Imunologi Dasar : Penyakit Auto Imunitas Posted on Februari 2, 2012 by Indonesia Resources Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi. Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan alloimmunity . Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Imunologi Dasar : Penyakit Auto Imunitas Posted on Februari 2, 2012by Indonesia Resources
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk
mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang
memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan
tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang
diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering
disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target
dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel
sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa
dalah menonjol termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1
Tiroiditis, kemungkinan hipotiroidismeKegagalan adrenokortikal (penyakit Addison)
Glutamat dekarboksilase (sel β di pulau pankreas)Enzim lisosom (sel fagositik)Enzim mitokondria (terutama piruvat dehidrogenase)
Diabetes autoimun Vaskulitis sistemikSirosis biliar primer
Molekul intraseluler yang melibatkan transkripsi dan translasiRantai dua DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl t-RNA sintaseProtein sentromer
SLESLESkleroderma difusPolimiositisSkleroderma lokal
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B
yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-
regulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam
mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih
penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B.
Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi
autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi
sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan
proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul
MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor
sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui
apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan
molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas
yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah akan
bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan
afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya.
Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan
afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri
di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas
tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus
adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang
cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar
peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein
intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein
yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi
terhadap protein spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan
kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing
di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut
secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut
lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang.
Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang
dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas
dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak
akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi
sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan
darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-
presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan
secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme
pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis.
Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan
autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf
melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+
naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons
imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor
antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,
biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7
(CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat
pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau kompleks
MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka
stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian
sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini
sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting
cells seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola
resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di
jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-
stimulator dapat diinduksi melalui beberapa cara, biasanya melalui
inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi pola
resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang
mempunyai akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang
mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun
mempunyai efek negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang
mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang sama.
Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau
kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada
mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif
melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang
sama (sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif
dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri.
Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum
tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses
hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal
nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau
hipermutasi sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak
terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab
penyakit autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan
autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota
keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit
autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula
hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan
defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme
toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan
autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab
antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun
mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa
bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor
pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti
menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun.
Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih
tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis
dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan
bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita
daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi,
memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih
tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran
penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen
pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat
kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES
terdapat peninggian komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan
estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis
prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.
Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-
regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi
perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi
autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,
autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi yang
tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi
secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan
berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan
organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan
akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi
terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi
virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas
adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV , virus coxsackie,
retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang
dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat
penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas
obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul
pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan
proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan
imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur
yang serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer.
Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida
yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut
terutama ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat
juga berperan, adanya defek pada metabolisme mengakibatkan formasi
konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang
diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat
juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang
mengganggu mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)
merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang
keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat
menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan
sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa
mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen
diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat
menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui ekspresi autoantigen lupus
pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas (dikenal
dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan
dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang
mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan peningkatan
antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan
penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis
autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan
kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: gen respons imun, gen imunoglobulinFaktor virusFaktor hormon
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul
dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak
pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat
terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan
autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah
vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark
miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan
pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh
mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan
respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun
fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons
imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan
telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T
toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang
mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan
membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk
diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem
imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi
dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel
Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,
misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap
berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen
endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat
bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang
mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran.
Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau
komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar
15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan
antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi
parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida
bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai
autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan
mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai
sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai
fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak
diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun
diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena
jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag
berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit
autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang
telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B,
atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu
saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan
komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro
atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan
jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai
predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan
cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih
berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari
sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B
aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini
disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons
sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan
terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin
menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun
sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian,
awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang
bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus
tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun
terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat
dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu
yang dinyatakan dengan risiko relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip
atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun.
Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada
umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap
idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk
respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-
idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa
autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang
menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik
(lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi
autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun
tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan
sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal
yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut
berperan pada patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan
dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan
anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit
autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada
keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan
yang kehilangan sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri
dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau
kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi
lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga
ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC
dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada
lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan
ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi
dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakancryptic
epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan
radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi
rendah dan tanpa akses keantigen-presenting cells dapat bereaksi silang
dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat
mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan)
menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan
tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Antigen mikrobial Antigen diri
Penyakit yang diduga akibatmolecular mimicry
Protein grup A streptokokus M Antigen di otot jantung Demam reumatik