-
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah,
baik limbah padat maupun cair. Limbah cair tahu dihasilkan dari
proses perendaman kedelai, pencucian kedelai, pencucian peralatan,
perebusan, penyaringan, pengepresan serta pencetakan tahu. Limbah
cair tahu mengandung nutrisi berupa protein, karbohidrat dan lipid
yang tingkat pencemarannya sangat tinggi. Limbah cair tahu pada
Pabrik Tahu Dau Malang memiliki kandungan BOD 8.852 mg/l, COD
29.700 mg/l, TSS 936 mg/l, pH 3,8 (Septyana dkk, 2014). Kandungan
limbah tahu tersebut mencemari lingkungan karena melebihi baku mutu
masing-masing, yakni BOD 150 mg/l, COD 300 mg/l, dan pH 6-9
(Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.15 Tahun 2008).
Limbah cair yang langsung dibuang ke badan air tanpa pengolahan
terlebih dahulu akan mencemari lingkungan. Berbagai upaya untuk
mengolah limbah cair tahu telah dikembangkan. Proses pengolahan
limbah secara biologis dapat dibedakan menjadi proses pengolahan
secara aerob dan anaerob. Pengolahan limbah secara anaerob untuk
degradasi senyawa organik kompleks adalah proses yang terjadi
karena aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat tidak terdapat
oksigen bebas. Pada proses anaerob, senyawa-senyawa organik
kompleks (protein, karbohidrat dan minyak/lemak) berantai panjang
mula-mula didegradasi menjadi asam lemak dan asam amino sederhana,
berantai pendek serta sejumlah kecil gas hidrogen (MetCalf dan
Eddy, 2003). Pengolahan limbah secara anaerobik akan menghasilkan
biogas yang terdiri dari CO2 dan CH4 (Wagiman, 2007). Pada
pengolahan anaerob, bahan organik terdegradasi dan diubah menjadi
CH4 dan karbondioksida (CO2) oleh serangkaian reaksi biokimia
melalui interaksi metabolisme mikroorganisme anaerob (Saady, 2013).
Tahapan utama proses anaerob yaitu hidrolisis, asidogenesis,
asetogenesis, dan metanogenesis (Plaza et al.,
-
2
1996). Setiap tahapan akan melibatkan kelompok bakteri yang
berbeda yang akan bekerja secara bersinergi antara satu kelompok
dengan kelompok bakteri lainnya sehingga terbentuk konsorsium
bakteri (Griffin et al., 1998). Konsorsium bakteri tersebut dapat
digolongkan pada bakteri non metanogen dan bakteri metanogen.
Bakteri non metanogen terbagi menjadi golongan bakteri hidrolitik,
asidogenik, dan asetogenik (Madigan et al., 2010). Golongan bakteri
asetogenik berperan dalam pembentukan asetat, CO2, H2 dari
asam-asam organik dan alkohol (Suciati dan Muntalif, 2011). Asam
asetat merupakan substrat yang diperlukan oleh bakteri metanogen
dalam memproduksi metan. Pada sistem biogas 55 - 70% terdiri dari
gas metan (CH4) (Deublein dan Steinhauser, 2008), sehingga produksi
asam asetat pada proses biogas merupakan hal yang sangat penting.
Selain itu asam asetat merupakan bahan baku industri yang sangat
penting (Spath and Dayton, 2003). Pada tahun 2003, permintaan asam
asetat di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 15 miliar pound
(Johnson, 2000). Kombinasi produksi asam asetat dengan pengolahan
limbah dapat secara bersamaan meningkatkan perekonomian dan
bermanfaat bagi lingkungan (Nie et al., 2008). Proses pembentukan
asam asetat melalui proses biologis ini memiliki beberapa
keuntungan diantaranya lebih ekonomis dan ketersediaan biomassa
yang terdapat pada limbah organik sangat melimpah (Sim et al.,
2008). Berdasarkan penelitian dari Kellum and Drake (1984),
beberapa bakteri yang termasuk dalam bakteri asetogenik adalah
Clostridium aceticum, Acetobacterium woodii, Clostridium
ljungdahlii, dan Clostridium thermoaceticum. Produksi asam asetat
dengan bantuan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti pH, suhu dan inokulum (Zhang et al., 2008). Selain itu
menurut penelitian yang dilakukan oleh Cortes et al., (2012),
pertumbuhan bakteri penghasil asam asetat juga dipengaruhi oleh
waktu inkubasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hafid
(2011) tentang produksi asam organik dari limbah dapur melalui
digester anaerob, level tertinggi dari asam organik yang dihasilkan
berada pada pada pH optimum 6,02, suhu 35,37°C, dan 20%
inokulum.
-
3
Asam organik yang dihasilkan salah satunya adalah asam asetat
sebesar 10 g/L. Hasil menunjukkan bahwa parameter yang paling
signifikan mempengaruhi biokonversi limbah untuk asam organik
adalah suhu dan inokulum. Selanjutnya berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Fontaine (1942) fermentasi glukosa oleh bakteri asam
menjadi asam asetat terjadi setelah diinkubasi selama 72 jam.
Faktor waktu inkubasi merupakan faktor yang penting untuk
menghasilkan asam asetat karena semakin lama inkubasi,
mikroorganisme yang digunakan dalam suatu proses fermentasi semakin
aktif, sehingga kemampuan untuk memecah substrat semakin banyak dan
menghasilkan asam organik yang semakin meningkat (Astawan, 2007).
Faktor lain yang mempengaruhi proses fermentasi adalah persentase
inokulum. Inokulum merupakan mikroorganisme yang diinokulasikan ke
dalam medium fermentasi. Inokulum memiliki peran yang paling
penting dalam menunjang keberhasilan proses fermentasi (Mushlihah
dan Herumurti, 2011). Berdasarkan hal tersebut, maka pada
penelitian ini akan dilakukan isolasi bakteri asetogenik pada
pengolahan limbah cair tahu secara anaerob pada tahap asetogenesis.
Isolat bakteri yang diperoleh kemudian akan diseleksi dan diuji
kemampuan dalam menghasilkan asam asetat. Uji kemampuan tersebut
dipengaruhi oleh faktor persentase inokulum dan waktu inkubasi.
Isolat bakteri asetogenik yang memiliki kemampuan menghasilkan
total asam tertinggi yang pada penelitian ini dinyatakan sebagai
asam asetat, selanjutnya akan diidentifikasi secara biokimia. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan lebih lanjut
dalam proses pembentukan asam asetat untuk industri serta dapat
digunakan dalam pengolahan limbah cair tahu dengan memanfaatkan
isolat bakteri asetogenik yang diisolasi dari limbah cair industri
tahu.
-
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh waktu inkubasi dan persentase inokulum
terhadap kemampuan isolat bakteri asetogenik terpilih untuk
memproduksi total asam?
2. Bagaimana karakteristik dari isolat bakteri asetogenik yang
mampu menghasilkan total asam tertinggi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh waktu inkubasi dan persentase inokulum
terhadap kemampuan isolat bakteri asetogenik terpilih untuk
memproduksi total asam
2. Mengetahui karakteristik dari isolat bakteri asetogenik yang
mampu menghasilkan total asam tertinggi
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah isolat
bakteri asetogenik terpilih yang menghasilkan asam asetat paling
tinggi dapat diaplikasikan lebih lanjut dalam proses pembentukan
asam asetat untuk industri serta dapat digunakan dalam pengolahan
limbah cair tahu secara anaerob.
-
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Tahu
Limbah cair tahu merupakan limbah pangan yang mengandung senyawa
organik. Limbah cair tahu mengandung nutrisi berupa protein,
karbohidrat dan lipid yang tingkat pencemarannya sangat tinggi
(Septyana dkk, 2014). Limbah cair tahu dihasilkan dari proses
perendaman kedelai, pencucian kedelai dan peralatan proses produksi
tahu, perebusan, penyaringan, pengepresan dan pencetakan tahu. Oleh
karena itu limbah cair yang dihasilkan jumlahnya banyak. Proses
produksi tahu dan limbah yang dihasilkan secara rinci dapat dilihat
pada Gambar 1.
Kedelai
Pencucian dan Perendaman
(3 – 12 jam)
Pengupasan Kulit
Perendaman
(30 – 40 menit)
Penggilingan
Perebusan (30 menit)
Penyaringan
Filtrat
Penggumpalan
Pencetakan / Pengepresan
Pemotongan
Tahu
Air Tahu (Whey)
(TSS,BOD,bau)
Limbah Cair
(BOD, Asam)
Ampas
Tahu
Limbah Cair
(BOD,TSS)
Kulit Kedelai
Limbah Cair
(BOD, TSS)Air
Air
Air
Air
Asam
Asetat
Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Produksi Tahu (Kaswinarni,
2007)
-
6
Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri
pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan
tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Limbah ini sering
dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga
menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007).
Karakteristik limbah tahu sebagian besar terdiri dari polutan
organik dengan nilai yang cukup tinggi sehingga dibutuhkan
pengolahan limbah yang efisien dan relatif murah (Myrasandri dan
Mindriany, 2003). Karakteristik limbah cair tahu meliputi dua hal
yaitu karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi
padatan total, padatan total tersuspensi, suhu, warna dan bau.
Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas
(Kaswinarni, 2007). Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam
buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa
organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein,
karbohidrat, lemak dan minyak. Menurut Husni dan Esmeralda (2010)
senyawa-senyawa berupa protein dan karbohidrat memiliki jumlah yang
paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50% sedangkan lemak 10%.
Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total)
sebesar 226,06 - 434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke
lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di perairan
tersebut. Penentuan besarnya kandungan bahan organik dapat
digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD, COD, dan TSS. BOD
(Biochemiycal Oksygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk
mendegradasi bahan organik yang ada dalam air menjadi
karbondioksida dan air, sedangkan COD (Chemical Oxygen Demand)
adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada
dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat
didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi (Warlina,
2004). Karakteristik limbah cair industri tahu serta baku mutu
limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2
berikut.
-
7
Tabel 2.1 Karakteristik limbah cair tahu
Parameter Satuan Nilai
BOD mg/L 8.852 COD mg/L 29.700 TSS mg/L 936
Sumber: (Septyana dkk, 2014)
Tabel 2.2 Baku mutu limbah cair tahu berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.15 Tahun 2008
Parameter Satuan Kadar
BOD mg/L 150 COD mg/L 300 TSS mg/L 200 pH - 6-9
Kuantitas air limbah maksimum
m3/ton 20
2.2. Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerob
Proses anaerob pada hakikatnya adalah proses yang terjadi karena
aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat tidak terdapat oksigen
bebas. Proses anaerob dapat digunakan untuk mengolah berbagai jenis
limbah yang bersifat biodegradable, termasuk limbah industri
makanan salah satunya adalah limbah tahu. Pada proses anaerob
kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam
transformasi senyawa komplek organik menjadi metana. Selain itu
terdapat interaksi sinergis antara bermacam-macam kelompok bakteri
yang berperan dalam penguraian limbah (Kaswinarni, 2007). Produk
akhir dari pengolahan secara anaerob ialah biogas (60-70% metana)
(Li et al., 2011). Pada pengolahan anaerob, bahan organik
terdegradasi dan diubah menjadi CH4 dan karbondioksida (CO2) oleh
serangkaian reaksi biokimia melalui interaksi metabolisme
mikroorganisme anaerob (Saady, 2013). Tahapan utama proses anaerob
yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis.
Seluruh tahapan terjadi
-
8
secara sinergis dengan cara berturut-turut dan produk dari satu
reaksi menjadi substrat untuk reaksi selanjutnya. Tahap ini
dilakukan oleh empat kelompok mikroorganisme yang bekerja pada
hubungan simbiosis yang seimbang (Plaza et al., 1996) untuk
menghasilkan energi yang berasal dari perombakan substrat organik
(Batstone et al., 2002). Pada dasarnya, proses ini dapat dibagi
menjadi empat fase yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan
metanogenesis di mana bakteri hidrolitik, bakteri fermentasi
(asidogenik), bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik memainkan
peran yang berbeda. Selama hidrolisis, polimer kompleks seperti
karbohidrat, protein dan lemak terdegradasi menjadi gula, asam
amino dan asam lemak rantai panjang. Proses ini terjadi terutama
melalui aktivitas enzim ekstraseluler (lipase, protease, selulase
dan amilase) disekresikan oleh bakteri hidrolitik yang melekat pada
substrat polimer (Song et al., 2005). Kemudian, bakteri fermentasi
atau asidogenik mengubah produk hidrolisis menjadi asam lemak
volatil (asam asetat, asam propionat, asam butirat). Tahapan ketiga
adalah asetogenesis, dimana asam lemak volatil selain CH3COOH yang
diproduksi asidogenesis dicerna lebih lanjut oleh bakteri
asetogenik untuk memproduksi CH3COOH, CO2, dan H2. Produk
asetogenesis selanjutnya diuraikan menjadi CH4 dan CO2 oleh bakteri
metanogen melalui pemecahan CH3COOH serta reaksi antara H2 dan CO2
(Appels et al., 2008). Biogas yang dihasilkan terdiri dari metana
(50 - 75%), CO2 (25 - 45%) dan gas lainnya seperti CO, H2S, NH3,
O2, dan uap air (Christy et al., 2014). Peningkatan pH akan terjadi
dalam tahapan metanogenesis. Penurunan COD terbesar akan dihasilkan
dari proses konversi CH3COOH menjadi CH4 (Foxon et al., 2006)
karena 70% total CH4 diproduksi dalam sistem anaerob dihasilkan
oleh proses pemecahan CH3COOH (Seghezzo, 2004).
2.3 Tahap Asetogenesis
Beberapa produk fermentasi dari proses asidogenesis seperti
hidrogen, karbondioksida, asetat, dan format dapat langsung
digunakan oleh acetoclastic dan hydrogenotrophic methanogen.
-
9
Produk utama fermentasi lainnya yang mudah menguap adalah asam
lemak volatil (VFA) dan alkohol yang lebih dikonversi ke asam
asetat, karbon dioksida, dan hidrogen oleh bakteri asetogenik.
Tahap asetogenesis melibatkan fermentor sekunder asetogenik serta
homoasetogenik (Schink, 1997). Tahapan ketiga dalam anaerobic
digestion adalah asetogenesis, di mana asam lemak volatil selain
CH3COOH yang diproduksi asidogenesis dicerna lebih lanjut oleh
bakteri asetogenik untuk memproduksi CH3COOH, CO2 dan H2 (Appels et
al., 2008). Bila gas H2 dan CO2 yang terbentuk besar, reduksi COD
yang terjadi dapat mencapai nilai 10 % (Alexiou, 1998). Untuk
menghasilkan asam asetat, bakteri asetogenik membutuhkan oksigen
dan karbon. Bakteri asetogenik menggunakan oksigen terlarut dalam
larutan. Dengan ini, bakteri penghasil asam menciptakan kondisi
anaerob, yang penting untuk mikroorganisme yang memproduksi metana
untuk proses berikutnya (Maghanaki et al., 2013).
2.4 Bakteri Asetogenik
Tiga kelas bakteri yang berkontribusi untuk memproduksi asam
asetat pada proses anaerob ialah bakteri asidogenik, asetogenik,
dan homoasetogenik. Bakteri asidogenik dan asetogenik mampu
menghasilkan asam asetat, H2, CO2, dan produk lainnya, sedangkan
homoasetogenik menggunakan H2 dan CO2 untuk menghasilkan asam
asetat (Sakai et al., 2004). Bakteri homoasetogenik yang juga
disebut acetogens, dapat tumbuh pada H2 ditambah CO2 sebagai karbon
dan sumber energi, dan pengurangan CO2 menjadi asetat dilakukan
dengan sintesis ATP (Diekert and Wohlfarth, 1994). Pada lingkungan
dimana terdapat asetogenik dan metanogenik, metanogenik biasanya
dominan hydrogenotrophic. Bakteri asetogenik dapat tumbuh dalam
lingkungan karena mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan
berbagai sumber karbon dan donor elektron dan akseptor (Ragsdale
dan Pierce, 2008). Karakteristik asetogenik adalah kemampuan mereka
untuk mengubah gula menjadi asam asetat (Fontaine et
-
10
al., 1942). Asetogenik dapat menggunakan sebagian besar
substrat. Misalnya M. thermoacetica dapat tumbuh heterotrophically
pada fruktosa, glukosa, xilosa, etanol, n-propanol, n-butanol,
oksalat dan glioksilat, glikolat, piruvat, dan laktat (Ragsdale dan
Pierce, 2008). Pengolahan anaerob yang telah dijelaskan oleh Balch
dan Wolfe (1976), sejak saat itu dilakukan isolasi bakteri anaerob
termasuk asetogenik yang dapat tumbuh autotrophically. Lebih dari
100 spesies asetogenik, mewakili 22 genera, sejauh ini telah
diisolasi (Drake et al., 2008). Beberapa bakteri asetogenik adalah
Clostridium thermoaceticum, Clostridium formicoaceticum,
Eubacterium limosum, Acetobacterium woodii, Acetogenium kivuii,
Clostridium thermoautotrophicum, Clostridium ljungdahlii, dan
Butyribacterium methylotrophicum (Bredwell, 1999; Sim et al.,
2007).
2.5 Isolasi, Seleksi, dan Identifikasi Bakteri Asetogenik
Mikroorganisme pada suatu lingkungan alami merupakan populasi
campuran dari berbagai jenis, baik mikroorganisme pada tanah, air,
udara, makanan, maupun yang terdapat pada tubuh hewan maupun
tumbuhan (Suwandi, 2012). Strategi untuk memperoleh mikroorganisme
yang sesuai dalam industri adalah memperolehnya dari lingkungan.
Lingkungan yang paling umum adalah dari tempat produksi atau pada
produk yang dihasilkan meskipun dapat pula diperoleh dari
lingkungan lain seperti tanah, air, dan sebagainya. Namun, umumnya
isolat selalu diperoleh dari lingkungan yang mendekati atau pada
substrat tempat tumbuhnya (Hidayat dkk, 2006). Isolasi bakteri
yaitu suatu proses mengambil bakteri dari medium atau dari
lingkungan asalnya lalu menumbuhkannya di medium buatan sehingga
diperoleh biakan yang murni (Singleton dan Sainsbury, 2006).
Isolasi bakteri merupakan upaya untuk memperoleh kultur bakteri
murni atau tunggal yang mempunyai sifat unggul yang diharapkan.
Dalam hal ini, sifat unggul yang diharapkan adalah bakteri yang
menghasilkan asam asetat paling tinggi.
-
11
Terdapat beberapa teknik yang biasanya digunakan untuk
mengisolasi koloni yang memiliki karakteristik berbeda. Berikut
adalah teknik-teknik yang dapat digunakan untuk isolasi
mikroorganisme (Cappucino dan Sherman, 2011):
a. Streak plate method Terdapat berbagai prosedur yang dapat
dilakukan pada metode ini, baik three-sector (t-streak) ataupun
four quadrant. Perbedaan kedua metode tersebut yaitu pada banyaknya
goresan yang dilakukan pada media. Pada dasarnya, metode ini
menggunakan sampel yang telah diencerkan kemudian disebarkan pada
permukaan media agar dengan teknik gores (Cappucino dan Sherman,
2011). Jika semua koloni tunggal menampakkan ukuran dan penampakan
yang serupa, kultur dapat dianggap murni. Uji secara mikroskopis
perlu dilakukan untuk beberapa koloni tunggal. Koloni dengan
karakteristik berbeda diambil dan dipindahkan pada media agar. Jika
belum, teknik dilakukan secara berulang hingga didapatkan isolat
murni (Hidayat dkk., 2006; Rao, 2006).
b. Spread plate method Metode ini memerlukan pengenceran
campuran mikroorganisme yang akan digunakan. Selama inokulasi, sel
disebarkan ke permukaan media agar padat dengan bent glass rod dan
cawan Petri diputar pada meja putar sehingga merata pada seluruh
media (Cappucino dan Sherman, 2011).
c. Pour plate method Metode ini memerlukan pengenceran berseri
dari kultur campuran dan diambil menggunakan ose atau pipet.
Inokulum cair ditambahkan pada media agar yang dicairkan pada cawan
Petri, dicampurkan dan dibekukan (Cappucino dan Sherman, 2011).
Seleksi bakteri merupakan tahap setelah diperoleh isolat dari
hasil isolasi bakteri. Seleksi bakteri membantu untuk mengetahui
apakah suatu mikroorganisme menghasilkan senyawa kimia tertentu,
seperti enzim, antibiotik atau metabolit sekunder lainnya (Demain
dan Davies, 1999). Seleksi umumnya merupakan strategi dalam
penelitian yang dilakukan dengan tujuan
-
12
mendapatkan strain mikroorganisme penghasil produk tertentu
(Hunter, 1999). Aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dapat diketahui dengan seleksi pada medium selektif. Medium
selektif merupakan medium dengan komposisi tertentu, sehingga hanya
jenis-jenis mikroorganisme tertentu saja yang dapat hidup (Gandjar
dkk., 1992). Seleksi bakteri juga ditandai dengan adanya zona
bening disekitar koloni setelah inkubasi 2-3 hari (Djide dan
Wahyudin, 2008). Isolat bakteri yang telah dipilih kemudian
diidentifikasi dan karakterisasi. Pada identifikasi dan
karakterisasi bakteri asetogenik dapat dilakukan dengan pengamatan
morfologi dan uji biokimia dan dilanjutkan dengan pengukuran kadar
asam asetat (Haryanto, 2011). Pengamatan morfologi koloni dilakukan
secara langsung meliputi kenampakan warna, bentuk, permukaan
(elevasi) dan tepi koloni pada media agar pada cawan. Pengamatan
morfologi sel dilakukan dengan cara mengamati reaksi mikroorganisme
terhadap pewarnaan (Waluyo, 2010). Ketika mikroorganisme tumbuh
pada media yang beragam, mikroorganisme akan menunjukkan perbedaan
kenampakan pada pertumbuhannya. Perbedaan ini disebut karakteristik
kultur yang berguna sebagai dasar untuk memisahkan bakteri pada
klasifikasi grup (Cappucino dan Sherman, 2011). Suatu mikrobia
tidak dapat diidentifikasi berdasarkan sifat – sifat morfologinya
saja. Sehingga perlu dilanjutkan dengan identifikasi secara
biokimia. Identifikasi bakteri anaerob secara biokimia dapat
menggunakan microbact system (Kundera dkk, 2014). Microbact kit
yang digunakan adalah microbact 24E. Identifikasi biokimia
menggunakan microbact kit 24E terdiri dari 24 macam uji biokimia
yang terdiri dari uji lysine, ornithine, H2S, glucose, mannitol,
xylose, ONPG, indole, urease, V-P, citrate, TDA, gelatin, malonate,
inositol, sorbitol, rhamnose, sucrose, lactose, arabinose,
adonitol, raffinose, salicin, dan arginine. Prinsip pada metode
identifikasi ini yaitu dengan menginokulasikan suspensi bakteri
murni yang ingin diidentifikasi ke dalam 24 macam microtube/well
yang mengandung masing-masing substrat atau media untuk uji
biokimia (Oxoid, 2015).
-
13
2.6 Asam Asetat
Asam asetat merupakan produk yang dihasilkan oleh bakteri
asetogenik. Asam asetat merupakan substrat yang diperlukan oleh
bakteri metanogen dalam memproduksi gas metan. Pada sistem biogas
55-70% terdiri dari gas metan (CH4) (Deublein dan Steinhauser,
2008), sehingga produksi asam asetat pada proses biogas merupakan
hal yang sangat penting. Asam asetat merupakan bahan baku industri
yang penting yang berasal dari minyak mineral atau gas alam (Sim et
al., 2007). Saat ini, asam asetat dihasilkan dari proses kimia
menggunakan minyak mineral atau gas alam sebagai bahan baku
(Smejkal et al.,, 2005). Produksi asam asetat secara biologi
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan proses kimia salah
satunya biaya yang diperlukan lebih rendah (Klasson et al.,
1992).Pembentukan asam asetat disertai dengan pembentukan
karbondioksida atau hidrogen, tergantung kondisi oksidasi dari
bahan organik aslinya (Santoso, 2010). Etanol, asam propionat, dan
asam butirat diubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik
dengan reaksi seperti berikut (Said, 2006) :
CH3CH2OH+CO2 → CH3COOH + 2H2 Etanol Asam Asetat
CH3CH2COOH+2H2O → CH3COOH + CO2+ 3H2 Asam Propionat Asam
Asetat
CH3CH2CH2COOH+ 2H2O → 2CH3COOH + 2H2 Asam Butirat Asam
Asetat
Untuk menunjang keberhasilan proses anaerobik, pemilihan sumber
karbon yang tepat adalah hal yang penting (Tabassum dan Rajoka,
2000). Dalam tahap asetogenesis, glukosa dikonversi ke asam asetat,
CO2 dan H2. Bruce et al (2002) menyatakan bahwa akumulasi hidrogen
terlarut dalam cairan dan tekanan hidrogen parsial tinggi dapat
menghambat produksi asam asetat. Persamaan kimia konversi glukosa
menjadi asam asetat adalah sebagai berikut (Nie et al., 2007):
C6H12O6 + 2H2O → 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2
-
14
2.7 Waktu Inkubasi
Waktu inkubasi merupakan faktor kunci yang mempengaruhi
pertumbuhan sel (Sim et al., 2008). Selain itu waktu inkubasi juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Sel-sel terus membelah
secara eksponensial atau secara cepat. Pada fase eksponensial
pertumbuhan bakteri berjalan sangat cepat sesuai dengan persamaan
garis linear jika pada fase ini kecukupan nutrisi untuk pertumbuhan
terpenuhi (Salle, 1982). Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan
dan pembelahan sel berlangsung sampai sejumlah besar populasi sel
terbentuk (Buckle et al., 1985). Waktu inkubasi juga berpengaruh
terhadap total asam. Hal ini disebabkan karena semakin lama
inkubasi, mikroorganisme yang digunakan dalam suatu proses
fermentasi semakin aktif, berkembangbiak, sehingga kemampuan untuk
memecah substrat semakin banyak dan menghasilkan asam organik yang
semakin meningkat (Astawan, 2007). Penurunan pH menunjukkan adanya
proses fermentasi selama waktu inkubasi (Saccaro et al., 2012;
Shafiee et al., 2010). Penurunan pH tercepat terjadi pada 8 sampai
10 jam pertama. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan bakteri dalam
fase eksponensial. Selama fase eksponensial bakteri mengalami
pembelahan sel dengan kecepatan maksimal. Kebutuhan energi pada
fase ini cukup tinggi sehingga banyak laktosa dan sumber
karbohidrat lain yang difermentasi (Salle, 1982; Shafiee et al.,
2010).
2.8 Persentase Inokulum
Inokulum merupakan mikroorganisme yang diinokulasikan ke dalam
medium fermentasi. Fermentasi adalah suatu aktivitas mikroorganisme
baik aerob maupun anaerob untuk mendapatkan energi diikuti
terjadinya perubahan kimiawi substrat organik. Proses fermentasi
dapat menggunakan perlakuan penambahan inokulum dan ada yang secara
alami (Suprihatin dan Perwitasari, 2010). Inokulum memiliki peran
yang paling penting dalam menunjang keberhasilan proses fermentasi
(Mushlihah dan
-
15
Herimurti, 2011). Produk akhir dari suatu proses fermentasi
diantaranya tergantung pada konsentrasi inokulum. Konsentrasi
inokulum yang digunakan dalam medium cair adalah 5-15%. Jumlah
total inokulum yang baik harus sebanding dengan jumlah substrat
(Whitaker dan Stanbury, 1987). Pada sistem anaerob, produksi asam
organik dipengaruhi oleh pH, suhu dan inokulum (Zhang et al.,
2008). Koutsoumanis dan Sofos (2005) menyampaikan pentingnya
persentase inokulum untuk pertumbuhan mikroba yang terlibat dalam
sintesis produk.
Fardiaz (1988) menyatakan bahwa lamanya masa adaptasi ditentukan
oleh beberapa faktor, diantaranya medium dan lingkungan pertumbuhan
serta persentase inokulum. Inokulum awal yang aktif dan tinggi akan
mempercepat fase adaptasi. Persentase inokulum akan mempengaruhi
persaingan pengambilan nutrisi untuk metabolismenya sehingga
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi asam yang dihasilkan
(Fardiaz, 1988). Rachman (1989) menyatakan bahwa kriteria yang
penting bagi kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum
dalam proses fermentasi adalah tersedia dalam jumlah yang cukup
sehingga produk yang dihasilkan berjumlah besar dan diperoleh
dengan cepat.
2.9 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri
Menurut Muchtadi dan Betty (1980), seperti halnya pada makhluk
hidup lain, pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungannya. Pengaruh lingkungan ini dapat digolongkan menjadi
faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik merupakan faktor
fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Faktor
– faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. pH Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme sangat
dipengaruhi oleh pH lingkungan dan seluruh bakteri serta
mikroorganisme - mikroorgaisme lainnya memiliki
-
16
kebutuhan pH yang berbeda. Berdasarkan pH optimumnya,
mikroorganisme dapat digolongkan sebagai asidofilik, netralofilik,
atau alkalofilik (Capuccino dan Sherman, 2011). Faktor pH sangat
berperan pada dekomposisi anaerob karena pada rentang pH yang tidak
sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat
menyebabkan kematian. Pada akhirnya kondisi ini dapat menghambat
perolehan asam asetat sebagai bahan baku pembentukan gas metana
(Budiyono, 2013).
b. Suhu Menurut Gaman dan Sherrington (1994), tiap-tiap
mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimum, minimum dan
optimum. Suhu maksimum yaitu suhu tertinggi, di atas suhu tersebut
mikroba tidak dapat tumbuh. Suhu minimum yaitu suhu terendah, di
bawah suhu tersebut mikroba tidak dapat tumbuh. Suhu optimum yaitu
suhu di mana mikroba tumbuh sangat baik. Ini berarti suhu
memberikan kesempatan pertumbuhan yang sangat cepat dan
menghasilkan jumlah sel yang maksimal (Muchtadi dan Betty, 1980).
Menurut Muchtadi dan Betty (1980), berdasarkan suhu pertumbuhannya,
bakteri dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Bakteri termofil,
yang memerlukan suhu tinggi untuk
dapat tumbuh dengan baik. Suhu optimumnya di atas 50° C,
2. Bakteri mesofil, yang mempunyai suhu optimum antara 20 –
45°C,
3. Bakteri psikhrofil, yang tumbuh pada suhu rendah yaitu antara
5 – 10°C, tetapi sebenarnya mempunyai suhu optimum di atas
20°C.
Peranan suhu terhadap pertumbuhan mikroba sebenarnya merupakan
petunjuk adanya pengaruh suhu terhadap enzim di dalam sel mikroba
(Muchtadi dan Betty, 1980). Menurut Garbutt (1997), rentang suhu
optimum ditentukan oleh pengaruh suhu terhadap membran sel dan
enzim, untuk organisme tertentu, pertumbuhan dibatasi oleh suhu
dimana enzim dan membran sel dapat berfungsi.
-
17
c. Kebutuhan Oksigen MIkroorganisme menunjukkan keragaman yang
besar dalam kemampuannya menggunakan oksigen bebas (O2) untuk
respirasi seluler. Berdasarkan hal tersebut mikroorganisme tersebut
dapat diklasifikasikan ke dalam satu dari lima kelompok utama
berdasarkan kebutuhan oksigennya, yaitu aerob, mikroaerofil,
anaerob obligat, anaerob aerotoleran, dan anaerob fakultatif
(Capuccino dan Sherman, 2011). Bakteri asetogenik dan asidogenik
dapat bekerja optimal pada kondisi kontaminasi udara, tidak
membutuhkan udara namun tetap dapat hidup baik pada lingkungannya
karena bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob fakultatif
(Deublein and Steihauser, 2008 ;Voet et al., 2002).
2.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang isolasi dan karakterisasi bakteri asetogenik
pada proses biodegradasi anaerob limbah cair tahu telah dilakukan
di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Soedirman dan desa Kalisari kecamatan Cilongok kabupaten Banyumas
oleh Haryanto (2011). Penelitian bertujuan untuk mengetahui genera
bakteri asetogenik yang terlibat dan bakteri asetogenik yang
dominan pada proses biodegradasi anaerobik limbah cair tahu.
Isolasi bakteri dilakukan menggunakan medium basal asetogen.
Karakterisasi bakteri asetogenik mencakup pengamatan morfologi dan
uji biokimia yang meliputi uji katalase, uji oksidase, uji
fermentasi glukosa, uji fermentasi fruktosa, uji fermentasi
gliserol, uji fermentasi etanol, uji penggunaan yeast extract dan
dilanjutkan dengan pengukuran kadar asetat. Hasil penelitian
didapatkan 3 genera bakteri asetogenik yaitu Clostridium,
Acetobacter, dan Ruminococcus. Kadar asam asetat tertinggi
dihasilkan oleh Clostridium dengan kadar 0,15%. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Hafid et al (2011) tentang peningkatan produksi
asam organik dari limbah dapur melalui digester anaerob,
menunjukkan bahwa tingkat tertinggi dari asam
-
18
organik yang dihasilkan adalah 77 g/L pada pH optimum 6,02, suhu
35,37 ° C, dan volume inokulum 20%. Hasil menunjukkan bahwa
parameter yang paling signifikan mempengaruhi biokonversi limbah
dapur untuk asam organik adalah suhu dan ukuran inokulum. Asam
organik tertinggi yang dihasilkan terdiri dari 10 g/L asam asetat.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Cortes et al (2012)
tentang isolasi dan karakterisasi bakteri asam asetat pada
fermentasi coklat, bahwa jumlah sel maksimum bakteri asam asetat
diperoleh pada waktu inkubasi antara 36 dan 72 jam (8,16 ± 0,43 -
7,45 ± CFU/g DM). Populasi maksimum bakteri asam asetat terjadi
pada lama inkubasi 48 jam (1,5 ± 1 × 108 CFU/g DM). Selanjutnya
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fontaine (1942)
fermentasi glukosa oleh bakteri asam menjadi asam asetat terjadi
setelah diinkubasi selama 72 jam.
2.11 Hipotesis
Diduga persentase inokulum dan waktu inkubasi berpengaruh
terhadap produksi total asam isolat bakteri asetogenik pada
pengolahan limbah cair tahu secara anaerob
-
19
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2015 di
Laboratorium Sentral Ilmu Hayati (LSIH) Universitas Brawijaya.
Analisis dan uji dilakukan di Laboratorium Sentral Ilmu Hayati
(LSIH) Universitas Brawijaya, Laboratorium Biokimia Fakultas MIPA
Universitas Brawijaya, dan Laboratorium Penelitian dan Pengujia
Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah autoklaf (Tomy), Laminar Air Flow (Nuaire), inkubator (MMM
tipe lncucell dan Memmert), Vortex, kompor listrik, mikropipet 1000
µL, blue tip, yellow tip, jarum ose, bunsen, korek api, bola hisap,
rak tabung reaksi, masker dan sarung tangan, plastic warp,
aluminium foil, plastik tahan panas, spidol marker, karet, kapas,
kertas sampul coklat, tisu, spatula, pipet ukur, cawan Petri,
tabung reaksi, erlenmeyer, beaker glass, dan gelas ukur. Alat dan
instrumen yang digunakan untuk analisis yaitu mikroskop, kaca
preparat, object glass, pH meter, buret, erlenmeyer, beaker glass,
gelas ukur, corong, statif, pipet, cawan Petri, microbact kit 24E,
software microbact.
3.2.2 Bahan
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampel air
limbah yang diperoleh dari pabrik tahu ADMA yang
-
20
mengandung protein 0,20%, lemak 0,08%, abu 0,26%, karbohidrat
0,41% (Hasil Pengujian, 2015), ampas tahu, agar bakteriologikal
(Oxoid), pepton bakteriologikal (Oxoid), glukosa, alkohol 70%,
akuades, yeast extract (Oxoid), kalsium karbonat (Merck). Bahan
yang digunakan untuk analisis yaitu kristal violet, lugol program,
alkohol aseton, safranin, indikator phenolptalin, NaOH 0,1N,
microbact reagent indole – kovacks, microbact reagent VP I,
microbact reagent VP II, microbact reagent TDA, microbact reagent
nitrate A, microbact reagent nitrate B, dan microbact reagent
mineral oil.
3.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan masalah,
yaitu:
1. Sampel air limbah diambil dari saluran pembuangan pada pabrik
tahu ADMA
2. Pengolahan limbah cair tahu dilakukan secara anaerob 3.
Isolasi bakteri dilakukan pada tahap asetogenesis pada
proses pengolahan anaerob 4. Pada identifikasi bakteri
asetogenik dilakukan dengan
pengamatan morfologi koloni, morfologi sel, serta uji
biokimia.
-
21
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Mulai
Pengambilan Sampel limbah cair tahu di
Pabrik Tahu ADMA
Pembuatan Sistem Anaerob dan Penentuan
Tahap Asetogenesis
Isolasi Bakteri Asetogenik
Uji kemampuan isolat
Identifikasi Isolat
Analisis Data
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Seleksi Bakteri Asetogenik
Gambar 3.1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian
-
22
3.4.1 Pengambilan Sampel Limbah Cair Tahu
Limbah cair tahu yang digunakan sebagai sampel diambil dari
saluran pembuangan air limbah pabrik tahu. Pengambilan limbah cair
dilakukan sekaligus dengan kerikil – kerikil dan lumpur yang berada
di saluran pembuangan tersebut. Air limbah dimasukkan ke dalam
botol air mineral 1,5 liter dengan cara melepaskan tutup botol
kemudian menenggelamkannya dalam air limbah, setelah terisi penuh
segera diangkat ke permukaan dan ditutup.
3.4.2 Pembuatan Sistem Anaerob dan Penentuan Tahap
Asetogenesis
Sampel limbah cair tahu sebanyak 250 ml dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 ml. Kemudian erlenmeyer ditutup dengan kapas,
kemudian dilapisi dengan malam. Selanjutnya erlenmeyer diihubungkan
dengan selang ke beaker glass yang sudah diisi dengan air dan
ditambahkan desinfektan. Air di dalam beaker glass berfungsi untuk
menampung gas yang dihasilkan pada proses anaerob. Keluarnya gas
juga merupakan indikator aktivitas mikroorganisme pada limbah cair
tahu tersebut. Identifikasi tahap asetogenesis dilakukan dengan
cara analisa pH menggunakan pH meter. Sebelum dikondisikan secara
anaerob sampel limbah cair tahu diukur pH terlebih dahulu untuk
mengetahui nilai pH awal. Pada tahap asetogenesis bakteri asam
memproduksi asetat pada pH antara 5,5 – 6,5 (Hafid et al.,
2011).
3.4.3 Isolasi dan Seleksi Bakteri Asetogenik
a. Pembuatan media ekstrak ampas tahu
Sebanyak 100 gram ampas tahu dimasukkan ke dalam beaker glass
1000 ml dan dicampur dengan akuades sebanyak 1000 ml. Kemudian
direbus hingga mendidih selama 2 jam. Selama proses perebusan,
akuades terus ditambahkan agar ukuran ekstrak ampas tahu selalu
1000 ml. Setelah 2 jam, ekstrak ampas tahu didinginkan,
-
23
kemudian disaring menggunakan kain saring. Hasil saringan
ditambahkan akuades hingga volume 1000 ml.
b. Isolasi Bakteri Asetogenik Sampel air limbah cair tahu pada
tahapan asetogenesis sebanyak 1 ml diencerkan hingga konsentrasi
10-5
menggunakan larutan pepton, kemudian masing – masing hasil
pengenceran air limbah tersebut diinokulasikan ke dalam cawan Petri
berisi media ekstrak ampas tahu agar yang diperkaya dengan glukosa
dan pepton dengan metode pour plate. Media disterilisasi terlebih
dahulu menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C selama 15 menit,
kemudian media yang telah diinokulasikan dengan bakteri diinkubasi
selama 24 jam dengan suhu 37°C dan diamati koloninya yang tumbuh
(Cappucino dan Sherman, 2011). Koloni yang tumbuh dipurifikasi
sampai diperoleh kultur murni. Tiap koloni isolat bakteri diambil
secara aseptis dengan jarum ose dan diinokulasikan ke permukaan
padat media agar dengan metode streak-plate (Cappucino dan Sherman,
2011) untuk tiap koloni dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24
jam. Jika semua koloni tunggal menampakkan ukuran dan penampakan
yang serupa, kultur dapat dianggap murni. Jika belum didapatkan
kultur murni, teknik purifikasi dilakukan secara berulang hingga
didapatkan isolat murni. Isolat murni yang diperoleh kemudian
disimpan pada media agar miring (Hidayat dkk., 2006; Rao, 2006).
Dimungkinkan terdapat beberapa isolat yang diperoleh pada tahap
purifikasi.
c. Seleksi Bakteri Asetogenik Sebanyak 100 µl inokulum
diinokulasi pada medium (GYC) (10% glukosa, 1.0% yeast extract,
2.0% kalsium karbonat, 1.5% agar). Selanjutnya media yang telah
diinokulasi diinkubasi pada suhu 30°C selama 3 – 4 hari. Koloni
yang dapat memproduksi asam ditunjukkan oleh terbentuknya zona
bening (Sharafi et al., 2010).
-
24
Penggunaan kalsium karbonat berfungsi sebagai media seleksi pada
bakteri penghasil asam. Asam akan menyebabkan zona jernih
disekeliling koloni karena melarutkan kalsium karbonat sehingga
dapat digunakan sebagai penanda koloni bakteri asam (Seeley et al.,
2001). Koloni dan zona bening yang terbentuk diukur diameternya
dengan cara mengukur diameter koloni dan diameter zona bening yang
terbentuk, kemudian dihitung luas koloni dan luas zona bening.
3.4.4 Uji Kemampuan Isolat Bakteri Asetogenik
Pada uji kemampuan dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat
bakteri asetogenik dalam memproduksi asam asetat dan mengetahui
total mikroba. Metode yang digunakan adalah metode Rancangan Acak
Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial. Pada rancangan ini
digunakan 2 faktor yaitu persentase inoculum dan waktu inkubasi.
Kontrol yang digunakan pada percobaan ini adalah limbah cair tahu
steril. Tabel rancangan penelitian dapat dilihat pada Tabel
3.1.
Faktor I : Persentase Inokulum (I) I1 : 10% (v/v) I2 : 15% (v/v)
I3 : 20% (v/v) Faktor II : Waktu Inkubasi (W) W1 : 24 jam W2 : 48
jam W3 : 72 jam
-
25
Tabel 3.1 Tabel rancangan penelitian Persentase Inokulum
(I)
Waktu Inkubasi
(W)
Ulangan (Kelompok)
I II III
I1 W1 I1W1(I) I1W1(II) I1W1(III) W2 I1W2(I) I1W2(II) I1W2(III)
W3 I1W3(I) I1W3(II) I1W3(III)
I2 W1 I2W1(I) I2W1(II) I2W1(III) W2 I2W2(I) I2W2(II) I2W2(III)
W3 I2W2(I) I2W2(II) I2W2(III)
I3 W1 I3W1(I) I3W1(II) I3W1(III) W2 I3W2(I) I3W2(II) I3W2(III)
W3 I3W3(I) I3W3(II) I3W3(III)
Berdasarkan 2 faktor di atas diperoleh 9 kombinasi perlakuan,
sebagai berikut:
I1W1: Persentase inokulum 10% (v/v) waktu Inkubasi 24 jam I1W2:
Persentase inokulum 10% (v/v) waktu Inkubasi 48 jam I1W3:
Persentase inokulum 10% (v/v) waktu Inkubasi 72 jam I2W1:
Persentase inokulum 15% (v/v) waktu Inkubasi 24 jam I2W2:
Persentase inokulum 15% (v/v) waktu Inkubasi 48 jam I2W3:
Persentase inokulum 15% (v/v) waktu Inkubasi 72 jam I3W1:
Persentase inokulum 20% (v/v) waktu Inkubasi 24 jam I3W2:
Persentase inokulum 20% (v/v) waktu Inkubasi 48 jam I3W3:
Persentase inokulum 20% (v/v) waktu Inkubasi 72 jam
Pada masing – masing kombinasi perlakuan, dilakukan pengulangan
sebanyak 3 kali, sehingga secara total terdapat 27 kombinasi
perlakuan. Parameter yang diamati pada uji kemampuan ini adalah pH,
jumlah bakteri, kadar glukosa, dan total asam. Tahapan uji
kemampuan isolat bakteri dalam memproduksi asam asetat dapat
dilihat pada Gambar 3.2.
-
26
Isolat Bakteri pada
Agar Miring
Dimasukkan ke dalam 9 ml pepton cair
Dihomogenkan
Diambil 5% dari media
yaitu sebanyak 22,5 ml
Dimasukkanke dalam media
cair dengan volume 427,5 ml
Dihomogenkan
Diinkubasi 48 jam
Diambil 10 ml, 15 ml, dan 20 ml
untuk diberi perlakuan
Dimasukkan ke dalam LCT steril
dengan volume 90 ml, 85 ml, dan 80 ml
Diinkubasi 24 jam, 48 jam, 72 jam
Inokulum awal
Pengukuran pH,
total asam, kadar
glukosa, dan total
bakteri
Sampel
- Diukur Total Asam
- Diukur pH
-Dihitung Total Bakteri
-Diukur Kadar Glukosa
Selesai
Gambar 3.2 Tahapan Uji Kemampuan Isolat Bakteri
-
27
a. Pengukuran Total Asam (Aneja, 2003)
Pengukuran total asam yang dinyatakan sebagai asam asetat
ditentukan dengan metode titrasi. Pengujian dilakukan dengan cara
mengambil sampel sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
Kemudian ditambahkan akuades sebanyak 10 ml dan 5 tetes indikator
phenoftalein lalu diteteskan NaOH 0,1N ke dalam erlenmeyer secara
hati – hati sambil digoyang – goyangkan sampai terjadi perubahan
warna (dari tidak berwarna sampai berwarna merah muda). Rumus
perhitungan total asam (dinyatakan sebagai asam asetat) adalah
:
Total Asam (%) = 𝑚𝑙 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 0,1 𝑥 6,005
𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙)
b. Pengukuran pH (SNI 06-6989.11-2004)
Bahan penunjang analisa disiapkan (akuades, buffer 4, buffer 7,
buffer 10). Kemudian pH meter disiapkan dan dikalibrasi dengan
menggunakan buffer. Dikeringkan dengan kertas tisu selanjutnya
bilas elektroda dengan akuades. Sampel uji disiapkan, lalu celupkan
elektroda ke dalam sampel uji sampai pH meter menunjukkan pembacaan
yang tetap. Kemudian dicatat hasil pembacaan skala atau angka pada
tampilan dari pH meter.
c. Perhitungan Total Bakteri (Waluyo, 2010)
Dipipet kultur bakteri asetogenik sebanyak 1 ml, lalu dimasukkan
ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pepton 0,1 % sehingga
diperoleh pengenceran 10-1. Dipipet suspensi sebanyak 1 ml lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pepton 0,1%
(pengenceran 10-2) dan seterusnya hingga didapat tingkat
pengenceran10-8. Kemudian di pipet 0,1 ml dari pengenceran 10-6,
10-7, dan 10-8 ke dalam cawan Petri lalu dituangkan media ampas
tahu agar lalu diratakan dengan
-
28
batang gelas melengkung yang steril. Kemudian diinkubasi selama
24 jam pada suhu 37°C. Diamati bakteri yang tumbuh, kemudian
dihitung dengan rumus:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑚𝑙 = Σ 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 𝑥 1
𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
d. Pengukuran Kadar Glukosa (Modifikasi Sudarmadji, 1997)
Pengukuran kadar gula reduksi dilakukan berdasarkan metode Nelson
Somogyi, yaitu 0,1 ml sampel diambil kemudian diencerkan hingga 5ml
menggunakan akuades. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan
dicampur dengan 1 ml larutan reagen Nelson, dipanaskan selama 20
menit sampai mendidih, didinginkan, ditambahkan 1 ml larutan Arsen,
dilakukan pengadukan dan ditambah dengan 7 ml akuades. Selanjutnya
dilakukan pengukuran dengan Spektrofotometer dengan panjang
gelombang 540 nm untuk mendapatkan nilai absorbansi.
Kadar glukosa (%) =
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖
𝑆𝑙𝑜𝑝 ×𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 ×106 × 100%
3.4.5 Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian di analisis dengan menggunakan
ANOVA (Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji BNT atau
DMRT dengan selang kepercayaan 5%. Penentuan perlakuan terbaik
ditentukan berdasarkan kombinasi perlakuan yang menghasilkan total
asam paling tinggi.
3.4.6 Pengukuran Kadar Asam Organik
Kadar asam organik diukur menggunakan metode uji HPLC (High
Performance Liquid Chromatography). Metode preparasi sampel yang
dilakukan adalah sampel disaring menggunakan
-
29
millex 0,45 µm dan diinjeksikan 20 µL ke HPLC. Selanjutnya
dibuat standar asam asetat 10000 ppm dalam H2O, dibuat standar 250
ppm, dan diinjeksikan ke HPLC 20µL. Kondisi HPLC yang digunakan
adalah Kolom MethaCarb H Plus, Flow 0,6 ml/min, Pj Gel 215 nm,
Eluent H2SO4 0,005M dengan suhu 70°C.
3.4.7 Identifikasi Isolat Bakteri Asetogenik
Identifikasi isolat bakteri asetogenik dilakukan berdasarkan
morfologi koloni, morfologi sel, dan secara biokimia. Berdasarkan
morfologi koloni, bakteri diamati berupa warna, bentuk, elevasi,
dan tepi koloni dari pertumbuhan pada cawan Petri. Berdasarkan
morfologi sel dilakukan dengan cara mengamati reaksi mikroorganisme
terhadap pewarnaan (Waluyo, 2010). Pengamatan hasil reaksi
pewarnaan dinding sel bakteri melalui pewarnaan Gram juga
diperlukan untuk memudahkan proses identifikasi. Identifikasi
bakteri secara biokimia dilakukan dengan menggunakan microbact kit
24E. Prinsip pada metode ini yaitu dengan mengambil 2 – 3 koloni
kemudian diinokulasikan ke dalam 5 ml NaCl steril. Kemudian diambil
4 tetes suspensi bakteri dan dimasukkan ke dalam 24 well yang
mengandung masing-masing substrat atau media untuk uji biokimia. 24
macam uji biokimia terdiri dari uji lysine, ornithine, H2S,
glucose, mannitol, xylose, ONPG, indole, urease, V-P, citrate, TDA,
gelatin, malonate, inositol, sorbitol, rhamnose, sucrose, lactose,
arabinose, adonitol, raffinose, salicin, dan arginine. Selanjutnya
dilakukan inkubasi selama 24 - 48 jam pada temperatur 35°±2°C.
Selama proses inkubasi, bakteri akan melakukan metabolisme dan
menyebabkan perubahan warna media uji baik secara spontan atau
dengan penambahan reagen microbact reagent indole – kovacks,
microbact reagent VP I, microbact reagent VP II, microbact reagent
TDA, microbact reagent nitrate A, microbact reagent nitrate B, dan
microbact reagent mineral oil terlebih dahulu. Pada well 8 (Indole)
ditambahkan 2 tetes reagen indole-kovacks dan diamati setelah
didiamkan selama 2 menit. Pada well 10 (V-P) ditambahkan 1 tetes
reagen VPI dan reagen VPII dan diamati setelah didiamkan
-
30
selama 15 - 30 menit. Pada well 12 (TDA) ditambahkan 1 tetes
reagen TDA dan langsung diamati setelah diteteskan. Pada well 13
(gelatin) harus diamati setelah inkubasi 24 – 48 jam. Pada well 24
(arginine) diamati pada waktu 24 jam dan 48 jam. Hasil reaksi pada
masing-masing uji akan mendapatkan kombinasi angka yang selanjutnya
dengan menggunakan program (software) untuk mengetahui spesies
bakteri (Oxoid, 2015).
3.4.8 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan merupakan ringkasan dari penelitian yang telah
dilakukan dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Saran dapat
berupa masukan yang berguna sebagai bahan rujukan atau perbaikan
untuk penelitian selanjutnya. Kesimpulan dan saran ditulis secara
ringkas dan padat.
-
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Isolasi dan Seleksi Bakteri Asetogenik
Berdasarkan hasil isolasi bakteri yang dilakukan diperoleh 9
isolat bakteri asetogenik dari limbah cair tahu. 9 isolat tersebut
diberi kode dengan kose isolat A2-48, B2-48, A2-96, B2-96, A3-48,
A3-96, B3-48, A2-24, dan B2-24. Huruf pertama pada kode tersebut
menunjukkan pada tahap purifikasi terdapat isolat dengan
karakteristik yang berbeda dalam satu cawan, kemudian dipurifikasi
kembali dan dikodekan dengan huruf yang berbeda. Angka kedua pada
kode menunjukkan tingkat pengenceran. Angka 2 menunjukkan tingkat
pengenceran 10-2, angka 3 menunjukkan tingkat pengenceran 10-3. Dua
angka terakhir menunjukkan lama inkubasi cawan Petri dalam
inkubator. Angka 48 menunjukkan lama inkubasi cawan Petri dalam
inkubator adalah 48 jam. Isolat - isolat tersebut merupakan isolat
bakteri yang mampu memfermentasi glukosa menjadi asam. Hal ini
dikarenakan, isolat bakteri tersebut dapat tumbuh pada medium agar
yang diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Medium yang digunakan
untuk isolasi adalah ekstrak ampas tahu yang diperkaya dengan
glukosa dan pepton. Ekstrak ampas tahu digunakan karena bakteri
yang akan diisolasi berasal dari limbah tahu dan umumnya isolat
selalu diperoleh dari lingkungan yang mendekati atau pada substrat
tempat tumbuhnya (Hidayat dkk, 2006). Kebutuhan dasar nutrisi bagi
mikroorganisme adalah energi atau sumber karbon, sumber nitrogen,
dan unsur anorganik (Nurfajarwati, 2006). Glukosa digunakan sebagai
substrat karena glukosa merupakan sumber karbon yang diperlukan
oleh bakteri asetogenik untuk menghasilkan asam asetat (Leon et
al., 1984). Pepton digunakan sebagai sumber nitrogen yang sering
digunakan dalam proses fermentasi (Thontowi dkk, 2007). 9 isolat
tersebut kemudian diseleksi untuk mendapatkan isolat yang dapat
memproduksi asam asetat. Kemampuan isolat dalam
-
32
meproduksi asam asetat ditandai dengan terbentuknya zona bening.
Data hasil seleksi isolat bakteri asetogenik disajikan pada Tabel
4.1. Tabel 4.1 Hasil seleksi isolat bakteri asetogenik
Isolat Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4
A2-48 - + + + B2-48 - - - - A2-96 - - - - B2-96 - + + + A3-48 -
+ + + A3-96 - - - - B3-48 - + + + A2-24 - - - - B2-24 - - - -
Keterangan : + = terbentuk zona bening - = tidak terbentuk zona
bening
Berdasarkan hasil seleksi I, isolat yang menunjukkan
terbentuknya zona bening adalah isolat A2-48, B2-96, A3-48, dan
B3-48. Hal ini menunjukkan bahwa isolat A2-48, B2-96, A3-48, dan
B3-48 memiliki kemampuan untuk memproduksi asam pada medium seleksi
yang terdiri dari 10% glukosa, 1% yeast extract, 2% kalsium
karbonat, 1,5% agar (Sharafi et al., 2010). Dari ke empat isolat
ini dilakukan seleksi kembali untuk dilakukan pengukuran zona
bening. Hasil seleksi adalah pada kode isolat A2-48 dan B2-96 zona
bening yang terbentuk lebih kecil dibandingkan kode isolat A3-48
dan B3-48. Isolat A3-48 dan B3-48 kemudian diseleksi kembali dan
data hasil pengukuran zona bening disajikan pada Tabel 4.2. Tabel
4.2 Data hasil pengukuran zona bening
Kode isolat Luas koloni
Luas zona bening Nisbah
(cm2) (cm2)
A3-48 0,358 0,865 2,420 B3-48 0,636 1,130 1,778
-
33
Berdasarkan uji zona bening dapat dilihat bahwa pada kode isolat
A3-48 dihasilkan nisbah yang lebih besar daripada nisbah pada kode
isolat B3-48. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan isolat bakteri
A3-48 dalam menghasilkan asam lebih tinggi daripada isolat bakteri
B3-48. Hal ini disebabkan karena dalam masa pertumbuhannya selama
inkubasi bakteri asetogenik menghasilkan asam yang bereaksi dengan
CaCO3, dengan menunjukkan adanya daerah atau zona bening disekitar
koloni bakteri yang tumbuh (Djide dan Sartini, 2008).
4.2 Uji Kemampuan Isolat Bakteri Asetogenik
Pada uji kemampuan dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat
bakteri asetogenik dalam memproduksi asam asetat. Metode yang
digunakan adalah metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun
secara faktorial. Pada rancangan ini digunakan 2 faktor yaitu
persentase inokulum dan waktu inkubasi. Parameter yang diamati pada
uji kemampuan ini adalah total asam, pH, jumlah bakteri, dan kadar
glukosa.
4.2.1 Total Asam
Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 11) dengan
nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor persentase inokulum, waktu
inkubasi, dan interaksi persentase inokulum dengan waktu inkubasi
tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata total asam
pada berbagai persentase dan waktu inkubasi disajikan pada Tabel
4.3.
-
34
Tabel 4.3 Rata – rata total asam pada berbagai persentase
inokulum dan waktu inkubasi
Simbol Persentase Inokulum
(%)
Waktu Inkubasi
(jam)
Total Asam (%)
I1W1 24 3,853 I1W2 10 48 3,603 I1W3 72 3,498 I2W1 24 3,003 I2W2
15 48 3,503 I2W2 72 3,203 I3W1 24 3,153 I3W2 20 48 3,453 I3W3 72
3,653
Faktor waktu inkubasi, persentase inokulum, dan interaksi waktu
inkubasi dan persentase inokulum tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap Total asam. Perhitungan total asam pada penelitian
ini dinyatakan sebagai asam asetat. Nilai total asam tanpa
ditambahkan inokulum adalah 2,402%. Jika dibandingkan dengan nilai
total asam tanpa penambahan inokulum, maka nilai total asam setelah
dilakukan perlakuan mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan
bahwa bakteri asetogenik mampu menghasilkan asam. Namun, faktor
persentase inokulum, waktu inkubasi, dan interaksi persentase
inokulum dan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap total asam. Hal ini diduga disebabkan karena selama waktu
inkubasi, kemampuan bakteri asetogenik dalam menghasilkan asam
asetat mulai berkurang, karena faktor nutrisi yang semakin
berkurang selama inkubasi. Menurut Fardiaz (1988), kemampuan
bakteri mulai berkurang salah satunya disebabkan faktor nutrisi
yang mulai berkurang serta terbentuknya hasil – hasil metabolisme
(metabolit sekunder) yang kemungkinan menghambat pertumbuhan
bakteri. Selain itu menurut Rachman (1989) menyatakan bahwa
kriteria yang penting bagi kultur mikroba agar dapat digunakan
sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah tersedia dalam
jumlah yang cukup sehingga produk yang dihasilkan berjumlah besar
dan diperoleh dengan cepat.
-
35
4.2.2 Derajat Keasaman (pH)
Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 12) dengan
nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor waktu inkubasi memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH, sedangkan faktor
persentase inokulum dan interaksi persentase inokulum dengan waktu
inkubasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata pH
pada berbagai waktu inkubasi disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Rata – rata pH pada waktu inkubasi
Waktu Inkubasi (jam)
pH Notasi
24 5,544 A 48 5,777 B 72 5,725 B
Keterangan: Angka dalam Tabel diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Waktu inkubasi memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan pH.
Dapat dilihat bahwa nilai pH paling rendah terdapat pada waktu
inkubasi 24 jam. pH awal sampel adalah 6 dan setelah diinkubasi 24
jam nilai pH semakin turun. Adanya pengaruh waktu inkubasi terhadap
perubahan pH, dapat disebabkan karena selama waktu inkubasi
mikroorganisme yang digunakan dalam suatu proses fermentasi semakin
aktif, berkembangbiak, sehingga kemampuan untuk memecah substrat
semakin banyak dan menghasilkan asam yang semakin meningkat
(Astawan, 2007). Peningkatan jumlah asam menyebabkan penurunan pH.
Penurunan pH menunjukkan adanya proses fermentasi selama waktu
inkubasi (Saccaro et al., 2012; Shafiee et al., 2010). Berdasarkan
Tabel 4.5, nilai pH yang dihasilkan telah memenuhi syarat dari
Hafid et al (2011) yakni pada tahap asetogenesis bakteri asam
memproduksi asetat pada pH antara 5,5 – 6,5.
-
36
4.2.3 Total Bakteri
Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 13) dengan
nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor persentase inokulum, waktu
inkubasi, dan interaksi persentase inokulum dengan waktu inkubasi
tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata log total
bakteri pada berbagai persentase inokulum dan waktu inkubasi
disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Rata – rata log total bakteri pada berbagai persentase
inokulum dan waktu inkubasi
Simbol Persentase Inokulum
(%)
Waktu Inkubasi
(jam)
Total Bakteri
(CFU/ml) Log
I1W1 24 7,7 x 107 7,888 I1W2 10 48 12,0 x 107 8,063 I1W3 72 7,9
x 107 7,896 I2W1 24 8,2 x 108 8,914 I2W2 15 48 9,6 x 107 7,984 I2W2
72 9,7 x 107 7,985 I3W1 24 1,4 x 108 8,150 I3W2 20 48 1,8 x 108
8,250 I3W3 72 13 x 108 9,118
Waktu inkubasi, persentase inokulum, serta interaksi persentase
inokulum dan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap total bakteri. Total Bakteri sebelum sampel diinkubasi
pada persentase inokulum 10% adalah 1,49 x 107 CFU/ml, total
bakteri pada persentase inokulum 15% adalah 2,235 x 107 CFU/ml, dan
total bakteri pada persentase inokulum 20% adalah 2,98 x 107
CFU/ml. Berdasarkan grafik pertumbuhan bakteri dari sebelum
diinkubasi hingga diinkubasi pada 24, 48, dan 72 jam yang terdapat
pada Lampiran 13, pertumbuhan bakteri cenderung konstan. Hal ini
diduga disebabkan oleh nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri
asetogenik mulai berkurang. Berdasarkan penelitian dari Ruggeri et
al (2009), pada fase eksponensial glukosa sebagai sumber gula
paling banyak dikonsumsi oleh bakteri. Sehingga, akibat dari
-
37
sumber gula yang sedikit sehingga diduga fase eksponensial
berlangsung singkat.
4.2.4 Kadar Glukosa
Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 14) dengan
nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor waktu inkubasi tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai kadar glukosa, sedangkan
faktor persentase inokulum dan interaksi waktu inkubasi dengan
persentase inokulum memberikan pengaruh yang signifikan. Rata –
rata kadar glukosa pada berbagai persentase inokulum dan waktu
inkubasi disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Rata – rata kadar
glukosa pada berbagai persentase
inokulum dan waktu inkubasi
Simbol Persentase Inokulum
(%)
Waktu Inkubasi
(jam)
Kadar Glukosa
(%) Notasi
I1W1 24 2,5237 a I1W2 10 48 3,6770 b I1W3 72 4,8677 c I2W1 24
1,4680 a I2W2 15 48 4,6457 bc I2W2 72 6,2857 de I3W1 24 2,5483 ab
I3W2 20 48 4,3333 bc I3W3 72 5,7670 cd
Keterangan: Angka dalam Tabel diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Berdasarkan pengukuran kadar glukosa pada Tabel 4.6, kadar
glukosa terendah terdapat pada kombinasi perlakuan I2W1 yaitu
persentase inokulum 10% dan waktu inkubasi 48 jam. Kadar glukosa
pada saat tidak ditambahkan inokulum adalah 4,9%. Berdasarkan waktu
inkubasi, maka bakteri asetogenik dapat memfermentasi glukosa
menjadi asam asetat adalah pada saat
-
38
waktu inkubasi 24-48 jam. Semakin lama waktu inkubasi pada
jumlah inokulum yang semakin tinggi, kemampuan bakteri asetogenik
dalam memfermentasi glukosa menjadi asam semakin berkurang. Hal ini
diduga disebabkan karena pada saat waktu lebih dari 48 jam, nutrisi
yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik dalam kemampuan merombak
substrat mulai berkurang. Menurut Fardiaz (1988), kemampuan bakteri
mulai berkurang salah satunya disebabkan faktor nutrisi yang mulai
berkurang serta terbentuknya hasil – hasil metabolisme (metabolit
sekunder) yang kemungkinan menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini
juga didukung oleh penelitian dari Kunaepah (2008), pada saat
substrat mulai habis, mikroba menghasilkan aktivitas antibakteri
untuk mempertahankan kondisi fisiologis. Sehingga kemampuan
fermentasi bakteri asetogenik berkurang. Berdasarkan persentase
inokulum, maka bakteri asetogenik dapat memfermentasi glukosa
menjadi asam asetat secara optimal pada saat pemberian inokulum
10%. Jika dibandingkan dengan kadar glukosa tanpa ditambahkan
inokulum yakni 4,9%, kadar glukosa saat ditambahkan inokulum 10%
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan bakteri merombak
glukosa menjadi asam asetat meningkat pada persentase inokulum 10%.
Pada saat pemberian inokulum 15% dan 20%, kadar glukosa meningkat
dan proses fermentasi glukosa menjadi asam asetat kurang optimal.
Hal ini menunjukkan semakin banyak inokulum kemampuan fermentasi
glukosa menjadi asam semakin menurun. Menurut (Gibbson dan Westby,
1986) penggunaan konsentrasi inokulum yang terlalu tinggi dengan
kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat bakteri dapat
menyebabkan pengurangan kemampuan bakteri. Dalam hal ini kemampuan
bakteri yang berkurang adalah memfermentasi glukosa menjadi
asam.
4.2.5 Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik menggunakan metode seleksi manual
berdasarkan pengujian yang dilakukan, yaitu pengukuran total asam,
pengukuran pH, perhitungan total bakteri, dan
-
39
pengukuran kadar glukosa. Cara melakukan selesksi data adalah
dengan memilih data yang terbaik pada masing – masing parameter,
dimana data terbaik adalah yang memiliki notasi a. Notasi diperoleh
dari pengujian DMRT (Duncan Multiple Range Test) dan BNT (Beda
Nyata Terkecil). Bagi parameter yang tidak dilakukan pengujian DMRT
atau tidak terdapat perbedaan nyata pada setiap kombinasi
perlakuan, data dipilih keseluruhan. Penentuan perlakuan terbaik
berdasarkan keseluruhan parameter uji disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Penentuan Perlakuan Terbaik
Perlakuan Total Asam
pH Total
Bakteri Kadar
Glukosa
I1W1 3,853 5,516 7,888 2,524 I1W2 3,603 5,547 8,063 3,677 I1W3
3,498 5,569 7,896 4,868 I2W1 3,003 5,911 8,914 1,468 I2W2 3,503
5,674 7,984 4,646 I2W2 3,203 5,744 7,985 6,286 I3W1 3,153 5,882
8,150 2,548 I3W2 3,453 5,677 8,250 4,333 I3W3 3,653 5,616 9,118
5,767
Berdasarkan Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa perlakuan yang
terbaik adalah pada perlakuan I1W1, yaitu pada waktu inkubasi 24
jam dan persentase inokulum 10%. Hal ini disebabkan karena pada
perlakuan tersebut memiliki notasi a pada pH dan kadar glukosa,
serta memiliki tanda blok pada keseluruhan baris. Selain itu
perlakuan I1W1 ini merupakan perlakuan terbaik karena menghasilkan
total asam asetat tertinggi, pH yang terendah, dan kadar glukosa
yang rendah.
-
40
4.3 Pengukuran Kadar Asam Organik
Kadar dan jenis asam organik yang terbentuk selama fermentasi
diukur dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography). Sampel yang dianalisis adalah sampel yang terpilih
sebagai perlakuan terbaik yaitu I1W1 (Waktu inkubasi 24 jam dan
persentase inokulum 10%). Kadar asam organik yang analisis adalah
asam asetat. Hasil analisis kadar asam organik dengan HPLC dapat
dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Kromatogram sampel I1W1
Berdasarkan hasil analisis, kadar asam asetat yang dihasilkan
adalah 221,86 ppm (uL/mL). Jika dilihat pada Gambar 4.1 terdapat
beberapa puncak yang menunjukkan keberadaan asam organik yang
dilihat berdasarkan waktu retensi. Kromatogram sampel I1W1
menunjukkan keberadaan asam asetat pada waktu retensi 16,790 menit.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya puncak yang menunjukkan
keberadaan asam organik lain pada. Jika dilihat dari luas daerah
puncaknya, terdapat asam organik lain yang lebih tinggi
dibandingkan dengan asam asetat. Hal ini
-
41
menunjukkan asam asetat bukan merupakan asam organik yang
dominan pada sampel tersebut.
4.4 Identifikasi Morfologi Koloni dan Morfologi Sel pada Isolat
Bakteri
Isolat bakteri yang telah diperoleh diidentifikasi pada
morfologi koloni dan morfologi sel. Pengamatan morfologi koloni
dilakukan secara langsung meliputi kenampakan warna, bentuk,
permukaan (elevasi) dan tepi koloni pada media agar pada cawan.
Ketika mikroorganisme tumbuh pada media yang beragam,
mikroorganisme akan menunjukkan perbedaan kenampakan pada
pertumbuhannya. Perbedaan ini disebut karakteristik kultur yang
berguna sebagai dasar untuk memisahkan bakteri pada klasifikasi
grup (Cappucino dan Sherman, 2011). Hasil identifikasi morfologi
dan pengecatan Gram dapat dilihat pada Tabel 4.8, Gambar 4.2 dan
Gambar 4.3. Tabel 4.8 Identifikasi Morfologi Koloni dan Morfologi
Sel pada
Isolat Bakteri Terpilih Karakteristik Keterangan
Morfologi Koloni - Warna Putih - Bentuk Tidak Beraturan -
Elevasi Datar - Tepi Bergelombang Morfologi Sel - Pewarnaan Gram
Gram Negatif - Warna Merah - Bentuk Batang
-
42
Gambar 4.2 Morfologi Koloni
Gambar 4.3 Morfologi Sel
Pada Tabel 4.8, isolat dengan kode A3-48 berdasarkan morfologi
koloni, memiliki kenampakan warna putih, bentuk tidak beraturan,
permukaan (elevasi) datar, dan tepi yang bergelombang. Berdasarkan
morfologi sel yang diamati menggunakan mikroskop, isolat bakteri
dengan kode A3-48 merupakan bakteri Gram negatif karena saat
diamati menggunakan mikroskop bakteri tersebut berwarna merah
dengan bentuk batang. Bakteri Gram negatif berwarna merah karena
kompleks warna tersebut larut sewaktu pemberian larutan pemucat dan
kemudian mengambil zat warna kedua yang berwarna merah (Waluyo,
2010). Cappucino dan Sherman (2011) menyatakan, pengecatan Gram
pada dasarnya merupakan alat untuk mengklasifikasikan dan
membedakan mikrooganisme dengan membagi bakteri sel bakteri menjadi
dua grup utama yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Berdasarkan penelitian dari Pastra dkk (2012) tentang
fermentasi
Perbesaran 400x
-
43
glukosa menjadi asam, bakteri yang berperan adalah bakteri Gram
negatif. 4.5 Identifikasi Biokimia
Identifikasi biokimia isolat bakteri asetogenik terpilih
dilakukan menggunakan microbact kit 24E. Hasil identifikasi
biokimia disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Hasil Identifikasi
Biokimia
Karakteristik Hasil
Lysine - Ornithine -
H2S - Glucose - Mannitol - Xylose + ONPG - Indole - Urease -
V-P - Citrate - TDA -
Gelatin - Malonate - Inositol - Sorbitol -
Rhamnose - Sucrose - Lactose -
Arabinose - Adonitol -
Raffinose - Salicin -
Keterangan : + : Positif - : Negatif
-
44
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai positif
diperoleh pada xylose. Artinya isolat bakteri ini mampu
memfermentasi xylose. Menurut Mohagheghi et al (2002)
mikroorganisme yang dapat memfermentasi xylose sensitif terhadap
glucose catabolite repression, yaitu represi oleh glukosa dari
enzim katabolic yang diperlukan untuk katabolisme karbohidrat
selain glukosa. Represi katabolit terjadi ketika glukosa (produk
awal metabolisme) menekan sintesis berbagai enzim respirasi.
Sedangkan pada karakteristik yang lain yakni lysine, ornithine,
H2S, glucose, mannitol, ONPG, indole, urease, V-P, citrate, TDA,
gelatin, malonate, inositol, sorbitol, rhamnose, sucrose, lactose,
arabinose, adonitol, raffinose, salicin, dan arginine diperoleh
hasil negatif. Berdasarkan uji oksidase, isolat bakteri ini
memiliki karakteristik oksidase negatif. Uji oksidase bertujuan
untuk mengetahui bakteri yang menghasilkan enzim sitokrom oksidase.
Pada uji oksidase ini digunakan reagen. Reagen tersebut merupakan
indikator dalam mengukur aktivitas enzim sitokrom oksidase yang
terjadi pada bakteri. Enzim sitokrom oksidase merupakan enzim
kompleks yang berperan dalam fosforilasi oksidatif (Pratita dan
Putra, 2012). Hasil pada isolat bakteri tidak terjadi perubahan
warna setelah direaksikan dengan reagen. Hal tersebut menunjukkan
bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang tidak
memiliki enzim sitokrom oksidase. Hasil reaksi pada masing-masing
uji akan mendapatkan kombinasi angka yang selanjutnya dengan
menggunakan program (software) untuk mengetahui spesies bakteri.
Berdasarkan identifikasi menggunakan software microbact isolat
bakteri terpilih memiliki kedekatan dengan spesies Acinetobacter sp
dengan probabilitas sebesar 51,25%. Acinetobacter sp berbentuk sel
batang. Diameter koloni 0,1 - 0,3 μm. Koloni muncul di atas
permukaan media NA. Koloni berwarna putih. Permukaan koloni
mengkilat. Termasuk ke dalam bakteri gram negatif. Suhu pertumbuhan
optimum 33 - 35°C. Termasuk pada bakteri yang tidak mampu bergerak
(Nugroho, 2012). Kelompok Acinetobacter dapat diaplikasikan untuk
kepentingan lingkungan dan bioteknologi. Strain Acinetobacter juga
dapat menjadi bakteri fermentasi untuk produksi sejumlah produk
ekonomi ekstra dan
-
45
intraseluler seperti D-galactose, asam propionat, asam amino
(Haleem, 2003). Beberapa spesies Acinetobacter sp memiliki
kapasitas menghasilkan asam dari glucose, xylose, galactose,
manose, rhamnose dan lactose. Strain Acinetobacter sp yang lainnya
memiliki aktivitas metabolisme yang terbatas. Hasil uji katalase
positif dan memiliki reaksi negatif untuk bebeberapa substrat lain.
Klasifikasi spesies dalam kelompok Acinetobacter seringkali sulit
dilakukan karena diperlukannya tes tambahan. Studi tentang
sequencing (DNA) diperlukan untuk menentukan spesies dan menentukan
hubungan antara organisme yang berbeda (Constantiniu et al.,
2014).
-
46
-
47
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
kombinasi perlakuan terbaik pada isolat bakteri asetogenik dalam
menghasilkan total asam adalah I1W1, yakni waktu inkubasi 24 jam
dan persentase inokulum 10%. Pada perlakuan ini kadar asam asetat
yang dihasilkan adalah 3,853%, pH 5,544, total bakteri 7,7 x 107
CFU/ml, dengan kadar glukosa 2,5237%.
2. Karakteristik dari isolat bakteri asetogenik terpilih secara
morfologi koloni yaitu memiliki kenampakan warna putih, bentuk
tidak beraturan, permukaan (elevasi) datar, dan tepi yang
bergelombang. Berdasarkan morfologi sel, isolat bakteri merupakan
bakteri Gram negatif bentuk batang. Berdasarkan identifikasi secara
biokimia, isolat bakteri ini adalah Acinetobacter sp dengan
probabilitas 51,25%.
5.2 Saran
1. Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya
adalah perlu dilakukan penentuan fase pertumbuhan bakteri terlebih
dahulu agar diketahui waktu yang tepat saat bakteri menghasilkan
produk asam asetat dengan kadar gula yang optimal.
-
48
-
49
DAFTAR PUSTAKA
Alexiou, I.E. 1998. A Study of Pre-Acidification Reactor Design
For Anaerobic Treatment of High Strength Industrial Wastewaters.
Thesis. Faculty of Science, Agriculture and Engineering. Newcastle
University. Tyne and Wear NE1 7RU.
Aneja, K.R. 2003. Experiments in Microbiology, Plant
Pathology and Biotechnology. New Age International. New
Delhi.
Appels, L., Baeyens, J., Degreve, J., Dewil, R. 2008.
Principles
and Potential of the Anaerobic Digestion of Waste-Activated
Sludge. Progress in Energy and Combustion Science. 34(1):
755–781.
Aquino, A.C.M.D.S., Azevedo, M.S., Ribeiro, D.H.B., Costa,
A.C.O., Amante, E.R. 2015. Validation of HPLC and CE Methods For
Determination of Organic Acids in Sour Cassava Starch Wastewater.
Food Chemistry. 172(): 725 – 730.
Astawan, M. 2007. Nata De Coco. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balch, W.E., Wolfe,
R.S. 1976. New Approach to the
Cultivation of Methanogenic Bacteria: 2-Mercaptoethanesulfonic
Acid (HS-CoM)-Dependent Growth of Methanobacterium Ruminantiumin a
Pressureized Atmosphere. Applied and Environmental Microbiology.
32(6): 781 – 791.
Batstone, D.J., Keller, J., Angelidaki, I., Kalyuzhny, S.V.,
Pavlo
Stathis, S.G., Rozzi, A. 2002. Anaerobic Digestion Model No.1
(ADM1). IWA Publishing. London.
-
50
Bredwell, M.D., Srivastava, P., Worden, R.M. 1999. Reactor
Design Issues for Synthesis Gas Fermentations. Journal
Biotechnology Program. 15(5): 834 – 844.
Bruce, E.L., Sang, E.O., SK, In., Steven, V.G. 2002.
Biological
Hydrogen Production Measured in Batch Anaerobic Respirometers.
Environment Science Technology. 36(11): 2530 – 2535.
Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., Wooton, M. 1985.
Ilmu
Pangan (diterjemahkan oleh Purnomo, H dan Adiono). UI Press.
Jakarta.
Budiyono., Khaerunnia G., Rahmawati, I. 2013. Pengaruh pH
dan Rasio COD:N Terhadap Produksi Biogas dengan Bahan Baku
Limbah Industri Alkohol (Vinasse). Jurnal Teknik Kimia. 11(1): 1 –
7.
Cappucino, J.G., and Sherman, N. 2011. Microbiology: A
Laboratory Manual. Ninth Edition. Pearson Education, Inc. San
Fransisco.
Christy, E.M.L., Sampson, N.M., Edson, L.M. Anthony, I.O.,
Golden, M., Michael,S. 2014. Microbial Anaerobic Digestion
(Bio-Digesters) as an Approach to the Decontamination of Animal
Wastes in Pollution Control and the Generation of Renewable Energy.
Report Information from ProQuest 07 August 2014 00:43
Constantiniu, S., Romaniuc, A., Lancu, L.S., Filimon, R.,
Tarasi,
L. 2004. Cultural and Biochemical Characteristics of
Acinetobacter sp. Strains Isolated from Hospital Units. The Journal
of Preventive Medicine. 12 (3-4): 35 – 42.
Cortes, T.R., Olvera, V.R., Jimenes, G.R., Lepe, M.R. 2012.
Isolation and Characterization of Acetic Acid Bacteria
-
51
in Cocoa Fermentation. African Journal of Microbiology Research.
6(2): 339-347.
Deublein, D., Steinhauser, A. 2008. Biogas from Waste and
Renewable Resources. Wiley – VCH. Weinheim. Diekert, G.,
Wohlfarth, G. 1994. Metabolism of
Homoacetogens. Journal Antonie van Leeuwenhoek. 66(1):
209–221.
Djide, M.N. dan Sartini. 2008. Isolasi, Identifikasi Bakteri
Asam
Laktat dari Kol Brassica oleracea L. dan Potensinya sebagai
Antagonis Vibrio harveyi In Vitro. Torani. 18(3): 211 – 216.
Djide, M.N. dan Wahyuddin, E. 2008. Isolasi Bakteri Asam
Laktat dan Air Susu Ibu dan Potensinya dalam Penurunan Kadar
Kolestrol Secara in Vitro. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 12(3):
73 – 78.
Drake, H.L., Gossner, A.S., Daniel, S.L. 2008. Old
Acetogens,
New Light. Annals of the New York Academy of Science. 1125
(2008) 100–128. doi: 10.1196/annals.1419.016.
Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB. Bogor.
Fontaine, F.E., Peterson, W.H., McCoy, E., Johnson, M.J.,
Ritter,
G.J. 1942. A New Type of Glucose Fermentation by Clostridium
thermoaceticum. Journal Bacteriological. 43(6): 701 – 715.
Foxon, K.M., Buckley, C.A., Brouckaert, C.J., Dama, P.,
Mtembu,
Z., Rodda,N., Smith, M., Pillay, S., Arjun, N., Lalbahadur, T.,
and Bux, F. 2006. The Evaluation of the Anaerobic Baffled Reactor
for Sanitation in Dense Perl-Urban Settlements. Report to the Water
Research Commission. Durban.
-
52
Gaman, P.M., dan Sherrington, K.B. 1994. Ilmu Pangan, Pengantar
Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.
Gandjar, I., Koentjoro, I.R., Mangunwardoyo, W., Soebagya,
L.
1992. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Dasar. Fakultas MIPA.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Garbutt, J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold.
London. Gibbson, W.R. and Westby, C.A. 1986. Effect of Inoculum
Size
on Solid-Phase Fermentation of Fodder Beets for Fuel Ethanol
Production. Journal Applied an Environmental Microbiology. 5(2) :
960-962.
Griffin, M.E., Mc Mahon, K.D., Mackie, R.I., Raskin, L.
1998.
Methanogenic Population Dynamics during Start-Up of Anaerobic
Digesters Treating Municipal Solid Waste and Biosolid.
Biotechnology and Bioengineering Journal. 57(3): 342-355.
Hafid, H.S., Rahman, N.A.B., Aziz, S.A., Hassan, M.A. 2011.
Enhancement of Organic Acids Production from Model Kitchen Waste
via Anaerobic Digestion. African Journal of Biotechnology. 10(65):
14507 - 14515.
Haryanto, M. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Asetogenik Pada Proses Biodegradasi Anaerob Limbah Cair Tahu.
Tesis. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto.
Hidayat, N., Padaga, M.C., Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi
Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Demain, A.L and Davies,
J.E. 1999. Manual of Industrial
Microbiology and Biotechnology. ASM Press. Washington.
-
53
Haleem, D.A.E. 2003. Acinetobacter: Environmental and
Biotechnological Applications. African Journal of Biotechnology.
2(4): 71 – 74.
Hunter, I.S. 1999. Microbial Synthesis of Commercial Product
and Strain Improvement. Dalam: El-mansi, E.M.T. dan Bryce,
C.F.A. 1999. Fermentation Microbiology and Biotechnology.Taylor
Inc. London.
Husni, H. dan Esmeralda. 2010. Uji Toksisitas Akut Limbah
Cair Industri Tahu Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Lin).
Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Andalas. Padang.
Johnson, W.K. 2000. Chemical Economics Handbook:
Marketing Research Report Acetic Acid. Taylor and Francis.
Washington DC.
Kaswinarni, F. 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat
dan Cair Industri Tahu. Tesis. Program Studi Magister Ilmu
Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kellum, R and Drake, H.L. 1984. Effects of Cultivation Gas
Phase on Hydrogenase The Acetogen Clostridium Thermoaceticum.
Journal Bacteriological. 160(1): 466 – 469.
Klasson, K.T., Ackerson, M.D., Clausen, EC., Gaddy, J.L.
1992.
Bioconversion of Synthesis Gas into Liquid or Gaseous Fuels.
Enzyme and Microbial Technology. 14(8): 602 – 608.
Koutsomanis, K.P., Sofos, J.N. 2005. Effect of Inoculums
Size
on the Combined Temperature, pH and aw Limits for Growth of
Listeria monocytogenes. Bioresource Technology. 104(1): 83 -
91.
-
54
Kunaepah,U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi dan Konsentrasi
Glukosa Terhadap Aktivitas Antibakteri, Polifenol Total dan Mutu
Kimia Kefir Susu Kacang Merah. Tesis. Program Magister Gizi
Masyarakat. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kundera, I.N., Aulanni’am., Santoso, S. 2014. Ekspresi
Protein
ADHF36 Strain Salmonella typhi Dari Beberapa Daerah Di
Indonesia. Jurnal Kedokteran Hewan. 8(1): 12 – 17.
Leon,L., Lundie,J.R., Drake,H.L. 1984. Development of a
Minimally Defined Medium for the Acetogen Clostridium
thermoaceticum. Journal of Bacteriology. 159(2) : 700-703.
Li, Y., Park, S.Y., Zhu, J. 2011. Solid-State Anaerobic
Digestion for Methane Production from Organic Waste. Renewable
and Sustainable Energy Reviews. 15(1): 821 – 826.
Lunggani, A.T. 2007. Kemampuan Bakteri Asam Laktat Dalam
Menghambat Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin B2 Aspergilllus
flavus. Bioma. 9(2) : 45 – 51.
Madigan, M.T., Martinko, J.M., Parker, J. 2010. Biology of
Microorganisms. Pearson Education, Inc. New Jersey. Maghanaki,
M.M., Ghobadia, B., Najafi, G., and Galogah, J. 2013.
Potential of Biogas Production in Iran. Renewable and
Sustainable Energy Review. 28: 702-714.
MetCalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment,
Disposal and Reuse, 4th ed. McGraw Hill Book Co. New York.
Mohagheghi, A., Evans, K., Chou, Y., Zhang, M. 2002.
Cofermentation of Glucose, Xylose, and Arabinose by
-
55
Genomic DNA–Integrated Xylose/Arabinose Fermenting Strain of
Zymomonas mobilis AX101. Applied Biochemistry and Biotechnology.
98(2): 885 – 898.
Muchtadi, D., Betty, S.K. 1980. Petunjuk Praktek
Mikrobiologi
Hasil Pertanian 2. Departemen Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan.
Jakarta.
Mushlihah, S. dan Herumurti, W. 2011. Pengaruh pH dan
Konsetrasi Zymomonas mobilis Untuk Produksi Etanol dari Sampah
Buah Jeruk. Skripsi. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Myrasandri, P dan Mindriany, S. 2003. Degradasi Senyawa
Organik Limbah Cair Tahu dalam Anaerobik Baffled Reactor.
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Nie,Y., Liu, H., Du, G., Chen, J. 2007. Enhancement of
Acetate
Production by a Novel Coupled Syntrophic Acetogenesis with
Homoacetogenesis Process. Process Biochemistry. 42(4): 599 –
605.
. 2008. Acetate Yield Increased
By Gas Circulation and Fed-Batch Fermentation in a Novel
Syntrophic Acetogenesis And Homoacetogenesis Coupling System.
Bioresource Technology. 99(8): 2989–2995.
Nugroho, R.A.J. 2012. Hubungan Faktor Risiko Terjadinya
Acinetobacter sp Mdro Terhadap Kematian Penderita Sepsis Di
Rumah Sakit Dr.Kariadi Semarang. Skripsi. Fakultas Kedokteran.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Nurfajarwati, W. 2006. Produksi β-glukan dari Saccharomyces
cerevisiae dengan Variasi Sumber Nitrogen. Skripsi.
-
56
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Oxoid. 2015. Manual Identification Systems. Diakses 21 Juli
2015. http://www.oxoid.com/pdf/uk/M-bact-Gram-Neg.pdf Pastra,
D.A., Melki., Surbakti, H. 2012. Penapisan Bakteri yang
Bersimbiosis dengan Spons Jenis Aplysina sp sebagai Penghasil
Antibakteri dari Perairan Pulau Tegal Lampung. Jurnal Maspari. 4(1)
: 77 – 82.
Plaza, G., Robredo, P., Pachec, O., Saravia Toledo, A. 1996.
Anaerobic Treatment of Municipal Solid Waste. Journal Water
Science Technology. 33(3): 169 - 175.
Pelczar, M.J dan Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Pratita,
M.Y.E. dan Putra, S.R. 2012. Isolasi dan Identifikasi
Bakteri Termofilik Dari Sumber Mata Air Panas di Songgoriti
Setelah Dua Hari Inkubasi. Jurnal Teknik Pomits. 1(1): 1-5.
Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. PAU
Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Ragsdale, S.W. dan Pierce, E. 2008.
Acetogenesis and the
Wood-Ljungdahl Pathway of CO2 Fixation. Biochimia et Biophysica
Acta. 1784(12): 1873 – 1898.
Rao, A.S. 2006. Introduction to Microbiology. Prentice-Hall
of
India Private Limited. New Delhi. Ruggeri, B., Tommasi, T.,
Sassi, G. 2009. Experimental
Kinetics and Dynamics of Hydrogen Production on Glucose by
Hydrogen Forming Bacteria (HFB) Culture. International Journal of
Hydrogen Energy. 34(2): 753 – 763.
-
57
Saady, N.M.C. 2013. Homoacetogenesis During Hydrogen Production
by Mixed Cultures Dark Fermentation: Unresolved Challenge.
International Journal of Hydrogen Energy. 38(30): 13172 -
13191.
Sabo, S.D.S., Vitolo, M., Gonzales, J.M.D., Oliveira,
R.P.D.S.
2014. Overview of Lactobacillus plantarumas a Promising
Bacteriocin Producer Among Lactic Acid Bacteria. Food Research
International. 64(3): 527 – 536.
Saccaro, D.M., Hirota, C.Y., Tamime, A.Y., dan Oliveira,
M.N.
2012. Evaluation of Different Selective Media for Enumeration of
Probiotic Microorganisms in Combination with Yogurt Starter
Cultures in Fermented Milk. African Journal of Microbiology
Research. 6(10): 2239 – 2245.
Said, E. G. 2006. Bioindustri: Penerapan Teknologi
Fermentasi. PT.Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Sakai S,
Nakashimada Y, Yoshimoto H, Watanabe S, Okada H,
Nishio N. 2004. Ethanol Production from H2 and CO2 by a Newly
Isolated Thermophilic Bacterium, Moorella sp. HUC22-1.
Biotechnology Journal. 26(20): 1607 – 1612.
Salle, A.J. 1982. Fundamental Principles of Bacteriology
5ed.
Mc Grawhil Book Co, Inc. New York. Santoso, A.A. 2010. Produksi
Biogas Dari Limbah Rumah
Makan Melalui Peningkatan Suhu dan Penambahan Urea Pada
Perombakan Anaerob. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Saputra, B. 2010. Uji Kecernaan Tepung Limbah Udang yang
Difermentasi Beberapa Level Bakteri Serratia marcescens pada
Ayam Pedaging Jantan Umur 6
-
58
Minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Seghezzo, L. 2004. Anaerobic Treatment of Domestic
Wastewater in Subtropical Regions. Thesis. Wageningen
University. Wageningen, Netherlands.
Seeley, H.W., Vanden Mark, P.W. and Lee, J.J. 2001. Microbes
in Action. A Laboratory Manual of Microbiology 4 edition. W.H.
Freeman. New York.
Septyana, S.Y., Hidayat, N., Anggarini, S. 2014. Efektivitas
Sistem Wastewater Double Treatment dengan Kombinasi Biofilter
Anaerob-Aerob Pada Proses Pengolahan Limbah Cair Tahu. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Shafiee, G., Mortazavian, M., Mohammadifar, M.A., Koushki,
M.R., dan Mohammadi, A. 2010. Combined Effects of Dry Matter
Content, Incubation Temperature and Final pH of Fermentation on
Biochemical and Microbiological Characteristics of Probiotic
Fermented Milk. African Journal of Microbiology Research. 4(12):
1265 – 1274.
Sharafi,S.M., Rasooli,I., Beheshti,M.K. 2010. Isolation,
Characterization and Optimization of Indigenous Acetic Acid
Bacteria and Evaluation of Their Preservation Methods. Iranian
Journal of Microbiology. 2(1) : 41 – 48.
Schink, B. 1997. Energetics of Syntrophic Cooperation In
Methanogenic Degradation. Microbiology and Molecular Biology.
61(2): 262 – 280.
Slater, J.H. 1981. Mixed Culture and Microbial Communities.
In : Mixed Culture Fermentation. Academic Press. London.
-
59
Sim, J.H., Kamaruddin, A.H., Long, W.S. 2008. Biocatalytic
Conversion of CO to Acetic acid by Clostridium aceticum – Medium
Optimization Using Response Surface Methodology (RSM). Biochemical
Engineering Journal. 40(2): 337 – 347.
Sim, J.H., Kamaruddin, A.H., Long, W.S., Najafpour, G. 2007.
Clostridium aceticum – a Potential Organism in Catalyzing Carbon
Monoxide to Acetic Acid: Application of Response Surface
Methodology. Journal of Enzyme Microbial Technology. 40(5): 1234 –
1243.
Singleton, P and Sainsbury, D. 2006. Dictionary of
Microbiology and Molecular Biology 3rd Edition. John Wiley and
Sons Inc. West Sussex, England.
Siregar, M.N.H., Radiati, L.E., Rosyidi, D. 2014. Pengaruh
Penambahan Berbagai Konsentrasi Kultur dan Lama Pemeraman Pada
Suhu Ruang Terhadap pH, Viskositas, Kadar Keasaman dan Total Plate
Count (TPC) Set Yogurt. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya. Malang.
Smejkal, Q., Linke, D., Baerns, M. 2005. Energetic and
Economic Evaluation of the Production of Acetic Acid via Ethane
Oxidation. Chemical Engineering and Processing. 44(4): 421–428.
Song, H., Clarke, W.P., Blackall, L.L. 2005. Concurrent
Microscopic Observations and Activity Measurements of Cellulose
Hydrolyzing and Methanogenic Populations during the Batch Anaerobic
Digestion of Crystalline Cellulose. Journal Biotechnology
Bioengineering. 91(3): 369 – 378.
-
60
Spath, P.L., Dayton, D.C., 2003. Preliminary Screening –
Technical and Economic Assessment of Synthesis Gas to Fuels and
Chemicals with Emphasis on the Potential for Biomass-Derived
Syngas. NREL (National Renewable Energy Laboratory). Golden,
Clorado.
Suciati, A., Muntalif, B.S. 2011. Dinamika Pertumbuhan
Mikroorganisme yang Berperan Pada Degradasi Biowaste Dalam
Reaktor Anaerob Tercurah. Skripsi. Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Sudarmadji, S., Bambang H., dan Suhardi, 1997. Prosedur
Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty.
Yogyakarta.
Suprihatin., Perwitasari, D.C. 2010. Pembuatan Asam Laktat
Dari Limbah Kubis. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono. Surabaya, 24 Juni 2010.
Suwandi, D.A. 2012. Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Resisten
Terhadap Antibiotik dari Sampel Tanah Di RSUD Margono Soekarjo
Purwokerto. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Purwokerto.
Tabassum, R., dan Rajoka, M.I. 2000. Methanogenesis of
Carbohydrates and Their Fermentation Products by Syntrophic
Methane Producing Bacteria Isolated From Freshwater Sediments.
Bioresource Technology. 72(3): 199 – 205.
Thontowi, A., K