II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan Publik, dan Analisis Kebijakan Publik 1. Kebijakan Publik Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah “Public Policy”. Kata “policy” ada yang menerjemahkan menjadi “kebijakan” (Wibawa, 1994; Darwin; dalam Lembaga Administrasi Negara (LAN), 2008: 4) dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan” (Islamy, 2001; Wahab, 1990; dalam LAN, 2008: 4). Saat ini kecenderungan untuk “policy” diartikan dalam istilah “kebijakan” (LAN, 2008: 4). Pengertian kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli, antara lain sebagai berikut. a. Menurut Thomas R. Dye (LAN, 2008: 4-5), “Public policy is whatever the goverment choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, ini merupakan kebijakan publik yang tentunya ada tujuannya.
32
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik, Implementasi ...digilib.unila.ac.id/6412/15/BAB II.pdf · A. Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan Publik, dan Analisis Kebijakan Publik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Publik, Implementasi Kebijakan Publik, dan
Analisis Kebijakan Publik
1. Kebijakan Publik
Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah “Public Policy”. Kata “policy”
ada yang menerjemahkan menjadi “kebijakan” (Wibawa, 1994; Darwin; dalam
Lembaga Administrasi Negara (LAN), 2008: 4) dan ada juga yang
menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan” (Islamy, 2001; Wahab, 1990; dalam
LAN, 2008: 4). Saat ini kecenderungan untuk “policy” diartikan dalam istilah
“kebijakan” (LAN, 2008: 4).
Pengertian kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli, antara
lain sebagai berikut.
a. Menurut Thomas R. Dye (LAN, 2008: 4-5), “Public policy is whatever the
goverment choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah apapun
pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu).
Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka
tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan tindakan
pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, ini
merupakan kebijakan publik yang tentunya ada tujuannya.
11
b. Menurut James E. Anderson (LAN, 2008: 5), “Public policies are those
policies developed by governmental bodies and official” (Kebijakan publik
adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah).
c. Menurut David Easton (LAN, 2008: 5), “Public policy is the authoritative
allocation of values for the whole society” (Kebijakan publik adalah
pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota masyarakat).
Adapun berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas mengenai pengertian
kebijakan publik, maka dapat disimpulkan kebijakan publik merupakan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah.
Kebijakan tersebut diartikan baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dengan mempunyai tujuan tertentu dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Menurut James L. Anderson dalam LAN (2008: 6-8), jenis-jenis kebijakan publik
dapat dikelompokkan, antara lain sebagai berikut.
a. Substantive and Procedural Policies
Substantive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang dilihat dari
substansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah, seperti kebijakan
pendidikan, kebijakan ekonomi, dan lain sebagainya.
Procedural policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang dilihat dari
pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya (policy stakeholders).
12
Adapun dalam hal ini pembuatan suatu kebijakan publik meskipun ada
instansi/organisasi pemerintah yang secara fungsional berwenang
membuatnya, tetapi dalam pelaksanaan pembuatannya banyak
instansi/organisasi lain yang terlibat.
b. Distributive, Retributive, and Regulatory Policies
Distributive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemberian pelayanan atau keuntungan kepada individu-individu,
kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan.
Retributive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemindahan alokasi kekayaan, kepemilikan, atau hak-hak.
Contohnya adalah kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan
umum.
Regulatory policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pembatasan atau pelarangan terhadap perbuatan atau tindakan.
Contohnya adalah kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan
senjata api.
c. Material Policy
Material policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi
penerimanya.
13
d. Public Goods and Private Goods Policies
Public goods policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh
pemerintah, untuk kepentingan orang banyak. Contohnya kebijakan tentang
perlindungan keamanan dan penyediaan jalan umum.
Private goods policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh pihak
swasta, untuk kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas
dengan imbalan. Contohnya kebijakan pengadaan tempat hiburan, hotel, dan
lain sebagainya.
Menurut Hogwood dan Gunn dalam LAN (2008: 8-10), istilah “kebijakan” dapat
dikelompokkan berdasarkan penggunaannya, antara lain sebagai berikut.
a. Kebijakan sebagai label untuk suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam konteks
ini kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan di mana
pemerintah terlibat didalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan
luar negeri.
b. Kebijakan sebagai ekspresi mengenai tujuan umum atau keadaan yang
dikehendaki. Di sini kebijakan digunakan untuk menyatakan kehendak dan
kondisi yang dituju. Contohnya pernyataan tentang tujuan pembangunan di
bidang sumberdaya manusia untuk menunjukkan aparatur yang bersih.
c. Kebijakan sebagai proposal di bidang tertentu. Dalam konteks ini, kebijakan
lebih berupa proposal, contohnya usulan Rancangan Undang-Undang (RUU)
14
di Bidang Keamanan dan Pertahanan atau RUU tentang Kepegawaian. Di
dalam kebijakan tersebut dijelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan.
d. Kebijakan sebagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagai contoh
adalah keputusan untuk melaksanakan perombakan terhadap sistem
administrasi negara. Keputusan tersebut masih perlu dituangkan dalam
bentuk Peraturan Perundang-undangan.
e. Kebijakan sabagai pengesahan formal (formal authorization). Di sini
kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun keputusan yang salah.
Sebagai contoh Undang-Undang (UU) Nomor 22/1999 yang merupakan
keputusan yang sah dalam rangka penyerahan sebagian urusan pusat ke
daerah.
f. Kebijakan sebagai program yaitu sebagai contoh program peningkatan
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) yang menjelaskan kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan termasuk cara pengorganisasian, pelaksanaan, serta
pembiayaannya.
g. Kebijakan sebagai output, atau apa yang dihasilkan. Yang dimaksud di sini
adalah output yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan. Sebagai contoh
pelayanan yang murah dan cepat atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
profesional, dan lain sebagainya.
h. Kebijakan sebagai outcome, yaitu kebijakan yang menyatakan dampak yang
diharapkan dari suatu kegiatan, seperti pemerintahan yang efisien.
i. Kebijakan sebagai teori atau model. Kebijakan di sini menggambarkan
model dari suatu keadaan, dengan asumsi tentang apa yang dapat dilakukan
oleh pemerintah dan apa konsekwensi dari tindakan pemerintah tersebut.
15
Sebagai contoh, kalau pajak dinaikkan X%, maka revenue diperkirakan naik
Y% atau kalau X dilakukan maka dampak yang timbul adalah Y.
j. Kebijakan sebagai proses atau tahapan yang perlu dilaksanakan.
Menurut Makhya (2006: 83-84) ada beberapa aspek yang perlu dicermati dalam
memahami definisi kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik adalah tindakan
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Jadi, dalam pemahaman
ini, maka yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan adalah
pemerintah. Maka pihak swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak
memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan publik. Kedua, tidak semua
tindakan pemerintah bisa dikategorikan dalam pengertian kebijakan publik.
Istilah publik, menjadi kata kunci untuk memberikan pengertian bahwa tindakan
pemerintah walaupun secara prosedural mengatasnamakan untuk kepentingan
publik, tetapi tindakannya bersifat kepentingan personal, maka tidak bisa
dikategorikan sebagai kebijakan publik. Ketiga, setiap kebijakan pemerintah
harus mengikat pada publik. Kebijakan-kebijakan yang tidak mengikat hanya
bersifat simbolis (Symbolic Policies). Keempat, kebijaksanaan pemerintah harus
ditujukan kepada kepentingan publik dan didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu.
Adapun dalam hal ini, yang akan dikaji oleh peneliti adalah kebijakan
penggunaan lahan pesisir di Kabupaten Lampung Timur dan permasalahan yang
timbul akibat dari kebijakan tersebut. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan
publik terhadap lingkungan (kebijakan lingkungan). Menurut Akib (2010: 27)
kebijakan lingkungan merupakan setiap tindakan yang dilakukan atau tidak
dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu di bidang
16
lingkungan serta bagaimana cara dan dengan sarana apa pengelolaan lingkungan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.
Agustino (2008: 29) membedakan antara pembuat kebijakan primer dan pembuat
kebijakan suplementer/sekunder/pendukung. Pembuat kebijakan primer adalah
aktor-aktor atau stakeholder yang mempunyai wewenang konstitusional langsung
untuk bertindak; misalnya, wewenang bertindak di parlemen yang tidak harus
tergantung pada unit pemerintah lainnya, sedangkan pembuat kebijakan
suplementer/sekunder/pendukung, seperti: instansi administrasi, harus mendapat
wewenang untuk bertindaknya dari lembaga yang lainnya (pembuat kebijakan
primer) dan karena itu, paling tidak secara potensial, ia tergantung atau dapat
dikendalikan oleh mereka (pembuat kebijakan primer).
Jika kita melihat dalam proses pembuatan kebijakan publik sangat berkaitan
dengan politik, karena tidak hanya dari kalangan pemerintah saja, akan tetapi dari
kalangan non pemerintah pun dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
publik. Kaelola (2009:258) menegaskan bahwa politik adalah segala kegiatan
untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik atau masyarakat
umum.Maka tidaklah mengherankan apabila terjadi suatu konflik kebijakan
karena setiap aktor pembuat kebijakan memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
2. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, yang pelaksana
kebijakannya melalui aktivitas atau kegiatan pada akhirnya akan mendapatkan
17
suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kegiatan itu sendiri.
Implementasi kebijakan publik merupakan kajian mengenai pelaksanaan dari
suatu kebijakan pemerintah. Setelah sebuah kebijakan dirumuskan dan disetujui,
langkah berikutnya adalah bagaimana agar kebijakan tersebut dapat mencapai
tujuan. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy maker
untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan
pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2010: 87).
Kamus Webster (Wahab, 2005: 64) merumuskan implementasi secara pendek
bahwa yaitu “to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means
for carriying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give
practical effect to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu)”.
Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 2005: 65) menjelaskan makna implementasi
dengan mengatakan bahwa:
“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.”
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses
dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-
tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan
oleh Gerindle (Agustino, 2008: 139) sebagai berikut:
18
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan
mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah
ditentukan yaitu melihat pada action program tersebut tercapai.”
Sedangkan Meter dan Horn (Wahab, 2005: 65) merumuskan proses implementasi
sebagai:
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-
pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijaksanaan.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan adalah suatu proses dalam penerapan atau pelaksanaan kebijakan
dengan berbagai metode dan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan untuk
mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya akan terlihat dampak atau perubahan-
perubahan atas apa yang sudah dihasilkan oleh para implementor.
Terkait dengan konsep dan pengertian implementasi kebijakan, menurut
Linebery(dalam http://dickta. wordpress.com/author/dickta/di akses pada tanggal
5 November 2014 pukul21.11 WIB) mengatakan bahwa proses implementasi
setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut.
a. Pembentukan unit organisasi baru dan pelaksana
b. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating
procedures/SOP)
c. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran,
pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas dan badan pelaksana
19
d. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan elemen-elemen di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu
keberhasilan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan perlu adanya
koordinasi yang kuat di dalam suatu organisasi baik dalam pembagian tugas
maupun pemenuhan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan yang tentunya
harus disesuaikan dan dimuat dalam SOP (Standard Operating Procedures) yang
telah disepakati.
Implementasi melibatkan usaha dari policy maker untuk mempengaruhi apa yang
oleh Lipsky disebut “Street Level Bureaucrats” untuk memberikan pelayanan
atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana,
implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor.
Sebaliknya untuk kebijakan makro, usaha-usaha implementasi akan melibatkan
berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan, dan pemerintah desa.
Mengenai keterlibatan berbagai aktor dalam implementasi, Ripley dan Franklin
(Subarsono, 2010: 89) menulis sebagai berikut.
“Implementation process involve many important actor holding diffuse
and competing goals and expectations who work within a contexts of an
increasingly large and complex mix of goverment programs that require
perticippation from numerous layers and units of goverment and who are
affected by powerful factors beyond their control”.
Sebuah kebijakan tidak selamanya dapat dilaksanakan dengan berjalan lancar
karena terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhinya yaitu
faktor penentu pemenuhan kebijakan dan faktor penentu penolakan atau
penundaan kebijakan. Faktor pemenuhan kebijakan terdiri dari respeknya anggota
masyarakat pada otoritas dan kepuasan pemerintah, adanya kesadaran untuk
20
menerima kebijakan, adanya sanksi hukum, adanya kepentingan publik, adanya
kepentingan pribadi, dan masalah waktu (Agustino, 2008: 157). Sedangkan faktor
penentu penolakan atau penundaan kebijakan terdiri dari adanya kebijakan yang
bertentangan dengan sistem nilai yang ada, tidak adanya kepastian hukum, adanya
keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi, dan adanya konsep
ketidakpatuhan selektif terhadap hukum (Agustino, 2008: 160).
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy maker bukanlah
jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya.
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau
unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual
maupun variabel organisasional, dan diantaranya saling berinteraksi satu sama
lain. Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai variabel yang terlibat di
dalam implementasi, terdapat beberapa teori implementasi yaitu sebagai berikut.
a. Teori George C. Edward III (1980)
Menurut Edward (Subarsono, 2010: 90), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
4 (empat) variabel, antara lain sebagai berikut.
1) Komunikasi yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar
implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi
tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran
(target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
21
2) Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif.
sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia dan sumberdaya
finansial.
3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator,
seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis.
4) Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi
standar (standard operating procedures atau SOP).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh adanya
komunikasi yang jelas baik antar individu maupun lembaga yang terkait,
pemenuhan sumberdaya yang dibutuhkan, perilaku para implementor yang baik,
serta struktur birokrasi yang dinamis, artinya tidak kaku atau berbelit-belit.
b. Teori Merilee S. Grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Grindle (dalam Subarsono,2010: 93)
dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel, antara lain sebagai berikut.
1) Isi kebijakan (content of policy) yang mencakup sejauh mana kepentingan
kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima
oleh target groups, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah
22
kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah
sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
2) Lingkungan kebijakan yang mencakup seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat,
karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, tingkat kepatuhan dan
responsivitas kelompok sasaran.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin
diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam Agustino (2008: 154),
pengukuran implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
pertama dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi
kebijakannya. Kedua apakah tujuan kebijakan tercapai.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan harus terlihat jelas isi dari suatu kebijakan
tersebut dan mampu melihat situasi lingkungan kebijakan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi proses
implementasinya serta faktor pendukung yang dibutuhkan dalam pencapaian
tujuan.
23
c. Teori Daniel S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Meter dan Horn (Subarsono, 2010: 99) ada 6 (enam) variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi, antara lain sebagai berikut.
1) Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisir.
2) Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya
manusia maupun sumberdaya non manusia.
3) Hubungan antar organisasi artinya sebuah program perlu dukungan dan
koordinasi dengan instansi lain.
4) Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup struktur birokrasi, norma-
norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang akan
mempengaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang mencakup sumberdaya ekonomi
lingkungan, kelompok kepentingan yang memberi dukungan, karakteristik
para partisipan, sifat opini publik.
6) Disposisi implementor yang mencakup respon implementor, pemahaman
terhadap kebijakan dan prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan harus ada kejelasan standar dan sasaran
kebijakan, pemenuhan sumberdaya yang dibutuhkan, koordinasi yang kuat baik
antar individu dalam suatu organisasi maupun dengan instansi lain, disposisi
implementor yang baik, dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.
24
d. Teori G. Shabbir Cheerna dan Dennis A. Roninelli (1983)
Menurut Cheerna dan Rondinelli (Subarsono, 2010: 101), ada 4 (empat)
kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program,
yakni kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya organisasi
untuk implementasi program, serta karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.
e. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)
Menurut Weimer dan Vining (Subarsono, 2010: 103), ada 3 (tiga) kelompok
variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
program, antara lain sebagai berikut.
1) Logika sari suatu kebijakan yang dimaksudkan agar suatu kebijakan yang
ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis.
2) Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi yang mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam,
dan fisik atau geografis.
3) Kemampuan implementor artinya keberhasilan suatu kebijakan dapat
dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan keterampilan dari para implementor
kebijakan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan harus sesuai dengan logika artinya apakah
kebijakan itu masuk akal atau tidak untuk diterapkan, sehingga dapat diterima
oleh masyarakat di lingkungan tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.
Oleh karena itu, lingkungan juga dapat mempengaruhi proses implementasi.
25
Selain itu juga harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, artinya
dituntut pada implementor yang berkompeten dalam menjalankan suatu
kebijakan.
Adapun pada umumnya teori-teori implementasi yang telah dikemukakan di atas,
secara garis besar maksud dan tujuannya adalah sama yaitu variabel yang dapat
mempengaruhi implementasi kebijakan adalah struktur dan koordinasi dalam
suatu organisasi, kemampuan dan sikap para implementor, sumberdaya-
sumberdaya yang dibutuhkan serta kondisi lingkungan baik kondisi sosial,
ekonomi, maupun politik.
f. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Subarsono, 2010: 94), ada tiga kelompok
variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, antara lain sebagai
berikut.
1) Karakteristik Masalah (tractability of the problems). Masalah publik dalam
Subarsono (2010: 95) memiliki beberapa karakteristik yaitu tingkat kesulitan
teknis dari masalah yang bersangkutan, tingkat kemajemukan dari kelompok
sasaran, proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, dan cakupan
perubahan perilaku yang diharapkan.
2) Karakteristik Kebijakan (ability of status to structure implementation).
Kebijakan publik dalam Subarsono (2010: 97) memiliki beberapa
karakteristik yaitu kejelasan isi kebijakan, seberapa jauh kebijakan memiliki
26
dukungan teoritis, besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan
tersebut, seberapa besar adanya keterpautan dukungan antar berbagai institusi
pelaksana, kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana,
tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, dan seberapa luas akses
kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.
3) Variabel Lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
Lingkungan kebijakan publik dalam Subarsono (2010: 98) memiliki beberapa
karakteristik yaitu kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan
teknologi, dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, sikap dari kelompok
pemilik (Consituency Groups), dan tingkat komitmen dan keterampilan dari
aparat dan implementor.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan terlebih dahulu harus menganalisis
masalah yang ada untuk mengetahui mudah atau tidaknya masalah tersebut
diselesaikan. Setelah itu mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan
dalam proses implementasinya dan lingkungan kebijakan yang mempengaruhinya
baik secara internal maupun eksternal.
Selain itu proses implementasi ini juga harus ditinjau menurut tahapan-
tahapannya, antara lain sebagai berikut.
1) Output-output kebijaksanaan (keputusan-keputusan) dari badan-badan
pelaksana.
2) Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut.