Top Banner
HIPERTENSI DAN OBESITAS
55

HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

Jan 21, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

HIPERTENSI

DAN

OBESITAS

Page 2: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

2

DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2 DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................. 3 KATA PENGANTAR ................................................................................................ 5 Bab 1. Epidemiologi dan Permasalahan Hipertensi dan Obesitas ..................... 6 Bab 2. Mekanisme Hubungan Obesitas dan Hipertensi ...................................... 8 Bab 3. Hipertensi sebagai akibat dari Obesitas ................................................. 10

3.1. Patogenesis .......................................................................................... 10 3.1.1. Insulin dan sistem saraf simpatis .................................................. 10 3.1.2. Leptin dan sistem saraf simpatis .................................................. 12 3.1.3. Sistem-Renin-Angiotensin-Aldosteron .......................................... 13 3.1.4. Ekskresi Natrium-Tekanan Natriuresis-Sensitivitas Garam .......... 15 3.1.5. Disfungsi endotel dan kekakuan arteri .......................................... 17

3.2. Risiko Kardiovaskular ............................................................................ 19 3.2.1. Obesitas, Hipertensi dan Stroke ................................................... 19 3.2.2. Obesitas, Hipertensi dan PJK - Gagal Jantung ............................ 19 3.2.3. Obesitas, Hipertensi dan Penyakit Ginjal...................................... 22

Bab 4. Hipertensi dan Sindroma Metabolik ........................................................ 24 Bab 5. Pencegahan Obesitas dan Hipertensi dengan Gaya Hidup Sehat ........ 25

5.1. Diet Sehat ............................................................................................. 25 5.2. Aktifitas Fisik ......................................................................................... 29 5.3. Penurunan Berat Badan ........................................................................ 30

Bab 6. Penatalaksanaan Hipertensi dan Obesitas ............................................. 32

6.1. Penatalaksanaan Hipertensi pada Obesitas ......................................... 32 6.1.1. Renin–Angiotensin–Aldosterone Bloker ....................................... 32 6.1.2. Diuretik ......................................................................................... 33 6.1.3. Antagonis Reseptor Mineralokortikoid .......................................... 34 6.1.4. Antagonis Kalsium ........................................................................ 35 6.1.5. Penyekat Adrenergik Alfa ............................................................. 35 6.1.6. Penyekat Adrenergik Beta ............................................................ 37 6.1.7. Penyekat Simpatetik Sentral ......................................................... 38 6.1.8. Terapi Invasif ................................................................................ 39

6.2. Penatalaksanaan Obesitas pada Hipertensi ......................................... 40 6.2.1. Pengobatan Resistensi Insulin ..................................................... 40 6.2.2. Strategi Penanganan Obesitas ..................................................... 41

6.3. Usulan Kebijakan dalam Pencegahan Hipertensi akibat Obesitas ........ 44 Bab 7. Kesimpulan dan Penutup ......................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 47 PENYUSUN ............................................................................................................ 55

Page 3: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

3

DAFTAR SINGKATAN ACEI Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ADH Antidiuretic Hormone ADRF Adipocyte-Derived Relaxing Factor Ang II Angiotensin-II ARB Angiotensin Receptor Blocker ARIC Atherosclerosis Risk in Communities BMI Body Mass Index CBT Cognitive Behavioral Therapy CCB Calcium Channel Blocker CCT Creatinine Clearance Time cPAP Continuous Positive Airway Pressure DASH Dietary Approaches to Stop Hypertension DP-4 Dipeptidil Peptidase-4 DRI Direct Renin Inhibitor EDRF Endothelium-Derived Relaxing Factor EFA Essential Fatty Acid eLFG Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus FFA Free Fatty Acid HCTZ Hydrocholorothiazide HCT Hydrocholorothiazide HDL High Density Lipoprotein IL-6 Interleukin-6 IMT Indeks Masa Tubuh LDL Low Density Lipoprotein MCFP Mean Circulatory Filling Pressure MRA Mineralocorticoid Receptor Antagonists MRFIT Multiple Risk Factor Intervention Test NHANES National Health Nutrition and Examination Survey NO Nitric Oxide OSA Obstructive Sleep Apnea RCT Randomized Clinical Trial ROS Reactive Oxygen Species PJK Penyakit Jantung Koroner PGK Penyakit Ginjal Kronis PKV Penyakit Kardiovaskular RAAS Renin-Angiotensin-Aldosterone System RAS Renin-Angiotensin System RI Resistensi Insulin RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar SAS Sleep Apnea Syndrome

Page 4: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

4

SNA Sympathetic Nerve Activity SNS Sympathetic Nervous System TDD Tekanan Darah Diastolik TDS Tekanan Darah Sistolik TNF Tumor Necrosis Factor VLDL Very Low-Density Lipoprotein WHR Waist-to-Hip Ratio

Page 5: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

5

KATA PENGANTAR Hingga saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Hipertensi sering ditemukan pada pelayanan primer kesehatan dan masih merupakan masalah kesehatan yang utama dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 26,5% (Riskesdas 2013). Dibandingkan dengan tahun 2000, jumlah individu dengan hipertensi di dunia diperkirakan akan meningkat mencapai lebih 60 persen menjadi sekitar 1.56 milyar pada tahun 2025.

Selain itu pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia. Terdapat banyak penderita hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat, padahal hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya kerusakan organ bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Pencegahan dan penanganan hipertensi yang terutama adalah pada perubahan gaya hidup sehat dan mencegah adanya faktor risiko hipertensi. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko hipertensi yang utama. Jumlah individu obes terus meningkat dan menjadi epidemik, seiring dengan pola makan berlebih dan kurangnya aktivitas fisik. Setiap 10 persen peningkatan berat badan akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah sebesar 6.5 mmHg. Obesitas tidak hanya sebagai faktor risiko hipertensi, namun juga sebagai faktor risiko langsung kerusakan organ ginjal, otak dan jantung. Sehingga peningkatan kompetensi dalam menangani hipertensi bagi dokter layanan primer dan mengatasi faktor risiko obesitas merupakan salah satu upaya dalam menghindari meningkatnya komplikasi akibat hipertensi.

Buku hipertensi dan obesitas ini disusun berdasarkan bukti-bukti ilmiah terakhir dari berbagai konsensus maupun buku praktis, ringkasan eksekutif, dan publikasi internasional terbaru. Diharapkan buku ini dapat menjadi panduan dalam penanganan hipertensi lebih optimal sesuai dengan ilmu kedokteran yang berbasis bukti ilmiah. Jakarta, Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia [email protected]

Page 6: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

6

Bab 1. Epidemiologi dan Permasalahan Hipertensi dan Obesitas Hipertensi dan obesitas merupakan tantangan masalah kesehatan masyarakat, bukan hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Hal ini berkaitan erat dengan arus globalisasi, perubahan pola hidup, yang dapat memicu peningkatan prevalensi baik hipertensi maupun obesitas. Hipertensi merupakan masalah kesehatan utama dan merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam terjadinya penyakit kardiovaskular (PKV) yang merupakan penyebab kematian utama di dunia. Prevalensi hipertensi pada dewasa muda diperkirakan akan meningkat sebesar 60% pada tahun 2025 bila dibandingkan dengan tahun 2000. Hasil Riset Kesehatan Dasar 1996 menunjukan prevalensi hipertensi pada laki–laki 27.4% dan perempuan 9.1% sedangkan pada tahun 2007 prevalensi pada laki-laki menjadi 31.3% dan perempuan 31.9%. Prevalensi obesitas meningkat secara global, juga di Indonesia. Obesitas merupakan salah PKV dan ginjal. Hasil Riskesdas 2007 mengungkapkan prevalensi obesitas sentral (lingkar pinggang laki-laki >90cm dan perempuan >80cm) adalah 18.8% sedangkan pada tahun 2013 menjadi 26.6% ; Indeks Masa Tubuh (IMT) >25 kg/cm2 pada usia >18 tahun pada tahun 2007 sebesar 13.9% dan tahun 2013 menjadi 19.7%. Hubungan antara hipertensi dan obesitas pada populasi dan golongan ethnis telah banyak dikemukakan, untuk setiap kenaikan berat badan >10% diperkirakan akan terjadi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) sebesar 6.5 mmHg. Sebagian besar penderita hipertensi memiliki berat badan berlebih (overweight) dan sedangkan hipertensi lebih sering terjadi pada individu obes. Estimasi risiko pada studi Framingham menunjukkan sebanyak 78% dari penderita hipertensi laki-laki dan 65% dari penderita hipertensi perempuan berkaitan langsung dengan obesitas. Risiko kejadian hipertensi meningkat hingga 2.6 kali lipat pada laki-laki obes dan meningkat 2.2 kali lipat pada perempuan obes dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal. Data dari The Third National Health Nutrition and Examination Survey (NHANES III) menunjukkan adanya hubungan linier bermakna antara peningkatan IMT, tekanan darah diastolik (TDD) dan tekanan nadi (pulse pressure) pada populasi Amerika.

Page 7: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

7

Penelitian Inoue dkk (1977) mengemukakan bahwa risiko hipertensi akan meningkat dua kali pada individu dengan IMT ≥25 kg/m2 dibandingkan dengan individu dengan IMT 22 kg/m2. Pada populasi MONICA-Jakarta ditemukan persentasi hipertensi pada individu dengan berat badan berlebih (24.5%), dan obesitas (27.5%), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal (12.5%). Studi-studi Framingham dan Tecumseh jelas menunjukkan bahwa pertambahan berat badan dikemudian hari pada individu hipertensi adalah lebih besar bila dibandingkan dengan individu yang normotensi, hal ini membuktikan bahwa penderita hipertensi dengan berat badannya normal memiliki risiko lebih besar untuk menjadi obes. Hipertensi akibat obesitas merupakan masalah kesehatan penting dan telah ditekankan dalam suatu “Position Paper of the Obesity Society and The American Society Hypertension”, yang dikeluarkan secara bersama pada tahun 2013. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam tahun-tahun terakhir ini berakibat transformasi sosio-ekonomi sehingga terjadi transisi epidemiologi dan perubahan-perubahan pola angka kesakitan dan kematian dari penyakit tidak menular.

Page 8: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

8

Bab 2. Mekanisme Hubungan Obesitas dan Hipertensi Kombinasi obesitas dan hipertensi berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian penyakit kardiovaskular dan ginjal. Mekanisme yang menghubungkan obesitas dan hipertensi meliputi faktor diet, metabolik, disfungsi endotel dan vaskular, retensi natrium, hiperfiltrasi glomerulus, proteinuria, imun maladaptif dan respon inflamatoris. Jaringan lemak viseral mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap insulin maupun leptin, juga merupakan tempat perubahan sekresi molekul dan hormon seperti adiponektin, leptin, resistin, TNF dan IL-6, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penyakit kardiovaskular. Mikroba usus juga berperan dalam modulasi mekanisme diatas. Selain itu asam urat, perubahan aktifitas inkretin dan DP-4 (dipeptidil peptidase-4) juga berperan dalam terjadinya hipertensi pada obesitas. Aktivasi sistem saraf simpatis berperan penting dalam patogenesis hipertensi yang berkaitan dengan obesitas. Mekanisme pengendalian tekanan arterial dari diuresis dan natriuresis, berdasarkan prinsip umpan balik tak terbatas, tampaknya angka tekanan darah pada individu obesitas bergeser ke tingkat lebih tinggi. Pada fase awal obesitas, retensi natrium terjadi sebagai akibat dari peningkatan reabsorpsi tubular renal. Volume cairan ekstraselular bertambah sehingga aparatus cairan ginjal mengatur ulang tingkat hipertensi, konsisten dengan model hipertensi akibat volume cairan berlebih. Aktivitas renin plasma, nilai angiotensionogen, angiotensin II dan aldosteron plasma meningkat bermakna dengan kondisi obesitas. Resistensi insulin dan inflamasi mengubah profil fungsi vaskular dengan konsekuensi terjadi hipertensi. Leptin dan neuorpeptidase lain diduga merupakan rantai penghubung obesitas dan hipertensi. Obesitas merupakan kondisi inflamasi kronis, yang memerlukan penanganan jangka panjang dan kontinyu. Pemahaman mekanisme hipertensi akibat obesitas berperan penting dalam penyusunan strategi penanganannya. Pengaturan tekanan darah pada individu obesitas bergeser ke

tingkat lebih tinggi

Pemahaman mekanisme hipertensi akibat obesitas berperan

penting dalam penyusunan strategi penanganannya

Page 9: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

9

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi pada Obesitas

Gambar 2. Bagan Mekanisme Hipertensi terkait Obesitas

Page 10: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

10

Bab 3. Hipertensi sebagai akibat dari Obesitas 3.1. Patogenesis 3.1.1. Insulin dan sistem saraf simpatis Obesitas, khususnya obesitas abdominal, memiliki peran penting pada terjadinya hipertensi, sehingga kondisi ini harus selalu diingat dalam pengelolaan hipertensi. Obesitas terjadi akibat interaksi pengaruh genetik dan lingkungan. Keadaan obesitas menimbulkan perubahan pada sistem metabolik dan berbagai organ tubuh. Keadaan obesitas, sering didapatkan bersamaan dengan hipertensi, berkaitan erat dengan hiperinsulinemia dan resistensi insulin (RI). Walaupun belum jelas betul kaitan antara hipertensi dengan RI, namun telah terbukti bahwa dalam mekanisme kenaikan tekanan darah terdapat keterlibatan aktivasi sistem saraf simpatis, gangguan regulasi susunan saraf pusat, dan aktivasi sistem renin angiotensin. Resistensi insulin adalah suatu keadaan dimana sel-sel tubuh menjadi resisten terhadap efek insulin. Respon normal terhadap insulin menjadi berkurang, sehingga diperlukan insulin lebih banyak untuk menghasilkan efek. Keadaan RI dapat mempengaruhi respon tekanan darah akibat pemberian insulin. Telah diketahui bahwa insulin berpengaruh terhadap transpor natrium di tubulus ginjal walaupun belum jelas kaitannya dengan terjadinya hipertensi. Selain itu didapatkan pula pada pemberian insulin pada obesitas dengan RI, dapat menurunkan ekskresi natrium di urin. Selain itu terdapat pula perubahan struktur ginjal yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal sehingga terjadi perubahan tekanan darah. Sel jaringan lemak berlebih dan hipertrofi, menghasilkan molekul dan produk, yang mengakibatkan aktivasi sistem simpatis serta terbentuknya angiotensin-I dan aldosteron. Mekanisme terjadinya peningkatan tekanan darah akibat RI juga dapat melalui peningkatan sel-sel otot polos lapisan media arteri, disfungsi endotel, dan gangguan balans elektrolit intrasel. Obesitas berkaitan erat dengan hipertensi, akan tetapi kondisi ini bersifat heterogen. Hal ini dapat menjelaskan mengapa tidak semua orang dengan obesitas mengalami hipertensi.

Page 11: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

11

Gambar 3. Pengaruh Obesitas, Hipertensi dan Komplikasi Kardiovaskular

Page 12: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

12

3.1.2. Leptin dan sistem saraf simpatis Berbagai bukti pada hewan coba maupun manusia menunjukkan bahwa aktivasi sistem saraf simpatis memegang peranan penting pada kejadian hipertensi akibat obesitas. Dari berbagai penelitian pada hewan coba maupun manusia, dibuktikan bahwa pada kondisi obesitas terjadi peningkatan aktivasi sistem saraf simpatis, yang berkontribusi pada kejadian hipertensi akibat obesitas. Pengobatan farmakologi dengan penghambat reseptor adrenergik, menghasilkan penurunan tekanan darah lebih besar pada individu hipertensi obes daripada individu hipertensi non-obes. Beberapa faktor berperan atas peningkatan aktivasi sistem saraf sampatis pada ginjal: 1. Hiperleptinemia

Leptin merupakan protein yang terutama diproduksi oleh sel lemak dan sel otak. Kadar leptin berkorelasi linier positif dengan derajat obesitas, terutama obesitas sentral. Produksi leptin oleh sel lemak berperan sebagai umpan balik negatif untuk menekan nafsu makan melalui efek pada hipotalamus. Leptin diketahui juga memiliki aksi kerja, antara lain meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan penggunaan energi maupun non-termogenik, seperti ginjal, jantung, dan adrenal. Kadar leptin menurun selama berpuasa dan meningkat setelah beberapa hari diberikan nutrisi berlebih, sebagai usaha untuk membantu mengatur keseimbangan energi pada manusia. Jadi, leptin merupakan suatu hormon homeostatik pengatur berat badan. Namun faktanya, walaupun kadar leptin meningkat pada obesitas, perannya dalam menekan nafsu makan dan meningkatkan pemakaian energi tidak terjadi, sedangkan perannya dalam meningkatkan aktivitas saraf simpatis tetap terjadi. Hal ini disebut sebagai resistensi leptin. Pada hewan coba, pemberian infus leptin dalam jangka waktu yang lama, dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, sedangkan, hewan coba dengan defisiensi leptin memiliki tekanan arteri yang rendah. Leptin meningkatkan aktivasi sistem saraf simpatis melalui stimulasi pada α-melanocyte stimulating hormone dan cortocotropin releasing hormone pada hipothalamus.

Page 13: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

13

2. Hiperinsulinemia / Resistensi Insulin Pada kondisi obesitas terjadi hiperinsulinemia dan resistensi insulin (RI). Hiperinsulinemia / RI berakibat peningkatan tekanan darah melalui efek aktivasi sistem saraf simpatis dan anti-natriuretik pada ginjal.

3. Aktivasi sistem renin-angiotensin

Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan aktivitas renin-angiotensin. Aktivitas renin plasma, dibuktikan pada individu obes. Angiotensin-II menyebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis, peningkatan reabsorpsi natrium dan sekresi aldosteron di ginjal.

4. Hipoadiponektinemia

Kadar adiponektin menurun pada individu obes. Adiponektin memiliki efek menurunkan aktivitas saraf simpatis dan penelitian pada individu hipertensi dibuktikan bahwa kadar adiponektin yang tinggi berhubungan dengan tekanan darah yang rendah.

5. Hipoghrelinemia

Ghrelin, hormon yang diproduksi di lambung berefek meningkatkan nafsu makan. Kadar ghrelin menurun pada individu obes. Penelitian membuktikan bahwa infus ghrelin menurunkan tekanan darah, juga pada individu hipertensi didapatkan kadar ghrelin yang menurun. Polimorfisme gen ghrelin merupakan faktor risiko hipertensi.

3.1.3. Sistem-Renin-Angiotensin-Aldosteron Pada hipertensi terkait obesitas, sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) berperan penting, baik dalam patogenesis maupun penanganannya. Dalam patogenesis hipertensi terkait obesitas, RAAS pada jaringan lemak melalui angiotensinogen sebagai prekursor angiotensin II dan aldosteron, mengakibatkan peningkatan pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme jaringan lemak. Jaringan lemak akan bertumpuk di hepar, otot skeletal, dan pankreas, berakibat resistensi insulin yang memperberat obesitas dan mengakibatkan hipertensi. Gambar 4 memperlihatkan skema patogenesis tersebut

Page 14: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

14

Gambar 4. Skema Peran Sistem RAA pada Patogenesis Hipertensi terkait Obesitas

Penjelasan tentang peran RAAS dalam patogenesis hipertensi terkait obesitas tersebut dapat menerangkan cara penatalaksanaannya. Dari patogenesis tersebut bisa dijelaskan peran penurunan jumlah jaringan lemak, peran blokade RAAS dan peran aldosterone-antagonis dalam penatalaksanaan hipertensi terkait obesitas.

Page 15: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

15

3.1.4. Ekskresi Natrium-Tekanan Natriuresis-Sensitivitas Garam Salah satu kekuatan dan mekanisme yang paling berpengaruh dalam mengontrol volume darah dan cairan ektraselular adalah efek tekanan darah terhadap ekskresi natrium dan ekskresi air. Keduanya tergantung dari tekanan darah sehingga disebut pressure natriuresis dan pressure diuresis. Keduanya dalam jangka panjang juga mengatur regulasi tekanan darah. Tekanan diuresis merupakan efek peningkatan tekanan darah untuk meningkatkan ekskresi urin, sedangkan tekanan natriuresis adalah efek peningkatan tekanan darah yang paralel bila ekskresi natrium meningkat. Mekanisme keduanya ini disebut juga pressure natriuresis. Mekanisme ini tidak tergantung dari perubahan aktivitas saraf simpatis dan bermacam hormon seperti angiotensin-II, ADH dan aldosteron. Tekanan natriuresis merupakan komponen kunci untuk umpan balik ginjal dan cairan tubuh untuk regulasi volume dan tekanan arteri. Volume cairan ekstraselular, volume darah, curah jantung, tekanan arterial dan produksi urin semua dikontrol dalam waktu bersamaan. Dalam pertukaran natrium dan asupan cairan, mekanisme umpan balik ini membantu keseimbangan cairan dan meminimalkan perubahan dalam volume darah, cairan ekstraselular dan tekanan arterial. Hal ini dinyatakan sebagai berikut:

Peningkatan asupan cairan (dengan asumsi disertai natrium) apabila melebihi tubuh.

Selama peningkatan asupan melebihi produksi cairan, akan terakumulasi dalam tubuh (darah dan cairan interstisial). Namun hal ini hanya sedikit karena dalam keadaan normal mekanisme umpan balik ini sangat efektif.

Peningkatan volume darah akan meningkatkan tekanan sirkulasi (mean circulatory filling pressure = mcfp)

Peningkatan mcfp ini meningkatkan perbedaan tekanan output untuk venous return dan ini meningkatkan curah jantung, selanjutnya akan meningkatkan tekanan arterial.

Peningkatan tekanan arterial meningkatkan produksi urin beberapa kali lipat karena tekanan diuresis

Peningkatan ekskresi cairan menyeimbangkan peningkatan asupan dan akan menghalangi akumulasi cairan.

Hal ini juga menghindari berlanjutnya akumulasi garam dan air dalam tubuh

Page 16: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

16

Keadaan sebaliknya terjadi bila terdapat penurunan tekanan darah karena asupan cairan yang menurun. Penurunan tekanan darah sedikit saja akan mengakibatkan produksi urin akan menurun berkali lipat.

Dalam kondisi normal, ruang interstisial bertindak sebagai overflow reservoir untuk kelebihan cairan yang dapat bertambah 19-30 kali lipat. Situasi yang menyebabkan edema ini merupakan proteksi terhadap sistem cardiovascular terhadap overload yang berbahaya untuk terjadinya edema pulmonal dan gagal jantung. Mekanisme intra-renal ini juga dipengaruhi oleh sistem saraf dan hormonal. Apabila tekanan darah meningkat, “tekanan natriuresis” memperoleh keadaan yang kritis untuk menjaga keseimbangan antara asupan dan ekskesi natrium dalam urin. Terdapat fenomena “sensitivitas garam” yang dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan arterial akibat peningkatan asupan natrium. Menurut Myron (2015), seseorang diidentifikasi sebagai sensitif bila paling sedikit terjadi 10% peningkatan atau penurunan rerata tekanan darah arterial sesudah pemberian garam (tinggi =249mmol/hari, normal=109mmol/hari dan rendah=9mmol/hari). Apabila keadaan ini berlarut-larut dalam beberapa tahun dapat berakibat peningkatan tekanan darah dan hal ini dapat terjadi walaupun pada individu non-sensitif garam pada awalnya. Penderita hipertensi ternyata juga memperlihatkan resistensi insulin. Insulin dapat mendorong reabsorpsi natrium di ginjal dan diperkirakan keadaan hiperinsulinemia terlibat dalam patogenesis sensitivitas garam pada tekanan darah. Konsep ini berawal dari kenyataan bahwa terjadi perbaikan sensitivitas insulin pada individu dewasa yang semula obes kemudian mengalami penurunan berat badan. Akan tetapi kenyataannya tidak semua individu dengan sensitivitas garam menderita hiperinsulinemia, kemungkinan individu tersebut sudah memiliki resistensi insulin sebelum menderita hipertensi. Saat ini diketahui bahwa banyak faktor dapat menstimulir atau menumpulkan respon tekanan darah pada kondisi keseimbangan garam tertentu. Obesitas mempengaruhi predisposisi ginjal untuk reabsorpsi natrium dengan mekanisme neural (SNS), hormonal (aldosteron dan insulin) dan renovaskular (angiotensin II). Hal ini memperkuat aviditas natrium untuk menggeser kurva tekanan natriuresis ke kanan, sehingga diperlukan tekanan arterial lebih tinggi untuk ekskresi asupan garam harian dan mempertahankan keseimbangan natrium dan homeostasis cairan.

Page 17: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

17

Mekanisme ini merupakan dasar terjadinya sesitivitas garam pada individu hipertensi terkait obesitas, dan menggaris-bawahi peranan diuretik dalam strategi penatalaksanaanya. 3.1.5. Disfungsi endotel dan kekakuan arteri Disfungsi endotel seperti penurunan respon Nitric Oxide (NO) merupakan kondisi abnormal yang biasa dijumpai pada individu obes. Kerusakan endotel merupakan faktor risiko penting penyakit kardiovaskular, karena berakibat perubahan struktur, seperti penebalan lapisan intima dan media dinding pembuluh darah. Meskipun mekanisme hubungan obesitas dan disfungsi endotel belum dapat dijelaskan, beberapa faktor mungkin berkontribusi pada keadaan abnormal tersebut. Peningkatan produksi vaskular endothelin-1 pada penderita hipertensi dengan peningkatan indeks masa tubuh, diduga merupakan suatu mekanisme penting dalam terjadinya disfungsi endotel. Blokade reseptor endothelin-A berakibat vasodilatasi pada individu obes dan berat badan berlebih, namun tak dijumpai pada individu hipertensi dengan berat badan normal. Hal ini mengindikasikan gangguan tonus vasokonstriktor reseptor endothelin-A pada penderita hipertensi-obes. Sebaliknya, Da Silva dkk, mendapatkan bahwa blokade reseptor endothelin-A jangka lama menurunkan tekanan arteri pada tikus obes viseral maupun pada kontrol hewan normotensi, menimbulkan dugaan endothelin-1 tak berperan pada peningkatan tekanan arteri pada tikus obes sentral. Data ini juga mengindikasikan bahwa endothelin-antagonis sendiri tidak cukup memperbaiki gangguan ketersediaan NO pada obesitas. Sebaliknya, terapi dengan pio-glitazone mencegah peningkatan tekanan arteri pada tikus obes-diet dengan menurunkan produksi radikal bebas dan meningkatkan produksi/ketersediaan NO. Peran penting lemak peri-vaskular pada gangguan vaskular dan hubungannya dengan obesitas sedang diteliti. Bukti-bukti menunjukkan bahwa jaringan lemak mengelilingi pembuluh darah dan mengatur tonus dan reaktivitas vaskular. Verlohern dkk, baru-baru ini menunjukkan bahwa lemak peri-advenstisial menghambat respon kontraktil arteri mesenterika tikus terhadap beberapa hormon, termasuk serotonin, fenilefrin, dan endotelin-1. Efek vasodilator jaringan lemak diduga dimediasi oleh adipocyte-derived relaxing factor (ADRF), sama seperti endothelium-

Page 18: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

18

derived relaxing factor (EDRF). Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan identitas ADRF dan juga untuk menguji apakah jaringan lemak peri-advenstisial berperan dalam patogenesis pada disfungsi vaskular akibat obesitas.

Kondisi obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, resistensi

leptin, aktivasi system saraf simpatis, aktivasi RAAS dan

disfungsi endotel.

Page 19: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

19

3.2. Risiko Kardiovaskular 3.2.1. Obesitas, Hipertensi dan Stroke Obesitas telah diketahui meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Risiko kardiovaskular meningkat bila obesitas disertai hipertensi. Hubungan antara hipertensi, jangka pendek dan panjang, dengan kejadian stroke sangat kuat, namun hubungan langsung antara obesitas dengan kejadian serebro-kardiovaskular dalam jangka pendek, lebih sulit untuk dilihat. Hal ini disebabkan karena obesitas merupakan faktor risiko proksimal dari hipertensi, diabetes dan dislipidemia. Namun studi jangka panjang telah menunjukkan hubungan erat antara obesitas dan stroke. Obesitas abdominal meningkatkan risiko aterosklerotik dan risiko kardiovaskular. Waist-to-hip ratio (WHR) memiliki nilai prediksi lebih kuat dibandingkan dengan indeks masa tubuh (IMT) pada penelitian kohort terhadap kejadian stroke. Penelitian kasus-kontrol Northern Manhattan Stroke Study, obesitas abdominal meningkatkan risiko stroke iskemik sebesar 3 kali lipat. Hubungan WHR dengan stroke, lebih kuat pada laki-laki. Pada studi longitudinal Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC), lemak abdominal berhubungan dengan peningkatan risiko stroke non-lakunar, namun tidak dengan stroke lakunar. Diketahui juga bahwa penderita stroke dengan obesitas mengalami waktu rawat lebih lama di rumah sakit. Hubungan antara obesitas dengan stroke perdarahan tidak konsisten. Beberapa studi menunjukkan tak ada hubungan antara obesitas (IMT) dengan stroke perdarahan. 3.2.2. Obesitas, Hipertensi dan PJK - Gagal Jantung Hipertensi merupakan fenotipe kompleks berawal dari berbagai faktor genetika, lingkungan, perilaku dan bahkan sosial. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko bermakna untuk timbulnya semua manifestasi penyakit jantung koroner (PJK), stroke, gagal jantung, penyakit pembuluh aorta, penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit katup jantung. Penderita hipertensi memiliki peningkatan risiko PJK hingga 2-3 kali lebih besar dari individu normotensi. Bila PJK dianggap kejadian terpisah, risiko relatif dengan hipertensi tertinggi didapatkan pada stroke dan gagal jantung namun lebih rendah untuk kejadian PJK. Meskipun demikian, karena insiden PJK secara absolut lebih tinggi dari stroke dan gagal jantung, dampak absolut hipertensi pada PJK lebih besar dari penyakit kardiovaskular lainnya. Meskipun risiko penyakit kardiovaskular lebih banyak difokuskan kepada hipertensi (bukan pada kisaran normal atau

Page 20: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

20

borderline), jelas bahwa risiko kejadian penyakit kardiovaskular meningkat pada tekanan darah yang lebih tinggi bahkan pada mereka yang dikategorikan masih dalam kisaran normal. Sebuah studi epidemiologi yang mengikutsertakan sekitar satu juta laki-laki dan perempuan memberikan fakta bahwa risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular akan meningkat secara kontinyu pada tekanan darah mulai dari sistolik 115 mmHg dan diastolik 75 mmHg. Studi Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) yang mengikutsertakan lebih dari 347.000 laki-laki usia 35-57 tahun, memberikan estimasi akurat peningkatan risiko seiring dengan meningkatnya tekanan darah. Terdapat efek yang bertahap dan kontinyu dari tekanan darah terhadap risiko relatif yang disesuaikan dengan multi-variabel yang ada terhadap kematian akibat PJK dan mulai tampak pada tekanan darah mulai di bawah 140 mmHg. Meskipun risiko relatif ini lebih besar pada laki-laki dengan tekanan darah lebih dari 180 mmHg, data-data ini menunjukkan hal penting tentang tingkat tekanan darah dalam populasi dimana kejadian PJK paling banyak terjadi. Kejadian PJK paling banyak dijumpai pada populasi dengan tekanan darah lebih rendah, bahkan sekitar dua-pertiga kematian karena PJK terjadi pada laki-laki dengan tekanan darah antara 130-159 mmHg yang dikategorikan hipertensi ringan. Untuk berbagai keluaran akhir penyakit kardiovaskular, terdapat modifikasi efek berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan laki-laki hipertensi memiliki risiko absolut lebih tinggi untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari perempuan hipertensi dengan pengecualian kejadian gagal jantung. Terdapat pula modifikasi efek berdasarkan usia, penderita hipertensi usia tua memiliki risiko relatif sama atau lebih tinggi namun dengan risiko absolut lebih tinggi dari penderita hipertensi dengan usia lebih muda. Hipertensi jarang dijumpai sebagai penyakit tersendiri, dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular pada seluruh spektrum beban faktor risiko dengan penekanan peran penting hipertensi bersama dengan keberadaan faktor risiko lain. Tingkat absolut prediksi risiko PJK (termasuk kematian atau infark miokardial non-fatal) meningkat bermakna dengan peningkatan beban faktor risiko, hal ini diperkuat oleh peningkatan tekanan darah sejak tingkat optimal hingga hipertensi. Sehingga tekanan darah, serta risiko yang ditimbulkannya, perlu di pertimbangkan dalam konteks bersamaan dengan faktor risiko lain dan dalam penilaian risiko global terhadap risiko penyakit kardiovaskular.

Page 21: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

21

Penekanan bahwa tekanan darah yang lebih tinggi merupakan risiko yang bertingkat dan kontinyu terhadap PJK telah di tunjukkan oleh berbagai studi. Terdapat risiko linear dan bertingkat terhadap kematian akibat PJK bahkan pada tekanan darah yang optimal sekalipun. The Prospective Studies Collaboration menunjukkan bahwa TDS mulai dari 115 mmHg risiko kematian karena PJK akan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan 20 mmHg sistolik. Hal ini juga didapatkan pada setiap kenaikan TDD 10 mmHg dimulai dari 75 mmHg. Gagal jantung merupakan salah satu manifestasi dari kondisi pada populasi yang makin tua, meningkatnya jumlah penderita hipertensi dan perbaikan harapan hidup pasca infark miokard. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko dominan atas terjadinya gagal jantung dan stroke. Harapan hidup penderita gagal jantung usia 40 tahun atau lebih adalah sebesar 1 dari 5. Namun pada setiap tingkatan usia terdapat peningkatan bertahap untuk terjadinya gagal jantung seiring dengan peningkatan tekanan darah. Diperkirakan terdapat dua kali lipat kemungkinan terjadinya gagal jantung pada mereka dengan tekanan darah stage 2 atau dalam pengobatan hipertensi dibandingkan tekanan darah <140/90 mmHg. Sekitar 75% sampai 91 % penderita gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Hubungan antara hipertensi dan risiko kardiovaskular dalam jangka pendek dan panjang telah dibuktikan, namun hubungan antara obesitas dengan penyakit kardiovaskular jangka pendek (dalam kurun waktu 10 tahun) lebih sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan dampak utama obesitas tampaknya lebih kepada faktor risiko lainnya seperti diabetes, dislpidemia dan hipertensi. Meskipun demikian studi-studi jangka panjang yang sudah ada menunjukkan bahwa obesitas memiliki keterkaitan dengan secara independen dengan faktor-faktor risiko utama tersebut. Data dari studi jangka panjang Chicago Heart Association Detection Project in Industry yang melibatkan 38.000 individu pada tahun 1967-1973 menunjukkan adanya keterlibatan dari semua faktor risiko yang ada terhadap penyakit kardiovaskular. Tingkat kematian karena penyakit kardiovaskular lebih tinggi (dan meningkat secara eskalatif) pada penderita dengan indeks berat badan yang lebih tinggi pada keadaan awal meski tidak hipertensi. Untuk mereka dengan hipertensi pada awalnya, tingkat kematian karena penyakit kardiovaskular lebih tinggi dan meningkat secara bertingkat sesuai dengan nilai IMT. Pola yang serupa didapatkan untuk angka perawatan di rumah sakit karena penyakit kardiovaskular dan gagal jantung.

Page 22: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

22

3.2.3. Obesitas, Hipertensi dan Penyakit Ginjal Obesitas saat ini diakui sebagai faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular dan berbagai gangguan metabolisme seperti diabetes tipe II, hipertensi dan dislipidemia dan memperpendek harapan hidup rata-rata sekitar 9 tahun. Penyakit ginjal kronis (PGK) saat ini diakui sebagai faktor risiko independen untuk kejadian infark miokard dan kematian akibat kardiovaskular. Prevalensi PGK diperkirakan 13% dan akan terus meningkat, akibat peningkatan diabetes, hipertensi dan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Masih sedikit perhatian terhadap hubungan antara peningkatan berat badan dan penyakit ginjal kronis (PGK), meskipun terdapat bukti bahwa kenaikan prevalensi PGK berhubungan erat dengan peningkatan obesitas. Sehingga obesitas saat ini merupakan faktor risiko untuk kejadian PGK dan kardiovaskular. Obesitas abdominal dikaitkan dengan PGK secara independen dari adipositas keseluruhan atau kenaikan IMT, meskipun pada umumnya terdapat hubungan positif antara IMT dan obesitas viseral. Peningkatan IMT dan lingkar pinggang terkait dengan berkurangnya perkiraan laju filtrasi glomerulus (eLFG) dan peningkatan PGK. Obesitas abdominal, didefinisikan sebagai lingkar pinggang >90 cm pada laki-laki atau >80 cm pada perempuan, dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari insufisiensi ginjal (OR 1.40), bahkan setelah penyesuaian untuk komponen lain dari sindroma metabolik, seperti dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi, dan IMT pada penderita dengan hipertensi esensial. Dari sebuah penelitian kohort selama 20 tahun terhadap individu tanpa PGK terdapat 9.4% kejadian PGK, dan individu dengan peningkatan IMT lebih tinggi terjadi PGK dengan OR sebesar 1.23 sampai 2.6 . Pada orang dewasa hipertensi, obesitas dapat meningkatkan PGK, untuk jangka waktu 5 tahun, sebesar 34% pada individu obesitas dan 31% pada individu kelebihan berat badan dibandingkan dengan hanya 28% pada orang dewasa hipertensi non-obesitas (OR 1.21 dan 1.4 ) setelah dilakukan penyesuaian untuk semua kovariat, termasuk diabetes melitus dan tekanan darah diastolik. Individu obesitas sering mengalami proteinuria, sering di kisaran nefrotik, diikuti oleh penurunan fungsi ginjal secara progresif bahkan tanpa adanya diabetes atau hipertensi berat. Jenis paling umum dari lesi ginjal yang diamati pada biopsi ginjal dari individu obesitas adalah gambaran glomerulosklerosis baik fokal dan segmental serta glomerulomegali.

Page 23: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

23

Mekanisme obesitas terkait PGK yaitu menyebabkan cedera nefron melibatkan kombinasi hemodinamik, metabolik, dan perubahan inflamasi. Obesitas terkait hipertensi, diabetes, dan dislipidemia dapat bertindak secara sinergis untuk meningkatkan risiko disfungsi ginjal. Obesitas memicu kaskade perubahan intrarenal dan neurohormonal yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan tekanan ginjal natriuresis, peningkatan reabsorpsi natrium, sistem saraf simpatik dan RAAS selain secara fisik mengompresi ginjal, mengakibatkan berubahnya hemodinamik intrarenal dan gangguan ekskresi natrium.

Gambar 5. Angka mortalitas 30 tahun akibat penyakit kardiovaskular, stratifikasi atas indeks masa tubuh dan hipertensi pada The Chicago Heart Association

Detection Project in Industry cohort.

Obesitas abdominal meningkatkan risiko aterosklerotik dan

risiko kardiovaskular

Obesitas abdominal meningkatkan risiko stroke iskemik

sebesar 3 kali lipat

Obesitas merupakan faktor risiko untuk kejadian penyakit

ginjal kronik

Tingkat kematian penyakit kardiovaskular lebih tinggi pada

penderita dengan indeks masa tubuh lebih tinggi

Tingkat kematian karena penyakit kardiovaskular lebih tinggi (dan meningkat secara bertingkat) pada penderita dengan indeks berat

badan yang lebih tinggi

Page 24: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

24

Bab 4. Hipertensi dan Sindroma Metabolik Hipertensi terkait obesitas umumnya terjadi bersamaan dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya, membuat konstelasi “sindroma metabolik”. Banyak diperdebatkan apakah sindroma ini merupakan entitas tersendiri atau bukan. Ada empat unsur yang amat mendasar yang terkandung didalamnya, yaitu: obesitas sentral, resistensi insulin, hipertensi dan dislipidemia. Selain empat unsur tersebut, terdapat kelainan lainnya yang berasosiasi dengannya, semisal: diabetes mellitus, toleransi glukosa terganggu, gangguan fungsi ginjal dan mikroalbuminuria, hiperurikemia, diatesis koagulasi protrombotik, kolesterol LDL teroksidasi dan inflamasi. Semua itu secara bersama meningkatkan risiko kardiovaskular. Patogenesis utama dari sindroma ini pada prinsipnya bermuara dari: obesitas sentral serta peningkatan sensitifitas garam, selanjutnya meningkatkan ekspresi leptin dan resistensi insulin, meningkatkan tonus sistem saraf simpatik dan ekspresi RAAS. Jumlah unsur-unsur dari sindroma ini berkorelasi dengan berat dan luasnya penyakit jantung koroner. Kemampuan prediksi terhadap penyakit jantung koroner bertambah kuat dengan hiperglikemia dan hipertrigliseridemia serta berasosiasi dengan rendahnya konsentrasi kolesterol-HDL dan hipertensi. Unsur-unsur tersebut bersinergi satu sama lain. Sindroma ini sering dijumpai dengan tingginya prevalensi kerusakan organ target sehingga berprognosis buruk. Perjalanan sindroma ini amat progresif dan secara klinis sering kali tak terdeteksi kelainan organ targetnya. Model penanggulangan ideal harus dikembangkan, berupa: identifikasi individu berisiko mengidap sindroma ini, dan kemudian stratifikasi stadium dan keparahan sindroma ini. Penanganan berupa intervensi perubahan gaya hidup untuk mengurangi obesitas sentral dan berat badan dengan diet yang ideal semisal DASH diet serta aktifitas fisik terstruktur dan teratur. Program berhenti merokok dan mengontrol konsumsi alkohol. Jika terapi anti hipetensi dibutuhkan, maka pilihan terapi adalah angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I), angiotensin receptor blocker (ARB) atau calcium channel blocker (CCB), obat-obat tersebut lebih diutamakan daripada diuretik dan beta bloker.

Patogenesis utama sindroma metabolik bermuara dari obesitas

sentral serta peningkatan sensitifitas garam, selanjutnya

meningkatkan ekspresi leptin dan resistensi insulin,

meningkatkan tonus sistem saraf simpatik dan ekspresi RAAS

Page 25: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

25

Bab 5. Pencegahan Obesitas dan Hipertensi dengan Gaya Hidup Sehat 5.1. Diet Sehat DASH merupakan kepanjangan dari Dietary Approaches to Stop Hypertension. Diet ini merupakan pendekatan pola hidup sehat yang dilakukan terutama bagi penderita hipertensi. Diet ini dirancang untuk mengurangi natrium dan mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang dapat mengurangi tekanan darah tinggi seperti kalium, kalsium, dan magnesium. Dengan mengikuti pola diet ini, biasanya dapat menurunkan mmHg tekanan darah dalam kurun waktu dua minggu. Seiring waktu, TDS dapat turun berkisar diangka 7 hingga 12 mmHg, dan akan memberikan perbedaan bermakna terutama dalam segi faktor risiko berbagai macam penyakit seperti stroke dan jantung. Diet dengan cara ini dinilai baik, tidak hanya untuk menurunkan tekanan darah, namun juga bermanfaat bagi kesehatan, karena secara tidak langsung, diet ini memberikan banyak manfaat untuk pencegahan osteoporosis, kanker, penyakit jantung dan stroke, serta penurunan berat badan. Kadar Natrium Diet ini menganjurkan untuk mengkonsumsi sayuran, buah-buahan dan makanan yang mengandung susu rendah lemak serta konsumsi gandum, ikan, kacang, serta unggas dalam takaran sedang. Total kalori yang dianjurkan setiap harinya adalah 2000 kalori. Sebagai tambahan, pemakaian natrium juga dikurangi dengan pemilihan:

1. Diet standar DASH: konsumsi 2300 mg natrium /hari 2. Pengurangan Natrium: konsumsi sampai dengan 1500 mg/hari

The American Heart Association merekomendasikan 1500 mg sebagai batas atas konsumsi natrium bagi orang dewasa. Gandum (grains) Gandum seperti halnya roti, pasta, nasi dan sereal; contohnya 1 potong roti, setengah mangkok kecil sereal atau pasta. Pilih yang mengandung “whole grains” karena banyak mengandung serat dan nutrisi, atau bisa lebih mengutamakan konsumsi nasi merah dibandungkan dengan nasi

Page 26: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

26

putih. Pilih roti yang mengadung “whole grains” daripada roti putih, dan hindari penambahan margarin atau saus keju. Sayuran Buah tomat, wortel, brokoli, ubi dan berbagai jenis sayuran lain yang mengandung banyak serat, vitamin, mineral seperti kalium dan magnesium. Contohnya satu mangkuk sayuran segar atau setengah mangkuk sayuran masak.

Hindari anggapan sayuran hanya makanan pendamping yang akan bergizi apabila didampingi oleh “whole-wheat noodles” atau dengan nasi merah.

Sayuran segar atau beku merupakan pilihan yang cukup baik tetapi hati-hati apabila memilih yang dibekukan, maka harus dipilih yang rendah garam atau tanpa penambahan garam.

Usahakan untuk menjadi lebih kreatif misalnya dengan menambahkan sedikit daging misalnya setengah porsi dari sayur sayuran, terutama untuk daging yang digoreng.

Buah Buah hanya memerlukan waktu singkat untuk penyediaan, dan sama halnya dengan sayuran yang kaya serat, kalium serta magnesium dan biasanya rendah lemak. Pengecualian untuk alpukat dan kelapa. Contohnya satu porsi buah sedang atau setengah mangkuk buah segar, buah beku serta buah kaleng. Sepotong buah dapat disajikan dengan makanan atau sebagai snack (cemilan) dan yogurt rendah lemak. Kulit buah tertentu sebaiknya juga dikonsumsi, karena juga mengandung nutrisi yang sehat dan lemak. Jika memilih buah kaleng atau jus buah pastikan tidak ada penambahan gula. Produk susu (dairy products) Contohnya susu, yogurt, keju merupakan sumber kalsium, Vitamin D dan protein. Sebaiknya pilih yang rendah lemak atau bebas lemak. Contoh dapat mengkonsumsi 1% susu dalam 1 cangkir, 1 cangkir yogurt atau 1 1/2 oz keju, dapat pula ditambah buah. Jika bermasalah dengan produk ini misalnya intoleran laktosa, dapat memilih produk susu bebas laktosa. Hati-hati dengan keju, karena keju memiliki kadar natrium cukup tinggi. Daging, unggas dan ikan Daging kaya protein, vitamin B, zat besi dan zinc, namun memiliki variasi dalam kadar lemak dan kolesterol, sebaiknya dikonsumsi setengah porsi ataupun sepertiga porsi, untuk daging ayam sebaiknya tanpa kulit. Pilih ayam rebus atau panggang daripada ayam goreng. Pilih jenis ikan seperti

Page 27: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

27

jenis salmon, herring atau tuna, karena ikan jenis ini memiliki kandungan omega-3 cukup tinggi dan dapat membantu untuk menurunkan kadar kolesterol. Golongan kacang-kacangan Misalnya kacang polong, almond, biji bunga matahari, kacang merah sangat baik untuk dikonsumsi karena banyak mengandung magnesium, kalium dan protein, serat serta phytochemicals yang bermanfaat terutama untuk melindungi dari penyakit jantung serta kanker. Contohnya 1/3 cangkir kacang, 2 sendok makan biji-bijian atau ½ cangkir kacang merah yang direbus atau dimasak. Kacang-kacangan mengandung kolesterol baik yakni lemak monounsaturated dan asam lemak omega-3, namun kelompok ini memiliki kalori cukup tinggi, sebaiknya konsumsi dalam jumlah sedang saja dan hindari untuk digoreng. Kacang kedelai seperti yang ada didalam tahu dan tempe dapat merupakan alternatif dari konsumsi daging karena memliki asam amino untuk membuat protein menjadi komplit seperti halnya dari sumber daging. Lemak dan minyak Lemak membantu penyerapan vitamin dan membentuk sistem imunitas namun bila berlebihan maka akan meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes dan kegemukan. Dalam DASH dibatasi menjadi 27% atau kurang dari total kalori perhari dengan fokus lemak monounsaturated. Contohnya hanya mengkonsumsi 1 sendok teh margarin, 1 sendok teh mayonais, 2 sendok makan saus salad.

Lemak jenuh dan lemak trans dapat meningkatkan kadar kolesterol dan risiko penyakit jantung koroner. Sebaiknya lemak dikonsumsi sebanyak 6 % dari total kalori dengan mengurangi konsumsi daging, mentega, keju, susu tinggi lemak, krim dan telur dan minyak.

Hindari lemak trans yang banyak terdapat pada makanan proses seperti kerupuk, goreng-gorengan terutama dengan minyak yang dipakai berulang.

Baca label pada mentega ataupun saus salad dan pilih yang rendah lemak jenuh dan bebas lemak trans

Gula Asupan gula juga dibatasi. misalnya 1 sendok makan gula, selai atau ½ cangkir es jeruk lemon

Dalam mengkonsumsi gula, pilih yang bebas lemak atau rendah lemak seperti sorbet, es buah jelly beans, hard candy, kerupuk atau kue kering rendah lemak.

Page 28: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

28

Ganti minuman bersoda dengan minuman bersoda yang tidak mengandung gula. Air putih lebih disarankan.

Masih dapat dikonsumsi pemanis buatan seperti aspartame ataupun suclarose, namun dalam jumlah tidak berlebihan dan kurangi pemakaian gula.

Alkohol dan Kafein Asupan alkohol dan kafein berlebih akan meningkatkan tekanan darah. Meskipun masih belum jelas apakah kafein dapat meningkatkan tekanan darah. Olahraga Kombinasi diet dan olahraga akan mempercepat proses penurunan tekanan darah.

Tabel 1. The DASH Eating Plan

Page 29: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

29

5.2. Aktifitas Fisik Jaringan lemak viseral maupun subkutan berhubungan bermakna dengan tekanan darah sehingga dapat dimengerti jika obesitas dan hipertensi sering terjadi bersamaan. Sebuah meta-analisis dari 72 studi meliputi hampir 4000 orang melaporkan individu dengan prahipertensi dan hipertensi memiliki berat badan lebih besar dibanding individu normotensi.

Walau demikian, data yang ada tidak konsisten menunjukkan hubungan antara penurunan berat badan melalui aktifitas fisik dengan penurunan tekanan darah. Beberapa studi melaporkan tidak terjadi penurunan tekanan darah walau terjadi penurunan berat badan yang didapat melalui aktifitas fisik pada individu dengan obesitas. Inkonsistensi hasil penelitian disebabkan oleh beberapa keterbatasan penelitian seperti singkatnya studi, jumlah subyek penelitian relatif kecil, dan tidak diperhitungkannya pengaruh faktor gaya hidup yang lain. Sebaliknya, aktifitas fisik yang dilakukan teratur dalam waktu lama dapat menurunkan tekanan darah yang tidak dipengaruhi oleh perubahan berat badan. Sebuah studi meta-analisis melaporkan mereka yang melakukan aktifitas aerobik 40 menit per sesi latihan, 3 kali seminggu, selama 16 minggu mengalami penurunan tekanan darah secara bermakna tanpa perbedaan berat badan dibandingkan individu yang tidak melakukan aktifitas aerobik. Penurunan tekanan darah ini terlihat pada individu hipertensi (-6.9/-4.9 mmHg), prahipertensi (-1.7/-1.7 mmHg), maupun normotensi (-2.4/-1.6 mmHg). Penurunan tekanan darah pasca aktifitas fisik yang berkelanjutan diduga disebabkan oleh penurunan resistensi pembuluh darah tepi, norepinefrin plasma, dan aktifitas renin plasma. Aktifitas fisik selama 45-60 menit yang dilakukan tiap hari atau 3 kali perminggu oleh individu hipertensi tanpa obesitas menurunkan tekanan darah secara bermakna sehingga dianjurkan dilakukan oleh individu hipertensi. Terlepas dari inkonsistensi data penelitian tentang efek penurunan berat badan melalui aktifitas fisik terhadap penurunan tekanan darah pada individu hipertensi terkait obesitas, pedoman tatalaksana hipertensi menempatkan aktifitas fisik teratur dalam tatalaksana hipertensi dengan atau tanpa obesitas. Rekomendasi aktifitas fisik teratur bagi individu hipertensi terkait obesitas sangat masuk akal dengan tujuan meningkatkan efektifitas pengobatan antihipertensi. Studi pada individu diabetes tipe 2 dengan obesitas menunjukkan intervensi gaya hidup untuk menurunkan berat badan tidak menurunkan angka kematian sehingga pengendalian faktor risiko kardiovaskular mungkin lebih penting dari penurunan berat badan saja. Belum jelas target berat badan optimal berdasarkan indeks masa tubuh yang sebaiknya dicapai. Sebuah studi menyimpulkan angka

Page 30: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

30

kematian terendah terjadi pada indeks masa tubuh 22.5 - 25 kg/m2, sebaliknya sebuah meta-analisis menunjukkan angka kematian terendah terlihat pada individu overweight. 5.3. Penurunan Berat Badan Seperti yang sudah diketahui bahwa obesitas dan hipertensi adalah dua keadaan yang sangat erat hubungannya dan merupakan masalah utama kesehatan diseluruh dunia. Berdasarkan studi Framingham tentang masalah jantung (The Framingham Heart Study) yang diikuti selama 44 tahun dilaporkan bahwa berat badan berlebih termasuk overweight dan obesitas, sebanyak 26 persen laki-laki dan 28 persen perempuan akan mengalami hipertensi, dan sekitar 23 persen laki-laki dan 15 persen perempuan akan mengalami penyakit jantung koroner. Individu obesitas mengalami peningkatan jaringan lemak yang dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah dan selanjutnya meningkatkan kerja jantung dalam memenuhi kebutuhan tubuh. Indikator-indikator yang dapat meningkatkan risiko hipertensi termasuk obesitas, obes abdominal dan kenaikan berat badan. Obesitas diketahui dengan indeks masa tubuh (IMT) didapat dengan perhitungan berat dan tinggi badan. IMT memiliki korelasi erat dengan pengukuran langsung lemak tubuh. Nilai normal IMT populasi Asia Pasifik adalah 18.5-22.9; overweight 23-24.9 dan obesitas ≥25. Disamping IMT, distribusi lemak juga merupakan faktor penting penentu hipertensi. Distribusi lemak sekitar abdomen disebut sebagai obes abdominal. Disebut obes abdominal bila lingkar perut > 90 cm pada laki-laki dan > 80 cm pada perempuan. Obes abdominal merupakan pengaruh yang kuat untuk terjadinya hipertensi. Penurunan berat badan secara bermakna dapat menurunkan tekanan darah. Salah satu studi yang diikuti selama 4 tahun membuktikan bahwa dari 181 penderita hupertensi dengan overweight, penurunan berat badan sebesar 10% dapat menurunkan TDS sebesar 4.3 mmHg dan TDD 3.8 mmHg. Delapan studi klinis dan 8 studi kohort dirangkum oleh para peneliti untuk membuktikan hubungan linier antara perubahan tekanan darah dan perubahan berat badan. Secara keseluruhan didapatkan bahwa penurunan

Page 31: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

31

berat badan sebesar 2.8 kg dapat menurunkan TDD sebesar 1.9 mmHg dan TDS sebesar 2.9 mmHg. Penurunan berat badan pada individu overweight dan obes dapat mencegah terjadinya kenaikan tekanan darah dan sudah dianjurkan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Perubahan pola hidup dengan mempertahankan berat badan ideal (IMT 18.5-22.9 kg/m2); diet seimbang, menghindari lemak jenuh dan pembatasan asupan garam serta meningkatkan aktifitas fisik merupakan langkah-langkah penting dalam penatalaksanaan hipertensi dan memperbaiki kualitas hidup.

Individu obes berperilaku pro-hipertensi dengan pola diet tak

sehat dan enggan berolahraga

Rekomendasi aktifitas fisik teratur bagi individu hipertensi

terkait obesitas bertujuan meningkatkan efektifitas

pengobatan antihipertensi

Penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah

Page 32: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

32

Bab 6. Penatalaksanaan Hipertensi dan Obesitas 6.1. Penatalaksanaan Hipertensi pada Obesitas 6.1.1. Penyekat Renin–Angiotensin–Aldosteron Obesitas sendiri dapat menjadi faktor risiko terhadap hipertensi, terutama pada penderita usia <60 tahun. Setiap kenaikan 10% berat badan diyakini berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sebesar 6.5 mmHg.

Penyekat renin-angiotensin-aldosterone sebagai tata laksana terhadap hipertensi terkait obesitas, diyakini efektif karena adanya aktivasi sistem renin dan peningkatan sensitivitas terhadap garam pada penderita hipertensi terkait obesitas. Hal tersebut berakibat retensi natrium yang berujung pada peningkatan volume cairan ekstraselular. Golongan obat tersebut terdiri atas ACE-inhibitors (ACEI), angiotensin receptor blockers (ARB), direct renin inhibitors (DRI), dan mineralocorticoid receptor antagonists (MRA). Berdasarkan studi dari Kidambi dkk, ACEI dan ARB lebih efektif sebagai antihipertensi pada penderita hipertensi terkait obesitas dibandingkan antihipertensi golongan CCB dan diuretik. Menurut studi kontrol acak samar ganda dari Reisin dkk, lisinopril dosis lebih rendah sebagai monoterapi lebih efektif daripada hidroklorotiasid (HCTZ) dengan dosis lebih tinggi pada penderita hipertensi terkait obesitas. Pemberian ACEI dan ARB juga diyakini memiliki efek memperbaiki toleransi glukosa, kadar insulin, dan komponen lemak visceral. Berdasarkan studi dari Kidambi dkk, MRA merupakan golongan antihipertensi yang cukup efektif pada penderita hipertensi terkait obesitas, terutama bila dikombinasikan dengan ACEI, ARB, atau diuretik, dan digunakan sebagai pengobatan hipertensi resisten. Golongan obat ini memiliki efek meningkatkan pengaturan RAAS pada penderita dengan obesitas. Spironolakton, salah satu contoh golongan MRA, diketahui efektif pada penderita dengan hipertensi resisten. Dengan pemberian obat tersebut, TDS turun sebesar 21-25 mmHg dan TDD turun sebesar 9-12 mmHg. Lingkar perut yang semakin besar diyakini sebagai prediktor respon tekanan darah terhadap spironolakton. Meskipun efektif menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi terkait obesitas, spironolakton memiliki efek samping seperti penurunan libido, nyeri tekan payudara, dan ginekomasti. Efek ini muncul karena spironolakton memiliki reaksi silang sebesar 30% dengan reseptor androgen. Pada penderita yang intoleran spironolakton dapat diberikan eplerenon. Seperti Penyekat

Page 33: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

33

Renin-Angiotensin-Aldosterone lainnya, MRA memiliki efek samping hiperkalemia. 6.1.2. Diuretik Pada penderita hipertensi terkait obe, terdapat retensi natrium dan cairan berlebih. Karena itu pilihan diuretik merupakan pilihan tepat dan rasional. Obat2 yang digunakan adalah; golongan thiazida, loop diuretics, dan potassium sparing diuretics Obat2an ini cukup murah,efektif dan dapat ditoleransi baik. Pada beberapa penelitian pemakaian diuretik secara monoterapi, setidaknya sama dengan ACEI. Diuretik thiazida dapat menimbulkan peningkatan resisten insulin, dislipidemi sehingga bisa mencetuskan diabetes dan peningkatan aktifitas sistem syaraf simpatis. dan RAS. Diuretik, Hydrochlorothiazide (HCT), Chlorthalidone (“a thiazide-like diuretic”) juga dapat mengakibatkan hiponatremia, hiperkalsemia, hiperurikemia dan hypokalemia, sehingga dianjurkan evaluasi laboratorium terkait terutama pada permulaan pengobatan. Efek metabolik akan minimal dalam dosis rendah. Chlorthalidone memiliki waktu paruh lebih panjang sehingga berpotensi menurunkan tekanan darah lebih efektif namun berefek metabolik lebih besar dibandingkan dengan HCT. Chlorthalidone juga menurunkan risiko terjadinya gangguan kardiovaskular dan gagal jantung dibandingkan dengan HCT. Berdasarkan hasil obsevasi, sejumlah penulis menganjurkan bahwa chlorthalidone dosis rendah atau sedang menjadi pilihan utama. Jika tidak ada gagal jantung yang jelas dan insufisiensi renal (CCT <30 ml/m), thiazide dan chlorthalidone menjadi pilihan dibandingkan dengan loop-diuretic. Loop-diuretic(seperti torasemide,bumetanide,furosemide) tidak direkomendasikan sebagai lini pertama pengobatan hipertensi karena obat-obat tersebut mengakibatkan hipertrofi sel tubulus distal pada pemakaian jangka lama. Bila dibutuhkan loop-diuretic maka torasemide menjadi pilihan karena memiliki waktu paruh lebih panjang dan dosis tunggal. Untuk mengurangi resiko hypokalemia, dapat dikombinasikan dengan obat-obatan anti hipertensi yang meningkatkan potasium mis. ACEI atau ARB atau menambahkan “potassium sparing diuretic” misalnya amilorid, triamteren, atau spironolakton atau epleronon. Diuretik, Inhibitor Renin-Angiotensin Sistem (RAS Inhibitor) dan Dihydropyridine CCB merupakan trio pilihan pertama obat anti hipertensi pada penderita hipertensi terkait obes. Bila tekanan darah belum terkontrol baik, dapat ditambahkan antagonis reseptor mineralocorticoid (MRA) dan atau alfa/beta bloker. Walaupun cukup banyak pilihan obat tersedia namun pengendalian tekanan darah pada

Page 34: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

34

50% penderita hipertensi terkait obes, tetap tidak terkontrol baik. Karena itu masih dibutuhkan obat-obatan anti hipertensi baru dan terapi invasive dalam penatalaksanaan hipertensi terkait obes. 6.1.3. Antagonis Reseptor Mineralokortikoid Telah diketahui dengan baik bahwa hipertensi dapat menyebabkan berbagai kerusakan sistim kardiovaskular. Obesitas dan hipertensi merupakan dua kondisi klinis yang saling terkait, dimana populasi obesitas cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi dari populasi dengan berat badan normal. Walaupun tidak semua populasi obesitas memiliki hipertensi. Penderita obesitas dengan hipertensi atau DM, ataupun dengan keduanya, memiliki angka prevalensi disfungsi diastolik yang lebih tinggi daripada penderita non-obesitas. Disfungsi diastolik merupakan salah satu prediktor kuat untuk terjadinya kejadian kardiovaskular. Pada obesitas juga terjadi aktivas sistim renin-angiotensin-aldoteron. Antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA) memiliki sifat kardioprotektif. Dari banyak penelitian yang telah dilakukan teradap penderita dengan obesitas, terbukti bahwa MRA memberikan efek yang sangat menguntungkan terhadap profil metabolik penderita. Pada level molekuler, di adiposit, MRA menghambat transkripsi dari gen inflamasi dan adipogenik, menurunkan tingkat transkripsi enzim yang memproduksi ROS, meningkatkan transkripsi gen lemak dan mengurangi aliran balik autofagik. Tetapi, mekanisme kerja MRA yang dapat menyebabkan perubahan profil transkripsi jaringan lemak tersebut belum diketahui secara tepat. Yang pasti adalah pemahaman lebih mendalam mengenai proses molekuler yang diatur oleh mineralokortikoid pada lemak, dapat membuka kemungkinan ditemukannya target molekuler baru untuk pengobatan obesitas dan disfungsi metabolik terkait. Data dari beberapa penelitian lain juga menunjukan bahwa MRA, secara efektif, dapat memperbaiki disfungsi diastolik yang disebabkan obesitas melalui mekanisme yang berkaitan dengan tekanan darah. Pada suatu penelitian dengan hipotesa bahwa blokade mineralokortikoid dengan pemberian spironolakton dosis rendah dapat mengobati disfungsi diastolik yang berhubungan dengan obesitas. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa spironolakton dosis rendah dapat memperbaiki fungsi diastolik, yang diperiksa dengan ekokardiokradiografi. Hal ini juga berhubungan dengan berkurangnya fibrosis kardiak, tetapi tidak menurunkan hipertrofi ventrikel, perbaikan vasodilatasi yang berhubungan dengan mekanisme NO, mengurangi beban oksidatif jantung dan memperbaiki endotel tetapi

Page 35: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

35

tanpa perubahan pada kekakuan arteriol. Temuan ini memperlihatkan bahwa MRA dapat memperbaiki disfungsi diastolik yang berhubungan dengan obesitas, terutama yang disertai dengan hipertensi maupun resitensi insulin. 6.1.4. Antagonis Kalsium Antagonis kalsium adalah golongan obat antihipertensi yang bekerja dengan menghambat kanal kalsium di sel miokardium dan sel otot polos pembuluh darah sehingga masuknya ion kalsium (Ca2+) ke dalam sel juga terhambat. Karena cara kerjanya, antagonis kalsium disebut juga sebagai penyekat kanal kalsium (calcium channel blocker/CCB). Hasil akhir dari terhambatnya ion kalsium yang masuk ke dalam sel akan mengakibatkan vasodilatasi dan turunnya resistensi perifer, yang pada akhirnya akan menurunkan tekanan darah. Antagonis kalsium terdiri dari dua golongan yaitu non-dihidropiridin (diltiazem dan verapamil) dan dihidropiridin (misalnya amlodipine, felodipine, lercanidipine). Pada penderita hipertensi terkait obes, efek antagonis kalsium dalam menurunkan tekanan darah berkurang. Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya resistensi perifer pada individu dengan obesitas sehingga kerja antagonis kalsium menjadi tumpul. Meskipun demikian, antagonis kalsium tetap dapat digunakan dan efektif dalam menurunkan tekanan darah pada individu hipertensi terkait obes dan tidak menyebabkan naiknya berat badan ataupun efek buruk pada profil lipid. Beberapa kondisi di mana penggunaan antagonis kalsium memiliki efek menguntungkan adalah pada kasus-kasus dengan angina pektoris, aritmia (terutama non-dihidropiridin) dan hipertensi pada usia lanjut. Antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat menurunkan proteinuria seperti ACE-inhibitor atau ARB. Sedangkan golongan dihidropiridin (terutama obat generasi pertama seperti nifedipine) dapat meningkatkan proteinuria. Oleh sebab itu, jika akan menggunakan antagonis kalsium dihidropiridin dianjurkan menggunakan generasi yang lebih baru (amlodipine, felodipine). 6.1.5. Penyekat Adrenergik Alfa Antagonis adrenoreseptor selektif alfa-1 (penyekat alfa) merupakan antihipertensi yang efektif baik sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan obat lain. Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain prazosin, terazocin, alfuzosin, dan doxazosin. Sebagai antihipertensi, obat-

Page 36: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

36

obat ini bekerja dengan memblokade reseptor alfa-1 sehingga tidak berikatan dengan noradrenalin. Efek yang ditimbulkan adalah relaksasi sel otot polos, penurunan tonus vaskular, dan penurunan resistensi perifer. Selain efek antihipertensi, penyekat adrenergik alfa juga memiliki efek metabolik yang baik pada penderita hipertensi. Antihipertensi golongan ini juga dapat menghilangkan gejala-gejala obstruksi saluran kemih akibat hiperplasia prostat jinak. Pada penderita hipertensi yang disertai sindroma metabolik, penyekat adrenergik alfa memiliki banyak manfaat karena efeknya terhadap metabolisme lipid dan glukosa. Efek obat golongan ini dalam memperbaiki profil lipid antara lain dapat menurunkan konsentrasi kolesterol total karena menghambat penyerapan kolesterol dari makanan dan penurunan sintesis kolesterol di hati; menurunkan konsentrasi kolesterol LDL, trigliserida, VLDL, dan apolipoprotein (Apo) B; menurunkan oksidasi kolesterol LDL; meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL dan ApoA-1; dan meningkatkan oksidasi pada metabolisme asam lemak dan menurunkan sintesis trigliserida. Efek baik terhadap profil lipid ini tetap terlihat ketika obat ini dikombinasikan dengan obat antihipertensi lain. Mekanisme molekular yang mendasari efek metabolik ini telah banyak diteliti dan telah diketahui bahwa doxazosin dapat meningkatkan biosintesis kolesterol HDL melalui mekanisme yang melibatkan transkripsi gen. Mekanisme ini bersifat independen terhadap efek antagonis reseptor alfa-1. Efek baik juga didapatkan terhadap intoleransi glukosa, resistensi insulin dan/atau hiperinsulinemia. Prazosin telah terbukti dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Penelitian lain dengan doxazosin dapat memperbaiki toleransi glukosa, konsentrasi asam lemak bebas, ambilan glukosa yang dimediasi insulin, oksidasi glukosa, dan pembuangan glukosa non-oksidatif. Efek ini tidak didapatkan pada terapi dengan kaptopril atau nifedipine. Pada penelitian lain doxazosin dapat meningkatkan sensitivitas insulin dibandingkan ACE-inhibitor maupun penyekat angiotensin II reseptor. Efek terhadap sensitivitas insulin ini tetap didapatkan walaupun diberikan terapi kombinasi dengan acarbose. Efek yang menguntungkan pada terapi penyekat adrenergik alfa-1 terhadap insulin dan kadar kolesterol dan trigliserida menunjukkan bahwa obat ini memiliki peran yang baik dalam tata laksana hipertensi diabetik. Pada penderita hipertensi dan obesitas, obat ini juga memiliki efek yang jelas bermakna. Pada suatu penelitian yang membuktikan hubungan antara obesitas dan hipertensi didapatkan bahwa pada hipertensi dan obesitas terdapat peningkatan aktivasi simpatis dan gangguan pada

Page 37: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

37

pengontrolan barorefleks kardiovaskular. Abnormalitas ini tidak didapatkan pada kondisi yang terjadi secara tunggal (hipertensi atau obesitas saja). Dengan demikian, pada kondisi hipertensi dan obesitas obat-obat yang bekerja pada sistem saraf simpatis seperti penyekat adrenergik alfa-1 dapat memberikan efek yang sangat baik baik digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain. 6.1.6. Penyekat Adrenergik Beta Penyekat adrenergik beta (beta-blocker) dilaporkan efektif dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi terkait obesitas. Pada penderita penyakit jantung koroner (PJK), penyekat adrenergik beta secara bermakna menurunkan angka kematian jantung mendadak, infark miokard berulang dan juga meningkatkan harapan hidup penderita gagal jantung kronis. Penyekat adrenergik beta juga sangat bermanfaat untuk mengontrol laju nadi pada penderita hipertensi dengan komorbid fibrilasi atrium (atrial fibrillation/AF), hipertiroid serta berperan sebagai anti iskemik dalam mengurangi keluhan angina pada kasus PJK dengan menurunkan kebutuhan oksigen miokardium. Namun demikian, penyekat adrenergik beta dilaporkan memiliki efek metabolik yang tidak diharapkan, yaitu menurunkan sensitifitas terhadap insulin, menurunkan proses lipolisis dan mengurangi penggunaan energi, sehingga menyebabkan kenaikan berat badan yang kemudian berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes. Pada meta-analisis terbaru dari 12 studi yang mencakup lebih dari 90.000 penderita dengan hipertensi, terapi penyekat adrenergik beta meningkatkan risiko timbulnya new onset diabetes sebesar 22%. Tidak seperti generasi pendahulunya, penyekat adrenergik beta generasi baru yang memiliki aktivitas ganda sebagai penyekat reseptor alfa seperti carvedilol serta agen yang dapat meningkatkan bioavailibilitas nitrix oxide (NO) seperti nebivolol dilaporkan memiliki efek netral terhadap berbagai parameter metabolik seperti profil lipid dan gula darah. Akan tetapi belum ada bukti yang menunjukkan efektivitas golongan ini dalam menurunkan risiko kardiovaskular pada penderita hipertensi terkait obesitas. Berdasarkan telaah berbagai studi tersebut, penyekat adrenergik beta tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada hipertensi, termasuk hipertensi terkait obesitas, kecuali bila terdapat kondisi penyerta yang menjadi indikasi khusus (compelling indication), seperti adanya PJK, pasca infark miokardium, gagal jantung kronis dan fibrilasi atrium.

Page 38: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

38

6.1.7. Penyekat Simpatetik Sentral Obesitas merupakan faktor resiko terhadap hipertensi. Sebanyak 65%-75% populasi dengan peningkatan berat badan yang berlebihan menderita hipertensi. Permasalahan ini bertambah dengan meningkatkan prevalensi obesitas di seluruh dunia. Hal ini terjadi akibat retensi natrium dan peningkatan tekanan natriuresis pada ginjal yang diduga diakibatkan oleh aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan juga peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis.

Peran sistem saraf simpatis erat kaitannya dengan hipertensi terkait obesitas. Pada individu obesitas, terjadi peningkatan insulin, peptin, sistem renin-angiotensin, dan juga aktivitas reabsorbsi natrium di ginjal yang ternyata meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Telah diketahui bahwa penggunaan obat-obatan yang bersifat agonis terhadap reseptor adrenergik memberikan efek penurunan tekanan darah lebih besar pada individu obesitas dibandingkan dengan individu berat badan normal. Hal ini membuktikan bahwa aktivtasi sistem saraf simpatis pada obesitas berpengaruh terhadap hipertensi. Adanya hubungan yang erat ini memberikan pertanyaan tentang efektivitas obat-obat yang dapat mengurangi aktivitas sistem saraf simpatetik ini. Beberapa macam obat-obatan hipertensi diketahui memiliki efek terhadap sistem saraf simpatis secara sentral. Beberapa obat-obatan ini mentargetkan reseptor adrenergik yang berada di sistem saraf pusat. Beberapa obat yang sering digunakan antara lain adalah klonidin dan metildopa. Keduanya bekerja pada reseptor α2 sentral. Akan tetapi penggunaan keduanya sering menimbulkan efek samping (seperti sedatif) dan juga memberikan hasil tidak memuaskan.

Beberapa obat-obatan generasi yang baru antara lain adalah moxonidine dan rilmenidine. Berbeda dengan klonidin dan metildopa, kedua obat ini lebih selektif terhadap reseptor imidazoline dibandingkan dengan reseptor alfa. Monoxonidine dapat digunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan anti hipertensi lainnya. Obat ini memiliki efek agonis pada reseptor alfa-2 sebanyak 10% dan efek agonis terhadap reseptor imidazoline sebanyak 90%. Moxonidine efektif menurunkan resistensi vaskular tanpa menyebabkan takikardia. Selain itu obat ini juga menurunkan konsentrasi norepinefrin pada plasma. Karena mekanisme kerja inilah, moxonidine dan juga obat-obat simpatetik sentral generasi baru lainnya memiliki efek samping yang jauh lebih baik. Berbeda dengan

Page 39: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

39

klonidin, obat ini tidak menimbulkan efek samping saat dilakukan pemberhentian. Moxonidine juga dikatakan dapat memicu penurunan berat badan 1-2 kg dan memperbaiki sensitivitas insulin. Moxonidine juga diketahui memperbaiki kadar leptin plasma. Oleh karena itu moxonidine dapat menjadi pilihan pada penderita hipertensi terkait obesitas.

6.1.8. Terapi Invasif Sistim saraf otonom, terutama sistim simpatis, berperan penting dalam regulasi tekanan darah. Beberapa jenis terapi invasif untuk modulasi sistim simpatis sedang dalam penelitian untuk dapat menjadi salah satu pilihan tatalaksana hipertensi yang sulit dikontrol pada individu obes, di antaranya terapi aktivasi barorefleks (Baroreflex Activation Therapy) dan terapi denervasi saraf simpatis ginjal (Renal Sympathetic Denervation). Terapi denervasi ginjal merupakan prosedur yang dirancang untuk ablasi saraf simpatis yang berada di dinding arteri renalis dengan menggunakan energi radiofrekuensi melalui kateter intra arterial. Upaya ini diharapkan memutuskan aktivitas saraf simpatis berlebih dan dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada penderita dengan hipertensi resisten, kondisi yang banyak dialami penderita obes. Setelah hasil awal yang menjanjikan dari studi Symplicity HTN-1 dan Symplicity HTN-2, terapi ini dipandang sebagai salah satu terobosan yang sangat menjanjikan untuk penderita hipertensi resisten. Namun studi klinis acak yang dirancang untuk membuktikan hal ini, yakni Symplicity HTN-3 ternyata tidak berhasil menunjukkan bahwa terapi denervasi ginjal mampu mengendalikan tekanan darah pada penderita hipertensi resisten lebih baik dibanding kelompok kontrol. Sehingga untuk saat ini terapi ini belum dapat dianjurkan untuk menjadi bagian protokol standar terapi penderita hipertensi resisten. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan rancangan yang lebih baik untuk mengetahui arah perkembangan terapi ini selanjutnya. Terapi aktivasi barorefleks melibatkan implantasi elektroda di leher di sekitar sinus karotis untuk selanjutnya mengaktivasi barorefleks karotis melalui stimulasi elektrik di dinding arteri karotis. Alat generasi pertama yang telah dicobakan menunjukkan efektivitas yang baik dalam mengendalikan tekanan darah pada penderita hipertensi resisten namun tercatat pula memiliki efek samping yakni kerusakan nervus facialis yang terjadi saat implantasi alat. Saat ini sedang dikembangkan alat generasi terbaru yang diharapkan memiliki profil keamanan lebih baik dan sedang menjalani uji klinis tahap III.

Page 40: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

40

6.2. Penatalaksanaan Obesitas pada Hipertensi 6.2.1. Pengobatan Resistensi Insulin Resistensi insulin terjadi bila tubuh kurang sensitif terhadap insulin. Sekali terjadi resistensi terhadap insulin akan sulit untuk dipulihkan karena terhambat efek resistensi tersebut. Peningkatan berat badan dan peningkatan kadar insulin yang beredar dalam darah akan meningkatkan resistensi insulin. Diperkirakan bahwa pada prediabetes dan diabetes tipe 2, sistem imun tubuh melepaskan sitokin yang menghambat kerja insulin. Penyebab utama dari resistensi insulin adalah obesitas. Teori yang ada menyatakan bahwa obesitas sentral mengakibatkan sel lemak kekurangan oksigen dan mengalami kematian. Berhubungan dengan resistensi insulin, beberapa perubahan metabolisme melibatkan distribusi lemak, metabolisme lemak, trombosis dan fibrinolisis, regulasi tekanan darah dan fungsi sel endotel. Semua kelainan tersebut dikenal sebagai sindroma metabolik (Sindroma-X). Hal ini bukan saja mengakibatkan terjadinya diabetes tipe 2 tetapi juga gangguan kardiovaskular. Bagaimana mengontrol resistensi insulin? Pertama sekali kita menetapkan bahwa sudah terjadi resistensi insulin dengan melakukan pemeriksaan kadar gula darah dan kadar insulin; pemeriksaan setelah puasa 12 jam dan dua jam post prandial. Bila kadar darah penderita menunjukkan risiko sindroma-X, ada beberapa upaya untuk mengembalikan proses yang elah terjadi dan membawa hormon penderita pada keseimbangan alami antara lain:

Untuk menyeimbangkan insulin, berlakukan diet yeng terdiri dari daging rendah lemak dan protein, makanan tinggi serat, sayuran hijau dan segar serta buah buahan segar. Upayakan menghindari konsumsi bahan-bahan makanan yang sudah diproses, mengandung garam yang tinggi, manis, snack dan soda.

Rencanakan asupan makanan terdiri dari sarapan pagi, makan siang, makan malam dan dua snack. Setiap makan harus terdiri dari protein dan tidak lebih dari 15 gram karbohidrat, dalam bentuk buah buahan dan sayuran, kurangi biji bijian.

Setiap snack harus mengandung hanya 7 gram karbohidrat. Pastikan cukup serat terutama yang berasal dari sayuran dan buah.

Page 41: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

41

Essential fatty acids (EFA) atau lemak yang sehat amat penting untuk mengatasi resistensi insulin, misalnya yang berasal dari ikan tuna, salmon serta berbagai ikan air tawar. Suplemen minyak ikan, telur, dan alpukat.

Mengkonsumsi suplemen makanan yang berkelas farmasi juga dapat mengurangi kekurangan karbohidrat dan kebutuhan akan gula.

Olahraga menjadi komponen penting untuk mempertahankan kadar insulin tetap normal, memelihara keseimbangan hormon dan regulasi fubgsi metabolik. Olahraga juga dapat mengurangi stres, dan tekanan akibat kelenjar adrenal yang bekerja berelbihan.

Cukup istirahat, tidur, berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol.

6.2.2. Strategi Penanganan Obesitas Pasien perlu memahami bahwa obesitas merupakan penyakit kronis, sehingga managemen membutuhkan waktu yang terus menerus sepanjang hidup. Manajemen dan tatalaksana obesitas mempunyai tujuan yang luas tidak semata menurunkan berat badan, namun juga menurunkan berbagai faktor risiko dan peningkatan kesehatan. Manfaat bermakna secara klinis bahkan terjadi saat penurunan berat badan 5 – 10 % berat badan awal dan modifikasi gaya hidup (diet dan aktivitas fisik). Manajemen komorbiditas, peningkatan kualitas hidup juga merupakan tujuan manajemen obesitas. Manajemen komplikasi obesitas sebaiknya juga meliputi penatalaksanaan dislipidemia, optimalisasi pengendalian kadar glukosa darah pada penderita diabetes, pengendalian tekanan darah, mengatasi sleep apnoea syndrome (SAS), perhatian khusus pada pengendalian nyeri dan mobilisasi pada penderita osteoartritis, penatalaksanaan gangguan psikososial, termasuk gangguan afektif, gangguan makan, kepercayaan diri rendah, dan body image disturbance. Penurunan berat badan yang objektif Penurunan berat badan 5-15% selama 6 bulan realistik dan terbukti bermanfaat. Penurunan yang lebih besar (≥20%) dapat dipertimbangkan untuk derajat obesitas yang lebih besar (BMI ≥ 35 kg/m2). Mempertahankan penurunan berat badan dan pencegahan serta tatalaksana komorbiditas merupakan 2 unsur utama untuk sukses. Merujuk pada ahli obesitas / tim dapat dipertimbangkan jika pasien gagal untuk menurunkan berat badan. Pada kasus kegagalan dalam menurunkan berat badan seringkali disertai dengan stres dan depresi yang

Page 42: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

42

membutuhkan intervensi psikologis dan terapi antidepresan. Penurunan berat badan sebaiknya realistik, bersifat individual dan bersifat jangka panjang. Penggunaan catatan harian diet meupakan penilaian kualitatif diet harian. Hal ini membantu pasien untuk mengidentifikasi frekuensi makan, persepsi dan perilaku emosional diet dan tantangan kondisi lingkungan untuk mengikuti diet sehat. Sebelum memberikan saran diet sebaiknya diketahui motivasinya dan seberapa penting penurunan berat badan untuk pasien dan seberapa yakin program penurunan berat badan akan berjalan sukses. Aktivitas fisik Aktivitas fisik merupakan komponen penting program penurunan berat badan bersamaan dengan pengurangan kalori. Terdapat banyak bukti bahwa aktivitas fisik bermanfaat terhadap pasien obesitas dan penyakit terkait obesitas. Berdasarkan hal ini, hampir seluruh pedoman merekomendasikan sekurangnya 150 menit / minggu melakukan aktivitas fisik sedang, seperti jalan ringan dan dikombinasi dengan 3 kali seminggu untuk resistance exercise untuk meningkatkan kekuatan otot.. Cognitive Behavioural Therapy Cognitive Behavioural Therapy (CBT) merupakan perpaduan terapi kognitif dan terapi perilaku dan membantu pasien memodifikasi kognitif, pikiran dan kepercayaan tentang pengaturan berat badan, obesitas dan konsekuensinya. Juga perubahan perilaku yang dibutuhkan untuk menurunkan berat badan dan menjaga kestabilan penurunan berat badan. Dukungan psikologis Faktor psikologis sangat berperan terhadap keberhasilan manajemen obesitas sehingga manajemen obesitas, merupakan bagian yang terintregasi dengan program lainnya. Tatalaksana farmakologi Terapi farmakologi sebaiknya dipertimbangkan sebagai bagian dari strategi komprehensif penanganan penyakit. Terapi direkomendasikan untuk penderita dengan BMI ≥30 kg/m2 atau BMI ≥27 kg/m2 dengan penyakit terkait obesitas: hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, sleep apnea. Penggunaan obat harus mempertimbangkan manfaat dan efek samping. Evaluasi terapi dilakukan setelah 3 bulan pertama. Jika berat badan mencapai target yang diinginkan (>5% berat badan pada non-DM dan >3% pada penderita DM), maka terapi diteruskan. Pada kelompok yang tidak respon terhadap terapi dihentikan. Beberapa obat yang digunakan:

Page 43: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

43

Orlistat, Lorcaserin, Phentermine/Topiramate, Bupropion/Naltrexone, Liraglutide. Terapi operatif dilakukan pada obesitas dengan indikasi khusus dan merupakan salah satu terapi yang efektif. Pendekatan multidisiplin dibutuhkan untuk mendukung intervensi operasi dan keputusan untuk melakukan operasi perlu melalui penilaian komprehensif. Seringkali tatalaksana obesitas tidak berhasil, sehingga penderita berupaya mencari berbagai terapi alternatif. Dokter sebaiknya menganjurkan pasien untuk mengikuti terapi berbasis bukti dan merekomendasikan terapi yang sudah terbukti aman dan efektif. Tatalaksana komorbiditas Tatalaksana komorbiditas yang terkait obesitas sebaiknya merupakan bagian terintegrasi manajemen komprehensif penderita obesitas. Manajemen juga meliputi penanganan komplikasi obesitas sebagai tambahan dari manajemen obesitas

Hipertensi terkait obesitas seringkali tak terkontrol hanya

dengan satu jenis antihipertensi

Penanganan hipertensi terkait obesitas memerlukan

manajemen komprehensif terintegrasi

Page 44: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

44

6.3. Usulan Kebijakan dalam Pencegahan Hipertensi akibat Obesitas Hipertensi terkait obesitas umumnya terjadi bersamaan dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya, membicarakan hipertensi dan obesitas tak bisa dipisahkan dengan penyakit tak menular lainnya. Penyakit-penyakit tersebut merupakan komponen dari ‘penyakit tidak menular’ (PTM) yang sekarang mewabah secara global. Penyakit tidak menular terdiri dari; penyakit kardiovaskular (48%), kanker (21%), penyakit respirasi khronik (12%) dan diabetes mellitus (3.5%). Wabah penyakit ini ironisnya, terjadi dinegara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, sedangkan dinegara-negara berpenghasilan tinggi insidens sudah mulai menurun. Perkiraan terdapat sejumlah 36 juta kematian, atau 63% dari laju kematian global disebabkan oleh PTM tersebut. Faktor-faktor risiko bersama, yaitu berupa: kebiasaan merokok, diet atau makanan tidak sehat (tinggi lemak dan kolesterol serta garam), kurangnya aktifitas fisik/olah raga dan konsumsi alkohol berlebihan merupakan faktor-faktor determinan bersama PTM tersebut. Walaupun morbiditas dan mortalitas penyakit ini terutama terjadi pada orang dewasa muda, namun paparan terhadap faktor-faktor risiko tersebut sudah terjadi sejak anak-anak dan remaja. Mengingat besaran masalah tersebut begitu masif dan akan menimbulkan dampak terhadap pembiayaan kesehatan global dan regional, maka diperlukan upaya-upaya berupa strategi global untuk pencegahan dan pengendalian. Sekretariat dari ‘World Health Assembly’ sudah membangun suatu rencana aksi 2013-2020, berupa strategi global. Strategi pencegahan dan pengendalian tersebut berupa:

1. Memprioritaskan pencegahan dan pengendalian PTM di ranah global, regional dan nasional

2. Memperkuat kapasitas nasional, kepemimpinan, tata kelola, aksi lintas sektor dan kemitraan pemerintah dan swasta

3. Mengurangi faktor-faktor risiko PTM dan faktor determinan sosial melalui upaya promosi kesehatan termasuk menaikkan pajak tembakau.

4. Memperkuat orientasi sistem kesehatan melalui penguatan sistem layanan primer dan universal coverage.

5. Memperkuat kapasitas nasional untuk riset yang berkualitas terutama dalam aspek pencegahan dan pengendalian PTM

6. Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan program pencegahan dan pengendalian PTM.

Jika strategi global tersebut diterapkan secara komprehensif, maka diharapkan beberapa target akan tercapai pada tahun 2020, yaitu:

Page 45: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

45

a. Penurunan relatif sebesar 25% masing-masing komponen PTM

b. Dalam konteks nasional akan terjadi penurunan konsumsi alkohol sebesar 10%

c. Penurunan relatif ketidak aktifan fisik sebesar 10% d. Penurunan asupan garam sebesar 30% e. Penurunan kebiasaan merokok sebesar 30% terutama pada

usia 15 tahun keatas f. Penurunan relatif prevalensi hipertensi sebesar 25% g. Menghentikan peningkatan obesitas dan diabetes mellitus h. Secara nasional 50% penduduk mendapatkan akses untuk

pengobatan dan konsultasi untuk pencegahan stroke dan penyakit jantung koroner

i. Ketersediaan teknologi kesehatan dasar dan obat-obat generik sebesar 80% untuk PTM di fasiltas kesehatan publik dan swasta

Dengan upaya-upaya strategi global tersebut serta telah ditetapkannya target secara global, regional dan nasional diharapkan akan tercapai derajat kesehatan yang optimal terhadap PTM, termasuk hipertensi, obesitas dan penyakit kardiovaskular.

Page 46: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

46

Bab 7. Kesimpulan dan Penutup Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Obesitas berkaitan dengan beberapa abnormalitas sentral maupun perifer yang mengakibatkan terjadinya hipertensi, meliputi aktivasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron, juga berkaitan dengan disfungsi endotel dan perubahan fungsi ginjal. Hipertensi terkait obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat penting. Dengan peningkatan prevalensi obesitas, maka prevalensi hipertensi terkait obesitas beserta prevalensi penyakit serebro-kardiovaskular akan meningkat pula. Perkembangan ilmu pengetahuan tentang patofisiologi obesitas serta mekanisme pengaturan nafsu makan dan metabolisme diharapkan akan memperbaiki strategi pencegahan dan pengobatan hipertensi akibat obesitas serta penyakit kardiovaskular pada populasi obesitas. Selain itu sangat diperlukan kebijakan-kebijakan kesehatan yang dapat membantu menurunkan prevalensi obesitas maupun hipertensi dengan upaya pencegahan primordial dan primer di Indonesia, seiring dengan upaya strategi global, diharapkan akan tercapai derajat kesehatan yang optimal terhadap penyakit tak menular, termasuk hipertensi, obesitas dan penyakit kardiovaskular.

Page 47: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

47

DAFTAR PUSTAKA A diuretic for initial treatment of hypertension. Med Lett Drugs Ther. 2009;

51(1305): 9–10. Ardhanari S, Alpert MA, Aggarwal K. Cardiovascular Disease in Chronic

Kidney Disease: Risk Factors, Pathogenesis, and Prevention. Advances in Peritoneal Dialysis 2014; 30: 39-53

Bangalore S, Parkar S, Messereli FH. A Meta analysis of 94,492 patients with hypertension treated with beta blockers to determine the risk of new-onset diabetes mellitus. Am. J Cardiol 2007; 100: 1254-62

Bender S, Demarco V, Padilla J, Jenkins N, Habibi J, et a. Mineralocorticoid receptor antagonism treats obesity-associated cardiac diastolic dysfunction. Hypertension. 2015; 65: 1082-1088

Bhatt DL, Kandzari DE, O’Neill WW, D’Agostino R, Flack JM, Katzen BT, et al. A Controlled trial of renal denervation for resistant hypertension. N Engl J Med 2014: 370(15):1393-1401

Bramlage P, Pittrow D, Wittchen HU, et al. Hypertension in overweight and obes primary care patients is highly prevalent and poorly controlled. Am J Hypertens 2004; 17: 904-10.

Canadian Hypertension Program. The 2013 Canadian Hypertension Program Recommendations. www.hypertension.ca.

Cardillo C, Campia U, Iantorno M, Panza JA. Enhanced vascular activity of endogenous endothelin-1 in obes hypertensive patients. Hypertension. 2004; 43: 36–40.

Chan RSM and Woo J. Prevention of Overweight and Obesity: How Effective is the Current Public Health Approach. Int J Environ Res Public Health 2010; 7: 765 – 83.

Chapman N, Chen CY, Fujita T, Hobbs R, Kim SJ, Staessen JA. Time to re-appraise the role of alpha-1 adrenoreceptor antagonists in the management of hypertension? Journal of Hypertension 2010; 28: 1796-1803.

Cornelissen VA, Fagard RH. Effects of Endurance Training on Blood Pressure, Blood Pressure–Regulating Mechanisms, and Cardiovascular Risk Factors. Hypertension. 2005; 46: 667-75.

Cutler JA, Davis BR. Thiazide-type diuretics and beta-adrenergic blockers as first-line drug treatments for hypertension. Circulation. 2008; 117(20): 2691–704.

Da Silva AA, Kuo JJ, Tallam LS, Hall JE. Role of endothelin-1 in blood pressure regulation in a rat model of visceral obesity and hypertension. Hypertension. 2004; 43: 383–387.

Dahlof B, Sever PS, Poulter NR, Wedel H, Beevers DG, Caulfield M, et al. Prevention of cardiovascular events with an antihypertensive regimen

Page 48: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

48

of amlodipine adding perindopril as required versus atenolol adding bendroflumethiazide as required, in the Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial-Blood Pressure Lowering Arm (ASCOT-BPLA): a multicentre randomised controlled trial. Lancet. 2005; 366(9489): 895–906.

DeMarco VG, Aroor AR, Sower JR. The pathophysiology of hypertension in patients with obesity. Nat Rev. Endocrinol. 2014; 10: 364-76.

Dobrian AD, Schriver SD, Khraibi AA, Prewitt RL. Pioglitazone prevents hypertension and reduces oxidative stress in diet-induced obesity. Hyper- tension. 2004; 43: 48–56.

Dorsch MP, Gillespie BW, Erickson SR, Bleske BE, Weder AB. Chlorthalidone reduces cardiovascular events compared with hydrochlorothiazide: a retrospective cohort analysis. Hypertension. 2011; 57(4): 689–94.

Eknoyan G. Obesity and chronic kidney disease. Nefrologia 2011; 31: 397-403

El-Atat F , Aneja A, Mcfarlane S, Sowers J. Obesity and hypertension. Endocrinol Metab Clin North Am. 2003; 32(4): 823-54.

Ernst ME, Carter BL, Basile JN. All thiazide-like diuretics are not chlorthalidone: putting the ACCOMPLISH study into perspective. J Clin Hypertens (Greenwich). 2009; 11(1): 5–10.

Feairheller DL, Diaz KM,. Kashem MA, Thakkar SR, Veerabhadrappa P, et al. Effects of Moderate Aerobic Exercise Training on Vascular Health and Blood Pressure in African Americans. J Clin Hypertens (Greenwich). 2014; 16: 504-10.

Flegal KM, Kit BK, Orpana H, Graubard BI. Association of all-cause mortality with overweight and obesity using standard body mass index categories. A systematic review and meta-analysis. JAMA 2013; 309: 71–82.

Fox CS, Massaro JM, Hoffmann U, et al. Abdominal visceral and subcutaneous adipose tissue compartments. Association with metabolik risk factors in the Framingham Heart Study. Circulation 2007; 116: 39-48.

Grassi G, Seravalle G, Dell’Oro R, Turri C, Bolla GB, Mancia G. Adrenergic and reflex abnormalities in obesitu-related hypertension. Hypertension 2000; 36: 538-42

Guo C, Ricchiuti V, Lian B, Yao T, Coutinho P, et a. Mineralocorticoid receptor blockade reverses obesity-related changes in expression of adiponectin, peroxisome proliferator-activated receptor-γ, and proinflammatory adipokines. Circulation. 2008; 117: 2253-61

Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th ed. Saunders: 2015. p 398-403.

Page 49: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

49

Hall JE, Hildebrandt D, Kuo J. Obesity hypertension: Role of Leptin and Sympathetic Nervous System. Am J Hypertens. 2001; 14: 1035-1155.

Hall ME, Carmo JM, da Silva AA, Juncos LA, Wang Z, Hall JE. Obesity,

Hypertension and Chronic Kidney Disease. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease 2014; 7: 75-88

Hayne WG. Interaction between leptin and sympathetic nervous system in hypertension. Curr Hypertens Rep. 2000; 2: 311-18

Heart & Stroke Foundation. The DASH diet to lower high blood pressure. http://www.heartandstroke.com/site/c.ikIQLcMWJtE/b.3862329/k.4F4/Healthy_living__The_DASH_Diet_to_lower_blood_pressure.htm

Hirata A, Maeda N, Hiuge A, Hibuse T, Fujita K, et a. Blockade of mineralocorticoid receptor reverses adipocyte dysfunction and insulin resistance in obes mice. Cardiovascular research. 2009; 84: 164-72

Horita S, Seki G, Yamada H, Suzuki M, Koike K, Fujita T. Insulin resistance, obesitas, hipertension, and renal natrium transport. Int J Hypertens. 2011; 2011: 391762

Hypertension. J Clin Hypertens (Greenwich). 2013; 15(1): 14-33 Inoue, S., Zimmet, P., Caterson, I., Chunming, C., Ikeda, Y., Khalid, A.,

Kim, Y., and Bassett, J. (2000). The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its treatment. Health Communications Australia Pty Limited, Australia, p. 1-56

Jordan J, Engeli S, Boye SW, Breton SL, Keefe DL. Direct renin inhibition with aliskiren in obes patients with arterial hypertension. Hypertension. 2007; 49: 1047-55.

Julius S, Valentini M, Palatini P. Overweight and hypertension: a 2-way street? Hypertension 2000; 35: 807–13

Kabra NK. Alpha blockers and metabolik syndrome. Supplement to journal of the association of physicians of India 2014; 62: 13-6

Kalil GZ, Haynes WG. Sympathetic nervous system in obesity-related hypertension: mechanism and clinical implications. Hypertens Res. 2012; 35: 4-16.

Kamal Rahmouni, Marcelo L.G. Correia, William G. Haynes and Allyn L. Mark. Obesity-Associated Hypertension: New Insights Into Mechanisms. Hypertension. 2005; 45: 9-14

Kannel W.B, Garrison RJ, Dannenberg AL. Secular blood pressure trends in normotensive persons: the Framingham Study. Am Heart J. 1993; 125(4): 1154-8

Kaplan NM. The choice of thiazide diuretics: why chlorthalidone may replace hydrochlorothiazide. Hypertension. 2009; 54(5): 951–3.

Page 50: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

50

Karlafti E, Hatzitolios A, Savopoulos Ch. The role of moxonidine, a second generation centrally acting antihypertensive agent as antihypertensive therapy in the obes. Hippokratia. 2014; 18(2): 189.

Katzmarzyk OT, Mire E, and Bouchard C. Abdominal obesity and mortality:

The Pennington Center Longitudinal Study. Nutr Diabetes. 2012; 2(8): e42.

Kearney PM, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton PK, He J. Global burden of hypertension: analysis of worldwide data. Lancet. 2005; 365(9455): 217-23.

Khan N, McAlister FA. Re-examining the efficacy of beta-blockers for the treatment of hypertension: a meta-analysis. CMAJ. 2006;174(12): 1737–42.

Khosla N, Chua DY, Elliott WJ, Bakris GL. Are chlorthalidone and hydrochlorothiazide equivalent blood-pressure-lowering medications? J Clin Hypertens (Greenwich). 2005; 7(6): 354–6.

Kidambi S, Kotchen TA. Treatment of hypertension in obes patients. Am J Cardiovasc Drugs. 2013; 13(3): 163-76.

Kissebah AH, Krakower GR. Regional adiposity and morbidity. Physiol Rev. 1994; 74(4): 761-811.

Kotsis V, Stabouli S, Papakatsika S, Rizos Z, Parati G. Mechanisms of obesity-induced hypertension. Hypertension Research. 2010; 33: 386–93.

Lamina S. Effect of Continuous and Interval Training Programs in the Management of Hypertension: A Randomized Controlled Trial. J Clin Hypertens (Greenwich). 2010; 12: 841–9.

Landsberg L, Aronne LC, Beilin LC, Burke V, Igel LI, Lloyd-Jones D, et al. Obesity Related Hypertension: Pathogenesis, Cardiovascular Risk, and Treatment. A Position Paper of the Obesity Society and The American Society of Hypertension. J Clin Hypertens 2013; 15: 14 – 33.

Lebovitz HE, Banerji MA, Insulin Resistance? What Is It And How We Can Heal. Recent Progress in Hormone Research. 2001, 56: 265-94.

Lindholm LH, Carlberg B, Samuelsson O. Should beta blockers remain first choice in the treatment of primary hypertension? A meta-analysis. Lancet. 2005; 366(9496): 1545–53.

MacMahon SW, Macdonald GJ, Bernstein L, Andrews G, Blacket RB. Comparison of weight reduction with metoprolol in treatment of hypertension in young overweight patients. Lancet. 1985; 1(8440): 1233–6.

Mancia G, De Backer G, Dominiczak A, Cifkova R, Fagard R, Germano G, et al. 2007 Guidelines for the management of arterial hypertension: The Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the

Page 51: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

51

European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2007; 28(12): 1462–536.

Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redo´n J, Zanchetti A, et al. 2013 ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension. J Hypertens 2013, 31: 1281–1357.

Mayo Clinic; DASH diet: Healthy eating to lower your blood pressure

http://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/nutrition-and-healthy-eating/in-depth/dash-diet/art-20048456

Mather KJ, Lteif A, Steinberg HO, Baron AD. Interactions between endothelin and nitric oxide in the regulation of vascular tone in obesity and diabetes. Diabetes. 2004; 53: 2060–6.

Menon DV, Arbique D, Wang Z, Adams-Huet B, Auchus RJ, Vongpatanasin W. Differential effects of chlorthalidone versus spironolactone on muscle sympathetic nerve activity in hypertensive patients. J Clin Endocrinol Metab. 2009; 94(4): 1361–6.

Messerli FH, Bangalore S, Julius S. Risk/benefit assessment of beta-blockers and diuretics precludes their use for first-line therapy in hypertension. Circulation. 2008; 117(20): 2706–15.

Myron H. Weinberger : Salt sensitivity of Blood Pressure in Humans: Indiana University School of Medicine, Indianapolis. Hypertension. 1996: 27(3): 481 – 90.

Naguib MT. Kidney Disease in The Obes Patient. South Med J 2014; 107: 481-5

Oliver JP, Christen MO. I1-imidazoline-receptor agonists in the treatment of hypertension: an appraisal of clinical experience. J Cardiovasc Pharmacol. 1994; 24 Suppl 1: S39-48.

Pollare T, Lithell H, Berne C. A comparison of the effects of hydrochlorothiazide and captopril on glucose and lipid metabolism in patients with hypertension. N Engl J Med. 1989; 321(13): 868–73.

Prospective Studies Collaboration. Body-mass index and cause specific mortality in 900 000 adults: collaborative analyses of 57 prospective studies. Lancet 2009; 373: 1083-96.

Psaty BM, Lumley T, Furberg CD. Meta-analysis of health outcomes of chlorthalidone-based vs nonchlorthalidone-based low-dose diuretic therapies. JAMA. 2004; 292(1): 43–4.

Rahmouni K, Correia ML, Haynes WG, Mark AL. Obesity-associated hypertension: new insights into mechanisms. Hypertension. 2005; 45: 9-14

Razinia T. BMI and stroke discharge outcomes after ischemic stroke. Archives of Neurology. 2007; 64: 388-39

Page 52: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

52

Reaven GM, Clinkingbeard C, Jeppesen J, Maheux P, Pei D, Foote J, et al. Comparison of the hemodynamic and metabolik effects of low-dose hydrochlorothiazide and lisinopril treatment in obes patients with high blood pressure. Am J Hypertens. 1995; 8(5 Pt 1): 461–6.

Redon J, Cifkova R, Laurent S, Nilsson P, Narkiewicz K, Erdine S, et al.

The metabolik syndrome in hypertension: European society of hypertension position statement. J Hypertens 2008; 26: 1891 – 1900.

Reisin E, Weir MR, Falkner B, Hutchinson HG, Anzalone DA, Tuck ML. Lisinopril versus hydrochlorothiazide in obes hypertensive patients. Hypertension. 1997; 30: 140-5.

Ruth S. Weinstock, MD, PhD; Huiliang Dai, MD; Thomas A. Wadden, PhD. Arch Intern Med. 1998; 158(22): 2477-83.

Schaeffer N, Lohmann C, Winnits S, Miranda M, Neusberger J, et a. Endothelial mineralocorticoid receptor activation mediates endothelial dysfunction in diet-induced obesity. Eur Heart J. 2013; 34: 3515-24

Sever PS, Dahlöf B, Poulter NR, Wedel H, Beevers G, Caulfield M, Collins R, Kjeldsen SE, Kristinsson A, McInnes GT, Mehlsen J, Nieminen M, O'Brien E, Ostergren J; ASCOT investigators. Prevention of coronary and stroke events with atorvastatin in hypertensive patients who have average or lower-than-average cholesterol concentrations, in the Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial--Lipid Lowering Arm (ASCOT-LLA): a multicentre randomised controlled trial. Lancet. 2003 Apr 5; 361(9364): 1149-58.

Sharma AM, Pischon T, Engeli S, Scholze J. Choice of drug treatment for obesity-related hypertension: where is the evidence? J Hypertens. 2001; 19(4): 667–74.

Sharma AM, Pischon T, Hardt S, Kunz I, Luft FC. Hypothesis: beta-adrenergic receptor blockers and weight gain: A systematic analysis. Hypertension. 2001; 37(2): 250–4.

Sica DA. Chlorthalidone: has it always been the best thiazide-type diuretic? Hypertension. 2006; 47(3): 321–2.

Silva Ad, doCarmo J, Dubinion J, Hall JE. Role Of Sympathetic Nervous System In Obesity Related Hypertension. Curr Hypertens Rep. 2009; 11(3): 206.

Sperling LS, Mechanik JI, Neeland IJ, Herrick CJ, Despres JP, Ndumele CE, et al. TheCardioMetabolik Health Alliance: Working Toward a New Care Model for the Metabolik Syndrome. J Am Coll Cardiol 2015; 66(9): 1050-67.

Stenvinkel P, Zoccali C, Ikizler TA. Obesity in CKD- What Should Nephrologist Know?. J Am Soc Nephrol 2013; 24: 1727-36

Page 53: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

53

The Look AHEAD Research Group. Cardiovascular Effects of Intensive Lifestyle Intervention in Type 2 Diabetes. N Engl J Med 2013; 369: 145-54.

The National Institute for Health and Clinical Excellence. The Clinical

Management of Primary Hypertension in Adults. The Clinical Guideline Centre.

Thomas F, Bean K, Pannier B, Oppert JM, Guize L, Benetos A. Cardiovascular mortality in overweight subjects: the key role of associated risk factors. Hypertension 2005; 46: 654–9

Tuck ML. Obesity, the sympathetic nervous system, and essential hypertension. Hypertension. 1992; 19(1 Suppl): I67–77.

U.S Department of Health and Human Services. Your guide to lowering blood pressure. https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/public/heart/ hbp_low.pdf

Verlohren S, Dubrovska G, Tsang SY, Essin K, Luft FC, Huang Y, Gollasch M. Visceral periadventitial adipose tissue regulates arterial tone of mesenteric arteries. Hypertension. 2004; 44: 271–6.

Victor RG. Carotid baroreflex activation therapy for resistant hypertension. Nature Reviews Cardiology 2015: 12; 451-63

Verguet S, Gauvreau CL, Mishra S, MacLennan M, Murphy SM, Brouwer ED, et al. The consequences of tobacco tax on household health and finances in rich and poor smokers in China: an extended cost – effectiveness analysis. Lancet Glob Health 2015; 3: 206 – 16.

Vogt B, Bochud M, Burnier M. The association of aldosterone with obesity-related hypertension and the metabolik syndrome. Semin Nephrol. 2007; 5: 529-37

Waib PH, Goncalves MI, Silvia R. Barrile SR. Improvements in Insulin Sensitivity and Muscle Blood Flow in Aerobic-Trained Overweight-Obes Hypertensive Patients Are Not Associated With Ambulatory Blood Pressure. J Clin Hypertens (Greenwich) 2011; 13: 89-96.

WebMD. High blood pressure and the DASH diet. http://www.webmd.com/ hypertension-high-bloodpressure/guide/dash-diet

Williams B. The obes hypertensive: the weight of evidence against beta-blockers. Circulation. 2007; 115(15): 1973–4.

Wilson PW, D'Agostino RB, Sullivan L, Parise H, Kannel WB. Overweight and obesity as determinants of cardiovascular risk: the Framingham experience. Arch Intern Med. 2002; 162(16): 1867-72.

World Health Organization. Global Action Plan for the Prevention and Control of Noncommunicable Disease 2013 – 2020. World Health Organization 2013

Page 54: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

54

World Health Oraganization. A Prioritized Agenda for Prevention and Control of Noncommunicable Disease. World Health Organization 2011

Ye J. Mechanisms of insulin resistance in obesity. Front Med. 2013; 7(1): 14-24.

Yumuk V, Tsigos C, Fried M, Schindler K, Busetto L, Micic D, Toplak H. European guidelines for obesity management in adults. Obes Facts. 2015; 8: 402-24.

Zidi W, Allal-Elasmi M, Zayani Y, Zaroui A, Guizani I, Feki M, et al. Metabolik Syndrome, Independent Predictor for Coronary Artery Disease. Clin Lab 2015; 61(10): 1545-52.

Page 55: HIPERTENSI DAN OBESITAS...meningkatkan aktivitas saraf simpatis melalui efek langsung pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer, baik pada jaringan termogenik yang akan meningkatkan

55

PENYUSUN Editor: Dr.dr.Antonia Anna Lukito, SpJP(K), FIHA Daftar kontributor: dr.Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA Dr.dr.Airiza Achmad, SpS dr.Ann Arieska Soenarta, SpJP(K), FIHA Dr.dr.Antonia Anna Lukito, SpJP(K), FIHA Dr.dr.Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA dr.A Sari S Mumpuni, SpJP(K), FIHA Dr.dr. Bambang Widyantoro, SpJP, FIHA dr.BRM Ario Suryo, SpJP(K), FIHA dr.Ekawatidani Yulianti, SpS dr.Erwinanto, SpJP, FIHA Prof.Dr.dr.Ketut Suwitra, SpPD-KGH dr.Maruhum Bonar Marbun, SpPD-KGH dr.Nani Hersunarti, SpJP(K), FIHA dr.Pringgodigdo Nugraha, SpPD-KGH dr.Rarsari Soerarso Pratikto, SpJP, FIHA Dr.dr.Ria Bandiara, SpPD-KGH dr.Rossana Barrack, SpJP, FIHA Prof.Dr.dr Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH dr. Siska Suridanda Dani, SpJP(K), FIHA Prof.Dr.dr Soetomo Kasiman, SpJP(K), FIHA Prof.Dr.dr Suhardjono, SpPD, KGer, KGH Prof.Dr.dr Syakib Bakrie, SpPD-KGH dr.Tunggul Situmorang, SpPD-KGH dr.Yohanna Kusuma, SpS Dr.dr.Yuda Turana, SpS