A. Infeksi TelingaI. Anatomi Telinga1. Telinga Luar Telinga luar
terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang
telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya
terdiri dari tulang
Gambar 1. Anatomi daun telinga Pada sepertiga bagian luar kulit
liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat)
dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang
telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen. Telinga luar berfungsi untuk mengumpulkan bunyi
dan menghantarkannya langsung ke gendang telinga.
2. Telinga Tengah Membran timpani berbentuk bundar dan cekung
bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap
sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria).
Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan
epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus
bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai
satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di
bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Membran timpani dibagi
dalam 4 kuadran, yaitu bagian anterior superior (I), anterior
inferior (II), posterior superior (III), dan posterior inferior
(IV). Pembagian ini berguna untuk menyatakan letak perforasi
membran timpani.
Gambar 2. Anatomi membrane timpani (telinga kanan) Tulang
pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada
inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkat
lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang
pendengaran merupakan persendian.
Gambar 3. Tulang-tulang pendengaran Pada pars flaksida terdapat
daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum,
yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
3. Telinga dalam
Telinga dalam merupakan suatu sistem labirin membranosa yang
melekat pada tulang. Telinga dalam terdiri dari organ akhir
pendengaran (koklea/rumah siput) yang bertanggung jawab untuk
mendeteksi suara dan organ akhir vestibuler (utrikulus, sakula dan
kanalis semisirkularis) yang berfungsi dalam keseimbangan.2 Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa
skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap
dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang
koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah
bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran
vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang
membentuk organ Corti.
Gambar 4. Anatomi telingaII. Infeksi pada Telinga Infeksi pada
telinga dapat terjadi pada struktur telinga tengah dan telinga
luar, termasuk kulit, kartilago, periosteum, liang telinga, dan
membrane timpani serta rongga mastoid. Penyebab infeksi yang paling
sering adalah virus dan bakteri.1. Infeksi pada Struktur Telinga
Luara. Auricular Cellulitis Selulitis auricular merupakan infeksi
pada kulit yang membungkus telinga luar dan biasanya terjadi
setelah trauma minor lokal. Selulitis aurikula tampak dengan tanda
dan gejala selulitis, dengan nyeri, eritema, pembengkakan dan panas
pada telinga luar (terutama pada lobul), tanpa disertai
keterlibatan pada liang telinga atau struktur didalamnya. Terapi
yang diberikan antara lain, kompres hangat dan antibiotic oral,
seperti dicloxacillin yang efektif terhadap pathogen kulit dan
jaringan lunak yang tipikal (S. aureus dan Streptococci).
Antibiotic IV seperti cephalosporin generasi pertama (cefazolin)
atau penisilinase resisten penisilin (nafcilin) biasa digunakan
pada kasus berat, dengan pertimbangan pada MRSA (methicillin
resistant Staphylococcus aureus), jika terdapat factor resiko atau
kegagalan terapi pada organisme ini.b. Perichondritis
Perichondritis merupakan infeksi pada perichondrium katrilago
aurikula, biasanya terjadi setelah trauma (misal, tindik telinga,
luka bakar, atau laserasi). Biasanya, ketika infeksi menyebar ke
kartilago pinna, pasien dapat mengalami chondritis. Perichondritis
dapat menyerupai selulitis aurikula, dengan eritema, pembengkakan,
dan nyeri kuat pada telinga, pada perichondritis, infeksi lebih
sering terjadi pada lobule. Pathogen tersering adalah P. aeruginosa
dan S. aureus. Terapi yang diberikan berupa antibiotic sistemik
yang aktif terhadap P. aeruginosa dan S. aureus. Antipseudomonal
penicillin (misal, piperacillin) atau kombinasi
penicillinase-resistant penicillin dan antipseudomonal quinolone
(misal, nafcillin ditambah ciprofloxacin) biasanya digunakan.
Insisi dan drainase bermanfaat untuk kultur dan resolusi infeksi,
yang biasanya sering membutuhkan waktu beberapa minggu. Ketika
perichondritis tidak memberikan respon yang adekuat terhadap terapi
antimikroba, maka perlu dipertimbangkan etiologi inflamasi
non-infeksi seperti polychondritis yang berulang (relaps).c. Otitis
Eksterna Otitis eksterna merupakan proses peradangan akibat infeksi
pada liang telinga luar (EAC, external auditory canal). Organisme
penyebab yang paling sering adalah Pseudomonas aeruginosa dan
Staphylococcus aureus. Beberapa factor yang berperan pada infeksi
pada kanalis auditorius eksternus antara lain: Tidak adanya cerumen
Kelembapan tinggi Tertahannya air pada kanalis auditori Peningkatan
suhu Trauma lokalFaktor yang mempermudah radang telinga luar ialah
perubahan pH di liang telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila
pH menjadi basa, proteksi terhadap infeksi menurun. Otitis eksterna
terlokalisasi akut (furunculosis) dapat terjadi pada sepertiga luar
dari liang telinga, yang terdapat banyak kulit yang menyelubungi
kartilago dan sel-sel rambut dalam jumlah banyak. Seperti halnya
pada furunculosis pada bagian tubuh lainnya, S.aureus merupakan
pathogen penyebab yang paling umum, terapi yang diberikan berupa
penisilin antistaphylococcal oral (dicloxacillin), dengan insisi
dan drainaase pada abses yang terbentuk.d. Otitis eksterna difus
Otitis eksterna difus disebut juga swimmers ear ditandai dengan
onset cepat (dalam 48 jam) dan dengan gejala inflamasi kanalis
auditori eksterna (misal, otalgia, gatal, rasa penuh, dengan atau
tanpa penurunan pendengaran atau nyeri rahang) dan nyeri pada
tragus atau pinna, atau edema telinga difus, atau eritema, atau
keduanya, dengan atau tanpa otorrhea, linfadenitis regional,
eritema membrane timpanik, atau selulitis pinna. Suhu panas,
hilangnya serumen yang berfungsi protektif mengakibatkan
bertambahnya kelembapan dan peningkatan pH liang telinga, yang
mengakibatkan pengikisan (maserasi) kulit dan iritasi. Biasanya
terjadi pada dua pertiga kulit liang telinga luar bagian dalam.
Liang telinga tampak hiperemis dan edema yang tidak jelas batasnya.
Etiologi tersering antara lain Pseudomonas. Selain itu juga
Staphylococcus albus, Escherichia coli dan sebagainya. Otitis
eksterna difus dapat juga terjadi pada otitis media supuratif.
Gejalanya berupa nyeri tekan tragus, liang telinga menyempit,
sekret berbau dan disertai pembesaran dan nyeri tekan kelenjar
getah bening regional. Sekret pada otitis eksterna difus tidak
mengandung lendir (musin) seperti sekret yang keluar dari kavum
timpani pada otitis media. Pengobatan dengan membersihkan liang
telinga, memasukkan tampon yang mengandung antibiotika ke liang
telinga agar terdapat kontak yang baik antara obat dan kulit yang
meradang atau kadang diberikan antibiotik sistemik.e. Otits
eksterna maligna Otitis eksterna maligna adalah infeksi difus di
liang telinga luar dan struktur lain di sekitarnya. Biasanya
terjadi pada orang tua dengan penyakit diabetes melitus dimana
terjadi peningkatan pH serumen dibanding pasien non diabetik,
sehingga lebih mudah terkena otitis eksterna. Akibat adanya faktor
immunocompromise dan mikroangiopati dapat menyebabkan otitis
eksterna berlanjut menjadi otitis eksterna maligna. Pada otitis
eksterna maligna peradangan meluas secara progresif ke lapisan
subkutis, tulang rawan dan tulang sekitar sehingga menyebabkan
kondritis, osteitis dan osteomielitis yang menghancurkan tulang
temporal. Gejala otitis eskterna maligna dapat berupa rasa gatal di
liang telinga yang dengan cepat diikuti oleh nyeri yang semakin
berat, sekret yang banyak serta pembengkakan liang telinga. Liang
telinga dapat tertutup oleh pertumbuhan jaringan granulasi. Jika
saraf fasialis terkena, dapat timbul paresis atau paralisis fasial.
Kelainan patologik yang penting adalah osteomielitis progresif yang
disebabkan Pseudomonas aeroginosa. Penebalan endotel pada pasien
diabetes mellitus berat dan kadar gula yang tinggi akibat infeksi
yang sedang aktif menimbulkan kesulitan pengobatan yang adekuat.
Pengobatan harus cepat diberikan sesuai hasil kultur dan
resistensi. Mengingat kuman penyebab tersering adalah Pseudomonas
aeroginosa, diberi antibiotik dosis tinggi sesuai bakteri tersebut.
Pengobatan dengan antibiotik golongan fluoroquinolon dosis tinggi
per oral sambil menunggu hasil kultur dan uji resistensi. Jika
infeksi terlalu berat dapat diberikan antibiotik parenteral
kombinasi dengan antibiotik golongan aminoglikosida selama 6-8
minggu. Antibiotik lain yang sering digunakan adalah ciprofloxasin,
ticarcillin-clavulanat, piperacilin, ceftriaxone, ceftazidine,
cefepime, tobramicin, gentamicin. Selain obat-obatan, seringkali
diperlukan tindakan membersihkan luka (debrideman) secara radikal
untuk memperlambat perjalanan penyakit.
f. Otomikosis Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh
kelembaban yang tinggi di daerah tersebut. Penyebab tersering
adalah Pityrosporum, Aspergilus, Candida albicans dan jamur lain.
Pityrosporum menyebabkan terbentuknya sisik yang menyerupai ketombe
dan merupakan predisposisi otitis eksterna bakterialis. Gejala
berupa rasa gatal dan rasa penuh di liang telinga, tetapi sering
pula tanpa keluhan. Pengobatan dengan membersihkan liang telinga.
Larutan asam asetat 2% dalam alkohol, larutan iodium povidon 5%
atau tetes telinga yang mengandung campuran antibiotik dan steroid
yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat menyembuhkan.
Terkadang diperlukan juga obat anti jamur yang diberikan secara
topikal yang mengandung nistatin dan klotrimazol. Otomikosis
berulang atau kronik memerlukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai
penyebabnya seperti sistem imun yang menurun
2. Infeksi pada Telinga Tengah Otitis media adalah peradangan
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba estachius, antrum
mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media merupakan inflamasi pada
telinga tengah yang disebabkan oleh disfungsi tuba eustachius yang
berhubungan dengan berbagai macam penyakit, termasuk infeksi
saluran napas atas, dan rhinosinusitis kronik. Respon inflamasi
yang terjadi mengakibatkan terbentuknya caran trasudat steril dalam
telinga tengah dan ringga mastoid. Infeksi terjadi ketika bakteri
atau virus dari nasophariynx. mengkontaminasi cairan tersebut,
mengakibatkan penyakit akut (atau terkadang kronik).i. Otitis Media
Akut Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di
nasofaring dan faring. Secara fisiologis terdapat mekanisme
pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia
mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi. Otitis media akut
terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba
eustachius merupakan kator penyebab utama dari otitis media. Karena
fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam
telinga tengah dan terjadi peradangan. Kuman penyebab utama pada
otitis media akut adalah bakteri piogenik seperti Streptococcus
haemolyticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Perubahan mukosa
telinga tengah sebagai akibat infeksi pada otitis media akut
terdiri atas 5 stadium:1) Stadium oklusi tuba eustachius Tanda
adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah
akibat absorpsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal
atau berwarna keruh pucat. Efusi dapat erjadi, tetapi tidak dapat
dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus atau alergi.
2) Stadium hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang
melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak
hiperemis serta edem. Sekret yang terbentuk mungkin masih bersifat
eksudatif yang serosa sehingga sulit terlihat
3) Stadium supurasi Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah
dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat
yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol
(bulging) ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta nyeri telinga
bertambah berat. Apabila tekanan di kavum timpani akibat nanah
tidak berkurang, maka dapat terjadi iskemia, akibat tekanan pada
kapiler serta timbul tromboflebitis pada vena kecil dan nekrosis
pada mukosa dan submukosa. Nekrosis pada membran timpani terlihat
sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan.Bila tidak
dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini,
maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar
ke liang telinga luar. Dengan mirigotomi, luka insisi akan menutup
kembali, sedangkan bila terjadi ruptur maka lubang tempat ruptur
tidak mudah menutup kembali.
4) Stadium perforasi Ruptur membran timpani dapat terjadi karena
terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi
sehingga dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.5) Stadium
resolusi Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran
timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi
perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila
daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman penyebab rendah dapat
terjadi resolusi meskipun tanpa pengobatan. Otitis media akut dapat
menjadi otitis media supuratif kronik bila perforasi menetap dengan
sekret yang keluar secara terus menerus atau hilang timbul. Otitis
media akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa
bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.
Gejala klinis otitis media akut bergantung pada stadium penyakit
serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan
utama adalah nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi,
biasanya terdapat riwayat batuk dan pilek sebelumnya. Pada anak
yang lebih besar atau orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau pendengaran
menurun.
Pengobatan otitis media akut tergantung pada stadium
penyakitnya.1) Stadium oklusi Pengobatan terutama bertujuan untuk
membuka kembali tuba eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang serta mengatasi infeksi. Diberikan obat tetes hidung,
HCL efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak usia dibawah
12 tahun atau HCL efedrin 1% untuk anak diatas 12 tahun dan pada
orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati, antibiotika
diberikan apabila penyebab penyakit adalah bakteri, bukan virus
atau alergi.2) Stadium hiperemis Pengobatan yang diberikan adalah
antibiotik dan analgetika. Antibiotik yang dianjurkan adalah
golongan penisilin atau ampisilin selama 7 hari. Terapi awal
diberikan penisilin secara intramuskular agar konsentrasinya dalam
darah adekuat untuk mencegah mastoiditis, gangguan pendengaran
sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Jika didapatkan alergi terhadap
penisilin dapat diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB per hari, dibagi dalam 4
dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg/BB per hari dibagi dalam 3 dosis,
atau eritomisin 40 mg/kg BB per hari.3) Stadium supurasi Selain
dengan pemberian antibiotik, idealnya disertai miringotomi bila
membran timpani masih utuh agar gejala klinis cepat reda dan ruptur
dapat dihindari.4) Stadium perforasi Pengobatan diberikan obat cuci
telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat.
Sekret biasanya akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali
dalam waktu 7-10 hari.5) Stadium resolusi Pada stadium ini membran
timpani akan berangsur menjadi normal, tidak ada sekret lagi, dan
perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi,
sekret akan mengalir di liang telinga luar melalui perforasi yang
disebabkan berlanjutnya edema di mukosa liang telinga tengah. Pada
keadaan ini, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
setelah 3 minggu pengobatan sekret masih banyak, kemungkinan telah
terjadi mastoiditis.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu abses sub-periosteal sampai
komplikasi yang berat seperti meningitis dan abses otak.
ii. Otitis Media Supuratif Kronik Otitis media supuratif kronis
(OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening atau berupa nanah. Otitis media akut dengan perforasi
membran timpani menjadi otitis media supuratif kronis apabila
prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari
2 bulan disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor
yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah terapi yang terlambat
diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi,
daya tahan tubuh yang rendah, gizi kurang dan kebersihan yang
buruk.
iii. Jenis OMSK Letak perforasi di membran timpani penting untuk
menentukan tipe/jenis OMSK. Perforasi membran timpani dapat
ditemukan di daerah sentral, marginal atau atik Pada perforasi
sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh
tepi perforasi masih ada sisa membran timpani Pada perforasi
marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus
atau sulkus timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang
terletak di pars flaksida. OMSK dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu
OMSK tipe benigna dan OMSK tipe maligna. Proses peradangan pada
OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak
mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral dan umumnya tidak
terjadi komplikasi yang berbahaya serta tidak terjadi kolesteatoma.
Pada OMSK tipe maligna terjadi kolesteatoma, perforasi terjadi di
marginal atau atik serta terjadi komplikasi yang berbahaya.
iv. Diagnosis OMSK Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala
klinik dan pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi.
Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui
adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat
gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada
murni, audiometri tutur dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked
response audiometry) bagi pasien/anak yang tidak kooperatif dengan
pemeriksaan audiometri murni. Pemeriksaan lain berupa foto rontgen
mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret
telinga.
v. Tatalaksana OMSK Terapi pada OMSK memerlukan waktu lama dan
berulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh
kembali. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti (1)
adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga
tengah berhubungan dengan lingkungan luar, (2) terdapat sumber
infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3)
sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga
mastoid, (4) gizi dan higiene yang kurang. Prinsip terapi OMSK tipe
benigna ialah dengan terapi konservatif atau dengan medikamentosa.
Bila sekret terus menerus keluar maka diberi H2O2 3% selama 3-5
hari. Setelah sekret berkurang dilanjutkan dengan pemberian obat
tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid,
sebaiknya diberikan tidak lebih dari 1 atau 2 minggu. Secara oral
diberikan antibiotika dari golongan ampisilin atau eritromisin.
Bila sekret telah kering, tapi perforasi masih ada setelah
diobservasi selama 2 bulan maka idealnya dilakukan miringoplasti
atau timpanoplasti. Tujuannya untuk menghentikan infeksi secara
permanen, memperbaiki perforasi pada membran timpani, mencegah
terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat,
serta memperbaiki pendengaran. Sedangkan pada OMSK tipe maligna
prinsip pembedahannya adalah dengan pembedahan, yaitu
mastoidektomi.
vi. Komplikasi OMSK Komplikasi otitis media terjadi apabila
sawar pertahanan telinga tengah yang normal dilewati, sehingga
infeksi dapat menyebar ke jaringan sekitarnya. Pertahanan pertama
adalah mukosa kavum timpani yang mampu mengisolasi infeksi. Bila
sawar ini rusak, sawar kedua adalah dinding tulang kavum timpani
dan sel mastoid, sehingga jika sawar ini runtuh, jaringan di
sekitarnya akan mengalami infeksi. Kerusakan periostium akan
menyebabkan terjadinya abses subperiosteal, suatu komplikasi yang
relatif tidak berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke tulang
temporal, maka akan menyebabkan paresis n. Fasialis atau
labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses
ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses
otak. Ketika sawar tulang rusak, terdapat sawar ketiga yaitu
terbentuknya jaringan granulasi. Pada otitis media supuratif akut
atau suatu eksaserbasi akut, penyebaran biasanya melalui
osteotromboflebitis (hematogen). Pada kasus kronis, penyebaran
terjadi melalui erosi tulang, melalui toksin yang masuk melalui
beberapa jalan, seperti fenestra rotundum, meatus akustikus
internus, duktus perlimfatik dan duktus endolimfatik. vii.
Labirinitis Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin
disebut labirinitis umum, dengan gejala umum vertigo berat dan tuli
saraf berat, sedangkan labirinitis yang terbatas menyebabkan
terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja Labirinitis terjadi
oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua
bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan labirinitis
supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa
difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif
dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan
labirinitis supuratif kronik difus. Pada labirinitis serosa, toksin
menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan
pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga
terjadi kerusakan yang ireversibel seperti fibrosis dan osifikasi.
Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan
untuk menghingkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang
diperlukan juga drainase nanah dari labirin untuk mencegah
terjadinya meningitis. Pemberian antibiotik yang adekuat terutama
ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan/tanpa
kolesteatoma.
B. Gangguan KeseimbanganI. Penyakit Meniere1. Definisi Penyakit
Meniere adalah kekacauan dari aliran cairan-cairan dari telinga
dalam. Meskipun penyebab dari penyakit Meniere tidak diketahui, ia
mungkin berakibat dari kelainan dalam cara cairan telinga dalam.
Pada kebanyakan kasus-kasus hanya satu telinga yang terlibat, namun
kedua telinga mungkin dipengaruhi pada kira-kira 10% sampai 20%
dari pasien-pasien. Penyakit Meniere secara khas mulai antara umur
20 dan 50 tahun (meskipun telah dilaporkan pada hampir semua
kelompok umur). Pria-pria dan wanita-wanita sama-sama dipengaruhi.
Gejala-gejala mungkin hanya gangguan minor, atau dapat menjadi
melumpuhkan, terutama jika serangan-serangan dari vertigo
berat/parah, seringkali, dan terjadi tanpa peringatan. Penyakit
Meniere juga disebut idiopathic endolymphatic hydrops.
2. Patofisiologi Gejala klinis penyait Meniere disebabkan oleh
adanya hidrops cairan endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hidrops
yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh:
Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri Berkurangnya
tekanan osmotik pada ujung kapiler Meningkatnya tekanan osmotik
ruang ekstrakapiler Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat,
sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa
Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal ditemukan
pelebaran dan perubahan morfologi pada membran Reisner. Terdapat
penonjolan ke dalam skala vestibuli, terutama di daerah apeks
koklea helikotrema. Sakulus juga mengalami pelebaran yang dapat
menekan utrikulus. Pada awalnya penekanan skala media dimulai pada
apeks koklea, kemudian dapat meluas kebagian tengah dan basal
koklea. Hal ini yang dapat menjelaskan terjadinya tuli saraf nada
rendah pada penyakit Meniere.
3. Gejala klinis Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu
vertigo, tinitus dan tuli sensorineural terutama nada rendah.
Serangan pertama sangat berat yaitu vertigo disertai muntah. Setiap
kali berusaha untuk berdiri dia merasa berputar, mual dan terus
muntah lagi. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, meskipun keadaannya berlangsung baik. Penyakit ini bisa
sembuh tanpa obat dan penyakit ini bisa sembuh sama sekali pada
serangan kedua kalinya dan selanjutnya, penyakit ini dirasakan
lebih ringan, tidak seperti serangan yang pertama kali. Pada
penyakit menire vertigonya periodik yang makin mereda dengan
serangan-serangan berikutnya. Pada setiap serangan biasanya
disertai dengan gangguan pendengaran dan dalam keadaan tidak ada
serangan, pendengaran dirasakan baik kembali. Gejala lain yang
menyertai serangan adalah tinitus, yang kadang-kadang menetap,
meskipun diluar serangan. Gejala yang lain menjadi tanda khusus
adalah rasa penuh di dalam telinga.
4. Diagnosa Diagnosa dipermudah dengan dengan dibakukannya
kriteria diagnoasa, yaitu: Vertigo hilang timbul Fluktuasi gangguan
pendengaran berupa tuli saraf Menyingkirkan kemungkinan penyebab
dari sentral, misalnya tumor N.VIII
Bila gejala-gejala khas pnyakit Meniere pada anamnesis
ditemukan, maka diagnosis penyakit Meniere dapat ditegakan.
Pemeriksaan fisik dilakukan hanya untuk meguatkan dignosis penyakit
ini. Bila dalam anamnesis terdapat riwayat fluktuasi pendengaran,
sedangkan pada pemeriksaan terdapat tuli sensorineural, maka kita
sudah dapat mendiagnosis penyakit Meniere, sebab tidak ada penyakit
lain yang dapat menyebabkan adanya perbaikan dalam tuli
sensorineural, kecuali pada penyakit Meniere. Dalam hal yang
meragukan kita dapat membuktikan adanya hidrops dengan tes
gliserin. Selain itu tes gliserin ini juga berguna untuk menentukan
prognostik tindakan operatif pada pembuatan shunt. Bila terdapat
hidrops maka diduga operasi akan berhasil dengan baik.
5. Tatalaksana Pada saat datang biasanya diberikan obat
simtomatik, seperti sedatif, dan bila diperlukan dapat diberikan
obat antimuntah. Bila diagnosis telah ditemukan, pengobatan yang
paling baik adalah sesuai dengan penyebabnya. Khusus untuk Meniere
diberikan obat-obat vasodilator perifer untuk mengurangi tekanan
hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan endolimfa ini disalurkan ke
tempat lain dengan jalan operasi shunt. Obat-obat anti iskemia
dapat pula diberikan sebagai obat alternatif dan juga diberikaan
obat neurotonik untuk menguatkan sarafnya
II. Benigna Paroximal Postional Vertigo1. Definisi Benign
Paroximal Positional Vertigo (BPPV) adalah pusing yang disebabkan
oleh debris yang terkumpul pada kanal semisirkularis di dalam
telinga dalam yang mempengaruhi fungsinya. Insiden penyakit
meningkat pada pertambahan usia, tetapi terlihat juga pada setiap
usia. Pada orang-orang yang berusia lebih dari 50 tahun sekitar
setengah dari kasus gejal pusing disebabkan oleh BPPV. Pada
umumnya, sekitar 20% pusing disebabkan oleh BPPV dan 9% setiap
orang tua mempunyau BPPV.
2. Gejala Gejala BPPV meliputi vertigo, disorientasi,
disequilibrum, ketidakseimbangan dan mual. Gejal yang paling khas
dari BPPV adalah perasaan berputar hebat paling kurang 5 sampai 15
detik. Aktivitas yang dapat menimbulkan gejala pada setiap orang
bervariasi tetapi selalu meliputi pergerakan atau perubahan posisi
kepala atau tubuh. Pasien mungkin sensitif terhadp suatu posisi
yang pasti. Kira-kira 30% pasien mendapat serangan ulang gejal
BPPV.
3. Patofisiologi BPPV terjadi akibat dari perubahan posisi
kepala yang cepat dan tiba-tiba seperti saat berguling di tempat
tidur, membungkuk, atau menengadah ke atas, dan biasanya akan
disertai sensasi pusing yang sangat berat, yang berlangsung
bervariasi pada masing-masing penderita, vertigo dapat berlangsung
hanya beberapa menit hingga berhari-hari dan dapat disertai dengan
gejala mual dan muntah. Beberapa dugaan yang dikemukakanoleh para
ahli adalah kemungkinan adanya trauma pada alat keseimbangan,
infeksi, sisa pembedahan telinga, faktor degeneratif karena usia
dan kelainan pembuluh darah. Mekanisme pasti terjadinya BPPV masih
samar. Tapi penyebabnya sudah diketahui pasti yaitu debris yang
terdapat pada kanalis semisirkularis biasanya pada kanalis
posterior. Debris berupa kristal kalsium karbonat itu dalam keadaan
normal tidak ada. Diduga debris itu menyebabkan perubahan tekanan
endolimfe dan defleksi kupulasehingga timbul gejala vertigo. Untuk
memahami patofisiologi terjadinya BPPV, dibutuhkan pemahaman
tentang anatomi dan fisiologi normal dari kanalis semisirkularis.
Setiap telinga bagian dalam mengandungi 3 kanalis semisirkularis.
Masing-masing kanal terdiri dari krura yang ujungnya melebar
(ampulla) yang terletak berdekatan dengan krista ampullaris
(reseptor saraf). Krista ampullaris memiliki cupula, yang
mendeteksi aliran cairan dalam kanalis semisirkularis. Jika
seseorang tiba-tiba menoleh ke kanan, cairan dalam kanal
horizontalkanan akan tertinggal, menyebabkan cupula terdeviasi ke
kiri (ke arah ampulla, atauampullopetal). Deviasi ini berikutnya
akan diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang menegaskan bahwa
posisi kepala sedang berputar ke kanan. Ketidakcocokan informasi
sensorik antara gerakan kepala dan deviasi cupula inilah yang
menghasilkan sensasi vertigo. Teori Cupulolithiasis Pada tahun
1962, Harold Schuknecht, MD, mengusulkan teori cupulolithiasis
sebagai penjelasan untuk BPPV. Melalui pemeriksaan photomicrograph,
beliau menemukan partikel basofilik atau densitas yang adheren
terhadap cupula tersebut. Beliau menduga bahwa kanal semisirkularis
posterior akan lebih sensitif terhadap gravitasi dikarenakan
partikel padat yang melekat pada cupula tersebut. Teori ini
dianalogkan dengan situasi benda berat yang melekat pada puncak
tiang, di mana berat ekstra akan membuat tiang tidak stabil dan
sulit mempertahankan posisinetral. Bahkan, tiang cenderung
terlempar dari satu sisi ke sisi lainnya tergantung pada arah itu
dimiringkan. Setelah posisi tersebut tercapai, berat partikel
tersebut akanmempertahankan posisi cupula kembali ke netral. Hal
ini tercermin dari nystagmus persisten dan menjelaskan sensasi
pusing ketika pasien melentur ke belakang. Teori Canalithiasis Pada
tahun 1980, Epley memperkenalkan teori-teorinya tentang
canalithiasis. Beliau berpikir bahwa gejala BPPV jauh lebih
konsisten dengan partikel bebaS bergerak (canaliths) di kanalis
semisirkularis posterior daripada partikel melekat pada cupula
tersebut. Sementara kepala ditegakkan, partikel di kanalis
semisirkularis posterior berada pada posisi yang
tergantunggravitasi. Ketika kepala melentur ke belakang (supinasi),
partikel berputar sampai sekitar 90 sepanjang arkus kanalis
semisirkularis posterior. Setelah lag sesaat (inersia), gravitasi
akan menarik partikel menuruni arkus. Hal in imenyebabkan aliran
endolimfe untuk menjauh dari ampula dan menyebabkan cupula
terdefleksi. Defleksi cupular menghasilkan nystagmus. Teori
canalithiasis dibuktikan lebih lanjut oleh Parnes dan McClure pada
tahun1991 dengan penemuan partikel bebas-bergerak dalam kanalis
semisirkularis posterior setelah dilakukan pembedahan. Sehingga
kini etiologi pasti BPPV masih belum diketahui. Meskipun
penelitian-penelitian belum mengidentifikasi penyebab tunggal
gangguan BPPV, namun para peneliti dan tenaga medis sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor predisposisi yang mendukung terjadinya
BPPV termasuklah kurangnya aktivitas, alkoholisme akut,
operasimayor, dan penyakit sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan
neurologis lengkap sangat penting dalam membantu menegakkan
diagnosa BPPV karena kebanyakan pasien turut mengidap penyakit
telinga bagian dalam secara bersamaan, sebagai berikut: Idiopatik -
39% Trauma - 21% Penyakit telinga - 29% Otitis media - 9% Neuritis
vestibular - 7% Mnire disease- 7% Otosklerosis - 4% Penyakit sistem
saraf pusat (SSP) - 11% Insufisiensi vertebra basilar - 9% Neuroma
akustik - 2% Vertigo servikal - 2%
4. Gejala Klinik dan Diagnostik Penderita BPPV biasanya akan
menimbulkan keluhan jika terjadi perubahan posisi kepala pada suatu
keadaan tertentu. Pasien akan merasa berputar atau merasa
sekelilingnya berputar jika akan ke tempat tidur, berguling dari
satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur di pagi hari,
mencapai sesuatu yang tinggi atau jika kepala ditengadahkan ke
belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10 detik.
Kadang-kadang pada penderita BPPV dapat disertai rasa mual dan
seringkali pasien merasa cemas. Penderita biasanya menyadari
keadaan ini dan berusaha menghindarinya dengan tidak melakukan
gerakan yang dapat menimbulkan vertigo.Vertigo tidak akan terjadi
jika kepala dalam posisi tegak lurus atau berputar secara aksial
tanpa ekstensi. Pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan
berkurang dan akhirnya berhenti secara spontan dalam jangka waktu
beberapa hari sampai beberapa bulan, tetapi kadang-kadang dapat
juga sampai beberapa tahun. BPPV khususnya dapat dibedakan dari
Menire disease karena biasanya pada BPPV tidak terjadi gangguan
pendengaran atau telinga berdenging (tinnitus). Diagnosis BPPV
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
THT, uji posisi dan uji kalori. Pada anamnesis, penderita BPPV
sering mengeluhkan kepala terasa pusing berputar pada perubahan
posisi kepala dengan kondisi tertentu. Secara klinis vertigo
terjadi pada perubahan posisi kepala dan akan berkurang serta
akhirnya berhenti secara spontan setelah beberapa waktu. Pada
pemeriksaan THTsecara umum tidak didapatkan kelainan berarti. Pada
uji kalori, gerakan mata yang abnormal menunjukan adanya kelainan
fungsi di telinga bagian dalam atau saraf yang menghubungkannya
dengan otak. Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke
kanan atau atas ke bawah. Arah dari gerakan tersebut bisa membantu
dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa dirangsang dengan
menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau dengan
meneteskan air dingin ke dalam telinga. Uji posisi dapat membantu
membedakan lesi perifer atau sentral sekaligus mendiagnosa BPPV,
yang paling baik dan mudah adalah dengan melakukan manuver
Dix-Hallpike: penderita duduk tegak, kepalanya dipegang pada kedua
sisi olehpemeriksa, lalu menggerakkan kepala pasien dengan cepat ke
kanan, kiri dan kembali ketengah. Pada lesi perifer, dalam hal ini
positif BPPV, akan didapatkan nistagmus posisi dengan gejala: Mata
berputar dan bergerak ke arah telinga yang terganggu dan mereda
setelah 5-20 detik. Disertai vertigo berat. Mula gejala didahului
periode laten selama beberapa detik (3-10 detik).
Pada uji ulangan akan berkurang sampai menghilang (fatigue),
tetapi juga berguna sebagai cara diagnosis yang tepat. Berbeda
dengan lesi sentral, periode laten tidak ditemukan, vertigo dan
nistagmus berlangsung lebih dari 1 menit, dan bila diulang gejala
tetap ada (non fatigue).
Terapi Pilihan pengobatan untuk penatalaksanaan BPPV adalah
observasi, medikasi vestibulosuppresan, rehabilitasi vestibular,
reposisi canalith, dan pembedahan.
Observasi: Sejak BPPV adalah jinak dan gejalanya dapat berkurang
dan menghilangtanpa pengobatan dalam beberapa minggu ke bulan, ada
beberapa argumentasi mengatakan bahwa penatalaksanaan BPPV cukup
dengan observasi sederhana.
Medikasi vestibulosuppresan: Pengobatan ini biasanya tidak
mengatasi vertigo tersebut secara tuntas, malah cenderung dihindari
karena penggunaan obat vestibulosuppresan yang berkepanjangan
hingga lebih dari 2 minggu dapat mengganggu mekanisme adaptasi
susunan saraf pusat terhadap abnormalitas vestibular perifer
yangsudah terjadi. Selain itu, efek samping yang timbul bisa berupa
kantuk, letargi, dan perburukan keseimbangan.
Rehabilitasi vestibular: Rehabilitasi vestibular adalah terapi
non-invasif yang bisa sukses setelah melewati jangka waktu yang
panjang. Pasien dapat diinstruksikan lewat latihan Cawthorne yang
membantu dalam penyebaran partikel.
Reposisi Canalith: Sejak rasio manfaat-resikonya sangat tinggi
setelah dilakukan penelitan, reposisi canalith tampaknya menjadi
pilihan pertama di antara semua modalitas pengobatan yang tersedia.
Reposisi partikel diwakili oleh dua manuver utama yang dikembangkan
secara bersamaan di Amerika Serikat dan Perancis. Kedua metode
inimerupakan manuver Epley dan manuver Semont. Manuver Epley ini
bertujuan untuk mengembalikan debris dari kanalis semisirkularis
posterior ke vestibular labirin. Angka keberhasilan manuver Epley
dapat mencapai 100%bila dilatih secara berkesinambungan. Bahkan,
uji Dix-Hallpike yang semula positif menjadi negatif. Angka
rekurensi ditemukan 15% dalam 1 tahun. Setelah melakukanmanuver
Epley, pasien disarankan untuk tetap tegak lurus selama 24 jam
untuk mencegahkemungkinan debris kembali lagi ke kanal
semisirkularis posterior. Bila pasien tidak adaperbaikan dengan
manuver Epley dan medikamentosa, operasi dapat dipertimbangkan.
III. Vertigo1. Definisi Perkataan vertigo berasal dari bahasa
Yunani vertere yang artinya memutar. Pengertian vertigo adalah :
sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan
sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan
otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo (sering
juga disebut pusing berputar, atau pusing tujuh keliling) adalah
kondisi di mana seseorang merasa pusing disertai berputar atau
lingkungan terasa berputar walaupun badan orang tersebut sedang
tidak bergerak.
2. Patofisiologi Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat
keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi
tubuh (informasi aferen) yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi
oleh susunan saraf pusat (pusat kesadaran). Susunan aferen yang
terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau
keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke
pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik
dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei
vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan
vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna
untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler,
visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian
reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah
proprioseptik. Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba
di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor
vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan
diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar,
akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian
otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di
samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap
lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer
atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada
rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan
informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan
gejala otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi
tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa
nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala
lainnya. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh : 1. Teori rangsang berlebihan
(overstimulation) Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang
berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga
fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual
dan muntah. 2. Teori konflik sensorik Menurut teori ini terjadi
ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor
sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan
proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik
dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat
berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit
berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang,
berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori
rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab. 3. Teori neural mismatch Teori
ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori
ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu;
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak
sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari
susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut
dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga
berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan
saraf otonom sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi,
gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan. 5. Teori
neurohumoral Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin
(Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan
peranan neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf
otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo. 6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi
pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin
releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo
akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual,
muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi
aktivitas susunan saraf parasimpatis.
3. Etiologi Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu
dari organ vestibuler sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan
sentral dari inti nervus VIII sampai ke korteks. Berbagai penyakit
atau kelainan dapat menyebabkan vertigo. Penyebab vertigo serta
lokasi lesi : Labirin, telinga dalam - vertigo posisional
paroksisimal benigna - pasca trauma - penyakit menierre -
labirinitis (viral, bakteri) - toksik (misalnya oleh aminoglikosid,
streptomisin, gentamisin) - oklusi peredaran darah di labirin -
fistula labirin Saraf otak ke VIII - neuritis iskemik (misalnya
pada DM) - infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes
zoster) - neuritis vestibular - neuroma akustikus - tumor lain di
sudut serebelo-pontin Telinga luar dan tengah - Otitis media -
Tumor
SENTRAL Supratentorial - Trauma - Epilepsi Infratentorial -
Insufisiensi vertebrobasiler
Obat Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang
disertai tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara
lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid,
derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina.
Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga
gentamisin; sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih
bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala
vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol
dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan
terapi fisik, penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan
karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi vestibluer. Obat
penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat
menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan
vertigo
4. Klasifikasi vertigoVertigo dapat berasal dari kelainan di
sentral (batang otak, serebelum atau otak) atau di perifer (telinga
dalam, atau saraf vestibular). a. Vertigo SentralPenyebab vertigo
jenis sentral biasanya ada gangguan di batang otak atau di
serebelum. Untuk menentukan gangguan di batang otak, apakah
terdapat gejala lain yang khas bagi gangguan di batang otak,
misalnya diplopia, parestesia, perubahan sensibilitas dan fungsi
motorik, rasa lemah.b. Vertigo periferi. Episode (serangan) vertigo
yang berlangsung beberapa detik Paling sering disebabkan oleh
vertigo posisional benigna. Dapat dicetuskan oleh perubahan posisi
kepala. Berlangsung beberapa detik dan kemudian mereda. Paling
sering penyebabnya idiopatik (tidak diketahui), namun dapat juga
diakibatkan oleh trauma di kepala, pembedahan di telinga atau oleh
neuronitis vestibular. Prognosis umumnya baik, gejala menghilang
secara spontan.
ii. Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam
Dapat dijumpai pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang.
Penyakit meniere mempunyai trias gejala yaitu ketajaman pendengaran
menurun (tuli), vertigo dan tinitus.
iii. Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu Neuronitis vestibular merupakan kelainan yang
sering datang ke unit darurat. Pada penyakit ini, mulainya vertigo
dan nausea serta muntah yang menyertainya ialah mendadak, dan
gejala ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Fungsi pendengaran tidak terganggu pada neuronitis vestibular. Pada
pemeriksaan fisik mungkin dijumpai nistagmus.
5. Gejala Klinik Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai
gejala yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun,
lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng
(dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit,
mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput
(tipis).
6. Pemeriksaan fisik Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor
penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik
vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan fungsi
pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi
serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk
menentukan penyebab apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan
dengan kelainan susunan saraf pusat korteks serebri,
serebelum,batang otak, atau berkaitan dengan sistim
vestibuler/otologik. Selain itu harus dipertimbangkan pula faktor
psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo
tersebut. Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara
lain aritmi jantung,hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif,
anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama
harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian
penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan
terapi simtomatik yang sesuai.
7. Pengobatani. Terapi kausal Obati penyebab dasarnya ii. Terapi
simptomatik (medikamentosa) Karena penyebab vertigo beragam,
sementara penderita seringkali merasa sangat terganggu dengan
keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan
simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus
terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Daftar Pustaka
Ariel A Waitzman, Otitis Externa,
http://emedicine.medscape.com/article/994550, 2014
John D Donaldson, Acute Otitis Media,
http://emedicine.medscape.com/article/859316, 2013.
Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 2nd edition. United States: McGraw Hill.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J. Harrisons Principle of lnternal Medicine.18th ed. USA: McGraw
Hill; 2012.
Peter S Roland, Chronic Supurative Otitis Media,
http://emedicine.medscape.com/article/859501, 2013
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, & Leher.
Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.