Top Banner
Imunologi Dasar : Penyakit Auto Imunitas Posted on Februari 2, 2012 by Indonesia Resources Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi. Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan alloimmunity . Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
52

Imunologi Dasar

Oct 25, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Imunologi Dasar

Imunologi Dasar : Penyakit Auto   Imunitas Posted on Februari 2, 2012by Indonesia Resources

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk

mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang

memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan

tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang

diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun .  Autoimunitas sering

disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target

dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel

sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa

dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1

(IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren ,

Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves ,

idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan

alergi.

Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali

tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada

awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana

‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri

jaringan.  Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi

abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia.

Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral

dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas

alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi

imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan

alloimmunity .

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu

mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur

antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap

kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap

antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas

tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan

autoantibodi, atau respons imun selular.

Page 2: Imunologi Dasar

Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana

pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.

Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi.

Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu

menimbulkan penyakit.

Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi

fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena

respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang

disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).

Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk

keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau

respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit.

Page 3: Imunologi Dasar

Faktor Genetik

Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan

penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen

ditambah faktor risiko lainnya.  Genetik individu tertentu cenderung tidak

selalu mengembangkan penyakit autoimun.

Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.

Imunoglobulin

T-sel reseptor

Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).

Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren

rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan

sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi berbagai sangat luas penjajah,

tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas.

Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah

menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu

allotypes berkorelasi sangat

HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus

Erythematosus , narkolepsi[6] dan multiple sclerosis , dan berkorelasi

negatif dengan tipe DM 1.

HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjögren , myasthenia gravis ,

SLE , dan Jenis DM 1.

HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1

diabetes mellitus , dan pemfigus vulgaris .

Page 4: Imunologi Dasar

Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan

ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme

dalam MHC kelas II promotor dan penyakit autoimun.

Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian,

pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes

pada tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian Kotzin dari

kerentanan terhadap SLE ).

Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple

termasuk Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus

erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison,

Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan

arthritis psoriatis.

Jenis Kelamin

 Rasio perempuan / laki-laki  insiden penyakit autoimun

Hashimoto thyroiditis 10/1

Graves’ disease 7/1

Multiple sclerosis (MS) 2/1

Miastenia gravis 2/1

Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1

Rheumatoid arthritis 5/2

Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam

pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling

autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75%   lebih dari 23,5 juta

orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan,

meskipun  jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American

Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun

yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun

beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang

pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes mellitus ,

Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .

Page 5: Imunologi Dasar

Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih

besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu,

meningkatkan risiko autoimunitas. [7]Keterlibatan steroid seks ini

ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi

sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam

siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat

kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk

penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak mereka

selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung

keseimbangan gender dalam arah betina.

Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk

mendapatkan autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan

kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh

Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi

eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya

terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang diselidiki.

Klasifikasi

autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-

spesifik atau lokal, tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari

masing-masing penyakit.

Penyakit autoimun sistemik termasuk SLE , sindrom Sjögren ,

skleroderma , rheumatoid arthritis , dan dermatomiositis . Kondisi ini

cenderung berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen yang

tidak jaringan tertentu. Jadi meskipun polymyositis kurang lebih jaringan

tertentu dalam presentasi, mungkin termasuk dalam kelompok ini karena

autoantigens sering mana-mana t-RNA sintetase.

Page 6: Imunologi Dasar

Nama Penyakit

Accepted/

suspected Tipe Autoantibodi

Notes

Acute disseminated

encephalomyelitis (ADEM) Accepted

Page 7: Imunologi Dasar

Addison’s Disease

interferon omega;

transglutaminase; aromatic

acid carboxylase; GAD; HAI;

17 hydroxylase; 21

hydroxylase

Agammaglobulinemia

IGHM; IGLL1: CD79A;

CD79B; BLNK; LRRC8A

Alopecia areata Accepted T-cells

Amyotrophic Lateral Sclerosis

Ankylosing Spondylitis Accepted ANCA? CD8; HLA-B27

Antiphospholipid syndrome Accepted

anti-cardiolipin;anti pyruvate

dehydrogenase; β2

glycoprotein I;

phosphatidylserine; anti apoH;

Annexin A5

HLA-DR7, HLA-B8, HLA-

DR2, HLA-DR3

Antisynthetase syndrome

Atopic allergy I

Atopic dermatitis I

Autoimmune aplastic anemia

Autoimmune cardiomyopathy Accepted

Page 8: Imunologi Dasar

Autoimmune enteropathy

Autoimmune hemolytic anemia Accepted II complement activation

Autoimmune hepatitis Accepted

cell-

medi

ated

anti-mitochondrial antibodies;

ANA; anti-smooth muscle

antibodies, LKM-1; soluble

liver antigen

Autoimmune inner ear disease Accepted

Autoimmune lymphoproliferative

syndrome Accepted

TNFRSF6; defective Fas-

CD95 apoptosis

Autoimmune peripheral neuropathy Accepted

Autoimmune pancreatitis Accepted

ANA; anti-lactoferrin

antibodiesanti-carbonic

anhydrase antibodies;

rheumatoid factor

Autoimmune polyendocrine

syndrome Accepted

Unkn

own

or

multi

ple APS-1 see Addison’s Disease

Autoimmune progesterone dermatitis Accepted

Autoimmune thrombocytopenic Accepted anti gpIIb-IIIa or 1b-IX

Page 9: Imunologi Dasar

purpura

Autoimmune urticaria Accepted

[11]

Autoimmune uveitis Accepted HLAB-27?

Balo disease/Balo concentric

sclerosis

Behçet’s disease

immune-mediated systemic

vasculitis; linkage to HLA-B51

(HLA-B27); very different

manifestations with ulcers as

common symptom; also called

Morbus Adamandiades-Behçet

Berger’s disease

IgA (elevated in 50% of

patients), IgA (in mesangial

deposits on kidney biopsy)

Bickerstaff’s encephalitis Anti-GQ1b 2/3 patients

similar to Guillain-Barré

syndrome

Blau syndrome

overlaps both sarcoidosis and

granuloma annulare

Bullous pemphigoid

IgG autoantibodies targeting

the type XVII collagen

component of

hemidesmosomes

Page 10: Imunologi Dasar

Cancer

Castleman’s disease Over expression of IL-6

Celiac disease Accepted IV

Anti-tissue transglutaminase

antibodies HLA-DQ8 and DQ2.5

Chagas disease Suspected

Chronic inflammatory demyelinating

polyneuropathy

Anti-ganglioside

antibodies:anti-GM1, anti-

GD1a, anti-GQ1b

similar to Guillain-Barré

syndrome

Chronic recurrent multifocal

osteomyelitis

LPIN2, D18S60,similar to

Majeed syndrome

Chronic obstructive pulmonary

disease Suspected

Churg-Strauss syndrome p-ANCA

Cicatricial pemphigoid anti-BP-1, anti BP-2 precipitates C3

Cogan syndrome

Cold agglutinin disease Accepted II IgM

idiopathic or secondary to

leukemia or infection

Complement component 2

deficiency

Page 11: Imunologi Dasar

Contact dermatitis III

Cranial arteritis

aka Temporal arteritis;

involves giant cells

CREST syndrome

Anti-centromere antibodies

Anti-nuclear antibodies

Crohns Disease (one of two types of

idiopathic inflammatory bowel

disease “IBD”) Accepted IV

Innate immunity; Th17; Th1;

ATG16L1; CARD15;XBP1;

Cushing’s Syndrome cortisol binding globulin?

Cutaneous leukocytoclastic angiitis neutrophils

Dego’s disease Vasculopathy

Dercum’s disease Suspected Lipoid tissue.

Dermatitis herpetiformis

IgA; anti-epidermal

transglutaminase antibodies

Dermatomyositis Accepted

histidine-tRNA anti-

signal_recognition_peptide

Anti-Mi-2 Anti-Jo1.[21]

B- and T-cell perivascular

inflammatory infiltrate on

muscle biopsy

Diabetes mellitus type 1 Accepted IV Glutamic acid decarboxylase

antibodies (GADA), islet cell

antibodies (ICA), and

insulinoma-associated

Page 12: Imunologi Dasar

autoantibodies (IA-2), anti-

insulin antibodies

Diffuse cutaneous systemic sclerosis

anti-nuclear antibodies, anti-

centromere and anti-scl70/anti-

topoisomerase antibodies COL1A2 and TGF-β1

Dressler’s syndrome

myocardial neo-antigens

formed as a result of the MI

Drug-induced lupus anti-histone

Discoid lupus erythematosus III IL-2 and IFN-gamma>

Eczema

LEKTI, SPINK5,

filaggrin.,Brain-derived

neurotrophic factor (BDNF)

and Substance P.[26]

Endometriosis

Suspected[27]

Enthesitis-related arthritis . MMP3[29] TRLR2, TLR4,

[30] ERAP1[31]

Eosinophilic fasciitis Accepted

Eosinophilic gastroenteritis IgE IL-3, IL-5, GM-CSF, eotaxin

Epidermolysis bullosa acquisita COL7A1

Erythema nodosum

Page 13: Imunologi Dasar

Erthroblastosis fetalis II ABO, Rh, Kell antibodies

mother’s immune system

attacks fetus

Essential mixed cryoglobulinemia

Evan’s syndrome

Fibrodysplasia ossificans progressiva

ACVR1 Lymphocytes express

increased BMP4

Fibrosing aveolitis aka

Idiopathic_pulmonary_fibrosis SFTPA1, SFTPA2, TERT,

and TERC.[32]

Gastritis

serum antiparietal and anti-IF

antibodies

Gastrointestinal pemphigoid Accepted

Giant cell arteritis macrophage giant cells

Glomerulonephritis Sometimes IgA

see Buerger’s Disease for IgA;

Membranous

glomerulonephritis for IgG;

Membranoproliferative/mesan

giocapillary GN (Complement

activation); Goodpasture’s

syndrome; Wegener’s

granulomatosis

Goodpasture’s syndrome Accepted II

Anti-Basement Membrane

Collagen Type IV Protein

Page 14: Imunologi Dasar

Graves’ disease Accepted II

thyroid autoantibodies (TSHR-

Ab) that activate the TSH-

receptor (TSHR)

Guillain-Barré syndrome (GBS) Accepted IV Anti-ganglioside

Hashimoto’s encephalopathy Accepted IV

alpha-enolase[33]

Hashimoto’s thyroiditis Accepted IV

antibodies against thyroid

peroxidase and/or

thyroglobulin HLADR5, CTLA-4

Henoch-Schonlein purpura

immunoglobulin A (IgA) and

complement component 3 (C3)

Herpes gestationis aka Gestational

Pemphigoid

IgG and C3 misdirected

antibodies intended to protect

the placenta

Hidradenitis suppurativa Suspected

Hypogammaglobulinemia

IGHM, IGLL1, CD79A,

BLNK, LRRC8A, CD79B

Idiopathic Inflammatory

Demyelinating Diseases a variant of multiple sclerosis

Idiopathic pulmonary fibrosis SFTPA1, SFTPA2, TERT,

and TERC.[32]

Idiopathic thrombocytopenic purpura

(See Autoimmune thrombocytopenic

Accepted II glycoproteins IIb-IIIa or Ib-IX,

Page 15: Imunologi Dasar

purpura) immunoglobulin G

IgA nephropathy III?

IgA produced from marrow

rather than MALT

Inclusion body myositis

similar to polymyositis but

does not respond to steroid

therapy-activated T8 cells

Chronic inflammatory demyelinating

polyneuropathy anti-ganglioside antibodies

similar to Guillain–Barré

syndrome

Interstitial cystitis Suspected Mast cells

Juvenile idiopathic arthritis aka

Juvenile rheumatoid arthritis

inconsistent ANA

Rheumatoid_factor

Kawasaki’s Disease Suspected ITPKC HLA-B51

Lambert-Eaton myasthenic

syndrome

voltage-gated calcium

channels; Q-

type_calcium_channel,

synaptogagmin, muscarinic

acetylcholine receptor M1 HLA-DR3-B8

Leukocytoclastic vasculitis

Lichen planus

Lichen sclerosus

Page 16: Imunologi Dasar

Linear IgA disease (LAD)

Lou Gehrig’s disease (Also

Amyotrophic lateral sclerosis)

VCP, ATXN2, OPTN, FIG4,

TARDBP, ANG, VAPB, FUS,

SETX, ALS2, SOD1

Lupoid hepatitis aka

Autoimmune_hepatitis

ANA and SMA, LKM-1 ,

LKM-2 or LKM-3; antibodies

against soluble liver antigen[37]

[38](anti-SLA, anti-LP) no

autoantibodies detected

(~20%)

Lupus erythematosus Accepted III

Anti-nuclear antibodies[39] anti-

Ro.[40] Also, they are often

present in Sjögren’s syndrome.

[41][42]

Majeed syndrome LPIN2

Ménière’s disease III

major peripheral myelin

protein P0

Microscopic polyangiitis p-ANCA myeloperoxidase

binds to neutrophils causing

them to degranulate and

damages endothelium

Miller-Fisher syndrome see Guillain-

Barre_Syndrome Accepted anti-GQ1b

Mixed Connective Tissue Disease Accepted

anti-nuclear antibody anti-U1-

RNP HLA-DR4

Page 17: Imunologi Dasar

Morphea Suspected

Mucha-Habermann disease aka

Pityriasis_lichenoides_et_variolifor

mis_acuta T-cells

Multiple sclerosis Suspected IV PECAM-1[45] Anti-Myelin

Basic Protein

Myasthenia gravis Accepted II

nicotinic_acetylcholine_recept

or MuSK_protein HA-B8 HLA-DR3 HLA-DR1

Myositis

see Dermatomyositis and

Polymyositis see Inclusion-

body-myositis

Narcolepsy[46][47]

Suspected II hypocretin or orexin HLA-DQB1*0602

Neuromyelitis optica (Also Devic’s

Disease) II NMO-IgG aquaporin 4.

Neuromyotonia Suspected II

voltage-gated potassium

channels.

Occular cicatricial pemphigoid II? BP-1, BP-2 C3 deposition

Opsoclonus myoclonus syndrome Suspected IV? Lymphocyte recruitment to

CSF[54]

Ord’s thyroiditis

Palindromic rheumatism anti-cyclic citrullinated peptide

Page 18: Imunologi Dasar

antibodies (anti-CCP) and

antikeratin antibodies (AKA)

PANDAS (pediatric autoimmune

neuropsychiatric disorders associated

with streptococcus) Suspected II?

antibodies against

streptococcal infection serve as

auto-antibodies

Paraneoplastic cerebellar

degeneration

IV?

II?

anti-Yo[57] (anti-cdr-2[58] in

purkinje fibers) anti-Hu, anti-

Tr, antiglutamate receptor

Paroxysmal nocturnal

hemoglobinuria (PNH) Sometimes complement attacks RBCs

Parry Romberg syndrome ANA

Parsonnage-Turner syndrome

Pars planitis

Pemphigus vulgaris Accepted II Anti-Desmoglein 3

Pernicious anaemia Accepted II anti-parietal cell antibody

Perivenous encephalomyelitis

POEMS syndrome

interleukin 1β, interleukin 6

and TNFα. vascular

endothelial growth factor

(VEGF), given the .[60]

Polyarteritis nodosa

Page 19: Imunologi Dasar

Polymyalgia rheumatica

Polymyositis Accepted IFN-gamma, IL-1, TNF-alpha

Primary biliary cirrhosis

Accepted[62]

Anti-p62, Anti-sp100, Anti-

Mitochondrial(M2)Anti-Ro

aka SSA.[63] Also, they are

often present in Sjögren’s

syndrome

Primary sclerosing cholangitis

overlap with primary biliary

cirrhosis?

Progressive inflammatory

neuropathy Suspected

Psoriasis Accepted IV?

CD-8 T-cells, HLA-Cw6, IL-

12b, IL-23b, TNFalpha, nfKb

Psoriatic arthritis Accepted IV? HLA=B27

Pyoderma gangrenosum

Can occur in conjunction with

other immune-related disorders

Pure red cell aplasia

Rasmussen’s encephalitis anti-NR2A antibodies

Raynaud phenomenon Suspected

Can occur in conjunction with

other immune-related disorders

Relapsing polychondritis Accepted

Page 20: Imunologi Dasar

Reiter’s syndrome

Restless leg syndrome Suspected

May occur in Sjögren’s

syndrome, celiac disease, and

rheumatoid arthritis or in

derangements of iron

metabolism

Retroperitoneal fibrosis

Rheumatoid arthritis Accepted III

Rheumatoid factor (anti-

IgGFc), Anti-MCV ,

ACPAs(Vimentin

HLA-DR4, PTPN22, depleted

B cells, TNF alpha, IL-17,

(also maybe IL-1, 6, and 15)

Rheumatic_fever II

streptococcal M protein cross

reacts with human myosin,

[69]anti-DNase B, ASO

Sarcoidosis Suspected IV BTNL2; HLA-B7-DR15; HLA

DR3-DQ2.[72]

Schizophrenia Suspected

Schmidt syndrome another form of

APS

anti-21 hydroxylase, anti-17

hydroxylase DQ2, DQ8 and DRB1*0404

Schnitzler syndrome IgM?

Scleritis

Page 21: Imunologi Dasar

Scleroderma Suspected IV? Scl-70 Anti-topoisomerase dysregulated apoptosis?

Serum Sickness III

Sjögren’s syndrome Accepted

Anti-ro. Also, they are often

present in Sjögren’s syndrome.

Spondyloarthropathy HLA-B27

Still’s disease see Juvenile

Rheumatoid Arthritis ANA macrophage migration

inhibitory factor[80]

Stiff person syndrome Suspected

glutamic acid decarboxylase

(GAD), GLRA1 (glycine receptor

Subacute bacterial endocarditis

(SBE) III

essential mixed

cryoglobulinemia

Susac’s syndrome

Sweet’s syndrome GCSF

Sydenham chorea see PANDAS

Sympathetic ophthalmia

ocular antigens following

trauma

Systemic lupus erythematosis see

Lupus erythematosis III

Page 22: Imunologi Dasar

Takayasu’s arteritis

Temporal arteritis (also known as

“giant cell arteritis”) Accepted IV

Thrombocytopenia II

glycoproteins IIb-IIIa or Ib-IX

in ITP anti-ADAMTS13 in

TTP.[83]and HUS anti-

cardiolipin (anti-cardiolipin

antibodies) and β2glycoprotein

I in Antiphospholipid

syndrome anti-HPA-1a, anti-

HPA-5b, and others in NAIT

multiple mechanisms

Tolosa-Hunt syndrome

Transverse myelitis Accepted

Transverse Myelitis is a rare

neurological disorder that is

part of a spectrum of

neuroimmunologic diseases of

the central nervous

system. http://www.myelitis.or

g/

Ulcerative colitis (one of two types

of idiopathic inflammatory bowel

disease “IBD”) Accepted IV

Undifferentiated connective tissue

disease different from Mixed

connective tissue disease Accepted anti-nuclear antibody HLA-DR4

Undifferentiated

Page 23: Imunologi Dasar

spondyloarthropathy

Urticarial vasculitis II? anti C1q antibodies

clinically may resemble type I

hypersensitivity!

Vasculitis Accepted III sometimes ANCA

Vitiligo Suspected

NALP-1 RERE, PTPN22,

LPP, IL2RA, GZMB,

UBASH3A and C1QTNF6

Wegener’s granulomatosis Accepted

Anti-neutrophil

cytoplasmic(cANCA)

Sindrom Lokalyang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:

Endokrinologik: Diabetes mellitus tipe 1 , tiroiditis Hashimoto ,

penyakit Addison

Gastrointestinal: penyakit seliaka , Penyakit Crohn , pernicious

anemia

Dermatologi: Pemphigus vulgaris , Vitiligo

Hematologi: anemia hemolitik autoimun , idiopatik purpura

thrombocytopenic

Neurologis: Miastenia gravis

Secara tradisonal skema klasifikasi menggunakan “organ tertentu” dan

“non-organ tertentu”, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung

penyakit autoimun. Namun, banyak gangguan manusia inflamasi kronis

tidak memiliki asosiasi-tanda sel B dan T didorong immunopathology. Dalam

dekade terakhir telah mapan bahwa jaringan “peradangan terhadap diri”

tidak selalu bergantung pada T abnormal dan respon sel B.

Hal ini telah menyebabkan usulan terakhir bahwa spektrum autoimunitas

harus dilihat sepanjang “kontinum penyakit imunologi,” dengan penyakit

autoimun klasik pada satu ekstrim dan penyakit didorong oleh sistem

kekebalan tubuh bawaan pada ekstrem lainnya. Dalam skema ini, spektrum

Page 24: Imunologi Dasar

penuh autoimunitas dapat disertakan. Banyak umum penyakit autoimun

manusia dapat dilihat untuk memiliki immunopathology dimediasi imun

bawaan yang cukup besar menggunakan skema baru. Skema klasifikasi

baru ini memiliki implikasi untuk memahami mekanisme penyakit dan untuk

pengembangan terapi

Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas

Patogenesis autoimunitas

Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit

autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi

lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing

dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa

mekanisme penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan

aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi

dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini  bisa di bypass dengan kasus

yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme memproduksi super

antigen , yang mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau bahkan T-

sel, dengan langsung mengikat β- subunit T-sel reseptor dalam mode

non-spesifik.

T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal diasumsikan

melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika

kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang sangat berbeda:

konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan pra-olahan fragmen

peptida protein untuk sel T.  Namun, tidak ada sejauh kita tahu bahwa

membutuhkan ini. Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B mengenali

antigen X endocytoses dan proses protein Y (biasanya = X) dan

menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan Lanzavecchia menunjukkan bahwa

sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan bantuan dari setiap sel T

menanggapi antigen co-endocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai

bagian dari kompleks imun.  Pada penyakit celiac nampaknya sel B

mengenali transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.

Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur penyakit

autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar terbatas pada

sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah dikenal peran

Page 25: Imunologi Dasar

sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A. reseptor,

Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini memunculkan

gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila pengikatan antibodi

terhadap antigen tertentu dapat sinyal menyimpang yang makan kembali

ke induk sel B melalui ligan terikat membran.   Ligan termasuk reseptor

sel B (untuk antigen), Fc IgG reseptor, CD21, yang mengikat komplemen

C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat DNA dan

nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B

juga bisa dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil

kolin (pada sel myoid thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat.

Bersama dengan konsep T-sel-sel B kejanggalan ide ini membentuk dasar

hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif. Autoreaktif B sel-sel di

autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi kedua sel

T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui reseptor sel B,

dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang bertanggung jawab

untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan hilangnya sel T diri-

toleransi.

Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi kesamaan

struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian, antibodi

apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen diri) juga

bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat respon imun.

Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam rematik , yang

mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik streptokokus . Meskipun

demam rematik telah dikaitkan dengan mimikri molekuler selama

setengah abad antigen belum ada secara resmi diidentifikasi (jika ada

terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu, jaringan distribusi yang

kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal ganglia) berpendapat

melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin bahwa penyakit ini

disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara kompleks imun,

komponen komplemen dan endotelium.

Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop ditemukan

di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin. Plotz dan

Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas dapat timbul sebagai akibat

dari reaksi silang antara idiotype pada antivirus antibodi dan sel reseptor

inang untuk virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel inang

Page 26: Imunologi Dasar

dibayangkan sebagai sebuah gambar internal dari virus, dan anti-

idiotype antibodi dapat bereaksi dengan sel inang.

Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua

kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka

mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2.  Kategori kedua sitokin,

termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama), tampaknya

memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun.

Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel

dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang

cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit

aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi.

Epitope spreading or epitope drift -  ketika reaksi kekebalan

perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan

epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya tidak

perlu secara struktural mirip dengan yang utama.

Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme

penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam

sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan samar

N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan prokariota

lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ

hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif mengaktifkan

satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan reseptor untuk

menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan adanya kerusakan

sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh adaptif yang direkrut

dan self-toleransi hilang dengan produksi autoantibody meningkat.

Dalam bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat mempercepat

kerusakan organ, dan intravena IgG administrasi dapat terapi. Meskipun

rute ini untuk penyakit autoimun mungkin mendasari berbagai negara

penyakit degeneratif, tidak ada diagnostik untuk mekanisme penyakit

ada saat ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini

tidak diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T

peraturan , sel NKT , γδ T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang

sedang diselidiki.

SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang

bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik.

Page 27: Imunologi Dasar

Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ

tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam

organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu

atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul

yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor hormon)

atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler). Sedangkan

penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan

biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang

tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan

dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel

lainnya) .

Spektrum penyakit autoimun

Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait

Page 28: Imunologi Dasar

Antigen diri Penyakit

Reseptor hormonReseptor TSHReseptor insulin

Hiper atau hipotiroidismeHiper atau hipoglikemia

Reseptor neurotransmiterReseptor asetilkolin Miastenia gravis

Molekul sel adesiMolekul sel adesi epidermal Penyakit kulit yang melepuh

Protein plasmaFaktor VIIIβ2 glikoprotein I dan protein antikoagulan lain Hemofili didapatSindrom antifosfolipid

Antigen permukaan selSel darah merah (antigen multipel)Platelet

Anemia hemolitikPurpura trombositopenia

Enzim intraselulerPeroksidase tiroidSteroid 21-hidroksilase (korteks adrenal)

Tiroiditis, kemungkinan hipotiroidismeKegagalan adrenokortikal (penyakit Addison)

Glutamat dekarboksilase (sel β di pulau pankreas)Enzim lisosom (sel fagositik)Enzim mitokondria (terutama piruvat dehidrogenase)

Diabetes autoimun Vaskulitis sistemikSirosis biliar primer

Molekul intraseluler yang melibatkan transkripsi dan translasiRantai dua DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl t-RNA sintaseProtein sentromer

  SLESLESkleroderma difusPolimiositisSkleroderma lokal

TOLERANSI DIRI

Autoimunitas dan toleransi diri

Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B

yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-

Page 29: Imunologi Dasar

regulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam

mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih

penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B.

Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi

autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.

Toleransi timus

Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi

sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan

proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul

MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor

sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui

apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan

molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas

yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah akan

bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan

afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya.

Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan

afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri

di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas

tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection

Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus

adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang

cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar

peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein

intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein

yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi

terhadap protein spesifik jaringan.

Toleransi perifer

Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan

kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif

Ignorance

Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing

di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut

secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut

lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang.

Page 30: Imunologi Dasar

Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang

dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas

dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak

akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi

sel T

Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen

Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.

Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan

darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-

presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan

secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme

pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis.

Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan

autoimunitas terhadap molekul intraseluler.

Anergi dan kostimulasi

Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf

melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+

naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons

imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor

antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,

biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7

(CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat

pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau kompleks

MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka

stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian

sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini

sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting

cells seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola

resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di

jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-

stimulator dapat diinduksi melalui beberapa cara, biasanya melalui

inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi pola

resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang

mempunyai akses ke lokasi perifer.

Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang

mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun

Page 31: Imunologi Dasar

mempunyai efek negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang

mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang sama.

Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau

kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada

mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya autoimunitas.

Supresi

Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif

melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang

sama (sel T supresor)

Toleransi sel B

Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif

dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri.

Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum

tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses

hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal

nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau

hipermutasi sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak

terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau anergi.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Etiologi

Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab

penyakit autoimun.

Faktor genetik

Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan

autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota

keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit

autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula

hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan

defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme

toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan

autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.

Page 32: Imunologi Dasar

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab

antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.

Hormon

Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi

pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun

mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa

bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor

pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti

menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun.

Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih

tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis

dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan

bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita

daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi,

memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih

tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran

penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen

pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat

kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES

terdapat peninggian komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan

estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis

prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.

Infeksi

Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada

mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.

Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-

regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi

perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi

autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,

autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi yang

tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.

Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi

secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan

Page 33: Imunologi Dasar

berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan

organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan

akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi

terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi

virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas

adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV , virus coxsackie,

retrovirus, dan lain-lain.

Obat

Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang

dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat

penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas

obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul

pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi

hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan

proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan

imunosupresif.

Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti

mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur

yang serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer.

Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida

yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk

menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut

terutama ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat

juga berperan, adanya defek pada metabolisme mengakibatkan formasi

konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang

diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat

juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang

mengganggu mekanisme toleransi normal.

Agen fisik lain

Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)

merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang

keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat

menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan

sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa

Page 34: Imunologi Dasar

mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen

diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat

menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui ekspresi autoantigen lupus

pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas (dikenal

dengan Ro dan La).  Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan

dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang

mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan peningkatan

antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan

penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.

Patogenesis

Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis

autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan

kelemahan sendiri.

Berbagai teori patogenesis autoimunitas

Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: gen respons imun, gen imunoglobulinFaktor virusFaktor hormon

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul

dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak

pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat

terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan

autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah

vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark

miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan

pembentukan autoantibodi.

Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh

mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan

respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun

fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons

imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.

Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan

telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T

Page 35: Imunologi Dasar

toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang

mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan

membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk

diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem

imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi

dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel

Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.

Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,

misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap

berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen

endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat

bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang

mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. 

Aktivator  poliklonal  yang  terdiri  dari  produk  bakteri,  virus,  atau

komponen virus, parasit, atau  substansi lainnya dapat langsung

merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar

15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan

antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi

parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida

bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai

autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.

Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan

mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai

sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai

fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak

diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun

diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena

jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag

berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit

autoimun masih belum konsisten.

Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang

telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B,

atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu

Page 36: Imunologi Dasar

saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan

komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.

Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro

atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan

jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai

predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan

cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih

berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.

Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari

sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B

aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini

disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor

proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons

sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan

terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin

menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun

sistemik.

Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian,

awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang

bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus

tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun

terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat

dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu

yang dinyatakan dengan risiko relatif.

Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip

atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun.

Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada

umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap

idiotip. Seperti halnya antibodi biasa,  autoantibodi merupakan produk

respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-

idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa

autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang

Page 37: Imunologi Dasar

menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik

(lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi

autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun

tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan

sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.

Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal

yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut

berperan pada patogenesis autoimunitas.

Mekanisme rusaknya toleransi

Mengatasi toleransi perifer

Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan

dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan

anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit

autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada

keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan

yang kehilangan sitokin imunosupresif.

Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang

tidak tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-

stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri

dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau

kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi

lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga

ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC

dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada

lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan

ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi

dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakancryptic

epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan

radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.

Kemiripan molekul

Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme

juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi

rendah dan tanpa akses keantigen-presenting cells dapat bereaksi silang

Page 38: Imunologi Dasar

dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini

mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat

mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan)

menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan

tersebut .

Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat

Antigen mikrobial Antigen diri

Penyakit yang diduga akibatmolecular mimicry

Protein grup A streptokokus M Antigen di otot jantung Demam reumatik

Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteins

Terkait dengan penyakit autoimun berat namun belum terbukti

Protein inti Coxsackie B4

Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreas

Diabetes melitus dependen insulin

GlikoproteinCampylobacter jejuni

Gangliosida dan glikolipid terkait mielin Sindrom Guillain-Barre

Heat shock proteindari Eschericia coli

Subtipe rantai HLA-DR β mengandung “epitop bersama” artritis reumatoid Artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut

pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan

menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini

disebut epitope spreading.

Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan

ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun.

Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk

proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih

luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh

karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya

resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya

peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi

Page 39: Imunologi Dasar

setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC

yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons

autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik

autoreaktif yang lama pula.

Mekanisme kerusakan jaringan

Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi

(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+

atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat

tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.

Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme

hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan

terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor

hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi

tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari

antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya

inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibodi

pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali antigen yang bebas

di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

DIAGNOSIS

Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis

penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai

pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga

penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain yang

Page 40: Imunologi Dasar

sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan

tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.

Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang

akurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi

dengan latar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin

(misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes

serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan.

Gangguan Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen

imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa beberapa

penyakit autoimun .  Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan

kemajuan penyakit.

Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun

Penyakit Antibodi

Tiroditis Hashimoto Tiroid

Miksedema primer Tiroid

Tirotoksikosis Tiroid

Anemia pernisiosa Lambung

Atrofi adrenal idiopatik Adrenal

Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin

Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit

Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)

Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius

Sirosis biliar orimer Mitokondria

Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria

Artritis reumatoid Antiglobulin

LES Antinuklear, DNA, sel LE

Skleroderma Nukleolus

Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus

Page 41: Imunologi Dasar

PENGOBATAN

Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti

imunosupresif , anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi,

seperti penggantian hormon pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes

mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga ini adalah

paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi

keparahan penyakit celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid

atau NSAID membatasi gejala inflamasi dari banyak penyakit. Terapi

spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya etanercept ),

sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan

pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati

RA. Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan dengan peningkatan

risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap infeksi.

Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan

inokulasi pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing).  Saat ini

ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik Necator

americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris atau Ova

Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel

juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk auto-imun

gangguan.

Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun

atau mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan

Page 42: Imunologi Dasar

metode pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi

pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun

apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi

pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik. Supresi autoimun

sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan yang lebih menarik,

namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus autoimun seperti SLE,

artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi imunosupresi

menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian.

Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-

inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis.

Kontrol metabolik

Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan

manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol

metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk

miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk

anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.

Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam

jangka panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan

bahwa kelenjar tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk

antigen.

Obat anti-inflamasi

Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid,

menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti

miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti

salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk artritis

rheumatoid.

Imunosupresan

Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi

dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil,

LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat diambil

kesimpulan akhir tentang manfaatnya.

Page 43: Imunologi Dasar

Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang

bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat

yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah

sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis

kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.

Kontrol imunologis

Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat

terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan.

Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk

mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk

LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe

total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak

diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau

timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem atau timus, atau

dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan akan

dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.

Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B

yang terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian

beberapa antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4

memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan

percobaan.

Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk

dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat

bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan

membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut. Diharapkan

aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi

berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.

Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor

atau ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah

berbagai matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun

bahan radioaktif.

REFERENCES RECOMMENDED

Page 44: Imunologi Dasar

Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). “Self-recognition

promotes the foreign antigen sensitivity of naive T lymphocytes”. Nature

420 (6914): 429–434. doi:10.1038/nature01146. PMID 12459785.

Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New Scientist

Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X chromosome

inactivation:

Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). “Skewed X-chromosome

Inactivation in Scleroderma”. Clin Rev Allergy Immunol 34 (3): 352–5.

doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID 18157513.

Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). “Inhibition of

Autoimmune Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection”.

Infect Immun 75 (1): 397–407.

Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients

Wållberg M, Harris R (2005). “Co-infection with Trypanosoma brucei

brucei prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1

mice through induction of suppressor APCs”. Int Immunol 17 (6): 721–8.

Edwards JC, Cambridge G (2006). “B-cell targeting in rheumatoid

arthritis and other autoimmune diseases”. Nature Reviews Immunology 6

(5): 394–403.

Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A,

Jonuleit H (2005). “Dendritic cells: sentinels of immunity and tolerance”.

Int J Hematol 81 (3): 197–203.

Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins following

DNA vaccination: Unexpected reactivity to a protein paralogue Roopa

Srinivasan, Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok

Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G., and

Marth, J.D. (2007) “Mammalian N-glycan branching protects against

innate immune self-recognition and inflammation in autoimmune disease

pathogenesis” Immunity 27: 308-320.

Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006).

“Parasitic worms and inflammatory diseases”. Parasite Immunol. 28 (10):

515–23. doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732. PMID

16965287.

Dunne DW, Cooke A (2005). “A worm’s eye view of the immune system:

consequences for evolution of human autoimmune disease”. Nat. Rev.

Immunol. 5 (5): 420–6.

Page 45: Imunologi Dasar

Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). “Helminth Infection

with Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits

Allergic Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a

Murine Asthma Model”. J. Immunol. 180 (3): 1792–9.

Wohlleben G, Trujillo C, Müller J, et al. (2004). “Helminth infection

modulates the development of allergen-induced airway inflammation”.

Int. Immunol. 16 (4): 585–96. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID

15039389.

Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). “The immunoepidemiology of

human hookworm infection”. Parasite Immunol. 26 (11–12): 443–54.

doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x. PMID 15771680.

Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). “Clonal anergy: the universally anergic

B lymphocyte”. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 2013–7.

doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.

Jerne N (1974). “Towards a network theory of the immune system”. Ann

Immunol (Paris) 125C (1–2): 373–89. PMID 4142565.

Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). “Do self perpetuating B

lymphocytes drive human autoimmune disease?”. Immology 97: 1868–

1876.

Klein J, Sato A (September 2000). “The HLA system. Second of two

parts”. N. Engl. J. Med. 343 (11): 782–6.

doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID 10984567.

Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically

reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009