Indonesia Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia di era reformasi ini. Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Indonesia
Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia di era reformasi ini.
Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia (empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.
Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita mengenai bangsa dan negara Indonesia.
Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan
sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.
Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.
Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian kecil dari keindonesiaan kita.
Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik
awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra Indonesia.
Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa. Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra Indonesia yang berhasil diselamatkan.
Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra (dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.
Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.
Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.
Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).
Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).
Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.
Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”
Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.
Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua “kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*
Oleh: Asep Sambodja, penyair dan esais tinggal di Citayam. Redaktur Cybersastra.net.Sumber: Cybersastra
Dunia Esai
Islam di Nusantara dan Transformasi Kebudayaan MelayuApril 10, 2008 at 7:30 am | In Falsafah, Hikmah, Ibrah Sejarah, Sastra |
ISLAM DI NUSANTARA
DAN TRANSORMASI KEBUDAYAAN MELAYU
<!--[if !supportEmptyParas]-->
Abdul Hadi W. M.
<!--[if !supportEmptyParas]-->
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
***
Sebenarnya apa yang disebut orang Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau sukubangsa
sebagaimana dimengerti banyak orang dewasa ini. Ia sebenarnya mirip dengan bangsa atau kumpulan etnik-
etnik serumpun yang menganut agama yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Ke dalamnya melebur
pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, Cina dan India, disamping keturunan dari etnik Nusantara
lain. Semua itu dapat terjadi karena selain mereka hidup lama bersama orang Melayu, karena juga memeluk
agama yang sama serta menggunakan bahasa Melayu dalam penuturan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan
orang Melayu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya orang Jawa atau Sunda.
Etnik-etnik serumpun lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu tidak.
Mereka tinggal di beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya saling berjauhan. Namun di mana pun
berada, bahasa dan agama mereka sama, Melayu dan Islam. Adat istiadat mereka juga relatif sama, karena
didasarkan atas asas agama dan budaya yang sama. Karena itu tidak mengherankan apabila Kemelayuan identik
dengan Islam, dan kesusastraan Melayu identik pula dengan kesusastraan Islam. Bagi mereka yang tidak
mengetahui latar belakang sejarahnya fenomena ini tidak mudah dipahami. Untuk itu uraian tentang sejarahnya
sangat diperlukan.
Setidak-tidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan orang Melayu mengidentifikasikan diri dan
kebudayaannya dengan Islam. Pertama, faktor perdagangan; kedua, perkawinan, yaitu antara pendatang Muslim
dengan wanita pribumi pada tahap awal kedatangan Islam; ketiga, faktor politik seperti mundurnya kerajaan
Hindu dan Buddha seperti Majapahit dan Sriwijaya; keempat, faktor kekosongan budaya pasca runtuhnya
kerajaan Buddhis Sriwijaya di kepulauan Melayu; kelima, hadirnya ulama sufi atau faqir bersama tariqat-tariqat
yang mereka pimpin; keenam, pengislaman raja-raja pribumi oleh para ulama sufi atau ahli tasawuf; ketujuh,
dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan Islam; delapan, mekarnya tradisi intelektual baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu sebagai
dampak dari maraknya perkembangan Islam.
Faktor perdagangan telah sering dikemukakan. Agama Islam muncul di Nusantara
disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim dari negeri Arab dan Persia sejak
abad ke-8 dan 9 M. Dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang
dilakukan kaum Muslimin pada abad-abad berikutnya, terutama dari abad ke-11 hingga
abad ke-17 M, perkembangan agama Islam ikut marak pula. Pada mulanya komunitas
Islam tumbuh di kota-kota pesisir yang merupakan pelabuhan utama atau transit pada
zamannya. Di sini tidak sedikit pedagang Muslim asing itu tinggal lama dan kawin mawin
dengan penduduk setempat. Semua itu merupakan cikal bakal berkembangnya
komunitas Islam di Nusantara. Kegiatan perdagangan dan penyebaran Islam kemudian
juga melibatkan penduduk pribumi, termasuk orang Melayu dan etnik-etnik pesisir lain
yang meleuk agama Islam. Tradisi dagang (merantau untuk berniaga) lantas tumbuh di
kalangan etnik pesisir ini.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Islam dan Kepulauan Melayu
Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-13 – 17 M
memunculkan banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan.
Khususnya tentang darimana agama ini datang dan siapa yang membawanya masuk.
Begitu pula mengenai saluran-saluran komunikasi yang digunakan sehingga
memungkinkan agama ini diterima secara luas oleh penduduk Nusantara dalam waktu
yang relatif singkat. Semula diduga bahwa yang membawa dan memperkenalkan agama
ini di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak itu perdagangan
dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan
Nusantara. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat
kompleks. Sebelum berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku
dan rumit serta panjang, dan faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.
Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks
sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa
langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat
dan bandar-bandar lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat
persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur
Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di
Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin
ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara (Hasan Muarif Ambary 1998;
Azyumardi Azra 1999).
Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa
Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin
oleh Jengis Khan ke atas negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan
jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya
gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara.
Bersama mereka hadir pula sejumlah besar faqir dan sufi pengembara dengan pengikut
tariqat yang mereka pimpin (John 1961; Ismail L. Faruqi 1992).
Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karena
itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M)
dan Malaka (1400-1511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan
atau bandar dagang, dan menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam.
Dengan munculnya kerajaan-kerajaan ini maka perlembagaan Islam, termasuk lembaga
pendidikan, dapat didirikan. Semua itulah yang memungkin penyebaran agama Islam
dan transformasi budayanya dapat dilakukan.
Faktor lain bagi pesatnya perkembangsan Islam ialah mundurnya perkembangan agama
Hindu dan Buddha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh
mundurnya peranan politiknya. Abad ke-13 M ketika agama Islam mulai berkembang
pesat di kepulauan Melayu, sebagai contoh, ditandai dengan mundurnya kerajaan
Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis di Nusantara ini mulai mengalami
kemunduran disebabkan ronngrongan dua kerajaan Hindu Jawa – Kediri dan Singasari –
disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini dua kali
diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan
terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat
riwayatnya (Wolter 1970).
Mundurnya kerajaan Sriwijaya menyebabkan daerah-daerah taklukannya melepaskan diri
dan muncul menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Di antaranya ialah Lamuri,
Aru, Pedir, Samalangga dan Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat.
Menjelang akhir abad ke-13 M, kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan dan
bergabung di bawah imperium baru, Samudra Pasai. Setelah rajanya yang pertama,
Meura Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Malik al-Saleh, kerajaan ini
berubah menjadi kerajaan Islam. Pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu oleh Majapahit
yang menjadikan negeri itu semakin lemah dan kehilangan pamor. Sebaliknya Samudra
Pasai, walaupun juga digempur oleh Majapahit dan banyak sekali harta kerajaan itu yang
dirampas, masih dapat melanjutkan eksistensinya sebagai bandar dagang utama di Selat
Malaka.
Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, Paramesywara yang masih muda, berhasrat
memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara)
Boddhisatwa. Ini membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu
sekali lagi dan kali ini dihancur leburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat,
pendeta dan pegawainya, Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik,
Singapura sekarang, dan akhirnya ke Malaka di mana dia mendirikan kerajaan baru.
Karena letaknya yang strategis, Malaka segera berkembang menjadi bandar dagang
regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M, Paramesywara memeluk
agama Islam setelah menikah dengan putri raja Pasai. Maka negerinya muncul menjadi
kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai (Wolter 1970).
Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara.
Berbeda dengan agama Buddha yang hadir sebagai agama elite aristokratik, walaupun
dipeluk juga oleh masyarakat di luar istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan
tradisi intelektualnya tidak meluas ke tengah masyarakat. Sebab pendidikan
diperuntukkan hanya untuk kaum bangsawan. Islam hadir sebagai agama egaliter dan
populis. Agama ini tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya
memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam seluruh bidang
kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam sejak
awal dibuka untuk segenap lapisan masyarakat dan golongan. Lagi pula Islam adalah
agama kitab. Belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya.
Demikianlah, dengan berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun
juga berkembang.
Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan
rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami
sebelumnya. Kecuali itu Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa
bangsa Melayu dan kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual
serta membebaskan mereka dari belenggu mitologi yang menguasai jiwa mereka
sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya
proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917;
Schrieke 1955). Lebih jauh lagi, oleh karena pesatnya perkembangan ini dihantar oleh
maraknya kegiatan pelayaran dan perdagangan, sedangkan Islam memiliki
kecenderungan terhadap aktivisme keduniaan dan sosial, maka ethos dan budaya
dagang pun bangkit di kalangan etnik yang memeluk agama ini, terutama yang tinggal
di pesisir.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Tahapan Perkembangan Islam
Agama Islam berkembang tahap demi tahap di kepulauan Nusantara, melalui
jalan yang berliku-liku dan berbeda di daerah yang satu dengan yang lain. Masa-masa
penyebarannya itu juga tidak berjalan serentak di wilayah yang berbeda-beda. Ketika di
suatu kawasan baru berada dalam tahap pengenalan dasar-dasar dan pokok ajaran
agama, di daerah lain telah memasuki fase pengenalan implikasi-implikasi rasional dan
intelektual dari ajaran Islam tentang Tauhid. Secara umum tahapan-tahapan
perkembangan itu dari abad ke-13 s/d awal abad ke-20 dapat dibagi lima.
Tahap I, dari awal abad ke-13 M hingga pertengahan abad ke 15 M, dapat disebut
tahapan pemelukan secara formal. Yang ditekankan ialah pengenalan dasar-dasar
kosmopolitanis Islam, ketentuan dasar pelaksanaan syariat agama dan fiqih.
Tahap II, dari akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-16 M. Periode ini proses
islamisasi kepulauan Melayu berjalan dengan pesat diikuti kian tersebarnya Islam ke
berbagai pelosok Nusantara. Berkat meningkatnya tingkat pemahaman dan pendidikan
yang diperoleh kaum Muslimin, ajaran Islam kian dipahami lebih mendalam. Memeluk
agama Islam tidak sekadar formalitas. Di kepulauan Melayu dan pesisir Jawa tradisi
intelektual Islam mulai terbentuk. Kitab-kitab keagamaan dan sastra Islam telah ditulis
dengan produktifnya dalam bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat
dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra. Implikasi rasional dan
intelektual dari ajaran Islam kian dilibatkan dalam penyebaran agama Islam. Pada masa
ini kita menyaksikan semakin terintegrasinya kebudayaan Melayu dengan Islam.
Tahap III berlangsung pada abad ke-17 M, adalah tahapan penyempurnaan
pemahaman ajaran Islam dan tradisi intelektualnya. Pada masa ini kita menyaksikan
suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu. Pokok-pokok
yang dibahas dalam kitab-kitab Melayu meliputi bidang-bidang seperti fiqih ibadah dan
muamalah, fiqih duali (ketatanegaraan), syariah, usuluddin, kalam, tasawuf falsafah dan
tasawuf akhlaq, tafsir al-Qur’an, ilmu hadis, eskatologi, historiografi, tatabahasa (nahwu),
retorika, ilmu ma`ani (semantik), estetika (balaghah), astromomi, ilmu hisab, perkapalan,
ekonomi dan perdagangan, sastra dan seni, ketabiban, farmasi, dan lain-lain. Kemajuan
yang dicapai di bidang intelektual ini mempermantap kedudukan dan perkembangan
bahasa Melayu.
Tahap IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap
syariah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi
mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian
memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses
ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti-kolonial yang merata di seluruh kepulauan
Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir
abad ke-18, Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat dan fiqih.
Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam
muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses
islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan
diri sebagai faktor inetgratif atau pemersatu bangsa Indonesia.
Tahap V munculnya gerakan pembaharuan (tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan
tumbuh menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian seperti SI (Sarekat Islam) menekankan
pada perjuangan politik, sebagian lagi seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang
sosial seperti pendidikan dan dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai dengan
berdirinya organisasi seperti NU. Lembaga pendidikan tradisional, khususnya pesantren,
mengalami revitalisasi dan dari waktu ke waktu kian relevan sebagai model pendidikan
alternatif di tengah derasnya proses sekularisasi pendidikan nasional. Walaupun umat
Islam tidak berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak Pemilu 1955,
namun bangunan budayanya masih tetap utuh.
Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang menyebabkan penduduk Nusantara
memeluk agama ini ialah watak dan semangat egaliternya, serta kehidupan pemeluknya
yang awal yang terdiri dari para pedagang yang kaya, makmur dan terpelajar. Dengan
memeluk agama ini penduduk pribumi berpeluang meningkatkan taraf hidup dan status
sosialnya. Misalnya dapat berpartisipasi dalam perdagangan regional dan antar pulau,
serta dapat memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang
didirikan di mana saja terdapat komunitas Muslim. Melalui cara itu pula mereka menjadi
bagian dari masyarakat kosmopolitan dan naik martabatnya. Sudah menjadi kebiasaan
di mana saja terdapat komunitas Islam dalam jumlah besar, di situ hadir pula para
pendakwah dan guru agama. Masjid-masjid didirikan, begitu pula madrasah. Pengajian-
pengajian diselenggarakan secara intensif.
Penggunaan kesenian sebagai media dakwah merupakan daya tarik yang lain.
Inilah yang dilakukan wali sanga di Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Seorang sejarawan Persia abad ke-15 M
yang tinggal lama di Malabar, Zainuddin al-Ma`bari, menulis dalam bukunya Tuhfat al-
Mujahidin bahwa banyak penduduk India Selatan dan Nusantara tertarik memeluk agama
Islam setelah menyaksikan dan mendengar pembacaan riwayat hidup dan perjuangan
Nabi Muhammad s.a.w. yang disampaikan dalam bentuk syair dan dinyanyikan.
Terutama dalam peringatan Maulid Nabi (Ismail Hamid 1983). Yang dimaksud Zainuddin
al-Ma`bari ialah pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid, dan
yang sejenis itu yang hingga sekarang masih kita saksikan di kalangan masyarakat
Muslim tradisional di seluruh dunia Islam. Media kesenian ini pulalah yang digunakan
para wali di Jawa dan tariqat-tariqat sufi, seperti misalnya pembacaan Rawatib Syekh
Samman, Rawatib Syekh Abdul Jadir Jailani, dan lain-lain.
Kian meningkatnya jumlah Muslim pribumi dari berbagai etnik dalam jaringan dan
kegiatan perdagangan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi. Mereka
yang tinggal di kota-kota pelabuhan mulai banyak yang meninggalkan pasar tradisional,
menjadi perantau dan pelayar yang tangguh. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi
baik secara horisontal maupun secara vertikal. Etos dan budaya dagang juga
berkembang. Ini bisa kita lihat pada etnik-etnik Pesisir yang telah lama memeluk Islam
dan menjadikan Islam sebagai bagian dari dirinya seperti Minangkabau, Bugis, Makassar,
Banjar, Madura, Jawa Pesisir, Palembang, dan lain-lain. Mereka adalah di antara
sukubangsa-sukubangsa Nusantara yang memiliki budaya dagang yang kuat. Khusus
etnik Bugis, Makassar, dan Madura, memiliki tradisi pelayaran jarak jauh yang tangguh
hinggga kini. Semua itu merupakan dampak dari kedatangan dan perkembangan Islam.
Pemakaian bahasa Melayu sebagai media penyebaran agama dan bahasa
pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, terutama sejak abad ke-16 M, memudahkan
penduduk Nusantara di kota-kota pelabuhan memahami ajaran Islam dan sekaligus
memudahkan orang-orang Islam dari berbagai etnik itu saling berkomunikasi dan
berinteraksi. Ditambah lagi dengan kesamaan agama yang mereka anut. Sebagai
dampaknya, sebagaimana terjadi pada akhir tahapan kedua nanti, bahasa Melayu
mengalami proses islamisasi yang begitu deras. Yaitu dengan diserapnya ratusan kata-
kata Arab dan Persia, yang tidak sedikit di antaranya adalah istilah-istilah tehnis ilmu-
ilmu agama dan falsafah Islam. Derasnya proses islamisasi bahasa Melayu itu tampak
secara menonjol dalam risalah dan syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, seorang
cendikiawan sufi abad ke-16 M. Dalam karya-karyanya itu kita menjumpai lebih 2000
kata-kata Arab diserap dalam bahasa Melayu (Abdul Hadi W. M. 2000). Pemakaian huruf
Arab Melayu juha meluas. Tidak hanya penulis kitab Melayu menggunakan huruf ini,
tetapi juga penulis dari daerah lain di kepulauan Nusantara seperti Jawa, Sunda, Madura,
Nurcholis Madjid (1987). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Oman Fathurrahman (2005). “Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Islam Lokal: Contoh
Kasus dari Minangkabau”. Dalam Mimbar Vol. 22. No. 3:260-8.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London:
Macmillan.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Ruslan Abdulgani (1995). Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia
Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical Studies. The Hague & Bandung: Van Hoeve.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Sidiq Fadil (1990). “Pengislaman Dunia Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan
Revolusi Kebudayaan”. Dalam Dewan Budaya 12 Bil 11, November.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Taufik Abdullah (1988). “Ke Arah Perencanaan Strategi Kultural Pembinaan Umat”.
Dalam Pak Natsir 80 Tahun. Ed. H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais.
Jakarta: Media Dakwah.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
——————- (2002). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”.
Makalah diskusi peluncuran buku Ensiklopedi Tematos Dunia Islam. Jakarta 5
September.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Tirmingham, J. S. (1972). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Uka Tjandrasasmita (1975). Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford
University Press.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->
Wolters, O. W. (970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca, New York:
Cornell University.
FRIDAY, SEPTEMBER 21, 2007
KEPERCAYAAN ORANG MELAYU ISLAM DAHULUNYA
KEPERCAYAAN ORANG-ORANG MELAYU SEBELUM KEDATANGAN ISLAM -----------------------------------------------------Sebelum kedatangan Islam ke Tanah Melayu, anutan masyarakat Melayu pada ketika itu, boleh di bahagikan kepada tiga kumpulan agama yang terbesar iaitu :- 1. Agama Buddha Puja Dewa 2. Agama Hindu Puja Dewi 3. Amalan orang-orang Asli. ( Animisme ) Orang-orang Asli sangat kuat berpegang kepada berbagai-bagai kaedah pemujaan Jin sehingga Tok-tok Batin orang Asli di ukur akan kehebatan diri mereka, dengan had ukuran panjang rambut di kepala mereka. Percantuman 3 puak ini samada melalui nikah kahwin atau seumpamanya menghasilkan suatu kemantapan yang kukuh dalam adat resam dan istiadat kebudayaan orang Melayu, di samping membuahkan pelbagai rupa bentuk ilmu, amalan dan kaedah pemujaan dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu perkara yang luar biasa dan mencarik adat, berlumba-lumba untuk menjadi jaguh atau orang yang paling handal di kalangan mereka, untuk bermegah-megah, gagah, orang yang paling berkuasa, orang yang paling di hormati, di segani dan sebagainya. (Lihat carta amalan-amalan Khurafat ) Islam datang ke Asia Tenggara samada melalui Negeri China, Yaman, Parsi atau India dan bertapak kukuh sehingga lebih kurang 200 tahun sahaja. Selepas itu masuklah pula pengaruh agama Kristian melalui penjajahan kuasa-kuasa Barat. Manakala di dalam masyarakat Islam sendiri pula telah di pengaruhi oleh pengaruh-pengaruh Rafidiah, Kharijiah, Qadariah, Jabariah dan sebagainya sehingga menimbulkan berbagai-bagai kefahaman dan aliran dalam mempraktikan ajaran Islam. Keadaan ini menyebabkan sesetengahnya pula terjerumus kedalam gaung kesesatan berikut : 1. Bida’ah Dholalah yang Karohah dan Bida’ah yang haram dalam Syariat 2. Berada dalam salah satu daripada 72 puak yang sesat lagi menyesatkan dalam bab Aqidah. 3. Berada dalam salah satu daripada 13 puak yang sesat lagi menyesatkan dalam bab Sufi Daripada pecahan di atas maka wujudlah berbagai-bagai kelompok masyarakat Melayu yang mempunyai fahaman dan amalan masing-masing . Dari situ lahirlah amalan-amalan yang di panggil amalan "Kebatinan ´ atau " Ilmu Hakikat " ( Ilmu Isi ) yang meninggalkan amal syariat sehinggakan sembahyang hanyalah dengan niat sahaja. Puak-puak yang sesat ini dapat di lihat menerusi amalan yang mereka lakukan dalam menunaikan ibadat kepada Allah. Ringkasnya apa jua amalan yang tidak mengikut garis panduan Al-Quran, Hadis Rasullullah s.a.w, Ijma dan Qias adalah termasuk dalam salah satu daripada fahaman-fahaman yang sesat daripada tiga kelompok besar di atas. Jenis Amalan Beragama Orang-Orang Melayu Sebelum Islam. Pada dasarnya amalan beragama orang-orang Melayu sebelum kedatangan Islam bolehlah dibahagikan kepada tiga kepercayaan yang besar iaitu :- 1. Orang-orang Melayu yang beragama Buddha Puja Dewa 2. Orang-orang Melayu yang beragama Hindu Puja Dewi 3. Orang-orang Melayu yang berpegang dan beramal dengan amalan orang-orang Asli. ( Animisme ) Akibat dari ajaran dan pegangan mereka itu lahir dan wujudlah berbagai-bagai bentuk kebudayaan dan adat resam mengikut jenis agama dan kepercayaan yang mereka anuti. Kedatangan Islam ke Nusantara selepas itu telah berjaya membasmi kepercayaan karut dalam masyarakat Melayu pada ketika itu. Namun tidak semua masyarakat Melayu yang mahu meninggalkan kepercayaan mereka secara keseluruhan dan sehingga ke hari
ini, kita masih dapat melihat betapa amalan Khurafat itu masih tegak dan tetap hidup dalam adat resam dan kebudayaan Melayu terutamanya dalam majlis perkahwinan, kematian, perbomohan dan perbidanan, latihan pertahanan diri dan sebagainya. Di samping itu kepercayaan kepada benda-benda keramat seperti keris, kubur, pokok besar, batu dan sebagainya begitu kuat sehingga dapat di lihat sesetengah orang Melayu yang masih menjaga dan menyimpan dengan baik keris pesaka sejak turun temurun, yang dikatakan sebagai "Penjaga keluarga." Kepercayaan seperti ini ada hubungannya dengan asal-usul orang Melayu yang kebanyakannya berasal dari Kepulauan Indonesia yang memang terkenal pada suatu masa dahulu dengan adat dan kepercayaan Hindu serta Buddha. Walaupun Islam mula bertapak di Mataram, Majapahit dan seluruh Kepulauan Jawa namum sisa-sisa peninggalan Hindu dan Buddha masih kuat dalam pegangan mereka. Di Semenanjung Malaysia sendiri terdapat berbagai keturunan seperti Melayu, Bugis, Mendiling, Rawa, Jawa, Banjar, Petani, Siam dan sebagainya dan terdapat juga yang berasal dari keturunan orang-orang Asli. Setelah memeluk Islam mereka telah membawa adat resam masing-masing di dalam agama Islam. Walaupun mereka berbeza dari segi suku keturunannya, namun mereka masih lagi tidak terlepas dari adat resam Hindu dan percampuran dengan adat dan amalan orang Asli. Amalan-amalan kuno seperti puja tanduk lembu/kerbau, hantaran perkahwinan, sireh junjung, nasi tinggi, kelapa-garam-gula dan sebagainya, lenggang perut, kenduri 40/100 hari selepas kematian, sembelih ayam semasa buka gelanggang latihan pertahanan diri, sangkak/ancak untuk jamu Jin dan sebagainya adalah contoh amalan yang ada hubungan dengan pengaruh Hindu dalam adat resam orang-orang Melayu. Begitu juga adat resam, tingkah laku orang-orang asli sebelum Islam di ambil sebagai adat resam atau sebagai cara beragama yang mesti didahulukan, di tokok tambah lagi dengan redha dan lahapnya kita menerima membabi buta pengaruh kebudayaan penjajah yang memang merupakan suatu perancangan jangka panjang Yahudi dan Kristian khasnya untuk membunuh keperibadian muslim orang-orang Melayu yang berpegang teguh dengan agama Islam. Sehingga kini amalan-amalan tersebut masih lagi hidup subur, walaupun telah berkali-kali seruan dakwah sampai kepada mereka supaya meninggalkan amalan tersebut, namun bagi sesetengah daripada mereka itu telah beranggapan bahawa adat-adat tersebut seolah-olah sebahagian daripada ajaran Islam yang mereka anuti. Maka dengan sebab itulah mereka telah mencampuradukkan antara ajaran Islam yang suci ini dengan adat resam yang karut lagi menyesatkan itu, yang semata-mata mengikut khayalan, kebijaksanaan pemikiran dan tahsinul ‘aqli mereka semata-mata sahaja.. Perkara Luar Biasa Yang Mencarik Adat Allah telah menganugerahkan kepada manusia khusus dan awam 8 perkara luar biasa yang mencarit adat yang boleh berlaku ke atas manusia. Perkara luar biasa itu bolehlah dibahagikan kepada 2 bahagian iaitu, 4 perkara yang di puji dan 4 perkara yang di keji dan menyalahi ajaran Islam. Ramai daripada kalangan orang Islam sendiri yang terkeliru tentang konsep dan perbezaan perkara-perkara tersebut, kadang-kala masyarakat tidak dapat membezakan yang mana baik dan yang mana mesti dijauhi. Bagi menjelaskan kekeliruan itu maka diperturunkan serba ringkas tentang perkara-perkara tersebut, agar pembaca semua dapat membuat penilaian dengan sebaik-baiknya. Empat Perkara Yang Di Puji 1. Irhas. Irhas ialah perkara luar biasa yang di anugerahkan oleh Allah kepada Nabi-Nabi dan rasul-rasul semasa baginda masih kecil. Contohnya seperti Nabi Isa boleh bercakap semasa baginda masih dalam buaian. Perkara ini tidak menjadi kekeliruan kerana Nabi dan rasul telah tiada pada masa sekarang. 2. Mukjizat. Mukjizat ialah suatu perkara luar biasa yang dikurniakan oleh Allah hanya kepada Nabi-Nabi dan rasulnya sahaja bagi
melancarkan usaha rasul-rasul tersebut menyampaikan dakwah dan risalah Allah. Contohnya seperti Mukjizat Nabi Sulaiman yang boleh memahami bahasa semua binatang. 3. Karamah. Karamah ialah suatu perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang-orang mukmin yang berakhlak rasul dan benar-benar berpegang dengan ajaran Islam zahir dan batin. Hal ini adalah perkara biasa bagi Mereka. Karamah merupakan suatu kemuliaan yang Allah kurniakan kepada diri zahir dan batin hamba-hambanya yang arif tentang Allah ( Arifbillah ) . Mereka ini adalah merupakan orang-orang yang alim dan sentiasa beramal soleh. Mereka mahir sekurang-kurangnya tentang ilmu fardhu Ain, Usuluddin, Fekah dan tasauf serta mereka sentiasa beramal dengannya pada setiap masa dan kelakuan. Ikatan diri mereka sentiasa dengan Allah tanpa dapat dipengaruhi oleh alam sekeliling. Mereka dimuliakan oleh ahli di langit dan diperhinakan oleh kebanyakan ahli di bumi. 4. Maunah. Maunah ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang mukmin awam yang soleh, yang apabila di timpa sesuatu musibah atau hal ke atas dirinya, mereka terus melipat gandakan pergantungan dan keimanan kepada Allah serta memantapkanya melalui berbagai-bagai wirid, jampi dan doa serta amalan-amalan sunat yang lain. Maunah ini merupakan satu kemuliaan yang Allah kurniakan kepada diri zahir dan batin hamba-hambanya yang soleh. Mereka arif tentang ilmu fardhu Ain, Usuluddin, Fekah dan tasauf tetapi kemampuan beramal mereka adalah terhad. Apabila berlaku sesuatu hal ke atas diri mereka samada mutlak dari Allah atau yang bersangkut paut dengan manusia, mereka terus melipatgandakan pergantungan diri dan keimanan kepada Allah serta memantapkan lagi dengan berbagai-bagai wirid, jampi, doa dan segala amalan sunat. Mereka tidak merasa sedih atau kecewa sekiranya permintaan mereka tidak ditunaikan oleh Allah. Empat Perkara Yang Di Keji Perkara luar biasa yang di keji oleh Allah ialah perkara luar biasa yang berlaku ke atas orang biasa melalui pertolongan selain daripada Allah. Contohnya melalui pertolongan khadam-khadam yang terdiri daripada Jin dan Syaitan dan sebagainya. Perkara luar biasa jenis ini mestilah di jauhi oleh setiap orang Islam kerana ianya sesat dan menyesatkan. Perkara-perkara tersebut ialah :- 1. Istidraj Istidraj ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada mereka yang berpura-pura beramal dengan amalan soleh, walaupun diri mereka mahir dengan fardhu ain, Usuluddin, fekah dan tasauf. Mereka berbangga dengan perkara luar biasa yang berlaku ke atas diri mereka sedangkan mereka mengetahui punca sebenar datangnya perkara luar biasa tersebut. Lazimnya golongan ini terikat dengan perjanjian serta mewujudkan pantang-larang yang selari dengan hukum syarak. Ini kerana khadam-khadam mereka adalah terdiri daripada golongan Jin Islam samada yang soleh, fasik atau terdiri daripada Jin yang kafir. Setiap amalan wirid, jampi dan doa itu ada penjaganya (Khadam). Orang yang beramal dengan kaedah ini kebiasaannya mempunyai suatu perasaan tidak baik yang telah tersemat dalam diri mereka. Antara matlamat mereka ialah :- a) Ingin di puja. b) Ingin dikunjungi oleh orang ramai c) Cinta kepada pangkat dan kebesaran d) Ingin mendapatkan harta dan kuasa Golongan khadam ayat dari golongan puak rohani alam rendah memang dijadikan Allah untuk menyukakan golongan yang seumpama itu dengan beberapa perkara luar biasa. Mereka pada zahirnya kelihatan seperti orang yang beriman dan sentiasa menjaga syariat Islam serta berakhlak Rasul tetapi sebenarnya mereka beramal dengan perkara-perkara kufur dan telah terjun ke lembah kekufuran, samada mereka sedari atau tidak. Punca kesesatan golongan ini ialah apabila rohani-rohani alam yang rendah mengunjungi mereka dalam tidur ataupun semasa jaga, dengan rupa atas nama-nama orang-orang soleh samada yang masih hidup ataupun yang telah mati atau mereka membuat Tajalli ketuhanan.
Lazimnya mereka dibebankan dengan beberapa syarat yang menepati hukum syarak untuk diamalkan sebagai syarat perjanjian persahabatan dalam semua kelakuan melalui lidah, anggota dan hati, di semua tempat, waktu dan masa. Maka bermula di saat itu diri mereka berada di dalam Syirik Uluhiyyah dan segala rupa bentuk amalan syariatnya tidak ada nilai di sisi Allah. Mereka sebenarnya mengetahui dari mana datangnya zahir perkara luar biasa pada perkataan, perbuatan dan kasad hati, tetapi mereka enggan meninggalkan amalan tersebut kerana mereka ingin menjadi jaguh dalam bidang perubatan dengan mengadakan beberapa keajaiban dari berbagai-bagai jenis ubatan, kaedah perubatan dan sebagainya. Kadang-kadang melalui langkah mempertahankan diri. Mereka juga terjebak dalam permainan tunjuk kuat kebatinan supaya mereka di anggap orang yang paling makbul doanya atau paling keramat. Jika dia seorang ulama, maka dia inginkan supaya di kunjungi, di puja dan di hormati sebagai seorang Ahlillah secara mutlak, sedangkan dalam masa yag sama dia akan terasa hina dan hilang kewibawaan sebagai ulama, jika tiada pada dirinya, nyata beberapa perkara yang luar biasa. 2. Sihir. Sihir ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang-rang Islam yang durhaka (‘asi ) yang tidak faham aqidah, syariat dan ubudiah serta tidak beramal dengannya dan orang-orang yang fasik. Sihir juga diberikan oleh Allah kepada pendita-pendita bukan Islam samada Yahudi, Buddha, Nasrani, Majusi dan yang seumpama dengannya. Sihir ini terjadi melalui pertolongan daripada rohani Jin Islam yang fasik dan Jin-Jin yang kafir melalui perjanjian tertentu. Kebiasaannya golongan ini terikat dengan perjanjian dan mengadakan jamuan yang harus dan haram di sisi Syarak. Mereka mendapat perkara yang luar biasa ini adalah melalui pertolongan kumpulan Jin Islam yang fasik dan daripada Jin yang kafir. Golongan orang Islam yang mendapat perkara luar biasa melalui kaedah ini selalunya sentiasa bergelumang dengan kejahatan dalam semua hal. Golongan ini sebenarnya Mulhid dan Zindik dalam bab aqidah. Selalunya mereka akan mengadakan berbagai cara atau upacara yang berselindung di sebalik ajaran Islam. Antara mereka yang termasuk dalam golongan ini ialah :- a) Kumpulan Hassan Anak Harimau b) Wali Suci c) Budi (Buddha) Suci d) Batin Sakti e) Hakikat Insan f) Pati Geni g) Fahaman Wahdatul Ujud dalam I’itiqad h) Baginda Mukhtar i) Lain-lain kumpulan yang tumbuh bagaikan cendawan di negara ini. 3. Silap Mata. Silap Mata adalah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang-orang Islam yang fasik dan juga kepada orang-orang kafir, melalui pertolongan daripada Jin kafir. Oleh itu mereka juga terikat dengan perjanjian dan membuat perkara-perkara yang diharamkan oleh hukum syarak. 4. Sya’wazah. Sya’wazah ialah perkara yang di kurniakan oleh Allah, yang berlawanan sama sekali daripada kehendak asal. Kebiasaannya perkara ini Allah berikan kepada golongan yang angkuh daripada orang-orang kafir. Misalnya apabila mereka meminta sesuatu yang baik, tetapi Allah kurniakan dengan sesuatu kejahatan yang berlipat ganda.
Sebelum kedatangan Islam di Nusantara, penduduk di Asia Tenggara adalah terdiri daripada penganut fahaman Buddha Syinrawath ( Buddha Puja Dewa ). Pada ketika itu penganut-penganutnya sudah pun sedia mengamalkan perkara-perkara luar biasa yang menyalahi kebiasaan iaitu " Mencarik adat " yang lahir hasil daripada pemuJaan ‘ dewa-dewi’, jampi serapah atau yang seumpamanya. Keadaan ini berlaku adalah hasil daripada pertolongan jembalang-jembalang yang terdiri daripada Jin samada dengan menjelma ke dalam diri pemujanya ( Tanasukh Aruah ), Istidraj, Sihir atau silap mata. Semua amalan ini amat kuat pengaruhnya dalam kehidupan seharian mereka pada waktu itu. Mereka mengabdikan diri hanya kepada Dewa-Dewi semata-mata. Dalam konteks ini pegangan
fahaman beragama adalah bersumberkan daripada Rahib-rahib yang dikatakan mendapat ilham dari tuhan dewa-dewi samada Dewa Rama, Dewa Sita, Dewa Siva dan yang seumpamanya. Ketika Islam tersebar luas di Semenanjung Arab hingga ke Eropah dan juga ke Asia, maka banyaklah mubaligh-mubaligh Islam dari kalangan orang-orang Arab dan bukan Arab yang datang membawa agama Islam ke sebelah Asia Tenggara sebagai pedagang. Dari situ Islam mula bertapak dengan kuatnya di negeri-negeri bawah angin ini. Gejala isma-isma yang tidak sihat pada waktu itu beransur-ansur hilang kegemilangannya bahkan di sesetengah tempat, umpamanya Acheh isma-isma tersebut telah di benteras sehingga ke akar umbinya. Inilah hasil daripada tarbiah dan didikan mubaligh-mubaligh dan para Daei Islam yang benar-benar alim lagi sufi. Kehadiran mubaligh-mubaligh tersebut seumpama membawa sirna kegemilangan dan kecemerlangan kepada penduduk tempatan sehingga pada satu ketika Acheh mendapat jolokan sebagai Serambi Mekah. Setelah sekian lama gejala pemujaan jampi serapah hilang, akhirnya ia timbul semula setelah Portugis, Belanda, Spanyol, Perancis, Amerika dan Inggeris berusaha menakluki Asia Tenggara dengan memperkenalkan agama Kristian di samping perdagangan yang menyebabkan orang Islam bangun menentang mereka. Pada suatu ketika Belanda telah membunuh lebih daripada 6,000 Ulama Islam di Tanah Jawa. Pada ketika itu ulama merupakan tokoh pemimpin yang utama dalam semua aktiviti harian bermula dari aspek agama, sosial dan kemasyarakatan, ketenteraan hinggalah kepada perubatan dan sebagainya. Mereka inilah yang banyak memainkan peranan penting dalam menggerakkan penentangan terhadap penjajahan barat, kerana merekalah yang terlebih dahulu mengenali erti hidup beragama serta beramal dengannya, lebih dahulu merasai bahang campurtangan asing, lebih dahulu menghidu bau najis Mughalazah penjajahan dalam kebudayaan, tipu daya pemerintahan dan tipu daya dalam ketenteraan dan sebagainya ke atas negerinya dan anak-anak bangsanya. Akibat daripada peristiwa itu, maka saki baki pahlawan Islam yang hilang pedoman telah cuba meneruskan perjuangan menentang Belanda dan Inggeris dengan kekuatan dan keilmuan apa saja yang ada pada mereka asalkan mereka mampu. Dalam keadaan terdesak itu mereka berusaha memperolehi daya kekuatan yang yang luar biasa melalui amalan-amalan cara hulubalang, wirid-wirid, jampi serapah dan yang seumpama dengannya, melalui kaedah biasa dan setengah daripada mereka melalui Uzlah ( bertapa dan riadah ), maka datanglah pula jembalang-jembalang daripada Jin samada Jin Islam atau Jin Kafir yang berhubung dengan mereka, dengan cara Tanasukh Aruah ( penjelmaan ke dalam diri ), istidraj, sihir atau silap mata yang menolong mereka menghasilkan hajat mereka, yang pada sangkaan mereka adalah malaikat-malaikat atau wali-wali atau Nabi Khaidir yang telah datang berhubung dengan mereka. Sementara itu di Tanah Jawa timbul pula fahaman Wahdatu Ujud yang tidak dapat membezakan di antara Wahdatul Ujud Marhumah ( dalam bab Sufi ) dengan Wahdatul Ujud Mazmumah ( dalam I’tiqad di panggil Hulluliah, Mulhid, Zindik ) sehingga tertegaklah kerajaan yang seumpama itu, iaitu kerajaan Mataram. Fahaman ini adalah hasil daripada pengaruh Syiah. Bermula dari sinilah wujud semula berbagai-bagai rupa bentuk amalan kerohanian, wirid-wirid dan jampi serapah yang menyeleweng dari aqidah syari’at Ubudiah Islamiah yang sebenar ke hadrat Allah seperti yang dibentangkan oleh ulama-ulama terdahulu yang mahir dan ahli pada babnya di dalam kitab-kitab karangan mereka. Terdapat juga dari golongan ini yang memesongkan amalan-amalan mereka bagi kepentingan diri, dengan tujuan : 1. Langkah mempertahankan diri bagi mendapatkan kemegahan dunia ( hanya kepada bangsa semata-mata ) 2. Amalan-amalan kebatinan dalam menuntut kemegahan. 3. Perubatan ( bomoh, tok pawang, tok bidan dan sebagainya ) 4. Berlagak jadi tok sufi ( wali ) yang sentiasa mendapat jazbah ketuhanan. Dari sini merebaklah amalan -amalan karut yang mendapat
kekuatan luar biasa daripada bantuan Jin-Jin. Maka ramailah pahlawan-pahlawan Melayu mengambil amalan-amalan ini dengan tujuan untuk mempertahankan diri sendiri dan untuk menewaskan musuh di samping untuk kepentingan masyarakat sekitarnya. Akhirnya mereka telah lupa kepada ajaran-ajaran agama yang telah disampaikan kepada mereka, lalu mereka lebih mementingkan kekuatan material dan kebendaan semata-mata daripada kepentingan akhirat. Lebih jahat lagi, mereka menjadikan adat resam keturunan ke dalam syariat agama Islam sebagai satu amalan yang dimestikan, walaupun terang-terang amalan itu menyalahi ajaran Islam, samada dari segi Fiqh, Akidah, dan Akhlak.