Page 1
L E G A L S T A N D I N G P E N G U J I A N U N D A N G - U N D A N G
O L E H M A H K A M A H K O N S T I T U S I R I
( Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Inggrit Ifani
NIM: 1111048000061
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
J A K A R T A
1436 H / 2015 M
Page 5
iv
ABSTRAK
INGGRIT IFANI. NIM 1111048000061. LEGAL STANDING PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI (Tinjauan Yuridis
dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M.
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan penemuan sebuah permohonan
Pengujian Undang-Undang tidak bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak
memiliki legal standing. Undang-undang atau lebih tepatnya pasal yang menjadi
objek permohonan a quo sangat krusial untuk diuji materiil. Namun berdasarkan
persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi hanya permohonan yang memiliki legal standing yang dapat
diujikan Mahkamah. Penelitian ini penting untuk melihat sejauh mana implikasi Pasal
51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan
menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Menggunakan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan putusan niet ontvankelijk verklaard pada kasus PUU untuk
membuktikan seberapa penting pasal a quo menentukan kedudukan hukum Pemohon
dalam PUU di Mahkamah Konstitusi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat yang ditentukan peraturan
perundang-undangan untuk memiliki legal standing beracara dalam PUU sangat
krusial. Lebih dari 50% putusan niet ontvankelijk verklaard yang tidak dapat
dipertimbangkan Mahkamah disebabkan oleh Pemohon tidak memiliki legal standing
seperti yang ditentukan ius constitutum. Akan menjadi suatu permasalahan ketika
undang-undang a quo membutuhkan pengujian konstitusionalitas.
Kata kunci: constitutional review, constitutional court, legal standing¸ doktrin
konstitusional.
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag.
Nur Habibi, SH.I., M.H.
Daftar Pustaka: dari tahun 1998 s.d tahun 2013
Page 8
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... .... v
DAFTAR ISI …………………………………………………………....... ..... ... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………… ......... 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………… ............................. 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6
D. Kerangka Teori ..................................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………......... .. 8
F. Metode Penelitian …………………………………………………... . 9
G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ………… .... ………………….. 13
H. Sistematika Penulisan ……………………………………….... ....... 14
BAB II HAK K O N S T I T U S I O N A L W A R G A N E G A RA DALAM
KONSTITUSIONALISME
Page 9
vii
A. Hak Konstitusional Warga Negara ……………………………... …. 16
B. Konstitusionalisme ……………………………………… .......... ….. 18
C. Proses Legislasi ………………………………………… ...... …....... 22
1. Proses Legislasi Formal ……………………………………........ 22
2. Proses Legislasi Politis ………………………………… .......... .. 23
D. Pengujian Undang-Undang ……………………………… .......... …. 26
1. Alasan Hukum Pengujian Konstitusionalitas ………… ...... …… 26
2. Judicial Review …………………………………… ..... ……….. 27
3. Legal Standing …………………………………… . …………... 29
BAB III PUTUSAN NIET ONTVANKELIJK VERKLAARD PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ……… ... ……………… 32
B. Bentuk-Bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi ... …………………. 33
C. Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard …… ....... ……………………. 34
1. Sebab Hukum Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard ……… ... ... 34
2. Rekapitulasi putusan Niet Ontvankelijk Verklaard …… ..... …… 35
3. Eksplanasi Putusan ………………………………… ...... ……… 37
D. Contoh Putusan Tidak Memiliki Legal Standing .............. ………… 38
1. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 MK ……........... ……………. 38
2. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 MK ............. ………............ 41
Page 10
viii
BAB IV LEGAL STANDING SEBAGAI IMPLIKASI BERLAKUNYA PASAL
51 UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI JUNCTO
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
A. Permohonan Tidak Memiliki Legal Standing Namun Krusial Untuk Diuji
…………………………………………………… .......... ………….. 45
B. Tinjauan Yuridis Limitasi Permohonan Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi ……………………………… ..... ………….. 60
C. Mahkamah Konstitusi Dituntut Mengembangkan Doktrin Konstitusional
Menyikapi Permohonan Yang Tidak Memiliki Legal Standing … ... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …….……………………………………………………. 68
B. Saran …………….………………………………………………....... 70
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………....... 72
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” mengatakan bahwa homo
homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).1 Pernyataan ini
dibenarkan oleh bukti-bukti pergesekan, konflik, ataupun perpecahan antar sesama
manusia. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam tataran lebih
kompleks yaitu kehidupan bernegara dibutuhkan aturan untuk menciptakan
keteraturan sosial. Di sinilah titik tolak yang membuktikan pentingnya eksistensi
hukum atau aturan.
Dewasa ini, tidak terbantahkan lagi melalui hukum kehidupan bernegara
diatur dengan dimanifestasikannya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum pada
setiap produk hukum yang ada. Dalam konteks Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
(lebih lanjut disebut DPR) bersama Presiden adalah lembaga yang memegang
peranan pembentukan undang-undang. Sesuai dengan teori Roscoue Pound bahwa
law is a tool of social engineering.2
Bersamaan dengan pemikiran Roscoue Pound, David M O’Brein dalam
bukunya Constitutional Law And Politics mengatakan “Most of the world’s 185
countries have written constitutions. Yet several do not, including Bosnia-
1 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta,
2007, Cet. Pertama), h. 4.
2 Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, Rajagrafindo, 2012), h. 41.
Page 12
2
Hergovenia, Libya, New Zealand, Oman, Qatar, Saudi Arabia, and Britain.”3
Menunjukkan mayoritas negara dunia bertendensi menuliskan konstitusinya,
membuktikan betapa penting konstitusi bagi suatu negara ataupun masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai konstitusi tertulis
yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (lebih
lanjut disebut UUD NRI 1945). Dalam tulisan ini jika berbicara tentang UUD NRI
1945 mempunyai substansi berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). UUD NRI 1945 adalah undang-undang dasar hasil amandemen sedangkan
UUD 1945 adalah undang-undang dasar 1945 sebelum diadakan perubahan.
Melalui sebuah konstitusi atau undang-undang dasar atau basic law sebagai
hukum tertinggi (valeur constitutionel), kita dapat melihat suatu negara mulai dari
bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan ataupun hak asasi
manusia. Hak Asasi Manusia (lebih lanjut disebut HAM) menjadi hak dasar yang
tidak pernah terlupakan eksistensinya, terlebih lagi setelah masa Orde Baru berakhir.
Ini dibuktikan dengan diaturnya HAM dalam suatu bab khusus UUD NRI 1945.
Pada perkembangan selanjutnya, tidak hanya HAM, namun hak yang diatur
dalam konstitusi ataupun undang-undang dasar atau basic law harus turut
direalisasikan. Hak ini dinamakan hak konstitusional. Yang diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang tidak boleh bertentangan
3 David M O’Brein, Constitutional Law And Politics Volume One “Struggles for Power and
Govermental Accountability, (New York: W.W Norton, 2003, Cet. Ketiga), h. 69.
Page 13
3
dengan Undang-Undang Dasar. Untuk itu diadakan sebuah lembaga negara untuk
melakukan pengujian undang-undang yaitu Mahkamah Konstitusi.4
Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of constitution mempunyai
wewenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (konflik peraturan
Pasal 24C ayat (1)) UUD NRI 1945 atau constitutional review / judicial review. Sejak
berdiri tahun 2003 sampai akhir 2014 Mahkamah Konstitusi sudah melahirkan
sebanyak 665 Putusan Pengujian Undang-Undang terdiri dari 163 Putusan Kabul, 243
Putusan Tolak, 191 Putusan Tidak Dapat Diterima, dan 68 Putusan Tarik Kembali.5
Mengingat konstitusi adalah resultan dari keadaan politik, ekonomi, sosial dan
budaya ketika konstitusi itu dibuat. Konstitusi menggambarkan kebutuhan dan
jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Melihat perkembangan masyarakat
selalu berubah dan mengikuti tantangan yang senantiasa berubah pula, maka
konstitusi sebagai resultan politik, ekonomi, sosial, dan budaya tertentu harus
membuka kemungkinan untuk diubah.6 Atau dengan kata lain konstitusi selalu
menjadi produk pada zamannya.7
4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook), h. 197.
5 Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id dan
dikonfirmasi dengan melakukan kunjungan pada Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Mahkamah Konstitusi RI pada 6 Mei 2015.
6 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara “Pasca Amandemen Konstitusi”,
(Jakarta, Raja Grafindo, 2011, Cet. Kedua), h. 20.
7 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction (Second Edition) “Hukum
Amerika” Sebuah Pengantar, (Jakarta, Tata Nusa, 2001, Cet. Pertama), h. 250.
Page 14
4
Undang-undang juga merupakan resultan dari suatu keadaan politik, ekonomi,
sosial dan budaya pada saat itu, maka pengujian terhadap konstitusionalitas atau
kadar konstitusional sebuah undang-undang adalah hal yang harus dilakukan.
Pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD merupakan
cerminan prinsip konstitusionalisme dan negara hukum yang terkandung pada Pasal 1
ayat (3) UUD NRI 1945.
Pakar hukum Eropa Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa negara hukum
dalam arti formal mengandung unsur-unsur yang berupa:8
1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Pemisahan kekuasaan negara.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Dan peradilan administrasi.
Melalui undang-undang dasar Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara
hukum, yang memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap HAM,
memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara, menjalankan peradilan administrasi,
dan juga menjalankan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Namun apa jadinya jika sebuah negara hukum masih mempunyai produk legislasi
yang buruk dan cenderung bermuatan politis serta tidak memberi kemanfaatan pada
warga negara.
8 A Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), h.
17.
Page 15
5
Berdasarkan fakta perkembangan hukum di banyak negara dunia, hanya
beberapa negara saja yang tidak mempunyai peradilan konstitusi ataupun mekanisme
constitutional review. Fakta ini membuktikan bahwa produk legislasi membutuhkan
pengawalan dalam rangka melindungi HAM ataupun hak konstitusional warga
negara. Lebih lanjut constitutional review diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011.9
Menimbang dalam promulgation ataupun pemberlakuan suatu undang-undang
berlaku asas fiktif, dimana setiap masyarakat dianggap mengetahui setiap undang-
undang yang disahkan. Padahal berdasarkan penelitian hanya 65 juta penduduk
Indonesia yang hidup diatas garis kemiskinan,10
tentu hal ini akan berpengaruh pada
pendidikan dan kesadaran kritis masyarakat dalam mengkritisi hukum. Maka menjadi
tugas mereka yang mengerti hukumlah untuk mengawasi produk legislasi, misalnya
undang-undang yang cacat yuridis, politis, ekonomis, kultural dan majerial.11
9 Dalam penelitian “Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard” Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI” ini pasal yang terkait langsung PUU adalah Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dengan menyisipkan Pasal 51 A untuk menambah persyaratan permohonan
PUU. Perubahan ini tidak merubah bunyi pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
10
Diakses 6 April 2015 pada http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/reducing-
extreme-poverty-in-indonesia.
11
Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2009, Cet. Ketiga), h. 145.
Page 16
6
B. Identifikasi Masalah
Beberapa pertanyaan yang kompatibel dengan judul ini adalah:
1. Apa fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi?
2. Apa yang dimaksud dengan pengujian undang-undang?
3. Bagaimana pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi?
4. Bagaimana persyaratan dalam melakukan permohonan pengujian undang-
undang ke Mahkamah Konstitusi RI?
5. Apa yang dimaksud dengan kerugian konstitusional?
6. Seberapa penting legal standing diterapkan dalam pengujian undang-undang.
7. Apa implikasi hukum diterapkannya legal standing dalam proses pengujian
undang-undang di Indonesia.
8. Apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan amanat undang-undang
dasar dalam melakukan pengujian undang-undang.
9. Bagaimana dengan permohonan yang tidak memiliki legal standing.
10. Jika kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian
konstitusionalitas, mengapa muncul kasus yang tidak dapat diuji (niet
ontvankelijk verklaard) oleh Mahkamah.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Page 17
7
Membahas tentang pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang adalah
hal yang luas. Namun dalam penelitian ini hanya membahas putusan niet
ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian memaparkan
putusan layak uji yang tidak memiliki legal standing sebagai akibat implementasi
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi
juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003. Untuk dianalisa sebagai hasil penelitian.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah yang
diuraikan, pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan wewenang Pengujian
Undang-Undang sesuai dengan amanat UUD NRI 1945?
b. Bagaimana kasus-kasus layak uji yang tidak memiliki legal standing sebagai
akibat implementasi Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi?
D. Kerangka Teori
Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya “Constitutional Government and
Democracy”, konstitusionalisme ialah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan
Page 18
8
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah.12
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui apakah Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan
wewenang Pengujian Undang-Undang sesuai dengna amanat UUD NRI 1945.
b. Untuk mengetahui sejauh mana legal standing menjadi sebab hukum
permohonan PUU tidak dapat diterima.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah khasanah keilmuan di bidang
hukum, khususnya dalam hal legal standing PUU.
b. Secara akademis, penelitian ini tergolong sebuah penelitian baru sebagai
referensi penunjang. Karena, belum ada karya ilmiah yang meneliti putusan
niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi.
c. Secara praktis, penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai bahan
evaluasi dan masukan untuk menentukan legal standing PUU. Serta untuk
meningkatkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis dan
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press,
2008), h. 39.
Page 19
9
F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang tidak menggunakan data primer yang diterapkan pada penelitian
kuantitatif namun hanya menggunakan data sekunder. Karena dalam penelitian
hukum, analisis yang lazim digunakan adalah analisis kualitatif bukan analisis
kuantitatif.13
Metode penelitian ini disistematisasikan dengan format sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris normatif. Penelitian
normatif adalah penelitian yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi
hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.14
Sedangkan penelitian empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum dan
penelitian terhadap efektifitas hukum.15
Penelitian normatif yaitu dilakukan melalui sinkronisasi peraturan perundang-
undangan terkait dengan PUU dan legal standing. Mulai dari UUD NRI 1945,
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
13
Bahan ajar perkuliahan “Metode Penelitian Hukum I” dengan Atho Mudzhar dan Asrori
Karni, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 41.
15
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 153.
Page 20
10
terkait aturan PUU dan legal standing. Sedangkan penelitian empiris yaitu dengan
mentabulasi 191 putusan niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi.
2. Pendekatan Masalah
Suatu penelitian hukum normatif harus menggunakan pendekatan perundang-
undangan,16
maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach). Bertolak dari hukum dasar yaitu UUD NRI 1945, kemudian
menggunakan peraturan organiknya yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, ditambah dengan Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011.
Dan juga menggunakan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengatur.
Penelitian hukum ini dalam rangka mempelajari penerapan norma-norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek,17
maka menggunakan pendekatan
kasus (case approach). Populasinya yaitu 191 putusan niet ontvankelijk verklaard
PUU oleh Mahkamah Konstitusi RI. Dikerucutkan dengan mengambil sampel
dari putusan niet ontvankelijk verklaard PUU yang disebabkan karena tidak
memiliki legal standing.
Selanjutnya dengan teknik acak mengambil tiga buah putusan untuk dianalisa
bahwa benar mempunyai kebutuhan hukum untuk dilakukan pengujian
konstitusionalitas. Dengan mewakili tiga ranting ilmu hukum yaitu hukum tata
16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008, Cet. Keempat), h. 302.
17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 321.
Page 21
11
negara diwakili oleh putusan nomor 151/PUU-VII/2009, hukum perdata yaitu
putusan nomor 58/PUU-XI/2013, dan hukum keuangan negara di bidang
perpajakan pada putusan nomor 3/PUU-VI/2008.
Sesuai dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki, yang paling penting dari
belajar hukum atau menulis karya tulis hukum itu adalah perbandingan hukum /
Rechtsvergelijking / comparative legal study.18
Maka penelitian ini juga
menggunakan pendekatan komparasi untuk membuktikan penyebab putusan niet
ontvankelijk verklaard dinominasi oleh legal standing.
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan
berasal dari data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu berupa perundang-undangan.19
Diperoleh
dari Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, UUD, UU, Keputusan
Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku hukum, dokumen-
dokumen resmi yang terkait dengan penelitian.
c. Bahan hukum tersier
18 Peter Mahmud marzuki, Penelitian hukum, (Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Kedua), h. 1.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009,
Cet. Kelima), h. 142.
Page 22
12
Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti kamus dan
ensiklopedia.20
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan penelitian, relevan dengan jenis
penelitian yang bersifat empiris normatif, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library
research) yakni upaya memperoleh data dari literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, majalah, koran, artikel, putusan Mahkamah dan sumber lain
yang kompatibel.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, dan lain-
lainnya akan penulis sajikan, uraikan dan hubungkan sedemikian rupa. Bahwa
cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.21
6. Metode Penulisan
20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1981, Cet. Pertama),
h. 52.
21
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 393.
Page 23
13
Dalam penyusunan tulisan ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai
dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Skripsi
(Judul)
Afidatussolihat, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji
Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Asean Charter (Analisa
Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011)”, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Jakarta, Tahun 2013.
Arie Setio Nugroho, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Memutus Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Studi Kasus: Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah KotaWaringin Barat), Fakultas Hukum, Universitas Andalas
Tahun 2011.
Penelitian saya, Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI (Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Tema
Afidatussolihat: Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
undang-undang ratifikasi.
Arie Setio Nugroho: Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Menyelesaikan Sengketa Pemilu Kada.
Penelitian saya: Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi.
Objek
Afidatussolihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
IX/2011.
Arie Setio Nugroho: Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat.
Penelitian saya: Putusan niet ontvantkelijk verklaard Mahkamah
Konstitusi RI.
Distingsi
Afidatussolihat: Skripsi ini meneliti kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian undang-undang
ratifikasi. Penulis mengambil objek penelitian
Page 24
14
sebagai undang-undang ratifikasi yaitu Perjanjian
Asean Charter, yang telah dilakukan judicial review
oleh Mahkamah Konstitusi.
Arie Setio Nugroho: Skripsi ini meneliti kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilu
kada. Dan mengambil kasus penyelesaian sengketa
Pemilu Kada Kotawaringin Barat oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai bahan uji.
Penelitian saya: Skripsi ini meneliti putusan niet ontvankelijk
verklaard Mahkamah Konstitusi dalam rangka
menjaga konstitusionalisme. Munculnya putusan
yang tidak memiliki legal standing namun krusial
untuk diuji menjadi objek vital dari penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan yang akan dibahas
dengan membagi ke dalam beberapa bab. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab
akan membuat tulisan lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan
yang utuh, sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Hak konstitusional warga negara dalam konstitusionalisme, membahas
hak konstitusional warga negara, konstitusionalisme, proses legislasi,
dan pengujian undang-undang.
BAB III Putusan niet ontvankelijk verklaard pengujian undang-undang oleh
mahkamah konstitusi, yaitu memuat Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, bentuk-bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan niet
Page 25
15
ontvankelijk verklaard dan contoh putusan tidak memiliki legal
standing.
BAB IV Legal standing sebagai implikasi berlakunya Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 membahas permohonan tidak
memiliki legal standing namun krusial untuk diuji, tinjauan yuridis
limitasi permohonan pengujian undang-undang oleh Mahkamah
Konstitusi RI berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dituntut
mengembangkan doktrin konstitusional menyikapi permohonan yang
tidak memiliki legal standing.
BAB V Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
Page 26
16
BAB II
HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
DALAM KONSTITUSIONALISME
A. Hak Konstitusional Warga Negara
Semenjak merdeka, Indonesia telah memasukkan Hak Asasi Manusia1 (HAM)
dalam konstitusi. Namun kemudian mengalami perkembangan ketika amandemen
UUD 1945 yang kedua mengatur HAM dalam suatu bab khusus. Perkembangan
selanjutnya, tidak hanya HAM namun setiap macam hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar harus terjamin dan terpenuhi. Hak hak yang diatur didalam undang
undang dasar inilah yang dinamakan dengan hak konstitusional.2
Adanya jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945 diikuti dengan
ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, serta pemenuhan menjadi tanggung
jawab negara, terutama pemerintah. Hal itu harus dilaksanakan, baik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan kebijakan, maupun tindakan penyelenggara
1 Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. (pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009
tentang Hak Asasi Manusia).
2 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Contitutional Complaint) “Upaya
Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 111.
Page 27
17
negara. Dalam rangka melindungi, memajukan, menegakkan, serta memenuhi hak
konstitusional warga negara.3
Oleh sebab itu diadakanlah suatu hak uji yang dimiliki oleh subjek hukum
yaitu individu, masyarakat hukum adat, badan hukum privat atau publik, dan lembaga
negara.4 Setiap peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak sesuai dan
bertentangan dengan UUD NRI 1945 mempunyai kesempatan yang sama untuk diuji
konstitusionalitasnya. Pengujian kadar konstitusionalitas ini merupakan salah satu
bentuk dari hak konstitusional warga negara.
Selaras dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah
satu perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20. Dengan mengembangkan asas-asas demokrasi di mana hak politik rakyat dan
hak asasi adalah tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Hak dasar
tersebut dijamin secara konstitusional dan diwujudkan secara institusional yaitu oleh
sebuah Makmakah Konstitusi.5
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berperan menegakkan dan melindungi
hak-hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional
3 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 197.
4 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316).
5 Soimin, Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2013), h. 50.
Page 28
18
rights) dan pelindung HAM (the protector of the human rights).6 Hal ini terbukti
dalam laporan Mahkamah Konstitusi menyampaikan telah menyeimbangkan
kepentingan negara yang berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara dan
menjaga agar tidak dikurangi, dibatasi, atau dilanggar.7
Didukung oleh pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Ahmad Sodiki
dalam sebuah simposium di Hotel Rixos, Ankara mengatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berperan memulihkan kembali hak konstitusional warga negara yang
dilanggar oleh berlakunya undang-undang melalui kewenangan menguji undang-
undang terhadap UUD.8 Maka kewenangan menguji konstitusionalitas undang-
undang mempunyai peranan penting terpenuhinya hak konstitusional warga negara.
B. Konstitusionalisme
Selama abad ke-16 dan ke-17 negara-negara bangsa (nation state) mendapat
bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan sangat berkuasa. Berbagai teori politik
berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem
kekuasaan yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini
6 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
2013, Cet. Pertama), h. 7.
7 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, h. 8.
8 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, h. 134.
Page 29
19
mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in-parliament’ yang pada dasarnya
mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.9
Berawal dari kekuasaan yang liar dan tidak terkendali, maka harus ada
konstitusi baik itu dalam sebuah negara Republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk
membatasi kekuasaan,10
paham ini kemudian berkembang menjadi
konstitusionalisme.11
Dengan tujuan utama pembatasan kekuasaan yang pada masa
sebelumnya tampak sangat luas dan seolah tanpa batas.12
Sehingga tidak ada lagi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Konstitusionalisme pertama kali muncul di Eropa Barat, dengan
mengembangkan dua konsep pokok yaitu:13
1. Konsep negara hukum atau di negara-negara yang terpengaruh oleh sistem hukum
Anglo Saxon disebut (The Rule of Law) menyatakan bahwa kewibawaan hukum
secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum
akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya).
2. Konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan, bahwa kebebasan warga
negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh
9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook), h. 19.
10 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogyakarta: Kreasi Total Media
Yogyakarta, 2007, Cet. Pertama), h. 10.
11 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945”, h. 190.
12 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 15.
13 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 17.
Page 30
20
konstitusi, dan kekuasaan itu pun mungkin memperoleh legitimasinya dari
konstitusi saja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konstitusionalisme diartikan sebagai
suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui
konstitusi,14 yang mengandung tiga esensi sebagai berikut:
15
1. A state, or any system of government, must be founded upon law, while the power
exercised within the state should conform to definite legal rules and procedures
(the idea of constitution or fundamental law). (Sebuah negara atau sistem
pemerintahan apapun harus didirikan di atas undang-undang, sedangkan
kekuasaan yang dijalankan di dalam negara harus sejalan dengan peraturan-
peraturan dan prosedur hukum yang tegas (mengacu pada konstitusi atau undang-
undang dasar)).
2. The institutional structure of the government should ensure that power resides
with, or is divided among, different branches which mutually control their
exercise of power and which are obliged to co-operate (the ideas of mixed
government, separation of powers, check and balances). (Bangunan institusional
pemerintah harus memastikan bahwa kekuasaan berada ditangan, atau dibagi-bagi
diantara, cabang-cabang yang berbeda yang saling mengontrol pelaksanaan
kekuasaan mereka dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (gagasan mengenai
pemerintahan campuran, pemisahan kekuasaan, sistem check and balances) saling
periksa dan menjaga keseimbangan).
3. The relationship between the government and the individual member of society
should be regulated in such manner that it leaves the latter’s basic rights and
freedom unimpaired. (Hubungan antara pemerintah dengan anggota perseorangan
masyarakat sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut
menjamin hak-hak dan kebebasan dasar yang disebut belakangan, anggota
perseorangan masyarakat, tidak dilanggar).
Dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan paham konstitusionalisme dipakai
di berbagai negara dunia sampai pada saat ini. Bahkan semakin mengukuhkan
kedudukannya sebagai paham ideal dalam sebuah negara hukum (rechtstaat). Namun
14 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 16.
15 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 16.
Page 31
21
belakangan muncul persoalan dari konstitusionalisme bahwa hukum dibuat dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hal ini muncul pertanyaan tentang bagaimana
pemerintah sebagai penguasa dapat beritikad baik untuk menaati hukum. Jawabnya16
“The fundamental problem with “constitutionalisme” is that laws are made and
enforced by governments so how can government under law be anything more than
a hope that our rulers will be benevolent? There are broadly four ways in which
constitutions have grappled with this. Ultimately though, all depend on political
good will.”
(1) By creating basic prinsiples of justice, and individual rights policed by courts
who are independent of the government.
(2) By splotting up power between different government bodies to ensure that no
one person has too much power (the separation of powers). This can be
achieved in various different ways, for example, division of function, division
between central and local powers.
(3) By adopting representative institutions of government that are chosen by the
people and can be removed by the people.
(4) And by providing for direct participation by the people in the process of
government decision making, for example, by holding referendum on important
issues and public enquiries into important proposal.
Bahwasanya masalah dasar dari konstitusionalisme adalah peraturan-
peraturan dibuat dan ditegakkan oleh pemerintah sekaligus. Maka harus ada empat
cara untuk menjaga konstitusionalisme, namun kesemuanya bergantung pada
kehendak politik yang baik. Empat cara itu adalah dengan menciptakan prinsip-
prinsip dasar keadilan dan penjaminan hak-hak individu, pemisahan kekuasaan agar
tidak terjadi pemusatan kekuasaan, pemerintahan yang dipilih dan diberhentikan oleh
rakyat, dan menyediakan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan
pemerintahan misalnya melalui referendum.
16 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 18.
Page 32
22
C. Proses Legislasi
Dalam rangka mewujudkan konstitusionalisme dan terpenuhi hak
konstitusional warga negara maka prinsip-prinsip yang tertuang di dalam UUD
diturunkan kedalam peraturan organik yaitu undang-undang. Dalam pembentukannya
terdiri dari dua proses yaitu proses legislative yang bersifat formal dan proses
legislative yang bersifat politis. Di Indonesia proses legislatifnya adalah sebagai
berikut:
1. Proses Legislatif Formal
Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPR adalah lembaga
yang memegang kekuasaan membentuk UU. Selain DPR kewenangan
membentuk undang-undang juga dimiliki Presiden. Oleh karena itu, Pasal 5 ayat
(1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR”.17
Selain itu, pasal 21 UUD 1945 menyatakan:
“Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.18
Setelah diajukan maka diadakan pembahasan rancangan undang-undang, yang
terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam Rapat Komisi, Rapat
Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna
17 Dalam pengajuan rancangan undang-undang harus meliputi latar belakang dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan jangkauan dan arah pengaturan yang tertuang dalam
suatu Naskah Akademik (diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
18 Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD “Buku
Panduan Seri 2”, (Jakarta: Saint Communication, 2004), h. 8.
Page 33
23
DPR.19
Pembicaraan tingkat I dilakukan untuk mendengarkan penjelasan dan
tanggapan pemerintah. Pembicaraan tingkat II adalah dilakukan oleh DPR yang
diakhiri dengan pengambilan keputusan.20
Kemudian RUU yang telah disetujui
bersama disahkan oleh Presiden.
2. Proses Legislatif Politis
Undang-undang dasar tatkala dirancang dan ditetapkan cenderung untuk
menggambarkan kepentingan-kepentingan dan keyakinan-keyakinan yang
dominan saat itu dan merupakan ciri atau karakter masyarakat saat itu.21
Hal
seperti ini juga berlaku dalam proses pembentukan undang-undang. Dimana
terjadi ritualisme adu kepentingan di antara para anggota dewan ketimbang
mewakili konstituen.22
Terjadi politisasi hukum di semua lini aktivitas hukum, baik proses
pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law
enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness
19 YLBHI, Panduuan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007, Cet. Kedua), h. 32.
20 Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD, h. 9.
21 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006), h. 97.
22 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen “Dari Politik Kampus Hingga Suksesi
Kepemimpinan Nasional, (Jakarta: IND HILL CO, 2008, Cet. Kedua), h. 358.
Page 34
24
process).23
Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan menteri Koordinator
Perekonomian dalam sebuah acara “United in Diversity Forum” bahwa:
…Intervensi politik yang demikian kuat membuat segala sesuatu bisa dilakukan
sekalipun bertentangan dengan peraturan dan hukum yang ada… Hal ini juga
yang membuat semua upaya perbaikan yang ada boleh dikatakan sangat rentan
guncangan.24
Hakim Konstitusi Mahfud MD dalam sebuah pertemuan dengan Duta Besar
Singapura menjawab pertanyaan Anil Kumar Nayar di Gedung Mahkamah
Konstitusi mengenai tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia, yaitu mengenai
tingkah laku politik (political behavior). Menurut Mahfud, tingkah laku politik di
Indonesia memiliki masa euphoria yang terlalu panjang. Sekarang Indonesia lebih
fokus pada perilaku politik ke depan, yakni bagaimana mengatur hukum-hukum
politik secara luas, tapi tidak boleh ada transaksi politik.25
Atas dasar ini berprasangka terlalu baik pada hukum (teks-teks) adalah hal
naif. Hukum positif (in abstracto) maupun penerapannya (in concreto) tetaplah
sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, sangat sulit membayangkan dalam proses
itu segalanya lantas dikatakan final sebagai netral dan bebas dari “permainan”
23 Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, (Yogyakarta, UII Press,
2005, Cet. Pertama), h. 34.
24 Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, h. 27.
25 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak
Konstitusional Warga Negara, h. 144.
Page 35
25
politik.26
Dikarenakan senantiasa ada kepentingan tersembunyi yang difasilitasi
oleh hukum.27
Oleh karena itu mempertanyakan hubungan kausalitas hukum dan politik, ada
tiga macam jawaban yang dapat menjelaskan. Pertama, hukum determinan atas
politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk
pada aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bahkan saling bersaingan.28
Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain,
karena meskipun hukum adalah keputusan politik namun begitu hukum ada maka
semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Jadi, aturan
hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling
bersaingan.29
Seperti itulah proses legislatif secara politis terjadi. Seperti kata H.M.
Koesnoe mentesiskan bahwa kadangkala substansi peraturan perundang-
26 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, h. 11.
27 Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review, h. 32.
28 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998), h. 8.
29 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 8.
Page 36
26
undangan membuat kejahatan hukum30
(misdalig recht),31
disinilah letak
pentingnya constitutional review. Sehingga produk legislatif yang buruk dapat
diuji kadar konstitusionalitasnya apakah telah bertentangan atau tidak sesuai
dengan konstitusi sebagai rechtsgulle (sumber hukum).
D. Pengujian Undang-Undang
1. Alasan Hukum Pengujian Konstitusionalitas
Konstitusi atau UUD sebagai produk politik sekaligus produk hukum
oleh suatu generasi, manakala substansinya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman dan tuntutan reformasi generasi berikutnya, jawabannya
tiada lain harus dilakukan perubahan. Tujuan perubahan UUD adalah:32
a. Mengubah, menambah, mengurangi, atau memperbaharui redaksi dan
substansi konstitusi (sebagian atau seluruhnya) supaya sesuai dengan
kondisi idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta kondisi
pertahanan dan keamanan bangsa pada zamannya.
30 Contohnya adalah UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
substansi pasal tertentu membangun kekuatan sentralistik dan cenderung menumbuhkan figure
pejabat-pejabat yang tiranis sentralistik serta korup, (dalam buku Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica
Marzuki).
31 Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum “Pikiran-Pikiran Lepas H.M. Laica
Marzuki”, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005, Cet. Pertama), h. 117.
32 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, h. 97.
Page 37
27
b. Menjadikan UUD sebagai norma dasar perjuangan demokratisasi bangsa
yang terus bergulir untuk mengembalikan paham konstitusionalisme
sehingga jaminan dan perlindungan HAM dapat ditegakkan, anatomi
kekuasaan tunduk pada hukum atau tampilnya supremasi hukum, dan
terciptanya peradilan yang bebas.
c. Untuk menghindari terjadinya pembaruan hukum atau reformasi hukum
yang tambal sulam sehingga proses dan mekanisme perubahan atau
penciptaan peraturan perundang-undangan yang baru sejalan dengan
hukum dasarnya, yaitu konstitusi.
Alasan dan tujuan revision / amandemen / perubahan pada undang-
undang dasar ini juga berlaku pada undang-undang. Saat substansi,
perkembangan zaman, dan semangat suatu undang-undang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan masyarakat, bertentangan dengan pelaksanaan HAM,
bertentangan dengan asas hukum dan teori hukum yang ada cukup untuk
menjadi alasan pengajuan judicial review suatu undang-undang.33
2. Judicial Review
Pengujian undang-undang acapkali dikaitkan dengan nomenklatur:
judicial review. Judicial review mempunyai cakupan makna lebih luas
daripada penamaan toetsingrecht atau hak menguji. Judicial review dalam
sistem hukum common law tidak hanya bermakna “the power of the court to
33 Draft RUU Mahkamah Konstitusi 2 Mei 2002 dan 11 Juni 2002, Pasal 84 ayat (2), 22;
bandingkan dengan draft RUU Mahkamah Konstitusi 15 Juli 2002, Pasal 78 ayat (2), 23; dan draft
Mahkamah Konstitusi 16 September 2002, Pasal 76 ayat (2), dalam (Mahkamah Konstitusi Lembaga).
Page 38
28
declare laws unconstitutional” tetapi juga berpaut dengan kegiatan
examination of administration decisions by the court.34
Yudicial review adalah pengujian peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh lembaga yudikatif.35
Yaitu dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusionalitas sedangkan Mahkamah Agung melakukan
pengujian legalitas.36
Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi menangani penyelesaian konflik atau pelanggaran norma yang
terdapat dalam UUD.37
Pada dasarnya hak menguji (judicial review) adalah hak bagi hakim
(atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Hak
menguji formal (atau formele toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian
terhadap cara pembentukan (pembuatan) serta prosedural peraturan
perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (atau materieele
toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi (materi)
peraturan perundang-undangan.38
34 Laica Marzuki, (Berjalan-Jalan di Ranah Hukum), h. 67.
35 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h. 3.
36 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005, Cet. Pertama), h. 6.
37 Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas UUD NRI 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.
Pertama), h. 95.
38 Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, h. 67.
Page 39
29
3. Legal Standing
Untuk melakukan permohonan PUU di Mahkamah Konstitusi maka
pemohon harus memiliki legal standing (kedudukan hukum). Persyaratan
untuk memiliki legal standing atau kedudukan hukum mencakup syarat
formal sebagaimana ditentukan undang-undang dan persyaratan materil
berupa kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang
sedang dipersoalkan.39
Jika didefinisikan kedudukan hukum atau legal standing adalah
keadaan di mana seseorang atau suatu pihak di tentukan memenuhi syarat dan
oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian
perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.
Dengan ditentukannya legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak
mempunyai hak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja
yang boleh menjadi pemohon, sesuai dengan adagium “ada kepentingan
hukum, boleh mengajukan gugatan (point d’interet point d’action)”. Legal
standing pemohon sangat penting, karena permohonan yang diajukan oleh
pemohon yang tidak mempunyai legal standing akan berakhir dengan putusan
39 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, h. 69.
Page 40
30
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).40
Dengan menunjuk pada Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya
telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki legal
standing. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang atau suatu pihak
mempunyai legal standing:41
a. Pemohon harus salah satu dari subjek hukum:42
(1) Perorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama);
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam
undang-undang;
(3) Badan hukum publik atau privat;
(4) Lembaga Negara.
b. Anggapan Pemohon bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu ketentuan undang-undang:
40 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 41.
41 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, h. 42.
42 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Pasal 51 ayat (1) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4316).
Page 41
31
(1) Adanya hak / kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
(2) Hak atau kewenangan konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji.
(3) Kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau
setidaknya-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi;
(4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
(5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut tidak akan atau
tidak akan terjadi lagi.
Selanjutnya dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi:43
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
43 Pada perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak ada perubahan redaksi pada pasal
namun ditambahkan Pasal 51 A mengatur ketentuan teknis PUU.
Page 42
32
BAB III
PUTUSAN NIET ONTVANKELIJK VERKLAARD PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, Mahkamah Konstitusi
dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan
sebagaimana mestinya. Karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the
guardian of the constitution seperti sebutan yang biasa dinisbatkan kepada
Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena disana tidak ada
Mahkamah Konstitusi.1
Dalam menjalankan fungsinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dilengkapi dengan lima kewenangan. Atau lebih sering disebut empat kewenangan
dan satu kewajiban, yaitu:2
1. Menguji konstitusionalitas undang-undang.
2. Memutus sengketa kewenangan konstitutional antar lembaga negara.
3. Memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum.
4. Memutus pembubaran partai politik.
1 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Kedua), h. 154.
2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.
155.
Page 43
33
5. Memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden melanggar hukum
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Dalam menjalankan empat kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi
melakukan penafsiran terhadap UUD, satu-satunya lembaga yang mempunyai
kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945. Karena itu, disamping berfungsi
sebagai pengawal UUD, Mahkamah Konstitusi juga biasa disebut sebagai The Sole
Interpreter of the Constitution.3
B. Bentuk-Bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dijelaskan bunyi amar putusan Mahkamah:4
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak mematuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 505,
dan) pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima;
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan;
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, yang
bertentangan dengan UUD Tahun 1945;
3 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MKRI, 2005, Cet. Pertama), h. 314.
5 Pasal ini telah dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi berdasarkan putusannya atas perkara Nomor 066/PUU-II/2004 yang diucapkan pada tanggal
12 April 2005. Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan mengenai hal ini karena Pasal 50
turut dimohonkan untuk diuji.
Page 44
34
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan;
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD Tahun
1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau
keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Sesuai dengan jenis penelitiannya (penelitian hukum empiris normatif), maka
dalam merealisasikan jenis penelitian hukum empiris penelitian ini mengambil 191
putusan niet ontvankelijk verklaard / tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi
dalam kasus PUU. Sebanyak 191 putusan tersebut adalah putusan PUU mulai dari
tahun pertama berdirinya Mahkamah yaitu 2003 sampai dengan tahun 2014.
Putusan niet ontvankelijk verklaard PUU tersebut, kemudian direkapitulasi
berdasarkan alasan apa perkara PUU tidak dapat diterima. Sesuai dengan judul
penelitian yaitu Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah
Konstitusi, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh legal standing
dalam PUU. Guna membuktikan bahwa legal standing sangat berpengaruh sebagai
syarat dalam PUU dan terkadang dapat membuat perkara layak uji tidak dapat
dipertimbangkan oleh Mahkamah.
C. Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard
1. Sebab Hukum Putusan Niet Onvantkelijk Verklaard
Dengan adanya kerugian konstitusional maka Pemohon memiliki legal
standing atau kedudukan hukum. Dan berdasarkan review terhadap 191 putusan
Page 45
35
niet ontvankelijk verklaard Mahkamah Konstitusi pada PUU, alasan suatu
permohonan dinyatakan tidak dapat diterima yaitu:6
a. Tidak memiliki legal standing.
b. Permohonan kehilangan objek (objectum litis).
c. Permohonan kabur (obscuur libel).
d. Pengujian formil sudah melewati batas waktu yang ditentukan.
e. Nebis in idem.
f. Permohonan tidak memenuhi syarat.
g. Tidak ada lagi norma yang diujikan / dihapus.
h. Mahkamah tidak berwenang mengadili perkara a quo.
2. Rekapitulasi Putusan Niet Ontvankelijk Verklaard
Berdasarkan rekapitulasi Mahkamah Konstitusi terdapat 191 Putusan niet
ontvankelijk verklaard dari tahun 2003-2014.7 Setelah didata ternyata hanya
terdapat 164 putusan yang benar-benar dinyatakan tidak dapat diterima / niet
ontvankelijk verklaard. Selebihnya terdiri dari putusan yang dinyatakan ditolak
ataupun dikabulkan untuk sebagian dan dinyatakan niet ontvankelijk verklaard
untuk selebihnya.
Sesuai dengan judul penelitian, maka yang akan menjadi objek hanya putusan
niet ontvankelijk verklaard bukan putusan niet ontvankelijk verklaard yang juga
dinyatakan kabul atau tolak untuk selebihnya. Berikut adalah tabulasi putusan niet
ontvankelijk verklaard disusun berdasarkan alasan yang dicantumkan pada setiap
putusan Mahkamah pada bagian KONKLUSI:
6 Populasi dalam penelitian ini adalah putusan niet ontvankelijk verklaard PUU oleh
Mahkamah Konstitusi pada tahun yang sudah tidak berjalan yaitu 2003-2014. Alasan-alasan ini adalah
hasil penelitian langsung peneliti terhadap 191 putusan Mahkamah tersebut.
7 Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id dan
dikonfirmasi dengan melakukan kunjungan pada Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Mahkamah Konstitusi RI pada 6 Mei 2015.
Page 46
36
a. Pemohon tidak memiliki legal standing = 84 Putusan
b. Permohonan kabur = 25 Putusan
c. Nebis In Idem = 22 Putusan
d. Permohonan kehilangan objek / objectum litis = 15 Putusan
e. Mahkamah tidak berwenang mengadili perkara = 12 Putusan
f. Pemohon salah dalam menentukan objek = 1 Putusan
g. Permohonan tidak memenuhi syarat = 1 Putusan
h. Norma yang menjadi objek dihapus = 2 Putusan
i. Pengujian formil telah melewati batas waktu = 1 Putusan
Total = 163 Putusan
Satu putusan lagi yaitu Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 yang tidak
memiliki legal standing dan Mahkamah juga tidak berwenang untuk mengadili.
Sengaja tidak dimasukkan kedalam kalkulasi putusan supaya lebih mudah untuk
dilakukan persentase. Dengan tidak dimasukkannya satu putusan ini, tidak
mempengaruhi hasil penelitian secara signifikan.
Jika dihitung dalam persentase hasil penelitian terhadap putusan niet
ontvankelijk verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Tidak memiliki legal standing =
× 100% = 51,53%
b. Permohonan kabur =
× 100% = 15,34%
c. Ne bis in idem =
× 100% = 13,50%
Page 47
37
d. Permohonan kehilangan objek / objectum litis =
× 100% = 9,2%
e. Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili =
× 100% = 7,36%
f. Pemohon salah dalam menentukan objek =
× 100% = 0,61%
g. Permohonan tidak memenuhi syarat =
× 100% = 0,61%
h. Norma yang menjadi objek dihapus =
× 100% = 1,23%
i. Pengujian formil telah melewati batas waktu =
× 100% = 0,61%
Total = 100%
3. Eksplanasi Penelitian
Putusan niet ontvankelijk verklaard yang disebabkan oleh pemohon tidak
memiliki legal standing adalah sebanyak 84 putusan atau 51,53% dari 163
putusan. Sedangkan 48,47% lainnya disebabkan pengujian formil telah melewati
batas waktu, obscuur libel, ne bis in idem, mahkamah tidak berwenang untuk
mengadili, norma yang menjadi objek dihapus / tidak ada lagi, permohonan tidak
memenuhi syarat, dan salah menentukan objek.8
Terbukti bahwa legal standing paling banyak berkontribusi menjadi penyebab
munculnya putusan niet ontvankelijk verklaard. Adalah sebuah ketidakadilan
ketika substansi perkara layak uji tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah karena
tidak memenuhi persyaratan prosedural. Fakta ini menunjukkan terjadinya
8 Tabulasi mengenai penelitian ini dilampirkan pada bagian lampiran dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari penelitian ini.
Page 48
38
diskriminasi dalam prosedur PUU oleh Mahkamah Konstitusi RI disebabkan
persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Hal ini dikarenakan landasan filosofi yang menjadi alasan terhadap setiap
PUU adalah kepentingan pemohon. Seperti pernyataan Mahkamah Konstitusi
bahwa pengajuan permohonan terhadap PUU harus didasarkan pada adanya
faktor kepentingan, oleh karena itu tanpa adanya kerugian hak konstitusional,
maka tidak ada dasar untuk mengajukan permohonan (zonder belang, het is geen
rechtsingang).9
D. Contoh Putusan Tidak Memiliki Legal Standing
Ditilik dari paham kedaulatan hukum sebagai suatu simbol “supremacy of
law” maka segala produk perundang-undangan seharusnya dapat diuji melalui proses
peradilan.10
Namun putusan berikut tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah karena
tidak memiliki legal standing:
1. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013
a. Pemohon
Pemohon dalam Permohonan Uji Materil PUU ini adalah:11
1) Okta Heriawan
9 Perkara Nomor 24/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
10
Abdul Latief, dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. (Yogyakarta: Total
Media, 2009), h. 16.
11
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 49
39
Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu
Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon I).
2) Achmad Saifudin Firdaus
Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu
Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon II).
3) Kurniawan
Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu
Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon III).
4) Sodikin
Pekerjaan Mahasiswa Fakultas Hukum Esa Unggul dan Sekutu
Komplementer CV. Pemuda Mandiri Sejati (sebagai Pemohon IV).
b. Objek Yang Diujikan
Yang menjadi objek pengujian materiil adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Yang berbunyi sebagai berikut:12
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
c. Petitum
12
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 50
40
Dalam permohonannya Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim
Konstitusi yang Terhormat untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai
berikut:13
1) Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang
diajukan oleh Pemohon;
2) Menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kedudukan
hukum yang mengikat.
3) Memerintahkan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan pengujian undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap UUD
1945 untuk dimuat dalam Berita Negara.
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
d. Konklusi
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, Mahkamah
berkesimpulan:14
13 Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
14
Perkara Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 51
41
1) Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo.
2) Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo.
3) Pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan.
e. Pemohon Yang Memiliki Legal Standing
Para Pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak dirugikan
dengan berlakunya pasal a quo. Dalam hal ini Pemohon tidak bertindak
sebagai debitur ataupun kreditur dan tidak mengalami kerugian secara
langsung oleh kesewenang-wenangan pasal a quo. Yang seharusnya menjadi
Pemohon untuk pasal a quo adalah debitor ataupun kreditor yang dirugikan
secara langsung dengan berlakunya pasal a quo. Seperti misalnya PT
Telkomsel yang dipailitkan PT. Prima Jaya yang juga mempunyai utang lain
kepada PT Extent Media Indonesia.15
2. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009
a. Pemohon
Permohonan ini dimohonkan oleh Hj. Lily Chadidjah Wahid yang
bekerja atau menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat /
Fungsionaris Dewan Pengurus Pusar Partai Kebangkitan Bangsa (DPP-
PKB).16
15
Diakses pada 2 Juni 2015 pada : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012 /10/11/09
303856/Telkomsel.Pailit.Dahlan.Iskan.Sindir.Telkom .
16
Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 52
42
b. Objek Yang Diuji
Objek permohonan adalah Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara adalah sebagai berikut:17
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta;
atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Penjelasan Undang-Undang a quo berbunyi:18
“Undang-Undang ini disusun dalam rangka membangun sistem
pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan
pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri
dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan
direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah. Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan
tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik.
Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan
urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya
yang lebih bertanggung jawab.
c. Petitum
Pemohon memohon kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
untuk berkenan memeriksa serta memberikan putusan atas permohonan a quo,
sebagai berikut:19
17 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara
Republik Indonesia Nomor 4916).
18
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara
Republik Indonesia Nomor 4916).
Page 53
43
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008,
serta Penjelasan Umum, paragraph 8, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 sepanjang mengenai frasa “diharapkan” dan frasa “dapat” adalah
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya
harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
3) Menyatakan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya,
konstitusional sepanjang dimaknai bahwa yang dimaksud dengan
“Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD” adalah
termasuk ketua umum atau sebutan lain pada partai politik.
4) Menyatakan bahwa bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008, sepanjang mengenai frasa “diharapkan” dan frasa “dapat”, tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Penjelasan Umum,
paragraf 8, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menjadi berbunyi,
“Bahkan seorang menteri melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya
termasuk jabatan dalam partai politik”.
5) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau bila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
19
Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 54
44
d. Konklusi
Berdasarkan fakta dan hukum yang terungkap di persidangan
Mahkamah berkesimpulan:20
1) Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo.
2) Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo.
3) Pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan.
e. Pemohon Yang Memiliki Legal Standing
Berdasar Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang
memiliki legal standing untuk pengujian pasal dan Penjelasan Umum undang-
undang a quo adalah subjek hukum yang dirugikan secara langsung oleh
ketentuan a quo bukan subjek hukum yang tidak dirugikan secara langsung
dengan adanya ketentuan a quo.
20
Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 55
45
BAB IV
LEGAL STANDING SEBAGAI IMPLIKASI BERLAKUNYA PASAL 51 UU
NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI JUNCTO
UU NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UU NOMOR 24 TAHUN 2003
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 191 putusan niet ontvankelijk
verklaard PUU oleh Mahkamah Konstitusi ditemukan beberapa hal pokok berikut:
A. Permohonan Tidak Memiliki Legal Standing Namun Krusial Untuk Diuji
Penelitian ini memberi ruang pada bentuk pertanyaan seperti, bagaimana
dengan produk legislasi yang harus diuji konstitusionalitasnya tapi tidak bisa
dimohonkan oleh subjek hukum yang tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi misalnya mengenai
undang-undang yang mengatur perihal ketatanegaraan yang tidak berdampak
langsung pada warga negara namun menodai asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan1 ataupun konstitusionalitas. Contohnya seperti:
1. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi
1 I.C. van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik
(beginselen van behoorlijke regelgeving) menjadi dua bagian yaitu asas yang formal dan asas yang
bersifat material. Asas formal meliputi: a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling)
b. asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan) c. asas perlunya pengaturan (het
noodzakelijkheids beginsel) d. asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) e. asas
konsensus (het beginsel van consensus). Sedangkan asas material meliputi: a. asas tentang terminology
dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek) b. asas
tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid) c. asas perlakuan yang sama dalam hukum
(het rechtsgelijkheidsbeginsel) d. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel) e. asas
pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling), dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007, Cet. Kelima), h. 253.
Page 56
46
Seperti yang terpapar pada bab sebelumnya pasal yang diujikan yaitu
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara
berbunyi sebagai berikut:2
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta;
atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Sedangkan Penjelasan Umum Undang-Undang a quo berbunyi:3
“Undang-Undang ini disusun dalam rangka membangun sistem
pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan
pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri
dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan
direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah. Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan
tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik.
Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan
urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya
yang lebih bertanggung jawab.
Jika dicermati terdapat inkonsistensi bunyi pasal dengan Penjelasan
Bagian Umum undang-undang a quo. Inilah yang menjadi objek permohonan
Pemohon dalam perkara a quo. Pada Bagian Konklusi Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
2 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara
Republik Indonesia Nomor 4916).
3 Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Negara
Republik Indonesia Nomor 4916).
Page 57
47
standing) untuk mengajukan permohonan a quo”. Sehingga dalam amar
putusan dinyatakan tidak dapat diterima / niet ontvankelijke verklaard.4
Didasarkan pada pasal 17 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan mengangkat
dan memberhentikan menteri-menteri, sebelum perubahan UUD 1945 tidak
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan
kekuasaan tersebut dalam praktik kenegaraan diserahkan secara mutlak
kepada presiden. Pengangkatan menteri-menteri dilakukan oleh presiden sejak
ia mendapat mandat dari MPR.5
Dan para menteri dapat diberhentikan oleh presiden di tengah-tengah
masa jabatannya. Pengangkatan ataupun pemberhentian para menteri dapat
dilakukan secara tertutup tanpa perlu meminta nasihat, mendapat usulan dan
pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga negara yang lain, karena ini
merupakan adalah hak prerogatif presiden.6
Begitu pula setelah amandemen UUD 1945, presiden dapat
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri kapan saja tanpa harus
meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga negara yang ada.
Namun yang membedakan ketika sudah diadakan amandeman adalah presiden
tidak bebas melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
4 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
5 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h. 119.
6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, h. 119.
Page 58
48
kementrian negara, karena semua itu diatur dengan undang-undang dan harus
mendapat persetujuan DPR.7
Karena pasca amandemen UUD 1945 Indonesia menganut sistem
pemerintahan presidential, lebih menekankan kabinetnya sebagai zaken-
kabinet daripada kabinet dalam sistem parlementer lebih menonjol sifat
politisnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang diangkat menjadi
menteri sudah seharusnya Presiden dan Wakil Presiden lebih mengutamakan
persyaratan teknis kepemimpinan daripada persyaratan dukungan politis.8
Dalam hal ini jika presiden mengangkat seorang menteri dari lingkup
elit partai politik itu dilakukan untuk mendapatkan suara di parlemen. Agar
tidak terjadi kebuntuan dalam penetapan program kerja pemerintah dalam
bentuk pengesahan APBN, penerimaan atau penempatan duta negara lain,
ataupun pembuatan undang-undang. Namun apa yang diamatkan oleh Pasal
23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tetap harus dilaksanakan.
Jika diperbandingkan kekuasaan presiden dalam mengangkat dan
memberhentikan para menteri ini berbeda dengan negara lain misalnya
7 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju.
8 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006,
Cet. Pertama), h. 62.
Page 59
49
Amerika Serikat, RRC, dan Jerman. Amerika Serikat dalam hal pengangkatan
menteri oleh presiden harus mendapat persetujuan senat.9
Sedangkan RRC (Republik Rakyat Cina) kewenangan mengangkat
atau memberhentikan menteri ada di tangan presiden menurut keputusan
kongres rakyat nasional atau komisi tetap. Dan Jerman negara dengan sistem
pemerintahan parlementer presiden mengangkat atau memberhentikan menteri
atas usul kanselir namun diambil sumpah di hadapan Bundestag.10
Untuk menganalisa tentang pengangkatan dan pemberhentian para
menteri yang dilakukan oleh presiden, Pemohon dalam Perkara a quo tidak
mempermasalahkan kewenangan pengangkatan yang ada pada kekuasaan
eksekutif saja yaitu presiden. Namun ketika para menteri yang diangkat oleh
presiden itu mempunyai jabatan ganda misalnya pimpinan partai politik, ini
dianggap bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara.
Dalam rangka mendapatkan kepastian hukum atas Pasal 23 undang-
undang a quo, Pemohon membawa 3 orang saksi ahli yaitu:
9 Pasal 2 bagian 2 angka 2 konstitusi Amerika Serikat: “…and he shall nominate, and by and
with the advice and consent of the senate, shall appoint ambassadors, other public ministers and
consul, judges of the supreme court, and all other officers of the united states,.. (dan dia harus
menetapkan melalui dan dengan saran serta persetujuan senat, mengangkat duta besar, duta dan
konsul, hakim mahkamah agung dan semua pejabat amerika serikat lainnya).
10
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, 226.
Page 60
50
a. Guru Besar Universitas Andalas Saldi Isra (Rangkap Jabatan Partai Politik
Merusak Sistem Politik)11
Rangkap jabatan pimpinan partai politik telah menyebabkan rusaknya
sistem presidensiil. Sistem presidensiil dibedakan dengan sistem
parlementer terkait penerapan teori pemisahan kekuasaan. Berbeda dengan
parlementer, sistem presidensil memisahkan secara jelas kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Sehingga tidak ada seorang anggota parlemen
yang dapat merangkap jabatan menjadi menteri.
Apalagi untuk ketua partai politik, dimana ada mekanisme recall yang
memberi keuntungan pada pimpinan partai politik untuk mengintervensi
legislatif. Sehingga ketua partai politik yang merangkap jabatan sebagai
menteri dapat mempengaruhi keputusan parlemen yang secara
konstitusional diberikan kewenangan untuk mengawasi eksekutif.
Menteri dalam mempengaruhi lembaga perwakilan rakyat dilakukan
melalui anggotanya yang ada di parlemen. Hal ini akan membuat ancaman
bagi kemandirian lembaga perwakilan rakyat. Karena anggota partai
politik yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan partai politik dapat
dikenai recall.
Pelarangan rangkap jabatan sesuai dengan teori pembatasan dominasi
elit agar tercipta tatanan yang demokratis. Menurut Philip Nonet dan
Philip Selznick dalam buku, Law and Society in Transition, Toward
Responsive Law, dominasi elit yang menguasai banyak kebijakan tersebut.
Ahli memandang kalau elit partai atau pimpinan partai ada di posisi
menteri lalu dia juga ada diposisi ketua partai, menurut ahli itu akan
terjadi dominasi elit. Dominasi elit yang menguasai banyak kebijakan
tersebut akan menghasilkan dominasi represif.
Salah satu upaya mencegah dominasi tersebut adalah pembatasan oleh
konstitusi dan atau oleh undang-undang. Dominasi represif semakin
potensial terjadi jika sistem atau praktik ketatanegaraan membenarkan
adanya rangkap jabatan antar pimpinan partai dengan menteri negara.
Langkah rangkap jabatan ini tidak lain adalah hasil dari koalisi, agar
presiden dominan dalam proses-proses politik.
Dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa undang-undang ini disusun
dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensiil yang efektif
dan efisien yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik
yang prima. Oleh karena itu, ditegaskan menteri dilarang merangkap
jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Komisaris dan direksi pada
perusahaan dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan APBD.
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
Page 61
51
Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepas tugas dan jabatan
lainnya termasuk jabatan dalam partai politik.
Tujuan mulia yang ada di dalam konsideran huruf b dan penjelasan
umum tersebut, menjadi kehilangan makna karena larangan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 huruf c Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tidak tegas dan mengambang yang menyatakan,
“Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang
dibiayai dari APBN dan APBD”.
Ketidakpastian yang terjadi akibat perbedaan norma yang terdapat
pada pasal a quo dan penjelasan umum, tidak terlepas dari kalkulasi
politik para penyusun Undang-Undang a quo yang lebih memelihara
kepentingan elit partai politik. Ketentuan Pasal 23 huruf c Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2008 menyimpang dari prinsip perumusan
norma berupa larangan yang bersifat imperative. Kalau larangan harus
dirumuskan secara imperative. Sedangkan pasal a quo bersifat fakultatif.
Maka rumusan pasal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004.
b. M. Fajrul Falaakh12
Penjelasan Pasal 23 mengandung penafsiran norma yang bertentangan
dengan norma pada batang tubuh Pasal 23 a quo. Di satu sisi Pasal 23
telah secara tegas menyatakan menteri dilarang merangkap jabatan pada
organisasi yang dibiayai oleh APBN dan/atau APBD. Tetapi penjelasan
mengandung pernyataan bahwa “diharapkan” seorang menteri dapat
melepaskan tugas dan jabatan lainnya termasuk jabatan partai politik.
Dengan demikian frasa “diharapkan” dan frasa “dapat” pada bagian
penjelasan dari pasal a quo justeru mengurangi kepastian norma hukum
pada pasalnya sendiri, sehingga dengan demikian bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945.
Pelemahan watak kepastian hukum pada suatu norma dalam undang-
undang oleh penjelasan norma itu jelas bertentangan dengan Pasal 22A
UUD NRI 1945, bahwa pembentukan undang-undang harus sesuai dengan
tata cara pembentukan yang diatur dengan undang-undang.
Angka 166 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan
“Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut, oleh karena itu hindari membuat rumusan norma
di dalam bagian penjelasan”. Angka 167 menyatakan dalam penjelasan
dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan.
12 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
Page 62
52
Berdasarkan analisis ini diharapkan menteri dapat melepaskan tugas-
tugas dan jabatan-jabatan lainya termasuk jabatan dalam partai politik
yang terdapat di dalam penjelasan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 haruslah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22A UUD
NRI 1945 yang mengharuskan tata cara pembentukan undang-undang
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
c. Thomas A. Legowo (Melepas Rangkap Jabatan Bagian Dari Etika
Politik)13
Kepentingan untuk menjalankan tugas sebagai menteri adalah
menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan
presiden untuk melayani seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Kepentingan
ini menuntut seorang menteri untuk bekerja di atas semua golongan dan
atau kelompok masyarakat. Sedangkan, kepentingan memimpin partai
politik adalah melayani demi mengembangkan kejayaan partai politik.
Lingkup pelayanan pemimpin partai politik terbatas pada anggota-anggota
dan lebih jauh sedikit kepada konstituen. Anggota dan konstituen satu
partai jelas berbeda dengan anggota dan konstituen yang lain.
Kepelayanan pimpinan satu partai politik terbatas kepada kelompok
masyarakat tertentu. Seorang menteri yang sekaligus menjalankan peran
kepemimpinan partai politik akan mudah terganggu dalam memberi
prioritas pelayanan dan lebih jauh dapat menumbuhkan kecurigaan terkait
pemanfaatan jabatan publik demi kepentingan partai politik.
Potensi konflik kepentingan seperti itu, menjelaskan secara gamblang
bahwa seorang menteri yang merangkap jabatan sebagai pimpinan partai
politik harus melayani dua tuan pada saat bersamaan. Menteri adalah
pembantu presiden. Maka ketika seseorang diminta presiden dan bersedia
menjadi menteri, pada saat itu juga ia terikat komitmen. Bahkan jikapun
tanpa kontrak politik secara etis juga mengabdi dan melayani presiden
hingga habis masa jabatannya.
Di Indonesia, kebiasaan politik tidak mengharuskan menteri
meninggalkan jabatan dalam partai politik. Jika seperti ini akan muncul
kompleksitas etika dari kesejajaran etik antara melaksanakan tugas
sebagai menteri dan pimpinan partai politik secara penuh waktu.
Pelepasan rangkap jabatan, sebenarnya membantu menteri terhindar
dari jebakan konflik kepentingan dan beban politik yang berlebihan.
Selain itu ada keuntungan pada partai politik, jika menteri menanggalkan
jabatan pimpinan partainya. Yaitu terciptanya regenerasi kepemimpinan.
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
Page 63
53
Ketiga pendapat hukum diatas memberikan memberi ulasan dari 3
aspek yang berbeda. Dr. Thomas A. Legowo meninjau dari aspek politis
bahwa rangkap jabatan tidak memberikan dampak yang menguntungkan
untuk menteri dalam menjalankan tugas pemerintahan ataupun menteri
sebagai pimpinan partai politik. M. Fajrul Falaakh memberikan tinjauan dari
aspek hukum, dimana Pasal 23 dan Penjelasan Umum a quo dipandang telah
bertentangan dengan UUD NRI 1945 yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (3).
Sedangkan Saldi Isra lebih meninjau pada aspek sistem pemerintahan.
Dengan segala argumentasinya ia menilai bahwa dengan rangkap jabatan
menteri sebagai anggota kabinet dan/atau pimpinan partai politik mengarah
pada sistem pemerintahan parlementer. Yang tidak sesuai dengan semangat
amandemen UUD 1945 yaitu mempertahankan dan purifikasi sistem
presidensil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurut hemat penulis, permohonan ini layak untuk di uji materiilkan
oleh Mahkamah Konstitusi RI. Karena selain bertentangan dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, uji materiil ini akan
memberikan kepastian hukum atas norma hukum yang diujikan. Karena jika
permohonan ini memiliki kedudukan hukum dapat dipastikan amar putusan
berbunyi permohonan dikabulkan.
Karena berdasarkan berdasarkan Pasal 56 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 telah menyatakan ketentuannya dengan jelas, bahwa
Page 64
54
setiap undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-
undang berdasarkan UUD 1945, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan. Namun sayang, permohonan ini tidak diujikan oleh Pemohon
yang memiliki legal standing.
Selain perihal ketatanegaraan juga ada norma hukum dalam ruang lingkup
hukum perdata. Yang tidak merugikan atau memberi ketidakpastian hukum
ataupun ketidakadilan untuk masyarakat, namun pada segelintir individu atau
badan hukum tertentu. Yaitu:
2. Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 MK
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya perkara ini juga
tidak memiliki legal standing¸ namun menurut hemat penulis sangat penting
untuk di uji materiilkan. Objek permohonannya yaitu Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Yang berbunyi:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Pada pasal ini syarat untuk dinyatakan pailit adalah:
a. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor.
b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal a quo, maka syarat
yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah minimal satu
Page 65
55
utang jatuh tempo dan minimal satu utang dapat ditagih, dan permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang. Syarat yuridis lainnya
adalah apabila syarat pailit sudah terpenuhi hakim harus “menyatakan pailit”,
bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga hakim tidak diberi ruang untuk
melakukan judgement yang luas.14
Pasal yang menjadi batu uji pasal a quo adalah Pasal 28 D ayat (1) dan
Pasal 28 G ayat (1) yang berbunyi:15
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman dari
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak asasi.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Guru Besar Universitas
Indonesia, Yusril Ihya Mahendra, semangat lahirnya Undang-Undang a quo
untuk memulihkan bank dari krisis 1998 dan melindungi bank dari debitor
nakal. Akan tetapi, setelah bank pulih dan kuat keadaan justeru terbalik. Bank
langsung dan dengan mudah memailitkan debitor tanpa alasan yang kuat.
Dengan bantuan mafia hukum seperti oknum pengacara, bank, pengadilan
14
Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
15
Republik Indonesia: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Page 66
56
niaga, kurator, lembaga lelang, dan pemenang lelang, debitor dapat
dipailitkan.16
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Nudirman Munir Anggota
Komisi III DPR RI, dalam seminar yang diselenggarakan pada 23 Mei 2013
di Universitas Esa Unggul dengan Tema “ Mengungkap Konspirasi Mafia
Hukum Dalam Kepailitan (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang) bahwa:17
Sejak disahkan dan berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU dimana menjadi panggung sejarah
mengenai perkara kepailitan di Indonesia. Sejalannya waktu dimana
perekonomian semakin kompleks dan perubahan paradigma hukum yang
cepat dimasyarakat mulai tampak kelemahan-kelemahan yang mungkin
dahulu tidak terpikirkan ataupun dikesampingkan namun memiliki dampak
yang sangat fatal, dimana terdapat kekosongan hukum dan celah-celah
yang dapat dimanfaatkan oknum-oknum, mafia hukum di peradilan niaga.
Ada beberapa masalah yang harus diperhatikan antara lain:
a. Syarat pailit yang terlalu sederhana serta tidak relevan lagi yang
terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU;
b. Insolvensi adanya di akhir pada saat proses pemberesan harta pailit
yang menyebabkan pihak-pihak yang tersangkut sering tidak
mengetahui secara pasti berapa harta debitor dan banyak perusahaan
yang solven dipailitkan.
Menurut hemat penulis syarat pailit yang diatur dalam Undang-
Undang a quo memberikan ketidakadilan bagi debitor yang mempunyai nilai
aset yang jauh melampaui nilai utang (sanggup bayar). Namun hakim
pengadilan niaga diharuskan menjatuhkan putusan pailit pada debitor yang
mempunyai 2 kreditor atau lebih. Syarat pailit yang tidak komprehensif dan
16
Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
17
Putusan Nomor 58/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Page 67
57
tidak memberikan keadilan bagi justitia bellen ini patut untuk diuji
materiilkan.
3. Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008
Permohonan ini diajukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan
dinyatakan tidak memiliki legal standing oleh Mahkamah Konstitusi. Objek
permohonannya adalah Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi:
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) adalah:
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli
dalam sidang pengadilan; atau
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan negara.
Norma hukum ini menyatakan bahwa BPK tidak akan mendapatkan
informasi mengenai wajib pajak bila tidak mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan. Dinilai kontradiktif dengan UUD NRI 1945 P asal 23E ayat (1)
“untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” oleh
Pemohon yaitu BPK.
Menurut hemat penulis Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak hanya
bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) tapi juga bertentangan dengan Pasal
Page 68
58
23G ayat 2 bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa
Keuangan diatur dengan undang-undang”.
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK diatur Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, seperti tersebut dalam
Pasal 6 dan Pasal 9 yang menyatakan:
“BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara”.
Pasal 9 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2006 “Dalam
melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau
dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah,
dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, seperti tersebut dalam
Pasal 3 ayat (1) menyatakan:
“Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara”.
Pasal 10 UU Nomor 15 Tahun 2004 huruf menyatakan “Dalam
pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat: a. meminta dokumen yang
wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara; b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset,
lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau
kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang
dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2004 juncto Pasal
2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Page 69
59
selanjutnya disingkat UU Nomor 17 Tahun 2003, BPK berwenang melakukan
pemeriksaan atas seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara
berupa pajak dan non pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara
maupun utangnya, memeriksa penempatan kekayaan negara serta penggunaan
pengeluaran negara.
Menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983
juncto UU Nomor 28 Tahun 2007, tidak semua data dan/atau keterangan
dapat diberikan kepada BPK selaku “lembaga negara” dimaksud, melainkan
hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat
umum tentang perpajakan. Meliputi: nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib
Pajak, alamat Wajib Pajak, alamat kegiatan usaha, merk usaha dan kegiatan
usaha wajib pajak.
Selain itu informasi yang bersifat umum tentang perpajakan yang
dapat diakses BPK adalah:
a. penerimaan pajak secara nasional;
b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau
Kantor Pelayanan Pajak;
c. penerimaan pajak per jenis pajak;
d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
e. jumlah Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
f. register permohonan Wajib Pajak;
g. Tunggakan pajak secara nasional dan Tunggakan pajak per Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Kantor Pelayanan Pajak.
Menurut Pemohon Pasal dan penjelasan a quo yang tersebut secara
nyata dan tegas mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1)
Page 70
60
UUD 1945 dan undang-undang lainnya sehingga sangat merugikan
kewenangan konstitusional Pemohon.”
Namun menurut penulis pertentangan antara pasal Pasal 34 ayat (2a)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan dengan undang-undang lainnya yang terkait dengan
kewenangan BPK yang diberikan oleh UUD telah bertentangan dengan Pasal
23G ayat (2) UUD NRI 1945.
Amanat peraturan organik Pasal 23G ayat (2) UUD NRI 1945 terdapat
pada Pasal 3 dan 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 6
dan 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ketika
tidak sesuai dengan pasal a quo maka secara tidak langsung telah
bertentangan dengan UUD.
Pendapat ahli mengenai permohonan ini yaitu Guru Besar Philipus M.
Hadjon yaitu:18
Fungsi pemeriksaan keuangan negara oleh BPK adalah dengan tujuan
untuk mencegah kerugian negara. Ruang lingkup pemeriksaan adalah
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (vide Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004).
Dengan demikian pembatasan sebagaimana yang dilakukan melalui
Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor
18 Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi RI.
Page 71
61
28 Tahun 2007 khusus berkaitan tugas pemeriksaan BPK adalah tidak tepat
dan mengakibatkan tujuan pemeriksaan tidak tercapai. Rahasia Wajib Pajak,
ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2006 menegaskan:
Dokumen ... yang diminta oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d hanya dipergunakan untuk pemeriksaan.
Oleh karena itu ratio legis Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (2a) UU
Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 tidaklah dapat
dijadikan alasan untuk menghambat tugas dan wewenang pemeriksaan
keuangan negara oleh BPK.
Apakah Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto
UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23E
ayat (1) UUD 1945? Cermin dari BPK yang bebas dan mandiri adalah tugas
dan wewenang yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 dan UU
Nomor 15 Tahun 2004. Dengan demikian, jelaslah bahwa Penjelasan Pasal
34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007
bertentangan dengan hakikat BPK yang bebas dan mandiri berdasarkan
ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Pendapat ini sesuai dengan BPK di negara lain. Dimana pemeriksa
atau auditor dapat melakukan review atas penerimaan pajak individual, dan
bahkan mereka diberi kewenangan khusus untuk menambah beberapa hal
yang menurut mereka mencurigakan, untuk dapat diperiksa/diaudit.19
Hal ini
berbeda dengan Indonesia dalam pemeriksaan pajak.
Berdasarkan Section 20 “The Lima Declaration of Guidelines on
Auditing Precepts” pada Kongres International Organization of Supreme
Audit Institutions (organisasi BPK se-dunia) ke-IX pada bulan Oktober tahun
1977 di Lima, Peru menyatakan bahwa BPK harus memeriksa penerimaan
pajak se-ekstensif mungkin sampai ke berkas individual wajib pajak.20
19 Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi RI.
20 Putusan Nomor 3/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi RI.
Page 72
62
Disini, yang diperlukan adalah putusan dari Mahkamah Konstitusi
untuk menilai apakah pasal yang mewajibkan kerahasiaan semua informasi
wajib pajak, termasuk dalam hal ini pada BPK sebagai lembaga pemeriksa
pengelolaan keuangan negara itu konstitusional atau tidak. Namun
permohonan ini tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi karena
tidak memiliki legal standing.
B. Tinjauan Yuridis Limitasi Permohonan Pengujian Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi RI Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Dapat dibuktikan bahwa pada setiap putusan PUU di Mahkamah Konstitusi
RI selalu mepaparkan kedudukan hukum Pemohon sebagai dasar permohonan.
Hal ini juga dikuatkan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
ditambah Pasal 51A ayat (2) poin b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Mahkmah Konstitusi. Bahwa dasar
Permohonan PUU meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan
hukum Pemohon (hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap
dirugikan), dan alasan pengujian.
Tanpa berspekulasi terhadap politik hukum para legislator, berlakunya
undang-undang a quo, sebenarnya yang terjadi adalah Mahkamah hanya menguji
permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang memenuhi persyaratan
administrasi dan legal standing. Namun ketika suatu undang-undang itu perlu
Page 73
63
diuji dan tidak dapat diujikan maka menurut hemat penulis disini telah terjadi
misdalig recht terhadap rakyat ataupun negara. Mahkamah Konstitusi seharusnya
melakukan upaya tertentu, yang tidak bertentangan dengan Pasal a quo dan
sejalan dengan UUD.
Ini adalah suatu kenaifan dan ironi ketika fungsi utama mendirikan
Mahkamah Konstitusi yang digagas oleh Hans Kelsen adalah menegakkan
konstitusi dengan kewenangannya untuk membatalkan suatu undang-undang jika
bertentangan dengan konstitusi.21
Namun ketika bangunan konstitusional itu
sudah jelas kemudian terkendala oleh pasal lain yang masih merupakan bagian
dari bangunan konstitusional itu sendiri.
Maksudnya adalah berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang
berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” tidak
memberikan limitasi pada PUU.
Tidak ada redaksi yang menentukan pembatasan terhadap permohonan PUU
mana yang dapat diuji dan tidak dapat diuji. Namun sebagaimana tertera pada
Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 memberikan kewenangan pada lembaga
legislatif untuk menentukan hukum acara PUU. Maka disini politik hukum dari
para pembuat undang-undanglah yang akan menentukan bagaimana persyaratan
21 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint) Upaya
Hukum Terhdap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, h. 191.
Page 74
64
PUU. Apakah setiap undang-undang yang bermasalah atau hanya undang-undang
yang diajukan oleh subjek hukum yang tepat saja.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Ahmad Syahrizal dalam menganalisa Pasal
50 Undang-Undang a quo.
Ketentuan Pasal 50 ini sebenarnya masuk ke dalam kategori “tidak
sesuai”22
(unvereinbar) terhadap Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945. Ketidaksesuaian muncul, disamping ketentuan Pasal 24 C ayat
(1) itu, juga ada dictum Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945
yang antara lain mengatakan; “…hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan ini maka secara interpretatif organ undang-undang
dapat membatasi periode undang-undang yang dapat diuji oleh Mahkamah
Konstitusi. Namun perlu disadari bahwa Mahkamah Konstitusi juga
memperoleh mandat konstitusional untuk menguji seluruh undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tanpa harus melihat kapan undang-
undang itu diundangkan. Dengan demikian, mahkamah dalam menerima
permohonan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak
mempersoalkan apakah undang-undang itu diundangkan setelah atau
sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Akibat dari terdapatnya
dua ketentuan yang sama-sama konstitusional, maka Pasal 50 UU Nomor
24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi itu dapat dikatakan tidak
sepenuhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.23
C. Mahkamah Konstitusi Dituntut Mengembangkan Doktrin Konstitusional
Menyikapi Permohonan Yang Tidak Memiliki Legal Standing
22 Dikatakan tidak sesuai karena disamping Pasal 24C ayat (1), ayat (6) UUD 1945
menyatakan; “pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang”. Oleh karena Undang-Undang Dasar
menentukan bahwa hukum acara dapat diatur melalui undang-undang, dan ternyata pengaturan oleh
undang-undang itu menyebabkan kekuasaan menguji undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi
terbatas hanya terhadap undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar
(Pasal 50 UU MK), maka keberadaan Pasal 50, secara teoritis tidak dapat dikatakan sepenuhnya
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
23
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi “Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, Cet.
Pertama), h. 267.
Page 75
65
Pengujian norma secara abstrak adalah mekanisme preventif bagi masa depan
produk legislasi yang diprediksi tidak konstitusional. Objek pengujian terfokus
persoalan-persolan bersifat umum dengan memusatkan pengujian pada seluruh
pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam suatu undang-undang.24
Berbeda
dengan Austria, Prancis ataupun Jerman yang menerapkan pengujian norma
abstrak.25
Indonesia tidak menerapkan pengendalian norma abstrak dalam proses
uji konstitusionalitas.
Cara pengujian yang seperti ini juga merupakan pembatasan yang dilakukan
oleh pembuat undang-undang. Yang membatasi atau mengambil bentuk
pengujian yang sifatnya represif saja. Memiliki perbedaan dengan sistem
pengujian konstitusionalitas yang pertama kali digagas oleh Hans Kelsen. Yaitu
dengan melakukan pengujian konstitusional terhadap norma yang bersifat abstrak
ataupun konkret (bersifat a posteriori (a posteriori review) ataupun a priori (a
priori review)).26
Dalam hal ini, tokoh hukum Indonesia Satjipto Rahardjo berpendapat, “jika
tidak dapat diujikan bahwa undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh
masyarakat akan ditidurkan (statutory dormancy) atau dikesampingkan
24
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Jala Aksara Permata,
2010, Cet. Pertama), h. 152.
25
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, h. 152.
26
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010, Cet. Pertama), h. 49.
Page 76
66
(desuetudo).27
Dan jika hakim hanya menjadi corong undang-undang maka
muncullah pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat.28
Meminjam istilah Satjipto Rahardjo bahwa karena tidak dapat diujikan maka
undang-undang-undang tersebut akan ditidurkan. Namun tidak hanya itu, hal ini
juga menyalahi prinsip supremasi konstitusi. Dimana prinsip kedaulatan rakyat
yang tercermin dalam supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip supremasi
konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, diutamakanlah prinsip
supremasi konstitusi.29
Disini Mahkamah Konstitusi dituntut untuk melakukan pengembangan
doktrin konstitusional tanpa harus melakukan perubahan pada UUD. Berangkat
dengan dasar hukum yang ada, mampu menampung kebutuhan dari
perkembangan hukum masyarakat. Misalnya melalui pengiriman sebuah note
kepada lembaga pembuat undang-undang agar melakukan mekanisme legislative
review atau amandemen terhadap undang-undang a quo yang tidak memiliki legal
standing namun bersifat krusial.
Mahkamah Konstitusi sebagai Guardian of The Constitution harus mengambil
sikap, oleh sebab undang-undang yang tidak dapat diujikan bertentangan dengan
UUD akan merugikan rakyat. Karena “rakyat itu harus tunduk dan mematuhi
27
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007,
Cet. Kedua), h. 96.
28
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, h. 38.
29
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, h. 152.
Page 77
67
setiap undang-undang” yang merupakan kehendak umum dari masyarakat yang
telah dilimpahkan kepada wakil-wakil rakyat.30
Fakta ini, dari sudut pandang sosiologis dapat terjadi karena tidak semua
masyarakat Indonesia mengerti hukum. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab I
bahwa Bank Dunia merilis data bahwa hanya 65 juta penduduk Indonesia yang
berada di atas garis kemiskinan. Dapat disimpulkan, bahwa mayoritas penduduk
Indonesia tidak mengerti hukum. Dikarenakan, tingkat kemiskinan tentu
berpengaruh langsung pada tingkat pendidikan masyarakat.
Dibutuhkan mereka yang mengerti hukum untuk mengambil alih peran dalam
melindungi masyarakat dari produk legislasi yang dinilai tidak konstitusional,
melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ataupun
misdalig recht. Namun langkah ini, tentu tidak dapat serta merta diterapkan.
Karena dibutuhkan kerugian konstitusional sebagai syarat pengajuan permohonan
pengujian konstitusionalitas.
Mekanisme pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh mereka yang
cakap hukum dalam mewakili masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan
hukum, dapat terlaksana jika dilakukan revisi pada Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.
30
Maria Faria Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan “Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan”, h.
121.
Page 78
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengujian undang-undang (PUU) merupakan bagian dari pengujian
konstitusionalitas. Berbeda dengan pengujian legalitas, PUU menjadikan
undang-undang dasar sebagai batu uji dan dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. PUU diatur dalam Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi dengan mensyaratkan adanya kedudukan hukum pada individu,
kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan
lembaga negara sebagai subjek hukum.
Untuk memiliki kedudukan hukum keempat subjek hukum tersebut
harus mempunyai hak / kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD dan dianggap telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji,
kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik), aktual atau bersifat potensial
yang menurut penalaran pasti akan terjadi, adanya hubungan sebab-akibat
(causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan, dan adanya kemungkinan jika dikabulkannya permohonan
maka tidak akan terjadi kerugian konstitusional.
Diluar empat subjek hukum diatas dan kerugian konstitusional
Pemohon permohonan PUU tidak dapat dipertimbangkan Mahkamah. Dan
ketika persyaratan prosedural terpenuhi maka Mahkamah dapat
Page 79
69
mempertimbangkan permohonan Pemohon dengan mengeluarkan putusan
berupa dikabulkan atau ditolak. Namun ketika tidak memenuhi
persyaratan prosedural maka amar putusan berbunyi tidak dapat diterima.
Dan jika Pemohon menarik kembali berkas permohonan sebelum putusan
Mahkamah maka amar putusan ditarik kembali.
Menurut hemat penulis berdasarkan penelitian ini Mahkamah
Konstitusi telah melakukan amanat konstitusi untuk melakukan PUU.
Dengan melahirkan 665 putusan PUU terhitung sampai akhir 2014,
Mahkamah Konstitusi sudah melaksanakan perintah UUD. 163 Putusan
Kabul, 243 Putusan Tolak, 191 Putusan Tidak Dapat Diterima, dan 68
Putusan Tarik Kembali1 merupakan wujud dari kedaulatan hukum yang
dimiliki oleh Mahkamah untuk menentukan konstitusionalitas suatu
undang-undang.
Dan untuk perkara-perkara yang tidak memiliki legal standing sesuai
dengan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi tanpa perubahan pada Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah dapat memutuskan
tidak dapat diterima jika permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud Pasal 51 Undang-Undang a quo.
1 Rekapitulasi Mahkamah Konstitusi diakses dari website resmi Mahkamah Konstitusi.
Page 80
70
Hal ini terjadi atas konsekuensi berlakunya Pasal 24 C ayat (6) UUD
NRI 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga legislatif untuk
menentukan hukum acara Mahkamah Konstitusi, tanpa memberikan
arahan teknis seperti apa prosedur pengajuan PUU di Mahkamah
Konstitusi. Sehingga PUU yang diamanatkan oleh Pasal 24 C ayat (1)
UUD NRI dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.
B. Saran
1. Tidak semua permohonan PUU dapat diuji formil atau materiilkan oleh
Mahkamah. Ketentuan ini mempunyai kelemahan dan kelebihan
tersendiri. Seperti yang tertuang dalam Bab IV tentang Constitutional
Review Di Mahkamah Konstitusi penulis menilai Mahkamah harus
menemukan dan memperluas doktrin konstitusional, serta
menghubungkannya dengan konstitusi. Sehingga dalam melaksanakan
UUD Mahkamah Konstitusi tidak bersifat kaku untuk menerima atau
memutus suatu perkara.
2. Untuk permohonan PUU yang dimohonkan oleh Pemohon yang tidak
memiliki legal standing, namun undang-undang yang menjadi objek
permohonan sangat krusial untuk diuji Mahkamah dapat memberikan
semacam note kepada lembaga legislatif.
Page 81
71
3. Mahkamah Konstitusi juga dapat memberi pendapat hukum terhadap
undang-undang / permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon. Pendapat
hukum ini, seyogianya dapat menjadi acuan bahwa benar undang-undang /
pasal / ayat a quo bersifat inkonstitusional.
4. Cara pengujian norma abstrak yang diterapkan di Jerman, Austria, dan
Prancis dapat dijadikan referensi dalam sistem constitutional review di
negara kita. Langkah Jerman untuk menegakkan supremasi konstitusi
dapat kita terapkan. Penerapan ini tidak mengharuskan perubahan pada
UUD karena hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur secara tersendiri
dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
5. Sistem penerapan constitutional review bertahap di Negara Federasi
Jerman dapat kita tiru untuk meminimalisir adanya putusan niet
ontvankelijk verklaard yang tidak memiliki legal standing. Karena dalam
pengujian abstrak dan konkret tidak mensyaratkan kerugian konstitusional
Pemohon. Dan ketika Pemohon sudah mengalami kerugian konstitusional
yaitu dengan dilanggarnya HAM Pemohon oleh suatu produk hukum
maka dapat menempuh upaya pengaduan konstitusional.
6. Melakukan amandemen undang-undang untuk mengubah mekanisme
pengujian konstitusionalitas.
Page 82
72
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Arto, A Mukti., Konsepsi Ideal Mahkamah Agung cet. 1. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Asshiddiqie, Jimly., Hukum Acara Pengujian Undang-Undang cet 1. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005.
. Komentar Atas UUD NRI 1945 cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
. Konstitusi dan Konstitusionalisme, (ebook)
. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
. Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
cet. 2. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Chaidir, Ellydar., Hukum dan Teori Konstitusi cet. 1, Jogyakarta: Kreasi Total Media
Yogyakarta, 2007.
Chrisnandi, Yuddy., Beyond Parlemen “Dari Politik Kampus Hingga Suksesi
Kepemimpinan Nasional cet. 2. Jakarta: IND HILL CO, 2008.
Page 83
73
Fajar, Mukti. dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction (Second Edition) “Hukum
Amerika” Sebuah Pengantar cet. 1. Jakarta: Tata Nusa, 2001.
Gaffar, Janedjri M., Demokrasi Konstitusional “Praktik Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945” cet. 1. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Ghoffar, Abdul., Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju cet. 1. Jakarta: Kencana, 2009.
Huda, Ni’matul., Negara Hukum, Demokrasi dan Yudisial Review cet. 1. Yogyakarta:
UII Press, 2005.
. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali
Press, 2008.
Ibrahim, Johnny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif cet. 4. Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Indrati S, Maria Faria., Ilmu Perundang-Undangan “Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan” cet. 5. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan
Hak Konstitusional Warga Negara cet. 1. Jakarta: Kepaniteraan dan
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2013.
Page 84
74
Latief, Abdul. dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta:
Total Media, 2009.
Marzuki, Laica., Berjalan-Jalan di Ranah Hukum “Pikiran-Pikiran Lepas H.M.
Laica Marzuki” cet. 1. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian hukum cet. 2. Jakarta: Kencana Pranada Media
Grup, 2006.
. Penelitian hukum cet. 5. Jakarta: Kencana Pranada Media Grup,
2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara “Pasca Amandemen Konstitusi”
cet. 2. Jakarta: Raja Grafindo, 2011.
. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.
O’Brein, David M., Constitutional Law And Politics Volume One “Struggles for
Power and Govermental Accountability cet. 3. New York: W.W Norton,
2003.
Palguna, I Dewa Gede., Pengaduan Konstitusional (Contitutional Complaint)
“Upaya Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara” cet. 1.
Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Rahardjo, Satjipto., Membedah Hukum Progresif cet. 2. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2007.
Page 85
75
. Sisi Lain Dari Hukum Indonesia cet. 3, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009.
Roestandi, Achmad., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum cet. 2. Jakarta: Rajagrafindo, 2012.
Sekretariat Nasional ADEKSI, Meningkatkan Kinerja Fungsi Legislasi DPRD “Buku
Panduan Seri 2”. Jakarta: Saint Communication, 2004.
Sinamo, Nomensen., Perbandingan Hukum Tata Negara cet. 1. Jakarta: Jala Aksara
Permata, 2010.
Soekanto, Soejono., Pengantar Penelitian Hukum cet. 1. Jakarta: UI-Press, 2010
Soimin dan Mashuriyanto, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia cet. 3. Yogyakarta: UII Press, 2013
Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo, 2006.
Syahrizal, Ahmad., Peradilan Konstitusi “Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif” cet. 1.
Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Page 86
76
Thalib, Abdul Rasyid., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia cet. 1. Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2006.
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum cet. 2, Jakarta: YLBHI, 2007.
REGELS:
Republik Indonesia: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Republik Indonesia: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
VONNIS:
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-I/2003.
Page 87
77
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 151/PUU-VII/2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 58/PUU-XI/2013.
BAHAN PERKULIAHAN:
Bahan ajar perkuliahan “Metode Penelitian Hukum I” dengan Prof Atho Mudzhar dan
Asrori Karni, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
WEBSITE:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/reducing-extreme-poverty-in-
indonesia.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/11/09303856/Telkomsel.Pailit.Dahl
an.Iskan.Sindir.Telkom
Page 88
LAMPIRAN
Lampiran ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hasil penelitian
penulis. Terangkum dalam BAB III sub-bab Putusan Tidak Dapat Diterima (niet
ontvankelijk verklaard) pada bagian Rekapitulasi Putusan niet ontvankelijk verklaard.
Hasil penelitian ini didasarkan pada putusan niet ontvankelijk verklaard yang di akses
melalui website resmi Mahkamah Konstitusi. Penulis juga melakukan verifikasi ke
Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi MK, dan membenarkan kevalidan
putusan ataupun rekapitulasi yang dibuat oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana tertera pada website Mahkamah Konstitusi.
Tabel-1
Putusan Tidak Memiliki Legal Standing
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 009/PUU-I/2003 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
2. 014/PUU-I/2003 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sususan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPD.
3. 024/PUU-I/2003 UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
4. 001/PUU-II/2004 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
5. 003/PUU-II/2004 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
6. 005/PUU-II/2004 UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
7. 007/PUU-II/2004 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
8. 054/PUU-II/2004 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
Page 89
9. 057/PUU-II/2004 UU Nomor 23 Tahun 2003
10. 061/PUU-II/2004 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
11. 017/PUU-III/2005 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
12. 018/PUU-III/2005 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
13. 007/PUU-IV/2006 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
14. 009/PUU-IV/2006 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
15. 010/PUU-IV/2006 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
16. 011/PUU-IV/2006 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
17. 015/PUU-IV/2006 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
18. 021/PUU-IV/2006 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
19. 024/PUU-IV/2006 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Anggota DPR, DPD dan DPRD, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia.
20. 031/PUU-IV/2006 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
21. 1/PUU-V/2007 UU Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
22. 8/PUU-V/2007 UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
23. 20/PUU-V/2007 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi.
24. 28/PUU-V/2007 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
25. 31 /PUU-V/2007 UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kota Tual di Provinsi Maluku.
26. 2/PUU-VI/2008 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Page 90
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
27. 3/PUU-VI/2008 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Tata Cara Perpajakan.
28. 4/PUU-VI/2008 UU Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai
di Sumatera Utara.
29. 6/PUU-VI/2008 UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan
Kabupaten Banggai Kepulauan.
30. 26/PUU-VI/2008 UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan
Kalimantan Selatan.
31. 47/PUU-VI/2008 UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
32. 58/PUU-VI/2008 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara.
33. 12/PUU-VII/2009 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan.
34. 16/PUU-VII/2009 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
35. 18/PUU-VII/2009 UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan
Kabupaten Maybrat.
36. 100/PUU-VII/2009 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
37. 104/PUU-VII/2009 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
38. 107/PUU-VII/2009 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
39. 119/PUU-VII/2009 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
40. 122/PUU-VII/2009 UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
41. 131/PUU-VII/2009 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Page 91
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
42. 132/PUU-VII/2009 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
43. 135/PUU-VII/2009 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
44. 138/PUU-VII/2009 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
45. 142-146/PUU-
VII/2009
UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
46. 145/PUU-VII/2009 UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang junto Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan.
47. 151/PUU-VII/2009 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian
Negara.
48. 10/PUU-IX/2010 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung serta Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
49. 14/PUU-VIII/2010 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
50. 15/PUU-VIII/2010 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
51. 17/PUU-IX/2010 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
52. 18/PUU-VIII/2010 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Page 92
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
53. 4/PUU-IX/2011 KUH Perdata junto Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
54. 14/PUU-IX/2011 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
55. 18/PUU-IX/2011 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik.
56. 23/PUU-IX/2011 UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materi.
57. 66/PUU-IX/2011 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
58. 67/PUU-IX/2011 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
59. 74/PUU-IX/2011 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
60. 85/PUU-IX/2011 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
61. 6/PUU-X/2012 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
62. 11/PUU-X/2012 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
63. 18/PUU-X/2012 UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Daerah TK II Bengkayang dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Kota Singkawang.
64. 20/PUU-X/2012 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
65. 41/PUU-X-2012 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
66. 47/PUU-X/2012 UU Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten
Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
67. 48/PUU-X/2012 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Provinsi Kepulauan Riau.
68. 97/PUU-X/2012 UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Page 93
Retribusi Daerah.
69. 5/PUU-XI/2013 UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
70. 21/PUU-XI/2013 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
71. 58/PUU-XI/2013 UU Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
72. 63/PUU-XI/2013 UU Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan
Provinsi Jawa Tengah.
73. 73/PUU-XI/2013 UU Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan
Provinsi Jawa Tengah.
74. 106/PUU-XI/2013 UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang
Ketenagalistrikan.
75. 26/PUU-XII/2014 UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
76. 61/PUU-XII/2014 UU Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Pembentukan
Kabupaten Nias Barat Di Provinsi Sumatera Utara.
77. 65/PUU-XII/2014 UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
78. 70/PUU-XII/2014 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
79. 71/PUU-XII/2014 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
80. 85/PUU-XII/2014 UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
81. 121/PUU-XII/2014 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
82. 123/PUU-XII/2014 UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
83. 132/PUU-XII/2014 UU Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
84. 137/PUU-XII/2014 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
Page 94
Tabel-2
Permohonan Kehilangan Objek (Objectum Litis)
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 020/PUU-IV/2006 UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
2. 60/PUU-XI/2013 UU Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
3. 65/PUU-XI/2013 UU Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
4. 91/PUU-XI/2013 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
5. 92/PUU-XI/2013
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
6. 93/PUU-XI/2013 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
7. 94/PUU-XI/2013 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
8. 107/PUU-XI/2013 UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
9. 38/PUU-XII/2014 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
10. 97/PUU-XII/2014 UU Tanpa Nomor Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
11. 98/PUU-XII/2014 UU Tanpa Nomor Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Kepala Daerah.
12. 101/PUU-
XII/2014
UU Tanpa Nomor Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Kepala Daerah.
13. 105/PUU-
XII/2014
UU Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
14. 111/PUU-
XII/2014
UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
15. 118-119-125-126-
127-129-130-
135/PUU-
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dan Peraturan Pemerintah
Page 95
XII/2014 Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Per ubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Tabel-3
Permohonan Kabur
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 9/PUU-X/2012 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
2. 44/PUU-X/2012 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
3. 68/PUU-X/2012 Herziene Indonesia Reglement.
4. 71/PUU-X/2012 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
5. 77/PUU-X/2012 UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. 109/PUU-X/2012 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
7. 36/PUU-XI/2013 UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
8. 40/PUU-XI/2013 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
9. 42/PUU-XI/2013 UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian.
10. 43/PUU-XI/2013 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Page 96
11. 79/PUU-XI/2013 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus.
12. 81/PUU-XI/2013 UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.
13. 86/PUU-XI/2013 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
14. 101/PUU-
XI/2013
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Jaminan Sosial
Nasional.
15. 102/PUU-
XI/2013
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
16. 104 /PUU-
XI/2013
UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie
28 Februari Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad
1941:3).
17. 6/PUU-XII/2014 UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.
18. 23/PUU-XII/2014 UU Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
19. 34/PUU-XII/2014 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
20 43/PUU-XII/2014 UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
21. 49/PUU-XII/2014 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
22. 59/PUU-XII/2014 UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
23. 67/PUU-XII/2014 UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
24. 86/PUU-XII/2014 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara.
25. 120/PUU-
XII/2014
UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
Page 97
Tabel-4
Ne Bis In Idem
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 28/PUU-IX/2010
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
2. 50/PUU-IX/2011 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
3. 55/PUU-IX/2011 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
4. 83/PUU-IX/2011 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
5. 2/PUU-X/2012 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
6. 12/PUU-X/2012 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
7. 23/PUU-X/2012 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
8. 24/PUU-X/2012 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
9. 38/PUU-X/2012 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
10. 42/PUU-X/2012 UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
11. 51/PUU-X/2012 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
12. 55/PUU-X/2012 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
13. 80/PUU-X/2012 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
14. 87/PUU-X/2012 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
15. 104/PUU-X/2012 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Dewan Perwakilan Daerah serta Undang-Undang
Page 98
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
16. 115/PUU-X/2012 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
17. 22/PUU-XI/2013 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
18. 44/PUU-XI/2013 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
19. 53/PUU-XI/2013 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
20. 59/PUU-XI/2013 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
21. 51/PUU-XII/2014 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
22. 53/PUU-XII/2014 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
Tabel-5
Mahkamah Tidak Berwenang Mengadili Perkara
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 42/PUU-VI/2008 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. 129/PUU-VII/2009
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
3. 24/PUU-VIII/2010
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor
SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
4. 25/PUU-IX/2011 UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Dana Pensiun.
5. 36/PUU-IX/2011
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-
Page 99
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
6. 39/PUU-IX/2011
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
7. 54/PUU-IX/2011
Putusan Mahkamah Agung Atas Tanah Bekas Hak
Barat Verponding Nomor 273 terletak di Jalan
Mangonsidi Nomor 5 Kediri terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar
NRI 1945.
8. 56/PUU-IX/2011 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
9. 63/PUU-IX/2011
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
10. 69/PUU-IX/2011 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi.
11. 24/PUU-XI/2013 TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002.
12. 75/PUU-XII/2014 TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR 1960-
2002 dan TAP MPR Sementara Nomor
XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.
Tabel-6
Tidak Ada Lagi Norma Yang Menjadi Objek / Dihapus
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 004/PUU-I/2003 UU Nomor 14 Tahun 1985.
Page 100
2. 13/PUU-X/2012
UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012.
Tabel-7
Pengujian Formil Sudah Melewati Tenggat Waktu Yang Ditentukan
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 140/PUU-XII/2014 UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Tabel-8
Salah Menentukan Objek
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 29/PUU-XI/2013 UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahuun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Tabel-9
Permohonan Tidak Memenuhi Syarat
No. Nomor Perkara Jenis Peraturan
1. 89/PUU-X/2012 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Page 101
Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006
Jenis peraturan yang diuji: Putusan Mahkamah Agung Nomor
01/PK/PILKADA/2005.
Berdasarkan keterangan pada bagian Konklusi Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Perkara ini tidak memiliki legal standing dan objek perkara
bukan kewenangan Mahkamah. Karena ada dua alasan yang menyebabkan perkara ini
tidak dapat diterima, maka penulis tidak memasukkan kedalam list putusan yang
tidak memiliki legal standing ataupun Mahkamah tidak berwenang. Hal ini dilakukan
untuk mempermudah penelitian.