BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Blok 21 merupakan blok metabolik endokrin 2. Dimana pada blok ini akan dibahas mengenai sistem endokrin pada manusia dalam segi klinik. Dan dalam kasus yang diberikan pada PBL 1 sebelumnya. Telah diberikan skenario yang dimana data-data tersebut menjurus kearah diagnosis hiperparatiroid primer. Hiperparatiroid terdiri dari sekelompok sindroma yang tumpang tindih yang disebabkan oleh sekresi hormon paratiroid yang berlebihan. Hiperkalsemia merupakan tanda biokimiawi yang utama dari kelainan ini. Dimana hormon paratiroid ini sangat penting bagi metabolisme kalsium dalam tubuh dan sangat esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu jika terjadi gangguan yang serius, maka dapat berakibat fatal. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tersebut serta pemecahan permasalahnya dalam skenario yang telah diberikan. II. Tujuan Tujuan dibuatnya makalah ini adalah lebih kepada pembelajaran mandiri mengenai system endokrin manusia. Makalah ini dibuat berdasarkan diskusi kasus yang telah diberikan pada PBL 1 sebelumnya. Di makalah ini akan lebih membahas salah 1
PBL blok 21 Sistem Endrokinologi dan Metabolik II Fakultas Kedokteran UKRIDA 2008
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Blok 21 merupakan blok metabolik endokrin 2. Dimana pada blok ini akan dibahas
mengenai sistem endokrin pada manusia dalam segi klinik. Dan dalam kasus yang diberikan
pada PBL 1 sebelumnya. Telah diberikan skenario yang dimana data-data tersebut menjurus
kearah diagnosis hiperparatiroid primer.
Hiperparatiroid terdiri dari sekelompok sindroma yang tumpang tindih yang disebabkan
oleh sekresi hormon paratiroid yang berlebihan. Hiperkalsemia merupakan tanda biokimiawi
yang utama dari kelainan ini. Dimana hormon paratiroid ini sangat penting bagi metabolisme
kalsium dalam tubuh dan sangat esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu
jika terjadi gangguan yang serius, maka dapat berakibat fatal. Untuk itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai penyakit tersebut serta pemecahan permasalahnya dalam skenario
yang telah diberikan.
II. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah lebih kepada pembelajaran mandiri mengenai
system endokrin manusia. Makalah ini dibuat berdasarkan diskusi kasus yang telah diberikan
pada PBL 1 sebelumnya. Di makalah ini akan lebih membahas salah satu penyakit pada
sistem endokrin manusia, yaitu penyakit hiperparatiroid primer. Diharapkan dengan membuat
makalah ini, penyusun dapat mengerti dengan baik mengenai penyakit tersebut, dan juga
untuk pemenuhan tugas PBL kali ini.
1
BAB II
ISI
I. Pemeriksaan
Anamnesis
Anamnesis cermat akan sangat membantu dalam mendapatkan gejala hiperkalsemia dan
mendapatkan petunjuk tentang etiologi. Walaupun diagnosis hiperparatiroidisme primer dapat
ditegakkan dengan terpercaya pada kebanyakan pasien setelah pemeriksaan yang tepat,
namun semua sebab lain hiperkalsemia harus dipertimbangkan dan disingkirkan.1
Hiperkalsemia umumnya mencerminkan adanya penyakit dasar yang serius yang
mungkin tidak diduga sewaktu melakukan evaluasi awal. karena itu, pasien hiperkalsemia
mula-mula harus dianamnesis ulang dan dilakukan pemeriksaan fisik dengan tujuan-tujuan
khusus di pikiran kita. Hal ini mencakup evaluasi terpennci mengenai lamanya penyakit, obat-
obat yang digunakan (antasida kalsium karbonat dapat menaikkan kalsium serum), asupan
makanan (cukup vitamin D atau tidak), kemungkinan adanya penyakit endokrin yang tidak
berhubungan dengan mineral, riwayat adanya nefrolitiasis dalam catatan (foto-rontgen lama),
gejala-gejala kanker, riwayat adanya kelainan-kelainan endokrin dan mineral dalam keluarga,
dan kemungkinan adanya kelenjar limfe atau massa yang dapat diraba, lesi-lesi atau
pigmentasi pada kulit (metastasis), dan tiromegali, hepatomegali atau splenomegali.2
Fisik
Anamnesis tetap menempati kedudukan yang penting dalam pemeriksaan kelainan
kelenjar paratiroid. Kelenjar paratiroid normal tidak dapat diraba, bahkan pada pembedahan sering
kali sulit diidentifikasi. Sementara itu, tumor kelenjar paratiroid karena terletak di posterior
kelenjar tiroid, jarang dapat dipalpasi, atau jika cukup besar, sulit dibedakan dengan tumor
kelenjar tiroid sendiri. Pemeriksaan fisik lebih kepada ciri-ciri klinis akibat oplikasi
hiperkalsemia, pemeriksaan tersebut dapat mencakup;1,3
Observasi dan palpasi adanya deformitas tulang.
Amati perubahan warna kulit, apakah tampak pucat.
Perubahan kesadaran, bila kadar kalsium tetap tinggi, maka akan tampak tanda psikosis
organ seperti bingung bahkan koma dan bila tidak ditangani kematian akan mengancam.3,4
2
Penunjang
1. Biokimia
Bila hiperkalsemia dilaporkan pada penyaringan biokimia, maka tes ini harus diulangi
atas contoh darah yang diambil tanpa stasis vena dan dikoreksi untuk albumin serum. Jika
hiperkalsemia dikornfirmasi, maka penelitian laboratorium tambahan harus didapatkan yang
mencakup BUN, kreatinin serum, kiorida. fosfat, fosfatase alkali dan analisis terminal—C
PTH. Perincian pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini;1
2. Biokimia Serum dan Urine
Beberapa kali pengukuran di serum dan urin mungkin bermanfaat untuk memutuskan
pasien-pasien hiperkalsemia apakah termasuk kategori paratiroid dan non paratiroid.
Hiperfosfatemia tanpa disertai adanya kegagalan ginjal yang berat lebih menunjukkan adanya
sebab non paratiroid. Peningkatan klorida dalam serum lebih menunjang adanya hiper-
paratiroidisme primer. Peningkatan fosfatase alkali serum lebih sering terjadi pada pasien-
pasien kanker dibandingkan hiperparatiroidisme primer dan, bila tidak terdapat bukti foto
rontgen adanya hiperparatiroidisme di tulang belulang, harus dipikirkan kemungkinan adanya
hiperparatiroidisme ektopik. Abnormalitas-abnormalitas pada nilai globulin dalam
elektroforesis protein serum menunjukkan ke arah adanya mieloma muitipel atau sarkoidosis,
tetapi adanya peningkatan gamma globulin yang menghilang setelah dilakukan
paratiroidektomi telah dicatat terjadi pada hiperparatiroidisme primer. Walaupun peningkatan
nilai laju endap darah dan anemia telah pula dicatat terjadi pada hiperparatiroidisme primer,
3
hasil ini lebih diduga terjadi akibat sebab-sebab non paratiroid dari hiperkalsemia yang ada,
terutama akibat kanker.1,2,5
Pengukuran kalsium di urin pada pasien-pasien hiperkalsemia umumnya kurang
bermanfaat, kecuali bila hasilnya rendah. Hasil pemeriksaan tersebut mungkin merupakan
satu-satunya kunci untuk mengetahui adanya hipokalsiuria hipokalsemia familial.2
3. Pengukuran Imunologis Hormon Paratiroid (iPTH) pada Hipertiroidisme Primer
Tahun-tahun terakhir ini karena dikembangkannya pengukuran imunologis yang sensitif
dan spesifik terhadap PTH dalam serum. Pada saat di mana pasien sekali dievaluasi secara
menyeluruh untuk mencari kelainan-kelainan non paratiroid yang dapat menyebabkan
hiperkalsemia, kecenderungan sekarang adaiah menggunakan pengukuran iPTH serum dan
kalsium untuk menentukan apakah pasien termasuk dalam kelompok yang mempunyai lesi-
lesi di paratiroid yang dapat direseksi dengan pernbedahan atau kelompok yang membutuhkan
evaluasi diagnosis lebih dahulu untuk dicari penyebab hiperkalsemia.2
Pada umumnya, pengukuran iPTH serum membagi pasien hiperkalsemia menjadi dua
katagori. Menggunakan assay regio tengah yang.sensitif dan spesifik, serum iPTH meningkat
pada 90% pasien hipertiroidisme primer dan sisanya meningkat tidak sesuai untuk kadar
kalsium serum (di atas batas atas formal). Pada kebanyakan pasien kelainan non-paratiroid
yang menyebabkan hiperkalsemia, iPTH serum tidak terdeteksi atau rendah kecuali disertai
hiperparatiroidisme, pada kasus peningkatannya sesuai untuk kadar kalsium serum. Jadi
mungkin, menggunakan iPTH serum, untuk mendiagnosis hiperparatiroidisme primer, atu
penyakityang dapat disembuhkan, walau pad adanya kelainan nonparatiroid lain yang juga
berpotensi menyebabkan hiperkalsemia sendiri.2,4
4. cAMP Nefrogenik
Sekitar 40-50% dari cAMP yang diekskresi melalui urin berasal dari sel-sei tubulus
renalis. Produksi dan pelepasannya dari sel ke dalam urin hampir seluruhnya dikontrol oleh
PTH. Komponen cAMP di urin ini dapat diperkirakan dengan tepat dan ini dikenal sebagai
cAMP nefrogenik. Nilainya lebih dari normal pada kurang lebih 80% pasien-pasien
hiperparatiroidisme primer. dijumpainya kadar cAMP yang rendah pada pasien-pasien
hiperkalsemia non paratiroid tapi bukan kanker, uji ini mungkin bermanfaat pada pasien-
pasien yang kadar iPTHnya dalam serum tidak jelas meningkat. Pada pasien-pasien ini, kadar
cAMP nefrogenik yang rendah menimbulkan dugaan bahwa nilai iPTH serum bersifat
4
artifaktual dan dapat dijadikan alasan bahwa keadaan tersebut bukan hiperparatiroidisme
primer, sedangkan nilai yang normal atau meningkat merupakan konfirmasi nilai iPTH serum
dan menyokong keadaan tersebut.2
5. Radiologi
a. Pemeriksaan yang sering dilakukan diantaranya ialah pencitraan dengan menggunakan
penanda Sestamibi, di mana zat radionuklir tersebut terkonsentrasi pada kelenjar tiroid dan
paratiroid, dan biasanya akan hilang dalam waktu kurang dari satu jam, tetapi akan
bertahan pada kelenjar paratiroid yang engalami kelainan. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas 60-90%. Kelemahan dari pemeriksaan ini ialah tidak dapat mendeteksi kelainan
kelenjar yang multipel.2,4,6
b. Ultrasonografi leher mempunyai kemampuan yang sama dibandingkan Sestamibi scanning,
akan tetapi tergantung pada operatornya sehingga memberikan tingkat akurasi yang
berbeda-beda. Keuntungan dari ultrasonografi leher ialah dapat dilakukan segera pada saat
awal evaluasi, akan tetapi juga tidak dapat mendeteksi pada kelainan kelenjar yang
multipel.2
c. Foto Rontgen
Perubahan tulang dapat dideteksi dengan pemeriksaan sinar-x atau pemindai tulang pada
kasus-kasus penyakit yang sudah lanjut. Penggambaran dengan sinar X pada abdomen bisa
mengungkapkan adanya batu ginjal dan jumlah urin selama 24 jam dapat menyediakan
informasi kerusakan ginjal dan resiko batu ginjal.
Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
Cystic-cystic dalam tulang
Trabekula di tulang6
d. Pemeriksaan USG, MRI, Pemindai thallium serta biopsi jarum halus telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi paratiroid dan untuk menentukan lokasi kista, adenoma serta
hiperplasia pada kelenjar paratiroid.1,2,6
II. Working diagnosis
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, gejala-gejala klinis yang ada, anamnesis
dan pemeriksaan fisik, serta data-data lain yang disebutkan dalam skenario. Wanita tersebut
dapat didiagnosa menderita hiperparatiroid primer atau biasa disebut juga sebagai
5
hiperparatiroidisme primer. Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu penyebab
tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain adalah keganasan.6 Kelainan ini jauh lebih lazim
terjadi pada orang diatas usia 40 tahun dan dua kali lebih lazim pada wanita dibandingkan
pria.6
Hiperparatiroidisrne adalah suatu keadaan dimana kelenjar-kelenjar paratiroid
memproduksi lebih banyak hormon paratiroid dari biasanya.6 Diagnosis hiperparatiroidisme
primer harus ditegakkan dengan kepastian sebelum operasi. Kelainan biokimia penting
(tampil dalam paling kurang 90 persen pasien) suatu peningkatan kadar kalsium serum
dengan peningkatan serentak kadar termina C-PTH.7 Penting agar analisis kalsium dan PTH
dilakukan pada contoh serum yang sama dan bahwa tes ini diulangi jika hasilnya tidak
menyimpulkan.1
III. Differential Diagnosis
1. Hiperparatiroid Sekunder
Merupakan suatu keadaan dimana jika jumlah hormon paratiroid yang dieksresi lebih
banyak karena kebutuhan dari tubuh maka keadaan ini disebut hiperparatiroidisrne sekunder.
Hiperparatiroid sekunder ini merupakan kelainan yang didapat yang timbul akibat
hipokalsemia yang lama yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi vitamin D
maupun keadaan resisten terhadap vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan kadar
PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium serum yang normal atau rendah.6,7
Keadaan hipokalsemia kronika merangsang glandula parathyroidea dan hasil akhirnya
hiperparatiroidisme sekunder. Sebabnya mencakup defisiensi kalsium atau vitamin D diet,
malabsorpsi usus dan terlazim insuiisiensi ginjal kronika.10 Pada hiperparatiroidisme sekunder
yang refrakter, sekresi PTH tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya sudah
diperbaiki.6
2. Hiperparatiroid Tersier
Hiperparatiroidisme tersier adalah suatu varian hiperparatiroidisme sekunder. Istilah ini
digunakan oleh beberapa ahli untuk menggambarkan fase penyakit ini tempat glandula
parathyroidea hipertrofi ke suatu ukuran, yang mereka tidak lagi berespon secara flsiologi
terhadap konsentrasi kalsium serum diionisasi dan fungsinya.1
6
Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan perubahan pada kelenjar
paratiroid menjadi otonom dan berkembang menjadi keadaan seperti hiperparatiroidisme
primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier.7
Hiperparatiroidisme tersier adalah perkembangan dari hiperparatiroidisme sekunder yang telah diderita lama. Penyakit hiperparatiroidisme tersier ini ditandai dengan perkembangan hipersekresi hormon paratiroid karena hiperkalsemia.3
Hiperparatiroidisme tersier paling umum diamati pada pasien penderita
hiperparatiroidisme sekunder yang kronis dan yang telah menjalani cangkok ginjal. Kelenjar
hipertrophied paratiroid gagal kembali menjadi normal dan terus mengeluarkan hormon
paratiroid berlebih, meskipun kadar cairan kalsium masih dalam level normal atau bahkan
berada diatas normal. Pada kasus ini, kelenjar hipertropid menjadi autonomi dan
menyebabkan hiperkalsemia, bahkan setelah penekanan kadar kalsium dan terapi kalsitriol.
Penyakit tipe ketiga ini sangat berbahaya karena kadar phosfat sering naik.13
Manifestasi klinis dari hiperparatiroidisme tersier meliputi hiperparatiroidisme yang
kebal setelah pencangkokan ginjal atau hiperkalsemia baru pada hiperparatiroidisme sekunder
akut.3
3. Hiperkalsemia Nonparatiroid
Sebab-sebab yang mendasari hiperkalsemia pada keadaan-keadaan yang termasuk dalam
kategori kedua (berhubungan dengan non-PTH) sangat bervariasi dan sebagian tidak dapat
dipastikan.
a. Hiperkalsemia pada keganasan
Tampaknya bukan karena suatu metastasis pada tulang yang menyebabkan
hiperkalsemia kronis hanya karena adanya lesi ruang tersebut. Yang lebih mungkin, tumor-
tumor maligna tersebut menimbulkan faktor-faktor osteolitik humoral yang sama setelah dan
sebelum bermetastasis ke tulang. Faktor-faktor ini mencakup substansi-substansi "PTH- like",
prostaglandin, dan faktor aktivitasi osteoklas (OAF). Diduga setiap satu atau kombinasi dari
humor-humor tersebut mungkin disekresi secara sis-temik oleh tumor asal dalam jumlah yang
cukup atau dilepas oleh metastase tumor di tulang untuk menstimulasikan osteolisis lokal
yang akan menyebabkan hiperkalsemia. Kadar iPTH dalam serum pasien-pasien hiperpara-
tiroidisme primer dan hiperkalsemia yang selingkat adalah lebih tinggi pada pasien dengan
hiperkalsemia akibat kanker. Juga, ekskresi cAMP nefro-genik pada banyak pasien dengan
7
hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker adalah sama atau lebih besar pada pasien-
pasien dengan hiperparatiroidisme primer.2
b. Hipokalsiuria hiperkalsemia familial (hiperkalsemia familial benigna)
Sindroma ini mungkin merupakan kelainan penting kedua pada diagnosis banding
hiperparatiroidisme primer. Keadaan ini diturunkan melalui pola autosomal dominan dan
biasanya khas ditandai dengan hiperkalsemia yang asimtomatik atau ringan, hipokalsiuria,
hipermagnesemia ringan (yang bervariasi), dan kadar iPTH dalam serum yang normal sampai
rendah. respons cAMP nefrogenik terhadap PTH eksogen dan endogen lebih nyata pada
pasien-pasien hipokalsiuria hiperkalsemia familial diban-dingkan dengan orang yang normal
atau pada pasien-pasien hiperparatiroidisme primer. Hiperkalsemia pada sindroma familial ini
sebagian mungkin disebabkan oleh hipersensiiivitas ginjal terhadap efek hipokalsiuriadari
PTH. Namun demikian, menetapnya peningkatan reabsorpsi kalsium pada tu-buius renalis
setelah paratiroideklomi dan diketahui tidak adanya sekuele khas hiperparatiroidisme primer
(seperti, batu-batu ginjal dan osteitis fibrosa kistika) pada pasien-pasien tersebut jelas
menunjukkan bahwa hipersensitivitas jaringan terhadap PTH mungkin bukan satu-satunya
penyebab kelainan. Mungkin kelainan ini melibatkan sensitivitas titik acu kefenjar paratiroid
abnormal terhadap ion kalsium ekstraselular (seperti pada hiperkalsemia litium).2
4. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas
massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang secara progresif sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah.3 Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat,
sehingga tulang menjadi keras dan padat. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan
mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah
osteoporosis. Ini dapat dilihat pada penilaian densitas tulang pada pemeriksaan DXA.8,9
Diagnosis secara klinis sulit dinilai karena tidak ada rasa nyeri pada tulang saat
osteoporosis terjadi, walaupun osteoporosis lanjut. Rasa nyeri pada tulang timbul saat
terjadinya fraktur atau mikro fraktur. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca
menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat
defisiensi estrogen.10
Osteopororsis dibagi dua kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan
osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui
8
penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui
penyebabnya.11
Osteoporosis primer dibagi atas osteoporosis tipe 1 dan 2. Osteoporosis tipe 1, disebut
juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan defisiensi estrogen akibat menopause.
Osteoporosis tipe 2, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi
kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan
timbulnya osteoporosis.11
Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik
yang terbanyak. Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan
peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga
akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya
osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan
menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya penin gkatan
resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi
osteoporosis yang progresif.8
5. Paget Disease
Penyakit Paget merupakan gangguan di mana terdapat peningkatan yang berlebihan dari
turnover tulang pada bagian yang terlokalisir dari skeleton. Kondisi ini menyebabkan struktur
tulang menjadi abnormal yang semakin lama semakin meluas sehingga mengakibatkan
deformitas, peningkatan risiko fraktur dan nyeri. Perubahan pada bentuk tulang
mengakibatkan perubahan mekanik dan juga menyebabkan peningkatan tekanan yang bisa
menimbulkan nyeri pada sendi dan sindrom kompresi saraf. Kompresi saraf yang terpenting
adalah keterlibatan basis kranii yang menyebabkan ketulian.11
Penyakit Paget sering terjadi pada populasi keturunan Eropa bagian utara. Ada
peningkatan tergantung umur dimana prevalensi pada pasien lebih dari 85 tahun adalah
hampir lima kali di atas mereka yang berumur kurang dari 60 tahun. Secara umum dapat
diterima bahwa kebanyakan pasien dengan penyakit paget adalah asimtomatis.11
Penyakit Paget bisa muncul dengan tanda dan simptom yang jelas pada sekitar 5%
pasien. Gambaran klinis tipikal dalam
Tabel 1.11
9
Tabel 1. Gambaran Klinis Penyakit Paget
Nyeri: nyeri tulang, nyeri sendi
Deformitas: Tulang panjang membengkok, tengkorak/ kranium
Fraktur: komplit, fraktur fisura
Neurologis: Ketulian, palsy serabut saraf lainnya, kompresi korda spinalis
Transformasi neoplastik
Diagnosis penyakit Paget terutama adalah secara radiologis. Marker turnover tulang
pada umumny a meningkat pada penyakit aktif. Aktivitas alkaline fosfatase plasma meningkat
pada 85% pasien dengan penyakit paget yang tidak diterapi.7,11
6. Osteomalasia
Pertumbuhan tulang normal dan proses mineralisasi membutuhkan vitamin D, kalsium
dan fosfor yang Bdekuat. Defisiensi yang lama dari berbagai hal di atas mengakibatkan
akumulasi matriks tulang yang tidak dimineralisasikan. Penurunan mineralisasi pada pasien
muda menyebabkan riketsia karena kerusakan dari pertumbuhan lempeng epifise. Kekuatan
tulang menurun, yang menyebabkan deformitas struktural pada tulang penyangga berat badan.
Pada orang tua dimana epifise telah menutup dan hanya tulang yang terkena, gangguan
mineralisasi ini disebut osteomalasia.12
Manifestasi klinis dari osteomalasia menyerupai gangguan reumatik, meliputi nyeri
tulang, mudah lelah, kelemahan proksimal dan pelunakan periartikuler. Simptom ini membaik
dengan terapi untuk mengoreksi gangguan mineralisasi. Gambaran laboratorium dari
osteomalasia akibat defisiensi vitamin D adalah kadar kalsium serum rendah atau normal,
hipofosfatemia, meningkatnya kadar alkalin fosfatase, kadar osteokalsin serum normal,
meningkatnya kadar hormon paratiroid serum (jika hipokalsemia ada) dan rendahnya kadar
1,25 dihidroksi vitamin D (1,25-(OH)2D) di dalam serum. Pada osteomalasia akibat defisiensi
kalsium ekskresi kalsium urin menurun, kadar hormon paratiroid meningkat, kadar 1,25
(OH)2D normal dan kadar fosfor serum bisa rendah atau normal. Osteomalasia akibat
hipofosfatemia biasanya terjadi akibat hiperfosfaturia, dimana didapatkan kadar osteokalsin,
hormon paratiroid dan 25 hidroksi vitamin D (25-OH vitamin D) adalah normal; kadar alkalin
fosfatase biasanya meningkat, kadar fosfor serum dan 1,25 (OH)2 vitamin D adalah rendah
dan ekskresi fosfor urin sangat tinggi.7,12
10
IV. Etiologi
Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH)
yang tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan
soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar pan biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang. Penyebab
lain yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang sangat jarang
adalah karsinoma kelenjar paratiroid.6
Etiologi dari adenoma atau hiperplasia tetap tidak diketahui dalam banyak kasus. kasus
familial dapat terjadi baik sebagai bagian dari sindrom beberapa neoplasia endokrin (MEN 1
atau MEN 2a), tumor hyperparathyroid-rahang (HPT-JT) sindrom, atau terisolasi
hiperparatiroidisme familial (FIHPT).4 Satu faktor genetika bisa terlibat, karena beberapa
keluarga telah digambarkan di mana penyakit ini diturunkan sebagai "trait" autosomal
dominan. Penelitian insidens karsinoma tiroid pada pasien-pasien yang telah pernah
mcngalami radiasi di daerah leher menunjukkan jumlah kasus hiper-paratiroidisme primer
yang lebih besar daripada yang diperkirakan, menunjukkan faktor ini sebagai suatu penyebab
dasar yang mungkin. Namun sulit untuk menafsirkan penyelidikan seperti ini karena kita
mempunyai sedikit keterangan tentang insidens umum dan riwayat alamiah dari
hiperparatiroidisme primer.2
Para pakar menduga pemberian diuretic tiazid dan kalsitonin dapat menyebabkan
hiperplasi dan dan hipertrofikelenjar para tiroid. Sindrom yang terjadi sebagai akibat
adenoma, hiperplasi dims atau karsinoma paratiroid. Penyebab hiperparatiroidisme primer
adalah 85% adenoma soliter, 6% adenoma multiple, hiperplasi difus, sedangkan karsinoma
paratiroid jarang.7
V. Epidemiologi
Pengukuran kalsium serum rutin secara otomatis dan luas meningkatkan insidens
hiperparatiroidisme primer. Pada suatu penelitian baru-baru ini yang terkontrol dengan baik
angka tahunan deteksi penyakit adalah 3,5 kali lebih besar sebelum dikenalnya skrining
kalsium serum rutin. Insidens hiperparatiroidisme primer meningkat dramatis pada wanita dan
pria. Di Indonesia sendiri kira-kira sekitar 1000 orang diketahui terkena hiperparatiroidisme
tiap tahun. Wanita yang berumur 50 tahun keatas mempunyai resiko yang lebih besar 2 kali
dari pria. Di Amerika Serikat sekitar 100.000 orang diketahui terkena penyakit ini tiap tahun.
11
Perbandingan wanita dan pria sekitar 2 banding 1. Pada wanita yang berumur 60 tahun keatas
sekitar 2 dari 10.000 bisa terkena hiperparatiroidisme.2-4
VI. Patofisiologi
A. Fisiologi
Kalsium plasma harus diatur secara ketat untuk mencegah perubahan eksitabilitas
neuromuskular.
Hormon tiroid, kalsitonin dan vitamin D mengontrol metabolisme kalsium (Ca++) dan
fosfat (PO4≡). Zat-zat hormonal ini terutama mengatur (Ca++) plasma dan dalam prosesnya,
PO4≡ plasma juga dipertahankan. Konsentrasi (Ca++) plasma adalah salah satu variabel tubuh
yang diatur dengan sangat cermat. Perlunya Ca++ plasma diatur secara ketat disebabkan oleh
pengaruh ion ini yang penting pada banyak aktivitas tubuh.5
Kalsium (Ca++) bebas dalam plasma dan cairan interstisium dianggap sebagai
satu.kesatuan simpanan. Hanya Ca++ bebas inilah yang secara biologis aktif serta berada di
bawah kontrol.
1) Eksitabilitas neuromuskulus. Penurunan Ca++ bebas menyebabkan eksitabilitas berlebihan
saraf dan otot; sebaliknya, peningkatan Ca++ bebas menekan eksitabilitas neuromuskulus.
Penurunan Ca++ bebas meningkatkan perrneabilitas Na+, yang menyebabkan influks Na+
mendekati ambang. Akibatnya, apabila terjadi hipokalsemia (kadar Ca++ dalam darah
rendah). Jaringan-jaringan yang excitable dapat mencapai ambang oleh rangsangan
yang.secara normal tidak fektif sehingga otot rangka membentuk potensial aksi dan
berkontraksi (mengalami spasme). Hiperkalsemla (peningkatan Ca++ darah) juga dapat
mengancam nyawa karena dapat menyebabkan aritmia jantung yang disertai penekanan
menyeluruh eksitabilitas saraf-otot
2) Penggabungqn eksitasi-kontraksi di otot jantung dan otot polos. Peningkatan Ca++ sitosol
di dalam sel otot menyebabkan kontraksi, sedangkan peningkatan Ca++ bebas dalam CES
menurunkan eksitabilitas neuromuskulus dan mengurangi kemungkinan terjadinya
kontraksi.
3) Penggabungan rangsangan sekresi Masuknya Ca++ ke dalam sel sekretorik, yang terjadi
akibat peningkatan permeabilitas terhadap Ca++ sebagai respon terhadap rangsangan yang
sesuai, memicu pengeluaran produk-produk sekretorik melalui proses eksositosis.
12
4) Pemeliharaan taut erat antara sel-sel. Kalsium ikut membentuk perekat (semen) antar sel
yang menyebabkan sel-sel tertentu melekat erat satu sama lain.
5) Pembekuan darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor di beberapa langkah dalam jenjang