BAB 1 PENDAHULUAN Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks, yang berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah atau kesehatan tersebut. Status kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Blum (1974) yaitu faktor keturunan, faktor pelayanan kesehatan, faktor perilaku dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan (Anonim, 2005). Lingkungan merupakan salah satu peran penting dan berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan masyarakat. Lingkungan juga merupakan determinan dalam menularkan dan munculnya suatu penyakit, baik menular maupun tidak menular. Usaha memperbaiki atau meningkatkan kondisi lingkungan ini 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1PENDAHULUAN
Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks,
yang berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri.
Demikian pula pemecahan masalah kesehatan, tidak hanya dilihat dari segi
kesehatannya sendiri tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya
terhadap masalah atau kesehatan tersebut. Status kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Blum (1974) yaitu faktor
keturunan, faktor pelayanan kesehatan, faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
status kesehatan (Anonim, 2005).
Lingkungan merupakan salah satu peran penting dan berpengaruh positif
terhadap terwujudnya status kesehatan masyarakat. Lingkungan juga merupakan
determinan dalam menularkan dan munculnya suatu penyakit, baik menular
maupun tidak menular. Usaha memperbaiki atau meningkatkan kondisi
lingkungan ini dari masa ke masa, dan dari masyarakat satu kemasyarakat lain,
bervariasi dan bertingkat-tingkat, dari yang sederhana sampai kepada yang
modern. Lingkungan tempat tinggal merupakan tempat yang potensial
mempengaruhi kesehatan anggota keluarga. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan anggota keluarga antara lain faktor fisik, faktor kimia,
dan faktor biologis yang mencakup lingkungan, cuaca, iklim serta faktor
individunya sendiri (Anonim, 2005).
1
Menurut Achmadi (2011), kejadian penyakit merupakan hasil hubungan
interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang
memiliki bibit penyakit atau agent penyakit yang berpotensi menimbulkan
penyakit. Perilaku hidup tidak sehat dapat disebut sebagai faktor risiko kesehatan
dan komponen lingkungan yang tidak baik merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit. Lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit apabila dalam
komponen lingkungan tersebut mengandung satu atau lebih agent penyakit seperti
mikroorganisme, senyawa kimia maupun energi yang diradiasikan (Slamet, 2002).
Infeksi cacing dan penyakit yang disebabkan helminthiasis amat besar
angkanya yaitu kira-kira 2 milyar orang terkena di seluruh dunia. Helminthiasis
(cacingan) ini menjadi penyakit umum terutamanya di negara-negara miskin dan
juga negara-negara yang sedang membangun. Dimana terdapat masalah
kemiskinan, kurang nutrisi, kurang sanitasi serta kurang pemahaman tentang
kesehatan.
Penyakit cacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya
parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Soil Transmitted Helminths
(STH) adalah cacing yang menginfeksi usus manusia dimana penularannya
melalui tanah. STH berupa cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk
(Trichiuris trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus). Populasi pada sebagian besar belahan dunia yang terinfeksi STH
kira-kira 807-1.121 juta oleh cacing gelang, kira-kira 604-795 juta oleh cacing
cambuk, kira-kira 576-740 juta oleh cacing tambang (Pangestika, 2007).
2
Hubungan kesehatan anak dengan infeksi cacing dalam beberapa
penelitian bahwa anak usia sekolah dasar merupakan golongan tertinggi terutama
infeksi cacing yang penularannya dengan tanah (Soil Transmitted Helminths)
(Depkes RI, 2004). WHO, (2004) juga menyatakan pada anak-anak umur 5-15
tahun yang paling tinggi terinfeksi cacing. Infeksi oleh Soil Transmitted
Helminths sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar karena anak pada usia ini
paling sering kontak dengan tanah (Chin, 2006).
Enterobiasis atau penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia
yang disebabkan oleh cacing E. Vermicularis. Enterobiasis merupakan infeksi
cacing yang terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan infeksi cacing lainnya.
Hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang erat antara parasit ini dengan
manusia dan lingkungan sekitarnya. Parasit ini lebih banyak didapatkan diantara
kelompok dengan tingkat sosial yang rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pada
orang-orang dengan tingkat sosial tinggi (Chin, 2006).
Cacingan merupakan penyakit yang cukup akrab dikalangan anak-anak
Indonesia. Mulai dari yang berukuran besar seperti cacing perut sampai yang kecil
seperti cacing kremi (pinworm). Cacing kremi atau Oxyuris vermicularis atau
Enterobius vermicularis adalah parasit yang hanya menyerang manusia dan
penyakitnya disebut Oxyuriasis atau Enterobiasis (Chin, 2006).
Enterobiasis merupakan penyakit keluarga yang disebabkan oleh
mudahnya penularan telur baik melalui pakaian maupun alat rumah tangga
lainnya. Anak berumur 5-15 tahun lebih sering mengalami infeksi cacing E.
3
Vermicularis dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih bisa menjaga
kebersihan dibandingkan anak-anak (Chin, 2006).
Pertumbuhan telur cacing tergantung pada tingkat pertumbuhan,
temperatur dan kelembaban udara. Telur cacing rusak pada temperatur 450C
dalam waktu 6 jam. Udara yang dingin dan ventilasi yang jelek merupakan
kondisi yang baik untuk pertumbuhan telur cacing (Chin, 2006).
Penduduk Indonesia yang rata-rata pendidikannya masih rendah yaitu
penduduk desa. Mereka kurang memperhatikan kebersihan diri sendiri apalagi
lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana bisa
mencukupi kebutuhan untuk hidup. Sebagian besar penduduk desa mencukupi
kebutuhan hidup dengan memanfaatkan alam, misalnya menjadi petani atau
peternak.
Penyakit yang berbasis lingkungan paling sering ditemukan adalah ISPA.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan,
faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi
pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian
rumah. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi,
vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan
pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini
adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu
ataupun anggota keluarga lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah
4
satu kebutuhan pokok manusia yang berfungsi sebagai tempat
tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari
gangguan iklim dan makhluk lainnya, serta tempat
perkembangan kehidupan keluarga. Kondisi fisik rumah dan
lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan merupakan
faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit (Anonim, 2005).
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang
dan pangan, sehingga rumah harus sehat agar penghuninya dapat bekerja secara
produktif. Konstruksi rumah dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit,
khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan tahun 1995 penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) yang merupakan penyebab kematian terbanyak kedua
erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat (Anonim,
2005).
1.1 Tujuan
Kegiatan keluarga binaan bertujuan untuk :
a. Mencari faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit enterobiasis
pada anggota keluarga.
b. Menilai secara keseluruhan kondisi tempat tinggal dan lingkungan untuk
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi maslaah kesehatan dalam
keluarga.
5
c. Melakukan diagnosis dan penatalaksanaan secara paripurna baik
farmakologi dan nonfarmakologi atas masalah kesehatan yang terjadi
dalam keluarga.
d. Menciptakan kebiasaan untuk berprilaku hidup bersih dan sehat bagi
semua anggota keluarga.
1.2 Manfaat
Adapun manfaat dari kegiatan keluarga binaan ini adalah :
a. Memperoleh gambaran mengenai faktor risiko yang mempengaruhi
masalah kesehatan khususnya penyakit enterobiasis pada keluarga.
b. Memperoleh deskripsi mengenai tempat tinggal dan lingkungan guna
perbaikan untuk meningkatkan taraf kesehatan keluarga.
c. Memperoleh diagnosis tepat dan penatalaksanaan dapat dilakukan secara
menyeluruh melibatkan seluruh anggota keluarga.
d. Menambah pengetahuan anggota keluarga untuk menerapkan prilaku
hidup bersih dan sehat untuk meningkatkan kesehatan diri.
6
BAB 2LAPORAN KEGIATAN HOMEVISIT PASIEN
2.1 Masalah Kesehatan Utama
Hal yang menjadi masalah utama dalam keluarga binaan ini adalah
penyakit Enterobiasis Vermicularis.
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : S.A
Umur : 4 tahun 10 bulan
Tanggal lahir : 1 Mei 2010
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan : -
Alamat : Desa Ujong, kec.Samudra
Tanggal Pemeriksaan : 5 Maret 2015
TB : 98 cm
BB : 12 kg
Status Gizi :
BB/U : -3 SD s/d < -2 SD (Gizi Kurang)
TB/U : < -3 SD s/d 2 SD (Pendek)
2.1.2 Anamnesis (Alloanamnesis)
a. Keluhan Utama : sakit perut
b. Keluhan Tambahan : gatal-gatal pada anus
7
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa oleh ibunya ke Puskesmas Samudera dengan keluhan sakit
perut yang dirasakan sejak ± 1 minggu yang lalu, sakit perut dirasakan hilang
timbul biasanya disertai dengan mual. Ibu pasien juga mengatakan pasien sering
mengeluhkan gatal pada anus yang dirasakan sejak ± 2,5 tahun yang lalu, gatal
memberat pada malam hari disertai dengan keluarnya cacing halus berwarna
putih, sehingga pasien tidak bisa tidur karena gatal. Orang tua pasien mengatakan
pasien senang bermain tanah dan tidak memakai sendal ketika bermain. Orang tua
pasien juga mengatakan nafsu makan pasien menurun dan pasien semakin rewel
dari biasanya.
Ibu pasien juga mengatakan bahwa anaknya mengalami batuk berdahak sejak
3 hari yang lalu. Riwayat demam 1 hari sebelum ke puskesmas.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan bahwa sebelumnya anaknya juga mengalami batuk
berdahak dan sering keluar cacing putih kecil pada lubang anus.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.
Family Genogram
8
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien (SA)
f. Riwayat Penggunaan Obat
Os belum pernah diberikan obat cacing.
g. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sering bermain tanah dan pasir namun tidak memakai sandal.
Pasien jarang mencuci tangan sebelum makan dan setelah bermain kecuali
diperintahkan orang tua.
Lingkungan sekitar rumah pasien sering membakar sampah didepan
rumah masing-masing yang menyebabkan polusi udara sekitar.
h. Riwayat ImunisasiDasar Ulangan Anjuran
1. BCG + - - - 6. HIB -
2. DPT + + + - - - 7. MMR -
3. POLIO + + + - - - 8. Hep A -
4. Hep B + + + - - - 9. Cacar air -
5. Campak + - - -
Kesimpulan : Imunisasi dasar lengkap
i. Riwayat Tumbuh Kembang Anak
Berdasarkan anamnesa dari ibunya pasien SA bisa berbalik badan pada usia 3
bulan, mulai bisa duduk dan merangkak pada usia 8 bulan. Pada usia 9 bulan, SA
9
sudah mampu untuk berdiri dan mulai bisa berjalan pada usia 12 bulan. Pasien
bisa berbicara pada usia 11 bulan.
Keluarga SA
Tabel 2.1 Data Dasar Keluarga SANama Status
KeluargaJenis
KelaminUsia(thn)
Pendi-dikan
Pekerjaan Penghasilan
Tn.S Kepala Rumah Tangga
Laki-Laki 40th SD Pengrajin Kayu
Rp.70.000,-/hari
Ny.B Istri Perempuan 34th SD IRT -BA Anak ke-1 Perempuan 12 SD Siswa -KK Anak ke-2 Perempuan 10 SD Siswa -
SA Anak ke-3 Perempuan 4 - - -MF Anak ke-4 Laki-laki 11bln - - -
Keluarga SA tinggal di desa Ujong, Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh
utara. SA merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara, SA tinggal bersama kedua
orang tuanya beserta 3 orang saudaranya. Ayah SA adalah seorang pengrajin kayu
yang memiliki penghasilan tidak tetap. Rata-rata penghasilan ayah SA adalah
sebesar Rp 70.000,00 per harinya. Ibu SA adalah seorang ibu rumah tangga yang
sehari-hari mengurusi keluarganya.
Keluarga mereka hanya berharap pada pendapatan ayahnya untuk
melangsungkan hidup. Berdasarkan status ekonomi menurut Friedman (2004),
keluarga SA termasuk ekonomi tipe kelas bawah dengan penghasilan < 500.000
dan berdasarkan tingkat ekonomi keluarga menurut Geimar dan Lasorte (1964),
keluarga SA termasuk kriteria sangat miskin oleh karena manajemen keuangan
sangat jelek, termasuk pengeluaran saja dan kurang tersedianya kebutuhan dasar.
SA mengalami keluhan gatal-gatal anus yang dideritanya setelah ia main
tanah. Rumah mereka merupakan rumah bantuan tsunami berdinding bata dan
10
semen, beratapkan seng, dipagari oleh pagar kayu. Keadaan rumah keluarga SA
terkesan dapat melindungi anggota keluarga dengan maksimal dari perubahan
cuaca atau iklim sehingga tidak rentan terhadap penyakit. Selain itu kamar tidur
keluarga SA juga tergolong dalam kriteria sehat, terdapat ventilasi dan jendela.
Mereka tidur bersama dan memakai kelambu. Selain itu, ayah SA memiliki
kebiasaan merokok di dalam rumah yang dapat menambah resiko buruknya
kesehatan anggota keluarga.
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Frekuensi Jantung : 92 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur : 36.3 0C (aksila)
b. Status General
Kulit
Warna : sawo matang
Turgor : cepat kembali
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Kepala
Bentuk : Kesan Normocephali
11
Rambut : Tersebar rata, Sukar dicabut, Berwarna hitam.
Mata : Cekung (-), Refleks cahaya (+/+), Sklera ikterik (-/-),
konj.palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (+), gigi tanggal (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Peningkatan TVJ : R - 2 cmH2O
Axilla
Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris, (+)
Tipe Pernafasan : Abdominal Thoracal
12
Retraksi : (-)
2. PalpasiStem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
3. PerkusiParu kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
4. AuskultasiSuara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (+) Wh (-) Rh (+) Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-) Wh (-) Rh (-) Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-) Wh (-) Rh (-) Wh (-)
Thorax belakang
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris, (+)
Tipe Pernafasan : Abdominal Thoracal
Retraksi : (-)
13
2. PalpasiStem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
3. PerkusiParu kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
4. Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (+) Wh (-) Rh (+) Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-) Wh (-) Rh (-) Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-) Wh (-) Rh (-) Wh (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V 2 jari lateral Linea Axilaris Anterior Sinistra
Perkusi: Batas jantung atas : di ICS III linea parasternal sinistra
Batas jantung kanan: di Linea Parasternalis Dekstra
14
Batas jantung kiri : di ICS V linea axilaris anterior sinistra.
Auskultasi : BJ I > BJ II di katup mitral, regular, bising (-), gallop (-)
6. Sumber Air Air sumur digunakan untuk kebutuhan rumah
tangga seperti mencuci, mandi. Sedangkan air
minum juga menggunakan air sumur.
7. Saluran pembuangan
limbah
Limbah rumah tangga cair di buang ke selokan
yang berada di belakang kamar mandi yang
berjarak 1 meter dari rumah.
8. Tempat pembuangan
sampah
Sampah dibuang di depan rumah, sampah ini
ditumpuk hingga penuh, lalu kemudian dibakar
oleh anggota keluarga
9. Lingkungan sekitar
rumah
Di samping kanan dan kiri rumah terdapat rumah
tetangga. Di lingkungan sekitar rumah keluarga
SA masih terdapat sampah kering rumah tangga
dan barang bekas yang ditumpuk di dalam
karung. Setiap pagi tetangga membakar sampah
didepan rumah sehingga menimbulkan polusi
udara.
10 Bahan bakar masak Ibu SA menggunakan kompor gas untuk proses
memasak.
1
1.
Septic Tank Terdapat septic tank di rumah keluarga SA.
1
2.
Polusi Udara Polusi udara di rumah keluarga SA berasal dari
tetangga sekitar yang membakar sampah didepan
rumah mereka termasuk keluarga SA sendiri
yang selalu membakar sampah didepan rumah
setiap pagi. Selain itu, ayah SA masih memiliki
kebiasaan merokok di dalam rumah.
18
Dalam hal rumah sehat, persentase pelayanan kesehatan dan keturunan
diabaikan, sedangkan untuk penilaian lingkungan dan perilaku ditentukan sebagai
berikut:
1. Bobot komponen rumah : 31
2. Bobot sarana sanitasi : 25
3. Bobot perilaku : 44
Hasil penilaian: nilai x bobot
Kriteria :
1. Rumah sehat : 1068 – 1200
2. Rumah tidak sehat : < 1068
Penentuan kriteria rumah berdasarkan pada hasil penilaian rumah yang
merupakan hasil perkalian antara nilai dengan bobot, dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Memenuhi syarat : 80 – 100% dari total skor
2. Tidak memenuhi syarat : < 80 % dari total skor
Berdasarkan perhitungan dengan checklist penilaian rumah tersebut
didapatkan skor 1205 sehingga berdasarkan skor tersebut dapat di simpulkan
bahwa rumah keluarga SA tersebut memenuhi kriteria rumah sehat.
19
2.3 Masalah Kesehatan Tambahan
2.3.1 Faktor Internal Dalam Keluarga
Tabel 2.3 Faktor Internal dalam Keluarga
No Faktor Risiko Internal Intervensi
1. Riwayat makanan sewaktu kecil ( ibu
SA hanya memberikan ASI selama
sembilan bulan,sejak usia dua bulan
diberikan nasi pisang, usia delapan
bulan makan nasi bubur dan sejak usia
setahun mulai makan makanan
keluarga)
Apabila ibu SA merencanakan
memiliki anak lagi, pola
makan anak harus diubah. ASI
eksklusif diberikan selama
enam bulan dilanjutkan dengan
MP-ASI sampai usia dua
tahun.
2. Status gizi kurang ( berat badan 12 kg,
tinggi badan 98 cm, IMT 12,5)
Menjelaskan kepada orangtua
SA bahwa berat badan dan
tinggi badan tidak sesuai
dengan umur sehingga
orangtua harus memberikan
asupan gizi yang sehat untuk
mengubah status gizi menjadi
gizi baik. ( target berat badan
seharusnya 18 kg dan tinggi
badan 109 cm untuk usia 5
tahun).
5. Higiene (kuku kaki dan tangan SA
panjang dan hitam, suka main dirawa
dan ditanah depan rumah)
Menjelaskan kepada orangtua
SA tentang pentingnya
kebersihan diri dan
membiasakan anggota
keluarga dengan perilaku yang
sehat, misalnya rutin
memotong kuku, mandi dua
kali sehari.
20
4. Perilaku keluarga (jarang memakai
alas kaki)
Menjelaskan kepada keluarga
SA tentang pentingnya
penerapan PHBS dalam
keluarga. Mengingatkan
anggota keluarga untuk selalu
memakai alas kaki.
2.3.2 Faktor Eksternal Dalam Keluarga
Tabel 2.4 Faktor Eksternal dalam Keluarga
No Faktor Risiko Eksternal Intervensi
1. Akses pelayanan kesehatan ( jarak antara
rumah dan tempat pelayanan kesehatan yang
jauh, kendaraan keluarga tidak memadai)
Menjelaskan kepada
keluarga SA tentang
pentingnya memerik-
sakan diri di puskesmas
dan memberikan alter-
natif lain kepada keluarga
SA untuk mencari pe-
ngobatan terdekat seperti
bidan desa.
2. Ekonomi keluarga ( penghasilan keluarga
yang dibawah rata-rata sehingga kebutuhan
pokok sering tidak terpenuhi)
Memberikan alternatif
kepada keluarga SA
untuk dapat
memanfaatkan lahan di
sekitar untuk mencukupi
kebutuhan dasar.
Misalnya: untuk pangan,
mereka dapat
memanfaatkan lahan
sekitar rumah untuk
menanami sayuran dan
21
TOGA sehingga kecu-
kupan kebutuhan pangan
serta obat-obatan dapat
terbantu. Dan pendapatan
keluarga dapat digunakan
untuk kebutuhan lainnya.
3. Lingkungan sekitar ( tetangga SA sering
membakar sampah pada pagi hari didepan
rumah pada saat anak-anak sedang bermain
diluar rumah.
Memberikan edukasi
pada tetangga SA agar
melakukan pengelolaan
sampah yang benar
seperti menyediakan
tempat
pembuangan/pembakaran
sampah yang jauh dari
jangkauan anak-anak.
22
23
Tabel 2.5
No Kriteria Permasalahan Intervensi
1 Pola Makan K1 :- Menu makanan di
rumah SA belum memenuhi gizi seimbang
- Mengkonsumsi sayuran (-),
- Mengkonsumsi ikan (-), sambal pelengkap lauk pauk
- Mengkonsumsi Buah – buahan (-)
- konsumsi air putih 750 ml
K2:- Menu makanan sudah
mulai berubah- Mengkonsumsi
sayuran (-)- Sudah Ada lauk pauk:
seperti telur (+)- Mengkonsumsi Buah
– buahan (-)- konsumsi air putih 750
ml,K3:
- Menu makanan mulai bervariasi
- Mengkonsumsi sayuran (+)
- Mengkonsumsi ikan (+),
- Mengkonsumsi Buah-buahan (-)
- konsumsi air putih 750 ml
K4:- Menu makanan mulai
bervariasi- Mengkonsumsi
sayuran (+) - Mengkonsumsi ikan
(+), telur (+)- Mengkonsumsi Buah-
buahan (+) - konsumsi air putih 750
mlK5:
- Menu makanan mulai bervariasi
- Mengkonsumsi sayuran (+)
Memberikan edukasi tentang gizi seimbang setiap kunjungan sehingga menu makanan keluarga SA setiap harinya meningkat dan dapat mencukupi gizi keluarga.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan SA
diantaranya perilaku keluarga, ekonomi keluarga, pendidikan serta pengetahuan
tentang pentingnya menjaga kesehatan, akses pelayanan kesehatan dan lingkungan
sekitar yang berpengaruh terhadap kejadian Enterobiasis, ISPA dan gizi kurang
pada SA.
Perilaku SA yang sering bermain tanah tanpa menggunakan alas kaki dan
tidak mencuci tangan setelah bermain atau sebelum makan merupakan salah satu
pencetus penularan Enterobiasis. Begitu juga dengan kebiasaan ibu SA yang tetap
memberikan makanan kepada SA dan saudaranya tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu merupakan sumber penularan enterobiasis.
Ibu SA selalu membakar sampah didepan rumahnya yang pada saat itu SA
sedang bermain. Hal ini merupakan salah satu penyebab SA menderita ISPA.
Selain itu ibu SA juga mengalami tinea corporis yang sering hilang timbul.
Setelah beberapa kali kunjungan diketahui bahwa ibu SA sering menggunakan
pakaian yang sama dalam beberapa hari.
Dokter muda telah memberikan edukasi dan informasi untuk
meningkatkan taraf kesehatan bagi keluarga SA dan lingkungan di sekitarnya.
Edukasi yang diberikan diantaranya tentang perilaku hidup bersih dan sehat,
makanan yang bergizi dan edukasi tentang penularan penyakit yang diderita
keluarga SA.
26
Setelah kegiatan keluarga binaan ini berlangsung dan keluarga SA telah
mendapatkan edukasi dari dokter muda, hal-hal yang telah dapat dirubah oleh
keluarga SA ataupun SA sendiri adalah prilaku. Setelah beberapa hari kunjungan
tampak perubahan prilaku SA yang sudah memakai sendal ketika bermain diluar
rumah, mencuci tangan setelah bermain dan sebelum makan. Selain itu, setelah
diberikan terapi farmakologi, keluhan yang dialami SA sudah mulai berkurang.
Hal-hal yang belum dapat dirubah selama kegiatan keluarga binaan ini
adalah kebiasaan masyarakat sekitar termasuk keluarga SA yang masih membakar
sampah di depan rumah masing-masing yang merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit ISPA
3.2 Saran
3.2.1 Saran untuk keluarga binaan :
- Diharapkan untuk informasi dan penyuluhan yang telah dilakukan di
keluarga binaan dapat dilanjutkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
- Diharapkan rumah keluarga binaan ini dapat menjadi contoh dalam
penerapan kesehatan dalam keluarga.
- Diharapkan kepada Kepala Desa setempat untuk menggalakkan gotong
royong bersama di Desanya minimal seminggu sekali.
- Diharapkan setelah adanya keluarga binaan ini, minat keluarga dan warga
setempat untuk mencari pelayanan kesehatan didaerah tersebut meningkat.
27
3.2.2 Saran terhadap Puskesmas
- Harapan kami kunjungan dan intervensi terhadap keluarga binaan terhadap
Desa Ujong dapat menjadi perhatian dan pemantauaan bagi Puskesmas
setempat terutama program Kesling dan Promkes.
- Kerjasama lintas sektoral sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan
terutama masalah promotif dan preventif.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2005. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, Semarang: Dinkes Prov Jateng.
2. Slamet,J.S. 2002, Epidemiologi Lingkungan, Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
3. Sulistyorini, Lilis. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Balita, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 2, No. 1, Tahun 2005 Hal. 43-52.
4. Pangestika,Y.R. 2007, Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA pada Balita di Keluarga Pembuat Gula Aren Desa Pandanarum dan Desa Beji Kecamatan Pandanarum Kabupaten Banjarnegara Tahun 2007, Skripsi, Semarang: Universitas Negeri Semarang.
5. Chin, james,.2006. manual pemberantasan penyakit menular. Jakarta,.InfoMedika. GandaHusada. Jakarta.