Top Banner
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merah Bit merah (Beta vulgaris L.) merupakan tanaman yang berbentuk rumput dan batangnya sangat pendek sehingga hampir tidak terlihat. Bagian akar tumbuh menjadi umbi, bagian daun terkumpul pada leher akar tunggal dan berwarna kemerahan (Steenis, 2005). Warna daging dari bit dipengaruhi oleh cuaca atau musim penanaman, tahap pematangan dan varietas. Warna merah-violet pada buah bit berasal dari pigmen betasianin. Betasianin merupakan pigmen yang mempunyai gugus nitrogen dengan susunan kimia yang mirip dengan antosianin. Selain itu, bit juga mengandung pigmen betaxantin yang bertanggung jawab terhadap warna kuning-oranye (Widhiana, 2000). Gambar bit merah dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Bit Merah (Beta vulgaris L.) (Rahmawati, 2016) Umbi bit biasa ditanam di daerah sejuk. Bit dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1000 meter diatas permukaan laut (mdpl). Akan tetapi, bit putih mampu tumbuh di ketinggian 500 mdpl. Bit yang tumbuh pada dataran rendah biasanya tidak mampu membentuk umbi (Widhiana, 2000).
15

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

Dec 26, 2019

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bit Merah

Bit merah (Beta vulgaris L.) merupakan tanaman yang berbentuk rumput

dan batangnya sangat pendek sehingga hampir tidak terlihat. Bagian akar tumbuh

menjadi umbi, bagian daun terkumpul pada leher akar tunggal dan berwarna

kemerahan (Steenis, 2005). Warna daging dari bit dipengaruhi oleh cuaca atau

musim penanaman, tahap pematangan dan varietas. Warna merah-violet pada

buah bit berasal dari pigmen betasianin. Betasianin merupakan pigmen yang

mempunyai gugus nitrogen dengan susunan kimia yang mirip dengan antosianin.

Selain itu, bit juga mengandung pigmen betaxantin yang bertanggung jawab

terhadap warna kuning-oranye (Widhiana, 2000). Gambar bit merah dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Bit Merah (Beta vulgaris L.)

(Rahmawati, 2016)

Umbi bit biasa ditanam di daerah sejuk. Bit dapat tumbuh dengan baik pada

dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1000 meter diatas permukaan laut (mdpl).

Akan tetapi, bit putih mampu tumbuh di ketinggian 500 mdpl. Bit yang tumbuh

pada dataran rendah biasanya tidak mampu membentuk umbi (Widhiana, 2000).

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

7

Menurut Bor et al. (2003), umbi bit merupakan tanaman yang tumbuh di

Eropa, Asia, dan Amerika. Di Indonesia umbi bit banyak dibudidayakan di pulau

Jawa, terutama di Cipanas, Lembang, Pangalengan, dan Batu Kabupaten Malang

(Sunarjono, 2013). Umbi bit dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi

dengan ketinggian diatas 1000 mdpl. Umbi bit yang tumbuh pada dataran rendah

biasanya tidak mampu membentuk umbi (Widhiana, 2000).

Berdasarkan taksonomi tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (2010) dan

Widhiana (2000), bit merah diklasifikasikan sebagai kingdom Plantae

(tumbuhan), subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), super divisi

Spermatophyta (tumbuhan berbiji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga),

kelas Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/dikotil), sub kelas Hamamelidae,

ordo Caryophyllales, famili Chenopodiaceae, genus Beta, spesies Beta vulgaris L.

Bit memiliki rasa yang enak, agak manis, dan agak renyah, serta

merupakan sumber vitamin B, vitamin A, dan sedikit vitamin C. Terdapat dua

macam varietas bit yang terkenal, yaitu bit putih atau bit potongan (Beta vulgaris

l. var. cicla l.), yaitu varietas yang umbinya berwarna merah keputih-putihan, dan

bit merah (Beta vulgaris l. var. rubra l.), yaitu varietas yang umbinya berwarna

merah tua dan banyak ditanam di beberapa daerah di Indoensia (Widhiana, 2000).

Umbi bit mengandung kalium sebesar 14,8%, serat sebesar 13,6%, vitamin

C sebesar 10,2%, magnesium sebesar 9,8%, tritofan sebesar 1,4%, zat besi sebesar

7,4%, tembaga sebesar 6,5%, fosfor sebesar 6,5%, dan kumarin (Deptan, 2012).

Kandungan kimia dalam 100 g umbi bit dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

8

Tabel 1. Kandungan Gizi Bit Merah (per 100 g Bahan)

Nutrisi Kandungan

Air (g) 87,58

Energi (kkal) 43,00

Protein (g) 1,61

Total lipid/lemak (g) 0,17

Karbohidrat (g) 9,56

Serat (g) 2,80

Total gula (g) 6,76

Kalsium, Ca (mg) 16,00

Besi, Fe (mg) 0,80

Magnesium, Mg (mg) 23,00

Fosfor, P (mg) 40,00

Kalium, K (mg) 325,00

Natrium, Na (mg) 78,00

Vitamin C, total asam askorbat (mg) 4,90

Thiamin (mg) 0,03

Riboflavin (mg) 0,04

Niacin (mg) 0,33

Vitamin B6 (mg) 0,07

Vitamin E 0,04

Vitamin K 0,20

Asam lemak jenuh 0,03

(USDA, 2014 dikutip Sari et al., 2018)

Menurut Widawati dan Prasetrowati (2013), bit merah diketahui

mengandung komponen bioaktif berupa senyawa flavonoid, alkaloid, sterol,

triterpen, saponin, dan tanin. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat

menyebabkan penghambatan terhadap sintesis dinding sel (Mojab et al, 2008).

Senyawa flavonoid yang terkandung di dalam bit merah dapat berfungsi sebagai

antimikroba dengan cara menghambat sintesis membran sel mikroba sehingga

mikroba tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang biak. Sementara itu,

penelitian Canadanovic-Brunet et al (2011) melaporkan bahwa bit merah juga

mengandung sejumlah asam fenolik dalam jumlah yang signifikan, antara lain

ferulic, protocatechuic, vanilic, p-coumaric, p-hydroxybenxoi, dan syringic acid.

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

9

Berbagai komponen bioaktif yang dikandung bit merah tersebut berpotensi

sebagai senyawa antimikroba. Selain komponen bioaktif, bit merah juga

mengandung komponen gizi, yaitu 87,20% kadar air, 1,02% kadar abu, 1,35%

protein, 0,20% lemak, 0,87% serat, 9,36% karbohidrat, dan 44,64% energi

(Kcal/100g) (Nisa et al, 2015).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan penarikan kandungan kiimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia

yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang

tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif

yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan

minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa

aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan

cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), metode ekstraksi terbagi

menjadi beberapa metode, yaitu:

a. Cara dingin

1) Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prosedurnya dilakukan

dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah

tertutup. Perlakuan pengadukan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

10

Kelemahan dari maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang

cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan

sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya metabolit.

Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang

terlarut pada suhu kamar (27oC). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada

suhu kamar (27oC), sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang

tidak tahan panas.

2) Perkolasi

Perkolasi adalah proses mengekstraksi senyawa terlarut dari jaringan

selular simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang

umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai, baik

untuk ekstraksi pendahuluan maupun dalam jumlah besar.

b. Cara panas

1) Refluks

Refluks adalah metode ekstraksi yang bahannya direndam dengan cairan

penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin

tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap,

uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali

menyari zat aktif dalam simplisia tersebut. Ekstraksi ini biasanya

dilakukan tiga kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam.

2) Sokletasi

Sokletasi adalah metode ekstraksi dengan prinsip pemanasan dan

perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan dinding

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

11

dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel.

Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan

terlarut ke dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas

dan melewati pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut

menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas

lubang pipa samping soxhlet, maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang

berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik.

3) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari suhu ruangan, yaitu secara umum

dilakukan pada suhu 40 – 50°C.

4) Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air (bejana

infus tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur (96 – 98oC)

selama waktu tertentu (15 – 20 menit).

5) Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik

didih air, yaitu pada suhu 90 – 100°C selama 30 menit.

Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit

merah. Maserasi adalah metode yang paling sederhana dan digunakan untuk

simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari.

Prinsip dari metode ini adalah penghancuran dan perendaman bahan dalam

pelarut. Metode ini tidak membutuhkan suhu tinggi sehingga cocok untuk

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

12

mengekstrak bahan yang tidak tahan panas (volatil). Mekanisme kerja dari metode

maserasi adalah cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam

rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat di dalam sel dan di luar sel, maka larutan

yang pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berlanjut sehingga terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Cairan penyari

yang digunakan dapat berupa air, etanol, atau pelarut lain (Sitepu, 2010).

Menurut Meloan (1999), keuntungan dari metode maserasi adalah metode

ini sederhana dan dapat menghindari terjadinya kerusakan komponen tertentu

yang tidak tahan panas. Metode ini biasa digunakan untuk mengekstrak jaringan

tanaman yang belum diketahui senyawa yang kemungkinan bersifat tidak tahan

panas, sehingga kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Kelemahannya

adalah kebutuhan bahan pelarutnya yang cukup banyak dibandingkan dengan

metode lain.

Menurut Sari et al (2016) ekstraksi pada bit merah dapat dilakukan dengan

berbagai macam pelarut, seperti metanol, etanol, dan kloroform. Akan tetapi,

penggunaan metanol sebagai pelarut dalam proses ekstraksi akan membahayakan

jika hasil ekstraksi diaplikasikan ke dalam produk makanan atau minuman sebab

metanol mempunyai sifat yang sangat beracun sedangkan penelitian ini

diharapkan menghasilkan antimikroba yang nantinya dapat diaplikasikan sebagai

pengawet makanan dan minuman. Sementara itu, penggunaan pelarut nonpolar

seperti kloroform pada proses ekstraksi mengakibatkan hasil rendemen ekstrak

akan menjadi rendah.

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

13

Somaatmadja (1981) menyatakan bahwa etanol adalah pelarut paling aman

karena tidak beracun. Etanol merupakan pelarut yang sesuai untuk melarutkan

senyawa organik dengan polaritas medium dengan sifat mudah menguap dan

memiliki titik didih sekitar 78,4°C. Indeks polaritas etanol adalah 5,2 (Palleros,

1993). Nilai ambang batas (NAB) etanol berdasarkan SNI 19-0232-2005 adalah

1000 ppm atau 1880 mg/m3.

2.3 Antimikroba

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kima yang dapat

menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992) zat

antimikroba dapat bersifat bakterial (membunuh bakteri), bakeristatik

(menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik, atau menghambat

germinasi spora bakteri.

Aktivitas antimikroba dimiliki senyawa-senyawa kimia tertentu seperti

fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa

amonium kuartener. Masing-masing senyawa memiliki mekanisme khusu dalam

menghambat atau membunuh mikroba (Pelczar dan Chan, 1986).

Senyawa fenol dan senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan

mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahan-

bahan inttraselular serta dapat mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti

enzim. Alkohol akan mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dan

membran sel mikroba; halogen yang terdiri dari iodium, klor, dan bromin dapat

mengoksidasi dan merusak organel penting dari sel mikroba, sedangkan logam

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

14

akan menginaktifkan protein seluler. Deterjen akan merusak membran sitoplasma

dan menyebabkan kebocoran bahan intraseluler, sedankan senyawa amonium

kuartener akan mendenaturasi protein, menggangu proses metabolisme dan

merusak membran sitoplasma (Windarwati, 2011).

Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara

meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan

protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang

bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam

amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar

mampu menginaktifkan enzim essential di dalam sel mikroba meskipun pada

konsentrasi yang sangay rendah (Prindle, 1983 dikutip Windarwati, 2011).

Senyawa fenolik bermolekul besar mampu memutuskan ikatan

peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding

sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan cara merusak

ikatan hidrofilik komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) serta

larutnya kommponen-komponen yang berikatan secara hidrofibik yang berakibat

meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel

mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang

diperlukan dalam reaksi metabolisme (Windarwati, 2011).

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

15

2.4 Metode Pengujian Antimikroba

Pengujian antimikroba dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

sensitivitas mikroorganisme terhadap suatu agen antimikroba. Menurut Pratiwi

(2008), metode uji antimikroba terdiri dari beberapa metode, antara lain:

1) Metode difusi

a. Metode disc diffusion (metode Kirby-Bauer)

Metode ini digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba.

Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah

ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area

jernih (bening) mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme

oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.

b. Metode E-test

Metode ini digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory

Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum). KHM yaitu konsentrasi

minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme. Metode ini menggunakan strip plastik yang mengandung agen

antimikroba dari kadar terendah hingga kadar tertinggi dan diletakkan pada

permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan

dilakukan pada area bening yang ditimbulkan yang menunjukkan kadar agen

antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

c. Ditch plate technique.

Sampel uji pada metode ini berupa agen antimikroba diletakkan pada parit

yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

16

tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke

arah parit yang berisi agen antimikroba.

d. Cup plate technique.

Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, yaitu dibuat sumur pada

media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut

diberi antimikroba yang diuji.

e. Gradient plate technique.

Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar secara

teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji

ditambahkan. Campuran kemudian dituangkan ke dalam cawan petri dan

diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang diatasnya dan

diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan

permukaan media mongering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada

arah mulai dari konsentrasi tinggi hingga ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai

panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin

dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan. Hal yang perlu

diperhatikan adalah hasil perbandingan yang didapat dari lingkungan padat dan

cair, faktor difusi agen antimikroba dapat memengaruhi keseluruhan hasil pada

media padat.

Selain kelima metode diatas, terdapat pula metode difusi sumuran. Cara

pengujian metode ini adalah dengan pembuatan sumuran pada permukaan agar

yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme. Jarak antara titik tengah sumur

dengan sumur yang lainnya kurang lebih 28-30 mm (Depkes RI, 1995).

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

17

2) Metode dilusi

a. Metode dilusi cair / Broth dilution test (Serial dilution)

Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau

Kadar Hambat Minimum (KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal

Concentration) atau Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah

dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang

ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar

terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan

sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut kemudian dikultur

ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba,

dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah

diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.

b. Metode dilusi padat / Solid dilution test

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media

padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang

diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji. Kekuatan atau

efektivitas suatu senyawa antimikroba dapat dilihat dari ukuran diameter zona

hambat antimikroba tersebut. Zona hambat yang terbentuk berupa areal bening

yang berbentuk lingkaran di sekitar senyawa antimikroba. Menurut Cappuccino

dan Sherman (2001), efektivitas antimikroba dikategorikan dalam tiga kelompok,

yaitu resisten dengan diameter <12 mm, intermediet dengan diameter 13-17 mm,

dan sensitif dengan diameter >18 mm. Sementara itu, menurut Arora dan

Bhardwaj (1997), efektivitas antimikorba dengan diameter areal bening >12 mm

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

18

dikategorikan tinggi (sensitif), diameter areal bening 7-12 mm dikategorikan

sedang (intermediet), dan diameter <6 mm dikategorikan rendah (resisten).

2.5 Bakteri Patogen Pangan

Patogenitas merupakan kemampuan organisme untuk menimbulkan

penyakit tertentu (Pelczar dan Chan, Pelczar, 1986). Bakteri patogen merupakan

mikroorganisme indikator keamanan pangan, dapat menyebabkan keracunan

makanan melalui intoksikasi, serta dapat menyebabkan infeksi pada manusia.

Beberapa contoh bakteri patogen yang menginfeksi manusia adalah Escherichia

coli, Staphylococcus aureus, Salmonella thyposa, Clostridium botulinum, dan

lain-lain. Penelitian ini hanya menggunakan dua jenis bakteri patogen, yaitu

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus sebab kedua bakteri tersebut umum

menginfeksi manusia dan mengkontaminasi pangan.

2.5.1 Escherichia coli

E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam

saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan

salah satu bakteri yang termasuk ke dalam golongan koliform dan secara normal

hidup di dalam usus besar dan kotoran, sehingga disebut juga dengan koliform

fekal yang keberadaannya sering digunakan sebagai indikator pencemaran. E. coli

adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, dan tidak membentuk spora

(Fardiaz, 1992).

Bakteri E. coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya kadang-kadang

ditemukan dalam jumlah kecil sebagai bagian floral normal saluran napas atas dan

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

19

genital. Bakteri enterik biasanya tidak menyebabkan penyakit, dan di dalam usus

organisme ini bahkan mungkin berperan terhadap fungsi dan nutrisi normal.

Bakteri hanya menjadi patogen bila bakteri ini berada dalam jaringan di luar

jaringan usus yang normal atau di tempat yang jarang terdapat floral normal

(Jawetz dan Adelberg, 2001). Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas dan dapat

diinaktifkan pada suhu pasteurisasi (Supardi dan Sukamto, 1999 dikutip

Rachmayati, 2013).

Gambar 2. Escherichia coli

(Rocky Mountain Laboratories, 2005)

2.5.2 Staphylococcus aureus

S. aureus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat diameter 0,7 – 1,2

µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,

fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh

pada suhu optimum 37oC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar

(20-25oC) (Jawetz dan Adelberg, 2001).

S. aureus ditemukan sebagai flora normal pada kulit, saluran pernapasan,

dan saluran cerna manusia. S. aureus merupakan penyebab penyakit infeksi

piogenik kulit paling sering dan juga merupakan spesies paling patogen. Bakteri

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit Merahmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2015/240210150038_2_1954.pdf · Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit merah. Maserasi

20

tersebut mampun menimbulkan penyakit-penyakit yang berspektrum luas pada

manusia dimulai dari penyakit yang disebabkan oleh toxic, seperti toxic shock

syndrome, sampai dengan penyakit-penyakit yang mematikan seperti speticemia,

endocarditis, pneumonia, dan osteomyelitis (Nickerson et al., 2009).

Gambar 3. Staphylococcus aureus

(Carr, 2001)