Page 1
Interpretasi Lingkungan Pengendapan Alluvial Berdasarkan Data Vertical
Electrical Sounding (VES) Pada Lapangan “N” Kabupaten Tanjung Jabung
Barat Provinsi Jambi
Rio Natan Suryadi Panjaitana, Agus Laesanpurab, Rizkaa
a Program Studi Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sumatera
b Program Studi Teknik Geofisika, Institut Teknologi Bandung
* Corresponding E-mail: [email protected]
Abstract: River capacity is decreasing due to forest damage and high sedimentation is one of the
main problems facing this area. This research is useful to provide information about the condition
of the subsurface lithology and depositional environment in this research area. So the research was
carried out using the Schlumberger configuration geoelectric method in 15 Vertical Electrical
Sounding (VES) measurement points with a research area of 22.59 km2 in the "N" field of Tanjung
Jabung Barat Regency, Jambi Province. This research area is in the alluvium sedimentary unit and
swamp sedimentary unit. Based on the range of resistivity values, three lithology units were found
in this study area, namely lithology with resistivity values of 0-3 Ωm as clay, lithology with resistivity
values of 3-10 Ωm as silt, and lithology with resistivity value >10 Ωm as sand. As for the results of
the correlation at each point, there are floodplain facies, where the floodplain facies are evidence
of an initial rapid flow as indicated by the presence of a parallel plane of lamination on the bedding
structure. Based on the facies found, the depositional environment of the study area is indicated as
a fluvial (river) depositional environment.
Keywords: Vertical Electrical Sounding, schlumberger, facies, depositional environment
Abstrak: Kapasitas daya tampung sungai menurun akibat kerusakan hutan dan sedimentasi yang
tinggi merupakan salah satu permasalahan pokok yang dihadapi daerah ini. Penelitian ini berguna
untuk memberikan informasi mengenai kondisi litologi bawah permukaan dan juga lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian ini. Sehingga dilakukan penelitian dengan menggunakan
metode geolistrik konfigurasi Schlumberger di 15 titik pengukuran Vertical Electrical Sounding
(VES) dengan luas daerah penelitian seluas 22,59 km2 pada lapangan “N” Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Provinsi Jambi. Daerah penelitian ini berada pada satuan endapan alluvium dan satuan
endapan rawa. Berdasarkan rentang nilai resistivitas ditemukan tiga satuan litologi pada daerah
penelitian ini yaitu litologi dengan nilai resistivitas 0-3 Ωm merupakan lempung, litologi dengan
nilai resistivias 3-10 Ωm merupakan lanau, dan litologi dengan nilai resistivitas >10 Ωm merupakan
pasir. Adapun dari hasil korelasi pada tiap titik lintasan terdapat fasies floodplain, dimana fasies
floodplain ini merupakan bukti akan adanya aliran cepat awal yang ditunjukkan dengan adanya
bidang paralel laminasi pada struktur perlapisan. Berdasarkan fasies yang ditemukan, lingkungan
pengendapan daerah penelitian ini diindikasikan lingkungan pengendapan fluvial (sungai).
Kata Kunci: Vertical Electrical Sounding, schlumberger, fasies, lingkungan pengendapan
Page 2
Pendahuluan
Tempat batuan sedimen terbentuk pada
umumnya dikenal sebagai lingkungan
pengendapan. Distribusi sedimen sangat
erat kaitannya dengan peredaran
regionalnya [1]. Setiap lingkungan
pengendapan memiliki karakteristik yang
dipengaruhi ataupun disebabkan oleh
kombinasi antara proses-proses geologi
dengan lingkungan sekitarnya. Sebagian
besar endapan sedimen adalah hasil
pengangkutan atau perpidahan partikel
dari suatu material. Memahami proses-
proses ini dan hasil pembentukannya
adalah dasar dari sedimentologi. Sudah
banyak dilakukan penelitian mengenai
interpretasi lingkungan pengendapan
menggunakan metode VES seperti yang
dilakukan oleh [2]-[7], dan sebagaiannya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya,
belum pernah dilakukan penelitian
mengenai penentuan litologi dan
lingkungan pengendapan pada daerah
Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Sehingga penulis merasa perlu dilakukan
penelitian mengenai topik ini pada daerah
penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan di lapangan “N”
Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Provinsi Jambi. Terdapat beberapa sungai
yang relatif besar di Kabupaten Tanjung
Jabung Barat seperti Sungai Pengabuan,
Sungai Tungkal, Sungai Betara, dan
beberapa sungai kecil lainnya. Sungai-
sungai yang berasal dari daerah
perbukitan berlitologi kompleks
membentuk sistem perairan hulu, dengan
sungai utama pada sistem ini adalah
Sungai Pengabuan dan Sungai Tungkal.
Berdasarkan topografinya, daerah
penelitian ini merupakan daerah dataran
rendah yang berkisar pada ketinggian 0–
25 meter di atas permukaan laut. Adanya
sistem aliran sungai menyebabkan adanya
perbedaan potensi pada setiap daerah.
Menurunnya kapasitas daya tampung
sungai akibat kerusakan hutan dan
sedimentasi yang tinggi juga merupakan
salah satu permasalahan pokok yang
dihadapi Kabupaten Tanjung Jabung
Barat [8]. Untuk membantu permasalahan
ini, maka dilakukan penelitian mengenai
penentuan litologi dan lingkungan
pengendapan. Umumnya penelitian
mengenai penentuan litologi dan
lingkungan pengendapan digunakan
untuk menentukan lokasi terdapatnya
material seperti hidrokarbon atau barang
tambang. Penelitian ini dapat berguna
untuk memberikan informasi mengenai
kondisi litologi pada bawah permukaan
dan juga lingkungan pengendapan pada
daerah penelitian ini.
Metode yang dapat digunakan untuk
penentuan litologi dan interpretasi
lingkungan pengendapan pada Kabupaten
Tanjung Jabung Barat adalah metode
geolistrik resistivitas. Metode resistivitas
terbagi menjadi metode resistivity
mapping atau Electrical Resistivity
Tomography (ERT) dan metode resistivity
sounding atau Vertical Electrical
Sounding (VES). Metode geolistrik
resistivitas ini menggunakan metode
Vertical Electrical Sounding (VES) untuk
mendapatkan nilai resistivitas tiap batuan
secara vertikal. Dengan menggunakan
metode ini akan didapatkan gambaran
susunan dan kedalaman perlapisan
berdasarkan nilai resistivitasnya, sehingga
akan dapat diketahui lapisan pada bawah
permukaan. Metode resistivitas sounding
atau Vertical Electrical Sounding (VES)
merupakan metode yang digunakan pada
penelitian ini karena metode ini lebih
murah dan lebih praktis tanpa harus
merusak lingkungan. Menurut [9]
pengukuran resistivitas pada arah vertikal
atau Vertical Electrical Sounding (VES)
merupakan salah satu metode geolistrik
resistivitas untuk menentukan perubahan
resistivitas tanah terhadap kedalaman
yang bertujuan untuk mempelajari variasi
resistivitas batuan di bawah permukaan
bumi secara vertikal.
Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan 15 titik
pengukuran VES. Penelitian dilakukan
dengan cara pengukuran secara langsung
di lapangan “N” dengan luas daerah seluas
22,59 km2. Adapun lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Pengambilan data resistivitas sounding
ditampilkan dalam bentuk 5 lintasan
penampang melintang pada ketiga desa
tersebut. Lintasan 1 berarah Utara -
Page 3
Selatan, lintasan 2 dan lintasan 3 berarah
Timur Laut – Barat Daya, sedangkan
lintasan 4 dan 5 berarah Barat – Timur.
Titik-titik pada lintasan penelitian ini
kemudian akan dikorelasikan antar
titiknya.
Gambar 1. Peta titik pengukuran
Metode Geolistrik Resistivitas
Metode geolistrik resistivitas merupakan
salah satu metode dalam ilmu geofisika yang
mendeteksi serta mempelajari perubahan
tahanan jenis lapisan batuan baik secara
vertikal maupun lateral. Dengan metode ini
akan didapatkan data pengukuran meliputi
arus dan beda potensial baik secara alamiah
atau akibat dari penginjeksian arus ke dalam
bumi. Menurut [10] mengemukakan bahwa
terdapat dua cara pengukuran resistivitas
berdasarkan tujuannya yaitu resistivity
mapping atau Electrical Resistivity
Tomography (ERT) bertujuan untuk
mempelajari variasi resistivitas batuan secara
horizontal dan metode resistivity sounding
atau Vertical Electrical Sounding (VES)
bertujuan untuk mempelajari variasi
resistivitas batuan secara vertikal. Metode
geolistrik resistivitas yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan geolistrik
resistivitas Vertical Electrical Sounding
(VES).
Pada metode geolistrik resistivitas terdapat
beragam konfigurasi yang digunakan, salah
satu konfigurasi yang digunakan pada
penelitian ini merupakan konfigurasi
Schlumberger. Konfigurasi Schlumberger
tersusun atas dua buah elektroda arus dan dua
buah elektroda potensial. Pasangan elektroda
arus disusun dengan jarak yang lebih besar
dibandingkan pasangan elektroda potensial.
Susunan elektroda pada konfigurasi
Schlumberger dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Susunan elektroda konfigurasi
Schlumberger
Hasil dan Pembahasan
Interpretasi Kualitatif Pemodelan 1-D
Interpretasi kualitatif dilakukan atas dasar
deskripsi meliputi ciri atau karakteristik
dari suatu data. Interpretasi kualitatif
model 1-D berdasarkan jumlah lapisan
yang didapatkan pada penelitian ini,
terdapat 3 (tiga) tipe kurva yaitu tipe
kurva H, tipe kurva KH, dan tipe kurva
HKH. Tipe kurva H dihasilkan karena
memiliki jumlah lapisan litologi sebanyak
tiga lapisan dengan urutan nilai
resistivitas (𝜌1 > 𝜌2 < 𝜌3), tipe kurva ini
ditemukan pada titik sounding B-45. Tipe
kurva KH dihasilkan karena memiliki
jumlah lapisan litologi sebanyak empat
lapisan dengan urutan nilai resistivitas
(ρ1<ρ
2>ρ
3<ρ
4), tipe kurva ini ditemukan
pada titik sounding B-46, B-47, B-48, B-
49, B-50, B-51, B-52, B-53, B-54, B-65,
B-66, B-67, dan B-69. Tipe kurva HKH
dihasilkan karena memiliki jumlah
lapisan litologi sebanyak lima lapisan
dengan urutan nilai resistivitas
(ρ1>ρ
2<ρ
3>ρ
4<ρ
5), tipe kurva ini
ditemukan pada titik sounding B-68.
Page 4
Tabel 1. Interpretasi kualitatif pemodelan 1-D
Interpretasi Kuantitatif Pemodelan 1-D
Interpretasi kuantitatif merupakan
interpretasi dengan menggunakan sebuah
proses perhitungan pada data. Interpretasi
kuantitatif model 1-D ini memberikan
informasi mengenai ketebalan dan
resistivitas pada tiap titik sounding, nilai
error yang diperoleh, dan pembuktian
berdasarkan data sintetik. Perbedaan nilai
resistivitas dan ketebalan membuat nilai
RMS error pada data sintetik dan hasil
inversi tersebut berbeda. Menurut [11]
RMS error yang rendah memiliki
kecocokan kurva yang lebih baik.
Berdasarkan interpretasi yang dilakukan,
ditemukan nilai RMS error pada hasil
inversi lebih kecil dibandingkan data
sintetik. Dalam hal ini terlihat bahwa
model yang dihasilkan pada hasil inversi
cukup fit atau mendekati model
sebenarnya dibandingkan data sintetik.
Salah satu interpretasi kuantitatif dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Model 1-D VES B-45
Korelasi Titik Sounding
Terdapat 13 titik pengukuran VES yang
digunakan pada daerah penelitian ini,
yang dibagi menjadi 5 (lima) lintasan
(Gambar 4). Korelasi titik sounding
dilakukan untuk melihat kemenerusan
litologi pada lokasi penelitian.
Gambar 4. Peta Lintasan
Berdasarkan korelasi yang dilakukan,
berikut merupakan model 2-D pada tiap
lintasan.
Gambar 5. Hasil korelasi titik sounding B-51, B-50, B-
54, dan B-68
Pada lintasan 1 yang berarah dari Utara ke
Selatan (Gambar 5), terdapat tiga jenis
litologi yaitu lempung, lanau, dan pasir. Dari
hasil korelasi pada lintasan ini, terdapat
adanya kemenerusan lapisan lempung dan
kemenerusan lapisan pasir. Kemenerusan
lapisan lempung yang berada di atas
ditemukan dengan ketebalan 1-2 meter.
Page 5
Sedangkan kemenerusan lapisan pasir yang
tepat di bawahnya memiliki ketebalan 2-9
meter dengan perlapisan yang menipis ke
arah Utara. Kemudian pada kedalaman
sekitar 5 meter dari permukaan ditemukan
kembali lapisan lempung yang mendominasi.
Berdasarkan hasil korelasi titik sounding dan
juga lokasi titik pengukurannya, dapat
diinterpretasikan bahwa lintasan ini
merupakan lingkungan pengendapan fluvial
(sungai). Berdasarkan morfologinya, lintasan
ini berada pada zona pengendapan floodplain.
Dalam hal ini terlihat perselingan lapisan
lempung dan lapisan pasir menunjukkan pola
fining upward yaitu perubahan ukuran butir
yang mengecil ke arah atas. Zona
pengendapan floodplain umumnya
mengendapkan material yang lebih kasar
dahulu kemudian mengendapkan material
yang lebih halus, hal ini terlihat dari material
pasir yang terendapkan lebih dahulu
kemudian material lempung. Pada lintasan ini
juga ditemukan lapisan lanau di daerah
Selatan dengan ketebalan tipis sekitar 1 meter
pada bagian atas dan pada kedalaman 14
meter di bawah permukaan ketebalannya
sekitar 28 meter. Lanau ini berasal dari
limpasan banjir.
Gambar 6. Hasil korelasi titik sounding B-53, B-54,
B-66, dan B-65
Pada lintasan 2 yang berarah dari Barat Daya
ke arah Timur Laut (Gambar 6), ditemukan
adanya kemenerusan lapisan lempung dan
kemenerusan lapisan pasir. Lapisan lempung
yang menerus dari Barat Daya hingga Timur
Laut pada bagian atas ini memiliki ketebalan
kurang lebih 1 meter. Pada kedalaman 4
meter dari permukaan ditemukan kembali
lapisan lempung yang menerus dan menipis
ke arah Timur Laut. Berdasarkan hasil
korelasi titik sounding dan juga lokasi titik
pengukurannya, dapat diinterpretasikan
bahwa lintasan ini merupakan lingkungan
pengendapan fluvial (sungai). Berdasarkan
morfologinya, titik pengukuran pada lintasan
ini berada pada zona pengendapan floodplain.
Dapat terlihat akan adanya perselingan
lapisan lempung dan lapisan pasir yang
menunjukkan pola fining upward. Hal ini
dikuatkan dari hasil korelasi yang
menunjukkan lapisan pasir pada bagian
bawah dengan material yang kurang halus
dan semakin ke atas semakin halus yaitu
material lempung.
Gambar 7. Hasil korelasi titik sounding B-45, B-46, B-
47, dan B-68
Pada lintasan 3 yang berarah dari Barat Daya
ke Timur Laut (Gambar 7), terdapat adanya
lapisan pasir yang menerus dari titik sounding
B-47 hingga titik sounding B-45 dan
membentuk perlapisan yang menipis ke arah
Barat Daya. Lapisan pasir ini memiliki
ketebalan tipis yaitu sekitar 1-5 meter.
Terdapat juga lapisan lempung yang menerus
dari Barat Daya hingga Timur Laut yang
dominan. Berdasarkan hasil korelasi titik
sounding dan juga lokasi titik
pengukurannya, dapat diinterpretasikan
bahwa lintasan ini merupakan lingkungan
pengendapan fluvial (sungai). Berdasarkan
morfologinya, titik pengukuran pada lintasan
ini berada pada daerah floodplain. Dapat
dilihat pola fining upward pada perselingan
lapisan lempung dan lapisan pasir. Dimana
pola ini umumnya ditemukan pada zona
pengendapan floodplain. Pada lintasan ini
juga ditemukan lapisan lanau di daerah Barat
Daya dengan ketebalan tipis sekitar 1 meter
pada bagian atas dan pada kedalaman 14
meter di bawah permukaan ketebalannya
sekitar 28 meter. Lanau ini berasal dari
limpasan banjir.
Page 6
Gambar 8. Hasil korelasi titik sounding B-54, B-47, B-
49, dan B-48
Pada lintasan 4 yang berarah dari Barat ke
Timur (Gambar 8), terdapat adanya
kemenerusan lapisan lempung dan lapisan
pasir. Pada lapisan lempung bagian atas
memiliki ketebalan yang tipis yaitu sekitar 1-
2 meter. Pada kedalaman kurang lebih 2
meter ditemukan lapisan pasir yang menerus
dari Barat hingga Timur dan membentuk
perlapisan yang menipis ke Timur. Lapisan
pasir ini memiliki ketebalan sekitar 1-6
meter. Kemudian pada kedalaman sekitar 3
meter, terdapat kembali lapisan lempung
yang menerus dari Barat ke Timur dengan
ketebalan yang dominan. Berdasarkan hasil
korelasi titik sounding dan juga lokasi titik
pengukurannya, dapat di interpretasikan
bahwa lintasan ini merupakan lingkungan
pengendapan fluvial (sungai). Berdasarkan
morfologinya, titik pengukuran pada lintasan
ini berada pada daerah floodplain.
Terdapatnya pola terendapkannya material
kasar terlebih dahulu kemudian dilanjut
dengan mengendapnya material lebih halus
yang dihasilkan dari hasil korelasi merupakan
pola yang umum terjadi di zona pengendapan
floodplain. Ditemukan juga adanya lapisan
lanau pada daerah Timur dengan ketebalan
1,43 meter. Lanau ini berasal dari limpasan
banjir dan memiliki ketebalan yang lebih
sedikit dari titik sounding B-68 dan B-67.
Gambar 9. Hasil korelasi titik sounding B-51, B-52, B-
53, dan B-45
Pada lintasan 10 yang berarah dari Barat
ke Timur (Gambar 5.20), ditemukan
adanya lapisan yang menerus dari Barat
hingga Timur yaitu lapisan lempung dan
pasir. Kemenerusan lapisan lempung
terdapat dari titik sounding B-51 hingga
titik sounding B-53 dengan ketebalan
sekitar 1-2 meter. Kemenerusan lapisan
pasir terdapat dari Barat ke Timur pada
kedalaman kisaran 2 meter dan perlapisan
ini menipis ke arah Barat. Lapisan pasir
ini memiliki ketebalan 1-5 meter.
Kemudian pada kedalaman kurang lebih 5
meter ditemukan kembali kemenerusan
lapisan lempung dari Barat ke Timur
dengan ketebalan yang dominan.
Berdasarkan hasil korelasi titik sounding
dan juga lokasi titik pengukurannya, dapat
diinterpretasikan bahwa lintasan ini
merupakan lingkungan pengendapan
fluvial (sungai). Berdasarkan
morfologinya, titik pengukuran pada
lintasan ini berada pada daerah floodplain.
Zona pengendapan floodplain umumnya
mengendapkan material yang lebih kasar
dahulu kemudian mengendapkan material
yang lebih halus, hal ini terlihat dari
material pasir yang terendapkan lebih
dahulu kemudian material lempung.
Analisis Fasies
Berdasarkan litologi yang menyusun
penampang bawah permukaan ini
ditemukan endapan yang mendominasi
yaitu lempung dan pasir. Fasies ini
menunjukkan bahwa fasies ini
diendapkan di lingkungan floodplain
dengan variasi kondisi energi yang sering.
Fasies floodplain ini merupakan bukti
akan adanya aliran cepat awal yang
ditunjukkan dengan adanya bidang paralel
laminasi. Fasies floodplain pada daerah
Page 7
penelitian ini ditemukan memiliki pola
fining upward yaitu perubahan ukuran
butir yang mengecil ke arah atas. Material
yang tererosi terbawa oleh arus sungai
dari daerah hulu dan terbawa cukup jauh
menyebabkan material yang sebelumnya
kasar menjadi semakin halus. Penurunan
kecepatan arus yang terjadi menyebabkan
pengendapan material berpasir dan
berlumpur dalam bentuk suspended load,
dan menyisakan tanah liat dalam bentuk
suspensi. Sehingga material dengan butir
lebih besar akan terendapkan lebih dahulu
dibandingkan material yang lebih halus.
Fasies yang ditemukan pada tiap korelasi
titik ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Fasies dan lingkungan pengendapan
Untuk mendapatkan gambaran keadaan
lapisan yang akan dipetakan dilakukan
dengan membuat peta isopach. Dengan
bantuan peta isopach akan dilakukan
recognizing subsidance. Recognizing
subsidence ialah proses studi yang
menggambarkan bentuk sedimentasi
lapisan dari proses pasang surut, sehingga
terlihat jelas jenis batuannya masing-
masing.
Gambar 10. Peta isopach batuan pasir
Berdasarkan peta isopach batuan pasir
(Gambar 10) terlihat persebaran batuan pasir
berdasarkan ketebalan dengan warna merah
pada daerah Barat Laut dan Selatan. Warna
merah menunjukkan besar ketebalan yang
lebih tinggi. Hal ini terjadi karena material
yang terbawa oleh arus sungai terendapkan
dilekukan dari alur sungai ini. Kemudian
pada peta isopach batuan lempung (Gambar
11), terlihat persebaran batuan lempung
berdasarkan ketebalan yang cukup luas dari
Barat Daya ke Timur Laut ditunjukkan
dengan warna merah.
Gambar 11. Peta isopach batuan lempung
Adapun selain peta isopach, juga terdapat top
boundary yang menunjukkan perlapisan
dengan anggapan berada di permukaan.
Berdasarkan top boundary batuan pasir
(Gambar 12) terlihat persebaran lapisan pasir
berdasarkan kedalaman dengan rentang
kedalaman -20 hingga -115 meter. Lapisan
pasir terdangkal ditemukan pada daerah Barat
Laut dan Selatan yang ditandai dengan warna
merah. Lapisan pasir ditemukan pada
kedalaman yang cukup dalam ditandai
dengan warna biru.
Gambar 12. Top boundary batuan pasir
Kemudian pada top boundary batuan
lempung (Gambar 13), terlihat persebaran
batuan lempung berdasarkan kedalaman
dengan rentang kedalaman -2.5 hingga 6
meter pada daerah penelitian ini. Kedalaman
yang dangkal ditandai dengan warna merah.
Page 8
Gambar 13. Top boundary batuan lempung
Batas Litologi
Berdasarkan peta isopach dan top
boundary yang memberikan informasi
mengenai kemenerusan litologi di bawah
permukaan, terdapat pula peta batas
litologi. Peta batas litologi ini
memberikan informasi mengenai
persebaran dan batas antar lapisan litologi
yang dominan pada daerah penelitian ini
(Gambar 14). Berdasarkan hasil korelasi
data titik sounding pada daerah penelitian
ini, terdapat 2 (dua) lapisan litologi yang
dominan yaitu satuan litologi lempung
dan satuan pasir. Satuan litologi lempung
cenderung dominan pada bagian Utara di
daerah penelitian ini, kemudian satuan
litologi pasir dominan pada bagian
Selatan di daerah penelitian ini.
Gambar 14. Peta batas litologi
Lingkungan Pengendapan Daerah
Penelitian
Berdasarkan analisis fasies yang
dilakukan, fasies yang umum ditemukan
pada daerah penelitian ini ialah fasies
floodplain. Fasies ini terendapkan pada
zona pengendapan floodplain dimana dari
pola struktur perlapisannya ditemukan
menghalus ke atas. Menurut [12] endapan
yang terdapat pada sungai meandering
umumnya berupa lumpur, pasir, dan
kerikil. Dimana pada permukaannya
terdapat lumpur dan pasir halus beserta
tanah dan tumbuhan akar-akaran. Pada
lingkungan daerah penelitian terdapat
perlapisan lempung dan pasir hal ini
menjelaskan bahwa lingkungan
pengendapan daerah penelitian ini ialah
lingkungan pengendapan fluvial (sungai).
Lingkungan pengendapan daerah
penelitian ini ditunjukkan pada Gambar
15. Adapun terdapat lanau pada
permukaan di zona pengendapan
floodplain tepatnya pada titik sounding
68, lanau ini ditemukan pada permukaan
karena siklus pengendapan pada titik ini
masih berlangsung.
Gambar 15. Lingkungan pengendapan daerah
penelitian
Pemodelan 3D
Berdasarkan model fence diagram
(Gambar 16) terlihat arah lintasan 1 yang
berarah dari Utara ke Barat, lintasan 2 dan
3 yang berarah dari Barat Daya ke Timur
laut, kemudian lintasan 4 dan 5 yang
berarah dari Barat ke Timur yang
dilakukan berdasarkan korelasi titik VES
pada daerah penelitian ini. Pada model
fence diagram juga memperlihatkan
ketebalan lapisan litologi dimana
lempung dan pasir yang berada dekat
permukaan lebih tipis daripada yang di
bawahnya. Hal ini dikarenakan litologi
tersebut terendapkan pada zona
pengengendapan floodplain, siklus
pengendapan yang terjadi pada
lingkungan pengendapan ini yaitu fluvial
(sungai) masih berlangsung sehingga
ketebalan pengendapan pada lapisan dekat
permukaan tidak setebal lapisan di
bawahnya. Dalam hal ini umur
pengendapan lapisan di bawahnya lebih
tua daripada lapisan pengendapan yang
berada dekat permukaan. Untuk melihat
kemenerusan lapisan setiap litologi ke
segala arah dapat dilihat pada Gambar 17.
Page 9
Gambar 16. Model fence diagram
Gambar 17. Model 3D daerah penelitian
Kesimpulan
Satuan litologi yang ditemukan pada
daerah penelitian ini ialah satuan litologi
lempung dengan nilai resistivitas 0-3 Ωm,
satuan litologi lanau dengan nilai
resistivitas 3-10 Ωm, dan satuan litologi
pasir dengan nilai resistivitas lebih dari 10
Ωm. Hasil korelasi pada penelitian ini
ditemukan satuan litologi lempung yang
dominan dan berada pada setiap lintasan
dengan ketebalan 1-112 meter. Kemudian
juga ditemukan satuan litologi lanau yang
ditemukan pada lintasan 1, 3, dan 4
dengan ketebalan 1-64 meter. Selain itu,
terdapat juga satuan litologi pasir dengan
ketebalan 1-119 meter. Pada penelitian ini
ditemukan endapan yang mendominasi
yaitu lempung dan pasir. Fasies ini
menunjukkan bahwa fasies ini
diendapkan di lingkungan floodplain
dengan variasi kondisi energi yang sering.
Fasies floodplain ini merupakan bukti
akan adanya aliran cepat awal yang
ditunjukkan dengan adanya bidang paralel
laminasi. Fasies floodplain pada daerah
penelitian ini ditemukan memiliki pola
fining upward yaitu perubahan ukuran
butir yang mengecil ke arah atas. Pada
lingkungan daerah penelitian terdapat
fasies floodplain, hal ini menjelaskan
bahwa lingkungan pengendapan daerah
penelitian ini ialah lingkungan
pengendapan fluvial (sungai).
Konflik Kepentingan
Tidak ada konflik kepentingan dalam
penelitian ini.
Penghargaan
Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada
bapak Dr. Ir. Agus Laesanpura, M.S. dan
juga ibu Rizka, S.T., M.T. yang telah
memberikan bimbingan dan dukungan
kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada PU
BBWS Sumatera VI selaku instansi yang
telah memberikan data pada penelitian ini.
Daftar Pustaka
[1] B. Leticia, F.-F. Paula, M. Michel, and O.
Leonardo, “Geomorphological and
Sedimentological Characterization of the
Uruguayan Continental Margin: a Review
and State of Art,” J. Sediment. Environ., vol.
3, no. September 2000, pp. 253–264, 2018.
[2] R. Owen dan T. Dahlin, “Alluvial Aquifers at
Geological Boundaries : Geophysical
Investigations and Groundwater Resources,”
Groundw. Hum. Dev. Int. Assoc. Hydrogeol.
Sel. Pap. Hydrogeol. Vol. 6, hal. 233–246,
2005.
[3] S. S. Surjono dan A. Geger, “Lingkungan
Pengendapan Dan Dinamika Sedimentasi
Formasi Muaraenim Berdasarkan Litofasies
Di Daerah Sekayu, Sumatera Selatan,” Pros.
Semin. Nas. Kebumian Ke-7, no. 2000, hal.
30–31, 2014.
[4] A. C. Tavares, L. Borghi, P. Corbett, J.
Nobre-Lopes, dan R. Câmara, “Facies and
Depositional Environments for the Coquinas
of the Morro do Chaves Formation, Sergipe-
Alagoas Basin, Defined by Taphonomic and
Compositional Criteria,” Brazilian J. Geol.,
vol. 45, no. 3, hal. 415–429, 2015.
[5] R. D. Wilson dan J. Schieber, “Sedimentary
Facies and Depositional Environment of the
Middle Devonian Geneseo Formation of New
Page 10
York, U.S.A.,” J. Sediment. Res., vol. 85, no.
11, hal. 1393–1415, 2015.
[6] H. R. Raras, S. Husein, M. I. Novian, dan R.
Hidayat, “Analisis Fasies Fluvial Formasi
Kikim Anggota Cawang di Jalur Sungai
Menghalus, Sumatera Selatan,” no.
September, 2017.
[7] A. Mahamuda, “Sedimentary Facies and
Depositional Environments of the
Neoproterozoic Sediments of the Gambaga-
Nakpanduri Massifs, Voltaian Basin,” J.
Geol. Min. Res., vol. 10, no. 5, hal. 48–56,
2018.
[8] Pemkab Tanjung Jabung Barat, “Topografi,”
Hidrologi, p. [diakses pada 02 januari 2020
pukul 1:23], 2020.
[9] G. Halik, “Pendugaan Potensi Air Tanah
Dengan Metode Geolistrik Konfigurasi
Schlumberger,” Media Tek. Sipil, hal. 109–
114, 2008.
[10] R. S. B. Waspodo, “Investigasi Air Tanah
Melalui Geolistrik di Darmaga, Bogor,” Bul.
Keteknikan Pertan., vol. 16, no. 1, 2002.
[11] A. A. R. Zohdy, “Automatic Interpretation of
Schlumberger Sounding Curves, Using
Modified Dar Zarrouk Functions,” Geol.
Surv. Bull. 1313-E, 1975.
[12] G. Nichols, Sedimentology And Stratigraphy,
Second. John Wiley & Sons Ltd, 2009.