11 II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Teoritis 2.1.1. Pengertian Persepsi Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan interaksi dengan lingkungan sekitar, dalam melakukan interaksi itu manusia sering melakukan persepsi dalam lingkungan masyarakatnya. Persepsi terhadap suatu objek akan berbeda pada masing-masing individu tergantung pada pengalaman, proses belajar, sosialisasi, cakrawala dan pengetahuan masing-masing individu tentang objek tertentu. Persepsi juga mencakup konteks kehidupan sosial, sehingga muncul yang disebut dengan persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi pada diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterpretasi, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya, ataupun keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai ojek persepsi tersebut. Menurut Eva Latifa (2012: 64) “persepsi adalah proses mendeteksi sebuah stimulus”.
42
Embed
II.TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/12733/11/BAB 2.pdf · B. Budaya Politik Dalam kehidupan bernegara kita selalu berkaitan dengan kehidupan politik. Kehidupan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1. Pengertian Persepsi
Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan interaksi dengan lingkungan
sekitar, dalam melakukan interaksi itu manusia sering melakukan
persepsi dalam lingkungan masyarakatnya. Persepsi terhadap suatu objek
akan berbeda pada masing-masing individu tergantung pada pengalaman,
proses belajar, sosialisasi, cakrawala dan pengetahuan masing-masing
individu tentang objek tertentu. Persepsi juga mencakup konteks
kehidupan sosial, sehingga muncul yang disebut dengan persepsi sosial.
Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi pada diri seseorang
yang bertujuan untuk mengetahui, menginterpretasi, dan mengevaluasi
orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya, ataupun
keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga
terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai ojek persepsi tersebut.
Menurut Eva Latifa (2012: 64) “persepsi adalah proses mendeteksi
sebuah stimulus”.
12
Menurut Bimo Walgito (2010: 99) “persepsi adalah suatu proses
yang didahului oleh proses pengindraan yaitu merupakan proses
diterimanya stimulus oleh individu melalui indera atau proses
sensoris namun proses itu tidak berhenti begitu saja melainkan
stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan
proses persepsi”.
Menurut Sarlito, W Sarwono (2009: 51) “persepsi adalah pengalaman
untuk membeda-bedakan, mengelompokan, memfokuskan dan
sebagainya itu selanjutnya di interorestasi”.
Menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51) “persepsi adalah pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan–hubungan yang diperoleh
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”.
Menurut Sarlito, W Sarwono (2009: 90), faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi adalah:
1. Perhatian
Biasanya seseorang tidak menanamkan seluruh ransangan yang
ada sekitarnya secara sekaligus tetapi akan memfokuskan
perhatian pada satu atau dua objek saja. Perbedaan fokus ini
menyebabkan perbedaan persepsi.
2. Set
Yaitu harapan seseorang akan ransangan yang timbul.
Perbedaan set ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi.
3. Kebutuhan
Kebutuhan sesaat maupun pada diri seseorang akan
mempengaruhi persepsi orang tersebut.
4. Sistem Nilai
Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh
pula pada persepsi seseorang.
5. Ciri kepribadian
Misalnya A dan B bekerja disuatu kantor. A seorang yang
penakut akan mempersepsikan alasannya sebagai tokoh yang
menakutkan sedangkan si B seorang yang penuh percaya diri
menganggap atasannya yang dapat diajak bergaul seperti orang
biasa lainnya.
13
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, maka persepsi
seseorang sangat menentukan prilaku seseorang tersebut karena persepsi
yang negatif terhadap suatu objek akan mengakibatkan pandangan yang
salah ataupun kurang tepat bagi seseorang dan sebaliknya persepsi yang
positif terhadap suatu objek dapat mengakibatkan pandangan yang tepat
bagi seseorang.
Terbentuknya persepsi seseorang terhadap sesuatu objek pada
lingkungannya didasarkan pada stimulus atau situasi yang sedang
dihadapinya. Berkenaan dengan itu Djamarah (2008:126) menyatakan:
Persepsi dapat terdiri dari suatu situasi yang hadir pada seseorang,
disini seseorang menghadapi kenyataan yang harus dilihat dan
diartikan Dengan demikian setelah seseorang mengetahui keadaan
lingkungannya, semua itu diartikannya pada ingatan dan
pikirannya. Pada gilirannya nanti orang tersebut kemudian
mengartikan atau menginterprestasikan tentang lingkungan yang
dihadapinya dan terakhir orang-orang tersebut akan memberikan
umpan balik.
Jadi, persepsi adalah proses penerimaan dan pengolahan informasi yang
diterima oleh alat indra dan diproses menjadi stimulus yang disampaikan
kepada pikiran seseorang sehingga stimulus tersebut menjadi penilaian
atau penafsiran yang diperoleh dari penginderaan dan pengalaman yang
sudah terjadi. Memberikan kesan, penilaian, pendapat, memahami,
mengorganisir, menafsirkan yang memungkinkan situasi, pristiwa yang
dapat memberikan kesan prilaku yang positif atau negatif. Persepsi
berada pada pikiran dan perasaan manusia secara individu sehingga
memungkinkan orang satu dengan yang lainnya memiliki persepsi yang
berbeda walaupun objek yang dikaji sama.
14
2.1.2. Pengertian Politik
Banyak pengertian tentang politik yang dikemukakan menurut para ahli
ilmu politik dengan hanya melihat satu aspek politiknya saja. Perbedaan-
perbedaan yang dijumpai pada setiap teori pada dasarnya mengacu
kepada keadaan negara, kekuasaan dan pengambilan keputusan,
kebijakaan, dan pembagian kekuasaan.
Pengertain politik menurut etemologinya adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (sistem
pemerintahan- dasar pemerintahan).
2. Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan
sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain.
3. Cara bertindak dalam menghadapi dan menangani suatu
masalah.
Para ahli kenegaraanpun mengemukakan pengertian politik secara
berbeda-beda. Berikut ini pengertian politik menurut para ahli
kenegaraan.
Menurut Harold Laswell dalam Miriam Budiardjo (2000: 11) “politik
adalah masalah apa, mendapat apa, kapan dan bagaimana”.
Willem Zeven Berger dalam Bambang T. Purwanto et.al (2010: 3)
berpendapat bahwa politik dihubungkan dengan dua hal, yaitu seni
(kunst) dan ilmu (wetwns cahp).
15
Miriam Budiardjo (2000: 8) mendefinisikan bahwa ”politik (politics)
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem
itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”.
Politik sebagai kegiatan merupakan usaha untuk membentuk dan
menggunakan kekuasaan oleh orang–orang yang mengkhususkan
diri untuk memikul tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat
yang terorganisir. Politik dalam arti lain adalah sikap, tindakan-
tindakan warga negara yang bersifat “politis”. Bambang T.
Purwanto et.al (2010: 3).
Menurut Karl W. Deutsch dikutip oleh Miriam Budiardjo (2000: 12)
“politik adalah pengambilan keputusan melaluli sarana umum”. (Politics
is the making of decisions by publics means)”.
David Easton seperti dikutip oleh Miriam Budiardjo (2000: 13)
mengemukakan bahwa“politik adalah kehidupan politik yang
mencakup bermacam-macam kegiatan yang mempengaruhi
kebijaksanaan dari pihak yang berwenang yang diterima oleh suatu
masyarakat dan yang mempengaruhi cara untuk melaksanakan itu”.
Konsep perjuangan kekuasaan, umumnya diakui sebagai suatu
perjuangan yang menyangkut kepentingan suatu masyarakat. Dalam
lingkup ini kekuasaan dibatasi sebagai kemampuan seseorang, atau suatu
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan perilaku.
Jadi, berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan politik
adalah kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan kekuasaan
dalam hidup bermasyarakat dan dapat ikut andil dalam pengambilan
keputusan serta kebijakan didalam pemerintahan.
16
A. Konsep Politik
1. Negara (State)
Roger H. Soltau seperti dikutip oleh Miriam Budiardjo (2000: 39)
menyatakan bahwa “negara adalah alat (agency) atau wewenang
(authority) yang rnengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan
bersama, atas nama masyarakat”.
Harold J. Laski dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam (2000: 39)
bahwa “negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah
lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan
bagian dari masyarakat itu”.
Menurut Max Weber dikutip oleh Miriam Budiardjo (2000: 40)
menyatakan bahwa “negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah”.
Jadi, secara umum yang dikatakan negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah (government) oleh sejumlah
pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan
pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol)
monopolistis dari kekuasaan yang sah.
17
a. Negara memilki sifat-sifat , antara lain :
1. Sifat Memaksa
Yaitu mempunyai kekuasaan memakai kekerasan fisik secara
legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya.
2. Sifat Monopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan
bersama dalam masyarakat.
3. Sifat Mencakup semua
Yaitu semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk
semua orang tanpa terkecuali. Misalnya undang-undang untuk
semua.
b. Negara mempunyai unsur-unsur, antara lain :
1. Wilayah
2. Penduduk
3. Pemerintah
4. Kedaulatan
c. Tujuan Negara
Menurut Roger H. Soltau dikutip dalam Miriam Budiardjo (2000:
45) “tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang
serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.”
Harold J. Laski dikutip dalam Miriam Budiardjo (2000: 45),
menerangkan bahwa ”tujuan negara adalah menciptakan keadaan
18
dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-
keinginan secara maksimal.”
Secara umum fungsi negara, yaitu :
a. Melaksanakan penertiban kemampuan mempengaruhi pihak
lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak
yang mempengaruhi.
b. Mengusahakan kesejahteraan rakyat.
c. Pertahanan.
d. Menegakkan keadilan.
2. Kekuasaan (Power)
Miriam Budiardjo (2000: 35) “kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang
atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku”. Jadi,
kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang
untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan dan tujuan orang yang mempunyai
kekuasaan. Sumber-sumber kekuasaan, Yaitu :
a. Kekuasaan fisik.
b. Kedudukan.
c. Jabatan.
d. Kepercayaan.
19
3. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan alternatif terbaik
dari sejumlah alternatif yang tersedia. Teori-teori pengambilan
keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan
semacam itu dibuat. Pembuat keputusan mungkin melakukan
penilaian atas alternatif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut
seberapa pentingnya alternatif-alternatif itu bagi partai politiknya atau
bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang
dipimpinnya.
Pembuatan kebijaksanaan negara sebagai keseluruhan proses yang
menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk
tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke
dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau
legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali
(umpan balik).
4. Kebijakan (Policy)
Kebijakan adalah sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat
umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Kebijakan dalam arti
yang luas adalah sebagai usaha pengadaan informasi yang diperlukan
20
untuk menunjang proses pengambilan kebijakan telah ada sejak
manusia mengenal organisasi dan tahu arti keputusan.
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti
kebujakan. David Easton dikutip dalam Miriam Budiardjo (2000: 13)
menyebutkan ”kebijakan pemerintah sebagai kekuasaan mengalokasi
nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan.”
5. Pembagian (Distribution)
Secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan
wewenang yang dimiliki oleh negara untuk (memerintah, mewakili,
mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian yaitu legislatif, eksekutif,
dan yudikatif untuk diberikan kepada beberapa lembaga negara untuk
menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak atau
lembaga.
B. Budaya Politik
Dalam kehidupan bernegara kita selalu berkaitan dengan kehidupan
politik. Kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Kita akan senantiasa bersingungan dengan politk.
Menurut Alan R. Ball dalam kutipan oleh Bambang T. Purwanto
et.al (2010: 7) ”a political culture is the composed of the
attitudes,beliefs,emotions,and values of society that relate to the
political system and to political issues (suatu susunan yang terdiri
atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik)”.
21
Menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam kutipan oleh
Bambang T. Purwanto et.al (2010: 7) ”budaya politik mengacu pada
orientasi politik sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang
lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut.”
Menurut Robert Dahl dalam Rahman (2007: 267) ”kebudayaan
politik sebagai salah satu sistem yang menjelaskan pola-pola yang
berbeda mengenai pertentangan politik. Unsur budaya politik yang
penting menurut Dahl adalah: orientasi pemecahan masalah,
apakah pragmatis atau rasionalis. Orientasi terhadap aksi bersama
apakah mereka bersifat kerja sama atau tidak (ko-operative atau
non ko-operative). Orientasi terhadap sistem politik, apakah
mereka setia atau tidak. Orientasi terhadap orang lain, apakah
mereka dipercaya atau tidak.
Menurut Rahman (2007: 267) ”budaya politik merupakan bagian
dari kebudayaan masyarakat, dengan ciri-ciri yang lebih khas.
Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi,pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah, kegiatan
partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak
masyarakat terhadap kekuasaan memerintah”.
Jadi dapat ditarik kesimpulan tentang apa itu budaya politik dari teori-
teori diatas adalah pola tingkah laku individu atau warga negara terhadap
sebuah sistem baik perananya dan keikut sertaanya serta penolakanya
pada sebuah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sistem tersebut.
Beberapa definisi budaya politik dapat kita lihat sebagai berikut dalam A.
Rahman H. I (2007: 267) sebagai berikut:
a. Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya
terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh anggota suatu sistem
politik.
22
b. Roy Macridis: budaya politik sebagai tujuan bersama dan peraturan
yang harus diterima bersama.
c. Sanuel Beer: Budaya politik sebagai salah satu konsep dari empat
sistem penting dalam analisa politik menyangkut didalamnya nilai-
nilai keyakinan, sikap dan emosi tentang bagaimana pemerintahan
harus dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah.
d. Lucian Pye melihat budaya politik terlebih pada aspek perkembangan
politik dinegara berkembang, dengan sistem pokok menyangkut
wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan, dan cara standar
untuk penilaian aksi-aksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi
aksi politik.
e. Finer: lebih menekankan pada aspek legistimasi peraturan-peraturan,
lembaga politik dan prosedur.
f. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri sistem,
pengetahuan, adat-istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya dikenal
dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut
memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan
norma lain.
g. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya.
Yang pertama menekankan pada isi dan materi, seperti sosialisme,
demokrasi atau nasionalisme. Yang kedua aspek sistem yang
menganalisa bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti
militan, utopis, terbuka dan tertutup.
23
h. Hakekat dan sistem budaya politik yang menyangkut masalah nilai-
nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang
berhubungan dengan masalah tujuan.
i. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap
terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain
dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau
mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status Quo atau mendorong mobilitas, prioritas
kebijaksanaan (menekankan ekonomi atau politik).
Sidney Verbha dalam kutipan oleh Bambang T. Purwanto et.al (2010: 7)
mengatakan bahwa di dalam budaya politik terdapat komponen-
konponen budaya politik yang berorientasi kepada warga negara, baik
pengetahuan, sikap dan penilaian warga negara terhadap objek
a. Orientasi Kognitif
Orientasi kognitif berisikan pengetahuan dan kesadaran terhadap
objek-objek politik atau berkaitan dengan segala sesuatu yang
dipercaya oleh warga negara dengan dunia politik.
b. Orientasi Afektif
Orientasi afektif ini berisikan tentang perasaan dan emosi tentang
objek politik (setuju atau tidak setuju, menyukai atau tidak
menyukai).
24
c. Orientasi Evaluatif
Orientasi ini adalah tingkat tertinggi dari pemahaman warga negara
terhadap budaya politik. Seseorang yang sudah mencapat orientasi
ini sudah mampu membuat keputusan dan berpendapat tentang
objek politik,dengan berdasarkan informasi-informasi yang didapat
bukan hanya dengan perasaanya saja.
C. Tipe-Tipe Budaya Politik
Berdasarkan orientasi budaya politik diatas maka sistem setiap budaya
politik berbeda-beda perbedaan itu terdapat dalam tipe-tipe budaya
politik.
Menurut gabriel Almond dan Sidney Verba budaya politik mempunyai
tiga tipe yaitu, partisipan, subjek, dan parokial di kutipan oleh Bambang
T. Purwanto et.al (2010: 11).
Jadi di Indonesia sendiri mengembangkan budaya politik partisipan hal
ini dikarenakan sesuai dengan sistem politik demokrasi di Indonesia.
Maka persepsi dan pemahaman soal budaya politik sering memberi arti
sebagai peradaban politik (political civilizatio) yang digandeng dengan
prestasi dalam bidang peradaban dan teknologi. Oleh karena itu budaya
politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai
masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula kedalam pembentukan
struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah.
25
Karena itu sistem politik itu merupakan gabungan antara manusia yang
menyangkut soal kekuasaan aturan dan wewenanng.
D. Sosialisasi Budaya Politik
Budaya politik merupakan produk dari sosialisasi politik. Sosialisasi
budaya politik dimaksudkan untuk membentuk budaya politik warga
negara. Adanya sosialisasi politik warga negara akan memiliki budaya
politik.
Sosialisasi politik ialah, proses oleh pengaruh mana sesorang individu
bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-
persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-
gejala politik. Sosialsisasi politik mecakup pemeriksaan mengenai
lingkungan kultural, lingkungn politik, dan lingkungan sosial dari
masyarakat individu bersangkutan juga mempelajari sikap-sikap politik
serta penilainya terhadap politik.
Menurut Kenneth P. Langton dalam Bambang T. Purwanto et.al (2010:
18) ”mengatakan sosialisasi politik adalah dalam pengertian luas merujuk
pada cara masyarakat dalam mentransmisikan budaya politiknya dari
generasi kegenerasi”.
Menurut Richard E. Dawson dalam Bambang T. Purwanto et.al
(2010: 18) menyebutkan bahwa “sosialsisasi politik dapat
dipandang sebagai warisan pengetahuan, nilai-nilai, dan
pandangan–pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-
sarana sosialisasi lainya kepada warga negara baru dan yeng telah
menginjak dewasa”.
26
Menurut Denniss Kavanagh dalam Bambang T. Purwanto et.al sosialisasi
politik adalah “istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses
dimana individu belajar tentang politik dan mengembangkan orientasinya
terhadap politik”.
Maka sosialisai politik adalah proses belajar dari pengalaman tentang
proses belajar idnividu terhadap politik yang tidak hanya antar individu
itu sendiri tapi juga kepada kelompok .
Ramlan Surbakti dalam Tubagus Ali (2012: 46), membagi sosialisasi
politik dari segi penyampaian pesan menjadi dua, sebagai berikut :
a. Pendidikan Politik
Pendidikan Politik merupakan suatu proses dialogis diantara
pemberi dan penerima pesan. Pendidikan politik dilaksanakan
dalam rangka pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai,
norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik.
b. Indoktrinasi Pendidikan
Indoktrinasi Pendidikan merupakan proses sepihak ketika penguasa
memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima
nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa
sebagai ideal dan baik melalui berbagai forum pengarahan yang
penuh paksaan psikologis, latihan yang penuh disiplin, dan partai
politik dalam sistem politik totaliter.
27
E. Partisipasi Politik
Sosialisasi yang baik adalah melalui jalan pendidikan politik, karena
dapat mendorong masyarakat untuk berubah dari budaya politik parokial-
kaula menjadi budaya politik partisipan. Budaya politik partisipan
membutuhkan partisipan yang aktif dari anggota masyarakat. Di era
reformasi, partisipasi politik merupakan sebuah keharusan yang dibuka
lebar-lebar dan telah menjadi tuntutan dari masyarakat itu sendiri.
Apalagi dalam suatu negara demokrasi, bentuk pemerintahan dibangun
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Setelah para pemilih pemula mendapatkan informasi yang cukup melalui
sosialisasi politik yang baik selanjutnya diharapkan dengan sudah
diberikannya sosialisasi politik maka akan terjadi partisipasi politik.
Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam berpolitik,
menggambarkan tingkat sadar atau tidaknya masyarakat tersebut
terhadap kehidupan politik di negara mereka. Jika tingkat kesadarannya
tinggi, berarti masyarakat mengikuti dan paham akan kehidupan politik
dan ingin ambil bagian di dalamnnya. Sebaliknya jika tingkat
kesadarannya rendah, masyarakat cenderung acuh tak acuh terhadap
politik di negaranya. Hal ini berdampak membuat cara pemerintahan
yang tidak peka terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya.
Menurut Miriam Budiardjo “partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik,
28
yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau
tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy)”.
Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Tubagus Ali (2012: 46),
menyatakan bahwa “partisipasi politik adalah kegiatan warga negara
yang legal, yang sedikit banyak langsung bertujuan mempengaruhi
seleksi pejabat-pejabat negara atau tindakan-tindakan yang diambil oleh
mereka”.
Maka partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara dalam
kegiatan yang legal dalam kehidupan politik untuk ikut serta
mempengaruhi keputusan pemerintahan dan ikut serta memilih wakil-
wakilnya dikursi pemerintahan.
a. Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan”
partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik
mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson (setabasri01.blogspot.com) membagi
bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1. Kegiatan Pemilihan– yaitu kegiatan pemberian suara dalam
pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses,
mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau
tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2. Lobby–yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi
pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan
mereka tentang suatu isu;
3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam
organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
29
4. Contacting– yaitu upaya individu atau kelompok dalam
membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah
guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau
kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan
cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda,
termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta,pembutuhan
politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson
telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik.
Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab
itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk
partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif
lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik
kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka.
Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita
politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif
individu.
Penerapan budaya politik pasrtisipatif terwujud dalam bentuk,
sebagai berikut :
a. Warga negara menggunakan hak-hak politiknya dengan penuh
rasa tanggungjawab.
b. Memenuhi kewajiban-kewajiban politiknya dengan baik.
30
c. Berpartisipasi dalam pemilu.
d. Menggunakan hak pilih sesuai dengan aturan permainan yang
berlaku
2.1.3. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Dalam perspektif Rawls, keadilan berbicara tentang hubungan antara
person moral yang bertujuan menjamin terwujudnya pemahaman setiap
orang mengenai apa yang diyakini sebagai yang baik-baik pada tingkat
interpersonal maupun pada tingkat sosial yang luas.
Dalam istilah Aristoteles dalam Andre (2005: 95) ”keadilan adalah
kebajikan yang utuh dan lengkap karena ia tidak hanya berbicara
mengenai kebaikan bagi pemilik kebajikan itu sendiri, tetapi
keadilan juga menuntut pentingnya memperhatikan kebaikan orang
lain”. Dengan demikian, keadilan sebagai fairness memang pada
dasarnya merupakan suatu moralitas politik yang memberi
perhatian pada distribusi hak dan kewajiban secara adil demi
terciptanya suatu relasi yang saling menguntungkan di antara
segenap warga masyarakat.
Kewajiban merupakan hal yang harus dikerjakan atau dilaksanakan, jika
tidak dilaksanakan dapat mendatangkan sanksi bagi yang melanggarnya.
Sedangkan hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu, namun
kekuasaaan tersebut harus dibatasi oleh Undang-Undang. Pembatasan ini
harus dilakukan agar pelaksanaan hak seseorang tidak sampai melanggar
hak orang lain. Jadi pelaksanaan kewajiban dan hak haruslah seimbang.
Antara hak dan kewajiban haruslah berjalan dengan seimbang. Artinya
kita tidak boleh terus menuntut hak tanpa memenuhi kewajiban.
Sebaliknya, negara juga tidak boleh berlaku sewenang-wenang dengan
31
menuntut warga negara menjalankan kewajibannya tanpa memenuhi hak-
hak mereka.
Menurut Notonagorom dalam (http://7kuadrat.blogspot.) “hak adalah
kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima
atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain
manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa
olehnya”.
“Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya
dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain
manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang
berkepentingan. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan”.
2.1.3.1. Hak Politik Warga Negara
Salah satu hak warga negara Indonesia adalah hak politik atau hak
dalam bidang politik. Hak dan kewajiban berpolitik warga negara
Indonesia telah diatur dalam Pasal 27 ayat 1 berbunyi “segala warga
negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya, “pasal ini memuat dua hak yaitu hak
dimata hukum dan pemerintahaan”.
a. Hak Sama Dalam Hukum
Setiap warga negara tanpa terkecuali bila melakukan pelanggaran
terhadap norma hukum harus ditindak dan dalam proses peradilan