kandungan ekstraktif abu

tertinggi serta memiliki kandungan holocellulose dan alfa-selulosa

terendah.

Penelitian sifat kimia bambu yang juga telah dilakukan oleh

Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) meliputi penetapan kadar

selulosa, lignin, pentosan, abu, silika, serta kelarutan dalam air

dingin, air panas dan alkohol benzen. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa kadar selulosa berkisar antara 42,4% - 53,6%,

kadar lignin bambu berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan

kadar pentosan 1,24% - 3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar

silika 0,10% - 1,78%, kadar ektraktif (kelarutan dalam air dingin)

4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% -

11,8%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% -

6,9%. Hasil analisis kimia 10 jenis bambu terdapat pada Tabel 5.5.

Page 85: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

75 Sifat Kimia Bambu

Tabel 5.4. Analisis Kimia 10 Jenis Bambu No. Jenis bambu Selulosa

(%)

Lignin

(%)

Pentosan

(%)

Abu

(%)

Silika

(%)

Kelarutan dalam, (%)

Air

dingin

Air

panas

Alkohol-

benzene

NaOH

1%

1. Phyllostachys reticulata (bambu madake) 48,3 22,2 21,2 1,24 0,54 5,3 9,4 4,3 24,5

2. Dendrocalamus asper (bambu petung) 52,9 24,8 18,8 2,63 0,20 4,5 6,1 0,9 22,2

3. Gigantochloa apus (bambu batu) 52,1 24,9 19,3 2,75 0,37 5,2 6,4 1,4 25,1

4. Gigantochloa nigrociliata (bambu batu) 52,2 26,6 19,2 3,77 1,09 4,6 5,3 2,5 23,1

5. Gigantochloa verticillata (bambu peting) 49,5 23,9 17,8 1,87 0,52 9,9 10,7 6,9 28,0

6. Bambusa vulgaris (bambu ampel) 45,3 25,6 20,4 3,09 1,78 8,3 9,4 5,2 29,8

7. Bambusa bambos (bambu bambos) 50,8 23,5 20,5 1,99 0,10 4,6 6,3 2,0 24,8

8. Bambusa polymorpha (bambu kyathaung) 53,8 20,8 17,7 1,83 0,32 4,9 6,9 1,9 22,4

9. Chephalostachyum pergraciles (bambu

tinwa)

48,7 19,8 17,5 2,51 0,51 9,8 11,8 6,7 29,3

10. Melocanna bambusoides 42,4 24,7 21,5 2,19 0,33 7,3 9,7 4,0 28,4

Sumber : Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988)

Page 86: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

76 Sifat Kemunduran Bambu

BAB VI

KEMUNDURAN BAMBU

Kemunduran atau sering di sebut dengan istilah deteorisasi,

pada bahan alami seperti kayu dan bambu berhubungan dengan

penguraian struktur atau komposisi penyusun dinding mengalami

penurunan kualitas. Struktur penyusun bambu berupa dinding

terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin yang merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan pada batang bambu.

Faktor yang menyebabkan penurunan dan penguraian dinding

sel pada bambu adalah antara lain:

I. Penguraian Dinding Sel

Bambu merupakan kumpulan serabut-serabut yang hal serupa

dapat dilihat pada kayu kelapa, sewaktu diteteskan air, terjadi

penguraian melalui proses hidrolisa (penguraian karena air). Lignin

dan hemiselulosa sebagai pengikat antar serabut yang terdiri dari

kumpulan selulosa mengalami penguraian dan penurunan daya

ikat.

Ikatan serat mulai rusak dapat disebabkan oleh bermacam-

macam cara: air, jamur dan enzim yang dikeluarkan oleh jamur.

Ada dua kelompok besar yang menyebabkan proses penguraian ini

terjadi:

A. Abiotik, berupa bahan-bahan kimia seperti H2SO4, air dan sinar,

B. Biotik, berupa jamur, organisme pengurai jasad renik (bakteri)

II. Penurunan Kualitas Dinding Sel

Penurunan kuliatas dan atau pelunakan dinding sel juga di

pengaruhi oleh dua kelompok besar diatas yaitu abiotik dan biotik.

Proses deteriosasi pada bambu yang diakibatkan oleh penurunan

kualitas dinding sel dimulai bambu sewaktu mengalami

pelembaban (kadar air meningkat) sehingga organisme perusak

mampu hidup pada bambu. Apabila kadar air bambu bias

dipertahankan pada kondisi kering maka proses deteorisasi akan

berjalan sangat lambat, tapi bila kadar air meningkat makan bambu

segera mengalami deteorisasi.

Page 87: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

77 Sifat Kemunduran Bambu

Beberapa faktor pemicu terjadinya penurunan kualitas dinding

sel, antara lain:

A. Kelembaban

Jumlah air pada bambu menyebakan terjadinya kembang

susut, saat kembang jarak antar serabut bambu menjauh sehingga

kemungkinan dapat masuknya pengurai lebih besar. Air yang

berada pada selulosa mempunyai kemampuan hidrolisa, yang

berakibat penurunan kualitas dinding sel. Jamur mampu hidup baik

pada kelambaban dengan kadar air 25-30%.

Terkait dengan kadar air yang meningkat akan berakibat

menurunnya kekerasan dari bambu sehingga menurunkan

kemampuan bambu dalam menahan beban luar. Kondisi ini akan

memperparah kondisi bambu sebagai fungsi struktur.

B. Suhu ruangan

Suhu ruangan dimana bambu diletakkan, suhu membantu

penyerapan organism perusak. Pada suhu ruang yang agak

meningkat penyerangan organisme berjalan mudah, pada suhu

tinggi organisme akan mati. Begitu sebaliknya suhu ruangan turun

penyerangan melambat dan pada suhu sangat rendah organisme

akan mati. Sebagai contoh: kayu sengon di daerah dingin lebih

kuat terhadap deteorisasi dari kayu sengan pada daerah panas.

C. Penyinaran (photo oksidasi)

Penyinaran merupakan faktor dari unsur abiotik, bahan

memanas karena penyinaran (oksidasi karena panas) sehingga bila

bambu dijemur maka lama kelamaan akan berakibat warnanya

kusam dan rusak. Faktor rusaknya bambu pada kondisi ini tidak

terkait dengan faktor biotic seperti organisme perusak.

D. Fatique (kelelahan)

Faktor ini terkait dengan usia bahan dan proses siklus

kehidupan bahan, mulai dari tumbu, berkembang, sel-sel dinding

sel membesar, dan sampai akhirnya sel-sel terkandung dalam

bambu akan mati.

Air pada bambu mempunyai fungsi ganda, waktu air

melimpah justru mampu mempertahankan durabilitas bambu. Pada

Page 88: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

78 Sifat Kemunduran Bambu

kadar air maksimum dan tidak ada oksiden lagi pada rongga

bambu. Kondisi ini disebut water loged (bahan yang penuh dengan

air). Deterisoasi lainnya adalah akibat peningkatan suhu (oven)

yang berakibat weight loss (pengurangan berat). Saat bambu

dioven maka berat bambu akan turun, pada bambu muda weight

loss yang terjadi kecil tidak berakibat deteorisasi sehingga

penerapan pengoven murni bertujuan untuk mengurangi kembang

susutnya sedangkan pada bahan lama pengovenan akan berakibat

weight loss yang terjadi besar dan mendorong terjadinya

deteorisasi.

Pengawetan seperti yang dilaksanakan oleh EDS, panas akan

berakibat weight loss sedangkan asap atau gas yang disemburkan

kedalam bambu berakibat meningkatkan berat sehingga

pengawetan sistem tersebut efektif tanpa mempengaruhi kekuatan

dari bambu.

Stuktur anatomi bambu yang terdiri dari kumpulan selulosa-

selulosa yang diikat oleh hemiselulosa, kumpulan ikatan ini disebut

microfibil. Kumpulan-kumpulan microfibil diikat oleh lignin

sehingga membentuk satu kesatuan bambu. Faktor-faktor lain yang

dapat merusak lignin adalah asam kuat dan basa kuat seperti hujan

asam, lignin mudah teroksidasi dengan abiotik atau sinar. Sebagai

contoh kita dapat lihat kertas Koran apabila dijemur akan berwarna

kuning, ini mengindikasikan lignin yang terkandung pada kertas

Koran mengalami deteorisasi akibat dijemur sinar matahari.

Sifat keterekatan kimia penyusun bambu (adhesive

characteristic) pada kacamata ahli kimia, bambu merupakan bahan

komposit yang merupakan satu kesatuan gabungan dari serabut-

serabut yang terikat secara kimiawi. Deteorisasi akan terjadi bila

adhesive characteristic melemah, ikatan ion+ dan ion- dan

permukaan bahan secara mekanik melemah.

Faktor-faktor yang menghambat proses deteorisasi:

1. Menghambat hidupnya organisme perusak bambu, harus

dikondisikan sehingga membuat mereka tidak dapat hidup.

Misalnya dengan mengatur kadar air, memasukkan bahan

Page 89: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

79 Sifat Kemunduran Bambu

ekstraktif yang bersifat racun pada perusak bambu seperti

borak, phenol yang bersifat toxid dan resin.

2. Adanya perlakuan atau treatment pada bambu yang membuat

organism perusak bambu tidak mau makan. Dengan tambahan

dan atau ubahan kimia membuat organisme tidak merusak lagi.

3. Penghambatan dengan cara tidak memberikan akses kepada

organisme perusak kayu, tidak bias di endus oleh organisme

perusak kayu. Misalnya dengan cara pengecatan.

III. Penelitian terkait dengan kemunduran Bambu

“Perubahan Sifat Fisik dan Mekanik Panel Zephyr

Bambu setelah Uji Pelapukan Cuaca”.

A. Pendahuluan

Bahan konstruksi kayu bangunan gedung dan bahan

konstruksi kayu- kayu yang sering dipakai di luar ruangan /

eksterior, baik dinegara sub tropis maupun di daerah tropis seperti

halnya di Indonesia, mudah terdegradasi, retak, rusak dan pudar

warna karena pengaruh cuaca (sinar UV dan air hujan) dan karena

hama perusak kayu. Oleh karena itu daya tahan kayu kontruksi

bahan bangunan tipe eksterior perlu ditingkatkan dengan perlakuan

fisik maupun kimia (Sudiyani et al. 1999 dalam Morisco 2006).

Salah satu produk panel yang dikembangkan sebagai bahan

bangunan adalah panel zephyr (palupuh) bambu. Panel zephyr

bambu adalah suatu papan atau lembaran tiga lapis dari zephyr

bambu atau serat bambu dengan arah serat bersilangan yang

direkat dengan menggunakan phenol fomaldehyde (PF) atau urea

formaldehyde (UF) dengan kadar perekat 17% berdasarkan kering

tanur dan dengan kerapatan 0.75 g/cm3 pada mesin kempa panas.

Kemungkinan permintaan papan zephyr di Belanda akan

meningkat untuk menggantikan papan kayu. Di Belanda, papan

tersebut dipergunakan untuk dinding rumah bagian luar, tiang

pagar dan pagar (eksterior) sehingga papan tersebut harus tahan

terhadap faktor eksterior. Untuk mengantisipasi permintaan

tersebut, maka perlu dilakukan pengujian daya tahan zephyr bambu

Page 90: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

80 Sifat Kemunduran Bambu

terhadap pengaruh cuaca. Faktor eksterior yang sangat

mempengaruhi bahan kayu atau bambu adalah cuaca, seperti sinar

ultra violet (UV), air, serta jamur, serangga dan debu. Pada

penelitian terdahulu (Gopar dkk., 2001) telah dilakukan

pengembangan panel bambu komposit yang terbuat dari zephyr

bambu dengan menggunakan perekat PF dan UF pada skala pilot.

Sedangkan penelitian untuk skala industri masih belum banyak

dilakukan. Pada penelitian ini panel dibuat dalam skala penuh

dengan ukuran 1200 mm x 2400 mm dengan ketebalan 18 mm.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat

fisik dan mekanik papan zephyr bambu setelah uji pelapukan cuaca

selama 12 bulan. Hasil penelitian, diharapkan dapat memberikan

informasi yang berguna bagi bidang pengolahan bambu ataupun

sector yang terkait sehingga dapat dijadikan dasar acuan bagi

penelitian sejenis dimasa yang akan datang.

B. Bahan dan Metode Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali

(Gigantochloa apus Kurz) yang ditebang dari kompleks

PUSPIPTEK Serpong. Umur bambu yang digunakan dalam

penelitian ini lebih dari dua tahun. Bambu dipotong menggunakan

cutting saw menjadi ukuran panjang 250 cm untuk lapisan luar

(face/back) dan 130 cm untuk lapisan dalam (core). Bambu dibelah

dua kemudian dimasukkan dalam mesin crusher sehingga

dihasilkan zephyr bambu. Zephyr bambu untuk lapisan luar

(face/back) dibuat lebih hancur dibanding dengan zephyr lapisan

dalam (core). Selanjutnya zephyr bambu dikeringkan hingga

mencapai kadar air 7%. Dua jenis perekat yang digunakan adalah

perekat phenol formaldehyde (PF), dan urea formaldeyide (UF).

Sebagai pelapis permukaan panel digunakan perekat isocyanate.

C. Metode Pembuatan panel zephyr bambu

Bahan baku zephyr bambu (kadar air 7%) dicampur masing-

masing dengan perekat PF atau UF menggunakan mesin glue

sprayder sampai mencapai kadar perekat 17% berdasarkan berat

kering tanur. Setelah proses pencampuran perekat, dilakukan

Page 91: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

81 Sifat Kemunduran Bambu

penyusunan lembaran secara manual. Lapisan luar (face) arah

panjang dan lapisan dalam (core) arah lebar papan. Perbandingan

antara lapisan luar dan lapisan dalam adalah 40% dan 60%. Untuk

mencegah papan zephyr bambu melekat pada plat hot press, kedua

permukaan dilapisi teflon. Kempa panas dilakukan pada suhu

160°C untuk perekat PF sedangkan untuk perekat UF pada suhu

140°C. Untuk menghindari terjadinya blister atau gelembung pada

permukaan panel akibat uap air yang tidak bisa keluar saat proses

pengempaan (Subiyanto dkk. 1994 dalam Morisco 2006), maka

digunakan metode pengempaan three steps pressing schedule.

Kempa panas dilakukan selama 20 menit dengan tekanan 30

kgf/cm2,15 kgf/cm2 dan 7.5 kgf/cm2 (stepped down 10 menit, 5

menit dan 5 menit secara berturut-turut), dengan target ketebalan

18 mm dan kerapatan adalah 0.75 g/cm3.

Untuk memperbaiki kerataan dan kehalusan permukaan dan agar

tahan terhadap cuaca, kedua permukaan diserut tipis/sampai kulit

luar bambu hilang kemudian dilapisi dengan perekat isocyanate

menggunakan mesin glue sprayder sampai kadar perekatnya

mencapai 5% terhadap berat kering tanur. Kemudian dikempa

panas lagi pada temperatur 160°C dengan tekanan 15 kgf/cm2.

Setelah proses kempa panas, sampel dipotong pinggir menjadi

ukuran panel 1200 mm x 2400 mm, kemudian disimpan untuk

kondisioning minimal selama 3 minggu pada ruangan dengan suhu

24°C dan kelembaban relatif (relative humidity = RH) 65%.

Untuk uji pelapukan cuaca, panel zephyr bambu dipotong

dengan ukuran panjang 50 cm x lebar 5 cm, diambil dari empat

belas lembar panel. Perlakuan panel zephyr bambu yang diamati

disajikan pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Pengkodean Uji panel

Perlakuan Benda Uji Kode Panel dengan Urea Formaldehyde Adhesive UF

Panel dengan Phenol Formaldehyde Adhesive PF

Panel dengan Urea Formaldehyde dan layering menggunakan

isocyanate ULI

Panel dengan Phenol Formaldehyde dan layering

menggunakan isocyanate PLI

Page 92: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

82 Sifat Kemunduran Bambu

1. Kondisi tempat pemaparan cuaca

Potongan panel zephyr bambu dipaparkan pada udara terbuka

di halaman belakang gedung Pusat Penelitian Fisika LIPI Serpong

selama 12 bulan mulai tanggal 1 Juni 2001 sampai dengan tanggal

1 Juni 2002. Papan dipasang pada rak dengan kemiringan 5°

terhadap horizontal dengan jarak 50 cm dari permukaan tanah.

Altitude 30 m, latitude 6° 15‘SL, longitude 106° 42’EL. Data

Meteorologi cuaca selama pengujian, direkam dengan alat

pendeteksi cuaca disajikan pada Tabel 6.2.

2. Pengujian sifat fisis dan mekanis panel

Sebelum dan sesudah pemaparan cuaca, dilakukan pengujian

sifat fisis dan mekanis panel menurut JIS A 5908, meliputi

keteguhan patah (modulus of rupture = MOR), kerapatan dan

pengembangan tebal panel. Pengamatan fisik dan sifat mekanik

diamati setiap 3 bulan. Pengembangan panel diukur berdasarkan

selisih tebal panel sesudah dan sebelum pemaparan cuaca. Setiap

pengujian dilakukan lima kali ulangan. Nilai yang dibandingkan

adalah nilai rata-rata dari masing-masing sifat yang diuji.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Sifat fisis panel zephyr bambu

Nilai rata-rata hasil pengujian sifat fisis panel zephyr bambu

disajikan pada Tabel 6.3 dan Tabel 6.4. Kerapatan panel zephyr

bambu dengan perekat UF, panel zephyr bambu dengan perekat PF

dan yang dilapisi perekat isocyanate sebelum uji pelapukan cuaca

berkisar antara 0.72 g/cm3 hingga 0.77g/cm3. Setelah uji pelapukan

cuaca, kerapatan papan menurun bertahap dengan bertambahnya

waktu pengujian. Setelah dijemur selama 12 bulan, sifat fisis panel

menurun. Dengan adanya penambahan perlakuan pelapisan, bahan

pelapis membentuk ikatan sehingga dapat meningkatkan stabilitas

dimensi, memperkecil penurunan kerapatan dan mengurangi

pengembangan tebal panel. Turunnya nilai kerapatan suatu panel

merupakan salah satu faktor untuk menunjukkan kualitas panel itu

sendiri. Panel yang menggunakan perekat phenol formaldehyde

dan panel dengan perekat phenol formaldehyde yang dilapis

Page 93: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

83 Sifat Kemunduran Bambu

isocyanate menunjukkan penurunan kerapatan yang cukup rendah

yaitu 22.97% dan 10.39% sedangkan panel lain tingkat

penurunannya sangat tinggi.

Tabel 6.2. Kondisi iklim di PUSPIPTEK Serpong-Tangerang dari Juni

2001 sampai Mei 2002

Bulan

Suhu

rata-rata

(0C)

RH rata-

rata (%)

Intensitas

UV

Curah

Hujan

Rata-rata

(mm)

Radiasi

UV

(kj/m2)

Juni 2001 26,24 91,19 4.171,83 182,75 15.018,59

Juli 2001 26,04 89,28 4.128,67 211,25 14.863,20

Agustus 2001 26,89 85,91 4.496,51 58,25 16.187,45

3 bulan 26,39 88,79 12.797,01 452,25 46.069,24

September 2001 26,34 90,33 4.125,93 173,25 14.853,34

Oktober 2001 26,07 93,09 4.141,40 127,50 14.909,02

Nopember 2001 26,06 93,40 4.429,31 261,45 15.945,53

6 bulan 26,22 91,40 25.493,65 1.014,45 91.777,13

Desember 2001 26,32 88,28 5.335,73 113,50 19.208,62

Januari 2002 26,09 94,40 4.266,73 559,75 15.360,22

Pebruari 2002 25,74 94,86 3.301,55 473,75 11.885,59

9 bulan 26,09 92,24 38.397,66 2.161,45 138.231,56

Maret 2002 26,75 91,95 4.115,52 240,50 14.815,88

April 2002 26,77 92,48 3.057,63 337,50 11.007,46

Mei 2002 27,17 91,01 2.962,10 268,00 10.663,57

12 bulan 26,70 91,92 48.532,91 3.007,45 174.718,48

Tabel 6.3. Kerapatan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor

Adhesive

Kerapatan akibat cuaca luar (g/cm3)

0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12

bulan

Penurunan

(%)

UF 0,72 0,56 0,53 0,54 0,50 30,56

PF 0,74 0,60 0,60 0,63 0,57 22,97

ULI 0,77 0,64 0,59 0,58 0,54 29,87

PLI 0,77 0,74 0,71 0,54 0,69 10,39

Catatan : rata-rata 3 benda uji

Tabel 6.4. Ketebalan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor

Adhesive

Ketebalan panel akibat cuaca luar (mm)

0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12

bulan

Penurunan

(%)

UF 18,80

(0,02)

20,79

(0,47)

21,95

(0,37)

21,57

(0,22)

21,84

(0,47) 13,92

PF 19,10

(0,39)

20,29

(0,47)

20,71

(0,24)

19,54

(0,42)

20,00

(0,45) 4,50

Page 94: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

84 Sifat Kemunduran Bambu

ULI 18,20

(0,02)

18,48

(0,20)

18,85

(0,39)

20,73

(0,42)

19,32

(0,39) 5,80

PLI 18,40

(0,07)

18,79

(0,15)

18,73

(0,16)

20,91

(0,48)

18,63

(0,16) 1,23

Catatan : rata-rata 3 benda uji

Hal ini disebabkan karena perekat phenol formaldehide dan

perekat isocyanate memiliki sifat kedap air yang baik dan

merupakan perekat untuk penggunaan eksterior. Sedangkan

perekat urea formaldehide tidak tahan terhadap air dan merupakan

perekat tipe interior. Dengan mengetahui sifat pengembangan tebal

suatu panel antara lain adalah untuk menentukan apakah panel

tersebut tahan atau dapat digunakan sebagai panel tipe eksterior.

Makin tinggi pengembangan tebal makin rendah kestabilan

dimensinya sehingga makin tidak tahan atau tidak cocok untuk

keperluan eksterior atau untuk jangka waktu panjang karena sifat

mekaniknya akan menurun.

Sifat pengembangan tebal panel diketahui dengan menghitung

selisih tebal sebelum dan sesudah pemaparan cuaca pada kondisi

kering udara. Sifat pengembangan tebal panel zephyr bambu

sebelum dan sesudah uji pelapukan cuaca selama 12 bulan

disajikan pada Tabel 6.4. Hasil pengujian menunjukkan bahwa

pengembangan tebal panel yang dilapisi isocyanate lebih rendah

dibanding dengan panel yang tidak dilapisi, sedangkan panel

dengan perlakuan UF menunjukan pengembangan tebal tertinggi

(13.92%). Jika dibandingkan dengan standar JIS A 5908 yang

menetapkan bahwa nilai pengembangan tebal maksimal kurang

dari 12%, maka dari keempat perlakuan yang dicoba menunjukkan

bahwa panel dengan perlakuan UF tidak memenuhi standar.

Penurunan berat panel pada uji pelapukan cuaca merupakan salah

satu faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan (keteguhan patah)

panel tersebut. Penurunan berat panel menunjukkan bahwa bahan

pada panel tersebut lepas, larut, menguap atau tertiup angin ke

udara akibat proses pelapukan cuaca. Dengan adanya bahan atau

material pada panel yang menguap, larut dan lepas, maka daya

ikatan antar material berkurang sehingga kekuatan panel menurun.

Page 95: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

85 Sifat Kemunduran Bambu

Dari Gambar 6.1 dapat dilihat bahwa waktu pemaparan

memberikan pengaruh terhadap penurunan berat panel, makin lama

waktu pemaparan makin besar penurunan berat; berarti makin kecil

kekuatan panel.

Waktu pemaparan cuaca sampai dengan 9 bulan panel PF

menunjukan penurunan berat paling rendah yaitu 4.46% dan

penurunan berat paling tinggi ditunjukkan oleh panel ULI. Panel

yang dipaparkan selama 12 bulan terus dengan radiasi UV dan

jumlah curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya penurunan

berat sangat besar pada semua panel yang diuji dan penurunan

berat tertinggi ditunjukan oleh panel ULI yaitu 25.31%.

2. Pengujian MOR

Hasil pengujian MOR disajikan pada Gambar 6.2. Nilai-nilai

MOR panel zephyr bambu untuk setiap perlakuan menurun

sesudah uji pelapukan cuaca. Panel

dengan perlakuan UF mengalami penurunan yang sangat tinggi

setelah uji pelapukan cuaca 3 bulan, penurunan nilai MOR semakin

bertambah mencapai 83.78% dengan bertambahnya waktu

pemaparan cuaca selama 12 bulan. Setelah 12 bulan pemaparan

cuaca, panel zephyr bambu dengan perlakuan PF menunjukan

panel yang tahan terhadap cahaya maupun air dibandingkan

dengan perlakuan UF saja maupun dengan perlakuan tambahan

dengan isocyanate. Panel dengan perlakuan PF menunjukkan

penurunan nilai MOR paling rendah yaitu 48.44% atau MOR =

145.5 kgf/cm2, sedang papan ULI dan PLI tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata.

Nilai MOR panel PF tersebut memenuhi persyaratan JIS A

5908 tipe 13 karena nilainya lebih dari 133 kgf/cm2. Perlakuan

tambahan menggunakan perekat isocyanate untuk melapisi

permukaan atas papan, tidak menunjukkan peningkatan kekuatan

papan. Hal ini kemungkinan karena panel UF dan panel PF yang

bagian permukaannya dilapisi perekat isocyanate kemudian

dikempa panas lagi mengalami proses pematangan dua kali (over

curing).

Page 96: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

86 Sifat Kemunduran Bambu

Gambar 6.1. Kehilangan berat dari panel zephyr bambu pada kondisi

outdoor

Gambar 6.2. MOR dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor

E. Intisari Kemunduran Bambu

1. Panel zephyr bambu yang diberi perlakuan pelapisan perekat

isocyanate memiliki sifat fisis lebih baik namun tidak

menunjukkan peningkatan kekuatan papan yang nyata.

2. Panel dengan perlakuan PF menunjukkan penurunan nilai MOR

yang paling kecil yaitu 48.44% atau MOR = 145.5 kg/cm2, nilai

Page 97: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

87 Sifat Kemunduran Bambu

tersebut masih memenuhi standard Industri Jepang (JIS A 5908

untuk papan partikel Tipe 13).

3. Setelah 12 bulan pemaparan cuaca, panel zephyr bambu dengan

perlakuan PF menunjukkan penurunan sifat fisik sangat kecil,

tahan terhadap cahaya maupun air, dapat digunakan sebagai

panel tipe exterior.

Page 98: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

88 Rekayasa Bambu

BAB VII

REKAYASA BAMBU

I. Definisi Rekayasa Bambu

Rekayasa bambu merupakan proses mengubah sifat alami

bahan tersebut, misalnya kayu yang mempunyai berat jenis alami

dengan perlakuan tertentu meningkatkan berat jenis sehingga

mengalami perubahan sifat fisika dan mekanika bahan yang lebih

baik.

Rekayasa ada 2 macam:

A. Perlakuan tanpa memberikan bahan tambahan, perlakuan

umumnya berbentuk rekayasa fisika dan mekanika

1. Perlakuan Fisika.

Rekayasa meningkatkan suhu bahan bambu sehingga

menghilang sifat hygroskopis. Mengubah hidropilik (peka air)

menjadi hidropopik (tidak peka air). Misalnya dipanasi suhu ±

2000C, teknologi EDS (perlakuan dengan cara fisika dengan

pemanasan/ asap yang disemprotkan pada suhu tinggi.

2. Perlakuan Mekanika

Perlakuan pemberian beban, umumnya dengan beban tekan

dapat meningkatkan berat jenis. Dengan beban tekan bahan bambu

termampatkan sehingga berat jenis akan meningkat. Kita mencari

kondisi plastis, nilai plastisitas bahan akan bervariasi tergantung

dari jenis bahan bambu sehingga perlakuan mekanikanyapun (nilai

perlakuan beban tekan) akan berbeda.

Bahan bambu bagian yang memiliki sifat plastis adalah

lignin, proses pelunakan bagian lignin melalui pengaturan suhu

hingga mencapai ± 1700C. Proses ini sering disebut dengan

lignifikasi, biasanya dilakukan rekayasa pembebanan dengan

kombinasi suhu dan kadar air. Kadar air yang rendah akan sulit

memberikan pembebanan, dibutuhkan nominal beban yang relatif

tinggi.

Page 99: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

89 Rekayasa Bambu

B. Perlakuan dengan memberikan bahan tambahan, perlakuan ini

berbentuk rekayasa kimia.

Memasukkan bahan kimia, berupa bahan kimia alami sampai

dengan bahan sintetis. Konsep perlakuan ini terdiri dari 2 yaitu:

1. Mengisi lumen/rongga sel secara fisika sampai penuh, sehingga

semua sel yang terisi tidak lagi mampu mengalami kembang

susut seperti kondisi awal. Memasukkan saat nilai kembang

maksimum mencapai bulkiness (pengisian rongga hingga

padat).

Contoh: proses polyethileneglicol (PEG), melamine dalam

bentuk seperti perekat.

Proses dengan cara ini sering disebut bulkiness.

2. Mengubah sifat kimia, dengan berbagai reaksi kimia. Ada 2

jenis proses yang dikenal yaitu: estherifikasi dan esterifikasi

II. Rekayasa Stabilisasi Warna

Usaha peningkatan kualitas bambu sebagai bahan kerajinan

anyaman adalah dengan meningkatkan kecerahan warna bambu

melalui pemutihan. Bambu tali (Gigantochloa apus) yang

mempunyai serat yang ulet dan ruas yang panjang dan sering

digunakan sebagai bahan anyaman, telah dipilih oleh Zulnely dan

Dahlian (1999) dalam Yasin 2015 sebagai bahan penelitian

pemutihan bambu. Sebagai bahan pemutih digunakan larutan

hidrogen peroksida (H2O2) dan digunakan bahan bambu yang

berbeda umurnya, pada ruas yang terpisah. Untuk mengetahui

kemungkinan perubahan kekuatannya dilakukan uji keteguhan

tarik. Hasil derajat pemutihan dan keteguhan tarik bambu tali

terdapat pada Tabel 7.1.

Page 100: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

90 Rekayasa Bambu

Tabel 7.1. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali

(Gigantochloa apus) yang telah diputihkan

Umur dan

bagian bambu

Derajat putih (%) Keteguhan tarik

(kg/cm2)

Diputihkan Tak

diputihkan

Diputihkan Tak

diputihkan 6 bulan

- ujung 67,29 43,54 90,87 102

- tengah 68,42 44,71 98,33 133

- pangkal 60,51 39,42 164 248

1 tahun

- ujung 62,94 38,77 160,27 192

- tengah 56,66 36,86 186,40 239

- pangkal 62,69 37,36 178,53 210

Sumber : Zulnely dan Dahlian (1999)

Selain pencerahan warna bambu, pada beberapa tujuan

produksi kadang ditemukan keinginan untuk menampilkan bambu

dalam warna kulit alaminya. Hal ini disebabkan karena

kecenderungan kulit bambu untuk berubah warna menjadi kuning

setelah melalui proses pengeringan alami. Pengawetan mengenai

warna hijau kulit bambu telah dilaksanakan pada bambu andong

(Gigantochloa verticillata Munro.) oleh Barly dan Ismanto (1998)

dalam Krisdianto 2005. Hasil dari penelitian ini adalah kulit bambu

cenderung untuk tetap berwarna hijau sesuai dengan warna

alaminya. Pengawetan warna hijau kulit bambu andong dengan

menggunakan campuran larutan terusi dan nikel sulfat dengan

pengeringan selama 14 - 28 hari.

III. Bambu lapis

Penelitian bambu sebagai bahan kayu lapis telah dilakukan

oleh Sulastiningsih dan Sutigno, (1992) dalam skala laboratorium,

dengan menggunakan sayatan bambu. Jenis bambu yang digunakan

dalam penelitian adalah bambu tali. Hasil pengujian beberapa sifat

mekanik bambu lapis terdapat pada Tabel 7.2.

Page 101: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

91 Rekayasa Bambu

Tabel 7.2. Beberapa sifat fisik dan mekanik bambu lapis No. Macam bambu lapis Kerapatan

(g/cm3)

Keteguhan lentur (kg/cm2)

1. Dari sayatan bambu

a 3 lapis 0,81 1022,48 98,62

b 5 lapis 0,80 1324,72 351,09

2. Dari pelupuh bambu

a Luar berkulit tanpa buku

Dalam tanpa buku

0,64 323,49 119,14

b Luar berkulit dengan

buku

Dalam dengan buku

0,66 247,35 95,41

c Luar tanpa kulit tanpa

buku

Dalam tanpa buku

0,65 326,43 89,91

d Luar tanpa kulit dengan

buku

Dalam dengan buku

0,64 341,20 89,31

Sumber : Sulastiningsih dan Sutigno (1992)

Penelitian pembuatan produk majemuk dari bahan bambu

telah dilakukan oleh Kliwon (1997). Pembuatan bambu lapis itu

menggunakan bahan bambu tali (Gigontochloa apus). Hasil dari

penelitian itu menunjukkan bahwa rendemen pelupuh bambu

dengan tebal 4,7 mm adalah 67,72% dan rendemen bambu lapisnya

adalah sebesar 54,45%. Dimensi bambu lapis yang dibuat telah

memenuhi standar Indonesia, sedangkan keteguhan rekat dan kadar

air bambu lapis semuanya juga telah memenuhi standar Jepang.

Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu lapis tercantum pada

Tabel 7.3.

Page 102: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

92 Rekayasa Bambu

Tabel 7.3. Sifat fisik dan mekanik bambu lapis No. Sifat Jenis

bahan

pengawet

Jenis bambu lapis

a1 a2

1. Kadar air (%) b0

b1

b2

12,26

11,41

9,60

10,33

10,21

10,03

2. Kerapatan (g/cm3) b0

b1

b2

0,70

0,74

0,72

0,63

0,64

0,62

3. Keteguhan rekat

(delaminasi, cm)

b0

b1

b2

0

0

0

0

0

0

4. Keteguhan lentur sejajar arah serat

a. Modulus patah

(kg/cm2)

b0

b1

b2

550,33

445,59

415,21

729,92

349,91

660,52

b. Modulus elastisitas

(kg/cm2)

b0

b1

b2

55802,00

46987,80

35659,60

86839,30

81992,20

84994,80

Sumber : Kliwon (1997)

keterangan :

a1 = 3 lapisan bambu;

a2 = lapisan muka dan belakang bambu dan lap. inti venir meranti merah;

b0 = kontrol;

b1 = CCB;

b2 = Boraks.

Pengujian pada bambu lapis menunjukkan hasil yang

memuaskan. Modulus patah sejajar serta permukaan bambu lapis

semuanya memenuhi standar Jepang, sedangkan modulus

elastisitas sejajar serat permukaan bambu lapis mampu memenuhi

standar Jepang kecuali pada bambu lapis yang semua lapisannya

dari pelupuh bambu dan menggunakan jenis bahan pengawet

boraks.

Pengaruh perlakuan tunggal dan interaksi jenis bambu lapis

dan jenis bahan pengawet yang dipergunakan berpengaruh sangat

nyata terhadap sifat modulus patah bambu lapis. Sebaliknya baik

pengaruh perlakuan tunggal maupun interaksinya tidak

berpengaruh terhadap modulus elastisitas bambu lapis. Dalam

pembuatan bambu lapis disarankan memakai lapisan inti dari venir

Page 103: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

93 Rekayasa Bambu

tebal 4 mm untuk memperoleh bambu lapis yang modulus

patahnya tinggi.

IV. Bambu lamina

Penelitian mengenai bambu lamina telah dilakukan oleh

Sulastiningsih dkk., 1996. Penelitian ditekankan pada pengaruh

jumlah lapisan dalam pembuatan bambu lamina. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis bambu lamina

dari bambu betung tidak dipengaruhi oleh jumlah lapisan (2 - 5

lapis) kecuali keteguhan rekat berdasarkan uji geser tarik dalam

keadaan kering (makin banyak jumlah lapisan keteguhan geser

tariknya makin tinggi). Selain itu berdasarkan kerapatan,

keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu lamina dapat

disetarakan dengan kayu kelas kuat I. Adapun besarnya nilai sifat

fisis dan mekanis bambu lamina adalah seperti terdapat pada Tabel

7.4.

Tabel 7.4. Nilai sifat fisik dan mekanik bambu lamina

No. Sifat Jumlah lapisan

2 3 4 5 1. Kadar air (%) 10,90 11,45 12,17 11,86

2. Kerapatan (g/cm3) 0,66 0,73 0,67 0,69

3. Keteguhan lentur sejajar serat (kg/cm2)

- Modulus patah (MOR) 1089,35 1031,25 999,84 961,74

- Modulus elastisitas (MOE) 146763 175592 177863 146907

4. Keteguhan tekan sejajar serat

(kg/cm2)

463,46 506,16 441,84 521,55

5. Keteguhan rekat (kg/cm2)

a. Uji geser tekan

- Uji kering 85,46 107,68 95,98 105,52

- Uji basah 63,63 57,26 69,45 71,40

b. Uji geser tarik

- Uji kering 67,20 71,10 84,59 99,83

- Uji basah 26,88 22,77 23,81 28,27

6. Delaminasi (cm) 0 0 0 0

Sumber : Sulastiningsih dkk. (1996)

Bambu lamina memiliki sifat perekatan yang cukup baik.

Apabila dalam pemakaian bambu lamina tidak memperhatikan

faktor ketebalan, maka disarankan untuk menggunakan bambu

lamina 2 lapis. Informasi mengenai pengaruh posisi sepanjang

Page 104: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

94 Rekayasa Bambu

kolom dan jumlah bahan pengawet yang dilaburkan, terhadap sifat

fisis dan mekanis bambu lamina telah dilaporkan oleh

Sulastiningsih dkk. (1998). Penelitian tersebut dilakukan pada

bambu lamina 3 lapis dari jenis bambu andong (Gigantochloa

pseudoarundinacea (Steud.) Widjaya.) yang direkat dengan

perekat urea formaldehyde dan dilaburi dengan cuprinol. Hasilnya

menunjukkan bahwa berat jenis bambu tidak dipengaruhi oleh

posisi kolom dan kuantitas pelaburan dengan variasi berat jenis

berkisar 0,68 - 0,78 g/cm3. Kuantitas pelaburan berpengaruh pada

nilai modulus patah (MOR), yaitu semakin banyak pelaburan,

makan nilai MOR-nya semakin menurun. Nilai MOR bervariasi

antara 630,20 - 1.111,43 kg/cm2. Posisi kolom bambu

mempengaruhi modulus elastisitas (MOE), yaitu semakin ke

bawah, nilai MOE bambu lamina semakin besar.

Pada umumnya kekuatan perekatan dari bambu lamina adalah

baik, tetapi kekuatan perekatan akan menurun bila kuantitas

pelaburan bertambah. Berdasarkan berat jenis dan nilai kekuatan

perekatan, maka bambu lamina dapat disejajarkan dengan kekuatan

kayu kelas I, sementara bila dilaburi dengan Cuprinol sebanyak 3

kali, kualitasnya dapat disejajarkan dengan kayu kelas kuat II.

V. Papan semen bambu

Berdasarkan penelitian hydratasi, bahan bambu adalah

termasuk golongan bahan yang kurang baik sebagai bahan papan

wol kayu, tetapi percobaan dengan direndam dahulu selama 2 hari,

memperlihatkan hasil yang baik, yaitu dengan suhu maksimum

56°C dalam tempo 9 jam. Percobaan pembuatan papan dengan

serutannya direndam dahulu dalam air selama 48 jam

menghasilkan keteguhan rekat papan semen 21,3% dan keteguhan

lengkung 6,4 kg/cm2 (Kamil, 1970). Bahan yang dipergunakan

adalah 500 bambu, 500 kg semen dan 200 gr air kapur. Berat jenis

papn menjadi 0,42 kekuatan tidak dapat disamakan dengan kayu

sebab kekuatan lenturnya sendiri adalah berlainan.

Page 105: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

95 Rekayasa Bambu

VI. Arang

Pembuatan arang dari bahan bambu telah diteliti oleh

Nurhayati pada tahun 1986 dan 1990 masing-masing dengan cara

destilasi kering dan cara timbun skala semi pilot. Penelitian

tersebut menggunakan bahan empat jenis bambu, yaitu bambu tali

(Gigantochloa apus Kurz), bambu ater (Gigantochloa ater Kurz),

bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro) dan bambu

betung (Dendrocalamus asper Back). Hasil penelitiannya

menyebutkan bahwa pada tiap bagian batang bambu dari jenis

yang sama terdapat perbedaan berat jenis dan sifat hasil destilasi

kering. Arang dari bagian bawah batang pada semua jenis bambu

menunjukkan berat jenis dan rendemen arang yang tinggi.

Perbedaan letak pada bagian batang bambu ater menunjukkan

kecenderungan makin ke atas makin rendah rendemen arangnya.

Bagian tengah atau atas batang semua jenis bambu yang

dicoba rendemen piroligneous liquor menunjukkan hasil paling

tinggi. Bambu andong dan bambu betung rendemen piroligneous

liquor yang paling tinggi dihasilkan oleh bagian batang atas,

sedangkan pada bambu ater dan tali rendemen tertinggi dihasilkan

pada bagian tengah batang. Hasil pengamatan sifat arang dari

empat jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 7.5, sedangkan Tabel

7.6 menunjukkan sifat arang bambu dengan cara timbun.

Tabel 7.5. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu No. Bambu Bagian

batang

Berat

jenis

Rendemen (%)

Arang Ter Piroligneous

1. Andong Bawah

Tengah

Atas

0,51

0,47

0,42

40,57

30,73

36,17

7,72

5,93

7,64

36,19

31,25

36,85

2. Ater Bawah

Tengah

Atas

0,74

0,72

0,61

43,46

37,48

24,77

9,06

5,48

5,18

44,39

70,22

18,87

3. Bitung Bawah

Tengah

Atas

0,72

0,72

0,67

40,09

34,81

37,04

7,17

5,29

7,09

35,67

30,24

40,99

4. Tali Bawah

Tengah

Atas

0,45

0,38

0,37

39,27

33,52

39,18

6,01

4,72

6,90

44,10

59,27

39,04

Sumber : Nurhayati (1986)

Page 106: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

96 Rekayasa Bambu

Tabel 7.6. Sifat arang bambu No. Bambu Berat

jenis

Kadar

air (%)

Abu

(%)

Zat mudah

terbang (%)

Karbon

terlambat

(%)

1. Andong 0,48 4,60 7,38 23,32 69,30

2. Ater 0,65 6,66 5,55 12,39 82,06

3. Bitung 0,53 4,28 7,46 33,68 54,86

4. Tali 0,40 7,08 5,64 14,01 80,35

5. Bakau - 5,41 4,48 17,81 77,30

Sumber : Nurhayati (1986)

Keterangan : Berdasarkan berat kering oven

Sifat hasil destilasi kering dari empat jenis bambu yang dicoba

tidak menunjukkan perbedaan nyata. Nilai rata-rata rendemen

arang adalah 36,05%, piroligneous 40,58% dan tar 6,55%. Sifat

arang dari empat jenis bambu yang dicoba menunjukkan perbedaan

nyata. Berat jenis arang paling tinggi dihasilkan oleh bambu ater

(0,62 g/cm3) dan yang paling rendah bambu tali (0,25 g/cm3).

Kadar abu paling tinggi terdapat pada bambu betung (7,46%) dan

paling rendah pada bambu lati (5,65%). Kadar zat mudah terbang

paling tinggi pada bambu tali (24,43%) dan paling rendah pada

bambu betung (17,06%). Kadar karbon tertambat paling tinggi

terdapat pada bambu betung (75,54%) dan paling rendah pada

bambu tali (69,78%).

Nilai kalor arang yang dihasilkan tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata tetapi berbeda nyata menurut bagian batang.

Nilai kalor arang rata-rata 6602 cal/g. Nilai kalor yang dihasilkan

oleh bagian bawah bambu andong, ater dan tali menunjukkan

paling tinggi. Nilai kalor arang bambu tali menunjukkan perbedaan

sangat nyata pada tiap bagian batang dengan kecenderungan makin

keatas batang makin rendah nilai kalornya.

Berdasarkan perbandingan antara keempat jenis bambunya,

dapat ditentukan bahwa bambu ater paling baik untuk digunakan

sebagai bahan baku pembuatan arang. Proporsi yang tinggi

diperoleh dari rendemen arang yang berkualitas baik. Sedangkan

rendemen arang mentah dan bubuk, proporsinya paling rendah.

Sifat arang bambu yang dihasilkan umumnya relatif sama dengan

Page 107: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

97 Rekayasa Bambu

sifat arang dari kayu bakau. Sifat arang bambu ater dan bambu tali

lebih baik dari sifat arang bambu andong dan bambu betung.

Pembuatan arang aktif dari bahan bambu telah diteliti oleh

Nurhayati (1994). Serpihan contoh bambu diaktivasi dan

dikarbonisasi dalam ukuran 0,2 - 0,5 cm dalam kondisi kering.

Aktivasi dilakukan dengan perendaman serpih dalam larutan asam

fosfat 20% selama 24 jam, setelah itu contoh ditiriskan tinggal

setengah kering, lalu dimasukkan ke dalam retort dan di panaskan

sampai suhu 900°C selama 3 - 4 jam. Selanjutnya diaktivasi lagi

dengan uap panas selama 1 jam. Arang aktif yang dihasilkan

dengan cara ini dianalisa sifat absorpsinya terhadap iodine dan

hasilnya tercantum dalam Tabel 7.

Tabel 7.7. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung

No. Bambu Aktivasi

kimia jenis/

jam

uap°C/ jam Rendemen

(%)

Daya serap

iodin mg/g

1. Andong H3PO4 / 24 900 / 1 15,7 1150

2. Betung H3PO4 / 24 900 / 1 16,6 1004

Sumber : Nurhayati (1994)

Arang aktif bambu andong dan betung menghasilkan absorpsi

tinggi dengan angka melebihi standar AWWS dan SII, serta masuk

dalam kisaran kelompok arang aktif komersial. Jika dibandingkan

dengan arang aktif yang dibuat dari arang bakau dan arang

tempurung kelapa, angka absorpsi jauh lebih tinggi arang aktif dari

bahan bambu andong dan betung.

VII. Pulp

Bahan bambu memiliki kandungan selulosa yang sangat

cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon, bahkan China

sangat mengandalkan bahan bambu sebagai bahan baku industri

kertasnya. Pemanfaatan bambu sebagai bahan kertas di Indonesia

telah diterapkan pada industri di Gowa dan banyuwangi, tetapi

karena menemui beberapa kendala dalam pengadaan bahan baku,

maka perusahaan kertas itu lebih banyak menggunakan bahan baku

lain. Adapun penelitian dengan menggunakan campuran antara

Page 108: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

98 Rekayasa Bambu

bahan bambu dengan kayu daun lebar telah dilakukan oleh

Pasaribu dan Silitonga (1974).

Kayu daun lebar yang digunakan sebagai campuran adalah

kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan kemiri (Aleurites

moluccana Wild.), sedangkan bahan bambu yang digunakan adalah

bambu duri (Bambusa bamboss Backer.), bambu paring

(Gigantochloa atter Kurtz.), bambu popo (Dendrocalamus asper

Backer.) dan bambu banoa (Bambusa vulgaris Schrad.). Pulp yang

dihasilkan dari 100 % bahan bambu mempunyai bilangan

permanganat dan faktor retak yang terendah tetapi mempunyai

kekuatan sobek yang tertinggi. Untuk pulp dengan campuran 70%

kayu jabon dan 30% bambu mempunyai daya regang tertinggi.

Sedangkan faktor retak tertinggi dicapai pada campuran 35% kayu

jabon, 35% kayu kemiri dan 30% bambu.

Pada umumnya rendemen yang diperoleh termasuk dalam

kriteria tinggi yaitu antara 41,24% - 47,14%. Rendemen tertinggi

untuk campuran 70% kayu kemiri dan 30% bambu didapat dengan

menggunakan aktif alkali 16% dan sulfiditi 22%. Tetapi pada

campuran 50% kayu jabon dan 50% bambu yang dimasak pada

aktif alkali 16%, sulfiditi 22% dan 25% memberikan rendemen

yang rendah.

Secara keseluruhan pulp hasil campuran kayu dan bambu ini

mudah diputihkan. Hal ini tampak pada nilai bilangan permanganat

yang rendah yaitu antara 7,38 sampai 12,85. Kecuali untuk pulp

yang dihasilkan dari campuran 50% kayu jabon dan 50% kayu

kemiri yang diolah pada aktif alkali 16% dan sulfiditi 22% dan

25% memberikan nilai bilangan permanganat yang tinggi, antara

14,23% sampai 16,01%.

Penilaian rendemen dan sifat fisiko-kimia pulp yang diperoleh

dari berbagai komposisi kayu dan bambu adalah bahwa pulp yang

yang didapat dari campuran bambu 100% menunjukkan nilai

terbaik dalam bilangan permanganat dan kekuatan sobek.

Campuran 70% kemiri dan 30% bambu menghasilkan rendemen

tertinggi, sedangkan campuran 70% jabon dan 30% bambu

menunjukkan nilai tertinggi pada daya regang. Faktor retak

Page 109: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

99 Rekayasa Bambu

tertinggi didapat dari campuran 35% kayu jabon, 35% kayu kemiri

dan 30% bambu.

Pemasakan campuran kayu jabon, kayu kemiri dan bambu

dapat dilakukan tanpa mengurangi sifat kekuatan pulp secara

keseluruhan. Untuk mendapatkan rendemen dan sifat kekuatan

pulp yang baik, kondisi pemaskan yang dianjurkan adalah pada

aktif alkali 16%, sulfiditi 22%, waktu pemasakan 2,5 jam pada

suhu maksimum 165°C dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 :

4,5. Sedangkan kondisi yang dianjurkan untuk memasak campuran

kayu jabon dan kemiri adalah dengan menggunakan aktif alkali

16%, sulfiditi 25%, waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu 165°C

dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 : 4,5.

Page 110: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

100 Bambu Laminasi

BAB VIII

BAMBU LAMINASI

I. Definisi Bambu Laminasi

Struktur laminasi dikenal menggunakan dua jenis alat

penghubung, yaitu mekanik (tanpa perekat) dan glulam (glue-

laminated beam). Sistem alat penghubung jenis pertama,

komponen struktur tersusun oleh lamina-lamina (atau disebut

layer) secara horisontal atau vertikal, yang digabung secara

mekanik menggunakan paku (nail), pasak (dowel), atau baut (bolt)

(Kramer dan Blas, 2001). Laminasi mekanik dengan paku sebagai

shear connector antar lamina balok laminasi horisontal dengan

memperhitungkan aksi komposit kibat slip antar lamina telah

diteliti oleh Goodman dan Popov (1969) dalam Pranata (2011).

Kramer (2001), mengembangkan penelitian untuk mendapatkan

persamaan kekakuan lentur efektif balok nail-laminated yang

disusun secara vertikal. Penelitian terkait balok laminasi mekanik

dengan paku juga dilakukan oleh Gliniorz, dkk (2002), dengan

tinjauan tegangan dan deformasi meneliti pemodelan struktur

multilamina dengan model sambungan semi kaku antar lamina-

lamina. Nattered dan Weinand (2008) dalam Pranata 2011,

melakukan penelitian dengan tujuan membandingkan pemodelan

balok multilamina dengan slip antar lamina akibat pembebanan

yang berbeda-beda.

Penelitian balok laminasi mekanik dengan baut yang

dilakukan oleh Shmulsky, dkk (2008), digunakan sebagai struktur

pelat landasan pada landasan alat-alat berat. Penelitian perilaku

lentur balok laminasi-baut kayu Indonesia telah dilakukan oleh

Pranata (2011). Hasil penelitian Tjondro (2007) dalam Pranata

(2011), mengenai parameter sifat mekanis kuat leleh lentur,

memperlihatkan bahwa semakin besar ukuran alat sambung

mekanik maka semakin kecil nilai kuat leleh lenturnya. Shear

connector baut diameternya lebih besar dibandingkan paku

sehingga bersifat kaku sedangkan pada paku fleksibilitas dalam

connector diijinkan. Connector baut digunakan lebih sedikit

Page 111: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

101 Bambu Laminasi

daripada connector paku sehingga yang terrjadi adalah beban

tinggi per unit luas penampang baut, sedangkan connector paku

memerlukan lebih banyak paku sehingga yang terjadi adalah beban

yang kecil per unit luas penampang paku. Pada connector baut

konsentrasi tegangan yang terjadi besar karena cover baut luas

penampangnya kecil dibandingkan dengan luas penampang batang

baut sedangkan pada connector paku konsentrasi tegangan yang

terjadi relatif kecil karena beban terdistribusi dalam area yang

besar (Pranata, 2011). Pranata 2011 meneliti sambungan dowel

pada laminasi bambu dan kayu. Dihasilkan bahwa regangan geser

pada bambu laminasi lebih dominan dibandingkan pada laminasi

kayu.

Balok laminasi jenis kedua yaitu glulam (glue-laminated

beam), menggunakan resin perekat (adhesive) yang merekatkan

antar permukaan lamina. Pada balok laminasi dengan perekat

(adhesive) dipengaruhi adanya faktor kehilangan tahanan geser

pada perekat akibat temperatur tinggi (Frangi, 2004). Pengolahan

bambu utuh menjadi produk bambu laminasi (laminated bamboo)

dilakukan untuk meningkatkan kapasitas bambu dalam mendukung

struktur bangunan. Sehingga karakteristik bambu laminasi lebih

mendekati sifat kayu dibandingkan bambu utuh yang berbentuk

silindris tidak beraturan. Keunggulan bambu laminasi antara lain

dapat dibentuk dalam berbagai ukuran, sifat mekanika yang lebih

baik dibandingkan dengan bahan dasar jenis bambu yang

digunakan (Morisco, 2006). Bambu laminasi merupakan rekayasa

bahan bangunan yang memiliki karakter seperti kayu. Rekayasa

bahan bangunan ini sangat popular dikembangkan dan diteliti

belakangan ini, karena memiliki banyak keunggulan (Eratodi,

2014). Tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil akhir

dalam proses pembuatan bambu laminasi adalah bahan bambu,

bahan perekat dan teknologi perekatan (Prayitno, 1994). Bambu

laminasi sebagai aternatif bahan bangunan pengganti kayu,

mempunyai prospek yang bagus dalam pemenuhan kebutuhan

konstruksi. Tanaman bambu cepat tumbuh, tidak memerlukan

perlakuan khusus ketika ditanam dan mampu tumbuh diberbagai

Page 112: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

102 Bambu Laminasi

kondisi lahan (Yasin, dkk, 2015). Balok bambu laminasi dapat

dibuat dengan ukuran yang lebih besar sesuai kebutuhan sehingga

menaikkan daya dukung. Pada Bab VIII ini akan banyak mengulas

penelitian-penelitian laminasi jenis kedua dengan menggunakan

bahan bambu yang selanjutnya disebut bambu laminasi.

II. Teknik Perekatan

Perekat terlabur yang biasa digunakan adalah 30#MSGL

sampai 40#MSGL dengan perekat yang berisi bahan pengikat

(%RS) sebesar 53 sampai 65 persen, sedikit lebih besar daripada

perekat terlabur dari phenol formaldehyde. Tetapi jumlah perekat

terlabur ini bisa bervariasi naik turun tergantung kepada sifat

ataupun keadaan dari permukaan bahan yang direkat. Dengan kata

lain, perekat terlabur bisa membesar apabila bahan direkat

mempunyai permukaan yang kasar dan porus dan sebaliknya

perekat terlabur bisa menjadi kecil dari yang disebut untuk

permukaan bahan yang direkat yang halus dan kompak (Prayitno,

1994).

Teknik perekatan dengan bahan resin porus memerlukan alat

pengempaan, baik pengempaan dingin (cold pressing) maupun

pengempaan panas (hot pressing). Tekanan yang diberikan dalam

proses pengempaan menurut Tsoumis (1991) adalah sebesar 0,7

MPa untuk bambu-bambu lunak dan 1 MPa untuk bambu keras.

Pada umumnya besar tekanan kempa yang diberikan adalah antara

0,4 N/mm2 sampai 1,2 N/mm2 (Blass dkk., 1995).

Proses pengerasan selama perekatan berlangsung dengan

bantuan bahan katalis. Bahan katalis atau hardener dapat berupa

jenis asam, paraformaldehyde, garam-garam amonium atau bahan

kimia lainnya. Disamping itu diperlukan pula bahan tambah untuk

menekan biaya (ekonomis) dan meningkatkan sifat perekatnnya

(kekentalan), berupa bahan pengembang (extender) atau bahan

pengisi (filler). Prayitno (1996), menyatakan bahwa kekuatan rekat

bambu-bambu di Indonesia dengan berat jenis kurang dari 0,8

menghasilkan kekuatan rekat yang sama. Bambu dengan berat

jenis lebih besar dari 0,8 kekuatan rekatnya masih dipengaruhi oleh

Page 113: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

103 Bambu Laminasi

beberapa faktor, antara lain: faktor perekat, faktor bahan yang

direkat, teknik perekatan, cara pengujian, dan aplikasi produk

perekatan. Faktor perekat dipengaruhi oleh bahan pengisi (filler),

bahan pengembang (extender), bahan pengeras (hardener), bahan

pengawet, bahan tahan api dan lain sebagainya.

Pada kenyataanya bambu sebagai bahan direkat adalah bahan

yang tidak homogen sehingga akan selalu diperoleh heterogenitas

kondisi permukaan bambu yang mungkin berpengaruh secara nyata

pada terjadinya kegagalan perekatan bambu. Untuk perekatan

bambu dengan perekat urea formaldehida sudah diketahui kisaran

kadar air bahan direkat bambunya tetapi bila yang diperoleh adalah

distribusi kadar air bambu yang terlalu lebar bagi perekat tersebut

maka tetap akan terjadi atau diperoleh kagagalan perekatan di

lokasi tertentu. Kollman, dkk (1975) memberikan analisis kekuatan

perekatan kayu dengan hanya mempertimbangkan kekuatan

perekatan spesifik saja. Cara-cara pengujian kekuatan rekat kayu

serta menghitung nilai persentasi kerusakan kayu berbeda.

Pengujian keteguhan rekat kayu lebih objektif karena berdasarkan

kerja mesin uji, sedangkan pengamatan persen kerusakan kayu

lebih bersifat subyektif.

Gambar 8.1 tampak bahwa lingkaran pertama dan lingkaran

kelima adalah rantai kekuatan yang ditimbulkan oleh gaya kohesi

(tarik menarik antara molekul yang sejenis). Dalam hal ini

lingkaran 1 adalah kohesi molekul-molekul bahan yang direkat

satu (BD 1). Lingkaran kedua dan lingkaran keempat merupakan

gaya adhesi yaitu gaya tarik menarik molekul yang berbeda. Gaya

adhesi antara molekul kayu di permukaan dengan molekul perekat

sangat menonjol dan berperan penting dalam menjaga keutuhan

ikatan antara keduanya. Pada lingkaran ketiga, gaya kohesi antar

molekul-molekul perekat memegang peranan yang kuat dan

menjaga agar garis perekat tetap utuh dan dapat dipertahankan

sehingga keseluruhan sistem bersatu. Teori perekatan lima rantai

dapat mendeteksi kekuatan rekat yang bersumber dari kekuatan

perekat atau kekuatan yang bersumber dari kekuatan kohesif kayu.

Page 114: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

104 Bambu Laminasi

Gambar 8.1. Sistem perekatan dengan lima gaya perekatan

II. Rekayasa Bambu Laminasi

A. Pengaruh Dimensi dan Susunan Lamina

1. Pengaruh dimensi lamina

Balok laminasi kayu Douglas-Fir yang dibuat menggunakan

lamina tebal 6,4 mm memiliki kekuatan tekan dan modulus

elastisitas tekan sejajar serat paling besar disusul kemudian

berturut-turut menggunakan lamina tebal 25,00 mm, 12,70 mm,

dan paling kecil menggunakan lamina tebal 3,60 mm (Shmulsky,

2004). Bentuk benda uji dan hasil penelitian dapat dilihat pada

Gambar 8.1 dan Tabel 8.1.

(a) satu lamina, (b) dua lamina, (c) empat lamina, (d) tujuh lamina.

Gambar 8.2. Penampang melintang balok uji

(d) (c) (b) (a)

Page 115: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

105 Bambu Laminasi

Tabel 8.1. Kekuatan tekan dan modolus elastisitas tekan sejajar serat

(Shmulsky, 2004)

Jmlh

lamina

Tbl

lamina

(mm)

Jmlh

benda uji

(bh)

Kuat

Tekan

(MPa)

Koefisien

variasi

(%)

MOE

tekan

(MPa)

Koefisien

variasi

(%)

1 25,40 12 60,30 17,80 6,57 31,60

2 12,70 12 58,60 7,50 6,39 8,60

4 6,40 12 61,80 6,60 7,02 6,60

7 3,60 12 58,50 8,20 6,95 9,80

Balok laminasi bambu Petung yang dibuat dengan

menggunakan lamina lebar 25 mm (L25) lebih kuat dibandingkan

dengan menggunakan lamina lebar 15 mm (L15) pada tekanan

kempa 2,5 MPa (Budi, dkk., 2012). Demikian juga balok laminasi

bambu Petung yang dibuat menggunakan lamina lebar 30 mm

(L30) menghasilkan nilai MOE dan MOR lebih besar dibanding

dengan menggunakan lamina lebar 25 mm (L25) pada tekanan

kempa 2,5 MPa (Salim, dkk., 2007). Hasil penelitian dapat dilihat

pada Tabel 8.2. dan 8.3.

Tabel 8.2. Pengaruh lebar lamina pada kekuatan balok bambu laminasi

(Budi, dkk., 2012)

Kode

benda uji

Beban

(N)

σltr

(MPa)

Rasio (L25)/(L15) Tekanan

kempa Beban σltr

(25-U-2,50) 14210,00 69,20 113,70% 129,20% 2,50 MPa

(15-U-2,50) 12495,00 53,60

(25-U-1,50) 15190,00 70,60 103,30% 108,50% 1,50 MPa

(15-U-1,50) 14700,00 65,00

Page 116: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

106 Bambu Laminasi

Tabel 8.3. Pengaruh lebar lamina pada MOE dan MOR

(Salim, dkk., 2007)

Kode

benda uji

MOE

(MPa)

MOR

(MPa)

Rasio

(L30)/(L25)

Tekanan

kempa

MOE MOR

(30U2,50) 16229,00 82,92 113,18

%

135,23

%

2,50 MPa

(25U2,50) 14339,17 61,32

(30U1,50) 12703,20 47,41 90,12% 54,58% 1,50 MPa

(25U1,50) 14095,71 86,87

2. Pengaruh susunan lamina

Rasio lamina vertikal semakin besar semakin besar pula

kekuatan geser dan lentur balok laminasi bambu Petung. Nilai

peningkatan kekuatan geser dan lentur balok uji masing-masing

35,95% dan 35,93% terhadap nilai kekuatan geser dan lentur balok

kontrol (Nasriadi, dkk., 2004).

Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan laminasi

bambu Petung telah diteliti oleh Tho, dkk., (2008). Variabel yang

digunakan meliputi: 1) Tipe I: Satu lapis lamina disusun vertikal,

2) Tipe II: Tiga lapis lamina disusun horisontal, 3) Tipe III:

Lamina atas dan bawah disusun vertikal dan lamina tengah disusun

horisontal, dan 4) Tipe IV: Lamina atas dan bawah disusun

horisontal dan tengah disusun vertikal. Hasil penelilitian dapat

dilihat pada Tabel 8.4.

Tabel 8.4. Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan bambu laminasi

(Tho, dkk., 2008)

Kapasitas papan laminasi Tipe I Tipe II Tipe

III

Tipe IV

1-V H-H-H V-H-V H-V-H

Modulus repture (MPa) 117,38 126,63 84,79 72,00

Modulus elastisitas (MPa) 21,490 22,772 19,150 16,083

Kuat tarik tegak lurus

permukaan (MPa)

0,44 1,44 1,41 1,30

Kuat geser (MPa) 3,40 4,55 2,33 2,63

Page 117: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

107 Bambu Laminasi

B. Pengaruh bagian kulit dan umur bambu

1. Pengaruh bambu bagian kulit

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Darwis, dkk.,

(2012) menunjukkan bahwa balok laminasi bambu Petung yang

dibuat menggunakan galar dari bambu bagian kulit (BGDK) lebih

kuat dan kaku dibanding dengan menggunakan galar dari bambu

bagian tanpa kulit (BGTK). Beban maksimum yang mampu

dipikul oleh balok uji BGDK dan BGTK berturut-turut 35,5 kN

dan 30,55 kN. Lendutan maksimum balok uji BGDK lebih kecil

dibanding dengan balok uji BGTK.

Pengaruh lamina dan galar bambu bagian kulit BK dan GK

pada kekuatan papan laminasi lamina dan galar bambu Petung

telah diteliti oleh Haniza, dkk., (2005). Variabel penelitian

meliputi: 1) Tipe I: Lamina dari bambu bagian kulit dan galar

tanpa kulit, 2) Tipe II: Lamina dan galar dari bambu tanpa kulit, 3)

Tipe III: Galar dari bambu bagian kulit dan galar dari bambu tanpa

kulit, 4) Tipe IV: Lamina dari bambu bagian kulit dan lamina dari

bambu tanpa kulit. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.5.

Tabel 8.5. Kekuatan papan laminasi bambu Petung (Haniza, dkk., 2005)

Kekuatan papan laminasi Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV

BK-GT BT-GT GK-GT BK-BT

Modulus repture (MPa) 138,80 131,12 80,98 151,22

Modulus elastisitas (MPa) 25,07 23,07 16,09 24,32

Kuat tarik tegak lurus permukaan

(MPa)

0,96 1,02 0,81 0,97

Kuat geser lapisan atas (MPa) 2,31 3,17 2,25 3,32

Kuat geser lapisan bawah (MPa) 2,76 3,94 1,96 3,83

2. Pengaruh umur bambu

Kekuatan lentur balok laminasi bambu Petung semakin besar

seiring dengan umur bambu yang digunakan semakin tua

(Maduretno, dkk., 2010). Dimensi balok uji 60/80-2000 mm,

dibuat menggunakan lamina bentuk persegi disusun vertikal dan

direkat menggunakan perekat jenis Urea Formaldehyde (UF-104),

Page 118: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

108 Bambu Laminasi

dengan tekanan kempa 2,00 MPa sistem kempa dingin. Hasil

penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.6.

Tabel 8.6. Pengaruh umur bambu pada kekuatan lentur balok

bambu laminasi (Maduretno, dkk., 2010)

Item kekuatan balok uji Umur bambu

(1-2 ) tahun (2-3) tahun (3-5) tahun

Kekuatan balok uji (N) 1988,00 3203,00 3719,00

Kekakuan balok uji (N/mm) 239,00 369,00 385,00

Kekuatan lentur balok uji (MPa) 77,19 113,11 129,88

Kekuatan geser balok uji (MPa) 0,57 0,85 0,95

Modulus repture balok uji (MPa) 74,13 114,21 131,45

Modulus elastisitas balok uji (MPa) 15029,00 20017,00 20639,00

Kekakuan dan kekuatan geser balok laminasi bambu Petung

semakin besar seiring dengan umur bambu yang digunakan

semakin tua (Paling, dkk., 2010). Dimensi balok uji 60/80-900

mm, digunakan lamina bentuk persegi disusun vertikal dan direkat

menggunakan perekat jenis Urea Formaldehyde (UF-104) dengan

tekanan kempa 2,00 MPa sistem kempa dingin. Hasil penelitian

dapat dilihat pada Tabel 8.7.

Tabel 8.7. Pengaruh umur bambu pada kekuatan geser balok

bambu laminasi (Paling, dkk., 2010)

Item kekuatan balok uji Umur bambu

(1-2 ) tahun (2-3) tahun (3-5) tahun

Kekakuan balok uji (N/mm) 1319,58 2428,86 2594,25

Kekuatan geser balok uji (MPa) 2,36 3,54 4,27

C. Pengaruh rasio lamina

Pengaruh rasio lamina bambu Petung terhadap lamina kayu

Keruing pada kekuatan lentur balok laminasi bambu-kayu telah

diteliti oleh Wijaya, dkk., (2003). Variabel yang digunakan: a)

balok uji RBB-0, porsi lamina bambu 0%, b) balok uji RBB-25,

porsi lamina bambu 25%, c) balok uji RBB-50, porsi lamina

bambu 50%, d) balok uji RBB-75, porsi lamina bambu 75%, e)

Page 119: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

109 Bambu Laminasi

balok uji RBB-100, porsi lamina bambu 100%. Hasil penelitian

dapat dilihat pada Tabel 8.8.

Tabel 8.8. Kekuatan dan kekakuan balok uji (Wijaya, dkk., 2003)

No Kode

balok uji

Kekuatan rerata Kekakuan rerata Ket.

(kg) Rasio (kg/mm) Rasio

1 RBB-0 2818 100,00% 47,11 100,00% 100%

lamina

Keruing

2 RBB-25 2967 105,29% 49,43 104,92% 25%

lamina

bambu

3 RBB-50 2589 91,87% 47,43 100,67% 50%

lamina

bambu

4 RBB-75 2843 100,89% 42,88 91,03% 75%

lamina

bambu

5 RBB-100 2917 103,51% 52,95 112,38% 100%

lamina

bambu

D. Pengaruh tekanan kempa

Pengaruh tekanan kempa pada kekuatan geser balok laminasi

horisontal bambu Petung telah diteliti oleh Oka, dkk., (2012).

Demikian juga pengaruh tekanan kempa pada kekuatan geser balok

laminasi horisontal bambu Ampel telah diteliti oleh Amirullah,

dkk., (2012). Jenis perekat yang digunakan Urea Formaldehyde

(UF-104) dengan nilai perekat terlabur yang diaplikasikan kedua

peneliti 50 # MDGL. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.9.

dan 8.10.

Page 120: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

110 Bambu Laminasi

Tabel 8.9. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi

bambu Petung (Oka, dkk., 2012)

No Tekanan kempa

(MPa)

Kapasitas Geser Balok

(MPa)

Keterangan

1 0,50 4,14 Jenis perekat UF-104

Perekat terlabur 50 #

MDGL

Hasil pengujian geser

perekat

11,30 MPa

2 1,00 5,40

3 1,50 6,55

4 2,00 7,36

5 2,50 6,86

Tabel 8.10. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi

bambu Ampel (Amirullah, dkk., 2012)

No Tekanan kempa

(MPa)

Kapasitas Geser Balok

(MPa)

Keterangan

1 1,0 5,596 Jenis perekat UF-104

Perekat terlabur 50 #

MDGL 2 1,5 5,714

3 2,0 5,931

4 2,5 5,877

E. Pengaruh bentuk dan tebal lamina pada kekuatan lentur dan

geser balok laminasi-vertikal bambu petung yang dibebani

tangensial.

Mujiman (2015) telah melaksanakan penelitian balok bambu

laminasi menggunakan bambu petung dengan bahan perekat jenis

PVAC (Polyvinyl Acetate). Penelitian yang mendalami pengaruh

bentuk dan tebal lamina pada kekuatan lentur dan geser balok

laminasi-vertikal bambu petung yang dibebani tangensial. Bambu

laminasi menggunakan bahan perekat jenis ini mempunyai

kelemahan gagal geser balok, untuk itu Mujiman memberikan

perlakuan pada bahan bambu yang digunakan sebagai bambu

laminasi dalam tiga kelompok, meliputi: pengaruh beda bentuk,

beda tebal dan beda susunan lamina. Tampak Gambar 8.3.

menampilkan penampang melintang balok bambu laminasi dengan

variasi bentuk (lurus dan lengkung), tebal (7 mm dan 9 mm) dan

susunan lamina (lurus, persegi, dan zig-zag). Balok uji berupa

Page 121: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

111 Bambu Laminasi

balok laminasi bambu Petung menggunakan lamina bentuk persegi,

zig-zag dan lengkung tebal 7 dan 9 mm disusun vertikal pola

susunan brick type arah lebar lamina. Pembanding benda uji dibuat

balok bambu laminasi menggunakan lamina bentuk persegi

disusun vertikal pola susunan lurus. Dimensi balok uji lentur

63/100-2250 mm dan balok uji geser 63/100-900 mm dengan

panjang bentang pengujian berturut-turut 2100 mm dan 750 mm.

(a) dan (b) lamina persegi disusun lurus, (c) dan (d) lamina persegi, (e)

dan (f) lamina zig-zag, (g) dan (h) lamina lengkung masing-masing

disusun brick type arah lebar lamina. (a), (c), (e), (g) lamina tebal 7 mm,

dan (b), (d), (f), (h) lamina tebal 9 mm

Gambar 8.3. Penampang Benda uji tekan sejajar serat

(Mujiman, 2015)

Hasil penelitian perlakuan struktur bahan bambu

menunjukkan sebagai berikut:

1. Kekuatan balok bambu laminasi yang dibuat dengan

menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung lebih besar

dari pada bentuk persegi pada lamina tebal 7 mm. Kekuatan

lentur balok uji menggunakan lamina bentuk zig-zag dan

Page 122: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

112 Bambu Laminasi

lengkung terhadap persegi berturut-turut 116,15% dan

118,52%. Kekakuan balok bambu laminasi yang dibuat

menggunakan lamina bentuk lengkung lebih besar dari pada

bentuk persegi pada lamina tebal (7 dan 9) mm. Kekakuan

balok uji menggunakan lamina bentuk lengkung terhadap

persegi tebal (7 dan 9) mm beturut-turut 100,51% dan 110,33%.

Daktilitas balok bambu laminasi yang dibuat menggunakan

lamina bentuk zig-zag dan lengkung lebih besar dari pada

bentuk persegi pada lamina tebal 9 mm. Daktilitas balok uji

menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung terhadap

persegi beturut-turut 113,17% dan 102,23%.

2. Kekuatan balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm bentuk

persegi disusun lurus, bentuk zig-zag dan lengkung disusun

brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm. Kekuatan lentur

balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm bentuk persegi

disusun lurus, zig-zag dan lengkung disusun brick type terhadap

9 mm berturut-turut 109,92%; 132,12% dan 107,85%.

Kekakuan balok uji dengan menggunakan lamina tebal 7 mm

bentuk persegi disusun lurus, bentuk persegi dan zig-zag

disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm. Kekakuan

balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm bentuk persegi

disusun lurus, bentuk persegi dan zig-zag disusun brick type

terhadap 9 mm berturut-turut 111,11%; 108,78% dan 120,14%.

Daktilitas balok uji dengan menggunakan lamina tebal 7 mm

bentuk persegi disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9

mm dengan niali 110,94%.

3. Kekuatan, kekakuan dan daktilitas balok uji menggunakan

lamina disusun brick type lebih besar dari pada disusun lurus

pada tebal 9 mm. Kekuatan lentur, kekakuan dan daktilitas

balok uji menggunakan pola susunan brick type berturut-turut

112,51%; 107,05% dan 151,11% terhadap lurus. Kekakuan dan

daktilitas balok uji menggunakan lamina disusun brick type

lebih besar dari pada disusun lurus pada tebal 7 mm, namun

kekuatannya lebih kecil. Kekuatan lentur, kekakuan dan

Page 123: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

113 Bambu Laminasi

daktilitas balok uji menggunakan pola susunan brick type

berturut-turut 91,73%; 104,80% dan 120,90% terhadap lurus.

4. Balok bambu laminasi yang dibuat dengan menggunakan

lamina bentuk zig-zag dan lengkung lebih kuat dan kaku dari

pada bentuk persegi pada lamina tebal 9 mm. Kekuatan geser

balok uji menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung

terhadap persegi beturut-turut 112,54% dan 104,28% sedangkan

rasio kekakuannya berturut-turut 110,83% dan 115,01%. Balok

bambu laminasi yang dibuat menggunakan lamina bentuk zig-

zag dan lengkung lebih kuat dari pada bentuk persegi pada

lamina tebal 7 mm, namun bentuk zig-zag lebih kaku

sedangkan bentuk lengkung tidak. Kekuatan geser balok uji

menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung terhadap

persegi beturut-turut 112,97% dan 104,61% sedangkan

kekakuannya berturut-turut 117,04% dan 98,79%.

5. Kekuatan geser balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm

bentuk persegi disusun lurus, bentuk persegi, zig-zag dan

lengkung disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm.

Kekuatan geser balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm

terhadap tebal 9 mm berturut-turut 115,81%; 106,12%;

106,52% dan 106,45%. Kekakuan balok uji menggunakan

lamina tebal 7 mm bentuk persegi disusun lurus, bentuk persegi

dan zig-zag disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm,

namun bentuk lengkung tebal 7 mm lebih kecil dari pada tebal 9

mm. Kekakuan balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm

terhadap tebal 9 mm berturut-turut 113,88%; 115,95%;

122,45% dan 99,60%.

6. Kekuatan dan kekakuan balok uji menggunakan lamina disusun

brick type lebih besar dari pada disusun lurus pada tebal 9 mm.

Kekuatan geser dan kekakuan balok uji menggunakan pola

susunan brick type berturut-turut 129,25% dan 104,34%.

Kekuatan balok uji menggunakan lamina disusun brick type

lebih besar dari pada disusun lurus pada tebal 7 mm, namun

kekakuannya lebih kecil. Kekuatan geser dan kekakuan balok

Page 124: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

114 Bambu Laminasi

uji dengan menggunakan pola susunan brick type berturut-turut

118,43% dan 90,37% terhadap pola susunan lurus.

7. Balok bambu yang dibuat menggunakan bentuk lengkung lebih

kuat 11,53% dan lebih kaku 12,39% terhadap lamina bentuk

zig-zag, namun menggunakan lamina bentuk zig-zag lebih

daktil 8,42% terhadap lamina bentuk lengkung.

8. Seluruh balok uji lentur mengalami kegagalan lentur yang

ditunjukkan oleh terjadinya serat yang patah pada bagian tarik,

dan seluruh balok uji geser mengalami kegagalan geser yang

ditunjukkan oleh terjadinya sesaran yng dimulai dari ujung

balok uji.

F. Pengaruh Variasi Incising dan Pengempaan Pada Sifat

Mekanika Balok Bambu Laminasi

Permasalahan terjadinya gelincir horisontal antar lamina pada

balok bambu laminasi sehingga bambu laminasi mengalami rusak

geser sebelum mencapai batas maksimum kekuatan balok.

Penelitian balok bambu laminasi Budi (2006), Basry (2005),

Nasriadi (2004), Masrizal (2004) dan Oka (2004), hasil pengujian

eksperimental balok bambu laminasi menunjukkan bahwa

kapasitas geser balok bambu laminasi belum melampaui kapasitas

geser bahan dasar bambu yang digunakan. Kerusakan balok bambu

laminasi yang diuji secara keseluruhan mengalami rusak geser

pada bidang rekatan. Penelitian terkait balok laminasi mekanik

tanpa perekat dengan shear connector sebagai alat sambung yang

dilakukan oleh Reynolds, dkk (2016), Tjondro (2007), Pranata

(2011), Scmulsky, dkk (2008), Gliniorz, dkk (2002), Kramer

(2001), Bohnhoff, dkk (1997), dan penelitian Goodman, dkk

(1975), hasil pengujian numerik dan ekperimental menunjukkan

bahwa shear connector mampu secara efektif menahan terjadinya

gelincir horisontal antar lamina pada balok laminasi mekanik.

Berdasar latar belakang penelitian terdahulu maka sistem incising

yang menjadikan adhesive selain sebagai sebagai perekat juga

sebagai shear connector akan mampu menaikkan kapasitas geser

balok bambu laminasi melampaui kapasitas geser bahan dasar

Page 125: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

115 Bambu Laminasi

bambu yang digunakan. Pola jarak incising shear connector

perekat yang akan digunakan adalah dengan pola diagonal seperti

yang direkomendasikan oleh Bohnhoff, dkk (1997). Pengempaan

dan variasi pola jarak incising yang menjadikan adhesive selain

sebagai perekat juga sebagai shear connector pada sifat mekanika

balok bambu laminasi.

Shear connector pada bidang rekatan adalah sebagai upaya

untuk meningkatkan kuat geser antar lamina balok bambu

laminasi. Upaya untuk memberikan sambungan mekanik antar

lamina pada setiap jarak interval tertentu sehingga gelincir

horisontal antar lamina dapat dicegah adalah dengan metode

incising. Metode incising sebagai upaya melukai/melubangi bidang

rekat sehingga perekat akan mengisi lubang-lubang incising dan

kemudian perekat mengeras. Perekat yang mengeras pada lubang-

lubang incising ini akan menjadi shear connector sehingga akan

menambah kekuatan dan kekakuan balok bambu laminasi. Metode

incising ini sangat praktis diterapkan pada balok laminasi karena

tidak memerlukan alat sambung lain seperti paku atau baut cukup

perekat itu sendiri sebagai shear connector. Pada saat perekatan

dan pengempaan balok bambu laminasi maka otomatis terbentuk

shear connector-shear connector dari perekat yang mengeras pada

bidang rekatan. Semakin besar luas bidang incising maka semakin

tinggi pula kekuatan mekanika bambu laminasi (Yasin, dkk, 2016).

Bohnhoff, dkk, (1997), melakukan penelitian dengan hasil bahwa

pola diagonal connector susunan paku pada balok laminasi

mekanik mempunyai modulus of rupture yang lebih tinggi.

Lamina-lamina bilah bambu dengan sistem incising adalah

pada bidang sisi permukaan horisontal bagian atas dan permukaan

horisontal bagian bawah lamina bilah bambu. Penampang lamina

bilah bambu dengan lubang-lubang sistem incising seperti pada

Gambar 8.4.

Page 126: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

116 Bambu Laminasi

Gambar 8.4. Penampang lamina bilah bambu dengan lubang-lubang

sistem pola incising (Yasin, 2016).

Menurut Yasin (2016), pengempaan dengan besaran 1,5 MPa

sampai dengan 2,5 MPa tidak mempengaruhi sifat fisika bahan

dasar bambu. Hal ini disebabkan bahwa benda uji ditempatkan

diruang pengeringan sampai pada saat pengukuran kadar air dan

kerapatan. Pengempaan sampai dengan 2,5 MPa tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap sifat mekanika bahan dasar bambu. Hal

ini disebabkan sampai pada tekanan 2,5 MPa bahan dasar bambu

belum mengalami kerusakan pada properties material-nya.

Pengaruh adanya shear connector adhesive pada sistem

incising menaikkan daya lekat antar lamina pada pengujian blok

geser laminasi. Kuat geser rata-rata blok bambu laminasi dengan

incising mencapai optimum pada jarak incising 4 x 4 mm dan pada

tekanan kempa 2 MPa dengan nilai kuat geser rata-rata 8,158 MPa.

Kuat tarik rata-rata blok tarik-pisah bambu laminasi dengan

incising mencapai optimum pada jarak incising 4 x 4 mm pada

tekanan kempa 1,5 MPa dengan nilai kuat geser rata-rata 2,002

MPa.

Sistem incising yang diteliti Yasin (2016), kapasitas geser

balok laminasi dengan sistem incising telah melampaui kapasitas

geser bahan dasar bambu yaitu 7,55 MPa. Balok bambu laminasi

pada tekanan kempa 1,5 MPa tanpa pola incising (balok referensi)

tegangan geser adalah 6,88 MPa, dengan pola incising 4x4

tegangan geser adalah 9,86 MPa, pola incising 6x6 tegangan geser

adalah 9,31 MPa dan pola incising 8x8 tegangan geser adalah 7,94

MPa. Balok laminasi bambu dengan tekanan kempa 2 MPa untuk

balok referensi tegangan geser adalah 7,47 MPa, dengan pola

incising 4x4 tegangan geser adalah 11,76 MPa, pola incising 6x6

Page 127: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

117 Bambu Laminasi

tegangan geser adalah 9,24 MPa dan dengan pola incising 8x8

tegangan geser adalah 8,97 MPa. Balok laminasi bambu pada

tekanan kempa 2,5 MPa untuk balok referensi tegangan geser

adalah 7,89 MPa, dengan pola incising 4x4 tegangan geser adalah

10,55 Mpa, pola incising 6x6 tegangan geser adalah 9,80 MPa dan

pada pola incising 8x8 tegangan geser adalah 8,73 MPa. Pengujian

eksperimental tegangan geser balok laminasi yang optimum adalah

pada pola jarak incising 4x4 dengan tekanan kempa 2 MPa yaitu

sebesar 11,76 MPa.

G. Perilaku mekanik balok komposit Bambu laminasi dan pelat

lantai Beton dengan alat sambung geser Baja tulangan

Bambu laminasi sebagai alternatif pengganti bahan bangunan

beton dan bata, serta sebagai kompetitor konstruksi kayu

mempunyai potensi cukup baik dari segi pemenuhan jumlah

kebutuhan. Bambu sebagai bahan bangunan yang dapat

diperbaharui (renewable) sama halnya kayu, namun lebih cepat

tumbuh (fastgrowing), sehingga dalam satu tahunnya bambu lebih

menguntungkan dibandingkan kayu. Sebagai ilustrasi, bahwa satu

rumah konstruksi bambu laminasi di Amerika dengan luas

bangunan 175 m2 memerlukan 1 ha lahan bambu per tahunnya

(Flander dan Rovers, 2009 dalam Setyo 2015). Bambu Guadua

disuplai dari Colombia.

Penelitian tentang bambu laminasi di Indonesia sudah

dikembangkan untuk dapat dibuat elemen dengan ukuran yang

lebih besar sesuai kebutuhan, sehingga mampu meningkatkan daya

dukung (Setyo, 2015). Namun demikian kuat tekan bambu

laminasi cukup kecil dibandingkan kuat tariknya. Kuat tekan

bambu laminasi dapat digantikan oleh beton yang jauh lebih murah

biaya produksinya dibandingkan bambu laminasi. Meskipun beton

lebih murah dibandingkan bambu laminasi, namun kuat tariknya

sangat kecil, sekitar 15% terhadap kuat tekannya. Untuk itu dibuat

struktur komposit bambu laminasi dan beton, dimana bambu yang

mempunyai kekuatan tarik tinggi akan menahan tegangan tarik

ditempatkan pada bagian bawah struktur balok komposit,

Page 128: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

118 Bambu Laminasi

sedangkan beton yang mempunyai kuat tekan tinggi ditempatkan

pada bagian sisi atas yang menahan tekan. Hubungan komposit

antara bambu laminasi dan pelat beton didukung oleh konektor

geser (shear connector) berupa pasak (dowel) dari baja tulangan,

seperti tampak pada Gambar 8.5. dan uji balok komposit beton

bertulang-bambu laminasi dapat dilihat pada Gambar 8.6.

(b)

Gambar 8.5. Distribusi tegangan kondisi seimbang (garis netral pada

perbatasan) balok komposit lantai beton-bambu laminasi

Gambar 8.6. Uji balok komposit beton bertulang-bambu laminasi

Setyo tahun 2015 meneliti pengaruh bentuk dan tebal lamina

pada kekuatan lentur dan geser balok laminasi-vertikal bambu

petung yang dibebani tangensial. Bambu laminasi menggunakan

bambu petung dengan bahan perekat Urea Formaldehidy (UA-

181), hasilnya adalah sebagai berikut :

1. Nilai kuat tumpu bambu petung laminasi dengan metode

setengah lubang (half hole) nilainya lebih besar dibandingkan

meode lubang penuh (full hole). Aplikasi nilai kuat tumpu

Page 129: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

119 Bambu Laminasi

setengah lubang (half hole) pada penentuan nilai tahan lateral

teoritis hasilnya lebih mendekati hasil eksperimental

dibandingkan metode lubang penuh (full hole).

2. Nilai tahanan lateral (Z) dipengaruhi oleh panjang tertanam

dowel pada bahan yang disambung (bambu laminasi dan beton).

Teori EYM dapat digunakan untuk memprediksi (analisis)

kekuatan tahanan lateral komposit bambu laminasi-beton

dengan hasil cukup baik. Hasil hitungan tahanan lateral

denganteori EYM lebih kecil dibandingkan eksperimental

dengan perbedaan rasio 0,63 – 1,04 atau rata-rata 0,82.

3. Balok komposit bambu laminasi dengan mengambil regangan

tarik maksimum bambu laminasi dan regangan hancur beton

0,003, maka diperoleh kondisi balance bamboo (rusak bersama

beton dan bambu) pada balok komposit adalah tinggi balok

bambu (hb) = 2,5 tebal pelat beton (tc). Nilai hb = 2,5 tc

terpenuhi jika lebar pelat beton (bc) = 8,5 tc dan lebar bambu

(bb) = 0,4 hb.

4. Perilaku lentur balok komposit hasil pengujian dapat

diidealisasikan dengan bentuk linier (untuk fully composite) dan

mendekati kondisi bilinier (untuk partial composite).

5. Kerusakan balok komposit sesuai dengan prediksi bahwa untuk

balok asumsi komposit penuh (fully composite) kerusakan awal

terjadi pada sisi serat terluar (tarik dan tekan), sedangkan untuk

balok komposit sebagian (partial composite) kerusakan awal

terjadi adalah rusak geser (slips) pada alat sambung (shear

connector).

6. Untuk keperluan desain balok komposit kondisi elastis (cara n)

dapat diterapkan dengan mengambil tegangan tekan ijin beton

0,45 dan tegangan tarik bambu laminasi 0,6 dengan rasio hasil

analisis dibandingkan hasil eksperimental (batas proporsional)

yaitu secara rata-rata 0,89 (0,78 - 0,97).

7. Nilai beban balok komposit kondisi elastis terhadap nilai beban

ultimit hasil eksperimen mempunyai rasio sekitar 0,38 (0,29 -

0,46).

Page 130: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

120 Bambu Laminasi

H. Sambungan Balok-Kolom Bambu Laminasi Menggunakan

Pelat Baja Dikarter Dan Baut

Sambungan dalam struktur gedung merupakan bagian

terlemah sehingga perlu perhatian secara khusus. Model

sambungan untuk aplikasi struktur memiliki beraneka ragam

bentuk, jenis bahan dan cara analisis. Penelitian tentang

sambungan pada struktur kayu dan sejenisnya merupakan topik

yang paling menarik untuk diteliti dari sejak lama hingga saat

masa-masa yang akan datang. Permasalahan sambungan pada

struktur kayu dan sejenisnya terjadi karena keterbatasan sifat

mekanika dan ukuran, sedangkan tuntutan geometric, bentuk dan

dimensi struktur berkembang pesat. (Eratodi, 2014).

Alat sambung dapat menggunakan pelat konektor baja dan

baut. Model sambungan struktur bambu laminasi-pelat baja

konektor-bambu laminasi menggunakan alat sambung baut telah

diteliti, diamati dan dianalisis perilaku mekanikanya oleh Eratodi

2014 (Gambar 8.9.). Pelat konektor baja direkayasa dan

diperlakukan tertentu untuk meningkatkan kekakuan, kekuatan dan

penyerapan energi disipasi pada sambungan. Permukaan pelat

konektor baja dikasarkan menggunakan mesin fraise dengan mata

pisau 600 sehingga berbentuk mikro piramida runcing. Pelat baja

dikarter dirancang dalam penelitian ini berfungsi pelat konektor

sebagai alat sambung yang mampu mendistribusikan gaya-momen

pada join sambung dengan baik. Pelat konektor ini memberikan

fungsi sebagai damper (penyerap energi). Pelat konektor baja

berperan sebagai frictional damping akan dapat meningkatkan

kombinasi energi disipasi dan nilai kekakuan sambungan melalui

kontribusi nilai koefisien gesek kinetik (µk) yang lebih tinggi

dibanding bahan pelat baja tanpa dikarter. Pelat dikarter mampu

memperbaiki perilaku mekanika sambungan struktur bambu

laminasi menggunakan alat sambung.

Penelitian perilaku sambungan bambu laminasi diteliti oleh

Eratodi (2014) menggunakan bambu petung yang diambil di

Kabupaten Sleman Yogyakarta. Perekat bilah bambu digunakan

jenis UF dengan kode UA–181. Bahan pengeras (hardener)

Page 131: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

121 Bambu Laminasi

digunakan jenis garam NH4CL dengan kode HU-12. Hardener

yang digunakan berupa bubuk putih yang diperoleh satu paket

dengan perekat UA-181. Bahan pengembang menggunakan tepung

terigu. Penelitian perilaku sambungan bambu laminasi diawali

dengan uji sifat fisika dan mekanika bahan bambu, bambu

laminasi, alat sambung, yang kemudian dilanjutkan pemodelan

numerikal bahan bambu laminasi, analisis numerikal elemen

hingga nonlinier sebagai bahan plastik orthotropik tampak pada

Gambar 8.7.

Gambar 8.7. Geometri model numerikal sambungan balok-kolom

struktur bambu laminasi

Perilaku kuat tumpu, tanahan lateral dan sifat fisika alat

sambung pelat dikaertar juga diuji dalam penelitian ini. Pelat

dikarter, pengasaran permukaan pelat (dikarter) dengan mesin

fraise mata pisau V. Mata pisau V terdapat dua pilihan yaitu mata

pisau V 600 dan 450, dipilih mata pisau V 600 karena dengan

pengkateran dengan mata pisau sudut V 600 akan mengurangi tebal

pelat asli lebih sedikit (kurang dari 5% tebal) sehingga tidak

banyak mempengaruhi kekuatan pelat dan menghindari

kemungkinan terjadinya tekuk lokal (buckling) pada pelat, seperti

tampak pada gambar 8.8. Pelat dikarter dibanding pelat polos

(non-dikarter) mampu menaikkan koefisien gesek antara pelat

dengan bambu laminasi sebesar 71,31%.

Page 132: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

122 Bambu Laminasi

Bambu laminasi memiliki semua keunggulan dari rekayasa

laminasi, antara lain: sifat mekanika lebih tinggi 25-65% dari

bahan dasar bambu Petung yang digunakan, fungsi perekat yang

sangat optimal bekerja pada perekatan antar bilah bambu melalui

uji delaminasi perekat, uji geser pada garis perekat lebih besar dari

serat bambu (9,94%), dan pada uji lentur terjadi gagal lentur (gagal

tarik pada bagian bawah penampang benda uji balok), ketahanan

terhadap bubuk kumbang karena proses pengawetan yang efektif,

dan emisi formaldehyde yang ramah lingkungan dan lolos standar

Euro dan Japan dengan nilai emisi 0,5 mg/L (syarat maksimum: 1

mg/L).

(a) (b)

Gambar 8.8. Konektor pelat baja: (a) pelat dikarter, (b) pelat polos (non-

dikarter)

(a) (b)

Gambar 8.9. Sambungan dengan pelat konektor disisipkan pada balok: (a)

sambungan balok-balok, (b) sambungan balok-kolom pojok interior

Page 133: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

123 Bambu Laminasi

Hasil eksperimen dan analisis numerikal Eratodi 2014 tentang

sambungan balok-kolom bambu laminasi menggunakan pelat baja

dikarter dan baut didapatkan perilaku mekanika rekayasa

sambungan bambu laminasi, antara lain:

1. Kuat tumpu bambu laminasi dipengaruhi secara nyata oleh

sudut beban terhadap arah serat (loading-to-grain-angle). Kuat

tumpu menurun seiring dengan perubahan sudut beban dari

sejajar menuju tegak lurus serat. Perubahan ini dapat didekati

dengan formula Hankinson orde ke-2.

2. Jarak ujung sambungan pada daerah tekan boleh lebih pendek

33% dibandingkan dengan ketentuan SNI-5 2002. Pengujian

dan analisis numerikal ini menguatkan persyaratan spasi baut

untuk sambungan dengan alat sambung baut berdasarkan

ketentuan SNI-5 2002 dapat diaplikasikan pada sambungan

struktur bambu laminasi. Perencanaan sambungan dengan

ketentuan SNI ini akan memberikan angka keamanan yang

lebih tinggi. Analisis elemen hingga nonlinier geometri

sambungan melalui pemodelan kuat tumpu dapat bersesuaian

dengan hasil pengujian metode full-hole dan half-hole.

3. Pelat dikarter mengurangi ketebalan pelat baja asli sampai

dengan 5%, namun tidak mengurangi kekuatan sebagai pelat

konektor sambungan. Tampak nyata model kegagalan uji

tahanan lateral dengan pelat dikarter bersesuaian dengan

formula EYM mode kelelehan III. Rekayasa pada pelat ini

meningkatkan nilai koefisien gesek sebesar 71,31%. Perlakuan

dikarter pada pelat sebagai konektor sambungan secara

signifikan meningkatkan kekakuan sambungan baut sejajar arah

serat dan tegak lurus serat berturut-turut sebesar 93,6% dan

63,38%.

4. Tahanan lateral join sambungan balok bambu laminasi-pelat

baja-bambu laminasi dengan alat sambung baut gaya sejajar

serat lebih tinggi 8,38% - 11,81% daripada gaya arah tegak

lurus serat, baik dengan pelat polos maupun pelat dikarter. Nilai

tahanan lateral menggunakan alat sambung pelat konektor

dikarter lebih tinggi 8,05% - 20,22% daripada pelat konektor

213

Page 134: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

124 Bambu Laminasi

polos. Tahanan lateral model ini dapat didekati dengan

persamaan EYM dengan model yang sama seperti pada bahan

kayu.

5. Konektor pelat dikarter pada sambungan balok-kolom struktur

bambu laminasi meningkatkan tahanan momen yield, kekakuan

elastis struktur (Ke), hysteretic energi (HE), energi potensial,

energi disipasi masing-masing sebesar 31,28%; 33,12%,

28,82%, 20,48%; 5,89% dibandingkan konektor pelat polos

melalui pendekatan metode EEEP. Pelat konektor dikarter

mampu sebagai frictional damping yang dapat meningkatkan

kombinasi kekakuan dan energi disipasi sambungan.

Sambungan sistem ini meningkatkan syarat struktur dengan

energi disipatif kapasitas menengah–DCM (Dissipate Class

Medium) menjadi struktur dengan energi disipatif kapasitas

tinggi – DCH (Dissipate Class High).

6. Parameter hysteresis loop dengan pendekatan kurva pinching

model Kivell mendapatkan nilai kekakuan elastis sambungan

balok-kolom menggunakan pelat konektor dikarter lebih besar

85,06% dari konektor pelat polos. Tahanan momen leleh dan

maksimum sambungan menggunakan konektor pelat dikarter

pada siklus positif masing-masing lebih besar 35,71% dan

17,17% dan pada siklus negatif masing-masing sebesar 45,29%

dan 46,21% dari konektor pelat polos. Uji siklik sambungan

balok-kolom dapat dilihat pada Gambar 8.10.

7. Persamaan tahanan lateral model sambungan ini dapat

memprediksi bentuk kegagalan pada benda uji. Mode kelelehan

III menurut EYM yang terjadi pada sambungan momen dan

balok-kolom sebagai bentuk alat sambung konektor pelat

dikarter dan baut bekerja sangat efektif.

8. Analisis numerikal kuat tumpu bambu laminasi menggunakan

alat sambung baut dapat memberikan gambaran tegangan dan

regangan yang terjadi pada tiap elemen model dan memprediksi

geometri sambungan struktur bambu laminasi. Informasi sifat

mekanika bambu laminasi yang lengkap dan gambaran

tegangan dan regangan hasil analisis numerikal dapat digunakan

Page 135: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

125 Bambu Laminasi

sebagai pedoman dalam memprediksi kemampuan bahan dan

lokasi kegagalan yang terjadi pada tiap simulasi geometrik

sambungan struktur bambu laminasi (Gambar 8.11.).

9. Metode numerik menggunakan elemen hingga nonlinier pada

penelitian ini dapat memprediksi sambungan momen,

sambungan balok-kolom pada model bambu laminasi-pelat

baja-bambu laminasi dengan alat sambung baut. Model simulasi

kontak problem, constraint elemen baut terhadap bambu

laminasi, jarak gap diameter lubang dan diameter baut,

geometri dan pemilihan model material bambu laminasi yang

tepat berpengaruh besar pada hasil analisis numerikal. Model

kegagalan bambu laminasi akibat tahanan momen didominasi

oleh splitting tarik tegak lurus serat bambu laminasi, ini

menguatkan lemahnya sifat mekanika bambu laminasi pada

tarik tegak lurus serat sebagai ciri khas bahan alami berserat.

Gambar 8.10. Proses uji siklik sambungan balok-kolom struktur bambu

laminasi dengan konektor pelat baja dikarter

Page 136: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

126 Bambu Laminasi

Gambar 8.11. Hubungan tahanan momen-rotasi join sambungan hasil

ekperimen (benda uji BC-PD-C; BC-PD-C dan BC-PP-C) dan hasil

numerikal

Page 137: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

127 Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrochim, 1982, Studi Pendahuluan Pengawetan Bambu pada

Rumah-Rumah Rakyat di Jawa Barat. Laporan Nomor 161,

Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan.

Amirullah K., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Perilaku

Keruntuhan Balok Laminasi Horisontal Bambu Ampel, Bunga

Rampai Penelitian Bambu 2012.

ASTM, 1997, ASTM D143: Standard Methods of Testing Small

Clear Specimens of Timber. Annual book of ASTM Standards,

Vol. 04.10., West Conshohocken, PA, USA.

Basri, E. 1997. Pedoman Teknis Pengeringan Bambu . Laporan

Proyek Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat. Pusat

Penelitian Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.

Bogor.

Bagby, M. O., Newon, G. H., Helman, E. G. and Clark, T. F. 1971.

Determination of lignin in non-wood plant fibre sources.

Tappi Journal 54: 1876-1878.

Bhat, K.V., Varma, R.V., Raju Paduvil, Distribution of starch in

the culms of Bambusa bambos (L.) Voss and its influence on

borer damage. The Journal of the American Bamboo Society

19(1): 1-4 Kerala Forest Research Institute, Peechi – 680 653,

Kerala, India

Blass, H.J., P. Aune, B.S. Choo, R. Gorlacher, D.R. Griffiths. B.O.

Hilso. P. Racher, and G. Steck, (Eds), 1995, Timber

Engineering Step I, First Edition, Centrum Hount, The

Nedherlands.

Blass H. J., Schmid M., Litze H., and Wagner B., 1995, Nail plate

reinforced joints with dowel-type fasteners. In: 6th World

Conference on Timber Engineering, 31 July – 3 August,

2000, paper 8.6.4.,

Bohnhoff, D.R., Chiou, W.S., Hernandez, R., 1997, Load-Sharing

in Nail-Laminated Assemblies Subjected to Bending Loads,

ASAE International Meeting, Minneapolis, MN, USA,

August 10-14 1997.

Breyer, D.E., 1988, Design of Wood Structures, Second Edition.

McGraw-Hill, Inc. New York.

Page 138: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

128 Daftar Pustaka

Budi A.S., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Dimensi

Bilah, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap

Keruntuhan Lentur Balok Laminasi Bambu Petung, Bunga

Rampai Penelitian Bambu 2012.

Chang R., 1998, Chemistry, 6th edn. McGraw–Hill Companies,

Inc, New York, pp 962–963

Darwis, Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Bambu

Bagian Kulit Terhadap Kapasitas Lentur Balok Laminasi

Bilah Persegi Panjang dan Galar, Bunga Rampai Penelitian

Bambu 2012.

Ding, X.L., Zhang, Y. 1997. Existence of specific amino acid in

bamboo leaves and its biological significance. Journal of

Wuxi University of Light Industry, 16(1), 29-32.

Eratodi, I.G.L.B., 2013, Sambungan Balok-Kolom Struktur Bambu

Laminasi Dengan Pelat Baja Dikarter Dan Baut, Disertasi,

Program Pascasarjana, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta, Tidak Diterbitkan.

Eratodi, IGLB., Dhewanto, S.A., dan Intang, N., SH., (2012),

―Bunga Rampai Abstrak Penelitian Bambu, Mahasiswa S1

& S2 Bimbingan Prof. Morisco, Jurusan Teknik Sipil dan

Lingkungan, UGM Yogyakarta.

Feng, Z., Huang., K, and Shu, J., G., 2014, Research progress on

the modification of bamboo, Journal of Chemical and

Pharmaceutical Research, 6(1):237-239, ISSN : 0975-7384,

CODEN(USA) : JCPRC5, Central South University of

Forestry and Technology, Changsha, China

Fengel D, Wegener G. 1984. Bambu : Kimia, Ultrastruktur,

Reaksi-reaksi. Gadjah Mada University Press (terjemahan).

Frangi J.L, Barrera M.D, Richter L.L, Lugo A.E., 2004, Nutrient

cycling in Nothofagus pumilio forests along an altitudinal

gradient in Tierra del Fuego Argentina. Forest Ecol. Manage.

217:80–94.

Gurfinkel, G, 1981, Wood Engineering, Second Edition,

Kendall/Hunt Publishing Co., Dubuque, Iowa.

Gusmailina & Sumadiwangsa. 1988. Analisis Kimia Sepuluh Jenis

Bambu dari Jawa Timur.Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5

(5):290-293

Page 139: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

129 Daftar Pustaka

Hadjib dan Karnasudirdja (1986), 1986. Prospek Kayu Indonesia

dan Bahan Baku Industri Kayu Lamina. Makalah pada

Seminar Glue Laminated Timber (Glulam), 15 Juni 1986

Haniza, S., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2005, Perilaku Mekanika

Papan Laminasi Bambu Petung Terhadap Beban Lateral,

Tesis, FTSL UGM Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).

Higuchi, H. 1955. Biochemical studies of lignin formation, 111.

Physiologia Plantarum 10: 635-648

Itoh, T and Shimajii, K. 1981. Lignification of bamboo culm

(Phyllostachys pubexens) during growth and maturation. Pp.

104-310 in Higuchi, T. (Ed.) Bamboo Production and

Utilization. XVII IUFRO Congress, Kyoto.

Janssen, J.J.A., 1981, Bambu in Building Structures, Ph.D. Thesis,

University of Technology of Eindhoven, Netherland

Janssen, J.J.A., 1991, Mechanical Properties of Bambu, Kluwer

Academic Publishers, Netherlands.

Kliwon, S. 1997. Pembuatan Bambu Lapis Dari Bambu Tali

(Gigantlocoa apus). Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (3) :

190-199.

Kollman, F.J.P. and W.A. Cote, 1975, Principle of Wood science

Technology, Volume II. Wood Based Material. Springer-

Verlag. New York.

Kramer, V., Blass, H.J., 2001, Load Carrying Capacity of Nail-

Laminated Timber Under Concrentrated Loads, International

Council for Research and Innovation in Building and

Construction, Working Commission W18 – Timber

Structures, Venice, Italy, August 2001.

Krisdianto, Sumarni G., dan Ismanto A., 2005. Sari Hasil

Penelitian Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Liesse, W., 1980, Preservation of Bamboo, in Lessard, G.

&Chouinard, A : Bamboo Research in Asia, IDRC, Canada.

Liese, W., 1987, The Strukture of Bamboo in Relation to Its

Properties andUtilization, Bamboo and Its Use, International

Symposium on Industrial Use of Bamboo Beijing, China 7-11

Dec., 1987, Intern. Trop. Timber Organization, Chinese

Academy of Forestry.

Page 140: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

130 Daftar Pustaka

Liese, W., 2000. The Anatomy of Bamboo Culms, Technical

Report, International Network for Bamboo and Rattan,

http://www.inbar.int/publication/htm.

Lu, B.; Wu, X.; Tie, X.; Zhang, Y.; Zhang, Y. 1985. Toxicology

and safety of anti-oxidant of bamboo leaves. Part 1: Acute and

subchronic toxicity studies on anti-oxidant of bamboo leaves.

Food and Chemical Toxicology, 43(5), 783-792.

Maduretno, T., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2010, Pengaruh

Umur Bambu Terhadap Perilaku Kekuatan Lentur Balok

Laminasi Bilah Bambu Petung, Tesis, FTSL UGM Yogyakarta

(Tidak dipublikasikan).

Manuhuwa, Komponen Kimia Dan Anatomi Tiga Jenis Bambu

Dari Seram, Maluku , Agritech Vol. 28 No. 2 Mei 2008

Martawijaya, 1974, Masalah Pengawetan Bambu di Indonesia.

Kehutanan Indonesia, Nopember 1974: p. 460-469

Morisco, 1999, Rekayasa Bambu, Nafiri Offset, Komplek Yadara

Blok V/12 Yogyakarta.

Morisco, 2006, Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Magister

Teknologi Bahan Bangunan. Program Studi Teknik Sipil

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mujiman, Hrc. Priyosulistyo, Djoko Sulistyo, dan T.A. Prayitno,

2015, Pengaruh Bentuk Dan Tebal Lamina Pada Kekuatan

Lentur dan Geser Balok Laminasi-Vertikal Bambu Petung

yang Dibebani Tangensial , Disertasi, FTSL UGM Yogyakarta

(Tidak dipublikasikan).

Nasriadi, Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Susunan

Lamina Bambu Petung Terhadap Kuat Geser dan Lentur

Balok Lamiansi Galar Bambu Petung, Bunga Rampai Abstrak

Penelitian Bambu, pages B16-B17.

Nugroho, N. and A. Naoto. 2005. Development of structural

composite products made from bamboo II: Fundamental

properties of laminated bamboo lumber. J Wood Sci. 47:237-

242.

Nurhayati, T. 1994. Pembuatan Arang Empat Jenis Bambu Dengan

Cara Timbun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (3) : 7-12.

Oka G.M., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Gaya

Pengempaan Terhadap Keruntuhan Geser Balok Laminasi

Page 141: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

131 Daftar Pustaka

Horisontal Bambu Petung, Bunga Rampai Penelitian Bambu

2012.

Osorio, L., Trujilo, E., Van Vuure, A.W., 2010, The Relation

between Bamboo Fibre Microstructure and Mechanial

Properties, 14 th European Conference on Composite

Materials, 7-10 June 2010, Budapest Hungary.

Paling, T., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2010, Pengaruh Umur

Bambu Terhadap Perilaku Kekuatan Geser Balok Laminasi

Bilah Bambu Petung, Tesis, FTSL UGM Yogyakarta. (tidak

dipublikasikan).

Porteous, J., and Kermani., A., (2007). ―Structural Timber Design

to Eurocode 5‖. Blackwell Publishing, United Kingdom.

Pasaribu, R. A dan T. Silitongan. 1974. Pulp Dari Campuran Kayu

Daun Lebar dan Bambu. Laporan No. 35 LPHH. Bogor.

Pranata, Y. A., 2011, Perilaku Lentur Balok Laminasi-Baut Kayu

Indonesia, Disertasi, Program Doktor Ilmu Teknik Sipil

Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan,

Bandung. (tidak diterbitkan)

Prayitno, T.A., 1994, Perekat Kayu. Fakultas Kehutanan

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Prayitno, T.A., 1995, Pengujian Sifat Fisika dan Mekanika Kayu

menurut ISO. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada,

Yogyakarta.

Prayitno, T.A., 1996, Perekatan Kayu, Fakultas Kehutanan,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rittironk, S.and M. Elnieiri. 2008. Investigating laminated bamboo

lumber as an alternate to wood lumber in residential

construction in the United States. Modern Bamboo

Structures.CRC Press.

Salim, A.M.A., 2007, Pengaruh Variasi Dimensi Bilah Bambu,

Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap Keruntuhan

Lentur Balok Laminasi Bambu Petung.

Satish, K., Shukla, K. S., Tndra, D. and Dodrnal, P. B. 1994.

Bamboo Awmation Techniques: AR&. Published jointly by

International Network for Bamboo and Rattan (INBAR) and

Indian Council of Forestry Research Education (ICFRE).

Page 142: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

132 Daftar Pustaka

Setyo, N.I.H, 2015, Perilaku mekanik balok komposit Bambu

laminasi dan pelat lantai Beton dengan alat sambung geser

Baja tulangan. Disertasi, FTSL UGM Yogyakarta (Tidak

dipublikasikan).

Sharma, Y.M.L., 1987. Inventory and resources of bamboo : 4 –

17, In Rao, A.N.,: Dhanarajan, G. & Shastry, C.B., Recent

Research on Bamboo, C.A.F., China and IDRC. Canada.

Shmulsky, Bowyer JL, Haygreen JG. 2008. Forest Products

and Wood Science - An Introduction, Fourth edition. Iowa:

Iowa State University Press.

Silitonga T., Siagian, R dan Nurahman, A., 1972. Cara

Pengukuran Serat Kayu di LPHH. Publikasi Khusus No.

12, Bogor.

Siopongco, J.O.; Munandar, M. 1987. Technology manual on

bamboo as building material. Forest Products Research and

Development Institute, Los Baños, Philippines. 93 pp.

Sulastiningsih, I. M, N., Sutigno, P. 1992. Diktat Pengujian Kayu

Lapis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan &

Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.

Sulastiningsih, I. M, N. Hajidjib dan P. Sutigno.1996. Pengaruh

Jumlah Lapisan Terhadap Sifat Bambu Lamina. Buletin

Penelitian Hasil Hutan 14 (9) : 366-373

Sulastiningsih IM & Nurwati, Physical and mechanical properties

of laminated Bamboo board, Journal of Tropical Forest

Science (2009) 246. Forest Products Research and

Development Center.

Tjondro, J.A., dan Rosiman, E. K., 2011,, Group Action Factor of

Nail Fastener on the Wood Connection With Plywood Sides

Plate, Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil¸

ISSN 0853-2982, April 2011, 18 (1):1-10

Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood; Structure,

Properties Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold. Wai , Li dkk 1995 anatomi

Widjaya, P., 1995, Perilaku Mekanika Batang Struktur Komposit

Lamina bambu dan Phenol Formaldehida, Thesis S-2,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak diterbitkan).

Page 143: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

133 Daftar Pustaka

Xiao, Y., B. Shan, G. Chen, Q. Zhou & L.Y. She, 2007,

Development of a new type Glulam—GluBam. Modern

Bamboo Structures, CRC Press/Balkema.

Yasin, Iskandar., Priyosulistyo, Henricus., Siswosukarto,

Suprapto., Saputra, Ashar., 2015, The Effect of Variable

Lateral Stress of Laminated Bambu with Artificially Dent

Surface on Mechanical Properties, International Journal of

Civil and Structural Engineering (IJCSE), ISSN : 2372-

3971, Issue 02, Volume 2, pp. 80-83.

Yasin, Iskandar., Priyosulistyo, Henricus., Siswosukarto,

Suprapto., Saputra, Ashar., 2016, Experimental Study of

Tensile Strenght of Bambu Block Lamination : Optimum

Values of Block Lamination be Made With Incising Method,

International Journal of Innovative Research in Advanced

Engineering (IJIRAE), ISSN : 2349-2763, Issue 03, Volume

3, pp. 19-23.

Yasin, Iskandar., Priyosulistyo, Henricus., Siswosukarto,

Suprapto., Saputra, Ashar., 2016, The Influence of Lateral

Stress Variation to Shear Strenght Bambu Lamination

Block, International Journal of Innovative Research in

Yustinus Suranto, Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan

Wulung dalam Arah Longitudinal, Jurusan Teknologi Hasil

Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Penerbit: Yogyakarta /

Fakultas Kehutanan UGM / 1999.

Zhou Fangchun. 1980. Bamboo forest cultivation. China Forestry

Publishing House, Beijing, China

Page 144: ISBN: 978-602-9000-11-5

Struktur dan Rekayasa Bambu

134 Daftar Pustaka

BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Denpasar, Bali, pada tanggal 19 Mei

1975, anak pertama dari tiga bersaudara dari orang

tua Ir. I Gusti Lanang Bagus Utawa dan I Gusti Aju

Oka Darmiati (alm.). Riwayat pendidikan yaitu TK

Kertha Kumara (tahun 1979-1981), SD Negeri 18

Dangin Puri (tahun 1981-1987), SMP Negeri 1

Denpasar (tahun 1987-1990), SMA Negeri 1

Denpasar (tahun 1990-1993). Pendidikan Sarjana

(S1) ditempuh di Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik,

Universitas Brawijaya Malang (Konsentrasi Struktur, tahun 1993-1998).

Pendidikan Magister (S2) ditempuh di Program Magister Teknologi

Bahan Bangunan (tahun 2006-2007), dan pendidikan Doktor (S3)

Konsentrasi Struktur di Program Ilmu Teknik DTSL FT, Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan Doktor (S3) mulai ditempuh pada

tahun September (2009-2014). Bekerja sebagai dosen Dpk. Kopertis

Wilayah VIII pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik dan

Informatika, Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar,

sejak tahun 2002 sampai sekarang. Penulis konsentrasi pada bidang

struktur dan rekayasa bahan bangunan sipil. Beberapa tulisan ilmiah

terkait baik antara lain: Rasio Dimensi Kolom Bangunan Tradisional Bali

Terhadap Kuat Tekan Menggunakan Bambu Laminasi, Teknologi Bambu

Laminasi Sebagai Material Ramah Lingkungan Tahan Gempa,

Pemanfaatan Bambu Sebagai Material Pilihan Pada Struktur Bambu

Modern, Bamboo Technology Laminate As Earthquake Resistant

Materials And Environmentally, Kuat Tumpu Bambu Laminasi Terhadap

Variasi Kadar Air Dan Diameter Baut, Kuat tumpu bambu (embedding

strength of bamboo), The effect of specific gravity on embedding strength

of glued, Analisis Numerik dan Eksperimen Kuat Tumpu Bambu

Laminasi, Fenomena Produksi Bambu Laminasi di Masyarakat, Buku

Bunga Rampai Abstrak Penelitian Bambu Mahasiswa S1 dan S2

Bimbingan Prof. Morisco, Penerbit: Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan

UGM Yogyakarta, A Review on Test Results of Mechanical Properties of

Bamboo, dan Perilaku Mekanik Sambungan Struktur Bambu Laminasi

Menggunakan Pelat Dan Baut.