Page 1
TONSILITIS
Pendahuluan
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil)
Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada anak.
Tonsilitis terbagi kepada 3 yaitu tonsillitis aku, tonsillitis membranosa dan tonsillitis kronis.
Isi
TONSILITIS AKUT
a) Tonsillitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorokan.
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemophilus influenzae merupakan
penyebab tonsillitis akut yang supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.
Terapi
Istirehat, minum yang cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gejala berat.
b) Tonsillitis bakterial
Tonsilitis akut adalah radang akut pada tonsil akibat infeksi kuman.Tonsillitis akut ini lebih
disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta hemolitik yang dikenali sebagai strept throat,
pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan
epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Detritus sendiri terdiri atas kumpulan leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati dan
epitel tonsil yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai
1
Page 2
bercak kuning. Tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Tonsilitis
akut dengan detritus yang menyatu lalu membentuk kanal-kanal disebut tonsilitis lakunaris.
Detritus dapat melebar dan membentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi
tonsil.
Gejala dan tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda-tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan
dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-
sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri
alih (reffered pain) melalui saraf N. glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh
membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi
Antibiotik spectrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan.
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy
throat), abses parafaring, bronchitis glomerulonifritis akut, miokarditis, arthritis serta septikemia
diakibat infeksi V. Jugalaris interna (Sindrom Lemirre)
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur
(ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep
Apnea Syndrome (OSAS).
TONSILITIS MEMBRANOSA
a) Tonsilitis difteri
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri gram positif
pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yaitu hidung, faring dan laring. Tonsillitis
difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Gejala dan tanda
Terbagi kepada 3 golongan utama yaitu:
2
Page 3
i) Gejala umum
Kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris
Nyeri kepala
Tidak nafsu makan
Badan lemah
Nadi lambat
Nyeri menelan
ii) Gejala local
Tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan membentuk satu membrane semu. Membrane meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membrane melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Bila infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals
iii) Gejala akibat eksotoksin
Kerusakan jaringan tubuh
- Miokarditis sampai decompensatio cordis
Kerusakan saraf cranial
- Kelumpuhan otot palatum
- Kelumpuhan otot-otot pernapasan
Albuminuria pada ginjal
Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan
preparat langsung kuman yang diambil dan permukaan bawah membrane semu dan
didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
Terapi
Anti Difteri Serum(ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000-
100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
3
Page 4
Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3dosis selama
14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena
penyakit menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-
3 minggu.
Komplikasi
Laryngitis difteri dan berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat
timbul komplikasi ini.
Miokarditis mengakibatkan payah jantung atau decompensasio cordis
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta
otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan
Albuminuria akibat komplikasi ke ginjal
b) Tonsillitis septic
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi
sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi sebelum
mengkonsumsi susu sapi tersebut.
c) Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan hiegine mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Gejala
Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nyeri kepala, badan
lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi,
gigi, dan gusi mudah berdarah.
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas tonsil, uvula,
dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submanibula
membesar.
Terapi
4
Page 5
Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga pemberian
vitamin C dan B kompleks.
d) Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis
timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang-kadang terdapat
perdarahan selaput lendir mulut dan faring dan pembesaran kelenjar submandibula.
Leukimia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membran semu
tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di tenggorok.
Angina agranulositosis
Penyebab ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa, dan arsen. Pada
pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring dan di sekitar ulkus tampak gejala
radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu yang
menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar
limfe leher ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba ( reaksi Paul Bunnel )
TONSILITIS KRONIK
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun terkadang bakteri
berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. Faktor disposisinya adalah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, higine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.
Patologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.proses ini meluas sehingga
5
Page 6
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.
Gejala dan Tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisis oleh dendrites. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di
tenggorok dan napas berbau.
Terapi
Terapi local ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis
atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan
dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis,uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria
dan furunkulosis.
Derajat Pembesaran Tonsil
T0 : Post tonsilektomi
T1 : Tonsil berada dalam fossa tonsil
T2 : Tonsil sudah melewati fossa tonsil tapi masih berada diantara garis
khayal yang terbentuk antara fossa tonsil dan uvula ( Paramedian line )
T3 : Tonsil sudah melewati Paramedian line dan menyentuh uvula
T4 :Tonsil sudah melewati garis median
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
6
Page 7
diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama
adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi
sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada
keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi
perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.
Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik β-laktamase resisten
d. Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
e. Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah
mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan
keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.
Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama,
gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic
tonsillitis”) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga
dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi
7
Page 8
mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut
dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi
karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam
nyawa.
The American Academy of Otolaryngology- Head and neck Surgery Clinical Indicators
Compedium tahun 1995 menetapkan: 1
1. Serangan tonsilitis lebih tiga kali per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak hilang dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus beta
hemolyticus.
7. Hipertrofi kelenjar tonsil yang dicurigai tumor.
8. Otitis media efusa/ otitis media supuratif.
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Persiapan Praoperasi
1. Penilaian Praoperasi
8
Page 9
Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi
kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani
operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak
dan sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter
spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi
terhadap pasien. Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama
perawatan di rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American
Family Physician).
a. Anamnesis dan Rekam Medik
Riwayat kesehatan.
Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada
anak dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus,
hipertensi, epilepsi, dll.
Riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi
terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik
terutama paru-paru dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan
pernah digunakan beserta dosisnya.
Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Status gizi: malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada
jantung, tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif
menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien
dengan penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah
orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada
9
Page 10
dapat menyulitkan proses operasi. Selain itu penting untuk
mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam rekam medik
c. Pemeriksaan Penunjang2
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin
prabedah elektif, maka pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk
tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT
d. Informed consent2
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko dan
komplikasi yang potensial akan dialami pasien.
e. Persiapan praoperasi2
Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat pada tabel
2, berdasarkan umur pasien.
2. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian klinis
yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur bedah maupun
nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli anestesia dan
terdiri dari:18
a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam mengetahui
riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien. Terutama
adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi.
10
Page 11
Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi
yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi
tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam medik.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility
intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital pasien. Penilaian
praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.
c. Tes praoperasi
Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang dilakukan atas
dasar indikasi tertentu.
Definisi TonsilektomiTonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena
durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi
belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003)
menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus
menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).10 Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun
terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan
penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.
11
Page 12
Teknik Operasi Tonsilektomi
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai
teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan
berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan
uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang
edematosa atau elongasi. Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak
digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua
yang masih aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang
melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi. Kepustakaan lama
menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.
Teknik :
Posisi pasien telentang anestesi umum.Operatordisisi kanan berhadapan dengan pasien.
Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan pembuka
mulut.Lidah ditekan dengan spatula.
Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri.
Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil
dimasukkan ke dalam lubang guillotine.
Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan
tonsilmasuk ke dalam lubang guillotine.
Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan bantu
an jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan diangkat keluar.
Perdarahan dirawat.
12
Page 13
Keuntungan :
dikenal sebagai cara yang cepat dan praktis,
komplikasi anestesi kecil
biaya lebih murah
Kerugian :
sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat
dapat timbul perdarahan yang hebat
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT yang
secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder. Di negara-negara Barat, terutama
sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang
mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak. Walaupun telah ada
modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi,
prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis
tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan
mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan
elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan mouth gag
pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek
fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa
endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan
dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk
mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan
didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior sampai
tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa
13
Page 14
endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag
dibuka. Tindakan ini harus dilakukan dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan
kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan
pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat,
bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan
inferior tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai
operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah untuk
tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak
dan dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan
bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea
lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan
adenoidektomi.
Keuntungan:perdarahan pasca operasi minimal ,dapat mengangkat seluruh jaringan tonsil
Kerugian :
a)nyeri hebat pasca-operasi
b) durasi operasi lebih lama
c)nyeri pascaoperasi yang signifikan akibat digunakannya elektrokauter untuk hemostasis
d) resiko perdarahan intraoperatif tinggi
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi
standar, yaitu:
1. Electrosurgery (Bedah listrik)
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah memicu
terjadinya ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat anestetik yang nonflammable
dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas. Pada
14
Page 15
bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk
menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini
mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak
menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari
teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik
(electrical pathway). Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang
pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase
dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.
2. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar
ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume
jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi
diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah
ini dapat menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini
terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak. Alat
radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja
pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the
ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil
dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang
lebih besar dengan desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari
teknik ini.
3. Skalpel harmonik
15
Page 16
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan
koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel
tersebut (biasanya 1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan
oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas
generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. Alatnya
memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang bergetar dengan frekuensi 55,5
kHz sejauh lebih dari 80 μm (paling penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat
dari ujung pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan
penurunan tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan
pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah
ikatan hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi
jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi. Skalpel harmonik memiliki beberapa
keuntungan dibanding teknik bedah lain, yaitu:
Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal karena proses
pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan charring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak
memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi
(energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan shock atau luka bakar.
Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit perdarahan,
perdarahan pasca operasi juga minimal.
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini mengurangi nyeri
pascaoperasi.
Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi kehilangan
darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor VIII dan pasien yang
mendapatkan terapi antikoagulan.
4. Coblation
16
Page 17
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar ablation, ionised field
tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold
tonsillar ablation. Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik
radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini
akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe
memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 600C
(45-850C) dibanding lebih dari 1000C). National Institute for clinical excellence menyatakan
bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini
bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.
5. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan
peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai
ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot
faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari
sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya
peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan
mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden
tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan
6. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote) untuk
menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan „recesses‟ pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren. LTA
dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan
teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia
17
Page 18
pascaoperasi berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore
throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.
KOMPLIKASI
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal,
sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi. Sekitar 1: 15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat
perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan
adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status
kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
Komplikasi bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi
selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Perdarahan yang terjadi dalam
24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “ reactionary
haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat
selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahn primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks
batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan
18
Page 19
dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi
setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi,
hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi
sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan
perdarahan dan trauma makanan yang keras.
b) Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus
atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus
nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah
operasi. Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “ cold”
diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik.
Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan
oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak ditangani di rumah,
perawatan dirumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
c) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula,
insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca bedah. Komplikasi saat
pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama
pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan
mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut
seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman dan
terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga
perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau
19
Page 20
vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Perdarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar,
dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara ini tidak menolong,
maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar
posterior dijahit. Bila juga masih gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. Trauma
akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan disekitarnya seperti kerusakan jaringan
dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat
pemasangan alat pembuka mulut. Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan
waktu yaitu:
I. Immediate Complication
Immediate complication pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang
berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau juga disebut perdarahan primer
adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum
sempurna hingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Asfiksi
inilah yang dapat mengakibatkan tersumbatnya saluran napas dan membuat komplikasi
yang berat dan mengancam nyawa. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan.
Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah:
i. Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal
ii. Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur
iii. Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah yang
terkumpul di faring
iv. Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok. Bila
diduga adanya perdarahan berhenti spontan. Bila perdarahan belum berhenti,
dapat dilakukan penekanan dengan tampon yang mengandung adrenalin
1:1000. Selanjutnya bila masih gagal dapat dicoba dengan pemberian
20
Page 21
hemostatik topikal di fossa tonsil dan hemostatik parenteral dapat diberikan.
Bila dengan cara diatas perdarahan belum berhasil dihentikan, pasien dibawa ke
kamar operasi dan dilakukan perawatan perdarahan seperti saat operasi.
Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan anestesi segera pasca bedah
umumnya dikaitkan dengan perawatan terhadap jalan napas. Lendir, bekuan
darah atau kadang-kadang tampon yang tertinggal dapat menyebabkan asfiksi.
II. Intermediate complication
Komplikasi dari intermediate berupa perdarahan sekunder, hematom dan edema uvula,
infeksi, komplikasi paru dan otalgia. Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang
terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi
dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan, dapat juga oleh
karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu
cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah dibawahnya terbuka dan
terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
pembuluh darah permukaan.
Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer. Pada pengamatan pasca
tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi,
dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh datah yang mendarahi
uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai
organ-organ lain seperti ginjal, dan sendi mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala
otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tapi kadang-kadang merupakan
gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses
parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi
paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.
III. Late complication
21
Page 22
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila
berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah
adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila
cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
CARA PEMULIHAN POST TONSILEKTOMI
Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak. Pasien diobservasi selama beberapa waktu diruang
pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitasbiaya dari
pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi sudah bisapulang pada hari
yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepatsebelumnya. Belum ada
kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasiendipulangkan. Umumnya,
observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanyaperdarahan dini.
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan
dokterspesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim.
Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan
tujuandapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi
yangtimbul.Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi
respirasi,frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi
pemeriksaantergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk
jam pertamadan selanjutnya setiap setengah jam.Untuk menentukan secara objektif kapan
pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan sistemskoring. Sistem yang saat ini digunakan secara
luas adalah Skor Aldrete yang dimodifikasi:
SKOR
2 1 0
Kesadaran Sadar penuh Respon bila nama
dipanggil
Tidak ada respon
Aktivitas atas Menggerakkan semua Menggerakkan 2 Tidak bergerak
22
Page 23
perintah ekstremitas ekstremitas
Pernapasan Napas dalam tanpa
hambatan
Dispneu,
hiperventilasi,
obstruksi pernapasan
Apneu
Sirkulasi TD dalam kisaran 20%
nilai pre-op
TD dalam kisaran 50-
20% nilai pre-op
TD ≤ 50% dari nilai
pre-op
Saturasi 02 SpO2 > 92% pada
udara ruangan
Butuh tambahan O2
untuk
mempertahankan
SpO2 > 92%
SpO2 < 92% dengan
tambahan O2
Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU
Perawatan postoperasi
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan postoperatif.
Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap
pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan
sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan
pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa dipulangkan.
Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat, muntah berlebihan atau
perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan
keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan pertimbangan
perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi
randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan
bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah
antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral.
23
Page 24
Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki
riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada pasien
dengan kelainan jantung. Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, Bagaimanapun
juga, analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi.
Selain itu juga bias menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi,
pasien harusdimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi
keluhan pembengkakan faring dan pada akhirnya rasa nyeri.
Penyembuhan pasca operasi
Penyembuhan pascaoperasi adalah proses mengembalikan klien kepada tingkat kesehatan
fungsionalnya sesegera mungkin pascaoperasi. Cepatnya pemulihan lanjutan ini bergantung
pada jenis atau luasnya pembedahan, faktor resiko, komplikasi pascaoperasi, dan rencana
asuhan keperawatan.
Pasien bedah sehari pulang ke rumahnya setelah memenuhi beberapa criteria seperti :
1. Dapat berkemih (jika mungkin)
2. Bisa melakukan ambulasi
3. Sadar dan memiliki orientasi
4. Mual/muntah minimal
5. Tidak meminum obat-obat nyeri selama 1 jam
6. Nyeri pascaoperatif minimal
7. Tidak ada pendarahan atau drainase yang berlebihan
8. Menerima instruksi tertulis dan resep pascaoperatif
9. Mengungkapkan pemahaman tentang intruksi
10. Pulang dengan orang yang bisa bertanggung jawab
Sedangkan untuk pasien bedah besar perlu tetap tinggal di unit perawatan pasca anestesi
(UPPA) sampai kondisinya stabil. Untuk itu harus evaluasi kesiapan pasien dari UPPA
berdasarkan kestabilan tanda-tanda vitalnya jika dibandingkan dengan data preoperative:
24
Page 25
Hal yang harus dipenuhi pasien :
1. Kontrol suhu tubuh baik
2. Fungsi ventilasi baik
3. Nyeri dan mual minimal
4. Drainase luar kontrol
5. Nyeri dan mual minimal
6. Cairan dan elektrolit seimbang
Apabila setelah 2 sampai 3 jam kondisi pasien tetap buruk, waktu pasien tinggal di UPPA akan
diperpanjang atau memindahkan pasien ke ruang ICU.
DIET POST TONSILEKTOMI
Setelah post operasi tonsilektomi, pasien harus mengkonsumsi diet adekuat supaya
terjadi penyembuhan yang cepat.
Di sini, tidak ada data yang mendukung bahwa diet spesifik diperlukan setelah post
tonsilektomi, tetapi biasanya pasien diberikan makanan yang lunak berbanding
makanan kasar supaya lebih mudah ditelan.
Pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke
makanan lunak merupakan standar di banyak senter pelayanan kesehatan.
Cairan intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk
memulai intake oral.
Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi.
Hari 1 sampai hari 3
o Diberikan minuman seperti air putih, teh, susu dan bubur saring.
o Hindari minum minuman berdingin dan es.
o Asupan cairan yang adekuat dapat mencegah terjadi dehidrasi dan mengurangi
nyeri.
Hari 3 sampai hari 4
25
Page 26
o Diberikan makanan yang mudah dikunyah dimana teksturnya lembut dan tidak
keras.
o Misalnya, bubur saring, bubur sumsum, susu, dan makanan berkuah.
Hari 5 sampai 6
o Diberikan bubur beras biasa, bubur havermut, telur dan makanan berkuah.
Hari 7 sampai 8
o Diberikan nasi tim, dan makanan berkuah.
Hari seterusnya
o Diberikan nasi yang biasa dimakan sehari-hari dan dipastikan pasien mengunyah
makanan dengan benar dan baik.
Makanan harus dihindari
o Selama 2 minggu tidak boleh makan makanan yang keras, panas, pedas dan
asam seperti keripik, kerupuk, kacang dan bakso.
Kapan harus kontrol
Seminggu setelah operasi atau pada bila-bila ada keluhan gejala.
Instruksi pasien di rumah
1. Tidur miring untuk memudahkan mengeluarkan sekret
2. Meningkatkan masukan cairan minimal 2000 ml untuk mengurangkan resiko terhadap
kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan
sekunder terhadap nyeri saat menelan.
3. Minum dingin untuk membantu proses pembekuan darah, mencegah perdarahan
4. Beri makanan porsi kecil dan sering supaya dapat mengurangi intensitas dalam menelan
agar dapat memenuhi nutrisi yang adekuat
5. Makanan yang menarik untuk meningkatkan nafsu makan untuk meningkatkan daya
tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan luka.
26
Page 27
6. Hindari makanan panas dan kasar selama 1 minggu karena makanan panas
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah yang meningkatkan resiko perdarahan,
makanan kasar bisa melukai area post operasi yang bisa menyebabkan perdarahan.
7. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman agar pasien dapat istirahat yang cukup
bagi mengurangkan rasa nyeri.
Penutup
Kesimpulan:
Tonsilektomi merupakan teknik operasi pengangkatan tonsil . Penilaian praoperasi, preanestesi dan
teknik operasi yang teliti dapat menurunkan resiko perdarahan dan komplikasi post operasi yang lain.
Penyembuhan post operasi yang tepat dapat memberikan kesembuhan maksimal pada pasien.
27
Page 28
References :
1. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk. Persiapan
rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003
2. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
Hal 212-6
3. Boies fundamentals of otolaryngology,text book or ear,nose and throats desease 6th edision.
4. Penyembuhan post tonsilektomi diunduh pada 12 september 2012,
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/tonsilektomi.html
5. Penyembuhan dan post operasi toksilektomi, diunduh pada 12 september 2012,
http://fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=GENERAL+ANESTESI+TONSILEKTOMI+PADA+ANAK+TONSILITIS+KRONIS
6. Post tonsilektomi, diunduh pada 12 september 2012, http://sehat-sakit-
stikes.blogspot.com/2012/07/asuhan-keperawatan-klien-post-operasi.html
28