Top Banner
i KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN SEKUNDER DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN IMANUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
112

Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

Jun 15, 2015

Download

Documents

imutoro
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

i

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN SEKUNDER

DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

IMANUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Komunitas Burung di Bawah

pada Hutan Primer dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

Imanuddin NIM E351070041

Page 3: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

iii

ABSTRACT

IMANUDDIN. Understorey Bird Community in Primary and Secondary Forest at Bukit Barisan Selatan National Park. Under direction of ANI MARDIASTUTI and YENI ARYATI MULYANI.

The aims of the study were to contrast diversity of understorey birds in secondary and primary forest and factors influenced it. Data collection was done in March-June 2009 at Tambling Wildlife Nature Conservation, a forest recreation concession at Bukit Barisan Selatan National Park. Mistnets were used and operated from 0600 a.m.-18.00 p.m. to capture birds which resulted 2304 meter mistnets hours operation. Arthropods were also collected using sweep net on the 96m transect. A total of 323 birds that belong to 50 species and 17 families were captured and marked. All of the captured birds were assigned into 10 guild categories. Overall bird diversity and species richness in primary forest were higher than those in secondary forest. However the number of birds captured in primary forest was lower than secondary forest. The number of captured bird increased by increase in canopy closure (r=0,63) and increase in the number of arthropod (r=0,46). In primary forest, 138 birds of 32 species and 12 families were captured while in the secondary forest the number of bird captured were 185 birds of 31 species and 15 families. However only the number of birds were significantly higher in secondary forest than primary forest (χ2 =26,83, df=1, P=0,00). The number of birds of Timaliidae and Picidae were decreased in secondary forest. Similar situation were observed for guild categories of Bark Gleaning Insectivore, Carnivore Insectivore and Tree Foliage Gleaning Insectivore. In primary forest, most of captured birds did not show edge avoidance tendency, while in secondary forest the number of Timaliidae tended to decrease by increasing distance from edge. Similar situation was also present on the guild category in which Tree Foliage Gleaning Insectivore tended to decrease by increasing distance from edge. Keywords: birds, guild category, primary forest, secondary forest

Page 4: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

iv

RINGKASAN

IMANUDDIN. Komunitas Burung Di Bawah Tajuk pada Hutan Primer dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI, dan YENI ARYATI MULYANI.

Komposisi penyusun suatu komunitas burung sangat dipengaruhi oleh faktor spasial berupa tingkat suksesi, efek tepi dan kompleksitas vegetasi serta faktor temporal seperti kelimpahan pakan. Perubahan tingkat suksesi hutan merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi komunitas burung di alam. Secara teoritis hutan sekunder dipandang kurang memiliki nilai konservasi. Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan sekunder juga memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi. Hutan sekunder juga dipandang sebagai habitat alternatif selain hutan primer untuk konservasi keanekaragaman hayati di kawasan tropis.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keanekaragaman spesies burung di bawah tajuk pada tipe hutan primer dan sekunder dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret – Juni 2009 di Tambling Wildlife Conservation Nature Conservation yang terletak pada zona pemanfaatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Penelitian dilakukan dengan menggunakan jaring kabut yang dioperasikan antara pukul 06.00-18.00 WIB selama 2-3 hari untuk memperoleh total waktu pengoperasian 24 jam di setiap anak plot. Jumlah total waktu pengoperasian jaring kabut yang dihasilkan ialah 2304 meter jam jaring kabut. Selain itu dilakukan pengumpulan data jumlah artropoda dan kondisi vegetasi untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap keanekaragaman dan kekayaan spesies.

Sebanyak 50 spesies yang berasal dari 17 famili, dengan jumlah individu sebanyak 323 individu berhasil ditangkap dan ditandai. Seluruh burung yang tertangkap adalah burung penetap yang 13 spesies di antaranya merupakan burung yang mendekati terancam punah. Berdasarkan kategori kelimpahan, sebanyak 62% spesies yang tertangkap termasuk ke dalam kategori jarang, 32% dengan kategori tidak umum dan 6% termasuk ke dalam kategori umum Komunitas burung di lokasi penelitian di dominasi oleh famili Nectariniidae. Pada kategori guild komunitas burung didominasi oleh kategori pemakan serangga dan nektar (IN) dalam hal jumlah individu, sedangkan dalam jumlah spesies didominasi oleh pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI). Tingginya kategori pemakan serangga dan nektar (IN) berkaitan dengan bersamaannya waktu penelitian dengan diawalinya musim bunga. Selain itu kondisi lokasi penelitian yang cukup lembab memungkinkan serangga berkembang dengan baik. Kategori guild IN yang mengandalkan dua sumberdaya pakan (serangga dan nektar) memungkinkan kategori ini untuk menyesuaikan kebutuhan pakan dengan kondisi ketersediaan pakan.

Kategori guild pemakan serangga dan nektar (IN) dan kategori pemakan buah di atas tajuk (TF), mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari daerah tepi. Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori CI dan TFGI yang mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi, namun kecenderungan ini secara statistik tidak berbeda secara nyata

Page 5: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

v

Berdasarkan kategori guild, kelompok pemakan vertebrata lain dan serangga (CI) merupakan guild dengan relung paling lebar. Kategori guild ini tersusun dari spesies yang berasal dari famili Alcedinidae dan Picidae. Kelompok lain dengan relung yang lebar ialah burung pemakan serangga dan nektar (IN) dan burung pemakan serangga dan buah-buahan (IF). Faktor yang mempengaruhi lebar relung suatu spesies adalah kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dalam hal ini termasuk kemampuan adapatasi terhadap tipe makanan dan habitat. Burung yang termasuk ke dalam kategori guild campuran (IN, CI dan IF) merupakan burung yang didukung oleh dua tipe sumberdaya makan. Ketiga kategori guild ini mampu beradaptasi terhadap ketersediaan makan yang berfluktusi di dalam hutan dengan cara memanfaatkan dua tipe makanan yang berbeda.

Komunitas burung dihutan primer tersusun dari 32 spesies yang berasal dari 12 Famili dengan jumlah total individu sebanyak 138 individu. Spesies yang paling sering tertangkap adalah pijantung kecil Arachnothera longirostra yaitu sebanyak 30 individu (χ2=210,29; df=31; P=0,00). Namun dalam kategori famili, Timaliidae merupakan famili yang dominan (χ2=384,32; df=16; P=0,00). Sebanyak 17 spesies (53,13%) di hutan primer termasuk ke dalam kategori jarang, 13 spesies (40,62%) ke dalam kategori tidak umum, dan hanya 2 spesies (6,25%) yang masuk ke dalam kategori umum.

Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 8 guild yang merupakan pemakan serangga murni maupun campuran. Namun, secara spesifik komunitas burung di hutan primer di dominasi oleh kelompok pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) baik dalam jumlah spesies (χ2=18; df=9; P=0,04) maupun individu (χ2=122,43; df=9; P=0,00). Kelompok TFGI mencari makan dengan mengeksploitasi serangga yang hidup pada permukaan daun. Minimnya semak belukar dan penetrasi cahaya matahari yang tidak mencapai lantai hutan, mengakibatkan serangga lebih banyak aktif di dedaunan. Dari kategori guild yang ada, hanya TFGI yang berhasil dengan baik memanfaatkan kondisi ini

Jumlah spesies yang tertangkap menurun dengan bertambahnya jarak dari tepi tapi tidak berbeda nyata (χ2=0,95; df=2; P=0,62). Begitu pula halnya dengan jumlah individu yang tertangkap, pada jarak 0m lebih tinggi dibandingkan dengan titik lainnya, namun tidak berbeda secara nyata (χ2=1,63; df=2; P=0,44). Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu dan spesies yang tertangkap pada berbagai jarak dari tepi menunjukkan kehadiran jalan setapak tidak memberikan efek yang nyata bagi kanekaragaman spesies burung. Hal ini terjadi karena tidak adanya perubahan struktur vegetasi (kepadatan vegetasi, tutupan dan bukaan tajuk) maupun kelimpahan serangga yang nyata pada berbagai jarak dari tepi. Kondisi tajuk pohon yang tetap terhubung tidak mengakibatkan perubahan iklim mikro yang signifikan pada daerah tepi.

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 185 individu burung yang berasal dari 31 spesies dan 15 famili. Pada tipe hutan ini pijantung kecil Arachnothera longirostra mendominasi dengan jumlah individu sebanyak 78 individu (χ2=412,04; df=30; P=0,00). Nectariniidae merupakan famili yang paling melimpah di hutan sekunder dengan jumlah 58 individu. Namun berdasarkan jumlah spesies, famili Pycnonotidae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak yaitu 5 spesies. Berdasarkan kriteria kelimpahan, sebanyak 18 spesies (58,06%) masuk ke dalam kategori jarang, 10 spesies (32,26%) tidak umum dan 3

Page 6: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

vi

spesies (9,68%) dengan kategori umum. Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 10 kategori guild. Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN) merupakan kategori guild yang paling sering tertangkap (58 individu; 31,35%) (χ2=131,05; df=9, P=0,00). Namun berdasarkan jumlah spesies maka kategori pemakan serangga dan buah (IF) merupakan jumlah tertinggi (8 spesies; 22,58%) namun tidak berbeda nyata (χ2=11,26; df=9; P=0,26).

Tingginya jumlah famili Nectariniidae yang tertangkap berkaitan dengan hadirnya daerah perkebunan yang bersebelahan dengan hutan. Adanya perkebunan di sekitar hutan mampu menyediakan makanan yang melimpah bagi famili ini. Kehadiran kebun yang berdekatan dengan hutan, menyediakan pakan yang berlimpah bagi burung-burung dengan kategori IN dan IF. Komposisi burung anggota kategori IN dan IF merupakan burung-burung yang sangat umum di daerah perkebunan (misal: Pycnonotus simplex dan Dicaeum trigonostigma), hutan sekunder (misal: Pycnonotus erythropthalmus dan Pycnonotus melanicterus) dan burung generalis (misal: Arachnothera longirostra). Burung-burung yang merupakan penghuni areal perkebunan umumnya memanfaatkan bukaan-bukaan hutan (forest gap) yang kaya akan serangga sebagai tempat mencari makan.

Jumlah individu mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari tepi namun secara statistik tidak berbeda nyata (χ2=2,19; df=2; P=0,33). Kondisi serupa juga terjadi pada kategori spesies meskipun tidak berbeda secara nyata. Pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap di seluruh jarak dari tepi (18 individu (0m), 14 individu (200m) dan 48 individu (400m)). Berdasarkan kategori famili, Nectariniidae merupakan famili yang paling sering tertangkap pada seluruh jarak dari tepi (22 individu (0m), 19 individu (200m) dan 36 (400m)). Secara keseluruhan tidak ada spesies atau famili yang mengalami peningkatan atau penurunan seiring bertambahnya jarak dari tepi, kecuali Timaliidae. Hampir seluruh spesies yang tertangkap memberi respon netral terhadap kehadiran daerah tepi.

Kategori guild pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada kategori pemakan serangga dan vertebrata (CI) yang mengalami peningkatan dengan bertambahnya jarak dari tepi. Peningkatan jumlah inividu TFGI di daerah tepi dapat terjadi karena di hutan sekunder kategori guild ini disusun oleh spesies-spesies yang sangat adaptif terhadap perubahan habitat yaitu Trichastoma rostratum, Stachyris erythroptera, Macronous gularis dan Cacomantis sonneratii. Ketiga spesies ini juga memanfaatkan areal perkebunan sebagai habitat mencari makan.

Kata kunci: komunitas burung, kategori guild, hutan primer, hutan sekunder

Page 7: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

vii

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 8: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

viii

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN SEKUNDER

DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

IMANUDDIN

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 9: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

ix

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Dewi Malia Prawiradilaga M.Sc.

Page 10: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

x

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Komunitas Burung di Bawah Tajuk pada Hutan Primer

dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan

Nama Mahasiswa : Imanuddin

NIM : E 351070041

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti M.Sc.

Ketua Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc.

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 13 Oktober 2009 Tanggal Lulus:

Page 11: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xi

PRAKATA

Penulis mengucapkan terinakasih kepada Allah SWT yang memberikan

kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih

ditujukan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti M.Sc.yang telah menjadi

pembimbing pertama dan Ibu Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. yang menjadi

pembimbing kedua dalam penelitian ini. Penghargaan yang tinggi juga diberikan

kepada Bapak Dr. Wilson Novarino yang memberikan pelatihan dan berbagi

pengalaman dalam penggunaaan jaring kabut secara gratis bagi penulis.

Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Sean Kelly dari Ideawild yang

mendonasikan peralatan pencincinan. Beberapa peralatan lain juga dipinjamkan

oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, oleh karena itu penulis mengucapkan

terimakasih kepada Dr. Dewi Malia Prawiradilaga atas bantuannya. Sumber

bacaan dan literatur yang digunakan di dalam tesis ini diberikan secara cuma-

cuma oleh beberapa peneliti antara lain Colin R. Trainor (Charles Darwin

University), Dr. Leslie Ries (Northern Arizona University), Dr. Wilson Novarino

(Universitas Andalas Padang).

Selama kegiatan pengumpulan data penulis memperoleh bantuan yang

sangat berharga dari Bapak Daniel DK selaku manajer resort Tambling Wildlife

Nature Conservacy (TWNC). Beberapa staf TWNC juga memberi bantuan yang

sangat penting untuk penelitian ini yaitu: Elbertus Daniel, Icuk SL dan seluruh

anggota SGA yang bertugas di Tambling. Penulis mengucapkan terimakasih

kepada Ibu Hana Lilies dari Artha Graha Peduli yang mengatur seluruh proses

kegiatan penelitian di lapangan. Penghargaan yang tinggi ditujukan kepada Bapak

Tommy Winata selaku pimpinan Artha Graha yang memberikan izin bagi penulis

untuk melakukan penelitian di areal TWNC.

Penghargaan yang tulus ditujukan kepada istriku Dian Ekawati dan anakku

tercinta Ghazira Filosofia atas kesetiaan dan kesabaran yang telah ditunjukkan

selama penulis berada jauh di lapangan dan ketika penulis melakukan penyusunan

tulisan. Semoga tesis ini menjadi pengobat atas kebersamaan kita yang hilang.

Imanuddin

Page 12: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Garut pada tanggal 8 Oktober 1975 dari ayah

bernama Maman Utoro dan ibu Hasanah. Penulis merupakan anak ke-3 dari 6

bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai di Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi

Cibubur, Jakarta Timur pada tahun 1982 dan diselesaikan pada tahun 1988. Pada

tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah

Pertama 147. Selanjutnya pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan di

Sekolah Menengah Atas 99 Cibubur dan diselesaikan pada tahun 1994. Di tahun

yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa

Tingkat Persiapan Bersama. Setahun kemudian penulis diterima di Jurusan

Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pendidikan S1 ini

diselesaikan penulis pada tahun 1999.

Penulis selanjutnya bekerja pada beberapa LSM lokal dan internasional

yang berkaitan dengan konservasi. Pada tahun 2005 penulis memutuskan untuk

kembali bersekolah di Program Pasca Sarjana IPB. Sesuai dengan bidang

keahliannya penulis memilih Program Konservasi Biodiversitas dan mendalami

bidang konservasi burung dan habitatnya.

Page 13: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xiii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii 

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi 

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii 

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xix 

I.PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 

1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1 

1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3 

1.3. Hipotesis ..................................................................................................... 3 

1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4 

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5 

2.1. Keanekaragaman Spesies ............................................................................ 5 

2.2. Guild .......................................................................................................... 5 

2.3. Keanekaragaman Spesies dan Faktor yang Mempengaruhi .......................... 6 

2.4. Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies ......................................... 7 

2.5. Fragmentasi dan Efek Tepi ......................................................................... 7 

III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................... 10 

3.1. Letak ........................................................................................................ 10 

3.2. Sejarah Kawasan ....................................................................................... 10 

3.3. Keanekaragaman Hayati ........................................................................... 11 

3.4. Iklim dan Topografi .................................................................................. 11 

IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 12 

4.1. Lokasi dan Waktu ..................................................................................... 12 

4.2. Bahan dan Alat ......................................................................................... 12 

4.3. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 13 

V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 20 

5.1. Hasil ........................................................................................................... 20 

5.1.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian ................................................................. 20 

5.1.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian ...................... 22 

5.1.3. Jumlah Individu Burung dan Struktur Vegetasi ...................................... 24 

5.1.4. Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian .......................................... 24 

Page 14: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xiv

5.1.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda .................................. 26 

5.1.6. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi ........ 27 

5.1.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi .............................. 30 

5.1.8. Lebar Relung ......................................................................................... 31 

5.1.9. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Primer ............................ 32 

5.1.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer .............................................. 33 

5.1.11. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Primer ........................................................................................ 34 

5.1.12. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak Tepi di Hutan Primer ......... 36 

5.1.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder ...................... 38 

5.1.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder .......................................... 39 

5.1.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Sekunder .................................................................................... 40 

5.1.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

............................................................................................................. 43 

5.2. Pembahasan............................................................................................... 45 

5.2.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian ................................................................ 45 

5.2.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian ...................... 45 

5.2.3. Keanekaragaman Spesies dan Struktur Vegetasi ..................................... 48 

5.2.4.Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian ........................................... 49 

5.2.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda .................................. 50 

5.2.6.Keanekaragaman Spesies Berdasarkan Jarak dari Tepi ............................ 52 

5.2.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi .............................. 52 

5.2.8. Lebar Relung ......................................................................................... 53 

5.2.9. Keanekaragaman Famili dan Spesies di Hutan Primer ............................ 53 

5.2.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer .............................................. 54 

5.2.11.Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Primer ........................................................................................ 55 

5.2.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer ... 56 

5.2.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder ...................... 57 

5.2.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder .......................................... 57 

Page 15: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xv

5.2.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Sekunder .................................................................................... 58 

5.2.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

............................................................................................................. 59 

5.2.17. Perbandingan Hutan Primer dan Sekunder ........................................... 60 

5.2.17.1. Keanekaragaman Famili dan Spesies ................................................. 60 

5.2.17.2. Kategori Guild .................................................................................. 63 

5.2.17.3. Kesamaan Komunitas ........................................................................ 64 

5.2.17.4. Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi ................................... 65 

5.3. Implikasi Konservasi................................................................................. 67 

VI. KESIMPULAN .......................................................................................... 69 

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 71 

LAMPIRAN ..................................................................................................... 77 

Page 16: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Parameter kondisi vegetasi di hutan sekunder dan primer .............................. 21 

2 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies

burung di bawah tajuk di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .... 23 

3 Jumlah individu dan spesies pada setiap guild ............................................... 26 

4 Lebar relung berdasarkan kategori guild ........................................................ 32 

5 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan primer........... 32 

6 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan sekunder........ 38 

Page 17: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Respons organisme terhadap efek tepi (Ries et al. 2004). ................................. 8 

2 Peta lokasi penelitian (Gaveaua et al. 2007). .................................................. 10 

3 Lokasi plot-plot pengamatan (a,b,c = plot hutan primer; d,e,f = plot hutan

sekunder)....................................................................................................... 12 

4 Peletakan plot pada bagian (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder. .............. 14 

5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan pengukuran

dengan menggunakan canopy scope. ............................................................. 21 

6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari tepi. 22 

7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan spesies. .. 24 

8 Hirarki kategori guild komunitas burung di kawasan Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan. ............................................................................................. 25 

9 Jumlah individu artropoda pada setiap jarak dari tepi. .................................... 27 

10 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies

burung berdasarkan jarak dari tepi. ............................................................... 27 

11 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi. ........................................ 28 

12 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi. .............................. 29 

13 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) guild pada

berbagai jarak dari tepi. ................................................................................. 30 

14 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi. ........................... 31 

15 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan famili di hutan primer. ....... 33 

16 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan primer. ........................ 34 

17 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies

burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. ....................................... 34 

18 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan

primer. .......................................................................................................... 35 

19 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. ............... 35 

20 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer....... 36 

21 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan guild berdasarkan

jarak dari tepi di hutan primer. ...................................................................... 37 

22 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak tepi di hutan primer........... 37 

Page 18: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xviii

23 Proporsi guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. ............................ 38 

24 Jumlah spesies dan individu berdasarkan famili di hutan sekunder. ............... 39 

25 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan sekunder. .................... 40 

26 Jumlah individu dan spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. ... 40 

27 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies

berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder................................................. 41 

28 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. .. 42 

29 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. ........... 43 

30 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) guild

berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder................................................. 43 

31 Kelimpahan individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan

sekunder. ....................................................................................................... 44 

32 Proporsi kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. ........... 44 

33 Proporsi jumlah famili di hutan primer dan sekunder. .................................... 61 

34 Proporsi jumlah individu burung pada setiap guild. ....................................... 63 

35 Jumlah spesies burung berdasarkan jarak dari tepi. ........................................ 65 

36 Jumlah individu burung berdasarkan jarak dari tepi. ...................................... 66 

Page 19: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Status penyebaran, perlindungan dan kategori kelimpahan spesies burung di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .......................................................... 78 

2 Spesies burung yang terlihat dan terdengar di lokasi penelitian tetapi tidak

tertangkap oleh jaring kabut .......................................................................... 81 

3 Jumlah individu spesies burung pada hutan primer dan sekunder .................. 84 

4 Jumlah seluruh spesies burung berdasarkan kategori guild ............................. 87 

5 Hasil uji statistik terhadap jumlah guild di lokasi penelitian berdasarkan jarak

dari tepi ......................................................................................................... 88 

6 Lebar relung dan jumlah individu masing-masing spesies pada setiap jarak dari

tepi (urutan terbesar hingga terkecil).............................................................. 89 

7 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang tertangkap

berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer .................................................... 90 

8 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang tertangkap

berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder................................................. 90 

9 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu famili pada hutan primer dan

sekunder ........................................................................................................ 91 

10 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu guild yang tertangkap pada hutan

primer dan sekunder ...................................................................................... 91 

11 Spesies burung di hutan primer dan sekunder ................................................ 92 

Page 20: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

1

I.PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Komunitas burung merupakan kumpulan individu spesies yang hidup pada

waktu dan tempat yang sama (Wiens 1989). Komposisi penyusun suatu komunitas

burung sangat dipengaruhi oleh faktor spasial berupa tingkat suksesi, efek tepi dan

kompleksitas vegetasi serta faktor temporal seperti kelimpahan pakan (Begon et

al. 2006; Wiens 1989; Pianka 1983). Faktor-faktor tersebut juga saling berkaitan

dan mempengaruhi seiring dengan waktu.

Perubahan tingkat suksesi hutan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi komposisi komunitas burung. Wong (1986) melaporkan bahwa

hutan primer di Pasoh Malaysia menyediakan sumber pakan berupa buah dan

bunga yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan sekunder. Selain itu Wong

(1986) juga menemukan fakta bahwa hutan primer menyediakan pakan berupa

artropoda dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan hutan

sekunder.

Secara teoritis hutan sekunder dipandang kurang memiliki nilai konservasi.

Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan sekunder juga

memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi (Barlow et al. 2007;

Newmark 2006; Waltert et al. 2005; Wong 1986). Hutan sekunder juga dipandang

sebagai habitat alternatif untuk konservasi keanekaragaman hayati di kawasan

tropis (Sodhi et al. 2005a).

Terdapatnya fakta penurunan jumlah individu pada kategori guild (Wong

1986) dan famili (Lammertink 2004) di hutan sekunder memunculkan kembali

pertanyaan mengenai nilai penting hutan sekunder bagi konservasi

keanekaragaman hayati khususnya burung. Sayangnya penelitian yang berkaitan

dengan peran hutan sekunder bagi konservasi mengabaikan beberapa faktor

temporal seperti kelimpahan pakan (Waltert et al. 2005; Lammertink 2004) dan

faktor spasial seperti struktur vegetasi dan efek tepi (Wong 1986).

Kelimpahan sumberdaya pakan pada suatu habitat diketahui mempengaruhi

kelimpahan spesies satwa yang hidup di dalamnya. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa fluktuasi populasi burung di suatu tempat disebabkan oleh

Page 21: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

2

terjadinya fluktuasi sumberdaya pakan baik berupa bunga, buah maupun

artropoda (Sodhi 2002; Burke & Nol 1998). Sumberdaya pakan juga merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi musim berbiak burung (Sodhi 2002;

Robinson 1998).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompleksitas vegetasi seperti

keanekaragaman spesies, kepadatan tajuk dan kepadatan pohon memberikan

pengaruh terhadap komposisi komunitas burung pada suatu habitat (Chettri et al.

2005; Anderson et al. 1983; Pearson 1975). Barlow et al. (2007) menemukan

fakta bahwa keanekaragaman spesies burung sangat berkorelasi dengan luas

bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan kanopi. Pada hutan dengan luas bidang

dasar yang tinggi dan kanopi yang rapat memiliki tingkat keanekaragaman spesies

burung yang tinggi.

Kehadiran efek tepi memberi pengaruh yang berbeda-beda pada spesies

burung tergantung pada guild (Canaday 1997; Thiollay 1997) dan preferensi

habitat (Austen et al. 2001; Thiollay 1997). Perubahan kondisi iklim mikro di

daerah tepi menyebabkan jenis-jenis burung yang hidup di bawah tajuk terutama

jenis pemakan serangga mengalami penurunan jumlah (Thiollay 1997).

Meskipun efek tepi merupakan isu yang cukup sering diungkapkan di

berbagai penelitian, hingga kini belum banyak penelitian yang menjelaskan secara

pasti berapa lebar daerah tepi menuju bagian dalam hutan (Newton 2007; Watson

et al. 2004; Beier et al. 2002; Austen et al. 2001) terutama sekali di daerah tropis

Asia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebar daerah tepi bersifat lokal,

tergantung taksa dan tipe habitat/non habitat yang berdampingan (Goosem 2007;

Sobrinho & Schoereder 2007; Watson et al. 2004; Keyser 2002; Schlaepfer &

Gavin 2001; Dale et al. 2000).

Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan salah satu

kawasan yang penting bagi konservasi burung di Sumatera bagian selatan

(Holmes & Rombang 2001). Sebanyak 425 spesies burung tercatat hidup di dalam

kawasan ini (Gaveaua et al. 2007). Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional,

wilayah Bukit Barisan Selatan mengalami tekanan berat akibat aktivitas

perambahan dan pembalakan liar. Akibatnya pada saat ini terdapat banyak bagian

kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan berupa hutan-hutan sekunder

Page 22: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

3

yang merupakan bekas kegiatan perambahan. Di sisi lain areal hutan primer yang

tersisa juga terus mengalami tekanan yang diakibatkan oleh pembuatan jalan dan

perambahan.

Penggunaan jaring kabut dan penandaan merupakan salah satu metode

pengumpulan data keanekaragaman burung yang disarankan untuk digunakan di

daerah tropis terutama untuk burung-burung yang hidup di bawah tajuk yang

biasanya pemalu (Gibbons & Gregory 2006; Gregory et al. 2004; Bibby et al.

1998). Metode ini mampu menghilangkan bias kemampuan pengamat yang umum

terjadi pada metode lain. Penandaan pada burung juga memungkinkan

dilakukannya monitoring terhadap populasi. Meskipun demikian beberapa

penelitian menunjukkan bahwa ukuran mesh jaring kabut memiliki bias terhadap

ukuran dan bobot burung (Pardieck & Waide 1992). Pemilihan lokasi pemasangan

jaring kabut juga berpengaruh terhadap komposisi burung yang tertangkap

(Rahman 2002).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

1. Membandingkan keanekaragaman spesies burung di bawah tajuk pada tipe

hutan primer dan sekunder.

2. Membandingkan keanekaragaman spesies burung di bawah tajuk dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu: jarak dari tepi, bukaan tajuk

(canopy openness), tutupan tajuk (canopy cover), kepadatan vegetasi dan

kelimpahan artropoda.

1.3.Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ialah:

1. Keanekaragaman spesies burung lebih rendah di hutan sekunder.

2. Keanekaragaman spesies burung lebih rendah dengan bertambahnya jarak

dari tepi hutan menuju bagian interior.

3. Keanekaragaman spesies burung lebih tinggi pada daerah dengan tingkat

bukaan tajuk yang tinggi.

Page 23: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

4

4. Keanekaragaman spesies burung lebih tinggi pada daerah dengan tingkat

tutupan tajuk yang tinggi.

5. Keanekaragaman spesies burung lebih tinggi pada daerah dengan tingkat

kepadatan vegetasi yang tinggi.

6. Keanekaragaman spesies lebih tinggi pada daerah dengan kelimpahan

artropoda yang tinggi.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan dalam

pengelolaan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam

mengidentifikasi tingkat gangguan habitat yang diakibatkan oleh aktivitas lain di

sekitar kawasan konservasi. Informasi ini sangat penting berkaitan dengan upaya

pencegahan dan pemulihan kerusakan habitat di sekitar dan di dalam kawasan.

Selain itu pemasangan cincin pada burung-burung yang tertangkap juga dapat

dijadikan data dasar dalam pengukuran tingkat survivorship burung-burung di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Page 24: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keanekaragaman Spesies Spesies merupakan unit terkecil ekologi yang paling mudah dikenal dan

dapat dibedakan satu sama lain (Meffe & Carrol 1994). Primack et al. (1998: 8)

menyatakan bahwa “spesies merupakan kumpulan individu yang secara

morfologi, fisiologi atau biokimia berbeda dari kelompok lain dalam hal ciri-ciri

tertentu”. Spesies juga merupakan individu yang memiliki komponen genetik

yang berbeda (Futuyma 1986).

Keanekaragaman spesies dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu

keanekaragaman alfa, beta dan gamma (Primack et al. 1998; Meffe & Carrol

1994; Wiens 1989; Pianka 1983). Keanekaragaman alfa dikenal sebagai

keanekaragaman titik atau sensus. Keanekaragaman beta merupakan ukuran

keanekaragaman antar lokasi dalam suatu wilayah geografis, sedangkan

keanekaragaman gamma merupakan keanekaragaman pada tingkat bentang alam.

Keanekaragaman spesies seringkali digunakan untuk mengetahui kestabilan

suatau komunitas (Ives 2007; Begon et al. 2006). Spesies yang beragam di dalam

komunitas akan membentuk suatu hubungan yang kompleks satu sama lain.

Hubungan yang kompleks ini mengakibatkan suatu komunitas akan lebih tahan

terhadap gangguan dibandingkan dengan komunitas dengan hubungan yang

sederhana. Oleh karena itu semakin tinggi keanekaragaman spesies akan

meningkatkan kestabilan suatu komunitas.

2.2. Guild

Guild adalah kelompok spesies yang menggunakan sumberdaya pada kelas

dan cara yang sama (Root 2001). Pengelompokan suatu spesies ke dalam guild

pada suatu komunitas, menurut Jaksić (1981) dalam Wiens (1989) secara umum

dilakukan dengan dua pendekatan yaitu a priori dan a posteriori. Pendekatan a

priori dilakukan berdasarkan kriteria yang ditentukan secara subyektif sebelum

dilakukan pengambilan dan analisis data. Pendekatan a posteriori sebaliknya

dilakukan dengan mengelompokkan secara lebih obyektif berdasarkan hasil

analisis terhadap pengamatan yang dilakukan.

Page 25: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

6

Pengelompokan guild dapat dilakukan berdasarkan perilaku makan,

makanan utama, tempat mencari makan, atau pemilihan tempat mencari makan

pada tingkatan vegetasi (Aleixo 1999, de Graaf & Wentworth 1986). Secara

umum pengelompokan suatu spesies ke dalam guild dilakukan berdasarkan

respons terhadap lingkungan atau lokasi, adaptasi terhadap pola hidup tertentu,

kondisi musim, penyebaran geografis, dan tipe makanan (Root 2001).

Informasi mengenai guild dapat digunakan dalam mengidentifikasi

perubahan di dalam ekosistem hutan (de-Iongh & van-Weerd 2006). Menurut

Root (2006) perubahan guild dalam suatu gradien lingkungan dapat diketahui

melalui hubungan antara faktor-faktor lingkungan terhadap kepadatan populasi,

laju reproduksi, dispersal, dan kemampuan menghindar dari predator. Selain itu

guild merupakan perwakilan dari aliran energi dan nutrisi di dalam lingkungan

hutan (de-Iongh & van-Weerd 2006).

2.3. Keanekaragaman Spesies dan Faktor yang Mempengaruhi

Jumlah spesies pada suatu habitat dipengaruhi oleh beraneka faktor

lingkungan yang saling mempengaruhi. Secara umum jumlah spesies akan

dipengaruhi oleh faktor temporal dan faktor spasial (Begon et al. 2006; Wiens

1989; Pianka 1983). Faktor temporal sangat berkaitan dengan sejarah geologi,

suksesi, musim dan variasi iklim sedangkan faktor spasial berupa kondisi habitat,

penyebaran tumbuhan dan kondisi geografis.

Faktor Spasial

Menurut Begon et al. (2006) tingkat produktivitas suatu wilayah berkaitan

dengan jumlah sumberdaya yang tersedia. Semakin produktif suatu area maka

jumlah spesies yang hidup pada lokasi tersebut semakin meningkat (Meffe &

Carroll 1994). Namun demikian peningkatan produktivitas juga memungkinkan

terjadinya penambahan individu per spesies dibandingkan dengan penambahan

spesies. Hal ini dimungkinkan apabila sumberdaya yang ada tidak memiliki

variasi yang banyak

Keheterogenan habitat memberikan kemungkinan bagi organisme dari

berbagai tingkatan untuk dapat hidup berdampingan (Begon et al. 2006). Habitat

yang heterogen akan lebih banyak menyediakan variasi habitat mikro dan iklim

Page 26: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

7

mikro dibandingkan dengan habitat yang lebih sederhana. Kondisi ini akan

mampu menyediakan relung kehidupan bagi banyak spesies (Pianka 1983).

Faktor Temporal

Keanekaragaman spesies ditentukan oleh kestabilan iklim (Pianka 1983).

Iklim yang stabil mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi tidak cepat berubah

secara drastis. Menurut Begon et al. (2006) kestabilan iklim akan memberikan

kesempatan bagi spesies yang spesialis dalam memanfaatkan sumberdaya yang

ada secara optimal, selain itu iklim yang stabil memungkinkan spesies-spesies

yang hidup di suatu habitat dalam titik jenuh. Kondisi iklim yang stabil juga

memungkinkan terjadinya overlap relung ekologi yang lebih banyak.

2.4. Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies

Kompleksitas vegetasi merupakan salah satu faktor penentu

keanekaragaman spesies burung di suatu lokasi. Pada penelitiannya di hutan

Amazon, Barlow et al. (2007) menemukan fakta bahwa keanekaragaman spesies

burung sangat berkorelasi dengan luas bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan

kanopi. Pada daerah dengan luas bidang dasar yang besar dan kanopi yang rapat

memiliki tingkat keanekaragaman spesies burung yang lebih tinggi. Fakta yang

sama juga diperoleh oleh Raman (2006) pada penelitiannya terhadap komunitas

burung di India.

Keanekaragaman spesies tumbuhan juga merupakan faktor penting penentu

keanekaragaman spesies burung (Wong 1986, Anderson et al. 1983). Kondisi

habitat dengan tumbuhan yang beragam akan menyediakan sumberdaya berupa

tempat pakan yang berlimpah terutama bagi jenis burung pemakan buah, biji dan

bunga (Wong 1986). Kelimpahan sumberdaya pakan juga merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi waktu berbiak burung di alam (Sodhi 2002).

2.5. Fragmentasi dan Efek Tepi

Fragmentasi habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia diyakini

merupakan ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di muka bumi (Primack

et al. 1998; Meffe & Carrol 1994). Proses fragmentasi hutan memiliki kemiripan

dengan pembentukan sebuah pulau, namun sebagian besar fragmentasi lebih

disebabkan oleh perbuatan manusia (Opdam & Wiens 2002). Fragmentasi

Page 27: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

8

memberi efek negatif bagi keanekaragaman hayati dalam bentuk pembentukan

pulau-pulau ekologi yang terpisah satu sama lain dengan luas yang semakin kecil

dari kondisi semula. Kondisi ini selanjutnya akan menimbulkan dampak berupa

hadirnya efek tepi (Primack et al. 1998, Watson et al. 2004).

Kehadiran efek tepi di dalam sebuah eksosistem hutan biasanya terjadi

dalam bentuk perubahan kondisi iklim mikro dan perubahan komposisi spesies

(Meffe & Carrol 1994), penurunan keanekaragaman tumbuhan, kelimpahan

spesies (Robinson 2001) dan kepadatan spesies (Sitompul et al. 2004),

meningkatnya pembukan habitat yang disukai oleh spesies dari luar hutan

(Thiollay 1999), meningkatnya predasi (Pangau-Adam et al. 2006), dan

menurunnya daya survival (Winter et al. 2000). Pada akhirnya fragmentasi akan

menyebabkan kepunahan lokal bagi spesies spesialis yang tidak adaptif terhadap

kondisi habitat yang baru (Meffe & Carrol 1994).

Namun demikian akibat kehadiran efek tepi tidak sepenuhnya merugikan,

kehadiran habitat tepi seringkali menciptakan habitat bagi spesies yang toleran

terhadap daerah terbuka (Lidicker-Jr & Koenig 1996). Oleh karena itu beberapa

ahli menyimpulkan bahwa efek tepi seringkali memberi dampak positif berupa

peningkatan jumlah spesies (Lidicker-Jr & Koenig 1996) (Gambar 1).

Gambar 1 Respons organisme terhadap efek tepi (Ries et al. 2004).

Lebar daerah tepi bersifat lokal dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi

lainnya (Watson et al. 2004; Canaday 1997) tergantung oleh tipe habitat yang

berdekatan dengan hutan (Goosem 2007; Keyser 2002) dan taksa (Sobrinho &

Schoereder 2007; Schlaepfer & Gavin 2001). Pada penelitiannya di hutan tropis

Amazon, Canaday (1997) melaporkan bahwa lebar daerah tepi berkisar antara

200m hingga 2km tergantung tipe habitat yang berada di sekitar hutan, sementara

Page 28: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

9

Watson et al. (2004) memperkirakan hanya 300m. Pada penelitian yang lain

Keyser (2002) melaporkan bahwa efek tepi dapat dirasakan pada jarak 1m hingga

45 m ke bagian dalam hutan. Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh

Dale et al. (2000) terhadap komunitas burung di Uganda menunjukkan bahwa

tidak terdapat perubahan komposisi burung pada berbagai jarak dari daerah tepi.

Fragmentasi memberi dampak negatif pada proses penyerbukan tumbuhan

hutan. Kehadiran spesies pemangsa atau spesies invasif dan perubahan suhu

mikro dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kelimpahan satwa penyerbuk

(Murcia 1996). Selanjutnya, menurunnya jumlah satwa penyerbuk akan

menurunkan jumlah polen yang dikirimkan ke kepala putik.

Menurut Murcia (1996) fragmentasi juga akan mengakibatkan perubahan

jumlah dan kepadatan bunga. Pada tingkat tertentu jumlah dan kepadatan bunga

yang tersedia tidak mampu untuk mendukung kehidupan satwa yang berperan

sebagai polinator. Selanjutnya satwa polinator akan menurun jumlahnya atau

bahkan punah.

Terjadinya fragmentasi juga akan mempengaruhi struktur reproduksi

tumbuhan hutan (Murcia 1996). Tumbuhan hutan umumnya memiliki sistem

reproduksi yang beragam dan kompleks. Sistem reproduksi setiap tumbuhan

memiliki sensitivitas berbeda terhadap fragmentasi. Pada tumbuhan berumah dua

yang karakter individunya memiliki salah satu jenis kelamin, fragmentasi dapat

mengakibatkan terpisahnya individu jantan dan individu betina ke dalam fragmen

yang berbeda. Akibatnya penyerbukan sulit terjadi kecuali terdapat kemungkinan

polen jantan dapat diterbangkan atau berpindah menuju kepala putik yang

terdapat pada individu betina.

Page 29: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

10

III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Letak

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan luas 356.800 ha merupakan

taman nasional terluas ke-3 di pulau Sumatera. Secara geografis taman nasional

ini terletak pada 44º 29’ - 5º 57’ lintang selatan dan 103 º 24’ - 104 º 44’ bujur

timur. Kawasan konservasi ini terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Bengkulu

dan Provinsi Lampung yang membentang sejauh 185km dari utara ke selatan dan

sejauh 175km dari barat ke timur (Gaveaua et al. 2007). Di bagian tenggara

kawasan ini merupakan semenanjung sempit dengan lebar hanya 20km yang

membentang dari Tanjung Belimbing hingga ke Tanjung Cina.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian (Gaveaua et al. 2007).

3.2. Sejarah Kawasan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan berdasarkan SK Menteri

Pertanian No.736/Mentan/X/1982, sebagai respon pemerintah RI terhadap

keputusan kongres taman nasional dunia di Bali pada tahun 1982 (Gaveaua et al.

2007). Meskipun demikian sejak masa kolonial Belanda, kawasan tersebut telah

ditetapkan sebagai areal konservasi yang meliputi kawasan Suaka Margasatwa

Sumatera Selatan 1 dengan luas 324,494 ha, Suaka Margasatwa Gunung Raya

dengan luas 47,782 ha dan hutan lindung dengan luas 256,620 ha (Gaveaua et al.

2007). Pada tahun 2004 UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai situs warisan

dunia (Gaveaua et al. 2007). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan

Page 30: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

11

salah satu daerah penting bagi burung (Important Bird Area) di Pulau Sumatera

(Holmes & Rombang 2001).

Sebelum adanya penetapan sebagai taman nasional, kawasan ini telah

mengalami tekanan berupa perambahan hutan baik dalam bentuk perladangan atau

pembalakan liar (Gaveaua et al. 2007). Setelah tahun 1982 berangsur-angsur

kegiatan perladangan dan perambahan berhasil ditekan dan di beberapa lokasi

telah terjadi pemulihan kondisi hutan (Gaveaua et al. 2007).

3.3. Keanekaragaman Hayati

Taman Nasional Bukit Barisan memiliki 425 spesies burung (Gaveaua et al.

2007). Beberapa hewan mamalia yang terancam punah seperti harimau sumatera

Panthera tigris sumatrae, badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, gajah asia

Elephas maximus sumatrensis, beruang madu Ursus malayanus dan tapir Tapirus

indicus juga masih hidup di lokasi ini (O'Brien & Kinnaird 1996).

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga merupakan habitat berbagai

jenis tumbuhan langka seperti raflesia Rafflesia spp. dan bunga bangkai

Amorphophallus titanum. Bagian hutan primer di kawasan ini juga didominasi

oleh jenis pohon bernilai ekonomi tinggi seperti kruing Dipterocarpus sp. dan

meranti Shorea sp. Di bagian tenggara yang merupakan dataran rendah ditumbuhi

oleh jenis mangrove misalnya: pidada Sonneratia spp. dan nipah Nypa fruticans.

3.4. Iklim dan Topografi

Kawasan Taman Nasional bukit Barisan Selatan memiliki curah hujan yang

cukup tinggi yaitu antara 3000-4000 mm per tahun (Gaveaua et al. 2007).

Musim hujan berlangsung antara November hingga Mei dan musim kemarau

antara Juni hingga September.

Sebagian besar kawasan Taman Nasional bukit Barisan Selatan merupakan

daerah berbukit bukit terutama di bagian utara dengan ketinggian antara 0-1964

mdpl. Pada bagian selatan merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian

antara 0-100 mdpl.

Page 31: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

12

IV. METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu

Pengumpulan data di lakukan di dua resor kawasan Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan yaitu Resor Belimbing untuk plot hutan primer dan Resor

Tampang untuk plot hutan sekunder (Gambar 3). Waktu pengumpulan data antara

tanggal 31 Maret – 18 Juni 2009 yang bertepatan dengan akhir musim penghujan

tahun 2009.

Gambar 3 Lokasi plot-plot pengamatan (a,b,c = plot hutan primer; d,e,f = plot hutan sekunder).

4.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah jaring kabut (panjang 12m, lebar

2,7m, 4 shelves, ø mesh 30,0mm) sebanyak 8 helai, perlengkapan pencincinan

(tang, timbangan digital, dan kaliper) dan cincin bernomor unik yang dikeluarkan

oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Burung yang tertangkap

diidentifikasi menggunakan buku panduan lapang burung-burung di kawasan

Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (MacKinnon et al. 1997). Koordinat dan

ketinggian setiap plot ditentukan dengan Global Positioning System (GPS)

Oregon 300. Kegiatan penelitian didokumentasikan menggunakan kamera Canon

a b c

d

ef

Page 32: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

13

Powershoot A400. Canopy scope digunakan untuk mengukur kepadatan tajuk dan

sweep net digunakan untuk mengumpulkan data jumlah serangga.

4.3.Metode Pengumpulan Data

4.3.1.Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai spesies burung di bawah tajuk

adalah seluruh burung yang beraktivitas pada ketinggian antara 0-300cm dari

permukaan tanah. Beberapa kelompok burung tidak dimasukkan ke dalam

analisis, yaitu kelompok burung nokturnal (misal: burung hantu, cabak dan paruh

kodok), burung pemangsa (misal: elang dan alap-alap), burung yang tidak

menghuni tajuk bawah (misal: walet dan layang-layang).

Burung-burung yang tertangkap dimasukkan ke dalam guild merujuk pada

Novarino et al. (2006), Lambert & Collar (2002), MacKinnon et al. (1997) dan

Wong (1986) yang terdiri dari TFGI (Tree Foliage Gleaning Insectivore):

pemakan serangga di bagian tajuk, BGI (Bark Gleaning Insectivore): pemakan

serangga di bagian dahan dan ranting pohon, FCI (Fly-catching Insectivore):

pemakan serangga sambil melayang, LGI (Litter Gleaning Insectivore): pemakan

serangga di serasah atau lantai hutan, SFGI (Shrub Foliage Gleaning Insectivore):

pemakan serangga di daerah semak, CI (Carnivore Insectivore): pemakan

vertebrata lain dan serangga, IF (Insectivore Frugivore): pemakan serangga dan

buah-buahan, IN (Insectivore Nectarivore): pemakan serangga dan nektar, TF

(Terestrial Frugivore): pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan, AF

(Arboreal Frugivore): pemakan buah di bagian tajuk. Pengelompokan spesies ke

dalam kategori guild dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara spesies dan

sumberdaya pakan yang mendukungnya.

4.3.2.Peletakan Plot

Plot pengamatan diletakkan pada tipe hutan primer dan sekunder yang

berbatasan dengan habitat non hutan (yaitu: hutan dan jalan). Pada setiap tipe

hutan diletakkan sebanyak 3 plot yang berfungsi sebagai ulangan. Di dalam satu

plot terdapat 3 anak plot yang masing-masing diletakkan berjarak 0m, 200m

dan400 m dari daerah tepi (Gambar 4). Plot hutan sekunder dengan hutan primer

terpisah kurang lebih 6km. Pemilihan lokasi plot dilakukan secara purposif

Page 33: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

14

dengan pertimbangan struktur hutan, aksesibilitas, keamanan dan kemudahan

pengaturan logistik.

(a) (b)

Gambar 4 Peletakan plot pada bagian (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder. Keterangan: = plot = anak plot/jalur jaring kabut = jalan tanah = batas kebun dan hutan

Pada hutan primer plot dipilih pada lokasi hutan yang dipisahkan oleh jalan

tanah yang memiliki lebar 2-3m. Meskipun terpotong oleh jalan, seluruh tajuk

pohon masih terhubung satu sama lain. Jalan tersebut dibuka pada pertengahan

tahun 2008 dan tidak pernah digunakan untuk lalu lalang kendaraan bermotor.

Kehadiran jalan mengakibatkan terbentuknya daerah tepi yang bertipe drastis

(abrupt). Plot hutan primer terletak kurang lebih 12km dari permukiman dan

perkebunan penduduk.

Plot di hutan sekunder diletakkan pada hutan yang berbatasan langsung

dengan kebun campuran yaitu kebun kopi, lada dan coklat yang membentuk

daerah tepi dengan tipe halus (soft). Umur tanaman berkisar antara 5-7 tahun dan

dipelihara secara tradisional dengan input pestisida yang minim. Jarak dari

permukiman penduduk kurang lebih 2km. Hutan sekunder yang dipilih sebagai

lokasi penelitian merupakan hutan bekas perambahan yang dipulihkan kembali

sejak tahun 1982 setelah penetapan status taman nasional.

4.3.3.Keanekaragaman Burung

Data keanekaragaman burung dikumpulkan menggunakan jaring kabut

(Bibby et al. 1998) dengan metode catch per unit effort (Gibbons & Gregory

2006; Gregory et al. 2004). Pemasangan jaring kabut dilakukan pada setiap anak

kebun hutanhutanhutan

Page 34: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

15

plot pengamatan yang telah ditentukan. Panjang setiap jalur jaring kabut ialah

96m yang terdiri dari 8 jaring kabut dengan panjang 12m yang dipasang

bersambungan.

Setiap jalur jaring kabut dioperasikan selama 2-3 hari pada setiap anak plot

untuk memperoleh total waktu pengoperasian sebanyak 24 jam. Pengoperasian

jaring kabut dilakukan antara pukul 06.00-18.00 WIB, sehingga total pengamatan

per jalur adalah 24 jam x 96m = 2304 meter jam jaring kabut. Setelah pukul

18.00 WIB jaring kabut digulung dan dibuka kembali pada pukul 06.00 WIB

untuk mencegah tertangkapnya kelelawar yang dapat merusak jaring. Apabila

pada saat pengoperasian jaring kabut, terjadi cuaca buruk (hujan) maka jaring

ditutup dan dioperasikan lagi setelah cuaca normal hingga mencapai waktu

pengoperasian 24 jam untuk setiap anak plot. Waktu awal pengoperasian jaring

kabut berbeda-beda antara satu titik dengan titik yang lain tergantung dengan

kondisi cuaca.

Setelah dioperasikan selama 24 jam pada satu anak plot, maka jaring kabut

dipindahkan ke anak plot lainnya. Jaring kabut diperiksa setiap 2 jam pada daerah

dengan vegetasi rapat dan setiap 1 jam pada dengan vegetasi jarang untuk

mengurangi resiko terjadinya kematian pada burung yang tertangkap. Setiap

individu yang tertangkap, dilepas dari jaring dan dimasukkan ke dalam kantung

kain untuk diidentifikasi spesies, jenis kelamin, kondisi perkembangbiakan, dan

kondisi bulu di stasiun pencincinan.

Burung diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan lapang burung-

burung di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (MacKinnon et al. 1997),

sedangkan tata nama famili dan spesies serta nomor urut burung merujuk pada

Sukmantoro et al. (2007). Burung yang teridentifikasi dipasangi cincin dari

alumunium alloy bernomor unik pada bagian tarsus. Pemasangan cincin bertujuan

untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda terhadap burung-burung yang

tertangkap.

Burung yang tertangkap segera dilepaskan setelah proses identifikasi, dan

pencincinan selesai, kecuali burung yang tertangkap menjelang malam hari.

Burung tersebut diinapkan di dalam kantung kain di stasiun pencincinan dan

Page 35: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

16

dilepaskan keesokan hari di sekitar lokasi tertangkap. Hal ini untuk mencegah

terjadinya kekacauan orientasi apabila burung dilepaskan ketika malam hari.

4.3.4.Komponen Habitat

4.3.4.1.Komposisi Vegetasi

Data vegetasi dikumpulkan dengan menggunakan metode point-quarter

(Krebs 1999). Panjang transek pengamatan vegetasi adalah 100m yang

disesuaikan dengan panjang jaring kabut. Rumus yang digunakan untuk

mengukur kepadatan pohon ialah:

N = ∑

Keterangan:

N = nilai dugaan kepadatan pohon

n = jumlah plot contoh

xi = jarak terdekat pohon dari titik pusat plot

π = 3,14159

Tingkat pertumbuhan vegetasi di kelompokkan menjadi 4 yaitu :

1. Tumbuhan tingkat semai (seedling) dan tumbuhan bawah, yaitu tumbuhan

mulai berkecambah hingga tinggi 1,5m.

2. Tumbuhan tingkat pancang (sapling), yaitu tumbuhan dengan tinggi melebihi

1,5 m atau memiliki diameter kurang dari 10cm.

3. Tumbuhan tingkat tiang (pole), yaitu tumbuhan yang memiliki diameter 10-

20cm.

4. Tumbuhan tingkat pohon yaitu tumbuhan berkayu dengan diameter batang

lebih besar dari 20cm.

Data vegetasi yang dikumpulkan meliputi jumlah individu vegetasi pada

setiap fase pertumbuhan, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi

total.

4.3.4.2.Bukaan Tajuk

Bukaan tajuk (canopy openness) merupakan proporsi kubah langit yang

tertutup atau terhalangi oleh vegetasi ketika dilihat dari sebuah titik (Jennings et

al. 1999). Data bukaan tajuk dikumpulkan menggunakan canopy scope (Brown et

Page 36: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

17

al. 2000). Menurut Newton (2007) canopy scope merupakan alat yang cukup

baik dalam mengukur bukaan tajuk pada hutan dengan vegetasi yang rapat, selain

itu canopy scope juga mudah dan murah dalam pengoperasiannya. Jumlah titik

pengamatan bukaan tajuk di setiap jalur jaring kabut adalah 8 untuk setiap luas

area 0,25 ha (Brown et al. 2000). Selanjutnya nilai yang diperoleh dari

pengamatan titik tersebut dirata-rata untuk memperoleh persentase bukaan tajuk

di setiap jalur.

4.3.4.3.Tutupan Tajuk

Tutupan tajuk (canopy cover) merupakan proporsi lantai hutan yang

tertutup oleh proyeksi tegak lurus tajuk pohon (Jennings et al. 1999). Tutupan

tajuk dihitung dengan metode line intercept (Newton 2007; Jennings et al. 1999).

Nilai tutupan tajuk adalah persentase panjang tajuk yang menyentuh garis transek

terhadap panjang transek. Pengukuran tutupan tajuk dilakukan terhadap vegetasi

dari setiap fase pertumbuhan kecuali tingkat semai di setiap jalur jaring kabut,

sehingga nilai penutupan tajuk pada sebuah jalur jaring kabut akan bernilai lebih

dari 100%.

4.3.5.Jumlah Individu Artropoda

Data individu artropoda dikumpulkan dengan sweep net menggunakan

metode catch per unit effort. Agar memudahkan standardisasi perhitungan maka

pengambilan data serangga dilakukan sebanyak 2 kali ayunan setiap 1 meter

dengan panjang transek 100m (Ozanne 2005) sepanjang jalur jaring kabut.

Pengambilan contoh dilakukan setelah embun hilang dari permukaan daun pada

pukul 08.00-10.00 WIB. Selanjutnya seluruh individu serangga yang tertangkap

dihitung jumlahnya dan diidentifikasi secara sekilas hingga tingkat ordo.

4.4.Analisis Data

4.4.1.Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies

Data keanekaragaman dan kemerataan spesies burung dihitung

menggunakan indeks Shannon, kekayaan spesies dihitung dengan indeks

Menhinick (Krebs 1999) yang rumusnya adalah sebagai berikut:

Page 37: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

18

Indeks Shannon

H’ = – pipi ln.∑

= – ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∑ Nn

Nn ii ln.

Kemerataan

J = max

'H

H = )ln(

'S

H = )ln()ln(

0

1

NN

Indeks Menhinick

DMn = S/√ N

Keterangan: H’ = indeks Shannon Pi = proporsi individu suatu spesies terhadap keseluruhan individu yang dijumpai N = jumlah individu total J = Kemerataan S = jumlah seluruh jenis.

4.4.2.Kelimpahan

Berdasarkan jumlah individu, spesies burung yang tertangkap

dikelompokkan ke dalam empat kelas kelimpahan (Fowler & Cohen 1986) yaitu:

Sering tertangkap : lebih dari 100 individu

Umum : 21-99 individu

Tidak umum : 5-20 individu

Jarang : 1-4 individu

4.4.3.Kesamaan Komunitas Burung

Indeks kesamaan spesies dihitung dengan menggunakan indeks Jaccard

(Krebs 1999). Hal ini untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi

spesies burung berdasarkan tipe hutan. Analisis juga dilakukan berdasarkan guild

makanan.

ISJ =

Keterangan:

a : jumlah spesies yang dijumpai pada kedua lokasi b : jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 1 c : jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 2

Page 38: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

19

4.4.4.Lebar Relung

Analisis lebar relung dilakukan untuk mengelompokkan anggota komunitas

burung ke dalam kategori generalis dan spesialis berdasarkan habitat. Rumus yang

digunakan adalah indeks Levin (Krebs 1978).

Indeks Levin

Keterangan: B : Indeks lebar relung Levin Pi : Proporsi individu yang memanfaatkan suatu sumberdaya n : Jumlah sumberdaya yang mungkin tersedia

4.4.5.Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi

Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

keanekaragaman spesies dan jumlah individu yang tertangkap di setiap jalur jaring

kabut terhadap jarak dari daerah tepi. Uji Khi kuadrat dilakukan untuk

mengetahui adanya perbedaan antara jumlah individu burung yang tertangkap

berdasarkan guild dan spesies di setiap jalur jaring kabut terhadap jarak dari

daerah tepi.

4.4.6.Keanekaragaman Spesies dan Vegetasi

Uji korelasi Pearson (Fowler & Cohen 1986) dilakukan untuk mengetahui

keterkaitan antara persentase bukaan tajuk, tutupan tajuk dan kepadatan vegetasi

terhadap keanekaragaman spesies dan tingkat tangkapan.

4.4.7.Keanekaragaman Spesies dan Jumlah Artropoda

Uji korelasi Pearson (Fowler & Cohen 1986) dilakukan untuk mengetahui

tingkat keterkaitan jumlah artropoda terhadap keanekaragaman spesies dan guild.

2

1

j

Bp

=∑

Page 39: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

20

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian

Komposisi vegetasi pada hutan primer di dominasi oleh jenis meranti

Shorea spp. dan kruing Dipterocarpus spp. yang seringkali menjadi pohon

emergent dengan tinggi mencapai 35m. Pohon-pohon di hutan primer umumnya

memiliki ketinggian antara 20-25m. Secara umum kondisi tajuk di hutan primer

memiliki penutupan yang tinggi (Tabel 1). Hal ini terjadi karena vegetasi yang

tumbuh membentuk strata tajuk yang lengkap. Padatnya penutupan tajuk dan

rendahnya intensitas cahaya yang mampu menembus hingga lantai hutan,

mengakibatkan sedikitnya jumlah tumbuhan bawah. Rendahnya intensitas cahaya

matahari juga mengakibatkan proses dekomposisi serasah menjadi lamban,

sehingga lantai hutan tertutupi oleh serasah yang tebal. Jenis jahe hutan Zingiber

spp. seringkali tumbuh pada daerah-daerah yang sedikit terbuka dan terkena sinar

matahari. Pembukaan jalan setapak mengakibatkan terbentuknya daerah tepi

dengan tipe yang tajam (abrupt). Pada bagian tepi ini biasanya ditumbuhi oleh

pisang hutan Musa spp. dan jahe hutan Zingiber spp.

Vegetasi pada hutan sekunder didominasi oleh spesies yang berasal dari

famili Euphorbiaceae (Macaranga spp. dan Mallotus spp.) dan famili Myrtaceae

(Eugenia spp. dan Syzigium spp.). Berbeda dengan hutan primer, di hutan

sekunder tidak memiliki pohon emergent. Ketinggian pohon umumnya antara 10-

20m. Di beberapa bagian terdapat banyak pohon tumbang atau tertutupi tumbuhan

merambat. Hutan sekunder juga memiliki penutupan tajuk yang rendah.

Rendahnya penutupan tajuk mengakibatkan cahaya matahari mampu menembus

lantai hutan yang memungkinkan pertumbuhan yang pesat dari tumbuhan bawah

dan semak belukar. Pada bagian lantai hutan juga masih banyak dijumpai sisa

batang-batang pohon bekas perambahan yang melapuk. Kehadiran daerah

perkebunan di sekitar hutan sekunder mengakibatkan terbentuknya daerah tepi

dengan tipe halus (soft).

Nilai rata-rata kepadatan vegetasi tingkat pohon di hutan primer lebih tinggi

dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=0,29; df=1;

P=0,58). Kepadatan vegetasi tingkat tiang di hutan primer lebih tinggi daripada

Page 40: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

21

hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=1,65; df=1; P=0,19), sedangkan

kepadatan vegetasi tingkat pancang berbeda nyata (χ2=6,91; df=1; P=0,00).

Tabel 1 Parameter kondisi vegetasi di hutan sekunder dan primer

Hutan primer memiliki strata tajuk yang lebih lengkap dan ditumbuhi oleh

pepohonan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Oleh karena

itu hutan primer memiliki nilai bukaan tajuk (canopy openness) yang lebih

rendah dibandingkan dengan hutan sekunder dan berbeda secara nyata (χ2=9,52;

df=1; P=0,00) (Tabel 1). Nilai tutupan tajuk (canopy cover) di hutan primer lebih

tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=

0,69; df=1; P=0,41).

Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder menurun pada jarak 200m

dan kembali naik pada jarak 400m (Gambar 5). Namun, kondisi berbeda terjadi

pada nilai tutupan tajuk (canopy cover) di hutan sekunder yang meningkat pada

jarak 200m dan menurun kembali pada titik 400m (Gambar 6), sedangkan nilai

bukaan tajuk di hutan sekunder memiliki pola yang sama dengan hutan primer.

Gambar 5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan

pengukuran dengan menggunakan canopy scope.

No Parameter Tipe hutan

Primer Sekunder 1 Kepadatan pohon (batang/ha) 213,9 179,6 2 Kepadatan tiang (batang/ha) 358,8 257,8 3 Kepadatan pancang (batang/ha) 930,2 604,5 5 Bukaan tajuk (%) 6,2 13,2 4 Tutupan tajuk (%) 145,0 97,0

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

0 m 200 m 400 m

Pers

enta

se

Jarak tepi

Hutan Primer Hutan Sekunder

Page 41: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

22

Gambar 6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari

tepi. 5.1.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian

Selama 2304 meter jam jaring kabut, ditangkap sebanyak 324 individu

burung yang berasal dari 51 spesies dan 18 famili (Lampiran 1). Seluruh burung

yang tertangkap adalah burung penetap yang 13 spesies di antaranya merupakan

burung yang mendekati terancam punah (BirdLife-International 2009). Sembilan

spesies burung yang tertangkap merupakan spesies yang dilindungi oleh peraturan

dan perundangan Republik Indonesia. Selain itu terdapat satu spesies yang telah

terdaftar pada Appendiks II CITES (Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yaitu paok pancawarna Pitta

guajana. Terdapat pula satu spesies nokturnal yaitu paruhkodok bintang

Batrachostomus stellatus (Famili Podargidae) yang berstatus mendekati terancam

punah. Spesies tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis karena penelitian ini

hanya membahas burung diurnal.

Terdapat pula 43 spesies burung dari 24 famili yang tidak berhasil ditangkap

namun teridentifikasi melalui visual dan suara (Lampiran 2). Spesies-spesies

tersebut sebagian besar tidak tertangkap karena memiliki bobot dan ukuran yang

besar, beraktivitas pada bagian atas tajuk hutan dan secara alami memiliki

kelimpahan yang rendah. Seluruh burung yang tidak tertangkap menggunakan

jaring kabut tidak dimasukkan ke dalam analisis.

Page 42: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

23

Berdasarkan kategori kelimpahan, sebanyak 62% spesies yang tertangkap

termasuk ke dalam kategori jarang, 32% dengan kategori tidak umum dan 6%

termasuk ke dalam kategori umum (χ2=23,56, df=2, P=0,00). Sebanyak 8 spesies

dengan kelimpahan jarang termasuk dalam kategori mendekati terancam punah.

Di dalam kelas kelimpahan tidak umum sebanyak 4 spesies termasuk kategori

mendekati terancam punah dan satu spesies telah terdaftar di dalam Appendik II

CITES. Spesies dengan kategori umum terdiri dari pijantung kecil Arachnothera

longirostra (78 individu), burung udang punggung merah Ceyx rufidorsa (26

individu) dan cinenen merah Orthotomus sericeus (22 individu).

Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman spesies (H’), dapat disimpulkan

bahwa lokasi penelitian memiliki nilai keanekaragaman spesies yang sedang

(Tabel 2). Selain itu lokasi penelitian juga memiliki komposisi spesies burung

yang cukup merata.

Tabel 2 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies burung di bawah tajuk di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Indeks Nilai Menhinick (Mn) 2,78 Shannon (H') 3,18 Evennes (J’) 0,81

Komunitas burung di lokasi penelitian didominasi oleh famili Nectariniidae

(χ2=648,11; df=16; P=0) dengan jumlah individu sebanyak 95 individu (Gambar

7). Famili ini hanya tersusun dari 3 spesies yaitu pijantung kecil Arachnothera

longirostra, burung madu rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu

sepahraja Aetophyga siparaja (Lampiran 3). Ketiga spesies ini umumnya

beraktivitas pada strata tajuk tengah dan bawah.

Berdasarkan jumlah spesies, Timaliidae merupakan famili dengan jumlah

spesies yang paling sering tertangkap (χ2=54,72; df=16; P=0,00) yaitu sebanyak

13 spesies dengan jumlah total 80 individu. Berdasarkan spesies, pijantung kecil

Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap (χ2=

1022,05; df=49; P=0) yaitu sebanyak 78 individu.

Page 43: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

24

Gambar 7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan

spesies.

5.1.3. Jumlah Individu Burung dan Struktur Vegetasi Jumlah individu burung yang tertangkap semakin menurun dengan

meningkatnya nilai kepadatan vegetasi pada tingkat pohon (korelasi Pearson,

r=0,36), begitu pula halnya dengan kepadatan vegetasi pada tingkat tiang

(r=0,71), tingkat pancang (r=0,25) dan tutupan tajuk (r=0,18). Pada sisi lain

jumlah individu burung yang tertangkap semakin meningkat dengan

bertambahnya nilai bukaan tajuk (r=0,63).

5.1.4. Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian Secara garis besar, komunitas burung di lokasi penelitian terbagi ke dalam 3

kategori guild yaitu terdiri dari dua guild murni dan satu guild campuran

(Gambar 8). Guild murni terdiri dari burung-burung pemakan seranggga dan

burung-burung pemakan buah. Kategori guild terbanyak adalah pemakan

serangga, yaitu sebanyak 5 sub kategori. Kategori guild dengan jumlah paling

sedikit ialah pemakan buah murni, yang terdiri dari dua sub kategori (Lampiran

4).

0 20 40 60 80 100

PhasianidaeColumbidae

CuculidaeTrogonidae

AlcedinididaePicidae

EurylaimidaePittidae

PycnonotidaeTurdidae

TimaliidaeSylviidae

PlatysteiridaeMonarchidae

DicaeidaeNectariniidae

Dicruridae

Jumlah

Fam

ili

Spesies

Individu

Page 44: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

Gambar 8 Hirarki kategori guild komunitas burung di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Keterangan: TFGI: pemakan serangga di bagian tajuk, BGI: pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon, SFGI: pemakan serangga di daerah semak, LGI: pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, FCI: pemakan serangga sambil melayang, IN: pemakan serangga dan nektar, CI: pemakan vertebrata lain dan serangga, IF: pemakan serangga dan buah-buahan, AF: pemakan buah di bagian tajuk, TF: pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan.

Page 45: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

26

Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN) merupakan

kelompok yang paling banyak tertangkap (χ2=225,56; df=9; P=0,00) dengan

jumlah total 95 individu (Tabel 3). Meskipun demikian kelompok ini hanya terdiri

dari 3 spesies saja yaitu pijantung kecil Arachnothera longirostra, burung madu

rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu sepahraja Aetophyga

siparaja (Lampiran 4). Berdasarkan jumlah spesies, kelompok pemakan serangga

di bagian tajuk (TFGI) merupakan guild yang paling dominan (χ2=21,2; df=9;

P=0,01).

Tabel 3 Jumlah individu dan spesies pada setiap guild

No Guild Kode guild

Jumlah individu

Jumlah spesies

A Pemakan Serangga 1 Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 62 11 2 Pemakan serangga di bagian dahan dan

ranting pohon BGI 10 3

3 Pemakan serangga di daerah semak SFGI 35 7 4 Pemakan serangga di serasah atau

lantai hutan LGI 26 4

5 Pemakan serangga sambil melayang FCI 18 5 B Pemakan buah 1 Pemakan buah di tajuk AF 4 1 2 Pemakan buah kecil yang berserakan di

lantai hutan TF 4 1

C Campuran 1 Pemakan serangga dan nektar IN 95 3 2 Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 42 5 3 Pemakan serangga dan buah-buahan IF 27 10 5.1.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda

Jumlah rata-rata artropoda yang tertangkap pada lokasi penelitian adalah

266 individu/100 ayunan. Sebagian besar artropoda yang tertangkap adalah ordo

Diptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hymenoptera (Formicidae) dan Arachnidae.

Jumlah individu artropoda yang tertangkap di hutan sekunder secara nyata lebih

tinggi dibandingkan dengan hutan primer (χ2=5,76; df=1; P=0,01) (Gambar 9).

Jumlah artropoda yang tertangkap pada setiap jarak tepi tidak berbeda nyata baik

di hutan primer (uji H=0,36; df=2; P=0,84) maupun hutan sekunder (uji H=2,49;

df=2; P=0,29). Jumlah individu burung yang tertangkap mengalami peningkatan

dengan bertambahnya jumlah artropoda (r=0,44).

Page 46: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

27

Gambar 9 Jumlah individu artropoda pada setiap jarak dari tepi.

5.1.6. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi

Nilai kekayaan spesies tertinggi terdapat pada jarak 0m dari tepi, dengan

jumlah spesies yang tertangkap sebanyak 34 spesies. Jumlah tersebut berkurang

menjadi 31 spesies dan kembali naik pada jarak 400m menjadi 34 spesies. Namun

demikian nilai keanekaragaman spesies burung menurun seiring bertambahnya

jarak dari tepi (Gambar 10).

Gambar 10 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’)

spesies burung berdasarkan jarak dari tepi.

Dari 17 famili yang tertangkap, Timaliidae mengalami penurunan jumlah

individu seiring bertambahnya jarak dari tepi sedangkan Nectariniidae mengalami

peningkatan (Gambar 11). Berdasarkan jumlah spesies, meskipun lebih banyak

burung yang tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi namun secara statistik

0

20

40

60

80

100

120

140

0m 200m 400m

Jum

lah

indi

vidu

Jarak tepi

Hutan primer Hutan sekunder

3.02 2.94 2.982.94 2.92 2.83

0.83 0.85 0.80

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

0m 200m 400m

Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

Page 47: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

28

tidak berbeda nyata (χ2=0,32; df=2; P=0,85). Berdasarkan jumlah individu, lebih

banyak burung yang tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi meski tidak

berbeda nyata (χ2=1,70; df=2; P=0,43).

Gambar 11 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi.

Secara umum tidak terdapat penurunan atau peningkatan jumlah individu

burung yang tertangkap dengan bertambahnya jarak dari daerah tepi. Meskipun

demikian tercatat beberapa spesises mengalami penurunan jumlah yang tidak

nyata seiring dengan bertambahnya jarak dari tepi seperti tepus merbah sampah

Stachyris erythroptera (χ2=2,24; df=2; P=0,32) (Gambar 12).

0 20 40 60

Phasianidae

Columbidae

Cuculidae

Trogonidae

Alcedinidae

Picidae

Eurylaimidae

Pittidae

Pycnonotidae

Turdidae

Timaliidae

Sylviidae

Platysteiridae

Monarchidae

Dicaeidae

Nectariniidae

Dicruridae

Jumlah

Fam

ili

400 m

200 m

0 m

Page 48: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

29

Gambar 12 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi.

0 20 40 60

Rollulus rouloulChalcophaps indica

Cacomantis sonneratiiCacomantis sepulcralis

Surniculus lugubrisHarpactes diardii

Harpactes duvauceliiAlcedo meninting

Ceyx rufidorsaLacedo pulchella

Actenoides concretusSasia abnormisPicus mentalisPicus puniceus

Meiglyptes tukkiCymbirhynchus macrorhynchos

Pitta guajanaPycnonotus melanicterus

Pycnonotus eutilotusPycnonotus plumosus

Pycnonotus simplexPycnonotus brunneus

Pycnonotus erythrophtalmusCriniger phaeocephalus

Tricholestes criniger Enicurus leschenaulti

Pellorneum capistratumTrichastoma rostratum

Trichastoma bicolorMalacocincla malacense

Malacopteron affineMalacopteron cinereumMalacopteron magnumStachyris poliocephala

Stachyris maculataStachyris nigricollis

Stachyris erythropteraMacronous gularis

Macronous ptilosusOrthotomus atrogularis

Orthotomus sericeusOrthotomus ruficeps

Philentoma pyrhopterumHypothymis azurea

Dicaeum triginostigmaDicaeum cruentatum

Hypogramma hypogrammicumAethopyga siparaja

Arachnothera longirostraDicrurus paradiseus

400 m 200 m 0 m

Page 49: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

30

5.1.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi

Sebanyak 9 kategori guild tertangkap pada jarak 0m dan 200m, sedangkan

pada jarak 400m tertangkap sebanyak 10 kategori guild meskipun secara statistik

tidak berbeda nyata (χ2=0,07; df=2; P=0,96). Nilai keanekaragaman dan kekayaan

guild tertinggi terdapat pada jarak 200m memiliki dari tepi (Gambar 13).

Gambar 13 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’)

guild pada berbagai jarak dari tepi.

Pemakan serangga dan nektar (IN) dan pemakan buah di atas tajuk (TF),

mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari daerah tepi (Gambar 14).

Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori BGI dan TFGI yang mengalami

penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi, namun secara statistik tidak

berbeda nyata (Lampiran 5). Dari seluruh kategori guild, pemakan serangga dan

nekatar (IN) lebih menyukai daerah yang jauh dari tepi, sedangkan pemakan

serangga sambil melayang (FCI) lebih sering tertangkap pada daerah pertengahan

(200m dari tepi). Sebagian besar guild yang tertangkap tidak memiliki

kecenderungan penurunan atau peningkatan jumlah dengan bertambahnya jarak

dari tepi.

0.800.98 0.98

2.07 2.10 2.09

0.94 0.95 0.91

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

0m 200m 400m

Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

Page 50: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

31

Gambar 14 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi.

5.1.8. Lebar Relung

Dari seluruh spesies yang tertangkap hanya terdapat 3 spesies dengan relung

yang sangat lebar yaitu burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa, tepus

merbah-sampah Stachyris erythroptera dan pijantung kecil Arachnothera

longirostra, masing-masing bernilai 0,94; 0,89 dan 0,88 (Lampiran 6). Sebanyak

19 spesies merupakan spesies dengan lebar relung yang sempit (0,00). Namun

secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan lebar relung yang nyata di antara

spesies (χ2=37,17; df=49; P=0,89).

Berdasarkan kategori guild, kelompok pemakan vertebrata lain dan serangga

(CI) merupakan guild dengan relung paling lebar (Tabel 4). Kategori guild ini

tersusun dari spesies yang berasal dari famili Alcedinidae dan Picidae.

Kelompok lain dengan relung yang lebar ialah burung pemakan serangga dan

nektar (IN) dan burung pemakan serangga dan buah-buahan (IF). Sedangkan

kelompok pemakan buah di bagian tajuk (AF) merupakan guild dengan relung

paling sempit. Kelompok ini hanya terdiri dari satu spesies saja yaitu sempur

hujan sungai Cymbirhynchus macrorhynchos. Meskipun demikian tidak terdapat

perbedaan lebar relung yang nyata di antara kategori guild (χ2=1,13; df=9;

P=0,99).

05

101520253035404550

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Indi

vidu

Guild

0 m 200 m 400 m

Page 51: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

32

Tabel 4 Lebar relung berdasarkan kategori guild

No Kategori guild Kode guild

Lebar relung B Ba

1. Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 4,83 0,77 2. Pemakan serangga di bagian dahan dan

ranting pohon BGI 3,90 0,58

3. Pemakan serangga di daerah semak SFGI 4,13 0,63 4. Pemakan serangga di serasah atau lantai

hutan LGI 4,95 0,79

5. Pemakan serangga sambil melayang FCI 3,65 0,53 6. Pemakan buah di tajuk AF 1,60 0,12 7. Pemakan buah kecil yang berserakan di lantai

hutan TF 2,78 0,36

8. Pemakan serangga dan nektar IN 5,31 0,86 9. Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 5,39 0,88

10. Pemakan serangga dan buah-buahan IF 5,24 0,85

5.1.9. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Primer

Secara umum keanekaragaman spesies burung-burung di bawah tajuk di

hutan primer tidak terlalu tinggi. Namun dalam hal kemerataan spesies, komunitas

burung di hutan primer memiliki kemerataan spesies yang cukup tinggi (Tabel 5).

Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 32 spesies yang berasal dari 12

Famili dengan jumlah total individu sebanyak 138 individu. Spesies yang paling

sering tertangkap adalah pijantung kecil Arachnothera longirostra yaitu sebanyak

30 individu (χ2=210,29; df=31; P=0,00) dan terdapat 8 spesies yang hanya

tertangkap sekali saja (Lampiran 3).

Tabel 5 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan primer

Indeks Nilai Shannon (H') 3,00 Kemerataan (J) 0,87

Berdasarkan kategori kelimpahan sebanyak 17 spesies (53,13%) termasuk

ke dalam kategori jarang, 13 spesies (40,62%) ke dalam kategori tidak umum, dan

hanya 2 spesies (6,25%) yang masuk ke dalam kategori umum (χ2=11,31; df=2,

P=0,00). Jenis yang termasuk ke dalam kategori umum yaitu pijantung kecil

Arachnothera longirostra (30 individu) dan udang punggung-merah Ceyx

Page 52: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

33

rufidorsa (12 individu) (Lampiran 3). Sebanyak 12 spesies yang tertangkap di

hutan primer termasuk ke dalam kriteria spesies yang mendekati terancam punah.

Pada kategori famili, Timaliidae merupakan famili yang dominan

(χ2=384,32; df=16; P=0,00). Jumlah anggota famili ini yang tertangkap sebanyak

49 individu yang berasal dari 12 spesies (Gambar 15). Di sisi lain terdapat famili

dengan jumlah individu paling sedikit yaitu Phasianidae dan Dicruridae dengan

jumlah masing-masing sebanyak 1 individu.

Gambar 15 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan famili di hutan primer.

5.1.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer

Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 8 guild yang merupakan

pemakan serangga murni maupun campuran. Namun, secara spesifik komunitas

burung di hutan primer di dominasi oleh kelompok pemakan serangga di bagian

tajuk (TFGI) (Gambar 16) baik dalam jumlah spesies (χ2=18, df=9, P=0,04)

maupun individu (χ2=122,43; df=9; P=0,00). Dari seluruh kategori guild yang

terdapat di lokasi penelitian, sebanyak dua kategori guild tidak berhasil ditangkap

di hutan primer yaitu kategori burung pemakan buah di tajuk (AF) dan pemakan

buah yang berserakan di lantai hutan (TF).

0 20 40 60

PhasianidaeColumbidae

CuculidaeTrogonidae

AlcedinididaePicidae

EurylaimidaePittidae

PycnonotidaeTurdidae

TimaliidaeSylviidae

PlatysteiridaeMonarchidae

DicaeidaeNectariniidae

Dicruridae

Jumlah

Fam

ili

IndividuSpesies

Page 53: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

34

Gambar 16 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan primer.

5.1.11. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Primer

Nilai kekayaan spesies yang tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi,

begitu pula halnya dengan tingkat kemerataan spesies (Gambar 17). Jumlah

spesies yang tertangkap tidak mengalami kecenderungan penurunan jumlah yang

nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi (χ2=0,95; df=2; P=0,62) (Gambar 18).

Begitu pula halnya dengan jumlah individu yang tertangkap tidak terdapat

perbedaan jumlah yang nyata berdasarkan jarak dari tepi (χ2=1,63; df=2; P=0,44)

meskipun terdapat fakta penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak

tepi.

Gambar 17 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan

(J’) spesies burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

0

10

20

30

40

50

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Jum

lah

Guild

Individu Spesies

2.89

2.362.74

1.862.21

1.46

0.60 0.800.50

0.000.501.001.502.002.503.003.504.00

0m 200m 400m

Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

Page 54: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

35

Gambar 18 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan jarak dari tepi di

hutan primer.

Berdasarkan famili, tidak terdapat kecenderungan peningkatan atau

penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak dari tepi (Gambar 19).

Begitu pula halnya pada spesies, tidak terdapat spesies yang mengalami

peningkatan atau penurunan jumlah individu secara linear dengan bertambahnya

jarak tepi (Gambar 20).

Gambar 19 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

2215 18

58

46 48

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 m 200 m 400 m

Jum

lah

Jarak tepi

Spesies Individu

0 5 10 15 20 25

PhasianidaeCuculidae

TrogonidaeAlcedinidae

PicidaePittidae

PycnonotidaeTurdidae

TimaliidaePlatysteiridaeNectariniidae

Dicruridae

Individu

400 m 200 m 0 m

Page 55: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

36

Gambar 20 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan

primer. 5.1.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan

Primer

Kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 400m dari tepi dan terendah

pada jarak 0m dari tepi (Gambar 21). Jumlah guild yang tertangkap pada jarak 0m

dan 200m masing-masing 7 guild dan pada jarak 400m sebanyak 8 guild. Kategori

guild yang tidak terdapat pada jarak 0m adalah pemakan serangga sambil

melayang (FCI) sedangkan pada jarak 200m adalah pemakan serangga di daerah

semak.

0 5 10 15 20 25

Rollulus rouloulCacomantis sepulcralis

Surniculus lugubrisHarpactes duvaucelii

Ceyx rufidorsaActenoides concretus

Sasia abnormisPicus mentalisPicus puniceus

Meiglyptes tukkiPitta guajana

Pycnonotus eutilotusPycnonotus brunneusTricholestes criniger

Criniger phaeocephalusEnicurus leschenaulti

Pellorneum capistratumTrichastoma rostratum

Trichastoma bicolorMalacocincla malacense

Malacopteron affineMalacopteron cinereumMalacopteron magnumStachyris poliocephala

Stachyris maculataStachyris nigricollis

Stachyris erythropteraMacronous ptilosus

Philentoma pyrhopterumHypogramma hypogrammicum

Arachnothera longirostraDicrurus paradiseus

Jumlah

Spes

ies

400 m 200 m 0 m

Page 56: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

37

Gambar 21 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan guild

berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

Berdasarkan jumlah individu, kategori guild yang paling sering tertangkap

pada jarak 0m adalah pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) yaitu sebanyak 18

individu, sedangkan pada jarak 200m didominasi oleh pemakan serangga dan

nektar (19 individu), pada jarak 400m didominasi oleh IN dan TFGI masing-

masing 13 individu (Gambar 22). Dari 8 kategori guild yang tertangkap hanya

pemakan serangga di semak (SFGI) yang mengalami penurunan jumlah secara

nyata seiring bertambahnya jarak dari tepi (Lampiran 7).

Gambar 22 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan

primer.

Berdasarkan kategori guild, terdapat asosiasi antara guild dengan jarak dari

tepi (χ2=24,71; df=14; P=0,03). Pemakan serangga di serasah dan lantai hutan

0.92 1.07 1.15

1.751.58

1.81

0.90 0.81 0.93

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

0m 200m 400m

Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

02468

101214161820

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

indi

vidu

Guild

0 m 200 m 400 m

Page 57: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

38

(LGI) lebih sering tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi (Gambar 23).

Kondisi sebaliknya terjadi pada pemakan serangga di bagian semak (SFGI) dan

pemakan serangga di bagian ranting dan dahan (BGI) yang lebih sering

menggunakan daerah pada jarak 0m sebagai tempat beraktivitas.

Gambar 23 Proporsi guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

5.1.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 185 individu burung

yang berasal dari 31 spesies dan 15 famili. Berbeda dengan hutan primer

keanekaragaman spesies burung di hutan sekunder termasuk rendah, namun

memiliki kemerataan yang tinggi (Tabel 6). Pada tipe hutan ini pijantung kecil

Arachnothera longirostra mendominasi dengan jumlah individu sebanyak 78

individu (χ2=412,04; df=30; P=0,00).

Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan sekunder

Indeks Nilai

Shannon (H') 2,79 Kemerataan (J) 0,81

Berdasarkan kriteria kelimpahan, sebanyak 18 spesies (58,06%) masuk ke

dalam kategori jarang, 10 spesies (32,26%) tidak umum dan 3 spesies (9,68%)

dengan kategori umum. Sebanyak tiga spesies yang tertangkap di hutan sekunder

termasuk ke dalam kategori mendekati terancam punah yaitu Actenoides

concretus, Trichastoma rostratum dan Harpactes diardii.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Pers

enta

se

Guild

400m

200m

0m

Page 58: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

39

Nectariniidae merupakan famili dengan jumlah individu yang paling

melimpah di hutan sekunder (58 individu, Gambar 24). Berdasarkan jumlah

spesies, famili Pycnonotidae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak

(5 spesies). Famili lain yang memiliki jumlah individu dan spesies cukup banyak

adalah Timaliidae yang terdiri dari 4 spesies dan 31 individu. Keempat anggota

famili Timaliidae yang tertangkap di hutan sekunder (Stachyris erythroptera,

Macronous gularis, Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum)

merupakan spesies-spesies yang mampu beradaptasi terhadap pembukaan hutan.

Terdapat pula 3 famili yang hanya tertangkap dengan jumlah satu individu yaitu

Cuculidae, Platysteiridae dan Monarchidae (Lampiran 3).

Gambar 24 Jumlah spesies dan individu berdasarkan famili di hutan sekunder.

5.1.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 10 kategori guild

(Gambar 25). Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN)

merupakan kategori guild yang paling sering tertangkap (58 individu; 31,35%)

(χ2=31,05; df=9; P=0,00). Namun berdasarkan jumlah spesies maka kategori

pemakan serangga dan buah (IF) merupakan jumlah tertinggi (8 spesies; 22,58%)

namun tidak berbeda nyata (χ2=11,26; df=9; P=0,26).

0 10 20 30 40 50 60

PhasianidaeColumbidae

CuculidaeTrogonidae

AlcedinididaePicidae

EurylaimidaePittidae

PycnonotidaeTurdidae

TimaliidaeSylviidae

PlatysteiridaeMonarchidae

DicaeidaeNectariniidae

Dicruridae

Jumlah individu

Jumlah spesies

Page 59: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

40

Gambar 25 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan sekunder.

5.1.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Sekunder

Jumlah individu tidak mengalami peningkatan yang nyata dengan

bertambahnya jarak dari tepi (χ2=2,19; df=2; P=0,33) (Gambar 26). Begitu pula

halnya pada jumlah spesies yang tertangkap, tidak mengalami peningkatan yang

nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi. Nilai keanekaragaman spesies

tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi (Gambar 27).

Gambar 26 Jumlah individu dan spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

0

10

20

30

40

50

60

70

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Jum

lah

Guild

Individu Spesies

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0m 200m 400m

Jum

lah

Jarak tepi

Individu Spesies

Page 60: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

41

Gambar 27 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan

(J’) spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

Sebagian besar spesies yang tertangkap tidak mengalami peningkatan atau

penurunan jumlah individu yang linear dengan bertambahnya jarak dari tepi.

Pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering

tertangkap di seluruh jarak dari tepi. Selain itu terdapat pula spesies yang

mengalami peningkatan secara tidak nyata jumlah individu seiring bertambahnya

jarak dari tepi (misal: Lacedo pulchella, Hypogramma hypogrammicum). Kondisi

sebaliknya terjadi pada Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum yang

mengalami penurunan jumlah yang tidak nyata dengan bertambahnya jarak dari

tepi (Gambar 28).

2.412.60

2.322.56 2.73

2.43

0.85 0.90 0.80

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

0 m 200 m 400 m

Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

Page 61: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

42

Gambar 28 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan

sekunder.

Berdasarkan kategori famili, Nectariniidae merupakan famili yang paling

sering tertangkap pada seluruh jarak dari tepi (Gambar 29). Dari seluruh famili

yang tertangkap hanya Timaliidae yang mengalami penurunan jumlah individu

yang nyata dengan bertambahnya jarak tepi (χ2=6,41; df=2; P=0,04).

0 5 10 15 20 25 30

Chalcophaps indicaCacomantis sonneratii

Harpactes diardiiAlcedo meninting

Ceyx rufidorsaLacedo pulchella

Actenoides concretusSasia abnormisPicus mentalis

Cymbirhynchus macrorhynchosPitta guajana

Pycnonotus melanicterusPycnonotus plumosus

Pycnonotus simplexPycnonotus erythrophtalmus

Criniger phaeocephalusEnicurus leschenaulti

Pellorneum capistratumTrichastoma rostratumStachyris erythroptera

Macronous gularisOrthotomus atrogularis

Orthotomus sericeusOrthotomus ruficeps

Hypothymis azureaDicaeum triginostigma

Dicaeum cruentatumHypogramma hypogrammicum

Aethopyga siparajaArachnothera longirostra

Dicrurus paradiseus

400 m

200 m

0 m

Page 62: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

43

Gambar 29 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

5.1.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan

Sekunder

Nilai kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 200m dari daerah tepi

(Gambar 30). Meskipun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jumlah

guild yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi yaitu masing-masing 9 guild.

Gambar 30 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan

(J’) guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

1.08 1.120.99

1.52 1.56 1.56

0.69 0.71 0.71

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

0 m 200 m 400 m

Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

0 10 20 30 40

ColumbidaeCuculidae

TrogonidaeAlcedinidae

PicidaeEurylaimidae

PittidaePycnonotidae

TurdidaeTimaliideSylviidae

MonarchidaeDicaeidae

NectariniidaeDicruridae

Individu

Fam

ili

400 m 200 m 0 m

Page 63: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

44

Kategori guild pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami

penurunan seiring bertambahnya jarak dari tepi dan secara statistik berbeda nyata

(Gambar 31, Lampiran 8). Namun kondisi sebaliknya terjadi pada kategori

pemakan serangga dan vertebrata (CI) yang mengalami peningkatan dengan

bertambahnya jarak dari tepi.

Gambar 31 Kelimpahan individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

Terdapat asosiasi antara kategori guild dengan jarak dari tepi di hutan

sekunder (χ2=53,00; df=18; P=0,00). Kategori pemakan serangga di batang dan

dahan (BGI) lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi. Sedangkan

kategori pemakan serangga di serasah dan lantai hutan (LGI) dan pemakan

serangga di bagian tajuk lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi

(Gambar 32).

Gambar 32 Proporsi kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

05

10152025303540

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Indi

vidu

Guild

0 m 200 m 400 m

0102030405060708090

100

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Pers

enta

se

Guild

400m

200m

0m

Page 64: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

45

5.2. Pembahasan

5.2.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian

Sebagian besar hutan yang menjadi lokasi penelitian secara historis

merupakan areal hutan yang mengalami degradasi akibat pembalakan liar sebelum

ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 1992. Sebagian besar areal

yang dekat dengan permukiman secara nyata memiliki kondisi yang berbeda

dibandingkan dengan areal hutan yang jauh dari permukiman. Hal ini dapat

terlihat pada parameter vegetasi yang terdapat pada hutan primer dan hutan

sekunder.

Meskipun tidak terdapat data awal yang menggambarkan kondisi hutan

pasca pembalakan liar di dalam kawasan taman nasional, kondisi kepadatan

pohon di hutan primer dan hutan sekunder yang tidak berbeda nyata menunjukkan

terjadinya pemulihan hutan sekunder. Meskipun demikian terdapat faktor nyata

yang membedakan antara hutan primer dan sekunder, yaitu rendahnya nilai

tutupan tajuk di hutan sekunder. Tidak lengkapnya struktur tajuk di hutan

sekunder mengakibatkan nilai tutupan tajuk menjadi rendah. Di sisi lain hasil

pengukuran bukaan tajuk menunjukkan hutan sekunder lebih terbuka dibanding

hutan primer.

5.2.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian

Tingkat kekayaan spesies burung di bawah tajuk di lokasi penelitian

termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh

Novarino (2008) di wilayah Sipisang, Sumatera yang hanya memperoleh nilai

sebesar 2,42. Meskipun demikian dari segi keanekaragaman spesies hasil yang

diperoleh Novarino (2008) lebih tinggi yaitu 3,77. Perbedaan ini dapat terjadi

sebagai akibat perbedaan jumlah waktu pengoperasian jaring kabut. Pada

penelitian tersebut jaring kabut dioperasikan selama 51.120 jaring jam kabut.

Waktu pengoperasian jaring kabut yang lebih lama mengakibatkan lebih banyak

spesies yang tertangkap. Jika dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan

oleh Waltert et al. (2005) di Sulawesi dengan waktu pengoperasian jaring kabut

yang lebih lama yaitu 3400 jam jaring kabut, keanekaragaman spesies di Taman

Nasional Bukit Barisan (TNBBS) terlihat lebih tinggi. Perbedaan nilai indeks

tersebut selain disebabkan oleh perbedaan lama waktu pengoperasian jaring kabut,

Page 65: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

46

juga karena secara alami TNBBS memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi.

Menurut Novarino (2008), faktor yang mempengaruhi besaran indeks

keanekaragaman spesies di suatu lokasi antara lain: lamanya usaha penangkapan,

cara peletakan jaring kabut, kondisi vegetasi dan kekayaan jumlah spesies burung

pada masing-masing lokasi. Menurut Magurran (1988) perbedaan ukuran sampel

akan berpengaruh terhadap besaran indeks, yaitu semakin besar sampel yang

digunakan akan cenderung memiliki indeks yang tinggi.

Dominasi jumlah individu famili Nectariniidae di lokasi penelitian terjadi

karena penelitian dilaksanakan pada awal musim berbunga tumbuh-tumbuhan di

hutan. Famili Nectariniidae tersusun oleh spesies-spesies yang memanfaatkan

nektar sebagai sumber pakan. Dominasi famili Nectariniidae di dalam hutan juga

dijumpai oleh Sodhi et al. (2005b) pada penelitiannya di daerah Linggoasri,

Jawa Tengah. Jumlah pakan yang berlimpah berupa nektar memberikan

kesempatan bagi famili burung ini untuk meningkatkan populasinya. Menurut

Novarino (2008) dominasi Nectariniidae pada suatu habitat berkaitan dengan pola

daerah sebaran famili ini yang luas. Nectariniidae merupakan burung yang sangat

umum pada daerah permukiman, perkebunan dan hutan (MacKinnon et al. 1997).

Tingginya jumlah individu Nectariniidae yang tertangkap juga dapat

disebabkan oleh pertambahan jumlah individu baru pada akhir musim berbiak.

Novarino (2008), melaporkan bahwa individu-individu baru lebih banyak

tertangkap pada akhir musim penghujan. Pada waktu tersebut burung-burung

dewasa yang tertangkap juga umumnya memiliki brood patch yang merupakan

indikasi adanya aktivitas berbiak.

Di sisi lain, famili Timaliidae merupakan famili dengan jumlah spesies yang

paling banyak tertangkap. Timaliidae merupakan spesies yang beraktivitas pada

bagian strata tajuk bawah dan lantai hutan. Famili ini merupakan kelompok murni

pemakan serangga yang umumnya hidup di bagian bawah tajuk. Banyaknya

jumlah spesies ini juga menunjukkan ketersediaan artropoda yang melimpah pada

bagian lantai hutan. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Wong (1986) di hutan

Dipeterokarpa Malaysia. Kondisi hutan yang yang memiliki tingkat penutupan

tajuk yang tinggi merupakan habitat yang ideal bagi Timaliidae. Anggota famili

Page 66: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

47

ini merupakan spesies-spesies yang sangat sensitif terhadap gangguan berupa

pembukaan tajuk (Novarino 2008).

Penggunaan jaring kabut meskipun cukup efektif untuk mempelajari

kehidupan burung-burung semak yang pemalu, namun di sisi lain juga memiliki

bias. Alat ini terbukti tidak sepenuhnya efektif untuk menangkap beberapa spesies

yang cukup sering terlihat beraktivitas di hutan seperti tangkar kambing

Platysmurus leucopterus, pelatuk pangkas Blythipicus rubiginosus, dan sempur

hujan-darat Eurylaimus ochromalus (Lampiran 2). Burung-burung yang memiliki

tungkai pendek seperti angota famili Trogonidae biasanya sulit terjaring atau

mampu melepaskan diri setelah menabrak jaring. Pada beberapa kasus burung

yang tertangkap juga mampu untuk melepaskan diri dari jaring terutama sekali

yang berukuran besar seperti delimukan zamrud Chalcophaps indica (121g).

Ukuran jaring yang digunakan dalam penelitian ini ialah 30mm, dan sebagian

besar burung yang tertangkap memiliki bobot kurang dari 50g. Menurut Pardieck

dan Waide (1992) burung dengan bobot lebih dari 50g lebih mudah tertangkap

jika menggunakan jaring dengan ukuran mesh 36 mm, sedangkan burung dengan

bobot kurang dari 50g lebih mudah ditangkap menggunakan jaring dengan ukuran

mesh 30 mm. Studi lainnya juga melaporkan bahwa ukuran mesh jaring kabut

bias terhadap bobot dan ukuran tubuh (Lövei et al. 2001).

Pada daerah yang terbuka, penggunaan jaring juga rawan terhadap bias.

Jaring kabut yang tersinari oleh matahari menjadi lebih terlihat dan mudah

dikenali oleh burung. Akibatnya beberapa burung cenderung menghindar dari

lokasi pemasangan jaring kabut. Kondisi tersebut sangat sulit dihindari terutama

apabila pemasangan dilakukan tepat di bawah tajuk yang terbuka.

Burung-burung penghuni tajuk yang tidak pernah turun ke bawah juga akan

luput dari jaring kabut. Beberapa spesies yang tidak tertangkap jaring umumnya

adalah burung penghuni tajuk salah satunya adalah Treron capellei. Spesies ini

sering terlihat bertengger pada puncak tajuk pohon baik sendiri maupun

berkelompok dan sangat mudah diidentifikasi melalui suara yang sering

dikeluarkannya. Punai besar termasuk ke dalam spesies dengan kategori rentan

terhadap kepunahan (BirdLife-International 2009).

Page 67: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

48

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2002), menunjukkan bahwa

pemasangan jaring kabut pada bagian tajuk atas dan di bagian bawah tajuk

menghasilkan tingkat similaritas spesies yang rendah. Jaring kabut yang dipasang

pada bagian tajuk atas lebih sering menangkap burung yang hanya aktif di tajuk

atas seperti Cuculidae, Capitonidae, Eurylaimidae, Campephagidae,

Chloropseidae, Dicruridae dan Oriolidae. sedangkan jaring yang dipasang pada

bagian bawah hutan menangkap spesies-spesies yang hidup di bawah tajuk. Fakta

ini menunjukkan bahwa pemasangan jaring kabut pada bagian bawah tajuk

memiliki tingkat efektifitas penangkapan yang berbeda terhadap famili burung

tertentu.

Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan juga merupakan salah satu habitat

beberapa burung hutan yang bermigrasi (O'Brien & Kinnaird 1996). Namun pada

penelitian ini tidak satu pun burung hutan bermigrasi yang berhasil ditangkap. Hal

ini karena pengumpulan data dilakukan pada akhir musim migrasi burung. Namun

demikian di Sipisang Sumatera Barat, Novarino (2008) melaporkan bahwa burung

bermigrasi masih dapat dijumpai meskipun penelitian dilakukan di akhir musim

migrasi burung. Letak lokasi penelitian yang berbeda merupakan salah satu

penyebab perbedaan hasil tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Novarino

(2008) berlokasi pada bagian utara pulau Sumatera yang secara teoritis lebih dekat

dengan daerah asal burung-burung hutan yang bermigrasi. Rentang waktu

penelitian yang lama juga memungkinkan lebih banyak burung migrasi

tertangkap.

5.2.3. Keanekaragaman Spesies dan Struktur Vegetasi

Korelasi negatif antara jumlah individu dan tingkat kepadatan pohon

menggambarkan bahwa komposisi burung di lokasi penelitian lebih didominasi

oleh burung yang menyukai daerah tepi dan daerah terbuka (Novarino et al.

2002). Hasil penelitian ini berbeda dengan kesimpulan yang diperoleh oleh

Chettri (2005) pada penelitian yang dilakukan di Sikkim, India. Dalam

penelitiannya yang dilakukan di sepanjang jalan setapak di jalur pendakian

diperoleh fakta bahwa kepadatan burung berkorelasi positif terhadap tingkat

kepadatan pohon. Perbedaan ini dapat terjadi karena sebagian besar burung di

Sikkim merupakan jenis burung penghuni hutan yang sangat sensitif terhadap

Page 68: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

49

perubahan habitat. Selain itu perbedaan hasil ini juga disebabkan oleh adanya

perbedaan metode yang digunakan. Dalam penelitian tersebut Chettri (2005),

menggunakan metode penghitungan titik yang memungkinkanya untuk

mendeteksi seluruh spesies burung dari seluruh strata tajuk.

Meskipun terjadi peningkatan jumlah individu dengan menurunnya

kepadatan vegetasi, kondisi ini harus disikapi dengan hati-hati. Hal ini disebabkan

pada tingkatan tertentu kepadatan vegetasi yang rendah juga mengakibatkan

penurunan jumlah individu dan spesies di dalam hutan. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa penurunan kepadatan vegetasi sebagai akibat dari aktivitas

pembalakan hutan mengakibatkan penurunan jumlah spesies dan individu burung-

burung di dalam hutan (Thiollay 1999; 1997)

Peningkatan bukaan tajuk juga mengakibatkan peningkatan jumlah individu

yang menyukai daerah terbuka. Tajuk yang terbuka memicu peningkatan

pertumbuhan tumbuhan bawah yang menjadi habitat bagi burung-burung

penghuni semak yang tidak sensitif terhadap gangguan, seperti ciungair koreng

Macronous gularis. Dari 50 spesies burung yang tertangkap di lokasi penelitian,

hanya sebanyak 19 spesies yang merupakan murni penghuni hutan primer,

sedangkan sisanya merupakan burung penghuni hutan sekunder murni atau yang

bersifat oportunis (memanfaatkan dua tipe hutan). Fuller (2000) melaporkan

bahwa kehadiran gap di dalam hutan mempengaruhi kelimpahan burung yang

hidup di dalam hutan. Dalam penelitian tersebut Fuller (2000) menjumpai lebih

banyak burung pada gap hutan dibanding hutan tanpa gap.

Di sisi lain peningkatan bukaan tajuk dan penurunan tutupan tajuk juga

dapat mengakibatkan penurunan jumlah spesies terutama spesies yang sensitive

terhadap gangguan. Hal ini terlihat pada famili Timaliidae yang mengalami

penurunan jumlah spesies pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan

primer. Dari total 12 spesies anggota famili Timaliidae yang tertangkap di hutan

primer hanya 3 spesies saja yang berhasil ditangkap di hutan sekunder.

5.2.4.Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian

Tingginya kategori pemakan serangga dan nektar (IN) berkaitan dengan

bersamaannya waktu penelitian dengan awal musim bunga. Selain itu kondisi

Page 69: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

50

lokasi penelitian yang cukup lembab memungkinkan serangga berkembang

dengan baik karena banyaknya pucuk-pucuk daun muda yang merupakan pakan

kelompok serangga. Kategori guild IN yang mengandalkan dua sumberdaya

pakan (serangga dan nektar) memungkinkan kategori ini untuk menyesuaikan

kebutuhan pakan dengan kondisi ketersediaan pakan. Hasil ini tidak berbeda jauh

dengan Novarino (2008) pada penelitiannya di Sipisang Sumatera Barat.

Banyaknya anggota TFGI yang tertangkap menunjukkan bahwa pada bagian

tajuk merupakan daerah dengan kelimpahan artropoda yang tinggi. Sinar matahari

yang melimpah di bagian tajuk akan meningkatkan produktivitas pertumbuhan

pohon. Kondisi ini mengakibatkan lebih banyak serangga yang hidup pada bagian

tersebut dibandingkan dengan bagian lainnya. Hasil tersebut berbeda dengan hasil

yang diperoleh Wong (1986), dimana TFGI merupakan guild yang berada pada

urutan ke 2 setelah SFGI.

Meskipun pada penelitian ini tidak dilakukan pengumpulan kelimpahan

biji/buah vegetasi di bawah tajuk, banyaknya jumlah spesies dan individu burung

dapat mewakili gambaran ketersediaan pakan di lokasi penelitian. Komposisi

guild penyusun burung di lokasi penelitian yang di dominasi oleh pemakan

serangga baik fakultatif maupun obligat menunjukkan bahwa pada bagian bawah

tajuk, sumberdaya yang sangat umum tersedia adalah artropoda dan serangga.

Wong (1986) menyatakan bahwa jumlah individu di dalam sebuah guild

menggambarkan ketersediaan sumberdaya yang mendukungnya, sedangkan

jumlah spesies menggambarkan sejauh mana sumberdaya dapat dibagi dengan

baik. Oleh karena itu semakin banyak kategori guild di dalam suatu hutan

menunjukkan banyaknya ketersediaan sumberdaya yang mendukung kehidupan

burung di dalamnya.

5.2.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda

Tingginya kelimpahan artropoda pada hutan sekunder dibanding hutan

primer disebabkan oleh rendahnya tingkat penutupan tajuk dan tingginya bukaan

tajuk pada hutan sekunder. Kondisi tersebut memungkinkan untuk

berkembangnya tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sumberdaya pakan

artropoda. Nummelin dan Zilihona (2004) melaporkan hasil penelitian yang

Page 70: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

51

dilakukannya di Uganda bahwa kelimpahan individu artropoda pada hutan yang

mengalami suksesi setelah pembalakan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan

yang belum terganggu. Di sisi lain penelitian yang dilakukan Uehara-Prado et al.

(2009) juga melaporkan bahwa dalam hal keanekaragaman spesies, hutan yang

tidak terganggu memiliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dibanding

hutan yang mengalami pembalakan. Meskipun demikian pada penelitian tersebut

tidak diperoleh data mengenai perubahan kondisi tajuk di lokasi penelitian. Hutan

yang mengalami pembalakan pada umumnya mengalami peningkatan bukaan

tajuk dan penurunan luas bidang dasar tumbuhan (Thiollay 1997).

Kehadiran areal perkebunan di sekitar hutan juga memungkinkan

penambahan individu yang berasal dari kebun ke dalam hutan. Meskipun

demikian penambahan individu yang terjadi dapat saja terjadi akibat adanya

spesies bukan asli yang berasal dari areal perkebunan. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Uehara-Prado et al. (2009) pada hutan yang mengalami gangguan

akibat aktivitas manusia menunjukkan bahwa penambahan individu pada hutan

terganggu lebih disebabkan oleh kehadiran spesies bukan asli.

Sebagian besar spesies penyusun komunitas burung di lokasi penelitian

merupakan spesies pemakan serangga, kondisi ini mengakibatkan burung

cenderung untuk berkumpul pada daerah yang memiliki kelimpahan serangga

yang tinggi. Kondisi ini terlihat dari tingginya nilai korelasi antara jumlah

individu burung terhadap populasi artropoda. Meskipun demikian peningkatan

jumlah artropoda tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies yang tertangkap.

Keberadaan individu burung di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan sumberdaya pakan (Blake & Loiselle 1991; Wong 1986). Jenis-jenis

burung pemakan serangga akan mengeksploitasi daerah-daerah yang memiliki

kelimpahan serangga cukup tinggi, maka tak heran komposisi burung pemakan

serangga lebih banyak tertangkap pada hutan sekunder yang berbatasan dengan

perkebunan. Menurut Wong (1986), besarnya jumlah individu pada suatu guild

berkorelasi dengan sumberdaya yang dibutuhkan oleh guild tersebut.

Page 71: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

52

5.2.6.Keanekaragaman Spesies Berdasarkan Jarak dari Tepi

Meratanya kelimpahan burung yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi

menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya pendukung kehidupan burung

tersebar merata pada seluruh titik pengamatan. Hal ini terjadi karena tingkat

gangguan yang pada lokasi penelitian masih dalam tingkat rendah hingga

menengah. Menurut Meffe & Carrol (1994), gangguan dengan tingkatan rendah

hingga menengah pada suatu ekosistem akan meningkatkan kekayaan spesies

yang hidup di dalamnya.

Tipe daerah tepi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan bagian hutan juga

mengakibatkan tidak adanya fluktuasi sumberdaya yang drastis. Akibatnya

spesies-spesies burung yang hidup di dalam hutan tidak mengalami

kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah dengan bertambahnya jarak

tepi (Ries et al. 2004). Penelitian yang dilakukkan oleh (Berry 2001)

menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah individu di daerah tepi semata-mata

disebabkan oleh adanya peluang yang lebih besar dalam memperoleh pakan

dibandingkan oleh adanya perubahan struktur vegetasi dan iklim mikro.

5.2.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi

Tingginya nilai indeks keanekaragaman guild pada jarak 400m,

menggambarkan bahwa burung-burung di lokasi penelitian memberi respon

negatif terhadap kehadiran habitat yang mengalami modifikasi. Secara umum

kategori guild murni (pemakan serangga) mengalami peningkatan pada daerah

tepi. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya peningkatan jumlah serangga

pada titik tersebut. Kondisi ini ini berbeda halnya pada kategori guild campuran

(IN dan CI) yang tidak terlalu mengandalkan serangga sebagai sumberdaya

makan.

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu di setiap jarak

tepi menggambarkan bahwa efek tepi tidak terlihat nyata pada lokasi penelitian.

Kondisi serupa juga dilaporkan oleh Berry (2001) pada penelitiannya di negara

bagian Victoria, Australia. Peningkatan jumlah individu yang terjadi lebih

disebabkan peningkatan kesempatan untuk memperoleh makanan yang lebih besar

pada daerah tepi karena adanya pertemuan dua tipe habitat yang berbeda.

Page 72: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

53

5.2.8. Lebar Relung

Faktor yang mempengaruhi lebar relung suatu spesies adalah kemampuan

adaptasi terhadap kondisi lingkungan dalam hal ini termasuk kemampuan adaptasi

terhadap tipe makanan dan habitat. Berdasarkan tipe sumberdaya makan, burung

udang punggung-merah mampu mengeksploitasi sumberdaya yang cukup

beragam. Burung ini merupakan tipe pemakan vertebrata dan serangga yang

populasinya cukup melimpah di hutan. Keragaman sumberdaya pendukung suatu

spesies akan menentukan kemampuan burung tersebut dalam mengganti suatu

sumberdaya yang jumlahnya terbatas dengan jumlah yang lebih melimpah.

Spesies tepus merbah-sampah, meskipun merupakan pemakan serangga

murni, agaknya mampu beradaptasi terhadap segala kondisi lingkungan.

Meskipun hanya didukung oleh satu tipe sumberdaya makanan, namun burung ini

memiliki variasi habitat yang beragam. Burung ini selain memanfaatkan hutan

primer dan sekunder juga sering teramati menggunakan areal perkebunan sebagai

tempat mencari makan. Hal serupa juga terjadi pada pijantung kecil yang mampu

mengeksploitasi semua tipe habitat yang ada. Suplai bunga yang berfluktuatif di

hutan memaksa spesies ini untuk mengeksploitasi seluruh tipe habitat. Selain di

hutan, burung ini juga dijumpai di areal perkebunan dan terbuka lainnya.

Burung yang termasuk ke dalam kategori guild campuran (IN, CI dan IF)

merupakan burung yang didukung oleh dua tipe sumberdaya makan. Ketiga

kategori guild ini mampu beradaptasi terhadap ketersediaan makan yang

berfluktusi di dalam hutan dengan cara memanfaatkan dua tipe makanan yang

berbeda. Craig & Beal (2001) menyatakan bahwa ukuran lebar relung suatu

spesies dipengaruhi oleh cara menggunakan sumberdaya pendukung. Burung

yang bersifat generalis akan memiliki relung yang lebar karena mampu

memanfaatkan spektrum sumberdaya yang luas.

5.2.9. Keanekaragaman Famili dan Spesies di Hutan Primer

Tingginya jumlah individu dan spesies Timaliidae yang tertangkap di hutan

primer berkaitan dengan perilaku mencari makan spesies ini di dalam hutan.

Sebagian besar anggota Timaliidae merupakan spesies yang hidup pada semak

dan tumbuhan bawah (MacKinnon et al. 1997). Selain itu kebiasaan burung ini

Page 73: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

54

yang bergerak di dalam kelompok mengakibatkan seringnya individu famili ini

tertangkap.

Sedikitnya jumlah Phasianidae yang tertangkap berkaitan dengan perilaku

burung ini dalam mencari makan. Puyuh sengayan merupakan jenis burung yang

beraktivitas dengan cara berjalan mengendap-endap di lantai hutan. Sehingga

burung ini sulit tertangkap karena jaring yang dipasang pada ketinggian minimum

20cm. Selain itu ukuran tubuh famili Phasianidae yang besar menjadikannya sulit

untuk tertangkap. Begitu pula halnya dengan srigunting batu Dicrurus paradiseus

yang sangat mengandalkan bukaan hutan sebagai tempat mencari makan. Oleh

karena itu pada hutan-hutan yang rapat spesies ini mengalami kesulitan untuk

mencari makan dengan cara menyambar mangsa dari tenggerannya.

Tingginya keanekaragaman spesies di hutan primer disebabkan oleh

beberapa faktor terkait yaitu tingginya kepadatan vegetasi, strata tajuk yang

mempengaruhi tingkat bukaan dan tutupan tajuk. Vegetasi hutan primer yang

relatif padat memberikan kesempatan bagi burung-burung yang sensitif terhadap

gangguan, untuk berkembang dan hidup dengan nyaman. Vegetasi hutan yang

rapat juga memungkinkan tumbuhnya aneka liana yang menyediakan habitat

mikro bagi artropoda yang pada akhirnya menyediakan pakan bagi komunitas

burung. Di sisi lain hadirnya bukaan tajuk pada hutan primer juga memberikan

kesempatan bagi burung yang menyukai daerah terbuka untuk hidup. Hadirnya

bukaan tajuk memberikan kesempatan bagi vegetasi yang tertekan untuk

berkembang. Kondisi ini akan menguntungkan bagi aneka burung yang hidup

dengan memanfaatkan semak dan tumbuhan bawah. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies burung di suatu hutan berkaitan

dengan tingkat kepadatan pohon (Chettri et al. 2005), volume vegetasi (Mills et

al. 1991) dan kompleksitas stuktur tajuk (Pearson 1975).

5.2.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer

Kelompok TFGI mencari makan dengan mengeksploitasi serangga yang

hidup pada permukaan daun. Minimnya semak belukar dan penetrasi cahaya

matahari yang tidak mencapai lantai hutan, mengakibatkan serangga lebih banyak

aktiv di dedaunan. Dari kategori guild yang ada, hanya TFGI yang berhasil

dengan baik memanfaatkan kondisi ini.

Page 74: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

55

Kategori pemakan serangga di batang dan dahan (BGI) merupakan guild

dengan jumlah individu paling sedikit tertangkap. Meskipun demikian salah satu

anggota guild ini yaitu caladi badok Meiglyptes tukki merupakan jenis yang cukup

cukup sering terlihat dan terdengar suaranya, namun sayangnya jenis ini tidak

terlalu sering tertangkap.

Meskipun pada hutan primer kategori pemakan buah di bagian tajuk (AF)

dan pemakan buah yang berserakan di lantai hutan (TF) tidak berhasil ditangkap,

kenyataannya kategori ini dapat dengan mudah dijumpai di hutan primer.

Ketiadaan kategori ini lebih disebabkan burung-burung dengan kategori AF lebih

sering mencari makan pada bagian tajuk-tajuk pohon dan sangat jarang turun

hingga ke bawah tajuk.

Kategori guild hutan primer yang disusun oleh kelompok pemakan serangga

murni maupun campuran merupakan fenomena yang umum di beberapa lokasi

(Novarino 2008; Wong 1986). Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya

pakan yang lebih didominasi serangga dibandingkan dengan buah atau nektar.

Wong (1986) juga menambahkan bahwa kelimpahan serangga lebih stabil

dibandingkan dengan kelimpahan buah dan nektar, sehingga populasi burung

pemakan serangga relatif lebih stabil dibandingkan dengan pemakan buah atau

nektar.

5.2.11.Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Primer

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu dan spesies

yang tertangkap pada berbagai jarak dari tepi menunjukkan kehadiran jalan

setapak tidak memberikan efek yang nyata bagi keanekaragaman spesies burung.

Hal ini terjadi karena tidak adanya perubahan yang nyata terhadap struktur

vegetasi (kepadatan vegetasi, tutupan dan bukaan tajuk) maupun kelimpahan

serangga pada berbagai jarak dari tepi. Kondisi tajuk pohon yang tetap terhubung

juga tidak mengakibatkan perubahan iklim mikro yang signifikan pada daerah

tepi. Oleh karena itu pembangunan jalan di dalam hutan, sepanjang tidak

mengakibatkan terputusnya tajuk dan keutuhan hutan hanya memberi dampak

yang kecil bagi keanekaragaman spesies burung yang hidup di dalamnya.

Page 75: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

56

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Goosem (2007) mengenai

dampak negatif kehadiran jalan pada hutan hujan tropika. Hasil penelitian yang

dilakukannya menunjukkan bahwa kehadiran jalan dapar mengakibatkan

peningkatan laju kematian, predasi dan meningkatnya kepadatan individu pada

daerah tepi. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena adanya perbedaan bentuk

dan intensitas penggunaan jalan. Penelitian yang dilakukan oleh Goosem (2007)

terfokus pada hutan yang terfragmentasi oleh kehadiran jalan raya yang bersifat

memutus keutuhan tajuk pohon. Kehadiran jalan raya juga mengakibatkan

perubahan iklim mikro yang nyata pada bagian hutan yang berdampingan

langsung dengan jalan raya.

5.2.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan

Primer

Penurunan jumlah SFGI yang tertangkap pada bagian dalam hutan

disebabkan oleh berkurangnya semak-semak yang menjadi habitat bagi kategori

guild ini. Penutupan tajuk yang meningkat pada jarak 400m dari daerah tepi

(Gambar 5) mengakibatkan berkurangnya semak dan tumbuhan bawah yang

hidup di lantai hutan. Di sisi lain, semak dan tumbuhan bawah merupakan habitat

bagi kategori guild SFGI. Kondisi berbeda terjadi pada LGI yang meningkat

pada jarak 400m. Kondisi tajuk yang tertutup meningkatkan volume serasah di

lantai hutan yang tidak terdekomposisi. Hal ini mengakibatkan meningkatnya

jumlah artropoda yang hidup di lantai hutan yang dibutuhkan bagi kategori guild

LGI.

Perbedaan respon kategori guild terhadap kehadiran daerah tepi sangat

tergantung pada tingkat sensitivitas terhadap gangguan (Dale et al. 2000),

preferensi habitat dan makanan yang mendukungnya (Gates & Giffen 1991). Pada

penelitiannya di hutan yang ditebang di Uganda, Dale et al. (2000) melaporkan

bahwa kepadatan vegetasi dan penutupan tajuk tidak memberi pengaruh terhadap

tingkat kepadatan spesies di daerah tepi. Hal serupa juga dilaporkan oleh Berry

(2001) yang menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah individu pada derah tepi

lebih disebabkan tersedianya kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh

makanan pada daerah tersebut.

Page 76: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

57

5.2.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder

Famili dan spesies yang tertangkap di hutan sekunder merupakan burung-

burung yang menyukai daerah terbuka seperti famili Sylviidae yang terdiri dari

Orthotomus ruficeps, O.atrogularis dan O. sericeus. Hal ini terkait dengan

struktur vegetasi hutan sekunder yang lebih terbuka. Germaine et al. (1997)

melaporkan bahwa kehadiran bukaan tajuk pada hutan akan meningkatkan

keanekaragaman spesies dan peningkatan jumlah individu, selain itu juga akan

mengakibatkan kehadiran spesies yang menyukai daerah terbuka dan tepi.

Tingginya famili Nectariniidae yang tertangkap berkaitan dengan hadirnya daerah

perkebunan yang bersebelahan dengan hutan. Adanya perkebunan di sekitar hutan

mampu menyediakan makanan yang melimpah bagi famili ini. Anggota famili

Nectariniidae seringkali teramati terbang mengunjungi daerah perkebunan.

Rendahnya individu famili Dicaeidae yang tertangkap berkaitan dengan

kebiasaan anggota famili ini yang menggunakan tajuk tengah dan atas hutan

sekunder sebagai tempat mencari makan. Semua anggota famili ini tertangkap

pada shelf teratas jaring kabut. Selain itu waktu penangkapan burung yang terjadi

pada siang hari menunjukkan bahwa famili ini pada siang hari menggunakan

strata hutan yang rendah untuk menghindari panas matahari. Selain itu makanan

utama famili ini yang berupa nektar, menyebabkan mereka sangat jarang turun

hingga ke bagian bawah tajuk.

5.2.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder

Komposisi burung anggota kategori IN dan IF merupakan burung-burung

yang sangat umum di daerah perkebunan (misal: Pycnonotus simplex dan

Dicaeum trigonostigma), hutan sekunder (misal: Pycnonotus erythropthalmus dan

P. melanicterus) dan burung generalis (misal: Arachnothera longirostra). Burung-

burung yang merupakan penghuni areal perkebunan umumnya memanfaatkan

bukaan-bukaan hutan (forest gap) yang kaya akan serangga sebagai tempat

mencari makan.

Sedikitnya jumlah guild AF yang tertangkap berkaitan dengan perilaku

burung ini yang lebih sering mengeksploitasi tajuk menengah ke atas di

bandingkan tajuk bawah. Pada bagian tajuk menengah ke atas lebih banyak

Page 77: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

58

tersedia makanan berupa buah-buahan yang diperlukan. Akibatnya burung-burung

tersebut sangat jarang turun ke bagian bawah tajuk. Hal serupa juga dilaporkan

oleh Novarino et al. (2002) pada penelitiannya di hutan sekunder Sipisang,

Sumatera Barat.

Kasus yang berbeda terjadi pada guild TF yang memanfaatkan buah-buahan

yang berserakan di lantai hutan sebagai makanan. Meskipun burung ini

menggunakan daerah di bawah tajuk sebagai tempat mencari makan, bobot dan

ukurannya yang besar mengakibatkan kelompok ini dengan mudah melepaskan

diri dari jaring kabut karena bobot. Faktor lain yang juga berpengaruh pada

rendahnya jumlah TF yang tertangkap adalah kelimpahannya yang rendah secara

alami (Novarino 2008; Wong 1986).

Selain itu kategori TF umumnya tertangkap pada jaring kabut yang

dioperasikan berdekatan dengan sungai. Pada musim kemarau guild TF

penyebaran burung ini sangat terbatas pada daerah-daerah yang memiliki aliran

sungai. Oleh karena itu burung ini sangat jarang tertangkap pada plot-plot yang

terletak jauh dari sungai.

5.2.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di

Hutan Sekunder

Tingginya jumlah Nectariniidae yang tertangkap di hutan sekunder

berkaitan dengan kehadiran areal perkebunan yang berdampingan dengan hutan.

Kondisi ini mengakibatkan melimpahnya pakan berupa nektar yang tersedia di

areal perkebunan. Kondisi tersebut dapat terlihat dari melimpahnya Nectariniidae

pada seluruh jarak dari tepi.

Waktu penelitian yang dilakukan bertepatan dengan akhir musim penghujan

dan awal musim berbunga tumbuhan hutan juga merupakan salah satu faktor yang

mengakibatkan melimpahnya famili Nectariniidae di hutan sekunder. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Novarino (2008) di Sipisang diperoleh fakta

bahwa terdapat peningkatan jumlah individu spesies pemakan nektar di akhir

mudim penghujan. Tingginya jumlah Nectariniidae yang tertangkap di hutan

sekunder juga dilaporkan pada penelitian lain baik di Sumatera (Novarino 2008)

dan Jawa (Sodhi et al. 2005b). Fakta ini juga berkaitan dengan penyebaran famili

Page 78: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

59

Nectariniidae yang luas dan umum pada banyak tipe habitat (MacKinnon et al.

1997).

Pada tingkat spesies, kehadiran areal perkebunan juga menyediakan pakan

yang melimpah bagi pijantung kecil Arachnothera longirostra yang

mengakibatkan spesies ini sangat melimpah pada seluruh jarak dari tepi. Kondisi

daerah tepi yang tidak terlalu jauh berbeda dan merupakan pertemuan dua buah

sumberdaya pakan mengakibatkan peningkatan kelimpahan spesies di lokasi

tersebut. Ries et al. (2004), menyatakan bahwa pada daerah yang merupakan

pertemuan dua buah habitat memiliki kemungkinan terjadinya peningkatan

kelimpahan spesies dan individu pada lokasi yang menjadi pertemuan atau juga

tidak terjadi peningkatan maupun penurunan kelimpahan.

Penurunan jumlah individu famili Timaliidae yang tertangkap pada jarak 0m

dari daerah tepi memberi dugaan hadirnya efek tepi pada hutan sekunder. Hasil

serupa juga diperoleh pada penelitian yang dilakukan Dale et al. (2000) di

Uganda. Pada penelitian tersebut Dale et al. (2000) melaporkan adanya penurunan

jumlah individu burung di daerah tepi. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa

efek tepi juga sangat mungkin terjadi pada hutan sekunder. Sebelumnya efek tepi

diyakini hanya terjadi pada hutan primer saja.

5.2.16.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan

Sekunder

Dari seluruh kategori guild, kategori pemakan serangga dan nektar (IN) dan

pemakan serangga sambil melayang (FCI) mengalami peningkatan seiring

bertambahnya jarak dari tepi. Berkurangnya jumlah kategori IN yang tertangkap

pada daerah yang berdekatan dengan perkebunan merupakan sebuah fenomena

yang masih belum dipahami. Pada kondisi normal kategori ini akan berkumpul

pada daerah dimana sumberdaya makanan berupa nektar dan serangga melimpah

(Novarino 2008). Kategori FCI tersusun dari spesies yang merupakan penghuni

hutan sekunder, beberapa di antaranya merupakan spesies yang tidak terlalu

adaptif terhadap perubahan habitat seperti Hypotimis azurea dan Harpactes

diardii. Spesies-spesies tersebut lebih cenderung untuk menghindar dari habitat

yang mengalami modifikasi dalam hal ini areal perkebunan.

Page 79: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

60

Peningkatan jumlah inividu TFGI di daerah tepi dapat terjadi karena di

hutan sekunder kategori guild ini disusun oleh spesies-spesies yang sangat adaptif

terhadap perubahan habitat yaitu Trichastoma rostratum, Stachyris erythroptera,

Macronous gularis dan Cacomantis sonneratii. Ketiga spesies ini juga

memanfaatkan areal perkebunan sebagai habitat mencari makan.

5.2.17. Perbandingan Hutan Primer dan Sekunder

5.2.17.1. Keanekaragaman Famili dan Spesies

Tingkat kekayaan dan keanekaragaman spesies di hutan sekunder lebih

rendah dibandingkan dengan hutan primer. Namun demikian hutan sekunder

memiliki tingkat dominansi yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan penurunan

jumlah spesies anggota suatu famili di hutan sekunder mengalami kompensasi

berupa peningkatan jumlah individu (misal Timaliidae dan Pycnonotidae).

Akibatnya pada hutan sekunder terjadi dominansi beberapa spesies yang

umumnya adaptif terhadap daerah terbuka.

Jumlah famili yang tertangkap di hutan primer dan hutan sekunder secara

statistik tidak berbeda nyata (χ2=0,142; df=1; P=0,71). Di antara 17 famili yang

tertangkap terdapat 2 famili yang mengalami penurunan jumlah individu pada

hutan sekunder yaitu Picidae dan Timaliidae (Lampiran 9). Penurunan jumlah

individu Picidae yang tertangkap berkaitan dengan perilaku famili ini yang

mencari makan pada batang dan pohon. Kepadatan pohon di hutan sekunder yang

lebih rendah dibandingkan hutan primer mengakibatkan burung-burung familii

Picidae kesulitan untuk mencari makanan berupa serangga. Penurunan kepadatan

populasi famili Picidae pada hutan sekunder juga dilaporkan oleh Lammertink

(2004) pada penelitiannya di hutan dataran rendah Kalimantan yang terdegradasi.

Lambert & Collar (2002) juga telah mengidentifikasi beberapa anggota famili

Picidae sebagai spesies yang rawan terhadap fragmentasi dan pembalakan.

Penurunan jumlah famili Timaliidae (spesies dan individu) di hutan

sekunder diduga berkaitan dengan rendahnya bukaan tajuk dan tutupan tajuk di

hutan sekunder. Sebagian besar anggota famili Timaliidae memanfaatkan daerah

tajuk sebagai habitat mencari makan. Tutupan tajuk yang rendah dan bukaan yang

tinggi akan menyulitkan burung ini dalam mencari makan. Beberapa spesies

Page 80: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

61

anggota Timaliidae yang sensitif terhadap fragmentasi hutan dan pembalakan

menghilang dari hutan sekunder. Namun spesies-spesies yang adaptif terhadap

fragmentasi dan pembalakan meningkat jumlahnya seperti Macronous gularis.

Penurunan jumlah famili Timaliidae pada hutan sekunder juga dilaporkan oleh

Wong (1986) pada penelitiannya di hutan dipterokarpa Malaysia.

Dari seluruh famili yang tertangkap Phasianidae dan Platyseiridae hanya

dijumpai di hutan primer, sedangkan Columbidae, Sylviidae, Eurylaimidae,

Monarchidae dan Dicaeidae hanya tertangkap di hutan sekunder (Gambar 33).

Secara keseluruhan terdapat asosiasi antara tipe hutan dengan famili burung yang

hidup di dalamnya (χ2=56,42; df=16; P=0,00).

Gambar 33 Proporsi jumlah famili di hutan primer dan sekunder.

Keterangan: Phas:Phasianidae, Colu:Columbidae, Cucu:Cuculidae, Trog:Trogonidae, Alc:Alcedidnidae, Pic:Picidae, Eur:Eurylaimidae, Pitt:Pittidae, Pyc:Pycnonotidae, Tur:Turdidae, Tim:Timaliidae, Syl:Sylviidae, Plat:Platysteiridae, Mona:Monarchidae, Dic:Dicaeidae, Nec:Nectariniidae, Dica:Dicaeidae, Dicr:Dicruridae

Jumlah spesies yang tertangkap pada hutan primer tidak memiliki perbedaan

yang nyata dengan hutan sekunder (χ2=0,016; df=1; P=0,899). Fakta ini

menunjukkan bahwa hutan sekunder memiliki nilai penting yang sama penting

dengan hutan primer dalam pelestarian keanekaragaman spesies burung. Hasil ini

tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Waltert (2004) di Sulawesi

dan Newmark (2006) di Tanzania pada komunitas burung di hutan primer dan

sekunder. Komunitas burung yang tertangkap di hutan primer di dominasi oleh

burung yang menyukai daerah tengah hutan dan daerah tepi. Adapun komunitas

0102030405060708090

100

Phas

Col

u

Cuc

u

Trog Alc Pic

Eur

Pitt

Pyc

Tur

Tim Syl

Plat

Mon

a

Dic

Nec Dic

Pers

en

FamiliHutan Sekunder Hutan Primer

Page 81: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

62

burung yang tertangkap di hutan sekunder merupakan perpaduan antara spesies

yang menghuni daerah tengah hutan, burung daerah tepi dan burung daerah

terbuka (Novarino et al. 2002).

Secara keseluruhan keanekaragaman spesies (H’) dan kemerataan spesies

(E) di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Pada hutan

sekunder memiliki nilai kemerataan spesies yang lebih rendah dibandingkan

dengan hutan primer. Kehadiran areal perkebunan di tepi hutan sekunder

mengakibatkan peningkatan populasi spesies-spesies yang menyukai daerah

terbuka.

Jika dilakukan perbandingan berdasarkan jumlah individu, hutan sekunder

memiliki jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer

(χ2 =26,83; df=1; P=0,00). Tingginya individu yang tertangkap di hutan sekunder

dapat dimungkinkan karena adanya penambahan individu yang berasal dari famili

Sylviidae, Eurylaimidae dan Dicaeidae yang menyukai daerah terbuka. Lokasi

hutan sekunder yang berdekatan dengan perkebunan mengakibatkan penambahan

individu dan spesies yang berasal dari kebun (Novarino et al. 2002). Kondisi

hutan yang terbuka juga mengkibatkan hadirnya spesies-spesies yang menyukai

daerah terbuka (Germaine et al. 1997).

Pada hutan primer secara umum memiliki jumlah individu yang lebih

merata dibandingkan pada hutan sekunder. Pada tipe hutan ini hanya dua spesies

yang memiliki kelimpahan tinggi yaitu burung pijantung kecil Arachnothera

longirostra (21,74%) dan burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa (8,70%)

(Lampiran 3).

Pada hutan sekunder burung pijantung kecil Arachnothera longirostra,

cinenen merah Orthotomus sericeus dan burung udang punggung-merah Ceyx

rufidorsa mendominasi dengan jumlah masing-masing 25,95%, 11,89% dan

7,57%. Hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh Novarino et al.

(2002) pada penelitiannya di Sipisang Sumatera Barat. Meskipun demikian pada

penelitian tersebut cinenen merah bukan termasuk spesies dengan jumlah yang

melimpah.

Page 82: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

63

5.2.17.2. Kategori Guild

Jika dilakukan perbandingan berdasarkan kategori guild antara hutan primer

dan sekunder, terdapat 2 kategori guild yang mengalami penurunan jumlah

individu di hutan sekunder (BGI dan TFGI), namun hanya TFGI yang secara

statistik mengalami penurunan nyata (Lampiran 10). Adapun kategori guild

lainnya mengalami peningkatan jumlah individu secara nyata (AF, FCI, IF, IN,

LGI dan SFGI).

Berdasarkan proporsi jumlah individu, kelompok burung pemakan serangga

di bagian tajuk (TFGI) merupakan kelompok yang berasosiasi dengan hutan

primer (Gambar 34). Kelompok TFGI terdiri dari spesies yang berasal dari famili

Timaliidae dan Cuculidae. Famili Timaliidae merupakan famili dengan jumlah

spesies dan individu terbanyak di hutan primer dan sekunder. Kategori lainnya

yang memiliki proporsi tinggi di hutan primer adalah kategori pemakan serangga

di bagian dahan dan ranting pohon (BGI). Meskipun demikian jumlah kelompok

BGI yang tertangkap relatif sedikit (10 individu).

Gambar 34 Proporsi jumlah individu burung pada setiap guild.

Pada hutan sekunder kelompok pemakan buah di bagian tajuk (AF) dan

pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan (TF) memiliki proporsi

jumlah yang tinggi (100%). Kelompok AF diwakili oleh sempur-hujan sungai

Cymbirhynchus macrorhynchos dan TF diwakili oleh delimukan zamrud

Chalcophaps indica. Meskipun demikian kedua jenis ini merupakan spesies

dengan kelas kelimpahan jarang dan hanya tertangkap di hutan sekunder.

0102030405060708090

100

LGI TFGI FCI CI BGI IF SFGI IN AF TF

Pers

en

GuildHutan Sekunder Hutan Primer

Page 83: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

64

Kategori guild lainnya yang memiliki proporsi cukup besar di hutan

sekunder adalah pemakan serangga dan nektar (IN). Anggota kelompok ini adalah

famili Nectarniidae yang terdiri dari tiga spesies yaitu pijantung kecil

Arachnothera longirostra, burung madu-rimba Hypogramma hypogrammicum

dan burung madu sepah-raja Aetopyga siparaja (Lampiran 3). Secara keseluruhan

terdapat hubungan yang nyata antara kategori guild dengan tipe hutan (χ2=24,36;

df=9; P=0,00).

5.2.17.3. Kesamaan Komunitas

Dari seluruh spesies yang tertangkap, sebanyak 19 spesies (38%) hanya

tertangkap di hutan primer dan sebanyak 18 spesies (36%) hanya di hutan

sekunder, sedangkan sisanya sebanyak 13 spesies (26%) tertangkap di dua tipe

hutan (Lampiran 11). Oleh karena itu kedua tipe hutan memiliki tingkat

similaritas spesies burung yang sangat rendah (Sj=0,26).

Rendahnya tingkat similaritas spesies disebabkan oleh perbedaan komposisi

dan struktur vegetasi yang terdapat di hutan primer dan sekunder. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa struktur dan komposisi vegetasi mempengaruhi

tingkat keanekaragaman spesies burung (Chettri et al. 2005; Davidar et al. 2001;

Anderson et al. 1983; Pearson 1975).

Pada hutan primer yang memiliki kepadatan dan penutupan tajuk yang

tinggi lebih banyak dihuni oleh spesies yang menyukai vegetasi rapat. Kondisi

sebaliknya terjadi pada hutan sekunder yang memiliki kepadatan dan penutupan

tajuk yang rendah. Burung-burung yang hidup pada hutan sekunder umumnya

burung yang adaptif terhadap pembukaan tajuk dan menyukai daerah terbuka.

Kehadiran burung dari areal perkebunan juga menambah jumlah spesies yang ada

di hutan sekunder. Sebagian besar spesies-spesies tersebut merupakan burung

yang hanya hidup di daerah terbuka seperti anggota famili Sylviidae (Orthotomus

ruficeps dan O. atrogularis) dan famili Pycnonotidae (Pycnonotus simplex).

Meskipun demikian jika dilakukan pengelompokkan berdasarkan kategori

guild maka kedua hutan memiliki tingkat similaritas yang tinggi (Sj=0,80). Hal ini

terjadi semata-mata karena berkumpulnya spesies-spesies dengan famili yang

berbeda namun memiliki kesamaan sumberdaya pendukung (misal: Stachyris

Page 84: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

65

poliocephala (Famili Timaliidae) dan Orthotomus sericeus (Famili Sylviidae)).

Similaritas guild yang tinggi antara hutan primer dan sekunder juga menunjukkan

bahwa kedua tipe hutan mampu mendukung kehidupan burung dengan

karakteristik sumberdaya pakan yang sama.

5.2.17.4. Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi

Pada kedua tipe hutan jumlah spesies burung yang tertangkap mengalami

penurunan pada jarak 200m dan meningkat kembali pada jarak 400m (Gambar

35). Kondisi serupa juga terjadi berdasarkan jumlah individu yang tertangkap

(Gambar 36). Manu et al. (2007) melaporkan bahwa burung-burung di Afrika

Barat mengalami penurunan jumlah spesies dengan bertambahnya jarak dari tepi.

Gambar 35 Jumlah spesies burung berdasarkan jarak dari tepi.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0m 200m 400m

Jum

lah

spes

eis

Jarak tepi

Hutan Primer Hutan Sekunder

Page 85: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

66

Gambar 36 Jumlah individu burung berdasarkan jarak dari tepi.

Tingginya jumlah individu yang tertangkap pada jarak 0m berkaitan dengan

tersedianya dua tipe habitat yang berbeda. Kondisi hutan primer yang terbelah

oleh adanya jalan mengakibatkan tersedianya habitat baru bagi beberapa spesies

yang menyukai dengan daerah terbuka. Begitu pula halnya dengan hutan sekunder

yang berdekatan dengan kebun, mengakibatkan beberapa spesies yang menghuni

kebun dapat dijumpai di hutan sekunder.

Pada daerah tepi di hutan sekunder dapat dijumpai beberapa spesies yang

merupakan tipikal spesies daerah terbuka seperti cinenen merah Orthotomus

sericeus dan merbah belukar Pycnonotus plumosus. Sementara di hutan primer

beberapa burung yang menyukai hutan terbukan seperti burung udang pungung

merah Ceyx rufidorsa dan tepus merbah sampah Stachyris erythroptera

menambah populasi burung di daerah tepi. Menurut Murcia (1995) persinggungan

dua tipe habitat yang berbeda mengakibatkan tersedianya lebih banyak

sumberdaya yang dibutuhkan oleh satwa untuk hidup.

Kelompok burung pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) dan burung

pemakan serangga dan nektar (IN) mendominasi di setiap jarak dari tepi pada

hutan primer. Namun kondisi yang berbeda terjadi pada hutan sekunder, yaitu

kelompok pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami penurunan

jumlah secara drastis pada jarak 400m.

0102030405060708090

100

0m 200m 400m

Jum

lah

indi

vidu

Jarak tepi

Hutan Primer Hutan Sekunder

Page 86: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

67

Secara keseluruhan baik pada hutan primer maupun sekunder, kelompok

guild yang murni memanfaatkan serangga sebagai pakan mengalami penurunan

jumlah individu dengan bertambahnya jarak tepi. Menurut Ries et al. (2004)

tingginya populasi burung pada bagian tepi dapat terjadi karena adanya

pengumpulan sumberdaya baik pakan maupun kondisi habitat. Hasil yang berbeda

diperoleh Canaday (1997) pada penelitiannya di hutan Amazon, Amerika Selatan

yang menunjukkan terjadinya penurunan jumlah individu burung dengan

bertambahnya jarak dari tepi. Perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh perbedaan

bentuk daerah tepi yang terbentuk sebagai akibat perbedaan tipe habitat yang

berdampingan dengan hutan. Tipe daerah tepi yang drastis mengakibatkan spesies

burung cenderung mengalami penurunan pada daerah tepi (Canaday 1997).

5.3. Implikasi Konservasi

Secara keseluruhan lokasi penelitian memiliki nilai konservasi yang cukup

penting, hal ini terlihat dari adanya beberapa spesies burung yang mendekati

terancam punah dan dilindungi oleh perundang-undangan pemerintah RI.

Kemiripan tingkat keanekaragaman spesies burung yang tertangkap di hutan

sekunder dan hutan primer merupakan fenomena ekologi yang menarik dan telah

dijumpai pada beberapa penelitian di lokasi lain (Barlow et al. 2007; Newmark

2006; Sodhi et al. 2005a; Thiollay 1999). Kondisi ini menunjukkan bahwa

keanekaragaman spesies burung dapat kembali menuju ke kondisi semula pada

hutan-hutan yang mengalami pemulihan akibat kegiatan pembalakan. Selain itu

tingginya keanekaragaman spesies di hutan sekunder menunjukkan bahwa hutan

sekunder memiliki nilai konservasi yang tinggi sepanjang dikelola dengan baik

(Sodhi et al. 2005a).

Beberapa burung yang merupakan penghuni hutan primer, dalam

kenyataannya mampu beradaptasi terhadap gangguan hutan. Hal ini dapat

ditunjukkan oleh kehadiran spesies-spesies yang merupakan spesialis hutan

primer di dalam hutan sekunder (misal: Actenoides concretus, Trichastoma

rostratum). Burung-burung tersebut mengkoloni hutan sekunder yang dari segi

sumberdaya relatif lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan hutan primer.

Page 87: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

68

Penurunan jumlah famili Timaliidae dan Picidae pada hutan sekunder

menunjukkan pentingnya hutan primer yang tak terganggu bagi kedua famili

tersebut. Fakta tersebut dapat dijadikan indikator mengenai kondisi suatu hutan.

Penurunan kualitas hutan primer dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan

populasi anggota Timaliidae yang enam di antaranya telah masuk ke dalam

kategori mendekati terancam punah. Begitu pula halnya dengan Picidae, anggota

famili ini sangat tergantung pada hutan dalam kondis baik sebagai habitat

(Lammertink 2004), sehingga gangguan terhadap hutan primer dapat

mengakibatkan penurunan populasinya di alam. Selain itu secara keseluruhan

anggota famili ini termasuk burung dengan kategori kelimpahan jarang dan tidak

umum.

Banyaknya burung-burung berstatus mendekati terancam punah yang

tertangkap juga merupakan indikasi pentingnya kawasan TNBBS dalam upaya

pelestarian burung. Namun kondisi hutan dataran rendah yang sebagian besar

terdegradasi oleh kehadiran tumbuhan mantangan Alixia exilis, dapat

mengakibatkan penurunan kualitas hutan di masa mendatang. Kondisi tersebut

akan berujung pada penurunan populasi spesies burung yang sensitif terhadap

fragmentasi.

Page 88: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

69

VI. KESIMPULAN

Keanekaragaman spesies burung penghuni tajuk bagian bawah di hutan

primer sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Komposisi

spesies berdasarkan kategori guild di hutan primer dan sekunder memiliki tingkat

kemiripan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hutan sekunder dan primer

mendukung kehidupan spesies-spesies burung dengan kebutuhan sumberdaya

pakan yang serupa. Hal tersebut menggambarkan nilai penting hutan sekunder

bagi konservasi keanekaragaman spesies burung secara umum.

Burung-burung pemakan serangga juga mengalami penurunan jumlah

spesies dan individu pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan primer. Hal

ini terjadi pada kategori pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI), pemakan

serangga di bagian batang dan dahan (BGI), pemakan serangga di bagian lantai

hutan dan serasah (LGI) meskipun dua kelompok terakhir secara statistik tidak

berbeda nyata.

Secara keseluruhan burung yang tertangkap tidak menunjukkan respons

peningkatan atau penurunan jumlah individu maupun spesies dengan

bertambahnya jarak tepi. Meskipun demikian terdapat kasus penurunan jumlah

individu kategori TFGI dan famili Timaliidae dengan bertambahnya jarak tepi

pada hutan sekunder. Fenomena ini sangat menarik karena selama ini kehadiran

efek tepi diyakini hanya dijumpai pada hutan primer.

Penurunan kepadatan vegetasi pada seluruh tingkat pertumbuhan

mengakibatkan peningkatan jumlah individu spesies-spesies yang hidup pada

daerah terbuka. Di sisi lain penurunan kepadatan vegetasi mengakibatkan

penurunan tingkat keanekaragaman spesies. Beberapa spesies yang sensitif

terhadap gangguan mengalami penurunan bahkan menghilang pada hutan

sekunder.

Peningkatan bukaan tajuk mengakibatkan peningkatan jumlah individu

spesies-spesies burung yang menyukai daerah terbuka. Hal ini terlihat dari

tingginya nilai dominansi pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan

primer. Di sisi lain peningkatan bukaan tajuk juga mengakibatkan penurunan

Page 89: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

70

jumlah spesies pada famili Timaliidae. Hal ini menunjukkan bahwa anggota

famili tersebut merupakan spesies yang sensitif terhadap gangguan hutan.

Ketersediaan sumberdaya pakan berupa artropoda tidak mempengaruhi

tingkat keanekaragaman spesies burung, namun meningkatkan jumlah individu

spesies. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah individu burung yang tertangkap

pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan primer.

Page 90: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

71

DAFTAR PUSTAKA

Anderson BW, Ohmart RD, Rice J. 1983. Avian and Vegetation Community

Structure and Their Seasonal Relationships in the Lower Colorado River Valley. Condor 85:392-405.

Austen MJW, Francis CM, Burke DM, Bradstreet MSW. 2001. Landscape Context and Fragmentation Effect on Forest Birds in Southern Ontario. Condor 103:701-714.

Barlow J, Mestrec LAM, Gardnera TA, Peresa CA. 2007. The Value of Primary, Secondary and Plantation Forests for Amazonian Birds. Biological Conservation 136:212-231.

Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individual to Ecosystem. Fourth edition. Malden: Blackwell Publishing.

Beier P, van-Driellen M, Kankam BO. 2002. Avifaunal Collapse in West African Forest Fragment. Conservation Biology 6:1097-1111.

Berry L. 2001. Edge Effects on the Distribution and Abundance in a Southern Victorian Forest. Wildlife Research 28:239-245.

Bibby C, Jones M, Marsden S. 1998. Expedition Field Techniques: Bird Survey. London: the Expedition Advisory Centre Royal Geographical Society.

BirdLife-International.2009.The Checklist of the Birds of the World, with Conservation Status and Taxonomic Sources. http://www.birdlife.org/datazone/species/downloads/BirdLife_Checklist_Version_2.[23 Juli 2009].

Blake JG, Loiselle BA. 1991. Variation in Resource Abundance Affect Capture Rates of Birds in Three Lowland Habitats in Costa Rica. Auk 108:114-130.

Brown N, Jennings S, Wheeler P, Nabe-Nielsen J. 2000. An Improved Method for the Rapid Assessment of Forest Understorey Light Environments. Journal of Applied Ecology 37:1044-1053.

Burke DM, Nol E. 1998. Influence of Food Abundance, Nest-Site Habitat and

Forest Fragmentation on Breeding Ovenbirds. Auk 115:96-104.

Canaday C. 1997. Loss of Insectivorous Birds Along a Gradient of Human Impact in Amazonia. Biological Conservation 77:63-77.

Chettri N, Deb DC, Sharma E, Jackson R. 2005. The Relationship between Bird Communities and Habitat: A Study Along a Trekking Corridor in the Sikkim Himalaya. Mountain Research and Development 25 235-243.

Page 91: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

72

Craig RJ, Beal KG. 2001. Microhabitat Partitioning among Small Passerines in a Pacific Island Bird Community. Wilson Bulletin 113:317-326.

Dale S, Mork K, Solvang R, Plumptre AJ. 2000. Edge Effects on the Understory Bird Community in a Logged Forest in Uganda. Conservation Biology 14:265-276.

Davidar P, Yoganand K, Ganesh T. 2001. Distribution of Forest Birds in the Andaman Islands: Importance of Key Habitats. Journal of Biogeography 28:663-671.

de-Iongh HH, van-Weerd M. 2006. The Use of Avian Guilds for the Monitoring of Tropical Forest Disturbance by Logging. Wageningen: Tropenbos International.

Fowler J, Cohen L. 1986. Statistic for Ornithologist. Second edition. Hertfordshire: British Trust for Ornithologist.

Fuller RJ. 2000. Influence of Treefall Gaps on Distribution of Breeding Bird within Interior Old-Growth Stands in Bialowieza Forest, Poland. Condor 102:267-274.

Futuyma DJ. 1986. Evolutionary Biology. Second edition. Sunderland: Sinauer Associates Inc.

Gaveaua DLA, Wandono H, Setiabudi F. 2007. Three Decades of Deforestation in Southwest Sumatra: Have Protected Areas Halted Forest Loss and Logging, and Promoted Re-Growth? Biological Conservation 134:495-504.

Germaine SS, Vessey SH, Capen DE. 1997. Effects of Small Forest Openings on the Breeding Bird Community in a Vermont Hardwood Forest. Condor 99:708-718.

Gibbons DW, Gregory RD. 2006. Birds. Di dalam: Sutherland WJ, editor. Ecological Census Techniques: A Handbook. Second edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Goosem M. 2007. Fragmentation Impacts Caused by Roads through Rainforests. Current Science 93:1587-1595.

Gregory RD, Gibbons DW, Donald PF. 2004. Bird Census and Survey Techniques. Di dalam: Sutherland WJ, Newton I, Green RE, editor. Bird Ecology and Conservation; a Handbook of Techniques. Oxford: Oxford University Press.

Holmes D, Rombang WM. 2001. Daerah Penting Bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife International-Indonesia Programme, Bogor.

Page 92: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

73

Ives AR. 2007. Diversity and Stability in Ecological Communities. Di dalam: May RM, McLean AR, editor. Theoretical Ecology. Oxford: Oxford University Press.

Jennings SB, Brown ND, Sheil D. 1999. Assesing Forest Canopies and Understorey Illumination:Canopy Closure, Canopy Cover and Other Measures. Forestry 72:59-73.

Keyser AJ. 2002. Nest Predation in Fragmented Forest: Landscape Matrix by Distance from Edge Interaction. Wilson Bulletin 114:186-191.

Krebs CJ. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second edition. New York: Harper & Row Publisher.

Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. New York: Harper & Row.

Lambert FR, Collar NJ. 2002. The Future for Sundaic Lowland Forest Birds: Long-Term Effects of Commercial Logging and Fragmentation. Forktail 18:127-146.

Lammertink M. 2004. A Multiple-Site Comparison of Woodpecker Communities in Bornean Lowland and Hill Forests. Conservation Biology 18:746-757.

Lidicker-Jr WZ, Koenig WD. 1996. Responses of Terestrial Vertebrates to Habitat Edges and Corridor Di dalam: McCullough DR, editor. Metapopulations and Wildlife Conservation. Washington DC: Island Press.

Lövei GL, Csörgõ T, Miklay G. 2001. Capture Efficiency of Small Birds by Mist Nets. Ornis Hungarica 11:19-25.

MacKinnon J, Phillips K, van-Balen B. 1997. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. 1 edition. Princeton: Princeton University Press.

Manu S, Peach W, Cresswell W. 2007. The Effects of Edge, Fragment Size and Degree of Isolation on Avian Species Richness in Highly Fragmented Forest in West Africa. Ibis 149:287-297.

Meffe GK, Carrol CR. 1994. Principles of Conservation Biology. Sunderland: Sinnauer Associates, Inc.

Mills GS, Dunning JB, Jr., Bates JM. 1991. The Relationship between Breeding Bird Density and Vegetation Volume. Wilson Bulletin 103:468-479.

Murcia C. 1995. Edge Effect in Fragmented Forest:Implication for Conservation. Trend in Ecology and Evolution 10:58-62.

Page 93: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

74

Murcia C. 1996. Forest Fragmentation and the Pollination of Neotropical Plants. Di dalam: Schelhas J, Greenberg R, editor. Forest Patches in Tropical Landscapes. Washington DC: Island Press.

Newmark WD. 2006. A 16-Year Study of Forest Disturbance and Understory Bird Community Structure and Composition in Tanzania. Conservation Biology 20:122-134.

Newton AC. 2007. Forest Ecology and Conservation: A Handbook of Techniques. New York: Oxford University Press

Novarino W. 2008. Dinamika Jangka Panjang Komunitas Burung Strata Bawah Di Sipisang, Sumatera Barat [Disertasi Doktoral ]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Novarino W, Noske R, Salsabila A, Jarulis. 2006. A Mist-Netting Study of Birds in Lunang Freshwater Swamp Forest, West Sumatra. Kukila 13:48-63.

Novarino W, Salsabila A, Jarulis. 2002. Struktur Komunitas Burung Lapisan Bawah Pada Daerah Pinggiran Hutan Sekunder Dataran Rendah Sumatera Barat. Zoo Indonesia 29:1-10.

Nummelin M, Zilihona IJE. 2004. Spatial Variation of Arthropod Communities in Virgin and Managed Sites in the Kibale Forest, Western Uganda. Forest Ecology and Management 195:107-114.

O'Brien TG, Kinnaird MF. 1996. Birds and Mammals of the Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Oryx 30:207-217.

Opdam P, Wiens JA. 2002. Fragmentation, Habitat Loss and Landscape Management. Di dalam: Norris K, Pain DJ, editor. Conserving Bird Biodiversity: General Principles and Their Application. Cambridge: Cambridge University Press.

Ozanne CMP. 2005. Sampling Methods for Forest Understory Vegetation. Leather SR, editor. Malden: Blackwell Publishing.

Pardieck K, Waide RB. 1992. Mesh Size as a Factor in Avian Community Studies Using Mist Nets. Journal of Field Ornithology 63:250-255.

Pearson DL. 1975. The Relation of Foliage Complexity to Ecological Diversity of Three Amazonian Bird Communities. Condor 77:453-466.

Pianka ER. 1983. Evolutionary Ecology. Third edition. New York: Harper & Row.

Primack BR, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 94: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

75

Rahman MA. 2002. Using Mist-Nets on Canopy Walkways in Malaysia to Study Canopy Avifauna. Raffles Bulletin of Zoology 50:499-506.

Ries L, Jr. RJF, Battin J, Sisk TD. 2004. Ecological Responses to Habitat Edges: Mechanisms, Models, and Variability Explained. Annual Review of Ecology and Evololutionary System 35:491-522.

Robinson SK. 1998. Another Threat Posed by Forest Fragmentation:Reduced Food Supply. Auk 115:1-3.

Root RB. 2001. Guild. Di dalam: Levin SA, editor. Encyclopedia of Biodiversity. New York: Academic Press.

Schlaepfer MA, Gavin TA. 2001. Edge Effect on Lizards and Frogs in Tropical Forest Fragment. Conservation Biology 15:1079-1090.

Sobrinho TG, Schoereder JH. 2007. Edge and Shape Effects on Ant (Hymenoptera: Formicidae) Species Richness and Composition in Forest Fragments. Biodiversity Conservation 16:1459-1470.

Sodhi NS. 2002. The Effects of Food-Supply on Southeast Asian Forest Birds. Ornithology Science 1:89-93.

Sodhi NS, Koh LP, Prawiradilaga DM, Darjono, Tinulele I, Putra DD, Tan THT. 2005a. Land Use and Conservation Value for Forest Birds in Central Sulawesi (Indonesia). Biological Conservation 122:547-558.

Sodhi NS, Soh MCK, Prawiradilaga DM, Darjono, Brook BW. 2005b. Persistence of Lowland Rainforest Birds in a Recently Logged Area in Central Java. Bird Conservation International 15:173-191.

Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor: Indonesian Ornithologists’ Union.

Thiollay JM. 1997. Disturbance, Selective Logging and Bird Diversity:A Neotropical Forest Study. Biodiversity and Conservation 6:1155-1173.

Thiollay JM. 1999. Responses of an Avian Community to Rain Forest Degradation. Biodiversity and Conservation 8:513-534.

Uehara-Prado M, Fernandes JdO, Bello AdM, Machado G, Santos AJ, Vaz-de-Mello FZ, Freitas AVL. 2009. Selecting Terrestrial Arthropods as Indicators of Small-Scale Disturbance: A First Approach in the Brazilian Atlantic Forest. Biological Conservation 142:1220-1228.

Waltert M, Mardiastuti A, Muhlenberg M. 2004. Effects of Land Use on Bird Species Richness in Sulawesi, Indonesia. Conservation Biology 18:1339-1346.

Page 95: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

76

Waltert M, Mardiastuti A, Muhlenberg M. 2005. Effects of Deforestation and Forest Modification on Understorey Birds in Central Sulawesi, Indonesia. Bird Conservation International 15:257-273.

Watson JEM, Whittaker RJ, Dawson TP. 2004. Habitat Structure and Proximity to Forest Edge Affect the Abundance and Distribution of Forest-Dependent Birds in Tropical Coastal Forests of Southeastern Madagascar. Biological Conservation 120:311-327.

Wiens JA. 1989. The Ecology of Bird Communities.Volume1. Foundation and Patterns. Cambridge: Cambridge University Press.

Winter M, Johnson DH, Faaborg J. 2000. Evidence for Edge Effect on Multiplelevel in Tallgrass Prairie. Condor 102:256-266.

Wong M. 1986. Trophic Organization of Birds in Malaysian Dipterocarp Forest. Auk 103:100 -116.

Page 96: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

77

LAMPIRAN

Page 97: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

78

Lampiran 1 Status penyebaran, perlindungan dan kategori kelimpahan spesies burung di Tambling Wildlife Nature Conservacy, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies* Penyebaran Status

Konservasi Kategori Kelimpahan

1 Phasianidae 1. Rollulus rouloul Puyuh sengayan Crested Partridge 191 Penetap NT jarang

2 Columbidae 2. Chalcophaps indica Delimukan zamrud Emerald Dove 417 Penetap jarang 3 Cuculidae 3. Cacomantis sonneratii Wiwik lurik Banded Bay Cuckoo 525 Penetap jarang 4. Cacomantis sepulcralis Wiwik uncuing Rusty-breasted Cuckoo 526 Penetap jarang 5. Surniculus lugubris Kedasi hitam Asian-Drongo Cuckoo 545 Penetap jarang 4 Podargidae 6.Batrachostomus stellatus Paruhkodok bintang Gould’s Frogmouth 620 Penetap NT jarang

5 Trogonidae 7. Harpactes diardii Luntur diard Diard's Trogon 671 Penetap NT, Dilindungi jarang

8. Harpactes duvaucelii Luntur putri Scarlet-rumped Trogon 673 Penetap NT, Dilindungi jarang

6 Alcedinididae 9. Alcedo meninting Rajaudang meninting Blue-eared Kingfisher 678 Penetap Dilindungi jarang 10. Ceyx rufidorsa Udang punggung-merah Rufous-backed Kingfisher 685 Penetap Dilindungi umum 11. Lacedo pulchella Cekakak batu Banded Kingfisher 689 Penetap Dilindungi tidak umum 12. Actenoides concretus Cekakakhutan melayu Rufous-collared Kingfisher 713 Penetap NT jarang 7 Picidae 13. Sasia abnormis Tukik tikus Rufous Piculet 764 Penetap tidak umum

14. Picus mentalis Pelatuk kumis-kelabu Checker-troathed Woodpeker 769 Penetap jarang

15. Picus puniceus Pelatuk sayap-merah Crimson-winged Woodpecker 771 Penetap jarang

16. Meiglyptes tukki Caladi badok Buff-necked Woodpecker 775 Penetap NT tidak umum 8 Eurylaimidae 17. Cymbirhynchus macrorhynchos Sempurhujan sungai Black-and-red Broadbill 789 Penetap jarang

9 Pittidae 18. Pitta guajana Paok pancawarna Banded Pitta 799 Penetap Appendiks II CITES tidak umum

10 Pycnonotidae 19. Pycnonotus melanicterus Cucak kuning Black-crested Bulbul 887 Penetap jarang

Page 98: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

79

No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies* Penyebaran Status

Konservasi Kategori Kelimpahan

20. Pycnonotus eutilotus Cucak rumbai-tungging Puff-backed Bulbul 891 Penetap NT jarang 21. Pycnonotus plumosus Merbah belukar Olive-winged Bulbul 895 Penetap tidak umum 22. Pycnonotus simplex Merbah corok-corok Cream-vented Bulbul 896 Penetap jarang 23. Pycnonotus brunneus Merbah mata-merah Asian Red-eyed Bulbul 897 Penetap jarang 24. Pycnonotus erythrophtalmus Merbah kacamata Spectacled Bulbul 898 Penetap jarang 25. Criniger phaeocephalus Empuloh irang Yellow-bellied Bulbul 903 Penetap jarang 26. Tricholestes criniger Brinji rambut-tunggir Hairy-backed Bulbul 906 Penetap tidak umum 11 Turdidae 27. Enicurus leschenaulti Meninting besar White-crowned Forktail 927 Penetap jarang 12 Timaliidae 28. Pellorneum capistratum Pelanduk topi-hitam Black-capped Babbler 966 Penetap tidak umum 29. Trichastoma rostratum Pelanduk dada-putih White-chested Babbler 969 Penetap tidak umum 30. Trichastoma bicolor Pelanduk merah Ferruginous Babbler 970 Penetap NT tidak umum 31. Malacocincla malacense Pelanduk ekor-pendek Short-tailed Babbler 972 Penetap jarang 32. Malacopteron affine Asi topi-jelaga Sooty-capped Babbler 977 Penetap NT tidak umum 33. Malacopteron cinereum Asi topi-sisik Scally-crowned Babbler 978 Penetap jarang 34. Malacopteron magnum Asi besar Rufous-crowned Babbler 979 Penetap NT jarang 35. Stachyris poliocephala Tepus kepala-kelabu Grey-headed Babbler 997 Penetap jarang 36. Stachyris maculata Tepus tunggir-merah Chestnut-rumped Babbler 999 Penetap NT tidak umum 37. Stachyris nigricollis Tepus kaban Black-throated Babbler 1001 Penetap NT jarang 38. Stachyris erythroptera Tepus merbah-sampah Chestnut-winged Babbler 1003 Penetap tidak umum 39. Macronous gularis Ciungair coreng Striped Tit-Babbler 1006 Penetap tidak umum 40. Macronous ptilosus Ciungair pongpong Fluffy-backed Tit-Babbler 1007 Penetap NT jarang 13 Sylviidae 41. Orthotomus atrogularis Cinenen belukar Dark-necked Tailorbird 1053 Penetap jarang 42. Orthotomus sericeus Cinenen merah Ruffous-tailed Tailorbird 1054 Penetap umum

Page 99: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

80

No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies* Penyebaran Status

Konservasi Kategori Kelimpahan

43. Orthotomus ruficeps Cinenen kelabu Ashy Tailorbird 1055 Penetap jarang

14 Platysteiridae 44. Philentoma pyrhopterum Philentoma sayap-merah Rufous-winged Philentoma 1144 Penetap tidak umum

15 Monarchidae 45. Hypothymis azurea Kehicap ranting Black-naped Monarch 1148 Penetap jarang

16 Dicaeidae 46. Dicaeum trigonostigma Cabai bunga-api Orange-bellied Flowepecker

1288 Penetap jarang

47. Dicaeum cruentatum Cabai merah Scarlet-backed Flowerpecker 1302 Penetap jarang

17 Nectariniidae 48. Hypogramma hypogrammicum Burungmadu rimba Purple-naped Sunbird 1310 Penetap Dilindungi tidak umum 49. Aethopyga siparaja Burungmadu sepahraja Crimson Sunbird 1319 Penetap Dilindungi jarang 50. Arachnothera longirostra Pijantung kecil Little Spiderhunter 1322 Penetap Dilindungi umum

18 Dicruridae 51. Dicrurus paradiseus Srigunting batu Greater Racquet-tailed Drongo 1531 Penetap tidak umum

Keterangan :

*) = Sukmantoro et al. 2007

NT = Near Threatened, mendekati terancam punah

Dilindungi = Dilindungi oleh peraturan pemerintah Republik Indonesia

Page 100: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

81

Lampiran 2 Spesies burung yang terlihat dan terdengar di lokasi penelitian tetapi tidak tertangkap oleh jaring kabut

No Famili Nama Latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies

Teknik Identifikasi

Status* Keterangan

1 Ardeidae 1 Ixobrychus flavicollis Bambangan hitam Black Bittern 61 Visual B,C

2 Accipitridae 2 Spilornis cheela Elangular bido Crested Serpent Eagle 89 Visual 2,3 A,B

3 Spizaetus cirrhatus Elang brontok Changeable Hawk-eagle 128 Visual 2,3 A,B

3 Phasianidae 4 Gallus gallus Ayam hutan merah Red junglefowl 196 Suara B

5 Argusianus argus Kuau raja Great Argus 200 Suara 1,2,3 B

4 Columbidae 6 Treron capellei Punai besar Large Green Pigeon 339 Visual A

7 Treron vernans Punai gading Pink necked Green Pigeon 348 Visual A

8 Ducula aenea Pergam hijau Green Imperial Pigeon 377 Visual A

5 Cuculidae 9 Cuculus micropterus Kangkok india Indian Cuckoo 519 Suara A

10 Cuculus saturatus lepidus Kangkok ranting Oriental cuckoo 521 Suara A

11 Rhinortha chlorophaeus Kadalan selaya Raffless's Malkoha 554 Visual B

12 Centropus sinensis Bubut besar Greater Coucal 567 Visual B

13 Centropus bengalensis Bubut alang-alang Lesser Coucal 569 Visual B

6 Strigidae 14 Otus lempiji Celepuk reban Collared scops owl 594 Suara 3 D

7 Caprimulgidae 15 Eurostopodus temminckii Taktarau melayu Malaysian-eared Nightjar 635 Suara D

8 Hemiprocnidae 16 Hemiprocne comata Tepekong rangkang Whiskered treeswift 667 Visual A

9 Alcedinidae 17 Alcedo atthis Raja udang erasia Common Kingfisher 677 Visual 2 C

18 Halcyon smyrnensis Cekakak belukar White-throated Kingfisher 697 Visual 2 C

19 Halcyon chloris Cekakak sungai Collared Kingfisher 709 Visual 2 C

10 Meropidae 20 Merops viridis Kirik-kirik biru Blue throated Bee eater 726 Visual A

Page 101: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

82

No Famili Nama Latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies

Teknik Identifikasi

Status* Keterangan

11 Bucerotidae 21 Rhyticeros undulatus Julang emas Whreated hornbill 738 Visual 2 A,B

22 Anthracoceros albirostris Kangkareng perut utih Oriental Pied Hornbill 742 Visual 2 A,B

23 Buceros rhinoceros Enggang cula Rhinoceros Hornbill 743 Visual 2 A,B

24 Rhinoplax vigil Rangkong gading Helmeted hornbill 745 Visual 2 A,B

12 Capitonidae 25 Megalaima chrysopogon Takur gedang Gold whiskered Barbet 749 Suara A

26 Megalaima australis Takur tenggeret Blue-eared Barbet 757 Suara A

27 Megalaima haemacephala Takur ungkut-ungkut Coppersmith Barbet 760 Suara A

13 Picidae 28 Blythipicus rubiginosus Pelatuk pangkas Maroon Woodpecker 785 Visual C

14 Eurylaimidae 29 Eurylaimus ochromalus Sempur hujan-darat Black-and-Yellow Broadbill 791 Suara 1 C

30 Calyptomena viridis Madi hijau-kecil Green broadbill 794 Suara 1 C

15 Hirundinidae 31 Hirundo tahitica Layang-layang batu Pacific swallow 815 Visual A

16 Chloropseidae 32 Chloropsis cochinchinensis Cica daun sayap biru Blue winged Leafbird 879 Visual A

17 Turdidae 33 Copsychus saularis Kucica kampung Oriental Magpie-Robin 920 Visual E

34 Prinia familiaris Perenjak jawa Bar winged Prinia 1048 Visual E

18 Sylviidae 35 Prinia flaviventris Perenjak rawa Yellow bellied Prinia 1049 Visual E

19 Dicaeidae 36 Dicaeum cruentatum Cabai merah Scarlet backed flower pecker 1302 Visual A

20 Nectariniidae 37 Cinnyris jugularis Burung madu sriganti Olive backed Sunird 1314 Visual A

21 Estrildidae 38 Lonchura leucogastroides Bondol jawa White headed Munia 1452 Visual E

39 Aplonis panayensis Perling kumbang Asian Glossy Starling 1485 Visual A

22 Sturnidae 40 Gracula religiosa Tiong emas Hill Myna 1503 Visual 1,2,3 A

23 Oriolidae 41 Oriolus xanthonotus Kepodang hutan Dark-throated oriole 1513 Visual A

24 Corvidae 42 Platysmurus leucopterus Tangkar kambing Black Magpie 1583 Visual A,B

Page 102: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

83

No Famili Nama Latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies

Teknik Identifikasi

Status* Keterangan

43 Corvus macrorhynchos Gagak kampung Large-billed Crow 1597 Visual A,B

Keterangan :

Status : Status perlindungan

1) NT = Near Threatened, mendekati terancam punah

2) Dilindungi = Dilindungi oleh peraturan pemerintah Republik Indonesia

3) Appendiks II CITES

A) Penghuni tajuk atas

B) Bobot besar

C) Kelimpahan jarang

D) Nokturnal

E) Tidak diketahui

Page 103: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

84

Lampiran 3 Jumlah individu spesies burung pada hutan primer dan sekunder

No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No Spesies

Jumlah individu Hutan Primer

Hutan Sekunder

1 Phasianidae 1. Rollulus rouloul Puyuh sengayan Crested Partridge 191 1 0

2 Columbidae 2. Chalcophaps indica Delimukan zamrud Emerald Dove 417 0 4

3 Cuculidae 3. Cacomantis sonneratii Wiwik lurik Banded Bay Cuckoo 525 0 1

4. Cacomantis sepulcralis Wiwik uncuing Rusty-breasted Cuckoo 526 1 0

5. Surniculus lugubris Kedasi hitam Asian-Drongo Cuckoo 545 1 0

4 Trogonidae 6. Harpactes diardii Luntur diard Diard's Trogon 671 0 2 7. Harpactes duvaucelii Luntur putri Scarlet-rumped Trogon 673 2 0

5 Alcedinididae 8. Alcedo meninting Rajaudang meninting Blue-eared Kingfisher 678 0 2

9. Ceyx rufidorsa Udang punggung-merah Rufous-backed Kingfisher 685 12 14

10. Lacedo pulchella Cekakak batu Banded Kingfisher 689 0 5

11. Actenoides concretus Cekakakhutan melayu Rufous-collared Kingfisher 713 2 1

6 Picidae 12. Sasia abnormis Tukik tikus Rufous Piculet 764 3 3 13. Picus mentalis Pelatuk kumis-kelabu Checker-troathed Woodpeker 769 1 3

14. Picus puniceus Pelatuk sayap-merah Crimson-winged Woodpecker 771 1 0

15. Meiglyptes tukki Caladi badok Buff-necked Woodpecker 775 5 0

7 Eurylaimidae 16. Cymbirhynchus macrorhynchos Sempurhujan sungai Black-and-red Broadbill 789 0 4

8 Pittidae 17. Pitta guajana Paok pancawarna Banded Pitta 799 3 7

9 Pycnonotidae 18. Pycnonotus melanicterus Cucak kuning Black-crested Bulbul 887 0 4 19. Pycnonotus eutilotus Cucak rumbai-tungging Puff-backed Bulbul 891 2 0

20. Pycnonotus plumosus Merbah belukar Olive-winged Bulbul 895 0 6

Page 104: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

85

No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No Spesies

Jumlah individu

Hutan Primer

Hutan Sekunder

21. Pycnonotus simplex Merbah corok-corok Cream-vented Bulbul 896 0 1

22. Pycnonotus brunneus Merbah mata-merah Asian Red-eyed Bulbul 897 1 0

23. Pycnonotus erythrophtalmus Merbah kacamata Spectacled Bulbul 898 0 1

24. Criniger phaeocephalus Empuloh irang Yellow-bellied Bulbul 903 2 1

25. Tricholestes criniger Brinji rambut-tunggir Hairy-backed Bulbul 906 6 0

10 Turdidae 26. Enicurus leschenaulti Meninting besar White-crowned Forktail 927 3 1

11 Timaliidae 27. Pellorneum capistratum Pelanduk topi-hitam Black-capped Babbler 966 2 9

28. Trichastoma rostratum Pelanduk dada-putih White-chested Babbler 969 3 9

29. Trichastoma bicolor Pelanduk merah Ferruginous Babbler 970 6 0

30. Malacocincla malacense Pelanduk ekor-pendek Short-tailed Babbler 972 4 0

31. Malacopteron affine Asi topi-jelaga Sooty-capped Babbler 977 8 0

32. Malacopteron cinereum Asi topi-sisik Scally-crowned Babbler 978 3 0

33. Malacopteron magnum Asi besar Rufous-crowned Babbler 979 2 0

34. Stachyris poliocephala Tepus kepala-kelabu Grey-headed Babbler 997 1 0

35. Stachyris maculata Tepus tunggir-merah Chestnut-rumped Babbler 999 8 0

36. Stachyris nigricollis Tepus kaban Black-throated Babbler 1001 1 0

37. Stachyris erythroptera Tepus merbah-sampah Chestnut-winged Babbler 1003 7 7

38. Macronous gularis Ciungair coreng Striped Tit-Babbler 1006 0 6

39. Macronous ptilosus Ciungair pongpong Fluffy-backed Tit-Babbler 1007 4 0

12 Sylviidae 40. Orthotomus atrogularis Cinenen belukar Dark-necked Tailorbird 1053 0 2

41. Orthotomus sericeus Cinenen merah Ruffous-tailed Tailorbird 1054 0 22

Page 105: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

86

42. Orthotomus ruficeps Cinenen kelabu Ashy Tailorbird 1055 0 1

13 Platysteiridae 43. Philentoma pyrhopterum Philentoma sayap-merah Rufous-winged Philentoma 1144 5 0

14 Monarchidae 44. Hypothymis azurea Kehicap ranting Black-naped Monarch 1148 0 1

15 Dicaeidae 45. Dicaeum trigonostigma Cabai bunga-api Orange-bellied Flowepecker 1288 0 2

46. Dicaeum cruentatum Cabai merah Scarlet-backed Flowerpecker 1302 0 1

16 Nectariniidae 47. Hypogramma hypogrammicum Burungmadu rimba Purple-naped Sunbird 1310 7 9 48. Aethopyga siparaja Burungmadu sepahraja Crimson Sunbird 1319 0 1

49. Arachnothera longirostra Pijantung kecil Little Spiderhunter 1322 30 48

17 Dicruridae 50. Dicrurus paradiseus Srigunting batu Greater Racquet-tailed Drongo 1531 1 7

Jumlah 138 185

Page 106: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

87

Lampiran 4 Jumlah seluruh spesies burung berdasarkan kategori guild

No Guild Nama Spesies No spesies

Jumlah individu PersenHutan

PrimerHutan

Sekunder 1 TFGI 1 Cacomantis sonneratii 525 0 1

19,20

2 Cacomantis sepulcralis 527 1 0 3 Surniculus lugubris 545 1 0 4 Trichastoma rostratum 969 3 9 5 Trichastoma bicolor 970 6 0 6 Malacopteron affine 977 8 0 7 Malacopteron cinereum 978 3 0 8 Malacopteron magnum 979 2 0 9 Stachyris maculata 999 8 0 10 Stachyris erythroptera 1003 7 7 11 Macronous gularis 1006 0 6 2 BGI 12 Picus mentalis 769 1 3

3,10 13 Picus puniceus 771 1 0 14 Meiglyptes tukki 776 5 0 3 SFGI 15 Enicurus leschenaulti 927 3 1

10,84

16 Stachyris poliocephala 997 1 0 17 Stachyris nigricollis 1001 1 0 18 Macronous ptilosus 1007 4 0 19 Orthotomus atrogularis 1053 0 2 20 Orthotomus sericeus 1054 0 22 21 Orthotomus ruficeps 1055 0 1 4 LGI 22 Rollulus rouloul 191 1 0

8,05 23 Pitta guajana 799 3 7 24 Pellorneum capistratum 966 2 9 25 Malacocincla malacense 972 4 0 5 FCI 26 Harpactes diardii 671 0 2

5,57 27 Harpactes duvaucelii 673 2 0 28 Philentoma pyrhopterum 1144 5 0 29 Hypothymis azurea 1148 0 1 30 Dicrurus paradiseus 1531 1 7 6 AF 31 Cymbirhynchus

macrorhynchos 789 0 4 1,24

7 TF 32 Chalcophaps indica 417 0 4 1,24 8 IN 33 Hypogramma

hypogrammicum 1310 7 9

29,41 34 Aethopyga siparaja 1319 0 1 35 Arachnothera longirostra 1322 30 48 9 CI 36 Alcedo meninting 678 0 2 13,00 37 Ceyx rufidorsa 685 12 14

Page 107: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

88

No Guild Nama Spesies No spesies

Jumlah individu PersenHutan

PrimerHutan

Sekunder 38 Lacedo pulchella 689 0 5 39 Actenoides concretus 713 2 1 40 Sasia abnormis 764 3 3 10 IF 41 Pycnonotus melanicterus 887 0 4

8,36

42 Pycnonotus eutilotus 891 2 0 43 Pycnonotus plumosus 895 0 6 44 Pycnonotus simplex 896 0 1 45 Pycnonotus brunneus 897 1 0 46 Pycnonotus

erythrophtalmus 898 0 1

47 Criniger phaeocephalus 903 2 1 48 Tricholestes criniger 906 6 0 49 Dicaeum triginostigma 1288 0 2 50 Dicaeum cruentatum 1302 0 1

Lampiran 5 Hasil uji statistik terhadap jumlah guild di lokasi penelitian

berdasarkan jarak dari tepi

No Jarak dari Tepi Uji statistik Guild 0 m 200 m 400 m χ2 df P

1 TFGI 29 19 14 5,65 2 0,06 2 BGI 6 2 16 13,00 2 0,00 3 SFGI 16 6 14 4,67 2 0,10 4 LGI 12 6 12 2,40 2 0,30 5 FCI 0 12 3 15,60 2 0,00 6 AF 1 0 3 3,50 2 0,17 7 TF 1 2 2 0,40 2 0,82 8 IN 37 38 49 2,15 2 0,34 9 CI 16 14 11 0,93 2 0,63 10 IF 9 12 6 2,00 2 0,37

Page 108: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

89

Lampiran 6 Lebar relung dan jumlah individu masing-masing spesies pada setiap jarak dari tepi (urutan terbesar hingga terkecil)

No Spesies Hutan primer Hutan sekunder

relung0m 200m 400m 0m 200m 400m 1 Ceyx rufidorsa 6 3 4 6 5 6 0,94 2 Stachyris erythroptera 3 2 2 3 3 1 0,89 3 Arachnothera longirostra 14 12 13 18 14 28 0,88 4 Sasia abnormis 1 1 1 1 0 2 0,70 5 Pitta guajana 2 0 1 3 2 4 0,65 6 Hypogramma

hypogrammicum 2 7 0 3 5 7 0,65

7 Trichastoma rostratum 3 0 0 5 4 2 0,53 8 Pycnonotus plumosus 0 0 0 2 2 2 0,40 9 Pellorneum capistratum 0 0 2 6 2 2 0,40 10 Orthotomus sericeus 0 0 0 8 6 10 0,38 11 Chalcophaps indica 0 0 0 1 2 2 0,36 12 Malacocincla malacense 1 2 2 0 0 0 0,36 13 Lacedo pulchella 0 0 0 1 2 2 0,36 14 Actenoides concretus 0 0 2 1 1 0 0,33 15 Enicurus leschenaulti 2 0 1 0 1 0 0,33 16 Picus mentalis 1 0 0 2 1 0 0,33 17 Meiglyptes tukki 2 1 3 0 0 0 0,31 18 Trichastoma bicolor 2 1 3 0 0 0 0,31 19 Malacopteron affine 1 4 3 0 0 0 0,29 20 Dicrurus paradiseus 0 1 0 0 5 2 0,23 21 Aethopyga siparaja 0 0 0 1 0 1 0,20 22 Harpactes duvaucelii 0 1 1 0 0 0 0,20 23 Harpactes diardii 0 0 0 0 1 1 0,20 24 Malacopteron magnum 0 1 1 0 0 0 0,20 25 Stachyris maculata 4 0 4 0 0 0 0,20 26 Tricholestes criniger 1 4 1 0 0 0 0,20 27 Macronous gularis 0 0 0 3 3 0 0,20 28 Pycnonotus melanicterus 0 0 0 0 2 2 0,20 29 Philentoma pyrhopterum 0 3 2 0 0 0 0,18 30 Criniger phaeocephalus 0 2 0 0 1 0 0,16 31 Cymbirhynchus

macrorhynchos 0 0 0 1 0 3 0,12

32 Alcedo meninting 0 0 0 0 2 0 0,00 33 Cacomantis sonneratii 0 0 0 0 0 1 0,00 34 Cacomantis sepulcralis 1 0 0 0 0 0 0,00 35 Dicaeum cruentatum 0 0 0 0 0 1 0,00 36 Dicaeum triginostigma 0 0 0 2 0 0 0,00 37 Hypothymis azurea 0 0 0 0 0 1 0,00 38 Macronous ptilosus 4 0 0 0 0 0 0,00

Page 109: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

90

No Spesies Hutan primer Hutan sekunder

relung0m 200m 400m 0m 200m 400m 39 Malacopteron cinereum 3 0 0 0 0 0 0,00 40 Picus puniceus 1 0 0 0 0 0 0,00 41 Pycnonotus brunneus 1 0 0 0 0 0 0,00 42 Pycnonotus eutilotus 2 0 0 0 0 0 0,00 43 Rollulus rouloul 0 0 1 0 0 0 0,00 44 Stachyris nigricollis 1 0 0 0 0 0 0,00 45 Stachyris poliocephala 0 0 1 0 0 0 0,00 46 Surniculus lugubris 0 1 0 0 0 0 0,00 47 Orthotomus ruficeps 0 0 0 1 0 0 0,00 48 Orthotomus atrogularis 0 0 0 0 0 2 0,00 49 Pycnonotus

erythrophtalmus 0 0 0 0 1 0 0,00

50 Pycnonotus simplex 0 0 0 1 0 0 0,00 Lampiran 7 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang

tertangkap berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer

No Guild

Jarak dari tepi Uji statistik 0 m 200 m 400 m χ2 df P

1 TFGI 18 9 13 3,05 2 0,22 2 BGI 4 1 3 1,75 2 0,42 3 SFGI 7 0 2 8,67 2 0,01 4 LGI 3 2 6 2,36 2 0,31 5 FCI 0 5 3 4,75 2 0,09 6 IN 15 19 13 1,19 2 0,55 7 IF 4 6 1 3,45 2 0,18 8 CI 7 4 7 1,00 2 0,61 Lampiran 8 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang

tertangkap berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder

No Jumlah Individu Uji statistik Guild 0 m 200 m 400 m χ2 df P

1 TFGI 11 10 1 8,27 2,00 0,02 2 BGI 2 1 0 2,00 2,00 0,37 3 SFGI 9 6 12 2,00 2,00 0,37 4 LGI 9 4 6 2,00 2,00 0,37 5 FCI 0 7 4 6,73 2,00 0,03 6 AF 1 0 3 3,50 2,00 0,17 7 TF 1 2 2 0,40 2,00 0,82 8 IN 22 19 36 6,42 2,00 0,04 9 CI 9 10 13 0,81 2,00 0,67 10 IF 5 6 5 0,13 2,00 0,94

Page 110: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

91

Lampiran 9 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu famili pada hutan primer dan sekunder

No Famili Jumlah individu Uji statistik

Hutan primer

Hutan sekunder χ2 df P

1 Phasianidae 1 0 1,00 1 0,32 2 Columbidae 0 4 4,00 1 0,05 3 Cuculidae 2 1 0,33 1 0,56 4 Trogonidae 2 2 0,00 1 1,00 5 Alcedinididae 14 22 1,78 1 0,18 6 Picidae 10 6 9,14 1 0,00 7 Eurylaimidae 0 4 4,00 1 0,05 8 Pittidae 3 7 1,60 1 0,21 9 Pycnonotidae 11 13 0,17 1 0,68

10 Turdidae 3 1 1,00 1 0,32 11 Timaliidae 49 31 4,05 1 0,04 12 Sylviidae 0 25 25,00 1 0,00 13 Platysteiridae 5 0 5,00 1 0,03 14 Monarchidae 0 1 1,00 1 0,32 15 Dicaeidae 0 3 3,00 1 0,08 16 Nectariniidae 37 58 4,64 1 0,03 17 Dicruridae 1 7 4,50 1 0,03

Lampiran 10 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu guild yang tertangkap

pada hutan primer dan sekunder

No Guild Jumlah Individu Uji statistik

Hutan primer Hutan sekunder χ2 df P 1 TFGI 39 23 4,13 1 0,04 2 BGI 7 3 1,60 1 0,21 3 SFGI 9 26 8,26 1 0,00 4 LGI 10 16 1,38 1 0,24 5 FCI 8 10 0,22 1 0,64 6 AF 0 4 4,00 1 0,05 7 TF 0 4 4,00 1 0,05 8 IN 37 58 4,64 1 0,03 9 CI 17 25 1,52 1 0,22 10 IF 11 16 0,93 1 0,34

Page 111: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

92

Lampiran 11 Spesies burung di hutan primer dan sekunder

No Famili Spesies Tipe Hutan

Primer Sekunder 1 Phasianidae Rollulus rouloul 1 02 Columbidae Chalcophaps indica 0 13 Cuculidae Cacomantis sonneratii 0 14 Cuculidae Cacomantis sepulcralis 1 05 Cuculidae Surniculus lugubris 1 06 Trogonidae Harpactes diardii 0 17 Trogonidae Harpactes duvaucelii 1 08 Alcedinidae Alcedo meninting 0 19 Alcedinidae Ceyx rufidorsa 1 110 Alcedinidae Lacedo pulchella 0 111 Alcedinidae Actenoides concretus 1 112 Picidae Sasia abnormis 1 113 Picidae Picus mentalis 1 114 Picidae Picus puniceus 1 015 Picidae Meiglyptes tukki 1 016 Eurylaimidae Cymbirhynchus macrorhynchos 0 117 Pittidae Pitta guajana 1 118 Pycnonotidae Pycnonotus melanicterus 0 119 Pycnonotidae Pycnonotus eutilotus 1 020 Pycnonotidae Pycnonotus plumosus 0 121 Pycnonotidae Pycnonotus simplex 0 122 Pycnonotidae Pycnonotus brunneus 1 023 Pycnonotidae Pycnonotus erythrophtalmus 0 124 Pycnonotidae Criniger phaeocephalus 1 125 Pycnonotidae Tricholestes criniger 1 026 Turdidae Enicurus leschenaulti 1 127 Timaliidae Pellorneum capistratum 1 128 Timaliidae Trichastoma rostratum 1 129 Timaliidae Trichastoma bicolor 1 030 Timaliidae Malacocincla malacense 1 031 Timaliidae Malacopteron affine 1 032 Timaliidae Malacopteron cinereum 1 033 Timaliidae Malacopteron magnum 1 034 Timaliidae Stachyris poliocephala 1 035 Timaliidae Stachyris maculata 1 036 Timaliidae Stachyris nigricollis 1 037 Timaliidae Stachyris erythroptera 1 138 Timaliidae Macronous gularis 0 139 Timaliidae Macronous ptilosus 1 040 Sylviidae Orthotomus atrogularis 0 141 Sylviidae Orthotomus sericeus 0 142 Sylviidae Orthotomus ruficeps 0 143 Platysteiridae Philentoma pyrhopterum 1 0

Page 112: Imanuddin Tesis Konservasi Bio Divers It As Tropika 09

93

No Famili Spesies Tipe Hutan

Primer Sekunder 44 Monarchidae Hypothymis azurea 0 145 Dicaeidae Dicaeum triginostigma 0 146 Dicaeidae Dicaeum cruentatum 0 147 Nectariniidae Hypogramma hypogrammicum 1 148 Nectariniidae Aethopyga siparaja 0 149 Nectariniidae Arachnothera longirostra 1 150 Dicruridae Dicrurus paradiseus 1 1Keterangan: 1= ada 0= tidak ada