Top Banner
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah cair tahu dihasilkan dari proses perendaman kedelai, pencucian kedelai, pencucian peralatan, perebusan, penyaringan, pengepresan serta pencetakan tahu. Limbah cair tahu mengandung nutrisi berupa protein, karbohidrat dan lipid yang tingkat pencemarannya sangat tinggi. Limbah cair tahu pada Pabrik Tahu Dau Malang memiliki kandungan BOD 8.852 mg/l, COD 29.700 mg/l, TSS 936 mg/l, pH 3,8 (Septyana dkk, 2014). Kandungan limbah tahu tersebut mencemari lingkungan karena melebihi baku mutu masing-masing, yakni BOD 150 mg/l, COD 300 mg/l, dan pH 6-9 (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.15 Tahun 2008). Limbah cair yang langsung dibuang ke badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu akan mencemari lingkungan. Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair tahu telah dikembangkan. Proses pengolahan limbah secara biologis dapat dibedakan menjadi proses pengolahan secara aerob dan anaerob. Pengolahan limbah secara anaerob untuk degradasi senyawa organik kompleks adalah proses yang terjadi karena aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat tidak terdapat oksigen bebas. Pada proses anaerob, senyawa-senyawa organik kompleks (protein, karbohidrat dan minyak/lemak) berantai panjang mula-mula didegradasi menjadi asam lemak dan asam amino sederhana, berantai pendek serta sejumlah kecil gas hidrogen (MetCalf dan Eddy, 2003). Pengolahan limbah secara anaerobik akan menghasilkan biogas yang terdiri dari CO2 dan CH4 (Wagiman, 2007). Pada pengolahan anaerob, bahan organik terdegradasi dan diubah menjadi CH4 dan karbondioksida (CO2) oleh serangkaian reaksi biokimia melalui interaksi metabolisme mikroorganisme anaerob (Saady, 2013). Tahapan utama proses anaerob yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis (Plaza et al.,
89

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangrepository.ub.ac.id/150251/2/Laporan_Skripsi_A5.pdf · biokimia melalui interaksi metabolisme mikroorganisme anaerob (Saady, 2013). Tahapan utama

Oct 24, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah cair tahu dihasilkan dari proses perendaman kedelai, pencucian kedelai, pencucian peralatan, perebusan, penyaringan, pengepresan serta pencetakan tahu. Limbah cair tahu mengandung nutrisi berupa protein, karbohidrat dan lipid yang tingkat pencemarannya sangat tinggi. Limbah cair tahu pada Pabrik Tahu Dau Malang memiliki kandungan BOD 8.852 mg/l, COD 29.700 mg/l, TSS 936 mg/l, pH 3,8 (Septyana dkk, 2014). Kandungan limbah tahu tersebut mencemari lingkungan karena melebihi baku mutu masing-masing, yakni BOD 150 mg/l, COD 300 mg/l, dan pH 6-9 (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.15 Tahun 2008). Limbah cair yang langsung dibuang ke badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu akan mencemari lingkungan. Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair tahu telah dikembangkan. Proses pengolahan limbah secara biologis dapat dibedakan menjadi proses pengolahan secara aerob dan anaerob. Pengolahan limbah secara anaerob untuk degradasi senyawa organik kompleks adalah proses yang terjadi karena aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat tidak terdapat oksigen bebas. Pada proses anaerob, senyawa-senyawa organik kompleks (protein, karbohidrat dan minyak/lemak) berantai panjang mula-mula didegradasi menjadi asam lemak dan asam amino sederhana, berantai pendek serta sejumlah kecil gas hidrogen (MetCalf dan Eddy, 2003). Pengolahan limbah secara anaerobik akan menghasilkan biogas yang terdiri dari CO2 dan CH4 (Wagiman, 2007). Pada pengolahan anaerob, bahan organik terdegradasi dan diubah menjadi CH4 dan karbondioksida (CO2) oleh serangkaian reaksi biokimia melalui interaksi metabolisme mikroorganisme anaerob (Saady, 2013). Tahapan utama proses anaerob yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis (Plaza et al.,

  • 2

    1996). Setiap tahapan akan melibatkan kelompok bakteri yang berbeda yang akan bekerja secara bersinergi antara satu kelompok dengan kelompok bakteri lainnya sehingga terbentuk konsorsium bakteri (Griffin et al., 1998). Konsorsium bakteri tersebut dapat digolongkan pada bakteri non metanogen dan bakteri metanogen. Bakteri non metanogen terbagi menjadi golongan bakteri hidrolitik, asidogenik, dan asetogenik (Madigan et al., 2010). Golongan bakteri asetogenik berperan dalam pembentukan asetat, CO2, H2 dari asam-asam organik dan alkohol (Suciati dan Muntalif, 2011). Asam asetat merupakan substrat yang diperlukan oleh bakteri metanogen dalam memproduksi metan. Pada sistem biogas 55 - 70% terdiri dari gas metan (CH4) (Deublein dan Steinhauser, 2008), sehingga produksi asam asetat pada proses biogas merupakan hal yang sangat penting. Selain itu asam asetat merupakan bahan baku industri yang sangat penting (Spath and Dayton, 2003). Pada tahun 2003, permintaan asam asetat di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 15 miliar pound (Johnson, 2000). Kombinasi produksi asam asetat dengan pengolahan limbah dapat secara bersamaan meningkatkan perekonomian dan bermanfaat bagi lingkungan (Nie et al., 2008). Proses pembentukan asam asetat melalui proses biologis ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya lebih ekonomis dan ketersediaan biomassa yang terdapat pada limbah organik sangat melimpah (Sim et al., 2008). Berdasarkan penelitian dari Kellum and Drake (1984), beberapa bakteri yang termasuk dalam bakteri asetogenik adalah Clostridium aceticum, Acetobacterium woodii, Clostridium ljungdahlii, dan Clostridium thermoaceticum. Produksi asam asetat dengan bantuan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu dan inokulum (Zhang et al., 2008). Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Cortes et al., (2012), pertumbuhan bakteri penghasil asam asetat juga dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hafid (2011) tentang produksi asam organik dari limbah dapur melalui digester anaerob, level tertinggi dari asam organik yang dihasilkan berada pada pada pH optimum 6,02, suhu 35,37°C, dan 20% inokulum.

  • 3

    Asam organik yang dihasilkan salah satunya adalah asam asetat sebesar 10 g/L. Hasil menunjukkan bahwa parameter yang paling signifikan mempengaruhi biokonversi limbah untuk asam organik adalah suhu dan inokulum. Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fontaine (1942) fermentasi glukosa oleh bakteri asam menjadi asam asetat terjadi setelah diinkubasi selama 72 jam. Faktor waktu inkubasi merupakan faktor yang penting untuk menghasilkan asam asetat karena semakin lama inkubasi, mikroorganisme yang digunakan dalam suatu proses fermentasi semakin aktif, sehingga kemampuan untuk memecah substrat semakin banyak dan menghasilkan asam organik yang semakin meningkat (Astawan, 2007). Faktor lain yang mempengaruhi proses fermentasi adalah persentase inokulum. Inokulum merupakan mikroorganisme yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi. Inokulum memiliki peran yang paling penting dalam menunjang keberhasilan proses fermentasi (Mushlihah dan Herumurti, 2011). Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan isolasi bakteri asetogenik pada pengolahan limbah cair tahu secara anaerob pada tahap asetogenesis. Isolat bakteri yang diperoleh kemudian akan diseleksi dan diuji kemampuan dalam menghasilkan asam asetat. Uji kemampuan tersebut dipengaruhi oleh faktor persentase inokulum dan waktu inkubasi. Isolat bakteri asetogenik yang memiliki kemampuan menghasilkan total asam tertinggi yang pada penelitian ini dinyatakan sebagai asam asetat, selanjutnya akan diidentifikasi secara biokimia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan lebih lanjut dalam proses pembentukan asam asetat untuk industri serta dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair tahu dengan memanfaatkan isolat bakteri asetogenik yang diisolasi dari limbah cair industri tahu.

  • 4

    1.2 Rumusan Masalah

    1. Bagaimana pengaruh waktu inkubasi dan persentase inokulum terhadap kemampuan isolat bakteri asetogenik terpilih untuk memproduksi total asam?

    2. Bagaimana karakteristik dari isolat bakteri asetogenik yang mampu menghasilkan total asam tertinggi?

    1.3 Tujuan

    1. Mengetahui pengaruh waktu inkubasi dan persentase inokulum terhadap kemampuan isolat bakteri asetogenik terpilih untuk memproduksi total asam

    2. Mengetahui karakteristik dari isolat bakteri asetogenik yang mampu menghasilkan total asam tertinggi

    1.4 Manfaat

    Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah isolat bakteri asetogenik terpilih yang menghasilkan asam asetat paling tinggi dapat diaplikasikan lebih lanjut dalam proses pembentukan asam asetat untuk industri serta dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair tahu secara anaerob.

  • 5

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Limbah Cair Tahu

    Limbah cair tahu merupakan limbah pangan yang mengandung senyawa organik. Limbah cair tahu mengandung nutrisi berupa protein, karbohidrat dan lipid yang tingkat pencemarannya sangat tinggi (Septyana dkk, 2014). Limbah cair tahu dihasilkan dari proses perendaman kedelai, pencucian kedelai dan peralatan proses produksi tahu, perebusan, penyaringan, pengepresan dan pencetakan tahu. Oleh karena itu limbah cair yang dihasilkan jumlahnya banyak. Proses produksi tahu dan limbah yang dihasilkan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1.

    Kedelai

    Pencucian dan Perendaman

    (3 – 12 jam)

    Pengupasan Kulit

    Perendaman

    (30 – 40 menit)

    Penggilingan

    Perebusan (30 menit)

    Penyaringan

    Filtrat

    Penggumpalan

    Pencetakan / Pengepresan

    Pemotongan

    Tahu

    Air Tahu (Whey)

    (TSS,BOD,bau)

    Limbah Cair

    (BOD, Asam)

    Ampas

    Tahu

    Limbah Cair

    (BOD,TSS)

    Kulit Kedelai

    Limbah Cair

    (BOD, TSS)Air

    Air

    Air

    Air

    Asam

    Asetat

    Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Produksi Tahu (Kaswinarni, 2007)

  • 6

    Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007). Karakteristik limbah tahu sebagian besar terdiri dari polutan organik dengan nilai yang cukup tinggi sehingga dibutuhkan pengolahan limbah yang efisien dan relatif murah (Myrasandri dan Mindriany, 2003). Karakteristik limbah cair tahu meliputi dua hal yaitu karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, padatan total tersuspensi, suhu, warna dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas (Kaswinarni, 2007). Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Menurut Husni dan Esmeralda (2010) senyawa-senyawa berupa protein dan karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50% sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06 - 434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut. Penentuan besarnya kandungan bahan organik dapat digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD, COD, dan TSS. BOD (Biochemiycal Oksygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk mendegradasi bahan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air, sedangkan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi (Warlina, 2004). Karakteristik limbah cair industri tahu serta baku mutu limbah cair tahu dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 berikut.

  • 7

    Tabel 2.1 Karakteristik limbah cair tahu

    Parameter Satuan Nilai

    BOD mg/L 8.852 COD mg/L 29.700 TSS mg/L 936

    Sumber: (Septyana dkk, 2014)

    Tabel 2.2 Baku mutu limbah cair tahu berdasarkan Peraturan

    Menteri Negara Lingkungan Hidup No.15 Tahun 2008

    Parameter Satuan Kadar

    BOD mg/L 150 COD mg/L 300 TSS mg/L 200 pH - 6-9

    Kuantitas air limbah maksimum

    m3/ton 20

    2.2. Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerob

    Proses anaerob pada hakikatnya adalah proses yang terjadi karena aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat tidak terdapat oksigen bebas. Proses anaerob dapat digunakan untuk mengolah berbagai jenis limbah yang bersifat biodegradable, termasuk limbah industri makanan salah satunya adalah limbah tahu. Pada proses anaerob kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi metana. Selain itu terdapat interaksi sinergis antara bermacam-macam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah (Kaswinarni, 2007). Produk akhir dari pengolahan secara anaerob ialah biogas (60-70% metana) (Li et al., 2011). Pada pengolahan anaerob, bahan organik terdegradasi dan diubah menjadi CH4 dan karbondioksida (CO2) oleh serangkaian reaksi biokimia melalui interaksi metabolisme mikroorganisme anaerob (Saady, 2013). Tahapan utama proses anaerob yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis. Seluruh tahapan terjadi

  • 8

    secara sinergis dengan cara berturut-turut dan produk dari satu reaksi menjadi substrat untuk reaksi selanjutnya. Tahap ini dilakukan oleh empat kelompok mikroorganisme yang bekerja pada hubungan simbiosis yang seimbang (Plaza et al., 1996) untuk menghasilkan energi yang berasal dari perombakan substrat organik (Batstone et al., 2002). Pada dasarnya, proses ini dapat dibagi menjadi empat fase yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis di mana bakteri hidrolitik, bakteri fermentasi (asidogenik), bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik memainkan peran yang berbeda. Selama hidrolisis, polimer kompleks seperti karbohidrat, protein dan lemak terdegradasi menjadi gula, asam amino dan asam lemak rantai panjang. Proses ini terjadi terutama melalui aktivitas enzim ekstraseluler (lipase, protease, selulase dan amilase) disekresikan oleh bakteri hidrolitik yang melekat pada substrat polimer (Song et al., 2005). Kemudian, bakteri fermentasi atau asidogenik mengubah produk hidrolisis menjadi asam lemak volatil (asam asetat, asam propionat, asam butirat). Tahapan ketiga adalah asetogenesis, dimana asam lemak volatil selain CH3COOH yang diproduksi asidogenesis dicerna lebih lanjut oleh bakteri asetogenik untuk memproduksi CH3COOH, CO2, dan H2. Produk asetogenesis selanjutnya diuraikan menjadi CH4 dan CO2 oleh bakteri metanogen melalui pemecahan CH3COOH serta reaksi antara H2 dan CO2 (Appels et al., 2008). Biogas yang dihasilkan terdiri dari metana (50 - 75%), CO2 (25 - 45%) dan gas lainnya seperti CO, H2S, NH3, O2, dan uap air (Christy et al., 2014). Peningkatan pH akan terjadi dalam tahapan metanogenesis. Penurunan COD terbesar akan dihasilkan dari proses konversi CH3COOH menjadi CH4 (Foxon et al., 2006) karena 70% total CH4 diproduksi dalam sistem anaerob dihasilkan oleh proses pemecahan CH3COOH (Seghezzo, 2004).

    2.3 Tahap Asetogenesis

    Beberapa produk fermentasi dari proses asidogenesis seperti hidrogen, karbondioksida, asetat, dan format dapat langsung digunakan oleh acetoclastic dan hydrogenotrophic methanogen.

  • 9

    Produk utama fermentasi lainnya yang mudah menguap adalah asam lemak volatil (VFA) dan alkohol yang lebih dikonversi ke asam asetat, karbon dioksida, dan hidrogen oleh bakteri asetogenik. Tahap asetogenesis melibatkan fermentor sekunder asetogenik serta homoasetogenik (Schink, 1997). Tahapan ketiga dalam anaerobic digestion adalah asetogenesis, di mana asam lemak volatil selain CH3COOH yang diproduksi asidogenesis dicerna lebih lanjut oleh bakteri asetogenik untuk memproduksi CH3COOH, CO2 dan H2 (Appels et al., 2008). Bila gas H2 dan CO2 yang terbentuk besar, reduksi COD yang terjadi dapat mencapai nilai 10 % (Alexiou, 1998). Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri asetogenik membutuhkan oksigen dan karbon. Bakteri asetogenik menggunakan oksigen terlarut dalam larutan. Dengan ini, bakteri penghasil asam menciptakan kondisi anaerob, yang penting untuk mikroorganisme yang memproduksi metana untuk proses berikutnya (Maghanaki et al., 2013).

    2.4 Bakteri Asetogenik

    Tiga kelas bakteri yang berkontribusi untuk memproduksi asam asetat pada proses anaerob ialah bakteri asidogenik, asetogenik, dan homoasetogenik. Bakteri asidogenik dan asetogenik mampu menghasilkan asam asetat, H2, CO2, dan produk lainnya, sedangkan homoasetogenik menggunakan H2 dan CO2 untuk menghasilkan asam asetat (Sakai et al., 2004). Bakteri homoasetogenik yang juga disebut acetogens, dapat tumbuh pada H2 ditambah CO2 sebagai karbon dan sumber energi, dan pengurangan CO2 menjadi asetat dilakukan dengan sintesis ATP (Diekert and Wohlfarth, 1994). Pada lingkungan dimana terdapat asetogenik dan metanogenik, metanogenik biasanya dominan hydrogenotrophic. Bakteri asetogenik dapat tumbuh dalam lingkungan karena mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber karbon dan donor elektron dan akseptor (Ragsdale dan Pierce, 2008). Karakteristik asetogenik adalah kemampuan mereka untuk mengubah gula menjadi asam asetat (Fontaine et

  • 10

    al., 1942). Asetogenik dapat menggunakan sebagian besar substrat. Misalnya M. thermoacetica dapat tumbuh heterotrophically pada fruktosa, glukosa, xilosa, etanol, n-propanol, n-butanol, oksalat dan glioksilat, glikolat, piruvat, dan laktat (Ragsdale dan Pierce, 2008). Pengolahan anaerob yang telah dijelaskan oleh Balch dan Wolfe (1976), sejak saat itu dilakukan isolasi bakteri anaerob termasuk asetogenik yang dapat tumbuh autotrophically. Lebih dari 100 spesies asetogenik, mewakili 22 genera, sejauh ini telah diisolasi (Drake et al., 2008). Beberapa bakteri asetogenik adalah Clostridium thermoaceticum, Clostridium formicoaceticum, Eubacterium limosum, Acetobacterium woodii, Acetogenium kivuii, Clostridium thermoautotrophicum, Clostridium ljungdahlii, dan Butyribacterium methylotrophicum (Bredwell, 1999; Sim et al., 2007).

    2.5 Isolasi, Seleksi, dan Identifikasi Bakteri Asetogenik

    Mikroorganisme pada suatu lingkungan alami merupakan populasi campuran dari berbagai jenis, baik mikroorganisme pada tanah, air, udara, makanan, maupun yang terdapat pada tubuh hewan maupun tumbuhan (Suwandi, 2012). Strategi untuk memperoleh mikroorganisme yang sesuai dalam industri adalah memperolehnya dari lingkungan. Lingkungan yang paling umum adalah dari tempat produksi atau pada produk yang dihasilkan meskipun dapat pula diperoleh dari lingkungan lain seperti tanah, air, dan sebagainya. Namun, umumnya isolat selalu diperoleh dari lingkungan yang mendekati atau pada substrat tempat tumbuhnya (Hidayat dkk, 2006). Isolasi bakteri yaitu suatu proses mengambil bakteri dari medium atau dari lingkungan asalnya lalu menumbuhkannya di medium buatan sehingga diperoleh biakan yang murni (Singleton dan Sainsbury, 2006). Isolasi bakteri merupakan upaya untuk memperoleh kultur bakteri murni atau tunggal yang mempunyai sifat unggul yang diharapkan. Dalam hal ini, sifat unggul yang diharapkan adalah bakteri yang menghasilkan asam asetat paling tinggi.

  • 11

    Terdapat beberapa teknik yang biasanya digunakan untuk mengisolasi koloni yang memiliki karakteristik berbeda. Berikut adalah teknik-teknik yang dapat digunakan untuk isolasi mikroorganisme (Cappucino dan Sherman, 2011):

    a. Streak plate method Terdapat berbagai prosedur yang dapat dilakukan pada metode ini, baik three-sector (t-streak) ataupun four quadrant. Perbedaan kedua metode tersebut yaitu pada banyaknya goresan yang dilakukan pada media. Pada dasarnya, metode ini menggunakan sampel yang telah diencerkan kemudian disebarkan pada permukaan media agar dengan teknik gores (Cappucino dan Sherman, 2011). Jika semua koloni tunggal menampakkan ukuran dan penampakan yang serupa, kultur dapat dianggap murni. Uji secara mikroskopis perlu dilakukan untuk beberapa koloni tunggal. Koloni dengan karakteristik berbeda diambil dan dipindahkan pada media agar. Jika belum, teknik dilakukan secara berulang hingga didapatkan isolat murni (Hidayat dkk., 2006; Rao, 2006).

    b. Spread plate method Metode ini memerlukan pengenceran campuran mikroorganisme yang akan digunakan. Selama inokulasi, sel disebarkan ke permukaan media agar padat dengan bent glass rod dan cawan Petri diputar pada meja putar sehingga merata pada seluruh media (Cappucino dan Sherman, 2011).

    c. Pour plate method Metode ini memerlukan pengenceran berseri dari kultur campuran dan diambil menggunakan ose atau pipet. Inokulum cair ditambahkan pada media agar yang dicairkan pada cawan Petri, dicampurkan dan dibekukan (Cappucino dan Sherman, 2011).

    Seleksi bakteri merupakan tahap setelah diperoleh isolat dari hasil isolasi bakteri. Seleksi bakteri membantu untuk mengetahui apakah suatu mikroorganisme menghasilkan senyawa kimia tertentu, seperti enzim, antibiotik atau metabolit sekunder lainnya (Demain dan Davies, 1999). Seleksi umumnya merupakan strategi dalam penelitian yang dilakukan dengan tujuan

  • 12

    mendapatkan strain mikroorganisme penghasil produk tertentu (Hunter, 1999). Aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat diketahui dengan seleksi pada medium selektif. Medium selektif merupakan medium dengan komposisi tertentu, sehingga hanya jenis-jenis mikroorganisme tertentu saja yang dapat hidup (Gandjar dkk., 1992). Seleksi bakteri juga ditandai dengan adanya zona bening disekitar koloni setelah inkubasi 2-3 hari (Djide dan Wahyudin, 2008). Isolat bakteri yang telah dipilih kemudian diidentifikasi dan karakterisasi. Pada identifikasi dan karakterisasi bakteri asetogenik dapat dilakukan dengan pengamatan morfologi dan uji biokimia dan dilanjutkan dengan pengukuran kadar asam asetat (Haryanto, 2011). Pengamatan morfologi koloni dilakukan secara langsung meliputi kenampakan warna, bentuk, permukaan (elevasi) dan tepi koloni pada media agar pada cawan. Pengamatan morfologi sel dilakukan dengan cara mengamati reaksi mikroorganisme terhadap pewarnaan (Waluyo, 2010). Ketika mikroorganisme tumbuh pada media yang beragam, mikroorganisme akan menunjukkan perbedaan kenampakan pada pertumbuhannya. Perbedaan ini disebut karakteristik kultur yang berguna sebagai dasar untuk memisahkan bakteri pada klasifikasi grup (Cappucino dan Sherman, 2011). Suatu mikrobia tidak dapat diidentifikasi berdasarkan sifat – sifat morfologinya saja. Sehingga perlu dilanjutkan dengan identifikasi secara biokimia. Identifikasi bakteri anaerob secara biokimia dapat menggunakan microbact system (Kundera dkk, 2014). Microbact kit yang digunakan adalah microbact 24E. Identifikasi biokimia menggunakan microbact kit 24E terdiri dari 24 macam uji biokimia yang terdiri dari uji lysine, ornithine, H2S, glucose, mannitol, xylose, ONPG, indole, urease, V-P, citrate, TDA, gelatin, malonate, inositol, sorbitol, rhamnose, sucrose, lactose, arabinose, adonitol, raffinose, salicin, dan arginine. Prinsip pada metode identifikasi ini yaitu dengan menginokulasikan suspensi bakteri murni yang ingin diidentifikasi ke dalam 24 macam microtube/well yang mengandung masing-masing substrat atau media untuk uji biokimia (Oxoid, 2015).

  • 13

    2.6 Asam Asetat

    Asam asetat merupakan produk yang dihasilkan oleh bakteri asetogenik. Asam asetat merupakan substrat yang diperlukan oleh bakteri metanogen dalam memproduksi gas metan. Pada sistem biogas 55-70% terdiri dari gas metan (CH4) (Deublein dan Steinhauser, 2008), sehingga produksi asam asetat pada proses biogas merupakan hal yang sangat penting. Asam asetat merupakan bahan baku industri yang penting yang berasal dari minyak mineral atau gas alam (Sim et al., 2007). Saat ini, asam asetat dihasilkan dari proses kimia menggunakan minyak mineral atau gas alam sebagai bahan baku (Smejkal et al.,, 2005). Produksi asam asetat secara biologi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan proses kimia salah satunya biaya yang diperlukan lebih rendah (Klasson et al., 1992).Pembentukan asam asetat disertai dengan pembentukan karbondioksida atau hidrogen, tergantung kondisi oksidasi dari bahan organik aslinya (Santoso, 2010). Etanol, asam propionat, dan asam butirat diubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik dengan reaksi seperti berikut (Said, 2006) :

    CH3CH2OH+CO2 → CH3COOH + 2H2 Etanol Asam Asetat

    CH3CH2COOH+2H2O → CH3COOH + CO2+ 3H2 Asam Propionat Asam Asetat

    CH3CH2CH2COOH+ 2H2O → 2CH3COOH + 2H2 Asam Butirat Asam Asetat

    Untuk menunjang keberhasilan proses anaerobik, pemilihan sumber karbon yang tepat adalah hal yang penting (Tabassum dan Rajoka, 2000). Dalam tahap asetogenesis, glukosa dikonversi ke asam asetat, CO2 dan H2. Bruce et al (2002) menyatakan bahwa akumulasi hidrogen terlarut dalam cairan dan tekanan hidrogen parsial tinggi dapat menghambat produksi asam asetat. Persamaan kimia konversi glukosa menjadi asam asetat adalah sebagai berikut (Nie et al., 2007): C6H12O6 + 2H2O → 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2

  • 14

    2.7 Waktu Inkubasi

    Waktu inkubasi merupakan faktor kunci yang mempengaruhi pertumbuhan sel (Sim et al., 2008). Selain itu waktu inkubasi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Sel-sel terus membelah secara eksponensial atau secara cepat. Pada fase eksponensial pertumbuhan bakteri berjalan sangat cepat sesuai dengan persamaan garis linear jika pada fase ini kecukupan nutrisi untuk pertumbuhan terpenuhi (Salle, 1982). Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk (Buckle et al., 1985). Waktu inkubasi juga berpengaruh terhadap total asam. Hal ini disebabkan karena semakin lama inkubasi, mikroorganisme yang digunakan dalam suatu proses fermentasi semakin aktif, berkembangbiak, sehingga kemampuan untuk memecah substrat semakin banyak dan menghasilkan asam organik yang semakin meningkat (Astawan, 2007). Penurunan pH menunjukkan adanya proses fermentasi selama waktu inkubasi (Saccaro et al., 2012; Shafiee et al., 2010). Penurunan pH tercepat terjadi pada 8 sampai 10 jam pertama. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan bakteri dalam fase eksponensial. Selama fase eksponensial bakteri mengalami pembelahan sel dengan kecepatan maksimal. Kebutuhan energi pada fase ini cukup tinggi sehingga banyak laktosa dan sumber karbohidrat lain yang difermentasi (Salle, 1982; Shafiee et al., 2010).

    2.8 Persentase Inokulum

    Inokulum merupakan mikroorganisme yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi. Fermentasi adalah suatu aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun anaerob untuk mendapatkan energi diikuti terjadinya perubahan kimiawi substrat organik. Proses fermentasi dapat menggunakan perlakuan penambahan inokulum dan ada yang secara alami (Suprihatin dan Perwitasari, 2010). Inokulum memiliki peran yang paling penting dalam menunjang keberhasilan proses fermentasi (Mushlihah dan

  • 15

    Herimurti, 2011). Produk akhir dari suatu proses fermentasi diantaranya tergantung pada konsentrasi inokulum. Konsentrasi inokulum yang digunakan dalam medium cair adalah 5-15%. Jumlah total inokulum yang baik harus sebanding dengan jumlah substrat (Whitaker dan Stanbury, 1987). Pada sistem anaerob, produksi asam organik dipengaruhi oleh pH, suhu dan inokulum (Zhang et al., 2008). Koutsoumanis dan Sofos (2005) menyampaikan pentingnya persentase inokulum untuk pertumbuhan mikroba yang terlibat dalam sintesis produk.

    Fardiaz (1988) menyatakan bahwa lamanya masa adaptasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya medium dan lingkungan pertumbuhan serta persentase inokulum. Inokulum awal yang aktif dan tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Persentase inokulum akan mempengaruhi persaingan pengambilan nutrisi untuk metabolismenya sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi asam yang dihasilkan (Fardiaz, 1988). Rachman (1989) menyatakan bahwa kriteria yang penting bagi kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga produk yang dihasilkan berjumlah besar dan diperoleh dengan cepat.

    2.9 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri

    Menurut Muchtadi dan Betty (1980), seperti halnya pada makhluk hidup lain, pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya. Pengaruh lingkungan ini dapat digolongkan menjadi faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik merupakan faktor fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Faktor – faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri diantaranya adalah sebagai berikut :

    a. pH Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan dan seluruh bakteri serta mikroorganisme - mikroorgaisme lainnya memiliki

  • 16

    kebutuhan pH yang berbeda. Berdasarkan pH optimumnya, mikroorganisme dapat digolongkan sebagai asidofilik, netralofilik, atau alkalofilik (Capuccino dan Sherman, 2011). Faktor pH sangat berperan pada dekomposisi anaerob karena pada rentang pH yang tidak sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada akhirnya kondisi ini dapat menghambat perolehan asam asetat sebagai bahan baku pembentukan gas metana (Budiyono, 2013).

    b. Suhu Menurut Gaman dan Sherrington (1994), tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimum, minimum dan optimum. Suhu maksimum yaitu suhu tertinggi, di atas suhu tersebut mikroba tidak dapat tumbuh. Suhu minimum yaitu suhu terendah, di bawah suhu tersebut mikroba tidak dapat tumbuh. Suhu optimum yaitu suhu di mana mikroba tumbuh sangat baik. Ini berarti suhu memberikan kesempatan pertumbuhan yang sangat cepat dan menghasilkan jumlah sel yang maksimal (Muchtadi dan Betty, 1980). Menurut Muchtadi dan Betty (1980), berdasarkan suhu pertumbuhannya, bakteri dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Bakteri termofil, yang memerlukan suhu tinggi untuk

    dapat tumbuh dengan baik. Suhu optimumnya di atas 50° C,

    2. Bakteri mesofil, yang mempunyai suhu optimum antara 20 – 45°C,

    3. Bakteri psikhrofil, yang tumbuh pada suhu rendah yaitu antara 5 – 10°C, tetapi sebenarnya mempunyai suhu optimum di atas 20°C.

    Peranan suhu terhadap pertumbuhan mikroba sebenarnya merupakan petunjuk adanya pengaruh suhu terhadap enzim di dalam sel mikroba (Muchtadi dan Betty, 1980). Menurut Garbutt (1997), rentang suhu optimum ditentukan oleh pengaruh suhu terhadap membran sel dan enzim, untuk organisme tertentu, pertumbuhan dibatasi oleh suhu dimana enzim dan membran sel dapat berfungsi.

  • 17

    c. Kebutuhan Oksigen MIkroorganisme menunjukkan keragaman yang besar dalam kemampuannya menggunakan oksigen bebas (O2) untuk respirasi seluler. Berdasarkan hal tersebut mikroorganisme tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam satu dari lima kelompok utama berdasarkan kebutuhan oksigennya, yaitu aerob, mikroaerofil, anaerob obligat, anaerob aerotoleran, dan anaerob fakultatif (Capuccino dan Sherman, 2011). Bakteri asetogenik dan asidogenik dapat bekerja optimal pada kondisi kontaminasi udara, tidak membutuhkan udara namun tetap dapat hidup baik pada lingkungannya karena bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob fakultatif (Deublein and Steihauser, 2008 ;Voet et al., 2002).

    2.10 Penelitian Terdahulu

    Penelitian tentang isolasi dan karakterisasi bakteri asetogenik pada proses biodegradasi anaerob limbah cair tahu telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman dan desa Kalisari kecamatan Cilongok kabupaten Banyumas oleh Haryanto (2011). Penelitian bertujuan untuk mengetahui genera bakteri asetogenik yang terlibat dan bakteri asetogenik yang dominan pada proses biodegradasi anaerobik limbah cair tahu. Isolasi bakteri dilakukan menggunakan medium basal asetogen. Karakterisasi bakteri asetogenik mencakup pengamatan morfologi dan uji biokimia yang meliputi uji katalase, uji oksidase, uji fermentasi glukosa, uji fermentasi fruktosa, uji fermentasi gliserol, uji fermentasi etanol, uji penggunaan yeast extract dan dilanjutkan dengan pengukuran kadar asetat. Hasil penelitian didapatkan 3 genera bakteri asetogenik yaitu Clostridium, Acetobacter, dan Ruminococcus. Kadar asam asetat tertinggi dihasilkan oleh Clostridium dengan kadar 0,15%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hafid et al (2011) tentang peningkatan produksi asam organik dari limbah dapur melalui digester anaerob, menunjukkan bahwa tingkat tertinggi dari asam

  • 18

    organik yang dihasilkan adalah 77 g/L pada pH optimum 6,02, suhu 35,37 ° C, dan volume inokulum 20%. Hasil menunjukkan bahwa parameter yang paling signifikan mempengaruhi biokonversi limbah dapur untuk asam organik adalah suhu dan ukuran inokulum. Asam organik tertinggi yang dihasilkan terdiri dari 10 g/L asam asetat. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Cortes et al (2012) tentang isolasi dan karakterisasi bakteri asam asetat pada fermentasi coklat, bahwa jumlah sel maksimum bakteri asam asetat diperoleh pada waktu inkubasi antara 36 dan 72 jam (8,16 ± 0,43 - 7,45 ± CFU/g DM). Populasi maksimum bakteri asam asetat terjadi pada lama inkubasi 48 jam (1,5 ± 1 × 108 CFU/g DM). Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fontaine (1942) fermentasi glukosa oleh bakteri asam menjadi asam asetat terjadi setelah diinkubasi selama 72 jam.

    2.11 Hipotesis

    Diduga persentase inokulum dan waktu inkubasi berpengaruh terhadap produksi total asam isolat bakteri asetogenik pada pengolahan limbah cair tahu secara anaerob

  • 19

    III. METODE PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2015 di Laboratorium Sentral Ilmu Hayati (LSIH) Universitas Brawijaya. Analisis dan uji dilakukan di Laboratorium Sentral Ilmu Hayati (LSIH) Universitas Brawijaya, Laboratorium Biokimia Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, dan Laboratorium Penelitian dan Pengujia Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

    3.2 Alat dan Bahan

    3.2.1 Alat

    Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf (Tomy), Laminar Air Flow (Nuaire), inkubator (MMM tipe lncucell dan Memmert), Vortex, kompor listrik, mikropipet 1000 µL, blue tip, yellow tip, jarum ose, bunsen, korek api, bola hisap, rak tabung reaksi, masker dan sarung tangan, plastic warp, aluminium foil, plastik tahan panas, spidol marker, karet, kapas, kertas sampul coklat, tisu, spatula, pipet ukur, cawan Petri, tabung reaksi, erlenmeyer, beaker glass, dan gelas ukur. Alat dan instrumen yang digunakan untuk analisis yaitu mikroskop, kaca preparat, object glass, pH meter, buret, erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, corong, statif, pipet, cawan Petri, microbact kit 24E, software microbact.

    3.2.2 Bahan

    Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampel air limbah yang diperoleh dari pabrik tahu ADMA yang

  • 20

    mengandung protein 0,20%, lemak 0,08%, abu 0,26%, karbohidrat 0,41% (Hasil Pengujian, 2015), ampas tahu, agar bakteriologikal (Oxoid), pepton bakteriologikal (Oxoid), glukosa, alkohol 70%, akuades, yeast extract (Oxoid), kalsium karbonat (Merck). Bahan yang digunakan untuk analisis yaitu kristal violet, lugol program, alkohol aseton, safranin, indikator phenolptalin, NaOH 0,1N, microbact reagent indole – kovacks, microbact reagent VP I, microbact reagent VP II, microbact reagent TDA, microbact reagent nitrate A, microbact reagent nitrate B, dan microbact reagent mineral oil.

    3.3 Batasan Masalah

    Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan masalah, yaitu:

    1. Sampel air limbah diambil dari saluran pembuangan pada pabrik tahu ADMA

    2. Pengolahan limbah cair tahu dilakukan secara anaerob 3. Isolasi bakteri dilakukan pada tahap asetogenesis pada

    proses pengolahan anaerob 4. Pada identifikasi bakteri asetogenik dilakukan dengan

    pengamatan morfologi koloni, morfologi sel, serta uji biokimia.

  • 21

    3.4 Pelaksanaan Penelitian

    Mulai

    Pengambilan Sampel limbah cair tahu di

    Pabrik Tahu ADMA

    Pembuatan Sistem Anaerob dan Penentuan

    Tahap Asetogenesis

    Isolasi Bakteri Asetogenik

    Uji kemampuan isolat

    Identifikasi Isolat

    Analisis Data

    Kesimpulan dan Saran

    Selesai

    Seleksi Bakteri Asetogenik

    Gambar 3.1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian

  • 22

    3.4.1 Pengambilan Sampel Limbah Cair Tahu

    Limbah cair tahu yang digunakan sebagai sampel diambil dari saluran pembuangan air limbah pabrik tahu. Pengambilan limbah cair dilakukan sekaligus dengan kerikil – kerikil dan lumpur yang berada di saluran pembuangan tersebut. Air limbah dimasukkan ke dalam botol air mineral 1,5 liter dengan cara melepaskan tutup botol kemudian menenggelamkannya dalam air limbah, setelah terisi penuh segera diangkat ke permukaan dan ditutup.

    3.4.2 Pembuatan Sistem Anaerob dan Penentuan Tahap Asetogenesis

    Sampel limbah cair tahu sebanyak 250 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian erlenmeyer ditutup dengan kapas, kemudian dilapisi dengan malam. Selanjutnya erlenmeyer diihubungkan dengan selang ke beaker glass yang sudah diisi dengan air dan ditambahkan desinfektan. Air di dalam beaker glass berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan pada proses anaerob. Keluarnya gas juga merupakan indikator aktivitas mikroorganisme pada limbah cair tahu tersebut. Identifikasi tahap asetogenesis dilakukan dengan cara analisa pH menggunakan pH meter. Sebelum dikondisikan secara anaerob sampel limbah cair tahu diukur pH terlebih dahulu untuk mengetahui nilai pH awal. Pada tahap asetogenesis bakteri asam memproduksi asetat pada pH antara 5,5 – 6,5 (Hafid et al., 2011).

    3.4.3 Isolasi dan Seleksi Bakteri Asetogenik

    a. Pembuatan media ekstrak ampas tahu

    Sebanyak 100 gram ampas tahu dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 ml dan dicampur dengan akuades sebanyak 1000 ml. Kemudian direbus hingga mendidih selama 2 jam. Selama proses perebusan, akuades terus ditambahkan agar ukuran ekstrak ampas tahu selalu 1000 ml. Setelah 2 jam, ekstrak ampas tahu didinginkan,

  • 23

    kemudian disaring menggunakan kain saring. Hasil saringan ditambahkan akuades hingga volume 1000 ml.

    b. Isolasi Bakteri Asetogenik Sampel air limbah cair tahu pada tahapan asetogenesis sebanyak 1 ml diencerkan hingga konsentrasi 10-5

    menggunakan larutan pepton, kemudian masing – masing hasil pengenceran air limbah tersebut diinokulasikan ke dalam cawan Petri berisi media ekstrak ampas tahu agar yang diperkaya dengan glukosa dan pepton dengan metode pour plate. Media disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C selama 15 menit, kemudian media yang telah diinokulasikan dengan bakteri diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C dan diamati koloninya yang tumbuh (Cappucino dan Sherman, 2011). Koloni yang tumbuh dipurifikasi sampai diperoleh kultur murni. Tiap koloni isolat bakteri diambil secara aseptis dengan jarum ose dan diinokulasikan ke permukaan padat media agar dengan metode streak-plate (Cappucino dan Sherman, 2011) untuk tiap koloni dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Jika semua koloni tunggal menampakkan ukuran dan penampakan yang serupa, kultur dapat dianggap murni. Jika belum didapatkan kultur murni, teknik purifikasi dilakukan secara berulang hingga didapatkan isolat murni. Isolat murni yang diperoleh kemudian disimpan pada media agar miring (Hidayat dkk., 2006; Rao, 2006). Dimungkinkan terdapat beberapa isolat yang diperoleh pada tahap purifikasi.

    c. Seleksi Bakteri Asetogenik Sebanyak 100 µl inokulum diinokulasi pada medium (GYC) (10% glukosa, 1.0% yeast extract, 2.0% kalsium karbonat, 1.5% agar). Selanjutnya media yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu 30°C selama 3 – 4 hari. Koloni yang dapat memproduksi asam ditunjukkan oleh terbentuknya zona bening (Sharafi et al., 2010).

  • 24

    Penggunaan kalsium karbonat berfungsi sebagai media seleksi pada bakteri penghasil asam. Asam akan menyebabkan zona jernih disekeliling koloni karena melarutkan kalsium karbonat sehingga dapat digunakan sebagai penanda koloni bakteri asam (Seeley et al., 2001). Koloni dan zona bening yang terbentuk diukur diameternya dengan cara mengukur diameter koloni dan diameter zona bening yang terbentuk, kemudian dihitung luas koloni dan luas zona bening.

    3.4.4 Uji Kemampuan Isolat Bakteri Asetogenik

    Pada uji kemampuan dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri asetogenik dalam memproduksi asam asetat dan mengetahui total mikroba. Metode yang digunakan adalah metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial. Pada rancangan ini digunakan 2 faktor yaitu persentase inoculum dan waktu inkubasi. Kontrol yang digunakan pada percobaan ini adalah limbah cair tahu steril. Tabel rancangan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.

    Faktor I : Persentase Inokulum (I) I1 : 10% (v/v) I2 : 15% (v/v) I3 : 20% (v/v) Faktor II : Waktu Inkubasi (W) W1 : 24 jam W2 : 48 jam W3 : 72 jam

  • 25

    Tabel 3.1 Tabel rancangan penelitian Persentase Inokulum

    (I)

    Waktu Inkubasi

    (W)

    Ulangan (Kelompok)

    I II III

    I1 W1 I1W1(I) I1W1(II) I1W1(III) W2 I1W2(I) I1W2(II) I1W2(III) W3 I1W3(I) I1W3(II) I1W3(III)

    I2 W1 I2W1(I) I2W1(II) I2W1(III) W2 I2W2(I) I2W2(II) I2W2(III) W3 I2W2(I) I2W2(II) I2W2(III)

    I3 W1 I3W1(I) I3W1(II) I3W1(III) W2 I3W2(I) I3W2(II) I3W2(III) W3 I3W3(I) I3W3(II) I3W3(III)

    Berdasarkan 2 faktor di atas diperoleh 9 kombinasi perlakuan, sebagai berikut:

    I1W1: Persentase inokulum 10% (v/v) waktu Inkubasi 24 jam I1W2: Persentase inokulum 10% (v/v) waktu Inkubasi 48 jam I1W3: Persentase inokulum 10% (v/v) waktu Inkubasi 72 jam I2W1: Persentase inokulum 15% (v/v) waktu Inkubasi 24 jam I2W2: Persentase inokulum 15% (v/v) waktu Inkubasi 48 jam I2W3: Persentase inokulum 15% (v/v) waktu Inkubasi 72 jam I3W1: Persentase inokulum 20% (v/v) waktu Inkubasi 24 jam I3W2: Persentase inokulum 20% (v/v) waktu Inkubasi 48 jam I3W3: Persentase inokulum 20% (v/v) waktu Inkubasi 72 jam

    Pada masing – masing kombinasi perlakuan, dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, sehingga secara total terdapat 27 kombinasi perlakuan. Parameter yang diamati pada uji kemampuan ini adalah pH, jumlah bakteri, kadar glukosa, dan total asam. Tahapan uji kemampuan isolat bakteri dalam memproduksi asam asetat dapat dilihat pada Gambar 3.2.

  • 26

    Isolat Bakteri pada

    Agar Miring

    Dimasukkan ke dalam 9 ml pepton cair

    Dihomogenkan

    Diambil 5% dari media

    yaitu sebanyak 22,5 ml

    Dimasukkanke dalam media

    cair dengan volume 427,5 ml

    Dihomogenkan

    Diinkubasi 48 jam

    Diambil 10 ml, 15 ml, dan 20 ml

    untuk diberi perlakuan

    Dimasukkan ke dalam LCT steril

    dengan volume 90 ml, 85 ml, dan 80 ml

    Diinkubasi 24 jam, 48 jam, 72 jam

    Inokulum awal

    Pengukuran pH,

    total asam, kadar

    glukosa, dan total

    bakteri

    Sampel

    - Diukur Total Asam

    - Diukur pH

    -Dihitung Total Bakteri

    -Diukur Kadar Glukosa

    Selesai

    Gambar 3.2 Tahapan Uji Kemampuan Isolat Bakteri

  • 27

    a. Pengukuran Total Asam (Aneja, 2003)

    Pengukuran total asam yang dinyatakan sebagai asam asetat ditentukan dengan metode titrasi. Pengujian dilakukan dengan cara mengambil sampel sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan akuades sebanyak 10 ml dan 5 tetes indikator phenoftalein lalu diteteskan NaOH 0,1N ke dalam erlenmeyer secara hati – hati sambil digoyang – goyangkan sampai terjadi perubahan warna (dari tidak berwarna sampai berwarna merah muda). Rumus perhitungan total asam (dinyatakan sebagai asam asetat) adalah :

    Total Asam (%) = 𝑚𝑙 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 0,1 𝑥 6,005

    𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑙)

    b. Pengukuran pH (SNI 06-6989.11-2004)

    Bahan penunjang analisa disiapkan (akuades, buffer 4, buffer 7, buffer 10). Kemudian pH meter disiapkan dan dikalibrasi dengan menggunakan buffer. Dikeringkan dengan kertas tisu selanjutnya bilas elektroda dengan akuades. Sampel uji disiapkan, lalu celupkan elektroda ke dalam sampel uji sampai pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap. Kemudian dicatat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.

    c. Perhitungan Total Bakteri (Waluyo, 2010)

    Dipipet kultur bakteri asetogenik sebanyak 1 ml, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pepton 0,1 % sehingga diperoleh pengenceran 10-1. Dipipet suspensi sebanyak 1 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pepton 0,1% (pengenceran 10-2) dan seterusnya hingga didapat tingkat pengenceran10-8. Kemudian di pipet 0,1 ml dari pengenceran 10-6, 10-7, dan 10-8 ke dalam cawan Petri lalu dituangkan media ampas tahu agar lalu diratakan dengan

  • 28

    batang gelas melengkung yang steril. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Diamati bakteri yang tumbuh, kemudian dihitung dengan rumus:

    𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑚𝑙 = Σ 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 𝑥 1

    𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

    d. Pengukuran Kadar Glukosa (Modifikasi Sudarmadji, 1997) Pengukuran kadar gula reduksi dilakukan berdasarkan metode Nelson Somogyi, yaitu 0,1 ml sampel diambil kemudian diencerkan hingga 5ml menggunakan akuades. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dicampur dengan 1 ml larutan reagen Nelson, dipanaskan selama 20 menit sampai mendidih, didinginkan, ditambahkan 1 ml larutan Arsen, dilakukan pengadukan dan ditambah dengan 7 ml akuades. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan Spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm untuk mendapatkan nilai absorbansi.

    Kadar glukosa (%) =

    𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖

    𝑆𝑙𝑜𝑝 ×𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

    𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 ×106 × 100%

    3.4.5 Analisis Data

    Data yang diperoleh kemudian di analisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji BNT atau DMRT dengan selang kepercayaan 5%. Penentuan perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan kombinasi perlakuan yang menghasilkan total asam paling tinggi.

    3.4.6 Pengukuran Kadar Asam Organik

    Kadar asam organik diukur menggunakan metode uji HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Metode preparasi sampel yang dilakukan adalah sampel disaring menggunakan

  • 29

    millex 0,45 µm dan diinjeksikan 20 µL ke HPLC. Selanjutnya dibuat standar asam asetat 10000 ppm dalam H2O, dibuat standar 250 ppm, dan diinjeksikan ke HPLC 20µL. Kondisi HPLC yang digunakan adalah Kolom MethaCarb H Plus, Flow 0,6 ml/min, Pj Gel 215 nm, Eluent H2SO4 0,005M dengan suhu 70°C.

    3.4.7 Identifikasi Isolat Bakteri Asetogenik

    Identifikasi isolat bakteri asetogenik dilakukan berdasarkan morfologi koloni, morfologi sel, dan secara biokimia. Berdasarkan morfologi koloni, bakteri diamati berupa warna, bentuk, elevasi, dan tepi koloni dari pertumbuhan pada cawan Petri. Berdasarkan morfologi sel dilakukan dengan cara mengamati reaksi mikroorganisme terhadap pewarnaan (Waluyo, 2010). Pengamatan hasil reaksi pewarnaan dinding sel bakteri melalui pewarnaan Gram juga diperlukan untuk memudahkan proses identifikasi. Identifikasi bakteri secara biokimia dilakukan dengan menggunakan microbact kit 24E. Prinsip pada metode ini yaitu dengan mengambil 2 – 3 koloni kemudian diinokulasikan ke dalam 5 ml NaCl steril. Kemudian diambil 4 tetes suspensi bakteri dan dimasukkan ke dalam 24 well yang mengandung masing-masing substrat atau media untuk uji biokimia. 24 macam uji biokimia terdiri dari uji lysine, ornithine, H2S, glucose, mannitol, xylose, ONPG, indole, urease, V-P, citrate, TDA, gelatin, malonate, inositol, sorbitol, rhamnose, sucrose, lactose, arabinose, adonitol, raffinose, salicin, dan arginine. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24 - 48 jam pada temperatur 35°±2°C. Selama proses inkubasi, bakteri akan melakukan metabolisme dan menyebabkan perubahan warna media uji baik secara spontan atau dengan penambahan reagen microbact reagent indole – kovacks, microbact reagent VP I, microbact reagent VP II, microbact reagent TDA, microbact reagent nitrate A, microbact reagent nitrate B, dan microbact reagent mineral oil terlebih dahulu. Pada well 8 (Indole) ditambahkan 2 tetes reagen indole-kovacks dan diamati setelah didiamkan selama 2 menit. Pada well 10 (V-P) ditambahkan 1 tetes reagen VPI dan reagen VPII dan diamati setelah didiamkan

  • 30

    selama 15 - 30 menit. Pada well 12 (TDA) ditambahkan 1 tetes reagen TDA dan langsung diamati setelah diteteskan. Pada well 13 (gelatin) harus diamati setelah inkubasi 24 – 48 jam. Pada well 24 (arginine) diamati pada waktu 24 jam dan 48 jam. Hasil reaksi pada masing-masing uji akan mendapatkan kombinasi angka yang selanjutnya dengan menggunakan program (software) untuk mengetahui spesies bakteri (Oxoid, 2015).

    3.4.8 Kesimpulan dan Saran

    Kesimpulan merupakan ringkasan dari penelitian yang telah dilakukan dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Saran dapat berupa masukan yang berguna sebagai bahan rujukan atau perbaikan untuk penelitian selanjutnya. Kesimpulan dan saran ditulis secara ringkas dan padat.

  • 31

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Isolasi dan Seleksi Bakteri Asetogenik

    Berdasarkan hasil isolasi bakteri yang dilakukan diperoleh 9 isolat bakteri asetogenik dari limbah cair tahu. 9 isolat tersebut diberi kode dengan kose isolat A2-48, B2-48, A2-96, B2-96, A3-48, A3-96, B3-48, A2-24, dan B2-24. Huruf pertama pada kode tersebut menunjukkan pada tahap purifikasi terdapat isolat dengan karakteristik yang berbeda dalam satu cawan, kemudian dipurifikasi kembali dan dikodekan dengan huruf yang berbeda. Angka kedua pada kode menunjukkan tingkat pengenceran. Angka 2 menunjukkan tingkat pengenceran 10-2, angka 3 menunjukkan tingkat pengenceran 10-3. Dua angka terakhir menunjukkan lama inkubasi cawan Petri dalam inkubator. Angka 48 menunjukkan lama inkubasi cawan Petri dalam inkubator adalah 48 jam. Isolat - isolat tersebut merupakan isolat bakteri yang mampu memfermentasi glukosa menjadi asam. Hal ini dikarenakan, isolat bakteri tersebut dapat tumbuh pada medium agar yang diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Medium yang digunakan untuk isolasi adalah ekstrak ampas tahu yang diperkaya dengan glukosa dan pepton. Ekstrak ampas tahu digunakan karena bakteri yang akan diisolasi berasal dari limbah tahu dan umumnya isolat selalu diperoleh dari lingkungan yang mendekati atau pada substrat tempat tumbuhnya (Hidayat dkk, 2006). Kebutuhan dasar nutrisi bagi mikroorganisme adalah energi atau sumber karbon, sumber nitrogen, dan unsur anorganik (Nurfajarwati, 2006). Glukosa digunakan sebagai substrat karena glukosa merupakan sumber karbon yang diperlukan oleh bakteri asetogenik untuk menghasilkan asam asetat (Leon et al., 1984). Pepton digunakan sebagai sumber nitrogen yang sering digunakan dalam proses fermentasi (Thontowi dkk, 2007). 9 isolat tersebut kemudian diseleksi untuk mendapatkan isolat yang dapat memproduksi asam asetat. Kemampuan isolat dalam

  • 32

    meproduksi asam asetat ditandai dengan terbentuknya zona bening. Data hasil seleksi isolat bakteri asetogenik disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil seleksi isolat bakteri asetogenik

    Isolat Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4

    A2-48 - + + + B2-48 - - - - A2-96 - - - - B2-96 - + + + A3-48 - + + + A3-96 - - - - B3-48 - + + + A2-24 - - - - B2-24 - - - -

    Keterangan : + = terbentuk zona bening - = tidak terbentuk zona bening

    Berdasarkan hasil seleksi I, isolat yang menunjukkan terbentuknya zona bening adalah isolat A2-48, B2-96, A3-48, dan B3-48. Hal ini menunjukkan bahwa isolat A2-48, B2-96, A3-48, dan B3-48 memiliki kemampuan untuk memproduksi asam pada medium seleksi yang terdiri dari 10% glukosa, 1% yeast extract, 2% kalsium karbonat, 1,5% agar (Sharafi et al., 2010). Dari ke empat isolat ini dilakukan seleksi kembali untuk dilakukan pengukuran zona bening. Hasil seleksi adalah pada kode isolat A2-48 dan B2-96 zona bening yang terbentuk lebih kecil dibandingkan kode isolat A3-48 dan B3-48. Isolat A3-48 dan B3-48 kemudian diseleksi kembali dan data hasil pengukuran zona bening disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Data hasil pengukuran zona bening

    Kode isolat Luas koloni

    Luas zona bening Nisbah

    (cm2) (cm2)

    A3-48 0,358 0,865 2,420 B3-48 0,636 1,130 1,778

  • 33

    Berdasarkan uji zona bening dapat dilihat bahwa pada kode isolat A3-48 dihasilkan nisbah yang lebih besar daripada nisbah pada kode isolat B3-48. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan isolat bakteri A3-48 dalam menghasilkan asam lebih tinggi daripada isolat bakteri B3-48. Hal ini disebabkan karena dalam masa pertumbuhannya selama inkubasi bakteri asetogenik menghasilkan asam yang bereaksi dengan CaCO3, dengan menunjukkan adanya daerah atau zona bening disekitar koloni bakteri yang tumbuh (Djide dan Sartini, 2008).

    4.2 Uji Kemampuan Isolat Bakteri Asetogenik

    Pada uji kemampuan dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri asetogenik dalam memproduksi asam asetat. Metode yang digunakan adalah metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial. Pada rancangan ini digunakan 2 faktor yaitu persentase inokulum dan waktu inkubasi. Parameter yang diamati pada uji kemampuan ini adalah total asam, pH, jumlah bakteri, dan kadar glukosa.

    4.2.1 Total Asam

    Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 11) dengan nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor persentase inokulum, waktu inkubasi, dan interaksi persentase inokulum dengan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata total asam pada berbagai persentase dan waktu inkubasi disajikan pada Tabel 4.3.

  • 34

    Tabel 4.3 Rata – rata total asam pada berbagai persentase inokulum dan waktu inkubasi

    Simbol Persentase Inokulum

    (%)

    Waktu Inkubasi

    (jam)

    Total Asam (%)

    I1W1 24 3,853 I1W2 10 48 3,603 I1W3 72 3,498 I2W1 24 3,003 I2W2 15 48 3,503 I2W2 72 3,203 I3W1 24 3,153 I3W2 20 48 3,453 I3W3 72 3,653

    Faktor waktu inkubasi, persentase inokulum, dan interaksi waktu inkubasi dan persentase inokulum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap Total asam. Perhitungan total asam pada penelitian ini dinyatakan sebagai asam asetat. Nilai total asam tanpa ditambahkan inokulum adalah 2,402%. Jika dibandingkan dengan nilai total asam tanpa penambahan inokulum, maka nilai total asam setelah dilakukan perlakuan mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri asetogenik mampu menghasilkan asam. Namun, faktor persentase inokulum, waktu inkubasi, dan interaksi persentase inokulum dan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total asam. Hal ini diduga disebabkan karena selama waktu inkubasi, kemampuan bakteri asetogenik dalam menghasilkan asam asetat mulai berkurang, karena faktor nutrisi yang semakin berkurang selama inkubasi. Menurut Fardiaz (1988), kemampuan bakteri mulai berkurang salah satunya disebabkan faktor nutrisi yang mulai berkurang serta terbentuknya hasil – hasil metabolisme (metabolit sekunder) yang kemungkinan menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu menurut Rachman (1989) menyatakan bahwa kriteria yang penting bagi kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga produk yang dihasilkan berjumlah besar dan diperoleh dengan cepat.

  • 35

    4.2.2 Derajat Keasaman (pH)

    Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 12) dengan nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor waktu inkubasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH, sedangkan faktor persentase inokulum dan interaksi persentase inokulum dengan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata pH pada berbagai waktu inkubasi disajikan pada Tabel 4.4.

    Tabel 4.4 Rata – rata pH pada waktu inkubasi

    Waktu Inkubasi (jam)

    pH Notasi

    24 5,544 A 48 5,777 B 72 5,725 B

    Keterangan: Angka dalam Tabel diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

    Waktu inkubasi memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan pH. Dapat dilihat bahwa nilai pH paling rendah terdapat pada waktu inkubasi 24 jam. pH awal sampel adalah 6 dan setelah diinkubasi 24 jam nilai pH semakin turun. Adanya pengaruh waktu inkubasi terhadap perubahan pH, dapat disebabkan karena selama waktu inkubasi mikroorganisme yang digunakan dalam suatu proses fermentasi semakin aktif, berkembangbiak, sehingga kemampuan untuk memecah substrat semakin banyak dan menghasilkan asam yang semakin meningkat (Astawan, 2007). Peningkatan jumlah asam menyebabkan penurunan pH. Penurunan pH menunjukkan adanya proses fermentasi selama waktu inkubasi (Saccaro et al., 2012; Shafiee et al., 2010). Berdasarkan Tabel 4.5, nilai pH yang dihasilkan telah memenuhi syarat dari Hafid et al (2011) yakni pada tahap asetogenesis bakteri asam memproduksi asetat pada pH antara 5,5 – 6,5.

  • 36

    4.2.3 Total Bakteri

    Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 13) dengan nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor persentase inokulum, waktu inkubasi, dan interaksi persentase inokulum dengan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata log total bakteri pada berbagai persentase inokulum dan waktu inkubasi disajikan pada Tabel 4.5.

    Tabel 4.5 Rata – rata log total bakteri pada berbagai persentase inokulum dan waktu inkubasi

    Simbol Persentase Inokulum

    (%)

    Waktu Inkubasi

    (jam)

    Total Bakteri

    (CFU/ml) Log

    I1W1 24 7,7 x 107 7,888 I1W2 10 48 12,0 x 107 8,063 I1W3 72 7,9 x 107 7,896 I2W1 24 8,2 x 108 8,914 I2W2 15 48 9,6 x 107 7,984 I2W2 72 9,7 x 107 7,985 I3W1 24 1,4 x 108 8,150 I3W2 20 48 1,8 x 108 8,250 I3W3 72 13 x 108 9,118

    Waktu inkubasi, persentase inokulum, serta interaksi persentase inokulum dan waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total bakteri. Total Bakteri sebelum sampel diinkubasi pada persentase inokulum 10% adalah 1,49 x 107 CFU/ml, total bakteri pada persentase inokulum 15% adalah 2,235 x 107 CFU/ml, dan total bakteri pada persentase inokulum 20% adalah 2,98 x 107 CFU/ml. Berdasarkan grafik pertumbuhan bakteri dari sebelum diinkubasi hingga diinkubasi pada 24, 48, dan 72 jam yang terdapat pada Lampiran 13, pertumbuhan bakteri cenderung konstan. Hal ini diduga disebabkan oleh nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik mulai berkurang. Berdasarkan penelitian dari Ruggeri et al (2009), pada fase eksponensial glukosa sebagai sumber gula paling banyak dikonsumsi oleh bakteri. Sehingga, akibat dari

  • 37

    sumber gula yang sedikit sehingga diduga fase eksponensial berlangsung singkat.

    4.2.4 Kadar Glukosa

    Berdasarkan analisis ragam dan tabel ANOVA (Lampiran 14) dengan nilai signifikansi (𝛼 = 5%), faktor waktu inkubasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kadar glukosa, sedangkan faktor persentase inokulum dan interaksi waktu inkubasi dengan persentase inokulum memberikan pengaruh yang signifikan. Rata – rata kadar glukosa pada berbagai persentase inokulum dan waktu inkubasi disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Rata – rata kadar glukosa pada berbagai persentase

    inokulum dan waktu inkubasi

    Simbol Persentase Inokulum

    (%)

    Waktu Inkubasi

    (jam)

    Kadar Glukosa

    (%) Notasi

    I1W1 24 2,5237 a I1W2 10 48 3,6770 b I1W3 72 4,8677 c I2W1 24 1,4680 a I2W2 15 48 4,6457 bc I2W2 72 6,2857 de I3W1 24 2,5483 ab I3W2 20 48 4,3333 bc I3W3 72 5,7670 cd

    Keterangan: Angka dalam Tabel diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

    Berdasarkan pengukuran kadar glukosa pada Tabel 4.6, kadar glukosa terendah terdapat pada kombinasi perlakuan I2W1 yaitu persentase inokulum 10% dan waktu inkubasi 48 jam. Kadar glukosa pada saat tidak ditambahkan inokulum adalah 4,9%. Berdasarkan waktu inkubasi, maka bakteri asetogenik dapat memfermentasi glukosa menjadi asam asetat adalah pada saat

  • 38

    waktu inkubasi 24-48 jam. Semakin lama waktu inkubasi pada jumlah inokulum yang semakin tinggi, kemampuan bakteri asetogenik dalam memfermentasi glukosa menjadi asam semakin berkurang. Hal ini diduga disebabkan karena pada saat waktu lebih dari 48 jam, nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik dalam kemampuan merombak substrat mulai berkurang. Menurut Fardiaz (1988), kemampuan bakteri mulai berkurang salah satunya disebabkan faktor nutrisi yang mulai berkurang serta terbentuknya hasil – hasil metabolisme (metabolit sekunder) yang kemungkinan menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Kunaepah (2008), pada saat substrat mulai habis, mikroba menghasilkan aktivitas antibakteri untuk mempertahankan kondisi fisiologis. Sehingga kemampuan fermentasi bakteri asetogenik berkurang. Berdasarkan persentase inokulum, maka bakteri asetogenik dapat memfermentasi glukosa menjadi asam asetat secara optimal pada saat pemberian inokulum 10%. Jika dibandingkan dengan kadar glukosa tanpa ditambahkan inokulum yakni 4,9%, kadar glukosa saat ditambahkan inokulum 10% menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan bakteri merombak glukosa menjadi asam asetat meningkat pada persentase inokulum 10%. Pada saat pemberian inokulum 15% dan 20%, kadar glukosa meningkat dan proses fermentasi glukosa menjadi asam asetat kurang optimal. Hal ini menunjukkan semakin banyak inokulum kemampuan fermentasi glukosa menjadi asam semakin menurun. Menurut (Gibbson dan Westby, 1986) penggunaan konsentrasi inokulum yang terlalu tinggi dengan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat bakteri dapat menyebabkan pengurangan kemampuan bakteri. Dalam hal ini kemampuan bakteri yang berkurang adalah memfermentasi glukosa menjadi asam.

    4.2.5 Perlakuan Terbaik

    Penentuan perlakuan terbaik menggunakan metode seleksi manual berdasarkan pengujian yang dilakukan, yaitu pengukuran total asam, pengukuran pH, perhitungan total bakteri, dan

  • 39

    pengukuran kadar glukosa. Cara melakukan selesksi data adalah dengan memilih data yang terbaik pada masing – masing parameter, dimana data terbaik adalah yang memiliki notasi a. Notasi diperoleh dari pengujian DMRT (Duncan Multiple Range Test) dan BNT (Beda Nyata Terkecil). Bagi parameter yang tidak dilakukan pengujian DMRT atau tidak terdapat perbedaan nyata pada setiap kombinasi perlakuan, data dipilih keseluruhan. Penentuan perlakuan terbaik berdasarkan keseluruhan parameter uji disajikan pada Tabel 4.7.

    Tabel 4.7 Penentuan Perlakuan Terbaik

    Perlakuan Total Asam

    pH Total

    Bakteri Kadar

    Glukosa

    I1W1 3,853 5,516 7,888 2,524 I1W2 3,603 5,547 8,063 3,677 I1W3 3,498 5,569 7,896 4,868 I2W1 3,003 5,911 8,914 1,468 I2W2 3,503 5,674 7,984 4,646 I2W2 3,203 5,744 7,985 6,286 I3W1 3,153 5,882 8,150 2,548 I3W2 3,453 5,677 8,250 4,333 I3W3 3,653 5,616 9,118 5,767

    Berdasarkan Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa perlakuan yang terbaik adalah pada perlakuan I1W1, yaitu pada waktu inkubasi 24 jam dan persentase inokulum 10%. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan tersebut memiliki notasi a pada pH dan kadar glukosa, serta memiliki tanda blok pada keseluruhan baris. Selain itu perlakuan I1W1 ini merupakan perlakuan terbaik karena menghasilkan total asam asetat tertinggi, pH yang terendah, dan kadar glukosa yang rendah.

  • 40

    4.3 Pengukuran Kadar Asam Organik

    Kadar dan jenis asam organik yang terbentuk selama fermentasi diukur dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Sampel yang dianalisis adalah sampel yang terpilih sebagai perlakuan terbaik yaitu I1W1 (Waktu inkubasi 24 jam dan persentase inokulum 10%). Kadar asam organik yang analisis adalah asam asetat. Hasil analisis kadar asam organik dengan HPLC dapat dilihat pada Gambar 4.1.

    Gambar 4.1 Kromatogram sampel I1W1

    Berdasarkan hasil analisis, kadar asam asetat yang dihasilkan adalah 221,86 ppm (uL/mL). Jika dilihat pada Gambar 4.1 terdapat beberapa puncak yang menunjukkan keberadaan asam organik yang dilihat berdasarkan waktu retensi. Kromatogram sampel I1W1 menunjukkan keberadaan asam asetat pada waktu retensi 16,790 menit. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya puncak yang menunjukkan keberadaan asam organik lain pada. Jika dilihat dari luas daerah puncaknya, terdapat asam organik lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam asetat. Hal ini

  • 41

    menunjukkan asam asetat bukan merupakan asam organik yang dominan pada sampel tersebut.

    4.4 Identifikasi Morfologi Koloni dan Morfologi Sel pada Isolat Bakteri

    Isolat bakteri yang telah diperoleh diidentifikasi pada morfologi koloni dan morfologi sel. Pengamatan morfologi koloni dilakukan secara langsung meliputi kenampakan warna, bentuk, permukaan (elevasi) dan tepi koloni pada media agar pada cawan. Ketika mikroorganisme tumbuh pada media yang beragam, mikroorganisme akan menunjukkan perbedaan kenampakan pada pertumbuhannya. Perbedaan ini disebut karakteristik kultur yang berguna sebagai dasar untuk memisahkan bakteri pada klasifikasi grup (Cappucino dan Sherman, 2011). Hasil identifikasi morfologi dan pengecatan Gram dapat dilihat pada Tabel 4.8, Gambar 4.2 dan Gambar 4.3. Tabel 4.8 Identifikasi Morfologi Koloni dan Morfologi Sel pada

    Isolat Bakteri Terpilih Karakteristik Keterangan

    Morfologi Koloni - Warna Putih - Bentuk Tidak Beraturan - Elevasi Datar - Tepi Bergelombang Morfologi Sel - Pewarnaan Gram Gram Negatif - Warna Merah - Bentuk Batang

  • 42

    Gambar 4.2 Morfologi Koloni

    Gambar 4.3 Morfologi Sel

    Pada Tabel 4.8, isolat dengan kode A3-48 berdasarkan morfologi koloni, memiliki kenampakan warna putih, bentuk tidak beraturan, permukaan (elevasi) datar, dan tepi yang bergelombang. Berdasarkan morfologi sel yang diamati menggunakan mikroskop, isolat bakteri dengan kode A3-48 merupakan bakteri Gram negatif karena saat diamati menggunakan mikroskop bakteri tersebut berwarna merah dengan bentuk batang. Bakteri Gram negatif berwarna merah karena kompleks warna tersebut larut sewaktu pemberian larutan pemucat dan kemudian mengambil zat warna kedua yang berwarna merah (Waluyo, 2010). Cappucino dan Sherman (2011) menyatakan, pengecatan Gram pada dasarnya merupakan alat untuk mengklasifikasikan dan membedakan mikrooganisme dengan membagi bakteri sel bakteri menjadi dua grup utama yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Berdasarkan penelitian dari Pastra dkk (2012) tentang fermentasi

    Perbesaran 400x

  • 43

    glukosa menjadi asam, bakteri yang berperan adalah bakteri Gram negatif. 4.5 Identifikasi Biokimia

    Identifikasi biokimia isolat bakteri asetogenik terpilih dilakukan menggunakan microbact kit 24E. Hasil identifikasi biokimia disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Hasil Identifikasi Biokimia

    Karakteristik Hasil

    Lysine - Ornithine -

    H2S - Glucose - Mannitol - Xylose + ONPG - Indole - Urease -

    V-P - Citrate - TDA -

    Gelatin - Malonate - Inositol - Sorbitol -

    Rhamnose - Sucrose - Lactose -

    Arabinose - Adonitol -

    Raffinose - Salicin -

    Keterangan : + : Positif - : Negatif

  • 44

    Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa nilai positif diperoleh pada xylose. Artinya isolat bakteri ini mampu memfermentasi xylose. Menurut Mohagheghi et al (2002) mikroorganisme yang dapat memfermentasi xylose sensitif terhadap glucose catabolite repression, yaitu represi oleh glukosa dari enzim katabolic yang diperlukan untuk katabolisme karbohidrat selain glukosa. Represi katabolit terjadi ketika glukosa (produk awal metabolisme) menekan sintesis berbagai enzim respirasi. Sedangkan pada karakteristik yang lain yakni lysine, ornithine, H2S, glucose, mannitol, ONPG, indole, urease, V-P, citrate, TDA, gelatin, malonate, inositol, sorbitol, rhamnose, sucrose, lactose, arabinose, adonitol, raffinose, salicin, dan arginine diperoleh hasil negatif. Berdasarkan uji oksidase, isolat bakteri ini memiliki karakteristik oksidase negatif. Uji oksidase bertujuan untuk mengetahui bakteri yang menghasilkan enzim sitokrom oksidase. Pada uji oksidase ini digunakan reagen. Reagen tersebut merupakan indikator dalam mengukur aktivitas enzim sitokrom oksidase yang terjadi pada bakteri. Enzim sitokrom oksidase merupakan enzim kompleks yang berperan dalam fosforilasi oksidatif (Pratita dan Putra, 2012). Hasil pada isolat bakteri tidak terjadi perubahan warna setelah direaksikan dengan reagen. Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang tidak memiliki enzim sitokrom oksidase. Hasil reaksi pada masing-masing uji akan mendapatkan kombinasi angka yang selanjutnya dengan menggunakan program (software) untuk mengetahui spesies bakteri. Berdasarkan identifikasi menggunakan software microbact isolat bakteri terpilih memiliki kedekatan dengan spesies Acinetobacter sp dengan probabilitas sebesar 51,25%. Acinetobacter sp berbentuk sel batang. Diameter koloni 0,1 - 0,3 μm. Koloni muncul di atas permukaan media NA. Koloni berwarna putih. Permukaan koloni mengkilat. Termasuk ke dalam bakteri gram negatif. Suhu pertumbuhan optimum 33 - 35°C. Termasuk pada bakteri yang tidak mampu bergerak (Nugroho, 2012). Kelompok Acinetobacter dapat diaplikasikan untuk kepentingan lingkungan dan bioteknologi. Strain Acinetobacter juga dapat menjadi bakteri fermentasi untuk produksi sejumlah produk ekonomi ekstra dan

  • 45

    intraseluler seperti D-galactose, asam propionat, asam amino (Haleem, 2003). Beberapa spesies Acinetobacter sp memiliki kapasitas menghasilkan asam dari glucose, xylose, galactose, manose, rhamnose dan lactose. Strain Acinetobacter sp yang lainnya memiliki aktivitas metabolisme yang terbatas. Hasil uji katalase positif dan memiliki reaksi negatif untuk bebeberapa substrat lain. Klasifikasi spesies dalam kelompok Acinetobacter seringkali sulit dilakukan karena diperlukannya tes tambahan. Studi tentang sequencing (DNA) diperlukan untuk menentukan spesies dan menentukan hubungan antara organisme yang berbeda (Constantiniu et al., 2014).

  • 46

  • 47

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    1. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah kombinasi perlakuan terbaik pada isolat bakteri asetogenik dalam menghasilkan total asam adalah I1W1, yakni waktu inkubasi 24 jam dan persentase inokulum 10%. Pada perlakuan ini kadar asam asetat yang dihasilkan adalah 3,853%, pH 5,544, total bakteri 7,7 x 107 CFU/ml, dengan kadar glukosa 2,5237%.

    2. Karakteristik dari isolat bakteri asetogenik terpilih secara morfologi koloni yaitu memiliki kenampakan warna putih, bentuk tidak beraturan, permukaan (elevasi) datar, dan tepi yang bergelombang. Berdasarkan morfologi sel, isolat bakteri merupakan bakteri Gram negatif bentuk batang. Berdasarkan identifikasi secara biokimia, isolat bakteri ini adalah Acinetobacter sp dengan probabilitas 51,25%.

    5.2 Saran

    1. Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penentuan fase pertumbuhan bakteri terlebih dahulu agar diketahui waktu yang tepat saat bakteri menghasilkan produk asam asetat dengan kadar gula yang optimal.

  • 48

  • 49

    DAFTAR PUSTAKA

    Alexiou, I.E. 1998. A Study of Pre-Acidification Reactor Design For Anaerobic Treatment of High Strength Industrial Wastewaters. Thesis. Faculty of Science, Agriculture and Engineering. Newcastle University. Tyne and Wear NE1 7RU.

    Aneja, K.R. 2003. Experiments in Microbiology, Plant

    Pathology and Biotechnology. New Age International. New Delhi.

    Appels, L., Baeyens, J., Degreve, J., Dewil, R. 2008. Principles

    and Potential of the Anaerobic Digestion of Waste-Activated Sludge. Progress in Energy and Combustion Science. 34(1): 755–781.

    Aquino, A.C.M.D.S., Azevedo, M.S., Ribeiro, D.H.B., Costa,

    A.C.O., Amante, E.R. 2015. Validation of HPLC and CE Methods For Determination of Organic Acids in Sour Cassava Starch Wastewater. Food Chemistry. 172(): 725 – 730.

    Astawan, M. 2007. Nata De Coco. Skripsi. Fakultas Teknologi

    Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balch, W.E., Wolfe, R.S. 1976. New Approach to the

    Cultivation of Methanogenic Bacteria: 2-Mercaptoethanesulfonic Acid (HS-CoM)-Dependent Growth of Methanobacterium Ruminantiumin a Pressureized Atmosphere. Applied and Environmental Microbiology. 32(6): 781 – 791.

    Batstone, D.J., Keller, J., Angelidaki, I., Kalyuzhny, S.V., Pavlo

    Stathis, S.G., Rozzi, A. 2002. Anaerobic Digestion Model No.1 (ADM1). IWA Publishing. London.

  • 50

    Bredwell, M.D., Srivastava, P., Worden, R.M. 1999. Reactor

    Design Issues for Synthesis Gas Fermentations. Journal Biotechnology Program. 15(5): 834 – 844.

    Bruce, E.L., Sang, E.O., SK, In., Steven, V.G. 2002. Biological

    Hydrogen Production Measured in Batch Anaerobic Respirometers. Environment Science Technology. 36(11): 2530 – 2535.

    Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., Wooton, M. 1985. Ilmu

    Pangan (diterjemahkan oleh Purnomo, H dan Adiono). UI Press. Jakarta.

    Budiyono., Khaerunnia G., Rahmawati, I. 2013. Pengaruh pH

    dan Rasio COD:N Terhadap Produksi Biogas dengan Bahan Baku Limbah Industri Alkohol (Vinasse). Jurnal Teknik Kimia. 11(1): 1 – 7.

    Cappucino, J.G., and Sherman, N. 2011. Microbiology: A

    Laboratory Manual. Ninth Edition. Pearson Education, Inc. San Fransisco.

    Christy, E.M.L., Sampson, N.M., Edson, L.M. Anthony, I.O.,

    Golden, M., Michael,S. 2014. Microbial Anaerobic Digestion (Bio-Digesters) as an Approach to the Decontamination of Animal Wastes in Pollution Control and the Generation of Renewable Energy. Report Information from ProQuest 07 August 2014 00:43

    Constantiniu, S., Romaniuc, A., Lancu, L.S., Filimon, R., Tarasi,

    L. 2004. Cultural and Biochemical Characteristics of Acinetobacter sp. Strains Isolated from Hospital Units. The Journal of Preventive Medicine. 12 (3-4): 35 – 42.

    Cortes, T.R., Olvera, V.R., Jimenes, G.R., Lepe, M.R. 2012.

    Isolation and Characterization of Acetic Acid Bacteria

  • 51

    in Cocoa Fermentation. African Journal of Microbiology Research. 6(2): 339-347.

    Deublein, D., Steinhauser, A. 2008. Biogas from Waste and

    Renewable Resources. Wiley – VCH. Weinheim. Diekert, G., Wohlfarth, G. 1994. Metabolism of

    Homoacetogens. Journal Antonie van Leeuwenhoek. 66(1): 209–221.

    Djide, M.N. dan Sartini. 2008. Isolasi, Identifikasi Bakteri Asam

    Laktat dari Kol Brassica oleracea L. dan Potensinya sebagai Antagonis Vibrio harveyi In Vitro. Torani. 18(3): 211 – 216.

    Djide, M.N. dan Wahyuddin, E. 2008. Isolasi Bakteri Asam

    Laktat dan Air Susu Ibu dan Potensinya dalam Penurunan Kadar Kolestrol Secara in Vitro. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 12(3): 73 – 78.

    Drake, H.L., Gossner, A.S., Daniel, S.L. 2008. Old Acetogens,

    New Light. Annals of the New York Academy of Science. 1125 (2008) 100–128. doi: 10.1196/annals.1419.016.

    Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB. Bogor. Fontaine, F.E., Peterson, W.H., McCoy, E., Johnson, M.J., Ritter,

    G.J. 1942. A New Type of Glucose Fermentation by Clostridium thermoaceticum. Journal Bacteriological. 43(6): 701 – 715.

    Foxon, K.M., Buckley, C.A., Brouckaert, C.J., Dama, P., Mtembu,

    Z., Rodda,N., Smith, M., Pillay, S., Arjun, N., Lalbahadur, T., and Bux, F. 2006. The Evaluation of the Anaerobic Baffled Reactor for Sanitation in Dense Perl-Urban Settlements. Report to the Water Research Commission. Durban.

  • 52

    Gaman, P.M., dan Sherrington, K.B. 1994. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

    Gandjar, I., Koentjoro, I.R., Mangunwardoyo, W., Soebagya, L.

    1992. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Dasar. Fakultas MIPA. Universitas Indonesia. Jakarta.

    Garbutt, J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold.

    London. Gibbson, W.R. and Westby, C.A. 1986. Effect of Inoculum Size

    on Solid-Phase Fermentation of Fodder Beets for Fuel Ethanol Production. Journal Applied an Environmental Microbiology. 5(2) : 960-962.

    Griffin, M.E., Mc Mahon, K.D., Mackie, R.I., Raskin, L. 1998.

    Methanogenic Population Dynamics during Start-Up of Anaerobic Digesters Treating Municipal Solid Waste and Biosolid. Biotechnology and Bioengineering Journal. 57(3): 342-355.

    Hafid, H.S., Rahman, N.A.B., Aziz, S.A., Hassan, M.A. 2011.

    Enhancement of Organic Acids Production from Model Kitchen Waste via Anaerobic Digestion. African Journal of Biotechnology. 10(65): 14507 - 14515.

    Haryanto, M. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri

    Asetogenik Pada Proses Biodegradasi Anaerob Limbah Cair Tahu. Tesis. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

    Hidayat, N., Padaga, M.C., Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi

    Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Demain, A.L and Davies, J.E. 1999. Manual of Industrial

    Microbiology and Biotechnology. ASM Press. Washington.

  • 53

    Haleem, D.A.E. 2003. Acinetobacter: Environmental and Biotechnological Applications. African Journal of Biotechnology. 2(4): 71 – 74.

    Hunter, I.S. 1999. Microbial Synthesis of Commercial Product

    and Strain Improvement. Dalam: El-mansi, E.M.T. dan Bryce, C.F.A. 1999. Fermentation Microbiology and Biotechnology.Taylor Inc. London.

    Husni, H. dan Esmeralda. 2010. Uji Toksisitas Akut Limbah

    Cair Industri Tahu Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Lin). Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Andalas. Padang.

    Johnson, W.K. 2000. Chemical Economics Handbook:

    Marketing Research Report Acetic Acid. Taylor and Francis. Washington DC.

    Kaswinarni, F. 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat

    dan Cair Industri Tahu. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang.

    Kellum, R and Drake, H.L. 1984. Effects of Cultivation Gas

    Phase on Hydrogenase The Acetogen Clostridium Thermoaceticum. Journal Bacteriological. 160(1): 466 – 469.

    Klasson, K.T., Ackerson, M.D., Clausen, EC., Gaddy, J.L. 1992.

    Bioconversion of Synthesis Gas into Liquid or Gaseous Fuels. Enzyme and Microbial Technology. 14(8): 602 – 608.

    Koutsomanis, K.P., Sofos, J.N. 2005. Effect of Inoculums Size

    on the Combined Temperature, pH and aw Limits for Growth of Listeria monocytogenes. Bioresource Technology. 104(1): 83 - 91.

  • 54

    Kunaepah,U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi dan Konsentrasi Glukosa Terhadap Aktivitas Antibakteri, Polifenol Total dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Merah. Tesis. Program Magister Gizi Masyarakat. Universitas Diponegoro. Semarang.

    Kundera, I.N., Aulanni’am., Santoso, S. 2014. Ekspresi Protein

    ADHF36 Strain Salmonella typhi Dari Beberapa Daerah Di Indonesia. Jurnal Kedokteran Hewan. 8(1): 12 – 17.

    Leon,L., Lundie,J.R., Drake,H.L. 1984. Development of a

    Minimally Defined Medium for the Acetogen Clostridium thermoaceticum. Journal of Bacteriology. 159(2) : 700-703.

    Li, Y., Park, S.Y., Zhu, J. 2011. Solid-State Anaerobic

    Digestion for Methane Production from Organic Waste. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 15(1): 821 – 826.

    Lunggani, A.T. 2007. Kemampuan Bakteri Asam Laktat Dalam

    Menghambat Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin B2 Aspergilllus flavus. Bioma. 9(2) : 45 – 51.

    Madigan, M.T., Martinko, J.M., Parker, J. 2010. Biology of

    Microorganisms. Pearson Education, Inc. New Jersey. Maghanaki, M.M., Ghobadia, B., Najafi, G., and Galogah, J. 2013.

    Potential of Biogas Production in Iran. Renewable and Sustainable Energy Review. 28: 702-714.

    MetCalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment,

    Disposal and Reuse, 4th ed. McGraw Hill Book Co. New York.

    Mohagheghi, A., Evans, K., Chou, Y., Zhang, M. 2002.

    Cofermentation of Glucose, Xylose, and Arabinose by

  • 55

    Genomic DNA–Integrated Xylose/Arabinose Fermenting Strain of Zymomonas mobilis AX101. Applied Biochemistry and Biotechnology. 98(2): 885 – 898.

    Muchtadi, D., Betty, S.K. 1980. Petunjuk Praktek Mikrobiologi

    Hasil Pertanian 2. Departemen Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan. Jakarta.

    Mushlihah, S. dan Herumurti, W. 2011. Pengaruh pH dan

    Konsetrasi Zymomonas mobilis Untuk Produksi Etanol dari Sampah Buah Jeruk. Skripsi. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

    Myrasandri, P dan Mindriany, S. 2003. Degradasi Senyawa

    Organik Limbah Cair Tahu dalam Anaerobik Baffled Reactor. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

    Nie,Y., Liu, H., Du, G., Chen, J. 2007. Enhancement of Acetate

    Production by a Novel Coupled Syntrophic Acetogenesis with Homoacetogenesis Process. Process Biochemistry. 42(4): 599 – 605.

    . 2008. Acetate Yield Increased

    By Gas Circulation and Fed-Batch Fermentation in a Novel Syntrophic Acetogenesis And Homoacetogenesis Coupling System. Bioresource Technology. 99(8): 2989–2995.

    Nugroho, R.A.J. 2012. Hubungan Faktor Risiko Terjadinya

    Acinetobacter sp Mdro Terhadap Kematian Penderita Sepsis Di Rumah Sakit Dr.Kariadi Semarang. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.

    Nurfajarwati, W. 2006. Produksi β-glukan dari Saccharomyces

    cerevisiae dengan Variasi Sumber Nitrogen. Skripsi.

  • 56

    Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Oxoid. 2015. Manual Identification Systems. Diakses 21 Juli

    2015. http://www.oxoid.com/pdf/uk/M-bact-Gram-Neg.pdf Pastra, D.A., Melki., Surbakti, H. 2012. Penapisan Bakteri yang

    Bersimbiosis dengan Spons Jenis Aplysina sp sebagai Penghasil Antibakteri dari Perairan Pulau Tegal Lampung. Jurnal Maspari. 4(1) : 77 – 82.

    Plaza, G., Robredo, P., Pachec, O., Saravia Toledo, A. 1996.

    Anaerobic Treatment of Municipal Solid Waste. Journal Water Science Technology. 33(3): 169 - 175.

    Pelczar, M.J dan Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar

    Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Pratita, M.Y.E. dan Putra, S.R. 2012. Isolasi dan Identifikasi

    Bakteri Termofilik Dari Sumber Mata Air Panas di Songgoriti Setelah Dua Hari Inkubasi. Jurnal Teknik Pomits. 1(1): 1-5.

    Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. PAU

    Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Ragsdale, S.W. dan Pierce, E. 2008. Acetogenesis and the

    Wood-Ljungdahl Pathway of CO2 Fixation. Biochimia et Biophysica Acta. 1784(12): 1873 – 1898.

    Rao, A.S. 2006. Introduction to Microbiology. Prentice-Hall of

    India Private Limited. New Delhi. Ruggeri, B., Tommasi, T., Sassi, G. 2009. Experimental

    Kinetics and Dynamics of Hydrogen Production on Glucose by Hydrogen Forming Bacteria (HFB) Culture. International Journal of Hydrogen Energy. 34(2): 753 – 763.

  • 57

    Saady, N.M.C. 2013. Homoacetogenesis During Hydrogen Production by Mixed Cultures Dark Fermentation: Unresolved Challenge. International Journal of Hydrogen Energy. 38(30): 13172 - 13191.

    Sabo, S.D.S., Vitolo, M., Gonzales, J.M.D., Oliveira, R.P.D.S.

    2014. Overview of Lactobacillus plantarumas a Promising Bacteriocin Producer Among Lactic Acid Bacteria. Food Research International. 64(3): 527 – 536.

    Saccaro, D.M., Hirota, C.Y., Tamime, A.Y., dan Oliveira, M.N.

    2012. Evaluation of Different Selective Media for Enumeration of Probiotic Microorganisms in Combination with Yogurt Starter Cultures in Fermented Milk. African Journal of Microbiology Research. 6(10): 2239 – 2245.

    Said, E. G. 2006. Bioindustri: Penerapan Teknologi

    Fermentasi. PT.Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Sakai S, Nakashimada Y, Yoshimoto H, Watanabe S, Okada H,

    Nishio N. 2004. Ethanol Production from H2 and CO2 by a Newly Isolated Thermophilic Bacterium, Moorella sp. HUC22-1. Biotechnology Journal. 26(20): 1607 – 1612.

    Salle, A.J. 1982. Fundamental Principles of Bacteriology 5ed.

    Mc Grawhil Book Co, Inc. New York. Santoso, A.A. 2010. Produksi Biogas Dari Limbah Rumah

    Makan Melalui Peningkatan Suhu dan Penambahan Urea Pada Perombakan Anaerob. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

    Saputra, B. 2010. Uji Kecernaan Tepung Limbah Udang yang

    Difermentasi Beberapa Level Bakteri Serratia marcescens pada Ayam Pedaging Jantan Umur 6

  • 58

    Minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

    Seghezzo, L. 2004. Anaerobic Treatment of Domestic

    Wastewater in Subtropical Regions. Thesis. Wageningen University. Wageningen, Netherlands.

    Seeley, H.W., Vanden Mark, P.W. and Lee, J.J. 2001. Microbes

    in Action. A Laboratory Manual of Microbiology 4 edition. W.H. Freeman. New York.

    Septyana, S.Y., Hidayat, N., Anggarini, S. 2014. Efektivitas

    Sistem Wastewater Double Treatment dengan Kombinasi Biofilter Anaerob-Aerob Pada Proses Pengolahan Limbah Cair Tahu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

    Shafiee, G., Mortazavian, M., Mohammadifar, M.A., Koushki,

    M.R., dan Mohammadi, A. 2010. Combined Effects of Dry Matter Content, Incubation Temperature and Final pH of Fermentation on Biochemical and Microbiological Characteristics of Probiotic Fermented Milk. African Journal of Microbiology Research. 4(12): 1265 – 1274.

    Sharafi,S.M., Rasooli,I., Beheshti,M.K. 2010. Isolation,

    Characterization and Optimization of Indigenous Acetic Acid Bacteria and Evaluation of Their Preservation Methods. Iranian Journal of Microbiology. 2(1) : 41 – 48.

    Schink, B. 1997. Energetics of Syntrophic Cooperation In

    Methanogenic Degradation. Microbiology and Molecular Biology. 61(2): 262 – 280.

    Slater, J.H. 1981. Mixed Culture and Microbial Communities.

    In : Mixed Culture Fermentation. Academic Press. London.

  • 59

    Sim, J.H., Kamaruddin, A.H., Long, W.S. 2008. Biocatalytic

    Conversion of CO to Acetic acid by Clostridium aceticum – Medium Optimization Using Response Surface Methodology (RSM). Biochemical Engineering Journal. 40(2): 337 – 347.

    Sim, J.H., Kamaruddin, A.H., Long, W.S., Najafpour, G. 2007.

    Clostridium aceticum – a Potential Organism in Catalyzing Carbon Monoxide to Acetic Acid: Application of Response Surface Methodology. Journal of Enzyme Microbial Technology. 40(5): 1234 – 1243.

    Singleton, P and Sainsbury, D. 2006. Dictionary of

    Microbiology and Molecular Biology 3rd Edition. John Wiley and Sons Inc. West Sussex, England.

    Siregar, M.N.H., Radiati, L.E., Rosyidi, D. 2014. Pengaruh

    Penambahan Berbagai Konsentrasi Kultur dan Lama Pemeraman Pada Suhu Ruang Terhadap pH, Viskositas, Kadar Keasaman dan Total Plate Count (TPC) Set Yogurt. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.

    Smejkal, Q., Linke, D., Baerns, M. 2005. Energetic and

    Economic Evaluation of the Production of Acetic Acid via Ethane Oxidation. Chemical Engineering and Processing. 44(4): 421–428.

    Song, H., Clarke, W.P., Blackall, L.L. 2005. Concurrent

    Microscopic Observations and Activity Measurements of Cellulose Hydrolyzing and Methanogenic Populations during the Batch Anaerobic Digestion of Crystalline Cellulose. Journal Biotechnology Bioengineering. 91(3): 369 – 378.

  • 60

    Spath, P.L., Dayton, D.C., 2003. Preliminary Screening – Technical and Economic Assessment of Synthesis Gas to Fuels and Chemicals with Emphasis on the Potential for Biomass-Derived Syngas. NREL (National Renewable Energy Laboratory). Golden, Clorado.

    Suciati, A., Muntalif, B.S. 2011. Dinamika Pertumbuhan

    Mikroorganisme yang Berperan Pada Degradasi Biowaste Dalam Reaktor Anaerob Tercurah. Skripsi. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

    Sudarmadji, S., Bambang H., dan Suhardi, 1997. Prosedur

    Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

    Suprihatin., Perwitasari, D.C. 2010. Pembuatan Asam Laktat

    Dari Limbah Kubis. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono. Surabaya, 24 Juni 2010.

    Suwandi, D.A. 2012. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Resisten

    Terhadap Antibiotik dari Sampel Tanah Di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.

    Tabassum, R., dan Rajoka, M.I. 2000. Methanogenesis of

    Carbohydrates and Their Fermentation Products by Syntrophic Methane Producing Bacteria Isolated From Freshwater Sediments. Bioresource Technology. 72(3): 199 – 205.

    Thontowi, A., K