Top Banner
ICASERD WORKING PAPER No.20 PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna Nopember 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
30

ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Aug 22, 2019

Download

Documents

buiquynh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No.20

PENATAAN LAHAN,OTONOMI DAERAH, DANPEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN

Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna

Nopember 2003

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 2: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No.20

PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN

Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna

Nopember 2003

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : [email protected]

No. Dok.07/20/3/03

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 3: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

1

PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN

Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRAK

Less optimal of land use management is one of the considered serious reason why agricultural development in rural areas could not performed as expected. This paper describes an analysis the importance of land use management related to more appropriate rural agricultural development strategy alternatives. By paying attention on some research results, review on some literatures, and the application of Act UUPR No. 24/1992, the following items can be presented: firstly, there are some pattern performances of land use inter-levels management and inter-locations. Secondly, there is land use management integrating land use with community’s participation, nevertheless, in general it has not yet considered agro-ecological zone (AEZ) map. Thirdly, land use system including for agricultural purposes and land holding in rural Java more linked to income distribution aspect, whereas rural Off-Java was still closely linked to agricultural production efficiency aspect. The fourth, decentralization policy has not been able to perform as rural agricultural development prime mover. The important policy implication in land use management from spatial land use and AEZ mapping is that to integrate regional Spatial Land Use (Provincial, District, and Village) into AEZ Map, with more detailed scale so that it could be more operational in agricultural planning and implementation up to level village.

Key words : land use management, decentralization, agricultural development, rural.

ABSTRAK

Kurang adanya penataan lahan yang baik diperkirakan menjadi salah satu penyebab serius mengapa pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini mengemukakan analisis tentang pentingnya penataan lahan dalam kaitannya dengan pilihan strategi pembangunan pertanian yang dinilai lebih tepat. Dengan memperhatikan beberapa hasil penelitian, tinjauan dari berbagai studi pustaka, serta diberlakukannya UUPR No. 24 Tahun 1992 dapat dikemukakan beberapa hal berikut: pertama, terdapat keragaan pola penataan lahan antar berbagai tingkatan dan antar lokasi. Kedua, adanya pola penataan lahan yang mengintegrasikan antara tata ruang dengan partisipasi masyarakat, namun secara umum belum mempertimbangkan peta agro ecological Zone (AEZ). Ketiga, penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian untuk pedesaan Jawa, lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan, sedangkan pedesaan Luar Jawa masih sangat terkait dengan aspek peningkatan efisiensi produksi pertanian. Keempat, kebijakan otonomi daerah belum dapat dijadikan penggerak pembangunan pertanian di pedesaan. Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang wilayah (Propinsi, Kabupaten, dan Desa) dengan peta AEZ, dengan skala yang lebih detail, sehingga dapat dioperasionalkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian hingga pada tingkat desa.

Kata kunci : penataan lahan, otonomi daerah, pembangunan pertanian, pedesaan

Page 4: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

2

PENDAHULUAN

Kurang adanya penataan lahan yang baik diperkirakan menjadi salah satu

penyebab serius mengapa pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan

hasil seperti yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah : kesenjangan struktur

distribusi penguasaan lahan, pola tata guna lahan yang kurang terencana dengan baik,

masih adanya dualisme dalam penerapan hukum pertanahan di Indonesia (hukum

nasional vs hukum adat) serta implementasi dan operasionalisasi otonomi daerah yang

belum tepat terutama dalam kontek membangkitkan ekonomi di pedesaan.

Batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam

pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lanscape, dan komponen-

komponen iklim mikro suatu ekosistem (Scherr and Yadav dalam Sumaryanto, dkk.,

2002). Dalam konteks penataan lahan serta implikasinya terhadap pengembangan

sistem usaha pertanian lahan juga menunjuk pada berbagai komplek aktivitas (sosoal-

ekonomi) yang dijalankan di atasnya dan berbagai permasalahan yang timbul.

Dari sudut pandang sumberdaya, masalah lahan terkait dengan konfigurasi

daratan, persebaran penduduk, dinamika sosial budaya mayarakat, serta kebijakan

pemerintah terutama yang berkaitan dengan penataan ruang-lahan. Masalah penataan

lahan pertanian di pedesaan berbeda antar tingkatan pengambilan keputusan (propinsi,

kabupaten, dan komunitas lokal), lokasi (spasial) dan antar agroekosistem.

Permasalahan utama dalam penataan lahan pertanian berkaitan dengan masalah

penguasaan lahan yang kecil, degradasi sumberdaya lahan, perpecahan (division) dan

perpencaran (fragmentation) lahan, konversi lahan, sulitnya melakukan konsolidasi, dan

struktur penguasaan yang timpang.

Penataan lahan pada tingkat nasional dan kabupaten dapat diartikan sebagai

pengaturan, peruntukan, dan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya

lahan dalam mendukung pembangunan nasional dan wilayah. Sementara itu, penataan

lahan pada tingkat individu dapat diartikan sebagai peruntukan, penggunaan dan

pemeliharaan lahan yang efisien dan terkendali sehingga memberikan manfaat optimal

dan terjamin kelestariannya (UUPA Tahun 1960 dalam Sutiknjo, 1982). Sehingga

penataan lahan pada level individu ini dapat mencakup konsolidasi lahan dan

konsolidasi managemen usahatani.

Permasalahan di atas menunjukkan bahwa aspek penataan lahan dan segala

persoalan yang timbul dalam hubungan manusia dengan tanah merupakan bagian

utama dari politik agraria. Dalam konteks demikian, peran penataan lahan terhadap

pembangunan pertanian di era otonomi daerah menarik untuk dikaji, sehingga dapat

Page 5: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

3

diungkap berbagai persoalan mendasar yang berkaitan dengan aspek penataan lahan

pada berbagai tingkatan pengambilan keputusan serta dapat memberikan prekrepsi

dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian. Tinjauan ini ditujukan untuk

mengkaji : (1) penataan lahan gambaran ideal dan keragaan pola penataan lahan

kondisi aktual; (2) mengidentifikasi dan menganalisis hubungan pola penguasaan lahan

dan penggunaan lahan terhadap keragaan sistem usaha pertanian; (3) menggali

simpul-simpul kritis yang mempengaruhi implikasi tata guna lahan terhadap

pembangunan pertanian di pedesaan; dan (4) merumuskan kebijakan pertanahan yang

efektif dalam mendukung strategi pembangunan pertanian di pedesaan.

PENATAAN LAHAN YANG IDEAL DAN PERANNYA DALAM

PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN

Secara umum, berdasarkan strategi yang digunakan, penataan lahan dalam

konteks politik agraria dapat dibedakan atas tiga sistem, yaitu : (1) Sistem Kapitalis; (2)

Sistem Sosialis; dan (3) Sistem Neo Populis . Dapat dikemukakan tiga hal yang menjadi

pembeda antar satu sistem dengan sistem lainnya adalah : (1) penguasaan tanah; (2)

tenaga kerja; dan (3) tanggung jawab atau pengambilan keputusan mengenai produksi,

akumulasi, dan Investasi (Wiradi, 1991 dalam Fauzi, 2001).

Pandangan kapitalis dalam strategi penataan lahan (agraria), adalah bahwa

sarana produksi utama tanah dikuasai oleh individu-individu non penggarap. Dalam

sistem ini penggarap yang langsung mengerjakan tanah (pertanian) di pandang sebagai

tenaga kerja yang diupah oleh para pemilik tanah. Hubungan antara pemilik tanah dan

pekerja merupakan hubungan kerja. Tenaga kerja adalah faktor produksi yang dapat

diperjual belikan. Tanggung jawab dan pengambilan keputusan baik dalam penggunaan

(produksi), akumulasi, dan investasi atas lahan sepenuhnya di tangan pemilik lahan.

Dalam strategi penataan lahan (agraria) Sosialis, memandang bahwa tanah dan

sarana produksi lainnya dikuasai oleh organisasi (negara) atas nama rakyat (kelompok

terbesar adalah tenaga kerja). Dalam sistem ini tenaga kerja merupakan tenaga kerja

yang memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, yang diputuskan oleh negara yang

mengatasnamakan organisasi para pekerja. Tanggung jawab dan pengambilan

keputusan baik dalam penggunaan (produksi), akumulasi, dan investasi atas lahan

terletak di tangan negara yang mengatasnamakan para pekerja.

Page 6: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

4

Dalam strategi penataan lahan (agraria) Neo-Populis, satuan usaha adalah

merupakan usaha keluarga. Oleh karena itu, penguasaan dan penggunaan tanah serta

faktor produksi lainnya terdistribusi pada mayoritas keluarga petani. Tenaga kerjanya

adalah tenaga kerja keluarga petani. Petani dan keluarganya bekerja di atas tanah yang

dimiliki sendiri. Jadi, produksi secara keseluruhan merupakan kegiatan keluarga petani,

meskipun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh pemerintah. Strategi

penataan lahan yang di pandang ideal di Indonesia adalah strategi neo populis seperti di

amanatkan UUPA 1960, namun dalam operasionalnya khususnya dalam pembangunan

pertanian di pedesaan perlu menginkorporasikan peta agroecological zone (AEZ).

Apabila dibandingkan dengan kondisi aktual di Indonesia, maka persamaan yang

paling mendasar adalah tidak menghapuskan hak milik, bahkan secara kuantitatif

berusaha menambah jumlah orang sebagai pemilik tanah, serta adanya jaminan

pembayaran ganti rugi kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan absensi, meskipun

dalam pelaksanaannya terjadi penyalahgunaan. Dalam Undang-undang, GBHN, dan

PELITA/REPELITA lebih banyak disebut kata land reform1 dari pada agraria reform.

Nampak jelas dalam konsep land reform adalah salah satu bentuk penataan

penguasaan dan penggunaan tanah. Dalam kebijakan operasional penataan lahan

sering dilakukan dalam bentuk penataan ruang wilayah, land reform, dan konsolidasi

usahatani.

Perjalanan panjang dalam pelaksanaan penataan lahan (agraria) dan

pelaksanaan berbagai program pembangunan, kususnya pertanian menunjukkan

biasnya penataan lahan guna memberikan akses sumberdaya lahan kepada pengusaha

(investor) sebagai mesin pertumbuhan dan banyak mengabaikan hak-hak masyarakat.

Bahwa tanah sebagai faktor produksi utama, maka peraturan dan kebijakan pertanahan

baik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya haruslah memperkuat

kedudukan tanah sebagai kemakmuran rakyat, seperti termaktub dalam UUPA dan

UUPBH Tahun 1960. Bahkan dalam TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001dalam pasal 6,

memberikan penekanan kembali bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria

adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan

tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun perkotaan. Dalam konteks otonomi

daerah yang terkait dengan penataan lahan, pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999

memuat bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia

diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan

1 Land Reform didefinisikan suatu penataan kembali penggunaan, pengusahaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanahnya.

Page 7: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

5

peraturan perundang-undangan. Dalam tinjauan ini akan difokuskan pada aspek

penataan lahan, otonomi daerah dan pembangunan pertanian di pedesaan.

PENATAAN LAHAN DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Kebijakan Otonomi Daerah

Kebijakan pemerintah masa lalu yang bersifat sentralistis telah berdampak pada

berbagai ketimpangan baik ketimpangan antar golongan masyarakat dan antar daerah

atau antar wilayah. Otonomi daerah telah lama menjadi wacana publik, namun secara

formal baru berjalan tiga tahun dan hingga kini belum berjalan secara efektif. Secara

formal kebijakan otonomi daerah mulai dilaksanakan dengan dikeluarkannya tiga

Undang-Undang, yaitu : (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No.

25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

dan UU N0. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari KKN).

Dalam konteks penataan lahan, pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999

memuat bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia

diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Melalui otonomi daerah diharapkan pembangunan

yang dilakukan bisa lebih merata dan berkelanjutan melalui peningkatkan pemanfaatan

sumberdaya alam secara lebih optimal dan peningkatan kompetensi sumberdaya

manusia sehingga mampu menghasilkan produk yang bernilai tambah dan mempunyai

dayasaing yang tinggi.

Setelah tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah telah banyak terjadi berbagai

penyimpangan (Rasyid, 2001 dan Pranadji, 2002) serta telah banyak terjadi distorsi

dalam implementasinya (Rasyid, 2003). Hasil kajian Pranadji (2002) menunjukkan

bahwa operasionalisasi UU. No. 22 Tahun 1999 di tingkat daerah kabupaten lebih

banyak diarahkan untuk pencapaian target PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari pada

modal politik yang sangat berharga pelaksanaan otonomi hingga tingkat desa dalam

rangka pemberdayaan ekonomi rakyat. Selanjutnya Pranadji (2002) mengemukakan

bahwa masalah ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang terjadi di daerah

pedesaan, yang dulu banyak disebabkan oleh kurang memadainya infrastruktur

pendukung di pedesaan, sekarang diperparah oleh tingginya biaya transaksi birokrasi

didaerah.

Page 8: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

6

Pelaksanaan otonomi daerah haruslah mempunyai makna pemberdayaan rakyat

baik yang menyangkut aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif seperti

lahan), politik (sistem pengambilan keputusan), dan sosial (kelembagaan yang

mewadahinya) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability).

Pemberdayaan rakyat dari aspek politik juga harus mampu meningkatkan akses

masyarakat terhadap sistem pengambilan keputusan pada tingkat daerah otonom. Di

samping itu, pengembangan kelembagaan di tingkat lokal haruslah didasarkan atas

usaha pemberdayaan kelembagaan lokal yang telah eksis dan diterima masyarakat,

bukan merupakan kelembagaan yang diintroduksikan dari luar. Dengan demikian

otonomi daerah dapatlah merepresentasikan masyarakat di daerahnya bukan

representasi dari birokrasi suprastrukturnya.

Penataan Lahan : Tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Komunitas

Penataan lahan ditingkat Propinsi hingga kini masih mengacu pada Undang-

Undang Penataan Ruang (UUPR No. 24 Tahun 1992), yang kemudian dioperasionalkan

dengan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Indonesia.

Peraturan ini mendorong penyusunan Rencana Tata Ruang di tiap Wilayah Propinsi,

dengan dasar kebutuhan pembangunan dan pertimbangan batasan teknis topografis

dan aspek biofisik lainnya. Penataan lahan di Propinsi Jawa Tengah sampai saat ini

masih didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 8

Tahun 1992 yaitu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa

Tengah. Sementara itu penataan di Propinsi Kalimantan Barat juga merujuk pada UU.

No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung. Meskipun peraturan ini pada saat ini (2002) dalam

proses revisi terutama berkaitan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah dan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.

Demikian juga dengan daerah Propinsi lainnya.

Fungsi RTRWP adalah (1) matra ruang dari Pola Dasar Pembangunan Daerah

dan Repelitada, (2) dasar kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang di propinsi

sesuai dengan kondisi wilayah dan berasaskan pembangunan berkelanjutan, (3)

Perwujudan keterpaduan, keterikatan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah

dan antar sektor, (4) arahan lokasi investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat,

dan swasta, (5) acuan bagi Kabupaten/Kotamadya serta rencana Detail Tata Ruang

Kawasan.

Page 9: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

7

RTRWP dikelompokkan dalam 6 (enam) Rencana sebagai berikut : (1) Kawasan

Lindung; (2) Kawasan Budidaya; (3) Sistem Pusat Permukiman; (4) Wilayah

Pembangunan; (5) Pengembangan sarana dan prasarana; dan (6) Pengembangan

kawasan strategis.

Nampaknya UUPR No. 24 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Daerah yang

merupakan turunan dari Undang-Undang tersebut bersifat normatif, general, bias

mengejar pertumbuhan, tidak dilakukan secara partisipatif dan masih jauh dari penataan

lahan yang diidealkan oleh berbagai sektor pembangunan khususnya sektor pertanian

dan bias pada kepentingan investor khususnya untuk memperoleh ijin lokasi. Gambaran

ideal penataan lahan ditinjau dari pembangunan pertanian haruslah menginkorporasikan

faktor kesesuaian lahan (fisik-kimia tanah, topografi), ekologi, iklim, serta aspek sosial-

budaya (keadilan-distribusi) masyarakat yang akan menentukan kesesuaian

pengembangan komoditas pertanian di suatu wilayah. Dalam penataan lahan yang ideal

haruslah memperhitungkan ketersediaan dan penggunaan peta AEZ pada berbagai

tingkatan dan skala, sehingga dapat dijadikan basis perencanaan pembangunan

pertanian. Kondisi tersebut diperkirakan menjadi penyebab serius mengapa

pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Di

samping itu, juga menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa tanah baik secara

horisontal (antar warga) dan vertikal (masyarakat vs investor atau masyarakat vs

pemerintah).

Secara teoritis maupun secara empiris masalah penataan lahan pertanian

(penguasaan dan penggunaan) berkaitan dengan masalah efisisensi produksi pertanian

dan masalah distribusi pendapatan (Sinaga, 1987). Hasil kajian Sumaryanto dkk., (2002)

mengemukakan bahwa inti pokok dari masalah penataan kembali penguasaan lahan

pertanian sesungguhnya lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan

daripada masalah peningkatan efisiensi ataupun produktivitas sumberdaya lahan.

Selanjutnya Saptana dkk., 2002 mengemukakan hasil yang berbeda antar wilayah

kajian. Untuk lokasi penelitian Klaten Jawa Tengah memberikan hasil sejalan dengan

kajian Sumaryanto dkk., (2002) di mana penataan kembali penguasaan lahan pertanian,

lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah

peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan. Namun hasil kajian yang

sama, untuk lokasi penelitian Sumatera Barat, terlebih Kalimantan Barat penataan

penguasaan dan penggunaan lahan pertanian masih sangat terkait dengan aspek

peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan. Hal ini dapat ditunjukkan

adanya korelasi yang searah antar pendapatan yang bersumber dari sektor pertanian

dengan luas lahan milik dan luas lahan garapan. Kajian di lapang memberikan beberapa

Page 10: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

8

ilustrasi bahwa : (1) adanya penataan lahan memberikan kepastian tentang batas

penguasaan lahan pada individu maupun pada masyarakat adat (komunal); (2)

meningkatkan intensifitas penggunaan input produksi, baik berupa pilihat terhadap

komoditas yang diusahakan, penggunaan bibit atau klon unggul, serta menggunakan

pupuk kimia; dan (3) penataan lahan juga mendorong pola pertanian menetap pada

masyarakat Daya pedalaman, yang akan berpengaruh terhadap pilihan teknologi

produksi pertanian.

Dalam konteks ini, dari sudut pandang pendekatan ada dua aliran dalam

penataan kembali penguasaan lahan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan

teknokratis (Sumaryanto, dkk., 2002). Pendekatan struktural pada intinya menyatakan

bahwa struktur penguasaan tanah harus bersifat “by design” melalui suatu aturan hukum

atau kebijakan pemerintah. Salah satu bentuk utama dari pendekatan ini adalah

penataan penguasaan atau pemilikan lahan melalui land reform, bentuk lain yang agak

moderat adalah Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR). Sementara itu, pendekatan

teknokratis pada intinya adalah bahwa struktur penguasaan tidak harus “by design”,

karena struktur penguasaan dan pemilikan tanah bersifat dinamis di mana surplus

ekonomi tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam pola alokasi antar sektor

maupun antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di

Indonesia menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan tersebut, sebagai ilustrasi

pada masa pemerintahan orde lama pendekatan pertama lebih dominan, sedangkan

pada pemerintahan orede baru hingga kini, pendekatan kedua yang lebih dominan

digunakan.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada tahun 1997-1998 telah

melakukan Analisis Zona Agroekologi (AEZ) di Propinsi masing-masing yang di

dasarkan atas analisis Peta Tanah Tinjau, Peta Tanah Eksplorasi, Peta Agroklimat, Peta

Kemampuan Tanah, Peta Kemiringan Lahan, Peta Ketinggian, Peta Administrasi maka

dihasilkan peta Zona Agroekologi dengan skala 1 : 250 000 dengan kombinasi sebanyak

131 satuan peta agroekologi (SPA). Kesesuaian komoditas pada masing-masing bentuk

penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor peubah iklim yang terdiri atas ketinggian

tempat yang menggambarkan rejim suhu dan kelembaban yang menggambarkan

penyebaran bulan basah dan kering (BPTP, Jawa Tengah, BPTP Kalbar, dan BPTP

Sumbar, 1999).

Untuk pemetaan komoditas di tingkat kabupaten, maka dibuat peta yang lebih

detail dengan skala 1 : 50.000, sehingga dihasilkan bentuk penggunaan lahan,

kesesuaian komoditas dan alternatif teknis pengolahan lahan sampai tingkat desa.

Namun, sebagian besar propinsi belum melakukan hal ini karena terkendala biaya.

Page 11: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

9

Untuk BPTP Jawa Tengah sampai dengan tahun 2002 baru ada satu kabupaten yang

melakukannya, yaitu Kabupaten Blora dan tiga Kabupaten yang merencanakan, yaitu

Pemalang, Cilacap, dan Purbalingga dengan sistem sharing dana antara BPTP dan

Pemda. Sementara itu di Kalimantan Barat dan Sumatera Barat belum ada yang

melakukan. Namun, di beberapa Kabupaten Kalimantan Barat, secara partisipatif telah

melakukan pemetaan lahan partisipatif dengan kesatuan-kesatuan terkecil kampung.

Respon yang rendah dari pemerintah daerah kabupaten terhadap peta AEZ, berkaitan

dengan dua hal pokok, yaitu kurangnya sosialisasi dan perhatian pemda yang terfokus

pada perolehan PAD.

Penataan lahan di tingkat kabupaten masih mengacu pada Rencana Tata Ruang

Wilayah Propinsi (RTRWP) yang sudah dituangkan dalam Rencana Umum Tata Ruang

Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), Rencana Umum Tata Ruang

Kota Ibukota Kecamatan (RUTRK IKK); dan Rencana Detail Tata Ruang Kota Ibukota

Kecamatan (RDTRK IKK). Hasil kajian menunjukkan bahwa penataan ruang yang

dilakukan pemerintah baik di tingkat pusat, propinsi, dan di tingkat kabupaten bias

kepada pemerintah dan pengusaha atau investor, yang bertujuan dalam penyediaan

lahan untuk kepentingan investor dalam rangka ijin lokasi, guna memacu pertumbuhan

ekonomi dan kurangnya aspek keadilan atau pemerataan bagi kepentingan masyarakat

luas.

Penataan lahan yang efisien untuk mengembangkan sistem usaha pertanian

diperkirakan sulit diwujudkan karena lemahnya pendataan dan sistem dokumentasi di

bidang pertanahan, terutama di Luar Jawa. Beberapa faktor yang menjadi penyebab

antara lain adalah (Sumaryanto, dkk., 2002): (a) Kesadaran masyarakat terhadap

pentingnya legalitas formal kepemilikan lahan masih rendah, hal ini nampak nyata di

wilayah Luar Jawa; (b) Biaya administrasi lahan di pandang masih mahal; (c) Lembaga

yang berwenang menangani sistem administrasi tanah kurang pro-aktif, dan (d)

Kesulitan dalam membrantas berkembangnya rent seeking activity dalam transaksi

tanah. Di samping faktor di atas, dalam kontek otonomi daerah juga menunjukkan

adanya perebutan antara pemerintah pusat (instansi vertikal) dengan pemerintah daerah

tentang hak pengelolaannya terhadap sumberdaya lahan, tanpa menyadari kompleksitas

permasalahan yang dihadapi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptana dkk. (2002) menunjukkan adanya

variasi penataan lahan antar daerah. Untuk meningkatkan perencanaan penataan ruang

sampai tingkat paling bawah atau tingkat desa di Kabupaten Klaten sudah disusun Pola

Tata Ruang Desa (PTRD) yang berlaku 1989-2008. Penyusunan PTRD didasarkan pada

RTRWP dan RTRWK, serta melibatkan partisipasi masyarakat (perencanaan,

Page 12: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

10

pelaksanaan, serta dalam melakukan revisi). Nampak bahwa partisipasi masyarakat

pada desa-desa yang aksessibilitasnya baik dan sektor non pertanian telah berkembang

pesat, menunjukkan partisipasi masyarakat yang tinggi (Kasus Kecamatan Trucuk,

Polanharjo, Wedi, Kebonarum dan Manisrenggo), sedangkan untuk desa-desa yang

aksessibilitasnya kurang baik dan sektor non pertanian belum berkembang partisipasi

masyarakatnya masih rendah (Kecamatan Tulung, Jatinom, Karangnongko, dan

Kemalang). PTRD ditujukan sebagi pedoman atau acuan dalam mengatur pemanfaatan

ruang dalam suatu desa serta sebagai monitoring dan pengendalian perubahan status

penggunaan tanah.

Dari hasil kajian yang dilakukan Saptana et.al., 2002 diperoleh gambaran bahwa:

(1) pada desa-desa yang aksessibilitasnya baik PTRD mengalami perubahan yang

begitu dinamis, di mana dalam periode (1989–2001) terjadi perubahan 2–3 kali; (2)

sosialisasi dan partisipasi masyarakat sudah cukup baik pada daerah-daerah yang

aksessibilitasnya baik dan kegiatan non pertaniannya sudah berkembang, namun masih

sangat kurang pada daerah yang aksessibilitasnya kurang baik dan kegiatan sektor non

pertaniannya belum berkembang; dan (3) PTRD mampu meningkatkan efisiensi

penggunaan sumberdaya khususnya tanah melalui pengembangan sentra-sentra

kegiatan ekonomi di tingkat desa, serta telah meningkatkan nilai jual lahan khususnya

pada lokasi yang diperuntukkan untuk sentra industri. Kelemahan mendasar dari PTRD

tersebut adalah belum didasarkan peta AEZ dengan skala yang detail, sehingga

pembangunan pertanian di pedesaan belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Dalam upaya mempertahankan hak-hak dan kepentingan masyarakat adat

Kalimantan Barat terhadap ruang atas wilayah adatnya, maka dilakukanlah Pemetaan

partisipatif2 (participatory mapping), sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap klaim

tanah ulayat masyarakat adat Dayak oleh pemerintah dan perusahaan swasta atau

investor.

Untuk Kabupaten Landak, Kalimantan Barat telah dilakukan pemetaan partisipatif

(PPSDAK, 1998). Di Propinsi Kalimantan Barat, kegiatan pemetaan partisipatif telah

dikembangkan sejak tahun 1995 oleh Yayasan Pancur Kasih, dalam hal ini oleh unit

Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK). Adapun jenis-

jenis peta yang dihasilkan adalah peta: (1) tata guna lahan, (2) pemukiman penduduk,

(3) daerah aliran sungai, (4) penyebaran pohon, (5) penyebaran binatang, (6)

perencanaan tanah kampung, (7) tempat keramat dan kuburan, dan lain-lain.

2 Pemetaan partisipatif adalah sebuah metodologi pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta modern (peta topografi, peta udara, peta satelit) dengan peta-

peta mental tata ruang tradisional dengan melibatkan seluruh masyarakat di kampung.

Page 13: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

11

Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan dari aspek penataan ruang

dan peta AEZ adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang

wilayah Propinsi, Kabupaten, dan Desa dengan peta AEZ di masing-masing lokasi

penelitian, terutama pada kabupaten yang telah melakukan pemetaan AEZ secara detail

dengan skala 1 : 50.000. Sehingga PTRD yang yang membagi desa ke dalam sentra-

sentra kegiatan ekonomi, untuk pengembangan sentra produksi pertanian dapat bersifat

spesifik komoditas. Dalam kontek ini kebijakan operasional nantinya adalah

pengembangan sentra-sentra komoditas unggulan yang dilandasi pemetaan partisipatif

dan peta AEZ pada skala detail. Akibat semakin terpecahnya pemilikan lahan akibat

pola pewarisan dan longgarnya peraturan dalam pembatasan minimal pemilikan lahan

maka perlu adanya konsolidasi lahan. Di sarankan konsolidasi lahan dan usahatani ini

di prioritaskan untuk komoditas-komoditas komersial yang mempunyai tujuan pasar yang

luas, seperti tembakau. Sementara itu, untuk daerah Luar Jawa pilihan komoditas tetap

pada komoditas perkebunan bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa sawit, kakao, dan

komoditas karet unggul.

Kelembagaan Penguasaan dan Penggunaan Lahan

Hasil penelitian Saptana et.al., 2003 di tujuh kabupaten contoh, di lima propinsi

contoh (Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Klaten, Ngawi dan Kediri serta di

Kabupaten Agam dan Sidrap) serta Saptana et.al., 2002 di tiga propinsi (Kabupaten

Klaten, Jawa Tengah, Landak, Kalimantan Barat, dan Pasaman, Sumatera Barat)

menunjukkan bahwa, sistem kelembagaan lahan yang menonjol adalah sistem bagi-

hasil (share cropping), sewa-menyewa (land rent) dan sistem gadai (mortage system).

Sistem gadai jarang ditemukan di pedesaan Jawa dan masih banyak ditemukan di

pedesaan Luar Jawa. Di pedesaan Jawa ada kecenderungan pergeseran dari sistem

gadai dan bagi hasil ke sistem sewa-menyewa lahan, sedangkan di pedesaan Luar

Jawa masih dominan sistem bagi hasil, sistem sewa menyewa terbatas pada komoditas

komersial yaitu komoditas perkebunan dan hortikultura. Secara ringkas dapat dikatakan

dinamika pasar lahan yang terjadi di pedesaan makin mengarah berlakunya mekanisme

pasar lahan di pedesaan, hal ini tidak terlepas dari cara pandang para pengambil

kebijakan dan pelaku ekonomi bahwa lahan sebagai barang ekonomi (faktor produksi).

Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau adalah dalam

bentuk tanah ulayat yang dikuasai sebagai milik bersama atau komunal oleh semua

anggota kerabat matrilenealnya (LKAAM, 2000). Hubungan kerabat yang diikat oleh

keberadaan kaum laki-laki dan perempuan di dalam garis keturunan matrilineal. Dalam

Page 14: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

12

sistem penguasaan tanah, laki-laki ditempatkan sebagai penguasa dalam pengelolaan

tanah dan perempuan sebagai pemilik tanah. Hubungan demikian oleh (Hermayulis,

1999) dinamakan “Dwi Tunggal dalam Penguasaan Tanah” pada masyarakat hukum

adat Minangkabau.

Lembaga KAN sebagai lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-

pemuka masyarakat terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan cerdik pandai yang

dikenal dengan sebutan Tali Tigo Sapilin atau Tigo Tungku Sarangan. Lembaga KAN

bertugas antara lain (LKAAM, 2000) : (1) mengurus hal-hal yang berkaitan dengan adat

sehubungan dengan sako dan pusako, (2) menyelesaikan perkara-perkara perdata adat

dan istiadat, (3) mengusahakan perdamaian menurut adat, (4) mengembangkan

kebudayaan adat nagari, (5) menginventarisasi, menjaga, memelihara dan mengurus

serta memanfaatkan kekayaan nagari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

(6) membina dan mengkoordinir masyarakat hukum adat; (7) mewakili nagari dan

bertindak atas nama dan untuk nagari atau masyarakat hukum adat nagari dalam segala

perbuatan hukum.

Beberapa Ketetapan Pokok dalam pemanfaatan tanah ulayat masyarakat

Minangkabau (LKAAM, 2000): (1) dalam pemanfaatan tanah ulayat oleh masyarakat

hukum adat harus seizin terlebih dahulu dari penguasa ulayat yang bersangkutan;

(2) pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum, dilaksanakan dengan cara

pelepasan hak oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (3) pemanfaatan tanah

ulayat untuk kepentingan Badan Hukum Swasta dilaksanakan dengan cara perjanjian

pelepasan hak penguasan dan perjanjian penggunaan tanah.

Dari jenis tanah ulayat yang disebutkan pada bagian atas, yakni tanah ulayat

nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum secara empirik terdapat bermacam-

macam sengketa tanah ulayat, antara lain (LKAAM, 2000) : (1) sengketa internal nagari;

(2) sengketa internal suku; (3) sengketa internal kaum; (4) sengketa antar nagari; dan (5)

sengketa dengan orang luar. Pada prinsipnya apabila timbul perselisihan tanah ulayat

nagari, diselesaikan dan diusahakan dengan jalan damai melalui musyawarah mufakat

secara berjenjang “naik bertangga turun menurut barih balabih adat nagari” (Kamal,

2000). Sengketa tanah ulayat antar nagari diselesaikan oleh lembaga KAN antar nagari

yang bersangkutan, menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku secara

musyawarah dan mufakat dalam bentuk perdamaian. Apabila pihak yang bersengketa

belum puas terhadap keputusan yang diambil maka dapat mengajukan perkara itu

kepada LKAAM Kecamatan/Kabupaten/kota dan Propinsi. Baru setelah itu, tetap belum

mencapai kesepakatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri, dimana pertimbangan

pucuk pimpinan LKAAM Sumatera Barat dijadikan bahan pertimbangan hukum.

Page 15: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

13

Hasil kajian Jamal dkk. (2001) dan Saptana dkk. (2002) memberikan informasi

bahwa dewasa ini telah terjadi proses pergeseran dari pemilikan tanah yang bercorak

komunal ke pemilikan yang bercorak privat. Hal ini antara lain disebabkan oleh tekanan

baik yang sifatnya internal (kelangkaan sumberdaya lahan, tuntutan ahli waris kepada

ninik mamak agar tanah ulayat dibagi, dan keinginan orang tua untuk dapat memberikan

warisan tanah kepada anak kandungnya) dan maupun tekanan eksternal (pengaruh

pendatang yang hampir semuanya membawa budaya yang berbeda terutama

menyangkut lahan, pihak investor, dan pengaruh hukum positif pemerintah), karena

gejala ini merupakan gejala yang umum terjadi di hampir sebagian besar negara, maka

kedua pemilikan tersebut tetaplah diakui dan di daftarkan ke kantor BPN Kabupaten/

Kota.

Implikasi penting dari kondisi di atas adalah: (1) pentingnya melakukan pemetaan

lahan secara partisipatif guna penetapan tanah batas ulayat rajo, nagari, suku dan kaum

dilaksanakan dengan musyawarah mufakat dan memperhatikan ketentuan yang berlaku;

(2) pentingnya pendaftaran tanah baik tanah ulayat maupun tanah privat ke Badan

Pertanahan Nasional Kota/Kabupaten untuk menjamin kepastian hukum khususnya

dalam mengatur kerjasama dengan investor; (3) mekanisme kerjasama dapat dilakukan

dengan cara penyertaan modal; sistem sewa, dan sistem bagi hasil ; (4) di samping itu,

langkah ini akan dapat mengurangi intensitas sengketa tanah yang terjadi baik secara

internal maupun eksternal.

Pola penguasaan dan penggunaan lahan di pedesaan Kalimantan Barat sangat

terkait dengan pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan, karena sektor ini

sebagai salah satu andalan pemerintah dalam mendapatkan devisa, melalui pemberian

konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH). Namun di sisi lain telah berdampak luas

terhadap kehidupan masyarakat lokal. Perubahan struktur penguasaan dan sistem

pemanfaatan sumberdaya lahan milik masyarakat untuk kepentingan pembangunan

hutan tanaman industri, perkebunan besar, dan pengusahaan HPH menjadi suatu gejala

umum. Pengambilalihan penguasaan sumber-sumber agraria tersebut telah melahirkan

konflik antar kelompok kepentingan (stakeholders). Konsesi-konsesi yang diberikan

terhadap pihak swasta besar praktis telah membagi habis kawasan hutan dalam bentuk

kapling-kapling, sehingga akses pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat

berkurang dan bahkan tertutup.

Masyarakat Kalimantan Barat, terutama suku Dayak penatagunaan lahan

dilakukan dengan sistem kebinoaan. Penatagunaan lahan melalui sisten binua ini

merupakan suatu land-use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian

asli terpadu (indigenous intregated farming system). Di dalam sistem binoa tersebut

Page 16: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

14

sekurang-kurangnya terdapat tujuh komponen (Jamal dkk., 2001); pertama, kawasan

hutan yang dilindungi atau dicadangkan untuk masa depan. Kedua, tanah yang ditanami

pohon-pohon buah-buahan (tembawang), namun saat penelitian dilakukan sudah

banyak bergeser ke tanaman buah-buahan (durian, rambutan, langsat). Ketiga, tanah

yang ditanami pohon karet, kopi, lada, kakao, dan tanaman keras lainnya. Keempat,

tanah-tanah pertanian yang terbagi dua, yakni tanah pertanian yang sedang digunakan

dan tanah pertanian yang sedang diistirahatkan atau pola usahatani gilir balik. Kelima,

tanah pekuburan dan tanah keramat. Keenam, tanah perkampungan yang terdiri dari

rumah dan halaman. Ketujuh, sungai dan danau untuk perikanan.

Namun dalam komunitas transisi, yang saat ini cukup mendominasi, sistem

penataan seperti itu tidak lagi diikuti secara sempurna dan tidak semua masyarakat

mengetahui penataan tersebut (Jamal, et.al, 2001 dan Saptana et.al., 2002). Tekanan

penduduk yang tinggi khususnya pada kawasan dengan ekonomi terbuka, telah

mendorong transformasi tanah-tanah komunal dengan pemanfaatan ekstensif menjadi

tanah bercorak privat dengan pengelolaan intensif. Misalnya, masyarakat Dayak Desa

Aur Sampuk, Kecamatan Sengah Temila dan desa Mandor, Kecamatan Sungai Raya

yang tidak lagi memiliki tembawang. Tanah komunal yang tersisa hanya tanah keramat,

selebihnya adalah tanah-tanah olahan privat yang banyak diperjual-belikan.

PENATAAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN USAHA PERTANIAN

Langkah-langkah dalam Penatagunaan Lahan

Secara alamiah penawaran akan sumberdaya lahan relatif tetap (fixed)

sementara kebutuhan lahan semakin meningkat dari waktu ke waktu sebagai akibat

peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk berbagai sektor pembangunan.

Karama (2000), mengemukakan langkah-langkah dalam penatagunaan lahan

khususnya untuk pengembangan usahatani tanaman pangan, yaitu : (1) mengenali sifat

lahan dan tanah dan menetapkan kesesuaian lahan; (2) memperbaiki sifat-sifat yang

kurang sesuai dan pentingnya melakukan analisis tanah secara berkala.

Mengenali Sifat Lahan dan Tanah dan Menetapkan Kesesuaian Lahan

Sifat lahan meliputi topografi, letak dari permukaan laut, kondisi iklim, keadaan

vegetasi dan penggunaan lahan. Sifat tanah meliputi sifat kimia tanah, fisika, dan biologi

dari tanah. Dalam rangka pengembangan usaha pertanian diperlukan analisis yang

lelatif rinci, yaitu dengan skala 1 : 10.000 atau 1 : 5.000. Dalam rangka memudahkan

Page 17: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

15

dalam menetapkan penatagunaan lahan, hasil analisis dituangkan dalam peta disertasi

yang disertai lampiran keterangan hasil analisis (Karama, 2002). Sementara itu, hasil

analisis AEZ yang dilakukan dihampir semua BPTP masih dengan skala 1 : 250.000,

meskipun beberapa kabupaten melalui kerjasama dengan BPTP sudah ada yang

melakukan pemetaan dengan skala 1 : 50.000. Dengan demikian untuk perencanaan

pembangunan pertanian ke depan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah

daerah dan BPTP melalui penyusunan peta AEZ yang lebih detail. Berdasarkan peta

tersebut, selanjutnya dilakukan penetapan kesesuaian tanaman dalam penatagunaan

lahan.

Memperbaiki sifat-Sifat Tanah dan Analisis Tanah Secara Berkala

Kegiatan memperbaiki sifat-sifat tanah disebut amelirosi. Amelirosi dimaksudkan

untuk memperbaiki sifat-sifat kimia dan fisik tanah, serta sifat-sifat biologi tanah. Bahan

amelirosi yang biasa digunakan adalah kapur, fosfat alam, belerang, zeolit, bahan

organik dan tanah. Pemupukan akan efektif setelah dilakukan amelirosi. Akan sangat

baik kalau pemupukan dilakukan baik terhadap unsur mikro maupun unsur makro. Hal

ini menjadi sangat penting karena di banyak lokasi sentra produksi terjadi gejala

keletihan tanah, sehingga tanah bersifat haus terhadap pemupukan.

Analisis secara berkala ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-

perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Perbaikan yang dilakukan tergantung sifat

yang berubah. Dapat pula perbaikan dilakukan hanya dengan draenase dan pengairan.

Beberapa hal yang sering terabaikan dalam perbaikan lahan adalah : (1) penggunaan

bahan organik ke dalam tanah, dan (2) pengelolaan air dengan baik. Dalam

implementasinya juga dipengaruhi oleh luas penguasaan lahan dan kepastian hukum

penggunaan bahan organik ke dalam tanah penguasaan lahan.

Beberapa Pertimbangan dalam Penatagunaan Lahan

Bagi Indonesia di samping melakukan selain melakukan penetaan lahan kembali

melalui reforma agraria melalui redistribusi lahan, beberapa hal yang di perkirakan layak

untuk dipertimbangkan di antaranya adalah (Rusastra dan Sudaryanto, 1997): (1)

meningkatkan aksessibilitas fisik dan ekonomi masyarakat pedesaan akan kesempatan

kerja di luar sektor pertanian; (2) mendorong munculnya kelembagaan konsolidasi lahan

di pedesaan; (3) luasan lahan sempit adalah rentan terhadap alih fungsi lahan sehingga

perlu penegakan hukum (law enfoorcement) melalui penetapan, pemantapan dan

Page 18: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

16

pengamanan sentra pertanian strategis; (4) perlu di dorong munculnya konsolidasi lahan

dan usaha pertanian melalui kerjasama kemitraan; dan (5) pemantapan dan akselerasi

pelaksanaan program transmigrasi dengan mempertimbangkan jenis lahan, komoditas

yang diusahakan, dan antisipasi pendapatan yang layak, serta melibatkan komunitas

masyarakat lokal.

Strategi Pengembangan Usaha Pertanian

Strategi pengembangan usaha pertanian dapat ditempuh antara lain dengan : (1)

pemilihan komoditas unggulan; (2) pewilayahan komoditas; dan (3) pengembangan

sentra produksi komoditas.

Pemilihan Komoditas

Pemilihan komoditas untuk dikembangkan di suatu wilayah ditentukan oleh

faktor-faktor sebagai berikut (Sumarno, 2002): (1) faktor ekonomi, (2) faktor fisik, (3)

faktor penentu, dan (4) faktor pendukung. Tercakup dalam faktor ekonomi antara lain

adalah ketersediaan pasar, penguasaan pasar, kesesuaian harga dan nilai jual,

kontinuitas permintaan, volume permintaan, dan kesesuaian mutu produk dengan

standar mutu sesuai permintaan pasar. Dari aspek ekonomi penentuan komoditas

ditentukan oleh sifat komoditas, apakah komoditas tersebut komoditas strategis atau

komoditas komersial serta tingkat keunggulan yang dimiliki komoditas tersebut, baik

keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif (Sudaryanto dan Simatupang,

1993).

Faktor fisik atau teknis meliputi kesesuaian adaptasi komoditas terhadap

agroekologi; efisiensi sistem produksi; kualitas produk hasil panen; ketersediaan sarana

dan prasarana produksi, transportasi, termasuk pelabuhan; serta ketersediaan SDM

yang berkualitas.

Sedangkan faktor utama yang dipandang dapat sebagai penentu dalam

pemilihan komoditas yang akan dikembangkan antara lain adalah : (1) jaminan

keamanan dan status hukum usaha; (2) kemudahan transportasi, komunikasi, dan

sumber energi; (3) kemudahan ketersediaan sarana produksi seperti air, pupuk, obat-

obatan, benih, ameliorasi, dan sebagainya; (4) resiko gagal panen secara alamiah yang

rendah; dan (5) alam yang bersahabat, bukan daerah banjir, kering, atau sangat panas.

Sementara itu, faktor pendukung keberhasilan dalam pengembangan komoditas

adalah : (1) lingkungan yang menyenangkan; (2) sarana kehidupan yang memadai; (3)

fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah, pasar, dan hiburan; (4) kondisi sosial, politik,

Page 19: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

17

dan keamanan yang kondusif; dan (5) kondisi sosial dan budaya masyarakat yang

mendukung.

Pewilayahan Komoditas dan Sentra Produksi.

Pada dasarnya pewilayahan produksi komoditas pertanian bertujuan untuk

meningkatkan produkstivitas dan efisiensi, serta dayasaing komoditas yang

bersangkutan. Pewilayahan produksi komoditas pada wilayah yang bersangkutan harus

memenuhi kesesuaian agroekologi, skala ekonomi, dan kesesuaian dengan sosial

budaya masyarakat setempat. Pewilayahan dan pengembangan sentra produksi

pertanian yang juga mempunyai dimensi penatagunaan lahan bertujuan untuk

meningkatkan efisiensi dalam sistem produksi usahatani, transportasi, pengumpulan,

penanganan pasca panen, pengolahan, serta distribusi dan pemasarannya.

Pengelolaan dalam satu kawasan produksi juga memudahkan dalam operasionalisasi

pembinaan atau bimbingan di lapangan, serta dalam monitoring dan evaluasi. Di

samping itu, pewilayahan dan pengembangan sentra produksi dapat memperbaiki

struktur pasar hasil-hasil yang cenderung oligopolistik.

Pengembangan Usaha Agribisnis

Program utama pembangunan pertanian lima tahun yang sedang berjalan (2000-

2004) menekankan pada dua hal pokok : (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan,

dan (2) Program Pengembangan Agribisnis yang berkelanjutan dan berkerakyatan. Di

samping itu, bagi pemerintah daerah pencapaian target bagi Pendapatan Asli Daerah

menjadi salah satu pertimbangan pokok bagi Pemerintah Daerah.

Menurut Sumarno (2002), untuk membangun sistem agribisnis terpadu harus

memperhatikan tiga hal sebagai berikut, yaitu: (1) meningkatkan keterkaitan fungsional

antar subsistem, sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat

berlangsung berkesinambungan dengan efektivitas dan efisiensi tinggi; (2)

pengembangan agribisnis harus mampu menumbuhkembangakan aktivitas ekonomi

pedesaan; (3) pengembangan agribisnis harus diarahkan pada pengembangan mitra

usaha skala besar dan kecil secara harmonis, sehingga nilai tambah agribisnis dapat

dinikmati secara adil oleh seluruh pelakunya.

Pola pengembangan yang ditempuh dalam pengembangan agribisnis antara lain

dapat dilakukan melalui : (1) pola kerjasama sesama petani melalui kelembagaan

koperasi; (2) pola kemitraan usaha antara petani dan perusahaan dalam kedudukan

yang sejajar, saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan; (3) pola

Page 20: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

18

keterkaitan, yang merupakan hubungan, kerjasama dagang yang tidak mengikat antara

petani dan perusahaan dimana perusahaan hanya bertindak sebagai penampung dan

pemasarannya; (4) pola perusahaan pertanian besar, dalam bentuk pengembangan

agribisnis terintegratif dan berdayasaing tinggi, terutama ditujukan untuk kelas atas dan

ekspor; (5) pola kerja sama petani dengan perusahaan penyedia sarana dan prasarana,

misalnya dalam bentuk kerjasama operasional; (6) pola kerjasama petani dengan

perusahaan dengan sistem kontrak harga.

SIMPUL-SIMPUL KRITIS YANG MEMPENGARUHI IMPLIKASI

TERHADAP PENATAGUNAAN LAHAN

Berdasarkan hasil tinjauan dan hasil sintesis di atas dapat tarik beberapa simpul-

simpul kritis yang mempengaruhi implikasi terhadap penatagunaan lahan mencakup

sebelas aspek. Kesebelas aspek tersebut adalah: (1) karakteristik sumberdaya lahan,

jenis dan kelas lahan, (2) struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin kecil, (4)

Pergeseran penguasaan lahan dari sistem penguasaan komunal ke pemilikan private,

(5) Pergeseran Kelembagaan Lahan (Gadai-Bagi Hasil-Sewa); (6) perpecahan dan

perpencaran (fragmentation) lahan dan akumulasi lahan, (7) keterbukaan ekonomi suatu

wilayah, masuknya pihak luar (investor) dan introduksi komoditas baru benilai ekonomi

tinggi; (8) dinamika harga masukan dan keluaran, (9) persepsi petani terhadap lahan,

(10) kelembagaan petani, dan (11) pengembangan sistem informasi.

Karakteristik Sumberdaya Lahan, Jenis dan Kelas Lahan

Ditinjau dari sudut ekonomi sumberdaya lahan merupakan barang ekonomi yang

ketersediaannya sudah tertentu atau tetap (fixed), sementara di sisi lain kebutuhan

(demand) terhadap lahan meningkat dan semakin meningkat dari waktu kewaktu.

Hubungan antara lahan dan penduduk mulai diperhatikan dengan adanya pernyataan

Malthus dalam bukunya An Essay on Population (1798) dalam Reksohadiprojo (1994).

Pernyataan pokoknya adalah ada kecenderungan kuat pertumbuhan penduduk lebih

cepat dibandingkan pasokan bahan makanan terutama disebabkan ketersediaan areal

lahan adalah tetap. Berdasarkan sifat lahan tersebut menjadikan lahan bukan saja

barang ekonomi, tetapi lahan mengandung makna yang kompleks (politik, sosial-

budaya, religius, harta pusaka).

Page 21: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

19

Jenis lahan merupakan tinjauan lahan dari aspek kualitasnya atau kesuburannya

(land fertility), yang secara umum dapat dipilah menjadi lahan sawah dan lahan kering.

Antara lahan sawah dataran rendah dan sawah dataran tinggi mempunyai implikasi yang

berbeda dalam penatagunaan lahannya. Demikian juga antara lahan kering dengan

kemiringan yang curam, sedang, dan landai juga mempunyai implikasi yang berbeda

dalam penatagunaan lahan. Secara umum, penatagunaan pada lahan sawah sangat

terkait dengan konfigurasi dari sistem irigasi yang ada, sedangkan pada lahan kering

akan sangat terkait dengan topografi dan potensi lahan.

Lokasi (letak lahan) merupakan tinjauan lahan dari aspek ruang (space) yang

menentukan kelas lahannya. Reksohadiprojo (1994) mengemukakan pentingnya lokasi

dapat di lihat dari 3 aspek, yaitu lokasi ekonomi, penggunaan lahan, dan status hukum.

Konsep lokasi ekonomi berdasarkan asumsi bahwa suatu tempat dapat menikmati

keuntungan lokasi dibanding tempat lainnya berupa antara lain berkurangnya biaya

transportasi dan waktu dari lahan ke jalan atau pusat pasar.

Struktur Penguasaan Lahan yang Kecil dan Makin Mengecil

Telah banyak bukti menunjukkan bahwa struktur penguasaan lahan sangat

menentukan sistem usahatani yang diterapkan petani dan pendapatan petani yang

bersumber dari sektor pertanian (Sinaga, 1987; Saptana dkk., 2002). Struktur

penguasaan lahan yang kecil dan makin mengecil mendorong pengusahaan lahan

cenderung ke pola yang intensif baik dalam penggunaan input maupun tenaga kerja.

Namun, pola usahatani yang intensif dalam penggunaan tenaga kerja telah

menimbulkan menurunnya produktivitas atau marginalisasi tenaga kerja di sektor

pertanian.

Kondisi penguasaan lahan yang kecil-kecil jelas akan mempersulit bagi

penatagunaan lahan di tingkat mikro baik melalui konsolidasi lahan pertanian maupun

melalui konsolidasi managemen usahatani. Apalagi kalau mau dikembangkan pola

kemitraan usaha dengan investor akan menjadi kurang efisien dan menimbulkan biaya

transaksi yang tinggi. Keterbatasan lahan dalam pola kerjasama PIR Inti-Plasma sudah

nampak di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.

Pergeseran Penguasaan Lahan dari Penguasaan Komunal ke Private

Secara subtantif bahwa dalam tanah ulayat tidak dikenal adanya peralihan hak

(transaksi), karena tanah ulayat yang dimiliki secara komunal tidak boleh dialihkan ke

Page 22: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

20

pihak lain untuk selama-lamanya. Namun berdasarkan studi empiris di lapang

menunjukkan adanya “peralihan” dari penguasaan tanah secara komunal kepemilikan

privat. Pergeseran tersebut ada yang mengikuti proses evolutif dan proses yang relatif

revoliutif. Pergeseran yang evolutif adalah melalui proses berikut apabila tanah ulayat

nagari melalui musyawarah adat terbagi ke dalam ulayat suku, kemudian ulayat suku

melalui musyawarah adat terbagi dalam ulayat kaum, selanjutnya ulayat kaum melalui

musyawarah adat yang biasanya atas tuntutan anggota masyarakat yang berhak agar

tanah tersebut dibagikan. Proses evolutif ini nampaknya sejalan dengan perkembangan

penduduk secara alami sehingga kebutuhan akan tanah bagi kehidupan meningkat

begitu cepat. Selanjutnya adanya keterbukaan ekonomi, budaya masyarakat perantau,

dan pendatang banyak tanah-tanah yang dulunya tanah adat setelah dibagi di lakukan

sertifikasi, kasus ini lebih banyak terjadi pada lahan sawah dibandingkan lahan

perkebunan. Kasus pergeseran secara evolutif ini ditemukan di lokasi penelitian

Kecamatan Panti dan Bonjol, di mana diperkirakan pemilikan tanah secara private

masing-masing sudah mencapai 35 dan 25 persen.

Sementa pergeseran yang sifatnya terjadi secara revolutif adalah melalui

kerjasama dalam bentuk PIR Perkebunan Kelapa Sawit, di Kecamatan Pasaman dan

Kinali, menunjukkan sebagian besar daerahnya telah menjadi wilayah pengembangan

kebun sawit. Masyarakat berkesempatan menjadi petani plasma dengan mendapat hak

garap 2 ha kebun sawit. Selain itu juga ditemukan adanya pergeseran sistem

kepemilikan, dari kategori menguasai (tanah ulayat nagari) menjadi memiliki (tanah

privat). Karena setiap petani plasma dibuatkan sertifikatnya untuk 2 ha kebun jatahnya,

sebagaimana syarat untuk memperoleh kredit KKPA, meskipun sertifikat tersebut

diserahkan setelah kredit lunas terbayar. Jadi telah terjadi konversi sitem hukum atas

tanah, dari tanah pemilikan (penguasaan) tanah secara komunal menjadi tanah milik

privat masing-masing individu, suatu perubahan yang bersifat revolutif.

Pergeseran Kelembagaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhi

Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan adanya pergeseran

dari sistem sakap dan gadai ke sistem sewa terutama di pedesaan Jawa. Sementara

itu, kelembagaan bagi hasil dan gadai di luar Jawa masih tetap eksis, namun indikasinya

mulai ada sistem sewa kasus per kasus yang masih terbatas pada komoditas komersial.

Hal tersebut mengindikasikan makin berjalannya pasar lahan di pedesaan Jawa,

meskipun faktor-faktor kelembagaan (institutional factors) masih cukup dominan

terutama di pedesaan Luar Jawa.

Page 23: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

21

Perpecahan, Perpencaran dan Konsolidasi Lahan dan Akumulasi Lahan

Faktor lain yang turut berpengaruh langsung terhadap efisiensi pemanfaatan

lahan adalah perpecahan dan perpencaran lahan (land fragmentation). Perpecahan

tanah adalah pembagian lahan milik seseorang ke dalam unit pemilikan yang semakin

kecil yang dapat terjadi melalui mekanisme pola pewarisan maupun transaksi jual beli.

Perpencaran tanah adanya kenyataan sebuah usahatani di bawah satu managemen

yang terdiri atas beberapa bidang lahan yang terserak, hal ini terjadi karena perolehan

lahan melalui warisan maupun pembelian. Sementara itu, konsolidasi lahan mempunyai

pengertian usaha penyatuan managemen pengusahaan lahan, yang dapat dilakukakan

melalui konsolidasi pemilikan maupun konsolidasi managemen usahatani. Suatu usaha

untuk meningkatkan efisiensi usahatani dari lahan-lahan yang mengalami fragmentasi

adalah melalui konsolidasi lahan. Konsolidasi pemilikan lahan dan konsolidasi

managemen usahatani dapat terjadi secara alami maupun melalui program pemerintah.

Sementara itu konsolidasi pengusahaan lahan ditemukan pada pengusahaan tembakau

di Kabupaten Klaten.

Akumulasi lahan adalah pemusatan penguasaan lahan kepada segolongan kecil

orang atau rumah tangga tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Terjadinya

akumulasi pemilikan lahan dapat dipandang sebagai hal positif maupun negatif.

Akumulasi lahan dipandang sebagai hal yang positif kalau di satu sisi dapat

meningkatkan efisiensi usahatani serta dilakukan oleh masyarakat petani dan di sisi lain

tersedia lapangan kerja di luar sektor pertanian yang memadai. Sementara itu,

akumulasi lahan dapat dipandang sebagai hal yang negatif apabila pemilikan lahan

sangat terkonsentrasi pada segolongan kecil rumah tangga, dilakukan oleh orang

bermodal yang pada dasarnya bukan merupakan petani (spekulan tanah) dan belum

tersedia lapangan kerja di luar pertanian secara memadai. Implikasi dari kondisi di atas

dapat menyebabkan tidak efisiennya sistem usahatani, ketimpangan struktur

pendapatan antar golongan masyarakat, dan bahkan dapat menyebabkan pelapisan

sosial atau polarisasi sosial.

Melihat kasus-kasus di lapang, bahwa di pedesaan Kabupaten Klaten baik untuk

desa contoh lahan sawah maupun desa contoh lahan kering menunjukkan adanya

ketimpangan lahan ringan, namun dengan rata-rata pemilikan yang sangat kecil (0,165-

0,250 Ha). Sedangkan di pedesaan contoh Kabupaten Pasaman menunjukkan ada

variasi dari ketimpangan ringan hingga sedang. Sementara itu ketimpangan sedang

dijumpai pada pedesaan Pasaman Wilayah Timur yang merupakan sentra

pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit baik oleh Perusahaan Swasta Murni, PTPN,

maupun melalui kerjasama kemitraan PIR-BUN. Sementara itu di Kabupaten Landak,

Page 24: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

22

Kalimantan Barat juga menunjukkan ketimpangan ringan hingga sedang. Pada daerah-

daerah yang belum terbuka dan belum masuk investor menunjukkan ketimpangan lahan

yang ringan, sedangkan pada daerah yang sudah relatif terbuka, apalagi yang sudah

masuk Perkebunan Skala Besar maka ketimpangan yang terjadi tergolong sedang.

Keterbukaan Ekonomi Suatu Wilayah, Masuknya Pihak Luar (Investor) dan

Introduksi Teknologi Baru

Berdasarkan hasil tinjauan diperoleh informasi bahwa faktor ekonomi menjadi

faktor penting terjadinya evolusi sistem penguasaan atas tanah dari pemilikan komunal

ke pemilikan privat, di mana perubahan tersebut menunjukkan adanya perubahan

hukum atas tanah. Keinginan masyarakat mau menerima dan memanfaatkan hukum

modern atas tanah baik sukarela atau terpaksa umumnya di dasarkan atas tujuan

ekonomi. Sistem pemerintahan modern lebih condong melayani permintaan pembuatan

sertifikat, surat izin HGU, Kesepakatan-kesepakatan Kerjasama melalui PIR-BUN dan

lain-lain, karena adanya keinginan untuk masuknya investasi ekonomi di wilayahnya.

Ada semacam kesejajaran antara tingkat keterbukaan ekonomi suatu wilayah dengan

sistem hukum atas tanah yang diterapkan atau yang diterima oleh masyarakat. Pada

wilayah ekonomi yang relatif terbuka, seperti perkotaan, masuknya investor yang

mengusahakan komoditas komersial berekonomi tinggi, masuknya kaum pendatang dari

luar, relatif tingginya anggota masyarakat yang merantau ke luar daerah dengan tujuan

kota, cenderung mengadopsi sistem hukum positif atas tanah. Sementara itu,

kebanyakan masyarakat pedalaman, seperti suku Dayak, dan sebagian besar

Masyarakat Adat Minangkabau cenderung masih mempertahankan hukum

tradisionalnya atas tanahnya.

Meskipun dalam kerangka otonomi daerah ada keinginan sebagian tokoh

masyarakat untuk kembali ke sistem pemerintahan lama seperti yang ditemukan di

Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, namun

diperkirakan pada masa mendatang dinamika perubahan penguasaan tanah dari

komunal ke pemilikan privat akan semakin besar, sejalan dengan tuntutan kemajuan

ekonomi dan tuntutan masyarakat setempat terhadap sertifikat lahan secara individu.

Introduksi komoditas pertanian baru yang mempunyai nilai ekonomi tinggi telah

menggeser komoditas pertanian tradisional. Pergeseran komoditas tersebut telah

berdampak positif terhadap penatagunaan lahan di tingkat mikro. Dampak selanjutnya

adalah lebih effektif dan efisiennya optimalisasi pemanfatan lahan serta meningkatnya

pendapatan petani pekebun. Namun demikian perlu adanya areal pencadangan untuk

Page 25: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

23

hutan sekunder untuk berbagai tanaman yang secara tradisional sudah berkembang

(Karet lokal, kulit kayu manis, Durian, Jengkol, Pohon Pinang, dll) dan sebagai usaha

untuk mempertahankan biodiversity hutan.

Dinamika harga Masukan dan Keluaran

Secara langsung harga masukan mempengaruhi biaya produksi. Oleh sebab itu,

permintaan terhadap masukan usahatani baik untuk usahatani tanaman pangan (padi

palawija dan hortikultura) maupun tanaman perkebunan (karet, kakao, kelapa sawit,dll)

merupakan fungsi dari harga-harga masukan. Di sisi lain, harga keluaran menentukan

total penerimaan yang akan diterima oleh petani produsen. Oleh sebab itu merupakan

determinan dari penawaran produk yang dihasilkan.

Dalam praktek, pengaruh dinamika harga masukan dan keluaran bersifat

simultan; terutama jika referensi waktu yang digunakan termasuk dalam jangka panjang.

Oleh sebab itu, permintaan terhadap masukan dan penawaran terhadap keluaran

produk yang dihasilkan merupakan fungsi dari harga-harga keluaran dan masukan

secara simultan. Hasil tinjauan diperoleh informasi bahwa, bagi petani dinamika harga

masukan dan (ekspektasi) harga keluaran menentukan keputusan petani mengenai

jenis komoditas, skala usaha dan waktu serta metode berproduksi dalam kegiatan

usahatani. Oleh sebab itu dinamika harga masukan dan keluaran juga mempengaruhi

arah perubahan pola pengusahaan lahan sehingga dalam jangka panjang ikut

menentukan struktur kelembagaan lahan dan secara potensial berpengaruh pula

terhadap struktur penataan lahan.

Persepsi Petani Terhadap Lahan

Secara teoritis maupun secara empiris di lapang, menunjukkan bahwa persepsi

petani terhadap lahan menentukan sejauhmana petani menghargai lahan pertanian yang

dikuasai. Pada masyarakat Minangkabau kasus di Pasaman, Sumatera Barat, lahan

yang diperoleh dari warisan orang tua (ganggam bauntuak) mendapat penghargaan

sebagai tanah pusako tinggi, yang tidak boleh diperjual belikan dan hanya bisa

diwariskan kepada kemanakan dari garis ibu, pada kabupaten-kabupaten contoh di

Jawa menunjukkan adanya variasi persepsi terhadap lahan, namun secara umum

penghargaan lahan di Jawa sangat tinggi sehingga muncul istilah ”sedumuk bathuk

senyari bumi ” karena sifatnya yang semakin langka. Penghargaan terhadap lahan

tersebut dapat dilihat dari sejauhmana petani mudah tidaknya melepas lahan tersebut

Page 26: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

24

kepada pihak lain. Penghargaan lahan yang tinggi oleh masyarakat Suku Dayak di

Kabupaten Landak dapat dilihat bagaimana ritual-ritual dalam usahatani, yang

mengandung makna religius.

Kelembagaan Petani

Kelembagaan petani mencakup perangkat keras dan perangkat lunak dalam

pengelolaan sumberdaya pertanian. Secara normatif, kelembagaan petani haruslah

kompatibel dengan tugas pokok dan fungsi yang akan dijalankan. Sehingga yang perlu

mendapat perhatian serius dalam penatagunaan lahan pertanian adalah pengkajian

secara mendalam tentang eksistensi kelembagaan petani yang ada dimasyarakat.

Seperti kelembagaan kelompok tani yang ada pada hampir semua kabupaten contoh,

kelembagaan kelompok petani pemakai air (P3A atau HIPPA) yang eksis pada daerah-

daerah irigasi dihampir semua kabupaten contoh, kelembagaan kelompok tenaga kerja

yang awalnya bekerja secara gotong royong yang oleh Masyarakat Minangkabau di

sebut Julo-Julo, Kelembagaan panen secara tebasan yang ada di Kabupaten Klaten,

Jawa Tengah.

Eksistensi kelembagaan-kelembagaan tersebut akan mempengaruhi efektivitas

dan efisiensi petani dalam penatagunaan lahan di tingkat mikro, tentunya pengaruh

tersebut ada yang positif maupun negatif. Sehingga program-program penatagunaan

lahan pertanian haruslah memperhitungkan dan mendayagunakan kelembagaan yang

telah eksis di pedesaan.

Pengembangan Sistem Informasi

Informasi merupakan input utama dalam sistem kelembagaan penatagunaan

lahan. Pengembangan sistem informasi tentang lahan haruslah mencakup ketersediaan

lahan baik dari jumlah maupun kualitas, sistem penguasaan lahan yang ada, distribusi

dan akses masyarakat petani terhadap sumberdaya lahan yang sangat dibutuhkan,

bagaimana masyarakat baik lokal atau pemerintah melakukan pemetaan dan penata

gunaan hingga di tingkat mikro desa, bagaimana jaringan kelembagaan yang ada di

desa tersebut berjalan, hubungan kelembagaan secara internal, hubungan kelembagaan

tersebut baik secara horisontal maupun secara vertikal, bagaimana sistem administrasi

pertanahan dijalankan. Pengembangan sistem informasi berguna untuk mempermudah

eksekusi suatu aktivitas dan merupakan determinan dari sistem koordinasi, yang sangat

berpengaruh terhadap penatagunaan lahan dalam rangka optimalisasi penggunaan

lahan pertanian.

Page 27: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

25

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Penataan Lahan di Tingkat Propinsi dan Kabupaten sebagai unit otonom

mengacu pada UUPR No. 24 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Daerah yang

merupakan turunan dari Undang-Undang tersebut bersifat normatif, bias pada

kepentingan pengusaha besar memudahkan para investor untuk memperoleh ijin lokasi,

dan belum menginkorporasikan peta AEZ. Penataan lahan di tingkat komunitas lokal

(desa) di Klaten sudah melibatkan partisipasi masyarakat, meskipun masih terbatas

pada elit desa. Sementara itu, pemetaan partisipatif di Kabupaten Landak yang dimotori

oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, meskipun sudah melibatkan masyarakat secara

langsung, namun kurang melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah. Kondisi

tersebut menyebabkan penataan lahan belum optimal dalam mendorong pembangunan

pertanian di pedesaan, masih dijumpainya sengketa lahan, dan konflik antar

stakeholder.

Penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian untuk pedesaan Jawa

lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah

peningkatan produktivitas dan efisiensi produktivitas pertanian. Di pedesaan Luar Jawa

menunjukkan bahwa penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian masih

sangat terkait dengan aspek peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan.

Penataan lahan dan usaha pertanian dengan sasaran optimalisasi pemanfaatan

lahan pertanian mencakup beberapa kegiatan, yaitu : (1) mengenali sifat lahan dan

tanah dan menetapkan kesesuaian lahan; (2) memperbaiki sifat-sifat yang kurang sesuai

dan pentingnya melakukan analisis tanah secara berkala; (3) pemetataan ruang atau

lahan hingga tingkat komunitas lokal (desa) dan pemetaan AEZ; (4) penelitian dan

pengkajian teknologi spesifik lokasi; (5) pewilayahan dan pengembangan sentra

produksi agribisnis; (6) konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan

agribisnis.

Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan dari aspek penataan ruang

dan peta AEZ adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang

wilayah propinsi, kabupaten, hingga tingkat desa dengan peta AEZ, terutama pada

kabupaten yang telah melakukan pemetaan AEZ secara detail dengan skala 1 : 50.000

untuk dapat digunakan dalam perencanaan pengembangan pertanian di tingkat

kabupaten; bahkan untuk dapat dioperasionalkan di tingkat desa perlu skala 1 : 10.000

hingga 1 : 5.000. Sehingga PTRD di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang membagi

desa ke dalam sentra-sentra kegiatan ekonomi, untuk pengembangan sentra produksi

Page 28: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

26

pertanian dapat bersifat spesifik komoditas dan spesifik teknologi budidaya. Sedangkan,

pemetaan partisipatif di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat perlu berkoordinasi

dengan Pemerintah Daerah (BAPPEDA, BPN, dan Dinas Teknis terkait) dan Balai

Pengkajian teknologi Pertanian, sehingga pemetaan lahan dapat mendukung

pembangunan pertanian di pedesaan secara lebih optimal, karena adanya keterpaduan

program. Sementara itu, di Kabupaten Pasaman perlu dilakukan pemetaan lahan

partisipatif yang melibatkan masyarakat adat setempat.

Simpul-simpul kritis struktur penatagunaan lahan dalam perspektif pembangunan

usaha agribisnis mencakup 11 aspek. Kesebelas aspek tersebut adalah: (1) karakteristik

sumberdaya lahan, jenis dan kelas lahan, (2) struktur penguasaan lahan yang kecil dan

makin kecil, (4) pergeseran penguasaan lahan dari sistem penguasaan komunal ke

pemilikan private, (5) pergeseran Kelembagaan Lahan (Gadai-Bagi Hasil-Sewa); (6)

perpecahan dan perpencaran (fragmentation) lahan dan akumulasi lahan, (7)

keterbukaan ekonomi suatu wilayah, masuknya pihak luar (investor) dan introduksi

komoditas baru benilai ekonomi tinggi; (8) dinamika harga masukan dan keluaran, (9)

persepsi petani terhadap lahan, (10) kelembagaan petani, dan (11) pengembangan

sistem informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992: Tentang Penataan Ruang Wilayah Indonesia. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Anonim. 1999. Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbit : PARIBA. Jakarta.

BPTP Jawa Tengah. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Ungaran.

BPTP Kalbar. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak.

BPTP Sumatera Barat. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Sumatera Barat. Solok.

Fauzi, N. 2001. Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.

Page 29: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

27

Fauzi, N. 2002. Land Reform Sebagai Variabel Sosial : Perkiraan Tentang RintanganPolitik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform. Makalah disampaikan dalam Seminar “ Mengkaji Kembali Land Reform di Indonesia”, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Land Law Initiative (LLI) dan Rural Development Intitute (RDI), Jakarta 8 Mei – 2002.

Hermayaulis, 2000. Status Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional dalam Tanah Ulayat di Sumatera Barat (Sofyan Jalaluddin Penghimpun). Workshop yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.

Jamal, E., T. Pranadji, A. M. Hurun, A. Setyanto, Roosganda, dan M. Y. Napiri. 2001. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokal. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Kamal, Miko, 2000. Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahannya dalam Tanah Ulayat di Sumatera Barat (Sofyan Jalaluddin Penghimpun). Workshop yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.

Karama, A. S., 2000. Pemanfaatan Lahan Untuk Produksi Tanaman Pangan. Prosiding : Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000 Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

LKAAM, 2000. Rancangan Peraturan Daerah Sumatera Barat Tentang : Pemanfaatan Tanah Ulayat. Ranperda Fersi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Provinsi Sumatera Barat. Padang.

PPSDAK, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, Peran Masyarakat Dalam Tata Ruang, 1998.

PPSDAK, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, 1998.

Pranadji, T., 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian Perekonomian Pedesaan dalam Seminar Nasional : Menggalang Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), Tanggal 28-29 Agustus 2002 di Bogor-Jawa Barat.

Rasyid, M. R., 2001. Kegagalan Memahami Otonomi Daerah. Harian Media Indonesia, Senin, 10 Desember 2001, hal. 41.

Rasyid, M. R., 2003. Pemerintah Pusat Sumber Distorsi Otonomi Daerah. Harian Kompas, Rabo, 5 Februari 2003, hal. 11. Reksohadiprodjo, S. dan Pradono. 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi (Edisi-2). BPFE. Yogyakarta

Rusastra, I W. dan T. Sudaryanto. 1998. Dinamika Ekonomi Pedesaan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding: Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian (Buku I). Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Page 30: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.id fileWorking Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

28

Saptana, I. W. Rusastra, Supriyati, A. M. Hurun, R. Hendayana, dan Y. Supriatna. Struktur dan Aspek Penataan Lahan Serta Implikasinya Terhadap Pembangunan Ekonomi Pertanian di Pedesaan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Saptana, Handewi P. S. R., dan Tri Bastuti P., 2003. Struktur Penguasaan Lahan dan Kelembagaan Pasar Lahan di Pedesaan. Kerjasama BAPPENAS dengan DAI serta Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti–Rakyat. Bahan Kuliah pada Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sudaryanto, T. dan P. Simatupang, 1993. Arah Pengembangan Agribisnis. Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sumarno, 2000. Konsep Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Hortikultura. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000 Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, A.M. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Inovasi Agribisnis, Bogor 21-22 Mei 2002. Tantangan dan Peluang Komunikasi, Sumberdaya Lahan, dan Sosial Ekonomi Pertanian. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Sutiknjo, I., 1982. Politik Agraria Nasional: Hubungan Antara Tanah dan Manusia Yang Berdasarkan Pancasila. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.