Top Banner
HAKEKAT AGAMA BUDDHA 1. TUHAN YANG MAHA ESA DALAM AGAMA BUDDHA Setiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pemeluk agama yang sadar, percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah sama dengan umpamanya : percaya adanya suatu telaga di suatu puncak gunung yang tinggi. Percaya tentang adanya suatu telaga di puncak gunung tidak berpengaruh pada sikap hidup dan perilaku seseorang sehari-hari. Tetapi sebaliknya, percaya tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa berakibat penyerahan diri (attâsanniyyatana) kepada-Nya. Penyerahan diri itu berakibat pula dalam perbuatan, dan perbuatan itu adalah amal ibadah (puñña). dan itulah yang disebut beragama. Corak perbuatan itu adalah kesadaran, dilakukan dengan sadar, bukan kebiasaan, bukan adat istiadat, bukan pula tradisi. Perbuatan beragama memberikan pengalaman yang mengintegrasikan hidupnya. Demikianlah maka hidupnya mempunyai tujuan, dan oleh sebab itu menjadi bermakna. Sering kita lihat orang berkecukupan dalam materi, berpangkat dan berkuasa, tetapi mereka itu tidak adanya tujuan. Tujuan itu terdapat dalam setiap agama. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainkan melalui Bodhi (Penerangan Sempurna). Sejak mulai disampaikannya Dhamma oleh Sang Buddha Gotama, dalam agama Buddha telah terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memungkinkan kita bebas dari samsara (lingkungan tumimbal lahir), yang merupakan tempat perlindungan
48

Hakekat Agama Buddha

Nov 24, 2015

Download

Documents

budha ki dudu islam
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

HAKEKAT AGAMA BUDDHA1. TUHAN YANG MAHA ESA DALAM AGAMA BUDDHASetiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pemeluk agama yang sadar, percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah sama dengan umpamanya : percaya adanya suatu telaga di suatu puncak gunung yang tinggi. Percaya tentang adanya suatu telaga di puncak gunung tidak berpengaruh pada sikap hidup dan perilaku seseorang sehari-hari. Tetapi sebaliknya, percaya tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa berakibat penyerahan diri (attsanniyyatana) kepada-Nya. Penyerahan diri itu berakibat pula dalam perbuatan, dan perbuatan itu adalah amal ibadah (pua). dan itulah yang disebut beragama. Corak perbuatan itu adalah kesadaran, dilakukan dengan sadar, bukan kebiasaan, bukan adat istiadat, bukan pula tradisi. Perbuatan beragama memberikan pengalaman yang mengintegrasikan hidupnya. Demikianlah maka hidupnya mempunyai tujuan, dan oleh sebab itu menjadi bermakna. Sering kita lihat orang berkecukupan dalam materi, berpangkat dan berkuasa, tetapi mereka itu tidak adanya tujuan. Tujuan itu terdapat dalam setiap agama.Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainkan melalui Bodhi (Penerangan Sempurna). Sejak mulai disampaikannya Dhamma oleh Sang Buddha Gotama, dalam agama Buddha telah terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memungkinkan kita bebas dari samsara (lingkungan tumimbal lahir), yang merupakan tempat perlindungan sampai tercapainya Pembebasan Mutlak (nibbna), yang menyatukan semua insan, yang menjadi tujuan terakhir.Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sementara orang akan heran dan tercengang mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan sejak kotbah-Nya yang pertama. Keheranan itu disebabkan karena banyaknya tulisan di Indonesia yang menyatakan bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan, bahkan menyangkal adanya Tuhan. Anggapan demikian sebenarnya adalah suatu kesalahan semantik, salah paham bahasa, karena orang secara bebas menterjemahkan istilah-istilah dari literatur Barat ke dalam bahasa Indonesia, seperti misalnya: 'god' dengan 'Tuhan', 'theisme' dengan 'percaya Tuhan'.Kalau kita perhatikan ajaran agama-agama yang berbeda-beda tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan bila kita bandingkan berbagai-bagai pengertian itu sering nampak seolah-olah ada yang bertentangan, akan tetapi terdapat pula persamaan di antara perbedaan-perbedaan itu, antara lain bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.Hampir pada semua agama terdapat anthropomorphisme (memahami Yang Mutlak/Tuhan dengan ukuran bentuk manusia) dan anthropopathisme (memahami Yang Mutlak dalam ukuran perasaan manusia). Dalam hal ini karena agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan), maka kecenderungan jatuh ke dalam anthropomorphisme dan anthropopathisme tersebut tidak terdapat dalam agama Buddha.Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.Sebelum perkataan 'Tuhan" diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia telah ber-Tuhan, akan tetapi tidak disebut dengan perkataan 'Tuhan'. Di Jawa dikenal perkataan 'Pangeran'. Perkataan 'Pangeran' itu mempunyai akar kata 'her', 'tempat diam untuk menghadap orang tua'; kata kerjanya 'angher', 'tinggal pada suatu tempat untuk mengabdi'; maka perkataan 'Pangeran' berarti 'yang diikuti, yang diabdi'. Dalam hal ini tidak ada unsur memohon, meminta sesuatu, mengaharapkan sesuatu dari 'Pangeran', akan tetapi karena mengabdi dan mengikuti, maka pasti akan diperoleh berkah atau buah (pahala).Tuhan atau Pangeran dalan bahasa Jawa sering digambarkan sebagai : "gesang tanpa roh; kuwaos tanpa piranti; tan wiwitan datan wekasan; tan kena kinaya ngapa; ora jaman ora makam; ora arah ora enggon; adoh tanpa wangenan; cedak tanpa gepokan (senggolan); ora njaba ora njero; lembut tan kena jinumput; gede tan kena kinira-kira", yang artinya :"Hidup tanpa roh; kuasa tanpa alat; tanpa awal tanpa akhir; tak dapat diapa-siapakan; tak kenal jaman maupun perhentian; tak berarah tak bertempat; jauh tak terbatas; dekat tak tersentuh; tak di luar tak di dalam; halus tak terpungut; besar tak terhingga".'Yang Mutlak' adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan, 'Yang Mutlak' disebut dengan 'Tuhan Yang Maha Esa'.Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha kita dapatkan dari sabda-sabda Sang Buddha, seperti yang dituliskan dalam Kitab Udana :"Atthi bhikkhave ajtam abhtam akatam asankhatam,no ce tam bhikkhave abhavisam ajtam abhtam akatam asankhatam, nayidha jtassa bhtassa katassa sankhatassa nissaranam payatha. Yasm ca kho bhikkhave atthi ajtam abhtam akatam asankhatam, tasm jtassa bhtassa katassa sankhatassa nissaranam pay'ti:.artinya :"Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu". (Udna, VIII : 3)Untuk memahami Yang Mutlak ini, seseorang harus mengembangkan pengertiannya, dari pengertian duniawi (lokiya) sampai memperoleh pengertian yang mengatasi duniawi (lokuttara), yang hanya dapat dicapai oleh insan yang sadar, yang telah membebaskan diri dari cengkeraman kamma dan kelahiran kembali. Pengertian ini tidak dapat dimiliki oleh manusia yang batinnya masih dicengkeram oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).Dengan demikian, jelaslah bahwa agama Buddha benar-benar mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mutlak. Hal ini penting sebagai penegasan kepada mereka yang mengira bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dengan sendirinya agama Buddha dianggap tidak berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.2. KEYAKINAN DALAM AGAMA BUDDHAUmat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tisarana (Tiga Perlindungan). Rumusan itu berbunyi :Buddham saranam gacchmi - Aku berlindung kepada BuddhaDhammam saranam gacchmi - Aku berlindung kepada DhammaSangham saranam gacchmi - Aku berlindung kepada SanghaRumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha sendiri (bukan oleh para siswaNya atau mahluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh orang arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat menusia. Sang Buddha bersabda : "Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi smanera dan bhikkhu) hendaklah: setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning . . . bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, dan berkata: "Aku berlindung kepada Buddha", "Aku berlindung kepada Dhamma", "Aku berlindung kaprda Sangha" (Vinaya Pitaka I, 22).Sang Buddha menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanera dan bhikkhu, tetapi juga bagi umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Nampaklah betapa luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi umat Buddha 'berlindung kepada Tiratana' merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti 'syahadat' bagi umat Islam dan 'credo' bagi umat Kristen.Trisaranaadalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha yang diungkapkan dengan kata 'berlindung' itu mempunyai tiga aspek :1) Aspek kemauan :Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddha dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai Pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, 'menunggu berkah dari atas'.

2) Aspek Pengertian :ini mencakup pengertian akan perlunya perlindungan yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua mahluk dalam samsara ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.

Adanya Tiratana sebagai Perlindungan telah diungkapkan sendiri oleh Sang Buddha. Tetapi hakekat Tiratana sebagai Perlindungan Terakhir hanya dapat dibuktikan oleh setiap orang dengan mencapainya dalam batinnya sendiri. Dalam diri seseorang, Perlindungan itu akan timbul dan tumbuh bersama dengan proses untuk mencapainya. " Dengan daya upaya, kesungguhan hati dan pengendalian diri, hendaklah orang yang bijaksana membuat untuk dirinya pulau yang tidak akan tenggelam oleh air bah" (Dhammapada, V : 25).

Buddha,sebagai perlindungan pertama, mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha. "Seperti sayalah para penakluk yang telah melenyapkan kekotoran batin" (Ariyapariyesan Sutta, Majjhima Nikya). Sebagai perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Petapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi daripada Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).

Dhamma,sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin menusia biasa yang masih berada dalam alam keduniaan (lokiya, mundane), melainkan "Empat Tingkat Kesucian" beserta 'Nibbna' yang dicapai pada akhir Jalan.

Sangha,sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kumpulan para bhikkhu yang anggota-anggotanya masih belum bebas dari kekotoran batin (bhikkhu sangha), melainkan Pasamuan Para Suci yang telah mencapai Tingkat-Tingkat Kesucian (ariya-sangha). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh. Namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (supramundane, lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan terakhir semua mahluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang Tertinggi oleh sang Buddha. Buddha, Dhamma dan Sangha atau Tiratana adalah manifestasi, perwujudan, pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam alam semesta ini, yang dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha.

3) Aspek Perasaan (emosionil) :yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan memberikan kayakinan yang kokoh dalam diri sendiri, serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya; dan pengertian akan hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa 'berlindung' dalam agama Buddha berarti : "Suatu tindakan yang sadar, yang bertujuan untuk mencapai Pembebasan yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan". Atau secara singkat : "Suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian".Ketiga aspek daripada 'berlindung' ini sesuai dengan aspek kemauan, aspek rasionil dan aspek emosionil dari batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama.Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan kata-kata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seseorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan tanpa bertindak untuk mencapainya. Tindakan pertama kearah keselamatan dan kebebasan ialah dengan 'berlindung' secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.3. POKOK-POKOK AJARAN SANG BUDDHAAgama Buddha yang oleh umat Buddha dikenal sebagai Buddha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang diungkapkan oleh Sang Buddha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh karenanya dapat membebaskan menusia dari ketidaktahuan (avijj) dan penderintaan (dukkha).Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, telah timbul pelbagai mahzab dan sekte, yang saling berbeda dalam cara masing-masing menafsirkan segi-segi tertentu dari ajaran Sang Buddha, juga dalam ritualnya. Akan tetapi, sekalipun terdapat perbedaan di antara mahzab dan sekte-sekte agama Buddha, namun semuanya memiliki landasan-landasan pokok tersebut. Landasan-landasan pokok yang sama ini adalah pengertian-pengertian yang minimal terdapat dalam semua mahzab dan sekte agama Buddha; yaitu :1.Tiratana2.Tilakkhana3.Cattri Ariya Saccni4.Kamma dan Punabbhava5.Paticcasamuppda6.Nibbna1.Tiratana (Tiga Permata)Pengertian mengenai Tiratana telah diuraikan secara khusus dalam bagian "Keyakinan dalam agama Buddha", yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.2.Tilakkhana (Tiga Corak Umum)a. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak kekal (sabbe sankhr anicc)b. Segala sesuaru yang terbentuk dan bersyarat tercengkram oleh dukkha (sabbe sankhr dukkh)c. Segala sesuatu adalah tanpa 'diri', tidak memiliki inti yang tetap atau pribadi yang kekal (sabbe dhamm anatt)Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat(conditioned), baik jasad organik maupun inorganik, unsur-unsur jasmani maupun batin(perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran), di dalam maupun di luar individu, semuanya bersifat tidak kekal dan selalu berubah(anicc).Segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan selalu berubah itu dengan sendirinya tidak dapat memberikan kepuasan yang sempurna, atau dengan kata lain, terkena dukkha(dukkh).Akhirnya terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan terkena dukkha ini tidak dapat dikatakan: "ini aku", "ini milikku", "ini diriku". Dengan kata lain, menurut kenyataan yang terakhir sesungguhnya tidak terdapat suatu "aku" atau "diri" atau "inti", baik di dalam maupun di luar segala sesuatu yang sifatnya terbentuk dan bersyarat(conditioned) ini. Segala sesuatu sebenarnya adavlah 'bukan aku'(anatt).Kata-kata "aku" hanyalah dipergunakan dalam pengertian sehari-hari dalam artian umum untuk membeda-bedakan satu dengan lain individu. Dengan demikian, mengingat bahwa segala bentuk dan unsur kehidupan adalah bersyarat dan tidak kekal, maka setiap bentuk kepercayaan tentang "diri" yang kekal(att ditthi) adalh suatu kesesatan atau khayalan(micch ditthi), yang bersumber pada kecenderungan yang kuat dan berakar dalam untuk mempertahankan diri, akibat kekhawatiran melepaskan segala-galanya, termasuk "aku"-nya yang sebenarnya hanyalah angan-angan belaka.Untuk menembus kesunyataan yang dahsyat, yang menjadi ciri khas agam Buddha ini, diperlukan latihan dalam sila, samdhi dan paa(kebijaksanaan) yang tekun dan sungguh-sungguh.3.Cattari Ariya Saccni(Empat Kesunyataan Mulia)Dalam kotbah-Nya yang pertama di Taman Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Mulia, yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma. Empat Kesunyataan Mulia tersebut adalah :a. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha (dukkha ariyasacca)Kata 'Dukkha' di sini yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :"Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh-kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Dengan ringkas, jasmani dan batin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".Banyak orang salah mengerti terhadap ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia dari sudut negatif. Karena itu di sini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (yathbhtam nadassanam).Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengakui adanya berbagai bantuk 'kebahagiaan', material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (anicc dukkh viparinmadhamm); dukkha bukan merupakan 'penderitaan' dalam arti umum, tetapi karena 'segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha' (yad anicam tam dukkham).Karenanya, dukkha di sini mempunyai tiga pengertian :1. Dukkha sebagai penderitaan yang umum (dukkha dukkha)2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan (viparinma dukkha)3. Dukkha sebagai keadaan-keadaan yang bersyarat (sankhr dukkha)b. Kesunyataan Mulia tentang Sebab-Musabab Dukkha (dukkhasamudaya ariya sacca)Sebab-musabab dukkha ialah 'kehausan' (tanh), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa nafsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandrgasahagat tatratatrbhinandin); yang terdiri atas :1. Kehausan akan kenukmatan-kenikmatan indria (kma tanh)2. Kehausan akan kelangsungan atau perwujudan (bhava tanh)3. Kehausan akan pemusnahan (vibhava tanh)Setiap orang mengakui bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana tanh ini dapat mengakibatkan 'kelahiran berulang-ulang' (ponobhavik) bukanlah dengan mudah dapat dimengerti. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia kedua yang berhubungan dengan Kesunyataan Mulia pertama.Terdapat empat macam 'makanan' (hra) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk :- makanan material (kabalinkrhra)- kontak dari enam indria kita dengan dunia luar (phasshra)- kesadaran (vinhra)- kehendak batin atau keinginan (manosacetanhra)hra Keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali, untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (kusala-akusala kamma).c. Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha (dukkhanirodha ariyasacca)Lenyapnya dukkha (tercapai dengan) berakhirnya sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, terbebas dari, tidak terdapatnya kehausan (tanh) ini; atau dengan kata lain : tercapainya Nibbna. Keterangan mengenai Nibbna dapat dilihat pada bab ini nomor enam.d. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkhanirodha gmin patipad ariyasacca)Jalan untuk menuju lenyapnya dukkha ialah'Jalan Berunsur Delapan'(ariya atthangika magga). Delapan Jalan Utama ini dikenal jugan sebagai'Jalan Tengah'(majjhima patipad). oleh karena 'Jalan' ini menghindari dan berada di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu: pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri; dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir di tengah tengah yang menghindari kedua kutub pandangan, yaitu pandangan tentang 'kekekalan' (eternalisme, sassata-ditthi) dan 'kemusnahan' (nihilisme, ucchedda ditthi).Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsur-unsur berikut : mulia dan tidak mulia (ariya-anariya), baik dan buruk (kusala-akusala), berguna dan tidak berguna (attha-anattha), benar dan salah (dhamma-adhamma), tercela dan tidak tercela (svajja-anvajja), jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang gelap (tapaniya-anatapaniya) dan sebagainya (Anguttara Nikya V, 274-285)Perlu ditekankan bahwa Jalan Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Jalan Berunsur Delapan ini sebenarnya adalah "satu jalan" yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, kedelapan unsur itu harus dilaksanakan secara serentak dan selaras, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Jalan Berunsur Delapan tersebut terdiri atas :1. Pandangan Benar (samm-ditthi)Pandangan Benar ialah pengertian terhadap segala sesuatu dan peristiwa menurut hakekat yang sebenarnya; penembusan ke dalam Empat Kesunyataan Mulia. Dengan kata lain, langkah yang pertama sekali pada jalan itu dimulai dengan memperoleh suatu pengertian yang jelas terhadap prinsip pokok Buddha Dhamma tentang 'sifat saling bergantungan yang universal'.2. Pikiran Benar (samm-sankappa)Pikiran Benar ialah pikiran yang bebas dari hawa nafsu (rga), kemauan buruk (bypda), kekejaman (vihimsa) dan semacamnya; yang diwujudkan dalam bentuk cinta kasih terhadap semua mahluk. Dengan memiliki pikiran benar ini seseorang dapat membebaskan dirinya dari semua pikiran mementingkan diri sendiri, kemauan buruk, kebencian dan kekerasan dalam semua lingkungan hidup, baik individuil maupun sosial.3. Ucapan Benar (samm-vc)Ucapan Benar mencerminkan tekad untuk menahan diri dari berbohong (musvd); memfitnah (pisunvc) yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, perpecahan dan ketidakrukunan antara individu-individu atau golongan-golongan; ucapan kasar, pedas, tidak sopan, jahat dan caci maki (pharusavc); percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat, sia-sia serta pergunjingan (samphappalp). Sebaliknya, ia adalah "seorang pembicara benar, manusia yang benar, dapat dipercaya, dapat diandalkan, bukan penipu dunia. . . Bila telah mendengar sesuatu di sini, ia tidak akan menyampaikannya di tempat lain untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sini, atau, setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia tidak akan menyampaikannya di sini untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sana . . . kerukunan merupakan kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaannya; kerukunan adalah tujuan pembicaraannya . . . Ia bisa mengucapkan kata-kata yang lembut, enak didengar, menyenangkan, menarik hati, sopan santun dan damai kepada banyak orang . . . Ia adalah seorang yang berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, tentang kebajikan, tentang Dhamma dan tentang Vinaya. Ia mengucapkan kata-kata yang bernilai . . ." (Majjhima Nikya, I. 345).4. Perbuatan Benar (samm-kammanta)Perbuatan Benar berarti mengembangkan kelakuan bermoral, mulia dan damai, yang dapat diwujudkan dengan melaksanakan Pacasila Buddhis dalam aspek negatif dan posotifnya; yaitu tidak melakukan pembunuhan, melainkan mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua mahluk; tidak melakukan pencurian, melainkan melaksanakan kemurahan hati dan kedermawanan; tidak melakukan perbuatan-perbutatan kelamin yang salah, melainkan melaksanakan kesucian dan pengendalian diri; tidak mengumbar ucapan-ucapan bohong, melainkan melaksanakan kejujuran dan kesetiaan; tidak minum minuman yang memabukkan, atau obat-obat bius, melainkan meningkatkan kewaspadaan.5. Penghidupan Benar (samm-jva)Penghidupan Benar berarti menghindarkan diri dari memperoleh mata pencaharian yang menyebabkan kerugian orang lain. Penipuan, penghianatan, tipu muslihat dan pemerasan seharusnya tidak dilakukan. Lima bentuk perdagangan yang seharusnya dihindari, yaitu: memperdagangkan senjata, mahluk hidup, daging, minum-minuman keras (termasuk obat-obat bius) dan racun (Anguttara Nikya, III. 153)6. Usaha Benar (samm-vyma)Usaha Benar mempunyai dua segi. Dalam segi negatifnya adalah suatu kemauan yang kuat untuk mencegah timbulnya keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam batin. Dalam segi positifnya adalah suatu kemauan yang kuat untuk menumbuhkan dan mengembangkan keadaan-keadaan batin baik dan sehat yang belum ada, dan meningkatkan serta menyempurnakan keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam batin. Dengan dua seginya yang telah dituliskan di atas, Usaha Benar terdiri atas empat macam : usaha untuk menahan diri, usaha untuk meninggalkan, usaha untuk membangun dan usaha untuk memelihara (Anguttara Nikya, II.83).7. Perhatian Benar (samm-sati)Perhatian Benar berarti melatih diri agar benar-benar sadar, penuh perhatian dan waspada terhadap kegiatan-kegiatan tubuh (kya), perasaan-perasaan indera (vedan), kegiatan-kegiatan pikiran (citta), dan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan semua gejala batin (dhamma).8. Konsentrasi Benar (samm-samdhi)Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran yang ditujukan pada obyak yang baik, sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut : "Bebas dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam Jhna pertama, di mama vitakka (penempatan pikiran pada obyek) dan vicra (mempertahankan pikiran pada obyek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran dan kebahagiaan (pti dan sukha). Dengan menghilangkan vitakka dan vicra, ia memasuki dan berdiam dalam Jhna kedua, yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicra, memiliki kegiuran (pti) dan kebahagiaan (sukha) yang timbul dari samdhi. Dengan memasuki serta berdiam dalam Jhna ketiga, ia meninggalkan kegiuran, hanya berdiam dalam ketenangan, penuh perhatian, benar-benar sadar, dan ia merasakan tubuhnya dalam keadaan nikmat. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, meninggalkan pikiran gembira dan sedih, ia memasuki dan berdiam dalam Jhna keempat, keadaan yang benar-benar seimbang dan penuh perhatian murni, di mana kebahagiaan dan kesedihan tidak dapat menyentuh batinnya".Hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah delapan unsur dari Jalan Tengah seperti yang diterangkan dalam Kitab Suci Tipitaka (pli). Agama Buddha menganggap Jalan Berunsur Delapan ini sebagi satu-satunya jalan untuk menuju lenyapnya dukkha- Nibbna. Mengenai Jalan Berunsur Delapan ini Sang Buddha Gotama bersabda :"O..para bhikkhu, apabila dibandingkan dengan hal-hal lain yang bersyarat (sankhata dhamma), Jalan Berunsur Delapan adalah yang terbaik di antara mereka. Barangsiapa yakin terhadapnya, ia memiliki keyakinan dalam hal yang terbaik; dan barangsiapa memiliki keyakinan dalam hal trbaik, akan memperoleh hasil yang terbaik" (Anguttara Nikya, II. 44).4) Kamma dan Punabbhava (Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir)

Kamma (Pli) atau Karma (Sansekerta) artinya 'perbuatan'. Hukum kamma menempati kedudukan yang penting dan merupakan salah satu landasan pokok agama Buddha. Agama Buddha memandang hukum kamma sebagai hukum semesta tentang sebab akibat dan sebagai hukum moral, yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari satu hukum yang sama.Dalam aspeknya sebagai hukum semesta tentang sebab akibat, hukum ini menerangkan bahwa segala sesuatu yang timbul, baik jasad organik maupun inorganik, pasti mempunyai sebab-sebab; atau dengan kata lain, tiada sesuatu yang timbul tanpa sebab sebelumnya. Rumusan 'Hukum Sebab Musabab yang saling Bergantungan' berbunyi sebagi berikut :"Imasmim sati idam hoti; imassuppd idam uppajjati."Imasmim asati idam na hoti; imassa nirodh imam nirujjhati"."Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu.Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu".Agama Buddha mempergunakan hukum ini untuk menerangkan hakekat dari segenap alam semesta. Akan tetapi, hukum kamma dalam aspeknya sebagai hukum semesta hanyalah merupakan suatu turunan dari pengertiannya sebagai hukum sebab dan akibat. Nilai penting yang sesungguhnya dari hukum kamma terletak pada aspeknya yang kedua, yaitu sebagai hukum moral. Dengan aspeknya yang kedua ini, hukum kamma memberikan peranan yang penting dalam ajaran-ajaran Buddhis tentang etika, yang seringkali ditekankan oleh Sang Buddha.Ajaran Buddhis tentang kamma sebagai hukum moral, adalah mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang melalui badan jasmani (kya-kamma), ucapan (vc-kamma) dan pikiran (mano-kamma). Ketiga macam perbuatan ini untuk dapat disebut kamma, harus selalu disertai dengan 'kehendak batin' (cetan). Dalam pandangan Buddhis, suatu perbuatan tanpa disertai kehendak tidak dapat disebut kamma, karena perbuatan itu tidak dapat memberikan akibat moral apapun pada pelakunya. Sang Buddha bersabda : "O para bhikkhu, kehendak itulah yang Kusebut kamma. Seseorang, setelah timbul kehendak dalam batinnya, melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran ...." (Cetan'ham bhikkhave kammam vadmi. Cetayitv kammam karoti kyena vcya manasa ....." Anguttara Nikya, III. 415).Pengetahuan atau pengertian mengenai hukum kamma itu sendiri tidak akan lengkap apabila tidak dipelajari dalam hubungan dengan akibat-akibatnya (phala). Dalam Kitab Suci Tipitaka (Pli) terdapat suatu pernyatan yang memperlihatkan keyakinan umat Buddha terhadap hukum kamma. Pernyataan tersebut berbunyi :"Ydisam labhate bjam tdisam labhate phalamKalynakr ca kalynam ppakr ca ppakam""Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan, dan ia yang berbuat jahat akan menerima kejahatan". (Samyutta Nikya, 1.293)Dalam hubungan dengan akibat-akibatnya, hukum kamma dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :1. Kamma menurut waktu2. Kamma menurut kekuatan3. Kamma menurut fungsi1. Kamma menurut waktu:Di sini, kamma dihubungkan dengan unsur waktu dalam menghasilkan akibatnya, yang terdiri atas empat macam, yaitu :a. Ditthadhammavedanya-kamma,adalah kamma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini juga.b. Uppajjavedanya-kamma,adalah kamma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini.c. Aparparavedanya-kamma,adalah kamma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan-kehidupan berikutnya.d. Ahosi-kamma,adalah kamma yang memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis atau karena kamma itu telah menghasilkan akibatnya secara penuh.2. Kamma menurut kekuatan :Di sini, kamma dihubungkan dengan tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat, yang terdiri atas empat macam, yaitu :a. Garu-kamma,adalah kamma yang paling berat di antara semua kamma lainnya, dan karena sifatnya yang kuat, kamma ini akan masak terlebih dahulu. Selama kamma ini masih menghasilkan akibatnya, tak ada kamma lainnya yang berkesempatan untuk masak.b. Bahula-kamma,adalah kamma yang sering dan berulang-ulang dilakukan oleh seseorang melalui jasmani, ucapan dan pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya. Karenanya, kamma-kebiasaan ini akan memberikan hasilnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu-kamma.c. sanna-kamma,adalah kamma yang diperbuat oleh seseorang pada saat ia menghadapi kematian. sanna-kamma ini dapat berupa perbuatan baru yang dilakukan oleh seseorang melalui pikiran pada saat ia menghadapi kematian, atau dapat pula berupa perbuatan-perbuatan apapun yang dahulu pernah dilakukan dalam masa hidupnya yang ia ingat kembali dangan amat jelas pada saat ia menghadapi kematiannya. Menurut agama Buddha, sanna-kamma ini memegang peranan utama dalam menentukan kehidupan selanjutnya dari orang yang sedang mangalami kematiannya.d. Katatt-kamma,adalah suatu perbuatan yang hampir tidak didorong oleh kehendak. Kamma ini sebenarnya lebih bersifat mekanis daripada bersifat kehendak. Karenanya, kamma ini digolongkan sebagai kamma yang paling lemah di antara semua kamma, yang akan memberikan hasilnya apabila kamma lainnya tidak ada.3. Kamma menurut fungsinya :Di sini, kamma dihubungkan dengan peranan dalam menghasilkan akibat, yang juga terdiri atas empat macam :a. Janaka-kamma (kamma penyebab),adalah kamma yang berfungsi menghasilkan. Tugas kamma ini adalah menyebabkan kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya. Seseorang dilahirkan dalam keadaan menderita atau bahagia adalah semata-mata ditentukan oleh janaka-kamma. Manurut agama Buddha, apabila janaka-kamma telah menyebabkan suatu kelahiran, maka tugasnya telah selesai.b. Upatthambhaka-kamma (kamma penguat),adalah kamma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang dihasilkan oleh janaka kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka kammanya baik, kamma-penguat ini membantu sehingga keadaannya menjadi lebih baik; demikian pula dalam hal sebaliknya.c. Uppaplika-kamma (kamma pelemah),adalah kamma yang berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam menghasilkan buahnya.d. Upghataka-kamma (kamma penghancur),adalah kamma yang mempunyai kategori sama dengan kamma pelemah di atas, karena fungsinya menentang atau menghancurkan kekuatan dari janaka-kamma. Akan tetapi, kamma ini lebih kuat dari kamma pelemah.Bagi umat Buddha, keyakinan terhadap hukum kamma berarti yakin terhadap kemampuan-kemampuan diri sendiri dalam menentukan 'nasib' sendiri. Keadaan-keadaan hidup yang sekarang dan yang akan datang tergantung pada apa yang telah dilakukan di waktu yang lalu dan apa yang sedang dikerjakan pada masa sekarang. Keyakinan terhadap hukum kamma akan memberikan beberapa manfaat :1. Menjaga agar kita tidak terjerat ke dalam pendangan nihilistis dan materialistis, yang mengingkari berlakunya nilai-nila moral.2. Membuat kita percaya pada kemampuan diri sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupan kita menjadi lebih baik; dan mencegah kita menjadi putus asa atau bersikap pasrah pada 'nasib'.3. Memperkuat pengendalian diri untuk tidak melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun, atas dasar pengertian bahwa kita pasti akan memetik hasil dari perbuatan kita sendiri.5) Paticcasamuppda (Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan)Dalam Kitab Suci Tipitaka (Pli) banyak dituliskan saat-saat ketika petapa Gotama berhasil memahami Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan, sehingga akhirnya Beliau berhasil mencapai Penerangan Sempurna (Sammsambuddha). Akan tetapi hal yang terpenting adalah proses pemahaman 'hukum' itu sendiri yang terjadi sesaat sebelum pencapaian Penerangan Sempurna. Para Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna mereka melalui proses ini.Kata'Paticcasamuppda'mempunyai arti : "Sebab Musabab yang Saling Bergantungan", atau "timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan".Sang Buddha menerangkan hukum ini dalam suatu rangkaian yang terdiri atas dua belas mata rantai, yaitu kondisi-kondisi dan sebab musabab yang saling bergantungan dari penderitaan manusia serta pengakhirannya. Rumusan keseluruhan hukum itu telah diringkaskan sebagai berikut :"Imasmim sati idam hoti; imasuppd idam uppajjati.Imasmim asati idam na hoti; imassa nirodh imam nirujjhati"."Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu". (Majjhima Nikya, II. 32)Dengan memahami seluruh fenomena kehidupan (samsara) ini, agama Buddha memandangnya sebagai suatu lingkaran (bhavacakka), yang tak dapat diketahui permulaan dan akhirnya. Dengan demikian masalah 'sebab pertama' (causa prima) bukan menjadi masalah dalam filsafat agama Buddha."Tidak dapat dipikirkan akhir roda kelahiran kembali (samsara); tidak dapat dipikirkan asal mula mahluk-mahluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh kehausan (tanh) mengembara kesana kemari ".(Samyutta Nikya, II.178 - 193).

Sehubungan dengan masalah asal mula dan sebab pertama (causa prima) ini, Sang Buddha mengajarkan bahwa asal mula alam semesta (samsara) tidak dapat dipikirkan. Alam semesta ini bergerak menurut proses pembentukan (samvattana) dan penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus.Di pihak lain dalam Paticcasamuppada itu diperlihatkan pula berhentinya segala rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dengan berhentinya syarat-syarat yang mendahuluinya. Berhentinya rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dapat dicapai oleh mereka yang telah memiliki Pandangan Terang (Kebijaksanaan Sempurna).6) Nibbna (Kebahagiaan Tertinggi).Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbna. Banyak buku yang menyajikan uraian tentang Nibbna telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbna bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula tidak mungkin dapat memberi pengertian tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri.Nibbna adalah suatu 'keadaan', seperti diajarkan oleh Sang Buddha; Nibbna adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbna adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, kekotoran batin. Dengan demikian, nibbna adalah Kesunyataan Abadi tanpa kelahiran kembali, tanpa perubahan dan tanpa kematian. Keadaan ini sulit untuk dibabarkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenali jika keadaan terang diketahui. Nibbna dapat dialami jika lenyapnya dukkha dan Jalan untuk melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.Sedih dan gembira adalah nilai subyaktif yang timbul dari pikiran orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi. Karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nilai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi "aku" yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbna. Jika khayalan "aku" telah terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan "Nibbnam paramam sukham", "Nibbna kebahagiaan tertinggi", bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosionil, melainkan pembebasan mutlak dari segala bantuk ikatan indria dan keinginan (tanh).Pengertian Nibbna yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses menjadi (dumadi).Dalam Milinda Paha (Kitab berisi percakapan anatara bhikkhu Nagasena dan Raja Yunani, Menander) dikatakan : "Nibbna penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barangsiapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaannya (paa), sebagaimana seorang siswa, yang dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri"."Jikalau anda bertanya, "bagaimana Nibbna dapat diketahui", hal itu dapat diketahui melalui pembebasan dari ketegangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, kesucian"."Sebagaimana seseorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui usahanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dan mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur; begitu pula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi sengguh-sungguh, menyelami kebahagiaan tertinggi - Nibbna - setelah panas yang membakar dari tiga api (kesarakahan, kebencian dan ketidaktahuan) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas, sebagaimana orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri, menggambarkan dirinya yang menempuh kehidupan dengan benar, dan sebagaimana tempat sejuk itu menggambarkan arti Nibbna"."Apakah Nibbna itu suatu tempat?", tanya Raja Milinda. "Nibbna bukanlah suatu tempat, O Raja, tetapi Nibbna itu ada, sebagaimana nyala api itu ada meskipun api itu tidak disimpan di suatu tempat tertentu". "Apakah tiada tempat berpijak bagi seseorang untuk mencapai Nibbna?" "Ya, O Raja, ada tempat seperti itu. Tempat itu adalah kebajikan".Mereka yang mencapai Nibbna tidak lagi menaruh perhatian terhadap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun kamma baru, melainkan sekedar menghabiskan akibat kamma lampaunya.Sang Buddha pernah ditanya apakah seorang Buddha, sesudah mencapai Parinibbna, ada atau tidak ada. Sang Buddha diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai kesalahpahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham "Aku" masih melekat mustahil Nibbna dapat tercapai.Siswa terdekat Sang Buddha, Yang Ariya nanda, untuk waktu yang lama gagal mencapai Nibbna karena Beliau berpikir : "Aku harus mencapai Nibbna aku harus menembus Nibbna". Begitu keinginan mencapai Nibbna lenyap, Nibbna dapat ditembusnya.Bagi umat Buddha, Nibbna adalah ciri-ciri yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang ataupun yang akan datang. Yang jelas, diperlukan tekad kuat (adhitthna) untuk mengikuti Jalan yang ditunjukkan oleh Sang Guru

Senin, 11 Februari 2013SINGULARISME PESAN MORAL AGAMA-AGAMA SEBAGAI KUNCI KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA

Oleh: Zia Ul HaqSantri Madrasah Huffadh 1 Pondok Pesantren Al-Munawwir KrapyakYogyakarta

Konten;MukadimahSampel Kasus; Konflik Demak-Majapahit, Poso, dan KetapangFaktor Pemantik AnarkismeKeberagaman Agama di IndonesiaPersamaan Pesan Moral Antar-agamaSingularisme

MUKADIMAH

Agama merupakan suatu sistem kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang memiliki berbagai macam aspek, yakni keimanan (transenden), peribadatan (ritual) maupun nilai moral (etika). Di dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, terdapat berbagai macam agama yang berkembang dan kemudian dianggap resmi menurut undang-undang, yakni Hindu, Buddha, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan) serta Kong Hu Cu. Sudah jelas dengan sendirinya bahwa setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya, demikian halnya dengan agama-agama. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, maka tidak bisa disebut dengan nama yang sama: agama. Bila tidak ada perbedaannya di antaranya, maka tidak akan pula disebut dengan kata majemuk: agama-agama. Perbedaan-perbedaan yang ada acapkali dituduh menjadi faktor konflik fisik antar pemeluk agama, meskipun sebenarnya ada banyak faktor lain yang mendalanginya.

Keberagaman dalam peradaban umat manusia merupakan suatu fitrah yang tak terelakkan, khususnya di negeri yang majemuk seperti Indonesia. Secara historis, kepulauan Nusantara yang sekarang bernama Indonesia ini memang sudah menjadi tempat hijrah manusia dari berbagai penjuru bumi. Perkumpulan bermacam ras manusia ini jualah yang mewarnai bumi Nusantara dengan aspek-aspek peradaban yang mengikutinya, baik itu budaya maupun agama.

Perbedaan-perbedaan yang terkandung di masing-masing kepercayaan merupakan keniscayaan. Apalagi jika berkaitan dengan perkara ritual dan konsep ketuhanan atau teologi. Namun hal yang menjadi permasalahan adalah ketika perbedaan-perbedaan yang ada memancing sensitivitas relijius dan mengarah ke aksi anarkisme berupa konflik fisik horisontal. Dan hal ini telah terbuktikan oleh sejarah dengan terjadinya banyak kasus kerusuhan atas nama agama. Konflik yang terjadi bisa berupa kekerasan fisik, unjuk rasa, atau lainnya.

Akan tetapi, mengembalikan kejadian-kejadian itu melulu pada kenyataan perbedaan agama tidaklah mencukupi, mengingat konflik juga terjadi di antara orang atau kelompok-kelompok dengan agama yang sama. Maka dari itu, kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan antarorang atau kelompok dalam agama yang sama. Dengan kata lain, tidaklah cukup bahwa kerukunan sejati dibangun atas dasar agama saja, yang makin jelas kalau menyangkut hubungan atarumat beragama yang berbeda.

Padahal, konflik yang mengatasnamakan agama sama sekali berada di luar semangat keilahian (divine spirit) agama-agama. Semangat agama yang diwahyukan adalah cinta dan kasih. Bahkan cinta dan kasih Tuhan yang diperkenalkan oleh para utusan melampaui kemurkaan-Nya.

Pada umumnya, konflik yang mengatasnamakan agama disebabkan oleh penyimpangan arah proses sosial yang berkorelasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi sosial antarumat beragama. Bila agama adalah cinta dan kasih, maka interaksi sosial antara umat beragama mestinya didasarkan pada prinsip-prinsip cinta dan kasih itu. Namun tampaknya persoalan tersebut bukan sesuatu yang mudah.

Salah satu hal yang penulis tawarkan di dalam tulisan ini adalah pentingnya pemahaman terhadap pesan-pesan moral agama yang mengandung banyak kesamaan. Pesan-pesan universal yang ada di dalam spiritualisme semua agama inilah yang menitikberatkan keserupaan peran agama-agama sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia, dan bahwa untuk meraih kesempurnaan itu terdapat banyak pintu menuju Tuhan, tanpa harus menafikan eksistensi agama-agama yang sudah mengakar di dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia. Sebab, pada dasarnya, to be human is to be homo religiosus; menjadi manusia berarti menjadi makhluk beragama.[1]

SAMPEL KASUS; KONFLIK DEMAK MAJAPAHIT, POSO DAN KETAPANG

Keberagaman agama di Indonesia tidak terlepas dari faktor sejarah dan sosial budaya. Fenomena yang terjadi dalam keberagaman itupun tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek sosial budaya yang melingkupinya. Adanya konflik atau pergesekan antar umat beragama merupakan suatu obyek kajian yang harus dicermati secara detail, apakah terjadi murni karena faktor agama itu sendiri, ataukah karena faktor-faktor eksternal berupa politik maupun ekonomi.

Sejarah telah menunjukkan kepada kita betapa pahitnya akibat dari konflik-konflik sosial bernuansa keagamaan. Hal ini tidak hanya terjadi di masa kontemporer tetapi juga di zaman klasik ketika nama Indonesia belum mengikat keanekaragaman bangsa di Nusantara.

Konflik antara Kesultanan Islam Demak dengan Kraton Hindu-Buddha Majapahit misalnya, telah menyisakan kerugian yang tidak sedikit selama beberapa abad setelahnya.[2]

Penyerbuan Walisongo atas ibukota Majapahit adalah kejadian yang sangat menarik untuk diketahui, karena banyak pelajaran yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut. Ia bermula dari serbuan Kusuma Wardani yang memimpin Kadipaten Kediri, salah seorang putera Prabu Brawijaya V, atas prajurit muslim di Troloyo sekitar satu kilometer dari Trowulan. Menurut spekulasi Gus Dur, Kusuma Wardani marah atas proses islamisasi Kraton Majapahit. Karena itulah, ia memutuskan menyerbu Kraton itu dan mengusir Prabu Brawijaya V yang kemudian melarikan diri dan bertapa di Gunung Lawu, sebelah barat Magetan.

Sehabis menyerbu Kraton Majapahit, pasukan-pasukan Kusuma Wardani menyerbu pertahanan kaum muslimin di Troloyo. Dalam pertempuran itu berguguranlah Syaikh Abdul Qohhar (Maling Cluring), Syaikh Usman Ngudung, dan Tan Kim Han, salah seorang duta besar China yang beragama Islam dan menggunakan nama Arab Abdul Qodir Jaelani. Di tempat itulah dikuburkan orang-orang Hindu Budha, setelah Kerajaan Majapahit hancur total.

Gugurnya para pemimpin tentara Islam di Troloyo itu diikuti oleh penguasaan Kusuma Wardani atas Kraton Majapahit yang lebih mempertahankan agama Hindu-Budha, sehingga ia berposisi sebagai Prabu Brawijaya VI. Hal ini mengakibatkan reaksi tajam. Walisongo, yang sementara itu telah berhasil mendirikan Kesultanan Demak, memutuskan untuk menggunakan kekerasan dan membentuk pasukan rakyat, berjumlah sekitar 350 ribu orang. Pasukan Kesultanan Demak membumihanguskan Kraton Majapahit setelah berhasil mengalahkan prajurit Prabu Brawijaya VI, yang justru kompensasi yang harus diterima adalah kehilangan banyak sekali data sejarah tentang catatan masa lampau.

Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa faktor politik sangat kental menjadi penyebab peperangan bernuansa agama. Belum lagi jika kita mencermati beberapa persinggungan antaragama di zaman kontemporer ini. Konflik antara umat Islam dan Kristen di Poso sekiranya bisa menjadi sampel.

Konflik di poso adalah salah satu konflik di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakangagama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.

Konflik Poso yang telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatangvspenduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.

Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.

Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun duaimageutama dalam konstelasi politik Poso, yakni: Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pembalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu.

Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini, terutama berupa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.

Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keislaman kuat, hampir selalu membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.

Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1) Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2) Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.

Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor dalam konflik sebenarnya sangat kompleks,melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingankekuasaan.[3]

Begitu pula dengan insiden Ketapang pada tahun 1998 terhadap gereja-gereja Kristen yang barangkali merupakan satu faktor penyebab peperangan Kristen-Islam di Ambon, yakni adanya hasutan antara orang Betawi (penduduk Jakarta asli). Sejak tahun 1990 telah terjadi serangan-serangan terhadap gereja dengan peningkatan momentum, mencapai klimaksnya pada insiden yang mengerikan tahun 1996 dan 1997 di Surabaya, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian timur Indonesia telah terjadi serangan terhadap masjid-masjid. Serta berbagai bentrok di penjuru tempat di Indonesia yang sayangnya diperparah oleh faktor politik, secara parsial dari TNI dan Polri serta orang-orang yang datang dari luar dan melibatkan diri di dalamnya.

Faktor Pemantik Anarkisme

Budaya kekerasan dan anarkisme yang didemonstrasikan oleh berbagai bentuk konflik di atas bisa berkembang setidaknya karena empat faktor.

Pertama, faktor modernisasi dan globalisasi. Kedua hal ini memiliki daya tekan yang luar biasa terhadap masyarakat karena keuntungan dan ancamannya tidak terdistribusikan secara merata. Hanya mereka yang berada dalam kelompok kelas menengah ke atas yang bisa menikmatinya, sedangkan sisanya merasa terancam. Sehingga menempatkan masyarakat ke dalam keadaan stres sepanjang masa.

Kedua, faktor akumulasi kebencian dalam masyarakat. Yakni mudahnya masyarakat terprovokasi, disebabkan oleh kecenderungan eksklusivisme yang cenderung meningkat, baik dalam komunitas agama maupun komunitas suku. Orang-orang dari agama lain dianggap kafir yang mesti diperangi. Saling tidak percaya,prejudis(sangkaan) berakumulasi dan hubungan antarkomunal menjadi panas.

Ketiga,mengguritanya budaya kekerasan di masyarakat. Yakni kecekatan dan kecepatan untuk melakukan tindakan kekerasan dengan brutal. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang salah di dalam mentalitas masyarakat Indonesia yang realitanya begitu plural. Padahal, bangsa yang plural seperti ini hanya bisa hidup bersama secara damai jika mereka membuang kapabilitas psikologis yang memunculkan sikap intoleran. Faktor ini bisa jadi disebabkan oleh faktor keempat.

Keempat,faktor sosial politik. Orde baru (pada saat itu) pada dasarnya merupakansistem kekerasan yang dilembagakan. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan militer, di mana perbedaan pendapat dan protes selalu diselesaikan secara brutal. Masyarakat merasa diri mereka menjadi korban pembangunan, teapi mereka tidak boleh berbicara, sebab jika mereka memprotes, maka mereka akan dituduh sebagai komunis atau malah Islam ekstrim. Apa yang dipelajari oleh masyarakat hanyalah bahwa pemerintah sekedar mengerti satu bahasa, yakni: kekerasan.[4]

Dari beberapa contoh konflik fisik di atas, dan sekelumit tentang faktor penyebabnya, kita bisa menyimpulkan betapa benar seperti disampaikan oleh Gus Dur - bahwa begitu pentingnya arti kerukunan antarumat beragama serta arti toleransi bagi bangsa-bangsa dan suku-suku di wilayah Indonesia ini. Sebagai implikasi dari pandangan ini, menurut beliau, tepat sudahlah kebijakan yang diambil oleh para pendiri republik ini dengan kearifan untuk menghapuskan Piagam Jakarta di dalam pembukaan UUD 1945. Sebuah tindakan untuk menghilangkan dominasi suatu agama tertentu di atas agama-agama lain yang bisa berimbas kepada bidang-bidang non-agama serta memantik konflik-konflik bernuansa agama.[5]

KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA

Berbicara tentang Indonesia, kita harus berbicara tentangnya sebagai sebuahnation-statedalam pengertian modern. Sebuah negara bangsa yang tidak serta merta muncul begitu saja di muka bumi, melainkan memiliki latar sejarah yang panjang, khususnya di dalam kehidupan beragama.

Sebelum kedatangan agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, maupun Kong Hu Cu di wilayah Indonesia, sudah ada sistem kepercayaan yang dianut oleh suku-suku bangsa asli, apa yang dikatakan sebagai suku-suku bangsa sekarang ini adalah bangsa-bangsa dalam unit kecil. Mereka memiliki agama dan kepercayaan tersendiri yang berkaitan dengan identitas dan harga diri mereka. Inilah yang dalam ilmu-ilmu sosial disebut sebagai agama-agama suku, atau dalam kacamata kepentingan politik praktis biasa disebut sebagai berbagai kelompok kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.[6]

Pada saat itu, agama-agama suku hidup terisolasi sebagaimana kehidupan suku-suku bangsa itu sendiri. Hilangnya isolasi tersebut barulah terjadi setelah kedatangan apa yang dinamakan sebagai agama-agama dunia. Agama-agama junior inilah yang sekarang ini diakui sebagai agama sah di Indonesia, yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Kong Hu Cu. Di samping ajaran agama-agama ini lebih bersifat universal, para penganutnya pun terdiri dari berbagai bangsa dan bahasa.

Agama-agama junior ini sebagian berhasil membentuk kerajaan dan negara yang besar, sekaligus mendobrak isolasi suku-suku bangsa itu serta mempersatukan mereka sebagai satu bangsa dan rakyat dalam sebuah kawasan berkepulauan ini.

Dalam hal inilah, menurut hemat penulis, peranan strategis agama-agama yang ada di Indonesia dalam menciptakan wawasan kebangsaan yang relijius dan agamis, yakni rasa kebangsaan yang bertumbuh kembang dalam landasan nilai agama-agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. Dan wawasan kebangsaan ini tidak hanya diilhami oleh satu ajaran saja, melainkan juga semua penganut agama yang ada.

Untuk itulah pentingnya pemahaman terhadap anatomi agama-agama besar di Indonesia tersebut, khususnya karakteristik nilai moral normatif yang memiliki kesamaan. Dalam pembahasan ini, kita harus mengenal terlebih dahulu ajaran-ajaran pokok dari agama-agama besar yang secara otoritatif memiliki peran strategis tersebut.

Meskipun tidak mengupas keseluruhan isi ajaran agama yang mencakup ranahtransendental (keimanan) maupunritual, setidaknya pembahasan tentangsekilas konsepagama-agama yang bersangkutan sudah mencukupi untuk menarik benang merah persamaannilai moralsetiap agama secara global.

Adapunseluk belukagama-agama yang dibahas di sini adalah agama-agama resmi yang ada di Indonesia menurut senioritas keberadaannya berdasarkan catatan sejarah, yakni Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan KongHuCu.1.Hindu[7]

Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agamaBuddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha sepertiKutai,MataramdanMajapahit. CandiPrambananadalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh.

Sanatana Dharmaadalah nama lain untuk agama Hindu, sebuah agama yang sudah ada sebelum agama-agama lain ada. Tidak ada bukti yang pasti kapan agama Hindu muncul. Nyatanya, ia dimulai pada suatu zaman tertentu. Nama Hindu yang sekarang lazim dikenal dan telah dipergunakan secara umum di seluruh dunia, merupakan nama asing karena nama itu diberikan oleh orang yang bukan Hindu. Nama tersebut disematkan pada kelompok masyarakat yang memiliki agama dan tradisi Dharma.Jiwa dari sistem agama adalah kepercayaan. Agama selalu mencakup masalah percaya dan kepercayaan, inilah keimanan. Dalam agama Hindu, iman disebut denganSraddha.

Sedangkan pokok-pokok ajaran Hindu tertuang dalamPanca Sraddha, yakni:Percaya terhadap adanya Brahman (Sang Hyang Widhi)Percaya terhadap Atman yang merupakan percikan dari Atman tertinggi yakni BrahmanPercaya terhadap HukumKarmaphala(balasan perbuatan)Percaya terhadap adanyaPunarbawaatau lingkaran kelahiran kembaliPercaya terhadap adanyaMoksaatau kelepasan jiwa dari ikatan duniawi.

2.Buddha[8]

Buddhamerupakan agama tertua kedua diIndonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaanSailendra,SriwijayadanMataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melaluiJalur SutraantaraIndiadan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakupcandi BorobudurdiMagelangdan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.

Buddhaberarti Yang Sadar, merupakan sebutan bagi seseorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna, yakni suatu kondisi batin yang telah berkembang meningkat sedemikian rupa sehingga mampu menyadari kenyataan atau kebenaran yang terdapat dalam kehidupan ini. Orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna ini adalah Siddharta Gotama yang lahir pada tahun 623 SM di India Utara dan wafat pada usia 80 tahun yakni 543 SM. Beliau lahir sebagai putra mahkota Kerajaan Kapilavatthu yang sekarang berlokasi di dekat perbatasan India dengan Nepal.

Perlu ditekankan bahwa Buddha bukanlahTuhan. Konsepketuhanan dalam agama Buddhaberbeda dengan konsep dalamagama Samawidimanaalam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali kesurgaciptaan Tuhan yang kekal.Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejatidimanasatu makhluk tidak perlu lagi mengalami prosestumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.

Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam Buddha biasanya dikenal denganPancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan.Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusilaAku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dustaAku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

Selain nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat.Kamma(bahasa Pali) atauKarma(bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya. Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagaiKamma Vipaka.

3.Islam[9]

KataIslamberartiberserah diri kepadaTuhan, agama iniadalahagamayang mengimanisatu Tuhan, yaituAllah. Dengan lebih dari satu seperempatmiliarorang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutanMuslimyang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya (dalam bentuk plural) adalahMusliminbagi laki-laki danMuslimatbagi perempuan. Islam mengajarkan bahwaAllahmenurunkanfirman-Nya kepada manusia melalui para nabi danrasulutusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwaMuhammadadalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia olehAllah.

Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada kalimahsyahdatin("dua kalimat persaksian"), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah" - yang berarti "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Esensinya adalah prinsipkeesaan Tuhandan pengakuan terhadap kenabianMuhammad. Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah menjadi seorang muslim dalam status sebagaimualaf(orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).

Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus Muhammad sebagaiNabi terakhirsetelah diutusnyaNabi Isaenamabad sebelumnya. Agama Islam mempercayai bahwaal-Qur'andanSunnah(setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang fundamental.Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai penerus dan pembaharu kepercayaan monoteistik yang diturunkan kepadaIbrahim,Musa,Isa, dannabioleh Tuhan yang sama. Islam menegaskan bahwa agamaYahudidanKristenbelakangan setelah kepergian para nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks dalam kitab suci, memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.

Umat Islam juga meyakinial-Qur'anyang disampaikan oleh Allah kepadaMuhammad. melalui perantaraMalaikat Jibriladalah sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah[2]:2). Di dalam al-Qur'an Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikanal-Qur'anhingga akhir zaman.

Adapun sebagaimana dinyatakan dalamal-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan untuk beriman dan meyakini kebenaran kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum al-Qur'an (Zabur,Taurat,Injildan suhuf para nabi-nabi yang lain) melalui nabi dan rasul terdahulu sebelum Muhammad.Umat Islam juga percaya bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami perubahan oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya kitab Allah yang benar-benar asli dan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.

Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk memegangLima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas. Tambahan dari Lima Rukun,hukum Islam(syariah) telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktikal seperti kehalalan,perbankan,jihaddanzakat.

Isi dari lima Rukun Islam itu adalah:Mengucapkandua kalimah syahadatdan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwaMuhammadadalah hamba dan rasul Allah.Mendirikansalatwajib lima kali sehari.Berpuasapada bulanRamadan.Membayarzakat.Menunaikan ibadahhajibagi mereka yang mampu.

Umat Islam meyakini doktrin bahwa Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad adalah bentuk Kasih Sayang-Nya terhadap alam semesta ataurahmatan lil aalamiin. Juga terkait dengan tugas diutusnya Nabi Muhammad yakni sebagai pembenah moralitas manusia secara keseluruhan. Maka banyak sekali aspek pembenahan sosial yang sangat kompleks dan ditekankan untuk dilakukan oleh penganut agama Islam.

4.Kristen(Katolik dan Protestan)[10]

Agama Kristen untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara.Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.

Kata Kristen sendiri memiliki arti "pengikut Kristus atau "pengikut Yesus". Murid-murid Yesus Kristus untuk pertama kalinya disebut Kristen ketika mereka berkumpul di Antiokia (Kisah Para Rasul11: 26c).

Agama Kristen termasuk salah satu dariagama Abrahamikyang berdasarkan hidup, ajaran, kematian denganpenyaliban,kebangkitan, dan kenaikanYesus dari Nazaretke surga, sebagaimana dijelaskan dalamPerjanjian Baru, umat Kristen meyakini bahwa Yesus adalahMesiasyang dinubuatkan dalam dariPerjanjian Lama(atau Kitab suci Yahudi). Kekristenan adalahmonoteisme, yang percaya akan tiga pribadi (secara teknis dalam bahasa Yunanihypostasis)TuhanatauTritunggal.Tritunggaldipertegas pertama kali pada Konsili Nicea Pertama (325) yang dihimpun oleh Kaisar Romawi Konstantin I.

Pemeluk agama Kristen mengimani bahwaYesus Kristusadalah Tuhan dan Juru Selamat, dan memegang ajaran yang disampaikan Yesus Kristus. Dalam kepercayaan Kristen, Yesus Kristus adalah pendiri jemaat (gereja) dan kepemimpinan gereja yang abadi (Injil Matius 16: 18-19)

Umat Kristen juga percaya bahwa Yesus Kristus akan datang pada kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim akan dunia ini. Sebagaimanaagama Yahudi, mereka menjunjung ajaran moral yang tertulis dalamSepuluh Perintah Tuhan atauDekalog.

Sepuluh Perintah Allah untukGereja Katolikadalah sebagai berikut:Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu.Jangan menyebut Nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.Kuduskanlah hari Tuhan.Hormatilah ibu-bapamu.Jangan membunuh.Jangan berzinah.Jangan mencuri.Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu.Jangan mengingini istri sesamamu.Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.

Dalam pandangan Kristen Protestan tentang Sepuluh Perintah Tuhan tersebut, bagian pertama sampai keempat mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan perintah kelima sampai kesepuluh mengatur hubungan manusia dengan sesama.

5.Kong Hu Cu[11]

AgamaKonghucuberasal dariCinadaratan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa danimigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauanNusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Kong Hu Cu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.

Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga:Kong Fu TzeatauKonfusius) dalambahasa Tionghoa, istilah aslinya adalahRujiaoyang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya. Meskipun orang kadang mengira bahwa Kong Hu Cu adalah merupakan suatu pengajaranfilsafatuntuk meningkatkanmoraldan menjagaetikamanusia.

Dalam agama Kong Hu Cu atau Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Kong Hu Cu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut "Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".

Ajaran falsafah ini diasaskan olehKong Hu Cu(Konfusius) yang dilahirkan pada tahun551 SMChiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Ia meninggal dunia pada tahun479 SM.

Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku.

Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.

Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya,Mensius, ke seluruhTiongkokdengan beberapa perubahan. Kong Hu Cu disembah sebagai seorangdewadan falsafahnya menjadi agama baru, meskipun dia sebenarnya adalahmanusiabiasa. Pengagungan yang luar biasa akan Kong Hu Cu telah mengubah falsafahnya menjadi sebuah agama dengan diadakannya perayaan-perayaan tertentu untuk mengenang Kong Hu Cu. Berdasarkan kitab Zhong Yong, agama adalah bimbingan hidup karunia Tian/Tuhan Yang Maha Esa (Tian Shi) agar manusia mampu membina diri hidup di dalam Dao atau Jalan Suci, yakni "hidup menegakkan Firman Tian yang mewujud sebagai Watak Sejati, hakikat kemanusiaan". Hidup beragama berarti hidup beriman kepada Tian dan lurus satya menegakkan firmanNya.

Intisari ajaran Khong Hu Cu terdiri atas 8 Pengakuan Iman, 5 Sifat Kekekalan, 5 Hubungan Sosial, dan 8 Kebajikan. Perinciannya sebagai berikut;Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu)Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)

Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang); Ren Cintakasih, Yi Kebenaran / Keadilan / Kewajiban, Li Kesusilaan dan Kepantasan, Zhi Bijaksana, Xin - Dapat Dipercaya.Lima Hubungan Sosial (Wu Lun):Hubungan antara Pimpinan dan BawahanHubungan antara Suami dan IsteriHubungan antara Orang tua dan anakHubungan antara Kakak dan AdikHubungan antara Kawan dan Sahabat

Delapan Kebajikan (Ba De): Xiao - Laku Bakti, Ti - Rendah Hati, Zhong Setia, Xin - Dapat Dipercaya, Li Susila, Yi Bijaksana, Lian - Suci Hati, Chi - Tahu Malu.

PERSAMAANPESAN MORALANTAR-AGAMA DI INDONESIA

Dari uraian tentang konsep dasar enam agama resmi di Indonesia di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan adanya titik-titik temu yang berkaitan dengan pesan moral. Perbedaan-perbedaan mendasar tentang konsep teologis memang tidak bisa dinafikan. Pluralitas seperti ini adalah suatu kenyataan yang harus diarifi, bukan untuk dicampuradukkan, juga bukan menjadi senjata untuk klaim kebenaran.

Prinsip bahwa agama memegang kebenaran transendental memang dapat diterima. Mutlaknya, kebenaran agama terbukti dengan penggunaannya sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara: moralitas yang luhur, ketaatan kepada Tuhan, kewajiban melaksanakan ajaran agama, dan seterusnya. Tidak ada agama yang mau melepaskan hak tunggal-nya untuk memonopoli kebenaran ajaran, karena persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan.[12]

Di abad pertengahan, teologi pernah disebut sebagaithe queen of the science:ilmu pengetahuan paling tinggi dan otoritatif. Semua hasil penelitian rasional harus sesuai dengan teologi. Pandangan keagamaan mendominasi pemikiran manusia. Ketika ada perselisihan pandangan, maka pandangan keagamaan harus dimenangkan. Dalam perkembangan ilmu-ilmu teologi di kemudian hari, muncul asumsi dasar: bahwa hanya agama tertentu saja yang benar, agama-agama lain dianggap tidak benar. Tuntutan eksklusif partikularis ini oleh para pemerhati studi agama- disebuttruth claim:klaim kebenaran.Sementara itu, studi empiris fenomena keberagaman menemukan kenyataan yang sulit dielakkan. Yakni adanya pluralitas keyakinan dan pedoman hidup manusia. Akibatnya, timbul hubungan tak serasi antara pendukung kedua pendekatan tersebut dan hal ini berlangsung hingga sekarang.[13]

Namun, meskipun ada berbagai macam perbedaan di dalam ranah transenden atau keimanan dan tak dapat disatukan, juga ketidaksamaan di dalam aspek ritual yang juga mustahil dipersatukan, setidaknya masih ada peluang kesamaan yang bisa disatukan, yakni kesamaan di dalam tataran nilai substantif berupa pesan-pesan moralitas.

Maka pesan moral normatif inilah yang semestinya diidentifikasi dari setiap agama untuk digarisbawahi kesamaan tujuannya. Secara rinci, setidaknya ada tujuh hal pokok yang dikandung oleh semua agama[14], yakni;

1.Adanya realitas transenden, yakni Tuhan Yang Maha Suci, dengan nama yang berbeda-beda.2.Realitas yang transenden itu adalah immanen di lubuk hati manusia, bersemayam di dalam jiwa manusia.3.Realitas transenden tersebut adalah kebaikan tertinggi, mutlak.4.Realitas ketuhanan ini adalah cinta sejati yang mewujud di dalam kehidupan manusia.5.Jalan manusia menuju Tuhan adalah universal, menyerahkan diri, disiplin diri dan ritual.6.Semua agama tidak saja mengajarkan tentang jalan menuju Tuhan, tetapi secara bersamaan juga mengajarkan cara bergaul dengan lingkungan sekitarnya.7.Cinta merupakan jalan yang paling tinggi menuju Tuhan.

Dengan melihat secara seksama pesan-pesan moral dari setiap agama dalam poin B di atas, yakni tentang kewajiban manusia untuk menaati Tuhannya, serta berbuat baik terhadap alam sekitar, apalagi sesama manusia, maka dapat disimpulkan bahwa dasar moral dari setiap ajaran agama adalah kasih sayang, yakni menyerap cinta dari Tuhan di alam makna untuk ditebarkan kepada lingkungan sekitar, alam ragawi.

Kesadaran semacam inilah, yang mengarifi kebijaksanaan-kebijaksanaan setiap agama yang semestinya dipropagandakan oleh setiap corong keagamaan jika memang mendambakan kondisi yang damai antar pemeluk agama. Corong yang penulis maksudkan adalah berupa sosialisasi pesan moral keagamaan yang berkaitan dengan cinta kasih, melalui kurikulum pendidikan, khotbah keagamaan, maupun media-media sosial lainnya. Baik secara formal maupun informal, baik secara struktural maupun kultural.

Pesan moral utama dan penting yang dikandung dalam setiap agama adalah keniscayaan seorang pemeluk agama untuk memperhatikan hubungannya dengan Tuhan sekaligus dengan sesamanya. Secara teknis, hal ini tersirat di dalamPancasraddhaumat Hindu,Pancasilaumat Buddha, konsepRahmatan Lil Alaminumat Islam,Sepuluh Perintah Tuhanumat Kristen, serta falsafah kebijaksanaan ajaran umat Kong Hu Cu. Titik berat dari tujuannya adalah perwujudan keharmonisan vertikal maupun horisontal.

Hal ini juga menunjukkan secara jelas bahwa agama yang sebenarnya menguatkan keberadaan pengalaman spiritual yang unik dan bersifat individual dari seorang pemeluk agama. Pengalaman spiritual itulah yang mendorongnya untuk memiliki pemahaman yang mendalam secara bersama-sama antar berbagai orang dari seluruh sistem keagamaan yang ada. Agama yang sebenarnya bertindak sebagai kendaraan atau alat untuk mengungkapkan rasa pelayanan (pengabdian) yang tulus dari seluruh penganutnya. Pengabdian tersebut ditujukan kepada Tuhan, lalu dimanifestasikan pula kepada eksistensi kosmik berupa alam semesta ini.[15]

Di akhir pembahasan ini, ide utama dari nilai-nilai moral agama-agama di Indonesia setidaknya terrangkum di dalam ungkapan al-Bantani. Beliau menyatakan bahwa intisari dari perintah dan larangan di dalam kitab-kitab suci hanya dua hal saja, yakni mewujudkan keharmonisan denganal-Khaliq(Pencipta) dan mewujudkan keharmonisan pula denganal-Makhluq(ciptaan, semesta alam kosmik).[16]

SINGULARISME

Sudah saatnya bangsa inimelekterhadap persamaan-persamaan nilai suci di dalam setiap agama, tidak hanya mengetahui perbedaan apalagi memperruncing perbedaan tersebut yang justru bisa menimbulkan konflik horisontal bernuansa agama. Selain itu, bagi setiap peminat pluralisme seyogyanya memilah hal-hal yang transenden, ritual, maupun norma-norma substantif sehingga tidak keseleo ketika mendengung-dengungkan isu kesatuan agama-agama maupun kebenaran yang sama antaragama.

Selain itu, citra pluralisme yang masih dipandang negatif oleh sebagian kalangan masyarakat agaknya bisa diatasi dengan istilah baru, yaknisingularisme.Jika pluralisme menjadikan keberbagaian serta perbedaan-perbedaan agama sebagai titik fokus kajian untuk mewujudkan kerukunan, maka singularisme cenderung memosisikan pesan-pesan moral utama yang seragam dan tunggal (singular) sebagai titik tolak wacana kerukunan antarumat beragama. Sehingga obyek pembahasan tidak lagi berputar di lingkungan transenden teologis, tetapi ke tataran akhlak, moral normatif.

Dan alangkah baiknya jika kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah kita, baik itu dalam pendidikan formal maupun nonformal, memberikan ruang khusus bagi tema pesan moral keagamaan untuk disosialisasikan kepada generasi penerus bangsa. Dalam hal ini, wawasan tentang konflik-konflik bernuansa agama harus dicermati dan diterangkan sebagai imbas dari persinggungan sosial budaya, bukan murni karena nilai-nilai agama yang menganjurkan pertumpahan darah, baik itu konflik berskala nasional maupun internasional, baik yang klasik maupun kontemporer.