INKLUSIVISME PURA MERU SEBAGAI PUSAT PEMUJAAN MASYARAKAT HINDU
BALI LOMBOK DI CAKRANEGARA KOTA MATARAM (Perspektif Pendidikan
Agama Hindu) Oleh :I Wayan Wiharta Nadi
I. Latar BelakangInteraksi antar masyarakat Hindu Bali-Lombok
yang terjadi di Pura Meru memunculkan proses transfer pemaknaan
terhadap realitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya yang secara langsung merupakan sebuah pendidikan yang
terjadi dalam masyarakat. Pendidikan ini sangat penting bagi
keberlangsungan kehidupan sebuah masyarakat dan budaya dan
sebaliknya keberadaan budaya tersebut yang berupa persetujuan
terhadap penggunaan satu simbol bersama, sangat penting artinya
sebagai sebuah wahana pendidikan sosial bagi masyarakat
pengusungnya.Dari latar belakang yang digambarkan diatas,
penelitian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan pertanyaan :1.
Bagaimanakah bentuk inklusisvisme Pura Meru Cakranegara sebagai
pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota
Mataram?2. Apakah fungsi Pura Meru sebagai pusat pemujaan
masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram ?3. Apakah
makna yang terkandung dalam inklusivisme Pura Meru sebagai pusat
pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota
Mataram?Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji
simbolisasi sebuah tempat ibadah yaitu Pura Meru dalam masyarakat
Hindu Bali di Cakranegara Kota Mataram sebagai bentuk inklusivisme
yang dimanifestasikan dalam bentuk pemusatan pemujaan, sedangkan
secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan :1.
Bentuk inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat
Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram2. Fungsi inklusivisme
Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di
Cakranegara Kota Mataram 3. Makna inklusivisme Pura Meru sebagai
pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota
MataramII. Pembahasan2.1Bentuk Inklusivisme Pura Meru Sebagai Pusat
Pemujaan Masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara Kota Mataram
Perspektif Pendidikan Agama Hindu
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bentuk bentuk inklusivisme
Pura Meru sebagai pusat pemujaan masyarakat Hindu Bali Lombok di
Cakranegara kota Mataram perspektif pendidikan Agama Hindu adalah
sistem siddhikara, nyineb raga dan pujawali Pura Meru
Cakranegara.2.1.1 SiddhikaraSiddhikara adalah suatu sistem ikatan
dalam masyarakat Hindu Bali Lombok yang dikembangkan terutama untuk
tujuan menjaga kebersatuan sesama etnis di lingkungan sosial yang
sifatnya relatif lebih tidak homogen seperti yang dapat ditemui di
Bali. Sistem ini berkembang dalam masyarakat Hindu Bali Lombok
sejak jaman kerajaan sebagai jawaban mereka atas tantangan terhadap
eksistensinya pada saat mereka menjadi the other bagi kelompok
etnis lain. Siddhikara membentuk sebuah ikatan baru antar individu
sebagai sebuah kelompok tanpa mengindahkan batasan-batasan yang
biasanya menjadi dasar ikatan kelompok yang bersifat ekslusive
seperti misalnya kelas sosial, asal-usul genealogis, atau asal-usul
kewilayahan. Ikatan siddhikara dapat terbentuk dari individu yang
berbeda kelas sosial (berbeda kasta), tanpa mengindahkan wangsa
(kawitan) ataupun daerah asal individu yang hendak membentuk ikatan
siddhikara.Pada masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara yang
terikat sebagai pengamong sanggar di Pura Meru Cakranegara, ikatan
siddhikara ini sudah menjadi warisan dari nenek moyang yang
terpelihara turun temurun hingga kini bahkan seringkali ditemukan
tidak diketahuinya asal-usul atau siapa yang membentuk ikatan
tersebut dalam bentuk saling berjanji untuk mengikatkan diri dalam
sebuah ikatan persaudaraan sebagai sebuah siddhikara.Menurut Anom
(2005:47) siddhikara terbentuk antara lain karena purusa, saling
juang kajuang, berhutang budi, dan dipersaudarakan oleh Anak Agung.
Siddhikara yang terbentuk karena purusa artinya siddhikara tersebut
terbentuk karena masih adanya ikatan darah dari pihak laki-laki
(patrilineal), sedangkan juang kajuang artinya ikatan siddhikara
yang terbentuk karena adanya perkawinan. Siddhikara yang dilakukan
oleh masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara terdiri
dari tiga bentuk yaitu siddhikara parid, siddhikara sumbah, dan
siddhikara rojong. Siddhikara parid adalah dimana para anggota
siddhikara mengikat persaudaraan sampai dalam tingkat saling
memarid atau boleh saling nyarikin (makan/minum dari tempat yang
sama) dan juga boleh menikmati lungsuran dari sanggah kemulan
sesama anggota siddhikara. Siddhikara parid ini menurut penuturan
para informan sudah tidak lagi dapat diberlakukan secara kaku
karena generasi muda kurang dapat menerimanya, namun pengertian
tentang adanya ikatan tersebut tetap diteruskan kepada generasi
muda sehingga mereka mengetahui dengan pihak mana mereka terikat
sebuah siddhikara.Siddhikara sumbah berarti adanya ikatan kewajiban
terhadap setiap anggota siddhikara untuk ikut bersembahyang dalam
sebuah upacara kematian anggota lainnya. Dalam kasus tidak ada
ikatan siddhikara jenis ini, maka yang berkewajiban untuk ikut
bersembahyang dalam sebuah upacara kematian seseorang hanyalah
anggota keluarganya saja dan orang yang bukan anggota keluarganya
dapat dipandang sebagai melanggar norma adat bila ikut
bersembahyang. Siddhikara sumbah ini pun pada prakteknya telah
mengalami pergeseran makna karena adanya pengertian baru dalam
masyarakat bahwa keikutsertaannya dalam bersembahyang pada upacara
kematian seseorang merupakan penghormatan kepada yang meninggal.
Sebagian kecil orang melakukan tindakan ini dan tidak mendapat
sanksi sosial apa pun dari masyarakat walaupun hal itu tidak lantas
berarti bahwa mereka secara otomatis akan mendapat perlakuan yang
serupa dari pihak yang berkabung pada saat kematiannya kelak.
Ikatan ini mengalami pergeseran makna dari kewajiban seseorang yang
terikat dalam siddhikara sumbah dan bukan kewajiban orang di
luarnya, menjadi kewajiban seseorang yang terikat dalam siddhikara
sumbah dan hak bagi orang yang tidak terikat di dalamnya.Siddhikara
yang memiliki ikatan yang paling dalam adalah siddhikara rojong
yang berarti seseorang berkewajiban ikut melakukan persembahyangan
pada saat kematian anggota lain dan ikut memandikan serta bagi
anggota laki-laki berkewajiban ikut negen (menggotong) mayat ke
tempat pekuburan atau pembakaran. Anggotta siddhikara rojong juga
berkewajiban untuk mengikuti semua proses upacara kematian sampai
selesai, sedangkan non anggota biasanya hanya ikut sampai
mengantarkan ke pekuburan atau pembakaran, setelah mayat dibakar
non anggota siddhikara diperkenankan meninggalkan tempat sedangkan
anggota harus menunggu sampai selesai.Sejalan dengan premis teori
interaksionisme simbolis bahwa dalam suatu komunitas terdapat suatu
pembaharuan sikap yang menjadi suatu trend yang akan dipertahankan,
dihilangkan, atau dipebaharui maknanya, maka demikian pula yang
ditunjukkan oleh fenomena siddhikara dalam komunitas Hindu Bali
Lombok di Cakranegara yang menjadi pengamong sanggar Pura Meru.
Siddhikara yang pada awalnya merupakan respon terhadap tantangan
dari luar yang menuntut persatuan komunitas tersebut untuk dapat
mempertahankan eksistensinya, pada perkembangannya kemudian sejalan
dengan perubahan jaman dipertahankan dan diperbaharui maknanya oleh
masyarakat pengamong sanggar Pura Meru. Makna siddhikara yang
dipertahankan adalah maknanya sebagai sebuah ikatan suci yang
terbentuk dari perjanjian yang tidak hanya mengikat secara sekala
tapi juga secara niskala, sedangkan makna yang diperbaharui adalah
makna siddhikara sebagai ikatan sosial yang terbentuk karena
ketaatan atas titah Anak Agung menjadi suatu ikatan sosial yang
timbul dari kebutuhan akan ikatan yang didasarkan pada kesejajaran
hak dan kewajiban anggotanya. Dengan demikian sifat siddhikara
berubah dari kewajiban terhadap negara menjadi sebuah kebutuhan
sosial.Dalam perspektif pendidikan agama Hindu, ikatan siddhikara
adalah sebuah lingkungan yang memungkinkan bagi masyarakat Hindu
Bali Lombok di Cakranegara untuk melakukan transfer nilai kepada
generasi penerusnya. Nilai-nilai ini terutama menyangkut
norma-norma sosial kemasyarakatan dan untuk meneruskan budaya yang
dibangun oleh generasi terdahulu. Siddhikara juga merupakan sarana
untuk belajar membangun sebuah ikatan-ikatan baru dalam masyarakat
yang berguna sebagai modal sosial bagi individu di dalam masyarakat
tersebut. Putnam (dalam Field, 2010:6) menyatakan bahwa modal
sosial adalah bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan,
norma, dan jaringan, yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat
dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Dengan demikian, modal
sosial bagi individu dalam masyarakat Hindu Bali Lombok Cakranegara
yang terikat dalam siddhikara menjadi sesuatu yang sangat vital
bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sehingga prosesnya menjadi
sangat penting untuk dipelajari oleh generasi penerusnya. Sistem
social dan tata karma kemasyarakatan di Lombok khususnya pada
siddhikara, memberikan motivasi kepada warganya untuk beorientasi
kepada pentingnya nilai-nilai suka duka di dalam kehidupan
masyarakat. Nilai suka duka itu terwujud dalam semangat gotong
royong yang tampak jelas dalam aktivitas-aktivitas social yang
dilakukan oleh anggota siddhikara.Nilai-nilai suka duka sebagai
refkeksi dari rasa solidaritas social muncul dari azas kebersamaan
dan azas kekeluargaan, mendorong kepada warga banjar untuk
menyelaraskan dan menyerasikan hidupnya dengan sesamanya, karena
jiwa dan semangat yang demikian itu secara konsepsional dilandasi
oleh tat twam asi dalam falsafah Hindu (Surpha, 2006:85).
2.1.2 Nyineb RagaNyineb Raga memiliki arti yang serupa dengan
menyembunyikan identitas diri. Identitas ini biasanya terkait
dengan status sosial, asal-usul kedaerahan, maupun asal usul
genealogis. Pada suku Bali identitas-identitas tersebut seringkali
melekat pada nama individu dengan maksud untuk menunjukkan jati
diri mereka. Tindakan nyineb raga dimaksudkan untuk tidak
menonjolkan identitas tersebut dengan maksud-maksud tertentu.
Dengan demikian, nyineb raga dapat dipahami sebagai sebuah tindakan
yang sebenarnya kontradiktif dengan norma yang berlaku umum dalam
masyarakat yang menganggap penting untuk menunjukkan jati diri yang
dimilikinya. Pemakaian gelar kebangsawanan atau nama famili
biasanya berguna sebagai suatu modal simbolis bagi seseorang yang
menentukan eksistensinya dalam ruang sosial. Nyineb Raga lumrah
dilakukan dengan cara tidak memakaikan gelar pada nama individu
yang terkait dengan asal-usul mereka. Sebagai contoh, seorang
keturunan Gusti melepas gelar tersebut dengan cara tidak
mencantumkannya sebagai sebuah atribut yang melengkapi nama
individu.Dalam kasus masyarakat pengamong sanggar Pura Meru
Cakranegara, tindakan nyineb raga tidak selalu dilakukan dengan
cara menanggalkan gelar atau pun nama famili, namun tindakan itu
juga dimaknai sebagai tindakan tidak menonjolkan gelar atau nama
famili. Masyarakat pengamong sanggar Pura Meru membangun sikap
bahwa gelar atau nama famili yang melekat pada individu bukanlah
sesuatu yang harus dijadikan sebagai modal untuk menganggap diri
berbeda atau berstatus lebih tinggi daripada orang lain. Nama
famili maupun gelar lebih banyak dipahami sebagai sebuah warisan
budaya yang harus dilestarikan dan memiliki fungsi etika dalam
masyarakat. Artinya, seseorang dengan gelar atau nama famili
tertentu tetap mendapat penghormatan secara norma yang berlaku di
dalam masyarakat tanpa harus mendapatkan hak-hak istimewa yang
berlebihan. Salah satu fenomena yang terjadi adalah dengan tetap
digunakannya etika berbahasa kepada individu yang memiliki status
sosial yang secara adat lebih tinggi. Perlakuan itu bukanlah
bertujuan untuk meninggikan status seseorang atau sebaliknya bagi
orang yang memiliki status bukanlah merupakan sebuah privilige
namun semata-mata merupakan etika yang berlaku dalam norma adat
masyarakat.Tindakan nyineb raga dalam masyarakat pengamong sanggar
Pura Meru ditujukan untuk membangun interaksi yang bersifat
egaliter tanpa meniadakan hierarki sosial secara adat. Interaksi
yang egaliter ini memungkinkan setiap individu dalam masyarakat
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memberikan kontribusi
bagi komunitasnya. Interaksi yang egaliter ini juga menumbuhkan
rasa persatuan yang lebih kuat dalam masyarakat yang memandang
dirinya berada dalam kesetaraan status dengan anggota masyarakat
lainnya. Dengan keadaan ini sikap saling tolong menolong dan
toleransi menjadi berkembang kuat dan konflik kepentingan antar
individu atau kelompok individu dapat diminimalisir.Di sisi lain,
nyineb raga yang diyakini oleh banyak masyarakat pengamong sanggar
Pura Meru sebagai sebuah titah dari Anak Agung di masa lalu
memiliki dampak pengkaburan asal-usul genealogis mereka.Sebagian
besar anggota masyarakat pengamong sanggar Pura Meru sudah
kehilangan jejak soroh mereka yang mana hal demikian dalam
masyarakat Bali tradisional di Bali merupakan suatu hal yang sangat
penting. Mengingat asal-usul (kawitan) bagi masyarakat Bali adalah
sebuah hal yang sangat penting dan berkaitan erat dengan kegiatan
keagamaan. Dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru asal-usul
juga dianggap sesuatu hal yang sangat penting, namun
penamaan-penamaan klan/kawitan sudah tidak lagi dipergunakan.
Anggota komunitas Hindu Bali Cakranegara rata-rata tidak mengetahui
nama soroh mereka. Kecenderungan untuk kembali menelusuri asal-usul
genealogis merupakan sebuah kecenderungan yang baru-baru berkembang
dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara bersamaan
dengan menguatnya kecenderungan tersebut dalam masyarakat Bali di
Bali belakangan ini. Untuk sementara, kepentingan masing-masing
individu untuk kembali menelusuri asal-usul genealogisnya, tidak
mengganggu integritas komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara.
Para anggota komunitas walaupun sama-sama berkepentingan dengan
penelusuran asal-usul ini, juga berharap bahwa hal tersebut tidak
akan menjadi faktor yang memecah belah masyarakat.Dari perspektif
pendidikan Agama Hindu, tradisi nyineb raga merupakan sebuah proses
pendidikan yang mengajarkan tentang kesetaraan kedudukan manusia
dengan sesamanya. Tradisi ini merupakan pengejawantahan ajaran
Agama Hindu seperti misalnya vasudaiva kutumbhakam dan salah satu
nilai tri hita karana yang menyangkut aspek pawongan.
2.1.3 Pujawali Pura Meru CakranegaraPujawali Pura Meru merupakan
manifestasi puncak bagi bentuk inklusivisme dalam komunitas Hindu
Bali Lombok pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara. Pada momen ini
ditunjukkan meleburnya perbedaan-perbedaan sosial komunitas Hindu
Bali Lombok pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara menjadi satu
kesatuan yang setara dan saling menghormati. Para pengamong sanggar
masing-masing mengambil peran sesuai dengan yang telah menjadi
norma dalam komunitasnya tanpa menekankan pada perbedaan status
sosial dalam bentuk apa pun. Bentuk integrasi ini merupakan tujuan
dari strategi komunitas tersebut dalam rangka mempertahankan
eksistensinya di dalam ruang sosial dimana mereka adalah kelompok
minoritas.Pujawali Pura Meru jatuh pada purnamaning kapat dalam
sistem penanggalan Bali dan merupakan salah satu acara pujawali
yang mendapat perhatian masyarakat secara luas karena lokasi
prosesi yang terletak di jantung kota Mataram yaitu di wilayah
Cakranegara yang merupakan daerah pusat bisnis di Lombok atau
bahkan Nusa Tenggara Barat. Pujawali tersebut sekaligus merupakan
salah satu komoditas budaya yang memiliki nilai pariwisata yang
sebenarnya dapat dikembangkan lebih jauh oleh pemerintah kota
setempat. Tendensi ini ditunjukkan dengan selalu berkenannya
Walikota Mataram yang beragama lain untuk datang menghadiri puncak
acara pujawali Pura Meru Cakranegara sebagai tamu kehormatan setiap
tahunnya.Rangkaian upacara pujawali di Pura Meru dimulai dengan
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh pengamong sanggar di
pemaksan-nya masing-masing. Tiga hari menjelang upacara pujawali di
Pura Meru krama pura dari pemaksan masing-masing berangkat ke Pura
Meru pada pagi harinya untuk menghias atau memakaikan busana pada
sanggar atau pelinggih mereka.Esoknya dilanjutkan dengan
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh pengamong sanggar di
pemaksan-nya masing-masing seperti memasang abah-abah dan lapan.
Abah-abah adalah hiasan-hiasan sanggar, sedangkan lapan adalah
tempat untuk meletakkan banten pada saat upacara berlangsung. Sore
harinya dilanjutkan dengan matur piuning di Pura Klepug Mayura.
Menurut observasi peneliti, kegiatan ini tidak harus diikuti semua
orang namun cukup pemangku yang bertugas disertai beberapa orang
yang membawa banten.Pagi hari berikutnya (H-2) diadakan upacara
sabuh rah/tabuh rah. Tabuh Rah adalah salah satu rangkaian Upacara
Bhuta Yaja dengan ciri aplikasinya yang paling menonjol berupa
persembahan darah ayam / sata yang ditumpahkan dengan cara mengadu
dua ayam jago.Pada sore harinya jempana yang telah di beri busana
di Pura Pemaksan terlebih dahulu di bawa ke Pura Meru secara
bergelombang sehingga pada saat itu dapat ditemui di jalan-jalan
kota Cakranegara iring-iringan jempana dari masing-masing pemaksan
di berbagai wilayah Cakranegara berjalan menuju Pura Meru. Pada
sore harinya dilanjutkan dengan upacara ngadegan dan
persembahyangan bersama. Malam harinya, pengamong sanggar melakukan
pakemitan atau bergadang di Pura Meru. Pada saat inilah banyak
interaksi antar warga pengamong sanggar yang terjadi. Mereka tampak
akrab seperti suatu keluarga besar yang rukun dan bersatu.Satu hari
menjelang puncak acara pujawali di Pura Meru Cakranegara beberapa
warga atau krama di tugaskan mendak tirtha Pura Segara Ampenan.
Mendak ini dilaksanakan pada sore hari yang nantinya tirtha
tersebut mesandekan (mampir) di Pura Tanggun Desa Pajang Mataram.
Pagi hari pada hari H piodalan warga masyarakat Cakranegara
mempersiapkan diri untuk mengikuti upacara nyucian dan
persembahyangan bersama yang berlokasi di Pura Kelepug Mayura.Acara
nyucian ini dilanjutkan dengan upacara pujawali di Pura Klepug
Mayura. Selanjutnya, jempana kembali diarak ke Pura Meru dan
dilanjutkan lagi dengan upacara persembahyangan pujawali di Pura
Meru. Jadi, pada hari yang bersamaan komunitas Hindu Bali-Lombok di
Cakranegara melakukan dua kegiatan yaitu pujawali di Pura Klepug
Mayura dan pujawali di Pura Meru Cakranegara. Keesokan harinya
dilakukan prosesi nglukar di laksanakan di Pura Meru yang
dilaksanakan sebagai akhir upacara pujawali dan persembahyangan
bersama dengan mepurwa daksina di halaman utama mandala sampai
nistamandala sebanyak tiga kali putaran searah jarum jam. Seusai
mepurwa daksina di utama mandala dan nistamandala, mepurwa daksina
dilaksanakan di luar Pura yaitu dari pertigaan menuju pura mayura
sampai perempatan Cakranegara sebanyak tiga kali putaran searah
jarum jam. Setelah rangkaian acara tersebut usai seluruh jempana
diarak ke pemaksan masing-masing. Setibanya di pura pemaksan
sebelum masuk ke pelataran utama madala pura terlebih dahulu
diadakan upacara mesagan di luar areal pura atau di depan candi
bentar setelah itu kemudian jempana dibawa masuk ditempatkan pada
tempat semula di lanjutkan dengan persembahyangan bersama.Banten
atau sesajen untuk keperluan upacara ini disediakan oleh
masing-masing sanggar dengan sistem kekenian atau sistem penjatahan
banten yang dilakukan oleh krama Pura Meru memalui dewan sangkep
yang dilakukan menjelang upacara. Kekenian banten diberikan untuk
banten pada saat usaba dan nyuciang jempana di Pura Klepug Mayura.
Kerelaan masyarakat dalam menyumbangkan materi maupun tenaganya
dalam proses upacara pujawali di Pura Meru melukiskan sebuah usaha
untuk menjaga hubungan yang harmonis kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
juga kepada sesama manusia. Jadi proses ini menunjukkan dimensi
relijius sekaligus dimensi sosial dari hubungan masyarakat
pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara. Prosesi pujawali Pura Meru
Cakranegara merupakan sebuah sarana pendidikan yang lengkap bagi
masyarakat Hindu Bali Lombok Cakranegara yang mengandung
aspek-aspek pendidikan tattwa, susila, dan upacara yang merupakan
kesatuan yang membentuk ajaran agama Hindu itu sendiri. Dengan
demikian, keterlibatan masyarakat dalam upacara pujawali di Pura
Meru Cakranegara merupakan sebuah proses pembelajaran agama secara
non-formal yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat.
Walaupun demikian, proses pembelajaran ini di lapangan memang masih
banyak mengandung kekurangan-kekurangan. Beberapa hal yang bisa
diamati adalah bentuk pembelajaran yang semakin besar mengandalkan
pada kemampuan observasi masing-masing individu yang berperan dalam
menentukan kualitas pelajaran yang dapat diserapnya di lapangan.
Tentu saja hal ini juga berhubungan dengan tidak meratanya
pengetahuan dan keterampilan yang akhirnya diperoleh oleh
masing-masing individu dalam proses belajar tersebut.2.2 Fungsi
Inklusivisme Pura Meru Sebagai Pusat Pemujaan Masyarakat Hindu Bali
Lombok di Cakranegara Kota Mataram Perspektif Pendidikan Agama
Hindu
2.2.1 Fungsi Pendidikan TattwaFungsi pendidikan sraddha Pura
Meru berkaitan dengan penggunaannya sebagai wadah bagi umat Hindu
di Cakranegara dalam melaksanakan sraddha-bhakti terhadap Ida Sang
Hyang Widhi dalam berbagai kesempatan baik pada saat
piodalan/pujawali, persembahyangan pada saat hari raya (rainan),
maupun untuk kepentingan persembahyangan lain yang bersifat
insidental seperti mengadakan pakemitan, atau nyaur sot (membayar
kaul). Fungsi pendidikan sraddha Pura Meru merupakan fungsi yang
menduduki top of mind masyarakat Cakranegara. Fungsi Pura Meru yang
pertama kali diutarakan bila ada pertanyaan adalah fungsinya
sebagai tempat bersembahyang atau sebagai tempat suci Agama
Hindu.Fungsi pendidikan sraddha Pura Meru juga ditampakkan karena
merupakan tempat berkumpulnya semua bthara yang di puja di
pemaksan-pemaksan lokal para pengamong sanggar sehingga Pura Meru
dianggap sebagai tempat yang paling suci diantara tempat suci yang
lain oleh umat Hindu Bali Lombok di Cakranegara. Struktur pemujaan
yang bersifat inklusif dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru
tersebut merupakan cerminan dari penghayatan masyarakat terhadap
ajaran agama Hindu yang dianutnya. Kondisi-kondisi di atas
memungkinkan masyarakat untuk mengajarkan tentang
kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya kepada generasi penerus
untuk mempertahankan kelangsungan eksistensi Agama Hindu di
kalangan mereka. Pengenalan generasi muda terhadap Pura Meru dan
lingkungannya menghantarkan mereka pada pengenalan terhadap tempat
suci mereka dan lebih jauh terhadap apa yang dipuja di tempat
tersebut. Hal-hal ini sebagian besar diperkenalkan kepada mereka
dengan cara yang tidak formal artinya tidak ada forum khusus dimana
satu generasi yang lebih tua menerangkan apa yang mereka percayai
kepada generasi yang lebih muda. Pembelajaran tentang sraddha dalam
masyarakat pengamong sanggar Pura Meru lebih bersifat non formal
dan praktis dimana melalui praktek-praktek dan
percakapan-percakapan konsep sraddha yang dianut oleh masyarakat
diterangkan kepada generasi muda agar mereka tidak kehilangan jati
diri keagamaannya di tengah perubahan dan kondisi masyarakat
Mataram yang heterogen secara etnis maupun agama.Pendidikan sraddha
dan bhakti terlihat dari cara pandang tentang pemujaan di Pura Meru
oleh warganya dipandang dan dijadikan wadah, wahana, dan ajang
menyatukan pola pikir, sikap, dan perilaku yang memungkinkan bagi
dirinya untuk senantiasa meningkatkan pengabdiannya sesuai dengan
kodratnya dan atau karma (perbuatan)-nya berdasarkan atas amanat
agama Hindu dan para kawitan (leluhur) secara konsisten. Melakukan
pemujaan terhadap Tuhan dan leluhur memang adalah hal yang
diwacanakan dalam upacara pemujaan bersama di Pura Meru dan membuat
hal tersebut bagi masyarakat menjadi suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan secara turun temurun tanpa terputus sehingga hal
tersebut harus dilanjutkan kepada generasi muda. Dalam masyarakat
tertanam suatu pola pikir bahwa terhentinya palaksanaan upacara
karena tidak diwariskan kepada generasi penerus akan merupakan
suatu pengingkaran terhadap Tuhan dan leluhur dan oleh sebab itu
dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan
mereka.
2.2.2 Fungsi Pendidikan SusilaBagi masyarakat penyungsung-nya,
Pura Meru merupakan salah satu tempat yang paling memungkinkan
untuk menciptakan interaksi yang luas dengan anggota lain dari
wilayah yang berbeda di satu tempat. Pertemuan-pertemuan yang
terjadi di Pura Meru pada saat piodalan atau persembayangan lain
membangun koneksi antar masyarakat yang bersangkutan. Hubungan
tersebut tidak jarang berlanjut keluar lingkungan Pura. Hubungan
yang terjadi membuat masyarakat penyungsung Pura Meru menjadi lebih
dari sekelompok orang yang kebetulan bertemu pada tempat dan acara
yang sama, namun juga menciptakan suatu ikatan yang lebih
kuat.Interaksi masyarakat Cakranegara di Pura Meru sebagai wadah
pusat pemujaan pada saat piodalan Pura Meru dimulai secara intens
sebelum hari H dilaksanakannya piodalan tersebut. Menjelang
piodalan biasanya pemuka atau tetua dan warga dari masing-masing
wilayah mengadakan pertemuan (sangkep) untuk membahas pelaksanaan
piodalan pada tahun yang bersangkutan. Hasil-hasil sangkep ini
kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan mempersiapkan
upacara piodalan. Yang menjadi jadwal pertama biasanya adalah kerja
bhakti bersama untuk membersihkan Pura Meru dan lingkungannya. Pada
hari yang ditentukan, masyarakat dari berbagai wilayah yang berbeda
bersama-sama melakukan bersih-bersih di Pura Meru dan sekitarnya.
Dari observasi yang dilakukan, pada saat-saat awal kehadiran memang
terlihat masyarakat berkelompok menurut wilayahnya masing-masing
dan tidak berbaur dengan kelompok dari wilayah lain, namun lama
kelamaan kelompok-kelompok tersebut akan terpecah dan mulai
terbentuk kelompok-kelompok yang tidak berdasarkan wilayah asalnya.
Kelompok pembauran tersebut biasanya diawali dari adanya saling
kenal antar individu yang kemudian berlanjut dengan bercakap-cakap
sambil bekerja. Interaksi ini berkembang secara berantai sehingga
menghasilkan kelompok yang tidak lagi homogeny berdasarkan daerah
asalnya.Ikatan ini menimbulkan suatu rasa kebersamaan antar
penyungsung Pura Meru yang membuat hubungan sosial diantara mereka
menjadi harmonis. Keadaan ini didukung juga oleh keberadaan wilayah
yang menjadi tempat tinggal mereka yang saling berdekatan. Fenomena
ini sejalan dengan pendapat Durkheim (dalam Yudha, 2004:32) yang
menunjukkan fungsi agama sebagai sumber kohesi kelompok. Agama
merupakan spekulasi metafisik tentang susunan dan sifat-sifat
alami, namun dipadukan dengan bentuk-bentuk tingkah laku ritual dan
disiplin moral. Karakter ini merupakan sumber sikap altruistic yang
mempunyai dampak mengendalikan egoism, mendorong manusia untuk
berkorban tanpa pamrih, dengan demikian pula ia mengikatkan diri
dengan sesuatu yang berada di luar dirinya yang penuh melambangkan
cita-cita. Disinilah titik dimana inklusivisme Pura Meru sebagai
pusat pemujaan bagi masyarakat Hindu Bali Lombok di Cakranegara
Kota Mataram berfungsi sebagai sebuah pendidikan susila dimana
dalam proses bersosialisasi antar masyarakat, nilai-nilai susila
yang berlaku pada masyarakat tersebut mengemuka dan dipaparkan
kepada generasi penerus sehingga mereka menjadi tahu dan memahami
bentuk-bentuk susila yang berlaku dalam masyarakatnya. Dalam sebuah
masyarakat selalu dikenal pembagian etis atas baik dan buruk,
demikian pula dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru
Cakranegara. Cara berbahasa, baik itu irama maupun pilihan kosa
kata dapat menentukan penilaian masyarakat atas layak atau tidaknya
bahasa itu dipergunakan dan tentu saja merupakan patokan penilaian
masyarakat kepada si pengguna bahasa tentang kemampuannya
bersopan-santun dalam masyarakat. Pergaulan dalam masyarakat
pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara memaparkan
tingkatan-tingkatan bahasa terutama dalam penggunaan bahasa daerah,
tabu-tabu bahasa dalam masyarakat, dan tata sopan yang
dimanifestasikan dalam bentuk bahasa.Tata susila dalam bertingkah
laku dalam masyarakat pengamong sanggar Pura Meru Cakranegara juga
diteruskan kepada generasi muda melalui interaksi masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat di Pura Meru Cakranegara. Susila
dalam bertingkah laku ini mencakup hal-hal yang boleh dan tidak
boleh dilakukan atau apa yang patut dilakukan dan tidak patut
dilakukan pada kesempatan-kesempatan tertentu. Sebagai contoh
adalah pada saat ngayah yang dilakukan menjelang pujawali Pura Meru
Cakranegara. Pada saat itu generasi muda diharapkan sudah mulai
dapat memilah tingkah laku yang pantas dan tidak pantas untuk
dikemukakan di tengah-tengah komunitas. Hal ini mencakup sopan
santun saat bertemu dengan orang yang lebih tua atau dengan sebaya.
Generasi tua berfungsi sebagai kontrol yang mengingatkan generasi
muda akan aturan-aturan bertingkah laku dan dengan adanya keharusan
bagi generasi yang lebih muda untuk mentaati generasi yang lebih
tua, maka kontrol ini dapat berjalan dengan baik.
2.2.3 Fungsi Pendidikan SimbolikDalam kerangka interaksionisme
simbolik, fungsi simbolik Pura Meru dapat dipahami sebagai sebuah
simbol yang digunakan bersama dalam berinteraksi antar masyarakat
penyungsung-nya yang berasal dari 33 wilayah seperti yang talah
disebutkan. Hal ini terlihat dari keterlibatan mereka dalam
pemujaan bersama pada waktu piodalan dimana mereka membawa
masing-masing jempana dari wilayahnya dan menyatukannya di Pura
Meru. Dengan demikian, oleh masyarakat penyungsung-nya Pura Meru
dipahami sebagai sebuah pusat dan pemersatu sehingga terjadi
interaksi antar wilayah yang menunjukkan keharmonisan. Pemaknaan
Pura Meru sebagai pusat dari wilayah-wilayah tersebut memungkinkan
masyarakat untuk memandang bahwa hubungan antar penyungsung adalah
hubungan yang tidak sekedar bersifat profan, namun juga hubungan
yang bersifat sakral. Pandangan ini membuat masyarakat menjadi
bersifat sangat toleran dan cenderung menganggap saudara terhadap
masyarakat sesama penyungsung Pura Meru. Hubungan tersebut menurut
mereka bukan saja tercipta dari proses interaksi sesama manusia,
namun juga dipengaruhi oleh keberadaan bthara-bthara mereka yang
sama-sama di-linggih-kan di Pura Meru. Menengok sisi lain dari
fungsi simbolik Pura Meru, mengacu pada terminologi Bordieu, Pura
Meru merupakan modal simbolik bagi para penyungsung-nya yang pada
suatu waktu adalah modal simbolik yang sangat berarti besar. Hal
ini disebabkan karena pada waktu lalu, wilayah dan masyarakat
penyungsung Pura Meru diasumsikan sebagai keluarga besar kerajaan
Cakranegara sehingga pada masa jayanya mereka menikmati status
sosial yang cukup baik. Ini sejalan dengan Bordieu yang
mengasumsikan bahwa simbol-simbol dapat dijadikan sebagai sumber
kekuasaan kelas dominan. Mengacu Pada klasifikasi Grader seperti
dikutip Fox (2002:71) Pura seperti Meru yang didukung oleh istana
termasuk jenis pura negara. Mutahir (2011:73) menjelaskan bahwa
Bordieu berpendapat Strategi simbolis dilakukan guna mempertahankan
atau meningkatkan pengakuan sosial. Pada saat ini, fungsi Pura Meru
sebagai sebuah simbol yang dapat dijadikan modal simbolik oleh
penyungsung-nya sudah sangat berbeda dari jaman kejayaan kerajaan
Cakranegara. Keberadaan Pura Meru sebagai sumber legitimasi
kekuasaan dan status sudah tidak dapat lagi digunakan. Hal ini
tampaknya disebabkan oleh berbagai faktor terutama karena
perpindahan kekuasaan formal dari Raja ke tangan Pemerintah Pusat
dan Daerah. Hal tersebut diatas, tidak mengubah fungsi regional
Pura Meru yang tampak jelas pada kebiasaan membawa bthara-bthara
dari pemaksan-pemaksan yang ada di Cakranegara. Istana juga masih
memiliki fungsi koordinasi yang penting dengan kelompok pendukung
tradisional dan bekerjasama dalam menyediakan dana tambahan dan
memberi bantuan saat upacara-upacara besar khusus atau untuk proyek
pemugaran.Dalam masyarakat Bali-Lombok sendiri pun keanggotaan
sebagai penyungsung Pura Meru tidak lagi dapat menjamin status
mereka dalam arena sosial masyarakat sehingga pemaknaan mereka
terhadap keanggotaan tersebut juga mengalami perubahan dari
keanggotaan yang memiliki tendensi politis kepada tendensi sosial
relijius semata. Walaupun demikian, keberadaan Pura Meru masih bisa
berlaku sebagai modal simbolis bagi masyarakat Hindu Bali
Cakranegara dalam pengertian yang lain. Keanggotaan seseorang dalam
masyarakat penyungsung Pura Meru memungkinkan mereka memiliki
jaringan yang dapat dikonversikan menjadi modal sosial maupun modal
ekonomi. Hal ini setidaknya terbukti dengan direkrutnya
pemuda-pemuda untuk menjadi pecalang atau guide di Pura Meru.
Terhadap masyarakat di luar Pura Meru, keanggotaan seseorang dalam
masyarakat penyungsung Pura Meru juga menempatkan pada posisi yang
diperhitungkan. Pendidikan toleransi umat beragama, terutama yang
bersifat intern, dilakukan dengan cara menjaga dan mengembangkan
sikap inklusif dalam beragama dengan menerima adanya
kelompok-kelompok seagama yang memiliki bthara yang berbeda-beda.
Sikap ini sejalan dengan sifat agama Hindu yang dikenal inklusif
atau bahkan plural seperti tipologi yang digunakan oleh Alan Race.
Tipologi inklusif tersebut terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap
bthara-bthara selain yang mereka sembah sebagai wujud-wujud dari
satu sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya
pemahaman ini maka selama ini tidak ditemui tindakan-tindakan yang
secara religious bersifat ekslusif terhadap golongan lainnya. Sikap
tersebut menimbulkan fungsi laten yang berupa `terciptanya
kerukunan intern umat beragama di Cakranegara. Sikap inklusif
masyarakat dalam pemujaan bersama di Pura Meru juga dianggap
sebagai pelaksanaan pesan-pesan dari leluhur mereka agar selalu
hidup rukun dan bersatu antar warga wilayah yang sama-sama
nyungsung ke Pura Meru walaupun bthara yang disembah
berbeda-beda.Terkait dengan pandangan fungsional bahwa sebuah
sistem sosial cenderung untuk mempertahankan eksistensinya, maka
fungsi pendidikan ini merupakan sebuah fungsi yang memiliki
signifikansi yang cukup tinggi bagi sistem sosial masyarakat
Cakranegara. Pendidikan dalam artian sebagai sebuah usaha pewarisan
budaya merupakan hal yang menunjang keberadaan Pura Meru di
tengah-tengah masyarakat sehingga ia masih berfungsi dan sistem
sosial masyarakatnya masih terpelihara dengan baik hingga saat
ini.Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Inklusivisme
Pura Meru sebagai pusat pemujaan juga dapat dilihat dengan kerangka
yang dinyatakan oleh Parson sebagai prasyarat yang harus dipenuhi
untuk kelangsungan sebuah sistem sosial, yaitu :1. AdaptasiMenurut
Parsons (dalam Giddens, 2010:412) aspek simbolik kebudayaan sangat
penting bagi adaptasi. Hal ini disebabkan karena sistem simbol
memiliki peran pemandu dalam pengorganisasian sosial secara umum
dan dalam perubahan sosial. Ciri-ciri simbolik sistem sosial harus
dipelajari lagi oleh masing-masing generasi. Dengan demikian,
fungsi pendidikan Pura Meru Cakranegara adalah sebagai wadah bagi
generasi muda untuk mempelajari kebudayaannya yang dalam pengertian
ini adalah merupakan sekaligus agamanya karena, menurut Giddens
(2010:413) dalam bentuknya yang paling awal, kebudayaan kurang
lebih sama dengan agama. Simbolisme yang timbul dalam masyarakat
Hindu Cakranegara penyungsung Pura Meru merupakan constitutive
simbolism yang memberikan identitas kultural tertentu kepada
kelompok, yang terpisah dengan kelompok lain. Simbolisme semacam
itu senantiasa berhubungan secara langsung dengan hubungan
kekerabatan misalnya dalam bentuk mitos dewa-dewi nenek moyang yang
membangun komunitasnya. Mitos itu sendiri mempersatukan kelompok
sekaligus memberikan kerangka interpretative untuk menghadapi
krisis, dan ancaman dari dunia alami (Giddens, 2010:414).
2. Pencapaian (Goal Attainment).Berdirinya Pura Meru dan
berkembangnya masyarakat penyungsung dengan bentuk-bentuk hubungan
sosial yang khas merupakan manifestasi dari tujuan yang hendak
dicapai oleh komunitas yang bersangkutan. Pada kasus masyarakat
Bali-Lombok di Cakranegara, tujuan yang pada awalnya ingin dicapai
terutama adalah untuk menciptakan sebuah komunitas etnis yang
bersatu dalam menghadapi segala kendala dan tantangan di sebuah
ruang sosial yang baru. Tatanan masyarakat pengamong sanggar
berusaha mengkesampingkan asal-usul kedaerahan atau pun genealogis
masing-masing kelompok guna untuk mencapai ikatan baru yang kuat.
Karena dalam masyarakat Hindu Bali sikap sosial selalu dihubungkan
dengan sikap keagamaan, maka tempat suci atau dalam hal ini Pura
Meru dijadikan sebagai simbol sekaligus sarana dalam mencapai
tujuan tersebut. Tujuan eksistensi Pura Meru sebagai sarana untuk
mencapai tujuan menciptakan kelompok yang bersatu masih terus
dijaga oleh masyarakat Hindu Bali Cakranegara hingga kini walaupun
asumsi dasar yang melatarbelakangi perlunya persatuan tersebut
telah berubah dengan berubahnya struktur politik dari kerajaan
menjadi negara kesatuan.3. IntegrasiIntegrasi berarti bahwa sebuah
sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi
komponennya. Pada kasus masyarakat pengamong sanggar Pura Meru hal
ini dapat dilihat dengan jelas. Sistem tersebut menciptakan sebuah
pola hubungan kekerabatan baru dalam masyarakat yang terus menerus
diperbaharui melalui pengembangan ikatan persaudaraan melalui
siddhikara atau ikatan lainnya. Pemaknaan masyarakat bahwa sesama
pengamong sanggar adalah satu dalam ikatan kelompok (in-group),
menimbulkan suatu bentuk hubungan timbal balik yang bersifat
sukarela dan menjadi norma dalam masyarakat tersebut.4.
Pemeliharaan pola. Konsep ini diartikan bahwa sebuah sistem harus
melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun
pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi
(Latency). Fungsi ini dapat terlihat jelas dalam masyarakat
kelompok pendukung Pura Meru yang secara bersama-sama menjadi
sebuah sistem yang saling melengkapi satu sama lainnya. Keberadaan
sistem inilah yang pada gilirannya menjadikan masyarakat Hindu
Bali-Lombok Cakranegara menjadi sebuah masyarakat tradisional yang
solid dan bisa mempertahankan keberadaannya di wilayah tersebut
dalam waktu yang sekian lama dan menghadapi berbagai tantangan
perubahan. Masyarakat Hindu-Bali Lombok di Cakranegara masih
memelihara pola-pola kultural yang merupakan warisan dari nenek
moyang mereka meskipun bentuk sistem pemerintahan telah berganti
dari kerajaan menjadi republik dan kedudukan Cakranegara bukan lagi
menjadi sebuah teritori yang berdaulat namun sebagai bagian dari
pemerintahan Kota Mataram yang sedikit banyak mempengaruhi
ekslusifitas wilayah dan penduduk Cakranegara.Dari kerangka analisa
tersebut diatas dapat dilihat bahwa inklusivisme pemujaan di Pura
Meru Cakranegara adalah fungsional bagi sistem yang bersangkutan
karena menunjukkan pemenuhan prasyarat-prasyarat seperti yang
diajukan oleh Parson.
2.3 MAKNA INKLUSIVISME PURA MERU CAKRANEGARA SEBAGAI PUSAT
PEMUJAAN MASYARAKAT HINDU CAKRANEGARA KOTA MATARAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
2.3.1 Makna Pendidikan TattwaMasyarakat penyungsung Pura Meru
Cakranegara menafsirkan bahwa inklusivisme Pura Meru Cakranegara
sebagai pusat pemujaan adalah sebuah cerminan dari relijiusitas.
Hal ini karena menurut mereka sikap saling menghargai dengan orang
yang berbeda keyakinan adalah sebuah pengamalan ajaran agama Hindu
yang menekankan pada beragamnya cara memahami kebenaran walaupun
pada hakikatnya kebenaran tersebut adalah tunggal. Dengan demikian
maka dapat ditemukan bahwa sikap menghormati perbedaan dalam agama
dan keberagamaan dalam masyarakat Cakrenegara merupakan sesuatu
yang diyakini oleh umat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara berasal
dari ajaran agama Hindu itu sendiri atau dengan kata lain merupakan
sesuatu yang bersifat inheren. Bagi umat Hindu Bali-Lombok di
Cakranegara, bersikap inklusive berarti mengamalkan salah satu
ajaran agama Hindu.Selain berasal dari sumber agama, sikap
inklusivisme yang dipahami oleh masyarakat Cakranegara sebagai
suatu pengejawantahan sikap taat kepada petuah-petuah leluhur yang
tidak ingin timbul adanya pertentangan yang disebabkan oleh
perbedaan konsep agama dan keberagamaan. Seiring dengan
perkembangan jaman, masyarakat Hindu Bali Cakranegara saat ini
memaknai inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan di
Cakranegara sebagai salah satu bentuk Sraddha dan Bhakti terhadap
Ida Sang Hyang Widhi. Pemaknaan inklusivisme Pura Meru sebagai
salah satu bentuk sraddha menyangkut ketaatan masyarakat Hindu Bali
Cakranegara terhadap ajaran agamanya yang menunjukkan tingkat
kepercayaan mereka yang tinggi terhadap Tuhan sebagaimana yang
dipercayainya. Masyarakat Hindu Bali Cakranegara juga memaknai
sikap inklusiv tersebut sebagai suatu bentuk bhakti atau pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap inklusiv atau tidak
membeda-bedakan dimaknai sebagai sebuah manifestasi dari orang yang
memiliki kepercayaan dan pengabdian kepada Tuhan karena agama Hindu
mengajarkan sikap saling menghormati antar kepercayaan yang
berbeda-beda.Walaupun demikian, tidak banyak masyarakat yang
memahami maksud dan tujuan dari pujawali tersebut selain daripada
sebagai sebuah warisan budaya keagamaan yang harus dilestarikan.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan
kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui
konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang
masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat
birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk
menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa . Sikap
hegemonik masyarakat Cakranegara ini sejalan dengan teori Hegemoni
dari Antonio Gramschi. Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk
menerangkan berbagai macam cara control social bagi kelompok social
yang dominan. Dia membedakan antara pengendalian koersif yang
diwujudkan melalui kekuatan langsung atau ancaman kekuatan, dengan
pengendalian konsesual yang muncul ketika individu-individu secara
sengaja atau secara sukarela mengasimilasikan pandangan dunia atas
hegemoni kelompok dominan tersebut; sebuah asimilasi yang
memungkinkan kelompok itu untuk bersikap hegemonik (Ransome, dalam
Strinati, 2009:255).Dalam komunitas Hindu Bali-Lombok Cakranegara,
sikap inklusiv yang dutunjukkan kepada sesamanya dianggap sebagai
suatu cerminan dari ajaran agama yang mereka yakini yaitu
penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam keyakinan ke-Tuhanan.
Nilai-nilai tersebut diwariskan kepada generasi muda komunitas
Hindu bali-Lombok Cakranegara dengan penegasan bahwa nilai tersebut
bersesuaian dengan ajaran agamanya. Untuk menunjukkan keabsahan
pernyataan ini, generasi tua menunjukkan sloka-sloka yang dimaksud
yang berasal dari berbagai sumber kitab suci agama Hindu seperti
Bhagawadgita atau bahkan dari kitab Weda itu sendiri walaupun
terkadang hanya mengutip baris-baris tertentu yang sudah merupakan
adagium umum dalam masyarakat Hindu seperti ekam sat viprah bahuda
vadanthi atau vasudeva kutumbhakam. Diharapkan generasi muda tidak
meragukan kenyataan bahwa inklusivisme merupakan bagian dari ajaran
agama dengan cara merujuk pada sumber-sumber yang valid
tersebut.Dengan demikian maka makna pendidikan tattwa dalam sikap
inklusiv pada pemusatan pemujaan di Pura Meru Cakranegara adalah
bahwa sikap tersebut merupakan sikap yang berasal dari ajaran agama
sehingga dengan demikian harus diteruskan kepada generasi muda
melalui transfer pengetahuan tentang sifat inklusiv agamanya yaitu
agama Hindu.
7.2. Makna Pendidikan SusilaNenek moyang masyarakat Cakranegara
adalah kelompok etnis Bali yang pada awalnya datang ke Lombok
dengan motif yang bersifat militeristik seperti yang telah
dikemukakan di bab terdahulu. Perkembangan Cakranegara sebagai
sebuah kerajaan sangat berkaitan dengan perkembangan politik
kerajaan-kerajaan di Bali pada waktu itu. Gejolak politik di Bali
berhubungan dengan bergantinya penguasa kerajaan induk yaitu
kerajaan Karang Asem yang membuat perubahan yang sejalan pada
struktur kekuasaan di Cakranegara. Perubahan ini juga berpengaruh
pada komposisi sosial masyarakat Cakranegara dimana pihak penguasa
selalu ingin menempatkan orang yang dipercayainya sebagai pemegang
tampuk kekuasaan di Lombok untuk melanggengkan pengaruhnya. Ini
menyebabkan latar belakang penduduk di Cakranegara menjadi sangat
beragam baik stratifikasi secara vertikal maupun horisontal.
Penduduk Cakranegara memiliki struktur masyarakat yang terdiri dari
tingkatan sosial yang berbeda dan memiliki asal-usul genealogis
yang berbeda pula. Keragaman ini sangat potensial menjadi sumber
konflik intern masyarakat Cakranegara sehingga harus diredam
sedemikian rupa.Latar belakang historis ini membuat masyarakat
Cakrenegara memaknai kebersamaan mereka dalam melakukan pemujaan
bersama di Pura Meru sebagai sebuah bentuk dari dibangun, dijaga,
dan dikembangkannya ikatan sosial diantara mereka. Kebersamaan ini
memungkinkan mereka untuk membentuk ikatan-ikatan baru yang
melampaui batas-batas ikatan lama baik itu kasta maupun
pesorohan.Pada perkembangan modernnya, ikatan sosial bahkan
seringkali terbentuk dengan masyarakat pendatang baru yang bukan
asli orang Cakranegara namun berdomisili di Cakranegara atau di
wilayah mana saja di Pulau lombok dan sekitarnya yang aktif
mengikuti kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di Pura Meru. Mereka
biasanya adalah orang Bali-Lombok dari wilayah lain yang bergabung
dengan salah satu banjar pengamong sanggar Pura Meru karena pindah
tempat tinggal atau menikah dengan orang Cakranegara, atau bisa
juga pendatang etnis Bali dari Pulau Bali yang merasa perlu
mengikatkan diri secara adat keagamaan dengan etnis sebangsanya di
rantau untuk dapat menjaga kelangsungan kehidupan tradisi dan agama
mereka. Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu makna yang
dilekatkan pada sikap inklusive masyarakat Hindu Bali-Lombok di
Cakranegara adalah sebagai sikap yang diperlukan dalam membina
persatuan dan kesatuan masyarakat yang pada akhirnya akan bersifat
fungsional bagi keberlangsungan eksistensi sistem yang
bersangkutan.Implikasi dari adanya keyakinan tentang ajaran agama
yang bersikap inklusiv adalah adanya sikap etika yang juga bersifat
inklusiv. Etika inklusiv ini misalnya adalah sikap tidak
mengemukakan perbedaan atau pun strata sosial dalam masyarakat yang
dalam komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara ditunjukkan dengan
timbulnya ikatan siddhikara antar anggota masyarakat. Nilai-nilai
siddhikara ini dipandang sebagai sesuatu yang fungsional bagi
eksistensi komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara sehingga
ikatan tersebut beserta dengan etika yang terkandung di dalamnya
diwariskan kepada generasi penerus untuk dilestarikan dan bahkan
dikembangkan secara kuantitas dan kualitas. Pendidikan etika ini
diwariskan dengan cara melibatkan generasi muda dalam berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan siddhikara dan dengan cara lisan
dalam memberi pengetahuan tentang ikatan tersebut.
2.3.3. Makna Pendidikan KulturalSikap inklusiv dalam beragama
yang dimiliki oleh masyarakat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara
tercermin tidak hanya pada hubungannya dengan sesama orang beragama
Hindu, namun juga terhadap keberadaan umat beragama lain. Hal ini
dapat dilihat dari adanya masjid besar yang berdiri berdekatan
dengan Pura Meru sebagai pusat aktifitas relijius masyarakat Hindu
Cakranegara. Demikian juga dengan adanya sebuah bangunan Gereja
besar yang berdiri di sebelah Taman Mayura yang tentu saja
merupakan radius sakral bagi masyarakat Hindu Bali Cakranegara.
Selain sikap inklusiv dimaknai sebagai budaya adiluhung orang Bali
yang patut mendapat apresiasi karena menunjukkan superioritas
budaya, sikap terebut juga dianggap mendukung keberlangsungan
kehidupan agama dan budaya Bali dari generasi ke generasi. Dengan
demikian, inklusivisme Pura Meru sebagai pusat pemujaan bagi
masyarakat Hindu Bali-Lombok di Cakranegara juga memiliki makna
yang bersifat kultural dimana sampai saat ini kelompok kerajaan
masih dianggap berperan sentral sebagai tokoh budaya
mereka.Komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara memaknai segala
kegiatan dalam lingkup masyarakatnya adalah merupakan kegiatan yang
bersifat sosial budaya. Pada pemusatan pemujaan di Pura meru
Cakranegara, kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan budaya
sangatlah signifikan ditunjukkan oleh masyarakat pengamong sanggar
Pura Meru Cakranegara. Bentuk-bentuk budaya baik yang kasat mata
seperti produk-produk perlengkapan upacara (upakara) maupun
tari-tarian yang dipersembahkan dalam acara pujawali. Dengan
memaparkan hal-hal tersebut kepada generasi muda, masyarakat
Bali-Lombok di Cakranegara berharap bahwa kelak generasi muda dapat
meruskan dan menjaga nilai-nilai budaya yang merupakan warisan
turun-temurun dari pendahulu mereka, serta menghayati nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam segala bentuk produk budaya yang kasat
mata. Hal ini mengacu pada pemaknaan terhadap simbol-simbol budaya
yang dipakai oleh masyarakat Cakranegara.
III. SIMPULAN Bentuk inklusivisme Pura Meru Cakranegara sebagai
pusat pemujaan komunitas Hindu Bali Lombok di Kota Mataram terdapat
pada pembentukan kesatuan melalui ikatan siddhikara yang
mengkesampingkan penghalang tradisional berupa stratifikasi sosial,
nyineb raga yaitu dengan cara mengkesampingkan status sosial
sehingga membentuk hubungan sosial yang egaliter, dan
termanifestasi sekaligus disimbolisasikan pada upacara pujawali di
Pura Meru Cakranegara.Fungsi inklusivisme Pura Meru Cakranegara
sebagai pusat pemujaan komunitas Hindu Bali Lombok di Kota Mataram
perspektif pendidikan Agama Hindu dapat dibagi menjadi fungsi
pendidikan tattwa yang berkaitan sradha-bhakti masyarakat, fungsi
pendidikan susila yang berkaitan dengan pembentukan ikatan sosial
antar warga, fungsi pendidikan simbolik yang berkaitan dengan
penggunaan simbol-simbol dalam upacara pujawali sebagai simbolisasi
persatuan, dan fungsi pendidikan sebagai sarana untuk meneruskan
nilai-nilai tradisi kepada generasi muda.Makna inklusivisme Pura
Meru Cakranegara sebagai pusat pemujaan komunitas Hindu Bali Lombok
di Kota Mataram perspektif pendidikan Agama Hindu dapat dinyatakan
sebagai makna pendidikan tattwa dimana sikap inklusiv dianggap
berasal dan merupakan sebuah ajaran agama, makna pendidikan susila
dimana masyarakat beranggapan bahwa sikap tersebut perlu dalam
membina persatuan dan kesatuan demi eksistensi mereka, makna
pendidikan kultural dimana sikap tersebut dianggap sebagai sikap
yang menunjukkan keunggulan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Agung, Anak Agung Ketut. 1991.
Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok : Lintasan Sejarah
Kerajaan Karangasem (1660-1950). Denpasar : Upada Sastra.Agung, Ide
Anak Agung Gede. 1989. Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.Anom, Anak Agung Istri, dkk. 2005. Fenomena
Pesidhikaraan Komunitas Hindu Bali-Lombok di Kota Mataram
(Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Arcana, I Komang. 2010.
Peran Pura Muter Medain Dalam Mempersatukan Umat Hindu di Pulau
Lombok (Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Ardana, I Ketut.
2001. Masyarakat Multikultur, Sejarah dan Kerangka Teoritis,
makalah dipresentasikan pada kegiatan matrikulasi Mahasiswa Baru
Program Magister Kajian Budaya, Denpasar: Universitas Udayana,
Tahun 2001/2002, tanggal 3 Juli 2001.Bandem, I Made, dan Frederick
Eugene deBoer.2004. Kaja dan Kelod : Tarian Bali dalam Transisi.
Jogjakarta : Badan Penerbit ISI Jogjakarta.Barker, Chris. 2005.
Cultural Studies : Teori dan Praktek. Yogyakarta :
Bentang.Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.Bell, Judith. 2006. Doing Your Own Research Project
: A Guide for First Time Researchers in Education, Health, and
Sosial Science. Jakarta : Indeks.Budhita S, Nyoman, dkk. 2007.
Implementasi Konsep Ajaran Mpu Kuturan dan Dang Hyang Dwijendra
Dalam Pembangunan Parhyangan di Lombok (Penelitian). Mataram :
STAHN Gde Pudja.Darma Laksana, I Ketut. 2009.Tabu Bahasa : Salah
Satu Cara Memahami Kebudayaan Bali. Denpasar : Udayana University
Press.Dudwick, Nora, et.al. 2006. Analyzing Sosial Capital in
Context : A Guide to Using Qualitative Methods and Data.
Washington, D.C : World Bank Institute.Dwijendra, Ngakan Ketut
Acwin.2009.Arsitektur Bangunan Suci Hindu. Denpasar : Udayana
University Press.Field, John. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.Fox, J.Stuart. 2002. Pura Besakih: Pura, Agama dan
Masyarakat Bali. Denpasar : Udayana University Press.Genitri, Ida
Ayu Inten. 2008. Makna Air. Denpasar : Yayasan Spritual Dharma
Sastra.Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi : Dasar-Dasar
Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.Gorda, I, Gusti, Ngurah. 1999. Manajemen dan Kepemimpinan
Desa Adat Di Propinsi Bali Dalam Perspektif Era Global. Denpasar :
PT Widya Kriya Gematama.Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual
Agama. Yogyakarta : Pustaka.Kaplan, David dan Robert A. Manners,
2002, Teori Budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Munandar, Agus
Aris 2005.Istana Dewa Pulau Dewata. Jakarta: Komunitas
Bambu.Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu:
Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.Nordholt, Henk Schulte. 2002. Kriminalitas, Modernitas, dan
Identitas: Dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.Nordholt, Henk Schulte.2009.The Spell of Power. Denpasar:
Pustaka Larasan.Nth, Wildfred.2006.Semiotika. Jakarta:
Rajawali.Pidada Kniten, Ida Pedanda Putra dan Pinandita Nyoman
Gunanta, 2005. Tinjauan Tabuh Rah dan Judi. Surabaya :
Paramita.
Pidarta, Made. 2004. Pendidikan Agama Hindu (Suatu Fondasi
Utama). Unesa Unversity Press: Bali.Poloma, Margaret.M. 2007.
Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.Ritzer,
George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan berparadigma Ganda.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.Sedyawati, Edi. 2007. Budaya
Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : PT.
Rajawali Grafindo Persada.Sinar Ayu R.D, Ni Luh. 2010. Fenomena
Babi di Kemaloq Lingsar Sebagai Pemersatu Umat Beragama di Lombok
(Penelitian). Mataram : STAHN Gde Pudja.Stokes, Jane. 2006. How To
Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan
Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta :
Bentang.Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture. Jakarta : Ar-Ruz
Media.Surada, Made. 2007. Kamus Sansekerta Indonesia. Denpasar :
Widya Dharma.Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah ke Arah
Persiapan Upakara-Upakara Yaja. Surabaya : Paramita.Surpha, I
Wayan. 2004. Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Denpasar:
Pustaka Bali PostSuryawan, I Ngurah. 2007. Ladang Hitam di Pulau
Dewa. Yogyakarta : Galang Press.Suryawan, I Ngurah.2010.Genealogi
Kekerasan dan Pergolakan Subaltern : Bara di Bali Utara. Jakarta :
Prenada.Titib, Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama
Hindu. Surabaya : Balitbang PHDI Pusat bekerjasama dengan
Paramita.Titib, Made.2004. Purana:Sumber Ajaran Hindu Komprehensif.
Surabaya:Paramita.Van Der Kraan, Dr. Alfons. Lombok: Penaklukan,
Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940. Mataram : Lengge.Wijaya,
Nyoman. 2003. Serat Salib Dalam Lintas Bali : Menapak Jejak
Pengalaman Keluarga GPKB 1931-2001. Denpasar : Yayasan
Samaritan.Yudha, Ali Formen. 2004. Gagap Spiritual: Dilema
Eksistensial di Tengah Kecamuk Sosial. Yogyakarta :
Kutub.Yudhiarsana, I Made Agus. 2006. Penerapan Konsep Trimurti
Dalam Proses Pemujaan Pada Komunitas Hindu di Kota Mataram (tesis).
Denpasar : IHDN. Zoest, Aart van. 2003. Semiotika: Tentang Tanda,
Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan
Sumber Agung.