BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) merupakan kondisi leukemia kronik dengan progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan meningkatnya sel mieloid pada sel darah perifer dan hiperplasia mieloid di sumsum tulang. Peningkatan produksi prekursor mieloid yang tidak terkontrol mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit. Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk terlalu banyak sel tersebut dan tetap mengalami maturasi. Terjadinya Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) muncul akibat kelainan pada sel hematopoiesis 1,2 CML termasuk salah satu jenis leukemia yang paling sering muncul di Indonesia dengan prevalensi 15-20% dari total jenis leukemia yang ada. Insiden kejadian CML diperkirakan 2 diantara 100.000 penduduk. Penderita CML predomian pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yakni dengan rasio 1,4:1. CML dapat diderita oleh semua kelompok umur dan insidennya meningkat perlahan dengan meningkatnya umur. Puncak kejadian CML terjadi pada kelompok usia 50-60 tahun sedangkan kejadian CML pada kelompok anak-anak jarang ditemukan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) merupakan kondisi leukemia kronik
dengan progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan
meningkatnya sel mieloid pada sel darah perifer dan hiperplasia mieloid di
sumsum tulang. Peningkatan produksi prekursor mieloid yang tidak terkontrol
mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit.
Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya
berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk
terlalu banyak sel tersebut dan tetap mengalami maturasi. Terjadinya Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML) muncul akibat kelainan pada sel hematopoiesis 1,2
CML termasuk salah satu jenis leukemia yang paling sering muncul di Indonesia
dengan prevalensi 15-20% dari total jenis leukemia yang ada. Insiden kejadian
CML diperkirakan 2 diantara 100.000 penduduk. Penderita CML predomian pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan yakni dengan rasio 1,4:1. CML dapat
diderita oleh semua kelompok umur dan insidennya meningkat perlahan dengan
meningkatnya umur. Puncak kejadian CML terjadi pada kelompok usia 50-60
tahun sedangkan kejadian CML pada kelompok anak-anak jarang ditemukan
yakni sekitar 2-3% dari total kasus CML. Penyakit CML lebih sulit diobati
dibandingkan dengan Acute Myeloid Leukemia (AML) karena perjalanan
penyakitnya yang bersifat kronik. Perjalanan penyakit CML diawali dengan fase
kronik yang jinak berjalan perlahan-lahan dan dapat berkembang dengan cepat
dalam hitungan minggu ke arah krisis blastik yang bersifat fatal dan menyerupai
gejala klinik Acute Myeloid Leukemia (AML). Oleh karena perjalanan CML yang
progresif dan tidak diiringi dengan gejala tidak khas, maka perlu dilakukan kajian
mengenai CML dan strategi terapi sangat diperlukan untuk menghambat
perkembangan dari penyakit ini terutama pada kelompok yang beresiko.1,2,3
1.2 Rumusan Masalah
1
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah definisi dan etiologi dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)?
2. Bagaimanakah patogenesis dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)?
3. Bagaimanakah gejala klinik dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)?
4. Apa kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada penderita
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)?
5. Bagaimanakah tanda-tanda transformasi akut yang muncul pada
penderita Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)?
6. Bagaimana terapi yang dapat diberikan kepada penderita Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML)?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dri penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dan etiologi dari Chronic Myeloblatic Leukemia
(CML)
2. Mengetahui patogenesis dari Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
3. Mengetahui gejala klinik dari Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
4. Mengetahui kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada penderita
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
5. Mengetahui tanda-tanda transformasi akut yang muncul pada penderita
Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
6. Mengetahui terapi yang dapat diberikan kepada penderita Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML)
1.4 Manfaat Penulisan
2
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah:
1. Memperkaya khazanah medis Indonesia mengenai Chronic
Myeloblatic Leukemia (CML) sehingga dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang tepat guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
2. Melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi negeri sebagai salah satu
kewajiban civitas akademika
3
BAB II
ISI
2.1 Definisi dan Etiologi
Chronic Myeloblastic Leukemia (CML) adalah penyakit klonal sel induk
pluripoten dan digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. CML
merupakan neoplasma pada sel tunas hematopoietik yang berpotensi
menimbulkan proliferasi progenitor granulositik. Sedangkan menurut sumber lain,
CML merupakan leukemia kronik dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan
sel leukemia berasal dari transformasi sel induk myeloid.
CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan
tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative
disorders). Penyakit ini mencakup sekitar 15% leukemia dan dapat terjadi pada
semua usia. CML mencakup enam tipe leukemia yang berbeda, tetapi sejauh ini
tipe yang paling umum adalah CML yang disertai dengan kromosom Philadelphia
(Ph). Nama lain untuk leukemia myeloid kronik adalah Chronic myelogenous
leukemia (CML) atau Chronic myelocytic leukemia (CML).2
Penyebab leukemia myeloid kronik (CML) adalah tirosin konstitutif BCR-ABL
aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka pendek
lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis CML
dalam tahap kronik. Pada CML dijumpai Phladelphia chromosom (Ph1 chr) suatu
reciprocal translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita, kromosom
Ph1 dengan translokasi t(9;22) ditemukan disemua progeni sel asal myeloid
multipoten yang sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan
megakariositik). Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen BCR-
ABL. Tidak seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat
dan darah perifer mengandung sel dewasa.2,5
Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang
kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat respilokal. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9
4
mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang
kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen)
yaitu BCR–ABL onkogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA
sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).2,4,5
Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui
tirosin kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel –
sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri
myeloid.2
Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab
terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%
pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang
seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi.2
Secara morfologi, fase kronik menyerupai CML ekspansi jinak myelopoiesis.
Namun, fase kronik genetis tidak stabil, dan tingkat proliferatif yang tinggi
memungkinkan untuk akumulasi tambahan molekul dan kromosom kelainan,
proses ini disebut "evolusi klonal". Evolusi klonal menyebabkan penurunan nilai
hematopoietik diferensiasi, akhirnya menghasilkan akut leukemia (ledakan-fase
CML). Sekitar satu leukemia akut ketiga mirip B-keturunan akut limfositik
leukemia (ALL), sedangkan sisa kasus-kasus tersebut mirip dengan leukemia
myeloid akut (AML), sering dengan fenotipe dibeda-bedakan.6
2.2 Patogenesis
Gambaran klinis penyakit leukemia myeloblastik kronik adalah gejala yang
berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,
kelelahan, anorexia, atau keringat malam. Splenomegali hampir selalu ada dan
seringkali bersifat massif. Pada beberapa pasien, pembesaran limpa disertai
dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gangguan pencernaan. Gambaran anemia
meliputi pucat, dispnea, dan takikardia. Memar, epistaksis, menorhgia, atau
perdarahan dari tempat-tempa lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
Gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin
5
yang berlebihan dan dapat menimbulkan masalah. Gejala yang jarang dijumpai
berupa gangguan penglihatan dan priapismus.7
Penyatuan protein BCR-ABL berinteraksi dengan 3 beta (c) subunit reseptor.
Transkrip BCR-ABL aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi
oleh protein sel yang lainnya. BCR-ABL mengaktivasi kaskade dari protein yang
mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein BCR-
ABL menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan
menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal.
Tindakan dari protein BCR-ABL adalah penyebab patofisiologi dari chronic
myeloblastic leukemia. Dengan pemahaman tentang protein BCR-ABL dan
tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara
spesifik menghambat aktifitas dari protein BCR-ABL. Inhibitor dari tyrosine
kinase dapat menyembuhkan CML, karena BCR-ABL tersebut adalah penyebab
dari CML. Penyebab leukemia myeloid kronik (CML) adalah tirosin konstitutif
BCR-ABL aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka
pendek lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis
CML dalam tahap kronik.7,8
Chronic myeloblastic leukemia adalah malignansi pertama yang dihubungkan
dengan gen yang abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai
Philadelphia kromosom yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada
CML juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid
yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang.2
Pada CML dijumpai Philadelphiachromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita, kromosom Ph1 dengan
translokasi t(9;22) ditemukan di semua progeni sel asal myeloid multipoten yang
sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan megakariositik).
Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen BCR-C-ABL. Tidak
seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat dan darah
perifer mengandung sel dewasa.2,4
6
Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang
kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9
mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang
kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen)
yaitu BCR–ABL onkogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA
sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).2,4,5
Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui
tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel
– sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada
sel myeloid.2
Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab
terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%
pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang
seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi.4
Gambar 1. Patogenesis terjadinya CML
7
2.3 Fase Perjalanan Penyakit dan Tanda-tanda Transformasi Akut
CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan temuan
laboratorium. Tanpa adanya intervensi, CML biasanya dimulai pada fase kronik,
dan selama beberapa tahun berkembang menjadi sebuah fase akselerasi dan
akhirnya krisis blast. Krisis blast adalah fase terminal CML dan secara klinis
tampak seperti leukemia akut. Terapi obat akan menghentikan perkembangan
tersebut jika dimulai sejak dini. Salah satu faktor perkembangan dari fase kronik
sampai akselerasi dan krisis blast adalah akuisisi kelainan kromosom baru (selain
kromosom Philadelphia). Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase kronik: fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap
kemoterapi. 85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat
mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak
mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut
terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung sebearapa dini
penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga.
Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke
fase akselerasi.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut :
a) Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukemia akut
b) Sekita 2/3 menunjukan sel blast seri mieloid, sedangkan 1/3 menunjukan
seri limfoid
c) Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan
abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa
dimana fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi.
Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD
Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk
mendiagnosa CML, yaitu :
10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum tulang.