Page 1
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bit Merah
Bit merah (Beta vulgaris L.) merupakan tanaman yang berbentuk rumput
dan batangnya sangat pendek sehingga hampir tidak terlihat. Bagian akar tumbuh
menjadi umbi, bagian daun terkumpul pada leher akar tunggal dan berwarna
kemerahan (Steenis, 2005). Warna daging dari bit dipengaruhi oleh cuaca atau
musim penanaman, tahap pematangan dan varietas. Warna merah-violet pada
buah bit berasal dari pigmen betasianin. Betasianin merupakan pigmen yang
mempunyai gugus nitrogen dengan susunan kimia yang mirip dengan antosianin.
Selain itu, bit juga mengandung pigmen betaxantin yang bertanggung jawab
terhadap warna kuning-oranye (Widhiana, 2000). Gambar bit merah dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Bit Merah (Beta vulgaris L.)
(Rahmawati, 2016)
Umbi bit biasa ditanam di daerah sejuk. Bit dapat tumbuh dengan baik pada
dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1000 meter diatas permukaan laut (mdpl).
Akan tetapi, bit putih mampu tumbuh di ketinggian 500 mdpl. Bit yang tumbuh
pada dataran rendah biasanya tidak mampu membentuk umbi (Widhiana, 2000).
Page 2
7
Menurut Bor et al. (2003), umbi bit merupakan tanaman yang tumbuh di
Eropa, Asia, dan Amerika. Di Indonesia umbi bit banyak dibudidayakan di pulau
Jawa, terutama di Cipanas, Lembang, Pangalengan, dan Batu Kabupaten Malang
(Sunarjono, 2013). Umbi bit dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi
dengan ketinggian diatas 1000 mdpl. Umbi bit yang tumbuh pada dataran rendah
biasanya tidak mampu membentuk umbi (Widhiana, 2000).
Berdasarkan taksonomi tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (2010) dan
Widhiana (2000), bit merah diklasifikasikan sebagai kingdom Plantae
(tumbuhan), subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), super divisi
Spermatophyta (tumbuhan berbiji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga),
kelas Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/dikotil), sub kelas Hamamelidae,
ordo Caryophyllales, famili Chenopodiaceae, genus Beta, spesies Beta vulgaris L.
Bit memiliki rasa yang enak, agak manis, dan agak renyah, serta
merupakan sumber vitamin B, vitamin A, dan sedikit vitamin C. Terdapat dua
macam varietas bit yang terkenal, yaitu bit putih atau bit potongan (Beta vulgaris
l. var. cicla l.), yaitu varietas yang umbinya berwarna merah keputih-putihan, dan
bit merah (Beta vulgaris l. var. rubra l.), yaitu varietas yang umbinya berwarna
merah tua dan banyak ditanam di beberapa daerah di Indoensia (Widhiana, 2000).
Umbi bit mengandung kalium sebesar 14,8%, serat sebesar 13,6%, vitamin
C sebesar 10,2%, magnesium sebesar 9,8%, tritofan sebesar 1,4%, zat besi sebesar
7,4%, tembaga sebesar 6,5%, fosfor sebesar 6,5%, dan kumarin (Deptan, 2012).
Kandungan kimia dalam 100 g umbi bit dapat dilihat pada Tabel 1.
Page 3
8
Tabel 1. Kandungan Gizi Bit Merah (per 100 g Bahan)
Nutrisi Kandungan
Air (g) 87,58
Energi (kkal) 43,00
Protein (g) 1,61
Total lipid/lemak (g) 0,17
Karbohidrat (g) 9,56
Serat (g) 2,80
Total gula (g) 6,76
Kalsium, Ca (mg) 16,00
Besi, Fe (mg) 0,80
Magnesium, Mg (mg) 23,00
Fosfor, P (mg) 40,00
Kalium, K (mg) 325,00
Natrium, Na (mg) 78,00
Vitamin C, total asam askorbat (mg) 4,90
Thiamin (mg) 0,03
Riboflavin (mg) 0,04
Niacin (mg) 0,33
Vitamin B6 (mg) 0,07
Vitamin E 0,04
Vitamin K 0,20
Asam lemak jenuh 0,03
(USDA, 2014 dikutip Sari et al., 2018)
Menurut Widawati dan Prasetrowati (2013), bit merah diketahui
mengandung komponen bioaktif berupa senyawa flavonoid, alkaloid, sterol,
triterpen, saponin, dan tanin. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat
menyebabkan penghambatan terhadap sintesis dinding sel (Mojab et al, 2008).
Senyawa flavonoid yang terkandung di dalam bit merah dapat berfungsi sebagai
antimikroba dengan cara menghambat sintesis membran sel mikroba sehingga
mikroba tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang biak. Sementara itu,
penelitian Canadanovic-Brunet et al (2011) melaporkan bahwa bit merah juga
mengandung sejumlah asam fenolik dalam jumlah yang signifikan, antara lain
ferulic, protocatechuic, vanilic, p-coumaric, p-hydroxybenxoi, dan syringic acid.
Page 4
9
Berbagai komponen bioaktif yang dikandung bit merah tersebut berpotensi
sebagai senyawa antimikroba. Selain komponen bioaktif, bit merah juga
mengandung komponen gizi, yaitu 87,20% kadar air, 1,02% kadar abu, 1,35%
protein, 0,20% lemak, 0,87% serat, 9,36% karbohidrat, dan 44,64% energi
(Kcal/100g) (Nisa et al, 2015).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan penarikan kandungan kiimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa
aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan
cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), metode ekstraksi terbagi
menjadi beberapa metode, yaitu:
a. Cara dingin
1) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prosedurnya dilakukan
dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah
tertutup. Perlakuan pengadukan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi.
Page 5
10
Kelemahan dari maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang
cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan
sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya metabolit.
Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang
terlarut pada suhu kamar (27oC). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada
suhu kamar (27oC), sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang
tidak tahan panas.
2) Perkolasi
Perkolasi adalah proses mengekstraksi senyawa terlarut dari jaringan
selular simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang
umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai, baik
untuk ekstraksi pendahuluan maupun dalam jumlah besar.
b. Cara panas
1) Refluks
Refluks adalah metode ekstraksi yang bahannya direndam dengan cairan
penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin
tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap,
uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali
menyari zat aktif dalam simplisia tersebut. Ekstraksi ini biasanya
dilakukan tiga kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam.
2) Sokletasi
Sokletasi adalah metode ekstraksi dengan prinsip pemanasan dan
perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan dinding
Page 6
11
dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel.
Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan
terlarut ke dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas
dan melewati pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut
menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas
lubang pipa samping soxhlet, maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang
berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari suhu ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada suhu 40 – 50°C.
4) Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur (96 – 98oC)
selama waktu tertentu (15 – 20 menit).
5) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik
didih air, yaitu pada suhu 90 – 100°C selama 30 menit.
Penelitian ini menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi bit
merah. Maserasi adalah metode yang paling sederhana dan digunakan untuk
simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari.
Prinsip dari metode ini adalah penghancuran dan perendaman bahan dalam
pelarut. Metode ini tidak membutuhkan suhu tinggi sehingga cocok untuk
Page 7
12
mengekstrak bahan yang tidak tahan panas (volatil). Mekanisme kerja dari metode
maserasi adalah cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam
rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat di dalam sel dan di luar sel, maka larutan
yang pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berlanjut sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Cairan penyari
yang digunakan dapat berupa air, etanol, atau pelarut lain (Sitepu, 2010).
Menurut Meloan (1999), keuntungan dari metode maserasi adalah metode
ini sederhana dan dapat menghindari terjadinya kerusakan komponen tertentu
yang tidak tahan panas. Metode ini biasa digunakan untuk mengekstrak jaringan
tanaman yang belum diketahui senyawa yang kemungkinan bersifat tidak tahan
panas, sehingga kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Kelemahannya
adalah kebutuhan bahan pelarutnya yang cukup banyak dibandingkan dengan
metode lain.
Menurut Sari et al (2016) ekstraksi pada bit merah dapat dilakukan dengan
berbagai macam pelarut, seperti metanol, etanol, dan kloroform. Akan tetapi,
penggunaan metanol sebagai pelarut dalam proses ekstraksi akan membahayakan
jika hasil ekstraksi diaplikasikan ke dalam produk makanan atau minuman sebab
metanol mempunyai sifat yang sangat beracun sedangkan penelitian ini
diharapkan menghasilkan antimikroba yang nantinya dapat diaplikasikan sebagai
pengawet makanan dan minuman. Sementara itu, penggunaan pelarut nonpolar
seperti kloroform pada proses ekstraksi mengakibatkan hasil rendemen ekstrak
akan menjadi rendah.
Page 8
13
Somaatmadja (1981) menyatakan bahwa etanol adalah pelarut paling aman
karena tidak beracun. Etanol merupakan pelarut yang sesuai untuk melarutkan
senyawa organik dengan polaritas medium dengan sifat mudah menguap dan
memiliki titik didih sekitar 78,4°C. Indeks polaritas etanol adalah 5,2 (Palleros,
1993). Nilai ambang batas (NAB) etanol berdasarkan SNI 19-0232-2005 adalah
1000 ppm atau 1880 mg/m3.
2.3 Antimikroba
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kima yang dapat
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992) zat
antimikroba dapat bersifat bakterial (membunuh bakteri), bakeristatik
(menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik, atau menghambat
germinasi spora bakteri.
Aktivitas antimikroba dimiliki senyawa-senyawa kimia tertentu seperti
fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa
amonium kuartener. Masing-masing senyawa memiliki mekanisme khusu dalam
menghambat atau membunuh mikroba (Pelczar dan Chan, 1986).
Senyawa fenol dan senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan
mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahan-
bahan inttraselular serta dapat mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti
enzim. Alkohol akan mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dan
membran sel mikroba; halogen yang terdiri dari iodium, klor, dan bromin dapat
mengoksidasi dan merusak organel penting dari sel mikroba, sedangkan logam
Page 9
14
akan menginaktifkan protein seluler. Deterjen akan merusak membran sitoplasma
dan menyebabkan kebocoran bahan intraseluler, sedankan senyawa amonium
kuartener akan mendenaturasi protein, menggangu proses metabolisme dan
merusak membran sitoplasma (Windarwati, 2011).
Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara
meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan
protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang
bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam
amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar
mampu menginaktifkan enzim essential di dalam sel mikroba meskipun pada
konsentrasi yang sangay rendah (Prindle, 1983 dikutip Windarwati, 2011).
Senyawa fenolik bermolekul besar mampu memutuskan ikatan
peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding
sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan cara merusak
ikatan hidrofilik komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) serta
larutnya kommponen-komponen yang berikatan secara hidrofibik yang berakibat
meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel
mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang
diperlukan dalam reaksi metabolisme (Windarwati, 2011).
Page 10
15
2.4 Metode Pengujian Antimikroba
Pengujian antimikroba dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
sensitivitas mikroorganisme terhadap suatu agen antimikroba. Menurut Pratiwi
(2008), metode uji antimikroba terdiri dari beberapa metode, antara lain:
1) Metode difusi
a. Metode disc diffusion (metode Kirby-Bauer)
Metode ini digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba.
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah
ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area
jernih (bening) mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.
b. Metode E-test
Metode ini digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum). KHM yaitu konsentrasi
minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Metode ini menggunakan strip plastik yang mengandung agen
antimikroba dari kadar terendah hingga kadar tertinggi dan diletakkan pada
permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan
dilakukan pada area bening yang ditimbulkan yang menunjukkan kadar agen
antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.
c. Ditch plate technique.
Sampel uji pada metode ini berupa agen antimikroba diletakkan pada parit
yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian
Page 11
16
tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke
arah parit yang berisi agen antimikroba.
d. Cup plate technique.
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, yaitu dibuat sumur pada
media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut
diberi antimikroba yang diuji.
e. Gradient plate technique.
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar secara
teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji
ditambahkan. Campuran kemudian dituangkan ke dalam cawan petri dan
diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang diatasnya dan
diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan
permukaan media mongering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada
arah mulai dari konsentrasi tinggi hingga ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin
dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah hasil perbandingan yang didapat dari lingkungan padat dan
cair, faktor difusi agen antimikroba dapat memengaruhi keseluruhan hasil pada
media padat.
Selain kelima metode diatas, terdapat pula metode difusi sumuran. Cara
pengujian metode ini adalah dengan pembuatan sumuran pada permukaan agar
yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme. Jarak antara titik tengah sumur
dengan sumur yang lainnya kurang lebih 28-30 mm (Depkes RI, 1995).
Page 12
17
2) Metode dilusi
a. Metode dilusi cair / Broth dilution test (Serial dilution)
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau
Kadar Hambat Minimum (KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal
Concentration) atau Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah
dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang
ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar
terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan
sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut kemudian dikultur
ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba,
dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah
diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.
b. Metode dilusi padat / Solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang
diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji. Kekuatan atau
efektivitas suatu senyawa antimikroba dapat dilihat dari ukuran diameter zona
hambat antimikroba tersebut. Zona hambat yang terbentuk berupa areal bening
yang berbentuk lingkaran di sekitar senyawa antimikroba. Menurut Cappuccino
dan Sherman (2001), efektivitas antimikroba dikategorikan dalam tiga kelompok,
yaitu resisten dengan diameter <12 mm, intermediet dengan diameter 13-17 mm,
dan sensitif dengan diameter >18 mm. Sementara itu, menurut Arora dan
Bhardwaj (1997), efektivitas antimikorba dengan diameter areal bening >12 mm
Page 13
18
dikategorikan tinggi (sensitif), diameter areal bening 7-12 mm dikategorikan
sedang (intermediet), dan diameter <6 mm dikategorikan rendah (resisten).
2.5 Bakteri Patogen Pangan
Patogenitas merupakan kemampuan organisme untuk menimbulkan
penyakit tertentu (Pelczar dan Chan, Pelczar, 1986). Bakteri patogen merupakan
mikroorganisme indikator keamanan pangan, dapat menyebabkan keracunan
makanan melalui intoksikasi, serta dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
Beberapa contoh bakteri patogen yang menginfeksi manusia adalah Escherichia
coli, Staphylococcus aureus, Salmonella thyposa, Clostridium botulinum, dan
lain-lain. Penelitian ini hanya menggunakan dua jenis bakteri patogen, yaitu
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus sebab kedua bakteri tersebut umum
menginfeksi manusia dan mengkontaminasi pangan.
2.5.1 Escherichia coli
E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam
saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan
salah satu bakteri yang termasuk ke dalam golongan koliform dan secara normal
hidup di dalam usus besar dan kotoran, sehingga disebut juga dengan koliform
fekal yang keberadaannya sering digunakan sebagai indikator pencemaran. E. coli
adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, dan tidak membentuk spora
(Fardiaz, 1992).
Bakteri E. coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya kadang-kadang
ditemukan dalam jumlah kecil sebagai bagian floral normal saluran napas atas dan
Page 14
19
genital. Bakteri enterik biasanya tidak menyebabkan penyakit, dan di dalam usus
organisme ini bahkan mungkin berperan terhadap fungsi dan nutrisi normal.
Bakteri hanya menjadi patogen bila bakteri ini berada dalam jaringan di luar
jaringan usus yang normal atau di tempat yang jarang terdapat floral normal
(Jawetz dan Adelberg, 2001). Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas dan dapat
diinaktifkan pada suhu pasteurisasi (Supardi dan Sukamto, 1999 dikutip
Rachmayati, 2013).
Gambar 2. Escherichia coli
(Rocky Mountain Laboratories, 2005)
2.5.2 Staphylococcus aureus
S. aureus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat diameter 0,7 – 1,2
µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,
fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh
pada suhu optimum 37oC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar
(20-25oC) (Jawetz dan Adelberg, 2001).
S. aureus ditemukan sebagai flora normal pada kulit, saluran pernapasan,
dan saluran cerna manusia. S. aureus merupakan penyebab penyakit infeksi
piogenik kulit paling sering dan juga merupakan spesies paling patogen. Bakteri
Page 15
20
tersebut mampun menimbulkan penyakit-penyakit yang berspektrum luas pada
manusia dimulai dari penyakit yang disebabkan oleh toxic, seperti toxic shock
syndrome, sampai dengan penyakit-penyakit yang mematikan seperti speticemia,
endocarditis, pneumonia, dan osteomyelitis (Nickerson et al., 2009).
Gambar 3. Staphylococcus aureus
(Carr, 2001)