Top Banner
SKENARIO 1 Demam Sore Hari Seorang laki-laki 45 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Dengan dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi brakikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat typhoid tounge. Pemeriksaan Tes Widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat. Pasien bertanya kepada dokter apa diagnosa dan cara pencegahan penyakitnya. 1
53

IPT PBL S-1

Feb 09, 2016

Download

Documents

wrap up skenario 1 blok muskulo
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: IPT PBL S-1

SKENARIO 1

Demam Sore Hari

Seorang laki-laki 45 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Dengan dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi brakikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat typhoid tounge. Pemeriksaan Tes Widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat. Pasien bertanya kepada dokter apa diagnosa dan cara pencegahan penyakitnya.

1

Page 2: IPT PBL S-1

SASARAN BELAJAR

L.I. 1 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DEMAML.O. 1.1 DefinisiL.O. 1.2 PatogenesisL.O. 1.3 Sifat/pola

L.I. 2 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN BAKTERI SALMONELLAL.O. 2.1 DefinisiL.O. 2.2 MorfologiL.O. 2.3 KlasifikasiL.O. 2.4 Siklus hidup

L.I. 3 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DEMAM TYPHOIDL.O. 3.1 DefinisiL.O. 3.2 EtiologiL.O. 3.3 EpidemiologiL.O. 3.4 PatofisiologiL.O. 3.5 Gejala klinisL.O. 3.6 DiagnosisL.O. 3.7 PenatalaksanaanL.O. 3.8 KomplikasiL.O. 3.9 PencegahanL.O. 3.10 Prognosis

L.I. 4 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANTIBIOTIK UNTUK TYPHOIDL.O. 4.1 FarmakokinetikL.O. 4.2 FarmakodinamikL.O. 4.3 IndikasiL.O. 4.4 KontraindikasiL.O. 4.5 Efek sampingL.O. 4.6 Interaksi obatL.O. 4.7 DosisL.O. 4.8 Cara pemberian

2

Page 3: IPT PBL S-1

L.I. 1 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DEMAM

L.O. 1.1 Definisi Demam

Demam (fever, febris) adalah kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkadian yang normal sebagai akibat dari perubahan pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior. Suhu tubuh normal dapat dipertahankan, ada perubahan suhu lingkungan, karena adanya kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hati, dengan panas yang hilang terjadi peningkatan suhu dalam tubuh. Suhu oral normal adalah 35,8°C-37,3°C (96,5°- 99,2°F). Suhu rektal lebih tinggi sekitar 0,3–0,5°C (0,5°-1°F). (Juliana, 2008)

Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 – 06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 – 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola diurnal ini. Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat pengukuran Jenis termometer Rentang; rerata

suhu normal (oC)Demam

(oC)

AksilaAir raksa,

elektronik

34,7 – 37,3;

36,437,4

SublingualAir raksa,

elektronik

35,5 – 37,5;

36,637,6

RektalAir raksa,

elektronik36,6 – 37,9; 37 38

Telinga Emisi infra merah35,7 – 37,5;

36,637,6

Suhu rektal normal 0,27o – 0,38oC (0,5o – 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral. Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai 37,6oC. Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1oC (106oF).

3

Page 4: IPT PBL S-1

L.O. 1.2 Patogenesis Demam

Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag dan sel-sel Kupffer mengerluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6 dan interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan pasokan thermostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu tubuh normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 ºC, hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37 ºC terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh.

Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang. Rangsangan eksogen seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNFα selain IL-6 dan interferon (IFN). Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem syaraf pusat pada tingkat Organum Vasculosum Laminae Terminalis yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nucleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respons terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase 2 (COX-2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.

4

Endotoksin, peradangan, rangsangan pirogenik

lain Monosit, makrofag, sel-sel Kupffer

sitokin

Area preoptik hipotalamus

Meningkatkan titik penyetelan suhu

prostaglandin

Demam

Page 5: IPT PBL S-1

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang bekerja secara langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin, demam melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.

Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.

L.O. 1.3 Pola demam

Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1

Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam Penyakit

Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian Malaria karena P.vivax

Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid

arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodik Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi: Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh

yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

5

Page 6: IPT PBL S-1

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.

Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari.

Demam quotidian ganda (Gambar 4.) memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

6

Page 7: IPT PBL S-1

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.

Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.

Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multipel.

Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa).

Relapsing fever dan demam periodik:o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau

irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.) dan brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.) dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

7

Page 8: IPT PBL S-1

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 – 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown.

o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.

o Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 – 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

L.I. 2 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN BAKTERI Salmonella entericaL.O. 2.1 Definisi Bakteri

Salmonella sp. merupakan bakteri berbentuk batang, tidak membentuk spora, dapat hidup pada lingkungan aerob, maupun pada kondisi kurang oksigen, serta tumbuh baik pada suhu kamar, dengan suhu optimumnya 37°C. Sumber kontaminasi Salmonella sp adalah manusia dan hewan, yaitu dari saluran pencernaannya.

8

Page 9: IPT PBL S-1

Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, filum Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, Salmonella sp.,  family Enterobacteriaceae, genus Salmonella dan species e.g. S. enteric (Todar, 2008).

Salmonella sp.  adalah bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram berwarna merah muda (gram negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ sampai 4 µ × 0;6 µ, mempunyai flagel (kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora. Suhu optimum pertumbuhan Salmonella sp. ialah 37°C dan pada pH 6-8 (Julius, 1990).

Jenis atau spesies Salmonella sp. yang utama adalah S. typhi (satu serotipe), S. choleraesuis, dan S. enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Sedangkang spesies S. paratyphi A, S. paratyphi B, S. paratyphi C termasuk dalam  S. enteritidis (Jawezt et al, 2004). 

L.O. 2.2 Morfologi Bakteri Salmonella

  1. Berbentuk batang, tidak berspora, bersifat negatif pada pewarnaan Gram.

2. Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.

3. Menghasikan H2S.

4. Besar koloni rata-rata 2–4 mm.-Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.

5. Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15–41oC (suhu

pertumbuhan optimal 37,5oC) dan pH pertumbuhan 6–8.

6. Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.

7. Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa

8. Ukuran Salmonella bervariasi 1–3,5 µm x 0,5–0,8 µm.

9

Page 10: IPT PBL S-1

Struktur Antigen        Salmonella sp. mempunyai tiga macam antigen utama untuk diagnostik atau mengidentifikasi yaitu : somatik antigen (O), antigen flagel (H) dan antigen Vi (kapsul).

• Antigen O (Cell Wall Antigens) merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan panas (termostabil), dan alkohol asam. Antibodi yang dibentuk  adalah IgM. Namun antigen O kurang imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat. Maka kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat 67 faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa faktor. Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih rendah daripada antibodi H.

• Antigen H pada Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I : spesifik dan fase II : non spesifik. Antigen H adalah protein yang tidak tahan panas (termolabil), dapat dirusak dengan pemanasan di atas 60ºC dan alkohol asam. Antigen H sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG.

• Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam. Terdapat dibagian paling luar dari badan kuman bersifat termolabil. Dapat dirusak dengan pemanasan 60ºC selama 1 jam. Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada hewan dan mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan terhadap bakteriofaga dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman S. typhi. Adanya antigen Vi menunjukkan individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman (carrier).

L.O. 2.3 Klasifikasi Bakteri Salmonella

Salmonella enterica:Kingdom : Eubacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella Spesies : Salmonella enterica Subspesies : Salmonella enterica enterica

Salmonella enterica salamae Salmonella enterica arizonae Salmonella enterica diarizonae Salmonella enterica houtenae Salmonella enterica indica

Klasifikasi salmonella sangat rumit karena organisme tersebut merupakan rangkaian kesatuan dan bukan tertentu. Anggota genus Salmonella awalnya diklasifikasikan berdasarkan epidemiologi, jangkauan pejamu, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan Vi. Terdapat lebih dari 2500 serotip Salmonella, termasuk lebih dari 1400 dalam kelompok hibridasi DNA grup I yang dapat menginfeksi manusia. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia dapat diidentifikasikan di laboraturium klinis melalui pemeriksaan biokimia dan serologik.Serotip tersebut adalah sebagai berikut:

10

Page 11: IPT PBL S-1

Salmonella paratyphi A (serogrup A)Salmonella paratyphi B (serogrup B)Salmonella cholerasuis (serogrup C1)Salmonella typhi (serogrup D)

Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik. Berdasarkan penelitian hibridisasi DNA, klasifikasi taksonomik resmi meliputi genus Salmonella dengan subspecies dan genus Arizona dengan subspesies.

Contoh rumus antigenik salmonella

Golongan O Seriotip Formula antigenikD S typhi 9,12 (vi):d:-A S paratyphi A 1,2,12:a-C1 S choleraesuis 6,7: c:1,5B S typhimurium 1,4,5,12:i:1,2D S enteritidis 1,9,12:g,m:-

Salmonella yang terisolasi pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan serologi (klasifikasi Kauffan-White ). Divisi utama yang pertama dengan antigen O somatik, kemudian dengan antigen H Hagellar. Antige H selanjutnya dibagi menjadi bentuk 1 dan bentuk 2. Deskripsi secara utuh oleh salmonella yang diisolasi adalah ( antigen O, Vi : antigen H bentuk 1 : antigen H bentuk 2 )Note: dengan pengecualian dari typhoid dan para typhoid, salmonella tidak menginfeksi darah, hal itu yang umumnya dipercaya.

Contoh:# Salmonella entereditis ( 1, 9, 12 : 9.m )# Salmonella typhi ( 9, 12, Vi : d : – )( antigen O, 9, 12; antigen H dan antigen Vi berasosiasi dengan bakteri yang bertindak sebagai faktor virulence, oleh sebab itu namanya demikian )Di laboratorium klinik, hanya sedikit serovar yang diamati ( sisanya jarang atau tidak pernah diamati ). Agen perlindungan kesehatan merekomendasikan untuk mengikuti uji antigen secara rutin:# antigen O : 2, 4, 6, 7, 8, 9, dan 3.10# antigen H bentuk 1 : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7# antigen H bentuk 2 : a, b, c, d, E, G, i, r

Bakteri isolasi yang tidak dapat diidentifikasi menggunakan panel yang dikirim ke lab yang telah direkomendasikan untuk proses identifikasi.Berdasarkan spesivitas induk semang, serotype yang ada dikelompokkan menjadi:

1. S. typhi. S. paratyphi A, B, dan C penyebab demam anterik (typhoid) pada manusia.2. S. Dublin (sapi), S. cholera suis (babi), S. gallinarum dan S. pullorum (ungags). S.

abortus equi (kuda), dan S. abortus ovis (domba). Salmonella sp. yang beradaptasi pada jenis hewan tertentu jarang menimbulkan penyakit pada manusia.

11

Page 12: IPT PBL S-1

L.O. 2.4 Siklus hidup Salmonella enterica

Penyebaran dan Siklus hidup: Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang terdapat

bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts). Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang dinding

usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus

dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak.

Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi keseimbangan tubuh.

Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.

Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105-108 bakteri. Beberapa faktor pejamu yang menimbulkan resistansi terhadap infeksi salmonella adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat. Salmonella menyebabkan tiga macam penyakit utama pada manusia, tetapi sering juga ditemukan bentuk campuran. Lihat tabel.

12

Page 13: IPT PBL S-1

Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fecal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi. (Salyers & Whitt, 2002).

Penyakit klinis yang disebabkan oleh salmonella

  Demam enterik Septikemia EnterokolitisPeriode inkubasi 7-20 hari Bervariasi 8-48 jamAwitan Perlahan Mendadak MendadakDemam Bertahap, kemudian

plateau, tinggiMeningkat cepat, kemudian temperatur menukik spt sepsis

Biasanya demam ringan

Lama penyakit Beberapa minggu Bervariasi 2-5 hariGejala gastrointestinal

Awalnya sering konstipasi, selanjutnya diare berdarah

Sering tidak ada Mual muntah diare saat awitan

Biakan darah Positif pada minggu 1 hingga minggu 5 penyakit

Positif pada saat demam tinggi

Negatif

Biakan feses Positif pada minggu 2, negatif pada awal penyakit

Jarang positif Positif segera setelah awitan

(Jawetz, 2008)

Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisma, dalam hal ini bakteri Salmonella).

Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan kematian penderita. Salmonella typhimurium umumnya dengan jumlah 11.000 sudah dapat menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala. Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat terjadi dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan. Gejala terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah terserang penyakit dengan gejala: inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan gejala, lalu terjadi diare.

13

Page 14: IPT PBL S-1

L.I. 3 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DEMAM TYPHOIDL.O. 3.1 Definisi

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi). Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-negara Asia dan dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Pada permulaan penyakit, biasanya tidak tampak gejala atau keluhan dan kemudian timbul gejala atau keluhan seperti demam sore hari dan serangkaian gejala infeksi umum dan pada saluran cerna. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Terapi untuk demam tifoid meliputi istirahat, pemberian anti-mikroba, antipiretika, serta nutrisi dan cairan yang adekuat. Salah satu anti-mikroba yang saat ini dapat diberikan secara optimal cost-effective adalah levofloxacin 500 mg 1 kali sehari selama 7 hari. Strategi pencegahan meliputi higiene perorangan, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih sampai dengan penggunaan vaksin.

L.O. 3.2 EtiologiDemam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica

serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan.

Kuman ini mempunyai 3 macam antigen, yaitu: Antigen O (somatik)

Terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen protein, lipopolisakarida dan lipid. Sering disebut endotoksin.

Antigen H (flagela)Terdapat pada flagela, fimbriae danpili dari kuman, berstruktur kimia protein.

Antigen Vi (antigen permukaan)Pada selaput dinding kuman untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.

L.O 3.3 Epidemiologi

Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2003 sekitar 16

14

Page 15: IPT PBL S-1

juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan S. typhi dalam tinja selama lebih dari satu tahun.

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.

Di Indonesia, insidens deam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.

Berikut ini gambar mengenai insidens demam tifoid dan usia rata-rata pasien dari studi mengenai demam tifoid di 5 negara Asia, yang salah satunya adalah Indonesia (lihat gambar 1).

15

Page 16: IPT PBL S-1

L.O. 3.4 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.

Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.

16

Page 17: IPT PBL S-1

Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.

L.O 3.5 Gejala klinis

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.

Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulo papular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.

Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefaopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.

Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam (hari ke-8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi, jika masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja, maka penderita dinyatakan sebagai carrier.

Seorang carrier biasanya berusia dewasa, sangat jarang terjadi pada anak. Kuman Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella). Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui tinja yang berpotensi menjadi sumber penularan penyakit.

L.O. 3.6 Diagnosis

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.

17

Page 18: IPT PBL S-1

Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.

Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya eoinofil).

Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu:• Isolasi bakteri• Deteksi antigen mikroba• Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).

Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.

Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.

Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.

18

Page 19: IPT PBL S-1

A. Pemeriksaan laboratorium

1.      DarahPada pemeriksaan darah perifer dapat ditemukan: leukopenia atau leukopenia relatif,

kadang-kadang leukositosis, neutropenia, limfositosis relatif, kadang-kadang anemia dan trombositpenia ringan, laju endap darah (LED), dan SPOT / SPGT meningkat. Diagnosis demam tifoid juga dapat dipastikan dengan adanya biakan kuman, dengan cara mengisolasi S. typhi dari darah pasien (paling tinggi pada minggu pertama: 80–90%, minggu ke-2: 20–25%, minggu ke-3: 10-15%).

2.      Sumsum tulang belakangBiakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang belakang mempunyai

sensitivitas tertinggi. Hasil positif didapat pada 90% kasus, akan tetapi prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktik sehari-hari.

3.      EmpeduBiakan spesimen empedu pada keadaan tertentu yang diambil dari duodenum dan

memberikan hasil yang cukup baik tumbuh koloni S. typhi.4.      Urine dan feses

Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier post-typhi) pada minggu ke-2 atau ke-3. Pemeriksaan pada urine dengan tes diazopositif. Urine + reagen diazo + beberapa tetes amonia 30% (dalam tabung reaksi) dikocok buih berwarna merah atau merah muda. Pemeriksaan pada feses ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (pra-soup stool), kadang-kadang darah (bloody stool).

B. Tes Widal

Uji serologi widal adalah suatu metode serologik yang dapat memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan flagel (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pascaimunisasi atau infeksi demam masa lampau, sedangkan aglutinin Vi dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (carrier).

Pemeriksaan widal dinyatakan positif bila:• ü  titer O widal I 1/320.• ü  titer O widal II naik 4x lipat atau lebih dibandingkan titer O widal.• ü  titer widal I (-) tetapi titer O widal II (+) berapa pun angkanya.

Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti pada biakan darah positif.

Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan darah bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella serotipe typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi widal.

19

Page 20: IPT PBL S-1

Contoh hasil pemeriksaan Tes Widal

20

Page 21: IPT PBL S-1

C. Uji TubexMerupakan uji semi-kuantitatif kolometril yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk

dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S. typhi O9 pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel lateks yang berwarna pada lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik lateks. Hasil positif uji tubex ini menunjukan terdapat infeksi Salmonella serogroup D, walau tidak sespesifik menunjukan pada S. typhi. hasil negatif jika terinfeksi S. paratyphi.

D. Uji TyphidotDapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar S.

typhi. Hasil positif pada uji thypidot didapatkan 2-3 hari setelah terinfeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

E. Uji IgM DipstickUji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada spesimen

serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang didekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum, protein tabung uji. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah diinkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi-kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkan dengan strip referensi. Garis kontrol harus terwarna dengan baik.

L.O. 3.7 Penatalaksanaan

1. Perawatan umumPasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan

pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.

21

Page 22: IPT PBL S-1

2. DietDiet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam

tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. ObatObat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah

kloramfenikol (pilihan utama), tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan florokuinon, dan dapat diberikan kombinasi obat antimikroba, dan kortikosteroid bila diperlukan.

Obat Mekanisme kerja Dosis Keterangan

Kloramfenikol Berikatan dengan unit

50S bakteri

Oral

4 x 500 mg sampai 7 hari

bebas demam

Perbaikan dicapai dalam

interval 3-7 hari. Tidak

digunakan pada pasien anak.

Tiamfenikol Berikatan dengan unit

50S ribosom bakteri

Oral

4 x 500 mg sampai 7 hari

bebas demam

Perbaikan dicapai dalam 4-6

hari. Efek samping lebih

ringan dari kloramfenikol.

Tidak diberikan pada ibu

hamil khususnya trimester 1

Ampisilin Menghambat

pembentukan dinding

sel bakteri

Oral

75-150 mg/kg BB,

terbagi 3 kali sehari,

berikan selama 10-14

hari

Perbaikan dicapai dalam 3-5

hari

TMP-SMZ Menghambat

pembentukan asam

2 x 2 tablet/hari (400 mg

SMZ- 80 mg TMP)

Perbaikan dalam rentang

yang sama dengan

22

Page 23: IPT PBL S-1

dihidrofolat selama 2 minggu kloramfenikol

Ceftriaxone Menghambat

pembentukan dinding

sel bakteri

3-4 gram dalam

Ciprofloxacin Menghambat sintesis

DNA bakterial

2 x 500 mg/hari selama 6

hari

Teruskan pengobatan hingga

2-4 hari setelah gejala

menghilang

Corticosteroid Mengurangi inflamasi Dexamethasone dosis

tinggi

Pada kasus tifoid toxic,

sepsis, peritonitis

L.O 3.8 Komplikasi Demam Tifoid

Komplikasi interstinal. Pendarahan intestinal pada plak usus yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk luka. Bila menembus usus dan mengenai pembuluh darah, maka akan terjadi pendarahan. Pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah. Pendarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.Kategori pendarahan akut, jika darah yang keluar 5ml/kg bb/jam dan faktor hemostatis masih dalam batas normal.

Tindakan yang harus di lakukan adalah transfusi darah.Tetapi jika transfusi yang diberikan tidak mengimbangi pendarahan, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

o Perforasi usus

Biasanya timbul pada minggu ke-3, tetapi dapat juga terjadi pada minggu pertama. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah dan menyebar ke seluruh perut dengan tanda tanda ileus. Gejala lain biasanya bising usus yang melemah, nadi cepat, tekanan darah turun, bahkan dapat syok. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, lama demam, modalitas pengobatan, berat penyakit, dan mobilitas penderita.

Antibiotik di berikan secara selektif, umumnya diberikan antibiotik yang spekrumnya luas dengan kombinasi kloramfenikol dan amfisilin intravena.Untuk kontaminasi usus dapat di berikan gentamisin atau metronidazol. Cairan harus di berikan dalam jumlah yang cukup serta penderita di puasakan dan di pasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat pendarahan intestinal.

23

Page 24: IPT PBL S-1

Komplikasi ekstraintestinal

o Komplikasi hematologi

Dapat berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan protrombin time (pt), peningkatan partial tromboplastin time (ptt), dan peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID).

Tindakan yang perlu dilakukan bila terjadi KID dekompensata adalah transfusi darah, substitusi trombusit dan atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin.

o Hepatitis tifosa

Pembengkakan hati dari ringan sampai berat dapat di jumpai pada demam tifoid, biasanya lebih disebabkan oleh S. typhi daripada S. paratyphi.

o Pankretitis tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang pada demam tifoid, biasanya disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CTscan dapat membantu diagnosis dengan akurat.Obat yang diberikan adalah antibiotik seftriakson atau kuinolon yang didepositkan secara intravena.

o Miokarditis

Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis dianggap sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg di tambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.

Komplikasi Ekstra Intestinal lainnya :

a) Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer

(renjatanseptik),miokarditis,trombosis dan tromboflebitisb) Komplikasi darah : anemia hemolitik , trombositopenia, dan /atau

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitikc) Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis

d) Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis

e) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis

f) Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis

g) Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,

24

Page 25: IPT PBL S-1

sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia

L.O. 3.9 Pencegahan

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.

Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid.1 Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:

Vaksin Vi PolysaccharideVaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikansecara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.

Vaksin Ty21aVaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.

Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.

L.O 3.10 Prognosis Demam Tifoid

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4 % dengan rata-rata 5,7 %.

L.I. 4 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANTIBIOTIK UNTUK TYPHOIDLO.4.1 FarmakokinetikLO.4.2 FarmakodinamikLO.4.3 IndikasiLO.4.4 KontraindikasiLO.4.5 Efek SampingLO.4.6 Interaksi ObatLO.4.7 Dosis

25

Page 26: IPT PBL S-1

LO.4.8 Cara pemberianKLORAMFENIKOL

1. Farmakokinetika. Absorbsi

Diabsorbsi secara cepat di GIT, bioavailability 75% sampai 90%. Kloramfenikol oral : bentuk aktif dan inaktif prodrug, Mudah berpenetrasi melewati membran luar sel bakteri. Pada sel eukariotik menghambat sintesa protein mitokondria sehingga menghambat perkembangan sel hewan & manusia. Sediaan kloramfenikol untuk penggunaan parenteral (IV) adalah water-soluble.

b. DistribusiKloramfenikol berdifusi secara cepat dan dapat menembus plasenta.Konsentrasi tertinggi : hati dan ginjal Konsentrasi terendah : otak dan CSF (Cerebrospinal fluid). Dapat juga ditemukan di pleura dan cairan ascites, saliva, air susu, dan aqueousdan vitreous humors.

c. MetabolismeMetabolisme : hati dan ginjal Half-life kloramfenikol berhubungan dengan konsentrasi bilirubin. Kloramfenikol terikat dengan plasma protein 50%; ↓pasien sirosis dan pada bayi.

d. EliminasiRute utama dari eliminasi kloramfenikol adalah pada metabolisme hepar ke inaktif glukuronida.

2. Farmakodinamika. Efek Antimikroba

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Efek toksik kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan mekanisme keja obat ini.

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.

Spektrum antibakteri kloramfenikol kebanyakan kuman anaerob.

b. Resistensi

Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R dan adapula dengan merubah permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.

3. IndikasiSebagai pilihan utama pengobatan tipus, paratipus. Untuk infeksi-infeksi berat yang

disebabkan oleh :- Salmonella spp- H. Influenza (terutama infeksi meningual)

26

Page 27: IPT PBL S-1

- Rickettsia- Lymphogranuloma-psitacosis- Gram negatif yang menyebabkan bekteremia meningitis

4. Kontraindikasi- Penderita yang hipersensitif terhadap Kloramfenikol- Penderita dengan gangguan faal hati yang berat- Penderita dengan gangguan ginjal yang berat

5. Efek sampinga. Reaksi HematologikTerdapat dua bentuk reaksi:- Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan. - Prognosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat ireversibel. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan.

b. Reaksi AlergiKemerahan pada kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam typhoid.

c. Reaksi Saluran CernaMual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.

d. Syndrom GrayPada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB).

e. Reaksi NeurologisDepresi, bingung, delirium dan sakit kepala. Neuritis perifer atau neuropati optikdapat juga timbul terutama setelah pengobatan lama.

6. Interaksi obat Kloramfenikol menghambat enzim sitokrom P450 irreversibel  memperpanjang T½

(dicumarol, phenytoin, chlorpopamide, dan tolbutamide). Mengendapkan berbagai obat lain dari larutannya,

merupakan antagonis kerjabakterisidal penisilin dan aminoglikosida. Phenobarbital dan rifampin mempercepat eliminasi dari kloramfenikol.

27

Page 28: IPT PBL S-1

7. Dosis dan cara pemberianNama Obat Bentuk sediaan Dosis Keterangan

Kloramfenikol Kapsul 250mg dan 500mg Dewasa 50 mg/kgBB sehari per oral dibagi dibagi dlaam 3-4 dosis

Untuk infeksi-infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2x pada awal terapi sampai didapatkan perbaikan klinis

Salep mata 1%Obat tetes mata 0,5%Salep kulit 2%Obat tetes telinga 1-5%

Dipakai beberapa kali sehari

Kloramfenikol palmitat atau

stearate

Suspense yang mengandung 125 mg/5 mL

Bayi premature, maksimal 25 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 2 dosis.

Peningkatan dosis mungkin menimbulkan sindrom Gray.

Untuk bayi dianjurkan monitoring kadar obat (antara 5-20 µg/ mL)

Bayi aterm berumur kurang dari 2 minggu, maksimal 25 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 4 dosis.

Bayi aterm berumur lebih dari 2 minggu, 50 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 3-4 dosis.

Kloramfenikol natrium suksinat

Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 gram kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan 10mL akuades steril atau dekstrosa 5% (mengandung 100 mg/mL)

Dewasa dan anak 50 mg/kgBB sehari intravena, dibagi dalam 4 dosis

Pemberian intravena untuk anak hanya dilakukan pada terapi awal meningitis dan keadaan sepsis berat.

Pemberian intramuscular tidak dianjurkan karena absorpsinya buruk dan menimbulkan nyeri local.

Pemberian parenteral harus secepat mungkin diganti dengan pemberian oral karena absorpsi oral cukup baik.

28

Page 29: IPT PBL S-1

AMOXYCILIN1. Farmakokinetik

Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari 6 aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang mempunyai daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan, Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp, Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram negatif: Neisseira gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella sp. 

2. FarmakodinamikAmoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.

Kadar bermakna didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral. Kadar puncak didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah pemberian per-oral. Kurang lebih 60% pemberian per-oral akan diekskresikan melalui urin dalam 6 jam.

3. Indikasia. Infeksi saluran pernafasan atas: Tonsillitis, pharyngitis (kecuali pharyngitis gonorrhoae), Sinusitis, laryngitis, otitis media.b. Infeksi saluran pernafasan bawah: Acute dan chronic bronchitis, bronchiectasis, pneumonia.c. Infeksi saluran kemih dan kelamin: gonorrhoeae yang tidak terkomplikasi, cystitis, pyelonephritis.d. Infeksi kulit dan selapu lendir: Cellulitis, wounds, carbuncles, furunculosis.

4. KontraindikasiKeadaan peka terhadap penicillin. 

5. Efek sampingDiare, gangguan tidur, rasa terbakar di dada, mual, gatal, muntah, gelisah, nyeri perut, perdarahan dan reaksi alergi lainnya.

FLOROKUINOLON1. Farmakokinetik• Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.

• Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian parenteral. Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.

• Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai organ.

• Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat dan masa paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari.

29

Page 30: IPT PBL S-1

• Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui ginjal.

Daya antibakteri fluirokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kuinolon lama. Selain itu diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya parenteral sehingga dapat digunakan untuk infeksi berat khususnya yang disebabkan oleh kuman gram-negatif. Daya antibakterinya terhadap kuman gram-positif relatif lemah. Yang termasuk golongan ini ialah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll. Terdapat golongan kuinolon baru yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, dan gemifloksasin.

2. Mekanisme kerja Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon

terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (=DNA Girase) dan IV pada kuman.

3. ResistensiMekanisme resistensi melalui plasmid tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun

resistensi terhadap kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu:

a.Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNA girase kuman berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi

b.Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke dalam sel c.Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux)

4. IndikasiFluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antara lain:

• INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK): Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronik.

• INFEKSI SALURAN CERNA: Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan oleh Shigella, Salmonella, E.coli dan Campylobacter. Siprofloksasin dan ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.

• INFEKSI SALURAN NAPAS (ISN): Secara umum efektivitas flurokuinolon generasi pertama untuk infeksi bakterial saluran napas bawah adalah cukup baik. Namun perlu diperhatikan bahwa kuman S.pneumoniae dan S.aureus yang sering menjadi penyebab ISN kurang peka terhadap golongan obat ini.

• PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI HUBUNGAN SEKSUAL: Siprofloksasin oral dan levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriakson dan sefiksim untuk pengobatan uretris dan servitis oleh gonokokus.

• INFEKSI TULANG DAN SENDI: Siprofloksasin oral yang diberikan selama 4-6 minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka.

30

Page 31: IPT PBL S-1

• INFEKSI KULIT DAN JARINGAN LUNAK: Fluorokuinolon oraal mempunyai efektivitas sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ketiga untuk pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringan lunak.

5. Efek sampingBeberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:

• SALURAN CERNA: Paling sering timbul pada penggunan golongan kuinolon dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.

• SUSUNAN SARAF PUSAT: Yang paling sering dijumpai ialah sakit kepala dan pusing.

Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.

• HEPATOTOKSISITAS: Efek samping ini jarang terjadi.

• KARDIOTOTOKSISITAS: Beberpa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi) dapat memperpanjang interval QTc (corrected QT interval).

• DISGLIKEMIA: Gatifloksasin dapat menimbulkan hiper-atau hipoglikemia, khususnya pada pasien berusia lanjut. Obat ini tidak boleh diberikan kepada pasien diabetes melitus.

• FOTOTOKSISITAS: Klinafloksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah fluorokuinolon yang relatif sering menimbulkan fototoksisitas.

• LAIN-LAIN: Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak (sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.

6. Interaksi obatGolongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat,

misalnya: Antasid dan preparat besi (Fe)

• Teofilin

• Obat-obat yang memperpanjang interval QTc

(Setiabudy, Rianto. 2009)

SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA

Sefalosporin golongan ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P. Aeruginosa. Hingga saat ini sefalosproin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson. (Widodo D. 2009)

1. Farmakokinetik

31

Page 32: IPT PBL S-1

Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim, sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

2. Efek sampingReaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan

reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Reaksi Coombs sering timbul pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang terutama granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.

Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4 g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.

Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus. Selain itu dapat terjadi perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit, khususnya pada pemberian moksalaktam.

3. IndikasiSefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida

merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies. Seftriakson dewasa ini merupakan obat pilihan untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.

(Istiantoro YH & Gan VHS. 2009)

NORFLOXACIN

32

Page 33: IPT PBL S-1

FARMAKOKINETIK: Infeksi saluran kemih akut tidak berkomplikasi, infeksi saluran kemih berkomplikasi, infeksi saluran pencernaan, gonore akut tidak berkomplikasi.

KONTRA INDIKASI: Hipersensitifitas, Insufisiensi ginjal berat.

PERHATIAN:Hamil & menyusui.Anak-anak yang belum puber.Diketahui atau diduga lesi susunan saraf pusat.

INTERAKSI OBAT :

Probenesid. Bisa meningkatkan kadar Teofilin. Sukralfat dan antasida bisa mengganggu absorpsi Norfloksasin.

EFEK SAMPINGEfek saluran pencernaan, manifestasi kulit & neuropsikiatrik.

INDEKS KEAMANAN PADA WANITA HAMILPenelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik atau embriosidal atau lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada wanita atau penelitian pada wanita dan hewan belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila hanya keuntungan potensial memberikan alasan terhadap bahaya potensial pada janin.

KEMASANTablet salut selaput 400 mg x 3 x 10 biji.

DOSISInfeksi saluran kemih akut tidak berkomplikasi : 2 kali sehari 200 mg.Infeksi saluran kemih berkomplikasi : 2 kali sehari 400 mg.Infeksi saluran pencernaan : 2-3 kali sehari 400 mg.Gonore akut tidak berkomplikasi : 2 kali sehari 600 mg atau 800 mg dalam dosis tunggal.

PENYAJIANDikonsumsi pada perut kosong (1 atau 2 jam sebelum/sesudah makan)

CEFTRIAXONE1.Farmakodinamik

Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang membunuh bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone secara relatif mempunyai waktu paruh yang panjang dan diberikan dengan injeksi dalam bentuk garam sodium.

2.Farmakokinetik

33

Page 34: IPT PBL S-1

Ceftriaxone secara cepat terdifusi kedalam cairan jaringan, diekskresikan dalam bentuk aktif yang tidak berubah oleh ginjal (60%) dan hati (40%). Setelah pemakaian 1 g, konsentrasi aktif secara cepat terdapat dalam urin dan empedu dan hal ini berlangsung lama, kira-kira 12-24 jam. Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma adalah 8 jam. Waktu paruh pada bayi dan anak-anak adalah 6,5 dan 12,5 jam pada pasien dengan umur lebih dari 70 tahun. Jika fungsi ginjal terganggu, eliminasi biliari terhadap Ceftriaxone meningkat.3.Indikasi• Sepsis• Meningitis• Infeksi abdominal• Infeksi tulang, persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka• Pencegah infeksi prabedah• Infeksi dengan pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh• Infeksi ginjal dan saluran kemih• Infeksi saluran pernafasan• Infeksi kelamin termasuk gonorrhea

4..Kontra IndikasiHipersensitif terhadap CefalosporinHipersensitif terhadap penisilin/antibiotika β-lactam

5.DosisDewasa dan anak-anak > 12 tahun: 1x12 g, setiap 24 jamPada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 4 g (1x sehari)

AZITROMISIN

1.Farmakologi Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida pertama yang termasuk dalam kelas azalide. Azitromisin diturunkan dari eritromisin dengan menambahkan suatu atom nitrogen ke cincin lakton eritromisin A. Pemberian azitromisin secara oral diserap secara cepat dan segera didistribusi ke seluruh tubuh. Distribusi azitromisin yang cepat ke dalam jaringan dan konsentrasi yang tinggi dalam sel mengakibatkan kadar azitromisin dalam jaringan lebih tinggi dari plasma atau serum. Sebuah studi memperlihatkan bahwa makanan meningkatkan kadar maksimum (Cmax ) hingga 23% tapi tidak ada perubahan pada nilai AUC.

2.Mikrobiologi Azitromisin beraksi menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mengikat ribosom subunit 50S. Azitromisin tidak mengusik pembentukan asam nukleat. Azitromisin aktif terhadap mikroorganisme berikut berdasarkan in vitro dan infeksi klinis.

Bakteri aerob gram positif : Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus pyogenes.

Bakteri aerob gram negatif : Haemophilus ducreyi, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Neisseria gonorrhoeae.

34

Page 35: IPT PBL S-1

Mikroorganisme lainnya : Chlamydia pneumoniae, Chlamydia trachomatis, dan Mycoplasma pneumoniae.

Azitromisin memperlihatkan resistensi silang dengan galur gram positif resisten eritromisin. Sebagian besar galur Enterococcus faecalis dan methicillin-resistant staphylococci resisten terhadap azitromisin.

3.IndikasiInfeksi saluran napas bawah dan atas, kulit, dan penyakit hubungan seksual.

4.KontraindikasiHipersensitif terhadap azitromisin atau makrolida lainnya.

5.Dosis & Cara PemberianDewasa dan lansia : 500 mg per hari selama 3 hari

Anak > 6 bulan : dosis tunggal 10 mg/kg selama 3 hari.

6.Efek samping Mual, rasa tidak nyaman di perut, muntah, kembung, diare, gangguan pendengaran, nefritis interstisial, gangguan ginjal akut, fungsi hati abnormal, pusing/vertigo, kejang, sakit kepala, dan somnolen.

7.Interaksi Antasid yang mengandung aluminium dan magnesium mengurangi kadar puncak plasma (rate of absorption) azitromisin, namun nilai AUC (extent of absorption) tak berubah. Azitromisin mengurangi klirens triazolam sehingga meningkatkan efek farmakologinya.

8.Nama dagangAztrin, Mezatrin, Zibramax, Zifin, Zithromax, dan Zycin

35

Page 36: IPT PBL S-1

DAFTAR PUSTAKA

Purnawijayanti, H. A. 2006. Sanitasi, Higiene, dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Hal. 76. Jakarta: Kanisius.

Soeharsono. 2002. Zoonosis: Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

Cahyono, Suharjo. 2010. Vaksinasi. Yogyakarta: Kanisius.

Julius, E.S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Binarupa Aksara.

Jawetz, Melnick, dan Adelbeg’s. 2004. Mikrobiologi Kedokteran, Ed 23. Jakarta : EGC.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta : EGC.

Jawetz, Ernest, et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta : EGC

Sudoyo, w Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 5. Hal. 2797-2805. Jakarta : Interna Publishing.

Soegeng Soegijanto. 2002.Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta : Salemba Medika.

Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropisedisi 2. Jakarta: EGC.

Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. 2009. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; h.1-24.

Fisher RG, Boyce TG. 2005. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG, penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; h.318-73.

El-Radhi AS, Barry W. 2006. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child ;91:351-6.

Avner JR. 2009. Acute Fever. Pediatr Rev;30:5-13.

36

Page 37: IPT PBL S-1

Del Bene VE. 1990. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3. :Butterworths; h.990-3.

Powel KR. 2007. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Cunha BA. 1996. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am;10:33-44

Jawetz, Ernest, et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta : EGCRHH Nelwan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-JakartaWoodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122730-S09021fk-Gambaran%20pengetahuan-Literatur.pdfhttp://www.sodiycxacun.web.id/2010/05/salmonella-sp.htmlhttp://healthyusandart.blogspot.com/2013/01/demam-tifoid-thypoid-fever.htmlhttp://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/demam-tifoid.htmlhttp://farmainfo.blogspot.com/2011/02/kloramfenikol.html http://antibiotik20.blogspot.com/2011/12/kloramfenicol.htmlhttp://www.kesehatanmasyarakat.info/?p=476http://mantrinews.blogspot.com/2012/01/amoxicillin_16.htmlhttp://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/patofisiologi-demam.htmlhttp://www.sodiycxacun.web.id/2010/05/salmonella-sp.htmlhttp://www.blogdokter.net/2007/08/30/amoxicillin/http://runtah.com/norfloksasin/http://mantrinews.blogspot.com/2012/01/ceftriaxone.htmlhttp://detailler.blogspot.com/2009/01/azithromycin.htmlhttp://dokterblogger.wordpress.com/2011/04/20/demam-dan-pola-polanya/ diambil pada Jumat, 30 Maret 2012 pkl. 19.00 WIB http://www.medicalcriteria.com/criteria/inf_fuo.htm diambil pada Kamis, 29 Maret 2012 pkl. 20.00 WIB http://www.medicastore.com/apotik_online/antibiotika/sefalosporin.htm diambil pada Jumat, 30 Maret 2012 pkl. 21.00 WIB http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/patofisiologi-demam.htmlhttp://cetrione.blogspot.com/2008/05/demam-tifoid.html

37