Top Banner
INKLUSIVISME PURA MERU SEBAGAI PUSAT PEMUJAAN MASYARAKAT HINDU BALI LOMBOK DI CAKRANEGARA KOTA MATARAM (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh : I Wayan Wiharta Nadi I. Latar Belakang Interaksi antar masyarakat Hindu Bali-Lombok yang terjadi di Pura Meru memunculkan proses transfer pemaknaan terhadap realitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang secara langsung merupakan sebuah pendidikan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan ini sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan sebuah masyarakat dan budaya dan sebaliknya keberadaan budaya tersebut yang berupa persetujuan terhadap penggunaan satu simbol bersama, sangat penting artinya sebagai sebuah wahana pendidikan sosial bagi masyarakat pengusungnya. Dari latar belakang yang digambarkan diatas, penelitian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan pertanyaan : 1. Bagaimanakah bentuk inklusisvisme Pura Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram?
49

Inklusifisme Pura Meru di Lombok

Oct 01, 2015

Download

Documents

Ringkasan tesis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

INKLUSIVISME PURA MERU SEBAGAI PUSAT PEMUJAAN MASYARAKAT HINDU BALI LOMBOK DI CAKRANEGARA KOTA MATARAM (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh :I Wayan Wiharta Nadi

I. Latar BelakangInteraksi antar masyarakat Hindu Bali-Lombok yang terjadi di Pura Meru memunculkan proses transfer pemaknaan terhadap realitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang secara langsung merupakan sebuah pendidikan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan ini sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan sebuah masyarakat dan budaya dan sebaliknya keberadaan budaya tersebut yang berupa persetujuan terhadap penggunaan satu simbol bersama, sangat penting artinya sebagai sebuah wahana pendidikan sosial bagi masyarakat pengusungnya.Dari latar belakang yang digambarkan diatas, penelitian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan pertanyaan :1. Bagaimanakah bentuk inklusisvisme Pura Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram?2. Apakah fungsi Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram ?3. Apakah makna yang terkandung dalam inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram?Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji simbolisasi sebuah tempat ibadah yaitu Pura Meru dalam masyarakat Hindu Bali di Cakranegara Kota Mataram sebagai bentuk inklusivisme yang dimanifestasikan dalam bentuk pemusatan pemujaan, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan :1. Bentuk inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram2. Fungsi inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram 3. Makna inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota MataramII. Pembahasan2.1Bentuk Inklusivisme Pura Meru Sebagai Pusat Pemujaan Masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram Perspektif Pendidikan Agama Hindu

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bentuk bentuk inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara kota Mataram perspektif pendidikan Agama Hindu adalah sistem siddhikara, nyineb raga dan pujawali Pura Meru Cakranegara.2.1.1 SiddhikaraSiddhikara adalah suatu sistem ikatan dalam masyarakat Hindu Bali Lombok yang dikembangkan terutama untuk tujuan menjaga kebersatuan sesama etnis di lingkungan sosial yang sifatnya relatif lebih tidak homogen seperti yang dapat ditemui di Bali. Sistem ini berkembang dalam masyarakat Hindu Bali Lombok sejak jaman kerajaan sebagai jawaban mereka atas tantangan terhadap eksistensinya pada saat mereka menjadi the other bagi kelompok etnis lain. Siddhikara membentuk sebuah ikatan baru antar individu sebagai sebuah kelompok tanpa mengindahkan batasan-batasan yang biasanya menjadi dasar ikatan kelompok yang bersifat ekslusive seperti misalnya kelas sosial, asal-usul genealogis, atau asal-usul kewilayahan. Ikatan siddhikara dapat terbentuk dari individu yang berbeda kelas sosial (berbeda kasta), tanpa mengindahkan wangsa (kawitan) ataupun daerah asal individu yang hendak membentuk ikatan siddhikara.Pada masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara yang terikat sebagai pengamong sanggar di Pura Meru Cakranegara, ikatan siddhikara ini sudah menjadi warisan dari nenek moyang yang terpelihara turun temurun hingga kini bahkan seringkali ditemukan tidak diketahuinya asal-usul atau siapa yang membentuk ikatan tersebut dalam bentuk saling berjanji untuk mengikatkan diri dalam sebuah ikatan persaudaraan sebagai sebuah siddhikara.Menurut Anom (2005:47) siddhikara terbentuk antara lain karena purusa, saling juang kajuang, berhutang budi, dan dipersaudarakan oleh Anak Agung. Siddhikara yang terbentuk karena purusa artinya siddhikara tersebut terbentuk karena masih adanya ikatan darah dari pihak laki-laki (patrilineal), sedangkan juang kajuang artinya ikatan siddhikara yang terbentuk karena adanya perkawinan. Siddhikara yang dilakukan oleh masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara terdiri dari tiga bentuk yaitu siddhikara parid, siddhikara sumbah, dan siddhikara rojong. Siddhikara parid adalah dimana para anggota siddhikara mengikat persaudaraan sampai dalam tingkat saling memarid atau boleh saling nyarikin (makan/minum dari tempat yang sama) dan juga boleh menikmati lungsuran dari sanggah kemulan sesama anggota siddhikara. Siddhikara parid ini menurut penuturan para informan sudah tidak lagi dapat diberlakukan secara kaku karena generasi muda kurang dapat menerimanya, namun pengertian tentang adanya ikatan tersebut tetap diteruskan kepada generasi muda sehingga mereka mengetahui dengan pihak mana mereka terikat sebuah siddhikara.Siddhikara sumbah berarti adanya ikatan kewajiban terhadap setiap anggota siddhikara untuk ikut bersembahyang dalam sebuah upacara kematian anggota lainnya. Dalam kasus tidak ada ikatan siddhikara jenis ini, maka yang berkewajiban untuk ikut bersembahyang dalam sebuah upacara kematian seseorang hanyalah anggota keluarganya saja dan orang yang bukan anggota keluarganya dapat dipandang sebagai melanggar norma adat bila ikut bersembahyang. Siddhikara sumbah ini pun pada prakteknya telah mengalami pergeseran makna karena adanya pengertian baru dalam masyarakat bahwa keikutsertaannya dalam bersembahyang pada upacara kematian seseorang merupakan penghormatan kepada yang meninggal. Sebagian kecil orang melakukan tindakan ini dan tidak mendapat sanksi sosial apa pun dari masyarakat walaupun hal itu tidak lantas berarti bahwa mereka secara otomatis akan mendapat perlakuan yang serupa dari pihak yang berkabung pada saat kematiannya kelak. Ikatan ini mengalami pergeseran makna dari kewajiban seseorang yang terikat dalam siddhikara sumbah dan bukan kewajiban orang di luarnya, menjadi kewajiban seseorang yang terikat dalam siddhikara sumbah dan hak bagi orang yang tidak terikat di dalamnya.Siddhikara yang memiliki ikatan yang paling dalam adalah siddhikara rojong yang berarti seseorang berkewajiban ikut melakukan persembahyangan pada saat kematian anggota lain dan ikut memandikan serta bagi anggota laki-laki berkewajiban ikut negen (menggotong) mayat ke tempat pekuburan atau pembakaran. Anggotta siddhikara rojong juga berkewajiban untuk mengikuti semua proses upacara kematian sampai selesai, sedangkan non anggota biasanya hanya ikut sampai mengantarkan ke pekuburan atau pembakaran, setelah mayat dibakar non anggota siddhikara diperkenankan meninggalkan tempat sedangkan anggota harus menunggu sampai selesai.Sejalan dengan premis teori interaksionisme simbolis bahwa dalam suatu komunitas terdapat suatu pembaharuan sikap yang menjadi suatu trend yang akan dipertahankan, dihilangkan, atau dipebaharui maknanya, maka demikian pula yang ditunjukkan oleh fenomena siddhikara dalam komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara yang menjadi pengamong sanggar Pura Meru. Siddhikara yang pada awalnya merupakan respon terhadap tantangan dari luar yang menuntut persatuan komunitas tersebut untuk dapat mempertahankan eksistensinya, pada perkembangannya kemudian sejalan dengan perubahan jaman dipertahankan dan diperbaharui maknanya oleh masyarakat pengamong sanggar Pura Meru. Makna siddhikara yang dipertahankan adalah maknanya sebagai sebuah ikatan suci yang terbentuk dari perjanjian yang tidak hanya mengikat secara sekala tapi juga secara niskala, sedangkan makna yang diperbaharui adalah makna siddhikara sebagai ikatan sosial yang terbentuk karena ketaatan atas titah Anak Agung menjadi suatu ikatan sosial yang timbul dari kebutuhan akan ikatan yang didasarkan pada kesejajaran hak dan kewajiban anggotanya. Dengan demikian sifat siddhikara berubah dari kewajiban terhadap negara menjadi sebuah kebutuhan sosial.Dalam perspektif pendidikan agama Hindu, ikatan siddhikara adalah sebuah lingkungan yang memungkinkan bagi masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara untuk melakukan transfer nilai kepada generasi penerusnya. Nilai-nilai ini terutama menyangkut norma-norma sosial kemasyarakatan dan untuk meneruskan budaya yang dibangun oleh generasi terdahulu. Siddhikara juga merupakan sarana untuk belajar membangun sebuah ikatan-ikatan baru dalam masyarakat yang berguna sebagai modal sosial bagi individu di dalam masyarakat tersebut. Putnam (dalam Field, 2010:6) menyatakan bahwa modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Dengan demikian, modal sosial bagi individu dalam masyarakat Hindu Bali Lombok Cakranegara yang terikat dalam siddhikara menjadi sesuatu yang sangat vital bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sehingga prosesnya menjadi sangat penting untuk dipelajari oleh generasi penerusnya. Sistem social dan tata karma kemasyarakatan di Lombok khususnya pada siddhikara, memberikan motivasi kepada warganya untuk beorientasi kepada pentingnya nilai-nilai suka duka di dalam kehidupan masyarakat. Nilai suka duka itu terwujud dalam semangat gotong royong yang tampak jelas dalam aktivitas-aktivitas social yang dilakukan oleh anggota siddhikara.Nilai-nilai suka duka sebagai refkeksi dari rasa solidaritas social muncul dari azas kebersamaan dan azas kekeluargaan, mendorong kepada warga banjar untuk menyelaraskan dan menyerasikan hidupnya dengan sesamanya, karena jiwa dan semangat yang demikian itu secara konsepsional dilandasi oleh tat twam asi dalam falsafah Hindu (Surpha, 2006:85).

2.1.2 Nyineb RagaNyineb Raga memiliki arti yang serupa dengan menyembunyikan identitas diri. Identitas ini biasanya terkait dengan status sosial, asal-usul kedaerahan, maupun asal usul genealogis. Pada suku Bali identitas-identitas tersebut seringkali melekat pada nama individu dengan maksud untuk menunjukkan jati diri mereka. Tindakan nyineb raga dimaksudkan untuk tidak menonjolkan identitas tersebut dengan maksud-maksud tertentu. Dengan demikian, nyineb raga dapat dipahami sebagai sebuah tindakan yang sebenarnya kontradiktif dengan norma yang berlaku umum dalam masyarakat yang menganggap penting untuk menunjukkan jati diri yang dimilikinya. Pemakaian gelar kebangsawanan atau nama famili biasanya berguna sebagai suatu modal simbolis bagi seseorang yang menentukan eksistensinya dalam ruang sosial. Nyineb Raga lumrah dilakukan dengan cara tidak memakaikan gelar pada nama individu yang terkait dengan asal-usul mereka. Sebagai contoh, seorang keturunan Gusti melepas gelar tersebut dengan cara tidak mencantumkannya sebagai sebuah atribut yang melengkapi nama individu.Dalam kasus masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara, tindakan nyineb raga tidak selalu dilakukan dengan cara menanggalkan gelar atau pun nama famili, namun tindakan itu juga dimaknai sebagai tindakan tidak menonjolkan gelar atau nama famili. Masyarakat pengamong sanggar Pura Meru membangun sikap bahwa gelar atau nama famili yang melekat pada individu bukanlah sesuatu yang harus dijadikan sebagai modal untuk menganggap diri berbeda atau berstatus lebih tinggi daripada orang lain. Nama famili maupun gelar lebih banyak dipahami sebagai sebuah warisan budaya yang harus dilestarikan dan memiliki fungsi etika dalam masyarakat. Artinya, seseorang dengan gelar atau nama famili tertentu tetap mendapat penghormatan secara norma yang berlaku di dalam masyarakat tanpa harus mendapatkan hak-hak istimewa yang berlebihan. Salah satu fenomena yang terjadi adalah dengan tetap digunakannya etika berbahasa kepada individu yang memiliki status sosial yang secara adat lebih tinggi. Perlakuan itu bukanlah bertujuan untuk meninggikan status seseorang atau sebaliknya bagi orang yang memiliki status bukanlah merupakan sebuah privilige namun semata-mata merupakan etika yang berlaku dalam norma adat masyarakat.Tindakan nyineb raga dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru ditujukan untuk membangun interaksi yang bersifat egaliter tanpa meniadakan hierarki sosial secara adat. Interaksi yang egaliter ini memungkinkan setiap individu dalam masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memberikan kontribusi bagi komunitasnya. Interaksi yang egaliter ini juga menumbuhkan rasa persatuan yang lebih kuat dalam masyarakat yang memandang dirinya berada dalam kesetaraan status dengan anggota masyarakat lainnya. Dengan keadaan ini sikap saling tolong menolong dan toleransi menjadi berkembang kuat dan konflik kepentingan antar individu atau kelompok individu dapat diminimalisir.Di sisi lain, nyineb raga yang diyakini oleh banyak masyarakat pengamong sanggar Pura Meru sebagai sebuah titah dari Anak Agung di masa lalu memiliki dampak pengkaburan asal-usul genealogis mereka.Sebagian besar anggota masyarakat pengamong sanggar Pura Meru sudah kehilangan jejak soroh mereka yang mana hal demikian dalam masyarakat Bali tradisional di Bali merupakan suatu hal yang sangat penting. Mengingat asal-usul (kawitan) bagi masyarakat Bali adalah sebuah hal yang sangat penting dan berkaitan erat dengan kegiatan keagamaan. Dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru asal-usul juga dianggap sesuatu hal yang sangat penting, namun penamaan-penamaan klan/kawitan sudah tidak lagi dipergunakan. Anggota komunitas Hindu Bali Cakranegara rata-rata tidak mengetahui nama soroh mereka. Kecenderungan untuk kembali menelusuri asal-usul genealogis merupakan sebuah kecenderungan yang baru-baru berkembang dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara bersamaan dengan menguatnya kecenderungan tersebut dalam masyarakat Bali di Bali belakangan ini. Untuk sementara, kepentingan masing-masing individu untuk kembali menelusuri asal-usul genealogisnya, tidak mengganggu integritas komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara. Para anggota komunitas walaupun sama-sama berkepentingan dengan penelusuran asal-usul ini, juga berharap bahwa hal tersebut tidak akan menjadi faktor yang memecah belah masyarakat.Dari perspektif pendidikan Agama Hindu, tradisi nyineb raga merupakan sebuah proses pendidikan yang mengajarkan tentang kesetaraan kedudukan manusia dengan sesamanya. Tradisi ini merupakan pengejawantahan ajaran Agama Hindu seperti misalnya vasudaiva kutumbhakam dan salah satu nilai tri hita karana yang menyangkut aspek pawongan.

2.1.3 Pujawali Pura Meru CakranegaraPujawali Pura Meru merupakan manifestasi puncak bagi bentuk inklusivisme dalam komunitas Hindu Bali Lombok pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara. Pada momen ini ditunjukkan meleburnya perbedaan-perbedaan sosial komunitas Hindu Bali Lombok pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara menjadi satu kesatuan yang setara dan saling menghormati. Para pengamong sanggar masing-masing mengambil peran sesuai dengan yang telah menjadi norma dalam komunitasnya tanpa menekankan pada perbedaan status sosial dalam bentuk apa pun. Bentuk integrasi ini merupakan tujuan dari strategi komunitas tersebut dalam rangka mempertahankan eksistensinya di dalam ruang sosial dimana mereka adalah kelompok minoritas.Pujawali Pura Meru jatuh pada purnamaning kapat dalam sistem penanggalan Bali dan merupakan salah satu acara pujawali yang mendapat perhatian masyarakat secara luas karena lokasi prosesi yang terletak di jantung kota Mataram yaitu di wilayah Cakranegara yang merupakan daerah pusat bisnis di Lombok atau bahkan Nusa Tenggara Barat. Pujawali tersebut sekaligus merupakan salah satu komoditas budaya yang memiliki nilai pariwisata yang sebenarnya dapat dikembangkan lebih jauh oleh pemerintah kota setempat. Tendensi ini ditunjukkan dengan selalu berkenannya Walikota Mataram yang beragama lain untuk datang menghadiri puncak acara pujawali Pura Meru Cakranegara sebagai tamu kehormatan setiap tahunnya.Rangkaian upacara pujawali di Pura Meru dimulai dengan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh pengamong sanggar di pemaksan-nya masing-masing. Tiga hari menjelang upacara pujawali di Pura Meru krama pura dari pemaksan masing-masing berangkat ke Pura Meru pada pagi harinya untuk menghias atau memakaikan busana pada sanggar atau pelinggih mereka.Esoknya dilanjutkan dengan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh pengamong sanggar di pemaksan-nya masing-masing seperti memasang abah-abah dan lapan. Abah-abah adalah hiasan-hiasan sanggar, sedangkan lapan adalah tempat untuk meletakkan banten pada saat upacara berlangsung. Sore harinya dilanjutkan dengan matur piuning di Pura Klepug Mayura. Menurut observasi peneliti, kegiatan ini tidak harus diikuti semua orang namun cukup pemangku yang bertugas disertai beberapa orang yang membawa banten.Pagi hari berikutnya (H-2) diadakan upacara sabuh rah/tabuh rah. Tabuh Rah adalah salah satu rangkaian Upacara Bhuta Yaja dengan ciri aplikasinya yang paling menonjol berupa persembahan darah ayam / sata yang ditumpahkan dengan cara mengadu dua ayam jago.Pada sore harinya jempana yang telah di beri busana di Pura Pemaksan terlebih dahulu di bawa ke Pura Meru secara bergelombang sehingga pada saat itu dapat ditemui di jalan-jalan kota Cakranegara iring-iringan jempana dari masing-masing pemaksan di berbagai wilayah Cakranegara berjalan menuju Pura Meru. Pada sore harinya dilanjutkan dengan upacara ngadegan dan persembahyangan bersama. Malam harinya, pengamong sanggar melakukan pakemitan atau bergadang di Pura Meru. Pada saat inilah banyak interaksi antar warga pengamong sanggar yang terjadi. Mereka tampak akrab seperti suatu keluarga besar yang rukun dan bersatu.Satu hari menjelang puncak acara pujawali di Pura Meru Cakranegara beberapa warga atau krama di tugaskan mendak tirtha Pura Segara Ampenan. Mendak ini dilaksanakan pada sore hari yang nantinya tirtha tersebut mesandekan (mampir) di Pura Tanggun Desa Pajang Mataram. Pagi hari pada hari H piodalan warga masyarakat Cakranegara mempersiapkan diri untuk mengikuti upacara nyucian dan persembahyangan bersama yang berlokasi di Pura Kelepug Mayura.Acara nyucian ini dilanjutkan dengan upacara pujawali di Pura Klepug Mayura. Selanjutnya, jempana kembali diarak ke Pura Meru dan dilanjutkan lagi dengan upacara persembahyangan pujawali di Pura Meru. Jadi, pada hari yang bersamaan komunitas Hindu Bali-Lombok di Cakranegara melakukan dua kegiatan yaitu pujawali di Pura Klepug Mayura dan pujawali di Pura Meru Cakranegara. Keesokan harinya dilakukan prosesi nglukar di laksanakan di Pura Meru yang dilaksanakan sebagai akhir upacara pujawali dan persembahyangan bersama dengan mepurwa daksina di halaman utama mandala sampai nistamandala sebanyak tiga kali putaran searah jarum jam. Seusai mepurwa daksina di utama mandala dan nistamandala, mepurwa daksina dilaksanakan di luar Pura yaitu dari pertigaan menuju pura mayura sampai perempatan Cakranegara sebanyak tiga kali putaran searah jarum jam. Setelah rangkaian acara tersebut usai seluruh jempana diarak ke pemaksan masing-masing. Setibanya di pura pemaksan sebelum masuk ke pelataran utama madala pura terlebih dahulu diadakan upacara mesagan di luar areal pura atau di depan candi bentar setelah itu kemudian jempana dibawa masuk ditempatkan pada tempat semula di lanjutkan dengan persembahyangan bersama.Banten atau sesajen untuk keperluan upacara ini disediakan oleh masing-masing sanggar dengan sistem kekenian atau sistem penjatahan banten yang dilakukan oleh krama Pura Meru memalui dewan sangkep yang dilakukan menjelang upacara. Kekenian banten diberikan untuk banten pada saat usaba dan nyuciang jempana di Pura Klepug Mayura. Kerelaan masyarakat dalam menyumbangkan materi maupun tenaganya dalam proses upacara pujawali di Pura Meru melukiskan sebuah usaha untuk menjaga hubungan yang harmonis kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada sesama manusia. Jadi proses ini menunjukkan dimensi relijius sekaligus dimensi sosial dari hubungan masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara. Prosesi pujawali Pura Meru Cakranegara merupakan sebuah sarana pendidikan yang lengkap bagi masyarakat Hindu Bali Lombok Cakranegara yang mengandung aspek-aspek pendidikan tattwa, susila, dan upacara yang merupakan kesatuan yang membentuk ajaran agama Hindu itu sendiri. Dengan demikian, keterlibatan masyarakat dalam upacara pujawali di Pura Meru Cakranegara merupakan sebuah proses pembelajaran agama secara non-formal yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat. Walaupun demikian, proses pembelajaran ini di lapangan memang masih banyak mengandung kekurangan-kekurangan. Beberapa hal yang bisa diamati adalah bentuk pembelajaran yang semakin besar mengandalkan pada kemampuan observasi masing-masing individu yang berperan dalam menentukan kualitas pelajaran yang dapat diserapnya di lapangan. Tentu saja hal ini juga berhubungan dengan tidak meratanya pengetahuan dan keterampilan yang akhirnya diperoleh oleh masing-masing individu dalam proses belajar tersebut.2.2 Fungsi Inklusivisme Pura Meru Sebagai Pusat Pemujaan Masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram Perspektif Pendidikan Agama Hindu

2.2.1 Fungsi Pendidikan TattwaFungsi pendidikan sraddha Pura Meru berkaitan dengan penggunaannya sebagai wadah bagi umat Hindu di Cakranegara dalam melaksanakan sraddha-bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai kesempatan baik pada saat piodalan/pujawali, persembahyangan pada saat hari raya (rainan), maupun untuk kepentingan persembahyangan lain yang bersifat insidental seperti mengadakan pakemitan, atau nyaur sot (membayar kaul). Fungsi pendidikan sraddha Pura Meru merupakan fungsi yang menduduki top of mind masyarakat Cakranegara. Fungsi Pura Meru yang pertama kali diutarakan bila ada pertanyaan adalah fungsinya sebagai tempat bersembahyang atau sebagai tempat suci Agama Hindu.Fungsi pendidikan sraddha Pura Meru juga ditampakkan karena merupakan tempat berkumpulnya semua bthara yang di puja di pemaksan-pemaksan lokal para pengamong sanggar sehingga Pura Meru dianggap sebagai tempat yang paling suci diantara tempat suci yang lain oleh umat Hindu Bali Lombok di Cakranegara. Struktur pemujaan yang bersifat inklusif dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru tersebut merupakan cerminan dari penghayatan masyarakat terhadap ajaran agama Hindu yang dianutnya. Kondisi-kondisi di atas memungkinkan masyarakat untuk mengajarkan tentang kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya kepada generasi penerus untuk mempertahankan kelangsungan eksistensi Agama Hindu di kalangan mereka. Pengenalan generasi muda terhadap Pura Meru dan lingkungannya menghantarkan mereka pada pengenalan terhadap tempat suci mereka dan lebih jauh terhadap apa yang dipuja di tempat tersebut. Hal-hal ini sebagian besar diperkenalkan kepada mereka dengan cara yang tidak formal artinya tidak ada forum khusus dimana satu generasi yang lebih tua menerangkan apa yang mereka percayai kepada generasi yang lebih muda. Pembelajaran tentang sraddha dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru lebih bersifat non formal dan praktis dimana melalui praktek-praktek dan percakapan-percakapan konsep sraddha yang dianut oleh masyarakat diterangkan kepada generasi muda agar mereka tidak kehilangan jati diri keagamaannya di tengah perubahan dan kondisi masyarakat Mataram yang heterogen secara etnis maupun agama.Pendidikan sraddha dan bhakti terlihat dari cara pandang tentang pemujaan di Pura Meru oleh warganya dipandang dan dijadikan wadah, wahana, dan ajang menyatukan pola pikir, sikap, dan perilaku yang memungkinkan bagi dirinya untuk senantiasa meningkatkan pengabdiannya sesuai dengan kodratnya dan atau karma (perbuatan)-nya berdasarkan atas amanat agama Hindu dan para kawitan (leluhur) secara konsisten. Melakukan pemujaan terhadap Tuhan dan leluhur memang adalah hal yang diwacanakan dalam upacara pemujaan bersama di Pura Meru dan membuat hal tersebut bagi masyarakat menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan secara turun temurun tanpa terputus sehingga hal tersebut harus dilanjutkan kepada generasi muda. Dalam masyarakat tertanam suatu pola pikir bahwa terhentinya palaksanaan upacara karena tidak diwariskan kepada generasi penerus akan merupakan suatu pengingkaran terhadap Tuhan dan leluhur dan oleh sebab itu dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan mereka.

2.2.2 Fungsi Pendidikan SusilaBagi masyarakat penyungsung-nya, Pura Meru merupakan salah satu tempat yang paling memungkinkan untuk menciptakan interaksi yang luas dengan anggota lain dari wilayah yang berbeda di satu tempat. Pertemuan-pertemuan yang terjadi di Pura Meru pada saat piodalan atau persembayangan lain membangun koneksi antar masyarakat yang bersangkutan. Hubungan tersebut tidak jarang berlanjut keluar lingkungan Pura. Hubungan yang terjadi membuat masyarakat penyungsung Pura Meru menjadi lebih dari sekelompok orang yang kebetulan bertemu pada tempat dan acara yang sama, namun juga menciptakan suatu ikatan yang lebih kuat.Interaksi masyarakat Cakranegara di Pura Meru sebagai wadah pusat pemujaan pada saat piodalan Pura Meru dimulai secara intens sebelum hari H dilaksanakannya piodalan tersebut. Menjelang piodalan biasanya pemuka atau tetua dan warga dari masing-masing wilayah mengadakan pertemuan (sangkep) untuk membahas pelaksanaan piodalan pada tahun yang bersangkutan. Hasil-hasil sangkep ini kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan mempersiapkan upacara piodalan. Yang menjadi jadwal pertama biasanya adalah kerja bhakti bersama untuk membersihkan Pura Meru dan lingkungannya. Pada hari yang ditentukan, masyarakat dari berbagai wilayah yang berbeda bersama-sama melakukan bersih-bersih di Pura Meru dan sekitarnya. Dari observasi yang dilakukan, pada saat-saat awal kehadiran memang terlihat masyarakat berkelompok menurut wilayahnya masing-masing dan tidak berbaur dengan kelompok dari wilayah lain, namun lama kelamaan kelompok-kelompok tersebut akan terpecah dan mulai terbentuk kelompok-kelompok yang tidak berdasarkan wilayah asalnya. Kelompok pembauran tersebut biasanya diawali dari adanya saling kenal antar individu yang kemudian berlanjut dengan bercakap-cakap sambil bekerja. Interaksi ini berkembang secara berantai sehingga menghasilkan kelompok yang tidak lagi homogeny berdasarkan daerah asalnya.Ikatan ini menimbulkan suatu rasa kebersamaan antar penyungsung Pura Meru yang membuat hubungan sosial diantara mereka menjadi harmonis. Keadaan ini didukung juga oleh keberadaan wilayah yang menjadi tempat tinggal mereka yang saling berdekatan. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Durkheim (dalam Yudha, 2004:32) yang menunjukkan fungsi agama sebagai sumber kohesi kelompok. Agama merupakan spekulasi metafisik tentang susunan dan sifat-sifat alami, namun dipadukan dengan bentuk-bentuk tingkah laku ritual dan disiplin moral. Karakter ini merupakan sumber sikap altruistic yang mempunyai dampak mengendalikan egoism, mendorong manusia untuk berkorban tanpa pamrih, dengan demikian pula ia mengikatkan diri dengan sesuatu yang berada di luar dirinya yang penuh melambangkan cita-cita. Disinilah titik dimana inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan bagi masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram berfungsi sebagai sebuah pendidikan susila dimana dalam proses bersosialisasi antar masyarakat, nilai-nilai susila yang berlaku pada masyarakat tersebut mengemuka dan dipaparkan kepada generasi penerus sehingga mereka menjadi tahu dan memahami bentuk-bentuk susila yang berlaku dalam masyarakatnya. Dalam sebuah masyarakat selalu dikenal pembagian etis atas baik dan buruk, demikian pula dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara. Cara berbahasa, baik itu irama maupun pilihan kosa kata dapat menentukan penilaian masyarakat atas layak atau tidaknya bahasa itu dipergunakan dan tentu saja merupakan patokan penilaian masyarakat kepada si pengguna bahasa tentang kemampuannya bersopan-santun dalam masyarakat. Pergaulan dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara memaparkan tingkatan-tingkatan bahasa terutama dalam penggunaan bahasa daerah, tabu-tabu bahasa dalam masyarakat, dan tata sopan yang dimanifestasikan dalam bentuk bahasa.Tata susila dalam bertingkah laku dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara juga diteruskan kepada generasi muda melalui interaksi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat di Pura Meru Cakranegara. Susila dalam bertingkah laku ini mencakup hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau apa yang patut dilakukan dan tidak patut dilakukan pada kesempatan-kesempatan tertentu. Sebagai contoh adalah pada saat ngayah yang dilakukan menjelang pujawali Pura Meru Cakranegara. Pada saat itu generasi muda diharapkan sudah mulai dapat memilah tingkah laku yang pantas dan tidak pantas untuk dikemukakan di tengah-tengah komunitas. Hal ini mencakup sopan santun saat bertemu dengan orang yang lebih tua atau dengan sebaya. Generasi tua berfungsi sebagai kontrol yang mengingatkan generasi muda akan aturan-aturan bertingkah laku dan dengan adanya keharusan bagi generasi yang lebih muda untuk mentaati generasi yang lebih tua, maka kontrol ini dapat berjalan dengan baik.

2.2.3 Fungsi Pendidikan SimbolikDalam kerangka interaksionisme simbolik, fungsi simbolik Pura Meru dapat dipahami sebagai sebuah simbol yang digunakan bersama dalam berinteraksi antar masyarakat penyungsung-nya yang berasal dari 33 wilayah seperti yang talah disebutkan. Hal ini terlihat dari keterlibatan mereka dalam pemujaan bersama pada waktu piodalan dimana mereka membawa masing-masing jempana dari wilayahnya dan menyatukannya di Pura Meru. Dengan demikian, oleh masyarakat penyungsung-nya Pura Meru dipahami sebagai sebuah pusat dan pemersatu sehingga terjadi interaksi antar wilayah yang menunjukkan keharmonisan. Pemaknaan Pura Meru sebagai pusat dari wilayah-wilayah tersebut memungkinkan masyarakat untuk memandang bahwa hubungan antar penyungsung adalah hubungan yang tidak sekedar bersifat profan, namun juga hubungan yang bersifat sakral. Pandangan ini membuat masyarakat menjadi bersifat sangat toleran dan cenderung menganggap saudara terhadap masyarakat sesama penyungsung Pura Meru. Hubungan tersebut menurut mereka bukan saja tercipta dari proses interaksi sesama manusia, namun juga dipengaruhi oleh keberadaan bthara-bthara mereka yang sama-sama di-linggih-kan di Pura Meru. Menengok sisi lain dari fungsi simbolik Pura Meru, mengacu pada terminologi Bordieu, Pura Meru merupakan modal simbolik bagi para penyungsung-nya yang pada suatu waktu adalah modal simbolik yang sangat berarti besar. Hal ini disebabkan karena pada waktu lalu, wilayah dan masyarakat penyungsung Pura Meru diasumsikan sebagai keluarga besar kerajaan Cakranegara sehingga pada masa jayanya mereka menikmati status sosial yang cukup baik. Ini sejalan dengan Bordieu yang mengasumsikan bahwa simbol-simbol dapat dijadikan sebagai sumber kekuasaan kelas dominan. Mengacu Pada klasifikasi Grader seperti dikutip Fox (2002:71) Pura seperti Meru yang didukung oleh istana termasuk jenis pura negara. Mutahir (2011:73) menjelaskan bahwa Bordieu berpendapat Strategi simbolis dilakukan guna mempertahankan atau meningkatkan pengakuan sosial. Pada saat ini, fungsi Pura Meru sebagai sebuah simbol yang dapat dijadikan modal simbolik oleh penyungsung-nya sudah sangat berbeda dari jaman kejayaan kerajaan Cakranegara. Keberadaan Pura Meru sebagai sumber legitimasi kekuasaan dan status sudah tidak dapat lagi digunakan. Hal ini tampaknya disebabkan oleh berbagai faktor terutama karena perpindahan kekuasaan formal dari Raja ke tangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal tersebut diatas, tidak mengubah fungsi regional Pura Meru yang tampak jelas pada kebiasaan membawa bthara-bthara dari pemaksan-pemaksan yang ada di Cakranegara. Istana juga masih memiliki fungsi koordinasi yang penting dengan kelompok pendukung tradisional dan bekerjasama dalam menyediakan dana tambahan dan memberi bantuan saat upacara-upacara besar khusus atau untuk proyek pemugaran.Dalam masyarakat Bali-Lombok sendiri pun keanggotaan sebagai penyungsung Pura Meru tidak lagi dapat menjamin status mereka dalam arena sosial masyarakat sehingga pemaknaan mereka terhadap keanggotaan tersebut juga mengalami perubahan dari keanggotaan yang memiliki tendensi politis kepada tendensi sosial relijius semata. Walaupun demikian, keberadaan Pura Meru masih bisa berlaku sebagai modal simbolis bagi masyarakat Hindu Bali Cakranegara dalam pengertian yang lain. Keanggotaan seseorang dalam masyarakat penyungsung Pura Meru memungkinkan mereka memiliki jaringan yang dapat dikonversikan menjadi modal sosial maupun modal ekonomi. Hal ini setidaknya terbukti dengan direkrutnya pemuda-pemuda untuk menjadi pecalang atau guide di Pura Meru. Terhadap masyarakat di luar Pura Meru, keanggotaan seseorang dalam masyarakat penyungsung Pura Meru juga menempatkan pada posisi yang diperhitungkan. Pendidikan toleransi umat beragama, terutama yang bersifat intern, dilakukan dengan cara menjaga dan mengembangkan sikap inklusif dalam beragama dengan menerima adanya kelompok-kelompok seagama yang memiliki bthara yang berbeda-beda. Sikap ini sejalan dengan sifat agama Hindu yang dikenal inklusif atau bahkan plural seperti tipologi yang digunakan oleh Alan Race. Tipologi inklusif tersebut terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap bthara-bthara selain yang mereka sembah sebagai wujud-wujud dari satu sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya pemahaman ini maka selama ini tidak ditemui tindakan-tindakan yang secara religious bersifat ekslusif terhadap golongan lainnya. Sikap tersebut menimbulkan fungsi laten yang berupa `terciptanya kerukunan intern umat beragama di Cakranegara. Sikap inklusif masyarakat dalam pemujaan bersama di Pura Meru juga dianggap sebagai pelaksanaan pesan-pesan dari leluhur mereka agar selalu hidup rukun dan bersatu antar warga wilayah yang sama-sama nyungsung ke Pura Meru walaupun bthara yang disembah berbeda-beda.Terkait dengan pandangan fungsional bahwa sebuah sistem sosial cenderung untuk mempertahankan eksistensinya, maka fungsi pendidikan ini merupakan sebuah fungsi yang memiliki signifikansi yang cukup tinggi bagi sistem sosial masyarakat Cakranegara. Pendidikan dalam artian sebagai sebuah usaha pewarisan budaya merupakan hal yang menunjang keberadaan Pura Meru di tengah-tengah masyarakat sehingga ia masih berfungsi dan sistem sosial masyarakatnya masih terpelihara dengan baik hingga saat ini.Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan juga dapat dilihat dengan kerangka yang dinyatakan oleh Parson sebagai prasyarat yang harus dipenuhi untuk kelangsungan sebuah sistem sosial, yaitu :1. AdaptasiMenurut Parsons (dalam Giddens, 2010:412) aspek simbolik kebudayaan sangat penting bagi adaptasi. Hal ini disebabkan karena sistem simbol memiliki peran pemandu dalam pengorganisasian sosial secara umum dan dalam perubahan sosial. Ciri-ciri simbolik sistem sosial harus dipelajari lagi oleh masing-masing generasi. Dengan demikian, fungsi pendidikan Pura Meru Cakranegara adalah sebagai wadah bagi generasi muda untuk mempelajari kebudayaannya yang dalam pengertian ini adalah merupakan sekaligus agamanya karena, menurut Giddens (2010:413) dalam bentuknya yang paling awal, kebudayaan kurang lebih sama dengan agama. Simbolisme yang timbul dalam masyarakat Hindu Cakranegara penyungsung Pura Meru merupakan constitutive simbolism yang memberikan identitas kultural tertentu kepada kelompok, yang terpisah dengan kelompok lain. Simbolisme semacam itu senantiasa berhubungan secara langsung dengan hubungan kekerabatan misalnya dalam bentuk mitos dewa-dewi nenek moyang yang membangun komunitasnya. Mitos itu sendiri mempersatukan kelompok sekaligus memberikan kerangka interpretative untuk menghadapi krisis, dan ancaman dari dunia alami (Giddens, 2010:414).

2. Pencapaian (Goal Attainment).Berdirinya Pura Meru dan berkembangnya masyarakat penyungsung dengan bentuk-bentuk hubungan sosial yang khas merupakan manifestasi dari tujuan yang hendak dicapai oleh komunitas yang bersangkutan. Pada kasus masyarakat Bali-Lombok di Cakranegara, tujuan yang pada awalnya ingin dicapai terutama adalah untuk menciptakan sebuah komunitas etnis yang bersatu dalam menghadapi segala kendala dan tantangan di sebuah ruang sosial yang baru. Tatanan masyarakat pengamong sanggar berusaha mengkesampingkan asal-usul kedaerahan atau pun genealogis masing-masing kelompok guna untuk mencapai ikatan baru yang kuat. Karena dalam masyarakat Hindu Bali sikap sosial selalu dihubungkan dengan sikap keagamaan, maka tempat suci atau dalam hal ini Pura Meru dijadikan sebagai simbol sekaligus sarana dalam mencapai tujuan tersebut. Tujuan eksistensi Pura Meru sebagai sarana untuk mencapai tujuan menciptakan kelompok yang bersatu masih terus dijaga oleh masyarakat Hindu Bali Cakranegara hingga kini walaupun asumsi dasar yang melatarbelakangi perlunya persatuan tersebut telah berubah dengan berubahnya struktur politik dari kerajaan menjadi negara kesatuan.3. IntegrasiIntegrasi berarti bahwa sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Pada kasus masyarakat pengamong sanggar Pura Meru hal ini dapat dilihat dengan jelas. Sistem tersebut menciptakan sebuah pola hubungan kekerabatan baru dalam masyarakat yang terus menerus diperbaharui melalui pengembangan ikatan persaudaraan melalui siddhikara atau ikatan lainnya. Pemaknaan masyarakat bahwa sesama pengamong sanggar adalah satu dalam ikatan kelompok (in-group), menimbulkan suatu bentuk hubungan timbal balik yang bersifat sukarela dan menjadi norma dalam masyarakat tersebut.4. Pemeliharaan pola. Konsep ini diartikan bahwa sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi (Latency). Fungsi ini dapat terlihat jelas dalam masyarakat kelompok pendukung Pura Meru yang secara bersama-sama menjadi sebuah sistem yang saling melengkapi satu sama lainnya. Keberadaan sistem inilah yang pada gilirannya menjadikan masyarakat Hindu Bali-Lombok Cakranegara menjadi sebuah masyarakat tradisional yang solid dan bisa mempertahankan keberadaannya di wilayah tersebut dalam waktu yang sekian lama dan menghadapi berbagai tantangan perubahan. Masyarakat Hindu-Bali Lombok di Cakranegara masih memelihara pola-pola kultural yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka meskipun bentuk sistem pemerintahan telah berganti dari kerajaan menjadi republik dan kedudukan Cakranegara bukan lagi menjadi sebuah teritori yang berdaulat namun sebagai bagian dari pemerintahan Kota Mataram yang sedikit banyak mempengaruhi ekslusifitas wilayah dan penduduk Cakranegara.Dari kerangka analisa tersebut diatas dapat dilihat bahwa inklusivisme pemujaan di Pura Meru Cakranegara adalah fungsional bagi sistem yang bersangkutan karena menunjukkan pemenuhan prasyarat-prasyarat seperti yang diajukan oleh Parson.

2.3 MAKNA INKLUSIVISME PURA MERU CAKRANEGARA SEBAGAI PUSAT PEMUJAAN MASYARAKAT HINDU CAKRANEGARA KOTA MATARAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU

2.3.1 Makna Pendidikan TattwaMasyarakat penyungsung Pura Meru Cakranegara menafsirkan bahwa inklusivisme Pura Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan adalah sebuah cerminan dari relijiusitas. Hal ini karena menurut mereka sikap saling menghargai dengan orang yang berbeda keyakinan adalah sebuah pengamalan ajaran agama Hindu yang menekankan pada beragamnya cara memahami kebenaran walaupun pada hakikatnya kebenaran tersebut adalah tunggal. Dengan demikian maka dapat ditemukan bahwa sikap menghormati perbedaan dalam agama dan keberagamaan dalam masyarakat Cakrenegara merupakan sesuatu yang diyakini oleh umat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara berasal dari ajaran agama Hindu itu sendiri atau dengan kata lain merupakan sesuatu yang bersifat inheren. Bagi umat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara, bersikap inklusive berarti mengamalkan salah satu ajaran agama Hindu.Selain berasal dari sumber agama, sikap inklusivisme yang dipahami oleh masyarakat Cakranegara sebagai suatu pengejawantahan sikap taat kepada petuah-petuah leluhur yang tidak ingin timbul adanya pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan konsep agama dan keberagamaan. Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Hindu Bali Cakranegara saat ini memaknai inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan di Cakranegara sebagai salah satu bentuk Sraddha dan Bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Pemaknaan inklusivisme Pura Meru sebagai salah satu bentuk sraddha menyangkut ketaatan masyarakat Hindu Bali Cakranegara terhadap ajaran agamanya yang menunjukkan tingkat kepercayaan mereka yang tinggi terhadap Tuhan sebagaimana yang dipercayainya. Masyarakat Hindu Bali Cakranegara juga memaknai sikap inklusiv tersebut sebagai suatu bentuk bhakti atau pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap inklusiv atau tidak membeda-bedakan dimaknai sebagai sebuah manifestasi dari orang yang memiliki kepercayaan dan pengabdian kepada Tuhan karena agama Hindu mengajarkan sikap saling menghormati antar kepercayaan yang berbeda-beda.Walaupun demikian, tidak banyak masyarakat yang memahami maksud dan tujuan dari pujawali tersebut selain daripada sebagai sebuah warisan budaya keagamaan yang harus dilestarikan. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa . Sikap hegemonik masyarakat Cakranegara ini sejalan dengan teori Hegemoni dari Antonio Gramschi. Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk menerangkan berbagai macam cara control social bagi kelompok social yang dominan. Dia membedakan antara pengendalian koersif yang diwujudkan melalui kekuatan langsung atau ancaman kekuatan, dengan pengendalian konsesual yang muncul ketika individu-individu secara sengaja atau secara sukarela mengasimilasikan pandangan dunia atas hegemoni kelompok dominan tersebut; sebuah asimilasi yang memungkinkan kelompok itu untuk bersikap hegemonik (Ransome, dalam Strinati, 2009:255).Dalam komunitas Hindu Bali-Lombok Cakranegara, sikap inklusiv yang dutunjukkan kepada sesamanya dianggap sebagai suatu cerminan dari ajaran agama yang mereka yakini yaitu penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam keyakinan ke-Tuhanan. Nilai-nilai tersebut diwariskan kepada generasi muda komunitas Hindu bali-Lombok Cakranegara dengan penegasan bahwa nilai tersebut bersesuaian dengan ajaran agamanya. Untuk menunjukkan keabsahan pernyataan ini, generasi tua menunjukkan sloka-sloka yang dimaksud yang berasal dari berbagai sumber kitab suci agama Hindu seperti Bhagawadgita atau bahkan dari kitab Weda itu sendiri walaupun terkadang hanya mengutip baris-baris tertentu yang sudah merupakan adagium umum dalam masyarakat Hindu seperti ekam sat viprah bahuda vadanthi atau vasudeva kutumbhakam. Diharapkan generasi muda tidak meragukan kenyataan bahwa inklusivisme merupakan bagian dari ajaran agama dengan cara merujuk pada sumber-sumber yang valid tersebut.Dengan demikian maka makna pendidikan tattwa dalam sikap inklusiv pada pemusatan pemujaan di Pura Meru Cakranegara adalah bahwa sikap tersebut merupakan sikap yang berasal dari ajaran agama sehingga dengan demikian harus diteruskan kepada generasi muda melalui transfer pengetahuan tentang sifat inklusiv agamanya yaitu agama Hindu.

7.2. Makna Pendidikan SusilaNenek moyang masyarakat Cakranegara adalah kelompok etnis Bali yang pada awalnya datang ke Lombok dengan motif yang bersifat militeristik seperti yang telah dikemukakan di bab terdahulu. Perkembangan Cakranegara sebagai sebuah kerajaan sangat berkaitan dengan perkembangan politik kerajaan-kerajaan di Bali pada waktu itu. Gejolak politik di Bali berhubungan dengan bergantinya penguasa kerajaan induk yaitu kerajaan Karang Asem yang membuat perubahan yang sejalan pada struktur kekuasaan di Cakranegara. Perubahan ini juga berpengaruh pada komposisi sosial masyarakat Cakranegara dimana pihak penguasa selalu ingin menempatkan orang yang dipercayainya sebagai pemegang tampuk kekuasaan di Lombok untuk melanggengkan pengaruhnya. Ini menyebabkan latar belakang penduduk di Cakranegara menjadi sangat beragam baik stratifikasi secara vertikal maupun horisontal. Penduduk Cakranegara memiliki struktur masyarakat yang terdiri dari tingkatan sosial yang berbeda dan memiliki asal-usul genealogis yang berbeda pula. Keragaman ini sangat potensial menjadi sumber konflik intern masyarakat Cakranegara sehingga harus diredam sedemikian rupa.Latar belakang historis ini membuat masyarakat Cakrenegara memaknai kebersamaan mereka dalam melakukan pemujaan bersama di Pura Meru sebagai sebuah bentuk dari dibangun, dijaga, dan dikembangkannya ikatan sosial diantara mereka. Kebersamaan ini memungkinkan mereka untuk membentuk ikatan-ikatan baru yang melampaui batas-batas ikatan lama baik itu kasta maupun pesorohan.Pada perkembangan modernnya, ikatan sosial bahkan seringkali terbentuk dengan masyarakat pendatang baru yang bukan asli orang Cakranegara namun berdomisili di Cakranegara atau di wilayah mana saja di Pulau lombok dan sekitarnya yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di Pura Meru. Mereka biasanya adalah orang Bali-Lombok dari wilayah lain yang bergabung dengan salah satu banjar pengamong sanggar Pura Meru karena pindah tempat tinggal atau menikah dengan orang Cakranegara, atau bisa juga pendatang etnis Bali dari Pulau Bali yang merasa perlu mengikatkan diri secara adat keagamaan dengan etnis sebangsanya di rantau untuk dapat menjaga kelangsungan kehidupan tradisi dan agama mereka. Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu makna yang dilekatkan pada sikap inklusive masyarakat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara adalah sebagai sikap yang diperlukan dalam membina persatuan dan kesatuan masyarakat yang pada akhirnya akan bersifat fungsional bagi keberlangsungan eksistensi sistem yang bersangkutan.Implikasi dari adanya keyakinan tentang ajaran agama yang bersikap inklusiv adalah adanya sikap etika yang juga bersifat inklusiv. Etika inklusiv ini misalnya adalah sikap tidak mengemukakan perbedaan atau pun strata sosial dalam masyarakat yang dalam komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara ditunjukkan dengan timbulnya ikatan siddhikara antar anggota masyarakat. Nilai-nilai siddhikara ini dipandang sebagai sesuatu yang fungsional bagi eksistensi komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara sehingga ikatan tersebut beserta dengan etika yang terkandung di dalamnya diwariskan kepada generasi penerus untuk dilestarikan dan bahkan dikembangkan secara kuantitas dan kualitas. Pendidikan etika ini diwariskan dengan cara melibatkan generasi muda dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan siddhikara dan dengan cara lisan dalam memberi pengetahuan tentang ikatan tersebut.

2.3.3. Makna Pendidikan KulturalSikap inklusiv dalam beragama yang dimiliki oleh masyarakat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara tercermin tidak hanya pada hubungannya dengan sesama orang beragama Hindu, namun juga terhadap keberadaan umat beragama lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya masjid besar yang berdiri berdekatan dengan Pura Meru sebagai pusat aktifitas relijius masyarakat Hindu Cakranegara. Demikian juga dengan adanya sebuah bangunan Gereja besar yang berdiri di sebelah Taman Mayura yang tentu saja merupakan radius sakral bagi masyarakat Hindu Bali Cakranegara. Selain sikap inklusiv dimaknai sebagai budaya adiluhung orang Bali yang patut mendapat apresiasi karena menunjukkan superioritas budaya, sikap terebut juga dianggap mendukung keberlangsungan kehidupan agama dan budaya Bali dari generasi ke generasi. Dengan demikian, inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan bagi masyarakat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara juga memiliki makna yang bersifat kultural dimana sampai saat ini kelompok kerajaan masih dianggap berperan sentral sebagai tokoh budaya mereka.Komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara memaknai segala kegiatan dalam lingkup masyarakatnya adalah merupakan kegiatan yang bersifat sosial budaya. Pada pemusatan pemujaan di Pura meru Cakranegara, kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan budaya sangatlah signifikan ditunjukkan oleh masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara. Bentuk-bentuk budaya baik yang kasat mata seperti produk-produk perlengkapan upacara (upakara) maupun tari-tarian yang dipersembahkan dalam acara pujawali. Dengan memaparkan hal-hal tersebut kepada generasi muda, masyarakat Bali-Lombok di Cakranegara berharap bahwa kelak generasi muda dapat meruskan dan menjaga nilai-nilai budaya yang merupakan warisan turun-temurun dari pendahulu mereka, serta menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam segala bentuk produk budaya yang kasat mata. Hal ini mengacu pada pemaknaan terhadap simbol-simbol budaya yang dipakai oleh masyarakat Cakranegara.

III. SIMPULAN Bentuk inklusivisme Pura Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan komunitas Hindu Bali Lombok di Kota Mataram terdapat pada pembentukan kesatuan melalui ikatan siddhikara yang mengkesampingkan penghalang tradisional berupa stratifikasi sosial, nyineb raga yaitu dengan cara mengkesampingkan status sosial sehingga membentuk hubungan sosial yang egaliter, dan termanifestasi sekaligus disimbolisasikan pada upacara pujawali di Pura Meru Cakranegara.Fungsi inklusivisme Pura Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan komunitas Hindu Bali Lombok di Kota Mataram perspektif pendidikan Agama Hindu dapat dibagi menjadi fungsi pendidikan tattwa yang berkaitan sradha-bhakti masyarakat, fungsi pendidikan susila yang berkaitan dengan pembentukan ikatan sosial antar warga, fungsi pendidikan simbolik yang berkaitan dengan penggunaan simbol-simbol dalam upacara pujawali sebagai simbolisasi persatuan, dan fungsi pendidikan sebagai sarana untuk meneruskan nilai-nilai tradisi kepada generasi muda.Makna inklusivisme Pura Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan komunitas Hindu Bali Lombok di Kota Mataram perspektif pendidikan Agama Hindu dapat dinyatakan sebagai makna pendidikan tattwa dimana sikap inklusiv dianggap berasal dan merupakan sebuah ajaran agama, makna pendidikan susila dimana masyarakat beranggapan bahwa sikap tersebut perlu dalam membina persatuan dan kesatuan demi eksistensi mereka, makna pendidikan kultural dimana sikap tersebut dianggap sebagai sikap yang menunjukkan keunggulan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Agung, Anak Agung Ketut. 1991. Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok : Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1660-1950). Denpasar : Upada Sastra.Agung, Ide Anak Agung Gede. 1989. Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.Anom, Anak Agung Istri, dkk. 2005. Fenomena Pesidhikaraan Komunitas Hindu Bali-Lombok di Kota Mataram (Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Arcana, I Komang. 2010. Peran Pura Muter Medain Dalam Mempersatukan Umat Hindu di Pulau Lombok (Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Ardana, I Ketut. 2001. Masyarakat Multikultur, Sejarah dan Kerangka Teoritis, makalah dipresentasikan pada kegiatan matrikulasi Mahasiswa Baru Program Magister Kajian Budaya, Denpasar: Universitas Udayana, Tahun 2001/2002, tanggal 3 Juli 2001.Bandem, I Made, dan Frederick Eugene deBoer.2004. Kaja dan Kelod : Tarian Bali dalam Transisi. Jogjakarta : Badan Penerbit ISI Jogjakarta.Barker, Chris. 2005. Cultural Studies : Teori dan Praktek. Yogyakarta : Bentang.Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Bell, Judith. 2006. Doing Your Own Research Project : A Guide for First Time Researchers in Education, Health, and Sosial Science. Jakarta : Indeks.Budhita S, Nyoman, dkk. 2007. Implementasi Konsep Ajaran Mpu Kuturan dan Dang Hyang Dwijendra Dalam Pembangunan Parhyangan di Lombok (Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Darma Laksana, I Ketut. 2009.Tabu Bahasa : Salah Satu Cara Memahami Kebudayaan Bali. Denpasar : Udayana University Press.Dudwick, Nora, et.al. 2006. Analyzing Sosial Capital in Context : A Guide to Using Qualitative Methods and Data. Washington, D.C : World Bank Institute.Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin.2009.Arsitektur Bangunan Suci Hindu. Denpasar : Udayana University Press.Field, John. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.Fox, J.Stuart. 2002. Pura Besakih: Pura, Agama dan Masyarakat Bali. Denpasar : Udayana University Press.Genitri, Ida Ayu Inten. 2008. Makna Air. Denpasar : Yayasan Spritual Dharma Sastra.Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi : Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Gorda, I, Gusti, Ngurah. 1999. Manajemen dan Kepemimpinan Desa Adat Di Propinsi Bali Dalam Perspektif Era Global. Denpasar : PT Widya Kriya Gematama.Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Pustaka.Kaplan, David dan Robert A. Manners, 2002, Teori Budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Munandar, Agus Aris 2005.Istana Dewa Pulau Dewata. Jakarta: Komunitas Bambu.Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.Nordholt, Henk Schulte. 2002. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas: Dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Nordholt, Henk Schulte.2009.The Spell of Power. Denpasar: Pustaka Larasan.Nth, Wildfred.2006.Semiotika. Jakarta: Rajawali.Pidada Kniten, Ida Pedanda Putra dan Pinandita Nyoman Gunanta, 2005. Tinjauan Tabuh Rah dan Judi. Surabaya : Paramita.

Pidarta, Made. 2004. Pendidikan Agama Hindu (Suatu Fondasi Utama). Unesa Unversity Press: Bali.Poloma, Margaret.M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Sedyawati, Edi. 2007. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.Sinar Ayu R.D, Ni Luh. 2010. Fenomena Babi di Kemaloq Lingsar Sebagai Pemersatu Umat Beragama di Lombok (Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta : Bentang.Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture. Jakarta : Ar-Ruz Media.Surada, Made. 2007. Kamus Sansekerta Indonesia. Denpasar : Widya Dharma.Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah ke Arah Persiapan Upakara-Upakara Yaja. Surabaya : Paramita.Surpha, I Wayan. 2004. Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Denpasar: Pustaka Bali PostSuryawan, I Ngurah. 2007. Ladang Hitam di Pulau Dewa. Yogyakarta : Galang Press.Suryawan, I Ngurah.2010.Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern : Bara di Bali Utara. Jakarta : Prenada.Titib, Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Balitbang PHDI Pusat bekerjasama dengan Paramita.Titib, Made.2004. Purana:Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya:Paramita.Van Der Kraan, Dr. Alfons. Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940. Mataram : Lengge.Wijaya, Nyoman. 2003. Serat Salib Dalam Lintas Bali : Menapak Jejak Pengalaman Keluarga GPKB 1931-2001. Denpasar : Yayasan Samaritan.Yudha, Ali Formen. 2004. Gagap Spiritual: Dilema Eksistensial di Tengah Kecamuk Sosial. Yogyakarta : Kutub.Yudhiarsana, I Made Agus. 2006. Penerapan Konsep Trimurti Dalam Proses Pemujaan Pada Komunitas Hindu di Kota Mataram (tesis). Denpasar : IHDN. Zoest, Aart van. 2003. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.